Monthly Report on
edisi
11
Religious Issues Juni 20
08
Sinopsis
S
etelah mendapat desakan bertubi-tubi dan pengepungan Istana oleh kalangan fundamentalis pada 9 Juni 2008, pemerintah akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani Menteri Agama, Kejaksaan Agung dan Menteri Dalam Negeri. Dari enam poin isi SKB, tidak ada kata pembekuan dan pembubaran Ahmadiyah. JAI hanya diminta untuk menghentikan aktifitasnya. Aktifitas apa yang dimaksud juga tidak jelas, apakah aktifitas komunal atau aktifitas individu. Apakah warga JAI tidak boleh shalat di masjid yang mereka bangun, juga tidak jelas. Namun kalau kita pahami dengan teliti pada poin dua, tidak semua kegiatan JAI diminta untuk dihentikan, tapi hanya yang terkait dengan penafsiran yang dianggap tidak sesuai dengan Islam pada umumnya. Oleh karena itu, warga Ahmadiyah sebenarnya tetap bisa ibadah sebagaimana biasa. Substansi SKB ini multitafsir dan rentan disalahpahami. Namun, dalam SKB tersebut pemerintah masih mengakui eksistensi Ahmadiyah sehingga perlu dilindungi dari kemungkinan tindak kekerasan, sebagaimana tercantum dalam butir empat. Namun, dalam praktiknya, pasca SKB banyak aktifitas ibadah warga Ahmadiyah yang diganggu massa. Hal inilah yang menjadi fokus utama Monthly Report edisi XI ini. Di samping soal SKB, kami juga lampirkan sejumlah kasus intimidasi terhadap warga Ahmadiyah pasca terbitnya SKB. Di samping SKB, kami juga melaporkan sejumlah kasus lain, seperti aksi FPI di Lamongan Jatim yang menyiram seorang penjual tuak. Tampakya hobi FPI melakukan aksi-aksi premanisme terus berlanjut. Lagilagi aparat keamanan setempat tidak pernah mengambil tindakan terhadap mereka. Kasus-kasus lain seperti larangan siswi SMK berfoto memakai jilbab, usulan agar Lia Eden ditangkap lagi, soal nabi palsu dan sebagainya juga kami laporkan. Ada juga hal menarik. Jika di berbagai daerah sedang berlomba untuk membuat perda bernuansa agama termasuk perda zakat, Bupati Sinjai justru menolaknya. ■ Selamat membaca !
Susunan Redaksi
Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Nurul H Ma’arif. Staf Redaksi: M. Subhi Azhari Lay out: Widhi Cahya Alamat Redaksi: The Wahid Institute Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 Website: www.wahidinstitute.org Email:
[email protected] Kontributor: Akhdiansyah (NTB), Suhendy (Jawa Barat), Nur Kholik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Alamsyah M. Dja’far (DKI Jakarta), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal (Makassar) Kerjasama dengan TIFA Foundation
Negara telah Kalah! 1. Bahaya Laten SKB Ahmadiyah
S
KB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung tentang Ahmadiyah di Indonesia akhirnya keluar. SKB No: 3 tahun 2008, No: Kep-033/A/JA/6/2008, dan No: 199 tahun 2008 yang berisi enam butir keputusan ini ditandatangani Maftuh Basyuni, Mardiyanto dan Hendarman Supandji di Kantor Depag RI (9/6/2008). “Keputusan ini mulai berlaku hari ini. Ini bukan intervensi, tapi kewenangan pemerintah menertibkan kehidupan beragama,” ujar Menag Maftuh Basyuni. Isi SKB hanya membatasi aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (lihat: SKB MENAG, JAKSA AGUNG, dan MEDAGRI). Karenanya, Menag memastikan SKB tak membubarkan Ahmadiyah. Hal sama dinyatakan Jaksa Agung Hendarman Supandji. “Ini intinya memerintahkan menghentikan kegiatan JAI. Tidak ada pembubaran Ahmadiyah,” tegasnya. Secara personal, JAI boleh memiliki keyakinan, tapi tidak boleh menyebarkannya. Bagaimana jika JAI tetap menjalankan aktivitas? Menurut Hendarman, polisi akan bertindak. “Kalau tetap melakukan itu, berarti ada penodaan agama. Itu masuk pasal 156a tentang penodaan agama. Itu kewenangan polisi,” katanya tanpa menjelaskan apa yang dimaksud aktifitas JAI. Mabes Polri juga menyatakan, pihaknya tak melarang JAI menggelar pengajian atau shalat Jum’at. “Pengajian ya nggak apa-apa. Aktivitas shalat Jum’at juga tidak ada masalah. Itu hak mereka. Asalkan tidak menyimpang dari ajaran Islam,” kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira, Selasa (10/6/2008). Namun, jika ternyata ibadah JAI menyimpang dari Islam, pihaknya tidak kompromi lagi. “Kita kenakan pasal 156a KUHP mengenai penistaan agama,” tegasnya. Sekeluarnya SKB, Presiden SBY menginstruksikan jajaran pemerintahan agar melaksanakannya dengan mengatur kegiatan Ahmadiyah. “Instruksi beliau agar kita melaksanakan sesuai aturan yang berlaku,” ujar Mendagri Mardiyanto. Terkait kemunculan SKB, pengacara JAI menuding Front Pembela Islam (FPI) di balik semuanya. “Ini karena banyak desakan dari FPI dan kawan-kawannya. Ini menunjukkan pemerintah
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008
mengeluarkan kebijakan berdasarkan desakan massa,” kata kuasa hukum JAI dari LBH Jakarta, Febi Yonesta, Senin (9/6/2008). Menurut Febi, UU No. 1 PNPS 1965 yang menjadi acuan SKB itu inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945. “Itu produk lama yang lahir saat demokrasi terpimpin dan sudah tidak kontekstual dengan negara demokrasi,” imbuhnya. Dikuatirkan SKB berekses kekerasan pada JAI. Karenanya, Polri harus menjamin keamanan mereka. “Polri harus menjamin JAI dari potensi kekerasan akibat SKB,” pinta Ketua Setara Institute, Hendardi, Senin (9/6/2008). Efek lainnya, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) akan segera menarik buku-buku dan perlengkapan penyebaran aliran Ahmadiyah. “Tetapi masih ada clearing house yang akan membahas buku-buku apakah perlu dilarang,” kata Hendarman dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI, Menag dan Mendagri, di gedung DPR Senayan, Jakarta, Kamis (12/6/2008). Pihak JAI sangat kecewa atas keluarnya SKB. Mereka tengah menyiapkan langkah hukum. “Berupa peninjauan kembali ke pengadilan dan mungkin judicial review ke Mahkamah Agung (MA),” kata anggota JAI, JH Lamardy, Senin (9/6/2008). “Kami merasa SKB tidak sesuai deng an semangat konstitusi. SKB itu bagian dari cara berpikir Orde Lama dan Orde Baru,” imbuhnya beralasan. Juru Bicara Forum Lintas Agama (FLA) Jatim KH. Imam Ghazali Said menyatakan, isi SKB juga bias. “Ahmadiyah kan mempunyai badan hukum. Sedang dalam SKB tidak disebutkan pencabutan badan hukum Ahmadiyah,” kata anggota Lajnah Bahtsul Matsail PBNU ini di Surabaya, Senin (9/6/2008). Secara resmi, kata Imam, pada 13 Maret 1953 Ahmadiyah mendapat status badan hukum dari Departemen Kehakiman – kini Departemen Hukum dan HAM, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kehakiman No. J.A./5/23/13. Masih menurut Imam Ghazali Said, kegiatan Ahmadiyah yang harus dihentikan juga tidak jelas. Karena syahadat dan shalat mereka sama saja dengan kaum muslimin mayoritas di Indonesia. “Mereka shalat, puasa dan kegiatannya sama dengan kaum muslim lainnya. Syahadatnya meng akui Nabi Muhammad SAW. Kalau dilarang ibadah, mereka harus bagaimana?” tanyanya heran. Karena itu, Imam curiga, SKB hanya mengakomodasi tuntutan kelompok Islam keras. Sejumlah LSM pegiat HAM menilai SKB melanggar konstitusi yang berpotensi menimbulkan konflik baru. Pendapat ini disampaikan dalam jumpa pers bersama sejumlah LSM, seperti Kontras, Demos, HRWG, KRHN dan lainnya di
kantor Kontras, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (10/6/2008). “SKB 3 menteri secara konstitusi tidak mengikat masyarakat luas, karena UU tidak mengatur SKB,” kata Koordinator Kontras Usman Hamid. Menurut Usman, selain melanggar UUD 1945, SKB juga melanggar UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. SKB juga tak dikenal dalam urutan perundangundangan yang berlaku dalam UU No. 10/2004. “Terbitnya SKB bisa dilihat sebagai produk dari proses tawar-menawar politik pemerintah dalam menyikapi tuntutan pembubaran Ahmadiyah,” ujarnya. Mantan anggota Komnas HAM MM Billah menyatakan, isi SKB meliuk-liuk dan tidak jelas, sehingga menimbulkan penafsiran berbeda-beda. “Ini bisa jadi perebutan penafsiran dan bisa meng arah pada konflik fisik,” ungkapnya. Untuk itu, Billah menyatakan seharusnya SKB tidak dikeluarkan. Tak hanya pihak JAI dan pendukungnya yang kecewa SKB. Para penentangnya pun kecewa. Bahkan ada yang menilai SKB banci, karena tidak membubarkan JAI. Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’syir misalnya, menilai SKB mengambang. Ba’asyir meminta pemerintah tegas membubarkan JAI atau memasukkannya ke kelompok non muslim. “Kita akan menuntut dengan berbagai cara yang tidak menyalahi aturan. Intinya Ahmadiyah bukanlah kebebasan beragama, tapi kebebasan merusak Islam,” kata Ba’asyir usai menjenguk Munarman di Polda Metro Jaya, Selasa (10/6/2008). Lebih keras lagi, Ketua Umum FPI Habib Riziq menilai presiden pengecut. “SBY pengecut. SKB Banci!,” cetusnya dalam pesan tertulisnya yang dibacakan Ba’asyir. “Saya serukan umat Islam untuk terus mendesak Presiden keluarkan Keppres pembubaran Ahmadiyah,” lanjut Rizieq. Fraksi PDIP menilai SKB tidak arif dan menyisakan konflik. “SKB itu menimbulkan konflik baik bagi yang puas atau tidak,” cetus Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo sebelum sidang paripurna di DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (10/6/2008). Tjahjo berharap pemerintah melindungi para pemeluk agama sepanjang mereka sesuai aturan agamanya. Dirjen HAM Harkristuti Harkrisnowo juga menyesalkan keluarnya SKB. Setiap orang, seharusnya bebas beragama dan berkepercayaan. Negara tak semestinya ikut-ikutan. “Selama Ahmadiyah tidak mengganggu, selama tidak menimbulkan reaksi, selama tidak menimbulkan konflik, boleh-boleh saja,” ujarnya usai menjadi pembicara seminar bertajuk Antara Nilai Agama dan HAM di gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008 ■ Senin (9/06/2008). Harkristuti menyarankan JAI menempuh jalur hukum bila tidak puas pada SKB. “Saya kira bisa judicial review (JR) ke MA, apa kah satu keputusan melanggar UU atau tidak,” ujarnya saat memberi sambutan pada pembinaan mental spiritual pegawai Dirjen HAM di Gedung Uppindo, Jakarta, Selasa (10/6/2008). SKB juga tidak memiliki kekuatan apa-apa, seperti dinyatakan Ketua FKB Effendy Choirie. Karenanya, ia meminta JAI mengabaikannya. “Ahmadiyah bisa menggugat keabsahan SKB atau mengabaikan pelaksanaannya,” katanya di sela sidang paripurna di DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (10/6/2008). Kemungkinan Ahmadiyah menggu-
gat SKB ke MK, dibenarkan Hendarman Supanji. “Kalau Ahmadiyah mau menggugat keputusan itu, ya, silakan ke MK,” katanya di Kantor Depag Jakarta Senin (9/6/2008). Lain lagi hakim konstitusi Mahfud MD. Menurutnya, SKB tak bisa digugat ke MK, MA atau PTUN. Namun ia menunjukkan jalan lain. “SKB tak bisa diuji, tapi UU No. 1/PNPS/1965 yang menjadi dasar SKB bisa diujikan,” kata Mahfud di Hotel Millenium, Jakarta, Kamis (12/6/2008). UU ini, lanjutnya, bisa diujikan ke MK. Jika UU ini dibatalkan, SKB Ahmadiyah batal. “Karena UU yang menjadi dasarnya sudah dibatalkan,” jelasnya.
SKB MENAG, JAKSA AGUNG, DAN MEDAGRI Nomor: 3 Tahun 2008 Nomor: Kep-033/A/JA/6/2008 Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI dan Warga Masyarakat Kesatu: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, meng anjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dia nut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Kedua: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan pe nyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Ketiga: Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk or ganisasi dan badan hukumnya. Keempat: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/ atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Kelima: Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keenam : Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-lang kah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini. Ketujuh: Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan (Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008).
The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008
Kuasa hukum Aliansi Kebebasan untuk Keberagaman Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) Patra M. Zen mengungkapkan, pihaknya tengah menyusun draf gugatan uji materiil UU No. 1/ PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama. “Dalam waktu dekat akan kami ajukan,” ujarnya. Anggota Komisi VIII Nasir Suryadi khawatir, SKB hanya menjadi solusi temporer dan sebatas untuk cooling down. Karenanya, ia mengusulkan agar SKB bisa ditindaklanjuti dengan penerbitan Keppres. Menanggapi pernyataan ini, Maftuh Basyuni menegaskan, kewenangan pejabat setara menteri hanya terbatas pada penerbitan SKB. Sementara peningkatan hingga Keppres, itu kewenangan presiden. Bahkan ditegaskannya, Keppres tentang Ahmadiyah tidak perlu ada, karena SKB masih berjalan. “SKB kan masih berfungsi. Ngapain
Keppres-nya ada,” kata Maftuh usai menghadiri Mukernas pengajian al-Hidayah di Istana Presiden (23/6/2008) Karenanya, Maftuh menyayangkan aksi unjuk rasa yang meminta Keppres Ahmadiyah dikeluarkan. Sebagai tindak lanjut implementasi SKB, pihaknya akan mengefektifkan pembinaan JAI. Hendarman juga yakin, pengawasan implementasi SKB bisa efektif, karena infrastruktur sistem pengawasan cukup kuat hingga ke tingkat daerah. Misalnya, struktur kejaksaan yang tersebar hingga tingkat kabupaten/kota, Kantor Wilayah Depag, sampai Bakorpakem hingga ke daerah-daerah. “Apalagi kontrol masyarakat juga semakin kuat,” tandasnya. Hal sama dinyatakan Mardiyanto. “Bukan perlu atau tidak (Keppres). Kita sekarang laksanakan saja,” katanya di sela-sela persidangan uji materi UU Pemilu, di Gedung MK, Jakarta, Selasa (10/6/2008). ■
2. Tiga Gereja di Tambun Dibongkar Paksa
P
rotes dan ratap tangis jemaat tiga gereja mewarnai pembongkaran paksa Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Keesaan Indonesia (Gekindo), dan Gereja Pantekosta Daerah Indonesia (GPDI) di Jatimulya Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (14/6/2008). Pembongkaran dilakukan petugas Ketentraman dan Ketertiban (Trantib) karena ketiga gereja yang menampung sekitar 2.000 jemaah itu dinilai menyalahi aturan fungsi bangunan yang seharusnya untuk rumah tinggal. Keesokan harinya, Minggu (15/6/2008) ratusan jemaat tetap menggelar kebaktian. Dengan pengawalan ketat aparat kepolisian dan di bawah kondisi bangunan gereja yang sudah tidak layak pakai, kebaktian yang dilaksanakan bergiliran itu berjalan lancar. Masing-masing ibadah dipimpin Pendeta Erwin Marbun dan Pendeta Testaria Hutajulu. Dalam khotbahnya, keduanya meminta jemaat tidak khawatir karena dibongkarnya gereja mereka. Usai menggelar ibadah, keduanya menyampaikan penyesalan atas sikap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi yang membongkar paksa gereja tanpa surat pemberitahuan. Karenanya mereka menilai, Pemkab Bekasi telah melanggar HAM dan hukum. Untuk HKBP Tambun, ini sebetulnya kasus lama yang tidak terselesaikan. Pada 1993, Bupati Bekasi mengeluarkan surat penolakan ijin pembangunan gereja ini, namun tanpa solusi. Pada Oktober 2005, gereja ini disegel oleh warga setempat dan jemaatnya dilarang beribadah. Jemaat HKBP dan Gekindo harus mengalami hal yang sama, Sabtu (14/6/2008) lalu.
Tim Pembela Kebebasan Beragama Saor Siagian menilai, pembongkaran ini dilakukan sepihak. Sebab, meski sebelumnya pihak Kecamatan Tambun Selatan mengeluarkan surat penutupan gereja pada pengurus gereja, namun pembongkaran dianggap menyalahi kesepakatan yang sebelumnya ditandatangai pihak kecamatan dan gereja, yang difasilitasi Kapolda Metro Jaya Irjen Adang Firman. Pembongkaran ini, kata Saor, terkait adanya desakan sekelompok orang yang mengatasnamakan warga sekitar untuk menutup tiga gereja tersebut sejak dua tahun silam. Pada saat itu, jemaat pun sempat menggelar ibadah di jalanan selama delapan pekan. Melihat kondisi itu, Kapolda Metro Jaya Adang Firman turun menangani dan minta jemaat gereja tidak menggelar ibadahnya di jalanan, karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kesepakatan antara pengurus gereja dan kecamatan pun dibuat. Isinya gereja tidak boleh dibongkar sebelum ada bangunan pengganti. “Bangunan itu tidak boleh diutak-atik sebelum ada bangunan gereja yang baru. Tapi pihak kecamatan tanpa alasan yang jelas langsung mengeluarkan surat dan membongkar gereja,” sesal Saor, Minggu (15/6/2008). Untuk itu, pihaknya akan membawa kasus ini ke Komnas HAM dan akan menggugat pihak kecamatan secara hukum. “Ini kan domain hukum. Kami akan mengajukan gugatan mengenai perusakan ini,” jelasnya. Bupati Bekasi Sa’aduddin sendiri menolak memberi penjelasan pada masyarakat menyangkut pembongkaran paksa tiga gereja ini. Sedang Camat Tambun Selatan, Tustana beralasan, tinThe Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008 ■ dakan aparat berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan Pemkab Bekasi. “Kalau gereja mau gugat ya sah-sah saja, karena kita sudah sesuai peraturan. Pihak gereja yang melanggarnya,” kata Tustana, Minggu (15/6/2008). Ketentuan yang dimaksud Tustana, ialah Surat Keputusan (SK) Bupati Bekasi tahun 2005 mengenai larangan beribadah di rumah tinggal. “Itu yang dilanggar,” katanya. Menurut Tustana ijin tempat itu sebagai rumah tinggal, namun disalahgunakan menjadi tempat ibadah. Merasa dirugikan, jemaat yang menjadi korban menilai pemerintah setempat melakukan pelanggaran kesepakatan untuk tidak melakukan bongkar paksa. Rencananya, pihak gereja akan melakukan gugatan terhadap kasus ini. “Pemkab melanggar kesepakatan yang
sudah kita bikin 30 Oktober 2005, yang berisi pernyataan tidak akan membongkar bangunan,” kata Pendeta HKBP Getsemani, Erwin Marbun, Minggu (15/6/2008). HKBP Getsemani telah melaporkan hal ini pada pihak kepolisian. Selanjutnya mereka akan mempersiapkan gugatan hukum terhadap Pemkab Bekasi. Selain itu, pemerintah juga dinilai mengingkari kesepakatan mencarikan lokasi baru untuk gereja. Keberadaan ketiga gereja itu, kata Erwin, sebenarnya tidak bermasalah. Karenanya ia heran, tiba-tiba pihaknya dituding mengalihfungsikan tempat tinggal menjadi tempat ibadah. ■ (sumber: www.jawaban.com, Metro TV, Selasa, 17 Juni 2008, www.okezone.com, Minggu, 15 Juni 2008).
3. Tak Bongkar Gereja Ilegal, Pemkot Binjai Dinilai Banci
A
kibat belum dibongkarnya Gereja HKBP Resort Binjai Baru di Jalan Dr. Wahidin, Kel. Jati Makmur Kec. Binjai Utara, beberapa kelompok Islam di Binjai menggelar unjukrasa (29/4/2008). Mereka mengaku kecewa pada Pemkot Binjai yang belum membongkar gereja yang tidak memiliki Surat Izin Mendirikan Bangunan (SIMB). Pada aksi di depan gedung DPRD Kota Binjai, massa membawa keranda bertuliskan ”Pemerintah Kota Binjai Dilecehkan dan Bencong.” Mereka bahkan menuding Pemkot Binjai punya maksud tertentu dengan membiarkan bangunan tanpa izin itu dibikin gereja. Dengan teriakan Allahu Akbar, massa menuntut bangunan itu segera dibongkar. Jika Pemkot tidak mampu, massa sendiri yang akan membongkarnya. Ratusan massa itu diterima pimpinan DPRD Binjai, antar lain Ketua Haris Harto dan Wakil Ketua Ardjuli Indrawan. Dari Pemkot terlihat Sekretaris Daerah Kota (Sekdakot) Ali Syafril beserta Kepala Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (Tarukim) Wahyudi dan Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kota Binjai HT Murad el-Fuad. Pengunjuk rasa yang menamakan diri Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Kota Binjai diwakili H. Hasan Tajir, Ahmad Nasir, Darman, Ketua HMI Kota Binjai Ratmi, dan Ketua PMII Kota Binjai Rusmansyah. Ahmad Nasir meminta DPRD dan Pemkot Binjai bertindak tegas pada bangunan yang tidak memiliki izin. “Jika rakyat kecil, batu bata saja sudah datang petugas. Kenapa bangunan permanen terbuat dari batu dan plat alumunium tidak dibongkar?” tanyanya heran. Kepala Dinas Tarukim Wahyudi menyebutkan, The Wahid Institute
bangunan permanen itu memang tidak memiliki IMB. Pihaknya juga berulangkali memerintahkan penghentian pembangunan. Nyatanya bangunan terus dikerjakan. Ketua FKUB Kota Binjai HT Murad el-Fuad menjelaskan, pembangunan itu tidak memenuhi isi SKB Mendagri dan Depag No. 8 dan No. 9 tahun 2006. Pertemuan yang sempat ’panas’ itu akhirnya memutuskan bangunan yang tidak punya izin harus dibongkar. Keputusan yang dibacakan Ke tua DPRD Haris Harto dan Sekdakot Ali Syafril meminta pembongkaran dilakukan oleh aparat Pemkot Binjai dan massa tidak dibenarkan ikut ke lokasi. Namun Tim Yustisi Pemkot Binjai gagal membongkar bangunan gereja karena dihadang panitia pembangunan dan jemaat. Pasukan pengaman dari Polresta Binjai, Kodim 0203 Langkat, CPM dan SatPol PP tidak diizinkan masuk. Pemkot Binjai diwakili Asisten I H. Mhd Tulen, Kepala Dinas Tarukim Wahyudi, Ka Badan Kesbang Linmas H. Lukman MD dan beberapa anggota DPRD Kota Binjai dihadang puluhan massa. Melalui GT Siregar, panitia pembangunan gereja minta Pemkot Binjai objektif. Siregar menyebutkan, sebetulnya permohonan izin sudah diserahkan, namun Pemkot Binjai tidak meresponnya. Tim Pemkot Binjai dengan berbagai alat beratnya, hingga pukul 15.00 belum juga membongkar, karena hadangan massa di lokasi bangunan yang sebagian sudah dipasang atap itu. Menurut Ketua DPD Partai Demokrasi Kebangsaan Bersatu (PDKB) Sumatera Utara, Pdt Immanuel G. Munthe, pro-kontra pembangunan Gereja HKBP Resort Binjai Baru itu disorganisasi.
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008
“Disorganisasi sosial itu memunculkan penyakit sosial yang menyebabkan disharmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat,” katanya di Medan, Senin (5/5/2008). Menurutnya, pejabat pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan kalangan cendekiawan merupakan pihak-pihak yang berperan mengorganisasikan kehidupan sosial di tengah masyarakat. Jika mereka salah mengorganisasikan kehidupan sosial, maka akan muncul gesekan di masyarakat. Soal tidak adanya izin bangunan, menurut Immanuel, itu tidak perlu dibesar-besarkan karena dapat menimbulkan persoalan baru. “Tidak perlu sampai lapor ke LWF (Lutheran World Federation, red.) di Jenewa. Apalagi sampai bertaruh nyawa dan pertumpahan darah. Itu tindakan provokatif yang harus dihindari,” ujarnya. “Cukup diselesaikan pejabat pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan cendekiawan saja,” imbuhnya. Namun demikian, kalangan umat Islam di Binjai tetap mendesak Pemkot Binjai merobohkan bangunan gereja itu. Desakan kembali disuarakan
dalam aksi unjukrasa di Pemkot dan DPRD Binjai, Rabu (28/5/2008). Pada aksi yang diikuti ibu-ibu pengajian ini, unjukrasa berjalan damai dengan diawali pembacaan ayat suci al-Qur’an. Massa menyatakan tiga sikapnya: 1) Menolak tegas pembangunan gereja ilegal. 2) Meminta Pemkot Binjai tegas membongkar bangunan liar itu. 3) Pemkot Binjai diminta jangan melecehkan dan mempermainkan umat Islam. Mereka juga meminta jangan ada pihak tertentu yang memaksakan kehendaknya memberikan izin pembangunan gereja. Sebab sudah dua tahun umat Islam menuntut bangunan itu dibongkar, namun Pemkot Binjai tidak bertindak tegas. Sementara itu, beberapa pekan sebelumnya ratusan umat Kristen menggelar aksi besar di Pemkot Binjai untuk Izin Bangunan Gereja HKBP. Mereka menolak rencana Pemkot Binjai merobohkan gereja. (sumber: www.waspada.co.id, Rabu, 30 April 2008, www.antara.co.id, Senin, 05 Mei 2008, dan www.dakta.com, Kamis, 29 Mei 2008). ■
4. Caleg Muslim Wajib Bisa Baca al-Qur’an
M
ayoritas fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menerima Rancangan Qanun Partai Lokal (Raqan Parlok), terutama perihal persyaratan caleg. Misalnya, mereka menerima syarat uji baca al-Qur’an bagi caleg dari parlok (partai lokal) dan parnas (partai nasional) yang beragama Islam, sesuai Pasal 36 Raqan Parlok. Hal ini dinyatakan para juru bicara fraksi, dalam Rapat Paripurna 4 Masa Persidangan II (13/6/2008) di Gedung DPRA. Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPRA, Raihan Iskandar, mayoritas fraksi tidak mau mencabut persyaratan uji baca al-Qur’an dalam Raqan Parlok. Juru bicara Fraksi Partai Bulan Bintang (FPBB), Zulkarnein misalnya menyatakan, pihaknya setuju bunyi pasal dimaksud, yakni “Sanggup menjalankan Syariat Islam secara kaffah serta dapat membaca al-Qur’an bagi yang beragama Islam.” Hanya saja, FBR sedikit mengoreksi bunyi pasal pada kata ‘dapat’ menjadi ‘mampu’. Fraksi Partai Bintang Reformasi (FPBR) berpendapat sama. Namun, mereka meminta agar caleg nonmuslim juga diberi penambahan persyaratan khusus sesuai agamanya. “Perlu dicari argumen hukum lainnya agar persyaratan ini tidak terbuka ruang untuk dibatalkan pemerintah,” kata jubir FPBR Abdurrahman Ahmad. Komentar sama diutarakan para jubir FPKS, FPPP, dan FPAN. “Kami menilai persyaratan baca al-Qur’an
bagi caleg tidak bertentangan dengan qanun lain,” ujar anggota FPPP, Tgk Rasyidin Abdullah. Sedang Fraksi Demokrat dalam pendapat akhirnya yang dibacakan HT Iskandar Zulkarnain mengusulkan supaya Pasal 36 dihilangkan. Alasannya agar tidak menghasilkan produk hukum diskriminatif. “Sebaiknya dihilangkan untuk menghindari munculnya asumsi masyarakat bahwa ada dua dasar hukum yang bertentangan bagi partai politik,” pintanya. Fraksi Golkar juga minta ketentuan Pasal 36 dihapuskan. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf juga menolak pasal ini. Alasannya untuk menghindari konflik yang bisa menghambat pemilu, jika pasal itu ditolak pemerintah pusat. Menurut Irwandi, uji baca al-Qur’an ini berpeluang menjadi komoditas politik untuk kepentingan tertentu. Dikatakannya, syarat baca al-Qur’an tidak bisa dikaitkan langsung dengan penegakan Syariat Islam di Aceh. Menyikapi penolakan eksekutif, sejumlah ormas Islam melakukan aksi di depan gedung DPRA mengecam sikap Gubernur Aceh. “Ini ada unsur politisnya. Kami tahu ada beberapa elit Parlok tidak bisa baca al-Qur’an,” ujar aktivis Front Pembela Islam (FPI) Yusuf Qardhawi. Basri Efendi dari Kahmi Aceh menilai, persyaratan itu menjadi ciri khas Aceh dalam kancah politik. Jika banyak caleg tidak bisa baca al-Qur’an, maka pihaknya siap mengajari mereka. “Kami The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008 ■ akan buka posko untuk mengajari caleg secara gratis,” janjinya. Pakar Hukum Unsyiah, Syaifuddin Bantasyam mengakui, pemberlakuan persyaratan bisa baca alQur’an bagi caleg beragama Islam akan menjadi masalah ketika Raqan itu dibawa ke Mendagri. Alasannya, dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelengaraan Pemilu Legislatif, persyaratan bisa baca al-Qur’an tidak disebutkan. “Kalau persyaratan itu nanti dihapus Mendagri, pada waktu pengusulan Raqan itu untuk disetujui, maka akan menimbulkan diskriminasi persyaratan,” katanya. Untuk itu, Saifuddin menyarankan sebelum masalah ini menjadi perdebatan yang alot bagi
anggota caleg Parnas dan Parlok, Panitia Legislasi dan Komisi A DPRA bisa mengkomunikasikan kembali guna mengantisipasi dianulirnya Pasal 36 itu. “Kalau pasal itu tidak dianulir, tidak ada masalah. Ini artinya persyaratan itu berlaku juga untuk anggota caleg dari Parnas,” ujarnya. Menurut Wakil Ketua KIP NAD, Ilham Saputra, meskipun Raqan Parlok disahkan menjadi Qanun pada Jum’at (13/06/2008), namun tetap terlambat karena batas terakhir penetapan partai politik yang bisa ikut Pemilu 2009 oleh KPU pada 5 Juli 2008. “Dan itu berlaku untuk parlok di NAD,” katanya. (sumber: www.siwah.com, 04 Juni 2008 dan www.waspada.co.id, Sabtu, 14 Juni 2008). ■
5. Tak Bisa Baca al-Qur’an, Batal Terima SK PNS
B
upati Bulukumba Sulawesi Selatan AM Sukri Sappewali membatalkan pemberian surat keputusan (SK) pengangkatan bagi 48 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi 2007, karena mereka diketahui tidak bisa baca al-Qur’an. Ratusan CPNS lainnya terlihat ceria begitu mendapat SK dari Sukri Sappewali, di Gedung Juang 45 Bulukumba, Jum’at (30/05/2008). Sebelum penyerahan SK dilakukan, Sukri Sappewali melakukan tes langsung baca al-Qur’an pada beberapa CPNS. Sukri Sappewali bahkan memberikan pertanyaan khusus pada mereka seputar masalah Islam, semisal rukun Islam, rukun iman dan sebagainya. Dari 541 SK yang direncanakan dibagi, baik formasi umum maupun honorer 2006-2007, ha nya 493 SK CPNS yang diserahkan bupati. Sisanya ditunda, karena mereka diharuskan mengikuti pelatihan baca al-Qur’an terlebih dulu di pendopo bupati setiap Selasa dan Kamis sore. “Bukannya ingin menahan SK, tapi kami ingin kalian semua pintar mengaji al-Qur’an lebih dulu,” ujar Sukri
Sappewali beralasan. Selain ada CPNS yang tidak bisa mengaji, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Bulukumba, Andi Hartatiah, juga menyebutkan adanya sejumlah CPNS yang belum mengikuti tes baca al-Qur’an karena berhalangan. Mereka ini, katanya, tetap diharuskan ikut tes mengaji sebelum SK diberikan. Sebelumnya, 27 sampai 29 Mei 2008, diadakan test baca al-Qur’an bagi CPNS formasi 2006-2007. Menurut Hartatiah, tes ini merupakan salah satu syarat bagi CPNS Bulukumba untuk mendapatkan SK Bupati. Bagi CPNS yang tidak bisa mengaji, penyerahan SK akan ditunda hingga yang bersangkutan bisa mengaji. Tes baca al-Qur’an ini, lanjut Hartatiah, merupakan rangkaian seleksi CPNS yang berlaku di Bulukumba, sekaligus sebagai perwujudan pelaksanaan peraturan daerah yang mengharuskan CPNS dan pelajar pandai membaca al-Qur’an. (sumber: www.fajar.co.id, Rabu dan Sabtu, 28 dan 31 Mei 2008). ■
6. Bupati Sinjai Tolak Perda Zakat dan Baca al-Qur’an
B
upati Sinjai Sulawesi Selatan, Rudiyanto Asapa, menolak membuat peraturan daerah (Perda) zakat dan pemberantasan buta aksara al-Qur’an. Alasannya, zakat dan al-Qur’an lebih tinggi kedudukannya dibanding perda, sehingga manusia tidak perlu bahkan tidak boleh membikin aturan sendiri. “Saya tidak setuju perda The Wahid Institute
tentang itu, karena keduanya sudah merupakan kewajiban bagi umat Islam,” kata Rudiyanto pada acara lomba karya tulis Rencana Aksi Peningkatan Mutu Pendidikan sebagai Wujud Peringatan Hardiknas dan 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan Forum Komunikasi Praja STTPDN Kabupaten Sinjai, di Sinjai Sulawesi Se-
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008
latan, (15/05/2008). Menurut Rudiyanto, jika zakat dan buta aksara al-Qur’an diperdakan, itu sama halnya meremehkan dan merendahkan umat Islam. Di dalam perda, siapa saja yang tidak membayar zakat misalnya, maka sanksi hukumnya hanyalah denda materi. Namun jika mengacu pada ketentuan al-Qur’an, maka hukumnya dosa karena ia telah melanggar kewajiban agama. “Orang Islam haram hukumnya jika tidak membayar zakat. Makanya, manusia tidak boleh membuat aturan baru tentang zakat termasuk melalui Perda,” tandas Rudiyanto. Membaca al-Qur’an, kata Rudiyanto, juga merupakan kewajiban bagi setiap muslim. “Jadi,
tidak diperlukan lagi perda untuk mengaturnya. Tergantung dari pribadi masing-masing saja,” ujar Rudiyanto. Dikatakan Calon Bupati Sinjai periode 2008-2013 ini, pada zaman Orde Baru Pancasila diposisikan lebih tinggi dari al-Qur’an. Kini dengan munculnya perda, al-Qur’an justru dibikin lebih rendah dari Perda itu sendiri. “Saya tidak setuju jika isi al-Qur’an dibuatkan lagi sebuah regulasi baru. Sudah nyata jika tidak melaksanakan zakat dan baca al-Qur’an, maka hukumannya neraka,” kata Rudiyanto. (sumber: www.fajar.co.id, Sabtu 17 Mei 2008 dan www.beritakotamakassar. com, Jum’at, 16 Mei 2008). ■
7. Merancang Perda Larangan Ahmadiyah
B
upati Serang H. Taufik Nuriman melarang keberadaan Ahmadiyah di wilayahnya, Kabupaten Serang Banten. Pernyataan ini disampaikan saat Taufik memberikan sambutan pada Pengukuhan Pengurus dan Rakerda II Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Serang, di Aula Institut Agama Islam Banten (IAIB) Serang Banten, Kamis (29/5/2008). “Ahmadiyah dila rang di Serang. Saya tidak takut dengan Hak Asasi Manusia (HAM),” tegasnya. Pernyataan Bupati Serang itu mendapat dukungan MUI Kabupaten Serang, sebagaimana diungkapkan ketuanya KH. Syafi’i AN. Dikatakan KH. Syafi’i, untuk mendukung hal ini, MUI Kabupaten Serang telah mengumpulkan berbagai kesepakatan penolakan Ahmadiyah dari berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas). Kesepakatan ini akan diajukan ke bupati untuk diperdakan. “Dengan adanya Perda, maka menjadi jelas Ahmadiyah dilarang di Kabupaten Serang. Pelarang an ini baik keberadaan maupun kegiatannya. Mudah-mudahan Agustus Perda-nya sudah keluar,” ujar Syafi’i. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cilegon menyayangkan kolaborasi sikap Bupati Serang dan MUI Kabupaten Serang yang berencana membuat Perda larangan Ahmadiyah. Ketua JAI
Cilegon Achmad Ali bahkan menilai, kebijakan sepihak itu sangat menyudutkan pihaknya. “Kami khawatir kebijakan Bupati Serang akan memicu daerah lainnya untuk melarang keberadaan Ahmadiyah. Padahal, selama ini kami sudah berpuluh-puluh tahun di Banten dan tetap kondusif,” kata Ali di kediamannya (31/5/2008). Dijelaskan Ali, JAI Cilegon yang telah ada sejak 1956 maupun JAI di daerah lainnya selama ini tidak merugikan pemerintah atau masyarakat. “Kami berharap Pemkot Cilegon tidak terprovokasi oleh kelompok-kelompok Islam yang tidak suka dengan JAI. Untuk itu kami minta perlin dungan pada pemerintah daerah mengenai organisasi kami,” katanya. Untuk itu, Tim Media JAI Cilegon Darwin Ismail berharap, Pemkot Cilegon tidak ikut-ikutan latah meniru kebijakan Kabupaten Serang. “Kami minta pemkot tidak terpengaruh perda tersebut, karena itu melanggar UUD 45 Pasal 29 tentang kebebasan warga untuk beribadah,” tegasnya. Pada kesempatan lain, sejumlah anggota DPRD Kabupaten Serang menanggapi dingin rencana pembuatan Perda Ahmadiyah itu. Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Serang Thamrin Aof mengatakan, desakan MUI Kabupaten Serang itu salah alamat dan terlalu mengada-ada. “Sudah jelas ada 10 hal yang tidak boleh dilakukan pemerintah daerah dalam pembuatan aturan, di antaranya masalah hubungan luar negeri dan masalah keagamaan,” kata Thamrin Aof, Minggu (1/6/2008). Hal sama dinyatakan Ketua DRPD Kabupaten Serang Hasan Maksudi. “Dilarang atau tidaknya keberadaan Ahmadiyah, itu sebaiknya diserahkan ke pusat,” tegasnya. (sumber: www.radarbanten.com, Jum’at, 30 Mei 2008 dan Senin, 02 Juni 2008). ■
The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008 ■
8. Depag Desak Pembentukan FKUB di Kota Cilegon
B
untut ditegurnya Badan Kesejahteraan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Pemkot Cilegon oleh Depdagri karena belum membentuk Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) (MRoRI Edisi X), Kepala Departemen Agama (Depag) Cilegon Yayat Supriyadi mendesak pemerintah setempat segera membentuknya. Pembentukan FKUB ini sebagai tindaklanjut keluarnya Peraturan Bersama (Perber) Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum, Kerukunan Umat Beragama, dan Pembangunan Rumah Ibadah. Dikatakan Yayat, mau tidak mau Perber itu harus dilaksanakan semua pihak. “Perber itu untuk memelihara kerukunan antarumat beragama. Kenapa tidak kita dukung? Kami mendesak FKUB segera dibentuk di Cilegon,” pintanya, Minggu (8/6/2008). Terkait penolakan sejumlah tokoh agama, Yayat mengatakan aturan ini tidak mengatur masalah peribadatan dan doktrin keagamaan. “Kita harus mempelajari dan memahami isi Perber itu. FKUB sangat penting untuk menjaga kerukunan umat beragama,” tegasnya. Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cilegon H. Enjen mengatakan, hingga saat ini sejumlah ulama, termasuk dari NU dan Muhammadiyah Cilegon masih menolak pembentukan FKUB karena khawatir akan bermunculan rumah-rumah ibadah non muslim di Cilegon. “Kami masih terus musyawarah untuk mendapat kata mufakat dengan para ulama dari perwakilan NU, Muhammadiyah, al-Jauharonatunnaqiyah dan al-Khairiyah,” ungkapnya. Sementara itu, Kepala Bidang Organisasi dan Penanganan Konflik Kesbanglinmas Cilegon Suparman berharap, akhir bulan ini FKUB di Kota Cilegon dapat terbentuk. “Semua tokoh agama ter-
kecuali umat muslim sudah mendukung pembentukan FKUB. Kami berharap, secepatnya FKUB segera dibentuk. Jangan sampai ada peringatan kedua dari Depdagri karena kita belum menyerahkan SK pembentukan forum ini,” katanya. Alotnya pembentukan FKUB di Kota Cilegon ditengarai akibat tidak optimalnya sosialisasi dari Pemkot. Bahkan, beberapa tokoh ormas Islam Cilegon mengaku tak tahu-menahu tentang forum ini dan detail fungsinya. Misalnya, seperti diakui Wakil Ketua Mustasyar NU Cilegon KH. Uud Chudlori. Inilah yang memicu pro-kontra pembentukan FKUB. “Saya pernah diundang rapat dengan sejumlah pemuka agama dan pemerintah tentang pembentukan FKUB, tapi tidak sampai menjelaskan lebih detail apa itu FKUB dan apa fungsinya. Belum pernah ada sosialisasi tentang FKUB, jadi kita pun tak tahu apa pentingnya forum ini dibentuk,” katanya (11/6/2008). Dikatakannya, jika FKUB disosialisasikan dengan baik, maka para ulama akan menyetujuinya. “Memang ada ulama yang khawatir bila FKUB dibentuk akan berdiri rumah-rumah ibadah non-muslim. Untuk itu, lakukanlah sosialisasi agar kami paham isinya. Kalau kami tahu apa itu FKUB, sebagai warga negara yang taat aturan kami akan mendukungnya,” tegasnya. Hal sama diungkapkan Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Cilegon H. Hambasi Abdullah. Hambasi menolak dikatakan pihaknya menolak pembentukan forum ini. “Kami tidak menolak kalau memang aturannya harus dibentuk. Kami hanya minta FKUB disosialisasikan dulu,” katanya. Suparman, Kabid Penanganan Konflik di Kesbanglinmas Cilegon, berjanji akan segera meng undang para pemuka agama untuk merumuskan rencana pembentukan forum ini. “Dalam waktu dekat kita akan rapat kembali. Soal sosialisasi, itu telah kami limpahkan kewenangannya pada MUI dan Depag,” jelasnya. (www.radarbanten.com, Selasa dan Kamis, 10 dan 12 Juni 2008). ■
9. Masuk SMP Wajib Lulus Madrasah Diniyah
S
eluruh siswa lulusan sekolah dasar yang beragama Islam wajib menyertakan ijazah, tanda lulus Madrasah Diniyah Awaliyah, sebagai salah satu syarat mendaftar ke sekolah menengah The Wahid Institute
pertama (SMP) dan sederajat di Kabupaten/ Kota Serang, Banten. Persyaratan lulus Madrasah Diniyah Awaliyah ini tertuang dalam Surat Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora)
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008
Nomor 800.08/519/dispendkot/VI/2008 tentang petunjuk teknis peneriman siswa baru di Kota Serang. “Siswa yang belum memiliki ijazah madrasah harus mengisi kesanggupan untuk mengikuti atau menyelesaikan madrasah diniyah. Ini berlaku untuk siswa beragama Islam, dan tidak berlaku untuk siswa non-muslim,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Serang Achmad Zubaidillah, (16/6/2008). Aturan ini didasarkan pada Perda Kabupaten Serang Nomor 1 Tahun 2006, tentang Ketentuan Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah. Sebagai daerah pemekaran, Kota Serang memang masih mengadopsi sejumlah aturan, termasuk aturan pendidikan dari daerah
induk, yakni Kabupaten Serang. Perda 1/2006 itu mewajibkan setiap anak usia sekolah, dari 7 tahun hingga 15 tahun yang beragama Islam untuk mengikuti pendidikan nonformal Madrasah Diniyah Awaliyah dengan masa pendidikan empat tahun. Di Madrasah Diniyah Awaliyah, siswa akan mendapatkan pelajaran alQur’an dan Hadis, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, Praktik Ibadah, dan kurikulum lokal sesuai kebutuhan masingmasing madrasah. Sebagai tanda lulus, siswa memperoleh ijazah yang disebut syahadah. Syahadah inilah yang dijadikan salah satu syarat masuk SMP, Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan sekolah sederajat. (sumber: www.kompas.com, Selasa, 17 Juni 2008). ■
10. “Nabi Baru” Muncul di Lampung
S
10
eorang pria warga Kel. Sumur Batu, Kec. Teluk Betung Utara Bandar Lampung, Chandra Adnan Rasyad (52 tahun), mengaku dirinya sebagai nabi baru. “Sekarang saya maklumatkan bahwa saya telah diangkat oleh Allah SWT sebagai nabi baru. Kehadiran saya di muka bumi untuk menyelamatkan umat Islam yang telah salah menerapkan akidah,” kata Chandra di rumahya, Jum’at (13/06/2008). Pria tukang las yang gagal berbisnis ini tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. “Tuhan selalu menurunkan nabi baru sesuai tuntutan zaman,” ujar bapak empat anak ini. Chandra mengaku, perjalanan hidupnya memang telah digariskan untuk menjadi nabi. Banyak jalan hidup yang dialaminya persis dengan jalan hidup para nabi dan rasul di masa lalu. Misalnya, semua bisnis yang dijalankannya selalu berujung kebangkrutan. “Tuhan telah membimbing saya ke jalan kenabian dengan tidak menjerumuskan ke dunia bisnis,” kata pria yang hanya tamatan sekolah menengah atas ini. Chandra pernah membuka bengkel sepeda motor, tapi bangkrut. Tidak hanya mengaku nabi, pria tanpa pekerjaan tetap ini juga mengaku sebagai rasul. Dalam ajarannya, ia mencampur ajaran Injil, Taurat, Zabur dan al-Qur’an. Menurutnya, ini untuk menemukan kebenaran sejati. Meski demikian, ia mengaku ajarannya berbeda dengan ajaran lain yang telah ada. “Kebenaran sejati tidak monopoli Muhammad, tapi juga nabi yang akan datang,” katanya. Selama tujuh tahun “kenabian”nya, Chandra tidak mengumumkannya pada masyarakat. Pada 2002, dia mengaku didatangi Malaikat Jibril. Sejak saat itulah ia ditetapkan sebagai nabi. Dan
kini ia mengklaim telah resmi menerima wahyu dan diperintah menyebarluaskan ajarannya. Namun selaku nabi atau rasul, ia tidak memiliki pengikut. “Saya hanya menyebarkan ajaran melalui internet dan pada orang orang yang saya temui,” akunya. Pria yang gemar menguncir rambut bagian belakangnya, ini gencar menyebarkan ajarannya lewat chatting di internet. Kini ia tengah membangun blog dan website untuk mencatat semua wahyu yang diterimanya dari Tuhan. Pengakuan Chandra ini sontak meresahkan warga Lampung. Mereka lantas melaporkannya ke kelurahan, namun tidak ditanggapi karena aparat kelurahan menganggap Chandra hanyalah orang tidak waras. “Kalau ukurannya banyak penderitaan lantas bisa menjadi nabi, seluruh rakyat Indonesia yang sedang menderita karena kenaikan BBM, bisa jadi nabi. Dasar gemblung (gila),” kata Suptiati, seorang warga. Warga juga minta aparat polisi segera menangkap Chandra. Mereka khawatir tindakan Chandra itu membuat keresahan baru di masyarakat. “Jangan sampai warga marah dan mengusir keluarga Pak Chandra,” kata Suptiati yang menduga tetangganya itu stres lantaran semua usahanya berantakan. Chandra sendiri mengaku tidak khawatir dicap menyimpang oleh warga. Menurutnya, menyadarkan masyarakat adalah tugasnya sebagai nabi. “Biarkan saja. Ini resiko seorang nabi,” katanya enteng. Sebagai nabi, Chandra mendukung gerakan Ahmadiyah. Tapi tidak mendukung kenabian Pendiri al-Qiyadah al-Islamiyah Ahmad Mushaddeq. “Mushaddeq itu nabi palsu,” tegasnya. Chandra tampaknya benar-benar serius meng akui kenabiannya. Bahkan ia tak segan mengusir The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008 ■ dua anaknya karena tidak mau mengikuti ajarannya. “Saya telah ajarkan pada anggota keluarga saya. Dua anak saya tidak percaya, akhirnya saya usir dari rumah. Dengan orang lain saya tidak mau memaksakan. Terserah orang menganggap saya apa, yang terpenting saya tetap yakin saya adalah nabi,” ucapnya. Menanggapi hal ini, Kepala Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung Komisaris Besar Syauqie Ahmad mengatakan, pihaknya masih menyelidiki klaim kenabian Chandra. Pihaknya juga tengah mengumpulkan saksi-saksi. “Kalau sudah ada saksi berupa pengakuan warga yang resah, yang bersangkutan akan kita tahan,” katanya. Polisi juga akan minta keterangan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Lampung, Kanwil Depag dan Pemda. Jika menurut MUI menyimpang dari Islam, pihaknya akan menindak Chandra. Meski begitu, tanpa menunggu keluarnya fatwa MUI, polisi bisa mengamankannya. “Untuk menghindari keresahan masyarakat,” kilahnya. Hingga Minggu, (15/6/2008) siang, Chandra masih diperiksa polisi di Mapoltabes Bandar Lampung. Jika terbukti bersalah, polisi akan menjeratnya melalui pasal 156a KUHP tentang penodaan agama dengan hukuman 5 tahun penjara. (sumber: www.tempointeraktif.com, Jum’at, 13 Juni 2008, www.hariansib.com, Senin, 16 Juni 2008, www.poskota.co.id, Jum’at, 20 Juni 2008). ■
11. Anggota DPR Desak Polri Tangkap Lia Eden
A
nggota Komisi III (Bidang Hukum dan Keamanan) DPR RI dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (BPD) Nursyamsi Nurlan mendesak kepolisian menangkap pimpinan Tahta Suci Kerajaan Eden, Lia Aminuddin alias Lia Eden, karena dinilai menista Islam dan memutarbalikkan kandungan al-Qur’an melalui kiriman suratnya pada Anggota DPR RI. “Saya selaku anggota DPR RI telah menyampaikan masalah ini ke Kapolri supaya ini ditindaklanjuti,” kata DPR RI dari Partai Bulan Bintang (PBB) ini pada pers di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin (02/06/2008). Nursyamsi lantas menunjukkan surat kiriman Lia Eden yang juga dikirim pada anggota DPR RI lainnya. Surat itu berlogo God’s Kingdom Tahta Suci Kerajaan Tuhan Eden dengan alamat pengi rim Jl. Mahoni No. 30 Jakarta Pusat, tertanggal 23 Mei 2008 dan ditandatangani Jibril Ruhul Kudus. Dalam suratnya, kata Nursyamsi, Lia Eden menyatakan pembelaannya pada Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan mendesak pemerintah tidak
melarangnya, termasuk tidak mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang melarang Ahmadiyah. Surat itu juga berisi ancaman, bila pemerintah melarang Ahmadiyah, maka bencana lumpur Lapindo juga akan segera terjadi di Muara Enim Sumatera Selatan. Menurut Nursyamsi, dalam suratnya Lia Eden mengatasnamakan dirinya tuhan yang menurun kan wahyu. “Ini penistaan terhadap Islam, karena menganggap diri sebagai tuhan,” tegasnya. Nur syamsi juga menilai Lia Eden telah memanipulasi Qs. al-Shaff ayat 6. Teks ‘Ahmad’ pada ayat itu, lanjut Nursyamsi, dimaknai Lia Eden sebagai Mirza Ghulan Ahmad, pendiri Ahmadiyah dan bukan Muhammad SAW. “Padahal ‘Ahmad’ di sana adalah Nabi Muhammad,” katanya. Atas ulah Lia Eden ini, Nursyamsi mendesak kepolisian kembali memprosesnya secara hukum. Bahkan menurutnya, hukuman percobaan pada Lia Eden bisa berubah menjadi hukuman penjara. (sumber: www.republika.co.id, Senin, 02 Juni 2008 dan www.okezone.com, Selasa, 3 Juni 2008). ■
12. Dilarang Pakai Jilbab, Siswa Unjuk Rasa
B
elasan siswa dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Education Islamic Community (eDit), menggelar unjuk rasa di depan kantor Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Bone Sulawesi Selatan, Kamis (22/05/2008). Mereka memprotes kebijakan Kepala SMKN 1 Watampone, Rafiq, yang melarang siswinya berfoto mengenakan jilbab. Roslan, koordinator aksi menyatakan, kebijakan tersebut sangat tidak berdasar. Apalagi jelasThe Wahid Institute
jelas ada surat edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 1174/C/PP/2002, yang menyatakan diperbolehkannya siswi berfoto mengenakan jilbab. Surat edaran tersebut, kata Roslan, sempat diperlihatkan pada Rafiq. Namun sang kepala sekolah tetap ngotot dengan kebijakannya. Roslan kemudian menemui Kepala Tata Usaha Dinas Diknas Bone, Andi Syarifuddin Abdullah. Mereka mengadukan kebijakan Kepala SMKN 1 yang dinilai melenceng dari kebijakan pusat. Atas
11
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008
pengaduan itu, Syarifuddin langsung melakukan klarifikasi pada Rafiq via telepon. Dalam pembicaraan telepon, Rafiq lantas melunak dan berjanji akan mematuhi edaran Dirjen. Menurut Syarifuddin, alasan Rafiq memerintahkan siswinya membuka jilbab saat berfoto, agar telinganya kelihatan. Oleh pengunjuk rasa, kebija-
kan Rafiq ini juga dinilai bertentangan dengan kebijakan Bupati Bone, AM Idris Galigo. Pasalnya, sejak penerimaan siswa baru (PSB) tahun 2007, Galigo sudah mengeluarkan edaran agar siswi muslimah mengenakan jilbab dan rok panjang. (sumber: www.fajar.co.id, Jum’at, 23 Mei 2008). ■
13. Kasus NII Dilimpahkan ke Kejaksaan
S
eperti diberitakan MRoRI Edisi X, sejumlah aktivis Negara Islam Indonesia (NII) ditangkap aparat keamanan karena diduga makar. Kini, Kepolisian Daerah Jawa Barat melimpahkan kasusnya ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Juru bicara Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Dadang Alex, mengatakan yang dilimpahkan 17 tersangka, 14 berkas, dan sejumlah barang bukti. Para tersangka dijerat KUHAP. Pasal yang dikenakan adalah makar, penodaan agama dan dasar negara, serta menyebarkan rasa permusuhan dan penipuan atau penggelapan. Para tersangka ditangkap polisi sejak 20 April 2008 lalu di tiga lokasi di Bandung, yaitu Cijerah, Cihanjuang, dan Riung Bandung. Usai menerima pelimpahan, jaksa akan menyusun rencana dakwaan. “Para tersangka akan ditahan di LP Kebon Waru selama 20 hari, tapi bisa diperpanjang sesuai keperluan penyidikan,” kata Dadang. Menurut Dadang, modus para tersangka adalah membai’at atau menghijrahkan seluruh warga Indonesia menjadi warga NII melalui pendekatan individual dan dakwah. “Selama melakukan hijrah, WNI ditutup matanya dan diantar orang tak dikenal ke suatu tempat untuk dibai’at,” katanya. Sebelum dibai’at, jemaah NII diindoktrinasi tentang organisasi ini dan peraturan-perundang annya. Selanjutnya, warga yang telah hijrah diwa-
jibkan membayar infak dan sedekah. “Itu untuk kepentingan biaya perjuangan,” ungkapnya. Diberitakan sebelumnya, barang bukti yang ditemukan antara lain empat bundel dokumen berisi UUD NII, teks proklamasi, teks bai’at, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Perdata NII, 13 sepeda motor, mobil, serta uang tunai sekitar Rp 4 juta. Menurut Dadang, para tersangka diancam hukuman lebih dari 10 tahun penjara. Para jaksa pun akan langsung menyusun rencana dakwaan agar berkas bisa segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bandung. Pengacara para tersangka, Sepranadja, menilai tuduhan makar terhadap kliennya tidak tepat. Menurutnya, yang bisa dijerat dengan tuduhan itu adalah orang yang membentuk negara di dalam negara. “Sedangkan ke-17 orang tersebut adalah orang-orang yang digerakkan,” katanya. Mereka lebih tepat disebut korban karena kebanyakan diiming-imingi atau bahkan diancam dipukuli. Dia melanjutkan, para tersangka tidak paham soal pendirian NII. “Mereka kebanyakan berpendidikan sangat rendah,” katanya. Sepranadja pun berjanji menghadirkan saksi ahli hukum tata negara dan hukum pidana untuk membuktikan tuduhan makar pada 17 tersangka itu tidak tepat. (sumber: Koran Tempo, Selasa, 17 Juni 2008). ■
14. FPI Berulah Lagi di Lamongan
D
engan dalih tak ingin kemaksiatan makin marak di Lamongan Jawa Timur, aktivis Front Pembela Islam (FPI) Lamongan, merazia tempat-tempat yang disinyalir sebagai ajang kemaksiatan di wilayah Kec. Paciran, Senin (23/6/2008) malam. Razia puluhan aktivis FPI itu dilakukan sekitar satu jam sejak pukul 20.00 WIB, dipimpin Ketua FPI Lamongan Zaenal Anshori, Komandan Laskar FPI Lamongan Umar Faruq, serta didampingi Kuasa Hukum FPI Lamongan Kusuma Dharmawan. Pada razia yang menjadi tontotan ratusan warga setempat ini, mereka merazia warung remang-
12
remang, tempat judi dan pesta minuman keras di kawasan pasar Desa Blimbing, serta tempat sabung ayam di lahan kosong pemukiman warga. Dalam razia itu, mereka mengamankan pasangan mesum Rus (60) dan Khas (50) dari sebuah kamar warung remang-remang yang diduga sebagai tempat prostitusi. Keduanya lantas digelandang ke kantor kelurahan setempat. Usai diinterogasi di kantor kelurahan oleh FPI bersama Lurah Blimbing Mansur, Rus dan Khas diarak keliling kampung hingga menjadi tontonan warga. Usai menangkap pasangan selingkuh, FPI melanjutkan razia penjual miras The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008 ■ dan judi sabung ayam di pinggir sungai Pandek, kawasan pasar Desa Blimbing. Hasilnya, mereka menemukan seorang warga menyembunyikan satu jerigen tuak (minuman keras dari fermentasi buah pohon enau). Saat ditanya, orang itu mengaku mendapat tuak dari Tuban. Anggota FPI sontak menggu yurkan satu jerigen tuak ke tubuh orang itu. Aksi FPI inipun menjadi tontonan warga, sementara beberapa penjual miras lainnya lari tunggang langgang. Ketua FPI Lamongan Zaenal Anshori menga takan, razia dilakukan untuk menghapuskan segala bentuk kemaksiatan yang luput dari perhatian aparat. “Kalau tidak segera dibasmi, tempat kemaksiatan ini akan semakin marak dan menjamur,” ujarnya di sela razia. Mengenai razia yang dilakukan organisasinya, menurut Zaenal itu seba gai bentuk keterlibatan FPI memerangi penyakit di masyarakat - seperti perbuatan mesum, peredaran minuman keras, dan obat-obatan terlarang lainnya yang mulai marak di Blimbing. Kecamatan Paciran bisa dikatakan sebagai basis Muhammadiyah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Dengan melihat realitas tersebut, maka sikap tokoh-tokoh Muhammadiyah di daerah tersebut terhadap perilaku kekerasan FPI menjadi penting. Aksi kekerasan yang dilakukan FPI tersebut bukanlah yang pertama terjadi di kawasan Paciran dan Brondong. Sejak lima tahun terakhir FPI Lamongan semakin membabi buta melakukan aksi kekerasan karena pihak kepolisian tidak pernah mengambil langkah pencegahan yang tegas, dan terlebih lagi banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah di kawasan tersebut yang bersikap permisif terhadap aksi-aksi FPI. Bahkan, ketika di Jawa Timur marak penentangan terhadap keberadaan FPI, FPI di Paciran Lamongan justru menunjukkan kekuatannya secara vulgar. Pada 5 Juni 2008, FPI Paciran, Lamogan, menggelar apel siaga. Dalam acara tersebut, massa FPI terlihat membawa berbagai macam senjata, seperti, pedang, clurit, tongkat, dan pentungan. Mereka seakan melakukan tantangan dengan menyatakan bahwa mereka tidak akan membubarkan diri dan siap menghadapi segala kemungkinan. Anehnya, satu SSK dari Polres Lamongan
mengawasi apel tersebut tanpa melakukan tindakan apapun. (Jawa Pos, 6 Juni 2008) Bukti permisifitas yang lain bisa dilihat pada kuatnya dukungan moral para tokoh agama ketika komandar Laskar FPI berurusan dengan Polres Lamongan karena diadukan sejumlah orang yang menjadi korban salah sasaran aksi-aksi kekerasan FPI. Aksi kekerasan FPI Lamongan dilakukan atas nama praduga, sebelum ada klarifikasi yang cu kup. Massa FPI yang digerakan oleh komandannya, Umar Faruq, biasanya menyerang dan memukul siapa saja yang dicurigai melakukan perbuatan maksiat. Dengan cara seperti inilah aksi razia tersebut sering melahirkan korban salah sasaran. Hal ini misalnya, pernah dialami oleh Sutinggal (bukan nama sebenarnya). Hanya karena ia mampir untuk ngopi di sebuah warung, ia menjadi bulan-bulanan massa FPI yang sedang melakukan razia. Beberapa korban yang tidak terima, mengadukan kekerasan yang dialaminya kepada Polres Lamongan. Biasanya, polisi baru turun tangan ketika ada korban yang mengadukan kekerasan yang dialaminya, akan tetapi tidak pernah melakukan usaha preventif agar kekerasan tersebut tidak terulang lagi. Komandan Laskar FPI, Umar Faruq, sendiri adalah sosok yang sudah sangat akrab dengan Polres Lamongan, karena seringnya ia keluar masuk sel tahanan Polres Lamongan akibat tindakan kekerasan yang ia lakukan. Celakanya, penahanan atas Komandan FPI hanya berlangsung beberapa malam saja. Disamping kepolisian yang tidak serius menyelesaikannya melalui prosedur hukum, hal ini juga terjadi karena kuatnya jaminan yang diberikan oleh sejumlah agamawan Muhammadiyah untuk membebaskan sang Komandan. Hal ini misalnya sempat diungkapkan oleh H. Su’udi, salah satu tokoh agama di kawasan tersebut, “kalau Faruk masuk sel tahanan, kyai-kyai itu segera mengeluarkan jaminan pembebasannya.” Memperhatikan permisifitas tersebut, aksi kekerasan yang dilakukan FPI Lamongan masih akan berpotensi terulang kembali, meskipun ma yoritas warga meresahkannya. ■
15. Tempat Pemujaan Dirobohkan
S
egerombolan massa ramai-ramai merobohkan sebuah tempat pemujaan atau yang biasa disebut punden. Inilah yang terjadi di Kediri, tepatnya di Dusun Luksongo, Desa Tugurejo, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, The Wahid Institute
Jawa Timur (okezone.com, Senin, 2/6/2008). Mereka berdalih, tempat pemujaan yang berdiri di atas tanah kas desa itu tidak memiliki izin. Inilah dalih yang kita dengar dari puluhan warga yang merobohkan tempat pemujaan milik
13
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008
Am Yong alias Tirta Wening, warga Jalan Doho, Kecamatan Kota, Kediri. Kelompok massa menyatakan, sebelumnya mereka telah bernegosiasi agar tempat pemujaan itu dibongkar pemiliknya. Akan tetapi, menurut mereka, upaya negosiasi tidak membuahkan hasil. Keinginan orang-orang yang menghendaki tidak adanya tempat pemujaan itu tidak diindahkan Am Yong. Kepala Desa Tugurejo, Totok MS menyatakan, lokasi tempat pemujaan itu sebelumnya dikenal masyarakat setempat sebagai punden Mbah Tugu. Mbah Tugu diyakini masyarakat setempat sebagai danyang desa. Dia dianggap sebagai cikal bakal desa. Mbah Tugu diyakini sebagai orang yang mendirikan Desa Tugurejo. Jadi, Mbah Tugu adalah moyang dari warga desa. Tidak heran jika punden tersebut dihormati dan dikeramatkan warga setempat. Karena dianggap keramat inilah, warga setempat menjaga punden itu dan melakukan aktivitas ritual seperti selamatan dan pagela ran wayang kulit. Sebagaimana tempat-tempat keramat di desa, punden Mbah Tugu juga menjadi tempat pemujaan bagi warga setempat dan sekitarnya. Sebuah punden akan semakin ramai oleh pemujaan orang-orang jika dianggap memiliki kekuatan untuk mengabulkan berbagai permintaan dan kehendak. Seorang warga yang sering melakukan pemujaan adalah Suntoro, seorang warga yang berprofesi sebagai anggota TNI. Dia merasa karirnya
menanjak dengan baik karena ritualnya itu. Rasa bersyukur atas itu semua diwujudkan dengan membangun tempat peristirahatan di kawasan punden pada tahun 1987. Kisah sukses ini menginspirasi seorang peng usaha ayam, Am Yong. Dia melakukan pemujaan di punden Mbah Tugu. Sebagaimana Suntoro, Am Yong juga merasakan kesuksesan atas bisnisnya yang dia yakini berkat Mbah Tugu. Kesuksesan Am Yong sampai mengilhaminya untuk membuka peternakan ayam di Desa Tugurejo. Merasa mendapat kesuksesan dari berkah punden Mbah Tugu, Am Yong memutuskan merenovasi punden tersebut menjadi bangunan mewah pada tahun 2002. Semula warga membiarkan hal itu karena dianggap positif. Namun lama kelamaan Am Yong mulai berani membentuk punden itu menyerupai Klenteng. Tidak hanya itu, pengusaha yang kaya mendadak itu juga mendirikan enam bangunan baru, di antaranya tiga patung naga, tempat pemujaan (kuil), dan goa buatan. Punden yang sudah berubah menjadi tempat ibadah agama tertentu itu merisaukan warga setempat. Tumpukan kerisauan itu menggumpal menjadikan emosi warga tak terbendung. Puluhan warga mendesak perangkat desa dan Polsek setempat untuk memfasilitasi pertemuan dengan Am Yong yang dilakukan pada Selasa, 27 Mei 2008. Dalam pertemuan itu, mereka mendesak untuk membongkar bangunan punden tersebut.■
Tabel: Data Efek Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Ahmadiyah Pasca SKB 3 Menteri No.
Waktu
Peristiwa
Lokasi
Pelaku
Korban
Keterangan
1
9 Juni 2008
Pelarangan aktifitas
Jakarta
Mendagri, Menag dan Jakgung
JAI
SKB Ahmadyah
2
10 Juni 2008
Ancaman kekerasan
Medan, Sumut
Ketua FPI Sumut Najid Hasan Sanusi
JAI Sumut
Ancaman diwujudkan jika atribut Ahmadiyah tak diturunkan
3
12 Juni 2008
Ancaman penyegelan masjid
Desa Kalisoro, Tawangmangu, Karanganyar Jateng
Elemen-elemen Islam setempat
Masjid milik Ahmadiyah
1 peleton Dalmas Polres Karanganyar mengamankan lokasi
4
13 Juni 2008
Penyegelan masjid
Jl Perintis Kemerdekaan, Kota Bogor, Jabar
Ribuan warga dari 14 organisasi Islam se-Bogor
Masjid Al Fadhl milik Ahmadiyah
Awalnya pihak penyegel melakukan unjuk rasa di depan masjid
5
18 Juni 2008
Penyegelan tempat ibadah
Desa Sukadana dan Panyairan, Kec. Campaka, Cianjur Jabar
100 massa menamakan diri ahlussunnah waljamaah
6 masjid milik Ahmadiyah
Warga Ahmadiyah memilih beribadah di rumah
14
The Wahid Institute
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XI, Juni 2008 ■
Tabel: Data Efek Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Ahmadiyah Pasca SKB 3 Menteri No.
Waktu
Peristiwa
Lokasi
Pelaku
Korban
Keterangan
6
18 Juni 2008
Tuntutan pembubaran lewat Keppres
Istana Negara Jakarta
FUI
Ahmadiyah
Buntut keluarnya SKB
7
19 Juni 2008
Pengucilan
Majalengka Jabar
Warga non Ahmadiyah
Warga Ahmadiyah
Dengan menempelkan stiker di kios-kios milik warga Ahmadiyah
8
19 Juni 2008
Prosesi Pertobatan (Pembacaan Ba’iat) 7 orang pengikut JAI Parakansalak Kab Sukabumi yang di prakarsai Pengurus MUI Parakansalak
Masjid Hubbut Taqwa PTP Parakansalak Kabupaten Sukabumi
Pengurus MUI Parakansalak dengan dihadiri Bupati, Muspida Sukabumi dan ratusan warga.
7 warga Ahmadiyah Sukabumi
Peristiwa ini merupakan rangkaian peristiwa yang dimulai dengan teror ancaman pengrusakan aset-aset JAI disana melalui sms. Teror tersebut terwujud, sebuah Masjid JAI di Parakansalak di bakar oleh ratusan massa. Kekerasan dan intimidasi untuk mengajak orang yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
8
20 Juni 2008
Demonstrasi
RW 02, Kel Babagan Tangerang Banten
Warga setempat
JAI yang akan shalat Jumat di Masjid An Nur
JAI batal melaksanakan shalat Jum’at
9
20 Juni 2008
Penyegelan
Jalan Anuang No. 112, Makassar Sulsel
Puluhan aktivis Front Pemuda Islam (FPI)
Masjid An Nusrat dan Sekretariat PW Ahmadiyah Sul-Sel
Penyegelan dilakukan ketika JAI setempat tengah melaksanakan shalat Jum’at
10
20 Juni 2008
Penyegelan tempat ibadah
Jl. Dr. Muwardi, Cipeuyeum dan Haurwangi, Cianjur, Jawa Barat
Ratusan massa dari Himpunan Santri Bersatu (Hisab) dan Gerakan Reformis Islam (Garis)
Masjid al-Ghofur milik Ahmadiyah
Warga Ahmadiyah memutuskan beribadah di rumah masing-masing
Analisis 1. SKB pelarangan kegiatan Ahmadiyah tentu tidak memuaskan semua kalangan. Kelompok yang anti Ahmadiyah merasa SKB ini banci karena hanya memberi peringatan dan tidak sampai pada pembekuan, apalagi membubarkan Ahmadiyah. Oleh karena itu, kelompok ini menyatakan akan terus menuntut pembubaran Ahmadiyah. Sedangkan kelompok yang peduli eksistensi Ahmadiyah cenderung menerima meskipun dengan berat hati. Kenapa? Karena SKB tersebut telah merampas hak warga negara untuk menjalankan agama dan keyakinan. SKB ini merupakan jalan aman yang maksimal bisa diambil pemerintah diantara tuntutan untuk membubarkan dan mempertahankan Ahmadiyah. Terlepas dari itu ada hal penting yang bisa dicatat. Pertama, SKB merupakan buah dari desakan massa yang menuntut pembubarkan Ahmadiyah. Bahkan, SKB dikeluarkan persis di hari ketika ribuan pengunjuk rasa anti Ahmadiyah berdemonstrasi di depan Istana. SKB ini tidak dapat dilepaskan dari kegagalan pemerintah, dalam hal ini kepolisian, untuk menangkap Munarman, panglima Komando Laskar Islam (KLI) sebagai tersangka Tragedi Monas. Sebelumnya Munarman menyatakan akan menyerahkan diri jika SKB Ahmadiyah dikeluarkan. Oleh karena itu, SKB juga bisa dimaknai sebagai jawaban pemerintah atas tuntutan Munarman. Lebih jauh, SKB juga bisa The Wahid Institute
15
dilihat sebagai barter. Keluarnya SKB dibarter dengan penyerahan diri Munarman. Dan benar, beberapa jam setelah SKB dikeluarkan Munarman langsung menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya (9/6/08). Kedua, cara pandang di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa negara telah kalah melawan Munarman. Isi SKB juga menjadi tidak terlalu penting untuk dilihat. Jika dalam konferensi pers mengutuk tragedi Monas Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mengatakan negara tidak boleh kalah, dalam konteks ini terbukti negara telah kalah. Pemerintah telah menjawab permintaan Munarman. Kalau saja pemerintah tidak tergopoh-gopoh mengeluarkan SKB, atau setidaknya mengeluarkan SKB setelah Munarman tertangkap, mungkin pemerintah masih punya wibawa dan tidak bisa dikatakan kalah. 2. Kecenderungan menjadikan ketrampilan beragama, seperti kemampuan membaca al-Quran sebagai persyaratan perolehan hak warga negara, ternyata tak semua disepakati pemerintah daerah. Jika legislator di Aceh menyepakati agar caleg bisa membaca al-Quran, di Bulukumba beberapa CPNS batal memperoleh SK karena tidak bisa membaca al-Quran, Bupati Sinjai justru menolak membuat perda baca tulis al-Quran dan perda zakat. Hal demikian merupakan dinamika yang baik agar arus islamisasi melalui regulasi tidak selalu berwajah tunggal. Kemampuan membaca al-Quran sebenarnya tidak ada kaitan dengan kompetensi sebagai pelayan masyarakat, dan juga tidak ada korelasinya dengan kejujuran seseorang. Namun, regulasi simbolik demikian diadopsi sejumlah daerah hanya untuk menunjukkan mereka “Islami”. Sikap sebaliknya juga terjadi di Watampone yang melarang anak SMK foto dengan memakai jilbab. Memaksa seseorang untuk melakukan ketentuan agama melalui instrumen negara sama buruknya dengan melarang seseorang menjalankan keyakinan agamanya secara bebas asal tidak melanggar etika sosial. 3. Fenomena munculnya seseorang yang mengaku dirinya sebagai nabi terjadi di mana-mana. Dalam MRoRI edisi ini terjadi di Lampung. Fenomena ini sebenarnya bisa dilihat sebagai gejala psikologis yang terkait dengan keyakinan munculnya “ratu adil” di tengah berbagai kesulitan hidup. Kriminalisasi terhadap keyakinan seperti ini kerap tidak menyelesaikan masalah. Vonis penjara terhadap Lia Eden misalnya, sama sekali tidak merubah keyakinannya setelah keluar dari penjara.
Rekomendasi 1. SKB pelarangan kegiatan Ahmadiyah secara eksplisit mengakui, perdebatan tentang Ahmadiyah adalah soal tafsir agama. Di sana ada kata ”menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya”. Sejauh menyangkut tafsir agama, sebenarnya pemerintah tidak punya urusan untuk melakukan pemihakan. Tafsir agama adalah bagian dari hak beragama dan berkeyakinan yang tidak bisa dikriminalisasi. Oleh karena itu, dengan SKB itu sebenarnya pemerintah sudah terjebak pada pemihakan soal tafsir agama. Seharusnya, pemerintah bisa lebih independen dalam menjalankan fungsi-fungsinya, tidak terpengaruh berbagai desakan massa. Setelah keluar SKB, kelompok anti Ahmadiyah kini minta agar dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) pelarangan Ahmadiyah. Sekali lagi, pemerintah, terutama presiden perlu lebih berhati-hati, karena Keppres pembubaran Ahmadiyah nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi. 2. Pemerintah daerah mestinya bisa lebih rasional dalam membuat regulasi. Pikiran waras seperti di Sinjai penting untuk ditularkan ke pemerintah daerah lain. Pemerintah daerah harus lebih didorong untuk menyelesaikan problem riil masyarakat dan menciptakan tata pemerintahan yang bersih dan kredibel. Hal demikian akan terwujud jika ada kekuatan civil society yang kuat. 3. Pemerintah dan masyarakat seharusnya tidak mudah menuduh seseorang sebagai pengikut aliran sesat. Berbagai gejala psikologis masyarakat seharusnya ditangani secara psikologis pula, jangan langsung diklaim sebagai tindakan kriminal, apalagi kemudian diserang. Karena itu, kearifan semua pihak dalam melihat gejala munculnya aliran-aliran keagamaan baru dalam masyarakat menjadi sangat penting. Kultur dialog tetap harus ditumbuhkan.
Akhdiansyah (NTB), Suhendy (Jawa Barat), Nur Kholik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Alamsyah M. Dja’far, Nurul Huda Maarif, Subhi Azhari, Rumadi (DKI Jakarta), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal (Makassar)