The WAHID Institute. Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009

The

WAHID

Report

Institute

Monthly

Pengantar Redaksi Setelah teror bom meledak, aparat ­negeri ini bergerak cepat merumuskan software ­penangkal ideologi teror. Caranya mengontrol dan mere­ kam aktivitas dakwah. Pada Jumat akhir Agus­ tus silam, Nanan Soekarna, Kadiv ­Humas Mabes Polri menjelaskan perintah ­ pengawasan itu dalam sebuah konferensi pers. Langkah ini me­ nuai kontroversi yang diikuti dengan klarifika­si Kapolri. Sebagian menolak, sebagian lagi me­ ne­rima jika aktivitas dakwah diawasi dengan syarat-syarat tertentu. Masih seputar terorisme. Cerita lain di ­balik penangkapan putera Abu Jibril, Muhammad ­Jibril, berhembus dari Pamulang, Banten. Lelaki yang juga bernama Fihiruddin ini dituding sesat karena menyebar aliran Wahabi radikal. Pengelo­ laan masjid di mana ia menjadi imam masjidnya juga dianggap ekslusif. Terbuka hanya untuk mereka yang sepaham. Beralih ke soal Ramadhan. Edisi ini, MRORI juga menerbitkan ragam fatwa MUI dari ­berbagai penjuru Tanah Air terkait Ramadhan, selain kasus-kasus razia yang biasanya marak ­selama bulan suci tiba. Selain fatwa ­Ramadhan, ­sebelumnya MUI juga menerbitkan fatwa hasil Rapat Koordinasi MUI se-Jawa Lampung yang mengeluarkan fatwa haram “The Master”, juga seni tradisional debus yang memicu penolakan mahasiswa dan pelaku seni. Dari Solo, Jawa Tengah, MUI setempat mendesak buku Pendidikan Perdamaian Berbasis Islam ditarik. Menurut MUI, buku itu menye­ satkan. Masih di Jawa Tengah, dua kasus juga disajikan edisi ini: Ba’asyir desak pemutusan hubungan dagang dengan Israel dan tuduhan penistaan agama kepada Wakil Bupati Kudus. Sedang dari Yogya, aksi pembubaran terhadap ­forum ilmiah juga masih terjadi menimpa Jarin­ gan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), penyelenggara kegiatan. ­ Dengan ­ alasan ada ke­be­ratan sebuah ormas, polisi menghentikan acara. Kasus-kasus lain juga bisa Anda nikmati di sajian edisi ini. Akhirnya, selamat membaca.

i Ed

si

22 S

t ep

em

be

r

Alamsyah M. Dja’far

R

9

on Religious issues

Pengawasan Dakwah Menuai Kontroversi

Ilustrasi. Salah satu kegiatan dakwah/Foto. dok. photobucket.com

encana kepolisian melakukan penga­ wasan terhadap aktivitas dakwah se­ bagai bagian memberantas ­terorisme layu sebelum berkembang. Sebelumnya, Markas Besar Kepolisian Indonesia (Mabes Polri) diberitakan telah memerintahkan kepolisian daerah untuk memantau aktivi­ tas dakwah dan ceramah agama selama bulan Ramadhan. Asumsinya, ceramah agama dipandang lahan subur yang bisa digunakan pendukung terorisme untuk melakukan provokasi dan penyemaian ideologi. Gagasan ini kemudian memicu kontroversi. Sehari sesudah pernyataan yang dilontarkan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Nanan Soekarna di Mabes Polri Ju­ mat (21/8), Ketua Front Pembela Islam Rizieq Shihab langsung berkomentar. Pengawasan ini, kata Rizieq, bentuk teror dan intimidasi yang jelas-jelas melece­ hkan dakwah. “Itu gaya Orde Baru yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia --red) dan konstitusi terkait kebebasan men­ jalankan ibadah,” katanya Sabtu malam

0 20

Pengawasan aparat terhadap aktivitas dakwah yang dilakukan kelompokkelompok fundamentalis yang diduga kuat mengembangkan ideologi terorisme, ­ seti­­daknya membenarkan aksi terorisme, agaknya dapat dibenarkan. Asal.... (22/8) ­sep­erti dikutip Antara. Jika itu dibi­ arkan, lanjut Rizieq, Polri terkesan semakin sewenang-wenang. Apalagi selama ini aparat ­ banyak melakukan penangkapan terhadap Jemaah Tabligh dan mendepor­ tasi jemaah ­ asing. Padahal, bantah Rizieq, mereka itu merupakan kelompok dakwah yang selalu mengedepankan kelembutan dan kes­an­tunan. “Mestinya, yang dide­

Penerbit The Wahid Institute | Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Redaktur Pelaksana: Alamsyah M. Dja’far | Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Alamsyah M. Dja’far | Staf Redaksi: M. Subhi Azhari, Nurun Nisa’, Badrus Samsul Fata | Lay out: Ulum Zulvaton | Kontributor: Noor Rahman (DKI Jakarta), Suhendy, Dindin Ghazali (Jawa Barat), Nur Khalik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Tedi Kholiludin (Jawa Tengah), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal Adhan (Makassar), Akhdiansyah, Yusuf Tantawi (NTB) | Alamat Redaksi: The Wahid Institute , Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 | Telp +62 21 3928 233, 3145 671 I Faks. +62 21 3928 250 Email: [email protected] Website: www. wahidinstitute.org.

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009 portasi itu turis asing yang suka memakai ‘kancut dan kutang’ di depan umum karena merusak moral,” ungkapnya lagi. Seperti diberitakan media, pada Jumat (14/8) sembilan anggota Jemaah Tabligh berkewarganegaraan Filipina sempat di­ tahan Polisi Purbalingga, Jawa Tengah. Mereka kemudian diserahkan ke Mapolda Jawa Tengah. Dua hari berikutnya (16/08), 12 orang jemaah yang kebanyakan berasal dari Mandai, Sulawesi Tengah, juga ditahan saat berada di Masjid Nurul Huda, Desa Sida Kangen, Kecamatan Kalimanah, Purbaling­ ga, Jateng. Dilepaskan Selasa (18/8). Di hari yang sama, delapan anggota jemaah asal Filipina yang tengah khuruj (ibadah beper­ gian dari satu masjid ke masjid --red) di Solo juga ditahan. Penangkapan itu menuai ke­ caman dari berbagai pihak, di antaranya MUI Pusat dan Departemen Agama. Penolakan dan Kecaman Terkait perintah pemantauan dakwah itu, Forum Umat Islam (FUI) Bulukumba menolak mentah-mentah kebijakan yang mereka anggap menyudutkan umat Islam yang tak menyukai kekerasan. “Bahkan di masa Orde Baru para ulama tidak per­ nah mendapat pengawasan ketat yang berdampak terhadap kondisi psikologi para ­ ulama ketika mereka sedang mem­ bawakan dakwah,” kata Musyafir Pengurus Forum Umat Islam (FUI) Bulukumba, Ming­ gu (23/8). Sementara itu Ketua Umum PP Mu­ hammadiyah, Din Syamsuddin, menduga jika pengawasan tersebut justru akan me­ micu konflik di tingkat bawah. Semestinya, kata Din, Polri bisa merangkul elemen Is­ lam dengan mengajak berdiskusi terkait pena­nganan terorisme di Indonesia. ”Ka­ lau seper­ti ini justru menempatkan kami se­bagai musuh. Padahal ajaran Islam jelas menolak aksi terorisme,” tegas Din usai ber­ bicara dalam Tabligh Akbar dan Dialog Ke­ bangsaan bertema Membangun Inte­gritas Muslim yang Kaffah Menuju Islam Rahmatan Lil’alamin di Universitas Muhammadi­ yah Surakarta (UMS), Senin (24/8). Penolakan juga datang dari kalangan Mahasiswa. Salah satunya dari Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI). Melalui siaran pers PB HMI yang ­disampaikan di Jakarta, Senin (24/8), Ketua PB HMI Arip Musthopa meminta kepoli­ sian menghentikan tindakan tersebut dan selanjutnya tak melakukan pengawasan secara berlebihan. Menurut dia, polisi se­ baiknya memfokuskan upaya pencegahan terorisme melalui dialog dan cara-cara per­ suasif supaya masyarakat bisa tetap men­ jalani hidup dengan tenang dan nyaman. Dari Banten kelompok yang mena­ makan Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) Provinsi Banten juga senada. Mereka menyayangkan langkah pihak kepoli­



sian. Menurut Ketua FSPP Provinsi ­ Banten KH Sulaeman Ma`ruf, langkah kepolisian yang akan mengawasi kegiatan dakwah merupakan langkah mundur dalam mem­ bangun demokrasi dan menjalin kemitraan antara polisi dan masya­rakat. ”Saya sangat prihatin karena selama ini kemitraan Polri dengan masyarakat ­termasuk kalangan pe­ santren terjalin ­dengan baik, jangan dirusak kembali dengan kebijakan itu,” katanya di Serang (Antara, 23/08). Dikecam dari delapan penjuru mata angin, dengan menggelar jumpa pers di Mabes Polri, Senin (24/8), Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri membantah pihaknya telah memerintahkan jajarannya mengawasi dakwah. ”Seolah-olah penjela­ san dari Kadiv Humas pada Jumat yang menyatakan, seolah-olah Polri di seluruh jajaran melakukan pengawasan untuk kegiatan dakwah. Sebetulnya hal ini tidak pernah dinyatakan siapa pun, apalagi saya sebagai Kapolri. Tolong ini dipahami”. Jumpa pers ini terbilang penting. Dua petinggi lain, Menteri Agama Maftuh­ ­Ba­­syuni dan Menteri Komunikasi dan ­In­for­matika, M Nuh, ikut mendampingi. ”Sa­ya tegaskan bukan ingin membatasi ceramah atau dakwah dengan mengawasi kegiatan tersebut. Namun, memantau dan merekam dakwah. Jika ada provokasi atau pelanggaran hukum, akan kami tindak. Polisi tidak akan menghalangi dakwah dan tausiah, tapi kami akan mencoba nempel ­­di ­situ untuk lebih terbuka dan memantau,” tegas Bambang. Sebelumnya, pihak kepolisian melalui Kadiv Humas Mabes Polri Nanan Soekar­ na, Jumat (21/8) menegaskan akan me­ mantau kegiatan dakwah dalam rangka ­me­­­­m­­­e­­­ra­­n­­­­­gi tindak terorisme. “Jika ada dak­ wah yang melakukan hal itu (provokasi), akan kami tindak,” tegas Nanan. “Bukan kepolisian ingin membatasi dakwah, tapi kepolisian akan mengikuti, merekam, dan memantau”. Dalam kesempatan itu Nanan juga mengatakan pengawasan akan diper­ ketat terhadap aktivitas tersebut dengan ­dikoordinasikan di masing masing Kepoli­ sian Daerah (Polda) dan polisi satuan mulai dari tingkat Kepolisian Wilayah (Polwil), Ke­ polisian Sektor (Polsek), hingga Kepolisian Resort (Polres) dengan sandi Operasi Cipta Kondisi sebelum operasi ketupat dilaksana­ kan. Operasi itu sendiri sudah dimulai se­ hari sebelumnya, Kamis (20/08). Boleh, Asal… Suara berbeda soal pengawasan ini datang dari pimpinan Majelis Taklim Ha­ bib Ali Kwitang Jakarta, Habib Abdurrah­ man Al Habsyi Kwitang. “Kalau tujuannya untuk menertibkan umat, saya sangat mendukung,” ujar Habib Abdurrahman ke­ tika ditemui di kediamannya, Sabtu seperti

dikutip Republika Newsroom (22/8). Habib Abdurrahman merasa penga­ wasan kepolisian dapat dilakukan asalkan melalui cara yang bertanggung jawab dan profesional.” Jangan seperti kasus di Jawa Tengah, asal pakai sorban lalu ditahan,” tambahnya. Ia sendiri mempersilakan jika pihak kepolisian mengawasi kegiatan ma­ jelis yang dipimpinnya. Hal senada juga dilontarakan Rusdi Marpaung Direktur Operasional Imparsial. Dirinya menganggap tak masalah jika ke­ polisian melakukan pengawasan terha­ dap ceramah maupun dakwah asal masih dilakukan dalam batas wajar. Aparat tidak boleh mengganggu kekhusukan orang yang sedang menjalankan ibadah. Ia juga meminta aparat berhati-hati dalam me­ mandang simbol tertentu dalam penanga­ nan terorisme. Misalnya, tidak boleh serta merta kepolisian menangkap seseorang hanya karena berjenggot. ”Setiap upaya penangkapan harus disertai dengan bukti yang cukup,” tandasnya. Setelah serangan teror di JW Marriot dan Ritz Carlton, stigma masyarakat ter­ masuk aparat terhadap simbol keagamaan tertentu memang tampak menguat. Dari beberapa kasus, beberapa orang yang menggunakan celana ngatung (celana panjang di atas mata kaki --red) berjeng­ got atau bercadar bagi yang perempuan sempat berurusan dengan kepolisian dan masyarakat karena dicurigai kelompok teroris. Masyarakat juga mulai berhatihati dengan mereka yang menggunakan ­pakaian semacam itu. Stigmatisasi Teroris Selain kasus Jemaah Tabligh, dari Ban­ ten ada kisah salah tangkap. Dua warga asal Balaraja, Kabupaten Tangerang, ber­ nama Daud dan Kasitri sempat diintero­ gasi warga dan Polsek Cikande. Daud yang memelihara janggut mengenakan baju koko, berpeci putih, dan bercelana ngatung. Sementara Kasitri, dengan jilbab ­lebar, perempuan yang menggendong dan menuntun anaknya yang masih kecil itu menutupi wajahnya dengan cadar. Seperti dikutip Radar Banten (21/8), seusai menunaikan salat magrib di Masjid Al-Barokah yang terletak di Kampung Kadin­ ding, Desa/Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Rabu (19/8), mereka didatangi dan dicecar pertanyaan oleh warga yang men­curigai kedua pasangan ini sebagai anggota teroris. Kecurigaan warga ditam­ bah dengan tas cukup besar yang mereka bawa. Warga mengira tas itu berisi bom. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid dan Ketua Lajnah Tan­ fidziyah Majelis Mujahidin Irfan menolak jika simbol-simbol keagamaan tertentu ­diidentikkan dengan teroris. Stigmatisasi itu, menurut Hidayat justru bisa mengha­

The WAHID Institute

n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009 dirkan masalah baru. Di antaranya men­ jadikan ­ saling curiga antara warga dan aparat. Kondisi ini bisa memicu warga menjadi takut beraktivitas di masjid karena cap teroris itu. Sementara Irfan menegaskan, menge­ na­kan cadar, bersorban, atau berjenggot itu adalah identitas keagamaan seseorang. Di Indonesia ada banyak umat Islam yang

menggunakan simbol-simbol tersebut seperti Jemaah Tabligh, termasuk kelom­ pok salafi. Mengenakan cadar atau sorban seperti yang dilakukan para pendakwah atau anggota Jemaah Tabligh, tidak bisa diidentikan dengan teroris. Pengawasan aparat terhadap aktivi­ tas dakwah yang dilakukan kelompok­ke­lom­pok fundamentalis yang diduga

ku­at mengembangkan ideologi terorisme, seti­daknya membenarkan aksi terorisme, agaknya dapat dibenarkan. Sebab tak bisa dipungkiri di negeri ini ideologi terorisme masih hidup. Hanya saja jika itu dilakukan secara massif dan gebyah uyah, tindakan ini patut ditentang lantaran justru bisa ­menimbulkan keresahan masyarakat. M

Ramadhan Tiba, Razia Mewabah Noor Rahman dan Alamsyah M. Dja’far

S

eperti sudah jadi tradisi, setiapkali Ramadhan tiba rupa-rupa razia getol dilakukan sejumlah pihak. Alasannya apalagi kalau bukan demi menghormati Ramadhan yang suci, dan berdasarkan peraturan yang berlaku. Tak hanya aparat keamanan yang turun, sejumlah organisasi keagamaan juga berencana ikut “berpar­ tisipasi” jika peraturan negara tak diin­ dahkan. Salah satunya disuarakan Front Pembela Islam (FPI). “Sesuai dengan Perda DKI selama Ramadhan tempat hiburan ha­ rus tutup. Jika memaksa buka kami akan bersikap. Tidak menutup kemungkinan akan ada sweeping,” ancam Wasekjen FPI Sholeh Mahmud Nasution seperti dirilis se­ jumlah media Selasa (18/8). Akhir Juli silam, Ketua FPI Kota Depok, Idrus Al Gadri bahkan mengklaim telah menyiagakan 1.700 orang untuk mem­ berantas aksi kemaksiatan di seluruh titik di enam kecamatan di Depok. “Anggota kita semakin lama semakin banyak, para ustadz juga ikut gabung. Kita punya 1.700, akan koordinasi sama Pemkot, Dandim, Polres, dan Satpol PP, karena kemaksiatan malah makin banyak,” tegas Idrus di Markas FPI Depok, Kampung Lio Pancoran Mas, seperti dikutip okezone.com Sabtu (25/7). “Kita damai saja, dan tapi kalau Pemkot tidak serius, kita akan sweeping jalan sendi­ ri, miras dan tempat-tempat pelacuran meski sudah ada perda miras, perdanya banci, perda itu tidak melarang tapi tetap melegalkan”.

Uniknya terkait razia gelandangan dan pengamen, Dinas Sosial DKI Jakarta tak hanya menyandarkan kegiatannya berdasarkan perda, tapi juga fatwa MUI yang menyatakan haram mengemis. Dari Semarang, aparat keamanaan

The WAHID Institute

justru meminta ormas-ormas, khususnya yang ada di wilayah Semarang, tak melaku­ kan sweeping atau razia selama Ramadhan. Yang menyuarakan ini Kapolwiltabes Se­ marang Kombes Edward Syah Pernong di acara pemusnahan barang-barang miras Jumat (21/8). “Seluruh ormas, elemen, dan komponen masyarakat yang ada agar ­tidak mengambil langkah main hakim sendiri seperti razia minuman keras (miras) karena pihak kepolisian sangat proaktif dan telah berkomitmen pada penegakan hukum,” katanya kepada Media Indonesia (21/08). Menurutnya pesan ini juga imbauan dari Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Alex Bam­ bang Riatmodjo. Lambannya Sikap Aparat Fenomena “partisipasi” ormas Islam ini bagi Amidhan, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), justru bisa dianggap se­ bagai bentuk ketidakpuasan terhadap penegakkan hukum. Bukan hanya itu, sebagian aparat keamanan justru didu­ ga mendukung kegiatan tersebut. “Kan ­sering-sering gitu. Malah petugas yang mem-backing tempat-tempat usaha terse­ but. Walau tidak terang-terangan,” katanya. Meski demikian ia tetap menghimbau agar ormas-ormas tersebut tak bertindak main hakim sendiri. Seperti Ramadhan-Ramahan sebel­­um­ nya, kali ini aparat juga giat merazia se­ jumlah tempat hiburan malam dan pen­ jualan minuman keras. Pemerintah Kota Jakarta Timur misalnya. Dalam razia pulu­ han petugas Satuan Polisi Pamong Praja dikerahkan guna menyisir sejumlah toko dan warung di pinggir Jalan Raya Bogor Kelurahan Pekayon dan Jalan Pasar Inpres Cijantung, Pasar Rebo, Rabu (29/7) malam dan di Jalan Raya Penggilingan Kelurahan ­Penggili­­n­gan, Cakung pada Kamis siang (30/7). Karena dilakukan secara tiba-tiba dan mendadak, aksi petugas ini diprotes se­ bagian pemilik toko. Sehingga tarik me­

narik dan adu mulut pun tak terhindar­ kan setiap petugas mengangkut barang ­dagangan mereka ke mobil patroli. Pemilik Toko pun akhirnya pasrah dan menyerah karena tak kuasa membendung langkah petugas. “Mestinya petugas tidak langsung menyita barang-barang yang ada di kios kami. Karena itu semua kami beli pakai uang,” ujar Manurung, pemilik kios minu­ man di Jalan Raya Penggilingan, dengan nada kesal seperti dikutip BeritaJakarta. com Kamis (30/7). Penertiban ini disinyalir sebagai follow up dari surat tugas Walikota Jaktim Nomor 1094/-1.757.1 tentang Pen­ gawasan dan Penertiban Pelanggar Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum di wilayah DKI Jakarta. Di Surarakarta, penghentian operasi hiburan malam serta panti sepekan di awal dan di akhir Ramadan dilakukan dengan meneken surat keputusan. “Aturan terse­but telah kita buat dalam sebuah surat keputu­ san,” kata Walikota Surakarta, Joko Widodo seperti dilansir Tempo Interaktif (10/8). Sementara itu untuk restoran dan ru­ mah makan masih diperkenankan untuk buka selama bulan Ramadan. Tapi walikota minta agar mereka memberikan penutup atau tirai, termasuk juga bagi para peda­ gang kaki lima. Ketua Biro Hukum Perhim­ punan Hotel dan Restoran (PHRI) ­Surakarta, Edy Sisnanto menyatakan siap untuk me­ menuhi aturan tersebut. “Meskipun om­ set diperkirakan akan turun,” katanya. Hal tersebut menurutnya selalu dilakukan dari tahun ke tahun. “Kita telah terbiasa dengan aturan tersebut,” katanya dikutip Tempo Interkatif. Razia Berdasarkan Fatwa Dinas sosial DKI Jakarta juga memaksi­ malkan razia terhadap para pengemis dan gelandangan selama ­Ramadhan. Tak hanya itu, razia juga dilakukan bagi ­penyumbang di lampu-lampu merah selama berdasar­ kan Perda No. 8 tahun 2007 tentang ket­ ertiban umum. Di perda itu, pengendara



■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009

atau penumpang yang kedapatan mem­ beri sedekah di pinggir jalan atau lampu merah kepada para pengemis diberi sanksi berupa denda hingga Rp. 20 juta atau ku­ rungan maksimal enam bulan. Uniknya terkait razia gelandangan dan pengamen, Dinas Sosial DKI Jakarta tak hanya menyandarkan kegiatannya berda­

sarkan perda, tapi juga fatwa MUI yang menyatakan haram mengemis. “Berdasar­ kan fatwa MUI, profesi sebagai pengemis haram karena memperoleh rezeki bukan dari hasil keringat sendiri,” kata Kepala Di­nas Sosial DKI Jakarta Budiharjo Senin seper­ti dikutip Media Indonesia (25/8). Menurut keterangan, di Jakarta jumlah

pengamen dan peminta-minta berjumlah kuranglebih 39 ribu, sebagiannya menem­ pati 53 titik lampu merah seperti Pramuka, Pemuda, Senen dan lainnya. Pelaksanaan razia di Jakarta dipusatkan di tempat-tem­ pat keramaian seperti perempatan jalan, tempat ibadah, pasar, pintu masuk stasiun kereta api dan terminal bus. M

Fatwa-Fatwa MUI untuk Bulan Suci Nurun Nisa’

S

eperti Ramadhan-Ramadhan sebe­ lumnya, dengan alasan kesucian Ramadhan dan penghormatan ter­ hadap umat Islam yang tengah berpuasa beragam fatwa dan himbauan dikeluarkan para tokoh agama dan MUI di sejumlah daerah. Sebagian fatwa juga merujuk se­ jumlah peraturan daerah terkait penghor­ matan atas Ramadhan. MUI Sumenep misalnya. Seperti disam­ paikan Ketua MUI Sumenep KH Syafraji, menjelang Ramadhan pihaknya kembali mengeluarkan fatwa haram mengemis. Alasannya, perilaku mengemis dilarang agama karena dapat merendahkan pribadi seseorang. Mengemis juga menjadikan diri hina dan merugikan orang lain. Islam, menurutnya sudah secara tegas melarang kegiatan mengemis karena termasuk ber­ malas-malasan.

Fatwa ini sudah dikeluarkan pada Ramadhan tahun lalu, namun tidak dihiraukan lagi sehingga dikeluarkan lagi untuk kali kedua Sudah jadi tradisi di Sumenep, se­ lama Ramadhan akan banyak berkeliaran pengemis atau seseorang yang memintaminta, bahkan bisa meningkat dua kali lipat dibanding hari biasa. Mereka menurut penjelasan KH Syafraji biasanya akan ber­ gerilya ke rumah dan perkantoran. Fatwa ini sudah dikeluarkan pada Ramadhan ta­ hun lalu, namun tidak dihiraukan lagi se­ hingga dikeluarkan lagi untuk kali kedua. “Untuk itu kami perlu mengeluarkannya lagi,” jelas KH Syafraji seperti ditulis gpansor.org (13/8). Fatwa ini akan disebarkan kepada jajaran MUI di tiap kecamatan un­ tuk disebar lagi kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat. Fatwa tersebut juga mendapat duku­ ngan MUI Cabang Kabupaten Kediri. Sekretaris MUI Kabupaten Kediri Hamam Tantowi mengatakan, kegiatan memintaminta atau mengemis tidak dianjurkan



oleh Islam. Hamam, seperti dikutip Berita Jatim (26/8), mencontohkan baginda Na­bi Daud yang hidup tanpa meminta apa-apa, meski beliau keturunan seorang raja, pada abad itu. Konsentrasi pehatian untuk kehad­iran pengemis juga dilakukan MUI Bandung. Bedanya, MUI Bandung tidak memproduk­ si fatwa, tetapi mendukung usaha penerti­ ban kependudukan termasuk penertiban pengemis oleh pemerintah setempat. Dukungan ini bersyarat: asal dilakukan ­dengan baik-baik. “Pertambahan pengemis setiap tahun jelas jadi permasalahan di setiap kota, dan itu harus dicegah,” jelas KH Hafidz Utsman, Ketua MUI Jawa Barat, mengenai alasan dukungan ini ­ seperti dikutip Republika Online (18/8). Dukungan itu kata KH Hafidz bukan ber­arti bahwa MUI menghalangi sese­ orang untuk bersedekah di jalan-jalan atau menghalangi rezeki pengemis, namun ha­ rus dilihat dampaknya di masa depan. Ia berharap agar para pengemis di jalan tidak semakin bertambah karena hal itu kurang baik. Termasuk bagi anak-anak yang turut mengemis; mereka tidak mendapatkan pendidikan agama maupun formal. Selain itu, jalan bukan kawasan yang aman bagi anak-anak. Untuk membantu mereka, bantuan dalam bentuk infak, sedekah, dan zakat bisa disalurkan kepada lembaga penerima zakat yang sudah ada. Lembaga zakat tersebut yang akan menyalurkannya ke­ pada mereka. Fatwa Takjil dan Sahur Soal teknis sahur dan berbuka, MUI pun turun tangan. MUI Malang misalnya. Mereka menghimbau agar kalangan re­ maja dan mahasiswa yang menjual takjil (kudapan pembuka buka puasa --red) agar berpakai­an sopan. Selama ini sering me­ makai pakaian minim sebagaimana dike­ mukakan Nidzom Hidayatullah, Sekretaris MUI Kota Malang (21/8). Mereka ini, kata Ni­dzom, biasanya beroperasi di kawasan

padat lalu lintas seperti di Jalan Soekarno Hatta dan Jalan Veteran. Mereka juga ber­ jualan di beberapa kompleks kampus sep­ erti di Universitas Brawijaya dan Universitas Muhammadiyah Malang Kampus II. Kondisi itu menurutnya sangat meng­ ganggu aktivitas umat muslim yang men­ jalankan ibadah puasa. Pakaian minim ini juga sangat kontras dengan bulan ­Ra­ma­dhan yang penuh dengan kekhusyu­ kan. Nidzom, seperti dikutip suarasurabaya. net sendiri menyatakan jika pihaknya te­ lah menyampaikan masalah terkait secara resmi ke pemerintah Kota Malang dan kepolisian setempat. Seperti tak cukup dengan pemberitahuan, Nidzhom bahkan berharap agar satpol PP Kota Malang juga memberikan pengawasan dan tindakan tegas kepada para penjual takjil itu. Sahur pun “diatur”. Di Makassar, MUI dan FUI setempat melarang penggunaan musik maupun alat pengeras suara untuk membangunkan umat Islam melaksana­ kan sahur. “Cara tersebut kurang etis. Kare­ na bukan hanya umat Islam yang akan dibangunkan. Penganut agama lain akan terganggu,” jelas AGH Muhammad Ach­ mad, Ketua MUI Makassar seperti dikutip mediaindonesia.com (21/8). AGH Muham­ mad mengaku sudah mengumpulkan ­semua pengurus dan remaja masjid seKota Makassar dan meminta mereka agar tidak membangunkan umat Islam untuk sahur dengan menggunakan musik yang bising. Hal senada dikemukakan organisasi Islam lainnya. Sebab, dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, ada kelompok anak muda keliling membangunkan orang sahur dengan menggunakan peralatan bebunyian yang kadang memekakkan telinga. Karenanya, Ramadhan kali ini, ke­ biasan tersebut diharapkan tidak meng­ ganggu nonmuslim. Dalam sebuah diskusi lintas agama yang dihadiri unsur Muhammdiyah, MUI Sulsel, PGI, PHRI (Perhimpunan Hotel dan

The WAHID Institute

n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009 Restoran Indonesia), budayawan, KPID, dan FUI—antara lain membahas etika membangunkan untuk sahur—disimpul­ kan bahwa bulan suci Ramadhan tidak di­ jadikan bulan yang menciptakan kesulitan, keresahan, dan penindasan bagi penganut agama lain yang tidak berpuasa. “Rama­ dhan adalah untuk mengendalikan yang terdapat di bawah kumis di atas jenggot serta yang terdapat di bawah perut karena inilah yang pembawa bencana,” ujar Aswar membacakan kesimpulan diskusi tersebut. Abdullah, salah satu pemilik musik jalanan, yang biasanya mencari nafkah de­ ngan cara membangunkan orang ­dengan alunan lagu berbagai aliran, mengaku ­heran dengan larangan ini. “Kenapa baru sekarang dilarang?,” katanya. Menurut Ab­

dullah, sebelum ada larangan ini, yang suka bukan Islam pun suka ikut-ikut bernyanyi berkeliling kota. Selain itu, ini merupakan pekerjaan baginya. “Sensor” Media MUI Pusat tak mau ketinggalan. Me­ nyambut Ramadhan ini mereka bersama KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sepakat ­mengawasi seluruh tayangan televis mau­ pun cetak selama pelaksanaan puasa Ra­ madhan tahun ini. “Kami sepakat bersamasama mengamati, menonton tayangan televisi misalnya kekerasan fisik maupun psikis, mistik, horor, dan pornografi atau cabul. Juga media cetak,” terang KH Ami­ dhan, Ketua MUI, seperti ditulis RM Online (14/8). Yang melanggar, akan diberi him­

bauan dan direkomendasikan akan diberi sanksi oleh pihak yang berwajib. Selain itu MUI juga menghimbau agar restoran ­jangan buka siang hari atau tutup saja. Di Tanjungpinang sendiri, MUI Kepri (Kepulauan Riau) meminta agar seluruh tempat hiburan malam berbau maksiat un­ tuk ditutup. “MUI minta selama Ramadhan semua aktivitas malam berbau maksiat di­ tutup. Berikan ketenangan dan keleluasaan pada umat Islam melaksanakan ibadah,” ujar Tengku H Azhari Abbas, Ketua Umum MUI Kepri seperti ditulis batampos.co.id (04/8). Untuk keperluan tersebut, dalam waktu dekat ini, MUI Kepri akan melayang­ kan surat ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepri dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Pemkab/Pemkot) se-Kepri. M

Tudingan Sesat dan Ekslusif untuk Abu Jibril Alamsyah M. Dja’far

P

enangkapan Mohammad Jibril ali­ as Muhammad Ricky Ardhan alias Ricky Ardhan bin Muhammad Iqbal bin Abu Djibril oleh kepolisian menyi­ sakan cerita lain mengenai tudingan sesat dan pengelolaan eksklusif masjid yang ­dipimpin sang ayah, Abu Jibril.

Ia menuding Abu Jibril menyebarkan paham sesat, yaitu paham Wahabi radikal, termasuk bersikap eksklusif dalam mengelola masjid AlMunawwarah di dekat tempat tinggalnya. Adalah Abdurrahman Assegaf pem­ impin Majelis Taklim Al Mustofawiah yang juga Ketua Umum Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII) yang memantik isu itu ke permukaan. Kamis malam (20/8), ratusan orang yang menyebut diri Barisan Muda Betawi (BMB) sudah berkumpul di rumah Assegaf di Pamulang. Di organisasi itu, As­ segaf tercatat sebagai salah satu dewan penasihat BMB. Malam itu massa berniat mengge­ruduk kediamaan Abu Jibril yang lokasinya tak berjauhan. “Abu Jibril itu memecah umat. Dia mengatakan bahwa tahlilan itu tidak boleh,” kata Aay Samudra, Ketua Umum Ba­ risan Muda Betawi seperti dikutip okezone, Kamis malam (20/8). Tapi ketika dikonfir­ masi langsung ke Abdurrahman Assegaf, lelaki itu malah menjawab. “Kita hanya

The WAHID Institute

akan yasinan, tidak ada aktivitas kekeras­ an,” seperti dikutip okezone, Kamis (20/8). ­Dirinya juga mengklaim jika massa yang akan “yasinan” itu jumlahnya mencapai ribuan dan datang dari daerah lain ­seperti Sawangan dan Serpong. Tapi mereka, ala­ san Assegaf di tahan polisi. “Polisi takut ter­ jadi apa-apa,” terangnya. Belakangan Assegaf memang sering terlibat perang kata-kata dengan Abu Ji­ bril alias Muhammad Iqbal. Ia menuding Abu Jibril menyebarkan paham sesat, yaitu paham Wahabi radikal, termasuk bersikap eksklusif dalam mengelola masjid AlMunawwarah di dekat tempat tinggalnya. Tudingan dibantah Abu Jibril. “Semua ucapan Ustadz Abdurrahman Assegaf adalah kebohongan dan fitnah,” katanya di Pamulang, Banten, Sabtu (22/8) seperti dirilis okezone.com. Meski begitu ia juga mengakui bahwa ia dan para pengikut­ nya memang tak menganjurkan membaca tahlil dan kunut. Dua ajaran itu, katanya, tak ada dalam al-Quran dan Hadis. Bantahan atas tudingan pengelolaan masjid yang dinilai eksklusif dan hanya membolehkan kaum tertentu yang boleh beribadah di masjid juga dilontarkan Muk­ sin Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Al Munawwarah. “Kami sangat terbuka untuk semua kalangan,” ujarnya seperti dimuat Tempo Interaktif, Rabu (26/8). Muksin pun menolak Abu Jibril dikaitkan dengan aksi terorisme. “Ustad Abu Jibril adalah Imam kami,” katanya. Masjid Al-Munawwarah menurut ke­ te­rangan Muksin yang sudah 25 tahun

menjadi pengurus masjid itu, dibangun sejak 1984 dengan biaya swadaya warga kompleks Witanaharja. Pihaknya juga telah menerima Abu Jibril yang datang pada 2004 dengan baik, lalu menjadikannya imam masjid. Trisna Dachlan, pengurus masjid lain­ nya, menambahkan. Selama menjadi imam masjid, Abu Jibril, tidak pernah ber­ singgungan dengan masyarakat sekitar. “Kalau ada warga yang mengatakan Abu Jibril ekslusif, tidak gaul, berarti orang itu tidak pernah ke masjid,” katanya. Majlis Mujahidin Indonesia, organ­ isasi tempat aktivitas Abu Jibril dulu, juga turun tangan merespon tudingan. Tudi­ ng­an tersebut direspon dengan rencana menggelar tabligh akbar. “Kami akan laku­ kan tabligh akbar karena di Pamulang ada habib palsu. Sekarang ini ada seseorang yang kabarnya habib palsu menuduh Abu Jibril sebagai pembawa paham sesat,” kata Ketua MMI Irfan S Awwas di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta, seperti dimuat detik.com (27/8). MMI juga akan mensomasi si habib palsu. Yang dituding Awwas sebagai habib palsu kemungkinan besar Abdurrahman Assegaf. “Kami tantang untuk debat ter­ buka atau kita bawa ke pengadilan. Insya Allah ini akan kami lanjutkan dalam waktu dekat ini,” tegasnya. Di lingkungan tempat tinggalnya, lelaki yang pernah berjihad di Ambon ini memang dikenal tokoh yang getol menyu­ arakan jihad. Dengar saja ceramahnya di depan 80-an jemaah, yang kebanyakan



■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009 berkerudung warna hitam di Masjid Al Munawwarah, Rabu akhir Agustus si­ lam (26/8). Sebagian dari mereka tampak menge­nakan cadar hitam. “Alangkah mulianya jihad dan alangkah marahnya kaum kafir. Akhirnya, mereka menuduh masjid sebagai sarang teroris. Menuduh orang yang ngaji di masjid se­ bagai orang yang eksklusif,” kata Abu Jibril seperti dikutip detik.com (26/8). “Apakah kita sabar menempuh cara ­seperti itu?” tanya pria bernama asli Fi­ hirudin Awwas ini. “Insya Allah,” jawab hadirin serempak. “Hidup tidak selalu nya­ man. Hidup tidak nyaman di dunia, tetapi nyaman di hari akhir nanti. Begitu besar pengaruhnya Islam ketika Islam dituduh sebagai teroris”. Di akhir ceramahnya, lelaki yang sem­ pat ditahan Pemerintah Malaysia pada tahun 2001 karena alasan melanggar In­ ternal Security Act ini juga sempat curhat ­mengenai penangkapan putranya pada

Selasa (25/8). Seperti keterangan kepoli­ sian, Muhamad Jibril ditangkap aparat di Pamulang, ­ Tangerang Selatan, Banten, 25 Agustus 2009. Dugaannya, sang putra ke­ sayangan terkait tindak pidana terorisme. Penangkapan ini kelanjutan dari penyeli­ dikan dan penyidikan kasus ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton. Dalam catatan polisi, Muhamad Jibril lahir di Banjarmasin, 3 Desember 2009. Di dokumen lain, Muhammad Jibril tercatat lahir di Lombok Timur 28 Mei 1989. Ia menjadi buronan karena diduga sebagai ­perantara aliran dana dari luar negeri ke Indonesia yang kemudian dipakai untuk biaya peledakan bom. Hanya dua jam sete­ lah polisi merilisnya sebagai buron, Mu­ hamad Jibril ditangkap di Pamulang. “Ke­ mudian, tiba-tiba dituduh mendanai bom Marriott. Ya Allah, beli bensin saja susah. Ini semua rekayasa,” papar Abu Jibril. Pria kela­ hiran ­Yogyakarta 17 Agustus 1957 ini juga pernah disel selama 5 setengah bulan oleh

aparat kepolisian pada 2004. Setelah ceramah usai Abu Jibril lalu menggelar konferensi pers. Ketika acara tengah berlangsung, sekitar 20 orang dari Barisan Muda Betawi menggunakan se­ peda motor mendatangi lokasi. Mereka konferensi pers dibubarkan. Selain tuntu­ tan pembubaran konferensi pers , mereka juga menuntut penghentian aktivitas Abu Jibril di Masjid Al- Munawwarah. Alasannya, warga sekitar merasa resah. “Bubarkan se­ muanya, nggak perlu konpers. Yang pent­ ing nggak ada teroris,” kata Ketua Barisan Muda Betawi, Aay Samudra. Di antara puluhan massa, tampak Abdurrahman As­ segaf. Aksi tersebut mendapat penjagaan ketat dari aparat Kepolisian Sektor Metro Pamulang. Dan kegiatan konferensi pers terus berlanjut hingga usai. Beberapa jam melakukan aksinya, para demonstran membubarkan diri dengan tertib. M

Mahasiswa Kecam Fatwa Haram Debus MUI Alamsyah M. Dja’far

T

ak sepandangan dengan hasil Komisi Fatwa MUI se-Jawa dan Lampung yang mengharamkan debus, salah satu kesenian tradisional masyarakat ­Banten, puluhan mahasiswa dan pelajar Banten turun di Jalan. Pelajar dan maha­ siswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa (FAM) Banten dan Ikatan Pela­ jar Nahdlatul Ulama (IPNU) Banten itu menggelar aksi unjuk rasa di Perempatan Ciceri, Kota Serang, dengan cara menutup mulut menggunakan lakban hitam se­ bagai simbol penolakan atas rekomendasi MUI tentang pengharaman debus, Selasa (18/8). “Perlu diketahui jika debus itu adalah seni tradisional yang merupakan ciri khas

“Selama ini kami menilai MUI selalu membuat fatwa yang mengundang kontroversi di tengah masyarakat sendiri. Beberapa waktu lalu kita ingat bagaimana MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya facebook di internet, merokok, bahkan penggunaan telepon selular.” Banten. Ketika itu hilang karena diharam­ kan oleh rekomendasi enam pengurus



MUI se-Jawa dan Lampung ketika rapat koordinasi daerah (rakorda) Rabu (12/8) lalu, maka secara perlahan nantinya de­ bus akan menghilang,” kata kordinator aksi unjuk rasa, Maki seperti dikutip vivanews (16/8). Ia juga mengatakan, esok harinya Rabu (19/8), bersama beberapa pelaku debus di Banten, pihaknya berencana bertandang ke Sekretariat MUI Banten yang terletak di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Kecamatan Curug, Kota Serang. Mereka akan melakukan dialog tentang latar belakang dan imbas dari re­ komendasi fatwa haram debus tersebut. “Selama ini kami menilai MUI selalu membuat fatwa yang mengundang kon­ troversi di tengah masyarakat sendiri. Be­ berapa waktu lalu kita ingat bagaimana MUI mengeluarkan fatwa tentang haram­ nya facebook di internet, merokok, bahkan penggunaan telepon selular. Itu semua kurang mempertimbangkan aspek sosi­­o­ logis warga,” katanya. Sementara itu Ketua MUI Banten Prof. Dr. KH. Aminudin Ibrahim yang dihubungi terpisah menekankan jika rekomendasi fat­ wa haram debus itu jangan sampai digene­ ralisir. Yang diharamkan itu, katanya, yang hanya mengandung dua hal. Pertama, yang bekerja sama dengan jin dan setan. Kedua, menggunaan bacaan wirid yang mencampuradukkan bahasa al-Quran. “Kalau debus yang hanya olah kekebalan

tubuh karena latihan dan berpuasa tentu kami dukung, bahkan harus dilestarikan,” kata Aminudin. Suara penolakan juga datang dari Bandung. Perkumpulan Pencak Silat Gagak Lumayung Jawa Barat menganggap fatwa ini tak masuk akal. “Kesenian daerah itu bukan urusan Majelis Ulama Indonesia,” kata Ketua Bidang Seni Budaya Pencak Silat Gagak Lumayung Jabar Heri Anta di ­Bandung, Senin (17/8) kutip gp-anshor.org. Lebih lanjut ia menilai sebetulnya ­banyak hal penting yang bisa dilakukan MUI, tidak hanya mengeluarkan menge­ luarkan fatwa yang tidak seharusnya seper­ ti fatwa haram merokok dan haram cara berpakaian dayak Indramayu. Sikap MUI yang mengeluarkan fatwa haram debus malah dinggapnya kurang kerjaan. Sejak dulu sampai saat ini kesenian debus tidak pernah bertentangan dengan ajaran Islam. “Kalau bukan produk Islam mengapa harus diharamkan. Kebudayaan debus sendiri belum pernah melanggar ajaran Islam,” tanyanya. Heri Anta lalu membandingkan juga dengan kesenian bermain sepakbola api yang dilakukan dilakukan banyak pondok pesantren di Indonesia. “Itu juga sama sep­ erti debus memakai doa dahulu sebelum melakukan kegiatannya,” cetusnya. Sebagai muslim, pemain debus juga tak lupa menu­ naikan ajaran Islam seperti puasa dan salat lima waktu. M

The WAHID Institute

n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009

Habis Fatwa ”The Master” Mati Alamsyah M. Dja’far

S

elain fatwa haram debus, hasil ra­ pat koordinasi Majelis Ulama Indo­ nesia (MUI) se-Jawa dan Lampung di Serang, Banten, beberapa waktu, juga mengharamkan tayangan “The Master“ dan mendesak tayangan tersebut dihen­ tikan. ”Kami rekomendasikan agar semua pihak, terutama penanggungjawab acara di ­televisi segera menghentikan tayangan ‘The Master’ dan sejenisnya karena me­

Belakangan tayangan ini akhirnya memang stop setelah sesi terakhirnya, Season 4. Tapi pihak penyelenggara menampik jika itu terkait dengan fatwa MUI. “Tidak ada hubungan dengan itu,” kata Deddy Corbuzier. lencengkan akidah dan keyakinan umat Islam,” kata KH. Syafe’i Ketua Komisi Fatwa Rapat Koordinasi MUI se-Jawa dan Lam­ pung Kamis (13/8) seperti dikutip Tempo Interaktif. Menurut MUI, status hukum hipno­ tis yang murni saintifik atau ilmiah tanpa menggunakan bantuan jin, setan dan mantera, memang boleh atau jawaz ter­ gantung pada penggunaannya. Tapi jika sudah menggunakan bantuan setan dan jin, hukumnya haram. Dan MUI, kata Sya­

fei menilai tayangan “The Master” sudah menggunakan bantuan setan dan jin. Di hari yang sama, pihak RCTI, sta­ siun teve swasta yang menyelenggarakan prog­ram “The Mater”, langsung memberi klarifikasi. “Adegan-adegan dalam ‘The Master’ itu murni trik, bukan mejik. Kita siap menjelaskan hal ini bahwa memang adegan “The Master” tidak ada unsur jin dan setan,” kata Direktur Program RCTI, Harsiwi Achmad di sela-sela jumpa pers program ­tayangan ulang tahun ke-20 RCTI di Jakarta. Masih menurut Harsiwi, tiga bulan lalu dia bersama Deddy Corbuzier dan Rommy Rafael bahkan sudah mendatangi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Majelis ­Ulama Indonesia (MUI) untuk menjelaskan tentang tayangan tersebut. Pihaknya mene­ gaskan jika “The Master” tidak seperti yang diberitakan. Seperti juga dimuat Monthly Report, sebelumnya, awal Juli lalu sejumlah ulama dari berbagai Pondok Pesantren se-Jawa Timur pada Bahtsul Masail Wustho di Pon­ dok Pesantren Abu Dzarrin di Kendal, Ke­ camatan Dander, Bojonegoro, Jawa Timur, mengeluarkan fatwa haram untuk taya­ ngan “The Master”. Belakangan tayangan ini akhirnya me­ mang stop setelah sesi terakhirnya, Season 4. Tapi pihak penyelenggara menampik jika itu terkait dengan fatwa MUI. “Tidak ada hubungan dengan itu,” kata Deddy

Corbuzier dalam jumpa pers di Hard Rock Cafe, Jakarta, Selasa (18/8). Dedy yang dikenal sebagai mentalis yang berpakaian serba hitam ini adalah salah juri dalam pro­ gram “The Master”. Kepada sejumlah wartawan Deddy juga menceritakan jika ia sempat datang ke kantor MUI. Dan di sana dia mempertun­ jukkan kebolehan bermain sulap. Ilusionis ini membutikan bahwa sulap merupakan trik, bukan mejik. “Sebenarnya saya juga bingung. Sulap kalau dikasih tahu raha­ sianya, tidak lagi menarik,” katanya. Selain itu dia juga menambahkan kalau pihaknya juga sepakat kalau adegan terse­ but bukan untuk konsumsi anak-anak. “The Master”, kata Dedy untuk konsumsi orang dewasa. Tapi Dedy tetap berjanji bahwa tahun 2010 “The Master” akan kembali tayang. Selain soal “The Master” dan haram de­ bus, Rakor MUI itu juga menghasilkan him­ bauan kepada umat Islam agar bersikap kritis dan hati-hati dalam menghadapi pe­mi­kiran yang berkembang sehubun­ gan dengan semakin maraknya pemikiran keagamaan menyimpang dari pokokpokok ajaran agama yang pasti seperti aliran liberalisme, sekularisme dan plural­ isme (SIPILIS) serta berbagai aliran keaga­ maan yang menyimpang lainnya. Setelah diliris beberapa tahun lalu, fatwa ini juga menuai kontroversi. M

MUI Larang “Paku Kuntilanak” Beredar Noor Rohman

Film yang bercerita tentang trio (Sukun, Obeng, dan Odjie) pemburu kuntilanak yang menjelma manusia ini dinilai menyalahi regulasi perfilman Indonesia dan kering akan pesan yang mendidik masyarakat.

D

i saat “Paku Kuntilanak”, film bergen­ re horor komedi yang dibinta­ngi Dewi Persik, Heather Storm (aktris Holywood), dan Keith Foo (aktor Malaysia)

The WAHID Institute

ramai tayang di bioskop-bioskop Jakarta, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak pemerintah dan lembaga terkait untuk segera menariknya dari peredaran karena dianggap banyak memperlihatkan adegan porno. Film yang bercerita tentang trio (Sukun, Obeng, dan Odjie) pemburu kun­ tilanak yang menjelma manusia ini dinilai menyalahi regulasi perfilman Indonesia dan kering akan pesan yang mendidik masyarakat. Menurut pengakuan Sekretaris Umum MUI M Ichwan Sam seperti dilansir antara­ news.com (6/8), larangan pereda­ran film ini diambil menyusul adanya pengaduan dan

keluhan masyarakat setelah penayangan film ini di bioskop. Dalih pengaduan dan keluhan masyarakat inilah yang jadi kartu MUI mengeluarkan fatwa. MUI kemudian menugaskan Komisi Informasi dan Komunikasi MUI untuk ­mengumpulkan fakta dan masukan ter­ kait film tersebut dan menyaksikannya langsung. Upaya verifikasi data ini sangat di­butuhkan sebagai bahan konsiderasi dalam menetapkan sikap. Sehingga dalam Rapat Pimpinan MUI 4 Agustus 2009, MUI berpendapat “Paku Kuntilanak” sarat ­dengan penampilan adegan porno, vul­ gar dan menyalahi peraturan-peraturan



■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009 ten­tang perfilman Indonesia dan jauh dari ­penyampaian pesan hiburan yang men­ didik masyarakat.

“Masa­lah ini kan bisa dibicarakan baik-baik, filmnya bisa ditinjau ulang. Kalau pada akhirnya LSF (Lembaga Sensor Film --red) menyatakan film itu harus diulang lagi dipotong, silakan, saya tidak berkeberatan. Apalagi jika memang benar atas nama umat. Tapi, jangan main tarik gitu aja dong,”

Selanjutnya MUI juga meminta pada Menteri Pariwisata dan Kebudayaan agar tegas memberi arahan terkait kebijakan perfilman nasional yang memihak nilai-ni­ lai luhur bangsa, tak sekedar hiburan. Lem­ baga Sensor Film juga diminta agar lebih teliti menjalankan tugasnya serta membu­ ka kemungkinan untuk melakukan sensor ulang untuk film tertentu. MUI juga meng­ himbau insan perfilman agar menghindari cara-cara sensasional dan vulgar yang mengundang kontroversi dalam menelur­ kan karyanya. Sementara itu, Produser Maxima Pic­ tures, Ody Mulya Hidayat, kesal dengan munculnya tuntutan penarikan “Paku Kun­ tilanak” dari peredaran. Menurutnya, film tersebut tak vulgar, apalagi porno. “Masa­lah

ini kan bisa dibicarakan baik-baik, filmnya bisa ditinjau ulang. Kalau pada akhirnya LSF (Lembaga Sensor Film --red) menya­ takan film itu harus diulang lagi dipotong, silakan, saya tidak berkeberatan. Apalagi jika memang benar atas nama umat. Tapi, jangan main tarik gitu aja dong,” ucap Ody saat dihubungi Warta Kota, Jumat (7/8). Sedangkan Joko Anwar, seorang sutra­ dara dan penulis skenario dalam suatu acara di Metro TV berpendapat bahwa ada produser film yang secara sengaja memang memproduksi film agak sensasional dan kontroversial sebagai strategi ­ marketing, sehingga ia menyayangkan sikap institusi berlevel nasional yang terpancing meres­ ponnya. Karena itu hanya perangkap dalam rangka promosi film. M

Gereja HKBP Parungpanjang Dibongkar Paksa Satpol PP M. Subhi Azhari

B

upati Bogor, Rohmat Yasin memerin­ tahkan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor membongkar bangunan gereja milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Parungpanjang (17/7). Atas perintah tersebut, pada 21 Juli 2009 Pukul 11.00 WIB sekitar 150 petugas Sat­ pol PP dibantu aparat kepolisian setem­ pat melakukan pembongkaran bangunan gereja yang beralamat di Kampung So­ mang, Desa Parungpanjang, Kecamatan Pa­rung­panjang itu.

Dalam Surat Perintah bernomor 300/266-Pol PP, Rohmat Yasin tak menjelaskan alasan pembongkaran gereja. Tapi ia mencantumkan dasar surat perintah tersebut antara lain Perda No. 23 tahun 2000 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Perda No. 8 tahun 2006 tentang Ketertiban Umum. Selain kerugian materil, tindakan Satpol PP tersebut mengakibatkan 375 jiwa jemaat HKBP tak lagi memiliki bangunan tempat ibadah. Ini menambah deretan panjang tindakan sewenang-wenang pemerintah



daerah terhadap rumah ibadah warganya. Dalam Surat Perintah bernomor 300/266-Pol PP, Rohmat Yasin tak men­ jelaskan alasan pembongkaran gereja. Tapi ia mencantumkan dasar surat perintah tersebut antara lain Perda No. 23 tahun 2000 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Perda No. 8 tahun 2006 tentang ­Ketertiban Umum, kemudian Surat Teguran Dinas Tata Bangunan dan Pemukinan kepada pihak gereja dan Surat Peringatan 1-3 Satpol PP kepaa W Nainggolan, pemilik bangunan tempat ibadah yang dibongkar. Dalam Surat Peringatan ke-3 Satpol PPtertanggal 2 Juli misalnya, ditegaskan bahwa W Nainggolan diperingatkan untuk melakukan pembongkaran sendiri terha­ dap bangunan tempat ibadah kerena dini­ lai tidak meiliki IMB rumah ibadah. “Apabila Saudara tidak mengindahkan isi peringa­ tan ini dalam waktu 7x24 jam sejak dikelu­ arkannya surat Peringatan ini, maka pelak­ sanaan penertiban/pembongkaran akan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor melalui Satpol PP Kab. Bogor,” tegas surat peringatan tersebut. Pendeta BRH Simanungkalit, Pendeta HKBP Ressort Petukangan membenarkan alasan dari perobohan gedung gereja ini dikarenakan gedung Gereja HKBP Parung­ panjang belum memiliki IMB. Namun demikian tidak menutup kemungkinan jika ada pemicu lain yang dilakukan sekelom­ pok masyarakat yang tak senang dengan

kehadiran gereja. Karena itu, pada 22 Juli, Pendeta BRH Simanungkalit beserta perwakilan jemaat HKBP Parungpanjang mendatangi Komisi Nasional HAM dan meminta lembaga tersebut menyurati Bupati Bogor untuk mempertanyakan arti kebebasan umat beragama yang dilindungi Undang-un­ dang. Di temui langsung oleh Komisioner Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak beserta dua staf Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan, rombongan berharap agar Komnas HAM dapat memfasilitasi ka­ sus ini sehingga dapat cepat diselesaikan mengingat jemaat HKBP Parung Panjang sangat membutuhkan gedung Gereja un­ tuk beribadah. Masalah IMB yang menjadi alasan dalam kasus ini diharapkan juga da­ pat direalisasikan mengingat selama ini HKBP Parungpanjang merasa dipersulit dalam mengurus IMB gedung Gereja. Pa­ dahal kata Walman Nainggolan, perwakilan dari HKBP Parung Panjang, mereka telah mendapatkan persetujuan dari warga seki­ tar sesuai dengan ketentuan SKB 2 Menteri, dan juga turut melibatkan Forum Keruku­ nan Umat Beragama (FKUB). Sementara itu Johny Nelson Siman­ juntak dari Komnas HAM berjanji akan menindaklanjuti masalah ini. “Kami akan segera berkomunikasi dengan Depag dan FKUB mengenai hal ini, kami juga akan meminta bupati setempat menyediakan tempat ibadah sementara agar Minggu

The WAHID Institute

n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009 nanti anggota HKBP tetap bisa melaksana­ kan ibadah mereka, dan mendesak aparat kepolisian untuk memberikan jaminan kea­ manan bagi mereka,” tegasnya. HKBP Parungpanjang sendiri berdiri sejak September 2009 yang diawali ke­ baktian di rumah salah seorang jemaat di Perumahan Griya Parungpanjang. Pada saat itu jemaat ini belum memiliki gereja sehingga beribadah dari rumah ke rumah. Pada tahun 2002, HKBP membali tanah di

Rt 01/01 Desa Lumpang dan telah menda­ pat persetujuan warga untuk mendirikan tempat ibadah. Namun pihak kecamatan tidak mau memperoses IMB gereja karena sebagian warga masih keberatan. Pada 2006, HKBP juga membeli tanah di Desa Parungpanjang, lokasi tempat gereja dibongkar, dan selama dua tahun mencari dukungan pendirian rumah ibadah. Upaya ini memperoleh hasil dengan dukungan 71 orang. Sambil memperoses penguru­

san IMB, atas saran Kepala desa pihak HKBP pada Maret 2009 mendirikan bangunan sebagai tempat ibadah sementara. Namun pembangunan ini ternyata mendapatkan penolakan dari Pemerintah Kabupaten Bogor termasuk Camat Parungpanjang. Penolakan inilah yang diikuti terbitnya tiga kali Surat Peringatan dari Satpol PP dan ke­ mudian Surat Perintah pembongkaran dari Bupati Bogor. M

Garis Dituding LSM Ilegal Dindin Ghazali & Alamsyah M. Dja’far

T

udingan sesat Gerakan Reformis ­Islam (Garis) terhadap Pesantren An­ warul Huda berbalas laporan pihak ­pesan­­t­­ren ke kepolisian. Pimpinan Pesan­ tren Anwarul Huda KH Ahmad Sulaiman, melalui kuasa hukumnya Wanda Winara Djatnikapoetra SH, mengatakan, laporan kepada pihak kepolisian terpaksa ditem­ puhnya bila dalam waktu dekat ini pihak Garis tidak segera mengklarifikasi.

Forum Rakyat Garut (FRG), sebuah NGO di Garut juga menganggap Garis telah menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dengan menyebutkan Ponpes Anwarul Huda adalah sebagai ponpes beraliran sesat. Forum Rakyat Garut (FRG), sebuah NGO di Garut juga menganggap Garis telah menyebarkan berita bohong dan

menyesatkan dengan menyebutkan Pon­ pes Anwarul Huda adalah sebagai ponpes beraliran sesat. Garis, bahkan kata Ketua FRG Mulyono Khadafi dinilai LSM liar kare­ na tidak memiliki legitimasi hukum dan pengakuan resmi dari pemerintah sebagai sebuah LSM. “Bahkan, sekretariatnya pun tidak diketahui secara pasti keberadaan­ nya,” ujar Mulyono, Selasa (25/8) seperti dikutip Tribun Jabar (27/8). Dihubungi terpisah Sekretaris Garis Cabang Garut Arsyad Salim membenar­ kan pihaknya telah mengeluarkan surat berisi hasil investigasi yang menduga ada ­ penyimpangan ajaran di Ponpes An­ warul Huda. Dugaan itu, katanya, didapat dari hasil investigasi Garis Cabang Cian­ jur. “Untuk memutuskan apakah ajaran tersebut sesat atau tidak, kita sepenuhnya menyerah­kan kepada fatwa MUI dan Ba­ korpakem,” kata Arsyad. Ia pun siap untuk menghadirkan saksi-saksi yang menjadi dasar investigasi mereka. Pernyataan FRG itupun direspon Pe­

ngurus Gerakan Reformis Islam (Garis) Jabar dengan membuat surat klarifikasi pada Rabu (26/8). Pihak Garis menegaskan organisasinya adalah LSM legal. Hanya ka­ tanya, untuk cabang Garut pendaftaran­ nya sedang diurus Pengurus Wilayah Garis Jabar ke kesbang Pemda Garut. Garis juga membantah jika mereka menebar fitnah. “Kami tidak memerangi siapapun, yang kami agendakan adalah ajaran sesatnya yang disnyalir ada di pesantren itu. Kami juga mengimbau Baperjakat bisa meme­ diasi kami untuk bertemu dengan pihak pesantren,” kata Suryana Suryana Nurfat­ wa seperti tercantum di surat pernyataan (Tribun, 29/8). Dari hasil penelusuran FRG ke Dinas Kesatuan Bangsa, nama Garis tak tercatat di lembaga tersebut. Sementara untuk men­ jadi sebuah LSM yang memiliki legitimasi hukum, harus terdaftar di Kesbang sesuai Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 yang disahkan Mendagri. M

Workshop Guru-Guru Sejarah Dihentikan Aparat Nurkhalik Ridwan

K

etika diskusi di dalam ruangan masih berjalan, sekitar 25 orang berpakaian serba hitam bertuliskan Front Anti Komunis Indonesia( FAKI) tiba-tiba meng­ geruduk Hotel Perwitasari, tempat acara diskusi di gelar. Mereka berteriak-teriak agar acara dihentikan. “Kalau mau tahu sejarah komunis, belajar sama saya! Asvi Warman Adam dan acara ini antek Komu­ nis! Hentikan sekarang juga!” teriak Burhan, salah seorang anggota FAKI, siang bakda

The WAHID Institute

Jumat pertengahan Juli (17/7). Menurut catatan kronologis Kontras, salah seorang panitia bernama Daud sem­ pat mendatangi Burhan untuk berdialog. Tapi Burhan tak ingin berdialog. Pihaknya ngotot agar acara dihentikan. Tak lama berselang, masih menurut kronologis, be­ berapa anggota kepolisian dari Kapolsek Mergangsan dan Poltabes Yogyakarta, enam orang berpakaian seragam kepoli­ sian bersama sekitar 10 orang berpakai­

an preman, ikut mendatangi lokasi acara. Hadir juga Kapolsek Mergangsan Budoyo, dan Wakasat serta Kasat Intelkam Poltabes Supriyadi. Tigapuluh menit sebelumnya, saat acara masih berlangsung, seseorang yang mengaku dari Polsek Megangsan juga sempat meminta materi Workshop GuruGuru Sejarah yang digelar Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) bekerjasama dengan ­ Jaringan Solidaritas Korban un­



■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009

Panitia minta acara worskshop tetap berjalan sesuai jadual. Namun Kasat intelkam bersikukuh acara tersebut mesti dihentikan. Alasannya karena munculnya keberatan dari ormas setempat dan demi menghindari tindakan anarkistis. tuk Keadilan (JSKK). Pihak panitiapun, di­ wakili Daud, memberi jadwal yang diminta, bahkan mempersilakan Hendro mengikuti acara. Sekitar 15 menit Hendro mengikuti acara dan sempat mengambil foto kegia­ tan ­dengan kamera digital. Acara Workshop siang itu mengha­ dirkan tiga narasumber: sejarawan senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, Ketua Umum Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Ratna Hap­ sari, pengajar Universitas Gajah Mada Yog­ yakarta Wahono. Acaranya sendiri sudah dimulai sejak pukul 10.00-11.45 WIB ­dengan sambutan pembukaan dari perwakilan JSKK dan AGSI, dilanjutkan perkenalan dari peserta. Acara berhenti untuk istirahat dan salat Jumat. Sebagian peserta laki-laki pun kemudian menunaikan salat Jumat dan di­ lanjutkan setelah itu. Berusaha Bernegosiasi Mendapat tekanan dari pihak FAKI dan kepolisian, panitia mencoba bernegosiasi agar acara tak dibubarkan. Hendro lalu meminta panitia membuat surat pemberi­ tahuan yang ditujukan langsung kepada Kapoltabes dengan tembusan Kapolsek Mergangsan. Panitia menyetujui. Sumarsih, salah seorang panitia kemudian membuat surat pemberitahuan dan segera mence­ taknya di sebuah wartel tak jauh dari hotel dibonceng Hendro. Di hotel sendiri saat itu tak tersedia printer. Pada pukul 16.00 WIB masih terjadi ne­ gosiasi antara Sumarsih dan Daud (kedu­ anya perwakilan panitia) dengan Kasat Intelkam dari Kepolisian. Panitia minta acara worskshop tetap berjalan sesuai jadual. Namun Kasat intelkam bersikukuh acara tersebut mesti dihentikan. Alasannya karena munculnya keberatan dari ormas setempat dan demi menghindari tindakan anarkistis. Saat Sumarsih meminta Daud me­ ng­am­­bil daftar nama-nama peserta di meja ­ registrasi, di sana sudah ada seki­ tar lima orang berpakaian preman yang ­tengah melakukan foto-foto dan merekam ­dengan handycam. Satu di antara mereka juga sudah ada yang mengambil absensi kehadiran peserta. Lelaki itu memaksa untuk mengkopi absensi dan materi para

10

narasumber, dan film yang akan diputar malam harinya. Panitiapun akhirnya mem­ beri semua permintaan dari Kepolisian, termasuk permintaan Kasat Intelkam agar Sumarsih memberikan foto kopi Kartu Tan­ da Penduduk (KTP)-nya. Sumarsih masih mencoba bernegosiasi tapi pihak kepolisian keukeh. Tambahan ala­ san kepolisian, panitia juga tak memberikan surat pemberitahuan terlebih dahulu sela­ ma 3X24 jam sebelum acara dilaksanakan. Sekitar pukul 16.30 WIB, Burhan dari pihak FAKI akhirnya mau bernegosiasi dengan Panitia. Ia lebih banyak bercerita bahwa dirinya adalah keluarga korban pembunu­ han PKI. Dirinya tak senang dengan Asvi arman Adam, salah satu narasumber di acara tersebut. Kepada Burhan, Sumarsih juga mengatakan dirinya juga sama-sama korban kekerasan, dan seharusnya bisa mengerti dan berusaha menghindari caracara kekerasan dalam setiap penyelesaian masalah. Sumarsih juga meminta acara ini bisa tetap dilanjutkan karena semua pe­ serta adalah guru-guru sejarah, dan acara lokakarya ini dilindungi undang-undang karena lokakarya adalah forum ilmiah. Bur­ han mengatakan diplomatis. Soal diber­ hentikan-tidaknya acara ini bukanlah we­ wenangnya dan menyerahkan sepenuhnya kepada Kepolisian. Hingga pukul 17.00 WIB, pihak kepoli­ sian tetap tidak mengizinkan workhsop dilanjutkan. Padahal, menurut Sumarsih yang jadi alasan semula adalah karena adanya laporan dari FAKI. Tapi setelah FAKI jelas menyerahkan kepada Kepolisian, ala­ san yang berkali-kali disebutkan karena tak adanya surat pemberitahuan panitia. Seki­ tar 10-an orang dari FAKI juga masih tetap bertahan di lokasi hingga pukul 17.30 WIB. Sekitar 10-an orang dari pihak FAKI bahkan masih tetap berada di lokasi hingga menje­ lang magrib. Dimintai Keterangan Tak lama, Sumarsih diminta datang ke Kantor Poltabes untuk didapati ketera­ngan. Bersama Arief dari JSKK dan Suparman AGSI, ia berangkat. Di Poltabes mereka di­ dampingi Ilyas dan dua rekannya dari Lem­ baga Bantuan Hukum (LBH) ­Yogyakarta. Di sana, yang menemui rombongan ini Kasat Intelkam Supriyadi yang sebelumnya juga datang ke lokasi. Dalam pertemuan itu, Supriyadi kembali menegaskan meski acara tersebut adalah forum ilmiah, tujuan­ nya baik, namun keberatan dari salah satu ormas di Yogya membuat kepolisian harus menghentikan kegiatan tersebut. “Dan saya tidak tahu kalau akan ada acara itu. Saya baru diberitahu oleh ormas itu. Panitia tidak memberi surat pemberitahuan kepada ke­ polisian, padahal mestinya pemberitahuan itu harus sudah diberikan 3X24 jam sebe­

lumnya. Karena itu saya minta acara terse­ but diberhentikan sekarang juga,” katanya seperti dikutip kronologis Kontras. Kesepakatan penghentian acara akhir­ nya berhasil dicapai. Dalam pertemuan itu Arief minta agar para anggota FAKI yang masih bertahan di depan Hotel Perwita Sari segera meninggalkan hotel dan sekitar 16 orang peserta yang masih menginap di hotel diberikan perlindungan. Sekira pukul 20.30 WIB, Sumarsih, Arief, dan Suparman kembali lagi ke hotel. Dilanjutkan ­ dengan sosialisasi kepada guru-guru sejarah me­ ngenai pembubaran dan penghentian acara oleh Kepolisian. Anggota FAKI pun meninggalkan hotel Perwitasari. Tapi seki­ tar lima orang aparat berpakaian seragam berjaga-jaga di depan hotel. Pukul 21.00 WIB Kapolsek Mergangsan mendatangi kembali hotel untuk menemui panitia. Ia meminta daftar nama-nama peserta dan panitia yang masih menginap di hotel. Panitia telah memberikan daftar nama, setelah itu Kapolsek meninggalkan hotel. Pukul 24.00 WIB pihak kepolisian mening­ galkan hotel ­ dengan alasan akan melaku­ kan patroli ­keliling. Dan esok harinya (18/7) semua peserta meninggalkan Hotel pukul 09.00 WIB. Agus Sukamso, Kapoltabes Yogyakarta kepada media mengatakan jika pihaknya sengaja mengambil tindakan penghen­ tian acara itu demi menegakkan aturan dan menegakkan Kamtbmas (Kedaulatan ­Rakyat, 18/7). Tapi Direktur LBH Yogyakarta Irsyad Thamrin justru berpandangan se­ baliknya. “Seharusnya aparat kepolisian melindungi mereka yang mengikuti work­ shop. Itu forum ilmiah untuk mengkaji sejarah,” seperti dikutip Kedaulatan Rakyat (18/7). Protes Kontras Terkait insiden, seminggu berikut­ nya Kontras langsung melayangkan surat kepada Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri mempertanyakan kasus tersebut. Surat juga ditembuskan ke Ketua Komisi Kepolisian Nasional Republik Indo­ nesia (Kompolnas-RI), Ketua Komisi Na­ sional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Kepolisian Republik Indonesia, Kepala Di­ visi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Republik Indonesia, dan Kepala Divisi Pro­ fesi dan Pengamanan Kepolisian Republik Indonesia, dan Kapoltabes Yogyakarta. Surat atas nama Usman Hamid, koor­ dinator Kontras itu juga menyampaikan apresiasi Kontras atas disahkannya Per­ aturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8/2009 tentang Implemen­ tasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia pada 22 Juni

The WAHID Institute

n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009 2009 ­ silam. Perkapham, surat itu menye­ but, adalah pedoman Kepolisian di seluruh wilayah Indonesia agar menerapkan prinsip dan standar HAM dalam setiap tugasnya. Berkaitan dengan pedoman tersebut,

Kontras menilai, tindakan kepolisian itu lebih karena desakan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) ketimbang pada kelengkapan surat pemberitahuan acara lokakarya kepada kepolisian.

Kontras mempertanyakan tindakan Ke­ polisian Kota Besar Yogyakarta (Poltabes) yang Jumat itu memberhentikan kegia­ tan lokakarya guru-guru sekolah bertajuk Membangun Kesadaran Sejarah untuk Ke­ benaran dan Keadilan itu. Kontras menilai, tindakan kepolisian lebih karena desakan Front Anti Komu­ nis Indonesia (FAKI) ketimbang pada ke­ leng­kapan surat pemberitahuan acara lokakarya kepada kepolisian. Lebih jauh, Kontras menyebutkan pembubaran acara yang ­ disebabkan karena kecurigaan pada seorang narasumber justru bertentangan dengan salah satu standar dan prinsip

HAM, yaitu penghormatan atas kebebasan berpikir, berpendapat yang seyogyanya dilihat sebagai kegiatan ilmiah. Kepolisian, masih menurut Kontras, bisa bertindak dengan tegas jika ada sekelompok orang yang mengganggu dengan paksaan, an­ caman dan ingin membubarkan kegiatan orang lain dalam dimensi kegiatan ilmiah tersebut. Sampai narasi ini dibuat, belum ada kejelasan tentang bagaimana tanggapan terhadap surat yang dilayangkan Kontras tersebut. M

Gubernur DIY Minta Perda Mihol Gunungkidul Direvisi Nur Khalik Ridwan

G

ubernur DIY akhirnya memutuskan untuk merevisi Perda Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minu­ man Beralkohol yang sudah diketuk DPRD Gunungkidul bersama Bupati mewakili pe­ me­rintah. Kepada wartawan Koordinator Forum Masyarakat Anti Mihol Gunungkdiul Harun Al-Rasyid mengaku kecewa menden­ gar keputusan tersebut. “Terus terang kami sangat menyesalkan adanya revisi itu,” ka­ tanya seperti dikutip Bernas Jogja (10/8).

Belakangan, ketika masuk ke meja Gubernur, orang nomor satu di DIY itu minta perda ini direvisi. Keputusan itu dituangkan melalui Surat Keputusan Nomor 118/ KEP/2009 Tanggal 15 Juli 2009. Harun mengkhawatirkan revisi itu nantinya akan merubah substansi pelara­ ngan minuman keras di Gunungkidul. Pa­ dahal, larangan peredaran minuman keras menurutnya mutlak dilakukan. “Tidak ada manfaatnya menggunakan miras,” tambah pria yang juga pengasuh Pondok Pesan­tren Al-Hikmah Karangmojo itu. Sementara itu Ketua Pansus Perda Mi­ ras Ir. Imam Taufik menjelaskan. Pembahas­ an perda ini akan dilanjutkan anggota DPRD periode 2009-2014. Ini, katanya, akan ­menimbulkan kesulitan tersendiri. Karena dari sepuluh orang anggota Pansus Perda Miras, hanya dirinya dan Arif Setiadi yang akan kembali duduk sebagai DPRD 20092014. Pembahasannya pun diperkirakan baru akan dimulai Oktober 2009 menda­

The WAHID Institute

tang. Kemunculan perda Minuman Beralko­ hol, disingkat Mihol, sendiri menurut Badi­ ngah Wakil Bupati Gunungkidul sekaligus mewakili Badan Narkotika Kabupaten (BNK), karena upaya memberantas penya­ kit masyarakat (pekat), salah satunya per­ edaran minuman keras beralkohol, kerap terbentur dengan belum adanya perda. Di lapangan, kata Badingah, itulah yang dira­ sakan aparat. Badingah menyampaikan ini saat menggelar rapat koordinasi dengan Satuan Narkoba Polres Gunungkidul yang dipimpin AKP Sumarno di Bangsal Sewoko­ projo Pemkab Gunungkidul sebelum Perda Mihol ditetapkan. Saat itu pula ia mendesak Pemkab membuat perda terkait mihol. Walhasil munculah draf rancangan perda tentang mihol itu yang di dalamnya mengatur larangan penjualan mihol secara bebas. Bagi mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi pidana kurungan tiga bu­ lan. Bagi penjual yang tak memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralko­ hol (SIUP-MB) didenda Rp 50 juta. Draf bernama Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengawasan dan Penggu­ naan Minuman Beralkohol ini sebetulnya pernah disetujui untuk diubah menjadi Raperda Pelarangan Produksi Pengedaran dan Penggunaan Mihol. Usulan itu disam­ paikan Bupati Gunungkidul, Suharto saat rapat paripurna DPRD dalam agenda ja­ waban eksekutif terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi DPRD, April 2009. Dalam rapat ini, hadir juga ratusan pendukung or­ ganisasi masyarakat Islam. Meski sepakat dengan perubahan nama raperda, Bupati menolak usulan adanya larangan penjualan minuman keras di Gunungkidul seperti usulan Fraksi Ke­

satuan Umat (FKU). Fraksi ini meminta pasal dan ayat yang mengatur perizinan pen­ jualan dihapus. Alasan Bupati, peraturan perundangan yang lebih tinggi jelas-jelas memperbolehkan miras diperjualbelikan se­panjang memenuhi persyaratan. Bupati tak sependapat, jika dalam pasal-pasal pada raperda menggunakan kata-kata larangan, cukup pengawasan dan pengendalian untuk tujuan kebutu­ han kesehatan dan keagamaan. Ia juga tak sepemikiran jika pasal ancaman pidana berat bagi perusahaan dan penjual yang melanggar dibedakan dengan pengguna. “Soal ancaman pidana pidana sudah jelas diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana),” tandanya. Ratno Pintoyo dari Fraksi PDIP memberi apresiasi terhadap komentar orang nomor satu di Gunungkidul itu. Ia menilai, Bupati tahu aturan hukum normatif. “Sejak awal kami menegaskan peredaran produk mi­ numan mengandung alkohol cukup diatur secara ketat,” kata Ratno yang juga wakil Ketua DPRD. Ketika raperda tengah dibahas, ratusan siswa dari sejumlah pondok pesantren di Kabupaten Gunungkidul menggelar aksi unjuk rasa di kantor DPRD, Sabtu (18/4). Mereka berasal dari para santri di Pondok Pesantren Alhikmah dan AlHadid. Hadir pula perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kecamatan Karangmojo, dan Dewan Pengurus Cabang Al-Irsyad Gunungkidul. Dengan tegas mereka menolak penge­ sahan raperda. Bagi mereka, perda itu tak secara tegas mengatur penghentian per­ edaran minuman keras di Gunungkidul. Pemberian izin dengan embel-embel pengawasan bagi golongan miras seperti yang tertuang dalam usulan raperda dini­

11

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009 lai bertentangan dengan prinsip keyakinan masyarakat Kabupaten Gunungkidul yang mayoritas muslim. Untuk itu mereka mendesak penggan­ tian judul Raperda Pengawasan menjadi Pelarangan Peredaran Minuman Beralko­ hol di kabupaten Gunungkidul. “Kami baru menyetujui jika judul peraturan daerah itu diganti menjadi Pelarangan Peredaran Minuman Keras,” kata Harun Alrasyid juru bicara aksi yang juga pengasuh Pondok Pe­ santren Al-Hikmah Piyaman Wonosari.

Meski mendapat protes, raperda berhasil disetujui DPRD dan Bupati Gu­ nungkidul. Belakangan, ketika masuk ke meja Gubernur, orang nomor satu di DIY itu minta perda ini direvisi. Keputusan itu dituangkan melalui Surat Keputusan Nomor 118/KEP/2009 Tanggal 15 Juli 2009. ­Beberapa hal krusial yang disoroti antara lain tentang penggunaan kalimat untuk ­tujuan kesehatan di pasal 3 yang dianggap bertentangan dengan Peraturan Menteri ­Kesehatan No. 246/Menkes/Per/V/1990 hu­

ruf c. Pasal 5 juga dinilai bertentangan de­ ngan pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999 ten­ tang Hak Asasi Manusia. Pasal 4, 5, 7, 9 10, 11, 13, 14, dan 17 adalah pasal-pasal yang diminta disesuaikan dengan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 15/M DAG/ Per/3/2006 dan Peraturan Menteri Keseha­ tan No. 246/Menkes/Per/U/19­90. Di sam­ ping itu surat keputusan ju­ga menekankan agar kata “agama” dihapus karena alasan merupakan kewenangan pusat, bukan ke­ wenangan daerah. M

MUI Solo Minta UMS Tarik Peredaran Buku Tedi Kholiludin

M

ajelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Solo kali ini bermasalah dengan Pusat Studi Budaya dan Peruba­ han Sosial (PSB-PS) Universitas Muham­ madiyyah Surakarta. Kisruh dipicu soal ma­ teri buku Pendidikan Perdamaian Berbasis Islam edisi try-out tahun 2009. MUI menilai materi dalam buku tersebut menyesatkan. Karena itu, pihak MUI merekomendasikan kepada Rektor UMS agar menghentikan peredaran buku tersebut. PSB-PS sendiri siap berdialog dengan MUI soal penilaian terhadap buku itu.

Asyhuri menambahkan, mestinya buku itu tidak untuk dimusnahkan, melainkan perlu adanya revisi terhadap materi yang bermasalah saja. Plt Ketua MUI Solo Dr dr Zaenal Arifin Adnan mengungkapkan surat MUI terse­ but bermula dari laporan orangtua siswa MTsN 2 Solo kepada MUI.“Setelah meneri­ ma laporan, kami segera melakukan kajian khusus. Buku itu dikaji oleh Komisi Fatwa dan Komisi Hukum Syariah MUI Solo,” ujar­ nya (10/7). Sampai akhirnya, MUI menilai kalau buku tersebut menyesatkan. Sebagai tin­ dak lanjutnya, MUI Solo mengirim surat meminta kepada Rektor UMS agar buku itu dicabut dari peredaran. Zaenal menya­ takan buku itu sudah beredar di tiga se­ kolah: MTsN 2, SMP Muhammadiyah 1 dan SMPN 4 Solo. Dari informasi yang diterima MUI, kata dia, peredaran buku itu ternyata tak sepengetahuan UMS. Dia menguraikan, MUI mencatat sebanyak tujuh item dari se­ kian banyak item yang menyesatkan. Salah satunya subjudul “Tauhid adalah Berpihak Kepada Kebenaran”. MUI mem­ beri catatan bahwa Tauhidlah yang men­

12

dorong seseorang melakukan kebenaran. Jika tolong menolong itu suatu kebenaran, MUI mempertanyakan bagaimana dengan tolong menolong dalam kejahatan. Sementara itu, Penanggung Jawab Program Pendidikan Perdamaian Berba­ sis Islam PSB-PS UMS, Yayah Khisbiyah, dihubungi Espos, menyatakan siap ber­ dialog dengan MUI. Dialog itu diharapkan tidak satu arah. Sedangkan Kepala PSB-PS UMS, MA Fattah Santoso, saat dihubungi Espos mengatakan pendistribusian buku akan dibatalkan menyusul turunnya su­ rat larangan MUI tersebut. Pihaknya baru mendistribusikan buku edisi try-out kepada empat sekolah yang menjadi mitra pe­ nulisan buku itu. “Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, kami menghentikan peredaran buku itu. Kami lebih mengede­ pankan perdamaian daripada perpecahan umat,” tuturnya. Saat ditanya apakah pihaknya akan me­ narik kembali buku itu dari edaran, ia men­ jawab hal itu tergantung kebijakan masingmasing sekolah. Menurutnya, beberapa penulis buku itu berasal dari sekolah mitra. Sementara, sejumlah penyusun buku Pendidikan Perdamaian Berbasis Islam me­ minta adanya forum diskusi dengan MUI Kota Solo menyusul penilaian sesat terha­ dap buku tersebut. Asyhuri, salah seorang penyusun buku itu saat dihubungi Espos, mengaku tidak sepakat jika buku itu harus dimusnahkan. Menurut Asyhuri, tidak se­ mua materi yang dibahas dalam buku itu bertentangan dengan ajaran-ajaran norma agama seperti yang dituduhkan MUI Kota Solo. Asyhuri mencontohkan, dalam buku itu pihaknya menyumbangkan satu buah ma­ teri tentang Ihsan dan Keadilan yang men­ gajak manusia untuk senantiasa berbuat adil kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Asyhuri menambahkan, mestinya buku itu tidak untuk dimusnahkan, melain­

kan perlu adanya revisi terhadap materi yang bermasalah saja. ”Penilaian orang berbeda-beda. Bisa saja hal itu hanya miss-understanding. Un­ tuk lebih jelasnya harus ada forum diskusi yang membahasnya.” Asyhuri menambahkan, dalam buku itu dibahas 17 nilai yang menjunjung tinggi perdamaian dalam al-Quran. Adapun tu­ juan penerbitan itu yakni untuk mengung­ kapkan pemahaman bahwa Islam itu aga­ ma yang penuh kedamaian. Melalui buku itu, pihaknya ingin menepis anggapan bangsa lain bahwa Islam adalah agama teroris. Hal senada juga diungkapkan Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 2 Solo, Drs Muslih MPd saat ditemui Espos di kantornya. Dalam kesempatan itu ia ­mengatakan penerbitan buku itu bermula dari niat yang baik yakni, pemberdayaan guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Menurutnya, sedianya ada forum dis­ kusi yang mempertemukan para penyu­ sun buku itu dengan pihak MUI Kota Solo. ”Kami belum membicarakan hal ini dengan para guru. Tetapi, mestinya ada forum dis­ kusi yang menghubungkan para penulis buku dengan pihak MUI Solo agar bisa di­ ambil jalan keluarnya tanpa harus ada yang merasa dirugikan,” tutur Muslih. Kisruh soal buku tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh MUI dan UMS dengan membentuk tim khusus untuk menyem­ purnakan buku Pendidikan Perdamaian Berbasis Islam yang dinilai bertentangan dengan norma agama. Rektor UMS, Prof Dr Bambang Setiaji MS mengatakan pihaknya sudah ­memfasilitasi sebuah forum yang mempertemukan pihak penyusun buku dengan pihak MUI Solo pada Sabtu (11/7). Forum itu menyepakati bahwa buku tersebut untuk sementara diberhentikan

The WAHID Institute

n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009 pere­darannya. Selain itu, forum itu juga me­ nye­pakati terbentuknya tim khusus yang terdiri atas gabungan pihak penyusun bu­ ku dan MUI Solo. Menurutnya, tim yang terdiri atas lima hingga enam orang itu bertugas menyem­ purnakan buku. Forum menilai ­Perdamaian Ber­basis Islam perlu dijawab karena ­penting bagi pencitraan agama Islam di mata umum.

“Selama ini agama Islam dicitrakan se­ bagai agama yang keras, agama yang tidak bisa hidup berdampingan dengan agama lain, dan lain-lain. Hal itulah yang membuat buku Pendidikan Perdamaian Berbasis Islam tetap perlu disusun,” tutur Bambang saat ditemui Espos di sela-sela kesibukannya. Menurut Bambang, materi tentang Tauhid dalam buku itu tetap dibahas. Akan tetapi, pada bagian yang dianggap

­ engandung unsur paham panteisme m yang menerangkan bahwa Tuhan termani­ festasi dalam bentuk benda yang menjadi perdebatan tidak dibahas. Di samping itu, buku itu juga akan menggunakan metodo­ logi yang berbeda dengan sebelumnya. Sumber: Solopos edisi Senin, 13 Juli 2009, h.XII, 11 Juli 2009, 14 Juli 2009. M

Dituduh Menistakan Agama, Wabup Kudus Diadukan ke Polisi Tedi Kholiludin

W

akil Bupati Kudus, Budiyono, di­ adukan Forum Umat Agama Damai Jateng ke polisi. Orang nomor dua di Pemkab Kudus ini diduga ­telah menyinggung perasaan agama ter­ tentu saat memberikan sambutan pada sebuah upacara, Senin (10/8).“Isi sambu­ tan Wakil Bupati ini diduga telah mendis­ kreditkan pihak tertentu,” ungkap Raja Sufi Y, koordinator Forum Umat Agama Damai, di Mapolda Jateng, Senin (24/8).

“Mestinya, yang menjabat posisi itu yang memimpin. Bukan Ketua Pokja lain yang memang kebetulan nonmuslim,” Menurut dia, ada beberapa orang yang menjadi sasaran dalam pidato yang ber­ sangkutan. Sehingga meresahkan para kar­

yawan di lingkungan Pemkab Kudus. Pada­ hal, sebagai seorang pemimpin Budiono hendaknya menghindari sikap yang bisa memicu persoalan di lingkungan kerjanya. Tapi apa yang dilakukan Wakil Bupati Kudus dinilainya telah melanggar UU 1945 (perubahan) Bab XI pasal 29 ayat (2) dan juga telah melanggar Pasal 156 A KUHP. Sebagai bukti pendukung Forum Umat Agama Damai – Jawa Tengah melampirkan bukti rekaman sambutan Budiyono pada apel pagi. Dalam laporannya kemarin, Radja Sufi Y didampingi sekretarisnya Muhammad Achyar, SH dan beberapa anggota Forum Umat Agama Damai Jawa Tengah. Mereka langsung diterima oleh piket Reskrim Polda Jateng. Barang bukti yang diberikan adalah berupa kepingan CD yang berisi rekaman pidato Wakil Bupati. Terpisah, Wakil Bupati Kudus, Budiyono yang dikonfirmasi membantah tudingan

LSM tersebut. Ia pun bahkan mengaku belum menerima pemberitahuan tentang adanya pengaduan dari LSM ke Polda Jateng. Bahkan, ia juga menilai materi penga­ duan yang disampaiakan ke mapolda Jateng tidak sesuai dengan fakta yang se­­ benarnya.Ia hanya menyampaikan jika pa­ da acara pengajian di PKK yang menjadi tugas Ketua Pokja I. “Mestinya, yang men­ jabat posisi itu yang memimpin. Bukan Ketua Pokja lain yang memang kebetulan nonmuslim,” jelasnya. Dia menilai ungkapan itu wajar dan sama sekali tidak bermaksud menyinggung kelompok lain. “Saya berharap, kejadian itu tidak menggangu iklim Kudus yang masih kondusif,” imbuhnya. Sumber: Suara Merdeka, 25 Agustus 2009, Republika Online, 24 Agustus 2009, Wawasan 25 Agustus 2009. M

Ba’asyir Desak Putus Hubungan Dagang dengan Israel Tedi Kholiludin

P

enasihat Pondok Pesantren Al-Muk­ min, Ngruki, Cemani, Sukoharjo, Abu Bakar Ba’asyir mendesak Pemerin­ tah RI mencabut SK Menperindag No 23/MPP/01/2001 tanggal 10 Januari 2001 yang melegalkan hubungan perdagangan antara Indonesia dengan bangsa Israel. Demikian diungkapkan Ba’asyir kepada wartawan seusai menemui rombongan Majelis Zikir Nurussalam Jakarta yang me­ nga­dakan silaturahmi ke Ponpes Al-Muk­ min Ngruki, Kamis (20/8). Menurut Ba’asyir, umat Islam tak boleh mendekati atau ­mengadakan hubungan apapun ­ dengan Yahudi Israel yang merupakan musuh uta­

The WAHID Institute

ma Islam. Dijelaskannya, kedatangan rombongan Majelis Zikir Nurussalam yang dipimpin Haris selain bertujuan silaturahmi juga ber­ maksud mengklarifikasi pernyataannya be­ berapa waktu lalu yang mensinyalir adanya perwakilan Kantor Dagang Israel di Jakarta. “Tadi perwakilan Majelis Zikir mengatakan setelah mereka meneliti, tak ada Kantor Da­ gang Israel di Jakarta,” katanya. Majelis Zikir Nurussalam adalah ­ke­lom­pok pengajian dimana Presiden ­Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turut ­ak­tif di dalamnya. Lebih lanjut, Ba’asyir menuturkan, hu­

bungan muamalah atau perdagangan ha­ nya boleh dilakukan dengan kaum Yahudi yang berada di bawah kekuasaan Islam se­ bagaimana terjadi pada zaman Rasulullah SAW.

Ba’asyir menuturkan, hubungan muamalah atau perdagangan hanya boleh dilakukan dengan kaum Yahudi yang berada di bawah kekuasaan Islam sebagaimana terjadi pada zaman Rasulullah SAW.

13

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009 “Katanya, SK yang melegalkan hubu­ ngan perdagangan Indonesia-Israel terse­ but telah dicabut. Tapi secara resmi kami belum mengetahui adanya pencabutan dari Pemerintah. Informasinya malah ada perusahaan Israel yang saat ini menjalin kerja sama dengan PLN untuk ­membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi di Sumatra Utara (Sumut),” urai Ba’asyir.

Ba’asyir yang didampingi Direktur ­ on­pes Al-Mukmin, Ustadz Wahyudin men­ P jelaskan, pihaknya meminta Majelis Zikir Nurussalam menyampaikan kepada SBY agar membuktikan kepada masyarakat bahwa SK Menperindag telah dicabut. Salah seorang pengajar di Ponpes Al-Mukmin, Ustadz Abdurrahim yang tu­rut mendampingi Ba’asyir menambah­

kan, ­ kalau SK yang dibuat pada era ­pemerintahan Gus Dur itu benar-benar sudah dibatalkan, maka seharusnya tak di­ lakukan secara diam-diam. Dikatakan dia, pihaknya terus mendalami informasi ten­ tang perusahaan-perusahaan Israel yang beroperasi di Tanah Air. Sumber: solopos.com, 20/8/2009. M

Raperda Zakat Balikpapan Disahkan 2010 Alamsyah M. Dja’far

T

ak mau ketinggalan dengan daerah lain, DPRD Balikpapan sekarang ini sibuk menyelesaikan draf rancangan peraturan daerah tentang zakat. Jika tak ada aral, raperda sudah bisa diketuk pada 2010. “Pembahasan bersama Komisi IV su­ dah selesai semua, tinggal rapat paripurna. Kita harapkan bisa segera disahkan oleh anggota dewan yang baru (periode 20092014),” kata Wakil Ketua DPRD Balikpapan Gunawarman awal agustus lalu. Seperti dikutip Kaltim Pos (04/08).

Dalam draf raperda itu disebutkan, seluruh warga Balikpapan harus menyalurkan zakatnya di lembaga amal zakat, badan amal zakat, atau lembaga zakat lain yang diakui dan mendapat sertifikasi nasional. Dalam draf raperda itu disebutkan, se­ luruh warga Balikpapan harus menyalur­

kan zakatnya di lembaga amal zakat, badan amal zakat, atau lembaga zakat lain yang diakui dan mendapat sertifikasi nasional. Perda ini juga, lanjut Gunawarman memi­ liki payung hukum UU No. 38 Tahun 1999 mengenai pengelolaan zakat di mana se­ tiap daerah dibolehkan mengatur pengelo­ laan zakatnya sendiri. Kemunculan raperda ini juga dipicu oleh asumsi lemahnya kesadaran masya­ rakat membayar zakat harta dan minim­ nya pengetahuan mereka tentang zakat. “Hukumnya pun lemah. Perda zakat sep­ ertinya perlu dibuat untuk mengoptimal­ kan ­jumlah zakat di Balikpapan. Selama ini belum ada. Padahal potensi di Balikpapan begitu besar dan bisa mengalahkan PAD,” kata Ketua Badan Amal Zakat Balikpapan Misbahuddin Halim seperti dikutip kaltimpost.co.id (04/8). Padahal pihaknya menilai potensi zakat di Balikpapan cukup besar. Muzakki atau para wajib zakat di lingkungan Pemkot saja, ia memberi contoh, sudah ada 5.000 orang. Dari situ berhasil dikumpulkan zakat sebe­

sar Rp 2,5 miliar per tahun. Dan itu baru be­ rasal dari tujuh unit pengumpul zakat yang berjalan di lingkungan Pemkot. “Ini pendapatan tetap setiap tahun. Bayangkan jika semua pegawai yang ­ber­agama Islam di Balikpapan sadar akan ke­wajibannya, maka dana zakat yang ­ter­kumpul bisa melebihi pendapatan asli daerah. Ini kan sangat membantu warga miskin,” tutur Misbah. Apalagi, masih banyak lembaga di Kota Minyak yang belum menunaikan zakat ­hartanya. Misalnya, perbankan, kepolisian, dan perusahaan-perusahaan lain. Setiap karyawan yang telah memiliki pendapa­ tan wajib menunaikan zakatnya sebesar 2,5 persen dari total pendapatannya per bulan. “Zakat 2,5 persen itu tidak banyak. Kalau kita memiliki gajian sebesar Rp 1 juta per bulan, zakatnya hanya sebesar Rp 25 ribu per bulan. Ini kan untuk membersihkan harta kita. Sayang, banyak yang belum sa­ dar akan kewajibannya,” katanya memberi alasan (Kaltim Pos, 03/08). M

Gina “Jibril” Dituding Sesat, Diusir, dan Dipolisikan Alamsyah M. Dja’far

M

engaku pernah mengalami mati suri hingga tiga kali, dan selama mati suri itu sempat bertemu Nabi Muhammad SAW, dan sejumlah malaikat termasuk Jibril, Sugianti alias Gina (38 ta­ hun) dituding sesat. Karena tudingan itu, warga yang ting­ gal di perumahan Solong Durian, Blok BI No 5 RT 27, Sempaja Utara, Samarinda, Kalimantan Timur, itu juga diusir dari tem­ patnya. Keputusan tersebut diambil warga setelah rembuk di Posyandu Mutiara, Sabtu (29/8) malam. “Warga menganggap ke­ luarga Gina telah mencoreng nama baik

14

perumahan yang dijaga sejak 30 tahun terakhir,” kata Syamsu Alam, Lurah Sempaja Utara usai pertemuan, Sabtu (29/8) seperti dikutip Tempo Interaktif. Pertemuan itu dihadiri Gina, Bagus Aku­ setia, beserta pengikutnya. Kepada warga dan tokoh-tokoh Front Pembela Islam (FPI) Kalimantan Timur, mereka menjelaskan kegiatan mereka yang selama ini diperka­ rakan. Tapi penjelasan Gina dianggap tak memuaskan mereka. “Tak ada toleransi lagi, keluarga (Gina) mereka harus keluar (dari kampung). Kami tak ingin nama peruma­ han semakin jelek di mata masyarakat luas,”

ujar salah seorang warga perumahan. Didit Ardiansyah, Ketua Front Pembela Islam Kalimantan Timur yang hadir dalam pertemuan itu menilai penjelasan Gina jelas bertentangan dengan Islam. Menu­ rutnya jika bertemu Nabi Muhammad SAW dan memesankan agar menjaga keharmo­ nisan umat Islam di dunia justru Gina yang membuat Islam tercoreng. “Dipenjara saja, kalau harus pindah tak menyelesaikan ma­ salah, karena mereka bisa berbuat sama di tempat barunya,” tutur yang lain. Gina sendiri usai pertemuan mengaku tak keberatan untuk beranjak dari peru­

The WAHID Institute

n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXII, September 2009 mahan Solong Durian hingga Senin. Ia ­menyanggupi karena masih ada waktu se­ hari untuk bersiap-siap mengemasi barang­ nya. “Saya terima saja,” ujarnya singkat.

“Tuhan kami hanya satu yaitu Allah SWT dan Rasulnya Muhammad SAW. Mengenai, mengapa peristiwa yang sebenarnya sepele itu bisa berkembang hingga seperti ini, dikarenakan ada segelintir orang yang mengartikan bahwa ajaran yang kami berikan adalah sesat, sehingga mempengaruhi istri saya,” Sebenarnya warga meminta Sabtu malam itu juga keluarga yang dianggap melecehkan Islam itu pergi dari kampung. Tapi dengan pertimbangan, Gina memiliki seorang bayi, warga menoleransi hingga Senin. Tak hanya pengusiran, Front Pembela Islam (FPI) Kaltim juga akan membawa ka­ sus ini ke pihak berwajib dengan tuduhan

penistaan agama. Ketua FPI Kaltim Didit Ardiansyah, seperti dimuat Sapos (31/8) di­ dampingi Wakil Ketua FPI Samarinda Rasyid mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), terkait perihal akan dilaporkannya penghu­ ni rumah tersebut ke polisi. “Kami sebagai umat muslim tak menginginkan wanita dan pria (Gina dan Bagus, Red) hanya diusir dari komplek perumahan tersebut. Tetapi juga dihukum dan dipenjarakan,” tegasnya. Pihak Gina sendiri sempat memberikan klarifikasi soal tuding sesat itu ke Polsekta Samarinda Utara. Ia datang ditemani Ba­ gus (38) pria yang belakangan diketahui merupakan suami sah Trisse, wanita yang disebut-sebut telah menyebarkan isu tak benar itu. Dari ruang serba guna Polsekta Sama­ rinda Utara, pada Sabtu (29/8) Bagus men­ ceritakan awal mula mengapa kasus yang menurutnya hanya masalah rumah tangga biasa itu lalu bisa melebar hingga isu aliran sesat. Kasus itu, cerita Bagus sudah terjadi terjadi sejak 2006 silam. Waktu itu Bagus sempat mengobati Gina ketika menderita sakit parah. Gina sendiri kata Bagus sebetul­ nya pernah mengobati istriya dari penyakit

yang berhubungan dengan dunia lain. “Entah bagaimana dan dari mana, tiba-tiba istri saya muncul dengan mem­ bawa handphone berkamera dan langsung memotret saya, disaat saya memberikan pertolongan kepada ibu Gina,” tutur Bagus (Sapos, 29/8). Foto-foto yang ditunjukan Trisse kepa­ da ketua RT maupun warga sekitar itu pun sebenarnya telah diselesaikan di hadapan MUI, Poltabes Samarinda dan unsur terkait lainnya. Namun, sampai saat ini foto yang sebenarnya menggambarkan cara Bagus mengobati pasiennya itu, masih saja digu­ nakan sebagai senjata Trisse untuk meng­ ganggu kehidupan Bagus. Bagus juga membantah ada salah satu penghuni rumah maupun Ibu Gina yang menyebut bahwa dirinya adalah Malaikat. “Tuhan kami hanya satu yaitu Allah SWT dan Rasulnya Muhammad SAW. Mengenai, mengapa peristiwa yang sebenarnya sepele itu bisa berkembang hingga seperti ini, dikarenakan ada segelintir orang yang mengartikan bahwa ajaran yang kami beri­ kan adalah sesat, sehingga mempengaruhi istri saya,” tuturnya. M

Jemaah Ahmadiyah Dilarang Pergi Haji Noor Rohman

S

ejak tahun 2008, pemerintah Arab Saudi telah mengeluarkan larangan haji bagi jemaat Ahmadiyah di selu­ ruh dunia. Larangan ini ternyata membi­ ngungkan Departemen Agama Indonesia karena sulit mendeteksi warga Ahmadiyah Indonesia yang hendak ikut menunaikan ibadah haji. Di Indonesia, identitas kepen­ dudukan Ahmadiyah merupakan bagian integral dari Islam.

Yang penting bukan Allah Ta’ala yang melarangnya, ibadah haji adalah perintah Allah, jika kami terkendala melakukan ibadah haji karena ulah manusia, maka kami tak menanggung dosa dan dosanya ditanggung oleh yang menghalangi. Seperti pengakuan Kepala Bidang Haji, Zakat dan Wakaf Kantor Departemen Aga­ ma Sumatera Barat Japeri Jarap, pihaknya mengalami kesulitan mendeteksi warga Ahmadiyah karena mekanisme pendaftaran

The WAHID Institute

calon haji dilakukan secara pribadi melalui bank dengan melampirkan KTP. “Umum­ nya warga Ahmadiyah menuliskan agama Islam dalam KTP, jadi kita sulit memastikan apakah yang bersangkutan Islam atau dari Ahmadiyah, kan tidak ada KTP yang bertu­ lis agama Ahmadiyah,” tutur Japeri seperti dikutip padangkini.com Selasa (11/8). Menurut Japeri saat ini pihaknya hanya bisa berharap pada instansi terkait, semisal RT atau lurah, agar bisa melaporkan jika ada warganya dari Ahmadiyah yang ikut mendaftar ibadah haji. Di sini laporan dari masyarakat menjadi faktor pendukung ­ya­ng paling dominan. Dengan kondisi seperti ini, Japeri berharap Menteri Dalam Negeri sebagai representasi pemerintah bisa mendudukkan persoalan ini, membuat sebuah aturan yang bisa menunjukkan dis­ paritas warga Ahmadiyah dengan yang tidak, baik dengan semacam kode di KTP, atau lainnya. Kesulitan yang dialami pihak Departe­ men Agama ini juga diamini oleh Sekre­ taris PP Muhammadiyah, Izzul Muslimin yang mengatakan, secara teknis hal itu sulit dilakukan mengingat tidak mudah men­ deteksi apakah yang bersangkutan warga Ahmadiyah atau bukan. “Dari mana Arab

Saudi tahu mereka Ahmadiyah. Memang­ nya dalam paspor ditulis dia itu aliran apa? identifikasinya sulit,” ujar Izzul kepada war­ tawan, Senin (10/8). Sedangkan menurut Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi NTB Lalu Suhaimi Ismi, larangan warga Ahmadi­ yah menunaikan haji datang dari Arab Saudi bukan dari pemerintah. Menurut­ nya sejauh ini Departemen Agama tidak melakukan proteksi jika ada warga Ah­ madiyah yang mendaftar menunaikan haji. “Kalau mereka mengaku-ngaku sama arti­ nya mereka membohongi diri dong. Kita tidak memproteksi mereka, karena sifatnya nurani saja,” ujar Lalu seperti dikutip NU Online, Selasa (11/8). Sementara itu, merespon larangan haji ini, ketua Jemaat Ahmadiyah DKI Jakarta Zafrullah Ahmad Pontoh kepada Monthly Report mengatakan bahwa tak apa-apa warga Ahmadiyah dilarang haji, yang ­penting bukan Allah Ta’ala yang melarang­ nya, ibadah haji adalah perintah Allah, jika kami terkendala melakukan ibadah haji karena ulah manusia, maka kami tak me­ nanggung dosa dan dosanya ditanggung oleh yang menghalangi. M

15

ANALISIS 1.

2.

3.

4.

Subtansi kebijakan kepolisian demi mendeteksi dini gerakan terorisme sebetulnya patut diapresiasi. Di tengah arus global sekarang ini, ideologi terorisme sulit untuk dikatakan tak hidup di negeri ini. Dan salah satu saluran persemaian adalah me­ dium dakwah yang dibajak demi membibit ideologi teror, minimal membenarkan aksi-aksi kekerasan. Tapi, kebijakan yang mengeneralisir masalah, gegabah, dan pukul rata terhadap setiap model dakwah kemungkinan besar memunculkan masalah baru. Ketidakhati-hatian menerapkan kebijakan tersebut justru bisa menabrak fungsi negara yang semestinya memberi rasa aman bagi warganya dalam menjalankan ibadah seperti diatur UUD 1945 pasal 28E ayat 1 dan Pasal 29 Ayat 2; UU. No.39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat 1. “Kontrol” dan “Pengawasan” itu bisa dilakukan untuk kegiatan-kegiatan kelompokkelompok tertentu yang diduga kuat dan memiliki bukti cukup menebar ideologi kekerasan. Pembatasan kebebasan itu sesungguhnya bisa dibenarkan dengan alasan menjaga public order (tertib publik) . Tudingan Abdurrahman Assegaf terhadap Abu Jibril, tampaknya menjelaskan bahwa penyebaran paham Wahabi dan pengelolaan eksklusif masjid di Tanah Air sesungguhnya bukan isapan jempol. Sejumlah kasus yang dimuat media massa be­ berapa tahun belakangan, termasuk hasil penelitian-penelitan ilmiah, menguak fenomena tersebut satu-persatu. Salah satu yang kentara dari ideologi pengikut Muhammad bin Abdul Wahab ini adalah sikapnya yang hitam putih melihat kelompok lain yang berbeda dengan pemahaman mereka, bahkan dalam hal tertentu mengabsahkan tindakan kekerasan. Penghara­ man sesuatu yang dianggap bid’ah seperti tahlilan adalah contoh lain yang sering mengemuka. Dan penyebaran ideologi Wahabi ini bisa dimulai dari masjid. Soal isu ini belakangan Muhammadiyah dan NU merespon tegas. Masih seperti tahun lalu, menjelang Ramadhan fatwa-fatwa MUI terkait bulan suci merebak di banyak daerah. Di ­antaranya fatwa haram mengemis, dan larangan memakai pakaian minim bagi perempuan penjual makanan takjil. Fatwa haram mengemis itu bahkan dijadikan landasan hukum bagi Dinas Sosial DKI Jakarta merazia para pengemis, dan juga penyum­ bangnya selain berdasar Perda No. 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum. Keputusan ini jelas melabrak prinsip pembuatan hukum di negeri ini seperti amanat UU No. 10 Tahun 2004. Fatwa bukanlah hukum positif yang bisa dipakai dalam hirarki hukum positif seperti perda. Jangan lupa juga, soal pengemis juga bukan hanya soal Islam. Sementara itu, fatwa mengenai takjil tampaknya hanya menjadikan perempuan sebagai biang maksiat, asumsi yang sesungguhnya kurang bijak. Perbedaan tafsir atas doktrin tertentu dalam Islam tidaklah haram. Khazanah keislaman mempertontonkan betapa perbedaan tersebut yang membuat Islam sebagai agama tampak dinamis. Perbedaan tersebut, apalagi dalam ruang akademis sebaiknya dilakukan dengan cara-cara yang akademis pula. Desakan penarikan MUI Solo atas buku Pendidikan Perdamaian Berbasis Islam patut disayangkan. Tudingan sesat sebelum adanya diskusi terbuka yang ilmiah dan proporsional jelas bertentangan dengan prinsip tabayyun dalam tradisi Islam. Cara-cara semacam ini sesungguhnya bisa pula menyuburkan sikap anti-perbedaan di lingkungan masyarakat, bahkan ancaman campur tangan negara melalui Kejaksaan Agung seperti yang terjadi di masa-masa Orde Baru, dan masih terjadi di era reformasi. Pasal yang bisa dipakai adalah Pasal 3b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa untuk menjaga ketertiban umum Kejaksaan berwenang melakukan pengawasan barang cetakan.

REKOMENDASI 1.

2. 3.

Pengawasan dan kontrol terhadap aktivitas keagamaan oleh aparat kepolisian sebagai bagian dari perang terhadap terorisme sebaiknya dilakukan kepada kelompok-kelompok yang betul-betul memiliki kecenderungan kuat dan indikasi yang kuat menyebar ideologi kekerasan. Karena kelompok ini kecil, usaha ini tentu saja bukan “operasi” massif yang justru ­menggelisahkan masyarakat muslim Indonesia seperti yang berkembang sekarang ini. Jangan lupa pula, penyebaran ideologi tersebut juga disebar dengan cara yang intens, person to person seperti terjadi pada pelaku bom JW Marriot .Sejauh itu dilakukan dengan cara yang professional, tentu tindakan tersebut merupakan tugas aparat dan negara dalam menciptakan public order. Sebagai tempat beribadah sekaligus pendidikan keagamaan, masjid harus menjadi zona publik yang netral yang ­meng­ako­modir berbagai perbedaan pandangan keagamaan yang ada di masyarakat, sekaligus tempat menyemai gagasan keislaman yang toleran. Aparat negeri ini seyogyanya berkomitmen untuk tetap berpegang pada prinsip konstitusi negeri ini, termasuk prin­ sip dan ­hirarki pembuatan peraturan perundang-undangan. Sebagai sebuah lembaga keagamaan tentu saja MUI berhak ­mengeluarkan sejumlah fatwa yang dianggap sesuai dengan tuntutan agama, meski dalam banyak kasus perlu dikritisi lebih cermat. Tapi MUI bukanlah lembaga negara yang fatwanya mengikat. Dalam asas pembuatan paraturan perundang­undangan pada UU No. 10 Tahun 2004, tak dijelaskan disana bahwa agama menjadi asas di dalamnya. Yang ada hanyalah asas pengayoman; kemanusian; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.