KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun Oleh: BAHRUL HAQ AL-AMIN NIM: 103033227813
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H. / 2009 M.
KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun Oleh: BAHRUL HAQ AL-AMIN NIM: 103033227813
Dibawah Bimbingan Pembimbing
A. Bakir Ihsan, M.Si. NIP: 150326915
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H. / 2009 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 6 Maret 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. S. Bustamin, S.E. NIP: 150 289 320
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag. NIP: 150 270 808
Anggota,
Dr. Nawiruddin, M.A. NIP: 150 317 965
Dr. Syamsuri, M.A. NIP: 150 240 089
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjna strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Februari 2009
Bahrul Haq Al-Amin
ABSTRAK
Bahrul Haq Al-Amin Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Rahardjo Kebebasan beragama berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk atas pilihan sendiri, dan kebebasan – baik sendiri maupun bersama-sama, baik di tempat umum ataupun tertutup – untuk menjalankan agama atau kepercayaannya, yang mana kebebasan tersebut harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Kebebasan ini merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar. Hal ini terlihat dalam jaminan hak asasi manusia internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1949 dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tahun 1966 PBB. Di Indonesia, kebebasan beragama dijamin secara konstitusional oleh negara, seperti tercantum dalam pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 dan pasal 29 UUD 1945, juga dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan atas Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik PBB. Meskipun demikian, jaminan atas kebebasan beragama tersebut belum cukup untuk mencegah berbagai pelanggaran keebbasan beragama. Berbagai pelanggaran tersebut muncul dalam berbagai bentuk, antara lain berupa pembatasan negara atas pengakuan status agama resmi, diskriminasi pelayanan catatan sipil terhadap agama minoritas, pembatasan pendirian rumah ibadah, penyerangan bangunan dan fasilitas agama, serta kekerasan terhadap aliran-aliran agama minoritas yang menyimpang. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimanakah konsep kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo. Melalui penelitian kepustakaan, diketahui bahwa pemikiran M. Dawam Rahardjo cukup relevan dalam membahas problem kebebasan beragama di Indonesia. M. Dawam Rahardjo mengembalikan permasalahan tersebut ke dalam ranah falsafah negara Indonesia, yaitu pancasila. Dalam pandangannya, pancasila nyata-nyata disemangati oleh trilogi sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Sehingga, menurutnya pancasila pada hakikatnya juga menjamin kebebasan beragama, sebagaimana dicerminkan dalam trilogi tersebut. Sebagai jalan keluar dari problem inkonsistensi penegakan jaminan negara atas kebebasan beragama, maka M. Dawam Rahardjo mengusulkan agar disusun sebuah undang-undang kebebasan beragama. Undang-undang ini dimaksudkan sebagai penegasan atas kebebasan beragama sebagai bagian integral dari hak sipil setiap warga negara, dan juga penyadaran terhadap setiap warga negara akan hakhak asasinya dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama. Kebebasan beragama bukannya tanpa batasan. Justru, kebebasan beragama harus dibatasi, sepanjang melanggar hukum, mengganggu ketertiban umum, membohongi publik, atau melakukan ritual asusila. Namun, hingga saat ini pemahaman atas definisi kebebasan beragama yang jelas seperti ini belum kunjung dipahami dengan benar, akibatnya banyak pelanggaran masih terjadi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan Penguasa Kerajaan Alam Semesta. Tuhan Maha Esa yang darinya bertebaran segala kejadian agar mereka semua berserah diri kepada-Nya. Salam semoga selalu tercurah untuk utusan-Nya, Nabi Muhammad SAW. Penerus khazanah agama dari Adam hingga manusia modern. Peletak nilai-nilai universal kebajikan bagi segala umat dan masa. Wacana kebebasan beragama akhir-akhir ini menjadi pembicaraan penting di Indonesia, terutama pasca reformasi 1998. Tergulingnya kekuasaan Orde Baru menyebabkan banyak pihak berlomba-lomba menuntut hak masing-masing. Kali ini, agama kembali mendapat tantangan agar tidak hanya memunculkan potensi konfliknya, tetapi juga potensi perdamaiannya. Serangkaian kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama disikapi secara beragam oleh berbagai pihak. Sangat penting kiraya bila dilakukan usaha penjernihan atas masalah ini. Demi melengkapi diskursus kebebasan beragama di Indonesia, maka penulis memilih menghadirkan sosok dan pemikiran tokoh intelektual muslim Indonesia, yakni M. Dawam Rahardjo. Tentu saja, proses pengkajian terhadap pemikiran M. Dawam Rahardjo bukanlah hal yang mudah. Karenanya, penulis merasa harus mengucapkan banyak terima kasih kepada banyak pihak. Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. M. Amin Nurdin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih juga penulis sampaikan untuk Drs. Agus
Darmaji, M.Fils., selaku Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam, dan Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam. Ucapan terima kasih berikutnya penulis haturkan kepada Bapak A. Bakir Ihsan, M.Si., selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan yang sangat berarti terhadap terselesaikannya skripsi ini. Dan tanpa menyebut nama satu per satu, penulis juga menghaturkan terima kasih yang sangat dalam terhadap seluruh dosen dan jajaran pegawai di lingkungan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ucapan terima kasih juga saya persembahkan bagi kedua orang tua penulis, ibunda Nani Nuryani, S.Ag, dan ayahanda Dudi Ahadiat, S.Ag. Beliau telah rela sabar menunggu selesainya tugas akhir penulis di bangku kuliah ini. Terima kasih dan hormat saya haturkan pula kepada keluarga besar Bapak Rumsi Yahya dan Ibu Siti Zubaidah, S.pd. Selama tahun-tahun terakhir ini, mereka saya anggap sebagai keluarga kedua penulis selama di perantauan. Penulis juga menghaturkan persembahan kepada adinda tersayang, Rahmiana “Shelly” Agustini, A.Md. Semoga mimpi-mimpi kita dapat segera tercapai bersama. Kesabaran dan keceriaannya selalu menjadi pendorong semangat penulis. Salam sayang penulis sampaikan untuk adik-adikku yang tercinta; Ismail Muhammad Syahid, bersabarlah dalam menuntut ilmu; Farid Waliyuddin Rusydi, semoga prestasimu terus berlanjut; Neng Siti Fatimah Fadlullah, tetaplah tegar menghadapi segala masalah di rumah; Hasna Lathifah, jangan bosan-bosan sekolah; dan Miftah Muslihuddin, adik bungsu yang paling tercinta, semoga kamu segera sembuh dan cepat bersekolah kembali. Kepada keluarga besar Hj. Siti
Julaeha (alm.), nenek tercinta, beserta seluruh uwa, mamang, aa, teteh, ade sekalian, juga kepada keluarga besar Pak Aki dan Emak Kidul, kakek-nenek tersayang, beserta seluruh uwa, mamang, bibi, aa, ade sekalian, kepada mereka penulis sampaikan terima kasih banyak atas dukungannya, terutama terhadap keluarga penulis di rumah. Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. M. Dawam Rahardjo, SE., yang bersedia secara langsung memberikan izin penulis untuk mengkaji satu sudut pemikiran beliau. Terima kasih juga saya haturkan kepada Lembaga Studi Agama dan Filsafat, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan meminjam beberapa bahan untuk skripsi ini. Penulis juga sampaikan terima kasih banyak untuk rekan-rekan sesama aktifis dan intelektual muda di HMI MPO, LPI UIN Jakarta, KM-AI, dan JarIK. Untuk sahabat-sahabatku,
Ruli Nurdin,
Hilmi Mubarok,
Dadan,
Asep
Kamaluddin, Indah Mulyawati, Nanih, Linda (serta semua alumni MI Banjar 2 angkatan 97), Andi Tanjana, Yani Nur’aini, Nafishoh, Evi, Neni Nurlina (serta semua alumni MTsN Banjar angkatan 2000), Bayu Haryadi, Irvan Sutadi, Muhammad Irfan, Riany Dwi Setyaningrum, Siti Nurhayati (serta semua alumni SMUN 1 Banjar angkatan 03), terima kasih banyak atas pertemanan kalian yang sangat berharga. Jakarta, 18 Februari 2009 Penulis
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Pada bulan Oktober 2004, sebuah sekolah Katolik di Ciledug dibarikade oleh sekelompok orang Islam dengan alasan bahwa sekolah itu telah difungsikan secara ilegal menjadi tempat ibadah. Dengan alasan yang sama pula, pada September 2005, 23 buah gereja telah ditutup oleh sekelompok kaum Muslim di Jawa Barat. Belum lama ini, pusat Ahmadiyah diserang oleh sekelompok kaum Muslim, dan para penghuninya dipaksa meninggalkan tempat itu. Berangkat dari catatan buruk kebebasan beragama di Indonesia di atas, dan ketidakpastian dasar negara antara sekular dan agama, maka Mujiburrahman mempertanyakan bagaimanakah kiranya bangsa Indonesia dapat merumuskan kebebasan beragama berdasarkan kesepakatan bersama yang samar-samar mengenai hakikat negara Indonesia yang bukan negara agama dan bukan pula negara sekular?1 Pertanyaan ini menjadi penting karena hakikat negara Indonesia memang mengalami semacam ambiguitas, atau “bukan-bukan” (bukan sekular dan bukan agama). Persoalan ambiguitas ini semakin merepotkan manakala dibenturkan dengan realitas keragaman (pluralitas) masyarakat, terutama keragaman agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia. Selain enam agama (Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu) yang diakui secara resmi oleh negara, Indonesia kaya akan agama atau kepercayaan lokal (indigenous religion) – seperti 1
Mujiburrahman, “Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid, (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2007), h. 290.
komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, komunitas Kaharingan di Kalimantan dan lain sebagainya – serta aliran-aliran yang ada dalam agama resmi tersebut. Menurut Amin Abdullah, realitas pluralitas agama yang belum berlanjut pada pluralisme agama disebabkan oleh hegemoni kepentingan kelompok tertentu. Kepentingan itu juga sering dijustifikasi dengan landasan teks keagamaan.2 Bangsa Indonesia perlu beragama secara damai dalam fakta keragaman, karena itu diperlukan sistem untuk memecahkan masalah tanpa kekerasan. Bangsa Indonesia juga memerlukan sikap yang positif terhadap perbedaan agama (sikap yang terbuka, toleran, siap berdialog dengan kelompok yang berbeda). Sebaliknya, bangsa ini juga sebaiknya menghindarkan diri dari pemikiran dan usaha-usaha menghilangkan keragaman agama. Termasuk di dalamnya tidak mengakui adanya keragaman, menginginkan keseragaman, memaksakan nilai agama satu kelompok atas kelompok yang lain, memakai kekuasaan untuk menindas agama yang berbeda, dan memberikan cap yang buruk pada agama dan pemeluknya yang dianggap berbeda. Bila sistem ini tidak tercapai, maka dapat dipastikan berpotensi menimbulkan benturan (clash) antar budaya dan agama.3
2 Dikutip dari Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), h. 6. 3 Samuel P. Huntington berhipotesis bahwa sumber fundamental dari konflik dalam dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, melainkan budaya. Tentang hipotesis samuel P. Huntington ini, lihat samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban; Masa Depan Politik Dunia,” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996), h. 3-35.
Sayangnya, dikarenakan klaim kebenaran (truth claim) agama atau kepercayaan masing-masing,4 maka usaha-usaha ke arah toleransi dan dialog terbuka antar agama ini tidak selalu mudah. Selain itu, kompleksitas permasalahan di Indonesia juga menjadikan kesan tumpang-tindihnya problem sosial. Pluralitas kompleks di Indonesia juga menjadikan tidak mudahnya menggagas toleransi dan dialog terbuka di antara masyarakat. Untuk hidup beragama dalam kemajemukan agama dan ekspresi atasnya, tampaknya dibutuhkan konsep kebebasan beragama. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, kesadaran batin dan agama; dalam hal ini ternasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri. Tak seorang pun dapat dikenakan paksaan sehingga mengakibatkan terganggunya kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya.5 Kenyataannya, pelanggaran kebebasan beragama tidak hanya berlangsung secara horizontal antar masyarakat,6 akan tetapi tampaknya justru negaralah yang – secara langsung atau tidak langsung – menjadi penyebab atau bahkan aktor 4
Menurut Arthur J D’Adamo, klaim kebenaran hanya muncul pada kelompok sendiri, sedangkan kelompok yang lain dianggap jauh menimpang dari kebenaran. Dikutip dari Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif, h. 3. 5 Rumusan kebebasan beragama dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen antara lain UUD 1945 Pasal 29 ayat (2), Deklarasi Universal HAM PBB Pasal 18, Deklarasi PBB tahun 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Keyakinan, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) Pasal 18. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 22, dan UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan KIHSP. 6 Salah satu contoh kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia yakni kasus penutupan gereja tahun 2005 di mana SKB Menteri Agama K.H. Achmad Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud pada tahun 1969 dianggap sumber kericuhan, lihat pembahasannya dalam “Sebatang Salib yang Dikunci,” Tempo, 11 September 2005, h. 26-33.
pelanggaran kebebasan beragama. Contoh kasus pelanggaran kebebasan beragama yang hingga kini masih terjadi di Indonesia ialah klaim agama asli dan agama sempalan yang dirasakan sangat problematik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah selalu menuding agama atau kepecayaan lokal sebagai agama sempalan yang harus kembali ke agama induknya (agama-agama resmi yang diakui negara). Padahal, menurut para penganut agama lokal tersebut justru agama merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli atau agama induk. Karena justru agama-agama besar: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha, yang merupakan agama impor.7 Pelanggaran ini selanjutnya berujung pada pelanggaran hak-hak sipil sebagian masyarakat. Dalam hal ini, ingin ditekankan bahwa negara sebetulnya memiliki tanggung jawab utama dalam menjamin berlangsungnya kebebasan beragama.8 Selain daripada itu, pemahaman dan sikap eksklusif dalam beragama adalah faktor lain yang dipandang mengganggu kebebasan beragama. Beberapa padanan istilah terkait dengan pemahaman dan sikap eksklusif dalam beragama, antara lain Islam radikal,9 Islam fundamentalis, Islam militan, Islam ekstrem sampai Islam skripturalis.10
7 Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid, h. 218. 8 Lihat komentar M. Dawam Rahardjo tentang tanggung jawab negara atas kebebasan beragama (atau sebagai bagian hak sipil) dalam M. Dawam Rahardjo, “Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil,” artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrponline.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15. 9 Penggunaan istilah Islam radikal misalnya dalam Khamami zada, Islam Radikal; Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002). 10 M. Dawam Rahardjo, “Islam Radikal Vs Islam Liberal,” Tempo, 12 Januari 2003, h. 84.
Oleh karenanya, diskursus konsep kebebasan beragama di Indonesia perlu diapresiasi dan didalami, baik itu dalam hal perkembangan wacana dan praktik kebebasan beragama di Indonesia, maupun dalam pemikiran tokoh intelektual yang konsern dalam bidang ini. Dalam hal ini, Indonesia mengenal seorang tokoh intelektual yang konsern dalam isu-isu kebebasan beragama. Beliau adalah Muhammad Dawam Rahardjo. Mantan Rektor UNISMA, Direktur LP3ES, Direktur IIIT Indonesia, dan President of the Board of IFIS ini dikenal cukup kontroversial dalam menanggapi problem-problem kebebasan beragama di Indonesia. Beliau pernah dipecat dari Muhammadiyah karena tanggapan-tanggapan kontroversialnya, terutama saat melakukan pembelaan terhadap Ahmadiyah dan Lia Aminuddin.11 Walau begitu, Dawam tetap meneriakkan “Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah!”. M. Dawam Rahardjo aktif membela kebebasan beragama dalam kasuskasus jamaah Ahmadiyah, Komunitas Eden, JIL, kelompok Syiah dan minoritas lainnya. Ia menghadiri sidang-sidang Lia Aminuddin dan Muhammad Abdurrahman, pemimpin dan juru bicara Komunitas Eden, yang diadili atas tuduhan penodaan agama.12 Ditinjau dari pemikirannya, M. Dawam Rahardjo memiliki perspektif murni dan utuh tentang kebebasan beragama di Indonesia. Pemikirannya tentang relasi Pancasila dan trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, serta keyakinannya bahwa kebebasan beragama harus diwujudkan sebagai bagian dari
11 Lihat wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo terkait dengan pemecatan dirinya dari Muhammadiyah, dalam Tempo, 5 Februari 2006. 12 Ihsan Ali Fauzi, et.all., ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme; Esai-esai untuk Merayakan 65 tahun M. Dawam Rahardjo (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2007), h. 21.
hak sipil masyarakat, menempatkan beliau sebagai tokoh pemikir Islam Indonesia yang popular dalam hal pembelaan kebebasan beragama. Penentangannya terhadap otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI) beserta fatwa-fatwanya menunjukkan keberanian dan ketulusan beliau dalam melakukan pembelaannya. Meski tidak berusia muda lagi dan tidak sesehat dulu, Dawam tetap kritis dalam memahami dan menyikapi realitas umat dan bangsa. Kajiannya tentang kebebasan beragama tidak hanya berhenti dalam produksi intelektual belaka, akan tetapi dibuktikan dalam langkah-langkah kontroversialnya. Di atas semuanya, sosok M. Dawam Rahardjo tetaplah sosok pemikir pembaharu Islam sebagaimana beliau dahulu memulainya bersama generasi Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, dan lain-lain. Tidak terhitung banyaknya “murid” hasil binaan beliau yang berhasil meneruskan jejaknya dalam melakukan pembaharuanpembaharuan Islam Indonesia. Sisi intelektual dan kontroversialnya inilah yang menempatkan M. Dawam Rahardjo sebagai perspektif yang relevan dalam membahas konsep dan problem kebebasan beragama di Indonesia. Dengan pertimbangan inilah, maka penulis memberi judul skripsi ini, “Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Rahardjo”.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Dikarenakan keterbatasan dan demi terfokusnya pembahasan, maka penulisan skripsi ini saya batasi pada pembahasan “Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Rahardjo”.
Maka, sebagai rumusan dari pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan, 1. Bagaimanakah wacana kebebasan beragama di Indonesia? 2. Bagaimanakah landasan pandangan M. Dawam Rahardjo tentang kebebasan beragama di Indonesia? 3. Bagaimanakah tanggapan M. Dawam Rahardjo atas pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia?
Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini antara lain: 1. Untuk mengetahui latar belakang pemikiran M. Dawam Rahardjo 2. Untuk mengetahui wacana kebebasan beragama di Indonesia 3. Untuk mengetahui kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo secara utuh. Adapun manfaat dari penulisan ini adalah: 1. Bagi para intelektual, cendekiawan, dan akademisi agar dapat memberikan sumbangan bagi khazanah pemikiran, ide atau gagasan, dan juga untuk menambah literatur atau bahan referensi pada Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta sumbangsih bagi dunia pendidikan.
2. Bagi pemerintah, pejabat, politisi, tokoh Ormas keagamaan dan aktivis elemen masyarakat sipil lainnya agar dalam membangun negara-bangsa Indonesia tetap memperhatikan prinsip kebebasan beragama. 3. Bagi penulis adalah agar dapat menambah wawasan dan pemahaman utuh – yang tidak bersifat menghakimi – mengenai konsep kebebasan beragama di Indonesia, terutama dalam perspektif M. Dawam Rahardjo.
Studi Kepustakaan Sejauh ini, sulit menemukan hasil penelitian atau buku yang membahas aspek-aspek pemikiran M. Dawam Rahardjo. Hal ini disebabkan beliau hingga saat ini masih hidup, sehingga pemikirannya secara langsung masih bisa disuarakan olehnya. Pun demikian, penulis menemukan sebuah buku yang cukup relevan dalam membahas pribadi M. Dawam Rahardjo dan segi-segi pemikirannya. Buku Demi Toleransi Demi Pluralisme, merupakan karya kumpulan esaiesai untuk merayakan 65 tahun M. Dawam Rahardjo. Buku yang disunting oleh Ihsan Ali Fauzi, Syafiq Hasyim dan JH. Lamardy ini diterbitkan oleh Penerbit Paramadina pada tahun 2007. Buku ini membahas pribadi M. Dawam Rahardjo, baik dari sisi biografis maupun kesan-kesan para kolega dan sahabat beliau. Selanjutnya, Demi Toleransi Demi Pluralisme juga mengupas segi-segi pemikiran dan aktivisme M. Dawam Rahardjo melalui tulisan para kontributor yang merupakan
orang-orang
dekat
beliau,
atau
mereka
yang
sama-sama
memperjuangkan toleransi dan pluralisme di Indonesia. Karenanya, hal yang
paling menonjol dari buku ini ialah citra M. Dawam Rahardjo sebagai pembela toleransi dan pluralisme keagamaan di Indonesia. Karya di atas belum secara khusus memfokuskan kajian mengenai kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo. Untuk itu, penulis mencoba melakukan kajian terhadap pemikiran M. Dawam Rahardjo dalam memandang kebebasan beragama di Indonesia.
Metode Penelitian Jenis penelitian dalam mengkaji masalah ini ialah penelitian kualitatif. Secara metodologis, metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research), dengan menggali sumbersumber primer, maupun sumber-sumber sekunder. Pengumpulan data menggunakan studi dokumenter, yakni dengan memanfaatkan bahan-bahan primer dan sekunder. Adapun sumber primer dalam masalah ini adalah tulisan-tulisan tentang kebebasan beragama yang ditulis langsung oleh M. Dawam Rahardjo. Sedangkan sumber sekundernya adalah sumber-sumber yang menunjang pembahasan masalah. Analisis data menggunakan teknik deskriptif-analitis. Deskriptif di sini dimaksudkan sebagai upaya untuk mendeskripsikan perspektif M. Dawam Rahardjo dalam memandang konsep kebebasan beragama di Indonesia. Analitis berarti menganalisis pemikiran-pemikiran M. Dawam Rahardjo sehingga akan nampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan.
Teknik penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) terbitan CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sistematika Penulisan Pembahasan dalam skripsi ini dituangkan dalam lima bab, termasuk BAB I sebagai pendahuluan dan BAB V sebagai penutup. Adapun rincian sistematika penulisan yang penulis susun antara lain sebagai berikut: BAB I adalah pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi kepustakaan, metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan. BAB II mengulas biografi singkat M. Dawam Rahardjo. Dalam bab ini akan dideskripsikan latar belakang keluarga dan pendidikan M. Dawam Rahardjo, pemikiran dan aksinya, serta buku-buku karyanya. BAB III akan membahas wacana kebebasan beragama di Indonesia. Bab ini meliputi pembahasan definisi dan prinsip kebebasan beragama, serta regulasi kebebasan beragama dan bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. BAB IV akan menganalisis kebebasan beragama di Indonesia menurut M. Dawam Rahardjo. Bagian ini akan mendalami pemikiran beliau tentang Pancasila dan trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, kebebasan beragama sebagai hak sipil, dan diakhiri dengan beberapa pandangan M. Dawam Rahardjo atas kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia.
BAB V sebagai penutup. Seluruh elaborasi pembahasan di atas akan diikat dalam beberapa kesimpulan dan ditambahkan beberapa saran yang penulis tawarkan dalam bagian ini.
BAB II BIOGRAFI M. DAWAM RAHARDJO
A.
Keluarga dan Pendidikannya
M. Dawam Rahardjo dilahirkan pada tanggal 20 April 1942, di kampung Baluwarti, Solo. Ayahnya bernama Mohammad Zuhdi Rahardjo, sedangkan ibunya bernama Mutmainnah. Keluarga menjadi institusi pendidikan pertama yang dienyam oleh M. Dawam Rahardjo. Ia bisa mengaji dan hafal beberapa surat Juz-Amma terutama diajari oleh tante dan kakak sepupunya, Tahrir. Di samping itu, ia juga mendapatkan pendidikan agama dari Madrasah Bustanul Athfal Muhammadiyah, di Kauman, sebelah utara masjid besar Solo, Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Masjid Besar Solo, dan sekolah umum Al Robithoh Al Allawiyyah di kelas satu.13 Dawam masuk Sekolah Dasar (SD) langsung ke kelas 2 di Sekolah Rakyat Loji Wetan dan di Madrasah Diniyah Al-Islam dari kelas 3 hingga tamat. Dawam kecil juga pernah mengaji kepada K.H. Ali Darokah – kemudian menjadi ketua umum Pergerakan Al-Islam dan Ketua Umum Majelis Ulama Surakarta – yang juga menjadi guru mengaji saudara - saudara sepupunya. Sebelum masuk SMP, ia belajar mengaji selama satu bulan di Pesantren Krapyak (sekarang Pesantren AlMunawir Ia belajar membaca surat al-Fatihah kepada Gus Dur (ustadz Abdurrahman). Selanjutnya, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) I yang dianggap sebagai sekolah elit tingkat SMP di Solo, berkat prestasi 13
Ihsan Ali Fauzi, et.all., ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2007), hal. 3-5.
baik Dawam di sekolah dasar. Sementara itu, di Al-Islam, Dawam hanya menamatkan Madrasah Tsanawiyah, karena ia melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Atas (SMA) CV di Manahan.14 Sebelum kuliah, Dawam mengikuti program AFS (American Field Service) di Idaho, Amerika Serikat (AS). Di sana, ia belajar di Borah High School. Selanjutnya, Dawam berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM).15 Di tengah-tengah kesibukannya sebagai mahasiswa UGM, Dawam tertarik untuk beraktivitas dalam organisasi mahasiswa yaitu Himpunan Mahasiswa Islam. Dawam juga giat dalam kegiatan-kegiatan diskusi dan kajian semasa kuliahnya. Dengan demikian, Dawam resmi memulai petualangannya di dunia aktivisme dan intelektual.16 Istri pertama Dawam, Zainun Hawariah, wafat pada Desember 1994. Dari perkawinan mereka, Dawam mempunyai dua orang anak yang sudah dewasa. Aliva (lahir pada 1972) adalah anak sulung perempuan. Ia lulus dari fakultas ilmu pasti dan pengetahuan alam (MIPA) jurusan Fisika, pada tahun 1997. Dia telah menikah dan dikaruniai seorang anak pada 1 April 1999, dan diberi nama Krisna. Anak Dawam yang kedua bernama Jauhari (lahir pada 1974) dan lulus dari jurusan Elektro tahun 1999, Fakultas Teknik Universitas Pancasila. Istri Dawam yang sekarang bernama Sumarni (dinikahinya pada bulan Maret 1995), sarjana
14
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 5-6. Lihat juga, “M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”, diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari http://www.thepersecution.org/world/indonesia/ 07/05/jp19.html. 15 “M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. 16 Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 7-10.
ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) dan mendapat gelar MPA dari Universitas of California.17
B.
Pemikiran dan Aksinya
Dalam dunia tafsir, nama M. Dawam Rahardjo pernah melambung, terutama lewat karya tafsirnya Ensiklopedi al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Dalam bidang ini, M. Dawam Rahardjo sudah terhitung progressif, sebab beliau menulis tafsir tematik (maudhu'i). Dalam menulis tafsir tersebut, beliau menggunakan ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu untuk menafsirkan Al-Qur'an. Pendiriannya ini terutama didasarkan pada keyakinannya bahwa tafsir haruslah terbuka untuk siapa saja, dan penafsir tidak mesti menguasai bahasa Arab. Menurut Syafiq Hasyim, di sinilah letak kontribusi penting M. Dawam Rahardjo dalam bidang tafsir di Indonesia, yakni memasukkan pendekatan
interdisipliner
(berbagai
disiplin
ilmu
pengetahuan)
dalam
menafsirkan Al-Qur'an.18 Cukup sulit menggolongkan pemikiran M. Dawam Rahardjo hanya ke dalam satu golongan pemikiran saja. Sebab, beliau mengarungi dunia intelektual dengan melalui perkembangan pemikiran sedemikian rupa, sehingga mendapatkan sebutan
yang
bermacam-macam;
mulai dari
neo-marxis,
neo-modernis,
transformis, pluralis, sekular hingga liberal. M. Dawam Rahardjo memang memiliki minat yang luas dalam dunia pemikiran. Pun demikian, bukan berarti beliau layak disebut sebagai pemikir yang tidak konsisten. Justru M. Dawam 17
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 18-19. Syafiq Hasyim, “Mas Dawam dalam Tiga Babak: Keyakinan Penuh Akan Modernisme Islam?” dalam Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, hal. 227. 18
Rahardjo
melalui perkembangan pemikirannya
dengan suatu perjalanan
intelektual yang serius. Lebih tepat bila dikatakan bahwa M. Dawam Rahardjo mengalami perkembangan (evolusi) pemikiran yang matang dan sesuai dengan kadar aktivismenya. Karenanya, dalam mengkaji pemikiran beliau, penulis tidak ingin terjebak untuk membatasi M. Dawam Rahardjo ke dalam satu tipe pemikiran saja. Melainkan, berusaha memaparkan perjalanan intelektual beliau supaya lebih dapat dipahami secara utuh. M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai seorang ekonom dan cendekiawan muslim yang sangat kritis terhadap ideologi pembangunan (developmentalism). Hal tersebut secara tidak langsung memang di pengaruhi oleh konteks saat Dawam muda yang aktif di HMI saat pengaruh PKI begitu kuat. Dawam dituntut untuk mempelajari sosialisme agar dapat mengimbangi wacana sosialisme yang digulirkan PKI. Tidak hanya mempelajari marxisme, Dawam muda juga meneruskan mengkaji neo-marxisme dan teori-teori radikal lainnya.19 Adapun pemikiran M. Dawam Rahardjo tentang kebebasan beragama berada pada fase terakhir dari perjalanan pemikirannya selama hidupnya. Rupanya posisi beliau sebagai cendekiawan muda memancingnya untuk kritis terhadap beberapa pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Sikap beliau tidak lain dilatarbelakangi oleh perjalanan intelektualnya yang terhitung panjang dan rumit. Model pemikiran M. Dawam Rahardjo terbentuk pada masa hidupnya yang berada dalam latar geraka n intelektual Islam baru di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan tersebut, selain merupakan warisan dari tradisi modernisme
19
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”.
Islam yang terdahulu di Indonesia, ia pun tampil beda dari segi isi maupun aplikasinya. Hal ini disebabkan, neo-modernisme memakai pendekatan baru yang khas. Masa-masa tersebut tidak disia-siakan oleh beliau, sehingga dengan segera M. Dawam Rahardjo pun menjadi salah satu pelaku gerakan intelektual Islam baru tersebut. Pada awal kemunculannya, istilah popular yang dicetuskan pertama kali untuk neo-modernisme ialah pembaruan pemikiran Islam oleh Nurcholish Madjid, saat ia memberi makalah untuk sebuah seminar tertutup pada tahun 1970, berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Gerakan neo-modernisme, yang lahir dari para pemikir Islam seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, mencerminkan perkembangan modernisme Islam yang lebih jauh di mana pengetahuan klasik atau tradisional digabungkan dengan pendekatan aktual dalam menafsirkan sebuah teks. Berbeda dari modernisme, neo-modernisme berpaham pemisahan antara gereja dan negara, dengan pandangan bahwa keterlibatan kelompok-kelompok agama ke dalam partai politik akan menimbulkan ketegangan sektarian dan polarisasi berdasarkan agama.20 Perbedaan lainnya terletak dalam perhatiannya pada tradisi. Kaum neomodernis berusaha membangun visi Islam di masa modern, dengan tidak meninggalkan akar-akar Islam untuk mendapatkan kemodernan Islam. Sedangkan kaum modernis lama lebih bersifat apologetik atas modernitas. Gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir, menurut Fazlur Rahman terbagi menjadi empat tahapan, yaitu (1) Gerakan Revivalis di akhir abad
20
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 5.
ke-18 dan awal abad ke-19, yaitu gerakan wahhabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara dan Fulaniyah di Afrika Barat, (2) Gerakan Modernis yang dipelopori oleh Sayyid Ahmad Khan (meninggal tahun 1898) di India, Jamaluddin Al-Afghani (meninggal tahun 1897) di seluruh Timur Tengah, dan Muhammad Abduh (meninggal tahun 1905) di Mesir, (3) Neo-Revivalisme yang modern namun agak reaksioner, di mana Maududi beserta kelompok Jamaat Islami-nya di Pakistan merupakan contoh terbaik, dan (4) Neo-Modernisme, di mana Fazlur Rahman sendiri mengkategorikan dirinya ke dalam tahap terakhir ini dikarenakan alasan neo-modernisme memiliki sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik.21 Penggunaan
istilah
neo-modernis
oleh
Fazlur
Rahman
cukup
mempengaruhi kaum intelektual Indonesia. Terlebih, Rahman memang cukup dikenal di Indonesia. Ia datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1974 dan terus menjalin hubungan baik dengan beberapa intelektual Muslim Indonesia, seperti Nurcholish Madjid. Kendati demikian, banyak para pemikir Islam terkemuka dan dapat digolongkan ke dalam golongan pemikir neo-modernis, seperti Jalaluddin Rakhmat, Masdar F. Mas’udi, dan M. Dawam Rahardjo sendiri, tidak menggunakan istilah neo-modernisme bagi pemikiran yang mereka kembangkan dan bagi diri mereka sendiri.22 Pribadi M. Dawam Rahardjo memang agak unik, bila dibandingkan dengan pemikir neo-modernis lainnya. Seperti diketahui, bahwa ke-khas-an pemikiran kaum neo-modernis di antaranya ialah pendekatan ijtihad oleh pemikir 21 22
Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 9. Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 11.
neo-modernis Indonesia yang lebih mendalam, karena mereka mensintesiskan khazanah Islam klasik dengan metode-metode analisis modern atau Barat. Hal ini dilatarbelakangi oleh pendidikan Islam tradisional dan klasik, yang berkisar pada Al-Qur’an dan naskah-naskah Arab, dan dilanjutkan pendidikan model Barat modern. Berbeda dengan M. Dawam Rahardjo, di mana beliau memiliki latar eblakang pendidikan Islam klasik yang kurang kuat, dan lebih banyak menempuh pendidikan model Barat modern. Meskipun, tetap harus dicatat bahwa M. Dawam Rahardjo pun cukup berminat terhadap keilmuan Islam klasik walaupun pendekatannya melalui bahan-bahan berbahasa Indonesia dan Inggris.23 Menurut Budhy Munawar-Rahman, ada tiga bentuk pemikiran sosialkeislaman kaum neo-modernis, antara lain: (1) Islam rasional, yang bertujuan menemukan pengetahuan yang mendasar mengenai Islam atau ilmu keislaman yang rasional, untuk mendapatkan keyakinan atau iman yang rasional, dan tingkah laku atau amal yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh Islam rasional yakni Harun Nasution dan Djohan Effendi. (2) Islam peradaban, yang bertujuan untuk mendapatkan makna dari perwujudan konkret AL-Qur'an, ingin menemukan makna dari proses pembentukan Islam sebagai sebuah dorongan sejarah, yang menghasilkan sebuah peradaban Islam. Tokoh Islam peradaban yaitu Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo. (3) Islam transformis, yang bertujuan membebaskan masyarakat muslim yang miskin dan terbelakang dari belenggu dominasi structural,
23
dengan berlandaskan pada visi Al-Qur'an tentang
Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 12.
transfromasi. Tokoh Islam transformis adalah Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo sendiri.24 Kalangan Islam Transformis memang banyak berkembang di kalangan yang latar belakang pendidikannya bukan IAIN (Institut Agama Islam Negeri), namun komitmennya terhadap Islam tinggi – seperti M. Dawam Rahardjo – atau dari IAIN namun komitmennya terhadap ilmu sosial melebihi ilmu-ilmu tradisional Islam. Sebagaimana juga M. Dawam Rahardjo, kebanyakan dari kelompok Islam transformis adalah aktivis LSM. Perhatian utama mereka yaitu suatu transformasi sosial masyarakat bawah. Islam
transformis
berusaha
mewujudkan
transformasi
struktur-struktur
masyarakat yang menindas ke arah struktur yang lebih humanis, agar masyarakat dapat memperjuangkan hak mereka. Selain Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo, istilah Islam transformis juga dipakai oleh Moeslim Abdurrahman, Masdar F. Mas'udi, dan Mansour Fakih. Islam transformis memang sedikit berbeda dari Islam rasional dan Islam peradaban. Bila Islam rasional dan Islam peradaban hanya memperhatikan faktor internal umat islam (teologi) dalam menjelaskan keterbelakangan umat, maka Islam transformis memasukkan faktor eksternal, yaitu peranan Barat, sebagai penyebab keterbelakangan. Bahkan, Islam transformis tidak memisahkan antara teologi dan analisis sosial, bahkan menyatukannya dalam daur dialektis: dari
24
Budhy Munawar-Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran NeoModernisme Islam di Indonesia," dalam Ulumul Qur'an No. 3, Vol. VI, tahun 1995, h. 4-29.
"kritik ideologis," ke "kritik tafsir," kemudian mencari "tafsir alternatif" dan mewujudkannya dalam "tindakan sosial" sebagai praksis teologis.25 M.
Dawam
Rahardjo
mengatakan,
"gerakan
kemasyarakatan
itu
mempunyai peranan yang krusial, yang mencegah terjadinya pencaplokan masyarakat oleh negara ke dalam bentuk negara korporatif yang integralistiktotaliter.26 Beliau juga pernah mengkritik pendekatan Islam peradaban seperti yang digagas oleh Nurcholish Madjid. Menurut M. Dawam Rahardjo, keliru bila kita harus membanggakan peradaban Islam seperti yang berlangsung pada abad pertengahan. Memang, pada abad itu peradaban Islam mencapai puncaknya. Namun, keadaan itu berada di tengah-tengah absolutisme-monarkis dan feodalisme. Maka, menurut beliau, peradaban Islam yang ideal masih dalam proses pencarian. Namun, paling tidak model peradaban Islam ideal menurutnya ialah terbentuknya budaya tekno-ekonomi yang membangun kemakmuran dan keadilan masyarakat sebagai landasan bagi kejayaan peradaban Islam modern dan religius. Peradaban Islam masa depan adalah peradaban yang didasarkan pada nilai religius tekno-ekonomi, yang di Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.27 Meskipun M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai pemikir neo-modernis Islam, namun menurut Greg Barton, M. Dawam Rahardjo bukan termasuk
25
Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia," h. 22. 26 M. Dawam Rahardjo, "Gerakan Rakyat dan Negara," dalam Prisma 11, 1985, h. 15. Dikutip dalam, Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia," h. 26. 27 M. Dawam Rahardjo, “Model Peradaban Islam yang Ideal,” artikel diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2007/03/25/Ide/ krn.20070325.97395.id.html.
kelaompok neo-modernis. Hal ini terutama disebabkan karena Greg Barton memahami istilah neo-modernis sebagai kelompok pemikir yang memiliki keahlian keilmuan tradisionalis dan modernis sekaligus, seperti Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, Djohan Effendi dan Abdurrahman Wahid, yang terdidik secara klasik dan dipengaruhi latar belakang pendidikan pesantren tradisionalis yang kental. Menurut Greg Barton, M Dawam Rahardjo lebih tepat bersifat organisatoris dalam kelompok neo-modernis.28 Greg Barton malah memasukkan M. Dawam Rahardjo sebagai kelompok Islam substansialis, sebagaimana istilah yang digunakan oleh R. William Liddle. Liddle berpendapat bahwa empat ciri kelompok Islam substansialis antara lain: 1. Hal paling utama dan mendasar bahwa substansi keimanan dan praktik lebih penting daripada bentuk. 2. Pesan Al-Qur'an dan hadits, walau abadi esensinya dan universal artinya, dapat ditafsir kembali oleh setiap generasi muslim sesuai dengan situasi masanya. 3. Umat muslim harus toleran terhadap sesamanya dan terhadap non-muslim. 4. Menerima pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk final dari negara bangsa Indonesia
Perkembangan pemikiran M. Dawam Rahardjo nyata-nyata tidak ketinggalan jaman, bahkan semakin berkembang. Pada fase terakhir dalam perjalanan intelektualnya, M. Dawam Rahardjo dikenal sangat aktif dalam
28
Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 34-35.
mengkritisi berbagai pelanggaran kebebasan beragama. Beliau juga secara tegas menolak fatwa haram Majelis Ulama Indonesia tentang liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Bagaimana pemikiran beliau tentang kebebasan beragama di Indonesia akan secara utuh dibahas pada bab-bab berikutnya pada penulisan kita. Selanjutnya,
meminjam
tipologi
sikap
keberagamaan
menurut
Komaruddin Hidayat,29 maka M. Dawam Rahardjo bisa dimasukkan ke dalam tipologi inklusifisme dan pluralisme. Dikatakan inklusif, sebab beliau menerima kemungkinan adanya kebenaran dalam agama lain, namun sekaligus tetap menganggap bahwa agamanya, Islam, yang benar bagi dirinya. Sedangkan dikatakan plularis, sebab beliau berpendapat bahwa semua agama itu benar, menurut masing-masing pemeluknya. Namun, pemikiran ini bukan termasuk sinkretisme. Tipologi pemikiran M. Dawam Rahardjo ini paling jelas terlihat dari komitmennya atas kebebasan beragama dan pluralisme. M. Dawam Rahardjo juga sangat kritis terhadap gerakan-gerakan fundamentalisme Islam, yang menurutnya merupakan bentuk jahiliyah modern.30 Mereka yang menurut beliau termasuk jahiliyah modern yakni Muhammadiyah (modern) dan Hizbut Tahrir. Alasannya, sebab mereka itu cenderung melihat ke masa lalu, seperti generasi salaf, sebagai model masa depan. Sembari demikian, M. Dawam Rahardjo juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah solusi dari kemunduran umat tersebut.
29 Diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://lempu.co.cc/index.php/Artikel/ Tipologi-Sikap-Beragama.html. 30 Diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://www.korantempo.com/ korantempo/koran/2007/11/23/Opini/krn.20071123.116317.id.html.
Jelaslah, bahwa pemikiran M. Dawam Rahardjo berkembang sedemikian rupa, dan di akhir fase perkembangan pemikirannya beliau sangat terpanggil untuk mengkritik fenomena gerakan fundamentalisme-radikal Islam. Sebagaimana kita ketahui, bahwa gerakan fundamentalis-radikal begitu popular sejak pasca reformasi politik 1998 di Indonesia. Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang lahir dari proses demokratisasi memberi berkah bagi mereka untuk berkembang sedemikian rupa. Agaknya, M. Dawam Rahardjo ingin mengembalikan umat Islam pada pemahaman yang benar, bahwa kebebasan bukanlah anarki, dan bahkan merupakan tanggung jawab. Beliau sangat menghargai kerangka negara bangsa Indonesia yang bernaung di bawah Pancasila dan UUD 1945. Pemikiran M. Dawam Rahardjo mengenai kebebasan beragama dan kritiknya atas fundamentalisme Islam bukannya tanpa basis teologi yang jelas. Seperti kita ketahui, beliau sebelumnya termasuk pada kategori Islam transformis yang lebih banyak berbicara pada konteks kesetaraan ekonomi dan keadilan. Pemikiran beliau tersebut, pada akhirnya membawanya pada pemikiran teologi otonomi iman, namun berlandaskan pada filsafat, terutama filsafat neokantianisme. Sebagai seorang neo-kantian, M. Dawam Rahardjo berkeinginan untuk menciptakan sebuah tatanan sosial-politik yang adil, yakni menghargai manusia sebagai makhluk yang bebas dan otonom. M. Dawam Rahardjo sejajar dengan pemikir neo-kantian lainnya, seperti Jurgen Habermas dan John Rawls. Para neoKantian ini juga senantiasa percaya terhadap prinsip kebebasan dan otonomi akal, meskipun mereka menolak asumsi-asumsi metafisik dari Immanuel Kant.
Dalam kerangka konsep otonomi dan kebebasan manusia Kantian inilah, menurut Iqbal Hasanuddin – seorang peneliti di LSAF – kita sebenarnya dapat memahami rumusan trilogi M. Dawam Rahardjo, seputar diskursus sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Konsep otonomi manusia dalam kehidupan beragama pertama-tama harus diletakan pada lokus akidah dan keimanan. Penempatan iman dan akidah kepada otoritas setiap individu dengan sendirinya akan menciptakan kebebasan beragama. Pengembalian iman dan akidah kepada otoritas individu yang otonom inilah yang dijadikan dasar pemikiran dalam prinsip liberalisme. Selanjutnya, seperti juga diyakini oleh John Rawls, M.Dawam Rahardjo berkeyakinan bahwa konsekuensi logis dari konsep otonomi iman dan akidah bagi setiap individu yang melahirkan konsep kebebasan beragama adalah lahirnya pluralitas pandangan dan ekspresi keberagamaan. Karenanya, cara yang paling masuk akal dalam menyikapi pluralitas ini adalah prinsip pluralisme. Karena itu, bisa dikatakan bahwa seorang liberal sejati yang menghargai otonomi dan kebebasan individu dalam beragama sudah pasti juga akan menjadi seorang pluralis. Prinsip liberalisme dan pluralisme dalam kehidupan beragama tersebut juga tidak akan terwujud dengan baik jika negara sebagai organisasi kekuasaan didasarkan pada satu agama tertentu dalam bentuk tatanan teokrasi. Karenanya, prinsip lain yang juga harus ditegakan guna mewujudkan otonomi dan kebebasan manusia adalah sekularisme, yakni pemisahan antara agama dengan negara.31 Demikianlah, perjalanan pemikiran M. Dawam Rahardjo akhirnya menempatkan beliau sebagai seorang liberal, sekular dan pluralis. Sebuah posisi 31
Iqbal Hasanuddin, “Neo-Kantianisme dalam Pemikiran M. Dawam Rahardjo,” artikel diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://iqbalhasanuddin.wordpress.com/2008/09/26/neokantianisme-dalam-pemikiran-m-dawam-rahardjo/.
intelektual yang bagi kebanyakan orang akan dihindari, sebab pemikiran seperti itu sudah diharamkan oleh MUI. Meskipun demikian, M. Dawam Rahardjo memang tidak sendirian. Selain beliau, ada beberapa pemikir kritis Islam lainnya, seperti Musdah Mulia, Syafi'i Anwar, Ulil Absar Abdalla, dan lain sebagainya. Namun, memang bila melihat pada tataran generasinya, M. Dawam Rahardjo termasuk generasi intelektual muslim lama yang masih bertahan, selain Djohan Effendi, Abdurrahman Wahid, Moeslim Abdurrahman, dan lain-lain. Selain dalam bidang pemikiran, M. Dawam Rahardjo juga sangat menonjol dalam bidang aksinya. Aktifitasnya dimulai saat Dawam muda berada di HMI, yang menuntut dia untuk belajar politik. Ia banyak berperan sebagai instruktur dalam training-training di HMI, bersama-sama dengan Djohan Effendi dan Ahmad Wahib. Dari tempaan di HMI itulah, ia mulai banyak menulis artikelartikel untuk koran dan majalah. Bahkan selama tiga tahun, Dawam menjadi penulis tetap (kolumnis) untuk koran Mercusuar, Yogyakarta, setiap hari selasa. Dawam bersama-sama dengan Andi Makmur Makka, menjadi editor dan co-editor majalah GEMA Mahasiswa, yang diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa UGM. Adapun staf redaksinya antara lain adalah Amak Baldjun, Abdurrahman Saleh, Kuntowidjojo, Ichlasul Amal, dan Abdul Hadi WM. Aktivitasnya dalam dunia jurnalistik mengangkat nama M. Dawam Rahardjo dan membuatnya cukup terkenal semasa menjadi mahasiswa di UGM.32 Setelah menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi UGM tahun 1969, Dawam sempat bekerja di Bank of America (BoA), Jakarta. Tapi di bank asing itu,
32
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 8-10.
Dawam Rahardjo hanya bekerja selama dua tahun.33 Pada waktu itu, dirinya cukup aktif di media massa, menjadi redaktur Mimbar Demokrasi dan koran mingguan Forum. Sebenarnya Dawam keluar dari BoA juga karena keinginannya untuk bekerja di suatu lembaga riset. Ia bergabung dengan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) ketika Nono Anwar Makarim menjadi direkturnya. Selanjutnya, M. Dawam Rahardjo banyak terlibat dalam berbagai penelitian yang disponsori oleh Friedrich Naumann Stiftung. Pada usia ke 38 tahun, akhirnya beliau menjadi Direktur LP3ES.34 Dawam sering dipanggil untuk membantu menyelesaikan masalahmasalah proyek. Nono Anwar Makarim menjadikannya sebagai trouble shooter. Karena itu, Dawam paling sering berpindah-pindah tugas pada banyak proyek. Sebagai trouble shooter, Dawam ditugaskan menangani beberapa protek yang kemudian sangat menentukan karier dan keahliannya, yaitu pengembangan industri kecil, entrepreneurship dan pesantren. Mula-mula proyek itu berupa penelitian, kemudian diikuti dengan pelatihan dan pengembangan. Sebagai staff LSM itulah Dawam memasuki dunia pesantren dan berkenalan dengan tokohtokoh kyai, baik NU maupun non-NU. Di LP3ES, Dawam banyak belajar dari staf-staf orang Jerman, misalnya Dr. Kohler, Christian Lempelius, dan Dr. Manfred Ziemek.35 Karir Dawam di LP3ES cukup cepat menanjak untuk ukuran waktu itu. Ia berjingkat naik dari staf menjadi Kepala Bagian berbagai departemen, kemudian 33
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. “M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. 35 Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 12-13.
34
Wakil Direktur selama dua periode, dan akhirnya, pada umur 38 tahun, menjadi Direktur LP3ES. Selama bekerja di lembaga itu, ia telah banyak mendidik kaderkader intelektual. Karena sebagian mereka berasal dari IAIN, tidak berlebihan jika berkali-kali Prof. Dawam telah mendidik mahasiswa-mahasiswa IAIN itu di bidang ilmu-ilmu sosial. Diskusi rutin dengan para kader muda itu menghasilkan dua buku kumpulan karangan. Pertama adalah Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam (Grafiti Press, 1985). Kedua adalah buku Pergulatan Dunia Pesantren:
Membangun
Dari
Bawah
(diterbitkan
oleh
Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, P3M).36 Ketika menjadi Direktur LP3ES, Dawam juga banyak melakukan kegiatan yang bersifat internasional. LP3ES bekerja sama dengan LSM internasional dan para intelektual luar negeri terutama dari kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Dawam memprakarsai berdirinya INGI (Inter Non-Governmental Forum for Indonesia) yang kemudian atas usulannya beganti nama menjadi INFID (Inter Non-Governmental Forum for Development). Ia juga memprakarsai berdirinya SEAFDA (South East Asia Forum for Development Alternatif). Dari SEAFDA itulah Dwam berkenalan dan bersahabat dengan tokoh-tokoh intelektual radikal seperti Marthin Kor, Rudolf S. David, Surichai, Chandra Muzaffar, S. K. Jomo atau Kamla Basin. Banyak intelektual Indonesia yang diajaknya ke forum itu, antara lain Arief Budiman, Daniel Dhakidae, Ignas Kleden, Adi Sasono, Kuntowidjojo, Ariel Heryanto, Fachry Ali, Farchan Bulkin, Hadimulyo, dan Karcono. Mereka juga disertakannya dalam menangani proyek kajian tentang 36
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. Lihat juga Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 13.
“State in the Context of Transnationalization” yang dibiayai oleh UN University di Tokyo yang rektornya adalah Dr. Soedjatmoko.37 Dawam juga banyak mendorong, menganjurkan, dan membantu berdirinya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. LSM yang ia prakarsai sendiri antara lain adalah: Lembaga Studi Ilmu-ilmu Sosial (LSIS), Lembaga Studi Pembangunan (LSP), Lembaga Kebajikan Islam “Samanhudi” (LKIS), Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA), dan Yayasan Wakaf Paramadina. Sampai sekarang, Dawam masih memimpin yayasan LSAF, karena yayasan ini termasuk ke dalam kelompok PPA.38 M. Dawam Rahardjo juga sangat berjasa dalam pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Di ICMI, Dawam mulanya menjadi Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI 1990-1995. Periode berikutnya, 1995-2000, Dawam menjabat sebagai salah seorang Ketua UCMI Pusat. Selain itu, Dawam juga terpilih sebagai Ketua Presidium Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), di mana ia memegang jabatan itu sampai tahun 1997.39 Dawam dianugerahi gelar professor oleh Universitas Muhammadiyah Malang pada tahun 1993. M. Dawam Rahardjo akhirnya diangkat sebagai rektor Universitas 45 (UNISMA).40 Selain sebagai rektor, M. Dawam Rahardjo menjadi President Director di CIDES Persada Consultant (CPC), Ketua Majelis Pembina Ekonomi Muhammadiyah periode 1995-2000, Direktur International Institute of Islamic Thought (III-T) Indonesia, President of the Board of Directors,
37
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 14. Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 14-15. 39 Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 17-18. 40 “M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. 38
Internaitonal Forum of Islamic Studies (IFIS), Dewan Redaksi Harian Republika, dan staf ahli Tabloid JOB Indonesia.41 Pada 17 April 2006, Dawam memimpin ratusan anggota Alinansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam demonstrasi ke depan gedung Menteri Agama untuk memprotes larangan menteri atas Ahmadiyah.42 Pembelaan M. Dawam Rahardjo terhadap Ahmadiyah dan aliran-aliran “sesat” lainnya menyebabkan dipecatnya beliau dari Muhammadiyah di tahun 2006, saat Muhammadiyah di bawah pimpinan Din Syamsuddin.43 Setelah ulang tahunnya yang ke-65, kondisi kesehatan M. Dawam Rahardjo semakin memburuk. Meskipun begitu, beliau tetap bersemangat dalam membuahkan pikiran-pikiran progresif demi membela kebebasan beragama. Setelah sering keluar-masuk rumah sakit, akhirnya, di tahun 2008, M. Dawam Rahardjo terpaksa harus dibawa ke Cina untuk menjalani pengobatan di sana.
C.
Buku-buku Karyanya
M. Dawam Rahardjo cukup produktif dalam menulis buku, selain juga menjadi editor beberapa buku dan kolumnis di berbagai media. Berikut ini adalah beberapa buku karya beliau, yang akan saya kategorikan berdasarkan tema dan isi pembahasannya. 1. Tema ekonomi Islam, perbankan, manajemen, dan industri. Dalam beberapa bukunya, M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai ekonom Islam yang banyak menggagas ekonomi kerakyatan, sekaligus mengkritik 41
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 19-21. “M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. 43 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo, Tempo, 5 Februari 2006.
42
ideologi pembangunan (developmentalism). Buku-buku tersebut antara lain: Esai-esai Ekonomi Politik (Jakarta: LP3ES, 1988), Tantangan Indonesia sebagai Bangsa: Esai-esai Krisis tentang Ekonomi, Sosial dan Politik (Yogyakarta: UII Press, 1999), Independensi Bank Indonesia dalam Kemelut Politik (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2001), Koperasi dalam
Sorotan
Pers
(Jakarta:
Pustaka
Sinar
Harapan,
1995),
Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (Jakarta: LP3ES, 1987), Etika Ekonomi dan Manajemen (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), Habibienomics: Telaah Ekonomi Pembangunan Indonesia (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1997), Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1995), Ekonomi Pancasila: Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur (Yogyakarta: PUSTEP UGM, 2004), Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (Jakarta: UI Press, 1984), dan Deklarasi Makkah: Esai-esai Ekonomi Islam (Mizan, 1987). 2. Tema agama, pemikiran, tafsir, dan pesantren. Buku-buku tema tersebut menegaskan identitas M. Dawam Rahardjo sebagai seorang cendekiawan muslim. Di dalamnya kita akan temui gagasan besar, seperti Islam transformis dan perubahan sosial. Karya-karyanya antara lain: Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam (Jakarta: Grafiti Press, 1985), Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), Pergulatan Dunia Pesantren (Jakarta: P3M, 1985), Intelektual, Intelegensi dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1993), Ensiklopedi al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), Paradigma al-Qur'an: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (PSAP, 2005), Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: LSAF, 1999), dan Islam dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta: HIT dan LSAF, 2002). 3. Tema sastra. Ada satu buah buku yang menarik karya M. Dawam Rahardjo yang menarik, yaitu Anjing Yang Masuk Surga (Jakarta: Jalasutra, 2008). Dari buku ini, kita sadar bahwa M. Dawam Rahardjo sangat mencintai dunia sastra dan tulis-menulis. Buku ini juga memperlihatkan kecenderungan pemikiran beliau yang mulai kritis terhadap beberapa fenomena kekerasan atas nama agama, serta keyakinannya atas keragaman sebagai suatu hal yang harus dilindungi. Buku ini juga menggambarkan konteks di mana M. Dawam Rahardjo tengah berada dalam suasana tekanan konflik yang menyerangnya, terkait dengan dukungannya atas pluralisme. 4. Beberapa karya M. Dawam Rahardjo lainnya, di mana beliau sebagai editor atau penyunting buku-buku tersebut, di antaranya: Pembangunan Ekonomi Nasional: Suatu Pendekatan Pemerataan, Keadilan dan Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Intermasa, 1997), Sistem Pemilu: Demokratisasi dan Pembangunan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996), Profil Indonesia ( Jakarta: CIDES 1994), Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1984), Pesantren dan Pembangunan (Jakarta: LP3ES,
1974), dan Usaha Kecil dalam Perekonomian Nasional (Jakarta: Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, 1994).
Meskipun buku-buku itu tidak satu pun yang secara spesifik membahas tema kebebasan beragama, namun perhatian M. Dawam Rahardjo sangat besar dalam hal itu. Contohnya dalam buku Anjing yang Masuk Surga. Bagaimana pun, kebebasan beragama adalah tema paling aktual yang digagas oleh beliau, yang mana bertepatan dengan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk.
BAB III WACANA KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
Definisi dan Prinsip Kebebasan Beragama Definisi kebebasan beragama menurut M. Dawam Rahardjo berarti kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masingmasing.44 Sedangkan, menurut Siti Musdah Mulia, kebebasan beragama berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.45 Definisi yang diberikan keduanya tampak senada. Untuk lebih memperjelas definisi kebebasan beragama, kita sebaiknya melihat ketentuan tentang kebebasan beragama dalam instrumen hak asasi manusia dan regulasi yang ada di Indonesia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948, artikel 18 menyebutkan: ”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.”
44
M. Dawam Rahardjo, “Dasasila Kebebasan Beragama.” artikel diakses tanggal 16 Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925. 45 Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish, h. 228.
Pengertian ini diperjelas dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) 1966, artikel 18 (1), yang menyatakan bahwa, “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersamasama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.” Adapun Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 (e) ayat 1 dan 2, menyebutkan bahwa: 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali, 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Selain itu, Undang-undang (UU) RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM), terutama Pasal 22, menyebutkan bahwa: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan demikian, penulis dapat menarik definisi kebebasan beragama, yang berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk atas pilihan sendiri, dan kebebasan – baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum ataupun tertutup – untuk menjalankan agama atau kepercayaanya, dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran, yang mana kebebasan tersebut harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Kebebasan beragama juga merupakan bagian dari hak asasi keagamaan. Hak asasi keagamaan dimaksudkan sebagai hak inheren seseorang di ranah privat ataupun publik untuk beribadah ataupun tidak beribadah sesuai dengan kesadaran, pemahaman, ataupun pilihannya; untuk membuktikan dan menyebarkan kepercayaannya; untuk bergabung dalam sebuah lembaga keagamaan; dan untuk mengubah identitas keagamaannya – seluruhnya tanpa gangguan, penganiayaan, atau diskriminasi. Hak asasi keagaman memerlukan kesetaraan semua agama, termasuk yang tidak beragama, di hadapan hukum, dan karenanya, sesuai dengan hukum, seorang warga negara tidak boleh mendapatkan keuntungan juga kerugian dikarenakan kepercayaan atau identitas keagamaannya.46 Dalam sejarah Eropa, prinsip kebebasan beragama berakar pada konsep kebebasan berpikir dan berkesadaran (liberty of thought and liberty of conscience). Sebuah konsep yang muncul pertama kali dalam Perjanjian 46
James E. Wood Jr., “Religious Human Rights and a Democratic State,” Journal of Church and State Vol. 46, p. 739.
Westphalia tahun 1648 yang mengakhiri sejarah peperangan atas nama agama di Eropa.47 Kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia dan realitas sosial tidak muncul dalam perkembangan sejarah umat manusia, paling tidak, sampai akhir abad ke-18, sebagaimana terlihat dalam permulaan kelahiran negara Amerika Serikat dan Revolusi Perancis. Kebebasan beragama menjadi inti hak asasi manusia – bahkan yang paling mendasar – yang dideklarasikan secara simultan dalam Deklarasi Perancis tahun 1789 (The French Declaration des droits des hommes et citoyens) dan Bill of Rights Amerika Serikat.48 Dalam pemikiran politik, konsep kebebasan mendapatkan penafsiran yang beragam. Salah satu definisi kebebasan di antaranya bahwa tiadanya halangan atau rintangan bagi seseorang untuk berbuat. John Locke mengemukakan bahwa hukum sekalipun tidak boleh membatasi kebebasan, dan justru harus menjaga dan memperluas kebebasan.49 Di sisi lain, pandangan modern memandang bahwa kebebasan diakui menemui batasannya bila berbenturan dengan hukum positif. Werner Becker memahami kebebasan dalam arti seseorang dalam batasan-batasan yang telah ditentukan bisa berbuat atau meninggalkan apa yang dikehendakinya. Batasan-batasan ini boleh jadi adalah kondisi biologisnya ataupun hukum 47
Penjelasan tentang sejarah diskursus kebebasan beragama sebagai dictum internasional dapat ditemui dalam laporan Arcot Krishnawami tahun 1959, Study of Discrimination in the Matter of Religious Rights and Practice, lihat Natan Lerner, “The Nature anf Minimum of Freedom of Religion or Belief,” dalam Tore Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2004), pp. 68-69. 48 Leonard Swindler, “Freedom of Religion and Dialogue,” dalam Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, p. 761. 49 Norman Berry, An Introduction to Modern Political Theory (New York: St. Martin’s Press, 1981), h. 157-163. Dikutip dari Masykuri Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat Indonesia,” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2007), h. 189.
positif.50 Sementara itu, John Stuart Mill menolak kebebasan yang bisa membahayakan orang lain (harm to others).51 Untuk memahami agama dalam konteks ini, kita menemukan terdapat tiga segi agama. Pertama, agama sebagai kepercayaan.52 Agama sebagai kepercayaan menyinggung keyakinan yang orang pegang mengenai hal-hal seperti Tuhan, kebenaran,
atau
doktrin
kepercayaan.53
Kepercayaan
terhadap
agama
menekankan, contohnya, kesetiaan pada doktrin-doktrin seperti rukun Islam, karma, dharma, atau pesan sinkretik lainnya yang menurut banyak doktrin agama mendasari realitas kehidupan. Kedua, sementara agama sebagai kepercayaan menekankan pada doktrin, agama sebagai identitas menekankan pada afiliasi dengan kelompok. Dalam hal ini, identitas agama dialami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan keluarga, etnisitas, ras atau kebangsaan. Jadi, orang percaya bahwa identitas agama merupakan sesuatu yang didapatkan setelah proses belajar, berdoa, atau refleksi.54 Segi agama yang ketiga ialah agama sebagai jalan hidup (way of life). Dalam segi ini, agama berhubungan dengan tindakan, ritual, kebiasaan dan tradisi 50
Werner Becker, Die Freiheit, die Wir Meinen (Munchen-Zurich: R. Piper & Co. Verlag, 1982), h. 111. Dikutip dari Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat Indonesia,” h. 189. 51 Andrew Heywood, Political Theory; An Introduction (New York: St. Martin’s Press, 1994), h. 258 dan 270. Dikutip dari Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat Indonesia,” h. 189. 52 T. Jeremy Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in International Law,” Harvard Human Rights Journal, Vol. 16, 2003, p. 200. 53 Dalam studinya atas kecurigaan agama, Allport mengidentifikasi dua “kutub tipe affiliasi keagamaan.” Gordon W. Allport, “The Religious Context of Prejudice,” Journal for Scientific Study of Religion 5 (1966), p. 452. Pertama, yang berhubungan secara umum dengan segi “agama sebagai kepercayaan” sebagaimana dijelaskan di sini, Allport mengindentifikasi sebagai “kelembagaan” dan ia menyarankan segi tersebut berdasar pada adopsi kepercayaan sukarela masyarakat. Kedua, “komunal” berhubungan secara umum dengan segi “agama sebagai identitas”. 54 Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in International Law,” p. 201.
yang membedakan umatnya dari pemeluk agama lain. Contohnya, agama sebagai jalan hidup bisa mendorong orang untuk hidup di
biara atau komunitas
keagamaan, atau melakukan banyak ritual, termasuk shalat lima waktu, mengharamkan daging babi, ataupun menyunat.55 Dalam segi ini, keimanan berusaha tetap dipegang, bahkan perlu untuk diimplementasikan. Tampak bahwa dalam segi ini, agama sangat bersinggungan dengan kepentingan publik. Ini berarti, agama tidak cukup hanya berupa kepercayaan akan spiritualitas yang sifatnya interior, ataupun sebagai identitas afiliasi kelompok saja. Banyak pihak menghormati kebebasan beragama sebagai salah satu hak asasi manusia terpenting di era modern: “Sebuah elemen esensial dalam tata internasional yang baik yakni kebebasan beragama.”56 Lebih dari penting, banyak pihak berpendapat bahwa kebebasan beragama ialah hak dasar doktrin hak asasi manusia modern. Kebebasan beragama dijelaskan sebagai, “kemenangan kebebasan yang paling berharga,”57 “kebebasan pertama, pembentuk, fons et origo atas seluruh hak dan kebebasan lainnya.”58 Littell menyatakan, “di antara hak-hak dasar lainnya, kebebasan beragama adalah yang paling diprioritaskan”. 59 Ada banyak alasan beragam atas keutamaan ini, tetapi kebanyakan komentator cenderung sepakat bahwa kebebasan beragama merupakan dasar masyararakat demokratis dan bebas. Mereka memahami bahwa kebebasan politik 55
Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in International Law,” p. 204. 56 Dari the Amsterdam Declaration by the First Assembly of the World Council of Churches, dalam Ninan Koshy, “The Ecumenical Understanding of Religious Liberty: The Contribution of the World Council of Churches”, Journal of Church and State 38, 1996, p. 141. 57 Franklin H. Littell, "The Ecumenical Commitment to Human Rights", Journal of Ecumenical Studies 29 (1992), p. 388. 58 Peter L. Berger, "The First Freedom", Commentary 86 (1988), p. 64. 59 Littell, "The Ecumenical Commitment to Human Rights", p. 383.
tidak terpisahkan dari kebebasan beragama. Kebebasan politik berakar pada kebebasan beragama dan tidak bisa diperkokoh ataupun dikembangkan terkecuali melaluinya. Semua partai yang berusaha memberi dasar lain atas kebebasan politik telah gagal dalam usahanya dan hancur dalam rezim tirani. 60 Pengakuan atas hubungan khusus antara kebebasan beragama dan kebebasan dasar lainnya sama sekali tidak terpisahkan dari observasi ini. Lebih dari 150 tahun lalu, Audi menyatakan: Jelas bahwa sebuah masyarakat tanpa kebebasan beragama belum benar-benar bebas. Lebih jauh, kebebasan diperlukan demokrasi... Karenanya, jika idealita seseorang ialah sebuah masyarakat demokratis dan bebas, ia membutuhkan kerangka sosial (konstitusional) untuk menjamin paling tidak hal berikut: (1) kebebasan atas kepercayaan agama, dipahami sebagai melarang negara atau siapapun untuk menanamkan kepercayaan agama dalam populasi umum, yang dimaksudkan untuk meng-eksklusi atau membatasi perkembangan persaingan kepercayaan agama; (2) kebebasan untuk beribadah meliputi, minimal, hak kementrian kerukunan beragama, juga hak memanjatkan doa seorang diri; dan (3) kebebasan untuk ikut serta dalam (dan mengajar anak-anak) upacara dan ritual keagamaan, memelihara praktek-praktek keagamaan tersebut tanpa melanggar hak-hak moral dasar.61
Berbagai
pengakuan
atas
urgensi
kebebasan
beragama
tersebut
memposisikan kebebasan tersebut sebagai sebuah instrumen hak asasi manusia terpenting dalam sejarah manusia. Pengakuan tersebut diabadikan dalam instrumen-insturmen
hak asasi manusia
internasional,
seperti Universal
Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 dan Internasional Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) tahun 1966.
60
Abbé Hugues-Félicité Robert de Lamennais dalam C. B. Hastings, "Hughes-Félicité Robert de Lamennais: A Catholic Pioneer of Religious Liberty", Journal of Church and State 30 (1988), p. 321. 61 Robert Audi, "The Separation of Church and State and the Obligations of Citizenship", Philosophy and Public Affairs 18 (1989), pp. 265-66.
Freedom of religion or belief, in its current historical form, is a universally applicable human rights instrument. At the normative level, it has been clear from the beginning of the modern human rights era that freedom of religion is a fundamental rights. Emerging from the ashes of the second World War, the right has been articulated most authoritatively in article 18 of both the Universal Declaration of Human Rights and the International Covenant on Civil and Political Rights. Individuals – all human beings everywhere in the world – are the primary holders and beneficiaries of this freedom; states – ideally under continual critical scrutiny by informed citizens – are the primary addresses and thus the primary holders of the correlative onligations. Beyond the religious freedom provisions of the Universal Declaration and the ICCPR, key elaborates us and specifications of the human right to freedom of religion or belief are provided by the 1981 Declaration. The United Nations Human Rights Committee General Comment No. 22 (48) provides normative substance to article 18 of the ICCPR.
(Kebebasan beragama atau berkeyakinan, dalam sejarahnya, merupakan instrumen pelaksanaan hak asasi manusia Secara normatif, telah jelas sejak awal masa hak asasi manusia modern bahwa kebebasan beragama adalah hak yang sangat mendasar. Timbul dari sisa-sisa Perang Dunia ke-2, hak kebebasan beragama diartikulasikan paling otoritatif dalam pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Hak Sipil dan Politik. Individu – semua manusia di seluruh dunia – merupakan pemilik utama dan pihak yang diuntungkan dari kebebasan ini, negara – yang idealnya di bawah kritikan tajam yang terus menerus disampaikan oleh warga negara yang terdidik – menjadi alat utama dan juga pemilik utama kewajiban-kewajiban terkait hak tersebut. Melampaui ketentuan kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan KIHSP, kunci dan spesifikasi yang memperinci hak asasi kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi kita disajikan oleh Deklarasi 1981. Komentar Umum No. 22 (48) Komite Hak Asasi Manusia PBB menyajikan substansi normatif atas pasal 18 KIHSP.)62
DUHAM tahun 1948, artikel 18 menyebutkan: ”...Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi...” Dalam redaksi lain, KIHSP tahun 1966, artikel 18 (1) menyatakan bahwa: “...Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup,
62
Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, pp. xxxvii-xxxviii.
untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran...” Kebebasan beragama memiliki dua dimensi. Pertama, kebebasan internal (forum internum), artinya “bebas untuk meyakini dan memeluk satu agama tertentu,” termasuk pindah dari satu agama ke agama yang lain. Meski demikian, kebebasan
internal
ini
tidak
secara
otomatis
melahirkan
hak
untuk
memanifestasikan dan menyiarkan agama di ranah publik. Hal ini dikarenakan adanya dimensi kedua dari kebebasan beragama. Dimensi kedua ialah kebebasan eksternal (forum externum), yakni hak kondisional yang bisa menjadi subjek pembatasan karena bersinggungan dengan hak-hak asasi orang lain. Kebebasan eksternal ini dengan jelas terutama dapat disaksikan dalam dokumen KIHSP tahun 1966, yang sekaligus membedakannya dari DUHAM 1948. KIHSP tahun 1966, artikel 18 (3) berbunyi: “...Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak mendasar dan kebebasan orang lain...” Kedua dimensi kebebasan beragama ini saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Akibatnya, kebebasan beragama bukanlah kebebasan tanpa batasan. Penegakan kebebasan beragama tetap harus mempertimbangkan keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, yang dirangkai dalam suatu ketentuan hukum. Kebebasan beragama seseorang juga dibatasi oleh pengakuan atas hak dasar dan kebebasan orang lain.
Inti normatif dari hak asasi kebebasan beragama bisa dipadatkan dalam delapan komponen, antara lain:63 1. Kebebasan internal: Setiap orang memiliki hak kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk semua orang untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengganti agama atau kepercayaannya. 2. Kebebasan eksternal: Setiap orang memiliki kebebasan, baik sendiri maupun di dalam masyarakat dengan yang lainnya, di ruang pribadi ataupun publik, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. 3. Anti-kekerasan: Tidak seorang pun boleh ditundukkan atas kekerasan yang akan merusak kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi agama dan kepercayaan sesuai pilihannya. 4. Anti-diskriminasi:
Negara
berkewajiban
untuk
menghormati
dan
memastikan seluruh individu dalam wilayahnya tunduk terhadap jaminan hukum kebebasan beragama tanpa memandang bulu dalam segala hal, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, politik, kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status-status lainnya. 5. Hak orang tua dan wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua atau wali untuk memastikan pendidikan agama dan moral anak-anak mereka dalam sesuai dengan hukum dan perlindungan
63
Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, pp. xxxviii-xxxix.
hak kebebasan beragama anak-anak sejalan dengan perkembangan kapasitas anak. 6. Kebebasan dan kedudukan hukum perusahaan: Aspek vital kebebasan beragama, terutama dalam masa kontemporer, ialah komunitas keagamaan memiliki kedudukan dan hak kelembagaan untuk mewakili hak dan kepentingannya sebagai masyarakat. Komunitas keagamaan karenanya memiliki hak kebebasan beragama, yang mencakup hak otonomi dalam urusan sendiri. Walaupun mereka tidak memiliki status kedudukan hukum yang formal, mereka tetap memiliki hak memperoleh status legal sebagai bagian dari hak kebebasan beragama atau berkeyakinan mereka dan khususnya sebagai aspek kebebasan untuk memanifestasikan keyakinan agama tidak hanya secara individual, tetapi dalam masyarakat bersama yang lainnya. 7. Batas pembatasan yang diizinkan pada kebebasan eksternal: Kebebasan untuk
memanifestasikan agama
atau
keyakinan
seseorang dapat
ditundukan hanya kepada pembatasan-pembatasan tertentu sebagaimana ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk perlindungan keselamatan publik, tata tertib, kesehatan atau moral atau hak fundamental orang lain. 8. Tidak dapat dikurangi (Non-derogable): Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat sekalipun.
Walaupun kebebasan beragama berlaku untuk individu, kebebasan beragama juga mencakup perlindungan aktifitas masyarakat dan hubungan antar generasi. Komunitas keagamaan mengambil keuntungan dari perlindungan yang diberikan atas aktifitas masyarakat. Negara dibebani dengan kewajiban-kewajiban terkait untuk menjamin hak institusional kelompok-kelompok agama.64 Dalam uraian yang sedikit berbeda, Siti Musdah Mulia menyebutkan beberapa prinsip kebebasan beragama, yang antara lain:65 Kebebasan beragama berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama
atau
menentukan agama
yang dipeluk,
serta
kebebasan
melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Kebebasan beragama berarti kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung. Termasuk tidak mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat manusia sehingga tidak dibenarkan melakukan pemberian bantuan apa pun dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu. Kebebasan beragama mencakup kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat.
64
Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, p. ix. Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish, h. 228-231. 65
Kebebasan beragama mencakup kebebasan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi, seperti perdagangan perempuan dan anak perempuan (trafficking in women and children), asalkan perkawinan tersebut dicatat di lembaga catatan sipil. Kebebasan beragama mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama manapun di lembaga-lembaga
pendidikan, termasuk di lembaga
pendidikan milik pemerintah. Setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan agama manapun yang akan dipelajarinya, dan tidak dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Kebebasan beragama memberi ruang pada kemunculan aliran keagamaan tertentu, bahkan kemunculan agama baru sepanjang tidak mengganggu ketentraman umum dan tidak pula melakukan praktit-praktik yang melanggar hukum. Kebebasan itu berlaku pula untuk mereka yang mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu sesuai dengan pilihan anggota atau peserta, selama tidak mengharuskan keimanan terhadap suatu agama atau kepercayaan sebagai syarat. Kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di suatu negara. Negara tidak boleh bersikap dan berbuat diskriminatif terhadap mereka.
Tidak ada istilah mayoritas-minoritas, penganut agama samawi dan nonsamawi, agama asli dan agama pendatang, serta agama resmi dan tidak resmi.
Regulasi Kebebasan Beragama di Indonesia Dalam konteks sejarah, Indonesia ternyata telah lama menegakkan berbagai kebijakan terkait kebebasan beragama. Usaha atas regulasi kebebasan beragama di Indonesia telah berlangsung sejak abad XVI-XVII. Catatan sejarah kebebasan beragama di Indonesia ini didasarkan atas kesaksian para pelancong asing yang pada masanya berkunjung ke Indonesia. Berdasarkan catatan mereka, beberapa kesultanan/kerajaan di Indonesia telah mengadakan usaha-usaha ke arah penghargaan atas kebebasan beragama. Vincent Le Blanc – seorang pengembara asal Perancis yang mengunjungi Kesultanan Banten pada abad XVII, kira-kira pada masa ayahanda Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M.) – menyaksikan bahwa Sultan Banten memberikan kebebasan beragama kepada rakyatnya dan juga orang asing yang mengunjungi Banten. Sultan Banten memberikan izin kepada orang Cina untuk memberikan klenteng sebagai rumah ibadah mereka. Selain itu, Sultan Banten memberikan izin bagi para pendeta Katolik untuk menjalankan ritual keagamaan mereka di tanah Banten.66
66 Lihat Pierre Bergeron, ed., Les Voyages Fameux du Sieur Vincent Le Blanc Marseillais (Paris: Gervais Clousier, 1649), h. 148-149. Dikutip dari Ayang Utriza NWAY, “Islam dan Pluralisme di Indonesia,” dalam Hakim, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid, h. 314.
Nicolas Gervaise – seorang pendeta Katolik Perancis yang pada abad XVII berdiam di Thailand – mencatat toleransi tinggi yang diberikan oleh Kesultanan Makassar terhadap umat Katolik Portugis, sebagaimana yang ia dengar dari orangorang yang pernah berkunjung ke sana. Dia menulis bahwa Sultan Makassar (ket: Gervaise tidak menuliskan namanya) mempersilahkan umat Katolik untuk menjalankan ibadah mereka di ruang publik. Sultan Makassar mendirikan pula sebuah gereja indah dan besar untuk umat Katolik dari Portugal itu. Selanjutnya, Sultan Makassar memberikan kebebasan beragama bahkan bagi para misionaris Katolik dan orang Portugis yang memutuskan untuk menetap di Makassar.67 Di Kesultanan Aceh, James Lancaster – orang Inggris yang melakukan kontak dagang dengan Aceh pada tahun 1011 H./1602 M. – menceritakan bahwa terdapat ulama besar di Kesultanan Aceh yang bernama Syamsuddin al-Sumatra’i (w. 1039 H./1630 M.). Lancaster menceritakan bahwa al-Sumatra’i mengajak berdiskusi Jenderal Inggris mengenai agama Kristen. Sayangnya, jenderal menolak karena ia datang ke Aceh untuk berdagang dan bukan berdiskusi tentang agama.68
67
Nicolas Gervaise menulis, “...il leur donna aussi la liberte d’y faire l’exercise public de leur religion.” (artinya: ...dia [Raja Makassar] memberikan kepada mereka [orang-orang Portugis] kebebasan menjalankan agama mereka [Katolik] di tempat umum). Gervaise melanjutkan, “...il leur fit batir une eglise magnifique dans une ville qu’il donna aux marchands de cette nation pour etablir leur commerce.” (artinya: ...Raja Makassar mendirikan sebuah gereja ang menkjubkan di dalam kora Makassar yagn dia berikan kepada para pedagang dari Portugal untuk melancarkan perdagangan mereka). Kemudian Gervaise menulis, “Quand aux Portugais et aux missionaire qui etaient venus s’etablir dans ke Macassar, ils conserverent toujours ler bonnes graces du roi et le libre exercise de leur religion.” (artinya: Adapun orang-orang Portugis dan para Missionaris yang datang dan menetap di Makassar, mereka tetap terus mendapatkan kemurahan hati dari para raja dan kebebasan menjalankan agama mereka). Lihat Nicolas Gervaise, Description Historique du Royaume de Macassar (Paris: Kime, 2003), h. 105-106. Dikutip dari Utriza NWAY, “Islam dan Pluralisme di Indonesia,” h. 315-316. 68 James Lancaster, “The First Voyage Made to East-Indie by Master James Lancaster,” dalam Samuel Purchas, ed., Purchas His Pilgrimes (London: William Stansby, 1625), h. 156. Dikutip dari Utriza NWAY, “Islam dan Pluralisme di Indonesia,” h. 316.
Perjuangan untuk menegakkan prinsip kebebasan beragama di Indonesia sebenarnya tidak berangkat dari nol sama sekali. Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), agama menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dasar negara Indonesia, Pancasila, dengan tegas menyebutkan dalam sila pertamanya, bahwa dasar negara Indonesia ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam sejarahnya, keputusan
untuk menetapkan dasar negara Pancasila memang menemui dialektika yang tidak sederhana. Namun, bagaimana pun ketatnya perdebatan yang telah terjadi, hingga saat ini Indonesia menganut Pancasila sebagai dasar negaranya. “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi legitimasi utama dalam penegakan toleransi dan kebebasan beragama. Asas netralitas negara atas pluralitas agama dan kepercayaan masyarakat menjadi landasan pokok berdirinya NKRI ini. Dalam instrumen hak asasi manusia, kebebasan beragama termasuk ke dalam kategori hak sipil dan politik. Di Indonesia, instrumen-instrumen yang mengatur hak sipil dan politik ini antara lain: 1. UUD 1945 (Pasal 28 A, 28 B (ayat 1, 2), 28 D ayat (1, 3, 4), 28 E ayat (1, 2, 3), 28 F, 28 G ayat (1, 2), 28 I ayat (1, 2); 2. Ketetapan MPR Nomor XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia; 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita; 4. Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia;
5. Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; 6. UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM (Pasal 9-Pasal 35); 7. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahaan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966; 8. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak; 9. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948.
Hal-hal yang dilakukan Indonesia dalan Menjamin dan Melindungi Hakhak Sipil dan Politik warga negara, antara lain: 1. Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen Hak Asasi Manusia yang terkait tentang Hak-hak Sipil dan Politik; 2. Mengamandemenkan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memasukan BAB yang mengatur HAM tersendiri; 3. Harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan; 4. Melakukan diseminisasi dan sosialisasi di seluruh wilayah Republik Indonesia terkait dengan Hak-hak Sipil dan Politik; 5. Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Perlindungan anak dan Komisi Nasional Perempuan; 6. Pembentukan Kementerian Negaran Urusan HAM yang menangani masalah HAM yang kemudian di gabung dengan Departemen Kehakiman dan
HAM yang sekarang berubah menjadi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia; 7. Mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui Pengadilan HAM Ad Hock; 8. Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2004-2009 yang berisi tentang pedoman kerja mengenai langkah-langkah yang akan disusun secara berencana dan terpadu pada tingkat nasional dalam rangka mewujudkan penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.
Sebelum Januari 2006, Indonesia hanya mengakui lima agama resmi; Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu. Akhirnya, Konghucu mendapatkan pengakuan sebagai agama resmi ke-6. Organisasi-organisasi keagamaan selain dari keenam agama yang diakui tersebut dapat mendaftar ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata hanya sebagai organisasi sosial yang melarang kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu. Pemerintah mensyaratkan kelompokkelompok keagamaan yang diakui secara resmi untuk mematuhi instruksi Departemen Agama dan departemen lainnya seperti Surat Keputusan Bersama Menteri yang direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat (2006), Bantuan Asing kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (1978) dan Pedoman Penyiaran Agama (1978). Sementara itu, pada dasarnya, jaminan atas kebebasan beragama di negara ini sudah cukup kuat. Jaminan dimaksud yaitu:
Pertama, Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 (hasil amandemen) yang menyebutkan bahwa: 1) “...Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali...” 2) “...Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya...” Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1) “...Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa...” 2) “...Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu...” Kedua, Undang-undang (UU) RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM), terutama Pasal 22, menyebutkan bahwa: 1) “...Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu...” 2) “...Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu...” Selain itu, juga terdapat dalam Pasal 8 yang berbunyi: “...Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah...” Ketiga, UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dengan meratifikasi KIHSP tersebut, Indonesia berarti terikat untuk menjamin: Hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); Hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas
kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); Persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (negara yang terlibat menandatangani kovenan internasional tersebut) (Pasal 27). Selain regulasi fundamental di atas, Indonesia memiliki beberapa peraturan – yang akhirnya diketahui bertanggung jawab atas beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama – sebagai turunan dari konstitusi dan undangundang di atas. Revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1969 tentang Pendirian Rumah Ibadah dilakukan pemerintah pada tahun 2006. Tujuan revisi itu adalah mempermudah pendirian rumah ibadah baru. SKB yang telah direvisi mengharuskan kelompok agama yang hendak membangun rumah ibadah baru untuk mengumpulkan 90 tanda tangan anggota jemaat dan 60 tanda tangan pemeluk agama lain yang berada dalam komunitas itu yang mendukung pendirian rumah ibadah serta persetujuan dari kantor urusan agama setempat. Sementara itu, Pedoman Bantuan Asing kepada Lembaga Keagamaan mengharuskan lembaga keagamaan dalam negeri untuk memperoleh persetujuan dari Menteri Agama sebelum menerima dana dari donor asing. Adapun Pedoman Penyebaran Agama melarang ajakan untuk berpindah agama dalam berbagai situasi. Berkaitan juga dengan aturan pedoman penyebaran agama, Undangundang Perlindungan Anak tahun 2002 menjadikan upaya untuk mengubah
keyakinan anak pindah agama melalui ”tipu muslihat” dan/atau ”kebohongan” sebagai kejahatan yang dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara. Pasal 156 KUHP membuat penyebaran permusuhan, penodaan, dan penghinaan terhadap suatu agama dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara. Walaupun hukum diterapkan terhadap semua agama yang diakui secara resmi, namun pasal ini biasanya berlaku pada kasus-kasus yang melibatkan penghinaan dan penodaan terhadap Islam. Pasal ini sangat sering memicu kontroversi dalam hal kebebasan beragama di Indonesia. Pada tanggal 9 Desember 2006, DPR mensyahkan Undang-undang Administrasi
Kependudukan
yang
mengharuskan
warganegara
mengidentifikasikan diri mereka pada KTP sebagai pemeluk salah satu dari enam agama yang diakui oleh Pemerintah. Undang-undang tersebut melegalisir apa yang di masa lalu merupakan praktek administrasi di seluruh negeri. Undangundang tersebut tidak mengijinkan pencatuman agama lain dalam KTP tersebut. Pada tanggal 28 Juni 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 37/2007 yang mengacu ke Undang-undang Administrasi Kependudukan dan Perkawinan. Peraturan baru mengijinkan para pemuka Aliran Kepercayaan untuk memimpin upacara perkawinan dan meminta kantor catatan sipil untuk mendaftarkan ijin nikah yang ditandatangani oleh pemimpin perkawinan tersebut, sehingga membuat perkawinan-perkawinan ini diakui secara resmi. Sungguhpun demikian, keberadaan jaminan atas prinsip kebebasan beragama dalam sistem perundang-undangan di Indonesia ini – baik dalam konstitusi, maupun dalam undang-undang – masih belum terimplementasi dengan
baik dalam pratiknya. Kekeliruan dimaksud adalah ketidaksesuaian antara apa yang seharusnya dengan apa yang nyatanya terjadi berdasarkan parameter norma, standar dan hukum HAM internasional maupun konstitusi, hukum, undangundang dan peraturan yang relevan dan konsep HAM internasional, terutama hakhak sipil keagamaan (religious civil rights) yang spiritnya tidak lain adalah prinsip kebebasan beragama itu sendiri. Kekeliruan dimaksud bisa dilakukan oleh negara sebagai pihak yang telah terikat dalam traktat HAM internasional maupun anggota masyarakat sendiri, yang secara sengaja atau tidak sengaja, paham atau tidak paham tentang prinsip-prinsip HAM, dalam bentuk pelanggaran terhadap prinsip kebebasan beragama. Berbagai regulasi yang dibuat negara terkait dengan kehidupan keberagamaan malah sangat sering menjadi pangkal masalah kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama. Selain, tentu saja, adanya motif subjektif dari kelompok-kelompok masyarakat yang berniat melanggar kebebasan beragama di Indonesia.
Bentuk-bentuk
Pelanggaran
Kebebasan
Beragama
di
Indonesia Meskipun regulasi negara yang mengatur tentang perlindungan kebebasan beragama cukup banyak dianut oleh Indonesia, namun berbagai pelanggaran atas kebebasan beragama tetap saja berlangsung hingga saat ini. Belakangan, sepanjang tahun 2003 s.d. 2008, kita menemukan beragam pola pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi dalam berbagai level dan dengan pelaku
pelanggaran yang berbeda-beda. Bahkan, pada kasus-kasus tertentu, intensitas pelanggaran kebebasan beragama semakin meruncing akhir-akhir ini. Untuk lebih memahami berbagai pelanggaran kebebasan beragama tersebut, maka kita akan memetakan pola pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia ke dalam kategori-kategori berikut ini: 1. Pembatasan Negara atas Pengakuan Status Agama Resmi Departemen Agama RI menambah status agama resmi menjadi enam, setelah sejak Januari 2006 Konghucu dianggap sebagai agama resmi. Sebelumnya, agama resmi yang diakui hanyalah Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Hindu. Atheisme tetap tidak diakui. 69 Organisasi agama di luar enam agama resmi ini diperbolehkan mendaftar ke Departemen Pariwisata, dan itu pun semata-mata sebagai organisasi keagamaan
sosial. tertentu
Akibatnya, dan
ada
pelarangan
pelarangan
sejumlah
agama-agama
yang
kegiatan jumlah
pemeluknya sedikit (minoritas).70 Pemerintah memperbolehkan praktek Aliran Kepercayaan Asli Indonesia, namun hanya sebagai manifestasi budaya, dan bukan sebagai
69 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,” Diakses pada tanggal 21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/Laporan_Kebebasan_Beragama_ 2007. html. 70 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,” Diakses pada tanggal 21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/kebebasan_beragama1.html.
agama. Para pengikut Aliran Kepercayaan harus mendaftar ke Departemen Pendidikan Nasional.71
2. Diskriminasi Pelayanan Catatan Sipil terhadap Agama Minoritas Pemerintah gagal memberikan perlakuan setara di bidang-bidang tertentu, seperti catatan sipil kepada penganut agama minoritas. Kaum animis, Baha’i dan yang lainnya menemui kesulitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pemerintah mewajibkan semua warga negara dewasa memiliki KTP, dengan mencantumkan agama yang dipeluknya. Beberapa petugas serta merta menolak penganut agama minoritas mendapatkan KTP, sementara yang lainnya tidak secara akurat mencantumkan agama yang dianut oleh pemilik KTP. Misalnya, banyak animis yang memiliki KTP mendapati agama yang tercantum dalam KTP mereka adalah Islam atau agama resmi lainnya.
72
Banyak penganut Sikh
yang dicantumkan sebagai penganut Hindu dalam KTP karena pemerintah tidak secara resmi mengakui agama mereka. Warga negara yang tidak memiliki KTP menemui kesulitan dalam mendapatkan perkerjaan.73 Modus seperti ini dialami oleh para penganut agama atau kepercayaan minoritas lainnya dalam pencatatan pernikahan. Mereka kesulitan mendaftarkan atau mencatatkan pernikahan atau kelahiran karena pemerintah tidak mengakui agama mereka, meskipun terdapat 71
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2005,” Diakses pada tanggal 21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/laporan%20kebebasan%20 beragama% 202005-1.html. 72 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,” 73 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.
peraturan pada bulan Juni 2007 yang berkaitan dengan administrasi perkawinan dan sipil. Pada prakteknya, pasangan yang dihalangi untuk mendaftarkan pernikahan mereka atau kelahiran seorang anak sesuai dengan keyakinannya masuk ke dalam agama atau menyatakan seolaholah mereka penganut salah satu dari enam agama yang diakui. Bila mereka memilih untuk tidak mencatatkan pernikahannya atau kelahiran anaknya, di masa yang akan datang akan mendapatkan kesulitan, seperti anak yang tidak memiliki akte kelahiran tidak dapat masuk sekolah dan tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa. Mereka juga tidak memenuhi syarat untuk bekerja sebagai pegawai negeri.74 Kelahiran anak dari pernikahan yang tidak didaftarkan atau dicatatkan secara otomatis menyebabkan anak mereka tidak bisa mendapatkan akte kelahiran. Bahkan anak tersebut dapat tercatat sebagai anak di luar nikah, dan hanya dicatat sebagai anak dari pihak ibu saja. Selain itu, pasangan laki-laki dan perempuan dari agama yang berlainan mendapat hambatan besar untuk menikah dan secara resmi mendaftarkan pernikahan mereka. Mereka kesulitan menemukan pemuka agama yang bersedia memimpin upacara pernikahan mereka dan mencatatkan pernikahan semacam ini kepada pemerintah. Akibatnya, beberapa orang sengaja pindah agama agar bisa menikah. Yang lainnya,
74
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”
pergi ke luar negeri dan menikah untuk kemudian mendaftarkan pernikahan mereka ke Kedutaan Besar Indonesia.75
3. Pembatasan Pendirian Rumah Ibadah Pemerintah sejak lama melalui SKB tahun 1969 tentang Pendirian Rumah Ibadah membatasi pembangunan dan pertambahan rumah ibadah, dan tetap mempertahankan pelarangan rumah pribadi untuk dijadikan tempat ibadah, kecuali masyarakat sekitar menyetujui dan kantor Departemen Agama setempat mengijinkan. Tentu saja, aturan seperti ini sangat mendiskriminasi pemeluk agama minoritas di suatu wilayah. Padahal, kebutuhan adanya rumah ibadah tidak terkait secara langsung dengan jumlah mayoritas atau minoritas suatu umat beragama, melainkan kebutuhan pribadi seorang atau beberapa penganut agama. Kenyataannya, mendapatkan dukungan dan persetujuan dari masyarakat sekitar tidaklah mudah. Bahkan pada beberapa kasus, meskipun izin dari masyarakat sudah didapat, namun tiba-tiba sekelompok orang dari luar lingkungan itu datang dengan membawa daftar panjang tanda tangan yang menolak proyek pembangunan rumah ibadah tersebut, akibatnya izin pendirian rumah ibadah pun tertunda. Diskriminasi ini tidak hnya dialami oleh para penganut agama non-muslim di tengah-tengah mayoritas masyarakat muslim. Selain itu, pemerintah menyatakan secara rutin menerima keluhan dari Muslim di Papua, Nusa Tenggara Timur,
75
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,”.
Sulawesi Utara, dan provinsi-provinsi lain, yang melaporkan kesulitan yang ditemui dalam pendirian masjid di wilayah-wilayah itu.76 Pemerintah akhirnya merevisi Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1969 tentang Pendirian Rumah Ibadah pada tahun 2006 sebagai respons atas adanya kelompok militan yang mendasarkan tindakannya pada SKB tahun 1969. Tujuan revisi itu adalah mempermudah pendirian rumah ibadah baru. SKB yang telah direvisi mengharuskan kelompok agama yang hendak membangun rumah ibadah baru untuk mengumpulkan 90 tanda tangan anggota jemaat dan 60 tanda tangan pemeluk agama lain yang berada dalam komunitas itu yang mendukung pendirian rumah ibadah serta persetujuan dari kantor urusan agama setempat.77 Sejak pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat pada bulan Maret 2006, pelaksanaan dan pembelaan hak-hak yang diberikan di bawah SKB tersebut tidak selalu dilaksanakan di tingkat daerah. Sebagian umat Kristiani dan Hindu menunjukkan adanya tindakan diskriminasi secara sporadis, di mana pemerintah daerahnya menolak memberikan ijin pembangunan gereja dan kuil walaupun kelompok tersebut telah mengumpulkan tanda tangan sesuai dengan yang diminta. Misalnya, Parisadha Hindu Dharma Indonesia melaporkan bahwa mereka tetap tidak bisa mendirikan sebuah kuil di dekat Jakarta walaupun telah
76
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,”. “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,” Diakses pada tanggal 21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/laporan_kebebasan_beragama_ 2006-2.html. 77
mengumpulkan persyaratan tanda tangan yang diminta.78 Selain itu, beberapa kelompok militan secara paksa menutup dua gereja tanpa adanya campur tangan aparat kepolisian meskipun dalam Peraturan Bersama terdapat masa tenggang (grace period) selama dua tahun untuk memperoleh izin. Dua puluh gereja lainnya, yang tutup setelah mendapat tekanan dari kelompok militan, tetap ditutup. Meski selalu hadir di lapangan, polisi hampir tidak pernah bertindak untuk mencegah penutupan gereja secara paksa dan terkadang malah membantu kelompok militan dalam penutupannya.79
4. Penyerangan Bangunan dan Fasilitas Agama Selain adanya aturan pembatasan dari pemerintah terhadap masyarakat untuk mendirikan fasilitas keagamaan, seperti rumah ibadah, sebagian masyarakat merasa berhak untuk mengambil alih otoritas pemerintah tersebut. Di antara masyarakat muncul berbagai gerakan yang cenderung ke arah penyerangan dan perusakan bangunan dan fasilitas agama. Di Perbangunan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, kelompok Kristen Lutheran membeli tanah pada tahun 2003 untuk mendirikan sebuah gereja baru, tetapi militan Islam dari luar wilayah tersebut menghancurkan gereja yang baru setengah jadi itu. Di tempat lain, pada tanggal 3 Oktober 2004, Forum Komunikasi Umat Islam Karang Tengah, sebuah kelompok masyarakat Muslim setempat dengan 78 79
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”. “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
bantuan dari anggota Front Pembela Islam (FPI), mendirikan tembok setinggi dua meter dan selebar lima meter yang memblokir akses menuju Sekolah Katholik Sang Timur. Warga sekitar yang mayoritas beragama Islam merasa keberatan dengan pengoperasian sekolah tersebut karena sebuah paroki Katholik secara rutin mengadakan kegiatan keagamaan di aula sekolah, yang mana bertentangan dengan ijin operasinya. Akhirnya tembok itu dihancurkan setelah adanya perintah dari pemerintah daerah setempat pada tanggal 25 Oktober 2004.80 Pada tahun 2005, Imparsial melaporkan serangkaian aksi penutupan gereja yang sebagian besar
terjadi di Jawa Barat.81
No 1
Tanggal 21 April 2005
Lokasi Cisewu, Kabupaten garut
2
8 Mei 2005
Lembang, Bandung
3
16 Juli 2005
Perum Gading Tutukan Soreang, Kab. Bandung
4
16 Juli 2005
Perum gading Tutukan Soreang, Kab. Bandung
5
27 Juli 2005
Katapang, Kab. Bandung
6
31 Juli 2005
Karangroto, Kec. Genuk, Semarang
7
31 Juli 2005
8
31 Juli 2005
Kompleks Permata, Cimahi, Kab. Bandung Kompleks Permata, Cimahi, Kab. Bandung
80
Nama Gereja Penutupan Pos Kebaktian Gereja Pasundan Penutupan Gereja Huria Kristen Batak Protestan Penutupan Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) Penutupan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Penutupan Gereja Kristen Pasundan (GKP) Penutupan Pembongkaran Tempat Pembinaan Iman Gereja Isa Almasih (GIA) Penutupan Gereja Sidang Jemaat Allah Penutupan Gereja Anglikan
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2005,”. Gufron Mabruri, et.al., Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM; Laporan Kondisi HAM Indonesia 2005 (Jakarta: Imparsial, 2006), h. 67-68. 81
9
31 Juli 2005
10
31 Juli 2005
11
31 Juli 2005
12
31 Juli 2005
13
7 Agustus 2005
14
7 Agustus 2005
14
12 Agustus 2005
15
22 Agustus 2005
16
27 Agustus 2005
17
28 Agustus 2005
18
11 September 2005
19
11 September 2005
20
-
21 22 23
-
24
-
Kompleks Permata, Cimahi, Kab. Bandung Kompleks Permata, Cimahi, Kab. Bandung Kompleks Permata, Cimahi, Kab. Bandung Kompleks Permata, Cimahi, Kab. Bandung Kec. Haurgeulis, Kab. Indramayu
Penutupan Gereja Pentakosta Filadelphia I Penutupan Gereja Pentakosta Filadelphia II Penutupan Gereja Pantekosta di Indonesia Penutupan Gereja Bethel Indonesia Penutupan Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) Kampung Warung Mekar Penutupan Gereja Ds. Bungursari RT. 6/ RW. Kristen Kemah Daud 3, Kec. Bungursari, Kab. (GKKD) Purwakarta Penutupan TK Tunas Pertiwi Bandung Penutupan Gereja Kristen Pasundan Dayeuhkolot Margahayu, Kab. Bandung Penutupan Gereja Katholik Ciledug Penutupan Gereja Kristen Indonesia Jalan Melati Raya Ujung, Penutupan Gereja Perumahan Jatimulya, HKBP (Huria Kristen Kampung Jati, Desa Batak Protestan) Jatimulya, Kec. Tambun, Getsemani Kab. Bekasi Jalan Melati Raya Ujung Penutupan Gereja No. 2, Bekasi Kristen Indonesia (Gekindo) Cileunyi Penutupan GGP Padalarang Cileunyi Penutupan GBT Cileunyi Penutupan GPDI Cileunyi Penutupan GKP Ketapang Soreang Cileunyi Penutupan GSJA
Setelah pemerintah memberlakukan Peraturan Bersama tentang Pendirian Rumah Ibadah pada tahun 2006, yang merupakan revisi SKB tahun 1969, kelompok militan secara paksa menutup dua gereja tanpa
adanya campur tangan aparat kepolisian meskipun dalam Peraturan Bersama terdapat masa tenggang (grace period) selama dua tahun untuk memperoleh izin. Dua puluh gereja lainnya, yang tutup setelah mendapat tekanan dari kelompok militan, tetap ditutup. Meski selalu hadir di lapangan, polisi hampir tidak pernah bertindak untuk mencegah penutupan gereja secara paksa dan terkadang malah membantu kelompok militan dalam penutupannya.82 Pada tanggal 31 Maret 2006, Puluhan orang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Kota Tangerang kemarin pagi "menyegel" Taman Kanak-kanak Kristen, Daniel, di Kelurahan Batusari, Kecamatan Batu Ceper, Tangerang, Banten. Mereka membentangkan spanduk-spanduk berisi protes atas keberadaan sekolah itu di pintu masuk dan gerbang sekolah. Menurut ketuanya, Tubagus Mahdi, pengelola sekolah belum memiliki izin lingkungan dan pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional, meski sudah beroperasi beberapa bulan. Kepala Sekolah TK Daniel, Teddy, menjelaskan izin lingkungan dan pendidikan sedang dalam proses. Tapi izin secara lisan telah diberikan oleh ketua RT, RW, dan lurah setempat. Itu sebabnya, ia membantah warga memprotes keberadaan sekolahnya.83 Pada tanggal 30 November 2005, Pemerintah Tangerang membongkar lima gereja dan satu musala, yang dibangun di atas lahan
82
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,” . “TK Kristen ‘Disegel’,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2006/04/01/brk,20060401-75733,id.html. 83
milik Sekretariat Negara. Namun, pembongkaran oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Tangerang itu dihalang-halangi jemaatnya. Lima Gereja yang dibongkar adalah Gereja Kristen Protestan Indonesia, Gereja Pantekosta Indonesia, Huria Kristen Batak Protestan, Gereja Pantekosta Haleluya Indonesia, dan Gereja Bethel Indonesia. Sebuah musala juga akan dibongkar. Lima gereja itu di satu lokasi, yakni Jalan Danau Sentani Biru, Bencongan, Kecamatan Curug. Saat Satuan Polisi Pamong Praja tiba, jemaat sudah siap di geraja masing-masing.84 Pada tanggal 2 September 2006, sekelompok massa membakar Gereja Misi Evangelis di Siompi, Aceh Singkil, setelah tersebar berita bahwa gereja tersebut merencanakan kebaktian kebangkitan. Saat sejumlah besar umat Kristen berangkat menuju kebaktian tersebut, mereka dihadang oleh beberapa Muslim yang tidak menyetujui kebaktian kebangkitan tersebut. Polisi tidak menghalangi serangan tersebut. Pastor Luther Saragih ditahan sebentar oleh polisi dan diminta memulangkan umat Kristen tersebut. Kemudian pada malam itu, sekitar 100 orang dengan sepeda motor membakar gereja dan mencari Pastor Saragih dan istrinya yang sedang hamil. Pastor dan istrinya melarikan diri ke hutan dan bersembunyi disana hingga mereka ditemukan selamat oleh temantemannya di pagi harinya. Pastor Saragih dan istrinya kemudian pindah untuk menghindar karena masih terus menerima ancaman.85
84 “Pemerintah Tangerang Bongkar Paksa Lima Gereja dan Musala,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/jakarta/2005/11/30/brk,2005113069892,id.html 85 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.
Pada tanggal 8 Maret 2007, sekitar 200 anggota FPI dan Forum Betawi Rempug, sebuah kelompok yang terdiri dari penduduk asli Jakarta, menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena para pelajarnya menyanyi hingga larut malam dan mengganggu masyarakat setempat. FPI juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta bahwa sekoah tersebut memiliki ijin-ijin resmi baik untuk keberadaan bangunan maupun asrama baru. Polisi mengirimkan satu detasemen untuk menghentikan massa tersebut. Sekolah tersebut masih berfungsi hingga kini.86
5. Kekerasan terhadap Aliran-aliran Agama Minoritas yang Menyimpang Pemerintah – melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) – sejak lama telah banyak mengeluarkan larangan berupa fatwa sesat terhadap beberapa aliran yang dianggap menyimpang dari Islam. Fatwa sesat dan larangan ini ternyata tidak cukup. Sebagian masyarakat secara nyata melakukan berbagai aksi kekerasan terhadap pengikut aliran-aliran yang dianggap sesat itu, sekaligus menghancurkan fasilitas-fasilitas peribadahan dan pendidikan mereka. Sejak lama MUI telah memberlakukan larangan resmi terhadap Ahmadiyah, Jamaah Salamullah, Darul Arqam serta aliran-aliran lainnya yang dianggap menyimpang dari ajaran agama resmi. Meskipun begitu, pemerintah dinilai lamban mengambil langkah apapun dalam menyikapi larangan itu. Akibatnya,
86
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.
hingga saat ini ancaman kekerasan terhadap para pengikut aliran-aliran itu masih tetap terpelihara. Pada tahun 1980, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa (pendapat yang bersifat nonhukum, tidak mengikat, tetapi berpengaruh yang dikeluarkan oleh pemuka agama Islam) yang menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan merupakan bagian dari Islam. Atas pengaruh fatwa itu, pada tahun 1984 Departemen Agama menerbitkan surat edaran yang melarang Ahmadiyah menyebarkan ajarannya di Indonesia. Pada tahun 2003, Departemen Dalam Negeri menyatakan bahwa Ahmadiyah diakui secara hukum. Namun, pada tanggal 28 Juli 2005, MUI memperbarui fatwa tahun 1980 itu. Media massa mengutip pernyataan Menteri Agama M. Maftuh Basyuni pada bulan Februari yang menyatakan bahwa pengikut Ahmadiyah harus membentuk agama baru atau kembali kepada Islam.87 Fatwa MUI memang tidak berniat mempengaruhi masyarakat agar melakukan aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah, namun fakta di lapangan menunjukkan setelah diterbitkannya fatwa sesat oleh MUI, maka sebagian masyarakat segera mengambil langkah sendiri untuk membubarkan segala kegiatan Ahmadiyah di lingkungannya. Hal yang patut disesalkan ialah walaupun jumlah pasukan polisi yang diturunkan pada dua penyerangan terpisah terhadap jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat pada bulan Juli 2005 banyak, polisi
87
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
tidak menangkap siapa pun. Ini menunjukkan menunjukkan bahwa perangkat hukum di Indonesia masih lemah dalam menjamin kebebasan beragama. Meskipun saat itu pemerintah pusat belum mengambil sikap yang jelas, sebagian pemerintah daerah segera melarang kegiatan Ahmadiyah setelah kelompok militan menyerang masjid-masjid, rumah-rumah, dan harta benda lainnya milik Ahmadiyah. Pada bulan Juli 2005 kabupaten Bogor menerbitkan surat keputusan yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Pada bulan September, menyusul serangan massa ke kompleks Ahmadiyah, Kabupaten Cianjur secara resmi melarang semua aktivitas Ahmadiyah. Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen Agama Nusa Tenggara Barat mengeluarkan pelarangan terhadap Ahmadiyah. Tindakan ini merupakan kelanjutan dari pelarangan yang sudah ada sebelumnya di Lombok Barat (2001) dan Lombok Timur (1983).88 Pada tanggal 28 September 2005, di Cianjur, para pejabat Cianjur, yakni Bupati Wasidi Swastomo, Kepala Kejaksaan Negeri Deddi Siswadi, dan Kepala Kepolisian Resor Ajun Komisaris Besar Anang Suhardi menandatangani surat keputusan bersama yang melarang aktivitas jemaah Ahmadiyah di wilayah itu. Wasidi mengatakan, keputusan diambil berdasarkan pada rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), DPRD, Komando Distrik Militer, dan desakan sekitar 40 organisasi Islam di wilayah itu. Keputusan ini menyusul kejadian pekan lalu, ratusan orang
88
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
menyerbu perkampungan warga jemaah Ahmadiyah di Kecamatan Cibeber dan Campaka, Cianjur.89 Kejadian pekan sebelumnya, ribuan orang menyerbu Kampung Neglasari, Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Senin malam tanggal 19 September 2005 hingga Selasa dinihari 20 September
2005.
Mereka
merusak
masjid
dan
perumahan
di
perkampungan jemaat Ahmadiyah di wilayah PTPN VIII Panyairan itu. Massa yang datang dengan mengendarai sepeda motor dan mobil juga merusak sejumlah tempat. Di antaranya, di Kampung Rawaekek Desa Sukadana Kecamatan Campaka, Kampung Panyairan Desa Campaka Kecamatan Campaka, dan Kampung Ciparay Desa Salagedang Kecamatan Cibeber.90 Labelisasi sesat tidak berhenti hanya bagi Ahmadiyah. Berbagai aliran dan sekte lainnya terkena larangan baik dari pemerintah maupun masyarakat. Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen Agama Nusa Tenggara Barat mengeluarkan larangan terhadap 13 sekte, termasuk Ahmadiyah, Saksi Yehovah, Hari Krishna, dan sembilan aliran kepercayaan dan menyatakan sekte-sekte menyimpang dari ajaran Islam, Kristen, dan Hindu. Di tempat lain, sejumlah penganut kelompok kecil yang berbasis ajaran Islam bentrok dengan aparat kepolisian pada bulan 89
“Pemimpin Cianjur Larang Aktivitas Ahmadiyah,” berita diakses pada tanggal 10 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2005/09/28/brk,2005092867225,id.html. 90 “Ribuan Orang Serbu Perkampungan Ahmadiyah Cianjur,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2005/09/20/brk,2005092066852,id.html. Nopember
Oktober 2005 di sebuah desa terpencil di Palu, Sulawesi Tengah. Polisi berupaya melakukan perundingan dengan pemimpin karismatik kelompok ini yang dikenal dengan nama "Madi” agar ia mau menghadap ke kantor polisi dan menjelaskan mengapa ia mengancam penduduk desa dan melarang mereka berpuasa dan salat pada bulan Ramadan. Tiga anggota kepolisian dan dua anggota sekte ini tewas di tempat. Anggota sekte ini dilaporkan
menyandera
dua
orang
petugas,
tetapi
kemudian
melepaskannya kembali. Jaksa penuntut pada bulan Januari 2006 menuntut hukuman mati bagi lima anggota kelompok ini.91 Pada beberapa kasus, fatwa sesat MUI berujung dengan dakwaan penodaan agama dan diselesaikan dengan dijatuhkannya sanksi pidana. Pada bulan Agustus 2005, Pengadilan Negeri di Jawa Timur memvonis Muhammad Yusman Roy dua tahun penjara karena mempraktikkan salat dengan dua bahasa, Arab dan Indonesia, yang oleh MUI disebut sebagai menodai keaslian ajaran Islam yang berbahasa Arab. Pada tanggal 28 Desember 2005, polisi menangkap Lia Eden, pemimpin Jamaah Salamullah, dan mengevakuasi dua puluh pengikutnya untuk menghindari kekerasan saat terjadi keributan yang menuntut pembubaran kelompok sekte kecil itu. Pada tanggal 29 Juni 2006, Pengadilan Negeri di Jakarta memvonis Lia Eden dua tahun penjara atas dakwaan penodaan terhadap ajaran agama. Para pengikut Jamaah Salamullah yang berjumlah sedikit itu meyakini bahwa malaikat Jibril (Gabriel) menyampaikan wahyu
91
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
melalui Eden dan mencampuradukkan unsur-unsur agama Kristen dan Islam. MUI mengeluarkan fatwa pada tahun 1997 yang menyatakan bahwa ajaran Lia Eden sesat.92 Pada beberapa kasus lainnya, sejumlah orang dituntut dan ditangkap atas tuduhan melecehkan dan menodai ajaran Islam. Pada bulan September 2005 pengadilan di Jawa Timur memvonis enam orang terapis narkoba dan kanker lima tahun penjara dan tiga tahun penjara atas dakwaan melanggar ajaran Islam. Fatwa MUI setempat menyatakan bahwa ajaran pusat rehabilitasi ini sesat. Polisi menangkap para terapis ini saat mereka sedang mempertahankan diri dari serangan ratusan orang ke kantor mereka. Pada bulan Januari 2006, pemerintah mendakwa Sumardi Tappaya, guru agama sebuah SMU di Sulawesi, atas penghinaan agama yang dapat dipidana maksimal 5 tahun penjara. Polisi menahan Tappaya setelah seorang kerabatnya menuduhnya melakukan salat sambil bersiul. MUI setempat menyatakan perbuatan itu sesat. Pada tanggal 28 Juni 2006, Pengadilan Negeri Polewali memvonis Sumardi enam bulan penjara.93 Laporan
Imparsial
menunjukkan
merangkum
beberapa
pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang tahun 2005:94 No 1
Tanggal 31 Agustus 2005
92
Lokasi Malang, Jawa Timur
Kasus Larangan sholat dwibahasa dan vonis 2
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”. “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”. 94 Mabruri, et.al., Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM; Laporan Kondisi HAM Indonesia 2005, h. 71. 93
tahun penjara terhadap Ustad Roy Vonis 3 tahun penjara terhadap Masud Simanungkalit, 50 tahun dalam kasus salah tafsir ayat Al-Quran Penangkapan terhadap nabi palsu yang menimpa Zikrullah Penutupan secara paksa terhadap kampus Jamaah Ahamdiyah Penyerangan dan penjarahan terhadap pemukiman Jamaah Ahmadiyah Pelarangan dan penetapan tersangka terhadap Lia Aminuddin dan 33 orang pengikutnya karena dianggap melakukan penodaan agama Pelarangan buku terbitan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) dan penutupan kegiatan yang dilakukannya Ancaman pengusiran dan pengrusakan 3 rumah Jamaah Ahmadiyah
2
24 Maret 2005
Batam, Kepulauan Riau
3
15 Februari 2005
Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah
4
15 Juli 2005
Cibinong
5
19 September 2005
6
29 September 2005
Kampung Neglasari, Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur Jakarta
7
4 Juni 2005
Desa Krampulan, Kecamatan Besuk, Probolinggo
8
21 Oktober 2005
9
24 Juli 2005
Perumahan Bumi Asri, Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat Markas Jemaat Ahmadiyah Pengrusakan rumah Indonesia di Kemang, milik Direktur Jamaah Bogor Ahmadiyah Mln. Hidayatullah dan Dosen Jamaah Mln. Qomaruddin
Selama Januari-November 2008, The Wahid Institute mencatat ada 232 kasus dalam 280 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sedangkan laporan Setara Institute 2007 tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan pada rentang waktu yang sama menunjukkan adanya 135 kasus dalam 185 tindak pelanggaran. Kasus pelanggaran yang paling dominan adalah kekerasan berbasis agama (55 kasus) dan penyesatan (50 kasus). Penguasaan agama atas ruang publik dengan tampilan yang tidak ramah dan mengobarkan persaingan antar umat semakin meningkat.95 Isu kebebasan beragama bahkan akhirnya berujung pada penyerangan terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) oleh massa beratribut Front Pembela Islam (FPI) pada tanggal 1 Juni 2008, yang disebabkan karena pembelaan AKKBB atas ahmadiyah. Penyerangan massa yang bertepatan dengan peringatan hari Pancasila menyebabkan 12 orang massa AKKBB terluka.96 Dari kasus ini, ternyata resistensi atas penegakan kebebasan beragama begitu kuat dari sebagian masyarakat, bahkan dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama di atas sangat berkaitan satu sama lain. Pola yang bisa kita temukan ialah meskipun telah ada dasar jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945, undang-undang dan instrumen HAM internasional, ternyata masih terdapat aturan-aturan pada tingkat lebih praktis yang menganulir jaminan-jaminan tersebut. Beberapa dari peraturan itu digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai legitimasi dalam melakukan serangkaian usaha pelanggaran kebebasan beragama. Kemudian, meskipun di 95
“Koalisi Partai Islam Perlu untuk Representasi Umat”, berita diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/11/01133018/koalisi.partai .islam.perlu.untuk.representasi.umat. 96 “Kebhinekaan Dicederai”, diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/ 02/01293516/kebhinnekaan.dicederai.
lapangan pelanggaran kebebasan beragama dalam bentuk kekerasan terus terjadi, pihak aparat hukum enggan mengambil sikap dan bahkan memberi toleransi terhadap kekerasan itu. Di sisi lain, beberapa pemerintah daerah telah mengambil kebijakan sepihak dengan ikut mengeluarkan berbagai larangan terhadap aliran atau sekte yang diklaim sesat, terutama oleh MUI. Keluarnya berbagai larangan dari pemerintah daerah ini ternyata semakin menguatkan argumen oleh sebagian masyarakat dalam mengusir paksa pengikut aliran atau sekte “terlarang” itu. Dari pola pelanggaran kebebasan beragama ini, kita bisa simpulkan bahwa pelaku pelanggaran kebebasan beragama terbagi ke dalam dua pihak, pertama ialah pemerintah pusat maupun daerah, serta masyarakat dalam bentuk ormas atau perkumpulan tertentu. Kedua pihak ini meskipun bergerak dalam level yang seringkali berbeda, namun sama-sama memberikan tekanan terhadap kelompokkelompok minoritas dan gagal dalam menjamin kebebasan beragama. Kesimpulan yang sama diberikan oleh Prof Dr Azyumardi Azra. Beliau menilai bahwa peraturan yang menjamin dasar-dasar kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia sudah banyak, namun tidak dilengkapi adanya konsistensi penegakan hukum sehingga kekerasan terhadap penganut agama atau aliran tertentu masih terjadi. Apalagi kalau kasus terjadinya tindak kekerasan terhadap kelompok tertentu dilakukan oleh massa, aparat keamanan sering bersikap tidak peduli atau takut pada tekanan massa. Padahal, kalau kejahatan dilakukan oleh massa dalam jumlah besar maka seharusnya pemimpinnya yang diproses secara hukum. Di sisi lain, Azyumardi juga mengakui adanya persoalan masyarakat yang
kini sedang mengalami kegoncangan dan disorientasi sosial akibat banyaknya pengangguran dan kemiskinan, sehingga mudah marah dan emosional.97
97
“Belum Konsisten Penegakan Hukum Kebebasan Beragama,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.antara.co.id/arc/2008/2/14/belum-konsistenpenegakan-hukumkebebasan-beragama/.
BAB IV KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA MENURUT M. DAWAM RAHARDJO
Pancasila dan Trilogi Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Seperti diketahui, Pancasila bagi bangsa Indonesia tidak sekedar menjadi dasar negara, tapi juga sebagai falsafah hidup bangsa. Komitmen terhadap Pancasila ini masih terjaga, sejak kelahirannya hingga saat ini. M. Dawam Rahardjo sangat menyadari posisi sentral Pancasila ini. Secara sadar, M. Dawam Rahardjo menempatkan Pancasila sebagai pendekatan utama dalam memahami konsep kebebasan beragama di Indonesia. Seakan mengingatkan memori bangsa Indonesia, ia memulai dengan membahas kembali sejarah awal berdirinya NKRI. Dawam mencatat, Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPU-PKI), muncul dua pidato penting yang sangat berpengaruh terhadap konsep kenegaraan Republik Indonesia. Pertama, pidato Bung Karno yang kini dikenal dengan judul “Lahirnya Pancasila”, pada 1 Juni 1945. Kedua, pidato mengenai teori negara oleh Prof. Dr. Soepomo yang kemudian dikenal sebagai arsitek UUD 1945.
Soepomo dan Bung Karno agaknya sepaham ketika keduanya mengatakan bahwa hak-hak asasi manusia itu secara implisit sudah terkandung dalam integralisme, karena itu tidak perlu dicantumkan secara eksplisit. Namun pandangan ini ditentang oleh Hatta dan Mohammad Yamin. Mereka berpendapat hak-hak asasi manusia harus secara eksplisit dimasukkan ke pasal-pasal UUD. Dalam perdebatan itu, dua tokoh dari Sumatera itu menang. UUD 1945 pun mencantumkan tujuh pasal hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, UUD 1945 mengikuti demokrasi liberal dalam arti demokrasi yang didasarkan pada pengakuan terhadap hak-hak sipil setiap warga negara. Kenyataan ini memang kurang banyak disadari, sehingga seolah-olah UUD 1945 adalah sebuah UUD yang integralistik dan anti liberal, bahkan ada yang mengatakan berbau fasisme. Padahal Bung Karno sadar sepenuhnya dan menolak fasisme. Karena itu, UUD 1945 sebenarnya merupakan hasil kompromi banyak pemikiran dan aliran. Intinya, sebagaimana tercermin pada Pancasila yang tidak sepenuhnya mengadopsi konsep Bung Karno.98
98
2006, h. 2.
M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” Tempo, 18 Juni
Dari catatan beliau, kita dapat mengerti bahwa bagi M. Dawam Rahardjo, Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sarat dengan prinsip demokrasi liberal. Demokrasi yang didasarkan pada pengakuan hak-hak sipil setiap warga negara. Termasuk dalam hak sipil warga negara ini tentu saja kebebasan beragama, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 29. Keyakinan M. Dawam Rahardjo pada Pancasila sebagai dasar kebebasan beragama tidak berhenti pada argumen di atas. Untuk memperdalam keyakinannya tersebut, menurut M. Dawam Rahardjo, Pancasila mengandung trilogi paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Ingin membuat masyarakat bersatu, bhineka tunggal ika...itu cantolannya pada Pancasila. Kenapa Pancasila itu bisa dijadikan cantolan atau sandaran? Karena Pancasila itu cukup liberal. Jadi bukan uncommon democracy, tapi common democracy. Itu pertama. Kedua, Pancasila itu didasarkan diri pada pluralisme; pada kebinekaan tunggal ika; pada pluralitas masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku, bangsa, dan golongangolongan. Kita membutuhkan satu perekat atau model komunikasi yang bisa mempersatukan dan mencipatakan kegotongroyongan. Itu adalah pluralisme. Ketiga, Pancasila itu merupakan penolakan terhadap konsep negara agama. Di sini yang paling ditolak adalah konsep negara Islam. Konsep negara Islam itu ditolak. Ketentuan yang tadinya mau menempel di dalam Pancasila tentang penerapan syariat Islam, itu dihapus. Jadi Pancasila itu bukan (konsep) negara agama. Nah kalau bukan negara agama, ya berarti negara sekuler...Dalam pengertian bukan sekularisme yang curiga terhadap agama; yang antipati terhadap agama; tetapi sekularisme yang ramah terhadap agama. Tapi bukan hanya satu agama, khususnya Islam yang mayoritas. Sekularisme yang ramah terhadap semua agama. Jadi semua agama itu memperoleh perlakuan yang sama. Jadi sekularisme itu sebetulnya sikap netralitas negara terhadap agama.99
Perspektif ini tentu saja sangat kontroversial. Mengingat bahwa pemikiran M. Dawam Rahardjo ini muncul di sekitar terbitnya fatwa MUI tentang pengharaman sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada Musyawarah Nasional VII MUI tahun 2005. Meski demikian, hal ini tidak menyurutkan langkah beliau. 99
“Pancasila I”, diakses tanggal 19 Februari 2008, dari http://www.freedominstitute.org/id/index.php?page=kegiatan&detail=research&detail=talkshow.
Menyadari potensi resistensi yang tinggi atas pembacaan dirinya yang kontroversial terhadap Pancasila ini, M. Dawam Rahardjo berusaha memahami sekularisme dalam pola tersendiri, alih-alih mengambil beragam pola yang berbeda-beda di berbagai negara. Sambil menepis kecurigaan terhadap sekularisme yang dianggap hendak menyingkirkan peranan agama, beliau berkata, Padahal sekularisme itu adalah suatu prinsip yang ingin mencegah intervensi negara terhadap keyakinan dan ibadah warga negara. Dalam sekularisme, penyelenggaraan kehidupan beragama diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sipil, dengan demikian sekularisme justru menegakkan kebebasan beragama sebagai yang tampak di negara sekular seperti Amerika Serikat dan Kanada. Di sana kehidupan beragama justru berkembang sangat marak sehingga masyarakat di kedua negara itu dinilai sebagai masyarakat yang religius. Demikian pula aliran-aliran keagamaan tumbuh berkembang dengan suburnya. Agama tetap memperoleh peluang untuk berperan melalui arena publik; agama telah berpengaruh sangat besar terhadap moral dan etika masyarakat.
Di Indonesia sekularisme berarti netral terhadap agama. Negara tidak membagi masyarakat beragama menjadi keluarga minoritas dan mayoritas, kesemuanya memperoleh hak yang sama.100
Selanjutnya M. Dawam Rahardjo mengungkapkan bahwa, Pancasila dan UUD 1945 sebenarnya juga mengandung konsep sekularisme. Maksud sekularisme di sini adalah pemisahan antara otoritas agama dan otoritas negara. Negara tidak menganut agama tertentu, sekalipun agama mayoritas. Dengan kata lain, Pancasila menolak model “negara agama” atau konsep kesatuan antara “al din wa al daulah” yang dianut ideologi Islamisme.101
Penolakan negara Indonesia atas paham negara-agama (teokrasi) menurut beliau terlihat dari indikator-indikator sebagai berikut: Pertama, UUD 1945 mengakui kebebasan setiap warga negara memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Kedua, negara tidak mengakui satu agama resmi sebagai agama negara sebagaimana terdapat dalam konstitusi Malaysia. Ketiga, konstitusi tidak menentukan agama yang dianut oleh seorang kepala negara. Keempat, negara juga tidak menentukan agama yang yang diakui oleh negara.
Indikator lain bahwa Pancasila adalah sebuah konsep sekular adalah penghapusan tujuh kata yang menjelaskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Piagam Jakarta. Hal ini dipertegas dengan penolakan konsep negara Islam dalam sidang Dewan Konstituante yang diteruskan dalam Sidang MPR 2002 mengenai Amandemen UUD
100
M. Dawam Rahardjo, “Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil,” artikel diakses 17 Juni 2007, dari http://www.icrponline.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15. 101 M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3. tanggal
1945. Dalam sidang itu gagasan penghidupan kembali Piagam Jakarta telah ditolak sehingga negara RI adalah sebuah negara sekular.102
Menarik kemudian menelaah catatan kritis M. Dawam Rahardjo atas pertentangan ideologis antara sekularisme dan paham negara-agama. Jika pengertian negara sekular dilawankan dengan negara agama, Indonesia bukan negara agama, melainkan negara sekular. Dalam negara sekular, negara tidak didasarkan pada suatu ideologi agama tertentu yang membentuk teokrasi. Namun sering juga dikatakan, Indonesia tidak sepenuhnya sekular, karena dasar negara dalam konstitusinya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tetapi negara tidak punya tugas melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya. Sementara itu warga negara punya kebebasan untuk menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing. Artinya, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Syariat Islam bisa dilaksanakan, tapi pada tingkat masyarakat, oleh para pemeluknya sendiri. Inilah makna sekularisme sebagaimana dikatakan Talcott Parson: mengembalikan agama kepada masyarakat dan bukan bersatu dengan kekuasaan negara (kesatuan ad-din wad daulah). Hukum agama yaitu syariat tidak berkedudukan sebagai hukum positif, melainkan bersifat volunter (voluntary law), meminjam istilah tokoh Masyumi, Syafruddin Prawiranegara.103
M. Dawam Rahardjo tampak begitu yakin bahwa sekularisme yang menyemangati Pancasila sangat penting bagi penegakan kebebasan beragama di Indonesia. “...Menurut saya, gerakan Islam (keagamaan) harusnya tegas-tegas menerima Pancasila dan berjalan di atas garis kebangsaan. Dan tentu saja sekuler. Saya menerima sekularisme dan saya memperjuangkan sekularisme...”,104 demikian beliau menegaskan. M. Dawam Rahardjo melanjutkan, “...Agama itu tidak boleh dilaksanakan melalui tangan kekuasaan. Agama itu keyakinan yang tak bisa dipaksakan. Kalau agama memerintahkan pelaksanaan syariat Islam, itu bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia...”105
102
M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3. M. Dawam Rahardjo, “Dasasila Kebebasan Beragama,” artikel diakses tanggal 16 Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925. 104 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo dalam Tempo, 5 Februari 2006. 105 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo dalam Tempo, 5 Februari 2006. 103
Mengenai sejauh mana pengaruh agama dalam negara dapat berperan, M. Dawam Rahardjo berpendapat,
Pengaruh agama secara eksplisit dalam negara dan kehidupan politik jelas tidak bisa diterima karena ini akan memicu diskriminasi dan sektarianisme. Posisi negara harus netral, bukan untuk meniadakan agama, tapi untuk melindungi dan berlaku adil bagi semua agama. Menjadikan agama sebagai dasar negara, berarti telah membatasi peran agama dan keyakinan lain yang mungkin mucul. Dalam hal ini, bentuk negara sekular adalah pilihan yang paling tepat.106
Pemikirannya tentang relasi sekularisme dan Pancasila ini diharapkan mampu menepis prasangka negatif atas sekularisme. Dalam masyarakat yang didominasi oleh pemeluk Islam seperti Indonesia, diperlukan sekularisasi. Pemisahan antara agama dan negara di sini artinya, janganlah menjadikan akidah sebagai ideologi politik dan karena itu menjadikan ideologi politik sebagai akidah. Hal yang sedemikian itu terjadi karena perselingkuhan agama dan kekuasaan yang menciptakan absolutisme dan otoriterisme yang memberangus demokrasi. Negara Republik Indonesia pada hakikatnya adalah negara kebangsaan sekular yang berlandaskan nilai-nilai moral Pancasila.107
Pembelaan beliau tidak berhenti sampai di sini. Paham liberalisme mendapatkan perlakuan istimewa yang sama di mata M. Dawam Rahardjo. Menurutnya, liberalisme berarti menjadikan kebebasan beragama sebagai hak-hak sipil, bukan hanya hak-hak asasi manusia yang universal. Sebagai hak sipil,
106 M. Dawam Rahardjo, “Agama di Ranah Publik,” dalam Buletin Kebebasan, Edisi No. 01/XI/2006, h. 5. 107 M. Dawam Rahardjo, “Akidah: Antara Konfrontasi dan Interioritas,” Tempo, 11 September 2005, h. 45.
kebebasan beragama harus dilindungi oleh negara. Tetapi jaminan tersebut harus diberikan secara adil oleh negara terhadap agama-agama.108 Seperti kita ketahui bersama, dalam perkembangan ideologi politik, liberalisme membedakan dirinya dari ideologi lain dalam spektrum politiknya yang memberi keyakinan mendasar bahwa setiap individu memiliki akal dan mampu bertindak secara rasional, yang mana kemampuan tersebut seringkali diletakkan dalam posisi yang sulit dalam dunia nyata. Setiap orang menikmati hak asasi untuk hidup, bebas dan memiliki sesuatu. Liberalisme mengasumsikan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas kepentingannya sendiri. Sejak individu dalam masyarakat memiliki kapasitas untuk hidup secara memuaskan dan produktif saat diberikan kesempatan, negara harus memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk menikmati kehidupan terbaik dan memenuhi potensi individual mereka sendiri. Peranan negara adalah untuk menjamin kesempatan yang sama untuk seluruh anggota masyarakat.109 Sebagaimana telah disinggung di atas, M. Dawam Rahardjo berpendapat bahwa hakikat demokrasi Pancasila adalah demokrasi liberal, sebagaimana dicerminkan dalam UUD 1945.110 Indikator utama beliau yakni jaminan perlindungan hak-hak sipil yang diadopsi oleh UUD 1945. Dengan begitu, jelas bahwa liberalisme menjadi gagasan yang juga termasuk dalam Pancasila. Mengenai liberalisme keagamaan, M. Dawam Rahardjo mengatakan bahwa bagi golongan liberal, akidah harus dipahami sebagai interioritas yang 108
M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil,” artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15. 109 Julion C. Teehankee, Liberalism: A Primer (Manila: National Institute for Policy Studies, 2005), hal. 4. 110 M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3.
mengarah ke dalam. Dengan doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa – sebagaimana tercantum dalam Pancasila – kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan interioritas yang arahnya ke dalam yakni hanya menjadi landasan moral bagi sikap dan perilaku warga negara.111 Demikianlah, pemikiran beliau akhirnya menegaskan bahwa Pancasila memang menganut paham liberalisme.
Liberalisme di sini diartikan sebagai paham yang menjunjung kebebasan individu, terutama dari negara. Paham liberalisme inilah yang sebenarnya juga merupakan sumber dari teori tentang masyarakat warga (civil society). Dengan menjunjung tinggi asas kebebasan individu ini, maka setiap warga negara memiliki hakhak asasi manusia di segala bidang kehidupan, politik, ekonomi, sosial dan kultural. Hak asasi manusia ini harus dilindungi dan diperjuangkan di negara-negara yang kurang memahami hak-hak asasi manusia. Kebebasan dan hak-hak asasi manusia ini adalah merupakan fondasi dari demokrasi, karena dengan asas-asas itu setiap warga negara diberi hak pilih dan dipilih. Di bidang ekonomi, setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan sesuai dnegan kemanusiaan, paling tidak hak-hak dasarnya, yaitu akses terhadap kebutuhan pokok, seperti kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan yang merupakan freedom from want. Juga setiap warga negara berhak terhadap kebutuhan keamanan (freedom from fear) dan kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama (freedom of speech and expression), yang kesemuanya itu dijamin dalam UUD 1945 (yang asli).112
Paham berikutnya yang menurut M. Dawam Rahardjo menyemangati Pancasila ialah pluralisme. Menurutnya, “...Pancasila, yang merupakan sintesa berbagai gagasan besar universal, pada dasarnya adalah sebuah paham pluralisme politik dan budaya. Hal ini tergambar dari kata-kata “Bhineka Tunggal Ika”, beraneka ragam tapi merupakan satu kesatuan, yaitu Indonesia...”113 Selanjutnya, M. Dawam Rahardjo menegaskan bahwa, Yang mendasari Pancasila itu adalah pluralisme yang terseimpul dalam istilah “bhineka tunggal ika”. Pluralisme, lewat Pancasila, adalah infrastruktur budaya dari 111
M. Dawam Rahardjo, “Akidah: Antara Konfrontasi dan Interioritas,” Tempo, 11 September 2005, h. 44-45. 112 M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II),” artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrponline.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=30. 113 M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 2-3.
persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.114
Dalam uraian yang lain, M. Dawam Rahardjo mengungkapkan, Sementara itu, di Indonesia sendiri, pluralisme sudah menjadi bagian dari ideologi nasional yang dirumuskan dengan istilah “bhineka tunggal ika”, suatu istilah yang berasal dari Empu Tantular, yang artinya kesatuan dalam keragaman (unity in diversity). Pluralisme ini juga tercermin dalam Pancasila yang terdiri dari berbagai ideologi-ideologi besar dunia tetapi intinya adalah paham kegotong-royongan, kekeluargaan dan kebersamaan itu.115
Bagaimanapun, Indonesia memang berdiri di atas fakta pluralitas (keragaman) bangsa. Pluralitas ini berlaku di hampir seluruh bidang kehidupan, termasuk pluralitas agama-agama, sehingga pluralitas tidak bisa diganggu gugat lagi. Oleh karenanya, pluralisme seharusnya berlaku sebagai paham atas kenyataan pluralitas ini. Dengan kata lain, sulit memisahkan pluralitas dari pluralisme. Tidak bisa pluralitas diterima, sementara pluralisme ditolak sebagai suatu paham. Kiranya penting bagi M. Dawam Rahardjo untuk berbicara lantang mengenai pluralisme, khususnya pluralisme agama yang melandasi Pancasila dan menjadi jaminan kebebasan beragama. Beliau ingin meluruskan prasangka sebagian kelompok masyarakat yang menganggap bahwa pluralisme sebagai paham yang “menyamakan semua agama”. Dalam menyikapi kontroversi seputar tuduhan terhadap pluralisme sebagai paham yang memandang bahwa “semua agama itu baik dan benar”, maka M.
114
M. Dawam Rahardjo, “Kala MUI Mengharamkan Pluralisme,” Koran Tempo, 1 Agustus 2005. 115 M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).”
Dawam Rahardjo memiliki pandangan sendiri mengenai hal ini. Maksud pandangan “semua agama itu baik dan benar menurut beliau antara lain: Pertama, pernyataan bahwa semua agama itu baik dan benar perlu dijelaskan dengan keterangan “bagi para pemeluknya”. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap pemeluk agama akan berkeyakinan bahwa agama merekalah yang baik dan benar.
Kedua, kebenaran dan keselamatan (salvation) agama itu ada dua macam, yaitu kebenaran eksklusif dan kebenaran inklusif. Kebenaran eksklusif adalah kebenaran tertentu yang hanya diyakini dalam agama tertentu. Misalnya mengenai doktrin Trinitas. Umat Islam tidak mungkin menerima doktrin itu, namun doktrin itu bersifat fundamental bagi umat Kristen. Sedangkan ajaran cinta kasih dalam agama Kristiani adalah kebenaran yang inklusif yang bisa diterima oleh pemeluk semua agama. Ketiga, semua agama itu sama, dalam arti semua agama itu, dalam perspektif masing-masing, pada hakikatnya merupakan jalan menuju kebenaran dan kebaikan. Tidak ada agama yang mengajarkan kesalahan atau keburukan dan kejahatan. Namun, memang, substansi dari kebenaran dan kebaikan itu berbeda dari satu agama ke agama yang lain. Keempat, setiap agama mengandung kebenaran, bukan saja bagi pemeluk agama yang bersangkutan, tetapi juga bisa dilihat begitu oleh pemeluk agama lain. Sebagai contoh, umat Islam atau Kristen bisa memetik kebenaran dari kitab Baghawatgita atau buku-buku Taoisme dan Konfusianisme. Kelima, terdapat kesamaan antara agama-agama, misalnya ajaran The Ten Commandements atau Sepuluh Perintah Tuhan dari agama Yahudi, dapat ditemui pada agama-agama lain. Ajaran puasa juga dapat ditemui pada agama-agama lain, walaupun tidak semua pemeluk agama bisa melestarikan tradisi itu pada zaman modern ini. Namun, para pemeluk agama lain bisa menganggap bahwa ajaran puasa itu adalah suatu ajaran yang benar, karena tujuannya adalah mengendalikan kemampuan manusia dalam mengendalikan hawa nafsu (takwa). Keenam, semua agama itu pada lahir atau detailnya atau pada tingkat syariat memang bervariasi, karena pada tingkat itu sudah berperan pemikiran dan perumusan manusia yang dipengaruhi oleh kondisi dan sejarah. Namun, pada tingkat yang lebih tinggi (tarekat atau makrifat) akan dijumpai persamaan-persamaan dan akhirnya mencapai titik temu pada tingkat transenden (hakikat). Ini adalah suatu teori yang disebut transcendent unity yang dikembangkan baik oleh teolog Kristen maupun Islam. Ketujuh, semua agama dipandang sama dan benar dimaksudkan sebagai pandangan yang harus diambil oleh negara atau pemerintah. Sebab, negara, yang harus bersikap adil terhadap setiap individu dan kelompok tidak boleh berpandangan bahwa hanya suatu agama saja yang baik dan benar, sedangkan yang lain salah.116
Dari analisis panjang beliau ini, kita dapati bahwa semua agama itu pada hakikatnya sama, hanya penampilan luarnya saja yang berbeda. Yang terpenting, beliau menegaskan bahwa pluralisme agama terutama harus dianut oleh negara.
116
206-207.
M. Dawam Rahardjo, ”Mengapa Semua Agama itu Benar?” Tempo, 1 Januari 2006, h.
Sebab, negara harus besikap adil terhadap semua agama dan tidak boleh ada diskriminasi. Kesalahpahaman dalam memandang pluralisme sebagai suatu paham menurut beliau dikarenakan pluralisme hanya dipandang dari satu perspektif saja. Perspektif yang dimaksud ialah sinkretisme. Padahal, menurutnya, masih terdapat perspektif lainnya dalam memandang pluralisme, dengan tingkat penerimaan yang berbeda-beda dari agama-agama. Di antaranya adalah perspektif persatuan agamaagama (unity of religions), agama kewargaan (civil religion), etika global (global ethics), agama publik (public religion), dan terakhir – khusus Indonesia – pluralisme untuk mencapai kesetaraan agama-agama, toleransi, kerukunan, dan kerja sama antara umat beragama untuk kepentingan bersama berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.117 Bagi M. Dawam Rahardjo, urgensi pluralisme sangat vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiadaan pluralisme akan mengancam keutuhan kerukunan antar umat beragama. Menurutnya, “...di Indonesia, tanpa pluralisme atau bhineka tunggal ika, akan timbul ancaman terhadap kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).”118 Pluralisme secara sederhana ditunjukkan oleh beliau dalam pernyataannya bahwa, “...saya (Dawam) boleh menganggap Islam agama yang benar, tapi tidak boleh menganggap agama orang lain salah....”119 M. Dawam Rahardjo berusaha melakukan pemahaman kembali makna Pancasila. Pancasila yang dipahami oleh Soepomo sebagai dasar negara
117
M. Dawam Rahardjo, ”Mengapa Semua Agama itu Benar?”, h. 207. M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).” 119 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo, dalam Tempo, 5 Februari 2006. 118
integralistik dibaca ulang oleh M. Dawam Rahardjo menjadi konsep demokrasi liberal. Kita harus berusaha untuk melakukan pemahaman kembali makna demokrasi dan demokrasi Pancasila. Apa itu demokrasi dan apa itu Pancasila.... Pancasila saya operasionalkan dengan tiga prinsip: pluralisme (kemajemukan), liberalisme (civil liberty atau kebebasan sipil), sekularisme. Kalau kita tidak suka istilah yang terakhir ini, kita bisa menggantinya dengan kata kebangsaan. Itu kan sudah mencukupi. Istilah kebangsaan itu sudah dengan sendirinya sekuler. Jadi kita harus menjelaskan itu. Kita wacanakan lagi di dalam masyarakat. Kita menjelaskan secara operasional mengenai apa yang kita maksud dengan Pancasila, sehingga kita bisa melaksanakan secara benar.120
Pluralisme – menurut M. Dawam Rahardjo – dapat dilaksanakan dengan tiga cara, yaitu saling memahami dan memperoleh saling pengertian dan penghargaan, berlomba-lomba dalam kebajikan, dan kerja sama dalam kebajikan.121 Dengan demikian, kesalahpahaman banyak pihak atas pluralisme – sebisa mungkin – berusaha dijernihkan oleh M. Dawam Rahardjo. Pemahaman ulang M. Dawam Rahardjo jelas menunjukkan dukungannya terhadap trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Trilogi tersebut diyakini beliau menyemangati Pancasila dan terimplementasi dalam konstitusi. Dengan demikian, tentu saja wacana kebebasan beragama menurutnya mendapat jaminan yang kuat dari Pancasila sebagai dasar negara. Lebih jauh lagi, M. Dawam Rahardjo bahkan berpendapat bahwa nasionalisme Indonesia sebenarnya mengandung trilogi sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Nasionalisme yang seperti ini – dinilai olehnya – telah banyak menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari kecenderungankecenderungan yang berlawanan dengan dan mengancam demokrasi dan hak120 121
“Pancasila I.” M. Dawam Rahardjo, “Mengapa Semua Agama itu Benar?”, hal. 207.
hak asasi manusia maupun persatuan bangsa. Nasionalisme yang seperti itu juga – menurut M. Dawam Rahardjo – telah berjasa dalam mencegah berkembangnya sektarianisme yang menyebabkan penganut suatu agama atau madzhab keagamaan bersikap tertutup dan isolasionis dan mudah curiga terhadap kelompok lain.122
Kebebasan Beragama sebagai Hak Sipil Melihat beberapa pelanggaran kebebasan beragama, agama sepertinya telah bergeser menjadi sumber konflik. Hal ini disebabkan karena agama telah menjadi paham sektarian yang eksklusif. Masing-masing pemeluk agama mengklaim kebenaran. Terjadi saling kritik di antara mereka, bahkan terkadang fatwa dilancarkan terhadap mereka yang dianggap sesat. Seakan-akan otoritas agama itu telah bertindak sebagai Tuhan. Berangkat dari problem krusial umat beragama tersebut, M. Dawam Rahardjo memilih untuk memperjuangkan kebebasan beragama dalam konteks hak fundamental seorang warga negara, ketimbang terjebak dalam perdebatan teologis yang tiada akhir. Beliau percaya bahwa pertikaian antar agama tidak bisa diselesaikan oleh mereka sendiri.
Wacana teologi ini sulit karena masalahnya adalah mengubah suatu keyakinan yang dalam Islam disebut sebagai akidah, sesuatu yang harus diyakini sebagai kebenaran mutlak yang tidak bisa dikompromikan. Jika yang ditempuh adalah wacana teologi, ini berarti membiarkan berlangsungnya pengingkaran hak-hak asasi manusia. Hal ini juga berarti membiarkan berlangsungnya konflik, sebab masyarakat makin menyadari hakhaknya.123
122 123
M. Dawam Rahardjo, Nasionalisme Indonesia, makalah tidak diterbitkan. M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil.”
Oleh karenanya, negara diharuskan bertindak menjamin hak kebebasan beragama bagi seluruh warga negaranya. Sebagaimana pendapat M. Dawam Rahardjo, persoalan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara. Sementara itu, M. Dawam Rahardjo sangat menyadari perbedaan antara hak asasi manusia dan hak sipil.
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada manusia sejak lahir yang bukan pemberian apapun, yang dalam agama adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan dan bukannya oleh orang, bahkan oleh negara. Sedangkan hak sipil adalah hak yang dimiliki oleh setiap orang karena kewargaannya. Hak sipil pada masyarakat atau individu berarti kewajiban negara. Jadi hak sipil ini dilindungi atau dijamin oleh negara. Masyarakat berhak menuntut untuk dipenuhi hak-haknya dan boleh menggugat kepada negara jika hak mereka diingkari.124
Pemahaman M. Dawam Rahardjo ini sesuai dengan definisi hak sipil dan politik125 yang diakui oleh Departemen Hukum dan HAM RI. Hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik.126
Sesuai dengan UU No. 39 tahun 1999 pasal 8 ditegaskan bahwa yang berkewajiban atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah pemerintah. Di dalam perlindungan hak sipil dan politik, peran negara harus dibatasi karena hak sipil dan politik tergolong ke dalam negative 124
M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil.” Hak-hak yang termasuk ke dalam hak sipil dan politik antara lain; hak hidup, hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa, hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan bergerak dan berpindah, hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama di depan hukum, hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan dan beragama, hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi, hak untuk berkumpul dan berserikat, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Lihat http://hukumham.info/index.php?option= com_content&task=view&id=278&Itemid=51. 126 “Hak-hak Sipil dan Politik,” artikel diakses tanggal 10 Nopember 2008, dari 125
http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=278&Item id=51.
rights, yaitu hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Negara tidak bisa intervensi atas hak sipil dan politik, namun juga sekaligus harus menjamin hak sipil dan politik tersebut dapat dinikmati oleh seluruh warga negara. Negara semestinya bergerak atas dasar hak-hak sipil yang telah dicantumkan dalam konstitusi serta legislasi lainnya. Kita tahu bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam UU No. 12 tahun 2005. Maka dari itu, dasar jaminan kebebasan beragama di Indonesia cukup kuat. Sehingga, masyarakat berhak menuntut pemenuhan hak sipilnya, terutama kebebasan beragama, jika hak mereka diingkari. Di Indonesia, menurut M. Dawam Rahardjo, para penyelengara negara dan otoritas keagamaan belum memahami konsep HAM dan hak sipil.127 Padahal, bila negara membiarkan berlangsungnya pelanggaran kebebasan beragama, maka negara dapat dituduh telah melakukan pelangaran hukum. Hal itu dikarenakan negara membiarkan sebuah pelanggaran hukum terjadi. Adapun otoritas keagamaan tampaknya menemukan benturan dengan argumen teologis ketika berusaha memahami konsep HAM dan hak sipil. Untuk mengatasi hal itu, upaya konkret yang perlu diusahakan untuk mengatasi problem kebebasan beragama ini, menurut M. Dawam Rahardjo, ialah melakukan perjuangan politik kebebasan beragama. Bentuknya yaitu dengan mentransfer hak asasi manusia menjadi hak-hak sipil dalam suatu undang-undang kebebasan beragama. Dalam UU kebebasan beragama tersebut pengertian tentang
127
M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil.”
HAM sebagai hak sipil harus cukup jelas dan terperinci.128 Sehingga jaminan kebebasan beragama diharapkan semakin kuat. Maksud undang-undang ini adalah, pertama agar bisa membatasi peran negara sehingga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal akidah (dasar-dasar kepercayaan), ibadah, maupun syariat agama (code) pada umumnya. Kedua, di lain pihak, ia memberi kesadaran kepada setiap warga negara akan hakhak asasinya dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama. Undang-undang semacam ini – menurut M. Dawam Rahardjo – harus mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih detail, di antaranya:129 Pertama, kebebasan beragama berarti kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Kedua, kebebasan beragama berarti pula kebebasan untuk tidak beragama. Ketiga, kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk berpindah agama, yang setara dengan berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Keempat, kebebasan beragama berarti pula bebas untuk menyebarkan agama (berdakwah), asal dilakukan tidak melalui kekerasan maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung. Kelima, ateisme sebagai paham yang dipropagandakan, yang bersifat anti agama dan anti Tuhanharus dilarang oleh negara, karena bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga dilarang untuk
128
M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil.” M. Dawam Rahardjo, “Dasasila Kebebasan Beragama,” artikel diakses tanggal 16 Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925. 129
mencela dan menghina suatu agama. Namun tulisan yang berpandangan ateis, sebagai diskursus ilmiah tidak perlu dilarang, namun dibantah secara ilmiah pula. Keenam, atas dasar kebebasan beragama dan pluralisme, negara harus bersikap adil terhadap semua agama. Ketujuh, negara harus memperbolehkan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama, jika hal itu sudah menjadi keputusan pribadi dan keluarga yang bersangkutan. Kedelapan, dalam pendidikan, setiap siswa atau mahasiswa diberi hak untuk menentukan agama yang dipilih atau dipelajari. Kesembilan, dalam perkembangan hidup beragama, setiap warga berhak membentuk aliran keagamaan tertentu, bahkan mendidirikan agama baru, asal tidak mengganggu ketentraman umum dan melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susilam atau menipu dengan kdeok agama. Kesepuluh, negara maupun suatu otoritas keagamaan, jika ada, tidak boleh membuat keputusan hukum (legal decision) yang menyatakan suatu aliran keagamaan sebagai sesat dan menyesatkan, kecuali jika aliran itu telah melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susila. Pandangan M. Dawam Rahardjo ini menunjukkan ketidakpuasannya atas penegakan hukum dalam hal kebebasan beragama di Indonesia. Sebab, bagaimana pun, M. Dawam Rahardjo tentunya sadar betul bahwa instrumen hukum penegakan kebebasan beragama telah dianut oleh negara Indonesia. Selain Pancasila dan UUD 1945, Indonesia telah juga meratifikasi instrumen internasional tentang kebebasan beragama, yaitu KIHSP, dalam UU No. 12 tahun 2005. Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, juga telah
disebutkan mengenai jaminan negara atas kebebasan beragama. Namun, M. Dawam Rahardjo masih merasa bahwa aturan ini masih belum cukup kuat dalam menegakkan kebebasan beragama di Indonesia. Pendapatnya tentang perlunya dibuatkan undang-undang kebebasan beragama sebagai perwujudan transformasi hak kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia menjadi hak sipil menunjukkan keprihatinannya itu. M. Dawam Rahardjo bahkan berpendapat bahwa hak sipil dalam kebebasan beragama tidak kunjung dipahami, tidak saja oleh masyarakat luas, tapi juga oleh para pemimpin negara.130 Rupanya, regulasi seperti apapun tampak belum cukup dalam merangsang pemahaman masyarakat dan pemerintah atas urgensi kebebasan beragama. Gagasannya tentang undang-undang kebebasan beragama itu juga berarti menaikkan level gagasan perjuangan penegakan kebebasan beragama di Indonesia. Bagi M. Dawam Rahardjo, para pejuang kebebasan beragama perlu melanjutkan usaha mereka pada level legislasi atau perundang-undangan. Tentu saja hal itu mensyaratkan adanya dukungan pula dari pelaku politik di Indonesia. Jadi, isu kebebasan beragama sejatinya juga menjadi tanggung jawab para politisi dan partai politik. Gagasan M. Dawam Rahardjo juga menjadi peringatan atas usaha berbagai pihak yang mencoba meneruskan bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan hak sipil lainnya. Gagasan untuk menganulir berbagai bentuk pelanggaran kebebasan beragama ini juga merupakan realisasi penting dalam usaha penegakan 130
Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, dalam Hiwar Volume III, Tahun I, Maret 2008, h. 4.
kebebasan beragama di Indonesia. Karenanya, dapat dipahami bila M. Dawam Rahardjo sepakat untuk menggagas sebuah undang-undang kebebasan beragama. Sulitnya mewujudkan iklim kebebasan di Indonesia diakui oleh M. Dawam Rahardjo terutama disebabkan oleh feodalisme. Sebab, feodalisme menghendaki masyarakat untuk tetap tidak kritis dan jangan memakai akalnya. 131 Sehingga, masyarakat tidak mampu secara otonom menilai perlunya menyemai kebebasan beragama di kehidupan mereka. Terlebih lagi, feodalisme memang melanggengkan status quo sistem sosial yang sudah berlaku di masyarakat, sehingga wajar bila feodalisme menguntungkan beberapa pihak tertentu yang tengah menikmati status quo tersebut, contohnya beberapa agama yang menikmati status resmi dari negara Indonesia atau agama masyoritas yang dianut masyarakat. Karena itu, menurut M. Dawam Rahardjo, agama harus diusahakan untuk tetap kondusif bagi proses demokratisasi.132 Kalau suatu kelompok agama melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan seperti pengrusakan, pembunuhan dan penyiksaan atas orang lain, maka hal itu harus dicegah oleh negara. Begitu pun bila kelompok masyarakat melakukan hal yang sama terhadap agama-agama, maka negara pun harus mencegahnya.
Karena itu, jika kita ingin menuju kepada pelaksanaan “demokrasi yang sebenarnya”, praktek demokrasi dewasa ini harus didasarkan pada perlindungan hak-hak sipil sebagaimana dianjurkan John Rawls. Itulah demokrasi liberal dan
131 132
Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5. Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5.
itulah pula hakikat Demokrasi Pancasila, yakni demokrasi sebagaimana dicerminkan dalam UUD 1945.133
9.
Beberapa Pandangan M. Dawam Rahardjo Atas Kasus-kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama di Indonesia Menurut M. Dawam Rahardjo, secara umum tidak ada kepastian hukum
atas kebebasan beragama, sebab pengertian atas kebebasan beragama tidak jelas. Karena itu, menurutnya, perlu disusun undang-undang kebebasan beragama yang mencakup pengertian, wilayah, hak masyarakat, dan peran pemerintah. Kepastian hukum ini diperlukan agar tidak terjadi tindakan-tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat, sebab masyarakat tidak boleh melakukan tindakan kekerasan.134 Menurutnya, kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang sekarang tidak lagi dilindungi negara. 135 M. Dawam Rahardjo sangat tanggap terhadap kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa pandangannya yang tersebar dalam tulisan-tulisannya di berbagai media. Dalam hal ini, terutama saat hangatnya kasus jemaat Salamullah (komunitas Lia Eden) dan Ahmadiyah pada sekitar tahun 2005 sampai 2006. Sebelum mengkritik beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama, M. Dawam Rahardjo terlebih dahulu mengkritik fatwa MUI tentang diharamkannya liberalisme, sekularisme dan pluralisme, dalam Musyawarah Nasional MUI tanggal 26 s.d. 29 Juli 2005. Kritik M. Dawam Rahardjo ini sangat penting, sebab
133
M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3. Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009. 135 Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 4. 134
– sebagaimana telah kita bahas di atas – liberalisme, sekularisme dan pluralisme adalah basis tafsiran M. Dawam Rahardjo atas Pancasila yang melandasi jaminan atas kebebasan beragama. Maka, pantas saja jika M. Dawam Rahardjo demikian keras menentang fatwa MUI tersebut. Menurut M. Dawam Rahardjo, jika liberalisme, sekularisme dan pluralisme diharamkan dan dilarang di Indonesia, maka jaminan atas kebebasan beragama akan sangat terancam. Tanpa pluralisme, keyakinan masyarakat didominasi oleh keyakinan hegemonik seperti keyakinan MUI, dan kebebasan beragama pun akan terberangus dari bumi Indonesia. Padahal, yang mendasari Pancasila itu adalah pluralisme yang tersimpul dalam “bhineka tunggal ika”.136 Bahkan, menurut M. Dawam Rahardjo, jika nilai-nilai kebebasan itu diharamkan oleh MUI, maka Islam bertentangan dengan asas kebebasan. Dalam menolak asas kebebasan ini, seringkali makna kebebasan disalahartikan, misalnya “bebas sebebas-bebasnya yang tanpa batas,” yang sebenarnya bukan kebebasan tetapi anarki. Padahal,
menurutnya,
kebebasan bukanlah anarki. Yang
dimaksudkan dengan kebebasan dalam liberalisme di sini adalah kebebasan yang dilembagakan dalam hukum ketatanegaraan.137 Akibat dari diharamkannya sekularisme oleh MUI, maka – menurut M. Dawam Rahardjo – terus berlangsung konflik antar umat beragama yang sangat mungkin diatarbelakangi oleh kepentingan sosial-ekonomi dan politik. Padahal,
136 137
M. Dawam Rahardjo, “Kala MUI Mengharamkan Pluralisme.” M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).”
gagasan sekularisme bertujuan untuk memisahkan dan mencegah perselingkuhan antara otoritas keagamaan dan otoritas politik.138 Intinya, M. Dawam Rahardjo, secara terang-terangan, meramalkan bahwa dengan keluarnya fatwa MUI mengenai pengharaman liberalisme, sekularisme dan pluralisme, maka Indonesia terbuka terhadap ancaman konflik dan perpecahan.139 M. Dawam Rahardjo mengkritik kebijakan pemerintah mengenai pengakuan status “agama resmi” atas enam agama, dan menganggap agama dan keyakinan lainnya di luar dari status “resmi”tersebut. Sambil mengutip pendapat Leonard Swindler tentang empat komponen agama, M. Dawam Rahardjo mengungkapkan bahwa, Agama menurut (Leonard) Swindler terdiri dari empat komponen atau 4-C, yaitu Creed atau akidah, Cult atau peribadatan, Code atau kode etika dan Community Structure atau susunan masyarakat. Mungkin bisa ditambah satu lagi, yaitu Culture atau Civilization. Jika itu definisinya maka Aliran Kebatinan atau Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memenuhi kriteria sebagai agama. Demikian pula Konghucu, Taoisme, Bahaisme, bahkan Komunitas Eden yang disebut Salamullah itu dapat dikategorikan sebagai agama dan karena itu kebebasan beragama dan bereksistensi di Indonesia berlaku kepada mereka.140
Pandangan M. Dawam Rahardjo tersebut sangat relevan, terutama dalam kenyataannya memang penganut di luar agama “resmi” versi pemerintah tersebut hak-hak sipilnya banyak terlanggar secara sistemik. Padahal, menurut M. Dawam Rahardjo, krisis keberagamaan tersebut sebenarnya dapat diatasi. Asalkan, pemerintah bertindak tegas dalam menegakkan konstitusi yang mengakui hak-hak 138
M. Dawam Rahardjo, “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme,” dalam Buletin Kebebasan, Edisi No. 4/V/2007, h. 8. 139 M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).” 140 M. Dawam Rahardjo, “Krisis Keberagamaan di Indonesia,” dalam Reform Review Vol. I, No. 1, April-Juni 2007, h. 3.
sipil. Dan kunci dari penegakan hak-hak sipil tersebut adalah pluralisme dan sekularisme yang menghargai semua agama seutuhnya.141 Saat polisi akhirnya menangkap Lia Eden sebagai pimpinan jemaat Komunitas Eden, polisi menginterogasi Lia Eden dengan ratusan pertanyaan yang sangat berat, dan hampir semuanya berkatian dengan masalah-masalah teologis. Hal ini dipandang oleh M. Dawam Rahardjo sebagai sesuatu yang berada di luar kemampuan polisi untuk merumuskannya.142 Jelas, dari sudut pandang ini, M. Dawam Rahardjo mempertanyakan kapasitas dan kapabilitas aparat polisi dalam menangani kasus Komunitas Eden. Selanjutnya, M. Dawam Rahardjo mempertanyakan tiga hal sebagai representasi pembelaannnya terhadap Lia Eden, (1) Atas dasar apa dan atas dasar hukum apa Ibu Lia Eden harus meringkuk dalam penjara? (2) Apakah negara punya hak untuk mengadili sebuah keyakinan dalam suatu negara yang memiliki UUD yang menjamin kebebasan beragama sebagai hak sipil? (3) Mengapa dalam kasus Komunitas Eden ini negara justru mengadili pihak yang menjadi korban, dan sebaliknya membiarkan bahkan melindungi tindakan atau aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama, padahal aksi itu yang sebenarnya kriminalitas?143 Dalam kasus Ahmadiyah, M. Dawam Rahardjo juga sangat kritis menanggapi berbagai kekerasan yang menimpa mereka. Ahmadiyah memang menjadi salah satu aliran yang mengaku sebagai bagian dari Islam, namun ditentang
141
di
banyak
negara-negara
muslim.
Bahkan,
di
tempat
asal
Rahardjo, “Krisis Keberagamaan di Indonesia,” h. 3. M. Dawam Rahardjo, “Kebenaran yang Meringkuk di Penjara,” artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15. 143 M. Dawam Rahardjo, “Kebenaran yang Meringkuk di Penjara.” 142
kemunculannya pun mereka dianggap terlarang. Salah satu faktor penyebabnya ialah klaim Mirza Ghulam Ahmad – pemimpin spiritual Ahmadiyah – yang menyebutkan bahwa ia penerima wahyu dan sebagai nabi. Terlebih, Ghulam Ahmad kemudian berhasil membukukan “wahyu” yang sempat diterimanya. Maka kaum muslim umunya menganggap bahwa Ahmadiyah memiliki kitab suci sendiri. Karena ditentang di Pakistan, para pengikut Ahmadiyah mengalami banyak penganiayaan. Kemudian mereka hijrah ke Inggris dan menyebar ke negara-negara Eropa Barat. Hal ini menguatkan tuduhan bahwa Ahmadiyah didanai oleh Inggris untuk melanggengkan kekuasaannya di India. Padahal, Ahmadiyah adalah sebuah organisasi mandiri yang swadaya dan mendapat dana dari para anggotanya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan Ahamdiyah banyak ditentang di negara-negara muslim. Ahamdiyah termasuk organisasi legal sejak zaman kolonial tahun 1928 (aliran Lahore) dan 1929 (aliran Qadian). Oleh Pemerintah RI, Ahmadiyah mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, tanggal 13 Maret 1953, dan diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui Surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75/D.I./VI/2003. Atas dasar itu, seharusnya pemerintah melindungi Ahmadiyah dan ajarannya. Namun, rupanya fatwa MUI dan berbagai SKB yang dikeluarkan beberapa
pemerintah daerah berhasil menyudutkan Ahmadiyah dan memberi dukungan atas tindakan kekerasan sebagian masyarakat atas mereka.144 Sekalipun memang Ahmadiyah terpaksa harus dianggap berbeda, M. Dawam Rahardjo berpendapat bahwa orang Ahmadiyah pun masih berhak “menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Beliau mengingatkan bahwa selama ini Ahmadiyah konsisten menjalankan program kemanusiaan dan menyerukan perdamaian. Menurutnya, Ahmadiyah mestinya justru dimasukkan ke dalam kepengurusan
MUI dan tidak perlu dikucilkan.
Dalam kerangka negara hukum, Ahmadiyah tetap berhak memperoleh hak-hak asasi mereka, khususnya menjalankan agama menurut kepercayaannya.145 Dalam melihat fenomena maraknya aliran keagamaan yang dianggap “sesat” ini, M. Dawam Rahardjo berpendapat bahwa apabila ajaran suatu kelompok agama menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi masyarakat, kebebasannya memang harus dilarang.146 Akan tetapi, ternyata sejauh ini ajaranajaran seperti Ahmadiyah atau Komunitas Eden tidak menunjukkan akan berakibat kecelakaan bagi masyarakat. Meskipun, memang di sisi lain, klaim sesat banyak dituduhkan terhadap mereka dan dianggap meresahkan warga. Yang jelas, bila problem utamanya terletak pada persoalan perbedaan penafsiran dalam beragama, maka menurut M. Dawam Rahardjo perbedaan tersebut harus dihargai. Tuduhan penodaan agama yang seringkali dijatuhkan atas aliran-aliran yang dianggap sesat, menurut M. Dawam Rahardjo, pada dasarnya rancu.
144 M. Dawam Rahardjo, “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama,” artikel diakses pada tanggal 16 Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850. 145 M. Dawam Rahardjo, “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama.” 146 Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5.
Seharusnya, kriteria sesat atau penodaan agama hanya berlaku bagi mereka yang melanggar
hukum, membohongi publik, melakukan ritual asusila, dan
mengganggu ketentraman umum. Jadi, hukan mengenai kepercayaan atau penafsiran tertentu.147 Pada dasarnya, negara memang tidak perlu mencantumkan titel agama resmi pada agama-agama tertentu, sebagaimana yang selama ini berlaku di Indonesia. Menurut M. Dawam Rahardjo, agama harus netral (sekular). Namun, ini tidak berarti negara mesti bermusuhan dengan agama tertentu. Negara juga tidak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama baru148 Meskipun demikian, M. Dawam Rahardjo membenarkan adanya pembatasan atas kebebasan bila berbentuk penghinaan atau sikap anti agama. Contohnya, orang yang menggambarkan nabi Muhammad dengan paras yang sama sekali berbeda dengan ilustrasi hadis. Menurut M. Dawam Rahardjo, gambar yang tidak berdasar atau diniatkan untuk memberi citra buruk atas nabi Muhammad dan agama yang dibawanya, itu tidak boleh. 149 Pembelaan M. Dawam Rahardjo atas penegakan kebebasan beragama di Indonesia diakui olehnya bukan sekedar wacana belaka. M. Dawam Rahardjo mengakui bahwa dirinya adalah penganut kebebasan beragama, karena beliau ingin orang lain bebas dalam beriman. Sebab, agama itu adalah iman yang dikuasai individu, dan sifatnya ke dalam, bukan ke luar.150 Kebebasan beragama adalah hal yang paling esensial untuk menjamin kerukunan antar umat beragama.
147
Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009. Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5. 149 Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 4. 150 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo, dalam Tempo, 5 Februari 2006. 148
Bila kebebasan beragama tidak ada, maka agama-agama akan menjadi sumber konflik.151 Menurutnya, usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memajukan kebebasan beragama itu dapat dilakukan melalui publikasi, dakwah, pendidikan, dan lain-lain, yang berkomitmen terhadap terwujudnya kebebasan beragama. Adapun sumber yang merintangi penegakan kebebasan beragama ialah sikap masyarakat yang konservatif-ortodoks, misalnya faham Ahlussunah wal Jama’ah, di mana mereka merasa dirongrong oleh aliran-aliran keagamaan baru. M. Dawam Rahardjo meyakini bahwa masa depan kebebasan beragama di Indonesia akan tetap suram, selama tidak ada kepastian hukum dan kerancuan pengertian kebebasan beragama. Selama tetap begitu, maka situasi yang ada akan mendorong ketidaknyamanan dalam kehidupan beragama.152 Kendati pemikiran M. Dawam Rahardjo cukup lengkap dalam memandang kebebasan beragama di Indonesia, namun kiranya perlu ditambahkan di sini beberapa pandangan lain yang muncul dan menyertai pemikiran M. Dawam Rahardjo tentang kebebasan beragama. Menurut Siti Musdah Mulia, negara memang tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama, memutuskan agama resmi atau tidak resmi menentukan mana agama induk dan mana agama sempalan. Bahkan negara juga tidak berhak mendefinisikan apa itu agama. Penentuan bahwa sesuatu itu agama atau bukan hendaknya diserahkan saja sepenuhnya
kepada penganut agama bersangkutan. Negara hanya perlu
menetapkan rambu-rambu agar setiap agama tidak mengajarkan kekerasan 151 152
Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009. Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009.
(violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apapun, dan tidak melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain.153 Di sisi lain, Franz Dahler mengkritik sekularisme yang menjadi basis pendekatan M. Dawam Rahardjo dalam memandang kebebasan beragama di Indonesia. Sekularisme yang dimaksud Dahler yakni sekularisme sebagai dampak industrialisasi. Menurut Franz Dahler, akibat negatif dari sekularisme yaitu: pertama, perkembangan berat sebelah dan pincang dari ilmu-ilmu eksakta, sehingga ilmu-ilmu humaniora ketinggalan. Kedua, mental konsumtif yang merugikan alam. Keiga, kemajuan teknis dari negara industri mempertajam urang antara negara kaya dan miskin. Keempat, pemusatan, konsentrasi ekonomi, politik, pendidikan, administrasi ada dalam tangan segelintir orang (oligarki).154 F. Budi Hardiman juga mengkritik sekularisme. Menurutnya, negara hukum modern, juga republik Indonesia, menghadapi dua macam jebakan yang dihasilkan lewat sekularisasi. Negara masuk kedalam jebakan sekularisme jika menyingkirkan setiap alasan religius yang diyakini oleh para warga negaranya yang beriman. Namun, di sisi lain, terdapat pula jebakan fundamentalisme agama, jika negara menerima begitu saja alasan religius dan menjadikannya reguasi publik. Suatu masyarakat, menurutnya, seharusnya segera memasuki kondisi postsekular. Suatu masyarakat dikatakan memasuki kondisi post-sekular jika waspada terhadap kedua macam jebakan di atas dalam proses legislasi hukumnya. Masyarakat seperti ini melihat sekularisasi sebagai proses belajar antara pemikiran
153 Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish, h. 227. 154 Franz Dahler, “Bahaya Sekularisme sebagai Akibat Industrialisasi,” dalam Buletin Kebebasan Edisi No. 01/XI/2006, h. 7-8.
sekular dan pemikiran religius. Tanpa prasangka, keduanya dipandang komplementer.155 F. Budi Hardiman selanjutnya memberi jalan keluar dari bahaya sekularisme dan pluralisme, dengan mengajukan konsep toleransi militan. Menurutnya, seseorang yang militan tidak harus intoleran terhadap pluralisme. Begitu juga seorang yang toleran tidak harus bersikap relativis dan “lunak” terhadao imannya sendiri. Orang bisa menjadi seorang yang toleran sekaligus militan. Seorang yang memiliki toleransi militan bukanlah seorang yang toleransinya muncul dari sikap laissez faire terhadap imanya sendiri. Sehingga ia tanpa pendirian bergaul dengan para warga negara dari iman-iman yang lain tanpa mempedulikan iman-iman mereka pula. Seorang yang toleran secara militan adalah orang yang menerima fakta pluralitas orientasi religius, dan penerimaan ini tidak muncul dari ketidakpedulianya terhadap imannya sendiri, melainkan justru muncul dari imannya yang dewasa dan terbuka. Toleransi militan bukanlah sikap netral, melainkan suatu pemihakan kepada kebebasan dan keadilan. 156 Sejauh pembahasan dalam skripsi ini, penulis berpendapat bahwa perspektif M. Dawam Rahardjo cukup relevan dan lengkap dalam membahas kebebasan beragama di Indonesia. Selain dasar epistemologis dan ideologis yang jelas, M. Dawam Rahardjo juga melengkapi perspektifnya dengan solusi, yakni undang-undang kebebasan beragama.
155 F. Budi Hardiman, “Menimbang Kembali Sekularisme,” dalam Ihsan Ali Fauzi, et.all., ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2007), h. 390-391. 156 F. Budi Hardiman, “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme,” dalam Buletin Kebebasan Edisi No. 03/V/2007, h. 10-11.
BAB V PENUTUP
Kesimpulan Dari uraian panjang tentang kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo di atas, akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa kebebasan beragama dipahami oleh M. Dawam Rahardjo tidak hanya sematamata berarti kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Menurut M. Dawam Rahardjo, kebebasan beragama bisa dibatasi ketika kegiatan penyebaran agama dilakukan melalui kekerasan maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung. Jadi, kebebasan beragama tidak dipahami sebagai sebuah kebebasan tanpa batasan. Justru kebebasan beragama harus dibatasi oleh hukum, sepanjang melanggar hukum, mengganggu ketertiban umum, membohongi publik, atau melakukan ritual asusila. Meskipun demikian, hingga saat ini pemahaman atas definisi kebebasan beragama yang jelas seperti ini belum kunjung dipahami dengan benar oleh negara] akibatnya, pelanggaran kebebasan beragama terjadi sampai saat ini. Dalam merumuskan solusi atas problem kebebasan beragama di Indonesia, M. Dawam Rahardjo berpikir bahwa masih diperlukan adanya penelaahan kembali Pancasila sebagai jaminan pertama atas kebebasan beragama di
Indonesia. Beliau dengan tegas mengatakan bahwa Pancasila disemangati oleh trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, di mana ketiganya sama-sama merupakan ideologi yang diperlukan untuk menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Gagasan orisinal M. Dawam Rahardjo ini menunjukkan kedalaman (radikal) perspektif M. Dawam Rahardjo atas kebebasan beragama di Indonesia. Di samping itu, beliau juga berpikir bahwa landasan filosofis-idelogis saja tentu belum cukup untuk menjamin kebebasan beragama. Menurutnya, diperlukan adanya transformasi kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia, menjadi hak sipil warga negara. Transformasi tersebut terutama – menurutnya – haruslah berbentuk undang-undang kebebasan beragama yang dirumuskan bersama oleh pemerintah dan DPR. Hal ini berarti pula bahwa perjuangan penegakan kebebasan beragama termasuk juga perjuangan politik. Selanjutnya, undang-undang kebebasan beragama dan seluruh regulasi yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia semestinya dijalankan dan ditaati oleh semua pihak. Hal yang terpenting bagi M. Dawam Rahardjo adalah bahwasanya penegakan kebebasan beragama adalah cermin dari kualitas demokratisasi di Indonesia.
Saran Dari penulisan skripsi ini dan mengingat bahwa baik kajian tentang kebebasan beragama maupun – pemikir intelektual muslim – M. Dawam Rahardjo, maka di sini penulis memberikan beberapa saran, antara lain: Demokratisasi di Indonesia sebaiknya menyertakan penegakan kebebasan beragama agar kualitas demokrasi Indonesia dapat lebih baik lagi. Sebab,
demokrasi prosedural saja belum cukup untuk menjamin kehidupan yang damai dan toleran, dan penegakan kebebasan beragama merupakan salah satu usaha menjamin kehidupan damai dan toleran itu. Perspektif M. Dawam Rahardjo kebebasan beragama di Indonesia dapat dijadikan acuan untuk pembaharuan kualitas demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Bagaimana pun, di usia senjanya, pemikiran beliau tentang kebebasan beragama menjadi tahap akhir pengembaraan intelektualnya. Bagi pemerintah, agar dalam mengeluarkan sebuah kebijakan mengenai kehidupan keberagamaan senantiasa memperhatikan prinsip kebebasan beragama. Sedangkan bagi masyarakat, agar prinsip kebebasan beragama diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat tercipta tatanan sosial-politik yang damai dan toleran. Bagi masyarakat akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, agar menjadikan bidang-bidang hak asasi manusia dan demokrasi sebagai kajian dalam pemikiran politik, baik itu
kajian tematik maupun tokoh. Dengan
demikian, berbagai persoalan dalam kehidupan politik dan hak asasi manusia di Indonesia mendapat penyelesaian secara paripurna.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat Indonesia.” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed. Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2007.
Allport, Gordon W. “The Religious Context of Prejudice.” Journal for Scientific Study of Religion 5, 1966.
Audi, Robert. “The Separation of Church and State and the Obligations of Citizenship.” Philosophy and Public Affairs 18, 1989.
Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1999.
“Belum Konsisten Penegakan Hukum Kebebasan Beragama.” Diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.antara.co.id/ arc/2008/2/14/belum-konsisten-penegakan-hukumkebebasan-beragama/.
Berger, Peter L. “The First Freedom.” Commentary 86, 1988.
Dahler, Franz. “Bahaya Sekularisme sebagai Akibat Industrialisasi.” Buletin Kebebasan Edisi No. 01/XI/2006.
Fanani, Ahmad Fuad. Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Fauzi, Ihsan Ali. et.all. ed. Demi Toleransi Demi Pluralisme. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2007.
Gunn, T. Jeremy. “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in International Law.” Harvard Human Rights Journal Vol. 16, 2003.
“Hak-hak Sipil dan Politik.” Artikel diakses tanggal 10 Nopember 2008, dari http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=27 8&Itemid=51.
Hardiman, F. Budi. “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme.” Buletin Kebebasani Edisi No. 03/V/2007.
--------------------------. “Menimbang Kembali Sekularisme.” Dalam Fauzi, Ihsan Ali. et.all. ed. Demi Toleransi Demi Pluralisme. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2007.
Hasanuddin, Iqbal. “Neo-Kantianisme dalam Pemikiran M. Dawam Rahardjo,” artikel diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://iqbalhasanuddin.wordpress.com/2008/09/26/neo-kantianismedalam-pemikiran-m-dawam-rahardjo/.
Hastings, C. B. “Hughes-Félicité Robert de Lamennais: A Catholic Pioneer of Religious Liberty.” Journal of Church and State 30, 1988.
Huntington, Samuel P. “Benturan Antar Peradaban; Masa Depan Politik Dunia.” Dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher. Agama dan Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996.
“Kebhinekaan Dicederai.” Diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/02/01293516/kebhinnekaan.di cederai.
“Koalisi Partai Islam Perlu untuk Representasi Umat.” Diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/11/ 01133018/koalisi.partai.islam.perlu.untuk.representasi.umat.
Koshy, Ninan. “The Ecumenical Understanding of Religious Liberty: The Contribution of the World Council of Churches.” Journal of Church and State 38, 1996.
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003.” Diakses pada tanggal 21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/ kebebasan_beragama1.html.
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2005.” Diakses pada tanggal 21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/ laporan%20kebebasan%20beragama% 202005-1.html.
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006.” Diakses pada tanggal 21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/ laporan_kebebasan_beragama_2006-2.html.
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007.” Diakses pada tanggal 21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/ Laporan_Kebebasan_Beragama_2007. html.
Lerner, Natan. “The Nature anf Minimum of Freedom of Religion or Belief.” In Tore Lindholm, et.all., ed. Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2004.
Littell, Franklin H. “The Ecumenical Commitment to Human Rights.” Journal of Ecumenical Studies 29, 1992.
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups.” Diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari http://www.thepersecution.org/world/indonesia/07/05/jp19.html..
Mabruri, Gufron, et.all., Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM; Laporan Kondisi HAM Indonesia 2005. Jakarta: Imparsial, 2006.
Mujiburrahman, “Kebebasan Beragama di Indonesia.” Dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif. ed. Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2007.
Mulia, Siti Musdah. “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia.” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed. Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk
Mengenang Nurcholish Madjid. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2007.
“Pancasila I.” Diakses tanggal 19 Februari 2008, dari http://www.freedominstitute.org/id/index.php?page=kegiatan&detail=research&detail=talksho w.
“Pemerintah Tangerang Bongkar Paksa Lima Gereja dan Musala.” Diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/jakarta/2005/11/30/brk,20051130-69892,id.html.
“Pemimpin Cianjur Larang Aktivitas Ahmadiyah,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2005/09/28/ brk,2005092867225,id.html.
Rachman, Budhy Munawar. "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia," dalam Ulumul Qur'an No. 3, Vol. VI, tahun 1995.
Rahardjo, M. Dawam . “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi.” Tempo, 18 Juni 2006.
---------------------------. ”Mengapa Semua Agama itu Benar?” Tempo, 1 Januari 2006.
---------------------------. “Akidah: Antara Konfrontasi dan Interioritas.” Tempo, 11 September 2005.
---------------------------. “Kala MUI Mengharamkan Pluralisme.” Koran Tempo, 1 Agustus 2005.
---------------------------. “Krisis Keberagamaan di Indonesia.” Reform Review Vol. I, No. 1, April-Juni 2007.
---------------------------. “Agama di Ranah Publik.” Buletin Kebebasan, Edisi No. 01/XI/2006.
---------------------------. “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme.” Buletin Kebebasan, Edisi No. 4/V/2007.
----------------------------. “Model Peradaban Islam yang Ideal,” artikel diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://www.korantempo.com/ korantempo/koran/2007/03/25/Ide/krn.20070325.97395.id.html.
---------------------------. “Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil,” artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrponline.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15.
---------------------------. “Dasasila Kebebasan Beragama.” Artikel diakses tanggal 16 Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925.
---------------------------. “Agama dan Hak-hak Sipil.” Artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2 &pos=15.
---------------------------. “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).” Artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrponline.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=30.
---------------------------. “Kebenaran yang Meringkuk di Penjara.” Artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php? ArtCat=2&pos=15.
---------------------------. “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama.” Artikel diakses pada tanggal 16 Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850.
---------------------------. Nasionalisme Indonesia, makalah tidak diterbitkan.
---------------------------. “Islam Radikal Vs Islam Liberal.” Tempo, 12 Januari 2003.
“Ribuan Orang Serbu Perkampungan Ahmadiyah Cianjur,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2005/ 09/20/brk,20050920-66852,id.html.
“Sebatang Salib yang Dikunci.” Tempo, 11 September 2005.
Swindler, Leonard. “Freedom of Religion and Dialogue.” In Tore Lindholm, et.all., ed. Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2004.
Teehankee, Julion C. Liberalism: A Primer. Manila: National Institute for Policy Studies, 2005.
“TK Kristen ‘Disegel’.” Diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2006/04/01/brk,20060401-75733,id.html.
Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo. Hiwar Volume III, Tahun I, Maret 2008.
Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo. Tempo, 5 Februari 2006.
Wood Jr., James E. “Religious Human Rights and a Democratic State.” Journal of Church and State Vol. 46.
Zada, Khamami. Islam Radikal; Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.
http://lempu.co.cc/index.php/Artikel/ Tipologi-Sikap-Beragama.html.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2007/11/23/Opini/krn.20071123.116317.id.html.
Lampiran I
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN M. DAWAM RAHARDJO, 16 FEBRUARI 2009, JAKARTA
1.
Bagaimana kondisi umum kebebasan beragama di Indonesia menurut Anda? Jadi, saya kira secara umum tidak ada kepastian hukum karena pengertia
kebeban beragama tidak jelas. Karena itu, perlu disusun undang-undang kebebasan beragama yang mencakup pengertian kebebasa beragama, wilayah dan batasannya, hak masyarakat, dan peran pemerintah. Itu harus jelas, sehingga tidak terjadi tindakan-tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat, seperti yang terjadi terhadap Ahmadiyah, Lia Eden, Al-Qiyadah dan sebagainya. Sebab, masyarakat tidak boleh melakukan tindakan kekerasan.
2.
Sudah cukupkah jaminan negara atas kebebasan beragama? Menurut hemat saya, agama dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah
privat dan wilayah publik. Wilayah privat, yang mencakup akidah (iman) dan ibadah, harus mendapatkan jaminan kebebasan dan perlindungan dari pemerintah. Sedangkan wilayah publik, yang meliputi moral, etika, dan organisasi keagamaan, perlu diatur oleh negara.
MUI seharusnya berperan menengahi dan harus membela masyarakat, bukan pemerintah. Pembelaan itu dilakukan bila masyarakat diserang, dan bukan malah melegitimasi politik pemerintah melalui fatwa-fatwanya. Namun, sangat disayangkan, MUI justru ikut menyerang kebebasan beragama, bahkan memicu kekerasan horizontal dalam masyarakat. Pemerintah pun malah melakukan kekerasan, dengan mengadili para penganut aliran sesat, seperti yang dialami oleh Yusman Roy, Lia Eden dan Ahmadiyah. Artinya, jaminan pemerintah tentu saja belum cukup. Terbukti dengan belum disusunnya undang-undang kebebasan beragama.
3.
Bagaimana Anda memisahkan antara kebebasan beragama dan penodaan agama? Fatwa MUI mengenai kriteria sesat seharusnya tidak diperbolehkan, sebab
memicu kekerasan. Semestinya, kriteria sesat atau aliran sesat hanya berlaku bagi mereka yang melanggar hukum, membohongi publik, melakukan ritual asusila, dan mengganggu ketentraman umum. Jadi, bukan mengenai kepercayaan atau penafsiran tertentu, seperti kepercayaan terhadap Ghulam Ahmad dan Jibril sebagai nabi. Hal seperti itu justru tak bisa diatur dan bebas terserah kepada masyarakat yang menilainya. Lagi pula, menurut hemat saya, dengan kepercayaan seperti itu orang tidak akan mudah percaya. Pun demikiran, bila ada fatwa, maka fatwa itu hanyalah sekedar nasehat saja. Fatwa itu tidak mengikat dan bukan produk hukum yang harus dipatuhi.
Kemudian, perlu juga dilakukan diskusi-diskusi dengan para penganut aliran itu, agar lambat laun mereka mulai terbuka pikirannya dan menimbangnimbang keyakinan mereka secara lebih rasional. Lagi pula, aliran sesat itu bisa disebut
sebagai
gejala
patologi
atau
penyakit
sosial,
apalagi
yang
mengatasnamakan agama. Pengertian penodaan agama itu rancu. Terlebih pasal penodaan agama hanya berlaku secara tebang pilih. Kelompok-kelompok yang terang-terangan menyerang kaum minoritas justru tidak terkena pasal penodaan agama. Kriteria penodaan agama yang hanya menghukumi kepercayaan seseorang sangat tidak jelas, sebab kepercayaan itu tidak bisa dicegah oleh siapapun. Misal, olahraga yoga. Toga itu tidak bisa dilarang, juga tidak bisa diharamkan. Ritual yang dilakukan dalam yoga, sama sekali tidak bisa diawasi. Terlebih, tujuan yoga adalah olahraga. Saya pikir, pada dasarnya, kebebasan beragama itu harus dipagari oleh hukum. Artinya, kebebasan beragama yang saya maksudkan adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Oleh karena itulah, undang-undang kebebasan beragama itu harus ada, supaya ada jaminan dan kepastian hukum yang adil.
4.
Apa saja usaha yang bisa dilakukan untuk pemajuan jaminan kebebasan beragama? Usaha-usaha itu dapat dilakukan melalui publikasi, dakwah, pendidikan,
dan lain-lain, yang berkomitmen terhadap terwujudnya kebebasan beragama.
5.
Apa kendala yang muncul dalam usaha penegakan kebebasan beragama di Indonesia? Sumber yang merintangi penegakan kebebasan beragama ialah sikap
masyarakat yang konservatif-ortodoks, misalnya faham Ahlussunah wal Jama’ah, di mana mereka merasa dirongrong oleh aliran-aliran keagamaan baru. Menurut saya, sebetulnya aliran liberal itu yang lebih berbahaya. Tapi mereka, kaum konservatif-ortodoks, tidak bisa mencegahnya dikarenakan kaum liberal banyak berisi para intelektual.
6.
Apa makna kebebasan beragama bagi Anda? Dan bagaimana masa depan kebebasan beragama di Indonesia? Menurut saya, kebebasan beragama adalah hal yang paling esensial untuk
menjamin kerukunan antar umat beragama. Bila kebebasan beragama tidak ada, maka agama-agama akan menjadi sumber konflik. Masa depan kebebasan beragama di Indonesia akan tetap suram, selama tidak ada kepastian hukum dan kerancuan pengertian kebebasan beragama. Selama tetap begitu, maka situasi yang ada akan mendorong ketidaknyamanan dalam kehidupan beragama.