DAMPAK PENGEMBANGAN INVESTASI KOMODITAS PERIKANAN PENGHASIL DEVISA TERHADAP KINERJA EKONOMI MAKRO NASIONAL, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
KEGIATAN PENELITIAN TAHUN ANGGARAN 2015
DAMPAK PENGEMBANGAN INVESTASI PERIKANAN TERHADAP KINERJA EKONOMI MAKRO INDONESIA DAN PEREKONOMIAN SEKTOR PERIKANAN
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015
DAMPAK PENGEMBANGAN INVESTASI PERIKANAN TERHADAP KINERJA EKONOMI MAKRO INDONESIA DAN PEREKONOMIAN SEKTOR PERIKANAN
TIM PENELITI:
Dr. Ir. Tajerin, MM., ME Drs. Sastrawidjaja Subhechanis Saptanto, S.Si, M.S.E Freshty Yulia Arthatiani, S.Pi Noviardy
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN Satuan Kerja (Satker)
:
Judul Kegiatan
:
Status Pagu Anggaran Tahun Anggaran Sumber Anggaran
: : : :
Penanggung Jawab Output
:
Penanggungjawab Output
Pelaksana :
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Dampak Pengembangan Investasi Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro Nasional dan Perekonomian Sektor Perikanan Baru Rp. 102.836.000,2015 APBN, DIPA Satker Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2015 Dr. Ir. Tajerin, M.M., M.E. NIP. 19640326 199303 1 003 Drs. Sastrawidjaja NIP. 1951 1101 1982 02 1 003
Jakarta, Desember 2015 Penanggung Jawab Output
Dr. TAJERIN NIP. 19640326 199303 1 003
Penanggung Jawab Pelaksana Output
Drs. SASTRAWIDJAJA NIP. 1951 1101 1982 02 1 003
Mengetahui/Menyetujui: Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T. NIP. 1964126 199303 1 002
iii
iv
COPY RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN (ROKP)
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Judul Kegiatan
:
PROGRAM Dampak Pengembangan Investasi Komoditas Perikanan Penghasil Devisa terhadap Kinerja Ekonomi Makro Nasional dan Distribusi Pendapatan serta Kemiskinan di Indonesia KEGIATAN TA. 2015 Dampak Pengembangan Investasi Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro Nasional dan Perekonomian
2. Sumber dan Tahun Anggaran 3. Status Penelitian 4. Program
: : :
APBN 2015 Baru Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Perikanan
IPTEK
a. Komoditas : b. Bidang/Masalah Kegiatan : Kedaulatan Pangan Pengembangan Ekonomi Maritim Penguatan Jati Diri Bangsa Pemberantasan Ikan Liar c. Penelitian Pengembangan : Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan d. Manajemen Penelitian : Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan e. Isu Strategis Pengembangan KP : 2015 – 2019 Pengembangan Produk Perikanan untuk Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional Peningkatan Daya Saing dan Nilai Tambah Produk Kelautan dan Perikanan Pendayagunaan Potensi Ekonomi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pengelolaam Sumberdaya KP secara berkelanjutan Peningkatan Kesejahteraan Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan Pengembangan SDM dan IPTEK KP f. Dukungan terhadap Indikator : Kinerja BSC Nilai Indeks Kesejahteraan Masyarakat KP Pertumbuhan PDB Perikanan (%) Jumlah WPP yang Terpetakan Potensi di Bidang Sumberdaya Sosial Ekonomi KP untuk Pengembangan Ekonomi Maritim dan Kelautan yang Berkelanjutan Jumlah Rekomendasi Kebijakan yang Diusulkan untuk dijadikan Bahan Kebijakan (buah) Jumlah Pengguna Hasil IPTEK Litbang di Bidang Sumberdaya Sosial Ekonomi KP (kelompk) Jumlah Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan: 1 buah Jumlah Data dan Informasi Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan: 1 buah Karya Tulis Ilmiah Bidang Penelitian Sosial Ekonomi: 1 buah v
Jumlah Model Kelembagaan Penyebaran IPTEK dan Pemberdayaan Masyarakat Jumlah Model Kebijakan Sosial Ekonomi Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan 5. Judul Rekomendasi Kebijakan 6. Lokasi Kegiatan
: Kebijakan Percepatan Revitalisasi Industri Udang Indonesia : DKI Jakarta, Jawa Barat
7. Peneliti yang terlibat
:
No.
Nama
Disiplin Ilmu
Tugas (Institusi)
1. 2.
Dr. Ir. Tajerin, MM., ME. Subhechahanis Saptanto, SPi., MSEi Frehsty Yulia Artathiani, SPi. Noviardi, S.Pi.
Pendidikan/ Jabatan Fungsional S3/Peneliti Utama S1/Peneliti Muda
Ekonomi Ekonomi
Penanggung jawab Anggota
S2/Peneliti Muda
Ekonomi
Anggota
6
S1/ Non Peneliti
Perikanan
PUMK
4
3. 4.
Alokasi Waktu (OB) 6 6
: 8. Tujuan (1) Mengetahui dampak pengembangan investasi perikanan terhadap kinerja ekonomi makro nasional dan kinerja ekonomi mikro sektor perikanan. (2) Mengetahui dampak deindustrialisasi usaha pengolahan produk perikanan sebagai sub sektor perikanan sekunder terhadap kinerja perekonomian usaha perikanan tangkap dan budidaya sebagai sub sektor perikanan primernya, serta sektor-sektor lainnya dalam perekonomian Indonesia. 9.
Latar Belakang Saat ini Indonesia telah menjadi salah satu negara produsen utama perikanan dunia, disamping Tiongkok, Peru, Amerika Serikat dan beberapa negara kelautan lainnya. Produksi perikanan tangkap Indonesia pada tahun 2010 hingga 2011 berada pada peringkat ke-3 dunia dengan produksi sebesar 5.708 ribu ton dan pada tahun 2012 posisinya naik menjadi peringkat ke-2 dunia setelah Tiongkok dengan produksi sebesar 5.814 ribu ton serta kenaikan rata-rata produksi per tahun mencapai 27% sejak tahun 2003. Selain itu, Indonesia juga berkontribusi sebesar 4,6% dalam produksi perikanan budidaya dunia. Sampai dengan tahun 2012 produksi perikanan budidaya Indonesia berada pada urutan ke-4 dunia dengan total produksi sebesar 3.068 ribu ton (FAO, 2014). McKinsey Global Institute (2012), menyebutkan bahwa pada tahun 2030 ekonomi Indonesia diprediksi akan menempati posisi ketujuh dunia dan akan mengungguli negaranegara eropa seperti Jerman dan Inggris. Perekonomian Indonesia diprediksi akan ditopang empat sektor utama yaitu bidang jasa, pertanian, perikanan serta sumber daya alam. Sedangkan dari sisi preferensi ketersediaan pangan tampaknya akan mengalami pergeseran pola pikir menuju pola makan sehat dari daging merah ke daging putih atau ikan. Oleh karena itu, guna menjaga posisi perikanan Indonesia tersebut, khususnya terkait produsen perikanan dunia dan perannya dalam menopang perekonomian, maka pemerintah terus mendorong pengembangan industri produk perikanan agar dapat meningkatkan nilai tambah dari total kegiatan usaha perikanan Indonesia dan perdagangan internasional (ekspor) produk perikanan Indonesia (Sunoto. 2012). Secara makro, posisi Indonesia tersebut telah mampu mampu meningkatkan kinerja PDB sektor perikanan selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 yang mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 5,57% per tahun. Pertumbuhan PDB sektor perikanan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata kelompok usaha pertanian secara total yaitu sebesar 3,45% per tahun maupun pertumbuhan PDB nasional dengan vi
pertumbuhan rata-rata sebesar 5,55% per tahun. Tren data ini menunjukkan bahwa di masa depan, sektor perikanan sangat berpotensi menjadi kontributor tertinggi dalam pembentukan PDB dibandingkan dengan sektor lainnya dalam kelompok usaha pertanian (Balitbang KP, 2014). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkonsentrasi untuk menggenjot produksi dan pendapatan nelayan termasuk mengembangkan wirausaha mandiri lewat strategi industrialisasi kelautan dan perikanan. Dari itu pada tahun 2014, sektor kelautan dan perikanan, khususnya perikanan mematok PDB sebesar Rp 65,84 triliun atau mengalami peningkatan sekitar 6,75 persen dari PDB perikanan pada 2010 yang besarnya Rp 50,70 triliun. (Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C.Sutardjo, 2014). Sedangkan PDB per kapita tahun 2013 (BPS) mencapai level tertinggi dalam sejarah perekonomian Indonesia dan diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi lagi. Namun, apakah PDB per kapita adalah tolak ukur kesejahteraan yang cocok untuk masyarakat perikanan, di mana dicirikan oleh tingkat perbedaan yang cukup tinggi terutama dalam distribusi pendapatan, masih menjadi tanda tanya. Perbedaan pendapatan masih terdapat kesenjangan antara stastistik dengan realitas, contoh kekayaan orang terkaya Indonesia yang (0.02 persen) dari total penduduk Indonesia adalah setara dengan 25 persen PDB Indonesia. Kekayaan 0.02 persen orang terkaya mecakup 10.3 persen dari PDB (jumlah ini berbanding sama dengan jumlah kekayaan 60 juta orang Indonesia termiskin, sebagiannya adalah masyarakat perikanan. Angka-angka ini mengindikasikan konsentrasi kekayaan yang besar berada di dalam kalangan elit yang kecil. Dan kesenjangan distribusi pendapatan ini diprediksi BPS akan semakin meluas ke depan. Kebijakan investasi perikanan bertujuan untuk meningkatkan kinerja sektor perikanan secara luas (perikanan tangkap, budidaya dan pengolahan produk perikanan) yang mempengaruhi ekonomi makro. Sektor-sektor ekonomi makro kelautan dan perikanan saling terkait satu dengan yang lainnya, langsung atau tidak langsung. Misalnya sektor kelautan dan perikanan dalam menarik investasi dari luar sangat dipengaruhi oleh pembangunan sektor industri komoditas hasil perikanan, maka efektivitas kebijakan terhadap Kinerja Ekonomi Makro Sektor Kelautan Dan Perikanan ikut ditentukan oleh faktor-faktor kebijakan lain di sektor luar kelautan dan perikanan. Dalam hal ini, efektivitas dari kebijakan investasi komoditas perikanan dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan luar negeri, industri dan perburuhan. Dengan demikian, koordinasi antar institusi kementerian yang saling terkait atau keharmonisan antar kebijakan sangat membantu meningkatkan efektivitas kebijakan investasi perikanan secara luas, baik pada perikanan primer (industri perikanan budidaya dan tangkap) maupun perikanan perikanan sekunder (industri pengolahan produk perikanan). Pembangunan nasional diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi makro sektor perikanan, diperlukan intervensi investasi pemerintah dan menrong investasi swasta dan masyarakat. Investasi ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja industrialisasi perikanan Indonesia yang sangat prospektif untuk terus dikembangkan. Namun demikian, agar dapat bersaing di era global dan pasar bebas di masa depan, pengembangan industri yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya alam (natural resources) seperti perikanan sebagai salah satu keunggulan komparatif tidaklah cukup tanpa diimbangi dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi. Hal ini diperlukan untuk mengembangkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Pengembangan industri sebagai upaya meningkatkan nilai tambah tidak mungkin hanya mengandalkan sumber daya yang melimpah namun sangat perlu untuk dikembangkan industri hilir berupa industri pengolahan produk perikanan. Pengintegrasian secara vertikal antara kegiatan usaha di kelompok perikanan primer (baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya) sebagai penyedia bahan baku dengan kelompok perikanan sekunder (industri pengeringan dan penggaraman ikan dan industri pengolahan dan pengawetan ikan) sangatlah penting. Semakin kuat sektor perikanan (sebagai kelompok perikanan primer) terintegrasi dengan sektor industri pengolahan produk vii
perikanan (sebagai kelompok perikanan sekunder), semakin strategis sektor perikanan tersebut, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian bila sektor perikanan dikembangkan maka dengan sendirinya sektor industri pengolahan produk perikanan sebagai kelompok perikanan sekunder akan juga berkembang. Sebaliknya bila perikanan sekunder tersebut dikembangkan, maka perikanan primer juga akan berkembang. Kurangnya mengintegrasikan kedua kelompok perikanan tersebut diduga menjadi salah satu penyebab penurunan utilitas dan kapasitas produksi dari kelompok perikanan sekunder, bahkan hilangnya potensi peneriman baik di sektor privat maupun publik. Hubungan simbiosis yang terjadi dari kedua kelompok perikanan tersebut, pada gilirannya dapat menumbuhkan derajat sinergis dalam meningkatkan produktivitas dan kontribusi nilai tambah secara keseluruhan bagi perekonomian nasional (Nikijuluw, 2005). Di dalam rancangan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035, industri pengolahan produk perikanan diposisikan sebagai salah satu industri prioritas melalui kebijakan pengembangan industri pangan berbasis perikanan guna mendukung kebijakan ketahanan pangan nasional (Permen Perin., 2009). Selain itu, untuk mendukung kebijakan nasional industrialisasi kelautan dan perikanan, pembangunan industri pengolahan produk perikanan diarahkan untuk meningkatkan produksi, produktivitas, nilai tambah, serta daya saing komoditas dan produk perikanan guna mensejahterakan masyarakat dan pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Melalui berbagai kebijakan tersebut sangat diharapkan adanya peningkatan kontribusi secara positif dari sektor industri pengolahan produk perikanan terhadap perekonomian Indonesia (Kemenperin, 2014a) . Adanya tuntutan diversifikasi produk otomatis memposisikan industri pengolahan perikanan menjadi sangat vital dalam pembangunan ekonomi. Industrialisasi perikanan tentu memerlukan sinergi industri perikanan dari hulu sampai hilir agar bersama-sama dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Bagi Indonesia yang konsumsi ikan masyarakatnya masih rendah dibanding negara maju, kehadiran industri pengolahan produk perikanan lebih banyak diarahkan untuk memenuhi pasar ekspor. Karena itu untuk bisa bersaing di pasar internasional perlu didorong dan dikembangkan agar bisa menghasilkan produk yang memiliki mutu yang baik, aman dikonsumsi, tersedia secara berkesinambungan, berdaya saing secara ekonomis, serta sesuai dengan selera masyarakat dengan menjaga kualitas produk sesuai standar mutu yang berlaku. Di samping itu, adanya pengembangan hilirisasi produksi perikanan dengan meningkatkan output industri pengolahan produk perikanan diharapkan dapat menjadi motor utama penggerak produktivitas di sektor perikanan serta dapat berkontribusi bagi sektor lainnya dalam perekonomian nasional. Untuk itu diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui seberapa besar peranan industri pengolahan produk perikanan dalam perekonomian Indonesia (Kemenperin, 2014b). Secara nasional, proses industrilasisasi ini sangat penting karena industrialisasi sebagai transformasi struktural dalam suatu negara. Oleh sebab itu, proses industrialisasi dapat didefinisikan sebagai proses perubahan struktur ekonomi dimana terdapat kenaikan kontribusi sektor industri dalam permintaan konsumen, PDB, ekspor dan kesempatan kerja (Chenery et al., 1986). Adanya pengembangan hilirisasi produksi perikanan dengan meningkatkan output industri pengolahan hasil perikanan diharapkan dapat menjadi motor utama penggerak produktivitas di sektor perikanan serta dapat berkontribusi bagi sektor lainnya dalam perekonomian nasional (Sunoto, 2012; Kemenperin, 2014a) Industri pengolahan produk perikanan merupakan industri yang sangat potensial dan strategis untuk terus dikembangkan di masa mendatang karena sektor ini sangat didukung oleh adanya ketersediaan sumber daya alam perikanan, sumber daya manusia di bidang perikanan serta peluang pasar domestik dan internasional yang sangat besar. Guna menuwujudkan pengembangan industri pengolahan produk perikanan tersebut dibutuhkan investasi dalam jumlah yang signifikan. Secara teoritis, investasi tersebut diperlukan karena dalam jangka pendek investasi akan mempengaruhi permintaan agregat dan akan mendorong meningkatnya output dan kesempatan kerja. Dalam jangka panjang akan terjadi pembentukan modal kapital yaitu penambahan peralatan mesin dan bangunan. Hal tersebut viii
akan meningkatkan output dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan (Mankiw, 2007). Investasi tersebut diantaranya diperlukan untuk membangun unit pengolahan ikan (UPI) baru dan meningkatkan kapasitas UPI-UPI lama. Dari data laporan realisasi penanaman modal berdasarkan izin usaha tetap yang dibuat oleh BKPM, tercatat bahwa pada tahun 2012 melalui penanaman modal pada industri pengolahan prouk perikanan adalah sebesar 273.381 ribu dolar (Rp.328.057,2 juta), yang terdiri dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) senilai 235.406 ribu dolar (Rp282.487,2 juta) dengan 11 proyek, sedangkan melalui penanaman modal asing (PMA) senilai 37.975 ribu dolar (Rp.455.700 juta) dengan 26 proyek. Alokasi investasi tersebut dilakukan pada pengembangan industri pengolahan, pengawetan maupun pengalengan ikan dan biota air lainnya (BKPM, 2014). Upaya pemerintah tersebut, diantaranya tercermin dari perkembangan unit pengolahan ikan (UPI) di Indonesia. Jumlah industri pengolahan produk perikanan berupa UPI pada tahun 2010 sebanyak 60.117 unit. UPI tersebut tersebar di Jawa Timur sebanyak 10.640 unit, Jawa Tengah 8.350 unit, Jawa Barat 5.966 unit, Kalimantan Selatan 3.660 unit, dan Nusa Tenggara Barat 3.550 unit. Sedangkan pada tahun 2012 jumlah UPI telah meningkat sebesar 6,5% menjadi 64.028 unit serta telah mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1.352.936 orang dengan rata-rata pekerja sejumlah 21 orang per UPI. Demikian pula dalam perdagangan internional (ekspor), pemerintah telah berhasil mendorong kontribusi sektor perikanan pada devisa negara sehingga berada pada peringkat kelima nasional. Meskipun lebih banyak diekspor dalam bentuk bahan mentah (produk ikan segar), tercatat bahwa ekspor hasil perikanan pada saat ini telah mengarah pada produksi bernilai tambah (melalui proses pengolahan), dengan pertumbuhan pada periode tahun 2011 hingga 2012 sebesar 11,62% (KKP, 2013). Melihat posisi dan peran perikanan tersebut, menunjukkan bahwa Industrialisasi perikanan Indonesia sangat prospektif untuk terus dikembangkan. Namun demikian, pengembangan industri perikanan sebagai upaya meningkatkan nilai tambah tidak mungkin hanya mengandalkan sumber daya yang melimpah, tetapi sangat perlu didukung oleg pengembagang industri hilir berupa industri pengolahan hasil perikanan. Pengintegrasian secara vertikal antara kegiatan usaha di kelompok perikanan primer (baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya) sebagai penyedia bahan baku dengan kelompok perikanan sekunder (industri pengolahan produk perikanan) sangatlah penting. Dengan demikian bila sektor perikanan dikembangkan maka dengan sendirinya sektor industri pengolahan hasil perikanan sebagai kelompok perikanan sekunder akan juga berkembang. Sebaliknya bila perikanan sekunder tersebut dikembangkan, maka perikanan primer juga akan berkembang. Kurangnya mengintegrasikan kedua kelompok perikanan tersebut diduga menjadi salah satu penyebab penurunan utilitas dan kapasitas produksi dari kelompok perikanan sekunder, bahkan hilangnya potensi peneriman baik di sektor privat maupun publik. Hubungan simbiosis yang terjadi dari kedua kelompok perikanan tersebut, pada gilirannya dapat menumbuhkan derajat sinergis dalam meningkatkan produktivitas dan kontribusi nilai tambah secara keseluruhan bagi perekonomian nasional (Nikijuluw, 2005). Untuk itu, penelitian dilakukan dengan tujuan mengetahui dampak pengembangan investasi perikanan terhadap perekonomian Indonesia seperti pada pembentukan output, nilai tambah, pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja di tingkat nasional. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam pembuatan kebijakan pengembangan industri perikanan tangkap, budidaya dan pengolahan produk perikanan terkait kebijakan industrialisasi sektor perikanan.
10. Perkiraan Keluaran Perkiraan keluaran yang diharapkan dapat tercapai dari kegiatan penelitian ini adalah: (1) Tersedianya data dan informasi mengenai dampak pengembangan investasi perikanan terhadap kinerja ekonomi makro nasional dan perekonomian sektor perikanan; ix
(2) Tersedianya 1 (satu) buah Karya Tulis Ilmiah (KTI), 1 (satu) paket Data dan Informasi, serta 1 (satu) buah Rekomendasi Kebijakan terkait dengan kebijakan perbaikan kinerja perekonomian sektor perikanan melalui peningkatan investasi dan ekspor. 11. Metodologi Penelitian 11.1 Model Pendekatan Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kuantitatif, yaitu suatu cara atau teknik mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan menganalisis data kuantitatif sehingga dapat memberikan deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nasir, 2011). Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan model ekonomi keseimbangan umum dan model analisis input-output. 11.2 Metoda Analisa Data Dalam penelitian ini digunakan dua buah pendeketan model analisis, yaitu: (1) model ekonomi keseimbangan umum; dan model input-output. Model ekonomi keseimbangan umum (general computable equilibrium – CGE), dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis dampak peningkatan investasi perikanan (tangkap, budiaya dan pengolahan) terhadap kinerja makro ekonomi nasional dan mikro ekonomi sektor perikanan. Sementara, model input-output digunakan untuk menganalisis secara lebih luas dampak investasi peningkatan investasi sektor perikanan terhadap perekonomian Indonesia, dan dampak deindustrialisasi sub sektor pengolahanj produk perikanan sebagai perikanan sekunder terhadap kegiatan ekonomi sub sektor perikanan tangkap dan budidaya sebagai sub sektor perikanan primer dan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian Indonesia. Uraian berikut menjelaskan kedua pendekatan analisis tersebut. 11.2.1 Metode Analisis Model Ekonomi Keseimbangan Umum Pendekatan metode analisis dengan model ekonomi keseimbangan umum, pada penelitian ini dalam parkteknya dilakukan menggunakan model komputasi keseimbangan umum (CGE) ORANIG yang mencakup berbagai persamaan. Persamaan-persamaan yang akan digunakan dalam model tersebut berupa perubahan persentase yang mampu menangkap perubahan-perubahan variabel mikro dan makro secara serentak seperti yang lazimnya diaplikasikan pada berbagai turunan model ORANIG yang telah dibangun oleg BBRSEKP tahun 2014. Model keseimbangan umum ini, berlandaskan pada berbagai asumsi, seperti berikut: 1. Semua industri berada pada kondisi bersaing sempurna, baik di pasar input maupun output; 2. Tidak ada perusahaan maupun rumah tangga yang bisa mempengaruhi pasar, dengan kata lain bertindak sebagai penerima harga (price takers); 3. Pada tingkat ouput, harga yang dibayarkan konsumen adalah kendala untuk biaya produksi marginal; 4. Upah yang diterima pekerja sama dengan nilai marginal tenaga kerja dalam berproduksi; 5. Permintaan dan penawaran di tiap agen ekonomi diturunkan dari optimasi tiap aktivitas yang merefleksikan pula kendala dari selera dan teknologi. Model keseimbangan umum ekonomi ini dalam sistemnya telah mengadopsi agregasi komoditas dan industri yang akan dilakukan pada model perikanan yang terdiri dari 9 jenis komoditas unggulan sektor perikanan dan kelautan – yang meliputi TTC (Tuna, Tongkol dan Cakalang), Udang, Rumput Laut, Kerapu, Patin dan Garam – dan beberapa sektor lainnya di luar sektor sektor perikanan dan kelautan. Selain itu, untuk faktor produksi berupa Tenaga Kerja dan Kapital akan dilakukan agregasi pendapatan.
x
Mengacu pada Horridge (2003), struktur teori pada model CGE biasanya terdiri dari sistem persamaan yang di dalam model ORANI-G disusun ke dalam 14 blok. Adapun inti dari ke-14 blok persamaan yang dimaksudkan secara ringkas dapat dilihat seperti di bawah berikut ini: (1) Permintaan tenaga kerja (demands for labor ) (2) Permintaan faktor primer (demands for primary factors) (3) Permintaan input barang antara (demands for intermediate inputs) (4) Permintaan faktor primer composite dan input barang antara (demands for composite primary factors and intermediate inputs) (5) Composite komoditas dari output industri (commodity composite of industry output) (6) Permintaan barang untuk investasi (demands for investment goods) (7) Permintaan rumah tangga (household demands) (8) Permintaan ekspor dan permintaan akhir lainnya (export and other final demands) (9) Permintaan margin (demands for margins). (10) Harga pembelian (purchaser’s price) (11) Kondisi keseimbangan pasar (market clearing conditions) (12) Pajak tidak langsung (indirect taxes) (13) GDP dari sisi pendapatan dan pengeluaran (GDP from the income and expenditure sides) (14) Keseimbangan perdagangan dan agregat lainnya (trade balance and other aggregates) Berdasarkan ke-14 blok persamaan tersebut dapat dilihat terjadinya hubungan antara ekomomi sektoral dan ekonomi makro. Hubungan variabel ini digunakan juga dalam pembaharuan data dasar (update). Hubungan antar sektoral tidak digambarkan secara rinci di sini, tetapi untuk hubungan variabel dalam ekonomi makro dapat dilihat pada Gambar 1.
Tenaga Kerja Agregat
Tingkat Pengembalian Modal
Tingkat Upah Riil
Modal
PDB Riil
=
Keterangan:
Konsumsi Rumah Tangga Riil setelah dikurangi Pajak
+
Investasi Riil
+
Variabel = Pengaruh
Pengeluaran Pemerintah Riil
+
Neraca Perdaganga n
Nilai Tukar Upah Riil
= Variabel yang dipengaruh Sumber: Horidge et al. (1993)
Gambar 1. Hubungan Ekonomi Makro dalam Modal CGE
xi
Struktur teori pada model CGE biasanya terdiri dari atas sistem persamaan yang tercakup dalam 14 blok persamaan seperti disebutkan sebelumnya, sehingga terjadi hubungan antara ekonomi sektoral dan makroekonomi. Hubungan vaariabel dalam makroekonomi dapat dilihat pada Gambar 14. Dalam model CGE yang digunakan, hubungan antar variabel makroekonomi dapat diubah-ubah sesuai dengan tujuan penelitian dan kebijakan yang akan dianalisis. Dengan demikian, posisi variabel pengaruh atau yang dipengaruhi dapat disesuaikan dengan kebijakan makroekonomi apa yang akan kita lihat pengaruhnya. Umumnya sistem persamaan yang digunakan pada ke-14 blok tersebut adalah non linear. Namun, solusi model dilakukan dengan melinierisasi setiap persamaan dengan cara menyatakan semua variabel dalam bentuk pertumbuhan (perubahan persentase). Persamaan yang dilinearkan mengandung sekumpulan koefiesien yang equivalen dengan persamaan non linear. Setelah semua data yang diperlukan lengkap, maka seluruh data yang telah dikumpulkan tersebut akan dihimpun dan diintegrasikan dalam suatu database, yang susunannya dapat dilihat pada Gambar 2. Matriks Penyerapan
Aliran Bahan Baku Marjin
Pajak
Tenaga Kerja
Modal
Tanah
Biaya Lainnya
Ukuran ↑ CxS ↓ ↑ CxS ↓ ↑ CxS ↓ ↑ 0 ↓ ↑ 1 ↓ ↑ 1 ↓ ↑ 1 ↓
Produsen
Investor
Rumahtangga
Ekspor
Pemerintah
Penjualan Total
←1→
←1→
←1→
←1→
←1→
←1→
V1BAS
V2BAS
V3BAS
V4BAS
V5BAS
V6BAS
V1MAR
V2MAR
V3MAR
V4MAR
V5MAR
V6MAR
V1TAX
V2TAX
V3TAX
V4TAX
V5TAX
V6TAX
V1LAB
V1CAP
C = Jumlah komoditas I = Jumlah sektor S = Asal komoditas O = Jumlah tipe tenega kerja M = jumlah komoditas sebagai marjin
V1LAN
ViOCT
Matrik Produksi Bersama Ukuran ↑ C ↓
←1→
Pajak Impor Ukuran
MAKE
←1→ V0TAR
Sumber: Horridge et al., 1998 dan Oktaviani, 2000
Gambar 2. Database Input-Output Model CGE untuk Indonesia Dalam membangun-ulang data dasar model keseimbangan umum KP dalam penelitian ini didasarkan oleh jenis data utama yang digunakan adalah Tabel Input-Output Nasional. Tabel I-O Nasional yang digunakan adalah Tabel Input-Output Nasional Tahun 2008 berbasiskan partial survey. Hasil partial survey tersebut menjadi dasar dalam melakukan disagregasi sektor perikanan yang digunakan dalam penelitian ini. Di samping itu, diperlukan pula berbagai jenis data lainnya, seperti nilai elastisitas, investasi, produk xii
domestik bruto dan lainnya berasal dari hasil estimasi yang dilakukan peneliti berdasarkan data time series, dan sumber lain seperti hasil-hasil penelitian sebelumnya. Data pendukung lainnya yang diperlukan adalah Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat bunga, penghimpunan dana dan alokasi kredit perbankan, kurs valuta asing, investasi, stok modal, tenaga kerja, tingkat upah, tingkat subsidi TDL dan BBM, serta perkembangan harga pangan dunia. Data tersebut dikumpulkan dalam bentuk runut waktu (time series) sesuai periode yang dibutuhkan dan diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI) seperti Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan instansi/lembaga lainnya. Data-data tersebut juga digunakan untuk mendapatkan besaran shock (simulasi historis, dekomposisi dan kebijakan). Selain data tersebut di atas, untuk mengkonstruksi database dan model diperlukan nilai koefisien elastisitas dan beberapa parameter lainnya. Besaran-besaran ini diupayakan untuk diestimasi dari data runut waktu yang tersedia atau dikalkulasi dalam model seperti pangsa input antara domestik yang digunakan oleh berbagai industri. Apabila ditemukan masalah keterbatasan data runut waktu, maka nilai elastisitas dan parameter tersebut akan diambil dari berbagai hasil penelitian terdahulu yang menggunakan metode ekonometrika dengan data terbaru, baik yang merupakan kasus Indonesia maupun negara lain yang mempunyai karakteristik sektor/industri dan keragaan makro ekonomi mendekati kondisi perekonomian Indonesia. Ada beberapa tahap untuk menghasilkan data dasar yang memenuhi syarat-syarat model keseimbangan umum. Kontruksi data dasar tersebut diawali dengan pemodelan untuk menyusun agregasi data seperti jumlah komoditi, industri, rumah tangga dan sumber komoditi yang dimasukkan secara ekplisit di dalam model yang dibangun. Selain itu, memasukkan jumlah dan tipe tenaga kerja serta faktor-faktor produksi lainnya. Selanjutnya, untuk menyesuaikan agregasi yang digunakan dalam penelitian harus dilakukan penyesuaian dalam model yang digunakan berdasarkan Tabel I-O yang tersedia untuk dilakukan pemetaan yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data lain yang diperlukan dalam model yaitu dengan memasukkan beberapa paremeter, elastisitas dan indek lainnya. Dengan demikian, pada bab ini menjelaskan bagaimana membangun-ulang data dasar model keseimbangan umum KP berbasis partial survey yang digunakan dalam penelitian ini. Di Indonesia, Tabel I-O mulai dikenal pada akhir Pelita I. Lembaga yang pertama kali menyusun Tabel I-O Nasional Tahun 1969 oleh Lembanga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Keterbatasan data yang tersedia penyusunan Tabel I-O menggunakan metode tidak langsung. Kemudian setelah itu, Biro Pusat Statistik bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Institute of Develoving Economics menyusun Tabel I-O dengan menggunakan metode langsung tahun 1971. Sejek itu, BPS menyusun Tabel I-O Nasional secara berkala setiap lima tahun sekali dan hingga kini telah disusun Tabel I-O Nasional untuk Tahun 1971, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2008. Tabel I-O Nasional Tahun 2008 yang dipublikasikan oleh BPS tersbut terdiri dari dua sub grup tabel, yaitu tabel dasar dan tabel analisis. Tabel dasar tersebut terdiri dari tabel transaksi total atas dasar harga konsumen, tabel transaksi total atas dasar harga produsen, tabel transaksi domestik atas dasar harga konsumen, tabel transaksi domestik atas harga produsen dan tabel transaksi impor atas dasar harga produsen. Tabel analisis diperoleh dari tabel dasar dengan memasukkan tabel koefisien input, matrik kebalikan total atas dasar harga produsen, matrik kebalikan domestik atas dasar harga produsen. Berdasarkan jumlah sektor perekonomian yang tercakup dalam Tabel I-O Nasional tahun 2008, BPS mengeluarkan tabel dari jumlah komoditi atau sektor sebanyak 66 sektor. Semakin banyak jumlah sektor yang terdapat pada Tabel I-O maka semakin lebih rinci informasi-informasi yang akan diperoleh dikarenakan sektor-sektor tersebut diagregatkan. Tabel I-O tahun 2008 dengan jumlah 66 sektor yang tersedia dilakukan disagregasi menjadi 70 (66 sektor plus 4 sektor tambahan) sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. Ketiga sektor tambahan tersebut adalah sektor kedelai dan kacang-kacangan menjadi kedelai dan tanaman kacang-kacangan, pupuk dan pestisida menjadi pupuk sendiri dan demikian pula pestisida, serta sektor listrik gas dan air dipecah menjadi sektor listrik, gas dan air yang xiii
masing-masing dijadikan sektor secara terpisah. Selanjutnya, dari Tabel I-O 70 sektor tersebut, dilakukan agregasi kembali menjadi 40 sektor sesuai dengan kebutuhan penelitian yang berdasarkan nilai share dan keterkaitan yang kuat terhadap sektor yang dianalisis. Struktur yang lebih rinci dari data dasar Input-Output untuk model Indonesia mengikuti model ORANIG (Horridge et al., 1998). Gambar 15 menunjukkan data dasar yang terdiri matrik absorpsi, gabungan antara matrik produk dan matrik pajak impor. Kolom pada matrik absorpsi menunjukkan enam kelompok pelaku ekonomi, produsen domestik dan investor pada masing-masing sektor i, satu rumah tangga yang representatif, kumpulan dari pembeli ekspor, sektor pemerintah yang berhubungan dengan jenis permintaan lain dan perubahan pada inventori atau persediaan. Semua jumlah aliran matrik dinilai dalam rupiah. Berdasarkan Gambar 15 pula dapat menjelaskan bahwa baris pada matrik menujukkan sumber pembelian yang dilakukan oleh pelaku ekonomi dari setiap kolom. Adapun baris meliputi aliran dasar, margin, pajak, tenaga kerja, modal, tanah dan biaya lainnya. Aliran dasar pada kolom pertama dan kedua menunjukkan aliran komoditi domestik dan impor yang digunakan oleh sektor-sektor lain sebagai suatu input atau formasi modal. Sebagai contoh, V1BAS berarti kolom pertama dan baris pertama dari matrik absorpsi merupakan nilai dari jumlah permintaan dasar komoditi c, dari sumber s oleh sektor i untuk produksi pada saat ini. Aliran dasar pada kolom ketiga menunjukkan komoditi-komoditi yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Adapun aliran data dasar pada kolom keempat, kelima dan keenam menunjukkan nilai dari komoditi ekspor yang dikonsumsi oleh pemerintah dan berturut-turut menambah/mengurangi inventori. Alur margin dari baris kedua pada Gambar 15 (pada uraian sebelumnya) adalah biaya marjin komoditi yang digunakan oleh produsen, investor, rumah tangga, pemerintah dan biaya marjin komoditi ekspor. Pajak dimasukkan ke dalam matrik pada baris ketiga yang menunjukkan bahwa pajak-pajak komoditi seperti yang dikonsumsi oleh produsen, investor, rumah tangga dan pemerintah dan terakhir adalah pajak ekspor. Kemudian untuk baris tenaga kerja, modal, lahan dan biaya-biaya lain menjelaskan adanya penggunaan faktor primer masing-masing sektor pada kolom pertama mengindikasikan bahwa pengembalian pada faktor-faktor input digunakan pada setiap sektor. Selain itu, dua matrik terakhir yaitu matrik gabungan yang berasal dari matrik produksi dan matrik pajak impor. Matrik gabungan dari matrik produksi ini menunjukkan adanya komposisi komoditi dari output setaip sektor. Studi ini mengasumsikan bahwa suatu sektor hanya memproduksi suatu komoditi. Matrik pajak menunjukkan adanya pembayaran pajak impor setiap komoditi yang diimpor oleh setiap sektor. Struktur detail dari database input-output dari model CGE yang digunakan (Gambar 15) terdiri dari matrik penyerapan input di tiap sektor, matrik produk bersama dan matrik pajak impor. Kolom dari penyerapan matrik pada Gambar 14 menunjukkan enam pelaku ekonomi, yaitu: produsen domestik dan investor di tiap sektor, satu representasi dari rumah tangga, agregat dari pembeli produk ekspor, pemerintah dan perubahan inventaris. Sementara, baris pada Gambar 15 (pada uraian sebelumnya) menunjukkan asal dari pembelian komoditas yang dilakukan oleh pelaku ekonomi pada setiap kolom, yang dalam hal ini meliputi: aliran bahan baku, margin, pajak, tenaga kerja, modal, tanah dan biaya lainnya. Aliran bahan baku dasar pada kolom pertama dan kedua menunjukkan aliran komoditas impor dan domestik yang digunakan oleh sektor sebagai input atau pembentukan modal. Sebagai contoh, pada Gambar 15 notasi V1BAS (kolom pertama dan baris pertama) adalah nilai dari bahan baku dasar dari komoditas C, sumber S oleh sektor 1 pada produksinya. Aliran bahan baku dasar pada kolom ke tiga menunjukkan komoditi yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Aliran bahan baku keempat, kelima dan keenam menunjukkan nilai dari komoditi untuk ekspor, dikonsumsi oleh pemerintah dan menambah inventaris. Di sini dapat dilihat bahwa hubungan antar komoditas pada Tabel Input-Output menunjukkan hubungan sektoral antar sektor dan hubungan agregat dari pelaku-pelaku ekonomi dalam ekonomi makro. xiv
Selain data sekunder, permodelan ini juga akan sangat bergantung pada ketersediaan data primer. Dalam proses pembangunan database bagi permodelan, perlu dilakukan modifikasi terhadap Tabel I-O dan SNSE/SAM yang diterbitkan oleh BPS. Pada Tabel 1 keterkaitan sektor KP dengan sektor lain diwakili oleh 1 kelompok komoditas, yaitu: (23) Perikanan pada Tabel I-O klasifikasi sektor 66x66 sektor. Kelompok komoditas perikanan tersebut dirasa belum mewakili perkembangan yang terjadi di sektor KP karena komoditas KP yang dikembangkan luarbiasa beragam. Oleh karena itu, untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai kontribusi sektor KP terhadap perekonomian, maka perlu dilakukan disagregasi secara khusus pada komoditas Perikanan Laut dan Perikanan Air Tawar, dengan pertimbangan keduanya mempunyai nilai strategis bagi sektor KP dan perekonomian secara nasional. Oleh karena itu, Sektor 23 akan didisagregasi menjadi 6 kelompok komoditas pada tabel I-O 75x75 sektor, yaitu: (23) Tuna, tongkol dan cakalang (TTC); (23) Ikan dan hasil perikanan tangkap lainnya; (24) Patin; (25) Rumput laut; (26) Kerapu; (27) Patin; (28) Ikan dan hasil perikanan budidaya lainnya ; dan (29) Udang. Di samping itu, untuk menjalankan proses disagregasi dalam Tabel I-O 2010 tersebut, diperlukan informasi tambahan untuk memunculkan nilai-nilai transaksi untuk sektor-sektor baru tersebut (sektor-sektor yang tercakup sektor perikanan yang akan diagregasi) yang dalam hal ini dilakukan dengan menggunakan metode semi-survey (survey parsial). Dengan metode ini akan didapatkan koefisien input intra-sektor, khususnya untuk sektor-sektor yang terdisagregasi. Koefisien input intra-sektor adalah koefisien yang menunjukkan input yang disediakan secara nasional (di dalam negeri), yang diperoleh dengan cara mengeluarkan komponen impor bersaing yang meliputi impor (Muchdie, 1998). Namun, mengingat data impor hanya tersedia dalam jumlah total (dalam bentuk vektor), maka matriks koefisein input intra-sektor dihitung dengan menggunakan metode bi-proporsional (proporsi baris dan kolom) yakni menggunakan metode proporsional yang merujuk kepada volume pemakaian dan harga satuan di tingkat pasar pada tahun 2010. Data primer yang dikumpulkan akan sangat berguna dalam proses disagregasi tersebut, terutama dalam hal menyediakan informasi besaran koefisien teknis setiap komoditas. Disagregasi terhadap sektor perikanan tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Disagregasi Sektor Perikanan Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2008 dari Klasifikasi 66 Sektor menjadi 75 Sektor Kode Sekto r 1 … … . 22 23
24 25 26
Sektor-sektor Tabel I-O 2010 (66 x 66 Sektor) Padi …………………………………… …………………………………… ….……………………………….. Hasil Hutan Lainnya Perikanan
Penambangan batubara dan bijih logam Penambangan, minyak, gas dan panas bumi Penambangan dan penggalian lainnya
Kode Transis i 1 … … . 22 23A 23B 23D 23E 23F 23G 23H 24
Kode Sektor
Reklasifikasi Sektor-sektor Tabel I-O yang digunakan dalam Penelitian (75 x 75 Sektor)
1 … … … 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Padi ……………………………………………… …………………………………………… ……………………………………………… Hasil Hutan Lainnya Tuna, Tongkol dan Cakalang (TTC) Ikan dan hasil perikanan tangkap lainnya Patin Kerapu Rumput laut Ikan dan hasil perikanan budidaya lainnya Udang Penambangan batubara dan bijih logam
25
31
Penambangan, minyak, gas dan panas bumi
26A
32
Garam kasar
26B
33
Barang tambang, mineral bukan logam dan lainnya
xv
27
28 ... ... ... 50
51 ... ... ... 66
Industri pengolahan pengawetan makanan
dan
Industri minyak dan lemak ......................................................... . ......................................................... . ......................................................... . Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun Listrik, gas dan air bersih ......................................................... . ......................................................... . ......................................................... . Kegiatan yang tak jelas batasannya
27A
34
Ikan kering dan ikan asin
27B
35
Ikan olahan dan ikan awetan
27C
36
28 ... ... ... 50
37 ... ... ... 59
Industri pengolahan dan pengawetan makanan lainnya Industri minyak dan lemak ..................................................................... .................................................................... .................................................................... Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun
51 ... ... ... 66
60 ... ... ... 75
Listrik, gas dan air bersih ...................................................................... ..................................................................... ..................................................................... Kegiatan yang tak jelas batasannya
- Metoda Analisis Data Model Ekonomi Keseimbangan Umum Solusi sistem persamaan-persamaan yang disusun dan dibangun dengan mengaplikasikan pendekatan pendekatan model kompotasi keseimbangan umum (computable general equilibrium/CGE) model ORANIG yang berbasis Tabel I-O dan SNSE/SAM. Dalam analisis data, pada penelitian ini berkaitan dengan penggunaan software GEMPCK (General Equilibrium Modelling Package) dan yang diakhiri dengan penentuan pilihan Closure. Paket software GEMPACK. GEMPACK adalah software yang dibangun oleh the Impact Project, Monash University untuk memecahkan persoalan-persoalan dalam model keseimbangan umum (CGE). Dengan mengidentifikasi persamaan yang digunakan, pemilihan variabel eksogen, perubahan pada variabel eksogen dan metode pengolahan, program ini dapat menghasilkan perubahan variabel endogen dalam bentuk perubahan persentase. Dengan demikian, perubahan persentase antara dengan dan tanpa perubahan kebijakan ekonomi, baik pada variabel makro maupun variabel ekonomi sektoral dapat diidentifikasi. Software GEMPACK dapat menyelesaikan masalah ekonomi secara luas dan mempunyai kapasitas yang baik dalam memecahkan model intertemporal. GEMPACK berguna untuk membangun data dasar, memodifikasi/membangun persamaan-persamaan dan melakukan simulasi kebijakan yang diinginkan. Secara garis besar Gempack terdiri dari: (1) File Tablo yang memuat persamaan-persamaan ekonomi yang ditulis dalam bentuk linear dan dibagi menjadi blok-blok persamaan, misalnya blok produksi, faktor produksi, investasi dan lain-lain. File ini bukan merupakan bahasa program, sehingga dapat dibaca bagi yang tidak mengerti bahasa program. (2) File STI yang berisi perintah untuk mengubah bahasa tablo menjadi bahasa program. (3) File HAR yang berisi matrik-matrik data yang sesuai dengan sistem persamaan yang dibangun dalam model CGE. Data yang digunakan bersumber dari Tabel I-O dan parameter-parameter lainnya yang dibutuhkan dalam model. (4) File CMF yang memuat file data yang dibutuhkan, file output yang akan dihasilkan, pilihan variabel eksogen (closure) dan variabel endogen, metode simulasi, pilihan dan besarnya shock perubahan kebijakan yang dianalisis. (5) GEMSIM yang digunakan untuk untuk melakukan running file CMF dan menghasilkan solusi dari simulasi. (6) Berbagai fasilitas lainnya yang digunakan untuk membangun dan memodifikasi data dasar. xvi
GEMPACK terdiri dari beberapa file, yaitu file tablo, file har dan file cmf. File-file tersebut dibuat secara terpisah yang kemudian dikombinasikan oleh Gempack menjadi satu kesatuan. Untuk mempermudah pengertian file tablo dan file har diberi nama menjadi file ORANIG. adalah aplikasi model CGE dengan menggunakan GEMPACK. ORANIG adalah aplikasi model CGE dengan menggunakan Gempack yang diadopsi dari model ORANI-G yang rumahtangganya didisagregasi mengikuti persamaan model CGE wayang. Nama-nama file tersebut diubah menjadi: ORANIG.tab, ORANIG.sti, ORANIG.har, dan ORANIG.cmf. Masing-masing file tersebut, selanjutnya dilakukan proses running dalam GEMPACK dengan prosedur seperti tertera pada Gambar 3. Gambar 3 mendeskripsikan prosedur GEMPACK dalam melakukan proses spesifikasi terhadap file-file di atas guna menemukan “solution file” pada suatu simulasi kebijakan. Dengan menggunakan Tablo program, kedua jenis teks file (ORANIG.tab dan ORANIG.sti) diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan auxiliary file yaitu file ORANIG.for yang kemudian dikonversi ke dalam Fortran. Selanjutnya Fortran akan mengkompilasi file ORANIG.for ke dalam eksekusi program yaitu ORANIG.exe. Tablo program juga memproduksi dua jenis auxiliary files, yaitu ORANIG.axs and ORANIG.axt. File.tab
Tablo Program
File.sti
File.for
Keterangan:
FOTRAN compiler
Text File Header Array File
File.exe Program
File.a
File.a
Sumber: Horridge dan Powel (2001)
Gambar 3. Prosedur GEMPACK dalam Melakukan Running File Tablo dan File sti Selanjutnya, prosedur untuk mendapatkan file solusi pada GEMPACK dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar ini mendeskripsikan prosedur program ORANIG.exe dalam memproduksi sebuah solusi akhir. Pada tahap ini dibutuhkan dua auxiliary files lainnya, yaitu ORANIG.axs dan INDO ORANIG.axt. File-file lain yang dibutuhkan adalah ORANIG.har dan ORANIG.cmf. Dengan menggunakan file-file tersebut program ORANIG.exe akan menghasilkan: (1) Sebuah file solusi (SL4) yang memuat dampak yang ditimbulkan oleh perubahan peubah eksogen (policy shock) terhadap variabel endogen. Besaran efek tersebut dihitung dalam satuan persentase.
xvii
(2) Sebuah file update data dasar, file ini memiliki format yang sama dengan ORANIG.har tetapi memuat data-data setelah dilakukan simulasi (post-shock equilibrium). (3) Dua file summary (summary files) merupakan ringkasan nilai-nilai total (misalnya nilai PDB total dari sisi pengeluaran dan penerimaan) sebelum dan setelah dilakukan simulasi kebijakan. CMF File closure
ORANIG.axs Auxilary file
Shock
ORANIG.axs
ORANIG. exe
Auxilary file
RunGem Solution methode
ORANIG.axs Pre-silmulation (base) Data
Summary of (base) Data
Summary of (base) Data
Post-silmulation Update) Data
SL4 solution file of silmulation result
Sumber: Horridge dan Powel (2001)
Gambar 4. Prosedur Memperoleh File Solusi pada GEMPACK - Pilihan Closure untuk Simulasi Penelitian Dalam penelitian ini, pemilihan variabel eksogen dan endogen yang digunakan pada pilihan closure untuk simulasi dalam penelitian yang mencakup variabel-variabel dari komponen permintaan akhir di sektor kelautan dan perikanan (KP), yaitu: konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran belanja pemerintah, ekspor dan impor pada sektor KP. Dalam simulasi ini, perubahan masing-masing komponen permintaan akhir tersebut ditetapkan sebagai variabel eksogen. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat pengaruh perubahan masing-masing komponen permintyaan akhir (konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran belanja pemerintah, ekspor dan impor pada sektor KP) terhadap kinerja perekonomian, sehingga masing-masing komponen permintaan akhir tersebut ditetapkan sebagai variabel eksogen yang akan dirubah untuk menjawab tujuan penelitian. Sementara itu, variabel GDP ditetapkan sebagai variabel endigen yang akan dilihat perubahannya sebagai hasil dari skenario penelitian. Pada closure tersebut yakni untuk simulasi semua variabel komponen permintaan akhir di sektor KP (konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran belanja pemerintah, ekspor dan impor pada sektor KP) yang menyangkut komponen shifter, tingkat pajak dan perubahan teknik ditetapkan sebagai variabel eksogen.
xviii
- Skenario Simulasi pada Model Ekonomi Keseimbangtan Umum Simulasi-1: Terjadi peningkatan jumlah kapital yang digunakan perusahaan-perusahaan (x1cap_ent) di sektor perikanan Indonesia (IndIkan) sebesar 16,07% sesuai dengan rata-rata target pertumbuhan investasi perikanan tahun 2015-2019 dalam Rencana Strategis KKP. Simulasi-2: Terjadi peningkatan volume ekspor produk perikanan (f4q), sebesar 27%, sesuai dengan rata-rata target pertumbuhan volume ekspor produk dari sektor perikanan Indonesia tahun 2015-2019 dalam Rencana Strategis KKP. Simulasi-3: Terjadi peningkatan jumlah kapital yang digunakan perusahaan-perusahaan (x1cap_ent) di sektor perikanan Indonesia (IndiIkan) sebesar 16,07% (Simulasi-1) yang diikuti dengan peningkatan volume ekspor produk perikanan (f4q) sebesar 27% (Simulasi-2) secara bersamaan. 11.2.2 Metode Analisis Model Input-Output Kini model I-O telah secara luas digunakan dan diterapkan dalam perencanaan regional maupun analisis dampak ekonomi (Hewings, 1986; Richardson, 1972). Analisis Input-Output (I-O) berupaya mengkuantitatifkan saling ketergantungan ekonomi antar sektor dalam suatu wilayah ekonomi -– apakah negara atau daerah — pada suatu titik waktu tertentu. Daya tarik utama analisis I-O adalah menyajikan potret dari semua transaksi ekonomi, baik pembelian maupun penjualan, dan biasanya digunakan sebagai dasar analisis keterkaitan antar sektor dalam suatu perekonomian (West, 1992). Dengan demikian analisis I-O dapat digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi berbagai jenis aktivitas ekonomi dan keterkaitan sektor, yang memungkinkan menganalisis dampak pengganda (multiflier effect) akibat aktivitas suatu sektor (Bendavid, 1991). Tabel Input Output (I-O) pada dasarnya merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antara sektor yang satu dengan sektor lainnya, dalam suatu wilayah pada suatu periode waktu tertentu. Dengan menggunakan Tabel I-O dapat dilihat bagaimana output dari suatu sektor ekonomi didistribusikan ke sektor-sektor lainnya dan bagaimana pula suatu sektor memperoleh input yang diperlukan dari sektor-sektor lainnya. Dalam suatu model input-output yang bersifat terbuka dan statis, transaksi-transaksi yang digunakan dalam penyusunannya harus memenuhi tiga asumsi dasar yaitu (Nazara, 2005; BPS, 1999): 1. Asumsi homogenitas, yaitu asumsi yang mensyaratkan bahwa setiap sektor hanya memproduksi satu jenis komoditi dan tidak ada substitusi otomatis antara berbagai sektor. 2. Asumsi proporsionalitas, yaitu asumsi yang mensyaratkan bahwa dalam proses produksi hubungan antara input dengan output merupakan fungsi linier, dimana kenaikan atau penurunan input akan berbanding lurus dengan kenaikan atau penurunan output. 3. Asumsi aditivitas, yaitu asumsi bahwa efek total pelaksanaan produksi pada Tabel I-O merupakan interaksi antar sektor yang tepisah dimana pengaruh luar diabaikan. Terdapat beberapa transaksi barang dan jasa yang dicatat Terdapat beberapa transaksi barang dan jasa yang dicatat dalam kelompok-kelompok tertentu atau dikenal dengan klasifikasi sektor. Karena Tabel I-O menggambarkan transaksi barang atau jasa maka akan dijumpai angka nol pada baris atau kolom, hal ini menggambarkan bahwa tidak semua sektor menjual atau membeli barang dan jasa dari Tabel I-O. Pada dasarnya informasi Tabel I-O diklasifikasikan dalam dua kelompok Tabel yaitu pertama kelompok Tabel-Tabel dasar dimana pada penelitian ini menggunakan Tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen adalah tabel transaksi yang menggambarkan nilai transaksi barang dan jasa antar sektor ekonomi yang hanya berasal dari produksi domestik dan dinyatakan atas dasar harga produsen. Dimana transaksi margin perdagangan dan biaya pengangkutan telah dipisahkan sebagai input yang dibeli dari sektor perdagangan dan pengangkutan. Kedua adalah kelompok Tabel-Tabel analisis yang menyajikan informasi xix
yang diturunkan dari Tabel dasar/Tabel transaksi, yang diantaranya adalah analisis keterkaitan (BPS, 1999). Kendati Tabel I-O mampu menggambarkan aliran antar sektor, tabel ini kurang mampu menjelaskan “cerita” di balik angka aliran antar sektor tersebut. Dari perspektif ini, tabel I-O merupakan refleksi dari fungsi produksi. Hanya saja fungsi dalam konteks ini berbeda dengan fungsi produksi sebagaimana digunakan dalam teori ekonomi yang baku. Dilihat dari sudut teori produksi, model I-O memiliki dua elemen pokok yang saling berhubungan erat, yaitu: konsep sektor produktif dan karakteristik struktur input untuk masing-masing sektor. Dalam model I-O, suatu sektor produktif diidentikkan dengan suatu proses atau aktivitas produksi. Perekonomian dianggap merupakan kumpulan dari sektor-sektor semacam itu. Pembagian menjadi berbagai sektor dibuat sedemikian rupa sehingga masingmasing sektor (proses produksi) hanya menghasilkan satu produk. Ini berarti tidak ada produk gabungan (joint product). Dari perspekstif tersebut, analisis dengan menggunakan Tabel I-O harus memperhatikan hal-hal berikut: (1) Karena setiap produk berasal dari satu sektor maka diasumsikan hanya diproduksi dengan satu cara. Ini berarti tidak diperhitungkan masalah pilihan teknologi. (2) Diasumsikan tidak ada interaksi antar sektor. Ini berarti mengabaikan masalah external economies dan diseconomies dari suatu proses produksi. Implikasinya, efek total dari seluruh sektor yang merupakan asumsi dasar analisis I-O, maka jumlah input yang digunakan oleh suatu sektor merupakan penjumlahan dari efek masing-masing sektor. Apabila fungsi produksi sektoral merupakan asumsi dasar analisis I-O, jumlah input yang digunakan oleh suatu sektor tergantung dari tingkat output sektor tersebut. Dengan kata lain, diasumsikan bahwa kenaikan penggunaan input berbanding secara proporsional dengan kenaikan output. Porporsi yang konstan ini ditunjukkan oleh koefisien I-O. (3) Berlaku non-substitution theorem, yaitu dengan koefisien produksi yang tetap, tidak ada substitusi antar input dalam produksi komoditi tertentu. Implikasinya masing-masing aktivitas produktif merupakan milik sektor tertentu, dan sektor tersebut hanya memiliki satu teknik produksi. (4) Model I-O pada hakekatnya merupakan model statik, dengan penggunaan utamanya adalah dalam jangka pendek (West, 1992). Artinya, penggunaan model I-O mengasumsikan koefisien I-O tidak berubah selama periode tertentu. Misalnya, suatu analisis dampak yang menggunakan I-O untuk proyeksi selama beberapa tahun mengasumsikan koefisien I-O stabil sepanjang periode tersebut. Secara implisit, ini identik dengan asumsi constant returns to scale atau linieritas. Asumsi ini tidak berlebihan mengingat: (a) Dampak awal relatif kecil dibanding skala industri dari total kegiatan ekonomi yang diamati; dan (b) Dampak yang diukur telah merupakan bagian dari perekonomian. Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel I-O akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: (1) Struktur perekonomian suatu wilayah yang mencakup struktur output dan nilai tambah masing-masing sektor; (2) Struktur input antara, yaitu transaksi penggunaan berbagai barang dan jasa oleh sektor-sektor produksi; (3) Struktur penyediaan barang dan jasa, baik berupa produksi dalam wilayah maupun barang-barang yang berasal dari impor; dan (4) Struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan antara oleh berbagai sektor produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor (BPS, 2000). Selanjutnya pada Tabel 2 disajikan gambaran tentang bagaimana suatu Tabel I-O disusun.
xx
Tabel 2. Kerangka Dasar Tabel Input-Output Tunggal Alokasi Output Struktur Input Input Antara
Sektor Produksi i
Jumlah
1 2 ... 190 200
Permintaan Penyediaan Permintaan Antara Permintaan Akhir 1 2 ... 180 301 ... 306 309 409 509 600 700 Kuadran I Kuadran II X11 X12 X1n F1 M1 X1 X21 X22 X2n F2 M2 X2 Xm1 Xm2 Xnm Fn Mn Xn Jumlah Jumlah Jumlah Kuadran III
Input Primer atau Nilai Tambah (VA)
Jumlah Input
201 202 203 204 205 209 210
V1 X1
V2 X2
Vn Xn
Sumber: Nazara (1997)
Secara garis besar Table I-O dibagi dalam tiga kelompok atau kuadran, yaitu: - Kuadran I Kuadran I merupakan matriks transaksi antara yang terdiri baris input antara (intermediate input) dan kolom permintaan antara (intermediate demand). Baris input antara menunjukkan semua barang dan jasa serta faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan output, sedangkan kolom permintaan antara menunjukkan sektor yang membutuhkan input (yang berasal dari output sektor lain atau sektornya sendiri). Karena banyak sektor baris sama dengan kolom maka matriks ini berbentuk bujur sangkar (square matrix). Komponen Xi pada kolom 1 permintaan antara menunjukkan bahwa untuk menghasilkan output sektor 1 (Xi), maka sektor 1 tersebut memerlukan input antara sebesar xn1, impor (200) sebesar M1, dan dari input primer/NTB (209) sebesar V1. Input antara yang diperlukan berasal dari sektor 1 sendiri sebanyak x11 dan dari sektor 2 sebanyak x21, dan seterusnya. Komponen Xi pada baris 1 input antara menunjukkan penyediaan sektor 1 terdiri dari permintaan antara (180), permintaan akhir (309), impor (409), margin perdagangan dan biaya pengangkutan (509). Output sektor 1 digunakan sebagai input antara oleh sektor 1 sendiri sebesar x11, sektor 2 sebesar x12, dan seterusnya. Sedangkan F1 adalah output sektor 1 yang menjadi bagian dari permintaan akhir. Karena itu baris ke 1 menggambarkan distribusi total output sektor 1 sebesar Xi ke sektor-sektor produksi dan permintaan akhir sebesar F1. - Kuadran II Kuadran II merupakan matriks yang terdiri dari kolom permintaan akhir (final demand) dan penyediaan (total suplay), dan sejumlah sektor produksi. Permintaan akhir adalah permintaan atas barang dan jasa bukan sebagai input untuk proses produksi lebih lanjut. Permintaan akhir (309) terdiri dari empat unsur, yaitu: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga/ C (301); (2) pengeluaran konsumsi pemerintah/ G (302); (3) pembentukan modal tetap bruto atau investasi/ I (303); (3) perubahan stok (304); dan (4) ekspor xxi
barang dagangan (305) dan ekspor jasa (306). Sedangkan penyediaan (700) merupakan penjumlahan dari output domestik atau produksi dalam negeri (600), dan impor dan jasa (400) serta margin perdagangan dan biaya pengangkutan (509). - Kuadran III Kuadran III meliputi kelompok nilai tambah bruto (gross value added) atau input primer yang digunakan oleh masing-masing sektor produksi. Nilai tambah bruto adalah balas jasa yang dihasilkan oleh faktor produksi yang terlibat dalam proses produksi yang terdiri dari upah dan gaji (201), surplus usaha atau keuntungan (202), penyusutan atau depresiasi (203), pajak tak langsung (204), subsidi (205). Komponen Vi menunjukkan nilai tambah yang tercipta oleh sektor 1 dan seterusnya. Menurut BPS (1999), Tabel I-O menghasilkan persamaan neraca yang berimbang dimana jumlah produksi (keluaran) sama dengan jumlah masukan, yaitu: n
Baris
x
=
ij
Fi M i X i
i 1,.......n .......................................... (1)
ij
Vi X j
j 1,.......n .......................................... (2)
j 1
n
x
Kolom =
i 1
dimana: xij = output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Fi = permintaan akhir terhadap sektor i Vj = input primer dari sektor j Mi = impor produksi i Xi = jumlah output sektor i Xj = total input sektor j Koefisien input terdiri dari koefisien input antara dan koefisien input primer. Keduanya merupakan sebuah indikator dalam tingkat efisiensi proses produksi dengan melihat apakah suatu sektor dalam proses produksinya menggunakan teknologi yang padat modal atau padat karya (Nazara, 2005). Koefisien input antara menggambarkan tingkat penggunaan teknologi dalam proses produksi sehingga koefisien ini disebut juga sebagai koefisien teknis (technical coefficient). Koefisien teknis dapat pula disebut sebagai kebutuhan langsung (direct requirement), karena menunjukkan kebutuhan langsung suatu sektor akan output sektor lainnya (FEUI, 2010). Koefisien ini menurut BPS (1999) dapat dihitung sebagai berikut:
aij
xij Xj
atau
x ij a ij X j ............................................................................... (3)
dimana: a ij
xij Xj
= koefisien input antara (koefisien teknis) dari output sektor i yang digunakan oleh kegiatan produksi sektor j = banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input oleh kegiatan produksi sektor j. = total input kegiatan sektor j.
Koefisien input primer menunjukkan peranan dan komposisi dari upah dan gaji, surplus usaha (keuntungan), pajak tak langsung, dan penyusutan. Koefisien input primer dirumuskan sebagai berikut : vj
Vj Xj
................................................................................................................... (4)
xxii
dimana: Xj = total input yang dibutuhkan sektor j = total output sektor i (untuk i=j) Vj = Input primer (nilai tambah) sektor j. vj = koefisien Input primer. Matriks koefisien teknis inilah yang merupakan dasar perhitungan efek pengganda (multiplier effect) yang menjadi salah satu inti dari analisis I-O. Efek pengganda ini diperoleh melalui bentuk persamaan sebagai berikut: AX + F = X a tau F = X - AX .................................................................... (5) Jika terdapat perubahan pada permintaan akhir, maka akan ada perubahan pada besarnya pendapatan masyarakat nasional. Jika ditulis dalam bentuk persamaan, maka dapat dituliskan sebagai berikut : AX + F = X atau F = X - AX ................................................................ (6) sehingga X = ( I - A )-1F ................................................................................................... (7) dimana: I F X (I–A)
= Matriks identitas berukuran n x n yang elemennya memuat angka satu pada diagonalnya dan nol pada selainnya = Permintaan akhir = Output = Matriks Leontief
( I – A )-1
= Matriks kebalikan Leontief
Dalam analisis I-O matriks kebalikan leontief berfungsi sebagai pengganda (output multiplier) yang berarti bahwa kenaikan dalam permintaan akhir (F) akan berpengaruh langsung terhadap kenaikan total output (X) sektor tersebut, dan juga berpengaruh tak langsung terhadap sektor-sektor lainnya di dalam perekonomian (BPS, 2008 dan Nazara, 2005). Metode Analisis Keterkaitan (Lingkage) Pada dasarnya informasi Tabel I-O diklasifikasikan dalam dua kelompok Tabel yaitu pertama kelompok Tabel-Tabel dasar dimana pada penelitian ini menggunakan Tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen adalah Tabel transaksi yang menggambarkan nilai transaksi barang dan jasa antar sektor ekonomi yang hanya berasal dari produksi domestik dan dinyatakan atas dasar harga produsen. Dimana transaksi margin perdagangan dan biaya pengangkutan telah dipisahkan sebagai input yang dibeli dari sektor perdagangan dan pengangkutan. Kedua adalah kelompok Tabel-Tabel analisis yang menyajikan informasi yang diturunkan dari Tabel dasar/Tabel transaksi, yang diantaranya adalah analisis keterkaitan (BPS, 1999). Analisis keterkaitan atau analisis keterkaitan antar industri digunakan untuk penyusunan prioritas atau produk unggulan sektor perekonomian untuk mencapai tujuan pembangunan. Konsep keterkaitan terdiri dari keterkaitan ke depan atau disebut juga derajat kepekaan dan tingkat keterkaitan ke belakang atau disebut juga dengan daya penyebaran. - Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) Analisis keterkaitan ke belakang merupakan keterkaitan suatu sektor yang bersumber dari sektor penyedia inputnya (hulu) yaitu dari mana asal bahan mentah ataupun bahan baku yang digunakan dalam proses produksinya melalui permintaan input. Dalam analisis keterkaitan ke belakang terbagi atas keterkaitan ke belakang langsung dan keterkaitan ke belakang total. Keterkaitan ke belakang langsung terjadi jika peningkatan permintaan akhir suatu sektor, maka akan mengakibatkan meningkatnya penggunaan input produksi sektor tersebut secara langsung. Jika efek yang ditimbulkan adalah langsung dan xxiii
tak langsung maka dinamakan keterkaitan ke belakang total. Dimana angka pengganda ini juga merupakan angka pengganda output (Nazara, 2005). Analisis keterkaitan ke belakang dapat di lihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Analisis Keterkaitan ke Belakang (Backward Lingkage) No 1
Keterkaitan ke belakang Langsung
2
Ke belakang total
Rumus n
B(d ) j ij i 1
n
B(d i) j ij i 1
Sumber: Nazara, 2005 Keterangan:
αij
= unsur matrik koefisien teknis B(d)j dan unsur matriks kebalikan leontief B(d+i)j
- Keterkaitan ke Depan (Forward Linkage) Analisis keterkaitan ke depan terbagi atas keterkaitan ke depan langsung dan keterkaitan ke depan total. Analisis keterkaitan ke depan langsung adalah untuk mengetahui tingkat kepekaan suatu sektor dalam melakukan kegiatan ekonominya secara langsung terhadap sektor lainnya atau dapat pula diartikan sebagai keterkaitan suatu sektor dengan sektor pemakai outputnya (hilir) yaitu keterkaitan dengan penjualan produk akhir akibat pengaruh dari permintaan akhir yang dilakukan melalui mekanisme penawaran output (Nazara, 2005 dan BPS 2008). Sedangkan keterkaitan ke depan total merupakan total dari efek yang dihasilkan secara langsung maupun tidak langsung yang dijelaskan dalam Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Analisis Keterkaitan ke Depan (Forward Lingkage) No 1
Keterkaitan Langsung Ke depan
Rumus n
F (d )i ij j 1
2
Ke depan Total
n
F (d i )i ij j 1
Sumber: Nazara, 2005
Keterangan: = unsur matrik koefisien teknis F(d)i dan unsur matriks kebalikan leontief F(d+i)i βij
- Analisis Pengganda dan Dampak Dasar analisi dampak dalam model I-O adalah angka pengganda yang merupakan suatu koefisien yang menyatakan kelipatan dari meningkatnya permintaan akhir suatu sektor yang akan mempengaruhi perubahan output di seluruh sektor ekonomi dimana angka pengganda juga mencerminkan urutan prioritas investasi apabila ingin mendapatkan nilai dampak yang optimal . Adapun analisis pengganda meliputi pengganda output, pendapatan masyarakat, lapangan kerja dan nilai tambah bruto (NTB) (Nazara, 2005). Adapun penghitungan analisis angka pengganda dijelaskan pada Tabel 5.
xxiv
Tabel 5. Perhitungan Pengganda Output, Pendapatan masyarakat, Lapangan Kerja dan NTB
Nilai Efek Awal Efek Langsung
Output 1 n
aij
i j
Efek Total
n
Pengganda Pendapatan Lapangan Kerja masyarakat hj wj n
aijhj
i j
αij
i j
n
i j
n
n
vj n
aijwj
i j
αijhj
NTB
aijvj
i j n
αijwj
i j
αijvj
i j
Sumber: Nazara ( 2005); Miller et al. (2009)
Keterangan: aij = koefisien input hj = koefisien pendapatan masyarakat wj = koefisien lapangan kerja vj = koefisien input primer αij = matriks kebalikan leontief Efek awal output menggambarkan peningkatan penjualan ke permintaan akhir dalam perekonomian dan merupakan stimulus perekonomian yang menyebabkan peningkatan atau penurunan suatu sektor terhadap permintaan akhir. Peningkatan output akan memberikan efek terhadap peningkatan pendapatan masyarakat melalui koefisien pendapatan masyarakat (hj) dan peningkatan tenaga kerja melalui koefisien lapangan kerja (wj) serta peningkatan NTB melalui koefisien NTB (vj). Efek langsung menunjukkan efek yang langsung diterima dari pembelian masing-masing sektor untuk setiap peningkatan output. Efek pendapatan masyarakat langsung menunjukkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat dan efek lapangan kerja langsung menunjukkan adanya peningkatan lapangan kerja dari setiap sektor akibat adanya efek putaran pertama output. Semakin besar nilai koefisien angka pengganda maka sektor tersebut mempunyai hubungan yang kuat dengan sektor yang lain atau dapat pula digambarkan sebagai peningkatan aktivitas suatu sektor akan meningkatkan aktivitas sektor tersebut atau sektor lainnya sebesar nilai penggandanya. Dalam penelitian ini analisis dampak yang digunakan adalah dampak perubahan output, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja dengan rumus formal sebagaimana tertera pada Tabel 6. Tabel 6. Dampak Perubahan Output, Pendapatan masyarakat, Lapangan Kerja dan Nilai Tambah Bruto (NTB) No 1
Dampak
Rumus
Output
n
αijY
i j
2
Pendapatan masyarakat
n
αijhjY
n
αijwjY
n
αijvjY
i j
3
Lapangan Kerja
i j
4
NTB
i j
Sumber: Nazara (2005); Miller et al. (2009); Kementerian PU dan BPS (2011)
xxv
Keterangan: aij = koefisien input hj = koefisien pendapatan masyarakat wj = koefisien lapangan kerja vj = koefisien input primer αij = matriks kebalikan leontief Y = nilai investasi - Proses Pembentukan Tabel I-O Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Untuk dapat melakukan analisis secara khusus pada sektor industri pengolahan produk perikanan, maka sebelumnya dilakukan disagregasi pada sektor-59 (industri ikan kering dan ikan asin) dan sektor-60 (industri pengolahan dan pengawetan ikan) dari Tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen dalam Tabel I-O Indonesia tahun 2012 yang dimutakhirkan yang dibuat dengan bersumberkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) klasifikasi 192 x 192 sektor. Proses disagregasi Tabel I-O tersebut dilakukan mengikuti kaidah yang disarankan oleh Wolsky (1984) yang kemudian dikonsultasikan dan dibantu oleh pihak BPS yang didasarkan atas data Statistik Industri tahun 2010 (BPS, 2010b) dan disesuaikan dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia tahun 2009 (KBLI 2009) sebagaimana terdapat dalam BPS (2010a) dengan mendisagregasi 2 sektor terkait dengan industri pengolahan produk perikanan, yaitu sektor-59 (industri ikan kering dan ikan asin) didisagregasi menjadi 2 sektor; dan sektor-60 (industri pengolahan dan pengawetan ikan) didisagregasi menjadi 12 sektor, seperti tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Tabel Disagregasi Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Pada Tabel I-O Indonesia 2010 Updating dari 2008 Sesuai KBLI 2009 Kode
Sektor
S-059 Industri Ikan Kering Dan Ikan Asin 10211 Industri Penggaraman/Pengeringan Ikan 10291 Industri Penggaraman/Pengeringan Biota Air Lainnya S-060 Industri Pengolahan Dan Pengawetan Ikan 10221 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng 10222 Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng 10212 Industri Pengasapan Ikan 10292 Industri Pengasapan Biota Air Lainnya 10213 Industri Pembekuan Ikan 10293 Industri Pembekuan Biota Air Lainnya 10214 Industri Pemindangan Ikan 10294 Industri Pemindangan Biota Air Lainnya 10216 Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi 10217 Industri Pendinginan/Pengesan Ikan 10219 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan 10299 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Sumber : BPS, 2009 (diolah kembali)
Selanjutnya 2 (dua) sektor induk lama (sektor-59 dan 60) dihilangkan dari Tabel I-O, sehingga dihasilkan Tabel I-O disagregasi dengan klasifikasi matriks 204 x 204 sektor. xxvi
Selanjutnya Tabel I-O hasil disagregasi klasifikasi matriks 204 x 204 sektor diagregasi kembali menjadi klasifikasi matriks 36 x 36 sektor. Dasar dari agregasi tersebut adalah keterkaitan yang erat antar sektor tertentu serta kesatuan jenis komoditi berdasarkan pengelompokan pada keseragaman wujud fisik komoditi (BPS, 1999) khususnya yang memiliki keterkaitan dengan sektor industri pengolahan produk perikanan. Tabel I-O sektor industri pengolahan produk perikanan klasifikasi matriks 36 x 36 sektor dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Tabel I-O Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Tahun 2010 Updating 2008 Klasifikasi Matriks 36 x 36 Sektor Kode 1 2 3 4 5 6 7 8
Sektor Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan Ikan Dan Hasil Perikanan Tangkap
Kode 19 20 21 22 23
Ikan Dan Hasil Perikanan Budidaya 24 Pertambangan dan Penggalian 25 Industri Penggaraman/Pengeringan 26 Ikan 9 Industri Penggaraman/Pengeringan 27 Biota Air Lainnya 10 Industri Pengolahan dan 28 Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng 11 Industri Pengolahan dan 29 Pengawetan Udang Dalam Kaleng 12 Industri Pengasapan Ikan 30 13 Industri Pengasapan Biota Air 31 Lainnya 14 Industri Pembekuan Ikan 32 15 Industri Pembekuan Biota Air 33 Lainnya 16 Industri Pemindangan Ikan 34 17 Industri Pemindangan Biota Air 35 Lainnya 18 Industri Berbasis Daging Lumatan 36 dan Surimi Sumber: Hasil olahan Tabel IO Tahun 2010 updating (2014)
Sektor Industri Pendinginan/Pengesan Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki Industri Kayu dan Hasil Hutan lainnya Industri kertas dan Barang Cetakan Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Industri Semen dan Bahan Galian Bukan Logam Industri Logam dasar besi dan baja Industri Alat Angkutan, Mesin dan peralatannya Industri barang lainnya Listrik, Gas dan Air Besih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi keuangan, Real estate dan Perusahaan
Jasa
Jasa-Jasa
- Teknik Pemutakhiran (Updating) dan Penyeimbangan (Balanching) Pemutakhiran (updating) Tabel Input-Output (I-O) dalam penelitian ini adalah terdiri atas 36 sektor (lihat Tabel 5) pada tahun 2010 ke tahun 2012 dilakukan dengan menggunakan metode RAS (Nazara, 2005; Daryanto dan Hafizianda, 2010). Setelah proses RAS terhadap Tabel I-O, harus dilakukan proses penyeimbangan (balanching) dengan menggunakan dan Cross Entrophy (CE), sehingga diperoleh keseimbangan neraca dalam Tabel I-O tersebut. Pemutkhiran Tabel I-O dengan menggunakan metode RAS tipe tradisonal, dimana deviasi pada koefisien yang diestimasi diberi shock dengan koefisien yang menjadi target yang dilakukan dengan menggunakan formulasi sebagai berikut:
xxvii
min z qij ln i
j
q
s.t
qij aij
ij
xij vi
ij
xij u i untuk semua i
untuk semua j ………………………………………… (8)
i
q i
qij 0
untuk semua i,j
Kemudian proses penyeimbangan (balanching) dilakukan setelah sebelumnya dilakukan proses penyelarasan (reconciled) sel-sel dalam matrik yang tersusun secara vertikal dan horizontal. Pada tahap ini, komponen impor bersainga pada sektor konsumsi rumah tangga dan permintaan akhir lainnya juga dipisahkan sehingga diperoleh matriks permintaan akhir yang berasal dari wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya untuk menyeimbangkan kedua sisi tersebut (Input dan Output) digunakan metode cross entrophy (CE). Secara empiris, selain oleh Golan, et al. (1994) dalam Robinson, et al. (1998) dan Robinson and El-Said (2000) metode disgargeasi dan keseimbangan neraca dengan menggunakan metode Cross Entrophy (CE) seperti di atas telah cukup banyak digunakan di Indonesia, seperti oleh Sugiyono (2009), Mulyono (2010), dan Kementrian PU dan BPS (2011). Metode Cross-Entropy merupakan perluasan dari metode RAS, dimana metode Cross-Entropy lebih fleksibel dan unggul untuk mengestimasi SAM ketika data scattered (tersebar) dan tidak konsisten. Sementara itu metode RAS mengasumsikan bahwa estimasi dimulai dari suatu Tabel Input – Output terdahulu yang konsisten dan hanya mengetahui tentang total baris dan kolom. Sementara, kerangka Cross-Entropy mengacu pada rentang informasi terdahulu yang lebih luas untuk digunakan secara efisien dalam estimasi (Robinson et al., 1998). Ada dua pendekatan yang digunakan dalam penerapan model Cross-Entropy, yaitu pendekatan deterministik dan pendekatan stokastik. Pendekatan deterministik digunakan apabila terdapat ketergantungan yang bersifat fungsional antara satu peubah dengan peubah lainnya. Sedangkan pendekatan stokastik digunakan apabila terdapat ketergantungan yang bersifat random antara satu peubah dengan peubah lainnya (Robinson et al., 1998; Robinson dan El-Said, 2000). Metode keseimbangan neraca dengan CE yang telah digunakan oleh Golan, et al. (1994) dalam Robinson, et al. (2000) untuk mengestimasi matriks koefisien pada tabel Input-Output. Ide yang disampaikan adalah bagaimana caranya memperoleh matriks koefisien teknis (A) dengan meminimumkan jarak entropy antara koefisien A pada matriks sebelumnya dan matriks koefisien yang baru hasil estimasi, atau secara matematik hal tersebut dapat disampaikan sebagai berikut (Golan, et al., 1994 dalam Robinson, et al., 2000):
Aij min Aij ln ........................................................................................... (9) Aij i j atau, = min Aij ln Aij Aij ln Aij i j i j dengan kendala:
AY ij
* j
Yi*
j
A
ij
1
j
dimana:
Aij
= matriks koefisien A sebelumnya xxviii
Aij = matriks koefisien A estimasi yang akan menghasilkan Tabel IO yang seimbang Y*
= matriks vektor kolom output i dan j = sektor i dan sektor j
Melalui estimasi dengan metode CE akan diperoleh matriks Tabel I-O 2012 yang dihasilkan dari proses pemutakhiran (updating) mengikuti I-O 2010, dimana jumlah output dan input seharusnya sama. Matriks I-O yang baru ini harus dikoreksi, oleh karena bisa saja terdapat nilai-nilai yang tidak logis sesuai dengan kondisi objektif perekonomian. Dalam hal ini setiap sel yang ada dalam I-O akan diamati, sehingga untuk angka yang tampak tidak logis (misalnya terlalu besar atau kecil, dan atau sebenarnya nilai tersebut harus tidak ada) dilakukan pengecekan ulang dengan menggunakan sumber informasi lain. Agar syarat keseimbangan I-O (Tabel I-O 2012) dapat dipertahankan, setelah proses koreksi selesai dilakukan, maka dilakukan kembali perhitungan atau berulang kali (iterasi) menggunakan metode CE. Ada kemungkinan tahapan ini dilakukan berulang kali (iterasi), sehingga diperoleh keseimbangan antara output dan input untuk masing-masing neraca yang logis. Data sekunder utama pada penelitian ini adalah data Tabel Input-Output Tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen dalam Tabel I-O Indonesia tahun 2010 yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) klasifikasi 192 x 192 sektor yang dimutakhirkan (updating) ke kondisi tahun 2012, dimana sektor-sektor didalamnya telah mengalami proses disagregasi khususnya terhadap 2 sektor dari kelompok industri pengolahan produk perikanan, yaitu sektor industri ikan kering dan ikan asin (S-59) yang didisagerasi menjadi sebanyak dua sektor; dan sektor industri pengolahan dan pengawetan ikan (S-060) yang didisagregasi menjadi sebanyak 12 sektor (lihat Tabel 1). Proses disagregasi Tabel I-O tersebut dikonsultasikan dan dibantu oleh pihak BPS yang didasarkan atas data Statistik Industri tahun 2010 dan disesuaikan dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia tahun 2009 (KBLI 2009). Setelah proses disagregasi dimana 2 sektor induk lama (sektor-59 dan 60) dihilangkan dari Tabel I-O, sehingga dihasilkan Tabel I-O disagregasi dengan klasifikasi matriks 204 x 204 sektor. Selanjutnya Tabel I-O hasil disagregasi klasifikasi matriks 204 x 204 sektor diagregasi kembali menjadi klasifikasi matriks 36 x 36 sektor. Analisis metode ekstraksi dilakukan dengan menggunakan basis analisis tabel I-O dalam model I-O. Tabel I-O memberikan informasi yang tentang transaksi barang dan jasa antar sektor yang terjadi di dalam perekonomian yang disajikan dalam bentuk matrik dalam satu periode waktu dan wilayah tertentu. Isian sepanjang baris menunjukkan bagaimana suatu sektor ekonomi dialokasikan ke sektor-sektor lain untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir, sedangkan isian dalam kolom menunjukkan pemakaian input antara dan input primer oleh suatu sektor dalam proses produksinya (BPS, 1999). (2) Metode Ekstraksi untuk Analisis Deindustrialisasi Dalam penelitian ini, untuk mengetahui sejaumana dampak ekonomi yang ditimbulkan jika sektor industri pengolahan produk perikanan dihilangkan dari sistem inputoutput perekonomian di Indonesia (deindutrialisasi atau ekstraksi), dilakukan analisis data dengan menggunakan metode ekstraksi. Dalam pelaksanaannya, metode ekstraksi sepenuhnya dilakukan dengan berbasiskan pada analisis model input-output, khususnya berkaitan dengan perubahan nilai koefisien keterkaitan (ke belakang dan ke depan), angka pengganda (multiplier effect) output, nilai tambah bruto, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja; dan dampak terhadap perekonomian (Nazara, 2005; Nazara dan Rosmiansyah, 2008; Maulana, 2012). Metode Ekstraksi (extraction method) dalam model input-output pertama diusulkan oleh Strassert (1968) dan Schultz (1976). Analisis metode pentingnya suatu sektor atau wilayah dalam perekonomian jika sektor dihilangkan pada sektor atau wilayah utama dalam sistem input-output. Selanjutnya perbedaan output antara dengan atau tanpa sektor dianalisis arti pentingnya elemen yang dihilangkan. Dietzenbacher et al. (1993), menyatakan bahwa arti pentingnya suatu sektor ditunjukkan dari perbedaan backward dan forward lingkage xxix
dengan atau tanpa elemen yang dihilangkan. Perbedaan output antara sistem penuh dan sistem yang diekstraksi dapat diestimasi dengan persamaan berikut: 1) Dampak perubahan backward lingkage : ...........................(3.) dimana: x = output L = matriks kebalikan leontif A = matriks input requirement F = vektor permintaan akhir Superscript I = sektor atau wilayah yang dihilangkan (extracted) Superscript R = rest dari sistem 2) Dampak perubahan forward lingkage : ...........................(3) dimana: v G
= vektor input utama = matriks inverse Ghosian yaitu matriks kebalikan koefisien teknologi sisi penawaran B = matriks output allocation : matriks koefisien penawaran Superscript I = sektor atau wilayah yang dihilangkan (extracted) Superscript R = rest dari sistem Berdasarkan hasil analisis dampak perubahan keterkaitan ke belakang dan perubahan keterkaitan ke depan tersebut, selanjutnya dapat dianalisis dampaknya terhadap perubahan angka pengganda (output, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja) dan sekaligus besaran dampaknya terhadap peubahan output, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja jika terjadi kondisi deindustrialisai (ekstraksi) terhadap usaha pengolahan produk perikanan Indonesia (Nazara, 2005; Nazara
dan Rosmiansyah, 2008; Maulana, 2012). Skenario Simulasi Penelitian (1) Dalam penelitian ini, dilakukan simulasi dengan mengasumsikan bahwa pemerintah memberikan insentif berinvestasi bagi investor yang ingin mengembangkan industri pengolahan produk perikanan untuk mendorong produktivitas, nilai tambah, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Selanjutnya pasar merespon dengan terjadinya peningkatan permintaan akhir berupa peningkatan nilai investasi di sektor industri pengolahan produk perikanan di Indonesia. Simulasi dilakukan dengan memberikan injeksi sebesar 100,00% dari nilai awal permintaan akhir investasi (kode sektor kolom 309) pada ke-14 sub sektor industri pengolahan produk perikanan sesuai dengan rata-rata peningkatan investasi sektor perikanan dalam dokumen rencana strategis kementerian kelautan dan perikanan. Analisis dilakukan dengan memberikan injeksi sebesar 100,00% dari nilai awal permintaan akhir investasi pada ke-14 sub sektor industri pengolahan produk perikanan. 11.2 Dalam simulasi ini, diasumsikan adanya de-industrialisasi, dimana sektor industri pengolahan produk perikanan berhenti beroperasi seluruhnya dikarenakan tidak ada lagi sumber bahan baku dan tidak ada substitusi impor sehingga tidak ada transaksi pada sektor tersebut. Sementara itu nilai dari hasil simulasi larangan ekspor juga tidak dapat digunakan di dalam negeri. Analisis ini dilakukan dengan mengubah koefisien teknologi yang terkait dengan sektor industri pengolahan produk perikanan yaitu xxx
dengan menghilangkan baris dan kolom ke-14 (empat belas) sub sektor industri pengololahan hasil perikanan yaitu pada kode sektor-8 hingga sektor-21. Tujuan analisis ini untuk melihat dampak dari hilangnya sektor industri pengolahan produk perikanan dalam perekonomian Indonesia melalui analisis ekstraksi (extracted method). Perubahan koefisien teknologi ini akan berdampak pada perubahan indeks keterkaitan, angka pengganda (multiplie effect), serta dampaknya pada output, nilai tambah, pendapatan masyarakat serta penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian Indonesia. 11.3 Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan ini akan dilakukan selama satu tahun sejak Januari 2015 sampai dengan Desember 2015. Lokasi kegiatan mencakup wilayah-wilayah prioritas program revitalisasi industri budidaya udang, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Lampung. 11.4
Data yang Dikumpulkan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Tabel InputOutput (I-O) Tahun 2008 dengan fokus pada perikanan primer dan 2010 updating dari Tabel I-O 2008 dengan focus pada perikenan sekunder, dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Tahun 2008, serta parameter-parameter dugaan dari sistem persamaan yang didapat dari penelitian sebelumnya dan data statistik lain (data ekonomi makro dan sektoral) yang telah diperbaharui. Data tersebut diperoleh dari sumber Badan Pusat Statistik (2012), Bank Indonesia, KKP, Kementerian Perindustrian dan lembaga-lembaga lain serta dari buku, internet dan literatur serta sumber lainnya yang sesuai dengan penelitian ini.
11.5
Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dikumpulkan melalui pendekatan studi pustaka dan pengumpulan berbagai dokumen atau laporan yang relevan dengan topic penelitian. 12 Rencana Anggaran Belanja (RAB): MA 521211 521213 521811 522141 522151 524111
Rincian Komposisi Pembiayaan Belanja Bahan Honor Output Kegiatan Belanja Barang untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Sewa Belanja Jasa Profesi Belanja Perjalanan Biasa JUMLAH
Jumlah (Rp) 13.368.680 2.567.200
Jumlah (%) 13% 2%
10.283.600
10%
8.226.880 12.340.320 57.588.160
8% 12% 56% 100%
102.836.000
xxxi
13 RENCANA PENYERAPAN ANGGARAN DAN REALISASI FISIK (PER BULAN DAN PER BELANJA) Rencana Penyerapan Anggaran Kegiatan MA
TAHAPAN
1 2 3 Total Penyerapan Anggaran/Bulan/Rp(000) 0 3,120 14,120 A. Persiapan, Studi Pustaka, Prasurvey dan Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan 521211 Belanja Bahan 0 1,320 1,320 521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0 1,800 2,200 Konsumsi 522114 Belanja Sewa 0 0 700 522115 Belanja Jasa Profesi 0 0 3,000 524111 Belanja perjalanan biasa 0 0 6,900 B. Pengumpulan Data Primer,Sekunder, dan FGD di Lapangan 521211 Belanja Bahan 0 0 0 521213 Honor Output Kegiatan 0 0 0 521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0 0 0 Konsumsi 522114 Belanja Sewa 0 0 0 522115 Belanja Jasa Profesi 0 0 0 524111 Belanja perjalanan biasa 0 0 0 C. Pengolahan Data, Analisis Data, Penyusunan Laporan dan Dokumen Capaian Output 521211 Belanja Bahan 0 0 0 521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0 0 0 Konsumsi 522115 Belanja Jasa Profesi 0 0 0 524111 Belanja perjalanan biasa 0 0 0 D. Seminar dan Sosialisasi Hasil Dengan Stakeholder 521211 Belanja Bahan 0 0 0 521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0 0 0 Konsumsi 522115 Belanja Jasa Profesi 0 0 0
BULAN KE-( Rp.000) 5 6 7 14,810 21,515 11,855
4 14,822
8 24,890
9 175
10 8,560
11 13,870
12 8,280
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
1,500 800
620 0
1,980 800
620 0
1,980 800
175 0
0 0
0 0
0 0
800
800
800
800
800
0
0
0
0
0 0 11.722
2,800 900 9.690
2,800 1,500 13.635
0 0 10.435
4,200 1,900 15.210
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
2,320
2,620
1,500
1,500
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1,500 3,240
4,500 5,250
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
3,280
0
0
0
0
0
0
0
0
3,000
xxxii
2,000
Rencana Realisasi Fisik MA
TAHAPAN
1 2 3 REALISASI FISIK/BLN/% 0% 4% 12% A. Persiapan, Studi Pustaka, Prasurvey dan Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan 521211 Belanja Bahan 0% 2% 2% 521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0% 2% 2% Konsumsi 522114 Belanja Sewa 0% 0% 2% 522115 Belanja Jasa Profesi 0% 0% 0% 524111 Belanja perjalanan biasa 0% 0% 2% B. Pengumpulan Data Primer,Sekunder, dan FGD di Lapangan 521211 Belanja Bahan 0% 0% 0% 521213 Honor Output Kegiatan 0% 0% 0% 521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0% 0% 0% Konsumsi 522114 Belanja Sewa 0% 0% 0% 522115 Belanja Jasa Profesi 0% 0% 0% 524111 Belanja perjalanan biasa 0% 0% 0% C. Pengolahan Data, Analisis Data, Penyusunan Laporan dan Dokumen Capaian Output 521211 Belanja Bahan 0% 0% 0% 521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0% 0% 0% Konsumsi 522115 Belanja Jasa Profesi 0% 0% 0% 524111 Belanja perjalanan biasa 0% 0% 0% D. Seminar dan Sosialisasi Hasil Dengan Stakeholder 521211 Belanja Bahan 0% 0% 0% 521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0% 0% 0% Konsumsi 522115 Belanja Jasa Profesi 0% 0% 0%
4 22%
5 35%
BULAN KE-( %) 6 49%
7 58%
8 72%
9 74%
10 82%
11 92%
12 100%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
2% 1%
2% 0%
2% 1%
2% 0%
2% 1%
2% 0%
2%
2%
2%
2%
2%
0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 5%
1% 3% 5%
1% 3% 5%
0% 0% 5%
1% 3% 5%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
2%
3%
2%
2%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
2% 2%
2% 3%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
4%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
2%
xxxiii
3%
14 DAFTAR PUSTAKA Bourgeois, R and F. Jesus. 2004. Participatory Proepective Analysis, Exploring and Anticipating Chalanges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverty through Secondary Crops Development in Asia and The Pacific and French Agricultural Research center for International development. Monograph (46): 1-29. Durance, P., and M. Godet. 2010. Scenaerion Building: Technol.Forecast.Sos. Change, 77: 1488-1492.
Uses and Abuses.
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1. Edisi Ketuga, IPB Press. Geoffrey, M., D.DeMatteo, D.Festinger. 2005. Essentials of Research Design and Methodology. New Jersey: John Willey and Sons. Husaini, U dan Akbar P.S. 2009.Metode Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Jakarta Gottschalk, L. 1975/ Pengantar Metode Sejarah. Universitas Indonesia. Jakarta. Gujarati, D.N. 2004. Baasic Econometrica. Fourth Edition. New York: The McGraw-Hill Company. Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Permodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor. Kholistianingsih dan Hardiansyah. 2005. Jenis-jenis Penelitian Secara Umum dan Pendekatannya. Yogyakarta: JurusanTeknik Elektro UGM. Diunduh dari websitehttp://te.ugm.ac.id/ ~risanuri/v01/wp-content/uploads/2011/05/final-hardi-dankholis.pdf pada tanggal 2 Maret 2015. Mangkusubroto, K. dan Trisnadi C.L. 1985. Analisis Keputusan Pendekatan Sistem dan Manajemen Usaha dan Proyek. Ganesa Exacta. Bandung. 271 hlm. Marzuki, 2002. Metodoligi Riset, Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta. Nazir, M.. 2003. Metode Ilmiah. Ghalia Indonesia. Jakarta. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta. Tiara Wacana. Ramsay, C.R., L. Matowe, R. Grilli, J.M. Grimshaw, and R.E. Thomas. 2003. Interrupted Time Series Designs in Health Technology Assesment: Lessons From Two Systematic Reviews of BeahviourChange Strategies. International Journal of Health Technology Assesment in Health Care; 19: 613-23. Syamsudin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Sugiyono, 2011.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfabeta.Bandung. Wagner, A.K., S.B. Soumerai, F. Zhang and D. Ross-Degnan. 2002. Segmented Regression Analysis Of Interrupted Time Series Studies In Medication Use Research. Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics (2002) 27, 299–309. Widarjono, A. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisis Kedua. Penerbit Ekonisia. Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta. xxxiv
xxxv
RINGKASAN Sektor perikanan merupakan salah satu sektor penting yang memiliki nilai strategis bagi pembangunan nasional. Dibutuhkan sumber-sumber pertumbuhan agar sektor ini dapat semakin berperan dalam perekonomian, diantaranya adalah melalui peningkatan investasi dan ekspor. Untuk itu, diperlukan penelitian yang dapat memberikan bahan masukan formulasi kebijakan perbaikan kinerja perekonomian sektor perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui dampak pengembangan investasi perikanan terhadap kinerja ekonomi makro nasional dan kinerja ekonomi mikro sektor perikanan; dan (2) Mengetahui dampak deindustrialisasi usaha pengolahan produk perikanan sebagai sub sektor perikanan sekunder terhadap kinerja perekonomian usaha perikanan tangkap dan budidaya sebagai sub sektor perikanan primernya, serta sektor-sektor lainnya dalam perekonomian Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang dari Tabel InputOutput dan Tabel SNSE yang diterbitkan oleh BPS serta beberapa sumber lain yang relevan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan model ekonomi keseimbangan umum dan model analisis input-output. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan memberikan dampak meningkatkan kinerja ekonomi makro nasional, terutama yang dilakukan secara simulatan (besama-sama). Hal ini, seperti terlihat dari pertumbuhan nilai PDB riil di tingkat nasional yang bernilai positif apabila investasi usaha dikuti oleh peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan ditingkatkan secara bersama. Secara umum, peningkatan investasi maupun ekspor perikanan mengakibatkan peningkatan output dari usaha-usaha di sektor perikanan. Hal ini menunjukkan pentingnya investasi dan ekspor untuk mendukung peningkatan output; di samping itu, hal ini juga mengindikasikan bahwa untuk semua sektor perikanan yang dianalisis, akibat peningkatan investasi dan ekspor baik secara masing-masing maupun bersama-sama mengalami peningkatan produktivitas dan atau peningkatan penawaran di sektor-sektor perikanan tersebut lebih besar dibandingkan dengan penurunan permintaan. Namun, secara relatif hasil dampak yang terbaik dalam memberikan dampak output terbesar diperoleh dari hasil peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan secara bersama (simultan). Untuk seluruh kegiatan usaha (sektor) yang menghasilkan komoditas/produk di sektor perikanan, peningkatan investasi usaha perikanan memberikan dampak menurunkan tingkat harga di sektor perikanan. Sebaliknya peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan mengakibatkan peningkatan tingkat harga di seluruh sektor perikanan. Namun bila peningkatan ekspor tersebut dilakukan bersama dengan peningkatan investasi usaha perikanan, ternyata memberikan dampak terhadap penurunan tingkat harga di sektor perikanan, meskipun penurunannya masih lebih rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan dari peningkatan investasi. Dalam hal dampaknya terhadap jumlah penyerapan tenaga kerja, secara umum peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan perikanan mengakibatkan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Simulasi peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan akan berdampak meningkatkan output perekonomian, nilai tambah bruto (NTB), pendapatan masyaraat dan penyerapan tenaga kerja. Pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, subsektor yang mengalami dampak peningkatan terbesar adalah sub sektor industri penggaraman/pengeringan biota air lainnya. Sedangkan sektror lain dengan dampak terbesar dirasakan oleh sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor ikan dan produk perikanan budidaya. Pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, dampak terbesar baik terhadap output ekonomi, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja peningkatan terjadi pada sektor industri penggaraman/pengeringan ikan dan pada sektor industri penggaraman/pengeringan biota air lainnya. Simulasi industri berhenti beroperasi (deindustrialisasi) pada sektor industri xxxvi
pengolahan hasil perikanan dengan metode ekstraksi akan berdampak pada penurunan nilai keterkaitan ke belakang total pada seluruh sektor dalam perekonomian. Dengan dampak penurunan daya penyebaran terbesar pada sektor perdagangan, hotel dan restoran karena sektor ini membutuhkan input produksi terbesar dari sektor industri pengolahan hasil perikanan dibandingkan sektor lainnya. Selain itu juga berdampak pada penurunan nilai keterkaitan ke depan pada seluruh sektor dalam perekonomian. Berdasarkan temuan tersebut maka dalam memformulasi kebijakan meningkatkan investasi usaha di sektor perikanan, maka hal yang harus diperhatikan adalah bahwa pertumbuhan investasi yang ditandai dengan peningkatan produktivitas akan meningkatkan kinerja ekonomi makro maupun sektoral. Untuk itu, diperlukan dukungan iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi di sektor perikanan. Kondisi yang demikian dapat dicapai antara lain dengan pemberian izin investasi yang tidak berbelit-belit, penghapusan berbagai pungutan baik resmi maupun tidak resmi yang tidak berkaitan dengan biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan perikanan, serta terciptanya keamanan di lingkungan perusahaan dan di dalam negeri. Sementara untuk kebijakan meningkatkan ekspor komoditas/produk perikanan dapat dilakukan dengan melakukan penerobosan (penetrasi) pasar di pasar-pasar yang telah lama menjadi tujuan ekspor, menggali potensi-potensi pasar di pasar-pasar yang belum digarapkan secara kuat dengan diikuti promosi yang efektif. Khusus untuk formulasi kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan tangkap laut, semestinya harus tetap memperhatikan dan mencermati bahwa dalam perspektif sumberdaya perikanan tangkap, tidak selamanya peningkatan investasi dan ekspor tersebut akan berdampak positif. Hal ini karena sifat unik dari sumberdaya perikanan tangkap, khususnya perikanan laut, dimana pemanfaatan lestari sumberdaya perikanan harus selalu dijaga agar tidak melebihi kondisi tingkat Maximum Sustainability Yield (MSY). Bila hal ini tidak diperhatikan, maka akan ada satu kondisi backward bending dimana semakin ditambahnya penggunaan input yang terjadi justru mengakibatkan jumlah output yang dihasilkan akan semakin berkurang dan biaya operasionalnya semakin besar, sehingga pencapaian kondisi pemafaatan optimum secara lestari terhadap sumberdaya perikanan tangkap laut harus selalu dijaga.
xxxvii
xxxviii
DAFTAR ISI Halaman: LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………………...
iii
COPY RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN (ROKP) ….
v
RINGKASAN ……………………………………………………………………….
xxxvi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..
xxxix
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………....
xli
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………......
xlv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….……….. I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………..
xlviii 1
1.1. Latar Balakang dan Masalah ………………………………………………..
1
1.2 Tujuan ………………………………………………………………………...
6
1.3. Perkiraan Keluaran ……………………………………………………………
6
II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………………
8
2.1 Pengertian dan Cakupan Investasi ……………………………………….
8
2.2 Pengukuran Investasi .....................................................................................
8
2.3 Teori Makro Ekonomi tentang Investasi …………….…………………..
10
2.4 Determinasi Fungsi Investasi .................................................................
13
2.5 Tingkat Bunga, Investasi dan Kurva IS …………………………………..
16
III. METODOLOGI …………………………………………………………….....
21
3.1 Jenis Penelitian ………………….…………………………………………
21
3.2 Jenis dan Sumber Data …………………………………………………….
21
3.3 Metode Analisis Data ………………………………………………………
21
3.3.1 Metode Analisis Model Ekonomi Keseimbangan Umum ...........
21
3.3.2 Metode Analisis Model Input-Output ……………………………..
33
3.4 Waktu dan Lokasi Penelitian ………………………………………………..
49
3.5 Jenis dan Sumber Data …………………………………………………….
49
3.6 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................
49
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………….
51
4.1 Profil Industri dan Perkembangan Investasi di Sektor Perikanan .......
51
4.2 Dampak Pengembangan Investasi Perikanan terhadap Kinerja
xxxix
Ekonomi Makro Nasional ………………………………………….
57
4.3 Dampak Peningkatan Investasi Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi
60
Mikro di Sektor Perikanan .................................................................. 4.3.1 Dampak terhadap Output Perikanan …………………………………
60
4.3.2 Dampak terhadap Tingkat Harga di Sektor Perikanan ………………
62
4.3.3 Dampak terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Perikanan ….
65
4.4 Dampak Peningkatan Investasi untuk Pengembangan Industri
Pengolahan Produk Perikanan (Perikanan Sekunder) terhadap Perekonomian Indonesia ..........................................................................
68
4.4.1 Dampak terhadap Output .....................................................................
68
4.4.2 Dampak terhadap Nilai Tambah Bruto ................................................
69
4.4.3 Dampak terhadap Pendapatan Masyarakat ..........................................
71
4.4.4 Dampak terhadap Penyerapan Tenaga Kerja .......................................
72
4.5 Dampak Simulasi Deindustrialisasi Usaha Pengolahan Produk Perikanan Indonesia .......................................................................................................
74
4.5.1 Dampak terhadap Perubahan Keterkaitan Antarsektor .........................
74
4.5.2 Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda ..................................
76
4.5.2.1 Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda Output .........
77
4.5.2.2 Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda NTB ………
78
4.5.2.3 Dampak terhadap Pendapatan ………………………………
79
4.5.2.4 Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda Tenaga Kerja ......................................................................................
80
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ………………………….
82
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………………..
82
5.2 Implikasi Kebijakan ………………………………………………………..
84
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………
88
LAMPIRAN ………………………………………………………………………...
93
xl
xli
DAFTAR TABEL Judul Tabel:
Halaman:
Tabel 2. Disagregasi Sektor Perikanan Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2008 dari Klasifikasi 66 Sektor menjadi 75 Sektor .........................................................
29
Tabel 2. Kerangka Dasar Tabel Input-Output Tunggal ..............................................
36
Tabel 4. Analisis Keterkaitan ke Depan (Forward Lingkage) ………………………. Tabel 4. Total Factor Productivity (TFP) dalam Budidaya Polikultur Ikan Jenis Carp Tahun 1998-1999 ...........................................................................................
40 40
Tabel 5. Perhitungan Pengganda Output, Pendapatan Masyarakat, Lapangan Kerja dan NTB ..........................................................................................................
41
Tabel 6. Dampak Perubahan Output, Pendapatan masyarakat, Lapangan Kerja dan Nilai Tambah Bruto (NTB) ..........................................................................
42
Tabel 7. Tabel Disagregasi Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Pada Tabel I-O Indonesia 2010 Updating dari 2008 Sesuai KBLI 2009 ...........................
43
Tabel 8. Tabel I-O Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Tahun 2010 Updating 2008 Klasifikasi Matriks 36 x 36 Sektor .......................................
43
Tabel 9. Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) per Provinsi di Indonesia Menurut Jenis Pengolahannya Tahun 2011 …………………………………………………
52
Tabel 10. Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan Jenis Produk Skala Besar per Provinsi Tahun 2011 …………………………………………………………
53
Tabel 11. Produk Domestik Bruto Industri Pengolahan produk Perikanan Atas Dasar Harga Berlaku, tahun 2009-2011 (Juta Rupiah) ……………………………..
54
Tabel 12. Perkembangan Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Tahun 2008 – 2012 ……………….……….
56
Tabel 13. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor di Sektor Perikanan Indonesia terhadap Kinerja Makro Ekonomi Nasional (Perubahan Persentase) ....................................................................................................
57
Tabel 14. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Output di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase) ..................................
60
Tabel 15. Selisih Dampak Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Output di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase) .....................
62
Tabel 16. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Tingkat Harga di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase) .....................
63
Tabel 17. Selisih Dampak Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Tingkat Harga di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase) ............
64
Tabel 18. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Masing-masing Sektor (Perubahan Persentase)
65
Tabel 19. Selisih Dampak Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase) ......................................................................................................
67
xlii
Tabel 20. Analisis Dampak Peningkatan Investasi sebesar 100% Pada Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan terhadap Perubahan Output Ekonomi Indonesia, 2010 .............................................................................................
68
Tabel 21. Analisis Dampak Peningkatan Investasi sebesar 100% Pada Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan terhadap Perubahan Nilai Tambah Bruto Indonesia, 2010 ...............................................................................................
70
Tabel 22. Analisis Dampak Peningkatan Investasi Pada Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Terhadap Perubahan Pendapatan Masyarakat Indonesia, 2010 ................................................................................................................
71
Tabel 23. Analisis Dampak Peningkatan Investasi Pada Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Terhadap Perubahan Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia, 2010 ................................................................................................................
73
Tabel 24. Perubahan Angka Keterkaitan Ke Belakang (Backward Lingkage) dan keterkaitan ke Depan (Foreward Lingkage) Sebelum dan Sesudah Ekstraksi
75
Tabel 25. Angka Pengganda Output, Nilai Tambah Bruto, Pendapatan Masyarakat dan Penyerapan Tenaga Kerja Setelah Ekstraksi dan Perubahannya ............
76
xliii
xliv
DAFTAR GAMBAR Judul Gambar:
Halaman:
Gambar 1. Fungsi Investasi .........................................................................................
14
Gambar 2. Tabungan, Investasi dan Tingkat Suku Bunga ...........................................
15
Gambar 3. Hubungan Tingkat dan Kuantitas Investasi dalam Kenaikan Permintaan Investasi .......................................................................................................
16
Gambar 4. Hubungan Tingkat Suku Bunga, Investasi dan Pendapatan ........................
17
Gambar 5. Hubungan Ekonomi Makro dalam Modal CGE ..................................
23
Gambar 6. Database Input-Output Model CGE untuk Indonesia ...............................
24
Gambar 7. Prosedur GEMPACK dalam Melakukan Running File Tablo dan File sti
31
Gambar 8. Prosedur Memperoleh File Solusi pada GEMPACK ....................
32
xlv
xlvii
DAFTAR LAMPIRAN Judul Lampiran: Lampiran 1.
Halaman:
Naskah Karya Tulis Ilmiah (KTI) 1: Dampak Perubahan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro Nasional dan Ekonomi Mikro Sektor Perikanan (Analisis Pendekatan Model EKonomi Keseimbangan Umum) ……………….……………………
Lampiran 2. Naskah Karya Tulis Ilmiah (KTI) 2: Dampak Peningkatan Investasi untuk Pengembangan Industri Pengolahan Produk Perikanan Indonesia terhadap Perekonomian Nasional …………………………………….. Lampiran 3.
93 109
Naskah Karya Tulis Ilmiah (KTI) 3: Simulasi Dampak Ekonomi “Deindustrialisasi” Usaha Pengolahan Produk Perikanan Indonesia (Analisis Pendekatan Model Input-Output) …………………………...
132
Lampiran 4. Naskah Rekomendasi Kebijakan (RK): Memperbaiki Kinerja Perekonomian Sektor Perikanan melalui Peningkatan Investasi dan Ekspor ……………………………………………………………
155
xlviii
xlix
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah Saat ini Indonesia telah menjadi salah satu negara produsen utama perikanan dunia, disamping Tiongkok, Peru, Amerika Serikat dan beberapa negara kelautan lainnya. Produksi perikanan tangkap Indonesia pada tahun 2010 hingga 2011 berada pada peringkat ke-3 dunia dengan produksi sebesar 5.708 ribu ton dan pada tahun 2012 posisinya naik menjadi peringkat ke-2 dunia setelah Tiongkok dengan produksi sebesar 5.814 ribu ton serta kenaikan rata-rata produksi per tahun mencapai 27% sejak tahun 2003. Selain itu, Indonesia juga berkontribusi sebesar 4,6% dalam produksi perikanan budidaya dunia. Sampai dengan tahun 2012 produksi perikanan budidaya Indonesia berada pada urutan ke-4 dunia dengan total produksi sebesar 3.068 ribu ton (FAO, 2014). McKinsey Global Institute (2012), menyebutkan bahwa pada tahun 2030 ekonomi Indonesia diprediksi akan menempati posisi ketujuh dunia dan akan mengungguli negaranegara eropa seperti Jerman dan Inggris. Perekonomian Indonesia diprediksi akan ditopang empat sektor utama yaitu bidang jasa, pertanian, perikanan serta sumber daya alam. Sedangkan dari sisi preferensi ketersediaan pangan tampaknya akan mengalami pergeseran pola pikir menuju pola makan sehat dari daging merah ke daging putih atau ikan. Oleh karena itu, guna menjaga posisi perikanan Indonesia tersebut, khususnya terkait produsen perikanan dunia dan perannya dalam menopang perekonomian, maka pemerintah terus mendorong pengembangan industri produk perikanan agar dapat meningkatkan nilai tambah dari total kegiatan usaha perikanan Indonesia dan perdagangan internasional (ekspor) produk perikanan Indonesia (Sunoto. 2012). Secara makro, posisi Indonesia tersebut telah mampu mampu meningkatkan kinerja PDB sektor perikanan selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 yang mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 5,57% per tahun. Pertumbuhan PDB sektor perikanan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata kelompok usaha pertanian secara total yaitu sebesar 3,45% per tahun maupun pertumbuhan PDB nasional dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5,55% per tahun. Tren data ini menunjukkan bahwa di masa depan, sektor perikanan sangat berpotensi menjadi kontributor tertinggi dalam pembentukan PDB dibandingkan dengan sektor lainnya dalam kelompok usaha pertanian (Balitbang KP, 2014). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkonsentrasi untuk menggenjot produksi dan pendapatan nelayan termasuk mengembangkan wirausaha mandiri lewat strategi industrialisasi kelautan dan perikanan. Dari itu pada tahun 2014, sektor kelautan dan perikanan, khususnya perikanan mematok PDB sebesar Rp 65,84 triliun atau mengalami 1
peningkatan sekitar 6,75 persen dari PDB perikanan pada 2010 yang besarnya Rp 50,70 triliun. (Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C.Sutardjo, 2014). Sedangkan PDB per kapita tahun 2013 (BPS) mencapai level tertinggi dalam sejarah perekonomian Indonesia dan diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi lagi. Namun, apakah PDB per kapita adalah tolak ukur kesejahteraan yang cocok untuk masyarakat perikanan, di mana dicirikan oleh tingkat perbedaan yang cukup tinggi terutama dalam distribusi pendapatan, masih menjadi tanda tanya. Perbedaan pendapatan masih terdapat kesenjangan antara stastistik dengan realitas, contoh kekayaan orang terkaya Indonesia yang (0.02 persen) dari total penduduk Indonesia adalah setara dengan 25 persen PDB Indonesia. Kekayaan 0.02 persen orang terkaya mecakup 10.3 persen dari PDB (jumlah ini berbanding sama dengan jumlah kekayaan 60 juta orang Indonesia termiskin, sebagiannya adalah masyarakat perikanan. Angka-angka ini mengindikasikan konsentrasi kekayaan yang besar berada di dalam kalangan elit yang kecil. Dan kesenjangan distribusi pendapatan ini diprediksi BPS akan semakin meluas ke depan. Kebijakan investasi perikanan bertujuan untuk meningkatkan kinerja sektor perikanan secara luas (perikanan tangkap, budidaya dan pengolahan produk perikanan) yang mempengaruhi ekonomi makro. Sektor-sektor ekonomi makro kelautan dan perikanan saling terkait satu dengan yang lainnya, langsung atau tidak langsung. Misalnya sektor kelautan dan perikanan dalam menarik investasi dari luar sangat dipengaruhi oleh pembangunan sektor industri komoditas hasil perikanan, maka efektivitas kebijakan terhadap Kinerja Ekonomi Makro Sektor Kelautan Dan Perikanan
ikut ditentukan oleh faktor-faktor
kebijakan lain di sektor luar kelautan dan perikanan. Dalam hal ini, efektivitas dari kebijakan investasi komoditas perikanan dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan luar negeri, industri dan perburuhan. Dengan demikian, koordinasi antar institusi kementerian yang saling terkait atau keharmonisan antar kebijakan sangat membantu meningkatkan efektivitas kebijakan investasi perikanan secara luas, baik pada perikanan primer (industri perikanan budidaya dan tangkap) maupun perikanan perikanan sekunder (industri pengolahan produk perikanan). Pembangunan nasional diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi makro sektor perikanan, diperlukan intervensi investasi pemerintah dan menrong investasi swasta dan masyarakat. Investasi ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja industrialisasi perikanan Indonesia yang sangat prospektif untuk terus dikembangkan. Namun demikian, agar dapat bersaing di era global dan pasar bebas di masa depan, pengembangan industri yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya alam (natural resources) seperti perikanan sebagai salah satu keunggulan komparatif tidaklah cukup tanpa diimbangi dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi. Hal ini diperlukan untuk mengembangkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. 2
Pengembangan industri sebagai upaya meningkatkan nilai tambah tidak mungkin hanya mengandalkan sumber daya yang melimpah namun sangat perlu untuk dikembangkan industri hilir berupa industri pengolahan produk perikanan. Pengintegrasian secara vertikal antara kegiatan usaha di kelompok perikanan primer (baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya) sebagai penyedia bahan baku dengan kelompok perikanan sekunder (industri pengeringan dan penggaraman ikan dan industri pengolahan dan pengawetan ikan) sangatlah penting. Semakin kuat sektor perikanan (sebagai kelompok perikanan primer) terintegrasi dengan sektor industri pengolahan produk perikanan (sebagai kelompok perikanan sekunder), semakin strategis sektor perikanan tersebut, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian bila sektor perikanan dikembangkan maka dengan sendirinya sektor industri pengolahan produk perikanan sebagai kelompok perikanan sekunder akan juga berkembang. Sebaliknya bila perikanan sekunder tersebut dikembangkan, maka perikanan primer juga akan berkembang. Kurangnya mengintegrasikan kedua kelompok perikanan tersebut diduga menjadi salah satu penyebab penurunan utilitas dan kapasitas produksi dari kelompok perikanan sekunder, bahkan hilangnya potensi peneriman baik di sektor privat maupun publik. Hubungan simbiosis yang terjadi dari kedua kelompok perikanan tersebut, pada gilirannya dapat menumbuhkan derajat sinergis dalam meningkatkan produktivitas dan kontribusi nilai tambah secara keseluruhan bagi perekonomian nasional (Nikijuluw, 2005). Di dalam rancangan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035, industri pengolahan produk perikanan diposisikan sebagai salah satu industri prioritas melalui kebijakan pengembangan industri pangan berbasis perikanan guna mendukung kebijakan ketahanan pangan nasional (Permen Perin., 2009). Selain itu, untuk mendukung kebijakan nasional industrialisasi kelautan dan perikanan, pembangunan industri pengolahan produk perikanan diarahkan untuk meningkatkan produksi, produktivitas, nilai tambah, serta daya saing komoditas dan produk perikanan guna mensejahterakan masyarakat dan pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Melalui berbagai kebijakan tersebut sangat diharapkan adanya peningkatan kontribusi secara positif dari sektor industri pengolahan produk perikanan terhadap perekonomian Indonesia (Kemenperin, 2014a) . Adanya tuntutan diversifikasi produk otomatis memposisikan industri pengolahan perikanan menjadi sangat vital dalam pembangunan ekonomi. Industrialisasi perikanan tentu memerlukan sinergi industri perikanan dari hulu sampai hilir agar bersama-sama dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Bagi Indonesia yang konsumsi ikan masyarakatnya masih rendah dibanding negara maju, kehadiran industri pengolahan produk perikanan lebih banyak diarahkan untuk memenuhi pasar ekspor. Karena itu untuk bisa bersaing di pasar 3
internasional perlu didorong dan dikembangkan agar bisa menghasilkan produk yang memiliki mutu yang baik, aman dikonsumsi, tersedia secara berkesinambungan, berdaya saing secara ekonomis, serta sesuai dengan selera masyarakat dengan menjaga kualitas produk sesuai standar mutu yang berlaku. Adanya pengembangan hilirisasi produksi perikanan dengan meningkatkan output industri pengolahan produk perikanan diharapkan dapat menjadi motor utama penggerak produktivitas di sektor perikanan serta dapat berkontribusi bagi sektor lainnya dalam perekonomian nasional. Untuk itu diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui seberapa besar peranan industri pengolahan produk perikanan dalam perekonomian Indonesia (Kemenperin, 2014b). Secara nasional, proses industrilasisasi ini sangat penting karena industrialisasi sebagai transformasi struktural dalam suatu negara. Oleh sebab itu, proses industrialisasi dapat didefinisikan sebagai proses perubahan struktur ekonomi dimana terdapat kenaikan kontribusi sektor industri dalam permintaan konsumen, PDB, ekspor dan kesempatan kerja (Chenery et al., 1986).
Adanya pengembangan hilirisasi produksi
perikanan dengan meningkatkan output industri pengolahan hasil perikanan diharapkan dapat menjadi motor utama penggerak produktivitas di sektor perikanan serta dapat berkontribusi bagi sektor lainnya dalam perekonomian nasional (Sunoto, 2012; Kemenperin, 2014a) Industri pengolahan produk perikanan merupakan industri yang sangat potensial dan strategis untuk terus dikembangkan di masa mendatang karena sektor ini sangat didukung oleh adanya ketersediaan sumber daya alam perikanan, sumber daya manusia di bidang perikanan serta peluang pasar domestik dan internasional yang sangat besar. Guna menuwujudkan pengembangan industri pengolahan produk perikanan tersebut dibutuhkan investasi dalam jumlah yang signifikan. Secara teoritis, investasi tersebut diperlukan karena dalam jangka pendek investasi akan mempengaruhi permintaan agregat dan akan mendorong meningkatnya output dan kesempatan kerja. Dalam jangka panjang akan terjadi pembentukan modal kapital yaitu penambahan peralatan mesin dan bangunan. Hal tersebut akan meningkatkan output dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan (Mankiw, 2007). Investasi tersebut diantaranya diperlukan
untuk membangun unit
pengolahan ikan (UPI) baru dan meningkatkan kapasitas UPI-UPI lama. Dari data laporan realisasi penanaman modal berdasarkan izin usaha tetap yang dibuat oleh BKPM, tercatat bahwa pada tahun 2012 melalui penanaman modal pada industri pengolahan prouk perikanan adalah sebesar 273.381 ribu dolar (Rp.328.057,2 juta), yang terdiri dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) senilai 235.406 ribu dolar (Rp282.487,2 juta) dengan 11 proyek, sedangkan melalui penanaman modal asing (PMA) senilai 37.975 ribu dolar (Rp.455.700 juta) dengan 26 proyek. Alokasi investasi tersebut dilakukan pada 4
pengembangan industri pengolahan, pengawetan maupun pengalengan ikan dan biota air lainnya (BKPM, 2014). Upaya pemerintah tersebut, diantaranya tercermin dari perkembangan unit pengolahan ikan (UPI) di Indonesia. Jumlah industri pengolahan produk perikanan berupa UPI pada tahun 2010 sebanyak 60.117 unit. UPI tersebut tersebar di Jawa Timur sebanyak 10.640 unit, Jawa Tengah 8.350 unit, Jawa Barat 5.966 unit, Kalimantan Selatan 3.660 unit, dan Nusa Tenggara Barat 3.550 unit. Sedangkan pada tahun 2012 jumlah UPI telah meningkat sebesar 6,5% menjadi 64.028 unit serta telah mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1.352.936 orang dengan rata-rata pekerja sejumlah 21 orang per UPI. Demikian pula dalam perdagangan internional (ekspor), pemerintah telah berhasil mendorong kontribusi sektor perikanan pada devisa negara sehingga berada pada peringkat kelima nasional. Meskipun lebih banyak diekspor dalam bentuk bahan mentah (produk ikan segar), tercatat bahwa ekspor hasil perikanan pada saat ini telah mengarah pada produksi bernilai tambah (melalui proses pengolahan), dengan pertumbuhan pada periode tahun 2011 hingga 2012 sebesar 11,62% (KKP, 2013). Melihat posisi dan peran perikanan tersebut, menunjukkan bahwa Industrialisasi perikanan Indonesia sangat prospektif untuk terus dikembangkan. Namun demikian, pengembangan industri perikanan sebagai upaya meningkatkan nilai tambah tidak mungkin hanya mengandalkan sumber daya yang melimpah, tetapi sangat perlu didukung oleg pengembagang industri hilir berupa industri pengolahan hasil perikanan. Pengintegrasian secara vertikal antara kegiatan usaha di kelompok perikanan primer (baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya) sebagai penyedia bahan baku dengan kelompok perikanan sekunder (industri pengolahan produk perikanan) sangatlah penting. Dengan demikian bila sektor perikanan dikembangkan maka dengan sendirinya sektor industri pengolahan hasil perikanan sebagai kelompok perikanan sekunder akan juga berkembang. Sebaliknya bila perikanan sekunder tersebut dikembangkan, maka perikanan primer juga akan berkembang. Kurangnya mengintegrasikan kedua kelompok perikanan tersebut diduga menjadi salah satu penyebab penurunan utilitas dan kapasitas produksi dari kelompok perikanan sekunder, bahkan hilangnya potensi peneriman baik di sektor privat maupun publik. Hubungan simbiosis yang terjadi dari kedua kelompok perikanan tersebut, pada gilirannya dapat menumbuhkan derajat sinergis dalam meningkatkan produktivitas dan kontribusi nilai tambah secara keseluruhan bagi perekonomian nasional (Nikijuluw, 2005). . Untuk itu, penelitian dilakukan dengan tujuan mengetahui dampak pengembangan investasi perikanan terhadap perekonomian Indonesia seperti pada pembentukan output, nilai tambah, pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja di tingkat nasional. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam pembuatan kebijakan 5
pengembangan industri perikanan tangkap, budidaya dan pengolahan produk perikanan terkait kebijakan industrialisasi sektor perikanan.
1.2 Tujuan (1) Mengetahui dampak pengembangan investasi perikanan terhadap kinerja ekonomi makro nasional dan kinerja ekonomi mikro sektor perikanan. (2) Mengetahui dampak deindustrialisasi usaha pengolahan produk perikanan sebagai sub sektor perikanan sekunder terhadap kinerja perekonomian usaha perikanan tangkap dan budidaya sebagai sub sektor perikanan primernya, serta sektor-sektor lainnya dalam perekonomian Indonesia.
1.3 Perkiraan Keluaran (1) Tersedianya satu paket data dan informasi terkait dengan penelitian dampak pengembangan investasi perikanan terhadap kinerja ekonomi makro Indonesia dan perekonomian sektor perikanan. (2) Tersedianya satu buah rekomendasi kebijakan, dan satu buah karya tulis ilmiah (KTI) terkait dengan dampak kebijakan perbaikan kinerja perekonomian sektor perikanan melalui peninghkatan investasi dan ekspor.
6
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Cakupan Investasi Investasi dapat diartikan sebagai setiap kegiatan yang meningkatkan kemampuan ekonomi untuk memproduksi output di masa yang akan datang, dalam hal ini investasi tidak hanya berupa pertumbuhan persediaan fisik modal, tetapi juga menyangkut investasi sumberdaya manusia (Dornbusch et al., 2001). Menurut Mankiw (2007), investasi juga merupakan salah satu bagian terpenting dalam pembangunan ekonomi, yaitu untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (negara atau wilayah) yang terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Secara konseptual, investasi adalah perubahan dalam input-tetap (fixed inputs) yang digunakan dalam proses produksi. Dalam defenisi yang lebih sempit, investasi adalah perubahan dalam stok kapital fisik, yaitu input fisik yang mempunyai umur ekonomi satu tahun atau lebih. Dengan kata lain, investasi adalah pembentukan modal-tetap (fixed capital formation) seperti pendirian bangunan/konstruksi, pembelian barang modal baru dari dalam negeri dan pembelian barang modal baru dan bekas dari luar negeri (BPS, 2000). Investasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: residensi dan investasi persediaan.
investasi tetap bisnis, investasi tetap
Investasi tetap bisnis adalah pembelian pabrik dan
peralatan baru oleh perusahaan. Investasi tetap residensi adalah pembelian rumah baru oleh rumahtangga dan tuan tanah. Sementara investasi persediaan adalah peningkatan dalam persediaan barang perusahaan (Mankiw, 2003).
Selanjutnya Mankiw (2007) juga
menjelaskan bahwa akibat peningkatan investasi dapat meningkatkan permintaan agregat seperti dalam model ekonomi Keynesian, dan juga dapat meningkatkan penawaran agregat melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi (Mankiw, 2003).
2.2 Pengukuran Investasi Kebutuhan untuk mengukur pembentukan modal di Indonesia meningkat pada awal tahun 1950an, yang merupakan bagian utama dari proses perencanaan ekonomi makro pada Biro Perencanaan Negara (BPN atau yang sekarang bernama Badan Perencanaan Nasional – Bappenas) yang mencapai puncaknya pada Repelita I (1956-1960). Bagian besar dalam kerja awal BPN dipusatkan pada identifikasi cara untuk memacu tingkat pembentukan modal guna mencapai tingkat investasi yang mendorong lepas landa ke arah pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Mears dalam Hadi, 2010). Pada saat itu data akun nasional (national account) Indonesia masih sangat terbatas dan hasil estimasi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) masih sangat kasar. 8
BPS kemudian diberi tanggungjawab untuk mengkompilasi akun nasional (national account) pada tahun 1960 termasuk pembuatan angka baru PMTB, namun prosedur yang sesungguhnya, digunakan lembaga itu tidak diketahui.
Angka-angka PMTB yang
dibangkitkan BPS untuk tahun 1958-1959 jauhb di atas angka BPN pada tahun yang sama. BPS mengbangkitkan dan mempublikasikan angka PMTB pada harga nominal dan harga konstan sejak tahun 1958, yang mengalami beberapa revisi karena perubahan harga konstan yang digunakan untuk menghitung seri harga konstan, yaitu: 1958-1973 pada tahun 1960; 1971-1983 pada harga 1973; 1983-1993 pada harga 1983; 1988-2003 pada harga 1993; dan 2000-2007 pada harga 2000 (van de Eng, 2009). Terlepas dari tidak diketahinya bahwa BPS telah menghitung PMTB berdasarkan metode
aliran
komoditas
(commodity
flow
method),
BPS
tidak
secara
resmi
mempublikasikan prosedur yang digunakan untuk menghitung PMTB. Oleh karena itu tetap belum jelas alasan untuk merevisi PMTB dan perubahan metodologi yang digunakan. Metode aliran komoditas untuk menghitung PMTB umumnya digunakan dalam akun nasional dan mencakup alokasi output dan impor masing-masing komoditas ke konsumsi akhir, PMTB, inventori atau ekspor berdasarkan survei langsung ke perusahaan dan dokumen administratif. Selama tahun 1960an, impor bahan-bahan konstruksi, mesin-mesin dan peralatan tetap merupakan komponen penting dalam pengukuran investasi, tetapi datanya diperkaya dengan data administratif mengenai produksi dan penggunaan bahan-bahan konstruksi serta data produksi mengenai mesin daqn peralatan dari survei tahunan pada industri manufaktur dan Sensus Industri 1963 mencakup produksi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Informasi yang sama mengenai prosedur belakangan untuk menghitung PMTB juga tidak ada. Tampaknya BPS menggunakan hasil Tabel Input-Output (I-O) untuk tujuan tersebut, walaupun hasil pertama dengan data agregasi PMTB tidak dipublikasikan hingga 1977 (IDE, 1977). Sebagai akibat dari penggunaan metode aliran komoditas, BPS tidak membedakan antara PMTB di sektor publik dan sektor swasta. Selainj itu, PMTB oleh rumah tangga dan usaha kecil tidak dimasukkan, atau dimasukkan tetapi tidak sempurna.
BPS juga
mengasumsikan bahwa penyusutan adalah tetap dan rata sebesar 5% dari PDB. Berdasarkan data tersebut, PMTB meningkat cepat dari rata-rata 7,5% sampai pertengahan 1960an menjadi rata-rata 24% pada tahun 1980an dan 27% pada tahun 1990an sampai krisis 1997/1998, pada tahun 2007 menjadi 25%. Jika dibandingkan dengan data Tabel I-O, maka PMTB terlalu rendah pada awal tahun 1970an.
Mayoritas komponen PMTB adalah
bangunan, mesin dan peralatan serta alat transportasi.
9
Akun nasional Indonesia yang dipublikasikan tidak memberikan data PMTB secatra detil, tetapi secara kasar didasarkan pada persamaan berikut:
I t S tG X t S tHC Ft ...................................................................................... (1) dimana: It StG Xt StHC Ft
= investasi (PMTB) di dalam negeri = tabungan pemerintah termasuk tabungan perusahaan negara = pinjaman luar negeri untuk investasi swasta = jumlah tabungan domestik oleh rumah tangga = investasi neto luar negeri (investasi masuk dikurangi investasi keluar) Dalam akun nasional tersebut sebagai ditunjukkan pada Persamaan (1), tabungan
domestik adalah sumber penting keuangan dalam bentuk aset likuid seperti simpanan di bank, pembelian sahan dan obligasi, atau aset relatif likuid seperti emas, permata dan koleksi lainnya, atau kurang likuid seperti tanah, ternak, barang tahan lama dan real estate. Sumber-sumber tabungan adalah rumah tangga dan usaha bisnis, pemerintah dan investasi asing neto. Selama 10 tahun terakhir (1998-2007), jumlah tabungan per tahun berdasarkan harga nominal oleh rumah tangga dan bisnis adalah 17,0% dari PDB nasional, sedangkan pemerintah 33% dari PMTB atau 7,2% dari PDB nasional dan investasi asing neto adalah -2,7% dari PDB nasional (Akun nasional dalam van der Eng, 2009). Angka negatif pada investasi asing neto disebabkan oleh krisis ekonomi tahun 1997/1998 yang menyebabkan terjadinya divestasi dan beberapa perubahaan asing menjual asetnya di Indonesia dan bahkan ada yang pindah keluar negeri. Data tersebut membuktikan bahwa tabungan dalam negeri, utamanya tabungan di bank, merupakan sumber paling penting untuk membiayai PMTB.
2.3 Teori Makro Ekonomi tentang Investasi Dalam literaur ekonomi makro, dikenal model ekonomi makro yang memberikan perhatian pada peranan investasi selain model Keynes, adalah Model Harrod Domar yang merupakan pengembang langsung dari model Keynes. .Harrod-Domar mendukung pentingnya tabungan atau investasi yang cukup memadai dalam proses pembangunan ekonomi. Dasar berfikir Harrod-Domar adalah bahwa pada tingkat pendapatan nasional tertentu cukup untuk menyerap seluruh tenaga kerja dengan tingkat upah di satu periode maka pada periode berikutnya tidak akan mencukupi lagi untuk menyerap seluruh tenaga kerja yang ada, sehingga peningkatan investasi tidak hanya meningkatkan permintaan agregat dalam jangka pendek, tetapi juga akan meningkatkan penawaran agregat melalui pertumbuhan stok kapital dalam jangka panjang, yang pada gilirannnya akan 10
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output (pertumbuhan ekonomi). Hal ini terjadi karena adanya tambahan kapasitas produksi pada periode awal dan tersedia pada periode berikutnya (Lutfi, 2005). Dengan demikian diperlukan tambahan dana yang untuk mencapai tingkat penyerapan tenaga kerja yang penuh pada periode berikutnya ini dengan menghitung hubungan antara modal (capital stock = K) dan hasil produksinya (output = Y) atau dengan Capital Output Ratio (COR). Dalam hal ini, K adalah nilai dari seluruh modal (dapat berupa tanah, bangunan, peralatan dan bahan). Sedangkan Y dapat diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atau dengan Produk Nasional Bruto (PNB). Semakin tinggi peningkatan stok modal, semakin tinggi pula output yang dihasilkan. Dalam konsep ini dikatakan bahwa sebagai akibat investasi yang telah dilakukan, pada masa berikutnya kapasitas barang-barang modal dalam perekonomian akan bertambah dan agar seluruh barang modal yang tersedia digunakan sepenuhnya. Dengan demikian, permintaan agregat terus naik secara proporsional terhadap kenaikan kapasitas barangbarang modal yang terwujud sebagai akibat dari investasi di masa lalu tersebut. Dari sisi ini terlihat bahwa investasi dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi atau untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dibutuhkan investasi baru. Teori Rosestein-Rodan dan Hirschman sama-sama berpendapat bahwa perlu adanya perubahan struktural dalam proses pembangunan. Membandingkan dengan teori Rostow dan Harrod Domar, maka Teori Rosestein-Rodan dan Hirschman menganggap bahwa peranan tabungan dan investasi dalam pembangunan ekonomi hanya sebatas pada syarat sangat penting (necessary) tetapi tidak dalam syarat mencukupi (sufficient). Selain menekankan pada perubahan struktural segi produksi dan permintaan, maka RosesteinRodan juga menekankan perlunya suatu perubahan secara serentak, karena perubahan secara parsial dan kecil-kecilan tidak akan berhasil. Teori ini juga dikenal dengan big push, yang memerlukan minimal 3 (tiga) persyaratan yakni: 1)
Syarat mutlak minimal penawaran Produksi yang komprehensif hanya akan berjalan terus-menerus jika terlebih dahulu dilakukan investasi dalam bentuk Social Overhead Capital (SOC), dapat berupa prasarana atau infrastruktur fisik, seperti jalan, listrik, rel kereta api, dan lain-lain. Mengingat investasi tersebut berupa investasi jangka panjang dan sekaligus membutuhkan modal dalam jumlah yang sangat besar, maka pihak swasta biasanya kurang tertarik. Oleh karena itu, fungsi pemerintah sangat penting dalam investasi SOC ini.
2) Syarat mutlak permintaan
11
Perlu adanya syarat mutlak permintaan yang saling komplementer melalui suatu pendirian secara bersama-sama dan serempak berbagai industri yang saling berkaitan. Menurutnya, bahwa pembangunan industri yang dibangun secara terpisah-pisah dan tidak saling terkait satu dengan yang lainnya akan berakibat pada sulitnya memasarkan barang-barang produksi tersebut. 3) Syarat mutlak minimal tabungan Persyaratan ini pada dasarnya sama dengan yang telah dijelaskan pada teori HarrodDomar. Teori Hirschman, pada prinsipnya mirip dengan teori Rosestein-Rodan, khususnya terkait dengan perlu keterkaitan antar industri-industri, namun terdapat strategi lain yaitu: 1) Keharusan pembangunan SOC yang didahului dengan pembangunan kegiatan produktif tidak berlaku lagi. Tetapi pembangunan kegiatan produktif dilakukan dahulu, jika nanti masih dirasa kurang dan perlu dibangun SOC, secara otomatis akan terjadi tekanan publik untuk membangunnya. 2) Berbagai industri tidak perlu dibangun secara serempak, namun justru yang perlu adalah teori keseimbangan dengan cara membangun industri strategis terlebih dahulu. Pemilihan industri strategis didasarkan pada keterkaitan total yang besar terhadap sektor-sektor pembangunan baik keterkaitan ke depan maupun keterkaitan ke belakang yang dimiliki oleh industri strategis tersebut.
Satu lagi hal yang penting dari teori Hirschman adalah perlunya negara dalam berperan pembangunan SOC. Namun di sisi lain menolak adanya campur tangan pemerintah dalam kegiatan produktif, karena pada hakekatnya kegiatan produktif harus diserahkan pada pihak swasta. Sejak tahun 1980, yakni sejak teori-teori pembangunan yang berkiblat pada perlunya perubahan struktural, maka Solow, 1956 mengemukakan sebuah teori yang bertolak belakang. Oleh karena sangat bertolak belakangnya tersebut, maka teori Solow juga disebut dengan the neoclassical counter-revolution. Hal mendasar yang membedakan adalah jika pada teori perubahan struktural menggarisbawahi bahwa ketidakberhasilan pembangunan disebabkan kurang campur tangannya pemerintah, maka Solow justru mengatakan bahwa kegagalan pembangunan disebabkan karena pemerintah terlalu banyak melakukan intervensi. Ciri pokoknya adalah penyebarluasan mekanisme pasar dengan deregulasi yang menyebabkan distorsi harga, serta di dalam pembangunan yang menyangkut efisiensi alokasi sumberdaya dengan membiarkan price signals berfungsi secara bebas. Pokok-pokok pemikiran Solow adalah: 1) Modal merupakan peranan yang penting (senada dengan Harrod-Domar).
12
2) Peran tenaga kerja dan teknologi (senada dengan Harrod-Domar), hanya saja kemudian menempatkan teknologi sebagai faktor eksogen. 3) Mengasumsikan adanya diminishing returns to scale dan adanya variable factor proportion (bertentangan dengan Harrod-Domar yang mengasumsikan constant returns to scale dan fixed factor proportion). 4) Pertumbuhan terjadi karena adanya peningkatan tenaga kerja, modal (investasi), dan teknologi. 5) Negara berkembang yang memiliki tingkat tabungan yang rendah cenderung tumbuh lebih tinggi dan cepat jika membiarkan masuknya modal asing. 6) Jika arus modal dapat masuk ke negara-negara yang sedang berkembang, maka pada suatu waktu tertentu akan terjadi konvergensi kemakmuran antara kedua kelompok tersebut.
Teori pertumbuhan endogenous menentang teori Solow yang menganggap bahwa keseimbangan jangka panjang COR akan menghasilkan pertumbuhan dari setiap perekonoian konvergen mendekati zero-growth. Jadi pertumbuhan tidak ditentukan oleh faktor exogenous seperti masuknya modal asing ke suatu negara tertentu, namun jauh lebih ditentukan oleh faktor endogenous. Menurut teori ini, perlunya saling melengkapi antara peran swasta dan pemerintah dalam investasi (complimentary investment). Ini dapat berwujud dalam riset-riset, pendidikan dan infrastruktur. Berbagai komplementer tersebut dapat menghindari adanya diminishing returns to scale dan justru dapat menciptakan increasing returns to scale. Dalam hal ini, pemerintah harus sangat selektif dan strategis (smart intervention) dalam rangka menciptakan complementary investment tersebut dengan menjalin kerjasama yang serasi dengan swasta. Justru yang menjadi masalah adalah bagaimana menyusun suatu bentuk yang tepat dan bermanfaat bagi pertumbuhan perekonomian secara keseluruhan.
2.4 Determinasi Fungsi Investasi Secara teoritis diterangkan bahwa investasi dipengaruhi oleh tingkat suku bunga yang mengukur biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi. Investasi akan menguntungkan, jika penerimaan dari kenaikan produksi barang dan jasa di masa yang akan datang melebihi biaya. Jika suku bunga meningkat, investasi yang diminta akan turun (Mankiw, 2007). Fungsi investasi mengaitkan pada tingkat bunga riil (r). Dengan kata lain investasi bergantung pada tingkat bunga riil (r) karena tingkat bunga adalah 13
biaya pinjaman. Fungsi investasi miring ke bawah; yang berarti bahwa ketika tingkat bunga naik, semakin sedikit proyek investasi yang menguntungkan (Gambar 1). Tingkat Bunga Riil, r
Fungsi Investasi, I (r) Kuantitas Investasi, I Sumber: Mankiw (2007)
Gambar 1. Fungsi Investasi Gambar 2 mengilustrasikan tabungan dan investasi sebagai fungsi dari tingkat bunga. Fungsi tabungan digambarkan dengan garis vertikal karena dalam model ini tabungan tidak bergantung pada tingkat suku bunga (r). Fungsi investasi miring ke bawah; semakin tinggi tingkat bunga (r) maka semakin sedikit proyek investasi (I) yang menguntungkan. Tingkat bunga (r) menyesuaikan menuju titik keseimbangan tabungan dan investasi. Garis vertikal menunjukkan tabungan – penawaran dari pinjaman. Garis miring ke bawah menunjukkan tabungan – permintaan terhadap pinjaman. Perpotongan kedua kurva ini menentukan tingkat suku bunga keseimbangan.
14
Tingkat Bunga Riil, r Tabungan ,S
Tingkat Bunga Keseimbangan Investasi yang diinginkan, I (r)
Kuantitas Investasi, I Sumber: Mankiw (2007)
Gambar 2. Tabungan, Investasi dan Tingkat Suku Bunga Selain hubungannya dengan tingkat bunga, maka determinan lain dari pergeseran fungsi investasi adalah adanya kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi meningkatkan produk marjinal modal dan investasi tetap bisnis. Faktor lainnya adalah adanya kenaikan populasi penduduk, yang diiringi dengan meningkatnya permintaan atas rumah dan investasi reseidensial. Pengaruh dari kebijakan ekonomi, serperti perubahan dalam kredit pajak investasi dan pajak pendapatan perusahaan, mengubah insentif untuk investasi dan menggeser fungsi investasi. Kenaikan permintaan investasi dapat dilihat pada Gambar 3. Kenaikan dalam permintaan terhadap barang-barang investasi menggeser kurva investasi ke kanan. Pada tingkat bunga tertentu, jumlah investasi lebih besar. Keseimbangan bergerak dari titik A ke titik B. Karena jumlah tabungan adalah tetap, kenaikan dalam permintaan investasi menaikkan tingkat bunga sedangkan jumlah investasi keseimbangan tidak berubah.
15
Tingkat Bunga Riil, r Tabungan, S
B
r2
Investasi diinginkan
yang
I2 A
r1
I1 Kuantitas Investasi, I Sumber: Mankiw (2007)
Gambar 3. Hubungan Tingkat dan Kuantitas Investasi dalam Kenaikan Permintaan Investasi
2.5 Tingkat Bunga, Investasi dan Kurva IS Gambar 4 memperlihatkan Kurva IS menyatakan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di pasar barang dan jasa. Dalam The General Theory Keynes dinyatakan bahwa pendapatan total perekonomian, dalam jangka pendek sangat ditentukan oleh keinginan rumahtangga, perusahaan dan pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya. “Perpotongan Keyensian” adalah model dasar dari penentuan pendapatan yang menganggap kebijakan fiskal dan investasi yang direncanakan adalah peubah eksogen yang memiliki efek berantai terhadap pendapatan. Kurva IS meringkas hubungan antara tingkat suku bunga dan tingkat pendapatan. Kurva IS mengkombinasikan interaksi antara r (tingkat suku bunga) dan I (investasi) yang ditunjukkan oleh fungsi investasi dan interkasi antara I (investasi) dan Y (pendapatan) yang ditunjukkan oleh “perpotongan Keynesian”. Karena kenaikan tingkat suku bunga menyebabkan penurunan investasi dan pendapatan, maka kurva IS miring ke bawah.
Jika investasi tergantung pada tingkat suku bunga, maka “perpotongan
Keyensian” akan menghasilkan hubungan antara tingkat suku bunga dan pendapatan nasional.
Tingkat suku bunga yang lebih tinggi akan menurunkan investasi dan
mengurangi pendapatan nasional. Kurva IS meringkas hubungan negatif antara tingkat suku bunga dan pendapatan tersebut. Hubungan antara tingkat suku bunga, pendapatan dan Kurva IS selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4. 16
Pengeluaran, E
Pengeluaran aktual
Pengeluaran yang direncanakan
Tingkat Bunga, r
Y
Y Pendapatan,
2
1
Tingkat Bunga, r
Output, Y
r2 r1
I(r2)
I( r) I(r1) Investasi, I _
IS Y 2
Y Pendapatan, 1 Output, Y
Sumber: Mankiw (2007)
Gambar 4. Hubungan Tingkat Suku Bunga, Investasi dan Pendapatan bar 25. Tingkat Suku Bunga, Pendapatan dan Kurva IS Untuk menentukan bagaimana pendapatan berubah ketika tingkat suku bunga berubah, kita dapat mengkombinasikan fungsi investasi dengan diagram “perpotongan Keynesian”. Pada Gambar 4 dijelaskan tentang efek perubahan tingkat suku bunga terhadap output nasional. Dalam analisa tersebut ditunjukkan bahwa tingkat investasi berhubungan nterbalik dengan tingkat suku bunga. Jika suku bunga meningkat dari r1 ke r2 akan mengurangu jumlah investasi dari I1 ke I2.
Pengurangan investasi yang
direncanakan akan menggeser fungsi pengeluaran (AE) ke bawah. Pergeseran dalam fungsi pengeluaran menyebabkan tingkat pendapatan nasional turun dari Y1 ke Y2.
Dengan demikian, kenaikan dalam tingkat suku bunga akan 17
mengurangi tingkat investasi dan pada gilirannya akan mengurangi tingkat pendapatan nasional. Investasi mempunyai peranan sangat penting dalam pembangunan ekonomi nasional, termasuk sektor perikanan. Dalam perspektif jangka panjang ekonomi makro, investasi akan meningkatkan stok kapital, dimana penambahan stok kapital akan meningkatkan kapasitas produksi masyarakat yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional (van der Eng, 2009). Pemerintah suatu negara dapat berupaya mendorong investasi, baik oleh pengusaha di dalam negeri maupun pengusaha asing, dengan memberlakukan berbagai kebijakan dan regulasi.
Investasi yang dilakukan setiap tahun, baik oleh perusahaan maupun
pemerintah, membentuk akumulasi stok modal (capital stock accumulation). Tingkat investasi untuk pembentukan modal bisa rendah atau tinggi. Tingkat investasi yang rendah, baik karena jumlah tabungan yang terbatas maupun akses yang terbatas terhadap sumber-sumber dana investasi luar negeri (foreign direct investement- FDI), merupakan faktor penghambat utama bagi pembangunan ekonomi. Pada tahun 1950an, tingkat tabungan yang rendah dan tingkat pembentukan modal yang juga rendah merupakan faktor penghambat utama dalam pembangunan ekonomi. Pada waktu itu, seorang ahli ekonomi pembangunan, yaitu: W,W, Rostow menegaskan bahwa COR (Capital Output Ratio) yang naik secara drastis menandai fase permulaan pembangunan ekonomi suatu negara. Kenaikan COR yang tinggi tersebut telah berhasil mengangkat negara-negara yang sekarang ini sudah maju dari stagnasi menuju fase pertumbuhan yang berkelanjutan secara mandisi (van der Eng, 2009). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa negara-negara yang sekarang sudah maju tidak menunjukkan bukti-bukti kuat bahwa COR bergerak ke arah tertentu dari tahun ke tahun (Kuzent, 1963, 1984; Le Thanh, 1988). Kuznets dalam Hadi (2010) bersikukuh bahwa konstribusi dari peningkatan stok tenaga kerja dan modal terhadap peningkatan pendapatan per kapita dalam periode yang panjang di negara-negara maju utama hanya berkisar 15-20%.
Menurut Kuznets (1964), bagian terbesar dari
pertumbuhan ekonomi negara-negara maju itu bersumber dari peningkatan keterampilan (skill), pendidikan (educations), dan lain-lain dari tenaga kerja, atau sumber-sumber lain yang dapat meningkatkan produktuvitas tenaga kerja secara cepat yang dikombinasikan dengan material, dan bukan peningkatan input per orang. Para penulis lain, misalnya Kendrick (1993) memberikan catatan bahwa perbaikan efisiensi dari penggunaan sumberdaya dan pergeseran sumberdaya dari sektor kurang produktif ke sektor yang lebih produktif merupakan faktor yang lebih penting bagi pembagungan ekonomi jangka panjang dibandingkan dengan pembentukan modal. 18
Meskipun kontribusi pembentukan modal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tampaknya lebih terbatas dibandingkan dengan yang dibayangkan semula, pembentukan modal masih tetap diperlukan. Utamanya, perubahan teknologi dalam pengolahan hasil cenderung ditandai oleh meningkatnya penggunaan barang-barang modal karena memungkinkan peningkatan output per tenaga kerja secara berkelaqnjutan (Incremental Labor-Output ratio-ILOR). Madison (1991) menekankan bahwa meskipun COR tidak naik secara signifikan, perekonomian tetap mampu meningkatkan rasio PDB terhadap investasi pada barang modal selama proses pembangunan ekonomi berlangsung. Di negara-negara yang pertumbuhan ekonominya cepat, pada umumnya menggunakan pangsa total pengeluaran yang lebih besar untuk pembentukan modal dibanding di negara-negara yang pertumbuhan ekonominya rendah. Namun demikian, peranan pembentukan modal pada fase awal pembangunan tidak boleh berlebihan. Mudah dilihat bahwa dalam fase awal pembangunan, perubahan yang cepat di sektorsektor ekonomi utama di negara-negara sedang berkembang tidak membutuhkan pembentukan modal dalam jumlah besar.
Bukti-bukti historis menunjukkan bahwa
banyak infrastruktur publik yang padat modal dibangun selama pembangunan ekonomi berjalan, bukan sebelumnya. Berdasarkan hal ini, maka tingkat pembentukan modal yang lebih tinggi bukan merupakan prakondisi bagi pembangunan ekonomi, tetapi berjalan bersamaan dengan proses pembangunan itu sendiri (van der Eng, 2009).
19
20
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kuantitatif, yaitu suatu cara atau teknik mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan menganalisis data kuantitatif sehingga dapat memberikan deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nasir, 2011).
3.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Tabel InputOutput (I-O) Tahun 2008 dengan fokus pada perikanan primer dan 2010 updating dari Tabel I-O 2008 dengan focus pada perikenan sekunder, dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Tahun 2008, serta parameter-parameter dugaan dari sistem persamaan yang didapat dari penelitian sebelumnya dan data statistik lain (data ekonomi makro dan sektoral) yang telah diperbaharui. Data tersebut diperoleh dari sumber Badan Pusat Statistik (2012), Bank Indonesia, KKP, Kementerian Perindustrian dan lembaga-lembaga lain serta dari buku, internet dan literatur serta sumber lainnya yang sesuai dengan penelitian ini.
3.3 Metode Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan dua buah pendeketan model analisis, yaitu: (1) model ekonomi keseimbangan umum; dan model input-output. Model ekonomi keseimbangan umum (general computable equilibrium – CGE), dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis dampak peningkatan investasi perikanan (tangkap, budiaya dan pengolahan) terhadap kinerja makro ekonomi nasional dan mikro ekonomi sektor perikanan. Sementara, model input-output digunakan untuk menganalisis secara lebih luas dampak investasi peningkatan investasi sektor perikanan terhadap perekonomian Indonesia, dan dampak deindustrialisasi sub sektor pengolahanj produk perikanan sebagai perikanan sekunder terhadap kegiatan ekonomi sub sektor perikanan tangkap dan budidaya sebagai sub sektor perikanan primer dan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian Indonesia. Uraian berikut menjelaskan kedua pendekatan analisis tersebut.
3.3.1 Metode Analisis Model Ekonomi Keseimbangan Umum Pendekatan metode analisis dengan model ekonomi keseimbangan umum, pada penelitian ini dalam parkteknya dilakukan menggunakan model komputasi keseimbangan 21
umum (CGE) ORANIG yang mencakup berbagai persamaan. Persamaan-persamaan yang akan digunakan dalam model tersebut berupa perubahan persentase yang mampu menangkap perubahan-perubahan variabel mikro dan makro secara serentak seperti yang lazimnya diaplikasikan pada berbagai turunan model ORANIG yang telah dibangun oleg BBRSEKP tahun 2014. Model keseimbangan umum ini, berlandaskan pada berbagai asumsi, seperti berikut: 6. Semua industri berada pada kondisi bersaing sempurna, baik di pasar input maupun output; 7. Tidak ada perusahaan maupun rumah tangga yang bisa mempengaruhi pasar, dengan kata lain bertindak sebagai penerima harga (price takers); 8. Pada tingkat ouput, harga yang dibayarkan konsumen adalah kendala untuk biaya produksi marginal; 9. Upah yang diterima pekerja sama dengan nilai marginal tenaga kerja dalam berproduksi; 10.Permintaan dan penawaran di tiap agen ekonomi diturunkan dari optimasi tiap aktivitas yang merefleksikan pula kendala dari selera dan teknologi.
Model keseimbangan umum ekonomi ini dalam sistemnya telah mengadopsi agregasi komoditas dan industri yang akan dilakukan pada model perikanan yang terdiri dari 9 jenis komoditas unggulan sektor perikanan dan kelautan – yang meliputi TTC (Tuna, Tongkol dan Cakalang), Udang, Rumput Laut, Kerapu, Patin dan Garam – dan beberapa sektor lainnya di luar sektor sektor perikanan dan kelautan. Selain itu, untuk faktor produksi berupa Tenaga Kerja dan Kapital akan dilakukan agregasi pendapatan. Mengacu pada Horridge (2003), struktur teori pada model CGE biasanya terdiri dari sistem persamaan yang di dalam model ORANI-G disusun ke dalam 14 blok. Adapun inti dari ke-14 blok persamaan yang dimaksudkan secara ringkas dapat dilihat seperti di bawah berikut ini: (1)
Permintaan tenaga kerja (demands for labor )
(2)
Permintaan faktor primer (demands for primary factors)
(3)
Permintaan input barang antara (demands for intermediate inputs)
(4)
Permintaan faktor primer composite dan input barang antara (demands for composite primary factors and intermediate inputs)
(5)
Composite komoditas dari output industri (commodity composite of industry output)
(6)
Permintaan barang untuk investasi (demands for investment goods)
(7)
Permintaan rumah tangga (household demands)
(8)
Permintaan ekspor dan permintaan akhir lainnya (export and other final demands)
(9)
Permintaan margin (demands for margins). 22
(10) Harga pembelian (purchaser’s price) (11) Kondisi keseimbangan pasar (market clearing conditions) (12) Pajak tidak langsung (indirect taxes) (13) GDP dari sisi pendapatan dan pengeluaran (GDP from the income and expenditure sides) (14) Keseimbangan perdagangan dan agregat lainnya (trade balance and other aggregates)
Berdasarkan ke-14 blok persamaan tersebut dapat dilihat terjadinya hubungan antara ekomomi sektoral dan ekonomi makro.
Hubungan variabel ini digunakan juga dalam
pembaharuan data dasar (update). Hubungan antar sektoral tidak digambarkan secara rinci di sini, tetapi untuk hubungan variabel dalam ekonomi makro dapat dilihat pada Gambar 5.
Tenaga Kerja Agregat
Tingkat Pengembalia n Modal
Tingkat Upah Riil
Modal
PDB Riil
=
Konsumsi Rumah Tangga Riil setelah dikurangi Pajak
+
Investa si Riil
+
Pengeluaran + Pemerintah Riil
Keterangan:
Neraca Perdagang an
Nilai Tukar Upah Riil
Variabel = Pengaruh = Variabel yang dipengaruh Sumber: Horidge et al. (1993)
Gambar 5. Hubungan Ekonomi Makro dalam Modal CGE Struktur teori pada model CGE biasanya terdiri dari atas sistem persamaan yang tercakup dalam 14 blok persamaan
seperti disebutkan sebelumnya, sehingga terjadi
hubungan antara ekonomi sektoral dan makroekonomi. makroekonomi dapat dilihat pada Gambar 14.
Hubungan
vaariabel dalam
Dalam model CGE yang digunakan,
hubungan antar variabel makroekonomi dapat diubah-ubah sesuai dengan tujuan penelitian 23
dan kebijakan yang akan dianalisis. Dengan demikian, posisi variabel pengaruh atau yang dipengaruhi dapat disesuaikan dengan kebijakan makroekonomi apa yang akan kita lihat pengaruhnya. Umumnya sistem persamaan yang digunakan pada ke-14 blok tersebut adalah non linear. Namun, solusi model dilakukan dengan melinierisasi setiap persamaan dengan cara menyatakan semua variabel dalam bentuk pertumbuhan (perubahan persentase). Persamaan yang dilinearkan mengandung sekumpulan koefiesien yang equivalen dengan persamaan non linear. Setelah semua data yang diperlukan lengkap, maka seluruh data yang telah dikumpulkan tersebut akan dihimpun dan diintegrasikan dalam suatu database, yang susunannya dapat dilihat pada Gambar 6.
Matriks Penyerapan
Aliran Bahan Baku Marjin
Pajak Tenaga Kerja Modal
Tanah Biaya Lainnya
Ukuran ↑ CxS ↓ ↑ CxS ↓ ↑ CxS ↓ ↑ 0 ↓ ↑ 1 ↓ ↑ 1 ↓ ↑ 1 ↓
Produsen
Investor
Rumahtangga
Ekspor
Pemerintah
Penjualan Total
←1→
←1→
←1→
←1→
←1→
←1→
V1BAS
V2BAS
V3BAS
V4BAS
V5BAS
V6BAS
V1MAR
V2MAR
V3MAR
V4MAR
V5MAR
V6MAR
V1TAX
V2TAX
V3TAX
V4TAX
V5TAX
V6TAX
V1LAB
V1CAP
C = Jumlah komoditas I = Jumlah sektor S = Asal komoditas O = Jumlah tipe tenega kerja M = jumlah komoditas sebagai marjin
V1LAN
ViOCT
Matrik Produksi Bersama Ukuran ↑ C ↓
←1→
Pajak Impor Ukuran
MAKE
←1→ V0TAR
Sumber: Horridge et al., 1998 dan Oktaviani, 2000
Gambar 6. Database Input-Output Model CGE untuk Indonesia Dalam membangun-ulang data dasar model keseimbangan umum KP dalam penelitian ini didasarkan oleh jenis data utama yang digunakan adalah Tabel Input-Output Nasional. Tabel I-O Nasional yang digunakan adalah Tabel Input-Output Nasional Tahun 2008
24
berbasiskan partial survey.
Hasil partial survey tersebut menjadi dasar dalam melakukan
disagregasi sektor perikanan yang digunakan dalam penelitian ini.
Di samping itu,
diperlukan pula berbagai jenis data lainnya, seperti nilai elastisitas, investasi, produk domestik bruto dan lainnya berasal dari hasil estimasi yang dilakukan peneliti berdasarkan data time series, dan sumber lain seperti hasil-hasil penelitian sebelumnya. Data pendukung lainnya yang diperlukan adalah Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat bunga, penghimpunan dana dan alokasi kredit perbankan, kurs valuta asing, investasi, stok modal, tenaga kerja, tingkat upah, tingkat subsidi TDL dan BBM, serta perkembangan harga pangan dunia. Data tersebut dikumpulkan dalam bentuk runut waktu (time series) sesuai periode yang dibutuhkan dan diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI) seperti Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan instansi/lembaga lainnya. Data-data tersebut juga digunakan untuk mendapatkan besaran shock (simulasi historis, dekomposisi dan kebijakan). Selain data tersebut di atas, untuk mengkonstruksi database dan model diperlukan nilai koefisien elastisitas dan beberapa parameter lainnya. Besaran-besaran ini diupayakan untuk diestimasi dari data runut waktu yang tersedia atau dikalkulasi dalam model seperti pangsa input antara domestik yang digunakan oleh berbagai industri. Apabila ditemukan masalah keterbatasan data runut waktu, maka nilai elastisitas dan parameter tersebut akan diambil dari berbagai hasil penelitian terdahulu yang menggunakan metode ekonometrika dengan data terbaru, baik yang merupakan kasus Indonesia maupun negara lain yang mempunyai karakteristik sektor/industri dan keragaan makro ekonomi mendekati kondisi perekonomian Indonesia. Ada beberapa tahap untuk menghasilkan data dasar yang memenuhi syarat-syarat model keseimbangan umum. Kontruksi data dasar tersebut diawali dengan pemodelan untuk menyusun agregasi data seperti jumlah komoditi, industri, rumah tangga dan sumber komoditi yang dimasukkan secara ekplisit di dalam model yang dibangun. Selain itu, memasukkan jumlah dan tipe tenaga kerja serta faktor-faktor produksi lainnya. Selanjutnya, untuk menyesuaikan agregasi yang digunakan dalam penelitian harus dilakukan penyesuaian dalam model yang digunakan berdasarkan Tabel I-O yang tersedia untuk dilakukan pemetaan yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data lain yang diperlukan dalam model yaitu dengan memasukkan beberapa paremeter, elastisitas dan indek lainnya. Dengan demikian, pada bab ini menjelaskan bagaimana membangun-ulang data dasar model keseimbangan umum KP berbasis partial survey yang digunakan dalam penelitian ini. Di Indonesia, Tabel I-O mulai dikenal pada akhir Pelita I. Lembaga yang pertama kali menyusun Tabel I-O Nasional Tahun 1969 oleh Lembanga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Keterbatasan data yang tersedia penyusunan Tabel I-O menggunakan metode tidak langsung. 25
Kemudian setelah itu, Biro Pusat Statistik bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Institute of Develoving Economics menyusun Tabel I-O dengan menggunakan metode langsung tahun 1971. Sejek itu, BPS menyusun Tabel I-O Nasional secara berkala setiap lima tahun sekali dan hingga kini telah disusun Tabel I-O Nasional untuk Tahun 1971, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2008. Tabel I-O Nasional Tahun 2008 yang dipublikasikan oleh BPS tersbut terdiri dari dua sub grup tabel, yaitu tabel dasar dan tabel analisis. Tabel dasar tersebut terdiri dari tabel transaksi total atas dasar harga konsumen, tabel transaksi total atas dasar harga produsen, tabel transaksi domestik atas dasar harga konsumen, tabel transaksi domestik atas harga produsen dan tabel transaksi impor atas dasar harga produsen. Tabel analisis diperoleh dari tabel dasar dengan memasukkan tabel koefisien input, matrik kebalikan total atas dasar harga produsen, matrik kebalikan domestik atas dasar harga produsen. Berdasarkan jumlah sektor perekonomian yang tercakup dalam Tabel I-O Nasional tahun 2008, BPS mengeluarkan tabel dari jumlah komoditi atau sektor sebanyak 66 sektor. Semakin banyak jumlah sektor yang terdapat pada Tabel I-O maka semakin lebih rinci informasi-informasi yang akan diperoleh dikarenakan sektor-sektor tersebut diagregatkan. Tabel I-O tahun 2008 dengan jumlah 66 sektor yang tersedia dilakukan disagregasi menjadi 70 (66 sektor plus 4 sektor tambahan) sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. Ketiga sektor tambahan tersebut adalah sektor kedelai dan kacang-kacangan menjadi kedelai dan tanaman kacang-kacangan, pupuk dan pestisida menjadi pupuk sendiri dan demikian pula pestisida, serta sektor listrik gas dan air dipecah menjadi sektor listrik, gas dan air yang masing-masing dijadikan sektor secara terpisah. Selanjutnya, dari Tabel I-O 70 sektor tersebut, dilakukan agregasi kembali menjadi 40 sektor sesuai dengan kebutuhan penelitian yang berdasarkan nilai share dan keterkaitan yang kuat terhadap sektor yang dianalisis. Struktur yang lebih rinci dari data dasar Input-Output untuk model Indonesia mengikuti model ORANIG (Horridge et al., 1998). Gambar 15 menunjukkan data dasar yang terdiri matrik absorpsi, gabungan antara matrik produk dan matrik pajak impor. Kolom pada matrik absorpsi menunjukkan enam kelompok pelaku ekonomi, produsen domestik dan investor pada masing-masing sektor i, satu rumah tangga yang representatif, kumpulan dari pembeli ekspor, sektor pemerintah yang berhubungan dengan jenis permintaan lain dan perubahan pada inventori atau persediaan. Semua jumlah aliran matrik dinilai dalam rupiah. Berdasarkan Gambar 15 pula dapat menjelaskan bahwa baris pada matrik menujukkan sumber pembelian yang dilakukan oleh pelaku ekonomi dari setiap kolom. Adapun baris meliputi aliran dasar, margin, pajak, tenaga kerja, modal, tanah dan biaya lainnya. Aliran dasar pada kolom pertama dan kedua menunjukkan aliran komoditi domestik dan impor yang digunakan oleh sektor-sektor lain sebagai suatu input atau formasi modal. Sebagai 26
contoh, V1BAS berarti kolom pertama dan baris pertama dari matrik absorpsi merupakan nilai dari jumlah permintaan dasar komoditi c, dari sumber s oleh sektor i untuk produksi pada saat ini. Aliran dasar pada kolom ketiga menunjukkan komoditi-komoditi yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Adapun aliran data dasar pada kolom keempat, kelima dan keenam menunjukkan nilai dari komoditi ekspor yang dikonsumsi oleh pemerintah dan berturut-turut menambah/mengurangi inventori. Alur margin dari baris kedua pada Gambar 15 (pada uraian sebelumnya) adalah biaya marjin komoditi yang digunakan oleh produsen, investor, rumah tangga, pemerintah dan biaya marjin komoditi ekspor. Pajak dimasukkan ke dalam matrik pada baris ketiga yang menunjukkan bahwa pajak-pajak komoditi seperti yang dikonsumsi oleh produsen, investor, rumah tangga dan pemerintah dan terakhir adalah pajak ekspor. Kemudian untuk baris tenaga kerja, modal, lahan dan biaya-biaya lain menjelaskan adanya penggunaan faktor primer masing-masing sektor pada kolom pertama mengindikasikan bahwa pengembalian pada faktor-faktor input digunakan pada setiap sektor. Selain itu, dua matrik terakhir yaitu matrik gabungan yang berasal dari matrik produksi dan matrik pajak impor. Matrik gabungan dari matrik produksi ini menunjukkan adanya komposisi komoditi dari output setaip sektor. Studi ini mengasumsikan bahwa suatu sektor hanya memproduksi suatu komoditi. Matrik pajak menunjukkan adanya pembayaran pajak impor setiap komoditi yang diimpor oleh setiap sektor. Struktur detail dari database input-output dari model CGE yang digunakan (Gambar 15) terdiri dari matrik penyerapan input di tiap sektor, matrik produk bersama dan matrik pajak impor. Kolom dari penyerapan matrik pada Gambar 14 menunjukkan enam pelaku ekonomi, yaitu: produsen domestik dan investor di tiap sektor, satu representasi dari rumah tangga, agregat dari pembeli produk ekspor, pemerintah dan perubahan inventaris. Sementara, baris pada Gambar 15 (pada uraian sebelumnya) menunjukkan asal dari pembelian komoditas yang dilakukan oleh pelaku ekonomi pada setiap kolom, yang dalam hal ini meliputi: aliran bahan baku, margin, pajak, tenaga kerja, modal, tanah dan biaya lainnya.
Aliran bahan baku dasar pada kolom pertama dan kedua menunjukkan aliran
komoditas impor dan domestik yang digunakan oleh sektor sebagai input atau pembentukan modal. Sebagai contoh, pada Gambar 15 notasi V1BAS (kolom pertama dan baris pertama) adalah nilai dari bahan baku dasar dari komoditas C, sumber S oleh sektor 1 pada produksinya. Aliran bahan baku dasar pada kolom ke tiga menunjukkan komoditi yang dikonsumsi oleh rumah tangga.
Aliran bahan baku keempat, kelima dan keenam
menunjukkan nilai dari komoditi untuk ekspor, dikonsumsi oleh pemerintah dan menambah inventaris. Di sini dapat dilihat bahwa hubungan antar komoditas pada Tabel Input-Output 27
menunjukkan hubungan sektoral antar sektor dan hubungan agregat dari pelaku-pelaku ekonomi dalam ekonomi makro. Selain data sekunder, permodelan ini juga akan sangat bergantung pada ketersediaan data primer. Dalam proses pembangunan database bagi permodelan, perlu dilakukan modifikasi terhadap Tabel I-O dan SNSE/SAM yang diterbitkan oleh BPS. Pada Tabel 1 keterkaitan sektor KP dengan sektor lain diwakili oleh 1 kelompok komoditas, yaitu: (23) Perikanan pada Tabel I-O klasifikasi sektor 66x66 sektor. Kelompok komoditas perikanan tersebut dirasa belum mewakili perkembangan yang terjadi di sektor KP karena komoditas KP yang dikembangkan luarbiasa beragam. Oleh karena itu, untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai kontribusi sektor KP terhadap perekonomian, maka perlu dilakukan disagregasi secara khusus pada komoditas Perikanan Laut dan Perikanan Air Tawar, dengan pertimbangan keduanya mempunyai nilai strategis bagi sektor KP dan perekonomian secara nasional. Oleh karena itu, Sektor 23 akan didisagregasi menjadi 6 kelompok komoditas pada tabel I-O 75x75 sektor, yaitu: (23) Tuna, tongkol dan cakalang (TTC); (23) Ikan dan hasil perikanan tangkap lainnya; (24) Patin; (25) Rumput laut; (26) Kerapu; (27) Patin; (28) Ikan dan hasil perikanan budidaya lainnya ; dan (29) Udang. Di samping itu, untuk menjalankan proses disagregasi dalam Tabel I-O 2010 tersebut, diperlukan informasi tambahan untuk memunculkan nilai-nilai transaksi untuk sektor-sektor baru tersebut (sektor-sektor yang tercakup sektor perikanan yang akan diagregasi) yang dalam hal ini dilakukan dengan menggunakan metode semi-survey (survey parsial). Dengan metode ini akan didapatkan koefisien input intra-sektor, khususnya untuk sektor-sektor yang terdisagregasi. Koefisien input intra-sektor adalah koefisien yang menunjukkan input yang disediakan secara nasional (di dalam negeri), yang diperoleh dengan cara mengeluarkan komponen impor bersaing yang meliputi impor (Muchdie, 1998). Namun, mengingat data impor hanya tersedia dalam jumlah total (dalam bentuk vektor), maka matriks koefisein input intra-sektor dihitung dengan menggunakan metode bi-proporsional (proporsi baris dan kolom) yakni menggunakan metode proporsional yang merujuk kepada volume pemakaian dan harga satuan di tingkat pasar pada tahun 2010. Data primer yang dikumpulkan akan sangat berguna dalam proses disagregasi tersebut, terutama dalam hal menyediakan informasi besaran koefisien teknis setiap komoditas. Disagregasi terhadap sektor perikanan tersebut disajikan pada Tabel 1.
28
Tabel 3. Disagregasi Sektor Perikanan Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2008 dari Klasifikasi 66 Sektor menjadi 75 Sektor Kode Sekto r 1 … … . 22 23
24 25 26
27
28 ... ... ... 50 51 ... ... ... 66
Sektor-sektor Tabel I-O 2010 (66 x 66 Sektor) Padi …………………………………… …………………………………… ….……………………………….. Hasil Hutan Lainnya Perikanan
Penambangan batubara dan bijih logam Penambangan, minyak, gas dan panas bumi Penambangan dan penggalian lainnya
Industri pengolahan pengawetan makanan
dan
Industri minyak dan lemak .......................................................... .......................................................... .......................................................... Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun Listrik, gas dan air bersih .......................................................... .......................................................... .......................................................... Kegiatan yang tak jelas batasannya
Kode Transis i 1 … … . 22 23A 23B 23D 23E 23F 23G 23H 24
Kode Sektor
Reklasifikasi Sektor-sektor Tabel I-O yang digunakan dalam Penelitian (75 x 75 Sektor)
1 … … … 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Padi ……………………………………………… …………………………………………… ……………………………………………… Hasil Hutan Lainnya Tuna, Tongkol dan Cakalang (TTC) Ikan dan hasil perikanan tangkap lainnya Patin Kerapu Rumput laut Ikan dan hasil perikanan budidaya lainnya Udang Penambangan batubara dan bijih logam
25
31
Penambangan, minyak, gas dan panas bumi
26A
32
Garam kasar
26B
33
Barang tambang, mineral bukan logam dan lainnya
27A
34
Ikan kering dan ikan asin
27B
35
Ikan olahan dan ikan awetan
27C
36
28 ... ... ... 50
37 ... ... ... 59
51 ... ... ... 66
60 ... ... ... 75
Industri pengolahan dan pengawetan makanan lainnya Industri minyak dan lemak ..................................................................... .................................................................... .................................................................... Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun Listrik, gas dan air bersih ...................................................................... ..................................................................... ..................................................................... Kegiatan yang tak jelas batasannya
- Metoda Analisis Data Model Ekonomi Keseimbangan Umum Solusi
sistem
mengaplikasikan
persamaan-persamaan
pendekatan
pendekatan
yang model
disusun kompotasi
dan
dibangun
keseimbangan
dengan umum
(computable general equilibrium/CGE) model ORANIG yang berbasis Tabel I-O dan SNSE/SAM. Dalam analisis data, pada penelitian ini berkaitan dengan penggunaan software GEMPCK (General Equilibrium Modelling Package) dan yang diakhiri dengan penentuan pilihan Closure. Paket software GEMPACK. GEMPACK adalah software yang dibangun oleh the Impact Project, Monash University untuk memecahkan persoalan-persoalan dalam model keseimbangan umum (CGE).
Dengan mengidentifikasi persamaan yang digunakan,
pemilihan variabel eksogen, perubahan pada variabel eksogen dan metode pengolahan, 29
program ini dapat menghasilkan perubahan variabel endogen dalam bentuk perubahan persentase. Dengan demikian, perubahan persentase antara dengan dan tanpa perubahan kebijakan ekonomi, baik pada variabel makro maupun variabel ekonomi sektoral dapat diidentifikasi. Software GEMPACK dapat menyelesaikan masalah ekonomi secara luas dan mempunyai kapasitas yang baik dalam memecahkan model intertemporal. GEMPACK berguna untuk membangun data dasar, memodifikasi/membangun persamaan-persamaan dan melakukan simulasi kebijakan yang diinginkan. Secara garis besar Gempack terdiri dari: (1) File Tablo yang memuat persamaan-persamaan ekonomi yang ditulis dalam bentuk linear dan dibagi menjadi blok-blok persamaan, misalnya blok produksi, faktor produksi, investasi dan lain-lain. File ini bukan merupakan bahasa program, sehingga dapat dibaca bagi yang tidak mengerti bahasa program. (2) File STI yang berisi perintah untuk mengubah bahasa tablo menjadi bahasa program. (3) File HAR yang berisi matrik-matrik data yang sesuai dengan sistem persamaan yang dibangun dalam model CGE. Data yang digunakan bersumber dari Tabel I-O dan parameter-parameter lainnya yang dibutuhkan dalam model. (4) File CMF yang memuat file data yang dibutuhkan, file output yang akan dihasilkan, pilihan variabel eksogen (closure) dan variabel endogen, metode simulasi, pilihan dan besarnya shock perubahan kebijakan yang dianalisis. (5) GEMSIM yang digunakan untuk untuk melakukan running file CMF dan menghasilkan solusi dari simulasi. (6) Berbagai fasilitas lainnya yang digunakan untuk membangun dan memodifikasi data dasar.
GEMPACK terdiri dari beberapa file, yaitu file tablo, file har dan file cmf. File-file tersebut dibuat secara terpisah yang kemudian dikombinasikan oleh Gempack menjadi satu kesatuan. Untuk mempermudah pengertian file tablo dan file har diberi nama menjadi file ORANIG. adalah aplikasi model CGE dengan menggunakan GEMPACK. ORANIG adalah aplikasi model CGE dengan menggunakan Gempack yang diadopsi dari model ORANI-G yang rumahtangganya didisagregasi mengikuti persamaan model CGE wayang. Nama-nama file tersebut diubah menjadi: ORANIG.tab, ORANIG.sti, ORANIG.har, dan ORANIG.cmf. Masing-masing file tersebut, selanjutnya dilakukan proses running dalam GEMPACK dengan prosedur seperti tertera pada Gambar 7. Gambar 7 mendeskripsikan prosedur GEMPACK dalam melakukan proses spesifikasi terhadap file-file di atas guna menemukan “solution file” pada suatu simulasi kebijakan. Dengan menggunakan Tablo program, kedua jenis teks file (ORANIG.tab dan ORANIG.sti) diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan auxiliary file yaitu file ORANIG.for yang 30
kemudian dikonversi ke dalam Fortran. Selanjutnya Fortran akan mengkompilasi file ORANIG.for ke dalam eksekusi program yaitu ORANIG.exe. Tablo program juga memproduksi dua jenis auxiliary files, yaitu ORANIG.axs and ORANIG.axt.
File.tab
Tablo Program
File.sti
File.for
Keterangan:
FOTRAN compiler
Text File Header Array File
File.exe File.a
Program
File.a
Sumber: Horridge dan Powel (2001)
Gambar 7. Prosedur GEMPACK dalam Melakukan Running File Tablo dan File sti Selanjutnya, prosedur untuk mendapatkan file solusi pada GEMPACK dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar ini mendeskripsikan prosedur program ORANIG.exe dalam
memproduksi sebuah solusi akhir. Pada tahap ini dibutuhkan dua auxiliary files lainnya, yaitu ORANIG.axs dan INDO ORANIG.axt. File-file lain yang dibutuhkan adalah ORANIG.har dan ORANIG.cmf. Dengan menggunakan file-file tersebut program ORANIG.exe akan menghasilkan: (1) Sebuah file solusi (SL4) yang memuat dampak yang ditimbulkan oleh perubahan peubah eksogen (policy shock) terhadap variabel endogen. Besaran efek tersebut dihitung dalam satuan persentase. (2) Sebuah file update data dasar, file ini memiliki format yang sama dengan ORANIG.har tetapi memuat data-data setelah dilakukan simulasi (post-shock equilibrium).
31
(3) Dua file summary (summary files) merupakan ringkasan nilai-nilai total (misalnya nilai PDB total dari sisi pengeluaran dan penerimaan) sebelum dan setelah dilakukan simulasi kebijakan.
CMF File closure
ORANIG.axs Auxilary file
Shock
ORANIG.axs
ORANIG. exe
Auxilary file
RunGem Solution methode
ORANIG.axs Pre-silmulation (base) Data
Summary of (base) Data
Summary of (base) Data
Post-silmulation Update) Data
SL4 solution file of silmulation result
Sumber: Horridge dan Powel (2001)
Gambar 8. Prosedur Memperoleh File Solusi pada GEMPACK
- Pilihan Closure untuk Simulasi Penelitian Dalam penelitian ini, pemilihan variabel eksogen dan endogen yang digunakan pada pilihan closure untuk simulasi dalam penelitian yang mencakup variabel-variabel dari komponen permintaan akhir di sektor kelautan dan perikanan (KP), yaitu: konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran belanja pemerintah, ekspor dan impor pada sektor KP. Dalam simulasi ini, perubahan masing-masing komponen permintaan akhir tersebut ditetapkan sebagai variabel eksogen. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat pengaruh perubahan masing-masing komponen permintyaan akhir (konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran belanja pemerintah, ekspor dan impor pada sektor KP) terhadap kinerja perekonomian, sehingga masing-masing komponen permintaan akhir tersebut ditetapkan sebagai variabel eksogen yang akan dirubah untuk menjawab tujuan penelitian. Sementara
32
itu, variabel GDP ditetapkan sebagai variabel endigen yang akan dilihat perubahannya sebagai hasil dari skenario penelitian. Pada closure tersebut yakni untuk simulasi semua variabel komponen permintaan akhir di sektor KP (konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran belanja pemerintah, ekspor dan impor pada sektor KP) yang menyangkut komponen shifter, tingkat pajak dan perubahan teknik ditetapkan sebagai variabel eksogen.
- Skenario Simulasi pada Model Ekonomi Keseimbangtan Umum Simulasi-1: Terjadi peningkatan jumlah kapital yang digunakan perusahaan-perusahaan (x1cap_ent) di sektor perikanan Indonesia (IndIkan) sebesar 16,07% sesuai dengan rata-rata target pertumbuhan investasi perikanan tahun 2015-2019 dalam Rencana Strategis KKP. Simulasi-2:
Terjadi peningkatan volume ekspor produk perikanan (f4q), sebesar 27%, sesuai dengan rata-rata target pertumbuhan volume ekspor produk dari sektor perikanan Indonesia tahun 2015-2019 dalam Rencana Strategis KKP.
Simulasi-3: Terjadi peningkatan jumlah kapital yang digunakan perusahaan-perusahaan (x1cap_ent) di sektor perikanan Indonesia (IndiIkan) sebesar 16,07% (Simulasi-1) yang diikuti dengan peningkatan volume ekspor produk perikanan (f4q) sebesar 27% (Simulasi-2) secara bersamaan.
3.3.2 Metode Analisis Model Input-Output Kini model I-O telah secara luas digunakan dan diterapkan dalam perencanaan regional maupun analisis dampak ekonomi (Hewings, 1986; Richardson, 1972). Analisis Input-Output (I-O) berupaya mengkuantitatifkan saling ketergantungan ekonomi antar sektor dalam suatu wilayah ekonomi -– apakah negara atau daerah — pada suatu titik waktu tertentu. Daya tarik utama analisis I-O adalah menyajikan potret dari semua transaksi ekonomi, baik pembelian maupun penjualan, dan biasanya digunakan sebagai dasar analisis keterkaitan antar sektor dalam suatu perekonomian (West, 1992). Dengan demikian analisis I-O dapat digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi berbagai jenis aktivitas ekonomi dan keterkaitan sektor, yang memungkinkan menganalisis dampak pengganda (multiflier effect) akibat aktivitas suatu sektor (Bendavid, 1991). Tabel Input Output (I-O) pada dasarnya merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antara sektor yang satu dengan sektor lainnya, dalam suatu wilayah pada suatu periode waktu tertentu. Dengan menggunakan Tabel I-O dapat dilihat bagaimana output dari suatu
33
sektor ekonomi didistribusikan ke sektor-sektor lainnya dan bagaimana pula suatu sektor memperoleh input yang diperlukan dari sektor-sektor lainnya. Dalam suatu model input-output yang bersifat terbuka dan statis, transaksi-transaksi yang digunakan dalam penyusunannya harus memenuhi tiga asumsi dasar yaitu (Nazara, 2005; BPS, 1999): 4.
Asumsi homogenitas, yaitu asumsi yang mensyaratkan bahwa setiap sektor hanya memproduksi satu jenis komoditi dan tidak ada substitusi otomatis antara berbagai sektor.
5.
Asumsi proporsionalitas, yaitu asumsi yang mensyaratkan bahwa dalam proses produksi hubungan antara input dengan output merupakan fungsi linier, dimana kenaikan atau penurunan input akan berbanding lurus dengan kenaikan atau penurunan output.
6.
Asumsi aditivitas, yaitu asumsi bahwa efek total pelaksanaan produksi pada Tabel IO merupakan interaksi antar sektor yang tepisah dimana pengaruh luar diabaikan.
Terdapat beberapa transaksi barang dan jasa yang dicatat Terdapat beberapa transaksi barang dan jasa yang dicatat dalam kelompok-kelompok tertentu atau dikenal dengan klasifikasi sektor. Karena Tabel I-O menggambarkan transaksi barang atau jasa maka akan dijumpai angka nol pada baris atau kolom, hal ini menggambarkan bahwa tidak semua sektor menjual atau membeli barang dan jasa dari Tabel I-O. Pada dasarnya informasi Tabel I-O diklasifikasikan dalam dua kelompok Tabel yaitu pertama kelompok Tabel-Tabel dasar dimana pada penelitian ini menggunakan Tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen adalah tabel transaksi yang menggambarkan nilai transaksi barang dan jasa antar sektor ekonomi yang hanya berasal dari produksi domestik dan dinyatakan atas dasar harga produsen. Dimana transaksi margin perdagangan dan biaya pengangkutan telah dipisahkan sebagai input yang dibeli dari sektor perdagangan dan pengangkutan. Kedua adalah kelompok Tabel-Tabel analisis yang menyajikan informasi yang diturunkan dari Tabel dasar/Tabel transaksi, yang diantaranya adalah analisis keterkaitan (BPS, 1999). Kendati Tabel I-O mampu menggambarkan aliran antar sektor, tabel ini kurang mampu menjelaskan “cerita” di balik angka aliran antar sektor tersebut. Dari perspektif ini, tabel I-O merupakan refleksi dari fungsi produksi. Hanya saja fungsi dalam konteks ini berbeda dengan fungsi produksi sebagaimana digunakan dalam teori ekonomi yang baku. Dilihat dari sudut teori produksi, model I-O memiliki dua elemen pokok yang saling berhubungan erat, yaitu: konsep sektor produktif dan karakteristik struktur input untuk masing-masing sektor. 34
Dalam model I-O, suatu sektor produktif diidentikkan dengan suatu proses atau aktivitas produksi.
Perekonomian dianggap merupakan kumpulan dari sektor-sektor
semacam itu. Pembagian menjadi berbagai sektor dibuat sedemikian rupa sehingga masingmasing sektor (proses produksi) hanya menghasilkan satu produk.
Ini berarti tidak ada
produk gabungan (joint product). Dari perspekstif tersebut, analisis dengan menggunakan Tabel I-O harus memperhatikan hal-hal berikut: (1) Karena setiap produk berasal dari satu sektor maka diasumsikan hanya diproduksi dengan satu cara. Ini berarti tidak diperhitungkan masalah pilihan teknologi. (2) Diasumsikan tidak ada interaksi antar sektor. Ini berarti mengabaikan masalah external economies dan diseconomies dari suatu proses produksi. Implikasinya, efek total dari seluruh sektor yang merupakan asumsi dasar analisis I-O, maka jumlah input yang digunakan oleh suatu sektor merupakan penjumlahan dari efek masing-masing sektor. Apabila fungsi produksi sektoral merupakan asumsi dasar analisis I-O, jumlah input yang digunakan oleh suatu sektor tergantung dari tingkat output sektor tersebut. Dengan kata lain, diasumsikan bahwa kenaikan penggunaan input berbanding secara proporsional dengan kenaikan output. Porporsi yang konstan ini ditunjukkan oleh koefisien I-O. (3) Berlaku non-substitution theorem, yaitu dengan koefisien produksi yang tetap, tidak ada substitusi antar input dalam produksi komoditi tertentu. Implikasinya masing-masing aktivitas produktif merupakan milik sektor tertentu, dan sektor tersebut hanya memiliki satu teknik produksi. (4) Model I-O pada hakekatnya merupakan model statik, dengan penggunaan utamanya adalah dalam jangka pendek (West, 1992).
Artinya, penggunaan model I-O
mengasumsikan koefisien I-O tidak berubah selama periode tertentu. Misalnya, suatu analisis dampak yang menggunakan I-O untuk proyeksi selama beberapa tahun mengasumsikan koefisien I-O stabil sepanjang periode tersebut. Secara implisit, ini identik dengan asumsi constant returns to scale atau linieritas.
Asumsi ini tidak
berlebihan mengingat: (a) Dampak awal relatif kecil dibanding skala industri dari total kegiatan ekonomi yang diamati; dan (b) Dampak yang diukur telah merupakan bagian dari perekonomian.
Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel I-O akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: (1) Struktur perekonomian suatu wilayah yang mencakup struktur output dan nilai tambah masing-masing sektor; (2) Struktur input antara, yaitu transaksi penggunaan berbagai barang dan jasa oleh sektor-sektor produksi; (3) Struktur penyediaan barang dan jasa, baik berupa produksi dalam wilayah maupun barang-barang yang berasal dari impor; 35
dan (4) Struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan antara oleh berbagai sektor produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor (BPS, 2000). Selanjutnya pada Tabel 2 disajikan gambaran tentang bagaimana suatu Tabel I-O disusun.
Tabel 2. Kerangka Dasar Tabel Input-Output Tunggal Alokasi Output Struktur Input Input Antara
Sektor Produksi i
Jumlah
1 2 ... 190 200
Permintaan Penyediaan Permintaan Antara Permintaan Akhir 1 2 ... 180 301 ... 306 309 409 509 600 700 Kuadran I Kuadran II X11 X12 X1n F1 M1 X1 X21 X22 X2n F2 M2 X2 Xm1 Xm2 Xnm Fn Mn Xn Jumlah Jumlah Jumlah Kuadran III
Input Primer atau Nilai Tambah (VA)
Jumlah Input
201 202 203 204 205 209 210
V1 X1
V2 X2
Vn Xn
Sumber: Nazara (1997)
Secara garis besar Table I-O dibagi dalam tiga kelompok atau kuadran, yaitu: - Kuadran I Kuadran I merupakan matriks transaksi antara yang terdiri baris input antara (intermediate input) dan kolom permintaan antara (intermediate demand). Baris input antara menunjukkan semua barang dan jasa serta faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan output, sedangkan kolom permintaan antara menunjukkan sektor yang membutuhkan input (yang berasal dari output sektor lain atau sektornya sendiri). Karena banyak sektor baris sama dengan kolom maka matriks ini berbentuk bujur sangkar (square matrix).
Komponen Xi pada kolom 1 permintaan antara menunjukkan bahwa untuk menghasilkan output sektor 1 (Xi), maka sektor 1 tersebut memerlukan input antara sebesar xn1, impor (200) sebesar M1, dan dari input primer/NTB (209) sebesar V1. Input antara yang diperlukan berasal dari sektor 1 sendiri sebanyak x11 dan dari sektor 2 sebanyak x21, dan seterusnya.
36
Komponen Xi pada baris 1 input antara menunjukkan penyediaan sektor 1 terdiri dari permintaan antara (180), permintaan akhir (309), impor (409), margin perdagangan dan biaya pengangkutan (509). Output sektor 1 digunakan sebagai input antara oleh sektor 1 sendiri sebesar x11, sektor 2 sebesar x12, dan seterusnya. Sedangkan F1 adalah output sektor 1 yang menjadi bagian dari permintaan akhir.
Karena itu baris ke 1
menggambarkan distribusi total output sektor 1 sebesar Xi ke sektor-sektor produksi dan permintaan akhir sebesar F1.
- Kuadran II Kuadran II merupakan matriks yang terdiri dari kolom permintaan akhir (final demand) dan penyediaan (total suplay), dan sejumlah sektor produksi. Permintaan akhir adalah permintaan atas barang dan jasa bukan sebagai input untuk proses produksi lebih lanjut. Permintaan akhir (309) terdiri dari empat unsur, yaitu: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga/ C (301); (2) pengeluaran konsumsi pemerintah/ G (302); (3) pembentukan modal tetap bruto atau investasi/ I (303); (3) perubahan stok (304); dan (4) ekspor barang dagangan (305) dan ekspor jasa (306). Sedangkan penyediaan (700) merupakan penjumlahan dari output domestik atau produksi dalam negeri (600), dan impor dan jasa (400) serta margin perdagangan dan biaya pengangkutan (509).
- Kuadran III Kuadran III meliputi kelompok nilai tambah bruto (gross value added) atau input primer yang digunakan oleh masing-masing sektor produksi. Nilai tambah bruto adalah balas jasa yang dihasilkan oleh faktor produksi yang terlibat dalam proses produksi yang terdiri dari upah dan gaji (201), surplus usaha atau keuntungan (202), penyusutan atau depresiasi (203), pajak tak langsung (204), subsidi (205). Komponen Vi menunjukkan nilai tambah yang tercipta oleh sektor 1 dan seterusnya.
Menurut BPS (1999), Tabel I-O menghasilkan persamaan neraca yang berimbang dimana jumlah produksi (keluaran) sama dengan jumlah masukan, yaitu: n
Baris
=
x
ij
Fi M i X i
i 1,.......n .......................................... (2)
ij
Vi X j
j 1,.......n .......................................... (3)
j 1
n
Kolom =
x i 1
Dimana: xij = output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Fi = permintaan akhir terhadap sektor i 37
Vj Mi Xi Xj
= input primer dari sektor j = impor produksi i = jumlah output sektor i = total input sektor j Koefisien input terdiri dari koefisien input antara dan koefisien input primer.
Keduanya merupakan sebuah indikator dalam tingkat efisiensi proses produksi dengan melihat apakah suatu sektor dalam proses produksinya menggunakan teknologi yang padat modal atau padat karya (Nazara, 2005). Koefisien input antara menggambarkan tingkat penggunaan teknologi dalam proses produksi sehingga koefisien ini disebut juga sebagai koefisien teknis (technical coefficient). Koefisien teknis dapat pula disebut sebagai kebutuhan langsung (direct requirement), karena menunjukkan kebutuhan langsung suatu sektor akan output sektor lainnya (FEUI, 2010). Koefisien ini menurut BPS (1999) dapat dihitung sebagai berikut:
aij
xij Xj
atau
x ij a ij X j ................................................................................ (4)
dimana: a ij
xij Xj
= koefisien input antara (koefisien teknis) dari output sektor i yang digunakan oleh kegiatan produksi sektor j = banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input oleh kegiatan produksi sektor j. = total input kegiatan sektor j. Koefisien input primer menunjukkan peranan dan komposisi dari upah dan gaji,
surplus usaha (keuntungan), pajak tak langsung, dan penyusutan. Koefisien input primer dirumuskan sebagai berikut : vj
Vj Xj
................................................................................................................... (5)
dimana: Xj = total input yang dibutuhkan sektor j = total output sektor i (untuk i=j) Vj = Input primer (nilai tambah) sektor j. vj = koefisien Input primer. Matriks koefisien teknis inilah yang merupakan dasar perhitungan efek pengganda (multiplier effect) yang menjadi salah satu inti dari analisis I-O. Efek pengganda ini diperoleh melalui bentuk persamaan sebagai berikut: AX + F = X a tau F = X - AX .................................................................... (6) Jika terdapat perubahan pada permintaan akhir, maka akan ada perubahan pada besarnya pendapatan masyarakat nasional. Jika ditulis dalam bentuk persamaan, maka dapat dituliskan sebagai berikut : AX + F = X atau sehingga
F = X - AX
.............................................................. (7)
38
X = ( I - A )-1F ................................................................................................... (8) dimana: I F X (I–A)
= Matriks identitas berukuran n x n yang elemennya memuat angka satu pada diagonalnya dan nol pada selainnya = Permintaan akhir = Output = Matriks Leontief
( I – A )-1
= Matriks kebalikan Leontief
Dalam analisis I-O matriks kebalikan leontief berfungsi sebagai pengganda (output multiplier) yang berarti bahwa kenaikan dalam permintaan akhir (F) akan berpengaruh langsung terhadap kenaikan total output (X) sektor tersebut, dan juga berpengaruh tak langsung terhadap sektor-sektor lainnya di dalam perekonomian (BPS, 2008 dan Nazara, 2005).
Metode Analisis Keterkaitan (Lingkage) Pada dasarnya informasi Tabel I-O diklasifikasikan dalam dua kelompok Tabel yaitu pertama kelompok Tabel-Tabel dasar dimana pada penelitian ini menggunakan Tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen adalah Tabel transaksi yang menggambarkan nilai transaksi barang dan jasa antar sektor ekonomi yang hanya berasal dari produksi domestik dan dinyatakan atas dasar harga produsen. Dimana transaksi margin perdagangan dan biaya pengangkutan telah dipisahkan sebagai input yang dibeli dari sektor perdagangan dan pengangkutan. Kedua adalah kelompok Tabel-Tabel analisis yang menyajikan informasi yang diturunkan dari Tabel dasar/Tabel transaksi, yang diantaranya adalah analisis keterkaitan (BPS, 1999). Analisis keterkaitan atau analisis keterkaitan antar industri digunakan untuk penyusunan prioritas atau produk unggulan sektor perekonomian untuk mencapai tujuan pembangunan. Konsep keterkaitan terdiri dari keterkaitan ke depan atau disebut juga derajat kepekaan dan tingkat keterkaitan ke belakang atau disebut juga dengan daya penyebaran. - Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) Analisis keterkaitan ke belakang merupakan keterkaitan suatu sektor yang bersumber dari sektor penyedia inputnya (hulu) yaitu dari mana asal bahan mentah ataupun bahan baku yang digunakan dalam proses produksinya melalui permintaan input. Dalam analisis keterkaitan ke belakang terbagi atas keterkaitan ke belakang langsung dan keterkaitan ke belakang total. Keterkaitan ke belakang langsung terjadi jika peningkatan permintaan akhir suatu sektor, maka akan mengakibatkan meningkatnya penggunaan input produksi sektor tersebut secara langsung. Jika efek yang ditimbulkan adalah langsung dan 39
tak langsung maka dinamakan keterkaitan ke belakang total. Dimana angka pengganda ini juga merupakan angka pengganda output (Nazara, 2005). Analisis keterkaitan ke belakang dapat di lihat pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis Keterkaitan ke Belakang (Backward Lingkage) No 1
Keterkaitan ke belakang Langsung
2
Ke belakang total
Rumus n
B(d ) j ij i 1
n
B(d i) j ij i 1
Sumber: Nazara, 2005 Keterangan:
αij
= unsur matrik koefisien teknis B(d)j dan unsur matriks kebalikan leontief B(d+i)j
- Keterkaitan ke Depan (Forward Linkage) Analisis keterkaitan ke depan terbagi atas keterkaitan ke depan langsung dan keterkaitan ke depan total. Analisis keterkaitan ke depan langsung adalah untuk mengetahui tingkat kepekaan suatu sektor dalam melakukan kegiatan ekonominya secara langsung terhadap sektor lainnya atau dapat pula diartikan sebagai keterkaitan suatu sektor dengan sektor pemakai outputnya (hilir) yaitu keterkaitan dengan penjualan produk akhir akibat pengaruh dari permintaan akhir yang dilakukan melalui mekanisme penawaran output (Nazara, 2005 dan BPS 2008). Sedangkan keterkaitan ke depan total merupakan total dari efek yang dihasilkan secara langsung maupun tidak langsung yang dijelaskan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Analisis Keterkaitan ke Depan (Forward Lingkage) No 1
Keterkaitan Langsung Ke depan
2
Ke depan Total
Rumus n
F (d )i ij j 1
n
F (d i )i ij j 1
Sumber: Nazara, 2005
Keterangan: = unsur matrik koefisien teknis F(d)i dan unsur matriks kebalikan leontief F(d+i)i βij
- Analisis Pengganda dan Dampak Dasar analisi dampak dalam model I-O adalah angka pengganda yang merupakan suatu koefisien yang menyatakan kelipatan dari meningkatnya permintaan akhir suatu sektor 40
yang akan mempengaruhi perubahan output di seluruh sektor ekonomi dimana angka pengganda juga mencerminkan urutan prioritas investasi apabila ingin mendapatkan nilai dampak yang optimal . Adapun analisis pengganda meliputi pengganda output, pendapatan masyarakat, lapangan kerja dan nilai tambah bruto (NTB) (Nazara, 2005). Adapun penghitungan analisis angka pengganda dijelaskan pada Tabel 5. Tabel 5. Perhitungan Pengganda Output, Pendapatan masyarakat, Lapangan Kerja dan NTB
Nilai Efek Awal Efek Langsung
Output 1 n
aij
i j
Efek Total
n
Pengganda Pendapatan Lapangan Kerja masyarakat hj wj n
aijhj
i j
αij
i j
n
n
aijwj
i j
αijhj
i j
n
NTB vj n
aijvj
i j
αijwj
i j
n
αijvj
i j
Sumber: Nazara ( 2005); Miller et al. (2009)
Keterangan: aij = koefisien input hj = koefisien pendapatan masyarakat wj = koefisien lapangan kerja vj = koefisien input primer αij = matriks kebalikan leontief Efek awal output menggambarkan peningkatan penjualan ke permintaan akhir dalam perekonomian dan merupakan stimulus perekonomian yang menyebabkan peningkatan atau penurunan suatu sektor terhadap permintaan akhir. Peningkatan output akan memberikan efek terhadap peningkatan pendapatan masyarakat melalui koefisien pendapatan masyarakat (hj) dan peningkatan tenaga kerja melalui koefisien lapangan kerja (wj) serta peningkatan NTB melalui koefisien NTB (vj). Efek langsung menunjukkan efek yang langsung diterima dari pembelian masing-masing sektor untuk setiap peningkatan output. Efek pendapatan masyarakat langsung menunjukkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat dan efek lapangan kerja langsung menunjukkan adanya peningkatan lapangan kerja dari setiap sektor akibat adanya efek putaran pertama output. Semakin besar nilai koefisien angka pengganda maka sektor tersebut mempunyai hubungan yang kuat dengan sektor yang lain atau dapat pula digambarkan sebagai peningkatan aktivitas suatu sektor akan meningkatkan aktivitas sektor tersebut atau sektor lainnya sebesar nilai penggandanya. Dalam penelitian ini analisis dampak yang digunakan adalah dampak perubahan output, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja dengan rumus formal sebagaimana tertera pada Tabel 6.
41
Tabel 6. Dampak Perubahan Output, Pendapatan masyarakat, Lapangan Kerja dan Nilai Tambah Bruto (NTB) No 1
Dampak Output
Rumus n
αijY
i j
2
Pendapatan masyarakat
n
αijhjY
n
αijwjY
n
αijvjY
i j
3
Lapangan Kerja
i j
4
NTB
i j
Sumber: Nazara (2005); Miller et al. (2009); Kementerian PU dan BPS (2011)
Keterangan: aij = koefisien input hj = koefisien pendapatan masyarakat wj = koefisien lapangan kerja vj = koefisien input primer αij = matriks kebalikan leontief Y = nilai investasi
- Proses Pembentukan Tabel I-O Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Untuk dapat melakukan analisis secara khusus pada sektor industri pengolahan produk perikanan, maka sebelumnya dilakukan disagregasi pada sektor-59 (industri ikan kering dan ikan asin) dan sektor-60 (industri pengolahan dan pengawetan ikan) dari Tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen dalam Tabel I-O Indonesia tahun 2012 yang dimutakhirkan yang dibuat dengan bersumberkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) klasifikasi 192 x 192 sektor. Proses disagregasi Tabel I-O tersebut dilakukan mengikuti kaidah yang disarankan oleh Wolsky (1984) yang kemudian dikonsultasikan dan dibantu oleh pihak BPS yang didasarkan atas data Statistik Industri tahun 2010 (BPS, 2010b) dan disesuaikan dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia tahun 2009 (KBLI 2009) sebagaimana terdapat dalam BPS (2010a) dengan mendisagregasi 2 sektor terkait dengan industri pengolahan produk perikanan, yaitu sektor-59 (industri ikan kering dan ikan asin) didisagregasi menjadi 2 sektor; dan sektor-60 (industri pengolahan dan pengawetan ikan) didisagregasi menjadi 12 sektor, seperti tertera pada Tabel 7.
42
Tabel 7. Tabel Disagregasi Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Pada Tabel I-O Indonesia 2010 Updating dari 2008 Sesuai KBLI 2009 Kode
Sektor
S-059 Industri Ikan Kering Dan Ikan Asin 10211 Industri Penggaraman/Pengeringan Ikan 10291 Industri Penggaraman/Pengeringan Biota Air Lainnya S-060 Industri Pengolahan Dan Pengawetan Ikan 10221 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng 10222 Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng 10212 Industri Pengasapan Ikan 10292 Industri Pengasapan Biota Air Lainnya 10213 Industri Pembekuan Ikan 10293 Industri Pembekuan Biota Air Lainnya 10214 Industri Pemindangan Ikan 10294 Industri Pemindangan Biota Air Lainnya 10216 Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi 10217 Industri Pendinginan/Pengesan Ikan 10219 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan 10299 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Sumber : BPS, 2009 (diolah kembali)
Selanjutnya 2 (dua) sektor induk lama (sektor-59 dan 60) dihilangkan dari Tabel I-O, sehingga dihasilkan Tabel I-O disagregasi dengan klasifikasi matriks 204 x 204 sektor. Selanjutnya Tabel I-O hasil disagregasi klasifikasi matriks 204 x 204 sektor diagregasi kembali menjadi klasifikasi matriks 36 x 36 sektor. Dasar dari agregasi tersebut adalah keterkaitan yang erat antar sektor tertentu serta kesatuan jenis komoditi berdasarkan pengelompokan pada keseragaman wujud fisik komoditi (BPS, 1999) khususnya yang memiliki keterkaitan dengan sektor industri pengolahan produk perikanan. Tabel I-O sektor industri pengolahan produk perikanan klasifikasi matriks 36 x 36 sektor dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Tabel I-O Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Tahun 2010 Updating 2008 Klasifikasi Matriks 36 x 36 Sektor Kode 1 2 3 4 5
Sektor Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan Ikan Dan Hasil Perikanan Tangkap
Kode 19 20 21 22 23
Sektor Industri Pendinginan/Pengesan Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki
43
6 7 8
Ikan Dan Hasil Perikanan Budidaya 24 Pertambangan dan Penggalian 25 Industri Penggaraman/Pengeringan 26 Ikan 9 Industri Penggaraman/Pengeringan 27 Biota Air Lainnya 10 Industri Pengolahan dan 28 Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng 11 Industri Pengolahan dan 29 Pengawetan Udang Dalam Kaleng 12 Industri Pengasapan Ikan 30 13 Industri Pengasapan Biota Air 31 Lainnya 14 Industri Pembekuan Ikan 32 15 Industri Pembekuan Biota Air 33 Lainnya 16 Industri Pemindangan Ikan 34 17 Industri Pemindangan Biota Air 35 Lainnya 18 Industri Berbasis Daging Lumatan 36 dan Surimi Sumber: Hasil olahan Tabel IO Tahun 2010 updating (2014)
Industri Kayu dan Hasil Hutan lainnya Industri kertas dan Barang Cetakan Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Industri Semen dan Bahan Galian Bukan Logam Industri Logam dasar besi dan baja Industri Alat Angkutan, Mesin dan peralatannya Industri barang lainnya Listrik, Gas dan Air Besih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi keuangan, Real estate dan Perusahaan
Jasa
Jasa-Jasa
- Teknik Pemutakhiran (Updating) dan Penyeimbangan (Balanching) Pemutakhiran (updating) Tabel Input-Output (I-O) dalam penelitian ini adalah terdiri atas 36 sektor (lihat Tabel 5) pada tahun 2010 ke tahun 2012 dilakukan dengan menggunakan metode RAS (Nazara, 2005; Daryanto dan Hafizianda, 2010). Setelah proses RAS terhadap Tabel I-O, harus dilakukan proses penyeimbangan (balanching) dengan menggunakan dan Cross Entrophy (CE), sehingga diperoleh keseimbangan neraca dalam Tabel I-O tersebut. Pemutkhiran Tabel I-O dengan menggunakan metode RAS tipe tradisonal, dimana deviasi pada koefisien yang diestimasi diberi shock dengan koefisien yang menjadi target yang dilakukan dengan menggunakan formulasi sebagai berikut:
min z qij ln i
s.t
j
q
qij aij
ij
xij vi
ij
xij u i untuk semua i
untuk semua j ………………………………………… (9)
i
q i
qij 0
untuk semua i,j
Kemudian proses penyeimbangan (balanching) dilakukan setelah sebelumnya dilakukan proses penyelarasan (reconciled) sel-sel dalam matrik yang tersusun secara vertikal dan horizontal. Pada tahap ini, komponen impor bersainga pada sektor konsumsi rumah tangga dan permintaan akhir lainnya juga dipisahkan sehingga diperoleh matriks 44
permintaan akhir yang berasal dari wilayah yang bersangkutan.
Selanjutnya untuk
menyeimbangkan kedua sisi tersebut (Input dan Output) digunakan metode cross entrophy (CE). Secara empiris, selain oleh Golan, et al. (1994) dalam Robinson, et al. (1998) dan Robinson and El-Said (2000) metode disgargeasi dan keseimbangan neraca dengan menggunakan metode Cross Entrophy (CE) seperti di atas telah cukup banyak digunakan di Indonesia, seperti oleh Sugiyono (2009), Mulyono (2010), dan Kementrian PU dan BPS (2011). Metode Cross-Entropy merupakan perluasan dari metode RAS, dimana metode Cross-Entropy lebih fleksibel dan unggul untuk mengestimasi SAM ketika data scattered (tersebar) dan tidak konsisten. Sementara itu metode RAS mengasumsikan bahwa estimasi dimulai dari suatu Tabel Input – Output terdahulu yang konsisten dan hanya mengetahui tentang total baris dan kolom. Sementara, kerangka Cross-Entropy mengacu pada rentang informasi terdahulu yang lebih luas untuk digunakan secara efisien dalam estimasi (Robinson et al., 1998). Ada dua pendekatan yang digunakan dalam penerapan model Cross-Entropy, yaitu pendekatan deterministik dan pendekatan stokastik. Pendekatan deterministik digunakan apabila terdapat ketergantungan yang bersifat fungsional antara satu peubah dengan peubah lainnya. Sedangkan pendekatan stokastik digunakan apabila terdapat ketergantungan yang bersifat random antara satu peubah dengan peubah lainnya (Robinson et al., 1998; Robinson dan El-Said, 2000). Metode keseimbangan neraca dengan CE yang telah digunakan oleh Golan, et al. (1994) dalam Robinson, et al. (2000) untuk mengestimasi matriks koefisien pada tabel Input-Output. Ide yang disampaikan adalah bagaimana caranya memperoleh matriks koefisien teknis (A) dengan meminimumkan jarak entropy antara koefisien A pada matriks sebelumnya dan matriks koefisien yang baru hasil estimasi, atau secara matematik hal tersebut dapat disampaikan sebagai berikut (Golan, et al., 1994 dalam Robinson, et al., 2000):
Aij min Aij ln ........................................................................................... (10) Aij i j atau, = min Aij ln Aij Aij ln Aij i j i j dengan kendala:
AY ij
* j
Yi*
j
A
ij
1
j
dimana:
Aij
= matriks koefisien A sebelumnya 45
Aij = matriks koefisien A estimasi yang akan menghasilkan Tabel IO yang seimbang Y*
= matriks vektor kolom output i dan j = sektor i dan sektor j Melalui estimasi dengan metode CE akan diperoleh matriks Tabel I-O 2012 yang
dihasilkan dari proses pemutakhiran (updating) mengikuti I-O 2010, dimana jumlah output dan input seharusnya sama. Matriks I-O yang baru ini harus dikoreksi, oleh karena bisa saja terdapat nilai-nilai yang tidak logis sesuai dengan kondisi objektif perekonomian. Dalam hal ini setiap sel yang ada dalam I-O akan diamati, sehingga untuk angka yang tampak tidak logis (misalnya terlalu besar atau kecil, dan atau sebenarnya nilai tersebut harus tidak ada) dilakukan pengecekan ulang dengan menggunakan sumber informasi lain. Agar syarat keseimbangan I-O (Tabel I-O 2012) dapat dipertahankan, setelah proses koreksi selesai dilakukan, maka dilakukan kembali perhitungan atau berulang kali (iterasi) menggunakan metode CE. Ada kemungkinan tahapan ini dilakukan berulang kali (iterasi), sehingga diperoleh keseimbangan antara output dan input untuk masing-masing neraca yang logis. Data sekunder utama pada penelitian ini adalah data Tabel Input-Output Tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen dalam Tabel I-O Indonesia tahun 2010 yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) klasifikasi 192 x 192 sektor yang dimutakhirkan (updating) ke kondisi tahun 2012, dimana sektor-sektor didalamnya telah mengalami proses disagregasi khususnya terhadap 2 sektor dari kelompok industri pengolahan produk perikanan, yaitu sektor industri ikan kering dan ikan asin (S-59) yang didisagerasi menjadi sebanyak dua sektor; dan sektor industri pengolahan dan pengawetan ikan (S-060) yang didisagregasi menjadi sebanyak 12 sektor (lihat Tabel 1). Proses disagregasi Tabel I-O tersebut dikonsultasikan dan dibantu oleh pihak BPS yang didasarkan atas data Statistik Industri tahun 2010 dan disesuaikan dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia tahun 2009 (KBLI 2009). Setelah proses disagregasi dimana 2 sektor induk lama (sektor-59 dan 60) dihilangkan dari Tabel I-O, sehingga dihasilkan Tabel I-O disagregasi dengan klasifikasi matriks 204 x 204 sektor. Selanjutnya Tabel I-O hasil disagregasi klasifikasi matriks 204 x 204 sektor diagregasi kembali menjadi klasifikasi matriks 36 x 36 sektor. Analisis metode ekstraksi dilakukan dengan menggunakan basis analisis tabel I-O dalam model I-O. Tabel I-O memberikan informasi yang tentang transaksi barang dan jasa antar sektor yang terjadi di dalam perekonomian yang disajikan dalam bentuk matrik dalam satu periode waktu dan wilayah tertentu. Isian sepanjang baris menunjukkan bagaimana suatu sektor ekonomi dialokasikan ke sektor-sektor lain untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir, sedangkan isian dalam kolom menunjukkan pemakaian input antara dan input primer oleh suatu sektor dalam proses produksinya (BPS, 1999).
46
(3) Metode Ekstraksi untuk Analisis Deindustrialisasi Dalam penelitian ini, untuk mengetahui sejaumana dampak ekonomi yang ditimbulkan jika sektor industri pengolahan produk perikanan dihilangkan dari sistem inputoutput perekonomian di Indonesia (deindutrialisasi atau ekstraksi), dilakukan analisis data dengan menggunakan metode ekstraksi.
Dalam pelaksanaannya, metode ekstraksi
sepenuhnya dilakukan dengan berbasiskan pada analisis model input-output, khususnya berkaitan dengan perubahan nilai koefisien keterkaitan (ke belakang dan ke depan), angka pengganda (multiplier effect) output, nilai tambah bruto, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja; dan dampak terhadap perekonomian (Nazara, 2005; Nazara dan Rosmiansyah, 2008; Maulana, 2012). Metode Ekstraksi (extraction method) dalam model input-output pertama diusulkan oleh Strassert (1968) dan Schultz (1976). Analisis metode pentingnya suatu sektor atau wilayah dalam perekonomian jika sektor dihilangkan pada sektor atau wilayah utama dalam sistem input-output. Selanjutnya perbedaan output antara dengan atau tanpa sektor dianalisis arti pentingnya elemen yang dihilangkan. Dietzenbacher et al. (1993), menyatakan bahwa arti pentingnya suatu sektor ditunjukkan dari perbedaan backward dan forward lingkage dengan atau tanpa elemen yang dihilangkan. Perbedaan output antara sistem penuh dan sistem yang diekstraksi dapat diestimasi dengan persamaan berikut: 3) Dampak perubahan backward lingkage : ....................... (11) dimana: x = output L = matriks kebalikan leontif A = matriks input requirement F = vektor permintaan akhir Superscript I = sektor atau wilayah yang dihilangkan (extracted) Superscript R = rest dari sistem 4) Dampak perubahan forward lingkage : ........................ (12)
dimana: v G
= vektor input utama = matriks inverse Ghosian yaitu matriks kebalikan koefisien teknologi sisi penawaran B = matriks output allocation : matriks koefisien penawaran Superscript I = sektor atau wilayah yang dihilangkan (extracted) Superscript R = rest dari sistem
47
Berdasarkan hasil analisis dampak perubahan keterkaitan ke belakang dan perubahan keterkaitan ke depan tersebut, selanjutnya dapat dianalisis dampaknya terhadap perubahan angka pengganda (output, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja) dan sekaligus besaran dampaknya terhadap peubahan output, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja jika terjadi kondisi deindustrialisai (ekstraksi) terhadap usaha pengolahan produk perikanan Indonesia (Nazara, 2005; Nazara
dan Rosmiansyah, 2008; Maulana, 2012). Skenario Simulasi Penelitian (2) Dalam penelitian ini, dilakukan simulasi dengan mengasumsikan bahwa pemerintah memberikan insentif berinvestasi bagi investor yang ingin mengembangkan industri pengolahan produk perikanan untuk mendorong produktivitas, nilai tambah, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Selanjutnya pasar merespon dengan terjadinya peningkatan permintaan akhir berupa peningkatan nilai investasi di sektor industri pengolahan produk perikanan di Indonesia. Simulasi dilakukan dengan memberikan injeksi sebesar 100,00% dari nilai awal permintaan akhir investasi (kode sektor kolom 309) pada ke-14 sub sektor industri pengolahan produk perikanan sesuai dengan rata-rata peningkatan investasi sektor perikanan dalam dokumen rencana strategis kementerian kelautan dan perikanan. Analisis dilakukan dengan memberikan injeksi sebesar 100,00% dari nilai awal permintaan akhir investasi pada ke-14 sub sektor industri pengolahan produk perikanan.
(3) Dalam simulasi ini, diasumsikan adanya de-industrialisasi, dimana sektor industri pengolahan produk perikanan berhenti beroperasi seluruhnya dikarenakan tidak ada lagi sumber bahan baku dan tidak ada substitusi impor sehingga tidak ada transaksi pada sektor tersebut. Sementara itu nilai dari hasil simulasi larangan ekspor juga tidak dapat digunakan di dalam negeri. Analisis ini dilakukan dengan mengubah koefisien teknologi yang terkait dengan sektor industri pengolahan produk perikanan yaitu dengan menghilangkan baris dan kolom ke-14 (empat belas) sub sektor industri pengololahan hasil perikanan yaitu pada kode sektor-8 hingga sektor-21. Tujuan analisis ini untuk melihat dampak dari hilangnya sektor industri pengolahan produk perikanan dalam perekonomian Indonesia melalui analisis ekstraksi (extracted method). Perubahan koefisien teknologi ini akan berdampak pada perubahan indeks keterkaitan, angka pengganda (multiplie effect), serta dampaknya pada output, nilai tambah, pendapatan masyarakat serta penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian Indonesia.
48
3.4 Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan ini akan dilakukan selama satu tahun sejak Januari 2015 sampai dengan Desember 2015. Lokasi kegiatan mencakup wilayah-wilayah prioritas program revitalisasi industri budidaya udang, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Lampung.
3.5 Data yang Dikumpulkan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Tabel InputOutput (I-O) Tahun 2008 dengan fokus pada perikanan primer dan 2010 updating dari Tabel I-O 2008 dengan focus pada perikenan sekunder, dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Tahun 2008, serta parameter-parameter dugaan dari sistem persamaan yang didapat dari penelitian sebelumnya dan data statistik lain (data ekonomi makro dan sektoral) yang telah diperbaharui. Data tersebut diperoleh dari sumber Badan Pusat Statistik (2012), Bank Indonesia, KKP, Kementerian Perindustrian dan lembaga-lembaga lain serta dari buku, internet dan literatur serta sumber lainnya yang sesuai dengan penelitian ini.
3.6 Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dikumpulkan melalui pendekatan studi pustaka dan pengumpulan berbagai dokumen atau laporan yang relevan dengan topik penelitian.
49
50
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil Industri dan Perkembangan Investasi di Sektor Perikanan Industri pengolahan produk perikanan adalah kegiatan industri yang mengolah hasilhasil perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikaan budidaya yang berasal dari laut maupun perairan darat seperti ikan pelagis, ikan damersal, ikan air tawar, udang-udangan (crustacea), moluska, dan biota air lainnya. Hasil produksi dari industri pengolahan produk perikanan berupa produk olahan hasil perikanan, dimana berdasarkan Permen KP Nomor 12/MEN/2009 dijelaskan bahwa produk olahan hasil perikanan adalah setiap hasil perikanan yang telah mengalami proses kimia atau fisika seperti pemanasan, pengasapan, penggaraman, pengeringan atau pengacaran dan lain-lain, baik yang berasal dari produk yang didinginkan atau produk beku, baik yang dikombinasikan dengan bahan makanan atau kombinasi dari beberapa proses. Sedangkan kegiatan pengolahan adalah rangkaian kegiatan dan atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia. Pemanfaatan total produksi perikanan di Indonesia sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk segar (43,1%), beku (30,4%), pengalengan (13,7%) dan dalam bentuk olahan lain (12,8%). Pemanfaatan dalam bentuk olahan ini dapat berupa ikan asin, ikan asap, ikan pindang, produk fermentasi (petis, terasi, peda dan lainnya). Ikan pindang merupakan salah satu hasil olahan yang cukup populer di Indonesia, dalam urutan hasil olahan tradisional menduduki tempat kedua setelah ikan asin. Kemudian ditinjau dari hasil olahan ikan, sebesar 75% ikan masih diolah secara tradisional. Menurut terminologi FAO (2012), ikan olahan tradisional, atau "traditional curred" adalah produk yang diolah secara sederhana dan umumnya dilakukan pada skala industri rumah tangga. Jumlah unit pengolahan ikan pada tahun 2010 mencapai 60.117, yang terdiri dari usaha pengalengan sebanyak 114 unit, pembekuan sebanyak 556 unit, penggaraman sebanyak 23.876 unit, pemindangan sebanyak 10.952 unit, pengasapan sebanyak 8.056 unit, dan peragian sebanyak 2.912 unit. Unit Pengolahan Ikan (UPI) telah terealisasi 504 unit sampai September 2010, meninggalkan target tahun ini yang hanya 444 unit. Tetapi tingkat kemampuan (utilisasi) unit pengolahan ikan skala menengah dan besar sekitar 30% karena pasokan bahan baku perikanan, baik dari sektor budi daya maupun hasil tangkapan laut, tidak mencukupi keekonomian industri besar. Rendahnya utilisasi UPI dikarenakan pasokan bahan baku kurang.
Data menunjukkan unit pengolahan skala besar yang sampai saat ini
masih beroperasi mencapai 658 unit, sementara industri pengolahan ikan skala kecil tercatat 17.616 unit. Sejumlah unit pengolahan yang tersebar di seluruh Indonesia berkapasitas 18.140,4 ton per tahun. Namun, hingga kini hanya terpakai kurang dari 50% atau hanya
51
sekitar 9.324,16 ton per tahun. Keberadaan unit pengolahan ikan tersebut menyerap 594.300 orang tenaga kerja yang dilibatkan di bidang industri pengolahan dan pemasaran (Tabel 9). Tabel 9. Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) per Provinsi di Indonesia Menurut Jenis Pengolahannya Tahun 2011
28 33 14 1 8 7 77 4.018 1.949 59 2.139 264 700 1.450 3 2 1 2 20 60 113 4 10.952
276 16 141 559 5 120 44 101 3 1 15 38 2.538 8 2.350 12 19 471 1 15 1 13 178 222 93 426 25 59 70 142 4 90 8.056
62 128 73 49 15 62 51 190 25 5 384 486 1 895 15 2 35 79 24 147 78 15 44 7 9 28 3 2.912
32 20 3 4 33 98 10 91 25 15 79 274 196 29 248 59 34 20 2 2 2 7 3 3 25 4 4 1 1.323
3 4 21 8 29 2 32 22 2 39 11 6 151 7 1 3 1 20 2 2 6 1 4 4 381
108 50 51 63 1 10 16 71 15 22 93 430 26 485 93 69 275 6 54 29 92 182 3 36 102 34 222 20 1 84 2 2.745
Pengolahan Lainnya
Pengolahan Surimi
2.375 1.374 958 431 116 127 242 740 99 208 505 657 1.631 6 2.520 498 18 1.186 265 934 872 3.129 1.064 106 482 2.340 590 97 114 49 58 21 64 23.876
Produk Segar
Pereduksian
26 30 6 3 6 3 24 19 13 9 1 139 7 13 10 4 18 1 28 21 33 15 63 22 16 7 4 9 6 556
Peragian
10 7 2 1 4 7 1 36 8 1 1 20 9 2 5 114
Pengasapan
2.955 2.233 1.547 1.241 517 2.070 465 1.361 956 612 1.069 5.966 8.350 334 10.640 1.142 954 3.550 280 1.304 1.011 3.660 1.464 386 802 2.783 1.225 361 205 141 301 65 165 60.117
Pemindangan
Aceh Sum. Utara Sum. Barat Riau Jambi Sum.Selatan Bengkulu Lampung Babel Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kal. Barat Kal. Tengah Kal.Selatan Kal.Timur Sul. Utara Sul. Tengah Sul. Selatan Sul.Tenggara Gorontalo Sul. Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Jumlah
Penggaraman
Jumlah UPI
Pembekuan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Provinsi
Pengalengan
Jenis Pengolahan Ikan Utama
38 572 376 82 301 1.665 105 319 524 339 307 474 1.098 203 1.677 187 90 99 1 199 81 234 81 42 20 49 23 4 1 9 2 9.202
Sumber : DEKIN, 2012
Kemudian jika ditinjau dari ketersediaan UPI skala besar, ternyata tidak semua provinsi di Indonesia memilikinya. Tercatat pada tahun 2011 terdapat enam provinsi yang tidak memeiliki UPI skala besar seperti yang terlihat pada Tabel 10.
52
Tabel 10. Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan Jenis Produk Skala Besar per Provinsi Tahun 2011 No
Provinsi
Unit
Produk*)
No
Provinsi
Unit
Produk*)
1.
Aceh
1
1
16.
Kalbar
7
1,2
2.
Sumut
52
1,2,3,4,5
17.
Kaltim
15
1
3.
Sumbar
2
2
18.
Kalsel
10
1,5
4.
Kepri
1
2
19.
Kalteng
1
1
5.
Sumsel
3
1,7
20.
Sulut
34
2,3,6
6.
Babel
5
2
21.
Gorontalo
3
1,2
7.
Lampung
6
1,7, 8,10
22.
Sulsel
67
1,2,4,8,11
8.
Banten
12
1,2,4,5,8,12
23.
Sultra
6
1,2,5
9.
Jabar
31
1,2, 3, 4,5, 9,12
24.
Sulteng
5
1,2,5
10.
DKI Jakarta
57
1,2,4,5
25.
Maluku
15
1,2
11.
Jateng
25
1,2,3,4,8,9
26.
Malut
4
2,5
12.
Jatim
126
1,2,3,4,5,8,10,12,13
27.
Irjabar
8
1,2,3
13.
Bali
57
2,3,4,5,6
28.
Papua
4
2
14.
NTB
1
2
Jumlah
570
15.
NTT
16
1,2,4,6
Sumber: DEKIN, 2012 Keterangan : Tidak ada UPI: Riau, Jambi, Bengkulu, DIY, NTB, dan Sulbar Produk : Udang Beku (1), Ikan Segar & Beku (2), Ikan Kaleng (3), Ikan Kering (4) Ikan Hidup (5), Ikan Asap (6), Paha Kodok (7), Rajungan (8), Surimi (9), Keong (10), Telur Ikan Terbang (11), Belut (12), lainnya (13)
Industri pengolahan produk perikanan Indonesia mempunyai kontribusi penting dalam sektor perikanan maupun dalam sektor lain yang lebih luas. Produk olahan ikan mampu memepertahankan nilai jual ikan hasil tangkapan maupun budidaya, karena perannya dalam menjaga keawetan hasil perikanan. Kegiatan-kegiatan pengolahan ikan dengan variasi produk-produk turunannya tidak hanya mampu memepertahankan nilai tambah, Bahkan juga menambah nilai jual produk itu sendiri. Adanya kegiatan-kegiatan produktif melalui industri pengolahan produk perikanan akan dapat mengoptimalkan pemanfaatan jumlah efektif produk perikanan yang dapat dikonsumsi dan diambil manfaatnya. Nilai penting industri pengolahan produk perikanan dapat dilihat dari kontribusi PDB sektor industri pengolahan produk perikanan terhadap perekonomian nasional. PDB sektor industri pengolahan produk perikanan terus mengalami kenaikan sejak tahun 2009 hingg 2011 dengan pertumbuhan rata-rata pada industri besar dan sedang sebesar 8,86% per tahun. Sedangkan pada industri rumah tangga terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5,8% per tahun seperti yang terlihat pada Tabel 11. 53
Tabel 11. Produk Domestik Bruto Industri Pengolahan produk Perikanan Atas Dasar Harga Berlaku, tahun 2009-2011 (Juta Rupiah) Kode KBLI 2009 A 10211
Industri Pengolahan Ikan Industri Besar dan Sedang
10212
Industri Penggaraman/Pengeringan Ikan Industri Pengasapan Ikan
10213
Industri Pembekuan Ikan
10214
Industri Pemindangan Ikan
10215
Industri Peragian/Fermentasi Ikan
10216
2009 10,218,655
2010 11,245,456
2011 12,108,296
358,463
364,418
398,380
2,211
17,257
18,652
1,403,215
2,143,932
2,273,701
267,957
293,497
317,142
-
-
-
Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi Industri Pendinginan/Pengesan Ikan
94,616
90,731
97,578
-
-
-
273,946
201,945
217,186
1,777,715
1,868,718
2,128,610
23,780
113,796
129,623
18,351
50,259
54,943
10292
Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng Industri Penggaraman/Pengeringan Biota Air Lainnya Industri Pengasapan Biota Air Lainnya
18,089
5,082
5,493
10293
Industri Pembekuan Biota Air Lainnya
5,951,160
5,949,432
6,309,543
10294
Industri Pemindangan Biota Air Lainnya Industri Peragian/Fermentasi Biota Air Lainnya Industri Berbasis Daging Lumatan Biota Air Lainnya Industri Pendinginan/Pengesan Biota Air Lainnya Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Industri Kecil dan Rumah Tangga
-
1,386
1,498
-
-
-
-
-
-
-
-
-
29,152
145,003
155,947
6,523,092
6,792,925
7,300,722
10217 10219 10221
10222 10291
10295 10296 10297 10299 B
Sumber : KKP, 2013
Saat ini industri pengolahan tidak maksimal menjalankan pabrik karena tidak adanya bahan baku udang untuk diolah. Saat produksi udang turun, para pengusaha berharap pemerintah membuka keran impor untuk kebutuhan industri pengolahan yang berorientasi ekspor saja. Industri hilir perikanan laut Indonesia masih terkendala pasokan bahan baku. Meski memiliki sumber daya alam kelautan yang melimpah, Indonesia belum mampu menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan. Akibatnya, banyak perusahaan perikanan yang tutup.
Industri pengalengan ikan di Indonesia saat ini
membutuhkan bahan baku 300-350 ribu ton per tahun. Dari kebutuhan itu, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 40%, sedangkan 60% masih impor. Industri pengalengan cakalang, misalnya, membutuhkan bahan baku 300 ribu ton per tahun, sedangkan pasokan 54
dari dalam negeri hanya 120-140 ribu ton. Kapasitas terpasang industri pengalengan sarden berkisar 150 ribu ton dan pasokan bahan baku lokal hanya 70-100 ribu ton per tahun. Meskipun potensi ekonomi industri pengolahan produk perikanan sangat tinggi, namun sejauh ini perkembangannya belum seperti yang diharapkan. Beberapa kendala tersebut dapat berupa kelemahan internal dalam industri pengolahan produk perikanan itu sendiri, seperti minimnya aspek teknologi, permodalan, manajemen, pemasaran, dan aspek lain yang berkinerja rendah serta adanya faktor eksternal seperti suplai bahan baku yang terbatas (fluktuasi suplai ikan) dan minimnya infrastruktur untuk mendukung pengembangan industri pengolahan produk perikanan seperti jalan, pelabuhan, armada penangkapan ikan, cold storage, listrik dan air bersih. Selain itu, berbagai hambatan tersebut menyebabkan kapasitas terpasang industri pengolahan produk pengolahan di Indonesia menjadi tidak optimal. Selain itu, dalam era perdagangan bebas dewasa ini, industri pengolahan produk perikanan indonesia juga dihadapkan dengan persyaratan ekspor yang semakin ketat sebagai akibat dari adanya regulasi terkait food safety seperti masalah logam berat, pengunanan antibiotik, dan isu lingkungan. Untuk itu, agar dapat bersaing di pasar global yang semakin ketat dan kompetitif, industri pengolahan produk perikanan harus dapat memenuhi persyaratan dan standardisasi produk dengan meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk yang mengacu pada standar nasional Indonesia (SNI) dan standar internasional yang berlaku seperti GMP, HACCP, dan Codex. Investasi sektor industri pengolahan produk perikanan dilakukan melalui program penanaman modal usaha yang diselenggarakan oleh KKP melalui Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Ditjen P2HP). Berdasarkan Permen KP Nomor Per.18/MEN/2006 tentang usaha pengolahan produk perikanan dikategorikan menjadi skala mikro, skala kecil, skala menengah dan skala besar. Perbedaan skala usaha tersebut ditetapkan berdasarkan parameter omset, aset, jumlah tenaga kerja, status hukum dan perizinan. Industri pengolahan produk perikanan di Indonesia masih didominasi oleh industri skala kecil dan rumah tangga yang bersifat informal sehingga data investasi yang tercatat hanya berasal dari industri skala besar. Dari data nilai realisasi investasi sektor industri pengolahan produk perikanan yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa investasi dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) selama periode tahun 2008 hingga 2012 sangat fluktuatif. Pada PMDN terjadi penurunan investasi yang sangat drastis hingga 90,5% pada tahun 2009 dengan nilai investasi menjadi 5.262 ribu dolar, dari tahun sebelumnya sebesar 55.230 ribu dolar. Namun kemudian juga terjadi lonjakan investasi yang sangat tinggi pada 55
tahun 2011 dengan nilai mencapai 342.908 ribu dolar. Hal serupa juga terjadi pada PMA dimana terjadi penurunan investasi sebesar 70,5% pada tahun 2011 dengan nilai investasi sebesar 14.939 ribu dolar, dari tahun sebelumnya sebesar 60.859 ribu dolar. Sedangkan total jumlah realisasi proyek pada periode tahun 2008 hingga 2012 dari sumber PMDN sebanyak 25 unit dan PMA sebanyak 89 unit seperti yang terlihat pada Tabel 12. Tabel 12. Perkembangan Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Tahun 2008 – 2012 Tahun
Proyek
2008 2009 2010 2011 2012
2 1 4 7 11
PMDN (US$ Ribu)
Proyek
55,230 5,262 28,404 342,908 235,406
PMA (US$ Ribu)
5 5 22 31 26
6,295 26,144 60,859 14,939 37,975
Sumber : BKPM, 2014
Adanya fluktuasi nilai investasi yang terjadi pada sektor industri pengolahan produk perikanan tersebut sangat dimungkinkan oleh adanya pengaruh dari kebijakan pemerintah dalam hal penanaman modal. Selain itu berbagai kendala seperti minimnya infrastruktur, birokrasi dan tingginya biaya transaksi dalam mengurus perizinan juga sangat berpengaruh dalam menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut. Seiring dengan terjadinya kelangkaan pada sumber-sumber modal, maka investasi industri pengolahan produk perikanan harus efisien. Dimana, pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan mengacu pada sektor-sektor yang mempunyai indeks Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang rendah. Diharapkan dari besaran indeks ICOR yang rendah tersebut, maka investasi yang diperlukan akan menghasilkan output yang semakin besar pada sektor industri pengolahan produk perikanan dan sektor hulunya (periakanan tangkap dan budidaya) serta sektor terkait lainnya. Menurut Budiharsono (2001) untuk jenis industri pengolahan produk perikanan urutan investasi berturut-turut adalah: 1. Industri pengolahan dan pengawetan lainnya untuk ikan dan biota air lainnya seperti tepung ikan, kecap ikan, tepung udang dan sejenisnya (ICOR = 2,965); 2. Industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya seperti sardencis, udang dan sejenisnya (ICOR = 3,45); 3. Industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya seperti ikan tembang, teri, udang cumi-cumi dan sejenisnya; dan 4. Industri pemindangan ikan dan biota air lainnya seperti bandeng, tongkol dan sejenisnya (ICOR = 4,56). 56
Selain itu berdasarkan hasil studi DEKIN (2012), pelaku investasi pada industri pengolahan produk perikanan sebaiknya diarahkan pada investor swasta nasional dan bekerjasama dengan pemerintah daerah. Namun demikian tidak menutup kemungkinan dimasa depan akan terjadi berbagai kombinasi kerjasama antar pelaku investasi untuk meningkatkan pembangunan di sektor industri pengolahan produk perikanan di Indonesia.
Dampak Pengembangan Investasi Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro Nasional
4.2
Hasil simulasi peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan Indonesia terhadap keragaan kinerja ekonomi makro nasional terlihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor di Sektor Perikanan Indonesia terhadap Kinerja Makro Ekonomi Nasional (Perubahan Persentase) Uraian Naraca Perdagangan dari sisi nilai tukar (foreign currency) Kontribusi Neraca perdagangan dalam PDB dari Sisi Pengeluaran Riil Devaluasi Riil Term of Trade (TOT) Rata-rata Sewa Kapital Stok Kapital Agregat Pengeluaran Riil Investasi Agregat PDB Riil dari sisi pengeluaran Indeks Volume Impor Indeks Harga Impor Indeks Harga Investasi Agregat Indeks Harga Konsumen Indeks Harga Ekspor Indeks Harga Impor Konsumsi Rumah Tangga Riil Indeks Volume Ekspor Permintaan Pemerintah Rill Agregat Perubahan Stok (Inventory)
Simbol DelBfx
Simulasi-1 -4.534,424
Simulasi-2 2.403,013
Simulasi-3 -2.058,549
ContBOT
-0,081
0,029
-0,052
p0realdev p0toft p1cap_i x1cap_i x2tot_i
0,042 -0,020 -0,840 0,304 0,000
-0,150 -0,059 0,145 0,000 0,000
-0,133 -0,133 -0,724 0,314 0,000
x0gdpexp
0,222
-0,027
0,200
x0imp_c p0cif_c p2tot_i
0,237 0,000 -0,129
-0,009 0,000 0,048
0,240 0,000 -0,195
p3tot p4tot p0imp_c x3tot x4tot x5tot
-0,077 -0,020 0,000 0,498 0,071 0,000
0,176 -0,059 0,000 -0,093 -0,094 0,000
-0,126 -0,047 0,000 0,415 0,030 0,000
x6tot
0,000
0,000
0,000
Sumber:
Hasil Simulasi Menggunakan Model Keseimbangan Umum untuk Perikanan Indonesia/CGE-INFISH (2014) Keterangan:
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3 : Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
57
Keragaan kinerja ekonomi makro nasional setelah implementasi suatu kebijakan terlihat dari baik dari sisi pengeluaran maupun pendapatan PDB. Dari sisi pengeluaran PDB, peubah-peubah ekonomi makro meliputi: konsumsi pemerintah dan swasta, pembentukan modal, ekspor dan impor. Sementara dari sisi penerimaan PDB, peubah-peubah ekonomi makro meliputi: tingkat pengembalian lahan, tingkat pengembalian modal dan upah (Oktaviani, 2011). Selanjutnya, hasil perubahan peubah ekonomi makro akibat peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan Indonesia selengkapnya disajikan pada pada Tabel 13. Perubahan investasi dan ekspor perikanan yang meningkat akan berdampak terhadap perubahan output sektor, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan PDB nasional. Berdasarkan hasil simulasi (Tabel 13), terlihat bahwa dampak peningkatan investasi usaha perikanan menyebabkan peningkatan PDB riil nasional meningkat sebesar 0,222% untuk lima tahun ke depan (simulasi-1). Dari sisi pengeluaran, peningkatan pertumbuhan PDB diakibatkan oleh terjadinya peningkatan konsumsi dan investasi serta ekspor bersih (net export). Peningkatan PDB riil pada simulasi-1 antara lain dipengaruhi oleh penurunan kontribusi neraca perdagangan (0,081), dan peningkatan konsumsi rumah tangga (0,498%). Hal yang sama juga terjadi jika peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan Indonesia (Simulasi-2), berdampak terhadap penurunan PDB riil nasional sebesar -0,027%. Namun jika terjadi peningkatan investasi usaha perikanan bersamaan (diikuti) dengan peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan Indonesia, maka akan berdampak terhadap pengingkatan PDB riil nasional menjadi sebesar 0,2% (Simulasi-3). Temuan ini menunjukkan bahwa bila kebijakan ekspor komoditas/produk perikanan Indonesia akan ditingkatkan, seharusnya dijalankan dengan diikuti oleh kebijakan peningkatan investasi usaha perikanan sehingga dampak terhadap kondisi perekonomian Indonesia menjadi positif (akan semakin membaik). Apabila dilihat dampaknya terhadap peubah harga, maka peningkatan investasi usaha perikanan (Simulasi-1) berdampak terhadap penurunan tingkat indeks harga investasi sebesar -0,129% yang mengakibatkan terjadinya deflasi yang ditunjukkan oleh tingkat harga umum (indeks harga konsumen) yang terdorong turun sebesar -0,077%. Penurunan tingkat harga umum ini mendorong terjadinya peningkatan konsumsi sebesar 0,498%. Demikian pula dengan penurunan harga investasi sebesar -0,129% akan mendorong penurunan ratarata sewa kapita sebesar -0,84%. Penurunan harga investasi yang mendorong penurunan rata-rata sewa kapital tersebut, pada gilirannya akan mendorong peningkatan investasi pada periode berikutnya (Mankiw, 2007). Peningkatan investasi usaha perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) juga berdampak terhadap peningkatan penawaran ekspor (indeks volume ekspor) sebesar 0,071% yang 58
diikuti dengan penurunan harga ekspor (indeks harga ekspor) sebesar -0,02% dan terms of trade (TOT) sebesar -0,02%.
Penurunan harga ekspor dan terms of trade (TOT) ini
menyebabkan barang ekspor menjadi lebih kompetitif di pasar dunia (Kasliwal, 1995; Sobri, 2001; Krugmen dan Obstfeld, 2002).
Namun di sisi lain peningkatan investasi tersebut
masih menciptakan kondisi yang tidak diharapkan berupa peningkatan devaluasi riil sebesar 0,042%. Selanjutnya Tabel 13 juga memperlihatkan dampak akibat peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan Indonesia terhadap peubah-peubah harga dalam ekonomi makro di tingkat nasional (Simulasi-2). Peningkatan ekspor perikanan tersebut ternyata berdampak terhadap peningkatan indeks volume penawaran ekspor ke pasar dunia sebesar 0,094%, dalam hal ini terjadi melalui mekanisme trasmisi dampaknya berupa penurunan harga ekspor (indeks harga ekspor) dan term of trade (TOT) yang masing-masing dengan besaran yang sama, yaitu sebesar -0,059%, dan diikuti pula dengan menurunnya riil devaluasi sebesar -0,15%. Penurunan harga ekspor dan term of trade (TOT) serta devaluasi riil ini menyebabkan barang ekspor lebih kompetitif (Kasliwal, 1995; Sobri, 2001; Krugmen dan Obstfeld, 2002). Namun di sisi lain, peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan tersebut memberikan dampak kurang baik di dalam negeri berupa kondisi yang menyumbang pada terjadinya inflasi, --meskipun masih relatif kecil--, yang ditunjukkan oleh meningkatnya indeks harga konsumen sebesar 0,176% yang mengakibatkan menurunnya komsumsi rumah tangga sebesar -0,093%. Di samping itu, dampak peningkatan ekspor perikanan tersebut juga masih menciptakan kondisi yang tidak diharapkan berupa peningkatan rata-rata sewa kapital sebesar 0,145% dan indeks harga investasi sebesar 0,048%. Kedua hasil simulasi tersebut (Simulasi-1 dan Simulasi-2) memperlihatkan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan investasi dan ekspor perikanan terhadap peubah-peubah harga, masing-masing memberikan dampak yang positif bagi ekonomi makro nasional namun masing-masing masih menyisakan dampak yang tidak diharapkan bagi perekonomian makro nasional. Berbeda dengan dampak yang dihasilkan dari Simulai-1 dan Simulasi-2 tersebut, kondisi dampak yang relatif lebih baik (diharapkan) terjadi akibat peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan secara bersamaan (Simulasi-3). terhadap peubah harga-harga
Dampak
seperti ditunjukkan oleh penurunan devaluasi riil pada
Simulasi-1, serta peningkan indeks harga investasi dan rata-rata sewa kapital pada Simulasi2 merupakan dampak yang tidak diharapkan. dalam meningkatkan investasi usaha dan ekspor komoditi/produk perikanan, namun dengan melakukan Simulasi-3 yang merupakan penggabungan antara dua kebijakan, yaitu peningkatan investasi usaha dan ekspor perikanan 59
secara bersamaan ternyata telah memberikan dampak-dampak tersebut menjadi lebih baik dibandingkan yang dihasilkan dari Simulasi-1 maupun Simulasi-2. Dari Simulasi-3 ini dihasil dampak yang positif (lebih baik) terhadap peubah-peubah harga dari kondisi ekonomi makro, khususnya terhadap penurunan devaluasi riil (-0,133%) yang diikuti dengan penurunan indeks harga investasi (-0,724%) dan rata-rata sewa kapital (-0,195%) yang menjadi kelemahan dari Simulasi-1 dan Simulasi-2.
4.3
Dampak Peningkatan Investasi Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Mikro di Sektor Perikanan Dampak simulasi kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk
perikanan terhadap kinerja ekonomi mikro di sektor perikanan nasional. Peubah-peubah ekonomi mikro yang akan dipaparkan sebagai peubah yang akan mengalami perubahan akibat dampak perubahan investasi dan ekspor perikanan, dalam kajian ini difokuskan pada peubah output sektoral, peubah harga di masing-masing sektor, dan penyerapan tenaga di sektor perikanan menurut usaha penghasil komoditas/produk perikanan. Dampak simulasi kebijakan peningkatan investasi dan ekspor perikanan terhadap output, harga dan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan, masing-masing dijelaskan pada uraian berikut.
4.3.1
Dampak terhadap Output Perikanan Dampak simulasi kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk
perikanan terhadap output di sektor perikanan, baik secara sendiri-sendiri (Simulasi-1 dan Simulasi-2) maupun bersama-sama (Simulasi-3) ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Output di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase)
No.
Sektor (Komoditas/Produk)
1. Tuna, tongkol dan cakalang (TTC) 2. Ikan hasil perikanan tangkap lainnya 3. Patin 4. Kerapu 5. Rumput laut 6. Ikan dan hasil perikanan budidaya lainnya 7. Udang 8. Ikan kering dan ikan asin 9. Ikan olahan dan ikan awetan Sumber:
Hasil Simulasi Menggunakan Indonesia/CGE-INFISH (2014)
Simulasi-1
Simulasi-2
Simulasi-3
7,216 8,041
0,923 0,666
8,803 9,266
5,493 7,502 2,526 2,526
0,185 0,435 0,435 0,435
5,802 8,388 3,055 3,055
3,344 5,620 12,551
0,325 0,425 2,800
3,816 6,391 16,317
Model
Keseimbangan
Umum
untuk
Perikanan
60
Keterangan:
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3 : Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
Secara umum, peningkatan investasi maupun ekspor perikanan mengakibatkan peningkatan output dari usaha-usaha di sektor perikanan. Dampak tersebut menunjukkan pentingnya investasi dan ekspor untuk mendukung peningkatan output (Tabel 14). Selanjutnya Tabel 14 juga menunjukkan bahwa baik akibat peningkatan investasi usaha perikanan sebesar 16,07%
(Simulasi-1), peningkatan ekspor perikanan sebesar 27%
(Simulasi-2) maupun peningkatan investasi dan ekspor tersebut secara bersamaan (Simulasi3), ketiganya menyebabkan terjadinya peningkatan output di semua sektor usaha perikanan. Untuk dampak terhadap output terbesar akibat peningkatan investasi dialami oleh sektor ikan olahan dan ikan awetan (12,551%), kemudian disusul sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (8,041%), sektor ikan kerapu (7,502%), sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (7,216%), sektor ikan patin (5,493%) dan sektor ikan kering dan ikan asin (5,620). Sementara untuk dampak terhadap output akibat peningkatan ekspor perikanan, yang terbesar diterima oleh sektor ikan olahan dan ikan awetan (2,8%), disusul sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (0,923%) dan sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (0,666%). Sedangkan, bila peningkatan investasi dan ekspor perikanan tersebut dilakukan secara bersama, maka sektor penerima dampak terhadap output tersebesar dialami oleh sektor ikan olahan dan ikan awetan (16,317%) disusul oleh sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (9,266%), sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (8,803%), sektor ikan kerapu (8,388%) dan sektor ikan patin (5,802%). Hasil dari ketiga simulasi tersebut mengindikasikan bahwa untuk semua sektor perikanan yang dianalisis, akibat peningkatan investasi dan ekspor baik secara masingmasing (Simulasi-1 dan Simulasi-2) maupun bersama-sama (Simulasi-3) mengalami peningkatan produktivitas dan atau peningkatan penawaran di sektor-sektor perikanan tersebut lebih besar dibandingkan dengan penurunan permintaan (Oktaviani, 2011). Namun, bila diperbandingkan dampak terhadap output antara simulasi-2 dengan Simulasi-1 ternyata dampak terhadap output relatif lebih besar yang adalah dihasilkan dari Simulasi-1 dibandingkan dengan Simulasi-2 (lihat Tabel 15). Kemudian bila dicermati berdasarkan diperbandingkan dampak terhadap output antarsimulasi (Simulasi-1, Simulasi-2 dan Simulasi-3), ternyata baik yang diperbandingkan dengan Simulasi-1 mapun Simulasi-2 tampak bahwa secara relatif hasil dampak yang terbaik (memberikan dampak output terbesar) dari hasil Simulasi-3. Dengan kata lain, untuk tujuan meningkatkan output dari usaha-usaha di sektor perikanan maka dapat dilakukan melalui 61
kebijakan peningkatan investasi dan eskpor perikanan yang dilakukan secara bersamaan (Simulasi-3), hal ini dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Selisih Dampak Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Output di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase)
No.
Selisih Dampak
Sektor (Komoditas/Produk)
1. Tuna, tongkol dan cakalang (TTC) 2. Ikan hasil perikanan tangkap lainnya 3. Patin 4. Kerapu 5. Rumput laut 6. Ikan dan hasil perikanan budidaya lainnya 7. Udang 8. Ikan kering dan ikan asin 9. Ikan olahan dan ikan awetan
Simulasi-2 dibandingkan Simulasi-1 -6,293
Simulasi-3 dibandingkan Simulasi-1 1,587
Simulasi-3 dibandingkan Simulasi-2 7,880
-7,375
1,225
8,600
-5,308 -7,167 -2,091 -2,091
0,409 0,886 0,429 0,429
5,617 7,953 2,620 2,620
-3,019 -5,195 -9,751
0,472 0,771 3,766
3,491 5,966 2,766
Sumber: Diolah dari Hasil Simulasi Menggunakan Model Keseimbangan Umum untuk Perikanan Indonesia/CGE-INFISH (2014) Keterangan:
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3 : Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
4.3.2 Dampak terhadap Tingkat Harga di Sektor Perikanan Dampak simulasi kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan terhadap tingkat harga di sektor perikanan, baik secara sendiri-sendiri (Simulasi-1 dan Simulasi-2) maupun bersama-sama (Simulasi-3), ditunjukkan pada Tabel 16. Tabel 16 menunjukkan bahwa untuk seluruh kegiatan (sektor) penghasil komoditas/produk di sektor perikanan, peningkatan investasi usaha perikanan memberikan dampak menurunkan tingkat harga atau meningkatkan deflasi di sektor perikanan (Simulasi1). Sebaliknya peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan mengakibatkan peningkatan tingkat harga atau mendorong inflasi di seluruh sektor perikanan (Simulasi-2). Namun bila peningkatan ekspor tersebut dilakukan bersama dengan peningkatan investasi usaha perikanan, ternyata memberikan dampak terhadap penurunan tingkat harga atau mendorong inflasi di sektor perikanan (Simulasi-3), meskipun penurunannya masih lebih rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan dari Simulasi-1.
62
Tabel 16. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Tingkat Harga di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase)
No.
Sektor (Komoditas/Produk)
1. Tuna, tongkol dan cakalang (TTC) 2. Ikan hasil perikanan tangkap lainnya 3. Patin 4. Kerapu 5. Rumput laut 6. Ikan dan hasil perikanan budidaya lainnya 7. Udang 8. Ikan kering dan ikan asin 9. Ikan olahan dan ikan awetan Sumber:
Hasil Simulasi Menggunakan Indonesia/CGE-INFISH (2014) Keterangan:
Simulasi-1
Simulasi-2
Simulasi-3
-17,168 -22,579
3,485 4,009
-14,843 -19,796
-30,027 -27,011 -1,741 -1,741
1,387 2,971 2,971 2,971
-29,241 -24,957 1,649 1,649
2,257 -11,429 -7,948
1,615 1,726 2,943
4,679 -9,624 -5,026
Model
Keseimbangan
Umum
untuk
Perikanan
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3 : Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
Untuk dampak terhadap penurunan tingkat harga terbesar akibat peningkatan investasi dialami oleh sektor ikan patin (-30,027%), disisul oleh sektor ikan kerapu (-27,011%), sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (-22,579%), sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (17,168%), sektor ikan kering dan ikan asin (-11,429%) dan sektor ikan olahan dan ikan awetan (-7,948%). Namun, untuk dampak peningkatan investasi perikanan terhadap tingkat hampir seluruhnya adalah menurunkan tingkat harga atau meningkatkan deflasi (kecuali pada sektor udang), maka sebaliknya untuk dampak terhadap output akibat peningkatan ekspor perikanan seluruhnya adalah meningkatkan harga atau mendorong inflasi, dan dampak terbesarnya dialami oleh sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (4,009%), disusul oleh sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (3,485%), sektor ikan olahan dan ikan awetan (2,943%), serta sektor ikan kerapu, rumput laut dan ikan budidaya lainnya (masingmasing sebesar 2,971%). Hasil ketiga simulasi tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan investasi usaha perikanan memberikan dampak yang positif bagi perekonomian karena mampu memberikan kontribusi dalam mengurangi inflasi.
Sementara peningkatan ekspor komoditas/produk
perikanan justru mendorong inflasi melalui dampaknya dalam meningkatkan harga di sektor perikanan. Demikian pula bila peningkatan investasi tersebut dilakukan secara bersama (diikuti) dengan peningkatan ekspor, maka dampak penuruanan tingkat harga masih lebih
63
rendah (di bawah) dibandingkan dengan dampak yang penurunan tingkat harga diberikan dari peningkatan investasi tersebut secara tersendiri (lihat Tabel 17).
Tabel 17. Selisih Dampak Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Tingkat Harga di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase)
No.
Selisih Dampak
Sektor (Komoditas/Produk)
1. Tuna, tongkol dan cakalang (TTC) 2. Ikan hasil perikanan tangkap lainnya 3. Patin 4. Kerapu 5. Rumput laut 6. Ikan dan hasil perikanan budidaya lainnya 7. Udang 8. Ikan kering dan ikan asin 9. Ikan olahan dan ikan awetan
Simulasi-2 dibandingkan Simulasi-1 20.653
Simulasi-3 dibandingkan Simulasi-1 2,325
Simulasi-3 dibandingkan Simulasi-2 -18,328
26.580
2,783
-23.805
31.414 29.982 4.712 4.712
0,786 2,054 3,39 3,39
-30,628 -27,978 -1,322 -1,322
-0.642 13.155 10.891
2,422 1,805 2,922
3,064 -11,350 -7,969
Sumber: Diolah dari Hasil Simulasi Menggunakan Model Keseimbangan Umum untuk Perikanan Indonesia/CGE-INFISH (2014) Keterangan:
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3 : Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
Temuan-temuan tersebut, menegaskan bahwa penurunan tingkat harga yang diakibatkan oleh peningkatan investasi usaha perikanan lebih disebabkan kegiatan-kegiatan usaha di sektor perikanan yang semakin efisien karena adanya peningkatan produktifitas. Hal ini karena efisiensi akan membawa pada penurunan harga output yang dihasilkan (Oktaviani, 2011). Namun karena dampak peningkatan ekspor perikanan yang ternyata meningkatkan tingkat harga, maka manfaat (benefit) dari penurunan harga (efisiensi) yang mendorong produktivitas sebagai akibatkan
peningkatan
investasi harus
mampu
mengimbangi biaya (cost) kenaikan tingkat harga akibat peningkatan ekspor perikanan, sehingga besarnya produktivitas (efisiensi) akan mampu meredam tekanan usaha akibat kemungkinan peningkatan biaya produksi dan harga input.
64
4.3.3 Dampak terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Perikanan Dampak simulasi kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan menurut usaha pengasil komoditas/produk perikanan, baik secara sendiri-sendiri (Simulasi-1 dan Simulasi-2) maupun bersama-sama (Simulasi-3), ditunjukkan pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Masing-masing Sektor (Perubahan Persentase)
No.
Sektor (Komoditas/Produk)
1. Tuna, tongkol dan cakalang (TTC) 2. Ikan hasil perikanan tangkap lainnya 3. Patin 4. Kerapu 5. Rumput laut 6. Ikan dan hasil perikanan budidaya lainnya 7. Udang 8. Ikan kering dan ikan asin 9. Ikan olahan dan ikan awetan Sumber:
Hasil Simulasi Menggunakan Indonesia/CGE-INFISH (2014) Keterangan:
Simulasi-1
Simulasi-2
Simulasi-3
3,930 0,963
16,261 13,650
23,742 17,862
-36,529 -9,844 16,802 16,802
4,033 9,250 9,250 9,250
-31,182 2,635 26,943 26,943
31,957 -125,760 52,377
5,762 11,121 63,350
38,941 -103,552 132,762
Model
Keseimbangan
Umum
untuk
Perikanan
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3 : Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
Untuk dampak terhadap penyerapan tenaga kerja terbesar akibat peningkatan investasi dialami oleh sektor ikan olahan dan ikan awetan (52,377%), kemudian disusul sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (8,041%), sektor udang (31,957%), sektor rumput laut dan ikan budidaya lainnya (masing-masing sebesar 16,802%) dan sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (3,930%). Sebaliknya pada sektor ikan olahan dan ikan awetan, sektor ikan patin, dan sektor ikan kerapu, peningkatan investasi justru berdampak menguarangi penyerapan tenaga kerja, yaitu masing-masing sebesar -125,760%, -36,529%, dan -9,544%. Kemudian untuk dampak terhadap penyerapan tenaga kerja akibat peningkatan ekspor perikanan dialami oleh sektor ikan olahan dan ikan awetan (63,350%), disusul sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (16,261%) dan sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (13,650). Sedangkan, bila peningkatan investasi dan ekspor perikanan tersebut dilakukan secara bersama, maka sektor penerima dampak terhadap output tersebesar dialami oleh sektor ikan olahan dan ikan awetan (132,762%) disusul oleh sektor usang (38,941%), sektor ikan tuna,
65
tongkol dan cakalang (23,742%), sektor rumput laut dan ikan budidaya lainnya (masingmasing sebesar 26,943%). Sebaliknya, pada sektor ikan kering dan ikan asin, serta sektor ikan patin, justru mengalami dampak penurunan penyerapan tenaga kerja akibat peningkatan investasi dan ekspor perikanan secara bersama (simultan), yaitu masing-masing sebesar 103,552% dan -31,182%. Secara umum, peningkatan investasi usaha perikanan mengakibatkan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan, kecuali yang diakibatkan oleh peningkatan investasi usaha perikanan yang menghasilkan komoditas/produk patin dan kerapu serta industri olahan ikan kering dan ikan asin yang justru mengakibatkan penurunan penyerapan tenaga kerja (Simulasi-1).
Pada sektor-sektor tersebut (patin dan kerapu serta olahan ikan
kering dan ikan asin), penurunan permintaan tenaga kerjanya terjadi karena peningkatan produktivitas yang terjadi menyebabkan sektor-sektor tersebut lebih efisien dalam menggunakan tenaga kerja (Mankiw, 2007; Nanga, 2001). Penguarangan permintaan tenaga kerja yang terjadi lebih besar dari peningkatan penawaran tenaga kerja akibat meningkatnya tren tenaga kerja sebagaimana digambarkan pada model recursive dynamic (Oktaviani, 2011) Berbeda halnya dengan dampak yang diakibatkan peningkatan investasi perikanan, maka dampak ditimbulkan akibat peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan yang secara keseluruhan memberikan dampak positif meningkatkan penyerapan tenaga kerja (Simulasi-2). Secara umum, peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan yang mengakibatkan peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor perikanan secara teoritis mengindikasi bahwa peningkatan ekspor perikanan cenderung meningkatkan upah riil, yang disebabkan oleh penawaran tenaga kerja meningkat lebih tinggi dibandingkan peningkatan permintaannya (Mankiw, 2007; Nanga, 2001). Hal ini, oleh Oktaviani (2011) digambarkannya sebagai akibat adanya kondisi pertumbuhan tenaga kerja yang dimasukkan dalam model recursive dynamic. Sementara bila peningkatan investasi dan ekspor perikanan tersebut dilakukan secara bersama (Simultan-3) ternyata telah mampu membalik dampak negatif akibat peningkatan investasi di usaha komoditas patin yang semula berdampak mengurangi penyerapan tenaga kerja pada Simulasi-1, berubah menjadi positif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada Simulasi-3.
Demikian pula, berkurangnya dampak negatif berkurangnya
penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan bila hanya meningkatkan investasi saja. Selebihnya, selain kedua usaha komoditas/perikanan perikanan tersebut maka akibat peningkatan investasi dan ekspor perikanan secara bersama (Simulasi-3) adalah berdampak postif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
66
Selanjutnya, Tabel 19 memperlihatkan kondisi bila diperbandingkan (dibedakan) dampak terhadap penyerapan tenaga kerja dari ketiga simulasi tersebut (Simulasi-1, Simulasi-2 dan Simulasi-3). Tabel 19 memperlihatkan bahwa selisih dampak penyerapan tenaga kerja Simulasi-3 dengan Simulasi-1 menghasilkan dampak penyerapan tenaga kerja yang lebih besar (seluruhnya positif) dibandingkan hasil Simulasi-1 saja. Demikian pula untuk selisih dampak penyerapan tenaga kerja pada Simulasi-3 dengan Simulasi-2 menghasilkan dampak penyerapan tenaga kerja yang juga lebih besar (seluruhnya positif) dibandingkan hasil Simulasi-2 saja, kecuali pada sektor ikan kering dan ikan asin. Tabel 19. Selisih Dampak Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase)
No.
Selisih Dampak
Sektor (Komoditas/Produk)
1. Tuna, tongkol dan cakalang (TTC) 2. Ikan hasil perikanan tangkap lainnya 3. Patin 4. Kerapu 5. Rumput laut 6. Ikan dan hasil perikanan budidaya lainnya 7. Udang 8. Ikan kering dan ikan asin 9. Ikan olahan dan ikan awetan
Simulasi-2 dibandingkan Simulasi-1 12,331
Simulasi-3 dibandingkan Simulasi-1 19,812
Simulasi-3 dibandingkan Simulasi-2 7,481
12,687
16,899
4,212
40,562 19,094 -7,552 -7,552
5,347 12,479 10,141 10,141
5,347 12,479 17,693 17,693
-26,195 136,881 10,973
6,984 22,208 80,385
33,179 -114,673 69,412
Sumber: Diolah dari Hasil Simulasi Menggunakan Model Keseimbangan Umum untuk Perikanan Indonesia/CGE-INFISH (2014) Keterangan:
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3 : Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
Bila dicermati lebih lanjut pada Tabel 19, tampak dari perbandingan (perbedaan) antarsimulasi tersebut, tampak bahwa dalam kaitannya tujuan meningkatkan dampak terhadap penyerapan tenaga kerja, maka kebijakan meniningkatan investasi usaha bersamaan dengan kebijakan meningkatkan ekspor komoditas/ekspor perikanan (Simulasi-3), secara relatif lebih baik dibandingkan dengan melakukan kebijakan secara parisal, hanya meningkatkan investasi usaha perikanan (Simulasi-1) atau pun hanya meningkatkan ekspor komoditas/produk perikanan (Simulasi-2). 67
4.4 Dampak Peningkatan Investasi untuk Pengembangan Industri Pengolahan Produk Perikanan (Perikanan Sekunder) terhadap Perekonomian Indonesia Dalam penelitian ini, diasumsikan pemerintah memberikan insentif berinvestasi bagi investor yang ingin mengembangkan industri pengolahan produk perikanan untuk mendorong produktivitas, nilai tambah, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Selanjutnya pasar merespon dengan terjadinya peningkatan permintaan akhir berupa peningkatan nilai investasi di sektor industri pengolahan produk perikanan di Indonesia.
Skenario yang digunakan dalam simulasi penelitian ini adalah bahwa n
dilakukan simulasi dengan skenario bahwa pada kondisi awal total investsi pada tahun 2010 di sektor industri pengolahan produk perikanan sebesar Rp328.057,2 juta dan setelah dilakukan injeksi sebesar 100%, investasi meningkat menjadi sebesar Rp656.114,4 juta. Akibat peningkatan investasi di sektor industri pengolahan produk perikanan tersebut akan berdampak pada peningkatan nilai output, NTB, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja seluruh sektor dalam perekononomian Indonesia. Penjelasan produk simulasi pada masing-masing dampak tersebut tertera ada Tabel 20, Tabel 21, Tabel 22, dan Tabel 23.
4.4.1 Dampak terhadap Output Hasil simulasi peningkatan investasi sebesar 100% pada industri pengolahan produks perikanan ditunjukkan pada Tabel 20. Berdasarkan hasil simulasi tersebut diketahui bahwa kebijakan peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan sebesar 100%, berdampak terhadap terjadi peningkatan nilai output perekonomian nasional sebesar Rp107,97 triliun atau 0,83%. Adanya peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan memberi dampak langsung pada peningkatan output. Kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan merupakan sektor yang mengalami peningkatan terbesar yaitu sebesar 49,64% dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya yaitu hanya sebesar 1,22% dalam perekonomian nasional. Tabel 20. Analisis Dampak Peningkatan Investasi sebesar 100% Pada Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan terhadap Perubahan Output Ekonomi Indonesia, 2010 Kode Sektor I. Sektor-sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan 1 Industri Penggaraman/ Pengeringan Ikan 2 Industri Penggaraman/ Pengeringan Biota Air Lainnya 3 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng 4 Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng
Perubahan Juta Rp. Persen 11.873.535 11.571.696 10.927.580
66,84 61,89 49,17
3.024.991
48,40
68
5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4
Industri Pengasapan Ikan Industri Pengasapan Biota Air Lainnya Industri Pembekuan Ikan Industri Pembekuan Biota Air Lainnya Industri Pemindangan Ikan Industri Pemindangan Biota Air Lainnya
225.271 7.561 7.801.989 13.123.355 591.942 77.411
50,30 46,46 51,11 44,53 47,24 45,30
396.476
46,85
52.931
43,37
2.303.652
48,98
311.598
44,53
62.289.989 45.684.270
49,64 1.22
107.974.259 Sumber: Hasil Pengolahan Tabel Input-Output Tahun 2012 Updating (2014) Keterangan: *) perbedaan dari kondisi sebelum dan sesudah adanya perubahan permintaan akhir
0.83
Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi Industri Pendinginan/Pengesan Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Jumlah
II. Sektor-sektor Selain Industri Pengolahan Produk Perikanan (Sektor 1-8 dan 22-36) III. Total Sektor dalam Perekonomian Nasional
Pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, dampak peningkatan output terbesar akibat adanya peningkatan investasi terjadi pada sub sektor-8 dan diikuti sektor-9 (industri penggaraman/pengeringan ikan dan industri penggaraman/pengeringan biota air lainnya), dengan peningkatan output masing-masing sebesar Rp11.873.535 juta atau 66,84%, dan sebesar Rp11.571.696 atau 61,89%. Sedangkan selain pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan terdapat 2 sektor dengan dampak peningkatan output terbesar, yaitu sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dengan peningkatan nilai output sebesar Rp15.864.668 juta atau 14,20%. Selanjutnya sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) dengan peningkatan output sebesar Rp13.916.116 juta atau 10,79%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan akan berdampak luas pada peningkatan output pada sektor-sektor dalam perekonomian Indonesia. Dari adanya simulasi peningkatan investasi ini, selain berdampak langsung pada intra sektor industri pengolahan produk perikanan, juga berdampak pada sektor lainnya yang terkait dengan industri pengolahan produk perikanan. Sektor tersebut adalah sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) sebagai sektor hulu dari sektor industri pengolahan produk perikanan. Kedua sektor tersebut merupakan sektor pendorong bagi kemajuan industri pengolahan produk perikanan sebagai penyedia input produksinya.
4.4.2 Dampak terhadap Nilai Tambah Bruto Hasil simulasi pada Tabel 21 menunjukkan bahwa dengan adanya kebijakan peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan, terjadi peningkatan 69
nilai tambah bruto (NTB) perekonomian nasional sebesar Rp61,64 triliun atau 0,48%, dengan kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan merupakan sektor yang mengalami peningkatan terbesar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian nasional.
Akibat peningkatan investasi tersebut, NTB kelompok sektor
industri pengolahan produk perikanan meningkat sebesar 20,80%, sedangkan kelompok sektor lainnya meningkat sebesar 1%. Pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, dampak peningkatan NTB terbesar akibat adanya peningkatan investasi terjadi pada sub sektor-8 (industri penggaraman/pengeringan ikan) dengan peningkatan NTB sebesar Rp5.720.896 juta atau 32,21%. Selanjutnya diiikuti sektor-9 (industri penggaraman/pengeringan biota air lainnya) dengan peningkatan NTB sebesar Rp5.575.465 juta atau sebesar 29,83%. Di samping kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, terdapat 2 sektor dengan dampak peningkatan NTB terbesar, yaitu sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dengan peningkatan NTB sebesar Rp13.514.479 juta atau 12,1%. Selanjutnya sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) dengan peningkatan NTB sebesar Rp11.575.024 juta atau 8,98%.
Berdasarkan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan investasi
pada sektor industri pengolahan produk perikanan akan berdampak luas pada peningkatan NTB pada sektor-sektor dalam perekonomian Indonesia. Dari adanya simulasi peningkatan investasi ini, selain berdampak langsung pada intra sektor industri pengolahan produk perikanan, juga berdampak pada sektor lainnya yang terkait dengan industri pengolahan produk perikanan. Sektor tersebut adalah sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) sebagai sektor hulu dari sektor industri pengolahan produk perikanan. Kedua sektor tersebut merupakan sektor pendorong bagi kemajuan industri pengolahan produk perikanan sebagai penyedia input produksinya. Tabel 21. Analisis Dampak Peningkatan Investasi sebesar 100% Pada Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan terhadap Perubahan Nilai Tambah Bruto Indonesia, 2010 Kode Sektor I. Sektor-sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan 1 Industri Penggaraman/ Pengeringan Ikan 2 Industri Penggaraman/ Pengeringan Biota Air Lainnya 3 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng 4 Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng 5 Industri Pengasapan Ikan 6 Industri Pengasapan Biota Air Lainnya 7 Industri Pembekuan Ikan 8 Industri Pembekuan Biota Air Lainnya
Perubahan (Juta Rp) Persen 5.720.896 5.575.465 4.416.519
32,21 29,83 19,86
1.222.588 91.046 3.056 3.153.271 5.303.968
19,88 20,35 18,78 20,66 18,00
70
9 10 11 12 13 14
Industri Pemindangan Ikan Industri Pemindangan Biota Air Lainnya Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi Industri Pendinginan/Pengesan Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Jumlah II. Sektor–sektor selain Industri Pengolahan Produk Perikanan (Sektor 1-8 dan 22-36) III. Total Sektor dalam Perekonomian Nasional
239.241 31.287 160.240 21.393 931.050 125.937 26.995.958 34.648.002
19,09 18,31 18,94 17,53 19,80 18,00 20,80 1,00
61.643.960 Sumber: Hasil Pengolahan Tabel Input-Output Tahun 2010 Updating (2008) Keterangan: *) perbedaan dari kondisi sebelum dan sesudah adanya perubahan permintaan akhir
0.48
4.4.3 Dampak terhadap Pendapatan Masyarakat Peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan memberi dampak langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat. Tabel 22 menunjukkan bahwa dengan adanya kebijakan peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan sebesar 100%, terjadi peningkatan nilai pendapatan masyarakat secara nasional sebesar Rp11,33 triliun atau 0,09%. Dalam peningkatan tersebut, kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan merupakan sektor yang mengalami peningkatan terbesar yaitu sebesar 2,83% dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya yaitu sebesar 0,20%. Tabel 22. Analisis Dampak Peningkatan Investasi Pada Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Terhadap Perubahan Pendapatan Masyarakat Indonesia, 2010 Perubahan (Juta Rp.) Persen
Kode Sektor I. Sektor-sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan 1 Industri Penggaraman/ Pengeringan Ikan 2 Industri Penggaraman/ Pengeringan Biota Air Lainnya 3 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng 4 Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng 5 Industri Pengasapan Ikan 6 Industri Pengasapan Biota Air Lainnya 7 Industri Pembekuan Ikan 8 Industri Pembekuan Biota Air Lainnya 9 Industri Pemindangan Ikan 10 Industri Pemindangan Biota Air Lainnya 11 Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi 12 Industri Pendinginan/Pengesan Ikan 13 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan 14 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Jumlah II. Sektor-sektor selain Industri Pengolahan Produk Perikanan (Sektor 1-8 dan 22-36) I. Total Sektor dalam Perekonomian Nasional
818.195 797.395 591.436
4,60 4,26 2,67
163.722 12.193 409 422.269 710.279 32.038 4.190 21.458 2.865 124.681 16.865 3.717.995 7.607.173
2,67 2,73 2,52 2,77 2,42 2,56 2,46 2,54 2,35 2,66 2,42 2,83 0,20
11.325.169
0,09
Sumber: Hasil Pengolahan Tabel Input-Output Tahun 2012 Updating (2014)
71
Keterangan: *) perbedaan dari kondisi sebelum dan sesudah adanya perubahan permintaan akhir
Untuk kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, dampak peningkatan pendapatan masyarakat terbesar akibat adanya peningkatan investasi sebesar 100% terjadi pada sub sektor-8 dan diiukuti sektor-9 (sektor industri penggaraman/pengeringan ikan dan sektor industri penggaraman/pengeringan biota air lainnya), masing-masing dengan peningkatan pendapatan masyarakat sebesar Rp818.195 juta atau 4,6% dan sebesar Rp797.395 atau sebesar 4,26%. Selain pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan terdapat 2 sektor dengan dampak peningkatan pendapatan masyarakat terbesar, yaitu sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan diikuti sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya), dengan peningkatan pendapatan masing-masing sebesar Rp2.534.973 juta atau 2,28% dan sebesar Rp2.381.598 atau sebesar 1,85%. Memperhatikan beberapa temuan dari hasil simulasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan akan berdampak luas pada peningkatan pendapatan masyarakat pada sektor-sektor dalam perekonomian Indonesia. Dari adanya simulasi peningkatan investasi ini, selain berdampak langsung pada intra sektor industri pengolahan produk perikanan, juga berdampak pada sektor lainnya yang terkait dengan industri pengolahan produk perikanan. Sektor tersebut adalah sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) sebagai sektor hulu dari sektor industri pengolahan produk perikanan. Kedua sektor tersebut merupakan sektor pendorong bagi kemajuan industri pengolahan produk perikanan sebagai penyedia input produksinya.
4.4.4 Dampak terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Hasil simulasi peningkatan investasi untuk pengembangan industri pengolahan produk perikanan memberi dampak langsung pada peningkatan penyerapan tenaga kerja (lihat Tabel 23).
Berdasarkan hasil simulasi tersebut, diketahui bahwa kebijakan
pengembangan industri pengolahan produk perikanan melalui peningkatan investasi sebesar 100% berdampak terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja sebanyak Rp503 ribu orang atau 0,004%. Dalam peningkatan tersebut, kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan merupakan sektor yang mengalami peningkatan terbesar (0,16%) dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya (0,003%) perekonomian nasional.
72
Tabel 23. Analisis Dampak Peningkatan Investasi Pada Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Terhadap Perubahan Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia, 2010 Kode Sektor
Perubahan Orang Persen
I. Sektor-sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan 1 Industri Penggaraman/ Pengeringan Ikan 2 Industri Penggaraman/ Pengeringan Biota Air Lainnya 3 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng 4 Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng 5 Industri Pengasapan Ikan 6 Industri Pengasapan Biota Air Lainnya 7 Industri Pembekuan Ikan 8 Industri Pembekuan Biota Air Lainnya 9 Industri Pemindangan Ikan 10 Industri Pemindangan Biota Air Lainnya 11 Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi 12 Industri Pendinginan/Pengesan Ikan 13 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan 14 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Jumlah II. Sektor-sektor selain Industri Pengolahan Produk Perikanan (Sektor 1-8 dan 22-36) III. Total Sektor dalam Perekonomian Nasional
29.311 17.673 16.664
0,16 0,10 0,08
3.649 443 61 21.061 22.111 1.857 863 828 109 7.183 1.624 123.435 380.376
0.06 0,10 0,37 0,13 0,08 0,15 0,50 0,10 0,09 0,15 0,23 0,16 0,003
503,811
0.004
Sumber: Hasil Pengolahan Tabel Input-Output Tahun 2010 Updating (2008) Keterangan: *) perbedaan dari kondisi sebelum dan sesudah adanya perubahan permintaan akhir
Pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, dampak peningkatan penyerapan tenaga kerja terbesar akibat adanya peningkatan investasi sebesar 100% tersebut, terjadi pada sub sektor-8 (industri penggaraman/pengeringan ikan), dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebanyak 29.311 ribu orang atau 0,16%. Selanjutnya diikuti oleh sektor-9 (industri penggaraman/pengeringan biota air lainnya) dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebanyak 17.673 ribu orang atau 0,1%. Sedangkan selain pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, terdapat 2 sektor dengan dampak peningkatan penyerapan tenaga kerja terbesar, yaitu sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebanyak 110.500 ribu orang atau 0,1%. Selanjutnya sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebanyak 96.929 ribu orang atau 0,08%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengembangan industri pengolahan produk perikanan Indonesia yang dilakukan dengan menggunakan instrumen peningkatan investasi sebesar 100% pada sektor industri pengolahan produk perikanan akan berdampak luas pada peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor-sektor dalam perekonomian Indonesia. Simulasi pengembenagan industri pengolahan produk perikanan 73
melalui peningkatan investasi ini, selain berdampak langsung pada intra sektor industri pengolahan produk perikanan, juga berdampak pada sektor lainnya yang terkait dengan industri pengolahan produk perikanan. Sektor tersebut adalah sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) sebagai sektor hulu dari sektor industri pengolahan produk perikanan. Kedua sektor tersebut merupakan sektor pendorong bagi kemajuan industri pengolahan produk perikanan sebagai penyedia input produksinya.
4.5
Dampak Simulasi Deindustrialisasi Usaha Pengolahan Produk Perikanan Indonesia Dalam simulasi ini, diasumsikan adanya de-industrialisasi, dimana sektor industri
pengolahan produk perikanan berhenti beroperasi seluruhnya dikarenakan tidak ada lagi sumber bahan baku dan tidak ada substitusi impor sehingga tidak ada transaksi pada sektor tersebut. Analisis ini dilakukan dengan mengubah koefisien teknologi yang terkait dengan sektor industri pengolahan produk perikanan yaitu dengan menghilangkan baris dan kolom ke-14 sub sektor industri pengololahan hasil perikanan yaitu pada kode sektor-8 hingga sektor-21. Tujuan analisis ini untuk melihat dampak dari hilangnya sektor industri pengolahan produk perikanan dalam perekonomian Indonesia melalui analisis ekstraksi. Perubahan koefisien teknologi ini akan berdampak pada perubahan indeks keterkaitan, angka pengganda, serta dampaknya pada output, nilai tambah, pendapatan masyarakat serta penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian Indonesia.
4.5.1 Dampak terhadap Perubahan Keterkaitan Antar Sektor Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan dengan metode ekstraksi, seperti tertera pada Tabel 24 diketahui bahwa nilai koefisien keterkaitan ke belakang total (KBT) yang dihasilkan mengalami penurunan pada seluruh sektor. Penurunan tersebut pada seluruh sektor mencapai sebesar -23,4423 poin. Penurunan terbesar terjadi pada sektor-31 (listrik, gas dan air bersih) sebesar -1,3420 poin, dan sektor-22 (industri makanan, minuman dan tembakau non produk perikanan) sebesar -1,2846 poin; sedangkan penurunan terkecil terjadi pada sektor-5 (ikan dan hasil perikanan tangkap) sebesar poin -0,7843, sektor-4 (kehutanan) sebesar -0,8116 dan sektor-6 (ikan dan hasil perikanan budidaya) sebesar -0,8137.
74
Tabel 24. Perubahan Angka Keterkaitan Ke Belakang (Backward Lingkage) dan keterkaitan ke Depan (Foreward Lingkage) Sebelum dan Sesudah Ekstraksi
Kode I-O 1 2 3 4 5 6 7 22
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Sektor
Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasilhasilnya Kehutanan Ikan dan Hasil Perikanan Tangkap Ikan dan Hasil Perikanan Budidaya Pertambangan dan Penggalian Industri Makanan, Minuman dan Tembakau (non produk perikanan) Industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki Industri Kayu dan Hasil Hutan lainnya Industri kertas dan Barang Cetakan Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Industri Semen dan Bahan Galian Bukan Logam Industri Logam dasar besi dan baja Industri Alat Angkutan, Mesin dan peralatannya Industri barang lainnya Listrik, Gas dan Air Besih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi keuangan, Real estate dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Jumlah
Keterkaitan ke Belakang Total KBT KBT EksSelisih traksi 1.5155 0.6939 -0.8215 1.7923 0.8204 -0.9719 2.0422 0.9290 -1.1132
Keterkaitan ke Depan Total
1.2095 1.0508 0.8761
KDT Ekstraksi 1.0417 0.9447 0.7717
KDT
Selisih -0.1679 -0.1061 -0.1045
1.4971 1.4440
0.6855 0.6596
-0.8116 -0.7843
0.7601 3.2933
0.6999 0.7052
-0.0602 -2.5881
1.4897
0.6760
-0.8137
2.8548
0.7494
-2.1054
1.4711
0.6738
-0.7973
1.6575
1.5059
-0.1516
2.3417
1.0571
-1.2846
1.6296
1.2994
-0.3303
2.2050
1.0077
-1.1973
0.8279
0.7577
-0.0702
2.1895
1.0005
-1.1890
0.8361
0.7660
-0.0701
2.1720
0.9930
-1.1790
0.8781
0.7994
-0.0787
1.9778
0.9054
-1.0725
1.6752
1.4964
-0.1788
2.0896
0.9562
-1.1333
0.7418
0.6787
-0.0631
2.0887
0.9557
-1.1330
0.8529
0.7814
-0.0714
2.1114
0.9650
-1.1464
1.0453
0.9493
-0.0960
2.2174 2.4737 2.2291 1.9669
1.0096 1.1317 1.0188 0.8765
-1.2078 -1.3420 -1.2104 -1.0904
0.6815 1.1928 0.9504 2.8495
0.6281 1.0621 0.8362 1.4207
-0.0534 -0.1308 -0.1142 -1.4287
2.0563
0.9357
-1.1206
1.6992
1.2610
-0.4382
1.6978
0.7770
-0.9207
1.3375
1.1133
-0.2242
2.0262
0.9244
1.3723
1.1708
-0.2015
43.0949
19.6525
-1.1018 23.4423
30.2723
21.4390
-8.8333
Sumber: Hasil pengolahan Tabel I-O Indonesia 2012 Updating (2014) Keterangan: Sektor 8 hingga 21 adalah kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan
Kemudian, berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan dengan metode ekstraksi (Tabel 24), nilai keterkaitan ke depan total (KDT) yang dihasilkan berdampak pada penurunan di seluruh sektor dengan nilai total penurunan yang lebih rendah dari nilai keterkaitan ke belakang total (KBT), yaitu sebesar -8,8333 poin. Berbeda (sebaliknya) dengan halnya dengan yang terjadi pada KBT, pada KDT sektor yang mengalami penurunan terbesar justru pada sektor-5 (ikan dan hasil perikanan tangkap) sebesar -2,5881 poin dan 75
sektor-6 (ikan dan hasil perikanan budidaya) sebesar -2,1054 poin. Sementara, nilai perubahan terkecil terjadi pada sektor-30 (industri barang lainnya) dengan penurunan sebesar 0,0534 poin, dan sektor-27 (industri semen dan bahan galian bukan logam) sebesar 0,0631 poin. Dampak penurunan terbesar terjadi pada 2 (dua) sektor yaitu sektor sektor-5 (ikan dan hasil perikanan tangkap); sektor-6 (ikan dan hasil perikanan budidaya) menunjukan bahwa sektor industri pengolahan produk perikanan sangat membutuhkan input produksi yang besar dari kedua sektor tersebut dalam berproduksi dibandingkan dengan sektor lainnya dalam perekonomian Indonesia, sehingga hilangnya sektor industri pengolahan produk perikanan sangat berdampak pada penurunan yang relatif besar pada kedua sektor tersebut sebagai sektor hulunya. Sektor yang mengalami penurunan terbesar pada nilai keterkaitan ke belakang total dan keterkaitan ke depan total setelah dilakukannya simulasi mengindikasikan bahwa sektor tersebut merupakan sektor yang mengalami imbas dampak terbesar dari hilangnya sektor industri pengolahan produk perikanan di Indonesia. Dapat diartikan bahwa, dampak penurunan terjadi disebabkan oleh penggunaan output domestik sebagai input produksi tersebut semakin menurun dibandingkan ketika sektor industri pengolahan produk perikanan masih beroperasi, sehingga turunnya daya penyebaran dan derajat kepekeaan sektor tersebut terhadap perkembangan sektor domestik lain jika terjadi peningkatan permintaan akhirnya.
4.5.2 Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda Simulasi dampak deindustrialisasi usaha pengolahan produk perikanan Indonesia dengan menggunakan metode ekstraksi ditunjukkan pada Tabel 25. Tabel 25. Angka Pengganda Output, Nilai Tambah Bruto, Pendapatan Masyarakat dan Penyerapan Tenaga Kerja Setelah Ekstraksi dan Perubahannya Kode Sektor
Output
Nilai Tambah Bruto
Pendapatan Masyarakat
Penyerapan Tenaga Kerja Setelah Perubahan Ekstraksi
Setelah Ekstraksi
Perubahan
Setelah Ekstraksi
Perubahan
Setelah Ekstraksi
Perubahan
1
1.5140
-0.0014
0.0011
-0.0008
0.1260
-0.0001
0.0001
0.0000
2
1.7900
-0.0023
0.0018
-0.0013
0.1723
-0.0002
0.0005
0.0000
3
2.0269
-0.0152
0.0144
-0.0088
0.1874
-0.0016
0.0059
-0.0001
4
1.4957
-0.0016
0.0010
-0.0008
0.1649
-0.0001
0.0007
0.0000
5
1.4392
-0.0048
0.0031
-0.0026
0.1620
-0.0005
0.0032
0.0000
6
1.4748
-0.0149
0.0101
-0.0084
0.1734
-0.0016
0.0101
-0.0001
7
1.4701
-0.0011
0.0007
-0.0006
0.1314
-0.0001
0.0032
0.0000
8
2.3064
-0.0353
0.0500
-0.0200
0.0050
-0.0037
0.0577
-0.0001
9
2.1985
-0.0065
0.0071
-0.0037
0.0670
-0.0007
0.0030
0.0000
10
2.1829
-0.0065
0.0073
-0.0037
0.0499
-0.0007
0.0024
0.0000
11
2.1665
-0.0055
0.0059
-0.0031
0.0541
-0.0006
0.0062
0.0000
76
12
1.9753
-0.0025
0.0026
-0.0014
0.0704
-0.0002
0.0127
0.0000
13
2.0863
-0.0034
0.0035
-0.0019
0.0560
-0.0004
0.0029
0.0000
14
2.0852
-0.0035
0.0037
-0.0019
0.0504
-0.0004
0.0109
0.0000
15
2.1055
-0.0059
0.0060
-0.0034
0.0584
-0.0006
0.0205
0.0000
16
2.2027
-0.0146
0.0175
-0.0083
0.0536
-0.0016
0.0032
-0.0001
17
2.4691
-0.0046
0.0073
-0.0026
-0.0029
-0.0005
0.0228
0.0000
18
2.2228
-0.0064
0.0077
-0.0036
0.0505
-0.0007
0.0103
0.0000
19
1.9124
-0.0545
0.0494
-0.0307
0.1421
-0.0056
0.0209
-0.0002
20
2.0416
-0.0148
0.0146
-0.0085
0.0835
-0.0016
0.0118
-0.0001
21
1.6954
-0.0024
0.0018
-0.0013
0.1363
-0.0002
0.0043
0.0000
22
2.0168
-0.0094
0.0089
-0.0053
0.3714
-0.0010
0.0028
0.0000
23
1.5140
-0.0014
0.0011
-0.0008
0.1260
-0.0001
0.0001
0.0000
24
1.7900
-0.0023
0.0018
-0.0013
0.1723
-0.0002
0.0005
0.0000
25
2.0269
-0.0152
0.0144
-0.0088
0.1874
-0.0016
0.0059
-0.0001
26
1.4957
-0.0016
0.0010
-0.0008
0.1649
-0.0001
0.0007
0.0000
27
1.4392
-0.0048
0.0031
-0.0026
0.1620
-0.0005
0.0032
0.0000
28
1.4748
-0.0149
0.0101
-0.0084
0.1734
-0.0016
0.0101
-0.0001
29
1.4701
-0.0011
0.0007
-0.0006
0.1314
-0.0001
0.0032
0.0000
30
2.3064
-0.0353
0.0500
-0.0200
0.0050
-0.0037
0.0577
-0.0001
31
2.1985
-0.0065
0.0071
-0.0037
0.0670
-0.0007
0.0030
0.0000
32
2.1829
-0.0065
0.0073
-0.0037
0.0499
-0.0007
0.0024
0.0000
33
2.1665
-0.0055
0.0059
-0.0031
0.0541
-0.0006
0.0062
0.0000
34
1.9753
-0.0025
0.0026
-0.0014
0.0704
-0.0002
0.0127
0.0000
35
2.0863
-0.0034
0.0035
-0.0019
0.0560
-0.0004
0.0029
0.0000
36
2.0852
-0.0035
0.0037
-0.0019
0.0504
-0.0004
0.0109
0.0000
Sumber: Hasil pengolahan Tabel I-O Indonesia 2012 Updating (2014)
4.5.2.1 Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda Output Tabel 25 menunjukkan bahwa hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dari perekonomian Indonesia menyebabkan penurunan angka pengganda output total pada seluruh sektor domestik. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya penurunan angka pengganda pada perekonomian Indonesia sebagai akibat dari hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan menyebabkan berkurangnya kemampuan sektor-sektor domestik dalam pembentukan output dalam merespon peningkatan permintaan akhir. Pengganda output menjelaskan tentang besarnya pengaruh perubahan permintaan akhir pada peningkatan output diseluruh sektor perekonomian atau nilai total dari output yang dihasilkan oleh perekonomian untuk memenuhi adanya perubahan satu unit uang permintaan akhir dari suatu sektor. Peningkatan permintaan akhir di suatu sektor tidak hanya akan meningkatkan output produksi sektor tersebut tapi juga meningkatkan output produksi sektor lainnya akibat adanya efek langsung dan tidak langsung. 77
Tiga sektor yang memiliki penurunan angka pengganda output total terbesar adalah sektor-33 (perdagangan, hotel dan restoran) dengan penurunan sebesar 0,0454; sektor-22 (industri makanan, minuman dan tembakau) sebesar 0,0294 dan sektor-3 (peternakan dan hasil-hasilnya) sebesar 0,0127. Pengganda output total sektor-33 turun sebesar 0,0454 artinya adalah jika permintaan akhir sektor-33 meningkat Rp1 (satu rupiah) maka peningkatan keseluruhan output akan relatif turun sebesar Rp0,0454 jika dibandingkan kemampuan sektor tersebut dalam meningkatkan output sebelum hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia. Dampak yang terjadi ketika hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan terhadap kemampuan sektor tersebut untuk mendorong output sektor-sektor dalam perekonomian Indonesia jika permintaan akhirnya meningkat. Sektor-33 (perdagangan, hotel dan restoran) tampak sebagai sektor yang mengalami penurunan kemampuan menggandakan output. Hal ini terjadi karena sektor tersebut merupakan sektor terbesar yang menggunakan output sektor industri pengolahan hasil perikanan sebagai input produksinya dibandingkan dengan sektor lainya. Penggunaan input produksi dari sektor industri pengolahan hasil perikanan dapat disebabkan karena produk olahan ikan merupakan komoditi yang banyak diperdagangkan di pasar serta produk olahan ikan merupakan bahan baku bagi proses produksi produk makanan akhir di restoran dan hotel.
4.5.2.2 Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda NTB Berdasarkan Tabel 25, pengaruh dari hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan terhadap nilai pengganda NTB ternyata berdampak pada penurunan angka pengganda NTB di seluruh sektor dalam perekonomian Indonesia. Beberapa sektor yang memiliki penurunan angka pengganda NTB total terbesar adalah sektor-33 (perdagangan, hotel dan restoran) dengan penurunan sebesar 0,0256 dan sektor-22 (industri makanan, minuman dan tembakau) sebesar 0,0167. Pengganda NTB total sektor-33 turun sebesar 0,0256 artinya adalah jika permintaan akhir sektor-33 meningkat Rp1 (satu rupiah) maka peningkatan keseluruhan NTB akan relatif turun sebesar Rp0,0256 jika dibandingkan kemampuan sektor tersebut dalam meningkatkan NTB sebelum hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia. Perubahan angka pengganda NTB total pada sektor lainnya dapat dilihat pada Gambar.5.4. berikut ini. Dilihat dari efek awal pengganda NTB, keseluruhan sektor tidak mengalami perubahan (tetap). Hal ini menunjukkan bahwa
pada saat hilangnya sektor industri
pengolahan hasil perikanan tidak berdampak pada nilai awal pendapatan masyarakat di seluruh sektor jika dibandingkan kemampuan sektor tersebut dalam meningkatkan
78
pendapatan masyarakat sebelum hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia.
4.5.2.3 Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda Pendapatan Dari hasil simulasi ekstraksi pada sektor industri pengolahan hasil perikanan seperti terlihat pada Tabel 25 ternyata menyebabkan penurunan angka pendapatan di seluruh sektor domestik. Penurunan angka pengganda pendapatan tersebut berkisar antara 0,0001 hingga 0,0047 pada total angka pendapatan. Hal ini menunjukkan, dengan hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia, akan menyebabkan peranan sektor-sektor terhadap pembentukan pendapatan masyarakat menjadi terkoreksi, dimana terjadi penurunan peranan sektor-sektor terhadap proporsi pembentukan pendapatan masyarakat dibandingkan dengan ketika industri pengolahan hasil perikanan masih ada dalam perekonomian Indonesia. Kondisi ini bukan berarti bahwa dengan tidak adanya sektor industri pengolahan hasil perikanan malah akan menurunkan pendapatan masyarakat, tetapi lebih kepada peranan sektor-sektor tersebut yang menurun dalam pembentukan pendapatan masyarakat dalam perekonomian Indonesia secara relatif dibandingkan dengan sebelum hilangya sektor industri pengolahan hasil perikanan. Dampak dari hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan terhadap nilai angka pengganda pendapatan masyarakat menyebabkan penurunan di seluruh sektor. Sektor dengan penurunan angka pengganda pendapatan total terbesar adalah sektor-33 (perdagangan, hotel dan restoran) dengan penurunan sebesar 0,0047 dan sektor-22 (industri makanan, minuman dan tembakau) sebesar 0,0031. Adanya penurunan pengganda pendapatan total pada sektor-33 sebesar 0,0047 artinya adalah jika permintaan akhir di sektor-33 meningkat Rp1 (satu rupiah) maka peningkatan keseluruhan pendapatan masyarakat akan relatif turun sebesar Rp0,0047 jika dibandingkan kemampuan sektor tersebut dalam menigkatkan pendapatan masyarakat sebelum hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia. Dilihat dari efek awal pengganda pendapatan, hampir keseluruhan sektor mengalami kenaikan dan hanya 1 (satu) sektor yang mengalami penurunan, yaitu sektor-31 (listrik, gas dan air bersih) dengan penurunan sebesar 0,0024. Kenaikan nilai pengganda pendapatan awal berkisar atara 0,0042 hingga 0,3095. Sektor dengan kenaikan pengganda pendapatan awal terbesar terdapat pada sektor-36 (jasa-jasa) sebesar 0,3095 yang artinya jika permintaan akhir sektor-33 meningkat Rp1 (satu rupiah) maka peningkatan awal pendapatan masyarakat di seluruh sektor akan naik sebesar Rp.03095 jika dibandingkan kemampuan sektor tersebut dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sebelum hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia. 79
4.5.2.4 Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda Tenaga Kerja Berdasarkan Tabel 25, dampak dari hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan terhadap nilai angka pengganda tenaga kerja ternyata tidak menyebabkan penurunan di seluruh sektor, terdapat 6 sektor saja yang mengalami penurunan, sedangkan sisanya sebanyak 16
tidak mengalami perubahan (tetap).
Sektor yang mengalami
penurunan angka tenaga kerja total terbesar adalah sektor-33 (perdagangan, hotel dan restoran) dengan penurunan sebesar 0,0002. Artinya jika permintan akhir sektor-33 meningkat sebesar Rp100 miliar maka peningkatan penyerapan tenaga kerja pada keseluruhan sektor yang terjadi akan relatif turun sebesar 20 orang jika dibandingkan kemampuan sektor tersebut dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebelum hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia.
80
81
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 5.1 Kesimpulan Peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan memberikan dampak meningkatkan kinerja ekonomi makro nasional, terutama yang dilakukan secara simulatan (besama-sama). Hal ini, seperti terlihat dari pertumbuhan nilai PDB riil di tingkat nasional yang bernilai positif apabila investasi usaha dikuti oleh peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan ditingkatkan secara bersama.
Secara umum, peningkatan
kinerja ekonomi makro nasional sebagai peningkatan investasi dan ekspor perikanan secara simultan relatif lebih baik dibandingkan dengan hanya meningkat investasi usaha perikanan atau hanya meningkatkan ekspor perikanan saja (secara parsial).
Hal ini, terutama
dikarenakan terjadi peningkatan produktivitas (efisiensi) dan peningkatan daya saing komoditas/peroduk produk perikanan Indonesia yang lebih kompetitif di pasar dunia. Secara umum, peningkatan investasi maupun ekspor perikanan mengakibatkan peningkatan output dari usaha-usaha di sektor perikanan. Hal ini menunjukkan pentingnya investasi dan ekspor untuk mendukung peningkatan output; di samping itu, hal ini juga mengindikasikan bahwa untuk semua sektor perikanan yang dianalisis, akibat peningkatan investasi dan ekspor baik secara masing-masing
maupun bersama-sama
mengalami
peningkatan produktivitas dan atau peningkatan penawaran di sektor-sektor perikanan tersebut lebih besar dibandingkan dengan penurunan permintaan. Namun, secara relatif hasil dampak yang terbaik dalam memberikan dampak output terbesar diperoleh dari hasil peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan secara bersama (simultan). Untuk seluruh kegiatan usaha (sektor) yang menghasilkan
komoditas/produk di
sektor perikanan, peningkatan investasi usaha perikanan memberikan dampak menurunkan tingkat harga di sektor perikanan. Sebaliknya peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan mengakibatkan peningkatan tingkat harga di seluruh sektor perikanan. Namun bila peningkatan ekspor tersebut dilakukan bersama dengan peningkatan investasi usaha perikanan, ternyata memberikan dampak terhadap penurunan tingkat harga di sektor perikanan, meskipun penurunannya masih lebih rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan dari peningkatan investasi. Dengan kata lain, peningkatan investasi usaha dan ekspor perikanan secara simultan (bersama) berdampak positif bagi perekonomian karena mampu memberikan kontribusi dalam mengurangi inflasi, baik pada peningkatan biaya produksi maupun harga input; dan terutama lebih disebabkan oleh kegiatan-kegiatan usaha di sektor perikanan yang semakin efisien karena adanya peningkatan produktifitas. Dalam hal dampaknya terhadap jumlah penyerapan tenaga kerja, secara umum peningkatan
investasi
usaha
dan
ekspor
komoditas/produk
perikanan
perikanan 82
mengakibatkan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Namun secara spesifik, berbeda halnya dengan peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan yang seluruhnya meningkatkan penyerapan tenaga kerja, maka peningkatan investasi pada kegiatan usaha perikanan penghasil komoditas/produk patin dan kerapu serta industri olahan ikan kering dan ikan asin justru berdampak menurunkan penyerapan tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa pada sektor-sektor tersebut (patin dan kerapu serta olahan ikan kering dan ikan asin) telah terjadi peningkatan produktivitas yang menyebabkan sektorsektor tersebut lebih efisien dalam menggunakan tenaga kerja; sehingga pengurangan permintaan tenaga kerja yang terjadi lebih besar dari peningkatan penawaran tenaga kerja akibat meningkatnya tren tenaga kerja.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan dampak
terhadap penyerapan tenaga kerja, maka kebijakan meniningkatan investasi usaha bersamaan dengan kebijakan meningkatkan ekspor komoditas/ekspor perikanan, secara relatif lebih baik dibandingkan dengan melakukan kebijakan secara parisal, hanya meningkatkan investasi usaha perikanan atau pun hanya meningkatkan ekspor komoditas/produk perikanan. Berdasarkan analisis dampak simulasi peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan akan meningkatkan output perekonomian sebesar Rp107,98 triliun atau 0,83%; peningkatan nilai tambah bruto (NTB) sebesar Rp61,64 triliun atau 0,48%; peningkatan pendapatan masyaraat sebesar Rp11.33 triliun atau 0,09% dan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebanyak 503 ribu orang atau 0,004%. Pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, subsektor yang mengalami dampak peningkatan terbesar adalah sub sektor-9 (industri penggaraman/ pengeringan biota air lainnya). Sedangkan sektror lain dengan dampak terbesar dirasakan oleh sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya). Dalam peningkatan tersebut, kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan merupakan sektor yang mengalami peningkatan terbesar baik terhadap output ekonomi, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja dibandingkan dengan sektorsektor lainnya.
Pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, dampak
terbesar baik terhadap output ekonomi, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan
tenaga
kerja
peningkatan
terjadi
pada
sektor-8
(industri
penggaraman/pengeringan ikan) dan pada sektor-9 (industri penggaraman/pengeringan biota air lainnya). Di samping itu, selain pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, terdapat 2 sektor dengan dampak yang besar terhadap output ekonomi, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, yaitu sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya). Berdasarkan analisis dampak simulasi industri berhenti beroperasi (deindustrialisasi) pada sektor industri pengolahan hasil perikanan dengan metode ekstraksi akan berdampak 83
pada penurunan nilai keterkaitan ke belakang total pada seluruh sektor dalam perekonomian. Dengan dampak penurunan daya penyebaran terbesar pada sektor-33 (perdagangan, hotel dan restoran) karena sektor ini membutuhkan input produksi terbesar dari sektor industri pengolahan hasil perikanan dibandingkan sektor lainnya. Selain itu juga berdampak pada penurunan nilai keterkaitan ke depan pada seluruh sektor dalam perekonomian. Dengan dampak penurunan derajat kepekaan terbesar pada sektor-5 (ikan dan hasil perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan hasil perikanan budidaya) karena sektor industri pengolahan hasil perikanan membutuhkan input produksi terbesar dari ke dua sektor tersebut. Serta terjadi dekomposisi kelompok sektor kunci dalam perekonomian. Hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan juga menurunkan angka pengganda output, NTB, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja seluruh seluruh sektor dalam perekonomian. Selain itu juga akan berdampak luas terhadap penurunan output perekonomian sebesar Rp107,9 triliun atau 0,82%; penurunan NTB sebesar Rp61,6 triliun atau 0,47%; penurunan pendapatan masyarakat sebesar Rp11,3 triliun atau 0,09% dan penurunan penyerapan tenaga kerja sebanyak 503.812 orang atau 0,004%. Sektror dengan dampak terbesar dirasakan oleh sektor-5 (ikan dan hasil perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan hasil perikanan budidaya) sebagai penyedia input utama bagi sektor industri pengolahan hasil perikanan.
5.2 Implikasi Kebijakan Kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan, berdasarkan hasil kajian ini secara umum akan memberikan pengaruh positif terhadap kinerja ekonomi makro nasional dan ekonomi mikro khususnya di sektor perikanan. Pengaruh peningkatan investasi usaha perikanan yang diikuti dengan peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan secara simultan (bersama) dalam perekonomian makro memberikan pengaruh yang positif, seperti peningkatan pertumbuhan PDB, penekanan laju inflasi, peningkatan volume penawaran ekspor dan penurunan harga investasi, dan lain-lain. Dengan demikian, temuan tersebut semestinya dapat mendorong keberpihakan kebijakan investasi dan ekspor di sektor perikanan harus dapat lebih ditingkatkan, terutama yang dilakukan secara simultan. Dalam memformulasi kebijakan meningkatkan investasi usaha di sektor perikanan, maka hal yang harus diperhatikan adalah bahwa pertumbuhan investasi yang ditandai dengan peningkatan produktivitas akan meningkatkan kinerja ekonomi makro maupun sektoral. Untuk itu, diperlukan dukungan iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi di sektor perikanan. Kondisi yang demikian dapat dicapai antara lain dengan pemberian izin investasi yang tidak berbelit-belit, penghapusan berbagai pungutan baik resmi maupun tidak 84
resmi yang tidak berkaitan dengan biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan perikanan, serta terciptanya keamanan di lingkungan perusahaan dan di dalam negeri. Sementara untuk kebijakan meningkatkan ekspor komoditas/produk perikanan dapat dilakukan dengan melakukan penerobosan (penetrasi) pasar di pasar-pasar yang telah lama menjadi tujuan ekspor, menggali potensi-potensi pasar di pasar-pasar yang belum digarapkan secara kuat dengan diikuti promosi yang efektif. Khusus untuk formulasi kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan tangkap laut, semestinya harus tetap memperhatikan dan mencermati bahwa dalam perspektif sumberdaya perikanan tangkap, tidak selamanya peningkatan investasi dan ekspor tersebut akan berdampak positif. Hal ini karena sifat unik dari sumberdaya perikanan tangkap, khususnya perikanan laut, dimana pemanfaatan lestari sumberdaya perikanan harus selalu dijaga agar tidak melebihi kondisi tingkat Maximum Sustainability Yield (MSY).
Dengan kata lain, peningkatan investasi usaha perikanan,
khususnya perikanan tangkap laut yang bisa dijabarkan sebagai peningkatan dalam kapital maupun peningkatan input lain tidak secara terus menerus akan selalu diikuti dengan peningkatan jumlah output di sektor perikanan (tangkap laut). Bila hal ini tidak diperhatikan, maka akan ada satu kondisi backward bending dimana semakin ditambahnya penggunaan input yang terjadi justru mengakibatkan jumlah output yang dihasilkan akan semakin berkurang dan biaya operasionalnya semakin besar, sehingga pencapaian kondisi pemafaatan optimum secara lestari terhadap sumberdaya perikanan tangkap laut harus selalu dijaga (Fauzi, 2005 dan 2010). Kebijakan pengelolaan perikanan yang mengarah pada pengurangan input maupun output berlebih patut dipertimbangkan. Salah satu cara konvensional yang umum digunakan untuk mengurangi input yang berlebihan adalah dengan penetapan pajak (baik pajak input maupun ouput) dan kuota.
Namun kedua instrumen kebijakan ini banyak memiliki
defisiensi dan sangat sulit dilakukan pada perikanan tangkap laut yang multi spesies dan multi alat tangkap (Fauzi, 2002, 2005 dan 2010). Sebagai alternatif dan cara konvensional tersebut adalah dengan melakukan user fee yang sedikit kurang distorsi dibandingkan dengan kebijakan konvensional tersebut. Penerapan user fee ini akan memaksimumkan rente ekonomi sekaligus melestarikan sumberdaya ikan itu sendiri (Fauzi, 2002). Cara lainnya untuk mengurangi kelebihan faktor input atau pun output adalah melalui penerapan strategi konvensional dengan mengembangkan Marine Protected Area (MRA) karena dapat mendorong sumberdaya perikanan akan mengalami apresiasi yang dalam jangka panjang akan memberikan manfaat kesejahteraan bagi masyarakat pesisir secara keseluruhan (Fauzi dan Anna, 2002).
Di samping itu dapat pula dilakuka melalui
pendekatan community bases management maupun co management yang akan memberikan 85
kesempatan bagi nelayan lokal untuk semakin meingkatkan partisipasinya dalam proses pengelolaan sumberdaya perikanan (Kusumastanto, 2002). Berbagai cara tersebut di atas, pada prinsipnya berupaya melakukan optimalisasi investasi dan ekspor di sektor perikanan, khususnya yang menjawab sampai pad tingkat investasi berapa di sektor perikanan yang masih memberikan kontribusi positif bagi perekonomian, namun sekaligus bisa menjawab aspek kelestarian sumberdaya perikanan. Untuk itu, sudah semsetinya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) secara sungguh-sungguh melakukan dan mendorong upaya pengembangan industri pengolahan produk perikanan Indonesia ke depan baik di lingkup KKP maupun secara sinergi dengan Lembaga Kementerian (LK) lainnya, khususnya yang ditujukan bagi peningkatan investasi secara siignifikan, seperti dengan memberikan berbagai iklim investasi yang kondusif berupa kemudahan-kemudahan serta program dan kegiatan bagi peningkatan kapasitas para pelaku usaha dan kinerja organisasi (perusahaan) yang tekaitt. . Hasil simulasi deinsutrialisasi sektor industri pengolahan hasil perikanan berdampak pada penurunan kemampuan seluruh sektor dalam penciptaan output, NTB, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor industri hasil perikanan memiliki keterkaitan antar sektor yang cukup besar dan memiliki peran yang cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Untuk itu pemerintah perlu terus menjamin keberlangsungan sektor industri pengolahan hasil perikanan untuk dapat terus berproduksi melalui berbagai dukungan program dan kebijakan, seperti program kemitraan dan integrasi hulu-hilir guna menjamin ketersediaan bahan baku, pembangunan kawasan industri pengolahan ikan di daerah potensial perikanan, penguatan sumber daya manusia dibidang produksi olahan ikan, serta dukungan pengembangan inovasi jenis produk, pemasaran, mesin/peralatan, dan laboratorium pengujian pada industri pengolahan hasil perikanan.
86
87
DAFTAR PUSTAKA [Balitbang KP] Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Kelautan dan Perikanan Merupakan Kekuatan Menuju Negara Maritim Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Bandara, J.S. 1991. Computable General Equilibrium Models for Development Policy Analysis in LDCs, Journal of Economic Surveys, Vol.5, No.1, p.3Bergman, L. and M. Henrekson (2003) CGE Modeling of Environmental Policy and Resource Management, Lecture Note, Stockholm School of Economics. Bendavid, V.A. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practitioners Fourth Eddition, London, Praeger. [BKPM] Badan Kordinasi Penanaman Modal. 2014. Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) Sektor Industri di Indonesia Tahun 2008 -2014. Pusat Pengolahan Data dan Informasi (PUSDATIN), BKPM. Jakarta. Budiharsono. 2001. Dampak Investasi Sektor Kelautan dan Perikanan Terhadap Perkembangan Ekonomi Nasional. Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1999. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output, BPS, Jakarta. ---------. 2010a. KBLI 2009 : Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, Cetakan III, BPS, Jakarta. ---------. 2008. Tabel Input Output Indonesia tahun 2005, Jilid/Volume 2, BPS, Jakarta. ---------. 2010b. Statistik Industri 2010, BPS, Jakarta. ---------. 2014. Pendapatan Masyarakat Nasional Indonesia: National Income of Indonesia, BPS, Jakarta. Chang K. Seung. 2008. Estimating Dynamic Impacts of The Seafood Industry in Alaska. Journals. Marine Resource Economics, Vol. 23, No. 1 pp.87-104. The University of Chicago Press. Chicago. Chenery, H.B., Robinson S dan Syrquin M. 1986. Industrialization and Growth : A Comparative Study. Oxford University Press for World Bank. Collin, Keith J. And Edward H. Glade, Jr. 1981. Regional and Functional Disaggregation of The Cotton Industry in A National Input-Output Model. Journal. Soutern Journal of Agricultural Economics. [DEKIN] Dewan Kelautan Indonesia. 2012. Analisis Input-Output Bidang Kelautan Terhadap Pembangunan Nasional, Laporan Akhir, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Dietzenbacher, E, Van der Linden JA, Steenge AE. 1993. The Regional Extraction Method: EC Input-Output Comparisons, Economic System Research 5: 185-206. 88
[FAO] Food Agriculture Organization. 2012. FAO Statistical Year Book 2012. Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome, Italy. ---------. 2014. The State of World Fisheries and Aquaculture Opportunities and challenges. Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome, Italy. Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Indonesia. Jakarta. ---------. 2009. Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Jakarta. ---------. 2014. Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian. Jakarta. Daryanto, A. dan Y. Hafizianda. 2010. Analisis Input-Output dan Social Accounting Matrix untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. IPB Press. Bogor. [DEKIN] Dewan Kelautan Indonesia. 2012. Analisis Input-Output Bidang Kelautan Terhadap Pembangunan Nasional, Laporan Akhir, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. [FEUI] Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2010. Modul Analisis Input-Output. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Hulu, E. 1995. Tipologi Model Komputasi Keseimbangan Umum. Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Vol. XLIII, No. 1. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2012. KKP, Jakarta. [Kemenperin] Kemeterian Perindustrian. 2009. Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Prioritas Berbasis AgroTahun 2010-2014, Jakarta Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan BPS. (2011). Pengembangan Satelit Account Sektor Kontruksi Tahun 2011. Kementerian PU. Jakarta [Kemenperin] Kemeterian Perindustrian. 2014a. Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 20152035. Kemenperin, Jakarta. [Kemenperin] Kemeterian Perindustrian. 2014b. Kebijakan Pengembangan Hilirisasi Industri Panan Berbasis Perikanan Berkelanjutan. Kemenperin. Jakarta. Mankiw, N. G. 2006. Makroekonomi (Terjemahan). Edisi Keenam. Penerbit Erlangga. Jakarta. Maulana, Arga. 2012. Analisis Dampak Perpindahan Bandar Udara Terhadap Perekonomian Kota Mataram. Tesis. Universitas Indonesia, Jakarta. Miller, R.E. and Blair, P.D. 2009. Input-Output Analysis: Foundations and Extensions, 2ndEdition, Cambridge University Press. New York.
89
[MGI] McKinsey Global Institute. 2012. The Archipelago Economy Unleashing Indonesia Potential. McKinsey & Company. Mulyono, S. 2010. Dampak Pembangunan Infrastruktur Jalan terhadap Perekonomian dan Distribusi Pendapatan Intra dan Interregionnal Kawasan Barat dan Timur Indonesia : Suatu analisis Model Interregional Social. Disertasi. Tidak dipublikasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nazara, S. 2005. Analisis Input-output. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia : Jakarta. Nazara, S. dan D. Rosmiansyah. 2008. Peranan Subsektor Penambangan dan Peleburan Timah dalam Perekonomian Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jurnal. Kajian Ekonomi Vol. 7 No.1:76-94. Nazir, M. 2011. Metode Penelitian, Cetakan ketujuh, Ghalia Indonesia, Bogor. Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan: Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan? Feraco, Jakarta. [Permen KP]. 2006. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.18/MEN/2006 tentang Usaha Pengolahan Hasil Perikanan Dikategorikan Menjadi Skala Mikro, Skala Kecil, Skala Menengah Dan Skala Besar. KKP. Jakarta. [Permen KP]. 2014. Nomor. 27/MEN/2012 tentang Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan dan Perikanan. KKP. Jakarta. [Permen Perin]. 2009. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 120/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Ikan. Kemeterian Perindustrian, Jakarta. Robinson, S. and M. El-Said. 2000. Upadating and Estimating a Social Accounting Matrix Using Cross Entropy Methods. TMD Discussion Paper No. 58. International Food Policy Research Institute, Washington D.C. Robinson, S., A. Cattaneo and M. El-Said. 1998. Estimating a Social Accounting Matrix Using Cross Entropy Methods. TMD Discussion Paper No. 33. International Food Policy Research Institute, Washington D.C. Robinson, S. 1989. Multisectoral Models. Handbook of Development Economics. Vol. II. Edited by H. Chenery, H., and Srinivassan, T.N. Elseiver Publisher, B.V. Sayogyo. 1971. Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Di Daerah Istimewa Yogyakarta 1984-1987. Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Download dari: http://202.259.18.43/jsi/2lch.htm. [17 September 2010] Schultz, S. 1976. Intersectoral comparisons as an approach to the identification of key sectors, in: K.R. Polenske and J.V. Skolka (eds) Advances in Input-Output Analysis (Cambridge, Mass.: Ballinger Publishing Company), pp. 137-159. Strassert, G. (1968) Zur Bestimmung strategischer Sektoren mit Hilfe von Input-Output Modellen, Jahrbücher für Nationalökonomie und Statistik, 182: 211-215.
90
Sugiyono, A. 2009. Dampak Kebijakan Energi terhadap Perekonomian Indonesia: Model Komputasi Keseimbangan Umum. Disertasi. Tidak dipublikasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sunoto.
2012. Industrialisasi Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Syahyuti. 2006. Pengembangan Modal Sosial Masyarakat Dalam Upaya Membangun Kelembagaan dan Pemberdayaan Petani Miskin. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Swales, Kim, Peter Mc Gregor dan Nikos Pappas. 2002. The Economic Impacts of The UK Sea Fishing and Fish Processing sectors: An Input-Output Analysis. Report. Sea Fish Industry Authority. Edinburgh. Taufiqurohman, M.R. 2012. Dampak Kebijakan Fiskal Pada Sektor Pertanian Terhadap Ekonomi, Tenaga Kerja, Distribusi Pendapatan Dan Kemiskinan. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Todaro, M.P.and S.C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi, Edisi Kesembilan. Penerbit Erlangga. West, G.R., and Jensen, R.C. 1992. An Interregional Input-Output Table for Queensland 1978/79: GRIT III. Report to the Department of Commercial and Industrial Development. Department of Economics. University of Queensland, St. Lucia. Wolsky, A.M. 1984. Disaggregating Input-Output Models. The Review of Economics and Statistics, Journal. Vol. 66, No. 2 (May, 1984), pp. 283-291. The MIT Press.
91
92
LAMPIRAN 1
NASKAH KARYA TULIS ILMIAH (KTI) 1:
DAMPAK PERUBAHANINVESTASI DAN EKSPOR PERIKANAN TERHADAP KINERJA EKONOMI MAKRO NASIONAL DAN EKONOMI MIKRO SEKTOR PERIKANAN: Analisis Pendekatan Model EKonomi Keseimbangan Umum
ABSTRAK Kajian ini dilakukan untuk menganalisis dampak peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan terhadap kinerja ekonomi makro nasional dan sektoral. Untuk menganalisis dampak tersebut, dilakukan simulasi menggunakan pendekatan model ekonomi keseimbangan umum untuk perikanan Indonesia (Computable General Equilibrium for Indonesian Fisheries/CGE-INFIS) yang dibangun oleh BBPSEKP pada tahun 2014 yang diperoelh dari hasil pengolahan data menggunakan Software GEMPACK. Hasil simulasi menunjukkan bahwa secara umum peningkatan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikakan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro nasional dan sektoral termasuk kinerja ekonomi makro sektor perikanan dalam perekonomian Indonesia. Temuan ini mengindikasikan bahwa pemerintah seharusnya terus mendorong masuknya investasi bagi pengembangan usaha sektor perikanan terutama yang diikuti peningkatan ekspornya. Upaya untuk meningkatkan investasi tersebut, diantaranya dapat dilakukan dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan memberikanan insentif berupa keringanan pajak dan tingkat suku serta kemudahan dalam perizinannya, penghapusan berbagai pungutan baik resmi maupun tidak resmi yang tidak berkaitan dengan biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan perikanan, serta terciptanya keamanan di lingkungan perusahaan dan di dalam negeri. Namun demikian, khusus untuk kebijakan peningkatan investasi di sektor perikanan tangkap laut, hal tersebut harus diikuti upaya memperhatikan dan mencermati berbagai hal lainnya, sehingga mampu mengurangi dampak turunannya bagi keberlanjutan sumber dayanya. Sementara untuk meningkatkan ekspor komoditas/produk perikanan dapat dilakukan dengan melakukan penerobosan (penetrasi) pasar di pasar-pasar yang telah lama menjadi tujuan ekspor, menggali potensi-potensi pasar di pasar-pasar yang belum digarapkan secara kuat dengan diikuti promosi yang efektif.
Kata Kunci: Investasi, Ekspor, Perikanan, Kinerja Ekonomi, Model Keseimbangan Umum
PENDAHULUAN Pertumbuhan kinerja ekonomi sektor perikanan Indonesia perlu terus ditingkatkan. Hal ini berkaitan dengan kontribusinya dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang pada gilirannya harus dapat mensejahterakan masyarakatnya. Pertumbuhan kinerja tersebut tersebut, secara teoritis dapat ditingkatkan dengan menggunakan instrumen kebijakan yang berkaitan dengan perubahan permintaan akhir (final demand) yang dapat berperan sebagai sumber pertumbuhan dari sektor perikanan dalam perekonomian Indonesia. Komponen permintaan akhir, yang secara empiris dapat dihandalkan untuk meningkat kinerja pertumbuhan tersebut adalah investasi dan ekspor. Upaya pemerintah untuk mewujudkan peran penting investasi dan ekspor dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan pengurangan angka kemiskinan di Indonesia, berkaitan dengan posisi perikanan Indonesia dalam perekonomian nasional yang memiliki peran penting dalam mensejahterahkan masyarakat, khususnya yang mengggantungkan mata-pencariannnya pada kegiatan usaha perikanan. Selain itu, berkaitan 93
pula dengan kontribusi perikanan Indonesia dalam mendorong kegiatan usaha di luar sektor perikanan, terutama melalui keterkaitan ke belakang (backward linkages) maupun keterkaitan ke depan (foreward linkages) yang sangat menentukan besaran angka dampak pengganda (multiplier effect), sehingga mampu menimbulkan dampak terhadap peningkatan output perekonomian, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Investasi dapat diartikan sebagai setiap kegiatan yang meningkatkan kemampuan ekonomi untuk memproduksi output di masa yang akan datang, dalam hal ini investasi tidak hanya berupa pertumbuhan persediaan fisik modal, tetapi juga menyangkut investasi sumber daya manusia (Dornbusch et al., 2001). Menurut Mankiw (2007), investasi juga merupakan salah satu bagian terpenting dalam pembangunan ekonomi, yaitu untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (negara atau wilayah) yang terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Selanjutnya Mankiw (2007) juga menjelaskan bahwa akibat peningkatan investasi dapat meningkatkan permintaan agregat seperti dalam model ekonomi Keynesian, dan juga dapat meningkatkan penawaran agregat melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi (Mankiw, 2007). Investasi mempunyai peranan sangat penting dalam pembangunan ekonomi nasional, termasuk bagi sektor perikanan. Dalam perspektif jangka panjang ekonomi makro, investasi akan meningkatkan stok kapital, dimana penambahan stok kapital akan meningkatkan kapasitas produksi masyarakat yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional (van der Eng, 2009). Di samping investasi, peran ekspor juga penting dalam mempengaruhi kinerja ekonomi sektor perikanan. Secara teoritis, dijelaskan bahwa peran ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi dapat terjadi melalui pengaruh ekspor bersih dari salah satu atau keseluruhan sektor yang akan memberikan pengaruh positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (Salvatore, 2000). Kebijakan meningkatkan investasi dan ekspor di sektor perikanan adalah tepat, karena dengan segala potensi yang dimilikinya maka peluang untuk meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia menjadi sangat besar. Peran investasi dan ekspor perikanan menjadi sangat penting terutama melalui perannya dalam menumbuhkan stok kapital dan penerimaan negara (devisa) dari perdagangan internasional yang merupakan bagian penting dalam mendukung keberlanjutan proses produksi yang pada gilirannya akan mempengaruhi output perekonomian nasional dan beberapa parameter kinerja ekonomi nasional lainnya termasuk pada tingkat sektoral. Untuk itu, kajian ini dilakukan untuk mengetahui dampak peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditi/produk perikanan terhadap kinerja ekonomi makro nasional dan kinerja ekonomi mikro sektor perikanan.
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Tabel InputOutput (I-O) Tahun 2008 dengan fokus pada perikanan primer dan 2010 updating dari Tabel I-O 2008 dengan focus pada perikenan sekunder, dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Tahun 2008, serta parameter-parameter dugaan dari sistem persamaan yang didapat dari penelitian sebelumnya dan data statistik lain (data ekonomi makro dan sektoral) yang telah diperbaharui. Data tersebut diperoleh dari sumber Badan Pusat Statistik (2012), Bank Indonesia, KKP, Kementerian Perindustrian dan lembaga-lembaga lain serta dari buku, internet dan literatur serta sumber lainnya yang sesuai dengan penelitian ini.
3.3 Metode Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan pendeketan model ekonomi keseimbangan umum untuk perikanan Indonesia (Computable General Equilibrium for Indonesian Fisheries/CGEINFIS) yang dibangun oleh BBPSEKP pada tahun 2014 yang diperoelh dari hasil 94
pengolahan data menggunakan Software GEMPACK.. Sedangkan untuk mengetahui dampak dari peningkatan investasi dan ekspor perikanan, dalam penelitian dilakukan simulasi dengan menggunakan dasar sebagai berikut. Dasar Simulasi Simulasi-1: Terjadi peningkatan jumlah kapital yang digunakan perusahaan-perusahaan (x1cap_ent) di sektor perikanan Indonesia (IndIkan) sebesar 16,07% sesuai dengan rata-rata target pertumbuhan investasi perikanan tahun 2015-2019 dalam Rencana Strategis KKP. Simulasi-2: Terjadi peningkatan volume ekspor produk perikanan (f4q), sebesar 27%, sesuai dengan rata-rata target pertumbuhan volume ekspor produk dari sektor perikanan Indonesia tahun 2015-2019 dalam Rencana Strategis KKP. Simulasi-3: Terjadi peningkatan jumlah kapital yang digunakan perusahaan-perusahaan (x1cap_ent) di sektor perikanan Indonesia (IndiIkan) sebesar 16,07% (Simulasi-1) yang diikuti dengan peningkatan volume ekspor produk perikanan (f4q) sebesar 27% (Simulasi-2) secara bersamaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN - Dampak Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro Nasional Hasil simulasi peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan Indonesia terhadap kinerja ekonomi makro nasional terlihat pada Tabel 1. Kinerja ekonomi makro nasional setelah implementasi suatu kebijakan terlihat dari baik dari sisi pengeluaran maupun pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB). Dari sisi pengeluaran PDB, peubahpeubah ekonomi makro meliputi: konsumsi pemerintah dan swasta, pembentukan modal, ekspor dan impor. Sementara dari sisi penerimaan PDB, peubah-peubah ekonomi makro meliputi: tingkat pengembalian lahan, tingkat pengembalian modal dan upah (Oktaviani, 2011). Selanjutnya, hasil perubahan peubah ekonomi makro akibat peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan Indonesia selengkapnya disajikan pada pada Tabel 1. Perubahan investasi dan ekspor perikanan yang meningkat akan berdampak terhadap perubahan output sektor, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan PDB nasional. Berdasarkan hasil simulasi (Tabel 1), terlihat bahwa dampak peningkatan investasi usaha perikanan menyebabkan peningkatan PDB riil nasional meningkat sebesar 0,222% untuk lima tahun ke depan (simulasi-1). Dari sisi pengeluaran, peningkatan pertumbuhan PDB diakibatkan oleh terjadinya peningkatan konsumsi dan investasi serta ekspor bersih (net export). Peningkatan PDB riil pada simulasi-1 antara lain dipengaruhi oleh penurunan kontribusi neraca perdagangan (0,081), dan peningkatan konsumsi rumah tangga (0,498%). Hal yang sama juga terjadi jika peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan Indonesia (Simulasi-2), berdampak terhadap penurunan PDB riil nasional sebesar -0,027%. Namun jika terjadi peningkatan investasi usaha perikanan bersamaan (diikuti) dengan peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan Indonesia, maka akan berdampak terhadap pengingkatan PDB riil nasional menjadi sebesar 0,2% (Simulasi-3). Temuan ini menunjukkan bahwa bila kebijakan ekspor komoditas/produk perikanan Indonesia akan ditingkatkan, seharusnya dijalankan dengan diikuti oleh kebijakan peningkatan investasi usaha perikanan sehingga dampak terhadap kondisi perekonomian Indonesia menjadi positif (akan semakin membaik).
95
Tabel 1. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor di Sektor Perikanan Indonesia terhadap Kinerja Ekonomi Makro Nasional (Perubahan Persentase) Uraian Simbol Simulasi-1 Simulasi-2 Simulasi-3 Naraca Perdagangan dari sisi delBfx -4.534,424 2.403,013 -2.058,549 nilai tukar (foreign currency) Kontribusi Neraca perdagangan contBOT -0,081 0,029 -0,052 dalam PDB dari Sisi Pengeluaran Riil Devaluasi Riil p0realdev 0,042 -0,150 -0,133 Term of Trade (TOT) p0toft -0,020 -0,059 -0,133 Rata-rata Sewa Kapital p1cap_i -0,840 0,145 -0,724 Stok Kapital Agregat x1cap_i 0,304 0,000 0,314 Pengeluaran Riil Investasi x2tot_i 0,000 0,000 0,000 Agregat PDB Riil dari sisi pengeluaran x0gdpexp 0,222 -0,027 0,200 Indeks Volume Impor x0imp_c 0,237 -0,009 0,240 Indeks Harga Impor p0cif_c 0,000 0,000 0,000 Indeks Harga Investasi Agregat p2tot_i -0,129 0,048 -0,195 Indeks Harga Konsumen p3tot -0,077 0,176 -0,126 Indeks Harga Ekspor p4tot -0,020 -0,059 -0,047 Indeks Harga Impor p0imp_c 0,000 0,000 0,000 Konsumsi Rumah Tangga Riil x3tot 0,498 -0,093 0,415 Indeks Volume Ekspor x4tot 0,071 -0,094 0,030 Permintaan Pemerintah Rill x5tot 0,000 0,000 0,000 Agregat Perubahan Stok (Inventory) x6tot 0,000 0,000 0,000 Sumber: Hasil Simulasi Menggunakan Model Keseimbangan Umum untuk Perikanan Indonesia/CGE-INFIS H (2014) Keterangan:
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3 : Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
Apabila dilihat dampaknya terhadap peubah harga, maka peningkatan investasi usaha perikanan (Simulasi-1) berdampak terhadap penurunan tingkat indeks harga investasi sebesar -0,129% yang mengakibatkan terjadinya deflasi yang ditunjukkan oleh tingkat harga umum (indeks harga konsumen) yang terdorong turun sebesar -0,077%. Penurunan tingkat harga umum ini mendorong terjadinya peningkatan konsumsi sebesar 0,498%. Demikian pula dengan penurunan harga investasi sebesar -0,129% akan mendorong penurunan ratarata sewa kapita sebesar -0,84%. Penurunan harga investasi yang mendorong penurunan rata-rata sewa kapital tersebut, pada gilirannya akan mendorong peningkatan investasi pada periode berikutnya (Mankiw, 2007). Peningkatan investasi usaha perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) juga berdampak terhadap peningkatan penawaran ekspor (indeks volume ekspor) sebesar 0,071% yang diikuti dengan penurunan harga ekspor (indeks harga ekspor) sebesar -0,02% dan terms of trade (TOT) sebesar -0,02%. Penurunan harga ekspor dan terms of trade (TOT) ini menyebabkan barang ekspor menjadi lebih kompetitif di pasar dunia (Kasliwal, 1995; Sobri, 2001; Krugmen dan Obstfeld, 2002). Namun di sisi lain peningkatan investasi tersebut masih menciptakan kondisi yang tidak diharapkan berupa peningkatan devaluasi riil sebesar 0,042%. Selanjutnya Tabel 1 juga memperlihatkan dampak akibat peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan Indonesia terhadap peubah-peubah harga dalam ekonomi makro di tingkat nasional (Simulasi-2). Peningkatan ekspor perikanan tersebut ternyata berdampak terhadap peningkatan indeks volume penawaran ekspor ke pasar dunia sebesar 96
0,094%, dalam hal ini terjadi melalui mekanisme trasmisi dampaknya berupa penurunan harga ekspor (indeks harga ekspor) dan term of trade (TOT) yang masing-masing dengan besaran yang sama, yaitu sebesar -0,059%, dan diikuti pula dengan menurunnya riil devaluasi sebesar -0,15%. Penurunan harga ekspor dan term of trade (TOT) serta devaluasi riil ini menyebabkan barang ekspor lebih kompetitif (Kasliwal, 1995; Sobri, 2001; Krugmen dan Obstfeld, 2002). Namun di sisi lain, peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan tersebut memberikan dampak kurang baik di dalam negeri berupa kondisi yang menyumbang pada terjadinya inflasi, --meskipun masih relatif kecil--, yang ditunjukkan oleh meningkatnya indeks harga konsumen sebesar 0,176% yang mengakibatkan menurunnya komsumsi rumah tangga sebesar -0,093%. Di samping itu, dampak peningkatan ekspor perikanan tersebut juga masih menciptakan kondisi yang tidak diharapkan berupa peningkatan rata-rata sewa kapital sebesar 0,145% dan indeks harga investasi sebesar 0,048%. Kedua hasil simulasi tersebut (Simulasi-1 dan Simulasi-2) memperlihatkan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan investasi dan ekspor perikanan terhadap peubah-peubah harga, masing-masing simulasi memberikan dampak yang positif bagi ekonomi makro nasional namun masing-masing masih menyisakan dampak yang tidak diharapkan bagi perekonomian makro nasional. Berbeda dengan dampak yang dihasilkan dari Simulai-1 dan Simulasi-2 tersebut, kondisi dampak yang relatif lebih baik (diharapkan) terjadi akibat peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan secara bersamaan (Simulasi-3). Dampak terhadap peubah harga-harga seperti ditunjukkan oleh penurunan devaluasi riil pada Simulasi-1, serta peningkan indeks harga investasi dan rata-rata sewa kapital pada Simulasi2 merupakan dampak yang tidak diharapkan. dalam meningkatkan investasi usaha dan ekspor komoditi/produk perikanan, namun dengan melakukan Simulasi-3 yang merupakan penggabungan antara dua kebijakan, yaitu peningkatan investasi usaha dan ekspor perikanan secara bersamaan ternyata telah memberikan dampak-dampak tersebut menjadi lebih baik dibandingkan yang dihasilkan dari Simulasi-1 maupun Simulasi-2. Dari Simulasi-3 ini dihasil dampak yang positif (lebih baik) terhadap peubah-peubah harga dari kondisi ekonomi makro dibandingkan dengan yang dihasilkan simulasi-1 dan simulasi-2, khususnya terhadap penurunan devaluasi riil (-0,133%) yang diikuti dengan penurunan indeks harga investasi (0,724%) dan rata-rata sewa kapital (-0,195%) yang menjadi kelemahan dari Simulasi-1 dan Simulasi-2.
- Dampak Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Mikro di Sektor Perikanan Dampak simulasi kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan terhadap kinerja ekonomi mikro di sektor perikanan nasional. Peubah-peubah ekonomi mikro yang akan dipaparkan sebagai peubah yang akan mengalami perubahan akibat dampak perubahan investasi dan ekspor perikanan, dalam kajian ini difokuskan pada peubah output sektoral, peubah harga di masing-masing sektor, dan penyerapan tenaga di sektor perikanan menurut usaha penghasil komoditas/produk perikanan. Dampak simulasi kebijakan peningkatan investasi dan ekspor perikanan terhadap output, harga dan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan, masing-masing dijelaskan pada uraian berikut. (1) Dampak terhadap Output Dampak simulasi kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan terhadap output di sektor perikanan, baik secara sendiri-sendiri (Simulasi-1 dan Simulasi-2) maupun bersama-sama (Simulasi-3) ditunjukkan pada Tabel 2. Secara umum, peningkatan investasi maupun ekspor perikanan mengakibatkan peningkatan output dari usaha-usaha di sektor perikanan. Dampak tersebut menunjukkan pentingnya investasi dan ekspor untuk mendukung peningkatan output (Tabel 2). 97
Tabel 2. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Output di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sektor (Komoditas/Produk)
Simulasi-1
Simulasi-2
Tuna, tongkol dan cakalang (TTC) 7,216 Ikan hasil perikanan tangkap lainnya 8,041 Patin 5,493 Kerapu 7,502 Rumput laut 2,526 Ikan dan hasil perikanan budidaya 2,526 lainnya 7. Udang 3,344 8. Ikan kering dan ikan asin 5,620 9. Ikan olahan dan ikan awetan 12,551 Sumber: Hasil Simulasi Menggunakan Model Keseimbangan Indonesia/CGE-INFISH (2014) Keterangan:
0,923 0,666 0,185 0,435 0,435 0,435 0,325 0,425 2,800 Umum
Simulasi-3 8,803 9,266 5,802 8,388 3,055 3,055 3,816 6,391 16,317 untuk Perikanan
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3 : Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
Selanjutnya Tabel 3 juga menunjukkan bahwa baik akibat peningkatan investasi usaha perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1), peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2) maupun peningkatan investasi dan ekspor tersebut secara bersamaan (Simulasi3), ketiganya menyebabkan terjadinya peningkatan output di semua sektor usaha perikanan. Untuk dampak terhadap output yang terbesar akibat peningkatan investasi (Simulasi1) dialami oleh sektor ikan olahan dan ikan awetan (12,551%), kemudian disusul sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (8,041%), sektor ikan kerapu (7,502%), sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (7,216%), sektor ikan patin (5,493%) dan sektor ikan kering dan ikan asin (5,620). Sementara untuk dampak terhadap output akibat peningkatan ekspor perikanan (Simulasi-2), yang terbesar diterima oleh sektor ikan olahan dan ikan awetan (2,8%), disusul sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (0,923%) dan sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (0,666%). Sedangkan, bila peningkatan investasi dan ekspor perikanan tersebut dilakukan secara bersama, maka sektor penerima dampak terhadap output tersebesar dialami oleh sektor ikan olahan dan ikan awetan (16,317%) disusul oleh sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (9,266%), sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (8,803%), sektor ikan kerapu (8,388%) dan sektor ikan patin (5,802%). Hasil dari ketiga simulasi tersebut (Simulasi-1, Simulasi-2 dan Simulasi-3), secara umum tersebut mengindikasikan bahwa untuk semua sektor perikanan yang dianalisis, akibat peningkatan investasi dan ekspor baik secara masing-masing (Simulasi-1 dan Simulasi-2) maupun bersama-sama (Simulasi-3) mengalami peningkatan produktivitas dan atau peningkatan penawaran di sektor-sektor perikanan tersebut lebih besar dibandingkan dengan penurunan permintaan (Oktaviani, 2011). Namun, bila diperbandingkan dampak terhadap output antara simulasi-2 dengan Simulasi-1 ternyata dampak terhadap output relatif lebih besar yang adalah dihasilkan dari Simulasi-1 dibandingkan dengan Simulasi-2 (lihat Tabel 3).
98
Tabel 3. Selisih Dampak Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Output di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase) Selisih Dampak No.
1.
Sektor (Komoditas/Produk)
Simulasi-2 dibandingkan Simulasi-1 -6,293
Simulasi-3 dibandingkan Simulasi-1 1,587
Simulasi-3 dibandingkan Simulasi-2 7,880
Tuna, tongkol dan cakalang (TTC) 2. Ikan hasil perikanan tangkap -7,375 1,225 8,600 lainnya 3. Patin -5,308 0,409 5,617 4. Kerapu -7,167 0,886 7,953 5. Rumput laut -2,091 0,429 2,620 6. Ikan dan hasil perikanan -2,091 0,429 2,620 budidaya lainnya 7. Udang -3,019 0,472 3,491 8. Ikan kering dan ikan asin -5,195 0,771 5,966 9. Ikan olahan dan ikan awetan -9,751 3,766 2,766 Sumber: Diolah dari Hasil Simulasi Menggunakan Model Keseimbangan Umum untuk Perikanan Indonesia/CGE-INFISH (2014) Keterangan:
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3 : Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
Kemudian bila dicermati berdasarkan diperbandingkan dampak terhadap output antarsimulasi (Simulasi-1, Simulasi-2 dan Simulasi-3), ternyata baik yang diperbandingkan dengan Simulasi-1 mapun Simulasi-2 tampak bahwa secara relatif hasil dampak yang terbaik (memberikan dampak output terbesar) dari hasil Simulasi-3. Dengan kata lain, untuk tujuan meningkatkan output dari usaha-usaha di sektor perikanan maka dapat dilakukan melalui kebijakan peningkatan investasi dan eskpor perikanan yang dilakukan secara bersamaan (Simulasi-3), hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. (2) Dampak terhadap Tingkat Harga Dampak simulasi kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan terhadap tingkat harga di sektor perikanan, baik secara sendiri-sendiri (Simulasi-1 dan Simulasi-2) maupun bersama-sama (Simulasi-3), ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel ini menunjukkan bahwa untuk seluruh kegiatan (sektor) penghasil komoditas/produk di sektor perikanan, peningkatan investasi usaha perikanan memberikan dampak menurunkan tingkat harga atau meningkatkan deflasi di sektor perikanan (Simulasi-1). Sebaliknya peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan mengakibatkan peningkatan tingkat harga atau mendorong inflasi di seluruh sektor perikanan (Simulasi-2). Namun bila peningkatan ekspor tersebut dilakukan bersama dengan peningkatan investasi usaha perikanan, ternyata memberikan dampak terhadap penurunan tingkat harga atau mendorong inflasi di sektor perikanan (Simulasi-3), meskipun penurunannya masih lebih rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan dari Simulasi-1.
99
Tabel 4. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Tingkat Harga di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sektor (Komoditas/Produk)
Simulasi-1
Simulasi-2
Tuna, tongkol dan cakalang (TTC) -17,168 Ikan hasil perikanan tangkap lainnya -22,579 Patin -30,027 Kerapu -27,011 Rumput laut -1,741 Ikan dan hasil perikanan budidaya -1,741 lainnya 7. Udang 2,257 8. Ikan kering dan ikan asin -11,429 9. Ikan olahan dan ikan awetan -7,948 Sumber: Hasil Simulasi Menggunakan Model Keseimbangan Indonesia/CGE-INFISH (2014) Keterangan:
3,485 4,009 1,387 2,971 2,971 2,971 1,615 1,726 2,943 Umum
Simulasi-3 -14,843 -19,796 -29,241 -24,957 1,649 1,649 4,679 -9,624 -5,026 untuk Perikanan
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3 : Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
Untuk dampak terhadap penurunan tingkat harga terbesar akibat peningkatan investasi dialami oleh sektor ikan patin (-30,027%), disisul oleh sektor ikan kerapu (-27,011%), sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (-22,579%), sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (17,168%), sektor ikan kering dan ikan asin (-11,429%) dan sektor ikan olahan dan ikan awetan (-7,948%). Namun, untuk dampak peningkatan investasi perikanan terhadap tingkat harga hampir seluruhnya adalah menurunkan tingkat harga atau meningkatkan deflasi (kecuali pada sektor udang). Sebaliknya untuk dampak terhadap output akibat peningkatan ekspor perikanan seluruhnya adalah meningkatkan harga atau mendorong inflasi, dan dampak terbesarnya dialami oleh sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (4,009%), disusul oleh sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (3,485%), sektor ikan olahan dan ikan awetan (2,943%), serta sektor ikan kerapu, rumput laut dan ikan budidaya lainnya (masingmasing sebesar 2,971%). Hasil ketiga simulasi tersebut (Simulasi-1, Simulasi-2 dan Simulasi-3) mengindikasikan bahwa peningkatan investasi usaha perikanan memberikan dampak yang positif bagi perekonomian karena mampu memberikan kontribusi dalam mengurangi inflasi. Sementara peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan justru mendorong inflasi melalui dampaknya dalam meningkatkan harga di sektor perikanan. Demikian pula bila peningkatan investasi tersebut dilakukan secara bersama (diikuti) dengan peningkatan ekspor, maka dampak penuruanan tingkat harga masih lebih rendah (di bawah) dibandingkan dengan dampak yang penurunan tingkat harga diberikan dari peningkatan investasi tersebut secara tersendiri (lihat Tabel 5). Temuan-temuan tersebut, menegaskan bahwa penurunan tingkat harga yang diakibatkan oleh peningkatan investasi usaha perikanan lebih disebabkan kegiatan-kegiatan usaha di sektor perikanan yang semakin efisien karena adanya peningkatan produktivitas. Hal ini karena efisiensi akan membawa pada penurunan harga output yang dihasilkan (Oktaviani, 2011). Namun karena dampak peningkatan ekspor perikanan yang ternyata meningkatkan tingkat harga, maka manfaat (benefit) dari penurunan harga (efisiensi) yang mendorong produktivitas sebagai akibatkan peningkatan investasi harus mampu mengimbangi biaya (cost) kenaikan tingkat harga akibat peningkatan ekspor perikanan, sehingga besarnya produktivitas (efisiensi) akan mampu meredam tekanan usaha akibat kemungkinan peningkatan biaya produksi dan harga input. 100
Tabel 5. Selisih Dampak Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Tingkat Harga di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase) Selisih Dampak No.
1.
Sektor (Komoditas/Produk)
Simulasi-2 dibandingkan Simulasi-1 20.653
Simulasi-3 dibandingkan Simulasi-1 2,325
Simulasi-3 dibandingkan Simulasi-2 -18,328
Tuna, tongkol dan cakalang (TTC) 2. Ikan hasil perikanan tangkap 26.580 2,783 -23.805 lainnya 3. Patin 31.414 0,786 -30,628 4. Kerapu 29.982 2,054 -27,978 5. Rumput laut 4.712 3,39 -1,322 6. Ikan dan hasil perikanan 4.712 3,39 -1,322 budidaya lainnya 7. Udang -0.642 2,422 3,064 8. Ikan kering dan ikan asin 13.155 1,805 -11,350 9. Ikan olahan dan ikan awetan 10.891 2,922 -7,969 Sumber: Diolah dari Hasil Simulasi Menggunakan Model Keseimbangan Umum untuk Perikanan Indonesia/CGE-INFISH (2014) Keterangan:
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3 : Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
(3) Dampak terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Dampak simulasi kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan (menurut jenis usaha pengasil komoditas/produk perikanan), baik secara sendiri-sendiri (Simulasi-1 dan Simulasi2) maupun bersama-sama (Simulasi-3) ditunjukkan pada Tabel 6. Untuk dampak terhadap penyerapan tenaga kerja terbesar akibat peningkatan investasi dialami oleh sektor ikan olahan dan ikan awetan (52,377%), kemudian disusul sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (8,041%), sektor udang (31,957%), sektor rumput laut dan ikan budidaya lainnya (masing-masing sebesar 16,802%) dan sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (3,930%). Sebaliknya pada sektor ikan olahan dan ikan awetan, sektor ikan patin, dan sektor ikan kerapu, peningkatan investasi justru berdampak menguarangi penyerapan tenaga kerja, yaitu masing-masing sebesar -125,760%, -36,529%, dan -9,544%. Kemudian untuk dampak terhadap penyerapan tenaga kerja akibat peningkatan ekspor perikanan dialami oleh sektor ikan olahan dan ikan awetan (63,350%), disusul sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (16,261%) dan sektor ikan hasil perikanan tangkap lainnya (13,650). Sementara, bila peningkatan investasi dan ekspor perikanan tersebut dilakukan secara bersama (Simulasi-3), maka sektor penerima dampak terhadap output terbesar dialami oleh sektor ikan olahan dan ikan awetan (132,762%) disusul oleh sektor usang (38,941%), sektor ikan tuna, tongkol dan cakalang (23,742%), sektor rumput laut dan ikan budidaya lainnya (masing-masing sebesar 26,943%). Sebaliknya, pada sektor ikan kering dan ikan asin, serta sektor ikan patin, justru mengalami dampak penurunan penyerapan tenaga kerja akibat peningkatan investasi dan ekspor perikanan secara bersama (simultan), yaitu masing-masing sebesar -103,552% dan -31,182%.
101
Tabel 6. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Masing-masing Sektor (Perubahan Persentase) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sektor (Komoditas/Produk)
Simulasi-1
Simulasi-2
Tuna, tongkol dan cakalang (TTC) 3,930 Ikan hasil perikanan tangkap lainnya 0,963 Patin -36,529 Kerapu -9,844 Rumput laut 16,802 Ikan dan hasil perikanan budidaya 16,802 lainnya 7. Udang 31,957 8. Ikan kering dan ikan asin -125,760 9. Ikan olahan dan ikan awetan 52,377 Sumber: Hasil Simulasi Menggunakan Model Keseimbangan Indonesia/CGE-INFISH (2014) Keterangan:
16,261 13,650 4,033 9,250 9,250 9,250 5,762 11,121 63,350 Umum
Simulasi-3 23,742 17,862 -31,182 2,635 26,943 26,943 38,941 -103,552 132,762 untuk Perikanan
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3: Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
Secara umum, peningkatan investasi usaha perikanan mengakibatkan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan, kecuali yang diakibatkan oleh peningkatan investasi usaha perikanan yang menghasilkan komoditas/produk patin dan kerapu serta industri olahan ikan kering dan ikan asin yang justru mengakibatkan penurunan penyerapan tenaga kerja (Simulasi-1). Pada sektor-sektor tersebut (patin dan kerapu serta olahan ikan kering dan ikan asin), penurunan permintaan tenaga kerjanya terjadi karena peningkatan produktivitas yang terjadi menyebabkan sektor-sektor tersebut lebih efisien dalam menggunakan tenaga kerja (Mankiw, 2007; Nanga, 2001). Pengurangan permintaan tenaga kerja yang terjadi lebih besar dari peningkatan penawaran tenaga kerja akibat meningkatnya tren tenaga kerja sebagaimana digambarkan pada model recursive dynamic (Oktaviani, 2011) Berbeda halnya dengan dampak yang diakibatkan peningkatan investasi perikanan, maka dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan yang secara keseluruhan memberikan dampak positif meningkatkan penyerapan tenaga kerja (Simulasi-2). Secara umum, peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan yang mengakibatkan peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor perikanan secara teoritis mengindikasi bahwa peningkatan ekspor perikanan cenderung meningkatkan upah riil, yang disebabkan oleh penawaran tenaga kerja meningkat lebih tinggi dibandingkan peningkatan permintaannya (Mankiw, 2007; Nanga, 2001). Hal ini, oleh Oktaviani (2011) digambarkannya sebagai akibat adanya kondisi pertumbuhan tenaga kerja yang dimasukkan dalam model recursive dynamic. Sementara bila peningkatan investasi dan ekspor perikanan tersebut dilakukan secara bersama (Simultan-3) ternyata telah mampu membalik dampak negatif akibat peningkatan investasi di usaha komoditas patin yang semula berdampak mengurangi penyerapan tenaga kerja pada Simulasi-1, berubah menjadi positif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada Simulasi-3. Demikian pula, berkurangnya dampak negatif berkurangnya penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan bila hanya meningkatkan investasi saja. Selebihnya, selain kedua usaha komoditas/perikanan perikanan tersebut maka akibat peningkatan investasi dan ekspor perikanan secara bersama (Simulasi-3) adalah berdampak postif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Selanjutnya, Tabel 7 memperlihatkan kondisi bila diperbandingkan (dibedakan) dampak terhadap penyerapan tenaga kerja dari ketiga simulasi tersebut (Simulasi-1, 102
Simulasi-2 dan Simulasi-3). Tabel 28 memperlihatkan bahwa selisih (perbedaan) dampak penyerapan tenaga kerja Simulasi-3 dengan Simulasi-1 menghasilkan dampak penyerapan tenaga kerja yang lebih besar (seluruhnya positif) dibandingkan hasil Simulasi-1 saja. Demikian pula untuk selisih (perbedaan) dampak penyerapan tenaga kerja pada Simulasi-3 dengan Simulasi-2 menghasilkan dampak penyerapan tenaga kerja yang juga lebih besar (seluruhnya positif) dibandingkan hasil Simulasi-2 saja, kecuali pada sektor ikan kering dan ikan asin. Tabel 7. Selisih Dampak Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase) Selisih Dampak No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sektor (Komoditas/Produk)
Tuna, tongkol dan cakalang (TTC) Ikan hasil perikanan tangkap lainnya Patin Kerapu Rumput laut Ikan dan hasil perikanan budidaya lainnya Udang Ikan kering dan ikan asin Ikan olahan dan ikan awetan
Simulasi-2 dibandingkan Simulasi-1 12,331
Simulasi-3 dibandingkan Simulasi-1 19,812
Simulasi-3 dibandingkan Simulasi-2 7,481
12,687
16,899
4,212
40,562 19,094 -7,552 -7,552
5,347 12,479 10,141 10,141
5,347 12,479 17,693 17,693
-26,195 136,881 10,973
6,984 22,208 80,385
33,179 -114,673 69,412
Sumber: Diolah dari Hasil Simulasi Menggunakan Model Keseimbangan Umum untuk Perikanan Indonesia/CGE-INFISH (2014) Keterangan:
Simulasi-1 : Peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% Simulasi-2 : Peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% Simulasi-3: Terjadi peningkatan investasi perikanan sebesar 16,07% (Simulasi-1) bersamaan dengan peningkatan ekspor perikanan sebesar 27% (Simulasi-2)
Bila dicermati lebih lanjut pada Tabel 7, tampak dari perbandingan (perbedaan) antarsimulasi tersebut, tampak bahwa dalam kaitannya tujuan meningkatkan dampak terhadap penyerapan tenaga kerja, maka kebijakan meniningkatan investasi usaha bersamaan dengan kebijakan meningkatkan ekspor komoditas/ekspor perikanan (Simulasi-3), secara relatif lebih baik dibandingkan dengan melakukan kebijakan secara parisal, hanya meningkatkan investasi usaha perikanan (Simulasi-1) atau pun hanya meningkatkan ekspor komoditas/produk perikanan (Simulasi-2).
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan memberikan dampak meningkatkan kinerja ekonomi makro nasional, terutama yang dilakukan secara simulatan (besama-sama). Hal ini, seperti terlihat dari pertumbuhan nilai PDB riil di tingkat nasional yang bernilai positif apabila investasi usaha dikuti oleh peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan ditingkatkan secara bersama. Secara umum, peningkatan kinerja ekonomi makro nasional sebagai peningkatan investasi dan ekspor perikanan secara simultan relatif lebih baik dibandingkan dengan hanya meningkat investasi usaha perikanan atau hanya meningkatkan ekspor perikanan saja (secara parsial). Hal ini, terutama 103
dikarenakan terjadi peningkatan produktivitas (efisiensi) dan peningkatan daya saing komoditas/peroduk produk perikanan Indonesia yang lebih kompetitif di pasar dunia. Secara umum, peningkatan investasi maupun ekspor perikanan mengakibatkan peningkatan output dari usaha-usaha di sektor perikanan. Hal ini menunjukkan pentingnya investasi dan ekspor perikanan untuk mendukung peningkatan output di sektor perikanan; di samping itu, hal ini juga mengindikasikan bahwa untuk semua sektor perikanan yang dianalisis, akibat peningkatan investasi dan ekspor baik secara masing-masing maupun bersama-sama mengalami peningkatan produktivitas dan atau peningkatan penawaran di sektor-sektor perikanan tersebut lebih besar dibandingkan dengan penurunan permintaan. Namun, secara relatif hasil dampak yang terbaik dalam memberikan dampak output terbesar diperoleh dari hasil peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan secara bersama (simultan). Untuk seluruh kegiatan usaha (sektor) yang menghasilkan komoditas/produk di sektor perikanan, peningkatan investasi usaha perikanan memberikan dampak menurunkan tingkat harga di sektor perikanan. Sebaliknya peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan mengakibatkan peningkatan tingkat harga di seluruh sektor perikanan. Namun bila peningkatan ekspor tersebut dilakukan bersama dengan peningkatan investasi usaha perikanan, ternyata memberikan dampak terhadap penurunan tingkat harga di sektor perikanan, meskipun penurunannya masih lebih rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan dari peningkatan investasi. Dengan kata lain, peningkatan investasi usaha dan ekspor perikanan secara simultan (bersama) berdampak positif bagi perekonomian karena mampu memberikan kontribusi dalam mengurangi inflasi, baik pada peningkatan biaya produksi maupun harga input; dan terutama lebih disebabkan oleh kegiatan-kegiatan usaha di sektor perikanan yang semakin efisien karena adanya peningkatan produktifitas. Dalam hal dampaknya terhadap jumlah penyerapan tenaga kerja, secara umum peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan perikanan mengakibatkan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Namun secara spesifik, berbeda halnya dengan peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan yang seluruhnya meningkatkan penyerapan tenaga kerja, maka peningkatan investasi pada kegiatan usaha perikanan penghasil komoditas/produk patin dan kerapu serta industri olahan ikan kering dan ikan asin justru berdampak menurunkan penyerapan tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa pada sektor-sektor tersebut (patin dan kerapu serta olahan ikan kering dan ikan asin) telah terjadi peningkatan produktivitas yang menyebabkan sektorsektor tersebut lebih efisien dalam menggunakan tenaga kerja; sehingga pengurangan permintaan tenaga kerja yang terjadi lebih besar dari peningkatan penawaran tenaga kerja akibat meningkatnya tren tenaga kerja. Dengan demikian, untuk meningkatkan dampak terhadap penyerapan tenaga kerja, maka kebijakan meniningkatan investasi usaha bersamaan dengan kebijakan meningkatkan ekspor komoditas/ekspor perikanan, secara relatif lebih baik dibandingkan dengan melakukan kebijakan secara parisal, yaitu dengan hanya meningkatkan investasi usaha perikanan atau pun dengan hanya meningkatkan ekspor komoditas/produk perikanan. Implikasi Kebijakan Kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan, berdasarkan hasil kajian ini secara umum akan memberikan pengaruh positif terhadap kinerja ekonomi makro nasional dan ekonomi mikro khususnya di sektor perikanan. Pengaruh peningkatan investasi usaha perikanan yang diikuti dengan peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan secara simultan (bersama) dalam perekonomian makro memberikan pengaruh yang positif, seperti peningkatan pertumbuhan PDB, penekanan laju inflasi, peningkatan volume penawaran ekspor dan penurunan harga investasi, dan lain-lain. Dengan demikian, temuan tersebut semestinya dapat mendorong keberpihakan kebijakan investasi dan ekspor di sektor perikanan yang harus dapat lebih ditingkatkan, terutama yang dilakukan secara simultan. 104
Dalam memformulasi kebijakan meningkatkan investasi usaha di sektor perikanan, maka hal yang harus diperhatikan adalah bahwa pertumbuhan investasi yang ditandai dengan peningkatan produktivitas akan meningkatkan kinerja ekonomi makro maupun sektoral. Untuk itu, diperlukan dukungan iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi di sektor perikanan. Kondisi yang demikian dapat dicapai antara lain dengan pemberian izin investasi yang tidak berbelit-belit, penghapusan berbagai pungutan baik resmi maupun tidak resmi yang tidak berkaitan dengan biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan perikanan, serta terciptanya keamanan di lingkungan perusahaan dan di dalam negeri. Sementara untuk kebijakan meningkatkan ekspor komoditas/produk perikanan dapat dilakukan dengan melakukan penerobosan (penetrasi) pasar di pasar-pasar yang telah lama menjadi tujuan ekspor, menggali potensi-potensi pasar di pasar-pasar yang belum digarapkan secara kuat dengan diikuti promosi yang efektif. Khusus untuk formulasi kebijakan peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan tangkap laut, semestinya harus tetap memperhatikan dan mencermati bahwa dalam perspektif sumber daya perikanan tangkap, tidak selamanya peningkatan investasi dan ekspor tersebut akan berdampak positif. Hal ini karena sifat unik dari sumber daya perikanan tangkap, khususnya perikanan laut, dimana pemanfaatan lestari sumber daya perikanan harus selalu dijaga agar tidak melebihi kondisi tingkat Maximum Sustainability Yield (MSY). Dengan kata lain, peningkatan investasi usaha perikanan, khususnya perikanan tangkap laut yang bisa dijabarkan sebagai peningkatan dalam kapital maupun peningkatan input lain tidak secara terus menerus akan selalu diikuti dengan peningkatan jumlah output di sektor perikanan (tangkap laut). Bila hal ini tidak diperhatikan, maka akan ada satu kondisi backward bending dimana semakin ditambahnya penggunaan input yang terjadi justru mengakibatkan jumlah output yang dihasilkan akan semakin berkurang dan biaya operasionalnya semakin besar, sehingga pencapaian kondisi pemafaatan optimum secara lestari terhadap sumber daya perikanan tangkap laut harus selalu dijaga (Fauzi, 2005 dan 2010). Kebijakan pengelolaan perikanan yang mengarah pada pengurangan input maupun output berlebih patut dipertimbangkan. Salah satu cara konvensional yang umum digunakan untuk mengurangi input yang berlebihan adalah dengan penetapan pajak (baik pajak input maupun ouput) dan kuota. Namun kedua instrumen kebijakan ini banyak memiliki defisiensi dan sangat sulit dilakukan pada perikanan tangkap laut yang multi spesies dan multi alat tangkap (Fauzi, 2002, 2005 dan 2010). Sebagai alternatif di samping cara konvensional tersebut adalah dengan melakukan user fee yang sedikit kurang distorsi dibandingkan dengan kebijakan konvensional tersebut. Penerapan user fee ini akan memaksimumkan rente ekonomi sekaligus melestarikan sumber daya ikan itu sendiri (Fauzi, 2002). Cara lainnya untuk mengurangi kelebihan faktor input atau pun output adalah melalui penerapan strategi konvensional dengan mengembangkan Marine Protected Area (MRA) karena dapat mendorong sumber daya perikanan mengalami apresiasi, yang dalam jangka panjang akan memberikan manfaat kesejahteraan bagi masyarakat pesisir secara keseluruhan (Fauzi dan Anna, 2002). Di samping itu dapat pula dilakuka melalui pendekatan community bases management maupun co management yang akan memberikan kesempatan bagi nelayan lokal untuk semakin meingkatkan partisipasinya dalam proses pengelolaan sumber daya perikanan (Kusumastanto, 2002). Berbagai cara tersebut di atas, pada prinsipnya berupaya melakukan optimalisasi investasi dan ekspor di sektor perikanan, khususnya yang menjawab sampai pada tingkat investasi dan ekspor berapa di sektor perikanan yang masih memberikan kontribusi positif bagi perekonomian, namun sekaligus bisa menjawab aspek kelestarian sumber daya perikanan.
105
DAFTAR PUSTAKA Arrow, K.J. and Debreu, G. 1954. Existence of an Equilibrium for a Competitive Economy. Econometrica, 22: 265-290. Bandara, J.S. 1991. Computable General Equilibrium Models for Development Policy Analysis in LDCs, Journal of Economic Surveys, Vol.5, No.1, p.3Bergman, L. and M. Henrekson (2003) CGE Modeling of Environmental Policy and Resource Management, Lecture Note, Stockholm School of Economics. Dervis, K., J. De Melo dan S. Robinson. 1982. General Equilibrium Models for Development Policy. A World Bank Reserach Publication. Cambrdige University Press. New York. Devarajan, S. 2002. The Impact of Computable General Equilibrium Models on Policy. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington DC. Devarajan, S., J. D. Lewis, and S. Robinson. 1990. Policy Lessons from Trade-Focused, Two-sector Models . Journal of Policy Modeling, 12(4): 625-57 Dixon, P.B., B.R. Parmenter, J. Sutton, and D.P. Vincent. 1982. ORANI: A Multisectoral Model of the Australian Economy. North Holland, Amsterdam. Horridge, J. Mark and D.W. Jorgenson. 2008. Handbook of Computable General Equilibrium Modeling: Volume 1A. North-Holland, Oxford. Horridge, J. Mark. 2003. Orani-G: A Generic Single-Country Computable General Equilibrium Model. Center of Policy Studies and Impact Project, Monash University. Horridge, J.M., B.R. Parmenter, K.R. Pearson. 1998. ORANI-G: A General Equilibrium Model of the Australian Economy. Center of Policy Studies and Impact Project, Monash University, Australia. Horison, G. 1997. Computabel General Equilibrium Models. Downloaded from http:// www.mobidk.dk.bt./-mobi-cge.htm [06 November 2009]. KKP. 2015. Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Krueger, A. O. 1999. Are Preferential Trading Arrangements Trade-Liberalizing or Protectionist? Journal of Economic Perspectives, 13 (4): 105–124. Manna, M. L. 2001. Introduction to General Equilibrium. Lecture 21 EC2001. School of Economics, University of St Andrew. http://www.st-andrews.ac.uk/~mlm/ HomePage/EC2001/lecture7.pdf Nicholson, W. 2004. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga. Jakarta. Oktaviani, R. 2011. Model Ekonomi Keseimbangan Umum: Teori dan Aplikasinya di Indonesia. Bogor. IPB Press. 106
Susanti, E.N. 2003. Dampak Perubahan Investasi dan Produktivitas Sektor Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia (Aplikasi Model Ekonomi Keseimbangan Umum). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Van der Eng, P. 2009. Capital Formation and Capital Stock in Indonesia, 1950-2008. BIES, 45 (3): 345-371.
107
108
LAMPIRAN 2
NASKAH KARYA TULIS ILMIAH (KTI) 2: DAMPAK PENINGKATAN INVESTASI UNTUK PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN PRODUK PERIKANAN INDONESIA TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL ABSTRAK Industri pengolahan produk perikanan Indonesia merupakan sektor usaha yang sangat potensial dan strategis untuk terus dikembangkan. Industri ini didukung ketersediaan sumber daya perikanan, sumber daya manusia serta peluang pasar domestik dan internasional yang sangat besar. Di samping itu, adanya tuntutan diversifikasi produk, menjadikan industri ini sangat penting dalam pembangunan ekonomi nasional; dan pengembangannya ke depan memerlukan dukungan investasi dan dukungan lainnya dari berbagai pihak. Untuk itu, penelitian ini bertujuan menganalisis dampak pengembangan industri pengolahan produk periknanan terhadap pembentukan output, nilai tambah, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian nasional. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari sumber BPS berupa Tabel Input-Output Tahun 2012 yang dimutakhirkan, yang telah mengalami proses disagregasi dan agregasi di sektor industri pengolahan produk perikanan. Analisi data dilakukan dengan menggunakan pendekatan Model Input-Output dengan melakukan simulasi dampak peningkatan investasi untuk pengembangan industri pengolahan produk perikanan Indoensia sebesar 100% dari sebesar Rp328.057,2 juta pada kondisi awal total investsi pada tahun 2012 dan setelah dilakukan injeksi meningkat menjadi sebesar Rp656.114,4 juta. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pengembangan industri pengolahan produk perikanan Indonesia melalui peningkatan investasi sebesar 100% memberikan dampak terhadap perekonomian nasional berupa meningkatkan output ekonomi sebesar 0,83% (Rp107,97 trilyun); Nilai Tambah Bruto sebesar 0,48% (Rp61,64 trilyun); pendapatan masyarakat sebesar 0,09% (Rp11,33 trilyun) dan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,004% (503 ribu orang). Untuk itu, sudah semsetinya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) secara sungguh-sungguh melakukan dan mendorong upaya pengembangan industri pengolahan produk perikanan Indonesia ke depan baik di lingkup KKP maupun secara sinergi dengan Lembaga Kementerian (LK) lainnya, khususnya yang ditujukan bagi peningkatan investasi secara siignifikan, seperti dengan memberikan berbagai iklim usaha investasi yang kondusif berupa kemudahan-kemudahan serta program dan kegiatan bagi peningkatan kapasitas para pelaku usaha dan kinerja organisasi (perusahaan) yang tekaitt.
Kata Kunci : Industri Pengolahan Produk Perikanan, Investasi, Analisis Input-Output
PENDAHULUAN Industrialisasi perikanan Indonesia sangat prospektif untuk terus dikembangkan. Namun demikian, agar dapat bersaing di era global dan pasar bebas di masa depan, pengembangan industri yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya alam (natural resources) seperti perikanan sebagai salah satu keunggulan komparatif tidaklah cukup tanpa diimbangi dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi. Hal ini diperlukan untuk mengembangkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Pengembangan industri sebagai upaya meningkatkan nilai tambah tidak mungkin hanya mengandalkan sumber daya yang melimpah namun sangat perlu untuk dikembangkan industri hilir berupa industri pengolahan produk perikanan. Jumlah industri pengolahan produk perikanan berupa unit pengolahan ikan (UPI) di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 60.117 unit. UPI tersebut tersebar di Jawa Timur sebanyak 10.640 unit, Jawa Tengah 8.350 unit, Jawa Barat 5.966 unit, Kalimantan Selatan 3.660 unit, dan Nusa Tenggara Barat 3.550 unit. Sedangkan pada tahun 2012 jumlah UPI telah meningkat sebesar 6,5% menjadi 64.028 unit serta telah mampu menyerap tenaga kerja 109
sebanyak 1.352.936 orang dengan rata-rata pekerja sejumlah 21 orang per UPI. Namun demikian, hingga saat ini sektor industri pengolahan produk perikanan masih didominasi oleh industri skala kecil dan rumah tangga dengan metode pegolahan yang tradisional dan cenderung kurang memberikan nilai tambah seperti pengeringan, pengasapan, dan fermentasi. Sedangkan pada industri skala menengah dan besar utilitas produksinya baru sekitar 50% dari kapasitas terpasangnya. Hal tersebut lebih disebabkan oleh masalah kontinuitas ketersediaan pasokan bahan baku serta masih adanya ketergantungan impor bahan penolong sepeti kaleng, minyak kedelai, bahan kemasan dan lainnya (KKP, 2013). Masalah lainnya dalam industri pengolahan produk perikanan adalah masih minimnya dukungan infrastruktur seperti pelabuhan perikanan, jalan, listrik dan air bersih. Di samping itu, adanya sifat dan karakteristik produk perikanan yang mudah rusak sangat membutuhkan dukungan sistem jaringan logistik dan teknologi khusus agar produk perikanan bisa lebih tahan lama. Untuk mengatasinya, KKP saat ini tengah membangun Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) guna menampung dan mendistribusikan bahan baku dari lokasi penangkapan dan sentra budidaya ke UPI secara efisien (Sunoto, 2012). Selain itu, juga melakukan langkah-langkah strategis melalui pengembangan program revitaslisasi di bidang perikanan yang mencakup revitalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang ada seperti kegiatan usaha di bidang penangkapan ikan dan budidaya perikanan serta mengoptimalkan unit usaha pengolahan ikan dalam negeri (Permen KP, 2014). Pengintegrasian secara vertikal antara kegiatan usaha di kelompok perikanan primer (baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya) sebagai penyedia bahan baku dengan kelompok perikanan sekunder (industri pengeringan dan penggaraman ikan dan industri pengolahan dan pengawetan ikan) sangatlah penting. Semakin kuat sektor perikanan (sebagai kelompok perikanan primer) terintegrasi dengan sektor industri pengolahan produk perikanan (sebagai kelompok perikanan sekunder), semakin strategis sektor perikanan tersebut, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian bila sektor perikanan dikembangkan maka dengan sendirinya sektor industri pengolahan produk perikanan sebagai kelompok perikanan sekunder akan juga berkembang. Sebaliknya bila perikanan sekunder tersebut dikembangkan, maka perikanan primer juga akan berkembang. Kurangnya mengintegrasikan kedua kelompok perikanan tersebut diduga menjadi salah satu penyebab penurunan utilitas dan kapasitas produksi dari kelompok perikanan sekunder, bahkan hilangnya potensi peneriman baik di sektor privat maupun publik. Hubungan simbiosis yang terjadi dari kedua kelompok perikanan tersebut, pada gilirannya dapat menumbuhkan derajat sinergis dalam meningkatkan produktivitas dan kontribusi nilai tambah secara keseluruhan bagi perekonomian nasional (Nikijuluw, 2005). Di dalam rancangan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035, industri pengolahan produk perikanan diposisikan sebagai salah satu industri prioritas melalui kebijakan pengembangan industri pangan berbasis perikanan guna mendukung kebijakan ketahanan pangan nasional (Permen Perin., 2009). Selain itu, untuk mendukung kebijakan nasional industrialisasi kelautan dan perikanan, pembangunan industri pengolahan produk perikanan diarahkan untuk meningkatkan produksi, produktivitas, nilai tambah, serta daya saing komoditas dan produk perikanan guna mensejahterakan masyarakat dan pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Melalui berbagai kebijakan tersebut sangat diharapkan adanya peningkatan kontribusi secara positif dari sektor industri pengolahan produk perikanan terhadap perekonomian Indonesia (Kemenperin, 2014a) . Adanya tuntutan diversifikasi produk otomatis memposisikan industri pengolahan perikanan menjadi sangat vital dalam pembangunan ekonomi. Industrialisasi perikanan tentu memerlukan sinergi industri perikanan dari hulu sampai hilir agar bersama-sama dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Bagi Indonesia yang konsumsi ikan masyarakatnya masih rendah dibanding negara maju, kehadiran industri pengolahan produk perikanan lebih banyak diarahkan untuk memenuhi pasar ekspor. Karena itu untuk bisa bersaing di pasar internasional perlu didorong dan dikembangkan agar bisa menghasilkan produk yang 110
memiliki mutu yang baik, aman dikonsumsi, tersedia secara berkesinambungan, berdaya saing secara ekonomis, serta sesuai dengan selera masyarakat dengan menjaga kualitas produk sesuai standar mutu yang berlaku. Adanya pengembangan hilirisasi produksi perikanan dengan meningkatkan output industri pengolahan produk perikanan diharapkan dapat menjadi motor utama penggerak produktivitas di sektor perikanan serta dapat berkontribusi bagi sektor lainnya dalam perekonomian nasional. Untuk itu diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui seberapa besar peranan industri pengolahan produk perikanan dalam perekonomian Indonesia (Kemenperin, 2014b). Secara nasional, proses industrilasisasi ini sangat penting
karena industrialisasi sebagai transformasi struktural dalam suatu negara. Oleh sebab itu, proses industrialisasi dapat didefinisikan sebagai proses perubahan struktur ekonomi dimana terdapat kenaikan kontribusi sektor industri dalam permintaan konsumen, PDB, ekspor dan kesempatan kerja (Chenery et al., 1986). Industri pengolahan produk perikanan merupakan industri yang sangat potensial dan strategis untuk terus dikembangkan di masa mendatang karena sektor ini sangat didukung oleh adanya ketersediaan sumber daya alam perikanan, sumber daya manusia di bidang perikanan serta peluang pasar domestik dan internasional yang sangat besar. Guna menuwujudkan pengembangan industri pengolahan produk perikanan tersebut dibutuhkan investasi dalam jumlah yang signifikan. Secara teoritis, investasi tersebut diperlukan karena dalam jangka pendek investasi akan mempengaruhi permintaan agregat dan akan
mendorong meningkatnya output dan kesempatan kerja. Dalam jangka panjang akan terjadi pembentukan modal kapital yaitu penambahan peralatan mesin dan bangunan. Hal tersebut akan meningkatkan output dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan (Mankiw, 2007). Investasi tersebut diantaranya diperlukan untuk membangun unit pengolahan ikan (UPI) baru dan meningkatkan kapasitas UPI-UPI lama. Dari data laporan realisasi penanaman modal berdasarkan izin usaha tetap yang dibuat oleh BKPM, tercatat bahwa pada tahun 2012 melalui penanaman modal pada industri pengolahan prouk perikanan adalah sebesar 273.381 ribu dolar (Rp.328.057,2 juta), yang terdiri dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) senilai 235.406 ribu dolar (Rp282.487,2 juta) dengan 11 proyek, sedangkan melalui penanaman modal asing (PMA) senilai 37.975 ribu dolar (Rp.455.700 juta) dengan 26 proyek. Alokasi investasi tersebut dilakukan pada pengembangan industri pengolahan, pengawetan maupun pengalengan ikan dan biota air lainnya (BKPM, 2014). Untuk itu, penelitian dilakukan dengan tujuan mengetahui dampak pengembangan industri pengolahan produk perikanan Indonesia terhadap perekonomian Indonesia seperti pada pembentukan output, nilai tambah, pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja di tingkat nasional. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam pembuatan kebijakan pengembangan industri pengolahan produk perikanan terkait kebijakan industrialisasi sektor perikanan dan pengembangan industri pangan berbasis perikanan.
METODOLOGI PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kuantitatif, yaitu suatu cara atau teknik mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan menganalisis data kuantitatif sehingga dapat memberikan deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nasir, 2011). Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh seorang peneliti secara tidak langsung dari objeknya, tetapi melalui sumber lain, baik lisan maupun tulis. 111
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perindustrian dan lembaga-lembaga lain serta dari buku, internet dan literatur yang sesuai dengan penelitian ini. Metode Analisis Input-Output - Pengertian Dasar Model Input Output (I-O) Kini model I-O telah secara luas digunakan dan diterapkan dalam perencanaan regional maupun analisis dampak ekonomi (Hewings, 1986; Richardson, 1972). Analisis Input-Output (I-O) berupaya mengkuantitatifkan saling ketergantungan ekonomi antar sektor dalam suatu wilayah ekonomi -– apakah negara atau daerah — pada suatu titik waktu tertentu. Daya tarik utama analisis I-O adalah menyajikan potret dari semua transaksi ekonomi, baik pembelian maupun penjualan, dan biasanya digunakan sebagai dasar analisis keterkaitan antar sektor dalam suatu perekonomian (West, 1992). Dengan demikian analisis I-O dapat digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi berbagai jenis aktivitas ekonomi dan keterkaitan sektor, yang memungkinkan menganalisis dampak pengganda (multiflier effect) akibat aktivitas suatu sektor (Bendavid, 1991). Tabel Input Output (I-O) pada dasarnya merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antara sektor yang satu dengan sektor lainnya, dalam suatu wilayah pada suatu periode waktu tertentu. Dengan menggunakan Tabel I-O dapat dilihat bagaimana output dari suatu sektor ekonomi didistribusikan ke sektor-sektor lainnya dan bagaimana pula suatu sektor memperoleh input yang diperlukan dari sektor-sektor lainnya. Dalam suatu model I-O yang bersifat terbuka dan statis, transaksi-transaksi yang digunakan dalam penyusunan Tabel Input Output harus memenuhi tiga asumsi atau prinsip dasar, yaitu: (1) Keseragaman (homogeneity), yaitu asumsi bahwa setiap sektor hanya memproduksi satu jenis output (barang dan jasa) dengan struktur input tunggal dan tidak ada substitusi otomatis antar output dari suatu sektor yang berbeda. (2) Kesebandingan (proportionality), yaitu asumsi kenaikan penggunaan input oleh suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang dihasilkan. (3) Penjumlahan (additivity), yaitu asumsi bahwa jumlah pengaruh kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari pengaruh pada masing-masing sektor tersebut. Kendati Tabel I-O mampu menggambarkan aliran antar sektor, tabel ini kurang mampu menjelaskan “cerita” di balik angka aliran antar sektor tersebut. Dari perspektif ini, tabel I-O merupakan refleksi dari fungsi produksi. Hanya saja fungsi dalam konteks ini berbeda dengan fungsi produksi sebagaimana digunakan dalam teori ekonomi yang baku. Dilihat dari sudut teori produksi, model I-O memiliki dua elemen pokok yang saling berhubungan erat, yaitu: konsep sektor produktif dan karakteristik struktur input untuk masing-masing sektor. Dalam model I-O, suatu sektor produktif diidentikkan dengan suatu proses atau aktivitas produksi. Perekonomian dianggap merupakan kumpulan dari sektor-sektor semacam itu. Pembagian menjadi berbagai sektor dibuat sedemikian rupa sehingga masingmasing sektor (proses produksi) hanya menghasilkan satu produk. Ini berarti tidak ada produk gabungan (joint product). Dari perspekstif tersebut, analisis dengan menggunakan Tabel I-O harus memperhatikan hal-hal berikut:
112
(1) Karena setiap produk berasal dari satu sektor maka diasumsikan hanya diproduksi dengan satu cara. Ini berarti tidak diperhitungkan masalah pilihan teknologi. (2) Diasumsikan tidak ada interaksi antar sektor. Ini berarti mengabaikan masalah external economies dan diseconomies dari suatu proses produksi. Implikasinya, efek total dari seluruh sektor yang merupakan asumsi dasar analisis I-O, maka jumlah input yang digunakan oleh suatu sektor merupakan penjumlahan dari efek masing-masing sektor. Apabila fungsi produksi sektoral merupakan asumsi dasar analisis I-O, jumlah input yang digunakan oleh suatu sektor tergantung dari tingkat output sektor tersebut. Dengan kata lain, diasumsikan bahwa kenaikan penggunaan input berbanding secara proporsional dengan kenaikan output. Porporsi yang konstan ini ditunjukkan oleh koefisien I-O. (3) Berlaku non-substitution theorem, yaitu dengan koefisien produksi yang tetap, tidak ada substitusi antar input dalam produksi komoditi tertentu. Implikasinya masing-masing aktivitas produktif merupakan milik sektor tertentu, dan sektor tersebut hanya memiliki satu teknik produksi. (4) Model I-O pada hakekatnya merupakan model statik, dengan penggunaan utamanya adalah dalam jangka pendek (West, 1992). Artinya, penggunaan model I-O mengasumsikan koefisien I-O tidak berubah selama periode tertentu. Misalnya, suatu analisis dampak yang menggunakan I-O untuk proyeksi selama beberapa tahun mengasumsikan koefisien I-O stabil sepanjang periode tersebut. Secara implisit, ini identik dengan asumsi constant returns to scale atau linieritas. Asumsi ini tidak berlebihan mengingat: (a) Dampak awal relatif kecil dibanding skala industri dari total kegiatan ekonomi yang diamati; dan (b) Dampak yang diukur telah merupakan bagian dari perekonomian. Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel I-O akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: (1) Struktur perekonomian suatu wilayah yang mencakup struktur output dan nilai tambah masing-masing sektor; (2) Struktur input antara, yaitu transaksi penggunaan berbagai barang dan jasa oleh sektor-sektor produksi; (3) Struktur penyediaan barang dan jasa, baik berupa produksi dalam wilayah maupun barang-barang yang berasal dari impor; dan (4) Struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan antara oleh berbagai sektor produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor (BPS, 2000). Selanjutnya pada Tabel 1 disajikan gambaran tentang bagaimana suatu Tabel I-O disusun.
113
Tabel 1. Kerangka Dasar Tabel Input-Output Tunggal Alokasi Output Struktur Input Input Antara
Sektor Produksi i
Jumlah
1 2 ... 190 200
Permintaan Penyediaan Permintaan Antara Permintaan Akhir 1 2 ... 180 301 ... 306 309 409 509 600 Kuadran I Kuadran II X11 X12 X1n F1 M1 X1 X21 X22 X2n F2 M2 X2 Xm1 Xm2 Xnm Fn Mn Xn Jumlah Jumlah Jumlah Kuadran III
Input Primer atau Nilai Tambah (VA)
Jumlah Input
201 202 203 204 205 209 210
V1 X1
V2 X2
Vn Xn
Sumber: Nazara (1997)
Secara garis besar Table I-O dibagi dalam tiga kelompok atau kuadran, yaitu: - Kuadran I Kuadran I merupakan matriks transaksi antara yang terdiri baris input antara (intermediate input) dan kolom permintaan antara (intermediate demand). Baris input antara menunjukkan semua barang dan jasa serta faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan output, sedangkan kolom permintaan antara menunjukkan sektor yang membutuhkan input (yang berasal dari output sektor lain atau sektornya sendiri). Karena banyak sektor baris sama dengan kolom maka matriks ini berbentuk bujur sangkar (square matrix). Komponen Xi pada kolom 1 permintaan antara menunjukkan bahwa untuk menghasilkan output sektor 1 (Xi), maka sektor 1 tersebut memerlukan input antara sebesar xn1, impor (200) sebesar M1, dan dari input primer/NTB (209) sebesar V1. Input antara yang diperlukan berasal dari sektor 1 sendiri sebanyak x11 dan dari sektor 2 sebanyak x21, dan seterusnya. Komponen Xi pada baris 1 input antara menunjukkan penyediaan sektor 1 terdiri dari permintaan antara (180), permintaan akhir (309), impor (409), margin perdagangan dan biaya pengangkutan (509). Output sektor 1 digunakan sebagai input antara oleh sektor 1 sendiri sebesar x11, sektor 2 sebesar x12, dan seterusnya. Sedangkan F1 adalah output sektor 1 yang menjadi bagian dari permintaan akhir. Karena itu baris ke 1 menggambarkan distribusi total output sektor 1 sebesar Xi ke sektor-sektor produksi dan permintaan akhir sebesar F1. - Kuadran II Kuadran II merupakan matriks yang terdiri dari kolom permintaan akhir (final demand) dan penyediaan (total suplay), dan sejumlah sektor produksi. Permintaan akhir adalah permintaan atas barang dan jasa bukan sebagai input untuk proses produksi lebih lanjut. Permintaan akhir (309) terdiri dari empat unsur, yaitu: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga/ C (301); (2) pengeluaran konsumsi pemerintah/ G (302); (3) pembentukan modal tetap bruto atau investasi/ I (303); (3) perubahan stok (304); dan (4) ekspor 114
700
barang dagangan (305) dan ekspor jasa (306). Sedangkan penyediaan (700) merupakan penjumlahan dari output domestik atau produksi dalam negeri (600), dan impor dan jasa (400) serta margin perdagangan dan biaya pengangkutan (509). - Kuadran III Kuadran III meliputi kelompok nilai tambah bruto (gross value added) atau input primer yang digunakan oleh masing-masing sektor produksi. Nilai tambah bruto adalah balas jasa yang dihasilkan oleh faktor produksi yang terlibat dalam proses produksi yang terdiri dari upah dan gaji (201), surplus usaha atau keuntungan (202), penyusutan atau depresiasi (203), pajak tak langsung (204), subsidi (205). Komponen Vi menunjukkan nilai tambah yang tercipta oleh sektor 1 dan seterusnya. Menurut BPS (1999), Tabel I-O menghasilkan persamaan neraca yang berimbang dimana jumlah produksi (keluaran) sama dengan jumlah masukan, yaitu: n
Baris
x
=
ij
Fi M i X i
i 1,.......n .......................................... (1)
ij
Vi X j
j 1,.......n .......................................... (2)
j 1
n
x
Kolom =
i 1
dimana: xij = output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Fi = permintaan akhir terhadap sektor i Vj = input primer dari sektor j Mi = impor produksi i Xi = jumlah output sektor i Xj = total input sektor j Koefisien input terdiri dari koefisien input antara dan koefisien input primer. Keduanya merupakan sebuah indikator dalam tingkat efisiensi proses produksi dengan melihat apakah suatu sektor dalam proses produksinya menggunakan teknologi yang padat modal atau padat karya (Nazara, 2005). Koefisien input antara menggambarkan tingkat penggunaan teknologi dalam proses produksi sehingga koefisien ini disebut juga sebagai koefisien teknis (technical coefficient). Koefisien teknis dapat pula disebut sebagai kebutuhan langsung (direct requirement), karena menunjukkan kebutuhan langsung suatu sektor akan output sektor lainnya (FEUI, 2010). Koefisien ini menurut BPS (1999) dapat dihitung sebagai berikut:
aij
xij Xj
atau
x ij a ij X j ................................................................................ (3)
dimana: a ij
xij Xj
= koefisien input antara (koefisien teknis) dari output sektor i yang digunakan oleh kegiatan produksi sektor j = banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input oleh kegiatan produksi sektor j. = total input kegiatan sektor j.
Koefisien input primer menunjukkan peranan dan komposisi dari upah dan gaji, surplus usaha (keuntungan), pajak tak langsung, dan penyusutan. Koefisien input primer dirumuskan sebagai berikut : vj
Vj Xj
................................................................................................................... (4)
115
dimana: Xj = total input yang dibutuhkan sektor j = total output sektor i (untuk i=j) Vj = Input primer (nilai tambah) sektor j. vj = koefisien Input primer. Matriks koefisien teknis inilah yang merupakan dasar perhitungan efek pengganda (multiplier effect) yang menjadi salah satu inti dari analisis I-O. Efek pengganda ini diperoleh melalui bentuk persamaan sebagai berikut: AX + F = X a tau F = X - AX .................................................................... (5) Jika terdapat perubahan pada permintaan akhir, maka akan ada perubahan pada besarnya pendapatan masyarakat nasional. Jika ditulis dalam bentuk persamaan, maka dapat dituliskan sebagai berikut : AX + F = X atau F = X - AX ................................................................ (6) sehingga X = ( I - A )-1F ................................................................................................... (7) dimana: I F X (I–A)
= Matriks identitas berukuran n x n yang elemennya memuat angka satu pada diagonalnya dan nol pada selainnya = Permintaan akhir = Output = Matriks Leontief
( I – A )-1
= Matriks kebalikan Leontief
Dalam analisis I-O matriks kebalikan leontief berfungsi sebagai pengganda (output multiplier) yang berarti bahwa kenaikan dalam permintaan akhir (F) akan berpengaruh langsung terhadap kenaikan total output (X) sektor tersebut, dan juga berpengaruh tak langsung terhadap sektor-sektor lainnya di dalam perekonomian (BPS, 2008 dan Nazara, 2005). - Analisis Pengganda dan Dampak Dasar analisi dampak dalam model I-O adalah angka pengganda yang merupakan suatu koefisien yang menyatakan kelipatan dari meningkatnya permintaan akhir suatu sektor yang akan mempengaruhi perubahan output di seluruh sektor ekonomi dimana angka pengganda juga mencerminkan urutan prioritas investasi apabila ingin mendapatkan nilai dampak yang optimal . Adapun analisis pengganda meliputi pengganda output, pendapatan masyarakat, lapangan kerja dan nilai tambah bruto (NTB) (Nazara, 2005). Adapun penghitungan analisis angka pengganda dijelaskan pada Tabel 2. Tabel 2. Perhitungan Pengganda Output, Pendapatan masyarakat, Lapangan Kerja dan NTB
Nilai Efek Awal Efek Langsung
Output 1 n
aij
i j
Efek Total
n
i j
Pengganda Pendapatan Lapangan Kerja masyarakat hj wj n
aijhj
i j
αij
n
n
aijwj
i j
αijhj
i j
n
i j
NTB vj n
aijvj
i j
αijwj
n
αijvj
i j
Sumber: Nazara ( 2005); Miller et al. (2009)
116
Keterangan: aij = koefisien input hj = koefisien pendapatan masyarakat wj = koefisien lapangan kerja vj = koefisien input primer αij = matriks kebalikan leontief Efek awal output menggambarkan peningkatan penjualan ke permintaan akhir dalam perekonomian dan merupakan stimulus perekonomian yang menyebabkan peningkatan atau penurunan suatu sektor terhadap permintaan akhir. Peningkatan output akan memberikan efek terhadap peningkatan pendapatan masyarakat melalui koefisien pendapatan masyarakat (hj) dan peningkatan tenaga kerja melalui koefisien lapangan kerja (wj) serta peningkatan NTB melalui koefisien NTB (vj). Efek langsung menunjukkan efek yang langsung diterima dari pembelian masing-masing sektor untuk setiap peningkatan output. Efek pendapatan masyarakat langsung menunjukkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat dan efek lapangan kerja langsung menunjukkan adanya peningkatan lapangan kerja dari setiap sektor akibat adanya efek putaran pertama output. Semakin besar nilai koefisien angka pengganda maka sektor tersebut mempunyai hubungan yang kuat dengan sektor yang lain atau dapat pula digambarkan sebagai peningkatan aktivitas suatu sektor akan meningkatkan aktivitas sektor tersebut atau sektor lainnya sebesar nilai penggandanya. Dalam penelitian ini analisis dampak yang digunakan adalah dampak perubahan output, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja dengan rumus formal sebagaimana tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Dampak Perubahan Output, Pendapatan masyarakat, Lapangan Kerja dan Nilai Tambah Bruto (NTB) No 1
Dampak Output
Rumus n
αijY
i j
2
Pendapatan masyarakat
n
αijhjY
n
αijwjY
n
αijvjY
i j
3
Lapangan Kerja
i j
4
NTB
i j
Sumber: Nazara (2005); Miller et al. (2009); Kementerian PU dan BPS (2011) Keterangan: aij = koefisien input hj = koefisien pendapatan masyarakat wj = koefisien lapangan kerja vj = koefisien input primer αij = matriks kebalikan leontief Y = nilai investasi - Proses Pembentukan Tabel I-O Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Untuk dapat melakukan analisis secara khusus pada sektor industri pengolahan produk perikanan, maka sebelumnya dilakukan disagregasi pada sektor-59 (industri ikan kering dan ikan asin) dan sektor-60 (industri pengolahan dan pengawetan ikan) dari Tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen dalam Tabel I-O Indonesia tahun 2012 yang dimutakhirkan yang dibuat dengan bersumberkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) 117
klasifikasi 192 x 192 sektor. Proses disagregasi Tabel I-O tersebut dilakukan mengikuti kaidah yang disarankan oleh Wolsky (1984) yang kemudian dikonsultasikan dan dibantu oleh pihak BPS yang didasarkan atas data Statistik Industri tahun 2010 (BPS, 2010b) dan disesuaikan dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia tahun 2009 (KBLI 2009) sebagaimana terdapat dalam BPS (2010a) dengan mendisagregasi 2 sektor terkait dengan industri pengolahan produk perikanan, yaitu sektor-59 (industri ikan kering dan ikan asin) didisagregasi menjadi 2 sektor; dan sektor-60 (industri pengolahan dan pengawetan ikan) didisagregasi menjadi 12 sektor, seperti tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Tabel Disagregasi Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Pada Tabel I-O Indonesia 2012 Updating Sesuai KBLI 2009 Kode
Sektor
S-059 Industri Ikan Kering Dan Ikan Asin 10211 Industri Penggaraman/Pengeringan Ikan 10291 Industri Penggaraman/Pengeringan Biota Air Lainnya S-060 Industri Pengolahan Dan Pengawetan Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam 10221 Kaleng 10222 Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng 10212 Industri Pengasapan Ikan 10292 Industri Pengasapan Biota Air Lainnya 10213 Industri Pembekuan Ikan 10293 Industri Pembekuan Biota Air Lainnya 10214 Industri Pemindangan Ikan 10294 Industri Pemindangan Biota Air Lainnya 10216 Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi 10217 Industri Pendinginan/Pengesan Ikan 10219 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan 10299 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Sumber : BPS, 2009 (diolah kembali) Selanjutnya 2 (dua) sektor induk lama (sektor-59 dan 60) dihilangkan dari Tabel I-O, sehingga dihasilkan Tabel I-O disagregasi dengan klasifikasi matriks 204 x 204 sektor. Selanjutnya Tabel I-O hasil disagregasi klasifikasi matriks 204 x 204 sektor diagregasi kembali menjadi klasifikasi matriks 36 x 36 sektor. Dasar dari agregasi tersebut adalah keterkaitan yang erat antar sektor tertentu serta kesatuan jenis komoditi berdasarkan pengelompokan pada keseragaman wujud fisik komoditi (BPS, 1999) khususnya yang memiliki keterkaitan dengan sektor industri pengolahan produk perikanan. Tabel I-O sektor industri pengolahan produk perikanan klasifikasi matriks 36 x 36 sektor dapat dilihat pada Tabel 5.
118
Tabel 5. Tabel I-O Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Tahun 2012 Updating Klasifikasi Matriks 36 x 36 Sektor Kode 1 2
Sektor Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan
3 Peternakan dan Hasil-hasilnya 4 5
Kehutanan
Kode Sektor 19 Industri Pendinginan/Pengesan Ikan 20 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan 21 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya 22 Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 23 Industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki 24 Industri Kayu dan Hasil Hutan lainnya 25 Industri kertas dan Barang Cetakan 26 Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 27 Industri Semen dan Bahan Galian Bukan Logam
Ikan Dan Hasil Perikanan Tangkap 6 Ikan Dan Hasil Perikanan Budidaya 7 Pertambangan dan Penggalian 8 Industri Penggaraman/Pengeringan Ikan 9 Industri Penggaraman/Pengeringan Biota Air Lainnya 10 Industri Pengolahan dan 28 Pengawetan Ikan dan Biota Air Industri Logam dasar besi dan baja (Bukan Udang) Dalam Kaleng 11 Industri Pengolahan dan 29 Industri Alat Angkutan, Mesin dan Pengawetan Udang Dalam peralatannya Kaleng 12 Industri Pengasapan Ikan 30 Industri barang lainnya 13 Industri Pengasapan Biota Air 31 Listrik, Gas dan Air Besih Lainnya 14 Industri Pembekuan Ikan 32 Konstruksi 15 Industri Pembekuan Biota Air 33 Perdagangan, Hotel dan Restoran Lainnya 16 Industri Pemindangan Ikan 34 Pengangkutan dan Komunikasi 17 Industri Pemindangan Biota Air 35 keuangan, Real estate dan Jasa Lainnya Perusahaan 18 Industri Berbasis Daging 36 Jasa-Jasa Lumatan dan Surimi Sumber: Hasil olahan Tabel IO Tahun 2012 updating (2014)
- Teknik Pemutakhiran (Updating) dan Penyeimbangan (Balanching) Pemutakhiran (updating) Tabel Input-Output (I-O) dalam penelitian ini adalah terdiri atas 36 sektor (lihat Tabel 5) pada tahun 2010 ke tahun 2012 dilakukan dengan menggunakan metode RAS (Nazara, 2005; Daryanto dan Hafizianda, 2010). Setelah proses RAS terhadap Tabel I-O, harus dilakukan proses penyeimbangan (balanching) dengan menggunakan dan Cross Entrophy (CE), sehingga diperoleh keseimbangan neraca dalam Tabel I-O tersebut. Pemutkhiran Tabel I-O dengan menggunakan metode RAS tipe tradisonal, dimana deviasi pada koefisien yang diestimasi diberi shock dengan koefisien yang menjadi target yang dilakukan dengan menggunakan formulasi sebagai berikut: 119
min z qij ln i
j
q
s.t
qij aij
ij
xij vi
ij
xij u i untuk semua i
untuk semua j ………………………………………… (8)
i
q i
qij 0
untuk semua i,j
Kemudian proses penyeimbangan (balanching) dilakukan setelah sebelumnya dilakukan proses penyelarasan (reconciled) sel-sel dalam matrik yang tersusun secara vertikal dan horizontal. Pada tahap ini, komponen impor bersainga pada sektor konsumsi rumah tangga dan permintaan akhir lainnya juga dipisahkan sehingga diperoleh matriks permintaan akhir yang berasal dari wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya untuk menyeimbangkan kedua sisi tersebut (Input dan Output) digunakan metode cross entrophy (CE). Secara empiris, selain oleh Golan, et al. (1994) dalam Robinson, et al. (1998) dan Robinson and El-Said (2000) metode disgargeasi dan keseimbangan neraca dengan menggunakan metode Cross Entrophy (CE) seperti di atas telah cukup banyak digunakan di Indonesia, seperti oleh Sugiyono (2009), Mulyono (2010), dan Kementrian PU dan BPS (2011). Metode Cross-Entropy merupakan perluasan dari metode RAS, dimana metode Cross-Entropy lebih fleksibel dan unggul untuk mengestimasi SAM ketika data scattered (tersebar) dan tidak konsisten. Sementara itu metode RAS mengasumsikan bahwa estimasi dimulai dari suatu Tabel Input – Output terdahulu yang konsisten dan hanya mengetahui tentang total baris dan kolom. Sementara, kerangka Cross-Entropy mengacu pada rentang informasi terdahulu yang lebih luas untuk digunakan secara efisien dalam estimasi (Robinson et al., 1998). Ada dua pendekatan yang digunakan dalam penerapan model Cross-Entropy, yaitu pendekatan deterministik dan pendekatan stokastik. Pendekatan deterministik digunakan apabila terdapat ketergantungan yang bersifat fungsional antara satu peubah dengan peubah lainnya. Sedangkan pendekatan stokastik digunakan apabila terdapat ketergantungan yang bersifat random antara satu peubah dengan peubah lainnya (Robinson et al., 1998; Robinson dan El-Said, 2000). Metode keseimbangan neraca dengan CE yang telah digunakan oleh Golan, et al. (1994) dalam Robinson, et al. (2000) untuk mengestimasi matriks koefisien pada tabel Input-Output. Ide yang disampaikan adalah bagaimana caranya memperoleh matriks koefisien teknis (A) dengan meminimumkan jarak entropy antara koefisien A pada matriks sebelumnya dan matriks koefisien yang baru hasil estimasi, atau secara matematik hal tersebut dapat disampaikan sebagai berikut (Golan, et al., 1994 dalam Robinson, et al., 2000):
Aij min Aij ln ........................................................................................... (9) Aij i j atau, = min Aij ln Aij Aij ln Aij i j i j dengan kendala:
AY ij
* j
Yi*
j
A
ij
1
j
dimana:
Aij
= matriks koefisien A sebelumnya 120
Aij = matriks koefisien A estimasi yang akan menghasilkan Tabel IO yang seimbang Y*
= matriks vektor kolom output i dan j = sektor i dan sektor j
Melalui estimasi dengan metode CE akan diperoleh matriks Tabel I-O 2012 yang dihasilkan dari proses pemutakhiran (updating) mengikuti I-O 2010, dimana jumlah output dan input seharusnya sama. Matriks I-O yang baru ini harus dikoreksi, oleh karena bisa saja terdapat nilai-nilai yang tidak logis sesuai dengan kondisi objektif perekonomian. Dalam hal ini setiap sel yang ada dalam I-O akan diamati, sehingga untuk angka yang tampak tidak logis (misalnya terlalu besar atau kecil, dan atau sebenarnya nilai tersebut harus tidak ada) dilakukan pengecekan ulang dengan menggunakan sumber informasi lain. Agar syarat keseimbangan I-O (Tabel I-O 2012) dapat dipertahankan, setelah proses koreksi selesai dilakukan, maka dilakukan kembali perhitungan atau berulang kali (iterasi) menggunakan metode CE. Ada kemungkinan tahapan ini dilakukan berulang kali (iterasi), sehingga diperoleh keseimbangan antara output dan input untuk masing-masing neraca yang logis. Skenario Simulasi Penelitian Dalam penelitian ini, dilakukan simulasi dengan mengasumsikan bahwa pemerintah memberikan insentif berinvestasi bagi investor yang ingin mengembangkan industri pengolahan produk perikanan untuk mendorong produktivitas, nilai tambah, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Selanjutnya pasar merespon dengan terjadinya peningkatan permintaan akhir berupa peningkatan nilai investasi di sektor industri pengolahan produk perikanan di Indonesia. Simulasi dilakukan dengan memberikan injeksi sebesar 80% dari nilai awal permintaan akhir investasi pada ke-14 sub sektor industri pengolahan produk perikanan. Analisis dilakukan dengan memberikan injeksi sebesar 100% dari nilai awal permintaan akhir investasi (kolom 309 dalam Tabel I-O) pada ke-14 sub sektor industri pengolahan produk perikanan. Dalam anailsis simulasi ini diasumsikan bahwa koefisien teknologi tetap sehingga indeks keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan serta angka pengganda tidak mengalami perubahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Investasi Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Investasi sektor industri pengolahan produk perikanan dilakukan melalui program penanaman modal usaha yang diselenggarakan oleh KKP melalui Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Ditjen P2HP). Berdasarkan Permen KP Nomor Per.18/MEN/2006 tentang usaha pengolahan produk perikanan dikategorikan menjadi skala mikro, skala kecil, skala menengah dan skala besar. Perbedaan skala usaha tersebut ditetapkan berdasarkan parameter omset, aset, jumlah tenaga kerja, status hukum dan perizinan. Industri pengolahan produk perikanan di Indonesia masih didominasi oleh industri skala kecil dan rumah tangga yang bersifat informal sehingga data investasi yang tercatat hanya berasal dari industri skala besar. Dari data nilai realisasi investasi sektor industri pengolahan produk perikanan yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa investasi dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) selama periode tahun 2008 hingga 2012 sangat fluktuatif. Pada PMDN terjadi penurunan investasi yang sangat drastis hingga 90,5% pada tahun 2009 dengan nilai investasi menjadi 5.262 ribu dolar, dari tahun sebelumnya sebesar 55.230 ribu dolar. Namun kemudian juga terjadi lonjakan investasi yang sangat tinggi pada tahun 2011 dengan nilai mencapai 342.908 ribu dolar. Hal serupa juga terjadi pada PMA dimana terjadi penurunan investasi sebesar 70,5% pada tahun 2011 dengan nilai investasi 121
sebesar 14.939 ribu dolar, dari tahun sebelumnya sebesar 60.859 ribu dolar. Sedangkan total jumlah realisasi proyek pada periode tahun 2008 hingga 2012 dari sumber PMDN sebanyak 25 unit dan PMA sebanyak 89 unit seperti yang terlihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Tahun 2008 – 2012 Tahun
Proyek
2008 2 2009 1 2010 4 2011 7 2012 11 Sumber : BKPM, 2014
PMDN (US$ Ribu) 55,230 5,262 28,404 342,908 235,406
Proyek 5 5 22 31 26
PMA (US$ Ribu) 6,295 26,144 60,859 14,939 37,975
Adanya fluktuasi nilai investasi yang terjadi pada sektor industri pengolahan produk perikanan tersebut sangat dimungkinkan oleh adanya pengaruh dari kebijakan pemerintah dalam hal penanaman modal. Selain itu berbagai kendala seperti minimnya infrastruktur, birokrasi dan tingginya biaya transaksi dalam mengurus perizinan juga sangat berpengaruh dalam menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut. Seiring dengan terjadinya kelangkaan pada sumber-sumber modal, maka investasi industri pengolahan produk perikanan harus efisien. Dimana, pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan mengacu pada sektor-sektor yang mempunyai indeks Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang rendah. Diharapkan dari besaran indeks ICOR yang rendah tersebut, maka investasi yang diperlukan akan menghasilkan output yang semakin besar pada sektor industri pengolahan produk perikanan dan sektor hulunya (periakanan tangkap dan budidaya) serta sektor terkait lainnya. Menurut Budiharsono (2001) untuk jenis industri pengolahan produk perikanan urutan investasi berturut-turut adalah: 1) Industri pengolahan dan pengawetan lainnya untuk ikan dan biota air lainnya seperti tepung ikan, kecap ikan, tepung udang dan sejenisnya (ICOR = 2,965); 2) Industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya seperti sardencis, udang dan sejenisnya (ICOR = 3,45); 3) Industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya seperti ikan tembang, teri, udang cumi-cumi dan sejenisnya; dan 4) Industri pemindangan ikan dan biota air lainnya seperti bandeng, tongkol dan sejenisnya (ICOR = 4,56). Selain itu berdasarkan hasil studi DEKIN (2012), pelaku investasi pada industri pengolahan produk perikanan sebaiknya diarahkan pada investor swasta nasional dan bekerjasama dengan pemerintah daerah. Namun demikian tidak menutup kemungkinan dimasa depan akan terjadi berbagai kombinasi kerjasama antar pelaku investasi untuk meningkatkan pembangunan di sektor industri pengolahan produk perikanan di Inonesia.
Analisis Dampak Peningkatan Investasi Dalam penelitian ini, diasumsikan pemerintah memberikan insentif berinvestasi bagi investor yang ingin mengembangkan industri pengolahan produk perikanan untuk mendorong produktivitas, nilai tambah, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Selanjutnya pasar merespon dengan terjadinya peningkatan permintaan akhir berupa peningkatan nilai investasi di sektor industri pengolahan produk perikanan di Indonesia. Skenario yang digunakan dalam simulasi penelitian ini adalah bahwa n 122
dilakukan simulasi dengan skenario bahwa pada kondisi awal total investsi pada tahun 2012 di sektor industri pengolahan produk perikanan sebesar Rp328.057,2 juta dan setelah dilakukan injeksi sebesar 100%, investasi meningkat menjadi sebesar Rp656.114,4 juta. Akibat peningkatan investasi di sektor industri pengolahan produk perikanan tersebut akan berdampak pada peningkatan nilai output, NTB, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja seluruh sektor dalam perekononomian Indonesia. Penjelasan produk simulasi pada masing-masing dampak tersebut tertera ada Tabel 6, Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9. Dampak terhadap Output Ekonomi Hasil simulasi peningkatan investasi sebesar 100% pada industri pengolahan produks perikanan ditunjukkan pada Tabel 7. Berdasarkan hasil simulasi tersebut diketahui bahwa kebijakan peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan sebesar 100%, berdampak terhadap terjadi peningkatan nilai output perekonomian nasional sebesar Rp107,97 triliun atau 0,83%. Adanya peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan memberi dampak langsung pada peningkatan output. Kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan merupakan sektor yang mengalami peningkatan terbesar yaitu sebesar 49,64% dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya yaitu hanya sebesar 1,22% dalam perekonomian nasional. Tabel 7. Analisis Dampak Peningkatan Investasi sebesar 100% Pada Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan terhadap Perubahan Output Ekonomi Indonesia, 2012 Kode Sektor I. Sektor-sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan 1 Industri Penggaraman/ Pengeringan Ikan 2 Industri Penggaraman/ Pengeringan Biota Air Lainnya 3 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng 4 Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng 5 Industri Pengasapan Ikan 6 Industri Pengasapan Biota Air Lainnya 7 Industri Pembekuan Ikan 8 Industri Pembekuan Biota Air Lainnya 9 Industri Pemindangan Ikan 10 Industri Pemindangan Biota Air Lainnya 11 Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi 12 Industri Pendinginan/Pengesan Ikan 13 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan 14 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Jumlah II. Sektor-sektor Selain Industri Pengolahan Produk Perikanan (Sektor 1-8 dan 22-36)
Perubahan Juta Rp. Persen 11.873.535 11.571.696 10.927.580
66,84 61,89 49,17
3.024.991
48,40
225.271 7.561 7.801.989 13.123.355 591.942 77.411 396.476 52.931 2.303.652 311.598
50,30 46,46 51,11 44,53 47,24 45,30 46,85 43,37 48,98 44,53
62.289.989 45.684.270
49,64 1.22
107.974.25 9 Sumber: Hasil Pengolahan Tabel Input-Output Tahun 2012 Updating (2014) Keterangan: *) perbedaan dari kondisi sebelum dan sesudah adanya perubahan permintaan akhir III. Total Sektor dalam Perekonomian Nasional
0.83
123
Pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, dampak peningkatan output terbesar akibat adanya peningkatan investasi terjadi pada sub sektor-8 dan diikuti sektor-9 (industri penggaraman/pengeringan ikan dan industri penggaraman/pengeringan biota air lainnya), dengan peningkatan output masing-masing sebesar Rp11.873.535 juta atau 66,84%, dan sebesar Rp11.571.696 atau 61,89%. Sedangkan selain pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan terdapat 2 sektor dengan dampak peningkatan output terbesar, yaitu sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dengan peningkatan nilai output sebesar Rp15.864.668 juta atau 14,20%. Selanjutnya sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) dengan peningkatan output sebesar Rp13.916.116 juta atau 10,79%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan akan berdampak luas pada peningkatan output pada sektor-sektor dalam perekonomian Indonesia. Dari adanya simulasi peningkatan investasi ini, selain berdampak langsung pada intra sektor industri pengolahan produk perikanan, juga berdampak pada sektor lainnya yang terkait dengan industri pengolahan produk perikanan. Sektor tersebut adalah sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) sebagai sektor hulu dari sektor industri pengolahan produk perikanan. Kedua sektor tersebut merupakan sektor pendorong bagi kemajuan industri pengolahan produk perikanan sebagai penyedia input produksinya. Dampak terhadap Nilai Tambah Bruto Hasil simulasi pada Tabel 8 menunjukkan bahwa dengan adanya kebijakan peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan, terjadi peningkatan nilai tambah bruto (NTB) perekonomian nasional sebesar Rp61,64 triliun atau 0,48%, dengan kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan merupakan sektor yang mengalami peningkatan terbesar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian nasional. Akibat peningkatan investasi tersebut, NTB kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan meningkat sebesar 20,80%, sedangkan kelompok sektor lainnya meningkat sebesar 1%. Pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, dampak peningkatan NTB terbesar akibat adanya peningkatan investasi terjadi pada sub sektor-8 (industri penggaraman/pengeringan ikan) dengan peningkatan NTB sebesar Rp5.720.896 juta atau 32,21%. Selanjutnya diiikuti sektor-9 (industri penggaraman/pengeringan biota air lainnya) dengan peningkatan NTB sebesar Rp5.575.465 juta atau sebesar 29,83%. Di samping kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, terdapat 2 sektor dengan dampak peningkatan NTB terbesar, yaitu sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dengan peningkatan NTB sebesar Rp13.514.479 juta atau 12,1%. Selanjutnya sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) dengan peningkatan NTB sebesar Rp11.575.024 juta atau 8,98%. Berdasarkan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan akan berdampak luas pada peningkatan NTB pada sektor-sektor dalam perekonomian Indonesia. Dari adanya simulasi peningkatan investasi ini, selain berdampak langsung pada intra sektor industri pengolahan produk perikanan, juga berdampak pada sektor lainnya yang terkait dengan industri pengolahan produk perikanan. Sektor tersebut adalah sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) sebagai sektor hulu dari sektor industri pengolahan produk perikanan. Kedua sektor tersebut merupakan sektor pendorong bagi kemajuan industri pengolahan produk perikanan sebagai penyedia input produksinya.
124
Tabel 8. Analisis Dampak Peningkatan Investasi sebesar 100% Pada Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan terhadap Perubahan Nilai Tambah Bruto Indonesia, 2012 Kode Sektor I. Sektor-sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan 1 Industri Penggaraman/ Pengeringan Ikan 2 Industri Penggaraman/ Pengeringan Biota Air Lainnya 3 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng 4 Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng 5 Industri Pengasapan Ikan 6 Industri Pengasapan Biota Air Lainnya 7 Industri Pembekuan Ikan 8 Industri Pembekuan Biota Air Lainnya 9 Industri Pemindangan Ikan 10 Industri Pemindangan Biota Air Lainnya 11 Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi 12 Industri Pendinginan/Pengesan Ikan 13 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan 14 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Jumlah II. Sektor–sektor selain Industri Pengolahan Produk Perikanan (Sektor 1-8 dan 22-36) III. Total Sektor dalam Perekonomian Nasional
Perubahan (Juta Rp) Persen 5.720.896 5.575.465 4.416.519
32,21 29,83 19,86
1.222.588 91.046 3.056 3.153.271 5.303.968 239.241 31.287 160.240 21.393 931.050 125.937
19,88 20,35 18,78 20,66 18,00 19,09 18,31 18,94 17,53 19,80 18,00
26.995.958 34.648.002
20,80 1,00
61.643.960
0.48
Sumber: Hasil Pengolahan Tabel Input-Output Tahun 2012 Updating (2014) Keterangan: *) perbedaan dari kondisi sebelum dan sesudah adanya perubahan permintaan akhir Dampak terhadap Pendapatan Masyarakat Peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan memberi dampak langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat. Tabel 9 menunjukkan bahwa dengan adanya kebijakan peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan sebesar 100%, terjadi peningkatan nilai pendapatan masyarakat secara nasional sebesar Rp11,33 triliun atau 0,09%. Dalam peningkatan tersebut, kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan merupakan sektor yang mengalami peningkatan terbesar yaitu sebesar 2,83% dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya yaitu sebesar 0,20%. Untuk kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, dampak peningkatan pendapatan masyarakat terbesar akibat adanya peningkatan investasi sebesar 100% terjadi pada sub sektor-8 dan diiukuti sektor-9 (sektor industri penggaraman/pengeringan ikan dan sektor industri penggaraman/pengeringan biota air lainnya), masing-masing dengan peningkatan pendapatan masyarakat sebesar Rp818.195 juta atau 4,6% dan sebesar Rp797.395 atau sebesar 4,26%. Selain pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan terdapat 2 sektor dengan dampak peningkatan pendapatan masyarakat terbesar, yaitu sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan diikuti sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya), dengan peningkatan pendapatan masing-masing sebesar Rp2.534.973 juta atau 2,28% dan sebesar Rp2.381.598 atau sebesar 1,85%. Memperhatikan beberapa temuan dari hasil simulasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan akan berdampak luas pada peningkatan pendapatan masyarakat pada sektor-sektor dalam perekonomian Indonesia. Dari adanya simulasi peningkatan investasi ini, selain berdampak 125
langsung pada intra sektor industri pengolahan produk perikanan, juga berdampak pada sektor lainnya yang terkait dengan industri pengolahan produk perikanan. Sektor tersebut adalah sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) sebagai sektor hulu dari sektor industri pengolahan produk perikanan. Kedua sektor tersebut merupakan sektor pendorong bagi kemajuan industri pengolahan produk perikanan sebagai penyedia input produksinya. Tabel 9. Analisis Dampak Peningkatan Investasi Pada Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Terhadap Perubahan Pendapatan Masyarakat Indonesia, 2012 Kode Sektor I. Sektor-sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan 1 Industri Penggaraman/ Pengeringan Ikan 2 Industri Penggaraman/ Pengeringan Biota Air Lainnya 3 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng 4 Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng 5 Industri Pengasapan Ikan 6 Industri Pengasapan Biota Air Lainnya 7 Industri Pembekuan Ikan 8 Industri Pembekuan Biota Air Lainnya 9 Industri Pemindangan Ikan 10 Industri Pemindangan Biota Air Lainnya 11 Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi 12 Industri Pendinginan/Pengesan Ikan 13 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan 14 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Jumlah II. Sektor-sektor selain Industri Pengolahan Produk Perikanan (Sektor 1-8 dan 22-36) IV. Total Sektor dalam Perekonomian Nasional
Perubahan (Juta Rp.) Persen 818.195 797.395 591.436
4,60 4,26 2,67
163.722
2,67
12.193 409 422.269 710.279 32.038 4.190 21.458 2.865 124.681
2,73 2,52 2,77 2,42 2,56 2,46 2,54 2,35 2,66
16.865
2,42
3.717.995 7.607.173
2,83 0,20
11.325.169
0,09
Sumber: Hasil Pengolahan Tabel Input-Output Tahun 2012 Updating (2014) Keterangan: *) perbedaan dari kondisi sebelum dan sesudah adanya perubahan permintaan akhir Dampak terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Hasil simulasi peningkatan investasi untuk pengembangan industri pengolahan produk perikanan memberi dampak langsung pada peningkatan penyerapan tenaga kerja (lihat Tabel 10). Berdasarkan hasil simulasi tersebut, diketahui bahwa kebijakan pengembangan industri pengolahan produk perikanan melalui peningkatan investasi sebesar 100% berdampak terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja sebanyak Rp503 ribu orang atau 0,004%. Dalam peningkatan tersebut, kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan merupakan sektor yang mengalami peningkatan terbesar (0,16%) dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya (0,003%) perekonomian nasional. Pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, dampak peningkatan penyerapan tenaga kerja terbesar akibat adanya peningkatan investasi sebesar 100% tersebut, terjadi pada sub sektor-8 (industri penggaraman/pengeringan ikan), dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebanyak 29.311 ribu orang atau 0,16%. Selanjutnya diikuti oleh 126
sektor-9 (industri penggaraman/pengeringan biota air lainnya) dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebanyak 17.673 ribu orang atau 0,1%. Sedangkan selain pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, terdapat 2 sektor dengan dampak peningkatan penyerapan tenaga kerja terbesar, yaitu sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebanyak 110.500 ribu orang atau 0,1%. Selanjutnya sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebanyak 96.929 ribu orang atau 0,08%.
Tabel 10. Analisis Dampak Peningkatan Investasi Pada Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Terhadap Perubahan Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia, 2012 Kode Sektor I. Sektor-sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan 1 Industri Penggaraman/ Pengeringan Ikan 2 Industri Penggaraman/ Pengeringan Biota Air Lainnya 3 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng 4 Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng 5 Industri Pengasapan Ikan 6 Industri Pengasapan Biota Air Lainnya 7 Industri Pembekuan Ikan 8 Industri Pembekuan Biota Air Lainnya 9 Industri Pemindangan Ikan 1 Industri Pemindangan Biota Air Lainnya 0 1 Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi 1 1 Industri Pendinginan/Pengesan Ikan 2 1 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan 3 1 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air 4 Lainnya Jumlah V. Sektor-sektor selain Industri Pengolahan Produk Perikanan (Sektor 1-8 dan 22-36) VI. Total Sektor dalam Perekonomian Nasional
Perubahan Orang Persen 29.311 17.673 16.664
0,16 0,10 0,08
3.649 443 61 21.061 22.111 1.857 863
0.06 0,10 0,37 0,13 0,08 0,15 0,50
828
0,10
109
0,09
7.183
0,15
1.624
0,23
123.435 380.376
0,16 0,003
503,811
0.004
Sumber: Hasil Pengolahan Tabel Input-Output Tahun 2012 Updating (2014) Keterangan: *) perbedaan dari kondisi sebelum dan sesudah adanya perubahan permintaan akhir Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengembangan industri pengolahan produk perikanan Indonesia yang dilakukan dengan menggunakan instrumen peningkatan investasi sebesar 100% pada sektor industri pengolahan produk perikanan akan berdampak luas pada peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor-sektor dalam perekonomian Indonesia. Simulasi pengembenagan industri pengolahan produk perikanan melalui peningkatan investasi ini, selain berdampak langsung pada intra sektor industri pengolahan produk perikanan, juga berdampak pada sektor lainnya yang terkait dengan industri pengolahan produk perikanan. Sektor tersebut adalah sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya) sebagai sektor hulu 127
dari sektor industri pengolahan produk perikanan. Kedua sektor tersebut merupakan sektor pendorong bagi kemajuan industri pengolahan produk perikanan sebagai penyedia input produksinya.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Berdasarkan analisis dampak simulasi peningkatan investasi pada sektor industri pengolahan produk perikanan akan meningkatkan output perekonomian sebesar Rp107,98 triliun atau 0,83%; peningkatan nilai tambah bruto (NTB) sebesar Rp61,64 triliun atau 0,48%; peningkatan pendapatan masyaraat sebesar Rp11.33 triliun atau 0,09% dan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebanyak 503 ribu orang atau 0,004%. Pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, subsektor yang mengalami dampak peningkatan terbesar adalah sub sektor-9 (industri penggaraman/ pengeringan biota air lainnya). Sedangkan sektror lain dengan dampak terbesar dirasakan oleh sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya). Dalam peningkatan tersebut, kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan merupakan sektor yang mengalami peningkatan terbesar baik terhadap output ekonomi, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja dibandingkan dengan sektorsektor lainnya. Pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, dampak terbesar baik terhadap output ekonomi, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja peningkatan terjadi pada sektor-8 (industri penggaraman/pengeringan ikan) dan pada sektor-9 (industri penggaraman/pengeringan biota air lainnya). Di samping itu, selain pada kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan, terdapat 2 sektor dengan dampak yang besar terhadap output ekonomi, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, yaitu sektor-5 (ikan dan produk perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan produk perikanan budidaya). Implikasi Kebijakan Untuk itu, sudah semsetinya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) secara sungguh-sungguh melakukan dan mendorong upaya pengembangan industri pengolahan produk perikanan Indonesia ke depan baik di lingkup KKP maupun secara sinergi dengan Lembaga Kementerian (LK) lainnya, khususnya yang ditujukan bagi peningkatan investasi secara siignifikan, seperti dengan memberikan berbagai iklim investasi yang kondusif berupa kemudahan-kemudahan serta program dan kegiatan bagi peningkatan kapasitas para pelaku usaha dan kinerja organisasi (perusahaan) yang tekaitt. .
DAFTAR PUSTAKA Bendavid, V.A. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practitioners Fourth Eddition, London, Praeger. [BKPM] Badan Kordinasi Penanaman Modal. 2014. Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) Sektor Industri di Indonesia Tahun 2008 -2014. Pusat Pengolahan Data dan Informasi (PUSDATIN), BKPM. Jakarta. Budiharsono. 2001. Dampak Investasi Sektor Kelautan dan Perikanan Terhadap Perkembangan Ekonomi Nasional. Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1999. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output, BPS, Jakarta. 128
---------. 2010a. KBLI 2009 : Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, Cetakan III, BPS, Jakarta. ---------. 2008. Tabel Input Output Indonesia tahun 2005, Jilid/Volume 2, BPS, Jakarta. ---------. 2010b. Statistik Industri 2010, BPS, Jakarta. ---------. 2014. Pendapatan Masyarakat Nasional Indonesia: National Income of Indonesia, BPS, Jakarta. Chenery, H.B., Robinson, S dan Syrquin M. 1986. Industrialization and Growth : A Comparative Study. Oxford University Press for World Bank. Daryanto, A. dan Y. Hafizianda. 2010. Analisis Input-Output dan Social Accounting Matrix untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. IPB Press. Bogor. [DEKIN] Dewan Kelautan Indonesia. 2012. Analisis Input-Output Bidang Kelautan Terhadap Pembangunan Nasional, Laporan Akhir, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. [FEUI] Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2010. Modul Analisis Input-Output. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. [Permen KP]. 2006. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.18/MEN/2006 tentang Usaha Pengolahan Hasil Perikanan Dikategorikan Menjadi Skala Mikro, Skala Kecil, Skala Menengah Dan Skala Besar. KKP. Jakarta. Robinson, S. and M. El-Said. 2000. Upadating and Estimating a Social Accounting Matrix Using Cross Entropy Methods. TMD Discussion Paper No. 58. International Food Policy Research Institute, Washington D.C. Robinson, S., A. Cattaneo and M. El-Said. 1998. Estimating a Social Accounting Matrix Using Cross Entropy Methods. TMD Discussion Paper No. 33. International Food Policy Research Institute, Washington D.C. Sugiyono, A. 2009. Dampak Kebijakan Energi terhadap Perekonomian Indonesia: Model Komputasi Keseimbangan Umum. Disertasi. Tidak dipublikasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2012. KKP, Jakarta. Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan BPS. (2011). Pengembangan Satelit Account Sektor Kontruksi Tahun 2011. Kementerian PU. Jakarta [Kemenperin] Kemeterian Perindustrian. 2014a. Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 20152035. Kemenperin, Jakarta. [Kemenperin] Kemeterian Perindustrian. 2014b. Kebijakan Pengembangan Hilirisasi Industri Panan Berbasis Perikanan Berkelanjutan. Kemenperin. Jakarta. Mankiw, N. G. 2006. Makroekonomi (Terjemahan). Edisi Keenam. Penerbit Erlangga. Jakarta. 129
Miller, R.E. and Blair, P.D. 2009. Input-Output Analysis: Foundations and Extensions, 2ndEdition, Cambridge University Press. New York. Mulyono, S. 2010. Dampak Pembangunan Infrastruktur Jalan terhadap Perekonomian dan Distribusi Pendapatan Intra dan Interregionnal Kawasan Barat dan Timur Indonesia : Suatu analisis Model Interregional Social. Disertasi. Tidak dipublikasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nazara. S. 2005. Analisis Input-output. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia : Jakarta. Nazir, M. 2011. Metode Penelitian, Cetakan ketujuh, Ghalia Indonesia, Bogor. Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan: Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan? Feraco, Jakarta. [Permen KP]. 2014. Nomor. 27/MEN/2012 tentang Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan dan Perikanan. KKP. Jakarta. [Permen Perin]. 2009. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 120/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Ikan. Kemeterian Perindustrian, Jakarta. Sunoto.
2012. Industrialisasi Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
West, G.R., and Jensen, R.C. 1992. An Interregional Input-Output Table for Queensland 1978/79: GRIT III. Report to the Department of Commercial and Industrial Development. Department of Economics. University of Queensland, St. Lucia. Wolsky, A.M. 1984. Disaggregating Input-Output Models. The Review of Economics and Statistics, Journal. Vol. 66, No. 2 (May, 1984), pp. 283-291. The MIT Press.
130
131
LAMPIRAN 3 NASKAH KARYA TULIS ILMIAH (KTI) 3: SIMULASI DAMPAK EKONOMI “DEINDUSTRILASI” USAHA PENGOLAHAN PRODUK PERIKANAN INDONESIA (Analisis Pendekatan Model Input-Output) ABSTRAK Pengintegrasian secara vertikal antara kegiatan usaha kelompok perikanan primer (perikanan tangkap dan perikanan budidaya) dengan perikanan sekunder (industri pengolahan produk perikanan) sangat penting. Untuk menangkap seberapa besar peranan sektor industri pengolahan produk perikanan bagi perekonomi Indonesia, telah dilakukan penelitian yang bertujuan menganalisis dampak ekonomi simulasi dampak ekonomi “deindustrialisasi” usaha pengolahan produk perikanan Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari sumber BPS berupa Tabel Input-Output Tahun 2012 hasil pemutakhiran. Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan model input-output melalui metode ekstraksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak ekonomi dari simulasi deindustrialisasi usaha pengolahan produk perikanan dapat dilihat dari penurunan nilai koefisien keterkaitan, angka pengganda dan dampak terhadap kinerja perekonomian nasional seluruh sektor. Dampak terhadap penurunan keterkaitan seluruh sektor terlihat dari penurunan daya penyebaran (keterkaitan ke belakang total) berkisar -0,0009 hingga -0,0454 dan penurunan derajat kepekaan (keterkaitan ke depan total) berkisar -0,0028 hingga -3,8913. Dampak terhadap angka pengganda terlihat dari penurunan angka pengganda output sebsar -0,82%, nilai tambah bruto sebesar -0,47%, pendapatan masayarakat sebesar -0,09% dan penyerapan tenaga kerja sebesar -0,004%. Kemudian dampak terhadap perekonomian nasional terlihat dari penuruanan output ekonomian nasional sebesar -0,82% (-Rp107,9 trilyun), nilai tambah bruto sebesar -0,47% (-Rp61,6 trilyun), pendapatan masyarakat sebesar sebesar -0,09% (-Rp11,3 trilyun) dan penyerapan tenaga kerja sebesar -0,004% (-503.812 orang). Untuk itu, pemerintah perlu terus menjamin keberlangsungan sektor industri pengolahan produk perikanan untuk dapat terus berproduksi melalui berbagai dukungan program dan kebijakan, seperti program kemitraan dan integrasi hulu-hilir guna menjamin ketersediaan bahan baku, pembangunan kawasan industri pengolahan ikan di daerah potensial perikanan serta dukungan pengembangan inovasi teknologi pengolahan produk perikanan.
Kata Kunci : “Deindustrialisasi”, Usaha Pengolahan Produk Perikanan, Metode Ekstraksi
PENDAHULUAN Saat ini Indonesia telah menjadi salah satu negara produsen utama perikanan dunia, disamping Tiongkok, Peru, Amerika Serikat dan beberapa negara kelautan lainnya. Produksi perikanan tangkap Indonesia pada tahun 2010 hingga 2011 berada pada peringkat ke-3 dunia dengan produksi sebesar 5.708 ribu ton dan pada tahun 2012 posisinya naik menjadi peringkat ke-2 dunia setelah Tiongkok dengan produksi sebesar 5.814 ribu ton serta kenaikan rata-rata produksi per tahun mencapai 27% sejak tahun 2003. Selain itu, Indonesia juga berkontribusi sebesar 4,6% dalam produksi perikanan budidaya dunia. Sampai dengan tahun 2012 produksi perikanan budidaya Indonesia berada pada urutan ke-4 dunia dengan total produksi sebesar 3.068 ribu ton (FAO, 2014). Secara makro, posisi Indonesia tersebut telah mampu mampu meningkatkan kinerja PDB sektor perikanan selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 yang mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 5,57% per tahun. Pertumbuhan PDB sektor perikanan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata kelompok usaha pertanian secara total yaitu sebesar 3,45% per tahun maupun pertumbuhan PDB nasional dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5,55% per tahun. Tren data ini menunjukkan bahwa di masa depan, sektor perikanan sangat berpotensi menjadi kontributor tertinggi dalam pembentukan PDB dibandingkan dengan sektor lainnya dalam kelompok usaha pertanian (Balitbang KP, 2014).
132
Lebih jauh lagi, McKinsey Global Institute (2012), menyebutkan bahwa pada tahun 2030 ekonomi Indonesia diprediksi akan menempati posisi ketujuh dunia dan akan mengungguli negara-negara eropa seperti Jerman dan Inggris. Perekonomian Indonesia diprediksi akan ditopang empat sektor utama yaitu bidang jasa, pertanian, perikanan serta sumber daya alam. Sedangkan dari sisi preferensi ketersediaan pangan tampaknya akan mengalami pergeseran pola pikir menuju pola makan sehat dari daging merah ke daging putih atau ikan. Guna menjaga posisi perikanan Indonesia tersebut, khususnya terkait produsen perikanan dunia dan perannya dalam menopang perekonomian, maka pemerintah terus mendorong pengembangan industri produk perikanan agar dapat meningkatkan nilai tambah dari total kegiatan usaha perikanan Indonesia dan perdagangan internasional (ekspor) produk perikanan Indonesia (Sunoto. 2012). Upaya pemerintah tersebut, diantaranya tercermin dari perkembangan unit pengolahan ikan (UPI) di Indonesia. Jumlah industri pengolahan produk perikanan berupa UPI pada tahun 2010 sebanyak 60.117 unit. UPI tersebut tersebar di Jawa Timur sebanyak 10.640 unit, Jawa Tengah 8.350 unit, Jawa Barat 5.966 unit, Kalimantan Selatan 3.660 unit, dan Nusa Tenggara Barat 3.550 unit. Sedangkan pada tahun 2012 jumlah UPI telah meningkat sebesar 6,5% menjadi 64.028 unit serta telah mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1.352.936 orang dengan rata-rata pekerja sejumlah 21 orang per UPI. Demikian pula dalam perdagangan internional (ekspor), pemerintah telah berhasil mendorong kontribusi sektor perikanan pada devisa negara sehingga berada pada peringkat kelima nasional. Meskipun lebih banyak diekspor dalam bentuk bahan mentah (produk ikan segar), tercatat bahwa ekspor hasil perikanan pada saat ini telah mengarah pada produksi bernilai tambah (melalui proses pengolahan), dengan pertumbuhan pada periode tahun 2011 hingga 2012 sebesar 11,62% (KKP, 2013). Melihat posisi dan peran perikanan tersebut, menunjukkan bahwa Industrialisasi perikanan Indonesia sangat prospektif untuk terus dikembangkan. Namun demikian, pengembangan industri perikanan sebagai upaya meningkatkan nilai tambah tidak mungkin hanya mengandalkan sumber daya yang melimpah, tetapi sangat perlu didukung oleh pengembagang industri hilir berupa industri pengolahan hasil perikanan. Pengintegrasian secara vertikal antara kegiatan usaha di kelompok perikanan primer (baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya) sebagai penyedia bahan baku dengan kelompok perikanan sekunder (industri pengolahan produk perikanan) sangatlah penting. Dengan demikian bila sektor perikanan dikembangkan maka dengan sendirinya sektor industri pengolahan hasil perikanan sebagai kelompok perikanan sekunder akan juga berkembang. Sebaliknya bila perikanan sekunder tersebut dikembangkan, maka perikanan primer juga akan berkembang. Kurangnya mengintegrasikan kedua kelompok perikanan tersebut diduga menjadi salah satu penyebab penurunan utilitas dan kapasitas produksi dari kelompok perikanan sekunder, bahkan hilangnya potensi peneriman baik di sektor privat maupun publik. Hubungan simbiosis yang terjadi dari kedua kelompok perikanan tersebut, pada gilirannya dapat menumbuhkan derajat sinergis dalam meningkatkan produktivitas dan kontribusi nilai tambah secara keseluruhan bagi perekonomian nasional (Nikijuluw, 2005). Adanya pengembangan hilirisasi produksi perikanan dengan meningkatkan output industri pengolahan hasil perikanan diharapkan dapat menjadi motor utama penggerak produktivitas di sektor perikanan serta dapat berkontribusi bagi sektor lainnya dalam perekonomian nasional (Sunoto, 2012; Kemenperin, 2014a) . Untuk itu diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui seberapa besar peranan industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia. Industri pengolahan hasil perikanan merupakan industri yang sangat potensial dan strategis untuk terus dikembangkan di masa mendatang karena sektor ini sangat didukung oleh adanya ketersediaan sumber daya alam perikanan, sumber daya manusia di bidang perikanan serta peluang pasar domestik dan internasional yang sangat besar. Di dalam rancangan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 (Kemenperin, 2009; Kemenperin, 2014b), industri pengolahan hasil perikanan diposisikan sebagai salah satu industri prioritas melalui kebijakan pengembangan industri pangan 133
berbasis perikanan guna mendukung kebijakan ketahanan pangan nasional. Selain itu, untuk mendukung kebijakan nasional industrialisasi kelautan dan perikanan, pembangunan industri pengolahan hasil perikanan diarahkan untuk meningkatkan produksi, produktivitas, nilai tambah, serta daya saing komoditas dan produk perikanan guna mensejahterakan masyarakat dan pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Melalui berbagai kebijakan tersebut sangat diharapkan adanya peningkatan kontribusi secara positif dari sektor industri pengolahan hasil perikanan terhadap perekonomian Indonesia. Guna mengetahui seberapa penting peran industri pengolahan produk perikanan dalam perekonomian Indonesia. Sebagai gambaran, berapa besar output nasional akan berubah jika sektor industri pengolahan produk perikanan dihilangkan dari sistem input-output perekonomian di Indonesia. Untuk itu, telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis dampak ekonomi simulasi deindustrialisasi usaha pengolahan produk perikanan Indonesia.
METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh seorang peneliti secara tidak langsung dari objeknya, tetapi melalui sumber lain, baik lisan maupun tulis. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perindustrian dan lembaga-lembaga lain serta dari buku, internet dan literatur yang sesuai dengan penelitian ini. Data sekunder utama pada penelitian ini adalah data Tabel Input-Output Tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen dalam Tabel I-O Indonesia Tahun 2008 yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) klasifikasi 192 x 192 sektor yang dimutakhirkan (updating) ke kondisi tahun 2012, dimana sektor-sektor didalamnya telah mengalami proses disagregasi khususnya terhadap dua sektor dari kelompok industri pengolahan produk perikanan, yaitu sektor industri ikan kering dan ikan asin (S-59) yang didisagerasi menjadi sebanyak dua sektor; dan sektor industri pengolahan dan pengawetan ikan (S-060) yang didisagregasi menjadi sebanyak 12 sektor. Hasil proses disagregasi ini tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Tabel Disagregasi Sektor Industri Pengolahan produk Perikanan Pada Tabel InputOutput atas Dasar Statisitik Industri Indonesia Sesuai KBLI 2009 Kode
Sektor
S-059 10211 10291
Industri Ikan Kering aan Ikan Asin Industri Penggaraman/Pengeringan Ikan Industri Penggaraman/Pengeringan Biota Air Lainnya
S-060 10221 10222 10212 10292 10213 10293 10214 10294 10216
Industri Pengolahan aan Pengawetan Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng Industri Pengasapan Ikan Industri Pengasapan Biota Air Lainnya Industri Pembekuan Ikan Industri Pembekuan Biota Air Lainnya Industri Pemindangan Ikan Industri Pemindangan Biota Air Lainnya Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi
134
10217 Industri Pendinginan/Pengesan Ikan 10219 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan 10299 Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Sumber : BPS, 2009 (telah diolah kembali)
Proses disagregasi Tabel I-O tersebut dikonsultasikan dan dibantu oleh pihak BPS yang didasarkan atas data Statistik Industri tahun 2012 dan Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2008 yang dimutakhirkan dengan melakukan disageragsi pada sektor industri ikan kering dan ikan asin (sektor-59) dan sektor industri pengolahan dan pengawetan ikan (sektor-60) yang disesuaikan dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2009 (KBLI 2009). Setelah proses disagregasi dimana kedua sektor tersebut yang dirinci masing-masing menjadi dua sektor dan 16 sektor, sehingga dihasilkan Tabel I-O dengan klasifikasi matriks 204 x 204 sektor. Selanjutnya Tabel I-O hasil disagregasi klasifikasi matriks 204 x 204 sektor tersebut, diagregasi kembali menjadi klasifikasi matriks 36 x 36 sektor pada sektor-sektor di luar asal (sektor-59 dan sektor-60), sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Tabel I-O Indonesia Hasil Pemutakhiran Tahun 2012 Klasifikasi Matriks 36 x 36 Sektor yang digunakan dalam Penelitian Kode 1 2
Sektor Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan
3
Kode 19 20 21
Peternakan dan Hasil-hasilnya 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17 18
Kehutanan Ikan Dan Hasil Perikanan Tangkap Ikan Dan Hasil Perikanan Budidaya Pertambangan dan Penggalian Industri Penggaraman/Pengeringan Ikan Industri Penggaraman/Pengeringan Biota Air Lainnya Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng Industri Pengasapan Ikan Industri Pengasapan Biota Air Lainnya Industri Pembekuan Ikan Industri Pembekuan Biota Air Lainnya Industri Pemindangan Ikan Industri Pemindangan Biota Air Lainnya
22 23 24 25 26 27 28
29 30 31 32 33 34 35
Industri Berbasis Daging Lumatan dan 36 Surimi Sumber: Tabel I-O Indonesia yang dimutakhirkan Tahun 2012
Sektor Industri Pendinginan/Pengesan Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki Industri Kayu dan Hasil Hutan lainnya Industri kertas dan Barang Cetakan Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Industri Semen dan Bahan Galian Bukan Logam Industri Logam dasar besi dan baja Industri Alat Angkutan, Mesin dan peralatannya Industri barang lainnya Listrik, Gas dan Air Besih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi keuangan, Real estate dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
135
Metode Analisis Data Dalam penelitian ini, untuk mengetahui sejaumana dampak ekonomi yang ditimbulkan jika sektor industri pengolahan produk perikanan dihilangkan dari sistem inputoutput perekonomian di Indonesia (deindutrialisasi atau ekstraksi), dilakukan analisis data dengan menggunakan metode ekstraksi. Dalam pelaksanaannya, metode ekstraksi sepenuhnya dilakukan dengan berbasiskan pada analisis model input-output, khususnya berkaitan dengan perubahan nilai koefisien keterkaitan (ke belakang dan ke depan), angka pengganda (multiplier effect) output, nilai tambah bruto, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja; dan dampak terhadap perekonomian (Nazara, 2005; Nazara dan Rosmiansyah, 2008; Maulana, 2012). Analisis metode ekstraksi dilakukan dengan menggunakan basis analisis tabel I-O dalam model I-O. Tabel I-O memberikan informasi yang tentang transaksi barang dan jasa antar sektor yang terjadi di dalam perekonomian yang disajikan dalam bentuk matrik dalam satu periode waktu dan wilayah tertentu. Isian sepanjang baris menunjukkan bagaimana suatu sektor ekonomi dialokasikan ke sektor-sektor lain untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir, sedangkan isian dalam kolom menunjukkan pemakaian input antara dan input primer oleh suatu sektor dalam proses produksinya (BPS, 1999). Dalam suatu model input-output yang bersifat terbuka dan statis, transaksi-transaksi yang digunakan dalam penyusunannya harus memenuhi tiga asumsi dasar yaitu (Nazara, 2005; BPS, 1999): 1) Asumsi homogenitas, yaitu asumsi yang mensyaratkan bahwa setiap sektor hanya memproduksi satu jenis komoditi dan tidak ada substitusi otomatis antara berbagai sektor. 2) Asumsi proporsionalitas, yaitu asumsi yang mensyaratkan bahwa dalam proses produksi hubungan antara input dengan output merupakan fungsi linier, dimana kenaikan atau penurunan input akan berbanding lurus dengan kenaikan atau penurunan output. 3) Asumsi aditivitas, yaitu asumsi bahwa efek total pelaksanaan produksi pada Tabel I-O merupakan interaksi antar sektor yang tepisah dimana pengaruh luar diabaikan. Terdapat beberapa transaksi barang dan jasa yang dicatat Terdapat beberapa transaksi barang dan jasa yang dicatat dalam kelompok-kelompok tertentu atau dikenal dengan klasifikasi sektor. Karena Tabel I-O menggambarkan transaksi barang atau jasa maka akan dijumpai angka nol pada baris atau kolom, hal ini menggambarkan bahwa tidak semua sektor menjual atau membeli barang dan jasa dari Tabel I-O, secara sederhana dapat dijelaskan dengan menggunakan bantuan ilustrasisi Tabel 3, sebagai berikut. Tabel 3. Ilustrasi Tabel Input-Output Tiga Sektor Alokasi Output Struktur Input Input Antara Sektor 1 Sektor 2 Sektor 3 Input Primer Total Input
Permintaan Antara Sektor Produksi Kuadran I x11 x12 x13 x21 x22 x23 x31 x32 x33 Kuadran III V1 V2 V3
Penyediaan Permintaan Akhir
Impor
Jumlah Output
M1 M2 M3
X1 X2 X3
Kuadran II F1 F2 F3
Kuadran IV
X1 X2 X3
Sumber: BPS, 1999
Menurut BPS (1999), Tabel I-O menghasilkan persamaan neraca yang berimbang dimana jumlah produksi (keluaran) sama dengan jumlah masukan, yaitu: 136
n
Baris
=
x
ij
Fi M i X i
i 1,.......n
..................(3.1)
ij
Vi X j
j 1,.......n
..................(3.2)
j 1
n
Kolom =
x i 1
dimana: xij = output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Fi = permintaan akhir terhadap sektor i Vj = input primer dari sektor j Mi = impor produksi i Xi = jumlah output sektor i Xj = total input sektor j Pada dasarnya informasi Tabel I-O diklasifikasikan dalam dua kelompok Tabel yaitu pertama kelompok Tabel-Tabel dasar dimana pada penelitian ini menggunakan Tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen adalah tabel transaksi yang menggambarkan nilai transaksi barang dan jasa antar sektor ekonomi yang hanya berasal dari produksi domestik dan dinyatakan atas dasar harga produsen. Dimana transaksi margin perdagangan dan biaya pengangkutan telah dipisahkan sebagai input yang dibeli dari sektor perdagangan dan pengangkutan. Kedua adalah kelompok Tabel-Tabel analisis yang menyajikan informasi yang diturunkan dari Tabel dasar/Tabel transaksi, yang diantaranya adalah analisis keterkaitan (BPS, 1999). Analisis keterkaitan atau analisis keterkaitan antar industri digunakan untuk penyusunan prioritas atau produk unggulan sektor perekonomian untuk mencapai tujuan pembangunan. Konsep keterkaitan terdiri dari keterkaitan ke depan atau disebut juga derajat kepekaan dan tingkat keterkaitan ke belakang atau disebut juga dengan daya penyebaran. Analisis keterkaitan ke belakang merupakan keterkaitan suatu sektor yang bersumber dari sektor penyedia inputnya (hulu) yaitu dari mana asal bahan mentah ataupun bahan baku yang digunakan dalam proses produksinya melalui permintaan input. Dalam analisis keterkaitan ke belakang terbagi atas keterkaitan ke belakang langsung dan keterkaitan ke belakang total. Keterkaitan ke belakang langsung terjadi jika peningkatan permintaan akhir suatu sektor, maka akan mengakibatkan meningkatnya penggunaan input produksi sektor tersebut secara langsung. Jika efek yang ditimbulkan adalah langsung dan tak langsung maka dinamakan keterkaitan ke belakang total. Dimana angka pengganda ini juga merupakan angka pengganda output (Nazara, 2005). Di samping analisis keterkaitan ke belakang juga terdapat analisis keterkaitan ke depan yang terbagi atas keterkaitan ke depan langsung dan keterkaitan ke depan total. Analisis keterkaitan ke depan langsung adalah untuk mengetahui tingkat kepekaan suatu sektor dalam melakukan kegiatan ekonominya secara langsung terhadap sektor lainnya atau dapat pula diartikan sebagai keterkaitan suatu sektor dengan sektor pemakai outputnya (hilir) yaitu keterkaitan dengan penjualan produk akhir akibat pengaruh dari permintaan akhir yang dilakukan melalui mekanisme penawaran output (Nazara, 2005 dan BPS 2008). Sedangkan keterkaitan ke depan total merupakan total dari efek yang dihasilkan secara langsung maupun tidak langsung yang dijelaskan dalam Tabel 4.
137
Tabel 4. Analisis Keterkaitan ke Belakang Total dan Keterkaitan ke Depan Total No 1
Keterkaitan Ke belakang total
2
Ke depan Total
Rumus n
B(d i) j ij i 1
n
F (d )i ij j 1
Sumber: Nazara, 2005
Keterangan: αij = unsur matrik koefisien teknis B(d)j dan unsur matriks kebalikan leontief B(d+i)j = unsur matrik koefisien teknis F(d)i dan unsur matriks kebalikan leontief F(d+i)i βij Metode Ekstraksi (extraction method) dalam model input-output pertama diusulkan oleh Strassert (1968) dan Schultz (1976). Analisis metode pentingnya suatu sektor atau wilayah dalam perekonomian jika sektor dihilangkan pada sektor atau wilayah utama dalam sistem input-output. Selanjutnya perbedaan output antara dengan atau tanpa sektor dianalisis arti pentingnya elemen yang dihilangkan. Dietzenbacher et al. (1993), menyatakan bahwa arti pentingnya suatu sektor ditunjukkan dari perbedaan backward dan forward lingkage dengan atau tanpa elemen yang dihilangkan. Perbedaan output antara sistem penuh dan sistem yang diekstraksi dapat diestimasi dengan persamaan berikut: 5) Dampak perubahan backward lingkage : ...........(3.9) dimana: x = output L = matriks kebalikan leontif A = matriks input requirement F = vektor permintaan akhir Superscript I = sektor atau wilayah yang dihilangkan (extracted) Superscript R = rest dari sistem 6) Dampak perubahan forward lingkage : ..........(3.10) dimana: v G
= vektor input utama = matriks inverse Ghosian yaitu matriks kebalikan koefisien teknologi sisi penawaran B = matriks output allocation : matriks koefisien penawaran Superscript I = sektor atau wilayah yang dihilangkan (extracted) Superscript R = rest dari sistem Berdasarkan hasil analisis dampak perubahan keterkaitan ke belakang dan perubahan keterkaitan ke depan tersebut, selanjutnya dapat dianalisis dampaknya terhadap perubahan angka pengganda (output, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja) dan sekaligus besaran dampaknya terhadap peubahan output, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja jika terjadi kondisi deindustrialisai (ekstraksi) terhadap usaha pengolahan produk perikanan Indonesia (Nazara, 2005; Nazara dan Rosmiansyah, 2008; Maulana, 2012). 138
Simulasi Penelitian Dalam simulasi ini, diasumsikan adanya de-industrialisasi, dimana sektor industri pengolahan produk perikanan berhenti beroperasi seluruhnya dikarenakan tidak ada lagi sumber bahan baku dan tidak ada substitusi impor sehingga tidak ada transaksi pada sektor tersebut. Sementara itu nilai dari hasil simulasi larangan ekspor juga tidak dapat digunakan di dalam negeri. Analisis ini dilakukan dengan mengubah koefisien teknologi yang terkait dengan sektor industri pengolahan produk perikanan yaitu dengan menghilangkan baris dan kolom ke-14 (empat belas) sub sektor industri pengololahan hasil perikanan yaitu pada kode sektor-8 hingga sektor-21. Tujuan analisis ini untuk melihat dampak dari hilangnya sektor industri pengolahan produk perikanan dalam perekonomian Indonesia melalui metode ekstraksi. Perubahan koefisien teknologi ini akan berdampak pada perubahan indeks keterkaitan, angka pengganda serta dampaknya pada output, nilai tambah, pendapatan masyarakat serta penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Sektor Industri Pengolahan Produk Perikanan Industri pengolahan produk perikanan adalah kegiatan industri yang mengolah hasilhasil perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikaan budidaya yang berasal dari laut maupun perairan darat seperti ikan pelagis, ikan damersal, ikan air tawar, udang-udangan (crustacea), moluska, dan biota air lainnya. Hasil produksi dari industri pengolahan produk perikanan berupa produk olahan hasil perikanan, dimana berdasarkan Permen KP Nomor 12/MEN/2009 dijelaskan bahwa produk olahan hasil perikanan adalah setiap hasil perikanan yang telah mengalami proses kimia atau fisika seperti pemanasan, pengasapan, penggaraman, pengeringan atau pengacaran dan lain-lain, baik yang berasal dari produk yang didinginkan atau produk beku, baik yang dikombinasikan dengan bahan makanan atau kombinasi dari beberapa proses. Sedangkan kegiatan pengolahan adalah rangkaian kegiatan dan atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia. Pemanfaatan total produksi perikanan di Indonesia sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk segar (43,1%), beku (30,4%), pengalengan (13,7%) dan dalam bentuk olahan lain (12,8%). Pemanfaatan dalam bentuk olahan ini dapat berupa ikan asin, ikan asap, ikan pindang, produk fermentasi (petis, terasi, peda dan lainnya). Ikan pindang merupakan salah satu hasil olahan yang cukup populer di Indonesia, dalam urutan hasil olahan tradisional menduduki tempat kedua setelah ikan asin. Kemudian ditinjau dari hasil olahan ikan, sebesar 75% ikan masih diolah secara tradisional. Menurut terminologi FAO (2012), ikan olahan tradisional, atau "traditional curred" adalah produk yang diolah secara sederhana dan umumnya dilakukan pada skala industri rumah tangga. Jumlah unit pengolahan ikan pada tahun 2010 mencapai 60.117, yang terdiri dari usaha pengalengan sebanyak 114 unit, pembekuan sebanyak 556 unit, penggaraman sebanyak 23.876 unit, pemindangan sebanyak 10.952 unit, pengasapan sebanyak 8.056 unit, dan peragian sebanyak 2.912 unit. Unit Pengolahan Ikan (UPI) telah terealisasi 504 unit sampai September 2010, meninggalkan target tahun ini yang hanya 444 unit. Tetapi tingkat kemampuan (utilisasi) unit pengolahan ikan skala menengah dan besar sekitar 30% karena pasokan bahan baku perikanan, baik dari sektor budi daya maupun hasil tangkapan laut, tidak mencukupi keekonomian industri besar. Rendahnya utilisasi UPI dikarenakan pasokan bahan baku kurang. Data menunjukkan unit pengolahan skala besar yang sampai saat ini masih beroperasi mencapai 658 unit, sementara industri pengolahan ikan skala kecil tercatat 17.616 unit. Sejumlah unit pengolahan yang tersebar di seluruh Indonesia berkapasitas 18.140,4 ton per tahun. Namun, hingga kini hanya terpakai kurang dari 50% atau hanya sekitar 9.324,16 ton per tahun. Keberadaan unit pengolahan ikan tersebut menyerap 594.300 orang tenaga kerja yang dilibatkan di bidang industri pengolahan dan pemasaran (Tabel 5).
139
Tabel 5. Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) per Provinsi di Indonesia Menurut Jenis Pengolahannya Tahun 2011
23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Kal.Timur Sul. Utara Sul. Tengah Sul. Selatan Sul.Tenggara Gorontalo Sul. Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
1.464 386 802 2.783 1.225 361 205 141 301 65 165
Jumlah
60.117
Kal.Selatan
1.142 954 3.550 280 1.304 1.011 3.660
Pengolahan Lainnya
Banten Bali NTB NTT Kal. Barat Kal. Tengah
Produk Segar
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Jawa Timur
Pengolahan Surimi
2.233 1.547 1.241 517 2.070 465 1.361 956 612 1.069 5.966 8.350 334 10.640
Pereduksian
Sum. Utara Sum. Barat Riau Jambi Sum.Selatan Bengkulu Lampung Babel Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY
Peragian
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
1 0 7 2 1 4 7 1 3 6 8 1 1 2 0 9 2 5 1 1 4
Pengasapan
2.955
Pemindangan
Aceh
1.
Penggaraman
Jumlah UPI
26
2.375
28
276
62
32
-
108
38
30 6 3 6 3 24 19 13 9 1 139
1.374 958 431 116 127 242 740 99 208 505 657 1.631 6 2.520
33 14 1 8 7 77 4.018 1.949 59 2.139
16 141 559 5 120 44 101 3 1 15 38 2.538 8 2.350
128 73 49 15 62 51 190 25 5 384 486 1 895
20 3 4 33 98 10 91 25 15 79 274 196 29 248
3 4 21 8 29 2 32 22 2 39 11 6 151
50 51 63 1 10 16 71 15 22 93 430 26 485
572 376 82 301 1.665 105 319 524 339 307 474 1.098 203 1.677
7 13 10 4 18 1 28
498 18 1.186 265 934 872 3.129
264 700 1.450 3 2 1
12 19 471 1 15 1
15 2 35 79 24 147
59 34 20 2 2 2 7
7 1 3 1
93 69 275 6 54 29 92
187 90 99 1 199 81 234
21 33 15 63 22 16 7 4 9 6
1.064 106 482 2.340 590 97 114 49 58 21 64
2 20 60 113 4 -
13 178 222 93 426 25 59 70 142 4 90
78 15 44 7 9 28 3
3 3 25 4 4 1 -
20 2 2 6 1 4 4 -
182 3 36 102 34 222 20 1 84 2
81 42 20 49 23 4 1 9 2 -
556
23.876
10.952
8.056
2.912
1.323
381
2.745
9.202
Pembekuan
Provinsi
Pengalengan
Jenis Pengolahan Ikan Utama
Sumber : DEKIN, 2012
Kemudian jika ditinjau dari ketersediaan UPI skala besar, ternyata tidak semua provinsi di Indonesia memilikinya. Tercatat pada tahun 2011 terdapat enam provinsi yang tidak memeiliki UPI skala besar seperti yang terlihat pada Tabel 6.
140
Tabel 6. Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan Jenis Produk Skala Besar per Provinsi Tahun 2011 No
Provinsi
Unit
Produk*)
No
Provinsi
Unit
Produk*)
1.
Aceh
1
1
16.
Kalbar
7
1,2
2.
Sumut
52
1,2,3,4,5
17.
Kaltim
15
1
3.
Sumbar
2
2
18.
Kalsel
10
1,5
4.
Kepri
1
2
19.
Kalteng
1
1
5.
Sumsel
3
1,7
20.
Sulut
34
2,3,6
6.
Babel
5
2
21.
Gorontalo
3
1,2
7.
Lampung
6
1,7, 8,10
22.
Sulsel
67
1,2,4,8,11
8.
Banten
12
1,2,4,5,8,12
23.
Sultra
6
1,2,5
9.
Jabar
31
1,2, 3, 4,5, 9,12
24.
Sulteng
5
1,2,5
10.
DKI Jakarta
57
1,2,4,5
25.
Maluku
15
1,2
11.
Jateng
25
1,2,3,4,8,9
26.
Malut
4
2,5
12.
Jatim
126
1,2,3,4,5,8,10,12,13
27.
Irjabar
8
1,2,3
13.
Bali
57
2,3,4,5,6
28.
Papua
4
2
14.
NTB
1
2
Jumlah
570
15.
NTT
16
1,2,4,6
Sumber: DEKIN, 2012 Keterangan : Tidak ada UPI: Riau, Jambi, Bengkulu, DIY, NTB, dan Sulbar Produk : Udang Beku (1), Ikan Segar & Beku (2), Ikan Kaleng (3), Ikan Kering (4) Ikan Hidup (5), Ikan Asap (6), Paha Kodok (7), Rajungan (8), Surimi (9), Keong (10), Telur Ikan Terbang (11), Belut (12), lainnya (13)
Industri pengolahan produk perikanan Indonesia mempunyai kontribusi penting dalam sektor perikanan maupun dalam sektor lain yang lebih luas. Produk olahan ikan mampu memepertahankan nilai jual ikan hasil tangkapan maupun budidaya, karena perannya dalam menjaga keawetan hasil perikanan. Kegiatan-kegiatan pengolahan ikan dengan variasi produk-produk turunannya tidak hanya mampu memepertahankan nilai tambah, Bahkan juga menambah nilai jual produk itu sendiri. Adanya kegiatan-kegiatan produktif melalui industri pengolahan produk perikanan akan dapat mengoptimalkan pemanfaatan jumlah efektif produk perikanan yang dapat dikonsumsi dan diambil manfaatnya. Nilai penting industri pengolahan produk perikanan dapat dilihat dari kontribusi PDB sektor industri pengolahan produk perikanan terhadap perekonomian nasional. PDB sektor industri pengolahan produk perikanan terus mengalami kenaikan sejak tahun 2009 hingg 2011 dengan pertumbuhan rata-rata pada industri besar dan sedang sebesar 8,86% per tahun. Sedangkan pada industri rumah tangga terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5,8% per tahun seperti yang terlihat pada Tabel 7.
141
Tabel 7. Produk Domestik Bruto Industri Pengolahan produk Perikanan Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2009-2011 (Juta Rupiah) Kode KBLI 2009 A 10211
Industri Pengolahan Ikan Industri Besar dan Sedang
2009 10,218,655
2010 11,245,456
2011 12,108,296
358,463
364,418
398,380
2,211
17,257
18,652
1,403,215
2,143,932
2,273,701
267,957
293,497
317,142
-
-
-
10212
Industri Penggaraman/Pengeringan Ikan Industri Pengasapan Ikan
10213
Industri Pembekuan Ikan
10214
Industri Pemindangan Ikan
10215
Industri Peragian/Fermentasi Ikan
10216
Industri Berbasis Daging Lumatan dan Surimi Industri Pendinginan/Pengesan Ikan
94,616
90,731
97,578
-
-
-
273,946
201,945
217,186
1,777,715
1,868,718
2,128,610
23,780
113,796
129,623
18,351
50,259
54,943
10292
Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air (Bukan Udang) Dalam Kaleng Industri Pengolahan dan Pengawetan Udang Dalam Kaleng Industri Penggaraman/Pengeringan Biota Air Lainnya Industri Pengasapan Biota Air Lainnya
18,089
5,082
5,493
10293
Industri Pembekuan Biota Air Lainnya
5,951,160
5,949,432
6,309,543
10294
Industri Pemindangan Biota Air Lainnya Industri Peragian/Fermentasi Biota Air Lainnya Industri Berbasis Daging Lumatan Biota Air Lainnya Industri Pendinginan/Pengesan Biota Air Lainnya Industri Pengolahan dan Pengawetan Lainnya Untuk Biota Air Lainnya Industri Kecil dan Rumah Tangga
-
1,386
1,498
-
-
-
-
-
-
-
-
-
29,152
145,003
155,947
6,523,092
6,792,925
7,300,722
10217 10219 10221
10222 10291
10295 10296 10297 10299 B
Sumber : KKP, 2013
Saat ini industri pengolahan tidak maksimal menjalankan pabrik karena tidak adanya bahan baku udang untuk diolah. Saat produksi udang turun, para pengusaha berharap pemerintah membuka keran impor untuk kebutuhan industri pengolahan yang berorientasi ekspor saja. Industri hilir perikanan laut Indonesia masih terkendala pasokan bahan baku. Meski memiliki sumber daya alam kelautan yang melimpah, Indonesia belum mampu menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan. Akibatnya, banyak perusahaan perikanan yang tutup. Industri pengalengan ikan di Indonesia saat ini membutuhkan bahan baku 300-350 ribu ton per tahun. Dari kebutuhan itu, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 40%, sedangkan 60% masih impor. Industri pengalengan cakalang, misalnya, membutuhkan bahan baku 300 ribu ton per tahun, sedangkan pasokan dari dalam negeri hanya 120-140 ribu ton. Kapasitas terpasang industri pengalengan sarden berkisar 150 ribu ton dan pasokan bahan baku lokal hanya 70-100 ribu ton per tahun. Meskipun potensi ekonomi industri pengolahan produk perikanan sangat tinggi, namun sejauh ini perkembangannya belum seperti yang diharapkan. Beberapa kendala tersebut dapat berupa kelemahan internal dalam industri pengolahan produk perikanan itu 142
sendiri, seperti minimnya aspek teknologi, permodalan, manajemen, pemasaran, dan aspek lain yang berkinerja rendah serta adanya faktor eksternal seperti suplai bahan baku yang terbatas (fluktuasi suplai ikan) dan minimnya infrastruktur untuk mendukung pengembangan industri pengolahan produk perikanan seperti jalan, pelabuhan, armada penangkapan ikan, cold storage, listrik dan air bersih. Selain itu, berbagai hambatan tersebut menyebabkan kapasitas terpasang industri pengolahan produk pengolahan di Indonesia menjadi tidak optimal. Selain itu, dalam era perdagangan bebas dewasa ini, industri pengolahan produk perikanan indonesia juga dihadapkan dengan persyaratan ekspor yang semakin ketat sebagai akibat dari adanya regulasi terkait food safety seperti masalah logam berat, pengunanan antibiotik, dan isu lingkungan. Untuk itu, agar dapat bersaing di pasar global yang semakin ketat dan kompetitif, industri pengolahan produk perikanan harus dapat memenuhi persyaratan dan standardisasi produk dengan meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk yang mengacu pada standar nasional Indonesia (SNI) dan standar internasional yang berlaku seperti GMP, HACCP, dan Codex. Produksi dan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan produk Perikanan Dilihat dari volume produksinya, volume produksi produk olahan hasil perikanan sejak tahun 2008 hingga 2012 terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 7,1% per tahun (seperti yang terlihat pada Gambar 1). Pada tahun 2012 volume produksi produk olahan hasil perikanan mencapai 4.830 ribu ton dari sebelumnya pada tahun 2008 sebesar 3.670 ribu ton. Sedangkan pada total produksi perikanan (tangkap dan budidaya) juga terus mengalami kenaikan dengan pertumbuhan rata-rata selama peride yang sama sebesar 13,9%. Rasio rata-rata produksi produk olahan hasil perikanan sebesar 49,24% jika dibandingkan dengan total produksi perikanan (tangkap dan budidaya) yang menunjukkan bahwa industrialisasi sektor perikanan telah mengarah pada produksi bernilai tambah dengan mengembangkan produk olahan hasil perikanan.
Sumber : KKP, 2013
Gambar 1. Perkembangan Total Volume Produksi pada Sektor Perikanan dan Industri Pengolahan produk Perikanan Tahun 2008 – 2012 Pada sisi tenaga kerja, jika diitinjau dari proporsinya, jumlah tenaga kerja pada sektor industri pengolahan produk perikanan secara rata-rata menyumbang 11,14% per tahun dari total tenaga kerja di sektor perikanan. Perkembangan jumlah tenaga kerja pada sektor industri pengolahan produk perikanan selama periode tahun 2008 hingga 2012 mengalami laju pertumbuhan rata-rata sebesar 3,11% per tahun dengan total jumlah tenaga kerja pada tahun 2012 sebesar 1.352.936 orang dengan rata-rata jumlah tenaga kerja per unit pengolahan ikan sebanyak 21 orang. Sedangkan pada total sektor perikanan mengalami laju pertumbuhan rata-rata sebesar 8,75% per tahun. Pertumbuhan jumlah tenaga kerja pada sektor perikanan dan pada sektor industri pengolahan produk perikanan dapat dilihat pada Gambar 2. 143
Sumber : KKP, 2013
Gambar 2. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja pada Sektor Perikanan dan Industri Pengolahan produk Perikanan Tahun 2008 - 2012 Tingginya jumlah tenaga kerja di sektor perikanan tidak terlepas dari kebijkan pemerintah dalam meningkatkan produktivitas sektor kelautan dan perikanan sejak tahun 2000. Kebijakan ini sangat berdampak positif bagi penyerapan tenaga kerja, khususnya di sektor hulu perikanan seperti perikanan tangkap dan budidaya. Sedangkan rendahnya pertumbuhan jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan produk perikanan lebih disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan unit pengolahan ikan skala menengah dan besar. Di sisi lain, meskipun industri pengolahan produk perikanan skala kecil dan rumah tangga terus tumbuh secara pesat namun daya serap tenaga kerjanya cenderung rendah.
Analisis Dampak Simulasi Deindustrialisasi Usaha Pengolahan Produk Perikanan Indonesia terhadap Keterkaitan dan Angka Pengganda Dalam simulasi ini, diasumsikan adanya de-industrialisasi, dimana sektor industri pengolahan produk perikanan berhenti beroperasi seluruhnya dikarenakan tidak ada lagi sumber bahan baku dan tidak ada substitusi impor sehingga tidak ada transaksi pada sektor tersebut. Analisis ini dilakukan dengan mengubah koefisien teknologi yang terkait dengan sektor industri pengolahan produk perikanan yaitu dengan menghilangkan baris dan kolom ke-14 (empat belas) sub sektor industri pengololahan hasil perikanan yaitu pada kode sektor8 hingga sektor-21. Tujuan analisis ini untuk melihat dampak dari hilangnya sektor industri pengolahan produk perikanan dalam perekonomian Indonesia melalui analisis ekstraksi (extracted method). Perubahan koefisien teknologi ini akan berdampak pada perubahan indeks keterkaitan, angka pengganda (multiplier), serta dampaknya pada output, nilai tambah, pendapatan masyarakat serta penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian Indonesia. - Dampak terhadap Perubahan Keterkaitan Antar Sektor Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan dengan metode ekstraksi, seperti tertera pada Tabel 8 diketahui bahwa nilai koefisien keterkaitan ke belakang total (KBT) yang dihasilkan mengalami penurunan pada seluruh sektor. Penurunan tersebut pada seluruh sektor mencapai sebesar -23,4423 poin. Penurunan terbesar terjadi pada sektor-31 (listrik, gas dan air bersih) sebesar -1,3420 poin, dan sektor-22 (industri makanan, minuman dan tembakau non produk perikanan) sebesar -1,2846 poin; sedangkan penurunan terkecil terjadi pada sektor-5 (ikan dan hasil perikanan tangkap) sebesar poin -0,7843, sektor-4 (kehutanan) sebesar -0,8116 dan sektor-6 (ikan dan hasil perikanan budidaya) sebesar -0,8137.
144
Tabel 8. Perubahan Angka Keterkaitan Ke Belakang (Backward Lingkage) dan keterkaitan ke Depan (Foreward Lingkage) Sebelum dan Sesudah Ekstraksi
Kode I-O
Sektor
1 2 3 4 5
Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan Ikan dan Hasil Perikanan Tangkap Ikan dan Hasil Perikanan Budidaya Pertambangan dan Penggalian Industri Makanan, Minuman dan Tembakau (non produk perikanan) Industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki Industri Kayu dan Hasil Hutan lainnya Industri kertas dan Barang Cetakan Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Industri Semen dan Bahan Galian Bukan Logam Industri Logam dasar besi dan baja Industri Alat Angkutan, Mesin dan peralatannya Industri barang lainnya Listrik, Gas dan Air Besih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi keuangan, Real estate dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
6 7 22
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Jumlah
Keterkaitan ke Belakang Total KBT KBT EksSelisih traksi 1.5155 0.6939 -0.8215 1.7923 0.8204 -0.9719 2.0422 0.9290 -1.1132 1.4971 0.6855 -0.8116 1.4440 0.6596 -0.7843
Keterkaitan ke Depan Total KDT KDT EksSelisih traksi 1.2095 1.0417 -0.1679 1.0508 0.9447 -0.1061 0.8761 0.7717 -0.1045 0.7601 0.6999 -0.0602 3.2933 0.7052 -2.5881
1.4897
0.6760
-0.8137
2.8548
0.7494
-2.1054
1.4711 2.3417
0.6738 1.0571
-0.7973 -1.2846
1.6575 1.6296
1.5059 1.2994
-0.1516 -0.3303
2.2050
1.0077
-1.1973
0.8279
0.7577
-0.0702
2.1895
1.0005
-1.1890
0.8361
0.7660
-0.0701
2.1720
0.9930
-1.1790
0.8781
0.7994
-0.0787
1.9778
0.9054
-1.0725
1.6752
1.4964
-0.1788
2.0896
0.9562
-1.1333
0.7418
0.6787
-0.0631
2.0887
0.9557
-1.1330
0.8529
0.7814
-0.0714
2.1114
0.9650
-1.1464
1.0453
0.9493
-0.0960
2.2174 2.4737 2.2291 1.9669
1.0096 1.1317 1.0188 0.8765
-1.2078
0.6281
-1.3420 -1.2104 -1.0904
0.6815 1.1928 0.9504 2.8495
1.0621 0.8362 1.4207
-0.0534 -0.1308 -0.1142 -1.4287
2.0563 1.6978
0.9357 0.7770
-1.1206 -0.9207
1.6992 1.3375
1.2610 1.1133
-0.4382 -0.2242
2.0262
0.9244
-0.2015
19.6525
1.3723 30.272 3
1.1708
43.0949
-1.1018 23.4423
21.4390
-8.8333
Sumber: Hasil pengolahan Tabel I-O Indonesia 2012 Keterangan: Sektor 8 hingga 21 adalah kelompok sektor industri pengolahan produk perikanan
Kemudian, berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan dengan metode ekstraksi (Tabel 8), nilai keterkaitan ke depan total (KDT) yang dihasilkan berdampak pada penurunan di seluruh sektor dengan nilai total penurunan yang lebih rendah dari nilai keterkaitan ke belakang total (KBT), yaitu sebesar -8,8333 poin. Berbeda (sebaliknya) dengan halnya dengan yang terjadi pada KBT, pada KDT sektor yang mengalami penurunan terbesar justru pada sektor-5 (ikan dan hasil perikanan tangkap) sebesar -2,5881 poin dan sektor-6 (ikan dan hasil perikanan budidaya) sebesar -2,1054 poin. Sementara, nilai perubahan terkecil terjadi pada sektor-30 (industri barang lainnya) dengan penurunan sebesar 0,0534 poin, dan sektor-27 (industri semen dan bahan galian bukan logam) sebesar 0,0631 poin. Dampak penurunan terbesar terjadi pada 2 (dua) sektor yaitu sektor sektor-5 145
(ikan dan hasil perikanan tangkap); sektor-6 (ikan dan hasil perikanan budidaya) menunjukan bahwa sektor industri pengolahan produk perikanan sangat membutuhkan input produksi yang besar dari kedua sektor tersebut dalam berproduksi dibandingkan dengan sektor lainnya dalam perekonomian Indonesia, sehingga hilangnya sektor industri pengolahan produk perikanan sangat berdampak pada penurunan yang relatif besar pada kedua sektor tersebut sebagai sektor hulunya. Sektor yang mengalami penurunan terbesar pada nilai keterkaitan ke belakang total dan keterkaitan ke depan total setelah dilakukannya simulasi mengindikasikan bahwa sektor tersebut merupakan sektor yang mengalami imbas dampak terbesar dari hilangnya sektor industri pengolahan produk perikanan Indonesia. Dapat diartikan bahwa, dampak penurunan terjadi disebabkan oleh penggunaan output domestik sebagai input produksi tersebut semakin menurun dibandingkan ketika sektor industri pengolahan produk perikanan masih beroperasi, sehingga turunnya daya penyebaran dan derajat kepekeaan sektor tersebut terhadap perkembangan sektor-sektor domestik lain jika terjadi peningkatan permintaan akhir.
Analisis Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda Simulasi deindustrialisasi usaha pengolahan produk perikanan Indonesia dengan menggunakan metode ekstraksi juga berdampak terhadap perubahan angka pengganda baik pengganda output, pengganda nilai tambah bruto, pengganda pendapatan masyarakat maupun pengganda penyerapan tenaga kerja. Tabel 9 memperlihatkan hasil simulasi dampak deindustrialisasi usaha pengolahan produk perikanan Indonesia terhadap keempat angka pengganda tersebut yang dijelaskan pada uraian berikut. Tabel 9. Angka Pengganda Output, Nilai Tambah Bruto, Pendapatan Masyarakat dan Penyerapan Tenaga Kerja Setelah “Deindustrialisi” dan Perubahannya
Kode Sektor
Pengganda Output Angka
Pengganda Nilai Tambah Bruto
Perubahan
Angka
Perubahan
Pengganda Pendapatan Masyarakat Angka Perubahan
Pengganda Penyerapan Tenaga Kerja Angka Perubahan
1
1.5140
-0.0014
0.0011
-0.0008
0.1260
-0.0001
0.0001
2
1.7900
-0.0023
0.0018
-0.0013
0.1723
-0.0002
0.0005
0.0000
3
2.0269
-0.0152
0.0144
-0.0088
0.1874
-0.0016
0.0059
-0.0001
4
1.4957
-0.0016
0.0010
-0.0008
0.1649
-0.0001
0.0007
0.0000
5
1.4392
-0.0048
0.0031
-0.0026
0.1620
-0.0005
0.0032
0.0000
6
1.4748
-0.0149
0.0101
-0.0084
0.1734
-0.0016
0.0101
-0.0001
7
1.4701
-0.0011
0.0007
-0.0006
0.1314
-0.0001
0.0032
0.0000
8
2.3064
-0.0353
0.0500
-0.0200
0.0050
-0.0037
0.0577
-0.0001
9
2.1985
-0.0065
0.0071
-0.0037
0.0670
-0.0007
0.0030
0.0000
10
2.1829
-0.0065
0.0073
-0.0037
0.0499
-0.0007
0.0024
0.0000
11
2.1665
-0.0055
0.0059
-0.0031
0.0541
-0.0006
0.0062
0.0000
12
1.9753
-0.0025
0.0026
-0.0014
0.0704
-0.0002
0.0127
0.0000
13
2.0863
-0.0034
0.0035
-0.0019
0.0560
-0.0004
0.0029
0.0000
14
2.0852
-0.0035
0.0037
-0.0019
0.0504
-0.0004
0.0109
0.0000
15
2.1055
-0.0059
0.0060
-0.0034
0.0584
-0.0006
0.0205
0.0000
16
2.2027
-0.0146
0.0175
-0.0083
0.0536
-0.0016
0.0032
-0.0001
17
2.4691
-0.0046
0.0073
-0.0026
-0.0029
-0.0005
0.0228
0.0000
18
2.2228
-0.0064
0.0077
-0.0036
0.0505
-0.0007
0.0103
0.0000
0.0000
146
19
1.9124
-0.0545
0.0494
-0.0307
0.1421
-0.0056
0.0209
-0.0002
20
2.0416
-0.0148
0.0146
-0.0085
0.0835
-0.0016
0.0118
-0.0001
21
1.6954
-0.0024
0.0018
-0.0013
0.1363
-0.0002
0.0043
0.0000
22
2.0168
-0.0094
0.0089
-0.0053
0.3714
-0.0010
0.0028
0.0000
23
1.5140
-0.0014
0.0011
-0.0008
0.1260
-0.0001
0.0001
0.0000
24
1.7900
-0.0023
0.0018
-0.0013
0.1723
-0.0002
0.0005
0.0000
25
2.0269
-0.0152
0.0144
-0.0088
0.1874
-0.0016
0.0059
-0.0001
26
1.4957
-0.0016
0.0010
-0.0008
0.1649
-0.0001
0.0007
0.0000
27
1.4392
-0.0048
0.0031
-0.0026
0.1620
-0.0005
0.0032
0.0000
28
1.4748
-0.0149
0.0101
-0.0084
0.1734
-0.0016
0.0101
-0.0001
29
1.4701
-0.0011
0.0007
-0.0006
0.1314
-0.0001
0.0032
0.0000
30
2.3064
-0.0353
0.0500
-0.0200
0.0050
-0.0037
0.0577
-0.0001
31
2.1985
-0.0065
0.0071
-0.0037
0.0670
-0.0007
0.0030
0.0000
32
2.1829
-0.0065
0.0073
-0.0037
0.0499
-0.0007
0.0024
0.0000
33
2.1665
-0.0055
0.0059
-0.0031
0.0541
-0.0006
0.0062
0.0000
34
1.9753
-0.0025
0.0026
-0.0014
0.0704
-0.0002
0.0127
0.0000
35
2.0863
-0.0034
0.0035
-0.0019
0.0560
-0.0004
0.0029
0.0000
36
2.0852
-0.0035
0.0037
-0.0019
0.0504
-0.0004
0.0109
0.0000
Sumber: Hasil pengolahan Tabel I-O Indonesia 2012
- Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda Output Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dari perekonomian Indonesia menyebabkan penurunan angka pengganda output total pada seluruh sektor domestik. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya penurunan angka pengganda pada perekonomian Indonesia sebagai akibat dari hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan menyebabkan berkurangnya kemampuan sektor-sektor domestik dalam pembentukan output dalam merespon peningkatan permintaan akhir. Pengganda output menjelaskan tentang besarnya pengaruh perubahan permintaan akhir pada peningkatan output diseluruh sektor perekonomian atau nilai total dari output yang dihasilkan oleh perekonomian untuk memenuhi adanya perubahan satu unit uang permintaan akhir dari suatu sektor. Peningkatan permintaan akhir di suatu sektor tidak hanya akan meningkatkan output produksi sektor tersebut tapi juga meningkatkan output produksi sektor lainnya akibat adanya efek langsung dan tidak langsung. Tiga sektor yang memiliki penurunan angka pengganda output total terbesar adalah sektor-33 (perdagangan, hotel dan restoran) dengan penurunan sebesar 0,0454; sektor-22 (industri makanan, minuman dan tembakau) sebesar 0,0294 dan sektor-3 (peternakan dan hasil-hasilnya) sebesar 0,0127. Pengganda output total sektor-33 turun sebesar 0,0454 artinya adalah jika permintaan akhir sektor-33 meningkat Rp1 (satu rupiah) maka peningkatan keseluruhan output akan relatif turun sebesar Rp0,0454 jika dibandingkan kemampuan sektor tersebut dalam meningkatkan output sebelum hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia. Dampak yang terjadi ketika hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan terhadap kemampuan sektor tersebut untuk mendorong output sektor-sektor dalam perekonomian Indonesia jika permintaan akhirnya meningkat. Sektor-33 (perdagangan, hotel dan restoran) tampak sebagai sektor yang mengalami penurunan kemampuan menggandakan output. Hal ini terjadi karena sektor tersebut merupakan sektor terbesar yang menggunakan output sektor industri pengolahan hasil perikanan sebagai input produksinya dibandingkan dengan sektor lainya. Penggunaan input produksi dari sektor industri pengolahan hasil perikanan dapat disebabkan karena produk olahan ikan merupakan komoditi yang banyak 147
diperdagangkan di pasar serta produk olahan ikan merupakan bahan baku bagi proses produksi produk makanan akhir di restoran dan hotel.
- Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda Nilai Tambah Bruto (NTB) Berdasarkan Tabel 9, pengaruh dari hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan terhadap nilai pengganda NTB ternyata berdampak pada penurunan angka pengganda NTB di seluruh sektor dalam perekonomian Indonesia. Beberapa sektor yang memiliki penurunan angka pengganda NTB total terbesar adalah sektor-33 (perdagangan, hotel dan restoran) dengan penurunan sebesar 0,0256 dan sektor-22 (industri makanan, minuman dan tembakau) sebesar 0,0167. Pengganda NTB total sektor-33 turun sebesar 0,0256 artinya adalah jika permintaan akhir sektor-33 meningkat Rp1 (satu rupiah) maka peningkatan keseluruhan NTB akan relatif turun sebesar Rp0,0256 jika dibandingkan kemampuan sektor tersebut dalam meningkatkan NTB sebelum hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia. Dilihat dari efek awal pengganda NTB, keseluruhan sektor tidak mengalami perubahan (tetap). Hal ini menunjukkan bahwa pada saat hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan tidak berdampak pada nilai awal pendapatan masyarakat di seluruh sektor jika dibandingkan kemampuan sektor tersebut dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sebelum hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia.
- Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda Pendapatan Dari hasil simulasi ekstraksi pada sektor industri pengolahan hasil perikanan seperti terlihat pada Tabel 9 ternyata menyebabkan penurunan angka pendapatan di seluruh sektor domestik. Penurunan angka pengganda pendapatan tersebut berkisar antara 0,0001 hingga 0,0047 pada total angka pendapatan. Hal ini menunjukkan, dengan hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia, akan menyebabkan peranan sektor-sektor terhadap pembentukan pendapatan masyarakat menjadi terkoreksi, dimana terjadi penurunan peranan sektor-sektor terhadap proporsi pembentukan pendapatan masyarakat dibandingkan dengan ketika industri pengolahan hasil perikanan masih ada dalam perekonomian Indonesia. Kondisi ini bukan berarti bahwa dengan tidak adanya sektor industri pengolahan hasil perikanan malah akan menurunkan pendapatan masyarakat, tetapi lebih kepada peranan sektor-sektor tersebut yang menurun dalam pembentukan pendapatan masyarakat dalam perekonomian Indonesia secara relatif dibandingkan dengan sebelum hilangya sektor industri pengolahan hasil perikanan. Dampak dari hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan terhadap nilai angka pengganda pendapatan masyarakat menyebabkan penurunan di seluruh sektor. Sektor dengan penurunan angka pengganda pendapatan total terbesar adalah sektor-33 (perdagangan, hotel dan restoran) dengan penurunan sebesar 0,0047 dan sektor-22 (industri makanan, minuman dan tembakau) sebesar 0,0031. Adanya penurunan pengganda pendapatan total pada sektor-33 sebesar 0,0047 artinya adalah jika permintaan akhir di sektor-33 meningkat Rp1 (satu rupiah) maka peningkatan keseluruhan pendapatan masyarakat akan relatif turun sebesar Rp0,0047 jika dibandingkan kemampuan sektor tersebut dalam menigkatkan pendapatan masyarakat sebelum hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan. Dilihat dari efek awal pengganda pendapatan, hampir keseluruhan sektor mengalami kenaikan dan hanya 1 (satu) sektor yang mengalami penurunan, yaitu sektor-31 (listrik, gas dan air bersih) dengan penurunan sebesar 0,0024. Kenaikan nilai pengganda pendapatan awal berkisar atara 0,0042 hingga 0,3095. Sektor dengan kenaikan pengganda pendapatan awal terbesar terdapat pada sektor-36 (jasa-jasa) sebesar 0,3095 yang artinya jika permintaan akhir sektor-33 meningkat Rp1 (satu rupiah) maka peningkatan awal pendapatan masyarakat di seluruh sektor akan naik sebesar Rp.03095 jika dibandingkan kemampuan sektor tersebut dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sebelum hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia. 148
- Dampak terhadap Perubahan Angka Pengganda Tenaga Kerja Berdasarkan Tabel 9, dampak dari hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan terhadap nilai angka pengganda tenaga kerja ternyata tidak menyebabkan penurunan di seluruh sektor, terdapat 6 sektor saja yang mengalami penurunan, sedangkan sisanya sebanyak 16 tidak mengalami perubahan (tetap). Sektor yang mengalami penurunan angka tenaga kerja total terbesar adalah sektor-33 (perdagangan, hotel dan restoran) dengan penurunan sebesar 0,0002. Artinya jika permintan akhir sektor-33 meningkat sebesar Rp100 miliar maka peningkatan penyerapan tenaga kerja pada keseluruhan sektor yang terjadi akan relatif turun sebesar 20 orang jika dibandingkan kemampuan sektor tersebut dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebelum hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan dalam perekonomian Indonesia.
Analisis Dampak Simulasi Deindutrialisasi Usaha Sektor Pengolahan Produk Perikanan terhadap Kinerja Perekonomian Nasional Pada kondisi awal, total output perekonomian Indonesia pada tahun 2012 sebesar Rp13.104.130.746 juta dan setelah hilangnya sektor industri pengolahan produk perikanan berkurang sebesar Rp.107.974.258 juta atau 0,82%. Dari hasil analisis yang dilakukan, diketahui bahwa hilangnya sektor industri pengolahan produk perikanan berdampak luas terhadap penurunan nilai output, NTB, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja pada seluruh sektor dalam perekonomian Indonesia seperti yang terlihat pada Tabel 10. Tabel 10. Dampak Kehilangan Sektor Terhadap Perubahan Output, NTB, Pendapatan dan Tenaga Kerja Menurut Klasifikasi Sektor Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 Jumlah
Output (Juta Rp.) Persen -609,772 -0.11 -209,101 -0.08 -314,540 -0.16 -14,818 -0.02 -19,037,602 -17.04 -16,699,339 -12.94 -207,300 -0.02 -1,682,893 -0.13 -56,586 -0.02 -50,134 -0.02 -96,212 -0.08 -424,608 -0.05 -53,323 -0.02 -49,620 -0.01 -132,148 -0.01 -9,467 -0.02 -336,466 -0.13 -355,670 -0.02 -10,402,669 -0.70 -2,639,203 -0.28 -1,035,611 -0.16 -813,598 -0.06 -55,230,679 -32.10
NTB (Juta Rp) -502,380 -145,637 -190,558 -12,647 -16,217,375 -13,890,029 -175,631 -675,838 -29,765 -25,111 -50,815 -236,196 -28,328 -25,661 -73,800 -4,469 -118,644 -166,660 -6,468,190 -1,532,226 -770,411 -484,726 -41,825,094
Persen -0.10 -0.06 -0.10 -0.02 -14.52 -10.76 -0.02 -0.05 -0.01 -0.01 -0.04 -0.02 -0.01 -0.01 -0.01 -0.01 -0.05 -0.01 -0.43 -0.16 -0.12 -0.04 -26.57
Pendapatan (Juta Rp.) Persen -82,422 -0.01 -40,951 -0.01 -64,528 -0.04 -2,614 0.00 -3,041,966 -2.72 -2,857,918 -2.22 -27,842 0.00 -149,008 -0.01 -6,769 0.00 -5,942 0.00 -10,297 -0.01 -52,622 -0.01 -5,891 0.00 -5,459 0.00 -14,264 0.00 -1,159 0.00 -25,345 -0.01 -41,936 0.00 -1,834,316 -0.12 -417,259 -0.05 -172,426 -0.02 -305,442 -0.02 -9,166,378 -5.27
Tenaga Kerja Orang Persen -33,053 -0.01 -4,757 0.00 -3,751 0.00 -144 0.00 -132,601 -0.12 -116,315 -0.10 -305 0.00 -4,799 0.00 -587 0.00 -620 0.00 -398 0.00 -396 0.00 -287 0.00 -73 0.00 -179 0.00 -200 0.00 -318 0.00 -1,033 0.00 -127,727 -0.01 -15,397 0.00 -2,726 0.00 -12,587 0.00 -458,254 -0.24
Sumber: Hasil pengolahan Tabel I-O Indonesia 2012
149
Sektor yang terkena dampak terbesar terjadi pada sektor-sektor yang terkait langsung dengan industri pengolahan produk perikanan yaitu sektor-5 (ikan dan hasil perikanan tangkap) dengan penurunan nilai output sebesar Rp15.864.668 juta atau 14,20%; penurunan nilai NTB sebesar Rp13.514.479 Juta atau 2,27%; penurunan pendapatan masyarakat sebesar Rp2.534.972 juta atau 2,27% dan penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 110.501 orang atau 0,10%. Selanjutnya sektor-6 (ikan dan hasil perikanan budidaya) dengan nilai penurunan nilai output sebesar Rp13.916.116 juta atau 10,78%; penurunan NTB sebesar Rp11.575.024 juta atau 8,97%; penurunan nilai pendapatan masyarakat sebesar Rp2.381.598 juta atau 4,26% dan penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 96.929 orang atau 0,08%. Kedua sektor ini erat sekali kaitannya dengan industri pengolahan produk perikanan. Karena kedua sektor ini sebagai penyedia input yang utama. Industri pengolahan produk perikanan menggunakan bahan baku utama berupa ikan dan hasil perikanan lainnya, baik yang berasal dari perikanan tangkap maupun budidaya. Dampak hilangnya sektor industri pengolahan produk perikanan terhadap penurunan produktivitas kedua sektor tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan ketika dilakukan simulasi larangan ekspor. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat produktivitas sektor perikanan tangkap dan budidaya sangat besar ketergantungannya terhadap sektor industri hasil perikanan sebagai sektor hilirnya. Namun demikian, hasil yang diperoleh dari analisis ini tidak sepenuhnya dapat menggambarkan fenomena yang sesungguhnya terjadi. Karena apabila input suatu sektor tidak ada maka sektor tersebut akan berusaha mencara substitusi atau mengubah teknologinya. Hal ini memerlukan waktu untuk mencapai suatu keseimbangan baru dalam perekonomian. Walaupun hal ini merupakan kelemahan analisis input-output, namun setidaknya melalui metode ekstraksi ini dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis peranan suatu sektor.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Berdasarkan analisis dampak simulasi industri berhenti beroperasi (kehilangan sektor) pada sektor industri pengolahan hasil perikanan dengan metode ekstraksi akan berdampak pada penurunan nilai keterkaitan ke belakang total pada seluruh sektor dalam perekonomian. Dengan dampak penurunan daya penyebaran terbesar pada sektor-33 (perdagangan, hotel dan restoran) karena sektor ini membutuhkan input produksi terbesar dari sektor industri pengolahan hasil perikanan dibandingkan sektor lainnya. Selain itu juga berdampak pada penurunan nilai keterkaitan ke depan pada seluruh sektor dalam perekonomian. Dengan dampak penurunan derajat kepekaan terbesar pada sektor-5 (ikan dan hasil perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan hasil perikanan budidaya) karena sektor industri pengolahan hasil perikanan membutuhkan input produksi terbesar dari ke dua sektor tersebut. Serta terjadi dekomposisi kelompok sektor kunci dalam perekonomian. Hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan juga menurunkan angka pengganda output, NTB, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja seluruh seluruh sektor dalam perekonomian. Selain itu juga akan berdampak luas terhadap penurunan output perekonomian sebesar Rp107,9 triliun atau 0,82%; penurunan NTB sebesar Rp61,6 triliun atau 0,47%; penurunan pendapatan masyarakat sebesar Rp11,3 triliun atau 0,09% dan penurunan penyerapan tenaga kerja sebanyak 503.812 orang atau 0,004%. Sektror dengan dampak terbesar dirasakan oleh sektor-5 (ikan dan hasil perikanan tangkap) dan sektor-6 (ikan dan hasil perikanan budidaya) sebagai penyedia input utama bagi sektor industri pengolahan hasil perikanan.
Implikasi Kebijakan Hasil simulasi dari hilangnya sektor industri pengolahan hasil perikanan berdampak pada penurunan kemampuan seluruh sektor dalam penciptaan output, 150
NTB, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor industri hasil perikanan memiliki keterkaitan antar sektor yang cukup besar dan memiliki peran yang cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Untuk itu pemerintah perlu terus menjamin keberlangsungan sektor industri pengolahan hasil perikanan untuk dapat terus berproduksi melalui berbagai dukungan program dan kebijakan, seperti program kemitraan dan integrasi hulu-hilir guna menjamin ketersediaan bahan baku, pembangunan kawasan industri pengolahan ikan di daerah potensial perikanan, penguatan sumber daya manusia dibidang produksi olahan ikan, serta dukungan pengembangan inovasi jenis produk, pemasaran, mesin/peralatan, dan laboratorium pengujian pada industri pengolahan hasil perikanan.
DAFTAR PUSTAKA [Balitbang KP] Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Kelautan dan Perikanan Merupakan Kekuatan Menuju Negara Maritim Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1999. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output, BPS, Jakarta. ---------. 2009. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik No. 5 Tahun 2009 Tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, Cetakan III, BPS, Jakarta. ---------. 2014. Pendapatan Masyarakat Nasional Indonesia: National Income of Indonesia, BPS, Jakarta. Chang K. Seung. 2008. Estimating Dynamic Impacts of The Seafood Industry in Alaska. Journals. Marine Resource Economics, Vol. 23, No. 1 pp.87-104. The University of Chicago Press. Chicago. Chenery, H.B., Robinson S dan Syrquin M. 1986. Industrialization and Growth : A Comparative Study. Oxford University Press for World Bank. Collin, Keith J. And Edward H. Glade, Jr. 1981. Regional and Functional Disaggregation of The Cotton Industry in A National Input-Output Model. Journal. Soutern Journal of Agricultural Economics. [DEKIN] Dewan Kelautan Indonesia. 2012. Analisis Input-Output Bidang Kelautan Terhadap Pembangunan Nasional, Laporan Akhir, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Dietzenbacher, E, Van der Linden JA, Steenge AE. 1993. The Regional Extraction Method: EC Input-Output Comparisons, Economic System Research 5: 185-206. [FAO] Food Agriculture Organization. 2012. FAO Statistical Year Book 2012. Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome, Italy. ---------. 2014. The State of World Fisheries and Aquaculture Opportunities and challenges. Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome, Italy.
151
Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Indonesia. Jakarta. ---------. 2009. Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Jakarta. ---------. 2014. Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian. Jakarta. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2012. KKP, Jakarta. [Kemenperin] Kemeterian Perindustrian. 2009. Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Prioritas Berbasis AgroTahun 2010-2014, Jakarta ---------. 2014a. Kebijakan Pengembangan Hilirisasi Industri Pangan Berbasis Perikanan Berkelanjutan. Kemenperin. Jakarta. ---------. 2014b. Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035. Kemenperin, Jakarta. Maulana, Arga. 2012. Analisis Dampak Perpindahan Bandar Udara Terhadap Perekonomian Kota Mataram. Tesis. Universitas Indonesia, Jakarta. [MGI] McKinsey Global Institute. 2012. The Archipelago Economy Unleashing Indonesia Potential. McKinsey & Company. Miller, Ronald E. and Peter D. Blair. 2009. Input-Output Analysis: Foundations and Extensions, 2ndEdition, Cambridge University Press. New York. Nazara, S. 2005. Analisis Input-output. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia : Jakarta. Nazara, S. dan D. Rosmiansyah. 2008. Peranan Subsektor Penambangan dan Peleburan Timah dalam Perekonomian Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jurnal. Kajian Ekonomi Vol. 7 No.1:76-94. Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan: Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan? Feraco, Jakarta. [Permen KP]. 2006. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.18/MEN/2006 tentang Usaha Pengolahan Hasil Perikanan Dikategorikan Menjadi Skala Mikro, Skala Kecil, Skala Menengah Dan Skala Besar. KKP. Jakarta. ---------. 2014. Nomor. 3/PERMEN-KP/2014 tentang Renstra KKP Tahun 2010-2014. KKP. Jakarta. Schultz, S. 1976. Intersectoral comparisons as an approach to the identification of key sectors, in: K.R. Polenske and J.V. Skolka (eds) Advances in Input-Output Analysis (Cambridge, Mass.: Ballinger Publishing Company), pp. 137-159. Strassert, G. (1968) Zur Bestimmung strategischer Sektoren mit Hilfe von Input-Output Modellen, Jahrbücher für Nationalökonomie und Statistik, 182: 211-215.
152
Sunoto. 2012. Industrialisasi Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Swales, Kim, Peter Mc Gregor dan Nikos Pappas. 2002. The Economic Impacts of The UK Sea Fishing and Fish Processing sectors: An Input-Output Analysis. Report. Sea Fish Industry Authority. Edinburgh.
153
154
LAMPIRAN 4
REKOMENDASI KEBIJAKAN
MEMPERBAIKI KINERJA PEREKONOMI SEKTOR PERIKANAN MELALUI PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR RINGKASAN REKOMENDASI Sektor perikanan merupakan salah satu sektor penting yang memiliki nilai strategis bagi pembangunan nasional. Dibutuhkan sumber-sumber pertumbuhan agar sektor ini dapat semakin berperan dalam perekonomian, diantaranya adalah melalui peningkatan investasi dan ekspor. Untuk itu, diperlukan penelitian yang dapat memberikan bahan masukan formulasi kebijakan perbaikan kinerja perekonomian sektor perikanan. Beberapa langkah kebijakan yang dapat dilakukan sebagai upaya memperbaiki kinerja perekonomian perikanan Indonesia melalui peningkatan investasi dan ekspor , yaitu: 1) Peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan yang dilakukan secara simultan (paralel) 2) Penciptaan dukungan iklim usaha dan investasi yang kondusif bagi peningkatan investasi di sektor perikanan. 3) Penerobosan (penetrasi) pasar di pasar-pasar yang telah lama menjadi tujuan ekspor, menggali potensi-potensi pasar di pasar-pasar yang belum digarapkan secara kuat dengan diikuti promosi yang efektif.
ANALISIS SITUASI DAN TANTANGAN Investasi mempunyai peranan sangat penting dalam pembangunan ekonomi nasional, termasuk sektor perikanan. Dalam perspektif jangka panjang, investasi akan meningkatkan stok kapital, dimana penambahan stok kapital akan meningkatkan kapasitas produksi masyarakat yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor perikanan Indonesia, memerlukan berbagai upaya kebijakan/program untuk meningkatan kinerjanya, seperti yang dilakukan melalui pengembangan investasi dan ekspor. Untuk itu, diperlukan bahan masukan untuk menyusun kebijakan perbaikan kinerja sektor perikanan Indonesia, khususnya yang dilakukan melalui peningkatan investasi dan ekspor. Bahan masukan tersebut dalam hal ini diperoleh melalui hasil kajian mengenai dampak peningkatan investasi dan ekspor terhadap kinerja perekonomian sektor perikanan Indonesia.
Metode Penelitian Dalam kajian ini digunakan pendekatan analisis model ekonomi keseimbangan umum (Computable General Equilibrium – CGE) yang dibangun oleh BBRSeKP tahun 2014.Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dari sumber Tabel Input-Output dan Tabel SNSE yang dikeluarkan oleh BPS namun telah mengalami proses disagregasi pada bagian sektor perikanannya. Analisis dampak peningkatan investasi dan ekspor dalam hal ini difokuskan pada tiga hal, yaitu: dampak terhadap tingkat output, harga dan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan Indonesia.
155
Skenario Simulasi Simulasi-1: Terjadi peningkatan jumlah kapital yang digunakan perusahaan-perusahaan (x1cap_ent) di sektor perikanan Indonesia (IndIkan) sebesar 16,07% sesuai dengan rata-rata target pertumbuhan investasi perikanan tahun 2015-2019 dalam Rencana Strategis KKP. Simulasi-2: Terjadi peningkatan volume ekspor produk perikanan (f4q), sebesar 27%, sesuai dengan rata-rata target pertumbuhan volume ekspor produk dari sektor perikanan Indonesia tahun 2015-2019 dalam Rencana Strategis KKP. Simulasi-3: Terjadi peningkatan jumlah kapital yang digunakan perusahaan-perusahaan (x1cap_ent) di sektor perikanan Indonesia (IndiIkan) sebesar 16,07% (Simulasi-1) yang diikuti dengan peningkatan volume ekspor produk perikanan (f4q) sebesar 27% (Simulasi-2) secara bersamaan.
Temuan Analisis Berdasarkan hasil simulasi seperti tertera pada Tabel 1, diketahui bahwa secara umum, peningkatan investasi maupun ekspor perikanan mengakibatkan peningkatan output dari usaha-usaha di sektor perikanan. Hal ini menunjukkan pentingnya investasi dan ekspor untuk mendukung peningkatan output; di samping itu, mengindikasikan peningkatan produktivitas dan atau peningkatan penawaran di sektor-sektor perikanan tersebut lebih besar dibandingkan dengan penurunan permintaan. Secara relatif hasil dampak yang terbaik terhadap output terbesar diperoleh dari hasil peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan secara bersama (simultan). Tabel 1. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Output di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase)
Kemudian, bila dampak peningkatan investasi dan ekspor tersebut disimulasikan terhadap besaran prubahan tingkat harga di sektor perikanan seperti ditunjukkan pada Tabel 2, maka dapat diketahui bahwa: Untuk seluruh kegiatan usaha (sektor) yang menghasilkan komoditas/produk di sektor perikanan, peningkatan investasi usaha perikanan memberikan dampak menurunkan tingkat harga di sektor perikanan. Sebaliknya peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan mengakibatkan peningkatan tingkat harga di seluruh sektor perikanan. 156
Namun bila peningkatan ekspor tersebut dilakukan bersama dengan peningkatan investasi usaha perikanan, ternyata memberikan dampak terhadap penurunan tingkat harga di sektor perikanan, meskipun penurunannya masih lebih rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan dari peningkatan investasi. Tabel 2. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Tingkat Harga di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase)
Terakhir, bila dampak akibat peningkatan investasi dan ekspor perikanan tersebut dilihat pada penyerapan tenaga kerja seperti terlihat pada Tabel 3, maka dapat diketahui bahwa: dalam hal dampaknya terhadap jumlah penyerapan tenaga kerja, secara umum peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan perikanan mengakibatkan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Tabel 3. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi dan Ekspor Perikanan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Perikanan (Perubahan Persentase)
Namun secara spesifik, berbeda halnya dengan peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan yang seluruhnya meningkatkan penyerapan tenaga kerja, maka peningkatan investasi pada kegiatan usaha perikanan penghasil komoditas/produk patin dan kerapu serta 157
industri olahan ikan kering dan ikan asin justru berdampak menurunkan penyerapan tenaga kerja.
SIMPULAN ANALISIS Secara umum, peningkatan investasi maupun ekspor perikanan mengakibatkan peningkatan output dan penyerapan tenaga kerja dari usaha-usaha di sektor perikanan. Namun, secara relatif hasil dampak yang terbaik dalam memberikan dampak output dan penyerapan tenaga kerja terbesar diperoleh dari hasil peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan secara bersama (simultan). Kemudian, untuk seluruh kegiatan usaha (sektor) yang menghasilkan komoditas/produk di sektor perikanan, peningkatan investasi usaha perikanan memberikan dampak menurunkan tingkat harga di sektor perikanan. Sebaliknya yang terjadi akibat peningkatan ekspor komoditas/produk perikanan yang berdampak menaikkan tingkat harga di sektor perikanan. Namun bila peningkatan ekspor tersebut dilakukan bersama dengan peningkatan investasi usaha perikanan, ternyata memberikan dampak terhadap penurunan tingkat harga di sektor perikanan.
ALTERNATIF KEBIJAKAN Untuk memperbaiki kinerje perekonomian sektor perikanan Indonesia, khususnya yang dilakukan melalui peningkatan investasi dan ekspor, maka perlu dilakukan beberapa alternative kebijakan penting, yaitu: 1) Peningkatan investasi usaha dan ekspor komoditas/produk perikanan yang dilakukan secara simultan (paralel) 2) Penciptaan dukungan iklim usaha dan investasi yang kondusif bagi peningkatan investasi di sektor perikanan, seperti dengan melakukan: (a) Pemberian izin investasi yang tidak berbelit-belit; (b) Penghapusan berbagai pungutan baik resmi maupun tidak resmi yang tidak berkaitan dengan biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan perikanan; dan (c) Penciptaan kondisi keamanan di lingkungan perusahaan dan di dalam negeri. 3) Penerobosan (penetrasi) pasar di pasar-pasar yang telah lama menjadi tujuan ekspor, menggali potensi-potensi pasar di pasar-pasar yang belum digarapkan secara kuat dengan diikuti promosi yang efektif.
DAFTAR PUSTAKA Arrow, K.J. and Debreu, G. 1954. Existence of an Equilibrium for a Competitive Economy. Econometrica, 22: 265-290. Bandara, J.S. 1991. Computable General Equilibrium Models for Development Policy Analysis in LDCs, Journal of Economic Surveys, Vol.5, No.1, p.3Bergman, L. and M. Henrekson (2003) CGE Modeling of Environmental Policy and Resource Management, Lecture Note, Stockholm School of Economics. Dervis, K., J. De Melo dan S. Robinson. 1982. General Equilibrium Models for Development Policy. A World Bank Reserach Publication. Cambrdige University Press. New York. Devarajan, S. 2002. The Impact of Computable General Equilibrium Models on Policy. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington DC. 158
Devarajan, S., J. D. Lewis, and S. Robinson. 1990. Policy Lessons from Trade-Focused, Two-sector Models . Journal of Policy Modeling, 12(4): 625-57 Dixon, P.B., B.R. Parmenter, J. Sutton, and D.P. Vincent. 1982. ORANI: A Multisectoral Model of the Australian Economy. North Holland, Amsterdam. Horridge, J. Mark and D.W. Jorgenson. 2008. Handbook of Computable General Equilibrium Modeling: Volume 1A. North-Holland, Oxford. Horridge, J. Mark. 2003. Orani-G: A Generic Single-Country Computable General Equilibrium Model. Center of Policy Studies and Impact Project, Monash University. Horridge, J.M., B.R. Parmenter, K.R. Pearson. 1998. ORANI-G: A General Equilibrium Model of the Australian Economy. Center of Policy Studies and Impact Project, Monash University, Australia. Horison, G. 1997. Computabel General Equilibrium Models. Downloaded from http:// www.mobidk.dk.bt./-mobi-cge.htm [06 November 2009]. KKP. 2015. Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Krueger, A. O. 1999. Are Preferential Trading Arrangements Trade-Liberalizing or Protectionist? Journal of Economic Perspectives, 13 (4): 105–124. Lofgren, H., R.I. Harris, dan S. Robinson. 2002. A Standard Computable General Equilibrium (CGE) Model in Gams. International Food Policy Reasearch Institute. Manna, M. L. 2001. Introduction to General Equilibrium. Lecture 21 EC2001. School of Economics, University of St Andrew. http://www.st-andrews.ac.uk/~mlm/ HomePage/EC2001/lecture7.pdf Nicholson, W. 2004. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga. Jakarta. Oktaviani, R. 2011. Model Ekonomi Keseimbangan Umum: Teori dan Aplikasinya di Indonesia. Bogor. IPB Press. Susanti, E.N. 2003. Dampak Perubahan Investasi dan Produktivitas Sektor Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia (Aplikasi Model Ekonomi Keseimbangan Umum). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Van der Eng, P. 2009. Capital Formation and Capital Stock in Indonesia, 1950-2008. BIES, 45 (3): 345-371.
159