30
Edisi
The WAHID Institute
Monthly Report
Januari 2011
on Religious Issues
Pengantar Redaksi
“
Telah lama pecah kongsi antara p erkataan dan realitas,” demikian pernyataan Buya Syafi’i menyoal kebijakan SBY selama ini. Ungkapan lain dari istilah “bohong” ini terjadi bukan hanya dalam soal Munir dan Lapindo atau kasus lainnya saja, tetapi juga soal kebijakan SBY dalam jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di I ndonesia. SBY berjanji melindungi KBB dalam pidatonya menjelang perayaan HUT Kemerdekaan RI ke- 75 dan juga dalam pidato Natal 2010. Kenyataannya, kekerasan dan pemaksaan kelompok tertentu salah satunya dengan menggunakan dalil mayoritas terhadap kelompok lain tidak ditindak dengan tegas. M alah, terkadang aparat negara bersekutu membungkam KBB. Inilah sorotan utama MRoRI edisi Januari 2011. Sorotan lainnya adalah soal aparat yang tunduk terdap tekanan massa. Ketundukan ini tergambar jelas dengan pembubaran FGD Setara Institute di Bandung dan Surabaya. Tingkah laku aparat lainnya adalah sensor tayangan film gaya Orde Baru: mereka mendatangi stasiun televisi lalu meminta tayangan yang berbau kiri ini tidak ditayangkan karena meresahkan masyarakat. Sungguh keterlaluan. MRoRI kali ini juga menyajikan b erita kemajuan dari Semarang: angka intoleransi menurun dibandingkan tahun lalu. Meski harus diteliti lebih lanjut s ebab-musabab turunnya angka intoleransi ini, berita ini patut disyukuri. S emoga penurunan ini merembet kepada peningkatan toleransi di masyarakat.
Akhirnya, selamat membaca.
Aktivis dan Tokoh Lintas Agama: SBY Bohong Soal Kebebasan Beragama Nurun Nisa’
D
ari Pesantren Tebuireng, gerakan agamawan lintas agama melawan kebohongan pemerintah dimulai. Diundang oleh KH. Sholahuddin Wahid dalam rangka penyambutan gelar pahlawan penobatan Gus Dur menjadi pahlawan nasional, para agamawan berkumpul. Karena gelar yang dimaksud ditunda, maka pertemuan berubah menjadi silaturahmi informal. Para agamawan mendiskusikan keadaan negara dan bangsa, soal kemiskinan, dan persoalan lainnya dalam silaturahmi di Jombang, Jawa Timur.
“Kalau itu dianggap terlalu keras, kita katakan saja telah lama pecah kongsi antara perkataan dan realitas,” jelas Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah dalam Metro Hari Ini (12/01) Pertemuan ini kemudian dilanjutkan di kantor Konferensi Wakil Gereja Indonesia (KWI). Yang datang bukan saja agamawan, tetapi para ahli diundang; mereka pakar di bidangnya sekaligus memiliki data. Dari pertemuan kedua ini, muncul diskusi antara lain soal pa-
ham neoliberalisme dan tema lain yang sangat mendasar: tentang kesesuaian arah pembangunan ekonomi dengan amanat UUD 1945 soal ekonomi berasas kekeluargaan. Dalam pertemuan ini juga muncul usulan dari seorang aktivis agar para agamawan turun ke jalan dimulai dari Bundaran HI, Monas, dan semacamnya. Di akhir pertemuan timbul kesimpulan yang diperkuat dengan berbagai data, antara lain, bahwa tingkat pertumbuhan yang selalu dibanggakan SBY belum berarti banyak terhadap terjadinya pemerataan. Pertemuan lanjutan adalah di PP Muhammadiyah. Demikian cerita Pdt Andreas Yewangoe seperti ditulis detik.com (20/01). Penjelasan yang hampir senada dikemukakan oleh Buya Syafii Maarif seperti dikemukakan di Metro Hari Ini (18/01). Buya Syafii menjelaskan kronologi pertemuan itu sekaligus menolak anggapan sebagian kalangan yang menyatakan bahwa gerakan agamawan ditunggangi oleh kelompok lain, termasuk kelompok aktivis LSM. “Tokoh-tokoh agama itu sudah rapat agak lama. Pertama pertemuan itu di Tebuireng. Tuan rumahnya Sholahuddin Wahid dan kedua di KWI, tuan rumahnya Msgr Sitomorang. Yang ketiga empatnya di PP Muhammadiyah tapi yang mengadakan Maarif Institute. Tuan rumahnya Fajar Riza ul Haq,” jelasnya. Pertemuan di PP Muhammadiyah ini melibatkan para aktivis muda— yang kemudian berhimpun dalam bentuk Badan Pekerja—sehingga lahir pernyataan sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru rezim SBY yang dibacakan
Penerbit: The Wahid Institute | Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Redaktur Pelaksana: Alamsyah M. Dja’far | Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Alamsyah M. Dja’far | Staf Redaksi: M. Subhi Azhari, Nurun Nisa’, Badrus Samsul Fata | Desain & Lay out: Ulum Zulvaton | Kontributor: Noor Rahman (DKI Jakarta), Suhendy, Dindin Ghazali (Jawa Barat), Nur Khalik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Tedi Kholiludin (Jawa Tengah), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal Ad’han (Makassar), Akhdiansyah, Yusuf Tantowi (NTB) | Alamat Redaksi: The Wahid Institute , Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 | Telp +62 21 3928 233, 3145 671 I Faks. +62 21 3928 250 Email:
[email protected] Website: www.wahidinstitute.org. Penerbitan ini hasil kerjasama the Wahid Institute dan TIFA Foundation.
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari 2011 di kantor PP Muhammadiyah, Senin (10/01). Kebohongan lama pemerintah menunjuk pada angka kemiskinan yang semakin meningkat, kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi, ketahanan pangan dan energi yang gagal total, anggaran pendidikan yang terus menurun, pemberantasan teroris yang belu maksimal, penegakan HAM yang tidak ada tindak lanjut hukumnya. Kebohongan ini juga menyangkut penyelesaian kasus lumpur Lapindo, kasus pencemaran lingkungan oleh PT Newmont, dan kasus renegosiasi kontrak dengan PT Freeport. Adapun sembilan kebohongan baru pemerintah yang pertama adalah soal kebebasan beragama dan persatuan bangsa. M Riza Damanik, koordinator KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), menyatakan pemerintah berbohong dalam aspek ini karena pernyataan dan perbuatan sang presiden tidak sejalan. Dalam pidato kenegaraan menyambut perayaan kemerdekaan (16/0810), SBY menyatakan perlunya menjaga dan memperkuat persaudaraan, kerukunan, dan toleransi sebagai sebuah bangsa. SBY juga menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari yang tidak mencerminkan ketiganya dalam masyarakat yang beragam dalam masyarakat yang beragam dalam soal identitas, baik dalam agama, etnis, suku maupun kedaerahan. Menurut SBY, keadaan ini tidak boleh dibiarkan. “Kita ingin setiap warga negara dapat menjalani kehidupannya secara tenteram dan damai, sesuai dengan hak yang dimilikinya. Inilah sesungguhnya falsafah “hidup rukun dan damai dalam kemajemukan”. Inilah sesungguhnya makna utuh dari Bhinneka Tunggal Ika yang kita anut dan jalankan,” jelas SBY seperti dirilis presidenri.go.id (16/08/10). Pidato komitmen ini juga diulangi dalam perayaan Natal. “Pemerintah terus berkomitmen menjaga kemajemukan dan sendi-sendi kebebasan beragama. Pemerintah juga terus menjaga agar tidak ada pihak lain yang menyakiti saudaranya karena berbeda agama, paham politik, dan identitas sosial lainnya,” ungkap Presiden SBY dalam sambutan perayaan Natal tingkat nasional di Jakarta, seperti ditulis suarapembaruan.com (27/12). Dalam kesempatan yang sama, SBY menambahkan, pemerintah terus mendorong terpeliharanya kehidupan antarumat beragama yang harmonis di Indonesia, bahkan di dunia internasional, agar terjadi dialog dan tatap muka dalam ber-
bagai aktivitas. Menurut Riza, janji ini tidak terpenuhi karena kenyataannya sepanjang tahun 2010 terjadi 22 penyerangan fisik atas nama agama. “Mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri mengatakan, 2009 terjadi 40 kasus kekerasan ormas, 2010 menjadi 49 kasus,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) seperti ditulis Kompas.com (10/01). Dalam laporan kebebasan beragama dan beryakinan yang dikeluarkan the WAHID Institute juga tercatat penyerangan fisik dan properti, dengan jumlah sebanyak 33 kasus. Delapan kebohongan baru lainnya menyangkut jaminan kebebasan pers, perlindungan buruh migran, transparansi pemerntahan, pemberantasan korupsi, politik yang bersih dan santun, mafia hukum, dan kedaulatan RI. Mendengar Istana kebakaran jenggot. Menko Polhukam Djoko Suyato menyatakan bahwa kebohongan menyangkut integritas seseorang, kredibilitas seseorang, kehormatan seseorang. Adapun pemerintah melakukan tugasnya dan melaporkannya dalam Rapat Kerja Awal Tahun. Djoko mengakui bahwa memang belum semuanya berhasil tetapi terlalu jauh jika dianggap berbohong. “Tapi kalau Pemerintah berbohong saya kira terlalu jauh,” kata Djoko seperti ditulis VIVAnews (17/01). Para agamawan dan Badan Pekerja kemudian diundang ke istana pada Senin (17/01), kecuali KH. Sholahuddin Wahid, yang berada di Jombang, yang hanya diundang via layanan pesan pendek (sms). Buya Syafi’i Ma’arif dan KH. Sholahuddin Wahid pada akhirnya tidak hadir. Tokoh pertama terkenal kritis terhadap pemerintah, bahkan pernah mengumpamakan bangsa ini sebagai piatu, dan tokoh kedua merupakan tuan rumah pertama gerakan agamawan lintas agama dimulai. Setelah berdiskusi, para agamawan memutuskan datang bersama para aktivis muda. Sungguh terkejutnya mereka karena yang diundang mencapai seratusan rombongan agamawan Cuma berjumlah puluhan.” Terus terang kami agak kaget, dengan begitu banyak menteri, banyak hadir, dan begitu luas,” terang Pdt Andreas Yewangoe, Ketua PGI, yang turut hadir di istana seperti dikutip detik.com (20/01). Demikianlah, pertemuan itu berlangsung sampai jam satu malam. Isinya dianggap tidak memuaskan dan cenderung basa-basi. “Waktunya sedikit sehingga tidak bisa
mendalam ke dalam masalah yang substansial. Itu sepeti basa-basi saja dengan presiden,” tambah Yewangoe. Selain tidak substansial, percakapan dalam forum yang ramai ini juga diselipi kejutan. Dalam pertemuan ini, Pdt Yewangoe sempat mengkonfirmasi SBY tentang meningkatnya kasus-kasus kekerasan dan intoleransi di tengah masyarakat yang dilakukan oleh sebagian warga masyarakat dan juga oleh pemerintah. SBY menyela uraian Pdt Yewangoe dengan meminta bukti nyata. Pdt Yewangoe menuturkan bahwa pada saat SBY menyampaikan pidato Natal akhir tahun lalu yang menyinggung komitmennya terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, ironisnya pada saat yang sama terjadi penyegelan terhadap GKI Taman Yasmin, Bogor yang sudah memiliki IMB yang sah sesuai keputusan pengadilan tinggi setempat dan diperkuat oleh keputusan Mahkamah Agung. SBY yang terkesan tidak mengetahui masalah GKI Taman Yasmin bertanya pada Kapolri Komjen Pol Timur Pradopo tentang situasi GKI Taman Yasmin. Jawaban Kapolri ini lebih mengejutkan lagi: “Siap, Pak, saya baru menjabat jadi saya belum tahu!” Sebelum pertemuan di istana berlangsung, sudah muncul prokontra soal istilah kebohongan. Yang paling keberatan tentu saja pihak istana. Buya Syafi’i dalam kesempatan dialog di sebuah televisi nasional menyatakan tak perlu meributkan definisi kebohongan. Jikalau definisi kebohongan dinilai terlalu kasar, maka dapat digantikan dengan istilah lain yang halus. “Kalau itu dianggap terlalu keras, kita katakan saja telah lama pecah kongsi antara perkataan dan realitas,” jelas mantan Ketua PP Muhammadiyah dalam tayangan Metro Hari Ini (12/01). Buya Syafii berharap dengan kata yang lebih halus ini Menkolpolhukam (Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan) tidak perlu terlalu marah. Yang jelas, gerakan kaum agamawan ini merupakan pukulan telak bagi istana. “Kalau LSM atau pengamat politik yang kritik mungkin SBY tidak akan terganggu. Tapi kalau yang kritik para tokoh agama tentu pemerintah merasa dipukul secara telak,” jelas Burhanuddin Muhtadi menanggapi gerakan kaum agamawan seperti ditulis detik.com (20/01). Pengamat politik dari LSI ini menganggap 18 kebohongan yang dilansir para kaum agamawan dan aktivis muda sebagai “tonjokan yang sangat keras”.
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari 2011 Pendapat senada dikemukakan oleh Fadjroel Rahman. Aktivis 1998 ini menyatakan bahwa sikap agamawan lintas agama ini mengejutkan. Kaum agamawan, merunut pada dunia pewayangan, termasuk kategori kelas brahmana yang merupakan penguasa ilmu agama yang tugasnya memberikan penerangan pengetahuan. Jika mereka tidak percaya pada pemerintah, artinya [legitimasi] pemerintah sudah habis. “Dengan sekarang legitimasi moral pemerintah SBY dicabut oleh kalangan agamawan, artinya dia hanya mengandalkan diri dari kekuataan politik saja tanpa legitimasi moral. Ini ditiup angin bisa jatuh,” jelasnya. Kritik dari kalangan agamawan ini dinilai Fadjroel sebagai “hukuman moral terhadap
kekuatan politik”. Gerakan agamawan lintas agama ini terus berlanjut. Mereka membentuk Rumah Pengaduan Kebohongan Publik (RPKP) yang dipusatkan di Maarif Institute di bilangan Tebet Dalam, Jakarta Selatan. Rumah ini menampung aspirasi masyarakat yang merasa dibohongi pemerintah atau pejabat publik. Jumlahnya sudah mencapai 18 rumah, termasuk RPKP di the WAHID Institute. Data ini selanjutnya disetorkan ke Maarif Institute untuk keperluan analisa; apakah merupakan kebohongan atau tidak. Tentunya, gerakan ini diharapkan membawa manfaat bagi masyarakat. “Gerakan ini sangat ditentukan oleh sejauh mana respons dari pemerintah. Mudah-mudahan
pemerintah bisa menjawab secara substansial pengaduan-pengaduan dari masyarakat yang merasa dibohongi oleh pemerintah,” terang Chalid Muhammad, Koordinator Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Kebohongan. Jumlah laporan kebohongan yag diterima oleh RPKP mencapai kisaran lima puluh laporan. “Sejak dibuka pada 19 Januari lalu, Rumah Pengaduan Kebohongan Publik sudah menerima 50 pengaduan dari masyarakat mulai tentang keresahan mereka terhadap aksi pembalakan liar di daerahnya,” kata Juru Bicara Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Kebohongan Fajar Riza Ul Haq seperti ditulis Suara Karya Online (25/01). M
FPI dan HMI Bandung Desak Bubarkan FGD Setara Institute – Incres Bandung Alamsyah M. Dja’far dan Nurun Nisa’
Setara Institute menyesalkan sikap aparat Pemerintahan Daerah Jawa Barat yang menghindar dan tidak menghadiri FGD. Padahal dialog untuk mencari jalan keluar (solusi konstruktif) secara bersama, seharusnya mendapat dukungan sepenuhnya oleh aparat pemerintah dan organisasi keagamaan,” tandas pers rilis Setara Institute (06/01) The WAHID Institute
K
arena alasan sering membuat laporan-laporan yang mendiskreditkan umat Islam, Front Pembela Islam (FPI) Bandung meluruk hotel The Amaroossa tempat kegiatan Setara Institute berlangsung, Kamis (06/1). Siang itu, lembaga yang dipimpin advokat senior Hendardi ini tengah menggelar FGD “Menghapus Diskriminasi, Membangun Perlindungan Holistik Jaminan Beragama/Berkeyakinan di Jawa barat”. Selain mengundang para korban diksriminasi dan kekerasan atas nama agama, FGD ini juga perwakilan organisasi keagamaan dan sejumlah LSM pegiat HAM. FGD sendiri berlangsung sekitar satu setengah jam lebih cepat dari yang dijadualkan panitia selama empat jam. Dijaga puluhan aparat, FGD digelar tanpa kehadiran perwakilan empat lembaga pemerintah dan institusi keagamaan yang diundang. Keempatnya, Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol), Kantor Wilayah Departemen Agama (Kanwil Depag), Kejaksaan Tinggi (Kejati), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Barat. Dari rilis yang dikirim Setara Institute dijelaskan, semula aparat kepolisian dari Polda Jawa Barat justru meminta acara tersebut dibatalkan karena alasan
keamanan. Namun setelah Hendardi menegaskan berkali-kali mengenai jaminan kebebasan berbicara dan kebebasan berkumpul oleh undangundang kepada Kapolda Jawa Barat Irjenpol Suparni Parto yang saat itu menghubungi dirinya, akhirnya kegiatan tersebut diizinkan. Selama FGD berlangsung tidak tampak polisi berseragam. Tapi, seperti disebut dalam rilis terdapat tiga anggota polisi berpakaian preman yang berjaga di depan pintu ruang tempat acara berlangsung. Sedang di lobi hotel berjaga-jaga tujuh orang polisi. Pihak hotel sendiri sempat meminta panitia memberi fotokopi daftar hadir peserta FGD. Tapi panitia tidak memberikannya karena alasan pihak hotel tidak menjelaskan secara rinci untuk keperluan apa daftar hadir itu diminta. Tak lama acara usai, menurut keterangan salah seorang peserta Dindin Ghazali, sekitar sepuluh orang berusaha merangsek ke ruang pertemuan. Tapi tertahan di lobi hotel yang dijaga aparat. Mengaku perwakilan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Bandung, mereka berteriak-teriak agar diskusi dibubarkan. Aktivis Institute for Culture and Religion Studies (Incres) Bandung
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari 2011
itu juga sempat menemui mereka untuk meyakinkan apakah betul-betul mereka berasal dari HMI. “Saya cek dengan menyebutkan nama salah satu pengurus HMI dan mereka tahu,” kata Dindin. Mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini sempat marah. “Kalian itu kok aneh ikut-ikutan kayak FPI,” katanya dengan nada tinggi. Dindin memang merasa aneh. Sebab sebelumnya HMI beberapa kali bergabung dalam aliansi 30-an organisasi di bandung termasuk Incres untuk merespon isu-isu kekerasan atas nama agama di Jawa Barat. Desakan pembubaran FGD itu sendiri sudah diketahui sejak pagi, sekitar pukul 10.30 WIB. Seorang staf Setara Institute yang tengah menuju tempat acara dihubungi via telepon dari pihak Hotel Amaroossa. Si penelpon lalu memberi nomor telepon Asep Icung dari Kepolisian Polrestabes Bandung. Petugas hotel sempat menjelaskan singkat bahwa pertemuan tersebut akan dibubar paksa
FPI Bandung. Nomor anggota polisi itupun dihubungi dan intinya sama dengan penjelasan petugas hotel. FPI Bandung akan membubarkan acara tersebut. Terhadap tindakan aparat ini, Setara Institute mengeluarkan pernyataan sikap. Pertama, mengecam keras tindakan yang dilakukan segelintir orang yang mengaku FPI Bandung yang mencoba menghentikan kegiatan FGD yang dilakukan oleh Setara Institute. Tindakan ini jelas mengancam kebebasan masyarakat sipil yang telah dijamin konstitusi dan undang-undang. Kebebasan berbicara dan berkumpul adalah hak setiap warga negara. Kedua, mengkritik pihak Kepolisian wilayah Jawa Barat yang “tunduk” dan “takut” pada kelompok garis keras dan berkedok keagamaan. Pihak Kepolisian seharusnya berada didepan sebagai guardian of civil liberties (penjaga kebebasan sipil) dan melindungi setiap warga negara tanpa kecuali. Membiarkan kelompok tersebut berulangkali
menganggu kebebasan sipil bukan hanya akan menimbulkan gangguan keamanan tapi juga potensi instabilitas sosial. Ketiga, mengapresiasi respon Kapolda Jawa Barat Irjenpol Suparni Parto yang mengambil tindakan untuk menjamin kegiatan itu tetap berlangsung. Namun tidak cukup hanya itu, Setara Insitute mendesak aparat Kepolisian Jawa Barat di kemudian hari mampu bersikap tegas dan profesional untuk menjaga kebebasan beragama/ berkeyakinan terjamin di Jawa Barat. Selain itu, Setara Institute menyesalkan aparat yang absen hadir. “Setara Institute menyesalkan sikap aparat Pemerintahan Daerah Jawa Barat yang menghindar dan tidak menghadiri FGD. Padahal dialog untuk mencari jalan keluar (solusi konstruktif ) secara bersama, seharusnya mendapat dukungan sepenuhnya oleh aparat pemerintah dan organisasi keagamaan,” tandas pers rilis Setara Institute (06/01). M
Disegel Aparat, Misa Natal Berlangsung di Trotoar Nurun Nisa’
N
atal kali ini terasa berbeda bagi jemaat GKI Taman Yasmin. Pasalnya, mereka melakukan misa Natal di trotoar di depan bangunan GKI Taman Yasmin. Tak hanya itu, misa kali ini diliputi penjagaan polisi dan demo dari kelompok tertentu yang menolak dibukanya GKI karena persoalan IMB. “Kami ingin beribadat di dalam gereja kami tidak boleh, jadi kami terpaksa harus beribadah di jalan,” ujar Bona Sigalingging anggota Tim Mediasi dan Perkembangan Jaringan GKI Taman Yasmin seperti ditulis ANTARANews (26/12). Menurut Bona, kegiatan yang dilakukan adalah benar—karena dilarang beribadah di gereja, maka ibadah dilakukan trotoar. Benar karena IMB yang pernah dicabut Pemkot Bogor sudah diberlakukan kembali setelah gugatan ke PTUN tahun 2008 lalu dimenangkan jemaat GKI Taman Yasmin. Putusan PTUN yang dimaksud, putusan PTUN Nomor 41/G/2008/PTUN-BDG berisikan tiga poin penting; mengabulkan para penggugat (jemaat GKI Yasmin) untuk seluruhnya, menyatakan pembatalan surat Kepala Dinas Tata Kota perihal pem-
“Pembekuan izin dari Pemerintah Kota Bogor gugur dengan putusan PTUN. GKI sudah mengantungi IMB. Pembangunan sah secara undangundang, jadi biarkan kami beribadat,” terang Bona Sigalingging, anggota Tim Mediasi dan Perkembangan Jaringan GKI Taman Yasmin (26/12)
bekuan izin IMB, memerintahkan kepada tergugat (Pemkot Bogor) untuk mencabut surat pembekuan izin 503/208-DKT. “Pembekuan izin dari Pemerintah Kota Bogor gugur dengan putusan PTUN. GKI sudah mengantungi IMB. Pembangunan sah secara undang-undang, jadi biarkan kami beribadat,” terangnya. Sementara itu, Ayu Agustin, dari perwakilan warga menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan jemaat telah melanggar Perda ketertiban umum. Karena, melakukan ibadat di trotoar merupakan wilayah lalu lintas umum. “Kegiatan mereka telah memicu emosi warga yang menolak pembangunan gereja ini. Mereka menggelar ibadat di atas trotoar tanpa izin dari pemerintah,” katanya. Keberatan ini diwujudkan dengan demo menuntut penghentian ibadah di sela-sela ibadah. Aksi massa mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian Polres Bogor, Brimob Satuan II Pelopor dan Dandim Kota Bogor. Tidak ada aksi anarkis selama aktivitas ibadah berlangsung damai meskipun terdengar teriakan tuntutan demo dari warga yang kontra. Tenda dan kursi segera dibereskan aparat begitu
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari 2011 acara pelaksanaan misa Natal dan refleksi keprihatinan natal GKI Yasmin selesai digelar. Terhadap aksi pengamanan ini, Bona menyatakan bahwa sebelumnya aparat menghubungi pihak Gereja. “Peristiwa tanggal 25 (Desember) dimulai sejak sore ketika gereja dihubungi pihak polisi untuk membatalkan ibadah. Sampai dengan saat ini, gereja masih disegel. Kami berencana untuk beribadah di trotoar. Tetapi polisi datang bukan untuk melindungi jemaat, melainkan minta menghentikan,” paparnya seperti dikutip Kompas.com dalam konferensi pers di kantor the WAHID Institute (27/12/10). Bona menyesalkan sikap kepolisian yang tidak berusaha menjauhkan jemaat dari ormas yang melakukan tindakan intimidasi untuk melarang ibadah di GKI Taman Yasmin. “Tidak ada upaya polisi untuk melindungi,” ujar Bona. Aktivis Human Rights Working Group, Chairul Anam, dalam kesempatan yang sama, menyerukan agar pemerintah pusat turun tangan dan menindak tegas upaya-upaya yang menghambat kebebasan umat dalam beribadah. “Kegiatan beribadah dilindungi oleh konstitusi. Kalau ada tindakan seperti itu, maka merupakan pembangkangan konstitusi,” kata Anam. Seminggu sebelumnya, segel GKI Taman Yasmin sebenarnya dibuka paksa oleh jemaat. Meski, Pemkot mengajukan peninjauan balik ke Mahkamah Agung, PTUN seyogyanya tetap bisa dijalankan. Dasarnya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 66 ayat (2) jelas-jelas menyatakan bahwa PK tidak menunda pelaksanaan putusan sehingga segel seharusnya bisa dibuka semenjak PTUN mengeluarkan putusan. Bondan Gunawan, Menteri Sekretaris era Gus Dur, “memimpin”
pembukaan penyegelan itu. Bondan Gunawan juga menelpon Sekda Kota Bogor agar gereja dibuka sampai tanggal 25 Desember 2010. Melalui siaran pers yang dirilis 21 Desember 2010, FUI menolak pembukaan segel GKI Taman Yasmin dan penangkapan terhadap Bondan Gunawan. “Kepada aparat kepolisian dan pihak yang berwajib, kami meminta dengan segala hormat agar oknum yang bernama Bondan Gunawan dan kawan-kawannya yang telah melakukan tindakan kriminal (Pasal 232 KUHP Pasal 1 ayat 1) dengan membuka paksa segel pelarangan operasi/pelaksanaan kegiatan-kegiatan peribadatan GKI di tempat tersebut segera ditangkap, dan diadili sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku,” demikian bunyi sikap FUI Bogor dalam siaran pers yang ditandangani ketua FUI Bogor, Iyas Khaerunnas Malik. Tak hanya itu, mereka juga meminta aparat Pemerintah Kota Bogor, dan aparat keamanan, baik dari unsur Satpol PP maupun dari unsur Kepolisian Republik Indonesia agar tidak ragu-ragu menindak segala bentuk perbuatan kriminal dan melanggar hukum dari pihak GKI maupun para pendukungnya. Mereka juga mendatangi kantor Walikota Bogor. Forkami, yang turut hadir, mempertanyakan pembukaan segel. Sekda Kota Bogor, Bambang Gunawan, yang menemui rombongan mengaku tidak pernah mengeluarkan perintah pembukaan segel. “Karena mereka yang mencabut segel itu bukan atas nama Pemkot, ya kita pasang lagi!” tegasnya seperti ditulis voa-islam.com (21/12/10). Rombongan ini kemudian menuju ke kantor Satpol PP. Ketua Satpol PP Bogor, Yayan Rusmana, juga mengaku tidak tahu. Yayan berjanji memasang segel kembali dengan syarat mengantongi intruksi dari
Pemkot Bogor. Rombongan kembali ke kantor Sekda memdesak dikeluarkannya instruksi untuk mengeksekusi GKI Taman Yasmin. Gereja akhirnya kembali disegel Satpol PP Kota Bogor berdasarkan Perda No. 7 Th. 2006. Penyegelan itu dilakukan oleh Satpol PP Kota Bogor dengan didampingi unsur Polresta Bogor dan Koramil Bogor Barat. Penyegelan juga disaksikan puluhan warga Taman Yasmin yang tergabung dalam Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami) Bogor dan sejumlah perwakilan jemaat GKI Yasmin Bogor. Sebelum penyegelan, terjadi tarik ulur dan Satpol PP memenangkan pihak FUI Bogor. Di bawah segel yang ditandatangani Yayan Rusmana sendiri tertera ancaman KUHP pasal 232 ayat 1 bagi siapapun yang membuka atau merusak segel: “Barangsiapa dengan sengaja memutus, membuang atau merusak penyegelan suatu benda oleh atau atas nama penguasa umum yang berwenang, atau dengan cara lain menggagalkan penutupan dengan segel, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan”. Sebelumnya Walikota Bogor Diani Budiarto mengatakan, penyegelan GKI Yasmin itu justru untuk melindungi gereja. “Persoalan ini janganlah diputar balik. Isu yang dikembangkan, kami mempersulit umat beribadah. Kami hanya menunggu surat dari MA atas peninjauan kembali (PK) kami untuk perkara itu,” katanya seperti ditulis Poskota.co.id (25/12/10). Anehnya, Pemkot Bogor akan melakukan aksi lanjutan setelah keluar putusan PK. Padahal, aturan yang berlaku justru sebaliknya: putusan kasasi tetap berlaku sampai turun putusan PK. M
Polisi dan FPI Bubarkan FGD Setara – CMARs Surabaya Alamsyah M. Dja’far dan Nurun Nisa’
F
GD Setara – CMARs Surabaya di Hotel Simpang Inn Surabaya dipaksa batal oleh polisi dan FPI. Pembubaran FGD bertajuk “Menghapus Diskriminasi, Membangun Perlindungan Holistik Jaminan Beragama/Berkeyakinan di Jawa Timur” ini bermula dari kedatangan dua orang aparat polisi pada saat para
The WAHID Institute
peserta sedang menikmati makan siang. Pendeta Simon, salah seorang peserta, sempat dimintai keterangan pihak Polda Jawa Timur mengenai acara siang itu. Pendeta Simon menyatakan pihak Polda memintanya agar acara yang mengundang Ahmadiyah dan kelompok LGBT itu dibatalkan.
Pernyataan aparat ini sama persis dengan alasan yang diajukan beberapa orang dari FPI kepada panitia. Pihak FPI mengancam, dengan pasukannya mereka akan menyerang jika kegiatan terus dilanjutkan. Pihak FPI ini sendiri mengaku mendapatkan informasi dari Badan Bakesbangpol Jatim.
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari 2011 Makin lama peserta yang datang makin banyak. Sekali lagi pihak kepolisian menekan panitia agar membatalkan acara. Alasannya, acara itu tak berizin dan menjaga keamanan lantaran Presiden sedang berada di Surabaya untuk membuka Kongres Gerakan Pemuda Anshor. Negosiasi dengan polisi buntu. Kepolisian ngotot dengan pendiriannya. Mereka juga menekan pihak hotel agar tak memperbolehkan panitia meneruskan acara. Tekanan polisi berhasil dan pihak hotel meminta panitia untuk membatalkan acara. Panitia kemudian menghubungi beberapa pihak terkait, termasuk Polda, supaya acara ini dapat diteruskan meskipun di bawah ancaman polisi dan FPI.
“Mestinya polisi melindungi, eh, malah kerja sama polisi supaya bubar gitu. Sebetulnya nanti acara terus berlangsung setelah maghrib ini. Kita mengadakan diskusi biasa saja kok enggak ada apa-apanya. Kemudian mereka ancam dan kata polisi ada 100 anggota FPI bakal nyerbu di Masjid Agung. Enggak mungkin ada FPI banyak di Surabaya dari mana itu?,” terang KH. Imam Ghozali Said, Ketua FKUB Jawa Timur yang juga pengasuh Pesantren an-Nur (13/01) Meskipun lobi ini gagal, FGD ilanjutkan dengan format dialog d santai dengan suasana yang sangat tidak kondusif. “Namun baru sekitar 15 menit, beberapa aparat kepolisian, pihak hotel, FPI, dan beberapa orang yang mengatasnamakan warga Surabaya salah satunya salah seorangnya saya kenal, namanya Arukat Jaswadi, orang
yang dikenal melakukan aksi sweeping di Surabaya, menggeruduk tempat berlangsungnya acara,” jelas keterangan Ahmad Zainul Hamdi seperti keterangan yang diterima MRoRI the WAHID Institute (13/01). Terjadi negosiasi alot. KH. Imam Ghazali Said bahkan sempat dibentak salah seorang intel polisi yang mendesak acara dibubarkan. Pihak kepolisian membuat tekanan dan ancaman dengan dalih seratusan orang FPI sudah berkumpul di Masjid Akbar Surabaya dan bersiap datang ke lokasi. Pihak hotel meminta panitia membatalkan acara. Lampu restoran dimatikan. Kursi ditata ulang petugas hotel. Maka, sekitar pukul tiga sore, panitia membubarkan diri. Tapi panitia berkeinginan melanjutkan FGD di malam hari, mencari tempat yang aman, dan dengan peserta yang tersisa. Sejak konferensi pers itu bubar, para wartawan masih berada di tempat sehingga langsung bisa meliput apa yang terjadi. Ketua Tanfidziyah FPI Surabaya, Muhammad Mahdi al-Habsyi, mengatakan FPI bergerak karena memperoleh kabar bahwa pertemuan lintas agama itu ditunggangi Jemaat Ahmadiyah dan kelompok gay serta lesbian. “Mereka musuh kami,” kata Mahdi seperti ditulis Koran Tempo (14/01). Sementara itu, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Surabaya, KH. Imam Ghazali Said menduga anggota kepolisian berada di balik aksi penentangan yang dilakukan FPI terhadap penyelenggaraan acara ini. Alasannya, polisi tidak meredam aksi emosi FPI tapi malah membiarkan dan menanyakan izin acara. “Mestinya polisi melindungi, eh, malah kerja sama polisi supaya bubar gitu. Sebetulnya nanti acara terus berlangsung setelah maghrib ini. Kita mengadakan diskusi biasa saja kok enggak ada apa-apanya. Kemudian mereka ancam dan kata polisi ada 100 anggota FPI bakal nyerbu di Masjid Agung. Enggak mungkin ada FPI banyak di Surabaya dari mana itu?,” terang pengasuh pesantren An-Nur yang juga menjadi peserta FGD ini seperti ditulis KBR68H (13/01). Bonar Tigor Nasipospos dari Setara Institute menyatakan bahwa izin tidak diperlukan untuk kegiatan FGD. Sebab, kegiatan yang mendapat izin adalah unjuk rasa dan bukan sebuah pertemuan yang dilakukan di tempat tertutup dan membawa manfaat. Bonar juga menyanggah alasan kedatangan SBY sebagai legitimasi untuk membubarkan
FGD. “Tidak ada relevansi antara kedatangan SBY dengan pertemuan ini” tegasnya seperti dikutip detiksurabaya.com (13/01). FGD akhirnya tetap dilanjutkan di tempat lain pada malam harinya. Atas kejadian ini, C-MARs dan Setara Institute mengeluarkan pernyataan sikap. Pertama, Polisi berdalih bahwa pembubaran acara FGD karena alasan kedatangan presiden ke Surabaya. Ini berarti bahwa kedatangan Presiden SBY telah menjadi preseden buruk bagi perlindungan dan pemenuhan hak kebebasan beragama/berkeyakinan dan hak berserikat dan manyampaikan pendapat. Kedua, polisi dengan sengaja memakai nama Presiden SBY untuk melakukan tindakan pelanggaran hak kebebasan beragama/berkeyakinan, hak berserikat dan menyampaikan pendapat. Ketiga, polisi tidak melakukan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat, sebaliknya polisi malah patuh dan tunduk terhadap tekanan FPI ketika mengancam akan melakukan penyerangan terhadap peserta diskusi. Keempat, polisi dan FPI bahu membahu membubarkan secara paksa kegiatan FGD dengan dalih diskusi tidak ada izin. Ini merupakan alasan yang dibesar-besarkan karena tidak ada satupun rujukan hukum yang membatasi hak berkumpul dan menyampaikan pendapat. Kelima, polisi juga berdalih bahwa diskusi bisa mengganggu kondusifitas Surabaya karena membahas isu-isu yang sensitif semisal Ahmadiyah dan Gay-Lesbian. Ini juga alasan yang tidak masuk akal, karena di alam keterbukaan informasi ini isu-isu krusial tersebut justru harus dibicarakan secara terbukan agar tidak menjadi bom waktu. Karenanya, kedua lembaga yang bergerak dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan ini mendesakkan dua hal kepada SBY. Pertama, Presiden SBY harus mengklarifikasi bahwa tindakan polisi yang sewenang-wenang bukan merupakan instruksi yang bersumber dari dirinya. Kedua, Presiden SBY juga harus bertindak tegas terhadap aparataparat polisi yang secara sengaja ‘mencatut’ namanya ketika melakukan pembubaran paksa acara diskusi. Ketiga, Bila kedua hal tersebut tidak dilakukan Presiden SBY, maka masyarakat bisa menilai sendiri komitmen SBY terhadap penegakan hukum dan HAM di negeri ini. Keempat, sebagai penyelenggara negara, Presiden SBY harus menunjukan komitmennya dalam menjamin
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari 2011 dan memenuhi hak dasar, terutama hak kebebasan beragama/berkeyakinan, serta hak berserikat dan menyampaikan pendapat. Poin terakhir adalah ketegasan SBY
terhadap polisi. “Presiden juga harus memberi instruksi yang tegas terhadap institusi Polisi yang terus menerus kalah, tunduk, dan patuh terhadap tekanan dan persekusi kelompok kekerasan semisal
FPI,” demikian pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Setara Institute Jakarta, CMARs Surabaya, Jamak Jatim, JIAD Jatim, Pusham Unair, LBH Surabaya, dan Kontras Surabaya (13/01). M .
Aktivis Pluralisme Desak Pemerintah Respons Komisioner Tinggi HAM PBB Nurun Nisa’
N
avi Pillay, Komisioner Tinggi HAM PBB, mengeluarkan pernyataan resminya tentang kutukan atas kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan di seluruh dunia. Dalam pernyataanya tersebut, Pillay mendesak seluruh negara memperlihatkan kemauannya dalam memerangi kekerasan dan menghapuskan aturan hukum serta praktik-
“Penyerangan terhadap gereja, masjid, sinagog, kuil dan tempat ibadah lainnya di dunia sebagaiman serangan terhadap individu seharusnya merupakan alarm bagi kita semua,” jelas Navy Pillay, Komisioner Tinggi HAM PBB seperti ditulis hrea. org (08/01)
praktik yang mengakibatkan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas keagamaan. Secara khusus, Komisioner Tinggi HAM PBB tersebut sangat prihatin dengan kekerasan dan praktek-praktek diskriminasi terhadap minoritas keagamaan di beberapa negara seperti di Mesir, Nigeria, Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia, sikap diskriminatif terjadi pada beberapa kelompok seperti Ahmadiyah yang mendapat kekerasan di berbaga daerah, jemaat HKBP Pondok Timur Indah yang diintimidasi dalam menjalankan ibadah, dan jemaat GKI Taman Yasmin yang IMB-nya dibekukan pemerintah setempat. Komisioner Tinggi HAM PBB tersebut sangat prihatin atas kekerasan yang dilakukan secara terus menerus terhadap Jemaat Ahmadiyah dan Kelompok Kristen di Indonesia. “Penyerangan terhadap gereja, masjid, sinagog, kuil dan tempat ibadah lainnya di dunia sebagaiman serangan terhadap individu seharusnya merupakan alarm bagi kita semua,” jelas Pillay seperti ditulis hrea.org (08/01).
Terhadap pernyataan ini, aktivis kebebasan beragama yang tergabung dalam (jemaat) GKI Taman Yasmin Bogor, HRWG, ILRC, JAI, LBH Jakarta, The WAHID Institute, dan Setara Institute mengeluarkan siaran pers di kantor HRWG (11/10). Pertama, mendukung pernyataan resmi Komisioner Tinggi HAM PBB tersebut. Kedua, mendesak pemerintah, DPR dan lembaga peradilan untuk menjalankan kewajibannya dalam melakukan perlindungan, pemenuhan, dan perhormatan hak atas kebebasan beragama, toleransi dan pluralisme. Ketiga, mendesak pemerintah dan DPR untuk mencabut aturan-aturan hukum yang diskriminatif dan mendorong intoleransi keagamaan. Mereka juga menilai pemerintah bersikap ndablek (bandel, Red.) dalam beberapa persoalan minoritas di Indonesia. Dalam kasus tertentu, misalnya soal kekerasan Ahmadiyah, pemerintah tidak melakukan apa-apa meskipun sudah mendapat rekomendasi untuk melakukan penyelidikan proyustisia dari Komnas HAM. M
Kebebasan Beragama Suram, Sukarwo Menolak Nurun Nisa’
“Ini membuktikan duet Karwo-Saiful (Sukarwo, Gubernur-Saifulloh Yusuf, Wakil Gubernur Jatim-red) telah gagal menjamin hak dasar kelompok Kristen,” tandas Aan Anshori, koordinator JIAD Jatim seperti dikutip okezone. com (05/01) The WAHID Institute
J
IAD (Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) melansir sedikitnya 8 (delapan) kasus pada tahun 2010 yang mewarnai perjalanan kebebasan beragama di Jawa Timur. Kasus ini antara lain terjadi di Gresik dan Mojokerto. Pemkab Gresik menghentikan paksa pembangunan Gereja Katolik Indonesia dan Gereja Kristen Bethani Indonesia di komplek Perumahan Kota Baru Driyorejo Kecamatan Driyorejo
pada April. Alasannya, dua gereja tersebut belum memenuhi syarat administratif dan syarat teknis untuk dibangun. Di Mojokerto, pemerintah setempat menyegel tempat ibadah yang dianggap ilegal, yakni di Saba, Jimbaran, dan Niaga Square pada September. Selain itu, di Malang terjadi pelarangan pendirian sekolah anak cacat yang dilakukan FPI Malang karena dinilai bentuk Kristenisasi.
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari 2011 Dengan banyaknya kasus enyangkut kebebasan beragama m dan berkeyakinan ini, JIAD mendesak pemerintahan SBY agar tidak mengabaikan konstitusi yang memberi jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan. JIAD juga menyatakan, pemerintah gagal melindungi hak-hak warganya karena banyaknya kekerasan yang mendera kaum minoritas, terutama
umat Kristen. “Ini membuktikan duet Karwo-Saiful (Sukarwo, Gubernur-Saifulloh Yusuf, Wakil Gubernur Jatim-red) telah gagal menjamin hak dasar kelompok Kristen,” tandas Aan Anshori, koordinator JIAD Jatim seperti dikutip okezone. com (05/01). Di tempat terpisah, Soekarwo mengklaim bahwa kasus kekerasan antaragama di wilayah Jatim sangat
sedikit dibandingkan dengan provinsi lain. Hal ini terjadi karena masyarakat Jatim sangat tidak suka kekerasan dan menjunjung tinggi pluralism sehingga jarang terjadi aksi main hakim sendiri. “Masyarakat Jawa Timur menjunjung tinggi toleransi beragama. Sehingga kekerasan beragama di sini sangat sedikit,” jelas sang gubernur seperti ditulis Republika.co.id (13/01). M
Angka Intoleransi Keberagamaan di Jawa Tengah Turun Nurun Nisa’
L “Bisa saja banyak kasus intoleransi tapi tidak muncul di publik,” kata Tedi Kholiluddin, Direktur eLSA sebagaimana ditulis TempoInteraktif (10/01)
aporan Situasi Keberagaman di Jawa Tengah Tahun 2010 yang dirilis eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama) Semarang mencatat sembilan kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan. Rinciannya, tujuh kasus intoleransi antar masyarakat sipil dan dua kasus merupakan pelanggaran yang melibatkan negara. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun lalu yang mencapai 32 kasus dengan perincian tiga kasus pelanggaran dan 29 kasus intoleransi. Akan tetapi, Tedi Kholiluddin, Direktur eLSA, menyatakan data ini bukan berarti menunjukkan tingkat toleransi di Jawa Tengah sudah membaik. Sebab, data eLSa hanya mereka kasus yang mencuat di publik. “Bisa saja banyak kasus
intoleransi tapi tidak muncul di publik,” katanya sebagaimana ditulis TempoInteraktif (10/01). Apalagi, ada umat beragama yang cenderung tidak mau mengungkapkan kasusnya kepada media, pemerintah maupun lembaga swadaya. Kasus kebebasan beragama yang melibatkan negara adalah vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten yang memvonis FX Marjono, mantan dosen Universitas Widya Dharma (Unwidha) Klaten, yang dianggap melakukan penodaan agama. Sementara kasus intoleransi sesama warga sipil antara la in fatwa sesat yang dikeluarkan MUI Pati terhadap kelompok Akmaliyah karena dianggap mengajarkan wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti. M
Opera Tan Malaka Dilarang di Malang dan Kediri Nurun Nisa’
O
pera Tan Malaka dilarang tayang di Malang dan Kediri. Penyebabnya, tayangan itu dianggap mengandung ajaran kiri. Ajaran ini dianggap dapat meresahkan masyarakat sehingga menimbulkan sikap yang tidak kondusif yang dikhawatirkan menimbulkan reaksi keras masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, aparat dan TNI sekaligus mendatangi TV Batu (Malang) dan Kili Suci TV (KSTV) di Kediri. Hal yang serupa nampaknya akan diterima oleh Madura Channel. Pihak stasiun televis di Sumenep ini
menyatakan didatangi aparat TNI AD untuk tidak menayangkan Opera yang dinilai berbau komunisme. Mufti Ali dari KSTV mengaku diminta Komandan Kodim 0809 Kediri Letkol Infanteri Bambang Sudarmanto untuk tidak menyiarkan Opera Tan Malaka. Pada kedatangannya di hari Kamis (06/01), Bambang menyatakan tayangan tersebut akan menimbulkan reaksi keras dari masyarakat sebab salah satu adegan dalam Opera tersebut memperlihatkan bendera PKI (Par-
tai Komunis Indonesia). “Saya langsung bisa membuat keputusan karena Direksi sudah melarang sehari sebelumnya,” katanya. Alasannya, sehari sebelumnya Direktur KSTV telah meminta via telpon agar Opera tidak ditayangkan. Sang direktur bahkan menyatakan sang komandan Kodim akan datang ke KSTV. Pasca kedatangan Kodim, banyak respons yang pro dan kontra mampir ke telpon seluler Mufti. Ia sendiri merasa terkejut karena TV-nya belum melakukan promo Opera.
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari 2011 Opera Tan Malaka sebenarnya belum memiliki tahap editing. Namun Opera sudah disediakan waktu spesial: Minggu malam. Jam tayangan pada malam itu paling banyak menyedot perhatian penonton. Siaran yang memakan waktu 120 menit itu akan dipotong menjadi beberapa episode untuk meningkatkan respons pemirsa. “Kami sendiri menganggap kontennya sebenarnya tak masalah dari film itu sendiri. Tinggal nanti kita penonton apresiasinya bagaimana dari film tersebut. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, masukan dari masyarakat dan aparat yang sifatnya himbauan saja mas. Jadi sementara kita batalkan dulu,” demikian pernyataan Mufti Ali, Direktur Operasional Kediri TV seperti dilansir KBR 68H (11/10). Kepada TempoInteraktif (11/01), Mufti mengaku tertarik dengan Opera sebab tokoh Tan Malaka cukup dekat dengan warga Kediri karena konon makamnya terletak di lereng Gunung Wilis. Selain itu, Opera memiliki kandungan nilai sejarah dan kesenian yang kuat.
“Saya tak mau disalahkan jika ada apa-apa di belakang hari,” tambah Komandan Kodim 0809 Kediri Letkol Infanteri Bambang Sudarmanto seperti dikutip TempoInteraktif (11/01) Manajemen Batu TV belum memberikan penjelasan. Seorang staf Batu TV mengaku tidak berani memberikan penjelasan. Yang berhak memberikan penjelasan adalah Direktur Utama Batu TV Andry Hoediono yang juga tidak merespon. Tetapi seperti ditulis detikmovie (10/01), bahwa seorang anggota polisi dari Polsek Batu (Malang) yang mengaku bernama Sukoco mendatangi kantor televisi ini. Pria bernama Sukoco ini meminta agar stasiun televisi ini tidak menayangkan Opera Tan Malaka. Anggota TNI bernama Sukis dari Kodim 0818 wilayah Batu Malang dan Winarto
The WAHID Institute
yang mengaku dari Korem 083/Baladhika Jaya Malang juga datang dalam waktu berbeda. Bambang sendiri mengaku hanya memberikan himbauan kepada manajemen KSTV. “Saya hanya menghimbau untuk tidak ditayangkan, itu saja,” kata Bambang seperti dikutip TempoInteraktif (11/01). Alasannya, ia mengkhawatirkan penayangan acara tersebut akan memancing reaksi dari kelompok anti konunis terutama dari kalangan pesantren. Demi situasi yang kondusif inilah ia menghimbau agar Opera Tan Malaka tidak ditayangkan. “Saya tak mau disalahkan jika ada apa-apa di belakang hari,” tambahnya. Namun Bambang tidak menjelaskan nilai-nilai dalam Opera Tan Malaka yang dianggap tidak kondusif bagi Kediri karena ia belum menonton. “Tapi dengan tidak melihat tayangannya, kita kan sudah bisa meraba. Kalau kita masih ingat pelajaran sejarah, siapa sih Tan Malaka? Bagaimana aliran politiknya? Semua kan sudah jelas,” tegas Bambang seperti ditulis detikmovie (11/01). Kepala Kepolisian Resort Batu Kombes Gatot Sugeng Santoso membantah lembaganya melarang penayangan Opera Tan Malaka di Batu TV. Gatot menceritakan bahwa petugas mendengar informasi acara tersebut yang dianggap mengganggu ketertiban masyarakat. Kepolisian menindaklanjuti dengan menurunkan aparat untuk mendatangi kantor Batu TV. “Kita cek, lantas manajemen Batu TV berjanji tak menyiarkan,” katanya seperti ditulis TempoInteraktif (10/1). Karenanya, aparat tidak menindaklanjuti acara tersebut, termasuk dengan melarangnya. Gatot menyatakan bahwa aparat kepolisian tidak mengetahui isi tayangan tersebut. Ia menjanjikan akan mengkaji tayangan tersebut dan selanjutnya akan menilai dan merekomendasikannya: layak atau tidak dikonsumsi masyarakat luas. “Tidak ada pelarangan dari Dandim atau Danrem setempat,” ujar Kadispen TNI AD Brigjen TNI Wiryantoro seperti ditulis detiksurabaya (13/01). Urusan pelarangan adalah urusan kepolisian, di luar kapasitas TNI. Tapi ia memberikan pengecualian. “Kecuali kalau TV tersebut, setelah berdiskusi dengan Muspida kemudian membatalkan penayangan karena kesadaran sendiri bahwa sebuah tayangan itu berdampak negatif,” tambahnya. Direktur Utama TEMPO TV Santosa
menyesalkan pelarangan tersebut dan menyatakan aparat keamanan di Malang dan Kediri tidak paham acara Opera Tan Malakan. “Sebagian aparat keamanan masih berpikiran kolot, alergi dengan segala hal yang berbau kiri. Mereka masih berpikiran seperti zaman orde baru,” ujarnya dalam pernyataan pers yang dkeluarkan di Jakarta pada 10/1 seperti ditulis Detikmovie. Senada dengan Santosa, Nirwan Dewanto menyatakan bahwa tindakan pelarangan tersebut sangat tidak nasionalis karena Tan Malaka sendiri telah diakui sebagai Pahlawan Nasional. “Phobia terhadap komunisme itu pada saat sekarang itu lucu dan ironis karena tidak ada gerakan yang berhasil sekarang. Banyak negara-negara kiri yang juga bubar Uni Soviet, misalnya, Eropa Timur. Jadi tidak ada yang ditakutkan dari pemikiran kiri atau sosok kiri. ini kan sosok kiri yang ada di zaman revolusi, tahun 40-an itu Tan Malaka,” kata Dewan Kurator Salihara itu seperti ditulis KBR 68H (10/01). Nirwan bahkan menyatakan bahwa larangan itu merupakan kebijakan lapangan, bukan instruksi dari pusat atau atasan, sebab buku-buku Tan Malaka sendiri dinyatakan boleh beredar. Menurut Hariyono, pelarangan itu tidak perlu dilakukan. Yang harus dilakukan oleh aparat adalah mengundang pakar-pakar politik dan sejarah untuk mendiskusikannya. Dengan ini, masyarakat secara tidak langsung diajak berpikir kritis sehingga tidak menerima tayangan itu sebagai sebuah ideologi yang membahayakan. “Tapi bagaimana mendiskusikan itu serta antisipasinya,” kata pakar sosial dan militer Hariyono dari Universitas Negeri Malang kepada RNW (11/01). Jika dilarang yang terbit justru rasa ingin tahu terutama dari kalangan anak muda. Mungkin juga ancaman sebagian kecil masyarakat yang belum dewasa—yang suka menggunakan kekerasan dengan menggunakan agama tertentu. LBH Surabaya mengecam tindakan pelarangan ini. “Tidak bisa (dilarang), ini hak sipil dan politik, peran negara termasuk polisi dan TNI tidak bisa mencampuri ini,” kata Direktur LBH Surabaya, M. Syaiful Arif seperti ditulis TempoInteraktif (11/01). Bagi Arif, pelarangan film tidak bisa dilakukan seenaknya, yakni mendatangi stasiun TV yang akan menayangkan seperti dialamai Batu TV (Malang) dan KSTV (Surabaya). Ia mencontohkan
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari 2011 pelarangan buku yang mesti melewati prosedur tertentu, yakni pengadilan. Memang, kata Arif, pelarangan film bisa dilakukan jika ia membahayakan negara tetapi aturan ini sering disalahtafsirkan oleh rezim yang berkuasa. Ia sendiri keberatan jika film dianggap kiri lalu dilarang. “Kiri dan kanan itu tafsir Orde Baru. Mempelajari komunis sekalipun bukan berarti kita komunis,” tambah Arif. Arif mendesak aparat kepolisian dan TNI untuk segera melakukan klarifikasi atas pelarangan tersebut. Jika tidak, stasiun televisi tersebut bisa melakukan gugatan baik pidana maupun perdata atas pelarangan ini. Senada dengan LBH Surabaya, KPID Jawa Timur menyayangkan indakan aparat. “Kalau memang benar adanya, jangan serta merta meminta atau melarangnya,” ujar Kepala Bidang Pengawasan Isi Siaran KPID Jatim, Maulana Arief seperti ditulis detiksurabaya (11/01). Maulana menyatakan bahwa sekarang sudah bukan zaman Orde Baru sehingga kontrol media massa, termasuk televisi, sudah diserahkan kepada publik. “Kalau isi siaran dianggap
meresahkan atau dapat menimbulkan masalah, tolong sampaikan ke KPID, sehingga kita bisa menindaknya. Kita harapkan pelarangan itu sesuai prosedur,” tegasnya. Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur Muhammad Dawud menyatakan pelarangan terhadap sebuah program televisi, kata Dawud, hanya bisa diberikan kepada siaran yang bersifat non-faktual, misalnya, sinetron, film, dan iklan. Tayangan-tayangan jenis ini harus memiliki sertifikat terlebih dahulu dari Lembaga Sensor Film sebelum ditayangkan. “Berbeda dengan tayangan faktual seperti berita yang tanpa sensor,” katanya seperti ditulis TempoInteraktif (11/01). Karenanya, KPI akan melakukan meminta pejelasan terlebih dahulu kepada TEMPO TV selaku pembuat film. Jika diketahui tidak ada masalah di dalamnya, masyarakat seharusnya tidak perlu khawatir terhadap dampak negatifnya. Ia juga membeberkan bahwa investigasi KPI menyatakan dua TV dilarang menyiarkan Opera, termasuk KSTV. Mufti Ali sendiri selaku penanggung
jawab siaran KSTV menyatakan telah menyampaikan pelarangan kepada KPID. Ia berharap bahwa semua langkah yang sudah dijalankan KSTV tidak menyalahi mekanisme penyiaran yang sudah ditetapkan KPID. Nasib serupa dialami oleh pengelola Madura Channel di Sumenep, Madura. Manajer Program TV Lokal Madura Channel, Rahmat Hidayat, sedang mempertimbangkan untuk menayangkan kembali OperaTan Malaka. Pertimbangan dilakukan karena ada tekanan dari pihak yang mengatasnamakan TNI yang beralasan Opera berbau komunis. Tayangan pertama pada tanggal 6 Januari lalu berlangsung lancar. Opera Tan Malaka sendiri merupakan buah karya TEMPO TV hasil kolaborasi komponis Tony Prabowo dan libretis Goenawan Mohamad yang sebelumnya ditayangkan di Teater Salihara pada 1820 Oktober 2010. Rencananya, Opera akan diputar di 19 stasiun televisi lokal se-Indonesia. Bentuk tayangan ini adalah pembacaan puisi dengan iringan musik. M
FPI Minta Kafe Bagabe Ditutup Nurun Nisa’
M
enyusul tewasnya Kopda (Kopral Dua) Amiruddin dari Kostrad TNI Cilodong Depok setelah melerai keributan di Kafe Bagabe, FPI Kota Depok pada Minggu
“Kalau tidak punya izin, pasti segera ditertibkan,” jelas Nur Mahmudi Ismail, Walikota Depok seperti ditulis okezone. com (18/01).
10
(16/01) meminta Satpol PP dan Walikota bertindak. Jika tidak, FPI Kota Depok akan bertindak. “Saya bersyukur dengan terjadinya keributan itu karena hal itu telah membuka mata banyak orang. Kafe itu sering dijadikan tempat maksiat dan sering menjadi sasaran razia. Kami minta kafe itu ditutup. Kalau tidak, akan kami tutup paksa,” ujar Idrus al-Gadri, Ketua FPI Depok seperti ditulis wartakota.co.id (19/01). Selain itu, Habib juga menuding bahwa Kafe Bagabe memiliki beking (perlindungan, Red.) dari oknum aparat dengan dibuktikan kehadiran Kopda Amiruddin di tempat perkelahian. Habib menambahkan, seperti ditulis okezone. com (18/01), berungkali bersama Satpol PP Kota Depok merazia kafe tersebut tetapi ia beroperasi kembali “Sudah sering kami bilang bahwa
kafe tersebut tempat maksiat dan sejak lama kami minta kepada pemerintah agar ditutup. Sekarang kan ada dampaknya. Mau telan korban jiwa banyak dulu baru ditutup?” katanya. Kepala Dinas Satpol PP Kota Depok, Sariyo Sabani, menyatakan tidak mau berkomentar. Namun, ia menyatakan akan melayani masyarakat dengan baik karena statusnya sebagai PNS. Adapun Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail berjanji akan menertibkan kafe-kafe yang dinyatakan tidak berizin. “Kalau tidak punya izin, pasti segera ditertibkan,” jelas Nur Mahmudi seperti ditulis okezone.com (18/01). Ia juga telah meminta kepada instansi terkait segera menindak Cafe Bagabe dan kafe lainnya yang tidak memiliki izin. Kedua instansi ini nampaknya bisa ditundukkan FPI. M
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari 2011
Dianggap Tempat Maksiat, Kafe Dibakar Massa Nurun Nisa’
S
ekitar 500-600 massa membumihanguskan beberapa bangunan kafe berlokasi di tepi Danau Singkarak, Kecamatan Sapuluah X Koto, Kabupaten Solok Sumbar, pada Minggu dini hari (10/01). Menurut keterangan salah seorang warga, satu bangunan kafe benar-benar ludes dibakar massa dan yang lain porak-poranda. Alasan pembakaran kafe tersebut adalah karena warga yang sudah muak dengan kemaksiatan. Selain digunakan se-
“Kafe-kafe itu dibakar massa yang berdatangan dari berbagai penjuru jorong (desa) di Nagari Singkarak karena masa sudah muak dengan aksi kemaksiatan di sana,” jelas H. Nasrul, pengurus paguyuban Ikatan Keluarga Perantau Singkarak di Padang seperti ditulis hidayatullah.com (10/01)
bagai tempat minum minuman keras dan pesta mabuk-mabukan, dicurigai juga sebagai tempat transaksi kegiatan seks. “Kafe-kafe itu dibakar massa yang berdatangan dari berbagai penjuru jorong (desa) di Nagari Singkarak karena masa sudah muak dengan aksi kemaksiatan di sana,” jelas H. Nasrul, pengurus paguyuban Ikatan Keluarga Perantau Singkarak di Padang seperti ditulis hidayatullah.com (10/01). Terhadap aksi pembakaran ini, Wali Nagari Singkarak Bushamsyah sepertinya tidak menyayangkan aksi main hakim sendiri. Bushamsyahn mengatakan, sebelum aksi massa sebenarnya para pemilik kafe sudah dihimbau pihaknya agar tidak lagi mengoperasikan kafekafe tersebut. Selain itu, aparatur nagari dan para tokoh masyarakat bahkan sudah menyampaikan peringatan kepada pemilik. Demikian juga Bupati Solok dan aparat terkait sebelumnya juga sudah memperingatkan pemiliki kafe untuk menghentikan kegiatan kafe karena keberadaannya yang dinilai sudah sangat meresahkan warga. Sejumlah aparat Kepolisian dan Polisi Pamong Praja yang turun ke TKP malam itu tak kuasa mencegah amuk massa yang sudah amat marah itu. Ke-
tika massa merangsek kafe, sebenarnya sekelompok orang mencoba menggertak massa, tetapi massa terus maju menghancurkan dan membakar kafe. Sementara itu, Lembaga Paga Nagari Provinsi Sumatera Barat justru mengapresiasi peristiwa terbakarnya beberapa kafe tersebut karena dianggap sebagai wujud tanggung jawab anakkemenakan dan anak nagari di selingkar Danau Singkarak untuk melindungi nagari mereka dari segala bentuk kemaksiatan. Karenanya, aksi massa ini tidak bisa disebut sebagai aksi kekerasan dan main hakim sendiri. “Jangan sertamerta aktivis LSM menjustifikasinya sebagai aksi kekerasan dan main hakim sendiri. Tolong lihat dulu latarnya, penyulutnya,” ujar Ibnu Aqil D. Ghani seperti ditulis hidayatullah.com (11/01). Aqil menganggap bahwa pemilik kafe dan pelanggan kafe yang melakukan maksiat juga patut diberi sanksi bukan saja tempat maksiat berupa kafe yang dibakar. Ia juga menyatakan, berdasarkan hukum adat di Minangkabau, pelaku dan penyedia kemaksiatan seharusnya ‘dibuang sepanjang adat’, tak boleh tinggal di tanah adat, dan tak boleh pula menerima pusaka adat. M
FPI Medan Serbu Kafe dan Warung Reman-remang Nurun Nisa’
M
enjelang dimulainya Tahun Baru Hijriyah, ratusan massa yang tergabung dalam FPI Medan menyerbu kafe dan warung remang-remang. Lokasi pertama yang dituju Medan Helvetia dan Medan Marelan, Kota Medan, Sumatra Utara, Minggu dinihari (05/12/10). Alasannya, kafe ini
Aparat kepolisian yang mendapat laporan hanya berjaga-jaga agar tidak terjadi bentrokan antara pemilik dan penyerbu. The WAHID Institute
diduga sebagai tempat maksiat. Mereka menghancurkan botol minuman yang ada. Kursi, meja, dan peralatan musik juga turut menjadi sasaran. Tidak ada korban jiwa karena tempat hiburan sedang kosong. Sepertinya aksi FPI ini telah bocor. Aparat kepolisian yang mendapat laporan hanya berjaga-jaga agar tidak terjadi bentrokan antara pemilik dan penyerbu. FPI juga masih sempat mengancam kafe yang dianggap kerap beroperasi kembali meskipun kerap dirazia polisi ini. Sehari setelahnya (06/12/10) giliran kafe di kawasan Desa Manunggal, Kec.
Labuhan Deli, Medan. FPI mengklaim telah memperingatkan kafe agar menutup usahanya ini sebelum menyerbu kafe yang dimaksud. Penyerbuan ini juga dilakukan dengan alasan adanya informasi masyarakat sekitar yang merasa terganggu dengan keberadaan kafe yang dijadikan tempat maksiat. Selain memecahkan ratusan botol minuman, FPI juga merusak rumah dan harta benda pemilik kafe. ratusan personel Kepolisian Sektor Labuhan dikerahkan untuk mencegah aksi yang lebih anarkhis. Pemilik kafe sendiri telah menyingkir sehingga selamat dari M serbuan massa FPI.
11
Analisis 1.
2. 3.
4.
Aparat yang berwenang menggunakan kekuasaannya justru untuk menekan masyarakat sipil. Ditugaskan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, polisi menekan panitia dan peserta FGD kebebasan beragama dan berkeyakinan di Bandung dan Surabaya. Pada saat yang bersamaan, aparat juga mendatangi stasiun televisi guna menekan pengelola stasiun televisi agar tidak menayangkan tayangan yang dianggap berbau komunis yang akan meresahkan masyarakat.. Aparat yang berwenang juga tunduk terhadap tekanan massa. Sekelompok massa membakar kafe, aparat hanya bisa menjaga tempat lokasi dan bukan meringkus pelaku agar menghentikan aksinya. Aparat di Depok juga tidak tegas sehingga wewenangnya digerogoti kelompok massa tertentu. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, masih setengah hati menjamin terlaksananya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pemerintah pusat dalam hal ini tidak merespons untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM atas kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Pemerintah pusat juga tidak menepati komitmen atas janji-janji perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pemerintah daerah, seperti provinsi Jawa Timur, tidak menjawab soal banyaknya kasus kebebasan beragama di Jawa Timur tetapi justru menyatakan fakta sebaliknya. Pemkot Bogor bahkan menjadi aktor pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan karena tindakan menyegel GKI Taman Yasmin. Penurunan kasus intoleransi di Jawa Tengah sepanjang tahun 2010 merupakan sebuah kemajuan yang berarti. Tetapi kemajuan ini tidak selalu berarti berbanding lurus dengan peningkatan toleransi masyarakat dan komitmen pemerintah menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di provinsi tersebut. Sebab, terdapat kemungkinan banyak kasus yang tidak tersiar di publik karena korban yang tertekan dengan melaporkannya.
Rekomendasi 1.
2.
3.
4.
5.
Aparat kepolisian semestinya memegang teguh Tribrata dalam menjalankan tugasnya. Dengan Tribrata ini, aparat kepolisian hanya akan bekerja dalam tiga koridor: 1) berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 2) menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum NKRI yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945; 3) senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban. Memegang teguh Tribrata berarti melindungi semua warga, tanpa membedakan latar belakangnya, dan tidak menekan salah satu pihak yang akan menyelenggarakan yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan ideologi negara. Aparat TNI juga seharusnya berkonsentrasi dalam pertahanan negara. Ini karena mengingat tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Dengan pedoman ini, TNI tidak perlu terlibat dalam penyensoran tayangan televisi karena diduga beraliran kiri. Penyensoran tayangan seharusnya diserahkan kepada KPI dan ideologi kiri bukanlah ancaman yang patut ditakuti sekarang ini. Sesuai dengan amanat Perber Menag No. 9 Th. 2006 dan Menag No. 8 Th. 2006, maka sesungguhnya para kepala daerah bertanggung jawab terhadap urusan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Termasuk di dalam hal ini adalah menumbuhkembangkan keharmonisan dan saling-menghormati di antara sesama warga. Situasi tidak akan terwujud kecuali pemerintah bertindak adil terhadap semua golongan dengan berpedoman pada koridor hukum, bukan tunduk pada kepentingan kelompok tertentu yang mengatasnamakan kelompok meyoritas. Jika tidak ingin dianggap sebagai pembohong, maka seharusnya pemerintah pusat memproses seluruh pelanggaran hakhak kebebasan beragama dan tindakan kriminal terhadap segala kasus yang berkenaan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana janji yang diucapkan SBY pada pidato menyambut peringata HUT RI tahun lalu. Kebijakan ini mutlak mengingat Indonesia telah meratifikasi konvenan sipol sejak tahun 2006. Selain itu, kebijakan ini diperlukan sebagai respon atas laporan Komisioner Tinggi HAM PBB terhadap praktek diskriminasi yang menimpa kelompok minoritas di Indonesia. Selain soal toleransi, penyadaran akan pentingnya pedoman hukum di masyarakat perlu digalakkan. Di samping mencegah timbulnya sikap anarkis dari kelompok tertentu, penyadaran ini juga sekaligus menguatkan psikologis korban agar mereka berani melapor kepada aparat atau lembaga swadaya masyarakat yang dianggap mampu jika hanya dilanggar atau didiskriminasi.