18
BAB II LATAR BELAKANG DAN PEMIKIRAN M. DAWAM RAHARDJO
A. Biografi dan Karya M. Dawam Rahardjo M. Dawam Rahardjo dilahirkan di desa Tempur Sari, Solo Jawa Tengah pada tanggal 20 April 1942.1 Ayahnya adalah seorang ahli tafsir alQur’an dan merupakan orang pertama yang menanamkan kecintaannya akan alQur’an kepada Dawan Rahardjo. Sebagai seorang yang berangkat dari keluarga muslim, sejak kecil Ia sudah kental dengan pendidikan agama. Dorongan dari keluarga muslim ini pula yang mengantarkan dia tekun dan semangat di dalam mengkaji masalah-masalah agama. Bersama keluarganya Dawam Rahardjo tidak saja akrab dengan pranata-pranata sosial kemasyarakatan Islam seperti pondok pesantren Jamsaren, pesantren Krapyak atau organisasi perkotaan Muhammadiyah, tetapi juga dekat dengan ulama’ berpengaruh seperti KH. Imam Ghazali, KH. Ali Darokah, Ustadz Abdurrahman. Walau dalam karir akademiknya orang lebih mengenalnya sebagai “jebolan sekolahan” yang pernah mengenyam – melalui program America Field Service (AFS)- pendidikan SMA di Boisie, Indaho Amerika
1
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, Jakarta : Paramadina, 1996, t.hlm
19
Serikat dan berhasil mendapat gelar sarjana ekonomi dari UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta.2 Sebagai “jebolan sekolahan” dan darah santrinya yang menyatu dalam dirinya, Dawam mempunyai intens yang besar terhadap kajian ke-Islam-an termasuk di dalamnya yang menyangkut bidang ekonomi.3 M. Dawam Rahardjo adalah seorang ekonom Muslim yang mempunyai segudang aktifitas dan pernah menduduki jabatan penting dalam organisasi, diantaranya pernah menjabat Ketua II Dewan Pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), Direktur Utama Pusat Pengembangan Agribisnis, Ketua Dewan Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Ketua Redaksi Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an dan dosen di Lembaga Pendidikan Pengembangan Manajemen (LPPM) Jakarta.4 Sebagai insan akademisi yang menekuni bidang ekonomi, M. Dawan Rahardjo telah melakukan lebih dari 30-an penelitian di bidang ekonomi, baik di dalam negeri maupun luar negeri serta beberapa studi dan perencanaan untuk bidang yang ditekuninya. Beliau juga banyak menulis karya ilmiah dan artikel di berbagai surat kabar, majalah dan jurnal dan memiliki ruang khusus dan tetap di jurnal Ulumul Qur’an. Karena banyak karya-karyanya di bidang sosial keagamaan itulah sehingga, dia lebih dikenal sebagai intelektual Islam (menguasai agama Islam). Hal ini karena dalam perjalanan hidupnya ia begitu
2
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999,
hlm. x 3
Ibid M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, Cet. IV, 1999, t.hlm 4
Bangsa: Risalah
20
dekat dengan tokoh-tokoh pembaharuan Islam yang lainnya, seperti Cak Nur, Johan Effendi, Harun Nasution, dan sebagainya. Bahkan dia sendiri disebut sebagai tokoh bagian dari tokoh-tokoh pembaharuan Islam seangkatan Cak Nur (Nur Cholis Madjid), terutama yang yang ahli dalam bidang sosiologi al-Qur’an dan etika ekonomi Islam. Karya-karyanya di bidang tafsir al-Qur’an (ensiklopedi al-Qur’an)
menjadikan
Dawam
Rahardjo
lebih
dikenal
pula
sebagai
ensiklopedis, karena banyak menguasai bidang-bidang sosial keagamaan. Diantara karya-karya M. Dawam Rahardjo dalam bidang ekonomi dan ke-Islam-an adalah : a. Esai-esai ekonomi politik (1983) b. Transformasi pertanian, industrialisasi dan kesempatan kerja (1985) c. Etika ekonomi dan Managemen (Yogyakarta, Tiara wacana, 1990) d. Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa (Bandung, Mizan, 1992) e. Perspektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam (Bandung, Mizan, 1993) f. Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta, Paramadina, 1996) g. Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999) Selain sebagai penulis yang produktif, Dawam Rahardjo juga aktif menulis di surat kabar, majalah dan jurnal di dalam maupun luar negeri, dia juga
21
banyak memberikan kata pengantar untuk buku-buku keislaman, filsafat, sosiologi dan ekonomi.5 B. Latar Belakang dan Pemikiran M. Dawam Rahardjo Kalau di Solo merupakan tempat di mana Dawam mendapatkan dasardasar pemahaman mengenai Islam, maka di Yogyakarta lah minat terhadap pemikiran ke-Islam-an berkembang. Setidak-tidaknya ada tiga hal penting yang mempengaruhi perkembangan pemikirannya6 pertama adalah situasi sosialkeagamaan dan politik Indonesia. Indonesia pada dasawarsa 1960-an masih disibukkan oleh antagonisme ideologis dan politis antara Islam dan negara. Situasi demikian muncul antara lain karena idealisme dan aktifisme para pemikir dan praktisi politik Islam generasi pertama yang tempo-tempo kental nuansa formalistik dan legalistiknya. Kecenderungan demikian telah mendatangkan implikasi-implikasi sosial-politik yang tidak menguntungkan umat Islam. Hal inilah yang kemudian memunculkan dialektika pemikiran dan aktifisme baru yang dikembangkan oleh generasi muda untuk menemukan sintesa yang memungkinkan dalam soal hubungan antara Islam dan negara. Dalam kerangka itu pula perlu dilakukan kajian ulang atas posisi Islam dalam kehidupan sosial ekonomi politik bangsa. Kedua, keterlibatan Dawam Rahardjo dalam organisasi HMI Yogyakarta yang aktifitasnya memainkan peranan penting dalam memberikan 5
6
Ibid Bahtiar Effendi, M. Dawam Rahardjo dan Pembaharuan Pemikiran Islam: Perspektif
Transformasi Sosial-Ekonomi, dalam Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. x-xi
22
respon terhadap situasi politik Indonesia, dan berusaha mengaitkan Islam dengan persoalan keseharian yang lebih empirik sifatnya. Walaupun hal itu tidak menjadi kebijakan resmi organisasi, tatapi HMI tetap memberikan semacam institutional
leverage
kepada
para
kadernya
melalui
training
yang
diselenggarakan secara periodik. Ketiga, aktivitas Dawam Rahardjo di dalam kelompok diskusi limited Group yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mukti Ali. Kelompok diskusi yang dihadiri secara rutin oleh, antara lain, Syu’bah Asa, Saifullah Mahyuddin, Djauhari Muhsin, Kuntowijoyo, Syamsuddin Abdullah, Muin Umar, Djohan Effendi dan Dawam sendiri yang terbiasa membahas masalah-masalah keagamaan, sosial politik secara terbuka tanpa takut untuk dicap telah keluar dari kaidah-kaidah religius dan teologis yang lazim. Ketiga faktor inilah yang menyebabkan Dawam melihat Islam dalam konteks ke Indonesiaan yang lebih empiris. Oleh karenanya tokoh yang pernah mengaji kepada Ustadz Isa Bugis dalam dirosat al-Qur’an ini tak tertarik lagi untuk memahami Islam dalam konteks tektual per se tetapi dalam konteks persoalan yang berkembang di bumi nusantara. Al-Qur’an juga tidak harus dilihat dalam prespektif ilmu tajwid saja, tetapi harus dibaca dan dikaji dalam konteks kebutuhan-kebutuhan yang riil. Dalam pandangan Dawam Rahardjo, apa yang telah dilakukannya bersama teman-temannya pada era tahun 1960-an, khususnya mereka yang bergabung dalam HMI adalah untuk mengubah situasi politik yang tidak menguntungkan Islam, karena pada saat itu pemerintah melakukan domistikasi
23
Islam. Sehingga Islam ditolak sebagai dasar idiologi agama negara, tetapi komunitasnya berkali-kali diberlakukan sebagai kelompok minoritas atau kelompok luar dalam kehidupan sosial ekonomi dan politik nasional. Untuk menghadapai persoalan tersebut, menurut pandangan M. Dawam Rahardjo sebagimana dikutip oleh Bahtiar Effendy terdapat tiga madzhab pemikiran7, yaitu : Pertama, pembaharuan keagamaan (teologis) yang memfokuskan diri pada pencarian dasar teologi baru yang memungkinkan terciptanya sintesa yang menghubungkan antara Islam dan negara, terutama dilihat dari sudut hubungan politiknya. Tokoh aliran ini diantaranya adalah : Nurcholish Madjid, Djohan Effendy, Ahmad Wahib, Harun Nasution, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Munawir Syadzali. Kedua, pembaharuan politik (birokrasi) yang bertujuan untuk menjembatani antara Islam dan pemerintah, sehingga kecurigaan-kecurigaan politik dan ideologis bisa dikikis (paling tidak dikurangi). Tokoh aliran ini diantaranya adalah Ms Mintaredja, Sulastomo, Akbar Tandjung, Bintoro Amidjojo, Mar’ie Muhammad dan Sa’adillah Mursid. Ketiga, aliran transformasi sosial dan kemasyarakatan. Perhatian utama kelompok ini adalah melakukan pemberdayaan ekonomi dan politik masyarakat bawah, baik yang ada di pedesaan maupun yang ada di perkotaan. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Sudjoko Prasodjo, M. Dawam Rahardjo, Tawang Alun, Utomo Danandjaya dan Adi Sasono.
7
Ibid, hlm. xiv-xv.
24
Ketiga aliran tersebut telah bergerak secara sinerjik meskipun benturan dan gesekan antara satu aliran dengan aliran yang lain sering kali terjadi dan tidak terelakkan akan tetapi periode akhir 1980-1990-an menunjukkan bahwa kerja keras mereka selama dasawarsa ini membuahkan hasil yang cukup mengembirakan. Kecurigaan menipis, dan akomodasi negara atas sejumlah aspirasi Islam terlaksana. Pengelompokan di atas sebenarnya tidak clear cut. Dawam sendiri telah menaruh perhatian yang besar pada dua aliran yang pertama (pembaharuan politik dan keagamaan), walaupun dalam hal ini dia lebih banyak terlibat dalam pengembangan wacana bukan dalam kegiatan praktis sampai kemudian dia bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) di era Reformasi (1990). Namun penting untuk dicatat, para pemikir transformis baik yang berorientasi praksis maupun teoretis, pemikirannya didasarkan pada tradisi Barat, terutama di bidang sosial-ekonomi dan politik. Bahkan dapat dikatakan, para pemikir transformis hampir tidak mempunyai keraguan sedikit pun untuk menggunakan kerangka-kerangka teori atau metodologi barat.8 Tetapi pada saat yang sama mereka juga menilai secara kritis -bahkan juga mencari alternatif- dari dominasi dari penggunaan kerangka dan metodologi Barat itu. Namun untuk keperluan umat, para pemikir transformis berusaha mengkonseptualisasikan dan mentransformasikan kerangka dan metodologi
8
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995, hlm.163
25
Barat tersebut ke dalam kerangka ajaran-ajaran Islam, baik secara normatif maupun empiris.9 Menurut M. Syafi’i Anwar, Dawam Rahardjo termasuk pemikir transformis yang berorientasi praktis.10 Pemikiran transformatif M. Dawam Rahardjo dapat dilihat pada pernyataannya
yang
menginginkan
adanya
“pembaharuan
teologi”.
Pembaharuan teologi yang dimaksudkan Dawam tidak mendiskusikan aspekaspek normatif atau literal dari teologi Islam itu sendiri, tetapi bertolak dari dimensi empiris perkembangan pemikiran Islam.11 Dalam pengamatan tokoh yang pernah mengikuti program pertukaran pelajar di High School Amerika Serikat selama satu tahun ini, konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah keagamaan selama ini terlalu dikuasai oleh ilmu-ilmu Islam tradisional. Akibatnya, di tengah perkembangan budaya dan pembangunan, umat Islam berdiri
di atas paradigmanya sendiri. Di mana
pandangan politik umat Islam tradisional pada umumnya bercorak legal-formal, yakni menghendaki hukum Islam diberlakukan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara keseluruhan. Melihat realitas seperti itu, seorang ekonom tamatan UGM ini memandang perlunya hukum Islam dikembangkan secara praktis dan empiris agar dapat diterapkan dalam kehidupan nyata dan dalam lingkup hukum-hukum negara. Demikian pula dalam bidang ekonomi dan politik, di mana umat Islam
9
Ibid Ibid 11 Ibid, hlm. 165 10
26
tidak tahu persis sistem ekonomi dan politik apa yang sebenarnya dikehendaki. Sementara itu fiqh di bidang
pemerintahan (khilafah) dan muamalat tidak
mungkin atau sangat sulit untuk dikembangkan karena sudah terlanjur dibakukan. Menanggapi persoalan seperti ini, yang perlu dilakukan oleh umat Islam adalah melepaskan diri dari paradigma lama yang dikendalikan oleh nilainilai tradisional dan harus berfikir dalam kerangka budaya universal.12 Agar upaya ini terwujud, perlu dilakukan penafsiran kembali aspekaspek teologis ajaran Islam pada tingkat yang paling fundamental. Dengan kata lain, umat Islam membutuhkan pembaruan teologi yakni pemikiran keagamaan yang merefleksikan respon manusia terhadap wahyu Allah.13 Seiring hal itu Dawam Rahardjo memiliki pandangan yang menarik tentang wahyu Allah (al-Qur’an) bahwa bukan hanya ulama’ yang punya hak istimewa atas al-Qur’an, tetapi setiap orang, seharusnya setiap muslim punya akses, jalan masuk yang langsung pada wahyu Allah. Oleh sebab itulah dalam karya tafsir kontemporer dia maksudkan agar kaum muslim dari berbagai jenis tingkatan pengetahuan, pendidikan dan tingkat intelektual bisa melakukan komunikasi langsung dengan al-Qur’an.14 Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3S) merupakan lingkungan kerja yang kondusif bagi Dawam untuk menempatkan transformasi sosial, ekonomi dan masyarakat sebagai prioritas 12
Ibid, hlm. 166 Ibid 14 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, 13
op.cit., hlm. 12
27
perhatiannya. Selain itu, Dawam juga aktif dalam kegiatan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sehingga bisa merasakan secara langsung problematika atau permasalahan riil yang dihadapi masyarakat, posisi Bapak dua anak ini sebagai eksponen LSM cukup terkemuka, dan dia telah memungkinkan menjalin kontakkontak personal dan intelektual dengan para cendekiawan dari Barat.15 Tujuan dari agenda transformasi sosial, ekonomi dan kemasyarakatan, selain untuk menciptakan infrastruktur yang kuat dalam membangun basis politik Islam yang sesungguhnya pada tingkat bawah yang dapat mendukung sistem yang terbuka dan partisipasif, juga dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan kesadaran masyarakat luas. Syukur-syukur strategi ini dapat menciptakan kelas menengah yang otonom -unsur pokok dalam pembentukan masyarakat yang kuat, dalam hubungannya dengan negara. Dalam kerangka teoritis, keberadaan kelas menengah yang otonom atau masyarakat madani yang kuat merupakan faktor penting bagi pengembangan kehidupan politik yang demokratis. C. Pandangan M. Dawam Rahardjo dan Pemikir Lain Tentang Riba Para ulama’ pada intinya telah sepakat akan keharaman riba, sebab keharaman riba ini telah termaktub secara gamblang dan jelas dalam al-Qur’an dan al-hadits. Begitu pun pandangan Dawam Rahardjo tentang hukum riba yaitu haram.
15
Ibid, hlm. 164 dan lihat juga Bahtiar Effendi, M. Dawam Rahardjo dan Pembaharuan
Pemikiran Islam: Perspektif Transformasi Sosial-Ekonomi, dalam Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, op.cit., hlm. xv
28
Secara umum para ulama’ ketika mengartikan riba secara lughat atau bahasa adalah ziyadat (tambahan). Dalam kamus Ibnu Mandhur riba berasal dari akar kata raba yang berarti bertambah dan berkembang atau tumbuh (az-ziyadah wa nama).16 Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, riba berarti berkembang, meningkat dan melebihi.17 Abu Sura’i Abdul Hadi berpendapat, bahwa tambahan yang dimaksud dalam arti riba, bukanlah tambahan dalam pengertian secara umum. Sekiranya bentuk tambahan haram, tentunya perdagangan pun menjadi haram. Padahal Islam menghalalkan perdagangan. Oleh karena itu, tambahan yang dimaksud dalam arti riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi.18 Menurut syar’i riba adalah tambahan pada modal uang yang dipinjamkan dan harus diterima oleh yang berpiutang sesuai dengan jangka waktu peminjaman dan prosentase yang ditetapkan.19 Ada ulama yang mendefinisikan riba sebagai, bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik orang yang berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.20 16
Ibnu Mandhur al-Afriqi al-Mishri, Lisanul Arab, Beirut: Darul Fikr, Jilid 14, 1990, hlm.
304 17
Cyrill Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, Terj. Gufron A. Mas’adi, “Ensiklopedi Islam (Ringkas)”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 343 18 . Abu Sura’i Abdul Hadi, al-Riba Wa al-Qurudh, Terj. Drs. M. Thalib, Bunga Bank Dalam Islam, Surabaya : al- Ikhlas, 1993, hlm. 7-8 19 Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Houve, Jilid IV, 1993, hlm. 167 20 Ali Ashobuni, Rawai al-Bayan fi al-Tafsir ayat al-Qur’an, I, Dar al-Qur’an, 1972, hlm. 383
29
Seiring hal ini Afzalur Rahman menyatakan riba adalah biaya yang ditentukan dimuka atau surplus dan kelebihan modal yang diterima kreditur dalam kondisi yang berkaitan dengan periode waktu. Oleh karena itu menurut Afzalur Rahman dalam transaksi riba sedikitnya terkandung tiga unsur, yaitu viz yang ditambahkan pada pokok pinjaman, besarnya tambahan menurut jangka waktunya dan jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah disepakati.21 Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh Afzalur ini maka bunga bank termasuk riba yang diharamkan. Permasalahan riba telah diungkap dalam al-Qur’an dan pelarangannya dilakukan oleh Allah secara tadrij atau bertahap, namun para ulama’ berbeda pendapat dalam menyatakan urutan-urutan atau kronologis turunnya ayat riba. Dan hal ini nantinya dapat berimbas pada pemahaman seseorang terhadap bunga bank. Dengan mengutip surat al-Rum: 39, M. Dawam Rahardjo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan riba adalah nilai atau harga yang ditambahkan kepada harta atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain.22 Namun pengertian tersebut bagi Dawam belum memberikan ketetapan hukum tentang haramnya riba. Bagi Dawam Rahardjo pengertian riba dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak tujuh kali. Secara kronologis ayat pertama yang turun adalah yang
21
Afzalur Rahman, Ekonomic Doctrines of Islam, Terj. Soeroyo dan Nastangin, “Doktrin Ekonomi Islam”, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996, hlm. 85 22 Ibid
30
tercantum dalam al-Qur’an surat al-Rum: 39. Ayat kedua adalah yang tertuang dalam surat al- Baqarah: 275, 276, 278 dan 280 kemudian disusul ayat yang tertuang dalam surat Ali-Imran: 130 dan ayat yang tarakhir turun mengenai riba, tercantum dalam al-Qur’an surat al-Nisa’: 161.23 Dalam penempatan kronologis turunnya ayat riba ini Dawam Rahardjo berbeda dengan kebanyakan ulama’, khususnya al- Shabuni, namun ada kesamaanya yaitu ayat yang diturunkan pada tahap pertama (al-Rum: 39) dan pada tahap ketiga yakni surat Ali- Imran: 130, yang berbeda adalah pada tahap kedua dan keempat. Surat al-Nisa’: 161 ditempatkan oleh al-Shabuni pada tahap ketiga, yang oleh Dawam diposisikan pada tahap terakhir turunnya ayat riba. Sedangkan surat al-Baqarah : 178-279 ditempatkan oleh al-Shabuni pada tahap terakhir, sementara bagi Dawam surat al-Baqarah ini ditempatkan pada tahap kedua. Pengertian riba dalam surat al-Rum: 39, oleh M. Dawam Rahardjo dipahaminya sebagai ayat yang menilai riba secara ekonomis, yaitu dapat menambah kekayaan seseorang. Namun dalam penilaian Allah, riba tidak bertambah apa-apa.24
ﺯﻜﹶﻭ ٍﺓ ﻥ ﻡ ِﻤ ﻴ ﹸﺘ ﺎَﺃ ﹶﺘﻭﻤ ﷲ ِ ﺍﻋ ﹾﻨﺩ ِ ﺍﺒﻭ ﺭ ﻴ ﻼ ﺱ ﹶﻓ ﹶ ِ ل ﺍﻟﻨﱠﺎ ِ ﺍﻤﻭ ﻭﺍ ﻓِﻰ ﹶﺍﺭ ﺒ ﻴ ﺎ ِﻟﻥ ِﺭﺒ ﻡ ِﻤ ﻴ ﹸﺘ ﺍ ﹶﺘﺎﺀﻭﻤ ﻥ ﻭ ﻀ ِﻌ ﹸﻔ ﻤ ﻡ ﺍ ﹾﻟ ﻫ ﻙ ﷲ ﻓﹶﺎﺅُﻟﺌ ِ ﻪ ﺍ ﺠ ﻭ ﻥ ﻭ ﺩ ﻴ ﹸﺘ ِﺭ
23
24
Ibid, hlm. 597 M. Dawam Rahardjo, Prespektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, Bandung :
Mizan, 1989, hlm. 131
31
Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yamg kamu berikan agar dia bertambah pada manusia, maka itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).25 (QS. Ar-Rum : 39) Pada ayat di atas Allah belum menetapkan hukum tentang haramnya riba, melainkan sebagai ancang-ancang terhadap larangan riba dalam ayatayat yang akan turun kemudian.26 Namun satu hal perlu untuk diketahui di sini bahwa dalam ayat tersebut riba dipertentangkan dengan zakat. Penunaian zakat ini dinilai Allah sebagai tindakan yang terpuji. Dimana zakat diambil dari harta yang dianggap berlebih yang dimiliki seseorang. Ketika masih ada orang yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka zakat adalah sebagai jalan keluarnya dan bukannya justru dengan meminjamkan uang tetapi dengan memungut tambahan pada waktu pengembaliannya. Ini adalah suatu perbuatan yang tidak etis.27 Dengan ancang-ancang ayat di atas (al-Rum: 39), kemudian turun beberapa ayat yaitu yang tertuang dalam surat al- Baqarah: 275, 276, 278 dan 280. Dengan turunnya ayat ini Allah mulai menurunkan hukum yang tegas mengenai riba. Berdasarkan
al-Qur’an surat al- baqarah: 275, dalam pandangan
Dawam, ada beberapa hal yang dijelaskan di sini. Pertama, transaksi jual beli (bay’) itu tidak sama dengan riba. Perdagangan itu diperbolehkan, sedangkan 25
26
Depag RI, Al-quran dan Terjemahnya, Jakarta, 1971. hlm. 647. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, op.cit., hlm. 604 27 Ibid
32
riba itu diharamkan. Dan ketiga, mereka yang telah mendengar ayat larangan riba, segera harus berhenti, tanpa mengembalikan riba yang telah terlanjur di tarik.28 Dari ayat di atas, sekali lagi al-Qur’an memberi alternatif terhadap riba. Alternatif pertama adalah perdagangan dan alternatif lain adalah sedekah. Sebagaimana tercantum dalam surat al- Baqarah : 276.
ﹸﻛ ﱠﻞ ﹶﻛﻔﱠﺎ ٍﺭ ﹶﺃﺛِﻴ ٍﻢﺤﺐ ِ ﻳ ﻪ ﹶﻻ ﻭﺍﻟﻠﹼ ﺕ ِ ﺪﻗﹶﺎ ﺼ ﺮﺑِﻲ ﺍﻟ ﻳﻭ ﺎﺮﺑ ﻪ ﺍﹾﻟ ﺍﻟﻠﹼﺤﻖ ﻤ ﻳ “Allah memusnahkan riba (manfaat) riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam ke-kafir-an (terus membangkang) dan selalu berbuat dosa.”(Q.S .2:276)
Dengan fenomena seperti ini, maka menurut Dawam masalahnya akan jadi lain jika dikaitkan dengan bisnis sekarang. Dimana jika transaksi itu pada hakekatnya adalah jual beli, sedangkan keuntungan dalam jual beli diperbolehkan, maka tentunya keuntungan dari hasil transaksi keuangan yang bersifat jual beli bukanlah riba.29 Adapun ayat-ayat yang secara tegas melarang perbuatan riba berikut sifat-sifatnya, tercantum dalam surat Ali-Imron: 130.
ﷲ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َ وَا ﱠﺗﻘُﻮا ا
ﻗﻠﻰ
ﻋ َﻔ ًﺔ َ ﺿﻌَﺎﻓًﺎ َﻣﻀَﺎ ْ ﻦ َأ َﻣ ُﻨ ْﻮ َﻻﺗَﺄ ُآُﻠﻮْااﻟ ِﺮّﺑﻮاَا َ ﻳَﺎ َا ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟ ِﺬ ْﻳ
ن َ ﺤ ْﻮ ُ ُﺗ ْﻔ ِﻠ “Hai-orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
28 29
Ibid, hlm. 605 Ibid, hlm. 606
33
Larangan riba dalam ayat di atas ini jelas adalah riba yang bersifat ad’afan muda’afan. Larangan riba yang disertai berlipat ganda ternyata membuka diskusi dan peluang terhadap penafsiran tentang riba khususnya ketika dikaitkan dengan bunga bank.30 Menurut Dawam Rahardjo, ayat yang terakhir turun mengenai riba itu menari sebab di situ soal riba dikaitkan dengan aktivitas khas orangorang Yahudi pada masa Rasulullah SAW, namun kata riba hanya disebut pada ayat 161dalam surat Al- Nisa’.
ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﻦﻢ ﻋ ﺪ ِﻫ ﺼ ﻭِﺑ ﻢ ﻬ ﺖ ﹶﻟ ﺕ ﺃﹸ ِﺣﻠﱠ ٍ ﺎﻴﺒﻢ ﹶﻃ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﺎﻣﻨ ﺮ ﺣ ﻭﹾﺍﺎﺩﻦ ﻫ ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﻣ ﻓﹶـِﺒﻈﹸ ﹾﻠ ٍﻢ ﺎﺪﻧ ﺘﻋ ﻭﹶﺃ ﺎ ِﻃ ِﻞﺱ ﺑِﺎﹾﻟﺒ ِ ﺎﺍ ﹶﻝ ﺍﻟﻨﻣﻮ ﻢ ﹶﺃ ﻭﹶﺃ ﹾﻛِﻠ ِﻬ ﻨﻪﻋ ﻮﹾﺍﻧﻬ ﺪ ﻭﹶﻗ ﺎﺮﺑ ﺍﻟﺧ ِﺬ ِﻫﻢ ﻭﹶﺃ .ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﹶﻛﺜِﲑﹰﺍ ﻮ ﹶﻥﺆ ِﻣﻨ ﻤ ﺍﹾﻟﻢ ﻭ ﻬ ﻨﻮ ﹶﻥ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ ِﻌ ﹾﻠ ِﻢ ِﻣﺍ ِﺳﺨ ﻟﱠـ ِﻜ ِﻦ ﺍﻟﺮ.ﻋﺬﹶﺍﺑﹰﺎ ﹶﺃﻟِﻴﻤﹰﺎ ﻢ ﻬ ﻨﻦ ﻣِـ ِﻟ ﹾﻠﻜﹶﺎﻓِـﺮِﻳ ﺰﻛﹶﺎ ﹶﺓ ﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﺆﺗ ﻤ ﺍﹾﻟﻼ ﹶﺓ ﻭ ﺼﹶ ﲔ ﺍﻟ ﻤﻘِﻴ ِﻤ ﺍﹾﻟﻚ ﻭ ﺒِﻠﺎ ﺃﹸﻧ ِﺰ ﹶﻝ ﻣِﻦ ﹶﻗﻭﻣ ﻚ ﺎ ﺃﹸﻧ ِﺰ ﹶﻝ ِﺇﻟﹶﻴﻮ ﹶﻥ ِﺑﻤﺆ ِﻣﻨ ﻳ ﻭﻟﹶـِﺌ ﻮ ِﻡ ﺍﻵ ِﺧ ِﺮ ﹸﺃ ﻴﺍﹾﻟﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎﻟﹼﻠ ِﻪ ﻭﺆ ِﻣﻨ ﻤ ﺍﹾﻟﻭ .ﻋﻈِﻴﻤﹰﺎ ﺮﹰﺍﻢ ﹶﺃﺟ ﺆﺗِﻴ ِﻬ ﺳﻨ ﻚ “Maka disebabkan ke-zhalim-an orang-orang Yahudi,kami cabut atas mereka berbagai kenikmatan hidup yang dulu pernah dilimpahkan kepada mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia di jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal mereka telah dilarang melakukannya, dan karena mereka memakan harta sesamanya dengan batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang mengingkari kebenaran diantara mereka itu, suatu kesengsaraan hidup yang pedih. Tetapiorangorang yang mendalam ilmunya diantara mereka dan orang-orang yang beriman, mereka percaya kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (al-Qur’an) dan apa yang diturunkan sebelummu, dan orang-orang yang mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, orang-orang itulah yang akan kami berikan kepada mereka karunia yang besar”.(Q.S.al-Nisa’: 160-162)
30
hlm.133
M. Dawam Rahardjo, Prespektif
Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, op.cit.,
34
Kemudian menurut Dawam Raharjo dengan diketengahkannya berbagai istilah lain berkaitan dengan riba itu seperti “kekayaan”, “membelanjakan”, “rizki”,”perdagangan“, ”berlipat ganda” atau “zakat”, sebenarnya al-Qur’an telah membuka diri terhadap analisis ekonomi. Bagaimana kita bisa mengerti maksud ayat-ayat dan istilah-istilah itu tanpa memasukkannya “sebagai, atau “diantara” kategori-kategori ekonomi?. Misalnya, bagaimana kita bisa memahami secara persis apa yang dimaksud dengan “ riba” yang berlipat ganda”. Untuk bisa memahaminya, kita perlu melihat kenyataan-kenyataan empiris.31 Dawam Rahardjo dengan megutip Gunnar Myrdal menyatakan bahwa di antara tugas ilmu ekonomi di sini adalah
“mengamati
(mengobservasi) dan melukiskan (mendeskripsikan) realitas sosial yang empiris, serta menganalisis hubungan kausal (sebab akibat) diantara kenyataan-kenyataan ekonomi”. Atau, guna “mencapai suatu pengetahuan tentang dunia tempat kita dimana kita hidup”.32 Dengan demikian pembahasan riba apalagi tentang konsekuensi hukumnya tidak boleh dilihat dari satu sisi saja, yaitu berdasarkan doktrin atau teks keagamaan, namun kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di masyarakat pun perlu untuk dipertimbangkan, sebab riba disamping persoalan agama (hukum Islam) juga persoalan ekonomi. Terkait dengan hal ini, maka riba bisa dipandang sebagai kategori ekonomi bila adanya berbagai jenis riba diakui. Misalnya riba yang berlipat 31 32
Ibid Ibid
35
ganda (ad’afan muda’afan) dan yang tidak, atau riba fadl dan riba nasi’ah. Ukuran-ukuran ekonomi diperlukan untuk membedakan jenis-jenis riba.33 Apakah riba (bunga) itu tinggi, sedang, atau rendah berdasarkan perundangundangan yang berlaku dan menurut akal sehat serta di dasarkan atas penggunanya, untuk konsumtif, produktif atau untuk sosial. Berdasarkan hal itu, maka Dawam Rahardjo membedakan riba menjadi dua kategori. Pertama adalah riba yang dilarang dan kedua adalah riba yang diperbolehkan. Riba yang dilarang menurutnya adalah riba yang berkonotasi dengan usury (bahasa Inggris), woeker (bahasa Belanda), mindering (istilah mindering Cina) dan maklun atau ijon (istilah dalam masyarakat petani Indonesia). Sedangkan riba yang diperbolehkan adalah riba yang berkonotasi dengan interest (bahasa Inggris), rente (bahasa Belanda) dan bunga (dalam istilah perbankan Indonesia). Riba yang dilarang (usury, woeker dan ijon) tersebut adalah bunga yang prosentasenya terlalu tinggi, dan istilah ini sudah berkonotasi negatif dan pejoratif.34 Pemahaman M. Dawam Rahardjo tentang riba ini tidak bisa terlepas dari sejarah evolusi dan kontroversi riba (usury, woeker) ke bunga (interest, rente) di Yudeo Kristiani dan dunia Barat. 33
34
Ibid, hlm 130 Istilah-istilah tersebut dapat ditemukan dalam tulisan Dawam Rahardjo khususnya buku-
buku atau karya-karyanya yang membahas tentang riba, diantaranya: buku, Prespektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, buku Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, buku, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, dan buku, Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996
36
Pemahaman ini kemudian beliau tarik benang merahnya ke dataran empiris yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, tentang apa yang sesungguhnya terjadi terhadap riba tersebut. Dalam hal ini Dawam tidak mau terjebak dalam otoritas konsep fiqh yang cenderung rigid dan tidak mau terjebak pula oleh terjemahan yang abstrak serta doktrin-doktrin keagamaan yang parokial, yang kadang tidak menyentuh persoalan sebenarnya yang terjadi sekarang. Menurut Dawam, hukum tertua tentang larangan riba terdapat dalam kode Hukum Musa (perjanjian lama, Leviticus XXV: 36 dan Deutoromy XXIII: 20). Walaupun prakteknya larangan itu hanya diberlakukan dikalangan Yahudi saja, sedangkan mengambil riba dari bangsa lain (gentile) menurut etik mereka, diperbolehkan. Sehingga perilaku buruk bangsa Yahudi ini juga di abadikan oleh al-Qura’an surat al-Nisa’: 160-162.35 Larangan riba menurutnya bukan hanya milik budaya hukum Yahudi saja. Para filsuf Yunani kuno juga telah mengembangkan teori yang mendasari pelarangan riba. Di Yunani misalnya, riba disebut sebagi rokos, yaitu sesuatu yang dilahirkan oleh suatu makhluk organik. Uang kata Aristoteles adalah obyek yang bukan tergolong organik dan digunakan sebagai medium pertukaran, karena itu uang tidak bisa beranak. Barang siapa meminta bayaran dari meminjamkan uang, maka tindakan itu oleh Aristoteles, dinilai bertentangan dengan hukum alam.36
35
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, op.cit., hlm, 598 36 Ibid, 599
37
Lebih lanjut Dawam Rahardjo menyatakan bahwa di Athena, pada zaman pemerintahan Solon, bunga memang tidak dilarang, tetapi tingkat suku bunganya di batasi, yang bertujuan, antara lain, untuk melindungai penduduk yang bekerja pada sektor pertanian. Tabel Dua Belas diciptakan untuk membatasi suku bunga hingga 10 % saja pertahun.Tapi pada tahun 342 SM, telah diumumkan lex genucia yang melarang pengambilan bunga uang berapa pun juga tingkatnya. Membungakan uang sama dengan melakukan tindakan kejahatan.37 Sekalipun Undang-Undang tersebut tidak pernah dicabut, menurut Dawam, namun larangan riba itu ada pengecualiannya. Juga, yaitu pemberian uang muka untuk perdagangan laut (foenus naticum). Pada kaisar Justian, tinggi bunga diatur hingga 6 % saja untuk pinjaman umumnya, 8 % untuk kerajinan dan perdagangan, 4 % untuk bangsawan tinggi, tetapi 12 % untuk perdaganga maritim. Sungguh pun demikian, hukum tersebut berlaku dengan berbagai tekanan dari para filsuf dan teolog Kristen yang menentang riba.38 Pada mulanya, menurut Dawam Rahardjo doktrin resmi gereja maupun pandangan Cendekiawannya sepanjang abad pertengahan, mengenai riba tetap konsisten dengan pandangan injil (Lukas VI: 35), seperti juga diisyaratkan dalam al-Qur’an surat al-Nisa’: 161, bahwa orang-orang yang rasikh (cendekiawan) dan orang-orang yang beriman, tetap berpegang pada doktrin Al-Kitab. ‘Kaum beriman” kata Paus Gregorius, “tidak boleh
37 38
Ibid Ibid
38
mengambil keuntungan dari meminjamkan emas dan logam mulia lainnya”, yakni dari semua obyek yang tidak beranak.39 Menurut Dawam, doktrin di atas selama seribu tahun dapat dipertahankan, karena beberapa sebab. Pertama, semua pinjaman pada umumnya hanya dipergunakan untuk keperluan konsumtif oleh mereka yang kekurangan dan membutuhkannya. Praktek memberi hutang dengan menarik riba dapat diimbangi dengan doktrin karitas atau sedekah. Kedua, kesempatan bisnis baik untuk pembuatan barang maupun untuk perdagangan, sangat terbatas, dan skalanya pun tidak besar. Dalam situasi seperti itu, mereka yang meminjamkan uang, emas atau perak tidak merasa terkena rugi. Di lain pihak, mereka juga merasa tidak kehilangan kesempatan untuk mendapat keuntungan, sehingga mereka tidak memiliki persepsi tentang opportunity cost. Karena itu mereka cukup puas jika yang dipinjamkannya itu kembali dalam keadaan utuh.40 Pada masa menjelang abad modern timbul gerakan untuk menghapus larangan riba. Sungguhpun sudah banyak cendekiawan liberal yang membela profesi pembungaan uang seperti yang dilakukan Pleh Jeremy Bentham, tetapi undang-undang yang berlaku tetap melarang praktek riba hingga pada zaman liberalisme dan kapitalisme. Penghapusan larangan riba baru dilakukan di Inggris pada tahun 1854 dan Belanda pada tahun 1857.
39 40
Ibid Ibid, hlm. 601
39
Pada waktu yang sama, sebagian besar negara-negara bagian di AS masih mempertahankan undang-undang anti riba tersebut.41 Ketika terjadi penghapusan Undang-undang anti riba, maka pengertian tentang riba telah berubah. Undang-undang di berbagai negara di Eropa Barat dan Amerika telah memperbolehkannya. Menurut hukum bunga bank disebut interest (menurut istilah Inggris), atau rente (Belanda). Sejalan dengan pengertian itu maka dalam bahasa Indonesia terdapat pula perbedaan pengertian antara bunga dan riba.42 Dalam pengertian Belanda, wooker adalah bunga yang terlalu tinggi prosentasenya. Istilah ini sudah berkonotasi negatif dan pejoratif. Dalam bahasa Belanda, woekeraar dikenakan kepada orang yang menjalankan pembungaan uang, yang diumpamakan sebagai lintah darat.43 Dengan demikian konsep riba dalam pandangan Dawam adalah tambahan atas utang yang dipungut dalam taraf yang terlalu tinggi dan mengandung unsur pemaksaan atau pemerasan terhadap orang yang membutuhkan tetapi lemah kedudukannya.44
41
Ibid, hlm. 594 Ibid, hlm. 595 43 Ibid 44 Ibid, hlm. 615 42