i
DAMPAK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI TERHADAP EKOLOGI DAN SOSIAL-EKONOMI NELAYAN (Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah)
Oleh HELLEN CHRISTIEN BANGUN I34080011
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
ABSTRACT HELLEN CHRISTIEN BANGUN. The Impact of Ecotourism Development to Ecology and Social-Economic of the Fishermen. (Case in Village of Karimunjawa, Jepara Regency, Central Java ). Supervised by HERU PURWANDARI.
Karimunjawa is one of tourism assets which developed by the Central Java’s Government. The ecotourism’s development has impact on ecological changes and fishermen’s social-economics life. As the result, volume of fish harvesting decrease in terms of the decreasing of income. However, there is no changing in the trip. People who interact to the tourist directly also affect their social life. Besides, both the rapid effect of migration numbers due to the tourism jobs and the educational awareness are increasing. Ecological and economical changing trigger the fishermen in building adaptation strategies in terms of diversification jobs and catching tools. However, there is limited people who involved in tourism sector.
Keywords: tourism, ecological changes, the economy and the social fishermen, adaptation.
iii
RINGKASAN HELLEN CHRISTIEN BANGUN. Dampak Pengembangan Ekowisata Bahari terhadap Ekologi dan Sosial-Ekonomi Nelayan (Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah). Dibawah bimbingan Heru Purwandari.
Penelitian ini dilakukan di Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara yang bertujuan untuk: (1) Mengetahui dampak ekowisata bahari terhadap ekosistem masyarakat setempat; (2) Mengetahui dampak perubahan ekosistem tersebut terhadap struktur ekonomi dan sosial nelayan akibat adanya pengembangan wisata; dan (3) Mengetahui pola adaptasi ekonomi yang dilakukan oleh komunitas nelayan terhadap perubahan ekologi dan pengembangan pariwisata tersebut. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dengan kuesioner yang didukung oleh data kualitatif melalui observasi, wawancara mendalam dan penelusuran dokumen terkait dengan pembahasan dalam penelitian ini. Responden dari penelitian adalah 50 orang nelayan yang diperoleh melalui teknik penarikan sampel aksidental. Responden ini terbagi menjadi dua, yaitu 25 orang responden non pariwisata dan 25 orang nelayan pariwisata. Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) dilakukan berdasarkan sistem zonasi, yang terdiri dari zona perikanan (92,183%), zona pariwisata (2,329%) dan selebihnya adalah zona inti, budidaya dan perlindungan. Hasil penelitian menunjukkan perubahan ekologi Karimunjawa, yaitu menurunnya ketersediaan ikan karang dari 564.542,8 kg pada tahun 2006 menjadi 512.897 kg pada tahun 2011. Hal ini terjadi karena nelayan Karimunjawa pernah menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (muroami dan potasium). Sektor kepariwisataan juga terus berkembang dan jumlah kunjungan wisatawan terus meningkat dari 11.125 orang pada tahun 2007 menjadi 35.577 pada tahun 2011. Perkembangan ini diikuti dengan pembangunan berbagai sarana dan prasarana wisata yang mengakibatkan perubahan
iv
ekologi. Pembangunan homestay dan hotel serta akomodasi lainnya terus bertambah. Wisatawan yang melakukan tour ke laut juga sering menginjak karang sehingga karang menjadi patah. Wisatawan yang berkunjung ke pulau-pulau juga sering meninggalkan banyak sampah dan membuat lingkungan menjadi kotor. Perubahan ekologi mengakibatkan perekonomian dan sosial nelayan juga ikut berubah. Dalam penelitiaan ini akan dilihat perubahan perekonomian sebelum adanya wisata dan setelah adanya wisata. Perubahan yang terjadi dapat dilihat dari perubahan jumlah hari melaut. Sebelum adanya wisata, jumlah hari melaut pada kedua kelompok hampir sama yaitu pada kategori tinggi. Setelah adanya wisata, nelayan non wisata tetap pada kategori tinggi sedangkan nelayan wisata mengurangi hari melautnya. Jumlah hasil tangkapan masing-masing kelompok nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing masih rendah, baik sebelum maupun sesudah adanya pariwisata. Perubahan jumlah tangkapan nelayan non wisata dan nelayan pariwisata juga mengalami penurunan yang signifikan. Sedangkan nelayan yang menggunakan kompressor memiliki hasil tangkapan yang lebih besar (1-2 kuintal). Pengembangan kegiatan pariwisata juga mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Meningkatnya jumlah kunjungan wisata membuat masyarakat sering berinteraksi dengan wisatawan. Namun masyarakat tidak terpengaruh dengan budaya wisatawan karena masyarakat sudah punya prinsip agama yang kuat. Berbagai perhimpunan dan paguyuban juga muncul untuk mendukung pengembangan pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Tingkat migrasi masuk dan migrasi keluar juga terus meningkat. Migrasi masuk yang meningkat terjadi karena banyaknya lapangan pekerjaan yang tersedia di bidang wisata. Migrasi keluar dipicu oleh peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sehingga banyak yang melanjutkan pendidikannya di luar Pulau Karimunjawa. Hasil tangkapan yang menurun dan pendapatan yang rendah membuat nelayan harus beradaptasi dengan melakukan diversifikasi pekerjaan di luar perikanan dan di bidang wisata. Hasil pengembangan pariwisata ternyata belum merata bagi semua masyarakat Karimunjawa terutama nelayan. Tingkat diversifikasi pekerjaan nelayan non pariwisata masih rendah, artinya masih banyak yang tidak melakukan
v
diversifikasi pekerjaan. Nelayan non pariwisata yang melakukan diversifikasi umumnya sebagai pedagang, petani serta menjadi tukang. Sedangkan tingkat partisipasi nelayan pariwisata dalam bidang pariwisata temasuk dalam kategori sedang. Pekerjaan di bidang wisata yang dilakoni nelayan pariwisata antara lain sebagai tour leader, guide, penyewa penginapan, penyewa kapal serta menjual souvenir. Namun pendapatan yang dihasilkan dari sektor pariwisata masih rendah. Pendapatan terendah terdapat pada nelayan penyewa kapal. Perubahan alat tangkap juga merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan nelayan. Namun hal ini tidak terjadi pada nelayan di Karimunjawa. Sebelum dan sesudah adanyanya pariwisata, alat tangkap tetap didominasi oleh pancing sedangkan alat tangkap kompressor
semakin menurun penggunaannya karena pihak Balai
Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) mulai melakukan sosialisasi untuk penghentian pengoperasian alat tersebut.
vi
DAMPAK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI TERHADAP EKOLOGI DAN SOSIAL-EKONOMI NELAYAN (Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah)
Oleh: HELLEN CHRISTIEN BANGUN I34080011
Skripsi Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
vii
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “DAMPAK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI
TERHADAP
EKOLOGI DAN SOSIAL-EKONOMI NELAYAN (Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN
UNTUK
TUJUAN
MEMPEROLEH
GELAR
AKADEMIK
TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI IN BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, 17 Desember 2012
HELLEN CHRISTIEN BANGUN I34080011
viii
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa
: Hellen Christien Bangun
NIM
: I34080011
Judul Skripsi
: Dampak Pengembangan Ekowisata Bahari terhadap Ekologi dan Sosial-Ekonomi Nelayan (Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui Dosen Pembimbing Skripsi
Heru Purwandari, S.P., M.Si. NIP. 19790524 200701 2 001 Mengetahui Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo. MS. NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal kelulusan:__________________________________
ix
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Hellen Christien Bangun adalah anak kedua dari tiga bersaudara, putri dari Bapak Ramli Bangun, SP. dan Pinter Malem Ginting. Penulis dilahirkan di Limang, Sumatera Utara pada tanggal 10 Oktober 1990. Penulis menamatkan sekolah di SD Inpres Payanderket Kecamatan Kuta Buluh pada tahun 1996-2002, SMP Negeri I Kabanjahe pada tahun 2002-2005 dan SMA Negeri I Kabanjahe pada tahun 2005-2008. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Angkatan 45 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama di IPB penulis aktif di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB sebagai Koordinator Komisi Persekutuan pada tahun 2010-2011 dan menjadi Koordinator Kelompok Pra-Alumni (Kopral) PMK IPB periode 2011-2012. Selain aktif di organisasi, penulis juga aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan kepanitiaan dalam beberapa event di IPB antara lain kepanitiaan Retreat Komisi Persekutuan PMK IPB tahun 2010 dan 2011, Transfer Visi-Misi PMK IPB tahun 2011 dan Retreat Angkatan 48 PMK IPB pada tahun 2012. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Pendidikan Agama Kristen tahun 2011-2012.
x
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih, rahmat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Pengembangan Ekowisata Bahari terhadap Kehidupan Sosial dan Ekonomi Nelayan (Kasus Ekowisata Bahari Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah)” dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat pelaksanaan penelitian pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan moral dan material dari berbagai pihak yang mendukung penulis dalam menyelesaikan studi pustaka ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Ibu Heru Purwandari, S.P., M.Si. sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran serta kritik yang membangun sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA dan Ir. Hadyanto, M.Si sebagai dosen penguji dalam skripsi penulis pada tanggal 11 Desember 2012.
3.
Bapak dan Ibu (Bpk. Ramli Bangun dan Ibu Pinter Malem Ginting) serta saudara penulis (Gloria Florentina Bangun dan Eben Ezer Bangun) yang telah memberikan dukungan baik secara moral, material serta spiritual.
4.
Fevrina Leny Tampubolon dan Bryan Fahmi yang sudah bersedia menemani selama penelitian di Karimunjawa. Terima kasih atas masukan dan kritikannya dalam penulisan skripsi saya
5.
Sahabat-sahabat Penulis yaitu Yakob Arfin Tyas Sasongko, Alex Raja, Desriani Natalia, Icin Trisnawati, teman-teman SKPM Angkatan 45, teman-teman anggota Permata GBKP Bogor dan Grya Ananta, Sinta Kacaribu, Lydia Sebayang, Sora Novi, Dita Barus, Era Bangun dan Rosinta Sitepu, Vera Ambarita, Kelompok Pra Alumni Angkatan 45 PMK IPB, Komisi Persekutuan PMK IPB, yang senantiasa mendukung penulis dalam moral, motivasi dan doa.
xi
6.
Rekan satu bimbingan skripsi, yaitu Anatola Essya dan Selvi Rabia Zahra yang saling memberikan semangat dan dukungan selama proses penyelesaian skripsi.
7.
Bapak dan Ibu Rachel yang telah memberi bantuan di Semarang, Bapak dan Ibu Uti di Jepara, staf BTNKJ dan warga Karimunjawa serta semua pihak yang telah memberikan semangat dan motivasi.
Bogor, November 2012
Hellen Christien Bangun I34080011
xii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI………………………………………………………………… DAFTAR TABEL…………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 1.1 Latar Belakang……………………………………………………. 1.2 Masalah Penelitian…………………...……………………………. 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………….. 1.4 Kegunaan Penulisan..………………………………………………
xii xv xix 1 1 3 4 4
BAB II PENDEKATAN TEORITIS………………………………………… 2.1 Tinjauan Pustaka…………………...……………………………… 2.1.1 Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pemanfaatannya……………………………………… 2.1.2 Pengembangan Ekowisata Bahari…………………………. 2.1.3 Perubahan Ekosistem……………..……………………..... 2.1.4 Perubahan Sosial dan Perekonomian Nelayan.…………… 2.1.5 Pola Adaptasi Nelayan…………………………………….. 2.2 Kerangka Pemikiran……………………………………………….. 2.3 Hipotesis…………………………………………………………… 2.4 Desfinisi Operasional………………………………………………
5 5 5 8 12 16 20 23 24 25
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN…………………………………….. 3.1 Metode Penelitian………………………………………………….. 3.1.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………. 3.1.2 Teknik Pengumpulan Data………………………………… 3.2 Teknik Pengolahan dan Analisis Data……………………………..
29 29 30 30 32
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN…………………... 4.1 Sejarah Lokasi……………………………………………………... 4.2 Keadaan Umum Karimunjawa…………………………………….. 4.2.1 Letak Geografis…………………………………………… 4.2.2 Kondisi Topografi ………………………………………… 4.2.3 Hidrologi…………………………………………………... 4.2.4 Keanekaragaman Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya….. 4.3 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya……………………………... 4.3.1 Kependudukan…………………………………………….. 4.3.2 Tingkat Pendidikan………………………………………... 4.3.3 Sarana dan Prasarana……………………………………….
33 33 33 33 34 34 35 37 37 39 40
xiii
BAB V KONDISI PARIWISATA DAN PERIKANAN DI KARIMUNJAWA………………………………. 5.1 Zonasi Taman Nasional Karimunjawa…………………………….. 5.1.1 Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2005……….. 5.1.2 Ancaman Kerusakan Ekologi dan Perubahan Zonasi TNKJ………………………………. 5.1.3 Zonasi Taman Nasional Karimunjawa 2012………………. 5.2 Kondisi Pariwisata Karimunjawa………………………………….. 5.3 Kunjungan Wisatawan…………………………………………….. 5.4 Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Wisata………………………. 5.5 Daya Dukung Kawasan untuk Kegiatan Wisata…………………... 5.5.1 Panjang Pantai Berpasir…………………………………… 5.5.2 Penginapan………………………………………………… 5.5.3 Kebutuhan Air Bersih……………………………………… 5.6 Kondisi Umum Perikanan di Desa Karimunjawa…………………. BAB VI BAB VI DAMPAK WISATA BAHARI TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL DAN EKONOMI……………………….… 6.1 Karakteristik Nelayan Non Pariwisata dan Nelayan Pariwisata…... 6.1.1 Umur……………………………………………………….. 6.1.2 Pendidikan…………………………………………….…… 6.1.3 Jumlah Anggota Keluarga…………………………………. 6.1.4 Pendapatan………………………………………………… 6.1.5 Pengalaman Melaut………………………………………... 6.2 Dampak Pariwisata terhadap Kegiatan Perekonomian Neleyan…... 6.2.1 Jam Hari Melaut Menangkap Ikan di Laut………………… 6.2.2 Jumlah Ikan yang Diperoleh Setiap Kali Melaut………….. 6.2.3 Tingkat Pendapatan Nelayan dari Hasil Tangkapan Ikan…. 6.2.4 Ketersediaan Lapangan Pekerjaan di Sektor Pariwisata…... 6.3 Perubahan Sosial Nelayan…………………………………………. 6.3.1 Pranata Sosial, Norma, Adat Istiadat dan Lembaga-Lembaga yang ada di Karimunjawa…………….. 6.3.2 Tingkat Migrasi Masuk dan Migrasi Keluar………………. BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN………………………………….. 7.1 Diversifikasi Pekerjaan……………………………………………. 7.1.1 Diversifikasi Pekerjaan Nelayan Non Pariwisata………….. 7.1.2 Pola Adaptasi Nelayan Pariwisata…………………………. 7.2 Alat Tangkap Nelayan Karimunjawa……………………………… BAB VIII HUBUNGAN PERUBAHAN PEREKONOMIAN DENGAN POLA ADAPTASI NELAYAN …………………….. 8.1 Tingkat Perekonomian Nelayan Karimunjawa dari Sektor Perikanan………………………………………………
44 44 45 47 50 53 55 56 63 64 65 66 66
70 70 70 72 73 74 76 76 76 78 80 82 83 83 87 89 89 90 92 100
102 102
xiv
8.2 Tingkat Adaptasi Nelayan…………………………………………. 8.3 Hubungan Perubahan Ekonomi dengan Adaptasi Nelayan………... 8.3.1 Hubungan antara Lamanya Nelayan Menangkap Ikan di Laut dengan Difersivikasi Pekerjaan Nelayan………….. 8.3.2 Hubungan antara Lamanya Nelayan Menangkap Ikan di Laut dengan Perubahan Alat Tangkap……………………. 8.3.3 Hubungan Jumlah Hasil Tangkapan Ikan dengan Diversifikasi Pekerjaan ………………………………… 8.3.4 Hubungan Jumlah Hasil Tangkapan ikan dengan Perubahan Alat Tangkap Nelayan Karimunjawa………….. 8.3.5 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Diversifikasi Pekerjaan…………………………………… 8.3.6 Hubungan Perubahan Tingkat Pendapatan dengan Perubahan Alat Tangkap Nelayan ………………..
103 104
BAB IX PENUTUP………………………………………………………… 9.1 Kesimpulan………………………………………………………… 9.2 Saran………………………………………………………………..
114 114 116
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………....... LAMPIRAN………………………………………………………………….
117 120
106 107 108 109 111 112
xv
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16 Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22. Tabel 23. Tabel 24.
Halaman Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Karimunjawa Tahun 2008-2011…………………………………………………… Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Karimunjawa Tahun 2011 ………………………………… Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Karimunjawa tahun 2011…… Kelembagaan Perekonomian di Desa Karimunjawa Tahun 2011…. Jumlah Fasilitas Pendidikan di Desa Karimunjawa Tahun 2011….. Zonasi TNKJ 2005…………………………………………………. Zonasi TNKJ 2012…………………………………………………. Tingkat Kunjungan Wisata di Karimunjawa Tahun 2007-2012…… Jumlah Penginapan dan Toko Souvenir di Krimunjawa Tahun 2007-2012………………………………………………….... Estimasi Daya Dukung Wisatawan Berdasarkan Panjang Pantai Berpasir……………………………………………………... Ketersediaan Penginapan di Desa Karimunjawa Tahun 2012……... Produksi Ikan yang Keluar dari Karimunjawa (Melalui Rakyat dan Dermaga Perisntis) Tahun 2006-2010 ……............. Alat Tangkap Ikan di Karimunjawa Tahun 2010…………………... Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Umur, Desa Karimunjawa, 2012 …………………………………………... Responden Menurut Tingkat Pendidikan, Desa Karimunjawa, 2012……………………………………………………………….. Responden Menurut Jumlah Tanggungan, Desa Karimunjawa, 2012…………………………………………… Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan, Desa Karimunjawa, 2012…………………………………………… Responden Berdasarkan Pengalaman Melaut, Desa Karimunjawa, 2012…………………………………………… Responden Berdasarkan Perubahan Jumlah Trip Melaut, Desa Karimunjawa, 2012………………………………………… Responden Berdasarkan Jumlah Tangkapan Ikan, Desa Karimunjawa, 2012 ………………………………………….. Responden Berdasarkan Nilai Hasi Tangkapan, Desa Karimunjawa, 2012………………………………………… Data Jumlah Penduduk yang Bekerja di Bidang Pariwisata……….. Tingkat Diversifikasi Pekerjaan Responden, Desa Karimunjawa, 2012…………………………………………… Tingkat Diversifikasi Pekerjaan Responden Nelayan Non Pariwisata, Desa Karimunjawa, 2012…….………….
37 38 39 41 42 45 50 55 59 64 65 67 68 71 72 74 75 76 78 79 80 83 89 91
xvi
Tabel 25. Tabel 26. Tabel 27. Tabel 28. Tabel 29. Tabel 30. Tabel 31.
Tabel 32 Tabel 33
Tabel 34
Tabel 35
Tabel 36
Tabel 37
Tabel 38
Tabel 39
Tabel 40
Tabel 41
Alasan Nelayan Ikut dalam Kegiatan Wisata di Desa Karimunjawa, 2012…………………………………………… Tingkat Diversifikasi Pekerjaan Responden Nelayan Pariwisata, Desa Karimunjawa, 2012…………………………………………… Diversifikasi Pekerjaan Nelayan Pariwisata di Desa Karimunjawa, 2012…………………………………………… Responden Nelayan Pariwisata Menurut Lamanya Bekerja di Bidang Wisata, Desa Karimunjawa, Tahun 2012………. Responden Menurut Tingkat Pendapatan Nelayan di Bidang Wisata, Desa Karimunjawa, Tahun 2012………………………….. Responden berdasarkan Teknologi Alat Tangkap Ikan, Desa Karimunjawa, 2012…………………………………………… Tingkat Perekonomian Nelayan Karimunjawa Setelah Adanya Pengembangan Pariwisata di Desa Karimunjawa, Tahun 2012………………………………………………………… Tingkat Adaptasi yang Dikembangkan Oleh Nelayan Karimunjawa, Tahun 2012………………………………………………………… Persentase Tingkat Diversifikasi Pekerjaan yang Dikembangkan Nelayan Berdasarkan Tingkat Ekonomi Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012……………………….. Persentase Tingkat Diversifikasi Pekerjaan yang Dikembangkan Nelayan Berdasarkan Jumlah Trip Melaut Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012………………………. Persentase Perubahan Alat Tangkap yang Dikembangkan Nelayan Non Pariwisata Berdasarkan Jumlah Trip Melaut Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012………………. Persentase Perubahan Alat Tangkap yang Dikembangkan Nelayan Pariwisata Berdasarkan Jumlah Trip Melaut Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012………………………………… Persentase Tingkat Diversifikasi Pekerjaan yang Dikembangkan Nelayan Berdasarkan Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012…...……… Persentase Perubahan Alat Tangkap yang Dikembangkan Nelayan Non Pariwisata Berdasarkan Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012…………… Persentase Perubahan Alat Tangkap yang Dikembangkan Nelayan Pariwisata Berdasarkan Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012……………………….. Persentase Tingkat Diversifikasi Pekerjaan Sesudah Adanya Pariwisata yang Dikembangkan Nelayan Berdasarkan Tingkat Pendapatan Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012………………………………… Persentase Perubahan Alat Tangkap yang Dikembangkan Nelayan Non Pariwisata Berdasarkan Tingkat Pendapatan Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012………………………..
93 94 95 97 98 101
103 104
105
106
107
108
109
110
110
112
112
xvii
Tabel 42
Persentase Perubahan Alat Tangkap yang Dikembangkan Nelayan Pariwisata Berdasarkan Tingkat Pendapatan Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012…………
113
xviii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar 1. Gambar 2.
Halaman Kerangka Berpikir……………………………………………... Dinamika Ekologi dan Sosial Ekonomi Masyarakat di TNKJ………………………………………………………...
24 48
xix
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2.
Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5.
Daftar Nama Responden……………………………………… Peta Taman Nasional Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012…………………………… Daftar Toko Souvenir di Desa Karimunjawa………………… Data Kepemilikan Lahan di Pulau-Pulau Lingkup Desa Karimunjawa………………………………….. Dokumentasi Kegiatan………………………………………
122
123 124 125 126
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kepulauan Karimunjawa memiliki ekosistem
yang masih asli dan
keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga harus dipertahankan sebagai aset nasional dan daerah. Kawasan Karimunjawa memiliki luas 111.625 ha yang meliputi 110.117,30 ha kawasan perairan dan 1.507,70 ha kawasan darat. Pada tahun 1999, kawasan ini dijadikan sebagai taman nasional yang bernama Taman Nasional Karimunjawa
(TNKJ)
dengan
menggunakan
sistem
zonasi
sebagai
dasar
pengelolaannya (Zonasi TNKJ 2012). Tahun 2005 sampai 2009 terjadi perubahan dinamika ekologi, dinamika sosial ekonomi masyarakat di sekitar TNKJ serta dinamika pengelolaan kawasan TNKJ. Biomassa ikan karang dan kelimpahan ikan karang mengalami penurunan di semua zona yang ada di TNKJ. Selama periode tahun 2007-2009 terjadi penurunan signifikan (25,5% yaitu 480,25 kg/ha pada tahun 2005 menjadi 200,30 kg/ha pada tahun 2009) biomassa ikan karang di kawasan ini. Pada periode yang sama kelimpahan ikan karang mengalami penurunan sebesar 13,4% yaitu dari 6000 individu per ha menjadi 4000 individu per ha. Ini berarti ikan yang ada di kawasan tersebut semakin banyak jumlahnya semakin sedikit dan ukurannya semakin kecil. Biomassa ikan penting seperti kerapu, baronang, ekor kuning dan kakap juga mengalami penurunan. Hal ini diduga disebabkan oleh penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan berupa cantrang, muroami, kompressor dan panah (Zonasi TNKJ 2012). Desa Karimunjawa adalah salah satu desa terluas di Pulau Karimunjawa yang berada di kawasan TNKJ. Jumlah penduduk Desa Karimunjawa sekitar 2.476 dan 1.483 diantaranya berprofesi sebagai nelayan (Statistik TNKJ Tahun 2007). Sumberdaya ikan merupakan penghasilan utama di desa ini yang terdiri dari berbagai jenis ikan pelagis dan berbagai ikan karang serta usaha budidaya ikan windu di tambak.
2
Selain kegiatan perikanan, kawasan TNKJ juga telah banyak dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata, pendidikan, penelitian dan pelatihan. Potensi wisata bahari di desa ini juga sangat besar. Keindahan alam dan keaslian ekosistem yang ada di TNKJ membuat kawasan ini ditetapkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata unggulan di Jawa Tengah. Bahkan secara nasional kawasan ini ditunjuk sebagai daerah tujuan wisata sekunder di Indonesia. Sebagai wilayah kepulauan, Karimunjawa mengandalkan terumbu karang, rumput laut dan padang lamun dengan biota laut yang beraneka ragam, hutan mangrove, gunung dan sisa hutan tropis dataran rendah. Kekayaan flora dan faunanya menjadikan daerah ini menjadi tujuan wisata khususnya wisata bahari dan sebagai Taman Nasional Laut pada tahun 1988. Potensi ini didukung oleh tersedianya berbagai sarana penginapan (resort, homestay, hotel, wisma dan cottage) dengan jumlah yang cukup memadai serta sarana transportasi angkutan laut dan darat milik penduduk setempat. Besar dan beragamnya potensi sumberdaya yang dimiliki Kepulauan Karimunjawa dapat menimbulkan berbagai masalah akibat kepentingan pemanfaatan. Potensi tersebut memiliki fungsi, antara lain fungsi sosial seperti keindahan alam untuk pariwisata, fungsi ekonomi yakni penangkapan ikan bagi nelayan dan fungsi ekologis seperti tempat pemijahan dan pembesaran bagi ikan dan biota lautnya. Apabila pemanfaatan sumberdaya ini tidak memperhatikan lingkungan maka dapat menimbulkan degradasi lingkungan. Banyak kegiatan di kepulauan ini yang menjurus pada timbulnya masalah, antara lain konflik kawasan akibat berbagai macam kepentingan sektor pembangunan, pemakaian bom ikan, penebangan mangrove atau pengambilan terumbu karang dan pencemaran (Aryono 2003). Jumlah kunjungan wisatawan ke Karimunjawa terus meningkat mulai dari tahun 2007. Banyak homestay dan resort yang mulai dibangun sehingga pemukiman penduduk semakin padat. Kegiatan wisata yang ada di Karimunjawa juga sering menimbulkan masalah, yaitu terjadinya kerusakan karang di zona wisata. Skripsi ini akan mengkaji tentang pemanfaatan laut untuk pengembangan pariwisata di Karimunjawa dan dampaknya terhadap sosial dan perekonomian nelayan serta bagaimana mereka bisa bertahan hidup dengan mengembangkan pola adaptasi.
3
Kehadiran wisatawan ke daerah tersebut tentu memberikan dampak positif dan negatif terhadap nelayan lokal.
1.2
Masalah Penelitian Karimunjawa merupakan salah satu aset pariwisata bagi pemerintah
Kabupaten Jepara. Kawasan ini telah menjadi Taman Nasional sejak tanggal 22 Februari 1999. Kepulauan yang memiliki potensi sumberdaya laut dan pesisir yang masih alami sangat berpeluang bagi pengembangan ekowisata bahari. Aktifitas wisata bahari yang sering dilakukan adalah pengamatan terumbu karang dari permukaan laut (snorkeling), menyelam dan mengunjungi perkampungan nelayan. Kegiatan ini tentu saja menimbulkan dampak bagi ekosistem pesisir dan laut. Oleh sebab itu, masalah yang diteliti adalah bagaimana dampak pengembangan ekowisata bahari terhadap ekosistem setempat? Umumnya pemanfaatan itu akan menimbulkan perubahan yang sangat mempengaruhi nelayan karena kehidupan mereka langsung berhubungan dengan laut dan pesisir. Penetapan suatu daerah menjadi objek wisata bahari akan mempengaruhi perekonomian nelayan. Kehadiran wisatawan serta interaksinya dengan nelayan juga
berdampak bagi perubahan kehidupan sosial
nelayan tersebut. Oleh sebab itu, masalah lain yang akan diteliti adalah bagaimana dampak perubahan ekowisata bahari terhadap sosial dan perekonomian nelayan? Pengembangan ekowisata bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan juga masyarakat setempat. Pengembangan ini akan diiringi dengan fasilitas wisatawan seperti tempat makan, penginapan, transportasi, peralatan-peralatan wisata, seni daerah dan lainnya tentu memerlukan partisipasi masyarakat lokal. Perubahan-perubahan tersebut juga mendorong nelayan untuk beradaptasi agar bisa bertahan. Daerah yang dulunya dijadikan nelayan sebagai daerah penangkapan ikan, kini dijadikan sebagai kawasan wisata sehingga membatasi akses nelayan terhadap daerah tersebut. Oleh sebab itu, maka perlu diteliti bagaimana pola adaptasi ekonomi yang dikembangkan oleh komunitas nelayan terhadap perubahan ekologi tersebut dan pengembangan pariwisata?
4
1.3
Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan dari
penulisan proposal ini ditetapkan sebagai berikut. 1. Mengetahui dampak pengembangan ekowisata bahari terhadap ekosistem setempat. 2. Mengetahui dampak perubahan ekosistem terhadap struktur ekonomi dan struktur sosial nelayan. 3. Mengetahui pola adaptasi ekonomi yang dikembangkan komunitas nelayan terhadap perubahan ekologi dan pengembangan pariwisata.
1.4
Kegunaan Penulisan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai
pengenalan lebih lanjut mengenai pengembangan ekowisata bahari dan dampaknya bagi ekologi dan sosial-ekonomi nelayan serta pola adaptasi yang dikembangkan nelayan dengan adanya perubahan tersebut. Melalui penelitian ini juga terdapat beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu: 1. Akademisi, di mana penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji permasalahan ekologi, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata bahari, dampaknya bagi ekosistem dan struktur ekonomi serta struktur sosial nelayan serta pola adaptasi yang dikembangkan nelayan dalam menghadapi perubahan tersebut. 2. Masyarakat, di mana penelitian ini diharapkan dapat berdampak positif bagi masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dan nelayan, untuk menambah pengetahuan tentang kajian pengembangan ekowisata bahari yang berada di tempat tinggal mereka. 3. Pemerintah, di mana penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau dijadikan bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan (pemerintah) dalam merencanakan,
mengambil
keputusan
dan
membuat
kebijakan
tentang
pemanfaatan wilayah pesisir untuk daerah tujuan wisata dan kesejahteraan nelayan.
5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pemanfaatannya Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), suatu wilayah pesisir (pantai) memiliki dua batas, yaitu batas yang sejajar garis pantai (long share) dan batas yang tegak lurus dari pantai (cross-share). Penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar garis pantai relatif lebih mudah untuk keperluan pengelolaan. Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) sumberdaya yang dapat pulih seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut serta sumberdaya perikanan laut; (2) sumberdaya yang tidak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi (3) jasa-jasa lingkungan seperti fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi) dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya (Dahuri 2001 dalam Subri 2005). Pesisir dan laut dikenal sebagai kawasan yang mengandung kekayaan alam potensial untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemenuhan kebutuhan tersebut diantaranya berasal dari sumberdaya perikanan, sumberdaya mineral dan tambang, sumberdaya bahan obat-obatan, sumberdaya alternatif dari arus dan gelombang, serta sumberdaya alami untuk media transportasi, pertahanan, keamanan dan pariwisata (Mukhtasor 2006). Sumberdaya yang besar ini juga bisa menambah devisa negara dan banyak dilirik oleh pemodal besar. Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional.
6
Menurut Tuwo (2011) ekosistem pesisir dan laut terdiri dari: a. Terumbu karang merupakan bangunan kapur besar yang dibentuk dan dihasilkan oleh binatang karang organisme berkapur lainnya sehingga membentuk suatu ekosistem yang kompak sebagai habitat bagi biota-biota laut. Ekosistem karang berfungsi sebagai tempat penangkapan ikan-ikan hias yang sangat digemari oleh para penyelam. Secara ekonomis, berperan sebagai tempat penangkapan ikan, penghasil bahan konstruksi bangunan dan kapur, penghasil obat dan bahan kosmetik serta laboratorium untuk penelitian. Secara ekologis sebagai produser pertama, pelindung pantai dan habitat bagi berbagai biota laut. b. Ekosistem lamun yaitu satu-satunya angiospermae atau tumbuhan berbunga berdaun, batang dan akar sejati yang telah beradaptasi untuk hidup sepenuhnya di dalam air laut yang seringkali membentuk hamparan tumbuhan lamun yang menutupi suatu area pesisir atau laut dangkal menjadi padang lamun. Berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi memanfaatkan padang lamun sebagai tempat berlindung, memijah dan menghasilkan anak. c. Ekosistem mangrove adalah hutan pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Manfaat ekonomi yang diperoleh dari mangrove adalah kayu untuk bahan bangunan, kayu bakar, bahan arang, dan bahan pulp. Secara ekologis berfungsi sebagai pelindung pantai dari bahaya tsunami, penahan erosi, perangkap sedimen dan lain-lain. d. Ekosistem estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutup yang berhubungan dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan melalui sungai sehingga air laut yang berkadar garam tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Daerah ini menjadi tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut dan berfungsi sebagai perangkap zat hara, habitat bagi ikan dan udang sehingga dijadikan sebagai tempat penangkapan ikan dan udang, jalur transportasi, pemukiman dan pelabuhan Rezim kepemilikan sumberdaya pesisir dan laut bersifat akses terbuka (open access), artinya tidak ada pengaturan tentang apa, kapan, dimana, siapa dan bagaimana sumberdaya alam dimanfaatkan, serta bagaimana terjadinya persaingan
7
bebas (free for all) (Satria 2009). Sumberdaya alam pesisir dan laut semakin disadari banyak orang sebagai potensi yang cukup menjanjikan dalam mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Secara umum, wilayah pesisir dimanfaatkan oleh tiga aktor, yaitu oleh pemerintah, swasta dan juga nelayan. Biasanya pantai dan pesisir dimanfaatkan oleh nelayan untuk menangkap ikan dan pihak swasta untuk pertambangan, pengilangan minyak, industri, pariwisata, perkapalan dan transportasi. Laut dalam dikuasai negara untuk keperluan konservasi, pertahanan dan keamanan serta kehutanan. Nelayan memanfaatkan laut dengan menangkap ikan karang, ikan plagis dan ikan demersal. Biasanya mereka tergabung dalam armada kapal dan menggunakan kapal motor untuk memudahkan mereka menjangkau laut yang luas. Teknologi alat tangkap yang digunakan mempengaruhi pendapatan mereka. Nelayan yang menggunakan kapal motor biasanya memiliki pendapatan yang lebih tinggi dari pada nelayan yang menggunakan perahu (Patanda 2006). Masyarakat pesisir mengelola laut memang masih dengan cara tradisional. Mereka menganggap sumberdaya laut disekitarnya adalah milik mereka dan dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomi (Ginting 1998). Pemerintah juga berperan dalam pemanfaatan SDK untuk budidaya perairan seperti ekstensifikasi dan konversi hutan. Keluarnya UU No. 32/2004 telah memberikan wewenang secara nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah serta kesempatan untuk meningkatkan pembangunan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Otonomi daerah bagi berbagai kabupaten dapat menjadi peluang dalam menumbuhkembangkan pembangunan sumberdaya pesisir karena potensi wilayah pesisirnya yang besar. Provinsi diberi wewenang mengelola sejauh 12 mil laut, sementara kabupaten kota diberi wewenang 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi. Pemerintah membuat peraturan perundang-undangan baik aturan berupa dorongan investasi atau sanksi-sanksi pelanggaran pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pengalokasian sumberdaya pesisir dengan tetap memperhitungkan daya dukung ekologis. Pengalokasian ini dilakukan dengan menetapkan zona wilayah perlindungan (hutan mangrove, taman laut daerah) dan zona wilayah pemanfaatan. Selain itu,
8
pemerintah juga berperan dalam menetapkan suatu kawasan konservasi di suatu daerah perairan karena telah terjadi kerusakan lingkungan dan terjadinya overfishing di kawasan tersebut (Masyhudzhulhak 2006).
2.1.2
Pengembangan Ekowisata Bahari Pengertian pariwisata dalam arti luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili
untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar masyarakat maju dan sebagian kecil Negara berkembang. Pariwisata kemudian menjadi kanal yang tepat untuk membebaskan masyarakat dari tekanan fisik dan psikis serta semakin berkembang sejalan perubahan-perubahan sosial, budaya, ekonomi, teknologi dan politik (Damanik dan Weber, 2006). Secara ekonomi, Damanik dan Weber (2006) membagi keberadaan pariwisata muncul dari empat unsur pelaku yang terkait erat, yaitu: a) Permintaan atau kebutuhan. Unsur penting dalam permintaan wisata adalah wisatawan dan penduduk lokal yang menggunakan sumberdaya wisata. Waktu luang, uang, sarana dan prasarana merupakan permintaan potensial yang harus ditransformasikan menjadi permintaan riil, yakni pengambilan keputusan wisata. b) Penawaran atau kebutuhan berwisata itu sendiri; yaitu produk dan jasa. Melalui pasar, produk dijual kepada wisatawan seperti hotel, restoran, objek wisata dan lain-lain. Jasa adalah layanan
yang diterima wisatawan ketika mereka
memanfaatkan produk tersebut, seperti pembersihan kamar, cara penyajian makanan sampai penyediaan informasi. c) Pasar dan kelembagaan yang berperan untuk memfasilitasi keduanya. Pasar wisata yang faktual adalah unsur-unsur industri, sering juga disebut para pelaku pariwisata yang mempertemukan permintaan dan penawaran produk dan jasa wisata. d) Pelaku atau aktor yang menggerakkan ketiga elemen tersebut, yaitu wisatawan, industri pariwisata, pendukung jasa wisata, pemerintah, masyarakat lokal dan lembaga swadaya masyarakat.
9
Objek atau atraksi wisata adalah segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dilihat, yaitu panorama keindahan alam yang menakjubkan seperti gunung, lembah air terjun, danau, pantai, matahari terbit dan terbenam, cuaca dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keadaan alam sekitarnya. Objek wisata hasil manusia juga sering digunakan sebagai objek wisata seperti monumen, candi, bangunan klasik, peninggalan purbakala, museum, seni tari, seni musik, agama, adatistiadat dan lain-lain. Secara singkat, objek atau atraksi wisata adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan alam, kebudayaan, perkembangan ekonomi, politik dan sebagainya. Saat ini, salah satu jenis objek wisata yang sangat digemari adalah keindahan alam seperti laut, gunung, hutan, keanekaragaman flora dan fauna. Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata khusus yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya alam. Ekowisata juga diartikan sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES dalam Fandeli 2000). Ada tiga perspektif pandangan terhadap ekowisata yaitu: a) Ekowisata sebagai produk yang merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. b) Ekowisata sebagai pasar yag merupakan perjalanan yang diarahkan pada upayaupaya pelestarian lingkungan. c) Ekowisata sebagai pendekatan pengembangan yang merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Kegiatan ekowisata apabila dilakukan dengan sangat baik dan terencana, maka akan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi masyarakat dan daerah. Kehadiran wisatawan membawa dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat lokal. Potensi kawasan ekowisata menurut Tuwo (2011) dapat berupa (1) peningkatan peluang ekonomi, seperti meningkatkan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, berkembangnya usaha baru dan kerajinan barang lokal dan lain-lain (2) perlindungan sumberdaya
alam
dan
nilai
budaya
seperti
perlindungan
ekologis
dan
keanekaragaman, meningkatnya fasilitas lokal, pengembangan keuangan mandiri, melindungi dan melestarikan budaya-budaya lokal dan lain-lain (3) peningkatan
10
kualitas hidup seperti estetika, nilai-nilai, pendidikan, pemahaman antar budaya dan mendorong masyarakat lokal untuk menghargai lingkungannya. Ekowisata bahari merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berhubungan dengan sasaran antara lain melihat atau mengamati terumbu karang, berbagai jenis ikan, hewan-hewan kecil di laut yang dilakukan dengan cara antara lain “diving”, “snorkeling”, dan “swimming”. Kegiatan pariwisata ini harus didukung dengan penyediaan jasa transportasi, kapal pesiar, pengelola pulau kecil, pengelola taman laut, hotel, restaurant terapung, kawasan lepas, pantai, rekreasi pantai, konvensi di pantai dan di laut, pemandu wisata alam dan sebagainya. Kegiatan pariwisata ini juga membutuhkan fasilitas pendukung seperti jasa foto dan video, pakaian, peralatan olahraga, jasa kesehatan dan lain-lain. Konsep wisata pesisir dan bahari didasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat yang berbeda di setiap daerah (Garrod dan Wilson 2004 dikutip Tafalas 2010). Potensi ekosistem kawasan Karimunjawa sangat beragam dan unik baik di darat maupun di laut sehingga sangat menarik bagi wisatawan untuk berkunjung. Aryono (2003) menyatakan bahwa konsep pariwisata yang dikembangkan biasanya mengacu pada jenis pariwisata bahari, seperti yang terdapat di Karimunjawa, yaitu: 1. Kegiatan ekowisata bahari yang dikembangkan yaitu kegiatan berenang dengan menikmati perairan yang jernih dengan panorama pantai berpasir putih. a. Scuba Diving yaitu kegiatan di perairan yang dapat menikmati prasarana dan keindahan dalam laut, karang, ikan hias, dan lain-lain. b. Snorkelling yaitu kegiatan di perairan laut dengan menikmati keindahan panorama di bawah permukaan laut. c. Becak air yaitu kegiatan yang bersifat rekreasi yang tidak membutuhkan keahlian khusus seperti berenang. d. Ski air, yaitu kegiatan olah raga yang harus diimbangi dengan keterampilan sambil menikmati kegiatan rekreasi. e. Layar, yaitu kegiatan bersifat atraktif di permukaan laut dengan menggunakan fasilitas kapal layar dan diimbangi dengan menikmati pemandangan alam laut.
11
2. Kegiatan wisata pantai merupakan wisata pesisir dengan memanfaatkan pantai sebagai objek dan daya tarik wisata, seperti menikmati keindahan alam pantai, olah raga pantai dan sebagainya. Kegiatan yang bisa dikembangkan adalah sebagai berikut. a. Camping adalah kegiatan wisata yang bersifat menikmati keindahan alam langsung dan dapat mendirikan perkemahan. b. Jogging adalah kegiatan wisata yang bersifat olah raga seperti lari-lari kecil di pasir putih atau daerah dataran yang sejuk. c. Berjemur merupakan kegiatan santai di sepanjang pantai sambil menikmati panorama laut. d. Sand play adalah kegiatan wisata yang menggunakan sarana pasir. e. Photo hunting merupakan kegiatan yang bersifat atraktif dalam pengambilan dokumentasi dengan latar belakang panorama yang indah. Perencanaan pariwisata saat ini menjadi agenda yang sangat penting. Persaingan dalam penawaran produk wisata semakin meningkat. Perilaku wisatawan juga cenderung berubah sesuai dengan perubahan zaman. Hal ini berkaitan juga dengan minat, selera dan kebutuhan wisatawan. Oleh sebab itu perlu ditingkatkan lagi pengembangan perencanaan wisata agar mampu bersaing dengan pihak lain dan tetap memperhatikan kebutuhan konsumen wisata. Damanik dan Weber (2006) menyatakan bahwa sumberdaya alam dan sumberdaya budaya merupakan kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan dan harus dipelihara agar bisa digunakan lagi di masa mendatang. Pembatasan secara ketat kegiatan eksploitasi dalam pemanfaatan sumberdaya tanpa menyisakan kerusakan lingkungan hidup secara permanen harus diwujudkan dalam program pembangunan. Pembangunan sumberdaya wisata bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi pemangku kepentingan wisatawan dalam jangka panjang. Pariwisata hanya dapat berkelanjutan apabila komponen-komponen subsistem pariwisata, terutama pelaku pariwisata, mendasarkan kegiatannya pada pencarian hasil (keuntungan dan kepuasan) yang optimal. Kegiatan tersebut dilakukan dengan
12
tetap menjaga semua produk dan jasa wisata berkembang dan lestari dengan sangat baik. Syarat untuk mencapai pariwisata yang berkelanjutan adalah sebagai berikut. 1. Wisatawan mempunyai kemauan mengonsumsi produk dan jasa pariwisata secara efektif, dalam arti bahwa produk tersebut tidak diperoleh dengan mengeksploitasi secara eksesif sumberdaya pariwisata setempat. 2. Produk wisata didorong ke produk berbasis lingkungan. 3.
Kegiatan wisata diarahkan untuk melestarikan lingkungan dan peka terhadap budaya lokal.
4. Masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi dan monitoring pengembangan pariwisata. 5. Masyarakat juga harus memperoleh keuntungan secara adil dari kegiatan wisata. 6. Posisi tawar masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya semakin meningkat. Setiap kegiatan yang dilakukan pasti akan menimbulkan dampak, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Kegiatan ekowisata juga ikut mengakibatkan perubahan ekosistem sebagai basis dari kegiatan tersebut. Hal ini bisa terwujud dalam pencemaran, lingkungan yang tidak bersih, terjadinya penurunan kualitas air dan ikan dan lain-lain.
2.1.3
Perubahan Ekosistem Masyarakat pesisir kepulauan Indonesia telah mengalami berbagai kontak
dengan kebudayaan di luar komunitas mereka sehingga pengetahuan masyarakat semakin berkembang. Namun, pengetahuan dan teknologi peralatan yang cenderung eksploitatif juga ikut berkembang di masyarakat dan dijadikan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan mereka. Eksploitasi ini mengakibatkan penurunan daya lingkungan alam yang berbanding terbalik dengan tekanan akibat jumlah peningkatan populasi manusia. Kegiatan eksploitasi yang sering terjadi adalah pembuatan lahan pertanian pasang surut, tambak-tambak udang dan ikan serta daerah pertambangan. Reklamasi pantai untuk dijadikan tempat pemukiman, pabrik, pelabuhan dan lahan
13
wisata juga semakin banyak dilakukan yang mengakibatkan lahan pesisir semakin banyak kehilangan dukungan bagi keanekaragaman hayati alamiahnya dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat pesisir (Purba 2002). Aktivitas perekonomian utama yang menimbulkan permasalahan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan, yaitu (1) perkapalan dan transportasi (tumpahan minyak, limbah padat dan kecelakaan); (2) pengilangan minyak dan gas (tumpahan minyak, pembongkaran bahan pencemar, konservasi kawasan pesisir); (3) perikanan (overfishing, pencemaran pesisir, pemasaran dan distribusi, modal dan tenaga keahlian); (4) budidaya perairan (ekstensifikasi dan konservasi hutan); (5) pertambangan (penambangan pasir dan terumbu karang); (6) kehutanan (penambangan dan konservasi hutan); (7) industri (reklamasi dan pengerukan); dan (8) pariwisata (pembangunan infrastruktur dan pencemaran air). Pekerjaan nelayan dalam memanfaatkan laut dan pesisir dengan memburu ikan juga ikut berkontribusi dalam krisis ekologi pesisir. Hasil tangkapan mereka tidak dapat ditentukan kepastiannya karena semuanya hampir bersifat spekulatif. Masalah resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) terjadi karena laut adalah wilayah yang dianggap bebas untuk dieksploitasi (open access) (Subri 2005). Pemanfaatan SDK oleh berbagai aktor membuat ekosistem kawasan pesisir menjadi berubah. Kepemilikan SDK yang bersifat open access memicu terjadinya tragedy of the commons, kerusakan sumberdaya, konflik antar pelaku dan kesenjangan ekonomi (Satria 2009). Konsekuensi logis dari sumberdaya pesisir dan laut sebagai sumberdaya milik bersama (common property) dan terbuka untuk umum (open access) menjadikan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut semakin meningkat di hampir semua wilayah. Pemanfaatan yang demikian cenderung melebihi daya dukung sumberdaya (over exploitation) (Stefanus et al. 2007). Kegiatan pariwisata adalah salah satu kegiatan yang sangat potensial untuk pengembangan perekonomian negara dan masyarakat setempat. Namun jika pengelolaannya tidak memperhatikan lingkungan maka berpotensi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Kemajuan pesat yang dicapai dalam pembangunan guna
14
peningkatan taraf hidup masyarakat ternyata diiringi oleh kemunduruan kemampuan sumberdaya alam sebagai penyangga kehidupan. Pengembangan ekowisata juga dapat mendatangkan dampak positif berupa meningkatnya upaya reservasi sumberdaya alam, pembangunan taman nasional, perlindungan pantai dan taman laut serta mempertahankan hutan mangrove. Namun di lain pihak, pengelolaan kegiatan ekowisata yang kurang tepat dapat menimbulkan dampak negatif berupa polusi, kerusakan lingkungan fisik, pemanfaatan berlebihan, pembangunan fasilitas tanpa memperhatikan lingkungan dan kerusakan hutan mangrove. Pelaksanaan pembangunan yang semakin beragam sering menghasilkan produk sampingan berupa limbah sampah dan buangan lainnya. Peningkatan pembangunan telah mengakibatkan pergeseran pola pemanfaatan lahan dan tidak sesuai dengan kaidah penataan ruangan sesuai dengan daya dukungnya serta kesesuaian lahan. Sjafi’i (2001) menyatakan bahwa perubahan-perubahan ekosistem yang terjadi dengan adanya kegiatan wisata dapat dilihat melalui: 1. Perubahan tata ruang dalam pemanfaatan sumberdaya dalam pembangunan pariwisata juga terkait dengan pembangunan wilayah dan pembangunan sektor ekonomi. Kawasan pariwisata di wilayah pesisir telah banyak menghadirkan bangunan-banguan hotel-hotel berbintang bahkan di sepanjang jalan telah berdiri pelabuhan-pelabuhan, restoran-restoran, kios-kios tempat penjualan souvenir ataupun tempat hiburan lainnya. 2. Perubahan daya dukung wilayah pesisir. Apabila hal ini terjadi dikawasan yang padat penduduk serta melebihi kapasitas tampung, dimana tidak dimungkinkan lagi tersedianya lahan untuk pembangunan kawasan pariwisata, maka pemerintah akan mereklamasi daerah tersebut. Pengembangan suatu kawasan untuk kegiatan pariwisata bukan hanya dilihat dari kemegahan fisiknya tetapi yang lebih penting adalah bagaimana jenis, frekuensi dan kualitas dari agenda pariwisata sendiri. Jumlah penduduk terus bertambah sedangkan luas tanah tidak pernah bertambah. Pengembangan sarana dan prasarana wisata akan mempersempit ruang gerak penduduk untuk melakukan aktivitasnya.
15
Tuwo (2011) juga menyatakan bahwa pengenalan potensi ancaman yang berpeluang ditimbulkan oleh berbagai kegiatan pembangunan merupakan hal penting dalam penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Ancaman dapat berupa penurunan kualitas sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Ancaman terhadap perubahan ekosistem antara lain: 1. Sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan lahan dan pesisir untuk kegiatan pertanian, pertambangan pemukiman dan pembangunan sarana dan prasarana pariwisata serta pengusahaan hutan. Sedimen yang mengendap di daerah muara dapat menyebabkan pendangkalan yang serius di muara sungai. 2. Pencemaran daerah pesisir dapat disebabkan oleh bahan pencemar yang datang dari daerah pertanian, pemukiman, industri dan pertambangan. Limbah padat dan cair dari rumah tangga dan industri seperti industri pariwisata, merupakan bahan pencemar pesisir dan laut yang sulit dikontrol. Hal ini sesuai dengan pendapat Amelia (2009) yang menyatakan bahwa dampak kegiatan wisata yang sering terjadi adalah menurunnya kualitas air laut (warna perairan yang berubah, menimbulkan bau tak sedap, terdapat bakteri E. Coli, tercemar logam berat), abrasi pasir, serta penumpukan sampah dari kegiatan wisatawan yang menumpuk dan menyebar akan menurunkan kualitas lingkungan. 3. Degradasi habitat merupakan salah satu masalah serius bagi daerah pesisir yang merupakan dampak negatif dari aktivitas manusia seperti erosi. Erosi pantai dapat disebabkan oleh pembukaan pantai dan pembangunan infrastruktur sehingga mengurangi fungsi perlindungan terhadap pantai. Kegiatan penambangan batu karang untuk mendirikan bangunan dan jalan dapat memberikan kontribusi penting terhadap erosi pantai. 4. Degradasi sumberdaya dan keanekaragaman hayati
yang sangat menonjol di
daerah pesisir dan laut adalah kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang. Kerusakan hutan mangrove sejalan dengan aktivitas pembangunan seperti pemukiman dan industri. Terumbu karang mengalami banyak tekanan akibat pola pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan,
16
sekitar 70% karang telah mengalami kerusakan yang parah. Salah satu penyebabnya adalah adanya wisatawan yang sering mengoleksi keindahan dan keunikan karang sebagai hiasan. Padang lamun juga mengalami ancaman dari aktifitas manusia seperti alih fungsi pantai untuk pelabuhan dan limbah industri rumah tangga dan pertanian yang dibuang ke laut. Kekayaan flora dan fauna seringkali menjadi terancam dengan kehadiran wisatawan yang mengusik habitat mereka. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi krisis ekologi laut dan pesisir akibat pemanfaatannya. Dampak negatif juga timbul dari pemanfaatan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian seperti penangkapan ikan yang berlebihan, penangkapan ikan dengan bahan peledak serta pembuangan sampah kelaut. Jika laut tercemar maka kehidupan biota yang ada di dalamnya menjadi terancam. Bagi nelayan, keadaan ini sangat berbahaya dan akan berdampak bagi kehidupan perekonomian mereka karena nelayan menggantungkan hidupnya dari hasil penangkapan ikan di laut. Apabila kerusakan ini terjadi, maka daerah tersebut akan dikonservasi oleh pemerintah.
2.1.4
Perubahan Sosial dan Perekonomian Nelayan Satria (2009) mendefinisikan masyarakat pesisir yaitu masyarakat yang sama-
sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Mereka adalah nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan bahkan penjual ikan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Subri (2005) yang mendefinisikan nelayan sebagai suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia belum dapat memberi kekuatan dan peran yang kuat terhadap perekonomian serta peningkatan pendapatan masyarakat nelayan Indonesia. Kekayaan potensi perikanan memang sangat besar namun kehidupan nelayan yang dekat dengan potensi tersebut sebagian besar masih
17
hidup dalam kemiskinan. Kekurangberdayaan masyarakat pesisir disebabkan oleh tingkat pendidikan yang masih rendah, keterbatasan dalam menguasai teknologi, modal dan kelembagaan usaha. Hal ini tidak terlepas dari faktor kerentanan dan kepemilikan aset yang berpengaruh terhadap kehidupan nelayan. Kedua faktor inilah yang akan mempengaruhi aksesibilitas nelayan dalam mempertahankan hidupnya. Sahri et al. (2006) membagi aksesibilitas sosial ekonomi nelayan kecil kedalam lima modal, yaitu modal sumberdaya manusia, modal sumberdaya alam, modal ekonomi, modal fisik dan modal sosial. Aksesibilitas paling tinggi adalah modal sosial, artinya masyarakat nelayan memiliki integritas sosial yang tinggi. Sikap sosial ini terlihat dalam konteks ekonomi (arisan) dan keagamaan. Modal fisik, yaitu keberadaan pangkalan pendaratan ikan yang berfungsi untuk tempat pendaratan kapal ikan, tempat memperbaiki jaring, tempat pelelangan dan penjemuran ikan dan berbagai hal lainnya yang bertujuan memudahkan nelayan dalam bekerja. Modal SDM, yaitu pengetahuan nelayan tentang penangkapan ikan, misalnya menggunakan alat tangkap yang sederhana dan ada juga yang dilarang. Modal finansial, yaitu kemampuan nelayan mendapatkan modal untuk mengembangkan usaha. Hal ini mengindikasikan kemudahan nelayan untuk mendapatkan modal berusaha. Modal paling rendah adalah modal alam (stok ikan), artinya stok ikan sebagai salah satu aset nelayan kecil pada saat ini dalam kondisi yang sangat kritis (Sahri dkk. 2006). Keberadaan kegiatan ekowisata bahari sering menimbulkan pencemaran pesisir dan laut dari hasil sampah-sampah wisatawan serta pembangunan sarana dan prasarana wisata yang kurang memperhatikan daya dukung lingkungan. Hal ini bisa mengancam kehidupan biota laut dan berdampak pada penurunan modal alam (ketersediaan ikan). Apabila laut tercemar, maka kehidupan yang ada di dalamnya akan mengalami kerusakan biologis dan degradasi laut yang berkepanjangan sehingga produktivitas nelayan akan menurun. Jumlah ikan yang tersedia di laut menjadi berkurang dan kualitas air menjadi menurun. Hal ini tentu saja langsung berdampak pada penurunan jumlah pendapatan nelayan. Pemanfaatan sumberdaya kelautan (SDK) oleh berbagai aktor membuat akses nelayan terhadap laut semakin terbatas. Penetapan kawasan wisata di suatu daerah
18
pesisir dapat menyebabkan wilayah penangkapan nelayan menjadi semakin sempit akibat adanya penetapan zona wisata dikawasan tempat dimana nelayan biasanya menangkap ikan. Nelayan juga tidak diperkenankan melakukan fishing ground yang lebih jauh lagi. Keterbatasan modal yang dimiliki nelayan membuat nelayan hanya bisa melakukan penangkapan di sekitar pantai dengan alat yang sederhana. Keterbatasan ini mereka atasi dengan memanfaatkan secara maksimal daerah-daerah pesisir dan terumbu karang untuk mengeksploitasi ikan secara besar-besaran. Munculnya kegiatan wisata ternyata tidak hanya mengakibatkan perubahan pada ekosistem, tetapi juga membuka peluang kerja bagi masyarakat setempat. Sekalipun kegiatan ekonomi wisata ini belum mampu mengubah struktur mata pencaharian namun telah memberikan dampak positif berupa perluasan lapangan pekerjaan seperti mengembangkan usaha transportasi, akomodasi, rumah makan dan usaha cindera mata untuk menunjang kegiatan wisata.
Pengembangan kegiatan
ekowisata bahari di Raja Ampat misalnya memberikan dampak yang positif kepada masyarakat dan lingkungannya. Perilaku masyarakat untuk melindungi kawasannya dari kerusakan semakin positif karena masyarakat menyadari bahwa terumbu karang dan keindahan alam mereka dapat menjadi atraksi wisata yang mengagumkan sehingga dapat menambah pendapatan (Tafalas 2010). Kedatangan
wisatawan
yang
melakukan
kontak
dengan
penduduk
memberikan peluang transfer budaya baik dalam bentuk sikap maupun perbuatan dan tingkah laku. Fenomena perubahan ekosistem juga mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat pesisir khususnya nelayan. Berkurangnya ketersediaan ikan di laut membuat nelayan banyak yang beralih profesi menjadi pekerja di bidang yang lain seperti ikut serta dalam kegiatan ekowisata. Apabila musim atau cuaca sedang tidak bagus untuk melaut maka nelayan melakukan kegiatan ekowisata untuk menambah pendapatan. Hal ini membuat struktur masyarakat yaitu jumlah penduduk yang profesi utamanya sebagai nelayan menjadi berkurang. Ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi atau krisis ekologi juga harus diperbaiki kembali. Purnomowati (2001) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sistem pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) adalah suatu alternatif yang
19
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi segenap pengguna sumberdaya dan pihak-pihak yang terkait dalam upaya pengelolaan wilayah pesisir dalam rangka memanfaatkan sumberdaya pesisir secara lestari dan memperbaiki kerusakan akibat degradasi
lingkungan.
Pengelolaan
berbasis
masyarakat
menekankan
pada
pengetahuan dan kesadaran masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaan karena masyarakat lokal merupakan salah satu kunci keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam. Program-program yang dikembangkan harus mencerminkan preferensi, ketersediaan
sumberdaya
lokal,
dukungan
aturan
dan
kelembagaan
yang
memungkinkan lahirnya partisipasi aktif serta inovasi kreatif dari masyarakat. Penyusunan aturan-aturan lokal dan lembaga-lembaga yang bersifat formal dan nonformal merupakan salah satu bentuk alternatif pengelolaan SDK yang berkelanjutan dan memberi peluang partisipasi semua stakeholder. Solihin dan Satria (2007) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan yang berbasiskan kearifan lokal telah mampu menciptakan pembangunan yang berkelanjutan, terjaganya sumberdaya ikan dari kegiatan penangkapan yang merusak dan menjamin kelangsungan hidup masyarakat pesisir khususnya nelayan kecil. Penegakan hukum yang tegas bagi para pelanggar serta adanya kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh masyarakat membuat peraturan ini dapat dijalankan dengan baik sehingga tercipta ketertiban dan keamanan masyarakat. Hukum ini berisi larangan dan sanksi dimana yang menjadi kekuatannya adalah kesadaran kolektif dari masyarakat untuk melindungi hasil laut di wilayahnya. Lembaga-lembaga lain juga ikut dibentuk untuk menjaga kelestarian laut seperti AMPHIBI dan KPP. Kedua lembaga ini adalah lembaga keamanan swadaya masyarakat yang bersifat formal dan turut meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang mempercepat pelaksanaan pengelolaan terpadu berbasis masyarakat. Ketersediaan sumberdaya alam yang cukup besar dan lapangan pekerjaan yang luas merupakan potensi untuk menjadi kekuatan ekonomi. Tetapi jika potensi sumberdaya manusia (SDM) yang kurang menguntungkan baik dalam kuantitas dan kualitasnnya, maka pembangunan tidak bisa mengandalkan SDM dari daerah tersebut saja. Kondisi seperti ini menjadikan mobilitas penduduk menjadi salah satu aspek
20
pendorong pertumbuhan kawasan tersebut. Raharto (1999) mengatakan bahwa perkembangan perekonomian suatu daerah menjadi daya tarik bagi penduduk yang berada diluar daerah tersebut untuk melakukan migrasi dan mencari kehidupan yang lebih baik disana. Para migran tertarik untuk mengisi kesempatan-kesempatan ekonomi yang terbuka, terutama disektor industri dan jasa. Rusli (2010) mendefinisikan migrasi sebagai dimensi gerak penduduk geografis, spasial atau teritorial antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari tempat tinggal asal kepada tempat tinggal tujuan. Seseorang dikatakan melakukan migrasi jika ia melakukan pindah tempat tinggal secara permanen atau relative permanen dengan menempuh jarak minimal tertentu. Banyak faktor yang melatarbelakangi migrasi, salah satunya untuk memperoleh pekerjaan. Adanya pariwisata menurut Muriatmo (1992) dalam Marisa (2007) mendatangkan pendapatan devisa negara dan terciptanya lapangan pekerjaan yang berabrti mengurangi jumlah pengangguran serta adanya kemungkinann bagi masyarakat daerah wisata dan masyarakat di luar daerah wisata untuk meningkatkan pendapatan dan standar hidup mereka. Munculnya hotel-hotel, toko-toko, dan restoran di daerah wisata memberikan kesempatan kerja sehingga banyak penduduk di luar daerah wisata bermigrasi ke daerah wisata tersebut .
2.1.5
Pola Adaptasi Nelayan Perubahan lingkungan akibat pengembangan ekowisata juga berdampak pada
kehidupan masyarakat nelayan. Strategi yang digunakan untuk bertahan hidup adalah dengan melakukan adaptasi. Subri (2005) menyatakan bahwa dalam menghadapi perubahan lingkungan, manusia akan mengembangkan pola adaptasi yang berbentuk pola tingkah laku seperti perubahan strategi mata pencaharian. Tiga strategi mata pencaharian yang bisa dilakukan untuk memutus rantai persoalan nelayan menurut Satria (2009), yaitu (1) mengembangkan strategi nafkah ganda (2) mendorong ke laut lepas (3) mengembangkan diversifikasi alat tangkap. Ketiga strategi inilah yang bisa menjadi alternatif bagi nelayan untuk bertahan hidup ditengah rusaknya sumber mata
21
pencaharian mereka dan pembatasan akses pemanfaatan akibat aktivitas swasta dan keberadaan zonasi oleh pemerintah. Pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang dilakukan secara turun temurun dengan alat tangkap yang masih sederhana dan tradisional serta operasionalnya terbatas. Kehidupan nelayan yang memiliki ketergantungan pada lingkungan alam (musim) ini mengakibatkan nelayan tidak bisa melaut sepanjang tahun sehingga pendapatan mereka juga tidak pasti. Salah satu cara mempertahankan kelangsungan ekonomi rumah tangga nelayan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan diversifikasi pekerjaan yang tergantung pada sumberdaya-sumberdaya yang tersedia di desa-desa nelayan tersebut. Upaya untuk melakukan diversifikasi pekerjaan amat ditentukan oleh kemampuan nelayan yang bersangkutan untuk menghadapi berbagai tekanan dalam kehidupannya. Selain suami dan isteri, anakanak juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan mencari nafkah. Hal tersebut tidak lepas dari kondisi keterbatasan ekonomi rumah tangga mereka. Diversifikasi pekerjaan bagi keluarga nelayan memiliki makna yang sangat berarti bagi kelangsungan ekonomi rumah tangganya. Hal ini terkait dengan ketidakteraturan dan ketidakstabilan penghasilan mereka dari hasil melaut (Haryono 2005). Perubahan iklim seperti perubahan cuaca ekstrim yang tidak menentu dapat menimbulkan perubahan kecepatan angin dan ketinggian arus gelombang laut. Fenomena perubahan iklim ini berdampak pada usaha nelayan karena bisa mengurangi produktivitas dan pendapatan bagi nelayan. Perubahan cuaca dan iklim akan mengganggu perikanan dan kelautan. Nelayan tidak akan melaut pada cuaca yang buruk. Mereka akan menjadi buruh tani, tukang becak, buruh bangunan, berdagang dan pekerja serabutan untuk mengisi kekosongan pekerjaan dan mendapatkan penghasilan. Strategi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan juga bisa dilakukan dengan (a) pengembangan perikanan tangkap (b) peningkatan mutu hasil perikanan (c) pengembangan budidaya laut (d) pengembangan budidaya tambak. Nelayan yang tinggal di kawasan pariwisata bahari juga banyak melakukan diferensiasi pekerjaan. Kehadiran wisatawan bisa menambah pendapatan mereka
22
dengan mengusahakan alat transportasi, penginapan, pembuatan dan penjualan cinderamata. Masyarakat kapitalisme harus dibentuk jika ingin keluar dari keterbelakangan. Keterbelakangan ini disebabkan karena tidak adanya formasi kapital dan kesadaran atau mentalitas yang menawarkan perkembangan. Kemajuan terjadi bila orang-orang telah mengadopsi pikiran rasional, nilai-nilai yang berorientasi masa depan dan sistem etik. Aliran modernisasi dapat disejajarkan dengan teori-teori liberal, yaitu untuk mengejar ketertinggalan maka diperlukan strategi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perdagangan bebas. Keadaan inilah yang sedang terjadi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan memanfaatkan SDK secara maksimal, seperti penangkapan ikan secara besar-besaran, pertambangan, wisata bahari dan konservasi. Modernisasi yang dimaksud adalah kapitalisasi berupa perluasan teknologi yang lebih tinggi dalam meningkatkan hasil kerja (Sanderson 1993 dikutip Satria 2002). Nelayan yang mampu bertahan adalah nelayan yang bisa mengikuti modernisasi dengan perluasan teknologi yang lebih tinggi padahal tidak semua nelayan mampu memiliki modal yang cukup untuk memiliki teknologi tersebut. Berbagai alternatif telah dilakukan nelayan untuk bisa bertahan hidup, seperti perubahan alat tangkap, diversifikasi pekerjaan dan peningkatan keterampilan untuk meningkatkan nilai jual ikan. Adaptasi ini disesuaikan dengan kondisi daerah mereka masing-masing. Adaptasi alat produksi terlihat dari penurunan jumlah nelayan tanpa perahu dan peningkatan jumlah armada motor tempel atau kapal motor. Jumlah perahu meningkat dikarenakan ketersediaan ikan yang berkurang sehingga kapal motor tempel dan kapal motor ini diharapkan dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh untuk mendapatkan ikan yang banyak. Keterampilan nelayan juga semakin meningkat sehingga bisa menjadikan kualitas ikan semakin baik dan bernilai ekspor. Selain itu, nelayan tidak lagi bergantung pada Ponggawa dan mereka menjual tangkapannya kepada pedagang pengumpul dengan harga yang lebih tinggi.
23
2.2.
Kerangka Pemikiran Pesisir dan laut sangat bermanfaat bagi negara dan masyarakat lokal karena
kekayaan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya. Potensi laut dimanfaatkan untuk mengembangkan kegiatan perikanan oleh nelayan lokal. Kekayaan alam yang dimiliki juga sangat berpotensi untuk pengembangan kegiatan wisata bahari. Pembangunan kawasan pariwisata akan membawa perubahan bagi ekosistem akibat perubahan pemanfaatan lingkungan, daya dukung lingkungan dan ketersediaan ikan di laut. Perubahan ekologi tersebut akan berdampak pada kondisi perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat. Laut dan pesisir yang dijadikan sebagai objek tujuan wisata adalah tempat dimana nelayan melakukan kegiatan ekonominya, yaitu menangkap ikan. Keberadaan aktivitas ekowisata dan sarana maupun prasarana penunjangnya membatasi akses nelayan untuk menangkap ikan di tempat dimana mereka biasaya menangkap ikan. Pengaruh terhadap perekonomian nelayan akan dilihat dari jumlah hari melaut nelayan, jumlah hasil tangkapan ikan, tingkat pendapatan dari sektor perikanan serta peluang kerja di bidang sektor pariwisata. Struktur sosial masyarakat juga ikut berubah akibat perubahan ekologi seperti aturanaturan sosial dan tingkat migrasi. Dampak yang timbul akibat penyelenggaraan wisata bahari dapat bersifat negatif dan dapat juga bersifat positif. Aktivitas nelayan yang menjadikan laut sebagai sumber mata pencaharian serta kehadiran kegiatan pariwisata juga menyebabkan perubahan ekologi. Apabila menimbulkan dampak negatif, maka pengembangan ekowisata tersebut harus ditinjau kembali dan apabila menimbulkan dampak positif maka pengembangan tersebut ditingkatkan dan dipertahankan. Untuk tetap bertahan, maka nelayan harus melakukan strategi adaptasi berupa diversifikasi pekerjaan dan perubahan alat tangkap. Berdasarkan uraian di atas, kerangka pemikiran mengenai dampak pengembangan ekowisata bahari terhadap kehidupan sosial dan ekonomi nelayan di Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah selengkapnya disajikan pada Gambar 1.
24
Pemanfaatan kekayaan hayati dan keindahan fisik laut dan darat oleh sektor ekowisata bahari
Perubahan ekologi: - Pemanfaatan ruang - Daya dukung lingkungan
Ekonomi: - jumlah trip melaut - jumlah hasil tangkapan ikan -tingkat Pendapatan -peluang kerja
Sosial: - aturan-aturan sosial - tingkat migrasi
Pola adaptasi: - Diversifikasi pekerjaan - perubahan alat tangkap
Keterangan: mempengaruhi dianalisis secara deskriptif Gambar 1. Kerangka Berpikir
2.3
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa hipotesis
yang disoroti adalah: 1. Semakin rendah tingkat ekonomi nelayan maka semakin tinggi tingkat pola adaptasi yang dikembangkannya. 2. Semakin rendah jumlah trip melaut maka semakin tinggi diversifikasi pekerjaan. 3. Semakin rendah jumlah hasil tangkapan, maka semakin tinggi diversifikasi.
25
4. Semakin rendah jumlah hasil tangkapan maka semakin tinggi perubahan alat tangkap. 5. Semakin rendah pendapatan, maka semakin tinggi diversifikasi pekerjaan. 6. Semakin rendah pendapatan maka semakin tinggi perubahan alat tangkap.
2.4
Definisi Operasional
1.
Karakteristik responden adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu seperti umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, jumlah pendapatan dan pengalaman melaut menangkap ikan. 1.1 Umur, adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat penelitian dilaksanakan. Havighurst dan Acherman dalam Sugiah (2008) membagi usia menjadi tiga kategori: a. 18-30 tahun
kategori muda
diberi skor 1
b. 31-50 tahun
kategori sedang
diberi skor 2
c. > 50 tahun
kategori tua
diberi skor 3
1.2 Tingkat pendidikan yang dilihat saat penelitian dilakukan, dikelompokkan menjadi: a. Tidak sekolah- tidak tamat SD
kategori rendah
diberi skor 1
b. Tamat SD-tamat SMP
kategori sedang
diberi skor 2
c. Tamat SMA-perguruan tinggi
kategori tinggi
diberi skor 3
1.3 Jumlah anggota keluarga yang tinggal dan yang ditanggung oleh keluarga pada saat penelitian dilakukan (berdasarkan data BPS Karimunjawa 2011): a. ≥ 2
kategori kecil
diberi skor 1
b. 3-4
kategori menengah
diberi skor 2
c. > 4
kategori besar
diberi skor 3
1.4 Jumlah pendapatan nelayan yang diperoleh dari usaha penangkapan ikan dan dari
pekerjaan
sampingan
lainnya.
Berdasarkan
Survei
Base
Perekonomian Karimunjawa (2011), tingkat pendapatan dibagi menjadi: a. < Rp833.000,-
kategori rendah
diberi skor 1
b. Rp833.000-Rp 1.666.000
kategori sedang
diberi skor 2
Line
26
c. > Rp1.666.000,-
kategori tinggi
diberi skor 3
1.5 Pengalaman melaut merupakan lama waktu dalam satuan tahun yang dihabiskan oleh responden dalam aktivitas penangkapan ikan secara reguler: a. 7≤ x ≤18 tahun
kategori rendah
diberi skor 1
b. 18< x ≤ 29 tahun
kategori sedang
diberi skor 2
c. >29 tahun
kategori tinggi
diberi skor 3
2. Pemanfaatan ruang kawasan pesisir adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana penataan ruang kawasan pesisir untuk kegiatan wisata dan perikanan. 3. Tingkat daya dukung pesisir adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya serta keseimbangan antara keduanya. 4.
Peluang kerja adalah ketersediaan lapangan kerja yang siap diisi oleh para pencari kerja. Dalam penelitian ini adalah lapangan kerja yang bisa menambah pendapatan bagi para nelayan.
5.
Aturan-aturan sosial adalah aturan-aturan yang menjadi patokan dalam suatu kelompok masyarakat dengan batasan wilayah tertentu dan merupakan hasil dari kesepakatan-kesepakatan masyarakat sekitar.
6. Jumlah hari untuk melaut yaitu rata-rata aktifitas melaut selama 1 bulan, berdasarkan hari libur nelayan
yaitu hari Jumat dan setiap terang bulan,
dikelompokkan menjadi: a. < 20 hari
kategori rendah
diberi skor 1
b. 20-24 hari
kategori sedang
diberi skor 2
c. ≥ 25 hari
kategori tinggi
diberi skor 3
7. Jumlah hasil tangkapan ikan yaitu jumlah berat ikan dalam satuan kg yang bisa di dapatkan oleh nelayan dalam satu kali melaut. a. < 100
kategori rendah
diberi skor 1
b. 100-200
kategori sedang
diberi skor 2
c.
kategori tinggi
diberi skor 3
> 200
27
8.
Tingkat pendapatan dari hasil tangkapan setiap kali melaut adalah nilai jual yang diterima nelayan dari hasil tangkapan ikan.
9.
a.
< Rp50.000,-
kategori rendah
diberi skor 1
b.
Rp50.000-Rp100.000,- kategori sedang
diberi skor 2
c.
>Rp100.000,-
diberi skor 3
kategori tinggi
Tingkat perekonomian dalam sektor perikanan adalah kondisi perekonomian nelayan yang dilihat dari tiga variabel perekonomian yang diukur secara kuantitatif yaitu jumlah trip melaut, jumlah tangkapan dan tingkat pendapatan dari hasil jual ikan. Parameter pengukurannya dikategorikan menjadi rendahsedang-tinggi. Skor minimum
:1
Skor maksimum
:9
Selang a.
Interval 1 < x ≤ 3
kategori rendah
skor 1
b.
Interval 4 < x ≤ 6
kategori sedang
skor 2
c.
Interval 7 < x ≤ 9
kategori tinggi
skor 3
10. Tingkat adaptasi adalah kegiatan yang dilakukan nelayan dalam menyiasati perubahan ekonomi yang dibagi menjadi diversifikasi pekerjaan dan perubahan alat tangkap nelayan. Parameter pengukurannya dibedakan menjadi tinggirendah-sedang. Skor minimum
:1
Skor maksimum
:6
Selang a.
Interval 1 < x ≤ 2
kategori rendah
diberi skor 1
b.
Interval 3 < x ≤ 4
kategori sedang
diberi skor 2
c.
Interval 5< x ≤ 6
kategori tinggi
diberi skor 3
11. Diversifikasi pekerjaan adalah penerapan pola nafkah yang beragam dengan cara mencari pekerjaan lain selain perikanan untuk menambah pendapatan. a.
Tidak melakukan diversifikasi (rendah)
diberi skor 1
b.
Memiliki 1 pekerjaan sampingan (sedang)
diberi skor 2
28
c. 12.
Memiliki ≥ 2 pekerjaan sampingan (tinggi)
diberi skor 3
Tingkat partisipasi dalam kegiatan ekowisata adalah tingkat keikutsertaan nelayan dalam memanfaatkan peluang bekerja di bidang pariwisata.
13.
a.
Memiliki 1 pekerjaan di wisata (rendah)
diberi skor 1
b.
Memiliki 2 pekerjaan di wisata (sedang)
diberi skor 2
c.
Memiliki ≥ 3 pekerjaan di wisata (tinggi)
diberi skor 3
Tingkat perubahan alat tangkap adalah kegiatan mengubah alat menangkap ikan yang biasanya digunkan untuk menangkap ikan sebelum adanya kegiatan pariwisata. a.
Pancing
kategori rendah
diberi skor 1
b.
Kompressor
kategori tinggi
diberi skor 2
29
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 3.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode
kuantitatif dengan menggunakan survei melalui instrumen kuesioner digunakan untuk mengetahui bagaimana tingkat perubahan ekonomi dan adaptasi nelayan. Kuisioner yang telah disusun sebelumnya, diisi oleh responden, yaitu nelayan yang terlibat dalam pariwisata dan nelayan yang tidak terlibat dalam pariwisata. Kedua kelompok nelayan yang menjadi responden akan didata menyangkut kehidupan sosial dan ekonominya sebelum dan sesudah adanya kegiatan pengembangan ekowisata bahari. Data primer juga diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam, yaitu percakapan tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk berhadapan secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah tertentu. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi dari informan kunci, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah daerah serta diskusi dengan pakar dan praktisi lapangan. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik nelayan lokal, aspek sosial dan aspek ekonomi. Data sekunder merupakan hasil penelitian orang lain atau instansi lain dalam bentuk publikasi seperti laporan tahunan, literatur, dokumen, arsip baik secara time series maupun periode waktu tertentu. Data ini didapatkan dari Kantor Pusat Statistik, Dinas Pariwisata, Dinas Perikanan, kantor desa, Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) dan sebagainya di daerah tempat penelitan. Data ini meliputi jumlah kunjungan wisatawan, data kepariwisataan, jumlah penduduk, data perikanan dan data lainnya. Selain itu, informasi dan data berupa peta yang berhubungan dengan program pengembangan wisata bahari di kawasan tersebut juga ikut dikumpulkan.
30
3.1.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa,
Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) sesuai dengan kebutuhan penelitian. Lokasi ini dipilih karena merupakan salah satu daerah yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Desa ini memiliki luas 4.302, 50 ha dengan luas kawasan daratan sekitar 60 persen. Jumlah penduduknya adalah 4.137 dan 1.483 (45.44) berprofesi sebagai nelayan 1. Saat ini Karimunjawa juga dijadikan sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Jawa Tengah dan jumlah wisatawan yang berkunjung semakin bertambah sejak tahun 2007. Kawasan ini memiliki keindahan dan kekayaan alam yang ada untuk dikembangkan dalam sektor perikanan maupun pariwisata. Desa Karimunjawa juga dijadikan sebagai salah satu kawasan Taman Nasional Karimunjawa pada tahun 1999.
Pertimbangan lainnya adalah tersedianya data
pendukung yang dapat membantu peneliti dalam melakukan penelitian. Oleh karena itu dengan mengambil wilayah Desa Karimunjawa sebagai tempat penelitian, diharapkan dapat memberikan manfaat dan solusi dari permasalahan yang diteliti terhadap masyarakat Desa Karimunjawa. Studi lapangan dilakukan pada bulan AprilMei 2012.
3.1.2
Teknik Pengumpulan Data Populasi penelitian ini adalah nelayan lokal yang ada di Desa Karimunjawa,
Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Unit analisis penelitian ini adalah individu nelayan yang berada di daerah tersebut baik yang memanfaatkan ataupun yang tidak memanfaatkan pariwisata sebagai mata pencaharian sampingannya. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode pengambilan sampel aksidental yang didasarkan pada kemudahan untuk menemui responden. Metode aksidental adalah metode penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja (nelayan) yang secara aksidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, apabila nelayan yang ditemui cocok sebagai sumber 1
Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2007
31
data atau responden. Sampel yang terpilih karena berada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat (Prasetyo dan Jannah 2006). Metode ini dipilih karena kerangka sampel yang digunakan untuk dasar pemilihan sampel tidak tersedia. Nelayan memiliki waktu kerja yang tidak dapat diperkirakan oleh karena itu apabila menggunakan kerangka sampling akan sulit mendapatkan data dari sampel yang sudah ditentukan. Nelayan Karimunjawa ada yang mulai melaut pada pagi hari sampai sore hari dan ada juga yang melaut dari sore hingga pagi hari. Sebagian besar penduduk desa Karimunjawa berprofesi sebagai nelayan yang menggantungkan hidup pada hasil penangkapan ikan di laut. Sejak meningkatnya sektor pariwisata di Karimunjawa, sebagian besar nelayan memanfaatkan potensi ekowisata di daerah tersebut dengan menjadi tour leader, guide, penyewa alat selam, penginapan, warung makan, transportasi, membuat souvenir dan lain-lain. Sedangkan ada juga kelompok nelayan yang tetap bertahan hanya dengan memanfaatkan perikanan. Hal ini membuat nelayan terbagi menjadi dua, yaitu nelayan yang memanfaatkan kegiatan ekowisata dan nelayan yang hanya memanfaatkan usaha perikanan. Nelayan pariwisata adalah nelayan yang sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selain menggantungkan pada hasil penangkapan ikan di laut juga terlibat secara langsung dalam kegiatan pariwisata. Sedangkan nelayan non pariwisata adalah nelayan yang kegiatan sehari-harinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya hanya menggantungkan hasil penangkapan ikan di laut. Dengan mengetahui ciri-ciri dua kelompok nelayan (dilihat dari umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga,
pendapatan
keluarga
dan
pengalaman
melaut)
tersebut
akan
memperlihatkan dengan jelas perbedaan ukuran tingkat pemanfaatannya dari para nelayan yang aktif di kegiatan pariwisata dengan yang tidak aktif. Jumlah sampel yang akan dijadikan responden adalah sebanyak 50 orang yang terdiri dari 25 responden berasal dari nelayan pariwisata dan 25 orang responden dari keluarga non pariwisata. Jumlah ini cukup untuk memenuhi reliabilitas dan validitas data. Masing-masing responden akan didata tentang kondisi sosial dan ekonomi sebelum dan sesudah kegiatan ekowisata bahari. Untuk melihat perubahan ekologi di
32
daerah tersebut maka data yang akan dikumpulkan adalah panjang pantai berpasir, jumlah hasil tangkapan nelayan dan ketersediaan air bersih.
3.2
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif yang diperoleh melalui kuesioner kemudian diolah dengan
cara mengkode data, lalu dianalisis dengan menggunakan komputer. Selain pertanyaan yang bersifat kuantitatif, pada kuesioner juga terdapat pertanyaan kualitatif yang disajikan dalam bentuk pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Pertanyaan terbuka ditujukan untuk memperoleh data kualitatif dan pertanyaan tertutup untuk memperoleh data kuantitatif.. Data yang diolah merupakan data yang diturunkan dari kuesioner. Variabel yang diolah adalah variabel ekonomi dan adaptasi. Variabel ekonomi mengandung data mengenai jumlah trip melaut, jumlah hasil tangkapan ikan, dan tingkat pendapatan. Sedangkan variabel adaptasi mengandung data diversifikasi pekerjaan dan perubahan alat tangkap nelayan. Setiap pertanyaan diberi skor dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel frekuensi. Tabel frekuensi semua variabel digunakan untuk mengecek apakah jawaban responden atas satu pertanyaan konsisten dengan pertanyaan yang lain, mempermudah mendapatkan karakteristik responden serta dapat menentukan klasifikasi yang paling baik untuk tabulasi silang. Data tersebut kemudian diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan berdasarkan hipotesis yang ada. Adapun data kualitatif disajikan dalam bentuk deskriptif dalam teks dan kutipan langsung dari pernyataan responden yang mendukung data kuantitatif. Selanjutnya tabulasi silang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara dua variabel yaitu variabel
ekonomi
dan
pola
adaptasi
nelayan.
Data
tersebut
kemudian
diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan berdasarkan hipotesis yang ada. Hal ini dilakukan melalui verifikasi dengan cara memikirkan ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan lapang. Artinya, terdapat satu tahapan dimana proses menyimpulkan tentang penelitian ini dilakukan bersama dengan para informan yang merupakan subjek dalam penelitian ini dan yang telah menyumbangkan data dan informasi terhadap penelitian ini.
33
BAB IV GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN 4.1
Sejarah Lokasi Pulau Karimunjawa adalah pulau terbesar yang ada di kepulauan
Karimunjawa. Nama Karimunjawa digunakan untuk nama Desa Karimunjawa yang juga sebagai nama kecamatan Karimunjawa. Menurut cerita masyarakat setempat dan informasi yang diperoleh dari Pusat Informasi Wisata Karimunjawa, nama Karimunjawa berasal dari kata “kremun-kremun” yang artinya “samar-samar”. Nama ini diberi oleh Sunan Nyamplungan yang mempunyai nama asli Amir Hasan, putra Sunan Muria, yang diperintahkan untuk pergi ke salah satu pulau yang kelihatannya kremun-kremun dari puncak Gunung Muria dengan disertai dua orang abdi untuk menemani dan diberi bekal dua buah biji nyamplungan untuk ditanam. Perjalanan Amir Hasan yang memakan waktu yang lama dengan menyeberang laut akhirnya sampai ditempat yang dituju yaitu di sebuah pulau yang terlihat kremun-kremun. Amir Hasan kemudian menetap di sana. Kawasan ini masih termasuk kepulauan Jawa, maka pulau ini diberi nama “Karimunjawa” dan karena terdapat beberapa pohon nyamplung di sana, maka sampai sekarang masyarakat menyebut Amir Hasan dengan nama “Sunan Nyamplungan”.
4.2
Keadaan Umum Karimunjawa
4.2.1
Letak Geografis Secara geografis, Desa Karimunjawa terletak di kawasan TNKJ yang terletak
di koordinat 5°40’-5°57’ LS dan 110°04’-110°40’ BT dengan luas ± 111.625 ha. Luas Desa Karimunjawa sendiri adalah 4.624 Ha. Kecamatan Karimunjawa terdiri dari 27 pulau dan semuanya berada di perairan Laut Jawa. Secara admistratif Kecamatan Karimunjawa merupakan bagian dari Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Kawasan ini pada mulanya terdiri dari tiga desa yaitu Desa Karimunjawa, Desa Kemujan dan Desa Parang. Desa keempat yaitu Desa Nyamuk diresmikan oleh Bupati Jepara pada bulan Agustus 2011. Desa Karimunjawa sekaligus sebagai ibu
34
kota Kecamatan Karimunjawa. Desa Karimunjawa meliputi Pulau Karimunjawa dan Pulau Genting yang terdiri dari 8 dukuh yaitu Dukuh Karimunjawa, Dukuh Kapuran, Dukuh Legon Lele, Dukuh Jatikerep, Dukuh Alang-Alang, Dukuh Cikmas, Dukuh Kemloko dan Dukuh Genting ( Laporan Baseline Data Perekonomian Masyarakat di SPTN II Karimunjawa, 2011). Jarak antara kawasan Karimunjawa dengan Kota Jepara adalah 45 mil (± 83 km). Perjalanan menuju Karimunjawa dapat dilakukan dengan menggunakan KM Muria dan Ekspres Bahari dari Jepara serta KM Kartini I dari Semarang. Perjalanan dapat ditempuh selama 6 jam dengan menggunakan KM Muria dan 2 jam dengan Ekspres Bahari atau 3,5 jam dengan KM Kartini I. Penyeberangan dapat juga dilakukan dengan kapal nelayan, namun membutuhkan waktu yang relatif sangat lama. Adanya berbagai alternatif perjalanan ini serta tersedianya kapal ferry dengan jadwal keberangkatan setiap hari, kecuali hari Jumat, membuat kunjungan wisatawan semakin bertambah setiap tahunnya.
4.2.2
Kondisi Topografi Topografi kawasan Pulau Karimunjawa secara umum berupa dataran rendah
yang bergelombang atau berbukit-bukit dengan ketinggian antara 0-506 m dpl dan kawasan pantai yang datar. Daerah perbukitan terdapat di bagian tengah mulai dari bagian timur ke barat sampai ke selatan, khususnya daerah timur untuk perbukitan tinggi. Terdapat dua buah bukit yaitu Bukit Gajah dan Bukit Bendera yang merupakan puncak tertinggi dengan ketinggian ± 506 m dpl (Zonasi TNKJ 2012). Lahan yang berbukit tidak cocok untuk pemukiman karena kemiringan lerengnya yang terjal. Sebagian besar daerahnya terdiri dari batu pasir sehingga kegiatan pertanian dan peternakan tidak terlalu berkembang di desa ini.
4.2.3
Hidrologi Sepanjang kawasan Karimunjawa tidak ditemukan adanya sungai, danau, atau
telaga, namun terdapat lima mata air besar di Pulau ini, yaitu Kapuran (Pancuran Belakang), Legon Goprak, Legon Lele, Cikmas dan Nyamplungan yang
35
dimanfaatkan sebagai sumber air minum dan memasak oleh masyarakat sekitar. Masyarakat sering mengalami masalah kekurangan air apabila musim kemarau tiba atau saat kunjungan wisatawan meningkat. Hal ini terjadi karena minimnya tanggul penampung air yang tersedia. Arus musiman di sekitar Karimunjawa mengikuti pola arus di Laut Jawa yang tergantung pada beda tinggi muka laut di Samudera Pasifik (yang selalu lebih tinggi muka lautnya) dibanding dengan Samudera Hindia. Kuat arus pada musim barat dapat mencapai 0,35 meter/detik. Musim barat terjadi pada bulan Desember-Februari sedangkan musim peralihan barat ke timur terjadi pada bulan Maret-Mei. Kuat arus laut diperairan pesisir Jepara dan perairan Karimunjawa pada musim baratan secara umum bergerak dari barat/barat laut kearah timur/tenggara dengan kecepatan 0,5-0,75 meter/detik dengan ketinggian gelombang rata-rata berkisar 0,56-1,58 m. Hal ini membuat jumlah kunjungan wisatawan pada periode bulan tersebut sangat sedikit karena gelombang yang besar membuat kapal tidak bisa berangkat. Kondisi perikanan juga menjadi terganggu karena nelayan tidak bisa melaut. Akibatnya harga ikan mengalami lonjakan. Musim timuran terjadi pada bulan Juni-Agustus. Arus laut secara umum bergerak dari timur ke barat/barat laut dengan kecepatan 0,15 meter/detik. Musim peralihan timur ke barat terjadi pada bulan September-November, arus laut bergerak dari Barat/Barat Luat kearah timur/tenggara dengan kecepatan berkisar antara 0,250,5 meter/detik. Pada musim timuran, ketinggian gelombang mencapai 0,27-0,6 m. Gelombang yang tidak terlalu tinggi ini membuat kegiatan perikanan mulai normal dan kunjungan wisatawan meningkat. Nelayan bisa melaut lagi dan kapal yang melakukan penyeberangan Karimun-Jepara dan sebaliknya dapat berjalan lancar.
4.2.4
Keanekaragaman Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya TNKJ merupakan obyek wisata alam yang banyak dikunjungi karena
keanekaragaman flora dan fauna di daerah tersebut. Berdasarkan Laporan Zonasi TNKJ (2012) diketahui bahwa terdapat lima ekosistem di daerah tersebut yaitu ekosistem terumbu karang, padang lamun dan rumput laut, hutan mangrove, hutan
36
pantai serta hutan hujan tropis dataran rendah. Flora khas Karimunjawa adalah Dewadaru dan Kalimosodo
yang populasinya mulai menurun karena banyak
digunakan sebagai bahan baku industri kerajinan oleh masyarakat. Jenis fauna darat yang umumnya dijumpai adalah rusa, monyet ekor panjang, kalong besar, tikus pohon ekor polos, landak, musang rase. Terdapat 16 jenis reptil dan 2 amphibi, diantaranya jenis ular edor. Selain itu ditemukan 54 spesies burung yang tergabung dalam 27 famili, diantaranya pergam ketanjar, trocokan, dan betet Karimunjawa serta 22 spesies burung air migran yang melintasi kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Hampir di seluruh kepulauan Karimunjawa mempunyai ekosistem mangrove yang relatif masih asli dengan 44 spesies mangrove sejati yang termasuk dalam 25 famili. Struktur komunitas padang lamun Pulau Karimunjawa tersusun atas 9 spesies dengan penutupan 9 persen sampai 83,33 persen. Ekosistem terumbu karang terdiri dari tiga tipe terumbu, yaitu terumbu karang pantai, penghalang dan beberapa taka. Ekosistem terumbu karang di Kepulauan Karimunjawa terdiri atas 64 genera karang yang termasuk dalam 14 famili ordo sceractinian dan 3 ordo non sceractinan. Karakteristik ikan karang di Karimunjawa cukup unik. Secara total jumlah spesies ikan karang yang ditemukan adalah 353 spesies yang termasuk dalam 117 genus dan 43 famili. Selain itu ditemukan 2 spesies penyu yaitu penyu Hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricate). Keanekaragaman sangat berpotensi dan merupakan modal besar bagi pengembangan wisata alam di Karimunjawa. Keindahan flora dan fauna, terumbu karang yang masih bagus serta ikan karang yang beragam merupakan daya tarik yang diminati berbagai wisatawan. Keanekaragaman ekosistemnya yang tinggi menjadikan Karimunjawa sebagai tempat penelitian para akademisi, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
37
4.3
Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya
4.3.1 Kependudukan Karakteristik masyarakat Desa Karimunjawa diperlukan untuk mengetahui kondisi sumberdaya manusia sebagai penunjang dalam kegiatan wisata. Menurut Laporan Potensi Desa Karimunjawa (2011), jumlah penduduk Desa Karimunjawa adalah 4.996 orang yang terdiri dari 1.550 kepala keluarga, sehingga setiap keluarga rata-rata beranggotakan 3-4 orang. Penduduk Karimunjawa terdiri dari beragam suku yaitu Jawa, Bugis, Bajo, Madura dan Baton. Desa Karimunjawa merupakan desa yang paling besar kepadatan penduduknya dibandingkan ketiga desa lainnya di Kecamatan Karimunjawa, yaitu Desa Kemujan, Desa Parang dan Desa Nyamuk. Secara keseluruhan, kepadatan penduduk Desa Karimunjawa sebesar 0,925 per ha. Perkembangan jumlah penduduk Desa Karimunjawa dari tahun 2008 sampai tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa Karimunjawa Tahun 2008-2011 Tahun N 2008 4.137 2009 4.328 2010 4.446 2011 4.996 Sumber: BPS Jepara 2011
Menurut data Pemkab Jepara (2011), jumlah penduduk laki-laki adalah 2.781 orang dan jumlah penduduk perempuan adalah 2.215 orang dengan Rasio Jenis Kelamin (RJK) sebesar 126 yang artinya dari setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 126 orang penduduk laki-laki. Melalui data ini maka jumlah penduduk lakilaki di Desa Karimunjawa lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan. Penduduk Desa Karimunjawa sebagian besar memiliki mata pencaharian di sektor perikanan. Selain itu ada juga di sektor pertanian, pegawai negeri, buruh/swasta, pengrajin, pedagang dan peternak. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Desa Karimunjawa tahun 2011 disajikan dalam Tabel 2.
38
Tabel 2. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian di Desa Karimunjawa Tahun 2011 Pekerjaan n % Pertanian 661 22,63 Buruh/swasta 83 2,84 Pegawai negeri 332 11,36 Pengrajin 30 1,02 Pedagang 30 1,02 Peternak 27 0,92 Nelayan 1.750 59,93 Montir 5 0,17 Dokter 2 0,06 Jumlah 2920 100,00 Sumber: BPS Jepara 2011
Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa penduduk Desa Karimunjawa sebagian besar bekerja di sektor perikanan, yaitu sekitar 59,93 persen, kemudian di sektor pertanian sekitar 22,63 persen dan sektor pegawai negeri sekitar 11,36 persen. Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang sangat mendukung karena kondisi alam yang di kelilingi oleh lautan. Nelayan di Karimunjawa adalah nelayan tradisional dan mulai sekitar tahun 2005 menggunakan pancing sebagai alat tangkapnya. Sebelumnya nelayan menggunakan potasium, muroami dan kompressor untuk menangkap ikan. Hal ini membuat kondisi karang di Karimunjawa menjadi rusak sehingga jumlah ikan yang tersedia semakin sedikit. Jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani tidak terlalu banyak karena kondisi alam yang kurang mendukung untuk usaha pertanian. Berdasarkan Data Potensi Desa Karimunjawa, hanya terdapat 17 ha lahan sawah tadah hujan. Pengrajin yang ada di Desa Karimunjawa adalah pengrajin yang membuat keris, tongkat, stik komando dan tasbih yang sangat diminati oleh wisatawan sebagai kerajinan khas Karimunjawa.
39
4.3.2
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan di Desa Karimunjawa masih tergolong rendah karena
tidak adanya fasilitas pendidikan yang memadai di Pulau Karimunjawa. Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan juga masih rendah, terutama pada penduduk berusia tua dan sedang. Hal ini terjadi karena fasilitas sekolah SMP baru dibangun pada tahun 1985 dan SMK pada tahun 2004 sehingga dalam kurun waktu sebelum pembangunan tersebut masyarakat tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang memadai. Selengkapnya pada Tabel 3 akan disajikan data tingkat pendidikan penduduk Desa Karimunjawa pada tahun 2011.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Karimunjawa menurut Tingkat Pendidikan, Tahun 2011 Tingkat Pendidikan Penduduk N % Buta huruf 40 1,9 Tidak tamat SD/sederajat 155 7,6 Tamat SD/sederajat 1213 59,8 Tamat SLTP/sederajat 421 20,7 Tamat SLTA/ sederajat 206 10,2 Tamat D3 4 0,2 Tamat D2 12 0,6 Tamat D3 5 0,2 Tamat S1 36 1,8 Tamat S2-S3 0 0,0 Jumlah 2029 100,0 Sumber: BPS Jepara 2011
Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa sebagian besar pendidikan penduduk hanya tamat SD/sederajat dan tamatan SLTP/sederajat. Tingkat pendidikan yang masih rendah ini membuat sumberdaya manusia di desa tersebut juga masih rendah. Selain karena fasilitas pendidikan yang belum memadai, tingkat pendidikan yang rendah juga disebabkan karena penduduk desa tersebut telah memulai aktifitas melautnya sejak usia SMP.
40
4.3.3
Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang ada dalam suatu wilayah sangat diperlukan untuk
menunjang kegiatan pembangunan di wilayah tersebut. Sarana dan prasarana yang ada di Desa Karimunjawa diantaranya adalah sarana dan prasarana peribadatan, transportasi dan komunikasi, ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Kelengkapan sarana dan prasarana ini sangat dibutuhkan dalam menunjang pengembangan pariwisata di Karimunjawa. Penduduk Karimunjawa mayoritas memeluk agama Islam, yaitu 4.964 orang dan 31 orang yang beragama Kristen. Saat ini terdapat 6 unit Masjid dengan 15 unit mushola dan 1 unit gereja Kristen. Kuatnya ajaran agama dalam kehidupan masyarakat diharapkan menjadi penggerak pembangunan yang dapat menghasilkan dampak positif yang besar. Hubungan antar umat beragama berjalan dengan baik dan rukun. Hal ini terbukti dari tidak adanya konflik yang pernah terjadi karena permasalahan agama. Kedua agama dapat menjalankan kegiatan keagamaannya tanpa ada gangguan dari pihak lain. Wisatawan religi juga sering datang ke Karimunjawa. Mereka mengunjungi makam Sunan Nyemplungan, yaitu seorang Sunan yang menemukan Pulau Karimunjawa, untuk berdoa di makam tersebut. Prasarana transportasi yang terdapat di Desa Karimunjawa terdiri dari jalan darat dan laut. Ketersediaan sarana ini untuk mendukung kegiatan perekonomian masyarakat. Jalan Desa Karimunjawa telah diaspal sepanjang 20 km. Sarana transportasi darat yang digunakan adalah bus umum, angkutan pedesaan, ojek dan becak. Jembatan perahu dibangun untuk mendukung transportasi laut dan saat ini telah ada 4 unit. Transportasi laut yang digunakan adalah perahu motor, kapal antar pulau, perahu tanpa motor dan perahu layar. Transportasi laut ini digunakan untuk mengangkut penduduk dan wisatawan dan mengangkut ikan hasil tangkapan nelayan ke Jepara. Jenis sarana dan prasarana komunikasi yang terdapat di Desa Karimunjawa terdiri dari telepon umum, wartel, kantor pos pembantu, radio dan televisi. Mini bus dan becak yang digunakan oleh penduduk, juga digunakan untuk angkutan wisatawan karena wisatawan yang berkunjung tidak membawa kendaraan pribadi. Sejak adanya jaringan telekomunikasi, jumlah penduduk yang memiliki
41
telepon pribadi semakin meningkat. Sejak itu juga, jumlah kunjungan wisatawan semakin meningkat. Kelancaran aktivitas perekonomian masyarakat dapat ditingkatkan dengan pengadaan sarana dan prasarana perekonomian karena ketersediaan sarana dan prasarana ini, masyarakat dengan lancar dapat melaksanakan aktivitasnya. Berikut Tabel 4 akan disajikan data mengenai sarana dan prasarana perekonomian masyarakat di Desa Karimunjawa beserta jumlah tenaga kerjanya.
Tabel 4.
Jumlah Tenaga Kerja Desa Karimunjawa menurut Lembaga Perekonomian Masyarakat di Desa Karimunjawa Tahun 2011 Lembaga Perekonomian Jumlah Jumlah Tenaga Kerja Koperasi 1 16 Industri kerajinan 1 50 Industri makanan 10 50 Warung makan 5 30 Toko 16 32 Warung kelontong 3 6 Angkutan 20 30 Pasar 1 Tengkulak 30 Usaha perikanan 10 20 Kelompok simpan pinjam 2 120 Sumber: BPS Jepara 2011
Desa Karimunjawa memiliki sebuah Koprerasi Unit Desa Mina (KUD-Mina) yang diberi nama KUD Minoroso Sejati. KUD ini memberikan pelayanan terhadap berbagai kebutuhan masyarakat. Industri kerajinan yang ada saat ini menghasilkan produk seperti tongkat, keris dan tashbih, khas Karimunjawa. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan, YN (48) dan AF (42), usaha souvenir dan kerajinan ini dimulai pada tahun 1986. Bahan dasar produk tersebut adalah sdiki, kalimasodo dan dewa daru. Jumlah anggota pengrajin ini terus mengalami penurunan. Jumlah anggota pada tahun 1986 adalah 40 orang, namun mulai dari tahun 2005 sampai sekarang hanya tinggal 20 anggota. Kendala yang dialami saat ini adalah susah mencari
42
penerus yang mengerti tentang cara pembuatan stik, keris, tongkat dan tasbih tersebut. Jumlah warung makan dan toko terus berkembang setelah adanya peningkatan kunjungan wisatawan. Penginapan yang ada di Desa Karimunjawa biasanya hanya menyediakan sarapan untuk pengunjungnya dan pada malam hari, wisatawan harus mendapatkan makanan sendiri di warung makan. Angkutan yang ada di Karimunjawa dulunya hanya digunakan oleh penduduk Karimunjawa yang ingin melakukan perjalanan ke tempat lain di pulau tersebut. Namun setelah adanya peningkatan kunjungan wisatawan, angkutan itu banyak disewakan untuk wisatawan. Sarana dan prasarana pendidikan yang terdapat di Desa Karimunjawa mulai dari Taman
Kanak-Kanak
(TK)
hingga
Sekolah
Menengah
Kejuruan
(SMK).
Selengkapnya disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Jumlah Fasilitas Pendidikan menurut Jenis Sarana Pendidikan di Desa Karimunjawa Tahun 2011 n Rasio Jenis Sarana Guru/Murid Sekolah Siswa Guru Taman Kanak-Kanak (TK) 2 73 4 18,25 SD Sederajat 7 1260 45 28 SLTP 1 324 17 19,05 SMK 1 274 23 11,91 Lembaga pendidikan dan agama 5 557 20 27,85 Sumber: BPS Jepara 2011 Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa sarana pendidikan di Desa Karimunjawa ini dapat dikatakan belum cukup memadai karena setiap tingkat pendidikan formal seperti SD, SMP dan SMK sudah ada di desa ini. Terdapat 7 unit SD jarak masingmasing SD yang berjauhan dan tidak merata di setiap dukuh. Penurunan jumlah siswa di setiap j enjang pendidikan terjadi karena banyak siswa yang berhenti tamat SD atau setelah tamat SD dan sebagian ada juga yang melanjutkan pendidikan di jenjang SMP dan dan melanjutkan SMA di luar Karimunjawa. Kondisi wilayah yang dikelilingi lautan dan sulitnya transportasi membuat Kepulauan Karimunjawa sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan. Jumlah sarana
43
kesehatan yang terdapat di Desa Karimunjawa masih kurang memadai dibandingkan jumlah penduduknya, yaitu 1 puskesmas dan 1 puskesmas pembantu, 1 apotik dan 10 posyandu. Air bersih yang digunakan berasal dari 2 mata air, salah satunya dari mata air dari Dukuh Legon Lele. Listrik di Desa Karimunjawa diperoleh dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel dengan produksi 500 KVA dan tenaga surya. Penggunaan listrik sangat tergantung pada jumlah kehadiran wisatawan. Apabila terjadi peningkatan wisatawan, maka produksi listrik yang digunakan adalah 400 KVA sedangkan jika jumlah wisatawan sangat sedikit maka listrik yang digunakan sekitar 200KVA. Masyarakat hanya dapat memanfaatkan listrik selama 12 jam, yaitu dari jam 18.00-06.00 WIB. Setiap hotel memiliki diesel sendiri, namun kadang pihak hotel juga menggunakan PLTD desa sehingga mengurangi jatah penduduk. Sumber listrik lain yang digunakan adalah listrik desa (dulunya adalah milik Telkom) yang hanya bisa digunakan pada siang hari.
44
BAB V KONDISI PARIWISATA DAN PERIKANAN DI KARIMUNJAWA 5.1
Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Kepulauan Karimunjawa memiliki ekosistem yang masih asli dan
keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga harus dipertahankan sebagai aset nasional dan daerah. Awalnya kawasan Karimunjawa ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut Karimunjawa pada tanggal 9 April 1986 melalui SK Menhut No. 123/KptsII/1989 seluas 111.625 ha yang meliputi 110.117,30 ha kawasan perairan dan 1.507,70 ha kawasan darat. Sehubungan dengan tingginya tingkat kepentingan berbagai sektor maka dilakukan perubahan fungsi dari Cagar Alam menjadi Taman Nasional Karimunjawa melalui SK Menhut No. 78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Februari 1999. Perubahan dilakukan pada tahun 2001. Seluruh kawasan perairan di TNKJ ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam perairan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 74/Kpts-II/2001 (Zonasi TNKJ 2012). Pengelolaaan TNKJ dilakukan berdasarkan sistem penataan zonasi yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006. Awalnya TNKJ hanya dibagi menjadi empat zonasi yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan dan zona penyangga. Perubahan zonasi dilakukan pada tahun 2004 karena zonasi yang ada dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan, belum mengakomodir berbagai kepentingan pengelolaan terutama dari aspek ekologi, sosial ekonomi serta budaya termasuk kearifan lokal yang menyebabkan banyak terjadinya tumpang tindih kebijakan berbagai pihak. Perubahan tersebut menggunakan pendeketan yang menyeluruh, konsultatif dengan visi bersama dan satu proses koordinasi yang terencana dan dinyatakan melalui SK Direktur Jendral PHKA No. 79/IV/Set-3/2005. Zona yang ditetapkan yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan pariwisata, zona budidaya, zona rehabilitasi, zona pemukiman dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Zonasi 2005 direvisi kembali pada tahun 2009 karena zonasi tahun 2005 belum mengakomodir pulau-pulau kecil serta dianggap kurang tepat baik tempat
45
maupun luasnya. Perubahan zonasi yang ditetapkan terdiri dari zona inti dan zona rimba, zona perlindungan bahari (untuk wilayah perairan), zona pemanfaatan darat, zona pemanfaatan wisata bahari, zona budidaya bahari, zona religi, budaya dan sejarah, zona rehabilitasi, dan zona tradisional perikanan.
5.1.1
Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2005 Zonasi pada tahun 2005 memuat tentang tujuh zona di kawasan TNKJ .
Berikut zonasi TNKJ tahun 2005 disajikan pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Zonasi TNKJ Tahun 2005 Zona
Zona Inti
Luas (Ha)
444.629
Zona Perlindungan
2.587.711
Zona Pemanfaatan Pariwisata
1.226.525
Zona Pemukiman Zona Rehabilitasi
2.571.546
Zona Budidaya
122.514
788.213
Zona 103.883.862 Pemanfaatan Perikanan Tradisional Jumlah 111.625.000 Sumber: Zonasi TNKJ 2012
%
Lokasi
0,4 Sebagian Perairan P.Kumbang, Taka Menyawakan, Taka Malang dan Tanjung Bomang 2,32 Hutan hujan tropis dataran rendah di Pulau Karimunjawa dan hutan mangrove di Pulau Kemujan. Perairan P. Gleang, P. Burung, Tanjung Gelam, P. Sintok, P.Cemara Kecil, P.Katang, Gosong Selikur, Gosong Tengah. 1,10 Perairan P. Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil, P. Menyewakan, P. Kembar, P. Tengah, sebelah timur P. Kumbang, P. Bengkoang, Indonor dan Karang Kapal. 2,30 P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Parang dan P. Nyamuk. 0,11 Perairan sebelah timur P. Parang, sebelah timur P. Nyamuk, sebelah barat P. Kemujan dan sebelah barat P.Karimunjawa 0,71 Perairan P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Menjangan Besar, P. Parang dan P. Nyamuk 93,07 Seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di dalam kawasan TNKJ. 100,0
46
Zona inti merupakan zona terkecil, yaitu 0,4 persen namun mempunyai kondisi alam baik biota dan fisiknya masih asli, belum diganggu oleh manusia dan mutlak dilindungi. Fungsi zona ini untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati dan ekosistem perairan laut yang khas/alami/unik dan biota laut lainnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan serta sebagai plasma nutfah dari biota laut untuk kepentingan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan budidaya. Adapun kegiatan yang tidak boleh dilakukan adalah penangkapan atau pengambilan sumberdaya laut seperti karang, ikan karang, penyu dan biota laut lainnya baik hidup maupun mati serta penggunaan sarana wisata bahari. Zona perlindungan yang luasnya 2,32 persen merupakan bagian taman nasional yang mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan karena letak, kondisi dan potensinya. Fungsi zona ini sebagai wilayah untuk kepentingan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan budidaya serta mendukung zona inti.
Kegiatan yang dilarang dalam zona ini adalah
penangkapan atau pengambilan sumberdaya laut seperti karang, ikan karang, penyu dan biota laut lainnya baik hidup maupun mati serta penggunaan sarana wisata bahari. Zona pemanfaatan perikanan tradisional adalah zona terluas, yaitu 93,07 persen dari luas TNKJ.
Kawasan perairan ini diperuntukkan sebagai daerah
pemanfaatan perikanan tradisional. Aktivitas yang boleh dilakukan adalah kegiatan pemanfaatan perikanan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. Aktivitas yang tidak boleh dilakukan di zona ini adalah semua kegiatan di zona inti dan introduksi jenis biota serta penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (muroami, jaring pocong, jaring cantrang, sianida). Zona pemanfaatan pariwisata yang memiliki luas 1,10 persen dari luas TNKJ, adalah bagian taman nasional
yang dimanfaatkan untuk kepentingan
pariwisata alam dan jasa lingkungan. Peruntukan zona ini adalah untuk pengembangan aktivitas pariwisata alam dan rekreasi yang berwawasan lingkungan, penelitian, dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, pendidikan dan
47
penunjang budidaya. Kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini adalah perlindungan dan pengamanan, inventarisasi dan monitoring ekosistem, penelitian, pengembangan potensi wisata, pembinaan habitat dan populasi, pengusahaan pariwsata alam dan jasa lingkungan. sedangkan kegiatan yang tidak boleh dilakukan adalah menghilangkan fungsi dan luas zona inti, melakukan penangkapan biota laut, penambatan kapal dengan jangkar serta penggunaan sarana wisata yang merusak ekosistem. Zona budidaya yang miliki luas 0,71 persen dari luas TNKJ adalah kawasan perairan yang diperuntukan guna kepentingan budidaya perikanan, misalnya keramba jaring apung, budidaya rumput laut dan budidaya kerapu bibit alami. Aktivitas yang tidak diperbolehkan adalah secara sengaja atau tidak sengaja mengambil, mengganggu atau memindahkan biota baik yang masih hidup atau mati. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan. Selanjutnya dalam perkembangannya dapat diubah menjadi zona lain seperti zona wisata bahari atau zona lainnya. Zona pemukiman yang memiliki luas 2,30 persen luas TNKJ adalah bagian taman nasional yang dijadikan areal pemukiman masyarakat sebelum taman nasional ditunjuk. Peruntukannya adalah untuk mengakomodir masyarakat asli/setempat yang telah bermukim sejak sebelum taman nasional tersebut ditunjuk. Kriteria zona ini adalah kawasan pemukiman yang sudah ditempati masyarakat asli sebelum taman nasional ditunjuk dan kawasan yang mampu mendukung pemukiman masyarakat setempat agar tidak menekan kebutuhan ekosistem pada zona yang lain yang ada dalam taman nasional.
5.1.2
Ancaman Kerusakan Ekologi dan Perubahan Zonasi TNKJ Pengelolaan kawasan TNKJ dilakukan berdasarkan prinsip perlindungan,
pengawetan dan pemanfaatan. Namun upaya pengelaloaan tersebut masih mengalami berbagai permasalahan. Berbagai dinamika ekologi, sosial dan ekonomi berkontribusi terhadap permasalahan pengelolaan kawasan TNKJ.
48
Sumber: Zonasi TNKJ 2012 Gambar 2. Dinamika Perubahan di Kawasan TNKJ Tahun 2005-2009
Berdasarkan Gambar 2, tutupan karang keras dari tahun 2004 hingga 2009 mengalami peningkatan, yaitu dari 43,5 persen menjadi 54,5 persen. Kenaikan persentase penutupan karang mungkin disebabkan oleh berkurangnya penangkapan ikan menggunakan potasium sianida maupun rendahnya aktivitas antropogenik. Akan tetapi penutupan tersebut tidak diikuti dengan biomassa ikan karang dan kelimpahan ikan karang. Biomassa ikan karang dan kelimpahan ikan karang mengalami penurunan di semua zona yang ada di TNKJ. Selama periode tahun 2007-2009 terjadi penurunan signifikan (25,5 persen yaitu 480,25 kg/ha pada tahun 2005 menjadi 200,30 kg/ ha pada tahun 2009) biomassa ikan karang di kawasan ini. Pada periode yang sama kelimpahan ikan karang mengalami penurunan sebesar 13,4 persen yaitu dari 6000 individu per ha menjadi 4000 individu per ha. Ini berarti ikan yang ada di kawasan tersebut semakin sedikit jumlahnya dan ukurannya semakin kecil. Biomassa ikan penting seperti kerapu, baronang, ekor kuning dan kakap juga mengalami penurunan. Hal ini diduga disebabkan oleh penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan berupa cantrang, muroami, kompressor dan panah (kompressor). Melihat kondisi tersebut, maka zona inti dan zona perlindungan dirasakan sangat kecil dan belum mampu menjamin kelangsungan kelestarian potensi
49
sumberdaya alam yang ada. Selain itu, lokasi zona inti belum dapat mewakili seluruh kawasan. Guna kepentingan konservasi sumberdaya alam yang ada maka penambahan luas dan jumlah lokasi zona inti mutlak harus dilakukan. Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan BTNKJ bersama Wildlife Conservation Society (WCS) menunjukkan peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap zonasi pada tahun 2005 dan 2009. Persepsi masyarakat tentang dampak zonasi terhadap sumberdaya alam mereka rasakan sangat tinggi. Namun persepsi tersebut bertolak belakang dengan persepsi dampak zonasi terhadap mata pencaharian mereka. Masyarakat berpikir zonasi yang ada merugikan mereka mencari ikan. Banyak tempat-tempat yang merupakan sumber ikan telah dijadikan zona inti dan zona perlindungan. Tingkat pengetahuan yang meningkat terhadap zonasi ini juga tidak dibarengi dengan tingkat kepatuhan yang meningkat. Secara umum tingkat kepatuhan di zona inti maupun zona perlindungan mengalami penurunan dari tahun 2003-2009. Artinya tingkat pengetahuan yang tinggi tidak diikuti tindakan nyata untuk tidak melakukan aktivitas perikanan di zona inti maupun zona perlindungan. Kawasan TNKJ adalah salah satu tujuan utama wisata di Jawa Tengah dan diprioritaskan untuk pengembangan wisata serta menunjang aktivitas pendidikan, penelitian dan budidaya. Potensi wisata darat yang tersedia antara lain hutan hujan tropis dataran rendah dan mangrove memungkinkan untuk dikembangkan menjadi objek penelitian wisata alam dan pusat penelitian. Sebagian pulau-pulau di kawasan TNKJ merupakan lahan milik masyarakat yang harus dipertahankan aksesibilitasnya. Pulau-pulau tersebut memerlukan lokasi yang tepat untuk menambatkan kapal dan jetty. Namun sebagian dari wilayah perairan di pulau tersebut adalah zona perlindungan dan zona inti sehingga tidak memungkinkan untuk membangun fasilitas pariwisata yang permanen. Zona perlindungan perairan yang terletak di sekitar Pulau Burung, Pulau Katang, Pulau Geleang, Pulau Cemara Kecil dan Pulau Sintok telah menutup akses ke pulau tersebut. Sementara pulau tersebut merupakan lahan milik masyarakat yang belum terakomodir dalam zonasi 2005.
50
5.1.3. Zonasi Taman Nasional Karimunjawa 2012 Berikut zonasi TNKJ Tahun 2012 disajikan dalam tabel 7. Tabel 7. Zonasi TNKJ 2012 Inti
Zona
Luas (ha) 444.629
% 0,398
Rimba
1.451,767
1,301
Perlindungan Bahari (untuk wilayah perairan)
2.599,770
2,329
Pemanfaatan Wisata Darat Pemanfaatan Wisata Bahari
55.933
0,0050
2.733,735
2,449
1.370,729
1,228
0,859
0,001
68,329
0,061
102.899,249
92,183
Budidaya Bahari
Religi, Budaya dan Sejarah Rehabilitasi
Tradisional Perikanan
Sumber: Zonasi TNKJ 2012
Lokasi Sebagian perairan P. Kumbang, Taka, Menyewakan, Taka Malang dan Perairan Tanjung Bomang. Hutan hujan tropis dataran rendah di Pulau Karimunjawa dan Hutan Mangrove di P. Kemujan Perairan P. Sintok, Gosong Tengah, P. Bengkoang bagian Utara, P. Cemara besar bagian selatan, P. Gleang, P. Cemaar Kecil bagian utara, P. Burung, Perairan selatan Menjangan Kecil, bagian timur Pulau Nyamuk, Perairan Karang Kapal, Karang Besi bagian Selatan, Krakal Besar bagaian utara, Gosong Kumbang, P. Kembar dan Gosong Selikur. P. Menjangan Kecil, P. Cemara Besar, areal Legon Lele, areal tracking mangrove, areal Nyamplung Ragas. Perairan P. Menjangan Besar dan Menjangan Kecil, Perairan P. Menyawakan, Perairan P. Kembar, perairan P. Tengah, Perairan sebelah timur P. Kumbang, perairan P. Bengkoang bagian selatan, Indonor, Perairan P. Cemara Besar bagian utara, Perairan Tanjung Gelam, Perairan P. Cemara Kecil bagian utara, Perairan P. Katang, Perairan Krakal Besar bagian selatan, Perairan Krakal Kecil, Perairan P. Cilik. Perairan P. Karimunjawa, Perairan P. Kemujan, Perairan P. Menjangan Besar, Perairan P. Parang dan Nyamuk, Perairan P. Karang Besi bagian utara. Areal Makam Sunan Nyamplungan di P. Karimunjawa. Perairan sebelah timur P. Parang, Perairan sebelah timur P. Nyamuk, Perairan sebelah barat P. Kemujan dan Perairan sebelah barat P. Karimunjawa. Seluruh Perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di dalam kawasan TNKJ.
51
Zonasi TNKJ tahun 2005 terdiri dari zona inti, zona rimba atau zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan, zona pemanfaatan dan zona lain (zona tradisional, rehabilitasi, religi, budaya, sejarah dan zona khusus). Syarat suatu wilayah yang dijadikan zonasi adalah merupakan daerah pemijahan ikan, kondisi ekologis terumbu karang yang masih baik, melindungi habitat spesies penting, logis dalam pengelolaan serta wilayah yang disetujui masyarakat. Perubahan zonasi yang baru sebagaimana yang diusulkan dalam Tabel 7 diharapkan mampu mengakomodir berbagai kepentingan pembangunan yang ada di dalam dan di sekitar kawasan sehingga menunjang fungsi taman nasional untuk aktivitas pendidikan, penelitian, budidaya, pariwisata dan rekreasi. Zona inti merupakan zona terkecil, yaitu seluas 0,398 persen. Zona ini mutlak harus dilindungi karena fungsinya sebagai perlindungan ekosistem, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, pengawetan flora dan fauna beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penunjang budidaya. Kegiatan yang dilarang dilakukan di zona inti adalah melakukan penangkapan atau pengambilan sumberdaya laut baik hidup maupun mati dan tidak boleh melakukan kegiatan wisata bahari. Zona rimba dan zona perlindungan bahari dimanfaatkan untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti serta wisata terbatas. Kegiatan yang diijinkan adalah kegiatan perlindungan dan pengamanan; pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas; pembinaan habitat dan populasi. Zona pemanfaatan darat dikembangkan untuk kepentingan kegiatan wisata alam baik bahari maupun lainnya, rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang budidaya dan pemanfaatan. Zona pemanfaatan pariwisata adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan jasa lingkungan.
52
Zona ini diperuntukkan bagi pengembangan aktivitas pariwisata alam dan rekreasi yang berwawasan lingkungan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, pendidikan dan budidaya. Luas zona wisata adalah 2,329 persen dan berada di sekitar pulau-pulau yang dekat dengan Pulau Karimunjawa. Sepanjang kawasan zona ini dilarang melakukan penangkapan ataupun pengambilan sumberdaya laut seperti karang, ikan karang, molusca, penyu, dan biota laut lainnya baik yang hidup maupun yang mati atau bagian-bagiannya serta melakukan penambatan kapal dengan jangkar. Penggunaan sarana wisata alam bahari tidak diperbolehkan
menimbulkan
gangguan/mengurangi
kenyamanan
terhadap
pengunjung lain serta kerusakan ekosistem maupun kematian jenis-jenis biota laut. Zona perikanan tradisional adalah zona terluas di antara tujuh zona lainnya yaitu seluas 92,183 persen dari 111.625 ha luas kawasan TNKJ. Zona perikanan tradisional ini diperuntukkan bagi kepentingan pemanfaatan perikanan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. Aktivitas yang tidak boleh dilakukan adalah semua kegiatan di zona inti dan introduksi jenis biota serta penangkapan ikan yang menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan, seperti muroami, jaring pocong, cantrang dan potasium sianida. Zona budidaya adalah kawasan perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan budidaya perikanan, misalnya budidaya rumput laut, keramba jaring apung dan budidaya kerapu bibit alami. Aktivitas yang tidak boleh dilakukan adalah secara sengaja maupun tidak sengaja mengambil, mengganggu atau memindahkan biota baik yang masih hidup atau mati beserta bagian-bagiannya. Pelaksanaan zonasi TNKJ bersifat fleksibel dan adaptif. Dukungan dan peran serta para pihak mulai dari masyarakat, dinas terkait, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat merupakan kunci utama keberhasilan pengelolaan kawasan TNKJ tersebut.
53
5.2
Kondisi Pariwisata Karimunjawa Kepulauan Karimunjawa terbentang luas dari beberapa pulau yang
mempunyai karakteristik yang spesifik dan menarik. Kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut dan diharapkan dapat memicu perkembangan pariwisata daerah. Sebagian besar wilayah Kepulauan Karimunjawa berupa gugusan pulau kecil yang dikelilingi terumbu karang. Sebagian masih alami dan mempunyai kekayaan biota laut yang menyimpan keindahan alam bawah laut sehingga sangat tepat dijadikan sebagai tujuan wisata alam. Kawasan darat TNKJ yang berada di lokasi hutan hujan tropis dataran rendah dan hutan mangrove sangat memungkinkan untuk mengembangkan objek wisata dan pusat penelitian. Aktivitas wisata di Karimunjawa, seperti yang dikemukakan oleh Pusat Informasi Pariwisata Jepara (2011), terbagi dalam dua kawasan, yaitu kawasan darat dan kawasan laut. Kegiatan yang biasanya dilakukan pengunjung di alam darat adalah hiking dan camping, canoing, berjemur, menelusuri dan atraksi penyu bertelur. Kegiatan yang bisa dilakukan di laut adalah diving, berenang, snorkeling (selam permukaan), memancing, dan berenang dengan hiu. Atraksi wisata budaya Karimunjawa meliputi kesenian rakyat (reog barong, pencak silat yang diiringi gamelan), acara tradisional (perkawinan suku Bugis, upacara peluncuran perahu, menembak ikan), mengunjungi Makam Sunan Nyamplungan, Makam Syaid Kembang, Makam Syaid Abdullah dan Sumur Wali. Penampilan atraksi-atraksi wisata tersebut dilakukan setiap ada acara yang sifatnya insidentil, seperti ketika ada kunjungan pejabat negara ke Karimunjawa antara lain bupati, gubernur, menteri bahkan presiden. Selain atraksi yang dilakukan secara rutin, ada juga atraksi lainnya seperti pelepasan penyu, upacara pelepasan perahu dan khoul Sunan Nyamplungan (peringatan hari satu suro/ peringatan Tahun Baru Hijriyah) oleh masyarakat sekitar. Pengembanagan pariwisata ini ternyata juga ikut menyebabkan permasalahan kerusakan ekologi di sekitar kawasan TNKJ selain karena penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan oleh nelayan. Perkembangannya sebagai salah satu objek wisata yang diminati di Jawa Tengah ternyata tidak selamanya memberikan
54
dampak yang positif bagi masyarakat maupun daerah tersebut. Disadari ataupun tidak disadari pengembangan pariwisata di suatu daerah juga akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat, budaya maupun alam yang dimiliki oleh daerah tersebut. Begitu juga dengan pengembangan pariwisata di Desa Karimunjawa, sudah tentu memberikan dampak positif seperti peningkatan pendapatan sekaligus dampak negatif seperti kerusakan lingkungan alami. Dampak negatif terjadi karena adanya kontak langsung antara wisatawan dengan lingkungan alami seperti terumbu karang dan hutan mangrove. Aktifitas wisatawan yang bersentuhan langsung dengan lingkungan alami seperti di kawasan terumbu karang, berdampak pada patahnya karang karena secara sengaja maupun tidak sengaja terinjak oleh wisatawan yang sedang melakukan snorkeling. Apabila hari libur tiba, maka terjadi jumlah kunjungan yang overload. Selain itu, wisatawan yang melakukan tour ke beberapa pulau di dekat Pulau Karimunjawa, seperti ke Pulau Cemara, Pulau Menjangan, Tanjung Gelam, Pulau Tengah serta Pulau Gleang, berdampak pada timbulnya onggokan sampah di lingkungan pulau tersebut. Baik secara langsung maupun secara tidak langsung onggokan sampah ini akan mempengaruhi tingkat polusi pada areal pulau tersebut disamping timbulnya kesan yang jorok. Pemasangan paving di beberapa areal di desa, seperti jalur Ujung Gelam dan Dukuh Legon Lele akan mempengaruhi daya serap tanah terhadap air hujan. Pembangungan beberapa fasilitas wisata seperti pembangunan tempat peristirahatan di beberapa sudut akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan alami di sekitar desa. Keberhasilan Karimunjawa untuk menarik wisatawan berkunjung ke Karimunjawa memang telah banyak memberi manfaat kepada masyarakat melalui penciptaan lapangan pekerjaan, sebagai sumber devisa daerah dan perhatian masyarakat terhadap kelestarian alamnya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Hal ini terbukti dari kesediaan masyarakat nelayan untuk tidak melakukan penangkapan ikan di zona pariwisata yang telah disepakati serta pelaksanaan Jumat bersih untuk kebersihan desa. Bukti lainnya adalah kepatuhan nelayan untuk tidak membuang
55
jangkar di daerah zona wisata. Hal ini dilakukan agar keindahan karang yang dimiliki tetap terjaga dan menjadi daya tarik wisatawan.
5.3.
Kunjungan Wisatawan Sejak ditetapkannya Karimunjawa sebagai Taman Nasional, kegiatan wisata
sudah mulai ada di daerah tersebut. Namun tidak terlalu berkembang karena sarana dan prasarana transportasi serta komunikasi yang belum memadai. Kegiatan wisata mulai berkembang ditandai dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan sejak tahun 2007, yaitu setelah adanya jaringan selular. Namun jumlah kunjungan yang sangat meningkat dimulai pada tahun 2008, yaitu pengoperasian kapal cepat (Express Bahari) dan jaringan hot spot. Setelah adanya pembangunan jaringan komunikasi ini, maka promosi wisata yang gencar dapat dilakukan pihak terkait sehingga nama Karimunjawa semakin terkenal dan banyak menarik perhatian orang yang ingin melakukan perjalanan wisata. Jumlah kunjungan wisatawan terus meningkat dari tahun ke tahun. Berikut adalah data tingkat kunjungan wisata di Karimunjawa yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Tingkat Kunjungan Wisata di Karimunjawa Tahun 2007-2012 Tahun Wisnus Wisman Jumlah Keterangan 2007 9.356 1.769 11.125 2008 12.719 1.809 14.528 2009 15.836 1.844 17.680 2010 25.192 2.267 27.459 2011 32.729 2.848 35.577 2012 3.144 370 3.514 s/d bulan April Jumlah 63.103 7.689 70.792 Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan 2012 Berdasarkan Tabel 8, terlihat tingkat kunjungan wisatawan meningkat setiap tahunnya mulai dari tahun 2007 sampai 2012. Pertumbuhan wisatawan nusantara memang lebih tinggi dari wisatawan mancanegara walaupun terjadi kenaikan jumlah kunjungan keduanya. Jumlah kunjungan paling banyak terjadi pada tahun 2011, dimana terdapat 32.729 wisatawan nusantara dan 2.848 wisatawan mancanegara. Tahun 2012 terjadi jumlah penurunan kunjungan wisatawan karena data terakhir yang
56
tersedia adalah data sampai bulan April 2012, sesuai dengan waktu penelitian. Perkembangan wisata Karimunjawa juga tidak lepas dari Program Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah yang menetapkan Karimunjawa sebagai salah satu destinasi wisata untuk mendukung program “Visit Jateng 2013”. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa wisatawan nusantara, terdapat beberapa wisatawan yang sudah pernah berkunjung ke Karimunjawa sebelumnya karena tidak pernah bosan dengan keindahan alamnya, seperti yang diungkapkan oleh JY (28), wisatawan asal Surabaya berikut ini. “Saya udah 2 kali berkunjung ke Karimun. Pertama tahun 2010 bareng temen-temen. Ini kunjungan saya yang kedua. Memang enggak lama, cuma 3 hari karena kita cuma mau survei homestay, bulan depan kita mau ngadain tour ke Karimun dari kantor. Temen-temen minta saya yang survei dulu karena saya sudah tau tempatnya. Pokoknya saya tidak pernah bosen dengan laut Karimun. Bali saja kalah sama keindahannya Karimun.” Jumlah kunjungan wisatawan sangat ditentukan oleh hari-hari libur karena jarak tempuh yang jauh dan keterbatasan kapal penyeberangan membuat wisatawan yang datang harus menginap dan melakukan tour. Penurunan jumlah wisatawan terjadi pada bulan Februari sampai Maret karena pada bulan tersebut jarang sekali ada libur akademik. Selain itu, pada periode bulan tersebut adalah musim baratan, dimana terjadi
gelombang
yang
tinggi
sehingga
menghambat
perjalanan
kapal
penyeberangan. Jumlah kunjungan yang sedikit juga terjadi pada bulan Agustus sampai September karena bertepatan dengan bulan puasa.
Jumlah wisatawan
cenderung meningkat pada bulan April-Juli dan Oktober-Januari.
5.4.
Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Wisata Usaha untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi
pemanfaatan ruang
kawasan Karimunjawa harus dikelola secara optimal melalui penataan ruang. Ruang dilihat sebagai wadah tempat berlangsungnya keseluruhan interaksi sistem sosial yang meliputi manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi dan budaya dengan ekosistem yaitu, sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Oleh karena itu, ruang perlu ditata agar keseimbangan lingkungan dapat dipelihara sehingga memberikan
57
dukungan yang nyaman terhadap manusia serta makhluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal. Apabila peningkatan ini tidak dikendalikan maka akan mengakibatkan kerusakan lingkungan pesisir dan kerusakan lingkungan laut. Peningkatan pembangunan fisik juga dapat memperkecil persentasi akan ruang terbuka hijau (RTH) kawasan pesisir, terjadi penebangan pepohonan/hutan bakau, maupun penutupan permukaan tanah dengan material yang tidak dapat menyerap air hujan ( Hanny et al. 2009). Penataan ruang Karimunjawa dilakukan berdasarkan sistem zonasi. Zona wisata bahari termasuk zona pemanfaatan yang diperuntukkan bagi pengembangan aktivitas perlindungan dan pengamanan; pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam; inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; penelitian, pengembangan pendidikan dan penunjang budidaya; pembinaan habitat dan populasi; pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. Luas zona pemanfaatan wisata bahari sebesar 2,449 persen dari luas seluruh zona TNKJ. Zona ini meliputi Perairan Pulau Menjangan Besar, Perairan Pulau Menjangan Kecil, Perairan Pulau Menyawakan, Perairan Pulau Kembar, Perairan Pulau Tengah, Perairan sebelah timur Pulau Kumbang, Perairan Pulau Bengkoang bagian selatan, Indonor dan Perairan Pulau Cemara Besar bagian utara, Perairan Tanjung Gelam, Perairan Pulau Cemara Kecil bagian utara, Perairan Pulau Katang, Perairan Krakal Besar bagian selatan, Perairan Krakal Kecil dan Perairan Pulau Cilik. Sedangkan di darat terdapat zona wisata religi, budaya dan sejarah seluas 0,001 persen, yaitu areal Makam Sunan Nyamplungan di Pulau Karimunjawa. Zonasi TNKJ Tahun 2005 memuat juga tentang zona pemukiman, yaitu bagian TNKJ untuk memudahkan penataan dan penggunaan bagian kawasan yang telah dijadikan areal pemukiman masyarakat sebelum taman nasional ditunjuk. Kawasan pesisir Desa Karimunjawa yang didalamnya terdapat pemukiman penduduk, area
pusat
bisnis
dan
perekonomian
masyarakat
Karimunjawa.
Pesatnya
perkembangan pariwisata sejak Tahun 2007 menjadikan ruang kawasan desa semakin
58
potensial bagi penduduk dan para investor dalam melakukan kegiatan bisnis wisata yang terlihat sepanjang jalan dari pelabuhan sampai ke bagian tengah desa. Dinas Pariwisata saat ini sedang melaksanakan program Karimunjawa sebagai Kecamatan/Desa Wisata yang mengembangkan sarana berupa resort atau hotel serta homestay yang melayani akomodasi pengunjung. Jumlah homestay terus berkembang dari tahun ke tahun karena jumlah kunjungan wisatawan yang meningkat. Area pembangunan homestay yang paling banyak terpusat di bagian tengah desa dan bagian utara desa. Penginapan ini banyak dipilih oleh para wisatawan backpacker, pelajar ataupun peneliti. Harga per kamar juga sangat terjangkau, yaitu Rp 50.000,- sampai Rp 100.000,- per malam dengan kapasitas 2-4 orang. Masyarakat banyak diuntungkan dengan adanya homestay tersebut karena dapat menambah pendapatan mereka. Jenis penginapan lain yang berkembang adalah Resort yang banyak diminati wisatawan domestik maupun mancanegara karena masing-masing memiliki daya tarik yang berbeda. Resort yang telah dibangun di Karimunjawa adalah Resort Dewadaru yang dekat dengan pelabuhan, Resort Menjangan yang berada di dekat spot snorkeling, Resort Purawisata, Nirwana dan Kura-Kura yang berada jauh dari masyarakat. Harganya sangat bervariasi mulai dari Rp 300.000,- hingga Rp 6.000.000,-. Jenis penginapan lainnya adalah hotel kelas melati, wisma dan inn. Harganya juga sangat bervariasi, mulai dari Rp 100.000,- sampai Rp 4000.000,-. Perkembangan homestay di Desa Karimunjawa memang sudah ada sejak ditetapkannya Karimunjawa sebagai Taman Nasional. Sebelum ada homestay, pengunjung biasanya menginap di rumah para petinggi desa. Menurut pihak desa (Bendahara Desa), mereka belum pernah menarik pajak kepada pemilik homestay dan resort serta hotel karena belum ada peraturan resmi yang mengatur tentang tarif pajak untuk fasilitas-fasilitas wisata tersebut. Jumlah rumah makan di Karimunjawa masih sangat sedikit. Fasilitasnya juga kurang memadai. Warung makan yang tersedia di sekitar alun-alun Karimunjawa juga sangat terbatas. Wisatawan harus duduk di lapangan dengan menggunakan tikar dan penjual yang ada menggunakan gerobak untuk menjual dagangannya. Menu
59
makanan yang tersedia juga sangat terbatas karena penjual masih kekurangan modal dan bahan baku yang sulit untuk diperoleh. Restoran hanya tersedia di Karimunjawa Inn, Hotel Escape dan di Dewadaru Resort. Tempat wisata identik dengan toko souvenir yang menjual berbagai barang yang unik, hasil industri kerajinan tangan masyarakat baik yang berupa cinderamata atau produk makanan lainnya seperti rumput laut, kerupuk kerapu dan ikan asin. Kerajinan khas Karimunjawa adalah tongkat, tongkat komando, tasbih dan keris yang terbuat dari kayu dewadaru, kalimasodo dan sdiki. Wisatawan lokal biasanya banyak membeli kerajinan tersebut terutama tasbih yang paling diminati wisatawan. Berdasarkan Laporan Survei Sosek Karimunjawa tahun 2009, terdapat 20 toko/kios penjualan souvenir khas Karimunjawa, 19 toko ada di Desa Karimunjawa dan 1 diantaranya ada di Desa Kemujan (Lampiran 2). Sebagian besar dimiliki oleh masyarakat pendatang dari luar Karimunjawa. Sekitar 14 toko berada di dalam homestay milik penduduk, sedangkan 5 lainnya berada di kios yang terletak di bagian tengah desa. Souvenir lainnya berupa baju, pernak-pernik dan hiasan dinding biasanya dikirim dari luar Karimunjawa terutama yang bahannya dari binatang laut karena adanya larangan mengambil kerang dan benda-benda lain yang ada di laut. Pembangunan fasilitas-fasilitas wisata, seperti homestay, rumah makan, toko souvenir dan fasilitas lainnya semakin bertambah banyak. Berikut data perkembangan jumlah penginapan dan toko souvenir di Desa Karimunjawa dari tahun 2007-2012 disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah Penginapan dan Toko Souvenir di Karimunjawa Tahun 2007-2012 Tahun Jumlah Penginapan Jumlah Toko Souvenir 2007 25 16 2008 27 18 2009 27 19 2010 28 19 2011 30 19 2012 34 19 Sumber: BPS dan Dinas Pariwista Jepara (2011), BTNKJ (2008)
60
Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah homestay dan toko souvenir terus meningkat. Kenaikan jumlah homestay diiringi dengan kenaikan jumlah daya tampung dan tingkat hunian. Selain homestay yang dimiliki oleh penduduk lokal, terdapat juga resort swasta dari pengusaha luar daerah. Resort ini dibangun di Pulau Menjangan Besar, Menjangan Kecil, Menyawakan, Geleang, Pulau Tengah, Pulau Bengkoang dan rencana pengembangan lagi di Pulau Cemara Besar. Berdasarkan data kepemilikan lahan (Lampiran 3), tanah-tanah di Desa Karimunjawa telah dimiliki oleh investor dan orang luar daerah. Bahkan daerah Legon Lele juga banyak yang sudah dijual ke pihak swasta sehingga penduduk di sana harus mencari tempat tinggal baru di daerah lain. Para investor tahu akan perkembangan Karimunjawa menjadi daerah tujuan wisata andalan Jawa Tengah. Dengan demikian masyarakat akan tersisih dari persaingan dan menggeser peran masyarakat lokal karena mereka tidak punya kapital atau modal untuk ikut bersaing dalam pengusahaan pariwisata. Hal ini mengakibatkan usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak akan optimal karena masyarakat hanya sebagai pegawai biasa atau penonton saja, dimana penghasilannya hanya mampu untuk menghidupi keluarga saja. Secara langsung maupun tidak langsung kegiatan pembangunan ini berdampak terhadap lingkungan pesisir Karimunjawa seperti menurunnya jumlah tutupan karang di perairan dangkal. Selain itu, homebase wisatawan yang terpusat di bagian timur dan tengah desa (kota kecamatan Karimunjawa) membuat daerah tersebut semakin padat, berbeda dengan bagian desa lainnya, seperti yang diungkapkan oleh staf BTNKJ, MY (32 tahun). “Masyarakat Karimun itu cenderung meniru. Satu orang bangun homestay, yang lainnya ikutan. Salah satu syarat homestay itu kan harus dekat sama homestay lain, makanya penginapan itu terkonsentrasi di bagian timur sampai tengah desa, jadinya yah menumpuk. Hotel yang di dekat pantai buat fondasi sendiri, rumah penduduk juga, pom bensin itu dan TPI juga mengambil garis pantai. Jadinya yah merusak ekosistem pesisir. Mangrove juga banyak dipotongin untuk bangun villa dan jetty.”
61
Westmacott et al. (2000) dalam Wahyudiono (2009) menjelaskan beberapa parameter yang mempengaruhi kerentanan terumbu karang, antar lain pembangunan pesisir untuk perumahan, resort, hotel, industri, pelabuhan dan pengembangan marina seringkali menyebabkan reklamasi pengerukan tanah. Kegiatan ini mengakibatkan sedimentasi sehingga mengurangi cahaya masuk ke laut dan menutupi karang dan menimbulkan kerusakan fisik langsung bagi terumbu karang. Kegiatan pembangunan ini tidak hanya berdampak bagi perubahan lingkungan alam, tetapi juga berdampak bagi nelayan. Berubahnya kepemilikan lahan dari masyarakat lokal menjadi milik investor dan pihak asing akan mempengaruhi ruang gerak nelayan dalam melakukan kegiatannya. Lahan atau pulau yang telah menjadi milik para investor biasanya tidak bisa dimasuki nelayan lagi tanpa seijin pihak investor tersebut. Aksesibilitas sosial ekonomi nelayan yang berkaitan dengan modal fisik sering kali menjadi terganggu. Modal fisik yaitu keberadaan pangkalan pendaratan ikan yang berfungsi untuk tempat pendaratan kapal ikan, tempat memperbaiki jaring, tempat pelelangan dan penjemuran ikan dan berbagai hal lainnya yang bertujuan memudahkan nelayan dalam bekerja. Lingkup modal fisik nelayan akan semakin sempit karena lahan tersebut difungsikan sebagai tempat pembangunan sarana pariwisata. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi aktivitas nelayan. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan di Karimunjawa, ternyata mereka merasa tidak terganggu dengan adanya perkembangan sarana pariwisata di daerah mereka, seperti yang diungkapkan seorang ketua kelompok nelayan, MT (51).
“Kita sebagai nelayan sebenarnya tidak merasa terganggu sama kegiatan wisata ini. Semuanya sudah punya zona masing-masing. Kalo nangkap ikan, nelayan melaut sampai jauh, wisatawan tidak mungkin sampai ke sana. Ikanikan yang ada di zona wisata juga kecil-kecil ukurannya. Di sini ikan yang baru ditangkap langsung di setor ke juragan. Kapal yang dipakai nelayan melaut juga banyak yang dipakai jadi kapal carteran (sewaan). Jadi pelabuhannya juga sama.” Modal fisik nelayan antara lain melabuhkan kapal, menjual atau menjemur ikan ataupun memperbaiki jaring ternyata tidak terganggu dengan adanya
62
pengembangan pembangunan pariwisata. Hal ini dikarenakan kapal yang digunakan untuk menangkap ikan, juga digunakan untuk kapal sewaan bagi wisatawan. Pelabuhan untuk pendaratan kapal berbeda untuk pelabuhan pendaratan kapal penumpang. Selain itu, nelayan juga bisa menggunakan pantai yang berada di dekat rumah mereka untuk melabuhkan kapalnya. Nelayan juga tidak terganggu aktifitasnya dalam menjual ikan karena ikan yang diperoleh nelayan langsung dijual kepada juragan ikan, bukan menjualnya melalui pelelangan. Desa Karimunjawa memang memiliki TPI, namun sekarang tidak beroperasi lagi karena kekurangan dana dan nelayan memang lebih suka menjual kepada juragan mereka. Nelayan Karimunjawa juga tidak lagi menjemur ikan, karena harga ikan yang basah lebih mahal daripada ikan yang kering. Pembangunan sarana pariwisata yang berada di Desa Karimunjawa memang tidak mengganggu modal fisik nelayan, berbeda dengan pulau yang telah dijadikan resort. Sebelum adanya resort tersebut, nelayan masih bebas mendaratkan kapalnya di pulau tersebut. Namun, setelah adanya pulau yang dijadikan resort, maka nelayan tidak bisa bebas lagi melabuhkan kapalnya di pulau tersebut. Nelayan harus membayar Rp20.000,- atau sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pemilik resort kepada setiap kapal yang berlabuh di pulau mereka. Berdasarkan hasil transek di Desa Karimunjawa terlihat bahwa wilayah ini sudah memiliki sarana wisata yang menjadi potensi untuk pengembangan pariwisata. Akan tetapi ada sebuah masalah yang mencuat yaitu sampah yang berserakan. Desa tersebut tidak memiliki tempat pembuangan sampah sehingga masyarakat langsung membakar sampah-sampah tersebut. Berbeda dengan bagian desa sebelah barat, masyarakat malah membuang sampah kelaut. Bahkan masih ada penduduk yang membangun jamban di tepi laut.
Sampah yang berada di sekitar pantai yang
merupakan limbah pengunjung hanya dibiarkan begitu saja karena tidak tersedianya petugas kebersihan pantai. Namun responden nelayan pariwisata sudah semakin sadar bahwa kebersihan merupakan hal yang harus dijaga untuk memberikan kenyamanan kepada wisatawan.
63
Selain karena kesadaran penduduk akan pentingnya kebersihan di desa pariwisata, juga dikarenakan oleh desa tersebut sering dijadikan tempat kunjungan mahasiswa yang melakukan penelitian atau praktek. Mahasiswa sering membuat program tentang kebersihan dan menyediakan tempat sampah bagi masyarakat. Kondisi di lapangan memperlihatkan bahwa halaman sekitar rumah nelayan memang bersih, namun hal ini berbeda dengan kondisi jalan di beberapa tempat. Sampahsampah masih dibiarkan menumpuk di sisi jalan dan juga di selokan. Semua responden mengatakan bahwa di Desa Karimunjawa belum pernah terjadi bencana alam yang disebabkan oleh sampah, banjir, longsor ataupun tsunami. Hal ini juga terjadi karena kondisi topografinya yang berupa perbukitan dan sebagian kecil datar, sehingga daerah genangan banjir praktis tidak ada.
5.5
Daya Dukung Kawasan untuk Kegiatan Wisata Daya dukung lingkungan pesisir juga sangat perlu diperhatikan karena
lingkungan pesisir sangat rentan terhadap kegiatan manusia. Daya dukung untuk kegiatan pariwisata di suatu kawasan terdiri atas beberapa aspek baik daya dukung biofisik, lingkungan, sosial, keamanan, maupun daya dukung fasilitas sarana dan prasarana pariwisata (Ramli 2003). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditanggung lanskap yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada manusia dan alam. Daya dukung ekologis disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya dan peruntukan seperti daya dukung wisata snorkeling ditentukan oleh sebaran dan kondisi terumbu karang (Khaerunnisa 2011). Daya dukung setiap kawasan tentunya berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lainnya dan mempengaruhi kegiatan apa yang dikembangkan. Analisa daya dukung kawasan Desa Karimunjawa yang diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata, berdasarkan pengamatan dilapangan sangat ditentukan oleh kondisi fisik pulau. Daya dukung bisa dilihat dari panjang pantai pasir untuk kegiatan rekreasi dan ketersediaan air bersih (air tawar). Faktor lain adalah sarana dan prasarana seperti jalan, akomodasi, hiburan, sarana angkutan dan lain-lain.
64
5.5.1
Panjang Pantai Berpasir Pulau Karimunjawa dan pulau-pulau yang ada di sekitarnya dikelilingi oleh
pantai berpasir dan sangat sesuai untuk kegiatan pariwisata pantai. Kondisi pulaupulau ini lumayan bersih karena adanya penjaga pantai yang selalu membersihkan pulau walaupun masih ada juga terdapat sampah dari daun ataupun ranting-ranting pohon yang ada di pulau. Pantai ini sering dijadikan tempat berjemur dan berenang oleh wisatawan. Kadang di pulau ini, wisatawan juga sering membakar ikan. Ketersediaan data tentang panjang pantai berpasir digunakan untuk memperkirakan daya tampung wisatawan per satuan luas dan waktu berdasarkan kebutuhan ruang setiap wisatawan. Berdasarkan penelitian Aryono (2003) diketahui bahwa panjang pantai berpasir di Pulau Karimunjawa adalah 2.500 m. Data ini berdasarkan asumsi pantai digunakan dalam waktu 365 hari dalam setahun, maka estimasi daya dukung terhadap wisatawan dapat dilihat pada pada Tabel 10.
Tabel 10. Estimasi Daya Dukung Wisatawan Berdasarkan Panjang Pantai Berpasir Kelas Pariwisata Daya Dukung per Hari Estimasi Daya Dukung per Tahun Rendah (Ekonomi) 250 91.250 Menengah 175 – 187 63.875 – 68.437 Mewah 125 – 150 45.625 – 54.750 Istimewa 75 – 87 27.375 – 31.937 Berdasarkan Tabel 10 di atas diketahui bahwa estimasi kelas rendah sekitar 91.250 per tahun. Estimasi daya kawasan untuk kegiatan wisata tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kunjungan wisatawan yang sudah ada selama ini masih bisa diterima oleh kawasan Pulau Karimunjawa atau tidak. Jumlah kunjungan wisatawan sejak tahun 2007-2011 sekitar 67.278 orang dengan rata-rata kunjungan per tahun 13.456 orang. Jika dibandingkan dengan estimasi daya dukung istimewa, maka belum terjadi kelebihan jumlah pengunjung wisatawan dari tahun 2007-2011.
65
5.5.2 Penginapan Ketersediaan penginapan adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh wisatawan yang ingin berkunjung ke Karimunjawa karena wisatawan pasti menginap jika berkunjung ke daerah tersebut. Suatu penginapan letaknya harus strategis, aman, nyaman, indah, dekat dengan kawasan objek wisata dan juga fasilitas umun lainnya. Luas lahan akomodasi sangat terkait dengan luas kawasan tersebut. Penyebaran penginapan di Desa Karimunjawa belum merata. Sebagian besar terkonsentrasi di sebelah timur sampai ke bagian tengah desa karena di sebelah timur terletak pelabuhan penumpang dan di bagian tengah adalah pusat desa. Berdasarkan penelitian Aryono (2003), estimasi daya tampung wisatawan berdasarkan luas lahan untuk akomodasi di Pulau Karimunjawa adalah 30 ha dengan daya tampung 330-3000 orang. Karimunjawa dapat menampung 3000 orang untuk kelas rendah ke menengah dan 330 orang untuk kelas tinggi, bila diasumsikan tingkat penggunaan 100 persen dengan intensitas 365 hari dalam setahun maka kapasitas tampung penginapan Pulau Karimunjawa untuk kelas rendah tinggi adalah 120.450 dan kelas rendah adalah 1.065.000. Berikut akan disajikan data ketersediaan penginapan di Karimunjawa.
Tabel 11. Ketersediaan Penginapan di Desa Karimunjawa Tahun 2012 Parameter Faktor Pembatas Jumlah penginapan 30 unit Jumlah kamar 244 Kapasitas 512 orang Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa penginapan yang tersedia jumlahnya masih belum memadai jika dibanding dengan daya dukung wisatawan. Jumlah penginapan yang belum memadai ini menyebabkan wisatawan sering tidak mendapatkan penginapan jika mereka berkunjung ketika hari libur panjang tiba. Bahkan sering juga satu kamar melebihi jumlah kapasitas tampungnya. Ada juga wisatawan yang harus membatalkan kunjungan wisata mereka ke Karimunjawa karena penginapan sudah penuh. Wisatawan yang datang memang harus menginap di
66
Pulau Karimunjawa karena keterbatasan kapal penyeberangan. Apabila wisatawan ingin berkunjung, maka mereka harus memesan penginapan jauh sebelum mereka melakukan perjalanan wisata tersebut.
5.5.3
Kebutuhan Air Bersih Ketersedian air bersih merupakan hal yang sangat penting dalam kawasan
wisata pantai, dimana rata-rata suhu yang tinggi membuat kebutuhan air bersih semakin tinggi. Sumber mata air yang ada di Desa Karimunjawa berasal dari tiga mata air, yaitu di Legon Lele, Cikmas dan Nyamplungan dan terdapat 23 sumur galian. Mata air tersebut memiliki debit 2 m³/detik. Sebenarnya terdapat 5 mata air di Desa Karimunjawa, namun hanya tiga mata air yang yang dimanfaatkan. Sedikitnya penampungan air yang tersedia membuat air tidak terlalu melimpah namun masih cukup untuk kebutuhan. Masyarakat akan mengalami masalah kekurangan air apabila musim kemarau tiba atau saat kunjungan wisatawan meningkat. Aturan WHO menyatakan bahwa kebutuhan air di Indonesia adalah 60 liter/kapita/hari. Air bersih dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga dan konsumsi. Apabila merujuk pada jumlah penduduk Karimunjawa yang berjumlah 4.996 orang dengan total 1.550 rumah tangga pada tahun 2011, maka kebutuhan air bersih penduduk di Desa Karimunjawa di kawasan ini adalah sekitar 299.760 liter/hari.
5.6.
Kondisi Umum Perikanan di Desa Karimunjawa Pendaratan ikan yang keluar dari Karimunjawa umumnya dikategorikan
menjadi tiga kelompok, yaitu ikan segar, teri kering dan ikan hidup. Setiap jenis ikan masing-masing memiliki musim tangkap. Musim ikan tenggiri terjadi pada bulan November, musim ikan sulir pada bulan Januari dan Oktober, musim ikan teri pada bulan Juli sampai September, musim cumi pada bulan Mei-Juni dan Oktober, sedangkan musim ikan tongkol adalah bulan Desember. Walaupun memiliki musim tangkap, namun nelayan bisa melaut sepanjang tahun kecuali terang bulan karena
67
setiap bulan ada jenis-jenis ikan yang melimpah jumlahnya untuk ditangkap. Produksi ikan yang keluar dari Karimunjawa dapat dilihat pada Tabel 12 dibawah ini.
Tabel 12. Produksi Ikan yang Keluar dari Karimunjawa (Melalui Dermaga Rakyat dan Dermaga Perintis) Tahun 2006-2010 No Jenis ikan Produksi Ikan (kg) 2006 2007 2008 2009 2010 1 Ikan segar: 63.920 44.426 64.468 53.358 99.060 Tongkol 64.825 60.144 66.701 27.303 36. 792 Tenggiri 14.020 2.800 78.611 76.092 5.399 Cumi-cumi 75.700 32.767 37.923 44.961 10.746 Badong 830 750 540 - 49.818 Kakap merah 206.050 111.972 266.181 82.722 190.187 Ekor kuning 18.080 2.650 13.200 Manyun 100.350 52.215 108.105 101.057 26.869 Campur Jumlah 543.575 2 Teri kering 10.350 3. Ikan hidup 4.688,9 Sunuk 5.513,6 Kerapu 416,3 Lobster Jumlah 10.617.8 Jumlah 564.542,8 Sumber: DKP Karimunjawa 2011
307.721 635.729 385.498 418.871 362.830 65.125 5.665.625 82.871 5.232 3.577 4.997,6 4.011 80 302 10.309,6 7.890 399.345,6 708.744
2.398,3 11.151 5.329,9 265 6.378,7 11.151 66.889,9 512.897
Tabel 12 menunjukkan bahwa jumlah tangkapan selama lima tahun terakhir mengalami fluktuasi. Produksi ikan segar didominasi oleh ikan ekor kuning sedangkan produksi ikan hidup didominasi oleh kerapu. Sebanyak 55,8 persen jumlah ikan yang ditangkap berasal dari alat tangkap muroami, 24 persen berasal dari alat tangkap jaring pocong. Kedua alat tangkap ini juga memiliki target yang sama, yaitu ikan ekor kuning. Kedua alat tangkap ini menyebabkan kerusakan terumbu karang dan menurunkan hasil tangkap nelayan tradisional karena sebagian besar alat tangkap ini beroperasi di daerah paparan terumbu karang. Dalam satu kali operasi muroami, luas rata-rata daerah yang disapu oleh para penyelam dalam menggiring ikan sampai ke jaring kantong adalah 2,4 ha. Selama proses penangkapan tersebut, nelayan
68
penyelam tidak hanya berenang tetapi juga berjalan di atas karang sehingga menyebabkan kerusakan karang. Selain merusak ekosistem, alat ini juga berpotensi atau bahkan sudah menguras stok sumberdaya ikan di perairan Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa umumnya menjual 90 persen hasil tangkapan mereka ke pedagang atau tengkulak setempat dan 10 persen lainnya digunakan untuk konsumsi pribadi. Ikan-ikan yang berukuran besar akan dijual kepada juragan. Ikanikan yang kecil akan dikonsumsi atau dijual ke pasar. Ikan yang dijual ke pasar akan dibeli oleh pedagang makanan untuk diolah dan dijual kepada wisatawan. Jenis-jenis ikan ekor kuning dan tenggiri dijual ke pedagang penampung di Desa Karimunjawa untuk kemudian dikirim ke Jepara. Kapal-kapal yang ada di Karimunjawa ukurannya kecil, yaitu < 5 GT. Setiap kapal mempunyai alat tangkap lebih dari satu jenis, tetapi yang paling dominan adalah alat pancing tonda (trolling) dan branjang. Pengoperasiannya tergantung musim. Alat tangkap yang digunakan nelayan Karimunjawa menurut Data Statistik Kecamatan Karimunjawa tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini.
Tabel 13. Alat Tangkap Ikan di Karimunjawa Tahun 2010 No Alat Tangkap Ikan Jumlah Masa operasi (unit) 1 Pancing tonda (trolling) 932 Juni-September 2 Jaring insang 168 September-November 3 Branjang 115 Juni-Agustus 4 Bubu 573 Sepanjang musim 5 Panah (Speargun) 17 Sepanjang musim 6 Muroami 3 September- Desember Sumber: DKP Karimunjawa 2011
Jenis Ikan Tangkapan Tongkol Ekor kuning Teri Ikan karang Ikan karang Ekor kuning
Tabel 13 menunjukkan bahwa setiap jenis ikan memiliki alat tangkap yang berbeda. Pancing tonda banyak digunkan untuk menangkap tongkol dan tenggiri. Pada umumnya, nelayan tonda menangkap ikan setiap hari (malam-pagi) pada saat musim tangkap atau sekitar 26 hari dalam satu bulan musim tangkap. Jumlah tenaga kerja dalam satu kapal motor adalah satu hingga dua orang. Jaring insang adalah alat tangkap berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 300-500 m dilengkapi
69
dengan pelampung, pemberat ris dan ris ke bawah. Besar mata jaring disesuaikan dengan sasaran tangkap. Nelayan melabuhkan jaringnya di dasar, lapisan tengah maupun dibawah lapisan atas kolam perairan. Nelayan Karimunjawa juga menggunakan branjang yang berukuran 9x9 m. Penangkapan dengan branjang hanya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan lampu untuk menangkap ikan teri. Bubu merupakan alat tangkap berupa jebakan yang terbuat dari anyaman bambu. Bubu dipasang disekitar perairan karang atau di antara karang-karang. Pengambilan tangkapan dilakukan dua sampai tiga hari setelah bubu dipasang. Nelayan juga menggunakan panah sebagai alat tangkapnya yang waktu penangkapannya dilakukan pada malam hari. Nelayan menggunakan bantuan kompressor sebagai sumber oksigen. Dalam satu armada penangkapan jumlah nelayan berkisar 4-6 orang. Alat tangkap lainnya adalah muroami, yang sudah dilarang pemakaiannya karena merusak karang dan terjadinya overfishing. Sejak maraknya penangkapan ikan dengan muroami oleh masyarakat, jumlah ikan semakin menurun karena alat tangkap ini mengangkut semua jenis ikan, baik kecil maupun yang besar. Nelayan di luar Karimunjawa juga pernah ikut merusak karang dan ikan. Mereka menggunakan jaring cantrang. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia dan bahan peledak juga pernah digunakan nelayan sehingga karang menjadi rusak, air menjadi tercemar dan ikan juga ikut mati. Untuk mencegah bertambahnya kerusakan yang terjadi, maka pada tanggal 2 Agustus tahun 2010, Bupati Jepara mengeluarkan Surat Edaran untuk Kecamatan Karimunjawa tentang larangan pemanfaatan sumberdaya ikan dengan cara-cara yang dapat merusak ekosistem. Setiap orang yang melanggar peraturan tersebut akan di denda atau dipenjara.
70
BAB VI DAMPAK WISATA BAHARI TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL DAN EKONOMI NELAYAN 6.1
Karakteristik Nelayan Non Pariwisata dan Nelayan Pariwisata Perkembangan pariwisata di Desa Karimunjawa telah membuka berbagai
lapangan pekerjaan. Kesempatan ini banyak dimanfaatkan oleh nelayan untuk meningkatkan pendapatan mereka. Penurunan jumlah tangkapan ikan membuat nelayan mencari alternatif pekerjaan lain untuk menambah pendapatan. Hal tersebut merupakan alasan sebagian besar nelayan untuk ikut dalam kegiatan wisata. Namun ada juga nelayan yang tetap bertahan di bidang perikanan. Nelayan di Karimunjawa saat ini terbagi menjadi dua, yaitu nelayan yang aktif dalam kegiatan pariwisata (nelayan pariwisata) dan nelayan yang tidak aktif dalam kegiatan pariwisata (nelayan non pariwisata). Nelayan yang aktif dalam kegiatan pariwisata adalah nelayan yang
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
selain menggantungkan pada hasil penangkapan ikan di laut, juga terlibat secara langsung dalam kegiatan aktivitas pariwisata (membuat souvenir, menyewakan perahu, pemandu wisata, menyewakan pemondokan maupun fasilitas lainnya). Sedangkan nelayan yang tidak aktif adalah nelayan yang kegiatannya sehari-harinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya hanya menggantungkan diri pada hasil penangkapan ikan di laut. Ciri-ciri kedua kelompok nelayan yang dilihat dari umur, pendidikan, jumlah tanggungan dan pendapatan keluarga akan memperlihatkan dengan jelas perbedaan ukuran tingkat pemanfaatannya dari para nelayan yang aktif dalam kegiatan pariwisata dengan nelayan yang tidak aktif.
6.1.1
Umur Umur responden adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga
tahun pada pelaksanaan penelitian. Data penelitian di lapangan menunjukkan bahwa usia nelayan beragam antara 22-55 tahun. Sebagian besar nelayan yang ada di Karimunjawa memulai pekerjaannya semenjak usia remaja. Pekerjaan menjadi nelayan memang bisa dilakukan mulai dari umur remaja hingga umur tua. Penduduk
71
Karimunjawa yang aktif dalam kegiatan pariwista umumnya berada di umur 20-50 tahun.
Berikut akan disajikan data pada Tabel 14 tentang klasifikasi responden
berdasarkan umur.
Tabel 14. Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Umur, Desa Karimunjawa, 2012 Nelayan Non Pariwisata Nelayan Pariwisata Umur Responden (Tahun) n % n % Rendah 7 28.0 5 20.0 Sedang 12 48.0 18 72.0 Tinggi 6 24.0 2 8.0 Total 25 100.0 25 100.0 Berdasarkan Tabel 14 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden non pariwisata dan responden wisata berusia sedang (31-50), yaitu masing-masing sebesar 48 persen dan 72 persen. Hal ini terjadi karena untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan membutuhkan stamina yang masih kuat dan berpengalaman. Alat tangkap ikan yang paling banyak digunakan di Karimunjawa saat ini adalah pancing dan ada juga yang menggunakan tembak (kompressor). Nelayan kompressor adalah nelayan yang membutuhkan stamina yang prima untuk menyelam sehingga ada kecenderungan umur nelayan kompressor yang masih muda. Kebanyakan nelayan yang tergabung dalam pariwisata memiliki umur yang sedang karena pada usia tersebut, nelayan aktif dalam wisata harus berhubungan langsung dengan wisatawan, seperti yang diungkapkan oleh AM (40 tahun). “ Orang-orang yang ikut wisata itu kebanyakan yang muda-muda Mbak. Kalo yang tua-tua udah malas. Orang Karimun itu ya Mbak orangnya pemalu-pemalu kalo ketemu sama orang banyak apalagi yang baru dikenal. Yang masih muda itu yang masih aktif, suka ketemu orang banyak. Gimana mau jadi tour guide kalo malu ketemu sama wisatawan? Kerjanya tour guide itu kan ngurusin tamu-tamu (wisatawan) yang datang. Orangorang muda lebih suka yang instan sih Mbak. Kerja sedikit dapat uang.” Meski kebanyakan nelayan yang ikut dalam wisata memiliki umur yang sedang, namun terdapat 2 orang yang memiliki umur tinggi. Mereka adalah pemilik
72
homestay yang ada di Karimunjawa. Sedangkan 4 orang lainnya adalah nelayan yang menyewakan kapal mereka.
6.1.2 Pendidikan Tingkat pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini diukur berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti. Komposisi tingkat pendidikan responden dapat dilihat di Tabel 15 berikut.
Tabel 15. Responden Menurut Tingkat Pendidikan, Desa Karimunjawa, 2012 Nelayan Non Pariwisata Nelayan Pariwisata Tingkat Pendidikan N % n % Rendah 18 72.0 13 52.0 Sedang 7 28.0 10 40.0 Tinggi 0 0 2 8.0 Total 25 100.0 25 100.0 Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa responden nelayan non pariwisata dan nelayan pariwisata masih berpendidikan rendah (tidak sekolah dan tidak tamat SD) yaitu 72 persen dan 52 persen. Nelayan non pariwisata yang berpendidikan rendah lebih banyak jumlahnya daripada nelayan pariwisata yang berpendidikan rendah. Fasilitas pendidikan di Desa Karimunjawa memang belum terlalu memadai. Nelayan biasanya memulai pekerjaannya semenjak usia masih muda sehingga tidak ada waktu untuk bersekolah. Kebanyakan responden setelah lulus SD tidak melanjutkan sekolah karena ikut melaut bersama orang tua mereka untuk menambah pendapatan. Responden yang berpendidikan tinggi (tamat SMA dan akademik) hanya terdapat di nelayan pariwisata yaitu 8 persen sedangkan nelayan non pariwisata tidak ada yang berpendidikan tinggi. Responden mendapatkan pendidikan tingkat SMA di luar Karimunjawa, yaitu di Jepara dan di Semarang karena di Karimunjawa hanya ada SMK. Syarat menjadi seorang pelaku wisata di Karimunjawa tidak dibatasi oleh tinggi rendahnya pendidikan, khususnya yang bergabung dalam HPI (Himpunan
73
Pramuwisata Indonesia), seperti yang diungkapkan oleh ZA (33 tahun), seorang anggota HPI yang juga bekerja sebagai nelayan.
“Kalau jadi tour guide itu kan SDM nya harus bagus Mbak. Terutama bahasa indonesia dan umurnya di atas 17 tahun, umur buat bekerja gitu Mbak. Setidaknya bisa baca tulis. Tapi aturan dari HPI sendiri tidak ada yang mengharuskan tamat SMA atau harus sekolah, yang penting bertanggung jawab dan mengerti tentang sapta pesona itu, Mbak”. 6.1.3
Jumlah Anggota Keluarga Jumlah keluarga yang besar akan berpotensi menjadi penyedia tenaga kerja
khususnya di kehidupan rumah tangga nelayan. Sebagaimana biasanya dalam kegiatan usaha tani, sub sistem anggota keluarga akan menyumbangkan tenaganya dalam proses usaha tani. Ayah yang berfungsi sebagai kepala keluarga mempunyai fungsi ganda sebagai pemimpin usaha tani dan merangkap sebagai pekerja yang dibantu oleh istri dan anak-anak mereka ditambah pula dengan anggota keluarga lainnya yang menjadi tanggungan petani yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya tidak semua anggota keluarga yang menjadi tanggungan ikut bekerja secara penuh waktu. Hal ini terutama anggota keluarga yang masih pada usia sekolah ataupun mereka yang mempunyai pekerjaan lain secara tidak penuh waktu di luar sekolah (Su’ud 1991 dalam Aryono 2003). Berikut akan disajikan data jumlah tanggungan responden pada masing-masing kelompok nelayan pada Tabel 16.
Tabel 16. Responden Menurut Jumlah Tanggungan, Desa Karimunjawa, 2012 Nelayan non Pariwisata Nelayan Pariwisata Jumlah tanggungan n % n % Rendah 7 28.0 5 20.0 Sedang 17 68.0 18 72.0 Tinggi 1 4.0 2 8.0 Total 25 100 25 100.0 Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa jumlah tanggungan keluarga pada masing-masing kelompok responden tidak meiliki perbedaan yang terlalu jauh. Anggota keluarga yang paling banyak terdapat di kedua kelompok pada interval
74
sedang untuk nelayan non pariwisata dan nelayan pariwisata (60,7 persen dan 64,3 persen). Kelompok yang memiliki jumlah tanggungan tinggi (>4) sangat sedikit di kedua kelompok responden yaitu 4 persen untuk nelayan non pariwisata dan 8 persen untuk nelayan pariwisata. Jumlah ini sejalan dengan data BPS Jepara (2011) yang mengeluarkan angka yang sama yaitu rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 4 orang. Hal ini juga menjadikan Kecamatan Karimunjawa adalah kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Jepara, yaitu 122 jiwa per km². Data ini juga didukung oleh pernyataan ZA (33 tahun). “Penduduk Karimunjawa ini masih sedikit Mbak jika dibanding dengan luas wilayahnya. Kalopun banyak pendatang yang datang, tapi tanahnya masih cukup untuk dijadikan perumahan, tidak seperti Jakarta yang udah kayak lautan manusia. Istri saya bidan di Karimun ini, jada saya tau berapa kelahiran setiap harinya. Orang Karimun banyak yang KB Mbak, dulu pernah ada penyuluhan yang datang kesini terus bidan-bidan disini sampe sekarang itu masih sering nganjurin masyarakat untuk KB.” Rendahnya jumlah tanggungan juga dipengaruhi oleh usia menikah yang cukup muda. Kebanyakan penduduk menikah pada usia SMA dan lepas dari tanggungan keluarganya. Hal ini dikarenakan fasilitas pendidikan yang kurang memadai dan sebagian karena ketidakmampuan keluarga untuk menyekolahkan anaknya.
6.1.4
Pendapatan Tingkat pendapatan nelayan tidak pernah menentu setiap bulannya, karena
hasil dari laut yang tidak menentu, dipengaruhi oleh cuaca dan ketersediaan ikan di laut. Kadang dalam sekali melaut, nelayan bisa mendapat hasil yang banyak, yang cukup untuk memenuhi kebutuhan selama satu minggu. Namun terkadang nelayan juga bisa tidak mendapatkan hasil sama sekali, bahkan untuk kebutuhan satu hari saja tidak tercukupi. Menurut informasi masyarakat setempat, jumlah pendapatan mereka akhir-akhir ini mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pernah terjadi penangkapan ikan dengan penggunaan muroami, kompressor dan potassium yang merusak karang dan biota lautnya sehingga terjadi penurunan penangkapan ikan. Hal
75
ini tentu saja mempengaruhi jumlah pendapatan nelayan. Selain itu, ketersediaan ikan yang berkurang membuat nelayan harus menambah luas tangkapannya ke daerah yang lebih jauh. Berikut pada Tabel 17 akan disajikan jumlah pendapatan nelayan setiap tahunnya di Karimunjawa.
Tabel 17. Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan, Desa Karimunjawa, 2012 Tingkat Pendapatan (Rp) per Nelayan Non Pariwisata Nelayan Pariwisata Tahun n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 Sedang 17 68.0 5 20.0 Tinggi 8 32.0 20 80.0 Total 25 100.0 25 100.0 Berdasarkan Tabel 17 diketahui bahwa jumlah pendapatan nelayan sudah cukup baik. Sejumlah 50 responden, tidak ada yang memiliki pendapatan pada kategori rendah, baik untuk nelayan non pariwisata maupun nelayan pariwisata. Namun jumlah nelayan yang memiliki pendapatan tinggi pada nelayan non pariwisata lebih kecil daripada jumlah nelayan yang berpendapatan tinggi pada nelayan pariwisata. Hal ini dikarenakan nelaya pariwisata mendapat tambahan pendapatan dari kegiatan wisata yang mereka jalankan. Pendapatan responden nelayan non pariwisata berada di antara Rp 10.800.000,- sampai Rp 24.000.000,- per tahunnya. Pendapatan nelayan pariwisata berada antara Rp 15.600.000,- sampai Rp 84.000.000,-. Nelayan yang memiliki homestay yang juga menyediakan paket wisata adalah nelayan yang pendapatannya paling besar, sedangkan nelayan yang bekerja sebagai guide dan penyewa kapal memiliki pendapatan yang lebih rendah. Data ini sesuai dengan hasil survei perekonomian masyarakat di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Karimunjawa tahun 2011 yang menyatakan bahwa rata-rata pendapatan di Desa Karimunjawa (per kepala keluarga) sudah berada pada angka Rp 26.225.862,- per tahun. Tingkat pendapatan responden memiliki variasi yang cukup tinggi seiring dengan tingginya variasi jenis pekerjaan responden. Ada sebagian penduduk yang annual income-nya mencapai Rp 120.000.000,- per tahun dan ada juga yang hanya Rp 1.250.000,- per tahun.
76
6.1.5
Pengalaman Melaut Pengalaman melaut adalah lamanya (tahun) nelayan sudah melakukan
pekerjaannya dalam menangkap ikan di laut. Mayoritas responden sudah memulai pekerjaannya sejak usia muda, yaitu pada taraf usia SMP. Berikut pada Tabel 18 disajikan data pengalaman melaut responden di Desa Karimunjawa. Tabel 18. Responden Berdasarkan Pengalaman Melaut, Desa Karimunjawa, 2012 Nelayan Pariwisata Pengalaman Melaut (Tahun) Nelayan non Pariwisata n % n % Rendah 10 40.0 12 48.0 Sedang 6 24.0 8 32.0 Tinggi 9 36.0 5 20.0 Total 25 100 25 100.0 Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa pengalaman melaut nelayan non pariwisata dan nelayan pariwisata pada kategori ketiga kelompok tidak terlalu mengalami perbedaan yang jauh. Pengalaman melaut nelayan bervariasi antara 7-39 tahun dengan rata-rata pengalaman 21 tahun. Kategori pengalaman melaut yang tinggi terdapat pada nelayan non pariwisata. Hal ini berkaitan dengan umur nelayan pada kelompok tersebut, yaitu 50 tahun ke atas. Pengalaman yang cukup lama membuat para nelayan tersebut lebih suka melaut daripada bekerja sampingan di bidang pariwisata.
6.2
Dampak Pariwisata terhadap Kegiatan Perekonomian Nelayan
6.2.1
Jumlah Trip untuk Menangkap Ikan Jam kerja menangkap ikan di laut adalah lamanya waktu (jam) yang
diperlukan nelayan untuk melakukan penangkapan ikan selama satu hari. Biasanya lama tidaknya nelayan menangkap ikan di laut ditentukan oleh besar kapal dan kapasitas mesin yang digunakan serta jumlah bahan bakar yang tersedia. Biasanya nelayan menghabiskan ± 20 liter bahan bakar setiap kali melaut. Penangkapan ikan dilakukan setiap hari, ada yang berangkat pagi ada juga yang berangkat sore, seperti yang diungkapkan MA (51) dibawah ini.
77
“Kalo nelayan sini kan 24 jam. Ada yang berangkat pagi pulang sore, ada yang sore pulang pagi. Kalo terang bulan gini nelayan tidak melaut. Paling nanti nelayan yang nangkap ikan teri berangkat jam 4 pulang jam 7. Tapi kalo bulan gelap, nangkapnya semalam suntuk.” Perkembangan wisata dan menurunnya jumlah tangkapan ikan tidak terlalu mempengaruhi jam tangkap nelayan dalam sekali melaut. Sebagian besar kedua kelompok nelayan ini memiliki jam tangkap sekitar 5-10 jam dalam satu hari melaut. Perubahan lamanya nelayan menangkap ikan di laut tidak terlalu mengalami perubahan karena masing-masing nelayan sudah memiliki target waktu melautnya masing-masing. Besarnya biaya bahan bakar yang dibutuhkan nelayan dalam sekali melaut juga mempengaruhi lamanya nelayan menangkap ikan di laut. Jauhnya jarak yang ditempuh dan lamanya kapal dioperasikan bergantung pada ketersediaan bahan bakar pada kapal tersebut. Hampir setiap hari nelayan Karimunjawa pergi melaut, kecuali hari Jumat dan ketika terang bulan. Hari Jumat adalah hari libur bagi nelayan karena pada hari Jumat, semua nelayan melaksanakan ibadah Shalat Jumat. Namun, seiring perkembangan pariwisata di Karimunjawa, terjadi perubahan jumlah hari melaut di kedua kelompok nelayan ini. Berikut pada Tabel 19 akan disajikan perubahan jumlah hari melaut nelayan yang ada di Karimunjawa.
Tabel 19. Responden Berdasarkan Perubahan Jumlah Trip untuk Menangkap Ikan, Desa Karimunjawa 2012 Jumlah hari Nelayan Non Pariwisata Nelayan Pariwisata melaut selama 1 Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah bulan n % n % N % n % Rendah 0 0.0 1 4.0 1 4.0 11 44.0 Sedang 4 16.0 4 16.0 0 0 12 48.0 Tinggi 21 84.0 20 80.0 24 96.0 2 8.0 Total 25 100.0 25 100.0 25 100.0 25 100.0 Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa ada perubahan jumlah melaut pada kedua kelompok nelayan sebelum dan sesudah adanya kegiatan wisata. Jumlah hari
78
melaut kelompok nelayan non wisata didominasi pada kategori tinggi (≥25 hari). Namun setelah adanya kegiatan pariwisata, terdapat satu orang nelayan non pariwisata memiliki jumlah melaut paling sedikit (20 hari) karena nelayan tersebut juga memiliki lahan pertanian yang harus dikerjakan. Sedangkan pada kelompok nelayan pariwisata, terjadi perubahan dominasi jumlah hari melaut dari tinggi ke kategori sedang (20-24 hari) dan rendah (<20 hari). Terdapat satu orang nelayan yang memiliki jumlah hari melaut dalam kategori rendah (20 hari) sebelum adanya wisata karena nelayan tersebut juga bekerja sebagai penjaga keramba. Jumlah hari melaut nelayan pariwisata mengalami pengurangan yang sangat besar. Hanya 2 orang yang masih melaut setiap hari kecuali hari Jumat, selebihnya berada pada kelompok sedang dan rendah. Hal ini terjadi karena nelayan pariwisata memiliki perkerjaan sampingan yang menyita waktu mereka. Apabila pada hari libur dan banyak wisatawan yang berkunjung, maka nelayan pariwisata tidak akan menangkap ikan. Biasanya hal ini terjadi pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Mereka akan sibuk memandu wisata, baik sebagai guide, tour leader maupun sebagai nahkoda kapal yang menyewakan kapal mereka.
6.2.2
Jumlah Ikan yang Diperoleh Setiap Kali Melaut Berdasarkan laporan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa 2012 diketahui
bahwa biomassa ikan karang dan kelimpahan ikan karang yang dimonitoring dari tahun 2004 hingga tahun 2009 secara umum mengalami penurunan di semua zona yang ada di Taman Nasional Karimunjawa. Selama tahun 2007-2009 terjadi penurunan biomassa ikan karang yang signifikan, yaitu 25,55 persen dari 480,25 kg/ha pada tahun 2005 menjadi 200,30 kg/ha pada tahun 2009. Berikut akan disajikan data mengenai perubahan jumlah tangkapan ikan nelayan.
79
Tabel 20. Responden Berdasarkan Jumlah Tangkapan Ikan, Desa Karimunjawa, 2012 Nelayan Non Pariwisata Nelayan Pariwisata Jumlah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Tangkapan n % n % n % n % Rendah 11 44.0 18 72.0 11 44.0 23 92.0 Sedang 8 32.0 7 28.0 12 48.0 2 8.0 Tinggi 6 24.0 0 0 2 8.0 0 0 Total 25 100.0 25 100.0 25 100.0 25 100.0 Berdasarkan Tabel 20 diketahui bahwa terjadi penurunan jumlah tangkapan ikan di kedua kelompok nelayan. Setelah adanya kegiatan pariwisata, jumlah nelayan yang jumlah tangkapannya berada pada kategori rendah (< 1 kuintal) semakin banyak dan tidak ada yang berada pada kategori tangkapan yang tinggi.
Sebelum adanya
kegiatan wisata, jumlah tangkapan ikan nelayan sekitar 1-2 kuintal untuk nelayan pancing dan 1-3 kuintal untuk nelayan kompressor. Bahkan ada nelayan yang mendapat ikan sampai 5 kuintal. Namun setelah adanya kegiatan wisata, jumlah tangkapan ikan nelayan menjadi berkurang, yaitu sekitar 20-30 kg untuk nelayan pancing dan 1-2 kuintal untuk nelayan tembak. Biomassa dan kelimpahan ikan karang memang mengalami penurunan di kawasan Karimunjawa. Selain karena maraknya penangkapan ikan dengan menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan yang pernah terjadi di kawasan perairan
Karimunjawa,
pengembangan
pariwisata
juga
ikut
menyebabkan
menurunnya jumlah tangkapan nelayan. Spot-spot yang dijadikan sebagai zona atraksi wisata bahari adalah daerah-daerah yang memiliki kelimpahan ikan dan karang yang masih bagus. Sebelum adanya kegiatan pariwisata, nelayan masih bebas menangkap ikan di didaerah tersebut. Namun setelah adanya penetapan kawasan tersebut sebagai zona pariwisata, maka nelayan tidak bisa menangkap ikan di zona wisata tersebut. Atraksi pariwisata juga ikut menimbulkan kerusakan karang. Hal ini terjadi ketika ramainya wisatawan yang melakukan snorkeling pada suatu spot wisata dan terjadi overload pengunjung di perairan tersebut. Wisatawan juga banyak yang menginjak
80
karang sehingga tidak jarang banyak karang yang patah di spot tersebut. Semuanya ini akan berdampak pada ketersediaan jumlah ikan yang semakin sedikit dan tentu saja akan berdampak pada penurunan jumlah tangkapan ikan nelayan. Nelayan sangat resah dengan hal ini sehingga mereka mencari alternatif pekerjaan yang bisa menutupi kebutuhan mereka.
6.2.3
Tingkat Pendapatan Nelayan dari Hasil Tangkapan Ikan Jumlah tangkapan ikan dan nilai jualnya tidak sama setiap harinya karena
jumlah dan jenis ikan yang diperoleh tidak pasti setiap harinya. Jumlah tangkapan dan jenis ikan yang diperoleh akan mempengaruhi jumlah nilai jual hasil tangkapan nelayan. Harga setiap ikan berbeda-beda. Jenis ikan yang ekonomis semakin menurun jumlahnya karana banyak ditangkap oleh nelayan. Ikan kerapu dan ikan sunuk adalah ikan paling mahal di Karimunjawa namun jumlahnya semakin menurun dan susah ditemukan di perairan Karimunjawa akibat penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Berikut akan disajikan data perubahan nilai tangkapan nelayan non pariwisata dan Nelayan Pariwisata di Karimunjawa pada Tabel 21. Tabel 21. Responden Berdasarkan Nilai Hasil Tangkapan, Desa Karimunjawa, 2012 Nilai Hasil Nelayan Non Pariwisata Nelayan Pariwisata Tangkapan Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah (Rp000,-/hari) n % n % n % n % Rendah 17 68.0 17 68.0 21 84.0 23 92.0 Sedang 8 32.0 8 32.0 2 8.0 2 8.0 Tinggi 0 0.0 0 0.0 2 8.0 0.0 0.0 Total 25 100.0 25 100.0 25 100.0 25 100.0 Berdasarkan Tabel 21 diketahui bahwa jumlah pendapatan nelayan Karimunjawa dari sektor perikanan sebelum dan sesudah adanya pariwisata masih tergolong rendah. Sebelum adanya kegiatan pariwisata, jumlah nelayan yang berpendapatan rendah paling banyak terdapat pada kelompok nelayan pariwisata. Hal ini terjadi karena mayoritas nelayan wisata menggunakan pancing sebagai alat tangkapnya. Sedangkan nelayan non pariwisata banyak menggunakan alat tangkap
81
kompressor sehingga jumlah pendapatannya lebih tinggi. Sebelum adanya kegiatan wisata, jumlah pendapatan nelayan per harinya sangat bervariasi mulai dari Rp 65.000,- sampai Rp 200.000,-. Kelompok yang memiliki nilai jual tangkapan terendah terdapat pada nelayan pancing dengan pendapatan antara Rp 65.000,sampai Rp 80.000,- sedangkan kelompok nelayan dengan penghasilan sedang terdapat pada nelayan kompressor dengan pendapatan antara Rp 90.000,- sampai Rp 100.000,-. Kelompok nelayan yang memiliki pendapatan tinggi adalah nelayan yang berstatus juragan kapal yang juga ikut melaut dan langsung menjual sendiri hasil tangkapannya tanpa melalui juragan ikan yang ada di Karimunjawa. Pendapatan nelayan ini kurang lebih Rp 200.000,- setiap kali melaut. Setelah adanya kegiatan pariwisata, semakin banyak jumlah nelayan pariwisata yang memiliki pendapatan rendah di bidang perikanan. Kondisi ini berbeda dengan nelayan non pariwisata yang tidak mengalami perubahan jumlah nelayan pada masing-masing kategori nilai hasil tangkapan sebelum dan sesudah adanya kegiatan pariwisata. Setelah adanya pengembangan kegiatan wisata, pendapatan nelayan mengalami penurunan. Nelayan yang memiliki pendapatan rendah mengalami penurunan pendapatan menjadi Rp 30.000,- sampai Rp 50.000,-. Sedangkan kelompok nelayan yang memiliki pendapatan sedang dan tinggi tidak mengalami penurunan, yaitu Rp 90.000,- sampai Rp 100.000,- dan Rp 200.000,-. Hal ini terjadi karena kelompok nelayan kompressor masih sering mendapatkan ikan yang bernilai jual tinggi. Perkembangan pariwisata ternyata ikut memberikan dampak bagi pendapatan nelayan di bidang perikanan. Tingginya jumlah kunjungan wisatawan membuat tingkat permintaan akan konsumsi ikan juga meningkat sehingga nelayan juga menjual ikan yang berukuran kecil di pasar. Menurunnya jumlah tangkapan ternyata membuat harga jual ikan semakin tinggi sebab jumlah ikan yang sedikit namun permintaan semakin bertambah. Namun, tingginya harga jual ini ternyata tidak diikuti dengan peningkatan jumlah pendapatan nelayan karena jumlah ikan yang diperoleh oleh nelayan semakin menurun setiap kali melaut.
82
6.2.4
Ketersediaan Lapangan Pekerjaan di Sektor Pariwisata Mata pencaharian Desa Karimunjawa mayoritas sebagai nelayan dan
bermukim di daerah pesisir. Bekerja sebagai nelayan dianggap sebagai pekerjaan yang sangat diminati karena nelayan tidak perlu menanam ikan, tetapi bisa langsung mengambil hasilnya setiap saat. Sebagian kecil masyarakat ada juga yang bertani padi, jambu mete dan menanam kelapa. Namun hal ini kurang mendukung karena kondisi tanah yang tidak mendukung untuk pertanian, seperti yang diungkapkan oleh tokoh masyarakat MA (49).
“Allah itu Maha Adil kok Mbak. Setiap orang ditempatkan di daerah yang tepat. Kalo dibandingkan sama pekerjaan lain, pekerjaan nelayan paling enak, ndak perlu menanam ikan, ndak perlu ngasih makan ikan tapi ikannya ada terus setiap hari, enggak habis-habis. Nelayan cuma manen saja. Tapi kembali lagi, Tuhan itu Maha Adil, tanah Karimun ndak sesubur tanah di daerah lain biar kita umatNya selalu bekerja keras dan ndak serakah. Ikan kita memang banyak, tapi kita harus membeli bahan sembako lainnya dari Jepara.” Karimunjawa juga memiliki kekayaan dan keindahan alam yang sangat berpotensi untuk kegiatan pariwisata. Perkembangan wisata di Karimunjawa berkembang dengan adanya berbagai sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan tersebut. Keberadaan sarana dan prasarana wisata tersebut tentu saja membutuhkan sumberdaya manusia untuk mengelolanya. Berkembangnya hotel, resort, homestay, penjualan-penjualan souvenir, jasa transportasi dan jasa pemandu wisata telah membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat Desa Karimunjawa dan masyarakat di luar Desa Karimunjawa. Banyaknya peluang usaha di bidang non perikanan dan non pertanian tersebut membuat variasi pekerjaan semakin banyak. Berdasarkan Laporan Potensi Desa Karimunjawa (2012), jumlah tenaga kerja yang berumur 15-55 tahun di Desa Karimunjawa adalah 1.947 orang dari 4.996 orang total jumlah penduduk. Namun tidak tersedia data mengenai jumlah penduduk yang bekerja di bidang wisata karena pekerjaan ini merupakan pekerjaan sampingan. Selain itu, Dinas Pariwisata juga belum pernah melakukan pendataan tentang jumlah penduduk yang bekerja di bidang tersebut. Sebagian besar dari masyarakat hanya
83
aktif dibidang wisata ketika hari libur tiba. Banyaknya kunjungan wisatawan membuat pendapatan mereka juga ikut bertambah.
Berikut akan disajikan data
mengenai jumlah penduduk yang bekerja di bidang wisata.
Tabel 22. Data Jumlah Penduduk yang Bekerja di Bidang Pariwisata Bidang Pekerjaan Penginapan (homestay) Penjual souvenir Pengrajin Penyewa kapal Guide dan Tour leader Jumlah
n 21 20 15 30 139 225
% 9.3 8.9 6.7 13.3 61.8 100.0
Berdasarkan Tabel 22 tersebut diketahui bahwa jumlah penduduk yang bekerja di bidang wisata adalah 225 orang dari 1.947 jumlah tenaga kerja di Karimunjawa. Hal ini menjadikan pekerjaan di dunia wisata cukup menjanjikan karena jumlah penduduk yang aktif di dunia wisata jauh lebih kecil dari jumlah seluruh tenaga kerja yan tersedia di desa Karimunjawa sehingga masih banyak lapangan pekerjaan lain yang belum dimanfaatkan. Nelayan yang aktif dalam kegiatan wisata kebanyakan bertempat tinggal di sebelah utara dan tengah desa serta di sepanjang jalan utama desa. Hal ini terjadi karena saat ini perkembangan wisata (homestay, toko souvenir dan pusat kuliner) terpusat di bagian utara, yaitu daerah dramaga utama untuk kapal penumpang dan sampai ke bagian tengah (pusat) desa. Sedangkan nelayan yang bertempat tinggal di bagian utara dan selatan jarang ada yang ikut kegiatan wisata karena wisatawan jarang berkunjung ke daerah tersebut.
6.6
Perubahan Sosial Nelayan
6.6.1
Pranata Sosial, Norma, Adat Istiadat dan Lembaga-Lembaga yang ada di Desa Karimunjawa Lembaga sosial atau lembaga masyarakat yang sangat berperan dalam
kehidupan masyarakat Desa Karimunjawa adalah lembaga agama Islam baik sebelum ataupun setelah berkembangnya kegiatan wisata. Berdasarkan survei di lapangan,
84
semua responden menyatakan bahwa lembaga agama sangat berperan dalam kehidupan mereka. Lembaga agama sebagai lembaga yang selalu mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai religius kepada masyarakat. Nilai-nilai ini tidak berubah dengan adanya perkembangan wisata. Setiap hari Jumat semua nelayan tidak ada yang melaut untuk melaksanakan Shalat Jumat. Lembaga agama di Desa Karimunjawa yang melakukan kegiatan rutin adalah adalah NU, Muhammadiah dan Al-Hikmah. Menurut petinggi desa, NT (49), dan petinggi Muhammadiah, MS (54), nilai-nilai Islam tetap tertanam dalam diri masyarakat. Masyarakat punya prinsip yang kuat sehingga tidak terpengaruh dengan budaya wisatawan seperti yang diungkapkan oleh NT (49) dibawah ini. “Masyarakat di sini (Karimunjawa) sudah punya prinsip. Setiap pribadi sudah kuat agamanya, jadi tidak terpengaruh. Seumpama banyak wisatawan bule ke sini atau wisatawan lokal suka tidak pake baju kalau di laut. Tapi tidak ada orang Karimun yang ngikutin. Biasanya pandangan orang-orang tentang tempat wisata itu kan negatif, tapi ternyata di Karimunjawa enggak. Ternyata pemandu-pemandu itu sebelum berangkat tour sudah memberi ceramah bagi wisatawan agar berpakain sopan kalau sudah memasuki desa. Banyak juga wisatawan yang shalat di pulau-pulau ketika mereka ikut tour. Saya melihat dan belajar dari mereka untuk tetap beribadah di mana pun.” Menurut informasi dari masyarakat desa, wisatawan yang datang juga sering membawa pengetahuan bagi masyarakat, khususnya mahasiswa yang melakukan penelitian ke Karimunjawa. Mereka sering mengadakan pelatihan-pelatihan dan mengajar di sekolah. Mereka memotivasi anak-anak sekolah agar terus rajin belajar dan berjuang dalam mendapatkan pendidikan yang tinggi. Para mahasiswa juga mengajarkan tentang pentingnya kebersihan bagi masyarakat desa dengan cara membuang sampah pada tempatnya dan lama-lama masyarakat juga mengikutinya. Wisatawan agamis juga sering berkunjung ke Karimunjawa dan berbagi informasi tentang agama Islam dengan masyarakat Karimunjawa. Hal ini menunjukkan bahwa wisatawan yang datang ke Karimunjawa tidak selamanya membawa pengaruh negatif. Kehadiran wisatawan agamis menginspirasi masyarakat agar semakin cinta pada alam.
85
Selain agama Islam, ada juga penduduk yang beragama Kristen dan sebuah gereja di Karimunjawa. Hubungan antara kedua umat beragama sangat baik, buktinya tidak pernah terjadi konflik antara kedua umat beragama. Tingkat kriminalitas di Desa Karimunjawa juga sangat rendah. Jarang sekali ada perkelahian antar masyarakat karena hubungan kekeluargaan yang tinggi diantara sesama nelayan. Walaupun terdapat banyak suku di Karimunjawa yang berbeda-beda, namun tidak pernah ada terjadi konflik antar suku, seperti yang diungkapkan oleh ZA (33). “Masyarakat disini saling kenal Mbak, mulai dari Legon Lele sampai ke perbatasan Kemujan semuanya kenal. Semuanya akur. Kalau mau bangun rumah kita gotong royong. Kalau ada yang kesusahan kita bantuin. Jenengan (Anda) tanya saja ke kantor polisi, kerja mereka pasti santaisantai karena ndak ada perkara yang mau di urus. Kalo soal keamanan, Karimunjawa nomor satunya Mbak. Ndak pernah ada kecurian. Motor di sini ditinggalin diluar sama kontaknya juga ndak akan hilang.” Karimunjawa tidak memiliki adat istiadat dan budaya yang asli karena tidak ada penduduk asli dari Karimunjawa. Semuanya merupakan masyarakat pendatang, baik dari Jawa, Bugis, Madura, Buton dan suku lainnya. Setiap suku masih menjalankan kebudayaannya masing-masing. Hal ini terlihat dari bentuk bangunan rumah masing-masing suku serta budaya pelaksanaan pernikahan mereka. Tidak ada ketua adat di desa tersebut, yang ada hanyalah ketua masing-masing suku. Meningkatnya pengembangan wisata serta sarana dan prasarana wisata membutuhkan suatu pengaturan yang jelas dalam pengelolaannya. Terdapat paguyuban untuk mengurus kegiataan wisata yaitu paguyuban homestay, paguyuban pembuat kerajinan asli Karimunjawa dan paguyuban kapal carteran. Paguyuban homestay dibentuk untuk mengurus homestay yang ada di Karimunjawa untuk pemerataan pendapatan dan kenyamanan wisatawan. Nelayan juga ikut menyediakan homestay di rumah mereka. Saat ini ada sekitar 30 kapal nelayan yang bergabung dalam paguyuban ini. Apabila kapal mereka tidak dipakai untuk kegiatan wisata, maka nelayan akan melaut untuk menangkap ikan. Lembaga lain yang terbentuk di Karimunjawa yang bergerak di bidang wisata, yaitu Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) yang berdiri pada tahun 1989. Saat ini
86
diketuai oleh Arif Rahman, yang juga menjabat sebagai petinggi desa (kepala desa) dengan jumlah anggota 139 orang. Himpunan ini terdiri dari komponen-komponen usaha jasa wisata, tour leader, diving, souvenir shop, pemilik hotel dan juga guide. Tour leader bekerja mengurus wisatawan yang datang, sedangkan guide bertugas mendampingi wisatawan melakukan tour. Saat ini, sekitar 85 persen anggota HPI yang juga masih aktif sebagai nelayan dan sebagian besar adalah nelayan pancing. Setiap bulan dilakukan rapat HPI untuk membahas pengeluaran dan pemasukan dana HPI serta pembinaan guide yang masih baru. Salah satu budaya masyarakat Karimunjawa adalah gotong royong yang dilaksanakan setiap hari Jumat. Kebiasaan ini sudah dilakukan sejak turun temurun dan masih berjalan hingga saat ini. Masyarakat bergotong royong membersihkan lingkungan rumah, desa dan jalan-jalan utama. Gotong royong membersihkan desa juga dilakukan untuk menyambut kedatangan pejabat-pejabat negara seperti bupati dan gubernur. Gotong royong juga dilakukan untuk membangun rumah-rumah warga. Menurut responden, kepedulian warga akan kebersihan semakin tinggi apalagi semenjak kegiatan wisata makin berkembang. Warga sadar bahwa wisatawan sangat menyukai tempat yang bersih. Apabila lingkungan mereka kotor, maka wisatawan tidak akan suka berkunjung ke tempat tersebut. Namun ada juga nelayan yang berpendapat lain, yang mengatakan bahwa kegiatan gotong royong jarang dilakukan. Masing-masing warga sudah sadar kebersihan sehingga walaupun tidak bergotong royong, mereka tetap membersihkan lingkungannya. Kegiatan gotong royong dan tolong menolong juga dilakukan apabila ada warga yang ingin membangun atau memperbaiki rumah. Hal ini dilakukan untuk memperindah desa dan mempererat hubungan dalam masyarakat. Selain itu, kegiatan gotong royong dalam membangun rumah juga dilakukan untuk memperkecil biaya pembangunan rumah tersebut. Setelah adanya wisata, terdapat kelompok nelayan yang tidak setuju tentang partisipasi masyarakat dalam kegiatan gotong royong. Menurut mereka, Dinas Kebersihan Kota di Kecamatan Karimunjawa telah mempekerjakan para petugas kebersihan yang bertugas membersihkan kecamatan dan Desa Karimunjawa sehingga kegiatan Jumat Bersih menjadi jarang dilakukan. Namun sebagian besar responden
87
tetap setuju bahwa kegiatan gotong royong tetap dilakukan walaupun pelaksanaannya tidak seteratur sebelum adanya kegiatan wisata. Menurut staff TNKJ, NC (28), kegiatan bersih pantai oleh masyarakat menjadi jarang dilakukan karena hampir setiap pulau sudah ada penghuninya, yang membersihkan pantai di pulau tersebut.
6.6.2
Tingkat Migrasi masuk dan Migrasi Keluar Kehadiran wisatawan sering membawa informasi bagi masyarakat tentang
daerah lain, yang kondisinya berbeda dengan Desa Karimunjawa. Hal ini membuat penduduk termotivasi untuk pergi merantau keluar Karimunjawa.
Migrasi
masuk
juga terjadi setelah adanya kegiatan wisata. Kebanyakan berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun pemerintahan desa tidak memiliki data yang pasti tentang jumlah migrasi keluar dan migrasi masuk Desa Karimunjawa, serta jenis pekerjaan yang mereka tekuni karena pemerintah desa tidak pernah mendata jumlah migrasi masuk dan migrasi keluar Karimunjawa. Secara umum hampir semua penduduk Karimunjawa adalah pendatang karena Pulau Karimunjawa tidak memiliki penduduk asli. Masyarakat Karimunjawa tidak merasa terganggu dan tersaingi dengan kedatangan masyarakat pendatang. Hal ini terjadi karena penduduk pendatang hanya memanfaatkan pekerjaan di luar perikanan. Pekerjaan sebagai nelayan membutuhkan pengalaman dan keahlian, sedangkan masyarakat pendatang tidak bisa melakukan hal tersebut. Pendatang biasanya bekerja sebagai pedagang, tukang bangunan dan pekerja-pekerja di homestay atau hotel, seperti yang diungkapkan oleh DT, (18), pendatang asal Lampung yang bekerja di Wisma Apung. “Saya diajakin sama Kakak kesini. Dia udah duluan kerja di hotel Dewadaru. Kalo di Lampung saya enggak punya kerjaan, daripada nganggur mending saya ngikut Kakak. Di Karimunjawa ini asal kita mau, kita pasti dapat kerjaan, Mbak.” Hampir semua masyarakat mengatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah migrasi keluar. Migrasi keluar dipicu oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Sebagian besar penduduk yang bermigrasi keluar Karimun adalah anak
88
usia lulusan SD dan SMP yang pergi ke luar Karimunjawa untuk melanjutkan pendidikan di tingkat SMP, SMA dan perguruan tinggi karena di Karimunjawa hanya terdapat SMK yang berdiri sejak tahun 2002. Walaupun tidak ada data yang pasti tentang jumlah penduduk yang bermigrasi keluar Karimunjawa, namun hal ini dapat dilihat dari data jumlah siswa pada Tabel 5. Tabel tersebut menunjukkan jumlah siswa SD sebanyak 1.260 orang, siswa SMP sebanyak 324 dan siswa SMK sebanyak 274. Data ini membuktikan bahwa terjadi penurunan jumlah anak yang melanjutkan pendidikan di Karimunjawa. Anak yang yang melanjutkan pendidikannya di luar Karimunjawa biasanya tidak akan kembali untuk tinggal di Karimunjawa dan menjadi nelayan.
89
BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN 7.1
Diversifikasi Pekerjaan Nelayan Karimunjawa telah menyadari terjadinya perubahan ekologis di
kawasan Karimunjawa. Berbagai macam bentuk perubahan yang terjadi pada terumbu karang dan perikanan serta perubahan tata ruang dan daya dukung menimbulkan dampak yang cukup besar bagi kegiatan nelayan sehingga mengharuskan nelayan untuk beradaptasi agar dapat bertahan di kawasan tersebut. Strategi adaptasi nelayan Karimunjawa terlihat dari tindakan ekonomi-sosial dalam merespon berbagai macam perubahan ekologis serta perkembangan yang ada di kawasan TNKJ. Pendapatan nelayan cenderung mengalami fluktuasi dan sangat tergantung kepada perubahan alam. Ketika ombak besar atau ketika terang bulang, sangat tidak memungkinkan bagi nelayan kecil untuk melaut. Hal ini terjadi karena rendahnya kualitas armada dan alat tangkap yang mereka miliki. Pada masa inilah nelayan harus dapat mencari alternatif pendapatan untuk bertahan hidup. Diversifikasi
pekerjaan
adalah salah satu bentuk strategi nafkah ganda yang dikembangkan masyarakat nelayan non pariwisata baik di bidang perikanan maupun non perikanan. Penganekaragaman sumber pendapatan yang dilakukan nelayan Karimunjawa seperti berkebun, berjualan, menjadi buruh bangunan serta yang paling banyak dilakukan adalah bekerja di sektor wisata. Berikut data sebaran responden berdasarkan strategi adaptasi dalam diversifikasi pekerjaan yang dilakukan. Tabel 23. Tingkat Diversifikasi Pekerjaan Responden, Desa Karimunjawa, 2012 Tingkat Diversifikasi Pekerjaan n % Rendah 13 26.0 Sedang 29 58.0 Tinggi 8 16.0 Total 50 100.0
90
Tabel 23 menunjukkan tingkat diversifikasi nelayan secara keseluruhan, baik nelayan pariwisata maupun nelayan non pariwisata. Tingkat diversifikasi masingmasing kelompok nelayan akan dijelaskan selanjutnya. Berdasarkan Tabel 24 terlihat bahwa tingkat diversifikasi pekerjaan nelayan Karimunjawa berada pada kategori sedang. Sekitar 58 persen nelayan memilih memiliki satu pekerjaan sampingan selain menjadi nelayan, baik di sektor wisata atau sektor lainnya. Selain itu, sebanyak 26 persen nelayan memilih untuk tidak melakukan diversifikasi pekerjaan. Mereka lebih memilih untuk bekerja sebagai nelayan. Selain itu, sebanyak 16 persen nelayan memiliki dua jenis pekerjaan sampingan selain sebagai nelayan. Berkembangnya pariwisata bahari di Pulau Karimunjawa juga dimanfaatkan oleh nelayan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat pesisir/nelayan setuju dengan pengembangan pariwisata bahari. Hal ini terlihat dari peluang yang dimanfaatkan oleh masyarakat seperti jasa penyewaan kapal, penginapan serta menjadi tour leader dan guide serta penyedia souvenir bagi wisatawan.
7.1.1
Diversifikasi Pekerjaan Nelayan Non Pariwisata Masyarakat Desa Karimunjawa mengandalkan pencukupan kebutuhan
hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut. Secara historis mereka telah terbentuk menjadi komunitas masyarakat pesisir yang identik sebagai nelayan. Hampir setiap hari masyarakat mengarungi Lautan Karimunjawa guna menangkap ikan dan hasil laut lainnya. Padatnya waktu menangkap ikan ini membuat waktu mereka tidak cukup lagi untuk bekerja di sektor lain. Namun, perubahan ekologi yang dirasakan masyarakat membuat mereka harus melakukan diversifikasi pekerjaan. Nelayan Karimunjawa tidak banyak yang bekerja di sektor pertanian karena kondisi tanah yang kurang subur dan terdiri dari bebatuan serta perbukitan. Penganekaragaman sumber pendapatan di bidang perikanan seperti usaha budidaya ikan, budidaya rumput laut dan pengolahan ikan tradisional tidak berkembang karena kurangnya modal untuk pengembangan usaha tersebut. Pekerjaan non perikanan lainnya adalah menjadi buruh bangunan serta berdagang. Berikut pada Tabel 24 akan disajikan data
91
tentang responden nelayan non pariwisata yang mengadakan adaptasi diversifikasi pekerjaan. Tabel 24. Tingkat Diversifikasi Pekerjaan Responden Nelayan Non Pariwisata, Desa Karimunjawa, 2012 Tingkat Diversifikasi n % Rendah 13 52.0 Sedang 12 48.0 Tinggi 0 0.0 Total 25 100.0 Berdasarkan Tabel 24 terlihat bahwa tingkat adaptasi di bidang diversifikasi nelayan non pariwisata masih rendah. Sekitar 52 persen dari responden tidak melakukan diversifikasi pekerjaan. Mereka memilih untuk tetap menjadi nelayan. Sedangkan 48 persen responden lainnya memiliki satu pekerjaan sampingan di bidang non perikanan. Tersedianya lapangan pekerjaan di bidang wisata ternyata hanya dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat khususnya nelayan yang ada di Desa Karimunjawa. Sebagian besar nelayan masih mempertahankan pekerjaan utamanya sebagai nelayan dan ada juga nelayan yang melakukan diversifikasi pekerjaan dengan menjadi tukang bangunan, bertani dan menjaga keramba. Pekerjaan sebagai tukang bangunan sedang banyak digeluti oleh nelayan karena saat ini banyak warga yang membangun rumah untuk homestay dan juga hotel. Pekerjaan ini dilakukan ketika nelayan sedang tidak melaut atau setelah pulang dari melaut. Pekerjaan di bidang budidaya perikanan memang pernah berkembang di Desa Karimunjawa. Akan tetapi budidaya tersebut kurang membuahkan hasil dan membutuhkan modal yang besar. Hal ini membuat nelayan mengusahakan kebunkebun yang mereka miliki. Hasil kebun tersebut adalah mangga, jambu, kelapa, pisang dan bersawah. Hasil kebun tersebut dijual ke pasar terdekat, yaitu Pasar Karimunjawa. Nelayan juga ada yang mengembangkan usahanya ke arah perdagangan, dua orang di antara responden non pariwisata adalah pedagang kelapa muda yang dibeli dari pemilik kebun dan di jual kembali oleh nelayan tersebut. Dua orang lainnya berjualan aksesoris untuk anak-anak. Seorang nelayan memiliki
92
pekerjaan sampingan sebagai pembuat kapal bersama dengan keluarganya. Saat ini di Karimunjawa permintaan kapal terus meningkat, baik untuk kapal menangkap ikan ataupun untuk carteran wisata Satu kapal harganya sekitar 50 juta, sesuai dengan harga materialnya, seperti yang dijelaskan oleh SR (48).
“Kapal yang di pakai Mas Kontet (keponakan) itu saya yang buat Mbak, sekarang juga saya lagi buat yang lebih besar lagi. Saya bikinnya sama Kakak saya. Kadang bertiga. Ndak seluruh orang Karimun bisa bikin kapal, hanya lima orang di Karimun, Mbak. Itu Pak Juri, kelompok saya, Pak Biman, di kapuran dekat dermaga Muria itu ada. Kalo di sini banyak di kampong Bugis. Orang Karimun sekarang udah punya kapal sendiri-sendiri, kan statusnya nelayan, Mbak.” Terdapat satu orang nelayan yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai tukang pijat. Pekerjaan ini baru ditekuni sekitar 5 tahun terakhir untuk menambah pendapatan. Pekerjaan lain yang ditekuni adalah menjadi penjaga keramba. Saat ini jumlah keramba di Karimunjawa semakin berkurang karena biayanya yang besar.
7.1.2
Pola Adaptasi Nelayan Pariwisata Sebelum adanya pengembangan kegiatan wisata, yaitu sekitar tahun 2007,
hanya sedikit nelayan yang melakukan diversifikasi pekerjaan di bidang wisata karena jumlah wisatawan yang datang masih sedikit. Namun setelah tahun 2007, Dinas Pariwisata dan pelaku wisata mulai aktif melakukan promosi melalui internet serta memperbaiki fasilitas-fasilitas komunikasi dan transportasi mulai dibenahi sehingga pariwisata semakin berkembang. Perkembangan ini sangat menguntungkan bagi nelayan yang ikut menjadi pelaku wisata di Karimunjawa. Ketersediaan lapangan kerja di bidang wisata ternyata tidak dilewatkan oleh masyarakat Karimunjawa, khususnya nelayan. Penganekaragaman pekerjaan ini merupakan salah satu bentuk strategi nafkah ganda yang dikembangkan oleh nelayan. Mereka berinisiatif meningkatkan pendapatan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan potensi wisata, seperti penyewaan penginapan, penyewaan perahu, penjualan souvenir dan sebagainya.
93
Ada berbagai macam alasan nelayan
ikut dalam kegiatan wisata seperti
memiliki modal usaha, memiliki pengalaman di bidang wisata dan ingin menambah pendapatan. Memiliki modal usaha merupakan hal yang sangat penting untuk menjalankan usaha, misalnya memiliki kapal untuk disewakan, memiliki rumah untuk dijadikan homestay dan memiliki uang untuk usaha menjual souvenir. Apabila nelayan memiliki modal usaha, maka nelayan tersebut bisa menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan di bidang wisata. Pengalaman juga sangat penting karena dengan memiliki pengalaman yang bagus, nelayan bisa semakin baik dalam menjalankan pekerjaannya. Berikut adalah alasan nelayan melakukan diversifikasi pekerjaan di bidang wisata.
Tabel 25. Alasan Nelayan Ikut dalam Kegiatan Wisata di Desa Karimunjawa, 2012 Alasan Ikut Wisata n % Memiliki modal dan ingin menambah pendapatan 19 76.0 memiliki modal dan pengalaman serta ingin 6 24.0 menambah pendapatan Total 25 100.0 Berdasarkan Tabel 25, terlihat bahwa semua responden memiliki motivasi yang sama, yaitu ingin menambah pendapatan. Hal ini sangat berhubungan dengan jumlah tangkapan ikan nelayan yang semakin menurun sehingga pendapatan nelayan juga menurun sehingga mereka harus mencari alternatif lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Semua responden juga memiliki modal usaha, baik kapal, rumah untuk homestay dan modal untuk usaha souvenir. Namun tidak hanya modal fisik yang dimiliki oleh nelayan. Guide misalnya, yang hanya membutuhkan pengetahuan tentang suatu tempat, bisa berenang dan cakap berbahasa Indonesia. Mereka tidak membutuhkan modal dalam bentuk uang ataupun barang, cukup hanya memiliki kemampuan snorkeling atau diving. Selain memiliki modal dan ingin menambah pendapatan, terdapat 10 orang nelayan yang juga memiliki pengalaman di bidang wisata. Lima orang di antara mereka pernah mengikuti studi banding ke Bali, yang dilaksanakan oleh HPI dalam
94
rangka peningkatan kualitas pelaku wisata (pemilik homestay dan guide). Satu orang lainnya merupakan lulusan SMK jurusan kepariwisataan di desa tersebut. Pengalaman tersebut dijadikan nelayan pariwisata untuk meningkatkan usahanya dalam bidang kepariwisataan. Pekerjaan di bidang wisata merupakan pekerjaan tambahan dan dilakukan saat ada peluang saja karena kedatangan wisatawan yang bersifat musiman. Kunjungan wisatawan yang paling banyak adalah ketika hari-hari libur panjang. Hal ini terjadi karena jarak yang jauh yang harus ditempuh menuju Karimunjawa dan lamanya perjalanan yang harus dilewati wisatawan. Hal ini membuat wisatawan yang berkunjung harus menghabiskan waktu minimal 2 hari berada di Karimunjawa. Selain itu, kunjungan wisatawan juga tergantung pada keadaan gelombang laut. Jika gelombang tinggi, maka syahbandar tidak akan memberikan ijin kepada kapal penumpang dan kapal nelayan untuk melaut. Biasanya hal ini terjadi pada musim baratan. Nelayan pariwisata didominasi oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing. Nelayan bisa menjalankan 2 atau lebih pekerjaan di bidang wisata, sesuai dengan modal dan kemampuan mereka. Berikut akan disajikan data tentang tingkat diversifikasi pekerjaan responden Nelayan Pariwisata yang memanfaatkan peluang usaha di bidang wisata di Karimunjawa.
Tabel 26. Tingkat Diversifikasi Pekerjaan Karimunjawa, 2012 Tingkat Adaptasi Diversifikasi Pekerjaan Rendah Sedang Tinggi Total
Responden Nelayan Pariwisata, Desa n 0 17 8 25
% 0.0 68.0 32.0 100.0
Berdasarkan Tabel 26 terlihat bahwa tingkat diversifikasi nelayan pariwisata berada pada kategori sedang, yaitu memilih satu pekerjaan di bidang non perikanan, yaitu pariwisata. Sedangkan 32 persen nelayan lainnya memiliki tingkat diversifikasi yang tinggi, yaitu memiliki ≥ 2 pekerjaan di bidang wisata. Hal ini menunjukkan
95
bahwa masih sedikit nelayan Karimunjawa yang memanfaatkan peluang kerja di bidang wisata. Berikut akan disajikan tentang data perubahan pekerjaan nelayan pariwisata sebelum dan sesudah adanya pengembangan wisata di Desa Karimunjawa
Tabel 27. Diversifikasi Pekerjaan Nelayan Pariwisata di Desa Karimunjawa, 2012 Sebelum Adanya Kegiatan Wisata Setelah Adanya Kegiatan Wisata n % Nelayan pancing Nelayan pancing 2 8 Tour leader Nelayan pancing Nelayan pancing 8 32 Penyewaan kapal Nelayan pancing Nelayan pancing 4 16 Guide Nelayan pancing Nelayan pancing 3 12 Penyewaan kapal Tour leader Homestay Nelayan pancing Nelayan pancing 1 4 Tour leader Guide Nelayan pancing Nelayan pancing 2 4 Penyewaan kapal Tour leader Nelayan compressor Nelayan kompressor 2 8 Guide Nelayan pancing Nelayan pancing 3 12 Kios Nelayan pancing Nelayan pancing 1 4 Homestay Penyewaan kapal Jumlah 25 100 Bedasarkan Tabel 27 terlihat bahwa sekitar 7 orang nelayan pariwisata hanya melakukan satu jenis usaha di bidang wisata, yaitu sebagai tour leader, guide dan pemilik kios. Sekitar 18 orang lainnya memiliki lebih dari satu usaha di bidang wisata. Hal ini terkait dengan akses dan modal yang dimiliki oleh nelayan. Nelayan yang memiliki homestay biasanya juga merangkap sebagai tour leader yang menyediakan paket wisata serta memiliki kapal untuk disewakan. Kelompok nelayan yang menyewakan kapalnya adalah kelompok yang paling banyak jumlahnya. Hal ini
96
terjadi karena hampir semua nelayan di Karimunjawa sudah memiliki kapal masingmasing sehingga mereka punya modal untuk bergabung dalam wisata. Saat ini jumlah kapal yang disewakan semakin banyak sehingga jumlah kapal yang digunakan untuk menangkap ikan menjadi berkurang. Berdasarkan keterangan seorang juragan yang bernama EK, (23), sebagian anggotanya lebih sering bekerja di bidang wisata daripada melaut menangkap ikan. Hal ini berdampak pada jumlah hasil tangkapan ikan Desa Karimunjawa. Berkurangnya kapal untuk menangkap ikan berarti ikan yang dihasilkan juga berkurang. Kelompok nelayan yang bekerja dibidang wisata didominasi oleh nelayan pancing, sedangkan hanya dua orang nelayan kompressor yang bekerja sebagai guide. Hal ini terjadi karena perkembangan wisata yang masih terpusat daerah nelayan pancing, yaitu di bagian utara dan bagian tengah desa. Hal ini membuat nelayan pancing memiliki akses lebih besar dibandingkan nelayan kompressor yang tinggal di bagian selatan desa. Selain itu, pekerjaan sebagai nelayan kompressor yang membutuhkan tenaga yang banyak membuat mereka lebih memilih beristirahat ketika tidak melaut dibandingkan bekerja lagi di bidang wisata. Pendapatan nelayan kompressor lebih besar dibandingkan nelayan pancing dari hasil perikanan juga mempengaruhi partisipasi nelayan dalam kegiatan wisata nelayan pancing merasa masih perlu untuk mencari tambahan pendapatan lain di luar perikanan. Sebagian besar nelayan yang aktif dalam kegiatan wisata tergabung dalam HPI, seperti guide, tour leader, pemilik homestay, dan toko souvenir. Namun nelayan yang kapalnya disewakan kepada wisatawan tidak masuk menjadi anggota HPI karena para guide atau tour leader yang mengatur tour wisatawan masing-masing sudah memiliki langganan penyewa kapal. Kapal yang dipilih adalah kapal yang bersih dan kapal yang masih bagus mesinnya. Biasanya kapal yang digunakan adalah kapal yang berkapasitas 10-30 orang. Wisatawan sudah mulai datang ke Karimunjawa sejak tahun 1980, namun jumlahnya sangat sedikit karena informasi mengenai Karimunjawa sendiri belum diketahui oleh orang banyak. Namun pada tahun 2007, infrastruktur yang mendukung kegiatan wisata mulai dibangun dan dilengkapi. Promosi mengenai objek wisata di
97
Karimunjawa juga mulai digencarkan, sehingga pada tahun 2007 tersebut kunjungan wisatawan mulai bertambah. Sejak tahun 2007, jumlah nelayan yang bergabung dalam kegiatan wisata semakin bertambah. Hal ini juga didukung oleh jumlah tangkapan ikan yang semakin menurun pada tahun tersebut akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (potassium dan muroami). Perkembangan pariwisata memang sudah dimulai dari tahun 2007, namun hanya sebagian nelayan yang langsung memanfaatkan kesempatan tersebut. Sebelum adanya promosi pariwisata di Karimunjawa, jumlah pengunjung masih sedikit dan penginapan yang ada masih cukup untuk menampung wistawan tersebut. Jumlah orang yang dibutuhkan untuk menjadi guide bagi wisatawan yang datang juga masih sedikit. Selain itu, jumlah ikan yang masih mencukupi membuat nelayan tidak membutuhkan pekerjaan lainnya. Lamanya waktu nelayan bekerja di bidang wisata ini akan menentukan keuntungan yang telah diperoleh nelayan dari pekerjaan di bidang tersebut. Berikut data lamanya nelayan bekerja di bidang wisata yang akan disajikan pada Tabel 28 di bawah ini.
Tabel 28. Responden Nelayan Pariwisata Menurut Lamanya Bekerja di Bidang Wisata, Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Tingkatan Waktu Bekerja di Bidang Wisata n % Rendah 6 24.0 Sedang 12 48.0 Tinggi 7 28.0 Total 25 100.0
Berdasarkan Tabel 28 terlihat bahwa 48 persen responden sudah melakukan diversifikasi pekerjaan dalam tingkat waktu yang sedang, yaitu sekitar 2-4 tahun. Kelompok ini adalah nelayan yang bekerja sebagai tour leader dan guide. Mereka memulai pekerjaannya setelah wisata mulai berkembang. Kelompok Nelayan Pariwisata yang yang sudah bekerja di bidang wisata lebih dari 4 tahun adalah nelayan pemilik homestay dan nelayan yang menyewakan kapalnya. Nelayan pemilik homestay sudah menjadikan rumahnya menjadi homestay sebelum adanya hotel
98
ataupun resort di Karimunjawa. Nelayan yang baru memulai pekerjaannya di bidang wisata selama kurang dari 2 tahun adalah nelayan muda yang bekerja sebagai guide. Seluruh responden nelayan pariwisata memiliki motivasi yang sama yaitu untuk menambah tingkat pendapatan mereka. Pendapatan yang diperoleh nelayan jumlahnya tidak pasti karena tergantung kedatangan wisatawan. Apabila wisatawan ramai yang datang, maka pendapatan nelayan pariwisata juga bertambah. Jumlah pendapatan ini juga tergantung pada jenis usaha yang ditekuni nelayan. Berikut adalah jumlah tambahan pendapatan yang diperoleh nelayan pariwisata yang disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Responden Menurut Tingkat Pendapatan Nelayan yang Bersumber dari Bidang Wisata, Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Tingkat Pendapatan Nelayan di Bidang Wisata n % Rendah 13 52.0 Sedang 4 16.0 Tinggi 8 32.0 Total 25 100.0
Tabel 29 menunjukkan bahwa terdapat 52 persen nelayan pariwisata yang memiliki pendapatan di bawah Rp 600.000,-. Kelompok ini adalah kelompok nelayan yang menyewakan kapalnya untuk kegiatan wisata. Tarif yang ditetapkan untuk satu kapal adalah Rp 100.000,- setiap kali mengantar wisatawan. Saat ini belum tersedia pengaturan yang bagus untuk jadwal penggunaan kapal nelayan yang akan disewa. Sejauh ini, kapal yang digunakan adalah kapal milik kerabat guide atau tour leader wisatawan tersebut, seperti yang diungkapkan oleh LM (48). ”Tidak semua nelayan Karimun bisa ikut wisata Mbak. Yang kapalnya dipakai itu terbatas sama kerabat-kerabat tour guidenya saja. Misalnya, saya punya keluarga yang kerja di wisata, kalau dia ada tamu maka dia nyewa kapal saya. Begitu seterusnya. Ndak bergiliran, padahal nelayan yang lain juga kan ingin kapalnya bisa dipakai apalagi musim susah begini.”
99
Penyewaan kapal adalah pekerjaan yang bisa diakses oleh semua nelayan karena hampir semua nelayan di Karimunjawa memiliki kapal dan bisa mengoperasikannya. Namun karena tidak meratanya kesempatan yang dimiliki oleh setiap nelayan membuat kesenjangan di antara mereka. Menurut masyarakat, pengaturan ini sudah dibicarakan dalam rapat HPI namun keputusannya belum dijalankan. Selain kelompok penyewa kapal, kelompok guide juga memiliki pendapatan di bawah Rp 600.000,-. Upah untuk seorang guide snorkeling adalah Rp 100.000,dan upah seorang guide diving adalah Rp 200.000,- namun dipotong Rp 10.000,untuk kas HPI. Semua kelompok guide bisa melakukan snorkeling namun tidak semua bisa melakukan diving. Kelompok nelayan yang memiliki tingkat pendapatan yang sedang adalah nelayan yang bekerja sebagai tour leader. Mereka mendapatkan keuntungan dari paket wisata untuk pengunjung dan mereka juga mendapatkan komisi dari homestay yang digunakan oleh wisatawan yang memakai jasa mereka. Nelayan ini juga biasanya merangkap sebagai guide sehingga pendapatan mereka lebih besar dibanding guide. Kelompok nelayan yang memiliki pendapatan yang tinggi adalah kelompok nelayan yang memiliki homestay dan toko souvenir. Tarif satu kamar mulai dari Rp 70.000,-. Saat ini banyak nelayan yang memperbaiki dan memperluas rumah mereka sehingga bisa dijadikan homestay. Nelayan yang memiliki homestay ini biasanya juga memiliki kapal untuk disewakan sehingga mereka memiliki tambahan pendapatan dari kapal tersebut. Nelayan souvenir juga mendapatkan keuntungan yang tinggi dari hasil penjualan mereka karena jumlah toko souvenir yang masih sedikit, yaitu 19 toko sehingga nelayan souvenir tidak mengalami persaingan usaha yang berat. Bekerja di bidang wisata sangat menguntungkan bagi nelayan karena tanpa modal yang besar, mereka bisa mendapat upah yang besar. Walaupun pekerjaan ini tidak setiap hari, namun sebagian nelayan lebih memilih bekerja di bidang wisata dari pada menjadi seorang nelayan. Mereka adalah kelompok nelayan yang mempunyai homestay, tour leader, guide, dan pemilik kios souvenir. Hal ini terjadi karena
100
pendapatan yang mereka peroleh dari wisata lebih besar daripada pendapatan mereka di bidang perikanan. Namun berbeda dengan nelayan penyewa kapal yang lebih memilih bekerja sebagai nelayan daripada menjadi pelaku wisata karena jumlah pendapatan nelayan penyewa kapal lebih kecil daripada kelompok nelayan pariwisata lainnya. Kecilnya pendapatan ini mempengaruhi keputusan mereka untuk lebih memilih melaut daripada menjadi pelaku wisata. Alasan lainnya adalah kegiatan wisata yang bersifat musiman membuat mereka tidak bisa menyewakan kapalnya setiap hari. Berbeda dengan penangkapan ikan bisa dilakukan setiap hari, sehingga mereka lebih memilih menjadi nelayan.
7.2
Alat Tangkap Nelayan Karimunjawa Berdasarkan Laporan DKP Karimunjawa (2011), diketahui bahwa ukuran
kapal-kapal yang ada di Karimunjawa masih kecil, yaitu < 5GT. Setiap kapal mempunyai alat tangkap lebih dari satu jenis, yaitu pancing, bubu, jaring dan branjang. Pengoperasiannya tergantung musim, bisa digunakan hanya satu alat tangkap dan kadang beberapa alat dioperasikan bersamaan. Alat tangkap yang digunakan pada tahun 2010 adalah pancing tonda, jaring insang, branjang, bubu dan muroami. Namun menurut informasi masyarakat setempat, muroami sudah tidak ada lagi karena adanya pelarangan pengoperasian alat tangkap tersebut sebab merusak karang dan biota laut lainnya. Pancing adalah alat tangkap yang paling dominan digunakan di Karimunjawa. Saat ini alat tangkap yang paling dominan adalah pancing dan tembak, seperti yang diungkapkan AS (34) dibawah ini.
“Nelayan itu ada dua jenis, ada yang pancing dan ada yang karet. Yang karet itu menggunakan tembak. Katagori nelayan itu banyak, tapi di Karimun biasane pake pancing sama tembak. Nelayan tembak itu pake kompressor, biasane orang-orang di daerah utara (Lego). Nanti Jenengan (Anda) tanya daerah Lego, disana banyak nelayan kompressor. Kalo kita yang ditengah ini (pusat desa) kebanyakan yang pancing.”
101
Alat tangkap yang digunakan nelayan Desa Karimunjawa masih bersifat tradisional. Penyuluhan serta pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh LSM serta BTNKJ ternyata telah berhasil membuat nelayan mengerti akan dampak negatif penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Berikut akan disajikan perubahan alat tangkap nelayan sebelum dan sesudah adanya kegiatan wisata di Karimunjawa pada Tabel 30. Tabel 30. Responden berdasarkan Teknologi Alat Tangkap Ikan, Desa Karimunjawa, 2012 Nelayan Non Pariwisata Nelayan Pariwisata Teknologi Alat Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Menangkap Ikan n % n % n % n % Rendah 17 68.0 18 72.0 23 92.0 23 92.0 Tinggi 8 32.0 7 28.0 2 8.0 2 8.0 Total 25 100.0 25 100.0 25 100.0 25 100.0 Tabel 30 di atas menunjukkan bahwa terjadi perubahan jumlah nelayan non pariwisata yang menggunakan alat tangkap berteknologi rendah (pancing), dan tinggi (kompressor) walaupun tidak terlalu signifikan. Berdasarkan survei yang dilakukan pada nelayan non pariwisata, terdapat satu orang nelayan yang mengganti alat tangkapnya dari kompressor ke pancing karena faktor umur responden tersebut. Sedangkan pada nelayan pariwisata tidak ada yang mengganti alat tangkapnya. Melalui Tabel 38 juga diketahui bahwa alat tangkap mempengaruhi kontribusi nelayan dalam kegiatan wisata. Jumlah nelayan yang menggunakan pancing pada nelayan non pariwisata lebih sedikit daripada nelayan pariwisata, sedangkan penggunaan kompressor pada nelayan non pariwisata lebih banyak daripada nelayan pariwisata. Alat tangkap sangat menentukan jumlah tangkapan yang diperoleh dan alat tangkap kompressor bisa mendapatkan hasil tangkapan lebih banyak daripada alat pancing.
102
BAB VIII HUBUNGAN PERUBAHAN PEREKONOMIAN NELAYAN DENGAN POLA ADAPTASI NELAYAN
Terdapat empat variabel perubahan ekonomi responden nelayan non pariwisata dengan nelayan pariwisata dianalisis hubungannya dengan pola adaptasi yang dikembangkan nelayan. Namun hanya tiga variabel yang akan diteliti yaitu jumlah hari melaut menangkap ikan, jumlah hasil tangkapan ikan dan tingkat pendapatan dalam sektor perikanan karena ketiga variabel ini diukur secara kuantitatif. Peluang kerja yang tersedia juga ikut mempengaruhi pola adaptasi nelayan namun diolah secara kualitatif. Adapun pola adaptasi yang dikembangkan adalah diversifikasi pekerjaan dan perubahan alat tangkap. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah perubahan ekonomi di bidang perikanan berhubungan dengan pola adaptasi nelayan. Hubungan ini diolah dengan menggunakan tabulasi silang. 8.1
Tingkat Perekonomian Nelayan Karimunjawa dari Sektor Perikanan Pengembangan pariwisata di Desa Karimunjawa telah menyebabkan
perubahan ekologi di kawasan tersebut. Menurunnya jumlah biomassa dan kelimpahan ikan karang serta menyempitnya zona penangkapan ikan tradisional mempengaruhi perekonomian nelayan. Tingkat perekonomian nelayan Karimunjawa dilihat dari variabel ekonomi yaitu jumlah trip melaut, jumlah hasil tangkapan ikan nelayan dan tingkat pendapatan dari hasil perikanan. Berdasarkan data pada Bab VI menunjukkan bahwa jumlah tangkapan dan pendapatan nelayan di bidang perikanan menurun untuk kedua kelompok nelayan. Berbeda dengan jumlah trip melaut nelayan pariwisata yang berkurang, trip nelayan non pariwisata tidak mengalami perubahan yaitu tetap pada kategori tinggi. Melalui ketiga variabel ekonomi tersebut akan menentukan kategori tingkat ekonomi nelayan dengan menjumlahkan skor masingmasing
variabel
dan
menentukan
selang
untuk
masing-masing
kategori
perekonomian. Berikut pada Tabel 31 akan disajikan data mengenai tingkat perekonomian nelayan non pariwisata dan nelayan pariwisata di Desa Karimunjawa.
103
Tabel 31. Tingkat Perekonomian Nelayan Pariwisata Karimunjawa Setelah Adanya Pengembangan Pariwisata di Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Tingkat Nelayan Non Pariwisata Nelayan Pariwisata Perekonomian Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Nelayan n % n % n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 1 4.0 9 36.0 Sedang 19 76.0 20 80.0 18 72.0 16 64.0 Tinggi 6 24.0 5 20.0 6 24.0 0 0.0 Total 25 100.0 25 100.0 25 100.0 25 100.0 Tabel 31 menunjukkan bahwa tingkat perekonomian nelayan Karimunjawa berada pada kategori sedang. Keadaan perekonomian nelayan non pariwisata di bidang perikanan tidak mengalami perubahan yang nyata sebelum dan sesudah adanya kegiatan pariwisata. Perubahan tingkat perekonomian yang sangat jelas terjadi pada nelayan pariwisata. Walaupun tingkat perekonomian masih dominan pada kategori sedang, namun terjadi pengurangan nelayan yang berpendapatan tinggi dan bertambahnya nelayan yang berpendapatan rendah di sektor perikanan. Hal ini terjadi akibat jumlah hari trip melaut nelayan pariwisata yang berkurang karena mereka juga menghabiskan waktunya untuk bekerja di sektor pariwisata. Apabila nelayan melakukan kegiatan wisata, nelayan tersebut tidak akan menangkap ikan pada hari tersebut. Hal ini tentu saja akan mengurangi jumlah pendapatan mereka dibidang perikanan. Perbedaan tingkat perekonomian nelayan pariwisata dan nelayan non pariwisata juga disebabkan oleh perbedaan alat tangkap kedua kelompok nelayan. Nelayan pariwisata yang menggunakan alat pancing akan lebih rendah pendapatannya dari nelayan non pariwisata yang menggunakan alat tangkap kompressor.
8.2
Tingkat Adaptasi Nelayan Strategi adaptasi nelayan adalah kegiatan yang dilakukan nelayan untuk
menyiasati perubahan ekologis dan perekonomian nelayan. Tingkat adaptasi nelayan dilihat dari dua variabel yaitu tingkat diversifikasi pekerjaan dan perubahan alat penangkapan ikan nelayan. Melalui analisis data pada Bab VII tentang adaptasi
104
nelayan, maka dapat ditentukan tingkat adaptasi yang dikembangkan oleh nelayan melalui
kedua variabel tersebut. Diversifikasi yang dikembangkan nelayan non
pariwisata berbeda dengan nelayan pariwisata. Diversifikasi pekerjaan nelayan non pariwisata dilakukan di luar bidang perikanan dan bidang pariwisata. Sedangkan diversifikasi yang dikembangkan oleh nelayan pariwisata adalah pengembangan pekerjaan di bidang pariwisata. Berikut akan disajikan data pada Tabel 32 tentang tingkat adaptasi nelayan Karimunjawa.
Tabel 32. Tingkat Adaptasi yang Dikembangkan Oleh Nelayan Karimunjawa, Tahun 2012 Tingkat Adaptasi Nelayan Non Pariwisata Nelayan Pariwisata n % n % Rendah 8 32.0 0 0.0 Sedang 15 60.0 15 60.0 Tinggi 2 8.0 10 40.0 Total 25 100.0 25 100.0 Tabel 32 menunjukkan bahwa strategi adaptasi yang dikembangkan oleh nelayan non pariwisata maupun nelayan pariwisata di bidang diversifikasi pekerjaan dan perubahan alat tangkap berada pada kategori sedang. Namun terdapat perbedaan antara nelayan non pariwisata dengan nelayan pariwisata. Nelayan non pariwisata masih ada yang memiliki adaptasi yang rendah sedangkan nelayan pariwisata tidak. Artinya masih ada nelayan non pariwisata yang tidak melakukan adaptasi sedangkan semua nelayan pariwisata melakukan adaptasi. Tingkat adaptasi kategori tinggi paling banyak terdapat pada nelayan pariwisata dibanding nelayan non pariwisata. Hal ini terjadi karena terdapat nelayan pariwisata yang memiliki lebih dari 2 pekerjaan di bidang wisata.
8.3
Hubungan Perubahan Ekonomi dengan Adaptasi Nelayan Hipotesis mengatakan bahwa semakin rendah tingkat perekonomian nelayan
di bidang perikanan maka semakin tinggi tingkat pola adaptasi yang dikembangkan nelayan. Berikut pada Tabel 33 disajikan data mengenai persentase hubungan tingkat
105
perekonomian nelayan dengan tingkat adaptasi yang dikembangkan nelayan non pariwisata dan nelayan pariwisata setelah adanya kegiatan wisata di Karimunjawa.
Tabel 33. Persentase Tingkat Diversifikasi Pekerjaan yang Dikembangkan Nelayan Berdasarkan Tingkat Ekonomi Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Tingkat Tingkat Adaptasi Ekonomi Nelayan Non Pariwisata Total Nelayan Pariwisata Total Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 20.0 16.0 36.0 Sedang 24.0 52.0 4.0 80.0 0.0 40.0 24.0 64.0 Tinggi 8.0 8.0 4.0 20.0 0.0 0.0 0.0 100.0 Total 32.0 60.0 8.0 100.0 0.0 60.0 40.0 100.0 Berdasarkan Tabel 33 terlihat hubungan tingkat adaptasi berdasarkan tingkat ekonomi di bidang perikanan kedua kelompok nelayan paling tinggi pada kategori sedang. Namun terdapat perbedaan antara tingkat adaptasi dengan tingkat perekonomian kedua kelompok nelayan tersebut. Sebanyak 32 persen nelayan non pariwisata tidak melakukan adaptasi pekerjaan maupun alat tangkap. Nelayan non pariwisata memang tidak ada yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah karena jumlah trip melautnya yang tinggi dan sebagian menggunakan kompressor. Hal ini menjadikan hanya terdapat 8 persen nelayan yang memiliki pola adaptasi yang tinggi. Berbeda dengan nelayan non pariwisata, sebanyak 36 persen nelayan pariwisata memiliki tingkat perekonomian yang rendah tetapi nelayan tersebut melakukan adaptasi di bidang pekerjaan. Tidak terdapat nelayan pariwisata yang memiliki tingkat perekonomian yang tinggi di bidang perikanan, namun 40 persen dari kelompok ini melakukan pola adaptasi yang tinggi dan 60 persen adaptasi yang rendah di bidang diversifikasi pekerjaan. Hal ini sesuai dengan hipotesis yaitu semakin rendah tingkat perekonomian di bidang perikanan maka semakin tinggi pola adaptasi yang dikembangkan nelayan.
106
8.3.1
Hubungan antara Jumlah Trip Nelayan Menangkap Ikan di Laut dengan Diversifikasi Pekerjaan Nelayan Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara lamanya
nelayan menangkap ikan di laut setelah adanya kegiatan pengembangan wisata dengan diversifikasi pekerjaan nelayan non pariwisata dan nelayan pariwisata. Kondisi setelah adanya kegiatan wisata dipilih karena setelah adanya pengembangan inilah mulai adanya diversifikasi pekerjaan nelayan. Sebelumnya, nelayan hanya mengandalkan sektor perikanan saja. Melalui Tabel 34 diketahui bahwa terdapat hubungan antara jumlah hari melaut nelayan dengan tingkat diversifikasi pekerjaan yang dikembangkan. Semakin tinggi jumlah hari melaut, maka semakin rendah tingkat diversifikasi dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena waktu untuk melaut yang tinggi menjadikan nelayan tidak bisa membagi waktunya untuk pekerjaan di bidang non perikanan lainnya. Diversifikasi nelayan non pariwisata tergolong rendah karena mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menangkap ikan, yang dianggap lebih menguntungkan. Sedangkan jumlah hari melaut nelayan pariwisata tergolong sedang dengan tingkat diversifikasi yang sedang. Tabel 34 menyajikan data mengenai persentase hubungan jumlah hari melaut nelayan Karimunjawa dengan tingkat diversifikasi pekerjaannya.
Tabel 34. Persentase Tingkat Diversifikasi Pekerjaan yang Dikembangkan Nelayan Berdasarkan Jumlah Trip Melaut Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Jumlah Diversifikasi Pekerjaan Hari Nelayan Non Pariwisata Nelayan Pariwisata Total Total Melaut Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah 0.0 4.0 0.0 4.0 0.0 24.0 20.0 34.0 Sedang 4.0 12.0 0.0 16.0 0.0 36.0 12.0 38.0 Tinggi 38.0 32.0 0.0 80.0 0.0 8.0 0.0 8.0 Total 42.0 48.0 0.0 100.0 0.0 68.0 32.0 100.0
107
8.3.2
Hubungan antara Jumlah Trip Nelayan Menangkap Ikan di Laut dengan Perubahan Alat Tangkap Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan yang
signifikan dalam hubungan perubahan jumlah trip melaut dengan alat tangkap yang digunakan nelayan non pariwisata sebelum dan sesudah adanya pengembangan wisata. Hal ini terjadi karena hanya dua orang yang mengganti alat tangkapnya yaitu dari nelayan pancing ke kompressor dan yang lain dari kompressor ke alat pancing. Jumlah hari melaut nelayan non pariwisata juga tidak berubah, yaitu didominasi oleh kategori tinggi. Tingkat diversifikasi pekerjaan nelayan non pariwisata memang rendah (52 persen) sehingga mereka memiliki banyak waktu untuk bekerja diperikanan. Sejak adanya kesadaran kerusakan ekologi serta adanya pelarangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, maka nelayan semakin banyak yang menggunakan alat tangkap pancing. Berikut data hubungan perubahan jumlah hari melaut dengan perubahan alat tangkap nelayan non pariwisata.
Tabel 35. Persentase Perubahan Alat Tangkap yang Dikembangkan Nelayan Non Pariwisata Berdasarkan Jumlah Trip Melaut Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Jumlah Alat Tangkap Nelayan Non Pariwisata Hari Sebelum Sesudah Total Total Melaut Pancing Kompresor Pancing Kompressor Rendah 0.0 0.0 0.0 4.0 0.0 4.0 Sedang 16.0 0.0 16.0 16.0 0.0 16.0 Tinggi 52.0 32.0 84.0 52.0 28.0 80.0 Total 68.0 32.0 100.0 72.0 28.0 100.0 Hubungan perubahan hari melaut dengan perubahan alat tangkap nelayan pariwisata juga dianalisis dan tidak terdapat hubungan di antara keduanya. Jumlah hari melaut nelayan pariwisata memang terjadi penurunan, namun tidak diikuti oleh perubahan alat tangkap yang digunakan. Hal ini terjadi karena nelayan juga menggunakan waktunya untuk bekerja di bidang pariwisata sehingga mengurangi waktunya untuk melakukan penangkapan ikan. Nelayan pariwisata memang dominan menggunakan alat tangkap pancing daripada kompressor karena nelayan kompressor
108
bekerja dalam kelompok dan membutuhkan energi yang banyak. Berikut data mengenai presentase hubungan perubahan jumlah hari melaut dengan perubahan alat tangkap yang digunakan nelayan pariwisata sebelum dan sesudah adanya kegiatan pariwisata. Tabel 36. Persentase Perubahan Alat Tangkap yang Dikembangkan Nelayan Pariwisata Berdasarkan Jumlah Trip Melaut Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Alat Tangkap Nelayan Pariwisata Jumlah Hari Sebelum Sesudah Melaut Total Total Pancing Kompressor Pancing Kompressor Rendah 4.0 0.0 4.0 40.0 4.0 4.0 Sedang 0.0 0.0 0.0 44.0 4.0 48.0 Tinggi 88.0 8.0 96.0 8.0 0.0 8.0 Total 92.0 8.0 100.0 92.0 8.0 100.0
8.3.3
Hubungan Jumlah Pekerjaan Nelayan
Hasil
Tangkapan
Ikan
dengan
Diversifikasi
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan jumlah tangkapan nelayan dengan diversifikasi pekerjaannya. Hipotesis menyatakan bahwa semakin rendah tingkat pendapatan dari sektor perikanan, maka semakin tinggi tingkat diversifikasi untuk mencukupi kebutuhan hidup. Namun ada perbedaan antara nelayan non pariwisata dengan nelayan pariwisata. Walaupun jumlah hasil tangkapan kedua kelompok nelayan ini sama-sama rendah, namun tingkat partisipasi nelayan pariwisata dalam mengembangkan pola adaptasinya lebih tinggi dibandingkan nelayan non pariwisata. Hal ini terjadi karena 24 persen nelayan non pariwisata memiliki pendapatan sedang dan mereka adalah nelayan kompressor sehingga nelayan tersebut tidak melakukan diversifikasi pekerjaan. Sebagian besar bentuk diversifikasi pekerjaan nelayan non pariwisata adalah sebagai tukang bangunan. Seluruh nelayan pariwisata melakukan diversifikasi pekerjaan walaupun didominasi oleh kategori sedang (60 persen) yaitu memiliki dua pekerjaan di bidang wisata. Hasil tangkapan yang rendah memotivasi mereka untuk melakukan diversifikasi pekerjaan. Selain itu, alat tangkap pancing yang digunakan nelayan juga
109
mendukung pekerjaan ini karena tidak ada keterikatan dengan kelompok, seperti nelayan kompressor. Berikut akan disajikan data pada Tabel 37 tentang persentase hubungan jumlah hasil tangkapan dengan tingkat diversifikasi nelayan non pariwisata dan nelayan pariwisata.
Tabel 37. Persentase Tingkat Diversifikasi Pekerjaan yang Dikembangkan Nelayan Berdasarkan Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Jumlah Diversifikasi Pekerjaan Hasil Nelayan Non Pariwisata Nelayan Pariwisata Total Total Tangkapan Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah 28.0 44.0 0.0 72.0 0.0 60.0 32.0 92.0 Sedang 24.0 4.0 0.0 28.0 0.0 8.0 0.0 8.0 Tinggi 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Total 52.0 48.0 0.0 100.0 0.0 68.0 32.0 100.0
8.3.4
Hubungan Jumlah Hasil Tangkapan ikan dengan Perubahan Alat Tangkap Nelayan Karimunjawa Satria (2009) menyebutkan bahwa salah satu strategi mata pencaharian yang
bisa dilakukan adalah mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk bisa bertahan hidup di tengah rusaknya sumber mata pencaharian mereka dan pembatasan akses pemanfaatan akibat aktifitas swasta dan keberadaan zonasi oleh pemerintah. Nelayan Karimunjawa menggunakan dua alat tangkap, yaitu pancing dan kompressor. Alat tangkap dengan menggunakan kompressor memiliki teknologi lebih tinggi daripada alat tangkap pancing. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa jumlah hasil tangkapan ternyata tidak mempengaruhi perubahan alat tangkap. Penggunaan alat tangkap kompressor justru berkurang ketika terjadi pengembangan pariwisata karena adanya penganjuran penghentian penggunaan kompressor karena merusak karang. Nelayan non pariwisata juga tetap bertahan menggunakan alat tangkap pancing karena resikonya lebih kecil dari pada alat tangkap kompressor. Berikut disajikan data tentang hubungan perubahan jumlah hasil tangkapan dengan perubahan alat tangkap nelayan non pariwisata.
110
Tabel 38. Persentase Perubahan Alat Tangkap yang Dikembangkan Nelayan Non Pariwisata Berdasarkan Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Jumlah Alat Tangkap Nelayan Non Pariwisata Hasil Sebelum Sesudah Total Total Tangkapan Pancing Kompresor Pancing Kompressor Rendah 36.0 8.0 44.0 68.0 4.0 72.0 Sedang 32.0 0.0 32.0 4.0 24.0 28.0 Tinggi 0.0 24.0 24.0 0.0 0.0 0.0 Total 68.0 32.0 100.0 72.0 28.0 100.0 Hubungan antara perubahan jumlah hasil tangkapan dengan perubahan alat tangkap yang digunakan nelayan pariwisata juga tidak berbeda dengan kondisi nelayan non pariwisata. setelah adanya kegiatan pengembangan wisata, tangkapan nelayan semakin rendah, namun tidak diikuti dengan peningkatan teknologi alat tangkapnya. Berdasarkan analisis terlihat bahwa tidak ada nelayan yang mengganti alat tangkapnya walaupun ikan yang didapat semakin sedikit dan susah mendapatkannya. Nelayan pancing adalah nelayan yang bisa melaut sendiri, tanpa bergantung kepada kelompok sehingga waktu melautnya bisa fleksibel. Bekerja sebagai nelayan pancing juga tidak membutuhkan tenaga sebesar yang tenaga yang dibutuhkan oleh nelayan kompressor sehingga nelayan pancing bisa maksimal bekerja di bidang pariwisata. Berikut akan disajikan data mengenai persentase hubungan antara perubahan jumlah hasil tangkapan ikan dengan perubahan alat tangkap nelayan pariwisata, sebelum dan sesudah adanya pengembangan kegiatan pariwisata. Tabel 39. Persentase Perubahan Alat Tangkap yang Dikembangkan Nelayan Pariwisata Berdasarkan Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Jumlah Alat Tangkap Nelayan Pariwisata Hasil Sebelum Sesudah Total Total Tangkapan Pancing Kompresor Pancing Kompressor Rendah 44.0 0.0 44.0 92.0 0.0 92.0 Sedang 44.0 4.0 48.0 0.0 8.0 8.0 Tinggi 4.0 4.0 8.0 0.0 0.0 0.0
111
Total 8.3.5
92.0
8.0
100.0
92.0
8.0
100.0
Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Diversifikasi Pekerjaan Nelayan Hipotesis penelitian menyatakan bahwa apabila tingkat pendapatan dalam
sektor perikanan rendah, maka tingkat diversifikasi akan semakin tinggi. Namun hal ini tidak terjadi pada nelayan Karimunjawa. Sekitar 28 persen nelayan yang berpendapatan rendah dan 24 persen nelayan berpendapatan sedang tidak melakukan diversifikasi pekerjaan. Hal ini terjadi karena nelayan-nelayan tersebut lebih menyenangi bekerja sebagai nelayan walaupun hasilnya tidak pasti. Selain itu, ada juga yang beralasan malas, tidak memiliki keahlian lain dan merasa capek jika menambah pekerjaan lain. Sekitar 40 persen nelayan bependapatan rendah dan 8 persen berpendapatan sedang melakukan diversifikasi pekerjaan, namun dalam kategori sedang, yaitu memiliki satu pekerjaan di bidang non perikanan. Hal ini dilakukan untuk menutupi kekurangan pendapatan dari sektor perikanan. Berbeda dengan nelayan non pariwisata, nelayan pariwisata justru melakukan diversifikasi pekerjaan. Sebanyak 68 persen nelayan yang memiliki pendapatan rendah memilih memiliki satu pekerjaan di bidang wisata dan sekitar 24 persen memiliki dua atau lebih pekerjaan di bidang wisata dan sekitar 8 persen nelayan berpendapatan sedang memiliki tingkat diversifikasi yang tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh akses dan modal yang dimiliki nelayan pariwisata yang dapat dimanfaatkan dalam bekerja di industri pariwisata. Modal yang paling banyak dimiliki oleh nelayan pariwisata adalah kapal yang bisa disewakan untuk wisatawan. Namun tidak semua nelayan pariwisata memiliki keahlian menjadi tour leader, guide atau memiliki rumah yang bisa dijadikan homestay. Oleh sebab itu, tingkat diversifikasi nelayan pariwisata masih tergolong sedang.
Berikut pada Tabel 41 akan disajikan data tentang
persentase hubungan tingkat pendapatan dengan tingkat diversifikasi pekerjaan nelayan non pariwisata dan nelayan pariwisata setelah adanya pengembangan pariwisata di Desa Karimunjawa.
112
Tabel 40. Persentase Tingkat Diversifikasi Pekerjaan Sesudah Adanya Pariwisata yang Dikembangkan Nelayan Berdasarkan Tingkat Pendapatan Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Diversifikasi Pekerjaan Sesudah adanya Pariwisata Tingkat Nelayan Pariwisata Pendapatan Nelayan Non Pariwisata Total Total Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah 28.0 40.0 0.0 68.0 0.0 68.0 24.0 92.0 Sedang 24.0 8.0 0.0 32.0 0.0 0.0 8.0 8.0 Tinggi 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Total 52.0 44.0 0.0 100.0 0.0 68.0 32.0 100.0
8.3.6
Hubungan Perubahan Tingkat Pendapatan dengan Perubahan Alat Tangkap Nelayan Hasil analisis menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendapatan ternyata
tidak mempengaruhi perubahan alat tangkap nelayan pariwisata dan nelayan non pariwisata. Menurunnya jumlah tangkapan menyebabkan menurunnya jumlah pendapatan dari sektor perikanan. Namun nelayan tidak melakukan perubahan alat tangkapnya. Hal ini terjadi karena adanya larangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti muroami, potassium dan alat tangkap yang merusak karang lainnya. Pengalaman sebagai nelayan tradisional yang telah turun temurun dilakoni nelayan Karimunjawa membuat mereka tetap bertahan menggunakan alat pancing tersebut. Berikut akan disajikan data mengenai hubungan perubahan jumlah pendapatan di sektor perikanan dengan perubahan alat tangkap nelayan non pariwisata. Tabel 41. Persentase Perubahan Alat Tangkap yang Dikembangkan Nelayan Non Pariwisata Berdasarkan Tingkat Pendapatan Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Alat Tangkap Nelayan Non Pariwisata Tingkat Sebelum Sesudah Pendapatan Total Total Pancing Kompresor Pancing Kompressor Rendah 64.0 4.0 68.0 68.0 0.0 68.0 Sedang 4.0 28.0 32.0 4.0 28.0 32.0 Tinggi 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Total 68.0 32.0 100.0 72.0 28.0 100.0
113
Kondisi nelayan non pariwisata juga tidak jauh berbeda dengan kondisi nelayan non pariwisata. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendapatan tidak mempengaruhi perubahan alat tangkap nelayan. Berikut akan disajikan data mengenai hubungan perubahan jumlah pendapatan di sektor perikanan dengan perubahan alat tangkap nelayan pariwisata sebelum dan sesudah adanya kegiatan pariwisata.
Tabel 42.
Persentase Perubahan Alat Tangkap yang Dikembangkan Nelayan Pariwisata Berdasarkan Tingkat Pendapatan Nelayan di Desa Karimunjawa, Tahun 2012 Alat Tangkap Nelayan Pariwisata Tingkat Sebelum Sesudah Pendapatan Total Total Pancing Kompresor Pancing Kompressor Rendah 80.0 4.0 84.0 84.0 8.0 92.0 Sedang 4.0 4.0 8.0 8.0 0.0 8.0 Tinggi 8.0 0.0 8.0 0.0 0.0 0.0 Total 92.0 8.0 100.0 92.0 8.0 100.0
114
BAB IX PENUTUP
8.1
Kesimpulan Pengelolaan TNKJ dilakukan berdasarkan sistem zonasi untuk mengakomodir
semua kepentingan pengelolaan terutama dari aspek ekologis, sosial ekonomi, perikanan, konservasi dan pariwisata. Kegiatan pengembangan pariwisata di Desa Karimunjawa sudah dilakukan sejak Karimunjawa dijadikan sebagai kawasan cagar alam. Namun jumlah kunjungan wisatawan mulai meningkat sejak Tahun 2007. Melalui sistem zonasi, kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan dan kegiatan kepariwisataan bisa berjalan dengan baik dan tidak saling mengganggu. Menurunnya jumlah tangkapan membuat nelayan harus mencari alternatif pekerjaan lain untuk menambah pendapatan mereka. Pengembangan pariwisata di desa tersebut dimanfaatkan oleh nelayan untuk menambah penghasilannya. Dampak pengembangan ekowisata bahari di Karimunjawa terhadap ekosistem setempat yang dirasakan oleh nelayan di lokasi penelitian adalah: (a) patahnya karang karena secara sengaja maupun tidak sengaja terinjak oleh wisatawan yang sedang melakukan snorkeling (b) onggokan sampah (c) perubahan ekosistem mangrove dengan adanya pembuatan paving (d) pembukaan lahan baru untuk pembangunan akomodasi (e) kekurangan air bersih apabila jumlah kunjungan wisatawan meningkat. Daya dukung panjang pantai berpasir memenuhi standar sedangkan daya tampung untuk penginapan belum mencukupi. Begitu juga dengan kegiatan snorkeling di laut yang sering sekali mengalami overload pengunjung. Perubahan ekologi yang sangat mempengaruhi perubahan ekonomi nelayan adalah jumlah ketersediaan ikan karang yang semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh alat tangkap tidak ramah lingkungan berupa cantrang, muroami, kompressor dan panah yang pernah digunakan oleh nelayan Karimunjawa juga akibat permasalahan yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata.
115
Perubahan di bidang perekonomian terlihat dari penurunan hasil tangkapan yang juga berdampak pada penurunan jumlah pendapatan nelayan di bidang perikanan. Jam kerja nelayan di bidang perikanan tidak terlalu mengalami perubahan di kedua kelompok nelayan karena setiap nelayan sudah mempunyai target waktu melautnya setiap hari. Namun perubahan ekologi mempengaruhi perubahan jumlah hari nelayan melaut selama satu bulan, khususnya nelayan pariwisata karena mereka menggunakan waktunya untuk bekerja di bidang wisata. Kehadiran kegiatan pariwisata memang telah membuka lapangan pekerjaan yang baru bagi nelayan seperti tour leader, guide, penyewa kapal, penyewa penginapan dan penjualan souvenir. Namun peluang ini belum dimanfaatkan oleh semua masyarakat Karimunjawa. Perubahan ekologi ini juga ikut mempengaruhi nelayan non pariwisata. Selain melakukan diversifikasi pekerjaan, mereka juga memperluas daerah tangkapannya sesuai dengan ketersediaan bahan bakar kapal yang mereka miliki. Perubahan sosial yang terjadi dengan adanya pengembangan kegiatan pariwisata. Munculnya berbagai organisasi seperti HPI serta paguyuban yang mengakomodir kegiatan wisata di Karimunjawa. Kegiatan gotong royong tetap dilakukan namun intensitasnya semakin berkurang karena adanya petugas kebersihan desa dari Dinas Kebersihan dan kesibukan nelayan dalam pekerjaannya di bidang wisata dan pekerjaan sampingan lainnya. Jumlah migrasi masuk dan migrasi keluar Desa Karimunjawa semakin meningkat. Migrasi keluar meningkat akibat banyaknya masyarakat desa yang melanjutkan pendidikannya di luar Desa Karimunjawa. Migrasi masuk juga meningkat karena pengembangan wisata yang telah membuka lapangan kerja baru di desa tersebut. Perubahan ekologis dibidang penurunan jumlah ketersediaan ikan karang membuat nelayan harus beradaptasi dengan melakukan diversifikasi pekerjaan di bidang wisata dan di bidang non wisata. Nelayan non pariwisata melakukan diversifikasi pekerjaan sebagai petani, tukang bangunan, berdagang, pembuat kapal dan penjaga keramba. Namun sekitar 48 persen nelayan tersebut tetap memilih menjadi nelayan. Nelayan pariwisata melakukan diversifikasi pekerjaan sebagai guide, tour leader, penyewa kapal, penyewa penginapan dan penjual souvenir. Selain
116
diversifikasi pekerjaan, nelayan juga melakukan adaptasi dengan perubahan alat tangkap ikan yang digunakan. Kehidupan perekonomian nelayan Karimunjawa tergolong rendah namun tidak diikuti dengan tingkat adaptasi yang tinggi. Hal ini terjadi karena nelayan lebih merasa nyaman bekerja di bidang perikanan dari pada bekerja disektor lain.
8.2
Saran Saran yang dapat disampaikan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan kegiatan, sarana dan prasarana masih terpusat di bagian timur dan pusat desa. Hal ini mengakibatkan bagian timur dan pusat desa tersebut menjadi lebih padat bangunan dan penduduknya di banding dengan bagian utara, selatan dan barat desa. Padatnya bangunan di bagian timur dan pusat desa juga sering menimbulkan permasalahan yaitu pengambilan garis pantai di daerah tersebut untuk pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Selain itu masyarakat di bagian utara, selatan dan barat desa juga jarang sekali ditemukan berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata, khususnya melakukan diversifikasi pekerjaaan di bidang pariwisata. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penataan ulang kebijakan terkait pembangunan akomodasi sehingga tidak terpusat di bagian timur dan pusat desa saja. 2. Perlu dilakukan upaya untuk pembinaan wisatawan dan guide agar tidak menginjak karang dan menjaga lingkungan laut. 3. Terpusatnya pengembangan pariwisata di bagian timur dan pusat desa menyebabkan terjadinya distribusi ekonomi di bidang pariwisata yang tidak merata. Selain itu, teknik mempekerjakan guide, penyewa kapal dan penyewaan homestay dilakukan berdasarkan sistem kekeluargaan. Oleh sebab itu terjadi konflik antara nelayan non pariwisata dengan nelayan pariwisata serta nelayan pariwisata dengan nelayan pariwisata karena nelayan non wisata merasa tidak adil dengan sistem yang ada sekarang. Maka untuk penelitian selanjutnya dapat dikaji tentang konflik antara
117
nelayan non pariwisata dan nelayan pariwisata dalam pemanfaatan kegiatan pariwisata serta distribusi pendapatan dari bidang pariwisata.
118
DAFTAR PUSTAKA Amelia L. 2009. Dampak pengunjung kawasan wisata terhadap kelestarian sumberdaya Pantai Ancol, Jakarta Utara. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 125hal. Aryono B. 2003. Kajian peran pengembangan pariwisata bahari terhadap kesejahteraan nelayan di pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan Kabupaten Jepara, [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro. 132hal [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara. 2011. Jepara dalam angka. Jepara [ID]: BPS Kabupaten Jepara. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2008. Survei sosial ekonomi Desa Karimunjawa tahun 2008. Semarang [ID]: BTNKJ. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2012. Zonasi Taman Nasional Karimunjawa tahun 2012. Semarang [ID]: BTNKJ. Damanik J, Weber HF. 2006. Perencanaan ekowisata.Dari teori ke aplikasi. Andi Offset: Yogyakarta. 142hal [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2011. Laporan tahunan pelabuhan perikanan pantai Karimunjawa. Semarang [ID]: DKP. Ginting SP. 1998. Konflik pengelolaan sumberdaya kelautan di Sulawesi Utara dapat mengancam kelestarian pemanfaataannya.Jurnal Pesisir dan Lautan. 01(02): 30-43. Hanny P, Raymond Ch, Djadjeng P. 2011 November. Analisis penataan ruang kawasan pesisir. Haryono TJS. 2005. Strategi kelangsungan hidup nelayan. Studi kasus tentang diversifikasi pekerjaankeluarga nelayan sebagai salahsatu strategi dalam mempertahankan kelangsungan hidup.Berkala Ilmiah Kependudukan [Internet]. [dikutip 24 Oktober 2011]: 07(02): 1-10. Dapat diunduh darihttp://www.journal.unair.ac.id/detail_jurnal.php?id=1352&med=25&bid=8 Khairunnisa W. 2011. Evaluasi pengelolaan lanskap wisata bahari Taman Nasional Bunaken Sulawesi Utara. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 173 hal. Marisa, Y. 2007. Dampak pariwisata bahari terhadap tingkat kesejahteraan keluarga nelayan dan perekonomian wilayah di Pulau Weh, Kota Sabang. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 140 hal.
119
Masydzulhak. 2006. Pengelolaan sumberdaya pesisir dalam perspektif otonomi daerah: Studi kasus Kabupaten Bengkulu Selatan. Jurnal Pesisir dan Lautan. 07(02):1-13. Mukhtosar. 2007. Pencemaran pesisir dan laut. Jakarta [ID]: Pradya Paramita. 332 hal. Patanda M. 2006. Kajian manfaat penetapan kawasan konservasi terhadap perikanan tangkap di Taman Wisata Laut Kepulauan Kapoposang. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Prasetyo B, Jannah L. 2006. Metode penelitian kuantitatif. Jakarta [ID]: Raja Grafindo Persada. 252 hal. Purba J. 2002. Pengelolaan ligkungan sosial. [Internet]. [dikutip 23 April 2012]. Obor Indonesia. Dapat diunduh dari: http://books.google.co.id/books?id=b?pengelolaan + lingkungan+sosial+yayasan+obor+indonesia+2002&source Purnomowati R. 2001. Kajian pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat.Studi kasus Desa Pemongkong, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur-NTB. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Ramli I. 2003. Analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya terumbu karang di kawasan Pulau Geleang dan Pulau Burung Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. [tesis]. [Internet]. [dikutip 20 Juli 2012]. Semarang: UNDIP. 148 hal. Raharto A, editor. 1999. Migrasi dan pembangunan di kawasan Timur Indonesia: isu ketenagakerjaan. Jakarta [ID]: PPT-LIPI. 173 hal. Rusli, S. 2010. Pengantar ilmu kependudukan.164 hal. Sahri M, Mushadi AY, Sukoharson EG. 2006. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas sosial ekonomi nelayan kecil di Jawa Timur. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial. 18(01): 1-13. Satria A. 2002. Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Jakarta [ID]: Pustaka Cidesindo. 130 hal. . 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor [ID]: IPB Press. 178 hal. Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode penelitian survai. Jakarta [ID]: LP3ES. 336 hal.
120
Sjafi’i E. 2001. Analisis pemanfaatan ruang kawasan pesisir Teluk Manado, Sulawasi Utara.Jurnal Pesisir dan Lautan.04(1). 1-18 Solihin A, Satria A. 2007. Solusi perikanan berkelanjutan: studi kasus awig-awig di Lombok Barat. Jurnal TransdisiplinSosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. 01(01): 1-20. Stefanus S, Supriharyono, Bambang A. Januari 2007. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melalui pemberdayaan kearifan lokal di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pesisir Laut. 2(2). 67-82. Subri M. 2005. Ekonomi kelautan. Jakarta [ID]: PT Raja Grafindo Persada. 224 hal. Tafalas M. 2010. Dampak pengembangan ekowisata terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat lokal.Studi kasus ekowisata bahari Pulau Mansuar Kabupaten Raja Ampat. [thesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 135hal Tuwo A. 2011. Pengelolaan ekowisata pesisir dan laut . Surabaya [ID]: Briliant Internasional. 412hal. Wahyudiono. 2009. Kerentanan Terumbu Karang Akibat Aktivitas Manusia Menggunakan “Cell-Based Modelling” di Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan, jepara, Jawa Tengah. [skripsi]. Bogor. Institut pertanian Bogor. 44 hal.
121
LAMPIRAN
122
Lampiran 1. Daftar Nama Responden No. Nelayan Non Pariwisata 1 ED 2 HY 3 AL 4 ST 5 MD 6 BS 7 PT 8 MT 9 ES 10 KR 11 MK 12 NR 13 MA 14 AT 15 KK 16 SD 17 MM 18 JL 19 AZ 20 SS 21 NS 22 KD 23 TK 24 MM 25 HS
Nelayan Pariwisata JN MS HS KC AN SM SP LW AM TG RS ND EP AB DJ SK SG ZA SR JL LM AR ML AF YN
123
Lampiran 2. Peta Taman Nasional Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012
124
Lampiran 3. Daftar Toko Souvenir di Desa Karimunjawa No Nama kios Pemilik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Safi’i Martoyo Zaenal Wafa Muslikan Maurifin Fendy La Biki Abdul Rahim Ari Al-Badry Brewok An-Nur Dewa Sakti Mutiara Stigi Sahal Putra Sumber Rejeki Dewadaru Karisma Sutiati La Biki Martoyo
Safi’i Martoyo Zaenal Wafa Muslikan Maurifin Fendy La Biki Abdul Rahim Ari Al-Badry Brewok Safi’i Mustikan Arif Hata Ibu Isah Zaenal Wafa Sukri Ibu Sutiati La Biki Pak Martoyo
Lokasi Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Nyamplungan Kemujan Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa
125
Lampiran 4. Data Kepemilikan Lahan di Pulau-Pulau Lingkup Desa Karimunjawa No
1
Nama Pulau
3.
Menjangan Kecil Geleang
4.
Burung
Pura Kudus Ipong PT Indo Karimun Mursito Kasiran Jamu Jogo PT Indo Karimun Ir. Almunawar Willy Suryo (Sat Marindo) PT Indo Karimun
5.
Cemara Besar
DKP
6.
Cemara Kecil
Suryo
7.
Menyawakan
Dinawati Ketua Nadzir
8.
Batu
2.
Menjangan Besar
Pemilik
Luas Tanah (m²) 30.000 17.974 414.360 37.634 18.000 52.732 10.130 52.750 425.000 207.770
Penggunaan
Kebun Kebun Kebun (HGB) Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun
20.000 Zona Perlindungan 35.000 Rencana Resort 15.000 Vegetasi pantai 128.875 Resort (HGB) 62.450 Wakaf (Kebun) 5.000
Bukti Kepemilikan Sertifikat Sertifikat Sertifikat Sertifikat Sertifikat Sertifikat Sertifikat Sertifikat Sertifikat
Sertifikat Sertifikat Sertifikat
126
Lampiran 5. Dokumentasi Kegiatan
Gambar 1. Wawancara dengan pihak Desa Karimunjawa
Gambar 2. Wawancara dengan nelayan
Gambar 3. Pelaksanaan FGD degan nelayan kompressor
Gambar 4. Pelaksanaan FGD dengan nelayan pancing
127
Gambar 5. Wawancara dengan nelayan yang juga memiliki toko souvenir dan homestay
Gambar 6. Pertunjukan seni tradisional Karimunjawa
Gambar 5. Pembuangan Sampah di Pinggir Jalan
Gambar 8. Papan pemberitahuan tentang larangan-larangan pada saat melakukan tour
128
Gambar 7. Kegiatan snorkeling di lau
Gambar 9. Nelayan pancing yang sedang memancing
Gambar 10. Pendaratan kapal nelayan
Gambar 11. Nelayan yang beristirahat ketika tidak melaut