Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013 US SUBPRIME CONTAGION DAN DAMPAKNYA BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA
Arni Utamaningsih Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Bisnis e-mail:
[email protected]
ABSTRACT This paper discusses about the subprime crisis in the housing sector spread to various dimensions globally. Risky loans equal to the price of the house, appreciated rapidly. This case concerns about the repayment problems, which substantially affected the value of collateral previously. The financial crisis in the U.S. that began in late July 2007 had similarities to what happened in Indonesia in 1997, although the impact is not as severe as in Indonesia. This paper discusses the macroeconomic approach, a description of the shift patterns IS* and LM* curve that cause income rise and the currency depreciated. The next section discussed the impact of the financial crisis spreading to the Jakarta Composite Index and the Rupiah exchange rate against the Dollar. The final section discusses the challenges Indonesia to global uncertainty. Keywords: subprime crisis, repayment problems, subprime mortgage, likuiditas.
1.PENDAHULUAN Penyebab krisis subprime mortgages diawali dari lemahnya praktik penjaminan di AS. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kegagalan ini menyebar ke bagian lain dalam sistem keuangan global.Seperti wabah dalam hal ini virus menginfeksi banyak orang dan komunitas, krisis keuangan menyebar melalui perantara pasar modal yang tidak jelas likuiditas dan solvabilitasnya.Dodd and Mills (2008) menjelaskan asal mula krisis subprime di sektor perumahan yang menjangkiti ke berbagai tempat yang mengejutkan karena terkena pengaruh krisis; seperti misalnya pasar perbankan yang saling memberikan pinjaman antara satu bank dengan bank lainnya dalam bentuk surat berharga jangka pendek dan obligasi. The US subprime loan virus, menggambarkan terlalu sembrononya bank di AS dalam memberikan pinjaman kepada para peminjam yang berpendapatan rendah dan memiliki skor kredit yang rendah pula. Disisi lain terdapat kebijakan bahwa dalam memberikan pinjaman, pemberi pinjaman harus mengendalikan risiko dengan mengevaluasi peminjam secara ketat, menetapkan standar yang tinggi untuk jaminan (collateral) dan mengenakan suku bunga yang sepadan dengan besarnya risiko. Pinjaman yang berisiko dalam hal ini senilai harga rumah, terapresiasi secara cepat.Harga rumah yang umumnya selalu meningkat dari tahun ke tahun mengalami penurunan secara dramatik, suatu kejatuhan secara nasional yang tidak pernah terjadi di AS sejak krisis tahun 1930.Hal ini memicu permasalahan potensial tentang pembayaran kembali (repayment problems), yang secara substansial berimbas pada jatuhnya nilai jaminan yang semula dihargai tinggi. Bermula dari asumsi bahwa harga rumah akan terus meningkat dan rasio pinjaman terhadap nilai pinjaman akan selalu turun. Selanjutnya jika peminjam gagal untuk membayar kembali sesuai dengan jadwal ISSN 1858–3717
27
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013 pembayaran, nilai rumah akan meningkat untuk memfasilitasi penjadwalan ulang (refinancing) atau jika dilakukan penyitaan asset akan dapat menutup pinjaman beserta bunga dan penaltinya. Namun asumsi tersebut gugur seiring dengan jatuhnya harga perumahan. Proses transformasi pinjaman perumahan ke dalam sekuritas semakin menambah masalah, dimana pendapatan dan pembayaran prinsipal mengacu pada prinsip-prinsip kepercayaan dari investor. Dalam hal ini secara keseluruhan mortgagebacked-securities (MBSs) yang diterbitkan oleh pemerintah AS disponsori perusahaan (GSEs) –Fannie Mae and Freddie Mac- mempunyai standar penjaminan biasa.Suatu standar pinjaman yang jauh dari memadai untuk aset yang ditransformasi ke dalam sekuritas.MBSs diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan di Wall Street pada umumnya memiliki berbagai standar pinjaman. Hal ini menimbulkan kos untuk memperoleh informasi yang menyingkap sumber keterangan, premi untuk memperbaiki tingkat kepercayaan semakin tinggi. Due dilligence dari investor tidak cukup untuk meningkatkan kepercayaan sebagai kompensasi atas beban informasi yang semakin membesar. Disisi lain, para investor malah menyerahkan kepercayaannya pada penilaian menurut credit rating agencies. Walaupun agensi ini memiliki track record rating bond yang panjang dan berpengetahuan baik, subprime residential MBSs dan CDOs merupakan hal yang baru dan sangat kompleks. CDOs terdiri atas sekuritas kredit yang didukung oleh sekelompok perusahaan sekuritas, pinjaman atau derivasi kredit dimana cash flows terbagi ke dalam segmen-segmen yang disebut tranches, dengan karakteristik pembayaran dan returns yang berbeda-beda. Rating grade dari asset backed securities mengalami kejatuhan secara meluas dan cepat. Sebagai hasilnya, kepercayaan investor terhadap opini yang dikeluarkan oleh rating agency menjadi terguncang karena terkejut dengan fenomena yang tidak biasa.Credit spreads terhadap US residential MBSs yang semula memiliki rating AAA dinilai memiliki level yang sama dengan obligasi dengan rating BBB menurut corporate bonds sejak Agustus 2007. 2. TINJAUAN PUSTAKA Krisis keuangan yang terjadi di AS yang diawali di akhir Juli 2007 memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997, walaupun dampaknya tidak separah di Indonesia. Krisis ini dipicu oleh masalah yang berawal dari sistem perbankan di AS. Selama bertahun-tahun FED dibawah pengendalian kepemimpinan Alan Greenspan (Agustus 1987-Januari 2006) menetapkan suku bunga rendah yang merupakan kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di masa empat presiden (Reagen, Bush senior, Clinton, dan Bush). FED menetapkan rate hanya 3,25%. Pada level ini, perekonomian AS masih dapat didorong, namun inflasi tinggi juga dapat dihindari. Situasi ini mulai berubah ketika harga minyak dunia berubah menjadi tidak terkendali memasuki semester II/2005. Harga minyak mencapai US$ 78 per barrel, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan supply dan demand. Demand tinggi dipicu oleh pertumbuhan pesat perekonomian emerging markets, yang dipimpin oleh China dan India. Sedangkan supply tersendat karena kian sulitnya melakukan eksplorasi terhadap ladang-ladang minyak baru, dan faktor bencana alam di sumur-sumur minyak strategis. Karena itu, suku bungapun terpaksa dinaikkan, setahap demi setahap. Puncak suku bunga tertinggi terjadi mulai Juni 2006, di level 5,25 persen, ketika pimpinan the FED sudah berpindah ke Ben Bernanke. Suku bunga setinggi ini bertahan sampai 15 bulan, hingga 18 September 2007. Dampak dari suku bunga tinggi atau kebijakan uang ISSN 1858–3717
28
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013 ketat ini adalah, mendorong terjadinya kredit macet. Ketika hal ini menimpa kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage), maka terjadilah respons kepanikan di pasar surat berharga yang berbasiskan kredit ini. Padahal, sebenarnya subprime mortgage ini hanya 15 persen dari seluruh kredit perumahan di AS, yang diperkirakan mencapai US$ 10 triliun. Masalah ini menjadi kepanikan besar, karena subprime mortgage dan derivasinya memang sedang menjadi instrumen yang tumbuh sangat cepat. Separuh dari kredit perumahan disekuritisasikan (diderivasikan menjadi surat-surat berharga), dan diperjualbelikan di antara kelompok-kelompok investor, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan investor institusional lainnya. Jumlah yang ditransaksikan mencapai US$ 5,8 triliun. Begitu ketidakmampuan untuk membayar utang semakin besar, investor internasional mulai kehilangan kepercayaan atas masa depan perekonomian ini. Premi risiko untuk aset-aset perumahan di AS meningkat, yang menyebabkan tingkat bunga naik dan mata uang goyah. Krisis kepercayaan internasional sering melibatkan lingkaran tak berujung yang bisa memperparah masalah (Mankiw, 2007). Teori ini mengungkap apa yang sudah terjadi di AS: 1. Masalah-masalah dalam sistem perbankan mengikis kepercayaan internasional terhadap perekonomian. 2. Hilangnya kepercayaan meningkatkan premi risiko dan tingkat bunga. 3. Naiknya tingkat bunga, bersama-sama dengan hilangnya kepercayaan, menekan harga saham dan aset-aset lain. 4. Turunnya harga aset mengurangi nilai jaminan yang digunakan untuk pinjaman bank. 5. Berkurangnya nilai jaminan meningkatkan tingkat ketidakmampuan untuk membayar utang bank. 6. Ketidakmampuan untuk membayar utang yang lebih besar memperburuk masalah dalam sistem perbankan, selanjutnya kembali ke tahap 1 dan seterusnya untuk membentuk lingkaran tak berujung. 3. PEMBAHASAN Ketika kemelut perbankan suatu negara menyebabkan premi risiko suatu negara naik, maka dampak paling langsung adalah tingkat bunga domestik r naik, karena r = r * + θ . Tingkat bunga yang lebih tinggi ini, akan memiliki dua dampak: Pertama, kurva IS* bergeser ke kiri, karena tingkat bunga yang lebih tinggi menurunkan investasi. Kedua, kurva LM* bergeser ke kanan, karena tingkat bunga yang lebih tinggi menurunkan permintaan terhadap uang, dan ini memungkinkan tingkat pendapatan yang lebih tinggi untuk setiap jumlah uang beredar. Sebagaimana diketahui bahwa Y harus memenuhi persamaan M = L( r * + θ , Y ) . P Gambar 3.1 menunjukkan kedua pergeseran yang menyebabkan pendapatan naik dan mata uang mengalami depresiasi.Analisis ini memiliki implikasi penting: sebagian dari ekspektasi kurs merupakan hasil dari adanya harapan masyarakat akan masa depan. Begitu ketidakmampuan untuk membayar utang semakin besar, dollar US kehilangan nilainya di masa depan. Investor akan menghadapi premi risiko yang lebih besar pada aset-aset di US terutama aset-aset perumahan, dan nilai θ akan naik. Ekspektasi ini semakin mendorong naiknya tingkat bunga di US dan berakibat pada turunnya nilai mata uang. Jadi, ekspektasi bahwa mata uang akan kehilangan nilainya di masa depan menyebabkan mata uang itu kehilangan nilainya pada saat ini. ISSN 1858–3717
29
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013 Sebuah prediksi yang mengejutkan dari analisis ini adalah bahwa kenaikan risiko negara yang diukur oleh θ akan menyebabkan peningkatan pendapatan perekonomian. Hal ini terjadi karena adanya pergeseran ke kanan dalam kurva LM* pada gambar di atas. Meskipun tingkat bunga lebih tinggi dari pada nilai investasi, depresiasi mata uang mendorong ekspor neto dalam jumlah yang lebih besar. Akibatnya pendapatan agregat meningkat. Dalam tataran teori peningkatan pendapatan agregat dapat digambarkan dengan gamblang, tetapi dalam praktik hal ini tidak terjadi. Ada tiga alasan mengapa, dalam praktik, booming pendapatan tidak terjadi. Pertama, bank sentral mungkin ingin mencegah depresiasi yang besar pada mata uang domestik dan, karena itu, bisa menanggapinya dengan menurunkan jumlah uang beredar M. Kedua, depresiasi mata uang domestik bisa dengan tiba-tiba meningkatkan harga barang impor, yang menyebabkan kenaikan tingkat harga P. Ketiga, ketika beberapa peristiwa meningkatkan premi risiko negara θ , penduduk negara itu mungkin menanggapi peristiwa tersebut dengan meningkatkan permintaan uang mereka, karena uang merupakan aset yang paling aman. Ketiga perubahan ini cenderung menggeser kurva LM* ke kiri, yang tidak hanya mendorong penurunan pada kurs tetapi juga cenderung menekan pendapatan. Disamping itu, karena tingkat bunga yang lebih tinggi mengurangi investasi, implikasi jangka panjangnya adalah turunnya akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. 1....Ketika kenaikan premi resiko mendorong naik tingkat suku bunga, kurva IS* bergesrer ke kiri.....
LM1*
Nilai kurs (e)
3….yang menyebabkan terjadi depresiasi
LM2*
2. ...dan kurva LM* bergeser ke kanan ….
IS1* 4…menyebabkan pendapatan tidak berubah .
IS2*
Pendapatan, output (Y)
Gambar 3.1. Pergeseran kurva IS* dan LM* yang menyebabkan pendapatan naik dan mata uang mengalami depresiasi 3.1 IMPLIKASI Krisis subprime mortgage yang bermula pada pekan terakhir Juli 2007, mulai dapat diredakan, terutama setelah negara-negara maju secara kompak menyuntik likuiditas ke pasar uang. Menurut Prasentiantono (2008), kombinasi injeksi bank sentral Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa saja mencapai US$ 348 miliar. Hal ini dilakukan agar berapa pun para pelaku bursa memerlukan dana, sebagai respons negatif atas panik subprime mortgage, likuiditas di pasar harus tersedia dalam jumlah yang cukup. Jika likuiditas sampai tidak tersedia, kepanikan bisa kian berlanjut dan berlipat-lipat, sehingga membahayakan perekonomian dunia. Karena itu, yang diperlukan ISSN 1858–3717
30
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013 perekonomian AS memang penurunan suku bunga, agar membantu kredit macet perumahan untuk lancar kembali, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagaimana dulu di era Alan Greenspan. Meski di AS juga muncul kritik, bahwa sesungguhnya Greenspan sendiri ikut andil bersalah, karena di eranya, the FED selalu mengedepankan kebijakan suku bunga rendah. Lebih jauh Prasentiantono (2008) menjelaskan bahwa langkah signifikan bank sentral AS (The Fed) menurunkan suku bunga Fed fund rate (18/9), dari 5,25 persen menjadi 4,75 persen, telah direspons eforia di seluruh dunia. Harga-harga saham mengalami rebound. Di New York, indeks Dow Jones kembali ke level tertingginya, bahkan melampaui 14.000. Sedangkan di Jakarta, indeks harga saham gabungan (IHSG) melejit ke level tertingginya, di atas 2.400, sesudah sempat terpuruk ke 1.907 ketika kepanikan subprime mortgage. Dengan kata lain, setelah jatuh sebesar 20 persen dalam 3 minggu antara bulan Juli dan pertengahan Agustus, dengan cepat meningkat kembali dan mencapai rekor tertinggi pada pertengahan Oktober. Nilai tukar rupiah, yang mencapai sekitar 9.000/$AS di bulan-bulan sebelum guncangan tersebut, melemah mencapai angka 9.500 kembali pulih ke angka 9.100 pada bulan Oktober. Tingkat suku bunga jangka menengah dan panjang meningkat sekitar 200 basis poin di sepanjang spektrum hasil selama krisis tersebut. Sejak awal bulan September, yield curve telah berbalik sekitar setengah dari peningkatannya dan terdapat peningkatan moderat lebih lanjut (khususnya pada akhir spektrum yang lebih pendek) sampai awal bulan Oktober. Berikut ini adalah tayangan data yang menggambarkan perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2007.
Gambar 3.2 Dampak Penjalaran Krisis Keuangan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan dan Kurs Rupiah terhadap Dollar Pada gambar 3.2 jelas terlihat bahwa krisis subprime mortgage menjalar hingga ke Bursa Efek Jakarta. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mengalami peningkatan dan puncaknya terjadi pada pertengahan bulan Agustus. Selanjutnya indeks harga saham dan nilai kurs mengalami pemulihan secara bersama-sama. Tahun 2007 tampaknya sudah dilalui cukup baik. Meski sempat terganggu oleh insiden kepanikan subprime mortgage, namun antisipasi kebijakan bank sentral Amerika Serikat dengan ISSN 1858–3717
31
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013 penurunan suku bunga dan injeksi likuiditas, tampaknya cukup efektif. Walaupun tidak serta merta menghilangkan semua permasalahan subprime mortgage, setidaknya sudah berhasil menghentikan kepanikan di lantai bursa, untuk tidak berlanjut ke level yang lebih buruk. Dengan demikian bagi Indonesia, sentimen positif dari penurunan suku bunga FED sudah langsung dirasakan, dengan rupiah yang menguat dan IHSG yang merangkak naik. Semoga ini dapat dijadikan modal untuk pertumbuhan ekonomi yang terbaik ditengah semakin meningkatnya harga minyak dunia dan krisis pangan global. 3.2 TANTANGAN BAGI INDONESIA TERHADAP KETIDAKPASTIAN GLOBAL Tantangan bagi Indonesia sekarang ini bukanlah sesuatu yang mudah setelah kita mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998. Apalagi dihadapkan pada kondisi perekonomian global yang serba tidak pasti, dan sekarang yang masih kita rasakan bersama adalah demonstrasi di berbagai daerah setiap kali terjadi keniakan harga BBM. Disamping itu proses demokrasi yang sedang bergulir di berbagai daerah melalui pemilihan langsung para pemimpin daerah, menjadikan nuansa politik semakin kental. Sebentar lagi, tahun 2014 yang akan datang juga segera kita memasuki proses pemilihan presiden dan wakil presiden yang tentunya juga membutuhkan banyak dana, disamping situasi politik yang semakin memanas. Permasalahan ini sesungguhnya bukanlah masalah yang sederhana, karena menyangkut berbagai kepentingan dari berbagai kelompok dalam tinjauan politik. Tetapi dalam kondisi apapun, para ekonom memainkan peran penting dalam perumusan kebijakan ekonomi. Karena perekonomian sangat kompleks, peran ini seringkali sulit dan tidak dapat dihindarkan. Menurut pendapat saya, sebaiknya pemerintah turut aktif dalam upayanya menstabilkan perekonomian. Dalam hal ini, saya mendukung kebijakan aktif yang memandang perekonomian sebagai subyek. Guncangan yang sering terjadi akan menyebabkan fluktuasi yang tidak perlu dalam output dan kesempatan kerja, kecuali jika ditanggapi oleh kebijakan moneter dan fiskal. Banyak pihak yang percaya bahwa kebijakan ekonomi berhasil menstabilkan perekonomian. Membahas masalah ekonomi Indonesia menghadapi ketidakpastian dan gejolak eksternal, seperti dampak krisis subprime mortgages, mau tidak mau mengancam pasar modal Indonesia, walaupun pasar modal Indonesia masih tergolong belum cukup mapan dibandingkan pasar modal di negara-negara maju. Semua pilihan kebijakan bersifat costly, tidak ada yang risk free. Goeltom dalam Kuncoro (2007) menawarkan model koordinasi “Leader-follower” dalam mengantisipasi menghadapi ketidakpastian dan gejolak eksternal. Artinya koordinasi harus mengacu kepada urutan (sequence) tindakan kebijakan, di mana salah satu otoritas harus melahirkan kebijakan terlebih dulu berdasarkan tantangan lingkungan eksternal, baru direspon oleh otoritas kebijakan lainnya. Ketika terjadi lonjakan harga minyak, otoritas fiskal perlu mengubah kebijakan pengeluaran pemerintah dengan segera, sedang otoritas moneter perlu menjadi follower dengan melakukan kebijakan moneter yang seharusnya tidak mengganggu stabilitas makroekonomi. Sebaliknya, di tengah gejolak kurs dan pasar modal, otoritas moneter perlu menjadi leader dengan membuat berbagai upaya dalam melakukan intervensi langsung di pasar valas dan obligasi; sedang otoritas fiskal menjadi follower, dengan mempersiapkan Jaring Pengaman dan mengurangi dampak lanjutan dari risiko sistemik di sektor finansial.
ISSN 1858–3717
32
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013 Namun, dalam perjalanan kebijakan tersebut seringkali proses politik tidak dapat dipercaya. Para politisi seringkali melakukan kesalahan dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan kadang-kadang menggunakan kebijakan ekonomi untuk tujuan-tujuan politik mereka sendiri. Disamping itu, para pendukung aturan kebijakan berpendapat bahwa komitmen pada aturan kebijakan baku sangat diperlukan untuk memecahkan masalah inkonsistensi waktu. Komitmen pada aturan kebijakan baku diharapkan dapat mencegah terjadinya krisis dalam ranah perekonomian, hal yang harus kita hindari sekarang ini. Krisis yang terjadi dalam ranah ekonomi akan beralih, melalui tindakan kebijakan pemerintah, ke ranah budaya. Pada gilirannya krisis ini akan mengancam integrasi sosial, merusak berbagai resourse yang dibutuhkan negara demi berlanjutnya pengelolaan sektor ekonomi yang sedang berjalan. Lebih khusus lagi, krisis itu kemungkinan besar akan mengakibatkan hilangnya legitimasi lembaga pemerintahan. Parsons dalam Habermas (1975) memahami sebuah sistem sosial sebagai seluruh rangkaian interaksi sosial yang meliputi kesaling-tergantungan penuh makna antara tindakan-tindakan berbagai unit. Supaya sistem ini bisa tetap dipertahankan dan direproduksi maka ada empat persoalan mendasar yang harus diselesaikan: 1) adaptasi terhadap lingkungan global; 2) pencapaian tujuan (goal attainment); 3) integrasi dan 4) pola pemeliharaan (pattern maintenance). Pendapat Parsons juga menganjurkan perlunya mengintegrasikan kebijakan fiskal, moneter dan perdagangan baik di sektor pertanian, industri, dan energi nasional, sehingga tercipta suatu sinergi dalam mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki dan kita terhindar dari krisis dalam ranah perekonomian. 4.SIMPULAN Fenomena krisis subprime mortgage telah memberikan kejutan besar pada pertengahan tahun 2007, sekaligus pula memberikan peringatan dan pelajaran berharga bagi kita terkait dengan praktik perbankan yang sehat. Beberapa tata kelola dalam praktikal yang dapat dipertimbangkan, agar hal yang sama tidak terulang kembali: 1. Menetapkan moderating leverage, yaitu rasio yang mengukur seberapa jauh perusahaan menggunakan utang. Beberapa analis menggunakan istilah solvabilitas dan likuiditas, yang berarti mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban keuangannya. 2. Memperbaiki manajemen likuiditas 3. Membantu perkembangan pasar likuiditas 4. Mempromosikan due dilligence 5. Meningkatkan transparasi. Adapun hal yang dapat kita pelajari dari peristiwa yang dampaknya menjalar ini adalah: 1. Sekuritasi semestinya memindahkan risiko kredit dari sistem perbankan, tetapi tidak diantisipasi dan tidak didukung dengan transparasi kos. Risiko kredit ini dalam jangka panjang perlu dijelaskan untuk mengetahui pada bagian mana kerugian terakumulasi. 2. Over-the counter markets tidak perlu likuid pada saat dibawa tekanan. Gangguan yang terjadi di pasar antar bank amat besar dan telah berlangsung sangat lama ketimbang antisipasi apapun sebelum Agustus 2007. Artinya, bahwa institusi seharusnya mampu bertahan untuk perioda yang diperhitungkan sebelumnya terhadap sumber daya yang mereka miliki.
ISSN 1858–3717
33
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013 3. Manajemen risiko pada bank-bank individu harus berfokus pada perlindungan terhadap institusi, dan pada sisi lain semestinya menolak keras risiko sistemik. Manajemen risiko yang berfokus pada institusi juga mengundang aksi individu secara rasional untuk memastikan kelangsungan hidup mereka. Hal ini dapat memicu terjadinya tindakan individu yang irrasional secara kolektif. 4. Resolusi krisis menjadi ekstrim kompleksitasnya dalam eskalasi dunia, karena adanya risiko yang terdispersi dan terderivasi. Bank sentral dibutuhkan untuk berperan lebih inovatif secara cepat untuk menangkis menjalarnya krisis dimana hingga kini krisis masih berlangsung. Memerangi epidemi virus ini ternyata jauh lebih berat ketimbang apa yang dibayangkan oleh ’dokter’. 5. Disclosures atau keterbukaan dalam laporan keuangan dalam industri perbankan akan menjadi fondasi utama bagi terbentuknya tata kelola yang kuat. Bank-bank di Indonesia diharapkan terus didorong untuk menyampaikan segala informasi yang bersifat material dalam aksi korporasinya, yang akan berdampak tertentu terhadap kinerjanya. Termasuk di dalamnya adalah informasi mengenai pengelolaan manajemen risiko. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS), Berita Resmi Statistik, beberapa edisi Departemen Keuangan, (2007), Indonesia Economic and Social Update, Edisi Nopember. Habermas, J. (1975).Legitimation Crisis, Boston: Beacon Press. Kuncoro, M., (2007), Antisipasi Resesi dan Gejolak Ekonomi Global dalam Gatra, Vol. Tahun XIV, 31 Januari-06 February 2008. Mankiw, N.G. (2007).Macroeconomics, Sixth Edition, New York: Worth Publishers. Prasetiantono, A.T, (2007), Perekonomian Indonesia Terimbas Dinamika Eksternal, Economic Review, No. 209, September 2007. DoddR, andMillsP.,(2008), Outbreak: US Subprime Contagion, Journal Finance and Development, No. 45, pp 14-18. Kuncoro, M.,2008,http://www.mudrajad.com.
ISSN 1858–3717
34