PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN M. DAWAM RAHARDJO Sebuah Pengamatan Oleh Tarli Nugroho* Kamis, 28 Oktober 2010, gerimis masih berderai, membuat udara dingin tak segera beranjak dari Kota Gudeg pagi itu. Namun, di sebuah ruangan di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, seorang lelaki tua berambut perak nampaknya mampu menghangatkan suasana. Di hadapan puluhan mahasiswa, peserta dan sejumlah dosen, dengan suara jernih ia menguraikan pemikirannya mengenai agenda kajian ilmu-ilmu sosial profetik, dengan terlebih dahulu memberi latar mengenai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia.1 Selama lebih dari dua jam ia berbicara dan meladeni diskusi. Seperti biasa, makalah yang disampaikannya lebih dari sepuluh halaman, dan presentasinya hampir tanpa lelucon. Sumber kehangatan perbincangan pagi itu adalah dikarenakan lelaki itu memulai makalahnya dari lontaran pemikiran seorang muda yang kebetulan baru saja lulus dari UIN Sunan Kalijaga. Ada seorang guru besar senior terkemuka berceramah, dan titik pangkal ceramahnya bertolak dari lontaran seorang sarjana muda yang baru saja lulus, agaknya hal itu sangat mengesankan para mahasiswa, dosen, dan peserta lain yang hadir. Bagaimana bisa seorang guru besar senior menulis makalah dari lontaran seorang muda, dan namanya perlu disebut berkali-kali pada makalahnya?! Bagi mereka yang telah mengenal lelaki tua itu, mungkin akan berujar: “Begitulah Dawam!” *
Penulis pengantar ini adalah Anggota Dewan Pengurus Mubyarto Institute, Yogyakarta; peneliti di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM; dan dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Sejak akhir 2010 diminta menjadi Asisten Rektor Universitas Proklamasi 45, yang dijabat oleh Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, kini masih menyelesaikan studinya di Program Pascasarjana Ekonomi Pertanian UGM. Telah menulis sejumlah buku mengenai ekonomi-politik dan ekonomi perdesaan. 1 M. Dawam Rahardjo, “Kemiskinan Pemikiran dalam Kajian Islam di Indonesia: Menuju Ilmu-ilmu Sosial Profetik”. Makalah disampaikan pada Kuliah Umum di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis, 28 Oktober 2010. Makalah tidak diterbitkan.
1
Demikianlah. Ya, lelaki tua berambut perak itu adalah Mohammad Dawam Rahardjo. Di kalangan rekan-rekannya, ia biasa dipanggil Mas Dawam. Panggilan “Mas” ini bukan hanya monopoli mereka yang hampir seumuran dengannya, melainkan juga dipakai oleh mereka yang jauh lebih muda darinya, dan dia tidak pernah menunjukkan ekspresi keberatan. Penerimaannya atas panggilan “Mas” oleh mereka yang jauh lebih muda, bahkan jauh lebih muda dari anaknya, barangkali merupakan cermin dari sikap egaliter yang dimilikinya. Bagi kita yang hidup di tengah masyarakat dengan ciri feodal sangat kental, dan ciri semacam itu juga masuk menjadi bagian dari kehidupan dunia universiternya,2 sikap egaliter sebagaimana yang melekat pada sosok seperti Dawam memang sangat istimewa. Sang Pembahas Dalam sebuah karangannya, Kuntowijoyo pernah mengutarakan kegelisahannya mengenai sejarah kesarjanaan kita yang selalu berjalan terputus-putus, sehingga tak sempat untuk “mengakumulasikan” dirinya.3 Sumber keterputusan itu, menurutnya, salah satunya dikarenakan para sarjana kita masih memelihara keengganan untuk saling mendengar dan belajar. Akibatnya, kerja-kerja di masa yang telah lampau akan selalu silap ditenggelamkan waktu, di-nol-kan kembali, karena setiap generasi sarjana yang muncul belakangan lebih suka merayakan kegelisahannya sendiri, tanpa merasa perlu menautkannya dengan pencapaian di kelampauan.4 Dan tidak susah untuk menghubungkan kondisi itu dengan, salah satunya, kultur feodal yang ada di perguruan tinggi kita. Kultur dengan kecongkakan senioritas dan egosenstrisme. Oleh karena itu, makalah Dawam pagi itu memang layak disambut hangat. Terlebih, dalam makalah yang sama, ia tak hanya memberi tempat pada lontaran gagasan seorang anak muda yang masih-sedang membangun riwayat intelektualnya, sebuah sambutan hangat yang di Indonesia langka diberikan oleh seorang intelektual yang telah mapan dan apalagi seorang guru besar senior, melainkan, pada saat yang bersamaan ia juga membahas dengan seksama gagasan karibnya, Kuntowijoyo—pelontar gagasan ilmu sosial profetik, dan memberikan sejumlah ide pengembangan bagi lontaranlontaran awal yang telah dikemukakan sobatnya itu, sesuatu yang juga sama 2
Lihat, misalnya, wawancara dengan Taufik Abdullah, “Masalah Utama Universitas adalah Kerutinan”, yang dimuat dalam Majalah Prisma, No. 2/VII, Maret 1978, hal. 40-45. 3 Kuntowijoyo, “Integrasi Sains Sosial dengan Nilai-nilai Islam: Sebuah Upaya Perintisan”, makalah dalam Seminar “Islam in ASEAN’s Institution of Higher Learning II: Islam & Social Science” di Universitas Kebangsaan Malaysia, 10-13 November 1990. Dimuat kembali dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1996), hal. 320-322. 4 Bdk. Tarli Nugroho, “Dari Karsa ke Filsafat, Dari Filsafat ke Ilmu: Hidayat Nataatmadja dan Dekolonisasi Pemikiran”, Kata Pengantar untuk buku Hidayat Nataatmadja, Melampaui Mitos & Logos: Pemikiran ke Arah Ekonomi-Baru (Yogyakarta: LANSKAP, 2007), hal. xxx-xxxi.
2
langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar dan belajar dari sesamanya, sebuah perguruan tinggi besar nasional bahkan sampai harus memberikan insentif kepada para dosennya agar mau mengutip karya para koleganya satu almamater ketika akan menulis di jurnal ilmiah. Sangat ironis. Di Indonesia, kebiasaan untuk saling membaca dan menguji, bertukartangkap gagasan antar-para sarjana, memang sangat memprihatinkan. Mengenai kenapa hal itu bisa terjadi, ada beberapa kemungkinan yang bisa dikemukakan. Pertama, barangkali memang hanya sedikit sarjana Indonesia yang mencoba membangun pemikirannya sendiri, sehingga akhirnya tidak muncul urgensi untuk saling membaca dan menguji dalam dunia kesarjanaan kita. Sudah menjadi kelaziman, bahwa kebanyakan sarjana, termasuk mereka yang menyandang gelar guru besar, lebih suka memposisikan diri sebagai penjaja pengetahuan-konvensional. Jika mereka menjadi guru, mereka memang hanya mengajar dengan cara delivery of stocks. Ini menyebabkan sumber perbincangan yang bisa digali menjadi langka, dan diskusi yang ketat menjadi kehilangan alasan untuk dilakukan. Kedua, minimnya media atau jurnal akademis yang mampu jadi referensi bersama dan yang sekaligus bisa bertahan lama. Sejarah jurnal di Indonesia mirip dengan sejarah pers mahasiswa, dimana yang terakhir digambarkan oleh Amir Effendi Siregar sebagai sejarah “patah tumbuh hilang berganti”.5 Kelangkaan ini telah menyebabkan minimnya kebiasaan untuk saling membaca dan menguji pemikiran di kalangan sarjana Indonesia. Sehingga, gagasan penting apapun (termasuk juga yang “tidakpenting”) yang pernah dihasilkan pada akhirnya akan selalu menguap seiring waktu, atau hanya akan bertahan selama penggagasnya masih hidup. Dan yang lebih fatal dari tidak adanya jurnal akademis yang berwibawa dan sanggup bertahan lama tadi adalah tidak munculnya sebentuk peer-group pada dunia kesarjanaan kita. Pada akhirnya, karena tidak ada peer group, tak pernah ada gagasan yang pernah benar-benar teruji di lingkungan bersangkutan. Gagasan yang pernah dicetuskan hanya akan beredar di kalangan para pendukungnya dan tak akan mendapatkan tanggapan yang berarti dari mereka yang tak menyepakatinya. Pendek kata, tidak terjadi diskusi yang timbal-balik. Sepanjang usia Republik ini yang hampir tujuh dekade, media yang bisa disebut sebagai jurnal akademis berwibawa dan mampu bertahan lama jumlahnya memang tak lebih dari lima jari tangan. Jika patokannya adalah angka empat puluh tahun, saat ini jurnal yang usianya mampu melampaui angka itu hanya empat. Pertama, adalah Majalah Basis yang terbit di Yogyakarta dan pertama kali terbit pada 1951. Hingga kini majalah tersebut 5
Lihat Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti (Jakarta: Karya Unipress, 1983).
3
masih rutin mengunjungi pembacanya tiap bulan. Kedua, adalah Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia (Economics and Finance in Indonesia), yang diterbitkan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jurnal ini pertama kali terbit pada 1952 dan hingga kini masih setia mengunjungi pembacanya. Ketiga, adalah Majalah Analisa yang terbit pada 1971 dan diterbitkan oleh CSIS (Center for Strategic and International Studies). Pada 1989, majalah ini berubah namanya menjadi Analisis CSIS.6 Dan keempat, adalah Majalah Prisma, yang nomor perdananya terbit pada November 1971 dan diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), dimana Dawam pernah menjadi bagian darinya, dan bahkan merupakan salah satu bagian terpentingnya. Meskipun Prisma pernah berhenti terbit selama kurang lebih satu dekade, pada Juni 2009 majalah ini kembali mengunjungi pembaca, meski tak lagi setiap bulan seperti dulu, melainkan tinggal setahun tiga kali.7 Meskipun demikian, ketika Prisma terbit kembali, yang mengangkat topik Senjakala Kapitalisme dan Demokrasi, redaksi Prisma tidak menghitung tahun yang vakum itu sebagai bagian dari periode terbitnya, sehingga volume terbitnya terhitung 28 (No. 1/XXVIII). Dari keempat media itupun, hanya Basis dan Prisma bisa dikatakan berstatus sebagai referensi bersama, mengingat oplag dan persebarannya yang memang luas. Ketiga, kelangkaan itu memang lahir dari kemalasan saja. Kemalasan ini gampang kawin-mawin dengan berbagai hal, termasuk dengan feodalisme dan egosentrisme yang telah disebut di muka. Cermin dari langkanya kebiasaan untuk saling membaca dan menguji ini bisa dilihat dari jumlah karya sekunder mengenai pemikiran para sarjana Indonesia, baik yang terbit dalam bentuk buku maupun artikel. Dari segi obyek, di antara sarjana Indonesia, sejauh ini, yang paling lazim dijadikan obyek studi barangkali adalah Soedjatmoko. Ini bisa dilihat dari jumlah publikasi yang menuliskan pemikiran Soedjatmoko, baik yang pada mulanya dilakukan untuk keperluan akademis (penulisan skripsi, tesis dan disertasi), maupun keperluan lainnya. Selain Soedjatmoko, beberapa sarjana Indonesia lainnya yang juga sudah lazim dijadikan obyek studi pemikiran adalah Tan Malaka, Mohammad Hatta, Nurcholish Madjid, dan Kuntowijoyo. Daftarnya, meski masih ada beberapa nama lain, memang sangat sedikit.8 6
CSIS 20 Tahun (Jakarta: CSIS, 1991). Prisma terakhir kali terbit pada 1998, yang ditandai oleh edisi Prisma No. 1/XXVII, SeptemberOktober 1998. Lihat Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2003), hal. 503-512. 8 A. Nashih Luthfi, Amien Tohari dan Tarli Nugroho, Pemikiran Agraria Bulaksumur: Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto (Yogyakarta: STPN-Press dan Sayogyo Institute, 2010), hal. ix-xv. 7
4
Tentu, tulisan-tulisan tentang sarjana Indonesia tidak sesedikit itu, jika yang dimaksudkan dengan tulisan tentang sarjana itu adalah tulisan mengenai pribadinya. Setiap kali ada tokoh sarjana berulang tahun, biasanya pada angka antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun, telah banyak terbit buku berisi kumpulan karangan mengenai mereka. Tapi di antara karangan-karangan itu, jika kita periksa kembali, sangat sedikit yang umumnya berusaha memberikan ulasan mendalam terhadap gagasan sang sarjana yang ditulis, apalagi yang disertai dengan kritik yang serius dan tak sekadar berisi puja-puji. Hadirnya tulisan yang serba-sedikit itupun masih belum membatalkan penilaian tentang keengganan saling membaca dan menguji sesama tadi, karena jika diperhatikan kajian-kajian yang pernah ada itu umumnya dilakukan oleh generasi yang jauh lebih muda terhadap seniornya yang lebih tua. Artinya, jika dilakukan oleh generasi sarjana yang berbeda, kita masih bisa menemukan sejumlah kecil karangan yang membesarkan hati. Namun, jika paramaternya diperketat menjadi timbangan antar-sarjana yang segenerasi, yang langka itupun menjadi semakin lamat-lamat. Dan jika parameternya diubah lagi menjadi seorang sarjana senior yang menulis pemikiran juniornya, yang lamat-lamat itupun musnah sudah. Persis di titik itulah peran kesarjanaan Dawam menjadi sangat istimewa. Dawam, sebagaimana telah disinggung di muka, misalnya, tak segan untuk membahas pemikiran Kuntowijoyo, intelektual yang segenerasi dengannya dan sama-sama bekas anggota Limited Group, sebuah kelompok diskusi yang mereka dirikan ketika masih sama-sama mahasiswa.9 Makalah yang disebut di bagian awal bukanlah makalah pertama yang ditulis Dawam mengenai pemikiran Kunto, dan sepertinya juga bukan yang terakhir. Demikian juga, ia tak sungkan untuk membahas pemikiran Mubyarto, yang meskipun secara de facto Mubyarto pernah menjadi gurunya ketika masih menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM,10 usia mereka sebenarnya tak terpaut jauh, yaitu lebih kurang hanya empat tahun. Dalam buku
9
Limited Group, atau Lingkaran Diskusi Limited Group, adalah kelompok diskusi yang dibentuk oleh Dawam dan beranggotakan sejumlah mahasiswa yang di kemudian hari menjadi sarjanasarjana terkemuka, seperti Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Syafii Maarif, Amien Rais, Kuntowijoyo, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin, dan lain-lain. Mereka berkumpul tiap Jumat sore di kediaman Prof. Dr. A. Mukti Ali, di Demangan, Yogyakarta. Mukti Ali, yang kemudian menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan II (1973-1978), bertindak sebagai mentor bagi anak-anak muda ini. Lihat, misalnya, Djohan Effendi, “Intelektual Muslim yang Selalu Gelisah: Kesaksian Seorang Sahabat”, dimuat dalam Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, dan J.H. Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme: Esai-esai untuk Merayakan 65 Tahun M. Dawam Rahardjo (Jakarta: Paramadina, 2007), hal. 34. 10 Mubyarto (1938-2005) menyelesaikan pendidikan doktornya dari Iowa State University pada 1965 dalam usia 27 tahun. Sekembalinya ke Indonesia ia masih sempat bertemu dengan Dawam yang masih berstatus mahasiswa. Dalam wawancara yang dilakukan penulis pengantar ini dengan Dawam, salah satu mata kuliah yang diambilnya dan diajar oleh Mubyarto adalah ekonometri.
5
Habibienomics,11 misalnya, meskipun pokok telaahnya adalah mengenai pemikiran ekonomi Habibie dalam peta kebijakan ekonomi pembangunan Indonesia, yang ditimbang dengan gagasan Mohammad Hatta, Sjafruddin Prawiranegara, Sumitro Djojohadikusumo, dan Widjojo Nitisastro, sarjanasarjana yang pernah menempati posisi-posisi sentral dalam pengambilan kebijaksanaan pembangunan Indonesia, Dawam tetap memasukan gagasan Mubyarto, mengenai Ekonomi Pancasila, sebagai sebuah gagasan penting dalam sawala itu. Meskipun Mubyarto tidak pernah menempati posisi sentral dalam pengambilan kebijaksanaan pembangunan Indonesia,12 sebagaimana para teknokrat yang telah disebutkan, namun dalam pandangan Dawam, Mubyarto adalah ekonom yang menuliskan gagasannya secara jelas dan konsisten, terutama dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, sehingga patut dijadikan timbangan dalam setiap perbincangan mengenai ekonomi pembangunan Indonesia.13 Dan itu berbeda, misalnya, dengan Widjojo, yang meskipun memainkan posisi penting dalam pengambilan kebijakan ekonomi di masa Orde Baru, namun apa yang sering disebut sebagai “Widjojonomics” pada dasarnya hanya bisa diikuti dari produk-produk kebijakan yang dikeluarkannya saja, karena di level konsep tidak pernah dituliskan secara jelas, dan kalaupun ada risalah yang bisa dianggap sebagai manifesnya, risalah itupun tidak ditulisnya sendiri dan secara khusus. Karangan-karangan Widjojo, misalnya, sangat sulit untuk ditemui.14 Bagi sosok yang menduduki posisi sangat penting, dan dianggap sebagai pemimpin dari sekelompok ekonom paling berpengaruh dalam perumusan kebijakan ekonomi di masa Orde Baru,15 kelangkaan ini tentunya cukup mengherankan. Di antara para anggota—meminjam istilah David Ransom— “The Berkeley Mafia”, yang rajin menuliskan pendapat dan analisisnya, dalam berbagai rupa karangan, hanyalah Mohamad Sadli dan 11
M. Dawam Rahardjo, Habibienomics: Telaah Ekonomi Pembangunan Indonesia (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1997). 12 Mubyarto, pada usia yang masih muda, memang pernah menjadi Penasihat Menteri Perdagangan dalam Analisis Harga dan Hubungan-hubungan Harga Hasil-hasil Pertanian dan Kebijaksanaan Pangan (1968-1971), yang waktu itu dijabat oleh Sumitro Djojohadikusumo. Ia juga pernah menjadi Asisten Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, yang dijabat oleh Ginandjar Kartasasmita, untuk bidang Peningkatan Pemerataan dan Penanggulangan Kemiskinan (1993-1999). Meskipun dua posisi yang pernah didudukinya itu cukup penting, namun posisi itu bukanlah posisi yang bersifat struktural dalam lingkungan pemerintahan. 13 Ibid., hal. 6. 14 Pada 2010, atau jauh setelah Widjojo pensiun, kumpulan karangannya baru diterbitkan. Baca Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010). 15 David Ransom, pada 1970, menyebut para ekonom yang berada di bawah koordinasi Widjojo ini, yang sebagian besar berasal dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, sebagai “The Berkeley Mafia”. Lihat David Ransom, “The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre”, dimuat dalam Majalah Ramparts, Vol. 9/No. 4, October 1970.
6
Emil Salim. Karangan keduanya mudah dijumpai pada berbagai media, baik surat kabar, majalah, maupun jurnal-jurnal akademis. Pada 1986, BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Indonesia Project di Australian National University (ANU), menerbitkan serial tulisan bertajuk “Recollections of My Career” yang berisi wawancara dengan sejumlah teknokrat dan pengusaha senior Indonesia, sebagian besar di antaranya adalah teknokrat ekonomi di masa Orde Baru, mengenai pengalaman mereka dalam mengelola perekonomian Indonesia. Teknokrat pertama yang diwawancara adalah Sumitro Djojohadikusumo.16 Wawancara-wawancara itu dilakukan dalam berbagai variasi oleh Anne Booth, Thee Kian Wie, J.A.C. Mackie, Hal Hill, Howard Dick, H.W. Arndt, dan Chris Manning, yang merupakan redaktur-redaktur BIES. Teknokrat lainnya yang diwawancara adalah Sjafruddin Prawiranegara,17 Sarbini Sumawinata,18 Mohamad Sadli,19 Suhadi Mangkusuwondo,20 Emil Salim,21 dan Subroto.22 Dua nama lain yang juga diwawancara dalam serial artikel di BIES itu adalah Soedarpo Sastrosatomo,23 dan Teuku Mohamad Daud.24 Ketika rangkaian itu diterbitkan menjadi buku pada 2003,25 yang disunting oleh Thee Kian Wie, buku itu juga mencakup wawancara dengan Mohammad Saubari26 dan Abdoel Raoef Soehoed,27 yang meskipun tajuk artikelnya ketika terbit di BIES bukan “Recollections of My Career”, namun isinya sama-sama diangkat dari wawancara dan berisi refleksi terkait dengan kebijakan ekonomi Indonesia. Baik serial artikel yang telah dimuat BIES, maupun setelah diterbitkan menjadi buku, sama-sama tidak memuat wawancara dengan Widjojo. Dalam bagian pendahuluan, Thee menyebut bahwa wawancara dengan Widjojo, dan juga Ali Wardhana, tidak pernah berhasil dilakukan.28 Kelangkaan yang menguntit Widjojo sebagaimana yang telah disebut itupun genap sudah. Kembali ke Dawam, meskipun dia termasuk sebagai salah satu penggagas Ekonomi Pancasila, dan merupakan salah satu pembicara pada
16
BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 22/No. 3, December 1986, hal. 27-39. BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 23/No. 3, December 1987, hal. 100-108. 18 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 28/No. 2, August 1992, hal. 43-53. 19 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 29/No. 1, April 1993, hal. 35-51. 20 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 32/No. 1, April 1996, hal. 33-49. 21 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 33/No. 1, April 1997, hal. 45-74. 22 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 34/No. 2, August 1998, hal. 67-92. 23 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 30/No. 1, April 1994, hal. 39-58. 24 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 35/No. 3, December 1999, hal. 41-50. 25 Thee Kian Wie (Editor), Recollections: The Indonesian Economy, 1950-1990 (Singapore: ISEAS, 2003). 26 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 23/No. 2, August 1987, hal. 118-121. 27 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 24/No. 2, August 1988, hal. 43-57. 28 Thee, Recollections, op. cit., hal. xiv. 17
7
Seminar Ekonomi Pancasila yang pertama pada 1980 di Bulaksumur,29 namun dalam setiap karangannya mengenai Ekonomi Pancasila ia selalu menempatkan figur dan pemikiran Mubyarto dalam posisi penting dan tak pernah berusaha untuk menonjol-nonjolkan dirinya, meskipun sumbangan Dawam pada gagasan Ekonomi Pancasila tak kalah pentingnya. Selain Mubyarto, bersama dengan Hidayat Nataatmadja dan juga Sri-Edi Swasono, Dawam memang termasuk ekonom yang terus mengembangkan gagasan tersebut, pada berbagai aspeknya. Pada 2004, misalnya, Dawam menulis sebuah buku utuh berisi tinjauan filosofis yang teoritis terhadap gagasan Ekonomi Pancasila.30 Ia mengkaji aspek ontologis, aksiologis, dan epistemologis dari gagasan tersebut. Dawam menulis bahwa Ekonomi Pancasila merupakan pemikiran ekonomi alternatif, sama seperti halnya Teori Ketergantungan yang lahir di Amerika Latin. Hanya saja, Ekonomi Pancasila belum mengalami “internasionalisasi”, meskipun salah satu elemen teorinya, yaitu teori ekonomi dualistis—yang diperkenalkan J.H. Boeke, telah menjadi kosa kata dalam pemikiran ekonomi internasional.31 Pendekatan penting yang dilakukan oleh Dawam dalam kaitannya dengan Ekonomi Pancasila adalah ia mengemukakan konsep Ekonomi Pancasila dalam rumusan positif, dan bukan dalam kerangka defensif atau counterconcept. Meminjam bahasa Ignas Kleden, lebih mudah merumuskan apa yang “bukan” Ekonomi Pancasila—sebuah perspektif counter-concept, daripada menjelaskan “apa itu” Ekonomi Pancasila, yang merupkan ciri dari konsep positif.32 Melalui bukunya tadi, dan beberapa karangannya yang lain,33 Dawam berusaha mengemukakan dan mengelaborasi gagasan Ekonomi Pancasila menurut sebuah kerangka konsep positif. Terkait dengan usahanya tersebut, apa yang telah dikerjakan Dawam kurang lebih serupa dengan sumbangan yang telah diberikan oleh Hidayat Nataatmadja.
29
Prosiding seminar tersebut telah diterbitkan dalam Mubyarto dan Boediono (Editor), Ekonomi Pancasila (Yogyakarta: BPFE, 1981). Ada delapan belas pemakalah dalam seminar tersebut, dimana Dawam termasuk salah satu di antaranya. Namun, dari delapan belas pemakalah itu, hanya Mubyarto, Hidayat Nataatmadja, dan Dawam yang kemudian tercatat terus mengembangkan gagasan tersebut dalam beberapa aspeknya. 30 M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila: Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur (Yogyakarta: PUSTEP-UGM, 2004). 31 Ibid., hal. 4. 32 Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 160. 33 M. Dawam Rahardjo, “Ekonomi Islam, Ekonomi Pancasila dan Pembangunan Ekonomi Indonesia”, dalam Ainur R. Sophiaan (Editor), Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 107-136; “Ekonomi Pancasila dalam Tinjauan Filsafat Ilmu”, makalah disampaikan pada Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila (KEEP) yang diadakan oleh Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM, Januari 2004; dan “Ekonomi Pancasila dalam Tinjauan Filsafat Ilmu, Sistem dan Konstitusi”, makalah disampaikan pada acara KEEP, April 2005. Karangan-karangan ini memberikan kerangka yang positif terhadap gagasan Ekonomi Pancasila.
8
Tak hanya dalam kapasitasnya sebagai seorang sarjana, yang memberikan dukungan pemikiran, dalam kapasitasnya sebagai tokoh di LP3ES, Dawam juga turut mendukung gagasan itu melalui kerangka kelembagaan, misalnya, melalui penerbitan dua buku mengenai Ekonomi Pancasila yang ditulis Mubyarto.34 Pendek kata, Dawam tak merasa dirinya menjadi sub atau menjadi tidak penting ketika sedang membicarakan gagasan orang lain, meskipun itu adalah kawannya sendiri dan/atau mereka yang lebih muda darinya. Sebagai seorang sarjana ia sama sekali terbebas dari beban-beban egosentrisme semacam itu, sehingga ia bisa leluasa membahas gagasan siapapun secara jernih. Di Indonesia, keleluasaan sebagaimana yang melekat pada Dawam itu barangkali hanya bisa “ditandingi” oleh Ignas Kleden, yang secara kebetulan pernah bekerja sebagai asistennya di LP3ES.35 Ignas, misalnya, secara serius dan panjang lebar pernah membahas puisi-puisi yang ditulis Todung Mulya Lubis dan Mochtar Pabottingi.36 Todung dan Mochtar bukanlah penyair seperti Joko Pinurbo atau Dorothea Rosa Herliany, yang puisi-puisinya juga pernah dibahas secara panjang lebar oleh Ignas,37 namun itu tak menghalangi seorang Ignas untuk menulis sebuah tinjauan serius yang panjangnya menakjubkan bagi keduanya. Meski kasus ini terjadi di area kesusastraan, dan bukan di area pemikiran sosial, namun bahasan-bahasan sebagaimana yang pernah ditulis Ignas terhadap sejumlah sastrawan atau tokoh yang menulis sastra tadi juga berhadapan dengan kelangkaan sejenis. Dunia kesusastraan dan pemikiran kebudayaan Indonesia di akhir abad kedua puluh dan awal abad kedua puluh satu adalah dunia yang miskin pembahas dengan keleluasaan sebagaimana yang masih dimiliki Ignas. Ini, dengan catatan, dengan mengabaikan sejumlah bahasan yang dilakukan oleh para penulis yang lebih muda terhadap karya-karya penulis yang lebih tua. Agaknya, kemiskinan para pembahas, jika melihat apa yang telah terjadi, memang telah menjadi gejala umum. Lebih jauh terkait dengan posisi dan sumbangan Dawam bagi gagasan Ekonomi Pancasila, ada baiknya soal itu disinggung juga dalam pengantar 34
Dua buku itu adalah Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan (Jakarta: LP3ES, 1987) dan Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988). 35 Ignas Kleden pernah menjadi staf dan merupakan salah satu bagian penting dari LP3ES. Penyebutan bahwa Ignas pernah menjadi asisten Dawam merujuk kepada wawancara yang dilakukan oleh penulis pengantar ini pada 19 Maret 2012 dengan Dawam sendiri. 36 Ignas Kleden, “Saatnya Membaca Puisi Kembali”, kata pengantar untuk kumpulan sajak Todung Mulya Lubis, Sudah Masanya Kita Membaca Puisi Kembali (Jakarta: tanpa penerbit, 1999); Ignas Kleden, “Puisi sebagai Medium”, kata pengantar untuk buku kumpulan puisi Mochtar Pabottingi, Dalam Rimba Bayang-bayang (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003). 37 Ignas Kleden, “Puisi: Membaca Kiasan Badan”, kata pengantar untuk Joko Pinurbo, Di Bawah Kibaran Sarung (Magelang: Indonesia Tera, 2001). Lihat juga Ignas Kleden, “Dari Penyimpangan Semiotik ke Perlawanan Politik: Sajak-sajak Dorothea Rosa Herliany”, dalam Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (Jakarta: Grafiti, 2004), hal. 309339.
9
ini. Selama ini, tulisan-tulisan terkait dengan sosok dan pemikiran Dawam sepertinya lebih banyak memotret dan menimbang kiprahnya di bidang pemikiran keagamaan, ilmu sosial, atau sebagai seorang cendekiawan per se, dan langka sekali yang pernah memberi catatan atas kiprahnya di bidang pemikiran ekonomi, terutama dalam kaitannya dengan Ekonomi Pancasila. Padahal, sumbangannya terhadap bidang tersebut tidak sedikit. Bahkan, dalam kaitannya dengan Ekonomi Pancasila, Dawam terhitung sebagai salah satu pemikir utamanya. Ekonomi Pancasila: Antara Ekonomi-Politik dan Politik Ekonomi Istilah Ekonomi Pancasila, meskipun sejak 1980 identik dengan figur Mubyarto, sebenarnya pertama kali diperkenalkan dan dipergunakan oleh Emil Salim. Ekonom yang merupakan anggota keluarga The Berkeley Mafia itu telah mengintroduksi istilah Ekonomi Pancasila sejak 1965. Ini sekaligus mengkoreksi tulisan Mudrajad Kuncoro yang menyebut bahwa istilah Ekonomi Pancasila pertama kali digunakan oleh Emil Salim pada 1966, yaitu merujuk tulisannya di Harian Kompas, 30 Juni 1966, bertajuk “Sistem Ekonomi Pantjasila”.38 Pada tahun itu, Emil Salim paling tidak—sejauh yang bisa ditelusuri—mempublikasikan dua karangan mengenai Ekonomi Pancasila, yaitu satu dalam bentuk monografi yang diterbitkan oleh LEKNAS (Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional),39 dan satu dalam bentuk bab pada sebuah buku yang juga diterbitkan oleh LEKNAS dan secara khusus dipersembahkan kepada para peserta pendidikan di Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional).40 Pada karangannya yang pertama Emil Salim membahas empat model sistem ekonomi, yaitu Ekonomi Swasta, Ekonomi Kontrol, Ekonomi Kolektif, dan Ekonomi Perencanaan Sentral. Pembahasan mengenai modelmodel sistem dan teori-teori mengenai sistem ekonomi yang dilakukannya adalah dalam rangka mencari dan merumuskan sistem ekonomi yang sesuai dengan Indonesia. Pada laporannya itu, Emil Salim masih menggunakan 38
Lihat Mudrajad Kuncoro, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2000; edisi pertama, cetakan kedua), hal. 198. Hingga edisi yang terkini, kekeliruan ini masih belum dikoreksi. Lihat juga Mudrajad Kuncoro, “Sistem Ekonomi Pancasila: Antara Mitos dan Realitas”, dimuat dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia (JEBI), Vol. 16/No.1/2001, hal. 88-96. 39 Emil Salim, Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasjarakatan Nasional, 1965). Monografi setebal 94 halaman itu diberi pengantar oleh Widjojo Nitisastro, dimana pengantarnya bertiti mangsa 1 Agustus 1965. 40 Emil Salim, “Politik dan Ekonomi Pantjasila”, dimuat dalam Widjojo Nitisastro dkk., Masalahmasalah Ekonomi dan Faktor-faktor IPOLSOS (Ideologi, Politik, Sosial) (Jakarta: LEKNAS, 1965), hal. 81-97. Buku ini juga dipengantari oleh Widjojo, dan bertiti mangsa 27 November 1965. Selain Emil Salim, para penyumbang tulisan dalam buku ini adalah Widjojo Nitisastro (yang juga menuliskan kata pengantar), Ali Wardhana, Fuad Hasan, Selo Soemardjan, Mohammad Sadli, Barli Halim, Bintoro Tjokroamidjojo, Subroto, Soelaiman Soemardi, dan Kartomo Wirjosuhardjo.
10
istilah “Sistem-Ekonomi Sosialisme Pantjasila”. Baru pada kertas kerja yang ditulisnya kemudian, yang sangat menekankan pentingnya pemerintah memikirkan masalah pembangunan ekonomi untuk mengimbangi keberhasilan Indonesia dalam pembangunan politik, istilah yang digunakan Emil Salim berubah menjadi “Ekonomi Pancasila”.41 Meski telah digunakan pada dua tulisan tadi, istilah Ekonomi Pancasila baru benar-benar “bergaung” setelah Emil Salim menulis sebuah makalah bagi Seminar KAMI, Januari 1966,42 dan sebuah artikel di Harian Kompas pada Juni 1966.43 Artikel pendek itu kemudian disambung lagi pada 1979 oleh sebuah artikel panjang Emil Salim di Majalah Prisma.44 Beberapa tulisan yang pernah membahas gagasan Ekonomi Pancasila, seperti tulisan Mudrajad Kuncoro sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, biasanya paling akhir hanya merujuk pada tulisan Emil Salim yang dimuat di Kompas—atau dalam Seminar KAMI—ketika menyebut kapan pertama kali istilah itu muncul, dan tidak memperhatikan kalau istilah telah diperkenalkan sejak setahun sebelumnya. Menarik untuk memperhatikan, ada jeda yang sangat panjang dari sejak pertama kali istilah Ekonomi Pancasila diperkenalkan hingga istilah itu kembali dibicarakan. Setelah tulisan-tulisannya pada tahun 1966, Emil Salim baru menggunakan lagi istilah itu pada 1979, melalui tulisan panjangnya di Prisma. Artinya, ada jeda selama 13 tahun. Tulisan Emil itupun bukan merupakan tulisan pertama mengenai Ekonomi Pancasila pada dekade 1970-an. Sebelumnya, pada 1978, Christianto Wibisono juga menulis sebuah artikel panjang di Majalah Analisis, berjudul “Menuju Sistem Ekonomi Pancasila”.45 Pada awal 1979, tepatnya pada 16 Februari 1979, di Jakarta juga telah berdiri Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila (LPEP). Lembaga ini dipimpin oleh Drs. Soerowo Abdulmanap, dan sebagai penasihatnya adalah Mohammad Hatta, Proklamator kita.46 Pada tahun 41
Emil Salim, “Politik dan Ekonomi Pantjasila”, ibid. Emil Salim, “Membina Ekonomi Pancasila”. Tulisan ini, bersama dengan seluruh makalah yang dipresentasikan pada seminar tersebut, dibukukan dalam Seminar KAMI, Jalur Baru Sesudah Runtuhnya Ekonomi Terpimpin (The Leader, the Man and the Gun) (Jakarta: Sinar Harapan, 1984, cetakan kedua). Tulisan Emil Salim bisa dilihat di hal. 110-121. 43 Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila”, dimuat Harian Kompas, 30 Juni 1966. Tulisan ini dimuat kembali dalam buku Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia: Perkembangan Pemikiran 19651981 (Jakarta: Gramedia, 1982), hal. 36-38. Buku itu disunting oleh Redaksi Ekonomi Harian Kompas sendiri. Tulisan tersebut juga bisa dibaca pada Emil Salim, Kembali ke Jalan Lurus, Esaiesai 1966-1999 (Jakarta: Alvabet, 2000), hal. 3-5. 44 Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila”, dimuat dalam Majalah Prisma, No. 5/VIII, Agustus 1979, hal. 3-9. 45 Christianto Wibisono, “Menuju Sistem Ekonomi Pancasila”, dalam Majalah Analisis, No. 3/VII, 1978, hal. 215-240. 46 Soal keberadaan lembaga ini terdokumentasikan dalam buku LPEP, Ekonomi Pancasila (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980). Buku diterbitkan sebagai peringatan ulang tahun yang pertama dari lembaga tersebut. 42
11
1979 itu, selain tulisan Emil Salim, sebelumnya Mubyarto juga telah mulai menggunakan istilah Ekonomi Pancasila. Di Harian Kompas, 3 Mei 1979, Mubyarto menulis artikel berjudul “Koperasi dan Ekonomi Pancasila”. Dan setelahnya, pada 6 Juli 1979, juga di Harian Kompas, Sunario Waluyo menulis artikel “Pemikiran tentang Ekonomi Pancasila”. Kalau menyimak lagi sejarah, barangkali dalam sejarah ilmu sosial di Indonesia, tak ada polemik yang lebih besar daripada “Polemik Ekonomi Pancasila” yang terjadi pada awal 1980-an. Pada 1957 memang sempat terjadi perdebatan penting dalam “Seminar Sedjarah” yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dengan Universitas Gadjah Mada. Namun, perdebatan dalam seminar itu tidak banyak merembes keluar forum, sehingga tak sampai menjadi polemik.47 Adapun “Polemik Ekonomi Pancasila”, yang terjadi sejak akhir tahun 1980 dan berlangsung hampir sepanjang tahun 1981, melibatkan tulisan dan pendapat dari puluhan sarjana, bukan hanya dari lingkungan ilmu ekonomi, melainkan juga dari ilmu-ilmu lainnya, seperti filsafat, hukum, politik, dan lain-lain. Bahkan, polemik tersebut juga telah memancing perhatian sejumlah Indonesianis untuk mengutarakan pendapatnya.48 Sejak 1980 hingga 1981, tak kurang digelar 4 seminar penting yang membicarakan topik itu, yang digelar baik di Yogyakarta maupun di Jakarta. EMPAT SEMINAR EKONOMI PANCASILA, 1980-1981 Tempat/Waktu Tajuk Penyelenggara Para Pembicara
Yogyakarta 19 September 1980
Seminar Ekonomi Pancasila
Fakultas Ekonomi UGM
Ace Partadiredja, Bambang Riyanto, Boediono, M. Dawam Rahardjo, Dibyo Prabowo, Hadori Yunus, Harsono, Hidayat Nataatmadja, Kadarman, Kaptin Adisumarta, Mubyarto, Roekmono Markam, Sarino Mangunpranoto, Soediyono, Soetatwo Hadiwigeno, Soetrisno PH, Sudarsono, Sulistyo
Jakarta 19-20 Oktober 1980
Seminar Sistem Ekonomi Pancasila
Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila (LPEP)
Arief Budiman, Bambang Krisnamurthi, Mubyarto, Sarbini
Simposium Sistem Ekonomi Pancasila
Dewan Pertahanan Keamanan Nasional dan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia
Abdul Rachman Panetto, Adi Sasono, Affendi Anwar, Ariono Abdulkadir, Bintoro Tjokroamidjojo, Boediono, Hidayat Nataatmadja, Hindersah Wiratmadja, M. Dawam Rahardjo Mubyarto, Roekmono Markam, Soerjanto Poespowardojo, Sri-Edi
Jakarta 23-26 Juni 1981
47
Lihat buku Seminar Sedjarah, Laporan Lengkap Atjara I dan II tentang Konsepsi Filsafat Sedjarah Nasional dan Periodisasi Sedjarah Indonesia, Seri 2 (Yogyakarta: UGM, 1958). 48 Lihat, misalnya, R. William Liddle, “The Politics of Ekonomi Pancasila: Some Reflections on Recent Debate”, dimuat dalam BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 18/No. 1, March 1982, hal. 96-101; Peter McCawley, “The Economics of Ekonomi Pancasila”, dimuat dalam BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 18/No. 1, March 1982, hal. 102-109.
12
Yogyakarta 19 September 1981
Seminar II Ekonomi Pancasila
Fakultas Ekonomi UGM
Swasono, Sutopo Yuwono, Syamsuddin Mahmud, T.M.H.L. Tobing, Thamrin Nurdin, Wagiono Ismangil Ahmad Azhar Basyir, Frans Seda, Handjilin, Harsoyono Subyakto, Heidjrachman R., Herqutanto Sosronegoro, Hidayat Nataatmadja, Mubyarto, Pdt. Chris Marantika THN, Samiadji Djajengminardo, Sarino Mangunpranoto , Soehardi Sigit, Soetrisno P. H., Sudarsono, Warsito Singowardono
Sumber: Tarli Nugroho (2010), diolah dari berbagai sumber.
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, meski sebagai sebuah istilah Ekonomi Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Emil Salim, dalam perjalanannya istilah tersebut kemudian lebih lekat dengan nama Mubyarto. Memang, Mubyarto-lah yang kemudian serius mengembangkan gagasan tersebut, baik dalam wilayah keilmuan maupun sebagai identitas bagi praksis kebijakan. Pada 19 September 1980, atas inisiatif Mubyarto pula, gagasan Ekonomi Pancasila untuk pertama kalinya diseminarkan, bertepatan dengan Dies Natalis Fakultas Ekonomi UGM ke-25. Ada 18 orang sarjana yang memberikan sumbangan pemikiran kala itu, dari sudut makro ekonomi, mikro ekonomi, teori pembangunan, etika ekonomi dan gagasan mengenai konsep manusia Indonesia untuk menyempurnakan konsep homo oeconomicus. Dawam termasuk ke dalam salah satu pembicara pada seminar tersebut. Seminar di Yogya tadi ternyata mampu menarik perhatian. Wacana Ekonomi Pancasila kemudian direspon oleh pemerintah dalam bentuk seminar pula yang diselenggarakan oleh Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas) dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada 23 hingga 26 Juni 1981, yang prosidingnya kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Wawasan Ekonomi Pancasila (1981).49 Jika seminar di Yogya lebih banyak menekankan aspek teoritis keilmuan, maka seminar di Jakarta ini terutama mengelaborasi Ekonomi Pancasila sebagai gagasan mengenai sistem ekonomi, dan bukan sebagai teori ekonomi (baru). Beberapa pembicara dari seminar di Yogya juga turut menjadi pembicara pada seminar kedua ini, yaitu Mubyarto, Hidayat Nataatmadja, Roekmono Markam, Boediono, dan juga Dawam. Meski sama-sama menggunakan istilah Ekonomi Pancasila, terdapat perbedaan mendasar antara apa yang dimaksud dengan Ekonomi Pancasila oleh Emil Salim dengan menurut Mubyarto dan kawan-kawannya, atau “versi Yogya”. Jika Emil Salim menerjemahkan istilah tadi sebagai gagasan 49
Abdul Madjid dan Sri-Edi Swasono (eds.), Wawasan Ekonomi Pancasila (Jakarta: UI-Press, 1981)
13
mengenai sistem perekonomian, atau politik perekonomian, maka Mubyarto menggunakannya sebagai sebentuk teori kritis untuk mengkritik teori ekonomi Neoklasik (mainstream economics). Atau, jika diperinci lebih jelas lagi, perbedaan pokok antara gagasan Emil Salim dengan Mubyarto itu terletak pada aspek konseptual dan historis yang melatari kelahiran istilah tadi. Secara historis, gagasan Ekonomi Pancasila Emil Salim adalah mencoba memberi pendasaran terhadap jalan ekonomi yang akan diambil oleh Orde Baru; sementara Ekonomi Pancasila versi Yogya adalah justru hendak memberikan kritik terhadap jalan ekonomi Orde Baru. Sedangkan jika dilihat secara konseptual, ketika memperkenalkan istilah itu, Emil Salim tidak sedang bertendensi hendak menyusun teori ekonomi baru, atau sistem ekonomi baru, sebagaimana yang terasa kental dalam Seminar Ekonomi Pancasila di Yogya pada 1980. Emil, sebagaimana bisa diikuti dalam pemikiran-pemikirannya kemudian, tidak pernah mengemukakan pandangan bahwa ada yang keliru dari ilmu ekonomi mainstream (neoklasik). Ia selalu berpandangan bahwa ilmu ekonomi itu universal. Jika terdapat ketidaksesuaian antara teori ekonomi dengan praktik, maka kekeliruan itu terletak di praktik. Jadi, menurut Emil, tidak ada gunanya menyusun teori baru karena memang ilmu ekonomi tidak ada yang keliru, hanya penerapannya saja yang mungkin keliru.50 Pandangan itu tentu saja jauh berseberangan dengan pendapat Mubyarto dan pendapat para pembicara yang mengemuka dalam Seminar 1980. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi pada 1979, Mubyarto, dengan tegas mengemukakan bahwa ilmu ekonomi mainstream tidak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Dalam pandangan Mubyarto, teori ekonomi neoklasik (mainstream economics) bukan hanya tidak mampu mendistribusikan kue ekonomi secara merata, sebuah masalah yang dihadapi perekonomian Indonesia pada 1970-an (dan tetap permanen hingga hari ini), melainkan teori tersebut secara konseptual memang tidak bersifat mendukung terhadap gagasan keadilan sosial.51 Dengan demikian, dalam pandangan Mubyarto, diperlukan bukan hanya perubahan kebijakan untuk mendistribusikan kue ekonomi nasional, melainkan diperlukan juga sebuah teori ekonomi baru untuk melakukannya.52 Jadi, nampak benar bahwa perbedaan antara maksud Ekonomi Pancasila sebagaimana diuar Emil Salim berlainan secara fundamental dengan yang dibentuk oleh Mubyarto dan kawan-kawannya. 50
Baca wawancara Majalah Prisma dengan Emil Salim, “Emi Salim: Bukan Kesalahan Ilmu Ekonomi”, dalam Majalah Prisma, No. 1/IX, Januari 1980, hal. 56-61. 51 Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika, 1980). 52 Mubyarto, Gagasan dan Metoda Berpikir Tokoh-tokoh Besar Ekonomi dan Penerapannya bagi Kemajuan Kemanusiaan (Yogyakarta: BPFE, 1979). Tulisan ini merupakan pidato pengukuhan Mubyarto sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, diucapkan pada 19 Mei 1979.
14
Tendensi untuk menolak keberlakuan teori ekonomi Barat di Indonesia sejatinya bukanlah merupakan fenomena baru tahun 1980-an. Sejak masa kolonial, beberapa sarjana Belanda yang mengkaji perekonomian Hindia, juga telah melemparkan sejumlah keraguan atas kemampuan teori ekonomi konvensional dalam menjelaskan dinamika perekonomian di tanah jajahan. Tesis mengenai “Ekonomi Dualistis” (Dual Economies) sebagaimana yang diajukan oleh Julius Herman Boeke pada awal abad ke-20, bisa jadi merupakan titik pangkal bagi munculnya gagasan mengenai teori baru bagi ilmu ekonomi di Indonesia, yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda. Dalam disertasinya yang ditulis pada 1910, Tropisch-Koloniale Staathuishoudkunde: Het Probleem (Masalah Perekonomian Kolonial Tropik), Boeke pertama kali mengintrodusir tesis mengenai ekonomi dualistis. Dari sudut ekonomi, menurut Boeke, sebuah masyarakat dapat ditandai oleh tiga unsur, yaitu semangat sosial (social spirit), bentuk organisasi, dan teknik yang mendominasinya. Ketiga unsur ini saling berkaitan dan dalam kaitannya itu menentukan ciri khas dari masyarakat bersangkutan, yang disebut sebagai sistem sosial. Dalam sebuah masyarakat dimana pada waktu yang bersamaan memiliki dua atau lebih sistem sosial, dan tiap sistem itu berbeda satu sama lain, disebut masyarakat dualistis atau masyarakat plural (plural societies). Ekonomi dualistis merupakan implikasi dari sistem sosial yang juga bersifat dualistis. Dalam perekonomian yang bersifat dualistis, sebagaimana yang ada di Hindia Belanda, maka diperlukan dua pendekatan ekonomi yang berbeda untuk memahami dua modus perekonomian tadi, dimana teori ekonomi umum (baca: Barat) tidak berlaku bagi sistem sosial yang bersifat khas. Tesis Boeke tersebut kemudian memancing polemik yang melibatkan banyak ekonom. Inti polemik terutama berkisar pada persoalan benarkah sistem sosial yang berbeda dengan masyarakat Barat—tempat dimana ilmu ekonomi modern lahir dan dibesarkan—memerlukan teori ekonomi tersendiri yang berbeda dengan teori umum? Di antara yang terlibat dalam polemik itu adalah Jacob van Gelderen, Dionijs Huibert Burger, dan G.H. van der Kolff. Van Gelderen, dalam tulisannya mengenai perekonomian tropis,53 berpandangan bahwa teori ekonomi umum bukannya tidak berlaku sama sekali di Hindia Belanda. Ada keadaan-keadaan yang membuat kenapa sebuah teori kadang berlaku dan kadang tidak, dan itu tidak berarti membatalkan keabsahan teori yang bersangkutan. Sebagai jalan tengah dari pandangan Boeke, van Gelderen mengemukakan bahwa di samping teori ekonomi murni, memang perlu pula dikembangkan teori ekonomi praktis atau aplikatif dalam bentuk kebijaksanaan ekonomi atau ekonomi-politik. Lebih jauh, menurut van Gelderen, untuk memahami perekonomian 53
J. Van Gelderen, “Voorlezingen over Tropisch Koloniale Staathuishoudkunde” (1927). Risalah ini pernah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Ilmu Ekonomi Jajahan Daerah Khatulistiwa” (Jakarta: Bhratara, 1981).
15
Hindia, teori ekonomi umum memang tidak bisa langsung diterapkan begitu saja, karena ada beberapa faktor yang membuatnya berbeda dari kondisi yang diandaikan oleh teori ekonomi umum. Paling tidak ada tiga faktor yang disebut Boeke dan Gelderen dalam kaitannya dengan kondisi spesifik Hindia Belanda waktu itu, yaitu pertama, faktor sosial-historis Hindia Belanda itu sendiri; kedua adalah faktor geografi ekonomi; dan ketiga adalah faktor etnologi. Keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada ilmu ekonomi konvensional semakin hari semakin bersifat terbuka. Tak heran jika kemudian pada bagian awal pidato pengukuhannya, yang dibacakan pada 19 September 1978, Roekmono Markam menyebut bahwa tak ada persoalan yang paling menyulitkan para guru besar ekonomi waktu itu selain persoalan “relevansi”.54 Persoalan yang sama pula yang telah mendorong Mubyarto untuk terus berburu “kijang ilmiah” Ekonomi Pancasila. Baginya, keterbatasan yang melekat pada teori ekonomi konvensional tak bisa hanya disiasati di level kebijakan, melainkan juga harus dicarikan kerangka teoritis baru penggantinya, sebuah posisi yang jelas jauh berseberangan dengan pandangan yang dipegang oleh Emil Salim. Jika menyimak riwayatnya yang cukup panjang, ditambah dengan sejumlah polemik yang pernah menyertainya, gagasan Ekonomi Pancasila sebenarnya bisa dikatakan telah “memiliki sejarah sendiri” dan merupakan salah satu milestone dari pemikiran kaum intelektual Indonesia. Meskipun demikian, Ekonomi Pancasila hingga kini masih merupakan gagasan fragmentaris yang belum tersimpul menjadi sebuah gagasan utuh. Secara teoritis, gagasan keilmuan ekonomi dibangun dari beberapa komponen teori, seperti teori tentang konsep manusia, teori sistem ekonomi, teori ekonomi (murni) dan teori ilmu pengetahuan. Pada Ekonomi Pancasila, komponen-komponen itu belum terlihat padu. Meski beberapa sarjana terkemuka telah mencoba mengambil tempat untuk merumuskan lebih jelas gagasan Ekonomi Pancasila, hasilnya masih jauh dari bisa dikatakan selesai. Pada 1985, misalnya, kumpulan ceramah Sumitro Djojohadukusumo yang disampaikan melalui TVRI antara bulan September hingga November 1984, dibukukan dan diberi tajuk “Ekonomi Pancasila”.55 Pada dasarnya Sumitro berusaha mengembangkan gagasan Ekonomi Pancasila dari pendekatan normatif dengan menjabarkan sila-sila dalam Pancasila. Namun, karena berupa kumpulan naskah ceramah, elaborasi yang bisa dilakukan tidak bersifat mendalam. Berbeda dengan lazimnya polemik keilmuan yang biasanya hanya hangat di kalangan kesarjanaan, cukup menarik untuk memperhatikan 54
Roekmono Markam, Menuju ke Definisi Ekonomi Post-Robbins (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1978), hal. 1. 55 Sumitro Djojohadikusumo, Trilogi Pembangunan dan Ekonomi Pancasila (Jakarta: IKPN-RI [Induk Koperasi Pegawai Negeri Republik Indonesia], 1985)
16
kenapa Polemik Ekonomi Pancasila sampai bisa “mencuri perhatian” pemerintah. Perspektif mengenai pertarungan medan kuasa di ruang publik barangkali penting untuk menjelaskan hal ini. Secara ringkas bisa disampaikan bahwa salah satu sebab kenapa seminar di Yogya pada 1980 “menarik perhatian pemerintah” adalah karena pada saat itu pemerintah sedang berusaha untuk memonopoli tafsir atas Pancasila, sehingga ketika sekelompok sarjana berbicara mengenai Pancasila dalam framing berupa kritik terhadap pemerintah, tentu saja itu dianggap sebagai “ancaman” yang serius. Karena sebelumnya Orde Baru telah menjadikan Pancasila sebagai ujung tombak untuk melakukan de-Soekarno-isasi, delegitimasi terhadap anasir-anasir ideologis lama (seperti “sosialisme Indonesia” ataupun “sosialisme” secara umum), maka rezim neo-fasis tersebut tak ingin tombak yang sama kini menikam mereka. Pada kenyataannya, tak kurang dari Soeharto sendiri ikut bicara mengenai Polemik Ekonomi Pancasila, dan komentarnya membuat orang tak lagi berani mengatakan selainnya. Dalam sebuah wawancara, Mubyarto mengatakan bahwa sejak Soeharto ikut berkomentar mengenai Ekonomi Pancasila, dan itu dengan sejumlah tuduhan negatif, maka banyak di antara kawan-kawannya yang kemudian tiarap, tak lagi berani ngomong mengenai gagasan itu.56 Apa yang dilakukan oleh para pelopor Seminar Ekonomi Pancasila 1980, dari sudut pandang pemerintah, adalah mereka sedang merongrong otoritas tunggal yang bisa menafsir Pancasila, yaitu pemerintah sendiri. Tak heran, meski sempat ramai diperbincangkan sepanjang tahun 1981, gagasan Ekonomi Pancasila kemudian seperti balon kempes. Itulah yang kemudian membuat kenapa gagasan tersebut hanya identik dengan nama Mubyarto. Namun, meski intensi perbincangan versi Yogya adalah mencoba mengelaborasi gagasan Ekonomi Pancasila sebagai ilmu (ekonomi politik), yang berbeda dengan versi Emil Salim dan juga versi seminar di Jakarta yang lebih tertarik untuk membincangkan Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi (politik ekonomi), namun dalam kenyataannya Mubyarto, yang setelah 1980-an menanggung gagasan itu hampir seorang diri, tidak banyak melakukan pencapaian berarti dalam pengembangan Ekonomi Pancasila sebagai ilmu. Karangan-karangan Mubyarto yang terbit setelah itu dan hingga akhir hayatnya justru lebih banyak mengembangkan gagasan itu sebagai politik ekonomi atau sistem ekonomi.57 Di sinilah pemikiran 56
Wawancara Tarli Nugroho (bersama Indarti Yuni Astuti, Karlina, dan Fauzul A. Muhammad) dengan Mubyarto. Wawancara dilakukan pada medio April 2003. Wawancara ini sebagian telah diterbitkan di Jurnal Balairung, No. 37/Th. XVIII, 2004, hal. 115-127, dengan tajuk “Mubyarto: Ilmu Ekonomi yang Kita Ajarkan Keliru”. 57 Lihat, misalnya, Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988); Reformasi Sistem Ekonomi: Dari Kapitalisme menuju Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: Adiya Media, 1999); dan Membangun Sistem Ekonomi (Yogyakarta: BPFE, 2000). Bandingkan buku-buku ini dengan buku yang bisa disebut sebagai magnum opus-nya, yaitu Mubyarto, Ilmu Ekonomi,
17
Dawam, dan sebelumnya Hidayat Nataatmadja, memainkan peranan penting dalam menambal aspek-aspek mendasar yang tidak sempat dikerjakan atau dipikirkan Mubyarto. Dan itu semua terkait dengan filsafat. Manusia Pancasila dan Insan Kamil Ilmu ekonomi tidak bisa menurunkan dirinya dari undang-undang, sekalipun itu adalah undang undang dasar. Persoalan ini sepertinya kurang disadari oleh Mubyarto. Itu nampak dari karangannya sewaktu menjawab kritik Arief Budiman terhadap gagasan Ekonomi Pancasila.58 Pokok kritik Arief Budiman terhadap gagasan Ekonomi Pancasila adalah bahwa gagasan itu tidak mengandung filsafat manusia yang jelas. Hal itu berbeda, demikian Arief, misalnya dengan kapitalisme atau sosialisme. Kapitalisme, misalnya, memiliki filsafat manusia yang jelas, yakni bahwa manusia pada dasarnya egoistis, dikemudikan oleh kepentingan dirinya sendiri. Sementara sosialisme, sebagaimana halnya yang dirumuskan oleh Marx, menjelaskan bahwa hakikat manusia berubah sepanjang sejarah tergantung kepada sistem sosial yang melingkupinya. Karena itu, dalam Marxisme, revolusi sosial lebih penting daripada revolusi individual, karena perubahan sosial bisa mengubah manusia-manusia yang hidup di dalam sistem tersebut.59 Dan sejauh yang dibaca oleh Arief, penjelasan serupa itu tidak ditemukannya pada gagasan Ekonomi Pancasila. Atas kritik tersebut Mubyarto sayangnya hanya memberikan jawaban pendek, yaitu bahwa jika Arief Budiman tidak termasuk orang yang menyangsikan filsafat Pancasila, maka Arief harusnya cukup memahami bahwa Pancasila sudah mengandung filsafat tentang manusia, yang dalam Ilmu Sosial dan Keadilan: Analisa Trans-Disiplin dalam Rangka Mendalami Sistem Ekonomi Pancasila (Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika, 1980). Apa yang dibahas dalam buku tahun 1980 tersebut, meski menggunakan kata “sistem”, menyangkut sebuah persoalan mendasar dalam wacana ilmu sosial, yaitu soal metodologi. Bukan hanya mendasar, persoalan tersebut juga termasuk langka dibicarakan, terutama di lingkungan ilmu ekonomi. Dalam bukunya Mubyarto menyebut bahwa hingga buku itu ditulis (1980), di Amerika, misalnya, satu-satunya buku mengenai metodologi ekonomi yang bisa disebut adalah karangan Robert Ferber dan P.J. Verdoorn, Research Methods in Economics and Business (1962). Bahkan hingga saat ini, tak hanya di Indonesia, hanya sedikit saja sarjana ilmu sosial—terlebih lagi para ekonom—yang tertarik untuk membicarakan persoalan tersebut secara serius. Hal lain yang membuat kenapa karya itu bisa dianggap sebagai sumbangan terpenting Mubyarto adalah karena apa yang diulasnya telah memberikan jalan keluar bagi pengembangan ilmu sosial sehingga tidak terjerat pada kerangka positivistik dan monodisipliner. Uraian mengenai hal ini lihat Tarli Nugroho, “Mubyarto dan Ilmu Ekonomi yang Membumi”, dalam A. Nashih Luthfi, Amien Tohari dan Tarli Nugroho, Pemikiran Agraria Bulaksumur: Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto (Yogyakarta: STPN-Press dan Sayogyo Institute, 2010), terutama hal. 237-247. 58 Arief Budiman, “Sebuah Kritik terhadap ‘Sistem Ekonomi Pancasila’ Mubyarto”, dimuat di Harian Kompas, 10 Juni 1981. Tulisan tersebut ditanggapi oleh Mubyarto, “Skeptisisme Arief Budiman”, dimuat di Harian Kompas, 20 Juni 1981. 59 Arief Budiman, ibid.
18
hal ini adalah manusia Indonesia.60 Jawaban ini tentu saja problematis, untuk tidak mengatakannya sebagai “bermasalah”. Memang, karena gagasan Ekonomi Pancasila identik dengan Mubyarto, pada masa itu sejumlah kritik terhadap gagasan itupun kemudian menyasar secara langsung terhadap figur Mubyarto. Dan itu sepertinya cukup melelahkan Mubyarto, sehingga tidak semua kritik akhirnya bisa dijawab dengan pantas. Apa yang disodorkan oleh Mubyarto sebagai jawaban atas kritik Arief Budiman memang sama sekali tidak memadai. Pangkalnya adalah bahwa apa yang disebut oleh Mubyarto sebagai “filsafat Pancasila” itu tidak jelas alamatnya. Maksudnya: filsafat Pancasila menurut siapa? Dalam soal mengenai Pancasila ini banyak sarjana Indonesia memang mudah tergelincir. Sebagai contoh, apakah, misalnya, filsafat Pancasila ada dengan sendirinya seiring “lahirnya” Pancasila?! Bahwa Pancasila lahir dari sebuah proses berfilsafat, sepertinya tak ada yang tidak sepakat dengan itu. Tapi rumusan Pancasila yang lima, baik ketika pertama kali dipidatokan Soekarno, maupun setelah “diperbaiki” oleh Panitia Kecil (yang juga dipimpin Soekarno),61 apakah bisa disebut sebagai “filsafat itu sendiri”?! Pada titik ini, di antara mereka yang bisa disebut sebagai penggagas Ekonomi Pancasila, hanya dua orang yang bisa disebut sebagai telah berusaha menjawab pertanyan tersebut dengan benar, yaitu Hidayat Nataatmadja dan Dawam Rahardjo. Apa yang dimaksud dengan telah menjawab pertanyaan itu dengan benar adalah bahwa, sebagaimana telah disinggung di muka, keduanya sama-sama berusaha menjawabnya dari sudut pandang filsafat dengan mengemukakan sebuah jawaban yang juga bersifat uraian filsafat. Menarik untuk memperhatikan bahwa baik Hidayat maupun Dawam sama-sama memulainya dari perspektif keislaman. Bedanya, Hidayat telah berusaha menjawab pertanyaan itu sejak akhir 1970an,62 yaitu dengan berusaha untuk menguraikan apa dan bagaimana posisi Pancasila dalam dunia pemikiran Indonesia, lalu kemudian merumuskan sebuah filsafat ilmu yang bersesuaian dengannya sebagai dasar pijakan bagi gagasan-gagasan keilmuan yang lahir kemudian, seperti Ekonomi Pancasila; maka Dawam memulainya sejak 1984 melalui sejumlah pengkajian terhadap aksiologi dari wacana Ekonomi Islam yang kemudian dijadikan pembanding olehnya ketika membahas gagasan Ekonomi Pancasila. 60
Mubyarto, “Skeptisisme…”, op. cit. Panitia yang dipimpin Soekarno itu beranggotakan Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Lihat Mohammad Hatta, dkk., Uraian Pancasila: Dilengkapi dengan Dokumen Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980), hal. 101. 62 Lihat, misalnya, Hidayat Nataatmadja, Landasan Filsafat Ilmu Pengetahuan Keperiadaan (1978), manuskrip lebih dari tiga ratus halaman, tidak diterbitkan; Landasan Filsafat Ilmu Pengetahuan Keperiadaan (1979, volume lanjutan), manuskrip setebal 93 halaman, juga tidak diterbitkan. 61
19
Dalam pandangan Hidayat, Indonesia adalah wujud dari karsa yang bernama Pancasila. Karsa adalah kata kunci untuk memahami tafsir filosofis Hidayat atas Pancasila. Maksudnya, sebagai karsa, Pancasila merupakan imperatif bagi bangsa Indonesia. Ia, sebagaimana pengertian literernya, adalah kehendak dari akal budi yang harus dikerjakan. Pada arena politik, secara minimal Pancasila telah dikerjakan dengan membebaskan diri dari penjajahan fisik, dan semestinya begitu pula dengan arena-arena lain. Sebagai sarjana, Hidayat merasa bahwa bagiannya adalah menerjemahkan karsa itu ke dalam ruang lingkup pekerjaannya, yaitu dunia keilmuan dan filsafat dengan berusaha membebaskan diri dari “penjajahan akal budi”. Dalam medan tempur itulah, menurut Hidayat, seharusnya para sarjana menerjunkan dirinya untuk menegakkan karsa Pancasila.63 Berkaitan dengan polemik Ekonomi Pancasila, Hidayat sepakat bahwa mustahil ilmu Ekonomi Pancasila bisa dilahirkan lewat proses derivasi silasila Pancasila. Menurutnya, metode semacam itu bersifat naif dan tidak dikenal dalam dunia keilmuan. Kalaupun misalnya suatu ketika dia pernah mengatakan tentang derivasi ilmu ekonomi dari Pancasila, Hidayat menegaskan, yang dimaksudkannya tentu saja adalah bukan “mengambil Pancasila terus dimasukkan komputer untuk diolah menjadi rumus-rumus ekonomi”.64 Itu adalah disposisi-literik yang dangkal. Menurutnya, kalaupun terma derivasi itu pernah dikemukakannya, atau juga oleh Mubyarto dan Dawam, terma itu semata-mata dipakai tak ubahnya sebagaimana yang dimaksud oleh pernyataan bahwa “ekonomi liberal atau kapitalisme merupakan derivasi dari Revolusi Perancis”, atau “ilmu ekonomi Marxian merupakan derivat dari Manifesto Komunis”. Dalam pengertian sejenis itulah penggunaan kata “derivasi” dimaksudkannya. Jika kita membuka lagi album sejarah, secara keilmuan, baik ilmu ekonomi liberal-kapitalis maupun ekonomi Marxian memang sama-sama tidak dibangun dengan menderivasi semboyan Revolusi Perancis ataupun fasal-fasal Manifesto Komunis. Sebagai ilmu, keduanya merupakan anak kandung filsafat, yaitu filsafat liberal dan filsafat materialisme-historis. Dan jika berbicara soal filsafat, tentunya sangat jelas bahwa semboyan Revolusi Perancis (liberte, egalite, fraternite) tidak bisa dianggap sebagai filsafat (dalam pengertian ilmu). Begitu juga dengan Manifesto Komunis. Baik semboyan Revolusi Perancis ataupun Manifesto Komunis sekadar pernyataan kehendak, karsa, bukan filsafat. Demikian pula halnya dengan Pancasila. Sebagai karsa, Pancasila juga tak ada bedanya dengan semboyan Revolusi Perancis atau Manifesto Komunis. Dari konsep populis itu, meskipun ia adalah produk dari sebuah proses berfilsafat, kita tak bisa langsung mentransfernya, atau melompat begitu saja ke dalam konsep ilmiah. Pada titik inilah kerja kesarjanaan 63 64
Hidayat Nataatmadja, Ilmu Humanika (Bandung: Risalah, 1984)., hal. 245. Ibid., hal. 241.
20
harus dimulai, yaitu menyusun sistem filsafat yang sesuai dengan karsa Pancasila. Baru dari sistem filsafat inilah kemudian kita bisa memiliki pegangan untuk membangun ilmu, menegakkan karsa Pancasila di dunia ilmiah. Tanpa sebuah rumusan filsafat baru, karsa menegakkan Pancasila di dunia ilmiah mustahil bisa diwujudkan.65 Hingga hari ini, Pancasila tetap lebih banyak dibicarakan hanya sebatas kedudukannya sebagai akta politik, atau fakta historis dari kebudayaan masyarakat kita. Pada posisi demikian, kita tidak bisa mengharapkan Pancasila dapat memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar keberhalaan atau kekeramatan dirinya, sebagaimana yang dikonstruksi pada masa Orde Baru. Dan Hidayat menyadari sepenuhnya bentuk ketersanderaan sejarah semacam itu.66 Pada titik inilah pemaknaan filosofis Hidayat atas hakikat Indonesia menemukan konteks penjelasnya. Menurutnya, karena bukan dengan Wittgenstein kita bisa menerangkan karsa Pancasila, atau dengan Nietzsche kita akan menjelaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, inilah ruang bagi kerja kesarjanaan itu. Tanpa kerja kesarjanaan, yaitu menstransfer Pancasila dari pengertian populis ke dalam pengertian profesional keilmuan, maka kita akan selalu bergulat dengan salah kaprah tadi: ibarat terus-menerus mempelajari kucing dengan ilmu kuda, atau main catur dengan memakai aturan bridge.67 Wujud kerja kesarjanaan itu menurut Hidayat tiada lain adalah membangun filsafat ilmu pengetahuan yang berlandaskan pada ikrar Pancasila. Hingga akhir hayatnya, Hidayat masih bersetia dengan usaha yang telah dirintisnya bersama Mubyarto dan Dawam untuk mengembangkan wawasan keilmuan Ekonomi Pancasila.68 Kembali ke soal filsafat Pancasila dan filsafat manusia menurut Ekonomi Pancasila, menurut uraian tadi, menjadi jelas bahwa apa yang dimaksud dengan filsafat Pancasila sebenarnya pengakajiannya masih 65
Tarli Nugroho, “Kebudayaan dan Absennya Kerja Kesarjanaan”, dimuat di Majalah Kabare Kagama, No. 169/XXXVII, November 2008. 66 Hidajat Nataatmadja, Membangun Ilmu Pengetahuan Berlandaskan Ideologi [Al Bayyinah] (Bandung: Iqra, 1983), hal. 3. 67 Nataatmadja, Ilmu Humanika, op.cit., hal. 16, 218-19, 246. 68 Sumbangan Hidayat itu tersimpan pada buku-bukunya yang telah diterbitkan, seperti Hidayat Nataatmadja, Karsa Menegakkan Jiwa Agama dalam Dunia Ilmiah (Bandung: Iqra, 1982); Krisis Global Ilmu Pengetahuan dan Penyembuhannya (Bandung: Iqra, 1982); Membangun Ilmu Pengetahuan Berlandaskan Ideologi (Bandung: Iqra, 1983); Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik: Suatu Pengantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi (Yogyakarta: PLP2M, 1984); Ilmu Humanika (Bandung: Risalah, 1984); Hanacaraka Ilmu dan Alfabet Perjuangan (Malang: YP2LPM, 1985); Krisis Manusia Modern (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994); dan Melampaui Mitos dan Logos: Pemikiran ke Arah Ekonomi-Baru (Yogyakarta: LANSKAP, 2007). Selain buku-buku yang telah disebut ini, Hidayat masih menulis belasan buku lainnya, tapi dengan intensi berupa dekonstruksi terhadap wacana keislaman. Di luar buku-buku yang telah terbit tadi, pemikiran Hidayat terkait dengan gagasan filsafat ilmu yang bersesuaian dengan aksiologi Pancasila masih tersimpan dalam sejumlah manuskrip dengan tebal ribuan halaman yang belum pernah diterbitkan. Terkait sumbangan Hidayat terhadap gagasan Ekonomi Pancasila, lihat Tarli Nugroho, “Dari Karsa ke Filsafat…”, op. cit.
21
belum berjalan jauh. Gagasan untuk melakukan penyelidikan ilmiah terhadap Pancasila, misalnya, memang telah lama diperintahkan oleh Senat Universitas Gadjah Mada untuk dilembagakan di perguruan tinggi tersebut.69 Namun, selain dari karya-karya Notonagoro, sangat sulit menemukan bahwa penyelidikan itu telah benar-benar diselenggarakan. Itu masih belum ditambahi catatan bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Notonagoro pun lebih merupakan sebuah elaborasi filsafat hukum daripada elaborasi filsafat sebagai sebuah pemikiran. Dan hasil itu akan menjadi semakin sempit lagi sebenarnya kalau memperhatikan bahwa elaborasi filsafat yang dikerjakan oleh Notonagoro pun cakupannya sangat cekak, yaitu di soal kedudukan Pancasila dalam hukum dan tata negara Indonesia.70 Kemajuan yang bisa dikatakan signifikan sebenarnya baru dicapai beberapa tahun setelah polemik Ekonomi Pancasila berakhir, yaitu ketika Forum Diskusi Filsafat UGM menyelenggarakan Seminar “Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu” pada 3-4 September 1986.71 Ada delapan pemakalah dan lima penanggap pada seminar tersebut, yang melibatkan nama-nama seperti Daoed Joesoef, Teuku Jacob, Anton Bakker, Kuntowijoyo, Satjipto Rahardjo, A.M.W. Pranarka, Dick Hartoko, dan Mubyarto. Beberapa makalah penting yang bisa disebut misalnya adalah milik Daoed Joesoef (Pancasila, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan), Anton Bakker (Ilmu-ilmu Sosial yang Menempatkan Manusia sebagai Subyek), Kuntowijoyo (Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Humaniora Indonesia) dan Mubyarto (Sistem Ekonomi Pancasila dan Implikasinya terhadap Teori Ekonomika). Makalah-makalah tersebut, terutama yang ditulis Bakker dan Kuntowijoyo, merupakan bahan penting yang perlu dikembangkan lebih jauh, terutama dalam kaitannya untuk menguraikan filsafat manusia dalam filsafat Pancasila. Tapi bahkan hingga sejauh itu, nampak jelas bahwa kerja kesarjanaan terkait dengan proyek pemikiran filsafat Pancasila memang masih lebih banyak berupa kehendak kesarjanaan dan belum banyak menghasilkan tindakan dan hasil kesarjanaan. Sebagai sarjana dengan ketertarikan kuat pada filsafat, Dawam sangat memahami kritik yang disampaikan oleh Arief Budiman terhadap Ekonomi Pancasila, dan ia menyadari bahwa kritik tersebut sebenarnya adalah panggilan untuk melakukan kerja kesarjanaan yang lebih serius lagi, yaitu 69
Notonagoro, Berita Pikiran Ilmiah tentang Kemungkinan Djalan Keluar dari Kesulitan mengenai Pantjasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia (Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada, 1959), hal. 5. 70 Hal ini tercermin pada buku-buku Notonagoro. Lihat, misalnya, Notonagoro, Pantjasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia (Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada, 1962); Beberapa Hal mengenai Falsafah Pancasila (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1982 [1967]); dan Pancasila secara Ilmiah Populer (Jakarta: Bina Aksara, 1983). 71 Prosiding seminar itu diterbitkan menjadi Soeroso H. Prawirohardjo, Anton Bakker dan Slamet Soetrisno (Editor), Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1987).
22
untuk mencari dan merumuskan pendasaran filosofis atas gagasan Ekonomi Pancasila, dimana uraian mengenai filsafat manusia nantinya bisa diuraikan di dalamnya.72 Ia sendiri melanjutkan usaha itu dengan bertitik tolak dari kajiannya mengenai Ekonomi Islam yang mulai intens dilakukannya sejak 1984.73 Menurut pengakuannya, sejak awal 1980-an perhatiannya terhadap kajian keislaman memang menggeliat kembali, termasuk minatnya untuk melakukan kajian Al Quran,74 yang belakangan menghasilkan buku Ensiklopedi Al Quran (1996) yang menakjubkan itu.75 Minat itu membesar, secara pribadi, selain karena faktor umur, akunya, juga dikarenakan keterlibatannya yang semakin intens dengan berbagai lembaga keagamaan. Sedangkan secara intelektual, hal itu terbit karena dorongan kesadaran bahwa ia hingga sejauh itu merasa masih terlalu sedikit dalam mempelajari sumber agama, yaitu Al Quran, sementara di sisi lain pengalaman dan petualangannya dalam dunia ilmu pengetahuan, penelitian empiris, dan pengembangan masyarakat bisa dikatakan telah sangat memuaskannya.76 Dengan kata lain, Dawam melihat wacana keagamaan menawarkan sebuah tantangan baru. Apalagi, perkembangan pemikiran keislaman memang sedang menggeliat sejak akhir dekade 1970-an. Di bidang ekonomi, misalnya, telah berkembang sebuah gerakan intelektualisme baru yang dipicu oleh kalangan sarjana muslim yang bersekolah di Barat. Sebelumnya, pada 1968, misalnya, telah diselenggarakan The Third East Coast Regional Conference yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Muslim AS dan Kanada. Pada forum itu Abdul Hamid Ahmad Sulaiman mengajukan pemikiran tentang the theory of the economic of Islam, yang disebutnya sebagai “ekonomi tauhid dan persaudaraan”. Meski tidak terlontar secara eksplisit, nampak bahwa pemikiran-pemikiran yang dikemukakan dalam forum tersebut bercorak sosialis, setidak-tidaknya berusaha untuk mencari alternatif terhadap sistem kapitalisme melalui penggalian nilai-nilai keislaman.77 Dan puncaknya adalah pada 1976 ketika diselenggarakan First International Conference on Islamic Economics di Mekah oleh King Abdul Aziz University. Dalam konferensi tersebut Muhammad Nejatullah Siddiqi 72
Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila, op. cit. Lihat M. Dawam Rahardjo, “Sekapur Sirih tentang Aksiologi Ekonomi Islam”, kata pengantar untuk terjemahan buku Syed Nawab Haider Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami (Bandung: Mizan, 1985), hal. 11-25. Karangan ini bisa disebut sebagai karangan pertama yang bersifat mendalam terkait wacana Ekonomi Islam. 74 M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), lihat bagian pengantar. 75 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina & Ulumul Qur’an, 1996). Buku yang disunting oleh Budhy MunawarRachman ini berasal dari artikel-artikel Dawam yang ditulis untuk rubrik “Ensiklopedi Al Quran” di Jurnal Ulumul Qur’an. 76 Rahardjo, Paradigma Al Quran, op. cit., hal. 1. 77 M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam (Bandung: Mizan, 1987), hal. 15, 64, 96-98; Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: LSAF, 1999), hal. 164. 73
23
menyajikan hasil penelitian kepustakaan yang—menurut Dawam— mengesankan, karena memuat bibliografi tujuh ratus buku dan artikel terpenting mengenai Ekonomi Islam.78 Semua itu menjadi latar belakang intelektual kenapa Dawam kemudian semakin intens dengan wacana Ekonomi Islam. Sebagaimana bisa diamati dari rangkaian tulisannya kemudian, keterlibatan Dawam dalam wacana dan sawala Ekonomi Islam tidak membuatnya meninggalkan Ekonomi Pancasila dan pekerjaanpekerjaan rumah yang menyertainya. Petualangannya itu kemudian justru memperkaya sumbangsihnya bagi gagasan Ekonomi Pancasila, sebuah pengakuan yang juga diberikan oleh Mubyarto.79 Dalam pandangan Dawam, jika hendak menjadi ilmu, maka gagasan Ekonomi Pancasila harus dikembangkan dengan memperhatikan tiga kerangka dasar filsafat, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi, dimana Dawam juga mengusulkan sejumlah agenda terkait dengan kerangkakerangka tersebut. Pertama, ontologi atau keperiadaan, yaitu identifikasi atau penggambaran mengenai kondisi dan permasalahan ekonomi Indonesia. Melalui kerangka ini, perlu dipelajari, demikian Dawam, misalnya, apa original condition atau state of nature dari perekonomian Indonesia, sehingga dari situ dapat diketahui apa urgensi dari gagasan Ekonomi Pancasila. Kedua, epistemologi, yaitu tentang cara pemahaman dan pemecahan masalah. Terkait dengan masalah ini, Dawam mengusulkan agar pertama-tama dipelajari apa yang kini populer disebut sebagai penelitian “filsafat Nusantara”. Namun, studi yang pertama kali harus dilakukan adalah studi sosiologi-antropologi, dan baru kemudian penelitian filsafat. Dan ketiga adalah aksiologi, yang berisi proses perumusan hasil, tujuan dan nilai guna dari pengetahuan baru itu.80 Melalui kerangka tadi, Dawam kemudian menyimpulkan bahwa pengembangan gagasan Ekonomi Pancasila selama ini hanya berkutat di soal aksiologi saja, yang memang bersifat normatif. Akibatnya, gagasan Ekonomi Pancasila sering disebut oleh para pengkritiknya sebagai hanya berisi “daftar keinginan” belaka.81 Dalam kaitannya dengan ontologi, menurut Dawam sudah banyak risetriset empiris yang sebenarnya telah dilakukan, yang jika ditarik benang merahnya kesemuanya pasti berujung pada simpul mengenai corak dualistis dari perekonomian Indonesia. Namun, corak dualistis yang pertama kali dikemukakan Boeke ini sebenarnya berada pada level social formation, 78
Rahardjo, Perspektif, ibid. Lihat kata pengantar Mubyarto bagi buku Dawam, Ekonomi Pancasila, loc. cit., hal. iii-iv. 80 Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila, op. cit. Bandingkan dengan M. Dawam Rahardjo, “Ekonomi Islam: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi”, makalah disampaikan pada “Workshop on Redesign Kurikulum Program Studi Ekonomi Syariah” di IAIN Sunan Ampel Surabaya, 27 Desember 2011. Makalah tidak diterbitkan. 81 Kritik ini misalnya disampaikan oleh Arief Budiman dan Nono Anwar Makarim. Lihat Arief Budiman, “Sebuah Kritik”, op. cit. dan wawancara Prisma dengan Nono Anwar Makarim, “Hari Depan Ekonomi Pancasila”, yang dimuat di Prisma, No. 2/Th. XI, Februari 1982, hal. 52-55. 79
24
sementara pada level modes of production, coraknya adalah plural, atau yang disebut Furnivall sebagai ekonomi majemuk (plural economy).82 Itulah original condition dari perekonomian Indonesia modern. Dari penelusurannya terhadap pemikiran-pemikiran Ekonomi Pancasila sejak istilah itu pertama kali diperkenalkan, ia berpandangan bahwa terdapat persambungan yang koheren antara original condition perekonomian Indonesia modern tadi dengan latar belakang gagasan Ekonomi Pancasila.83 Sementara itu, persoalan mendasar terkait dengan aspek epistemologi dari gagasan Ekonomi Pancasila ada dua. Pertama, pada bagaimana merumuskan pemikiran filsafat Pancasila dan kemudian merumuskan filsafat ekonomi yang bersesuaian dengan filsafat tersebut. Kedua, pada bagaimana merumuskan teori ekonomi (theory building) dari berbagai pemikiran yang telah berkembang. Apa yang dimaksud sebagai teori ekonomi di sini adalah teori murni (theoritical discourse). Sekali lagi, analisis-analisis ini pada mulanya merupakan analisis yang dikemukakan ketika Dawam mencoba menimbang gagasan Ekonomi Islam. Atau, dengan kata lain, Dawam menjadikan pergulatan pemikiran dalam sawala Ekonomi Islam sebagai bahan sekaligus pembanding bagi perumusan gagasan Ekonomi Pancasila. Oleh karenanya tidak mengherankan jika dalam hampir setiap pembahasannya mengenai Ekonomi Islam ia juga selalu menautkannya dengan gagasan Ekonomi Pancasila.84 Secara ontologis, demikian penegasan Dawam, pengembangan pemikiran Ekonomi Islam mestinya dilakukan dengan memperhatikan konteks Indonesia.85 Menarik untuk memperhatikan bahwa baik Hidayat maupun Dawam sama-sama menjadikan telaah mengenai manusia sebagai salah satu titik sentral dalam proyek pemikiran masing-masing. Apa yang disebut “Filsafat Ilmu Pengetahuan Keperiadaan”, misalnya, sebuah proyek gagasan yang dikerjakan Hidayat sejak dekade 1970-an, pada dasarnya merupakan landasan bagi sebuah gagasan lanjutan yang disebutnya sebagai “Ilmu Humanika”, yaitu “landasan ‘Newtonian’ untuk ilmu-ilmu sosial”. Maksud landasan Newtonian adalah ia merupakan general theory yang mempersatukan ilmu-ilmu manusia fakultatif yang terpecah-pecah (ekonomi, sosiologi, dll.), seperti halnya mekanika Newton yang telah
82
J.S. Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk (Jakarta: Freedom Institute, 2009 [1938]). Bdk. M. Dawam Rahardjo dan Tarli Nugroho, Rancangan Studi Pemikiran Ekonomi Pancasila, 1965-2010, konsep penelitian (2010), tidak diterbitkan. 83 Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila, op. cit., terutama Bab 3. 84 Periksa, misalnya, Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah, loc. cit., terutama bagian pengantar; Islam dan Transformasi, loc. cit., hal. 155-172; “Ekonomi Islam, Ekonomi Pancasila”, op. cit.; “Membaca Al Fatihah dalam Perspektif Ekonomi Kerakyatan”, makalah tahun 2011, tidak diterbitkan; dan “Ekonomi Islam: Ontologi”, op. cit. 85 Rahardjo, “Ekonomi Islam: Ontologi”, ibid., hal. 10.
25
berhasil mempersatukan ilmu-ilmu kebendaan.86 Dalam Ilmu Humanika itulah, demikian klaim Hidayat, terdapat rumusan filsafat manusia sebagaimana yang dikehendaki oleh Ekonomi Pancasila, manusia dalam pengertiannya yang bulat-utuh, tidak terpecah-pecah sebagai homo oeconomicus, homo socius, atau—apalagi—homo homini lupus. Pokokpokok yang diungkapkan sebagai prinsip dasar dalam teori Humanika Hidayat adalah model manusia, teori etika, teori kesadaran, teori kreativitas, teori kebahagiaan kreatif, rukun paritas, prinsip keunikan sistem kedirian, serta prinsip hirarki sistem kedirian.87 Adapun Dawam, seperti halnya Jean Charles Léonard de Sismondi, pemikir ekonomi dari Perancis pada zaman klasik, berpandangan bahwa obyek kajian ekonomi bukanlah kekayaan (wealth), melainkan manusia. Pemihakan Dawam yang kuat terhadap ekonomi rakyat, baik yang bersifat keilmuan (sumbangan pemikiran) maupun yang bersifat praksis, pada dasarnya bertolak dari pandangan tadi. Persis pada titik itu pula kita harus memposisikan tulisan pengantarnya bagi terjemahan buku Syed Nawab Haider Naqvi88 sebagai risalah penting dalam kaitan dengan pandangannya mengenai soal manusia. Bukan hanya karena pengantar itu menguraikan banyak hal mengenai filsafat manusia, baik yang diuraikan Naqvi maupun yang diyakini Dawam sendiri, melainkan karena risalah itu sepertinya bersambung ke beberapa karya Dawam berikutnya. Pada 1985, misalnya, tahun yang sama dengan terbitnya terjemahan buku Naqvi tadi, terbit juga buku Insan Kamil: Konsepsi Manusia menurut Islam, yang disunting oleh Dawam dan berisi karangannya bersama sejumlah sarjana Indonesia lainnya.89 Dan, pada 1990, sebagai hasil dari ketidakpuasannya terhadap karya Naqvi yang pernah dipengantarinya, ia menulis sendiri sebuah buku mengenai etika dalam ilmu ekonomi, yang juga menyebut soal Ekonomi 86
Perkataan “mempersatukan” tidak diartikan sebagai menghapus keberadaan ilmu-ilmu kemanusiaan fakultatif. Perkataan itu dimaksudkan untuk memberikan parameter yang sama terhadap hakikat dan eksistensi manusia, sebagaimana Newton telah mempersatukan ilmu-ilmu kebendaan dengan memberikan parameter empiris cgs (centi, gram, dan second, yang bersifat obyektif) bagi geometri Euclidean yang sebelumnya bersifat metafisis (subyektif). Hidayat membedakan perkataan humanika atau humanistik yang dipakainya dengan konsep humanisme. Jika humanisme merupakan bentuk supremasi kemanusiaan, aku-tanpa-dunia, sebagai lanjutan disapihnya ilmu pengetahuan dari agama, maka konsep humanistiknya Hidayat merupakan perengkuhan kembali Tuhan dan maujud. Tentu saja, meski membalikan tatanan yang kini berlaku, gagasan ini tidak bisa disebut revivalis, sebab Hidayat tidak membalikan tatanan kembali kepada struktur sebagaimana yang telah dibongkar oleh Pencerahan, melainkan kepada sebuah strukturasi baru. Lihat Tarli Nugroho, “Dari Karsa ke Filsafat”, op. cit. 87 Nataatmadja, Karsa, op.cit., hal. 106. Lihat juga, Nataatmadja, Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik, op. cit. 88 Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi, op. cit. 89 M. Dawam Rahardjo, Insan Kamil: Konsepsi Manusia menurut Islam (Jakarta: Grafiti, 1985). Selain Dawam, buku ini berisi tulisan dari Djohan Effendi, Azyumardi Azra, Iqbal Abdurrauf Saimima, Arief Mudatsir, Bachtiar Effendy, Hari Zamharir, Ahmad Rifa’i Hasan, Fahcry Ali, Hadimulyo, dan Komaruddin Hidayat.
26
Pancasila di dalamnya.90 Salah satu kritik Dawam terhadap Naqvi adalah bahwa dalam usahanya untuk mentransformasikan manusia ekonomi (economic man) agar sesuai dengan etika Islam, pada akhirnya pemikiran Naqvi berkesudahan pada konsep negara, yang dalam hal ini adalah konsep negara kesejahteraan menurut Islam.91 Jadi, negara diposisikan sebagai eksternalisasi dari nilai-nilai Islam setiap individu yang memiliki kualitas sebagai khalifah. Atau, dengan kata lain, negara adalah hasil transformasi dari kualitas kekhalifahan manusia. Dalam pandangan Dawam, eksternalisasi itu mestinya mewujud pada konsep pemerintahan, dan bukannya negara. Sebab, negara dalam zaman modern ini telah menjelma menjadi kekuasaan yang totaliter, baik dalam wujud capitalist state maupun socialist state. Dan di Dunia Ketiga, negara juga telah direalisasikan dalam bentuk rejim-rejim pembangunan yang— sekali lagi—bersifat otoriter.92 Oleh karena itu, transformasi konsep khalifah menjadi konsep khilafah—dalam pengertian “negara”—perlu dipikirkan ulang untuk dikoreksi, sehingga tidak terjerumus ke dalam model “Negara Islam” a la Al Maududi. Pandangan ini menjelaskan bagaimana posisi Dawam dan pemikirannya, baik dalam gagasan Ekonomi Pancasila maupun—sebagaimana yang akan dibahas kemudian—dalam pemikiran ilmu sosial secara umum, termasuk mempengaruhi preferensinya dalam gerakan pemberdayaan. Sebagaimana halnya Naqvi, Dawam menyepakati bahwa di satu sisi manusia adalah mahluk teomorfis, yaitu mahluk yang memiliki inteligensia untuk memahami Yang Mutlak dan memiliki kehendak sehingga dapat memilih jalan Tuhan; namun di sisi lain manusia juga memiliki kehendakbebas (free will).93 Pandangan ini, dalam sawala Ekonomi Pancasila pada 1981, juga telah dikemukakan oleh Sarino Mangunpranoto, tokoh senior pada masa itu yang menjadi salah satu pendukung Ekonomi Pancasila.94 Sebagai mahluk teomorfis, demikian interpretasi Dawam, manusia terikat pada nilai-nilai moral keagamaan, terutama nilai-nilainya yang bersifat universal; sedangkan sebagai mahluk yang memiliki kehendak bebas, manusia terikat pada lingkungan sosialnya, atau terikat pada matriks budaya dari tempat ia berada. Berpijak pada itu, sebagai sebuah ilmu maka Ekonomi Islam mestinya adalah ekonomi moral dan ekonomi sosial sekaligus. Seperti halnya Hidayat yang berpandangan bahwa ilmu pengetahuan paling purba mengenai manusia adalah agama, Dawam juga berpandangan bahwa penjelasan mengenai manusia dan filsafat manusia 90
M. Dawam Rahardjo, Etika Ekonomi dan Manajemen (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990). Rahardjo, “Sekapur Sirih”, op. cit., hal. 22-23. 92 Ibid., hal. 24. 93 Rahardjo, “Sekapur Sirih”, loc. cit., hal. 13. 94 Sarino Mangunpranoto, “Alam Pikir Ekonomi dalam Filsafat Pancasila”, dimuat pada Harian Kompas, 7 Juli 1981. 91
27
memang harus melibatkan agama, sehingga pasti terdapat banyak titik singgung antara gagasan Ekonomi Islam dengan gagasan Ekonomi Pancasila, karena mestinya pandangan tentang manusia menurut Pancasila mendapat pengaruh dari agama-agama yang berkembang di Indonesia, termasuk Islam. Sayangnya, dari tulisan-tulisan Dawam yang telah terbit, soal kedudukan konseptual dari Ekonomi Islam dalam kaitannya dengan Ekonomi Pancasila ini belum sangat detail diuraikan, meski dalam sejumlah forum dan perbincangan ia berjanji untuk segera menuliskannya secara lebih utuh dan sistematis. Ringkasnya, sebagaimana yang juga akan diuraikan kemudian, sumbangan utama Dawam dalam kaitannya dengan soal filsafat manusia bagi Ekonomi Pancasila bukanlah risalah filsafat manusia itu sendiri, sebagaimana yang misalnya dihasilkan Hidayat, melainkan pada interpretasinya bahwa “khilafah”, sebagai ekstensi dari konsep “khalifah”, adalah gagasan tentang masyarakat, atau tentang tatanan (order). Dalam pemikiran ekonomi, domain pemikiran Dawam ini sebangun dengan pemikiran Ekonomi Kelembagaan (Institutional Economics). Lembaga, sebagaimana yang melekat pada istilah Ekonomi Kelembagaan, tidak merujuk kepada konsep tentang “organisasi”, melainkan merujuk kepada konsep “aturan main” (rules of the game). Definisi kelembagaan, secara teoritis, memang mencakup dua demarkasi penting, yaitu (1) norma dan konvensi (norm and conventions), serta (2) aturan main (rules of the game).95 Merujuk pada istilah yang pernah digunakan dalam perdebatan antara Wilopo dan Widjojo Nitisastro yang terjadi pada 1955 tentang kedudukan koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia, lembaga adalah gagasan tentang bangun (aturan main), dan bukan tentang bangunan (organisasi).96 Interpretasi itu sekaligus menjelaskan keberpihakan Dawam yang sangat menonjol terhadap ideologi kerakyatan, bukan hanya di bidang ekonomi, tapi juga di wilayah sosial kemasyarakatan lainnya. Oleh karena itu, berbeda dengan Mubyarto yang misalnya menerjemahkan istilah Ekonomi Rakyat menjadi People’s Economy,97 Dawam lebih suka menyebutnya dengan istilah Civil Economy.98 Bisa dipahami pula kenapa 95
Bustanul Arifin, Ekonomi Kelembagaan Pangan (Jakarta: LP3ES, 2005), hal. 13-15. Lihat juga Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori dan Strategi (Malang: Bayumedia, 2008), hal. 33-36. 96 Mengenai distingsi antara dua istilah itu, lihat kembali tulisan Wilopo, “Suatu Tafsiran terhadap Ayat 1 Pasal 38 daripada UUD Sementara”, dan tulisan Widjojo Nitisastro, “Suatu Tafsiran terhadap Ayat 1 Pasal 38 daripada UUD Sementara (Tanggapan terhadap Tulisan Wilopo)”, yang dimuat dalam Sri-Edi Swasono (Editor), Membangun Sistem Ekonomi Nasional: Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi (Jakarta: UI-Press, 1985), hal. 23-47. 97 Lihat, misalnya, Mubyarto, Policy Reform for the People’s Economy (Yogyakarta: Aditya Media, 1999). 98 M. Dawam Rahardjo, “Menuju Ekonomi Kesejahteraan Islam”, makalah ditulis 2011, tidak diterbitkan; “Menuju Bank Sosial Islam”, makalah ditulis 2012, tidak diterbitkan; dan “Paguyuban SDI, Ekonomi Syariah dan Koperasi”, makalah ditulis 2012, tidak diterbitkan.
28
dalam kaitannya dengan demokrasi, Dawam misalnya pernah mengutarakan gagasan untuk menghidupkan kembali konsep negara kota (city state) dengan negara desa untuk diterapkan di Indonesia.99 Kita tahu, tarik-menarik antara gagasan demokrasi-liberal dengan gagasan negara integralistik di Indonesia sangat kuat, seperti halnya tarikan antara kecenderungan sentralistik dan desentralistik. Dalam pandangan Dawam, konsep negara integralistik berkembang di lingkungan masyarakat pedesaan, yang membentuk negara patrimonial. Sedangkan konsep negara demokrasi memang berkembang di lingkungan borjuis perkotaan. Oleh karena itu dalam negara kebangsaan modern selalu ada tarik-menarik antara konsep negara kota yang secara sederhana bisa dikatakan sebagai berciri republik-demokratis, urban, dan merupakan negara kesatuan, dengan negara desa yang integralistik dan mempunyai corak pedesaan serta bersifat desentralistik. Jika kecenderungan sentralisasi mengarah kepada negara kesatuan, maka kecenderungan desentralisasi mengarah kepada negara federalistik. Tesis dan anti-tesis ini sebenarnya bisa dicarikan sintesisnya, yaitu dengan menerapkan sistem demokrasi yang plural. Misalnya, praktik demokrasi liberal mestinya tidak diterapkan pada unit pemerintahan seperti di desa, melainkan cukup diterapkan pada level seperti kabupaten atau provinsi. Paling tidak ada dua urgensi kenapa hal itu perlu dilakukan. Pertama, itu perlu dilakukan untuk meminimalkan segregasi politik yang merupakan konsekuensi dari demokrasi liberal. Dan kedua, itu dibutuhkan agar masyarakat memiliki kesempatan yang lebih lapang untuk membangun serta mengkonstruksi institusi sosial dan tidak terlalu disibukan oleh kompetisi politik di berbagai level pemerintahan. Sebagaimana disebut dalam makalahnya, Dawam sepertinya memang sangat terinspirasi pada model demokrasi sebagaimana terlembaga di Amerika. Dalam konteks Amerika, berlaku teori negara dan masyarakat (state and civil society), dimana negara adalah wilayah atau ruang publik politik, sedangkan civil society adalah wilayah sosial budaya yang steril dari politik dan relatif bersifat independen. Batas antara wilayah politik dan wilayah sosial budaya itu adalah kabupaten (county). Karena itu cabang partai politik yang paling bawah adanya di kabupaten.100 Meski dimaksudkan untuk tujuan yang berbeda, desain semacam ini mirip dengan model massa mengambang (floating mass) yang pernah dipraktikkan Orde Baru. Jika di Amerika hal itu dimaksudkan untuk menjaga agar institusi sosial tetap bekerja tanpa banyak terpengaruh kegaduhan politik, maka pada Orde Baru itu dilakukan untuk mengamankan politik dominasi oleh negara. Melalui pandangan-pandangan tersebut nampak bahwa intensi perhatian Dawam memang lebih banyak kepada soal masyarakat daripada 99
M. Dawam Rahardjo, “Negara dan Dinamika Politik Lokal”, makalah disampaikan pada Seminar Internasional yang diselenggarakan Perkumpulan PERCIK, di Salatiga, 26 Juli 2011. 100 Ibid.
29
negara, tapi bukan dalam arti ia kemudian mengabaikan posisi atau fungsi negara. Visi kemasyarakatan ini sangat kuat terdeteksi, umpamanya, ketika kita membaca bukunya mengenai masyarakat sipil (civil society) atau masyarakat madani.101 Dalam buku itu terurai secara lebih jelas bagaimana tafsir keagamaannya terhadap posisi masyarakat dan negara. Intinya, Dawam bukanlah seorang Hegelian yang menganut prinsip idealisasi negara. Sebagaimana diuraikan sendiri oleh Dawam dalam buku tersebut, secara garis besar terdapat dua perspektif utama dalam mendefinisikan konsep civil society. Pertama adalah perspektif non-Hegelian, yang lahir lebih dulu sebelum perspektif Hegelian. Dalam perspektif ini belum muncul distingsi antara konsep masyarakat dengan negara, sebab negara, atau pemerintahan, dianggap sebagai bagian dari civil society. Bahkan, civil society itulah yang telah melahirkan negara—atau negara kota (city state) di masa lalu. Terhitung sebagai pemikir dalam perspektif ini adalah Cicero, yang pertama kali memperkenalkan konsep civil society, John Locke, JeanJacques Rousseau, dan Adam Smith. Pada perkembangannya, setelah muncul dualitas masyarakat dan negara, perspektif ini berkembang menjadi sebentuk idealisasi atas masyarakat. Kedua, perspektif Hegelian, yang disampaikan oleh Hegel dan diikuti oleh Marx dan Engels. Dalam pandangan Hegel, civil society bukan satu-satunya institusi yang dibentuk melalui perjanjian kemasyarakatan (social contract). Civil society hanyalah perkumpulan sukarela antar-individu untuk membentuk burgerlische gesselschaft, atau masyarakat borjuis, dimana masyarakat yang terbentuk itu hanyalah merupakan bagian dari tatanan politik (political order) yang lebih luas. Di sini, Hegel tak lagi memberikan pengertian civil society sebagai masyarakat politik, melainkan sudah dan sekadar menjadi masyarakat ekonomi, karena yang menjadi masyarakat politik adalah negara. Pandangan ini kemudian berkembang menjadi idealisasi atas negara. Jadi, meski pandangan Hegel sama dengan pandangan para pemikir sebelumnya, seperti Locke dan Rousseau, dalam hal bahwa civil society adalah sebuah masyarakat yang telah keluar atau meninggalkan keadaan alaminya (state of nature), namun Hegel berpendapat bahwa civil society adalah arena persaingan dari kepentingan individu-individu penyokongnya, yang pada akhirnya persaingan itu akan menghancurkan dirinya sendiri. Di situlah negara hadir untuk mengatur. Berbeda dengan Hegel, Marx meski berpandangan sama dalam kaitannya dengan civil society yang akan menghancurkan dirinya sendiri, namun ia tidak mengidealisasikan negara. Negara, dalam pandangan Marx, hanyalah badan pekerja kelas borjuis juga,
101
M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3ES dan LSAF, 1999).
30
sehingga idealisasinya adalah negara juga harus lenyap (withering away of the state), dimana nantinya yang tersisa hanyalah masyarakat tanpa kelas.102 Pada perjalanannya, apa yang dimaksud sebagai civil society mengerucut pada pengertian suatu tatanan, peraturan dan kelembagaan sosial ekonomi yang berada di luar negara, atau dengan kata lain sebuah konsep yang mengadopsi distingsi sebagaimana yang diperkenalkan Hegel. Distingsi itu, dalam pandangan Dawam, juga dikenal dalam pemikiran Islam, yaitu melalui distingsi al ummah dengan al madinah. Konsep yang pertama merujuk kepada pengertian masyarakat, sementara konsep yang kedua merujuk kepada lembaga politiknya, yaitu negara.103 Berhadapan dengan distingsi masyarakat dan negara tersebut, sebagaimana telah disebut, Dawam bukanlah penganut Hegelian, yang menganut prinsip idealisasi negara. Ia berkecenderungan untuk menilai bahwa yang primer dari masyarakat dan negara adalah masyarakat, meskipun ia mengakui bahwa kecenderungan di negara-negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia, pada umumnya menganggap bahwa negara adalah primer, alias bersifat Hegelian. Bagi Dawam, kenyataan bahwa negara dianggap primer di kalangan masyarakat Indonesia sebenarnya agak ganjil, karena secara historis, sebagaimana halnya di Barat, dalam konteks Indonesia pun civil society sebenarnya lahir lebih dulu daripada negara. Jauh sebelum Indonesia sebagai negara lahir dan memproklamirkan dirinya, pertamatama telah terbentuk civil society, sebagaimana direpresentasikan oleh munculnya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan kebangsaan pada awal abad kedua puluh.104 Menarik untuk memperhatikan, sebagaimana akar-akar pandangan non-Hegelian soal civil society, pandangan yang mendudukkan negara sebagai bagian dari masyarakat pada hari ini merupakan representasi dari pandangan liberal. Dalam pandangan liberal, negara dianggap sebagai bagian dari masyarakat, sebagaimana bisa dilihat dalam proses terbentuknya civil society dan negara modern di Eropa Barat dan Amerika Utara, dimana negara telah “disingkirkan” dari arena politik dan kenegaraan. Meskipun dalam konteks negara modern, termasuk di negara liberal sendiri, masyarakat secara hukum dianggap sebagai bagian dari negara, namun latar belakang pandangan liberal tadi telah membuat negara terdesak dalam kerangka minimal state.105 Sampai di sini, kalau melihat kembali ke belakang, menarik untuk mencermati bahwa pergumulan Dawam dengan konsep mengenai manusia, bisa dikatakan telah memberi kita sebuah penjelasan terhadap posisi 102
Ibid., hal. 137-157. Ibid., hal. 154. 104 Ibid., hal. 156-157. Bdk. Clifford Geertz (Editor), Old Societies and New States: The Quest for Modernity in Asia and Africa (New York: The Free Press, 1965); dan Benedict R. O’G Anderson, “Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”, dimuat dalam The Journal of Asian Studies, Vol. XLII/No. 3, May 1983, hal. 477-496. 105 Rahardjo, Masyarakat Madani, loc. cit., hal. 154. 103
31
pemikirannya hari ini. Paling tidak ada dua catatan penting yang bisa ditulis terkait hal ini. Pertama, interpretasinya yang mengemukakan bahwa konsep khilafah—sebagai ekstensi dari konsep khalifah—pada dasarnya adalah gagasan tentang masyarakat, atau gagasan tentang tatanan (order), telah mendudukkan Dawam pada posisi sebagai seorang intelektual-ideolog pembela gagasan kerakyatan. Jika ditilik, posisi ini tidak hanya terkait dengan kedudukannya sebagai ekonom—yang membela gagasan ekonomi rakyat (civil economy), kelompok yang selalu termarjinalkan, melainkan juga bisa menjelaskan bagaimana posisinya dalam wacana kebebasan beragama. Pembelaannya terhadap kaum minoritas, terutama dalam kaitannya dengan soal kebebasan beragama, sangat boleh jadi lebih banyak dipengaruhi oleh intensinya terhadap soal kerakyatan ini daripada alasan lainnya. Ia tak segan berhadapan dengan pendapat resmi negara, atau lembaga keagamaan yang bernaung di bawah lindungan negara, ketika membela kelompok minoritas yang sedang memperjuangkan hak-haknya. Intensi kerakyatan ini pula yang kemudian membuat Dawam lekat dengan ciri humanis, atau tepatnya—meminjam istilah yang dipakainya sendiri ketika menjelaskan pemikiran Ali Syariati—humanis relijius.106 Dari sudut pandang kerakyatan ini, secara metodik pemikiran Dawam terjaga pada kerangka historis yang bersifat aktual dan tidak doktriner, sebuah posisi yang pastinya akan sangat berlainan jika ia memilih interpretasi sebaliknya, yaitu khilafah sebagai negara, sebagaimana halnya yang dianut Al Maududi. Dengan interpretasi kerakyatannya, pemikiran Dawam selalu bergerak bersama dengan dinamika sejarah. Kedua, sebagai konsekuensi dari interpretasinya tadi, dan merujuk kepada genealogi gagasan civil society sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, tidak sulit untuk menafis bahwa Dawam memang adalah seorang “liberal”. Dalam kamus ilmu sosial, sebagaimana telah disebut sebelumnya, pandangan yang mendudukkan negara sebagai bagian dari masyarakat pada hari ini merupakan representasi dari pandangan liberal. Dan dengan pengertian itu, tak bisa dimungkiri Dawam adalah seorang “liberal”. Hanya saja, dengan kerangka berpikir historis yang digunakannya, Dawam luput untuk bisa dituduh sebagai seorang liberal yang doktriner. Apalagi, sebagaimana sering dikemukakannya pada berbagai kesempatan, ia hanya liberal dalam hal tafsir keagamaan. Dan pengakuan itupun masih diberi catatan kalau ia mengaku memiliki pengertian sendiri terhadap apa yang dimaksud dengan liberal itu. Artinya, per definisi, label liberal yang melekat pada diri Dawam sebenarnya bersifat relatif. Sebagai ekonom, dengan intensinya terhadap gagasan ekonomi rakyat (civil economy), Dawam lebih merupakan seorang populis daripada liberal. Dan, meskipun di satu sisi ia cenderung berpandangan bahwa masyarakat adalah primer 106
M. Dawam Rahardjo, “Dari Iqbal hingga Nasr”, dalam Rahardjo (Editor), Insan Kamil, loc. cit., hal. 6.
32
daripada negara, namun di sisi lain, dalam berbagai tulisannya, Dawam sering memberikan ulasan bahwa gagasan negara integralistik sebagaimana yang diuraikan Soepomo sebenarnya memiliki konteks yang bisa diterima.107 Karena interpretasinya terhadap berbagai gagasan selalu bersifat historis, maka berbagai label yang mungki disematkan kepadanyapun selalu menjadi relatif. Pandangan Historis-Struktural Buku yang sedang berada di tangan pembaca ini merupakan kumpulan karangan Dawam yang pernah dimuat di Prisma dalam rentang hampir 25 tahun, antara medio 1972 hingga pertengahan dekade 1990-an. Karangankarangan ini pada mulanya berasal dari berbagai bentuk, mulai dari artikel panjang yang mengulas topik-topik utama yang diangkat Prisma, resensi buku, hingga esai. Sayangnya, satu karangan Dawam yang dimuat dalam edisi Prisma yang terbit pasca-mati suri, tidak turut dimuat dalam buku ini.108 Karangan-karangan yang dimuat dalam buku ini sebagian besar sebenarnya pernah dibukukan atau dimuat dalam buku-buku Dawam yang pernah terbit sebelumnya, seperti Esei-Esei Ekonomi Politik (1983), Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (1984), Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (1987), serta Perspektif Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam (1987).109 Empat buku tersebut, selain berisi kumpulan karangan Dawam di Prisma, juga berisi karangankarangan dari sejumlah media lain, seperti Majalah Optimis, Majalah Wawasan, dan lain-lain. Namun, penerbitan kembali karangan-karangan ini menjadi satu buku tetap memberikan nilai penting, selain untuk mendokumentasikan karangan-karangan Dawam yang tercecer, juga dikarenakan karangan-karangan ini pada mulanya disiarkan oleh Prisma, sebuah media yang pernah sangat mewarnai dunia kesarjanaan di Indonesia dimana Dawam pernah menjadi bagian penting darinya. Dawam dan Prisma memang adalah ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Dan kedua sisi itu kini hadir dalam buku ini. Pertanyaannya, bagaimana kita membaca buku ini? Dan, apa yang bisa kita baca dari buku ini? Mungkin itu yang mengemuka di benak pembaca ketika berhadapan dengan buku ini, yang oleh penyuntingnya diredaksi menjadi enam bagian—mewakili topik-topik besar yang dibicarakan Dawam, dimana masing-masing bagian terdiri dari sejumlah karangan. 107
Lihat kembali, misalnya, Rahardjo, “Negara dan Dinamika Politik Lokal”, op. cit. M. Dawam Rahardjo, “Menuju Kemandirian Ekonomi Indonesia”, dimuat di Prisma No. 2/XXVIII, Oktober 2009, hal. 40-49. 109 Selengkapnya, lihat M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik (Jakarta: LP3ES, 1983); Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (Jakarta: UI-Press, 1984); dan Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (Jakarta: LP3ES, 1987). 108
33
Sekilas, berhadapan dengan buku ini kita memang seperti berhadapan dengan prisma: ia membiaskan berbagai spektrum pemikiran yang dimiliki penulisnya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah cara untuk bisa membalikan berbagai spektrum itu sehingga kita hanya menangkap seberkas sinar saja, yaitu bagaimana postur pemikiran Dawam sebenarnya. Mereka yang bermaksud mengetahui postur pemikiran Dawam mungkin akan lebih jelas mendapatkan gambaran jika membaca buku ini berdasarkan urutan siar karangan aslinya, dan bukan sebagaimana yang telah dikelompokan oleh penyunting. Karangan pertama, yang terbit pada Februari 1972, berjudul “Kedudukan dan Peranan Sektor Kehutanan dalam Pembangunan Daerah Kalimantan Timur”. Karangan itu dimuat dalam Prisma edisi kedua, yang terbit tiga bulan setelah edisi perkenalannya diedarkan pada November 1971. Ketika awal terbit, Prisma memang beredar dua bulan sekali. Itu berlangsung hingga tahun penerbitan yang keempat, yaitu hingga akhir tahun 1975, karena mulai Januari 1976, melalui penerbitan Prisma No. 1/V, majalah itu resmi mengubah jadwal terbitnya menjadi satu bulan sekali.110 Karangan awal Dawam itu diangkat dari hasil penelitian yang dikerjakan oleh LP3ES tentang Feasibility Study Industrialisasi Kayu di Kalimantan Timur. Penelitian tersebut merupakan penelitian kedua yang dikerjakan Dawam sejak bergabung dengan LP3ES pada 1971. Penelitian pertama yang dikerjakannya ketika awal bergabung adalah penelitian mengenai kewirausahaan yang mengambil tempat di Medan dan Surabaya.111 Kalau kita perhatikan, dari sembilan karangan Dawam yang diterbitkan Prisma hingga 1979, kecuali tiga karangan, yaitu “Tapak Raksasa: Koperasi Membawa Lampu ke Pedesaan” (Prisma, No. 6/VII, Juli 1978), “Perkembangan Teori Pembangunan Ekonomi 1965-1977” (Prisma, No. 9/VII, Oktober 1978), dan “Model Pembangunan Cina: Eksperimen Sosialis di Dunia Ketiga” (Prisma, No. 5/VIII, Mei 1979), enam karangan lainnya semuanya diangkat Dawam dari penelitian-penelitian yang dikerjakannya di LP3ES. Antara 1971 hingga 1979, dalam posisi sebagai staf peneliti, lalu Koordinator Program Pendidikan dan Latihan LP3ES, dan kemudian sebagai Wakil Direktur LP3ES, Dawam memang terlibat dalam sejumlah proyek dan penelitian, seperti Survei Perencanaan Daerah Kalimantan Timur, Survei Wilayah Banten, Survei Industri Kecil dan Kerajinan Rakyat di Madura, Workshop Koordinasi dan Kerjasama Peningkatan Ekspor Kerajinan Rakyat (sebagai project officer), Proyek Pesantren (sebagai koordinator), dan lainlain. Bisa kita lihat, karangan-karangannya yang terbit antara 1972 hingga 110
Baca Pengantar Redaksi yang ditulis Ismid Hadad di Prisma, No. 1/V, Januari 1976, hal. 2. Wawancara dengan M. Dawam Rahardjo, 29 Maret 2012. Informasi lain terkait dengan penelitian-penelitian dan proyek-proyek yang dikerjakan Dawam di LP3ES didapatkan dari sejumlah tulisan profil yang menyertai karangan-karangannya di Prisma. 111
34
1979 pada dasarnya merupakan diseminasi dari hasil-hasil penelitian serta kegiatan yang dikerjakannya di LP3ES. Karangan-karangan seperti “Prospek Ekspor Barang-barang Kerajinan Rakyat” (Prisma, No. 4/I, Juni 1972), “Kyai, Pesantren dan Desa: Suatu Gambaran Awal” (Prisma, No. 4/II, Agustus 1973), “Fungsi Wilayah Pembangunan: Sebuah Kasus Observasi Daerah Banten” (Prisma, No. 3/IV, Juni 1975), “Peranan Industri Kecil dalam Pembangunan” (Prisma, No. 12/V, Desember 1976), dan “Teknologi Tepat Guna bagi Industri Pedesaan” (Prisma, No. 6/VIII, Juni 1979), berisi deskripsi, analisis, serta kesimpulan-kesimpulan yang diolah dari penelitian-penelitian tadi. Sebagaimana telah disebutkan, pada periode tersebut ada tiga karangan Dawam yang tidak berhubungan dengan penelitian atau kegiatan yang dikerjakannya di LP3ES. Dua dari tiga karangan itu merupakan tulisan resensi, dan satunya, yaitu “Model Pembangunan Cina: Eksperimen Sosialis di Dunia Ketiga” (Prisma, No. 5/VIII, Mei 1979), adalah sebuah karangan yang murni bersifat tinjauan pustaka. Bisa dikatakan, sebelum pertengahan 1979, karangan-karangan Dawam merupakan hasil survei yang bersifat mikro dan empiris, lengkap dengan sejumlah data statistik primer dan olahan. Baru, sejak 1979 dan hingga karangan terakhir yang dimuat di buku ini, fokus perhatian dan obyek tulisan Dawam kemudian beranjak kepada topik-topik yang bersifat makro dan teoritis, baik terkait masalah ekonomi maupun masalah sosial lainnya. Perkembangan atau perubahan kecenderungan itu diakui juga oleh Dawam. Menurutnya, pada dasarnya ia adalah seorang penggiat pengembangan masyarakat, yang pada mulanya berkutat dengan hal-hal praktis. Apa yang ditulisnya sejak 1979 dan kemudian, disebutnya merupakan hasil refleksi atas pengalamannya bergelut dengan persoalanpersoalan mikro lapangan tadi. Perubahan topik kajian itu juga terkait dengan semakin luasnya pergaulan yang dilakoninya, terutama sejak menjadi Wakil Direktur dan kemudian Direktur LP3ES. Sejak itu, akunya, minatnya terhadap politik semakin tumbuh, terutama terhadap politik pembangunan, yang memang bersifat makro.112 Pada dekade 1980-an, lingkup pergaulan Dawam memang kian luas. Bersama dengan sejumlah rekannya, seperti Adi Sasono, Sritua Arief, dan Arief Budiman, Dawam berjaringan dengan barisan cendekiawan kiri Asia Tenggara, seperti Martin Khor, Chandra Muzaffar, Husin Ali, Jomo K. Sundaram, dan lain-lain. Pergaulan internasional itu juga berpengaruh terhadap topik-topik yang ditulisnya. Artikel “Pembangunan dan Kekerasan Struktural: Agenda Riset Perdamaian” (Prisma, No. 3/X, Maret 1981), misalnya, merupakan buah dari perkenalan Dawam dengan Yoshikazu Sakamoto, seorang tokoh riset perdamaian (peace research) dari Jepang, yang dari perkenalan itu kemudian membawanya bisa berkenalan secara langsung dengan para 112
Wawancara dengan M. Dawam Rahardjo, 29 Maret 2012.
35
pemikir besar semacam Ivan Illich, Andre Gunder Frank, dan sejumlah ekonom Amerika Latin penggagas Teori Ketergantungan.113 Namun, meskipun ruang lingkup karangan-karangan Dawam kemudian menjadi lebih bersifat makro, latar belakangnya sebagai aktivis pemberdayaan masyarakat, yang selalu dituntut untuk menyusun konsepkonsep aplikatif yang bisa bekerja (workable), membuat karangankarangannya tetap (meski tidak selalu) menyertakan pembicaraan mengenai “model-model”, yaitu perihal bagaimana gagasan makro yang ditulisnya bisa diterjemahkan ke dalam level yang lebih mikro, atau minimal selalu diakhiri oleh rumusan mengenai agenda kerja, terutama ketika topik-topik yang dibicarakannya adalah mengenai masalah-masalah pembangunan. Meminjam ungkapan Sajogyo yang terkenal, karangankarangan Dawam pada dasarnya seolah ingin-selalu menunaikan tugas: “dari praktik ke teori, dan ke praktik yang berteori”.114 Beban untuk menyampaikan model-model yang aplikatif dan bisa bekerja itu tetap menghantui Dawam bahkan hingga kini. Memang, ketika ia murni hanya membicarakan teori atau pemikiran, intensi itu tidak selalu nampak. Secara umum, sejak akhir 1970-an hingga akhir 1980-an, corak tulisantulisan Dawam di Prisma lebih banyak bersifat teoritis, atau berupa tinjauan kritis terkait dengan berbagai (terutama) teori pembangunan. Artikel seperti “Peta Bumi Ilmu Ekonomi Modern: Antara Retorika dan Paradigma” (Prisma, No. 1/IX, Januari 1980), atau “Kritik terhadap Marxisme dan Marxisme sebagai Kritik terhadap Pembangunan Kapitalis” (Prisma, No. 12/X, Desember 1981), merupakan contoh karangan-karangan Dawam dengan konten teori yang gempal. Bisa dikatakan ini merupakan periode emas pengembaran intelektual Dawam di belantara ilmu sosial dan ekonomi, karena pada masa sesudahnya, terutama setelah ia “pensiun” dari Prisma dan kemudian sibuk dengan Jurnal Ulumul Qur’an, perhatiannya kemudian lebih banyak tersedot untuk menulis “Ensiklopedi Al Quran”, sebuah rubrik di jurnal tersebut. Meski masih menggunakan ilmu-ilmu sosial sebagai perangkat menulis, intensinya lebih banyak disalurkan untuk menulis berbagai masalah sosial keagamaan, tak lagi mengenai soal-soal pembangunan. Namun demikian, sejauh jejak yang ditinggalkannya hingga karangan di Prisma edisi pertengahan 1990-an, fokus tulisan Dawam sebenarnya kembali mengerucut. Jika sebelumnya dia lebih banyak membicarakan pembangunan dalam konteks yang luas, maka di penghujung 1980-an, ia kembali banyak membicarakan aspek-aspek mikro dari pembangunan, atau segi-segi khusus dari pembangunan, seperti soal koperasi, BUMN, pajak, dan soal pangan. 113
Ibid. Sayogyo, Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Yogyakarta: Cindelaras, 2006), lihat bagian pertama, bab dua. Lihat juga bagian pendahuluan buku ini yang ditulis Francis Wahono, “Teori Terbentuk karena Aksi”, hal. 1-11. 114
36
Bagaimana kita membaca pikiran Dawam dalam buku ini? Terutama sejak tulisannya mengenai perkembangan teori pembangunan ekonomi, Dawam konsisten menggunakan pendekatan historis dalam karangan-karangannya. Entah disengaja atau tidak, karangannya yang berjudul “Pendekatan Historis Struktural: Menemukan Format Pembangunan” (Prisma, No. 10/XV, Oktober 1986), bisa dianggap sebagai pengukuhan sekaligus penjelasan terhadap metode yang digunakannya tersebut. Dalam tulisan tersebut Dawam menguraikan bahwa penerapan suatu teori dalam ilmu-ilmu sosial untuk menganalisa sejarah bisa mempersenjatai ilmu sejarah dengan analisis yang lebih tajam. Hanya saja, di pihak lain, usaha untuk mendukung sebuah teori dengan fakta-fakta sejarah dapat membawa orang pada generalisasi yang terlampau jauh dan pada akhirnya meluputkannya dari fakta-fakta lain.115 Ia kemudian panjang lebar menguraikan problematisasi historisisme sebagaimana dikemukakan Popper,116 dimana penggunaan historisisme dalam ilmu-ilmu sosial sering dipergunakan untuk memelihara atau membantu pandangan politik totalitarianisme. Namun demikian, sebagaimana juga dicatat Dawam, Popper mengecualikan penggunaan historisisme dalam ilmu ekonomi sebagai pendekatan yang akan mengalami kegagalan sebagaimana kemungkinan yang lazim dialami oleh ilmu-ilmu sosial lain. Munculnya Teori Ketergantungan, yang pertama kali dicetuskan oleh Raul Prebisch, seorang strukturalis, membuktikan bahwa penggunaan pendekatan historis dalam ilmu ekonomi memang mampu untuk menghindar dari bahaya historisisme. Dari latar belakang inilah Dawam kemudian mengukuhkan model pendekatannya sebagai bersifat “historis-struktural”. Menurutnya, model pendekatan ini memiliki beberapa nilai penting. Pertama, pendekatan historis-struktural dapat menghasilkan pemikiran yang tidak utopis-normatif, melainkan lebih bersifat empiris-faktual. Kedua, pendekatan ini bisa memperluas wawasan yang sering tampak sempit ketika orang hanya menggunakan model-model abstrak dan artifisial, sebagaimana yang misalnya banyak digunakan oleh ilmu ekonomi konvensional. Ketiga, pendekatan ini bisa menghasilkan bahan-bahan yang lebih relevan bagi perencanaan pembangunan, karena pendekatan ini memperhatikan dinamika yang berlangsung di masyarakat. Keempat, karena bersifat historis-struktural, pendekatan ini bisa menghindarkan kita dari gagasan tentang sebuah “lompatan kuantum”, yang dalam pengalaman banyak negara sering dijadikan sebagai alat legitimasi untuk menerapkan manajemen pembangunan yang totaliter.117
115
M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Historis Struktural: Menemukan Format Pembangunan”, dimuat di Prisma, No. 10/XV, Oktober 1986, lihat hal. 4. 116 Karl R. Popper, Gagalnya Historisisme (Jakarta: LP3ES, 1985). 117 Rahardjo, “Pendekatan Historis Struktural”, loc. cit., hal. 11.
37
Sebelum tulisan tentang historis-struktural itu terbit, dalam beberapa karangannya yang terbit lebih dulu Dawam sebenarnya telah menunjukkan “ketertarikannya” untuk menguraikan pentingnya pendekatan sejarah, bukan hanya bagi ilmu ekonomi, melainkan juga bagi tafsir keagamaan. Kalau membaca lagi karangannya dalam buku Insan Kamil (1985), ia nampak sekali terkesan dengan pendekatan yang digunakan oleh Iqbal dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran, yaitu dengan cara meletakkan tafsir itu dalam konteks sejarah. Misalnya, ketika Iqbal menyebut bahwa Adam bukanlah tokoh sejarah, melainkan simbol manusia, dan pengusiran Adam oleh Allah bukanlah “kejatuhan Adam dari jannah”, Dawam menganggap bahwa meskipun Iqbal tidak menganggap sosok Adam sebagai historis, tapi melalui penafsiran tersebut Iqbal sebenarnya sedang melakukan suatu pendekatan historis tentang manusia.118 Maksudnya, peristiwa pengusiran Adam dari jannah itu merupakan simbol dari “kebangkitan” manusia dari keadaan primitif yang terkungkung dalam selera naluriah menuju kepada kesadaran akan hadirnya sebuah pribadi. Melalui tafsir itu, demikian Dawam, Iqbal sebenarnya sedang membangun teori tentang khudi, yaitu teori tentang kepribadian manusia, dimana melalui kepribadiannya manusia sebenarnya mampu mengubah sejarah.119 Begitu juga dengan kata pengantar yang ditulisnya untuk buku Naqvi. Dalam karangan tersebut, Dawam umpamanya menulis bahwa ayat-ayat Al Quran terdiri dari pernyataan-pernyataan yang bersifat positif dan juga normatif. Kedua model pernyataan ini membutuhkan penyelidikan lebih lanjut, yang bersifat empiris, sehingga bisa terungkap mengenai apa yang sesungguhnya hendak diterangkan oleh ayat-ayat tersebut. Di bagian akhir pengantarnya, terkait dengan pilihan “statisme” yang dipilih Naqvi untuk menegakkan etika Islam, Dawam menyebut bahwa konklusi itu merupakan produk dari lompatan logika, dan lompatan itu terjadi karena Naqvi tidak melakukan penelitian historis untuk menguraikan gagasannya.120 Setelah karangan yang muncul di Prisma pada 1986 itu, penjelasan tentang pendekatan historis-struktural kembali disebut Dawam dalam buku Paradigma Al Quran (2005). Ketika menjelaskan berbagai metode tafsir Al Quran yang dipelajarinya, Dawam tak luput menyebut “teori” yang dikemukakan oleh Ahmad Wahib, sohibnya di Limited Group. Menurut pendapat Wahib, sumber Islam itu sebenarnya bukan Al Quran dan Sunah, melainkan sejarah Nabi SAW sendiri, dimana Al Quran dan Sunah merupakan bagian inti dari sejarah tersebut.121 Bagi Dawam, pendekatan itu adalah contoh dari pendekatan historis, dan jika dilengkapi menjadi 118
M. Dawam Rahardjo, “Dari Iqbal hingga ke Nasr”, dalam Rahardjo (Editor), Insan Kamil, loc. cit., hal. 3. 119 Ibid. 120 Rahardjo, “Sekapur Sirih”, loc. cit., hal. 19 dan 25. 121 Rahardjo, Paradigma Al Quran, loc. cit., hal. 11.
38
pendekatan historis-struktural, esensi ajaral Al Quran yang bersifat menyegala ruang dan waktu bisa lebih terang ditemukan, karena dinamika sejarah terbawa serta di dalam tafsir. Sebagai ekonom, Dawam memang konsisten menggunakan pendekatannya itu. Di Indonesia, sepertinya hanya sedikit ekonom yang tertarik untuk menggunakan pendekatan sejarah. Selain Dawam, ekonom lain yang intens menggunakan pendekatan sejarah adalah Thee Kian Wie dan Mubyarto. Khusus untuk Thee, bahkan hingga hari ini ekonom LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) tersebut masih merupakan satusatunya ekonom Indonesia yang otorisasinya dalam studi sejarah juga diakui oleh para sejarawan profesional. Pengakuan otorisasi keilmuan Thee di bidang sejarah misalnya dibuktikan oleh sebuah buku yang dipersembahkan sejumlah sejarawan (dan ekonom) untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-75. Buku yang disunting oleh J. Thomas Lindblad dan Bambang Purwanto itu, selain berisi karangan kedua penyunting, juga berisi sumbangan karangan dari Howard Dick, Henk Schulte Nordholt, Anne Booth, Arjen P. Taselaar, Alexander Claver, Vincent Houben, dan sejumlah sejarawan Indonesia lain.122 Pengakuan itu memang layak, karena sejak menulis disertasi, Thee memang benar-benar telah menulis sejarah perekonomian. Ia menyelesaikan disertasinya, Plantation Agriculture and Export Growth: An Economic History of East Sumatera, 1863-1942, pada 1969. Disertasi tersebut ditulisnya di University of Wisconsin, Madison. Pendekatan sejarah juga melekat pada karangan-karangan Mubyarto. Bahkan, pidato pengukuhan Mubyarto, yang dibacakan pada 19 Mei 1979, juga menggunakan pendekatan tersebut.123 Untuk menguji hipotesishipotesis yang diajukannya dalam pidato tersebut, Mubyarto menggunakan pendekatan sejarah. Dan ketika pidato itu diucapkan, Mubyarto mengakui bahwa model pendekatan sejarah relatif sangat jarang digunakan oleh para ekonom modern. Dan kondisi semacam itu sebenarnya tidak banyak berubah hingga hari ini. Demikian pula halnya di kalangan para sejarawan, hanya terdapat sedikit sekali sejarawan yang menekuni kajian sejarah ekonomi. Di antara yang sedikit itu misalnya adalah Soegijanto Padmo.124 Pada tulisan epilog 122
Pengakuan otorisasi keilmuan Thee di bidang sejarah misalnya dibuktikan oleh sebuah buku yang dipersembahkan sejumlah sejarawan untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-75, yaitu Merajut Sejarah Ekonomi Indonesia: Essays in Honour of Thee Kian Wie 75 Years Birthday (Yogyakarta: Ombak, 2010), yang disunting oleh J. Thomas Lindblad dan Bambang Purwanto. Selain kedua penyunting, mereka yang menyumbang karangan untuk buku tersebut adalah Howard Dick, Henk Schulte Nordholt, Anne Booth, Arjen P. Taselaar, Alexander Claver, Vincent Houben, dan sejumlah sejarawan Indonesia. Buku itu dipersembahkan oleh Jurusan Sejarah UGM dan Universitas Leiden serta Institut Sejarah Indonesia (INSI). 123 Mubyarto, Gagasan dan Metoda Berpikir, op. cit. 124 Lihat, misalnya, Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: Aditya Media, 2004); ‘Land Reform’ dan Gerakan Protes Petani Klaten, 1959-1965
39
yang ditulis Thee untuk terjemahan buku New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia, ia menulis bahwa antara dekade 1950-an hingga 1980-an, para sarjana Indonesia memang mengalami priode “keterlelapan” (hibernation) dari studi sejarah ekonomi. Baru, meski jumlahnya kecil, pada dekade 1980-an sejumlah sejarawan yang hampir semuanya didikan Universitas Gadjah Mada, terlibat kembali dalam studi sejarah ekonomi. Hanya saja, Thee menyesalkan, hingga studi yang ia buat pada 1979, para ekonom Indonesia secara umum belum menunjukkan minat yang tinggi untuk mengkaji sejarah ekonomi.125 Kenyataan mengenai hanya sedikit ekonom yang menggunakan pendekatan sejarah dalam analisis-analisisnya, serta sedikitnya jumlah sejarawan yang menggeluti kajian sejarah perekonomian, keduanya sama-sama menggambarkan fakta ihwal betapa miskinnya kehadiran perspektif sejarah dalam menilai bagaimana wajah ilmu ekonomi serta praktik perekonomian di Indonesia. Miskinnya kehadiran perspektif sejarah ini, dalam kacamata yang lebih luas, bisa dijadikan salah satu keterangan kenapa para ekonom di Indonesia kemudian lebih suka terjebak dalam pragmatisme, yaitu lebih tertarik untuk terlibat dalam day to day problem, atau pemecahan masalah ekonomi sehari-hari yang bersifat temporer dan jangka pendek, daripada terlibat dalam persoalan teoritis keilmuan yang bersifat strategis. Ciri pragmatisme ini pula yang diangkat Dawam ketika membacakan pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu ekonomi di Universitas Muhammadiyah Malang, yang pemaparannya juga menggunakan pendekatan sejarah.126 Selain bukubuku yang telah disebut, karya lain yang membuktikan konsistensi Dawam dalam hal pendekatan sejarah bisa dilihat terutama dari buku-buku seperti Habibienomics: Telaah Ekonomi Pembangunan Indonesia (1997); Ekonomi Pancasila: Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur (2004); Nalar Ekonomi Politik Indonesia (2011); Ekonomi Neoklasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara (2011);
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2000); The Cultivation of Vorstenlands Tobacco in Surakarta Residency and Besuki Tobacco in Besuki Residency and Its Impact on the Peasant Economy and Society, 1860-1960 (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), dan; Tembakau: Kajian Sosial Ekonomi (Yogyakarta: P3PK-UGM, 1991, ditulis dengan Edhi Jatmiko). Di Jurusan Sejarah UGM, Soegijanto Padmo adalah guru besar terakhir yang berkonsentrasi dalam kajian sejarah ekonomi. Sepeninggalnya (ia meninggal 16 Desember 2007), belum ada lagi yang intens mengkaji sejarah ekonomi. Bambang Purwanto, sejarawan dari generasi yang lebih muda dari Soegijanto Padmo, dan juga merupakan guru besar di Jurusan Sejarah UGM, meskipun disertasi doktornya mengenai sejarah ekonomi, kemudian lebih banyak tertarik mengkaji historiografi. Bdk. Tarli Nugroho, “Mubyarto dan Ilmu Ekonomi yang Membumi”, op. cit. 125 Thee Kian Wie, “Minat yang Muncul Kembali terhadap Sejarah Ekonomi di Indonesia”, dalam J. Thomas Lindblad (ed.), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru (Jakarta: LP3ES, 2000), hal. 429. 126 M. Dawam Rahardjo, Pragmatisme dan Utopia: Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1992).
40
dan M. Dawam Rahardjo, dkk., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa (1995).127 Pemikiran Perancis yang Arsitektonik Ada banyak cara untuk mengkategorikan pemikiran. Cara yang paling sederhana adalah dengan label kiri, kanan, dan tengah. Namun, kategorisasi itu terlalu sederhana, tak lagi bisa mewakili kompleksitas dunia pemikiran yang terus berkembang. Johan Galtung, sebagai upaya untuk mencandra kompleksitas pemikiran dalam teori pembangunan, ia menyusun taksonomi menggunakan identitas warna, yaitu aliran biru, aliran merah, aliran hijau, aliran pink (campuran dari biru, merah, dan hijau), aliran kuning (campuran biru dan merah), serta aliran campuran (dari hijau, pink, dan kuning).128 Dasar yang digunakan untuk menyusun taksonomi berdasarkan warna itu adalah matriks budaya, faktor yang sebenarnya juga telah diperhatikan oleh pemikir ekonomi seperti Adam Smith, namun kemudian ditinggalkan oleh para pemikir sesudahnya yang lebih suka menggunakan berbagai pendekatan abstrak-kuantitatif. Untuk memperjelas taksonomi yang dibuat Galtung, sebut saja misalnya ekonomi Smithian, sebuah istilah yang digunakan Galtung untuk menyebut aliran ekonomi mainstream. Matriks budaya dari ekonomi Smithian adalah individualisme-vertikalitasmonetisasi-ekspansi. Kapitalisme, demikian menurut Galtung, sebenarnya hanya berhubungan dengan satu aspek saja dari matriks tadi, yaitu hanya terkait aspek moneter. Sehingga, kapitalisme tidak tepat dijadikan label representasi, karena kerangka yang lebih besarnya sebenarnya adalah ekonomi Smithian tadi. Dalam taksonomi warna, ekonomi Smithian oleh Galtung disimbolkan dengan warna biru. Tapi kategorisasi itu kaitannya dengan teori, atau pemikiran. Lantas, bagaimana seandainya kita ingin mengkategorisasikan juga sang pemikirnya? Jelasnya, setelah semua uraian panjang lebar mengenai pemikiran Dawam terdahulu, bagaimana pada akhirnya kita bisa melihat Dawam? Sepertinya menarik untuk memperhatikan pertimbangan yang digunakan oleh Kees Bertens ketika ia menyusun buku Filsafat Barat Kontemporer (2006), terutama dalam cara bagaimana ia menempatkan atau mengurutkan pembahasan mengenai filsafat Inggris, Jerman dan Perancis. 127
Selain buku-buku yang telah disebut dalam catatan kaki sebelumnya, identitas lengkap bukubuku yang menandai penggunaan pendekatan sejarah oleh Dawam lainnya adalah M. Dawam Rahardjo, Nalar Ekonomi Politik Indonesia (Bogor: IPB Press, 2011); M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neoklasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara (Bandung: Mizan, 2011); dan M. Dawam Rahardjo, dkk., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa (Jakarta: LP3ES, 1995). 128 Johan Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization (London: Sage Publications, 1996), lihat bagian tiga, bab dua.
41
Dalam bukunya, yang terdiri dari dua jilid itu, Bertens menempatkan pembahasan mengenai filsafat Inggris di bagian awal, disusul kemudian oleh filsafat Jerman, dan terakhir adalah filsafat Perancis. Pada bab pendahuluan ia menjelaskan bahwa pengurutan sebagaimana yang dipilihnya itu berangkat dari pembacaan bahwa tradisi filsafat dan bahasa bersifat saling kait-mengait. Dari sisi bahasa, pada abad ke-18 bahasa Perancis memang merupakan bahasa filosofis dan bahasa ini berada pada masa keemasannya. Bahkan di Jerman, bahasa Perancis pada masa itu digunakan sebagai bahasa utama kaum terpelajar. Namun, sejak pertengahan abad ke-18 bahasa Jerman berkembang pesat sebagai bahasa filosofis, dan pada abad ke-19 malah menjadi bahasa filosofis yang terpenting di Eropa. Dominasi Amerika dalam percaturan internasional, terutama sejak Perang Dunia II, kemudian membuat bahasa Inggris menjadi bahasa paling penting pada abad ke-20.129 Jika dilihat dari corak pemikirannya, filsafat Inggris sangat menaruh minat pada fakta-fakta, tidak menyukai pendekatan spekulatif, dan tentunya anti-metafisika. Model penguraiannya bersifat analisis, bukan sintesis. Pendek kata, corak filsafat Inggris yang khas adalah empirismenya, dimana mereka gemar menautkan filsafat dengan ilmu pengetahuan. Sementara itu, filsafat Jerman, yang relatif lebih muda jika dibandingkan dengan filsafat Inggris dan Perancis, kemudaannya itu tak menghalanginya untuk memiliki corak khas. Filsafat Jerman adalah ladang subur bagi pemikiran spekulatif, yang oleh karenanya memiliki orientasi kuat pada metafisika. Jika filsafat Inggris bersifat analisis, maka filsafat Jerman bersifat sintesis, sehingga cenderung pada metode dialektis. Produk otentik dari filsafat Jerman adalah idealisme. Di Jerman, setiap pemikiran dituntut untuk berangkat dari sebuah penelitian yang mendalam dan dasariah, dimana di luar itu pemikiran akan dianggap dangkal dan rendah. Tidak mengherankan karena adanya tuntutan itu maka karya-karya pemikiran yang lahir di Jerman hadir dalam bentuk buku-buku tebal yang sulit untuk dibaca. Adapun filsafat Perancis, yang tradisinya sudah terbentuk sejak abad ke-16, ditandai oleh kecermatan dan kejelasannya, dimana para filsuf sangat berambisi untuk mencapai sofistikasi penjelasan sebagaimana yang diuraikan oleh ilmu pengetahuan. Identitas yang melekat pada filsafat Perancis adalah rasionalisme dan spiritualisme.130 Kekuatan filsafat Perancis kadang tidak terletak pada otentisitas gagasannya, dimana sumber gagasan itu kadang mereka dapatkan dari filsafat Jerman, melainkan pada kecermatannya dalam membahas segala konsekuensi yang mungkin dari gagasan-gagasan yang ada sehingga akhirnya berkembang menjadi pembahasan mendalam yang tersendiri. Itu pula yang membuat Bertens menempatkan pembahasan atas filsafat Perancis di belakang filsafat Jerman. 129 130
Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 10. Ibid., hal. 14-15.
42
Seandainya corak-corak filsafat atas dasar bahasa dan nasionalitas itu bisa dipinjam sebagai “model” untuk menimbang sosok Dawam, maka ada banyak ciri dari pemikiran Dawam yang sebenarnya tersebar pada tiga model tadi. Namun, karena ciri dialektis dalam karya-karyanya, yang membuatnya selalu bisa menyusun sintesis atas teori-teori yang dibahasnya, ia tidak mungkin dianggap sama dengan “model Inggris”. Ciri dialektis ini, yang merupakan konsekuensi logis dari pendekatan historis-struktural yang dipergunakannya ketika membahas berbagai hal, telah membuatnya bersifat terbuka terhadap berbagai teori. Oleh Didin Damanhuri, keterbukaan terhadap berbagai teori itu membuat pemikiran Dawam disebutnya sebagai bersifat eklektik.131 Penilaian itu tentunya kurang tepat, karena ciri eklektik itu sebenarnya hanya merupakan konsekuensi dari pendekatan historis-struktural yang digunakan Dawam, jadi bukan merupakan pendekatan itu sendiri. Atau, itu adalah konsekuensi dari metode, tapi bukan metode itu sendiri. Sementara itu, untuk bisa disebut sebagai satu model dengan corak pemikiran Jerman, kita sulit menemukan keberanian berpikir spekulatif pada karya-karya Dawam. Meskipun secara teknis ia menuliskan pemikirannya dalam “model Jerman”, yaitu tulisan-tulisan tebal dan mendalam, yang menunjukkan keseriusannya dalam membahas setiap persoalan, minimnya unsur spekulatif dan intensi terhadap metafisika membuat pemikiran Dawam tidak bisa dimasukan sebagai semodel dengan corak pemikiran Jerman. Barangkali, sekali lagi ini hanya sekadar usaha untuk menyederhanakan sekaligus meringkus prisma pemikiran Dawam yang luas itu, corak pemikiran Dawam sepertinya lebih bersesuaian dengan “model Perancis”. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat ini. Pertama, dalam posisinya sebagai seorang pembahas, jangkauan bahasan yang diberikan oleh Dawam atas gagasan-gagasan yang telah lebih dulu diutarakan oleh koleganya, misalnya, seringkali jauh lebih kompleks dan lengkap daripada gagasan awalnya, termasuk mencakup elaborasi dari berbagai konsekuensi logis yang dalam gagasan awal tidak diperhatikan. Dalam kaitannya dengan gagasan Ekonomi Pancasila, misalnya, sulit untuk ditampik jika hingga hari ini gagasan itu lebih lekat pada figur Mubyarto. Namun, kontribusi Dawam terhadap gagasan Ekonomi Pancasila, terutama melalui pendekatan filsafat yang disumbangkannya, dan berbagai komparasi yang dilakukannya untuk melegitimasi bahwa pencarian teori dan paradigma baru pembangunan bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga dilakukan di Tanzania, Srilanka, India, dan tentu saja
131
Didin S. Damanhuri, “Ekonomi Politik M. Dawam Rahardjo: Analisis Ekonomi berbasis Kondisi Historis Sosial, Politik, dan Budaya Bangsa Indonesia”, tulisan kata pengantar bagi buku M. Dawam Rahardjo, Nalar Ekonomi Politik Indonesia, op. cit., hal. vi.
43
Amerika Latin,132 membuat sumbangan Dawam tak menjadi hanya catatan kaki, melainkan sebuah kontribusi besar tersendiri. Seperti halnya corak filsafat Perancis yang kadang meneruskan gagasan-gagasan yang telah dilahirkan filsafat Jerman, namun dengan pembahasan yang jauh lebih cermat dan problematisasi yang lebih rumit dan lebih matang, maka demikian juga sejumlah pemikiran Dawam. Kedua, sebagaimana halnya di Perancis dimana filsafat sangat memasyarakat dan terlibat dalam urusan-urusan publik, maka pemikiran Dawam juga terlibat dalam berbagai persoalan keseharian. Dawam bukan hanya memiliki karangan-karangan panjang yang berlarat-larat, namun juga esai-esai atau kolom-kolom pendek yang jumlahnya tak sedikit, baik yang dipublikasikan di surat kabar harian, mingguan, maupun majalah. Karangan-karangan pendek ini, yang sayangnya hingga kini belum tersentuh dan dibukukan, menunjukkan keterlibatannya yang intens terhadap masalah-masalah keseharian. Dan sebagai seorang pemikir, meski menulis kolom pendek, karangan Dawam selalu penuh rujukan. Tulisantulisan pendeknya kadang merupakan terusan dari karangan-karangan panjangnya, atau juga sebaliknya, karangan-karangan panjangnya merupakan terusan dari beberapa persoalan yang pada mulanya diutarakan dalam bentuk kolom. Dan ketiga, juga sebagaimana halnya di Perancis dimana filsafat bertaut dengan kesusastraan, yang ditandai oleh banyaknya filosof Perancis yang diakui sebagai sastrawan besar, seperti Bergson, Camus, dan Sartre, maka pertautan itu juga hadir pada diri Dawam. Sejak masih mahasiswa Dawam bukan hanya telah terbiasa menulis kolom, melainkan juga telah banyak menulis cerpen dan menerjemahkan sejumlah cerpen berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Jadi, selain memiliki alat ekspresi berupa kolom atau karangan ilmiah, gagasan-gagasan Dawam juga kadang disampaikan melalui sastra, dalam hal ini cerpen. Kalau membaca sejumlah cerpennya yang lahir belakangan, sastra secara sengaja memang digunakan oleh Dawam sebagai media untuk menyampaikan gagasan, terutama gagasan keagamaannya.133 Paling tidak, tiga alasan itu cukup untuk menggambarkan bahwa Dawam adalah pemikir “model Perancis”. Namun, karena secara teknis ia juga memiliki ketahanan yang mengagumkan untuk menuliskan gagasannya secara panjang lebar, yang selintas akan mengingatkan kita pada pemikir “model Jerman”, bolehlah kita menyebutnya sebagai “pemikir model Perancis yang arsitektonik”. Gagasan-gagasan tebal yang ditulis orang Jerman, karena tendensi kelengkapannya, membuatnya bersifat arsitektonik. Karangan-karangan Dawam memiliki juga ciri itu. Tak heran, 132
Lihat, misalnya, M. Dawam Rahardjo, “Pengalaman Pembangunan Dasawarsa 1970-an: Menuju Strategi Alternatif”, dimuat di Prisma, No. 11/IX, November 1980, hal. 54-55. 133 Lihat, misalnya, M. Dawam Rahardjo, Anjing yang Masuk Surga (Yogyakarta: Jalasutra, 2008).
44
salah satu makalah terbarunya mengenai Ekonomi Islam bertajuk “Konsep Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam”. Makalah itu bukan sekadar mengambil judul “arsitektur”, karena di dalamnya Dawam memang benar-benar mengemukakan gagasannya menganai bagaimana sebenarnya bangun gagasan Ekonomi Islam, lengkap dengan sejumlah modelnya.134 Akhir kata, karena buku yang kini berada di tangan pembaca ini diterbitkan dalam rangka untuk memperingati hari ulang tahun penulisnya yang ke-70, ada baiknya pengantar ini ditutup dengan sebuah ucapan: Selamat ulang tahun, Pak Dawam! Teruslah menulis, seperti mentari yang selalu menyambangi kami tiap pagi, agar arsitektur pemikiranmu semakin utuh. Yogyakarta, 1 April 2012
Tarli Nugroho
45
134
M. Dawam Rahardjo, “Konsep Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam dan Pengembangannya pada Perguruan Tinggi di Indonesia”, makalah disampaikan pada Workshop Nasional Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam, yang diselenggarakan UIN Syarif Hidayatullah, 28 Februari 2012.