DAMPAK MODAL SOSIAL TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA
EDWIN TRIYOGA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Modal Sosial Terhadap Perekonomian di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014
Edwin Triyoga NRP 151114124
2
RINGKASAN EDWIN TRIYOGA. Dampak Modal Sosial Terhadap Perekonomian di Indonesia. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan WIWIEK RINDAYATI. Salah satu unsur institusi di dalam masyarakat yang penting bagi perekonomian adalah modal sosial. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terlalu terpengaruh, di mana perekonomian dunia pada tahun 2008 diguncang dengan adanya krisis global. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan yang tidakcukup berarti di mana pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 6.01%. Pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 4.58%. Pada tahun 2010 kondisi perekonomian Indonesia kembali menunjukkan kondisi yang cukup baik, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010 tumbuh 6.1%. Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup drastis di tahun 2009 dan kenaikannya pada tahun 2010 serta peningkatan modal sosial dari tahun 2007 ke 2009 perlu ditelaah dan dianalisis lebih lanjut, terutama karena kinerja perekonomian yang cukup bagus pada tahun 2010 yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu bertahan dan mengalami peningkatan. Apakah kondisi ini hanya disebabkan karena berkurangnya tekanan krisis ekonomi global atau karena negara ini memiliki modal sosial yang baik sehingga dapat pulih dari penurunan pertumbuhan ekonomi dengan cepat. Penelitian ini memiliki empat tujuan: pertama mengidentifikasi kondisi karateristik modal sosial masyarakat di Indonesia. Kedua; menganalisis unsurunsur modal sosial yang dominan dalam menentukan tinggi rendahnya modal sosial di Indonesia. Ketiga; menganalisis tipologi pertumbuhan ekonomi dengan kondisi modal sosial di Indonesia. Tujuan keempat yaitu mengkaji pengaruh modal sosial terhadap perekonomian di Indonesia. Penelitian ini menggunakan dua alat analisis utama: analisis faktor yang digunakan dalam pembentukan modal sosial dan regresi ordinary least square yang digunakan untuk melihat dampak modal sosial terhadap perekonomian di Indonesia. Dengan menggunakan data cross section seluruh provinsi di Indonesia diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: (1) Nilai modal sosial provinsi di Indonesia memiliki rata-rata 68.80 yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki modal sosial yang relatif baik; (2) Kepercayaan (trust) memiliki kontribusi yang dominan dibandingkan unsur dari modal sosial yang lain sebesar 49.86%; (3) Analisis tipologi menunjukkan sebesar 66.67% provinsi di Indonesia menggambarkan pola hubungan yang positif antara modal sosial dan pertumbuhan ekonomi. (4) Hasil pengujian model regresi menunjukkan bahwa modal sosial memiliki memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap pendapatan perkapita, yang berarti modal sosial mendukung perekonomian secara terus menerus. Kata kunci: modal sosial, perekonomian, ordinary least square
3
SUMMARY EDWIN TRIYOGA. The Impacts of Social Capital on Economic in Indonesia. Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM and WIWIEK RINDAYATI. One of the elements of institution in society that is very important for economy is social capital. In the recovery period after the financial crisis, the 2004–2007 period, Indonesia’s economic growth reverted upward by 5.03 to 6.35 percent with an average growth of 5.64 percent during that period. The interesting part is that Indonesia’s economic growth wasn’t really affected whereas the world economy in 2008 was shaken by the global crisis. Indonesia’s economic growth experienced insignificant decline in 2008 at 6.01 percent. In 2009, the economic growth was recorded at 4.58 percent. In 2010, the economy of Indonesia was in fairly good condition, with 6.1 percent economic growth. The quite drastic decline of Indonesia’s economic growth in 2009 and its rise in 2010 as well as the increase of social capital from 2007 to 2009 need to be observed and analysed further, especially because the fairly good economic performance in 2010 shows that Indonesia’s economic growth can survive and improve. It is still undecided whether this condition is the result of reducing global financial crisis pressure or because this country has good social capital that allows speedy recovery from economic growth decline. This study has four objective: first; identify the condition of community’s social capital characteristics in Indonesia. Second; analyze the elements of social capital are dominant in determining the level of social capital in Indonesia. Third; analyze the typology economic growth with social capital conditions in Indonesia. The fourth objective is to find out the effect of social capital on economic in all the provinces of Indonesia. The study used two main analysis instruments: factor analysis method aims to obtain social capital indexes and the constituent factors according to the provinces in Indonesia, and ordinary least square regression is used to see the impact of social capital on economics in Indonesia. By using cross-sectional data from all the provinces of Indonesia, it can be concluded as follows: (1) The values of social capital in the provinces of Indonesia were on average 68.80 indicating that societies in Indonesia have relatively good social capital. (2) Trust has the dominant contribution compared with other factor of social capital is 49.86 percent. (3) Typological analysis indicates that 66.67 percent of provinces in Indonesia described the pattern of relationship between social capital and economic growth. (4) Based on regression model found that social capital has a significant positive effect on income per capita, which means that the influence of those factors support growth continuously. Keywords: social capital, economic, ordinary least square
4
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
5
DAMPAK MODAL SOSIAL TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA
EDWIN TRIYOGA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
6
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS.
7 Judul Tesis Nama NIM
: Dampak Modal Sosial Terhadap Perekonomian di Indonesia : Edwin Triyoga : H151114124
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 5 Maret 2014
Tanggal Lulus: 12 Mei 2014
8
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah tentang modal sosial, dengan judul Dampak Modal Sosial terhadap Perekonomian di Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama proses penulisan tesis ini, serta kepada Bapak Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S selaku penguji luar komisi yang telah memberikan kritik dan masukan untuk menyempurnakan tesis ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pimpinan Badan Pusat Statistik yang telah memberikan dukungan untuk penulis selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua dan istri atas segala doa dan kasih sayangnya. Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama akademisi dan pemerintah.
Bogor, Maret 2014 Edwin Triyoga
9
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 4 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Tinjauan Empiris Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian
5 5 10 13 13
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis
14 14 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembentukan Variabel Modal Sosial Gambaran Umum Tipologi Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Analisis Regresi Modal Sosial terhadap PDRB Per Kapita
24 24 29 42 43
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
46 46 47
DAFTAR PUSTAKA
49
LAMPIRAN
51
RIWAYAT HIDUP
60
10
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Defiinisi Modal Sosial Definisi Trust Unsur, Variabel dan Katagori Jawaban untuk Pengukuran Modal Sosial Tipologi Daerah atas Dasar Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Penghitungan Kaiser's Measure of Sampling Adequacy (MSA) Iterasi Pertama Penghitungan Analisis Faktor Iterasi Kedua Penghitungan Analisis Faktor Component Tranformation Matrix Penghitungan Analisis Faktor Iterasi Kedua 9 Iterasi Ketiga Penghitungan Analisis Faktor 10 Component Tranformation Matrix Penghitungan Analisis Faktor Iterasi Ketiga 11 Hasil Regresi Model Modal Sosial terhadap PDRB Per Kapita
7 8 14 21 24 25 26 27 27 28 46
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2004-2011 Error! Bookmark not defined. Kerangka Pemikiran 12 Scree Plot Iterasi Ketiga Penghitungan Analisis Faktor 29 Indeks Modal Sosial Provinsi di Indonesia 30 Kontribusi Unsur-unsur terhadap Modal Sosial Indonesia 33 Kontribusi Unsur-unsur terhadap Modal Sosial Provinsi di Indonesia 34 Perbandingan Indeks Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi 41 Transmisi Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi 41 Tipologi Daerah Provinsi di Indonesia Menurut Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi 42
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Analisis Faktor Modal Sosial Penghitungan Pembobot Analisis Faktor Unsur Modal Sosial Penghitungan Pembobot Analisis Faktor Unsur Modal Sosial Hasil Penghitungan Nilai Modal Sosial dan Unsurnya Hasil Penghitungan Kontribusi Unsur Modal Sosial Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2009 Analisis Regresi OLS Dampak Modal Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
51 53 54 55 56 57 58
11
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan dan transformasi jangka panjang yang melibatkan berbagai faktor yang menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan. Dalam konteks yang ada selama ini, pembangunan dinilai keberhasilan ataupun kegagalannya dengan menggunakan indikator yang lebih banyak bernuansa ekonomi. Pembangunan yang dilaksanakan sangat menekankan pada bidang ekonomi yang utamanya adalah pertumbuhan ekonomi. Sugiyanto (2010) mengemukakan bahwa paradigma baru dalam ekonomi adalah melihat pembangunan secara multidimensi mulai dari proses perubahan struktur sosial, perilaku, dan institusi nasional yang sama dengan percepatan pertumbuhan ekonomi. Perubahan struktur sosial, perilaku dan institusi tersebut tercermin dalam berbagai perspektif sosial seperti sikap saling percaya, toleransi akan perbedaan, partisipasi dalam kelompok, dan hubungan antar anggota masyarakat yang cenderung masih diabaikan. Tanpa bermaksud mengabaikan pengaruh dari berbagai indikator-indikator ekonomi yang ada, semua sadar bahwa indikator modal sosial juga memiliki peran yang sangat signifikan dalam peningkatan pertumbuhan. Arsyad (2010) menegaskan bahwa negara-negara dengan institusi yang lebih baik akan mampu mengalokasikan sumberdaya secara lebih efisien, sehingga perekonomian bisa bekerja lebih baik. North (1990) mendefinisikan institusi tersebut sebagai aturanaturan yang diciptakan untuk mengatur berbagai interaksi manusia. Selain aturan formal, aturan tersebut mencakup aturan informal yang terdiri dari norma sosial, konvensi, adat istiadat, sistem nilai dan modal sosial yang secara bersama-sama membuat tatanan yang baik dalam berkehidupan. Putnam (1993) menyatakan modal sosial saat ini dipandang sebagai resep utama dalam perkembangan pembangunan ekonomi. Di dalam tulisannya tersebut juga dikemukakan bahwa berbagai studi telah membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat di wilayah Asia Timur disebabkan oleh adanya kegiatan ekonomi yang menyangga pada modal sosial yang baik. Hal ini didukung oleh pendapat Hasbullah (2006) bahwa modal sosial memiliki pengaruh yang tinggi terhadap perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi. Hal ini didukung oleh pendapat Peradigma baru ini dimulai ketika para ahli ekonomi mulai merasakan adanya ketidakberhasilan aplikasi dan implementasi ’mahzab ekonomi neoklasik’. Sebagaimana ditegaskan oleh Fukuyama (2000) bahwa perkembangan ekonomi dunia dewasa ini didera oleh banyak penyakit. yang disebabkan karena secara menyeluruh sistem perekonomian dunia telah mengabaikan beberapa bagian dari pemikiran pelopor mahzab ekonomi klasik. Pemikiran tersebut menjelaskan bahwa kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam pada kehidupan sosial serta pada dasarnya tidak bisa dipahami terpisah dari adat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat di mana proses ekonomi itu terjadi. Smith (2005) menuangkan pemikiran yang terabaikan ini dalam buku Theory of Moral Sentiments (1790) yang menjelaskan pentingnya 'kontrak sosial’ (social contract). Unsur penting dari kontrak sosial ini antara lain apa yang mereka sebut sebagai
12 karakteristik jaringan sosial, pola-pola imbal balik, dan kewajiban-kewajiban bersama, di mana unsur-unsur penting ini disebut dengan modal sosial (Fukuyama 2000). Lebih lanjut hal ini sangat menarik apabila ditinjau dalam kasus pembangunan ekonomi di Indonesia, khususnya pada indikator perkembangan pertumbuhan ekonomi yang dapat dilihat pada grafik berikut: 7 6.46
6.35
6.5
6.01 6
5.69
6.2
5.5
5.5 5
5.03
4.63
4.5 4 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Sumber: BPS Gambar 1 Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2004-2011 Pada periode pemulihan setelah krisis ekonomi yakni periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali naik. yaitu sebesar 5.03 sampai 6.35% dengan rata-rata pertumbuhan pada periode tersebut sekitar 5.64%. Hal yang menarik adalah ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terlalu terpengaruh. di mana perekonomian dunia pada tahun 2008 diguncang dengan adanya krisis global. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan yang tidak cukup berarti di mana pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 6.01%, turun 0.34% dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2007. Uniknya dampak adanya krisis global ini justru baru dirasakan pada tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 ternyata mengalami penurunan yang lebih besar jika dibandingkan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008. Pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 4.58%. jika dibandingkan tahun 2008 pertumbuhan ekonomi tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 1.38%. Pada tahun 2010 kondisi perekonomian Indonesia kembali menunjukkan kondisi yang cukup baik. pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010 tumbuh 6.1% meningkat dibandingkan tahun 2009 dan mampu lebih tinggi dari tahun 2008. Perumusan Masalah Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup drastis di tahun 2009 dan kenaikannya pada tahun 2010 perlu ditelaah dan dianalisis lebih lanjut, terutama karena kinerja perekonomian yang cukup bagus pada tahun 2010 yang
13 menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu bertahan dan mengalami peningkatan. Apakah kondisi ini hanya disebabkan karena berkurangnya tekanan krisis ekonomi global atau karena negara ini memiliki modal sosial yang baik sehingga dapat pulih dari penurunan pertumbuhan ekonomi dengan cepat. Sebagaimana ketika Indonesia diprediksi akan mengalami lost generation paska krisis 1997/1998 di Indonesia (Sulhin 2004). Indonesia digambarkan akan berada pada suatu kondisi di mana masyarakatnya secara umum kehilangan arah dan pegangan, pertumbuhan ekonomi yang buruk, kemiskinan yang kronis, pengangguran yang membengkak, dan kasus gizi buruk yang kenyataannya tidak terjadi. Muncul kembali sebuah pertanyaan apakah Indonesia masih memiliki nilai-nilai yang dapat digunakan sebagai penyangga dalam krisis dan self endowment yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang baik. Tercatat 3 kali Indonesia terkena dampak krisis yaitu tahun 1998, 2007, dan 2011 namun Indonesia masih tetap bertahan. Hal ini diartikan secara lugas oleh Ismalina (2009) bahwa kondisi tersebut merupakan representasi mekanisme kebertahanan hidup masyarakat melalui modal sosial masyarakat Indonesia. Kondisi-kondisi yang telah disebutkan sebelumnya menjadi alasan yang cukup kuat untuk menganalisis modal sosial masyarakat di Indonesia dalam menunjang pembangunan khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun demikian ada beberapa pandangan negatif terhadap interaksi masyarakat Indonesia yang melahirkan modal sosial. Pernyataan negatif tersebut menyebutkan adanya kondisi faktor kultural yang melemah, semangat gotong royong yang memudar, kebersamaan yang menjadi ”individualistik”, serta keengganan untuk berpartisipasi dan bergaul. Koentjaraningrat (2004) menyatakan bahwa manusia Indonesia mengidap mentalitas yang lemah, yaitu konsepsi atau pandangan dan sikap mental terhadap lingkungan yang sudah lama mengendap dalam alam pikiran masyarakat, karena terpengaruh atau bersumber kepada sistem nilai budaya (culture value system) sejak beberapa generasi yang lalu, dan yang baru timbul sejak zaman revolusi yang tidak bersumber dari sistem nilai budaya pribumi. Artinya, kelemahan mentalitas manusia Indonesia diakibatkan oleh dua hal yaitu karena sistem nilai budaya negatif yang berasal dari bangsa sendiri dan dari bangsa lain. Penelitian ini diharapkan mampu mengungkapkan seberapa besar faktor modal sosial akan mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia. Terlebih lagi penelitian modal sosial (social capital) merupakan penelitian yang menarik dan penting untuk dibahas, kendati bahan dan kajian yang ada di Indonesia sangat terbatas, ditambah lagi memasukkan dimensi modal sosial sebagai salah satu komponen dalam pertumbuhan ekonomi tidaklah mudah. Fukuyama (2000) menempatkan Jepang sebagai negara yang memiliki high-trust. Kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Jepang tidak terlepas dari tingginya rasa saling mempercayai pada setiap individu masyarakat, dalam sebuah paket keunggulan modal sosial. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi dan sektor-sektor lainnya (Hasbullah 2006). Sebuah pertanyaan besar muncul, apakah modal sosial yang dimiliki oleh Indonesia merupakan persoalan atau keunggulan dalam mengiringi perkembangan bangsa ini menuju masyarakat yang kuat, modern, produktif, kompetitif dengan pertumbuhan yang berkualitas? Luasnya
14 pembahasan mengenai aspek modal sosial, maka penelitian ini memfokuskan pada permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kondisi karakteristik modal sosial masyarakat di Indonesia? 2. Unsur modal sosial manakah yang memiliki peran dominan dalam menentukan tinggi rendahnya modal sosial di Indonesia? 3. Apakah di Indonesia memiliki pola pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan kondisi modal sosialnya? 4. Apakah terdapat pengaruh antara variabel-variabel modal sosial dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia? Tujuan Penelitian Setelah melihat latar belakang dan rumusan permasalahan di atas. maka dirumuskan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi kondisi karateristik modal sosial masyarakat di Indonesia. 2. Menganalisis unsur-unsur modal sosial yang dominan dalam menentukan tinggi rendahnya modal sosial di Indonesia. 3. Menganalisis tipologi pertumbuhan ekonomi dengan kondisi modal sosial di Indonesia. 4. Mengkaji pengaruh modal sosial terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Manfaat Penelitian
1.
2.
3. 4.
Manfaat dari penelitian ini di antaranya adalah sebagai berikut: Dengan diketahuinya kondisi modal sosial di Indonesia, dapat disimpulkan penyebab modal sosial disebuah wilayah lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Dengan diketahuinya unsur utama modal sosial di Indonesia, dapat disimpulkan penyebab modal sosial di sebuah wilayah lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Dengan tipologi pertumbuhan ekonomi dengan kondisi modal, kita bisa melihat wilayah-wilayah yang memiliki pertumbuhan dan modal sosial di atas rata-rata, dan alasan beberapa daerah yang tidak mengikuti pola tersebut. Mengetahui hubungan antara modal sosial dengan petumbuhan ekonomi di Indonesia. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup analisis penelitian ini mencakup dua hal. Pertama. menyajikan pengukuran dan gambaran umum modal sosial di Indonesia dengan analisis faktor serta analisis tipologi daerah. Kedua. menganalisis keterkaitan modal sosial terhadap pertumbuhan ekonomi melalui model ekonometrika. Lingkup wilayah penelitian mencakup 33 provinsi periode tahun 2009. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari hasil olah raw data Susenas serta data yang sudah diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang dikumpulkan merupakan data cross section seluruh provinsi di Indonesia tahun 2009.
15
2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Modal Sosial dan Pembangunan Pembangunan dapat dimaknai sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat secara menyeluruh menuju kehidupan yang lebih baik. Namun. sering dijumpai gambaran kehidupan di mana kegagalan pembangunan membuktikan adanya beragam jenis kebijakan dan program yang dilakukan tidak dapat menghasilkan sesuatu yang maksimal seperti yang diharapkan. Seiring dengan itu. keinginan untuk belajar dari kekeliruan tersebut sangat tipis sehingga program dan kebijakan yang terbukti gagal terus diulang. Begitu besarnya dana pembangunan yang telah dibelanjakan dan dikeluarkan tetapi daya dongkraknya amat kecil. Hal ini disebabkan kebijakan-kebijakan yang diimplementasikan senantiasa berbenturan dengan tembok kokoh nilai-nilai tradisional, ketiadaan semangat kekeluargaan, hilangnya rasa saling mempercayai, keterisolasian budaya dan sejenisnya. Banyak contoh dan ragam kebijakan yang sebetulnya positif tetapi tidak banyak menghasilkan perubahan seperti yang diharapkan, karena ada kekuatan lain yang sering diabaikan. Kekuatan ini bersumber dari nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat yang sering juga disebut dengan ‘modal sosial’. Modal sosial merupakan energi pembangunan yang cukup besar. Masingmasing entitas sosial memiliki tidak saja tipologi melainkan juga konfigurasi nilai dan norma yang sangat menentukan derajat kerekatan sosial dan kolaborasi sosial dalam masyarakat. Dimensi ini akan berpengaruh kuat pada karakteristik perilaku masyarakat dan respon yang ditunjukkan terhadap setiap kebijakan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah. Apa pun rencana dan proyek yang dirancang akan senantiasa berhadapan dengan faktor-faktor yang dapat memperlancar atau bahkan menggerogoti pembangunan itu sendiri. Dalam hal ini peran modal sosial sangat menentukan. Fukuyama (2000) dengan meyakinkan berargumentasi bahwa modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial sebagai condisia sine qua non (syarat mutlak) bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi. Di dalamnya. merupakan komponen kultural bagi kehidupan masyarakat modern. Modal sosial yang lemah akan mengurangi semangat gotong-royong, menambah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Awal Pemikiran Modal Sosial Awal kemunculan istilah modal sosial sudah cukup lama. Adam Smith dan ilmuwan di abad ke 18 dalam kajian ekonominya telah memasukkan unsur modal sosial yang disebutnya sebagai kontrak sosial (social contract) akan menentukan kemajuan pembangunan ekonomi. Kelompok ini menyebut unsur penting dari kontrak sosial sebagai karakteristik jaringan sosial, pola-pola timbal balik, dan kewajban-kewajiban bersama. Dari pemikiran-pemikiran ini pula berbagai kajian
16 yang merupakan konsep modern dari modal sosial di abad berikutnya memiliki dasar-dasar teoritis yang cukup kuat. Seperti apa yang telah dilakukan oleh Marx dan Engles dengan konsep solidaritas yang terikat (bounded solidarity) yang menggambarkan tentang kemungkinan munculnya pola hubungan dan kerja sama yang kuat ketika suatu kelompok berada dalam tekanan negara atau kelompok lainnya (Woolcock 1998). Hasbullah (2006) menyebutkan bahwa kajian pertama yang cukup komprehensif tentang modal sosial terutama pada pembahasan mengenai suatu unit sosial berlangsung pola-pola hubungan timbal balik yang didasari oleh prinsip-prinsip kebajikan bersama (social virtues), simpati dan empati (altruism). serta tingkat kohesivitas hubungan antarindividu dalam suatu kelompok (social cohesivity). Definisi dan Perspektif Modal Sosial Sampai saat ini kesepahaman dan kesepakatan dalam mendefinisikan dan menentukan ukuran modal sosial yang memadai secara ilmiah dan berlaku secara universal belum tercapai. Akibatnya, modal sosial sering didefinisikan menurut perspektif yang berbeda-beda. BPS (2010) menyatakan bahwa terjadi kesalahpahaman terkait definisi modal sosial yang ada di masyarakat, yakni: 1. Modal sosial dianggap sebagai konsep yang kompleks, multidimensi, multitafsir dan cenderung abstrak. 2. Ketidakjelasan pola keterkaitan yang berlaku secara universal antara modal sosial dengan aspek keamanan, ketertiban dan kesejahteraan. 3. Pemahaman keliru yang menganggap bahwa seluruh fakta sosial (norma, kebiasaan, adat istiadat dan budaya) yang berkembang di tingkat lokal merupakan modal sosial. 4. Penilaian yang berbeda terhadap fakta sosial yang berkembang di masyarakat sehingga muncul pertanyaan besar apakah modal (capital) dapat mengalami kenaikan maupun penurunan dalam kuantitas dan kualitasnya sejalan dengan perubahan waktu. Beberapa definisi yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengukur modal sosial, ditampilkan pada Tabel 1. Tokoh-tokoh tersebut memiliki perbedaan penekanan terhadap unsurunsur pembentuk modal sosial sehingga mempengaruhi pendekatan analisisnya. Meskipun demikian. inti konsep modal sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus-menerus. Hal yang cukup menarik adalah Bourdieu menekankan peran individual dan keterikatan sosial yang terorganisir dalam memprediksi kemajuan individu dan tindakan-tindakan kolektif mereka. Selanjutnya Coleman dan Bourdieu memiliki kesamaan dalam fokus kajian yaitu individual. terutama yang berkaitan dengan peran dan hubungan dengan sesama sebagai unit analisis modal sosial. Di lain pihak Putnam lebih mengembangkan pemikirannya pada ide asosiasi dan aktifitas masyarakat sipil sebagai basis bagi terciptanya integrasi sosial dan kesejahteraan.
17 Tabel 1 Definisi Modal Sosial Sumber
Definisi Modal Sosial
(1) Bourdieu dalam Richardson (1986)
(2) Modal sosial merupakan agregasi dari sumber daya aktual maupun potensial terkait dengan kepemilikan jejaring kokoh dari hubungan yang bersifat resmi atas jalinan kerja dan pengakuan bersifat timbal balik.
Coleman (1988)
Modal sosial inheren dalam struktur relasi antarindividu. Struktur relasi dan jaringan inilah yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan norma-norma dan sangsi sosial bagi para anggotanya.
Putnam (1993)
Menggambarkan fitur yang dimiliki oleh organisasi sosial seperti sikap percaya, norma, dan jejaring, mampu memperbaiki efisiensi masyarakat melalui fasilitasi berbagai tindakan terkoordinasi.
Adler dan Kwon (2002)
Modal sosial merupakan gambaran dari keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-keuntungan bersama dari proses dan dinamika modal sosial yang terdapat dalam struktur yang dimaksud.
Cohen dan Prusak (2001)
Modal sosial sebagai indeks dari hubungan yang aktif antarmasyarakat. Setiap pola hubungan yang terjadi diikat oleh kepercayaan (trust) kesalingpengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dilakukan secara efektif dan efisien.
Fukuyama (2000)
Keberadaan dari sekumpulan nilai-nilai informal tertentu (spesifik) yang bersifat instan atau norma yang dianut bersama seluruh anggota kelompok yang memungkinkan kerja sama di antara anggota kelompok tersebut
Hasbullah (2006) merangkumnya dengan memaparkan bahwa jati diri modal sosial yang sebenarnya adalah nilai-nilai dan norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku, serta berhubungan dengan pihak lain yang mengikat kepada proses perubahan dan upaya masyarakat yang untuk mencapai suatu tujuan. Nilai dan unsur tersebut terwujud dalam sikap partisipatif, sikap saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya, kemauan masyarakat atau kelompok tersebut untuk secara terusmenerus proaktif baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringanjaringan kerja sama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru, yang keseluruhannya diperkuat oleh nilai-nilai dan norma yang mendukungnya. Unsur Pembentuk Modal Sosial Proses terbentuknya indeks modal sosial pada masyarakat diidentifikasi dan dipahami Nahapiet dan Ghoshal (1998) dengan membagi modal sosial
18 menjadi tiga dimensi, yaitu: 1. Struktural (structural dimension) yaitu sesuatu yang memfasilitasi aksesibilitas terhadap sumber daya sehingga mendorong terbentuknya interaksi sosial di masyarakat. Pendekatan ini meliputi: kelompok dan jejaring. 2. Relasional (relational dimension) yaitu dimensi kemampuan yang berakar pada hubungan seperti respects. friendship seperti dan kejujuran (trustworthiness). Pendekatan ini meliputi: sikap percaya dan toleransi. 3. Kognitif (cognitive dimension) yaitu sesuatu yang mendasari individu untuk berperan dalam meningkatkan kesejahteraan dan manfaat sosial dalam masyarakat. Pendekatan ini meliputi solidaritas. Inti dari pembahasan tentang modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerja sama membangun suatu jaringan dalam suatu pola interaksi yang timbal balik dan saling menguntungkan. dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat untuk mencapai tujuan bersama. Hasbullah (2006) menjelaskan unsur-unsur pembentuk modal sosial adalah sebagai berikut. 1. Jaringan. Modal sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi berikut membangun jaringannya. Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). 2. Resiprocity (timbal-balik). Modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antarindividu dalam suatu kelompok atau antarkelompok. Pola pertukaran merupakan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (kepedulian dan mementingkan kepentingan orang lain). 3. Trust atau kepercayaan didefinisikan oleh beberapa tokoh yang tertuang pada tabel berikut: Tabel 2 Definisi Trust Sumber (1) Fukuyama (2000)
Definisi Trust (2)
Dimensi trust merupakan warna dari suatu sistem kesejahteraan bangsa. Kemampuan berkompetisi akan tercipta dan dikondisikan oleh satu karakteristik yang tumbuh di masyarakat yaitu trust. Putnam Trust adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko (1993) dalam hubungan-hubungan sosial yang didasari oleh perasaan yakin bahwa orang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. atau paling tidak. orang lain tidak akan melakukan tindakan yang merugikan diri dan kelompoknya. Sumber: Hasbullah (2006)
19 4.
5.
6.
7.
Cooperativeness (kerja sama atau gotong royong). Menurut Coleman nilainilai kerja sama bertindak sebagai pembatas kepentingan pribadi dan mengarahkan individu untuk berkontribusi dalam penyediaan berbagai jenis barang-barang untuk kepentingan umum (Knack dan Keefer 1997). Norma sosial. Norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Pengertian norma itu sendiri adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma ini biasanya terinstusionalisasi dan mengandung sangsi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya. Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial (Knack dan Keefer 2007). Aturan kolektif ini misalnya, menghormati orang yang lebih tua, menghormati pendapat orang lain, norma hidup sehat, dan sebagainya. Aturan-aturan kolektif tersebut merupakan contoh dari norma sosial. Nilai-nilai. Nilai-nilai adalah sesuatu ide yang turun temurun dianggap benar dan penting oleh kelompok masyarakat, misalnya, nilai harmoni, prestasi, kerja keras, dan kompetisi. Nilai senantiasa memiliki kandungan konsekuensi yang ambivalen. Nilai harmoni misalnya, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai pemicu keindahan dan kerukunan hubungan sosial yang tercipta, ternyata di sisi lain dipercaya pula dapat menghalangi kompetisi dan produktivitas. Tindakan proaktif merupakan salah satu unsur penting modal sosial. yang berupa keinginan kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Melibatkan diri bukan hanya bertujuan untuk mencari kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja dari sisi material tapi juga kekayaan hubungan hubungan social, dan menguntungkan kelompok, tanpa merugikan orang lain, secara bersama-sama.
Pengukuran Modal Sosial BPS (2010) menyebutkan bahwa kesulitan utama yang dihadapi dalam mengukur modal sosial adalah penentuan indikator yang mampu secara baik merepresentasikan konsep modal sosial. Kesulitan ini terjadi karena dimensi modal sosial seringkali tidak berlaku umum bagi setiap masyarakat terkait dengan perbedaan aspek sosiologis maupun geografis. Analisis modal sosial yang telah berkembang selama ini juga lebih bersifat kontekstual (menurut bidang kajian yang relevan), dan dengan cakupan masyarakat yang bersifat lokal (terbatas). Akibatnya. pencarian instrumen yang mampu merepresentasikan modal sosial yang berlaku universal serta dapat diperbandingkan antarwilayah geografis menjadi kegiatan yang tidak mudah. Sementara itu, pengukuran modal sosial secara kuantitatif perlu dilakukan agar dampak perubahan modal sosial terhadap berbagai pencapaian pembangunan masyarakat menjadi mudah untuk dievaluasi. Upaya intensif untuk merumuskan pendekatan ataupun indikator yang mampu merepresentasikan modal sosial secara tepat telah dilakukan oleh berbagai pihak. BPS (2010) menyebutkan bahwa temuan akhir yang disampaikan oleh
20 Grootaert dkk. (2004) yang dirilis oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa modal sosial dapat dikuantitatifkan dan dianalisis dengan metoda statistika tertentu, dengan instrumen pengukuran modal sosial yang salah satunya dikelompokkan ke dalam dimensi input, yang meliputi: 1. Kelompok dan jejaring (groups and networks). Faktor ini memuat pola dan cakupan partisipasi, kontribusi yang diberikan maupun diterima individu dalam berbagai jenis kelompok (organisasi) sosial dan jejaring informal, serta bagaimana keterlibatan individu tersebut dapat berubah antarwaktu. 2. Sikap percaya dan solidaritas (trust and solidarity). Faktor ini mencakup persepsi dan sikap percaya terhadap tetangga sekitar, aparatur penyedia layanan publik, serta sikap saling membantu antaranggota masyarakat beserta kemungkinan perubahannya antarwaktu. Pertumbuhan Ekonomi Pentingnya modal fisik pada umumnya dan pendidikan pada khususnya telah ditekankan dalam teori pertumbuhan di tahun 1980-an dan 1990-an, dalam model pertumbuhan endogen dan mengembangkan model pertumbuhan neoklasik. Salah satu metode estimasi kuantitas adalah menggunakan fungsi produksi, dalam hal ini diperlukan untuk estimasi manfaat pengeluaran biaya bagi pendidikan dan peningkatan modal manusia, tidak ada cara tertentu untuk aplikasi variabel modal manusia dalam fungsi produksi. Model fungsi produksi Cobb-douglas yaitu Dalam fungsi produksi ini, Y adalah produk domestik bruto, L adalah angkatan kerja, K adalah modal fisik dan S adalah modal sosial, A adalah teknologi. Α, β dan γ mengindikasikan elastisitas produksi terhadap modal fisik, angkatan kerja dan modal sosial.
Tinjauan Empiris Selama beberapa dekade terakhir. pembangunan ekonomi. terutama di negara-negara berkembang telah mengalami perbaikan, dari sebelumnya growth oriented, menjadi human paradigm. Namun demikian, dampak positif dari pembangunan dan kebijakan yang dibuat masih belum optimal. Oleh karena itu mulai tumbuh kesadaran di kalangan ekonom untuk melibatkan faktor kultural dan mendayagunakan lembaga-lembaga dalam masyarakat untuk mengoptimalkan hasil dari proses pembangunan. Putnam (1993) menjelaskan perbedaan pertumbuhan ekonomi wilayah Italia Utara dengan Italia Selatan. Perbedaan tersebut berkaitan dengan struktur sosial yang ada di masing-masing wilayah. Wilayah Italia Utara memiliki struktur sosial horisontal sedangkan struktur sosial di wilayah Italia Selatan lebih berbentuk hirarkhi. Modal sosial diukur dari indeks perluasan civic community, keterlibatan warga negara dan efisiensi pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan konvergensi lebih cepat dan keseimbangan pendapatan terjadi pada tingkat yang lebih tinggi di wilayah dengan modal sosial yang lebih besar. Knack dan Keefer (1997) menguji dampak trust dan norma sosial terhadap tingkat pertumbuhan dan investasi dengan data World Values Survey dengan sampel 29 negara, di mana variabel penjelasnya adalah proporsi siswa yang
21 memenuhi syarat yang terdaftar di Sekolah Dasar tahun 1960 dan di Sekolah Menengah tahun 1960. Pendapatan perkapita 1980 dan tingkat harga barangbarang investasi 1980. Hasil dari penelitian tersebut adalah trust dan norma sosial berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak trust terhadap pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi di negara-negara miskin. Hal ini karena jika trust dalam suatu negara tinggi, maka tidak diperlukan adanya sistem kontrak yang membutuhkan biaya yang tinggi, sehingga biaya transaksi menjadi lebih rendah, sehingga meningkatkan produksi yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kerja sama masyarakat dan trust berpengaruh signifikan terhadap investasi dan pendapatan per kapita. Semakin tinggi trust di suatu negara, semakin tinggi investasi di negara tersebut. Tingginya investasi tentunya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan per kapita. Christoforou (2003) menggunakan analisis regresi guna menunjukkan peran modal sosial dalam memperkokoh pertumbuhan ekonomi di Yunani. Dalam penelitian tersebut modal sosial merujuk kepada hubungan sosial yang berdasarkan norma. jaringan kerjasama dan rasa percaya mempengaruhi pasar dan pemerintah dalam menguatkan collective action antarpelaku dan memperbaiki pertumbuhan dan efisiensi sosial. Regresi dilakukan terhadap indeks keanggotaan individu. Regresi juga dilakukan antara pendapatan perkapita masyarakat dan indeks keanggotaan masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa tradisi kewargaan yang rendah menghambat reformasi dan pembangunan di Yunani. Perilaku partisipasi masyarakat tidak saja ditentukan oleh determinan individu tetapi juga determinan agregat dari modal sosial. Peningkatan dalam tingkat pendidikan dan kesempatan kerja akan meningkatkan intensif untuk berpartisipasi dalam kelompok sehingga menguatkan indeks modal sosial. Beugelsdijk dan Schaik (2005) melakukan penelitian dengan menggeneralisasi penelitian Putnam (1993) di 54 negara Eropa pada kurun waktu 1950-1998. Penelitian ini menggunakan modal sosial terutama dalam bentuk rasa saling percaya dan aktivitas organisasi (associational activity). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa tidak hanya keberadaan jaringan kerjasama saja yang memacu pertumbuhan ekonomi wilayah tetapi juga tingkat keterlibatan aktual di dalam jaringan tersebut. Dalam penelitian tersebut Beugelsdijk dan Schaik juga memodelkan hubungan antara modal sosial dan pertumbuhan dengan menggunakan data dari European Value Studies (EVS) untuk mengujinya. Modal sosial dibedakan atas bonding dan bridging sesuai dengan pendapat Putnam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa modal sosial yang lebih tinggi dapat mendongkrak (crowd out) pertumbuhan ekonomi wilayah. Semakin kuat modal sosial yang bersifat bridging akan menguatkan pertumbuhan ekonomi karena partisipasi dalam jaringan kerja interkomunitas mengurangi insentif untuk melakukan kegiatan rent seeking dan berlaku curang. Antoci, et al (2008) memperkenalkan akumulasi modal sosial menjadi sebuah model Cobb-Douglas dengan menunjukkan bagaimana modal sosial berbeda dari akumulasi modal fisik dan manusia. Penelitian ini mengambil pandangan bahwa modal sosial menjadi penting untuk dinikmati sebagai social goods yang tersedia terutama melalui partisipasi sosial. Hasil dari penelitian menyebutkan bahwa kurangnya perhatian dan investasi dalam modal sosial dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat jatuh ke dalam perangkap
22 kemiskinan. Musai, et al (2011) melakukan penelitian mengenai hubungan antara modal sosial dan pertumbuhan ekonomi pada Negara Iran dan 75 negara lain di dunia pada tahun 2008 dengan menggunakan model pertumbuhan endogen. Pada penelitian ini digunakan persamaan Cobb-Douglas dengan menganggap bahwa produk domestik bruto merupakan fungsi Cobb-Douglas dari modal social, modal fisik dan tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan dari modal sosial, modal fisik dan tenaga kerja secara statistik tinggi dan signifikan terhadap produk domestik bruto. Selanjutnya penelitian ini berhasil menunjukkan efek positif dari modal sosial terhadap pertumbuhan ekonomi. melalui peningkatan modal sosial yang menjadi penyebab peningkatan produk domestik bruto. Nademi, et al (2012) melakukan penelitian untuk melihat pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan modal sosial di negara-negara industri di periode 2000-2007. Ada tiga hal yang dihasilkan dalam penelitian ini, yakni: 1. Hasil penelitian dengan uji kausalitas Granger menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi menyebabkan modal sosial menjadi meningkat, namun begitu hal itu tidak terjadi sebaliknya di mana modal sosial tidak menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi. 2. Terdapat hubungan kointegrasi antara modal sosial dan pertumbuhan ekonomi. 3. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap modal sosial adalah asimetris kuadratik. Hal ini dapat diartikan bahwa sebelum pertumbuhan ekonomi mencapai ambang batas maka pertumbuhan ekonomi memiliki efek negatif pada modal sosial, namun setelah pertumbuhan ekonomi mencapai tingkat ambang batas maka pertumbuhan ekonomi memiliki efek positif pada modal sosial. Kerangka Pemikiran Krisis global yang terjadi tahun 2008 juga berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Tahun 2009 pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun drastis sebesar 1.38%. Namun pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Indonesia pulih dengan cepat. meningkat menjadi 6.20%. Apakah kondisi ini hanya disebabkan karena berkurangnya tekanan krisis ekonomi global atau karena negara Indonesia memiliki modal sosial yang baik sehingga dapat pulih dari penurunan pertumbuhan ekonomi dengan cepat. Hal ini diartikan secara lugas oleh Ismalina (2009) bahwa kondisi tersebut merupakan representasi mekanisme kebertahanan hidup masyarakat melalui modal sosial masyarakat Indonesia. Berdasarkan pernyataan tersebut. peneliti ingin mengungkapkan seberapa besar faktor modal sosial akan mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia. Dengan menggunakan analisis faktor, analisis tipologi daerah dan analisis regresi ingin diketahui karateristik modal sosial, tipologi pertumbuhan ekonomi dengan kondisi modal sosial serta pengaruh modal sosial terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
23
Krisis global tahun 2008
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 menurun drastis sebesar 1.38% Tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Indonesia pulih dengan cepat, meningkat menjadi 6.2%
Berkurangnya tekanan krisis ekonomi global?
Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia memiliki modal sosial yang baik?
Unsur-Unsur Modal Sosial Sikap percaya (trust) Toleransi Kelompok (groups) Solidaritas Jejaring (network)
Pengaruh modal sosial terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia Karateristik modal sosial di Indonesia Unsur dominan yang menentukan tinggi rendahnya modal sosial Tipologi pertumbuhan ekonomi dengan kondisi modal sosial
Gambar 2 Alur Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penulisan ini adalah terdapat hubungan yang positif antara laju pertumbuhan ekonomi dengan modal sosial di Indonesia.
24
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data sekunder dari hasil olah raw data SUSENAS serta data yang sudah diterbitkan oleh BPS (Badan Pusat Statisik). Data yang dikumpulkan merupakan data cross section seluruh provinsi di Indonesia tahun 2009. Jenis-jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Data pada blok vii (keterangan modal sosial) kuesioner SUSENAS modul sosial budaya dan pendidikan tahun 2009 dengan sampel rumah tangga yang mencakup 291 888 yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia baik daerah perkotaan maupun pedesaan. Semua keterangan rumah tangga tersebut diupayakan mengelompok dalam 4 (empat) unsur pembentuk modal sosial yang disesuaikan dengan dimensi input yang disampaikan oleh Grootaert et al (2004) dalam BPS (2010), yaitu unsur kelompok dan jejaring (groups and networks), unsur sikap percaya dan solidaritas (trust and solidarity) ditambah dengan toleransi (tolerance) karena toleransi dalam konteks Indonesia dianggap melengkapi konsep modal sosial.
Sikap percaya (trust)
Tabel 3 Unsur, variabel dan katagori jawaban untuk pengukuran modal sosial Unsur Nama Variabel Katagori Jawaban (1) (2) (3) 1. Percaya pada keputusan/kebijakan 1 (Tidak Peduli) pemerintah 2 (Tidak Percaya) 3 (Kurang Percaya) 4 (Percaya) 5 (Sangat Percaya) 2. Percaya pada aparatur RT/SLS 1 (Tidak Peduli) terkecil 2 (Tidak Percaya) 3 (Kurang Percaya) 4 (Percaya) 5 (Sangat Percaya) 3. Percaya pada pengurus kelompok 1 (Tidak Peduli) masyarakat 2 (Tidak Percaya) 3 (Kurang Percaya) 4 (Percaya) 5 (Sangat Percaya) 4. Percaya pada aparatur desa/kelurahan 1 (Tidak Peduli) 2 (Tidak Percaya) 3 (Kurang Percaya) 4 (Percaya) 5 (Sangat Percaya)
25 Unsur (1)
Nama Variabel (2) 5. Percaya untuk menitipkan anak
Kelompok (groups)
Toleransi (tolerance)
6. Percaya untuk menitipkan rumah
1.
Perasaan bertetangga dengan suku bangsa lain
2.
Perasaan bertetangga dengan agama lain
3.
Tanggapan jika akan didirikan tempat ibadah agama lain
4.
Tanggapan tentang orang lain yang tingkat hidupnya lebih tinggi
1.
Kebiasaan saling bersilaturahim
2.
Kebiasaan saling mengantar makanan
KatagoriJawaban (4) 1 (Tidak Peduli) 2 (Tidak Percaya) 3 (Kurang Percaya) 4 (Percaya) 5 (Sangat Percaya) 1 (Tidak Peduli) 2 (Tidak Percaya) 3 (Kurang Percaya) 4 (Percaya) 5 (Sangat Percaya) 1 (Tidak senang) 2 (Kurang senang) 3 (Tidak masalah) 4 (Senang) 5 (Sangat senang) 1 (Tidak senang) 2 (Kurang senang) 3 (Tidak masalah) 4 (Senang) 5 (Sangat senang) 1 (Tidak senang) 2 (Kurang senang) 3 (Tidak masalah) 4 (Senang) 5 (Sangat senang) 1 (Tidak senang) 2 (Kurang senang) 3 (Tidak masalah) 4 (Senang) 5 (Sangat senang) 1 (Tidak Pernah) 2 (Jarang) 3 (Kadang-kadang) 4 (Sering ) 5 (Sangat sering) 1 (Tidak Pernah) 2 (Jarang) 3 (Kadang-kadang) 4 (Sering) 5 (Sangat sering)
26
Solidaritas
Unsur (1)
Jejaring (network)
5
1.
Nama Variabel (2) Kesiapan membantu peminjam uang
2.
Kemudahan mendapat pinjaman uang
1.
Banyaknya ART usia 10 tahun ke atas yang memiliki sahabat
2.
Banyaknya keluarga yang menjadi sahabat
3.
Banyaknya organisasi yang diikuti
Katagori Jawaban (3) 1(Tidak mau) 2 (Ragu) 3 (Terpaksa) 4 (Siap Membantu) 5 (Sangat siap) 1 (Sangat sulit) 2 (Sulit) 3 (Tidak Pasti) 4 (Mudah) 5 (Sangat mudah) 1 (Tidak ada) 2 (Sebagian kecil) 3 (Separuhnya) 4 (Sebagian besar) 5 (Semua ART) 1 (0-2 keluarga) 2 (3-4 keluarga) 3 (5-6 keluarga) 4 (7-10 keluarga) 5 (>10 keluarga) 1 (0 perkumpulan) 3 (1 perkumpulan) 5 (>1 perkumpulan)
Sumber: BPS, 2010 2.
3.
4.
PDRB per kapita ADHK. BPS (2012) menjelaskan bahwa PDRB per kapita atas dasar harga konstan berguna untuk mengetahui pertumbuhan nyata ekonomi per kapita. Madsen (2006) dalam Pillai (2011) menyebutkan bahwa dihampir semua negara, PDB per kapita digunakan sebagai patokan untuk mengukur kemajuan ekonomi bangsa. Peningkatan PDB per kapita menandakan pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk penelitian ini, data yang digunakan adalah PDRB per kapita atas dasar harga konstan tiap provinsi tahun 2009 dalam satuan ribu (000) rupiah dari publikasi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) adalah semua barang modal baru yang digunakan/dipakai sebagai alat untuk berproduksi. Pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) adalah nilai neto dari investasi yang besarnya didapatkan dari nilai investasi bruto (PMTB) dikurangi dengan indeks. PMTB mencakup pengadaan, pembuatan dan pembelian barang-barang modal baru ataupun bekas dari luar negeri. Angkatan kerja adalah jumlah penduduk berusia produktif yang sedang bekerja dan mencari pekerjaan. Indikator ini menggambarkan secara kasar bagian dari penduduk berusia kerja yang terlibat aktif dalam kegiatan perekonomian.
27 Metode Analisis Pengukuran Modal Sosial Hasil dari penghitungan modal sosial ini bersifat eksploratif berasal dari eksplorasi data mentah (data driven) dari keterangan rumah tangga. Keterangan rumah tangga yang diperoleh merupakan data hasil pendataan pada rumah tangga SUSENAS 2009 yang tersebar di semua wilayah provinsi. Selanjutnya eksplorasi dan pembentukan modal sosial dilakukan dengan menggunakan metoda analisis faktor (factor analysis). yang bertujuan untuk mendapatkan indeks modal sosial beserta faktor pembentuknya menurut provinsi di Indonesia. Metode Analisis Faktor Pengukuran indeks modal sosial dilakukan secara eksploratori terhadap data SUSENAS tahun 2009. Data tersebut berisi pertanyaan yang termasuk di dalam dimensi input modal sosial. Pendekatan pengukuran secara eksploratori dilakukan karena konsep modal sosial yang hendak diukur merupakan konsep multidimensi yang direpresentasikan oleh beberapa pertanyaan. Susunan pertanyaan tersebut perlu dievaluasi sehingga secara statistik diyakini mampu merepresentasikan konsep modal sosial yang hendak diukur. Metode statistik yang paling tepat dalam melakukan eksplorasi data modal sosial adalah analisis faktor. Analisis faktor merupakan suatu metoda analisis statistik multivariat yang memiliki kegunaan utama untuk mereduksi data ataupun membuat ikhtisar data. Metoda statistik ini sering digunakan untuk mengukur interrelasi antarbeberapa variabel teramati dan kemudian menjelaskan variabel-variabel teramati tersebut dalam bentuk dimensi inti (dikenal sebagai faktor). Dengan menggunakan analisis faktor maka dapat diidentifikasi dimensi-dimensi terpisah yang diukur dari data tersebut dan menentukan sebuah pembobot faktor (factor loading) bagi setiap variabel teramati dalam suatu faktor (Hair et al. 2010). Metode statistik ini juga sering digunakan untuk mengukur validitas variabel teramati secara lebih komprehensif melalui identifikasi variabel-variabel inti (faktor) yang dapat menjelaskan korelasi pada suatu kelompok variabel teramati (Johnson dan Wichern 2007). Analisis faktor juga sering digunakan untuk menginvestigasi sejumlah faktor serta mengidentifikasi faktor mana yang merepresentasikan suatu konstruk atau konsep. Ho (2006) menyebutkan bahwa terdapat 2 metoda analisis faktor. yaitu. 1. Metoda ‘Principal Component’ dilakukan dengan proses antara lain. a. Menemukan sebuah kombinasi linier beberapa variabel teramati (sebuah komponen) yang menggambarkan secara maksimal variasi-variasi yang ada pada variabel-variabel teramati asli (original observed variables). b. Menemukan komponen lain yang menggambarkan secara maksimal variasi-variasi pada variabel-variabel teramati yang tersisa di mana komponen ini tidak terkorelasi dengan komponen yang telah dibentuk c. Proses ini dilakukan secara berturut-turut sampai ditemukan komponen-komponen maksimal sebanyak jumlah variabel teramati asli. 2. CFA (common factor analysis) digunakan dengan justifikasi kalau tujuan utama hanya mengenali/mengidentifikasi faktor yang mendasari dan common variance yang menarik perhatian. BPS (2010) mengadopsi istilah teknis yang digunakan dalam analisis faktor sebagai berikut:
28 1.
Communality merupakan suatu besaran yang menerangkan seberapa besar faktor dapat menjelaskan varians setiap variabel teramati. Komunalitas merupakan proporsi keragaman variabel teramati pada observasi ke-i yang dapat dijelaskan oleh faktor umum (common factor) dan sisanya dijelaskan oleh faktor khusus (unique factor). 2. Eigenvalue merupakan nilai yang menggambarkan besarnya varians terhitung oleh sebuah faktor. 3. Scree plot merupakan plot nilai varians pada setiap faktor untuk menentukan jumlah faktor yang ingin dipertahankan. 4. Loading factor adalah suatu nilai korelasi antara faktor umum dengan masing-masing variabel teramati (observed variable). Semakin besar nilainya semakin erat hubungan antara keduanya. Kaiser Meyer Oikin (KMO) Uji KMO bertujuan untuk mengetahui apakah semua data yang telah terambil telah cukup untuk difaktorkan. Hipotesis dari KMO adalah sebagai berikut: Ho : Jumlah data cukup untuk difaktorkan. H1 : Jumlah data tidak cukup untuk difaktorkan. Statistik uji: p
p
r KMO =
i 1 j 1
p
p
r i 1 j 1
2 ij
2 ij
p
(3.1)
p
a i 1 j 1
2 ij
i = 1. 2. 3. .... p dan j = 1. 2. .... p. rij = Koefisien korelasi antara variabel i dan j. aij = Koefisien korelasi parsial antara variabel i dan j. Apabila nilai KMO lebih besar dari 0. 5 maka terima Ho sehingga dapat disimpulkan jumlah data telah cukup untuk dilakukan analisis faktor. Uji Bartlett (kebebasan antarvariabel) Uji Bartlett bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antarvariabel dalam kasus multivariat. Jika variabel X1. X2. …. Xp independent (bersifat saling bebas), maka matriks korelasi antarvariabel sama dengan matriks identitas. Untuk menguji kebebasan antarvariabel. uji Bartlett menyatakan hipotesis sebagai berikut: H0 : ρ = I. H1 : ρ ≠ I. Statistik uji: 1 p rk rik . k = 1. 2. .... p p 1 i 1 2 r rik p( p 1) i k
ˆ
( p 1) 2 1 (1 r ) 2 p ( p 2)(1 r ) 2
(3.2) (3.3) (3.4)
29 Dengan r k = rata-rata elemen diagonal pada kolom atau baris ke k dari matrik R (matrik korelasi). r = rata-rata keseluruhan dari elemen diagonal. Daerah penolakan H0 jika, p 2 (n 1) ˆ (3.5) ( ) (r k r ) 2 2 ( p 1) ( p 2) / 2; r r T 2 ik (1 r ) i k k 1 Maka variabel-variabel saling berkorelasi hal ini berarti terdapat hubungan antarvariabel. Jika H0 ditolak maka analisis multivariat layak untuk digunakan terutama metoda analisis komponen utama dan analisis faktor. Identifikasi Faktor Indeks modal sosial diukur menggunakan dataset nasional. Model yang dihasilkan dari hasil analisis faktor terhadap dataset nasional tersebut merepresentasikan kondisi yang berlaku secara nasional. Selanjutnya. indeks modal sosial setiap provinsi dihitung menggunakan model nasional tersebut. Dengan demikian. nilai modal sosial antarprovinsi yang dihasilkan dapat diperbandingkan secara langsung karena diukur dengan model dan standar ukur yang sama secara nasional. Untuk menghasilkan susunan faktor (model) yang menggambarkan indeks modal sosial nasional yang valid secara statistik maka dilakukan beberapa tahapan kalkulasi faktor secara berulang (iteratif) dan berurut (sekuensial). Kriteria yang diperhatikan untuk menilai apakah susunan faktor yang dihasilkan pada suatu tahapan kalkulasi tertentu merupakan susunan yang paling optimal adalah sebagai berikut: 1. Nilai eigen value lebih dari 1 (satu). 2. Nilai persentase varians setidaknya 60%. 3. Nilai loading factors pada setiap variabel lebih besar dari 0.55. Jika pada suatu tahapan kalkulasi faktor ternyata terjadi setidaknya salah satu dari 3 (tiga) kriteria di atas yang tidak dipenuhi, maka tahapan iteratif dan sekuensial selanjutnya dilaksanakan. Variabel yang tidak memenuhi kriteria di atas akan dikeluarkan dari kelompok data dan dilanjutkan dengan eksekusi program terhadap variabel-variabel tersisa di kelompok data. Tahapan ini dilakukan secara iteratif dan sekuensial sampai dihasilkan susunan faktor yang memenuhi ketiga kriteria di atas (BPS 2010). Pengukuran bobot setiap variabel Bobot (penimbang) bagi setiap variabel pada suatu faktor dihitung berdasarkan hasil susunan faktor optimal pembentuk indeks modal sosial di atas. Bobot setiap variabel dihitung berdasarkan nilai loading factors’s pada variabel yang bersangkutan dan nilai rotation sums of squared loading ( percent of variance) pada faktor yang terbentuk (BPS 2010). Pengukuran bobot bagi setiap variabel dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu: 1. Penghitungan bobot tiap variabel dalam faktor dengan formula. B= (3.6) dimana: B = nilai bobot. LF = nilai loadingfactor.
30 RLF = rata-rata loading factor dalam satu factor. RSSL = nilai rotation sums of squared loading ( persen of variance) 2. Penghitungan bobot tiap variabel dalam faktor dengan formula. b=
(3.7)
dimana: b = nilai bobot ternormalisasi. B = nilai bobot. JB = jumlah semua bobot. Pengukuran Skor Modal Sosial Pengukuran skor modal sosial bagi setiap provinsi dilakukan dalam 2 (dua) tahapan yaitu pengukuran skor modal sosial dari agregat rumah tangga dan pengukuran indeks modal sosial (BPS 2010). 1. Pengukuran skor modal sosial. Setiap rumah tangga memiliki nilai modal sosial yang melekat pada setiap individu anggota rumah tangga tersebut. Nilai modal sosial pada setiap rumah tangga tersebut kemudian diagregasi menggunakan rata-rata tertimbang sehingga dihasilkan skor modal sosial provinsi. Skor modal sosial tersebut akan bernilai antara 1 (satu) dan 5 (lima). Pengukuran skor modal sosial pada setiap provinsi dilakukan dengan menggunakan formula berikut. ∑ ∑
SProvinsi = (3.8) dimana: SProvinsi = skor modal sosial provinsi. bi = nilai bobot ternormalisasi untuk variabel ke-i. xij = nilai variabel ke-i untuk rumah tangga ke-j. = jumlah rumah tangga di provinsi. n 2. Pengukuran indeks modal sosial. Nilai skor modal sosial yang memiliki rentang nilai 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tersebut perlu ditransformasi menjadi sebuah nilai indeks dengan rentang nilai antara 0 (nol) sampai dengan 100 (seratus). Skor indeks modal sosial dalam bentuk indeks tersebut menjadi mudah diinterpretasikan. Formula indeks modal sosial adalah: MSprovinsi= (Sprovinsi /5)x 20 (3.9) dimana MSprovinsi merupakan nilai indeks modal sosial yang dimiliki oleh provinsi berskala 0-100, sedangkan Sprovinsi adalah nilai skor modal sosial pada provinsi yang masih berskala 1 sampai dengan 5 (modifikasi formula BPS 2010). 3. Nilai skor indeks modal sosial pada setiap provinsi dilengkapi dengan nilai kontribusi setiap subdimensi pembentuk modal sosial. Besarnya kontribusi setiap subdimensi dihitung berdasarkan formula berikut. Ks =
∑ ∑
(3.10)
dimana: Ks = kontribusi subdimensi terhadap skor indeks modal sosial. bi = nilai bobot ternormalisasi untuk variabel ke-i suatu subdimensi. xij = nilai variabel ke-i untuk rumah tangga ke-j Snasional = nilai skor modal sosial nasional. Nilai kontribusi ini menyatakan besarnya sumbangan yang diberikan oleh setiap unsur terhadap indeks modal sosial pada setiap provinsi. Indeks
31 modal sosial dibentuk oleh beberapa subdimensi yang masing-masing memiliki kadar kontribusi yang berbeda-beda. Unsur yang memiliki nilai kontribusi paling besar menunjukkan bahwa unsur tersebut paling berperan dalam pembentukan indeks modal sosial masyarakat di setiap provinsi. Tinggi rendahnya kontribusi suatu unsur pembentuk modal sosial pada suatu provinsi mencerminkan pola interaksi sosial masyarakat di wilayah provinsi tersebut. Analisis Tipologi Daerah Tipologi Klassen dapat digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi sektoral daerah. (Widodo 2006). Berdasarkan teknik tipologi dasar tersebut kemudian dimodifikasi bagaimana pencapaian pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan kondisi modal sosial antarprovinsi. Tipologi daerah dilakukan dengan membagi daerah berdasarkan dua indikator utama. Pertama adalah dengan menentukan pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan kedua modal sosial sebagai sumbu horisontal. Daerah provinsi yang diamati dapat dibagi menjadi 4 (empat) klasifikasi. Tabel 4 Tipologi daerah atas dasar modal sosial dan pertumbuhan Ekonomi Indeks Modal Sosial Indeks Modal Sosial < Rata-Rata
Pertumbuhan Ekonomi (1) Pertumbuhan Ekonomi > Rata-Rata
Pertumbuhan Ekonomi < Rata-Rata
Indeks Modal Sosial > Rata-Rata
(2) (3) Kuadran II: Daerah Kuadran I: Daerah dengan dengan pertumbuhan pertumbuhan ekonomi dan ekonomi tinggi namun modal sosial yang tinggi. modal sosialnya rendah. Kuadran III: Daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan modal sosial yang rendah.
Kuadran IV: Daerah dengan modal sosial tinggi namun pertumbuhan ekonominya rendah.
Metode Regresi Ordinary Least Squares Gujarati (2010) menyebutkan bahwa analisis regresi berkenaan dengan studi ketergantungan dari satu variable, yaitu peubah tak bebas (dependent variable), terhadap satu atau lebih variabel lainnya, yaitu peubah bebas (independent variable), yang diketahui atau nilai tetap (dalam repeated sampling) dari variabel penjelas. Secara umum model persamaan yang dipakai dalam analisis regresi Ordinary Least Squares untuk populasi dapat dituliskan sebagai berikut. Yi 0 1i X1i 2i X 2i ...... ki X ki i (3.11) dimana i = 1. 2. 3. 4. ..... n
32 Adapun penduganya adalah: yi = bo + b1ix1i + b2ix2i +..... + bkixki + ei. dimana i = 1. 2. 3. 4. ..... n
(3.12)
Spesifikasi Model Model regresi yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (3.13) dimana: pdrbpkpti = Produk domestik regional bruto per kapita atas dasar harga konstan (000) rupiah provinsi i tahun 2009 pmtbi = Pembentukan modal tetap bruto provinsi i tahun 2009 angkeri = Angkatan kerja provinsi i tahun 2009 = Indeks modal sosial provinsi i tahun 2009. Koefisien Determinasi Koefisien determinasi (R2) sering digunakan secara informal sebagai ukuran dari kecocokan (goodness of fit) model regresi walaupun untuk menentukan kebaikan dari kecocokan suatu model tidak hanya dilihat dari besar R2 saja. Koefisien determinasi (R2) dapat diintepretasikan sebagai proporsi total keragaman dependent variabel yang dapat dijelaskan oleh model regresi. Pemeriksaan Asumsi Model Asumsi yang harus dipenuhi oleh suatu persamaan model regresi linier berganda adalah: 1. Rata-rata nilai penggangu dari setiap kesalahan sama dengan nol, dinotasikan dengan E(εi) = 0. untuk semua nilai i. 2. Covarian (i. Xi) = 0, artinya unsur residual/error dengan peubah bebasnya tidak saling berkorelasi. Asumsi ini akan secara otomatis terpenuhi jika Xi bukan merupakan bilangan yang random (acak). 3. Asumsi Kenormalan. residual/error berdistribusi normal ε ~ N (0, 2 ) 4. Kesalahan pengganggu mempunyai varians yang sama (homoscedasticity) dinotasikan E(εi2) = 2 . 5. Tidak ada korelasi antara kesalahan penggangu (autokorelasi). E(εi. εj) = 0; i≠j 6. Tidak terdapat multikolinearitas. Asumsi Kenormalan Pemeriksaan terhadap asumsi kenormalan dimaksudkan untuk mengetahui distribusi residual/error. Razali (2011) menyebutkan bahwa pemeriksaan kenormalan adalah dengan menggunakan plot P-P dan Q-Q. Jika sebaran identik dengan garis lurus pada normal plot maka asumsi kenormalan terpenuhi. Asumsi Homoscedasticity Dalam estimasi menggunakan data cross section, masalah yang umum timbul adalah heteroskedastisitas atau varians residual yang tidak seragam. Kalau terjadi heteroskedastisitas. taksiran parameter berdasarkan Ordinary Least Square akan tetap unbiased dan konsisten, tetapi tidak efisien, artinya mempunyai varians yang lebih besar dari varians minimum. Untuk mengujinya dengan melihat plot
33 dari residu dengan nilai taksiran, jika plot membentuk pola tertentu maka asumsi ini tidak terpenuhi (Gujarati 2010). Asumsi tidak terdapat Multikolinearitas Multikolinearitas (multicolinearity) didefinisikan sebagai korelasi antara beberapa peubah independen. Multikolinearitas berakibat pada tidak dapat ditentukannya koefisien peubah independen dan sangat besarnya standar variasi koefisien tersebut. Uji ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara peubah independen. Cara mendeteksi ada/tidaknya multikoliniearitas adalah dengan teori L.R Klein, yaitu memakai VIF (Variance Inflation Faktor). Jika nilai VIF lebih besar dari 5 atau tolerance (1/VIF) adalah 0.01 atau kurang, mengindikasikan adanya multikoliniearitas. Asumsi Autokorelasi Autokorelasi menggambarkan terdapatnya hubungan antar error. Adanya autokorelasi ini menyebabkan parameter yang akan diestimasi menjadi tidak efisien. Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi menggunakan Durbin-Watson (d). Hipotesis uji ini adalah: H0 : tidak terdapat autokorelasi. H1 : terdapat autokorelasi. Jika nilai d > 4 - dL maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi atau d < dL maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi. Pengujian parameter model Terdapat dua tahap pengujian yaitu uji serentak dan uji parsial (individu). 1. Uji keseluruhan parameter (overall f test) Setelah diperoleh model regresi linier berganda selanjutnya dilakukan uji F untuk menguji keabsahan model secara keseluruhan. R 2 /( k 1) y' y(R2 )/ (k - 1) F hitung adalah Fo y' y(1- R 2 ) /(n k ) (1 R 2 ) /( n k ) (3.14)
dan Ftabel = F( k 1.,nk ) ( ) . Hipotesis yang diajukan adalah: Ho: Bj = 0. untuk j = 1. 2. 3. ....k (tidak ada pengaruh peubah X1. X2. X3. ...Xj. .. Xk terhadap peubah Y). H1: Paling sedikit ada 1 nilai Bj 0. Ho ditolak apabila Fo > F table. 2. Uji individual parameter (t-test) Pengujian ini digunakan untuk mengetahui hubungan peubah tertentu dengan peubah tidak bebas. Pengujian tentang nilai koefisien regresi parsial dilakukan dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut: Ho: Bj = 0 (tidak ada pengaruh antara peubah Xj dengan Y). H1: Bj 0 (ada pengaruh antara peubah Xj dengan Y). Pengujiaannya memakai uji t. Ho ditolak apabila to > t tabel. jika, bj Bj to SBj (3.15)
34
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembentukan Variabel Modal Sosial
Uji Kelayakan Variabel Selanjutnya dalam analisis faktor tahap pertama yang harus dilakukan adalah menilai mana saja variabel yang dianggap layak (appropriateness) untuk dimasukkan dalam membentuk modal sosial. Berdasarkan hasil uji kelayakan variabel nilai KMO dan Bartlett’s test adalah 0.696 signifikan dengan tingkat signifikansi 99%. Asumsi Kecukupan Data Mengacu pada Hair et al. (2010) bahwa sekelompok data dikatakan memenuhi asumsi kecukupan data adalah jika nilai Measure of Sampling Adequacy (MSA) lebih besar daripada 0.5. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa nilai MSA terkecil adalah 0.569 untuk keterangan perasaan bertetangga dengan agama lain dan yang terbesar adalah 0.866 untuk percaya terhadap pemerintah. Uji kecukupan data atau sampel telah terpenuhi sehingga dapat dilanjutkan dengan analisis faktor. Berikut hasil lengkap dari nilai MSA. Tabel 5 Penghitungan Kaiser's Measure of Sampling Adequacy (MSA) Anti-image Correlation (1)
Measures of Sampling Adequacy (MSA) (2)
Percaya terhadap pemerintah
0.866
Percaya terhadap Aparat RT/SLS terkecil
0.727
Percaya terhadap Pengurus Kelompok Masyarakat
0.748
Percaya terhadap Aparat Desa/Lurah
0.790
Percaya menitipkan anak
0.621
Percaya menitipkan rumah
0.627
Kebiasaan bersilahturahim
0.701
Kebiasaan saling mengantarmakanan
0.705
Banyaknya ART 10 thn+ yang memiliki sahabat
0.769
Kemudahan mendapat pinjaman
0.761
Kesiapan membantu meminjam uang
0.741
Perasaan bertetangga dengan suku bangsa lain
0.614
Perasaan bertetangga dengan agama lain
0.569
Tanggapan jika akan didirikan tempat ibadah agama lain
0.638
Tanggapan jika bertetangga dengan orang yg tingkat hidup lebih tinggi
0.797
Banyaknya Keluarga Yang menjadi sahabat
0.656
Banyaknya Organisasi yang diikuti
0.686
Sumber: Hasil olahan
35 Analisis Faktor Susunan faktor yang dihasilkan dari proses kalkulasi pertama menghasilkan 6 faktor yang meliputi 17 variabel. Model tersebut memiliki kemampuan dalam menjelaskan keragaman data sebesar 58.42%. Tabel 6 menunjukkan hasil iterasi pertama dari analisis faktor. Tabel 6 Iterasi pertama penghitungan analisis faktor No
Nama Variabel
Loading factor's
(1)
(3)
(4)
Rotation Sums of Squared Loading* (5)
1
Percaya terhadap pemerintah
0.507
2
Percaya terhadap RT/SLS terkecil
Aparat
0.845
3
Percaya terhadap Pengurus Kelompok Masyarakat Percaya terhadap Aparat Desa/Lurah Perasaan bertetangga dengan suku bangsa lain Perasaan bertetangga dengan agama lain Tanggapan jika akan didirikan tempat ibadah agama lain Kebiasaan bersilahturahim
0.816
Kebiasaan saling mengantarmakanan Kemudahan mendapat pinjaman Kesiapan membantu meminjam uang Percaya menitipkan anak Percaya menitipkan rumah
0.593
Banyaknya ART 10 thn+ yang memiliki sahabat Banyaknya Keluarga Yang menjadi sahabat Banyaknya Organisasi yang diikuti Tanggapan jika bertetangga dg orang yg tingkat hidup lebih tinggi
4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nama Faktor
Keterangan
(6)
(7)
13.818
Percaya terhadap aparatur dan kelompok
Dikeluarkan
11.042
Toleransi beragama dan suku bangsa
10.359
Kelompok dan Solidaritas
0.868 0.856
9.041
0.598
7.888
Percaya terhadap tetangga Jejaring
0.811 0.762 0.872 0.699
0.483
Dikeluarkan
0.700 0.713
0.755 0.202 0.260
Dikeluarkan 6.272
Toleransi AntarKelas
Dikeluarkan
Sumber: Hasil olahan Dari penghitungan tersebut maka keterangan-keterangan yang akan dikeluarkan pada iterasi berikutnya adalah percaya terhadap pemerintah, kebiasaan bersilahturahim, banyaknya organisasi yang diikuti dan tanggapan jika bertetangga dengan orang dengan tingkat hidup yang lebih tinggi. Kalkulasi kedua menghasilkan 5 faktor yang meliputi 13 variabel. Model tersebut memiliki
36 kemampuan dalam menjelaskan keragaman data sebesar 64.075%. Tabel 7 menunjukkan hasil iterasi kedua dari analisis faktor. Tabel 7 Iterasi kedua penghitungan analisis faktor
(1)
(3)
(4)
Rotation Sums of Squared Loading (5)
1
Percaya terhadap Aparat RT/SLS terkecil Percaya terhadap Pengurus Kelompok Masyarakat Percaya terhadap Aparat Desa/Lurah Perasaan bertetangga dengan suku bangsa lain Perasaan bertetangga dengan agama lain Tanggapan jika akan didirikan tempat ibadah agama lain Kebiasaan saling mengantarmakanan Kemudahan mendapat pinjaman Kesiapan membantu meminjam uang Percaya menitipkan anak Percaya menitipkan rumah
0.865
16.680
Percaya terhadap aparatur dan kelompok
14.245
Toleransi beragama dan suku bangsa
12.054
Kelompok dan Solidaritas
0.870 0.867
11.880
Banyaknya ART 10 thn+ yang memiliki sahabat Banyaknya Keluarga Yang menjadi sahabat
0.660
9.216
Percaya terhadap tetangga Jejaring
No
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Variabel
Loading factor's
0.845 0.821 0.775 0.878
Nama Faktor
Keterangan
(6)
(7)
0.688 0.582 0.739 0.750
Dikeluarkan
0.832
Sumber: Hasil olahan Berdasarkan penghitungan tersebut maka susunan faktor tersebut merupakan susunan yang paling optimal dengan seluruh nilai eigen value lebih dari 1, nilai persentase varians di atas 60%, serta nilai loading factor’s pada setiap variabel lebih besar dari 0.55. Kendati demikian ketika dilihat dari penghitungan component transformation matrix pada faktor ketiga yakni jejaring dan kelompok memiliki korelasi yang rendah yakni di bawah 0.5 atau sebesar 0.499. Keterangan dengan loading factor’s terendah akan dikeluarkan pada iterasi berikutnya yakni kebiasaan saling mengantarmakanan dengan nilai loading factor’s sebesar 0.582. Tabel 8 menunjukkan component transformation matrix dari iterasi kedua analisis faktor. Tabel 9 menunjukkan hasil penghitungan kembali dengan analisis faktor dimana susunan faktor yang dihasilkan dari proses kalkulasi ketiga menghasilkan 5 faktor yang meliputi 12 variabel. Model tersebut memiliki kemampuan dalam menjelaskan keragaman data sebesar 67.658%.
37 Tabel 8 Component transformation matrix penghitungan analisis faktor iterasi kedua Nama Faktor
Percaya Terhadap Aparatur dan Kelompok Toleransi Beragama dan Suku Bangsa Kelompok dan Solidaritas Percaya Terhadap Tetangga Jejaring
Percaya Terhadap Aparatur dan Kelompok 0.737
Toleransi Beragama dan Suku Bangsa
Kelompok dan Solidaritas
Percaya Terhadap Tetangga
Jejaring
0.243
0.426
0.437
0.161
-0.469
0.833
0.262
0.023
0.134
-0.458
-0.484
0.499
0.422
0.358
0.147
-0.101
0.515
-0.794
0.271
0.078
0.058
-0.486
-0.011
0.869
Sumber: Hasil olahan Tabel 9 Iterasi ketiga penghitungan analisis faktor No
Nama Variabel
Loading factor's
(1)
(2)
1
Percaya terhadap Aparat RT/SLS terkecil 2 Percaya terhadap Pengurus Kelompok Masyarakat 3 Percaya terhadap Aparat Desa/Lurah 4 Perasaan bertetangga dengan suku bangsa lain 5 Perasaan bertetangga dengan agama lain 6 Tanggapan jika akan didirikan tempat ibadah agama lain 7 Percaya menitipkan anak 8 Percaya menitipkan rumah 9 Kemudahan mendapat pinjaman 10 Kesiapan membantu meminjam uang 11 Banyaknya ART 10 thn+ yang memiliki sahabat 12 Banyaknya Keluarga Yang menjadi sahabat
Sumber: Hasil olahan
Nama Faktor
(3)
Rotation Sums of Squared Loading* (4)
0.865
18.027
Percaya terhadap aparatur dan kelompok
15.434
Toleransi beragama dan suku bangsa
12.910
Percaya terhadap tetangga
11.412
Solidaritas
9.876
Jejaring
(5)
0.844
0.822 0.775 0.878 0.688
0.872 0.868 0.758 0.822 0.689
0.832
38 Selanjutnya kembali dilihat penghitungan component transformation matrix dari iterasi ketiga dengan hasil sebagai berikut. Tabel 10 Component transformation matrix penghitungan analisis faktor iterasi ketiga Nama Faktor
Percaya Terhadap Aparatur dan Kelompok Toleransi Beragama dan Suku Bangsa Percaya terhadap Tetangga Solidaritas Jejaring
Percaya Terhadap Aparatur dan Kelompok 0.787
Toleransi Beragama dan Suku Bangsa
Percaya terhadap Tetangga
Solidari tas
Jejaring
0.228
0.436
0.344
0.141
-0.358
0.916
0.014
0.159
0.087
-0.488
-0.308
0.591
0.418
0.378
0.076 0.089
-0.101 0.063
-0.678 0.022
0.569 -0.598
0.447 0.793
Sumber: Hasil olahan Penghitungan component transformation matrix pada iterasi ketiga yakni secara keseluruhan memiliki korelasi yang cukup baik yakni di atas 0.5. Selanjutnya maka dari iterasi ketiga tersebut dapat digunakan keteranganketerangan dalam pembentukan modal sosial, yakni: 1. Faktor pertama (percaya terhadap aparatur dan kelompok) terdiri dari keterangan-keterangan percaya terhadap aparat RT/SLS terkecil, percaya terhadap pengurus kelompok masyarakat, dan percaya terhadap aparat desa/lurah. 2. Faktor kedua (toleransi beragama dan suku bangsa) terdiri dari keteranganketerangan perasaan bertetangga dengan suku bangsa lain, perasaan bertetangga dengan agama lain, dan tanggapan jika akan didirikan tempat ibadah agama lain. 3. Faktor ketiga (percaya terhadap tetangga) terdiri dari keterangan-keterangan percaya menitipkan anak, dan percaya menitipkan rumah. 4. Faktor keempat (solidaritas) terdiri dari keterangan-keterangan kemudahan mendapat pinjaman, dan kesiapan membantu meminjam uang. 5. Faktor kelima (jejaring) terdiri dari keterangan-keterangan banyaknya ART 10 tahun ke atas yang memiliki sahabat, dan banyaknya keluarga yang menjadi sahabat. Selanjutnya dilihat nilai communalities dari faktor-faktor yang terbentuk dengan pengertian sebagai berikut: 1. Faktor pertama (percaya terhadap aparatur dan kelompok) dapat menjelaskan varians keterangan percaya terhadap aparat RT/SLS terkecil sebesar 75.5%; percaya terhadap pengurus kelompok masyarakat sebesar 72.7%; dan percaya terhadap aparat desa/lurah sebesar 67.9%. 2. Faktor kedua (toleransi beragama dan suku bangsa) dapat menjelaskan varians keterangan Perasaan bertetangga dengan suku bangsa lain sebesar 62.1%; Perasaan bertetangga dengan agama lain sebesar 77.3%; dan Tanggapan jika akan didirikan tempat ibadah agama lain sebesar 48.1%.
39 3. Faktor ketiga (percaya terhadap tetangga) dapat menjelaskan varians keterangan percaya menitipkan anak sebesar 77.8%; dan percaya menitipkan rumah sebesar 77.3%. 4. Faktor keempat (solidaritas) dapat menjelaskan varians keterangan kemudahan mendapat pinjaman sebesar 60.2%; dan kesiapan membantu meminjam uang sebesar 68.0%. 5. Faktor kelima (jejaring) dapat menjelaskan varians keterangan banyaknya ART berumur 10 tahun ke atas yang memiliki sahabat sebesar 54.2%; dan banyaknya keluarga yang menjadi sahabat sebesar 70.6%. Berikut ditampilkan scree plot yang dapat menggambarkan simulasi jumlah faktor yang didapat.
Sumber: Hasil olahan Gambar 3 Scree plot iterasi ketiga penghitungan analisis faktor Terlihat bahwa dari faktor ke 1 dan faktor ke 2 (sumbu horizontal) arah garis menurun cukup tajam. kemudian dari faktor ke 2 dan faktor ke 3 arah garis juga menurun cukup tajam sampai pada faktor ke 4 dan faktor ke 5 dengan slope yang lebih kecil. Berdasarkan nilai eigen values dengan ambang batas nilai 1 maka lima faktor merupakan jumlah yang paling baik dalam meringkas ke 12 keterangan modal sosial rumah tangga. Gambaran Umum Kondisi Modal Sosial di Indonesia Indeks modal sosial pada suatu provinsi diukur dengan asumsi bahwa kondisi modal sosial di semua tingkatan dari rumah tangga hingga kabupaten/kota pada provinsi tersebut bersifat homogen. BPS (2010) menyebutkan bahwa nilai indeks modal sosial 0 (nol) merupakan nilai indeks modal sosial yang secara
40 teoritis terendah. Meskipun demikian. faktanya hampir tidak mungkin indeks modal sosial yang bernilai 0 (nol). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia sebagai makhluk sosial pasti akan membutuhkan dan melakukan interaksi dengan orang lain di sekitarnya sehingga antarindividu terjalin hubungan dalam tatanan sosial bermasyarakat. Interaksi sosial antarindividu dalam masyarakat tersebut bisa terjadi karena tersedianya elemen utama pembentuk modal sosial. yaitu sikap saling percaya (trust) dan toleransi (tolerance) yang melekat di antara mereka. Sebaliknya. nilai indeks modal sosial teoritis yang tertinggi adalah 100. walaupun faktanya hampir sangat tidak mungkin terjadi indeks modal sosial yang mencapai nilai maksimum tersebut. 72 71
69 68 67 66
71.32 70.8170.89 70.3570.54 70.27 70.23 70.10 69.87 69.7769.54 69.66 69.49 68.99 68.91 68.7368.73 68.70 68.69 68.66 68.57 68.29 68.28 67.70 67.14 67.00 66.80 66.5566.65 66.00 65.92 65.53
65 64 63
62
NAD SUMUT SUMBAR RIAU JAMBI SUMSEL BENGKULU LAMPUNG BABEL KEPRI DKI JABAR JATENG DIY JATIM BANTEN BALI KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM SULUT SULTENG SULSEL SULTRA GTO SULBAR NTB NTT MALUKU MALUT PABAR PAPUA
Indeks Modal Sosial
70
71.82
Provinsi
Sumber: Hasil olahan Gambar 4 Indeks Modal Sosial Provinsi di Indonesia Tahun 2009 Angka indeks modal sosial yang dihasilkan dalam penelitian ini mencakup 33 provinsi di seluruh Indonesia. Nilai indeks modal sosial provinsi di Indonesia memiliki rentang dari 65.53 sampai dengan 71.82 dengan rata-rata 68.80. Nilai ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki modal sosial yang relatif baik. Untuk lebih memperjelas dari Gambar 4 ditampilkan kondisi modal sosial di tiap provinsi di Indonesia. Selanjutnya dalam menjelaskan alasan suatu provinsi memiliki nilai indeks modal sosial lebih tinggi ataupun lebih rendah dari lainnya digunakan beberapa literatur terkait dengan pernyataan Hasbullah (2006) yang menyatakan bahwa unsur-unsur utama yang menopang modal sosial dipengaruhi oleh faktor internal kebudayaan (seperti kebudayaan lokal, tatanan sosial, kepercayaan tradisional, dan pola sistem produksi) serta faktor eksternal (seperti pengaruh agama, globalisasi, urbanisasi, kebijakan pemerintah, hukum, pendidikan, dan politik). Nilai indeks modal sosial tertinggi sebesar 71.82 berada di Provinsi Sulawesi Utara, tertinggi dibandingkan pulau dan provinsi lain di Indonesia. Tingginya
41 indeks modal sosial di wilayah ini secara umum disebabkan karena masyarakat Sulawesi Utara sangat menyadari dan memahami bahwa berperanserta. berpartisipasi aktif dan bersatu dalam memelihara dan menjaga kerukunan, persaudaraan dan kebersamaan dengan kredo kearifan lokal Torang Samua Basudara adalah sesuatu yang penting. Tumanggor (2007) menyebutkan Torang Samua Basudara adalah kearifan lokal masyarakat Sulawesi Utara. Ciri yang paling menonjol di dalamnya adalah keterbukaan. Hal ini dapat dilihat dari sikap saling menghargai, tolong-menolong atau saling bantu-membantu. Torang samua basudara, kong baku-baku bae, dan baku-baku sayang (kita semua bersaudara, antara yang satu dengan yang lainnya, hiduplah dalam keadaan baik dan saling menyayangi) merupakan pesan moral yang mulia yang menjadi pegangan masyarakat Sulawesi Utara untuk hidup rukun dan damai. Keterbukaan masyarakat Sulawesi Utara tercermin dalam sikap hidup bekerja sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Pada awal mulanya bentuk kerja ini hanya terbatas di kalangan masyarakat tani, yang pada umumnya kerja sama dalam membuka lahan pertanian baru, menanam padi, memanen padi, atau bentuk pekerjaan lainnya; tetapi kemudian berkembang dalam bentuk arisan, perkumpulan dalam bentuk rukun keluarga, rukun marga, atau rukun dalam satu sub etnis, perkumpulan atau arisan membawa makanan ke rumah duka secara bergiliran, dan bentuk kerja sama lainnya seperti menjaga tempat ibadah secara bergantian antara pemeluk agama yang yang berbeda. Dari bentuk kerja sama inilah mulai tercipta rasa saling menghargai. menyayangi dan saling mencintai dalam wujud hidup rukun intern kelompok. Selanjutnya dari hidup rukun intern kelompok berkembang sebagai cikal bakal hidup rukun antarkelompok, baik dengan kelompok masyarakat penduduk asli, atau yang sudah berasimilasi maupun dengan kelompok masyarakat pendatang baru. Di Minahasa, bentuk kerja sama ini disebut Mapalus; di Sangihe disebut Mapaluse; di Bolaang Mongondow disebut Mopasad. Provinsi yang memiliki nilai indeks modal sosial yang rendah (semakin mendekati nol) menunjukkan bahwa kondisi modal sosial masyarakat di wilayah provinsi tersebut sangat rendah dan sangat perlu untuk ditingkatkan. Hal yang menarik adalah daerah di paling barat dan timur Indonesia memiliki indeks modal sosial yang rendah. Indeks modal sosial di daerah paling barat yakni Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 68.00 dan untuk daerah paling timur Indonesia untuk Provinsi Papua sebesar 65.53. Hal yang sangat mengejutkan adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta dua daerah penyangganya yakni Provinsi Banten dan Jawa Barat memiliki indeks modal sosial yang rendah. Indeks modal sosial untuk daerah Banten sebesar 66.80 dan Jawa Barat sebesar 67.00 sementara untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah sebesar 65.92. Daerah lain yang memiliki indeks modal sosial yang tergolong rendah adalah Sumatera Barat sebesar 66.55 dan Jambi sebesar 66.65. Berdasarkan hasil indeks modal sosial tersebut masih belum banyak dapat diambil kesimpulan mengenai penyebab dari rendahnya modal sosial ini, namun secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat tiga ciri dari wilayah yang memiliki indeks modal sosial rendah. 1. Daerah yang pernah mengalami konflik dan isu disintegrasi, yakni Provinsi Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam. Ciri dari konflik yang pernah terjadi berkaitan erat dengan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan
42 rakyat dan elit sosial di daerah. yang secara ringkas dituangkan dalam penjelasan sebagai berikut: a. Konflik vertikal Aceh mempunyai akar sejarah panjang. Aceh merupakan wilayah yang paling bersemangat mendukung berdirinya kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun banyak kekecewaan yang didapat atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat seperti keputusan terdahulu bahwa Aceh hanya dijadikan sebagai salah satu karesidenan dari Provinsi Sumatera Utara, selanjutnya kesepakatan yang dilanggar pemerintah atas penyelenggaraan syariat Islam di wilayah Aceh, eksploitasi besar-besaran atas pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda tanpa melihat kondisi kemiskinan yang terjadi di Aceh. Gerakan Aceh Merdeka. dan pemberlakuan Daerah Operasi Militer. Wajar ketika sejarah yang dialami menjadi sebuah nilai, pemahaman dan pola pikir sehingga kondisi indeks modal sosial di Provinsi ini lebih rendah dibandingkan provinsi lain di Indonesia. b. Konflik di Provinsi Papua. Da dan Herfan (2009) merangkum empat hal pokok penyebab konflik di Papua. Pertama, marginalisasi ekonomi dan tindakan diskriminatif dalam pembangunan ekonomi terhadap orang asli Papua sejak tahun 1970, yang hasilnya membuat mereka kalah bersaing dengan pendatang. Kedua, pemerintah kurang berhasil melakukan pembangunan Papua. terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, belum ada kesamaan paradigma seputar sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi serta pertanggungjawaban formal dalam kasus-kasus kekerasan atas masyarakat Papua oleh negara di masa lalu. 2. Daerah Ibukota dan daerah penyangganya, yakni Provinsi DKI Jakarta. Banten dan Jawa Barat. Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus tempat konsentrasi kegiatan ekonomi dan pembangunan memiliki berbagai masalah sosial yang menumpuk. Sebagai pusat pertumbuhan, pencari kerja berdatangan ke Jakarta. Kondisi ini menyebabkan arus urbanisasi meningkat, akibatnya kepadatan penduduk makin tinggi dan telah menghasilkan ketidaknyamanan kota, potensi konflik, polusi, parahnya kemacetan, pengangguran, kriminalitas, dan kemiskinan. Selanjutnya daerah terdekatnya yakni Provinsi Banten dan Jawa Barat menjadi daerah penyangga serta menjadi tempat tinggal para komuter yang bekerja di Jakarta. yang secara otomatis konflik dan masalah yang ada di DKI Jakarta akan terbawa. 3. Provinsi Sumatera Barat dan Jambi. Kedua daerah yang saling berbatasan ini memiliki banyak kemiripan. Selain dari masyarakatnya yang berasal dari rumpun melayu, bagi masyarakat yang berada di dua provinsi tersebut, adat merupakan hal yang utama yang mengakar dalam sendi kemasyarakatannya. Namun begitu masih belum dapat ditemukan cerita dibalik rendahnya indeks modal sosial di kedua provinsi ini. Dari tinggi dan rendahnya indeks modal sosial tersebut sedikit banyak sudah dapat terlihat bagaimana pola modal sosial di tiap wilayah provinsi di Indonesia, kendati demikian penyebab sebenarnya dibalik terbentuknya nilai indeks modal sosial di suatu wilayah perlu dianalisis lebih lanjut terutama mengenai faktor pembentuknya. Berikut ditampilkan gambar kontribusi unsurunsur terhadap modal sosial.
43
14.92
15.65
30.04
19.57 19.82
Percaya terhadap aparatur dan kelompok Percaya terhadap tetangga Jejaring
Toleransi beragama dan suku bangsa Solidaritas
Sumber: Hasil olahan Gambar 5 Kontribusi Unsur-unsur terhadap Modal Sosial Indonesia Tahun 2009 Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa modal sosial dalam penelitian ini terbentuk dari lima unsur dari modal sosial. Hal yang terlihat sangat menonjol adalah unsur kepercayaan terhadap aparatur dan kelompok memiliki kontribusi yang cukup tinggi dibandingkan unsur dari modal sosial yang lain sebesar 30.04%. Selanjutnya apabila dijumlahkan antara unsur kepercayaan terhadap tetangga dan kepercayaan terhadap aparatur dan kelompok maka hampir separuh dari modal sosial dibentuk oleh kepercayaan (trust). Berikutnya maka ditampilkan kontribusi unsur-unsur terhadap modal sosial di setiap provinsi di Indonesia. Hal ini menjelaskan alasan dari Fukuyama (2000) dalam menggunakan konsep kepercayaan untuk mengukur tingkat modal sosial. Fukuyama melihat bahwa kondisi kesejahteraan dan demokrasi serta daya saing suatu masyarakat ditentukan oleh tingkat modal sosial yang akan menjadi semakin kuat apabila dalam satu masyarakat terjalin rasa percaya melalui suatu ikatan jaringan hubungan baik antarmasyarakat itu sendiri maupun kelembagaan sosial. Hal yang tidak begitu mengherankan. bahwa seluruh provinsi di Indonesia juga memiliki pola yang sama. Pada gambar tersebut terlihat bahwa unsur kepercayaan terhadap aparatur dan kelompok memiliki kontribusi yang cukup tinggi dibandingkan unsur dari modal sosial yang lain dengan rentang antara 27.29 sampai dengan 31.10%. Terlebih lagi jika kontribusi tersebut ditambahkan dengan unsur kepercayaan terhadap tetangga. Kepercayaan merupakan faktor utama pembentuk modal sosial. Kepercayaan sangat erat kaitannya dengan budaya, budaya berkaitan dengan etika dan moral yang berlaku. Kepercayaan muncul apabila masyarakat dan lembaga sama-sama memiliki seperangkat nilainilai tanggung jawab moral, kewajiban terhadap masyarakat dan kepercayaan yang lebih didasarkan pada kebiasaan dan keseharian daripada sekedar perhitungan rasional semata. Modal sosial suatu wilayah dapat menjadi lebih baik
44
35
30 25 20 15
10 5 0 NAD SUMUT SUMBAR RIA JBI SUMSEL BKL LPG BBL KRI DKI JBR JTG DIY JTM BTN BALI NTB NTT KBT KTG KSL KTM SUT STG SSL STR GTO SBT MLK MUT PPB PAP
Kontribusi Unsur Pembentuk Modal Sosial ( persen)
jika nilai-nilai moral memadai untuk menumbuhkan kejujuran yang didasari atas nilai tanggung jawab.
Solidaritas Percaya terhadap tetangga Percaya terhadap aparatur dan kelompok
Provinsi Jejaring Toleransi beragama dan suku bangsa
Sumber: Hasil olahan Gambar 6 Kontribusi Unsur-Unsur Modal Sosial Provinsi di Indonesia Tahun 2009 Unsur percaya terhadap aparatur dan kelompok Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kepercayaan terhadap aparatur dan kelompok merupakan kontribusi utama dalam penelitian ini. Kepercayaan terhadap aparatur dan kelompok ini merupakan isu sentral teori modal sosial terkait dengan hubungan antara tinggi rendahnya tingkat modal sosial dan efektifitas pemerintahan. Tingginya unsur ini akan membawa dampak pada tingginya partisipasi masyarakat sipil terhadap pemerintah dengan berbagai bentuk. Berdasarkan hasil analisis faktor. unsur sikap percaya salah satunya diwakili oleh faktor sikap percaya terhadap aparatur dan kelompok. Faktor sikap percaya terhadap aparatur dan kelompok merupakan cerminan dari sikap percaya anggota masyarakat terhadap pengurus lembaga di daerah antara lain: aparatur RT/SLS terkecil, pengurus kelompok masyarakat dan aparatur desa/kelurahan. Provinsi yang mempunyai nilai indeks unsur percaya terhadap aparatur dan kelompok tertinggi mencapai 78.44 adalah Provinsi Jawa Tengah. Hal yang menarik adalah wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah yang kental akan unsur Budaya Jawa, dengan mengasumsikan masyarakat Jawa Barat, Bali dan Lampung memiliki pola kebudayaan yang mirip. Pada masyarakat Jawa pada umumnya konsistensi antara perkataan dan perbuatan seorang pemimpin dalam hal ini seorang raja akan menjadi suri tauladan serta rujukan bagi seluruh rakyatnya. Sebagaimana dalam adat Jawa disebutkan sabdane narendra warata sanagara, ucapan raja itu akan menyebar dan pasti menjadi rujukan sekalian negeri (Damardjati 1993). Dijelaskan pula
45 dalam (Darsiti 1991) bahwa raja adalah narendra gung binathara, mbahu dhendha nyakrawati. ambeg adil paramarta, mamayu hayuning bawana. Artinya, raja diumpamakan sebagai dewata dari kahyangan yang memegang hukum dan pemerintahan, senantiasa bersikap adil serta kasih sayang, dan membuat aman tenteram dunia. Sekalipun penghormatan yang diberikan masyarakat Jawa kepada seorang pemimpin, unsur keadilan juga mendapat perhatian yang cukup utama. Jangankan keluarga, anak, istri serta aparatnya, bahkan jika sang raja sendiri melakukan kesalahan tentu akan dihukum juga, lamun nandhang cidra lan luput, sayekti den sempal-sempal bahu kanan keringe. Artinya jika raja bersalah maka tangan kiri kanannya akan dipotong juga. Selanjutnya raja juga harus adil dalam membuat suatu keputusan di mana narendra wenang paring pidana lan paring ganjaran, raja memang bertugas menghukum orang yang bersalah dan akan memberikan hadiah serta penghargaan terhadap siapa saja yang berjasa pada negara. Setelah rakyat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan berjanji untuk bersatu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat Jawa sebagai bagian dari masyarakat Nusantara selalu tampil terdepan dalam kepemimpinan nasional. Kepemimpinan tersebut secara otomatis akan membuat perhatian dan pembangunan dari pemerintah pusat terfokus kepada kampung halamannya sendiri yakni Jawa. Hal tersebut merupakan sumber pembentuk dari unsur percaya terhadap aparatur dan kelompok di wilayah Jawa lebih tinggi dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Sementara itu, Provinsi dengan indeks unsur percaya terhadap aparatur dan kelompok yang paling rendah adalah Provinsi Papua sebesar 69.14 disusul oleh Provinsi Papua Barat sebesar 70.98. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah secara khusus. sejarah perjalanan panjang telah dilalui masyarakat Papua untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, mulai dari keluarnya UU No 21 Tahun 2001 yang turut melahirkan lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP), kemudian anggaran otonomi khusus dalam jumlah yang tidak sedikit dikucurkan pemerintah pusat ke Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. ternyata tidak berjalan sesuai yang diharapkan (Da dan Herfan 2009). Akibatnya, rakyat masih berada dalam kemiskinan. Keterbelakangan, bahkan ironisnya masyarakat terlibat saling membunuh dalam perang antarsuku, sementara aparat keamanan tidak bisa berbuat banyak dalam menghentikan pertumpahan darah yang terjadi. Impian rakyat asli Papua belum dilaksanakan secara murni dan konsukuen. Bagaimana mungkin impian tersebut dapat tercapai ketika para pemimpin di tanah Papua berjalan sendiri-sendiri dengan egonya masing-masing. Berbagai pengalaman tersebut termanifestasi dalam unsur percaya terhadap aparatur dan kelompok yang ada dalam masyarakat Provinsi Papua dan pada akhirnya menjadi yang terendah dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Putnam (2002) menyebutkan bahwa akibat positif yang ditimbulkan dari nilai unsur percaya terhadap aparatur dan kelompok adalah pemerintahan yang memiliki akuntabilitas yang lebih kuat. Dalam kondisi ini masyarakat akan menjadi mitra yang baik bagi pemerintah untuk melakukan berbagai kebijakan pembangunan. Efek percaya terhadap pemerintahan yang tinggi akan meningkatkan kinerja pemerintah di bidang pelayanan publik dan menghindari penyalahgunaan jabatan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kepercayaan
46 publik memberikan dampak yang positif bagi pemerintah sehingga mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Unsur Percaya terhadap Tetangga Cohen dan Prusak (2001) menyebutkan bahwa modal sosial adalah nilai dari hubungan yang aktif di antara masyarakat. Setiap pola hubungan yang terjadi tersebut diikat oleh kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai kebersamaan (shared value). Masyarakat dengan segala kekurangan yang ada saling membutuhkan satu sama lain terutama pada hal-hal yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Semakin tinggi nilai kepercayaan di antara masyarakat di dalam suatu wilayah, maka semangat untuk menyelesaikan masalah secara bersama-sama akan semakin tinggi pula. Hal ini pada akhirnya akan membentuk modal sosial yang tinggi dalam masyarakat tersebut. Berdasarkan hasil analisis faktor, unsur sikap percaya salah satunya juga diwakili oleh faktor sikap percaya terhadap tetangga. Unsur ini merupakan cerminan dari sikap percaya terhadap sesama anggota masyarakat yang digambarkan oleh sikap percaya untuk menitipkan anak atau rumah pada tetangga. Provinsi yang mempunyai nilai indeks unsur percaya terhadap tetangga tertinggi mencapai 78.15 adalah Sulawesi Barat. Sulawesi Barat adalah provinsi yang memiliki keragaman kearifan lokal yang bersumber dari akulturasi budaya, suku, ras dan agama yang berkembang di masyarakat. Djafar (2011) menyebutkan bahwa sebagian kearifan lokal budaya Sulawesi Barat berasal dari nilai puang sodo (mencari kebenaran) yakni “ mua’ ditami balimbungannna azda, tuomi tau tammate. mapia takkazdae, apa metturundungi tau di barimbin,. mettullung diropo uwe. mua tadami tau lao di olona andenami tau bicaran na, issinna parabue’na.apa nayya azda, takkeanai, takkeappoi, tammariwai tammakaleppei, tale napilletei diwatang makambu, tale namipasenderi di ayumate” yang memiliki arti sebagai berikut: 1. Rumah adat merupakan sebuah pertanda dari kematian yang terhindar, kebaikan yang menyongsong, keburukan yang telah terkikis, karena telah bernaung di bawah pohon rindang, dan lebatnya rumpung rotan. 2. Setiap orang dihadapan adat harus suka-rela menyerahkan diri untuk disidang, dan isi ketetapannya, karena adat tidak akan pilih kasih dalam mementingkan anak, tak mengutamakan cucu, tidak ada yang akan dipangku atau dimomong. 3. Adat memiliki nuansa keadilan dan kebijakan dimana tidak akan mungkin menitikan diri pada jembatan kayu yang sudah lapuk serta tidak akan mungkin untuk bersandar pada dahan yang telah mati. Adat yang diwariskan oleh para leluhur tersebut diambil sebagai nilai yang turun-temurun sehingga menciptakan rasa saling percaya diantara masyarakat. Adat dijadikan sebagai pengawal dalam interaksi antaranggota masyarakat. Tidak terlalu mengherankan jika Provinsi Sulawesi Barat memiliki nilai percaya terhadap tetangga yang tinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Nilai ini mencerminkan keramahan. suka menolong, ringan tangan, solidaritas, kekerabatan dan keluargaan yang tinggi jujur dan tulus ikhlas. Sementara itu. provinsi dengan nilai unsur percaya terhadap tetangga paling rendah sebesar 65.94 adalah Provinsi DKI Jakarta. Wilayah ibukota ini selain berkembang dalam fungsinya sebagai pusat-pusat industri dan pertumbuhan
47 ekonomi serta pemusatan program pembangunan nasional, juga berkembang menjadi sebuah ibukota negara dengan berbagai masalah sosial. Masalah tersebut di antaranya diakibatkan karena tingginya selera konsumsi masyarakat Jakarta yang tidak diimbangi dengan tingkat pendapatan. penggunaan kekuatan ilegal (premanisme) untuk fasilitas yang bukan hak milik, pemukiman liar dan kumuh yang menjadi sarang tindak kriminalitas. Pelacuran, kenakalan remaja, serta alkoholisme dan narkotika, yang keseluruhannya tersebut berkembang menjadi tidak terkendali. Secara keseluruhan masalah-masalah tersebut turut mendorong terwujudnya lingkungan hidup perkotaan yang tidak kondusif bagi warga masyarakatnya. Masyarakat cenderung berhati-hati dan waspada terhadap lingkungannya. Dari beberapa kondisi tersebut sehingga dapat dipahami alasan nilai unsur percaya terhadap tetangga di Jakarta paling rendah di antara provinsi lain di Indonesia. Nilai positif yang dapat diambil dari nilai unsur ini adalah kepercayaan dapat mendorong adanya asosiasi, kerjasama dan solidaritas. Asosiasi, kerja sama dan solidaritas ini digunakan untuk memecahkan masalah kolektif yang berawal dari kelompok kecil. Putnam (1993) dalam Knack and Keefer (1997) menyatakan bahwa asosiasi-asosiasi menanamkan kebiasaan kerja sama, solidaritas, dan semangat kebersamaan pada anggota-anggotanya. Asosiasi dari kelompok kecil ini dapat merefleksikan pola yang sama pada kondisi makro di mana performa ekonomi akan mengalami performa yang positif jika didasari atas sikap kerja sama. solidaritas. dan semangat kebersamaan. Unsur Toleransi Beragama dan Suku Bangsa Unsur toleransi yang diwakili oleh faktor toleransi beragama dan suku bangsa merupakan cerminan dari sikap toleransi di antara sesama anggota masyarakat untuk melaksanakan ibadah dan mendirikan tempat ibadah serta bertetangga dengan warga yang berbeda suku bangsa. Unsur ini mempunyai kontribusi yang besar dalam pembentukan faktor modal sosial sesudah unsur percaya terhadap aparatur dan kelompok. Provinsi yang mempunyai nilai indeks unsur toleransi beragama dan suku bangsa tertinggi mencapai 63.98 adalah Provinsi Papua Barat. Masyarakat Papua Barat termasuk kelompok masyarakat yang masih kental mempertahankan hukum adat dan agamanya. Selain itu sistem yang melekat dan adat terkait antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat di sini sudah terbiasa hidup bersama dalam keberagaman, karena acuan pandangan hidup masyarakat lokal di daerah ini telah mengakomodir filosofi hidup sebagai sebutan satu tungku tiga batu (Iribaram 2011). Satu tungku tiga batu merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menggambarkan filosofi keseimbangan yang diibaratkan sebuah tungku yang ditopang oleh tiga batu yang digunakan masyarakat terdahulu dalam memasak dengan tungku kayu api. Tanpa tiga kaki dari batu dipercaya bahwa tungku tersebut tidak akan stabil dan mengakibatkan masakan akan tumpah. Tiga kaki batu ini diibaratkan sebagai tiga agama besar yang berada di wilayah tersebut yaitu agama Islam, Katolik dan Protestan. Dalam pemikirannya tersebut masyarakat adat menganggap bahwa dengan tiga kaki batu itu maka kondisi akan stabil sehingga semua persoalan dapat di atasi dengan baik. Toleransi ini banyak diakui masyarakat dan telah berjalan lama. menjadi sebuah tradisi. dan menjadi jiwa dari masyarakat Provinsi Papua Barat.
48 Sementara itu. Provinsi dengan nilai unsur toleransi beragama dan suku bangsa yang paling rendah di antara provinsi lain adalah: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 46.94; Nusa Tenggara Barat sebesar 48.12; dan Sumatera Barat sebesar 50.10. Hal yang cukup menarik untuk ditelaah lebih dalam adalah daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang menerapkan syariat islam dalam peraturan daerahnya. Syariat Islam secara umum dimaksudkan untuk mendatangkan kesejahteraan bagi manusia serta rahmat bagi seluruh alam. Namun demikian ketidakcermatan dalam penerapannya dapat menimbulkan konflik sosial dalam masyarakat. Sebagai contoh di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bahwa setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam. Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam. Nusa Tenggara Barat juga memiliki beberapa perda yang bernuansa syariat islam sebagai contoh perda zakat profesi dan minuman keras, perda jumat khusuk dan wajib baca quran dan perda anti maksiat. Selanjutnya peraturan busana muslim yang dimulai dari Kota Padang berdasarkan Instruksi Walikota Padang. Instruksi tersebut berisi aturan yang mewajibkan pelajar untuk berpakaian muslim/muslimah baik bagi yang beragama islam dan bagi non muslim. Tujuan mulia harus diiringi dengan berbagai kajian yang matang, kesiapan serta pemahaman, tidak hanya unsur pengambil kebijakan namun dari seluruh lapisan yang ada baik mayoritas maupun minoritas. Ketidaksiapan tersebut pada akhirnya menyebabkan sering terjadi kesalah pahaman terutama dalam pelaksanaannya. Implementasi dari penerapan syariat tersebut harus memenuhi prinsip persaudaraan, persamaan dan kebebasan serta tradisi konsultasi atau musyawarah dalam mendengarkan pendapat kalangan mayoritas dan minoritas dalam pengambilan berbagai keputusan. Prinsip persaudaraan sesama manusia akan membentuk persatuan yang kokoh dan toleransi terhadap perbedaanperbedaan yang ada di antara warga. Prinsip toleransi dan kebebasan manusia diharapkan dapat memberikan kebebasan berpikir agar potensi kreatif masyarakat untuk menjadi lebih sejahtera dan adil sehingga dapat menyelesaikan berbagai persoalanyang ada dalam masyarakat. Harapannya adalah hukum syariat islam bisa membawa kesejahteraan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk kekayaan nilai-nilai Islam juga menghargai dan menjunjung tinggi kebebasan berpikir. Hal ini sangat menarik apabila kita padankan dengan pendapat Fukuyama (2000) di mana pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan (religious beliefs) cenderung memiliki kohesivitas tinggi, tetapi rentang jaringan yang terbangun sangat sempit. Unsur solidaritas Kepedulian dan kebersamaan memiliki kandungan modal sosial yang dapat dilihat melalui tindakan-tindakan dari yang paling sederhana sampai dimensi dalam dan luas. Suatu masyarakat yang terbiasa proaktif untuk membersihkan lingkungan tempat tinggal. peka terhadap lingkungan dan menjaga keamanan bersama. akan menumbuhkan bentuk tindakan yang di dalamnya terkandung semangat keaktifan dan keperdulian. Begitu pula dengan inisiatif untuk menolong keluarga, teman, dan sesama bentuk kepedulian individu yang kemudian menjadi kepedulian kelompok yang merupakan wujud modal sosial
49 yang baik. Putnam (1995) kemampuan warga yang kolektif dalam mengalihkan kepentingan individu menjadi kepentingan bersama. akan membangun kekompakan dan solidaritas dalam masyarakat. Solidaritas dalam masyarakat dapat menyatukan sebuah persepsi tentang hal yang ingin diperjuangkan. Berangkat dari hal tersebut masyarakat dapat menyatukan diri bersama, dengan asumsi bahwa kekuatan pikiran dan ide-ide bersama akan lebih bermanfaat dan mempunyai presure yang lebih efektif daripada secara individual. Berdasarkan hasil analisis faktor ternyata unsur solidaritas dicerminkan oleh kemudahan mendapatkan pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak dan kesiapan meminjamkan uang apabila ada tetangga yang sangat membutuhkan. Provinsi yang mempunyai nilai indeks unsur jejaring dan kelompok tertinggi mencapai 73.09 adalah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki sebuah nilai yang dinamakan serumpun sebalai. Nilai ini terpatri dan dituangkan secara jelas juga dalam visi Pemerintah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Serumpun sebalai menunjukan bahwa kekayaan alam dan plularisme masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tetap merupakan kelurga besar komunitas (serumpun) yang memiliki perjuangan yang sama untuk menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan dan perdamaian. Kesadaran dan cita-citanya untuk tetap menjadi keluarga besar inilah yang memunculkan inisiatif untuk menolong keluarga yang kemudian menjadi solidaritas sebuah kelompok. Sementara itu, provinsi dengan nilai unsur solidaritas paling rendah sebesar 58.39 adalah Provinsi Papua. Perlu dipahami bahwa masyarakat Provinsi Papua mempunyai kebiasaan atau budaya sifat dasar untuk saling tolongmenolong, kasih akan sesama, tidak iri atau cemburu dan tidak saling menjatuhkan yang turun-temurun ada, di mana pada intinya masyarakat Provinsi Papua pada saat itu, tidak bisa melihat orang lain susah atau menderita. Namun. sekarang sifat dan karakter tesebut telah tertutupi oleh adanya tindak kekerasan. Anarkis, pembunuhan secara sistematis antara orang papua, rasa benci, kemarahan, kekesalan, dan bahkan saling culik-mencuik juga menjadi hal yang sering terjadi di bumi cendrawasih ini. Saling mengasihi dan berbagi adalah kunci hidup orang papua, walaupun bukan saudara sekandung, semarga, satu suku atau satu ras pun apabilah ada orang yang sangat membutuhkan pertolongan tanpa berpikir panjang detik itu juga pasti akan ditolong. Dari kondisi tersebut dapat dipahami alasan nilai unsur solidaritas di Papua paling rendah. Unsur Jejaring Bourdieu (1986) mendefinisikan modal sosial dengan memberikan penekanan pada jejaring sosial (social networks) yang memberikan akses terhadap sumber-sumber daya kelompok. Dengan memiliki akses terhadap sumber daya kelompok (group resources) diharapkan seorang individu pada akhirnya akan menikmati manfaat ekonomis. Bagi Bourdieu. manfaat ekonomis ini hanya akan dinikmati individu apabila ia secara terus-menerus terlibat dalam kelompok tersebut. Putnam juga menjelaskan bahwa modal sosial sebagai aspek jejaring sosial yang dimiliki individu maupun komunitas yang memungkinkan individu melakukan tindakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Nilai modal sosial juga diwakili oleh faktor jejaring. Berdasarkan hasil analisis faktor ternyata unsur jejaring dicerminkan oleh banyaknya ART usia 10
50 tahun ke atas yang memiliki sahabat dan banyaknya keluarga yang menjadi sahabat/teman dekat keluarga. Provinsi yang mempunyai nilai unsur jejaring tertinggi mencapai 78.07 adalah Provinsi Gorontalo, Provinsi Gorontalo memiliki nilai dan adat istiadat yang sangat kental dipengaruhi oleh agama Islam (relatif homogen). Orang Gorontalo mengawinkan unsur adat dan agama secara harmonis. Sistem kekerabatan masyarakat gorontalo yang beraneka ragam profesi dan tingkat sosial tidak menjadi penghalang untuk tetap hidup dalam suasana kekeluargaan. Kondisi tersebut menjadi salah satu hal utama mengapa masyarakat gorontalo selalu hidup rukun dan tidak pernah terjadi bentrok atau konflik yang berskala besar. Sistem kemasyarakatan yang terus terpelihara dan berjalan dengan baik hingga saat ini adalah hidup bergotong-royong dan menyelesaikan masalah atau persoalan secara bersama-sama. musyawarah dan mufakat. Sementara itu. Provinsi dengan nilai unsur persahabatan paling rendah sebesar 55.67 adalah Provinsi DKI Jakarta. Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat kegiatan ekonomi. menjadikan orang dari luar Jakarta terdorong untuk mendiami wilayah ini (relatif heterogen). Pesatnya pembangunan telah membuat Jakarta ibarat sebuah lampu yang memancing serangga untuk berdatangan mengerumun. Urbanisasi sulit dibendung. sehingga jumlah penduduk dari tahun ketahun membengkak. Suasana Jakarta yang semakin padat, bising, panas, penurunan mutu lingkungan hidup, banjir di musim hujan, dan masalah susutnya air pada musim kemarau semuanya terakumulasi dan berpengaruh kepada perilaku keseharian masyarakat di provinsi ini. Hal ini menimbulkan sikap untuk tetap bertahan (survive) sehingga individualisme tercermin pada hubungan antartetangga, banyak juga kasus tidak saling kenal antartetangga. Lebih prihatin lagi melihat seringnya terjadi perseteruan antarkampung, antarpelajar, bahkan antarpemuda. Pada kelompok masyarakat yang mengutamakan nilai-nilai harmoni dan persahabatan biasanya akan senantiasa ditandai oleh suatu suasana yang rukun. Indah, namun. terutama dalam kaitannya dengan diskusi pemecahan masalah secara bersama. Hal ini bisa dilakukan dengan peran pemerintah untuk mengharmoniskan hubungan antarwarga, antara lain dengan mengintensifkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama dalam lingkup RT, RW, kampong, dan kelurahan. Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Memasukkan dimensi modal sosial sebagai salah satu komponen dalam pertumbuhan ekonomi tidaklah mudah. Di masing-masing provinsi, spektrum modal sosial dengan berbagai dimensinya bervariasi tergantung pada sejarah kebudayaan wilayah atau daerah tersebut, serta struktur sosial dan peradaban yang telah terbentuk cukup lama sesuai dengan lingkungannya. Hubungan yang terbentuk memiliki jalinan yang sangat kompleks. Modal sosial ibarat minyak pelumas yang tidak saja memperlicin, tetapi juga terus mendorong roda kehidupan yang memungkinkan masyarakat berkembang dengan lebih baik dan mendorong munculnya ide serta kreativitas. Gambar 7 menunjukkan hubungan modal sosial dan pertumbuhan ekonomi. Kinerja perekonomian regional dapat ditunjukkan melalui besaran laju pertumbuhan ekonomi, yaitu perubahan nilai tambah seluruh produksi dari waktu ke waktu. Gambar 7 menunjukkan provinsi diurutkan berdasarkan tingkat modal
51 sosial terendah hingga modal sosial tertinggi. Kendati setiap provinsi mempunyai perkembangan laju pertumbuhan ekonomi yang sangat fluktuatif, namun di sisi lain terlihat bahwa terdapat pola yang mengaitkan antara stok modal sosial dan pertumbuhan ekonomi. 30.00
73.00 72.00 71.00 70.00
20.00
69.00 15.00
68.00 67.00
10.00
66.00 5.00
65.00
Indeks Modal Sosial
Pertumbuhan Ekonomi (%)
25.00
64.00
0.00
63.00 62.00 PAP DKI NAD SUMBAR JBI BTN JBR KSL MUT KBT RIA JTM SUMUT NTB SUMSEL KTG KTM KRI PPB MLK BBL JTG BKL DIY BALI LPG NTT SSL GTO STG STR SBT SUT
-5.00
Provinsi Pertumbuhan Ekonomi
Indeks Modal Sosial
Linear (Pertumbuhan Ekonomi)
Sumber: Hasil olahan Gambar 7 Perbandingan indeks modal sosial dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun 2009 Provinsi Papua mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif pada tahun 2009 sebesar -2.65%, sebaliknya Provinsi Papua Barat mengalami pertumbuhan ekonomi jauh dari rata-rata nasional atau sebesar 26.82%. Kondisi ini disebabkan oleh kinerja sektor pertambangan dan penggalian, dimana kedua provinsi tersebut merupakan provinsi yang pertumbuhan ekonominya banyak bertumpu pada sektor berbasis sumber daya alam (resources based). Dari pola yang ada tersebut. selain dipengaruhi oleh variabel ekonomi lain, nilai modal sosial memiliki peran dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Transmisi bagaimana modal sosial berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi salah satunya dapat dilihat pada tingginya tingkat kepercayaan yang ada di masyarakat, yang selanjutnya mendorong peningkatan produksi (Gambar 8). 1. Menurunkan biaya transaksi. Kepercayaan dalam suatu transaksi dapat meminimalkan biaya transaksi (Torsvik 2000) Modal Sosial
Kepercayaan
Gambar 8 Transmisi modal sosial dan pertumbuhan ekonomi
Produksi
52 2.
Tingkat investasi dan aktivitas ekonomi menjadi lebih besar. Tingkat kepercayaan yang tinggi dan kepastian di dalam dunia usaha akan mempengaruhi keputusan berinvestasi.
Tipologi Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Analisis tipologi digunakan untuk melihat gambaran pencapaian pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan kondisi modal sosial antarprovinsi. Tipologi daerah pada dasarnya dilakukan dengan membagi daerah menjadi dua sumbu berdasarkan dua indikator utama, yakni pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan modal sosial sebagai sumbu horizontal.
Sumber: Hasil olahan Gambar 9 Tipologi daerah provinsi di Indonesia menurut modal sosial dan pertumbuhan ekonomi tahun 2009 Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa pada tahun 2009, terdapat 11 provinsi atau sebesar 33.33% yang tidak mengikuti pola bahwa modal sosial memiliki hubungan secara positif dengan pertumbuhan ekonomi. Provinsiprovinsi tersebut dapat dikelompokkan dalam dua kategori: 1. Memiliki nilai modal sosial di bawah rata-rata namun memiliki pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata. Provinsi-provinsi tersebut adalah Jambi dan Maluku Utara. 2. Memiliki nilai modal sosial di atas rata-rata namun memiliki pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata. Provinsi-provinsi tersebut adalah Bengkulu
53 Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Sementara itu, sebanyak 22 provinsi lainnya atau sebesar 66.67% provinsi di Indonesia mengikuti pola bahwa modal sosial memiliki hubungan secara positif dengan pertumbuhan ekonomi. Provinsi-provinsi tersebut dapat dikelompokkan dalam dua kategori: 1. Kategori 1, memiliki nilai modal sosial di bawah rata-rata serta memiliki pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata. Provinsi-provinsi tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Papua. 2. Kategori 2, memiliki nilai modal sosial di atas rata-rata serta memiliki pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata. Provinsi-provinsi tersebut adalah Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Pengelompokkan tersebut sedikit banyak dapat menggambarkan pola yang positif antara modal sosial dan pertumbuhan ekonomi. Kondisi modal sosial yang rendah dibandingkan rata-rata nasional perlu mendapatkan perhatian yang lebih intensif dalam kaitannya dengan perencanaan program pembangunan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Sebaliknya. provinsi yang memiliki nilai modal sosial yang tinggi dibandingkan rata-rata nasional menggambarkan bahwa kondisi modal sosial masyarakat di wilayah provinsi tersebut dapat diperhitungkan sebagai salah satu modal pembangunan. Wilayah tersebut sangat mungkin cocok untuk ditetapkan sebagai lokasi implementasi program dan kegiatan pembangunan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Analisis regresi modal sosial terhadap pertumbuhan ekonomi yang direfleksikan dari pendapatan perkapita Pengolahan data untuk model regresi ordinary least squares digunakan melalui beberapa tahapan untuk mendapat hasil yang terbaik dengan memenuhi kriteria uji statistik berupa uji parsial (t-statistik) dan uji goodness of fit (Rsquare). Pada analisis ini diuji juga beberapa asumsi klasik model regresi yakni uji normalitas, uji heteroskedastisitas, uji multikolinearitas dan uji autokorelasi. Hasil uji asumsi klasik terhadap model pengaruh unsur modal sosial terhadap pertumbuhan PDRB per kapita menunjukkan bahwa asumsi kenormalan terhadap residual menunjukkan distribusi yang normal. Uji Heterogenitas juga menunjukkan bahwa tidak terdapat heteroskedastisitas. Untuk uji multikolinearitas nilai variance inflation faktor secara umum kurang dari 5 sehingga secara umum tidak terdapat multikolinearitas. Uji autokorelasi menunjukkan nilai Durbin-Watson 1.833 berada didaerah 1.651 < d < 2.349 maka H0 ditolak artinya pada model tidak terdapat autokorelasi. Hasil analisis regresi ordinary least squares ditunjukkan pada Tabel 11. Nilai-nilai koefisien menunjukkan elastisitas dari faktor-faktor tersebut. Pengaruh masing-masing variabel secara individual terhadap variabel PDRB per kapita dapat diketahui dengan menggunakan uji t. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut:
54 1. Nilai angkatan kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap PDRB per kapita dengan tingkat signifikansi 95%. 2. PMTB dan modal sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap PDRB per kapita dengan tingkat signifikansi 99%.
Tabel 11 Hasil regresi model modal sosial terhadap PDRB per kapita Variabel Koefisien Standar Error t (1)
Constant Ln_PMTB Ln_Angkatan kerja Modal sosial R2 F-Statistik Prob (F-statistik) Sumber: Hasil olahan
(2)
8.812 0.315 0.194 0.151 0.631 10.931 0.000
(3)
** *** ** ***
4.088 0.068 0.090 0.052
(4)
2.156 4.657 2.155 2.903
Sig. (5)
0.040 0.000 0.035 0.006
Catatan: *** Signifikan level 1%; ** Signifikan level 5%. * Signifikan level 10%
Uji F digunakan untuk melihat apakah variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen. Berdasarkan hasil perhitungan besarnya probabilitas F statistik sebesar 0.00 artinya dengan tingkat kepercayaan 99% secara bersama-sama variabel pembentukan modal tetap bruto (PMTBdan modal sosial berpengaruh terhadap PDRB per kapita atau dengan kata lain berdasarkan uji overall F test diperoleh kesimpulan bahwa model yang diperoleh layak untuk dipergunakan dalam analisis. Dalam hasil regresi juga diperoleh nilai R2 sebesar 63.1%. Hal ini memiliki pengertian bahwa 63.1% variasi pertumbuhan PDRB per kapita dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen, yaitu pembentukan modal tetap bruto (PMTB), angkatan kerja, dan modal sosial. Selanjutnya sebanyak 36.9% variasi PDRB per kapita dijelaskan oleh variasi variabel lain di luar model. Pada persamaan pengaruh unsur modal sosial terhadap pertumbuhan PDRB per kapita dapat dijelaskan makna dari tiap-tiap koefisien sebagai berikut: 1. Pembentukan modal tetap bruto memiliki koefisien regresi sebesar 0.315 mengandung pengertian bahwa jika pembentukan modal tetap bruto meningkat 1% maka PDRB per kapita akan meningkat sebesar 0.315%. Demikian pula sebaliknya bila pembentukan modal tetap bruto menurun sebesar 1%. maka PDRB per kapita akan menurun sebesar 0.315% ceteris paribus. Temuan ini sejalan dengan beberapa literatur ekonomi seperti teori pertumbuhan ekonomi klasik ataupun teori pertumbuhan neoklasik disebutkan bahwa investasi atau kapital merupakan determinan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Tobin (1965) mengemukakan bahwa peningkatan investasi akan menumbuhkan level output secara permanen. 2. Jumlah angkatan kerja memiliki koefisien regresi positif sebesar 0.194 mengandung pengertian bahwa jika jumlah angkatan kerja meningkat 1% maka PDRB per kapita akan meningkat sebesar 0.194% ceteris paribus.
55 Secara tradisional pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah jumlah tenaga kerja produktif, sedang pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti akan meningkatkan ukuran pasar domestiknya (Todaro dan Smith 2003). 3. Modal sosial memiliki koefisien regresi sebesar 0.151 mengandung pengertian bahwa jika nilai modal sosial meningkat 1%, maka PDRB per kapita akan meningkat sebesar 0.151%. Demikian pula sebaliknya bila nilai modal sosial menurun sebesar 1%, maka PDRB per kapita akan menurun sebesar 0.151% ceteris paribus. Modal sosial dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa produktivitas masyarakat sering lebih baik bila melakukan kerjasama dengan anggota masyarakat lainnya, karena dengan kerjasama dapat memecahkan masalah yang dihadapi bersama dengan lebih mudah. Modal sosial merupakan pelumas roda dari kerjasama suatu kelompok, grup, atau perkumpulan yang memungkinkan masyarakat dapat berkembang lebih lancar. Modal sosial terjadi dalam suatu situasi timbal-balik, yaitu apabila tindakan saling bantu itu tidak dilakukan dalam reaksi karena suatu keuntungan yang akan diterima, tetapi karena penghormatan terhadap hubungan sosial itu sendiri. Modal sosial berdasarkan analisis faktor sebelumnya merupakan elemen pokok yang akan menentukan apakah suatu masyarakat memiliki kekuatan modal sosial atau tidak. Unsur ini memiliki kekuatan penggerak energi kolektif yang sangat tinggi. Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. Modal sosial tersebut memperkaya ide dan kemajuan masyarakat yang mengarahkan kepada tindakan-tindakan ekonomi. Modal sosial merupakan modal utama berjalannya roda pembangunan. Hal ini terlihat dari fungsi model dimana modal sosial memiliki koefisien yang positif, yang berarti pengaruh modal sosial mendukung pertumbuhan secara terus menerus. Modal sosial harus tercermin pada tindakan atau perbuatan yang menjunjung tinggi sikap saling menghargai, menghormati, segala perbedaan yang ada. Modal sosial akan berakibat pada kerukunan yang akan menciptakan masyarakat dengan kondisi yang dinamis, kreatif dan inovatif serta sikap bergandeng tangan dan bekerjasama dalam menjalankan roda perekonomian.
56
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari hasil analisis modal sosial terhadap pertumbuhan ekonomi di seluruh provinsi di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Nilai indeks modal sosial provinsi di Indonesia memiliki rentang dari 65.53 sampai dengan 71.82 dengan rata-rata 68.80. Nilai ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki modal sosial yang relatif baik. Nilai indeks modal sosial merupakan refleksi dari adanya kebudayaan unggul di suatu komunitas, kelompok, masyarakat, maupun bangsa yang memungkinkan mereka bekerja sama satu sama lain. Selanjutnya terdapat dua masalah besar yang terjadi pada nilai modal sosial yang berada dalam katagori terbawah, dimana daerah tersebut memiliki ciri pernah mengalami konflik dan isu disintegrasi serta daerah Ibukota dan dua daerah penyangganya. 2. Kepercayaan (trust) memiliki kontribusi yang cukup tinggi dibandingkan sub dimensi dari modal sosial yang lain. Pada pemerintahan ditingkat lokal, dimana mereka sangat dekat dengan masyarakatnya, unsur trust akan sangat membantu dalam memperlancar proses pembangunan wilayah. Berbagai program pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah akan jauh lebih efektif jika dilakukan ditengah masyarakat yang memiliki tingkat trust yang kuat. Program pembangunan yang melibatkan partisipasi penduduk desa secara lebih maksimal dan dengan demikian dana pemerintah tidak saja akan terbebas dari kemungkinan disalahgunakan, tetapi lebih dari itu, masyarakat itu sendiri akan ikut memberikan sumbangan baik ide, tenaga maupun sumbangan bentuk lainnya guna memaksimalkan pekerjaan pemerintah di daerah mereka. Masyarakat yang mempunyai tingkat trust yang tinggi akan sangat membantu memfasilitasi hubungan yang harmonis antara masyarakat dan pemerintah sehingga pemerintah dapat berfungsi secara lebih efektif dan memiliki legitimasi. 3. Provinsi di Indonesia yang memiliki ciri menonjol dalam unsur modal sosial adalah: a. Daerah dengan nilai budaya jawa memiliki nilai unsur sikap percaya terhadap aparatur dan kelompok yang tinggi, hal ini terkait juga dengan nurani masyarakat yang merasa lebih diperhatikan, sebaliknya wilayah dengan kepemimpinan yang buruk akan menyebabkan nilai unsur sikap percaya terhadap aparatur dan kelompok rendah. b. Salah satu yang menjadi penyebab nilai modal sosial Provinsi Sulawesi Barat tinggi adalah unsur percaya terhadap tetangga yang tinggi. Hal ini disebabkan nilai adat dan pola hidup yang mencerminkan keramahan, suka menolong, ringan tangan, solidaritas, familier, kekerabatan dan kekeluargaan yang tinggi jujur dan tulus ikhlas. Sebaliknya DKI Jakarta dengan berbagai permasalahan yang ada menyebabkan masyarakat cenderung berhati-hati dan waspada terhadap lingkungannya. c. Hal yang cukup menarik adalah ketika unsur toleransi yang diwakili oleh faktor toleransi beragama dan suku bangsa rendah pada wilayah daerahdaerah yang menerapkan Syariat Islam dalam peraturan daerahnya. Hal ini sudah pasti bukan disebabkan karena Syariat Islamnya yang buruk
57
4.
5.
tetapi disebabkan karena ketidakcermatan dalam implementasinya yang kurang didasari prinsip persaudaraan, persamaan dan kebebasan serta tradisi konsultasi yang dapat menimbulkan konflik sosial antaranggota masyarakat. d. Nilai unsur solidaritas tinggi untuk wilayah dengan kesadaran dan citacitanya plularisme dan rasa kekeluargaan yang tinggi, sebaliknya konflik dan persinggungan yang terjadi antara anggota masyarakat akan menyebabkan nilai unsur ini rendah. e. Nilai unsur jejaring yang kuat berada pada wilayah dengan sistem kemasyarakatan yang terpelihara dengan baik secara terus menerus, sebaliknya egoisme dan sikap individualis akan menyebabkan nilai unsur ini rendah. Berdasarkan analisis tipologi sebanyak 22 provinsi atau sebesar 66.67% provinsi di Indonesia mengikuti pola bahwa modal sosial memiliki hubungan secara positif dengan PDRB per kapita. Pengelompokkan tersebut sedikit banyak dapat menggambarkan pola yang positif antara modal sosial dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan model modal sosial dan PDRB per kapita dapat disimpulkan bahwa modal sosial memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap PDRB perkapita, yang berarti pengaruh modal sosial tersebut mendukung pertumbuhan ekonomi secara terus menerus. Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan sebelumnya, maka saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Provinsi yang memiliki nilai modal sosial yang rendah menunjukkan bahwa kondisi modal sosial masyarakat di wilayah provinsi tersebut rendah dan sangat perlu untuk ditingkatkan. Kondisi modal sosial yang rendah perlu mendapatkan perhatian yang lebih intensif dalam kaitannya dengan perencanaan program pembangunan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Sebaliknya, provinsi yang memiliki nilai modal sosial yang tinggi dapat diperhitungkan sebagai salah satu modal pembangunan. Wilayah tersebut sangat cocok untuk ditetapkan sebagai lokasi implementasi program dan kegiatan pembangunan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. 2. Trust merupakan unsur utama pembentuk modal sosial, hal ini bukan merupakan sesuatu yang given, tetapi merupakan hasil interaksi yang berulang-ulang serta hasil dari institusi formal. Kepercayaan harus dibangun melalui visi dan komitmen bersama oleh semua pihak, mulai dari institusi keluarga, institusi pendidikan, institusi masyarakat, dan institusi pemerintah. 3. Modal sosial dengan berbagai unsurnya di tiap provinsi bervariasi tergantung pada sejarah kebudayaan serta struktur sosial dan peradaban yang telah terbentuk cukup lama yang pada akhirnya memiliki spesifikasi struktur maupun kultur. Kondisi unsur modal sosial yang berbeda di setiap provinsi di Indonesia berimplikasi pada pilihan strategi pembangunan yang juga harus berbeda. Hal ini mengharuskan pemerintah terlebih dahulu melihat aspek potensi dan kelemahan dari unsur modal sosial dalam melakukan
58
4.
5.
implementasi kebijakan dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang tepat. Model yang menggambarkan pola hubungan antara modal sosial dan pertumbuhan ekonomi, akan membantu menentukan kebijakan dalam arah yang tepat. Seluruh kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan harus dilakukan dengan memperhatikan sub dimensi modal sosial. Program yang harus diprioritaskan pada wilayah unsur modal sosial yang rendah adalah kebijakan dalam peningkatan unsur modal sosial tersebut tanpa mengesampingkan efek dari ambang batas dari unsur itu sendiri. Untuk wilayah dengan modal sosial yang tinggi harus lebih memprioritaskan pada variabel ekonomi dalam kebijakan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
59 DAFTAR PUSTAKA Adler, Kwon SW. 2002. Social Capital: Prospects for a new concept. The Academy of Management Review. 27(1):17-40. Antoci A, Sacco PL, dan Vanin P. 2008. Participation, growth and social poverty: social capital in a homogeneous society. Open Economics Journal. 1:113. Arsyad L. 2010. Ekonomi Pembangunan Edisi 5. Yogyakarta: UPP STIM YKPN [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Stok Modal Sosial 2009. Jakarta: BPS. Beugelsdijk S, Schaik TV. 2005. Social capital and growth in European regions: an empirical test. European Journal of Political Economy. 21:301–324. Christoforou A. 2003. Social capital and economic growth: The case of Greece. Paper prepared for the 1st PhD Symposium on Social Science Research. Greece of the Hellenic Observatory. European Institute. London School of Economics. Cohen D, Prusak L. 2001. In Good Company: How Social Capital Makes Organizations Work. Harvard Business School Press. Coleman JS. 1988. Social capital in the creation of human capital. The American Journal of Sociology. 94:S95-S120. Da I, Ans G, dan Herfan D. 2009. Dari Papua meneropong Indonesia: darah mengalir di Bumi Cendrawasih, catatan dan pikiran seorang wartawan. Jakarta: Grasindo. Fukuyama F. 2000. Social capital and civil society. IMF Working Paper. Granovetter M. 1985. Economic action and social structure: The Problem of embeddedness. The American Journal of Sociology. 91(3):481-510. Gujarati D. 2010. Dasar-Dasar Ekonometrika (Basic Econometric) Buku 1. Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat. Hair JR, Joseph F, Black WC, Babin BJ, Anderson RE. 2010. Multivariate Data Analysis. 7th Edition. Upper Saddle River: NJ. Prentice Hall. Hasbullah J. 2006. Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR-United Press. Ho R. 2006. Handbook of Univariate and Multivariate Data Analysis and Interpretation with SPSS. Boca Raton.Taylor & Francis Group. Iribaram S. 2011. Satu adat tiga agama: meneropong aktivitas masyarakat di Teluk Patipi Fakfak Papua. Kumpulan Makalah pada The 11th Annual Conference on Islamic Studies. Bangka Belitung. 10-13 Oktober 2011. Ismalina P. 2009. Keberpihakan pada identitas dan kekuatan lokal menuju sistem ekonomi yang berkeadilan. Tersedia pada http://poppyismalina.wordpress.com/2009/08/10/keberpihakan-padaidentitas-dan-kekuatan-lokal-menuju-sistem-ekonomi-yang-berkeadilan/ tanggal 25 September 2012. Johnson RA, Wichern DW. 2007. Applied Multivariate Statistical Analysis 6th Edition. New Jersey: Prentice Hall. Keefer P, Knack S. 2003. Social capital, social norms and the new institutional economics. Handbook of New Institutional Economics 2005:700-725. Knack S, Keefer P. 1997. Does social capital have an economic payoff? A Cross Country Investigation. Quarterly Journal of Economics. 112(4):12511288.
60 Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan. Mentalitas. dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Musai M, Abhari MF, Fakhr SG. 2011. Effects of social capital on economic growth (International Comparison). American Journal of Scientific Research. 16:107-116. Nademi Y, Madani Y, Nademi M. 2012. Social capital and economic rrowth: evidence from industrial countries. Journal of Basic and Applied Scientific Research. 2(1): 527-532. Nahapiet J, Ghoshal S. 1998. Social capital, intellectual capital, and the organizational ddvantage. The Academy of Management Review. 23(2): 242-266. North D. 1990. Institutions. Institutional Change. and Economic Performance. New York: Cambridge University Press. Putnam R, Leonardi R, Nanetti RY. 1993. Making Democracy Work. NJ Princeton: Princeton University Press. Putnam RD. 1993. The prosperous community social capital and public life. The American Prospect. 13:35-42. Putnam RD. 1995. Bowling alone: America's declining social capital. Journal of Democracy. 6(1):65-78. Razali, Nornadiah M, Wah, YB. 2011. Power comparisons of Shapiro-Wilk, Kolmogorov-Smirnov, Lilliefors and Anderson-Darling tests. Journal of Statistical Modeling and Analytics. 2(1): 21-33 Richardson J. 1986. Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. Westport. CT. Greenwood. Smith A. 2005. The Theory of Moral Sentiments Sixth Edition (1790). San Pulo: Metalibri. Sugiyanto C. 2010. Analisis Indikator Ekonomi. PSEKP UGM. Yogyakarta. Sulhin I. 2004. Kemiskinan, kebijakan negara dan kenakalan anak. Jurnal Kriminologi Indonesia. 3(3):39 – 50. Tumanggor R. 2007. Pemberdayaan kearifan lokal memacu kesetaraan komunitas adat terpencil. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial. 12(1):1-17. Widodo T. 2006. Perencanaan Pembangunan: Aplikasi Komputer (Era Otonomi Daerah). Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Woolcock M. 1998. Social capital and economic development: toward a theoretical synthesis and policy framework. Theory and Society. 27(2):151-208.
61 LAMPIRAN
Lampiran 1 Analisis Faktor Modal Sosial KMO and Bartlett's Test Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. Bartlett's Test of Sphericity
.696 Approx. ChiSquare
368362031.026
df
136
Sig.
.000
Total Variance Explained (Iterasi Pertama)
Comp onent 1 2 3 4 5 6 7
Initial Eigenvalues % of Total Variance Cumulative % 2.821 16.593 16.593 2.006 11.799 28.392 1.707 10.041 38.433 1.288 7.579 46.012 1.081 6.357 52.369 1.029 6.053 58.422 .944 5.550 63.972
8
.907
5.337
69.309
9
.823
4.843
74.151
10 11
.801 .727
4.712 4.277
78.864 83.140
12
.647
3.807
86.948
13
.569
3.346
90.294
14 15
.468 .444
2.754 2.612
93.048 95.660
16 17
.376 .362
2.209 2.131
97.869 100.000
Extraction Sums of Squared Loadings % of Cumulative Total Variance % 2.821 16.593 16.593 2.006 11.799 28.392 1.707 10.041 38.433 1.288 7.579 46.012 1.081 6.357 52.369 1.029 6.053 58.422
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Rotation Sums of Squared Loadings % of Cumulative Total Variance % 2.349 13.818 13.818 1.877 11.042 24.861 1.761 10.359 35.220 1.537 9.041 44.261 1.341 7.888 52.149 1.066 6.272 58.422
62 Lampiran 1 Analisis Faktor Modal Sosial (lanjutan) Total Variance Explained (Iterasi Kedua) Initial Eigenvalues % of Cumulative Variance % 19.598 19.598 14.518 34.116 12.390 46.506 9.394 55.900 8.175 64.075 6.308 70.383
Comp onent 1 2 3 4 5 6
Total 2.548 1.887 1.611 1.221 1.063 .820
7 8
.794 .752
6.107 5.783
76.490 82.273
9 10
.645 .474
4.960 3.644
87.232 90.876
11 12
.446 .377
3.428 2.898
94.304 97.202
13
.364
2.798
100.000
Extraction Sums of Squared Loadings % of Cumulative Total Variance % 2.548 19.598 19.598 1.887 14.518 34.116 1.611 12.390 46.506 1.221 9.394 55.900 1.063 8.175 64.075
Rotation Sums of Squared Loadings % of Cumulative Total Variance % 2.168 16.680 16.680 1.852 14.245 30.926 1.567 12.054 42.979 1.544 11.880 54.859 1.198 9.216 64.075
Extraction Method: Principal Component Analysis. Total Variance Explained (Iterasi Ketiga)
Comp onent 1 2 3 4 5 6 7
Initial Eigenvalues % of Cumulativ Total Variance e% 2.493 20.778 20.778 1.861 15.508 36.287 1.528 12.730 49.017 1.176 9.804 58.820 1.061 8.838 67.658 .810 6.747 74.405 .758 6.315 80.720
8 9
.653 .474
5.442 3.948
86.161 90.109
10
.446
3.715
93.825
11
.377
3.143
96.968
12
.364
3.032
100.000
Extraction Sums of Squared Loadings % of Cumulative Total Variance % 2.493 20.778 20.778 1.861 15.508 36.287 1.528 12.730 49.017 1.176 9.804 58.820 1.061 8.838 67.658
Rotation Sums of Squared Loadings % of Cumulative Total Variance % 2.163 18.027 18.027 1.852 15.434 33.461 1.549 12.910 46.370 1.369 11.412 57.782 1.185 9.876 67.658
Extraction Method: Principal Component Analysis. Communalities Percaya terhadap Aparat RT/SLS terkecil Percaya terhadap Pengurus Kelompok Masyarakat Percaya terhadap Aparat Desa/Lurah Percaya menitipkan anak Percaya menitipkan rumah Banyaknya ART 10 thn+ yang memiliki sahabat Kemudahan mendapat pinjaman Kesiapan membantu meminjam uang Perasaan bertetangga dengan suku bangsa lain Perasaan bertetangga dengan agama lain Tanggapan jika akan didirikan tempat ibadah agama lain Banyaknya Keluarga Yang enjadi sahabat Extraction Method: Principal Component Analysis.
Initial 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Extraction .755 .727 .679 .778 .773 .542 .602 .680 .621 .773 .481 .706
63 Lampiran 2 Penghitungan Pembobot Analisis Faktor Unsur Modal Sosial No
Kode Variabel
(1)
(2)
1
M7R2A
2
M7R2B
3
M7R2C
4
M7R10A
5
M7R10B
6
M7R11
7
M7R3
8
M7R4
9
M7R8
10
M7R9
11
M7R7
12
M7R15b
Nama Variabel (3) Percaya terhadap Aparat RT/SLS terkecil Percaya terhadap Pengurus Kelompok Masyarakat Percaya terhadap Aparat Desa/Lurah Perasaan bertetangga dengan suku bangsa lain Perasaan bertetangga dengan agama lain Tanggapan jika akan didirikan tempat ibadah agama lain Percaya menitipkan anak Percaya menitipkan rumah Kemudahan mendapat pinjaman Kesiapan membantu meminjam uang Banyaknya ART 10 thn+ yang memiliki sahabat Banyaknya Keluarga Yang enjadi sahabat
Loading Factor's (4)
(5)
Total Loading Factor's (6)
0.8647
0.8442
(7)
(8)
0.062
0.091
0.8218
0.059
0.087
0.7755
0.051
0.076
15.4338
2.5307
Bobot Ternormalisasi Total
0.089
0.8778
18.0270
Bobot Total
0.060
0.058
0.086
2.3417
0.045
0.067
0.065
0.096
0.8682
0.064
0.095
0.7583
0.055
0.081
0.6884
0.8718 12.9096
11.4118
1.7400
1.5798 0.059
0.088
0.6889
0.045
0.066
9.8760
1.5210
0.8321 0.677
0.677
Nama Faktor (9)
Percaya terhadap aparatur dan kelompok
Toleransi beragama dan suku bangsa
Percaya terhadap tetangga
Solidaritas
0.8215
0.677
Sumber: Hasil olahan
Rotation Sums of Squared Loading*
Jejaring 0.054
0.080
0.677
1.000
64 Lampiran 3 Penghitungan Pembobot Analisis Faktor Unsur Modal Sosial No
Kode Variabel
Nama Variabel
Bobot Total
Nama Faktor
Bobot Total Unsur
Bobot Ternormalisasi Total Unsur
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1
M7R2A
0.062
Percaya terhadap aparatur dan kelompok
0.1803
2
M7R2B
3
M7R2C
4
M7R10A
5
M7R10B
6
M7R11
7
M7R3
8
M7R4
9
M7R8
10
M7R9
11
M7R7
12
M7R15b
Percaya terhadap Aparat RT/SLS terkecil Percaya terhadap Pengurus Kelompok Masyarakat Percaya terhadap Aparat Desa/Lurah Perasaan bertetangga dengan suku bangsa lain Perasaan bertetangga dengan agama lain Tanggapan jika akan didirikan tempat ibadah agama lain Percaya menitipkan anak Percaya menitipkan rumah Kemudahan mendapat pinjaman Kesiapan membantu meminjam uang Banyaknya ART 10 thn+ yang memiliki sahabat Banyaknya Keluarga Yang menjadi sahabat
Sumber: Hasil olahan
0.342
0.060
0.334
0.059
0.325
0.051
Toleransi beragama dan suku bangsa
0.1543
0.331
0.058
0.375
0.045
0.294
0.065
Percaya terhadap tetangga
0.1291
0.064 0.055
0.499 Solidaritas
0.1141
0.059
0.045 0.054
0.501
0.480
0.520
Jejaring
0.0988
0.453 0.547
65 Lampiran 4 Hasil Penghitungan Nilai Modal Sosial dan Unsurnya
Provinsi
Modal Sosial
Percaya terhadap aparatur dan kelompok
Toleransi beragama dan suku bangsa
Percaya terhadap tetangga
Solidaritas
Jejaring
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
66.00 68.66 66.55 68.29 66.65 68.70 69.77 70.23 69.54 68.91 65.92 67.00 69.66 69.87 68.57 66.80 70.10 68.28 68.73 67.14 68.73 71.82 70.81 70.35 70.89 70.54 71.32 68.69 70.27 69.49 67.70 68.99 65.53
74.61 74.40 73.59 75.09 75.49 75.60 74.52 76.20 74.62 75.11 73.14 76.30 78.44 77.60 76.81 75.63 78.37 74.05 73.98 75.13 74.49 75.98 73.98 74.74 75.06 73.91 75.00 75.25 75.52 71.63 71.28 70.98 69.14
46.94 57.60 50.10 56.60 55.11 57.12 59.06 59.39 55.92 58.94 61.08 52.04 57.23 61.15 56.74 52.37 55.03 61.58 62.55 53.10 61.56 62.78 61.95 57.49 61.05 57.07 59.74 48.12 61.51 62.86 61.47 63.98 61.16
71.77 73.67 69.81 70.50 71.80 72.79 74.87 73.47 72.98 69.40 65.94 72.82 74.61 72.09 70.16 71.99 71.46 71.05 71.21 73.40 69.43 72.09 73.90 76.28 74.89 73.35 78.15 76.40 72.59 74.20 72.66 70.17 67.66
67.82 67.33 70.43 67.86 66.89 70.20 70.95 72.22 73.09 68.62 66.43 67.80 70.98 73.01 69.82 66.87 72.75 66.89 67.93 70.70 67.92 71.68 70.37 71.07 71.36 72.89 72.78 73.02 67.78 65.86 65.52 67.12 58.39
68.73 68.69 68.59 67.50 60.50 67.05 67.43 69.24 69.26 70.09 55.67 64.45 63.17 62.11 65.95 66.07 72.62 63.33 64.36 61.13 67.58 75.13 72.90 72.57 70.85 78.07 71.34 74.09 74.62 74.35 62.50 70.84 66.55
Sumber: Hasil olahan
66 Lampiran 5 Hasil Penghitungan Kontribusi Unsur Modal Sosial
(1)
Kontribusi Percaya terhadap aparatur dan kelompok (2)
Nanggroe Aceh Darussalam
31.02
17.13
20.18
15.87
15.80
Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
29.07 29.67 29.47 30.06 29.14 28.35 29.14 28.44 29.12 29.64 31.10 31.09 29.86 30.60 30.40 30.46 29.19 28.68 29.51 29.38 29.99 28.93 28.14 27.82 28.03 28.11 28.07 27.29 27.46 28.72 27.63 27.60 30.04
20.31 17.94 20.21 19.93 19.70 20.06 20.16 20.59 20.93 23.64 18.57 19.73 21.14 20.00 18.94 18.97 16.59 20.71 21.87 21.78 19.53 22.38 21.02 21.09 19.80 20.53 19.33 20.29 21.47 21.19 22.46 22.45 19.82
20.05 19.57 19.68 20.65 20.14 20.56 19.51 19.85 18.79 19.55 19.98 19.23 19.02 18.66 20.22 18.34 20.79 19.15 19.45 19.60 20.19 19.04 18.67 19.44 20.29 20.00 18.99 20.91 19.91 20.55 19.09 19.27 19.57
15.19 17.06 15.29 15.40 16.12 16.44 16.30 14.97 15.26 13.66 15.55 15.97 16.37 15.88 15.22 16.05 16.96 15.36 14.87 15.12 15.94 14.15 16.02 15.66 15.58 15.95 16.54 15.86 15.03 15.40 14.94 14.68 15.65
15.38 15.76 15.35 13.97 14.90 14.60 14.90 16.15 15.90 13.51 14.80 13.97 13.60 14.85 15.23 16.18 16.46 16.10 14.30 14.12 14.36 15.49 16.15 15.99 16.30 15.40 17.08 15.64 16.13 14.14 15.88 15.99 14.92
Provinsi
Sumber: Hasil olahan
Kontribusi Toleransi beragama dan suku bangsa
Kontribusi Percaya terhadap tetangga
Kontribusi Solidaritas
Kontribusi Jejaring
(3)
(4)
(5)
(6)
67 Lampiran 6 Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2009 Provinsi
(1) Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Sumber: Hasil olahan
Pertumbuhan Ekonomi 20092010 (%) (2) 2.64 6.35 5.93 4.17 7.33 5.43 5.14 5.75 5.85 7.21 6.51 6.09 5.84 4.87 6.68 5.94 5.83 5.35 6.47 5.58 4.95 7.12 7.79 8.18 8.19 7.62 11.91 6.29 5.13 6.47 7.96 26.82 -2.65
PDRB Perkapita ADHK (000) (3) 7 312.20 8 675.90 7 657.30 17 480.00 5 383.70 8 247.60 4 686.90 4 812.50 8 629.70 23 841.10 39 143.80 7 166.20 5 471.50 5 855.40 8 616.90 6 944.00 6 870.60 6 592.60 8 104.30 8 152.30 30 674.30 7 637.90 6 121.80 5 950.30 4 912.80 2 658.60 3 746.80 4 235.90 2 592.00 2 669.30 2 768.10 9 307.70 8 600.90
Pembentukan Modal Tetap Bruto (Juta) (4) 5 411 787.693 22 308 844.51 6 435 8 73.01 25 076 550.00 2 603 276.23 13 834 240.00 869 534.70 5 766 587.97 2 508 058.14 10 735 573.98 125 232 599.00 52 542 970.59 31 865 319.89 5 378 098.825 57 559 552.03 13 801 466.53 6 307 720.70 7 654 318.81 6 712 481.43 4 811 922.94 17 881 231.92 3 891 903.24 3 222 342.80 9 783 914.12 3 085 375.13 972 055.44 629 893.373 5 484 393.66 1 658 492.93 164 898.42 212 249.22 1 875 045.94 8 428 341.90
Angkatan Kerja (5) 1 897 922 6 298 070 2 172 002 2 260 862 1 334 496 3 460 365 829 449 3 627 155 539 410 681 769 4 687 727 18 981 260 17 087 649 2 016 694 20 338 568 4 357 240 2 123 588 2 200 895 1 047 402 1 821 717 1 460 996 1 051 130 1 215 727 3 536 920 998 195 511 144 447 313 2 098 638 2 250 128 596 030 422 398 352 385 1 128 036
68 Lampiran 7 Analisis Regresi OLS Dampak Unsur Modal Sosial terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Coefficients Unstandardized Coefficients Model 1
B
Collinearity Statistics
Std. Error
t
Sig.
Tolerance
(Constant)
8.812
4.088
2.156
.040
LN_PMTB
.315
.068
4.657
.000
.643
1.555
LN_ANGKER
.194
.090
2.155
.035
.721
1.387
MS
.151
.052
2.903
.004
.864
1.158
a. Dependent Variable: LN_PDRBPKPT
Model Summary Adjusted R Model
R
R Square a
1
.728
Square
.631
Durbin-Watson .582
1.833
a. Predictors: (Constant), MS, LN_ANGKER, LN_PMTB b. Dependent Variable: LN_PDRBPKPT
ANOVA Model 1
VIF
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
6.806
3
2.269
Residual
6.019
29
.208
12.826
32
Total
a. Predictors: (Constant), MS, LN_ANGKER, LN_PMTB b. Dependent Variable: LN_PDRBPKPT
F 10.931
Sig. .000a
69 Lampiran 7 Analisis Regresi OLS Dampak Unsur Modal Sosial terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (lanjutan)
70
RIWAYAT HIDUP Edwin Triyoga, lahir di Surabaya tanggal 4 November 1981. Penulis menikah dengan Nyimas Zuraida Riza pada tahun 2013. Penulis bersekolah SD, SMP dan SMU di Surabaya. Selepas menyelesaikan pendidikan SMU, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta jurusan Statistik Ekonomi pada tahun 20002004 dan mendapatkan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Sejak Desember 2004, penulis bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua. Tahun 2005 penulis bekerja di BPS Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat, dan tahun 2011 bertugas di BPS Provinsi Papua Barat. Pada tahun 2011 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Mayor Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui program S2 kerjasama antara BPS-IPB.