PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA ANALISA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI
MUHAMMAD MUSYAFFAK FAUZI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA ANALISA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI
MUHAMMAD MUSYAFFAK FAUZI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRACT
MUHAMMAD MUSYAFFAK FAUZI. The Role of Agricutural Sector in Indonesian Economic : Social Accounting Matrix Model. (ARIEF DARYANTO as Chairman. SJAFRI MANGKUPRAWIRA and ERWIDODO as Members of Advisory Committee) The attention of government to the agricultural development during this time is large enough, but from the amount of the policies that be released often less of touch and to accelerate to the performance of agricultural sector so that the role of agricutural sector in national economy is not optimal yet. The objective of this study is in order to analize the role of agricultural sector in national economy to identify the effect of income path of agriculture sector to the housing income and to formulate the agricultural development policy that have the most highest of influence to the housing income, the labor, production and economy sector entirely. In order to answer all of such purpose in this study used social accounting matrix model (SAM). Some important findings be concluded from this research namely (1) base on the quality of multiplier numbering side (VM, HM, FM, OSM, PM and GM) to 39 prodution sectors show nine production sectors that have level between first to ten come from agricultural sector and agro industry sector namely paddy milling industry sub sector, paddy, sugar cane, livestock cattle beef sector, corn, livestock and its production, godds plant agicultural, wood industry and the production of plantation, (2) Agricultural sector have the multiplier effect that be reflected more to the agriculture businessman housing industrial, (3) the elementary path of agriculture sector that ends in the housing which have the low income and the labor of agriculture in general only through the channel of production sector, labor and ends in housing, some the Agricultural sectors that have the basic path such as namely corn, food, beverage and tobacco, Forestry industry and hunting industry, oil industry and fat and also paddy milling industry and (4) The best policy of agricultural development that motivate the economy aggregately and to repair the income distribution is the policy in production and price sector. Both of these policies have the abilities to increase the income, the production factor, houshold institution and the better production sector. Key words : role of agricultural sector, agricultural development policy, income path effect, social accounting matrix.
ABSTRAK
MUHAMMAD MUSYAFFAK FAUZI. Perananan Sektor Pertanian Dalam Perekonomian Indonesia; Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (ARIEF DARYANTO sebagai Ketua, SJAFRI MANGKUPRAWIRA dan ERWIDODO sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Perhatian pemerintah terhadap pembangunan pertanian selama ini cukup besar, namun dari sejumlah kebijkan yang dikeluarkan seringkali kurang menyentuh dan mengakselerasi kinerja sektor pertanian, sehingga peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional belum terlihat optimal. Studi ini bertujuan untuk menganilisis peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional, mengidentifikasi efek jalur pendapatan sektor pertanian terhadap pendapatan rumahtangga, dan merumuskan kebijakan pembangunan pertanian yang memiliki pengaruh paling besar terhadap pendapatan rumahtangga, tenaga kerja, sektorsektor produksi dan perekonomian secara menyeluruh. Untuk menjawab semua tujuan tersebut digunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Beberapa temuan penting disimpulkan dari penelitian ini yakni : (1) berdasarkan pembobotan dari sisi angka value added multiplier (VM), houshold multiplier (HM), Firm multiplier (FM), OSM, PM dan gross multiplier (GM) terhadap 39 sektor produksi, menunjukan sembilan sektor produksi yang menduduki peringkat 1 sampai dengan 10 berasal dari sektor pertanian dan sektor agroindustri yaitu subsektor industri penggilingan padi, padi, tebu,industri pemotongan ternak, jagung, peternakan dan hasil-hasilnya, pertanian tanaman pangan, industri kayu dan tanaman perkebunan, (2) sektor pertanian mempunyai efek pengganda yang lebih banyak dipancarkan kepada rumahtangga pengusaha tani, (3) jalur dasar sektor pertanian yang berakhir pada rumahtangga berpendapatan rendah dan buruh tani umumnya hanya melalui alur dari sektor produksi, tenaga kerja, dan berakhir pada rumahtangga, untuk pengusaha tani dan rumahtangga di perkotaan, sebagian besar jalur dasarnya dimulai dari sektor pertanian, kemudian tenaga kerja, modal, produksi, dan terakhir rumahtangga. Beberapa sektor pertanian yang memiliki jalur dasar seperti ini antara lain subsektor jagung, kehutanan dan perburuan, industri makanan, minuman dan tembakau, industri minyak dan lemak, serta industri penggilingan padi, dan (4) kebijakan pembagunan pertanian yang paling baik mendorong perekonomian secara agregat dan memperbaiki distribusi pendapatan adalah kebijakan di sektor produksi dan harga. Kedua kebijakan ini secara merata mampu menaikkan pendapatan faktor produksi, institusi rumahtangga, dan sektor produksi lebih baik. Kata kunci : peran sektor pertanian, kebijakan pembangunan pertanian, efek jalur pendapatan, Sistem Neraca Sosial Ekonomi
RINGKASAN Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia, baik itu pada pertumbuhan ekonomi, penerimaan devisa negara, pemenuhan kebutuhan pangan, maupun penyerapan tenaga kerja. Pada Tahun 2006 kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), menyumbang sekitar 14.15 persen, dan menyerap 95,5 juta penduduk yang bekerja atau setara 42.05 persen dari keseluruhan tenaga kerja serta menyumbang surplus neraca perdagangan sebesar 10 041.01 juta US $ (BPS 2006). Sektor pertanian mempunyai pengaruh paling besar terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya yang berada di daerah pedesan dan memiliki keterkaitan yang paling tinggi dengan penigkatan produksi di sektor-sektor kegiatan produksi lainnya sehingga pembangunan di sktor pertanian memberikan dampak paling besar terhadap perekonomian nasional. Terkait dengan kenyataan di atas serta adanya kebijakan dari pemerintah mengenai strategi pembangunan ekonomi di Indonesia ke depan yang dikenal dengan triple-track strategy dengan misinya (1) menigkatkan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui penciptaan investasi dan ekspor (2) mengerakan sektor riil untuk menyerap angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk pengentasan kemiskinan. Melalui ketiga track-strategy tersebut diharapkan sektor pertanian bisa menjadi prime mover pertumbuhan ekonomi negara Indonesia di masa mendatang, maka perlu untuk mengkaji kembali dan menelaah lebih jauh mengenai peranan sektor pertanian di Indonesia. Sektor pertanian saat ini hanya dipandang dan diposisikan sbagai pendukung (buffer sector) bagi pertumbuhan sektor-sektor lainnya, terutama industri dan jasa. Pandangan tersebut telah mengakibatkan dan mendorong terjadinya berbagai paradoks dalam pembangunan. Peningkatan produktivitas sektor pertanian berjalan sangat lambat dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya sementara proporsi tenaga kerja pada berbagai kegiatan produktif di pertanian masih cukup besar, sehingga sisi negatif yang sangat tampak dominan adalah masih rendahnya tingkat pendapatan riil petani, lambatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan, serta kesenjangan produktivitas tenaga kerja dan earning capacity sektor pertanian dibandingkan dengan sektor lain. Program dan langkah nyata untuk mengintegrasikan kegiatan ekonomi pertanian primer dengan kegiatan industri pengolahan (agroindustri) perlu dilakukan segera untuk menigkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat, mengingat nilai tambah yang tinggi berada di industri pengolahan. Tumbuhnya sektor pertanian bersama-sama dengan industri pengolahannya dapat mendorong transformasi penyerapan tenaga kerjayang semula terkonsentrasi di sektor pertanian primer secara bertahap dapat beralih ke sektor industri pengolahan (agroindustri). Akan tetapi masalahnya, banyak faktor yang menghambat untuk menciptakan kondisi semacam itu, terutama karena persoalan teknis budidaya, pasca panen, permodalan, akses pasar, kebijakan kelembagaan, perdagangan dan pengembangan industri pengolahan masih dirasakan lamban. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, dapat dipastikan akan melemahkan petani dan
agroindustri, serta mendorong peningkatan impor komoditi pertanian dan produk olahannya ke pasar domestik. Pembangunan pertanian yang dijalankan selama ini tampaknya belum sepenuhnya berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat pedesaan. Untuk itu sangat diperlukan adanya program terobosan yang dapat mentransformasikan tenaga kerja pertanian ke sektor industri yang terkaitdengan sumberdaya pertanian. Kebijakan untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah yang terkait dengan agro manufacuring (agroindustri) di banyak negara berkembang termasuk Indonesia masih rendah dikarenakan kementerian pertanian tidak memiliki mandat menyangkut kebijakan perbaikan iklim investasi yang terkait dengan lembaga keuangan, asuransi, perpajakan, dukungan dalam pembentukan jaringan agroindustri serta perbaikan infrasturktur di pedesaan, sementara kementerian lain yang memiliki mandat dalam hal kebijakan ekonomi kurang perduli terhadap rantai nilai pertanian di daerah-daerah pedesaan. Oleh karena itu, untuk menjelaskan seberapa besar peran penting pertanian dalam tulisan ini dengan mengkaji ulang dan menelaah, sejauh mana pengaruh langsung dan pengaruh global dari pembangunan sektor pertanian dan agroindustri terhadap perubahan pendapatan rumah tangga di pedesaan dan rumah tangga lainnya yang tergolong rendah, dan dampaknya dalam mempengaruhi kenaikan pendapatan rumah tangga di pedesaan dan rumah tangga lainnya yang tergolong rendah, penerimaan upah tenaga kerja , sektor-sektor produksi dan nilai tambah dari sektor produksi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan sektor pertanian dan agroindustri pada perekonomian nasional serta melakukan analisis efek jalur pendapatan sektor pertanian dan agroindustri yang paling besar mempengaruhi pendapatan rumah tangga di pedesaan, dan rumahtangga lainnya. Diharapkan dari penelitian ini diperoleh saran kebijakan pembangunan pertanian dan agroindustri yang tepat di Indonesia. Metedologi penelitian yang digunakan adalah meliputi pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, melakukan konstruksi SNSE 2003 dengan memasukan subsektor padi, jagung, sawit, dan gula, dengan maksud untuk melakukan analisis yang lebih mendalam. Data yang digunakan dalam penelitian berupa tabel Input-Output Indonesia 2003. Tabel SNSE Indonesia 2000, PDB Indonesia 1993-2006, Jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja (1993-2006), Jumlah Penduduk Indonesia (1993-2006), Neraca Pedagangan Ekspor-Impor1993-2003, Statistik Pertanian tahun 20022006, Sensus pertanian tahun 2003, Survei Khusus Tabungan dan Investasi Rumahtangga (SKTIR). Atas dasar kontruksi SNSE 2003 tersebut dilakukan analisis terhadap struktur perekonomian Indonesia terhadap nilai tambah, neraca perdagangan luar negeri dan struktur tenaga kerja dari masing-masing sektor perekonomian. Disamping itu, analisis dilakukan berdasarkan angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier (VM), household induced income multiplier (HM), firm income multiplier (FM), other sector income multiplier (OSM), production multiplier (PM) dan gross output multiplier (GM). Atas hasil analisis tersebut agar dapat memotret alur dampak sektor pertanian terhadap perekonomian nasional yang lebih rinci maka digunakan metode structural path analysis atau SPA. Melalui SPA dapat dilakukan identifikasi seluruh jaringan
yang berisi jalur yang menghubungkan pengaruh suatu sektor pada sektor lainnya dalam suatu sistem sosial ekonomi. Pengaruh dari suatu sektor ke sektor lainnya dapat melalui sebuah jalur dasar (elementary path) atau sirkuit (circuit). Selain itu pengaruh yang diukur bukan hanya mencangkup pengaruh langsung, namun juga termasuk pengaruh tidak langsung, pengaruh total dan pengaruh global. Beragam analisis ini untuk mengetahui bagaimana peranan dan dampak sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia. Hasil penelitian menunjukan peranan sektor pertanian terhadap nilai tambah atau pendapatan faktor-faktor produksi adalah yang paling besar bila dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Terutama subsektor padi, subsektor industri penggilingan padi, dan subsektor tebu. Ketiganya merupakan subsektor pertanian dan agroindustri yang paling tinggi peranannya dilihat dari sisi multiplier nilai tambah (VM) dan terhadap perubahan pendapatan rumahtangga serta keterkaitannya dengan sektor perekonomian lain dalam perekonomian Indonesia. Analisis struktur ekonomi Indonesia memperlihatkan sektor pertanian masih merupakan pengguna tenaga kerja tertinggi dalam menghasilkan nilai tambah (value added), hal ini merupakan suatu petunjuk peranan penting sektor pertanian sebagai penyerap tenaga kerja nasional terbesar. Ditilik dengan SPA, jalur dasar sektor pertanian yang berakhir pada rumahtangga berpendapatan rendah dan buruh tani umumnya hanya melalui jalur mulai dari sektor produksi, kemudian tenaga kerja, dan berakhir pada rumahtangga. Sedangkan untuk pengusaha tani dan rumahtangga di perkotaan, sebagian besar jalur dasarnya dimulai dari sektor pertanian, kemudian tenaga kerja, modal, produksi (padi, jagung, kelapa sawit, perkebunan, dan perdagangan), dan terakhir rumahtangga. Kebijakan pembangunan pertanian yang paling besar mendorong kenaikan pendapatan tenga kerja pertanian adalah kebijakan dalam bidang produksi, harga dan perdagangan. Sedangkan pada rumahtangga petani yakni buruh tani dan petani pemilik modal, diluar kebijakan transfer pendapatan secara langsung, maka kebijakan harga merupakan kebijakan pembangunan pertanian yang dapat meningkatkan pendapatan kedua institusi rumahtangga tersebut. Atas kondisi tersebut, ke depan diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih efektif dalam menigkatkan produksi pertanian melalui proses intensifikasi seperti akses ke sumber-sumber input berkualitas, informasi, penyuluhan dan pendampingan, teknologi tepat guna, kredit, maupun pasar output, yang kesemuanya ini merupakan acces reform yang tujuan utamanya adalah meningkatkan nilai tambah bagi petani, dan ekstensifikasi melalui pembukaan lahan pertanian baru (land reform) mengingat masih tersedianya lahan yang belum termanfaatkan seluas 10 juta hektar.
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia : Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Januari 2009
MUHAMMAD MUSYAFAK FAUZI NRP. A5460141514
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1961 di desa Temor Lorong Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan Jawa Timur, sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara dari pasangan Haji Mohammad Fauzi dengan Hajjah Siti Syafi’ah. Penulis memulai pendidikan sekolah dasar (SD) pada Sekolah Dasar Negeri Burneh I Bangkalan tahun (1968 – 1973), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) pada Sekolah Menegah Pertama Negeri II Bangkalan (1974 -1976), dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) pada Sekolah Menegah Atas Negeri I Bangkalan tahun (1977 – 1980). Pendidikan Strata I (S-1) penulis ditempuh di Sekolah Tinggi Pertanian (Stiper) Yogyakarta tahun 1980 – 1987 dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 1982 – 1988. Penulis menempuh pendidikan pascasarjana (strata 2 / S-2 pada Program Pascasarjana studi notariat dan Pertanahan Universitas Indonesia di Jakarta pada tahun 1990-1995 dan pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada tahun 1998 – 2000 (tugas belajar /beasiswa OTO Bappenas Jakarta). Penulis mempunyai pengalaman bekerja sebagai staf pembela umum pada LBH Yogyakarta pada tahun 1987 – 1988, Corporate Lawyer PT Morelly Makmur di Subang Jawa Barat dan PT Katheta di Kuningan Jawa Barat pada tahun 1990 – 1999. Pekerjaan penulis sebagai Pegawai Negeri Sipil Departemen Pertanian dimulai tahun 1990 sampai sekarang, dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Bagian Umum Balai Besar Karantina Pertanian Belawan, Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian. Penulis menikah pada tahun 1998 dengan seorang wanita bernama Hayyin Farichah, puteri ke-3 dari pasangan K.H. Nur Muhammad dengan Hajjah Maulidlatul Ummayah dan dari pernikahan tersebut telah dikaruniai 6 orang putera dan puteri : Nurmilla ’Izzati, Namira Fauzia, Rizka Azkia, Muhammad ’Izzul-islam, Muhammad Mufawwizul-Kaunain dan Muhammad Aghis Nasli Wifqo.
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang mana karena berkah, rahmat serta karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertai ini, yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan program doktor (S-3) pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Disertai dengan judul:” Peranan Sektor Pertanian Dalam Perekonomian Indonesia : Analisis Sitem Neraca Sosial Ekonomi”, adalah suatu tulisan yang mencoba membahas peran sektor pertanian dilihat dari kontribusinya dalam perekonomian nasional dilihat dari nilai tambah yang dihasilkan, penyediaan lapangan kerja, multiplier yang ditimbulkan, perdagangan luar negeri dan keterkaitan dengan sektor lain. Beberapa kebijakan disimulasikan pada penelitian ini, dikaitkan dengan peranan sektor pertanian terhadap pendapatan rumahtangga (khususnya di pedesaan), produksi nasional, perdagangan luar negeri dan pendapatan pemerintah sendiri, serta alur proses aliran perubahan dari suatu sektor ke sektor lainnya, dalam Sistem Neraca Ekonomi Indonesia. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1.
Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira dan Dr. Ir. Erwidodo, MS. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan, arahan, nasehat dan bimbingan dalam penulisan disertai ini.
2.
Para guru atau dosen pengajar selama penulis menempuh pendidikan S-3 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, yang telah membimbing dan mengajar penulis sehingga dapat membuka pengetahuan dan wawasan penulis dalam ilmu ekonomi khususnya ekonomi pertanian.
3.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA., selaku ketua program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,, yang telah banyak memberikan dorongan, arahan dan bimbingan yang sangat berharga bagi terselesaikannya disertasi ini.
4.
Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti program doktor pada sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 5.
Kepala Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian (Dr. Ir. Delima Azhari, MS. dan Dr. Drh. Sofyan Darajat, MS.) yang telah memberikan izin kepada penulis untuk dapat mengikuti jenjang pendidikan Strata 3 pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
6.
Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Belawan, Suparno, SA. SH. yang telah memberikan kesempatan, dorongan dan bantuan kepada penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
7.
Orang tua penulis Ayahanda H. Moh. Fauzi (Alm), dan ibunda Hajjah Syafi’ah Fauzi yang mana berkat doa, ridho, dan jasa kedua orang tua yang saya muliakan. Penulis dapat mengikuti pendidikan dan menyelesaikan disertasi pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
8.
Isteri penulis yang mana dengan penuh kesabaran dan tidak bosan-bosannya mendorong serta memberikan dukungan bagi terselesaikannya disertasi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan maaf yang teramat dalam dan terima kasih karena dalam menyelesaikan disertasi ini banyak waktu yang tersita untuk penyelesaian disertasi ini, yang seharusnya tersedia untuk para anakku tercinta. Serta juga tidak lupa untuk adik-adik penulis : Hajjah Siti Mudhiatussyari”ah, Haji Ir. Mohammad Toha Fauzi MT, Dra. Afifatul Anwariyah M.Si., Dra. Hajjah Shofiyah, Dra. Anisah Fauziah dan Dra. Afifatul Anawariyah M.Si. yang mana berkat sindirannya secara tidak langsung mendorong penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
9.
Seluruh
keluarga
penulis,
terutama
keluarga
Pondok
Pesantren
Asshomadiyah di Burneh Bangkalan Madura dan keluarga besar Pondok Pesantren Mojosari Loceret Nganjuk, paguyuban keluarga besar Kiyai Bagus Harun (Kiyai Ageng Basyariyah Sewulan Madiun), yang telah memberikan dorongan moral dan spritual bagi terselesaikannya disertasi ini. 10.
Teman-teman penulis terutama dari Program Study EPN Khusus IPB angkatan pertama (tahun 2002), teman-teman Program S-3 EPN Reguler angkatan tahun 2000, dan teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang selalu setia untuk memberikan semangat agar tidak
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
viii
I. PENDAHULUAN..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .........................................................................
8
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................
14
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...................................
15
1.5.Kegunaan Penelitian .........................................................................
15
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
17
2.1. Pembangunan Sektor Pertanian.......................................................
17
2.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ........................................................
28
2.3. Tinjauan Studi-Studi Terdahulu .......................................................
34
2.3.1. Peranan Sektor Pertanian .......................................................
34
2.3.2. Penerapan Sistem Neraca Sosial Ekonomi ...........................
41
III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................
53
3.1. Kerangka Konseptual Penelitian ......................................................
53
3.2. Kerangka Analisis Penelitian ...........................................................
56
3.3. Kebijakan Pembangunan Pertanian .................................................
57
3.3.1. Subsidi dan Dukungan Harga. ...............................................
62
3.3.2. Stabilisasi Harga ....................................................................
66
3.3.3. Kebijakan Tarif dan Kuota ....................................................
69
IV. METODE PENELITIAN .....................................................................
72
4.1. Kerangka Konstruksi Sistem Neraca Sosial Ekonomi .....................
72
4.1.1. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2003 ......
72
4.1.2. Tahapan Penyusunan Sistem Neraca Sosial Ekonomi 2003 ..
75
II.
4.2. Jenis dan Sumber Data .....................................................................
80
4.3. Analisis Kuantitatif dalam Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi .
80
4.3.1. Analisis Angka Pengganda ....................................................
80
4.3.2. Structural Path Analysis .......................................................
85
4.4. Aplikasi Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi ..............................
89
4.4.1. Analisis Struktur Ekonomi .....................................................
89
4.4.2. Pengganda Sistem Neraca Sosial Ekonomi ...........................
89
4.4.3. Transfer terhadap Kelompok Rumahtangga ..........................
91
4.4.4. Analisis Jalur Struktural .........................................................
91
4.4.5. Simulasi Kebijakan ................................................................
91
V. DESKRIPSI SEKTOR PERTANIAN BERDASARKAN KAJIAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI .........................................
95
5.1. Struktur Nilai Tambah .....................................................................
95
5.2. Perdagangan Luar Negeri ............................................................... 103 5.4. Penggunaan Tenaga Kerja................................................................ 110 VI. DAMPAK SEKTOR PERTANIAN BERDASARKAN ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI........................................... 114 6.1. Dampak Multiplier Sektor Pertanian terhadap Perekonomian......... 114 6.2. Dampak Sektor Pertanian terhadap Pendapatan Tenaga Kerja dan Modal, Rumahtangga dan Sektor-Sektor Produksi ................... 125 6.3. Dekomposisi Multiplier Sektor Pertanian ........................................ 139 6.4. Jalur Struktural Sektor Pertanian ke Rumahtangga ......................... 145 VII. SIMULASI DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN .............................. 157 7.1. Dampak Kebijakan di Sektor Perekonomian terhadap Pendapatan Tenaga Kerja dan Rumahtangga ...................................................... 160 7.2. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektoral dan Output Nasional ......................................................... 170 7.3. Dampak Pembangunan Pertanian terhadap Perekonomian Dirinci Menurut Kelompok Kebijakan......................................................... 178
ii
VIII. IMPLIKASI KEBIJAKAN ………………………………………….. 183 IX. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 189 9.1. Kesimpulan ...................................................................................... 189 9.2. Saran................................................................................................. 191 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 194 LAMPIRAN ........................................................................................... 204
iii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Neraca Ekspor Impor Komoditas Pertanian Tahun 2003-2007 ................
2
2. Rata-Rata Produktivitas Relatif Tenaga Kerja Per Tahun Selama Periode 1993-1997 dan Tahun 1998-2006 Dirinci Menurut Sektor Produksi …..
3
3. Kontribusi Relatif Sektor Pertanian dalam Penyerapan Tenaga Kerja ......
4
4. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi .......................................
33
5. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi Komoditi Pertanian Indonesia Tahun 2003 (44 x 44) .................................................................................
73
6. Skema Sederhana Sistem Neraca Sosial Ekonomi.....................................
81
7. Distribusi Nilai Tambah PDB Tahun 2003 Dalam 5 Sektor ......................
96
8. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Pertanian ....................
96
9. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Pertambangan .............
98
10. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Agroindustri ...............
99
11. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Manufaktur ............... 101 12. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Jasa-Jasa ..................... 103 13. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Pertanian Primer ........................... 104 14. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Pertambangan ............................... 105 15. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Agroindustri ................................. 105 16. Nilai Ekspor Impor Sektor Industri Manufaktur ....................................... 106 17. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Industri Jasa .................................. 106 18. Total Ekspor Impor Indonesia Tahun 2003 ............................................... 107 19. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Sektor Pertanian Primer ........................ 109 20. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Sektor Agroindustri .............................. 111
iv
21. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor Pertambangan .......... 112 22. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor Manufaktur .............. 112 23. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor jasa ........................... 113 24. Angka Multiplier Sektoral Berdasarkan SNSE Tahun 2003................... 117 25. Rangking Sektor-Sektor Ekonomi Berdasarkan Multiplier SNSE ............ 124 26. Disagregasi Dampak Multiplier Sektor Pertanian terhadap Nilai Tambah 126 27. Disagregasi Dampak Multiplier Sektor Pertanian terhadap Pendapatan Rumahtangga ............................................................................................. 130 28. Dampak Konsumsi Rumahtangga terhadap Pendapatan Sektor Pertanian..................................................................................................... 135 29. Disagregasi Multiplier Produksi Sektor Pertanian ..................................... 137 30. Dekomposisi Multiplier Sektor Pertanian .................................................. 141 31. Jalur Dasar Komoditi Padi ke Institusi Rumahtangga .............................. 148 32. Jalur Dasar Sektor Industri Penggilingan Padi ke Rumahtangga............... 153 33. Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Faktor Produksi....................................................................... 161 34. Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Institusi ................................................................................... 165 35. Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor-Sektor Produksi ........................................................... 172 36. Rata-Rata Peningkatan Total Output Kebijakan Sektor Pertanian dengan Non Pertanian ............................................................................................. 176 37. Penyerapan Tenaga Sektoral untuk Masing-Masing Kebijakan ............... 177 38. Dampak Pembangunan Pertanian Menurut Kelompok Kebijakan ........... 179
v
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Perubahan Permintaan dan Penawaran pada Produk Pertanian dan Non Pertanian Dalam Pertumbuhan Ekonomi Dilihat dari Hukum Engel. .........................................................................................................
26
2. Diagram Sistem Modular SNSE................................................................
31
3. Peran Sektor Pertanian Dalam Perekonomian Nasional ...........................
54
4. Kerangka Analisis Penelitian ....................................................................
56
5. Subsidi Dipandang Sebagai Pajak Negatif (Keuntungan Subsidi Dibagi Antara Pembeli dan Penjual) ....................................................................
64
6. Dukungan Harga dan Dampaknya ............................................................
65
7. Kebijakan Pemerintah dengan Penetapan Harga Minimum .....................
67
8. Kebijakan Pemerintah dengan Penetapan Harga Maksimum .................
68
9. Kebijakan Pemerintah dengan Pengenaan Tarif atau Kuota ...................
70
10. Contoh Kemungkinan Keterkaitan antara Dua Sektor .............................. .
86
11.
Peranan Sektor-Sektor Produksi dalam Perekonomian Berdasarkan Nilai Multiplier dan Kelompok Sektor
......................................................
118
12. Jalur Dasar Komoditi Padi ke Institusi Rumahtangga ............................... 150 13. Jalur Struktural Industri Penggilingan Padi ke Institusi Rumahtangga ............................................................................................. 154 14. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Faktor Produksi .................................................................................................... 161 15. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Rumahtangga ............................................................................................ 165 16.
Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Pertanian ................................................................................... 173
17.
Dampak Kebijakan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Pertambangan dan Penggalian ................................................. 173
vi
18.
Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Industri ...................................................................................... 174
19. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Jasa-Jasa ..................................................................................... 174 20. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Jasa-Jasa Menurut Kelompok Kebijakan ................................... 180 21. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Rumahtangga Menurut Kelompok Kebijakan .......................................... 180 22. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan SektorSektor Produksi Menurut Kelompok Kebijakan ....................................... 181
vii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Laju Inflasi selama tahun 1994-2006 ........................................................ 205 2. Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 1993 -2006 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku ............................................. 206 3. Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 1993 -2006 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku ............................................. 208 4. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1994-2006 ....................... 210 5. Kontribusi Sektor Produksi terhadap Perekonomian Indonesia Tahun 993-2006 ....................................................................................... 211 6. Penduduk Berumur 15 Tahun Ke atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Tahun 1993-2006 .......................................................... 212 7. Produktivitas Relatif Penduduk Berumur 15 Tahun Ke atas Yang Bekerja menururt Lapangan Usaha Tahun 1993-2006 .................... 213 8. Jumlah Tenaga Keja Persektor Ekonomi Tahun 2003 .............................. 214 9. Nilai Tambah Persektor Dilihat Dari Kelompok Tenaga Kerja ................ 215 10. Kontribusi Kelompok Tenaga Kerja terhadap Penciptaan Nilai Tambah dan Produktivitas Tenaga Kerja Persektor Produksi .......... 216 11. Jumlah Tenaga Kerja dalam Per sektor Produksi ..................................... 217 12. Simulasi dan Dampaknya terhadap Pendapatan Rumah Tangga Dan Perolehan Tenaga Kerja .................................................................... 218 13. Simulasi dan dampaknya terhadap 27 sektor Produksi ............................. 220 14. Simulasi dan Dampaknya terhadap Total Produksi, Pendapatan Rumah Tangga, Upah Tenaga Kerja, Neraca Kapital, Penerimaan Pemerintah dan Impor ............................................................................... 222 15. Ranking Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Pendapatan Tenaga Kerja, Rumah Tangga dan Total Produksi ................................. 223
16. Ranking Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Produksi Berdasarkan Persentase ............................................................................ 224
viii
17. Ranking Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Produksi Berdasarkan Pertambahan Jumlah Produksi ............................................. 225 18. Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Penyerapan Tenga Kerja ............ 226 19. Ranking Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja ............................................................................................. 227 20. Pengaruh Simulasi Kiebijakan terhadap Rata-rata Peningkatan Total Output, Penerimaan Pemerintah, Ekspor dan Subsidi ..................... 228 21. Matrik Koefisien Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2003 ............................................................................................... 229 22. Matriks Angka Pengganda Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2003 .............................................................................. 235 23. Matriks Transfer Multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2003 ............................................................................... 241 24. Matriks Open Loop Multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2003 ............................................................................... 247 25. Matriks Closed Loop Multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2003 ............................................................................... 253 26. Jalur Dasar Sektor Pertanian dan Agroindustri Ke Rumahtangga ............ 259 27. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian .................... 282
ix
menyerah dan maju terus.untuk segera menyelesaikan disertasi ini, terima ksih atas perhatian dan dukungannya. 11.
Dr. Ir. Yundi, MS. yang telah banyak membantu penulis dalam mengolah data yang berkaitan dengan analisis jalur struktural (Structural Path Analysis/SPA) dan telah membagi pengetahuannya tersebut kepada penulis.
12.
Dr. Rusman Heriawan, Kepala Badan Pusat Statistik dan saudari Nina Suri, Kepala Seksi SNSE BPS Jakarta, yang telah membantu penyediaan data bagi tersusunnya SNSE Indonesia tahun 2003 yang telah dimodifikasi.
13.
Semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan disertasi ini, yang pada kesempatan ini tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Sebagai manusia biasa sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits : Al Insaanu makhallul-khotho’ wa-nisyan yang mempunyai arti ” manusia adalah tempat bersemayamnya kesalahan dan kelupaan”. Namun demikian dari disertasi ini penulis sangat berharap dapat memberi manfaat terhadap banyak kalangan baik pemerintah, akademisi, mahasiswa atau siapa saja sehingga dari manfaat ini dapat menjadi amal jariyah bagi penulis, guru-guru penulis yang nantinya dapat menjadi bekal kelamatan dalam mengahadap sang Khalik di alam masa yang kekal.
Jakarta, Januari 2009
Penulis
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia, baik itu pada pertumbuhan ekonomi, penerimaan devisa negara, pemenuhan kebutuhan pangan, maupun penyerapan tenaga kerja. Pada Tahun 2006 kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) adalah 14.15
persen, menempati posisi ketiga sesudah sektor
perdagangan sebesar 16.89 persen, dan sektor industri pengolahan sebesar 27.84 persen. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat strategis, dimana dari 95.5 juta penduduk yang bekerja sekitar 42.05 persen merupakan tenaga kerja di sektor pertanian (BPS 2006). Selain itu sektor pertanian merupakan penyedia bahan baku penting
bagi keperluan industri,
khususnya industri pengolahan makanan dan minuman (agroindustri). Sektor pertanian juga merupakan pilar utama dalam menopang ketahanan pangan negara melalui sumbangannya terhadap kecukupan konsumsi dari sebagian besar rakyat Indonesia khususnya dalam kebutuhan pangan. Sumbangan devisa sektor pertanian ditunjukkan melalui kinerja neraca perdagangan (balance of trade) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 , selama periode tahun 2003-2007 selalu menunjukkan nilai surplus dengan tingkat kenaikan yang cukup tinggi. Ekspor komoditas pertanian selama periode 20032007 naik sebesar 11 520.16 juta US $ (152 persen), disisi lain impor hanya mengalami kenaikan sebesar 1 479.15 juta US $ (32 persen), dilihat dari surplus
2
neraca perdagangan terjadi kenaikan dari 2 995.63 juta US $ menjadi 13 036.64 juta US $ atau sebesar 10 041.01 juta US $ (335 persen). Tabel 1. Neraca Ekspor Impor Komoditas Pertanian Tahun 2003-2007 Tahun Ekspor Impor Neraca
2003 7 536 242 4 540 614 2 995 628
2004 9 887 593 5 027 755 4 859 838
2005 11 584 429 5 136 916 6 447 513
(Juta rupiah) 2006 2007 14 863 221 19 056 402 5 961 331 6 019 761 8 901 890 13 036 641
Sumber : BPS 2007 (diolah)
Proses industrialisasi menyebabkan struktur perekonomian Indonesia mengalami
pergeseran
(structural
change),
yang
digambarkan
dengan
menurunnya kontribusi relatif sektor pertanian dalam struktur PDB, dan meningkatnya andil relatif sektor industri dalam PDB. Pada tahun 1980-an peranan pertanian dalam PDB adalah sebesar 24.64 persen, sedangkan sektor industri sebesar 10.19 persen. Pada tahun 1995 kontribusi sektor pertanian hanya 16.14 persen dan sektor industri naik menjadi 46.65 persen. Meskipun demikian perubahan tersebut tidak menghilangkan peran penting sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia sampai saat ini dan masa mendatang. Kontribusi relatif sektor pertanian terhadap total PDB di negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam beberapa dekade terakhir cenderung mengalami penurunan. Namun di sisi lain tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian
realtif
tidak
mengalami
perubahan.
Akibatnya,
terjadi
ketidakseimbangan antara produktivitas relatif sektor pertanian dengan sektor yang lain. Sebagai indikatornya dapat dilihat pada Tabel 2 yang menyajikan perkembangan produktivitas relatif antara sektor pertanian dengan sektor lainnya yang diperoleh dengan membagi besaran PDB suatu sektor perekonomian dengan
Tabel 2. Rata-rata Produktivitas Relatif Tenaga Kerja Pertahun Selama periode 1993-1997 dan 1998-2006 dirinci Menurut Sektor produksi (Juta rupiah) Sektor Produksi Pertanian Pertambangan Industri Listrik, Gas & Air Kontruksi Perdag, Hotel & Resto Angkutan & Komunikasi Keuangan Dan Sewa Jasa-Jasa Seluruh Sektor
1993-1997 1.75 4671 9.10 24.57 8.17 4.36 7.59 53.80 3.12 4.83
1998-2006 3.19 98.36 20.32 46.46 11.81 7.68 11.12 66.91 7.42 9.19
Sumber : BPS, 2006 (diolah)
jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. Sepanjang periode 1993-2006 keadaan produktivitas sektor pertanian yang ditunjukkan oleh rata-rata produktivitas relatif tenaga kerja di sektor pertanian selalu lebih rendah dibandingkan produktivitas relatif pada sektor-sektor yang lain. Terutama jika dibandingkan dengan tingkat produktivitas sektor pertambangan dan penggalian, serta jasa keuangan dan sewa. Misalkan pada periode 1998-2006, rata-rata produktivitas relatif tenaga kerja di sektor pertambangan dan penggalian adalah sebesar 98.36 juta rupiah, artinya untuk satu orang tenaga kerja di sektor pertambangan dan penggalian, relatif mampu menghasilkan nilai tambah di sektor tersebut rata-rata sebesar 98.36 juta rupiah. Kemudian untuk sektor jasa keuangan dan sewa adalah sebesar 66.91 juta rupiah. Sedangkan untuk sektor pertanian hanya sebesar 3.19 juta rupiah, keadaan seperti ini telah menunjukkan terjadinya ketimpangan yang mencolok antara produktivitas di sektor pertanian dengan kedua sektor non pertanian tersebut.
4
Salah satu faktor yang menyebabkan produktivitas relatif tenaga kerja sektor pertanian terlihat rendah, karena selama ini produk yang dihasilkannya masih berupa komoditi primer yang mempunyai nilai tambah (value added) sangat kecil. Selain itu juga karena para petani umumnya mengusahakan lahan dengan luasan kurang dari 1 ha. Hal inilah yang menyebabkan tingkat pendapatan petani pada umumnya masih rendah. Adanya kesenjangan produktivitas yang sangat lebar antara sektor pertanian dengan non pertanian merupakan petunjuk bahwa transformasi ekonomi tidak berjalan dengan baik. Sektor non pertanian tidak berkembang sebagai penyerap tenaga kerja yang signifikan (lihat Tabel 3), oleh karena kelebihan tenaga kerja akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi menumpuk di sektor pertanian, sehingga menurunkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian. Melihat kondisi ini, maka di masa mendatang perlu adanya dukungan untuk mendorong sektor industri (agroindustri) yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, serta menyerap hasil produk pertanian sebagai bahan bakunya. Tabel 3. Kontribusi Relatif Sektor Perekonomian dalam Penyerapan Tenaga Kerja (%) Lapangan Usaha 1. Pertanian, Peternakan,Kehutanan Perikanan 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 5. Kontruksi/Bangunan 6. Perdag, Hotel, dan Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Penyewaan 9. Jasa-jasa Total Sektor
1993 45.17 0.84 1159 0.26 3.92 17.62 4.20 0.84 15.56 100.00
1997 40.61 1.03 12.93 0.27 4.91 19.91 4.85 0.77 14.72 100.00
2002 44.34 0.69 13.21 0.19 4.66 19.42 5.10 1.08 11.30 100.00
2006 42.05 0.97 12.46 0.24 492 20.13 5.93 1.41 11.90 100.00
Sumber : BPS, (1993-2006) diolah
Peranan penting sektor pertanian dalam perekonomian nasional terlihat pada saat krisis tahun 1998, terutama melalui subsektor tanaman bahan makanan.
5
Ketika semua sektor ekonomi umumnya mengalami penurunan pertumbuhan hingga menjadi negatif, subsektor tanaman bahan makanan masih tetap tumbuh positip sebesar 2.03 persen. Dalam hal tenaga kerja, kejatuhan sektor industri dan jasa pada masa krisis telah meningkatkan jumlah pengangguran akibat terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Akan tetapi di sektor pertanian, sedikit pun tidak ada PHK, bahkan yang terjadi adalah mobilitas tenaga kerja dari sektor industri dan jasa ke sektor pertanian. Simatupang dan Darmorejo (2003) menyebutkan keunggulan sektor pertanian dibandingkan dengan sektor lainnya adalah dalam proses produksinya sektor pertanian berbasis pada sumberdaya domestik sehingga lebih tahan dalam menghadapi gejolak internal dan perekonomian makro pada masa krisis. Disamping itu penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian bersifat fleksibel, dan tenaga kerja bebas untuk keluar masuk karena kurang membutuhkan keahlian dan pendidikan tertentu. Pertumbuhan produksi di sektor pertanian juga menjadi penghalang bagi kenaikan harga pangan sehingga dapat mencegah peningkatan penduduk miskin. Beberapa kasus dalam program pemulihan ekonomi terbukti sektor pertanian merespon lebih cepat daripada sektor non pertanian terhadap kebijakan baru dan tumbuh lebih cepat daripada sektor lainnya. Sektor pertanian di Chili dan Brazil untuk waktu 4 sampai 5 tahun merupakan penggerak utama perekonomian untuk keluar dari resesi dan tumbuh lebih cepat dibanding sektor manufaktur sepanjang dekade 1990-an (Norton, 2004). Meskipun pemerintah menyadari bagaimana peran penting sektor pertanian, namun sampai saat ini banyak kebijakan ekonomi yang belum sepenuhnya mendukung sektor pertanian. Kebijakan terhadap sektor pertanian
6
dalam implementasinya belum sesuai dengan yang diharapkan. Sebagai contoh pengaturan tataniaga beberapa input dasar (pupuk, obat-obatan, dan lain-lain), dengan maksud untuk mempermudah akses petani dalam memperoleh input, namun karena produksinya hanya dilakukan produsen tunggal, akibatnya yang terjadi adalah praktek monopoli terhadap supply input. Disisi lain pada pasar produk komoditas pertanian, pembangunan industri hilir produk pertanian selama ini juga tidak banyak melibatkan masyarakat petani, akibatnya petani hanya terfokus pada produk primer dengan nilai tambah yang rendah. Nilai tambah yang kecil dengan tingkat risiko yang tinggi, pada akhirnya hanya memarginalkan petani dalam kelompok warga yang memiliki penghasilan yang rendah (Syafa’at et al, 2005). Sajogyo (2002) menyebutkan keberhasilan pembangunan pertanian era 1980-an disebabkan adanya kebijakan ekonomi mikro dan makro yang mendukung terhadap sektor pertanian. Alokasi APBN untuk sektor pertanian sebesar 9.6 persen, lebih tinggi dibandingkan dari rata-rata negara berkembang hanya sebesar 7.5 persen. Sebaliknya pembangunan sektor pertanian setelah pasca swasembada pangan kurang didukung dengan kebijakan makro ekonomi yang memadai baik dari segi moneter mapun fiskal. Dalam beberapa kebijakan moneter alokasi kredit oleh perbankan untuk sektor pertanian pengenaan suku bunga
masih rendah, dan
yang masih tinggi. Demikian halnya kebijakan fiskal
melalui pengeluaran pemerintah (APBN) hanya sekitar 1.5 – 2.5 persen dari total APBN, tidak sebanding
dengan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
nasional yang berkisar pada tingkat 14.15 persen dan penyerapan tenaga kerja nasional sebesar 42.05 persen (BPS, 2006).
7
Pertumbuhan sektor pertanian masih dipercaya dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat yang lebih luas dan kemampuan mengurangi tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor non pertanian. Di Cina tingkat pengentasan kemiskinan berkat pertumbuhan PDB yang berasal dari sektor pertanian hampir empat kali lebih tinggi daripada yang dipicu oleh sektor industri dan jasa. Sebagai contoh 75-80 persen dari penurunan dramatis kemiskinan di Cina selama 1980-2001, disebabkan berkurangnya kemiskinan di wilayah-wilayah perdesaan sebab terkait dengan keberhasilan pertumbuhan sektor pertanian (World Development Report, 2008). Oleh karena itu pertumbuhan di sektor pertanian di Indonesia penting mengingat 66 persen penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dimana dari jumlah penduduk sebanyak itu, sekitar 63.1 persen yang hidupnya bergantung pada kegiatan pertanian dan sisanya 36.9 persen hidup dari kegiatan non-farm (BPS, 2006). Pemerataan pendapatan tidak dapat tercipta dengan melakukan injeksi pada sektor manufaktur maupun sektor jasa, namun harus diarahkan pada sektor berbasis pertanian, karena sektor pertanian mempunyai pengaruh paling besar terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya yang berada di daerah perdesaan dan sektor pertanian memiliki keterkaitan yang paling tinggi dengan peningkatan produksi di sektor-sektor kegiatan produksi lainnya sehingga pembangunan di sektor pertanian memberikan dampak paling besar terhadap gross output dan value added. Pengembangan ekonomi perdesaan melalui penguatan sektor pertanian, dalam sebuah sinergi antar satu kegiatan ekonomi di suatu desa dengan desa yang lainnya, terbukti dapat membangkitkan pertumbuhan
8
ekonomi yang signifikan di suatu negara dengan penduduk yang besar seperti China (Daryanto, 2005). Terkait dengan berbagai kenyataan yang terjadi selama ini, ditambah juga dengan pemikiran-pemikiran logis yang mendasar, maka sangat menarik sekali untuk mengkaji kembali peranan sektor pertanian di Indonesia. Isu ini menjadi sangat relevan dan penting sekali untuk ditelaah lebih jauh, mengingat Presiden Susilo Bambang Yudhono pada tahun 2004 telah mengeluarkan gagasan pembangunan ekonomi yang disebut triple-track strategy dengan misinya: (1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5
persen per tahun melalui
penciptaan investasi dan ekspor, (2) menggerakkan sektor riil untuk menyerap angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan untuk pengentasan kemiskinan. Melalui ketiga trackstrategy tersebut diharapkan sektor pertanian bisa menjadi prime mover pertumbuhan ekonomi negara Indonesia di masa mendatang. 1.2. Perumusan Masalah Pengembangan
sektor
pertanian
merupakan
salah
satu
bidang
pembangunan yang paling penting dijalankan di negara Indonesia. Ada beberapa hal kenapa pembangunan pertanian begitu sangat penting, pertama negara Indonesia sebagian besar wilayahnya adalah agraris, sehingga potensi sumber dayanya lebih banyak berbasis pertanian. Kedua, populasi penduduk terbesar berada di wilayah perdesaan yang bekerja di bidang pertanian. Ketiga, pertanian juga menyediakan lapangan kerja terbesar, sebagai sumber ketahanan pangan nasional, tangguh menghadapi krisis ekonomi karena berbasis domestik, dan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.
9
Namun ironisnya, pembangunan pertanian di Indonesia selama ini justru menunjukkan perkembangan yang lambat dengan dinamika yang tidak sesuai harapan. Hal ini tercermin pada total factor productivity (TPF) di sektor pertanian yang terlihat rendah, serta penggunaan kapitalnya relatif terbatas (capital-output ratio cenderung konstan), akibatnya pertumbuhan output pertanian relatif lambat. Sepanjang periode 2001-2006 misalkan, rataan laju pertumbuhan sektor pertanian hanya 2.40 persen, lebih rendah dibandingkan rataan laju pertumbuhan PDB yaitu 4.90 persen (Winoto dan Siregar, 2008). Sektor pertanian selama ini hanya dipandang dan diposisikan sebagai pendukung (buffer sector) bagi pertumbuhan sektor-sektor lainnya, terutama industri dan jasa. Pandangan tersebut telah mengakibatkan dan mendorong terjadinya berbagai paradoks dalam pembangunan. Peningkatan produktivitas sektor pertanian berjalan sangat lambat dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya sementara proporsi tenaga kerja pada berbagai kegiatan produkif di pertanian masih cukup besar, sehingga sisi negatif yang sangat tampak dominan adalah masih rendahnya tingkat pendapatan riil petani, lambatnya pertumbuhan kegiatan
ekonomi berbasis pertanian
dan
pedesaan,
serta kesenjangan
produktivitas tenaga kerja dan earning capacity sektor pertanian dibandingkan dengan sektor lain (Wibowo, 2004). Selama periode 1999-2006 misalkan, produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian rata-rata menurun sebesar 0.01 persen per tahun, dimana penurunan yang cukup besar terjadi pada tahun 2002 mencapai 0.83 persen . Sementara produktivitas tenaga kerja sektor industri untuk periode yang sama mengalami kenaikan rata-rata 2.11 persen per tahun. Akibat kondisi semacam ini
10
menyebabkan kesenjangan produktivitas antara sektor pertanian dan sektor non pertanian cenderung semakin melebar, sehingga bisa dikatakan berbagai kebijakan yang dilakukan dalam rangka memperkuat sektor pertanian seakan tidak membawa pengaruh banyak terhadap pembangunan pertanian. Program dan langkah nyata untuk mengintegrasikan kegiatan ekonomi pertanian primer dengan kegiatan industri pengolahan (agroindustri)
perlu
dilakukan segera untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat, mengingat nilai tambah yang tinggi berada di industri pengolahan. Tumbuhnya sektor pertanian bersama-sama dengan industri pengolahannya dapat mendorong transformasi penyerapan tenaga kerja yang semula terkonsentrasi di sektor pertanian primer secara bertahap dapat beralih ke sektor industri pengolahan (agroindustri). Akan tetapi masalahnya, banyak faktor yang menghambat untuk menciptakan kondisi semacam itu, terutama karena persoalan teknis budidaya, pasca panen, permodalan, akses pasar, kebijakan kelembagaan, perdagangan dan pengembangan industri pengolahan masih dirasakan lamban. Jika dibiarkan berlarut-larut, dapat dipastikan akan melemahkan petani dan agroindustri, serta mendorong peningkatan impor komoditi pertanian dan produk olahannya
ke
pasar domestik. Kebijakan dukungan harga, proteksi dengan melalui pengenaan tarif impor maupun non tariff barrier, subsidi input, dukungan harga, riset, infrastruktur serta kemudahan distribusi terhadap aktivitas sektor pertanian khususnya komoditas strategis dipandang sangat relevan untuk merangsang petani agar lebih meningkatkan produktivitas usaha taninya. Namun demikian kebijakan tersebut hanya akan efektif bilamana didukung oleh semua pihak pemangku kepentingan
11
dengan mengedepankan kepentingan nasional. Meskipun disadari bukan hanya faktor itu saja yang mempengaruhi, masih ada yang lain seperti respon petani terhadap harga, sistem pemasaran yang efisien, biaya distribusi yang murah. Pembangunan pertanian yang dijalankan selama ini tampaknya belum sepenuhnya berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat perdesaan yang tampaknya berkorelasi positip dengan proses transformasi struktural yang lambat, sehingga menyebabkan semakin terakumulasinya angkatan kerja di sektor pertanian dan meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya lahan. Hal ini akhirnya menyebabkan produktivitas usahatani (output per tenaga kerja) semakin senjang dibanding dengan sektor lain. Untuk itu sangat diperlukan adanya program terobosan yang dapat mentransformasikan tenaga kerja pertanian ke sektor industri yang terkait dengan sumberdaya pertanian. Sudah barang tentu kondisi tersebut memerlukan dukungan semua pihak terhadap penguatan sektor pertanian dan industri pengolahannya (agro industri). Kebijakan untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah yang terkait dengan agro manufacuring (agroindustri) di banyak negara berkembang termasuk Indonesia masih rendah
dikarenakan kementerian pertanian tidak memiliki
mandat menyangkut kebijakan perbaikan iklim investasi yang terkait dengan lembaga keuangan, asuransi, perpajakan, dukungan dalam pembentukan jaringan agroindustri serta perbaikan infrastruktur di perdesaan, sementara kementerian lain yang memiliki mandat dalam hal kebijakan ekonomi kurang perduli terhadap rantai nilai pertanian di daerah-daerah perdesaan (World Development Report, 2008).
12
Kebijakan di sektor pertanian yang dikeluarkan
memposisikan sektor
pertanian hanya sebagai pendukung bagi sektor-sektor lainnya, terutama sektor industri. Akhirnya sejumlah kebijakan sektor perdagangan dan industri, kebijakan fiskal dan moneter yang dikeluarkan kurang mendukung secara optimal terhadap peningkatan kinerja sektor pertanian. Pengalaman
menunjukkan
mengeluarkan kebijakan yang
pada
tahun
1999
dikala
pemerintah
mengalihkan kredit program menjadi sistem
pembiayaan perbankan komersial. Kebijakan ini telah membuat petani mengalami kesulitan di dalam mencari modal, karena mereka belum terbiasa dengan sistem pembiayaan
yang
sifatnya
komersial
tersebut.
Disamping
itu,
dengan
dihilangkannya peran pemerintah sebagai penanggung resiko kredit pertanian, otomatis hanya sedikit bank yang bersedia menyalurkan kredit kepada petani. Kemudian contoh yang lain dalam hal penyediaan input. Akibat tekanan dari IMF, pemerintah pada tahun 1998 akhirnya mencabut subsidi pupuk. Tindakan ini membuat harga pupuk melambung tinggi sebesar 147.9 persen pada tahun 1999, yang sudah tentu berakibat buruk bagi petani karena mereka harus memikul beban kenaikan harga pupuk tersebut dalam komposisi biaya produksinya. Kebijakan-kebijakan publik semacam ini tampaknya memperlihatkan sikap pemerintah yang masih belum sepenuhnya mendukung sektor pertanian, akibatnya sektor pertanian tidak dapat berperan banyak sesuai dengan potensi yang seharusnya dalam pembangunan ekonomi. Kerentanan terhadap ketahanan pangan bisa ditunjukkan dari penurunan luasan lahan sawah Indonesia yang menyusut dari sekitar 8.4 juta hektar menjadi sekitar 7.5 juta hektar sepanjang periode 1994-2003. Angka ini sama dengan
13
penurunan luasan sawah dengan laju -1.90 persen per tahun. Penurunan terbesar terjadi di luar Jawa, yakni dari 5.0 juta hektar menjadi 4.1 juta hektar pada periode yang sama, atau turun dengan laju -3.21 persen per tahun. Disisi lain masih terdapat lahan yang sementara tidak diusahakan (LSTD) dengan jumlah yang besar. Sepanjang periode1994-2003, LSTD cenderung terus meningkat, dari 6.9 juta hektar menjadi 10.2 juta hektar, atau meningkat dengan rataan pertumbuhan 7.97 persen per tahun. Rataan pertumbuhan LSTD di luar Jawa mencapai 8.08 persen per tahun, sementara di Jawa 3.05 persen per tahun. LSTD terutama berada di luar Jawa, yakni dengan luasan sekitar 10.1 juta hektar pada tahun 2003 (Winoto, 2005). Beranjak pada berbagai permasalahan yang terungkap di atas, terutama yang terkait dengan kontribusi sektor-sektor produksi dalam perekonomian, khususnya sektor pertanian, kemudian dihubungkan dengan keterkaitannya antara kegiatan suatu perekonomian, struktur produksi, distribusi distribusi
pendapatan
rumahtangga
maka
dapat
nilai tambah, dan
disampaikan
beberapa
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Seberapa besar peranan pembangunan di sektor pertanian dan agroindustri terhadap peningkatan pendapatan faktor produksi, rumahtangga, penerimaan produksi sektor-sektor lain, dan perekonomian nasional secara menyeluruh. 2. Sejauhmana pengaruh langsung
dan pengaruh global dari pembangunan
sektor pertanian dan agroindustri terhadap perubahan pendapatan rumahtangga di perdesaan dan rumahtangga lainnya yang tergolong rendah, khususnya jika dikaji melalui serangkaian efek jalur pendapatan dari sektor pertanian.
14
3. Seberapa besar dampak kebijakan pembangunan pertanian dan agroindustri dapat mempengaruhi kenaikan pendapatan rumahtangga di perdesaan dan rumahtangga lainnya yang tergolong rendah, penerimaan tenaga kerja pertanian dan sektor-sektor produksi, peningkatan nilai tambah (output nasional). Untuk menjawab ketiga permasalahan di atas, dalam penelitian ini akan digunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang merupakan suatu sistem data yang komprehensif dan dapat menghubungkan saling keterkaitan dalam sektor industri, faktor produksi dan institusi sekaligus dalam satu kesatuan neraca yang terintegrasi,
sehingga diharapkan hasil analisis lebih memadai
daripada hanya menggunakan Input-Output. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan
latar belakang dan permasalahan sebagaimana yang
diuraikan di atas maka secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengkaji seberapa besar peranan dan dampak sektor pertanian terhadap perekonomian nasional, sedangkan tujuan khususnya adalah untuk : 1. Menganalisis peranan pembangunan sektor pertanian dan agroindustri pada perekonomian nasional dalam hal peningkatan output nasional, dan keterkaitannya terhadap pendapatan faktor produksi, pendapatan rumah tangga, penerimaan sektor-sektor produksi non pertanian, dan tenaga kerja. 2. Menganalisis efek jalur pendapatan sektor pertanian dan agroindustri yang paling besar mempengaruhi pendapatan rumahtangga di perdesaan, dan rumahtangga lainnya.
15
3. Menganalisis simulasi kebijakan pembangunan pertanian dan agroindustri yang memiliki peranan paling tinggi terhadap distribusi pendapatan rumahtangga di perdesaan (kaitannya dengan kesejahteraan petani) dan tenaga kerja, penerimaan sektor-sektor produksi dan output nasional. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini mencakup: peranan sektor pertanian, perspektifnya pada sektor industri lain dan perdesaan serta strategi kebijakan yang akan diterapkan dalam pembangunan perekonomian Indonesia berdasarkan hasil dari penggunaan metode analisis SNSE. Penelitian peranan sektor pertanian
terhadap perekonomian Indonesia
menggunakan SNSE yang di update dengan data tahun 2003. Sebagai suatu instrumen pengkajian dan analisis tentunya SNSE mengandung banyak asumsi dan keterbatasan diantaranya : (1) keseluruhan kegiatan ekonomi nasional dibagi habis menurut klasifikasi tertentu ke dalam sektor dan institusi, (2) jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran dari masing-masing sektor atau institusi berimbang (adanya prinsip keseimbangan umum), dan (3) distribusi koefisien antar sektor/institusi berlaku konstan. Asumsi-asumsi tersebut pada akhirnya menimbulkan keterbatasan-keterbatasan dari SNSE yaitu : 1. Harga relatif antara harga input dan harga output berlaku konstan. 2. Hubungan antarsektor atau institusi bersifat proporsional konstan 3. Alat analisis dengan SNSE adalah model statik dengan koefisien atau parameter bersifat konstan yang belum memperhitungkan perubahan peran atau teknologi antarsektor atau institusi.
16
1.5. Kegunaan Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi : 1. Pemerintah sebagai bahan (input) dalam membuat kebijakan pembangunan pertanian terutama dalam pengalokasian anggaran pemerintah (fiskal) yang paling berperan bagi peningkatan ouput nasional, penerimaan rumahtangga, dan faktor produksi serta memberikan bahan ulasan review terhadap kebijakan sektor pertanian yang telah dilakukan selama ini. 2. Peneliti atau pemerhati sektor dalam
pertanian sebagai salah satu bahan kajian
menganalisis kebijakan pertanian yang telah dilakukan dikaitkan
dengan kondisi makroekonomi khususnya.
nasional umumnya dan sektor pertanian
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Sektor Pertanian Sasaran
pembangunan
pertanian
dalam
pemerintahan
“Kabinet
Pembangunan Bersatu” yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 adalah tercapainya tingkat pertumbuhan sektor pertanian rata-rata 3.52 persen per tahun dalam periode 2004-2009 dan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani. Untuk mencapai hal tersebut pemerintah menetapkan beberapa sasaran : (1) meningkatnya kemampuan petani untuk dapat menghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi, (2) terjaganya tingkat produksi beras dalam negeri dengan tingkat ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, (3) diversifikasi produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras, (4) meningkatnya ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri, (5) meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap protein hewani yang berasal dari ternak dan ikan, (6) meningkatnya daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan, (7) meningkatnya produksi dan ekspor hasil pertanian dan perikanan, (8) meningkatnya kemampuan petani dan nelayan dalam mengelola sumber daya alam secara lestari dan bertanggung jawab, (9) optimalnya nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu, (10) meningkatnya hasil hutan non kayu, dan (11) bertambahnya hutan tanaman minimal seluas 5 juta ha. Menyamakan persepsi dalam pembangunan pertanian adalah persoalan yang tidak mudah, mengingat banyak kebijakan pembangunan di masa lalu belum
18
dilakukan evaluasi dan perbaikan secara maksimal. Pembangunan pertanian pada awalnya (Repelita I-V) terprogram dengan perencanaan yang baik. Sektor pertanian merupakan sektor prioritas, akan tetapi dalam implementasinya strategi dan kebijakan yang telah ditetapkan dengan mudah dilanggar dimana programprogram industrialisasi
dengan cepatnya merubah
titik pandang pembuat
kebijakan untuk berpaling ke sektor non pertanian terutama pada masa setelah swasembada pangan telah tercapai. Dalam awal Pelita dengan besarnya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian, pertumbuhan sektor pertanian mencapai 5 persen per tahun, namun dengan adanya booming minyak pada awal 80-an dana pemerintah yang tersedia melimpah dan arah pembangunan mulai memfokuskan juga pada industrialisasi dan pembangunan fisik yang pada umumnya kurang terencana dengan baik. Pemerintah mendanai secara leluasa pembangunan industri substitusi impor, yang sebagian besar tidak kredibel yang pada akhirnya hanya menjadi beban pemerintah. Inilah awal industri lead sector dan pertanian hanya sebagai pendukung. Pemikiran ini sejalan dengan pengalaman sejarah negara barat, yang mengidentikkan pembangunan ekonomi dengan transformasi struktural terhadap perekonomian secara cepat, yakni dari perekonomian yang bertumpu
pada
kegiatan pertanian menjadi perekonomian industri modern dan jasa-jasa yang serba lebih kompleks (Todaro, 2000). Pemerintah selama periode tahun 1980-an telah melakukan proteksi di sektor industri yang biayanya 10 kali lebih tinggi daripada proteksi terhadap sektor pertanian. Atas kebijakan ini memunculkan keengganan berinvestasi di sektor pertanian dikarenakan keuntungan investasi pada sektor pertanian kurang
19
dari setengah kali daripada berinvestasi di sektor industri (Halwani, 2002). Selain itu perhatian dan anggaran pembangunan pertanian mulai dikurangi dan dialihkan ke sektor industri (broad based industry) yang tidak berdasarkan sumberdaya domestik, termasuk mengembangkan teknologi tinggi yang menguras keuangan negara, devisa dan hutang luar negeri (Masyhuri, 2006). Ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, dianggap wajar, karena para pengambil keputusan terlalu mengedepankan model pembangunan yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian (Mubyarto, 2004). Memang dalam proses pembangunan sebagai ukuran keberhasilan suatu pembangunan di suatu negara adalah adanya penurunan sumbangan sektor pertanian sehingga ketimpangan dukungan antara sektor pertanian dan sektor industri merupakan suatu keharusan, namun sejak tahun 1980-an terjadi perubahan pandangan dari beberapa pembuat kebijakan dengan munculnya konsep Agriculture Demand Led Industrialization (ADLI) strategi yang mengedepankan sektor pertanian sebagai penggerak utama pertumbuhan dan industrialisasi (Daryanto, 1999). Sektor pertanian mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang kuat kepada sektor non pertanian, sehingga sektor pertanian merupakan sektor unggulan (leading sector) di dalam strategi industrialisasi. Analisis terhadap dekomposisisi multiplier dapat menjelaskan arti penting kontribusi tidak langsung (indirect contributions) yang dibuat oleh permintaan rumahtangga kepada keterkaiatan produksi hasil pertanian. Potensi dari keterkaitan ini yang membuat ADLI sebuah pilihan kebijakan yang menarik untuk negara-negara berpendapatan rendah (Vogel, 1994).
20
Pembangunan sektor pertanian dengan strategi Agricultural Demand Led Industrialization ditengarai selaras dengan kondisi negara-negara berkembang yang masih menitikeratkan program pembangunan di sektor pertanian. Strategi ini menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain. Sebagaimana dimunculkan oleh Adelman (1984),
sebagai
berikut: “The development strategy consist of public investment program designed to induce a progressive downward shift in the supply curve of the domestic agricultural sector. The argument in favour of this strategy rest both on its linkage effect, in creating a domestic mass market for industrial product through intermediate and final demand linkages, and on its distributional impact, poor members of society. The proposed strategy is stimultaniously a growth programme, and employment programme since agriculture is considerably more labour intensive than even labourintensive manufacturing, a basic needs, food security and income distribution program and industrialization program. Pembangunan dengan strategi ADLI adalah strategi pembangunan yang terdiri dari program investasi publik, yang dirancang untuk mendorong kurva penawaran sektor pertanian domestik menjadi lebih elastis. Alasan dari strategi ini diarahkan pada keterkaitan di dalam penciptaan pasar secara massal untuk produk industri melalui keterkaitan permintaan antara (intermediate demand) dan permintaan akhir (final demand) dan dampaknya pada distribusi anggota masyarakat miskin. Program ini secara bersamaan merupakan program pertumbuhan ekonomi dan program penciptaan lapangan kerja, mengingat sektor pertanian merupakan sektor yang lebih banyak membutuhkan tenaga kerja dibanding sektor manufaktur, disamping juga sebagai penyedia kebutuhan dasar (basic need), ketahanan pangan (food security) dan disamping itu sebagai program distribusi pendapatan dan program industrialisasi.
21
Sementara
Syafa’at
(2005)
mengartikan
ADLI
sebagai
strategi
pembangunan nasional dengan berbasis pada pertanian sebagai sektor utama dan pembangunan industri dengan penekanan kuat pada keterkaitan industri pertanian. Strategi ADLI akan menekankan pada peningkatan produktivitas sektor pertanian dalam menuju industrialisasi. Senada dalam Todaro (2000), para pakar ekonomi pembangunan berpendapat bahwa daerah perdesaan pada umumnya dan sektor pertanian khususnya sama sekali tidak bersifat pasif, dan tidak hanya sebagai penunjang melainkan sebagai elemen unggulan yang sangat penting, dinamis dan menentukan dalam strategi-strategi pembangunan secara keseluruhan, terutama untuk negara berkembang berpendapatan rendah. Daryanto (1999) melakukan penelitian dengan menganalisis dampak dari krisis ekonomi di Indonesia pada penduduk miskin dan sektor pertanian serta relevansi penggunaan strategi ADLI dalam mengatasi krisis tersebut. Hasil analisis menunjukkan pendapatan kelompok rumahtangga perdesaan dan perkotaan keduanya meningkat akan tetapi kelompok rumahtangga perkotaan meningkat lebih tinggi dibanding rumahtangga perdesaan. Hasil dari penelitian dengan menggunakan kebijakan ADLI menunjukkan keberhasilan menaikkan produksi sektor pertanian dan pendapatan riil, disamping itu juga menyebabkan perbaikan di sektor non pertanian. Meskipun rumahtangga perdesaan lebih sedikit keuntungannya daripada rumahtangga perkotaan. Hal ini dimungkinkan karena adanya perolehan yang berkurang akibat biaya transaksi perdagangan. Inilah tugas pembuat kebijakan untuk membuat cara yang dapat menjamin para petani memperoleh keuntungan yang terbesar dari penerapan strategi ADLI. Berdasarkan hasil penelitian ini Indonesia perlu mencoba alternatif pembangunan dengan
22
strategi ADLI yang merupakan strategi pembangunan pertanian sebagai penggerak industrialisasi dan motor pertumbuhan ekonomi. Adanya pertumbuhan di sektor pertanian akan meningkatkan pendapatan dan permintaan barang dan jasa dari perdesaan terhadap sektor non pertanian. Sisi penting pembangunan pertanian dalam mendorong dan menstimulasi pembangunan perdesaan (rural development) dapat terlihat dari perannya dalam peningkatan kesejahteraan penduduk desa, termasuk diantaranya petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap dan lain-lain yang kegiatannya tidak terkait dengan industrialisasi dan merekalah penduduk miskin di perdesaan yang membutuhkan perhatian dan pemihakan dari para pembuat kebijakan di sektor pertanian (Mubyarto, 2004). Mangkuprawira (2000) yang melakukan analisa terhadap perekonomian kotamadya Bogor, menunjukkan bahwa peran sektor pertanian adalah terpenting ke dua setelah sektor agroindustri dalam kegiatan ekspor dan penyerapan tenaga kerja untuk wilayah kabupaten Bogor. Pembangunan pertanian yang dijalankan selama ini tampaknya belum sepenuhnya berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat perdesaan. Sebagai indikatornya dapat dilihat pada perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP). NTP merupakan perbandingan antara indeks yang diterima petani dan yang dibayar petani. Jika NTP berada dibawah angka 100, menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani masih rendah karena hasil produksi yang diperoleh petani tidak sebanding dengan keuntungan yang diterima. Sebaliknya, bila NTP di atas 100 dikatakan tingkat kesejahteraan petani cukup baik. Perkembangan faktual yang tampak selama ini, NTP di Jawa selalu lebih baik dan meningkat terus
23
dibandingkan dengan NTP di luar Jawa. Misalnya untuk tahun 2006 data BPS (2006) menunjukkan NTP di 12 provinsi dari 23 provinsi yang dipantau BPS nilai NTP-nya di bawah angka 100, yaitu NAD, Sumut, Sumatera Barat, Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Paling rendah adalah di NTB, dengan NTP-nya sebesar 51.94. Masalah klasik yang selalu ditonjolkan untuk menjelaskan mengapa NTP kita selalu berfluktuatif turun naik setiap waktunya adalah karena rendahnya produktivitas, pemanfaatan teknologi yang masih sangat kurang, dan permasalahan harga yang tidak mendukung penguatan NTP. Ketiga ini selalu menjadi sorotan ketika pemerintah ingin memecahkan permasalahan turunnya NTP. Kecenderungan penurunan NTP ini tampaknya berkorelasi dengan proses transformasi struktural yang terhambat, yang menyebabkan semakin terakumulasinya angkatan kerja di sektor pertanian, sehingga meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya lahan. Hal ini pada akhirnya menyebabkan produktivitas usahatani (output per tenagakerja) semakin menurun. Rendahnya produktivitas ini tidak bisa dilepaskan dari penguasaan lahan petani makin lama makin kecil. Rata-rata penguasaan lahan petani Indonesia 1.05 hektar per rumahtangga tahun 1983, menurun menjadi hanya 0.86 hektar per rumahtangga tahun 1993 dan kurang dari 0.5 hektar tahun 2003. Penurunan luas pemilikan lahan petani dan meningkatnya jumlah petani menunjukkan transformasi ekonomi tidak berjalan lancar. Berbeda dengan Thailand, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Australia, jumlah petani menurun dan luas pemilikan lahan meningkat. Tahun 1820 jumlah petani Amerika Serikat 71.8 persen, saat ini tinggal 2
24
persen dari total penduduk dengan penguasaan lahan rata-rata 200 hektar (Setiawan, 2007).
Indonesia melakukan pembangunan pertanian harus diartikan sebagai pembaruan penataan pertanian dalam upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan, melalui maksimalisasi sumberdaya utama pembangunan pertanian (Mubyarto, 2004). Mellor (2000) meyakini bahwa program yang paling signifikan dalam menanggulangi kemiskinan adalah melalui pertumbuhan sektor pertanian yang cukup tinggi, dengan program perubahan teknologi pertanian yang dapat meningkatkan produksi disertai biaya produksi yang lebih murah, percepatan pembangunan infrastruktur perdesaan dengan maksud mengurangi biaya transaksi dan memperkuat pengembangan komoditas unggulan bernilai tinggi. Upaya peningkatan produksi pertanian dalam proses pembangunan pertanian merupakan tujuan antara, sasaran sebenarnya adalah kesejahteraan dari masyarakat secara keseluruhan, sebagaimana yang disampaikan Seers (2001). Dasar pemilihan sektor pertanian dipilih pada tahap awal pembangunan dengan strategi untuk memproduksi pangan dan jika produksi pertanian bertambah maka kenaikan produksi itu dapat dinikmati oleh sebagian besar penduduk. Oleh karena itu kebijakan pertanian yang relevan harus diarahkan bagaimana meningatkan produksi, dan bagaimana hasil produksi didistribusikan secara adil sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Suatu rangkaian penting dalam pembangunan pertanian erat kaitannya dengan ketahanan pangan (food security) dan pengentasan kemiskinan. Selama tahun 2000-2004 melalui program ketahanan pangan telah berhasil mengurangi
25
penduduk miskin, dari 38.7 juta jiwa (19.1 persen) tahun 2000 menjadi 36.1 juta jiwa (16.7 persen) pada 2004. Akan tetapi pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 39.05 juta jiwa (17.75 persen). Sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Penduduk di sektor pertanian menempati proporsi 55 persen dari total penduduk miskin, sekitar 75 persen di antaranya pada subsektor tanaman pangan, 7.4 persen pada perikanan laut dan 4.6 persen pada peternakan. Penduduk miskin memiliki resiko tinggi dan rentan terhadap kerawanan pangan. Apabila programprogram pemantapan ketahanan pangan kurang memperhatikan kelompok ini, maka akan berdampak pada peningkatan kemiskinan/kerawanan pangan (Nainggolan, 2006). Pembangunan pertanian juga harus mencermati sistem perdagangan global telah mengalami transformasi yang sangat nyata. Negara-negara maju tetap memelihara tingkat subsidi pertanian yang cukup tinggi yang dibarengi pula dengan subsidi ekspor. Hal ini merupakan insentif nyata bagi produsen di negara tersebut sehingga terjadi kelebihan produksi yang membanjiri pasar dunia. Sementara negara sedang berkembang masih harus bergulat dengan persoalan usaha tani skala kecil, keterbatasan teknologi, dukungan keuangan dan infrastruktur, yang menyebabkan sebagian besar negara sedang berkembang belum bisa melepaskan diri dari masalah kemiskinan, pengangguran, ketahanan pangan dan keterbelakangan kehidupan masyarakat desa. Penurunan relatif sektor pertanian adalah suatu proses alami dalam suatu perekonomian nasional dan merupakan kebiasaan dan ciri-ciri yang melekat dari pertumbuhan semua lapangan ekonomi. Penurunan ini disebabkan adanya
26
perubahan struktur ekonomi yang signifikan dikarenakan faktor (1) elastisitas
price
permintaan terhadap harga, dan (2) tingkat pertumbuhan produktivitas.
DNo
DAo
SA1
SAo SNo
SN1
115 100 85
DN1 DA1
0 100 230 quantity 180 20200 Sumber : Johnson (1973) dan Anderson (1988) dalam Daryanto (1999)
Gambar 1.
Perubahan Permintaan dan Penawaran pada Produk Pertanian dan Non Pertanian Dalam Pertumbuhan Ekonomi Dilihat dari Hukum Engel.
Keterangan : DA adalah kurva permintan barang-barang produk pertanian SA adalah kurva penawaran barang-barang produk pertanian Elastisitas permintaan (demand) terhadap pendapatan untuk produk non pertanian dibandingkan dengan produk pertanian berbeda. Demand untuk produk non pertanian berada pada elastisitas pendapatan > 1, naik lebih cepat daripada demand untuk produk pertanian yang mempunyai elastisitas permintaan terhadap pendapatan yang positif akan tetapi < 1 (inilah esensi dari Engel’s Law). Pada gambar-1 diasumsikan hanya dua sektor dalam suatu perekonomian yaitu pertanian (A) dan non pertanian (N). Alasan logis dari hukum Engel adalah terjadinya pertumbuhan ekonomi pada perekonomian karena adanya perbaikan dalam produktivitas. Pada saat bersamaan pertumbuhan ekonomi akan sama baik di sektor pertanian maupun non pertanian dengan asumsi kurva
27
penawaran berada pada posisi yang sama sebagaimana terlihat pada Gambar 1. dan tetap sama pada periode ke dua, dengan posisi kurva penawaran bergeser ke kanan sejalan dengan terjadinya peningkatan produktivitas pada ke dua sektor perekonomian. Sementara kecenderungan pengeluaran penduduk atas kenaikan pendapatan untuk produk pertanian dan non pertanian berbeda (hukum Engel). Permintaan untuk barang pertanian tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan permintaan terhadap barang non pertanian. Dengan kata lain tingkat kenaikan permintaan untuk barang pertanian (DA) lebih rendah daripada tingkat kenaikan permintaan barang non pertanian (DN).
Kurva demand
sebagaimana terlihat dalam Gambar 1, bergeser ke kanan dengan tingkat perubahan yang berbeda untuk kedua sektor tersebut. Jika kurva penawaran bergerak dengan proporsi yang sama tetapi kenaikan permintaan untuk produk pertanian lebih rendah daripada produk non pertanian, maka output ke dua sektor akan naik dengan kenaikan yang lebih rendah untuk produk pertanian, dan harga produk pertanian relatif lebih murah dibandingkan dengan harga produk non pertanian. Sebagai hasil dari pola ini kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian nasional akan turun. Gambar diatas mengilustrasikan, harga produk pertanian (A) relatif terhadap produk non pertanian (N) akan turun dari 1 ke (85/115) = 0.74, representasi dari penurunan sebesar 25 persen dari nilai tukar produk pertanian. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB akan turun dari 50 persen menjadi (85X180/(85X180)+(115X220)) = 38 persen. Faktor utama lain yang menyebabkan turunnya kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian nasional
adalah adanya perbedaan tingkat kenaikan
produktivitas. Kenaikan produktivitas di sektor pertanian di dalam pertumbuhan
28
ekonomi secara betahap lebih rendah daripada sektor non pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian di dalam GDP dan nilai tukar perdagangan produk perdagangan akan turun dari waktu ke waktu (Daryanto, 1999). Kebijakan proteksi terhadap sektor industri yang dilakukan selama pemerintahan orde baru banyak menghasilkan industri yang tidak efisien sebagai akibat terjadinya praktek ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dan kurangnya keterkaitan antara industri tersebut dengan bahan baku yang berasal dari sumberdaya lokal. Proteksi yang diterapkan pada industri substitusi adalah melalui kebijakan rupiah overvalued terhadap mata uang asing, dengan maksud untuk memudahkan dan meringankan beban biaya produksi, terutama untuk bahan baku yang berasal dari negara luar.Bahan baku yang digunakan untuk proses industri substitusi impor berasal dari luar negeri. Kerentanan industri substitusi impor terbukti ketika badai krisis moneter melanda kawasan Asia Tenggara, industri SI (Substitusi Impor) satu persatu runtuh dan dampaknya output nasional di bidang manufaktur tumbuh negatif diatas 25 persen (Tambunan, 2001). Kunci keberhasilan sektor pertanian Indonesia untuk dapat bersaing di pasar internasional adalah kemampuan mengubah keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif produk pertanian dan olahannya, serta adanya kondisi perdagangan internasional yang fair mengingat masih tingginya distorsi negara lain terutama negara maju dalam memberikan subsidi domestik terhadap negaranya (Ditjen BP2HP, 2004). Dalam tahun 1997 misalnya, pemerintah di negara-negara Eropa telah memberikan dukungan pendanaan berupa subsidi
29
ekspor tidak kurang dari U$ 362.5 milyar per tahun terhadap surplus produksi pertaniannya (Erwidodo dan Ratnawati, 2004). Sistem perdagangan global telah mengalami transformasi yang sangat nyata. Negara-negara maju tetap memelihara tingkat subsidi pertanian yang cukup tinggi yang dibarengi pula dengan subsidi ekspor. Hal ini merupakan insentif nyata bagi produsen di negara-negara tersebut sehingga terjadi kelebihan produksi yang membanjiri pasar dunia. Sementara negara sedang berkembang masih harus bergulat dengan persoalan usaha tani skala kecil, keterbatasan teknologi, dukungan keuangan, infrastruktur, biaya distribusi yang tinggi dan lain-lain yang menyebabkan sebagian besar negara sedang berkembang belum bisa melepaskan diri
dari
masalah
kemiskinan,
pengangguran,
ketahanan
pangan
dan
keterbelakangan kehidupan masyarakat desa (Dirjen BPPHP, 2004). 2.2.
Sistem Neraca Sosial Ekonomi Penggunaan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), atau dikenal juga
dengan nama Social Accounting Matrix (SAM) erat kaitannya dengan tabel dalam neraca ini,
yang dapat memberikan gambaran mengenai berbagai indikator
ekonomi dan sosial wilayah serta dapat menghubungkan indikator-indikator tersebut secara kompak (bersama-sama). Suatu kerangka statistik (statistical framework) yang dapat menggabungkan berbagai indikator atau ukuran pembangunan sudah sejak lama menjadi bahan pemikiran para ahli statistik dan perencana pembangunan. Indikator-indikator atau ukuran-ukuran pembangunan yang selama ini tersedia, seperti ukuran-ukuran produksi, pendapatan, pengeluaran, konsumsi, tersusun secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri.
30
SNSE merupakan salah satu cara yang lain untuk memantau masalah pemerataan atau distribusi pendapatan dan masalah ketenagakerjaan di suatu wilayah baik negara ataupun bagian suatu negara (provinsi, kabupaten). Instrumen ini dibangun dalam matriks yang terdiri dari kolom dan baris yang menunjukkan arus uang (finansial) masuk dan keluar pada berbagai sektor dalam perekonomian. SNSE merupakan sistem social account dengan single entry, dimana dapat digunakan untuk menelusuri arus keuangan dalam perekonomian. Disamping itu SNSE dapat pula digunakan untuk menganalisa dampak suatu kebijakan, memprediksi dan menguji keterkaitan antara aspek sosial dan pembangunan ekonomi (Allen, 1998). Titik awal penyusunan kerangka SNSE dalam menjelaskan hubungan ekonomi dan sosial masyarakat dimulai dari kenyataan bahwa masyarakat mempunyai kebutuhan dasar (basic needs and wants) yang harus dipenuhi melalui pembelian sejumlah komoditas. Total permintaan efektif terhadap paket komoditas tersebut kemudian dipenuhi oleh sektor-sektor produksi yang menghasilkan berbagai output atau produk. Untuk dapat menghasilkan output tersebut, sektor produksi membutuhkan faktor-faktor produksi, seperti tenagakerja, modal dan sebagainya. Permintaan turunan (derived demand) terhadap faktor produksi tenagakerja memberikan balas jasa berupa upah dan gaji, sedangkan terhadap faktor produksi modal memberikan balas jasa berupa keuntungan, deviden, bunga, sewa rumah, dan sebagainya (disebut juga sebagai pendapatan kapital). Distribusi pendapatan yang diterima masing-masing faktor produksi dirinci menurut sektor ekonomi yang menghasilkan disebut sebagai distribusi pendapatan faktorial. Jumlah upah dan gaji ditambah dengan pendapatan kapital
31
akan menghasilkan nilai tambah (value added) dan total nilai tambah tersebut dikenal sebagai PDB atau PDRB. Secara diagram, sistem modular SNSE disajikan pada Gambar 2. Kebutuhan Dasar
Pengeluaran Rumahtangga
Investasi Permintaan Akhir Konsumsi Pemerintah
Distribusi Pendapatan Rumahtangga
Pemerintah Ekspor, Impor, dan Neraca Pembayaran
Kegiatan Produksi
PDB dan Distribusi Pendapatan
Sumber : SNSE (BPS, 2000) Gambar 2. Diagram Sistem Modular SNSE
Pendapatan faktorial kemudian diterima oleh berbagai pelaku ekonomi, seperti rumahtangga, perusahaan, dan pemerintah. Pendapatan faktorial yang diterima oleh rumahtangga akan memberikan kontribusi bagi pendapatan rumahtangga; dan ini akan menimbulkan distribusi pendapatan rumahtangga. Rumahtangga yang memiliki faktor-faktor produksi yang relatif banyak akan menerima pendapatan yang lebih besar dari pada mereka yang memiliki faktorfaktor produksi yang relatif sedikit. Pendapatan yang diterima oleh masingmasing faktor ekonomi, seperti rumahtangga dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka sedangkan sisanya ditabung untuk maksud
32
pembentukan modal atau investasi. Bagi rumahtangga, hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai pola pengeluaran rumahtangga, yang memberikan gambaran mengenai pengeluaran rumahtangga menurut berbagai komoditas dan tabungan. Oleh karena itu, dalam kerangka SNSE terdapat 3 tahap mapping untuk dapat membedakan dan menggambarkan keterkaitan proses-proses : a. Struktur produksi; b. Distribusi nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor produksi (distribusi pendapatan faktorial); c. Pendapatan, konsumsi, tabungan, dan investasi (distribusi pendapatan dan pengeluaran rumahtangga). SNSE dibentuk dengan memperhatikan bahwa masyarakat mempunyai kebutuhan dasar (basic needs and wants) yang harus dipenuhi melalui pembelian sejumlah paket (bundle) komoditas. Permintaan tersebut kemudian dipenuhi oleh industri-industri yang menghasilkan berbagai output (komoditas-komoditas). Untuk dapat menghasilkan output, industri membutuhkan berbagai input, seperti bahan baku, dan juga membutuhkan faktor-faktor produksi, seperti tenagakerja dan kapital. Rumahtangga sebagai salah satu institusi ekonomi merupakan salah satu penyedia faktor-faktor produksi dimaksud. Dari kegiatan ini, rumahtangga memperoleh balas jasa (compensation) berupa upah dan gaji (wages and salaries) untuk faktor produksi tenagakerja dan bunga, deviden, dan sebagainya untuk faktor produksi kapital.
Distribusi balas jasa seperti ini oleh rumahtangga
memberikan informasi mengenai distribusi pendapatan faktor (factorial income distribution). Pendapatan ini merupakan sumber pendapatan rumahtangga yang mempengaruhi pendapatan dan
pengeluaran rumahtangga. Makin besar
33
kepemilikan faktor-faktor produksi oleh rumahtangga atau dengan perkataan lain makin besar factor endowments dari rumahtangga, maka makin besar pendapatan yang dapat diterima oleh rumahtangga; dan sebaliknya. Tabel 4. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi Pengeluaran Penerimaan
Faktor Produksi
Institusi
Total
Sektor produksi
Neraca lainnya
Alokasi nilai tambah ke faktor produksi
Pendapatan faktor produksi dari luar negeri
Distribusi pendapatan faktorial
Transfer dari luar negeri
Distribusi pendapatan institusi
Faktor produksi
0
Institusi
Alokasi pendapatan faktor produksi ke institusi
Sektor produksi
0
Permintaan akhir
Permintaan antara
Ekspor dan investasi
Total output
Neraca lainnya
Alokasi pendapatan faktor produksi ke luar negeri
Tabungan
Impor, pajak tidak langsung
Transfer dan neraca lainnya
Total penerimaan lainnya
Total
Distribusi pengeluaran faktor produksi
Distribusi pengeluaran institusi
Total input
Total pengeluaran lainnya
0
Transfer antar institusi
0
Sumber : SNSE (BPS, 2000) Pendapatan tersebut kemudian dibelanjakan kembali untuk memenuhi berbagai kebutuhan rumahtangga yang dikeluarkan sebagai pengeluaran konsumsi (consumption expenditures) dimana keseluruhan pendapatan dapat habis dikeluarkan untuk pengeluaran konsumsi tanpa adanya tabungan, atau sebagian pendapatan dapat disisihkan sebagai tabungan. Tabungan rumahtangga tersebut merupakan sumber dana investasi bagi perusahaan yang akan meningkatkan
34
kapasitas produksinya, dengan demikian output dan sekaligus pendapatan nasional menjadi meningkat. Proses tersebut dalam ekonomi makro dikenal sebagai model pengeluaranpendapatan (circular flow model) dan akan menjadi sempurna bila menyertakan juga peranan sektor-sektor lainnya, seperti pemerintah dan luar negeri, dalam model tersebut. Dengan demikian, SNSE berupaya untuk menggambarkan keterkaitan antara : 1. Kegiatan atau struktur produksi atau pendapatan nasional 2. Distribusi pendapatan faktor 3. Distribusi pendapatan rumahtangga 4. Konsumsi, tabungan, investasi, dan kegiatan-kegiatan lain yang mempengaruhi pendapatan regional suatu wilayah, seperti ekspor dan impor. Bentuk dasar kerangka SNSE berupa matriks dengan 4 (empat) neraca utama, yaitu : (1) neraca faktor produksi, (2) neraca institusi, (3) neraca sektor produksi, dan (4) neraca lainnya (rest of the world). Dengan memahami arti kerangka SNSE tersebut, maka SNSE merupakan kumpulan data yang dapat digunakan sebagai alat analisis dan dapat menjelaskan antara lain : 1. Kinerja atau keragaan pembangunan ekonomi suatu negara, seperti PDB, tabungan negara 2. Distribusi pendapatan faktorial, yaitu distribusi pendapatan yang dirinci menurut faktor-faktor produksi, seperti pendapatan yang diterima tenaga kerja berupa upah dan gaji, dan yang diterima oleh faktor produksi modal, seperti berupa bunga, surplus usaha, sewa rumah
35
3. Distribusi pendapatan dan kemiskinan rumahtangga yang dirinci menurut berbagai golongan rumahtangga.
2.3. Tinjauan Studi-Studi Terdahulu 2.3.1. Peranan Sektor Pertanian Hirschman dalam Stringer (2001) menyoroti bagaimana sumberdaya pertanian yang berlimpah dan mengalami surplus ditransfer untuk pembangunan sektor industri dan menunjukkan sektor pertanian mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang antar sektor paling tinggi, hal mana kondisi tersebut sangat dibutuhkan dalam mengakselerasi pembangunan ekonomi. Byerlee, et al. (2005) menyatakan peranan sektor pertanian di dalam transformasi struktural telah ditunjukkan melalui revolusi hijau di banyak negara terutama di Asia, dimana sekarang sektor pertanian kontribusinya terhadap perekonomian
nasional
telah
turun.
Secara
terpisah
keberhasilan
ini
menumbuhkan sejumlah kalangan yang pesimis terhadap sektor pertanian yang mempertanyakan peranan strategis dari sektor pertanian pada dekade akhir ini terutama untuk pertumbuhan bagi pengentasan kemiskinan. Pernyataan ini terbawa oleh rendahnya harga komoditas pertanian di pasar dunia dan adanya ketertinggalan teknologi baru di sektor pertanian dan perkembangan penting dalam perekonomian global. Selanjutnya Byerlee menambahkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan penting terutama dalam tahap awal pertumbuhan perekonomian nasional, terutama mensejahterakan masyarakat tidak mampu yang terkonsentrasi di sektor ini, dan pertumbuhan di sektor pertanian terkait erat dengan sektor-sektor lain serta adanya eksternalitas positif dalam menjamin
36
ketahanan pangan (food security) dan menjaga stabilitas harga pangan (reducing food price).
Kontribusi sektor pertanian menurun sejalan dengan adanya
transformasi struktural melalui pembangunan perdesan masih merupakan kebijakan yang tepat untuk mengurangi penduduk miskin dan kesenjangan ekonomi. Pertumbuhan di sektor pertanian terbukti sebagai sumber pertumbuhan ekonomi di banyak negara yang kemudian meningkatkan pembangunan industri di perkotaan
terutama di daerah dengan infrastruktur yang baik dan kepadatan
penduduk yang tinggi. Stringer (2001) dalam studinya menjabarkan peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi ke dalam dua bagian, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Kontribusi pertanian secara langsung dapat dilihat secara tradisional dan non tradisional. Peranan pertanian dalam pembangunan yang selama ini selalu dibicarakan oleh setiap pakar, seperti kontribusinya terhadap tenaga kerja, pangan, ekspor, transfer modal dan pasar, tergolong sebagai peranan tradisionalnya. Sedangkan jika pertanian dikaitkan dengan agroindustri, ekspansi lahan bagi perluasan kota, pariwisata dan ketahanan pangan, maka peranan yang dimaksud tergolong sebagai peranan non tradisionil. Disisi lain, pertanian dapat pula secara tidak langsung memberi kontribusinya terhadap pembangunan. Dalam hal ini sektor pertanian dapat memberi manfaat eksternalitas dan barang-barang publik, setelah melalui proses joint product. Untuk manfaat eksternalitas dapat kita lihat salah satunya adalah peranan pertanian yang menghasilkan atau menumbuhkan kepariwisataan (tourism). Peran penting pertanian tergambar dari besarnya penduduk dunia yang bergantung mata pencahariannya di sektor pertanian. Pada tahun 2002 tiga
37
perempat dari penduduk negara berkembang setara dengan 833 juta orang hidup di perdesaan, sebagian besar mata pencaharian mereka secara langsung atau tidak langsung bergantung pada sektor pertanian. Disamping itu dalam pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan di rumahtangga perdesaan lewat sektor pertanian dua kali lebih efektif
dalam mengurangi jumlah penduduk
miskin ataupun memeratakan pendapatan dibanding dengan peningkatan atau pertumbuhan di sektor lain. Pemerintahan
China telah berhasil menurunkan
jumlah penduduk miskin di perdesaan dari 53 persen pada tahun 1981, menjadi tinggal 8 persen pada tahun 2001. Angka tersebut setara dengan mengeluarkan penduduk miskin sebesar 500 juta orang yang dicapai melalui mesin pertumbuhan pada aktivitas sektor pertanian disertai dengan dukungan respon rumahtangga petani terhadap perubahan teknologi pertanian yang cepat (World Bank, 2008). Masyhuri (2006) menyatakan bahwa pertanian di Indonesia sangat penting artinya karena peranannya sebagai penghasil pangan utama, lapangan kerja sebagian besar penduduk, pemasok bahan untuk industri, penghasil devisa negara dan kandungan impor rendah, mempunyai efek multiplier yang tinggi, kegiatan yang ramah lingkungan, penghasil energi alternatif biofuel. Sebagai penghasil pangan utama, sektor pertanian tidak tergantikan. Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, di tengah-tengah dinamika hubungan antar negara yang penuh ketidakpastian, kecukupan pangan yang dihasilkan sendiri sangat penting. Dengan demikian sektor pertanian menjadi sektor utama yang memproduksi pangan yang memadai dalam rangka untuk menjaga ketahanan pangan. Sipayung (2000) telah melakukan penelitian tentang pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi Indonesia,
38
menjelaskan bahwa peningkatan alokasi investasi pemerintah dan perbankan pada sektor pertanian meningkatkan minat investasi swasta pada sektor pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan pangsa alokasi investasi swasta asing pada sektor pertanian sebesar 14 persen dan pangsa alokasi investasi swasta domestik pada sektor pertanian sebesar 9.46 persen. Akibatnya, kapital stok total sektor pertanian meningkat sebesar 8.87 persen,
sementara kapital stok sektor non
pertanian turun sebesar 2 persen. Peningkatan dan penurunan kapital stok total pertanian dan non pertanian melalui proses produksi mempengaruhi produksi kedua sektor tersebut, dimana produksi sektor pertanian meningkat sebesar 0.30 persen dan sektor non pertanian turun sebesar 0.04 persen. Penurunan produksi sektor non pertanian ini disebabkan oleh penurunan kapital stok yang tidak mampu diimbangi oleh peningkatan produksi sektor non pertanian yang diakibatkan peningkatan produksi sektor pertanian melalui keterkaitan kedua sektor tersebut. Sembiring (1995) menggunakan model Input-Output menyatakan peranan agroindustri terhadap pembangunan ekonomi di provinsi Sumatera Utara ditunjukkan dari keterkaitan output tidak langsung antara sektor pertanian dengan sektor agroindustri atau sebaliknya, sektor agroindustri kurang mendukung pengembangan sektor pertanian, sebaliknya sektor pertanian mendukung pengembangan sektor agroindustri. Selanjutnya hasil penelitian menjelaskan sektor agroindustri penyumbang terbesar terhadap output dan ekspor, masingmasing sebesar 26.30 persen dan 33.90 persen, tetapi sektor ini juga pengimpor terbesar, yaitu 45 persen untuk proses produksinya sehingga terjadi defisit terbesar 34.89 persen. Kontribusi sektor agroindustri terhadap nilai tambah dan
39
kesempatan kerja masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor pertanian, tetapi produktivitas tenaga kerja di sektor agroindustri relatif jauh lebih tinggi (Rp 11.88 juta/orang/tahun) dibandingkan dengan sektor pertanian (Rp1.61 juta/orang/tahun). Ditemukan juga bahwa sektor agroindustri belum jadi sektor pemimpin (the leading sector) tetapi termasuk salah satu sektor utama (a leading sector) dalam pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara tahun 1990. Agroindustri merupakan salah satu prioritas penting dalam pembangunan ekonomi di India, karena di awal perjuangan kemerdekaan telah ditekankan oleh Mahatma Gandhi untuk melakukan penguatan pembangunan perdesaan dengan berbasis pada sektor agroindustri. Hasil penelitian di India menunjukkan sektor agroindustri di India mempunyai kontribusi yang besar terhadap keseluruhan penyerapan tenaga kerja di sektor industri demikian juga sumbangannya dalam nilai tambah dan sumber pendapatan. Kontribusi ini tidak terhenti disitu saja, akan tetapi juga mendorong percepatan pembangunan dan mengurangi kemiskinan terutama adanya keterkaitan pada kapasitasnya sebagai sumber pendapatan petani beskala kecil dan penyedia lapangan kerja di perdesaan terutama bagi para penduduk miskin yang tidak mempunyai tanah (Gandhi, et al., 2001). Menurut Saragih (1992) agroindustri diartikan sebagai semua kegiatan industri yang terkait erat dengan kegiatan pertanian. Agroindustri mencakup beberapa kegiatan : (1) industri pengolah hasil produksi pertanian dalam bentuk setengah jadi dan produk akhir seperti industri minyak sawit, industri pengolah karet, industri pengalengan ikan, industri kayu lapis dan sebagainya, (2) industri penanganan hasil pertanian segar seperti industri pembekuan ikan, industri penanganan buah segar dan sebagainya, (3) industri pengadaan sarana produksi
40
pertanian seperti pupuk, pestisida dan bibit, (4) industri pengadaan alat-alat pertanian seperti industri traktor pertanian, industri mesin perontok, industri mesin pengolah minyak sawit, industri mesin pengolah karet dan sebagainya. Menurut Sudaryanto dan Rusastra (2000), sektor pertanian diyakini mampu menyumbang terhadap pertumbuhan, pemerataan, dan penanganan lingkungan secara simultan sebagai prasyarat keberlanjutan pembangunan ekonomi.
Untuk itu diharapkan pemerintah daerah perlu mengupayakan
pembangunan pertanian sebagai poros pembangunan yang didukung oleh kebijaksanaan yang kondusif sehingga dapat memberikan sumbangan nyata terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Beberapa program pembangunan yang perlu mendapat penekanan dan pertimbangan diantaranya adalah transformasi struktur ekonomi berbasis pertanian, peningkatan ketahanan pangan berkelanjutan, pengembangan agribisnis dan ekonomi kerakyatan, dan pengembangan agropolitan yang sejalan dengan semangat otonomi daerah. Peranan sektor pertanian menjadi penting dalam kemampuan menyediakan pangan yang berasal dari dalam negeri sendiri. Impor pangan dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan, karena jika jumlah yang diimpor lebih besar dibanding yang diproduksi oleh petani, selain akan menguras devisa negara dalam jumlah banyak karena ketersediaan pangan dunia sangat terbatas dan harga jualnya selalu berfluktuasi. Ketahanan pangan (food security) di dalam negeri yang tidak kokoh berkaitan erat dengan ketahanan sosial, ketahanan ekonomi serta ketahanan nasional ( national security) secara keseluruhan (Nainggolan, 2006).
41
Johnston dan Mellor (1961) dalam Daryanto (2001) menyatakan terdapat lima kontribusi yang bisa diberikan sektor pertanian Pertama, sektor pertanian menghasilkan pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Jika peningkatan pangan dapat dipenuhi secara domestik, hal ini dapat mendorong penurunan laju inflasi dan tingkat upah tenaga kerja, yang pada akhirnya diyakini dapat lebih memacu pertumbuhan ekonomi. Kedua,
sektor pertanian dapat
menghasilkan atau menghemat devisa yang berasal dari ekspor atau produk subtitusi impor. Perolehan devisa dari ekspor pertanian pada akhirnya dapat digunakan untuk membayar kebutuhan impor barang-barang dan teknologi untuk memodernisasikan dan memperluas sektor pertanian. Melalui kontribusi ini, pembangunan sektor pertanian dapat memfasilitasi proses struktural transformasi. Ketiga, sektor pertanian merupakan pasar potensial bagi produk-produk industri, sehingga bila sektor pertanian bisa tumbuh dan berkembang sehat, akan terjadi stimulasi permintaan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri. Keempat, transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Perekonomian yang tumbuh cepat dapat menstimulasi terjadinya pemindahan tenaga kerja dalam jumlah besar dan kontinu dari sektor pertanian ke sektor industri. Akhirnya kelima, sektor pertanian dapat menyediakan modal bagi pengembangan sektor-sektor lain (a net outflow of capital for investment in other sector). Selain lima indikator yang terungkap ini, masih banyak lagi sebenarnya bukti empiris yang bisa menunjukkan pentingnya keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian dan keseluruhan pertumbuhan ekonomi.
42
Studi yang dilakukan oleh Priyarsono, et al. (2006) mengeksplorasi berbagai peranan sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Penelitian ini mengupas peran sektor pertanian dengan fokus pada tiga permasalahan ekonomi yang tergolong paling mendesak untuk segera ditangani di Indonesia, yakni kemiskinan, pengangguran, dan ketahanan pangan.
Adapun
dalam jangka pendek (tahun pertama masa penelitian), fokus lebih diarahkan pada pembangunan model analisis dan simulasi kebijakan yang diarahkan untuk mengatasi
masalah
kemiskinan.
Kerangka
pemikiran
untuk
mendekati
permasalahan di atas dilandasi oleh konsep kesetimbangan umum (general equilibrium approach), khususnya dengan menggunakan sistem neraca sosial ekonomi (SNSE, 1999). Metode ini secara khusus diarahkan untuk menghasilkan nilai pengaruh pengganda (multiplier effects). Dicoba pula diterapkan beberapa metode dekomposisi dan analisis lintasan struktural (strucural path analysis) untuk menguraikan pengaruh pengganda dan lintasan penjalaran pengaruh tersebut. Hasil studi ini memberi kesimpulan bahwa pembangunan sektor pertanian bukan saja lebih baik dalam meningkatkan pendapatan rumahtangga, namun juga lebih berpihak pada kaum miskin, terutama di pedesaan, bila dibandingkan dengan pembangunan sektor industri non pertanian. 2.3.2. Penerapan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Sadoulet dan de Janvry (1995) mengungkapkan bahwa yang dipaparkan dalam model I-O hanyalah arus transaksi ekonomi dari sektor produksi ke sektor faktor-faktor produksi, rumahtangga, pemerintah, perusahaan dan luar negeri. Dalam matriks transaksi I-O tidak dirinci lebih jauh jenis-jenis faktor produksi, kelompok rumahtangga, maupun pengeluaran pemerintah. Untuk memperoleh
43
informasi yang lengkap mengenai hal tersebut
maka alat yang lebih tepat
digunakan adalah Social Accounting Matrix (SAM) atau Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Salah satu karakteristik yang fundamental dari SAM adalah kemampuannya untuk menyajikan secara komprehensif dan konsisten mengenai hubungan-hubungan ekonomi pada tingkatan produksi dan faktor-faktor, serta institusi, yang terdiri dari pemerintahan, rumahtangga dan swasta. Dengan demikian SAM bisa menggambarkan seluruh transaksi, sektoral dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca. McGrath (1987) menyatakan bahwa salah satu tujuan menyusun sebuah matriks SAM adalah untuk memperluas System of National Account (SNA), yaitu dengan cara menggabungkan SNA dengan data distribusi pendapatan. Dalam pengertian ini, SAM memberikan sebuah metode yang bisa mengubah SNA dari statistik produksi menjadi statistik pendapatan, dengan cara demikian akhirnya SAM itu lebih terfokus kepada pembahasan mengenai tingkat kesejahteraan dari kelompok-kelompok sosial ekonomi yang berbeda. Bautista (2000) telah mengaplikasikan multiplier SAM untuk mengamati dampak pembangunan pertanian terhadap distribusi pendapatan. Studi Bautista ini menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian pengaruhnya lebih besar terhadap rumahtangga yang berpendapatan rendah dibandingkan terhadap rumahtangga yang berpendapatan tinggi, baik itu di daerah perdesaan maupun perkotaan. Pada akhir studinya Bautista memberi kesimpulan bahwa penerapan strategi pembangunan yang berbasis pertanian (agriculture based development strategy) di Vietnam Pusat sangat relevan, mengingat wilayah ini sangat sarat dengan sektor pertanian. Strategi ini memerlukan kebijakan pemerintah yang
44
dapat segera memperbaiki produktivitas sektor pertanian dalam skala yang lebih luas. Pertumbuhan pendapatan masyarakat perdesaan secara menyeluruh akan merangsang permintaan terhadap produk barang lokal yang diproduksi secara padat karya, juga permintaan terhadap produk agro industri dan sektor jasa. Oleh karena itu pada strategi ini diperlukan ada jaminan suplai bahan baku (produk pertanian) sebagai respon dari meningkatnya produk yang dihasilkan pengusaha barang dan jasa. Selain Bautista (2000), penerapan SAM untuk analisis pembangunan pertanian juga dilakukan oleh Nokkala (2002) yang meneliti tentang pelaksanaan program investasi di sektor pertanian dengan menggunakan model SAM. Hasil studinya menunjukkan bahwa terjadi kegagalan yang serius pada pelaksanaan program pengeluaran pembangunan pertanian. Dari semua skenario yang dilakukan, tidak hanya sektor pertanian yang menderita kemiskinan dari pelaksanaan program ASIP (Agricultural Sector Investment Program) tetapi juga menunjukkan perhitungan biaya sosial yang tinggi (social cost). Selanjutnya Roland-Holst dan Tarp (2000) dengan menggunakan SAM 2000 telah menunjukkan dengan tegas bahwa perekonomian Vietnam pada saat ini sangat tergantung kepada sektor-sektor produksi primer, terutama sekali sektor pertanian yang sangat potensial untuk terus berkembang. Peran subsektor pertanian yang paling menonjol terhadap value added Vietnam adalah tanaman pangan, sebagaimana yang diiindikasikan melalui multiplier SAM. Khusus untuk ekspor, hasil pengamatannya dengan SAM menggambarkan bahwa ekspor Vietnam terkonsentrasi pada sektor-sektor agroindustri yang terkait dengan produksi tekstil dan pakaian. Sedangkan untuk komoditi beras dan perikanan lebih
45
banyak disalurkan ke pasar domestik. Melalui dukungan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat kondusif terhadap pembangunan pertanian, bisa menempatkan negara Vietnam ini menjadi salah satu kekuatan baru dalam kawasan ekonomi regional dan global. Aplikasi SAM dalam analisis pembangunan ekonomi tidak terbatas hanya kepada kegiatan produksi saja, namun bisa juga diterapkan untuk mengamati dampak
dari
pembangunan
terhadap
pertumbuhan
wilayah
perdesaan,
sebagaimana yang dilakukan oleh Parikh dan Torbecke (1996). Menggunakan metode SAM mereka telah menganalisis dampak desentralisasi industri terhadap pembangunan perdesaan di India. Penelitian ini menggunakan dua daerah yang relatif sama, yaitu Aurepalle yang terletak jauh dari lokasi pabrik sedangkan Boriya daerah berdekatan dengan lokasi pabrik. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa desentralisasi industri di perdesaan sangat berkontribusi nyata terhadap pembangunan dan pengurangan kemiskinan di Boriya. Masyarakatnya menjadi sadar manfaat dari pendidikan, peningkatan investasi pertanian, eksploitasi terhadap tenaga kerja secara signifikan berkurang dan upah dari bekerja di pabrik telah mengurangi kemiskinan dan menurunnya ketidakmerataan pendapatan antara kelompok rumahtangga. Analisis cost-benefitcum-SAM, multiplier dari empat skema pembangunan mengindikasikan bahwa desentralisasi industri telah menjadi kebijakan yang efektif dalam membangun perdesaan secara menyeluruh. Decaluwe, et al. (1999) dengan menggabungkan kerangka SAM pada model CGE melakukan studi mengenai dampak liberalisasi perdagangan dan reformasi tarif terhadap kemiskinan. Hasil kajian menunjukkan bahwa dampak
46
penurunan harga ekspor tanaman pangan terhadap kemiskinan rumahtangga yaitu menurunkan head-count ratio untuk seluruh kelompok rumahtangga kecuali rumahtangga
di
perdesaan.
Sedangkan
dampak
reformasi
tarif
impor
menyebabkan ukuran poverty gap menurun untuk seluruh kelompok rumahtangga. Tetapi perbaikan kemiskinan tersebut kurang begitu berarti bagi kelompok rumahtangga perdesaan dan rumahtangga perkotaan yang berpendapatan tinggi. Penerapan multiplier SAM yang lebih khusus dilakukan oleh Wagner (1999) untuk meneliti tentang peranan kunjungan wisata asing terhadap perekonomian wilayah di APA de Guaraquecaba, Brazil. Wagner mengukur tiga jenis multiplier, yaitu type I, type II dan multiplier SAM. Output multiplier type I digunakan untuk melakukan estimasi hanya pada blok aktivitas atau matrikss antar sektor ekonomi. Multiplier type II menggambarkan dampak intra, inter dan extra group. Sedangkan SAM multiplier selain dapat menjelaskan dampak yang ditunjukkan oleh multiplier type II, juga menggambarkan pembayaran modal terhadap rumahtangga. Nilai multiplier dihasilkan untuk type II lebih besar nilainya dibandingkan dengan type I dan nilai multiplier SAM lebih besar nilainya dibandingkan dengan type II. Adapun hasil penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa secara umum sektor yang paling dipengaruhi oleh besarnya kunjungan wisatawan asing adalah rumahtangga perdesaan yang menghasilkan output kerajinan dengan input lokal. Mereka banyak memperoleh manfaat lebih besar dari kedatangan wisatawan asing dengan mendapat dollar yang lebih besar dari produk yang dihasilkannya. Salah satu kehandalan dari aplikasi SAM dalam analisis ekonomi adalah kemampuannya untuk menggambarkan pancaran efek multiplier dari dampak pembangunan suatu sektor terhadap aktifitas-aktifitas ekonomi yang lain. Alat
47
analisis SAM yang sering digunakan untuk menelusuri hal tersebut secara komprehensif adalah Structural Path Analysis (SPA). Penerapan SPA dalam analisis SAM sudah banyak dilakukan, salah satu diantaranya adalah Carmen, et al. (2003) yang telah melakukan analisis terhadap jalur keterkaitan antar sektor berdasarkan data SAM negara Andalusia tahun 1990, 1995 dan 1999, dengan tujuan untuk mengetahui perubahan utama struktur produksi dan permintaan di negara Andalusia pada kurun waktu 10 tahun terakhir. Hasilnya menunjukkan keberadaan suatu sektor dengan sangat kuat
memberikan kontribusi
pada
pertumbuhan ekonomi regional serta dapat menghitung seberapa besar pengaruh suatu injeksi (policy) yang dilakukan terhadap sektor itu sendiri dan pada sektor yang lain dalam satu regional. Penggunaan SPA juga dilakukan oleh Santona, et al. (2004) untuk menjawab permasalahan jika terjadi kenaikan terhadap permintaan terhadap suatu sektor, apa pengaruhnya terhadap sektor lain dan adakah perbedaan diantara jalur-jalur yang berbeda
di dalam mentransmisikan pengaruh-pengaruh dari
adanya perubahan tersebut. Hasil analisis menunjukkan ada jalur pengaruh yang ditransmisikan dari sektor restauran terhadap sektor pertanian dan dari sektor konstruksi pada sektor pertambangan. Pengaruh sektor restauran ke sektor pertanian merupakan jalur transmisi terpendek dan langsung. Pengaruh langsung sebesar 47 persen ditransmisikan melewati jalur ini, sedangkan pada jalur sektor restauran, sektor foodstuff dan sektor pertanian ternyata pengaruh langsung yang ditransmisikan hanya sebesar 30 persen. Analisis SAM juga sudah banyak digunakan dalam menganalisis perekonomian Indonesia. Misalkan James dan Khan (1993) yang telah mengamati
48
tentang kapasitas penyerapan tenaga kerja dalam program-program redistribusi pendapatan di Indonesia. Analisisnya berdasarkan SAM tahun 1975 yang dipublikasikan oleh BPS. Kesimpulan studinya adalah redistribusi pendapatan yang terjadi dalam kelompok rumahtangga miskin akan menghasilkan pengaruh (secara langsung atau tidak langsung) terhadap pendapatan tenaga kerja, baik itu berdasarkan analisis secara agregasi maupun disagregasi. Akan tetapi secara keseluruhan, pengaruhnya lebih besar dalam analisis tingkat disagregasi. Selanjutnya Bautista, et al. (1999) yang mengukur pengaruh dari tiga alternatif pembangunan industri terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan analisis multiplier SAM dan CGE. Tiga alternatif industri yang dimaksudkan adalah industri berbasis permintaan sektor pertanian (agricultural demand-led industry, ADLI) idustri berbasis pengolahan pangan (food processingbased industry, FPB), dan industri berbasis manufaktur ringan ringan (light manufacturing-based industry, LMB). Hasil analisis dari studi ini menyimpulkan bahwa pembangunan industri yang berorientasi pada komoditas pertanian lebih tinggi dan signifikan pengaruhnya terhadap kenaikan riil GDP Indonesia dibandingkan dengan pembangunan industri yang berorientasi pada pengolahan makanan dan industri ringan. Dari aspek distribusi pendapatan, pengaruh kenaikan GDP lebih besar terhadap perubahan pendapatan kelompok rumahtangga yang berpendapatan rendah, baik di sektor pertanian maupun di sektor non pertanian. Adelman dan Ralston (1992) dengan membangun SAM untuk provinsi Jawa Barat, telah melakukan pengamatan tentang implikasi dari pertumbuhan dan distribusi pendapatan terhadap perubahan-perubahan market-oriented dan program-program pemerintah. Hasil studinya menunjukkan bahwa saat kebijakan-
49
kebijakan perubahan market-oriented menghasilkan tingkat pertumbuhan dan pendapatan rumahtangga yang tinggi di Jawa Barat, ketimpangan pendapatan antara rumahtangga yang berpendapatan rendah (diukur dalam kalori) dan rumahtangga yang berpendapatan tinggi juga semakin meningkat. Pyatt dan Round (2004) menggunakan model SNSE Indonesia tahun 1980 untuk mengkaji efek pengganda harga tetap terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan
perubahan proporsi penduduk miskin
dipengaruhi oleh perubahan pendapatan dan perubahan harga. Namun perubahan harga tersebut hanya akan berarti jika garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok rumahtangga bergerak secara berbeda. Pada model pengganda harga tetap efek perubahan harga tersebut diabaikan. Selain dari pengamat luar negeri yang tertarik menerapkan SAM untuk mempelajari perekonomian Indonesia, beberapa penulis dalam negeri sudah cukup banyak yang menggunakan perangkat SAM untuk menganalisis perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah Antara (1999) yang berhasil membangun SAM Bali 1996 yang dikonstruksikan atas 55 neraca, yaitu 2 neraca untuk faktor produksi, 19 neraca untuk neraca institusi, 28 necara untuk aktivitas produksi, dan 6 neraca untuk eksogen. SAM tersebut digunakan untuk menganalisis dampak pengeluaran pemerintah dan wisatawan terhadap kinerja perekonomian Bali. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk pembangunan adalah tetap, sedangkan pengeluaran wisatawan atau investasi swasta meningkat. Hal tersebut berdampak terhadap peningkatan kinerja perekonomian Bali. Jadi pengeluaran wisatawan atau investasi swasta memiliki kontribusi nyata terhadap kinerja perekonomian Bali.
50
Sutomo (1987) menggunakan SAM Indonesia tahun 1975 dan 1980 untuk menganalisis kemiskinan dengan melihat keterkaitan antara pendapatan, konsumsi makanan dan estimasi kebutuhan energi dan protein oleh rumahtangga. Dalam studinya disimpulkan bahwa, meskipun kebutuhan akan rata-rata energi dan protein dari masyarakat telah berada di atas kebutuhan minimum pada tahun 1975 dan 1980, tetapi masih ada beberpa kelompok rumahtangga yang konsumsinya masih kurang, termasuk rumahtangga yang berada di atas garis kemiskinan. Kemudian Sutomo (1995) juga telah menyusun neraca SAM untuk provinsi Riau dan NTT. Berdasarkan kedua neraca SAM tersebut diperoleh kesimpulan bahwa permasalahan kemiskinan bukan merupakan provinsi miskin saja, tetapi juga merupakan permasalahan provinsi kaya. Dimana distribusi pendapatan antara golongan rumahtangga dikedua provinsi tersebut berada dalam ketimpangan yang ditunjukkan oleh index gini di kedua provinsi tersebut melebihi 0.5. Sedangkan distribusi pendapatan faktorial antara tenaga kerja dan kapital menunjukkan bahwa proses produksi diprovinsi NTT bersifat intensif tenaga kerja yang ditunjukkan oleh koefisien tenaga kerja (0.68) lebih besar dari kapital (0.32). Namun di provinsi Riau terjadi sebaliknya, yaitu intensif kapital dimana koefisien kapital (0.52) lebih besar dari pada tenaga kerja (0.48). Ini menunjukkan bahwa di masing-masing provinsi tesebut, peningkatan penggunaan tenaga kerja dan kapital memiliki peranan penting dalam meningkatkan nilai tambah bruto wilayah. Ropingi (1999) meneliti tentang keragaan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Boyolali dengan menggunakan kerangka SAM Boyolali tahun 1996. Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa selama tahun 1996 kesejahteraan masyarakat Boyolali, yang diperoleh dari pendapatan faktor produksi adalah
51
sebesar Rp 888 006.568 dimana dikontribusi faktor produksi tenaga kerja sebesar 28.22 persen, sedangkan faktor produksi non tenaga kerja/modal sebesar 71.78 persen. Pendapatan faktor produksi tenaga kerja ini 92.11 persen berasal dari balas jasa tenaga kerja dan 7.89 persen berasal dari transfer dari luar wilayah kabupaten. Sedangkan pendapatan faktor produksi untuk kapital (modal) 98.02 persen berasal dari surplus usaha dan sewa kapital/bunga atas modal yang berasal dari penerimaan transfer di luar wilayah kabupaten. Astuti (2005) menggunakan pendekatan SAM untuk mengkaji dampak investasi sektor pertanian terhadap perekonomian dan upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia. Sektor pertanian yang dimaksud meliputi subsektor tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Sebagai variabel eksogen adalah pengeluaran pemerintah, pengeluaran swasta dan rumahtangga. Untuk menganalisis aspek kemiskinan, Astuti menggunakan analisis terpisah dari metoda SAM, yaitu dengan menggunakan indikator kemiskinan FGT poverty index melalui data Susenas. Dengan menggunakan metode ini dapat dianalisis lebih jauh perubahan jumlah orang atau rumahtangga miskin di Indonesia sebagai dampak dari perubahan pendapatan. Penelitian yang dilakukan oleh Zaini (2003) menggunakan SNSE Indonesia tahun 1995 dan tahun 1999 untuk meneliti tentang peranan sektor pertanian sebelum dan pada masa krisis ekonomi di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian pada tahun 1995 (sebelum krisis) dan tahun 1999 (pada masa krisis) terhadap laju pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan yang positif, meskipun perkembangan distribusi pendapatan disposibel per kapita antar golongan rumahtangga terjadi kesenjangan.
52
Sektor pertanian cukup besar dalam menyerap tenagakerja dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Rata-rata sektor pertanian mampu menyerap sekitar 45 persen tenaga kerja dari seluruh tenaga kerja Indonesia. Lena (2004) melakukan analisis terhadap SAM (SNSE) Indonesia tahun 1999, dengan menggunakan teknik Structural Path Analysis (SPA). Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa injeksi yang dilakukan terhadap sektor pertanian ternyata menunjukkan peningkatan terhadap pendapatan kelompok rumahtangga perdesaan dibandingkan jika injeksi dilakukan terhadap sektor industri olahan pertanian. Injeksi ini juga meningkatkan terhadap peningkatan output di sektor pertanian yang disertai juga dengan peningkatan penggunaan faktor produksi tenaga kerja di sektor pertanian. Manaf (2000) menggunakan SNSE Indonesia tahun 1995 untuk meneliti pengaruh subsidi harga pupuk terhadap pendapatan petani. Salah satu analisisnya menggunakan Structural Path Analysis (SPA) untuk mengidentifikasi alur-alur asal pengaruh yang dipancarkan dari satu sektor asal ke sektor-sektor tujuan. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa pengaruh yang terbesar dari adanya subsidi harga pupuk diterima oleh sektor perkebunan.
Sedangkan
pengaruh paling kecil diterima oleh rumahtangga petani pemilik lahan 0.5 – 1 hektar setelah melalui faktor produksi modal. Thaiprasert (2006) menggunakan SAM Thailand 1998 untuk mengetahui peranan dari sektor pertanian dan sektor industri di dalam pembangunan ekonomi negara Thailand diperoleh hasil bahwa analisis terhadap sektor unggulan menunjukkan peran penting dari sektor pertanian terhadap sektor-sektor lain lebih baik daripada sektor non pertanian. Hal ini berarti investasi terhadap sektor ini
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Konseptual Penelitian Kerangka konseptual dalam penelitian merupakan gambaran dari peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi nasional yang dapat dilihat seperti pada Gambar 3 dibawah ini: Nilai
Tabungan
Tambah
Pasar faktor Produksi
Kegiatan produksi Pertanian
Pajak
Rumah Tangga
Konsumsi Antara
Perusahaan
Penjualan
Pemerintah
Transfer
Pajak Tidak Langsung
Pasar Komoditi Barang-barang permintaan akhir
Ekspor Impor Transfer
Neraca Berjalan Luar Negeri
Luar Negeri
Tarif/Kebijakan Fiskal
Sumber : Diadopsi dari Round (2003) Gambar 3. Peran Sektor Pertanian Dalam Perekonomian Nasional
Kapital
54
Dalam gambar 3 dapat dilihat bagaimana sirkulasi pendapatan itu terjadi dalam suatu perekonomian, yang sering disebut juga sebagai bentuk makro dari SNSE. Berdasarkan gambar ini sumber pendapatan bagi perusahaan dan rumah tangga (diluar transfer pemerintah) pada intinya berasal dari dua pasar, yaitu pasar komoditi dan pasar faktor produksi. Perusahaan memperoleh pendapatan dari pasar komoditi berdasarkan aktifitas produksi yang dilakukan, sedangkan rumahtangga dari pasar faktor produksi melalui penerimaan tenaga kerja. Terakhir pemerintah, memperoleh pendapatannya dari pajak. Selain memperoleh penerimaan domestik, semua institusi juga mendapat transfer payment dari luar negeri. Untuk pengeluaran institusi secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yang meliputi pengeluaran untuk konsumsi (belanja), tabungan, dan pembayaran pajak. Untuk
memahami
bagaimana
peranan
sektor
pertanian
dalam
perekonomian nasional secara menyeluruh dapat disampaikan suatu ilustrasi sederhana. Misalkan dalam suatu perekonomian terdapat tiga sektor produksi yaitu pertanian, industri dan jasa. Dalam SNSE ketiga sektor produksi itu masuk dalam neraca aktivitas produksi. Kemudian ada juga institusi rumahtangga, pemerintah dan swasta. Sekarang apa yang terjadi dalam perekonomian jika sektor pertanian diberi stimulus ekonomi. Pertama kali yang merasakan dampak tersebut sudah tentu sektor pertanian itu sendiri yang ditandai dengan terjadinya kenaikan produksi. Karena sektor pertanian memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya baik itu backward linkage maupun forward linkage, maka dengan adanya kenaikan produksi pertanian sudah tentu akan
diikuti pula dengan kenaikan
permintaan intermediate input (input antara) terhadap sektor industri maupun jasa.
55
Peningkatan produksi pertanian dengan demikian akan berpengaruh terhadap penerimaan di sektor industri dan jasa, dengan kata lain terjadi transfer payment dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Kenaikan permintaan input sektor pertanian tidak hanya pada intermediate input, tetapi juga untuk input primer dan salah satunya adalah tenaga kerja. Dalam hal ini tenaga kerja memperoleh transfer payment dari sektor pertanian juga. Oleh karena sumber penawaran tenaga kerja berasal dari rumahtangga, maka kenaikan permintaan tenaga kerja dari sektor pertanian sudah tentu berpengaruh terhadap perubahan pendapatan rumahtangga. Akibatnya, secara tidak langsung terlihat ada transfer payment dari sektor pertanian ke rumahtangga. Semua transfer yang dijelaskan ini akan melalui pasar faktor produksi baik itu pasar tenaga kerja, modal maupun input antara. Melalui institusi pemerintah kita juga dapat menganalisis bagaimana dampak pembangunan pertanian terhadap perekonomian. Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pemerintah itu menerima pajak dari sektor produksi dan rumahtangga. Kemudian dari sebagian pajak tersebut, pemerintah akan melakukan transfer payment kembali kepada sektor produksi dan rumahtangga, yang biasanya kita sebut subsidi. Sekarang, karena adanya penambahan nilai produksi sektoral akibat kenaikan produksi pertanian, menyebabkan kemampuan membayar pajak dari sektor produksi dan rumahtangga petani terhadap pemerintah akan meningkat. Dengan demikian, anggaran belanja dan pendapatan pemerintah juga meningkat, dan salah satunya yang dapat bertambah adalah kemampuan pemerintah untuk melakukan subsidi. Akibat naiknya subsidi tersebut baik itu subsidi produksi maupun pendapatan rumahtangga, sudah barang tentu
56
akan mempengaruhi perubahan distribusi pendapatan baik itu secara sektoral maupun antar rumahtangga. 3.2. Kerangka Analisis Penelitian Ada beberapa tahapan analisis yang dilakukan dalam studi ini untuk memperoleh suatu kesimpulan seberapa besar atau penting peranan sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia. Tahapan-tahapan analisis yang dimaksud dapat diurai secara singkat seperti yang disajikan dalam gambar 4. Latar Belakang 1. 2. 3.
Rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian Kurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian Triple Track Strategy
Permasalahan Penelitian 1. 2. 3.
Peranan sektor pertanian Pengaruh langsung dan global Dampak kebijakan pembangunan pertanian
Tujuan Penelitian 1. Menganalisis peranan sektor pertanian 2. Mengukur besarnya pengaruh langsung dan global sektor pertanian 3. Menganalisis dampak kebijakan pertanian
Telaah teori dan studi-studi empiris
Metode SNSE Pendefinisian Klasifikasi SNSE
IO-2003 Susenas, SKTIR, Sensus Pertanian, APBN, Statistik Ekspor-Impor
Penyusunan SNSE Analisis SNSE
Struktur Perekonomian
Angka Pengganda
Dekomposisi
SPA
Rekomendasi Saran Kebijakan Gambar 4. Kerangka Analisis atau Penelitian Gambar 4. Kerangka Analisis Penelitian
Simulasi Kebijakan
57
3.3. Kebijakan Pembangunan Pertanian Kebijakan pembangunan pertanian diwujudkan melalui alokasi pendanaan oleh pemerintah di sektor pertanian. Pembiayaan fiskal sangat penting untuk memfasilitasi tercapainya berbagai macam tujuan di dalam pembangunan pertanian. Fasilitasi tersebut bisa berupa investasi di dalam pembangunan infrastruktur sektor pertanian yang diwujudkan untuk tujuan seperti penyediaan irigasi, penyimpanan hasil panen, pemasaran dan transportasi, serta mengarahkan penyaluran kredit ke petani, pembiayaan perluasan riset dan produksi benih, membiayai defisit yang terjadi akibat program pembelian dari petani dengan harga di atas harga pasar dan melakukan penjualan ke konsumen dengan harga yang lebih rendah, dan beberapa program pendukung lainnya (Norton, 2004). World Development Report (2008) mengagendakan tujuan kebijakan pembangunan pertanian semestinya dengan (1) merubah petani kecil dari bertani komoditas tradisional kepada non tradisional melalui kegiatan ekonomi pertanian yang mempunyai nilai tambah tinggi, (2) memperluas revolusi hijau terhadap pertanaman pertanaman tradisional (bahan pokok pangan) ke wilayah-wilayah yang dikelilingi oleh kemajuan teknologi dan oleh sejumlah besar orang miskin, (3) menyediakan infrastruktur untuk mendukung diversifikasi pertanian dan ekonomi perdesaan, dan (4) memajukan ekonomi non pertanian perdesaan untuk menghadapi masalah lapangan kerja perdesaan dan berinvestasi besar-besaran dalam keahlian untuk orang yang berpindah ke sektor yang sedang tumbuh cepat. Rendahnya produktivitas pertanian juga berkaitan dengan kecilnya asset yang dikelola petani dan keberadaan sumberdaya alam pertanian yang semakin terbatas serta mengalami degradasi, sementara angkatan kerja semakin meningkat,
58
sehingga tingkat pemanfaatan tenaga kerja relatif rendah (under-employment). Apabila kondisi ini dibiarkan terus menerus maka sektor pertanian akan semakin gurem karena ditinggalkan oleh tenaga potensial dan semakin tidak menarik sebagai suatu bidang usaha ekonomi. Untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan reorientasi kebijakan dan program pembangunan nasional dari sektor pertanian yang lebih menitikberatkan kepada upaya peningkatan produktivitas pertanian dan pendapatan para petaninya. Dalam merumuskan kebijakan dan program tersebut diperlukan kajian ketenegakerjaan secara holistik, berkaitan dengan perencanaan pembangunan dan kebutuhan tenaga kerja nasional. Pada periode setelah perang dunia kedua, strategi pertumbuhan ekonomi merupakan strategi yang banyak dirujuk oleh banyak negara dalam melakukan pembangunan ekonomi dengan target utama adalah peningkatan output sektorsektor ekonomi yang dominan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan nasional negara bersangkutan. Melalui proses penetesan ke bawah (trickle down effect) hasil-hasil pembangunan yang dihasilkan, nantinya akan mengalir kepada masyarakat sehingga hasil pembangunan ini diharapkan dapat menaikkan kesejahteraan masyarakat luas. Model kebijakan pembangunan sebagaimana diatas masih tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009, yang tertuang dalam Perpres nomor 7 tahun 2005, dijabarkan lebih lanjut dalam Rencana Kerja Pemerintah
dengan penekanan
pada 7 (tujuh) skala prioritas yaitu: (1)
penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan, (2) peningkatan kesempatan kerja, (3) investasi dan ekspor, (4) revitalisasi pertanian dan perdesaan, (5) peningkatan
59
aksesibilitas dan kualitas pendidikan, (6) kesehatan, dan (7) penegakan hukum, pemberantaan korupsi dan reformasi birokrasi. Menyikapi RPJM 2005-2009 khususnya pada poin nomor 4 pemerintah menetapkan sasaran akhir revitalisasi pertanian melalui penguatan kembali sektor pertanian dan membangun komitmen di sektor pertanian agar menjadi sektor penting bagi tulang punggung perekonomian Indonesia, dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, menggerakkan perekonomian perdesaan sekaligus mennciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia. Jika terlaksana sudah barang tentu akan berdampak positif khususnya bagi 25.6 juta rumahtangga petani. Pembangunan sektor pertanian dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholder, dan departemen terkait, sehingga semua bisa memberikan perhatian yang sama akan pentingnya pertanian dengan sasaran pertumbuhan sektor pertanian rata-rata 3.52 persen per tahun selama periode 2004-2009, serta tercapainya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui pertumbuhan ekonomi nasional di atas 6.5 persen per tahun. Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan tersebut pemerintah telah mengambil lima program kebijakan yang meliputi peningkatan ketahanan pangan, pengembangan agribisnis, peningkatan kesejahteraan petani, pengembangan sumberdaya perikanan dan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan. Khusus untuk mencapai ketahanan pangan, pemerintah harus menerapkan kebijakan untuk mencegah konversi lahan dan melakukan perluasan lahan pertanian, khususnya di lahan beririgasi dan perlu reforma agraria. Sebab persoalan yang terjadi bukan hanya semakin menyempitnya lahan pertanian secara agregat, tetapi juga semakin
60
besarnya jumlah petani yang memiliki lahan teramat sempit atau petani gurem, yang jauh dari skala ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sebesar 6.5 persen dengan pertumbuhan sektor pertanian sebesar 3.52 persen diharapkan dapat menanggulangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan melalui upaya pengurangan penduduk miskin dari 15 persen pada tahun 2005 menjadi 13.3 persen pada akhir 2006, peningkatan kesempatan kerja, dengan berkurangnya jumlah pengangguran terbuka 9.9 juta orang pada tahun 2005 menjadi 9.4 juta orang pada tahun 2006, investasi dan ekspor sasaran yang hendak dicapai, meningkatnya pembentukan modal tetap bruto sebesar 17.8 persen serta meningkatnya ekspor non migas sebesar 6.5 persen (di luar sektor pariwisata), sementara penerimaan dari sektor pariwisata meningkat 16.6 persen. Pertumbuhan ekonomi akan meningkat dari 5.5 persen pada 2005 menjadi 6.1 persen pada 2006, kemudian menjadi 7.2 persen pada 2008 (RPJM, 2005-2009). Target jangka pendek yang ditetapkan dalam RPJM sepertinya masih belum terrealisir dengan baik. Sebagai contoh untuk angka kemiskinan, berdasarkan pidato kenegaraan mengenai Nota Keuangan dan RAPBN 2009, presiden menyebutkan tingkat kemiskinan pada tahun 2006 adalah sebesar 17.7 persen. Kemudian pada tahun 2008 khususnya untuk bulan maret, meski tampak menurun dari tahun 2006 menjadi 15.4 persen namun tetap saja masih jauh di atas target RPJM 2005-2009. Selanjutnya untuk tingkat pertumbuhan ekonomi, ada pernyataan dari menteri keuangan bahwa pertumbuhan pada semester I tahun 2008 mencapai 6.2 persen. Ini berarti lebih rendah dibandingkan target jangka pendek yang ditetapkan sebesar 7.2 persen untuk tahun 2008. Sementara itu,
61
untuk pembentukan modal tetap bruto atau investasi, Menkeu menjelaskan, pihaknya mencatat pertumbuhan sebesar 10.4-10.5 persen (Gatra Com, 2008). Keberhasilan pemerintah dalam melampaui target jangka pendek dalam RPJM 2005-2009 tampaknya hanya terjadi pada penurunan angka pengangguran dan perkembangan ekspor. Seperti yang diungkapkan oleh presiden bahwa tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 10.5 persen pada tahun 2006, telah menurun menjadi 8.5 persen di tahun 2008. Ini berarti realisasi 2008 jauh lebih rendah dari target yang disebutkan pada tahun 2006 sebesar 9.4 persen di RPJM. Selanjutnya realisasi ekspor Indonesia pada semester I tahun 2008 tumbuh mencapai 11.9-12.0 persen, melebihi target yang ditetapkan pada tahun 2006 sebesar 6.5 persen. Beberapa kebijakan pemerintah dalam rangka membangun sektor pertanian yang umum dilakukan oleh pemerintah adalah kebijakan fiskal (fiscal policy) yang dalam implementasinya bisa berupa kebijakan subsidi atau pengenaan pajak, stabilisasi harga, pengenaan tarif atau kuota terhadap produk pertanian impor. 3.3.1. Subsidi dan Dukungan Harga Pada setiap tingkatan pemerintahan terdapat berbagai program yang pada dasarnya merupakan bantuan berupa transfer uang atau barang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Salah satu jenis program adalah pembiayaan transfer yang dilakukan dengan jalan mengurangi daya beli pembayar pajak dari golongan penduduk berpenghasilan tinggi atau langsung berasal dari dana budget pemerintah untuk disalurkan kepada penerima bantuan yang umumnya
62
mempunyai penghasilan rendah. Transfer dapat dilakukan dalam bentuk uang tunai atau bentuk terkait dengan pemberian bahan (in kind transfer) seperti kupon makanan, bantuan kesehatan dan bantuan perumahan (Rosen , 2005). Bantuan pemerintah bisa dalam bentuk subsidi dukungan harga (price Support) terhadap produk suatu komoditas, input untuk produksi yang pada dasarnya merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam penentuan kebijakan pengeluaran dana pemerintah. Menganalisa suatu program pemerintah, seperti subsidi rehabilitasi lahan milik petani, dengan jalan mempelajari perkembangan serta permasalahan program sering memberikan manfaat untuk dilakukan penyempurnaan. Analisa berikutnya, mencoba menghubungkan antara kebutuhan, sumber permintaan terhadap salah satu bentuk kegagalan pasar seperti kompetisi yang tidak sempurna, barang publik, eksternalitas, pasar yang tidak lengkap dan informasi yang tidak sempurna. Walaupun keadaan ekonomi mencapai pareto, intervensi pemerintah dapat dilakukan apabila terdapat dua alasan. Pertama, pendapatan masyarakat yang berasal dari suatu perekonomian pasar tidak terdistribusi dengan baik. Kedua, kurang sempurnanya kriteria penilaian kesejahteraan di dalam persepsi seseorang terhadap kesejahteraannya. Intervensi pemerintah dapat dilakukan dalam tiga bentuk yaitu kebijaksanaan untuk produksi publik, kebijakan produksi swasta dengan perlakuan pajak dan subsidi, serta kebijakan produksi swasta dengan adanya pengaturan dari pemerintah. Bentuk subsidi dapat berupa pengenaan suatu sistem perpajakan ataupun pemberian bantuan hibah secara langsung. Apabila subsidi berupa hibah langsung, maka persyaratan subsidi tersebut perlu ditetapkan sesuai dengan tujuan subsidi. Penilaian suatu subsidi harus dilihat dalam kurun waktu jangka panjang,
63
dimana produsen dan konsumen telah menyesuaikan perilakunya dan penilaian output dalam kurun waktu jangka pendek (Stiglitz, 2005). Kebijakan subsidi jika dilakukan dengan tepat bisa memberikan dorongan bagi produsen untuk melakukan proses produksi dengan lebih produktif. Adanya subsidi ini diharapkan bisa mendorong kurva penawaran bergerak ke kanan misal karena adanya perbaikan dalam proses produksi sebagai akibat dari keberhasilan riset di bidang pertanian
yang didanai dari anggaran pemerintah sehingga
ditemukan teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas maupun kualitas produk pertanian. Harga input yang murah juga akan mendorong petani untuk mempergunakan paket teknologi yang dianjurkan sesuai dengan rekomendasi dari hasil penelitian yang valid. Keberhasilan peningkatan produksi disertai
dengan
penurunan
biaya
produksi
diharapkan
nantinya
dapat
meningkatkan daya saing produk pertanian baik di dalam negeri maupun di pasar luar negeri. Kebijakan Subsidi adalah serupa dengan pajak negatif dan merupakan salah satu instrumen dari pemerintah untuk mengurangi harga suatu produk atau barang supaya harganya lebih murah dari harga pasar dan dapat dibeli oleh konsumen untuk kebutuhan konsumsi ataupun produsen untuk bahan baku proses produksi. Kebijakan subsidi sudah barang tentu akan meningkatkan produksi atau konsumsi dari suatu barang sehingga kesejahteraan dari masyarakat penduduk bisa meningkat. Namun demikian jika ditelaah dari teori ekonomi belum tentu demikian realitanya dan pada kenyataanya akan terlihat sejauh mana keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh baik dari sisi produsen, konsumen maupun pemerintah dengan adanya kebijakan subsidi ini. Hal ini dapat dijelaskan dengan
64
mudah dengan pendekatan surplus produsen dan konsumen, seberapa besar sebetulnya kesejahteraan yang diperoleh dan seberapa besar kesejahteraan yang hilang. Price S Ps C C
A Po
B
Pb
D
S
E
D Qo
Q1
Quantity
Gambar 5. Subsidi Dipandang Sebagai Pajak Negatif (Keuntungan Subsidi Dibagi antara Pembeli dan Penjual) Adanya kebijakan subsidi ini menyebabkan kesejahteraan (surplus) produsen meningkat sebesar trapesium A dan segitiga C dan kesejahteraan konsumen meningkat sebesar trapesium B dan segitiga E, akan tetapi untuk membiayai kebijakan subsidi ini pemerintah mengeluarkan biaya yang akan diambil dari uang masyarakat sebesar A+B+C+D+E sehingga secara keseluruhan dalam kebijakan subsidi ini ada kerugian (dead weight lost) sebesar segitiga D (lihat Gambar 5). Kebijakan lain yang sering juag digunakan oleh pemrintah berupa dukungan harga (price support). Kebijakan ini banyak digunakan pemerintah di beberapa negara
termasuk Indonesia. Kebijakan
ini dilakukan
dengan
65
mengintervensi harga suatu produk khususnya yang terkait dengan produk pertanian, dengan maksud untuk menaikkan harga jual sehingga nantinya dapat menaikkan pendapatan petani lihat gambar 6.
Price S Qs Ps P0
A
B
D
D+Q D Q1
Q0
Q2
Quantity
Gambar 6. Dukungan Harga dan Dampaknya Pada kasus diatas petani (produsen) memproduksi melebihi kebutuhan yang diperlukan (melebihi permintaan pasar) sedangkan konsumen hanya bersedia membeli sejumlah Q1 dan terjadi kelebihan suply (penawaran) yang harus dibeli oleh pemerintah. Hal ini memang termasuk ekonomi biaya tinggi karena pemerintah harus membeli produk yang tidak dikonsumsi. Pada Gambar 6. pemerintah memberlakukan harga produk pada harga Ps, sedangkan pada harga tersebut permintaan sebesar Q1, tetapi petani akan memproduksi barang sebesar Q2. Untuk menjaga stabilitas harga tersebut pemerintah harus membeli Qg = Q2Q1, jika tidak harga akan jatuh pada Po. Biaya yang harus disediakan oleh pemerintah untuk kebijakan tersebut sebesar Ps (Q2 – Q1). Dalam prakteknya
66
untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah, barang yang dibeli akan dijual dengan harga dumping di luar negeri. Ditinjau dari sisi teori ekonomi, keuntungan dan keruugian yang diperoleh dari kebijakan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Adanya kenaikan harga sebesar Ps, menyebabkan
terdapat tambahan surplus produsen sebesar ABD
sedangkan surplus konsumen berkurang sebesar AB, sehingga perolehan tambahan kesejahteraan sebenarnya dari kebijakan price support ini hanya sebesar D. Disisi lain masyarakat melalui anggaran negara yang dibiayai oleh rakyat mengeluarkan biaya sebesar (Q2-Q1) PS, sehingga dengan adanya
kebijakan
dukungan harga ini sebenarnya terjadi kerugian berupa hilangnya kesejahteraan (dead weight loss) sebesar D- (Q2-Q1)Ps. 3.3.2. Stabilisasi Harga Suatu kebijakan pemerintah yang juga sering digunakan, salah satunya adalah melakukan intervensi dengan menetapkan harga suatu produk pertanian agar berada di atas harga pasar dan menetapkan input pertanian supaya berada dibawah harga pasar. Kebijakan penetapan harga minimum produk pertanian ini dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan petani sedangkan penetapan harga maksimum juga dimaksudkan untuk menurunkan biaya produksi dengan menurunkan salah satu biaya input. Sebagai contoh adalah kebijakan pemerintah melalui penetapan harga dasar gabah atau menetapkan harga eceran tertinggi suatu input produksi pertanian ( pupuk). Kebijakan yang pertama dikenal dengan kebijkan harga minimum sedangkan yang ke dua dikenal dengan kebijakan harga maksimum.
67
Price
S
P1 A
B
P0
C E
D Q1
Q0
Q3
Quantity
Gambar 7. Kebijakan Pemerintah dengan Penetapan Harga Minimum Kebijakan
harga
minimum
merupakan
upaya
pemerintah
untuk
menetapkan harga suatu produk dengan harga di atas harga pasar. Penetapan harga yang tinggi tersebut diharapkan dapat meningkakan pendapatan petani sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya dan masyarakat secara keseluruhan. Benarkah asumsi ini bila ditelaah dari sisi teori ekonomi, apakah masyarakat diuntungkan ataukah dirugikan jika pemerintah melakukan intervensi terhadap harga pasar keseimbangan. Pada Gambar 7, bila pemerintah menaikkan harga dari Po ke P1 maka produsen hanya menjual produk pertanian sebesar Q1 maka kerugian bersih dari kesejahteraan yang berkurang sebesar segitiga B dan C. Penetapan pemerintah harga minimum sebesar P1 menyebabkan produsen akan menjual sebanyak Q3 sedangkan konsumen hanya membeli sebesar Q1. Jika hal ini yang terjadi maka dengan harga jual yang lebih tinggi produsen diuntungkan dengan tambahan
68
surplus produsen sebesar segiempat A, dan turunnya jumlah penjualan dari Q3 ke Q1 menyebabkan berkurangnya surplus produsen sebesar segitiga C, sebaliknya di sisi konsumen dengan adanya kebijakan ini dirugikan dengan berkurangnya surplus konsumen sebesar segi empat A dan segitiga B, sehingga secara keseluruhan jika produsen hanya memproduksi sampai dengan Q1 kesejahteraan masyarakat berkurang sebesar B+C. Price
S
B P0
A
C
P1
D Q1
Q0
Quantity
Gambar 8. Kebijakan Pemerintah dengan Penetapan Harga Maksimum Jika antisipasi yang dilakukan produsen berdasarkan harga tersebut maka produsen akan berproduksi
dengan jumlah sebesar Q3, perubahan surplus
produsen yang terjadi adalah A-C-E, sedangkan konsumen dirugikan dengan berkurangnya surplus konsumen sebesar segiempat A dan segitiga B. Kebijakan harga maksimum merupakan suatu penetapan pemerintah terhadap suatu barang dengan harga dibawah harga pasar.Dalam praktek seharihari dikenal dengan harga eceran tertinggi (HET). Kebijakan ini dimaksudkan
69
untuk menekan biaya suatu input produksi agar biaya produksi usaha pertanian tidak terlalu mahal, misal dengan menetapkan harga eceran tertinggi dari pupuk atau input produksi lainnya dan diharapkan dengan adanya kebijakan ini dapat menurunkan biaya produksi pertanian dan menjual hasil produksinya dengan harga yang tinggi sehingga keuntungan yang diperoleh meningkat dan karena keuntungan meningkat dapat menaikkan pendapatan masyarakat petani, yang pada akhirnya dapat menambah tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Untuk mengetahui perubahan kesejahteraan yang terjadi, terhadap kebijakan ini perlu dilakukan telaah secara teori ekonomi bagaimana pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, produsen dan konsumen. Apabila pemerintah menetapkan harga suatu produk sebesar P1 dari semula P0, maka produsen akan mengurangi produksi dari Q0 menjadi Q1 maka kesejahteraan disisi konsumen akan bertambah sebesar segiempat A dan berkurang sebesar segitiga B, sedangkan dari sisi produsen akan kehilangan kesejahteraan sebesar segi empat A dan segitiga C, sedangkan secara keseluruhan kesejahteraan yang berkurang akibat adanya kebijakan ini adalah sebesar segitiga B dan C. 3.3.3. Kebijakan Tarif dan Kuota Perdagangan antar negara dapat dilakukan jika ada perbedaan atau selisih antara harga domestik dengan harga dunia. Jika harga dunia lebih rendah dari harga domestik maka negara yang bersangkutan akan berusaha untuk mengimpor dari negara luar. Adakalanya beberapa kebijakan diambil oleh suatu negara untuk melindungi produk lokal yang salah satunya melalui kebijakan kuota atau tarif. Masuknya barang dari luar negeri dapat dihalangi ke pasar domestik dengan mengenakan tarif atau pajak masuk yang tinggi. Agar impor sama dengan
70
nol maka tarif terebut harus lebih tinggi atau sama dengan selisih harga domestik dengan harga pasar dunia (P* - Pw). Apabila dengan tarif tersebut samasekali barang dari luar negeri tidak masuk maka pemerintah tidak akan memperoleh samasekali
pemasukan pajak dari impor.Jika pemerintah mengenakan tarif atau
kuota dengan maksud mengurangi jumlah impor dari luar negeri, dapat dihitung seberapa besar perubahan kesejahteraan yang akan terjadi terhadap produsen, konsumen dan perolehan pemerintah sendiri berupa pajak masuk terhadap kebijakan tersebut, untuk jelasnya dapat dikaji sebagaimana yang diperlihatkan oleh Gambar 9.
S
Price
P* T
A
Pw
D
B
C
D Qs
Qs1
Qd1
Qd
Quantity
Gambar 9. Kebijakan Pemerintah dengan Pengenaan Tarif atau Kuota Harga produk pertanian domestik dngan adanya perdagangan bebas akan sama dengan harga pasar dunia Pw dan kuantitas barang yang diimpor sebesar Qs – Qd. Sekarang jika pemerintah memberlakukan pajak bea masuk sebesar T rupiah per unit terhadap komoditas barang impor, maka harga barang lokal akan
71
naik menjadi P* (harga pasar dunia + tarif); sudah barang tentu produksi barang lokal akan meningkat dan konsumsi lokal secara keseluruhan akan turun. Pada Gambar 9 terlihat
terjadi perubahan pada surplus komsumen
∆ CS = -A – B – C – D, sdangkan disi lain pada surplus produsen terjadi perubahan sebesar ∆ PS = A. Berdasarkan gambar tersebut pemerintah mengumpulkan
penerimaan sebear tarif (T) dikalikan dengan jumlah unit
komoditas barang yang diimpor yaitu sebesar D. Perubahan kesejahteraan total dalam kebijakan pemerintah ini adalah
∆ CS ditambah
∆ PS ditambah
penerimaan pemerintah adalah –A – B – C –D +A +D = - B –C. Segitiga B dan C menunjukkan kerugian bobot mati (dead weight lost) dikarenakan adanya pembatasan impor. Segitiga B merupakan besaran kerugian dari kelebihan produksi domestik yang tidak terserap oleh konsumen dan segitiga C adalah besaran konsumsi tidak jadi dikonsumsi oleh konsumen. Pemerintah kerapkali
menerapkan kebijakan proteksi terhadap produk
pertanian dalam negerinya dengan maksud untuk meningkatkan pendapatan para petani, namun pada
akhirnya ternyata menimbulkan biaya tinggi bagi para
konsumen miskin, termasuk petani gurem yang merupakan pembeli akhir bahan pangan. Fakta di Indonesia menunjukkan kebijakan larangan impor beras untuk mencegah penurunan harga di tingkat produsen merupakan penyebab utama meningkatnya angka kemiskinan dari 16 persen tahun 2005 menjadi 18 persen pada tahun 2006 (World Development Report, 2008).
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Kerangka Konstruksi Sistem Neraca Sosial Ekonomi 4.1.1. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2003 Studi ini menggunakan data SNSE Indonesia tahun 2003 yang dicirikan dengan adanya beberapa komoditi pertanian yang didisagregasi, dengan tujuan untuk menggambarkan lebih jelas bagaimana peranan sektor pertanian itu terhadap perekonomian Indonesia jika diamati lebih detail dalam aktivitas subsektor (komoditi pertanian). Oleh karena itu SNSE yang digunakan kali ini diberi nama SNSE Komoditi Pertanian. Secara garis besar SNSE komoditi pertanian 2003 terdiri dari kelompok neraca (accounts) endogen yang terbagi dalam 3 blok yaitu: blok neraca faktor produksi sejumlah 5 neraca, blok neraca institusi sebanyak 7 neraca, blok neraca sektor produksi sebanyak 27 neraca. Sedangkan neraca eksogen terbagi dalam 5 (lima) neraca yaitu kapital, pajak tidak langsung, pengeluaran pemerintah, subsidi, dan luar negeri atau rest of world (ROW). Selengkapnya struktur SNSE yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 5. Dalam rangka untuk memudahkan dalam pengelompokan sektor perekonomian
dalam
Sistem
Neraca
Sosial
Ekonomi
Indonesia
ini,
dikelompokkan dalam 5 (lima) kelompok sektor perekonomian, yang meliputi: (1) sektor pertanian primer, (2) sektor pertambangan, (3) sektor agroindustri, (4) sektor manufaktur, dan (5) sektor jasa. Dalam disertasi ini perlu dijelaskan pengertian dari sektor pertanian
dan sektor agroindustri. Sektor pertanian
mempunyai pengertian kumpulan sub sektor perekonomian yang terdiri dari
73
Tabel 5. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi Komoditi Pertanian Indonesia Tahun 2003 (44x44) Faktor Produksi
Aktifitas Pertanian Tenaga kerja Bukan Pertanian
1
Kota
2
Desa
3
Kota
4
Buruh Tani dan Penggarap Golongan Rendah
6
Pengusaha
7
Kapital
5 Pertanian
Pedesaan
Institusi
Kode
Desa
Pengusaha Golongan Rendah : Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar. Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas Pengusaha Golongan Atas : Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas
Rumah tangga Bukan Pertanian
Perkotaan
Pengusaha Golongan Rendah : Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar. Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas Pengusaha Golongan Atas : Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas
Perusahaan
Sektor Produksi
Pertanian
Pertambangan
Agro industri
8
9
10
11
12 Padi
13
Jagung
14
Pertanian tanaman pangan di luar 16 dan 17
15
Tebu
16
Kelapa sawit
17
Pertanian perkebunan di luar 19 dan 20
18
Industri pemotongan ternak
19
Peternakan dan hasil-hasilnya
20
Kehutanan dan perburuan
21
Perikanan
22
Pertambangan batubara, bijih logam, minyak dan gas bumi
23
Pertambangan dan penggalian lainnya
24
Industri makanan, minuman dan tembakau
25
Industri minyak dan lemak
26
Industri penggilingan padi
27
Industri tepung segala jenis
28
Industri gula
29
Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit
30
74
Tabel 5. Lanjutan Aktifitas
Manufaktur
Jasa
Kode
Industri kayu, barang-bnarang dari kayu
31
Industri kertas, percetakan; alat angkutan, barang dari logam & industri lainnya
32
Industri kimia, pupuk, hasil-hasil dari tanah liat & semen, dan ligam dasar
33
Konstruksi/bangunan
34
Listrik, gas dan air minum
35
Perdagangan, hotel dan restoran
36
Pengangkutan dan komunikasi
37
Keuangan, jasa perusahaan, real estate
38
Jasa-jasa
39
Neraca Kapital
40
Pajak Tidak Langsung
41
Pemerintahan
42
Subsidi
43
Luar Negeri
44
aktivitas ekonomi yang pada intinya menghasilkan produk-produk pertanian dalam bentuk bahan baku atau belum diolah. Dalam hal ini terdiri dari sub sektor padi (13), sub sektor jagung (14), subsektor pertanian tanaman pangan lainnya (15), subsektor tebu (16), sub sektor kelapa sawit (17), sub sektor pertanian perkebunan lainnya (18) sub sektor industri pemotongan ternak (19) sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya (20) sub sektor kehutanan dan perburuan (21) sub sektor perikanan (22). Sektor pertambangan terdiri dari sub sektor pertambangan batubara, biji logam, minyak dan gas bumi (23) dan sektor pertambangan dan penggalian lainnya (24). Sektor ini pada intinya adalah sektor yang bergerak di dalam aktivitas ekonomi di bidang tambang, penggalian dan eksplorasi minyak. Sektor agroindustri adalah kumpulan dari aktivitas perekonomian yang pada intinya merupakan proses pengolahan bahan baku yang sebagian atau seluruhnya berasal dari hasil-hasil pertanian, atau dengan kata lain yang memproses bahan mentah yang berasal dari produk pertanian menjadi bahan setengah jadi atau menjadi barang jadi. Agroindustri pada SNSE 2003 ini terdiri
75
dari subsektor industri makanan, minuman dan tembakau (25), subsektor industri minyak dan lemak (26), subsektor industri penggilingan padi (27), industri tepung segala jenis (28), sub sektor industri gula (29), sub sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit (30), dan sub sektor industri kayu, barang-barang dari kayu (31). 4.1.2. Tahapan Penyusunan Sistem Neraca Sosial Ekonomi 2003 Pada dasarnya, keseluruhan rancangan (design) sistem matrik. Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) dalam penelitian ini mengikuti design yang sudah terbangun dari SNSE Indonesia yang sudah dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Publikasi SNSE Indonesia pertama kali diterbitkan pada tahun 1975 dan publikasi terakhir yaitu SNSE Indonesia tahun 2003. Selanjutnya SNSE Indonesia tahun 2003 digunakan sebagai dasar penelitian ini. Namun untuk ketajaman analisis dari penelitian ini dilakukan beberapa modifikasi terutama terhadap klasifikasi dari beberapa neraca dalam kerangka SNSE Indonesia Beberapa perubahan yang dilakukan terhadap klasifikasi neraca-neraca dalam sistem ini, utamanya adalah yang berkaitan dengan: 1. Neraca faktor produksi. Dalam penelitian ini Neraca faktor produksi dibedakan menjadi dua neraca pokok yaitu faktor produksi tenaga kerja dan faktor produksi bukan tenaga kerja. Faktor produksi tenaga kerja dibedakan lagi menjadi yaitu tenaga kerja pertanian dan bukan pertanian yang selanjutnya dibedakan atas desa dan kota. Sementara faktor produksi bukan tenaga kerja dibedakan atas faktor produksi dari lahan yang diusahakan dan faktor produksi bukan dari lahan lainnya atau kapital lainnya.
76
2. Rincian neraca institusi menggunakan klasifikasi rumahtangga SNSE Indonesia dengan melakukan agregasi seperti rumahtangga pertanian hanya dirinci menjadi rumahtangga buruh tani dan rumahtangga petani atau pengusaha pertanian. 3. Kegiatan produksi atau sektor diarahkan kepada disagregasi sektor pertanian dan pengelompokan untuk industri yang berbasis pada pertanian atau agro industri. Ada beberapa tahapan dalam menentukan isian dan sumber data yang dibutuhkan dalam menyusun kerangka SNSE ini, antara lain: 1. SNSE Indonesia tahun 2003 digunakan sebagai kerangka kerja dalam menyusun SNSE yang akan digunakan dalam penelitian ini. Seperti halnya penyusunan matriks SNSE Indonesia terdahulu, SNSE Indonesia tahun 2003 menggunakan tabel I-O Indonesia sebagai dasar (benchmark) untuk menyusun kerangka SNSE. Tabel I-O yang digunakan adalah tabel I-O Indonesia tahun 2003 yang di up-date. Dengan demikian maka neraca-neraca yang diturunkan dari kerangka SNSE akan konsisten dengan table I-O. Dengan kata lain, agregat-agregat makro yang diperoleh dari kerangka SNSE Indonesia akan sama dengan yang diperoleh dari tabel I-O Indonesia 2003 up-dated. 2. Agregat makro yang terdapat dalam tabel I-O selanjutnya dipasangkan ke dalam isian di masing-masing submatrik dalam SNSE yang diagragasi menjadi matriks 12x12 untuk memperoleh gambaran umum (agregat) perekonomian. Alokasi nilai tambah ke faktor produksi merupakan nilai input primer yang terdapat pada tabel I-O. Demikian pula, isian di masing-masing sub-matriks pada baris di neraca sektor produksi seperti permintaan akhir
77
(kuadran III pada tabel I-O), permintaan antara (kuadran I), serta ekspor dan investasi (kuadran III), sehingga total baris pada neraca sektor produksi merupakan total output pada tabel I-O. Demikian pula isian di masing-masing sub-matriks pada kolom sektor produksi bila dijumlahkan adalah merupakan total input suatu perekonomian. 3. Selanjutnya isi sel sub-matriks yang tidak terdapat dalam tabel I-O diperoleh dari berbagai sumber, baik yang diperoleh dari berbagai survey maupun data sekunder dari berbagai instansi maupun hasil penelitian lainnya. Neraca luar negeri diperoleh terutama dari data Balance of Payment (BOP). Untuk isian pada neraca kapital yang berhubungan dengan luar negeri seperti balas jasa faktor produksi non residen baik tenagakerja maupun balas jasa modal antara lain juga bersumber dari data BOP dan survei terkait. Transfer antarinstitusi, khususnya transfer yang berkaitan dengan rumahtangga, sebagaian besar datanya diperoleh dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Survei Khusus Tabungan dan Investasi Rumahtangga (SKTIR) serta informasi atau survei lain yang menggali tentang perekonomian rumahtangga. Transfer dalam SNSE dirinci atas penerimaan dan pengeluaran transfer dari atau kepada rumahtangga, perusahaan dan luar negeri. Transfer dari rumahtangga dikeluarkan hanya untuk rumahtnagga dan untuk pemerintah. Transfer dari perusahaan dikeluarkan untuk rumahtangga, perusahaan, pemerintah dan luar negeri. Selanjutnya transfer dari pemerintah hanya dikeluarkan untuk rumahtangga, pemerintah dan luar negeri. Selanjutnya neraca pemerintah berasal dari data yang bersumber dari statistik keuangan pemerintah (APBN). Dari statistik keuangan pemerintah (K1; K2; K3) juga dapat diperoleh
78
informasi tentang transfer. Tabungan dalam neraca kapital merupakan residual dari keseluruhan sistem. Hal ini dilakukan karena keterbatasan data mengenai tabungan secara lengkap. Namun demikian, harus tetap memperhatikan pula beberapa sumber yang tersedia seperti tabungan rumahtangga (SKTIR), survey industri untuk laba/keuntungan yang ditahan perusahan, neraca keuangan pemerintah untuk tabungan pemerintah. 4. Selanjutnya dari kerangka matriks SNSE agregat yang sudah terbentuk, dilakukan disagregasi terhadap masing-masing sub-matriks sesuai dengan klasifikasi yang telah ditentukan sebelumnya. Disagregasi dilakukan terhadap antara lain nilai tambah setiap kegiatan sektor menurut klasifikasi tenaga kerja dan modal/kapital serta mengkaitkan dengan institusi penerima balas jasa faktor produksi atau pemilik faktor produksi. Informasi yang berkaitan dengan balas jasa yang diteriima oleh faktor produksi, maupun institusi penerima balas jasa faktor produksi menggunakan berbagai informasi seperti survey industri, survey pertambangan survey konstruksi, SUSENAS, SKTIR dan sebagainya untuk memperkirakan surplus usaha masing-masing sektor atau dari masing-masing institusi rumahtangga, swasta dan pemerintah dan luar negeri Total balas jasa faktor produksi tenaga kerja serta total balas jasa faktor produksi bukan tenaga kerja atau modal yang diduga berdasarkan hasil survey-survei tersebut harus sama dengan total kode 201 (balas jasa faktor produksi tenaga kerja) dan 205 minus 201 untuk faktor produksi bukan tenaga kerja. Disagregasi konsumsi akhir untuk setiap komoditi menurut klasifikai rumahtangga diperkirakan dengan menggunakan informasi dari SUSENAS
79
dan SKTIR. Total konsumsi per komoditi pada konsumsi akhir rumahtangga juga harus sama dengan rincian per komoditi pada tabel I-O (isian kode 301) 5. Data cleaning dan error correction. Hal ini dilakukan terhadap kesalahan pendugaan antara lain yang bersifat absolut seperti jumlah jam kerja maksimum yang dapat dilakukan oleh seorang pekerja atau pendapatan serta pengeluaran minimum atau maksimum yang dilakukan oleh seseorang atau rumahtangga. Kesalahan bersifat relatif seperti jumlah jam kerja utama relatif lebih besar dari jam kerja dari pekerjaan tambahan. Serta kesalahan komparatif seperti rumahtangga petani harus memiliki pendatapatan dari pertanian atau pengusaha harus memiliki pendapatan dari usaha. Mengingat isian masing masing sel menggunakan berbagai informasi dengan konsep dan metodologi pengumpulan data yang berbeda maka informasi yang diperoleh menghasilkan tingkat akurasi yang berbeda. Informasi dari survey-survei yang bersifat nasional adalah lebih reliable dibandingkan dengan survey-survei kecil atau study-studi kecil lainnya. Sumber data yang telah terintegrasi dan detail (seperti tabel I-O) lebih kredibel dibandingkan data yang bersifat agregat dan sebagainya. 6. Rekonsiliasi akhir. Setelah semua sel diisi maka penyusunan SNSE pada putaran pertama yang menggunakan informasi yang berbeda dan dari sumber yang berbeda selanjutnya dilakukan rekonsiliasi. Rekonsiliasi dilakukan terhadap masing-masing sel mengingat isian jumlah kolom dan baris suatu neraca, pada putaran pertama, nilainya belum tentu sama. Karena SNSE merupakan matriks bujur sangkar dimana jumlah pengeluaran (baris) harus sama dengan jumlah penerimaan (kolom) di masing-masing neracanya, maka,
80
untuk itu, diperlukan adjustment untuk menyamakan total kolom dan baris di masing-masing neraca tersebut. Adjustment dilakukan terhadap sel-sel yang diperkirakan/diduga secara terpisah dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan data dasar yang digunakan serta parameter yang ada dan hubungan antar variabel dalam kerangka SNSE yang digunakan dalam penelitian ini. 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian ini adalah data sekunder yang ada kaitannya dengan materi penelitian ini, seperti : 1. Tabel Input-Output Indonesia 2003. 2. Tabel SNSE Indonesia 2003. 3. PDB Indonesia 1993-2003 baik atas dasar harga konstan 1993 maupun atas dasar harga berlaku. 4. PDB Indonesia 2000-2006 baik atas dasar harga konstan 2000 maupun atas dasar harga berlaku. 5. Data Jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja (1993-2006). 6. Data Jumlah Penduduk Indonesia (1993-2006). 7. Data Ekspor-Impor 1993-2003. 8. Data Statistik Pertanian tahun 2002. 9. Sensus Pertanian tahun 2003. 4.3. Analisis Kuantitatif dalam Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi 4.3.1. Analisis Angka Pengganda Analisis pengganda (multiplier) di dalam model SAM dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu: pengganda neraca (accounting multiplier) dan pengganda harga tetap (fixed price multiplier). Analisis accounting multiplier
81
pada prinsipnya sama dengan multiplier dari Leontief Inverse Matrix yang diuraikan dalam model I-O. Ini berarti semua analisis multiplier yang terungkap pada model I-O seperti own multiplier, other linkage multiplier, dan total multiplier dapat juga diterapkan dalam analisis SAM. Sedangkan analisis fixed price multiplier menjurus pada analisis respon rumahtangga terhadap perubahan neraca eksogen yang memperhitungkan expenditure propensity. Untuk memahami model SAM secara lebih baik, terlebih dahulu disajikan sebuah skema sederhana sebagaimana terlihat pada Tabel 6. Tabel 6. Skema Sederhana Sistem Neraca Sosial Ekonomi Pengeluaran Penerimaan
Faktor Produksi
Institusi
Sektor Produksi
Neraca Eksogen
1
2
3
4
Sektor
Neraca
Institusi
Produksi
Eksogen
Total
1
2
3
4
5
T11
T12
T13
X14
Y1
0
0
T21
T22
Alokasi pendapatan faktor ke institusi
Transfer antarinstitusi
T31
T32
0
Perminaan domestic
T41
T42
Faktor Produksi
Alokasi Tabungan pendapatan pemerintah, factor ke luar swasta dan negeri rumahtangga
Alokasi nilai Pendapatan Distribusi tambah ke factor pendapatan produksi dan factor faktorial luar negeri produksi T23
0
T33
Permintaan antara
T43
Impor dan pajak tidak langsung
X24
Trasfer dari luar negeri X34
Ekspor dan investasi
X44
Trasfer lainnya
Y2
Distribusi pendapatan institusional Y3
Total output menurut sektor produksi Y4
Total Penerimaan neraca lainnya
Berdasarkan skema sederhana model SAM tersebut dapat dirumuskan persamaan matrix umum sebagai berikut:
82
Y = T + X dimana, ⎛0 ⎜ T = ⎜ T21 ⎜0 ⎝
…………………………………………… (1) 0
T22 T32
T12 ⎞ ⎟ 0 ⎟ T33 ⎟⎠
Matrix transaksi T menunjukkan adanya transaksi antar neraca seperti T13, T21, T32 dan transaksi dalam neraca sendiri yaitu: T22 dan T33. Selanjutnya jika besarnya kecenderungan rata-rata pengeluaran, Aij, dianggap sebagai perbandingan antara pengeluaran sector j untuk sektor ke i dengan total pengeluaran ke j (Yj), maka : Aij = Tij / Yj ............................................................................................ (2) Atau dalam bentuk matrix adalah : ⎛0 ⎜ A = ⎜ A21 ⎜0 ⎝
0 A22 A32
A13 ⎞ ⎟ 0 ⎟ A33 ⎟⎠
Jika persamaan (1) dibagi dengan Y, maka diperoleh : Y/Y = T/Y + X/Y ................................................................................... (3) Selanjutnya persamaan (2) disubsitusikan ke persamaan (3) sehingga kita memperoleh persamaan 7 berikut ini: I = A + X/Y ............. ……………………………………………………..(4) I – A = X/Y ..................………………………………………………….(5) (I – A)Y = X ................ ………………………….……………………… (6) Y = (I – A)-1 X ..............………………………..………………………..(7) Jika, Ma = (I – A)-1………………………..……………………….. ....... (8) maka, Y = Ma X .........………………………..………………………..(9) dimana Ma adalah accounting multiplier. Pyatt and Round (1985) melakukan dekomposisi terhadap accounting multiplier Ma tersebut, dimana hasilnya dalam bentuk multiplikatif :
83
Ma = Ma3Ma2Ma1 .............................................................................................................................(10) atau secara aditif dapat ditulis : Ma = I + Ma1 - I + (Ma2 -I) Ma1 + (Ma3 - I) Ma2 Ma1 ... …………………(11) Secara berurutan matrix Ma1, Ma2, dan Ma3 dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, Ma1 disebut sebagai multiplier transfer yang menunjukkan pengaruh dari satu blok neraca pada dirinya sendiri, yang dirumuskan sebagai berikut: Ma1 = (I – A0 ) –1 .................................................................................... (12) dimana,
⎛0 ⎜ A = ⎜0 ⎜ ⎝0 o
A13 ⎞ ⎟ 0 ⎟ ⎟ A33 ⎠
0 A22 A32
sehingga, M a1
⎛0 ⎜ = ⎜0 ⎜ ⎜0 ⎝
0
(I − A22 )
⎞ ⎟ ⎟ 0 ⎟ (I − A33 )−1 ⎟⎠ 0
−1
0
Kedua, Ma2 adalah multiplier open loop atau cross effect yang menunjukkan pengaruh langsung dari satu blok ke blok lain. Dalam hal ini Ma2 dapat dirumuskan : Ma2 = (I + A* + A*2) ............................................................................. (13) dimana, A* = (I – A0)-1 (A – A0) Oleh karena, A*13 = A13 A*21 = (I – A22)-1 A21 A*32 = (I – A33)-1 A32
maka Ma2 dapat ditulis sebagai berikut:
84
⎛I ⎜ = ⎜ A* 21 ⎜ * * ⎜ A32 A21 ⎝
M a2
⎞ ⎟ A A ⎟ ....................................................... (14) ⎟ ⎟ I ⎠
* A13* A32
A13*
* 21
I * A32
* 13
Ketiga, Ma3 merupakan closed loop yang menunjukkan pengaruh dari satu blok ke blok lain, kemudian kembali pada blok semula. Dalam bentuk matrix Ma3 dapat ditulis sebagai berikut : M a 3 = ( I − A3* ) −1
(
⎛ I − A* A* A* 13 32 21 ⎜ ⎜ =⎜ 0 ⎜⎜ 0 ⎝
Dekomposisi
)
−1
0
(I − A
* 21
* A13* A32
0
account
⎞ ⎟ ⎟ ⎟ .............. (15) 1 − * * I − A32 A21 A13* ⎟⎟ ⎠
0
multiplier
)
−1
(
tidak
)
hanya
dilakukan
dengan
menggunakan pendekatan rata-rata, melainkan juga dengan pendekatan marjinal. Untuk hal ini dibutuhkan sebuah matrix yang disebut marginal expenditure propensities yang dinotasikan dengan C. Matrix C dibentuk berdasarkan asumsi harga konstan (fixed price), sehingga multiplier yang diperoleh dengan cara ini seringkali disebut fixed price multiplier. Pada dasarnya antara matrix C dan matrix A tidak jauh berbeda. Kalau matrix A diperoleh dari rata-rata pengeluaran, sedangkan matrix C diperoleh dari marjinalnya, atau : C = ∂T/∂Y ............................................................................................ (16) ⎛ 0 ⎜ C = ⎜ C 21 ⎜ 0 ⎝
0
C 22 C 32
0 ⎞ ⎟ 0 ⎟ C 33 ⎟⎠
karena Y = T + X, maka : ∂Y = ∂T + ∂X ...... ……………………………………………………(17) ∂Y = C∂T + ∂X
85
∂Y = (I – C)-1 ∂X ........…………..……………………………………..(18) atau, ∂Y = Mc ∂X ............................................................................................ (19) Dimana Mc disebut fixed price multiplier, yang selanjutnya dapat di dekomposisi ke dalam Mc1 (multiplier transfer), Mc2 (open loop mutiplier), dan Mc3 (closed loop multiplier), sehingga : Mc = Mc3Mc2Mc1 ..................................................................................... (20) Bentuk matrix Mc3, Mc2, Mc1 sama seperti pada matrix dekomposisi sebelumnya, hanya saja yang digunakan disini adalah adalah marjinal pengeluaran. 4.3.2. Structural Path Analysis
Structural Path Analysis (SPA) adalah suatu metode analisis yang dapat digunakan untuk dapat melacak interaksi penting yang berasal dari suatu sektor yang spesifik dan berakhir dengan sektor spesifik yang lain di dalam suatu perekonomian. Metode SPA ini juga menunjukkan bagaimana suatu pengaruh ditransmisikan dari suatu sektor ke sektor lainnya melalui suatu konstruksi grapikal pengaruh. Di dalam metode ini setiap unsur dari neraca penggandaan SAM bisa diuraikan ke dalam pengaruh langsung, total dan global. Pengaruh langsung atau Direct Influence (ID) direpresentasikan sebagai bentangan atau jalur awal yang tidak melewati titik yang sama. Di dalam Gambar 5 terlihat jalur awal diukur sepanjang bentangan garis ij, yang menunjukkan petani (sektor j) bisa membeli minyak secara langsung dari produsen minyak (sektor i). Pada kasus ini, jalur awal juga disebut jalur sepanjang I sebab jalur ini hanya mempunyai satu bentangan. Tiap average expenditure propensity, aji, bisa diinterpretasikan sebagai penyedot (magnitude) dari pengaruh transmisi dari sektor i ke sektor j. Matriks An di dalam model SAM menangkap pengaruh
86
langsung jejaring kerja dari jalur awal, oleh karenanya matriks An disebut juga sebagai matriks pengaruh langsung yang diformulasikan sebagai berikut :
ayx Chemicals Industry axi
Wholescale/retail y service sector
x
axz
axy
ajy
azy
z
Oil producer i (energy sector)
j
avi avi
s
Farmers
ajs ayx
Refinery v
ayv Sumber : Defourney dan Thorbecke (1984) dalam Daryanto (2001) Gambar 10. Contoh Kemungkinan Keterkaitan antara Dua Sektor ID (i Æ j) = aij ................................................................................ (21) Pengaruh langsung bisa diukur sepanjang jalur awal yang mengandung lebih dari satu bentangan . Dalam gambar 2 jalur awal antara i dan j berisikan 2 bentangan (i Æ sÆ j), disebabkan ada 2 bentangan disebut juga dengan jalur sepanjang 2. Petani (j) membeli minyak dari penyedia gas (s) yang menerima minyak dari
87
produsen minyak. Hubungan ini secara matematika dapat dituliskan sebagai berikut : ID (i,s,j) = asi ajs ........................................................................... (22) Pengaruh total atau total influence (IT) adalah jalur awal yang sudah given (iÆj) merupakan pengaruh yang ditransmisikan dari i ke j meliputi pengaruh langsung (ID) sepanjang jalur dan pengaruh tidak langsung yang timbul dari adjacent circuits kepada jalur tersebut. Transmisi efek tidak langsung sebagai hasil efek umpan balik yang diperoleh sebagai jalur Pengganda (Mp). Pengaruh total (IT) dihitung dapat diperoleh melalui perkalian pengaruh langsung oleh jalur pengganda, Mp, yang ditangkap melalui perluasan pengaruh langsung (ID) sepanjang jalur yang diperkeras melewati efek adjacent circuit arus balik.Secara matematis dapat dihitung sebagai berikut : IT(i → j)p = ID(i → j)Mp ............................................................... (23) Jika IT bergerak sepanjang jalur dengan panjang 3, i → x→ y → j pada Gambar 5, selanjutnya : IT (i, x, y, z ) p = axi ayx a jy [I - ayx (axy + azy axz)]-1 .......................... (24) Dimana di bagian pertama merupakan representasi Pengaruh langsung , ID(i → j)p = axiayxajy , dan bagian ke dua merupakan jalur pengganda Mp = [I - ayx (axy + azy axz )]-1...........................................………... .. (25) Pada gambar10 terlihat pengaruh total ada pada jalur sepanjang 3 (i→x→y→j) , petani membeli input kimia dari sektor jasa retail (y) yang menggunakan input dari industri kimia. Industri kimia membeli input bahan bakar e.g. dari produsen minyak (i). Pengaruh arus balik langsung dan tidak langsung pada kasus kita tergambar oleh bentangan langsung dari y ke x. Pengaruh arus balik langsung dan
88
tidak langsung mengindikasikan bahwa sektor jasa retail (y) membeli input secara langsung dari industri kimia (x). Pengaruh arus balik tidak langsung (azy dan axz) mengindikasikan bahwa sektor jasa retail (y) membeli output dari lembaga perusahaan yang bergerak di pengembangan dan penelitian (R&D). (z) yang memperoleh input dari sektor industri kimia (x). Pengaruh global (IG) dari simpul i ke simpul j merupakan ukuran sederhana dari pengaruh total pada pendapatan atau output dari simpul j didorong oleh perubahan i unit output atau pendapatan di simpul i. Pengaruh global bisa dianggap memiliki sama dengan jumlah pengaruh total sepanjang jalur dasar yang menghubungkan simpul idan simpul j. Pengganda harga, tetap (Ma) dapat dipandang sebagai matriks pengaruh global. Dekomposisi dari pengaruh global dapat diekspresikan sebagai berikut : n
IG(i → j) = maji =
∑ IT
(i → j) p =
P =1
∑ ID (i → j) Mp ........................(26)
dimana :
IG(i → j)
= Pengaruh global dari kolom ke i ke baris kej di dalam matriks SNSE.
maji
= Elemen kej,i dari matriks pengganda neraca Ma
IT (i→ j)
= Pengaruh total dari i ke j
ID(i → j)
= Pengaruh langsung dari i ke j
Mp
= Pengganda jalur sepanjang jalur p
Pada Gambar 5 terdapat 3 (tiga) jalur utama yang mempunyai asal dari i dan tujuan j yang sama., yaitu (i,x,y,j),(i,s,j) dan (i,v,j). Untuk menyederhanakan, dengan mengacu pada jalur awal dengan notasi 1, dan yang ke dua serta terakhir dengan notasi 2 dan 3., dengan menggunakan persamaan (26), pengaruh global dapat dituliskan lebih lengkap sebagai berikut :
89
IG(i→ j) = IT (i, x, y, j) + IT(i, s, j) + IT(i, v, j) = IT (i → j)1 + IT(i → j)2 +IT(i → j)3 = ID (i → j)1 M1 + asi ajs + (avi ajs)(I - avy)-1 = ID (i → j)1 M1 + ID(i → j)2 + ID(i → j)3 M3 ................... (27)
Structural Path Analysis (SPA) telah terbukti sebagai alat berharga untuk mengidentifikasi keterkaitan penting di dalam model SNSE yang kompleks. Akan tetapi ada suatu problem besar dalam pendekatan ini yaitu banyaknya jalur yang harus diidentifikasi dalam perekonomian secara keseluruhan, dan merupakan suatu hal yang sulit untuk meringkas suatu penemuan (Sonis, Hewings dan Lee, 1994). 4.4. Aplikasi Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi 4.4.1. Analisis Struktur Ekonomi
Berdasarkan data SNSE dapat dilakukan analisis mengenai struktur ekonomi Indonesia, bagaimana perubahan yang terjadi dilihat dari sisi nilai tambah (value added) masing-masing sektor dan sektor mana yang mempunyai nilai tambah tertinggi dibandingkan dengan sektor lain, dan bagaimana arus perdagangan luar negeri yang terlihat, sektor mana penghasil devisa utama dan sebaliknya sektor mana yang banyak menghabiskan devisa. Disamping itu melalui analisis struktur ekonomi Berdasarkan data SNSE ini, akan terlihat sejauhmana peran tenaga kerja terhadap pembentukan PDB, terutama dalam memberikan nilai tambah dibandingkan dengan kapital (rente). 4.4.2. Pengganda Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Pengganda SNSE pada prinsipnya hampir sama dengan pengganda InputOutput yang terbagi dalam, pengganda terhadap dirinya sendiri (own multiplier),
90
pengganda terhadap sektor lain (other sector income multiplier) dan pengaruh terhadap pendapatan rumah tangga (household induced income multiplier) . Dalam pengganda SNSE ini akan tergambarkan seberapa besar pengaruh sektor pertanian jika terjadi peningkatan
permintaan akhir (final demand)
terhadap produk di sektor pertanian. Peningkatan permintaan di sektor pertanian akan mempengaruhi kenaikan produksi semua sektor, termasuk sektor pertanian itu sendiri, yang biasa disebut own multiplier (pengganda terhadap dirinya sendiri). Pengganda SNSE pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan pengganda Input-Output, dikarenakan penghitungan pengganda SNSE tidak hanya pada sektor produksi saja akan tetapi melibatkan semua neraca endogen (faktor produksi dan Institusi). Dalam Peningkatan permintan sektor pertanian, akan terlihat pengaruh ke seluruh neraca endogen, seberapa besar pengaruh peningkatan permintaan sektor pertanian terhadap sektor-sektor yang lain, dan neraca endogen yang lain seperti ke rumah tangga dan tenaga kerja. Perbandingan pengganda SNSE sangat penting dilakukan karena diharapkan bisa menunjukkan
arah dan strategi suatu kebijakan dalam
pembangunan sektor pertanian. Berdasarkan besaran pengganda SAM ini dapat dipilih sektor mana yang sebaiknya dilakukan penguatan alokasi pendanaan dan dukungan lainnya (diinjeksi) agar dapat memberikan peningkatan total produksi yang paling besar atau pada sektor mana, injeksi (shock) dilakukan agar diperoleh peningkatan pendapatan masyarakat (untuk seluruh jenis rumah tangga) yang paling optimum, dan jika kebijakan yang dipilih adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan, injeksi diarahkan pada sektor yang
91
mempunyai besaran pengganda paling tinggi bagi peningkatan pendapatan seluruh kelompok rumah tangga. 4.4.3. Transfer terhadap Kelompok Rumahtangga
Suatu kebijakan dapat diterapkan dengan maksud dan tujuan dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok penduduk (rumahtangga) tertentu dengan pertimbangan
pada
kelompok
tersebut
terpusat
kelompok
golongan
berpenghasilan rendah. Salah satu simulasi yang akan dilakukan adalah suatu kebijakan berupa transfer secara langsung kepada suatu kelompok rumahtangga. Melalui simulasi ini, diharapkan dapat diketahui seberapa besar respon suatu kelompok rumahtangga terhadap suatu kebijakan tersebut dan bagaimana pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga itu sendiri, dan kaitannya dengan peningkatan produksi dari suatu sektor tertentu maupun terhadap perekonomian secara keseluruhan. 4.4.4. Analisis Jalur Struktural
Analisis Jalur Struktural atau SPA adalah suatu metode analisis yang dapat mengidentifikasi
transaksi-transaksi yang terjadi dengan melacak jalur
keterkaitan dari suatu sektor asal
ke sektor-sektor tujuan. Metode ini
menunjukkan bagaimana pengaruh transmisi satu sektor ke sektor lainnya melalui penelusuran jalur
struktur perekonomian. Dalam model ini setiap unsur dari
pengganda SNSE dapat didekomposisi menjadi pengaruh langsung, total dan global. 4.4.5. Simulasi Kebijakan
Simulasi kebijakan dilakukan melalui kebijakan yang dapat mempengaruhi neraca eksogen di dalam SNSE, yang selanjutnya akan berdampak pada indikator
92
perekonomian Indonesia lainnya, seperti tingkat pendapatan, produksi nasional, neraca perdagangan dan lain-lain. Dengan kata lain simulasi kebijakan ditujukan untuk mengetahui seberapa besar dampak dari suatu peningkatan atau penurunan atas suatu permintaan terhadap suatu sektor sebagai akibat perubahan faktor eksogen (misal : pengeluaran pemerintah, tarif, pajak, kenaikan upah dan sebagainya), sehingga terlihat kebijakan seperti apa yang paling optimal dan efektif untuk mencapai sasaran atau target yang ditetapkan. Simulasi ini dilatar belakangi asumsi adanya pertumbuhan di sektor produksi pertanian baik untuk kebutuhan domestik maupun pasar ekspor terkait dengan prediksi meningkatnya harga komoditas pertanian seiring dengan meningkatnya permintaan atas komoditas tersebut, dikaitkan
dengan adanya
pertumbuhan pendapatan yang pesat di negara-negara Asia khususnya negara Asia dengan sumberdaya tanah dan air yang terbatas dapat mengakibatkan gelombang besar impor makanan dibarengi dengan meningkatnya harga energi dan harga pupuk serta kompetisi antara pangan, pakan ternak dan bio fuel (World Development Report, 2008). Skenario kebijakan yang akan disimulasikan dalam model SNSE ditujukan untuk dapat melihat dampak pengaruh dan peranan sektor pertanian seandainya sektor tersebut dalam kondisi meningkat produksinya atau permintaan produksi pertanian dari luar negeri mengalami peningkatan dalam jumlah tertentu dan bagimana dampaknya terhadap pendapatan rumah tangga, upah tenaga kerja, penyerapan tenaga kerja, total produksi, Produk Domestik Bruto serta
bagi
perekonomian nasional. Skenario juga dilakukan terhadap sektor agroindustri dan non pertanian dengan tujuan sebagai pembanding terhadap kebijakan di bidang
93
pertanian dilihat dari sisi output, distribusi income dan keterkaitan antar sektor. Skenario ini dilakukan dengan asumsi pemerintah dengan berbagai program kebijakan yang dilakukan dapat melakukan peningkatan produksi atau ekspor di sektor tersebut. Adapun skenario-skenario simulasi kebijakan yang akan disimulasikan terdiri dari 9 (sembilan) kebijakan sebagaimana berikut ini: Simulasi 1
: Peningkatan produksi sektor pertanian primer sebesar 10 triliun rupiah dengan peningkatan secara proporsional ke seluruh sub sektor dalam sektor pertanian primer.
Simulasi 2
: Peningkatan produksi sektor agroindustri
sebesar 10 triliun
rupiah dengan peningkatan secara proporsional ke seluruh sub sektor dalam sektor agroindustri. Simulasi 3
: Peningkatan produksi sektor pertanian primer dan agroindustri sebesar 10 triliun yang terbagi secara proporsional ke sektor agroindustri dan sektor pertanian primer
Simulasi 4
: Peningkatan produksi sektor non pertanian sebesar 10 triliun rupiah yang terbagi secara proporsional ke sektor non pertanian.
Simulasi 5
: Bantuan tunai ke RT buruh tani dan Rumahtangga golongan rendah di desa sebesar 10 triliun secara merata
Simulasi 6
: Dukungan terhadap harga gabah sebesar 10 triliun melalui transfer pendapatan untuk menambah keuntungan sektor padi yang kemudian terdistribusi kepada 2 kelompok RT buruh tani dan RT pengusaha tani.
Simulasi 7
: Kenaikan ekspor pertanian primer sebesar 10 triliun rupiah
94
Simulasi 8
: Kenaikan ekspor pertanian primer dan agroindustri sebesar 10 triliun rupiah
Simulasi 9
: Kenaikan ekspor sektor non pertanian 10 triliun rupiah
Peningkatan produk pertanian dalam simulasi di atas berbeda dengan peningkatan besaran ekspor, dengan asumsi peningkatan produksi sektor pertanian adalah peningkatan semua subsektor pertanian berdasarkan angka proporsional dari masing-masing subsektor, sedangkan pada ekspor angka diperoleh dari angka proporsional terhadap ekspor dari sub sektor yang bersangkutan. Agar selaras dengan tujuan penelitian ini, dan terhadap data sekunder yang diperoleh tersebut dilakukan pengolahan dengan rekapitulasi, penguraian lebih lanjut untuk memperoleh penajaman interpretasi. Untuk mendapat validitas dan ketepatan pengolahan presisinya tinggi, akan digunakan beberapa perangkat lunak, seperti MATS, Gams, dan Microsoft Office Excel.
V. DESKRIPSI SEKTOR PERTANIAN BERDASARKAN KAJIAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI
Struktur perekonomian suatu negara dapat dikaji berdasarkan 3 indikator makroekonomi yaitu nilai tambah (Produk Domestik Bruto), perdagangan luar negeri dan tenaga kerja. Sebagai suatu neraca yang memiliki bentuk sistematis dan terintegrasi, SNSE mampu menjabarkan seluruh struktur ekonomi tersebut. Dalam SNSE komponen nilai tambah dan tenaga kerja masuk pada neraca endogen, sedangkan perdagangan luar negeri berada di neraca eksogen. Struktur perekonomian ini penting untuk menjelaskan kontribusi nilai tambah dari masingmasing sektor perekonomian sehingga terlihat sektor mana yang paling dominan dalam menyangga perekonomian suatu negara dilihat dari besaran output yang disumbangkan terhadap perekonomian nasional. Demikian juga bisa dilihat struktur tenaga kerja dari masing-masing sektor perekonomian, apakah suatu sektor itu merupakan sektor padat karya atau padat modal. Struktur perekonomian dapat menjelaskan juga
neraca perdagangan suatu negara dan dapat melihat
sektor mana sebagai penghasil utama devisa, dan sektor mana yang paling sedikit memberikan sumbangan devisa. 5.1. Struktur Nilai Tambah Nilai tambah atau value added (VA) merupakan aliran pengeluaran setiap sektor produksi kepada faktor produksi, rumah tangga dan perusahaan. Ini berarti bagi ketiga pelaku ekonomi tersebut nilai tambah merupakan pendapatan yang diterima dari sektor produksi, yang secara garis besarnya dapat dibagi atas pendapatan upah untuk tenaga kerja, sewa untuk rumahtangga dan surplus usaha untuk perusahaan. Oleh karena nilai tambah merupakan komponen penting untuk
96
mengetahui kontribusi suatu sektor dalam perekonomian maka dalam studi ini disamping dicermati secara sektoral, juga dilihat dari masing-masing sektor produksi untuk jelasnya bisa dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Distribusi Nilai Tambah PDB Tahun 2003 Dalam 5 Sektor Sektor Pertanian Pertambangan Agroindustri Manufaktur Jasa-jasa Jumlah
1 218 894.1 0 0 0 0 218894.1
Kelompok Penerima (Rp. Milyar) 2 3 4 31 238.5 6 728.7 4460.7 0 15 666.8 25 081.4 0 41 907.5 73 614.3 0 58 171.5 129392.2 0 139513.6 376853.4 31238.5 261988.1 609402.0
5 80 030.1 126 704.6 107 421.8 255 539.9 279 960.2 849 656.6
Nilai Tambah (Rp.Milyar) (%) 341 352.1 17.32 167 452.8 8.50 222 943.6 11.31 443 103.6 22.48 796 327.2 40.40 197 1179 100.00
Tabel 8. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Pertanian No. 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
1 49 420.5 13 652.0 72 788.7 2 973.7 4 617.4 33 904.2 5 816.2 18 455.9 4 712.8 12 552.7
Kelompok Penerima (Rp. Milyar) 2 3 4 6 075.7 414.7 115.0 1 370.8 100.2 34.7 8 071.3 604.8 157.6 665.8 167.4 93.7 372.9 141.1 72.6 3 427.8 1 741.0 731.8 1 101.9 409.9 510.1 3 288.6 1 561.0 1 450.5 1 327.8 1 113.6 588.6 5 535.9 475.0 706.1 Jumlah
Keterangan : Kelompok Penerima 1. Tenaga kerja pertanian di desa 2. Tenaga kerja pertanian di kota 3. Tenaga kerja nonpertanian di desa 4. Tenaga kerja nonpertanian di kota 5. Kapital Sektor Produksi 13. Padi 14. Jagung 15. Pertanian tanaman pangan lainnya 16. Tebu 17. Kelapa sawit 18. Pertanian perkebunan lainnya
5 3 438.5 2 631.8 6 891.6 225.5 5 926.7 6 054.8 4 067.9 13 735.5 10 861.0 26 196.8
Nilai Tambah (Rp.Milyar) (%) 59 464.3 3.02 17 789.5 0.90 88 514.1 4.49 4 126.2 0.21 11 130.6 0.56 45 859.7 2.33 11 905.9 0.60 38 491.4 1.95 18 603.9 0.94 45 466.6 2.31 341 352.2 17.32
97
19. Industri pemotongan ternak 20. Peternakan dan hasil-hasilnya 21. Kehutanan dan perburuan 22. Perikanan Berdasarkan pengelompokan sektor yang disajikan dalam Tabel 7, total nilai tambah perekonomian Indonesia menurut SNSE tahun 2003 adalah sebesar 1 971 179.60 milyar rupiah. Kontribusi terbesar dalam pembentukan nilai tambah berasal dari sektor jasa sebesar 796 327.2 milyar rupiah
atau 40.40 persen
kemudian disusul oleh sektor manufaktur sebesar 443 103.6 milyar rupiah atau 22.48 persen sedangkan pertanian berada di posisi ke tiga dengan besar kontribusi sebesar 341 352.1 milyar rupiah atau 17.32 persen. Selanjutnya pada Tabel 8, kontribusi sektor pertanian terhadap penciptaan nilai tambah (PDB) Indonesia pada tahun 2003 adalah sebesar 341 352.2 milyar rupiah atau sekitar 17.32 persen, dimana yang paling tinggi memberi sumbangan terhadap PDB sektor pertanian adalah subsektor padi (13) dan subsektor tanaman pangan lainnya (15) masing-masing sebesar 3.02 persen dan 4.49 persen, sedangkan yang paling rendah andilnya terhadap penciptaan PDB Indonesia adalah sektor tebu yaitu sebesar 0.21 persen. Seluruh sektor pertanian paling banyak mendistribusikan nilai tambahnya kepada faktor produksi tenaga kerja di perdesaan (faktor 1). Rata-rata sektor produksi yang masuk dalam kelompok pertanian primer ini memberi nilai tambah terhadap tenaga kerja tersebut masing-masing sebesar 56 persen. Sementara faktor produksi yang menerima nilai tambah dari sektor pertanian dalam jumlah yang kecil adalah tenaga kerja nonpertanian di desa (faktor 3), rata-rata hanya sebesar 3 persen. Terlihat juga bahwa ada perbedaan yang mencolok jika distribusi nilai tambah
tersebut
diperhatikan
berdasarkan
faktor-faktor
produksi
yang
98
menerimanya. Sebagai misal untuk tenaga kerja pertanian di desa (faktor 1) dan di kota (faktor 2) lebih banyak menerima nilai tambah dari subsektor tanaman pangan lainnya (15) masing-masing sebesar 33 persen dan 26 persen dari total penerimaan nilai tambahnya. Namun untuk tenaga kerja non pertanian di desa (faktor 3) ternyata lebih banyak menerima nilai tambah dari subsektor perkebunan lainnya (18) yakni sekitar 26 persen. Sedangkan sumber penerimaan nilai tambah untuk tenaga kerja nonpertanian di kota (faktor 4) dan modal (faktor 5) lebih banyak berasal dari subsektor peternakan dan hasil-hasilnya (20), masing-masing menerima sekitar 32.52 persen dan 17.16 persen. Tabel 9. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Pertambangan No. 23 24
1
Kelompok Penerima (Rp. Milyar) Nilai Tambah 2 3 4 5 (Rp.Milyar) (%) 0.0 0.0 7 084.5 19 115.1 121 475.3 147 674.9 7.49 0.0 0.0 8 582.3 5 966.3 5 229.3 19 777.8 1.00 Jumlah 167 452.8 8.50
Keterangan : Kelompok Penerima 1. Tenaga kerja pertanian di desa 2. Tenaga kerja pertanian di kota 3. Tenaga kerja nonpertanian di desa 4. Tenaga kerja nonpertanian di kota 5. Kapital Sektor Produksi 23. Pertambangan batubara, bijih logam, minyak dan gas bumi 24. Pertambangan dan penggalian lainnya Dalam perekonomian Indonesia, terlihat subsektor pertambangan sangat rendah menghasilkan nilai tambah, kurang lebih hanya sebesar 167 452.8 milyar rupiah atau 8.5 persen dari total penerimaan nilai tambah Indonesia, lihat Tabel 8. Adapun sektor pertambangan yang paling besar menciptakan nilai tambah dalam kelompok sektor ini adalah subsektor pertambangan batu bara, bijih logam, minyak dan gas bumi (23) yaitu sebanyak 7.49 persen, sedangkan yang terendah
99
adalah subsektor pertambangan dan penggalian lainnya (24) dengan kontribusinya hanya sekitar 1 persen. Sesuai dengan karakteristik jenis usahanya yang tidak berhubungan sama sekali dengan tenaga kerja pertanian, jelas nilai tambah dari sektor pertambangan hanya didistribusikan kepada tenaga kerja nonpertanian dan modal, dimana 76 persen terdistribusi kepada faktor modal, sisanya 24 persen di bagi ke faktor tenaga kerja nonpertanian di desa dan kota. Tabel 10. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Agroindustri No. 25 26 27 28 29 30 31
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Kelompok Penerima (Rp. Milyar) Nilai Tambah 2 3 4 5 (Rp.Milyar) (%) 0.0 16 065.2 30 737.9 13 698.1 60 501.3 3.07 0.0 974.9 1 198.4 23 067.0 25 240.3 1.28 0.0 3 572.8 4 061.8 3 594.2 11 228.7 0.57 0.0 1 776.8 2 272.6 17 485.4 21 534.8 1.09 0.0 870.2 949.2 356.8 2 176.2 0.11 0.0 9 911.5 26 853.0 35 320.9 72 085.4 3.66 0.0 8 736.1 7 541.4 13 899.4 30 177.0 1.53 Jumlah 222 943.7 11.31
Keterangan : Kelompok Penerima 1. Tenaga kerja pertanian di desa 2. Tenaga kerja pertanian di kota 3. Tenaga kerja nonpertanian di desa 4. Tenaga kerja nonpertanian di kota 5. Kapital Sektor Produksi 25. Industri makanan, minuman dan tembakau 26. Industri minyak dan lemak 27. Industri penggilingan padi 28. Industri tepung segala jenis 29. Industri gula 30. Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit 31. Industri kayu, barang-barang dari kayu Jika diperhatikan pada Tabel 10, terlihat jelas bahwa kelompok sektor agroindustri termasuk kelompok sektor ekonomi yang kegiatannya cukup banyak memberikan andil terhadap pembentukan PDB nasional. Pada tahun 2003 jumlah
100
sumbangan yang diberikan sebesar 222 943.7 milyar rupiah atau setara dengan 11.31 persen, dimana kontribusi yang terbesar diberikan oleh subsektor industri pemintalan tekstil, pakaian dan kulit (30) yakni 72 085.4 milyar rupiah atau 3.66 persen, kemudian diikuti oleh subsektor industri makanan, minuman dan tembakau (25) sebesar 60 501.3 milyar rupiah atau 3.07 persen, subsektor industri gula (29) merupakan subsektor dalam kelompok sektor agro industri yang memberikan sumbangan nilai tambah yang paling kecil dengan nilai sebesar 2 176.2 milyar rupiah atau setara dengan 0.11 persen. Seperti halnya sektor pertambangan sebelumnya, keterkaitan antara sektor agroindustri dengan tenaga kerja pertanian sama sekali tidak terlihat signifikan. Hal ini tercermin pada Tabel 10, dimana tampak jelas bahwa seluruh sektor agroindustri mendistribusikan nilai tambahnya hanya kepada faktor produksi tenaga kerja non pertanian dan modal. Faktor produksi yang paling banyak menerima nilai tambah dari subsektor agroindustri adalah faktor produksi modal (5) yakni sebesar 48 persen dari total nilai tambah yang diciptakan sektor tersebut. Menyusul kemudian tenaga kerja nonpertanian di kota yaitu sebesar 33 persen dan terakhir tenaga kerja nonpertanian di desa, sebesar 19 persen. Sekarang jika perhatian kita fokuskan pada sumber-sumber penerimaan nilai tambah pada masing-masing faktor produksi, tampak jelas bahwa faktor produksi modal (5) lebih banyak menerima nilai tambah dari subsektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit (30) yaitu sekitar 33 persen dari seluruh total penerimaan nilai tambah sektor agroindustri. Sementara untuk faktor produksi tenaga kerja nonpertanian di desa dan kota, sumber penerimaan nilai tambahnya lebih banyak berasal dari subsektor
101
industri makanan, minuman dan tembakau (25) masing-masing sebanyak 38 persen untuk yang bekerja di desa dan 42 persen untuk yang bekerja di kota. Tabel 11. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Manufaktur No.
1
32 33 34 35
Kelompok Penerima (Rp. Milyar) Nilai Tambah 2 3 4 5 (Rp.Milyar) (%) 0.0 0.0 11 839.6 42 238.6 69 416.6 123 494.8 6.27 0.0 0.0 20 074.7 41 342.9 129 162.1 190 579.8 9.67 0.0 0.0 24 987.4 41 793.6 40 075.1 106 856.1 5.42 0.0 0.0 1 269.8 4 017.1 16 886.1 22 173.1 1.12 Jumlah 443 103.7 22.48
Keterangan : Kelompok Penerima 1. Tenaga kerja pertanian di desa 2. Tenaga kerja pertanian di kota 3. Tenaga kerja nonpertanian di desa 4. Tenaga kerja nonpertanian di kota 5. Kapital Sektor Produksi 32. Industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya 33. Industri kimia, pupuk, hasil-hasil dari tanah liat serta semen dan ligam dasar 34. Konstruksi atau bangunan 35. Listrik, gas dan air minum Kelompok sektor manufaktur secara keseluruhan cukup memberikan sumbangan yang signifikan dalam membentuk PDB nasional, dengan andilnya terhadap nilai tambah sebesar 443 103.7 milyar rupiah atau 22.48 persen, lihat Tabel 11. Kontribusi utama diperoleh dari subsektor industri kimia, pupuk, hasilhasil dari tanah liat, semen dan logam dasar (33) sebesar 190 579.8 milyar rupiah atau setara dengan 9.67 persen disusul kemudian oleh subsektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya (32) sebesar 123 494.8 milyar rupiah atau setara dengan 6.27 persen dari PDB nasional. Subsektor
102
listrik, gas dan air minum (35) memberikan peran yang paling kecil dengan nilai tambah sebesar 22 173.1 milyar rupiah atau setara 1.12 persen. Serupa dengan temuan-temuan sebelumnya, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan nilai tambah Indonesia juga lebih banyak bersumber pada faktor produksi tenaga kerja nonpertanian dan modal. Melalui modal, nilai tambah yang berhasil diciptakan sektor manufaktur adalah sebesar 58 persen. Ini berarti sisanya 42 persen berasal dari tenaga kerja nonpertanian di desa dan kota. Berdasarkan Tabel 10 juga kelihatan bahwa dalam kelompok sektor manufaktur, faktor modal lebih banyak menerima nilai tambah dari subsektor industri kimia, pupuk, hasil-hasil dari tanah liat, semen, dan logam dasar (33). Sedangkan tenaga kerja nonpertanian di desa lebih banyak memperoleh transfer nilai tambah dari subsektor bangunan (34) yakni sekitar 43 persen, sedangkan tenaga kerja nonpertanian di kota lebih besar memperoleh nilai tambah dari sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya (subsektor 33) yaitu sebanyak 33 persen. Pada Tabel 12 mengenai nilai tambah dari kelompok sektor jasa-jasa, terlihat bahwa kelompok sektor ini menyumbangkan nilai tambah yang signifikan dengan jumlah mencapai 796 327.2 milyar rupiah atau setara dengan 40.40 persen sumbangan terbesar diberikan oleh subsektor perdagangan, hotel dan restoran (36) dengan kontribusi sebesar 299 928 milyar atau setara dengan 15.22 persen. kemudian disusul oleh subsektor aktifitas jasa-jasa (39) dengan sumbangan sebesar 228 344.3 milyar rupiah atau setara dengan 11.52 persen, sedangkan kontribusi terkecil diberikan oleh subsektor pengangkutan dan komunikasi (37). Melihat komposisi susunan kontribusi kelompok sektor sebagaimana dijelaskan
103
diatas, tergambar bahwa Indonesia sudah mengarah pada kondisi negara yang menuju negara sedang berkembang apabila dikaitkan dengan sumbangan kelompok sektor jasa yang dominan dalam penyusunan PDB nasional Indonesia dan sektor pertanian kontribusinya terhadap PDB nasional makin mengecil. Tabel 12. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Jasa-Jasa No.
Kelompok Penerima (Rp. Milyar) 1
2
3
36
0.0
0.0 69 906.8 170 807.8
(Rp.Milyar) (%) 59 213.4 299 928.0 15.22
37
0.0
0.0 16 016.9
33 609.2
49 785.4
99 411.5
5.04
38
0.0
0.0
38 148.7
124 900.5
168 643.4
8.56
39
0.0
0.0 47 995.6 134 287.7
46 060.9
5 594.3
4
Nilai Tambah 5
Jumlah
228 344.3 11.58 796 327.2 40.40
Keterangan : Kelompok Penerima 1. Tenaga kerja pertanian di desa 2. Tenaga kerja pertanian di kota 3. Tenaga kerja nonpertanian di desa 4. Tenaga kerja nonpertanian di kota 5. Kapital Sektor Produksi 36. Perdagangan, hotel dan restoran 37. Pengangkutan dan komunikasi 38. Keuangan, jasa perusahaan, real estate 39. Jasa-jasa 5.2.
Perdagangan Luar Negeri Kegiatan ekspor dan impor merupakan kegiatan perdagangan luar negeri
yang dapat dilihat pada SNSE Indonesia tahun 2003 yang tersaji dalam vektor kolom ROW (rest of world). Besarnya ekspor dan impor dapat dirinci atas sektor produksi sebagaimana terlihat pada Tabel 13. Berdasarkan tabel ini terlihat jelas neraca perdagangan sektor pertanian primer secara keseluruhan masih menunjukkan nilai surplus sebesar 1 935.28 milyar rupiah.
104
Tabel 13. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Pertanian Primer Impor
Sektor
Komoditi
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Padi Jagung Pertanian tanamn pgn lain Tebu Kelapa sawit Pertanian perkebunan lain Pemotongan ternak Peternakan dan hasilnya Kehutanan dan perburuan Perikanan Jumlah
Ekspor
(Rp.Milyar) (%) (Rp.Milyar) 2.89 953.07 7 206.55 1.68 2 565.17 5 856.55 315.64 3 607.25 457.53 287.35 21 253.68
0 0.2 1.5 0 0.5 1.2 0.1 0.8 0.1 0.1 4.5
0.05 4.13 1711.18 0.03 37.13 6 147.30 134.01 1 403.01 324.25 13 427.88 23 188.96
surplus/ Defisit (%) 0 -2.85 0 -948.95 0.27 -5 495.37 0 -1.64 0.01 -2 528.04 0.98 29.75 0.02 -181.63 0.22 -2 204.24 0.05 -133.28 2.14 13 140.53 3.7 1 935.28
Dari seluruh kelompok sektor pertanian primer yang terbagi dalam 10 sektor
kegiatan
pertanian,
sebanyak
8
subsektor
menunjukkan
neraca
perdagangannya mengalami defisit, sedangkan 2 subsektor lainnya yakni pertanian tanaman perkebunan lainnya dan perikanan menunjukkan surplus, dengan nilai masing-masing sebesar 290.75 milyar rupiah dan 13 140.53 milyar rupiah. Pada Tabel 14 berikut, terlihat bahwa neraca perdagangan luar negeri Indonesia di sektor pertambangan mengalami surplus yang cukup besar, dengan keseluruhan mencapai 74. 939 milyar rupiah. Surplus tersebut berasal dari subsektor pertambangan batubara, biji logam, minyak dan gas bumi (23) sebesar 58 947.53 milyar rupiah dan subsektor pertambangan dan penggalian lainnya (24) sebesar 15 992.33 milyar rupiah. Jika memperhatikan kontribusi ekspor sektor pertambangan dan migas sebesar 14.23 persen dari ekspor nasional, maka dapat dikatakan bahwa upaya pemerintah untuk meningkatkan perolehan devisa dari sektor non migas telah menunjukkan hasil. Pada sektor pertambangan telah menunjukkan angka surplus yang cukup meyakinkan dengan angka 58 947.53
105
milyar rupiah untuk sektor pertambangan batubara dan 15 992.33 milyar rupiah untuk sektor pertambangan lain. Sedangkan untuk keseluruhan
surplus yang
diperoleh dari sektor pertambangan sebesar 74 939.86 milyar rupiah atau setara dengan 17.36 persen surplus perdagangan nasional. Namun demikian jika diamati dari sisi impor, terlihat kemandirian sektor pertambangan masih jauh dari harapan. Tabel 14. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Pertambangan No
Sektor
Komoditi
11
23
Pertambangan batubara, biji logam, minyak dan gas bumi
12
24
Pertambangan dan penggalian lainnya Jumlah
Impor
Ekspor (%)
Surplus/ Defisit
89 246.92
14.23
58 947.53
0.76
19 597.67
3.13
15 992.33
7.17
108 844.59
17.36
74 939.86
(Rp.Milyar)
(%)
(Rp.Milyar)
30 299.39
6.41
3 605.34 33 904.73
Selanjutnya pada Tabel 15 terlihat bahwa dari 7 (tujuh) sektor kelompok agroindustri menunjukkan angka defisit dengan rincian subsektor industri makanan, minuman dan tembakau (25) sebesar 3 019.78 milyar rupiah, subsektor industri minyak dan lemak (26) sebesar 27 649.14 milyar rupiah. Defisit terbesar disumbang oleh subsektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit sebesar 62 956.29 milyar rupiah, kemudian disusul oleh subsektor industri kayu, barangbarang dari kayu (31) sebesar 44 617.90 milyar rupiah. Jumlah total keseluruhan defisit yang berasal dari sektor agroindustri sebesar 134 431.83 milyar rupiah. Perdagangan luar negeri pada industri manufaktur menunjukkan adanya defisit yang cukup signifikan dengan nilai sebesar 6 385.89 milyar rupiah (perhatikan Tabel 16). Defisit ini berasal dari industri kimia, pupuk , semen dan logam dasar dengan nilai defisit sebesar 17 850 milyar rupiah sedangkan pada
106
Tabel 15. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Agroindustri Sektor 25 26 27 28 29 30 31
Komoditi Industri makanan, minuman dan tembakau Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung segala jenis Industri gula Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit Industri kayu, barangbarang dari kayu Jumlah
Impor (Milyar) (%)
Ekspor (Milyar) (%)
surplus/ Defisit
10 231.90
2.16
13 251.68
2.11
301.78
424.70 796.34 531.33 3 223.20
0.09 0.17 0.11 0.68
28 073.84 0.67 147.81 59.10
4.48 0.00 0.02 0.09
27 649.14 -795.67 -383.53 -2 632.09
16 199.87
3.42
79 156.16
12.62
62 956.29
755.42
0.16
45 373.33
7.24
44 617.90
32 162.76
6.80
166 594.59
26.57
134 431.83
subsektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam & industri lainnya (32), dihasilkan surplus sebesar 11 464.29 milyar rupiah. Suatu hal yang menarik dari data pada Tabel 15 berikut ini, bahwa
pada subsektor 34
konstruksi/bangunan (34) dan subsektor Listrik, gas dan air minum (35) tidak tergambar adanya aktivitas perdagangan antar negara, yang mengartikan pada ke 2 (dua) subsektor tersebut bersifat tertutup.
Tabel 16. Nilai Ekspor Impor Sektor Industri Manufaktur Impor Sektor
Ekspor
Surplus / Defisit
Komoditi (Rp.Milyar)
(%)
(Rp.Milyar)
(%)
32
Industri kertas, percetakan; alat angkutan, barang dari logam & industri lainnya
144 671.91
30.59
133 207.62
21.24
-11 464.29
33
Industri kimia, pupuk, hasilhasil dari tanah liat & semen, dan logam dasar
124 559.72
26.33
142 409.91
22.71
17 850.18
34
Konstruksi/bangunan
0.00
0
0.00
0
0.00
35
Listrik, gas dan air minum
0.00
0
0.00
0
0.00
269 231.64
56.92
275 617.53
43.95
6 385.89
Jumlah
107
Tabel 17. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Industri Jasa Impor Sektor 36 37 38 39
Ekspor
Komoditi Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, jasa perusahaan, real estate Jasa-jasa
Jumlah Sumber : data diolah
Surplus/ Defisit
(Milyar)
(%)
(Milyar)
(%)
28 419.25
6.008
10 545.70
1.682
-17 873.56
30 052.85
6.354
10 722.50
1.71
-19 330.35
37 533.76
7.935
6 064.00
0.967
-31 469.75
20 439.10
4.321
25 487.11
4.065
5 048.00
116 444.96
24.62
52 819.31
8.42
-63 625.65
Pada Tabel 17 terlihat kelompok sektor jasa-jasa menunjukkan defisit yang sangat signifikan. Nilai defisit
dihasilkan pada sektor-sektor jasa-jasa
sebesar 63 625.65 milyar rupiah. Pada sektor ini surplus perdagangan diperoleh dari sektor jasa-jasa, dengan nilai sebesar 5 048 milyar rupiah, selebihnya untuk semua subsektor menunjukkan nilai defisit dengan peringkat pertama dihasilkan dari subsektor keuangan dan jasa (38) dengan nilai defisit sebesar 31 469.75 milyar rupiah, disusul dengan subsektor
pengangkutan dan komunikasi (37)
sebesar 19 330.75 milyar rupiah dan terakhir subsektor 36 (perdagangan, hotel dan restoran) sebesar 17 873.56 milyar rupiah. Tabel 18. Total Ekspor Impor Indonesia Tahun 2003 Sektor Pertanian Pertambangan Agroindustri Manufaktur Jasa-jasa Total Semua Sektor
Impor (Milyar)
Ekspor (%)
21 253.68 4.49 33 904.73 7.17 32 162.76 6.80 269 231.64 56.92 116 444.96 24.62 472 997.77 100.00
(Milyar)
(%)
23 188.96 3.7 108 844.59 17.36 16 654.6 26.57 275 617.53 43.95 52 819.31 8.42 627 064.97 100.00
Surplus/ Defisit 1 935.28 74 939.86 134 431.83 6 385.89 -63 625.65 154 067.21
108
Dari paparan Tabel 18 di
atas, terlihat
secara keseluruhan
neraca
perdagangan Indonesia dengan negara luar, terlihat ekspor utama Indonesia adalah pada sektor manufaktur dengan nilai 275 617.53 milyar rupiah dengan pangsa sebesar 43.95 persen dari ekspor nasional, sedangkan impor paling utama juga berasal dari barang manufaktur dengan nilai 269 231.64 milyar rupiah setara dengan 56.92 persen impor nasional. Tabel 18 menunjukkan neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2003 mengalami surplus sebesar 154 067.21 milyar rupiah. Semua sektor menunjukkan surplus kecuali kelompok sektor jasa-jasa. Penyumbang surplus terbesar berasal dari kelompok sektor agroindustri dan terkecil berasal dari kelompok sektor pertanian. Melihat kondisi ini perlu dilakukan reevaluasi dan dukungan yang lebih besar terhadap kebijakan pengembangan agroindustri Indonesia, dikarenakan menyumbang surplus yang cukup besar. Peran penting agroindustri dalam menghasilkan devisa tidak lepas dari kemudahan pemerintah dalam memberikan stimulus yang lebih mendorong peran pengusaha skala besar dan beradasarkan data keterkaitan yang dijelaskan dalam disertasi ini kurang terkait dengan unit usaha kecil dan menengah khususnya para petani kecil yang merupakan
mata rantai penting dalam proses
pengolahan hasil pertanian (agroindustri). Jumlah ekspor sebesar 627 064.97 milyar rupiah merupakan 31.81 persen dari total nilai tambah yang besarnya 1 971 180 milyar rupiah. Angka 31.81 persen menggambarkan peran ekspor cukup besar kontribusinya terhadap PDB Indonesia. Sedangkan nilai impor sebesar 472 997.77 milyar rupiah merupakan 24 persen dari besaran PDB. Hal ini mnegindikasikan ketergantungan
PDB
Indonesia terhadap impr cukup tinggi dan jika dikaitkan dengan dengan total
109
produksi semua sektor sebesar 4 666 475.88 milyar rupiah maka ketergantungan produksi terhadap impor adalah 10.14 persen. 5.3. Penggunaan Tenaga Kerja Berdasarkan Tabel 18 terlihat komposisi penggunaan tenaga kerja pada pembentukan produk domestik nasional sangat dominan untuk kelompok sektor pertanian. Untuk beberapa subsektor kontribusi tenaga kerja diatas 90 persen, yang menunjukkan bahwa sektor pertanian adalah suatu kegiatan usaha yang sifatnya`padat karya. Hanya pada subsektor kehutanan dan subsektor perikanan (21) dan (22) sumbangan tenaga kerja terhadap pembentukan PDB di bawah 50 persen. Hal ini dapat dipahami karena pada ke dua sektor tersebut digunakan peralatan modal yang cukup besar berbeda dengan sektor padi yang sebagian besar nilai tambah dihasilkan dari unsur tenaga kerja. Tabel 19. Penggunaan Tenaga Kerja Untuk Sektor Pertanian Primer Neraca Tenaga Kerja
Sektor Produksi
1
2
3
4
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Jumlah
49 420.46 13 652.01 72 788.74 2 973.73 4 617.40 33 904.24 5 816.23 18 455.86 4 712.85 12 552.75 218 894.30
6 075.66 1 370.75 8 071.35 665.79 372.88 3 427.83 1 101.86 3 288.58 1 327.82 5 535.92 31 238.45
414.68 100.25 604.83 167.41 141.10 1 741.00 409.86 1 560.95 1 113.58 475.01 6 728.67
115.00 34.71 15762 93.72 72.57 731.79 510.06 1 450.50 588.60 706.09 4 460.66
Tenaga Kerja (000 orang) 56 025.79 15 157.72 81 622.54 3 900.47 5 203.95 39 804.87 7 838.02 24 755.88 7 742.85 19 269.78 261.22
VA dlm (Rp.Milyar)
TK/VA (%)
59 464.30 17 789.48 88 514.15 4 126.18 11 130.64 45 859.70 11 905.94 38 491.36 18 603.88 45 466.61 341 352.20
94.22 85.21 92.21 94.53 46.75 86.80 65.83 64.32 41.62 42.38 76.55
Kegagalan sektor industri untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja dari sektor pertanian khususnya dan kawasan perdesaan umumnya sangat terasa pada era pasca krisis. Sektor industri mengalami pertumbuhan yang rendah bahkan
110
minus. Hal ini menyebabkan beban tenaga kerja banyak menumpuk di sektor pertanian, sehingga mau tidak mau akan menurunkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian. Sudah barang tentu kondisi ini menyebabkan pelaku di sektor pertanian akan termarjinalkan. Relatif
banyaknya
angkatan
kerja
pada
sektor
pertanian
juga
meningkatkan tekanan terhadap lahan pertanian (modal atau kapital) yang menyebabkan pemecahan lahan pertanian sehingga akibatnya luasan lahan yang diusahakan tidak masuk dalam skala ekonomi. New entrants ke sektor pertanian membutuhkan lahan pertanian. Sampai batas tertentu, kebutuhan ini ditutupi melalui fragmentasi lahan pertanian. Manakala fragmentasi ini berlangsung dengan laju yang lebih cepat dari laju pencetakan lahan pertanian baru, maka rataan luas lahan yang diusahakan atau dikuasai oleh petani akan semakin menyempit. Data pada Tabel 19 dengan nyata menunjukkan sektor pertanian adalah aktivitas produksi yang banyak menggunakan tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah atau dikenal dengan sektor padat karya. Hipotesis ini tampaknya didukung oleh data rataan luas lahan pertanian yang dikuasai oleh rumah tangga petani bahwa dalam periode 1993-2003, rataan luas lahan pertanian Indonesia menurun dari 0.8 hektar menjadi 0.7 hektar. Di pulau Jawa, penurunan tersebut ialah dari 0.47 hektar menjadi 0.37 hektar, sedangkan di luar Pulau Jawa adalah 1.20 hektar menjadi 1.10 hektar. Sudah barang tentu dengan luasan 0.7 hektar masih kurang layak untuk mencukupi kebutuhan rumahtangganya. Sebaliknya di negara-negara yang telah berhasil menjalankan reformasi agraria (agrarian reform), misalnya Jepang dimana rataan luas lahan pertaniannya
111
justru cenderung meningkat sekitar 0.6 hektar sepanjang periode 1956-2003. Melihat kondisi ini tampaknya peningkatan produktivitas (yield) serta perluasan lahan pertanian yang dilakukan secara hati-hati, yang secara simultan diiringi dengan pengembangan industri hasil pertanian (agroindustry) terutama di kawasan perdesaan, merupakan pilihan kebijakan yang lebih tepat untuk mengatasi permasalahan sektor pertanian di Indonesia. Struktur tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah dapat menjadi petunjuk awal untuk mengamati sektor mana yang menjadi tumpuan banyak pekerja dan sektor mana yang sedikit menghasilkan nilai tambah dari tenaga kerja. Terkait dengan hal tersebut analisis struktur ekonomi dengan menggunakan tabel SNSE Indonesia 2003
bisa menjadi salah satu pertimbangan untuk dapat
memberikan kebijakan yang tepat bagi upaya peningkatan kesejahteraan terhadap masyarakat banyak. Tabel 20. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Sektor Agroindustri Sektor Produksi 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah
1 0 0 0 0 0 0 0 0
Neraca Tenaga Kerja 2 3 4 0 16 065.25 30 737.94 0 974.90 1 198.42 0 3 572.76 4 061.78 0 1 776.77 2 272.57 0 870.24 949.16 0 9 911.48 26 853.01 0 8 736.15 7 541.37 0 41 907.55 73 614.25
Tenaga Kerja VA dlm TK/VA (000 org) (Rp.Milyar) (%) 46 803.19 6 0501.31 77.36 2 173.32 2 5240.32 8.61 7 634.53 1 1228.73 67.99 4 049.34 2 1534.76 18.80 1 819.40 2176.22 83.60 36 764.50 7 2085.37 51.00 16 277.52 3 0176.97 53.94 115 521.81 22 2943.68 51.82
Pada Tabel 20 terlihat bahwa kelompok tenaga kerja pertanian baik yang berasal dari desa maupun kota pada sektor agroindustri kurang diberdayakan dan hampir seluruhnya menggunakan tenaga kerja bukan berasal dari pertanian. Hal ini merupakan petunjuk yang cukup jelas bahwa sektor agroindustri kurang berselaras dengan sektor pertanian. Pada subsektor industri minyak dan lemak
112
(26), merupakan subsektor pada sektor agroindustri yang paling kecil kontribusi tenaga kerja dalam pembetukan nilai tambah, yaitu hanya 8.61 persen. Hal ini menunjukkan subsektor industri lemak dan minyak merupakan kegiatan industri yang sifatnya padat modal, dengan pengertian nilai tambah yang dihasilkan dari upah tenaga kerja hanya 8.61 persen, sedangkan sisanya sebesar 91.39 persen berasal dari modal. Demikian juga dengan industri tepung segala jenis, kontribusi yang diberikan oleh tenaga kerja hanya sebesar 18.80 persen Berbeda halnya dengan subsektor industri gula (29), komponen tenaga kerja bagi pembentukan produk nasional bruto berkisar sebesar 83.60 persen, demikian juga dengan subsektor industri makanan dan minuman (25) dengan pangsa tenaga kerja mencapai 77.36 persen, subsektorindustri penggilingan padi (27) pangsa tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah
mencapai 67.99
persen. Tabel 21. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor Pertambangan Neraca Tenaga Kerja
Tenaga Kerja
Sektor Produksi
1
2
23
0
0
7 084.47 19 115.14
7 107.47
14 7674.92
4.81
24
0
0
8 582.26
5 966.30
8 606.26
19 777.83
43.51
Jumlah
0
0
1 566.73 25 081.45
15 713.73
167 452.80
9.38
3
4
(000 orang)
VA dlm TK/VA (Rp.Milyar) (%)
Pada Tabel 21, dapat dilihat penggunaan tenaga kerja untuk kelompok sektor pertambangan secara keseluruhan menunjukkan angka 9.38 persen. Sektor minyak dan gas bumi lebih ekstreem dalam penggunaan sedikitnya tenaga kerja yaitu hanya 4.81 persen, hal ini menunjukkan pada sektor ini lebih banyak dihasilkan oleh kapital bukan oleh tenaga kerja. Dengan penggunaan tenaga kerja yang sedikit dan menghasilkan nilai tambah yang sangat besar maka sudah wajar
113
jika pada kebijakan migas ini perlu dilakukan distribusi yang lebih mengena bagi sektor terkait lainnya. Tabel 22. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor Manufaktur Sektor Produksi
1
Neraca Tenaga Kerja 2 3 4
32
0
0
11 839.63
33
0
0
34
0
35 Jumlah
Tenaga Kerja
(000 orang)
VA (Rp.Milyar)
TK/VA (%)
42 238.58
54 078.21
123 494.80
43.79
20 074.71
41 342.92
61 417.63
190 579.80
32.23
0
24 987.43
41 793.60
66 781.03
106 856.10
62.50
0
0
1 269.84
4 017.14
5 286.99
22 173.07
23.84
0
0
58 171.61
129 392.20
187 563.90
443 103.70
42.33
Angka pada Tabel 22 menunjukkan adanya penggunaan tenaga kerja sebagai penghasil nilai tambah pada tenaga tidak sebanyak pada sektor pertanian, demikian juga penggunaan tenaga kerja pertanian baik yang di perdesaan dan perkotaan tidak terlihat pada aktivitas produksi kelompok sektor manufaktur. Nilai tambah yang cukup besar dari tenaga kerja ada pada sektor konstruksi dan bangunan dengan besaran pangsa sebesar 62.50 persen sedangkan untuk keseluruhan pangsa produksi yang berasal dari tenaga kerja bagi pembentukan nilai tambah kelompok sektor manufaktur sebesar 42.33 persen. Tabel 23. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor jasa Neraca Tenaga Kerja
Sektor
TK
VA
(000 orang) (Rp.Milyar)
TK/VA
Produksi
1
2
3
4
(%)
36
0
0
69 906.84
170 807.80
240 714.60
299 928.00
80.26
37
0
0
16 016.89
33 609.20
49 626.09
99 411.52
49.92
38
0
0
5 594.28
38 148.67
43 742.95
168 643.40
25.94
39
0
0
47 995.63
134 287.70
182 283.30
228 344.30
79.83
Jumlah
0
0
139 513.60
376 853.40
516 367.00
796 327.20
64.84
114
Penggunaan tenaga kerja
untuk kelompok sektor jasa
sebagaimana
terlihat pada Tabel 23 menunjukkan pada umumnya di sektor ini, peran tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah sangat berarti. Subsektor perdagangan, hotel dan restoran (26) penggunaan tenaga kerja mencakup besaran 80.26 persen, demikian juga pada subsektor jasa-jasa (39) penggunaan tenaga kerja mencapai 79.83 persen. Kegiatan aktivitas produksi yang sedikit menggunakan tenaga terdapat pada subsektor Keuangan, Jasa perusahaan dan real estate (38) dengan kontribusi tenaga kerja hanya sebesar 25.94 persen.
VI. PERANAN SEKTOR PERTANIAN BERDASARKAN ANALISIS MULTIPLIER SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI
6.1. Dampak Multiplier Sektor Pertanian terhadap Perekonomian Memandang pembangunan pertanian hanya berdasarkan pertumbuhan sektor pertanian dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor yang lain telah membuat sektor pertanian menjadi tersisihkan dalam proses pengambilan keputusan pembangunan. Oleh karena disini pertumbuhan pertanian hanya diharapkan sebagai sektor pendukung saja. Akibatnya bisa kita lihat selama ini bahwa kebijakan moneter dan fiskal, serta perdagangan dan industri yang dikeluarkan sering tidak sejalan dengan tujuan pembangunan sektor pertanian. Sektor pertanian selain sebagai penghasil makanan yang dapat dikonsumsi secara langsung, juga sebagai sumber bahan baku industri makanan dan seratseratan untuk diolah menjadi bahan jadi maupun setengah jadi. Disamping itu usaha pertanian dan industrinya pada umumnya mempunyai kandungan impor yang rendah, sehingga kegiatan pertanian dapat menghemat devisa. Sektor pertanian mempunyai efek multiplier (pengganda) yang tinggi sebagaimana hasil olah data disertasi ini. Di tengah-tengah krisis kenaikan harga BBM yang diluar kendali terkait dengan menipisnya cadangan minyak bumi, sektor pertanian dapat sebagai penyedia bahan bakar alternatif (biofuel). Arti penting pertanian akan makin terasa dengan adanya perubahan kondisi global sehubungan dengan adanya kenaikan harga minyak bumi dunia yang telah melewati angka psikologis 100 US $ per barrel menyebabkan bahan bakar alternatif (biofuel) menjadi pilihan yang ekonomis dan masuk akal, sehingga meningkatkan perluasan areal tanam untuk menghasilkan biofuel
115
tersebut yang akan menggeser luasan areal tanam untuk pangan. Meningkanya konsumsi daging perkapita di beberapa negara seiring dengan meningkatnya pendapatan perkapita negara tersebut seperti China, konsumsi perkapita hanya 20 kg pada tahun 1985 meningkat menjadi 50 kg per kapita pada tahun 2005. Demikian pula dengan adanya perubahan iklim dunia sebagai dampak dari pemananasan global (global warming) yang ditengarai telah menyebabkan kegagalan panen di beberapa negara, sehingga hal ini akan menyebabkan melambungnya harga produk pertanian di pasar dunia. Kondisi ini harus disikapi dengan hati-hati mengingat beberapa kebutuhan pokok yang strategis seperti beras, tepung, gula dan beberapa produk pertanian lainnya sebagian masih diimpor, jika tidak stabilitas ekonomi politik dan keamanan negara Indonesia akan terganggu (Daryanto, 2008). Mengingat hal tersebut pemberdayaan dan pengembangan sektor pertanian urntuk kedepannya harus ditempatkan secara proposional dalam suatu kebijakan nasional yang komprehensif, dikarenakan pembangunan pertanian merupakan pembangunan di sektor perokonomian yang strategis dan menyangkut kelangsungan suatu bangsa. Pemberdayaan sektor pertanian tidak hanya terkait dengan pertumbuhan sektor pertanian itu sendiri akan tetapi terkait juga dengan sektor produksi lainnya dan juga dengan perubahan-perubahan indikator makro ekonomi seperti pendapatan rumahtangga, nilai tambah, penerimaan upah, pajak, dan lain-lain. Berbagai alat analisis telah digunakan oleh para ahli untuk menunjukkan keterkaitan di atas, dan salah satunya yang cukup baik serta mampu memaparkan hal tersebut secara komprehensif adalah model Sistem Neraca Sosial Ekonomi
116
(SNSE) yaitu suatu model yang menerapkan analisis dengan menggunakan prinsip keseimbangan umum (general equilibrium analysis) dimana perubahan terhadap suatu sektor akan menyebabkan perubahan pada sektor lainnya, berbeda dengan analisis keseimbangan parsial (partial equilibrium analysis) yang menganggap sektor lainnya dalam keadaan ceteris paribus. Melalui analisis SNSE akan diperoleh berbagai angka pengganda yang dapat menjabarkan peranan dan dampak pembangunan pertanian secara menyeluruh, seperti dampaknya terhadap perubahan nilai tambah, produksi, perusahaan dan pendapatan rumahtangga. Dengan
mengetahui
berbagai
dampak
pembangunan
pertanian
dalam
perekonomian melalui analisis angka pengganda yang diperoleh dari olahan data SNSE, maka dapat dijelaskan arti penting sektor pertanian, sehingga penentuan prioritas pembangunan nasional khususnya sektor pertanian kedepannya dapat lebih diberdayakan dan dilaksanakan dengan lebih baik. Berikut ini akan disajikan hasil perhitungan angka pengganda SNSE secara lengkap untuk menjelaskan bagaimana peranan dan dampak sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia. Angka pengganda yang dijabarkan meliputi angka pengganda nilai tambah atau value added multiplier (VM ), angka pengganda pendapatan rumah tangga atau household induced income multiplier (HM), angka pengganda pendapatan perusahaan atau firm income multiplier (FM), angka pengganda pendapatan sektor lain/other sector income multiplier (OSM), angka pengganda produksi atau production multiplier (PM) dan gross output multiplier (GM). Adapun sektor pertanian yang dimaksudkan dalam ulasan ini adalah mencakup subsektor tanaman pangan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, subsekor kehutanan dan subsektor perikanan.
117
Tabel 24. Angka Multiplier Sektoral Berdasarkan SNSE Tahun 2003 Sektor Produksi
VM
HM
FM
OSM
PM
GM
Padi
2.4309
2.1742
0.3570
3.3715
4.5406
9.5027
Jagung
2.1832
1.9021
0.3660
3.1866
4.2760
8.7273
Pertanian tanaman pangan lainnya
2.2112
1.9550
0.3450
3.0874
4.2876
8.7988
Tebu
2.3065
2.0359
0.3630
3.5036
4.5620
9.2674
Kelapa sawit
1.7037
1.3606
0.3968
2.5113
3.5346
6.9957
Pertanian perkebunan lainnya
2.0622
1.8000
0.3426
3.0340
4.1462
8.3510
Industri pemotongan ternak
2.0333
1.7096
0.3964
3.6249
4.6693
8.8085
Peternakan dan hasil-hasilnya
1.9854
1.6721
0.3845
3.2179
4.3539
8.3959
Kehutanan dan perburuan
1.9659
15556
0.4708
2.7598
3.7734
7.7657
Perikanan
1.9838
1.5903
0.4567
2.8364
3.9613
7.9921
Pertamb batubara, bijih logam, minyak gas bumi
1.5110
1.0492
0.4935
1.6781
2.8153
5.8692
Pertamb dan penggalian lainnya
1.8750
1.5836
0.3581
2.8336
3.8418
7.6585
Ind makanan, minuman dan tembakau
1.7977
1.5242
0.3391
2.8873
4.2553
7.9163
Ind minyak dan lemak
1.7780
1.3491
0.4777
2.8137
4.0394
7.6442
Ind penggilingan padi
2.3191
2.0460
0.3658
4.0314
5.1515
9.8824
Ind tepung segala jenis
1.8972
1.5022
0.4534
2.9385
4.5037
8.3566
Ind gula
1.6478
1.4328
0.2786
2.9918
4.0132
7.3724
Ind pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit
1.7328
1.4031
0.3863
2.6567
4.3126
7.8348
Ind kayu, barang dari kayu
1.9526
1.5783
0.4372
3.1499
4.3507
8.3188
Ind kertas, percetakan; alat angk; barang logam
1.2730
1.0132
0.2996
2.0630
3.4379
6.0237
Ind kimia, pupuk; hsl dr tanah liat&semen; lgm dsr
1.3844
1.0622
0.3614
1.9004
3.4119
6.2199
Konstruksi
1.6944
1.3640
0.3847
3.2348
4.2511
7.6943
Listrik, gas dan air minum
1.7378
1.2375
0.5400
2.7822
3.9904
7.5057
Perdagangan, hotel dan restoran
1.9647
1.6693
0.3673
3.0182
3.5285
7.5298
Pengangkutan dan komunikasi
1.4625
1.1245
0.3797
2.3441
3.5065
6.4731
Keuangan, jasa perusahaan, real estate
1.5759
1.1621
0.4539
1.9212
3,2116
6.4035
1.9740
1.6817
0.3652
2.8787
4,3613
8.3822
Jasa-jasa Sumber : data diolah
Kontribusi sektor pertanian terhadap penciptaan nilai tambah (value added) dalam perekonomian Indonesia paling tinggi disumbangkan oleh komoditi padi, yang diindikasikan melalui angka VM terbesar yaitu 2.4309. Angka ini memberi suatu petunjuk bahwa jika neraca eksogen (investasi, subsidi atau ekspor) komoditi padi diinjeksi sebanyak 1 milyar rupiah maka pertambahan nilai tambah (penerimaan upah dan modal) yang dapat diciptakan dalam perekonomian adalah sebesar 2.4309 milyar rupiah. Sesudah padi, berikutnya yang paling besar juga dampaknya terhadap nilai tambah perekonomian adalah sektor industri
118
penggilingan padi yang memiliki angka VM sebesar 2.3191. Setelah itu komoditi tebu dengan angka VM sebesar 2.3065. Di luar sektor pertanian, yang paling besar 9 8 7
VM
6
HM
5
FM
4
OSM
3
PM
2
GM
1 0
pertanian
pertambangan
agroindustri
manufaktur
jasa
VM
2.0866
1.693
1.875
1.5224
1.7443
HM
1.7755
1.3164
1.548
1.1692
1.4094
FM
0.3879
0.4258
0.3912
0.3964
0.3915
OSM
3.1133
2.2559
3.067
2.4951
2.5406
PM
4.2105
3.3286
4.3752
3.7728
3.652
GM
8.4605
6.7639
8.1894
6.8609
7.1972
Gambar 11. Peranan Sektor-Sektor Produksi dalam Perekonomian Berdasarkan Nilai Multiplier dan Kelompok Sektor
kontribusinya terhadap penciptaan nilai tambah perekonomian Indonesia adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai multiplier sebesar 1.9647. Bila diamati berdasarkan nilai rata-rata multiplier, tampak peranan sektor ekonomi berbasis pertanian (pertanian primer dan agroindustri) terhadap komposisi nilai tambah perekonomian Indonesia mengungguli sektor-sektor ekonomi lainnya. Sebagaimana yang disajikan dalam Gambar 11 angka value added multiplier (VM) sektor pertanian rata-rata berkisar 2.0866, sementara sektor agroindustri mencapai 1.8751. Di luar kedua kelompok sektor ini, terlihat sektor pertambangan memiliki peranan yang cukup tinggi, dengan nilai multiplier sebesar 1.6930, setelah itu menyusul sektor manufaktur sebesar 1.5224 dan terakhir sektor jasa sebesar 1.7443.
119
Oleh karena padi menjadi sektor produksi yang paling tinggi memberikan dampaknya terhadap nilai tambah, sudah tentu peranannya terhadap peningkatan pendapatan
rumahtangga
menjadi
paling
besar
dalam
perekonomian.
Sebagaimana yang tercantum pada Tabel 24, dampak multiplier komoditi ini terhadap perubahan pendapatan rumahtangga paling tinggi diantara semua sektor pertanian. Indikatornya dapat diperhatikan pada angka HM subsektor padi (13) yaitu sebesar 2.1742, yang dapat diartikan bila neraca eksogen komoditi padi diinjeksi sebanyak 1 milyar rupiah maka pendapatan rumahtangga secara keseluruhan akan naik sebesar 2.1742 milyar rupiah. Dan searah dengan analisis multiplier VM sebelumnya, subsektor industri penggilingan padi (27) juga menempati urutan kedua setelah padi yang memberi dampak terbesar terhadap perubahan pendapatan rumahtangga, dengan angka HM sebesar 2.0460. Disusul kemudian dengan subsektor tebu (16) yang memiliki angka HM sebesar 2.0359. Selanjutnya, jika diperhatikan dalam Gambar 11, terlihat jelas bahwa peranan sektor-sektor ekonomi yang berbasis pertanian (pertanian primer dan agroindustri) terhadap pendapatan rumahtangga paling besar dibandingkan sektor-sektor ekonomi yang lain. Secara rata-rata peranan sektor pertanian primer terhadap perubahan pendapatan rumahtangga yang ditunjukkan dengan angka HM adalah sebesar 1.7756, kemudian untuk agroindustri sebesar 1.5480. Sedangkan sektor pertambangan, industri lain, dan jasa-jasa masing-masing mempunyai angka HM sebesar 1.3164, 1.1692 dan 1.4094. Keadaan menjadi berubah ketika dampak multiplier sektor pertanian dilihat pada penerimaan perusahaan. Berdasarkan serangkaian angka FM yang dipaparkan pada Tabel 24, sektor yang paling menonjol memberi efek terbesar
120
terhadap pendapatan perusahaan ternyata industri minyak dan lemak yang memiliki angka FM sebesar 0.4777, dengan demikian untuk setiap injeksi sebesar 1 milyar rupiah pada neraca eksogen industri minyak dan lemak diperkirakan dapat menaikkan pendapatan perusahaan sebesar 0.4777 milyar rupiah. Angka ini sekaligus juga menggambarkan bahwa industri minyak dan lemak menjadi bidang produksi pertanian yang paling menguntungkan dalam usaha agribisnis di Indonesia. Setelah industri ini, sektor berikutnya yang juga menonjol dalam memberi dampak multiplier terhadap penerimaan perusahaan adalah subsektor kehutanan dan perburuan (21) yang mempunyai angka FM sebesar 0.4708. Kemudian subsektor industri tepung segala jenis (28), dengan angka FM sebesar 0.4534. Dalam hal penerimaan perusahaan ini, peranan sektor pertanian jika dibandingkan dengan sektor-sektor non pertanian terlihat lebih kecil dari sektor pertambangan dan sektor jasa. Sektor pertambangan mampu memberi kontribusi nilai multiplier terhadap penerimaan perusahaan sebesar 0.4258, sedangkan sektor jasa sebesar 0.3915 sebagaimana ditampilkan pada Gambar 11. Adanya integrasi ekonomi yang menyeluruh dan berkesinambungan di antara semua sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi. Dalam ekonomi pasar, integrasi ekonomi dapat dilihat jelas ketika terjadi interaksi antara pelaku ekonomi yang saling melakukan transaksi input produksi. Analisis multiplier SNSE mampu menunjukkan seberapa besar kegiatan ekonomi yang terintegrasi tersebut berjalan. Untuk keperluan ini kita bisa menelusurinya melalui angka OSM. Berdasarkan angka OSM yang disajikan pada Tabel 24, sektor produksi pertanian yang paling kuat integrasinya dengan sektor-sektor lain dalam
121
perekonomian adalah industri penggilingan padi. Hal ini digambarkan dengan OSM industri penggilingan padi yang paling tinggi dari semua sektor pertanian yakni sebesar 4.0314. Artinya bila ada injeksi sebanyak 1 milyar rupiah pada neraca eksogen industri penggilingan padi, maka produksi pada sektor-sektor produksi lain secara keseluruhan akan meningkat sebesar 4.0314 milyar rupiah. Dengan angka OSM yang paling besar ini, bisa dikatakan bahwa industri penggilingan padi dalam perekonomian Indonesia merupakan sektor produksi yang paling terbuka dibandingkan seluruh sektor pertanian. Oleh karena itu bila pembangunan ekonomi lebih diutamakan secara sektoral, maka industri penggilingan padi harus diprioritaskan paling utama. Dampaknya dalam perekonomian bukan hanya dirasakan oleh pertumbuhan sektor-sektor produksi lain, namun juga memberi dampak terbesar terhadap pendapatan tenaga kerja, modal dan rumahtangga sebagaimana yang telah dijelaskan melalui angka VM dan HM di atas. Sesudah industri penggilingan padi, sektor produksi pertanian berikutnya yang ikut membawa pengaruh besar terhadap perubahan nilai produksi sektor lain adalah sektor industri pemotongan ternak dan komoditi tebu. Masingmasing memiliki angka OSM sebesar 3.6249 dan 3.5036. Secara keseluruhan, dalam perekonomian Indonesia
peranan sektor pertanian dan agroindustri
terhadap penerimaan sektor-sektor produksi yang lain adalah paling besar dibandingkan sektor pertambangan, industri nonpertanian, dan jasa-jasa. Seperti yang terlihat pada Gambar 11, angka OSM sektor pertanian 3.1133, sektor agroindustri 3.0670 sedangkan
sektor pertambangan hanya sebesar 2.2559,
industri nonpertanian sebesar 2.4951, dan jasa-jasa sebesar 2.5406.
122
Setelah pemaparan angka OSM, analisis multiplier berikutnya yang masih terkait erat dengan kegiatan produksi adalah analisis multiplier produksi (PM). Melalui angka PM dapat ditunjukkan seberapa besar pengaruh atau dampak dari kegiatan suatu sektor pertanian terhadap penerimaan produksi secara menyeluruh, baik itu pada dirinya sendiri maupun pada sektor-sektor yang lain. Dalam konteks ini, sektor yang paling besar dampaknya terhadap kegiatan produksi secara menyeluruh dalam perekonomian masih dipegang oleh subsektor industri penggilingan padi yang mempunyai angka PM terbesar yakni 5.1515. Angka ini mengandung arti jika ada injeksi sebanyak 1 milyar rupiah pada neraca eksogen industri penggilingan padi maka diperkirakan penerimaan total produksi dalam perekonomian akan bertambah sebesar 5.1515 milyar rupiah yang terdistribusi pada perubahan pendapatan sektornya sendiri sebesar 1.1201 milyar rupiah dan pendapatan sektor-sektor produksi lain sebesar 4.0314 milyar rupiah. Setelah industri penggilingan, subsektor berikutnya yang juga menonjol dalam memberi efek terbesar terhadap perubahan pendapatan sektor-sektor produksi adalah industri pemotongan ternak yang memiliki angka PM sebesar 4.6693, dan subsektor tebu sebesar 4.5620. Seperti halnya dengan angka multiplier sebelumnya, untuk sektor-sektor produksi yang bukan berbasis pertanian tampak lebih rendah peranannya terhadap kegiatan produksi dalam perekonomian secara menyeluruh. Indikasinya dapat diperhatikan pada besaran PM sektor-sektor tersebut yang lebih kecil dibandingkan sektor produksi berbasis pertanian. Untuk sektor pertanian dan agroindustri masing-masing angka PM sebesar 4.2105 dan 4.3752 sedangkan sektor pertambangan memiliki angka PM sebesar 3.3286, sektor industri nonpertanian sebesar 3.7728, dan sektor jasa-jasa sebesar 3.6520.
123
Berdasarkan angka multiplier total (GM) yang menggambarkan dampak suatu sektor terhadap perekonomian secara keseluruhan, maka sektor produksi yang paling tinggi dampaknya terhadap perekonomian Indonesia saat ini adalah industri penggilingan padi yang mempunyai angka GM sebesar 9.8824, dimana dampaknya paling besar terlihat pada perubahan pendapatan sektor-sektor produksi. Kemudian komoditi padi yang memiliki angka GM sebesar 9,5027, yang mana pengaruhnya dalam perekonomian paling banyak terasa dalam perubahan nilai tambah dan pendapatan rumahtangga. Pengaruh dari sektor-sektor pertanian yang lain dalam perekonomian Indonesia juga terlihat cukup baik, terkecuali komoditi kelapa sawit yang terlihat paling rendah. Subsektor ini membawa pengaruh terhadap total perekonomian Indonesia hanya sebesar angka multiplier 6.9957, dengan kata lain dampak injeksi neraca eksogen sebesar 1 milyar rupiah pada komoditi kelapa sawit hanya bisa membawa perubahan pendapatan total perekonomian sebesar 6.9957 milyar rupiah, sementara sektor pertanian yang lain bisa memberi dampaknya diantara 7.3724 – 9.8824 milyar rupiah. Jika dilihat berdasarkan angka total angka pengganda/multiplier (GM), secara rata-rata peranan sektor pertanian dan agroindustri dalam perekonomian Indonesia masih jauh lebih besar dibandingkan sektor pertambangan, industri non pertanian dan jasa. Seperti yang disajikan pada Gambar 11, angka GM sektor pertanian dan agroindustri masing-masing sebesar 8.4605 dan 8.1894. Sementara untuk sektor pertambangan sebesar 6.7638, sektor industri nonpertanian sebesar 6.8609, dan terakhir sektor jasa sebesar 7.1972. Untuk melihat peran penting sektor pertanian dibanding dengan sektor lain
124
dapat dilakukan juga dengan membuat peringkat atau ranking terhadap masingmasing subsektor berdasarkan angka multiplier sebagaimana yang disajikan pada tabel 23, dimana angka multiplier yang paling besar pertama diberi nomor urut 1, kemudian terbesar kedua diberi nomor urut 2, terbesar ketiga nomor urut 3, dan seterusnya hingga multiplier yang paling kecil dengan nomor urut 27, maka dapat ditentukan sektor-sektor mana saja yang paling berperan dalam perekonomian Indonesia, baik itu dilihat dari nilai tambah, pendapatan rumahtangga, keterkaitan antarsektor maupun perekonomian secara menyeluruh. Perhatikan Tabel 25 berikut ini. Tabel 25. Ranking Sektor-Sektor Ekonomi Berdasarkan Multiplier SNSE Sektor Produksi
Rank
VM
HM
FM
OSM
PM
GM
VM
Total
Padi
1
1
22
4
4
2
1
35
2
Jagung
5
5
16
7
11
6
5
55
5
Pertanian tanaman pangan lainnya
4
4
23
9
10
5
4
59
7
3
3
19
3
3
3
3
37
3
20
20
9
22
21
22
20
134
21
Pertanian perkebunan lainnya
6
6
24
10
14
10
6
76
10
Industri pemotongan ternak
7
7
10
2
2
4
7
39
4
Peternakan dan hasil-hasilnya
8
9
13
6
7
7
8
58
6
11
14
4
20
20
15
11
95
13
9
11
5
16
18
12
9
80
12
Pertamb batubara, bijih logam, minyak gas bumi
24
26
2
27
27
27
24
157
24
Pertamb dan penggalian lainnya
15
12
21
17
19
17
15
116
20
Tebu Kelapa sawit
Kehutanan dan perburuan Perikanan
Ind makanan, minuman dan tembakau
16
15
25
14
12
13
16
111
17
Ind minyak dan lemak
17
21
3
18
15
18
17
109
16
Ind penggilingan padi
2
2
17
1
1
1
2
26
1
Ind tepung segala jenis
14
16
7
13
5
9
14
78
11
Ind gula
22
17
27
12
16
21
22
137
22 18
Ind pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit
19
18
11
21
9
14
19
111
Ind kayu, barang dari kayu
13
13
8
8
8
11
13
74
8
Ind kertas, percetakan; alat angk; barang logam
27
27
26
24
24
26
27
181
27
Ind kimia, pupuk; hsl dr tanah liat&semen; lgm dsr
26
25
20
26
25
25
26
173
26
Konstruksi
21
19
12
5
13
16
21
107
15
Listrik, gas dan air minum
18
22
1
19
17
20
18
115
19
Perdagangan, hotel dan restoran
12
10
15
11
22
19
12
101
14
Pengangkutan dan komunikasi
25
24
14
23
23
23
25
157
25
Keuangan, jasa perusahaan, real estate
23
23
6
25
26
24
23
150
23
Jasa-jasa
10
8
18
15
6
8
10
75
9
125
Berdasarkan ranking multiplier yang dipaparkan pada Tabel 25, terlihat jelas bahwa peranan sektor-sektor pertanian dan agroindustri dalam perekonomian Indonesia saat ini masih lebih besar dibandingkan sektor-sektor non pertanian. Sebagai indikatornya dapat dilihat bahwa ada 9 subsektor berbasis pertanian yang mempunyai ranking 10 terbaik, yakni padi dengan nilai 35 berada pada rank 2, Jagung nilai 55 rank 5, pertanian tanaman pangan lainnya nilai 59 rank 7, tebu nilai 37 rank 3, pertanian perkebunan lainnya nilai 76 rank 10, Industri pemotongan ternak nilai 39 rank 4, peternakan dan hasil-hasilnya nilai 58 rank 6, industri penggilingan padi nilai 26 rank 1, dan industri kayu, barang dari kayu nilai 74 rank 8 dan hanya satu subsektor di luar basis pertanian yang masuk dalam 10 besar yaitu subsektor jasa-jasa berada pada rank 9. Berdasarkan temuan ini maka sudah sepatutnya pemerintah lebih memfokuskan pembangunan ekonomi tersebut kepada pengembangan Agriculture and Agro-industry Based Development (AABD). Penting sekali bagi pemerintah untuk mempromosikan AABD ini sebagai motor penggerak perekonomian nasional baik itu kepada DPR maupun masyarakat secara menyeluruh. Alasan obyektif yang melandasi gagasan AABD, karena model pembangunan ini memiliki fungsi yang luas dan besar yang mampu berperan sebagai mesin pengerak pembangunan yang tangguh dan dinamis, yaitu mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga, nilai tambah perekonomian, integrasi sektoral dan produksi dalam perekonomian. Analisis multiplier SNSE telah menunjukkan bukti-bukti tersebut. Pembangunan ekonomi dengan model AABD merupakan pembangunan yang bersifat menyeluruh, ini artinya pelaku AABD tidak bisa hanya pemerintah saja, tetapi juga harus melibatkan petani dan swasta. Selain itu, yang terpenting
126
juga pelaksanaannya harus bersifat lintas sektoral, sehingga keterlibatan dan keterkaitan antar wilayah sangat dibutuhkan guna menunjang keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian dan agroindustri. 6.2. Dampak Sektor Pertanian terhadap Pendapatan Tenaga Kerja dan Modal, Rumahtangga dan Sektor-Sektor Produksi Dalam ulasan di atas dampak sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya dilihat secara agregat, sehingga tidak dapat menunjukkan siapa saja yang paling besar menerima dampak multiplier tersebut. Guna menelusuri hal ini maka multiplier total yang telah dihitung perlu didisagregasi kedalam kelompok-kelompok penerima yang lebih rinci. Untuk dampaknya terhadap nilai tambah akan di bagi kepada pendapatan tenaga kerja pertanian dan non pertanian, baik itu di desa maupun kota, dan dampaknya terhadap pendapatan modal. Tabel 26. Disagregasi Dampak Multiplier Sektor Pertanian terhadap Nilai Tambah
Sektor Pertanian
Kode
Tenaga Kerja Pertanian
Tenaga Kerja Non Pertanian
Desa
Kota
Desa
Kota
Kapital
Nilai Tambah
2.4309
Padi
13
0.9866
0.1257
0.1942
0.4578
0.6667
Jagung
14
0.7310
0.0831
0.2020
0.4836
0.6835
2.1832
Pertanian tanaman pangan lainnya
15
0.7750
0.0933
0.2062
0.4924
0.6444
2.2112
Tebu
16
0.7518
0.1488
0.2281
0.5000
0.6779
2.3065
Kelapa sawit
17
0.4344
0.0455
0.1453
0.3375
0.7410
1.7037
Pertanian perkebunan lainnya
18
0.7038
0.0803
0.2004
0.4377
0.6398
2.0622
Industri pemotongan ternak
19
0.4918
0.0803
0.2188
0.5019
0.7404
2.0333 1.9854
Peternakan dan hasil-hasilnya
20
0.4821
0.0756
0.2181
0.4915
0.7181
Kehutanan dan perburuan
21
0.3691
0.0750
0.2085
0.4341
0.8792
1.9659
Perikanan
22
0.3767
0.0991
0.1931
0.4620
0.8529
1.9838
Industri makanan, minuman dan tembakau
25
0.2965
0.0433
0.2523
0.5724
0.6332
1.7977
Industri minyak dan lemak
26
0.2828
0.0341
0.1739
0.3951
0.8922
1.7780
Industri penggilingan padi
27
0.7707
0.0990
0.2418
0.5246
0.6831
2.3191
Industri tepung segala jenis
28
0.3096
0.0403
0.2163
0.4843
0.8467
1.8972
Industri gula
29
0.3709
0.0676
0.2295
0.4595
0.5203
1.6478
Industri pemintalan, tekstil, pakaian, kulit
30
0.2075
0.0284
0.2224
0.5530
0.7214
1.7328
Industri kayu, barang-barang dari kayu
31
0.2299
0.0365
0.3113
0.5583
0.8165
1.9526
Sumber : data diolah
127
Sedangkan untuk dampaknya terhadap institusi rumahtangga didisagregasi menjadi beberapa kelompok penerima pendapatan yakni buruh tani, pengusaha tani, pengusaha golongan rendah dan atas baik di desa maupun kota. Terakhir, untuk dampaknya terhadap pendapatan sektor-sektor produksi akan dirinci ke dalam 27 sektor produksi. Pertama kali kita mengkaji dampak sektor pertanian terhadap pendapatan faktor-faktor produksi yang akan menciptakan nilai tambah dalam perekonomian. Berdasarkan Tabel 26 terlihat jelas bahwa sektor produksi yang paling banyak memberi dampak terhadap kenaikan pendapatan tenaga kerja pertanian di desa adalah subsektor padi, pertanian tanaman pangan lainnya, dan industri penggilingan padi. Masing-masing memiliki angka multiplier sebesar 0.9866, 0.7750 dan 0.7707. Angka multiplier sebesar 0.9866 untuk tenaga kerja pertanian di desa mengandung arti bila neraca eksogen subsektor padi diinjeksi sebanyak 1 milyar rupiah maka pendapatan tenaga kerja pertanian di desa akan naik sebanyak 0.9866 milyar rupiah. Akan tetapi untuk pendapatan tenaga kerja pertanian di kota keadaan menjadi berbeda, tampak jelas subsektor tebu sekarang yang menjadi sektor produksi paling banyak memberi efek multipliernya yakni sebesar 0.1488, atau untuk setiap injeksi sebesar 1 milyar rupiah pada neraca eksogen subsektor tebu diperkirakan mampu menaikkan pendapatan tenaga kerja pertanian di kota sebesar 0.1488 milyar rupiah. Setelah tebu, subsektor berikutnya yang paling tinggi memberi efek terhadap pendapatan tenaga kerja ini adalah subsektor padi sebesar 0.1257 dan terakhir penggilingan padi yakni sebesar 0.0991.
128
Sesuai dengan karakteristiknya, sudah tentu sektor-sektor industri pertanian memberi dampak multiplier paling besar terhadap tenaga kerja non pertanian dibandingkan sektor-sektor pertanian. Pola semacam ini telah ditunjukkan pada Tabel 26 di atas, dimana kelihatan bahwa hampir seluruh industri berbasis pertanian mendominasi dampak multiplier terbesar terhadap perubahan pendapatan tenaga kerja non pertanian baik di desa maupun di kota. Untuk tenaga kerja non pertanian di desa, sektor produksi yang paling tinggi memberi dampak multiplier adalah industri kayu dan barang-barang dari kayu, dengan angka multiplier sebesar 0.3113, yang berarti untuk setiap injeksi sebesar 1 milyar rupiah pada neraca eksogennya akan menaikkan pendapatan tenaga kerja pertanian, sebesar 0.3113 milyar rupiah. Setelah itu menyusul industri makanan, minuman dan tembakau sebesar 0.2523, serta industri penggilingan padi sebesar 0.2418. Industri gula meskipun saat ini sedang diambang kehancuran, namun terindikasi masih lebih baik memberi efek multiplier terhadap pendapatan tenaga kerja non pertanian di daerah perdesaan dibandingkan industri minyak dan lemak, serta industri tepung. Industri gula mampu memberi
efek multiplier sebesar
0.2295, sementara industri minyak dan industri tepung masing-masing hanya sebesar 0.1739 dan 0.2163. Adapun untuk daerah perkotaan, sepertinya sektor produksi yang paling besar pengaruhnya terhadap perubahan pendapatan tenaga kerja non pertanian adalah industri makanan, minuman dan tembakau, yang diindikasikan melalui angka multipliernya sebesar 0.5724. Angka ini mengandung arti bahwa jika neraca eksogen industri makanan, minuman dan tembakau diinjeksi sebanyak 1 milyar rupiah maka pendapatan tenaga kerja non pertanian di kota akan meningkat
129
sebesar 0.5721 milyar rupiah. Termasuk yang paling besar juga memberi dampak multiplier terhadap kelompok tenaga kerja ini adalah industri industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit, dan industri kayu, barang-barang dari kayu. Masingmasing mempunyai angka multiplier sebesar 0.5530 dan 0.5583. Dalam komposisi nilai tambah yang terakhir yaitu modal, kelihatan jelas bahwa perimbangan efek yang diberikan oleh sektor-sektor pertanian primer dengan industri pertanian relatif sama jika diperhatikan secara keseluruhan. Namun bila dilihat secara sektoral, tampak ada tiga sektor produksi yang paling mencolok memberi efek multipliernya terhadap perubahan pendapatan modal. Ketiganya adalah subsektor industri minyak dan lemak, subsektor perikanan, dan subsektor kehutanan dan perburuan. Paling tinggi multipliernya adalah industri minyak dan lemak yakni sebesar 0.8922, kemudian sektor kehutanan dan perburuan sebesar 0.8792 dan terakhir sektor perikanan sebesar 0.8529. Angka multiplier sebesar 0.8922 pada industri minyak dan lemak menunjukkan bahwa jika neraca eksogen pada industri tersebut menerima injeksi sebesar 1 milyar rupiah maka memberi efek kenaikan terhadap pendapatan modal sebesar 0.8922 milyar rupiah. Fenomena lainnya yang bisa dipotret melalui perhitungan disagregasi angka multiplier yang disajikan pada Tabel 25 adalah mengenai pola penyebaran efek multiplier terhadap komponen-komponen nilai tambah dari berbagai sektor pertanian. Dalam konteks ini kelihatan bahwa terdapat lima sektor produksi pertanian primer yang mendistribusikan efek multipliernya lebih besar terhadap pendapatan tenaga kerja pertanian dibandingkan pendapatan modal. Kelima sektor pertanian tersebut adalah subsektor padi, jagung, tanaman pangan lainnya, tebu,
130
dan pertanian perkebunan lainnya. Sementara untuk subsektor kelapa sawit, pemotongan ternak, peternakan dan hasil-hasilnya, serta kehutanan dan perburuan, lebih banyak memberi efek multipier kepada pendapatan modal dibandingkan tenaga kerja pertanian. Adapun untuk kelompok sektor industri pertanian, hampir semuanya memberi dampak lebih besar terhadap pendapatan modal ketimbang pendapatan tenaga kerja, terkecuali industri penggilingan padi yang terlihat lebih banyak memancarkan efeknya kepada tenaga kerja pertanian. Setelah nilai tambah, disagregasi dampak multiplier berikutnya yang menarik untuk dipelajari adalah multiplier pendapatan rumahtangga sebagaimana yang disajikan pada Tabel 27. Melalui analisis multiplier yang lebih rinci ini kita dapat mengetahui dengan jelas sektor-sektor pertanian apa saja yang dapat Tabel 27. Disagregasi Dampak Multiplier Sektor Pertanian terhadap Pendapatan Rumahtangga Rumahtangga di Perdesaan Golongan Rendah Atas
Rumahtangga di Perkotaan Golongan Rendah Atas
0.8484
0.2993
0.2063
0.3404
0.3210
2.1742
0.6657
0.2681
0.1779
0.3408
0.3229
1.9021
Kode
Buruh Tani
Pengusaha Tani
Padi
13
0.1588
Jagung
14
0.1268
Sektor Pertanian
HM
Pertanian tanm pgn lain
15
0.1334
0.6964
0.2740
0.1821
0.3439
0.3253
1.9550
Tebu
16
0.1517
0.7008
0.2855
0.1866
0.3644
0.3469
2.0359
Kelapa sawit
17
0.0837
0.4347
0.1975
0.1307
0.2628
0.2512
1.3606
Pertanian perkebunan lain
18
0.1216
0.6381
0.2597
0.1716
0.3129
0.2961
1.8000
Industri pemotongan ternak
19
0.1099
0.5084
0.2472
0.1560
0.3519
03361
1.7096
Peternakan & hasil-hasilnya
20
0.1069
0.4975
0.2436
0.1533
0.3432
0.3276
1.6721
Kehutanan dan perburuan
21
0.0983
0.4279
0.2334
0.1462
0.3313
0.3185
1.5556
.Perikanan
22
0.1055
0.4358
0.2248
0.1420
0.3476
0.3347
1.5903
Ind makan, minum & temb
25
0.0856
0.3651
0.2299
0.1343
0.3628
0.3465
1.5242
Indi minyak dan lemak
26
0.0748
0.3504
0.2026
0.1278
0.3025
0.2910
1.3491
Ind penggilingan padi
27
0.1394
0.7070
0.2957
0.1925
0.3654
0.3461
2.0460
Ind tepung segala jenis
28
0.0841
0.3805
0.2269
0.1390
0.3428
0.3288
1.5022
Ind gula
29
0.0921
0.3989
0.2192
0.1313
0.3027
0.2885
1.4328
Ind kain, tekstil, pakn & kulit
30
0.0725
0.3014
0.2071
0.1211
0.3580
0.3431
1.4031
Ind kayu, barang dr kayu
31
0.0860
0.3436
0.2652
0.1508
0.3743
0.3585
1.5783
Sumber : data diolah
131
menjadi tumpuan bagi perubahan pendapatan rumahtangga yang tergolong rendah. Jika pemikiran ini yang menjadi fokus pembahasan, hasilnya ternyata kurang begitu baik. Oleh karena untuk semua sektor pertanian, ternyata satu pun tidak ada bisa membantu kenaikan pendapatan rumahtangga buruh tani dan rumahtangga golongan rendah di perdesaan yang umumnya masuk dalam kelompok penduduk miskin. Seluruh sektor ekonomi yang berbasis pertanian tampak memberi dampak lebih besar terhadap perubahan pendapatan pengusaha tani yang bisa digolongkan sebagai penduduk mampu, dengan angka miltiplier rata-rata sebesar 0.5118 per sektor. Ini berarti untuk rata-rata injeksi sebesar satu milyar rupiah pada neraca eksogen sektor pertanian akan menaikkan pendapatan pengusaha tani rata-rata sebesar 0.5118 milyar rupiah. Sementara pendapatan buruh tani dan rumahtangga perdesaan golongan rendah masing-masing hanya bertambah sebanyak 0.1077 milyar rupiah dan 0.2459 milyar rupiah untuk setiap injeksi yang sama pada neraca eksogennya. Jelas kondisi obyektif semacam ini telah menunjukkan bahwa keberpihakan sektor pertanian terhadap penduduk perdesaan yang tergolong miskin masih sangat rendah. Meskipun ada indikasi sebelumnya bahwa sektor-sektor pertanian, khususnya pertanian primer, lebih banyak kontribusinya terhadap perubahan pendapatan tenaga kerja pertanian, namun karena ada saluran pendapatan yang tersumbat akhirnya surplus pendapatan yang diterima tenaga kerja pertanian tersebut tidak dapat ditransmisikan dengan baik ke pendapatan rumahtangga yang tergolong rendah. Terlepas dari berbagai fakta empiris di atas, bila kita telusuri secara individu terlihat jelas bahwa sektor pertanian yang paling besar memberi efek multiplier terhadap perubahan pendapatan buruh tani adalah subsektor padi, tebu
132
dan tanaman pangan lainnya. Subsektor padi memiliki angka multiplier untuk pendapatan buruh tani sebesar 0.1588, yang dapat diartikan bila neraca eksogen komoditi padi dinaikkan sebanyak 1 milyar rupiah maka pendapatan buruh tani akan meningkat sebesar 0.1588 milyar rupiah. Selanjutnya subsektor tebu yang memiliki angka multiplier sebesar 0.1517 dan terakhir subsektor tanaman pangan lainnya sebesar 0.1334. Adapun sektor pertanian yang paling menonjol memberi efeknya terhadap perubahan pendapatan pengusaha tani (petani pemilik lahan atau modal) adalah subsektor padi, industri penggilingan padi, dan tanaman pangan lainnya, masingmasing dengan angka multiplier sebesar 0.8484, 0.7070 dan 0.6964. Angka multiplier sebesar 0.8484 pada subsektor padi menunjukkan bahwa jika terdapat injeksi sebesar 1 milyar rupiah pada neraca eksogen subsektor padi maka pendapatan pengusaha tani akan meningkat sebesar 0.8484 milyar rupiah. Dari dua keadaan yang dipaparkan di atas, tampak jelas bahwa yang lebih banyak menikmati surplus pendapatan dari peningkatan produksi komoditi padi selama ini adalah para petani pemilik modal ketimbang buruh tani dan rumahtangga golongan rendah di perdesaan. Petani pemilik modal menerima efek multiplier dari komoditi padi sebesar 0.8484, sedangkan buruh tani dan rumahtangga golongan rendah di perdesaan masing-masing hanya sebesar 0.1588 dan 0.2993. Terdapatnya perbedaan yang kontras ini memberi suatu indikasi bahwa selama ini bargaining power buruh tani dalam pasar masih lemah jika berhadapan dengan petani pemilik modal. Lebih dari 60 persen penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dimana dari jumlah penduduk sebanyak itu, sekitar 60 persen yang hidupnya bergantung pada
133
kegiatan pertanian dan sisanya 40 persen hidup dari kegiatan non pertanian. Pembangunan pertanian yang dijalankan selama ini tampaknya belum berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat perdesaan. Indikatornya, sampai kini masih terlihat adanya disparitas spasial antara kota dan desa. Sebagaimana yang dipaparkan dalam Tabel 27, dampak pembangunan sektor pertanian lebih banyak dinikmati oleh penduduk yang tinggal di perkotaan dibandingkan penduduk perdesaan. Kondisi ini tercermin pada nilai rata-rata multiplier sektor pertanian untuk rumahtangga yang berada di perdesaan dan perkotaan. Pada daerah perdesaan, efek multiplier sektor pertanian terhadap pendapatan rumahtangga rata-rata
diantara 0.1559 sampai dengan 0.2459. Sementara di perkotaan,
multiplier pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian rata-rata bisa mencapai 0.3225 sampai dengan 0.3381. Secara teoritis konsumsi rumahtangga termasuk salah satu variabel makroekonomi pembentuk pendapatan nasional. Besar kecilnya jumlah konsumsi rumahtangga sangat menentukan pertumbuhan sektor-sektor produksi, dimana semakin tinggi konsumsi maka semakin tinggi pertumbuhan produksi. Di negara Inonesia bahkan kontribusi konsumsi terhadap penciptaan pendapatan nasional sangat dominan, sehingga perkembangan perekonomian Indonesia sangat ditentukan besar kecilnya konsumsi. Matriks SNSE mampu memotret kecenderungan tersebut secara komprehensif, dimana konsumsi rumahtangga tidak saja didisagregasi terhadap sektor-sektor produksi, namun dirinci juga berdasarkan kelompok rumahtangga. Analisis SNSE yang lazim digunakan untuk mengamati dampak dari perubahan konsumsi rumahtangga terhadap pertumbuhan
134
sektor-sektor produksi adalah analisis multiplier pendapatan rumahtangga terhadap sektor atau household income multipliers by sector. Berdasarkan angka multiplier konsumsi rumahtangga yang disajikan pada Tabel 28, terlihat bahwa kelompok rumahtangga yang berpendapatan rendah paling besar memberi kontribusi terhadap kenaikan pendapatan sektor pertanian. Terutama sekali untuk komoditi tanaman pangan, efek multiplier dari rumahtangga pendapatan rendah di desa paling tinggi yakni sebesar 0.3632, yang berarti jika terjadi kenaikan konsumsi pada rumahtangga tersebut sebanyak 1 milyar rupiah, maka penerimaan sektor tanaman pangan akan naik sebanyak 0.3632 milyar rupiah. Keadaan yang sama juga terlihat pada rumahtangga berpendapatan rendah di perkotaan yang lebih banyak memberi efek multipliernya terhadap subsektor tanaman pangan, yakni sebesar 0.3466. Subsektor tanaman pangan dianggap paling banyak memperoleh manfaat ketika terjadi kenaikan pendapatan rumahtangga di perdesaan. Berdasarkan konsep pemikiran tersebut, serta multiplier yang disajikan dalam Tabel 28, ada kesan sementara ini bahwa kehidupan rumahtangga di negara kita umumnya belum mapan, oleh karena pola konsumsinya lebih cenderung kepada pemenuhan kebutuhan primer. Indikasinya dapat diperhatikan pada multiplier konsumsi rumahtangga untuk komoditi pertanian primer yang kelihatan lebih besar dibandingkan konsumsi terhadap barang-barang industri pertanian. Rata-rata multiplier konsumsi terhadap komoditi pertanian primer untuk semua kelompok rumahtangga berkisar diantara 0.1200 yang paling rendah dan 0.1580 yang paling tinggi. Sedangkan untuk komoditi industri pertanian, multiplier
135
konsumsi rumahtangga yang berhasil dihitung diantara 0.1099 paling rendah dan 0.1294 paling tinggi. Tabel 28. Dampak Konsumsi Rumahtangga terhadap Pendapatan Sektor Pertanian Buruh Tani
Sektor Produksi
Pengusaha Tani
Pengusaha gol. Rendah Desa
Pengusaha gol. Atas Desa
Pengusaha gol. Rendah Kota
Pengusaha gol. Atas Kota
Padi
0.0887
0.0889
0.0983
0.0867
0.1046
0.0945
Jagung
0.0406
0.0373
0.0431
0.0348
0.0428
0.0357
Pertanian tanm pgn lain
0.2240
0.1882
0.2069
0.1532
0.1891
0.1707
Tebu
0.0090
0.0082
0.0088
0.0082
0.0101
0.0090
Kelapa sawit
0.0144
0.0152
0.0164
0.0143
0.0179
0.0165
Pertanian perkebunan lain
0.0752
0.0679
0.0710
0.0612
0.0687
0.0612
Industri pemotongan ternak
0.0604
0.0504
0.0517
0.0449
0.0503
0.0436
Peternakan & hasil-hasilnya
0.1462
0.1154
0.1194
0.0980
0.1106
0.0950
Kehutanan dan perburuan
0.0140
0.0116
0.0114
0.0099
0.0105
0.0096
Perikanan
0.1174
0.1044
0.1084
0.0888
0.1009
0.0875
Ind makan, minum & temb
0.3404
0.3427
0.3762
0.3318
0.4001
0.3584
Indi minyak dan lemak
0.0573
0.0607
0.0654
0.0570
0.0718
0.0659
Ind penggilingan padi
0.1087
0.1102
0.1222
0.1080
0.1309
0.1183
Ind tepung segala jenis
0.0938
0.0936
0.1033
0.0914
0.1107
0.1011
Ind gula
0.0228
0.0210
0.0227
0.0212
0.0260
0.0232
Ind kain, tekstil, pakn & kulit
0.2499
0.2005
0.1922
0.1610
0.1730
0.1510
Ind kayu, barang dr kayu
0.0241
0.0200
0.0202
0.0171
0.0182
0.0167
Total
1.6869
1.5362
1.6376
1.3875
1.6362
1.4579
Sumber : data diolah
Pada ulasan OSM sebelumnya telah ditunjukkan bahwa sektor pertanian yang memiliki keterkaitan ke belakang paling kuat dalam perekonomian Indonesia adalah subsektor industri penggilingan padi (27), subsektor industri pemotongan ternak (19) dan subsektor tebu (16). Dalam analisis berikut ini akan dijabarkan kemana
saja
dampak
pembangunan
ketiga
sektor
pertanian
tersebut
didistribusikan ke sektor-sektor produksi lain. Untuk hal itu angka OSM telah didisagregasi ke dalam sektor-sektor, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 28. Terlebih dahulu kita akan mengulas angka OSM industri penggilingan padi. Dalam Tabel 29 kelihatan nyata bahwa dampak peningkatan neraca eksogen industri penggilingan padi sebesar 1 milyar rupiah paling banyak diserap oleh
136
subsektor padi yakni 0.8613 milyar rupiah, kemudian subsektor industri kimia, pupuk, hasil-hasil dari tanah liat dan semen, dan logam dasar (33) sebesar 0.4393 milyar rupiah, subsektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya (32) sebesar 0.3237 milyar rupiah, subsektor jasa-jasa (39) sebesar 0.3151 milyar rupiah dan terakhir subsektor industri makanan dan minuman (25) sebesar 0.3119 milyar rupiah. Selanjutnya untuk dampak injeksi neraca eksogen pada industri pemotongan ternak sebanyak 1 milyar rupiah, terdeteksi bahwa yang paling banyak menerimanya pertama kali adalah subsektor peternakan dan hasilnya (20) yaitu sebesar 0.6031 milyar rupiah, menyusul kemudian subsektor industri makanan, minuman dan tembakau (25) sebesar 0.4176 milyar rupiah, subsektor industri kimia, pupuk, hasil-hasil dari tanah liat dan semen, dan logam dasar (33) sebesar 0.3572 milyar rupiah, subsektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya (32) sebesar 0.2806 milyar rupiah dan sektor jasa-jasa (39) sebesar 0.2699 milyar rupiah. Adapun dampak injeksi pada neraca eksogen sebesar 1 milyar rupiah untuk komoditi tebu ternyata paling banyak diserap oleh subsektor industri kimia, pupuk, hasil-hasil dari tanah liat dan semen dan logam dasar (32) sebanyak 0.5555 milyar rupiah, subsektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya (32) sebesar 0.3417 milyar rupiah, jasa-jasa (39) sebesar 0.3341 milyar rupiah, industri makanan, minuman dan tembakau (25) sebesar 0.3080 milyar rupiah dan terakhir subsektor jasa keuangan, perusahaan, dan real estate (38) sebesar 0.2965 milyar rupiah.
137
Tabel 29. Disagregasi Multiplier Produksi Sektor Pertanian Kode
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
25
26
27
28
29
30
31
13
1.1691
0.0799
0.0816
0.0817
0.0561
0.0880
0.0914
0.1076
0.0659
0.0717
0.0802
0.0604
0.8613
0.0760
0.0619
0.0632
0.0698
14
0.0354
1.0894
0.0331
0.0336
0.0230
0.0340
0.0440
0.0588
0.0264
0.0314
0.0976
0.0295
0.0345
0.0684
0.0258
0.0254
0.0279
15
0.1745
0.1602
1.2002
0.1663
0.1099
0.1488
0.1588
0.1682
0.1290
0.1383
0.1802
0.1164
0.1700
0.3020
0.1265
0.1212
0.1355
16
0.0078
0.0071
0.0073
1,0584
0.0051
0.0067
0.0075
0.0083
0.0059
0.0063
0.0089
0.0053
0.0076
0.0084
0.3910
0.0056
0.0062
17
0.0142
0.0127
0.0130
0.0136
1.0233
0.0120
0.0119
0.0119
0.0106
0.0110
0.0125
0.2951
0.0136
0.0129
0.0099
0.0100
0.0111
18
0.0995
0.0627
0.0584
0.0661
0.1339
1.1123
0.0591
0.0666
0.0862
0.0966
0.0863
0.1426
0.0875
0.0535
0.0571
0.1102
0.0611
19
0.0469
0.0450
0.0463
0.0455
0.0297
0.0406
1.0443
0.0433
0.0359
0.0397
0.0501
0.0329
0.0462
0.0395
0.0344
0.0396
0.0392
20
0.1149
0.1232
0.1207
0.1035
0.0745
0.1190
0.6031
1.1361
0.0813
0.0908
0.1187
0.0856
0.1103
0.0971
0.0777
0.0799
0.0856
21
0.0108
0.0095
0.0097
0.0114
0.0073
0.0095
0.0086
0.0085
1.0136
0.0085
0.0082
0.0092
0.0101
0.0075
0.0076
0.0237
0.1957
22
0.0951
0.0851
0.0875
0.0891
0.0588
0.0801
0.0881
0.0987
0.0677
1.1250
0.1592
0.0596
0.0899
0.0724
0.0634
0.0612
0.0690
23
0.0906
0.0812
0.0800
0.0998
0.0693
0.0833
0.0740
0.0734
0.0667
0.0706
0.0796
0.0644
0.0859
0.0675
0.0691
0.0848
0.0847
24
0.0046
0.0042
0.0042
0.0056
0.0036
0.0042
0.0038
0.0038
0.0039
0.0037
0.0039
0.0033
0.0044
0.0035
0.0049
0.0036
0.0040
25
0.3230
0.2988
0.3046
0.3080
0.2102
0.2850
0.4176
0.5660
0.2440
0.2925
1.3680
0.2213
0.3119
0.2913
0.2275
0.2298
0.2555
26
0.0562
0.0504
0.0516
0.0536
0.0362
0.0474
0.0472
0.0471
0.0420
0.0435
0.0485
1.2257
0.0539
0.0515
0.0391
0.0393
0.0437
27
0.1041
0.0983
0.1007
0.1012
0.0677
0,0901
0.0975
0.1006
0.0811
0.0881
0.0983
0.0728
1.1201
0.0932
0.0766
0.0772
0.0865
28
0.0887
0.0841
0.0861
0.0867
0.0579
0.0771
0.0838
0.0869
0.0694
0.0757
0.1138
0.0628
0.0880
1.5652
0.1127
0.0956
0.0927
29
0.0200
0.0182
0.0187
0.0193
0.0130
0.0171
0.0178
0.0184
0.0152
0.0161
0.0229
0.0135
0.0194
0.0216
1.0214
0.0144
0.0160
30
0.1808
0.1582
0.1630
0.1701
0.1124
0.1506
0.1398
0.1361
0.1272
0.1308
0.1225
0.1088
0.1684
0.1230
0.1187
1.6559
0.1353
31
0.0184
0.0166
0.0172
0.0188
0.0119
0.0160
0.0150
0.0146
0.0138
0.0146
0.0136
0.0263
0.0175
0.0133
0.0130
0.0132
1.2009
33
0.4698
0.4113
0.3947
0.5555
0.3927
0.4479
0.3572
0.3543
0.3366
0.3559
0.3595
0.3400
0.4393
0.3312
0.3619
0.4207
0.4277
32
0.3389
0,3064
0.3137
0.3417
0.2342
0.2933
0.2806
0.2751
0.2757
0.2776
0.2698
0.2268
0.3237
0.2573
0.2468
0.2476
0.2872
34
0.0176
0.0186
0.0184
0.0418
0.0197
0.0196
0.0173
0.0166
0.0255
0.0174
0.0168
0.0163
0.0181
0.0163
0.0233
0.0158
0.0189
35
0.0699
0.0647
0.0661
0.0686
0.0461
0.0605
0.0611
0.0581
0.0534
0.0561
0.0576
0.0483
0.0676
0.0557
0.0501
0.0707
0.0664
36
0.1796
0.2419
0.2477
0.2043
0.1220
0.1841
0.2473
0.2260
0.1841
0.2449
0.2366
0.1874
0.2182
0.2424
0.1977
0.2016
0.2287
37
0.1885
0.1749
0.1789
0.1872
0.1254
0.1632
0.1627
0.1566
0.1459
0.1516
0.1523
0.1345
0.1827
0.1523
0.1367
0.1417
0.1663
38
0.2903
0.2772
0.2827
0.2965
0.1927
0.2530
0.2600
0.2497
0.2336
0.2490
0.2453
0.2101
0.2865
0.2416
0.2214
0.2343
0.2633
39
0.3314
0.2960
0.3014
0.3341
0.2983
0.3027
0.2699
0.2625
0.3328
0.2540
0.2445
0.2406
0.151
0.2392
0.2369
0.2263
0.2718
137
138
Sudah seharusnya memang subsektor industri penggilingan padi akan lebih banyak memberi dampak terhadap subsektor padi, oleh karena subsektor ini yang terkait paling erat dengan subsektor industri penggilingan padi. Demikian pula dengan industri pemotongan ternak, sudah pasti kaitannya kebelakang paling tinggi adalah dengan sektor peternakan. Namun untuk subsektor tebu situasinya menjadi sangat kontras, karena subsektor ini ternyata paling banyak memberi dampak pertama kali adalah pada subsektor industri kimia, pupuk, hasil-hasil dari tanah liat dan semen dan logam dasar. Sedangkan dengan subsektor industri gula yang seharusnya paling erat keterkaitannya karena tebu menjadi bahan baku industri, malah sangat lemah sebagaimana terlihat saat ini. Dalam Tabel 28 besarnya keterkaitan antara komoditi tebu dengan industri gula yang diindikatorkan melalui angka OSM komoditi tebu hanya sebesar 0.0193, menempati urutan paling bawah penerima dampak injeksi dari subsektor tebu. Melalui disagregasi multiplier produksi kita juga bisa melihat bagaimana tingkat keterbukaan suatu sektor pertanian dalam sistem perekonomian Indonesia. Untuk mendapat gambaran semacam ini bisa dilihat pada besaran angka sel matriks yang disajikan pada Tabel 28 secara diagonal. Dalam terminologi SNSE angka ini disebut owner multiplier (OM) yang menggambarkan seberapa besar dampak injeksi suatu sektor pertanian terhadap perubahan pendapatan produksi dirinya sendiri. Semakin rendah nilai OM suatu sektor pertanian berarti semakin terbuka sektor tersebut dengan sektor-sektor lainnya, begitu sebalinya bila angka OM terlihat tinggi. Jika ini yang menjadi tolok ukurnya maka dapat dikatakan bahwa terdapat 5 subsektor pertanian yang mempunyai tingkat keterbukaan tinggi dalam perekonomian karena memiliki OM paling rendah dalam interval
139
1.0136–1.0584. Kelima subsektor tersebut adalah kehutanan dan perburuan (21), industri gula (29), kelapa sawit (17), industri pemotongan ternak (19), dan tebu (16). Sedangkan subsektor pertanian yang memiliki tingkat keterbukaan sedang, dengan angka OM berkisar di antara 1.0894-1.1691 adalah jagung (14), pertanian perkebunan lainnya (18), industri penggilingan padi (27), perikanan (sektor 22), peternakan dan hasil-hasilnya (20) dan padi (13). Terakhir untuk subsektor pertanian yang tergolong paling rendah tingkat keterbukaannya adalah sektor pertanian tanaman pangan lainnya (15), industri kayu, barang-barang dari kayu (31), industri minyak dan lemak (26), industri makanan, minuman dan tembakau (25), industri tepung segala jenis (28) dan industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit (30). Seluruh subsektor ini memiliki angka OM berkisar diantara 1.2002 sampai dengan 1.6559. 6.3. Dekomposisi Multiplier Sektor Pertanian Telah dijelaskan sebelumnya bahwa angka multiplier dari suatu aktifitas produksi dapat di dekomposisi atau di pecah menjadi beberapa bagian yaitu initial injection (I), transfer multiplier (Ma1 – I), open loop multiplier [(Ma2 – I) Ma1], dan closed loop multiplier [(Ma2 – I) Ma1 . Ma2). Initial injection menjadi awal dari dampak yang dipancarkan oleh suatu aktifitas, besarannya sudah di tetapkan yaitu satu untuk setiap aktifitas. Selanjutnya, transfer multiplier (TM) menggambarkan bagaimana pengaruh injeksi awal tersebut pada suatu aktifitas terhadap aktifitas lain dalam satu blok yang sama setelah melalui keseluruhan sistem di dalam blok tersebut, sebelum berpengaruh terhadap blok yang lain. Kemudian open loop multiplier (OLM) atau cross-effect merupakan pengaruh dari satu blok ke blok yang lain. Injeksi pada salah satu sektor dalam sebuah blok tertentu akan
140
berpengaruh terhadap aktifitas lain di blok yang lain setelah melalui keseluruhan sistem dalam blok yang lain tersebut. Terakhir closed loop multiplier (CLM), yang menunjukkan bagaimana pengaruh dari suatu blok ke blok yang lain, untuk kemudian kembali pada blok semula. Apabila initial injection dijumlahkan dengan transfer multiplier, open loop multiplier dan closed loop multiplier akan diperoleh besaran total multiplier atau gross output multiplier untuk masingmasing sektor pertanian sesuai dengan bloknya. Seluruh multiplier yang disebutkan ini dapat dilihat lengkap pada Tabel 28. Pertama kali akan diulas mengenai transfer multiplier (TM). Oleh karena dalam pembahasan ini yang dibicarakan adalah mengenai aktifitas dari sektor pertanian yang berarti menyangkut masalah produksi, maka blok neraca endogen yang menjadi fokus pembahasan analisis TM adalah blok produksi. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa ada 5 subsektor pertanian yang mempunyai nilai TM paling besar dalam perekonomian Indonesia yakni subsektor industri tepung segala jenis (28) sebesar 1.2383, subsektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit (30) sebesar 1.1974, subsektor industri pemotongan ternak (19) sebesar 1.0902, subsektor industri penggilingan padi (27) sebesar 1.0639, dan subsektor industri minyak dan lemak (26) sebesar 1.0053. Angka TM sebesar 1.0639 untuk komoditi padi mengandung arti apabila dilakukan injeksi terhadap komoditi padi sebesar 1 milyar rupiah, maka permintaan output yang tercipta pada blok produksi dalam sistem perekonomian secara keseluruhan adalah sebanyak 1.0639 milyar rupiah. Dimana permintaan output yang paling besar diciptakan komoditi padi adalah permintaan industri pupuk (33) sebesar 0.0638 milyar rupiah dan subsektor perdagangan ( 36) sebesar 0.0152 (lihat tabel 30).
141
Tabel 30. Dekomposisi Multiplier Sektor Pertanian Effect
Account
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
25
26
27
28
29
30
31
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
2
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
3
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
4
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
5
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
6
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
7
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
8
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
9
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
10
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
11
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
12
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
OWN
0.0862
0.0969
0.0989
0.1746
0.1376
0.1112
0.5228
0.3152
0.0999
0.1218
0.1358
0.2860
0.7822
0.5022
0.3857
0.5525
0.1887
PROD
0.1733
0.3095
0.2390
0.3142
0.3450
0.3189
0.5674
0.5161
0.3266
0.4405
0.8207
0.7193
0.2817
0.7360
0.4650
0.6449
0.7801
TOTAL
0.2595
0.4064
0.3379
0.4888
0.4826
0.4301
1.0902
0.8313
0.4265
0.5624
0.9565
1.0053
1.0639
1.2383
0.8507
1.1974
0.9688
Transfer multiplier (Ma1 - I)
Initial Injection
141
142
Tabel 30. Lanjutan Account
(Ma2 – I) Ma1
Open Loop Multiplier
Effect
13
14
15
16
17
18
1
0.7454
0.5205
0.5585
0.5261
0.2842
0.5045
2
0.0915
0.0532
0.0626
0.1168
0.0243
3
0.0163
0.0459
0.0458
0.061
4
0.0245
0.1036
0.102
5
0.0825
0.1728
6
0.0914
7
19
20
21
22
25
26
27
28
29
30
31
0.303
0.2973
0.1975
0.2011
0.1286
0.1343
0.5441
0.1441
0.2125
0.0533
0.0561
0.0521
0.0536
0.0495
0.0507
0.0743
0.0197
0.0131
0.0669
0.017
0.0453
0.0067
0.012
0.0334
0.0527
0.078
0.0803
0.0801
0.0619
0.1262
0.0625
0.0738
0.0922
0.1112
0.1062
0.1804
0.093
0.0652
0.0782
0.1592
0.1563
0.1218
0.1428
0.2657
0.1241
0.1157
0.1823
0.1718
0.2704
0.24
0.1194
0.1312
0.3758
0.1564
0.2817
0.2695
0.4619
0.4265
0.2247
0.5305
0.1336
0.444
0.1359
0.3456
0.3931
0.0679
0.0728
0.0885
0.0415
0.0658
0.0569
0.0551
0.05
0.0562
0.0384
0.033
0.0759
0.0376
0.0476
0.029
0.037
0,5524
0.407
0.4304
0.4235
0.2499
0.3932
0.276
0.2701
0.2164
0.2197
0.158
0,1673
0.4286
0.1766
0.204
0.111
0.1291
8
0.1224
0.1131
0.1147
0.1195
0.0866
0.1131
0.1077
0.1072
0.1064
0.0949
0.1053
0.0925
0.1289
0.1042
0.1021
0.0924
0.136
9
0.0998
0.0847
0.0864
0.0869
0.0641
0.0835
0.0722
0.0714
0.0699
0.064
0.0595
0.0616
0.0922
0.0653
0.061
0.0523
0.0733
10
0.0538
0.0897
0.0859
0.0955
0.083
0.0752
0.1257
0.1219
0.1253
0.137
0.1607
0.1238
0.0952
0.1438
0.1129
0.1718
0.1646
11
0.0467
0.0825
0.0784
0.0896
0.0791
0.0687
0.1197
0.1159
0.1214
0.1332
0.153
0.12
0.0874
0.1383
0.1069
0.1649
0.1579
12
0.0442
0.0925
0.0639
0.0703
0.2012
0.0837
0.1508
0.1443
0.2473
0.2284
0.1203
0.284
0.0715
0.2377
0.0728
0.1851
0.2105
OWN
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
PROD
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
TOTAL
1.9709
1.8336
1.8207
1.9017
1.5883
1.7271
1.7846
1.7388
1.8488
1.8399
1.5600
1.7466
1.9139
1.7831
1.3840
1.5887
1.7899
142
143
Tabel 30. Lanjutan Account
(Ma2 – I) Ma2 Ma1
Closed loop Multiplier
Effect
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
25
26
27
28
29
30
31
1
0.2412
0.2105
0.2165
0.2257
0.1502
0.1993
0.1889
0.1847
0.1717
0.1756
0.1680
0.1485
0.2266
0.1655
0.1584
0.1543
0.1739
2
0.0342
0.0298
0.0307
0.0320
0.0213
0.0283
0.0267
0.0261
0.0243
0.0248
0.0237
0.0210
0.0321
0.0234
0.0224
0.0217
0.0245
3
0.1779
0.1561
0.1603
0.1672
0.1119
0.1477
0.1408
0.1378
0.1284
0.1312
0.1261
0.1114
0.1680
0.1241
0.1183
0.1163
0.1309
4
0.4333
0.3800
0.3904
0.4070
0.2723
0.3596
0.3427
0.3352
0.3123
0.3192
0.3067
0.2710
0.4090
0.3019
0.2877
0.2826
0.3183
5
0,5842
0.5107
0.5250
0.5467
0.3652
0.4834
0.4586
0.4486
0.4173
0.4264
0.4085
0.3617
0.5494
0.4028
0.3845
0.3758
0.4233
6
0.0674
0.0590
0.0606
0.0632
0.0422
0.0558
0.0530
0.0518
0.0482
0.0493
0.0473
0.0418
0.0635
0.0466
0.0445
0.0435
0.0490
7
0,2960
0.2587
0.2660
0.2772
0.1849
0.2449
0.2324
0.2273
0.2114
0.2162
0.2070
0.1831
0.2784
0.2040
0.1949
0.1904
0.2145
8
0.1769
0.1549
0.1592
0.1660
0.1109
0.1466
0.1395
0.1365
0.1270
0.1298
0.1246
0.1102
0.1668
0.1227
0.1171
0.1147
0.1292
9
0.1064
0.0932
0.0957
0.0998
0.0666
0.0882
0.0838
0.0820
0.0763
0.0780
0.0748
0.0661
0.1002
0.0737
0.0703
0.0688
0.0775
10
0.2866
0.2511
0.2580
0.2689
0.1798
0.2376
0.2262
0.2212
0.2060
0.2106
0.2021
0.1787
0.2702
0.1991
0.1898
0.1862
0.2097
11
0.2743
0.2403
0.2469
0.2574
0.1721
0.2274
0.2165
0.2117
0.1972
0.2015
0.1934
0.1710
0.2586
0.1905
0.1817
0.1782
0.2007
12
0.3128
0.2735
0.2811
0.2927
0.1955
0.2589
0.2456
0.2402
0.2234
0.2283
0.2188
0.1937
0.2942
0.2157
0.2059
0.2012
0.2267
OWN
0.0829
0.0307
0.1544
0.0074
0.0090
0.0510
0.0354
0.0786
0.0071
0.0668
0.2323
0.0363
0.0981
0.0630
0.0136
0.1034
0.0123
PROD
3.1982
2.8389
2.7953
3.0658
2.0430
2.6651
2.5436
2.4441
2.3397
2.3322
2.0666
1.9978
2.9895
2.2024
2.1489
2.0118
2.3696
TOTAL
6.2723
5.4874
5.6403
5.8769
3.9248
5.1938
4.9338
4.8259
4.4904
4.5898
4.3998
3.8923
5.9046
4.3352
4.1377
4.0487
4.5601
143
144
Sementara sisanya sebanyak 0.9804 rupiah tersebar ke permintaan output pada sektor-sektor lainnya Sekarang untuk open loop multiplier (OLM), apabila kita lihat pada angka total OLM, bisa dikatakan semua sektor pertanian mempunyai dampak terhadap blok lain di luar blok produksi relatif sama besar. Semua sektor menghasilkan angka OLM di atas 1 dengan kisaran antara 1.3840 paling rendah yakni untuk industri gula, dan 1.9709 paling tinggi yaitu untuk komoditi padi. Angka OLM sebesar 1.9709 pada komoditi padi mempunyai arti bahwa bila ada injeksi sebesar 1 milyar rupiah untuk produksi komoditi padi maka setelah dampak kenaikan produksi tersebut disebar dalam blok produksi, akan dipancarkan lebih lanjut ke dalam blok faktor produksi yang menghasilkan penambahan permintaan input sebesar 0.9602 milyar rupiah dan blok institusi yang dapat menciptakan pertambahan pendapatan sebesar 1.0107 milyar rupiah. Dalam blok faktor produksi, satu-satunya input yang paling banyak menyerap dampak kenaikan produksi padi adalah tenaga kerja pertanian di desa yakni sebesar 0.7454 milyar rupiah. Sedangkan pada blok institusi, yang paling besar merasakannya adalah petani sebesar 0.5524 milyar rupiah. Terakhir mengenai closed loop multiplier (CLM), angka CLM ini dapat ditelusuri bagaimana injeksi pada sektor pertanian akan berpengaruh pada sektorsektor lain pada blok faktor produksi dan institusi, kemudian berpengaruh pada blok kegiatan produksi dan akhirnya berpengaruh kembali pada sektor-sektor dalam blok faktor produksi dan institusi. Satu putaran dari blok faktor produksi atau institusi, dan kembali ke blok faktor produksi atau institusi ini disebut pengaruh closed loop. Disini kelihatan jelas secara keseluruhan ada 6 sektor
145
pertanian yang memberi pengaruh closed loop terbesar dalam perekonomian yakni sektor padi yang mempunyai angka CLM sebesar 6.2723, subsektor industri penggilingan padi (27) sebesar 5.046, subsektor tebu (16) sebesar 5.8769, subsektor pertanian tanaman pangan lainnya (15) sebesar 5.6403,
subsektor
jagung (14) sebesar 5.4874, dan subsektor pertanian perkebunan lainnya (18) sebesar 5.1938. Jika kita fokuskan perhatian pada angka CLM subsektor padi (13) sebesar 6.2723, ini artinya bila dilakukan injeksi pada subsektor padi sebesar 1 milyar rupiah, maka setelah melalui keseluruhan sistem dalam blok produksi, total permintaan input pada blok faktor produksi dan total pertambahan pendapatan rumahtangga pada blok institusi adalah sebesar 6.2723 milyar rupiah. Dimana permintaan input yang diciptakan subsektor padi pada blok faktor produksi lebih besar mengarah kepada permintaan tenaga kerja pertanian di desa dan modal, masing-masing sebanyak 0.9886 milyar rupiah dan 0.6667 milyar rupiah. Adapun pada blok institusi, satu-satunya institusi yang merasakan kenaikan pendapatan paling tinggi adalah pengusaha tani yang berubah pendapatannya sebesar 0.8484 milyar rupiah untuk setiap injeksi sebanyak 1 milyar rupiah di subsektor padi. 6.4. Jalur Struktural Sektor Pertanian ke Rumahtangga Analisis dekomposisi multiplier sebenarnya sudah menjelaskan jalur struktural. Namun jalur yang dijabarkan masih antarblok, sehingga tidak dapat menjelaskan bagaimana alur dampak itu terjadi dari satu aktifitas ke aktifitas yang lain. Untuk memotret alur dampak semacam ini dengan lengkap maka alat analisis yang lebih tepat adalah structural path analysis (SPA). Melalui SPA kita dapat melakukan identifikasi seluruh jaringan yang berisi jalur yang menghubungkan pengaruh suatu sektor pada sektor lainya dalam suatu sistem sosial ekonomi.
146
Pengaruh dari suatu sektor ke sektor lainnya dapat melalui sebuah jalur dasar (elementary path) atau sirkuit (circuit). Selain itu pengaruh yang diukur bukan hanya mencakup pengaruh langsung, namun juga pengaruh tidak langsung, pengaruh total dan pengaruh global. Untuk menganalisis jalur struktural dari semua sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia digunakan perangkat lunak MATS version 1.0.5 (matrix accounts tranformation system) yang mampu menghasilkan perhitungan sangat lengkap. Namun demikian tidak semua output hasil perhitungan MATS ditampilkan dalam pembahasan ini, mengingat banyak sekali jalur yang telah diukur. Jalur dasar yang disampaikan dalam pembahasan ini hanyalah jalur dari sektor pertanian ke institusi rumahtangga. Kemudian, agar lebih jelas melihat bagaimana cara mengaplikasikan SPA, maka hanya 2 sektor pertanian saja yang dijelaskan jalur dasarnya untuk mewakili keseluruhan sektor pertanian. Dua sektor yang dimaksud adalah komoditi padi dan industri penggilingan padi. Pemilihan jalur dasar dari sektor pertanian ke rumahtangga dalam SPA kali ini sangat terkait erat dengan tujuan dari pembangunan pertanian, dimana salah satunya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk terutama yang hidup di perdesaan, selain itu dalam tujuan penelitian juga sudah tersirat bahwa jalur dasar yang diidentifikasi adalah jalur dari sektor pertanian ke institusi rumahtangga. Adapun yang menjadi alasan mengapa komoditi padi dan industri penggilingan padi yang menjadi fokus pembahasan dalam SPA kali ini, karena kedua sektor pertanian tersebut telah terindikasi sebelumnya memiliki dampak multiplier
yang
rumahtangga.
paling
besar
terhadap
perubahan
pendapatan
institusi
147
Pada Tabel 31 disajikan hasil perhitungan lengkap jalur dasar dari subsektor padi (13) ke institusi rumatangga, dimana institusi rumahtangga dibagi menjadi enam kelompok rumahtangga yakni buruh tani (6), pengusaha tani atau petani pemilik modal (7), rumahtangga golongan rendah di perdesaan (8), rumahtangga golongan atas di perdesaan (9), rumahtangga golongan rendah di perkotaan (10), dan rumahtangga golongan atas di perkotaan (11). Berdasarkan Tabel 28 terlihat jelas bahwa institusi petani pemilik modal (7) menerima pengaruh global paling tinggi yaitu sebesar 0.849, jauh lebih besar dibandingkan yang diterima oleh buruh tani (6) dan rumahtangga golongan rendah di perdesaan (8). Dalam hal ini, alur pengaruh komoditi padi ke institusi pengusaha tani yang dapat dideteksi adalah sekitar 89.6 persen, sisanya 11.4 persen tidak terdeteksi oleh karena pengaruhnya sangat kecil dibawah 0.1 persen. Pengaruh langsung yang diterima oleh pengusaha tani dari komoditi padi adalah sebesar 0.454 persen, atau sekitar 83.3 persen, yang diperoleh melalui jalur dasar dari subsektor padi (13) ke faktor produksi tenga kerja pertanian (1), dan berakhir pada institusi pengusaha tani (7). Pada analisis SNSE, matriks koefisien A (lihat Lampiran 27) adalah merupakan matriks yang menunjukan besaran-besaran pengaruh langsung dari satu aktifitas ke aktifitas yang lain. Dalam hal ini apabila kita menunjuk pada sel (7, 13), dibaca baris ke-7 (petani pemilik modal) kolom ke-13 (kolom padi), yang terlihat sebenarnya adalah angka nol. Sekarang bagaimana kita bisa mengatakan bahwa ada pengaruh langsung dari komoditi padi (13) ke institusi petani pemilik modal (7) sebesar 0.454. Untuk menjawab hal ini kita lihat dahulu jalur dasar yang diciptakan komoditi padi ke petani pemilik modal paling besar pengaruhnya
148
Tabel 31. Jalur Dasar Komoditi Padi ke Institusi Rumahtangga
Jalur
Pengaruh Global
Pengaruh Langsung
Jalur Multiplier
Pengaruh Total
Persentase Terhadap Pengaruh Global
Kumulatif Persentase Terhadap Pengaruh Global
13, 1, 6 13, 2, 6 13, 1, 7, 6 13, 1, 9, 6
0.159
0.043 0.025 0.006 0.001
1.464 1.285 1.632 1.560
0.064 0.032 0.010 0.002
40.0 19.9 6.6 1.2
40.0 60.0 66.5 67.7
13, 1, 7 13, 2, 7 13, 5, 7 13, 1, 9, 7 13, 18, 1, 7 13, 36, 3, 7 13, 36, 4, 7
0.849
0.454 0.018 0.003 0.001 0.010 0.001 0.001
1.557 1.512 1.726 1.652 1.665 0.729 0.797
0.707 0.027 0.006 0.002 0.016 0.001 0.001
83.3 3.2 0.7 0.3 1.9 0.1 0.1
83.3 86.5 87.2 87.5 89.3 89.5 89.6
13, 1, 8 13, 3, 8 13, 5, 8 13, 1, 7, 8 13, 18, 1, 8 13, 36, 3, 8
0.299
0.090 0.003 0.003 0.003 0.002 0.005
1.577 1.486 1.639 1.746 1.687 0.664
0.142 0.004 0.005 0.006 0.003 0.003
47.6 1.5 1.6 1.9 1.1 1.0
47.6 49.0 50.6 52.5 53.6 54.5
13, 1, 9 13, 3, 9 13, 5, 9 13, 1, 7, 9 13, 18, 1, 9 13, 36, 3, 9
0.206
0.080 0.001 0.002 0.001 0.002 0.002
1.484 1.453 1.546 1.652 1.590 0.654
0.118 0.002 0.004 0.002 0.003 0.001
57.3 0.9 1.8 0.9 1.3 0.6
57.3 58.3 60.0 60.9 62.2 62.8
13, 2, 10 13, 5, 10 13, 1, 7, 10 13, 1, 9, 10 13, 33, 4, 10 13, 36, 4, 10
0.340
0.018 0.004 0.007 0.001 0.001 0.010
1.553 1.753 1.915 1.843 2.457 0.733
0.029 0.008 0.013 0.002 0.003 0.007
8.4 2.2 3.7 0.7 0.8 2.1
8.4 10.6 14.3 15.0 15.8 17.8
0.321
0.021 0.004 0.001 0.001 0.009
1.513 1.713 1.880 2.435 0.727
0,032 0,008 0,003 0,002 0,007
9.9 2.4 0.8 0.8 2.1
9.9 12.3 13.0 13.8 16.0
13, 2, 11 13, 5, 11 13, 1, 7, 11 13, 33, 4, 11 13, 36, 4, 11 Sumber : data diolah
149
Jalur dasar ini ternyata memliki dua busur yaitu dari komoditi padi (13) ke tenaga kerja pertanian (1), dan tenaga kerja pertanian (1) ke petani pemilik modal (7), dengan demikian jalur dasar dari pengaruh langsung ini mempunyai panjang sebesar dua. Dalam matrik A nilai koefisien (13.1) adalah sebesar 0.6674, sedangkan nilai koefisien (1, 7) sebesar 0.6803. Sesuai dengan rumus yang telah diutarakan pada bab sebelumnya maka besarnya pengaruh langsung dari (13) ke (7) adalah : ID(13,7) = a(13,1) x a(1,7) = 0.6774 x 0.6803 = 0.4540. Cara seperti ini digunakan sama untuk menghitung pengaruh langsung dari jalur-jalur dasar yang lain yang memiliki dua buah busur. Buruh tani menerima pengaruh global dari subsektor padi hanya sebesar 0.159. Sedangkan pengaruh langsungnya paling besar kelihatan pada jalur dasar (13, 1, 6). Pengaruh langsung yang diberikan oleh jalur ini adalah sebesar 0.043, dengan kata lain bila ada injeksi pada komoditi padi sebesar 1 rupiah maka pendapatan buruh tani diperkirakan langsung bertambah sebanyak 0.043 rupiah. Jalur dasar komoditi padi ke buruh tani yang melalui alur (13, 1, 6) adalah sekitar 40 persen yang dapat dideteksi dari seluruh jalur dasar yang terbentuk. Dimana secara keseluruhan jalur dasar yang bisa ditelusuri untuk menjelaskan pengaruh langsung dari komoditi padi ke buruh tani hanyalah sebesar 67.7 persen, sisanya 32.3 persen tidak bisa terdeteksi oleh karena pengaruhnya sangat kecil dibawah 10 persen. Subsektor padi memberi pengaruh global terhadap rumahtangga golongan rendah diperdesaan sebesar 0.299, dan pengaruh langsung paling besar yang dapat dideteksi adalah 0.09 atau sekitar 47.6 persen, dimana pengaruh ini dijelaskan melalui jalur dasar (13, 1, 7). Secara keseluruhan jalur dasar yang dapat dideteksi
150
untuk menjelaskan pengaruh langsung subsektor padi ke rumahtangga golongan rendah di perdesaan sebesar 54.5 persen, yang berarti ada sekitar 45.5 persen jalur dasar lainnya lagi yang tidak dideteksi oleh karena hanya dapat menjelaskan pengaruh di bawah 10 persen. 18 1
6
2 13 7 5 8 36 4 9
3 33
10
11
Gambar 12. Jalur Dasar Komoditi Padi ke Institusi Rumahtangga
Rumahtangga golongan rendah di perkotaan (10), menerima pengaruh global sebesar 0.340, dengan pengaruh langsung yang diterima paling besar dapat dideteksi adalah sebesar 0.018 atau sekitar 8.4 persen melalui jalur dasar (13, 2, 10). Untuk keseluruhannya jalur dasar yang dapat dideteksi hanya sebesar 17.8 persen, sedangkan sisanya 81.2 persen tidak terdeteksi oleh karena pengaruh yang dijelaskan di bawah 10 persen. Jalur dasar yang dijelaskan dalam SPA sebenarnya mencoba untuk mengurai pancaran efek yang ditimbulkan dari dampak injeksi subsektor padi ke institusi rumahtangga, faktor produksi atau sektor-sektor produksi lainnya. Oleh
151
karena itu SPA bisa menjadi dasar pemikiran yang pertama sebelum kita melakukan berbagai simulasi kebijakan yang terkait dengan peningkatan produksi padi. Untuk mengetahui lebih dalam maksud dari pernyataan ini, berikut disajikan gambar jalur struktural komoditi padi ke institusi rumahtangga. Gambar 12 di buat berdasarkan seluruh jalur dasar yang dapat dideteksi oleh SPA sebagaimana yang dipaparkan dalam Tabel 30. Dalam gambar tersebut kelihatan jelas bahwa pengaruh dari injeksi yang disimulasikan pada komoditi padi sebelum mencapai masing-masing institusi rumahtangga terlebih dahulu harus melalui berbagai variabel antara (intervening variable) sebagai penghubung antara komoditi padi dengan institusi rumahtangga. Kita ambil contoh rumahtangga golongan rendah di perdesaan (8). Sekiranya disimulasikan ada injeksi sebanyak 1 rupiah pada komoditi padi, maka dampak yang diberikannya untuk pertambahan pendapatan rumahtangga golongan rendah di perdesaan akan melalui 5 jalur dasar yaitu: (13, 1, 8), (13, 3, 8), (13, 5, 8), (13, 1, 7, 8), (13, 18, 1, 8), dan (13, 36, 3, 8). Dengan demikian sebelum pendapatan rumahtangga golongan rendah di perdesaan berubah akibat adanya injeksi pada komoditi padi, maka terlebih dahulu yang merasakan dampak kenaikan pendapatan tersebut adalah tenaga kerja pertanian di desa (1), tenaga kerja non pertanian di desa (3), kapital (5), sektor tanaman pangan lainnya (18), sektor perdagangan (36), dan terakhir pengusaha tani (7). Kondisi yang sama juga terjadi untuk dampak komoditi padi terhadap institusi rumahtangga lainnya. Beranjak kepada alur pemikiran yang telah disampaikan, maka sangatlah logis jika petani pemilik modal (7) menjadi satu-satunya institusi yang paling banyak menerima pancaran efek yang ditimbulkan komoditi padi ketika neraca
152
eksogennya diinjeksi sebesar satu-satuan moneter. Institusi petani pemilik modal dapat menjadi variabel penghubung dari setiap jalur dasar komoditi padi ke institusi rumahtangga. Keadaan inilah yang menyebabkan mengapa pendapatan mereka bertambah lebih besar dibandingkan institusi lainnya ketika ada injeksi sebanyak 1 rupiah pada komoditi padi. Dimana kenyataan tersebut sudah diketahui sebelumnya melalui uraian angka multiplier household induced income multiplier yang dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. Berikut ini akan dijelaskan jalur struktural dari industri penggilingan padi ke institusi rumahtangga. Sebagaimana yang dipaparkan dalam Tabel 32 kelihatan sekali lagi bahwa rumahtangga petani pemilik modal menerima pengaruh global paling besar, yakni sebesar 0.707. Pengaruh langsungnya yang paling besar adalah melalui industri penggilingan padi yakni sebesar 0.320 atau sekitar 73 persen yang dapat dijelaskan melalui jalur dasar (27, 13, 1, 7). Secara keseluruhan jalur dasar yang dapat dideteksi untuk menjelaskan pengaruh dari industri penggilingan padi ke intitusi rumahtangga adalah sebesar 81.1 persen yang berarti masih ada sekitar 19.9 persen jalur dasar yang tidak dapat dideteksi oleh karena pengaruhnya di bawah 10 persen. Subsektor industri penggilingan padi dapat memberi pengaruh global dan pengaruh langsung terhadap perubahan pendapatan buruh tani masing-masing sebesar 0.139 dan 0.031. Dimana pengaruh langsung yang diberikan ini tercipta melalui jalur dasar (27, 13, 1, 6), yang berhasil dideteksi sekitar 36.2 persen dari seluruh jalur dasar yang dapat dibentuk. Untuk menjelaskan pengaruh dari subsektor industri penggilingan padi terhadap perubahan pendapatan buruh tani, kita hanya dapat mendeteksi sekitar 54.9 persen dari seluruh jalur dasar yang
153
Tabel 32. Jalur Dasar Sektor Industri Penggilingan Padi ke Rumahtangga Pengaruh Global
Pengaruh Langsung
Jalur Multiplier
Pengaruh Total
Persentase Terhadap Pengaruh Global
27, 3, 6 27, 13, 1, 6 27, 13, 2, 6 27, 36, 3, 6 27, 36, 4, 6
0.139
0.003 0.031 0.017 0.003 0.001
1.392 1.52 1.337 0.619 0.684
0.004 0.047 0.023 0.002 0.001
2.8 33.4 16.7 1.4 0.6
Kumulatif Persentase Terhadap Pengaruh Global 2.8 36.2 52.9 54.3 54.9
27, 3, 7 27, 4, 7 27, 5, 7 27, 13, 1, 7 27, 13, 2, 7 27, 13, 5, 7 27, 36, 3, 7 27, 36, 4, 7 27, 36, 5, 7
0.707
0.006 0.003 0.003 0.320 0.013 0.002 0.007 0.007 0.003
1.588 1.868 1.640 1.613 1.567 1.782 0.686 0.749 0.715
0.010 0.005 0.005 0.516 0.020 0.004 0.005 0.005 0.002
1.4 0.8 0.7 73.0 2.8 0.6 0.7 0.8 0.3
1.4 2.2 2.9 75.9 78.7 79.3 80 80.8 81.1
27, 3, 8 27, 5, 8 27, 13, 1, 8 27, 13, 3, 8 27, 13, 5, 8 27, 36, 3, 8 27, 36, 5, 8
0.296
0.021 0.002 0.064 0.002 0.002 0.024 0.002
1.411 1.555 1.631 1.536 1.691 0.624 0.675
0.030 0.004 0.104 0.003 0.003 0.015 0.002
10.3 1.30 35.1 1.1 1.1 5.2 0.5
10.3 11.6 46.7 47.8 48.9 54.1 54.6
27, 3, 9 27, 5, 9 27, 13, 1, 9 27, 13, 5, 9 27, 36, 3, 9 27, 36, 5, 9
0.192
0.01 0.002 0.056 0.002 0.011 0.002
1.38 1.469 1.539 1.598 0.615 0.654
0.013 0.003 0.086 0.003 0.007 0.001
7 1.6 44.9 1.4 3.5 0.7
7 8.5 53.5 54.8 58.4 59
27, 4, 10 27, 5, 10 27, 13, 2, 10 27, 13, 5, 10 27, 36, 4, 10 27, 36, 5, 10
0.365
0.022 0.004 0.013 0.003 0.053 0.004
1.691 1.659 1.604 1.805 0.688 0.698
0.036 0.006 0.021 0.005 0.036 0.003
10 1.7 5.7 1.5 9.9 0.7
10 11.7 17.4 18.9 28.8 29.5
0.346
0.021 0.004 0.015 0.003 0.051 0.004
1.676 1.622 1.564 1.765 0.683 0.687
0.035 0.006 0.023 0.006 0.035 0.003
10.2 1.8 6.7 1.6 10.1 0.7
10.2 12 18.7 20.3 30.4 31.1
Jalur
27, 4, 11 27, 5, 11 27, 13, 2, 11 27, 13, 5, 11 27, 36, 4, 11 27, 36, 5, 11 Sumber : data diolah
154
6
1
13
2
7
27
8
5 3
9
4
10
36
11
Gambar 13. Jalur Struktural Industri Penggilingan Padi Ke Institusi Rumahtangga dapat dibentuk. Ini berarti sisanya 45.1 persen merupakan jalur-jalur dasar yang menjelaskan pengaruh subsektor industri penggilingan padi (27) terhadap buruh tani dibawah 10 persen. Rumahtangga golongan rendah di perdesaan dapat menerima pengaruh global dari industri penggilingan padi sebesar 0.296, dan pengaruh langsung sebesar 0.064 yang dihasilkan melalui jalur dasar (27, 13, 1, 8). Jalur ini telah terdeteksi sekitar 46.4 persen dari total jalur dasar yang bisa bangun. Dimana secara keseluruhan jumlah jalur dasar yang dapat dibentuk untuk menjelaskan pengaruh komoditi tebu di atas 0.1 persen hanya sekitar 54.6 persen.
155
Dengan kata lain masih ada 45.4 persen jalur dasar lainnya yang tidak dideteksi karena pengaruhnya sangat kecil di bawah 10 persen. Tidak seperti pada jalur struktural sebelumnya, untuk semua jalur dasar industri penggilingan padi kelihatan fungsi intermediasi dari institusi petani pemilik modal ke institusi rumahtangga lain tidak lagi terjadi. Seluruh intistusi rumahtangga menerima pancaran efek dari industri penggilingan padi hanya melibatkan variabel antara tenaga kerja pertanian di desa (1), tenaga kerja pertanian di kota (2), tenaga kerja non pertanian di desa (3), tenaga kerja non pertanian di kota (4), kapital (5), sektor padi (13), dan terakhir sektor perdagangan, perhatikan Gambar 13. Jalur dasar industri penggilingan padi paling banyak menggunakan variabel antara kapital (5) sebagai penghubung ke institusi rumahtangga. Tekecuali pada buruh tani, semua institusi tampak melibatkan faktor produksi ini sebelum menerima pancaran efek dari industri penggilingan padi. Berdasarkan hasil analisis kedua jalur struktural di atas, terlihat bahwa ada perbedaan yang cukup nyata antara komoditi padi dengan industri penggilingan padi dalam memancarkan efeknya terhadap kenaikan pendapatan rumahtangga. Sekiranya komoditi padi tersebut dapat mewakili sektor pertanian primer, dan industri penggilingan padi mewakili sektor agroindustri, maka secara umum dapat disimpulkan semua golongan rumahtangga akan mengalami peningkatan pendapatan dari setiap kenaikan injeksi di sektor pertanian primer. Namun pada akhirnya, sebagian besar peningkatan pendapatan tersebut akan dinikmati oleh pemilik modal yang ada di desa, dalam hal ini rumahtangga yang memiliki modal relatif besar adalah pengusaha tani. Beda halnya untuk efek pendapatan yang
156
dipancarkan oleh sektor agroindustri. Meskipun petani pemiliki modal masih menerima efek paling besar untuk rumahtangga di desa, namun efek yang dipancarkan tidak lagi terpusat kepadanya. Sektor agroindustri dapat memberi stimulus kenaikan pendapatan kepada masing-masing rumahtangga tanpa melalui satu institusi pun, sehingga disini tidak ada lagi pemusatan efek yang banyak diterima oleh satu institusi saja. Beranjak kepada hasil analisis jalur di atas maka strategi yang cukup tepat dilakukan untuk meningkatkan rumahtangga yang berpendapatan rendah di desa adalah melalui pembangunan agroindustri, terutama yang banyak menggunakan tenaga kerja. Dimana menurut Heri (2007) kebijakan ekonomi di sektor agroindustri makanan akan memberi dampak paling besar untuk meningkatkan pendapatan tenaga kerja pertanian, rumah tangga buruh tani dan petani, sehingga dapat menurunkan tingkat kesenjangan pendapatan rumah tangga, pendapatan tenaga kerja dan output sektoral yang lebih besar. Sedangkan kebijakan ekonomi untuk agroindustri non makanan akan berdampak lebih besar menurunkan tingkat kemiskinan.
VII. SIMULASI DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN
Peran pertanian di Indonesia terlihat semakin penting ketika terjadi krisis ekonomi di tahun 1998. Pada waktu itu tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian telah menjadi penyanggah runtuhnya perekonomian Indonesia, sehingga tidak membuat kondisinya jatuh pada jurang yang lebih dalam. Sektor pertanian tetap mampu menyerap lapangan kerja di kala sektor-sektor industri dan jasa banyak yang melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), bahkan sebagian tenaga kerja korban PHK beralih ke sektor pertanian. Tingginya depresiasi rupiah terhadap mata uang dolar AS saat krisis juga menjadi berkah bagi kenaikan nilai ekspor komoditi pertanian. Ini disebabkan karena kandungan lokal (local content) di sektor pertanian lebih tinggi dibandingkan sektor industri dan jasa, sehingga melonjaknya nilai rupiah terhadap dolar bukannya menjadi petaka malah membawa keberuntungan, karena daya saing komoditas pertanian meningkat yang akhirnya mendorong kenaikan ekspor komoditi pertanian. Sebaliknya untuk sektor industri, meningkatnya nilai rupiah terhadap dolar menjadi beban yang sangat berat, karena harus menanggung biaya ekonomi tinggi untuk membayar pembelian barang-barang modal yang lebih banyak berasal dari impor. Pada akhirnya sektor pertanian dapat menghantarkan perekonomian Indonesia ke masa pemulihan dan telah berhasil melewati fase krisis (1997-1998), fase pertumbuhan rendah (1999-2001), dan sejak tahun 2002 berada di fase pecepatan pertumbuhan (accelerating growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth) (Syafa’at, et al., 2003).
158
Ironisnya, perjalanan sektor pertanian selama masa krisis sampai menghantarkan perekonomian Indonesia pulih kembali lebih cenderung terjadi dengan sendirinya tanpa banyak di intervensi pemerintah, yang saat itu sedang disibukkan dengan pembenahan di sektor jasa, khususnya perbankan, dan sektor industri, terutama industri besar. Bahkan beberapa
kebijakan pertanian yang
dikeluarkan kurang mendukung bagi penguatan sektor pertanian karena adanya intervensi eksternal yang begitu kuat (tekanan dari IMF), seperti kebijakan pencabutan subsidi pupuk, kenaikan harga BBM, penghentian Kredit Usaha Tani, dan lain-lain. Padahal pemerintah sendiri menyadari bahwa sektor pertanian itu telah menjadi penyelamat perekonomian Indonesia sewaktu krisis. Kondisi tersebut terjadi karena kebijakan pembangunan pertanian yang dibuat masih selalu terpinggirkan oleh kebijakan di sektor industri dan perdagangan misalnya. Sektor pertanian hanya menjadi jargon ekonomi ketika terjadi krisis, banyak pengangguran, atau penurunan devisa. Bagi Indonesia, pembangunan pertanian menjadi salah satu kunci keberhasilan pembangunan nasional. Namun beberapa masalah di antaranya adalah besarnya ketergantungan pada iklim, belum meluasnya penerapan teknologi (dari hulu sampai ke hilir), skala usaha kecil (subsistence farm), produktivitas rendah, kualitas hasil rendah dan beragam, tidak ada jaminan kontinuitas dalam jumlah pasokan; produk ekspor masih didominasi oleh produk primer, kebijakan pemerintah yang masih bersifat parsial dan belum mengarah pada terciptanya integrasi yang baik. Sistem kelembagaan agribisnis yang cenderung menguntungkan pedagang, menyebabkan margin pendapatan petani jauh lebih kecil dibanding pedagang dan cenderung mengeksploitasi petani,
159
menyebabkan tingginya harga akhir di tingkat konsumen yang akan menurunkan daya saing. Ditengah upaya menciptakan nilai tambah bagi produk-produk pertanian sehingga ekspor Indonesia akan beralih kepada barang jadi dan hasil manufaktur (secondary manufacturing, ), ternyata semakin menghadapi jenis-jenis rintangan di luar tarif (non tariff barriers) yang akhir-akhir ini semakin menjadi pusat perhatian karena cenderung menjadi masalah baru dalam proteksionisme. Peran pertanian bukan hanya kepada peran yang bersifat tradisional tersebut, tetapi juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan, menurunkan ketimpangan pendapatan, mengentaskan kemiskinan, mendorong peningkatan produksi di sektor industri dan jasa karena mempunyai backward linkage dan forward linkage yang paling besar, menyangga ketahanan pangan, dan sebagainya. Sebagai bukti empiris dari luasnya peranan pertanian tersebut,
berikut
ini
disampaikan
ulasan
mengenai
dampak
kebijakan
pembangunan pertanian terhadap perekonomian Indonesia baik itu secara kelompok maupun menyeluruh. Sesungguhnya melalui disagregasi angka pengganda sektor pertanian terhadap penerimaan faktor-faktor produksi dan rumahtangga sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, sudah terlihat besarnya dampak pembangunan pertanian tersebut. Akan tetapi, besarnya dampak yang dilihat masih bernilai satu-satuan moneter yang mana penyebarannya dilihat ke semua aktivitas. Sekarang ini, bagaimana besarnya dampak pembangunan pertanian tersebut jika besarnya goncangan tidak lagi sebesar satu-satuan moneter namun menggunakan nilai dalam jumlah tertentu, dalam hal ini akan dilakukan 9 skenario simulasi kebijakan, meliputi :
160
Simulasi 1
: Peningkatan produksi (output) sektor pertanian
sebesar
10
triliun rupiah. Simulasi 2
: Peningkatan produksi (output) sektor agoindustri sebesar 10 triliun rupiah.
Simulasi 3
: Peningkatan produksi (output) sektor pertanian dan agroindustri sebesar 10 triliun rupiah.
Simulasi 4
: Pengeluaran pembangunan sebesar 10 triliun rupiah dibagi secara proporsional pada sektor non pertanian.
Simulasi 5
: Bantuan tunai ke rumahtangga buruh tani dan rumahtangga golongan rendah di desa sebesar 10 triliun secara merata
Simulasi 6
: Dukungan terrhadap harga gabah sebesar 10 triliun melalui transfer pendapatan untuk menambah keuntungan sektor padi yang kemudian terdistribusi kepada 2 kelompok RT buruh tani dan RT pengusaha tani.
Simulasi 7
: Kenaikan ekspor pertanian sebesar 10 triliun rupiah
Simulasi 8
: Kenaikan ekspor pertanian dan agroindustri sebesar 10 triliun rupiah
Simulasi 9
: Kenaikan ekspor sektor non pertanian 10 triliun rupiah
7.1. Dampak Kebijakan di Sektor Perekonomian terhadap Tenaga Kerja dan Pendapatan Rumahtangga Pada Tabel 33 dan
Gambar 14 disampaikan hasil dari 9 simulasi
kebijakan yang dilakukan, dalam bentuk nilai persentase perubahan pendapatan faktor produksi terhadap nilai dasar (base line). Jika dibaca secara horisontal, ada indikasi kuat bahwa kebijakan pembangunan yang dapat menaikkan pendapatan
161
Tabel 33. Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Faktor Produksi Dampak perubahan (%)
Base
Faktor Produksi
(Rp Juta)
Sim1
Sim2
Sim3
Sim4
Sim5
Sim6
Sim7
Sim8
Sim9
TK Pert Desa
218 894.26
2.91
1.42
2.17
0.72
1.32
1.27
2.94
1.91
0.67
TK Pert Kota
312 38.45
2.9
1.38
2.14
0.7
1.32
1.27
2.56
1.78
0.66
TK Non Pert Desa
262 223.44
0.77
0.9
0.84
0.75
0.8
0.76
0.76
0.84
0.67
TK Non Pert Kota
610 144.69
0.77
0.88
0.82
0.79
0.84
0.8
0.75
0.84
0.71
Kapital
857 257.46
0.83
0.84
0.84
0.66
0.78
0.76
0.79
1.01
0.6
Jumlah Total TK
1 122 501
1.25
1.00
1.13
0.77
0.94
0.89
1.23
1.07
0.69
3.50 Sim-1 Sim-2 Sim-3 Sim-4 Sim-5 Sim-6 Sim-7 Sim-8 Sim-9
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00 TK Pert Desa
Gambar 14. .
TK Pert Kota
TK Non Pert Desa
TK Non Pert Kota
Kapital
Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Faktor Produksi
tenaga kerja di sektor pertanian relatif lebih tinggi adalah melalui Simulasi 1 dan Simulasi 7, masing-masing merupakan kebijakan pengeluaran pembangunan untuk sektor produksi pertanian dan ekspor sektor pertanian sebesar 10 triliun rupiah. Dua kebijakan yang saling terkait ini, produksi dan ekspor, dapat
162
menaikkan pendapatan tenaga kerja pertanian di desa kurang lebih sekitar 2.9 persen dan 2.94 persen dari nilai dasar sebesar 218 894.26 juta rupiah, perhatikan juga Gambar 14. Kondisi ini memberi implikasi kebijakan bahwa upaya pemerintah untuk menaikkan pendapatan tenaga kerja yang berada di sektor pertanian
sebaiknya
dilakukan
dengan
cara
meningkatkan
pengeluaran
pembangunan untuk sektor pertanian baik itu melalui subsidi maupun bantuanbantuan program. Hal yang lebih penting lagi adalah mengupayakan peningkatan ekspor sektor pertanian. Terdapat dampak ganda yang diberikan melalui kebijakan ini, selain meningkatkan pendapatan tenaga kerja, dapat juga menambah penerimaan devisa. Adanya integrasi pasar antara produksi di sektor pertanian dengan sektor agroindustri, semestinya dapat memberi dampak tidak langsung yang cukup besar terhadap upaya untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Akan tetapi dalam kenyataannya, dampak pembangunan agroindustri tersebut dirasakan sangat kecil terhadap perubahan pendapatan tenaga kerja pertanian. Sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 33 dan Gambar 14, dampak dari kebijakan agroindustri (Simulasi 2) hanya dapat meningkatkan penerimaan tenaga kerja pertanian di desa sebesar 1.42 persen, kalah jauh dibandingkan dengan dampak dari kenaikan produksi di sektor pertanian sebesar 2.91 persen (Simulasi 1). Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pengembangan agroindustri di negara Indonesia sampai kini belum mampu mentransfer keuntungannya lebih baik terhadap perubahan pendapatan tenaga kerja pertanian. Meskipun demikian, bila perbandingan itu dilakukan antara perubahan pendapatan faktor produksi, hasilnya sangat berbeda. Kebijakan pembangunan
163
agroindustri tampaknya memberi dampak lebih besar terhadap perubahan pendapataan tenaga kerja pertanian dibandingkan tenaga kerja non pertanian dan modal, walaupun dari sisi nilai pendapatan terlihat tenaga kerja pertanian masih menerima jauh di bawah tenaga kerja non pertanian dan modal. Situasi ini merupakan suatu petunjuk bahwa pengembangan agroindustri di Indonesia lebih terasa dampaknya terhadap perubahan kesejahteraan tenaga kerja non pertanian. Adapun dampaknya yang kelihatan lebih kecil dibandingkan kebijakan pembangunan pertanian lainnya, diakibatkan karena transfer pendapatan dari hasil pembangunan agroindustri tidak langsung diterima oleh tenaga kerja pertanian, namun melalui satu atau dua variabel antara (intervening variable) aktivitas produksi (produsen) lebih dahulu, lalu kemudian yang paling akhir diterima oleh tenaga kerja. Jalur seperti ini dapat dilihat kembali melalui SPA sebelumnya. Satu-satunya kebijakan pembangunan pertanian yang langsung menyentuh sektor riil dan paling efektif menaikkan pendapatan rumahtangga buruh tani (tenaga kerja pertanian di desa) adalah kebijakan price support yakni berupa kebijakan dukungan terhadap harga
gabah melalui transfer terhadap rumah
tangga buruh tani dan rumahtangga pengusaha tani sebesar 10 triliun rupiah, perhatikan Simulasi 6 pada Tabel 33 dan Gambar 14. Kebijakan ini mampu meningkatkan pendapatan RT buruh tani hingga 6.24 persen dari nilai dasar. Sedangkan kebijakan di sektor riil lainnya seperti peningkatan pengeluaran pembangunan di sektor pertanian dan atau agroindustri, serta kenaikan ekspor pertanian, hanya sedikit dampaknya terhadap perubahan pendapatan buruh tani, rata-rata sekitar 0.9 persen sampai dengan 1.29 persen dari nilai dasar.
164
Sebenarnya kebijakan pembangunan yang paling besar memberi dampak terhadap kenaikan pendapatan rumahtangga buruh tani adalah transfer langsung berupa bantuan tunai kepada buruh tani (Simulasi 5). Akan tetapi hal ini diyakini hanya memiliki dampak yang bersifat temporer saja, karena buruh tani akan lebih banyak menggunakan bantuan tersebut untuk tujuan konsumtif. Sehingga, saat bantuan yang diterima telah habis dipakai, pendapatan mereka akan kembali seperti semula. Beda halnya dengan kebijakan price support, kebijakan ini mampu mendorong kenaikan produktifitas buruh tani secara tidak langsung, yang pada akhirnya akan menaikkan pendapatan mereka secara berkesinambungan dan kontinu. Hal yang menarik untuk dibandingkan, jika dampak kebijakan price support tersebut kita perhatikan antara perubahan pendapatan buruh tani dengan pengusaha tani. Dalam Tabel 34, tampak jelas bahwa kebijakan dukungan harga gabah ternyata membawa dampak lebih besar terhadap perubahan pendapatan buruh tani dibandingkan pengusaha tani, masing-masing sebanyak 6.24 persen dan 2.41 persen. Keadaan ini menggambarkan ketergantungan pengusaha tani, khususnya untuk tanaman padi, masih sangat besar terhadap tenaga buruh tani. Saat terjadi kenaikan harga dasar gabah akibat kebijakan price support akan direspon cepat oleh pengusaha tani untuk menaikkan produksinya dengan cara menambah jumlah jam kerja buruh tani. Dengan kata lain dampak kebijakan harga tersebut dapat merespon permintaan tenaga kerja buruh tani lebih banyak dari pengusaha tani. Hal ini memang sangat dimungkinkan, karena upah buruh tani di negara kita ini sangat rendah, sehingga tidak menjadi kendala bagi pengusaha tani untuk cepat menambah jumlahnya. Selain itu buruh tani yang ada sekarang ini
165
jumlahnya paling banyak terdapat dalam usaha tani padi, sehingga pengusaha tidak akan kesulitan untuk mencarinya. Tabel 34. Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Institusi Base
Institusi
Dampak Perubahan (%) Sim- Sim- Sim- Sim4 5 6 7
Sim1
Sim2
Sim3
94 524.77
1.29
0.91
1.10
0.71
6.25
6.24
RT Pengusaha Pert
354 160.57
1.71
1.07
1.39
0.73
1.03
RT Non Pert Desa Gol.Bawah
251 003.64
1.02
0.92
0.97
0.76
RT Non Pert Desa Gol.Atas
141 480.40
1.19
0.97
1.08
RT Non Pert Kota Gol Bawah
409 807.44
0.82
0.86
RT Non Pert Kota Gol Atas
387 118.60
0.83
Perusahaan
467 566.60 1 638 095.42
(Rp Juta) RT Buruh Pert
Jumlah Pndpt RT
Sim8
Sim9
1.25
1.26
0.67
2.41
1.70
0.93
0.67
2.85
0.83
1.01
1.02
0.70
0.78
0.90
0.87
1.17
0.84
0.71
0.84
0.79
0.85
0.82
0.79
0.84
0.73
0.88
0.85
0.80
0.84
0.80
0.80
0.78
0.77
0.81
0.83
0.82
0.75
0.77
0.75
0.78
1.17
0.70
1.10
0.93
1.02
0.75
1.51
1.48
1.08
0.97
0.69
7.00
Sim-1 Sim-2 Sim-3 Sim-4 Sim-5 Sim-6 Sim-7 Sim-8 Sim-9
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00 RT Buruh Pert RT Pengusaha Pert
RT Non Pert Desa Gol.Bawah
RT Non Pert RT Non Pert RT Non Pert Desa Gol.Atas Kota Gol Bawah Kota Gol Atas
Perusahaan
Gambar 15. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Rumahtangga
Apabila dampak dari kebijakan harga di atas hanya terfokus pada besarnya perubahan kenaikan pendapatan, memang buruh tani yang paling besar merasakan
166
dampaknya. Akan tetapi jika diperhatikan dari nilai pendapatannya, ternyata pengusaha tani masih lebih diuntungkan dibandingkan buruh tani, dimana pendapatan pengusaha tani naik menjadi 5 901.02 juta rupiah, sedangkan buruh tani hanya 8 529.90 juta rupiah. Penyebab dari keadaan ini sebenarnya sudah dideteksi dari awal melalui SPA yang digambarkan melalui jalur dasar sektor padi ke rumahtangga. Dalam SPA terlihat jelas bahwa dampak dari perubahan penerimaan produksi padi lebih banyak dipancarkan kepada rumahtangga pengusaha tani baik itu melalui variabel antara faktor produksi maupun sektor produksi lainnya. Sedangkan buruh tani sedikit menerima dampak dari sektor padi, yang diindikasikan dengan jumlah jalur dasar yang masuk ke rumahtangga buruh tani hanya 4 jalur, bahkan diantaranya ada yang datang dari pengusaha tani lebih dahulu. Dengan demikian, kebijakan dukungan harga gabah yang dapat mendorong kenaikan produksi padi dipastikan membawa dampak terhadap pendapatan pengusaha tani selalu lebih besar dibandingkan buruh tani. Bahkan bila ditelusuri lebih jauh lagi, nilai pendapatan yang diterima buruh tani melalui kebijakan tersebut jauh lebih
rendah dibandingkan rumahtangga kota.
Rumahtangga golongan bawah di kota pendapatannya bertambah menjadi 3366.55 juta rupiah, sedangkan golongan atas kota sebesar 3 113.40 juta rupiah. Terkait dengan perubahan pendapatan rumahtangga di perdesaan baik itu rumahtangga pertanian maupun non pertanian, kebijakan distribusi pendapatan secara langsung (Simulasi 5) menjadi kebijakan yang paling besar menaikkan pendapatan rumahtangga ini, yaitu sebanyak 6.25 persen dari nilai dasar. Sedangkan kebijakan pembangunan pertanian lainnya, baik itu yang menyentuh langsung ke sektor riil, maupun ekspor, hanya dapat menaikkan pendapatan
167
rumahtangga perdesaan kurang lebih 3 persen saja. Dan yang paling rendah adalah kebijakan peningkatan ekspor untuk seluruh sektor non pertanian (Simulasi 9) yang memberi dampak sebesar 0.9 persen terhadap perubahan pendapatan. Kondisi faktual ini menandakan bahwa kebijakan sektor riil pertanian selama ini tidak dapat mentransfer banyak pendapatannya kepada rumahtangga di perdesaan. Jika kita amati kembali pada dampak multiplier dan jalur yang terrekam dalam SPA, tampak nyata bahwa posisi rumahtangga di perdesaan terjepit oleh rumahtangga di perkotaan. Kepemilikan modal, upah tenaga kerja dan pengembangan sektor agroindustri semuanya lebih banyak berada di perkotaan. Padahal seluruh aktifitas ekonomi ini merupakan sumber-sumber pendapatan bagi rumahtangga, akibatnya sudah pasti hanya kebijakan distribusi dan redistribusi pendapatan saja yang mampu meningkatkan pendapatan mereka lebih tinggi. Jelas kondisi semacam itu bukan merupakan jalan yang paling baik. Karena bantuan langsung hanya dapat merubah kesejahteraan mereka sesaat saja. Sebenarnya jika dilihat secara parsial pada kebijakan produksi dan ekspor pertanian, semuanya memberi dampak perubahan pendapatan rumahtangga di perdesaan lebih besar dibandingkan dampak yang diterima oleh rumahtangga perkotaan. Sebagai misal kebijakan pengeluaran pembangunan dan peningkatan ekspor di sektor pertanian (Simulasi 7) mampu menaikkan pendapatan rumahtangga pertanian persentase yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan pendapatan rumahtangga perkotaan. Kebijakan peningkatan produksi di sektor pertanian
rata-rata dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga
pertanian
sebesar 1.50 persen, sedangkan pada rumahtangga perkotaan sebesar 0.96 persen. Sementara
untuk
kebijakan
peningkatan
ekspor
di
sektor
pertanian
168
meningkatkatkan pendapatan sebesar 1.48 persen untuk rumahtangga perdesaan, 0.94 persen untuk rumahtangga perkotaan. Melihat potret seperti ini, maka kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia masih lebih berdaya guna terhadap perubahan pendapatan rumahtangga perdesaan. Agar kebijakan tersebut lebih efektif maka perlu banyak pembenahan untuk memperbaikinya. Sekarang, jika dilakukan perbandingan antara simulasi kebijakan yang dilakukan, khususnya Simulasi 1, 2, 3 dengan Simulasi 4 atau dengan kata lain membandingkan pengeluaran pembangunan sebesar 10 triliun rupiah kepada sektor pertanian dengan pengeluaran pembangunan bukan untuk sektor pertanian, maka kelihatan jelas bahwa pendapatan faktor produksi dan rumahtangga lebih besar meningkat ketika dilakukan simulasi kebijakan 1, 2 dan 3, dibandingkan dengan simulasi kebijakan 4. Dimana melalui Simulasi 1, terjadi peningkatan pendapatan upah sebesar Rp 13 997.5 milyar rupiah (1.25 persen), Simulasi 2 sebesar Rp 11 264.3 milyar (1.00 persen) dan Simulasi 3 sebesar Rp 12 630.9 milyar (1.13 persen). Sementara melalui Simulasi 4 yakni berupa pengeluaran pembangunan untuk sektor non pertanian sebesar 10 triliun rupiah hanya mampu meningkatkan upah tenaga kerja sebesar Rp. 860.1 milyar (0.77 persen). Demikian juga halnya simulasi kebijakan untuk meningkatkan ekspor nasional sebesar 10 triliun rupiah pada sektor pertanian dan agroindustri (Simulasi 7 dan 8) dengan sektor non pertanian (Simulasi 9), menunjukkan bahwa kebijakan ekspor yang dilakukan melalui Simulasi 7 dan 8 mempunyai dampak yang lebih besar dibandingkan dengan Simulasi 9. Dimana melalui Simulasi 7 akan terjadi kenaikan upah nasional oleh faktor produksi tenaga kerja sebesar milyar
(1.23 persen) dan
Rp 13 800.2
Simulasi 8 memberi dampak kenaikan sebesar
169
Rp 12 050.5 milyar (1.07 persen). Kedua simulasi kebijakan tersebut memberi dampak jauh lebih tinggi disandingkan dengan Simulasi 9 yang hanya mampu memberikan kontribusi kenaikan sebesar Rp 7 782.4 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang terfokus
pada sektor pertanian
lebih memberikan
kontribusi yang lebih besar dalam upaya pemerintah untuk memperbaiki tingkat upah nasional yang pada akhirnya dapat menaikkan tingkat kesejahteraan secara nasional. Dampak simulasi kebijakan terhadap pendapatan rumahtangga jika dirunut kembali ke belakang, tampak jelas bahwa Simulasi 5 dan 6 memberikan kontribusi kenaikan yang paling tinggi terhadap pendapatan rumahtangga petani. Kondisi faktual ini dapatlah dimengerti, mengingat kedua kebijakan tersebut merupakan bantuan langsung kepada rumahtangga petani. Simulasi 5 merupakan kebijakan bantuan tunai
kepada rumahtangga buruh tani
dan rumahtangga
golongan rendah di desa sebesar 10 triliun rupiah, sementara Simulasi 6 berupa dukungan
terhadap harga gabah sebesar 10 triliun rupiah melalui transfer
pendapatan untuk menambah keuntungan sektor padi dengan distribusi pada kelompok rumahtangga buruh tani dan rumahtangga pengusaha tani. Kedua kebijakan tersebut secara eksplisit telah memberi gambaran yang jelas bahwa kontribusi yang dihasilkan terhadap rumahtangga petani akan lebih besar dibanding dengan simulasi kebijakan lainnya. Namun yang perlu diperhatikan dari kebijakan ini perolehan peningkatan pendapatan oleh kelompok rumahtangga tersebut tidak mengarah pada usaha yang bersinergi dengan produktivitas usahanya untuk meningkatkan output suatu sektor, melainkan lebih bersifat konsumtif dan dikhawatirkan peningkatan
170
pendapatan ini tidak terus menerus jika suatu saat bantuan tunai langsung tersebut dihentikan. Jika dikaitkan dengan peningkatan output nasional maka terlihat bahwa Simulasi 1, 2, 3 dan 7 (simulasi kebijakan yang terkait dengan pengeluaran pembangunan terhadap sektor pertanian) jauh lebih baik dibandingkan dengan kebijakan pembangunan ke sektor-sektor non pertanian yang direpresentasikan pada Simulasi 4 dan 9. Sebagai misal Simulasi 1 mampu memberikan kontribusi peningkatan pendapatan rumahtangga secara nasional sebesar Rp 8 090.8 milyar (1.10 persen), dan Simulasi 7 sebesar Rp 17 729 milyar (1.08 persen), sementara Simulasi 4 dan 9 yang berupa kebijakan peningkatan produksi dan ekspor sektor non pertanian hanya mampu memberi kontribusi peningkatan pendapatan rumahtangga masing-masing
sebesar Rp 12 326 milyar (0.75 persen) dan
Rp 1 334.4 milyar (0.69 persen). Dari seluruh hasil perbandingan kebijakan ini, tersirat bahwa kebijakan pembangunan di pertanian dapat memberi hasil yang lebih baik dibandingkan kebijakan di sektor non pertanian, terutama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat
melalui peningkatan pendapatan
kelompok rumahtangga secara nasional. 7.2. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektoral dan Output Nasional Selain memberi dampak terhadap perubahan distribusi pendapatan faktor produksi dan rumahtangga, semua kebijakan pembangunan pertanian dipastikan akan memberi dampak terhadap distribusi pendapatan sektoral juga. Ini terjadi karena adanya integrasi pasar input antara (intermediate input) dalam aktivitas produksi. Akibatnya ketika dikeluarkan suatu kebijakan pertanian baik itu untuk
171
sektor riil maupun ekspor, akan berdampak langsung terhadap kenaikan produksi pada sektor-sektor lainnya. Untuk memotret kondisi ini, berikut disampaikan ulasan mengenai dampak pembangunan pertanian terhadap pendapatan sektoral. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 35, Gambar 16, Gambar 17, Gambar 18 dan Gambar 19. Jika kita perhatikan dampak dari seluruh kebijakan pembangunan pertanian yang telah disimulasikan terhadap perubahan pendapatan sektor produksi pertanian, terlihat banyak perbedaan. Untuk tanaman pangan, peternakan, kehutanan dan perikanan, kebijakan yang dampaknya paling besar adalah kebijakan pengeluaran pembangunan pertanian primer (Simulasi 1), yang dapat menaikkan pendapatan produksi pertanian secara rata-rata sekitar 2.81 persen dari nilai dasar. Keadaan yang lebih menarik jika dampak dari setiap simulasi kebijakan pembangunan pertanian tersebut ditelusuri pada sektor-sektor produksi di luar pertanian primer (off farm). Disini terlihat seluruh kebijakan pertanian yang menyentuh sektor riil memberi dampak paling besar terhadap penerimaan di sektor agroindustri dengan rata-rata perubahan dari nilai dasar sebesar 1.47 persen, menyusul kemudian sektor jasa sebesar 0.72 persen, dan terakhir sektor industri lainnya sebesar 0.47 persen. Selain itu, cukup menarik juga jika diperhatikan pada Simulasi 4 yaitu injeksi dana pembangunan ke sektor non pertanian dimana kebijakan ini ternyata dapat meningkatkan pendapatan produksi pertanian dengan perubahannya yang relatif sama besar dengan industri lain dan jasa-jasa.
172
Tabel 35. Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor-Sektor Produksi Sektor Produksi Padi Jagung Tanaman Pangan Lainnya Tebu Kelapa sawit Perkebunan Lainnya Industri pemotongan ternak Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan dan perburuan Perikanan Pertamb btbara, bj logm, migas Pertambangan dan penggalian lainnya Ind makanan, minuman dan tembakau Ind minyak dan lemak Ind penggilingan padi Ind tepung segala jenis Ind gula Ind pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit Ind kayu, barang-barang dari kayu Ind kertas, cetak; alt angkt, brg dr lgm & Ind lainnya Ind kimia, pupuk, hasil dr tnh liat & semen, dan lgm dsr Konstruksi/bangunan Listrik, gas dan air minum Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, jasa perusahaan, real estate Jasa-jasa Total Produksi
Sim-1 2.99 3.09 2.89 2.97 2.34 2.79 2.81 3.36 2.05 2.80 0.36 0.12 1.31 0.61 1.08 1.01 1.16 0.56 0.18 0.45 0.53 0.06 0.87 1.10 0.89 0.90 0.63 0.91
Sim-2 2.023 1.806 1.155 2.268 1.851 1.234 1.089 1.092 1.123 1.121 0.366 0.107 2.230 1.918 2.152 2.874 2.333 2.214 1.520 0.402 0.523 0.051 0.885 1.097 0.812 0.836 0.533 0.940
Sim-3 2.507 2.448 2.022 2.620 2.098 2.014 1.947 2.224 1.584 1.962 0.362 0.111 1.771 1.266 1.617 1.944 1.748 1.386 0.851 0.426 0.528 0.054 0.879 1.097 0.851 0.868 0.580 0.920
Dampak Perubahan (%) Sim-4 Sim-5 Sim-6 0.757 1.262 1.199 0.750 1.445 1.344 0.824 1.543 1.476 0.463 1.466 1.413 0.674 0.770 0.741 0.753 0.972 0.951 0.733 1.428 1.410 0.403 1.492 1.470 0.636 0.449 0.453 0.890 1.333 1.309 0.539 0.429 0.421 0.794 0.144 0.131 0.440 1.368 1.304 0.775 0.777 0.747 0.752 1.307 1.239 0.840 1.219 1.159 0.407 1.490 1.436 0.199 0.823 0.838 0.801 0.254 0.253 0.925 0.582 0.576 0.370 0.618 0.604 1.123 0.059 0.056 0.794 1.103 1.091 1.040 0.998 0.923 1.092 1.065 1.047 0.847 1.073 1.043 0.774 0.861 0.814 0.770 0.820 0.790
Sim-7 1.140 2.893 3.609 1.162 6.719 4.795 1.445 3.294 1.089 1.150 0.358 0.114 1.269 0.600 1.054 0.987 1.135 0.548 0.180 0.440 0.539 0.057 0.855 1.051 0.872 0.877 0.632 0.890
Sim-8 2.179 2.061 4.966 3.117 2.670 1.228 1.942 0.869 1.124 0.366 0.111 1.874 0.686 1.171 1.338 5.116 2.227 0.358 0.410 0.534 0.053 0.886 1.064 0.818 0.840 0.558 0.908 0.910
Sim-9 0.701 0.695 0.765 0.434 0.672 0.704 0.691 0.312 0.591 0.878 0.363 0.737 0.406 0.723 0.709 0.78 0.378 0.132 0.964 0.994 0.050 0.740 0.796 1.081 1.038 0.562 0.734 0.730
172
.
Base (Rp Juta) 74 045.97 28 987.05 139 666.58 6 069.88 19 997.68 75 232.16 39 249.86 88 971.43 28 255.66 84 690.10 217 818.08 35 565.51 261 850.49 78 933.96 88 286.77 80 809.70 15 273.19 268 533.25 87 188.55 659 178.77 742 914.62 331 094.85 70 431.02 199 526.15 186 762.42 29 1955.6 465 186.58 4 666 475.90
173
8.00 Sim-1 Sim-2 Sim-3 Sim-4
7.00
Sim-5 Sim-6
6.00
Sim-7 Sim-8 5.00
Sim-9
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00 Padi
Jagung
Tanaman Pangan Lainnya
Tebu
Kelapa sawit
Perkebunan Lainnya
Industri pemotongan ternak
Peternakan dan hasilhasilnya
Kehutanan dan perburuan
Perikanan
Gambar 16. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Pertanian 2.00
1.80 1.60
1.40
1.20
Sim-1 Sim-2 Sim-3 Sim-4 Sim-5 Sim-6 Sim-7 Sim-8 Sim-9
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00 Pertamb btbara, bj logm, migas
Gambar 17.
Pertambangan dan penggalian lainnya
Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Pertambangan dan Penggalian
174
6.00
Sim-1 Sim-2 Sim-3 Sim-4 Sim-5 Sim-6 Sim-7 Sim-8 Sim-9
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00 Ind makanan, minuman dan tembakau
Ind minyak dan lemak
Gambar 18.
Ind penggilingan padi
Ind tepung segala jenis
Ind gula
Ind pemintalan, Ind kayu, barangtekstil, pakaian dan barang dari kayu kulit
Ind kertas, cetak; alt angkt, brg dr lgm & Ind lainnya
Ind kimia, pupuk, hasil dr tnh liat & semen, dan lgm dsr
Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Industri
2.00 Sim-1 Sim-2 Sim-3 Sim-4 Sim-5 Sim-6 Sim-7 Sim-8 Sim-9
1.80 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 Konstruksi/bangunan
Gambar 19.
Listrik, gas dan air minum
Perdagangan, hotel dan restoran
Pengangkutan dan komunikasi
Keuangan, jasa perusahaan, real estate
Jasa-jasa
Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Jasa-Jasa
175
Ketika kebijakan ini dilakukan, mampu mendorong kenaikan pendapatan produksi pertanian dengan rata-rata persentase sebesar 0.69 persen, sementara sektor industri dan jasa masing-masing sebesar 0.65 persen dan 0.95 persen. Kondisi ini secara tidak langsung sebenarnya menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk dan transportasi sangat efektif menaikkan produksi (output) sektor pertanian, khususnya untuk tanaman pangan dan peternakan. Dampak seluruh kebijakan distribusi pendapatan (Simulasi 5), sepertinya lebih besar diserap oleh sektor pertanian yakni sekitar 1.22 persen. Fenomena ini terjadi karena ketika ada kenaikan pendapatan rumahtangga yang diakibatkan kebijakan subsidi langsung, akan meningkatkan konsumsi pangan, sehingga akhirnya penerimaan produksi tanaman pangan, peternakan dan perikanan, naik lebih besar dibandingkan perubahan pendapatan pada sektor lainnya. Berdasarkan seluruh hasil simulasi kebijakan terhadap tingkat produksi atau output nasional di atas, maka dapat dilakukan perbandingan kebijakan yang lebih komprehensif. Dalam hal ini pertama kali dapat diungkapkan bahwa dari sembilan simulasi kebijakan yang dilakukan memang terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara simulasi kebijakan terhadap kelompok sektor pertanian dengan sektor non pertanian. Simulasi kebijakan yang diarahkan pada sektor non pertanian memberikan kontribusi yang paling sedikit dibandingkan dengan pertanian. Hasil olah data menunjukkan Simulasi 9 (upaya peningkatan ekspor sektor non pertanian) sebesar Rp 10 triliun memberikan kontribusi kenaikan output nasional paling rendah yaitu hanya Rp 34 247.5 milyar (0.73 persen), kemudian disusul oleh Simulasi 4 (kebijakan pengeluaran pembangunan sebesar Rp 10 triliun rupiah kepada sektor
176
non pertanian) yang hanya mampu memberikan kenaikan output nasional sebesar Rp 36 137 miyar (0.77 persen), selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 36. Rata-rata Peningkatan Total Output Kebijakan Sektor Pertanian dengan Non Pertanian Sektor Produksi Padi Jagung Pertanian tanaman pangan di luar 13 dan 14 Tebu Kelapa sawit Pertanian perkebunan di luar 16 dan 17 Industri pemotongan ternak Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan dan perburuan Perikanan Pertambangan batubara, biji logam, migas Pertambangan dan penggalian lainnya Industri makanan, minuman dan tembakau Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung segala jenis Industri gula Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit Industri kayu, barang-barang dari kayu Industri kertas, angk, brg logam & industri lain Industri kimia, pupuk, & semen, dan logam dasar Konstruksi/bangunan Listrik, gas dan air minum Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, jasa perusahaan, real estate Jasa-jasa Jumlah TP
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Sim 1,2,3 2.51 2.45 2.02 2.62 2.10 2.01 1.95 2.22 1.58 1.96 0.36 0.11 1.77 1.27 1.62 1.94 1.75 1.39 0.85 0.43 0.53 0.05 0.88 1.10 0.85 0.87 0.58 0.92
Sim 4 0.75 0.76 0.75 0.82 0.46 0.67 0.75 0.73 0.40 0.64 0.89 0.54 0.79 0.44 0.78 0.75 0.84 0.41 0.20 0.80 0.93 0.37 1.12 0.79 1.04 1.09 0.85 0.77
Sim 5,6 1.23 1.39 1.51 1.44 0.76 0.96 1.42 1.48 0.45 1.32 0.42 0.14 1.34 0.76 1.27 1.19 1.46 0.83 0.25 0.58 0.61 0.06 1.10 096 1.06 1.06 0.84 0.81
Sim 7,8 1.16 2.54 2.83 3.06 4.92 3.73 1.34 2.62 0.98 1.14 0.36 0.11 1.57 0.64 1.11 1.16 3.13 1.39 0.27 0.42 0.54 0.06 0.87 1.06 0.85 0.86 0.60 0.90
Sim 9 0.70 0.70 0.69 0.77 0.43 0.67 0.70 0.69 0.31 0.59 0.88 0.36 0.74 0.41 0.72 0.71 0.78 0.38 0.13 0.96 0.99 0.05 0.74 0.80 1.08 1.04 0.56 0.73
Sebaliknya untuk simulasi kebijakan yang mengarah pada sektor pertanian primer (Simulasi 1), agroindustri (Simulasi 2), dan sektor pertanian secara keseluruhan (Simulasi 3), ternyata memberikan hasil yang lebih baik
dalam
upaya meningkatkan output nasional. Hal ini bisa dilihat dari hasil pengolahan data, dimana Simulasi 2 tampak mampu meningkatkan output nasional hingga
177
mencapai Rp 43 721.6 milyar (0.94 persen), kemudian Simulasi 3 sebesar Rp 43 070.2 milyar (0.92 persen), dan di peringkat ke tiga Simulasi 1 sebesar Rp 43 418.9 milyar (0.91 persen). Pada Tabel 36 terlihat bahwa simulasi yang berbasis pada sektor pertanian akan memberi kontribusi penyerapan tenaga kerja yang jauh lebih baik dibandingkan dengan kebijakan yang diarahkan pada sektor
non pertanian.
Dimana hasil Simulasi 1 menunjukkan angka penyerapan tenaga kerjanya adalah yang paling tinggi dengan angka penyerapan tenaga kerja sebanyak 1 669 100 orang, kemudian disusul
dengan Simulasi 7 sebanyak 1 587 600 orang.
Sementara simulasi kebijakan yang tidak terkait dengan sektor pertanian yakni Simulasi 4 dan 9, angka penyerapan tenaga kerjanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan simulasi kebijakan pada sektor pertanian dengan masingmasing hanya menyerap tenaga kerja sebanyak 703 300 orang dan 639 500 orang. Tabel 37. Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral untuk Masing-Masing Simulasi Kebijakan KD 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Sim 1 387.5 129.0 464.5 16.2 10.2 125.4 8.2 78.8 9.6 46.5 1.1 0.5 24.0 0.4 4.1
Sim 2 262.1 75.4 185.7 12.4 8.0 55.4 3.2 25.6 5.2 18.6 1.1 0.5 40.8 1.3 8.2
Sim 3 324.8 102.2 325.1 14.3 9.1 90.4 5.7 52.2 7.4 32.6 1.1 0.5 32.4 0.8 6.2
Sim 4 97.2 31.6 120.6 4.5 2.0 30.3 2.2 17.2 1.9 10.6 2.7 2.4 14.5 0.3 3.0
Sim 5 163.5 60.3 248.0 8.0 3.3 43.6 4.2 35.0 2.1 22.1 1.3 0.6 25.0 0.5 5.0
Sim 6 155.4 56.1 237.2 7.7 3.2 42.7 4.1 34.5 2.1 21.7 1.3 0.6 23.8 0.5 4.7
Sim 7 147.7 120.8 580.0 6.3 29.1 215.2 4.2 77.3 5.1 19.1 1.1 0.5 23.2 0.4 4.0
Sim 8 152.1 91.0 331.3 27.1 13.5 119.8 3.6 45.6 4.1 18.7 1.1 0.5 34.3 0.5 4.5
Sim 9 90.8 29.3 111.7 4.2 1.9 30.1 2.1 16.2 1.5 9.8 2.6 1.6 13.5 0.3 2.8
178
Tabel 37. Lanjutan KD 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 Jml
Sim1 1.5 0.8 19.4 4.4 8.4 7.3 2.3 19 194.5 44.0 11.8 66.9 1669.1
Sim2 4.3 1.6 77.1 36.9 75 72 2.1 1.9 194.2 40.2 10.9 56.7 1144.1
Sim3 2.9 1.2 48.3 20.7 7.9 7.2 2.2 1.9 194.4 42.1 11.4 61.8 1406.6
Sim4 1.1 0.6 14.2 4.8 15.0 12.7 151 2.5 140.5 51.5 14.3 90.2 703.3
Sim5 1.8 1.0 28.7 62 10.9 8,5 2.4 2.4 176.8 527 14.0 91.7 1019.7
Sim6 1.7 1.0 29.2 6.1 10.8 8.3 2.3 2.4 163.5 51.8 13.6 86.7 973.1
Sim7 1.5 0.8 191 4.4 8.2 7.4 2.3 1.9 186.1 43.2 11.5 67.3 1587.6
Sim8 2.0 3.6 77.5 8.7 7.7 7.3 2.2 1.9 188.4 40.5 11.0 59.4 1257.6
Sim9 11 0.5 13.2 3.2 18.0 13.6 2.1 1.6 141.1 53.5 13.6 59.9 639.5
Berdasarkan seluruh hasil analisis diatas, dengan jelas dapat diketahui kebijakan mana yang terbaik dalam upaya peningkatan output, pendapatan rumahtangga, peningkatan upah tenaga kerja maupun penyerapan tenaga kerja yang nantinya akan dipilih oleh para pembuat kebijakan, sesuai dengan skala prioritas yang paling mendesak untuk kepentingan nasional saat ini. 7.3. Dampak Pembangunan Pertanian terhadap Perekonomian Dirinci Menurut Kelompok Kebijakan Secara garis besarnya kita dapat mengelompokan seluruh kebijakan yang disimulasikan menjadi empat bagian yang meliputi kebijakan di sektor riil/produksi (Simulasi 1, 2, 3 dan 4), pendapatan rumahtangga (Simulasi 5), harga (Simulasi 6) dan perdagangan (Simulasi 7, 8 dan 9). Hasilnya dalam bentuk persentase perubahan dapat diperhatikan pada Tabel 37, Gambar 20, Gambar 21 dan Gambar 22.
179
Tabel 38. Dampak Pembangunan Pertanian Menurut Kelompok Kebijakan
Aktifitas TK Pert Desa TK Pert Kota TK Non Pert Desa TK Non Pert Kota Kapital RT Buruh Pert RT Pengusaha Pert RT Non Pert Desa Gol.Bawah RT Non Pert Desa Gol.Atas RT Non Pert Kota Gol Bawah RT Non Pert Kota Gol Atas Perusahaan Padi Jagung Tanaman Pangan Lainnya Tebu Kelapa sawit Perkebunan Lainnya Industri pemotongan ternak Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan dan perburuan Perikanan Pertamb btbara, bj logm, migas Pertambangan dan penggalian lainnya Ind makanan, minuman dan tembakau Ind minyak dan lemak Ind penggilingan padi Ind tepung segala jenis Ind gula Ind pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit Ind kayu, barang-barang dari kayu Ind kertas, cetak; alt angkt, brg dr lgm & lainnya Ind kimia, pupuk, hasil dr tnh liat & semen, lgm dsr Konstruksi/bangunan Listrik, gas dan air minum Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, jasa perusahaan, real estate Jasa-jasa
Base (Rp Juta) 218 894.26 31 238.45 262 223.44 610 144.69 857 257.46 94 524.77 354 160.57 251 003.64 141 480.40 409 807.44 387 118.60 467 566.60 74 045.97 28 987.05 139 666.58 6 069.88 19 997.68 75 232.16 39 249.86 88 971.43 28 255.66 84 690.10 217 818.08 35 565.51 261 850.49 78 933.96 88 286.77 80 809.70 15 273.19 268 533.25 87 188.55
Dampak Perubahan (%) Perd Prod Pend Hrg g 1.81 1.32 1.27 1.84 1.78 1.32 1.27 1.66 0.82 0.80 0.76 0.76 0.81 0.84 0.80 0.77 0.79 0.78 0.76 0.80 1.00 6.25 6.24 1.06 1.22 103 2.41 1.10 0.92 2.85 0.83 0.91 1.01 0.90 0.87 0.91 0.83 0.85 0.82 0.79 0.84 0.84 0.80 0.78 0.80 0.77 0.75 0.88 1.64 1.20 1,14 1.44 1.61 1.34 2.89 1.38 1.39 1.48 3.61 2.87 1.70 1.41 1.16 1.78 1.35 0.74 6.72 1.67 1.24 0.95 4,.79 0.97 1.30 1.41 1.44 1.32 1.30 1.47 3.29 0.59 0.95 0.45 1.09 0.86 1.33 1.31 1.15 0.62 0.42 0.42 0.36 0.24 0.29 0,13 0.11 1.31 1.45 1.30 1,.27 0.55 1.18 0.75 0.60 0.95 1.46 1.24 1.05 1.02 1.72 1.16 0.99 2.95 1.49 1.4 1.14 1.30 1.16 0.84 0.55 0.25 0.86 0.25 0.18 0.69
659 178.77
0.58
0.58
0.44
0.76
742 914.62 331 094.85 70 431.02 199 526.15 186 762.42 291 955.60 4 6518.6
0.51 0.32 0.92 1.06 0.95 0.91 0.69
0.60 0.06 1.09 0.92 1.05 1.04 0.81
0.54 0.06 0.86 1.05 0.87 0.88 0.63
0.05 0.81 0.93 0.95 0.94 0.56 0.82
180
2.00 Prod
1.80
Pend Hrg
1.60
Perdg
1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 TK Pert Desa
TK Pert Kota
TK Non Pert Desa TK Non Pert Kota
Kapital
Gambar 20. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Jasa-Jasa Menurut Kelompok Kebijakan 7.00 Prod Pend Hrg Perdg
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00 RT Buruh Pert
Gambar 21.
RT Pengusaha Pert
RT Non Pert Desa RT Non Pert Desa RT Non Pert Kota RT Non Pert Kota Gol.Bawah Gol.Atas Gol Bawah Gol Atas
Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Rumahtangga Menurut Kelompok Kebijakan
181
4.50
Prod Pend Hrg Perdg
4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00 T. Pangan
Prkebun
Gambar 22.
Pternakn
Khutan
Prikann
Tmbg&Galian
Agroindustr
Ind Lain
Jasa
Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor-Sektor Produksi Menurut Kelompok Kebijakan
Jika kita perhatikan pada tabel dan seluruh gambar tersebut, terlihat bahwa kebijakan pembangunan pertanian yang paling tinggi mendorong kenaikan pendapatan tenaga kerja pertanian adalah kebijakan dalam bidang produksi, harga dan perdagangan. Ketiga aspek pembangunan pertanian tersebut mampu menaikan pendapatan tenaga kerja pertanian di atas nilai base line rata-rata sekitar 1.27 persen sampai 184 persen. Untuk peningkatan pendapatan rumahtangga, ternyata kebijakan non pendapatan yang paling besar adalah kebijakan harga. Dibandingkan kebijakan produksi dan perdagangan, kebijakan harga ini mampu memberi dampak lebih tinggi untuk menaikkan pendapatan rumahtangga buruh tani dan pengusaha tani masing-masing kurang lebih sekitar 6.24 persen dan 2.41 persen. Sementara untuk kenaikan pendapatan rumahtangga di perdesaan (golongan bawah dan atas),
182
kebijakan di bidang produksi tampaknya relatif lebih baik menaikkan pendapatan rumahtangga, kurang lebih sekitar satu persen. Kondisi yang yang berbeda bila dilihat pada perubahan pendapatan rumahtangga di perkotaan. Dampak kebijakan produksi, harga dan perdagangan di sektor pertanian sepertinya dirasakan merata oleh seluruh rumahtangga tersebut. Masing-masing rumahtangga di kota rata-rata menerima dampak injeksi sekitar 0.85 persen. Pada Tabel 32 dan Gambar 21 juga terlihat jelas bahwa secara merata kebijakan pembangunan pertanian yang paling tinggi meningkatkan pendapatan sektoral adalah kebijakan di bidang harga. Khususnya untuk sektor tanaman pangan yang naik sebesar 1.85 persen, perkebunan sebesar 1.72 persen peternakan sebesar 1.79 persen. Berdasarkan semua temuan empiris di atas, telah dibuktikan bahwa kebijakan pembangunan pertanian yang paling baik mendorong perekonomian secara agregat adalah kebijakan di sektor produksi dan harga. Kedua kebijakan ini secara merata mampu menaikkan pendapatan faktor produksi, institusi rumahtangga, dan sektor produksi lebih baik. Namun jika ingin ditelaah lebih jauh lagi, maka sebenarnya kebijakan harga adalah yang paling efektif untuk menaikkan pendapatan rumahtangga dalam perekonomian. Namun demikian untuk meningkatkan produksi secara kontinyu kebijakan produksi dan perdagangan
lebih
efektif
karena
mampu
mendorong
produsen
untuk
meningkatkan produksinya. Adanya kenaikan produksi, permintaan modal dan tenaga kerja akan bertambah. Sehingga setiap rumahtangga yang memiliki faktorfaktor produksi tersebut akan meningkat pendapatannya. Efek multiplier yang dipancarkan oleh kebijakan produksi dan perdagangan tampak lebih luas dan menjangkau seluruh pendapatan rumahtangga.
VIII. IMPLIKASI KEBIJAKAN
Hasil studi ini telah membuktikan bagaimana peranan sektor pertanian dan agroindustri itu sangat menonjol dalam perekonomian Indonesia. Sebagai misal untuk mendorong kenaikan nilai tambah dalam perekonomian telah terbukti bahwa sektor padi, industri penggilingan padi dan tebu menjadi penyumbang paling besar. Dimana ketiga sektor itu paling tinggi memberi kontribusi nilai tambah melalui pendapatan tenaga kerja perdesaan, yang pada akhirnya akan mendorong kenaikan pendapatan rumahtangga di perdesaan. Sedangkan melalui pertambahan modal yang paling besar kontribusinya adalah sektor industri minyak dan lemak, sektor perikanan dan sektor kehutanan dan perburuan. Melalui analisis multiplier juga telah ditunjukkan bahwa sektor pertanian mampu memberi kenaikan penerimaan atau pendapatan perusahaan yang cukup tinggi. Tiga sektor pertanian dan agroindustri yang berhasil dideteksi memberi kontribusi terbesar pada penerimaan perusahaan adalah sektor kehutanan, industri minyak dan lemak serta industri tepung. Ketiganya merupakan sektor yang paling banyak memberi transfer kepada institusi perusahaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pertanian dan agroindustri merupakan sektor yang paling tinggi memiliki keterkaitan ke belakang maupun ke depan dalam perekonomian Indonesia. Peran pertanian dan agroindustri seperti ini sudah banyak diungkap oleh pakar ekonomi. Untuk sektor pertanian selain diposisikan menjadi penyedia input, juga dapat berperan sebagai pasar yang sangat menguntungkan untuk sektor-sektor agroindustri. Dalam hal ini sektor pertanian dapat berperilaku sebagai seller dan buyer sekaligus. Keadaan seperti inilah yang
184
membuat sektor pertanian itu berkembang sangat dinamis. Melalui studi ini telah ditunjukkan bahwa sektor-sektor pertanian dan agroindustri seperti industri penggilingan padi, industri pemotongan ternak dan komoditi tebu, merupakan sektor-sektor ekonomi yang paling besar mempunyai keterkaitan ke belakang. Upaya untuk mendorong kegiatan sektor riil di Indonesia dapat juga dilakukan melalui peningkatan produksi di sektor pertanian dan agroindustri. Beberapa sektor pertanian yang sangat potensial mendorong pertumbuhan sektor riil diantaranya adalah industri penggilingan padi, industri pemotongan ternak, komoditi tebu dan padi termasuk juga industri kayu dan komoditi jagung. Adapun untuk peningkatan pendapatan rumahtangga, terdapat beberapa sektor pertanian dan agroindustri yang memiliki peranan menonjol. Diantaranya industri penggilingan padi, komoditi tebu, padi, jagung, serta tanaman pangan lainnya. Meskipun terlihat sektor pertanian mempunyai perananan tinggi terhadap kenaikan pendapatan rumahtangga, akan tetapi karena adanya ketimpangan dalam penguasaan sumber-sumber daya ekonomi menyebabkan transfer pendapatan dari sektor pertanian lebih banyak dirasakan oleh petani pemiliki modal yang mempunyai pendapatan lebih tinggi. Sedangkan buruh tani dan rumahtangga desa golongan rendah yang memiliki pendapatan paling kecil diantara semua institusi tidak dapat menerima banyak transfer pendapatan sektor pertanian tersebut. Ironisnya, meski sektor pertanian tidak banyak mentranfer surplus pendapatannya kepada dua golongan rumahtangga tersebut, namun kontribusi buruh tani dan rumahtangga desa golongan rendah terhadap kenaikan penerimaan produksi sektor pertanian secara merata adalah yang paling besar. Seperti yang telah dideteksi melalui angka multiplier yang digunakan dalam studi ini tampak jelas
185
bahwa kedua rumahtangga itu mempunyai peranan paling besar terhadap kenaikan penerimaan produksi di sektor tanaman pangan, industri makanan, minuman dan tembakau, serta industri kain dan tekstil. Padahal ketiga sektor produksi tersebut tidak banyak memberi transfer surplus pendapatannya ke buruh tani dan rumahtangga desa golongan rendah. Untuk mengetahui mengapa hal tersebut dapat terjadi, dalam studi ini juga dilakukan analisis jalur struktural. Melalui analisis dapat diketahui dengan jelas kemana saja aliran efek stimulasi pada suatu sektor di pancarkan. Pada studi ini hanya diberi contoh untuk jalur komoditi padi dan industri penggilingan padi, dimana masing-masing mewakili sektor-sektor primer pertanian dan agroindustri. Hasil dari analisis jalur ternyata membuktikan bahwa petani pemilik modal paling banyak menerima pancaran efek pendapatan dari setiap stimulus ekonomi yang dilakukan kepada kedua sektor tersebut. Termasuk pancaran efek tersebut diterima sebelum akhirnya mencapai buruh tani dan rumahtangga desa golongan rendah. Untuk menjamin terciptanya fundamental ekonomi yang solid demi mewujudkan peningkatan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di masa mendatang, seyogyanya strategi pembangunan ke depan harus didasarkan pada realitas kekuatan sumber daya domestik dan yang banyak menyerap tenaga kerja. Dalam konteks ini, hanya sektor pertanian dan agroindustri merupakan satu-satunya pilihan yang dapat menjamin kondisi tersebut. Sehingga sangatlah relevan jika sektor pertanian dan agroindustri dijadikan sektor strategis pembangunan di masa mendatang melalui pola pembangunan yang disebut agriculture and agro-industry based development
186
(AABD). Untuk mendukung pembangunan semacam ini, beberapa kebijakan publik perlu dilakukan diantaranya kebijakan produksi, harga, perdagangan dan pendapatan rumahtangga tani. Berdasarkan hasil simulasi kebijakan yang telah dilakukan, ditemukan bahwa ada dua kebijakan pertanian yang paling besar dampaknya terhadap pendapatan faktor produksi, rumahtangga, sektor-sektor produksi maupun perekonomian secara menyeluruh. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan produksi dan kebijakan harga. Kebijakan produksi dilakukan dengan cara memberi stimulus ekonomi melalui instrumen pengeluaran pembangunan pemerintah untuk sektor-sektor pertanian baik itu di hilir maupun hulu. Sedangkan kebijakan harga diterapkan dengan membuat kebijakan price support untuk komoditi padi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kebijakan produksi dan harga mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga, tenaga kerja dan sektor-sektor produksi yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan lainnya seperti perdagangan maupun pendapatan. Pada faktor-faktor produksi, yang menerima dampak paling besar dari kebijakan produksi adalah tenaga kerja pertanian. Sedangkan melalui kebijakan harga yang paling tinggi menerima manfaatnya adalah buruh tani. Strategi ini meliputi bagaimana upaya menetapkan berbagai fokus dan prioritas pengembangan industri pertanian berbasis pada sumber bahan baku yang dihasilkan di dalam negeri, bagaimana upaya pengembangan produk-produk antara sebagai bahan dasar untuk berbagai penggunaan (diversifikasi horisontal maupun vertikal) untuk membangun ketahanan pangan yang kuat dan berkelanjutan, strategi pengembangan jaringan distribusi dan transportasi
187
pertanian yang terutama berbasis wilayah kepulauan (pelabuhan dan terminal produk pertanian sebagai unsur pokok), strategi pengembangan sistem informasi dan pemasaran pertanian, dan strategi bagi pemanfaatan limbah-limbah industri pertanian,
serta
berbagai
strategi
fiskal
untuk
memberikan
insentif
berkembangnya industri pertanian. Agroindustri bukan hanya sekedar aktivitas mengolah hasil pertanian menjadi komoditas olahan yang bernilai tambah lebih tinggi, tetapi juga meliputi perubahan sistem nilai dan budaya pembangunan ekonomi dengan strategi kebijakan yang lebih komprehensif. Prinsip-prinsip dasar investasi di sektor hilir berbasis sumberdaya alam ini perlu dijadikan landasan utama , disertai dukungan sektor perbankan yang memadai, manajemen bisnis modern dengan corporate culture yang unggul, ramah lingkungan hidup dan bertangggungjawab secara sosial (Arifin, 2007). Melalui berbagai keunggulan-keunggulan sektor pertanian di atas maka sekali lagi dapat dikatakan bahwa strategi pembangunan ekonomi di masa mendatang sepatutnya diarahkan pada strategi AABD. Di bawah strategi AABD ini, pertumbuhan ekonomi dapat dipacu lebih tinggi, pendapatan masyarakat terutama yang tinggal di perdesaan dapat ditingkatkan lebih baik, perbaikan pendapatan tenaga kerja pertanian dapat dilakukan lebih efektif, dan terakhir peningkatan pasar input maupun output yang berbasis pertanian dapat dilaksanakan dengan lebih mapan. Namun demikian yang lebih penting lagi adalah strategi AABD dapat mempercepat upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan ketahanan pangan nasional.
188
Strategi AABD tidak mengabaikan adanya ketimpangan antara sektor industri dan sektor pertanian, karena itu merupakan keharusan. Namun disini sektor pertanian harus ditempatkan sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi. Untuk itu produktifitas sektor pertanian harus selalu ditingkatkan, dan ditempatkan sebagai elemen unggulan yang sangat penting, dinamis serta menentukan dalam strategi-strategi pembangunan ekonomi secara menyeluruh.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Kesimpulan 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier (VM ), household induced income multiplier (HM), firm income multiplier (FM), other sector income multiplier (OSM), production multiplier (PM) dan gross output multiplier (GM) terhadap 39 subsektor perekonomian Indonesia menunjukkan peringkat 1 sampai dengan 10, sembilan subsektor berasal dari sektor pertanian. yaitu berturut peringkat 1 sampai dengan 8 adalah subsektor industri penggilingan padi, subsektor padi, subsektor tebu, subsektor industri pemotongan ternak, subsektor jagung, subsektor peternakan dan hasilhasilnya, subsektor pertanian tanaman pangan, subsektor industri kayu dan peringkat 10 subsektor tanaman perkebunan. Selain tinggi peranannya terhadap nilai tambah, berdasarkan kajian multiplier pendapatan rumahtangga, ketiga sektor ekonomi berbasis pertanian tersebut juga terindikasi paling tinggi
peranananya
terhadap
perubahan
pendapatan
rumahtangga
dibandingkan sektor-sektor ekonomi lainnya. 2. Sektor produksi pertanian yang paling kuat integrasinya dengan sektor-sektor lain dalam perekonomian nasional adalah subsektor industri penggilingan padi, subsektor industri pemotongan ternak dan subsektor komoditi tebu, subsektor padi, subsektor peternakan dan hasil-hasilnya. Subsektor-subsektor ini dianggap mampu mendorong output pada sektor-sektor produksi yang lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor ekonomi lainnya. Diantaranya terhadap pertambahan output sektor produksi non pertanian yang meliputi (1) sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan
190
industri lainnya, (2) industri kimia, pupuk, hasil-hasil dari tanah liat dan semen, dan logam dasar, (3) sektor keuangan, jasa perusahaan, real estate, dan (4) sektor jasa-jasa. 3. Struktur ekonomi Indonesia pada sektor pertanian masih memperlihatkan besarnya penggunaan tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah (value added), sebaliknya di sektor pertambangan value added yang dihasilkan berasal dari kapital atau dengan kata lain, aktivitas produksinya menggunakan pola padat modal. Besarnya peran upah tenaga kerja dalam menghasilkan value addaed, terkait erat dengan menyempitnya penguasaan modal pertanian (lahan tanah), akses permodalan, teknologi dan akses informasi pasar. Hal ini sangat berpengaruh pada tingkat pendapatan rumah tangga petani dan produktivitas tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. 3. Jalur dasar sektor pertanian yang berakhir pada rumahtangga berpendapatan rendah dan buruh tani umumnya hanya melalui jalur mulai dari sektor produksi, kemudian tenaga kerja, dan berakhir pada rumahtangga. Sedangkan untuk pengusaha tani dan rumahtangga di perkotaan, sebagian besar jalur dasarnya dimulai dari sektor pertanian, kemudian tenaga kerja, modal, produksi (padi, jagung, kelapa sawit, perkebunan, dan perdagangan), dan terakhir rumahtangga. Beberapa sektor pertanian yang memiliki empat alur seperti ini antara lain jagung, kehutanan dan perburuan, industri makanan, minuman dan tembakau, industri minyak dan lemak, dan industri penggilingan padi. 4. Kebijakan pembangunan pertanian yang paling besar mendorong kenaikan pendapatan tenaga kerja pertanian adalah kebijakan dalam bidang produksi,
191
harga dan perdagangan. Sedangkan pada rumahtangga petani yakni buruh tani dan petani pemilik modal, diluar kebijakan transfer pendapatan secara langsung, maka kebijakan harga merupakan kebijakan pembangunan pertanian yang dapat meningkatkan pendapatan kedua institusi rumahtangga tersebut. Akan tetapi untuk peningkatan pendapatan rumahtangga non pertanian , ternyata kebijakan yang paling besar dampaknya terhadap perubahan pendapatan adalah kebijakan produksi. Kebijakan produksi juga memberi pengaruh yang paling besar terhadap pendapatan sektoral. Untuk rumahtangga non pertanian, terlihat semua kebijakan pembangunan pertanian (produksi, harga, perdagangan dan pendapatan) memberi dampak yang cukup merata untuk seluruh rumahtangga. 9.2. Saran 1. Produksi pertanian perlu ditingkatkan melalui proses intensifikasai seperti akses
ke
sumber-sumber
input
berkualitas,
informasi,
penyuluhan,
pendampingan, teknologi tepat guna, kredit, maupun pasar output, yang, diantaranya dan ekstensifikasi melalui pembukaan lahan pertanian baru, mengingat masih tersedianya lahan yang belum temanfaatkan seluas 10 juta hektar dan penataan penggunaan lahan (land use) yang lebih adil untuk mensejahterakan masyarakat luas. Disamping itu perlu upaya peningkatan nilai tambah produk pertanian melalui pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri di perdesaan yang dapat dibangun melalui pola kemitraan yang saling menguntungkan antara petani dengan agroindustri skala besar. Dalam hal ini peranan pemerintah sangat diperlukan, dimana salah satu peran yang
192
paling penting adalah mencanangkan pembangunan agriculture and agroindustry based sebagai motor penggerak perekonomian nasional. 2. Pembangunan pertanian dan agroindustri hendaknya ditempatkan sebagai instrumen yang paling utama dalam mengentaskan kemiskinan di perdesaan. Untuk itu perlu diupayakan peningkatan surplus pertanian yang dapat dijadikan sebagai stimulus kenaikan pendapatan rumahtangga tani. 3. Produktivitas sektor pertanian perlu didorong melalui kebijakan peningkatan daya saing dan tersedianya jaminan pasar terhadap hasil produk pertanian, seperti kebijakan dukungan harga, kebijakan kemudahan distribusi (biaya distribusi yang murah dan cepat) dari tempat produksi ke pasar, kebijakan proteksi melalui instrumen tarif maupun non tarif terhadap produk pertanian impor. Diharapkan kebijakan dukungan harga dengan dukungan instrumen kebijakan lainnya dapat bersinergi dalam memproteksi kestabilan harga dan hasil produksi komoditi pertanian domestik. 4. Peranan sektor pertanian terhadap perekonomian di sebagian besar daerah adalah paling besar, mengingat daerah-daerah di Indonesia ini banyak yang memiliki basis ekonomin pada sektor tersebut. Untuk itu agar analisis peranan sektor pertanian dalam perekonomian juga dapat diketahui di tingkat daerah maka perlu penelitian ditingkat nasional dilengkapi dengan penelitian analisis peranan sektor pertanian dengan menggunakan SNSE daerah provinsi. Diharapkan analisis tingkat nasional dan daerah dapat memotret peran pertanian tidak hanya terhadap perekonomian tingkat nasional atau suatu daerah, namun yang lebih jauh lagi mampu menguraikan peranannya itu dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah di Indonesia,
193
terutama dikaitkan dengan adanya kecenderungan kenaikan harga pangan yang diluar biasanya sebagai akibat dari kenaikan harga bahan bakar dunia, penggunaan bio fuel sebagai energi alternatif, pemanansan global, peningkatan kesejahteraan di negara yang berpenduduk besar (Cina dan India). 5. Diperlukan kebijakan pemerintah yang efektif untuk menjaga kontinuitas ketersediaan lahan pertanian dan sarana pendukungnya. Kebijakan itu hendaknya bukan berupa pengaturan atau regulasi semata, tetapi juga harus mengandung komponen insentif dengan struktur yang tepat, agar mampu memberi sinyal yang benar kepada pelaku usaha atau petani untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja usaha taninya.
DAFTAR PUSTAKA
Adelman, I. 1984. Beyond Export-Led Growth. In Adelman, I. 1995. Institution and Development Strategies. The Selected Essay of Irma Adelman. University of California, Berkley. Adelman, I. and K. Ralston. 1992. Institution and Economic Linkages at The Village Level in West Java Indonesia. Working Paper (623). Department of Agricultural and Resources Economic, University of California, Berkeley. Allen, H.H. 1998. Social Accounting Matrix. A Paper Prepared for Course on National Accounts, London. Antara, M. 1999. Dampak Pengeluaran Pemerintah dan Wisatawan Terhadap Kinerja Perekonomian Bali : Pendekatan Social Accounting Matrix. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arifin, B. 2004. Menterjemahkan Keberpihakan Terhadap Sektor Pertanian. Perhepi, Jakarta. . 2005. Kendala dan Solusi Alternatif Revitalisasi Pertanian. Kompas, 16 Juli 2005. _______ . 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. PT Raja Grafindo, Persada Jakarta. Astuti, E. 2005. Dampak Investasi Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian dan Upaya Pengurangan Kemiskinan di Indonesia: Pendekatan Social Accounting Matrix. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik.1995. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output. Badan Pusat Statistik, Jakarta. . 2003. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ___________________. 2006. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bautista, R.M., S. Robinson and M. Said. 1999. Alternative Industrial Development Paths for Indonesia : SAM and CGE Analysis. International Food Policy Institute, Washington, DC. Bautista, R.M. 2000. Agriculture-Based Development: A SAM Perspective on Central Vietnam. The Developing Economies, 34(1): 112–32. Blair, J.P. 1991. Urban and Regional Economics. Wright State University, Homewood. Richard D. Irwin Inc., Boston.
198
Burfisher, M.E. and S. Robinson. 2002. Developing Countries and The Gains from Regionalism: Links Between Trade and Farm Policy Reforms in Mexico. American Journal of Agricultural Economics, 84(3): 736-748. Carmer, L.M., M.A. Cardenete and J.V. Ferrer. 2003. Structural Path Analysis : Aplication to Structural Changes in the Andalusisan Economy (19901999). European Regional Science Association ERSA 2003 Congress University of Jyvaskyla, Finland. Byerlee, D., Diao, X. and Jackson, C. 2005. Agriculture, Rural Development, and Pro-poor Country Experience in the Post-Reform Era Growth The World Bank, Agriculture and Rural Development Discussion paper 21. Cella, G. 1984. The Input-Output Measurement of Interindustry Linkages. Oxford Bulletin of Economics and Statistics, 46(1): 74-84. Chang, H.J. 2003. Rethinking Development Economics. Wimbledon Publishing Company, London. Channing, A., T.P. Henning and T. Firn. 1998. Structural Characteristics of The Economy of Mozambibique: A Sam-Based Analysis. Institute of Economics University of Copenhagen, Copenhagen Chantal, P. N. 2002. Social Accounting Matrices for Vietnam 1996 and 1997. Trade and Macroeconomics Division, Internasional Food Policy Research Institute, Washington DC. Chenery, H.B. and T. Watanabe. 1958. International Comparasions of the Structure of Production. Econometrica, 26(4): 487-521. Chulu, O. and P. Wobst. 2001. A 1998 Social Accounting Matrix for Malawi. Discussion Paper (69). Trade and Macroeconomics Division, International Food Policy Research Institute, Washington DC. Clements, B.J. 1990. On the Decomposition and Normalisation of Interindustry Linkages. Economics Letters, (33): 337-340. Darmorejo, S.K. 2003. Analisis Kebijakan Hubungan antar Sektor Perekonomian Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian 1(4):64-79 Daryanto, A. 1995. Application of Input Output Analysis. Department of SocioEconomics Sciences, Faculty of Agricultural, Bogor Agricultural University, Bogor. __________. 1999 Indonesia’s Crisis and the Agricultural Sector: the Relevance of Agricultural Demand-Led Industrialisation, Department of SocioEconomic Sciences Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University, Bogor.
199
Daryanto, A. 2000. Growth and Structural Change in the Indonesian Economy : An Input-Output Perspective. Mimbar Sosek, 13(3) : 1-22. __________. 2001. Peranan Sektor Pertanian dalam Pemulihan Ekonomi. Agrimedia, 6(3): 42-46. . 2004. Penguatan Kelembagaan Sosial Ekonomi Masyarakat Sebagai Modal Sosial Pembangunan. Agrimedia, 9(1) : 22-25. . 2005. Keunggulan Daya Saing dan Teknik Identifikasi Komoditas Unggulan dalam Mengembangkan Potensi Ekonomi. Agrimedia, 9(2): 15-20. __________ . 2008. Selamat Tinggal Era Pangan Murah. (tidak dipublikasikan). Daryanto, A. and J. Morison. 1992. Structural Interdependence in the Indonesian Economy, with Emphasis on the Agricultural Sector, 1971-1985 : An Input-Output Analysis. Mimbar Sosek, 6(12) : 74-99. Decaluwe, B., A. Patry, L. Savard and Thorbecke. 1999. Poverty Analysis Within a General Equilibrium Framework. Working Paper 9909. Centre de Recherche en Economie et Finance Appliquees, Dakar. Departemen Pertanian, 2002. Pembangunan Sistem Agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional. Departemen Pertanian, Jakarta. Dietzenbacher, E. and J. van der Linden. 1997. Sectoral and Spatial Linkages in the EC Production Structure. Journal of Regional Science, 37(2): 235-57. Direktorat Jendral Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2004(a). Diplomasi Indonesia di Sektor Pertanian pada Forum Kerja Sama Internasional. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. __________________________________________________________. 2004(b). Kebijakan Proteksi dan Promosi Sektor Pertanian. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. ___________________________________________________________. 2005. Revitalisasi Pertanian Melalui Agro Industri Perdesaan. Departemen Pertanian, Jakarta. Erwidodo dan A. Ratnawati. 2004. Indonesia’s Agriculture in Global Unfair Trade Policy Responses Toward Becoming an Efficient and Competitive Player. Brighten Institute, Bogor. Fogiel, M. 1992. The Economic Problem Solver (A complete Solution Guide to any Textbook), Research and Education Association, Piscataway, New Jersey.
200
Friyaningsih. 2003. Analisis Struktur Perekonomian Indonesia Sebelum Krisis Ekonomi dan Masa Krisis Ekonomi (Analisis Input-Ouput). Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gandhi, V., Kumar, G. and Robin M. 2001. Agroindustry for Rural and Small Farmer Development: Issues and Lessons from India International Food and Agribusiness Management Review, 2(3/4) : 331-344. Hajnovicova, V. and J. Lapisakova. 2002. Input-Output and SAM Multipliers Analysis : The Slovak Case. International Conference on Input-Output Techniques, Montreal. Halwani, R.H. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Ghalia Indonesia, Jakarta. Hayami, Y. 2001. Development Economics: from the Poverty to the Wealth of Nation. Second Edition. Oxford University Press Inc., New York. Hendranata, A. 2002. Model Input-Output Ekonometrika Indonesia dan Aplikasinya untuk Analisis Dampak Ekonomi.Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Herliana, L. 2004. Peranan Sektor Pertanian Dalam Perekonomian Indonesia : Analisis Dekomposisi Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hess, P. and C. Ross. 1977. Economic Development: Theories, Evidence and Polcies. The Dryden Press, Hardcourt College Publisher, Florida. Hill, M. 1992. Economics of Development. W.W. Norton and Company. New York. Hirschman, A.O. 1958. The Strategy of Economic Development. Yale University Press, New York. Idenburg, A. M. and H. C. Wilting. 2000. DIMITRI: A Dynamic Input-output Model to study the Impacts of Technology Related Innovations. Paper Presented at the Thirdteenth International Conference on Input-Output Techniques, Macerata. Ina, D. 2002. Input-Output Based Measures of Interindustry Linkages Revisited: A Survey and Discussion. Centre for Economic and Business Research, Ministry of Economic and Business Affairs, Copenhagen. Indopos. 2004. Globalisasi Rugikan Negara Berkembang. Jawa Pos News Network (JPNN).Terbitan Selasa tanggal 8 juni 2004. [http://www.indopos.com]. Investorindo. 2005. RI Terapkan Triple Track Strategy untuk Capai Target Ekonomi Terbitan Rabu tanggal 12 Oktober 2005.
201
James, J. and H. Khan. 1993. The Employment Effects of an Income Redistribution in Developing Countries. World Development, 21(5): 817827. Jan van der, L. 1998. Input-Output and the Analysis of Sector Policy Scenarios. Paper presented to the Twentieth International Conference on InputOutput Techniques, New York. Jiemen, G. and M. A. Planting. 2000. Using Input-Output Analysis to Measure US Economic Structural Change Over a 24 Year Period. Paper Presented at the Thirdteenth International Conference on Input-Output Techniques, Macerata. Jones, L.P. 1976. The Measurement of Hirschmanian Linkages. Quarterly Journal of Economics, (40): 323-333. Kompas. 2005. Sintesa Ekonomi Politik, Tujuh Prioritas Pembangunan. [http ://www.kompas.com.Terbitan 2006] Krisnamurthi, B. 2004. Strategi Pembangunan Pembiayaan untuk Pengurangan Kemiskinan Pertanian. Perhepi, Jakarta. Krueger, A.O. 1995. Policy Lesson from Development Experience Since the Second World War. North-Holland Publishing Company, Amsterdam. Kuncoro, M. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, Yogyakarta. Lahr, M. L. 1998. A Strategy for Producing Hybrid Regional Input-Output Tables. Paper was Presented at Twentieth International Conference on InputOutput Techniques, New York City. Laporan Pembangunan Dunia. 2008. Pertanian Untuk Pembangunan. Edisi 2008, Salemba Empat, Jakarta. Malian, A.H. 2003. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Produk Pertanian dan Produk Industri Pertanian Indonesia : Pendekatan Macroeconomic Models dengan Path Analysis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan, Jakarta. Manaf, D. 2000. Pengaruh Subsidi Harga Pupuk terhadap Pendapatan Petani : Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mangkuprawira, S. 2000. Analysis of Regional Economy in Bogor District, West Java Province an Input-Output Model. Mimbar Sosek 13(3): 15-30. Mankiw, G. 2000. Macroeconomics. Fourth Edition. Worth Publishers, New York.
202
Masyhuri. 2006. Konsep Industrialisasi Pertanian yang Berkeadilan dan Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional ’Revitalisasi Kebijakan Menuju Industrialisasi Pertanian yang Berkeadilan dan Berkelanjutan’ oleh Majelis Guru Besar UGM dalam rangka Dies Natalis UGM ke 57, tgl 8-9 Desember 2006. Masyhuri. 2007. Revitalisasi Pertanian untuk Mensejahterakan Petani, Disampaikan dalam Kongres dan Konpernas Perhepi tgl 3-5 Agustus 2007 di Surakarta. McCann, P. 2001. Urban and Regional Economics. Oxford University Press, New York. McGrath, M.D. 1987. What can Economists do with South: Africa’s SAMs. Development Southern Africa, 4(2): 301-311. Meier, G.M. 1995. Leading Issues in Economic Development. Six Edition. Oxford University Press, New York. Mellor, J. W. 2000. Faster More Equitable Growth : The Relation Between Growth in Agriculture and Poverty Reduction. Discussion Paper (70), Consulting Assistance on Economic Reform (CAER)II Project Office, Harvard Institute for International Development. Miller, R. E. and P. D. Blair. 1985. Input-Output Analysis: Foundations and Extensions. Prentice-Hall, Inc., New Jersey. Mubyarto. 2003. Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan. Artikel 2(2).[ http://www.ekonomi-rakyat.org]. Muchdie. 1998. Teknik Hibrida dalam Penyusunan Tabel Input-Output Antar Daerah: Sebuah Prosedur untuk Ekonomi Kepulauan. Ekonomi dan Keuangan, 66(1) : 117-145. Nainggolan, K. 2006. Politik Pangan dan Kesejahteraan Petani Semiloka Perhepi, Malang 19 Desember 2006. Nokkala, M. 2000. Social Accounting Matrics and Sectoral Analysis: The Case of Agricultural Sector Investments in Zambia. Policy Papers (1). Institute of Development Studies, University of Helsinki, Helsinki. Norton, R.D. 2004. Agricultural Development Policy : Concepts and Experiences. John Wiley and Sons Ltd, West Sussex. Okuyama, Y., M. Sonis and G.J.D. Hewings. 2002. Structural Change of the Chicago Economy: A Temporal Inverse Analysis. Paper Presented at the Fourteenth International Conference on Input-Output Techniques, Montreal.
203
Pakpahan, A. 2004, Hak Hidup Petani dan Impor Produk Pertanian, Analisis Kebijakan Pertanian. Agricultural Policy Analysis, 2(1): 17-24. Parikh, A. and E. Thorbecke. 1996. Impact of Rural Industrilization on Village Life and Economy: A Social Accounting Matrix Approach. Economic Development and Cultural Change, 44(2): 351-377. Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005. Rencana Pembangunan Jangka Menengah, 2005 – 20009. Seketariat Negara, Jakarta. Pindyck, R. and D. Rubenfeld. 2001. Microeconomics. Fifth Edition. Prentice Hall International Inc., New Jersey. Prajogo, U.H. dan M. Sudi. 2004. Analisis Komparasi Daya Saing Produk Ekspor Pertanian Antarnegara Asean dalam Era Perdagangan Bebas AFTA. Jurnal Agro Ekonomi, 22(1): 45-73. Priyarsono, D.S. et al. 2006. Peranan Pertanian dalam Mengatasi Masalah Pengangguran, Kemiskinan, dan Ketahanan Pangan. Laporan Penelitian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana Angkatan III. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pyatt, G. and J. Round. 2004. Multiplier Effects and the Reduction of Poverty. University of Warwick.
[email protected] Roland, H.D., and Tarp, F. 2000. Household Income Determination in Vietnam: A Structural Analysis with Implications for Market Reform. Discussion Paper No. 0203, Central Institute For Economic Management, Hanoi. Ropingi. 1999. Analisis Keragaan Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat Boyolali dengan Pendekatan Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rosen, H. S. 2005. Public Finance. Seventh Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc., New York Round, J. 2003. Social Accounting Matrices and SAM-based Multiplier Analysis. [http://poverty.worldbank.org/files/14017_chapter14.pdf] Rusman, H. 2004. Peranan dan Dampak Pariwisata pada Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Model I-O dan SAM. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sadoulet, E. and A. de Janvry. 1995. Quantitative Development Policy Analysis. The Johns Hopkins University Press, Baltimore. Sahara. 2003. Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak, Tarif Dasar Listrik, Tarif Telepon dan Penyaluran Dana Kompensasi Terhadap Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
204
Sahdan, G. 2005. Menanggulangi Kemiskinan Desa. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan, 5(3). [http://www.ekonomirakyat.org]
Sajogyo. 2002. Pertanian dan Kemiskinan. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel 1(1). [http://www.ekonomi-rakyat.org]
Sanjib, P. 1991. Income and Employment Effects in Mumbai Region : An InputOutput Approach. National Council of Applied Economic Research, 41:45-72. Santong, L., G. Ying and H. Jianwu, 2004. SAM Based Multiplier Analysis for China’s Economy. Development Research Center the State Council, PRC. Paper Prepared for the Thirdteenth Forum World Conference in Marina, Macareta. Setiawan, U. 2007. Lahan Pertanian dan Hak Asasi Petani. Suara Pembaruan 19 Juli 2007. Simatupang, P. 2000. Kelayakan Pertanian Sebagai Sektor Andalan Pembangunan Ekonomi Nasional. Pusat Studi Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, Bogor. ___________ dan S.K. Darmorejo. 2003. Produksi Domestik Bruto, Harga dan Kemiskinan : Hipotesa Trickle Down Dikaji Ulang. Ekonomi dan Keuangan Indonesia 51(3): 291-324. Sinar Harapan. 2005. Revitalisasi Pertanian Akankah Mengangkat Nasib Petani. Terbitan 25 Juni 2005. Sipayung, T. 2000. Pengaruh Kebijakan Makro Ekonomi terhadap Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soetrisno, N. 2004. Melihat Hari Depan Pertanian Kita: Rekonstruksi dan Restukturisasi Ekonomi Pertanian. Perhepi, Jakarta. Stiglitz, J. 2002. Globalization and Its Discontents. W.W. Norton Company, New York. Stiglitz, J. E. 2005. Economics of the Public Sector. Third Edition. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. W.W.Norton and Company, Inc., New York. Stringer, R. 2001. How Important are the Non-Traditional Economic Roles of Agriculture in Development. Discussion Paper (0118). Centre for International Economic Studies, Adelaide University, Adelaide. Suahasil, N. 1997. Analisis Input Output. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
205
Sudaryanto, T. dan N. Syafa’at. 2002. Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Wilayah. Dalam: Analisis Kebijaksanaan: Pendekatan Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Sudjana, B.G. 2004. Growth in Equality in Indonesia Today: Implication for Future Development Policy. United Nations Support Facility for Indonesia Recovery, Jakarta. Suslow, V.Y. and J. Hamilton. 1998. Study Guide Micro Economics, Prentice Hall, Upper Saddle River, Singapore. Sutomo, S. 1995. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. _________. dan N.S. Sulistini. 1987. Distribusi Pendapatan dan Pola Pengeluaran Rumah Tangga: Pengamatan Berdasarkan SNSE Indonesia 1975 dan 1980. Ekonomi Keuangan Indonesia, 35(2): 211-247. Syafa’at, N., P. Simatupang, S. Mardianto dan Khudori. 2005. Pertanian Menjawab Tantangan Ekonomi Nasional : Argumentasi Teoritis, Faktual dan Strategi Kebijakan. Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. ________, S. Friyanto, S. Mardiyanto dan Suryadi. 2003. Kinerja Nilai Tambah dan Produksi Sektor Pertanian, 2000-2003. Analisis Kebijakan Pertanian, 2(1) : 1-16. Tambunan, T. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Ghalia Indonesia. Jakarta. Thaiprasert, N. 2006. Rethinking the Role of Agriculture and Agro-Industry in the Economic Development of Thailand: Input-Output and CGE Analysis. Graduate School of International Development, Nagoya University, Japan. Todaro, M.P. 2001, Economic Development. Seventh Edition. Addison Wesley Longman, Inc. New York. Townsend, R.F. and S. McDonald. 1997. Biased Policies, Agriculture and Income Distribution in South Africa: A Social Accounting Matrix Approach. Paper Prepared for the ESRC Development Economics Study Group Conference on the Role of the Public Sector, University of Reading, Cape Town. Van den Berg, H. 2001. Economic Growth and Development. (An Analysis of our Greatest Economic Achievements and our Most Exciting Challenges). International Edition. McGraw Hill, Singapore.
206
Vogel, S.J. 1994. Structural Changes in Agriculture : Production Linkages and Agricultural Demand-Led Industrialization. Oxford Economic Paper (46): 136-156. World Bank 2008. World Development Report 2008, Agriculture for Development. Wagner, J.E. 1999. Developing a Social Accounting Matrix to Examine Tourism in The APA de Guaquaecaba, Brazil. Working Paper No. 58. http://www.rtp.srs.fs. fed.us/econ [10 Juni 2003] Wibowo, R. 2004. Rekonstruksi Perencanaan Pembangunan (Pertanian) Mendatang : Beberapa Catatan Kritis. Dalam Rekonstruksi dan Restrukturisasi Ekonomi Pertanian (Beberapa Pandangan Kritis Menyongsong Masa Depan). PERHEPI, Jakarta. Winoto, J. 2005. “Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implementasinya”, Paper Presented in One Day Seminar on Solving for Agricultural LandConversion and Towards Establishment of Perpetual Agricultural Land, Ministry of Public Work, Jakarta. Winoto, J. dan H. Siregar. 2008. Dinamika Penggunaan Lahan Pertanian dan Kaitannya dengan Kesejahteraan Petani dan Global Warming. Perhepi, Jakarta. World Bank. 2003. World Development Indicators. IBRD, The World Bank, Washington DC.
205
Lampiran 1. Laju Inflasi Selama Tahun 1994-2006 LAPANGAN USAHA
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1. PERTANIAN, PETERNAKAN, HUTKAN
11.5
13.5
10.8
12.8
72.4
22.6
-1.4
14.4
9.9
4.8
4.8
7.9
15.3
a. Tanaman Bahan Makanan
11.0
15.9
10.7
12.4
73.0
25.2
-4.9
16.9
11.3
4.2
2.1
6.9
15.0
b. Tanaman Perkebunan
12.4
15.0
9.5
12.6
102.4
6.1
-9.8
11.8
8.6
4.3
5.8
11.2
7.9
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
10.5
8.5
12.8
17.8
48.6
44.8
2.9
16.4
11.4
4.3
5.4
6.7
13.0
d. K e h u t a n a n
9.5
7.1
8.3
8.5
27.8
22.4
16.8
1.2
1.9
4.1
8.9
12.7
35.3
e. P e r i k a n a n
14.2
14.5
88.8
18.9
12.3
13.3
8.5
8.1
10.7
6.6
16.9
16.4
10.8
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
0.8
13.2
8.4
18.4
119.3
-7.0
47.0
7.1
-14.1
5.5
27.0
47.1
12.8
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
9.0
12.0
12.8
18.0
53.5
15.7
28.9
20.9
6.0
3.4
6.9
15.2
16.7
4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH
26.6
7.6
8.2
1.3
41.0
10.8
-45.1
21.2
35.8
19.5
18.7
6.2
8.0
5. B A N G U N A N
9.6
10.0
9.2
3.7
68.8
11.4
7.6
18.1
13.0
7.3
13.2
22.0
18.3
6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN
7.9
10.5
7.0
8.5
65.6
19.9
22.0
14.4
14.0
1.9
4.3
8.3
9.3
9.3
4.1
4.7
3.3
49.9
7.0
9.2
10.9
18.9
9.2
6.3
14.2
14.0
12.9
3.5
5.3
17.7
55.2
9.1
57.5
11.8
8.4
6.0
4.0
11.8
12.1
7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERSH. 9. JASA – JASA
2.4
12.7
10.4
17.3
50.5
25.9
21.3
14.2
6.6
15.7
13.8
11.8
16.0
PRODUK DOMESTIK BRUTO
8.4
10.7
9.4
13.2
65.4
14.3
21.5
15.0
7.0
5.7
9.0
15.6
14.4
* Angka sementara Sumber : BPS (diolah)
205
206
Lampiran 2. Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 1993 -2006 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN, PETERNAKAN, HUTKAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. K e h u t a n a n e. P e r i k a n a n 2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 3. INDUSTRI PENGOLAHAN 4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH 5. B A N G U N A N 6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERSH. 9. JASA – JASA PRODUK DOMESTIK BRUTO
1993 58 963.4 32 093.4 9 014.8 6 202.7 6 267.6 5 384.9 31 497.3 73 556.3 3 290.2 22 512.9 55 297.6 23 248.9 28 047.8 33 361.4 329 775.8
1994 66 071.5 34 941.0 10 587.2 7 102.3 6 897.4 6 543.6 33 507.1 89 240.7 4 577.1 28 016.9 63 858.7 27 352.7 34 505.6 35 089.4 382 219.7
1995 77 896.2 42 199.6 12 666.6 8 078.7 7 390.4 7 560.9 40 194.7 109 688.7 5 655.4 34 451.9 75 639.8 30 795.1 39 510.4 40 681.9 454 514.1
1996 88 791.8 47 622.1 14 434.6 9 523.8 8 170.5 9 040.8 46 088.1 136 425.9 6 892.6 42 024.8 87 137.2 34 926.3 43 981.9 46 299.4 532 568.0
1997 101 009.4 52 189.4 16 447.4 11 688.1 9 806.5 10 878.1 55 561.7 168 178.0 7 832.4 46 678.8 99 581.9 38 530.9 54 360.3 55 962.0 627 695.5
1998 172 827.6 91 346.0 33 289.6 15 743.6 11 700.5 20 747.9 120 328.6 238 897.0 11 283.1 61 761.6 146 740.1 51 937.2 69 891.7 82 086.8 955 753.5
1999 215 686.7 116 222.5 35 966.5 23 761.2 13 803.8 25 932.8 109 925.4 285 873.9 13 429.0 67 616.2 175 835.4 55 189.6 71 220.2 104 955.3 1 099 731.6
Sumber : BPS (diolah)
206
207
Lampiran 2. (Lanjutan) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN, PETERNAKAN, HUTKAN
2000
2001
2002
2003
2004
2005*
2006**
216 831.5
251 727.0
281 590.8
305 783.5
329 124.60
363 928.80
430 493.90
112 355.6
130 449.4
146 210.8
157 648.8
165 558.20
181 331.60
213 529.70
b. Tanaman Perkebunan
32 491.4
38 171.5
43 037.9
46 753.8
49 630.90
56 433.70
62 690.90
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
25 230.9
30 262.6
34 434.9
37 354.2
40 634.70
44 202.90
51 276.40
d. K e h u t a n a n
16 343.0
16 962.1
17 602.4
18 414.6
20 290.00
22 561.80
30 017.00
e. P e r i k a n a n
30 410.6
35 881.4
40 304.8
45 612.1
53 010.80
59 398.80
72 979.90
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
167 692.2
181 839.5
160 921.4
167 572.3
20 252.00
30 339.10
35 626.90
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
385 597.9
478 311.4
523 199.6
568 920.3
64 342.60
77 724.00
93 361.90
8 393.8
10 854.8
15 392.0
19 144.2
23 730.30
26 693.50
30 398.50
76 573.4
93 790.6
110 527.4
125 337.1
151 247.60
19 775.90
249 127.80
6. PERDAGANGAN, HOTEL &RESTORAN
224 452.2
264 983.6
312 186.9
335 100.4
368 555.90
430 154.20
496 336.20
7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
65 012.1
77 187.6
97 970.1
118 916.4
142 292.00
180 968.70
230 921.60
8. KEU, PERSEWAAN & JASA PERSH.
115 463.0
135 369.5
154 442.3
174 074.5
194 410.90
230 587.20
271 543.10
9. JASA – JASA
129 753.8
152 258.0
165 602.9
198 825.9
236 870.30
276 789.00
338 385.80
1 389 769.9
1 646 322.0
1 821 833.4
2 013 674.6
2 295 826.20
2 784 960.40
3 338 195.70
a. Tanaman Bahan Makanan
4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH 5. B A N G U N A N
PRODUK DOMESTIK BRUTO (*) Angka sementara ( **) Angka sangat sementara Sumber : BPS (diolah)
207
208
Lampiran 3. Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 1993 -2006 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN, PETERNAKAN, HUTKAN
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
58 963.40
59 291.20
61 885.20
63 827.80
64 468.00
63 609.50
64 985.30
66 208.90
32 093.40
31 407.80
32 951.70
33 647.00
32 688.40
33 350.40
34 012.40
34 533.80
34 260.20
b. Tanaman Perkebunan
9 014.80
9 471.60
9 912.00
10 354.90
10 496.60
10 501.80
10 702.00
10 722.00
11 331.90
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
6 202.70
6 451.40
6 789.50
7 133.30
7 483.10
6 439.70
6836.90
7 061.30
7 312.70
d. K e h u t a n a n
6 267.60
6 300.90
6 303.60
6 444.10
7 189.80
6 580.70
6 288.10
6 388.90
6 556.20
e. P e r i k a n a n
6 248.50
6 610.10
6 736.90
7 145.80
7 502.90
7 857.50
a. Tanaman Bahan Makanan
67 318.50
5 384.90
5 659.50
5 928.40
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
31 497.30
33 261.60
35 502.20
37 739.40
38 538.20
37 474.00
36 865.80
38 896.40
39 401.30
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
73 556.40
82 649.00
91 637.10
102 259.70
107 629.70
95 320.60
99 058.50
104 986.90
108 272.30
4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH
3 290.30
3 702.70
4 291.90
4 876.80
5 479.90
5 646.10
6 112.90
6 574.80
7 111.90
5. B A N G U N A N 6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
22 512.90
25 857.50
29 197.80
32 923.70
35 346.40
22 465.30
22 035.60
23 278.70
24 308.20
55 297.60
59 504.10
64230.80
69 475.00
73 523.80
60 130.70
60 093.70
63 498.30
65 824.60
23 248.90
25 188.60
27 328.60
29 701.10
31 782.50
26 975.10
26 772.10
29 072.10
31 338.90
8. KEU, PERSEWAAN & JASA PERSH.
28 047.80
30 901.00
34 313.00
36 384.20
38 543.00
28 278.70
26 244.60
27 449.40
28 932.30
9. JASA – JASA PRODUK DOMESTIK BRUTO
33 361.40
34 285.10
35 405.80
36 610.20
37 934.50
36 475.00
37 184.00
38 051.50
39 245.40
329 775.80
354 640.80
383 792.30
413 797.90
433 245.90
376 374.90
379 352.50
398 016.90
411 753.50
* Angka sementara Sumber : BPS (diolah)
208
209
Lampiran 3. (Lanjutan) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN, PETERNAKAN, HUTKAN
2000
2001
2002
2003
2004
2005*
2006**
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
17 213.7
247 163.60 122 611.70 38 849.30 31 672.50 17 433.80
253 726.00 125 801.80 39 810.90 32 346.50 17 176.90
261296.80 129 211.20 41 081.80 33 309.90 16 784.10
34 667.9
36 596.30
38 589.90
40 909.80
169 932.0
167 603.8
419 387.8
441 754.9 10 349.2
160 100.50 469 952.40 10 897.60 96 334.40 271 142.20 96 896.70 151 123.30 152 906.10 1 656 516.80
165 085.40 491 421.80 11 584.10 103 483.70 293 877.20 109 467.10 161 384.30 160 626.50 1 750 656.10
168 729.90 514 192.20 12 263.60 112 762.20 311 903.50 124 399.00
216 831.5
223 891.5
231 613.5
240 387.3
112 355.6
112 579.5
114 981.5
119 164.8
b. Tanaman Perkebunan
32 491.4
35 032.5
37 073.3
38 693.9
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
25 230.9
27 629.4
29 430.5
30 647.0
d. K e h u t a n a n
16 343.0
16 738.1
17 125.4
e. P e r i k a n a n
30 410.6
31 912.0
33 002.8
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
167 692.2
168 244.4
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
385 597.9
398 323.8
a. Tanaman Bahan Makanan
4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH 5. B A N G U N A N 6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
8 393.8
9 058.3
9 868.2
76 573.4
80 080.4
84 469.8
89 621.8
224 452.2
233 307.9
243 266.6
256 516.6
65 012.1
70 275.9
76 173.1
85 458.4
8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERSH.
115 463.0
123 266.0
131 523.0
140 374.4
9. JASA – JASA
129 753.8
133 957.5
138 982.4
145 104.9
1 389 769.9
1 440 405.7
1 505 216.4
1 577 171.3
PRODUK DOMESTIK BRUTO
170 495.60 170 612.10 1 846 654.90
* Angka sementara Sumber : BPS (diolah)
209
210
Lampiran 4. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1994-2006 LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN, NAK, HUTKAN
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
0.56
4.38
3.14
1.00
-1.33
2.16
1.88
1.68
2.01
3.79
2.82
2.66
2.98
-2.14
4.92
2.11
-2.85
2.03
1.98
1.53
-0.79
0.80
3.64
2.89
2.60
2.71
b. Tanaman Perkebunan
5.07
4.65
4.47
1.37
0.05
1.91
0.19
5.69
4.20
4.37
0.40
2.48
3.19
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
4.01
5.24
5.06
4.90
-13.94
6.17
3.28
3.56
2.36
4.13
3.35
2.13
2.98
d. K e h u t a n a n
0.53
0.04
2.23
11.57
-8.47
-4.45
1.60
2.62
1.92
0.52
1.28
(1.47)
(2.29)
e. P e r i k a n a n
5.10
4.75
5.40
5.79
1.92
6.07
5.00
4.73
3.86
5.05
5.56
5.45
6.01
5.60
6.74
6.30
2.12
-2.76
-1.62
5.51
1.30
2.55
(1.37)
(4.48)
3.11
2.21
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
12.36
10.88
11.59
5.25
-11.44
3.92
5.98
3.13
3.43
5.33
6.38
4.57
4.63
4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH
12.53
15.91
13.63
12.37
3.03
8.27
7.56
8.17
6.00
4.87
5.30
6.30
5.87
5. B A N G U N A N
14.86
12.92
12.76
7.36
-36.44
-1.91
5.64
4.42
4.86
6.10
7.49
7.42
8.97
6. PERDAG, HOTEL DAN RESTORAN
7.61
7.94
8.16
5.83
-18.22
-0.06
5.67
3.66
3.81
5.45
5.70
8.38
6.13
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
8.34
8.50
8.68
7.01
-15.13
-0.75
8.59
7.80
8.03
12.19
13.38
12.97
13.64
8. KEU, PERSEWAAN & JASA PERSH.
10.17
11.04
6.04
5.93
-26.63
-7.19
4.59
5.40
5.73
6.73
7.66
6.79
5.65
9. JASA – JASA
2.77
3.27
3.40
3.62
-3.85
1.94
2.33
3.14
2.13
4.41
5.38
5.05
6.22
PRODUK DOMESTIK BRUTO
7.54
8.22
7.82
4.70
-13.13
0.79
4.92
3.45
3.69
4.78
5.03
5.68
5.48
a. Tanaman Bahan Makanan
2. PERTAMBANG DAN PENGGALIAN
* Angka sementara Sumber : BPS (diolah)
210
211
Lampiran 5. Kontribusi Sektor Produksi terhadap Perekonomian Indonesia Tahun 1993-2006 LAPANGAN USAHA
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1. PERTANIAN, PETERNAKAN, HUTKAN
17.88
16.72
16.12
15.42
14.88
16.90
17.13
16.63
16.35
16.08
15.83
15.39
15.24
14.92
a. Tanaman Bahan Makanan
9.73
8.86
8.59
8.13
7.54
8.86
8.97
8.68
8.32
8.09
7.89
7.64
7.56
7.40
b. Tanaman Perkebunan
2.73
2.67
2.58
2.50
2.42
2.79
2.82
2.69
2.75
2.77
2.79
2.46
2.45
2.35
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
1.88
1.82
1.77
1.72
1.73
1.71
1.80
1.77
1.78
1.75
1.74
1.96
1.94
1.91
d. K e h u t a n a n
1.90
1.78
1.64
1.56
1.66
1.75
1.66
1.61
1.59
1.57
1.50
1.14
1.09
1.05
e. P e r i k a n a n
1.63
1.60
1.54
1.51
1.53
1.79
1.88
1.89
1.91
1.91
1.91
2.19
2.20
2.21
9.55
9.38
9.25
9.12
8.90
9.96
9.72
9.77
9.57
9.46
9.13
11.29
10.63
9.66
22.30
23.30
23.88
24.71
24.84
25.33
26.11
26.38
26.30
26.23
26.08
27.86
28.01
28.37
1.00
1.04
1.12
1.18
1.26
1.50
1.61
1.65
1.73
1.77
1.81
0.66
0.66
0.66
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 3. INDUSTRI PENGOLAHAN 4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH 5. B A N G U N A N
6.83
7.29
7.61
7.96
8.16
5.97
5.81
5.85
5.90
5.97
6.12
5.61
5.68
5.82
6. PERDAGANGA, HOTEL & RESTORAN
16.77
16.78
16.74
16.79
16.97
15.98
15.84
15.95
15.99
16.01
15.95
16.16
16.26
16.37
7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
7.05
7.10
7.12
7.18
7.34
7.17
7.06
7.30
7.61
7.93
8.43
5.06
5.42
5.85
8. KEUAN, PERSEWAAN & JASA PERSH. 9. JASA – JASA PRODUK DOMESTIK BRUTO * Angka sementara Sumber : BPS (diolah)
8.51
8.71
8.94
8.79
8.90
7.51
6.92
6.90
7.03
7.17
7.32
8.74
8.90
9.12
10.12
9.67
9.23
8.85
8.76
9.69
9.80
9.56
9.53
9.39
9.33
9.23
9.20
9.23
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
211
212
Lampiran 6. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Tahun 1993-2006 Lapangan Usaha 1. Pertanian, Peternakan,Hutkan 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 5. Kontruksi/Bangunan 6. Perdag, Hotel, dan Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Penyewaan 9. Jasa-jasa SELURUH SEKTOR Lapangan Usaha
1993 34 727.5 648.4 8 910.2 197.0 30 16.8 13 542.6 3 229.5 646.3 11 961.2 76 879.3
1994 36 238.1 725.2 10 572.9 182.2 3 530.9 13 710.7 3 351.7 623.2 10 752.3 79 687.2
2001
1995 36 239.0 738.2 10 566.0 172.9 3 651.6 14 767.0 3 641.3 654.9 11 190.0 81 620.0 2002
1996 36 239.5 751.2 10 559.0 163.6 3 772.4 15 822.2 3 931.0 686.5 11 627.0 83 552.4 2003
1997 34 536.9 875.1 10 993.5 232.5 4 174.3 16 936.3 4 120.8 655.4 12 522.1 85 047.0 2004
1998 39 144.6 674.6 9 919.0 147.8 3 516.9 16 786.3 4 147.2 617.7 12 338.4 87 292.5
1999 38 378.1 725.8 11 516.0 188.3 3 415.1 17529.1 4 206.0 633.8 12 224.7 88 816.9
2005
2000 40 677.0 414.9 11 642.0 107.7 3 497.2 18 489.0 4 553.9 882.6 9 574.0 89 838.0 2006
1. Pertanian, Peternakan, Hutkan
39 744.0
40 634.0
42 001.0
40 608.0
41 309.8
40 136.2
2. Pertambangan dan Penggalian
866.3
631.8
729.0
1 034.7
904.2
923.6
12 086.0
12 110.0
10 927.0
11 070.5
11 953.0
11 890.2
224.8
178.3
156.4
228.3
194.6
228.0
3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 5. Kontruksi/Bangunan
3 837.6
4 273.9
4 106.6
4 540.1
4 565.5
4697.3
6. Perdagangan, Hotel, & Restoran
17 469.0
17 795.0
16 846.0
19 119.2
17 909.2
19215.7
7. Pengangkutan dan Komunikasi
4 448.3
4 672.6
4 976.9
5 480.5
5 652.9
5 664.0
8. Keuangan, Penyewaan 9. Jasa-jasa SELURUH SEKTOR
1 127.8
991.7
1 294.8
1 125.1
1 141.9
1 346.1
11 004.0
10 360.0
9 746.4
10 515.7
10 327.5
11 355.9
90 807.0
91 647.0
90 785.0
93 722.0
93 958.4
95 456.9
* Angka sementara Sumber : BPS (diolah)
212
213
Lampiran 7.
Produktivitas Relatif Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menururt Lapangan Usaha Tahun 1993-2006 Tahun 1993-2006 (Juta rupiah)
Lapangan Usaha 1. Pertanian, Peternakan, Hutkan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 5. Kontruksi/Bangunan 6. Perdagangan, Hotel, Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Penyewaan 9. Jasa-jasa SELURUH SEKTOR
1993 1.7 48.6 8.2 16.7 7.4 4.0 7.2 43.4 2.7 4.2
1994 1.6 45.9 7.8 20.3 7.3 4.3 7.5 49.6 3.1 4.4
1995 1.7 48.1 8.6 24.8 8 4.3 7.5 52.4 3.1 4.7
1996 1.7 50.2 9.6 29.8 8.7 4.3 7.5 53.0 3.1 4.9
1997 1.8 44.0 9.7 23.6 8.4 4.3 7.7 58.8 3.0 5.0
1998 1.6 55.6 9.6 38.2 6.3 3.5 6.5 45.8 2.9 4.3
1999 1.6 50.8 8.6 32.5 6.4 3.4 6.3 41.4 3.0 4.2
2000 1.6 93.8 9.0 61.1 6.6 3.4 6.3 31.1 3.9 4.4
2001 1.6 45.5 8.9 31.6 6.3 3.7 7.0 25.6 3.5 4.5
2002 1.6 64.0 9.2 42.3 5.9 3.8 7.2 30.9 3.8 4.6
2003 1.6 55.7 10.6 51.5 6.6 4.2 7.5 25.1 4.2 4.9
2004 6.0 154.7 42.4 47.7 21.2 14.1 17.6 134.3 14.5 17.6
2005 6.1 182.5 41.1 59.5 22.6 16.4 19.3 141.3 15.5 18.6
2006 6.5 182.6 43.2 53.7 24.0 16.2 21.9 126.6 15.0 19.3
Sumber: Sakernas 1993-2003, BPS Ket. Tahun 1993-2003 ADH Konstan 1993 Tahun 2004-2006 ADH Konstan 2000
213
214
Lampiran 8 Jumlah Tenaga Keja Per Sektor Ekonomi Tahun 2003 13 Padi 14 Jagung 15 Pertanian tanaman pangan di luar 13 dan 14 16 Tebu 17 Kelapa sawit 18 Pertanian perkebunan di luar 16 dan 17 19 Industri pemotongan ternak 20 Peternakan dan hasil-hasilnya 21 Kehutanan dan perburuan 22 Perikanan 23 Pertambangan batubara, bijih logam, minyak dan gas bumi 24 Pertambangan dan penggalian lainnya 25 Industri makanan, minuman dan tembakau 26 Industri minyak dan lemak 27 Industri penggilingan padi 28 Industri tepung segala jenis 29 Industri gula 30 Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit 31 Industri kayu, barang-bnarang dari kayu 32 Industri kertas, percetakan; alata ngkutan, barang dari logam & 33 Industri kimia, pupuk, hasil-hasil dari tanah liat & semen, dan ligam 34 Konstruksi/bangunan 35 Listrik, gas dan air minum 36 Perdagangan, hotel dan restoran 37 Pengangkutan dan komunikasi 38 Keuangan, jasa perusahaan, real estate 39 Jasa-jasa Sumber : Sakernas 2003
4 324.99 3 630.59 5 078.27 7 156.17 12 000.20 8 869.88 26 938.18 10 548.01 16 566.47 11 612.10 23 849.71 19 448.23 25 602.13 32 574.69 19 971.63 27 356.09 25 903.03 10 558.04 6 698.39 2 952.02 44 769.86 16 317.59 24 212.06 13 590.32 10 027.43 33 441.08 17 114.21
Institusi
F Produksi
Jumlah TK dan RT (000) Golongan Tenaga Kerja TK Pert Desa TK Pert Kota TK Non Pert Desa TK Non Pert Kota Jumlah Total Tenaga Kerja (000) Golongan Rumah Tangga RT Buruh Pert RT Pengusaha Pert RT Non Pert Desa Gol.Bawah RT Non Pert Desa Gol.Atas RT Non Pert Kota Gol Bawah RT Non Pert Kota Gol Atas jumlah Total RT dalam (000)
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah 37 627.63 4 934.22 19 173.39 33 016.81 94 752.05
% 39.71 5.21 20.24 34.85 100.00
Jumlah 7 084 500 17 214 080 10 083 153 2 588 366 12 524 106 5 114 703 54 608 908
% 12.97 31.52 18.46 4.74 22.93 9.37 100.00
215
Lampiran 9. Nilai Tambah Per Sektor Dilihat Dari Kelompok Tenaga Kerja Sektor Produksi 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Neraca Tenaga Kerja 2 3 6 075.66 414.68 1 370.75 100.25 8 071.35 604.83 665.79 167.41 372.88 141.1 3 427.83 1741 1 101.86 409.86 3 288.58 1 560.95 1 327.82 1 113.58 5 535.92 475.01
115 34.71 157.62 93.72 72.57 731.79 510.06 1 450.50 588.60 706.09
TK 56 025.79 15 157.72 81 622.54 3 900.65 5 203.95 39 804.87 7 838.02 24 755.88 7 742.85 19 269.78
VA (Rp.Milyar) 59 464.30 17 789.48 88 514.15 4 126.18 11 130.64 45 859.70 11 905.94 38 491.36 18 603.88 45 466.61
1 49 420.46 13 652.01 72 788.74 2 973.73 4 617.40 33 904.24 5 816.23 18 455.86 4 712.85 12 552.75
23
0
0
7 084.47
19 115.14
7 107.47
147 674.90
4.81
24
0
0
8 582.26
5 966.30
8 606.26
19 777.83
43.51
25
0
0
16 065.25
30 737.94
46 803.19
60 501.31
77.36
26
0
0
974.90
1 198.42
2 173.32
25 240.32
8.61
27
0
0
3 572.76
4 061.78
7 634.53
11 228.73
67.99
28
0
0
1 776.77
2 272.57
4 049.34
21 534.76
18.80
29
0
0
870.24
949.16
1 819.40
2 176.22
83.60
30
0
0
9 911.48
26 853.01
36 764.50
72 085.37
51.00
31
0
0
8 736.15
7 541.37
16 277.52
30 176.97
53.94
32
0
0
11 839.63
42 238.58
54 078.21
123 494.80
43.79
33
0
0
20 074.71
41 342.92
61 417.63
190 579.80
32.23
34
0
0
24 987.43
41 793.60
66 781.03
106 856.10
62.50
35
0
0
1 269.84
4 017.14
5 286.99
22 173.07
23.84
36
0
0
69 906.84
170 807.80
240 714.60
299 928.0
80.26
37
0
0
16 016.89
33 609.20
49 626.09
99 411.52
49.92
38
0
0
5 594.28
38 148.67
43 742.95
168 643.40
25.94
0 0 47 995.63 39 Sumber : SNSE Indonesia 2003 (diolah)
13 4287.70
18 2283.30
22 8344.30
79.83
4
TK/VA (%) 94.22 85.21 92.21 94.53 46.75 86.80 65.83 64.32 41.62 42.38
216
Lampiran 10. Kontribusi Kelompok Tenaga Kerja terhadap Penciptaan Nilai Tambah dan Produktivitas Tenaga Kerja Persektor (ribu rupiah) Sektor Produksi 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Kontribusi TK terhadap Penciptaan VA (%) 1 2 3 4
83.11 76.74 82.23 72.07 41.48 73.93 48.85 47.95 25.33 27.61 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10.22 7.71 9.12 16.14 3.35 7.47 9.25 8.54 7.14 12.18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.70 0.56 0.68 4.06 1.27 3.80 3.44 4.06 5.99 1.04 4.80 43.40 26.60 3.90 31.80 8.30 40.00 13.70 28.90 9.60 10.50 23.40 5.70 23.30 16.10 3.30 21.00
0.19 0.20 0.18 2.27 0.65 1.60 4.28 3.77 3.16 1.55 12.90 30.20 50.80 4.70 36.20 10.60 43.60 37.30 25.00 34.20 21.70 39.10 18.10 56.90 33.80 22.60 58.80
39 Sumber : SNSE Indonesia 2003 dan Sakernas 2003 (diolah)
Kontribusi Total (%)
Produktivitas TK Persektor Th 2003
94.22 85.21 92.21 94.53 46.75 86.80 65.83 64.32 41.62 42.38 4.81 43.51 77.36 8.61 67.99 18.80 83.60 51 53.94 43.79 32.23 62.50 23.84 80.26 49.92 25.94 79.83
4 324.99 3 630.59 5 078.27 7 156.17 12 000.20 8 869.88 26 938.18 10 548.01 16 566.47 11 612.10 23 849.71 19 448.23 25 602.13 32 574.69 19 971.63 27 356.09 25 903.03 10 558.04 6 698.39 28 952.02 44 769.86 16 317.59 24 212.06 13 590.32 10 027.43 33 441.08 17 114.21
217
Lampiran 11. Jumlah Tenaga Kerja Dalam Rumahtangga Per sektor Produksi (000) Sektor Produksi 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
1 11 410.98 3 758.82 14 275.63 428.63 395.79 3 900.75 215.57 1 821.30 292.26 1 127.89 0
Jumlah TK 2 1 467.86 395.38 1 707.01 92.64 25.36 389.41 38.25 268.98 82.79 466.54 0
3
4
61.01 16.33 72.40 15.91 8.38 142.30 19.75 116.97 62.76 27.66 115.92
14.13 4.47 17.85 7.90 4.12 55.18 17.39 139.72 29.57 37.37 182.09
Jumlah TK 12 953.98 4 175.00 16 072.89 545.07 433.65 4 487.64 290.96 2 346.97 467.38 1 659.45 298.01
24
0
0
314.25
128.26
442.52
25
0
0
779.59
1 048.51
1 828.09
26
0
0
35.40
31.32
66.71
27
0
0
206.21
176.06
382.26
28
0
0
79.53
68.48
148.02
29
0
0
39.93
30.30
70.23
30
0
0
1055.19
2 426.94
3 482.13
31
0
0
1418.61
1 011.44
2 430.06
32
0
0
514.86
1 352.98
1 867.85
33
0
0
545.12
826.73
1 371.85
34
0
0
1784.08
2 308.49
4 092.58
35
0
0
58.58
159.77
218.36
36
0
0
6486.72
11 225.48
17 712.21
37
0
0
1958.19
2 990.83
4 949.03
38
0
0
182.50
1 125.55
1 308.06
39
0
0
3055.14
7 595.84
10 650.98
37 627.63 Jumlah Sumber : Sakernas 2000
4 934.21
19173.38
33 016.81
94 752.04
218
Lampiran 12. Simulasi dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Rumahtangga dan Perolehan Tenaga Kerja
Jenis RT dan TK TK Pert Desa TK Pert Kota TK Non Pert Desa TK Non Pert Kota Kapital RT Buruh Pert RT Pengusaha Pert RT Non Pert Desa Gol.Bawah RT Non Pert Desa Gol.Atas RT Non Pert Kota Gol Bawah RT Non Pert Kota Gol Atas Sumber : SNSE 2003 (diolah)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nilai Awal 21 8894.26 31 238.45 262 223.44 610 144.69 857 257.46 94 524.77 354 160.57 251 003.64 141 480.40 409 807.44 387 118.60
Dampak Simulasi 1 ∆X
6 378.48 905.28 2 027.25 4 686.53 7 113.94 1 219.16 6 042.01 2 570.95 1 682.18 3 370.52 3 205.96
Perub ∆X/X %
2.91 2.90 0.77 0.77 0.83 1.29 1.71 1.02 1.19 0.82 0.83
Dampak Simulasi 2 ∆X
3 117.08 430.08 2 372.47 5 344.68 7 242.16 860.38 3 785.81 2 301.59 1 375.47 3 544.69 3 389.50
Perub ∆X/X %
1.42 1.38 0.90 0.88 0.84 0.91 1.07 0.92 0.97 0.86 0.88
Dampak Simulasi 3 ∆X
4 747.78 667.68 2 199.86 5 015.61 7 178.05 1 039.77 4 913.91 2 436.27 1 528.82 3 457.60 3 297.73
Perub ∆X/X %
2.17 2.14 0.84 0.82 0.84 1.10 1.39 0.97 1.08 0.84 0.85
Dampak Simulasi 4 ∆X
1 572.84 219.83 1 967.42 4 840.99 6 992.16 619.63 2 529.30 1 837.78 1 073.11 3 197.05 3 069.19
Perub ∆X/X %
0.72 0.70 0.75 0.79 0.82 0.66 0.71 0.73 0.76 0.78 0.79
218
219
Lampiran 12. Lanjutan Jenis RT dan TK TK Pert Desa TK Pert Kota TK Non Pert Desa TK Non Pert Kota Kapital RT Buruh Pert RT Pengusaha Pert RT Non Pert Desa Gol.Bawah RT Non Pert Desa Gol.Atas RT Non Pert Kota Gol Bawah RT Non Pert Kota Gol Atas Sumber : SNSE 2003 (diolah)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nilai Awal 218 894.26 31 238.45 262 223.44 610 144.69 857 257.46 94 524.77 354 160.57 251 003.64 141 480.40 409 807.44 387 118.60
Dampak
Perub
Dampak
Perub
Dampak
Perub
Dampak
Perub
Dampak
Perub
Simulasi 5
∆X/X
Simulasi 6
∆X/X
Simulasi 7
∆X/X
Simulasi 8
∆X/X
Simulasi 9
∆X/X
∆X
%
∆X
%
∆X
%
∆X
%
∆X
%
2 899.65 411.53 2 095.50 5 108.92 6 713.28 5 910.00 3 639.38 7 153.95 1 273.83 3 481.89 3 251.45
1.32 1.32 0.80 0.84 0.78 6.25 1.03 2.85 0.90 0.85 0.84
2 787.96 397.54 1 994.91 4 865.77 6 518.98 5 901.02 8 529.90 2 073.42 1 227.25 3 366.55 3 113.40
1.27 1.27 0.76 0.80 0.76 6.24 2.41 0.83 0.87 0.82 0.80
6 443.33 799.73 1 991.23 4 565.91 6 783.70 1 178.64 6 015.39 2 534.89 1 662.29 3 251.46 3 086.60
2.94 2.56 0.76 0.75 0.79 1.25 1.70 1.01 1.17 0.79 0.80
4 186.43 554.89 2 204.10 5 105.13 6 787.50 955.59 4 467.81 2 329.87 1 439.34 3 422.81 3 264.37
1.91 1.78 0.84 0.84 0.79 1.01 1.26 0.93 1.02 0.84 0.84
1 475.72 205.33 1 744.75 4 356.63 6 719.22 570.35 2 355.93 1 679.52 990.82 2 926.29 2 811.52
0.67 0.66 0.67 0.71 0.78 0.60 0.67 0.67 0.70 0.71 0.73
219
220
Lampiran13. Simulasi dan Dampaknya terhadap 27 Sektor Produksi Sim-1
(Sektor Produksi) 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Sim-2
Sim-3
Sim-4
∆X
%
∆X
%
∆X
%
∆X
%
2 214.87 895.77 4 035.93 180.42 468.83 2 102.24 1 100.93 2 986.38 578.20 2 373.99 782.17 40.81 3 436.14 484.53 955.35 819.05 177.72 1 497.20 159.50 2 962.99 3 964.13 186.25 614.96 2 191.08 1 661.29 2 628.44 2 919.70
2.99 3.09 2.89 2.97 2.34 2.79 2.80 3.36 2.05 2.80 0.36 0.11 1.31 0.61 1.08 1.01 1.16 0.56 0.18 0.45 0.53 0.06 0.87 1.10 0.89 0.90 0.63
1 497.97 523.51 1 613.57 137.67 370.21 928.50 427.37 971.32 317.18 949.49 796.13 38.06 5 838.23 1 513.75 1 900.32 2 322.14 356.34 5 945.81 1 325.16 2 647.83 3 886.91 168.57 623.44 2 188.07 1 516.50 2 439.78 2 477.76
2.02 1.81 1.16 2.27 1.85 1.23 1.09 1.09 1.12 1.12 0.37 0.11 2.23 1.92 2.15 2.87 2.33 2.21 1.52 0.40 0.52 0.05 0.89 1.10 0.81 0.84 0.53
1 856.42 709.64 2 824.75 159.05 419.52 1 515.37 764.15 1 978.85 447.69 1 661.74 789.15 39.44 4 637.18 999.14 1 427.83 1 570.59 267.03 3 721.51 742.33 2 805.41 3 925.52 177.41 619.20 2 189.58 1 588.89 2 534.11 2 698.73
2.51 2.45 2.02 2.62 2.10 2.01 1.95 2.22 1.58 1.96 0.36 0.11 1.77 1.27 1.62 1.94 1.75 1.39 0.85 0.43 0.53 0.05 0.88 1.10 0.85 0.87 0.58
555.69 219.45 1 047.91 49.99 92.52 507.41 295.74 652.00 113.97 538.83 1 937.57 191.60 2 079.75 347.30 684.30 607.83 128.33 1 093.20 173.67 5 280.58 6 872.89 1 223.42 791.18 1 583.26 1 943.08 3 186.84 3 938.68
0.75 0.76 0.75 0.82 0.46 0.67 0.75 0.73 0.40 0.64 0.89 0.54 0.79 0.44 0.78 0.75 0.84 0.41 0.20 0.80 0.93 0.37 1.12 0.79 1.04 1.09 0.85
220
Padi Jagung Pertanian tanaman pangan di luar 13 dan 14 Tebu Kelapa sawit Pertanian perkebunan di luar 16 dan 17 Industri pemotongan ternak Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan dan perburuan Perikanan Pertambangan batubara,logam, minyak dan gas Pertambangan dan penggalian lainnya Industri makanan, minuman dan tembakau Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung segala jenis Industri gula Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit Industri kayu, barang-barang dari kayu Industri kertas,cetakan; alat angkut& industri lainnya Industri kimia, pupuk,semen dan logam dasar Konstruksi/bangunan Listrik, gas dan air minum Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, jasa perusahaan, real estate Jasa-jasa
Nilai Awal 74 045.97 28 987.05 139 666.58 6 069.88 19 997.68 75 232.16 39 249.86 88 971.43 28 255.66 84 690.10 217 818.08 35 565.51 261 850.49 78 933.96 88 286.77 80 809.70 15 273.19 268 533.25 87 188.55 659 178.77 742 914.62 331 094.85 70 431.02 199 526.15 186 762.42 291 955.60 465 186.58
221
Lampiran13. Lanjutan
Padi Jagung Pertanian tanaman pangan di luar 13 dan 14 Tebu Kelapa sawit Pertanian perkebunan di luar 16 dan 17 Industri pemotongan ternak Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan dan perburuan Perikanan Pertambangan batubara,logam, minyak dan gas Pertambangan dan penggalian lainnya Industri makanan, minuman dan tembakau Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung segala jenis Industri gula Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit Industri kayu, barang-barang dari kayu Industri kertas,cetakan; alat angkut& industri lainnya Industri kimia, pupuk,semen dan logam dasar Konstruksi/bangunan Listrik, gas dan air minum Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, jasa perusahaan, real estate
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Awal 74 045.97 28 987.05 139 666.58 6 069.88 19 997.68 75 232.16 39 249.86 88 971.43 28 255.66 84 690.10 217 818.08 35 565.51 261 850.49 78 933.96 88 286.77 80 809.70 15 273.19 268 533.25 87 188.55 659 178.77 742 914.62 331 094.85 70 431.02 199 526.15 186 762.42 291 955.60
Dampak Sim5 ∆X 934.83 418.80 2 154.61 88.98 154.04 731.03 560.39 1 327.73 126.96 1 128.99 934.22 51.09 3 583.02 613.27 1 154.10 985.45 227.59 2 210.17 221.19 3 836.84 4 588.32 194.06 777.16 1 991.58 1 989.40 3 132.98
Jasa-jasa
39
46 5186.58
4006.79
KLASIFIKASI SAM 44X44 (2003) (Sektor Produksi)
Perub ∆X/X % 1.26 1.44 1.54 1.47 0.77 0.97 1.43 1.49 0.45 1.33 0.43 0.14 1.37 0.78 1.31 1.22 1.49 0.82 0.25 0.58 0.62 0.06 1.10 1.00 1.07 1.07
Dampak Sim 6 ∆X 887.99 389.57 2 060.97 85.79 148.20 715.36 553.57 1 307.93 128.13 1 109.00 916.54 46.52 3 415.64 589.69 1 094.25 936.97 219.34 2 251.63 220.51 3 798.65 4 483.85 184.84 768.13 1 842.04 1 956.15 3 044.90
Perub ∆X/X % 1.20 1.34 1.48 1.41 0.74 0.95 1.41 1.47 0.45 1.31 0.42 0.13 1.30 0.75 1.24 1.16 1.44 0.84 0.25 0.58 0.60 0.06 1.09 0.92 1.05 1.04
Dampak Sim 7 ∆X 844.31 838.69 5 040.23 70.53 1 343.63 3 607.16 567.14 2 930.39 307.74 974.35 780.08 40.50 3 321.73 473.83 930.39 797.65 173.39 1 471.47 156.58 2 897.48 4 006.95 187.40 602.25 2 096.74 1 628.44 2 559.51
Perub ∆X/X % 1.14 2.89 3.61 1.16 6.72 4.79 1.44 3.29 1.09 1.15 0.36 0.11 1.27 0.60 1.05 0.99 1.14 0.55 0.18 0.44 0.54 0.06 0.86 1.05 0.87 0.88
Dampak Sim 8 ∆X 869.24 631.52 2 878.77 301.42 623.28 2 008.37 482.11 1 727.80 245.45 951.95 798.00 39.37 4 905.99 541.14 1 033.52 1 080.92 781.31 5 979.01 312.18 2 702.37 3 963.85 176.93 623.75 2 122.43 1 528.62 2 453.27
Perub ∆X/X % 1.17 2.18 2.06 4.97 3.12 2.67 1.23 1.94 0.87 1.12 0.37 0.11 1.87 0.69 1.17 1.34 5.12 2.23 0.36 0.41 0.53 0.05 0.89 1.06 0.82 0.84
Dampak Sim 9 ∆X 518.91 203.28 970.36 46.45 86.76 505.32 276.49 615.21 88.15 500.13 1 911.37 129.14 1 929.72 320.84 638.50 573.29 119.19 1 014.67 115.12 6 356.41 7 385.98 166.20 521.45 1 589.09 2 018.25 3 031.63
Perub ∆X/X % 0.70 0.70 0.69 0.77 0.43 0.67 0.70 0.69 0.31 0.59 0.88 0.36 0.74 0.41 0.72 0.71 0.78 0.38 0.13 0.96 0.99 0.05 0.74 0.80 1.08 1.04
0.86
3785.61
0.81
2941.27
0.63
2596.34
0.56
2615.65
0.56
221
222
Lampiran 14. Simulasi dan Dampaknya terhadap Total Produksi, Pendapatan Rumahtangga, Upah Tenaga Kerja, Neraca Kapital,
Penerimaan Pemerintah dan Impor Dampak
Perub
Dampak
Perub
Dampak
Perub
Dampak
Perub
Nilai Awal 466 6475.9 163 8095.4 112 2500.8 44 0553.7 37 8963.2 65 2779.2
SIM-1 ∆X 42 418.9 18 090.8 13 997.5 3 087.2 1 716.9 4 062.4
∆X/X % 0.91 1.10 1.25 0.70 0.45 0.62
SIM-2 ∆X 43 721.6 15 257.4 11 264.3 2 907.2 1 718.6 4 014.6
∆X/X % 0.94 0.93 1.00 0.66 0.45 0.61
SIM-3 ∆X 43 070.2 16 674.1 12 630.9 2 997.2 1 717.7 4 038.5
∆X/X % 0.92 1.02 1.13 0.68 0.45 0.62
SIM-4 ∆X 36 137.0 12 326.1 8 601.1 2 640.4 1 634.8 4 725.6
∆X/X % 0.77 0.75 0.77 0.60 0.43 0.72
Dampak
Perub
KLASIFIKASI SAM 44X44 (2003) Total Produksi Income RT TK Neraca Kapital (∆S) Penerimaan Pemerintah (∆ G) Impor (∆ I)
KLASIFIKASI SAM 44X44 (2003) Total Produksi Income RT TK Neraca Kapital (∆S) Penerimaan Pemerintah (∆ G) Impor (∆ I)
SIM-5 ∆X 38 123.6 24 710.5 10 515.6 2 987.1 1 697.4 4 216.0
∆X/X % 0.82 1.51 0.94 0.68 0.45 0.65
Dampak SIM-6 ∆X 36 941.8 24 211.5 10 046.2 3 190.5 1 645.8 4 108.7
Perub ∆X/X % 0.79 1.48 0.89 0.72 0.43 0.63
Dampak SIM-7 ∆X 41 589.8 17 729.3 13 800.2 2 978.4 1 642.0 4 253.5
Perub ∆X/X % 0.89 1.08 1.23 0.68 0.43 0.65
Dampak SIM-8 ∆X 42 358.9 15 879.8 12 050.5 2 839.3 1 626.3 4 240.7
Perub ∆X/X % 0.91 0.97 1.07 0.64 0.43 0.65
Dampak
Perub
SIM-9 ∆X 34 247.5 11 334.4 7 782.4 2 504.1 1 565.2 4 923.2
∆X/X % 0.73 0.69 0.69 0.57 0.41 0.75
222
223
Lampiran 15. Ranking Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Pendapatan Tenaga Kerja, Rumahtangga dan Total Produksi TK Sim-1 Sim-2 Sim-3 Sim-4 Sim-5 Sim-6 Sim-7 Sim-8 Sim-9
TP 1.25 1 1.13 0.77 0.94 0.89 1.23 1.07 0.69
Sim-1 Sim-2 Sim-3 Sim-4 Sim-5 Sim-6 Sim-7 Sim-8 Sim-9
TK Sim-1 Sim-2 Sim-3 Sim-4 Sim-5 Sim-6 Sim-7 Sim-8 Sim-9
RT 0.91 0.94 0.92 0.77 0.82 0.79 0.89 0.91 0.73
Sim-1 Sim-2 Sim-3 Sim-4 Sim-5 Sim-6 Sim-7 Sim-8 Sim-9
TP 13 997.5 11 264.3 12 630.9 8 601.1 10 515.6 10 046.2 13 800.2 12 050.5 7 782.4
Sim-1 Sim-2 Sim-3 Sim-4 Sim-5 Sim-6 Sim-7 Sim-8 Sim-9
TK 1.1 0.93 1.02 0.75 1.51 1.48 1.08 0.97 0.69
Sim-9 Sim-4 Sim-6 Sim-5 Sim-2 Sim-8 Sim-3 Sim-7 Sim-1
RT 42 418.9 43 721.6 43 070.2 36 137.0 38 123.6 36 941.8 41 589.8 42 358.9 34 247.5
Sim-1 Sim-2 Sim-3 Sim-4 Sim-5 Sim-6 Sim-7 Sim-8 Sim-9
TP 0.69 0.77 0.89 0.94 1 1.07 1.13 1.23 1.25
Sim-9 Sim-4 Sim-6 Sim-5 Sim-7 Sim-8 Sim-1 Sim-3 Sim-2
TK 18 090.8 15 257.4 16 674.1 12 326.1 24 710.5 24 211.5 17 729.3 15 879.8 11 334.4
Sim-9 Sim-4 Sim-6 Sim-5 Sim-2 Sim-8 Sim-3 Sim-7 Sim-1
RT 0.73 0.77 0.79 0.82 0.89 0.91 0.91 0.92 0.94
Sim-9 Sim-4 Sim-2 Sim-8 Sim-3 Sim-7 Sim-1 Sim-6 Sim-5
TP 7 782.4 8 601.1 10 046.2 10 515.6 11 264.3 12 050.5 12 630.9 13 800.2 13 997.5
Sim-9 Sim-4 Sim-6 Sim-5 Sim-7 Sim-8 Sim-1 Sim-3 Sim-2
0.69 0.75 0.93 0.97 1.02 1.08 1.1 1.48 1.51 RT
34 247.5 36137 36 941.8 38 123.6 41 589.8 42 358.9 42 418.9 43 070.2 43 721.6
Sim-9 Sim-4 Sim-2 Sim-8 Sim-3 Sim-7 Sim-1 Sim-6 Sim-5
11 334.4 12 326.1 15 257.4 15 879.8 16 674.1 17 729.3 18 090.8 24 211.5 24 710.5
223
224
Lampiran 16. Ranking Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Produksi Berdasarkan Persentase
20 14 13 16 15 19 22 18 17 21 25 29 36 27 28 38 37 35 39 26 30 33 32 23 31 24
SIM-1
SIM-2
SIM-3
SIM-4
SIM-5
SIM-6
SIM-7
SIM-8
%
%
%
%
%
%
%
%
%
3.36 3.09 2.99 2.97 2.89 2.80 2.80 2.79 2.34 2.05 1.31 1.16 1.10 1.08 1.01 0.90 0.89 0.87 0.63 0.61 0.56 0.53 0.45 0.36 0.18 0.11
2.87 2.33 2.27 2.23 2.21 2.15 2.02 1.92 1.85 1.81 1.52 1.23 1.16 1.12 1.12 1.10 1.09 1.09 0.89 0.84 0.81 0.53 0.52 0.40 0.37 0.11
2.62 2.51 2.45 2.22 2.10 2.02 2.01 1.96 1.95 1.94 1.77 1.75 1.62 1.58 1.39 1.27 1.10 0.88 0.87 0.85 0.85 0.58 0.53 0.43 0.36 0.11
1.12 1.09 1.04 0.93 0.89 0.85 0.84 0.82 0.80 0.79 0.79 0.78 0.76 0.75 0.75 0.75 0.75 0.73 0.67 0.64 0.54 0.46 0.44 0.41 0.40 0.37
1.54 1.49 1.49 1.47 1.44 1.43 1.37 1.33 1.31 1.26 1.22 1.10 1.07 1.07 1.00 0.97 0.86 0.82 0.78 0.77 0.62 0.58 0.45 0.43 0.25 0.14
1.48 1.47 1.44 1.41 1.41 1.34 1.31 1.30 1.24 1.20 1.16 1.09 1.05 1.04 0.95 0.92 0.84 0.81 0.75 0.74 0.60 0.58 0.45 0.42 0.25 0.13
6.72 4.79 3.61 3.29 2.89 1.44 1.27 1.16 1.15 1.14 1.14 1.09 1.05 1.05 0.99 0.88 0.87 0.86 0.63 0.60 0.55 0.54 0.44 0.36 0.18 0.11
5.12 4.97 3.12 2.67 2.23 2.18 2.06 1.94 1.87 1.34 1.23 1.17 1.17 1.12 1.06 0.89 0.87 0.84 0.82 0.69 0.56 0.53 0.41 0.37 0.36 0.11
1.08 1.04 0.99 0.96 0.88 0.80 0.78 0.77 0.74 0.74 0.72 0.71 0.70 0.70 0.70 0.69 0.69 0.67 0.59 0.56 0.43 0.41 0.38 0.36 0.31 0.13
28 29 16 25 30 27 13 26 17 14 31 18 15 21 22 36 20 19 35 38 37 39 33 32 23 24
16 13 14 20 17 15 18 22 19 28 25 29 27 21 30 26 36 35 38 31 37 39 33 32 23 24
35 38 37 33 23 39 29 16 32 25 36 27 14 19 28 13 15 20 18 22 24 17 26 30 21 34
15 20 29 16 14 19 25 22 27 13 28 35 38 37 36 18 39 30 26 17 33 32 21 23 31 24
15 20 29 16 19 14 22 25 27 13 28 35 37 38 18 36 30 39 26 17 33 32 21 23 31 24
17 18 15 20 14 19 25 16 22 13 29 21 27 36 28 38 37 35 39 26 30 33 32 23 31 24
29 16 17 18 30 14 15 20 25 28 19 13 27 22 36 35 21 38 37 26 39 33 32 23 31 24
SIM-9 37 38 33 32 23 36 29 16 35 25 27 28 19 14 13 15 20 18 22 39 17 26 30 24 21 31
2244
225
Lampiran 17. Ranking Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Sektor Produksi Berdasarkan Pertambahan Jumlah Produksi
15 33 25 20 32 39 38 22 13 36 18 37 30 19 27 14 28 23 35 21 26 17 34 16 29
SIM-2
SIM-3
SIM-4
SIM-5
SIM-6
SIM-7
SIM-8
SIM-9
∆X
∆X
∆X
∆X
∆X
∆X
∆X
∆X
∆X
4 035.93 3 964.13 3 436.14 2 986.38 2 962.99 2 919.70 2 628.44 2 373.99 2 214.87 2 191.08 2 102.24 1 661.29 1 497.20 1 100.93 955.35 895.77 819.05 782.17 614.96 578.20 484.53 468.83 186.25 180.42 177.72 159.50
30 25 33 32 39 38 28 36 27 15 37 26 13 31 20 22 18 23 35 14 19 17 29 21 34 16
5945.81 5838.23 3886.91 2647.83 2477.76 2439.78 2322.14 2188.07 1900.32 1613.57 1516.50 1513.75 1497.97 1325.16 971.32 949.49 928.50 796.13 623.44 523.51 427.37 370.21 356.34 317.18 168.57 137.67
25 33 30 15 32 39 38 36 20 13 22 37 28 18 27 26 23 19 31 14 35 21 17 29 34 16
4637.18 3925.52 3721.51 2824.75 2805.41 2698.73 2534.11 2189.58 1978.85 1856.42 1661.74 1588.89 1570.59 1515.37 1427.83 999.14 789.15 764.15 742.33 709.64 619.20 447.69 419.52 267.03 177.41 159.05
33 32 39 38 25 37 23 36 34 30 15 35 27 20 28 13 22 18 26 19 14 24 31 29 21 17
6872.89 5280.58 3938.68 3186.84 2079.75 1943.08 1937.57 1583.26 1223.42 1093.20 1047.91 791.18 684.30 652.00 607.83 555.69 538.83 507.41 347.30 295.74 219.45 191.60 173.67 128.33 113.97 92.52
33 39 32 25 38 30 15 36 37 20 27 22 28 13 23 35 18 26 19 14 29 31 34 17 21 16
4588.32 4006.79 3836.84 3583.02 3132.98 2210.17 2154.61 1991.58 1989.40 1327.73 1154.10 1128.99 985.45 934.83 934.22 777.16 731.03 613.27 560.39 418.80 227.59 221.19 194.06 154.04 126.96 88.98
33 32 39 25 38 30 15 37 36 20 22 27 28 23 13 35 18 26 19 14 31 29 34 17 21 16
4483.85 3798.65 3785.61 3415.64 3044.90 2251.63 2060.97 1956.15 1842.04 1307.93 1109.00 1094.25 936.97 916.54 887.99 768.13 715.36 589.69 553.57 389.57 220.51 219.34 184.84 148.20 128.13 85.79
15 33 18 25 39 20 32 38 36 37 30 17 22 27 13 14 28 23 35 19 26 21 34 29 31 16
5040.23 4006.95 3607.16 3321.73 2941.27 2930.39 2897.48 2559.51 2096.74 1628.44 1471.47 1343.63 974.35 930.39 844.31 838.69 797.65 780.08 602.25 567.14 473.83 307.74 187.40 173.39 156.58 70.53
30 25 33 15 32 39 38 36 18 20 37 28 27 22 13 23 29 14 35 17 26 19 31 16 21 34
5979.01 4905.99 3963.85 2878.77 2702.37 2596.34 2453.27 2122.43 2008.37 1727.80 1528.62 1080.92 1033.52 951.95 869.24 798.00 781.31 631.52 623.75 623.28 541.14 482.11 312.18 301.42 245.45 176.93
33 32 38 39 37 25 23 36 30 15 27 20 28 35 13 18 22 26 19 14 34 24 29 31 21 17
7385.98 6356.41 3031.63 2615.65 2018.25 1929.72 1911.37 1589.09 1014.67 970.36 638.50 615.21 573.29 521.45 518.91 505.32 500.13 320.84 276.49 203.28 166.20 129.14 119.19 115.12 88.15 86.76
225
30
SIM-1
226
Lampiran 18. Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Penyerapan Tenga Kerja Sim-1 387.480 129.018 464.457 16.202 10.167 125.400 8.161 78.777 9.564 46.517 1.070 0.508 23.989 0.410 4.137 1.500 0.817 19.415 4.446 8.396 7.320 2.302 1.907 194.505 44.023 11.776 66.850 1669.114
Sim-2 262.063 75.401 185.690 12.362 8.028 55.385 3.168 25.622 5.247 18.605 1.089 0.474 40.759 1.279 8.228 4.254 1.639 77.101 36.934 7.503 7.177 2.084 1.933 194.238 40.186 10.931 56.731 1144.112
Sim-3 324.772 102.210 325.073 14.282 9.097 90.393 5.665 52.200 7.405 32.561 1.080 0.491 32.374 0.845 6.182 2.877 1.228 48.258 20.690 7.949 7.249 2.193 1.920 194.372 42.104 11.354 61.791 1406.613
Sim-4 97.216 31.607 120.594 4.489 2.006 30.267 2.192 17.199 1.885 10.558 2.651 2.384 14.520 0.294 2.963 1.113 0.590 14.176 4.840 14.963 12.691 15.122 2.453 140.548 51.490 14.278 90.181 703.272
Sim-5 163.544 60.320 247.954 7.990 3.340 43.606 4.154 35.024 2.100 22.122 1.278 0.636 25.015 0.518 4.997 1.805 1.047 28.660 6.165 10.872 8.473 2.399 2.409 176.795 52.717 14.037 91.740 1019.718
Sim-6 155.350 56.109 237.178 7.704 3.214 42.672 4.104 34.502 2.119 21.730 1.254 0.579 23.846 0.498 4.738 1.716 1.009 29.197 6.146 10.764 8.280 2.285 2.381 163.520 51.836 13.642 86.676 973.050
Sim-7 147.709 120.796 580.032 6.333 29.137 215.169 4.204 77.301 5.090 19.092 1.067 0.504 23.191 0.400 4.028 1.461 0.797 19.081 4.364 8.210 7.399 2.316 1.867 186.130 43.152 11.467 67.344 1587.645
Sim-8 152.069 90.958 331.290 27.067 13.516 119.800 3.574 45.578 4.060 18.653 1.092 0.490 34.251 0.457 4.475 1.980 3.593 77.531 8.701 7.657 7.320 2.187 1.934 188.411 40.507 10.991 59.446 1257.589
Sim-9 90.781 29.279 111.669 4.171 1.881 30.142 2.050 16.228 1.458 9.800 2.615 1.607 13.472 0.271 2.765 1.050 0.548 13.157 3.209 18.012 13.639 2.054 1.617 141.066 53.482 13.583 59.888 639.494
226
Kode 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 Jmh
227
Lampiran 19. Ranking Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja 15 13 36 14 18 20 39 22 37 25 30 16 38 17 21 32 19 33 31 27 34 35 28 23 29 24 26
Sim-1 464.457 387.480 194.505 129.018 125.400 78.777 66.850 46.517 44.023 23.989 19.415 16.202 11.776 10.167 9.564 8.396 8.161 7.320 4.446 4.137 2.302 1.907 1.500 1.070 0.817 0.508 0.410
13 36 15 30 14 39 18 25 37 31 20 22 16 38 27 17 32 33 21 28 19 34 35 29 26 23 24
Sim-2 262.063 194.238 185.690 77.101 75.401 56.731 55.385 40.759 40.186 36.934 25.622 18.605 12.362 10.931 8.228 8.028 7.503 7.177 5.247 4.254 3.168 2.084 1.933 1.639 1.279 1.089 0.474
15 13 36 14 18 39 20 30 37 22 25 31 16 38 17 32 21 33 27 19 28 34 35 29 23 26 24
Sim-3 325.073 324.772 194.372 102.210 90.393 61.791 52.200 48.258 42.104 32.561 32.374 20.690 14.282 11.354 9.097 7.949 7.405 7.249 6.182 5.665 2.877 2.193 1.920 1.228 1.080 0.845 0.491
36 15 13 39 37 14 18 20 34 32 25 38 30 33 22 31 16 27 23 35 24 19 17 21 28 29 26
Sim-4 140.548 120.594 97.216 90.181 51.490 31.607 30.267 17.199 15.122 14.963 14.520 14.278 14.176 12.691 10.558 4.840 4.489 2.963 2.651 2.453 2.384 2.192 2.006 1.885 1.113 0.590 0.294
15 36 13 39 14 37 18 20 30 25 22 38 32 33 16 31 27 19 17 35 34 21 28 23 29 24 26
Sim-5 247.954 176.795 163.544 91.740 60.320 52.717 43.606 35.024 28.660 25.015 22.122 14.037 10.872 8.473 7.990 6.165 4.997 4.154 3.340 2.409 2.399 2.100 1.805 1.278 1.047 0.636 0.518
15 36 13 39 14 37 18 20 30 25 22 38 32 33 16 31 27 19 17 35 34 21 28 23 29 24 26
Sim-6 237.178 163.520 155.350 86.676 56.109 51.836 42.672 34.502 29.197 23.846 21.730 13.642 10.764 8.280 7.704 6.146 4.738 4.104 3.214 2.381 2.285 2.119 1.716 1.254 1.009 0.579 0.498
15 18 36 13 14 20 39 37 17 25 22 30 38 32 33 16 21 31 19 27 34 35 28 23 29 24 26
Sim-7 580.032 215.169 186.130 147.709 120.796 77.301 67.344 43.152 29.137 23.191 19.092 19.081 11.467 8.210 7.399 6.333 5.090 4.364 4.204 4.028 2.316 1.867 1.461 1.067 0.797 0.504 0.400
15 36 13 18 14 30 39 20 37 25 16 22 17 38 31 32 33 27 21 29 19 34 28 35 23 24 26
Sim-8 331.290 188.411 152.069 119.800 90.958 77.531 59.446 45.578 40.507 34.251 27.067 18.653 13.516 10.991 8.701 7.657 7.320 4.475 4.060 3.593 3.574 2.187 1.980 1.934 1.092 0.490 0.457
36 15 13 39 37 18 14 32 20 33 38 25 30 22 16 31 27 23 34 19 17 35 24 21 28 29 26
Sim-9 141.066 111.669 90.781 59.888 53.482 30.142 29.279 18.012 16.228 13.639 13.583 13.472 13.157 9.800 4.171 3.209 2.765 2.615 2.054 2.050 1.881 1.617 1.607 1.458 1.050 0.548 0.271
227
228
Lampiran 20. Pengaruh Simulasi Kiebijakan Terhadap Rata-rata Peningkatan Total Output, Penerimaan Pemerintah, Ekspor dan Subsidi. Sektor Produksi Padi Jagung Pertanian tanaman pangan di luar 13 dan 14 Tebu Kelapa sawit Pertanian perkebunan di luar 16 dan 17 Industri pemotongan ternak Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan dan perburuan Perikanan Pertambangan batubara, biji logam, migas Pertambangan dan penggalian lainnya Industri makanan, minuman dan tembakau Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung segala jenis Industri gula Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit Industri kayu, barang-barang dari kayu Industri kertas, angkutan, barang logam & industri lain Industri kimia, pupuk, & semen, dan logam dasar Konstruksi/bangunan Listrik, gas dan air minum Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, jasa perusahaan, real estate Jasa-jasa Jumlah TP
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Sim 1,2,3 2.51 2.45 2.02 2.62 2.10 2.01 1.95 2.22 1.58 1.96 0.36 0.11 1.77 1.27 1.62 1.94 1.75 1.39 0.85
Sim 4 0.75 0.76 0.75 0.82 0.46 0.67 0.75 0.73 0.40 0.64 0.89 0.54 0.79 0.44 0.78 0.75 0.84 0.41 0.20
Sim 5,6 1.23 1.39 1.51 1.44 0.76 0.96 1.42 1.48 0.45 1.32 0.42 0.14 1.34 0.76 1.27 1.19 1.46 0.83 0.25
Sim 7,8 1.16 2.54 2.83 3.06 4.92 3.73 1.34 2.62 0.98 1.14 0.36 0.11 1.57 0.64 1.11 1.16 3.13 1.39 0.27
Sim 9 0.70 0.70 0.69 0.77 0.43 0.67 0.70 0.69 0.31 0.59 0.88 0.36 0.74 0.41 0.72 0.71 0.78 0.38 0.13
0.43 0.53 0.05 0.88 1.10 0.85 0.87 0.58 0.92
0.80 0.93 0.37 1.12 0.79 1.04 1.09 0.85 0,77
0.58 0.61 0.06 1.10 0.96 1.06 1.06 0.84 0.81
0.42 0.54 0.06 0.87 1.06 0.85 0.86 0.60 0.90
0.96 0.99 0.05 0.74 0.80 1.08 1.04 0.56 0.73