KAJIAN DAMPAK KRISIS KEUANGAN SUBPRIME TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
Dosen:
Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS
Tugas Ujian Akhir Triwulan MANAJEMEN FINANSIAL
Disusun oleh :
Andi Yoshendy
P056110743.40E
PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN DAN BISNIS INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Daftar Isi Daftar Isi................................................................................................................................................... i Daftar Gambar......................................................................................................................................... ii Daftar Tabel ............................................................................................................................................ ii Abstract ...................................................................................................................................................iii BAB 1
Pendahuluan ............................................................................................................................ 1
1.1
Tujuan Penulisan ..................................................................................................................... 1
1.2
Struktur Penulisan .................................................................................................................... 2
BAB 2
Krisis Subprime di Amerika Serikat ........................................................................................... 3
2.1
Globalisasi Keuangan Global ................................................................................................... 3
2.2
Krisis Keuangan AS ................................................................................................................. 3
2.3
Kebangkrutan Lembaga Keuangan AS ..................................................................................... 5
2.4
Kaitan Krisis Subprime dengan Pasar Keuangan Global ........................................................... 6
BAB 3
Kajian efek krisis terhadap Ekonomi Global dan Indonesia ....................................................... 8
3.1
Dampak Krisis Finansial AS terhadap Perekonomian Global .................................................... 8
3.2
Dampak Krisis terhadap Sektor Finansial ............................................................................... 10
3.3
Dampak Krisis terhadap Sektor Riil ........................................................................................ 11
3.4
Dampak Krisis terhadap Asia Tenggara dan Indonesia ........................................................... 14
BAB 4
Kajian Situasi di Masa Depan ................................................................................................. 16
4.1
Pelajaran dari Krisis Global .................................................................................................... 16
4.2
Pemikiran Alternatif ................................................................................................................ 16
Daftar Pustaka....................................................................................................................................... 18
i|H a l
Daftar Gambar Gambar 1 Kronologi Krisis Ekonomi Global-------------------------------------------------------------------------------- 1 Gambar 2 Perkembangan KPR yang Bermasalah di AS --------------------------------------------------------------- 4 Gambar 3 Kronologis Krisis Subprime -------------------------------------------------------------------------------------- 5 Gambar 4 Spread LIBOR Rate dan T-Bills --------------------------------------------------------------------------------- 6 Gambar 5 Skema Dampak Krisis terhadap Perekonomian Global --------------------------------------------------- 8 Gambar 6 Keadaan Index Saham Regional ------------------------------------------------------------------------------- 9 Gambar 7 Perkembangan Nilai Tukar Regional ASEAN --------------------------------------------------------------- 9 Gambar 8 Indeks Saham Eropa, Jepang dan AS ----------------------------------------------------------------------- 11 Gambar 9 Pertumbuhan Ekonomi Dunia ---------------------------------------------------------------------------------- 12
Daftar Tabel Tabel 1 Komparasi Dampak Krisis Global tahun 2008 dengan Krisis yang Pernah Terjadi ------------------ 12 Tabel 2 Komparasi Kebijakan Moneter dan Fiskal pada Krisis tahun 1998 dan 2008 ------------------------- 15
ii | H a l
Abstract This paper is a compilation of several literatures that explains about US sub-prime crisis and its effect towards regional ASEAN and Indonesia. Sub-prime financial crisis is said to be the most severe financial crisis after great depression on 1929. It is because the crisis started from the United States, the biggest economy of the world and a country that has a very developed financial systems and economy. This paper explains source of the crisis which was due to imprudent and uncontrolled instrument of financial derivatives. Also it explains the transmission mechanism for crisis to spread towards economy in Europe and remaining of world, including ASEAN and Indonesia. The impact on Indonesia economy is relatively limited compared to other countries in ASEAN region. It was mainly due to factors such as relatively strong domestic economy and low export ratio to GDP, that helps protect Indonesia from crisis’ exposure. Also, appropriate monetary and fiscal policy was taken at that time, as a result from learning of East Asia 1998 crisis. In the end, this paper discusses some insight into Indonesian priorities and alternative thought on financial system.
Keywords: economic crisis, Indonesia economy
iii | H a l
BAB 1 1.1
Pendahuluan
Tujuan Penulisan Ekonomi dunia yang makin lama makin terintegrasi, meliputi liberalisasi di dalam pasar
keuangan, yang berupa hilangnya penghalang bagi perpindahan modal dan investasi.
Leverage
keuangan semacam ini sangat berkembang, sehingga membuat perekonomian suatu negara ataupun kawasan sangatlah rentan terhadap hal-hal yang memicu krisis finansial.
Setelah mengalami
peningkatan ekonomi global yang cukup tinggi selama kurang lebih lima tahun, ekonomi dunia mengalami hantaman krisis pada bulan September 2008. Pertumbuhan ekonomi dunia yang ada pada level 5.2% pada tahun 2007, mengalami penurunan menjadi 3% pada tahun 2008 dan menurun terus menjadi -1.3% pada tahun 2009. Krisis yang sering disebut sebagai “subprime crisis” ini ditengarai sebagai krisis keuangan yang terburuk sejak Great Depression pada tahun 1930-an. Gambar 1 Kronologi Krisis Ekonomi Global
Sumber: Sakti (2009)
Krisis keuangan ini berbeda dengan krisis finansial lain yang pernah terjadi pada beberapa dekade belakangan ini bukan hanya karena luas dan dampaknya, tapi juga karena asal dari krisis ini. Krisis yang bersifat global mempengaruhi hampir seluruh negara di dunia dan dampaknya sangat besar. Pusat dari krisis ini bukanlah negara-negara yang kecil perekonomiannya, tapi adalah Amerika Serikat yang merupakan perekonomian terbesar dan pusat perekonomian dunia, dan negara yang memiliki mata uang yang paling dominan, yaitu US Dollar, serta memiliki sistem keuangan yang paling maju dan canggih di seluruh dunia.
1|H a l
Salah satu kawasan yang terkena dampak dari krisis keuangan global ini adalah kawasan Asia Pasifik dan secara khusus bagi Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian atau ringkasan atas beberapa Paper yang telah dipublikasikan yang membahas tentang krisis keuangan global, dampak bagi Indonesia, serta saran untuk mengantisipasi atau menghindari dampak krisis di masa yang akan datang.
1.2
Struktur Penulisan Masing-masing Paper mungkin tidak mencakup keseluruhan isi yang penulis sebutkan, tapi
penulis akan menyajikan materi yang relevan dari masing-masing Paper pada tulisan ini sehingga memberikan gambaran utuh bagi tulisan ini. Bagian selanjutnya akan membahas tentang penyebab krisis keuangan global di tahun 20072008, dilanjutkan dengan pemaparan pengaruh dari krisis pada negara-negara kawasan Asia Tenggara. Bagian selanjutnya secara khusus memberikan kajian atas dampak krisis bagi Indonesia sendiri, dan diakhiri dengan saran-saran antisipasi dampak negatif dari krisis, terutama dari perspektif perekonomian Indonesia.
2|H a l
BAB 2 2.1
Krisis Subprime di Amerika Serikat
Globalisasi Keuangan Global Globalisasi adalah proses transformasi ekonomi dan struktural multidimensi, yang biasanya
terkait dengan meningkatnya arus modal, barang, jasa dan knowledge melintasi batas negara. Serta timbulnya serangkaian struktur organisasi dan infrastrukutur untuk mengakomodasi transaksi dan aktivitas ekonomi internasional tersebut. Selanjutnya, globalisasi telah mendorong integrasi perekonomian antar negara melalui liberalisasi perdagangan, deregulasi sektor keuangan dan arus Foreign Direct Investment (FDI) oleh transnational corporation (TNC). Globalisasi membuka kesempatan dan peluang bagi negara dengan pendapatan rendah dan menengah, melalui terbukanya akses ke pasar global, peningkatan arus FDI, integrasi negara-negara ke dalam global value chain (GVC) atau global production network (GPN), serta akselerasi transfer teknologi, baik teknologi proses dan produk. Meningkatnya saling ketergantungan antar negara mendorong tingginya kerentanan terhadap “kejutan” ekonomi global yang terjadi di luar kendali dari tiap-tiap negara. Negara berkembang beresiko untuk “terkunci” di dalam siklus bisnis dan sektor keuangan. Peningkatan integrasi perekonomian negara tidak disertai dengan mekanisme dan tata kelola (governance) institusi global yang bertugas untuk mengantisipasi
dan
mengendalikan
ketidak
seimbangan,
menangani
kegagalan
pasar,
serta
mengkoordinasikan aliran barang, jasa dan modal internasional baik untuk FDI atau aliran investasi portfolio.
2.2
Krisis Keuangan AS Miranti (2009) memaparkan bahwa Bank of International Settlement (BIS) dalam laporan tahunan
tahun 2008 menyebutkan bahwa akar dari hampir seluruh krisis keuangan adalah pinjaman yang berlebihan (excessive) dan diberikan tanpa kehati-hatian (prudent) dari bank.
Untuk kasus Amerika
Serikat (AS), krisis dipicu oleh gagal bayarnya (default) atas pinjaman yang excessive dan imprudent yang diberikan oleh, misalnya, Washington Mutual bagi banyak pembeli rumah (KPR) yang memiliki resiko tinggi di AS. Bank biasanya hanya mau memberi KPR kepada nasabah yang kemungkinan gagal bayar utangnya kecil, karena keadaan ekonominya prima, atau mereka yang disebut prime customers. Karena banyaknya bank yang memberi KPR ke nasabah prima, bunganya rendah, keuntungan bagi bank pun kecil. Maka bank mulai memberi KPR kepada nasabah yang keadaan ekonominya tidak stabil atau subprime customers. Risiko gagal bayar utangnya besar, tetapi bunga pinjamannya tinggi.
Bank 3|H a l
biasanya tidak selalu membukukan KPR-nya. Di dunia finansial modern, bank dapat menggunakan KPRnya sebagai jaminan atas surat utang yang dijualnya ke investor. Dalam kasus Washington Mutual, pinjaman perumahan ini lalu dibuatkan surat utang lalu dijual ke institusi penjamin kredit (Fannie Mae dan Freedie Mac) untuk mendapatkan dana tambahan. Selanjutnya, institusi penjamin tadi mengumpulkan hak tanggungan dan dibuatkan satu instrumen keuangan yang dinamakan Mortgage Backed Securities (MBS) dan dijual ke pasar saham Wall Street. Wall Street selanjutnya melakukan re-package atas MBS ini ke dalam instrumen derivatif lainnya yang dinamakan Collateralized Debt Obligation (CDO). Melalui mekanisme ini, bank tidak menghadapi risiko penunggakan hutang lagi, karena telah "menjual" hutang tersebut ke investor. Bank bisa mengambil keuntungan dari selisih antara jumlah KPR yang diberikan ke debitor (misalnya US$1 juta) dan harga CDO yang dijual ke investor (misalnya US$1.02 juta). Investor tentu menerima bunga dari CDO yang dibelinya (misalnya 5.0% per tahun). Pada saat itu jumlah KPR di AS sekitar US$ 10 trilliun dan sekitar US$ 1.2 trilliun adalah KPR subprime (tidak prima). Dari US$1,2 triliun KPR subprime, sekitar US$460 miliar telah dijual dalam bentuk CDO ke investor di seluruh dunia. Pada awal tahun 2004, suku bunga dollar AS atau sering disebut Fed Funds Target Rate (FFTR) hanya 1%, sehingga pada debitor subprime masih mampu mencicil KPR.
Krisis terjadi ketika bank
sentral AS menaikkan FFTR dari 1% pada Mei 2004 menjadi 5.25% pada Juni 2006. Akibatnya para debitur subprime, yang pada umumnya memang berpenghasilan pas-pasan mulai mengalami gagal bayar dan menunggak KPR-nya dalam skala yang besar (Gambar 2).
Pada saat yang hampir
bersamaan, harga sektor properti AS juga jatuh. Akibatnya, lembaga keuangan penyalur KPR banyak yang merugi, bahkan beberapa di antaranya gulung tikar. Gambar 2 Perkembangan KPR yang Bermasalah di AS
4|H a l
Gagal bayar dan tindakan pengambilalihan meningkat tajam sejalan dengan berakhirnya periode suku bunga tetap di awal pinjaman, sementara adjustable rate mortgage (ARM) menjadi lebih tinggi. Kredit dengan ARM memberi kemudahan bagi debitur dengan memberlakukan suku bunga rendah untuk satu periode waktu tertentu (initial grace period), yang diikuti dengan pemberlakuan suku bunga pasar untuk periode berikutnya. Suku bunga rendah dan derasnya aliran dana asing menciptakan situasi pasar kredit yang kondusif beberapa tahun sebelum krisis. Tingkat kepemilikan rumah di AS tumbuh 69.2% pada tahun 2004 dibandingkan dengan tahun 1980. Kredit subprime memberi kontribusi besar pada peningkatan pemilikan rumah dan besarnya permintaan di sektor properti. Antara tahun 1997 hingga 2006, harga ratarata rumah di AS melonjak hingga 124%. Gelembung (bubble) di sektor perumahan mulai terbentuk. Tingginya permintaan akan rumah memicu harga rumah meningkat . Persyaratan kredit yang cukup longgar dan ekspektasi bahwa harga rumah akan terus meningkat mendorong banyak debitur kategori subprime untuk mengajukan kredit dengan ARM. Gambar 3 Kronologis Krisis Subprime
Spekulasi di sektor properti memainkan peranan penting dalam terbentuknya bubble. Bank/kreditur terus menawarkan pinjaman kepada debitur bahkan debitur yang masuk kategori risiko tinggi, termasuk imigran ilegal. Gagal bayar di kelompok subprime pada pertengahan tahun 2007, yang kemudian memicu pecahnya bubble di sektor properti.
2.3
Kebangkrutan Lembaga Keuangan AS Permasalahan yang muncul dari kasus gagal bayarnya subprime mortgage menimbulkan
pertanyaan peran lembaga rating. Selama ini, CDO dan MBS berbasis subprime selalu mendapatkan 5|H a l
rating di atas investment grade. Rating ini diberikan karena memang lembaga-lembaga keuangan yang mengeluarkan CDO dan MBS telah melakukan praktik manajemen resiko yang lazim seperti over collateralization (memberi jaminan berlebihan saat berhutang), atau adanya jaminan jika kredit mengalami default. Tingginya rating mendorong investor membeli sekuritas berbasis subprime sehingga turut membiayai terjadinya bubble di sektor properti. Antara pertengahan 2007 sampai pertengahan 2008 lembaga rating menurunkan credit rating bagi MBS sehingga membuat harga saham perusahaan yang memiliki banyak MBS jatuh. Gagal bayar di sektor pinjaman subprime menyebabkan jatuhnya nilai aset MBS dan mendorong bank investasi besar di AS mengalami kerugian besar.
Pada September 2008 Lehman Brothers
menyatakan bangkrut, sementara Bear Sterns dan Merril Lynch diambil alih kepemilikannya oleh bank lain. Kolapsnya 3 dari 5 bank investasi terbesar di AS, menambah ketidakstabilan di pasar keuangan global. Dua bank investasi lainnya yaitu Morgan Stanley dan Goldman Sachs memilih beralih menjadi bank komersial. Penurunan nilai aset MBS mendorong investor pemegang CDO mengalami kerugian cukup besar. Perusahaan asuransi seperti American International Group (AIG) dan MBIA menghadapi potensi kerugian yang cukup besar dari kepemilikan CDO. Bahkan AIG sampai harus mendapatkan dana talangan dari pemerintah AS karena memiliki eksposur besar senilai US$ 440 milliar.
2.4
Kaitan Krisis Subprime dengan Pasar Keuangan Global Produk MBS nilai pasarnya didasarkan pada pembayaran KPR dan harga rumah.
Dengan
produk ini lembaga keuangan dan investor di seluruh dunia dapat berinvestasi di pasar properti AS. Lembaga keuangan dan perbankan di seluruh dunia memiliki investasi cukup besar di produk ini. Meluasnya penyebaran krisis berdampak pada terjadinya kesulitan likuiditas dan solvabilitas di pasar keuangan global. Gambar 4 Spread LIBOR Rate dan T-Bills
Ditambah lagi dengan meningkatnya tingkat ketidakpercayaan di kalangan pelaku pasar keuangan karena belum jelasnya besar kerugian yang akan terjadi dan tingginya potensi gagal bayar 6|H a l
counterparty.
Kondisi ketatnya likuiditas tercermin dari meningkatnya tingkat suku bunga London
Interbank Offered Rate (LIBOR) (Gambar 4). Dilaporkan bahwa antara 1 Januari hingga 1 Oktober 2008 pemilik saham di perusahaan AS telah menderita kerugian senilai US$ 8 triliun. Krisis yang melanda perbankan juga memicu terjadinya credit crunch karena timbulnya krisis kepercayaan dari sikap prudent perbankan. Perbankan saling tidak percaya untuk menyalurkan kredit seiring dengan tingginya kekhawatiran gagal bayar. Ketidakpercayaan tersebut mendorong semakin ketatnya persyaratan kredit yang dikeluarkan oleh bank. Pemaparan lebih lanjut atas dampak krisis finansial AS terhadap perekonomian global akan disajikan pada bagian berikutnya.
7|H a l
BAB 3
3.1
Kajian efek krisis terhadap Ekonomi Global dan Indonesia
Dampak Krisis Finansial AS terhadap Perekonomian Global Di bagian sebelumnya telah diterangkan bahwa krisis finansial AS terjadi karena gagal bayar dari
peminjam KPR subprime, yang berimbas pada efek derivatif yang terkait dengan pinjaman tersebut. Hal ini menciptakan perilaku menghindar (risk aversion) karena krisis kepercayaan diantara pelaku pasar finansial sehingga terjadi krisis likuiditas di pasar keuangan. Sehingga dampak ikutan krisis finansial global dapat digambarkan seperti Gambar 5 berikut ini. Gambar 5 Skema Dampak Krisis terhadap Perekonomian Global
Kondisi krisis di AS selanjutnya membuat para konsumen di AS dan Eropa kehilangan daya beli. Selain efek pada perekonomian individu, krisis ini juga berimbas pada kelesuan aktivitas bisnis di mana para pelaku bisnis menghadapi pasar keuangan yang menjadi sulit bagi akses ke pembiayaan (karena pasar sekarang makin meningkatkan tingkat risk aversion), baik bagi pembiayaan melalui perbankan atau mendapat dana pihak ketiga melalu pasar modal. Aktivitas bisnis yang lesu berakibat pula bagi para pekerja, berupa turunnya lapangan pekerjaan dan PHK, dan nantinya makin menurunkan daya beli masyarakat. Krisis di AS dan Eropa menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke negara-negara emerging market yang sebagian besar ada di Asia. Transmisi krisis dari negara barat ke negara emerging market diterangkan sebagai berikut (BI, 2009).
8|H a l
1. Jalur gangguan di pasar uang internasional Situasi ketatnya likuiditas mengakibatkan sulitnya pendanaan termasuk yang menuju emerging markets.
Krisis kepercayaan dan risk aversion membuat pemodal berpindah dari asset yang
dipandang beresiko ke asset yang dianggap lebih aman (flight to quality). Bursa saham di Asia pasca jatuhnya Lehman Brothers bulan September 2008 mengalami penurunan index yang sangat tajam (Gambar 6). Gambar 6 Keadaan Index Saham Regional
Gambar 7 Perkembangan Nilai Tukar Regional ASEAN
Dampak lainnya adalah tekanan depresiasi nilai tukar mata uang regional terhadap dolar AS yang berkepanjangan (Gambar 7).
Untuk menahan kemerosotan nilai tukar lebih besar lagi, maka
beberapa negara harus mengeluarkan cadangan devisanya untuk melakukan intervensi pada pasar
9|H a l
valas. Cadangan devisa yang semakin menipis dan defisit transaksi berjalan yang semakin melebar pada gilirannya semakin meningkatkan risiko terjadinya gagal bayar (default). Beberapa negara seperti Islandia, Afrika Selatan, Hungaria, Ukraina, Belarusia, dan Pakistan sampai harus meminta bantuan finansial dari IMF. Tapi secara umum, dapat dikatakan dampak dari krisis finansial ini ke emerging markets cukup terbatas. Hal ini disebabkan karena rendahnya eksposur perekonomian emerging markets terhadap aset yang terkait dengan subprime mortgage AS. 2. Jalur makroekonomi Transmisi dampak melalui jalur makroekonomi merupakan dampak ikutan dan dapat berjalan melalui beberapa jalur: a. Perdagangan dan harga komoditas Memiliki pengaruh besar jika negara-negara AS dan Eropa merupakan mitra dagang utama. Kelesuan di negara-negara tersebut membuat anjloknya harga komoditas dan menurunnya ekspor karena lemahnya permintaan global. Firdaus (2010) melakukan kajian atas dampak krisis terhadap ekspor produk agrisbisnis Indonesia. Krisis ekonomi global telah memberikan dampak yang signifikan bagi ekspor produk agribisnis, yaitu pada periode 2008 – 2009 dan lalu meningkat kembali tahun 2009 – 2010. b. Remittances Lapangan kerja yang makin menurun, membuat pekerja migran tidak dapat memperoleh akses ekonomi di negara barat, yang pada akhirnya menurunkan jumlah remittances yang dikirimkan ke negara emerging markets. c.
Foreign Direct Investments (FDI) Terjadi hambatan finansial, dimana perusahaan mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses likuiditas termasuk pembiayaan eksternal. Juga keadaan risk aversion menyebabkan perusahaan sulit untuk melakukan ekspansi
d. Hibah Dana bantuan dari negara maju yang biasanya berbentuk hibah akan turut mengalami penurunan sejalan dengan melemahnya perekonomian negara maju.
3.2
Dampak Krisis terhadap Sektor Finansial Di pasar keuangan, perdagangan bursa saham melemah seiring realisasi profit emiten yang
memburuk dan menurunnya kepercayaan terhadap counterparty. Indeks saham Dow Jones mencatat rekor tertinggi pada Oktober 2007 di level 14,164 kemudian menurun tajam dengan level terendah sebesar 7,552 pada November 2008 atau selama 13 bulan telah terjadi penurunan indeks sekitar 46%.
10 | H a l
Kejatuhan yang sama segera menyebar hingga mencapai pasar saham di seluruh dunia. Di pertengahan tahun 2008, tiga bursa saham utama dunia (AS, Kawasan Euro, Jepang) memasuki fase bearish (Gambar 8). Gambar 8 Indeks Saham Eropa, Jepang dan AS
Jika dibandingkan dengan krisis tahun 1998 di Asia, terjadinya gejolak pasar keuangan mengakibatkan pelarian modal asing dari negara-negara berkembang yang signifikan. Gejolak keuangan tersebut terutama sangat memukul pasar modal Asia. Pada September 1998, indeks harga saham Asia merosot tajam, dari 348.38 pada Juli 1997 merosot menjadi 104.06 pada September 1998 atau turun sekitar 70%. Demikian pula dengan indeks saham negara emerging market, dari 561 pada Juli 1997 menjadi 240.31 pada Agustus 1998 atau merosot sekitar 52%. Namun, penurunan indeks saham di negara emerging market pada tahun tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan krisis yang terjadi saat ini yaitu sekitar 66%, sementara penurunan indeks harga saham di Asia sedikit lebih besar dibandingkan dengan krisis saat ini yaitu sekitar 67%.
3.3
Dampak Krisis terhadap Sektor Riil Krisis keuangan global tahun 2008 juga berdampak pada perkembangan ekonomi dunia yang
tumbuh melambat dibandingkan dengan tahun 2007 (Gambar ). Di AS, perekonomian terkontraksi pada triwulan III-2008 dan semakin dalam pada triwulan IV-2008 sebagai imbas dari krisis perumahan yang meluas menjadi krisis keuangan dan merambat ke sektor riil. Anjloknya harga rumah dan bursa saham, serta melonjaknya pengangguran semakin menekan konsumsi domestik yang merupakan sektor utama penggerak ekonomi AS. Tingkat pengangguran di AS pada Desember 2008 mencapai 7,1% yang merupakan level tertingginya sejak tahun 1992. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dari 5,2% pada tahun 2007 menjadi 3,4% di tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi negara maju mengalami
11 | H a l
perlambatan yang cukup tajam. Aktivitas ekonomi negara maju mulai mengalami perlambatan sebagai dampak meluasnya krisis keuangan ke sektor riil. Gambar 9 Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Krisis keuangan yang terjadi tahun 2008 ini dinilai memiliki kesamaan dengan krisis tahun 1929, yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran yang tinggi yang berlangsung selama bertahun-tahun. Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang cukup tajam terutama terjadi di AS, pertumbuhan ekonomi AS tahun 1929-1932 melambat sekitar 31% dibandingkan dengan tahun 1929. Sedangkan krisis tahun 1998 berdampak pada penurunan permintaan domestik di negara-negara berkembang dan pada gilirannya menurunkan kinerja ekspor dan tingkat keyakinan konsumen dan investor di negara-negara maju. Sebagai akibatnya, kelompok negara maju pada tahun 1998 mencatat pertumbuhan ekonomi yang melambat. Krisis ekonomi yang hampir meluas ke seluruh wilayah dunia mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dunia merosot tajam dari 3.5% pada tahun 1997 menjadi 2.6% pada tahun 1998. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa krisis global yang terjadi khususnya pada sektor finansial secara umum memberikan dampak terhadap perekonomian yang relatif sama dibandingkan dengan krisis yang terjadi pada tahun 1929, namun dengan kedalaman, sebaran dan periode pemulihan yang berbeda. Tabel 1 Komparasi Dampak Krisis Global tahun 2008 dengan Krisis yang Pernah Terjadi No 1
Dampak Pasar keuangan beberapa Negara mengalami gejolak. Hal tsb akibat berbagai faktor yg
Krisis ’97 dan ‘98 Oktober 1998. indeks harga saham di Asia merosot sangat tajam. Selama tahun 1997-1998 indeks Asia dan emerging
Great Depression (19291932) Pada tahun 1929. indeks harga saham Dow Jones menurun 39%. Penurunan indeks Dow Jones berlangsung s.d. tahun 1933. Upaya untuk
Krisis tahun 2008 Indeks harga saham di AS. Eropa dan Jepang dalam satu tahun terakhir menurun masingmasing sekitar 47%. 51.5% dan 55.6%. Sementara indeks saham Negara
12 | H a l
No
Dampak
Krisis ’97 dan ‘98
Great Depression (19291932)
Krisis tahun 2008
berdampak pd merosotnya indeks harga saham,bangkrutnya perusahaanyg menyebabkan pengurangan karyawan.
market menurun masingmasing sebesar 70% dan 52.7%. Bangkrutnya perusahaan menyebabkan tingkat pengangguran yg tinggi rata-rata sekitar 7% (AS).
menstabilkan sektor keuangan berlangsung cukup lama. antara lain blm terdapatnya banking deposit insurance di AS pada periode tersebut. Bangkrutnya perusahaan menyebabkan tingkat pengangguran sangat tinggi (th 1929-1932. 10.000 bank bangkrut). Tingkat pengangguran AS: th 1930 meningkat dr 3.2% menjadi 8.7%. th 1931 penggangguran kembali meningkat menjadi 15.9% mencapai puncaknya th 1933 sebesar 24.9%.
berkembang dan Asia menurun sekitar 60%. Penurunan indeks saham lebih tinggi dibandingkan dengan Great Depression. Bangkrutnya perusahaan menyebabkan tingkat pengangguran meningkat. Tingkat pengangguran di AS pd th 2008 meningkat hingga mencapai sekitar 7.1% tertinggi sejak 1992. namun dampak krisis keuangan global ke Asia relatif kecil tercermin sedikitnya jumlah karyawan bank yang di PHK.
2
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, sbg dampak meluasnya krisis keuangan, menurunnya kesejahteraan rumah tangga dan kinerja ekspor.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi yg cukup tajam terutama terjadi di AS. pertumbuhan ekonomi AS tahun 1929- 1932 melambat 31% dibandingkan dengan tahun 1929.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dari 2007-2008 di negara berkembang dari 8.3% menjadi 6.3%. negara maju dari 2.7% menjadi 1% dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dari 5.2%-3.4% (sumber WEO. Januari 2009).
3
Menurunnya kinerja neraca pembayaran. Hal tsb a.l. akibat perubahan harga komoditas akibat melambatnya perekonomian dunia, disamping itu gejolak nilai tukar menyebabkan tergerusnya cadangan devisa Tekanan inflasi global antara lain akibat depresiasi nilai tukar
Perlambatan pertumbuhan ekonomi (1997-1998) di negara berkembang dari 5% menjadi 2.5%. negara maju dari 3.5% menjadi 2.6% dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dari 4.0% menjadi 2.5% (sumber WEO. Januari 2009). Volume perdagangan dunia menurun tajam dari 10.3% menjadi 4.7% (sumber: WEO Januari 2009).
Volume perdagangan dunia menurun
Volume perdagangan dunia menurun dari 7.2% menjadi 4.1% (sumber: WEO Januari 2009).
Laju Inflasi (1997-1998) di negara berkembang dari 13.4% menjadi 12.8%. negara maju dari 2.1% menjadi 1.4% dan inflasi dunia dari 6.1% menjadi 5.5%. negara berkembang Asia: 4.99%-8.64%. ASEAN; 5.26% meningkat tajam menjadi 25.33% (sumber: WEO. Januari 2009)
Menurunnya kesejahteraan rumah tangga menyebabkan daya beli yang menurun berdampak pada deflasi di AS sekitar tahun 1932.
Laju Inflasi (2007-2008) di negara berkembang dari 6.4% menjadi 9.2%. negara maju dari2.1% menjadi 3.5% dan inflasi dunia dari 4%- 6%. (sumber WEO. Januari 2009)
4
Sumber: Bank Indonesia, 2009
13 | H a l
Dilihat dari perlambatan pertumbuhan ekonomi, krisis yang terjadi saat ini berdampak lebih meluas dibandingkan dengan krisis yang terjadi pada periode sebelumnya. Dampak terbesar dari krisis terjadi di negara maju dan berimbas ke negara berkembang. Sementara perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada tahun 1929 (terutama terjadi di AS, UK dan Jerman) memerlukan waktu pemulihan yang cukup lama. Respons kebijakan yang relatif tepat dari sisi intensitas, timeliness dan luasnya koordinasi diharapkan dapat meredam dampak lanjutan yang terlalu dalam. Dengan perbedaanperbedaan tersebut, kedalaman dampak yang ditimbulkan dan periode pemulihan krisis relatif berbeda, apalagi dengan melihat faktor tingkat kemajuan teknologi informasi komunikasi (ICT) dan arus globalisasi saat ini yang begitu tinggi.
3.4
Dampak Krisis terhadap Asia Tenggara dan Indonesia Saw (2011) memaparkan bahwa Asia Tenggara terbebas dari awal krisis karena institusi
keuangan di kawasan ini tidak banyak memiliki instrumen keuangan yang bermasalah dibandingkan dengan institusi keuangan di AS dan Eropa. Yang terasa adalah turun drastisnya tingkat permintaan dari mitra perdagangan di negara-negara maju. Tiba-tiba saja perekonomian beberapa negara di kawasan tumbuh dengan tingkat yang melambat, dan yang lain mengalami kontraksi dan permintaan global menurun drastis.
Banyak perusahaan yang harus bekerja keras untuk tetap survive, dan tingkat
pengangguran meningkat tajam. Pada puncak resesi di tahun 2009, beberapa negara di kawasan mengalami tingkat pertumbuhan negatif: Thailand (-2.2 persen), Kamboja (-2.0 persen), Malaysia (-1.7 persen), Singapura (-1.3 persen) dan Brunei (-1.2 persen).
Berlarut-larutnya kemelut politik di Thailand pada saat yang bersamaan,
ditambah dengan turunnya jumlah kedatangan wisatawan mancanegara, makin memperburuk resesi yang terjadi di kawasan ini. Untuk negara kaya-minyak Brunei, kontraksi ekonomi terjadi sebagian besar karena menurunnya hasil ekspor minyak bumi karena jatuhnya harga minyak mentah dunia. Ekonomi pada lima negara lainnya pada tahun 2009 mulai mengalami ekspansi, tapi dalam kecepatan yang lebih lambat daripada sebelumnya. Hal yang sangat menguntungkan adalah bagi Indonesia di mana perekonomiannya ditopang oleh permintaan dalam negeri, tetap melaju dengan pertumbuhan ekonomi 4.5 persen per-tahun. Demikian juga dengan negara yang memiliki perekonomian tertutup seperti Myanmaar yang masih tumbuh 4.4. persen per tahun dan Vietnam dengan 5.3 persen. Bagi Philipina karena berkurangnya remmitance dari tenaga kerja migran, Philipina hanya membukukan pertumbuhan yang kecil yaitu 0.9 persen. Respon segera yang dilakukan negara-negara Asia Tenggara adalah menjalankan stimulus fiskal dan moneter yang ditujukan untuk mendorong permintaan dalam negeri dan mencari cara untuk sesegera mungkin keluar dari krisis dan pemulihan. Beruntung negara di kawasan Asia Tenggara sudah pernah mengalami krisis yang dahsyat sebelumnya, di tahun 1997 – 1998, dimana negara ASEAN setelah krisis tadi melaksanakan reformasi ekonomi yang memberikan suatu mekanisme fiskal dan
14 | H a l
moneter yang dapat menangkal pengaruh krisis global.
Berbagai program stimulus yang dijalankan
terbukti cukup ampuh untuk mengantisipasi dan mencegah dampak buruk resesi bagi perekonomian negara, dan membuat negara ASEAN dapat berkembang lebih baik pada tahun 2010 dan selanjutnya dibandingkan dengan perkembangan sebelum krisis. Untuk Indonesia sendiri, krisis ini bukanlah pertama kalinya, karena pada tahun 1998 Indonesia sudah merasakan krisis yang secara langsung menghantam perekonomian nasional. Krisis tahun 2008 ini berbeda dari 10 tahun yang lalu dalam hal: sumber krisis (dari AS dan Eropa vs. masalah fundamental dalam perekonomian Indonesia, kondisi sektor keuangan (kondisi sektor perbankan tahun 1998 sangatlah rentan dibanding sangat regulated pada tahun 2008 – lihat Tabel 2), kehati-hatian dari para pelaku ekonomi untuk melakukan penjagaan atas asset mereka untuk menghindari eksposur yang besar, serta yang terakhir adalah situasi politik (kepercayaan kepada Pemerintah tinggi vs. kepercayaan kepada Pemerintah mencapai titik terendah pada krisi 1998). Tabel 2 Komparasi Kebijakan Moneter dan Fiskal pada Krisis tahun 1998 dan 2008 Krisis tahun 1998
Krisis tahun 2008
Kebijakan moneter: sangat ketat. BI meningkatkan tingkat suku bunga setinggi mungkin. Tingkat suku bunga deposito mencapai 60 persen pada puncak periode krisis. Berkaitan dengan likuiditas, Pemerintah menjalankan tight money policy.
Kebijakan moneter: Suku bunga BI diturunkan 300 basis point dari 9.5 persen menjadi 6.5 persen. Kebijakan likuiditas tidak terlalu ketat.
Kebijakan fiskal: menganut kebijakan surplus budget, yang lalu direvisi untuk membiarkan adanya defisit budget yang besar
Kebijakan moneter: Suku bunga BI diturunkan 300 basis point dari 9.5 persen menjadi 6.5 persen. Kebijakan likuiditas tidak terlalu ketat.
Penyehatan perbankan: peraturan kehati-hatian bank sangat lemah. NPL mencapai 27 persen. LDR mencapai lebih dari 100 persen
Penyehatan perbankan: peraturan kehati-hatian bank sangat ketat. NPL kurang dari 4 persen, LDR 77 persen dan CAR sekitar 17 persen
Kebijakan perbankan: terjadi penutupan atas 16 bank bermasalah, yang lalu menyulut rush
Kebijakan perbankan: penjaminan simpanan meningkat bagi simpanan Rp 100 juta menjadi Rp 2 milliar per rekening
Kebijakan lebih fokus untuk reformasi struktural dengan menjalankan liberalitasi ekonomi, menghilangkan monopoli dan pemberian lisensi
Mengatur dengan membuka perdagangan bebas
Kebijakan nilai tukar: managed floating. Para pelaku pasar tidak terbiasa dengan adanya perubahan resiko dari nilai tukar dan tidak melaksanakan hedging
Kebijakan nilai tukar: flexible. Para pelaku pasar sudah terbiasa dengan perubahan yang terjadi pada resiko nilai tukar.
Sumber: Saw, 2010
Hal ini membuat dampak dari krisis subprime tahun 2008 ini tidak terlalu berakibat banyak bagi Indonesia, dan dengan mudah dapat segera bangkit lagi. Indonesia memang terkena dampak dari krisis terutama nilai ekspor ke negara Eropa dan AS yang menurun tajam. Tapi dampak krisis di Indonesia terlihat terbatas jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan, termasuk Malaysia, Singapura dan Thailand.
Dua hal berpengaruh besar untuk menangkal efek negatif dari krisis di Indonesia, yaitu:
kebijakan BI dan Pemerintah yang tepat sasaran, serta nilai ekspor Indonesia yang relatif kecil dibandingkan GDP. 15 | H a l
BAB 4 4.1
Kajian Situasi di Masa Depan
Pelajaran dari Krisis Global Basri dan Rahardja (2010) mengungkapkan bahwa salah satu pelajaran penting yang dapat
diambil dari krisis global adalah pentingnya bagi Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara orientasi ekspor dan ekonomi domestik.
Peranan ekonomi domestik sangat penting untuk mengamankan
stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Krisis finansial global juga menggarisbawahi perlunya suatu perekonomian untuk memiliki beberapa “struktur” perekonomian sendiri yang terlepas dari struktur global, yang terbukti cukup ampuh untuk bertahan dari krisis. Harus ada upaya yang konsisten dan terencana untuk mengembangkan dan mempertahankan tingkat yang aman dari “struktur” itu pada perekonomian domestik, jika kita tidak ingin perekonomian Indonesia terlalu tergantung pada pelaku pasar atau instrumen keuangan global, sehingga sangat rentan jika terjadi suatu guncangan atau krisis. Pertanyaan berikutnya adalah apakah kebijakan menyeluruh yang mendorong ekspor dan sekaligus mendukung penguatan ekonomi domestik? Patut menjadi perhatian adalah posisi geopolitik Indonesia sebagai negara kepulauan. Banyak studi yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa karena posisi negara kepulauan, membuat biaya logistik dan transportasi di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan transportasi di negara daratan. Hal ini tentu saja meningkatkan biaya produksi. Dan juga effisiensi yang masih rendah, seperti penelitian oleh Ray (2008) yang menunjukkan biaya di pelabuhan Tanjung Priok masih jauh lebih mahal dan lebih tidak effisien dibandingkan dengan pelabuhan Chittagong, Port Klang atau Singapura. Dan juga produktivitas di pelabuhan Jakarta hanyalah setengah dari produktivitas di Singapura atau Tanjung Pelepas (Malaysia). Jadi yang perlu dibenahi adalah infrastruktur fisik, yang dapat membuka jalan bagi kemakmuran bangsa.
Baik di darat, antar pulau maupun udara.
Selain itu juga “soft” infrastructure seperti
pembenahan birokrasi, kelancaran perijinan dan kemudahan investasi, kepastian peraturan dan hukum dan menurunkan biaya melakukan bisnis merupakan keharusan untuk mempercepat roda perekonomian.
4.2
Pemikiran Alternatif Krisis finansial global memperlihatkan bahwa fenomena kuatnya sistem keuangan valuta asing,
margin trading, transaksi produk derivatif (misalnya CDO dan MBS) membuat uang sudah kehilangan fungsi utamanya sebagai alat tukar. Ketika uang menjadi komoditi, dalam waktu yang relatif singkat dan tanpa kerja keras atau riil dapat memberikan keuntungan yang mungkin bisa tidak terhingga bagi pemilik modal dan pelaku pasar valas.
Keadaan ini menyebabkan semakin banyak spekulan yang dapat
mengatur pola distribusi uang beredar dan berpengaruh negatif terhadap kinerja ekonomi secara keseluruhan. Pada saat seperti itu, sistem perekonomian Islam dapat menjadi alternatif pemecahan.
16 | H a l
Menurut Soekarno (2010) uang dalam sistem moneter Islam secara tegas tidak boleh menjadi komoditas. Uang sebagaimana fungsinya harus menjadi alat tukar. Fungsi uang sebagai alat tukar secara luas dimaksudkan untuk menghapuskan ketidakadilan dan kezaliman dalam ekonomi tukar menukar atau barter yang banyak mengandung riba. Nabi Muhammad SAW menyetujui uang sebagai alat tukar dan tidak menganjurkan model ekonomi barter karena dapat mengarahkan pada munculnya bentuk-bentuk kezaliman. Karena itulah, penegasan al-Quran dalam surat al-Muthaffifin – 83 : 1-3 dan alIsra -17 : 35 dapat bermakna bahwa standar nilai ukuran harus dijalankan tanpa adanya pengurangan dan penambahan. Demikian pula, uang dapat merupakan faktor produksi yang mempunyai potensi untuk berkembang dan menciptakan nilai lebih dengan cara diinvestasikan ke dalam praktek ekonomi sektor riil. Dalam pandangan Islam, uang memiliki flow concept, harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat, dan akan semakin baik perekonomian. Munculnya perkembangan instrument keuangan syariah dengan skema keuangan investasi yng etis dan keuangan syariah di berbagai belahan dunia seperti yang dilakukan oleh Citibank, StandardChartered, dan HSBC merupakan solusi atas permasalahan kerentanan system moneter kapitalisme. Oleh karena itu model investasi dalam investasi syariah sebenarnya bukanlan investasi dalam jangka pendek, melainkan dalam jangka panjang dengan tujuan untuk mengoptimalkan sumber daya uang yang ada termasuk untuk kelanjutan usaha secara mikro dan memberikan kemakmuran ekonomi secara makro.
17 | H a l
Daftar Pustaka Alcorta, Ludovico dan Frederick Nixson (2011), “The Global Financial Crisis and the Developing World: Impact on and Implications for the Manufacturing Sector”, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) Working Paper 06/2010 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian tahun 2007, http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian+Indonesia/lpi_20 07.htm. Diakses tanggal 3 Mei 2012 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian tahun 2008, http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian+Indonesia/lpi_20 08.htm . Diakses tanggal 3 Mei 2012 Basri, Muhammad Chatib dan Sjamsu Rahardja. (2010), “The Indonesian Economy amidst the Global Crisis – Good Policy and Good Luck”, Asean Economic Bullettin Vol. 27, No. 1 (2010) pp 77 – 97 Firdaus, Muhammad. (2010) “How Severely did the Global Economic Crisis Affect Indonesian Agribusiness Exports?” Paper dipublikasikan pada web.ipb.ac.id/~fem/index.php/download.html?.. (diakses tanggal 2 Mei 2012) Ray, David. (2008) “Indonesian Port Sector Reform and the 2008 Shipping Law”, Report for USAID, SENADA Project , August 2008 Sakti, Ali. (2009), “Islamic Economic: Challenges and Opportunities of Monetary Authority in the Global Financial Crisis” Paper disajikan pada Public Lecture Series diadakan oleh Centre of Islamic Economics and Business, Faculty of Economics, University of Indonesia, Depok, Indonesia, February 18, 2009 Saw, Swee-Hock (ed) (2011), “Managing Economic Crisis in Southeast Asia”. Kumpulan paper yang disajikan pada Conference on Managing Economic Crisis in Southeast Asia, 29 Januari 2010 di Singapura. Institute of Southeast Asian Studies Soekarno, Winoto (2010). “Uang dan Kebijakan Moneter dalam Ekonomi Islam (Bercermin dari Kerentanan
Sistem
Moneter
Kapitalis).
Paper
dipublikasikan
pada
research.amikom.ac.id/index.php/JM/article/download/663/256 (diakses tanggal 1 Mei 2012)
18 | H a l