DAMPAK PENGEMBANGAN SUBSEKTOR PETERNAKAN TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI
RAKHMAT PRABOWO
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Pengembangan Subsektor Peternakan Terhadap Perekonomian Indonesia: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015
Rakhmat Prabowo NIM H14090114
ABSTRAK RAKHMAT PRABOWO. Dampak Pengembangan Subsektor Peternakan Terhadap Perekonomian Indonesia : Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan subsektor peternakan dan dampak pengembangannya terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan berdasarkan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi 2008, menggunakan metode analisis pengganda (multiplier), yaitu multiplier nilai tambah dan multiplier keterkaitan antar sektor serta menggunakan metode analisis simulasi kebijakan. Dari hasil analisis pengganda, investasi pada subsektor peternakan memiliki dampak yang relatif besar terhadap peningkatan nilai tambah, dan peningkatan produksi sektor-sektor hulunya, yang dibuktikan dengan nilai multiplier nilai tambah (1.86) dan multiplier keterkaitan antar sektor (2.44). Dari hasil analisis kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan, menunjukan bahwa kebijakan ini tidak hanya efektif dalam meningkatkan produksi peternakan domestik, akan tetapi juga dapat memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga pertanian-non pertanian. Kata Kunci: Distribusi Pendapatan, Penyerapan Tenaga Kerja, Pertumbuhan Ekonomi, SNSE, Subsektor Peternakan. ABSTRACT RAKHMAT PRABOWO. The Impact of Development In The Livestock Sector Towards The Economy of Indonesia : An Analysis of Social Accounting Matrix. Supervised by WIWIEK RINDAYATI. This paper analyze, the role and the impact of development in the livestock sector towards economic growth, income distribution, and employment based on 2008 Indonesia SAM (SNSE) by using multiplier analysis (value added multiplier and other sector linkage multiplier). Empirical evidence based on multiplier analysis indicated investments in the livestcok sector have profound significance impact on the added value and in production of upstream sectors, which is proved by the value of added value multiplier (1.86) and other sector linkage multiplier (2.44). Based on the policy of reallocation budget over the function of import livestock comodity indicated that this policy not only effective in increasing domestic livestock production, but also improve the income distribution of agricultural household. Keywords: Employment growth, Income Distribution, Livestock Sectors, Social Accounting Matrix.
DAMPAK PENGEMBANGAN SUBSEKTOR PETERNAKAN TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI
RAKHMAT PRABOWO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Dampak Pengembangan Sektor Peternakan Terhadap Perekonomian Indonesia : Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi”, akhirnya dapat terselesaikan. Skripsi ini di susun sebagai salah satu syarat yang harus ditempuh untuk menyelesaikan program sarjana (S1) Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang hati menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan waktu dan pikiran, membimbing serta mengarahkan dan memberi saran, dorongan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. 2. Dr. Tanti Novianti, M.Si. selaku dosen penguji utama dam Ibu Ranti Wiliasih, M.Si. selaku komisi pendidikan 3. Seluruh dosen Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan banyak ilmu dan pemahamannya kepada penulis. 4. Orang tua penulis tercinta serta kakak dan adik-adik tersayang atas doa dan dukungan yang sangat besar dalam proses penyelesaian skripsi ini. 5. Kepada pihak dari les private statistik yang telah membantu membimbing pengolahan data 6. Adrian Prama Arta, Farah Meiska dan Taufik Imandana, atas dukungan, dan motivasinya selama penulis menyusun skripsi ini hingga selesai. 7. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh keluarga besar pakuan teguh dan seluruh teman-teman Ilmu Ekonomi 46 yang telah memberikan dukungan dan semangat selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Besar harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat dan juga dapat digunakan sebagai penambah ilmu pengetahuan pembaca.
Bogor, Agustus 2015
Rakhmat Prabowo
i
ABSTRAK RAKHMAT PRABOWO. Dampak Pengembangan Sektor Peternakan Terhadap Perekonomian Indonesia: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan subsektor peternakan dan dampak pengembangannya terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan antar golongan berdasarkan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi 2008, menggunakan metode analisis pengganda (multiplier), yaitu multiplier nilai tambah, multiplier produksi, multiplier pendapatan tenaga kerja dan multiplier pendapatan institusi rumah tangga dan metode analisis simulasi kebijakan. Dari hasil analisis pengganda, investasi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya memiliki dampak yang relatif besar, baik terhadap peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja, peningkatan nilai tambah, peningkatan produksi sektor-sektor hulunya dan peningkatan pendapatan institusi rumah tangga, yang dibuktikan dengan nilai multiplier produksi (3.71), multiplier nilai tambah (1.86), multiplier keterkaitan antar sektor (2.44) dan multiplier tenaga kerja (1.19). Dari hasil analisis simulasi kebijakan, dampak kebijakan injeksi anggaran belanja pada pengembangan sektor produksi subsektor peternakan, memiliki dampak yang relatif besar terhadap peningkatan pendapatan dan peningkatan daya serap tenaga kerja pertanian. Dari hasil analisis kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan dan hasil-hasinya menunjukan bahwa kebijakan ini tidak hanya efektif dalam meningkatkan produksi peternakan domestik, akan tetapi juga dapat memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga pertanian-non pertanian. Kata Kunci : Distribusi Pendapatan, Penyerapan Tenaga Kerja, Pertumbuhan Ekonomi, SNSE, Subsektor Peternakan. ABSTRACT RAKHMAT PRABOWO. The Impact of Development In The Livestock Sector Towards The Economy of Indonesia: An Analysis Indonesian Social Accounting Matrix 2008 (SNSE 2008). Supervised by WIWIEK RINDAYATI. This paper analyze, the role and the impact of development in the livestock sector towards economic growth, income disparity, and employment based on 2008 Indonesia SAM (SNSE) by using multiplier analysis (value added Multiplier, institution Multiplier, other sector linkage multiplier). Empirical evidence based on multiplier analysis indicated investments in the livestcok sector have profound significance impact on the increase in institution income, added value and in production of upstream sectors, which is proved by the value of production multiplier (3.71), added value multiplier (1.86), other sector linkage multiplier (2.45). Based on the analysis policy of the injection of budget expenditures in the development of livestock production sector, indicated that the policy has a relatively large exposure to the increase of income and absorption of agricultural labor. Based on the policy of reallocation budget over the function of
ii
import livestock comodity indicated that this policy not only effective in increasing domestic livestock production, but also improve the income distribution of agricultural household. Keywords: Employment growth, Income Distribution, Livestock Sectors, Social Accounting Matrix.
iii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................................iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................iv DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................................v PENDAHULUAN .............................................................................................................1 Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1 Rumusan Masalah ....................................................................................................5 Tujuan Penulisan ......................................................................................................5 Manfaat Penelitian ...................................................................................................6 Ruang lingkup Penelitian ......................................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN............................................7 Peran Subsektor Peternakan dalam Pembangunan .................................................. 7 Konsep Pertumbuhan Ekonomi ............................................................................... 8 Teori Pertumbuhan Neo Klasik ................................................................................ 9 Pengertian Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE)................................................. 9 Kegunaan SNSE .....................................................................................................12 Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi ................................................................................................................. 14 Keterbatasan Penelitian .......................................................................................... 15 Penelitian Terdahulu .............................................................................................. 15 Kerangka Pemikiran ............................................................................................... 18 METODE PENELITIAN ................................................................................................ 22 Jenis dan Sumber Data ........................................................................................... 22 Metode Analisis Data ............................................................................................. 22 Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi...................................................................22 Metode Analisis Multiplier .................................................................................... 25 Analisis Dekomposisi Pengganda Neraca .............................................................. 28 Simulasi Kebijakan ................................................................................................ 30 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................................... 32 Peranan Subsektor Peternakan terhadap Perkonomian .........................................32 Dekomposisi Pengganda ........................................................................................ 43 Simulasi Kebijakan ................................................................................................ 50 SIMPULAN DAN SARAN............................................................................................. 64 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................67 LAMPIRAN .................................................................................................................... 69
iv
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Distribusi PDB Sektor Pertanian menurut Lapangan Usaha Laju Pertumbuhan Sektor Pertanian menurut Lapangan Usaha Tenaga Kerja Subsektor Peternakan menurut Status Pekerjaan Kerangka Dasar SNSE Multiplier Nilai Tambah, Tenaga Kerja dan Modal Multiplier Tenaga Kerja menurut Golongan Multiplier Rumah Tangga, Perusahaan dan Institusi Pengganda Institusi Rumah Tangga menurut Golongan Multiplier Produksi, Own Multiplier dan Multiplier Keterkaitan Multiplier Nilai Tambah, Institusi, Produksi dan Multiplier Total Dampak Injeksi pada Subsektor Peternakan Peranan Subsektor Peternakan terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja Dekomposisi Pengganda terhadap Pendapatan Rumah Tangga Dampak Kebijakan Injeksi Anggaran Belanja Investasi Subsektor Peternakan terhadap Nilai Tambah Dampak Kebijakan Injeksi Anggaran Belanja Investasi Subsektor Peternakan terhadap Pendapatan Tenaga Kerja Dampak Kebijakan Injeksi Anggaran Belanja Investasi Subsektor Peternakan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Dampak Kebijakan Injeksi Anggaran Belanja Investasi Subsektor Peternakan terhadap Pendapatan Institusi Rumah Tangga Dampak Kebijakan Realokasi Anggaran Alih Fungsi Impor Komoditas Peternakan terhadap Nilai Tambah Dampak Kebijakan Realokasi Anggaran Alih Fungsi Impor Komoditas Peternakan terhadap Pendapatan Tenaga Kerja Dampak Kebijakan Realokasi Anggaran Alih Fungsi Impor Komoditas Peternakan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Dampak Kebijakan Realokasi Anggaran Alih Fungsi Impor Komoditas Peternakan terhadap Pendapatan Institusi Rumah Tangga
2 3 3 11 33 35 36 38 40 42 44 46 49 51 52 53 55 57 58 60 61
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4.
Grafik perkembangan impor komoditas peternakan Hubungan antar subsistem dalam SNSE Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kerangka Pikir Konseptual Penelitian
4 14 20 21
v
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Dekomposisi pengganda sektor pertanian Nilai koefisien pengganda tenaga kerja dan nilai tambah Penyerapan tenaga kerja berdasarkan snse 2008 Pengganda dan dekomposisi pengganda sektor peternakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi ukuran 105x105 sektor 30 Sistem Neraca Sosial Ekonomi Ukuran 105X105 Sektor 30 (Lanjutan) Sistem Neraca Sosial Ekonomi Ukuran 105X105 Sektor 30 (Lanjutan) Sistem Neraca Sosial Ekonomi Ukuran 105X105 Sektor 30 (Lanjutan) Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2000-2014 10. Laju PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2000-2014 11. Statistik Konsumsi Daging Sapi Indonesia
69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara beriklim tropis, dan sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia, hampir setengah dari jumlah penduduknya yang mencapai 250 juta jiwa bermata pecarian sebagai petani. Banyaknya jumlah masyarakat yang berprofesi sebagai petani ini menjadikan sektor pertanian beserta subsubsektornya di Indonesia memiliki peranan yang sangat strategis dalam perekonomian Indonesia. Bahkan, di banyak daerah dan di sebagian besar desadesa di Indonesia, sektor pertanian menjadi sektor penopang perekonomian daerah dan desa tersebut. Dengan latar belakang kondisi geografis dan demografis tersebut, Indonesia sebagai negara agraris, sangat berpotensi menjadi produsen bahan pangan dunia. Sebagai negara agraris sudah tentu fokus pengembangan dan pembangunan ekonomi di Indonesia haruslah berbasis pada sektor pertanian beserta sub-sub sektornya. Oleh karena itu, sektor pertanian beserta sub-subsektornya, termasuk subsektor peternakan haruslah menjadi salah satu prioritas utama dalam rencana pembangunan nasional. Menurut Gillis et.al. (1992) yang dikutip oleh Rudor (2012), beberapa peranan penting pertanian bagi pembangunan ekonomi: pertama, pertanian menyediakan makanan yang dikonsumsi oleh manusia; kedua, pertanian penting sebagai penyedia lapangan pekerjaan; ketiga, pertanian sebagai penyedia inputinput sektor industri; keempat, sektor pertanian dapat menjadi sumber modal untuk pertumbuhan ekonomi modern melalui pengelolaan komoditas pertanian, sehingga komoditas pertanian memiliki nilai tambah; serta kelima, pertanian dapat menjadi sumber devisa negara melalui hasil ekspor komoditas pertanian maka negara akan mendapatkan penerimaan SDA nonmigas. Subsektor peternakan merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari sektor pertanian, sehingga pengembangan subsektor peternakan memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan ketahanan pangan, terutama dalam menjaga ketersediaan dan kecukupan protein hewani yang mayoritas terdapat pada komoditas peternakan, seperti daging, telur, dan susu yang tidak dapat digantikan dan ketersediaannya sebagian masih bergantung kepada impor. Subsektor peternakan di Indonesia, ditinjau dari ketersediaan sumberdaya serta sarana dan prasarana, memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan. Ditinjau dari kekayaan sumberdaya alam dan daya dukung ekosistem serta ketersediaan sumber daya manusia yang sangat besar, Indonesia sangat berpotensi untuk dapat menghasilkan produk dan jasa peternakan secara meluas, seperti bahan pangan dan pakan yang permintaannya meningkat setiap tahunnya, farmasi, bioenergi, kosmetika, agrowisata, estetika, dan sebagainya. Jika potensi tersebut dapat dioptimalkan, maka Indonesia tidak hanya akan mampu mencukupi kebutuhan domestik akan produk-produk komoditas peternakan, akan tetapi bahkan dapat menjadikan subsektor peternakan sebagai sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian Indonesia di masa depan. Namun, fakta menunjukkan bahwa potensi subsektor peternakan yang sangat besar tersebut belum mampu didayagunakan dan atau dimanfaatkan secara optimal
2
menjadi kekuatan riil dalam memenuhi kebutuhan dan menjaga pasokan serta kecukupan protein hewani di dalam negeri, apalagi dalam mendukung upaya peningkatan swasembada dan ketahanan pangan nasional, bahkan ketergantungan terhadap impor dalam beberapa tahun terakhir cenderung semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan data statistik, baik kontribusi dan pertumbuhan subsektor peternakan dalam distribusi PDB maupun laju pertumbuhan sektor pertanian menurut lapangan usaha, maupun dari kemampuan dayaserap tenaga kerja subsektor peternakan menurut status pekerjaan. Tabel 1. Distribusi PDB sektor pertanian menurut lapangan usaha LAPANGAN USAHA
Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perikanan
2005
2006 2007 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014 Rata-rata
13.13 12.97 13.72 14.48 15.29 15.29 14.71 14.50 14.42 14.33
14.28
1. Tanaman Bahan Makanan (%)
6.54
6.42 6.71 7.07
7.48
7.48
7.14
6.98
6.84
6.62
6.93
2. Tanaman Perkebunan (%)
2.03
1.90 2.07 2.14
1.99
2.11
2.07
1.97
1.92
1.91
2.01
3. Peternakan dan Hasil-hasilnya 1.59 (%)
1.53 1.55 1.68
1.87
1.85
1.74
1.77
1.82
1.83
4. Kehutanan (%)
0.81
0.90 0.92 0.82
0.80
0.75
0.70
0.67
0.63
0.60
0.76
5. Perikanan (%)
2.15
2.23 2.47 2.77
3.15
3.09
3.06
3.10
3.21
3.37
2.86
1.72
Sumber: Badan Pusat Statistik 2014
Berdasarkan data distribusi PDB sektor pertanian menurut lapangan usaha sebagaimana tampak pada Tabel 1 diatas, dapat diketahui bahwa subsektor peternakan memberikan kontribusi yang sangat rendah terhadap PDB, yaitu ratarata hanya sebesar 1.72% dari PDB Indonesia selama periode 2005–2014, atau memiliki kontribusi terendah kedua (setelah subsektor kehutanan) diantara berbagai subsektor lainnya dalam sektor pertanian. Rendahnya kontribusi subsektor peternakan terhadap PDB tersebut cukup memprihatinkan, mengingat besarnya potensi pengembangan subsektor peternakan di Indonesia, baik ditinjau dari ketersediaan sumber daya alam dan besarnya sumber daya manusia, maupun dari kondisi geografis dan daya dukung ekosistem yang besar. Oleh karena itu, dalam rangka memanfaatkan dan mendayagunakan sepenuhnya potensi subsektor peternakan yang besar agar dapat menjadi modal pertumbuhan baru bagi perekonomian Indonesia, pemerintah dalam satu dekade ini terus berupaya untuk mendorong pengembangan subsektor peternakan dan sekaligus mengoptimalkan peranannya dalam perekonomian nasional. Hal ini ditempuh melalui berbagai program pembangunan di dalam rencana kerja pemerintah (RKP), dengan antara lain menyediakan berbagai fasilitas yang dapat menunjang kegiatan para peternak. Dari data laju pertumbuhan sektor pertanian sebagaimana terlihat pada Tabel 2 dibawah ini, subsektor peternakan memiliki laju pertumbuhan PDB yang cenderung terus meningkat setiap tahunnya. Laju pertumbuhan PDB subsektor peternakan tersebut bahkan merupakan pertumbuhan tertinggi ketiga diantara berbagai subsektor lainnya dalam sektor pertanian. Peningkatan pertumbuhan PDB subsektor peternakan tersebut tentunya juga akan diikuti dengan peningkatan
3
produksi pada subsektor peternakan, yang selanjutnya juga akan mendorong peningkatan permintaan input pada subsektor peternakan, baik input tenaga kerja maupun input kapital yang lebih besar. Tabel 2. Laju pertumbuhan sektor pertanian menurut lapangan usaha LAPANGAN USAHA
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013 *
2014 **
Rata -rata
Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perikanan
2.72
3.36
3.47
4.83
3.96
3.01
3.37
4.20
3.44
3.29
3.56
2.60
2.98
3.35
6.06
4.97
1.64
1.75
3.09
1.90
1.33
2.97
2.48
3.79
4.55
3.67
1.73
3.49
4.47
6.22
4.40
4.79
3.96
2.13
3.35
2.36
3.52
3.45
4.27
4.78
4.69
4.73
4.69
3.80
1. 2. 3.
Tanaman Bahan Makanan (%) Tanaman Perkebunan (%) Peternakan dan Hasilnya (%)
4.
Kehutanan (%)
-1.47
-2.85
-0.83
-0.03
1.82
2.41
0.85
0.16
0.11
0.19
0.03
5.
Perikanan (%)
5.87
6.90
5.39
5.07
4.16
6.04
6.96
6.49
6.86
6.97
6.07
Sumber: Badan Pusat Statistik 2014
Peningkatan kebutuhan input pada subsektor peternakan tersebut, selain akan meningkatkan pendapatan tenaga kerja pada subsektor peternakan, juga akan mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja untuk berkerja pada subsektor tersebut. Dengan demikian, semakin besar laju pertumbuhan PDB subsektor peternakan, maka akan semakin besar pula tenaga kerja yang mampu diserap oleh subsektor peternakan tersebut. Tabel 3. Tenaga kerja subsektor peternakan menurut status pekerjaan Status pekerjaan Berusaha Sendiri (Pekerja) Berusaha Dibantu, Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar (Pekerja) Berusaha Dibantu, Buruh Tetap/Buruh Dibayar (Pekerja) Buruh/Karyawan (Pekerja) Pekerja Bebas Pertanian (Pekerja) Pekerja Keluarga (Pekerja) Jumlah (Pekerja)
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
462 305
493 437
594 834
579 025
610 362
764 713
819 334
1 306 949
1 500 297
1 527 010
1 412 555
1 374 871
1 273 227
1 452 813
27 923
33 535
29 553
32 433
50 501
50 509
43 557
133 810
160 339
149 216
190 046
240 152
265 072
253 349
64 646
77 690
79 660
44 186
48 339
66 397
58 995
1 774 424
1 778 881
2 005 892
1 909 649
1 879 988
1 818 291
1 929 495
3 770 057
4 044 179
4 386 165
4 167 894
4 204 213
4 238 209
4 557 543
Sumber: Statistik Tenaga Kerja Pertanian 2009-20013
Berdasarkan data tenaga kerja subsektor peternakan menurut status pekerjaan seperti terlihat pada Tabel 3 di atas, tampak bahwa perkembangan tenaga kerja subsektor peternakan selama periode 2007-2014 cenderung mengalami peningkatan yang fluktuatif. Selama periode tahun 2007–2009, tenaga kerja pada subsektor peternakan cenderung terus meningkat, kemudian turun pada tahun 2010, dan meningkat kembali pada periode tahun 2011 hingga tahun 2013. Dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3.8% per tahun, subsektor peternakan
4
1 600
4 000
1 400
3 500
1 200
3 000
1 000
2 500
800
2 000
600
1 500
400
1 000
200
500
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
0 2001
0
US$ Juta
Ribu Ton
dapat menyerap tenaga kerja rata-rata sebesar 131.248 pekerja/tahun. Daya serap tenaga kerja subsektor peternakan tersebut berpotensi akan terus meningkat, mengingat Indonesia belum mengoptimalkan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki. Pengembangan subsektor peternakan dalam beberapa tahun terakhir masih belum mandiri, seperti terlihat dari perkembangan komoditas impor peternakan dan hasil-hasilnya yang cenderung terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Gambar 1 di bawah, dapat dilihat perkembangan impor komoditas peternakan dan hasil-hasilnya di Indonesia selama periode 2001-2014 yang secara keseluruhan mengalami tren peningkatan, baik volume maupun nilai impornya. Volume impor komoditas peternakan dan hasil-hasilnya turun hanya pada tahun 2006 dan tahun 2011. Hal ini berkaitan erat dengan keberhasilan kebijakan dan program swasembada sapi pada tahun 2005 dan tahun 2010. Sementara itu, nilai impor komoditas peternakan dan hasil-hasilnya turun hanya pada tahun 2009 dan tahun 2012, antara lain dipengaruhi oleh kecenderungan penurunan harga komoditas peternakan di pasar internasional.
Volume (Ribu Ton) Nilai (Juta US$)
Tahun
Gambar 1. Grafik perkembangan impor komoditas peternakan Sumber: Statistik ekspor impor komoditas pertanian 2001-2014
Impor komoditas peternakan ini dilakukan guna mencukupi kesenjangan (gap) antara permintaan komoditas peternakan di dalam negeri yang tinggi, yang tidak mampu tercukupi dengan ketersediaan komoditas peternakan dan hasilhasilnya dari hasil produksi domestik yang masih terbatas. Agar harga komoditas peternakan dan hasil-hasilnya tidak mengalami peningkatan, maka pemerintah harus memenuhi gap tersebut dengan melakukan impor komoditas peternakan dan hasil-hasilnya. Tingginya permintaan komoditas peternakan domestik ini, selain disebabkan oleh adanya pertambahan jumlah penduduk di satu sisi, juga berkaitan dengan perubahan pola konsumsi dan perubahan terhadap selera masyarakat di sisi lain. Akan tetapi impor ini menimbulkan disinsentif yang menyebabkan subsektor peternakan di Indonesia tidak berkembang, disebabkan oleh
5
ketidakmampuan komoditas peternakan domestik untuk bersaing dengan komoditas peternakan hasil dari impor. Rumusan Masalah Sebagai negara yang memiliki jumlah populasi penduduk terbesar ketiga di dunia, menyebabkan Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja yang berlimpah. Namun, jumlah tenaga kerja yang besar tersebut sebagian besar merupakan tenaga kerja tidak terdidik yang terkonsentrasi di pedesaan. Besarnya tenaga kerja tersebut dapat menjadi beban tanggungan tersendiri bagi pemerintah pusat, apabila tenaga kerja yang berlimpah tersebut tidak dapat terserap oleh sektorsektor perekonomian yang ada pada saat ini. Selain itu, dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas banyak pulau, menyebabkan proses pembangunan di Indonesia menjadi tidak merata, sehingga berakibat pada semakin melebarnya ketimpangan pembangunan antardaerah. Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka pengembangan sektor pertanian, khususnya subsektor peternakan menjadi sangat vital dan strategis dalam perekonomian Indonesia. Selain itu, output subsektor peternakan juga merupakan input bagi sektor-sektor ekonomi lainnya, terutama input antara yang banyak digunakan oleh industri pengolahan makanan dan minuman, sehingga apabila terjadi ketidakstabilan harga komoditas peternakan, maka kinerja sektorsektor lainnya juga akan terganggu, dan pada akhirnya akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi. Hal ini akan menjadikan subsektor peternakan sebagai lokomotif yang dapat menarik perkembangan sektor-sektor lainnya. Dengan demikian, apabila subsektor peternakan tumbuh, maka sektor-sektor lainnya juga akan dapat ditarik untuk ikut tumbuh. Berdasarkan uraian dan latar belakang persoalan di atas, maka dalam penelitian ini dapat diformulasikan 2 (dua) permasalahan mendasar dalam pengembangan subsektor peternakan di Indonesia, sebagai berikut: 1. Bagaimana peran subsektor peternakan terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan ketimpangan distribusi pendapatan dalam perkonomian Indonesia ? 2. Bagaimana dampak pengembangan subsektor peternakan terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan ketimpangan distribusi pendapatan ? Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah serta latar belakang di atas, maka secara umum, tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak dari pengembangan subsektor peternakan terhadap perekonomian Indonesia. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji peranan subsektor peternakan terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan distribusi pendapatan dalam perekonomian Indonesia 2. Mengkaji bagaimana dampak pengembangan subsektor peternakan melalui simulasi kebijakan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan distribusi pendapatan.
6
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan serta pengalokasian anggaran belanja pemerintah pada subsektor peternakan, terutama dalam meningkatkan kontribusi subsektor peternakan terhadap PDB, memperbaiki distribusi pendapatan, maupun dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan mengenai besarnya potensi pengembangan subsektor peternakan, serta pentingnya subsektor peternakan dalam menunjang perekonomian nasional, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengembangannya melalui kerjasama pemeliharaan ternak dengan para peternak di desa dengan sistem bagi hasil. Bagi kalangan akademisi dan pemerhati pertanian, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian dalam menganalisis kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut pengembangan subsektor peternakan yang dikaitkan dengan kondisi perekonomian terkini, serta keterkaitannya dengan sektor-sektor lainnya dan subsektor peternakan itu sendiri. Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian-penelitian di masa yang akan datang. Ruang lingkup Penelitian Penelitian ini membahas mengenai peran dan dampak dari pengembangan subsektor peternakan terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan data SNSE. Fokus penlitian ini adalah pada peran subsektor peternakan terhadap perekonomian Indonesia, baik ditinjau dari segi pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, maupun distribusi pendapatan, dan dampak pengembangan subsektor peternakan melalui simulasi kebijakan pemerintah dalam alokasi anggaran maupun pembatasan impor komoditas peternakan terhadap pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, serta penyerapan tenaga kerja. Subsektor peternakan yang termasuk dalam pembahasan penelitian ini meliputi produksi dan komoditas peternakan, yang meliputi ternak dan hasilhasilnya kecuali susu segar, unggas dan hasil-hasilnya serta hasil pemeliharaan hewan (BPS, 2010).
7
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Peran Subsektor Peternakan dalam Pembangunan Peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian yang kegiatannya meliputi kegiatan pemeliharaan/pembibitan, pengembangbiakan dan pemungutan hasil tenak (Badan Pusat Statistik, 2008). Peternakan juga memiliki peranan yang strategis dalam upaya pemantapan ketahanan pangan hewani, pemberdayaan ekonomi masyarakat di perdesaan maupun dalam memacu pengembangan wilayah, terutama wilayah pedesaan. Menurut Sudaryanto et al., (2002) subsektor peternakan memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia dalam bentuk kontribusi GDP (Gross Domestic Product), penyumbang kesempatan kerja, sumber pendapatan, perolehan devisa, dan sumber pangan hewani bagi penduduk. Dalam kerangka pembangunan ekonomi, Saragih (2001) berpendapat, sesuai dengan tujuan pembangunan subsektor peternakan pada Pelita VI, maka peranan subsektor peternakan harus diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani peternak, mendorong diversifikasi pangan, perbaikan mutu gizi masyarakat, dan mengembangkan ekspor. Seiring dengan tuntutan efisiensi dan efektivitas penggunaan lahan, tenaga kerja, modal dan faktor produksi, sistem usaha peternakan terpadu pun menjadi semakin rasional, hal inilah yang mendorong pengembangan subsektor peternakan berbasis agribisnis (Arifin B, 2004). Pengembangan subsektor peternakan berbasis agribisnis mempunyai keunggulan dibandingkan dengan sektor lainnya. Menurut Saragih (2001) keunggulan dari pengembangan subsektor peternakan berbasis agribisnis adalah: (1) kegiatan peternakan, terutama budidaya ternak relatif tidak memerlukan lahan yang luas serta tidak menuntut kualitas SDM yang tinggi dalam prosesnya; (2) kegiatan budidaya peternakan memiliki ketersediaan pasar yang luas, yang berarti bahwa ternak yang dipelihara dapat dijual pada umur berapa saja dan pasarnya telah tersedia; (3) produk yang dihasilkan oleh agribisnis berbasis peternakan merupakan produk yang berelastisitas tinggi terhadap perubahan pendapatan, artinya konsumsi akan meningkat bila pendapatan masyarakat juga meningkat; (4) kegiatan peternakan sebagai suatu sistem agribisnis, selain akan mampu menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan, mulai pada tingkat hulu, tingkat budidaya, dan hilir juga akan meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan pada sektor jasa yang terkait seperti transportasi, perdagangan, dan lain-lain; (5) komoditas agribisnis berbasis peternakan memiliki pangsa pasar yang luas di kawasan nasional (seperti DKI Jakarta), bahkan di kawasan internasional (seperti: ASEAN, Asia Timur, Timur Tengah, Afrika, dan kawasan lainnya). Beberapa permasalahan yang terkait dengan pertumbuhan sub sektor peternakan, dijelaskan oleh Ilham (2007) dan Budiono (2010) yang menyatakan bahwa terdapat permasalahan dalam memicu pertumbuhan subsektor peternakan. Permasalahan tersebut yaitu: pada industri unggas penyediaan bibit dan pakan yang masih tergantung impor; pada industri ruminansia besar, sumber bibit yang menghandalkan usaha peternakan rakyat tidak mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat serta industri pakan ternak yang belum diusahakan dengan baik. Selain itu terbatasnya infrastruktur dan perdagangan ternak hidup tanpa kendali berpeluang penyebaran penyakit dan tidak terjaminnya kualitas dan
8
keamanan produk. Dari sisi konsumsi, terjadi senjang penawaran dan permintaan, khususnya pada daging sapi sehingga harus dipenuhi dari impor. Jika ditinjau dari potensi geografis Indonesia yang didukung dengan kondisi demografisnya, seharusnya Indonesia mampu menjadi negara produsen sapi potong. Namun potensi-potensi tersebut belum termanfaatkan, sehingga pengembangan komoditas sapi potong di Indonesia sebagiannya masih bergantung kepada impor. Sejak tahun 2001 hingga tahun 2014 impor komoditi sapi potong Indonesia cenderung mengalami peningkatan, baik volume dan nilainya. Impor ini dilakukan untuk mencegah kenaikan harga daging sapi, akibat tingginya permintaan daging sapi dengan rendahnya kemampuan supply daging sapi domestik. Konsep Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan, sehingga tidak heran jika di awal pembangunan, banyak negara yang perencanaan pembangunan ekonominya lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dibanding dengan distribusi pendapatan (Tambunan, 2001). Tingkat pertumbuhan ekonomi haruslah lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk di suatu negara. Hal ini dimaksudkan agar peningkatan pendapatan per kapita dapat tercapai. Akibat jumlah penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya, maka dengan sendirinya akan menyebabkan kebutuhan konsumsi sehari-hari akan barang dan jasa juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan pendapatan bagi masyarakat setiap tahunnya agar kebutuhan hidupnya tetap dapat dipenuhi. Akibat peningkatan konsumsi tersebut, dibutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja sebagai tambahan sumber pendapatan masyarakat. Beberapa negara tidak selalu dapat mencapai kondisi dimana pertumbuhan ekonomi sama dengan tingkat pertumbuhan kemampuan produksi yang dimiliki oleh faktor-faktor produksi yang juga semakin meningkat. Seringkali ditemukan keadaan dimana pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya jauh lebih rendah dari potensi pertumbuhan yang dapat dicapai. Hal ini tentunya menyebabkan faktor-faktor produksi yang ada di negara tersebut tidak terpakai secara optimal, terutama faktor produksi tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang tanpa dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja ini, selain akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian pendapatan, juga akan meningkatkan jumlah dan tingkat pengangguran. Hal ini selanjutnya akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan peningkatan kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja dicapai melalui pertumbuhan output agregat atau peningkatan PDB yang merupakan pertumbuhan ekonomi. Salah cara yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi adalah dengan mengukur laju pertumbuhan pendapatan nasional per kapita. Untuk menghitung pendapatan per kapita lebih dulu dihitung pertumbuhan PDB yang kemudian dirasiokan dengan jumlah penduduk.
9
Teori Pertumbuhan Neo Klasik Salah satu teori pertumbuhan yang dapat dikategorikan sebagai teori pertumbuhan neoklasik adalah toeri pertumbuhan Sollow. Teori pertumbuhan Sollow mampu menunjukan interaksi antara pertumbuhan modal, angkatan kerja dan kemajuan teknologi di dalam perekonomian. Model ini memprediksi bahwa pada akhirnya pertumbuhan ekonomi suatu negara akan mencapai kondisi steadystate dimana pertumbuhan ekonomi akan bergantung pada perkembangan teknologi dan pertumbuhan tenaga kerja yang menunjukan equilibrium jangka panjang. (Mankiw, 2007). Asumsi utama pada teori pertumbuhan ini adalah faktor produksi kapital yang mengalami diminishing returns. Jika persediaan tenaga kerja diasumsikan tetap sedangkan kapital terus ditambah, maka penambahan ouput akibat penambahan kapital akan selalu lebih sedikit dari penambahan sebelumnya, yang menggambarkan produk marginal kapital yang menurun. Jika diasumsikan tidak ada perkembangan teknologi atau pertumbuhan tenaga kerja, maka pada satu titik diminishing return kapital hanya akan cukup untuk menutupi jumlah kapital yang susut karena depresiasi yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan berhenti akibat tidak adanya perkembangan teknologi atau pertumbuhan tenaga kerja. Kenaika tingkat tabungan akan mengarah pada tingkat pertumbuhan ekonomi dengan output yang tinggi, hanya jika kondisi steady-state dicapai. Pada kondisi ini, tingkat pertumbuhan output per pekerja hanya bergantung pada tingkat perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi tersebut yang akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. ⁄ dan dituliskan sebagai Model Sollow diawali dari fungsi ⁄ ⁄ dan ⁄ . Fungsi ini menunjukan bahwa jumlah output , dimana per pekerja ⁄ adalah fungsi dari jumlah kapital per pekerja. Fungsi produksi yang mengasumsikan diminishing returns terhadap modal, dicerminkan dari kemiringan fungsi produksi tersebut. Kemiringan fungsi produksi menggambarkan produk marjinal kapital (marginal product of capital) yang menggambarkan banyaknya output tambahan yang dihasilkan seorang pekerja ketika mendapatkan satu unit modal tambahan (Mankiw, 2007). Model Sollow secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: ( )-( ) ( ) ⁄ Dimana: n= ⁄ ⁄
Pada model Sollow, perubahan modal per pekerja ditentukan oleh tiga variable berikut, yaitu investasi (s), pertumbuhan penduduk (n), dan depresiasi atau penyusutan ( ).
10
Pengertian Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Menurut Daryanto (2010) Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) adalah suatu sistem data yang memuat data-data sosial dan ekonomi dalam perekonomian. Lebih lanjut Pyatt dan Round (1988) menjelaskan bahwa SAM merupakan suatu kerangka data yang bersifat keseimbangan umum (general equilibrrium) yang dapat menggambarkan perekonomian secara menyeluruh, dan menghubungkan berbagai aspek sosial dan ekonomi negara yang bersangkutan. Sumber-sumber data yang digunakan dalam menyusun SAM antara lain: tabel I-O, statistik pendapatan nasional, serta statistik pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Model SNSE dapat disebut sebagai perluasan dari model I-O (Input-Output model), dimana dalam model I-O hanya dijelaskan arus transaksi ekonomi dari sektor produksi ke sektor faktor produksi, rumah tangga, pemerintah dan luar negeri. Daryanto (2010) menyatakan bahwa yang dijelaskan pada tabel I-O hanyalah arus transksi ekonomi dari sektor produksi ke sektor faktor-faktor produksi, rumah tangga, pemerintah, perusahaan dan luar negeri, dan tidak dijelaskan mengelai transaksi ekonomi dari sektor produksi ke golongan-golongan tenaga kerja pada sektor faktor produksi dan golongan-golongan rumah tangga. Sedangkan dalam model SNSE, hal tersebut di disagregasi secara lebih rinci. Misalnya, rumah tangga dapat di disagregasi berdasarkan tingkat pendapatan atau kombinasi dari tingkat pendapatan dan lokasi pemukiman, dan seterusnya. Selain itu, pada SNSE dapat dimasukan beberapa variabel ekoomi, seperti pajak, subsidi, modal, dan sebagainya, sehingga model SNSE dapat menggambarkan seluruh transaksi makroekonomi, sektoral, dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca. Keunggulan lain dari model SNSE dibanding model I-O adalah, bahwa model SNSE mampu menggambarkan arus distribusi pendapatan dalam perekonomian. Menurut Daryanto (2010), salah satu tujuan menyususn SNSE adalah untuk memperoleh gambaran sistem pendapatan nasional (System of National Account) secara meluas, melalui penggabungan sistem pendapatan nasional dengan data distribusi pendapatan. Oleh karena itu, SNSE mampu memberikan sebuah metode yang bisa mengubah sistem pendapatan nasional dari statistik produksi menjadi statistik pendapatan, sehingga analisis dengan metode SNSE lebih terfokus kepada pembahasan mengenai tingkat kesejahteraan dari kelompokkelompok sosial ekonomi yang berbeda. Bentuk dan Arti Kerangka SNSE Model SNSE pada dasarnya merupakan sebuah matriks berbentuk bujursangkar yang menggambarkan arus moneter dari berbagai transaksi ekonomi. Arus moneter tersebut terbagi atas lajur baris dan lajur kolom, dimana lajur baris menjelaskan mengenai penerimaan, dan lajur kolomnya menggambarkan pengeluaran. Terdapat empat neraca utama dalam sebuah matriks SNSE, yaitu neraca faktor produksi, neraca institusi, neraca sektor produksi, dan neraca eksogen, yang terdiri dari neraca modal dan rest of the world (Daryanto, 2010). Masing-masing dari neraca tersebut berisikan berbagai macam transaksi yang menempati lajur baris dan lajur kolom. Perpotongan antara suatu neraca dengan neraca yang
11
lainnya memberikan indikasi adanya interaksi antarpelaku beserta perilaku ekonominya, meskipun ada sel-sel yang terisi dan ada yang tidak, untuk lebih lengkap perhatikan Tabel 4. Neraca faktor produksi terdiri dari faktor produksi tenaga kerja maupun faktor produksi modal. Ditinjau secara baris, neraca ini memperlihatkan penerimaan-penerimaan yang berasal dari upah dan sewa. Selain itu, juga menggambarkan pendapatan remitance dan pendapatan modal. Ditinjau secara kolom, neraca ini menunjukan adanya revenue yang didistribusikan ke rumah tangga sebagai pendapatan tenaga kerja, distribusi ke perusahaan, dan keuntungan yang bukan dari perusahaan, serta keuntungan perusahaan setelah dikurangi pembayaran pemerintah. Neraca institusi mencakup rumah tangga, perusahaan dan pemerintahan. Dalam hal ini, rumah tangga dapat di disagregasi kedalam kelompok-kelompok sosial ekonomi yang saling berbeda tingkatannya. Penerimaan rumah tangga atara lain berasal dari pendapatan faktor-faktor produksi, berbagai macam transfer seperti transfer pendapatan antarrumah tangga, transfer pendapatan dari pemerintah, perusahaan (biasanya dalam bentuk asuransi) atau dari luar negeri. Tabel 4. Kerangka dasar SNSE Pengeluaran Neraca Endogen Faktor Produksi
1
1 0
Institusi 2 0
Penerimaan Neraca Endogen
Faktor Produksi 2
Institusi
3
Alokasi pendapatan institusi dari faktor produksi 0
Kegiatan Produksi
Neraca Eksogen
Total
3
4
5
Alokasi nilai tambah ke faktor produksi 0
Pendapatan faktor produksi dari luar negeri
Distribusi pendapatan faktorial
Transfer dari luar negeri
Distribusi Pendapatan Institusional
Kegiatan Produksi
Transfer Antar Institusi
Penerimaan domestik
Penerimaan antara
Ekspor dan Investasi
Total output sektor produksi
Alokasi pendapatan faktor produksi ke luar negeri
Tabungan pemerintah, swasta dan rumah tangga
Impor dan pajak tak langsung
Transfer lainnya
Total penerimaan neraca lainnya
Distribusi pengeluaran faktor produksi
Distribusi pengeluaran Institusi
Jumlah pengeluaran Kegiatan Produksi
Jumlah pengeluaran lainnya
4
Neraca Eksogen 5
Jumlah
Sumber : Publikasi SNSE 2008
Sementara pengeluaran rumah tangga ditujukan untuk konsumsi barangbarang dan pajak pendapatan, serta sebagian dialokasikan untuk tabungan dan dimasukan dalam neraca modal. Pada perusahaan, penerimaannya berasal dari
12
keuntungan yang diperoleh dan sebagian dari transfer, sedangkan pengeluaran ditujukan untuk pembayaran pajak dan transfer. Untuk pemerintah, pengeluarannya berupa subsidi, konsumsi barang dan jasa, serta transfer ke rumah tangga dan perusahaan. Sebagian pengeluaran pemerintah juga dialokasian untuk tabungan. Di sisi lain, penerimaan pemerintah yang utama adalah pajak dan transfer pendapatan dari luar negeri. Neraca aktivitas atau sektor produksi merupakan neraca yang menjelaskan tentang transaksi pembelian bahan-bahan mentah, barang-barang antara dan sewa untuk memproduksi suatu komoditas. Dibaca secara kolom, semua transaksi tersebut merupakan pengeluaran yang meliputi permintaan antara, upah, sewa, dan value added dari pajak, sedangkan apabila menurut baris, semua transaksi tersebut dianggap sebagai penerimaan, yang meliputi penjualan domestik, subsidi ekspor, dan penerimaan. Neraca eksogen, neraca yang memuat neraca modal dan transaksi luar negeri atau rest of world. Dalam neraca modal, dari sisi penerimaan (lajur baris) berupa pemasukan dalam bentuk tabungan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah, sedangkan dari sisi pengeluaran (lajur kolom) pada neraca modal berupa investasi. Transaksi dalam negeri dengan luar negeri juga dicatat dalam neraca terakhir (neraca rest of the world) yang berisi tentang segala penerimaan yang berhubungan dengan luar negeri yang datang dari ekspor, transfer pendapatan institusi dari luar negeri, transfer pendapatan dari faktor-faktor produksi, dan pemasukan modal dari luar negeri. Sedangkan pengeluarannya berupa impor, pembayaran faktor-faktor produksi, dan transfer ke luar negeri. Jumlah penerimaan dan pengeluaran pada masing-masing neraca haruslah sama, yang menunjukan bahwa pada tabel SNSE selalu terdapat keseimbangan (Daryanto, 2010). Untuk memudahkan analisis dan penggunaan kerangka dasar SNSE, matriks dasar SNSE ukuran 5x5 bisa dirinci menjadi matriks berukuran 13x13, 37x37 dan 105x105 sesuai kebutuhan. Matriks 13x13 merupakan agregasi dari matriks ukuran 37x37, sedangkan matriks 37x37 merupakan agregasi dari matriks 105x105. Empat neraca pertama dikelompokan sebagai neraca endogen, sedangkan neraca kelima menjadi neraca eksogen yang dapat memengaruhi besar kecilnya perubahan neraca endogen ketika dilakukan injeksi pada neraca tersebut. Kegunaan SNSE Kerangka SNSE pada umumnya digunakan sebagai kerangka data yang dapat menjelaskan mengenai: (1) kinerja prmbangunan ekonomi; (2) distribusi pendapatan faktor produksi; (3) distribusi pendapatan rumah tangga; dan (4) pola pengeluaran oleh rumah tangga (BPS, 2010). A. Kinerja Pembangunan Ekonomi Kinerja perekonomian nasional ditunjukkan, misalnya, dari nilai tambah yang ditimbulkan oleh berbagai sektor ekonomi (neraca T1.3 pada Tabel 4) yang memberikan gambaran mengenai besarnya PDB nasional atas dasar harga faktor (GDP at factor costs) pada tahun tertentu. Bila ditambah dengan pajak tidak langsung neto akan menghasilkan PDB atas dasar harga berlaku (GDP at current price). Kinerja perekonomian nasional yang lain yang dapat ditunjukkan oleh kerangka SNSE, misalnya, adalah:
13
1. Distribusi PDB menurut sektor-sektor ekonomi (supply side); 2. Distribusi PDB menurut pengeluaran (demand side); 3. Struktur input antara (intermediate input) dirinci menurut sumbernya (domestik atau impor); 4. Struktur input antara (intermediate input) dirinci menurut sumbernya: domestik atau impor; 5. Investasi dan tabungan masyarakat; 6. Hutang dan piutang negara; serta 7. Kebocoran nasional (national leakages), yaitu besarnya penerimaan negara yang mengalir ke luar negeri. B. Distribusi Pendapatan Faktor Produksi Distribusi pendapatan faktor produksi ini menggambarkan tentang distribusi pendapatan faktorial yang dirinci menurut faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja dan modal. Distribusi pendapatan faktorial dalam kerangka SNSE ditunjukan oleh baris neraca pertama pada kerangka dasar SNSE (lihat Tabel 4). Seperti telah ditunjukan oleh Tabel 4 bahwa neraca T1.3 menunjukkan alokasi nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor produksi ke faktor-faktor produksi, yaitu sebagai balas jasa dari penggunaan faktor-faktor produksi tersebut, misalnya upah dan gaji sebagai balas jasa bagi penggunaan faktor produksi tenaga kerja; sedangkan keuntungan, deviden, bunga, dan sewa rumah sebagai balas jasa bagi penggunaan faktor produksi kapital, yang diperoleh dari berbagai sektor produksi. Bila ditambah dengan neraca yang menunjukkan pendapatan faktor produksi yang diterima dari luar negeri, maka total kedua penerimaan ini menunjukkan distribusi pendapatan faktorial. Masalah ketenagakerjaan dalam kerangka dasar SNSE dijelaskan oleh submatriks T1.3, yaitu submatriks alokasi nilai tambah menurut sektor-sektor ekonomi. Sebagaimana dipahami, bahwa nilai tambah yang diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi tersebut, salah satunya merupakan sumbangan dari faktor produksi tenaga kerja berupa upah dan gaji. Bila upah dan gaji dari tiap-tiap tenaga kerja pada masing-masing sektor ekonomi dijumlahkan, maka disebut sebagai alokasi nilai tambah faktor produksi tenaga kerja menurut sektor. Dengan demikian, dari submatriks ini dapat diperoleh informasi mengenai jumlah tenaga kerja yang bekerja di masing-masing sektor ekonomi, termasuk besarnya tingkat upah yang mereka peroleh. Informasiinformasi ini dapat dianalisa, sehingga memberikan masukan mengenai kondisi sosial masyarakat, yaitu distribusi pekerja dan tingkat upah dan gaji menurut sektor-sektor ekonomi. C. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Distribusi pendapatan rumah tangga dalam kerangka SNSE ditunjukkan oleh baris neraca kedua pada kerangka umum mengenai SNSE (lihat Tabel 4). Salah satu institusi dalam kerangka SNSE adalah rumah tangga. Neraca T2.1 menunjukkan alokasi pendapatan faktor produksi yang diterima oleh berbagai institusi, salah satunya rumah tangga. Dengan kata lain, neraca ini merupakan mapping dari neraca T1.3 menjadi neraca T2.1, yaitu mapping dari pendapatan faktorial menurut sektor-sektor ekonomi menjadi pendapatan institusi menurut faktor-faktor produksi. Sementara itu, neraca T2.2 menunjukkan pembayaran
14
transfer (transfer payment) antarinstitusi, misalnya, pemberian subsidi dari pemerintah kepada rumah tangga, atau pemberian subsidi dari perusahaan kepada rumah tangga, atau pembayaran transfer dari rumah tangga ke rumah tangga yang lain. Sedangkan neraca menunjukkan penerimaan ketiga institusi dari luar negeri. Jumlah ketiga neraca T2.1, T2.2, dan yang berhubungan dengan rumah tangga menggambarkan distribusi pendapatan rumah tangga. D. Pola Pengeluaran Rumah Tangga Pola pengeluaran menurut golongan rumah tangga dalam kerangka SNSE dapat dilihat pada neraca kolom masing-masing golongan rumah tangga (kolom institusi pada Tabel 4). Dalam rincian ini, dapat diperoleh informasi mengenai pola pengeluaran rumah tangga menurut berbagai komoditas, baik komoditas domestik maupun komoditas impor. Dari informasi ini dapat juga diperlihatkan besarnya tabungan masing-masing golongan rumah tangga. Di samping kegunaan-kegunaan deskriptif tersebut, SNSE juga merupakan suatu sistem kerangka data yang dapat digunakan sebagai dasar pembuatan suatu model ekonomi, dan juga sebagai dasar analisis, baik untuk analisis partial (partial equilibrium) maupun analisis keseimbangan umum (general equilibrium) dalam melakukan analisis kebijakan. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi Hubungan variabel sosial dan ekonomi masyarakat dapat dijelaskan melalui kerangka dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), yang merupakan suatu sistem analisis yang dapat dijelaskan dalam hubungan antara sub-sistem, yaitu: struktur produksi; distribusi dan pendapatan faktor produksi dalam kegiatan produksi; pendapatan, konsumsi, investasi, dan tabungan. Balas jasa terhadap faktor produksi akan menciptakan distribusi pendapatan rumah tangga. Hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini. Keinginan dan Kebutuhan Permintaan Akhir (1) Struktur Produksi (2)
Distribusi Pendapatan Faktorial (3)
Distribusi Pendapatan Instisusi/Rumah Tangga (4)
Distribusi Kekayaan (7)
Tabungan (5)
Investasi (6)
Sumber: Badan Pusat Statistik 1975 Gambar 2. Hubungan antar subsistem dalam SNSE Hubungan dari ketiga proses tersebut, dapat dimulai dari pengeluaran rumah tangga, berupa konsumsi, dan tabungan, yang akhirnya menciptakan investasi. Selanjutnya, konsumsi tersebut menciptakan permintaan akan output, dan secara tidak langsung menciptakan permintaan akan faktor produksi. (Badan Pusat
15
Statistik, 1975). Sebagai contoh, permintaan akan susu untuk rumah tangga mengalami kenaikan (1), sehingga menyebabkan permintaan akan komoditas peternakan dan hasil-hasilnya (dalam hal ini susu) juga akan meningkat. Untuk memenuhi peningkatan kebutuhan tersebut, maka dibutuhkan pasokan (supply) susu yang lebih banyak, sehingga sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya akan meningkatkan produksi dan memproduksi susu lebih banyak (2). Peningkatan produksi tersebut, selain membutuhkan input faktor produksi yang lebih besar, seperti input tenaga kerja, juga akan menimbulkan distribusi pendapatan faktorial (3). Rumah tangga sebagai pemilik faktor produksi akan menerima pendapatan dari faktor produksi yang dimilikinya (3 dan 7), yang menciptakan distribusi pendapatan rumah tangga (4). Pendapatan ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan sisa dari pendapatan tersebut akan ditabung (5), yang kemudian akan menciptakan investasi (6). Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan model SNSE dengan matriks 105x105 tahun 2008 yang terdiri atas 24 sektor ekonomi. Data tersebut tidak dilakukan agregasi dan disagregasi, sehingga kontribusi subsistem di dalam subsektor peternakan itu sendiri tidak dapat diulas secara terperinci. Selain itu, penggunaan metode SNSE bersifat statis, artinya hubungan transaksi pada model SNSE hanya berlaku pada satu waktu saja, dimana model SNSE tersebut disusun, serta data-data pada model SNSE dihitung berdasarkan harga yang berlaku pada tahun dimana transaksi tersebut dicatat, sehingga model SNSE tidak dapat mengkaji pengaruh perubahan harga terhadap perekonomian. Penelitian Terdahulu Edward C. Waters, Bruce A. Weber dan David W. Holland (1999) dalam penelitiannya yang berjudul The Role of Agriculure in Oregon’s Economic Base : Finding from a Social Accounting Matrix, menyusun social accounting matrix untuk Negara Bagian Oregon, dan memperkirakan dasar perhitungan unsur-unsur perekonomian Negara Bagian Oregon, baik tradisional maupun nontradisional. Dalam penelitiannya, mereka menemukan hampir 20% lapangan pekerjaan di Negara Bagian Oregon bergantung pada tambahan pendapatan daerah untuk rumah tangga (termasuk transfer dari pemerintah dan pendapatan properti di luar), 11% bergantung pada kayu dan hutan dan produk dari kertas, dan 8% bergantung pada produk pertanian. Bautista (2001) pada penelitiannya yang berjudul Agirculture-Based Development: A SAM Perspective On Central Vietnam meneliti daerah yang paling tidak berkembang di negara Vietnam, yaitu wilayah tengah Vietnam yang mayoritas penduduk miskinnya berada di pedesaan dimana sektor pertanian sebagai sumber mata pencarian utama. Dalam penelitiannya, analisis Multiplier Social Accounting Matrix digunakan untuk menelusuri secara kuantitatif dampak dari perluasan ekonomi atas reaksi peningkatan pendapatan exogenous di bidang pertanian (seperti yang timbul dari pertumbuhan produktivitas) di wilayah Vietnam Tengah, dengan memberikan perhatian khusus pada dampak terhadap
16
pertumbuhan dan pemerataan pendapatan secara keseluruhan. Dampak terhadap pemerataan dievaluasi dalam kondisi yang disebabkan oleh perubahan relatif pada pendapatan dari empat kelompok rumah tangga yang dikaji. Beberapa implikasi kebijakan dari hasil penelitian yang dibahas, menekankan pada peran kebijakan makroekonomi dalam membantu mendorong pertumbuhan yang merata di Vietnam Tengah. Fauzi (2008) pada penelitiannya yang berjudul Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia : Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi, menganalisis peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional, mengidentifikasi efek jalur pendapatan sektor pertanian terhadap pendapatan rumah tangga, serta merumuskan kebijakan pembangunan pertanian yang memiliki pengaruh paling besar terhadap pendapatan rumah tangga, tenaga kerja, sektor-sektor produksi, dan perekonomian secara menyeluruh. Beberapa hasil penting dari penelitian ini adalah : 1. Berdasarkan pembobotan dari sisi angka value added multipiler, household Multiplier, firm Multiplier, OSN, PM dan gross Multiplier pada 39 sektor produksi, menemukan sembilan sektor produksi yang menduduki peringkat 1 hingga 10 berasal dari sektor pertanian dan sektor agroindustri, yaitu industri penggilingan padi, padi, tebu, industri pemotongan ternak, jagung, peternakan dan hasil-hasilnya, pertanian tanaman pangan, industri kayu, dan tanaman perkebunan. 2. Sektor pertanian memiliki jumlah efek pengganda yang lebih banyak ditransfer ke rumah tangga petani. 3. Jalur dasar sektor pertanian yang berakhir pada rumah tangga berpendapatan rendah dan buruh tani, umumnya hanya melalui alur dari sektor produksi, tenaga kerja dan berakhir pada rumah tangga, sementara untuk pengusaha tani dan rumah tangga di perkotaan sebagian besar jalur dasarnya dimulai dari sektor pertanian kemudian tenaga kerja, modal, produksi, dan terakhir rumah tangga. 4. Kebijakan pembangunan pertanian di sektor produksi dan harga merupakan kebijakan yang paling baik dalam mendorong perekonomian secara agregat, dan memperbaiki distribusi pendapatan. Nugrahadi (2008) pada penelitiannya yang berjudul Analisis Sumber Pertumbuhan, Keterkaitan, dan Distribusi Pendapatan Dalam Proses Perubahan Struktural Ekonomi Provinsi Jawa Barat, mengkaji mengenai sumber prtumbuhan, keterkaitan dan distribusi pendapatan dalam perubahan structural ekonomi provinsi Jawa Barat pada periode tahun 1993-2003, menggunakan pendekatan ekonometrik, input-output dan SNSE. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: 1) sektor-sektor yang termasuk dalam sektor industri pengolahan dan jasa tumbuh secara cepat, sedangkan sektor pertanian tumbuh secara lambat; 2) terjadi perubahan kesenjangan pendapatan antar golongan rumah tangga yang semakin melebar; 3) terdapat keterkaitan baik ke belakang maupun ke depan yang kuat dalam sektor: Industri logam dasar dan barang jadi logam; industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki; industri makanan, minuman dan tembakau dan jasa-jasa; 4) sektor-sektor ekonomi utama yang potensial untuk dikembangkan meliputi sektor: Industri makanan, minuman dan tembakau; perkebunan; peternakan; perdagangan; hotel dan restoran; jasa-jasa; 5) terhadap pertumbuhan
17
output, penyerapan tenaga kerja dan pemerataan pendapatan rumah tangga, kelima sektor tersebut memiliki peran yang relatif lebih baik. Tiffania (2008) pada penelitiannya yang berjudul Peranan Sektor Industri AgroDalam Perekonomian Jawa Barat: Suatu Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), menganalisis peranan sektor agroindustri dalam hal penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan rumah tangga di Jawa Barat serta menganalisis keterkaitan sektor agroindustri terhadap sektor-sektor lainnya dalam perekonomian Jawa Barat dengan menggunakan pendekatan Multiplier SNSE. Berdasarkan hasil multilier tenaga kerja, dapat disimpulkan bahwa apabila terdapat investasi sebesar satu miliar rupiah, maka sektor agroindustri akan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1.12 orang atau sebesar 0,07 persen dari tingkat pengangguran di Jawa Barat. Sektor industri makanan, minuman, dan tembakau paling banyak menyerap tenaga kerja bidang pertanian; sedangkan sektor industri tekstil, pakaian jadi, kulit, dan alas kaki paling banyak menyerap tenaga kerja bidang industri dan bidang lainnya. Berdasarkan hasil analisis Multiplier pendapatan rumah tangga (HIIM) dapat disimpulkan bahwa sektor industri makanan, minuman, dan tembakau memiliki peranan yang dominan terhadap distribusi pendapatan rumah tangga berpenghasilan rendah, terutama untuk rumah tangga buruh tani dan rumah tangga golongan rendah di perdesaan. Namun, untuk distribusi pendapatan rumah tangga berpenghasilan sedang dan tinggi, sektor agroindustri tidak memiliki peran yang cukup baik. Hasil studi menemukan bahwa pengembangan sektor industri makanan, minuman, dan tembakau perlu didorong melalui kebijakan perdagangan regional, interregion, maupun kebijakan investasi pada sektor pertanian maupun sektor industri, yaitu melalui pemberdayaan pasar tradisional serta peningkatan skill tenaga kerja dan peningkatan modal. Berdasarkan analisis keterkaitan (OSLM) terlihat bahwa sektor industri tekstil, pakaian jadi, kulit, dan alas kaki memiliki hubungan keterkaitan ke belakang yang sangat erat dengan sektor-sektor perekonomian lainnya secara keseluruhan. Namun, secara spesisfik hubungan keterkaitan ke belakang yang sangat erat dengan sektor pertanian, dimiliki oleh sektor industri makanan, minuman, dan tembakau. Rifai (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Dampak Pembangunan Sektor Pertanian Tanaman Pangan terhadap Perekonomian Indonesia : Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi, mengkaji mengenai dampak pembangunan subsektor tanaman pangan terhadap pertumbuhan output nasional dan PDB, serta perbaikan pemerataan distribusi pendapatan. Dalam penelitian ini, digunakan 4 (empat) metode agar dapat mengukur dampak pembangunan subsektor tanaman pangan terhadap pertumbuhan output nasional dan PDB, serta perbaikan pemerataan distribusi pendapatan. Keempat metode tersebut adalah: accounting Multiplier, decomposition Multiplier, structural path analysis, dan koefisien gini. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa pembangunan subsektor tanaman pangan berkontribusi dalam meningkatkan PDB dan output nasional, serta mampu memperbaiki ketimpangan distribusi pemerataan yang ada. Secara umum, dengan meningkatkan produksi pada subsektor tanaman pangan merupakan cara paling efektif dalam meningkatkan pertumbuhan PDB dan output nasional, serta memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan. Sementara itu, Sarmila (2013) dalam peneletiannya yang berjudul Peran Investasi di Sektor Peternakan terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja
18
menggunakan analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Pada penelitian tersebut, dilakukan simulasi mengenai dampak dari investasi pemerintah pada subsektor peternakan terhadap peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja subsektor peternakan dalam bentuk program swasembada daging sapi (PSDS) tahun 2014, dengan menganggarkan dana sebesar Rp.2,5 triliun. Dalam penelitian ini, dana tersebut diasumsikan sebagai investasi yang akan diinjeksikan pada sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya untuk mengetahui dampak investasi tersebut pada pendapatan dan penyerapan tenaga kerja, dengan analisis menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Hasil pengolahan data dan analisis menunjukkan bahwa dengan investasi tersebut dapat meningkatkan pendapatan tenaga kerja di seluruh sektor yang terkait dengan peternakan sebesar Rp 3.227,9 miliar dan penyerapan tenaga kerja berdasarkan domisili mencapai 140.194 orang. Hal ini menunjukkan bahwa target/sasaran penyerapan tenaga kerja dari adanya PSDS dapat tercapai. Berdasarkan hasil studi-studi terdahulu, terdapat perbedaan cakupan mengenai fokus utama yang diteliti dalam penelitian ini dengan studi-studi terdahulu yang digunakan sebagai acuan pada penelitian ini. Perberdaan tersebut antara lain, pada penelitian ini fokus utama penelitian terletak pada peranan dan dampak pengembangan subsektor peternakan dan hasil-hasilnya terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan distribusi pendapatan antargolongan. Dampak dari pengembangan pada subsektor peternakan dan hasilhasilnya dikaji melalui simulasi kebijakan pemerintah dengan menggunakan kebijakan-kebijakan pemerintah terkini di subsektor peternakan. Peran subsektor peternakan dan hasil-hasilnya dikaji melalui pengganda neraca pada subsektor peternakan tersebut, yaitu: pengganda nilai tambah, pengganda tenaga kerja menurut golongan, pengganda keterkaitan antarsektor, pengganda produksi, pengganda institusi, pengganda institusi antargolongan, dan pengganda total. Kerangka Pemikiran Kerangka Pikir Teoritis Pengembangan sebuah sektor atau subsektor pada umumnya memerlukan investasi, baik investasi yang dilakukan oleh swasta ataupun pemerintah dalam bentuk injeksi anggaran belanja negara. Melalui investasi tersebut, maka akan terjadi pembentukan modal yang dapat digunakan oleh kementerian terkait untuk menjalankan program-program kerja unggulan mereka sesuai dengan sasaran dan tujuan program pemerintah tersebut. Dengan adanya pembentukan modal ini, maka akan meningkatkan kapasitas produksi suatu sektor yang nantinya akan meningkatkan output dari sektor tersebut. Dengan peningkatan kapasitas produksi tersebut, maka penggunaan faktor produksipun akan meningkat, dan berimplikasi pada peningkatan pembukaan lapangan pekerjaan baru pada sektor tersebut. Semakin padat karya sektor tersebut, maka akan semakin besar pula tenaga kerja yang mampu diserap oleh sektor tersebut, begitupun berlaku sebaliknya. Sektor pertanian pada umumnya, dan subsektor peternakan pada khususnya, merupakan sektor yang memerlukan banyak tenaga kerja (bersifat padat karya) dalam menjalankan kegiatan perekonomian di sektor dan subsektor tersebut, sehingga investasi berupa injeksi anggaran pada sektor pertanian beserta subsektornya akan
19
mampu memberikan kontribusi yang lebih besar bagi penyerapan tenaga kerja daripada berinvestasi pada sektor lainnya. Dalam kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi diasumsikan bahwa terdapat 3 instansi, yaitu pemerintah, swasta/perusahaan dan rumah tangga, dan terdapat tiga sektor produksi, yaitu pertanian, industri, dan jasa. Dalam Kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi, sumber pendapatan bagi pemerintah dan rumah tangga berasal dari pasar komoditi dan pasar faktor produksi. Perusahaan mendapatkan pendapatan yang berasal dari pasar komoditi, sebagai transfer payment dari kegiatan produksi mereka, sementara rumah tangga mendapatkan pendapatan yang berasal dari pasar faktor produksi sebagai transfer payment atas tenaga kerja yang berasal dari sektor rumah tangga. Sedangkan pemerintah memperoleh transfer payment yang berasal dari pajak yang dibayarkan oleh perusahaan dan rumah tangga. Selain memperoleh penerimaan melalui jalur yang telah disebutkan di atas, semua institusi juga memperoleh transfer payment dari luar negeri. Dari sisi pengeluaran, secara umum semua institusi, baik pemerintah, perusahaan maupun rumah tangga dikelompokan menjadi tiga jenis pengeluaran, yaitu pengeluaran untuk konsumsi, pengeluaran untuk tabungan, dan pembayaran pajak. Diasumsikan bahwa pemerintah berinvestasi pada subsektor peternakan dalam bentuk injeksi anggaran belanja negara pada sektor produksi on farm peternakan, dengan harapan agar produktifitas sektor tersebut meningkat, sehingga akan berimplikasi pada penurunan impor komoditas peternakan. Pemberian injeksi anggaran subsektor peternakan yang merupakan bagian dari sektor pertanian akan memberikan insentif terhadap sektor pertanian untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Dengan keterkaitan sektor pertanian terhadap sektor-sektor lainnya, baik keterkaitan ke depan (forward linkage) maupun keterkaitan ke belakang (backward linkage), maka akan medorong sektor industri maupun jasa untuk meningkatkan permintaannya akan input antara di sektor pertanian, sehingga terjadi transfer payment dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Kenaikan kapasitas produksi dari sektor pertanian akan turut meningkatkan input primer, salah satunya adalah tenaga kerja, sehingga tenaga kerja juga turut serta mendapatkan transfer payment dari sektor pertanian. Oleh karena penawaran tenaga kerja berasal dari institusi rumah tangga, maka secara tidak langsung institusi rumah tangga juga turut serta mendapatkan transfer payment dari sektor pertanian. Semua transfer payment tersebut mengalir kepada masing-masing sektor produksi dan faktor poduksi melalui pasar komoditi dan pasar input pada kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Pemerintah dalam kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi memperoleh transfer payment dari pembayaran pajak oleh institusi rumah tangga dan perusahaan. Sebagian dari pembayaran pajak (transfer payment) tersebut akan digunakan kembali oleh pemerintah terhadap institusi rumah tangga dan perusahaan dalam bentuk subsidi. Dengan naiknya pajak yang dibayarkan institusi perusahaan dan rumah tangga, maka akan meningkatkan besaran anggaran pendapatan dan belanja pemerintah yang akan meningkatkan kemampuan transfer payment kembali pemerintah terhadap institusi rumah tangga dan perusahaan dalam bentuk subsidi yang lebih besar. Pemberian subsidi (transfer payment) yang lebih besar ini akan mempengaruhi distribusi pendapatan institusi rumah tangga dan perusahaan seperti yang digambarkan pada Gambar 3 dibawah ini.
20
Gambar 3. Peran sektor pertanian terhadap perekonomian Sumber: Diadopsi dari Round (2003)
Kerangka Pikir Konseptual Kajian perekonomian nasional yang dibahas pada penelitian ini meliputi peranan subsektor peternakan dan dampak dari pengembangannya terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan distribusi pendapatan antar golongan rumah tangga. Untuk dapat melihat peranan subsektor peternakan terhadap kajian ekonomi yang telah disebutkan di atas, maka dilakukan pengolahan data SNSE dengan matrix 105X105 yang dianalisis dengan alat analisis pengganda untuk melihat peranan dari pengeluaran pemerintah pada subsektor peternakan terhadap nilai tambah, keterkaitan dengan sektor hulunya, total produksi, pendapatan rumah tangga, dan pendapatan tenaga kerja faktorial. Sedangkan untuk mengkaji dampak pengembangan subsektor peternakan dan hasil-hasilnya terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan
21
distribusi pendapatan dianalisis dengan simulasi kebijakan pemerintah, berupa injeksi anggaran belanja pada produksi subsektor peternakan dan hasil-hasilnya untuk melihat dampak dari investasi pemerintah pada sektor produksi on farm, serta realokasi anggaran alih fungsi impor komodtas peternakan dan hasilhasinlya untuk melihat dampak dari pembatasan impor komoditas peternakan dan hasil-hasilnya, yang disertai dengan penambahan belanja investasi pada sektor produksi on farm di sektor tersebut. Dari hasil analisis tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan manakah diantara kedua kebijakan tersebut yang berdampak lebih besar pada kajian perekonomian yang telah disebutkan, yang akan dapat dijadikan rekomendasi kebijakan dalam pengembangan subsektor peternakan dan hasilhasilnya. Secara singkat kerangka pikir konseptual penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4 berikut: Kajian Perekonomian : Pertumbuhan Ekonomi, Penyerapan Tenaga Kerja, Distribusi Pendapatan
Analisis pengganda SNSE + Simulasi Kebijakan Realokasi Anggaran Impor Komoditas Peternakan
Pengembangan Sektor Produksi Peternakan
Peran Sektor peternakan dan dampaknya terhadap :
Pertumbuhan Ekonomi
Penyerapan Tenaga Kerja
Hasil Penelitian Rekomendasi Kebijakan
Gambar 4. Kerangka pikir konseptual penelitian .
Disribusi Pendapatan
22
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, serta berbagai literatur pendukung yang digunakan untuk mendukung analisis. Data utama yang digunakan pada penlitian ini adalah data Sistem Neraca Sosial Ekonomi BPS tahun 2008 dengan matriks 105x105 tanpa dilakukan agregasi maupun disagregasi. Data SNSE pada penlitian ini terdiri dari 24 blok neraca sektor produksi, komoditas domestik dan komoditas impor, 17 blok neraca faktor produksi, 8 blok neraca institusi, dan masing-masing satu blok neraca kapital, pajak tidak langsung, subsidi dan luar negeri, serta margin perdagangan dan pengangkutan. Penggunaan data SNSE tersebut didasarkan pada pertimbangan adanya keterbatasan data yang diterbitkan oleh BPS, serta keterbatasan disiplin ilmu dari penulis. Metode Analisis Data Pengolahan data dilakukan yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan metode kuantitatif dan pendekatan metode deskriptif. Metode kuantitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis pengganda neraca (accounting Multiplier) dan metode dekomposisi pengganda neraca. Metode analisis tersebut digunakan untuk mendapatkan hasil analisis penelitian yang akan dipakai untuk melihat peranan subsektor peternakan terhadap perekonomian Indonesia. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengaitkan data hasil dari analisis kuantitatif dengan literatur-literatur, fakta di lapangan, dan teori-teori yang berkaitan. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft office Excell 2010. Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah suatu sistem data yang memuat data-data sosial dan ekonomi dalam perekonomian. Model ini dapat digunakan untuk menganalisis peranan subsektor peternakan dalam perekonomian Indonesia, yang meliputi peran terhadap pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan tenaga kerja, tingkat penyerapan tenaga kerja, serta distribusi pendapatan institusi rumah tanga di Indonesia. Model SNSE yang digunakan pada penelitian ini adalah model SNSE Indonesia tahun 2008 yang diterbitkan oleh BPS. Kerangka dasar model tersebut adalah sebuah matrix bujursangkar yang berukuran 105x105, yang terdiri atas 17 blok neraca faktor produksi, 10 blok neraca institusi, 24 blok neraca sektor produksi, 24 blok neraca komoditas domestik, dan 24 blok neraca komoditas impor, serta masing-masing 1 blok neraca kapital, 1 blok neraca pajak tidak langsung, 1 blok neraca subsidi, 1 blok neraca luar negeri, 1 blok neraca margin perdagangan, dan 1 blok neraca pengangkutan. Neraca endogen pada model tersebut terdiri dari blok neraca faktor produksi, blok neraca institusi (terkecuali institusi pemerintah), blok neraca aktivitas produksi (yang terdiri atas blok neraca
23
sektor produksi, blok neraca komoditas domestik dan blok neraca komoditas impor). Sementara itu, neraca eksogen terdiri atas blok neraca kapital, pajak tidak langsung, neraca luar negeri, dan institusi pemeritah. Institusi pemerintah digolongkan kedalam neraca eksogen dikarenakan, kebijakan-kebijakan pemerintah akan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja masing-masing blok neraca yang ada pada model SNSE tersebut. Pada blok faktor produksi, yang menjadi fokus utama pada penelitian ini adalah blok faktor produksi tenaga kerja. Blok neraca tenaga kerja pada model ini di disagregasi ke dalam empat kelompok, yaitu: tenaga kerja pertanian; tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar; tenaga kerja tata usaha, penjualan, jasa-jasa; tenaga kerja kepemimpinan, ketatalaksanaan, militer, profesional dan teknisi. Keempat blok neraca tenaga kerja tersebut di disagregasi lagi berdasarkan kondisi sosialnya, yaitu: tenaga kerja penerima upah dan gaji, serta tenaga kerja bukan penerima upah dan gaji, yang lebih lanjut di disagregasi berdasarkan kondisi demografisya (di desa atau di kota). Pada blok institusi, yang menjadi fokus utama pada penelitian ini adalah blok institusi rumah tangga. Blok neraca institusi rumah tangga tersebut di disagregasi ke dalam 2 kelompok, yaitu: institusi rumah tangga pertanian, dan institusi rumah tangga nonpertanian. Institusi rumah tangga di disagregasi menjadi 2 kelompok, yaitu: buruh pertanian, dan pengusaha pertanian. Sedangkan institusi rumah tangga nonpertanian di disgregasi ke dalam 2 kelompok, yaitu: institusi rumah tangga nonpertanian di pedesaan, dan institusi rumah tangga di perkotaan. Selanjutnya, kedua kelompok institusi rumah tangga sebagaimana diuraikan di atas, masing-masing di disagregasi lagi ke dalam 3 kelompok, yaitu: (1) kelompk pengusaha bebas golongan rendah, tenaga tata usaha, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, dan buruh kasar; (2) kelompk bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas; dan (3) kelompok pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja tata usaha, dan penjualan golongan atas. Pada model SNSE ini, blok aktivitas produksi juga menjadi fokus penelitian. Pada model SNSE ini, blok aktivitas produksi dirinci menjadi: blok sektor produksi, yang terdiri atas 24 blok neraca sektor produksi, blok komoditas domestik yang terdiri atas 24 blok komoditas domestik, dan blok komoditas impor yang terdiri atas 24 blok komoditas impor. Secara jelas, klasifikasi pada model SNSE Indonesia 2008 dengan matriks 105x105 sektor dapat dilihat pada Tabel 11 pada Lampiran. Untuk memudahkan dalam mengkaji peranan subsektor peternakan beserta dampak pengembangannya terhadap distribusi pendapatan tenaga kerja, dan penyerapan tenaga kerja, maka golongan tenaga kerja pada SNSE, yang terdiri atas 16 golongan disusutkan menjadi 6 kelompok, yang terdiri dari: 1. Kelompok tenaga kerja pertanian (Tani). Golongan tenaga kerja yang tergabung dalam kelompok ini adalah golongan tenaga kerja pertanian, baik penerima upah dan gaji maupun bukan penerima upah dan gaji yang ada di desa maupun di kota. 2. Kelompok tenaga kerja nonpertanian (Non Tani). Golongan tenaga kerja yang tergabung dalam kelompok ini adalah golongan tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar;
24
golongan tenaga kerja tata usaha, penjualan, jasa-jasa; serta golongan tenaga kerja kepemimpinan, ketatalaksanaan, militer, profesional dan teknisi, baik penerima upah dan gaji maupun bukan penerima upah dan gaji yang berada di desa maupun di kota. 3. Kelompok tenaga kerja pertanian di desa (Tani Desa). Golongan tenaga kerja yang tergabung dalam kelompok ini adalah golongan tenaga kerja pertanian, baik penerima upah dan gaji maupun bukan penerima upah dan gaji yang berada di desa. 4. Kelompok tenaga kerja pertanian di kota (Tani Kota). Golongan tenaga kerja yang tergabung dalam kelompok ini adalah golongan tenaga kerja pertanian, baik penerima upah dan gaji maupun bukan penerima upah dan gaji yang berada di kota. 5. Kelompok tenaga kerja nonpertanian di desa (Non Tani Desa). Golongan tenaga kerja yang tergabung dalam kelompok ini adalah golongan tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar; golongan tenaga kerja tata usaha, penjualan, dan jasa-jasa; serta golongan tenaga kerja kepemimpinan, ketatalaksanaan, militer, profesional dan teknisi, baik penerima upah dan gaji maupun bukan penerima upah dan gaji yang berada di desa. 6. Kelompok tenaga kerja nonpertanian di kota (Non Tani Kota). Golongan tenaga kerja yang tergabung dalam kelompok ini adalah golongan tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar; golongan tenaga kerja tata usaha, penjualan, jasa-jasa; golongan tenaga kerja kepemimpinan, ketatalaksanaan, militer, profesional dan teknisi, baik penerima upah dan gaji maupun bukan penerima upah dan gaji yang berada di kota. 7. Tenaga kerja total (Tk Total) Golongan tenaga kerja yang tergabung dalam kelompok ini adalah golongan tenaga kerja pertanian maupun nonpertanian yang berada di desa maupun di kota. Untuk memudahkan kajian peranan subsektor peternakan beserta dampak pengembangannya terhadap distribusi pendapatan rumah tangga, maka dilakukan pengelompokan terhadap institusi rumah tangga pada SNSE, yang terdiri atas 8 golongan menjadi 7 kelompok, yaitu : 1. Kelompok rumah tangga pertanian (RT Tani). Golongan rumah tangga yang tergabung dalam kelompok ini adalah golongan rumah tangga pengusaha pertanian dan buruh tani. 2. Kelompok rumah tangga nonpertanian (RT Non Tani). Golongan yang tergabung dalam kelompok ini adalah golongan rumah tangga pengusaha bebas golongan rendah, tenaga tata usaha, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan dan buruh kasar; golongan rumah tangga bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas; serta golongan rumah tangga pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja tata usaha dan penjualan
25
golongan atas, baik yang berdomisili di pedesaan maupun yang berdomisili di perkotaan. 3. Kelompok rumah tangga pengusaha pertanian (Pengusaha Tani). Golongan rumah tangga yang tergabung dalam kelompok ini hanyalah golongan rumah tangga pertanian-pengusaha pertanian. 4. Kelompok rumah tangga buruh tani (Buruh Tani). Golongan rumah tangga yang tergabung dalam kelompok ini hanyalah golongan rumah tangga pertanian-buruh tani. 5. Kelompok rumah tangga nonpertanian di desa ( Non tani Desa). Golongan yang tergabung dalam kelompok ini adalah golongan rumah tangga pengusaha bebas golongan rendah, tenaga tata usaha, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan dan buruh kasar; golongan rumah tangga bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas; serta golongan rumah tangga pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja tata usaha, dan penjualan golongan atas yang berdomisili di pedesaan. 6. Kelompok rumah tangga nonpertanian di kota (Non tani Kota). Golongan yang tergabung dalam kelompok ini adalah golongan rumah tangga pengusaha bebas golongan rendah, tenaga tata usaha, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan dan buruh kasar; golongan rumah tangga bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas; serta golongan rumah tangga pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja tata usaha dan penjualan golongan atas yang berdomisili di perkotaan. 7. Kelompok rumah tangga total (Rt Total). Golongan yang tergabung dalam kelompok ini adalah golongan rumah tangga pertanian, dan golongan rumah tangga nonpertanian. Metode Analisis Multiplier Di dalam model SAM, analisis multiplier dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu pengganda neraca (accounting multiplier), dan pengganda harga tetap (fixed price multiplier). Analisis pengganda neraca pada prinsipnya sama seperti dengan multiplier dari invers leontif matrix yang diuraikan pada model input-output. Hal ini berarti semua analisis multiplier yang digunakan pada model input-output seperti own income multiplier, other sector linkage multilier, dan total multiplier dapat juga diterapkan pada model SNSE. Sedangkan analisis fixed price multiplier terfokus pada pengukuran respons rumah tangga terhadap perubahan neraca eksogen yang memperhitungkan expenditure propensity (Daryanto, 2010). Pada kerangka dasar SNSE sederhana yang telah disajikan pada Tabel 4 pada tinjauan pustaka, terdapat beberapa matriks yang menjelaskan mengenai berbagai macam penerimaan dan pengeluraran. Matriks T merupakan matriks transaksi antarblok dalam neraca endogen. Matriks Y menunjukan pendapatan neraca endogen dari neraca eksogen. Matriks I memperlihatkan pengeluaran neraca endogen untuk neraca eksogen, disebut juga leakages. Matriks X
26
merupakan pendapatan total dari neraca endogen, sedangkan matriks merupakan pengeluaran total dari neraca endogen. Dari Tabel 4 tersebut, distribusi pendapatan dan pengeluaran neraca endogen dapat dirinci menjadi: 1. Pendapatan faktor produksi : 2. Pendapatan institusi : 3. Pendapatan kegiatan produksi : 4. Pengeluaran faktor produksi : 5. Jumlah pengeluaran institusi : 6. Jumlah pengeluaran kegiatan produksi : Secara singkat, persamaan di atas dapat dituliskan secara umum menjadi: ............................................................................................................ (1) Dimana Y adalah pendapatan/pengeluaran, T adalah transaksi, dan X adalah neraca eksogen. Matriks T sebagai matriks transaksi antarblok di dalam neraca endogen dapat dituliskan sebagai berikut: (
)
Selanjutnya, apabila besarnya kecenderungan rata-rata pengeluaran yang dinotasikan sebagai dan dianggap sebagai perbandingan antara pengeluaran sektor j terhadap sektor i dengan total pengeluaran j ( ), maka : ⁄ ......................................................................................................... (2) Atau dalam bentuk matrix sebagai berikut : (
) Jika persamaan 1 dibagi dengan Y, maka persamaan tersebut menjadi:
⁄
⁄ ⁄ ............................................................................................ (3) ⁄ ⁄ ................................................................................................... (4) ⁄ , maka persamaan di atas menjadi: Oleh karena ⁄ .......................................................................................................... (5) (- ) ........................................................................................................... (6) (- )
-
........................................................................................................ (7)
Dimana Multiplier).
(- )
-
merupakan matrix pengganda neraca (accounting
Melalui matriks multiplier pada persamaan di atas, dapat dilakukan berbagai algoritma untuk memperoleh bermacam-macam jenis multiplier ekonomi yang dapat dipakai untuk menggambarkan seberapa besar peran dan kinerja antar sektor ekonomi dalam suatu perekonomian secara menyeluruh. Multiplier tersebut antara lain:
27
1. Multiplier Nilai Tambah. Multiplier Nilai Tambah menggambarkan seberapa besar pengaruh dari suatu sektor terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja dan modal yang digunakan dalam kegiatan ekonomi masing-masing sektor. Multilplier ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok faktor produksi sepanjang kolom sektor ke-i. 2. Multiplier Tenaga Kerja Multiplier Pendapatan Tenaga Kerja menggambarkan seberapa besar pengaruh dari suatu sektor terhadap pendapatan tenaga kerja, yang selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisis tingkat penyerapan tenaga kerja yang digunakan dalam kegiatan ekonomi masing-masing sektor. Multilplier ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok faktor produksi tenaga kerja sepanjang kolom sektor ke-i. 3. Multiplier Pendapatan Institusi Multiplier Pendapatan Institusi menggambarkan seberapa besar pengaruh dari suatu sektor terhadap pendapatan institusi perusahaan dan rumah tangga. Multiplier ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok institusi sepanjang kolom sektor ke-i. 4. Multiplier Pendapatan Rumah Tangga Multiplier Pendapatan Rumah Tangga menggambarkan seberapa besar pengaruh dari suatu sektor terhadap pendapatan rumah tangga. Multiplier ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok institusi rumah tangga sepanjang kolom sektor ke-i. 5. Multiplier Produksi Multiplier Produksi menggambarkan seberapa besar pengaruh dari suatu sektor terhadap perubahan produksi total di dalam perekonomian. Multiplier ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok sektor produksi sepanjang kolom sektor ke-i. 6. Multiplier Keterkaitan Antar-Sektor Multiplier Keterkaitan Antar-Sektor menggambarkan seberapa besar pengaruh dari suatu sektor terhadap perubahan output sektor-sektor lainnya dalam blok produksi. Multiplier ini merupakan selisih antara multiplier produksi dengan own income multiplier. Nilai own income multiplier diambil dari neraca produksi pada sel baris dan kolom yang sama, atau dalam notasi matriks multiplier adalah . Nilai ini hanya menggambarkan hubungan keterkaitan suatu sektor dengan sektor lainnya di dalam perekonomian. 7. Multiplier Total Multiplier Total atau Gross Output Multiplier menggambarkan besarnya pengaruh dari suatu terhadap perubahan output perekonomian secara menyeluruh. Multiplier ini diperoleh dengan menjumlahkan seluruh pengganda neraca SNSE sepanjang kolom sektor ke-i, atau merupakan penjumlahan dari multiplier nilai tambah, multiplier institusi, maupun multiplier produksi.
28
Analisis Dekomposisi Pengganda Neraca Selain analisis pengganda neraca, pada penelitian ini juga dilakukan analisis dekomposisi pengganda neraca. Analisis dekomposisi pengganda neraca dilakukan untuk memperlihatkan tahap atau proses perubahan neraca endogen sebagai akibat dari perubahan neraca eksogen. Pyatt and Round (1985) dalam Daryanto (2010) melakukan dekomposisi terhadap accounting multiplier tersebut, dimana hasilnya berbentuk multiplikatif : ............................................................................................. (8) -
(
-)
-
.................................................. (9)
Dimana : I (
: Injeksi awal : Net contribution of transfer Multiplier : Effects Multiplier-cross atau loop open of on contribution : Effects Multiplier loop-closed atau circular of on contribution net
-) -) -
Secara berurutan matrix berikut:
,
dan
Pengganda Transfer/Transfer Multiplier (
di atas dapat dijelaskan sebagai
)
Pengganda transfer ( ) menunjukan pengaruh dari satu blok (grup) neraca pada dirinya sendiri, yang dirumuskan sebagai berikut : (-
-
) .............................................................................................. (10)
Dimana : (
)
Sehingga : (
(-
)
-
) (-
)
-
Melalui pengganda transfer, dapat diketahui pengaruh injeksi pada sebuah sektor terhadap sektor lain dalam satu blok yang sama, setelah melalui keseluruhan sistem didalam blok tersebut, sebelum berpengaruh terhadap blok neraca yang lain. Untuk memahami pengganda transfer ini diasumsikan bahwa injeksi pada suatu sektor hanya akan berpengaruh terhadap sektor-sektor lain dalam blok yang sama, dan tidak terhadap sektor-sektor lain dalam blok yang berbeda. Dalam matriks pada persamaan di atas, dapat dilihat besarnya pengganda pada masing-masing blok. Pada blok sektor produksi misalnya,
29
-
besarnya pengaruh pengganda transfer adalah ( ) . Ini berarti setiap injeksi pada salah satu sektor produksi akan berpengaruh pada sektor produksi lain sebesar besaran injeksi dikalikan dengan ( -
-
) atau matriks inverse leontief. -
Pada blok institusi, besarnya pengganda transfer adalah ( ) yang mengandung arti bahwa setiap injeksi pada salah satu institusi akan berpengaruh pada institusi lainnya sebesar nilai injeksi dikalikan dengan ) Sedangkan pada blok faktor produksi, besarnya pengganda transfer adalah I. Ini bearti bahwa injeksi pada faktor produksi hanya akan berpengaruh terhadap faktor produksi yang diinjeksi tersebut, akan tetapi tidak terhadap faktor-faktor produksi yang lain. )
Pengganda Open Loop (
Pengganda open loop atau menunjukan pengaruh secara langsung dari satu blok neraca terhadap blok neraca lain. Oleh karena itu, dapat dirumuskan sebagai berikut : (
)........................................................................................ (11)
Dimana,
(-
-
) ( -
) -
-
Oleh karena ; (- ) ; (- ) , sedangkan sel yang lain berisi angka (matriks) nol, maka matriks dapat ditulis sebagai berikut: (
) ...................................................................... (12)
Dengan demikian, maka pengganda (
dapat ditulis lengkap sebagai:
) ..................................................... (13)
Pengganda open loop berdasarkan persamaan 13 di atas memiliki pengertian apabila terdapat kenaikan pendapatan pada blok sektor produksi (injeksi pada salah satu sektor produksi), maka akan berpengaruh terhadap pendapatan blok faktor produksi dengan pengganda sebesar . Kenaikan pendapatan faktor produksi akan memengaruhi pendapatan institusi dengan pengganda sebesar . Kenaikan pendapatan pada blok institusi juga akan mempengaruhi pendapatan sektor produksi dengan pengganda sebesar . Pengaruh faktor produksi terhadap sektor produksi terjadi melalui perantara blok institusi dengan pengganda sebesar , sementara pengaruh blok institusi terhadap faktor produksi terjadi melalui perantara sektor produksi dengan pengganda sebesar
30
, sedangkan pengaruh sektor produksi terhadap blok institusi terjadi melalui perantara blok faktor produksi dengan pengganda sebesar
.
Pengganda Close Loop Pengganda close loop ( menunjukan pengaruh dari satu blok (neraca) ke blok lain (neraca lain), kemudian kembali pada blok semula (neraca semula). Bentuk persamaan dapat ditulis sebagai berikut : (-
)
-
Dimana matriks (-
dapat ditulis sebagai berikut : )
-
(-
)
-
..(14)
(-
(
-
) )
Injeksi pada blok faktor produksi akan berpengaruh pada sektor-sektor lain lain pada blok institusi, kemudian berpengaruh pada blok sektor produksi, dan akhirnya berpengaruh kembali kepada blok faktor produksi. Efek yang kembali pada satu putaran inilah yang disebut dengan pengganda close loop dengan -
pengganda sebesar . Analisis pengganda SNSE ini sangat penting dilakukan, karena melalui analisis pengganda ini, arah dan strategi kebijakan pada subsektor peternakan dan hasil-hasillnya dapat ditentukan. Berdasarkan analisis pengganda inilah, sektorsektor pada neraca mana saja yang akan dipilih untuk dilakukan pengembangan agar tujuan dari penelitian ini, dapat tercapai. Simulasi Kebijakan Simulasi kebijakan dilakukan untuk mengukur seberapa besar dampak kebijakan pemerintah (misalnya subsidi, pengeluaran pemerintah, pembatasan impor dan sebagainya) terhadap peningkatan atau penurunan permintaan pada suatu sektor yang akan memengaruhi indikator-indikator perekonomian lainnya. Melalui simulasi kebijakan ini akan dapat diketahui kebijakan mana sajakah yang paling efektif dapat digunakan untuk mencapai target atau sasaran yang telah ditetapkan. Pada penelitian ini, simulasi kebijakan ditujukan untuk melihat bagaimana dampak atau pengaruh kebijakan pemerintah pada subsektor peternakan terhadap pendapatan faktor produksi, pendapatan institusi, dan pendapatan sektor produksi, serta dampaknya terhadap output nasional dan distribusi pendapatan. Adapun skenario simulasi kebijakan yang akan disimulasikan terdiri dari simulasi kebijakan sebagai berikut : 1. Injeksi belanja investasi pemerintah pada sektor produksi peternakan dan hasilhasilnya.
31
Kebijakan ini dilakukan dengan menginjeksikan anggaran sebesar Rp 1,6 triliun pada pengembangan produksi subsektor peternakan dan hasil-hasilnya yang akan digunakan untuk program peningkatan produktivitas ternak sapi lokal melalui pengadaan pejantan unggul sapi dan kerbau, serta penyediaan bibit sapi/kerbau sebanyak 500 ribu ekor per tahun. 2. Penerapan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan. Kebijakan ini secara teknis dilakukan dengan merealokasi anggaran untuk investasi tambahan bagi pihak swasta pada program peningkatan produktivitas ternak sapi lokal seperti dijelaskan pada simulasi 1, sebagai pengalih fungsian impor sapi bakalan yang dibatasi izin impornya. Besarnya anggaran yang direalokasi untuk pengalihfungsian impor ke pengembangan sektor produksi peternakan domestik akibat kebijakan pembatasan impor komoditas peternakan ini, merupakan selisih dari nilai impor sapi bakalan pada kuartal 1 tahun 2014 (kondisi sebelum diberlakukan pembatasan impor) dengan nilai impor komoditas peternakan dan hasil-hasilnya pada kuartal 1 tahun 2015 (kondisi paska diberlakukan kebijakan pembatasan impor) sebesar Rp 251 miliar. Dari hasil simulasi ini diharapkan akan terlihat efek dari kebijakan pembatasan impor komoditas peternakan dan hasil-hasilnya pada pengembangan sektor produksi peternakan domestik dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan distribusi pendapatan.
32
HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Subsektor Peternakan terhadap Perkonomian Pada penelitian ini peranan subsektor peternakan dan hasil-hasilnya terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan distribusi pendapatan dikaji dengan menggunakan analisis multiplier, dan dekomposisi pengganda. Terdapat tujuh analisis multiplier yang digunakan, yaitu analisis multiplier nilai tambah, analisis multiplier pendapatan tenaga kerja, analisis multiplier keterkaitan, analisis multiplier produksi, analisis multiplier institusi, analisis multiplier pendapatan institusi rumah tangga, dan analisis multiplier total. Pada peneltian ini, institusi pemerintah tidak lagi digolongkan ke dalam neraca endogen tetapi digolongkan ke dalam neraca eksogen. Analisis Multiplier Nilai Tambah Analisis multiplier nilai tambah digunakan untuk melihat besarnya pengaruh suatu sektor terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja dan modal yang digunakan dalam perekonomian. Nilai ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok faktor produksi sepanjang kolom sektor ke-i. Multiplier nilai tambah juga dapat dipergunakan untuk melihat peranan subsektor peternakan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional (PDB) melalui pendekatan pendapatan. Berdasarkan hasil analisis multiplier nilai tambah (Value Added Multiplier) seperti tampak pada Tabel 5, subsektor peternakan memiliki peranan yang besar dalam penciptaan nilai tambah pada perekonomian nasional, yang ditunjukan dengan koefisien multiplier nilai tambah sebesar 1.86. Walaupun demikian, peranan tersebut masih lebih rendah dari peranan subsektor pertanian tanaman pangan yang memiliki koefisien multiplier sebesar 2.11, subsektor pertambangan dan penggalian dengan koefisien sebesar 1.94, subsektor pemerintahan dan pertahanan, pendidikan, kesehatan, film dan jasa sosial lainnya yang memiliki koefisien multiplier nilai tambah sebesar 1.93, subsektor restoran yang memiliki multiplier nilai tambah sebesar 1.92 dan subsektor pertanian tanaman lainnya dengan koefisien multiplier sebesar 1.87. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan peranan subsektor perikanan dengan koefisien multiplier sebesar 1.70, dan subsektor kehutanan dan perburuan dengan koefisien multiplier sebesar 1.69, maka peranan subsektor peternakan terhadap penciptaan nilai tambah pada perekonomian nasional masih jauh lebih besar. Dasar dari analisis multiplier nilai tambah merupakan perhitungan atau penjumlahan dari nilai tambah tenaga kerja dan nilai tambah modal. Seperti tampak pada Tabel 5, peranan subsektor peternakan dalam meningkatkan PDB Indonesia lebih banyak berasal dari kontribusi nilai tambah tenaga kerja yang memiliki multiplier tenaga kerja sebesar 1.19, lebih besar dari multiplier modal yang hanya sebesar 0.67. Hasil analisis multiplier nilai tambah ini menunjukan dengan jelas bahwa subsektor peternakan lebih bersifat padat karya. Dari aspek analisis pendapatan tenaga kerja, subsektor peternakan juga memegang peranan yang cukup besar dalam memengaruhi pendapatan tenaga kerja walaupun peranan tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan peranan
33
subsektor pertanian tanaman pangan dengan multiplier nilai tambah tenaga kerja sebesar 1.55, subsektor pemerintahan dan pertahanan, pendidikan, kesehatan, film dan jasa sosial lainnya yang mempunyai multiplier nilai tambah tenaga kerja sebesar 1.33, subsektor restoran yang memiliki multiplier nilai tambah tenaga kerja sebesar 1.32, subsektor pertambangan dan penggalian lainnya dengan multiplier nilai tambah tenaga kerja sebesar 1.24 dan subsektor pertanian tanaman lainnya dengan koefisien multiplier nilai tambah tenaga kerja sebesar 1.24. Tabel 5. Multiplier nilai tambah, tenaga kerja dan modal Sektor Produksi Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum Konstruksi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya Sumber : SNSE 2008 (diolah)
Tenaga Kerja 1.55 1.24 1.19 0.83 0.83
Rank
Modal
Vam
Rank
1 5 6 14 15
0.56 0.63 0.67 0.86 0.87
2.11 1.87 1.86 1.69 1.70
1 5 6 12 11
0.44
24
1.01
1.45
19
1.24 1.05 0.74 0.87
4 9 17 12
0.70 0.69 0.70 0.75
1.94 1.74 1.44 1.62
2 9 21 14
0.61
21
0.62
1.23
24
0.57
22
0.75
1.32
23
0.47 0.77 1.14 1.32 0.94 0.99 0.71 1.07 0.69 0.61
23 16 7 3 11 10 18 8 19 20
0.97 0.68 0.64 0.60 0.80 0.62 0.76 0.64 0.90 0.89
1.44 1.45 1.78 1.92 1.74 1.61 1.47 1.71 1.59 1.50
22 20 7 4 8 13 18 10 15 16
1.33
2
0.60
1.93
3
0.86
13
0.65
1.51
17
Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan subsektor perikanan dengan koefisien multiplier tenaga kerja sebesar 0.83, serta subsektor kehutanan dan perburuan dengan koefisien multiplier tenaga kerja sebesar 0.83, maka peranan subsektor peternakan dalam memengaruhi pendapatan tenaga kerja masih jauh lebih besar. Sektor lain yang paling besar pengaruhnya terhadap pendapatan tenaga kerja adalah subsektor pertanian tanaman pangan dengan multiplier sebesar 1.55, sedangkan yang paling rendah pengaruhnya terhadap pendapatan tenaga kerja adalah sektor pertambangan batubara, biji logam dan minyak bumi dengan multiplier sebesar 0.44. Sementara itu, dengan koefisien pengganda tenaga kerja
34
sebesar 1.19, maka subsektor peternakan memiliki pengaruh terbesar ke 6 dalam memengaruhi pendapatan tenaga kerja. Angka koefisien pengganda tersebut memiliki arti, apabila terjadi kenaikan pada sektor produksi peternakan dan hasilhasilnya sebesar Rp1.0 miliar, maka akan mampu meningkatkan pendapatan pertumbuhan ekonomi sebesar Rp1.86 miliar, dimana sebesar Rp1.19 miliar merupakan dampak dari multiplier pendapatan tenaga kerja, dan sebesar Rp670 juta merupakan dampak dari multiplier pendapatan modal, hal yang sama berlaku untuk sektor lainnya. Analisis Multiplier Tenaga Kerja Multiplier Pendapatan Tenaga Kerja menggambarkan besarnya pengaruh suatu sektor terhadap pendapatan tenaga kerja, sehingga dapat digunakan untuk menganalisis tingkat penyerapan tenaga kerja yang digunakan dalam kegiatan ekonomi masing-masing sektor. Multiplier ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok faktor produksi tenaga kerja sepanjang kolom sektor ke-i. Untuk menganalisis peranan subsektor peternakan terhadap penyerapan tenaga kerja, diperlukan analisis lanjutan dengan menggunakan metode dekomposisi pengganda dan koefisien tenaga kerja, dimana koefisien tersebut merupakan rasio dari tingkat pendapatan tenaga kerja dengan jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 6, peranan subsektor peternakan dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja pertanian cukup besar, yaitu sebesar 0.65. Sektor lain yang memiliki peranan yang besar dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja pertanian adalah subsektor pertanian tanaman pangan dengan koefisien multiplier sebesar 1.04, dan subsektor pertanian tanaman lainnya dengan multiplier sebesar 0.75. Subsektor perikanan, dan subsektor kehutanan dan perburuan berturut-turut memiliki nilai koefisien multiplier sebesar 0.45, dan sebesar 0.40. Kedua subsektor tersebut masih memiliki peran yang cukup besar dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja pertanian (masih menduduki peringkat 10 besar) walaupun pengaruhnya lebih rendah dari dampak yang ditimbulkan oleh subsektor peternakan. Nilai multiplier pendapatan tenaga kerja subsektor peternakan sebesar 0.65 tersebut dikontribusi masing-masing oleh pendapatan tenaga kerja pertanian di desa sebesar 0.55, dan pendapatan tenaga kerja pertanian di kota sebesar 0.09. Nilai multiplier tenaga kerja pertanian subsektor peternakan sebesar 0.65 tersebut memiliki arti, apabila penerimaan subsektor peternakan meningkat sebesar Rp1.0 miliar, maka akan meningkatkan pendapatan tenaga kerja pertanian sebesar Rp650 juta, dimana sebesar Rp550 juta merupakan dampak kenaikan penerimaan pendapatan tenaga kerja pertanian di desa, dan sebesar Rp90 juta merupakan dampak kenaikan penerimaan pendapatan tenaga kerja pertanian di kota. Berdasarkan hasil analisis multiplier pada Tabel 6, juga terlihat peranan yang sangat signifikan dari subsektor peternakan dalam meningkatkan penerimaan tenaga kerja nonpertanian. Apabila dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya di dalam lingkup sektor pertanian, maka subsektor peternakan memiliki peranan terbesar dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja nonpertanian dengan koefisien pengganda sebesar 0.55, lebih besar dari peranan subsektor pertanian tanaman pangan dengan multiplier sebesar 0.51, dan subsektor pertanian tanaman lainnya dengan multiplier sebesar 0.51. Sektor
35
lainnya dalam perekonomian yang memiliki peranan terbesar dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja nonpertanian adalah sektor konstruksi dengan koefisien pengganda sebesar 0.63. Nilai multiplier subsektor peternakan nonpertanian sebesar 0.55 tersebut memiliki arti, apabila penerimaan subsektor peternakan meningkat sebesar Rp1.0 miliar, maka akan meningkatkan penerimaan tenaga kerja nonpertanian di desa sebesar Rp180 juta, dan meningkatkan penerimaan tenaga kerja nonpertanian di kota sebesar Rp370 juta. Tabel 6. Multiplier tenaga kerja menurut golongan Sektor Produksi Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum Konstruksi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya Sumber : SNSE 2008 (diolah)
Tani Desa Kota 0.93 0.11 0.67 0.08 0.55 0.09 0.33 0.07 0.34 0.11 0.09 0.01 0.17 0.03 0.39 0.05 0.14 0.02 0.16 0.03
Non Tani Desa Kota 0.16 0.35 0.17 0.34 0.18 0.37 0.15 0.27 0.12 0.26 0.10 0.24 0.49 0.55 0.20 0.41 0.17 0.41 0.26 0.42
0.10
0.01
0.14
0.36
0.11 0.09 0.12 0.16 0.34 0.24 0.14 0.12 0.15 0.11 0.11
0.02 0.01 0.02 0.02 0.05 0.04 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
0.14 0.11 0.23 0.30 0.28 0.17 0.26 0.17 0.25 0.13 0.12
0.30 0.26 0.40 0.66 0.64 0.49 0.57 0.41 0.65 0.43 0.38
0.23
0.03
0.33
0.75
0.13
0.02
0.19
0.52
Analisis Multiplier Institusi Nilai multiplier institusi menjelaskan besarnya pengaruh suatu sektor terhadap perubahan pendapatan yang diterima oleh institusi rumah tangga maupun perusahaan. Multiplier ini diperoleh dengan menjumlahkan nilai pengganda neraca pada blok institusi sepanjang kolom sektor ke-i, yang meliputi efek terhadap pendapatan institusi rumah tangga, dan efek terhadap pendapatan institusi perusahaan. Berdasarkan hasil penghitungan analisis multiplier pendapatan institusi pada Tabel 7, subsektor peternakan memiliki dampak yang relatif besar dalam meningkatkan pendapatan institusi dengan koefisien multiplier sebesar 1.92, dan menduduki peringkat ke 6 terbesar diantara sektor dan subsektor lainnya dalam perekonomian. Namun, dampak pendapatan institusi subsektor
36
peternakan tersebut sedikit lebih rendah apabila dibandingkan dengan dampak pendapatan institusi yang ditimbulkan oleh subsektor pertanian tanaman pangan yang memiliki koefisien multiplier sebesar 2.17, subsektor pertambangan dan penggalian lainnya dengan multiplier pendapatan institusi sebesar 2.00, subsektor pemerintahan dan pertahanan, pendidikan, kesehatan, film dan jasa sosial lainnya yang mempunyai multiplier institusi sebesar 1.99, subsektor restoran dengan pengganda sebesar 1.99 dan subsektor pertanian tanaman lainnya dengan koefisien multiplier sebesar 1.93. Meskipun demikian, dampak pendapatan institusi subsektor peternakan tersebut masih jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan dampak pendapatan institusi yang ditimbulkan subsektor perikanan dengan multiplier sebesar 1.76, dan subsektor kehutanan dan perburuan dengan multiplier sebesar 1.75. Tabel 7. Multiplier rumah tangga, perusahaan dan institusi Institusi Sektor Produksi Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum Konstruksi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya
HIIM
Rank
PM
Rank
Total institusi
Rank
1.76 1.47 1.43 1.13 1.13
1 5 6 14 12
0.41 0.46 0.49 0.62 0.63
24 19 15 6 5
2.17 1.93 1.92 1.75 1.76
1 5 6 12 10
0.79
24
0.73
1
1.52
19
1.49 1.29 0.99 1.13
4 9 18 13
0.51 0.50 0.50 0.54
11 13 12 9
2.00 1.79 1.49 1.67
2 9 22 13
0.83
22
0.45
22
1.28
24
0.83
21
0.54
10
1.37
23
0.80 1.00 1.37 1.53 1.22 1.22 0.97 1.29 1.00 0.93
23 17 7 3 10 11 19 8 16 20
0.69 0.49 0.47 0.46 0.58 0.45 0.55 0.47 0.65 0.64
2 14 17 20 7 21 8 18 3 4
1.50 1.49 1.83 1.99 1.80 1.67 1.52 1.76 1.65 1.57
20 21 7 4 8 14 18 11 15 16
1.55
2
0.44
23
1.99
3
1.08
15
0.47
16
1.55
17
Sumber : SNSE 2008 (diolah) Keterangan : HIIM (Household Induced Income Multiplier): Multiplier pendapatan rumah tangga. PM (Private Multiplier): Multiplier pendapatan perusahaan.
37
Multiplier pendapatan institusi pada subsektor peternakan sebesar 1.92 tersebut, terdiri atas multiplier pendapatan institusi rumah tangga sebesar 1.43, dan multiplier institusi perusahaan sebesar 0.49. Angka koefisien multiplier pendapatan institusi rumah tangga sebesar 1.43 tersebut memiliki arti, bahwa setiap Rp1.0 miliar dana yang diinjeksikan ke subsektor peternakan dan hasilhasilnya, maka akan meningkatkan pendapatan institusi rumah tangga sebesar Rp1.43 miliar, hal yang sama berlaku untuk institusi perusahaan. Meskipun subsektor peternakan memiliki dampak yang cukup besar dalam meningkatkan pendapatan institusi rumah tangga (dengan koefisien multiplier sebesar 1.43), akan tetapi dampak tersebut tidak sebesar dampak pengganda pendapatan institusi rumah tangga yang diakibatkan oleh subsektor pertanian tanaman pangan, dan subsektor pertanian tanaman lainnya, yang berturut-turut memiliki koefisien multiplier pendapatan institusi sebesar 1.76, dan sebesar 1.47. Sekalipun demikian, dengan nilai koefisien multiplier pendapatan institusi rumah tangga sebesar 1.43, subsektor peternakan masih tetap memberikan dampak pengganda pendapatan terhadap institusi rumah tangga yang jauh lebih besar jika dibanding dengan dampak subsektor perikanan dan subsektor kehutanan dan perburuan dengan angka multiplier pendapatan institusi rumah tangga masing-asing sebesar 1.13. Selanjutnya, jika dibandingkan dengan sub-subsektor pertanian lainnya dalam lingkup sektor pertanian, subsektor peternakan memiliki dampak terbesar ketiga terhadap pendapatan rumah tangga setelah subsektor pertanian tanaman pangan, dan subsektor pertanian tanaman lainnya. Berdasarkan hasil perhitungan koefisien multiplier pendapatan institusi rumah tangga, sektor yang paling besar memengaruhi pendapatan institusi rumah tangga adalah subsektor pertanian tanaman pangan dengan nilai multiplier sebesar 1.76, sedangkan sektor yang paling tinggi memengaruhi institusi perusahaan adalah sektor pertambangan batubara, biji logam dan minyak bumi dengan nilai multiplier sebesar 0.79. Secara agregat sektor yang memiliki dampak tertinggi dalam meningkatkan pendapatan institusi adalah subsektor pertanian tanaman pangan dengan koefisien multiplier sebesar 2.17, sedangkan yang memiliki dampak terendah terhadap pendapatan institusi rumah tangga ialah sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam dan industri dengan multiplier sebesar 1.28. Analisis Multiplier Institusi Rumah Tangga Multiplier Pendapatan Institusi Rumah Tangga menggambarkan besarnya pengaruh suatu sektor terhadap pendapatan institusi rumah tangga. Multiplier ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok institusi rumah tangga sepanjang kolom sektor ke-i. Hasil perhitungan multiplier institusi rumah tangga disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan hasil perhitungan pengganda pendapatan institusi rumah tangga menurut golongan, terlihat bahwa subsektor peternakan memiliki peranan yang relatif besar dalam meningkatkan pendapatan institusi rumah tangga pertanian, yang ditunjukan dengan koefisien multiplier sebesar 0.52. Koefisien multiplier pendapatan institusi rumah tangga subsektor peternakan ini terdiri atas multiplier pendapatan buruh tani sebesar 0.010, dan multiplier pendapatan pengusaha pertanian sebesar 0.41. Subsektor lain yang juga memiliki peranan yang besar dalam meningkatkan pendapatan
38
rumah tangga petani adalah subsektor pertanian tanaman pangan, dan subsektor pertanian tanaman lainnya dengan nilai multiplier berturut-turut sebesar 0.77 dan 0.57. Sementara itu, subsektor kehutanan dan perburuan, dan subsektor perikanan memiliki pengganda institusi rumah tangga masing-masing sebesar 0.37, dan sebesar 0.38. Tabel 8. Pengganda institusi rumah tangga menurut golongan
0.77
Non Tani Desa 0.55
Non Tani Kota 0.45
0.57
0.46
0.44
0.90
0.10
0.52
0.44
0.48
0.92
0.29
0.08
0.37
0.35
0.41
0.76
1.13
0.29
0.09
0.38
0.33
0.42
0.75
0.79
0.14
0.03
0.17
0.23
0.39
0.62
1.49
0.28
0.05
0.33
0.53
0.63
1.16
1.29
0.34
0.06
0.40
0.39
0.50
0.89
0.99
0.18
0.04
0.22
0.27
0.50
0.77
1.13
0.21
0.04
0.25
0.36
0.51
0.87
0.83
0.14
0.03
0.17
0.23
0.43
0.66
0.83
0.16
0.03
0.19
0.24
0.40
0.64
0.81
0.15
0.02
0.17
0.24
0.40
0.64
1.00
0.17
0.04
0.21
0.31
0.48
0.79
Perdagangan
1.36
0.21
0.04
0.25
0.40
0.71
1.11
Restoran
1.53
0.32
0.06
0.38
0.43
0.71
1.14
Perhotelan
1.22
0.25
0.05
0.30
0.33
0.59
0.92
Angkutan Darat
1.21
0.20
0.04
0.24
0.34
0.63
0.97
Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi
0.97
0.17
0.03
0.20
0.27
0.50
0.77
1.29
0.21
0.04
0.25
0.34
0.70
1.04
1.00
0.17
0.04
0.21
0.26
0.53
0.79
Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya
0.92
0.16
0.03
0.19
0.24
0.49
0.73
1.55
0.28
0.05
0.33
0.44
0.78
1.22
1.08
0.18
0.04
0.22
0.28
0.58
0.86
Sektor Produksi
RT Total
Pengusaha Tani
Buruh Tani
RT Tani
Pertanian Tanaman Pangan
1.76
0.65
0.11
Pertanian Tanaman Lainnya
1.47
0.47
0.10
Peternakan dan Hasil-hasilnya
1.43
0.41
Kehutanan dan Perburuan
1.13
Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum Konstruksi
RT Non Tani 1.00
Sumber : SNSE 2008 (diolah)
Subsektor peternakan juga memiliki peranan yang cukup besar dalam meningkatkan pendapatan institusi rumah tangga nonpertanian. Hal ini ditunjukan dengan koefisien multiplier institusi rumah tangga nontani sebesar 0.92, yang berasal dari kontribusi multiplier institusi rumah tangga nonpertanian di kota sebesar 0.48, dan koefisien multiplier institusi rumah tangga nonpertanian di desa sebesar 0.44. Nilai tersebut memiliki arti, setiap Rp1.0 miliar dana yang diinjeksikan pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya, maka akan mampu meningkatkan pendapatan golongan rumah tangga nonpertanian sebesar Rp920 juta. Tambahan pendapatan tersebut akan mengalir ke golongan rumah tangga nonpertanian di kota yang menerima porsi pendapatan sebesar Rp480 juta,
39
sementara golongan rumah tangga pertanian di desa menerima porsi pendapatan sebesar Rp440 juta. Subsektor lain yang juga memiliki peranan yang cukup besar dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga nonpertanian adalah subsektor pertanian tanaman pangan dengan multiplier sebesar 1.00. Sedangkan ketiga subsektor lainnya dalam lingkup sektor pertanian memiliki peranan yang tidak terlalu besar dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga nonpertanian. Ketiga subsektor tersebut adalah subsektor pertanian tanaman lainnya dengan multiplier sebesar 0.90, subsektor kehutanan dan perburuan dengan multiplier sebesar 0.76, dan subsektor perikanan dengan multiplier sebesar 0.75. Oleh karena subsektor peternakan memiliki pengaruh yang lebih besar dalam meningkatkan pendapatan institusi rumah tangga nonpertanian jika dibandingkan dengan institusi rumah tangga pertanian itu sendiri, maka strategi pengembangan berbagai subsektor dalam lingkup sektor pertanian tersebut, khususnya subsektor peternakan haruslah lebih dititik-beratkan pada on farm agar dampak dari pengembangannya dapat dirasakan secara langsung oleh institusi rumah tangga di sektor pertanian. Subsektor peternakan dan sub-subsektor lainnya dalam lingkup sektor pertanian juga memiliki peranan yang relatif lebih besar dalam meningkatkan pendapatan pengusaha pertanian jika dibandingkan dengan buruh tani. Hal ini menunjukan bahwa keberpihakan kebijakan subsektor peternakan terhadap rumah tangga buruh tani dan rumah tangga golongan bawah selama ini masih relatif belum optimal, walaupun dari koefisien multiplier tenaga kerja diketahui bahwa subsektor peternakan memiliki peranan yang lebih besar dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja pertanian, terutama tenaga kerja pertanian di desa, namun pada kenyataanya aliran surplus pendapatan tersebut mengalir lebih besar kepada pengusaha pertanian daripada kepada buruh tani dan rumah tangga golongan rendah. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satu faktor yang berperan besar dalam menyebabkan kondisi tersebut diantaranya adalah sulitnya buruh tani atau petani-petani kecil untuk mendapatkan akses pinjaman modal kepada lembaga keuangan yang akan dipergunakan untuk penyediaan bibit ternak, pakan ternak, dan vaksin, sehingga mereka kalah bersaing dengan pengusahapengusaha pertanian yang memang memiiki modal yang jauh lebih besar, sebagai akibatnya, banyak dari buruh tani dan para peternak kecil yang masih bergantung kepada pengusaha pertanian untuk memulai usaha peternakan mereka. Analisis Multiplier Produksi Multiplier Produksi menunjukan besarnya pengaruh suatu sektor terhadap perubahan produksi total dalam perekonomian. Nilai ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok sektor produksi sepanjang kolom sektor ke-i. Hasil perhitungan multiplier produksi disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan hasil perhitungan, terlihat bahwa subsektor peternakan dan hasil-hasilnya memiliki angka pengganda dampak produksi sebesar 3.71. Koefisien pengganda produksi tersebut, menempatkan subsektor peternakan sebagai subsektor yang memiliki nilai pengganda produksi terbesar kedua setelah subsektor restoran yang memiliki koefisien pengganda sebesar 3.97, sedangkan subsektor yang memiliki angka pengganda produksi terkecil terhadap peningkatan
40
produksi total adalah sektor pertambangan batubara, biji logam dan minyak bumi dengan koefisien multiplier sebesar 2.23. Tabel 9. Multiplier produksi, own multiplier dan multiplier keterkaitan Sektor Produksi Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum Konstruksi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya
Own Income Multiplier 1.24 1.12 1.27 1.02 1.16
Multiplier Produksi
Rank
Multiplier Keterkaitan
Rank
3.52 3.39 3.71 2.79 2.84
4 7 2 17 16
2.27 2.27 2.44 1.77 1.69
7 6 2 16 17
1.14
2.23
24
1.10
24
1.01 1.43 1.34 1.23
3.30 3.67 3.16 3.31
10 3 13 9
2.29 2.24 1.82 2.08
5 9 15 13
1.31
2.75
20
1.44
21
1.20
2.56
22
1.36
23
1.08 1.02 1.23 1.10 1.00 1.07 1.11 1.06 1.29 1.07
2.52 3.14 3.43 3.97 3.25 3.38 2.75 3.27 2.76 2.60
23 14 6 1 12 8 19 11 18 21
1.43 2.12 2.20 2.87 2.25 2.31 1.64 2.20 1.47 1.53
22 12 11 1 8 4 18 10 20 19
1.13
3.45
5
2.32
3
1.07
2.97
15
1.90
14
Sumber : SNSE 2008 (diolah)
Angka pengganda produksi sebesar 3.71 pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya ini menunjukan apabila terjadi kenaikan sebesar Rp1.0 miliar pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya, maka total produksi dalam perekonomian akan meningkat sebesar Rp3.71 miliar, hal yang sama juga berlaku terhadap sektor-sektor yang lain. Koefisien multiplier produksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya tersebut merupakan nilai multiplier tertinggi diantara berbagai subsektor produksi lainnya dalam lingkup sektor pertanian, yang berarti subsektor peternakan memiliki peranan terbesar dalam meningkatkan total produksi nasional jika dibandingkan dengan subsektor produksi lainnya dalam lingkup sektor pertanian.. Analisis Multiplier Keterkaitan Antar-Sektor Nilai multiplier keterkaitan antarsektor menunjukan besarnya pengaruh suatu sektor terhadap perubahan output pada sektor-sektor lainnya (sektor-sektor
41
hulunya) di dalam blok sektor produksi. Nilai ini diperoleh dari selisih antara multiplier produksi dan own income multiplier sepanjang kolom sektor ke-i pada blok sektor produksi. Nilai multiplier keterkaitan antar sektor pada SNSE hanya menggambarkan hubungan keterkaitan ke belakang suatu sektor dengan sektorsektor lainnya di dalam perekonomian. Sementara nilai multiplier produksi menunjukan besarnya pengaruh suatu sektor terhadap perubahan produksi total dalam perekonomian. Nilai ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok sektor produksi sepanjang kolom sektor ke-i. Hasil perhitungan multiplier keterkaitan antarsektor disajikan pada Tabel 9 bersamasama dengan multiplier produksi, dan own income multiplier. Berdasarkan hasil perhitungan angka pengganda keterkaitan antarsektor yang disajikan pada Tabel 9, terlihat bahwa subsektor peternakan dan hasilhasilnya memiliki angka pengganda dampak keterkaitan antarsektor sebesar 2.44. Koefisien pengganda tersebut menempatkan peternakan sebagai subsektor yang memiliki nilai pengganda keterkaitan terbesar kedua setelah subsektor restoran yang memiliki nilai pengganda sebesar 2.87, sedangkan subsektor yang memiliki angka pengganda keterkaitan antarsektor terkecil terhadap peningkatan produk sektor-sektor lainnya adalah sektor pertambangan batubara, biji logam dan minyak bumi dengan koefisien multiplier sebesar 1.10. Angka pengganda keterkaitan antarsektor sebesar 2.44 pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya ini menunjukan apabila terjadi kenaikan sebesar Rp1.0 miliar pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya, maka penerimaan pada sektor-sektor produksi yang lain akan meningkat sebesar Rp2.44 miliar. Kenaikan penerimaan sektor produksi lainnya sebesar Rp2.44 miliar tersebut terdistribusi paling besar terhadap sektor industri makanan, minuman, dan tembakau sebesar Rp542 juta; diikuti oleh sektor perdagangan sebesar Rp348 juta; subsektor pertanian tanaman pangan sebesar Rp245 juta; serta sektor industri kimia, pupuk, hasil dari tanah liat, semen sebesar Rp189 juta sebagaimana tersaji pada lampiran 4. Koefisien multiplier keterkaitan antarsektor pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya tersebut merupakan nilai multiplier tertinggi diantara berbagai subsektor produksi lainnya dalam lingkup sektor pertanian, yang berarti subsektor peternakan memiliki peranan terbesar dalam meningkatkan total produksi sektorsektor hulunya jika dibandingkan dengan subsektor lainnya dalam lingkup sektor pertanian. Sektor lainnya yang berperan sangat besar dalam meningkatkan produksi sektor-sektor hulunya adalah sektor restoran dengan koefisien multiplier sebesar 3.97, sedangkan subsektor lain yang dinilai kurang memberikan kontribusi dalam meningkatkan produksi sektor-sektor hulunya adalah subsektor pertambangan batubara, biji logam dan minyak bumi dengan koefisien multiplier sebesar 2.23. Analisis Multiplier Total Nilai multiplier total menunjukan besarnya pengaruh keseluruhan suatu sektor produksi terhadap perubahan output nasional akibat dari adanya perubahan pada neraca eksogen, seperti pengeluaran pemerintah. Nilai ini diperoleh dengan menjumlahkan seluruh pengganda neraca sepanjang kolom sektor ke-i atau dengan menjumlahkan nilai multiplier nilai tambah, multiplier pendapatan
42
institusi, dan multiplier produksi.Hasil perhitungan pengganda total disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Multiplier nilai tambah, institusi, produksi dan multiplier total Sektor Produksi
Vam
Multiplier Institusi
Multiplier Produksi
Multiplier Total
Rank
Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum Konstruksi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya
2.11 1.87 1.86 1.69 1.70
2.17 1.93 1.92 1.75 1.76
3.52 3.39 3.71 2.79 2.84
7.80 7.19 7.49 6.23 6.31
2 6 3 14 13
1.46
1.52
2.23
5.21
24
1.94 1.74 1.44 1.62
2.00 1.79 1.49 1.67
3.30 3.67 3.16 3.31
7.24 7.19 6.09 6.60
5 7 15 12
1.23
1.28
2.75
5.26
22
1.32
1.37
2.56
5.24
23
1.44 1.44 1.78 1.93 1.74 1.62 1.47 1.70 1.59 1.51
1.50 1.49 1.83 1.99 1.80 1.67 1.52 1.76 1.65 1.57
2.52 3.14 3.43 3.97 3.25 3.38 2.75 3.27 2.76 2.60
5.45 6.08 7.04 7.88 6.80 6.67 5.74 6.73 6.00 5.67
21 16 8 1 9 11 19 10 18 20
1.94
1.99
3.45
7.38
4
1.50
1.55
2.97
6.02
17
Sumber : SNSE 2008 (diolah)
Berdasarkan analisis multiplier total sebagaimana disajikan pada Tabel 10, terlihat bahwa subsektor peternakan memiliki dampak yang sangat besar dalam meningkatkan output nasional, yang ditunjukan dengan nilai koefisien multiplier total sebesar 7.49, bahkan menduduki peringkat ke tiga terbesar diantara seluruh sektor dan subsektor dalam perekonomian. Namun demikian, dampak pengganda total pada subsektor peternakan tersebut sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan angka pengganda total pada sektor restoran dengan multiplier sebesar 7.88, dan subsektor pertanian tanaman pangan dengan multiplier sebesar 7.80. Nilai multiplier total subsektor peternakan tersebut berasal dari kontribusi nilai multiplier produksi dengan koefisien sebesar 3.71, multiplier institusi sebesar 1.92, dan multiplier nilai tambah sebesar 1.86. Subsektor dengan kontribusi terendah terhadap pertumbuhan output nasional adalah subsektor pertambangan batubara, biji logam dan minyak bumi dengan multiplier sebesar 5.21. Jika dibandingkan dengan berbagai subsektor lainnya dalam lingkup sektor pertanian, subsektor peternakan memiliki pengaruh terbesar kedua dalam menciptakan
43
pertumbuhan output nasional setelah subsektor pertanian tanaman pangan. Multiplier total sebesar 7.49 pada subsektor peternakan tersebut memiliki arti, apabila pengeluaran pemerintah pada subsektor peternakan meningkat sebesar Rp1.0 miliar, maka akan meningkatkan output nasional sebesar Rp7.49 miliar. Besarnya multiplier total juga dapat digunakan untuk melihat peranan suatu sektor dalam perekonomian. Dari hasil analisis pengganda total tersebut dapat diketahui subsektor peternakan dan hasil-hasilnya memiliki nilai multiplier terbesar ke tiga diantara sektor ekonomi lainnya. Hal ini berarti bahwa subsektor peternakan dan hasil-hasilnya memegang peranan yang sangat penting dan strategis, baik dalam mendorong sektor-sektor lainnya untuk berkembang (sektor-sektor hulunya) maupun dalam mendukung perkembangan perekonomian nasional secara keseluruhan. Dekomposisi Pengganda Dekomposisi pengganda membagi pengganda neraca menjadi tiga bagian, yaitu: pengganda transfer (Ta), yang menggambarkan dampak pengganda neto yang dialami sekumpulan neraca tertentu akibat adanya tambahan transfer dari neraca eksogen terhadap neraca tersebut; pengganda silang atau open loop (Oa), yang menggambarkan dampak dari adanya perubahan pada satu neraca terhadap neraca lain; dan pengganda lompatan tertutup atau close loop (Ca), yang menggambarkan perubahan yang terjadi pada neraca itu sendiri, setelah efek injeksi melewati keseluruhan sistem dalam perekonomian dan kembali ke neraca tersebut. Hasil perhitungan dekomposisi pengganda subsektor peternakan disajikan pada tabel 11. Tabel 11. Dampak injeksi pada subsektor peternakan Asal Injeksi Neraca
Dampak Injeksi
Sektor Peternakan dan Hasil-hasilnya
Tk Pertanian Tk Non Pertanian Non Tenaga Kerja Rt Pertanian Rt Non Pertanian Peternakan Total Produksi
I
1 1
Ta
0.18 0.87
Oa
Ca
Ma
0.45 0.17 0.29 0.33 0.40
0.19 0.38 0.38 0.19 0.51 0.09 1.84
0.64 0.55 0.67 0.52 0.91 1.27 3.71
Sumber : SNSE 2008 (Diolah) Keterangan: I (awal injeksi) Ta (Transfer Multiplier) Oa (Pengganda Open Loop) Ca (penggandan Close Loop) Ma (pengganda Neraca)
Berdasarkan hasil perhitungan dekomposisi pengganda yang disajikan pada Tabel 11, tampak bahwa dampak injeksi investasi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya akan meningkatkan pendapatan rumah tangga pertanian sebesar 0.52. Nilai pengganda tersebut berasal dari nilai pengganda lompatan terbuka (open loop) sebesar 0.33, dan nilai pengganda lompatan tertutup (close loop)
44
sebesar 0.19. Hal ini berarti, apabila pendapatan subsektor peternakan dan hasilhasilnya meningkat sebesar Rp1.0 miliar, maka pendapatan institusi rumah tangga akan meningkat sebesar Rp520 juta, dimana sebesar Rp330 juta diantaranya merupakan peningkatan pendapatan institusi rumah tangga yang diperoleh setelah efek injeksi melalui keseluruhan sistem pada blok neraca faktor produksi dan blok neraca institusi, sementara peningkatan pendapatan sebesar Rp.190 juta sisanya, diperoleh dari tambahan peningkatan pendapatan setelah efek injeksi melalui perputaran pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian dan kembali pada blok neraca semula. Naiknya pendapatan subsektor peternakan sebesar Rp1.0 miliar sebagai akibat injeksi investasi di subsektor peternakan, maka akan berdampak pada meningkatnya penerimaan pada faktor produksi tenaga kerja sebesar Rp1.19 miliar, yang terdiri atas Rp640 juta berasal dari kontribusi oleh tenaga kerja pertanian, dan sebesar Rp550 juta bersumber dari kontribusi oleh tenaga kerja nonpertanian. Peningkatan pendapatan ternaga kerja pertanian tersebut diperoleh setelah efek dari injeksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya melalui keseluruhan sistem pada blok sektor produksi dan faktor produksi, dengan peningkatan pendapatan sebesar sebesar Rp450 juta (efek pengganda open loop) dan tambahan peningkatan pendapatan sebesar Rp190 juta yang diperoleh setelah efek injeksi melalui perputaran pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian hingga kembali ke blok awal (melewati blok neraca institusi, sektor produksi dan kembali lagi ke blok neraca faktor produksi) atau dikenal dengan efek pengganda close loop. Dampak injeksi investasi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya juga akan memberikan peningkatan terhadap penerimaan total produksi dengan nilai pengganda sebesar 3.71. Koefisien pengganda total produksi tersebut berasal dari dampak pengganda transfer sebesar 0.87, nilai injeksi awal sebesar 1, dan dampak pengganda close loop sebesar 1.84. Nilai multiplier tersebut memiliki arti, apabila terdapat kenaikan injeksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya sebesar Rp1.0 miliar, maka pendapatan pada total produksi peternakan akan meningkat sebesar Rp3.71 miliar. Peningkatan pendapatan pada total produksi tersebut berasal dari injeksi awal sebesar Rp1.0 miliar, peningkatan pendapatan yang berasal dari transaksi di dalam blok neraca produksi peternakan dan hasil-hasilya sebesar Rp870 juta, dan peningkatan pendapatan setelah melewati keseluruhan blok neraca hingga sampai pada blok semula yaitu blok sektor produksi sebesar Rp1.84 miliar. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa kenaikan injeksi pada subsektor peternakan akan berdampak lebih besar terhadap peningkatan pendapatan faktor produksi tenaga kerja dengan nilai pengganda sebesar 1.19, jika dibandingkan dengan dampaknya terhadap faktor produksi bukan tenaga kerja atau modal dengan nilai pengganda sebesar 0.67. Subsektor peternakan dan hasil-hasilnya memberikan dampak peningkatan pendapatan terhadap tenaga kerja pertanian sebesar 0.64. Dampak pengganda tersebut, berasal dari pengganda open loop (Oa) sebesar 0.45, dan pengganda close loop (Ca) sebesar 0.19. Sementara itu, dampak pengganda subsektor peternakan dan hasil-hasilnya terhadap peningkatan pendapatan tenaga kerja nonpertanian sebesar 0.55. Dampak pengganda tersebut berasal dari dampak pengganda close loop sebesar 0.38, dan dampak pengganda open loop sebesar 0.17.
45
Terhadap institusi rumah tangga, dampak dari kenaikan pendapatan pada subsektor peternakan akan mengakibatkan peningkatan pendapatan institusi rumah tangga sebesar 1.43. Peningkatan pendapatan ini berasal dari dampak pengganda open loop sebesar 0.72, dan dampak dari pengganda close loop sebesar 0.71. Koefisien pengganda pendapatan institusi rumah tangga sebesar 1.43 tersebut, berasal dari: (i) angka pengganda pendapatan institusi rumah tangga pertanian sebesar 0.52, dimana sebesar 0.33 merupakan pengganda open loop, dan 0.19 merupakan pengganda close loop; dan (ii) angka pengganda pendapatan institusi rumah tangga nonpertanian sebesar 0.91, dimana sebesar 0.40 merupakan koefisien pengganda open loop, dan sebesar 0.51 merupakan angka pengganda close loop. Hal ini berarti bahwa kenaikan pendapatan subsektor peternakan dan hasil-hasilnya sebesar Rp1.0 miliar akan menyebabkan peningkatan pendapatan institusi rumah tangga pertanian sebesar Rp520 juta miliar, dan kenaikan pendapatan institusi rumah tangga nonpertanian sebesar Rp910 juta. Peranan Subsektor Peternakan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan Peranan subsektor peternakan terhadap penyerapan tenaga kerja akan terlihat ketika pendapatan pada subsektor peternakan meningkat. Ketika pendapatan subsektor peternakan meningkat, maka efek dari peningkatan itu akan meningkatkan permintaan faktor produksi, terutama faktor produksi tenaga kerja, dan secara otomatis akan meningkatkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja pada subsektor tersebut, efek ini merupakan efek pengganda lompatan terbuka (open loop multiplier). Peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja tersebut, nantinya akan meningkatkan pendapatan rumah tangga selaku pemilik faktor produksi tenaga kerja. Peningkatan pendapatan tenaga kerja tersebut, akan meningkatkan permintaan akan barang dan jasa, termasuk permintaan akan barang dan jasa subsektor peternakan. Peningkatan permintaan tersebut akan berimplikasi pada meningkatknya permintaan output akhir subsektor peternakan, dan selanjutnya melalui serangkaian proses pada perekonomian, akan meningkatkan tambahan pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Tambahan peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja tersebut akan menimbulkan tambahan pendapatan rumah tangga. Efek ini merupakan efek pengganda lompatan tertutup (close loop Multiplier). Hasil penelitian atas peranan subsektor peternakan terhadap pendapatan dan penyerapan tenaga kerja disajikan pada Tabel 12. Dari hasil penelitian ini yang disajikan pada Tabel 12, terlihat bahwa dampak dari peningkatan pendapatan subsektor peternakan sebesar Rp1.0 miliar akan dapat meningkatkan pendapatan tenaga kerja total sebesar Rp1.20 miliar, yang terdiri dari peningkatan pendapatan tenaga kerja pertanian sebesar Rp650 juta, dan pendapatan tenaga kerja nonpertanian sebesar Rp550 juta. Subsektor peternakan juga mampu meningkatkan pendapatan petani di pedesaan sebesar Rp560 juta, dan pendapatan petani di perkotaan sebesar Rp90 juta. Subsektor peternakan mampu meningkatkan pendapatan tenaga kerja nonpertanian di pedesaan sebesar Rp180 juta, dan pendapatan tenaga kerja nonpertanian di perkotaan sebesar Rp370 juta.
46
Tabel 12. Peranan subsektor peternakan terhadap pendapatan dan penyerapan tenaga kerja Oa
Pendapatan Ca
Ma
Penyerapan Oa Ca
Ma
Pertanian Tani Desa Tani Kota
0.45 0.39 0,06
0.19 0,17 0,03
0.64 0.56 0.09
1 691 1 488 203
731 650 81
2 422 2 138 284
Non-Tani
0.17
0.38
0.55
462
1 011
1 473
Non-Tani Kota Non-Tani Desa
0.11 0.06
0,26 0.12
0.37 0.18
276 186
672 339
948 525
Total
0.62
0.57
1.19
2 153
1 742
3 895
Tenaga Kerja
Sumber : SNSE 2008 (Diolah) Keterangan: Oa (Pengganda Open Loop) Ca (penggandan Close Loop) Ma (pengganda Neraca)
Peningkatan pendapatan tenaga kerja sebesar Rp1.19 miliar diperoleh setelah efek dari injeksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya melewati blok (neraca) sektor produksi dan blok (neraca) faktor produksi (efek open loop multiplier), dengan peningkatan pendapatan sebesar Rp620 juta. Sementara porsi tambahan peningkatan pendapatan sebesar Rp570 juta diperoleh setelah efek injeksi melalui perputaran pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian hingga kembali lagi ke blok (neraca) awal (blok faktor produksi), efek injeksi ini dikenal juga sebagai efek close loop multiplier. Porsi peningkatan pendapatan golongan tenaga kerja pertanian sebesar Rp650 juta, diperoleh setelah efek dari injeksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya melewati blok (neraca) sektor produksi dan blok (neraca) faktor produksi, yang selanjutnya disebut dengan efek open loop multiplier, dengan peningkatan pendapatan sebesar Rp450 juta. Sementara porsi peningkatan pendapatan tambahan diperoleh setelah efek injeksi melalui perputaran pada blokblok neraca lainnya dalam perekonomian hingga kembali lagi ke blok (neraca) awal (blok faktor produksi), yang selanjutnya disebut dengan efek close loop multiplier, dengan porsi peningkatan pendapatan tambahan sebesar sebesar Rp190 juta. Porsi peningkatan pendapatan golongan tenaga kerja pertanian di pedesaan sebesar Rp560 juta, diperoleh melalui efek open loop multiplier sebesar Rp390 juta, sementara porsi peningkatan pendapatan tambahan sebesar Rp170 juta diakibatkan oleh adanya efek close loop multiplier. Sedangkan porsi peningkatan pendapatan tenaga kerja pertanian di perkotaan sebesar Rp90 juta, diperoleh melalui efek open loop multiplier dengan porsi peningkatan sebesar Rp60 juta dan tambahan porsi peningkatan pendapatan sebesar Rp30 juta diperoleh melalui efek close loop multiplier. Sementara itu, porsi peningkatan pendapatan golongan tenaga kerja nonpertanian sebesar Rp550 juta, diperoleh setelah efek injeksi melalui blok (neraca) sektor produksi dan blok (neraca) faktor produksi (open loop mutliplier),
47
dengan porsi peningkatan pendapatan sebesar Rp170 juta, sedangkan porsi tambahan peningkatan pendapatan sebesar Rp380 juta diperoleh setelah efek injeksi melewati keseluruhan sistem pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian, hingga efek injeksi kembali lagi ke blok (neraca) semula (close loop multiplier). Porsi peningkatan pendapatan golongan tenaga kerja nonpertanian di pedesaan sebesar Rp180 juta, diperoleh melalui efek open loop multiplier sebesar Rp60 juta, sementara porsi peningkatan pendapatan tambahan sebesar Rp120 juta diakibatkan oleh adanya efek close loop multiplier. Sedangkan porsi peningkatan pendapatan tenaga kerja nonpertanian di perkotaan sebesar Rp370 juta, diperoleh melalui efek open loop multiplier dengan porsi peningkatan sebesar Rp110 juta, dan porsi peningkatan pendapatan tenaga kerja tambahan sebesar Rp260 juta, diperoleh melalui efek close loop multiplier. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa kenaikan pendapatan subsektor peternakan dan hasil-hasilnya sebesar Rp1.0 miliar akan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja total sebanyak 3 895 pekerja, yang terdiri dari penyerapan tenaga kerja pertanian sebanyak 2 422 pekerja, sedangkan penyerapan tenaga kerja nonpertanian sebesar 1 473 pekerja. Kenaikan pendapatan subsektor peternakan, juga mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian di desa sebanyak 2 138 pekerja, sedangkan penyerapan tenaga kerja pertanian di kota sebesar 284 pekerja. Dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja nonpertanian di perkotaan sebesar 948 pekerja, dan penyerapan tenaga kerja nonpertanian di pedesaan sebesar 525 pekerja. Penyerapan tenaga kerja sebanyak 3 895 orang, terjadi setelah efek dari injeksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya melewati blok (neraca) sektor produksi dan blok (neraca) faktor produksi, dengan tenaga kerja yang terserap sebanyak 2 153 orang. Sementara tambahan tenaga kerja yang mampu terserap setelah efek injeksi melalui perputaran pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian hingga kembali lagi ke blok (neraca) awal (blok faktor produksi) adalah sebanyak 1 742 orang. Pada golongan tenaga kerja pertanian, penyerapan tenaga kerja sebanyak 2 422 pekerja, diperoleh setelah efek dari injeksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya melewati blok (neraca) sektor produksi dan blok (neraca) faktor produksi, yang selanjutnya disebut dengan efek open loop multiplier, dengan tenaga kerja yang mampu diserap sebanyak 1 691 pekerja. Sementara tambahan tenga kerja yang mampu diserap oleh subsektor peternakan sebanyak 731 pekerja, didapat setelah efek injeksi melalui perputaran pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian hingga kembali lagi ke blok (neraca) awal (blok faktor produksi), yang selanjutnya disebut dengan efek close loop multiplier. Penyerapan tenaga kerja pertanian di pedesaan, yang diperoleh melalui efek open loop multiplier berjumlah 1 488 pekerja, sementara tambahan tenaga kerja yang mampu diserap oleh subsektor peternakan akibat adanya efek close loop multiplier, yaitu berjumlah 650 pekerja. Dengan demikian, penyerapan tenaga kerja pada golongan tenaga kerja pertanian di pedesaan berjumlah 2 138 orang. Sementara itu, penyerapan tenaga kerja pertanian di perkotaan, yang diperoleh melalui efek open loop multiplier berjumlah 203 pekerja, sedangkan tambahan tenaga kerja yang mampu diserap oleh subsektor peternakan sebanyak 81 pekerja, diperoleh melalui efek close loop multiplier. Dari kedua multiplier tersebut, dapat
48
diketahui bahwa tenaga kerja pertanian di kota yang mampu diserap oleh subsektor peternakan dan hasil-hasilnya sebanyak 284 orang. Pada tenaga kerja nonpertanian, penyerapan tenaga kerja sebanyak 1 473 orang diperoleh setelah efek injeksi melalui blok (neraca) sektor produksi dan blok (neraca) faktor produksi (open loop mutliplier), dengan jumlah tenaga kerja yang mampu diserap sebanyak 462 pekerja, sedangkan tambahan tenaga kerja yang mampu terserap sebanyak 1 011 pekerja diperoleh setelah efek injeksi melewati keseluruhan sistem pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian, hingga efek injeksi kembali lagi ke blok (neraca) semula (close loop multiplier). Penyerapan tenaga kerja nonpertanian di pedesaan yang berasal dari efek open loop multiplier berjumlah 186 pekerja, sementara tambahan tenaga kerja yang mampu diserap oleh subsektor peternakan dari efek close loop multiplier berjumah 339 pekerja, sehingga tenaga kerja nonpertanian di pedesaan yang mampu diserap oleh subsektor peternakan berjumlah 525 pekerja. Di sisi lain, penyerapan tenaga kerja nonpertanian di perkotaan yang diperoleh melalui efek open loop multiplier berjumlah 276 pekerja, sedangkan tambahan tenaga kerja yang mampu diserap oleh subsektor peternakan dari efek close loop multiplier berjumlah 672 pekerja. Dengan demikian, tenaga kerja nonpertanian di perkotaan yang mampu diserap oleh subsektor peternakan berjumlah 948 pekerja. Berdasarkan hasil analisis di atas, terlihat bahwa peran subsektor peternakan, baik dalam meningkatkan pendapatan maupun dalam penyerapan tenaga kerja, lebih besar dampaknya pada golongan tenaga kerja pertanian di pedesaan daripada golongan tenaga kerja pertanian di perkotaan. Hal ini, selain disebabkan adanya fokus kegiatan subsektor peternakan di pedesaaan, juga berkaitan dengan keterbatasan penguasaan lahan pertanian di perkotaan yang membatasi peningkatan produktivitas peternak. Peningkatan penyerapan tenaga kerja tersebut sudah barang tentu juga akan mendorong peningkatan pendapatan institusi rumah tangga sebagai pemilik faktor produksi tenaga kerja. Ringkasan hasil penelitian dampak pengganda penyerapan tenaga kerja terhadap peningkatan pendapatan institusi rumah tangga disajikan pada Tabel 13. Dari ringkasan hasil penelitian ini yang disajikan pada Tabel 13 di atas, ditemukan bahwa dampak dari setiap Rp1.0 miliar pengeluaran pemerintah pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya diperkirakan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga pertanian sebesar Rp520 juta, dan pendapatan rumah tangga nonpertanian sebesar Rp920 juta. Mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga buruh tani sebesar Rp100 juta, sedangkan pendapatan rumah tangga pengusaha pertanian sebesar Rp420 juta. Mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga nonpertanian di pedesaan sebesar Rp440 juta, dan pendapatan rumah tangga nonpertanian di perkotaan sebesar Rp480 juta. Peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian senilai Rp520 juta tersebut diperoleh setelah efek dari injeksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya melalui keseluruhan sistem pada blok sektor produksi dan faktor produksi, dengan peningkatan pendapatan sebesar Rp330 juta, dan tambahan peningkatan pendapatan sebesar Rp190 juta yang diperoleh setelah efek injeksi melalui perputaran pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian hingga kembali ke blok awal (melewati blok neraca institusi, sektor produksi dan kembali lagi ke blok neraca faktor produksi).
49
Tabel 13. Dekomposisi pengganda terhadap pendapatan rumah tangga Oa (Miliar)
Ca (Miliar)
Ma (Miliar)
Ma (%)
Rumah Tangga Tani
0.33
0.19
0.52
36
Pengusaha Tani
0.26
0.16
0.42
29
Buruh Tani
0.07
0.03
0.10
7
Rumah Tangga Non-Tani
0.40
0.51
0.92
64
Non-Tani Desa
0.23
0.21
0.44
31
Non-Tani Kota
0.17
0.31
0.48
33
Rumah Tangga Total
0.73
0.70
1.44
100
Rumah Tangga
Sumber : SNSE 2008 (Diolah) Keterangan: Oa (Pengganda Open Loop) Ca (penggandan Close Loop) Ma (pengganda Neraca)
Sementara itu, peningkatan pendapatan rumah tangga nonpertanian senilai Rp920 juta, diperoleh setelah efek dari injeksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya melalui keseluruhan sistem pada blok sektor produksi dan faktor produksi, dengan peningkatan pendapatan sebesar Rp510 juta, dan tambahan peningkatan pendapatan sebesar Rp400 juta yang diperoleh setelah efek injeksi melalui perputaran pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian hingga kembali ke blok awal (melewati blok neraca institusi, sektor produksi dan kembali lagi ke blok neraca faktor produksi). Pada rumah tangga pertanian, peningkatan pendapatan rumah tangga buruh tani senilai Rp100 juta, diperoleh setelah efek dari injeksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya melalui keseluruhan sistem pada blok sektor produksi dan faktor produksi, dengan peningkatan pendapatan sebesar Rp70 juta, sedangkan tambahan peningkatan pendapatan sebesar Rp30 juta diperoleh setelah efek injeksi melalui perputaran pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian hingga kembali ke blok awal (melewati blok neraca institusi, sektor produksi dan kembali lagi ke blok neraca faktor produksi). Sementara itu, peningkatan pendapatan rumah tangga pengusaha pertanian senilai Rp420 juta, diperoleh setelah efek dari injeksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya melalui keseluruhan sistem pada blok sektor produksi dan faktor produksi, dengan peningkatan pendapatan sebesar Rp260 jut, dan tambahan peningkatan pendapatan sebesar Rp160 juta yang diperoleh setelah efek injeksi melalui perputaran pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian hingga kembali ke blok awal (melewati blok neraca institusi, sektor produksi dan kembali lagi ke blok neraca faktor produksi). Pada rumah tangga nonpertanian, peningkatan pendapatan rumah tangga nonpertanian di pedesaan senilai Rp440 juta diperoleh setelah efek dari injeksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya melalui keseluruhan sistem pada blok sektor produksi dan faktor produksi, dengan peningkatan pendapatan sebesar
50
Rp230 juta, dan tambahan peningkatan pendapatan sebesar Rp210 juta yang diperoleh setelah efek injeksi melalui perputaran pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian hingga kembali ke blok awal (melewati blok neraca institusi, sektor produksi dan kembali lagi ke blok neraca faktor produksi). Sementara itu, peningkatan pendapatan rumah tangga nonpertanian di perkotaan senilai Rp480 juta, diperoleh setelah efek dari injeksi pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya melalui keseluruhan sistem pada blok sektor produksi dan faktor produksi, dengan peningkatan pendapatan sebesar Rp170 juta, dan tambahan peningkatan pendapatan sebesar Rp310 juta yang diperoleh setelah efek injeksi melalui perputaran pada blok-blok neraca lainnya dalam perekonomian hingga kembali ke blok awal (melewati blok neraca institusi, sektor produksi dan kembali lagi ke blok neraca faktor produksi). Simulasi Kebijakan Pada penelitian ini dilakukan dua simulasi kebijakan pemerintah sebagai instrumen dalam pengembangan subsektor peternakan, yaitu: (i) injeksi belanja investasi sebesar Rp1.6 triliun pada sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya; dan (ii) realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan disertai dengan investasi pada sektor produksi (on farm). Injeksi belanja pemerintah pada sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya merupakan investasi pemerintah pada program pengembangan on farm subsektor peternakan, yaitu pengembangan sektor produksi ternak dan hasil-hasilnya, termasuk pengembangan bibit ternak dan usaha penggemukan ternak. Sedangkan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan merupakan pengalokasian anggaran sebagai tambahan investasi pada pengembangan sektor produksi peternakan domestik, sebagai pengganti atas pembatasan impor komoditas peternakan, dengan harapan kebijakan tersebut mampu mendorong subsektor produksi peternakan domestik untuk berkembang, sehingga dapat menggantikan peran impor komoditas peternakan. Di bawah ini diuraikan ringkasan hasil analisis dampak simulasi kedua kebijakan pemerintah dimaksud terhadap pendapatan tenaga kerja, penyerapan tenaga kerja, pendapatan institusi rumah tangga, dan distribusi pendapatan rumah tangga. Injeksi Belanja Investasi Pemerintah pada Subsektor Produksi Peternakan dan Hasil-Hasilnya Pada simulasi ini dilakukan injeksi anggaran sebesar Rp1.6 triliun pada sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya, yang merupakan pagu anggaran pada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian tahun 2015. Injeksi belanja pemerintah pada subsektor produksi peternakan ini merupakan investasi pemerintah pada pengembangan on farm subsektor peternakan, yaitu berupa program peningkatan produktivitas ternak sapi lokal melalui pengadaan pejantan unggul sapi dan kerbau, serta penyediaan bibit sapi/kerbau sebanyak 500 ribu ekor per tahun.. Tujuan dari simulasi ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dan efektifkah injeksi alokasi belanja investasi pemerintah sebesar Rp1.6 triliun pada subsektor peternakan tersebut dapat
51
mendorong pengembangan sektor produksi peternakan agar tumbuh lebih besar, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan output, dan nilai tambah produksi, serta meningkatkan pendapatan faktor produksi, terutama faktor produksi tenaga kerja. Dengan peningkatan pendapatan faktor produksi tenaga kerja sektor tersebut, diharapkan akan mampu meningkatkan permintaan input yang diperlukan oleh sektor terkait, terutama input tenaga kerja, yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan pendapatan institusi rumah tangga. Meningkatnya pendapatan institusi rumah tangga akan meningkatkan permintaan akhir (output akhir) dalam perekonomian, termasuk permintaan akan output akhir subsektor peternakan dan hasil-hasilnya. Dengan demikian, akan mendorong peningkatan produksi subsektor peternakan dan hasil-hasilnya untuk dapat menanggapi peningkatan permintaan akan output (produk) akhir komoditas peternakan. Dari hasil simulasi yang dilakukan pada penelitian ini, diketahui bahwa kebijakan injeksi anggaran belanja investasi pemerintah pada program pengembangan on farm subsektor peternakan sebesar Rp1.6 triliun tahun 2015 diperkirakan akan mampu memberikan dampak positif yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan tenaga kerja, penyerapan tenaga kerja, dan pendapatan institusi rumah tangga. Dampak kebijakan injeksi anggaran belanja investasi subsektor peternakan terhadap pertumbuhan ekonomi dapat terlihat pada penciptaan nilai tambah faktor produksi, yaitu penciptaan nilai tambah faktor produksi tenaga kerja dan penciptaan nilai tambah faktor produksi modal. Penjumlahan antara kedua nilai tambah faktor produksi tersebut merupakan pendapatan nasional atas dasar harga faktor produksi, apabila ditambah dengan pajak netto, maka akan menjadi pendapatan nasional atas dasar harga berlaku (BPS, 2010). Dampak kebijakan injeksi anggaran belanja investasi subsektor peternakan terhadap pertumbuhan ekonomi, secara ringkas disajikan pada Tabel di bawah ini. Tabel 14. Dampak kebijakan injeksi anggaran belanja investasi subsektor peternakan terhadap nilai tambah Faktor Produksi
Nilai
Perubahan
Awal (miliar)
Simulasi (miliar)
Pangsa (%)
Nilai (miliar)
Pangsa (%)
Kenaikan (%)
Tenaga Kerja
1 191.87
1 906.99
64%
715.12
64%
60%
Modal
667.40
1 067.84
36%
400.44
36%
60%
Value Added
1 859.268
2 974.83
100%
1 115.56
100%
60%
Sumber : SNSE 2008 (diolah)
Berdasarkan ringkasan hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 14 di atas, kebijakan injeksi belanja investasi pada pengembangan on farm subsektor peternakan diperkirakan akan mampu meningkatkan GDP Indonesia atas dasar harga faktor produksi senilai Rp1 115.56 miliar atau sebesar 60% dari nilai awal. Efek dari kebijakan tersebut, mampu meningkatkan GDP Indonesia atas dasar harga faktor produksi yang semula sebesar Rp1 859.27 miliar menjadi Rp2 975.83
52
miliar. Peningkatan GDP Indonesia tersebut, terbesar berasal dari kontribusi nlai tambah tenaga kerja yaitu sebesar 64% atau senilai Rp715.12 miliar, sementara kontribusi nilai tambah faktor produksi modal hanya sebesar 34% atau senilai Rp400.44 miliar. Sedangkan Dampak kebijakan injeksi anggaran belanja investasi subsektor peternakan terhadap pendapatan tenaga kerja dalam penelitian ini secara ringkas disajikan pada Tabel 15 di bawah ini. Tabel 15. Dampak kebijakan injeksi anggaran belanja investasi subsektor peternakan terhadap pendapatan tenaga kerja Perubahan
Nilai Golongan Tenaga Kerja Tenaga Kerja Tani Tenaga Kerja Tani Desa
Awal Simulasi (Miliar) (Miliar)
Pangsa (%)
Nilai (Miliar)
Pangsa (%)
Persentase (%)
645.32
1 032.51
54
387.19
54
60
557.97
892.75
47
334.78
47
60
Tenaga Kerja Tani Kota
87.35
139.76
7
52.41
7
60
Tenaga Kerja Non-Tani
546.55
874.48
46
327.93
46
60
Tenaga Kerja NonTani Kota
366.43
586.29
31
219.86
31
60
Tenaga Kerja NonTani Desa
180.12
288.19
15
108.07
15
60
1 191.87
1 906.99
100
715.12
100
60
Tenaga Kerja Total Sumber : SNSE 2008 (diolah)
Dari ringkasan hasil simulasi sebagaimana disajikan pada Tabel 15 diperoleh temuan penelitian sebagai berikut: Dampak kebijakan injeksi anggaran belanja investasi pemerintah pada program pengembangan on farm subsektor peternakan tahun 2015 diperkirakan dapat meningkatkan pendapatan tenaga kerja total sebesar Rp715.1 miliar, atau naik 60% dari nilai awal sebelum ada kebijakan pengembangan on farm subsektor peternakan yang hanya sebesar Rp1 191.9 miliar diperkirakan menjadi Rp1 907.0 miliar. Golongan tenaga kerja pertanian mendapatkan porsi peningkatan pendapatan paling besar, yaitu sebesar Rp387.19 miliar (54% dari total peningkatan pendapatan tenaga kerja), sehingga pendapatan tenaga kerja pertanian diperkirakan meningkat dari semula hanya sebesar Rp645.32 miliar (nilai awal sebelum kebijakan pengembangan on farm subsektor peternakan) menjadi Rp1 032.51 miliar. Pada golongan tenaga kerja pertanian, peningkatan pendapatan tenaga kerja terbesar diterima oleh golongan tenaga kerja pertanian di desa, yaitu sebesar Rp334.78 miliar (47% dari total peningkatan pendapatan tenaga kerja). Dengan peningkatan ini, maka pendapatan tenaga kerja pertanian di desa diperkirakan naik dari semula hanya sebesar Rp557.97 (nilai awal sebelum kebijakan) menjadi sebesar Rp892.75 miliar. Sementara itu, porsi peningkatan pendapatan terkecil diterima oleh golongan tenaga kerja pertanian di perkotaan, yaitu sebesar Rp52.41 miliar (7% dari total peningkatan pendapatan tenaga kerja). Dengan peningkatan ini, maka pendapatan tenaga kerja pertanian di
53
perkotaan yang semula hanya sebesar Rp87.35 miliar (nilai awal sebelum kebijakan) diperkirakan naik menjadi sebesar Rp139.76 miliar. Golongan tenaga kerja nonpertanian menerima porsi peningkatan pendapatan sebesar Rp327.9 miliar (46% dari total peningkatan pendapatan tenaga kerja). Dengan peningkatan ini, maka pendapatan tenaga kerja nonpertanian yang semula hanya sebesar Rp546.55 miliar (nilai awal sebelum kebijakan program pengembangan on farm subsektor peternakan) diperkirakan naik menjadi sebesar Rp874.48 miliar. Pada golongan tenaga kerja nonpertanian, kelompok tenaga kerja nonpertanian di kota memperoleh porsi peningkatan pendapatan sebesar 31% dari total peningkatan pendapatan tenaga kerja, atau senilai Rp219.86 miliar. Dengan peningkatan tersebut, maka pendapatan tenaga kerja pertanian di kota yang semula hanya sebesar Rp366.43 miliar (nilai awal sebelum kebijakan program pengembangan on farm subsektor peternakan) diperkirakan naik menjadi sebesar Rp586.29 miliar. Sementara itu, golongan tenaga kerja nonpertanian di desa memperoleh porsi peningkatan pendapatan sebesar Rp108.07 miliar (15% dari total peningkatan pendapatan tenaga kerja). Dengan peningkatan ini, pendapatan tenaga kerja nonpertanian di desa yang semula hanya sebesar Rp180.12 miliar (nilai awal sebelum kebijakan program pengembangan on farm subsektor peternakan) diperkirakan naik menjadi sebesar Rp288.19 miliar. Selain berdampak pada peningkatan pendapatan tenaga kerja, kebijakan injeksi belanja investasi untuk pengembangan on farm subsektor peternakan juga berdampak cukup signifikan pada meningkatnya penyerapan tenaga kerja, baik golongan tenaga kerja pertanian maupun golongan tenaga kerja nonpertanian. Dampak kebijakan injeksi anggaran belanja investasi pada subsektor peternakan terhadap penyerapan tenaga kerja dalam penelitian ini secara ringkas disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Dampak kebijakan injeksi anggaran belanja investasi subsektor peternakan terhadap penyerapan tenaga kerja Nilai Golongan Tenaga Kerja
Awal Simulasi (Pekerja) (Pekerja)
Perubahan Pangsa (%)
Nilai (Pekerja)
Pangsa (%)
Persentase (%)
24 224
38 758
62
14 534
62
60
21 382
34 212
55
12 829
55
60
2 842
4 547
7
1 705
7
60
Tenaga Kerja NonTani
14 730
23 568
38
8 838
38
60
Tenaga Kerja Non-Tani Kota
9 478
15 165
24
5 687
24
60
Tenaga Kerja Non-Tani Desa
5 252
8 404
14
3 151
14
60
Tenaga Kerja Total
38 954
62 327
100
23 373
100
60
Tenaga Kerja Tani Tenaga Kerja Tani Desa Tenaga Kerja Tani Kota
Sumber : SNSE 2008 (diolah)
54
Berdasarkan ringkasan hasil simulasi sebagaimana disajikan pada Tabel 16, kebijakan injeksi belanja investasi untuk pengembangan on farm subsektor peternakan diperkirakan mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja total sebanyak 23 373 pekerja, atau sekitar 60%. Dengan peningkatan kemampuan daya serap tenaga kerja yang sangat besar tersebut, maka tenaga kerja total yang semula (nilai awal sebelum kebijakan program pengembangan on farm subsektor peternakan) hanya berjumlah 38 954 pekerja diperkirakan bertambah menjadi sebanyak 62 327 pekerja. Peningkatan penyerapan tenaga kerja terbesar berasal dari kontribusi golongan tenaga kerja pertanian, yaitu sebesar 62% atau sebanyak 14 534 pekerja. Dengan peningkatan daya serap tenaga kerja pertanian sebanyak itu, maka jumlah tenaga kerja pertanian yang semula (nilai awal sebelum kebijakan program pengembangan on farm subsektor peternakan) hanya sebanyak 24 224 pekerja diperkirakan bertambah menjadi 38 758 pekerja. Dari jumlah tersebut, golongan tenaga kerja pertanian di desa menyumbang peningkatan tenaga kerja terbesar, yaitu sebesar 55% atau sebanyak 12 829 pekerja, sedangkan golongan tenaga kerja pertanian di kota menyumbang peningkatan tenaga kerja paling kecil, yaitu sebesar 7% atau sebanyak 1 705 pekerja. Dengan peningkatan kontribusi penyerapan tenaga kerja pertanian di desa yang sangat besar tersebut, maka jumlah tenaga kerja pertanian di desa yang semula (nilai awal sebelum kebijakan program pengembangan on farm subsektor peternakan) hanya sebanyak 21 382 pekerja diperkirakan bertambah menjadi sebanyak 34 212 pekerja. Di sisi lain, dengan kontribusi peningkatan daya serap tenaga kerja pertanian di kota yang sangat kecil (7%), maka jumlah tenaga kerja pertanian di kota hanya bertambah dari semula sebanyak 2 842 pekerja diperkirakan menjadi sebanyak 4 547 pekerja. Sementara itu, kelompok tenaga kerja nonpertanian menyumbang peningkatan daya serap tenaga kerja sebesar 38% atau sebanyak 8 838 pekerja. Dengan kontribusi peningkatan penyerapan tenaga kerja nonpertanian sebanyak itu, maka jumlah tenaga kerja nonpertanian yang semula (nilai awal sebelum kebijakan program pengembangan on farm subsektor peternakan) hanya sebanyak 14 730 pekerja bertambah menjadi sebanyak 23 568 pekerja. Peningkatan penyerapan tenaga kerja nonpertanian tersebut disumbang oleh peningkatan daya serap tenaga kerja nonpertanian di perkotaan sebesar 24% atau sebanyak 5 687 pekerja, dan tenaga kerja nonpertanian di pedesaan sebesar 14% atau sebanyak 3 151 pekerja. Dengan porsi peningkatan penyerapan tenaga kerja pertanian di perkotaan sebesar 24% tersebut, maka jumlah tenaga kerja nonpertanian di perkotaan yang semula (nilai awal sebelum kebijakan program pengembangan on farm subsektor peternakan) hanya sebanyak 9 478 pekerja diperkirakan bertambah menjadi sebanyak 15 165 pekerja. Demikian pula, dengan porsi penyerapan tenaga kerja nonpertanian di pedesaan yang hanya sebesar 14% tersebut, maka tenaga kerja nonpertanian di pedesaan yang semula (nilai awal sebelum kebijakan program pengembangan on farm subsektor peternakan) berjumlah 5 252 pekerja hanya bertambah menjadi sebanyak 8 404 pekerja. Dengan adanya dampak, baik terhadap pendapatan tenaga kerja maupun terhadap penyerapan tenaga kerja, maka kebijakan injeksi belanja investasi untuk pengembangan on farm subsektor peternakan dan hasil-hasilnya ini, tentunya juga akan mempengaruhi pendapatan institusi rumah tangga selaku pemilik faktor produksi tenaga kerja. Dampak kebijakan injeksi belanja untuk pengembangan
55
subsektor peternakan terhadap pendapatan institusi rumah tangga dalam penelitian ini secara ringkas disajikan pada Tabel 17 di bawah ini. Dari hasil simulasi yang secara ringkas disajikan pada Tabel 17, dapat diketahui bahwa dampak kebijakan injeksi belanja investasi di subsektor peternakan akan meningkatkan secara sangat signifikan pendapatan institusi rumah tangga sebagai akibat meningkatnya balas jasa dari penggunaan faktor produksi tenaga kerja. Secara keseluruhan, dampak kebijakan ini mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga total sebesar Rp857.29 miliar (naik 60% dari nilai awal). Dengan peningkatan yang sangat signifikan tersebut, maka total pendapatan institusi rumah tangga yang semula hanya sebesar Rp1 428.8 miliar diperkirakan mampu meningkat menjadi sebesar Rp2 286.1 miliar. Peningkatan pendapatan institusi rumah tangga tersebut terdistribusi paling besar untuk golongan rumah tangga nonpertanian, yaitu sebesar 64% atau sebanyak Rp547.02 miliar, sementara golongan institusi rumah tangga pertanian hanya mendapatkan porsi peningkatan pendapatan sebesar 36% atau sebanyak Rp310.27 miliar. Dengan porsi peningkatan yang sangat signifikan tersebut, pendapatan institusi rumah tangga nonpertanian yang semula hanya Rp911.7 miliar diperkirakan meningkat menjadi sebesar Rp1 458.7 miliar. Sementara itu, dengan porsi peningkatan pendapatan hanya sebesar 36%, maka pendapatan institusi rumah tangga pertanian yang semula Rp517.1 miliar diperkirakan hanya akan naik menjadi sebesar Rp827.4 miliar. Tabel 17. Dampak kebijakan injeksi anggaran belanja investasi subsektor peternakan terhadap pendapatan institusi rumah tangga Nilai Rumah Tangga
Awal (Miliar)
Perubahan
Simulasi (Miliar)
Nilai (Miliar)
Pangsa (%)
Kenaikan (%)
Rumah Tangga Tani
517.11
827.38
310.27
36
60
Pengusaha Tani
419.95
671.93
251.97
29
60
Buruh Tani
97.16
155.45
58.29
7
60
Rumah Tangga NonTani
911.70
1 458.72
547.02
64
60
Non-Tani Desa
436.59
698.54
261.95
31
60
Non-Tani Kota
475.11
760.18
285.07
33
60
1 428.81
2 286.10
857.29
100
60
Rumah Tangga Total
Sumber : SNSE 2008 (diolah)
Pada institusi rumah tangga nonpertanian, golongan rumah tangga nonpertanian di kota mendapatkan porsi peningkatan pendapatan terbesar, yaitu sebesar 33% atau sebanyak Rp285.1 miliar, sehingga pendapatan institusi rumah tangga nonpertanian di kota yang semula hanya Rp457.1 miliar diperkirakan naik menjadi sebesar Rp760.2 miliar. Sementara itu, golongan rumah tangga nonpertanian di desa mendapatkan porsi peningkatan pendapatan sebesar 31%, atau sebanyak Rp262 miliar. Hal ini mengakibatkan pendapatan institusi rumah
56
tangga nonpertanian di desa yang semula hanya sebesar Rp436.6 miliar meningkat menjadi Rp698.5 miliar. Golongan rumah tangga pengusaha tani mendapatkan porsi peningkatan pendapatan sebesar 29% atau sebanyak Rp252 miliar, sehingga pendapatan pengusaha tani diperkirakan naik dari semula Rp420 miliar menjadi sebesar Rp671.9 miliar. Sementara itu, golongan rumah tangga buruh tani mendapatkan porsi peningkatan pendapatan terendah, yaitu hanya 7% atau sebesar Rp58.3 miliar. Sebagai akibatnya, pendapatan rumah tangga buruh tani diperkirakan hanya naik dari sebesar Rp97.2 miliar menjadi sebanyak Rp155.5 miliar. Dengan demikian, golongan rumah tangga buruh tani nampak paling sedikit menerima manfaat dari kebijakan ini. Dari hasil simulasi yang dilakukan pada penelitian ini, nampak secara jelas bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga tidak terdistribusi secara merata. Tidak meratanya distribusi pendapatan antar-rumah tangga tersebut, dikarenakan tingkat produktivitas masing-masing rumah tangga yang berbeda. Golongan rumah tangga buruh tani nampak menerima manfaat yang paling kecil dari adanya kebijakan tersebut. Kecilnya manfaat yang diterima oleh golongan rumah tangga buruh tani tersebut, diakibatkan, terutama oleh sulitnya buruh tani atau peternakpeternak skala kecil untuk mendapatkan akses pinjaman modal pada lembaga keuangan yang akan dipergunakan untuk penyediaan bibit ternak, pakan ternak, serta vaksin. Sebagai akibat dari terbatasnya modal tersebut, maka banyak buruh tani maupun peternak skala kecil yang kesulitan untuk memulai usaha mereka, sehingga mereka kalah bersaing dengan pengusaha pertanian yang memang memiki modal yang jauh lebih besar. Hal ini menyebabkan banyak dari para buruh tani dan peternak skala kecil tersebut yang bergantung kepada pengusaha pertanian untuk memulai usaha peternakan mereka, sehingga menyebabkan buruh tani mendapatkan porsi pendapatan yang paling kecil. Realokasi Anggaran Alih Fungsi Impor Komoditas Peternakan Dalam simulasi ini, pemerintah melakukan realokasi anggaran sebesar Rp251 miliar, sebagai alih fungsi (pengganti) atas kebijakan pembatasan impor sapi bakalan sebanyak 31 000 ekor sapi, dalam rangka mendukung program pengembangan produksi peternakan domestik. Pada simulasi ini, diasumsikan Pemerintah membatasi izin impor sapi bakalan dari semula sebanyak 131 000 ekor sapi atau senilai Rp1 061 miliar pada kuartal 1 tahun 2014 menjadi hanya 100 000 ekor sapi bakalan senilai Rp810 miliar pada periode yang sama tahun 2015. Selisih nilai impor sebesar Rp251 miliar, sebagai dampak dari kebijakan pembatasan impor sapi bakalan yang diberlakukan oleh pemerintah tersebut, diasumsikan akan dialihkan ke dan atau diganti dengan melakukan realokasi anggaran untuk mendukung program pengembangan produksi peternakan domestik. Kebijakan pengembangan sektor produksi peternakan domestik ini, selain diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pendapatan tenaga kerja dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, terutama tenaga kerja sektor pertanian di desa, juga diasumsikan dapat mendorong perkembangan kegiatan perekonomian masyarakat di perdesaan. Berbagai dampak positif yang akan dihasilkan dari kebijakan ini diharapkan dapat memperbaiki distribusi pendapatan antarrumah tangga, terutama antara institusi rumah tangga pertanian
57
dengan nonpertanian, yang pada gilirannya dapat memperbaiki ketimpangan pembangunan antara di desa dan di kota. Dari hasil simulasi yang dilakukan pada penelitian ini, dapat diketahui bahwa kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas pertanian sebesar Rp251 miliar (sebagai implikasi atas kebijakan pembatasan impor sapi bakalan) untuk mendukung program pengembangan produksi peternakan domestik, diperkirakan dapat memberikan dampak positif yang cukup signifikan, baik terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan tenaga kerja, penyerapan tenaga kerja, maupun pendapatan institusi rumah tangga. Dampak kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan untuk pengembangan peternakan domestik terhadap pertumbuhan ekonomi pendapatan tenaga kerja dalam penelitian ini, secara ringkas disajikan pada Tabel 18 di bawah ini. Tabel 18. Dampak kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan terhadap nilai tambah Faktor Produksi
Tenaga Kerja Modal Value Added
Nilai Awal Pangsa Miliar (%)
Nilai Simulasi Pangsa Miliar (%)
Miliar
Perubahan Pangsa (%)
Kenaikan
2 126.19
64%
2 373.61
64%
247.42
64%
12%
1 195.10
36%
1 332.50
36%
137.41
36%
11%
3 321.28
100%
3 706.11
100%
384.84
100%
12%
Sumber : SNSE 2008 (Diolah) Berdasarkan ringkasan hasil simulasi pada Tabel 18, kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan diperkirakan mampu meningkatkan GDP Indonesia senilai Rp384.84 miliar atau sebesar 12% dari nilai awal. Dampak kebijakan tersebut terbukti mampu meningkatkan porsi pendapatan nasional yang awalnya hanya sebesar Rp3 321.28 miliar, meningkat menjadi Rp3 706.11 miliar. Porsi peningkatan pendapatan nasional tersebut, terbesar dikontribusi oleh tingginya penciptaan nilai tambah faktor produksi tenaga kerja yang mencapai 64% atau senilai dengan Rp247.42 miliar. Sedangkan porsi peningkatan pendapatan nasilonal yang dikontribusi oleh penciptaan nilai tambah faktor produksi modal hanya sebesar 36% atau senilai Rp.137.41 miliar. Dominannya kontribusi penciptaan nilai tambah faktor produksi tenaga kerja, dibandingkan dengan penciptaan nilai tambah faktor produksi modal, menandakan bahwa subsektor peternakan merupakan subsektor yang padat karya. Sedangkan ringkasan dampak kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan terhadap pendapatan tenaga kerja, disajikan pada Tabel 19. Berdasarkan ringkasan hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 19, dapat diperoleh beberapa temuan penelitian sebagai berikut: Dampak kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan ke pengembangan produksi peternakan domestik diperkirakan dapat meningkatkan pendapatan tenaga kerja sebesar Rp247.4 miliar, atau naik 12%
58
dari nilai awal (sebelum kebijakan realokasi anggaran) sebesar Rp2 126.2 miliar menjadi sebesar Rp2 373.6 miliar. Tabel 19. Dampak kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan terhadap pendapatan tenaga kerja Nilai Awal Golongan Tenaga Kerja Tenaga Kerja Tani
Total
Perubahan
Pangsa (%)
(Miliar)
Pangsa (%)
(Miliar)
Pangsa (%)
Kenaikan (%)
1 067.4
50
1 221.2
51
153.8
62
14
923.2
43
1.056.1
44
132.9
54
14
144.2
7
165,1
7
20.9
8
14
1 058.8
50
1 152.4
49
93.6
38
9
712.8
34
774,9
33
62.1
25
9
346.0
16
377,6
16
31.6
13
9
2 126.2
100
2 373.61
100
247.4
100
12
(Miliar)
Tenaga Kerja Tani Desa Tenaga Kerja Tani Kota Tenaga Kerja NonTani Tenaga Kerja NonTani Kota Tenaga Kerja NonTani Desa
Nilai Simulasi
Sumber : SNSE 2008 (diolah)
Kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan ke pengembangan sektor produksi peternakan domestik juga mengakibatkan terjadinya perubahan nilai dan pangsa pendapatan tenaga kerja yang lebih besar dari golongan tenaga kerja nonpertanian ke tenaga kerja pertanian. Golongan tenaga kerja pertanian mendapatkan porsi peningkatan pendapatan terbesar, yaitu sebesar Rp153.8 miliar atau 62% dari total peningkatan pendapatan tenaga kerja (naik 14% dari nilai awal), sementara kelompok tenaga kerja nonpertanian memperoleh porsi peningkatan pendapatan sebesar Rp93.64 miliar atau sebanyak 38% dari total peningkatan pendapatan tenaga kerja (naik 9% dari nilai awal). Dengan porsi peningkatan pendapatan yang sangat signifikan tersebut, maka nilai dan pangsa pendapatan tenaga kerja nonpertanian meningkat dari semula (nilai awal sebelum kebijakan) sebesar Rp1 067.4 miliar (50% dari total pendapatan tenaga kerja) menjadi sebesar Rp1 221.2 miliar (51% dari total pendapatan tenaga kerja). Sebaliknya, meskipun nilai pendapatan tenaga kerja nonpertanian (nilai awal sebelum kebijakan) naik dari semula sebesar Rp1 050.8 miliar menjadi sebesar Rp1 152.42 miliar, namun pangsanya justru menurun dari semula 50% dari total pendapatan tenaga kerja menjadi 49% dari total pendapatan tenaga kerja. Pada kelompok tenaga kerja pertanian, porsi peningkatan pendapatan tenaga kerja terbesar diterima oleh golongan tenaga kerja pertanian di desa, yaitu sebesar Rp132.9 miliar atau 54% dari total peningkatan pendapatan tenaga kerja (naik 14% dari nilai awal). Sementara itu, porsi peningkatan pendapatan tenaga kerja terkecil diterima oleh golongan tenaga kerja pertanian di kota, yaitu sebesar Rp20.9 miliar atau 8% dari total peningkatan pendapatan tenaga kerja (naik 14% dari nilai awal). Dengan porsi peningkatan pendapatan terbesar yang diterima oleh golongan tenaga kerja pertanian di desa, maka nilai dan pangsa pendapatan tenaga kerja pertanian di desa meningkat dari semula (nilai awal sebelum kebijakan)
59
sebesar Rp923.2 miliar (43% dari total pendapatan tenaga kerja) menjadi sebesar Rp1 056.1 miliar (44% dari total pendapatan tenaga kerja). Sebaliknya, dengan porsi peningkatan pendapatan yang sangat kecil (hanya 8%) yang diterima oleh golongan tenaga kerja pertanian di perkotaan, maka pangsa pendapatan tenaga kerja pertanian di kota tetap hanya 7% dari total pendapatan tenaga kerja, walaupun nilainya sedikit meningkat, dari semula (nilai awal sebelum kebijakan) sebesar Rp144.2 miliar menjadi sebesar Rp165.1 miliar. Pada kelompok tenaga kerja nonpertanian, peningkatan pendapatan paling besar diterima oleh golongan tenaga kerja nonpertanian di kota, yaitu sebesar 25% atau Rp62.1 miliar (naik 9% dari nilai awal), sedangkan golongan tenaga kerja nonpertanian di desa memperoleh porsi peningkatan pendapatan tenaga kerja sebesar 13% atau Rp31.6 miliar (naik 9% dari nilai awal). Dengan porsi peningkatan tersebut, sekalipun nilai pendapatan tenaga kerja nonpertanian di kota meningkat dari semula sebesar Rp712.8 miliar (nilai awal sebelum kebijakan) menjadi Rp774.9 miliar, namun pangsanya justru menurun dari semula 34% menjadi 33% (dari total pendapatan tenaga kerja). Sementara itu, dengan porsi peningkatan pendapatan sebesar 13%, maka sekalipun nilai pendapatan tenaga kerja nonpertanian di desa naik dari semula (nilai awal sebelum kebijakan) sebesar Rp346.0 miliar menjadi sebesar Rp377.6 miliar, namun pangsa pendapatan tenaga kerja nonpertanian di desa tetap tidak berubah, yaitu hanya 16% dari total pendapatan tenaga kerja . Di samping berdampak pada peningkatan pendapatan tenaga kerja, kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan juga berdampak cukup signifikan pada meningkatnya penyerapan tenaga kerja, baik golongan tenaga kerja pertanian maupun golongan tenaga kerja nonpertanian. Dampak kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan terhadap penyerapan tenaga kerja dalam penelitian ini secara ringkas disajikan pada Tabel 20. Berdasarkan ringkasan hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 20 di bawah ini, kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan ke program pengembangan sektor produksi peternakan domestik diperkirakan mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja total sebanyak 8 286 pekerja, atau naik sekitar 12% dari nilai awal. Dengan peningkatan kemampuan daya serap tenaga kerja tersebut, maka tenaga kerja total yang semula (nilai awal sebelum kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) berjumlah 68 647 pekerja diperkirakan bertambah menjadi sebanyak 76 933 pekerja. Peningkatan penyerapan tenaga kerja terbesar berasal dari kontribusi golongan tenaga kerja pertanian, yaitu sebesar 70% atau sebanyak 5 771 pekerja. Dengan peningkatan daya serap tenaga kerja tani yang sangat signifikan tersebut, maka jumlah tenaga kerja pertanian yang semula (nilai awal sebelum adanya kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) berjumlah 40 075 pekerja diperkirakan bertambah menjadi sebanyak 45 846 pekerja (naik 14% dari nilai awal). Bertambahnya jumlah tenaga kerja pertanian yang sangat signifikan ini diperkirakan mengakibatkan pangsa tenaga kerja pertanian meningkat dari semula (sebelum ada kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) 58% dari total tenaga kerja menjadi 60% dari total tenaga kerja.
60
Tabel 20. Dampak kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan terhadap penyerapan tenaga kerja Nilai Awal Golongan Tenaga Kerja Tenaga Kerja Tani Tenaga Kerja Tani Desa
(Pekerja)
Nilai Simulasi
Pangsa (%)
Perubahan
(Pekerja)
Pangsa (%)
(Pekerja)
Pangsa (%)
Kenaikan (%)
40 075
58
45 846
60
5 771
70
14
35 382
52
40 474
53
5 092
61
14
4 693
7
5 372
7
679
9
14
Tenaga Kerja Non Tani
28 572
42
31 087
40
2 515
30
9
Tenaga Kerja Non Tani Kota
18 480
27
20 075
26
1 596
19
9
Tenaga Kerja Non Tani Desa
10 092
15
11 011
14
919
11
9
Tenaga Kerja Total
68 647
100
76 933
100
8 286
100
12
Tenaga Kerja Tani Kota
Sumber : SNSE 2008 (diolah)
Dari peningkatan daya serap tenaga kerja pertanian tersebut, golongan 1tenaga kerja pertanian di desa menyumbang porsi peningkatan tenaga kerja terbesar, yaitu sebesar 61% atau sebanyak 5 092 pekerja, sedangkan kelompok tenaga kerja pertanian di kota menyumbang peningkatan tenaga kerja paling kecil, yaitu sebesar 9% atau sebanyak 679 pekerja. Dengan peningkatan peyerapan tenaga kerja pertanian di desa yang sangat signifikan tersebut, maka jumlah dan pangsa tenaga kerja pertanian di desa yang semula (nilai awal sebelum kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor) sebanyak 35 382 pekerja (52% dari total tenaga kerja) diperkirakan bertambah menjadi 40 474 pekerja (53% dari total tenaga kerja). Di sisi lain, dengan kontribusi peningkatan daya serap tenaga kerja pertanian di kota yang sangat kecil (9%), maka sekalipun jumlah tenaga kerja pertanian di kota bertambah dari semula sebanyak 4 693 diperkirakan menjadi sebanyak 5 372 pekerja (naik 14% dari nilai awal), namun pangsa tenaga kerja pertanian di kota tidak mengalami perubahan, yaitu tetap hanya 7% dari total tenaga kerja. Sementara itu, kelompok tenaga kerja nonpertanian memberikan kontribusi terhadap peningkatan daya serap tenaga kerja sebesar 30%, atau sebanyak 2 515 pekerja. Dengan kontribusi peningkatan penyerapan tenaga kerja nonpertanian sebanyak itu, jumlah tenaga kerja nonpertanian yang semula (nilai awal sebelum kebijakan program realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) hanya sebanyak 28 572 pekerja diperkirakan bertambah menjadi sebanyak 31 087 pekerja. Meskipun demikian, pangsa tenaga kerja nonpertanian justru turun dari semula (nilai awal sebelum kebijakan program realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) 42% dari total tenaga kerja menjadi sebesar 40% dari total tenaga kerja. Peningkatan penyerapan tenaga kerja nonpertanian tersebut, terutama berasal dari kontribusi peningkatan daya serap tenaga kerja nonpertanian di perkotaan sebesar 19% atau sebanyak 1 596 pekerja, sedangkan tenaga kerja nonpertanian di pedesaan memberikan kontribusi peningkatan daya
61
serap tenaga kerja sebesar 11% atau sebanyak 919 pekerja. Dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja nonpertanian di perkotaan tersebut, maka jumlah tenaga kerja nonpertanian di perkotaan yang semula (nilai awal sebelum kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) hanya sebanyak 18 840 pekerja diperkirakan bertambah menjadi sebanyak 20 075 pekerja (naik 9% dari nilai awal). Sekalipun demikian, pangsa tenaga kerja nonpertanian di perkotaan justru turun dari semula (nilai awal sebelum kebijakan program realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) sebesar 27% dari total tenaga kerja menjadi hanya sebesar 26% dari total tenaga kerja. Begitu pula, dengan pangsa penyerapan tenaga kerja nonpertanian di pedesaan yang hanya 11%, maka jumlah tenaga kerja nonpertanian di pedesaan yang semula (nilai awal sebelum kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) sebesar 10 092 pekerja diperkirakan bertambah menjadi 11 011 pekerja (naik 9% dari nilai awal). Meskipun demikian, sepertinya halnya pada tenaga kerja nonpertanian di kota, pangsa tenaga kerja nonpertanian di pedesaan juga turun dari semula (nilai awal se belum kebijakan) sebesar 15% dari total tenaga kerja menjadi hanya sebesar 14% dari total tenaga kerja. Berbagai dampak, baik terhadap pendapatan tenaga kerja maupun terhadap penyerapan tenaga kerja yang muncul akibat adanya kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan ke program pengembangan sektor produksi peternakan domestik sebagaimana diuraikan di atas, diperkirakan akan memberikan implikasi pada perubahan distribusi pendapatan institusi rumah tangga selaku pemilik faktor produksi tenaga kerja. Dampak kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan terhadap distribusi pendapatan institusi rumah tangga dalam penelitian ini, secara ringkas disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Dampak kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan terhadap pendapatan institusi rumah tangga Nilai Awal Rumah Tangga (Miliar) Rumah Tanga Tani Pengusaha Tani Buruh Tani Rumah Tangga Non-Tani Non-Tani Desa Non-Tani Kota Rumah Tangga Total
Pangsa (%)
Nilai Simulasi (Miliar)
Pangsa (%)
Perubahan Nilai (Miliar)
Pangsa (%)
Kenaikan (%)
877.36
34
995.38
35
118.02
40
13
713.46
28
809.08
28
95.63
32
13
163.90
6
186.30
7
22.40
8
14
1 673.55
66
1 851.65
65
178.11
60
11
774.94
30
866.49
30
91.55
31
12
898.61
36
985.16
35
86.55
29
10
2 550.91
100
2 847.04
100
296.13
100
12
Sumber : SNSE 2008 (diolah)
62
Dari ringkasan hasil simulasi kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan yang disajikan pada Tabel 21, dapat diketahui bahwa dampak kebijakan realokasi anggaran impor komoditas peternakan ke pengembangan sektor produksi peternakan domestik, tidak hanya akan meningkatkan pendapatan institusi rumah tangga sebagai akibat dari meningkatnya balas jasa dari penggunaan faktor produksi tenaga kerja, akan tetapi juga menyebabkan perubahan pada distribusi pendapatan institusi rumah tangga. Secara keseluruhan, dampak kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan diperkirakan mampu meningkatkan pendapatan institusi rumah tangga total sebesar Rp296.1 miliar (naik 12% dari nilai awal). Dengan peningkatan tersebut, maka pendapatan institusi rumah tangga yang semula sebesar Rp2 550.9 miliar diperkirakan meningkat menjadi sebesar Rp2 847.0 miliar (naik 12% dari nilai awal). Peningkatan pendapatan institusi rumah tangga tersebut terdistribusi paling besar kepada golongan rumah tangga nonpertanian, yaitu sebesar Rp178.1 miliar atau 60% dari total peningkatan pendapatan institusi rumah tangga. Sementara itu, kelompok institusi rumah tangga pertanian hanya mendapatkan porsi peningkatan pendapatan sebesar Rp118.0 miliar atau 40% dari total peningkatan pendapatan institusi rumah tangga. Dengan porsi peningkatan yang sangat signifikan tersebut, pendapatan institusi rumah tangga nonpertanian yang semula sebesar Rp1 673.6 miliar diperkirakan meningkat menjadi sebesar Rp1 851.7 miliar (naik 11% dari nilai awal). Meskipun demikian, pangsa pendapatan institusi rumah tangga nonpertanian diperkirakan justru menurun dari semula (sebelum kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) sebesar 66% dari total pendapatan institusi rumah tangga, menjadi 65% dari total pendapatan institusi rumah tangga. Sementara itu, dengan porsi peningkatan pendapatan sebesar 40%, maka pendapatan institusi rumah tangga pertanian yang semula mencapai Rp877.4 miliar diperkirakan meningkat menjadi sebesar Rp995.4 miliar (naik 13% dari nilai awal). Dengan peningkatan yang cukup signifikan tersebut, pangsa pendapatan institusi rumah tangga pertanian diperkirakan mengalami peningkatan, dari semula (sebelum kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) sebesar 34% dari total pendapatan institusi rumah tangga, menjadi 35% dari total pendapatan institusi rumah tangga. Pada institusi rumah tangga nonpertanian, golongan rumah tangga nonpertanian di desa mendapat porsi peningkatan pendapatan terbesar, yaitu sebesar 31% atau sebanyak Rp91.6 miliar. Dengan porsi peningkatan sebesar itu, maka pendapatan institusi rumah tangga nonpertanian di desa yang semula hanya sebesar Rp774.9 miliar diperkirakan naik menjadi sebesar Rp866.5 miliar (meningkat 12% dari nilai awal). Sekalipun demikian, pangsa pendapatan institusi rumah tangga nonpertanian di desa tidak mengalami perubahan, tetap sebesar 30% dari total pendapatan institusi rumah tangga. Sementara itu, golongan rumah tangga nonpertanian di kota mendapatkan porsi peningkatan pendapatan sebesar 29%, atau sebanyak Rp86.6 miliar. Hal ini mengakibatkan pendapatan institusi rumah tangga nonpertanian di kota yang semula hanya sebesar Rp898.6 miliar diperkirakan meningkat menjadi Rp985.2 miliar (naik 10% dari nilai awal). Meskipun demikian, pangsa pendapatan institusi rumah tangga nonpertanian di kota diperkirakan justru menurun dari semula (sebelum kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) sebesar 36% dari total
63
pendapatan institusi rumah tangga, menjadi 35% dari total pendapatan institusi rumah tangga. Pada institusi rumah tangga pertanian, golongan rumah tangga pengusaha tani mendapatkan porsi peningkatan pendapatan sebesar 32% atau sebanyak Rp95.6 miliar. Dengan porsi penigkatan pendapatan sebesar itu, maka total pendapatan pengusaha tani yang semula (sebelum kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) hanya sebesar Rp713.5 miliar diperkirakan meningkat menjadi sebesar Rp809.1 miliar (naik 13% dari nilai awal). Sekalipun demikian, pangsa pendapatan institusi rumah tangga pengusaha pertanian tidak mengalami perubahan, tetap sebesar 28% dari total pendapatan institusi rumah tangga. Sementara itu, golongan rumah tangga buruh tani memperoleh porsi peningkatan pendapatan sebesar Rp22.4 miliar atau 8% dari total peningkatan pendapatan institusi rumah tangga. Dengan porsi peningkatan pendapatan sebesar itu, maka pendapatan golongan rumah tangga buruh tani yang semula (nilai awal sebelum kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan) hanya sebesar Rp163.9 miliar diperkirakan meningkat menjadi sebesar Rp186.3 miliar (naik 14% dari nilai awal). Dengan peningkatan tersebut, pangsa pendapatan buruh tani naik dari semula 6% dari total pendapatan institusi rumah tangga menjadi sebesar 7% dari dari total pendapatan institusi rumah tangga. Berdasarkan hasil simulasi sebagaimana diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan ke pengembangan sektor produksi peternakan domestik memberikan implikasi pada terjadinya perubahan nilai dan pangsa pendapatan institusi rumah tangga yang lebih besar dari golongan rumah tangga nonpertanian ke golongan rumah tangga pertanian. Di satu sisi, terjadi peningkatan nilai dan pangsa pendapatan rumah tangga tani, terutama pada golongan rumah tangga buruh tani. Sebaliknya, porsi pendapatan golongan rumah tangga nonpertanian, terutama rumah tangga nonpertanian di perkotaan justru mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan pendapatan golongan rumah tangga nonpertanian di kota dimaksud, terutama diakibatkan oleh penurunan golongan rumah tangga yang terdapat di sektor penjualan, khususnya penurunan pendapatan importir daging sapi. Penurunan pendapatan ini merupakan dampak dari penerapan kebijakan pembatasan impor komoditas peternakan berupa pembatasan izin impor sapi bakalan. Sebaliknya, kebijakan realokasi anggaran akibat pengalihfungsian impor sapi bakalan ke pengembangan sektor produksi peternakan akan menguntungkan industri peternakan dalam negeri. Alih fungsi anggaran ke pengembangan sektor produksi peternakan domestik akibat kebijakan pembatasan impor komoditas peternakan tersebut, terbukti tidak hanya mampu mendorong pengembangan industri sapi dalam negeri, namun juga dapat meningkatkan pendapatan tenaga kerja, terutama golongan tenaga kerja pertanian, yang berimplikasi pada peningkatan pendapatan tenaga kerja, dan pendapatan institusi rumah tangga, terutama golongan rumah tangga pertanian, khususnya golongan rumah tangga buruh tani. Hal ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya baik pendapatan maupun tingkat penyerapan tenaga kerja pada golongan tenaga kerja pertanian.
64
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan analisis pengganda, subsektor peternakan memiliki peran yang strategis dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pendapatan tenaga kerja, penyerapan tenaga dan pendapatan rumah tangga, yang dapat dibuktikan dengan koefisien pengganda nilai tambah sebesar 1.86, koefisien pengganda pendapatan tenaga kerja sebesar 1.19 dan koefisien pengganda pendapatan rumah tangga sebesar 1.43. Ditinjau dari perannya terhadap pertumbuhan ekonomi, peternakan (1.86) memiliki peran terbesar ke 6 terbesar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, setelah pertanian tanaman pangan (2.11), pertambangan dan penggalian lainnya (1.94), pemerintahan dan pertahanan, pendidikan, kesehatan, film dan jasa sosial lainnya (1.94), restoran (1.93) dan pertanian tanaman lainnya (1.87). Kontribusi subsektor peternakan terhadap tenaga kerja sebesar 1.19 atau memiliki peran terbesar ke 6, setelah pertanian tanaman pangan (1.56), pemerintahan dan pertahanan, pendidikan, kesehatan, film dan jasa sosial lainnya (1.33), restoran (1.30), pertambangan dan penggalian lainnya (1.25) dan pertanian tanaman lainnya (1.24). Subsektor peternakan (1.43) juga memiliki peran terbesar ke 6 dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga, setelah subsektor pertanian tanaman pangan (1.76), pendidikan, kesehatan, film dan jasa sosial lainnya (1.55), restoran (1.53), pertambangan dan penggalian lainnya (1.49) dan pertanian tanaman lainnya (1.47). Selain itu, peternakan juga memiliki kontribusi yang relatif besar dalam menyerap tenaga kerja, yaitu mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 38 954 pekerja, yang menempatkannya dalam peringkat ke empat, setelah pertanian tanaman pangan (107 434), pertanian tanaman lainnya (63 095) dan jasa perseorangan, jasa rumah tangga dan jasa lainnya (48 632) seperti yang terlihat pada lampiran 3. Dari hasil analisis simulasi kebijakan injeksi belanja investasi pemerintah pada program pengembangan on farm subsektor peternakan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Kebijakan peningkatan output sektor peternakan melalui injeksi anggaran belanja investasi pada sektor produksi subsektor peternakan, mampu meningkatkan pendapatan nasional sebesar 60% atau senilai Rp115.56 miliar, kebijakan tersebut juga mampu meningkatkan pendapatan tenaga kerja total sebesar Rp715.1 miliar, atau naik 60% dari nilai awal sebelum adanya kebijakan pengembangan on farm subsektor peternakan. Dampak dari kebijakan injeksi belanja investasi pemerintah pada program pengembangan on farm subsektor peternakan, mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja sekitar 60%, atau sebanyak 23 373 pekerja. Peningkatan penyerapan tenaga kerja terbesar berasal dari kontribusi golongan tenaga kerja pertanian, yaitu sebesar 62% atau sebanyak 14 534 pekerja. Kebijakan tersebut juga mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga total sebesar 60% atau senilai Rp857.29 miliar. Dari hasil simulasi kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan, maka disinpulkan bahwa: Kebijakan pembatasan impor komoditas peternakan melalui realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan, terbukti mampu meningkatkan GDP Indonesia atas dasar harga faktor sebesar 12% atau senilai Rp384.84 miliar.
65
Peningkatan tersebut, terbesar dikontribusi oleh penciptaan nilai tambah tenaga kerja, yaitu sebesar 64% atau senilai Rp247.42 miliar. Dampak dari kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas terbukti mampu meningkatkan pendapatan tenaga kerja sebesar 12% atau senilai Rp247.423 miliar. Porsi peningkatan pendapatan tersebut, paling besar diterima oleh pendapatan golongan tenaga kerja pertanian yaitu sebesar 62% atau senilai Rp153.68 miliar (naik sebesar 14% dari nilai awal). Kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan juga mampu meningkatkan daya serap tenaga kerja sebesar 12% atau sebanyak 8 286 pekerja. Peningkatan daya serap tersebut, dikontribusi paling besar oleh peningkatan daya serap golongan tenaga kerja pertanian yaitu sebesar 70% atau sebanyak 5 771 pekerja, sedangkan daya serap golongan tenaga kerja nonpertanian hanya sebesar 30% atau sebanyak pekerja. Kebijakan realokasi anggaran alih fungsi impor komoditas peternakan, mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga sebesar 12% atau senilai Rp296.13 miliar. Porsi peningkatan pendapatan terbesar diterima oleh golongan rumah tangga pengusaha pertanian yaitu sebesar 32% atau senilai Rp95.63 miliar, sedangkan porsi peningkatan terkecil diterima oleh golongan rumah tangga buruh tani yaitu sebesar 8% atau senilai Rp22.40 miliar. Walaupun menerima porsi peningkatan pendapatan terkecil, golongan rumah tangga buruh tani mengalami peningkatan pangsa pendapatannya, yang berarti juga meningkatkan kontribusinya terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga, yang semula hanya sebesar 6%, meningkat menjadi 7% setelah kebijakan diberlakukan. Sedangkan golongan rumah tangga nonpertanian di kota mengalami penurunan pangsa pendapatan, dari semula sebesar 36% menjadi 35% setelah kebijakan diberlakukan. Saran Pengembangan sektor peternakan dan hasil-hasilnya perlu diperluas, mengingat sektor ini mempunyai peranan terbesar di antara sektor pertanian lainnya yang dapat mendorong pengembangan sektor-sektor hulunya. Pengembangan ini dapat dilakukan dengan mengembangkan sektor produksi (on farm) subsektor peternakan dan hasil-hasilnya, melalui pengadaan infrastruktur untuk pembibitan, pengadaan pejantan-pejantan sapi/kerbau unggulan dan pengendalian betina produktif agar sapi-sapi betina tersebut tidak dipotong, namun diberdayakan untuk pembibitan domestik. Kebijakan untuk mendorong pengembangan sektor peternakan dan hasilhasilnya haruslah berpihak pada kepentingan golongan rumah tangga buruh tani dan golongan rumah tangga berpenghasilan rendah. Hal ini dimaksudkan agar tingkat ketimpangan distribusi pendapatan antar golongan tersebut dapat menurun, sehigga efek pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Kebijakan tersebut dapat dilakukan dengan mengembangkan lembaga-lembaga keuangan mikro di pedesaan yang menyediakan sistem perkreditan dengan proses administrasi yang mudah, menggalakkan kembali fungsi koperasi di pedesaan sebagai lembaga keuangan mikro dan mendorong pengembangan peternakan dengan sistem bagi hasil, pada daerah-daerah yang memiliki daya dukung ekosistem yang besar namun pengembangan subsektor peternakannya masih rendah.
66
Ketergantungan terhadap impor komoditas peternakan dan hasil-hasilnya harus segera diatasi karena selain mengancam ketahanan pangan ketergantungan terhadap impor komoditas peternakan dan hasil-hasilnya akan menyebabkan disinsentif terhadap sektor peternakan domestik dan akan berakibat pada sulit berkembangnya sektor peternakan dalam negeri, lebih lanjut lagi, impor komoditas peternakan juga akan semakin meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan. Kebijakan pembatasan impor komoditas peternakan dan hasilhasilnya sebaiknya diikuti dengan pengembangan sektor-sektor produksi yang berkaitan dengan input-input yang digunakan dalam sektor produksi peternakan dan hasil-hasilnya agar kebijakan tersebut berjalan efektif dan mampu memenuhi sasarannya yaitu berkembangnya sektor peternakan domsetik. Salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut adalah, dengan mendorong importir-importir daging sapi agar berinvestasi di pengusahaan pembibitan atau perbenihan. Bagi penelitian, penulis lain diharapkan dapat melakukan disagregasi pada sektor peternakan, sehingga penelitian tersebut dapa lebih terfokus pada dampak yang ditimbulkan oleh masing-masing komoditi, serta dapat melakukan metode structural path analysis agar pancaran-pancaran pendapatannya dapat terlihat.
67
DAFTAR PUSTAKA Arifin B. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta (ID): Kompas Bautista RM. 2001. Agricultural-Based Development : A SAM Perspective on Central Vietnam. The Developing Economics 39(1) : 112-32 Badan Pusat Statistik [BPS]. 1975. Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Jakarta (ID): BPS _______________________. 2008. Statistik Indonesia 2007. Jakarta (ID): BPS _______________________. 2010. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2008. Jakarta (ID): BPS _______________________. 2014. Distribusi PDB sektor pertanian menurut lapangan usaha. Jakarta (ID): BPS _______________________. 2014. Laju pertumbuhan sektor pertanian menurut lapangan usaha. Jakarta (ID): BPS _______________________. 2014. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2000-2014 Budiono H. 2010. Analisis Neraca Perdagangan Peternakan dan Swasembada Daging Sapi 2014. Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah 1(2). CEFARS Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010. Analisis Input Output dan Social Acoounting Matrix. Bogor (ID): IPB Press Edward CW, Bruce AW, David WH. The Role of Agriculure in Oregon’s Economic Base : Finding from a Social Accounting Matrix. Journal of Agricultural and Resources Economics 24(1) : 266-280. Western Agricultural Economics Association Fauzi MM. 2008. Peranan Sektor Pertanian Dalam Perekonomian Indonesia Analisa Sistem Neraca Sosial Ekonomi [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Gillis M, Perkins DH, Roemer M, Snodgrass DR. 1992. Economics of Development. Third Edition. New York (ID): WW Norton & Company Ilham N. 2007. Alternatif Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan PDB Subsektor Peternakan di Indonesia. Jurnal: Analisis Kebijakan Pertanian 5(4) Kementerian Pertanian. 2013. Statistik Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun 2012. Jakarta : Kementerian Pertanian ___________________. 2014. Statistik Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun 2013. Jakarta : Kementerian Pertanian ___________________. 2014. Statistik Ekspor-Impor Komoditas Pertanian Tahun 2014. Jakarta : Kementerian Pertanian ___________________. 2015. Buletin Triwulanan Ekspor Impor Komoditas Pertanian. Volume : VII No.1. Jakarta : Kementerian Pertanian ___________________. 2015. Rencana Strategis Kementrian pertanian Tahun 2015-2019. Jakarta : Kementerian Pertanian ___________________. 2015. Statistik Ekspor Impor Pertanian Tahun 2015. Jakarta : Kementerian Pertanian ___________________. 2015. Statistik Konsumsi Daging Sapi Indonesia Tahun 2014. Jakarta : Kementerian Pertanian ___________________. 2015. Statistik Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun 2014. Jakarta : Kementerian Pertanian
68
Mankiw NG. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Jakarta (ID): Erlangga. Nugrahadi EW. 2008. Analisis Sumber Pertumbuhan, Keterkaitan Dan Distribusi Pendapatan Dalam Proses Perubahan Struktural Ekonomi Provinsi Jawa Barat [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Pyatt G, Round J. 1985. Social Accounting Matrices: a basis for planning. Washington DC (ID) : World Bank Rifai AIA. 2012. Dampak Pembangunan Sektor Pertanian Tanaman Pangan Terhadap Perekonomian Indonesia : Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi [Tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Rifin A, L Anggraeni. 2010. “The Contribution of Agricultural Sub-sektor to Indonesian Economy”. Journal of Social Economics of Agriculture and Agribusiness. Vol 10 (1), pp: 40-45 Rudor C. 2012. Peranan Kelapa Sawit Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah Provinsi Sumatera Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Sadoulet E, de Janvry A. 1995. Quantitative Development Policy Analysis. The Johns Hopkins University Press, Baltimore Saragih B. 2001. Agribisnis Berbasis Peternakan: Kumpulan Pemikiran Pambudy R, Sipayung T, Burhanuddin FBM, Dabukke. Unit for Social and Economic Studies and Evaluation (USESE) Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Pustaka Wirausaha Muda. Terbitan Kedua. Bogor Sudaryanto T, Rusastra IW, Soedjana, TD. 2002. Dampak Krisis Ekonomi dan Prospek Industri Peternakan di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tiffania D. 2008. Peranan Sektor Industri Agro Dalam Perekonomian Jawa Barat: Suatu Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Tambunan T. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia Tambunan T. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia
69
LAMPIRAN Lampiran 1. Dekomposisi pengganda sektor pertanian Asal Injeksi Neraca
Sektor Pertanian Tanaman Pangan
Sektor Pertanian Tannaman Lainnya
Sektor Peternakan dan Hasil-hasilnya
Sektor Kehutanan
Dampak Injeksi Tk Pertanian Tk Non Pertanian Non Tenaga Kerja Rt Pertanian Rt Non Pertanian Tanaman Pangan Total Produksi Tk Pertanian Tk Non Pertanian Non Tenaga Kerja Rt Pertanian Rt Non Pertanian Tanaman lainnya Total Produksi Tk Pertanian Tk Non Pertanian Non Tenaga Kerja Rt Pertanian Rt Non Pertanian Peternakan Total Produksi Tk Pertanian Tk Non Pertanian Non Tenaga Kerja Rt Pertanian Rt Non Pertanian Kehutanan Total Produksi
Tk Pertanian Tk Non Pertanian Non Tenaga Kerja Rt Pertanian Sektor Perikanan Rt Non Pertanian Perikanan Total Produksi Sumber : SNSE 2008 (diolah)
Ta
Oa 0.806 0.046 0.096 0.525 0.365
Ca 0.243 0.463 0.460 0.237 0.631 0.208 2.266
Ma 1.048 0.509 0.556 0.763 0.996 1.245 3.518
0.541 0.114 0.243 0.375 0.367
0.201 0.388 0.386 0.198 0.528 0.049 1.895
0.742 0.502 0.629 0.573 0.895 0.175 3.392
0.452 0.169 0.291 0.326 0.398
0.194 0.378 0.376 0.191 0.514 0.091 1.844
0.645 0.547 0.667 0.517 0.912 0.245 3.714
0.252 0.128 0.560 0.213 0.359
0.151 0.299 0.298 0.150 0.405 0.072 1.455
0.403 0.426 0.857 0.363 0.765 0.129 2.793
0.298 0.078 0.574 0.235 0.339
0.153 0.299 0.298 0.151 0.407 0.072 1.460
0.451 0.377 0.872 0.386 0.746 0.143 2.845
0.037 0.252
0.068 0.496
0.178 0.870
0.019 0.338
0.106 0.384
70
Lampiran 2. Nilai koefisien pengganda tenaga kerja dan nilai tambah Tenaga Kerja Kode Sektor
Sektor Produksi
28 29
Total
Pertanian desa
Pertanian Kota
Non Pertanian Desa
Non Pertanian Kota
Modal
Vam
Rank
Pertanian Tanaman Pangan
1.557
0.933
0.115
0.162
0.347
0.556
2.113
1
1.244
0.666
0.076
0.166
0.336
0.629
1.873
5
1.192
0.558
0.087
0.180
0.366
0.667
1.859
6
31
Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasilhasilnya Kehutanan dan Perburuan
0.829
0.330
0.073
0.153
0.274
0.857
1.687
12
32
Perikanan
0.828
0.340
0.111
0.119
0.258
0.872
1.700
11
0.442
0.089
0.013
0.098
0.243
1.014
1.457
19
1.245
0.175
0.026
0.490
0.554
0.695
1.940
2
1.049
0.389
0.052
0.200
0.407
0.687
1.735
9
0.742
0.137
0.020
0.171
0.414
0.697
1.439
21
0.868
0.161
0.027
0.265
0.416
0.747
1.616
14
30
33 34 35 36 37
Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu
38
Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri
0.612
0.098
0.014
0.143
0.357
0.619
1.231
24
39
Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen
0.572
0.115
0.016
0.139
0.302
0.745
1.317
23
40
Listrik, Gas Dan Air Minum
0.471
0.093
0.014
0.107
0.258
0.966
1.437
22
41
Konstruksi
0.767
0.124
0.019
0.226
0.398
0.676
1.443
20
42
Perdagangan
1.138
0.157
0.023
0.302
0.657
0.639
1.777
7
43
Restoran
1.306
0.335
0.050
0.276
0.645
0.620
1.926
4
44
Perhotelan
0.939
0.239
0.035
0.173
0.492
0.803
1.741
8
45
Angkutan Darat
0.994
0.143
0.021
0.262
0.569
0.623
1.617
13
0.708
0.115
0.017
0.167
0.409
0.760
1.468
18
1.066
0.147
0.022
0.252
0.645
0.638
1.704
10
46 47
Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan
48
Bank dan Asuransi
0.693
0.113
0.017
0.135
0.429
0.897
1.590
15
49
Real Estate dan Jasa Perusahaan
0.617
0.106
0.016
0.117
0.379
0.890
1.507
16
50
Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya
1.334
0.226
0.032
0.327
0.749
0.601
1.935
3
51
Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya
0.856
0.126
0.018
0.186
0.525
0.645
1.500
17
Sumber : SNSE 2008 (Diolah)
71
Lampiran 3. Penyerapan tenaga kerja berdasarkan snse 2008 Tenaga Kerja Tani
Tani Desa
Tani Kota
Non Tani
Non Tani Kota
Non Tani Desa
Total
Pertanian Tanaman Pangan
88 178
78 979
9 199
19 257
11 953
7 304
107 434
1
Pertanian Tanaman Lainnya
44 798
41 059
3 739
18 297
11 016
7 281
63 095
2
Peternakan dan Hasil-hasilnya
24 224
21 382
2 842
14 730
9 478
5 252
38 954
4
Kehutanan dan Perburuan
16 521
14 097
2 424
11 772
6 963
4 809
28 293
11
Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum
16 981
13 676
3 305
8 915
5 495
3 421
25 896
13
0
0
0
1 585
891
694
1 585
24
0
0
0
1 .988
4 147
8 841
12 988
18
0
0
0
13 443
8 190
5 253
13 443
17
0
0
0
33 351
22 180
11 171
33 351
7
0
0
0
38 712
20 585
18 127
38 712
5
0
0
0
7 195
4 626
2 570
7 195
21
0
0
0
4 323
2 661
1 662
4 323
23
Sektor Produksi
Rank
0
0
0
5 346
3 416
1 929
5 346
22
Konstruksi
0
0
0
15 551
8 764
6 787
15 551
15
Perdagangan
0
0
0
35 610
21 853
13 757
35 610
6
Restoran
0
0
0
27 852
18 142
9 709
27 852
12
Perhotelan
0
0
0
17 318
12 174
5 144
17 318
14
Angkutan Darat Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya
0
0
0
31 176
19 363
11 813
31 176
9
0
0
0
14 312
8 277
6 035
14 312
16
0
0
0
30 709
19 766
10 943
30 709
10
0
0
0
10 144
6 689
3 455
10 144
20
0
0
0
10 732
7 419
3 312
10 732
19
0
0
0
32 924
22 361
10 564
32 924
8
0
0
0
48 632
30 142
18 490
48 632
3
Sumber : SNSE 2008 (diolah)
72
Lampiran 4. Pengganda dan dekomposisi pengganda sektor peternakan
Rumah Tangga
Faktor Produksi
I Tenaga Kerja Pertanian Desa Tenaga Kerja Pertanian Kota Tenaga Kerja Non Pertanian Desa Tenaga Kerja Non Pertanian Kota Modal Buruh tani pengusaha tani Golongan Rendah Desa Golongan Rendah Kota Bukan Angkatan Kerja Desa Bukan Angkatan Kerja Kota Golongan Atas Desa Golongan atas kota Perusahaan Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau
Sektor Produksi
Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum Konstruksi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya
Total Produksi Total Sumber SNSE 2008 (Diolah)
Ta 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.080 0.039 1.178 0.001 0.012 0.008 0.001 0.253 0.002 0.001
Oa 0.389 0.063 0.064 0.105 0.291 0.066 0.260 0.079 0.061 0.044 0.023 0.108 0.083 0.214 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Ca 0.169 0.025 0.116 0.261 0.376 0.031 0.160 0.078 0.111 0.032 0.041 0.096 0.156 0.274 0.165 0.047 0.091 0.005 0.065 0.035 0.002 0.289 0.048 0.017
Ma 0.558 0.087 0.180 0.366 0.667 0.097 0.420 0.156 0.171 0.076 0.064 0.204 0.240 0.488 0.245 0.087 2.269 0.006 0.076 0.043 0.003 0.542 0.050 0.019
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.013 0.041 0.007 0.008 0.137 0.003 0.000 0.019 0.013 0.003 0.022 0.016
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.152 0.148 0.028 0.016 0.212 0.085 0.003 0.062 0.071 0.008 0.060 0.063
0.165 0.189 0.035 0.023 0.348 0.088 0.004 0.081 0.084 0.011 0.082 0.079
0 0 1 1
0.002 0.013 1.870 1.870
0 0 0 1
0.105 0.067 1.844 3.770
0.107 0.079 4.714 8.490
73
Lampiran 5. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ukuran 105x105 sektor 30 Penerimaan
Pengeluaran Penerima Upah dan Gaji Pertanian
Faktor Produksi
Bukan Penerima Upah dan Gaji Produksi, Operator Alat Angkutan, Manual dan buruh kasar
Penerima Upah dan Gaji Bukan Penerima Upah dan Gaji
Tenaga kerja Tata Usaha, Penjualan, Jasa-Jasa Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi
Penerima Upah dan Gaji Bukan Penerima Upah dan Gaji Penerima Upah dan Gaji Bukan Penerima Upah dan Gaji
Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota
Bukan tenaga kerja Pertanian
Buruh Pengusaha Pertanian
Institusi
Pedesaan Rumah tangga Bukan Pertanian
Perkotaan
Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Sektor 30 28 522.55 6 952.97 42 385.56 5 107.45 1 800.42 1 524.75 136.73 79.98 1 564.56 1 253.98 171.44 142.81 731.87 1 050.43 62.53 6.80 38 265.15
Jumlah 131 128 35 006 387 958 40 419 220 335 413 958 132 047 120 264 92 287 435 132 150 447 226 526 70 181 192 173 13 012 33 451 2 47 975 17 757 73 563
20
494 234
21
173 152
22
468 455
23
710 495
24
243 905
25
827 883
Perusahaan
26
1 916 702
Pemerintah
27
1 264 033
Sumber : Sistem Neraca Sosial Ekonomi 2008
73
74
Lampiran 6. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Ukuran 105X105 Sektor 30 (Lanjutan) Penerimaan
Sektor Produksi
Sektor 30
Pengeluaran
Jumlah
Pertanian Tanaman Pangan
28
468 257
Pertanian Tanaman Lainnya
29
202 251
Peternakan dan Hasil-hasilnya
30
265 105
Kehutanan dan Perburuan
31
52 222
Perikanan
32
182 475
Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi
33
610 107
Pertambangan dan Penggalian Lainnya
34
82 053
Industri Makanan, Minuman dan Tembakau
35
952 514
Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit
36
292 371
Industri Kayu & Barang Dari Kayu
37
173 145
Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri
38
1 246 993
Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen
39
1 162 701
Listrik, Gas Dan Air Minum
40
206 047
Konstruksi
41
1 219 989
Perdagangan
42
965 459
Restoran
43
285 032
Perhotelan
44
39 603
Angkutan Darat
45
266 367
Angkutan Udara, Air dan Komunikasi
46
326 709
Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan
47
48 418
Bank dan Asuransi
48
268 190
Real Estate dan Jasa Perusahaan
49
286 491
Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya
50
493 328
Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya
51
279 257
Margin perdagangan
52
999 123
Margin pengangkutan
53
171 857
Sumber : Sistem Neraca Sosial Ekonomi 2008
75
Lampiran 7. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Ukuran 105X105 Sektor 30 (Lanjutan) Penerimaan
Komoditi Domestik
Sektor 30
Pengeluaran
Jumlah
Pertanian Tanaman Pangan
54
7 389.24
577 141
Pertanian Tanaman Lainnya
55
2 137.43
222 205
Peternakan dan Hasil-hasilnya
56
51 712.37
353 117
Kehutanan dan Perburuan
57
52.57
63 839
Perikanan
58
-
246 165
Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi
59
-
639 241
Pertambangan dan Penggalian Lainnya
60
2.11
100 345
Industri Makanan, Minuman dan Tembakau
61
61 608.32
1 207 353
Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit
62
7.69
336 300
Industri Kayu & Barang Dari Kayu
63
16.33
212 729
Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri
64
84.78
1 499 127
Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen
65
2 808.30
1 241 017
Listrik, Gas Dan Air Minum
66
451.28
124 491
Konstruksi
67
122.63
1 243 976
Perdagangan
68
-
999 123
Restoran
69
12.64
294 530
Perhotelan
70
3.29
42 570
Angkutan Darat
71
320.99
273 462
Angkutan Udara, Air dan Komunikasi
72
173.91
335 670
Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan
73
27.99
50 970
Bank dan Asuransi
74
718.35
270 696
Real Estate dan Jasa Perusahaan
75
278.77
295 933
Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya
76
-
496 717
Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya
77
520.35
286 240
Sumber: SNSE (2008)
75
76
Lampiran 8. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Ukuran 105X105 Sektor 30 (Lanjutan) Penerimaan
Komoditi Impor
Pengeluaran
Sektor 30 3.78 -
Jumlah 46 188 13 913
Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya
78 79 80
1 149.35
6 079
Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum Konstruksi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya
81 82 83 84
-
756 314 135 095 8 132
85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105
5 437.96 0.69 289.95 14.49
85 698 26 026 4 925 649 527 460 968 0 0 0 8 556 16 241 1 414 65 160 11 776 9 842 50 849 14 290 10 355 1 545 515 344 940 240 891 1 585 576
Neraca Kapital Pajak Tidak Langsung Subsidi Luar Negeri Jumlah
Sumber: SNSE(2008)
6 896.22
77
Lampiran 9. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2000-2014 Lapangan Usaha
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013*
1. PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN
247 163.6
253 881.7
262 402.8
271 509.3
284 619.1
295 883.8
304 777.1
315 036.8
328 279.7
339 560.8
122 611.7
125 801.8
129 548.6
133 888.5
142 000.4
149 057.8
151 500.7
154 153.9
158 910.1
161 925.5
38 849.3
39 810.9
41 318.0
43 199.2
44 783.9
45 558.4
47 150.6
49 260.4
52 325.4
54 629.3
a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
31 672.5
32 346.5
33 430.2
34 220.7
35 425.3
36 648.9
38 214.4
40 040.3
41 918.6
43 902.3
d. K e h u t a n a n
17 433.8
17 176.9
16 686.9
16 548.1
16 543.3
16 843.6
17 249.6
17 395.5
17 423.0
17 442.5
e. P e r i k a n a n
36 596.3
38 745.6
41 419.1
43 652.8
45 866.2
47 775.1
50 661.8
54 186.7
57 702.6
61 661.2
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
160 100.5
165 222.6
168 031.7
171 278.4
172 496.3
180 200.5
187 152.5
190 143.2
193 139.2
195 853.2
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
469 952.4
491 561.4
514 100.3
538 084.6
557 764.4
570 102.5
597 134.9
633 781.9
670 190.6
707 481.7
4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH
10 897.6
11 584.1
12 251.0
13 517.0
14 994.4
17 136.8
18 050.2
18 899.7
20 094.0
21 254.8
5. B A N G U N A N
96 334.4
103 598.4
112 233.6
121 808.9
131 009.6
140 267.8
150 022.4
159 122.9
170 884.8
182 117.9
271 142.2
293 654.0
312 518.7
340 437.1
363 818.2
368 463.0
400 474.9
437 472.9
473 152.6
501 040.6
96 896.7
109 261.5
124 808.9
142 326.7
165 905.5
192 198.8
217 980.4
241 303.0
265 383.7
291 404.0
151 123.3
161 252.2
170 074.3
183 659.3
198 799.6
209 163.0
221 024.2
236 146.6
253 000.4
272 141.6
152 906.1 1 656 516.8
160 799.3 1 750 815.2
170 705.4 1 847 126.7
181 706.0 1 964 327.3
193 049.0 2 082 456.1
205 434.2 2 178 850.4
217 842.2 2 314 458.8
232 659.1 2 464 566.1
244 807.0 2 618 932.0
258 198.4 2 769 053.0
1 506 296.6
1 605 261.8
1 703 422.4
1 821 757.7
1 939 625.9
2 036 685.5
2 171 113.5
2 322 653.1
2 481 790.3
2 635 612.6
6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERSH. 9. JASA – JASA PRODUK DOMESTIK BRUTO PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS
Sumber : Badan Pusat Statistik 2014
77
78
Lampiran 10. Laju PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2000-2014 Lapangan Usaha 1. PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013*
Rata-rata
2.82
2.72
3.36
3.47
4.83
3.96
3.01
3.37
4.20
3.44
3.52
a. Tanaman Bahan Makanan
2.89
2.60
2.98
3.35
6.06
4.97
1.64
1.75
3.09
1.90
3.12
b. Tanaman Perkebunan
0.40
2.48
3.79
4.55
3.67
1.73
3.49
4.47
6.22
4.40
3.52
3.35
2.13
3.35
2.36
3.52
3.45
4.27
4.78
4.69
4.73
3.66
1.28
-1.47
-2.85
-0.83
-0.03
1.82
2.41
0.85
0.16
0.11
0.14
5.56
5.87
6.90
5.39
5.07
4.16
6.04
6.96
6.49
6.86
5.93
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. K e h u t a n a n e. P e r i k a n a n 2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
-4.48
3.20
1.70
1.93
0.71
4.47
3.86
1.60
1.58
1.41
1.60
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
6.38
4.60
4.59
4.67
3.66
2.21
4.74
6.14
5.74
5.56
4.83
4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH
5.30
6.30
5.76
10.33
10.93
14.29
5.33
4.71
6.32
5.78
7.50
5. B A N G U N A N
7.49
7.54
8.34
8.53
7.55
7.07
6.95
6.07
7.39
6.57
7.35
6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN
5.70
8.30
6.42
8.93
6.87
1.28
8.69
9.24
8.16
5,89
6.95
13.38
12.76
14.23
14.04
16.57
15.85
13.41
10.70
9.98
9.80
13.07
7.66
6.70
5.47
7.99
8.24
5.21
5.67
6.84
7.14
7.57
6.85
5.38
5.16
6.16
6.44
6.24
6.42
6.04
6.80
5.22
5.47
5.93
5.03
5.69
5.50
6.35
6.01
4.63
6.22
6.49
6.26
5.73
5.79
5.97
6.57
6.11
6.95
6.47
5.00
6.60
6.98
6.85
6.20
6.37
7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERSH. 9. JASA – JASA PRODUK DOMESTIK BRUTO PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS
Sumber : Badan Pusat Statistik 2014
79
Lampiran 11. Statistik Konsumsi Daging Sapi Indonesia
Tahun
Konsumsi Daging Sapi (Kg/Kap)
Jumlah penduduk Indonesia (orang)
Total Konsumsi Daging Sapi (Ton)
Total Produksi Daging Sapi (Ton)
Neraca Konsumsi Daging Sapi (Ton)
2007
2.07
225 600 000
466 766
339 480
-12 7286
2008
2.09
231 600 000
483 581
392 511
-91 070
2009
2.15
235 000 000
506 190
409 308
-96 882
2010
2.3
238 500 000
547 596
436 450
-111 146
2011
2.42
242 000 000
587 576
485 335
-102 241
2012
2.63
245 400 000
645 402
508 905
-136 497
2013
2.14
248 800 000
533 178
504 819
-28 359
2014
2.56
252 100 000
645 376
539 965
-105 411
Rata-rata
2.11
232 620 833
489 977
452 097
-37 880
Sumber : Badan Pusat Statistik 2014
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Rakhmat Prabowo, lahir di Tangerang 17 Mei 1990 adalah anak kedua dari empat bersaudara. Penulis merupakan putra dari bapak Boediarso Teeguh Widodo dan Ibu Dwi Suparlin. Penulis menempuh pendidikan formal mulai dari Taman Kanak-kanak. Pada tahun 2005 penulis bersekolah di SMP Negeri 134 Jakarta Barat melalui tes ujian masuk. Kemudian pada tahun 2008 penulis melanjutkan tingkat pendidikan berikutnya di SMA Negeri 65 Jakarta Barat. Pada pertengahan tahun 2009, penulis mengikuti Seleksi Nasional Masuk Pergutuan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima pada jurusan ilmu ekonomi dan studi pembangunan dan mulai masuk dan aktif sebagai mahasiswa IPB pada 30 Juni 2009. Selama di IPB, penulis mengikuti kegiatan kepanitiaan seperti divisi logistik dan transportasi pada acara sportakuler FEM 2011 dan kepala divisi logistik dan transpotasi pada acara malam keakraban mahasiswa ilmu ekonomi angkatan 47. Pada 2012 penulis pernah mengikuti praktik kerja dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk periode 8 Agustus-21 September 2012. Pada tahun yang sama pula penulis tidak aktif dalam kegiatan perkuliahan selama dua semester. Penulis aktif kembali pada kegiatan perkuliahan pada bulan September 2013 dan menyelesaikan pendidikan Sarjananya pada tahun 2015.