The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia: Perspektif Gerakan Sosial
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Saepul Agna NIM. 207032200624
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433 H./2012 M.
The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia: Perspektif Gerakan Sosial
Untuk nenek dari ibu–yang selalu terjaga dan berdoa pada sepertiga malam terakhir. Untuk bapak–yang bekerja sangat keras. Untuk ibu–yang lugu dan murah hati.
i
ii
iii
Ucapan Terima Kasih
Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. Demi malam apabila menutupi cahaya siang. Dan siang apabila terang benderang. Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu. Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa." Alquran 85:1. 92:1-2. 94:2. 112:1
Skripsi The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia: Perspektif Gerakan Sosial telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penyelesaian studi penulis–yang semula Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat kemudian menjadi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik–menjadi mungkin karena kebaikankebaikan dari banyak pihak. Untuk keperluan akademik dan administratif–dengan cara yang berbeda– mereka telah mengajarkan pengetahuan Sosiologi dan memberikan kenyamanan ketika menjalaninya. Untuk bimbingan, dorongan, pengertian, dan bantuan untuk kesulitan yang dihadapi penulis sampaikan ucapan terima kasih. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Profesor Bahtiar Effendi. Ketua dan Sekretaris Program Non-Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Harun Rasyid M.A dan Ahmad Rifqi Muchtar M.A. Ketua dan Sekretaris
iv
Program Studi Sosiologi, Dr. Zulkifli Zul Harmi M.A dan Joharatul Jamilah M.Si yang kemudian berganti Iim Halimatusa’diyah M.Si. Dosen-dosen, diantaranya, Profesor Zainun Kamaluddin Faqih, (almh) Profesor Musyrifah Sunanto, Profesor Zaini Muchtarom, Profesor Bambang Pranowo, Dr. Muhaimin M.A, Dr. Amin Nurdin M.A, Ida Rosyidah M.A, Joharatul Jamilah M.Si, Helmi Hidayat M.A, Saifuddin Asrori M.Si, Cucu Nurhayati M.Si, Mohammad Hasan Ansori Ph.D, Iim Halimatussadiyah M.Si, dan Ahmad Abrori M.Si. Dewan Pertimbangan Skripsi, Dzuriyatun Toyibah M.Si dan Iim Halimatussadiyah M.Si yang kemudian berganti Zulkifli Zul Harmi Ph.D dan Ida Rosyidah M.A. Selanjutnya Ida Rosyidah M.A menjadi pembimbing skripsi penulis. Juga pustakawan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan pustakawan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebersamaan dengan teman-teman membuat hari-hari penulis di Ciputat menjadi lebih dari sekedar rutinitas akademik tetapi juga memberikan sesuatu yang tak tergantikan dengan apapun. Kesan-kesan terbaik persahabatan yang hangat bahkan lebih seperti menemukan keluarga kedua–tempat berbagi banyak hal. Untuk segalanya penulis sampaikan terima kasih. Teman-teman di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta–setahun sebelum studi Sosiologi penulis studi pada Program Studi Syariah Konsentrasi Perbankan Syariah–diantaranya, Suliadesi, Riza Wijayanti, Annisa v
Haq, Andri, Eko Widiyanto. Muhammad Ikhsan, Syaiful Rohman, Muammar Khaddafi, Atika Purnamasari. (Alm) Nurzaman, Harisma Asadullah, Ibnu Zakwan, Saep Amrullah, Asep Hidayatullah, Aldina Ramdhani, Siti Muthmainah, Senny Rifki. Juga Indra Gunawan dan Andi Kurniawan. Teman-teman di Non-Reguler Program Studi Sosiologi, Sandi Irawan dan Mukhlis. Di Reguler Program Studi Sosiologi Agama, diantaranya, Wardatul Jannah, Dara Nurzakiyah, Ati Atiyurrohmah, Andini Pratiwi, Dini Siva, Herlina Dwi Astuti, Jafar Shodiq, Mufti Abid, Charlie Muhammad Dzulfikar, Fadly Budi, Nurjaman, Matin Halim, Cecep Sopandi, Ferri Bastian, Muhammad Satria Wijaya, Adriansyah, Muhammad Sibli, Ahmad Satria Waris, Andri Prakarsa, Muhammad Erfan, Yandhi Deslatama, Rizkiyah Hasanah, Baarvah Kahfina, (alm) Budiman, dan Waheed Manan. Dari fakultas-fakultas yang berbeda, diantaranya, Abdul Mu’id, Adnan Munawwir, Ratnawati, Ruslan Ghoni, Abdullah Said, Usman Usmana, Firdaus, Imamatul Azimah, Syahri Fajriyah, Nur Syabani, Amalia Nasuha, Nur Sakinah Nasution, Nurhidayati, Asminah, Ummi Saadah, Rina Hutari, Dimas Ridwan Hakim, dan Hendar Purnama. Di tempat tinggal selama menjalani studi, diantaranya, Ahmad Hasan, Muhammad Rizki, Shohibul Hujjah, Rosidi, Saleman, Makmur Ismail Saleh, Muhammad Ahda Murtaqi, Ryenaldo Rio, Khairus Saleh, Miftahul Bari, dan Abdurrohman. Teman-teman di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Cirendeu dan Cabang Ciputat, dan Dewan Pimpinan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. vi
Achmad Husni Lamarobak, Andy Wiyanto, Himawan Sutanto, Taufiqurrahman, Gilang Pandu, Muhammad Syaifurrahman, Anto Tuntas Widi, Putut Dwi Wijayanti, Narizka Dyan Wulandari, Resti Indah Harini, Witri Zuama Qomarania, Saddam Asir, dan Dadan Hermawan. Juga Beni Azhar, A. Saiful Safikri, Saefuddin Zuhri, dan Komaruzzaman. Ristan Alfino, Muhammad Iklima, Nofyan Safri Lubis, dan Jufridin Daud. Ucapan terima kasih terbesar penulis sampaikan kepada mereka yang telah memberikan kasih sayang, doa, harapan, pengorbanan, dan pengertian yang berlimpah. Kakak penulis, Mas’ud Ramdhani–Diana Astri dan Rizki Mulyadi–Evi Nuraini serta kelahiran Ayeesha Salsabila, Sabrina Latifa, dan Nadeera Azzahra yang sangat membahagiakan kami. Adik penulis, Rizal Kamilah dan Santi Nurjannah. Nenek penulis, Jaja. Tentu saja, untuk mereka yang meyakini anakanaknya adalah segalanya dalam hidup yang dijalani, ayah penulis, Lili Sukmana, dan ibu penulis, Ami Darminingsih. Setelah semua yang dijalani, selesainya studi ini membuat penulis menjadi lebih bersyukur.[]
vii
Abstrak
Saepul Agna. The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia: Perspektif Gerakan Sosial. 2012. Penegasan konstitusi maupun ratifikasi kovenan internasional yang merupakan instrumen pokok hak asasi manusia terkait kebebasan beragama, tidak menjadikan implementasinya menjadi lebih mudah. Lebih dari satu dekade era reformasi bergulir, kebebasan beragama masih dengan beragam tantangan besar dalam implementasinya. Seperti ditunjukan laporan pemantauan yang dilakukan Setara Institute, ruang publik pasca Orde Baru yang terbuka ditandai intensitas tinggi pelanggaran hak konstitusional ini oleh negara maupun warga negara terutama mengarah pada individu dan kelompok minoritas yang memiliki kecenderungan berbeda dengan sudut pandang negara maupun mainstream agama masyarakat. Seiring dengan itu, The Wahid Institute–kemudian ditulis Wahid Institute– menjalankan gerakan kebebasan beragama. Kemunculan dan perkembangan Wahid Institute tidak terlepas keterbukaan ruang publik pasca Orde Baru dan pendalaman integrasi ekonomi dan politik nasional ke dalam komunitas global. Peran besar Wahid juga menandai perkembangan generasi muda progresif Nahdlatul Ulama pada dekade 1980-an dimana bagian kecilnya kemudian bergiat sejak kemunculan Wahid Institute termasuk relasinya dengan lembaga donor internasional terutama The Asia Foundation dan TIFA Foundation serta jaringan kerjanya dibeberapa wilayah dalam menjalankan beragam usaha dalam kerangka gerakan kebebasan beragama. Ketika intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama mengemuka, gerakan kebebasan beragama Wahid Institute menjalankan beragam usaha mengarah tiga level permasalahan kebebasan beragama, yaitu, regulasi dalam struktur negara termasuk relasi negara dengan Majelis Ulama Indonesia dan regulasi yang terbit konteks otonomi daerah pasca Orde Baru, kapasitas aparatur negara, dan intoleransi warga negara yang juga menandai implikasi anutan doktrin intoleran organisasi Islam radikal. Wahid Institute menjalankan beragam gerakan kebebasan beragama civil society melalui diskursus dan aksi kolektif mendesakan policy reform regulasi terkait, penguatan kapasitas aparatur negara maupun deradikalisasi agama. Wahid Institute juga menjalin relasi dalam kerangka penguatan kapasitas dengan Forum Kerukunan Umat Beragama yang merupakan representasi peran interventif pemerintah seiring usaha-usaha dialog antar umat beragama, penguatan kapasitas pemuka agama, dan penguatan kapasitas gerakan kebebasan beragama dibeberapa wilayah. Sejak kemunculannya, Wahid Institute mengarahkan gerakan kebebasan beragama pada penciptaan kehidupan beragama yang mengedepankan toleransi kebebasan beragama dalam keberagaman sebagai bagian penciptaan perdamaian.[] viii
Daftar Isi
Lembar Penyataan Keaslian Karya ….…........…….………………...……………..….........
i
Lembar Persetujuan Pembimbing ….………………...…….…..…..…………….................
ii
Lembar Pengesahan Panitia Ujian ….…………..…………...….…....…………………......
iii
Ucapan Terima Kasih ……….……………………….…........................................................
iv
Abstrak ……………………………………………....…..........................................................
viii
Daftar Isi ……………………………….…...….….……....…...................……………..….....
ix
Bab I Pendahuluan .................................................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….…………………............
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ………………….………….………………...…….....
9
C. Tujuan Penelitian …………………………………………….…………...……………
10
D. Mamfaat Penelitian ………………………………………….…………………………
10
E. Tinjauan Pustaka …………………………………………….………..………………..
11
F. Metodologi Penelitian …………………………………..…...……................................
16
G. Sistematika Penulisan …………….…….…………………………………...................
18
Bab II Kerangka Teori ...........................................................................................................
20
A. Gerakan Sosial ................................................................................................................
20
B. Perspektif Gerakan Sosial …………………………………………………...................
21
1. Perspektif Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structure) ……….
22
2. Perspektif Sumber Daya Mobilisasi (Resource Mobilization Theory) ………..…...
24
ix
3. Perspektif Pembingkaian Aksi Kolektif (Collective Action Frames) ........……...…
26
Bab III Profil The Wahid Institute .......................................................................................
28
A. Abdurrahman Wahid: Pendiri The Wahid Institute ………………………………….
28
B. Visi dan Misi The Wahid Institute …………………….………………………………
32
C. Organisasi The Wahid Institute ………………………………………………………..
32
D. Program The Wahid Institute ………………………………………………………….
33
Bab IV Gerakan Kebebasan Beragama The Wahid Institute .........................…...............
37
A. Keterbukaan Ruang Publik Pasca Orde Baru dan Kemunculan The Wahid Institute …
37
B. Generasi Muda Nahdlatul Ulama dan Perkembangan The Wahid Institute ...................
46
C. The Wahid Institute: Negara, Warga Negara, dan Pelanggaran Kebebasan Beragama ..........................................................................
51
D. The Wahid Institute dan Strategi Gerakan Kebebasan Beragama Civil Society ….......
57
E. The Wahid Institute: Menyemai Keberagaman Menyemai Islam Damai (Seeding Plural and Peaceful Islam) ………………………………………………
71
Bab V Penutup ……….………………………………………………..……………………...
77
A. Kesimpulan …………………………………………………......…………….………..
77
B. Rekomendasi ..……...………………………..………………………………………...
82
Kepustakaan ..............................................................................................................................
86
x
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah Kebebasan beragama merupakan hak konstitusional setiap warga negara. UndangUndang Dasar 1945 Pasal 28 E menegaskan kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agama yang dianutnya serta jaminan perlindungan dari negara terhadap segala bentuk diskriminasi, yaitu: 1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarga-negaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. 2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Jaminan yang diberikan negara terhadap kebebasan beragama warganya ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Selain penegasan Undang-Undang Dasar 1945, kebebasan beragama diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan kembali kebebasan beragama dan menjalankan peribadatannya. Juga Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia yang menjadikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara luas dan sistematis kepada kelompok yang didasarkan pada identitas agama tertentu dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia. 1
Pada 2005 pemerintah meratifkasi instrumen pokok hak asasi manusia yang mengatur jaminan kebebasan beragama, yaitu, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. 1 Kemudian penerimaan
1
Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menjelaskan terminologi agama dalam perspektif yang dikonstruksikan secara luas. Pengertian agama atau keyakinan tidak hanya dibatasi pada agama tradisional atau pada institusi yang mempunyai karakteristik atau praktik yang analog dengan agama tradisional tersebut. Perspektif hak asasi manusia juga menyatakan ketika sebuah agama baru terbentuk dan agama minoritas berhak mendapat perlindungan dari komunitas keagamaan yang dominan. Perspektif hak asasi manusia juga menegaskan, baik penganut theistik, non-theistik, maupun yang menyatakan tidak mempunyai agama mempunyai hak dan harus mendapat perlindungan. Instrumen pokok hak asasi manusia yang mengatur jaminan kebebasan beragama adalah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966) khususnya pasal 18, yang mencakup: (1) Kebebasan untuk menganut atau memilih agama atas kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tanpa pemaksaan sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya; (3) Kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan hanya apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain; (4) Negara-negara pihak Konvenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua, dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Deklarasi ini jauh lebih rinci mengatur jaminan kebebasan beragama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Deklarasi ini dan dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat 3 hak atas kebebasan pikiran, hati nurani, beragama atau keyakinan harus mencakup, antara lain, kebebasan-kebebasan berikut: (1) Beribadah atau berkumpul dalam hubungannya dengan suatu agama atau keyakinan, dan mendirikan serta mengelola tempat-tempat untuk tujuan-tujuan ini; (2) Mendirikan dan mengelola berbagai lembaga amal atau kemanusiaan yang tepat; (3) Membuat,memperoleh dan mempergunakan sampai sejauh memadai berbagai benda dan material yang diperlukan berkaitan dengan upacara atau adat istiadat suatu agama atau keyakinan; (4) Menulis, mengemukakan dan menyebarluaskan berbagai penerbitan yang relevan di bidang-bidang ini; (5) Mengajarkan suatu agama atau keyakinan di tempat-tempat yang cocok untuk maksud-maksud ini; (6) Mengumpulkan dan menerima sumbangan-sumbangan keuangan dan sumbangan-sumbangan lain sukarela dari perseorangan atau lembaga; (7) Melatih, menunjuk, memilih atau mencalonkan dengan suksesi para pemimpin yang tepat yang diminta dengan persyaratanpersyaratan dan standar-standar agama atau keyakinan apapun; (8) Menghormati hari-hari istirahat, dan merayakan hari-hari libur dan upacara; (9) Mendirikan dan mengelola komunikasi-komunikasi dengan seseorang dan masyarakat dalam persoalan-persoalan agama atau keyakinan pada tingkat nasional dan internasional upacara menurut ajaran-ajaran agama atau keyakinan seseorang. Penegasan epistemologi hak asasi manusia sebagaimana dipaparkan di atas juga semakin memperjelas perbedaan hukum hak asasi manusia dan hukum pidana internasional, yang meletakkan individu sebagai subyek hukum. Sebagai sebuah hukum perdata, jenis-jenis hukuman yang dikenal dalam hukum hak asasi manusia adalah sanksi internasional, kewajiban perubahan kebijakan dan denda yang diperuntukkan bagi korban yang haknya dilanggar dalam bentuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Sedangkan dalam hukum pidana internasional (Statuta Roma), selain subyek hukumnya adalah individu, jenis hukuman yang ditimpakan kepada pelakunya juga berbentuk hukuman pidana penjara. 2
Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief) yang dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No. 36/55 pada 25 November 1981. Meski sifat dasar hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan, dalam diskursus dan impliementasi hak asasi manusia juga dikenal pembatasan hak asasi manusia. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik memuat prinsip siracusa yang menggarisbawahi pada situasi atau kondisi tertentu yang telah disepakati bahwa hak-hak asasi manusia yang dapat ditunda atau ditangguhkan dapat diberlakukan. 2 Prinsip siracusa menjelaskan dua pembedaan implementasi hak asasi manusia, yaitu, prinsip hak-hak yang tidak dapat ditunda pemenuhannya (non-derogable rights) dan hak-hak yang dapat ditunda pemenuhannya (derogable rights).3 Pembatasan hak asasi manusia diletakan dalam kerangka
2 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur adanya pembatasan hak asasi manusia tertentu. Beberapa klausul pembatasan yang digunakan, yaitu, pembatasan diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society), ketertiban umum (public order/order public), kesehatan umum (public health), moral umu (public moral), keamanan nasional (national security), keamanan umum (public safety), hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others) dan hak dan reputasi orang lain (rights and reputations of others), kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest of private lives of parties), dan pembatasan terhadap pers dan pengadilan umum (restrictions on public trial). 3
Prinsip non-derogable rights menegaskan hak yang bersifat mutlak dan karenanya tidak dapat ditunda dalam situasi atau kondisi apapun. Hak-hak yang terkandung dalam prinsip ini mencakup hak hidup (tidak dibunuh), hak atas keutuhan diri (tidak disiksa, diculik, dianiaya, diperkosa), hak untuk tidak diperbudak, hak untuk bebas beragama, berpikir dan berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara atas kegagalannya memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dengan demikian, segala jenis tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya hak individu ataupun kelompok agama sebagai salah satu unsur non-derogable rights dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. 3
kebebasan internal atau kebebasan individu (forum internum) dan kebebasan eksternal atau kebebasan sosial (forum externum).4 Dalam konteks kebebasan beragama di Indonesia, pembatasan dalam implementasi kebebasan beragama ditandai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 J Ayat 2 yang menegaskan: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Namun, pemantauan berkala kebebasan beragama yang dilakukan Setara Institute,5 dalam rentang waktu penelitiannya menunjukan intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama.6 Kerangka penulisan laporan pemantauan
4
Kebebasan individu atau kebebasan internal (forum internum) adalah kebebasan dimana tidak ada satu pihak pun yang diperbolehkan campur tangan terhadap perwujudan dan dinikmatinya hak-hak ini. Hak-hak dalam rumpun kebebasan individu atau kebebasan internal (forum internum) adalah: (1) Hak untuk bebas menganut dan berpindah agama; dan (2) Hak untuk tidak dipaksa menganut atau tidak menganut suatu agama. Sedangkan kebebasan eksternal atau kebebasan sosial (forum externum) dimungkinkan dalam situasi khusus tertentu negara membatasi hak-hak ini, namun dengan prasyarat yang ketat berdasarkan prinsip siracusa. Hak yang termasuk dalam rumpun kebebasan eksternal atau kebebasan sosial (forum externum) adalah: (1) Kebebasan untuk beribadah baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik secara tertutup maupun terbuka; (2) Kebebasan untuk mendirikan tempat ibadah; (3) Kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol agama; (4) Kebebasan untuk merayakan hari besar agama; (5) Kebebasan untuk menetapkan pemimpin agama; (6) Hak untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama; (7) Hak orang tua untuk mendidik agama kepada anaknya; (8) Hak untuk mendirikan dan mengelola organisasi atau perkumpulan keagamaan; dan (9) Hak untuk menyampaikan kepada pribadi atau kelompok materimateri keagamaan. 5
Pemantauan berkala kebebasan beragama yang dilakukan Setara Institute, yaitu, Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan (2007), Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (2009), Negara Harus Bersikap: Realitas Legal Diskriminatif dan Impunitas Praktik Persekusi Masyarakat atas Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan (2010), Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010 (2011). 6
Setara Institute menggunakan parameter hak asasi manusia, khususnya Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 12/2005 dan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan yang dicetuskan melalui Resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 36/55 pada 25 November 1981. Pemantauan berkala tesebut dilakukan di beberapa provinsi, 4
tersebut mengacu pada framework for communications yang dikembangkan oleh Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan beragama yang penyusunannya didasarkan atas pendekatan pelanggaran. Pendekatan demikian dipahami sebagai upaya untuk memantau sejauh mana negara menjalankan keharusannya menghormati, memenuhi, dan melindungi kebebasan beragama.7 Pemantauan berkala tersebut menunjukan pada 2007 terjadi 135 peristiwa pelanggaran dengan 185 tindakan
pengumpulan data pemantauan diperoleh melalui beberapa metodologi, yaitu, diskusi terfokus, data dari institusi keagamaan dan institusi pemerintah, dan wawancara dengan otoritas pemerintahan dan tokoh masyarakat yang relevan di tingkat daerah pemantauan serta pengamatan melalui media untuk daerah-daerah yang tidak menjadi fokus pemantauan. 7
Pelanggaran kebebasan beragama adalah bentuk kegagalan atau kelalaian negara dalam implementasi seperti campur tangan atas kebebasan orang atau tidak melindungi seseorang atau kelompok orang yang menjadi sasaran intoleransi atau tindak pidana berdasarkan agama atau keyakinan. Dengan demikian, pelanggaran kebebasan beragama adalah tindakan penghilangan, pencabutan, pembatasan atau pengurangan hak kebebasan beragama, yang dilakukan oleh institusi negara, baik berupa tindakan aktif (by commission) maupun tindakan pembiaran (by comission). Terminologi hak asasi manusia yang berhubungan dengan kebebasan beragama adalah intoleransi dan diskriminasi. UNESCO menjelaskan intoleransi sebagai turunan dari kepercayaan bahwa kelompoknya, sistem kepercayaan atau gaya hidupnya lebih tinggi daripada yang lain. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi dari kurangnya penghargaan atau pengabaian terhadap orang lain hingga diskriminasi yang terinstitusionalisasi. Diskriminasi dan intoleransi berdasarkan agama, yaitu, setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan (favoritism) yang didasarkan pada agama atau kepercayaan dan tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan fundamental atas suatu dasar yang sama, seperti tidak mau menerima suatu kelompok atau mengungkapkan dan mengekspos kebencian terhadap kelompok lain berdasarkan perbedaan agama atau keyakinan. Kejahatan intoleransi dan kebencian adalah tindakan yang dimotivasi oleh kebencian atau bias terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan jender, ras, warna kulit, agama, asal negara, dan/atau orientasi seksualnya yang ditujukan untuk menyakiti dan mengintimidasi seseorang karena ras, suku, asal negara, agama, orientasi seksual dan karena faktor differentable. UNESCO melalui UNESCO: Tolerance: the threshold of peace. A teaching/ learning guide for education for peace, human rights and democracy beberapa gejala intoleransi dan indikator perilakunya, yaitu, bahasa, membuat stereotype, menyindir, prasangka, pengkambinghitaman, diskriminasi, pengasingan (ostracism) pelecehan, penajisan dan penghapusan, gertakan (bullying), pengusiran, pengeluaran, segregasi, represi, penghancuran. Kejahatan intoleransi dan kebencian merupakan salah satu tindakan kriminal dengan obyek individu, yang berhubungan dengan kebebasan beragama. Untuk jenis kejahatan ini pertanggungjawaban dialamatkan pada individu-individu sebagai subyek hukum pidana. Sedangkan tanggung jawab negara adalah melindungi setiap orang dari ancaman intoleransi dan memprosesnya secara hukum ketika sebuah kekerasan telah terjadi. Maka ada dua bentuk cara negara melakukan pelanggaran, yaitu, dengan cara melakukan tindakan aktif yang memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur tangan, dan atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan beragama (by commission) dan dengan cara membiarkan hak kebebasan beragama terlanggar, termasuk membiarkan tindak pidana yang terjadi dan tidak diproses secara hukum (by omission). Sedangkan tindakan warga negara ini secara garis besar mencakup tindakan kriminal berupa pembakaran rumah ibadah, intimidasi, kekerasan fisik, dan lain-lain dan tindakan intoleransi. 5
pelanggaran, pada 2008 terjadi 265 peristiwa pelanggaran dengan 367 tindakan pelanggaran, pada 2009 terjadi 200 peristiwa pelanggaran dengan 291 tindakan pelanggaran, dan pada 2010 terjadi 216 peristiwa pelanggaran dengan 286 tindakan pelanggaran.8 Sepanjang rentang tersebut, terutama individu dan kelompok minoritas yang memiliki kecenderungan berbeda dengan mainstream agama masyarakat dan sudut pandang negara, telah menjadi korban dan tetap berada dalam kereentanan pelanggaran kebebasan beragama yang tersebar diberbagai wilayah dengan intensitas beragam. Pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi menandai tindakan aktif negara yang memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur tangan, dan atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan beragama (by commission) dan negara membiarkan hak kebebasan beragama terlanggar, termasuk membiarkan tindak pidana yang terjadi dan tidak diproses secara hukum (by omission). Sedangkan tindakan warga negara ini secara garis besar mencakup tindakan kriminal berupa pembakaran rumah ibadah, intimidasi, kekerasan fisik, dan lain-lain dan tindakan intoleransi.9
8
Pemantauan berkala tersebut menunjukan pada 2007 dari 185 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 92 tindakan pelanggaran. Pada 2008, dari 367 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 188 tindakan pelanggaran. Pada 2009, dari 291 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 139 tindakan pelanggaran. Pada 2010, dari 286 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 103 tindakan pelanggaran. Sedangkan pelangaran oleh warga negara pada 2007, dari 185 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 93 tindakan pelanggaran. Pada 2008, dari 367 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 179 tindakan pelanggaran. Pada 2009, dari 291 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 152 tindakan pelanggaran. Pada 2010, dari 286 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 183 tindakan pelanggaran. Dalam satu peristiwa pelanggaran bisa saja institusi-institusi melakukan sejumlah tindakan pelanggaran bersama-sama. Dan bisa saja beberapa organisasi masyarakat bersama-sama melakukan sejumlah tindakan. Demikian pula antara institusi negara dan organisasi masyarakat bisa saja bersama-sama melakukan beberapa tindakan pelanggaran dalam satu peristiwa pelanggaran. 9
Terhadap pelanggaran kategori by commission dan by omission kerangka hukum untuk mempersoalkannya adalah hukum hak asasi manusia yang terdapat dalam kovenan sipil dan politik 6
Diruang publik pasca Orde Baru yang terbuka, diskursus agama tidak hanya terkait diskursus relasi agama dan politik dialog teologis mengemuka salah satunya diskursus mengenai Ahmadiyah–misalnya terkait argumentasi kenabian pasca Nabi Muhammad juga kitab suci selain Alquran–yang kemudian mengarah pada penodaan agama atau penyimpangan agama yang dilakukan Ahmadiyah terhadap Islam.10 Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) meski tidak menjadi ketetapan hukum yang mengikat sering masyarakat jadikan sebagai legitimasi tindakan diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan. Bahkan aparat negara sering menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman dalam mengambil tindakan terhadap kelompok yang telah dianggap menyimpang.11 Seiring dengan itu, keterbukaan ruang publik pasca Orde Baru dan pendalaman integrasi ekonomi dan politik nasional ke dalam komunitas global ruang publik menandai perkembangan gerakan Muslim. Ruang publik ditandai dan yang terdapat di dalam sejumlah konvensi-konvensi hak asasi manusia yang sudah diratifikasi, konstitusi, dan hukum domestik yang mengatur kewajiban negara. Sedangkan untuk kategori tindakan kriminal yang dilakukan oleh warga negara dan intoleransi, kerangka hukum yang bisa digunakan adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 10
10 kriteria tersebut, yaitu, mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam, meyakini dan atau mengikuti akidah yang tak sesuai dengan Alquran dan Assunah, meyakini turunnya wahyu setelah Alquran, mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Alquran, melakukan penafsiran Alquran yang tak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam, menghina, melecehkan, dan atau merendahkan para nabi dan rasul, mengingkari nabi Muhammad sebagi nabi dan rasul terakhir, mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokokpokok ibadah yang ditetapkan syariah, seperti pergi haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak lima waktu, dan mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan sesama Muslim Karena bukan kelompoknya. Sebelumnya pada 2005, MUI memicu kontroversi di ruang publik ketika mengeluarkan yang berkaitan dengan masalah hak kebebasan berpikir, berekspresi, hak beragama. Musyawarah Nasional MUI ke VII Juli 2005 mengeluarkan 11 fatwa yang hampir seluruhnya menyangkut isu hak-hak asasi manusia seperti kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan berekspresi dan lain-lain. MUI, misalnya, mengharamkan doa bersama antar agama, nikah beda agama, warisan beda agama, pluralisme, sekularisme dan liberalisme hingga salah satu yang sampai saat ini terus menuai polemik, fatwa kesesatan aliran Ahmadiyah dan larangan penyebarannya di Indonesia. 11
The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia: Menapaki Bangsa yang Kian Retak (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), h. 33. 7
kemunculan berlimpah gerakan Muslim setelah selama lebih dari tiga dekade rezim developmentalisme-represif Orde Baru yang membatasi perkembangannya yang identik dengan instabilitas politik Orde Lama. Konsolidasi dan kontestasi diskursus dan aksi kolektif gerakan Muslim pasca Orde Baru dengan agenda yang berbeda serta intensitas dan ekspresi yang beragam diruang publik yang terbuka menandai kemunculan dan perkembangan The Wahid Institute–kemudian ditulis Wahid Institute. Dalam perkembangannya, seperti ditunjukan Mario Diani, selain memiliki bentuk gerakan yang tidak terorganisasi, gerakan sosial juga memiliki kecenderungan muncul dalam yang bentuk terorganisasi, berkelanjutan, dan tantangan kesadaran diri yang menunjukan bagian identitas dari para pelakunya. 12 Sosiologi gerakan sosial tidak hanya mempelajari aksi-aksi kolektif yang tidak melembaga tetapi juga mengarah pada gerakan yang terorganisasi atau melembaga dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Seperti ditunjukan namanya, Wahid Institute didirikan Abdurrahman Wahid yang dikenal publik sebagai intelektual Muslim terkemuka dan keterlibatannya dalam aktivisme civil society maupun politik praktis. Tetapi keterlibatan Wahid dalam aktivisme civil society maupun politik praktis dipandang tidak mereduksi intelektualismenya sebagai pemikir independen. Aktivisme civil society maupun politik praktis Wahid yang seringkali diiringi kontroversi ditandai capaian-capaian tinggiya–diantaranya memimpin Nahdlatul Ulama yang merupakan organisasi Islam terbesar pertama di Indonesia pada
12
Mario Diani, “The Concept of Social Movement”, dalam Kate Nash, editor, Readings in Contemporary Political Sociology (Malden-Massachutes: Blackwell Publishers, 2000), hal. 157. 8
rentang 1984-2009 kemudian menjadi presiden pasca pemerintahan transisi BJ. Habibie. Ketika intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama mengemuka, gerakan konstituensi kebebasan beragama juga menunjukan kecenderungan menguat.
Dalam
konteks
penguatan
kecenderungan penguatan
gerakan
konstituensi kebebasan beragama tersebut salah satunya menandai peran Wahid Institute. Beragam usaha yang dijalankan Wahid Institute diletakan dalam kerangka gerakan sosial yang secara konseptual dijelaskan Turner dan Killian sebagai suatu tindakan kolektif berkelanjutan untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat itu.13 B. Batasan dan Rumusan Masalah Penegasan konstitusi, perundangan-undangan dan ratifikasi kovenan internasional instrumen pokok yang mengatur kebebasan beragama tidak menjadikan implementasi kebebasan beragama menjadi lebih mudah. Seiring dengan itu, gerakan konstituensi kebebasan beragama menunjukan kecenderungan menguat. Penelitian ini membatasi permasalahan pada beragam usaha yang dijalankan Wahid Institute sebagai bagian kecenderungan penguatan gerakan konstituensi kebebasan beragama di Indonesia. Dari batasan masalah demikian, penelitian ini merumuskan tiga masalah yaitu:
13
Ibid., h. 158. 9
1. Bagaimana struktur kesempatan politik pada kemunculan dan perkembangan Wahid Institute? 2. Bagaimana sumber daya mobilisasi gerakan kebebasan beragama Wahid Institute? 3. Bagaimana pembingkaian aksi kolektif gerakan kebebasan beragama Wahid Institute? C. Tujuan Penelitian Dengan demikian penelitian ini mengarah pada tiga tujuan, yaitu: 1. Untuk mengetahui struktur kesempatan politik pada kemunculan dan perkembangan Wahid Institute. 2. Untuk menggambarkan sumber daya mobilisasi gerakan kebebasan beragama Wahid Institute. 3. Untuk memahami pembingkaian aksi kolektif gerakan kebebasan beragama Wahid Institute. D. Mamfaat penelitian Penelitian ini didorong untuk menjadi bagian pengayaan literatur studi-studi gerakan sosial di Indonesia. Sedangkan secara praktis, penelitian ini didorong untuk dapat menjadi bagian dalam usaha mewujudkan kebebasan beragama. Hal ini terutama bagi institusi dan aparatur negara yang terkait dengan implementasi kebebasan beragama maupun beragam civil society penggiat gerakan kebebasan beragama.
10
E. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai kebebasan beragama telah cukup berlimpah. Penelitian mengenai kebebasan beragama diantaranya terfokus pada korban pelanggaran kebebasan beragama, pelaku pelanggaran kebebasan beragama, dan lainnya terfokus pada gerakan kebebasan beragama dan dialog antar umat beragama. Penelitian tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengayaan literatur teoritis dan metodologis bagi penelitian ini. Pada 2010 Setara Institute melakukan penelitian Atas Nama Ketertiban dan Keamanan: Persekusi Ahmadiyah di Bogor, Garut, Tasikmalaya, dan Kuningan. Penelitian Setara Institute ini seiring diskriminasi, intoleransi dan bahkan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah oleh beragam organisasi Islam radikal di wilayah tersebut. Selain menjadi isu yang populis, pembelaan terhadap Islam sangat potensial mendapat pembenaran dan dukungan publik luas. Kelompok Islam garis keras telah memilih isu penolakan berkelanjutan terhadap Ahmadiyah sebagai salah satu agenda politik untuk kepentingan organisasi ini. Penelitian ini dilakukan terhadap jemaat Ahmadiyah di wilayah penelitian dengan melakukan riset lapangan, dan wawancara. Setara institute menunjukan jamaah Ahmadiyah di wilayah penelitian mengalami persekusi, yaitu, tindakan penganiayaan sistematis dalam berbagai bentuknya yang dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap kelompok lainnya. Rangkaian peristiwa yang menimpa jamaah Ahmadiyah menunjukan keberulangan dan sistematis melibatkan organisasi Islam radikal, didukung oleh organisasi korporatis negara MUI, dan dilegitimasi oleh pemerintah dan pemerintah daerah melalui kebijakan yang diskriminitaif dan intoleran. Setara 11
Institute juga menunjukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008, No. 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat pada kenyataannya juga gagal melindungi kebebasan beragama jamaah Ahmadiyah. Pada tahun yang sama Setara Institute melakukan penelitian lainnya, Wajah Para ‘Pembela’ Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya Terhadap Kebebasan Beragma/Berkeyakinan. Penelitian Setara Institute ini seiring dinamika kebebasan beragama di Indonesia dalam rentang 2007-2009 yang ditandai relasi intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama dengan perkembangan beragam organisasi Islam radikal di Jakarta dan Jawa Barat. Penelitian ini memadukan pendekatan kualitatif dengan melakukan riset, wawancara dan focused group discussion dengan organisasi Islam radikal dan pegiat hak asasi manusia dan demokrasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, Cirebon, Tasikmalaya, Garut, dan Cianjur dan pendekatan kuantitatif survey opini publik. Setara Institute menunjukan implikasi anutan doktrin organisasi Islam radikal dalam sejumlah sikap dan perilaku intoleran dan diskriminasi. Perkembangan organisasi Islam radikal seiring kondisi sosial yang intoleran dan kegagalan negara dalam melakukan pencegahan untuk melindungi kelompok lain dan pembiarannya terhadap berbagai pelanggaran kebebasan beragama menjadi lapangan terbuka bagi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Dukungan elite politik ditingkat nasional dan lokal terhadap organisasi Islam radikal dan 12
bangunan jejaring politik antar keduanya menjadikan organisasi ini semakin mendapat dukungan publik yang luas terlebih dalam kondisi intoleransi masyarakat yang terus mengalami radikalisasi pelanggaran kebebasan beragama berada dalam kerentanan untuk terulang.
Konsorsium untuk Kebebasan Sipil menulis Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis Atas Perda Syari`ah yang merupakan upaya mengkritisi berbagai peraturan daerah bernuansa syariah dan melakukan advokasi perubahannya. Penelitian ini terfokus pada gerakan yang dilakukan sejak November 2006 hingga Oktober 2008, Konsorsium untuk Kebebasan Sipil, yang terdiri dari beberapa lembaga di Jakarta, yaitu, Freedom Institute, Lembaga Survei Indonesia (LSI), The Indonesia Institute (TII), dan Jaringan Islam Liberal (JIL), dan individu-individu penggiat penegakan hak-hak sipil. Konsorsium ini menyelenggarakan sejumlah kegiatan mencakup studi kepustakaan, survei opini elite, wawancara radio, lokakarya dengan masyarakat sipil, dan dengar pendapat dengan para elite politik di daerah.
Gerakan ini dimulai dengan dua kali survei opini elite politik yang dilakukan pada Mei 2007 dan Juni-Juli 2008 di beberapa wilayah, yaitu, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Banjar Baru, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Jember, Kota Padang, Kota Tangerang , Kota Bekasi, dan Kota Bogor. Sembilan daerah tersebut, kecuali Kota Bekasi dan Kota Bogor, menerbitkan peraturan daerah bernuansa syariah. Gerakan kemudian mengarah pada kegiatan advokasi melalui lokakarya dengan masyarakat sipil dan dengar-pendapat dengan elite politik yang daerahnya memberlakukan peraturan 13
daerah berdasarkan syariah. Survei opini elite politik dan advokasi kebebasan sipil ditambah dengan liputan media massa yang dijalankan Konsorsium untuk Kebebasan Sipil digerakan menjadi agen sosialisasi dan advokasi kebebasan sipil seiring terbitnya banyak peraturan daerah berdasarkan syariah.
Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yance Zadrak Rumahuru pada 2005 berjudul Peace and Dialogue: Kajian Sosiologi terhadap Dialog dan Inisiatif Damai di Ambon 1999 – 2004. Tesis terfokus pada tema besar dialog dan perdamaian (peace and dialogue) dalam konteks komunitas-komunitas sosial (umat beragama) di Ambon. Penelitian ini dilakukan di Ambon, dengan mengambil fokus pada dua lokasi masing-masing, Negeri Batumerah (negeri Islam) di kecamatan Sirimau dan Negeri Passo (negeri Kristen) di kecamatan Teluk Ambon Baguala di kota Ambon yang merupakan salah satu tempat di mana terjadi pemusatan pertikaian di Ambon 1999-2002. Data yang diperoleh melalui kuesioner yang terdiri dari beberapa pertanyaan dengan pilihan jawaban tertentu dan terbuka. Kedua, melakukan focus group discussion, dengan kelompokkelompok masyarakat setempat. Ketiga, melakukan wawancara mendalam dengan empat belas informan pada kedua negeri.
Penelitian dilakukan di Passo dan Batumerah yang memiliki tingkat kemajemukan yang cukup tinggi, terutama dari latar belakang etnis tetapi secara kultural memiliki kesamaan budaya dan adat istiadat menemukan bahwa pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat sama-sama menggunakan pendekatan struktural dan kultural dalam upaya penghentian dan penyelesaian 14
pertikaian sebagai prasyarat untuk membangun rekonsiliasi dan rehabilitasi di Maluku. Namun demikian, terdapat penilaian oleh komunitas setempat bahwa pemerintah lebih cenderung menggunakan pendekatan yang sifatnya stuktural. Berbeda
dengan
pemerintah,
umumnya
kelompok-kelompok
masyarakat
melakukan dialog dan inisiatif damai melalui pendekatan dari bawah dan menggunakan kearifan atau kebanggaan-kebanggaan lokal setempat yang dalam tesis ini disebut dengan pendekatan kultural.
Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Siti Sarah Muwahidah pada 2007 berjudul Dialog Antariman di Tingkat Akar Rumput: Sebuah Studi Kasus tentang Program-Program Pemberdayaan Dialog Antariman di Jawa Timur merupakan riset lapangan di sebuah dusun kecil di Jawa Timur, Banyu Urip. Peneliti merujuk Swidler yang menjelaskan program antariman tidak bisa hanya dilaksanakan oleh kaum akademisi dan elite agama juga Knitter yang menjelaskan kerjasama antariman di level akar rumput niscaya akan memunculkan dialog antariman. Tesis ini meneliti upaya pemberdayaan antariman yang dimulai oleh sekelompok aktivis Katolik pada 1997 terhadap warga Banyu Urip yang mengalami tekanan secara ekonomi dan politik dan tekanan untuk memilih salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah karena tradisi Kejawen telah dibatasi.
Temuan umum peneliti adalah dalam masyarakat
yang miskin
pengetahuan agama yang mereka anut, dialog tentang agama yang muncul menjadi berbeda dengan apa yang telah dideskripsikan Knitter. Sebuah dialog liberatif menjadi penting untuk mengatasi ketertekanan yang dialami warga dan 15
membentuk suatu forum yang dapat menjadi kontrol atas dusun dan kepentingan bersama serta memperkuat hubungan antaragama di antara mereka. Pemberdayaan antariman telah mendorong warga Banyu Urip memperoleh klaim kepemilikan tanah yang menjadi common ground warga Banyu Urip.
F. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor, seperti dikutip Moleong, menjelaskan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau ucapan dan tindakan yang diamati.14 Pendekatan kualitatif diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. Dalam hal ini, tidak boleh mengisolasikan individu dan organisasi ke dalam variabel dan hipotesis tetapi harus dipandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Karakter penelitian kualitatif, seperti dijelaskan Moleong, yaitu: (1) Berlangsung dalam latar yang alamiah, (2) Peneliti sendiri merupakan instrumen atau alat pengumpulan data yang data, (3) Analisis datanya dilakukan secara induktif.15
Moleong
menjelaskan
beeberapa
pertimbangan
penggunaan
pendekatan kualitatif, yaitu: (1) Pendekatan kualitatif lebih mudah menyesuaikan ketika berhadapan dengan kenyataan ganda, (2) Pendekatan kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, dan (3)
14
Ibid., h. 4.
15
Ibid., h. 4-5. 16
Pendekatan kualitatif lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.16 Sumber dan jenis data dalam penelitian kualitatif menurut Lofland, seperti dikutip Moleong ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen melalui catatan tertulis, atau melalui perekam video, pengambilan foto atau film.17 Kriteria data yang dikumpulkannya adalah data yang pasti. Moleong menjelakan data yang pasti adalah data yang terjadi sebagaimana adanya bukan sekedar data yang terlihat dan terucap tetapi data yang mengandung makna dibalik yang terlihat dan terucap tersebut.18 Data sekunder yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan pihak lain penelitian ini didapatkan dengan survey dokumen catatan peristiwa dalam bentuk tulisan, gambar, dan aktivisme. Survey dokumen dilakukan di kantor Wahid Institute Matraman Jakarta yang sebagian diantaranya juga terdokumentasikan dalam website wahidinstitute.org. Data sekunder penelitian ini juga didapatkan dari berbagai sumber literatur yang relevan dengan fokus penelitian yang dilakukan, antara lain, buku, jurnal, laporan lembaga, dan lainnya. Data sekunder yang
terpencar
yang
diberbagai
sumber
kemudian
direkonstruksi dan
direinterpretasi sesuai dengan kerangka kerja. Data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama penelitian ini didapatkan melalui wawancara yang Moleong jelaskan sebagai sebuah percakapan
16
LJ Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ( Bandung: Remaja Rosdakarya), h. 4.
17
Ibid., h. 157.
18
Ibid., h. 2. 17
dengan maksud tertentu yang dilakukan dua pihak, yaitu, pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang memberikan jawaban pertanyaan tersebut.19 Tujuan wawancara dijelaskan Lincoln dan Guba, seperti dikutip Moleong, adalah untuk merekonstruksi menegnai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain.20 Penelitian ini mengunakan wawancara untuk menghimpun berbagai informasi dari sejumlah informan kunci yang ditentukan berdasarkan relevansi dan kapasitas yang dimilikinya terkait gerakan kebebasan beragama yang dijalankan Wahid Institute. Wawancara dilakukan dengan direktur eksekutif Wahid Institute Ahmad Suaedy dan dua staf Wahid Institute, yaitu, Rumadi dan Alamsyah M. Djafar. Data primer dan sekunder yang terhimpun dari berbagai sumber kemudian dikategorikan sesuai dengan kerangka kerja penelitian ini. Data-data tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analisis sehingga didapatkan kecenderungan umum untuk memberikan gambaran realitas gerakan kebebasan beragama Wahid Institute. G. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu, latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, mamfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Kerangka Teori merupakan penjelasan mengenai istilah konseptual penelitian ini. Pembahasan dimulai dengan penjelasan istilah konseptual gerakan 19
Ibid., h. 137.
20
Ibid., h. 137. 18
sosial. Pembahasan kemudian mengarah pada perspektif gerakan sosial, meliputi, struktur kesempatan politik (political opportunity structure), teori sumber daya mobilisasi (resource mobilization theory), dan pembingkaian aksi kolektif (collective action frames). Bab III Profil The Wahid Institute dimulai dengan pembahasan Wahid yang dikenal publik sebagai intelektual dan capaian keterlibatannya dalam aktivisme civil society dan politik praktis. Pembahasan selanjutnya mengarah pada visi dan misi Wahid Institute. Pembahasan kemudian mengarah pada organisasi Wahid Institute. Bab ini berakhir pada pembahsan program Wahid Institute. Bab IV Gerakan Kebebasan Beragama The Wahid Institute dimulai dengan pembahasan kemunculan Wahid Institute dalam konteks ruang publik pasca Orde Baru yang terbuka. Pembahasan selanjutnya mengarah pada peran bagian kecil generasi muda Nahdlatul Ulama dalam perkembangan Wahid Institute termasuk jaringan kerjanya. Pembahasan kemudian mengarah pada relasi negara, warga negara, dan pelanggaran kebebasan beragama. Pembahasan selanjutnya mengarah strategi gerakan kebebasan beragama civil society Wahid Institute dan pluralisme Wahid Institute. Bab V Penutup dimulai kesimpulan penelitian. Pembahasan kemudian mengarah pada beberapa rekomendasi gerakan kebebasan beragama di masa depan.[]
19
Bab II Kerangka Teori
A. Gerakan Sosial David A. Locher menjelaskan tiga pembedaan gerakan sosial dari bentuk perilaku kolektif lainnya, yaitu: (1) Organized, bahwa gerakan sosial dilakukan secara terorganisasi sedangkan sebagian besar perilaku kolektif tidak terorganisasi baik pemimpin, pengikut, maupun proses gerakannya; (2) Deliberate, bahwa gerakan sosial direncanakan dengan penuh pertimbangan dan perencanaan, sedangkan perilaku kolektif sebaliknya tanpa perencanaan secara intensif; (3) Enduring, bahwa gerakan sosial berada dalam jangka waktu yang panjang hingga beberapa dekade, sementara perilaku kolektif terbatas pada periode yang singkat.21 Para teoritisi sosial memiliki penjelasan beragam mengenai gerakan sosial. Jenkins dan Form menghimpun beberapa penjelasan mengenai gerakan sosial, yaitu, Michael Useem yang menjelaskan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif terorganisasi yang dilakukan untuk mengadakan perubahan sosial. John McCarthy dan Mayer Zald merinci penjelasan gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan dalam distribusi hal-hal apapun yang bernilai secara sosial. Sedangkan Charles Tilly menambahkan corak perseteruan (contentious) atau perlawanan di dalam interaksi antara gerakan sosial dan lawan-lawannya. 21
David A. Locher, Collective Behavior (New Jersey: Prentice Hall, 2002), hal. 233. 20
Tarrow lebih jauh menjelaskan gerakan sosial adalah bentuk paling modern dari politik perseteruan (contentious politics) yang terjadi ketika orang-orang biasa seringkali dalam kerjasama dengan warga negara yang lebih berpengaruh bersama menggalang kekuatan dalam konfrontasi kolektif mereka melawan kelompok elite, pemegang otoritas, dan musuh-musuh politik.22 Pemaparan demikian menandai dua hal. Pertama, gerakan sosial melibatkan tantangan kolektif yakni beragam usaha terorganisasi untuk melakukan perubahan didalam relasi-relasi kelembagaan. Kedua, corak politis yang inheren didalam gerakan sosial terutama terkait dengan tujuan yang ingin dicapai melalui gerakan sosial yang secara tipikal mencakup perubahan di dalam distribusi kekuasaan dan wewenang. Pemaparan demikian menunjukan beragam usaha yang dijalankan Wahid Institute diletakan dalam kerangka gerakan kebebasan beragama yang diarahkan pada terciptanya kehidupan beragama yang toleran seiring mengemukanya intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama yang menandai keterlibatan negara dan warga negara. B. Perspektif Gerakan Sosial Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, para teoritisi sosial semakin menyadari mendesaknya teori atau perspektif yang bersifat integral. Suatu perspektif yang menghimpun pendekatan struktur kesempatan politik (political opportunity structure), teori sumber daya mobilisasi (resource mobilization theory), dan pembingkaian aksi kolektif (collective action frames). Dalam perspektif demikian, unit analisis dalam menggambarkan gerakan sosial tidak 22
Craig Jenkins, J dan William Form, “Social Movements and Social Change”, dalam The Handbook of Political Sociology, editor Thomas Janoski, Robert Alford, Alexander Hicks dan Mildred Schwartz (New York: Cambridge University Press, 2005), p. 1446-1528 21
hanya mengarah pada individu sebagai partisipan gerakan sosial, tapi juga kelompok dan organisasi. Partisipan gerakan sosial berada dalam konteks kultural dan struktural dari gerakan itu. Disinilah konteks struktural organisasi yang mewadahi dan memungkinkan terjadinya mobilisasi sumber daya dan struktur kesempatan politik yang melingkupinya berkaitan dengan motif individual, ideologi, nilai, dan pertimbangan rasional partisipan untuk terlibat dalam suatu gerakan sosial. Kemunculan dan perkembangan gerakan kebebasan beragama Wahid Institute yang kompleks menjadikan penjelasannya sulit tergambarkan dalam satu perspektif gerakan sosial tertentu. Untuk itu, penelitian ini menggunakan perspektif gerakan sosial secara integral untuk menjelaskan beragam usaha yang dijalankan Wahid Institute dalam kerangka gerakan kebebasan beragama. Penjelasan lebih jauh mengenai perspektif gerakan sosial yang dijadikan dasar analisis penelitian ini adalah: 1. Perspektif Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structure) McAdam menjelaskan struktur kesempatan politik adalah pola hubungan antara elite politik, antara partai politik, antara kelompok kepentingan, dan semua ini dengan masyarakat sebagai konstituen.23 McAdam kemudian menghimpun empat dimensi struktur kesempatan politik, yaitu: (1) keterbukaan dan ketertutupan relatif sistem politik; (2) stabilitas atau instabilitas jejaring keterikatan elit; (3)
23
Doug McAdam dan David A.Snow, Social Movemenst: Reading on Their Emergence, Mobilization, and Dynamics (United States: Roxbury Publishing Company, 1997), h. 154. 22
adanya atau tiadanya aliansi-aliansi elit; (4) kapasitas atau kecenderungan negara untuk melakukan represi.24 Perspektif struktur kesempatan politik berupaya menjelaskan kemunculan dan perkembangan suatu gerakan sosial terjadi karena dalam perubahan dalam struktur politik yang dimaknai sebagai kesempatan. Secara umum hambatan atau kesempatan politik bagi gerakan sosial dapat dipilah ke dalam dua kategori, yaitu, pola hubungan tertutup dan pola hubungan terbuka. Pola tertutup menciptakan hambatan bagi gerakan sosial sedangkan pola terbuka membuka kesempatan bagi kemunculan dan perkembangan suatu gerakan sosial sebagai bagian dari relasi politik yang kompetitif antara elite, antara partai politik, dan juga antara kelompok kepentingan. Semakin terbuka kesempatan politik maka semakin membuka kesempatan bagi kemunculan dan pekembangan gerakan sosial. Sebaliknya, semakin tertutup kesempatan politik akan kesempatan bagi kemunculan dan perkembangan suatu gerakan sosial. Namun demikian, hubungan antara struktur kesempatan politik dan kemunculan gerakan sosial tidak bersifat linear tetapi kurvalinear. Eisinger menyatakan suatu gerakan sosial sangat mungkin muncul dalam sistem politik yang menandai adanya percampuran diantara keterbukaan dan ketertutupan struktur kesempatan politik. Karena inilah, menjadi tidak mudah untuk memberikan batasan derajat keterbukaan dalam struktur kesempatan politik yang memunculkan gerakan sosial ini.25
24
Ibid., h. 154.
25
Peter Eisenger, “The Conditions of Protest Behavior in American Cities”, American Political Science Review 67 (1973), h. 11-28. 23
2. Perspektif Teori Sumber Daya Mobilisasi (Resourse Mobilization Theory) Smelser, seperti dikutip Sanderson, menjelaskan beragam tindakan dalam gerakan sosial terjadi karena adanya mobilisasi atas dasar sistem keyakinan yang mengalami proses generalisasi yang terdiri dari hal-hal yang bersifat histeria, keinginan, norma, dan nilai.26 Perspektif sumber daya mobilisasi menunjukan beragam tindakan partisipan dalam gerakan sosial menjadi efektif ketika dijalankan oleh suatu organisasi gerakan sosial. McCarthy menjelaskan sumber daya mobilisasi sebagai sejumlah cara kelompok gerakan sosial melebur dalam aksi kolektif, termasuk didalamnya taktik gerakan dan bentuk organisasi gerakan sosial.27 Tilly, dikutip Muhtadi, menyatakan bahwa salah satu sumber daya yang paling penting adalah jaringan informal dan formal yang menghubungkan individu-individu dengan organisasi gerakan sosial.28 Jaringan seperti dijelaskan Klandermans, juga dikutip Muhtadi, sebagai struktur sosial, yaitu serangkaian hubungan sosial yang mendorong atau menghambat perilaku, sikap, dan kemungkinan partisipan untuk terlibat dalam suatu gerakan sosial. Klandermans kemudian menjelaskan pentingnya kepemimpinan untuk menetapkan sumber daya bagi para partisipan suatu gerakan sosial sedangkan Maguire membagi sumber daya ke dalam dua kategori, yaitu yang tangible yang mencakup uang, ruang, 26
Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, terjemahan (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hal. 60. 27
John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing” dalam Comparative Perspective on Social Movements Political Opportunities, Mobilizing Structure, and cultural Framming, Doug McAdam, John Mc Carthy dan Mayer N Zald, ed (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), h. 141. 28
Burhanuddin Muhtadi, Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia: Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru, h. 9. 24
perlengkapan, dan seterusnya dan intangible yang mencakup kapasitas kepemimpinan, manajerial dan pengalaman organisasi, justifikasi ideologis, taktik dan semacamnya.29 McCarthy menjelaskan dua kategori yang membangun struktur mobilisasi, yaitu, struktur formal dan informal. Dalam struktur mobilisasi informal yang identik dengan gerakan lokal, jaringan kekerabatan dan persaudaraan menjadi dasar bagi rekrutmen gerakan.30 Konsep struktur informal, kemudian berkembang menjadi lebih luas ketika dihubungkan dengan mobilisasi gerakan. Situmorang mengutip Woliver yang menekankan pentingnya faktor ingatan komunitas sedangkan Gamson dan Schmeidler mengidentifikasi beberapa faktor jaringan struktur informal seperti, perbedaan dalam sub-kultur dan infrastruktur protes serta McAdam menjelaskan hubungan formal dan informal di antara masyarakat dapat menjadi sumber solidaritas dan memfasilitasi struktur komunikasi.31 Tetapi McCarthy melihat gerakan sosial yang mempergunakan struktur informal sebagai dasar analisis, belum mampu memetakan struktur informal secara mendalam. Struktur sumber daya mobilisasi memasukan serangkaian posisi sosial dan lokasi dalam masyarakat untuk dapat dimobilisasi dalam suatu gerakan sosial. Kelompok atau organisasi formal memainkan peranan penting dalam
29
Ibid., h. 9.
30
John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing”, h. 141.
31 Ahmad Wahib Situmorang, Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 8.
25
membentuk struktur mobilisasi yang kemudian disebut organisasi gerakan sosial.32 3. Perspektif Pembingkaian Aksi Kolektif (Collective Action Frames) Para teoritisi gerakan sosial memperkenalkan perspektif pembingkaian aksi kolektif untuk menjelaskam mentransformasikan mobilisasi potensial ke dalam mobilisasi aktual dalam upaya menyakinkan kelompok sasaran yang beragam dan luas sehingga mereka terdorong mendesakan perubahan. Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan mobilisasi aksi berhubungan dengan persoalan psikologi sosial klasik mengenai hubungan antara sikap dan perilaku.33 Perspektif pembingkaian aksi kolektif dapat dijelaskan sebagai konstruksi budaya sebagai sistem kesadaran kolektif yang mengandung makna-makna yang menjadi kekuatan legitimasi dan motivasi bagi lahirnya tindakan-tindakan kolektif. Snow dan Benford menjelaskan tiga aspek pembingkaian aksi kolektif gerakan sosial. Pertama, framing diagnostic, berupa identifikasi masalah dan penanggungjawab serta target kesalahan atau penyebabnya. Kedua, framing prognostic, berupa artikulasi solusi yang ditawarkan bagi permasalahanpermasalajan tersebut serta identifikasi strategi, taktik dan target gerakan sosial. Ketiga, pembingkaian motivasi yaitu elaborasi panggilan untuk bergerak atau penjelasan mengenai aksi yang melampaui diagnosis dan prognosis.34
32
John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing”, h. 141.
33
Burhanuddin Muhtadi, Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia: Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru, h. 4. 34
David A Snow dan Robert D Benford, “Ideology, Frame Resonance and Participant Mobilization”, International Social Movement Research 1 (1988), h. 197–217. 26
Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan perspektif psikologi gerakan sosial meliputi tiga hal, yaitu, perasaan tidak adil atas perlakuan terhadap suatu kelompok partisipan, identitas kelompok yang mendefinisikan partisipan gerakan sosial sebagai korban ketidakadilan oleh kelompok sosial lain, rezim, dan agensi.35 Keadaan demikian disebutnya deprivasi relatif yang berkaitan dengan persepsi tentang adanya nilai-nilai prinsip dalam suatu masyarakat yang dilanggar atau tidak ditegakkan oleh pihak berwenang. Namun demikian, penjelasan mengenai deprivasi relatif saja tidak cukup menjadikan seseorang partisipan gerakan sosial. Agensi menjadi krusial untuk memfasilitasi perasaan deprivatif itu, terutama berkaitan dengan efikasi politik. Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan efikasi sebagai perasaan individu bahwa terlibat dalam gerakan bersama dengan anggota yang lain dapat merubah keadaan menjadi lebih baik, juga persepsi bahwa orang lain akan ikut serta dan persepsi bahwa gerakan itu kemungkinan akan sukses.36[]
35
Burhanuddin Muhtadi, Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia: Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru, h. 5-6.
36
Ibid., h. 6. 27
Bab III Profil The Wahid Institute
A. Abdurrahman Wahid: Pendiri The Wahid Institute Abdurrahman Wahid yang juga dikenal publik dengan nama Gus Dur terlahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. Wahid adalah lahir di Denanyar Jombang Jawa Timur pada 4 Desember 1940. Ayahnya, Wahid Hasjim merupakan Menteri Agama pertama yang juga putra Hasjim Asjari, pendiri jamiyah Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar pertama di Indonesia, dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibunya, Solichah adalah putri pendiri pesantren Denanyar Jombang, Bisri Syansuri. Setelah ayahnya meninggal dunia dalam suatu kecelakaan di daerah antara Bandung dan Cimahi pada April 1953, pengasuhan Wahid sepenuhnya dilakukan ibunya. Setelah lulus sekolah dasar, Wahid melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama Gowongan Yogyakata yang dikelola oleh Gereja Katolik Roma. Wahid juga menjalani pendidikan di pesantren Krapyak sampai kemudian berpindah untuk menetap bersama Junaidi, seorang pimpinan Muhammadiyah setempat. Di sekolah ini Wahid didorong guru-gurunya untuk menguasai bahasa Inggris dengan membaca karya-karya berbahasa Inggris, diantaranya, karya John Steinbach, Ernest Hemingway, William Faulkner, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, Karl Marx, Plato, Thales dan beberapa karya penulis 28
Rusia seperti Pushkin, Tolstoy, Mikhail Sholokov dan Dostoevsky dan aktif mendengarkan siaran Voice of America dan BBC London. Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMEP Gowongan Yogyakarta, Wahid melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tegalrejo Magelang dan berpindah ke Pesantren Tambak Beras Jombang. Dua tahun kemudian Wahid berpindah ke Mesir untuk studi Universitas al-Azhar. Dari Mesir Wahid melanjutkan pendidikannya di Departement of Religion di Universitas Baghdad hingga 1970. Setelah dari Baghdad, Wahid melakukan visitasi dibeberapa universitas dan menetap di Belanda selama enam bulan. Wahid yang sebelumnya berkeinginan menjalani studi Islam di Mc Gill University Kanada akhirnya memutuskan untuk kembali Indonesia pada 1971. Kembali ke tanah air, Wahid memulai beragam aktivitas keorganisasian. Pengalaman panjang berorganisasi Wahid sampai meninggal dunia pada 30 Desember 2009, yaitu, wakil ketua Himpunan Pemuda Peladjar Indonesia di Cairo-United Arab Republic (Mesir) (1965), dekan dan dosen Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang (1972-1974), sekretaris umum Pesantren Tebu Ireng (1974-1980), katib awwal PBNU (1980-1984), ketua umum Dewan Kesenian Jakarta (1982-1985), juri Festival Film Indonesia (1986-1987), ketua dewan tanfidz Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1984-2000), ketua Majelis Ulama Indonesia (1987-1992), pendiri dan anggota Forum Demokrasi (1990), anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (1989-1993), Presiden Republik Indonesia (1999-2001), mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (2000-2009), Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur
29
(2002-2009), ketua dewan syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia (1998-2009), penasehat Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (2002), penasehat Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional (2003), pendiri The Wahid Institute (2004-2009).37 Wahid juga dikenal karena aktivitas Internasionalnya, yaitu, anggota dewan Juri The Aga Khan Award for Islamic Architecture (1980-1983), penasehat International Dialogue Project for Area Study and Law, Den Haag, Belanda (1994), Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York, Amerika Serikat (1994-1998), pendiri dan anggota Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel (1994-2009), presiden Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat (2002), anggota Dewan Penasehat Internasional International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat (2002-2009), presiden kehormatan International
Islamic
Christian
Organization
for
Reconciliation
and
Reconstruction (IICORR), London, Inggris (2003-2009), anggota dewan internasional bersama Mikhail Gorbachev, Ehud Barak and Carl Bildt International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel (2003-2009), presiden Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan (2003-2009).38 Atas beragam aktivisme dan kontribusinya Wahid mendapat banyak penghargaan, diantaranya, Magsaysay Award, Manila, Filipina (1993), Islamic Missionary Award, Pemerintah Mesir (1991), Tokoh 1990, Majalah Editor, 37
gusdur.net, “Tentang Kami”, diakses pada 11 Agustus 2012 dari http://www.gusdur.net/ Tentang_Kami 38
Ibid.. 30
Indonesia (1990), Man of The Year, Majalah REM, Indonesia (1998), Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International (2000), Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat (2000), Public Service Award, Universitas Columbia , New York, Amerika Serikat (2001), Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia (2002), Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia. (2002), Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris Dare to Fail, Kuala Lumpur, Malaysia (2003), World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan (2003), Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat (2003), The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia (2004), Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia (2004).39 Wahid juga mendapat gelar Doktor Kehormatan dari beberapa universitas, yaitu, Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (1999), Pantheon Sorborne University, Paris, France (2000), Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000), Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2001), Soka Gakkai University, Tokyo, Japan (2002), Sun Moon University, Seoul, South Korea
39
Ibid.. 31
(2003), Konkuk University, Seoul, South Korea (2003), Netanya University, Israel (2003).40 B. Visi dan Misi The Wahid Institute Wahid Institute memiliki visi mewujudkan prinsip-prinsip dan cita-cita intelektual Wahid untuk membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum Muslim di Indonesia dan seluruh dunia. 41 Misi Wahid Institute mengemban komitmen menyebarkan gagasan muslim progresif yang mengedepankan toleransi dan saling pengertian di masyarakat dunia Islam dan Barat. Wahid Institute juga mengemban misi membangun dialog diantara pemimpin agama-agama dan tokoh-tokoh politik di dunia Islam dan Barat. 42 C. Organisasi The Wahid Institute Memusatkan kegiatan-kegiatan di Jalan Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, dua putri Wahid, Yenny Zannuba Wahid dan Anita Hayatunnufus, menjadi Direktur dan Wakil Direktur. Sedangkan Ahmad Suaedy menjadi Direktur Eksekutif. 43 Staf Wahid Institute, yaitu, Rumadi, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Rifa Ilyasa, Badrus Samsul Fata, Alamsyah M. Dja'far, Ahmad Farid, Nurun nisa', 40
Ibid..
41
The Wahid Institute, “Tentang Kami”, diakses pada 11 Agustus 2012 dari http://wahidinstitute. org/Tentang_ Kami 42
Ibid..
43
Ibid.. 32
Ulum Zulvaton, Sri Handayani, Shinta Saraswati, Kharisma Pratiwi, Visna, Wiwit R. Fatkhurrahman, Muntaat, Ahmad Firdaus, Trisno. Outsourcer Wahid Institute, yaitu, Christopher Paul Holm (copy editor) Arif Hakim Budiawan (translator).44 Rekanan Wahid Institute, yaitu, Siane Indriani, Priya Sembada, KH. Husein Muhammad, Rm. Benny Susetyo, JH Wenas, Acep Zamzam Noer, M. Syafiq Hasyim, Farha Ciciek, A. Rumadi, Marzuki Wahid, Bisri Effendy, Trisno S. Susanto, M. Jadul Maula, M. Imam Aziz, Abdul Moqsith Ghazali, Hikmat Budiman, Mufti Makarim al-Akhlaq.45 Beberapa figur terkemuka menjadi penasehat Wahid Institute, yaitu, K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Prof Dr. Nurcholish Madjid (alm), K.H. A. Mustofa Bisri, Dr. Alwi Abdurrahman Shihab, Prof . Nasr Hamid Abu Zaid, Prof. Abdullahi Ahmed An-Naim, Prof. Mitsuo Nakamura, Luhut B. Panjaitan, Wimar Witoelar. Supervisors Wahid Institute, Drs. M. Sobary, MA, Dr. Moeslim Abdurrahman, Prof. Dr. Mahfud, MD, Lies Marcoes Natsir, MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar Wahid, Yahya C. Staquf, Adhie M. Massardi, Prof. Dr. Sue Kenny. 46 D. Program The Wahid Institute Sejak kemunculannya di ruang publik 7 September 2004, Wahid Institute secara konsisten menjalankan beragam usaha untuk mewujudkan visi dan misi gerakannya. Wahid Institute, seperti ditunjukan The Wahid Institute: Seeding
44
Ibid..
45
Ibid..
46
Ibid.. 33
Plural and Peaceful Islam Annual Report 2011, menjalankan beragam program, yaitu: 1. Forum Diskusi, Seminar & Dialog Program ini bertujuan membangun pemahaman dan mengkampanyekan Islam sebagai pembawa rahmat dan perdamaian semesta. Lingkup kerjanya untuk masyarakat Indonesia dan dunia internasional. 2. Center for Islam and Southeast Asian Studies (CISEAS) Divisi ini menjalin kerjasama Wahid Institute dengan kaum muslim progresif di Asia dalam mengkaji perkembangan muslim minoritas di Asia, antara lain Filipina Selatan, Penang, Singapura, Kamboja, Vietnam, Bali dan Nusa Tenggara Timur. 3. Capacity Building untuk Gerakan Muslim Progresif di Indonesia Program pengembangan kapasitas ditujukan bagi jaringan Wahid Institute di berbagai kota di Indonesia, baik individu maupun lembaga swadaya masyarakat progresif. 4. Pendidikan Program-program pendidikan informal dalam bentuk pelatihan-pelatihan digelar untuk mengembangkan visi toleransi dan pluralisme. Divisi ini juga sedang merintis berdirinya Universitas Abdurrahman Wahid. 5. Advokasi Isu-isu pluralisme dan toleransi agama agar regulasi, maupun penanganan kasuskasus aktual lebih adil terhadap minoritas.
34
6. Penguatan Ekonomi Rakyat Wahid Institute merintis penguatan ekonomi rakyat berbasis komunitas. Salah satunya dengan membentuk WI Coop, koperasi Wahid Institute yang menaungi unit-unit usaha kecil. 7. Beasiswa Tiap tahun ratusan murid SMP/MTs dan SMA/MA di seluruh Indonesia menerima manfaat beasiswa ini. Program ini bernama Beasiswa Riyanto, untuk menghormati anggota Banser Nahdlatul Ulama yang gugur saat berusaha menyingkirkan bom Natal tahun 2000 di Mojokerto. Program ini bertujuan untuk menciptakan anak-anak Indonesia yang berpendidikan dan berorientasi pada perdamaian, toleransi dan kebhinnekaan. 8. Publikasi Wahid Institute menerbitkan beragam media untuk menginformasikan dan mengampanyekan perkembangan toleransi dan demokrasi di Indonesia. Media tersebut adalah: a. Situs Internet Dua situs yaitu www.gusdur.net dan www.wahidinstitute.org disajikan dwi bahasa Inggris dan Indonesia. b. Film Dokumenter Film-film ini dibuat guna mempromosikan Islam, toleransi dan demokrasi. c. Sisipan Majalah Wahid Institute bekerjasama dengan majalah-majalah terkemuka Indonesia menerbitkan artikel bertema wajah Islam Indonesia yang ramah. 35
d. Sisipan Surat Kabar Bersama koran lokal menerbitkan artikel mengenai potensi jaringan Islam progresif di daerah. e. Bulletin Nawala Bulletin Nawala terbit setiap 3 (tiga) bulan untuk merespon dan memberi analisis berbagai isu keagamaan. f. Monthly Report on Religious Issues Bulletin ini melaporkan fakta-fakta peristiwa keagamaan dari berbagai wilayah di Indonesia. Laporan ini disusun bekerjasama dengan sejumlah jaringan Wahid Institute. g. Laporan Tahunan Situasi Kehidupan Beragama di Indonesia Sejak 2008, Wahid Institute senantiasa membuat laporan kehidupan beragama di Indonesia, baik menyangkut tindakan intoleransi maupun pelanggaran kebebasan beragama. Laporan tahunan situasi kehidupan kebebasan beragama diluncurkan di setiap akhir tahun. h. Penerbitan Buku Penerbitan buku dimaksudkan untuk mendesiminasi gagasan dan visi intelektual Wahid Institute kepada masyarakat secara umum agar masyarakat mempunyai wawasan yang lebih terbuka mengenai isu-isu keagamaan.[]
36
Bab IV Gerakan Kebebasan Beragama The Wahid Institute
A. Keterbukaan Ruang Publik dan Kemunculan The Wahid Institute Abdurrahman Wahid yang kelak mendirikan Wahid Institute dikenal publik luas sebagai intelektual Muslim terkemuka yang memiliki latar keluarga yang sangat dihormati di kalangan Muslim tradisional. Wahid adalah cucu pendiri utama Nahdlatul Ulama, Hasjim Asjari, dan anak intelektual-ulama terkemuka Nahdlatul Ulama yang juga pernah menjadi Menteri Agama pada masa Orde Lama, Wahid Hasjim. Tidak hanya dikenal sebagai intelektual Muslim terkemuka, Wahid juga dikenal publik karena keterlibatannya dalam aktivisme civil society dan politik praksis. Namun demikian, keterlibatan Wahid dalam aktivisme praksis dipandang tidak mereduksi intelektualitasnya sebagai pemikir independen, tetapi justru memperkuat kematangan aktivisme praksis Wahid. Wahid tidak hanya menguasai literatur Islam tetapi juga literatur Barat. Hal ini salah satunya karena latar pendidikan Wahid yang setelah belajar dibeberapa pesantren tradisional, Wahid muda melanjutkan belajar di Universitas al-Azhar, Mesir dan Universitas Baghdad, Irak serta visitasi dibeberapa universitas Eropa dan Amerika. Setelah delapan tahun belajar di Timur Tengah, Eropa, dan Amerika, pada 1971 Wahid kembali ke Jombang yang merupakan basis kaum Muslim tradisional terutama Nahdlatul Ulama. Wahid segera berhadapan dengan dua tantangan besar dikalangan Nahdlatul Ulama, yaitu, 37
tantangan modernisasi yang dijalankan rezim developmentalisme-represif Orde Baru dan ketegangan keduanya terutama setelah Nahdlatul Ulama meraih hasil cukup signifikan pada pemilihan umum 1971. Pada permulaan kenaikannya, Orde Baru memulai upaya-upaya pemulihan ekonomi untuk mengalihkan perhatian rakyat dari politik. Pemerintah Orde Baru mengubah wawasan nasional dari politik-sebagai-panglima Orde Lama, menjadi ekonomi-sebagai-panglima Orde Baru. Dalam perkembangannya, ruang publik yang sangat dibatasi tidak hanya menjadikan masyarakat tidak dapat mengembangkan gagasan dan praktik politik selain dari apa yang telah didiktekan oleh negara bahkan menghadapi konfrontasi negara. Pada tahap ini politik menjadi wilayah yang harus dihindari. Watak rezim Orde Baru digambarkan Benedict Anderson, seperti dikutip Latif, sebagai rezim yang telah begitu jauh dari suara nurani rakyat dan tidak memberika ruang umpan-balik dalam persoalanpersoalan kebijakan dan tidak peka dengan kebutuhan-kebutuhan publik sebagai sebuah negara yang kuat, monolitik, dan memiliki tujuannya sendiri atau negarademi-dirinya sendiri.47 Rezim Orde Baru kemudian menggunakan beragam cara represif untuk mengekang kebebasan berbicara, berkumpul, dan kritik intelektual di ruang publik karena dianggap dapat menjadi ancaman-ancaman serius bagi pembangunan ekonomi
dan
stabilitas
politik
yang
dijalankan.
Hampir
sepanjang
pemerintahannya, penekanan pada pentingnya pembangunan ekonomi dan stabilitas politik berimplikasi besar pada demoralisasi gerakan Muslim yang oleh 47 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke20 (Bandung: Mizan, 2005) h. 455.
38
pemerintahan Orde Baru dianggap turut bertanggung jawab besar atas kekacauan ekonomi dan politik pada masa Orde Lama.48 Wahid merupakan salah satu eksponen terpenting gerakan pembaruan Islam dalam upaya-upaya rekonsiliasi Islam dan negara ini kemudian dikenal dengan. Ketika keretakan hubungan Islam dan negara sangat terkait erat dengan dimensi-dimensi teologis dan filosofis politik Muslim yang mempengaruhi pembentukan gagasan dan gerakan Muslim Orde Baru. Wahid menjalankan upaya-upaya memperbaiki
keretakan hubungan ini turut mempengaruhi
kemunculan intelektualisme Islam baru ketika itu. Wahid mengembangkan sebuah format baru hubungan Islam dan negara di mana substansi, bukan bentuk, yang menjadi orientasi terpenting gagasan dan gerakan Muslim.49
48
Latif (2005:573) menunjukan respons terbelah gerakan Muslim kontrol atas kebebasan dan partisipasi politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Pertama, respons untuk tidak kooperatif terhadap pemerintah Orde Baru yang ditandai sikap kritis terhadap ortodoksi negara Orde Baru. Terhadap pendukung respons tidak kooperatif ini, rezim developmentalisme-represif selanjutnya menghalangi peran politik mereka dan menyingkirkan figur-figur gerakan ini secara sosio-politik. Besarnya tekanan pemerintahan Orde Baru terhadap pendukung respons ini kemudian menggeser orientasi gerakan politik ke gerakan pendidikan dan dakwah yang menjadi fondasi bagi pembentukan solidaritas dan identitas kolektif. Ruang publik yang tidak cukup kondusif untuk gerak perkembangannya, gerakan dakwah menemukan pilihan mobilisasi tindakan kolektif baru yang berbasis di masjid universitas, terutama masjid universitas-universitas sekuler. Kedua, respons kooperatif terhadap pemerintahan Orde baru yang ditunjukkan dengan kecenderungan akomodisionis terhadap rezim developmentalisme-represif Orde Baru. Bagi pendukung respons ini, keretakan hubungan Islam dan negara sangat terkait erat dengan dimensidimensi teologis dan filosofis politik Muslim yang mempengaruhi pembentukan gagasan dan gerakan Muslim. Upaya-upaya memperbaiki keretakan hubungan negara dan agama telah turut mempengaruhi kemunculan intelektualisme Islam baru yang mengembangkan sebuah format baru hubungan Islam dan Negara di mana substansi, bukan bentuk, yang menjadi orientasi terpenting. Upaya-upaya rekonsiliasi Islam dan negara ini kemudian dikenal dengan gerakan pembaruan Islam. 49
Intelektualisme Wahid juga dipengaruhi pergaulannya dengan beragam komunitas, terutama intelektual pembaruan di Jakarta. Sejak 1970-an, Wahid telah menjalin hubungan Tawang Alun, Dawam Rahardjo, dan Adi Sasono yang merupakan intelektual Himpunan Mahasiswa Islam yang juga menggerakan lembaga swadaya masyarakat. Wahid diminta untuk mengambil bagian dalam proyek pengembangan masyarakat pesantren yang dirancang dua lembaga swadaya terkemuka ketika itu, yaitu, Lembaga, Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES, berdiri 1971) dan Perkumpulan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M, berdiri 1983). Wahid juga diundang untuk bergabung dengan lingkaran intelektual pembaruan Lembaga 39
Komitmen Wahid yang besar terhadap pluralisme, kepentingan nasional, dan demokrasi tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik. Komitmen besar membela kepentingan kaum Muslim tradisionalis, mendorong Wahid membela kepentingan meredakan ketegangan dengan rezim Orde Baru melalui peran besarnya dalam penerimaan Nahdlatul Ulama terhadap Pancasila sebagai asas tunggal. Begitu pula ketika kebijakan pemerintah untuk melakukan fusi partaipartai politik Islam yang ada, termasuk Nahdlatul Ulama, dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973 dalam perkembangannya memarjinalisasi keberadaan Nahdlatul Ulama selain perkembangan wacana agama dan transformasi sosial dan ekonomi telah mendorong terjadinya perubahan sosial dan pemikiran dalam Nahdlatul Ulama. Seperti yang dijelaskan van Bruinessen, konflik-konflik kepentingan agama, politik, dan ekonomi menjadi praktik-praktik di luar wacana kembali ke khittah yang justru banyak berpengaruh pada pembentukan wacana tersebut.50 Muktamar 1984 di Situbondo kemudian memutuskan Nahdlatul Ulama menarik diri sepenuhnya dari PPP dan kembali ke khittah dengan memilih Siddiq sebagai Rais Am Syuriah dan Wahid sebagai Ketua Tanfidziyah. Kembali ke khittah, seperti ditunjukan Hikam, telah menjadi strategi untuk memperluas
Kebajikan Islam Samanhudi (LKIS, berdiri 1974) yang mengembangkan pembangunan alternatif dan penelitian Islam bersama Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, AM Fatwa, Fahmi Saefuddin, Abdullah Sjarwani dan forum diskusi plural Majelis Reboan (berdiri 1984). Hal ini mengarah pada perumusan pada pribumisasi Islam yang kemudian menjadi paradigma Islam Wahid. Melalui paradigma pribumisasi Islam Wahid kaum Muslim tradisionalis memiliki argumen-argumen intelektual dalam praktik historis keagamaannya yang sangat penting dalam merespons kritik terutama dari pembaru-modernis sekaligus menjadi argumen baru peletakan kepentingan Islam dibawah kepentingan nasional. 50
Martin van Bruinessen, “Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Pasca Khittah: Pergulatan NU Dekade 1990-an”, dalam Ellyasa KH Dharwis, ed., Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKIS, 1994), h. 61-88. 40
kembali ruang politik negara otoritarian Orde Baru yang semakin menyempit. Dalam perkembangannya, menarik diri sepenuhnya dari perpolitikan partai dan berkonsentrasi pada permasalahan sosial dan budaya masyarakat, Nahdlatul Ulama tumbuh menjadi kekuatan dalam civil society yang menandingi pemerintahan Orde Baru.51 Dalam kepemimpinan Wahid pada rentang 1984-1999 hubungan Wahid dan Nahdlatul Ulama dengan rezim Orde Baru ditandai hubungan rapat-renggang. Posisinya sebagai intelektual mendorong Wahid untuk terlibat dalam kampanye mengenai pluralisme, demokrasi dan hak asasi manusia bersama aktivis-aktivis lembaga swadaya masyarakat yang sering menunjukan kecenderungan berbeda bahkan berlawanan dengan pemerintah Orde Baru. Wahid menjadi oposisi penting merespons pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang merupakan bagian akomodasionisme Orde Baru terhadap politik Muslim ketika itu. Didorong komitmennya pada pluralitas dan kecemasan terpinggirnya kepentingan Muslim tradisional yang selama ini dibelanya Wahid menjadi salah satu oposisi terpenting atas kemunculan dan perkembangan ICMI.52 Keadaan tidak mengalami banyak perubahan sampai krisis ekonomi pada akhir dekade 1990-an yang bergerak meluas pada krisis sosial dan politik.
51
Muhammad AS Hikam, “Khittah dan Penguatan Civil Society di Indonesia: Sebuah Kajian Historis Struktural Atas Nahdlatul Ulama Sejak 1984”, dalam Ellyasa KH Dharwis, ed., Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKIS, 1994), h. 135-166. 52
Dalam perkembangannya, Wahid menjalin relasi dengan intelektual lain untuk kemudian mendirikan Forum Demokrasi (FORDEM) yang menghimpun 45 intelektual terkemuka dan Wahid menjadi ketuanya. Intelektual terkemuka yang bergabung bersama Wahid dalam FORDEM, diantaranya, Bondan Gunawan, Djohan Effendi, YB Mangunwidjaja, Todung Mulya Lubis, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, Daniel Dhakidae, Mudji Sutrisno, D. Riberu, Frans Magnis-Suseno, Arief Budiman, Ghafar Rahman, Aswab Mahasin, dan Sutjipto Wirosardjono. 41
Meskipun sebelumnya tentu saja menjalankan usaha-usaha mengatasi beragam krisis yang terjadi, sangat jelas terlihat bahwa Soeharto telah kehilangan kendali atas birokrasi, Golongan Karya (Golkar), dan militer yang menjadi pilar kekuasaannya. Sedangkan tuntutan atas pengunduran dirinya yang dipelopori terutama oleh mahasiswa, para intelektual, dan aktivis politik mengemuka di seluruh negeri. Berbeda dengan krisis ekonomi pertengahan dekade 1960-an yang dapat diatasi, krisis ekonomi pada akhir dekade 1990-an memaksa memaksa Soeharto untuk mengakhiri lebih dari tiga dekade kekuasaan rezim Orde Baru. Pengunduran diri Soeharto dan kenaikan Wakil Presiden BJ Habibie menggantikan Soeharto menandai awal bergulirnya era reformasi. Segera saja Habibie menjalankan kebijakan-kebijakan yang mendorong terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan nilai-nilai demokrasi. Era reformasi menandai perubahan yang signifikan bagi perkembangan gerakan Muslimyang kemudian mengarah pada fragmentasi dalam berbagai orientasi partai politik. Pada pertengahan 1998, Wahid bersama arus besar pemimpin Nahdlatul Ulama Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kemudian menjadi salah satu partai dengan perolehan suara terbesar pada pemilihan umum 1999. Aliansi Wahid dengan partai-partai Muslim pada pemilihan umum 1999 dan politisi-politisi Muslim Golkar menjadikan Wahid terpilih sebagai presiden pasca pemerintahan transisi Habibie. Wahid menyisihkan Megawati Soekarno Putri yang dicalonkan partai pemenang pemilihan umun 1999–Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).53
53
Terpilihnya Wahid yang dicalonkan oleh Poros Tengah yang didukung partai-partai politik Muslim, baik yang menggunakan Islam atau Pancasila sebagai asas partai mengejutkan banyak 42
Pemerintahan pasca transisi reformasi Wahid ditandai dengan tantangantantangan besar dan kebijakan-kebijakan politik Wahid yang memicu kontroversi diruang publik yang terbuka.54 Seiring dengan itu, hubungan Wahid dan poros tengah, partai pendukung pemerintahannya, dan militer ditandai konflik tanpa penyelesaian,55 Wahid dikaitkan dengan dua skandal, yaitu, skandal Buloggate dan Bruneigate. Kekecewaan-kekecewaan politik mendorong Rais untuk mengumpulkan elite politik dalam usaha pemakzulan Wahid dengan mengarahkan dilaksanakannya Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 23 Juli 2001. Meski melakukan perlawanan politik atas pemakzulan dirinya dengan mengeluarkan dekrit presiden,56 pada akhirnya Wahid menerima pemakzulan dirinya untuk kemudian digantikan Megawati dan Hamzah Haz sebagai wakil presiden.
kalangan, tidak saja karena perolehan suara PKB hanya 12,60% dari total suara atau 54 kursi di parlemen tetapi juga karena sebelumnya PKB cenderung memberikan dukungan kepada Megawati, yang kemudian menjadi lawan Wahid, yang dicalonkan partai pemenang pemilu 1999 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memperoleh 35,68% dari total suara atau 153 kursi di parlemen. 54
Beberapa kebijakan politik Wahid yang memicu kontroversi diruang publik membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial yang Wahid anggap membatasi kebebasan sipil dan korup. Reformasi militer dan membatasi militer dari ruang sosial-politik. Instabilitas Aceh, Maluku, dan Irian Jaya yang kemudian digantinya dengan nama Papua. Wahid juga mengusulkan agar Ketetapan MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut dan inisiatifnya membuka hubungan dengan Israel. 55
Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan Hamzah Haz mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan November. Wahid juga meminta Jendral Wiranto yang menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan sebagai bagian reformasi militer. Dalam rentang waktu yang berdekatan Wahid memberhentikan Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail. Terakhir, ketika menjelang pemerintahannya berakhir Wahid memberhentikan Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001. 56
Dekrit yang berisi; (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar. 43
Setelah tidak lagi menjadi presiden, selain aktivismenya sebagai ketua dewan syura PKB,57 Wahid juga dengan aktivisme civil society dengan mendirikan Wahid Institute atas inisiatifnya sendiri juga inisiatif Gregorius Barton, Yenni Zannuba Wahid, dan Ahmad Suaedy. Dipersiapkan selama kurang lebih satu tahun, Wahid Institute kemudian dikenalkan ke publik luas pada 7 September 2004. Suaedy menunjukan konteks keterbukaan ruang publik seiring terjadinya perubahan struktur kesempatan politik pasca Orde Baru telah memungkinkan kemunculan dan perkembangan Wahid institute.58 Sehingga pasca Orde Baru dinamika gerakan Muslim tidak lagi didominasi dua organisasi massa Islam terkemuka, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Ruang publik pasca Orde Baru yang terbuka ditandai aktivisme organisasi-organisasi Muslim kecil, diantaranya, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Islamiyah (JI), Jaringan Islam Liberal (JIL), The Wahid Institute, Maarif institute, dan lainnya. Dalam keterbukaan terhadap kondisi-kondisi post-modern dan semakin mendalamnya penetrasi globalisasi salah satunya mengarah pada antitesis penguatan liberalisme
57
Sejak pediriannya PKB tidak terlepas dari Konflik internal partai. Konflik yang terjadi selalu melibatkan Ketua Dewan Syura DPP PKB Wahid sebagai tokoh sentral yang mempengaruhi seluruh kebijakan dengan beberapa orang yang dianggap Wahid sudah tidak sejalan dengannya, misalnya saja kasus pemecatan Mathori Abdul Djalil, kasus penggusuran Alwi Shihab, pemberhentian Choirul Anam, hingga konflik yang terjadi dengan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidziyah yang dalam perkembangannya perpecahan melibatkan massa di masing-masing kubu. Kubu Wahid menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa di Parung sedangkan Kubu Muhaimin Iskandar menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa di Ancol. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian Mahkamah Agung mensahkan PKB kubu Muhaimin Iskandar. 58
Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute (26 Maret 2012). 44
Islam dan radikalisme Islam maupun pengembangan hibriditas diantara tradisitradisi kultural yang berbeda. Hal ini ditandai perkembangan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Islamiyah (JI). Wahid Institute menghimpun latar belakang kenaikan organisasi Islam radikal, pertama, adanya keyakinan yang sangat mendalam pada diri umat Islam bahwa Islam adalah agama paling sempurna yang tidak hanya terkait urusan ukhrawi tetapi juga duniawi. Kedua, adanya kegelisahan dikalangan sebagian umat Islam mengenai demoralisasi masyarakat. Ketiga, Islam merupakan agama yang dipeluk mayoritas masyarakat. Keempat, hukum yang berlaku di Indonesia sebagian besar berasal dari kolonial. Kelima, secara konstitusional tidak ada larangan ajaran dan hukum Islam menjadi hukum negara. Keenam, konteks di atas semakin menguat ketika otonomi daerah diberlakukan. 59 Kemunculan Wahid Institute kemunculan dan perkembangan beragam gerakan Muslim pasca Orde Baru. Dalam pandangan Alamsyah M. Djafar, staf Wahid Institute, kemunculan Wahid Institute tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan kenaikan radikalisme Islam seiring keterbukaan ruang publik pasca Orde Baru.60 Dalam konteks demikian, seperti dituturkan Suaedy, diskursus dan aksi-aksi kolektif gerakan Muslim pasca Orde Baru menandai
59
The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia: Menapaki Bangsa yang Kian Retak, h. 24-25. 60
Wawancara dengan Alamsyah M Djafar, Staf The Wahid Institute (19 September 2012). 45
kemunculan dan perkembangan Wahid Institute yang mengemban komitmen pada pluralisme, demokrasi dan hak asasi manusia. 61 B. Generasi Muda Nahdlatul Ulama dan Perkembangan The Wahid Institute Para teoritisi menjelaskan istilah konseptual institute dengan dipertukarkan beberapa istilah, yaitu, pranata sosial, institusi sosial, dan lembaga sosial. Horton dan Hunt menjelaskan lembaga sosial sebagai suatu sistem norma yang ada dalam masyarakat dan menyatukan nilai tentang prosedur pemenuhan kebutuhan dasar anggota masyarakat.62 Mac Iver dan Page menjelaskan institusi sosial sebagai prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok kemasyarakatan yang dinamakan asosiasi. Von Wiese dan Becker menjelaskan institusi sosial sebagai suatu jaringan proses hubungan antar kelompok manusia untuk memelihara hubungan tersebut serta polanya sesuai kepentingan manusia dan kelompok. Summer menjelaskan institusi sosial sebagai perbuatan, cita-cita, dan perlengkapan kebudayaan masyarakat. 63 Gillin dan Gillin, seperti dikutip Soemardjan dan Soemardi, menjelaskan karakteristik umum pranata sosial. Pertama, pranata sosial terdiri dari seperangkat organisasi daripada pemikiran dan pola perilaku yang terwujud dalam aktivitas kemasyarakatan. Kedua, pranata sosial itu relatif mempunyai kekekalan tertentu. Ketiga, pranata sosial itu memiliki tujuan yang ingin dicapai. Keempat, pranata
61
Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute (26 Maret 2012).
62
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto ed., Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 216. 63
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 218219. 46
sosial merupakan alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuannya. Kelima, pranata sosial pada umumnya dilakukan dalam bentuk lambang. Keenam, pranata sosial itu mempunyai dokumen baik yang tertulis maupun tidak tertulis.64 Wahid Institute menjadi bagian perkembangan intelegensia Muslim kekinian yang dijelaskan Shills berperan menjadi penyeru, pemimpin, dan pelaksana dari politik nasional.65 Gella menjelaskan keyakinan-keyakinan, sikapsikap moral, dan perilaku politik dari pemimpin ini tidak sepenuhnya diadopsi oleh para anggota komunitas intelegensia, namun pada umumnya seorang anggota biasa dari strata intelegensia mempertahankan identitas kolektif intelegensia dengan menirukan perilaku dan paling tidak secara verbal, norma-norma dasar serta orientasi nilai dari para pemimpin intelektual dari strata ini yang menjalankan peran sebagai perumus artikulator identitas kolektif.66 Perkembangan pemikiran masyarakat Muslim tradisional pada dekade 1980-an ditandai peran besar Wahid, Achmad Siddiq, Sahal Mahfudz, Masdar Masudi, dan lainnya. Peran mereka dalam menjalankan beragam usaha untuk menjadikan fiqh sebagai instrumen yang mampu menelaah masalah-masalah sosial, politik, budaya, dan ekonomi kontemporer. Terlebih kenaikan Wahid pada muktamar 1984 yang menandai terjadinya transformasi generasi di organisasi massa Islam terbesar di Indonesia ini. Kenaikan Wahid juga menandai dijalankannya reformasi politik di tubuh Nahdlatul Ulama dengan memutuskan
64
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto ed., Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, h. 220.
65 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke20, h. 5. 66
Ibid., h. 20 . 47
Nahdlatul Ulama kembali ke khittah 1926. Kembali ke khittah kemudian berimplikasi pada liberalisasi pemikiran terhadap paradigma intelektual terutama pada kalangan generasi muda Nahdlatul Ulama secara luas. Perubahan juga didorong pergaulan Wahid dan kalangan Nahdlatul Ulama dengan lembaga swadaya masyarakat. Pada dekade 1980-an dua lembaga swadaya masyarakat terkemuka, yaitu, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Perkumpulan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang menjalankan program pengembangan masyarakat pesantren. Kemajuan sosial ekonomi sejak dekade 1970-an dikalangan Nahdlatul Ulama berpadu pembangunan ekonomi dan pendidikan Orde Baru mendorong kemunculan generasi baru Nahdlatul Ulama yang memiliki latar belakang pendidikan pendidikan ganda, yaitu, pesantren tradisional dan perguruan tinggi, terutama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang kini beberapa diantaranya menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Dengan latar pendidikan yang dimilikinya, generasi muda Nahdlatul Ulama menandai kontinuitas usaha-uasaha penciptaan paradigma fiqh sebagai pandangan dunia masyarakat Muslim tradisional yang dinamis. Benturan gagasan dan langkah dengan para pendahulunya yang memiliki pandangan berbeda dan pergaulan generasi muda Nahdlatul Ulama dengan para intelektual sekuler yang ramah Islam menjadi bagian lain dalam perkembangan generasi muda progresif Nahdlatul Ulama. Dalam konteks itu, peran besar Wahid tidak hanya sebagai payung bagi usaha-usaha generasi muda dalam mengembangkan wacana tradisi intelektual baru tetapi juga menjadi pembela kebebasan intelektual generasi muda
48
Nahdlatul Ulama dari kecaman beberapa kiai yang berupaya mempertahankan paradigma intelektual lama Nahdlatul Ulama. Generasi muda Nahdlatul Ulama progresif ini kemudian bergiat di Nahdlatul Ulama, terutama Lajnah Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM). Tetapi kemunculan berlimpah generasi muda progresif ini tidak sepenuhnya dapat diakomodir struktural formal Nahdlatul Ulama. Selain bergiat di LAKPESDAM, generasi muda ini menggerakan lembaga swadaya masyarakat yang berkonsentrasi pada permasalahan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat terutama menyangkut isu-isu demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, gender, dialog agama-agama dan peradaban serta isu-isu lainnya.67 Bagian kecil dari generasi muda progresif Nahdlatul Ulama kemudian berperan dalam kemunculan perkembangan Wahid Institute. Hal ini ditandai peran Yenny dan Suaedy yang bersama Wahid dan Barton memiliki inisiatif pendirian Wahid Institute. Yenny dan Suaedy kemudian menjadi direktur dan direktur eksekutif Wahid Institute.68 Keduanya tumbuh dalam lingkungan
67
Selain dalam struktural Nahdlatul Ulama, generasi muda progresif Nahdlatul Ulama bergiat di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Santri untuk Advokasi Masyarakat (SYARIKAT), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LKPSM), Jaringan Islam Liberal (JIL), The Wahid Institute, Desantara, Institute for Social Institutions Studies (ISIS), Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), eLSAD, Salsabila, Institute for Social Strengtening (InDIPT), Fahmina Institute, Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS), Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPEK) Averroes, Mahad Aliy, Lembaga Kajian Pengembangan Masyarakat dan Pesantren (LKPMP), Yayasan Pemberdayaan untuk Kesejahteraan Masyarakat Nusa Tenggara Barat (YPKM-NTB) (Ali, 2008:198). 68
Yenny yang bernama Zannuba Ariffah Chafsoh dikenal sebagai aktivis Muslim dan politisi. Meskipun mendapatkan gelar sarjana desain dan komunikasi visual dari Universitas Trisakti, Yenny pernah bekerja di Timor-Timur dan Aceh sebagai koresponden koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age antara 1997 dan 1999. Liputannya mengenai Timor Timur pasca referendum mendapatkan anugrah Walkley Award. Yenny kemudian menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik ketika Wahid menjadi presiden, Kepala Departemen Pengembangan Organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama. Yenny melanjutkan studinya di Harvard Kennedy School of Government dengan beasiswa Mason. Konfliknya dengan Muhaimin Iskandar 49
Nahdlatul Ulama dan memiliki pengalaman panjang serta pergaulan luas aktivisme penggiat Islam moderat, demokrasi, pluralisme, multikulturalisme, hak asasi manusia. Bersama keduanya, seperti dijelaskan Alamsjah, turut serta bagian kecil generasi muda progresif Nahdlatul Ulama dalam perkembangan gerakan Wahid Institute.69 Seiring dengan perkembangan generasi muda progresif Nahdlatul Ulama, keterbukaan dan pendalaman integrasi ekonomi dan politik nasional ke dalam komunitas global ditandai kehadiran badan dunia yang kemudian diikuti lembaga donor. Lembaga-lembaga donor internasional secara intensif menjalankan agenda demokratisasi, konsolidasi civil society, hak asasi manusia, kesetaraan gender, good governance melalui beragam program, yaitu, pendidikan demokrasi, penguatan kelembagaan masyarakat. Suaedy menerangkan kesejalanan agendaagenda yang dijalankan Wahid Institute dan lembaga-lembaga donor internasional terutama terkait kebebasan beragama kemudian mendorong adanya jalinan kerja sama Wahid Institute dengan lembaga-lembaga donor internasional diantaranya
mendorong Yenny mendirikan Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN) yang kemudian berfusi dengan Partai Indonesia Baru (PIB) menjadi Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) dimana Yenny menjadi Ketua Dewan Tanfidz. Sedangkan pengalaman panjang berorganisasi Suaedy, diantaranya, Sekretaris Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Yogyakarta, Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Majalah Mahasiwa ARENA IAIN Sunan Kalijaga, salah satu pendiri Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), pengelola Dialog Antar Iman/Interfiath Dialogue (DIAN/INTERFIDEI) 1994-1997, Wartawan harian Yogya Post dan koresponden majalah TEMPO di Yogyakarta (1991-1993), Kepala program Islam dan penguatan civil society pada Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Pengurus LAKPESDAM (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia). Koordinator Program Islam, demokrasi dan hak asasi manusia Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dari tahun 1997-1999, coordinator program penerbitan di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) (1999-2001), program officer untuk Islam dan civil society di The Asia Foundation (2001-2003). 69
Wawancara dengan Alamsyah M Djafar, Staf The Wahid Institute (19 September 2012). 50
dengan TIFA Foundation dan The Asia Foundation–dua lembaga donor internasional yang berpusat di Amerika Serikat.70 Dari jalinan dengan lembaga-lembaga donor internasional, dalam usahanya memperkuat gerakan kebebasan beragama Wahid Institute jaringan kerjanya dibeberapa wilayah. Alamsjah menyebut beberapa jaringan Wahid Institute dibeberapa wilayah, diantaranya, LENSA Nusa Tenggara Barat, LAPAR Makassar, INCRES Bandung, Fahmina Institute Cirebon, ELSA Semarang, LK3 Kalimatan Selatan, c-MARS Surabaya, LKHI Palembang. 71 Dengan jaringannya dibeberapa wilayah Wahid Institute menjalankan beragam usaha dalam kerangka gerakan kebebasan beragama. C. The Wahid Institute: Negara, Warga Negara, dan Pelanggaran Kebebasan Beragama Kegagalan aparatur negara dalam menjalankan usaha pencegahan terjadinya pelanggaran kebebasan beragama telah menjadi preseden buruk bagi institusi hukum terkait. Terlebih ketika hanya sebagian sangat kecil dari intensitas tinggi
70
Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute (26 Maret 2012).
71
Wawancara dengan Alamsyah M Djafar, Staf The Wahid Institute (19 September 2012). Luasnya pergaulan pegiatnya mendorong Wahid Institute untuk menjalin dengan beragam organisasi gerakan Muslim progresif. Jaringan gerakan Muslim progresif Wahid Institute, diantaranya, CMARs (Center for Marginalized Communities Studies), Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS), Lembaga Studi Kemanusiaan (LenSA), Santri untuk Advokasi Masyarakat (SYARIKAT) Indonesia, Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA), Puspek Averroes, Lembaga Kajian Pengembangan Masyarakat dan Pesantren (LKPMP), Rahima, Pusat Dokumentasi Islam dan Gender, Lembaga Kajian Demokrasi dan Sosial (LeKDaS), Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thayyibah, YPKM Nusa Tenggara Barat, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA), Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Forum Studi Agama dan Sosial (FSAS), Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Fahmina, Ma'had Aliy Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Laboratorium Dakwah Shalahuddin, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), Jaringan Islam Liberal (JIL), Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Desantara - Institute For Cultural Studies. 51
pelanggaran kebebasan beragama yang memperoleh penyelesaian hukum. 72 Seiring dengan itu, pengabaian negara untuk memenuhi hak atas kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi untuk korban pelanggaran kebebasan beragama.73 Laporan Tahunan 2008 Pluralisme Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008 Wahid Institute menyebut menapaki bangsa yang kian retak untuk menggambarkan realitas kebebasan beragama yang ditandai pelanggaran kebebasan beragama dalam intensitas tinggi terutama mengarah pada individu dan kelompok yang memiliki kecenderungan berbeda dari sudut pandang negara maupun mainstream agama masyarakat. Jamaah Ahmadiyah dan Kristiani misalnya salah satu korban pelanggaran kebebasan beragama dalam intensitas tertinggi. Jamaah Ahmadiyah tidak hanya mengalami berbagai bentuk diskriminasi tapi juga mewujud dalam bentuk persekusi, yaitu, bentuk tindakan penganiayaan sistematis dalam berbagai bentuknya yang dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya. 74
72
Dari sekian banyak pelanggaran kebebasan beragama hanya beberapa pelanggaran diproses penyelesaian hukumnya, misalnya sepanjang 2010 Setara Institute mencatat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung atas gugatan yang diajukan oleh jemaat Kristiani terkait dengan pendirian rumah ibadah yang diajukan oleh Gereja dan Amal Katolik Kristus Raja Purwakarta, Gereja HKBP Filadefia Bekasi, dan GKI Taman Yasmin Bogor. Bahkan untuk GKI Taman Yasmin Bogor, Mahkamah Agung juga menguatkan melalui putusan kasasi dan penolakan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemerintah Kota Bogor, Kepolisian dalam kasus penyerangan jemaat HKBP Ciketing Bekasi yang memproses secara hukum pelaku penusukan. Demikian juga polisi memproses pelaku pengrusakan masjid Ahmadiyah Cisalada Bogor hingga ke pengadilan. Juga peranan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang memberikan kontribusi bagi kebebasan beragama, khusus di Bali, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Surabaya. Di tiga propinsi dan satu kota ini, FKUB tidak bertindak sebagai agen sensor jaminan kebebasan beragama sebagaimana yang terjadi di Jawa Barat dan sebagian besar wilayah lainnya, tapi mampu memberikan kontribusi positif bagi penyelesaian sejumlah persoalan terkait jaminan kebebasan beragama (Setara Institute, 2011:87). 73
Setara Institute, Negara Harus Bersikap: Realitas Legal Diskriminatif dan Impunitas Praktik Persekusi Masyarakat atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Jakarta: Setara Institute, 2010), h. 81-82.
74
10 langkah menuju persekusi Jamaah Ahmadiyah. Pertama, membangun solidaritas organisasi Islam radikal melalui dakwah. Kedua, memasang stiker/spanduk penolakan dan permusuhan. 52
Ketika merilis laporan tersebut, Direktur Wahid Institute Yenny menyatakan:75 Selama ini kualitas demokrasi hanya diukur dengan keikutsertaan masyarakat dalam pemilu. Sementara ekspresi beragama cenderung diabaikan.
Dalam perspektif Wahid Institute, intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama yang mengemuka diruang publik berada dalam tiga level permasalahan mencakup level regulasi dalam struktur kenegaraan, kapasitas aparatur penegak hukum, dan permasalahan pada level masyarakat termasuk intoleransi organisasiorganisasi Islam radikal. Ketiga level masalah ini tetap berada dalam kerentanan memicu berulangnya pelanggaran kebebasan beragama yang mengarah pada individu atau kelompok yang memiliki kecenderungan berbeda dengan perspektif negara dan mainstream agama masyarakat. Pertama, Indonesia menyatakan sebagai negara berketuhanan, dengan demikian warga negaranya harus beragama. Dalam implementasinya tidak seluruh agama diperlakukan setara di Indonesia. Ada enam agama yang diakui dan mendapat fasilitas negara (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu), sedang agama-agama yang lain boleh hidup tapi tidak mendapat fasilitas dari negara. Seperti dijelaskan Alamsjah, regulasi terkait kebebasan beragama belum
Ketiga, menggelar tabligh akbar dan membakar emosi umat. Keempat, ancaman penghentian kegiatan ibadah. Kelima, pemerintah daerah berinisiatif untuk memfasilitasi dialog. Keenam, tekanan melalui surat pernyataan. Ketujuh, Musyawarah Pimpinan Daerah mengeluarkan surat keputusan bersama atau produk kesepakatan. Kedelapan, jika tidak berhenti maka terjadi penyerangan oleh massa. Kesembilan, Bupati melalui Satuan Polisi Pamong Praja melakukan penyegelan. Kesepuluh, pembiaran oleh pihak kepolisian (Setara Institute, 2010:80-82). 75
The Wahid Institute, “Toleransi Yang Kian Rendah Meretakkan Bangsa”, diakses pada 18 Agustus 2012 dari http://www.wahidinstitute.org/Program/Detail/?id=411/hl=id/Toleransi_Yang_ Kian_Rendah_Meretakkan_Bangsa 53
bisa sepenuhnya melepaskan diri dari paradigma agama yang diakui dan agama yang tidak diakui.76 Peran interventif negara dalam implementasi kebebasan beragama ditandai regulasi yang problematik, misalnya, Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama. Alamsjah berpandangan semangat Undang-Undang ini kemudian ditransformasikan dalam pasal 156a KUHP yang dalam praktiknya lebih banyak digunakan untuk mengancam kebebasan beragama, tidak hanya ekspresi keberagamaan tetapi keyakinan agama itu sendiri. Jika Pasal 156a hanya bisa menjerat keyakinan, maka Undang-Undang No. 1 PNPS /1965 bisa membubarkan organisasi keagamaan yang dinilai menodai agama. Delik penodaan agama yang diberlakukan secara longgar dalam praktiknya diterapkan untuk mengancam penafsiran-penafsiran agama yang berbeda dengan perspektif negara dan mainstream agama masyarakat.77 MUI yang dalam prosesnya sebagai lembaga yang dianggap representasi agama Islam secara luas telah mempengaruhi kehidupan sosial keagamaan yang luas di dalam masyarakat menyangkut persoalan-persoalan termasuk kebebasan beragama melalui fatwa–fatwa yang dikeluarkannya. Rumadi menjelaskan berbagai kasus keagamaan di masyarakat yang kemudian menjadi konflik tidak bisa dilepaskan dari peran MUI dengan produk fatwa yang dikeluarkannya. Meskipun fatwa MUI bukanlah produk hukum yang mengikat (legaly binding), namun masyarakat sering menjadikan fatwa MUI sebagai alat legitimasi tindakan
76
Wawancara dengan Alamsyah M Djafar, Staf The Wahid Institute (19 September 2012).
77
Wawancara dengan Alamsyah M Djafar, Staf The Wahid Institute (19 September 2012). 54
mereka. Bahkan aparat negara juga sering menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman dalam mengambil tindakan terhadap kelompok yang disesatkan. 78 Lebih jauh sejak era reformasi bergulir, diskursus dan kontestasi kekuasaan formalisasi agama di ruang publik daerah berakhir pada lahirnya berbagai peraturan daerah yang berlandaskan agama dan moralitas tanpa perhatian lebih pada pertimbangan kesesuaian dengan konstitusi dan hak asasi manusia. Rumadi menerangkan peraturan-peraturan daerah berlandaskan agama dan moralitas ini tidak saja memiliki kecenderungan diskriminatif, pembatasan, bahkan represi terhadap kebebasan beragama.79 Konteks otonomi daerah pasca Orde Baru kemudian ditandai peraturan daerah yang seringkali hanya didasarkan pada pertimbangan sosial politik lokal daerah yang bersangkutan.80
78
Wawancara dengan Rumadi, Staf The Wahid Institute (19 September 2012). Terkait dengan hal itu, MUI pada Rapat Kerja Nasional 4-6 November 2007, MUI mengeluarkan 10 panduan kriteria yang menjadi semacam parameter menilai suatu aliran agama menyimpang. MUI mengemukakan 10 panduan aliran sesat itu menjadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat yang berpotensi jadi korban kelompok yang dituduh sesat sekaligus keresahan yang ditimbulkannya. 10 panduan kriteria tersebut, yaitu, mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam, meyakini dan atau mengikuti akidah yang tak sesuai dengan Alquran dan Assunah, meyakini turunnya wahyu setelah Alquran, mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Alquran, melakukan penafsiran Alquran yang tak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam, menghina, melecehkan, dan atau merendahkan para nabi dan rasul, mengingkari nabi Muhammad sebagi nabi dan rasul terakhir, mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokokpokok ibadah yang ditetapkan syariah, seperti pergi haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak lima waktu, dan mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan sesama Muslim karena bukan kelompoknya (The Wahid Institute, 2008:33). 79
Wawancara dengan Rumadi, Staf The Wahid Institute (19 September 2012). Narasi pendek mengenai pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di daerah, misalnya, Atas Nama Ketertiban dan Keamanan: Persekusi Ahmadiyah di Bogor, Garut, Tasikmalaya, dan Kuningan (Setara Institute, 2010). 80
Meskipun sebenarnya, regulasi bernuansa agama sebenarnya bukan fenomena baru dalam diskursus dan praktik politik hukum di Indonesia. Sejak masa-masa awal kemerdekaan, regulasi bernuansa agama dan kehidupan keagamaan sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa. Hal ini terkait dengan bentuk negara Indonesia yang tidak sepenuhnya sekuler, tapi pada saat yang sama juga bukan negara agama. Dilihat dari tingkat pemberlakuannya, ada regulasi keagamaan tingkat nasional yang ditetapkan melalui undang-undang atau peraturan tingkat nasional lainnya, ada juga regulasi tingkat daerah yang ditetapkan melalui peraturan daerah maupun peraturan tingkat daerah lainnya. 55
Isu agama yang dianggap menguntungkan baik secara politik kemudian berakhir pada terbitnya regulasi tanpa memperhatikan kesejalanan dengan hak asasi manusia yang ada dalam konstitusi dan aturan lain di atasnya. Robin L. Bush menyebut setidaknya telah lahir setidaknya 78 peraturan daerah bernuansa agama, di 52 kabupaten dan kota di seluruh wilayah Indonesia. Belum termasuk Surat Keputusan Bupati, Walikota dan Gubernur ataupun rancangan peraturan daerah yang belum diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.81 Kedua, permasalahan pada tingkat penegakan hukum dan kapasitas aparatur penegak hukum. Alamsjah menjelaskan bahwa kapasitas aparatur dalam implementasi kebebasan beragama warga negara juga sangat lemah yang tercermin dari tingginya intensitas pelanggaran kebebasan beragama oleh aparatur negara dan ketidakmampuannya untuk mencegah bahkan pembiaran terjadinya pelanggaran kebebasan beragama yang kemudian lebih banyak berlalu tanpa adanya penyelesaian hukum. Tindak pelanggaran kebebasan beragama oleh negara
banyak
didahului
oleh
tindakan
intoleran
oleh
mereka
yang
mengatasnamakan mayoritas. Dalam berbagai kasus, baik menyangkut kebebasan beragama maupun intoleransi aparat penegak hukum seringkali terpenjara dengan tuntutan massa. Sehingga, langkah yang diambil biasanya mengamankan korban, daripada menghalau penyerang karena dianggap paling kecil resikonya. 82 81
Wahid Institute memilah regulasi bernuansa agama yang terbit di daerah menjadi lima kategori, pertama, pengaturan soal moralitas dan ketertiban sosial, seperti larangan pelacuran, minuman keras, perzinaan, dan khalwat (berkumpul antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram). Kedua, pengaturan kualitas keimanan dan ketakwaan dengan mengangkat simbol-simbol keagamaan dan pengaturan ritual. Ketiga, pengaturan ketrampilan beragama. Keempat, pengaturan mobilisasi ekonomi, semisal zakat, sedekah, dan infak. Kelima, pengaturan keberadaan kelompokkelompok keagamaan yang dianggap menyimpang dan pengaturan aktifitas keagamaan lain (The Wahid Institute, 2008:22-24). 82
Wawancara dengan Alamsyah M Djafar, Staf The Wahid Institute (19 September 2012). 56
Ketiga, intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama terkait permasalahan pada level masyarakat. Alamsjah menunjukan pada level masyarakat permasalahannya lebih kompleks daripada relasi problematik regulasi maupun kapasitas aparatur negara dalam implementasi kebebasan beragama, karena di dalamnya melibatkan struktur kesadaran, baik yang berasal dari agama, tradisi maupun perpaduan antara keduanya. Seiring paradigma regulasi kebebasan beragama masih bias pemihakan mayoritas, penggunaan alasan ketertiban umum dan meresahkan masyarakat oleh aparatur negara diasosiasikan untuk menjaga kepentingan mayoritas guna membatasi kelompok minoritas. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, tampak aparatur negara tersandera oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan mayoritas.83 D. The Wahid Institute dan Strategi Gerakan Kebebasan Beragama Civil Society Ruang publik dipandang penting karena merupakan lokasi tempat diskursus dan aksi-aksi kolektif gerakan kebebasan beragama Wahid Institute dijalankan. Jurgen Habermas menjelaskan ruang publik dalam konteks Eropa Barat sebagai sebuah tempat pertemuan bagi lingkaran-lingkaran intelektual dalam masyarakat (merkantil) Eropa yang terurbankan, dimana individu-individu perseorangan berbaur demi berbincang secara bebas dan setara dalam wacana yang rasional, sehingga membuat mereka menyatu menjadi kelompok yang relatif kohesif yang pertimbangan-pertimbangannya bisa menjadi suatu kekuatan yang tangguh. 84
83
Wawancara dengan Rumadi, Staf The Wahid Institute (19 September 2012).
84
Latif (.2005: 60-61) menjelaskan pandangan Habermas mengenai perkembangan lebih jauh, ruang publik borjuis yang mengalami perluasan yang terus-menerus sehingga mencakup lebih banyak partisipan dan juga berkembang organisasi-organisasi berskala besar sebagai mediator57
Latif menjelaskan perlunya penyesuaian konsepsi ruang publik Habermas dalam konteks Indonesia. Pertama, dalam konteks Indonesia ruang publik telah dipergunakan bukan hanya untuk mengekspresikan argumen-argumen yang bersifat
rasional dan
kritis
melainkan
juga
dalam
kebanyakan
kasus
mengekspresikan proses rasionalisasi politik identitas dan ideologi-ideologi dari kekuatan-kekuatan yang saling bersaing. Kedua, transformsi ruang publik dalam konteks Indonesia tidak hanya berarti transformasi dalam cakupannya tetapi juga dalam derajat kebebabasannya, yaitu, dari keterbatasan menuju keterbukaan dan sebaliknya. Ketiga, bagi sebuah masyarakat plural seperti Indonesia yang elemenelemen tatanan sosialnya yang jarang menyatu dalam satu unit politik, praktikpraktik diskursif dalam ruang publik terutama dengan tidak adanya musuh bersama,
terarah pada upaya
mempengaruhi relasi-relasi
kuasa
dalam
masyarakat.85 Ketika hanya sedikit kemajuan dalam implementasi kebebasan beragama, Wahid Institute intensif dengan beragam usaha dalam kerangka gerakan kebebasan yang menyasar tiga level masalah yang menjadi pemicu kebebasan beragama. Relasi gerakan kebebasan beragama Wahid Institute dan civil society, seperti dijelaskan Chandoke, sebagai suatu arena di mana masyarakat masuk ke dalam dengan hubungan, di mana dalam arena itu dimungkinkan munculnya hasil
mediator bagi partisipasi individu. Habermas memandang ruang publik yang ideal terjamin kesetaraan serta argumen yang kritis dan rasional. Para partisipan dapat mempengaruhi negara tanpa harus mengalami tekanan koersi negara maskipun sebagian besar bersifat informal. Namun dalam masyarakat kontemporer ruang publik publik telah menjadi daerah konflik kepentingan diantara kelompok-kelompok dan organisasi. 85
Ibid., h. 61-63. 58
kritik yang rasional melalui wadah sosial yang Chandoke sebut institusi-institusi civil society.86 Civil society berpijak di atas prinsip egalitarianisme dan inklusivisme yang bersifat universal, dimana pengalaman mengartikulasikan kemauan politik dan pengambilan keputusan kolektif merupakan hal-hal krusial bagi kelangsungannya dalam reproduksi nilai-nilai demokrasi. Civil society merujuk pada karakteristik yang Gellner jelaskan sebagai aktor-aktor di luar pemerintahan yang memiliki cukup kekuatan untuk mengimbangi negara–untuk mencegah atau membendung negara dalam mendominasi atau memanipulasi kehidupan masyarakat–namun demikian tidak mengingkari pula peran negara sebagai penjaga perdamaian dan menengahi di antara berbagai kepentingan besar yang dapat menghancurkan tatanan sosial dan politik keseluruhan. Civil society, lanjut Gellner, juga merupakan kelompok, institusi, lembaga, dan asosiasi yang cukup kuat mencegah tirani politik baik oleh negara maupun komunal atau komunitas lainnya, dengan demikian civil society memberi ruang bagi adanya kebebasan individu di mana asosiasi dan institusi tersebut dapat dimasuki dan ditinggalkan oleh individu dengan bebas.87 Dalam perspektif tersebut, negara maupun civil society terdapat kekuatan-kekuatan potensial yang dapat bekerja sama mewujudkan demokrasi atau sebaliknya–menghambat demokrasi. Dalam kaitan ini, Hegel menjelaskan dalam civil society mengandung
86
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 208. 87 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi, h. 206. 59
potensi menjadi anarki bila kebebasan yang dimiliki untuk mengatur dirinya sendiri itu dibiarkan tanpa adanya sebuah kekuatan kontrol.88 Protes dan advokasi Wahid Institute mengiringi terjadinya intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama. yang menandai pelanggaran oleh negara dalam bentuk tindakan aktif negara yang mengarah pada pelanggaran kebebasan beragama (by commission) maupun pembiaran yang dilakukan negara termasuk tidak menjalankan penyelesaian hukum terhadap pelanggaran kebebasan beragama (by omission) serta tindakan warga negara ini secara garis besar mencakup tindakan kriminal berupa pembakaran rumah ibadah, intimidasi, kekerasan fisik, dan lain-lain serta tindakan intoleransi. Protes kemudian mengarah pada diskursus di ruang publik yang kemudian menjadi instrumen utama gerakan kebebasan beragama Wahid Institute.89 Praktikpraktik diskursif sebagai proses produksi, distribusi, dan konsumsi teks dipandang penting sebagai medium dan instrumen dari pergulatan kuasa, perubahan sosial, dan konstruksi sosial. Pergulatan kuasa berlangsung baik didalam maupun diatas wacana. Foucault menjelaskan diskursus instrumen yang mentransmisikandan memproduksi kuasa, diskursus mengukuhkan kuasa, tetapi juga melemahkan kuasa, membuat kuasa menjadi rapuh dan memberi kemungkinan untuk
88
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Organisasi Nonpemerintah di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 83. 89
Wawancara dengan Rumadi, Staf The Wahid Institute (26 Maret 2012). 60
merintangi kuasa.90 Dengan demikian mengubah praktik-praktik diskursif merupakan sebuah elemen penting dalam perubahan sosial. Dalam menjalankan usaha-usaha kampanye wacana Islam, demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme, dan toleransi Wahid Institute menggunakan beragam media, yaitu, www.gusdur.net dan www.wahidinstitute. org, film dokumenter dan dalam bentuk penerjemahan dan penerbitan naskahnaskah. Wahid Institute kemudian mengambil peran untuk memfasilitasi komunikasi dan kerja sama antara intelektual Muslim dan non-Muslim melalui penyelenggaraan diskusi dan konferensi, serta merilis briefing tentang Islam dan beragam isu strategis dalam perkembangan Islam dan masyarakat Muslim, juga agama-agama dan kepercayaan. Sejak 2005 Wahid Institute telah melakukan pendokumentasian beragam isu keagamaan, terutama terkait kebebasan beragama meski laporan yang komprehensif dilakukan pada 2008, baik menyangkut tindakan pelanggaran maupun intoleransi kebebasan beragama. Secara berkala Wahid Institute menerbitkan Monthly Report on Religious Issues yang melaporkan fakta-fakta peristiwa keagamaan dari berbagai wilayah di Indonesia yang kemudian menjadi acuan laporan tahunan situasi kehidupan beragama Wahid Institute. Wahid Institute juga menerbitkan bulletin Nawala terbit setiap tiga bulan untuk merespon dan memberi analisis berbagai isu keagamaan dan menjalin kerja sama dengan
90 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke20, h. 59.
61
majalah-majalah terkemuka dan koran-koran lokal menerbitkan sisipan artikel bertema wajah Islam Indonesia yang damai.91 Diskursus kebebasan beragama Wahid Institute menyasar tiga level permasalahan, pertama, Wahid Institute menyasar regulasi terkait kebebasan beragama dalam berbagai tingkatannya, salah satunya Wahid Institute menyebut keharusan mencabut atau setidaknya merevisi Undang Undang No. 1/PNPS/1965 Tentang Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Wahid Institute mendesakan pemerintah memberi policy yang tegas terhadap lembaga yang dibiayai negara untuk tidak berpihak hanya pada salah suatu tafsir kebenaran dengan disertai diskriminasi terhadap kelompok lain. Wahid Institute juga mendesakan peninjauan kembali regulasi yang dalam konteks otonomi daerah pasca Orde Baru tanpa memperhatikan kesesuaian dengan hak asasi manusia yang kemudian ditandai adanya perubahan mekanisme dari peraturan daerah kemudian diterbitkan berbentuk Surat Keputusan, Surat Edaran dan Keputusan Bersama.92 Kedua, Wahid Institute menyebut kapasitas aparatur negara yang kurang memadai dalam implementasi regulasi kebebasan beragama. Paradigma aparatur negara yang bias pemihakan mayoritas diiringi kelambanan aparatur negara dalam mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Untuk itu, Wahid Institute mendesakan keharusan penguatan wawasan kepada aparatur penegak hukum menyangkut isu kebebasan beragama. Aparatur negara mulai dari proses penyusunan regulasi dan implementasinya harus 91
Pada 2008 sisipan Wahid Institute, yaitu, dua majalah terkemuka Tempo dan Gatra, sedangkan Koran lokal Radar Jogjakarta dan Bandung. 92
The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 The Wahid Institute: Lampu Merah Kebebasan Beragama (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), h. 54. 62
mempunyai sensitifitas dengan isu-isu kebebasan beragama dan diskriminasi serta inisiatif untuk mengambil tindakan yang untuk mencegah terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Ketiga, seiring dengan regulasi dan kapasitas aparatur negara yang belum sepenuhnya kebebasan beragama fakta-fakta intoleransi oleh warga negara mengemuka di ruang publik. Perkembangan organisasi-organisasi Islam radikal dengan doktrin intoleransi organisasi Islam radikal salah satunya kemudian mengarah pada aksi kolektif yang melanggar kebebasan beragama individu atau kelompok lain. Implikasi lebih jauh dari anutan doktrin intoleran organisasi Islam radikal mengarah pada tindakan diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan.93 Dalam konteks ini, Wahid Institute mendesakan dialog sebagai penyelesaian konflik yang berbasis perbedaan pandangan keagamaan. Selain
pengarusutamaan
diskursus
kebebasan
beragama,
Suaedy
menjelaskan Wahid Institute kemudian menjadi bagian aliansi terbuka konstituensi gerakan kebebasan beragama (AKKBB) yang terdiri dari 72 93
Kategori-kategori pelanggaran hak-hak asasi manusia organisasi-organisasi Islam radikal yang ditujukan pada kelompok lain. Pertama, terganggunya aktivitas keagamaan atau ibadah kelompokkelompok minoritas yang menjadi sasaran korban. Kedua, timbulnya kesulitan untuk mengakses tempat-tempat ibadah sebagai akibat aksi penyegelan, penutupan, pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah ibadah. Ketiga, tindakan perusakan dan pembakaran rumah, harta benda lainnya di pemukiman suatu komunitas agama atau keyakinan maupun pengrusakan suatu kelompok usaha telah menimbulkan sebagian mereka kehilangan hak atas perumahan dan menderita kerugian hak milik. Keempat, tindakan pengeroyokan dan penganiayaan dalam peristiwa penyerangan telah berimplikasi pada rusaknya hak atas keutuhan pribadi (right to personal integrity) seperti menderita luka-luka dan kematian (hak untuk hidup). Kelima, suatu komunitas agama atau keyakinan yang diusir atau dipaksa pindah dari pemukiman mereka, terpaksa harus hidup dalam pengungsian. Keenam, beberapa tindakan yang memaksa orang untuk pindah agama atau keyakinan merupakan pelanggaran serius. Ketujuh, dari serentetan aksi pemberangusan kemaksiatan telah mengakibatkan sebagian orang yang sedang bekerja mengalami kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Kedelapan, tanpa perlindungan yang cukup, bukan saja menimbulkan ketakutan pada suatu kelompok agama atau keyakinan, namun juga kekhawatiran sebagian orang dalam mengekspresikan kebebasan berpendapat. Kesembilan, sangat terkesan bahwa kelompokkelompok yang bertindak intoleran justru memperoleh otoritas atau kewenangan sebagai polisi moral (Setara Institute, 2010:168-169). 63
organisasi.94 AKKBB dibentuk oleh lembaga-lembaga yang memiliki perhatian terhadap kebebasan beragama. AKKBB melakukan advokasi terhadap individu dan kelompok yang menjadi korban pelanggaran kebebasan beragama.95 AKKBB melakukan kampanye dan aksi kolektif anti kekerasan berbasis agama terutama menyangkut relasi mayoritas dan minoritas. Seiring dengan terjadinya intensitas pelanggaran kebebasan beragama terhadap jamaah Ahmadiyah dan pelanggaran kebebasan beragama lainnya yang mengemuka diruang publik, AKKBB melakukan aksi kolektif di Monumen Nasional bertepatan dengan momen hari kelahiran Pancasila 1 Juni 2008. Tetapi aksi kolektif yang ditujukan untuk menguatkan kesadaran keberagaman bangsa kemudian berakhir dengan insiden kekerasan. Ketika aksi kolektif damai
94
Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute (26 Maret 2012).
95
Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Jaringan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan terdiri atas 72 organisasi, yaitu, Indonesian Conference on Religion and Peace, National Integration Movement, The Wahid Institute, Kontras, LBH Jakarta, Jaringan Islam Kampus, Jaringan Islam Liberal, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Generasi Muda Antar Iman, Crisis Center Gereja Kristen Indonesia, Institut DIAN/Interfidei, Masyarakat Dialog Antar Agama,Komunitas Jatimulya, ILRC, eLSAM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Lembaga Kajian Agama dan Jender, Pusaka Padang, Yayasan Tunas Muda Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia, Komunitas Utan Kayu, Anand Ashram, Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia, Persekutuan Gerejagereja Indonesia, Forum Mahasiswa Ciputat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Tim Pembela Kebebasan Beragama, El_Ai_Em Ambon, Yayasan Ahimsa Jakarta, Gedong Gandhi Ashram Bali, Koalisi Perempuan Indonesia, Dinamika Edukasi Dasar Jogjakarta, Forum Persaudaraan Antar-Umat Beriman Jogjakarta, Forum Suara Hati Kebersamaan Bangsa Surakarta, SHEEP Indonesia Jogjakarta, Forum Lintas Agama Jawa Timur Surabaya Lembaga Kajian Agama dan Sosial Surabaya, Adriani Poso, PRKP Poso, Komunitas Gereja Damai, Komunitas Gereja Sukapura, GAKTANA, Wahana Kebangsaan, Komunitas Penghayat, Forum Mahasiswa Syariah se-Indonesia NTB, Relawan untuk Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Lombok, Forum Komunikasi Lintas Iman Gorontalo, Crisis Center SAG Manado, LK3 Banjarmasin, Forum Dialog Antar Kita Sulawesi Selatan Makassar, Jaringan Antar-iman seSulawesi, Forum Dialog Kalimantan Selatan Banjarmasin, PERCIK Salatiga, Sumatera Cultural Institut Medan, Muslim Institut Medan, PUSHAM UII Jogjakarta, Swabine Yasmine Flores-Ende, Komunitas Peradaban Aceh, Yayasan Jurnal Perempuan, AJI Damai Yogyakarta, LBH Padang, Lensa NTB, PP Fatayat NU, Kapal Perempuan, Aliansi Masyarakat Depok Cinta Damai, AKUR Bandung, AKUR NTB, IPTP, Rumah Indonesia, dan Gerakan Nurani Ibu. 64
dilangsungkan massa FPI yang kemudian diklarifikasi Munarman sebagai Laskar Komando Islam (LKI) menyerang partisipan AKKBB.96 Hanya berselang 8 hari dari peristiwa di Monumen Nasional 1 Juni 2008, pemerintah atas nama ketertiban dan keamanan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008, No. 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. 97 Wahid Institute SKB menandai ketundukan pemerintah atas tuntutan pembubaran Ahmadiyah yang dilakukan oleh organisasi Islam radikal.98 SKB yang dikeluarkan oleh Tiga Menteri terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah. Pada 2008, terjadi 145 pelanggaran
96
Dalam perkembangannya, pemimpin FPI Rizieq Shihab dan pemimpin LKI Munarman divonis bersalah oleh pengadilan dan dihukum satu tahun enam bulan penjara. 97
Enam hal yang ditegaskan dalam SKB tersebut, yaitu; (1) Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai Undang-Undang No. 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama, yaitu; (2) Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya, seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW; (3) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai saksi sesuai peraturan perundangan (4) Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI (5) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku, dan (6) Memerintahkan aparat pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan SKB ini. 98 The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia: Menapaki Bangsa yang Kian Retak, h. 71.
65
kebebasan beragama pasca keluarnya SKB yang lebih tinggi dari sebelum SKB sejumlah 48 pelanggaran kebebasan beragama.99 Suaedy menunjukan langkah lebih jauh dari diskursus dan aksi kolektif dengan mengarahkan gerakan kebebasan beragama Wahid Institute pada jalinan relasi dengan Forum Kerukunan Umat (FKUB) di beberapa daerah.100 FKUB dibentuk berdasarkan Peraturan Bersama (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. PBM tersebut menjelaskan tentang tugas kepala daerah untuk menjaga kerukunan beragama di wilayahnya, dan pembentukan suatu FKUB yang diharapkan menjadi bagian penting dalam usaha penciptaan kerukunan beragama di setiap propinsi dan kota atau kabupaten dalam kerangka peran menghormati, memenuhi, dan melindungi kebebasan beragama. Inisiatif pembentukan FKUB dilakukan oleh pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota. FKUB telah berdiri hampir di semua daerah tingkat Propinsi dan tingkat Kabupaten. Beberapa terbentuk setelah PBM diterbitkan tetapi banyak di antaranya adalah kelanjutan dari lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya yang disebut dengan berbagai nama seperti FKAUB, BKSUA, FKAUMA, dan lainnya. Dalam struktur FKUB yang ditetapkan PBM, posisi dewan penasehat diisi wakil-wakil pemerintah. Secara umum, keanggotaan dalam FKUB dibatasi pada jumlah 21 untuk tingkat propinsi dan 17 untuk tingkat kabupaten, yang ditentukan secara proporsional dengan penganut agama di 99
Setara Institute, Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia 2010 (Jakarta: Setara Institute, 2011), h. 78. 100
Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute (26 Maret 2012). 66
wilayah terkait. PBM hanya menyebut pemuka-pemuka agama setempat sebagai anggota FKUB, perinciannya disebut oleh Peraturan Gubernur.101 FKUB ternyata tidak dihadapkan hanya dengan hubungan antar-agama sebagai mandat utamanya, namun juga intra-agama. Tugas pokok FKUB, yang dijabarkan secara terinci dalam satu bab khusus menyangkut pendirian rumah ibadah. Pada akhirnya, keberhasilan atau kegagalan FKUB tampaknya salah satunya akan diukur dari penanganannya atas masalah paling krusial ini. Tetapi seperti dijelaskan Suaedy, FKUB berada dalam kerentanannya terjadinya benturan dengan kepentingan politik karena pertimbangan FKUB tentang isu kerukunan hidup beragama rentan diintervensi untuk kepentingan politik pemerintah yang cenderung berorientasi pada kepentingan mayoritas dan merugikan minoritas.102 Suaedy menjelaskan peran strategis yang dimiliki FKUB dalam dinamika kebebasan beragama mendorong Wahid Institute menjalin relasi dengan FKUB dengan mengadakan workshop penguatan kapasitas anggota FKUB. 103 workshop penguatan kapasitas FKUB oleh Wahid Institute dan mitra kerjanya ditekankan pada aspek wawasan Islam, toleransi beragama, dan wawasan kebangsaan. Workshop juga ditekankan pada wawasan ratifikasi sejumlah kovenan internasional yang menjadi instrumen pengaturan kebebasan beragama. Situasi toleransi kebebasan beragama di tingkat lokal juga menjadi bagian materi 101
Secara umum tampaknya diasumsikan bahwa majelis-majelis agama nasional mewakili masyarakat: Islam oleh MUI, Katolik oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Kristen oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Hindu oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Buddha oleh Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan di beberapa tempat, Khonghucu oleh Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia (Matakin). 102
Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Insstitute (29 Maret 2012).
103
Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Insstitute (29 Maret 2012). 67
workshop penguatan kapasitas FKUB untuk kemudian merumuskan rekomendasi atas sejumlah permasalahan terkait kebebasan beragama maupun mengantisipasi kerentanan konflik yang mengarah pada ketegangan bahkan kekerasan berbasis agama.
Workshop penguatan kapasitas anggota FKUB yang diselenggarakan Wahid Institute dan mitra kerjanya meliputi tiga aktifitas utama, yaitu, presentasi, dialog, dan focus group discussed. Agenda penguatan kapasitas FKUB oleh Wahid Institute dan Fahmina Institute di Cirebon dilaksanakan pada Desember 2008, sedangkan di Palembang pada 24-26 Oktober 2009 merupakan jalinan kerja sama Wahid Institute dan LKHI Palembang, dan workshop di Jakarta dilaksanakan pada 26-27 Maret 2012.
Ketika implikasi lebih jauh dari doktrin anutan organisasi Islam radikal mengarah pada pelanggaran kebebasan beragama. Secara garis besar, sasaran korban intoleransi organisasi Islam radikal tertuju pada tiga komunitas. Pertama, komunitas minoritas Kristen atau Nasrani sebagai implikasi dari doktrin memberangus pemurtadan. Kedua, mereka yang diprasangkakan sebagai penganut aliran sesat atau menyimpang dari ajaran Islam. Ketiga, pihak-pihak yang mengelola tempat hiburan, pelaku perjudian, serta prostitusi. Seiring dengan itu, dalam banyak pelanggaran kebebasan beragama juga menunjukan kecenderungan silent majority, yaitu, sikap memilih diam dari sebagian besar masyarakat yang belum teridentifikasi keberpihakannya–dan masyarakat yang rentan, yaitu, kondisi sosial yang tidak memiliki resistensi atas berbagai doktrin dan rangsangan sosial karena keterbatasan pilihan yang dimilikinya yang terjadi oleh berbagai sebab 68
sosial, ekonomi, politik, hukum, dan ketidakpercayaannya pada institusi negara maupun pranata sosial di sekitarnya–telah turut berkontribusi bagi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama.104 Seiring dengan keadaan demikian, Suaedy menjelaskan usaha Wahid Institute dalam penciptaan kehidupan beragama yang toleran kemudian mengarah pada inisiatif untuk menjalin relasi dialog.105 Dialog dijalankan dalam kerangka memberikan pemahaman mengenai Islam damai terhadap pemeluk agama lain dan mengukuhkan kesadaran pluralisme diantara umat beragama sebagai sebuah kenyataan sosial yang mutlak harus terjaga dalam kerangka keutuhan bangsa. Jalinan ini kemudian didorong untuk menumbuhkan pola pikir dan sikap kritis terhadap sejumlah regulasi yang berada dalam kerentanan memicu terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Bekerjasama dengan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jawa Timur Wahid Institute menggelar Workshop Islam dan Pluralisme pada 5-8 November 2007, bertempat di Mojokerto, Jawa Timur dan pada September 2006 di Jakarta yang diikuti para pendeta, teolog, calon pendeta, akademisi, maupun praktisi advokasi kebebasan beragama. Sedangkan kerjasama Wahid Institute dengan kedutaan besar Inggris menyelenggarakan dialog kebebasan beragama pada 4 November 2008 di Magelang jawa Tengah. Kegiatan serupa juga dilakukan pada 10 November 2011 di Bandung.
104 Setara Institute, Negara Harus Bersikap: Realitas Legal Diskriminatif dan Impunitas Praktik Persekusi Masyarakat atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Jakarta: Setara Institute, 2010), h. 81. 105
Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute (26 Maret 2012). 69
Ketika diskursus dan advokasi kebebasan beragama dianggap belum berhasil mengubah cara pandang masyarakat terhadap keberagaman, Wahid Institute terkait memandang peran strategis pemuka agama lokal dalam dinamika kehidupan beragama. Terlebih dalam banyak ketegangan bahkan kekerasan terkait perbedaan pandangan keagamaan, pemuka agama lokal menempati subyeknya sebagai pemicu terjadinya ketegangan bahkan kekerasan berbasis agama. Pengutan kapasitas pemuka agama lokal Wahid Institute, seperti penjelasan Suaedy, dijalankan dalam kerangka membasiskan kesadaran para pemimpin agama tentang pentingnya penghormatan kebebasan beragama dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pemuka agama baik pada tingkat diskursus maupun aksi dalam pemajuan pemahaman kebebasan beragama masyarakat serta merumuskan strategi dan metode pelibatan para pemimpin agama dalam advokasi kebebasan beragama. 106 Untuk itu Wahid Insitute menjalankan usaha penguatan kapsitas pemuka agama lokal. Agenda tersebut dijalankan Wahid Institute di Jakarta pada 24-25 September 2008. Di Kebumen pada 25-27 Desember 2008. Di Jombang pada 4 - 6 Februari 2009. Di Tangerang pada 26-28 Februari 2009. Dan di Makassar pada 18-20 Maret 2009. Gerakan kebebasan beragama Wahid Institute mengarah pada penguatan peran lebih besar dari beragam eksponen civil society. Suaedy menjelaskan kerja sama Wahid Institute dengan The Asia Foundation dan TIFA Foundation dalam peran penguatan kapasitas gerakan kebebasan beragama dalam konteks
106
Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute (26 Maret 2012). 70
pemantauan dan advokasi kebebasan beragama terutama untuk jaringan Wahid Institute diberbagai daerah.107 Workshop monitoring dan advokasi kebebasan beragama bertujuan untuk, mengkoordinasikan kegiatan pemantauan advokasi terkait regulasi dan kinerja aparatur negara terkait implementasi kebebasan beragama, penyusunan agenda dan strategi pemantauan dan advokasi yang efektif dan penguatan jaringan dalam rangka diseminasi pluralisme. Pada 24-27 Februari 2006, sebanyak tiga belas perwakilan lembaga swadaya masyarakat dari delapan daerah di Indonesia mengikuti pelatihan advokasi paralegal Wahid Institute, yaitu, DIKTI Muhammadiyah Aceh, Rabitah Taliban Aceh, Fahmina Institute, al-Masturiyah, Majalah Syir’ah, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, PP Fatayat Nahdlatul Ulama, LABDA, LKIS, PUSPEK Averroes, LAKPESDAM Nahdlatul Ulama Surabaya, LAPAR, dan LKPMP Makassar. Pada 30 Oktober–3 November 2007 dilaksanakan di Bogor, pada 4-6 Agustus 2008 di Banjarmasin Kalimantan Selatan, pada 17 - 19 Juni 2010 di Yogyakarta, dan pada 23-24 Mei 2011 di Palembang, diikuti antara lain, INCRES Jawa Barat, Seroja Jakarta, ELSA Semarang, CMARS Surabaya, Averroes Malang, LAPAR Makassar), Nahdlatul Ulama Ambon, Lensa NTB, LK3 Banjarmasin, Setara Institute, Paramadina, PPIM UIN Jakarta. E. The Wahid Institute: Menyemai Keberagaman Menyemai Islam Damai (Seeding Plural and Peaceful Islam) Penguatan kecenderungan konstituensi kebebasan beragama juga ditandai usaha hukum yang juga dijalankan melalui permohonan juridical review Undang-
107
Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute (26 Maret 2012). 71
Undang No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang dipandang rentan menjadi pemicu terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Permohonan juridical review diajukan oleh sebelas pemohon yang terdiri dari tujuh pemohon lembaga swadaya masyarakat, yaitu, Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara Institute, Desantara, YLBHI dan empat pemohon perorangan, yaitu, Abdurrahman Wahid, Siti Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq yang mewakilkan kepada 56 advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama.108 Tetapi tidak lama berselang pada 30 Desember 2009 Wahid meninggal dunia. Wahid Institute kehilangan figur tepenting dalam gerakan yang dijalankan. Tidak lama berselang pada 19 April 2010 setelah bersidang selama hampir enam bulan sejak November 2009, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak seluruh permohonan juridical review Undang-Undang No. 1/PNPS/ 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang dipandang rentan menjadi salah satu pemicu terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Dalam amar putusan No. 140/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa 108
Selain Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, judicial review lain terkait Undang Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi dan Pornoaksi. Para pemohon judicial review ini berpendapat bahwa ancaman dari Undang-Undang ini adalah upaya untuk menghilangkan prinsip-prinsip kebangsaan, dan kebhinekaan Indonesia. Undang-Undang ini menurut pemohon berupaya untuk menyatukan pandangan soal moral dan akhlak masyarakat penduduk dari suatu perspektif yang sempit dan bersumber dari satu pandangan agama tertentu. Pengujian Undang-Undang ini juga ditolak oleh Mahkamah Konstitusi pada sidang pembacaan putusan tanggal 25 Maret antara lain dengan alasan bahwa Undang Undang No. 44 tahun 2008 dibentuk dalam rangka menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama, memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya, dan melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi. Selain itu, menurut Mahkamah Konstitusi hak para pemohon tetap terjamin karena Pasal 1 tentang definisi pornografi memberikan gambaran dan arah yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan pornografi. Pengertian tersebut tidak terlepas dari tujuan pembentukan Undang-Undang, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 72
Undang-Undang No. 1/PNPS/ 1965 meskipun dibuat dalam situasi darurat pada 1965 tetapi tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 terutama terkait dengan kebebasan beragama dan seandainya dicabut dikhawatirkan akan terjadi kekacauan sosial karena adanya kekosongan hukum. Seiring dengan itu, transisi politik dipahami sebagai bentuk rangkaian berbagai kemungkinan dari tatanan politik, termasuk kemunculan beragam organisasi Islam radikal di ruang publik yang terbuka. Dari beberapa pandangan mengenai
doktrin
organisasi-organisasi
Islam
radikal,
Setara
Institute
mengidentifikasi empat doktrin organisasi Islam radikal yang berwatak intoleran dalam kebebasan beragama. Pertama, doktrin kewajiban menegakan syariat Islam untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan Alquran dan Hadits. Kedua, doktrin yang mewajibkan untuk memberangus pemurtadan dengan menyebarkan prasangka jahat pada kaum Nasrani. Ketiga, doktrin sebagai pembawa kebenaran dengan sikap dan prasangka menyimpang atas munculnya sejumlah pandangan teologis yang tidak sejalan. Keempat, doktrin perang melawan kemaksiatan dengan menjalankan kewajiban amar maruf nahi mungkar seperti perjudian, perdagangan minuman keras dan prostitusi.109 Selain menjadi isu yang populis, pembelaan terhadap Islam sangat potensial mendapat pembenaran dan dukungan publik luas. Seperti yang terjadi menjelang diselenggarakannya pemilihan umum 2009, organisasi Islam radikal telah menjadikan isu penolakan dan pembubaran Ahmadiyah sebagai salah satu
109 Setara Institute, Wajah Para ‘Pembela’ Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya Terhadap Kebebasan Beragma/Berkeyakinan (Jakarta: Setara Institute, 2010), h. 115-117.
73
agenda gerakan dan komoditas politik.110 Kemungkinan perkembangan gerakan organisasi
Islam
radikal masih sangat
mungkin
membesar
setidaknya
mengembangkan lima strategi yang. Pertama, mencari dukungan politik dari para politisi dan penguasa. Kedua, memperluas dukungan dari lembaga keulamanaan, seperti, MUI. Ketiga, memperluas dukungan dari tokoh organisasi massa Islam non radikal. Keempat, menggunakan strategi advokasi litigasi dan non litigasi. Kelima, memperkuat jaringan aksi di antara organisasi radikal.111
Wahid Institute menjadikan intelektualisme Wahid sebagai gagasan sekaligus
perbedaan
mengenai
keyakinan
dan
orientasi
gerakan
yang
menyertainya. Paradigma pribumisasi Islam Wahid mengarahkan perubahan tanpa menjadi paradigma dominan yang memisahkan satu kelompok dengan kelompok lain atas dasar apapun. Pandangan hidup Islam mengakomodasi kenyataankenyataan yang ada sepanjang mengarah pada kebaikan bersama. Seperti dirumuskan dalam kaidah fiqih yang sering Wahid kutip, tindakan pemegang kekuasaan rakyat ditentukan oleh kemaslahatan dan kesejahteraan mereka 110
FUI (Forum Umat Islam) memberikan dukungan kepada pasangan Kalla-Wiranto karena keduanya dianggap mendukung perjuangan FUI yang tertuang dalam Piagam Umat Islam. Piagam ini memuat lima hal, yaitu, menjaga akidah umat, memperjuangkan penerapan syariat Islam, membangun sistem ekonomi syariah, memperjuangkan peningkatan kesejateraan umat, dan menentang intervensi asing. Dukungan ini diberikan setelah FUI bertemu dengan Kalla pada 10 Juni 2009. Dalam pertemuan itu Kalla menegaskan komitmennya untuk menjaga akidah umat dengan cara akan membubarkan aliran sesat yang dianggap menodai Islam seperti Ahmadiyah. Namun untuk agenda yang lain, Kalla sebenarnya tidak menolak tapi juga tidak menyatakan persetujuan. Selain itu Kalla juga menolak untuk menandatangani kontrak politik karena dirinya punya kebijakan hanya menandatangani kontrak politik dengan parpol politik. Hal serupa juga dilakukan oleh FPI, sikap pasangan Kalla-Wiranto yang punya komitmen membubarkan Ahmadiyah telah membuat organisasi Islam radikal yang dipimpin Rizieq shihab ini mengeluarkan maklumat untuk mendukung pasangan ini. Mereka mengeluarkan maklumat dukungan dengan menitipkan amanat yang berbau piagam Jakarta dan anti Ahmadiyah, “Jaminan kebebasan Menjalankan ibadah dan syariat bagi tiap agama sesuai dengan ajaran masing-masing dan pelarangan segala bentuk penistaan dan penodaan terhadap agama apapun.” (Setara Institute, 2011:98-100). 111 Setara Institute, Wajah Para ‘Pembela’ Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya Terhadap Kebebasan Beragma/Berkeyakinan, h. 98-106.
74
(tasharruf al-imam ala ar-raiyyah manuthun bil-mashlahah). Dalam penjelasan ini, seperti dijelaskan Suaedy, orientasi gerakan Wahid Institute mengarah pada kesesuaian Islam dengan demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme, dan toleransi.112
Suaedy kemudian mengacu pandangan Wahid yang menggarisbawahi peran agama sebagai etika sosial yang mengarahkan kehidupan bernegara dan berbangsa dalam usaha-usaha pencapaian kesejahteraan bersama, baik melalui bentuk masyarakat yang bernama negara maupun di luarnya melalui penciptaan budaya politik yang berwatak keterbukaan bagi gagasan saling berbeda.113 Islam didorong menjadi kekuatan transformatif dan kekuatan kultural yang mengarah pada penciptaan etika sosisal baru yang penuh dengan solidaritas sosial dan semangat transformatif untuk keadilan sosial. Penekanan ini mengarah pada penciptaan budaya baru dengan pendekatan sosio-kultural mementingkan kiprah budaya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga yang dapat mengubah struktur masyarakat dalam jangka panjang.
Kebebasan beragama dalam padangan Wahid merupakan bagian universalisme
dan
kosmopolitanisme
Islam.
Dalam
pandangan
Wahid
menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah) yang menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran tersebut meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlaq,
112
Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute (26 Maret 2012).
113
Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute (26 Maret 2012). 75
seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah) yang diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.
Intelektualisme Wahid yang konstruktif pada demokrasi dan mekanisme hukum mengarah pada keharusan jaminan implementasi hak untuk memilih dan menjalankan ibadah sesuai agama yang diyakini setiap warga negara. Lebih dari itu, setiap warga negara berhak atas perlindungan atas tindakan diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan yang berbasis perbedaan pandangan keagamaan. Konteks ini, seperti dijelaskan Rumadi, mengarah pada relasi kebebasan beragama dan negara yang harus menjaga kelangsungan hidup masyarakat secara mendasar dengan menjalankan role of law.114 Rumadi kemudian menjelaskan keharusan negara melalui regulasi dan aparaturnya menyelenggarakan kehidupan beragama yang setara termasuk keharusan mengambil tindakan dalam mencegah terjadinya pelanggaran kebebasan beragama juga penyelesaian hukum atas pelanggaran yang terjadi dalam kerangka menghormati, memenuhi, dan melindungi kebebasan beragama yang merupakan hak konstitutsional setiap warga negara terutama kebebasan beragama individu dan kelompok minoritas yang memiliki kecenderungan berbeda dengan sudut pandangan negara dan mainstream masyarakat.115[]
114
Wawancara dengan Rumadi, Staf The Wahid Institute (26 Maret 2012).
115
Wawancara dengan Rumadi, Staf The Wahid Institute (26 Maret 2012). 76
Bab V Penutup
A. Kesimpulan Terkait implementasi kebebasan beragama, negara telah dengan keharusan menghormati, memenuhi, dan melindungi kebebasan beragama warganya. Hal ini menunjukan keharusan negara untuk menghormati hak kebebasan beragama dengan tidak melakukan tindakan yang melanggar integritas individu atau kelompok sehingga mengabaikan hak konstitusional ini. Negara harus melindungi dengan mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan untuk melindungi kebebasan beragama individu atau kelompok atas kejahatan/pelanggaran hukum/kekerasan yang dilakukan oleh individu atau kelompok lainnya sehingga hukum ditegakan tanpa diskriminasi. Pembedaan kebebasan beragama, berdasarkan prinsip siracusa, terdapat dua pembedaan terhadap implementasi hak asasi manusia, yaitu, prinsip hak asasi manusia yang tidak dapat ditunda pemenuhannya (non-derogable rights) dan hak asasi manusia yang dapat ditunda pemenuhannya (derogable rights). Meskipun demikian, negara hanya dapat dilakukan dalam situasi atau tindakan individu atau kelompok agama sebagai ancaman besar terhadap keselamatan, ketertiban, kesehatan ataupun moral umum, serta dilaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku. Hal ini menunjukan pembatasan oleh negara dalam kebebasan beragama
77
diletakan dalam kerangka menghormati, melindungi, dan memenuhi hak kebebasan beragama individu maupun kelompok agama. Ratifikasi kovenan internasional yang merupakan instrumen pokok hak asasi manusia yang bersifat mengikat secara hukum (legaly binding) menjadikan negara pihak (state parties) berkewajiban memasukkannya sebagai bagian dari perundang-undangan nasional dan memberikan laporan periodik kepada Komisi Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa. Begitu pula, dengan deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa yang meskipun bersifat tidak mengikat (non binding) bagi negara pihak tetapi memiliki kekuatan moral dalam praktik hubungan internasional pada umumnya. Sebagai negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa, Indonesia tidak bisa mengabaikan deklarasi ini dalam menjalankan kewajiban memenuhi hak asasi warga negaranya. Telah lebih dari satu dekade era reformasi bergulir diruang publik yang terbuka mengemuka intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama terutama mengarah pada individu dan kelompok minoritas yang memiliki kecenderungan berbeda dengan sudut pandang negara maupun arus utama agama masyarakat. Pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi tidak terkonsentrasi pada suatu wilayah tertentu tetapi tersebar dibeberapa wilayah dengan intensitas beragam. Wilayah dengan karakteristik tertentu, terutama di wilayah yang menjadi basis organisasi-organisasi Islam radikal menunjukan kecenderungan intensitas tertinggi pelanggaran kebebasan beragama. Intensitas
tinggi
pelanggaran
kebebasan
beragama
yang
terjadi
menunjukkan kegagalan negara dalam menghormati, memenuhi, dan melindungi 78
kebebasan beragama warganya. Peran interventif negara dalam konteks kebebasan beragama berada dalam kerentanan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur tangan, dan atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan beragama (by commission). Hal ini juga menunjukan negara membiarkan hak kebebasan beragama terlanggar, termasuk membiarkan tindak pidana yang terjadi dan tidak diproses secara hukum (by omission). Ketika kebebasan beragama telah dengan beragam tantangan besar dalam implementasinya dan hanya sedikit kemajuan ditandai dengan hanya sebagian kecil dari intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama yang diarahkan pada penyelesaian hukum, gerakan konstituensi kebebasan beragama menunjukan kecenderungan menguat. Seperti ditunjukan namanya, Wahid Institute didirikan Wahid yang dikenal publik luas sebagai figur intelektual Muslim terkemuka yang memiliki latar belakang keluarga terhormat dikalangan Muslim tradisional serta keterlibatannya dalam aktivisme civil society dan politik praktis. Dengan beragam kelompok masyarakat penggiat pluralisme dan pemajuan hak asasi manusia, Wahid Institute menjadi bagian dari kecenderungan penguatan gerakan konstituensi kebebasan beragama. Kesimpulan penelitian gerakan kebebasan beragama Wahid Institute, yaitu: 1.
Kemunculan dan perkembangan Wahid Institute tidak dapat dilepaskan
dari konteks keterbukaan ruang publik pasca Orde Baru. Pengunduran diri Soeharto yang didahului krisis ekonomi yang kemudian bergerak meluas pada krisis sosial dan politik menandai akhir rezim developmentalisme-represif Orde Baru. Perubahan struktur kesempatan politik yang memungkinkan partisipasi berbagai kekuatan sosial-politik tanpa adanya kendala struktural politik atau 79
sosial-budaya termasuk. Dalam konteks demikian, Wahid Institute menjadi bagian kemunculan berlimpah dan perkembangan gerakan Muslim pasca Orde Baru. 2.
Jauh sebelumnya, pada dekade 1980-an, peran besar Wahid juga dalam
kemunculan dan perkembangan generasi muda progresif Nahdlatul Ulama. Perkembangan generasi muda progresif Nahdlatul Ulama mengarah pada pencarian paradigma intelektual dan mengembangkan wacana tradisi intelektual baru dalam semangat tajdid tradisionalisme Madzabiyah untuk merespons berbagai permasalahan aktual dalam paradigma fiqh. Yenny dan Suaedy, yang menjadi Direktur dan Direktur Eksekutif Wahid Institute, memiliki peran dalam inisiatif mendirikan Wahid Institute bersama Barton dan Wahid sendiri. Bersama keduanya, bagian kecil generasi muda progresif Nahdlatul Ulama bergiat dalam institute yang sering dipertukarkan dengan istilah pranata sosial, institusi sosial, dan lembaga sosial. Perubahan kuantitas partisipan dan tingkat kebebasan diruang publik pasca Orde Baru serta pendalaman integrasi ekonomi dan politik nasional ke dalam komunitas global menandai kemunculan dan perkembangan Wahid Institute. Seiring kenaikan diskursus dan aksi-aksi kolektif di ruang publik nilai-nilai demokrasi, liberalisme dan radikalisme, Wahid Institute menjalin relasi kerja dengan lembaga-lembaga donor internasional–seperti The Asia Foundation dan TIFA Foundation dalam menjalankan beragam usaha konstitutensi kebebasan beragama sebagai bagian dari agenda Islam, demokrasi, pluralisme agama, multikulturalisme, dan toleransi.
80
3.
Gerakan kebebasan beragama Wahid Institute mengarah pada tiga level
permasalahan kebebasan beragama, yang menandai keterlibatan negara dan warga negara dalam pelanggaran kebebasan beragama. Tiga level masalah kebebasan beragama dalam perspektif Wahid Institute, yaitu, pertama, regulasi dalam struktur negara termasuk relasi negara dengan MUI dan regulasi yang terbit konteks otonomi daerah pasca Orde Baru, kedua, kapasitas aparatur negara, ketiga, intoleransi warga negara yang juga menandai implikasi doktrin intoleran organisasi Islam radikal. Tiga level masalah kebebasan beragama tersebut telah memicu terjadinya intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama dan tetap berada dalam kerentanan untuk terulang. Wahid Institute kemudian menjalankan beeragam usaha dalam kerangka gerakan kebebasan beragama civil society. Protes dan advokasi kebebasan beragama Wahid Institute mengarah pada diskursus dan aksi kolektif ruang publik mengarah pada tiga level masalah kebebasan beragama. Dari diskursus dan aksi kolektif diruang publik, Wahid Institute kemudian menjalin kerja sama dengan FKUB yang merepresentasikan peran negara terkait kehidupan beragama dalam kerangka penguatan kapasitas aparatur sehingga negara melalui aparaturnya mampu menghormati, memenuhi, dan melindungi hak kebebasan beragama. Gerakan kebebasan beragama Wahid Institute kemudian mengarah pada penciptaan dialog antar pemeluk umat beragama. Seiring mengemukanya konflik dan kekerasan berbasis agama dialog antar pemeluk umat beragama dilakukan untuk pemahaman keliru yang menjadikan agama sebagai basis konflik dan kekerasan sekaligus memberikan pengertian Islam damai. Peran Wahid Institute kemudian diarahkan pada penguatan kapasitas pemuka agama lokal sehingga 81
mampu konflik meredakan dan mencegah konlik dan kekerasan berbasis agama. Selanjutnya peran Wahid Institute menandai penguatan kapasitas beragam institusi diberbagai wilayah untuk menjalankan pemantauan dan advokasi kebebasan beragama sebagai bagian dinamika kehidupan beragama. Gerakan kebebasan beragama Wahid Institute berpijak pada substansiasi fiqh pluralisme agama yang bersandar pada etika dan spiritualitas dengan fundamental yang telah digariskan oleh tujuan nilai-nilai syari’at (maqâshid alsyarî’ah). Ketika realitas sosial ditandai keberagaman dalam pandangan keagamaan, toleransi kebebasan beragama sebagai bagian penciptaan perdamaian menjadi penting untuk menghindari penggunaan kekerasan yang berbasis perbedaan pandangan keagamaan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, negara telah dengan keharusan untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi kebebasan beragama warganya sehingga keberagaman dalam kehidupan beragama yang damai. B. Rekomendasi Intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan negara serta individu dan kelompok agama tertentu terhadap individu maupun kelompok lain menandai pengabaian oleh negara dalam implementasi kebebasan beragama. Keadaan demikian menandai peran interventif negara berada dalam kerentanan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur tangan, dan atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan beragama (by commission) maupun membiarkan hak kebebasan beragama terlanggar, termasuk membiarkan tindak pidana yang terjadi dan tidak diproses secara hukum (by omission).
82
Negara melalui aparaturnya tidak sepenuhnya melakukan usaha-usaha perlindungan dari tindakan kriminal dan tindakan intoleransi terutama yang mengarah pada individu dan kelompok minoritas yang memiliki kecenderungan berbeda dengan sudut pandang negara mainstream agama masyarakat. Terlebih ketika negara tidak menjalankan proses hukum terkait pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi, negara tidak seutuhnya mampu menghormati, memenuhi, dan melindungi hak konstitusional ini. Realitas ruang publik yang terbuka salah satunya ditandai berlangsungnya interaksi antar kelompok yang beragam pandangan agama, bahkan beragam kepentingan. Pada titik relasi tertentu, antara individu atau kelompok dengan individu dan kelompok lainnya kemudian menjadi sangat mungkin ditandai perbedaan bahkan pertentangan. Pandangan keagamaan dapat bersifat eksklusif dan intoleran terhadap individu atau kelompok lain. Dari sini, kemungkinan mengarah pada sikap intoleran dan diskriminatif bahkan kekerasan terhadap individu atau kelompok berbeda sangat terbuka. Kemunculan dan perkembangannya organisasi-organisasi Islam radikal pasca Orde Baru menjadi tantangan besar implementasi kebebasan beragama. Sekalipun memiliki konteks lokal berbeda, implikasi praktis dari anutan doktrin intoleran mengarah pada sejumlah sikap dan tindakan intoleran dan diskriminasi berupa beberapa tindakan berwatak intoleran seperti aksi pemaksaan, kekerasan, dan tindakan kriminal. Terlebih perkembangan organisasi-organisasi Islam radikal memiliki kemungkinan untuk meradikalisasi praktik intoleran warga negara yang mengalami keputusasaan dan alienasi sosial yang didorong ketidakpuasan masyarakat terhadap perkembangan politik, sosial maupun ekonomi. 83
Dalam dinamika kehidupan beragama, beragam usaha konstituensi gerakan kebebasan beragama tetap dijalankan dalam intensitas dan kapasitas yang mampu menjaga kerentanan terulangnya pelanggaran kebebasan beragama. Dengan demikian, gerakan kebebasan beragama menjadi work in progress dalam usaha penciptaan kehidupan beragama dalam konteks keberagaman yang toleran. Beberapa rekomendasi penelitian ini, yaitu: 1.
Intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama berada dalam
kerentanan untuk berulang kembali menandai urgensi kontinuitas gerakan kebebasan beragama.
Kelompok-kelompok masyarakat
yang mempunyai
kepedulian terhadap pluralisme, pemajuan hak asasi manusia harus tetap menjalankan protes dan advokasi seiring masih terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Mendesak dilakukan selanjutnya untuk mengembangkan beragam usaha strategis dan pengembangan relasi kerja konstituensi gerakan kebebasan beragama. Seiring itu juga melakukan mainstreaming, dan media literacy diskursus, serta aksi-aksi kolektif di ruang publik. 2.
Urgensi lainnya penguatan relasi gerakan konstituensi kebebasan
beragama dengan political society untuk secara konsisten menggulirkan kontestasi politik kesetaraan dalam kebebasan beragama. Relasi demikian menjadi penting untuk menguatkan desakan peninjauan dan penyelarasan seluruh regulasi yang tidak sejalan dengan semangat toleransi kebebasan beragama. Hal tersebut juga terkait pengembangan aparatur negara terkait sehingga memiliki sensitifitas terhadap isu-isu kebebasan beragama termasuk penyelesaian hukum atas pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi.
84
3.
Lebih dari desakan policy reform regulasi kebebasan beragama dan
pengembangan
aparatur
negara,
seiring
terkikisnya
keguyuban,
saling
menghormati, menghargai, gotong royong, dan lainnya oleh fakta kekinian praktik-praktik intoleran menandai urgensi penguatan kesadaran toleransi kebebasan beragama warga negara. Perbedaan pandangan atau keagamaan tidak seharusnya menjadi dorongan individu dan kelompok bersikap dan bertindak intoleran, diskriminasi maupun kekerasan terhadap individu maupun kelompok lain. Kesadaran terhadap realitas masyarakat yang tidak bersifat tunggal sedangkan hak kebebasan beragama berwatak universal dan tidak diskriminatif salah satunya melalui dorongan penguatan toleransi kebebasan beragama dalam struktur pendidikan nasional. 4.
Kemungkinan warga negara yang cenderung intoleran lebih mudah untuk
diradikalisasi menjadikan beragam usaha deradikalisasi agama tetap menjadi pilihan yang tidak dapat diabaikan untuk mengakhiri situasi konflik dan kekerasan. Lebih dari itu, gerakan kebebasan beragama kemudian harus mengarahkan desakan pada negara dalam usaha-usaha penciptaan keadilan sosial. Lebih jauh, gerakan kebebasan beragama harus menjadi bagian perluasan akses masyarakat bawah terhadap sumber-sumber daya strategis, terutama ekonomi, sosial, dan politik untuk mengurangi berbagai bentuk kesenjangan yang ada.[]
85
Kepustakaan
Buku, Jurnal, Makalah, Laporan: Abegebriel, Agus Maftuh dkk., ed.. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Keindonesian dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007. Ahmad, Munawar. Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta: LKIS, 2010. Ali,
As’ad Said. Pergolakan Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati. Jakarta: LP3ES, 2008.
di7
Ali-Fauzi, Ihsan dan Saiful Mujani, ed.. Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah. Jakarta: Nalar 2009. Anwar, M. Syafii, ed.. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama dan Masyarakat Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006. Barton, Greg. Penerjemah: Lie Hua. Penyunting: Ahmad Suaedy. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKIS, 2006. Baso, Ahmad. NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga, 2006. Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2008. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada, 2008. Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2009. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada, 2010. Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2010. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada, 2011. Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2011. 86
Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada, 2012. Culla, Adi Suryadi. Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. Culla, Adi Suryadi. Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Organisasi Nonpemerintah di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006. Diani, Mario. “The Concept of Social Movement”, dalam Kate Nash, editor, Readings in Contemporary Political Sociology. Malden-Massachutes: Blackwell Publishers, 2000. Effendi, Djohan. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010. Effendy, Bahtiar. Penerjemah: Ihsan Ali-Fauzi. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998. Fealy, Greg dan Greg Barton, ed.. Penerjemah: Ahmad Suaedy. Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara. Yogyakarta: LKIS, 1997. Fealy, Greg. Penerjemah: Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKIS, 2007. Feillard, Andree. Penerjemah: Lesmana. NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Yogyakarta: LKIS, 1999. Hikam, Muhammad AS. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, 1996. Hikam, Muhammad AS. Penyunting: Faisol dan Singgih Agung. Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2000. Ida, Laode. Nadhlatul Ulama Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru. Jakarta: Erlangga, 2004. Jenkins, Craig dan William Form, “Social Movements and Social Change”, dalam The Handbook of Political Sociology, editor Thomas Janoski, Robert Alford, Alexander Hicks dan Mildred Schwartz (New York: Cambridge University Press, 2005. Latif, Yudi. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005. 87
McAdam, Doug dan David A Snow. Social Movemenst: Reading on Their Emergence, Mobilization, and Dynamics. United States: Roxbury Publishing Company, 1997. McCarthy, Jhon D. “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing” dalam Comparative Perspective on Social Movements Political Opportunities, Mobilizing Structure, and cultural Framming, Doug McAdam, John Mc Carthy dan Mayer N Zald, ed.. Cambridge: Cambridge University Press, 1996. Moleong, LJ. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Mubarak, M. Zaki. Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi. Jakarta: LP3ES, 2007. Muhtadi, Burhanuddin. Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia: Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru. Komunitas Salihara, Jakarta 26 Januari 2011. Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Muwahidah, Siti Sarah. “Dialog Antariman di Tingkat Akar Rumput: Sebuah Studi Kasus tentang Program-Program Pemberdayaan Dialog Antariman di Jawa Timur”. Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2007. Muzzaki, Akh.. “Importisasi dan Lokalisasi Islam: Ekspresi Islam Gerakan Islam Pinggiran Pasca-Soeharto.” Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial, Vol. 2, No. 4 (Juni 2007, Transmisi dan Variasi Ekspresi Keislaman): h. 8-28. Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto, ed.. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Nashir, Haedar. “Gerakan Islam Syari‘at: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia.” Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial, Vol. 1, No. 02 (November 2006, Gerakan Islam Syariah): h. 25-119. Rumahuru, Yance Zadrak. “Peace and Dialogue: Kajian Sosiologi terhadap Dialog dan Inisiatif Damai di Ambon 1999–2004.” Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2005. Sanderson, Stephen K. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Press, 1995.
88
Setara Institute. Atas Nama Ketertiban dan Keamanan: Persekusi Ahmadiyah di Bogor, Garut, Tasikmalaya, dan Kuningan. Jakarta: Setara Institute, 2010. Setara Institute. Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: Setara Institute, 2009. Setara Institute. Dimana Tempat Kami Beribadah?: Review Tematik Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Tentang Rumah Ibadah dan Hak Beribadah Januari-Juli 2010. Jakarta: Setara Institute, 2010. Setara Institute. Negara Harus Bersikap: Realitas Legal Diskriminatif dan Impunitas Praktik Persekusi Masyarakat atas Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan. Jakarta: Setara Institute, 2010. Setara Institute. Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia 2010. Jakarta: Setara Institute, 2011. Setara Institute. Toleransi Dalam Pasungan: Pandangan Generasi Muda Terhadap Masalah Kebangsaan, Pluralitas, dan Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Setara Institute, 2008. Setara Institute. Toleransi Sosial Masyarakat Perkotaan: Survey Opini Publik di Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Jakarta: Setara Institute, 2010. Setara Institute. Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan. Jakarta: Setara Institute, 2007. Setara Institute. Wajah Para ‘Pembela’ Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya Terhadap Kebebasan Beragma/Berkeyakinan. Jakarta: Setara Institute, 2010. Situmorang, Ahmad Wahib. Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. Suaedy, Ahmad. Kondisi Minoritas Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia dan Tantangan Ke Depan. Seminar Nasional Hak Asasi Manusia: Kerukunan Kehidupan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta 29 Juli 2010. Sugiyono. Metode penelitian Bisnis: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta, 2010.
89
Sztompka, Piotr. Penerjemah: Alimandan. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. The Wahid Institute. Annual Report Kebebasan Beragama dan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2009. Jakarta: The Wahid Institute, 2009. The Wahid Institute. Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010 The Wahid Institute. Jakarta: The Wahid Institute, 2010. The Wahid Institute. Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama/Berkeyakinan di Indonesia: Menapaki Bangsa yang Kian Retak Jakarta: The Wahid Institute, 2008. The Wahid Institute. Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 The Wahid Institute: Lampu Merah Kebebasan Beragama. Jakarta: The Wahid Institute, 2011. The Wahid Institute. The Wahid Institute: Seeding Plural and Peaceful Islam Annual Report 2011. Jakarta: The Wahid Institute, 2012. Uhlin, Anders. Penerjemah: Rofik Suhud. Penyunting: Yuliani Liputo. Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Berita-Berita Elektronik Dari Internet: gusdur.net. “Tentang Kami”. Diakses pada pada 11 Agustus 2012 dari http:// www.gusdur.net/ Tentang_Kami The Wahid Institute. “Tentang Kami”. Diakses pada 11 Agustus 2012 dari http:// www.wahidinstitute.org/Program/Tentang_Kami The Wahid Institute. “Toleransi Yang Kian Rendah Meretakkan Bangsa”. Diakses pada 18 Agustus 2012 dari http://www.wahidinstitute.org/Program/Detail/ ?id=411/ hl=id/Toleransi_Yang_Kian_Rendah_Meretakkan_Bangsa
Wawancara: Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute (26 Maret 2012). Alamsyah M. Djafar, Staf The Wahid Institute (19 September 2012). Rumadi Ahmad, Staf The Wahid Institute (26 Maret 2012).
90