SEMINAR NASIONAL DAN MUSYAWARAH NASIONAL I 2016 Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia (PERSEPSI)
PROSIDING “Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia” 12 - 13 Februari 2016 di Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
ISBN: 978-979-1215-27-5
BG AGRI-FOOD
Diterbitkan oleh: Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada 2016
SEMINAR NASIONAL DAN MUSYAWARAH NASIONAL I 2016 Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia (PERSEPSI)
PROSIDING “Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia” 12 - 13 Februari 2016 di Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
ISBN: 978-979-1215-27-5
BG AGRI-FOOD
Diterbitkan oleh: Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada 2016
EDITOR: Ir. F. Trisakti Haryadi, M.Si., Ph.D. Budi Guntoro, S.Pt., M.Sc., Ph.D. Dr. Tri Anggraeni Kusumastuti, S.P., M.P. Dr. Siti Andarwati, S.Pt., M.P. Dr. Ir. Suci Paramitasari Syahlani, M.M. Dr. Ir. Rochadi Tawaf, MS Sutrisno Hadi Purnomo, S.Pt., M.Si., Ph.D Diterbitkan oleh: Himpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN MUSYAWARAH NASIONAL I 2016 Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia 12-13 Februari 2016 ©2016, Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia Alamat Telp/Fax Email
: Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Jl. Fauna 3, Kampus UGM Bulaksumur 55281 : 0274 513363/521578 :
[email protected]
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum wr wb., Dalam rangka menindak lanjuti Deklarasi PERSEPSI yang dilakukan tanggal 23 Oktober 2015, maka Fakultas Peteranakan Universitas Gadjah Mada menyelenggaakan MUNAS I dan sekaligus Seminar Nasional dengan tema “Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peteranakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia”, yang dilaksanakan di Fakultas Peternakan UGM tanggal 12-13 Februari 2016. Dalam Seminar Nasional ini, Panitia mengundang para Praktisi, Dosen, Peneliti, Dinas dan Mahasiswa Pascasarjana Peternakan. Di samping Pembicara Tamu dari kalangan Profesional dan Pengusaha, Panitia juga mengundang para ilmuwan untuk mengemukakan hasil-hasil penelitian ke dalam tulisan ilmiah. Untuk itu, Prosiding ini memuat hasil-hasil pemikiran dan penelitian serta dokumen hasil dari Musyawarah Nasional PERSEPSI I. Kami berharap, Prosiding ini bermanfaat bagi banyak kalangan terutama bagi Ilmuwan, penentu kebijakan, dan tentunya dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu terutama Ilmu Sosial Ekonomi Peternakan. Majulah dan Jayalah Peternakan Indonesia.
Yogyakarta, 13 Februari 2016 Ketua Panitia Pelaksana Budi Guntoro, S.Pt., M.Sc., Ph.D.
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ...................................................................................................................................................
i
Editor...................................................................................................................................................................
ii
Kata Pengantar....................................................................................................................................................
iii
Daftar Isi..............................................................................................................................................................
iv
MAKALAH UTAMA KONDISI TERKINI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DI INDONESIA Yudi Guntara Noor .............................................................................................................................................
2
REVIEW BISNIS BROILER TAHUN 2015 Joko Susilo..........................................................................................................................................................
8
RANCANGAN PENGEMBANGAN SAPI PASUNDAN DI JAWA BARAT Rochadi Tawaf....................................................................................................................................................
15
MAKALAH PENDUKUNG PEMBERDAYAAN EKONOMI PRODUKTIF MASYARAKAT BERBASIS POTENSI “EMAS PUTIH” MELALUI PENGUATAN PERAN KELOMPOK TANI-TERNAK DI DESA SINGOSARI KECAMATAN MOJOSONGO KABUPATEN BOYOLALI Shanti Emawati, Aqni Hanifa, dan Ayu Intan Sari................................................................................................
25
MANAGEMENT AND INFORMATION SYSTEM SEBAGAI SOLUSI BAGI KONFLIK DATA KOMODITI PANGAN YANG PENTING BAGI PIJAKAN PEMBANGUNAN Minar Ferichani....................................................................................................................................................
30
SKENARIO PEMODELAN SISTEM INTEGRASI TERNAK SAPI DENGAN TANAMAN DI BAWAH POHON KELAPA DI KABUPATEN MINAHASA SELATAN Meiske L. Rundengan, Anneke K. Rintjap, dan Maasje T. Massie.....................................................................
35
ANALISIS SIKAP MULTIATRIBUT FISHBEIN TERHADAP PRODUK RENDANG PARU DI KAMPUNG RENDANG KOTA PAYAKUMBUH SUMATERA BARAT Elfi Rahmi dan James Hellyward.........................................................................................................................
43
TINGKAT DAYA SAING USAHA PETERNAKAN AYAM PETELUR DI KABUPATEN MAROS,PROPINSI SULAWESI SELATAN
iv
Sitti Nurani Sirajuddin, Ilham Rasyid, dan Nurul Ilmi Harun.................................................................................
48
MODEL ALTERNATIF UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF BAGI PETERNAK KAMBING DI KABUPATEN MAJENE SULAWESI BARAT Tanri Giling Rasyid, Sitti Nurani Sirajuddin, dan Sofyan Nurdin Kasim................................................................
53
TANGGAPAN PETERNAK SAPI POTONG TERHADAP LEMBAGA PEMBIAYAAN FORMAL DAN INFORMAL DI PEDESAAN Aslina Asnawi, A. Amidah Amrawaty, Hastang, dan Ikrar Mohammad Saleh.....................................................
58
PERANAN PENYULUH TERHADAP ADOPSI INOVASI INSEMINASI BUATAN (IB) PADA USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DI DAERAH TRANSMIGRASI KABUPATEN DHARMASRAYA Ediset, A. Anas dan E. Heriyanto.........................................................................................................................
63
ANALISIS SEKTOR PEREKONOMIAN MENGGUNAKAN LOCATION QUONTIENT (LQ) DI PROPINSI JAWA TENGAH Nurdayati dan Bambang Sudarmanto .................................................................................................................
68
PENGETAHUAN PETERNAK SAPI POTONG TENTANG PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN TERNAK (STUDI KASUS DI KECAMATAN MAIWA, KABUPATEN ENREKANG, SULAWESI SEATAN) Veronica Sri Lestari, Djoni Prawira Rahardja, Hastang, Muhammad Ridwan, Ahmad Ramadhan Siregar, Tanrigiling Rasyid, Kasmiyati Kasim, dan Wachniyati.........................................................................................
73
THE PERCEPTION FARMERS ABOUT INTEGRATION SYSTEM OF BEEF CATTLE ON OIL PALM PLANTATION IN DHARMASRAYA REGENCY Amna Suresti, Asdi Agustar, dan Nilsen Oktafiardi.............................................................................................
77
ADOPSI INOVASI PADA TEKNIS PEMELIHARAAN USAHA PETERNAKAN DI SITIUNG, SUMATERA BARAT Winda Sartika, Basril Basyar, dan Ediset.............................................................................................................
82
PENGARUH KARAKTERISTIK PETERNAK TERHADAP KEPUTUSAN PEMBIAYAAN USAHA BROILER MELALUI KEMITRAAN DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN Dwi Yuzaria, Ikhsan Rias, dan Mulina Wati...........................................................................................................
87
PRODUKTIVITAS USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG RAKYAT BERDASARKAN BANGSA SAPI DI JAWA TENGAH (BEEF CATTLE FATTENING PRODUCTIVITY BASED ON CATTLE BREED IN CENTRAL JAVA) Edy Prasetyo, Titik Ekowati Wiludjeng Rossali, dan Mukson................................................................................
92
IDENTIFIKASI PENGETAHUAN LOKAL PADA PETERNAK SAPI BALI DI KABUPATEN BARRU, PROPINSI SULAWESI SELATAN A. Amidah Amrawaty, Sitti Nurani Sirajuddin, Aslina Asnawi, dan Hastang..........................................................
99
ANALISA EKONOMI USAHA PETERNAKAN AYAM PETELUR JANTAN DI DESA BALESARI KECAMATAN NGAJUM KABUPATEN MALANG
v
Dimas Pratidina Puriastuti Hadiani, Henny Leondro, dan Sri Wahyudi .................................................................
103
KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN MODEL SISTEM INTEGRASI TERNAK SAPI˗TANAMAN DI KABUPATEN MINAHASA (KASUS DI KECAMATAN LANGOWAN SELATAN) Bonny F.J. Sondakh dan Richard E.M.F. Osak.....................................................................................................
108
vi
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
MAKALAH UTAMA
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
1
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Yudi Guntara Noor
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
2
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
3
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
4
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
5
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
6
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
7
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
8
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
9
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
10
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
11
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
12
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
13
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
14
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
RANCANGAN PENGEMBANGAN SAPI PASUNDAN DI JAWA BARAT Rochadi Tawaf Laboratorium Ekonomi Peternakan Departemen Sosial Ekonomi Pembangunan, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran
[email protected]
PENDAHULUAN Sampai saat ini, pengembangan peternakan sapi potong masih sepenuhnya diserahkan kepada kemampuan peternakan rakyat dalam penyediaan bibit atau bakalan. Dimasa mendatang hal tersebut tidak mungkin dibebankan sepenuhnya kepada peternakan rakyat. Pasalnya, ketersediaan daging sapi yang digambarkan oleh pertumbuhan populasi sapi potong domestik masih sangat rendah hanya sekitar 5,41 % per tahun. Sementara itu permintaan yang digambarkan oleh konsumsi daging sapi tumbuh jauh lebih tinggi sekitar 12,42 %. Berdasarkan kajian Soedjana (2014) bahwa angka partisipasi konsumsi daging sapi berdasarkan hasil Susenas BPS sejauh ini hanya diwakili oleh 26,15% (2002), 21,93% (2005), 16,18%(2008), 16,16% (2011), dan 15,25% (2014) yang menurun sejak tahun 2002 – 2014 dari 26 % rumah tangga (RT) menjadi 15 % RT. Namun demikian, sebenarnya telah terjadi peningkatan konsumsi pada kluster RT tersebut menjadi sekitar 15.5 Kg/kapita/tahun (2014) atau meningkat dibanding 6,71 kg (2002), 10,47 kg (2005), 10,82 kg (2008), 13,11 kg (2011). Sehingga peningkatan konsumsi daging sapi per kapita per tahun terus meningkat pada kluster pengkonsumsinya. Apabila dihitung, jumlah konsumsi daging nasional setahun tidak kurang dari 650 ribu ton. Sementara itu kemampuan produksi dalam negeri diprediksi hanya 400 ribu ton sisanya dipenuhi oleh impor sapi bakalan dan daging sapi. Peternakan rakyat yang menguasai populasi ternak sapi 98 % secara nasional hanya mampu berkontribusi sekitar 80 % dalam penyediaan daging sapi secara nasional. Sementara perusahaan peternakan yang menguasai sekitar 2 % dari populasi ternak, ternyata mampu berkontribusi 20 % terhadap konsumsin nasional. Berdasarkan fenomena tersebut, kiranya peran industri peternakan dapat dijadikan “kendaraan” bagi percepatan kemandirian dalam ketersediaan pangan protein hewani asal daging sapi, tentu dengan melakukan kerjasama dengan peternakan rakyat. Berdasarkan Tawaf (2009) bahwa Jawa Barat sebagai wilayah produsen ternak sapi nasional saat ini sangat potensial untuk mengembangkan usaha ternak penggemukan sapi, hal tersebut didukung pula oleh kondisi daya dukung wilayahnya. Potensi hijauan pakan yang menjadi andalan saat ini, juga diarahkan oleh ketersediaan hijauan pakan asal dari jerami padi. Di jawa Barat, luas lahan usahatani padi tidak kurang dari 2.000.000 hektar lahan yang selama ini terpisah dari kegiatan usahaternak sapi mapun kerbau. Sesungguhnya usahatani padi mampu menyediakan hijauan pakan ternak dan usaha ini membutuhkan pupuk kandang yang cukup banyak.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
15
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Selain hal tersebut, pengembangan peternakan sapi potong di Jawa Barat menurut penelitian Tawaf dkk(2014) dan Yuhani dkk (2014) bahwa pengembangan sapi potong di Jawa Barat mengikuti pola pertumbuhan ekonominya, terdapat di wilayah timur, mendukung perkembangan Cirebon Raya; wilayah tengah mendukung perkembangan Metropolitan Bandung dan barat mendukung pengembangan wilayah kawasan industri di Bodebekarpur (Bogor Depok Bekasi Karawang dan Purwakarta) Jawa Barat. Guna efisiensi dan peningkatan daya saing produk yang dihasilkan, perlu dilakukan integrasi usaha antara peternakan sapi potong dengan usaha pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan (padi). Hal tersebut disebabkan, pasca diintroduksikannya sistem irigasi di pantura Jawa Barat, telah terjadi monbilisasi ternak secara besar-besaran sehingga tenaga kerja ternak digantikan oleh mekanisasi pertanian. Dampaknya adalah terjadinya kelangkaan ketersediaan pupuk organik sehinga terjadi yang disebut dengan „petroleum agribisnis‟ sehingga dikhawaatirkan akan melemahkan daya saing produksinya. Upaya mengembangan integrasi usahatani padi dan sapi merupakan suatu hal yang perlu dikaji secara intensif dan sejauhmana ampu memberikan kontribusi bagi pengembangan peternakan sapi potong di Jawa Barat.
IDENTIFIKASI MASALAH Jawa barat memeiliki potensi sumberdaya genetik sapi lokal yang baru ditetapkan oleh Menteri Pertanian melalui SK No. 1051/Kpts/SR.120/10/2014 tentang rumpun sapi pasundan. Menurut Dinas Peternakan Jawa Barat (2015) keberadaan sapi ini di Jawa Barat tersebar di beberapa wilayah antara lain di Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Pangandaran dan Ciamis. Profil bisnis sapi pasundan sampai saat ini masih sangat terbatas, khususnya berkaitan denngan integrasi usaha ternak sapi potong dengan usahatani padi. Menurut data statistik (2013) lahan sawah di Jawa Barat seluas 925.566,19 hektar, dari seluas itu dapat menghasilkan hijauan pakan yang sangat potensial dan dapat dimanfaatkan oleh ternak sapi. Menurut Muller (1974) dalam Tanuwiria dkk (2013) bahwa untuk menghitung jumlah ketersediaan jerami padi sebagai pakan ternak dapat dihitung dengan rumus Y = (2,5 x Luas Lahan X 0,70) Ton BK/tahun atau Y = 1.619.739.082,5 Ton/tahun. Berdasarkan analisis tersebut, berapa banyak ternaknyang mungkin dapat dikembangkan di kawasan usahatani padi, yang selama ini telah terjadi mobilisasi ternak dari kawasan usahatani padi. Dalam upaya menjaga dan melestarikan sumberdaya genetik sapi pasundan ini, serta melihat potensi yang dimiliki Jawa Barat dalam usahatani padi, kiranya merupakan peluang bagi pengembangan ternak di kawasan ini. Penelitian yang dilakuan oleh Diwyanto dkk (2012) bahwa pola Crop Livestock System (CLS) dapat meningkatkan produktivitas usaha tani padi dan ternak secara bersamaan, sehingga dapat meningkatkan daya saing produksinya. Pada kasus perbibitan, sesuai dengan UU No. 41/2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan, bahwa perbibitan adalah tugas pemerintah. Oleh karenanya pengembangan peternakan sapi potong yang berkaitan dengan pengadaan bibit merupakan tanggung Jawab Pemerintah.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
16
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Berdasarkan fenomena tersebut kiranya beberapa permasalahan pengembangan sapi potong di Jawa Barat dapat dilakukan di wilayah pengembangan usahatani padi sekaligus dapat menyelamatkan sumberdaya genetik lokal sapi pasundan di Jawa Barat.
PROFIL PETERNAKAN SAPI POTONG Populasi ternak sapi potong di Jawa Barat berjumlah 327.720 ekor, yang terdiri atas 127.145 ekor jantan (38,80%) dan 200.605 ekor betina (61,20%). Sedangkan menurut hasil PSPK 2011, populasi sapi potong di Jawa Barat berjumlah 422.989 ekor, terdiri atas 210.312 ekor jantan (49,72%) dan 212.677 ekor betina (50,28%). Hal ini membuktikan bahwa dengan pendekatan yang berbeda, diperoleh angka jumlah populasi sapi potong yang berbeda (BPS, 2010). Selanjutnya menurut data sementara BPS (2012) bahwa populasi ternak sapi di Jawa Barat di prediksi berjumlah 444.155 ekor. Dalam program percepatan swasembada daging sapi dan kerbau 2014, pemerintah Jawa Barat telah menetapkan bahwa ternak sapi potong diarahkan menjadi komoditas andalan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi di Provinsi Jawa Barat yang senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Populasi ternak sapi potong di Jawa Barat mencapai 327.720 ekor dengan laju pertumbuhan sekitar 6,18 % per tahun (Dinas Peternakan Jawa Barat, 2010). Sudah sejak awal, usaha peternakan sapi potong di Jawa Barat didominasi oleh peternakan rakyat, akan tetapi sesuai dengan perkembangan permintaan sejak tahun 1993 mulai berkembang perusahaan penggemukan sapi potong dengan menggunakan sapi bakalan impor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dinas Peternakan (2011) bahwa Struktur populasi sapi potong di Jawa Barat berdasarkan hasil PSPK 2011 lebih lanjut dapat digambarkan secara skematis sebagai berikut : Tabel 1. Struktur populasi sapi potong menurut umur dan jenis kelamin hasil PSPK Jawa Barat 2011 (dalam %) Umur Sex
Jantan
Betina
Total
Dewasa (diatas 2 tahun) Muda (1 tahun s/d 2 tahun) Anak (dibawah 1 tahun) Total
15,33
33,87
49,19
24,90
9,82
34,73
9,49
6,59
16,08
49,72
50,28
100
Berdasarkan struktur popuasi terssebut dapat digambarkan dalam diagram sapi potong sebagaimana tampak pada gambar 1. Berdasarkan pada gambar 2. dapat dilihat bahwa telah terjadi ketimpangan prosentase jumlah kelahiran dari 68.031 ekor, rasio jantan dan betina (59,02 : 40,08). Jumlah tersebut dihasilkan dari 143.246 ekor betina induk dengan struktur umur diatas 2 tahun s/d 8 tahun. Artinya, induk sapi potong di Jawa Barat hanya mampu melahirkan anak
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
17
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
sekitar 47,49%. Sementara jantan muda berjumlah 105.315 ekor, sedangkan jantan dewasa berjumlah 64.846 ekor. Populasi sapi potong di Jawa Barat memiliki kecenderungan meningkat pada tiap tahunnya. Namun, selain dari pertumbuhan populasi ternak, besaran populasi juga sangat dipengaruhi oleh arus mutasi atau perdagangan ternak, terutama pada ternak bibit. Pada tahun 2010 pemasukan bibit jantan sapi potong tercatat sekitar 25.000 ekor dan tingkat pengeluarannya sekitar 768 ekor. Sementara tingkat pemasukan bibit betina ke Jawa Barat tahun 2010 mencapai sekitar 52.000 ribu serta tingkat pengeluarannya sekitar 985 ekor. Gambar 1. Komposisi Struktur Populasi Sapi Potong Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Jawa Barat.
Selanjutnya, Penelitian Dinas Peternakan Jawa Barat (2011) bahwa sistem pengembangan budidaya sapi potong di Jawa Barat dapat dilihat berdasarkan siklus kegiatan usaha budidaya pembibitan dan penggmukan yang dilakukan peternak sapi potong, menyangkut aspek : Penyiapan bibit induk, perkawinan, kebuntingan, kelahiran, penyapihan, pembesaran (rearing), penggemukan, pemasaran, pemotongan dan penggantian stok (raplacement stock) serta pola afkir (culling). Seperti tampak dalam Gambar 2 di bawah ini.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
18
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Gambar 2. “Model Keterkaitan Delapan Aspek” Sistem Pengembangan budidaya Peternakan Sapi potong di Jawa Barat
Berdasarkan gambar 2. dapat dijelaskan bahwa “Model Keterkaitan 8 (delapan) Aspek” sistem pengembangan budidaya sapi potong di Jawa Barat, adalah sebagai berikut : Penyediaan Induk : berdasarkan hasil kajian dapat diketahui bahwa penyiapan bibit indukan sapi potong yang ada di Jawa Barat adalah bibit sapi lokal (PO) dan sapi-sapi silangan. Tingkat keberhasilan penyediaan bibit sapi lokal (PO) lebih baik daripada sapi-sapi silangan. Sistem Perkawinan : Berdasarkan hasil pengamatan ternyata sistem perkawinan yang dilakukan atas pengembangan sapi potong di Jawa Barat sebagian besar di lakukan dengan pola IB dan hanya sebagian kecil saja yang menggunakan pola Kawin Alam. Tingkat Kebuntingan : Berdasarkan hasil pengamatan di 5 lokasi kajian diperoleh angka kebuntingan berkisar antara 63 % sampai 87 %. Sedangkan di Jawa Barat pada tahun 2010 telah mencapai angka rerata kebuntingan 80 persen dari akseptor. Kelahiran : Dari hasil pengamatan di 5 lokasi penelitian didapatkan bahwa proporsi kelahiran pada tahun 2010 berkisar antara 27% sampai 79% dari jumlah akseptor. Sedangkan di Jawa Barat proporsi tersebut sebesar 62% dari akseptor, atau hanya 47,49% dari jumlah populasi betina dewasa. Penyapihan : Rerata umur penyapihan ternak sapi potong di 5 lokasi penelitian adalah sekitar 191 hari (6,37 bulan). Sedangkan umur penyapihan target sapi potong distandarkan pada umur 205 hari. Hal ini dikarenakan kebutuhan ekonomi peternak sehingga pemeliharaan pedet hanya dilakukan selama 190 hari. Pembesaran (Rearing) : Dilihat dari aspek lamanya pemeliharaan pada 5 lokasi kajian, ternyata lamanya usaha pembesaran berkisar antara 6 – 12 bulan, paling lama berada di wilayah Ciamis dan paling pendek adalah wilayah Cianjur. Penggemukan (feedlot) : berdasarkan hasil kajian, ternyata telah terjadi pergeseran pola usaha penggemukan. Selama ini, usaha penggemukan dilakukan oleh peternak di sekitar pusat konsumen, kini mulai bergeser ke wilayah-wilayah perbibitan (kasus di sekitar kecamatan Rancah Ciamis). Peternak pembibitan telah mulai mengusahakan penggemukan sapi potong
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
19
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
yang diusahakan bersamaan dengan usaha pembesaran sapi. Hal ini dilakukan karena nilai tambahnya lebih besar jika hanya memelihara sapi pembesaran. Lokasi usaha penggemukan banyak dilakukan di sekitar pusat-pusat konsumen seperti di Kab. Garut, Kab. Sumedang, Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kab. Bogor dan Kab. Cianjur. Pemasaran sapi : dalam kajian ini teridentifikasi berbagai komoditi pemasaran, menyangkut pemasaran pedet (jantan dan betina), sapi bakalan (jantan dan betina), sapi siap kawin (feeder heifer), sapi siap potong (jantan) serta sapi culling (jantan dan betina). Mekanisme pasar berlaku pada keseluruhan pola transaksi yang terjadi di tingkat peternak maupun pedagang. Selama pengamatan ternyata harga transaksi bagi sapi-sapi silangan harganya lebih baik daripada sapisapi lokal. Faktor inilah yang menyebabkan peternak lebih menyukai sapi-sapi silangan. Kabupaten-kabupaten yang memiliki populasi ternak sapi potong cukup tinggi adalah Ciamis, Subang, Sumedang, Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi dan Purwakarta dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Jawa Barat. Data populasi ternak tersebut mencakup usaha peternakan rakyat dan perusahaan yang bergerak di bidang usaha pembibitan, pembesaran dan penggemukan. Sebaran lokasi yang jauh dari pusat konsumen umumnya berorientasi pada kegiatan pembibitan dan pembesaran. Hal ini terutama didukung oleh kondisi ketersediaan sumberdaya alam sebagai sarana produksi yang menyebabkan rendahnya biaya produksi. Sedangkan di wilayah-wilayah yang mendekati pusat pasar (konsumen), seperti Kabupaten Bandung, Sumedang, Purwakarta, Bekasi dan Kabupaten Bogor, usaha peternakan sapi potong berkembang ke arah usaha penggemukan. Sebaran lokasi kecamatan sebagai sentra pengembangan peternakan sapi potong, serta potensi ternak yang ada saat ini disetiap kabupaten di Jawa Barat secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Lokasi Kecamatan Sentra Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Jawa Barat No. Kabupaten Lokasi Kecamatan sebagai Sentra Pengembangan 1 Sukabumi Ciracap, Surade, Ciemas, Cibitung, Jampang Kulon, Tegalbuleud 2 Cianjur Agrabinta, Cileles, Cidaun, Sindangbarang 3 Tasikmalaya Cibalong, Cikalong, Parungponteng, Pancatengah, Cikatomas, Cipatujah, Jatiwaras, Salopa, Karangnunggal, Bantarkalong 4 Ciamis Cimerak, Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran, Padaherang, Cigugur, Langkaplancar , Tambaksari, Rancah, 5 Sumedang Jatigede, Ujungjaya, Pamulihan, Tanjungkerta, Congeang, Tanjungmedar, Cisitu, Situraja, Darmaraja, Tanjungsari, Rancakalong, Cibugel Sumber : Dinas Peternakan Propinsi Jabar dalam Tawaf (2009). diolah. Data sentra pengembangan di tingkat kecamatan ini pun merupakan gabungan berbagai pola kegiatan usaha peternakan sapi potong, meliputi kegiatan pembibitan, pembesaran maupun
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
20
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
penggemukan. Sentra-sentra usahaternak sapi potong di berbagai wilayah kecamatan tersebut, perkembangannya sesuai dengan daya dukung potensi fisik, sosial dan ekonomi wilayah, walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini, usaha peternakan sapi potong di beberapa wilayah cenderung mulai terdesak oleh laju pertumbuhan dan pengembangan sektor lainnya. Apabila dilihat bahwa pengembangan peternakan sapi potong berada pada posisi lokasi di kawasan selatan Jawa Barat, berada pada wilayah-wilayah produksi non padi sawah hanya sebagian kecil saja yang berkembang di wilayah tersebut. Untuk itu, perlu kiranya merubah keadaan ini, dengan melakukan integrasi sapi padi di wilayah pantura. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan, ternyata para peternak yang mengelola sapi lokal (sapi pasundan), pada umumnya mengharapkan produk atau anak yang dihasilkan dari induk sapi lokal yang dipelihara akan lebih baik atau lebih besar daripada induknya. Oleh karenanya sebagian besar peternak melakukan uspaya „cross breeding‟ dengan jenis atau bangsa sapi impor yaitu sapi-sapi “simental” atau “limousin”.
PENGEMBANGAN POLA KEMITRAAN Dalam pengembangan peternakan sapi potong di Jawa Barat, konsep yang paling memungkinkan dikerjakan adalah penyediaan bibit sapi lokal oleh Pemerintah. Konsep ini dilaksanakan dengan melakukan kemitraan “inti plasma” dalam suatu pengembangan integrasi sapi-padi dimana lembaga pemerintah yang menjadi inti adalah BUMN (Sanghyang Sri persero perusahaan perbenihan padi) yang dalam hal ini menerapkan dan mengoptimalkan fungsi dari Balai Perbenihan Padi unggul. Sementara itu yang menjadi plasma adalah para peternak sapi potong yang berada di sekitar Perusahaan Inti yang juga memiliki mata pencaharian usahatani padi maupun peternak lainnya. Model pengembangan kemitraan ini mengacu kepada kajian Tawaf (2010) Desain kemitraan ini dimaksudkan adalah dalam rancangannya mengakomodasikan kondisi dan budaya masyarakat yang berlaku saat ini serta mengantisipasi bagi kegiatan usaha di masa datang. Kondisi dan budaya tersebut adalah: a.
b. c. d. e. f. g.
Perusahaan inti adalah BUMN yang mengelola perbenihan padi, dengan konsep integrasi diharapkan mampu berkontribusi terhadap peningkatan ketersediaan bibit sapi potong dengan memanfaatkan limbah pertanian. Pola perkawinan selang seling antara bibit lokal dan cross breeding. Model ini ditujukan untuk pengembangan usaha peternakan sapi potong rakyat yang telah ada, bukan bagi peternak sapi potong pemula. Ternak yang dimitrakan kepada peternak adalah sapi potong produktif (sapi induk) atau dara bunting. Produk usaha rearing : Sapi Dara bunting, dengan umur kebuntingan sekitar 7 bulan. Produk usaha plasma dapat berupa pedet jantan/betina lepas sapih. Peternak plasma menerima ternak dalam bentuk natura, yang akan dikembalikan kepada Perusahaan Inti berupa 2 pedet betina.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
21
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
h. i. j.
Seluruh biaya produksi usaha ternak yang dilakukan plasma dibebankan kepada peternak penggaduh. Hasil yang diperoleh peternak plasma adalah sapi pedet jantan/betina. Model kemitraan integrasi sapi-padi seperti tampak pada Gambar 3. induk /dara bunting hasil rearing
Pedet :Hasil di Balai (perush Inti) Penjaringan hasil IB : VBC, Pasar Hewan dan RPH
PERUSAHAAN INTI : 1. BUMN (Padi) 2. BALAI 3. SWASTA
PLASMA : 1. PETERNAK RAKYAT 2. KELOMPOK PETERNAK
INDUK (ASET INTI)
PEDET JANTAN (ASET PLASMA)
PEDET BETINA (ASET INTI)
Pedet betina utk rearing
Gambar 3. Model Kemitraan Industri Rearing Sapi potong (Tawaf dkk, 2011) Pada Gambar3. Pedet yang dibesarkan di perusahaan inti berasal dari hasil perusahaan itu sendiri, penjaringan pedet hasil IB, dari RPH atau dari village breeding center. Kedepan setelah plasma menghasilkan pedet, maka pedet betina dapat di jual ke inti atau dibesarkan sendiri oleh plasma. Selain distribusi sapi hasil rearing perusahaan inti berkewajiban melakukan pembinaan dan pemberdayaan kepada plasmanya. Keuntungan plasma dalam model ini, mereka akan memperoleh pedet dihasilkan, serta berkesempatan melakukan usaha rearing secara mandiri. Sedangkan pemerintah akan memperoleh manfaat berupa; terjaganya kualitas bibit sebar, peningkatan produktivitas sapi potong rakyat yang berdampak terhadap peningkatan ekonomi wilayah, peningkatan pendapatan PAD, dan social benefit lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Dalam rangka pengembangan peternakan sapi potong lokal Pasundan sebagai SDG sapi asli di Jawa Barat perlu dilakukan penelitian yang mendalam dan komprehensif mengenai integrasinya dengan usahatani padi (Sapi padi). 2. Pola perbibitan sapi Pasundan dengan melakukan integrasi antara usaha ternak sapi dengan usaha perbenihan padi, dapat memberikan dampak terhadap efisiensi usaha yang akan menghasilkan produk hasil ternak berdaya saing. 3. Model kemitraan yang memiliki muatan lokal perlu diadopsi untuk memberikan percepatan inovasi dan pengembangan sapi potong di Jawa Barat.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
22
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
4. Usaha perbibitan sapi potong merupakan tanggung jawab pemerintah, yang dapat diimplementasikan oleh BUMN maupun UPTD Dinas Peternakan.
DAFTAR PUSTAKA Dinas Peternakan Prov Jawa Barat (2011) Kajian Sistem Pengembangan Sapi Potong Di Jawa Barat Tahun 2011. Rochadi Tawaf*), Rachmat Setiadi**) dan Cecep Firmansyah*) Pengembangan Usaha Perbibitan Sapi Potong Melalui Model Kemitraan Aspiratif Diwyanto Kusuma, Bambang R. Prawiradiputra, dan Darwinsyah Lubis (2012) Integrasi Tanaman-Ternak dalam Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing; Wartazoa Vol. 12 No. 1 Th. 2002 Yuhani, R. Tjahari, Rochadi Tawaf, A. Sumartini dan Laila Nur Shasta (2013) Rencana Pengembangan Klaster Sapi Potong Di Jawa Barat Tahun 2014 – 2018; Bappeda Jawa Barat Badan Pusat Statistik (2013) Populasi Sapi Potong Menurut Provinsi 2009-2013
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
23
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
MAKALAH PENDUKUNG
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
24
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
PEMBERDAYAAN EKONOMI PRODUKTIF MASYARAKAT BERBASIS POTENSI “EMAS PUTIH” MELALUI PENGUATAN PERAN KELOMPOK TANI-TERNAK DI DESA SINGOSARI KECAMATAN MOJOSONGO KABUPATEN BOYOLALI Shanti Emawati, Aqni Hanifa, dan Ayu Intan Sari Prodi Peternakan Fakultas Pertanian UNS, Jl. Ir. Sutami No. 36 A Kentingan-Surakarta Email :
[email protected]
ABSTRAK Konsep pemberdayaan melingkupi tiga hal, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering) dan terciptanya kemandirian. Selaras dengan hal ini, kegiatan Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) merupakan bentuk nyata kontribusi universitas dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat, industri, pemerintah daerah serta kelompok masyarakat yang ingin mandiri secara ekonomi dan sosial. KKN-PPM ini bertujuan untuk : 1) Meningkatkan kepedulian dan empati mahasiswa pada permasalahan di masyarakat, menumbuhkan jiwa kepemimpinan dan kewirausahaan ; 2) Mengatasi permasalahan di masyarakat melalui metode pemberdayaan dalam bidang ketahanan pangan, ekonomi, pertanian, peternakan, dan kesehatan lingkungan ; 3) Meningkatan peran KTT sapi perah dalam peningkatan ekonomi kreatif masyarakat. Kegiatan KKN-PPM ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan (Persiapan, Pelaksanaan, Monitoring dan Evaluasi) dalam waktu 2 bulan di Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali dengan metode penentuan lokasi purposive sampling (secara sengaja) dengan mempertimbangkan berbagai potensi SDM dan SDA di lokasi kegiatan. Rangkaian kegiatan dimulai dengan tahapan persiapan yang meliputi sosialisasi, seleksi/rekruitmen dan pembekalan mahasiswa, serta survey dan orientasi lapangan. Tahapan pelaksanaan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA) melalui kegiatan survei potensi dan identifikasi masalah, Focus Group Discussion (FGD), Penyuluhan, Pelatihan, Percontohan, dan Pendampingan Produksi. Kegiatan yang dilaksanakan selama program KKN PPM meliputi kegiatan utama berupa pedampingan peningkatan produksi susu, pelatihan pembuatan pakan sapi perah berbasis limbah pertanian (konsentrat dan UMMB), pengolahan limbah kotoran tenak menjadi pupuk cair organik; diversifikasi usaha pangan olahan susu (es katsu dan puding susu), sosialisasi gerakan hidup sehat dan gemar minum susu, pelatihan pembukuan, pemasaran, dan penyusunan program kerja bagi kelompok tani ternak dan UKM, serta kegiatan pendukung berupa bimbingan belajar untuk SD dan SLTP, Taman Pendidikan Al Quran, semarak peringatan hari kemerdekaan RI, Posyandu, bakti sosial dan sebagainya. Monitoring DPL dilakukan melalui kunjungan lapangan secara periodik seminggu sekali serta di tengah dan di akhir kegiatan akan dilaksanakan evaluasi bersama-sama antara masyarakat dan DPL sendiri. Kata kunci : pemberdayaan, emas putih, diversifikasi usaha, limbah, kelompok tani ternak Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
25
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
PENDAHULUAN Kabupaten Boyolali dilihat dari sisi topografi berada di lereng pegunungan yaitu Gunung Merapi dan Gunung Merbabu sehingga wilayah ini sangat potensial untuk dikembangkan pada bidang pertanian dan peternakan. Jenis ternak yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah sapi perah dan sapi potong dengan populasi masing-masing sebesar 5.106 dan 5.258 ekor. Dengan produksi susu sebesar 12.820.000 l/tahun, maka wajar jika Boyolali terkenal dengan sebutan “Kota Susu” (Dinas Peternakan dan Perikanan, 2010). Peternakan sapi perah merupakan salah satu potensi andalan Kabupaten Boyolali. Sektor usaha itu menjanjikan perputaran uang hingga lebih dari Rp 100 miliar per tahun. Sayang potensi itu belum tergarap maksimal. Peternak masih terganjal kualitas dan rendahnya posisi tawar terhadap industri pengolahan susu. Pemerintah Kabupaten Boyolali bukan tidak sadar akan potensi sapi perah ini. Lihat saja berapa banyak patung sapi perah yang dibangun di jalan-jalan di Kabupaten Boyolali. Menurut data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali, pada tahun 2009 terdapat 60.205 sapi perah dengan produksi harian mencapai 86,021 ton per hari. Angka itu mencapai 43 persen dari total produksi susu Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang berdasarkan data Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Jateng-DIY mencapai 220 ton per hari. Perputaran uang dari usaha persusuan juga tidak kecil. Dengan asumsi harga susu yang diterima koperasi dari industri pengolahan susu sekitar Rp 2.900-Rp 3.500 per liter, setiap hari ada perputaran uang Rp 249 juta hingga Rp 301 juta atau mencapai Rp 104,1 miliar sampai Rp 125,65 miliar per tahun. Bukan nominal yang kecil jika melihat Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Boyolali yang tak sampai Rp 100 miliar. Dengan prakiraan kasar perputaran uang itu, artinya susu di Boyolali menjadi penyokong 10 persen Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Boyolali dari sektor pertanian atau sekitar 2,5 persen dari total PDRB Boyolali Rp 4,069 triliun. Dengan demikian sangat tepat jika susu disebut sebagai “emas putih” bagi masyarakat Kabupaten Boyolali. Sektor usaha peterakan sapi perah mampu menopang kehidupan sekitar 30.000 peternak atau jika termasuk keluarga, mencapai lebih dari 100.000 jiwa di lima dari 19 kecamatan di Boyolali, yakni Cepogo, Selo, Musuk, Mojosongo, serta Boyolali Kota. Salah satu sentra budidaya ternak sapi perah yang ada di kabupaten Boyolali adalah Kecamatan Mojosongo, tepatnya di Desa Singosari. Potensi lain “emas putih” belum mampu dimanfaatkan oleh peternak secara optimal. Pada ummnya peternak hanya menjual susu dalam bentuk segar walaupun harganya rendah. Padahal susu dapat diolah menjadi aneka produk makanan dan minuman yang bernilai ekonomi tinggi. Jika peternak mampu mengolah susu menjadi aneka produk, maka susu yang ditolak pengepul karena kualitasnya dinyatakan rendah masih dapat dimanfaatkan dan dapat memberikan tambahan pendapatan. Selain itu limbah dari kotoran ternak (feses dan urine) dibuang begiu saja oleh peternak, padahal jika diolah dapat mejadi sumber energy biogas dan pupuk. Dengan demikian dibutuhkan suatu program pemberdayaan masyarakat khususnya peternak sapi perah, untuk mengarahkan cara pandang masyarakat agar lebih mengoptimalkan
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
26
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
potensi-potensi yang terdapat di sekeliling mereka dengan memperkenalkan beberapa teknologi sederhana dan tepat guna. Sebuah program pemberdayaan harus mampu memberikan stimulasi terhadap munculnya ketahanan dan kemandirian rakyat yang rentan dan powerless serta memiliki keterbatasan dalam akses jenis-jenis pekerjaan dan penghasilan yang layak. Konsep pemberdayaan menurut Winarni, 1998 dalam Sulistiyani, 2004 adalah: melingkupi tiga hal, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering) dan terciptanya kemandirian. Hal ini dapat diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki kemampuan akan tetapi pada masyarakat yang masih terbatas sehingga dapat dikembangkan hingga mencapai kemandirian. Sejalan dengan Visi-Misi pemerintah sebagaimana tertuang dalam RPJMD Kabupaten Boyolali Tahun 2010-2015 yang menyebutkan prioritas utama pembangunan adalah penanggulangan kemiskinan, maka program pemberdayaan masyarakat merupakan program strategis yang bersinergi dalam penanggulangan kemiskinan. Selaras dengan hal ini, kegiatan Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) merupakan bentuk nyata kontribusi universitas dalam menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat, industri, pemerintah daerah serta kelompok masyarakat yang ingin mandiri secara ekonomi dan sosial.
METODE PELAKSANAAN Kegiatan KKN-PPM ini dilaksanakan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali dengan metode penentuan lokasi purposive sampling (secara sengaja) dengan mempertimbangkan berbagai potensi SDM dan SDA di lokasi serta tingkat urgency pemecahan masalah yang sedang dihadapi masyarakat setempat. Pemilihan lokasi desa didasarkan pada pertimbangan memiliki populasi ternak sapi perah tertinggi kedua sebesar 11,3 % dari total populasi sapi perah di Kecamatan Mojosongo. Program pemberdayaan melalui kegiatan KKN-PPM ini sejauh mungkin melibatkan masyarakat sasaran dalam pelaksanaannya atau dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA adalah suatu metode yang menempatkan masyarakat sebagai subyek, perencana, pelaksana, sekaligus sebagai penilai dalam program pemberdayaan sehingga tim KKN-PPM dan stakeholder yang terlibat sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelakunya (Sidu, 2006). Bentuk dan cara pemberdayaan sangat beraneka ragam, mengacu pada konsep-konsep pemberdayaan masyarakat ke arah kemandirian dan ketangguhannya dalam berusahatani. Kondisi tersebut dapat ditumbuhkan melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan melalui kegiatan focus group discussion (FGD) dalam membentuk perubahan perilaku, yakni meningkatkan kemampuan peternak untuk dapat menentukan sendiri pilihannya, dan memberikan respons yang tepat terhadap berbagai perubahan sehingga mampu mengendalikan masa depannya dan mendorong untuk lebih mandiri. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan KKN-PPM merupakan solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat dengan teknologi dan manajemen melalui pendekatan secara terpadu, yang dilaksanakan dalam bentuk pendidikan, pelatihan, dan pelayanan masyarakat, serta kaji tindak Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
27
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
dari ipteks yang dihasilkan perguruan tinggi. Selaras dengan hal tersebut program KKN-PPM menghasilkan luaran yang terukur, bermakna, dan berkelanjutan bagi kelompok masyarakat atau kelompok pengusaha mikro. Rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan meliputi : 1. Orientasi lapangan, perijinan, serta koordinasif antara tim pelaksana KKN-PPM, mahasiswa, dan masyarakat serta pemeritah (Desa/Kecamatan/Kabupaten) lokasi tempat pelaksanaan kegiatan 2. Koordinasi DPL dengan Unit Pelaksana KKN-PPM di Perguruan Tinggi 3. Sosialisasi, seleksi dan rekrutmen mahasiswa calon peserta KKN-PPM Sosialisasi pada mahasiswa berkaitan dengan adanyan program KKN-PPM dilaksanakan oleh Tim pada bulan Maret 2015 (setelah pengumuman penerimaan program). Sosialisasi dilakukan melalui pertemuan umum, media papan pengumuman, serta media social komunikasi (facebook). Sosialisasi dilanjutkan dengan proses seleksi dan rekruitmen mahasiswa. 4. Pembekalan kepada mahasiswa peserta program KKN-PPM dilaksanakan 3 kali pertemuan 5. Koordinasi internal antara Tim Pelaksana KKN-PPM (DPL dengan mahasiswa peserta) dalam merencanakan kegiatan di lapangan Mahasiswa calon peserta KKN-PPM terpilih yang berasal dari 3 fakultas yaitu Pertanian, Hukum, dan FKIP, berkumpul untuk koordinasi internal dengan Tim pelaksana mengenai rencana pelaksanaan program. Koordinasi ini penting untuk menjalin kedekatan secara emosional antara mahasiswa dengan Tim Pelaksana, serta diantara mahasiswa sendiri, karena kedepannya dalam pelaksanaan program KKN-PPM Tim Pelaksana dan mahasiswa merupakan team work yang harus saling bekerjasama. 6. Uji coba pembuatan aneka produk olahan susu berupa yogurt, kerupuk susu, dan stick susu. Uji coba ini dilaksanakan agar nanti ketika terjun di masyarakat mahasiswa telah memiliki bekal ketrampilan yang cukup. 7. Pelaksanaan kegiatan Lapangan Tim mahasiswa KKN PPM mulai diterjunkan di lokasi yaitu Desa Singosari pada tanggal 11 Agustus 2015. Kedatangan mahasiswa KKN mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat ditunjukkan dengan kehadiran Camat Mojosongo, seluruh RT, RW, serta jajaran pemerintahan Desa Singosari. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan selama pelaksanaan KKN meliputi kegiatan utama yaitu pendampingan pemeliharaan sapi perah, pelatihan pembuatan pakan ternak alternative (UMB), pelatihan dan pengembangan usaha pengolahan susu menjadi Es Katsu dan Pudding Katsu, Pelatihan dan pendampingan pengolahan limbah kotoran ternak, serta Kampanye Gemar Minum Susu, serta kegiatan pendukung meliputi bimbingan belajar anak sekolah dan TPA, peringatan HUT Pramuka dan HUT Kemerdekaan RI, Kegiatan kemasyarakatan (pengajian, pertemuan PKK, pertemuan warga, Posyandu, Senam Lansia, Karang Taruna), Kegiatan budaya hidup sehat dengan cuci tangan dan gosok gigi, Bakti social, jalan sehat serta jalan sehat. Kegiatan KKN PPM-DIKTI Universitas Sebelas Maret
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
28
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
2015 yang dilaksanakan di Desa Singosari secara umum berjalan lancar dan mendapatkan dukungan sepenuhnya dari warga masyarakat.
KESIMPULAN Melalui pelaksanaan program KKN-PPM ini dapat meningkatkan kepedulian dan empati mahasiswa pada permasalahan yang ada di masyarakat sehingga terjadi perubahan perilaku mahasiswa, menumbuhkan jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah (problem solving) berbasis masyarakat. Dengan adanya kegiatan KKN ini mahasiswa mampu bersosialisasi dan menghadapi permasalahan yang terjadi di masyarakat dengan baik. Inovasi dan kreativitas dari mahasiswa juga tumbuh dengan adanya kegiatan KKN ini yang berguna untuk memajukan daerah yang ditempati khususnya Desa Singosari . Adanya kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh mahasiswa selama pelaksanaan kegiatan KKN ini, mendapatkan respon atau tanggapan yang baik dari masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang berpartisipasi dalam acara yang dilaksanakan oleh mahasiswa KKN dan dengan terjalinnya hubungan baik antara mahasiswa dan masyarakat sekitar.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali. 2010. Boyolali Dalam Angka. BPS. Boyolali Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali. 2010. Data Statistik Peternakan Tahun 2010. Dinas Peternakan dan Perikanan, Kabupaten Boyolali Emawati, S dan Lutojo. 2011. Model Pelatihan Ketrampilan Usaha Pertanian Peternakan Terpadu (Integrted Croop Livestock System) sebagai upaya pemulihan kondisi sosial ekonomi dan mendukung pariwisata di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Penelitian Fakultas Pertanian UNS, Surakarta Sidu, D. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Jompi, Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tenggara. Disertasi Doktor. Pasca Sarjana IPB. Bogor Sulistiyani, A.T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Gaya Media. Yogyakarta. www.kompas.com. 2010. Potensi Limbah Sayuran Kabupaten Boyolali. Diakses November 2010.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
29
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
MANAGEMENT AND INFORMATION SYSTEM SEBAGAI SOLUSI BAGI KONFLIK DATA KOMODITI PANGAN YANG PENTING BAGI PIJAKAN PEMBANGUNAN Minar Ferichani1) 1)
Prodi. Agribisnis, Fakultas Pertanian UNS e-mail korespondensi :
[email protected]
INTISARI Pembangunan pertanian yang sedang dilaksanakan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak terlepas dari kebutuhan data yang akurat hingga ke pelosok terkecil. Saat sekarang penyediaan data pertanian dilakukan oleh Badan Pusat Statistik yang bertindak sebagai ‘Data Bank” di Indonesia dan Kementrian Pertanian, atau kerjasama keduanya dengan prosentase kontribusi 25% : 75% . Akan tetapi publikasi data yang berasal dari kedua institusi tersebut sering menimbulkan konflik data pangan (produk pertanian/peternakan) sebagai dasar pijakan bagi program-program pembangunan di sektor pertanian dan sub sektor peternakan. Sebagai contoh data produksi dan kebutuhan impor beras dan daging; data populasi dan ketersediaan riil daging. Perbedaan angka yang disajikan oleh kedua lembaga tersebut menimbulkan pertanyaan tentang keakuratan data dari kedua sumber tersebut. Kondisi kekurang akuratan data ini sangat berpotensi memunculkan permasalahan baru yang beruntun terkait dengan arah kebijakan pemerintah; efisiensi penggunaan anggaran Negara; keberpijakan pada data yang tidak akurat akan cenderung menyebabkan arah pembangunan yang misleading; belum lagi terkait dengan trend perdagangan regional sepeti MEA dan perdagangan global lainnya. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membuka wawasan kita bersama bahwa permasalahan ketidak akuratan data komoditi pangan yang berujung pada simpang siurnya kebijakan pemerintah dalam pengadaan produk pangan, sebetulnya dapat dicarikan solusinya. Penghitungan luas panen yang dilakukan BPS di tahun 2015 dengan menggunakan citra satelit atau foto udara, juga kurang memberikan keakuratan data yg valid karena produktifitas lahan belum tentu sama. Perkembangan teknologi informasi yang meliputi infrastruktur, basis data dan perangkat lunak bisa dimanfaatkan dalam banyak bidang untuk mempermudah pekerjaan. Tulisan ini merupakan review dari media pemberitaan, publikasi data pertanian oleh Kementrian Pertanian Republik Indonesia seperti Pusdatin (pusat data dan informasi) dan Renstra (Rencana Strategis) pertanian Indonesia, beserta data BPS. Hasil review dari beberapa sumber mengindikasikan bahwa hampir selalu terdapat perbedaan data angka yang disajikan oleh Kementrian Pertanian dan BPS yang berujung pada kebijakan yang kurang strategis bahkan tidak efisien. Kata kunci : manajemen data, teknologi informasi, pangan
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
30
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
ABSTRAK This paper is aimed to reveal that Technology of Information System Management is very important to make improvements in data management. Especially for problems in food data conflict that occurred in Indonesia. Based on the technology of information system, we can have a solution to serve fix data without error. For examples, production data of rice, meat and other products related to requirement data. On the other hand the technology of information system can produce commodity zoning map. By using the commodity zoning map, it will make easier for government to make every planning in agricultural development program based on commodity. It is also give beneficial for other users such as make easier for data analysis, and also to minimize overlapping on development program between department. It is mean that efficient for development funding. Through this paper, the author wish to the policy maker to rely that information system technology is the best solution. It is means that information system technology is effective and efficient to serve valid data. So the valid data can be an appropriate foundation for further development
PENDAHULUAN Simpang siurnya permasalahan pengadaan pangan baik bahan pangan pokok sumber karbohidrat yang dalam hal ini adalah beras maupun sumber protein berupa produk peternakan yang terkait masalah kurang akuratnya data sudah berlangsung lama, dan sekilas tampak sebagai permasalahan yang sulit dicari jalan keluarnya. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi yang meliputi infrastruktur, basis data dan perangkat lunak yang bisa dimanfaatkan dalam banyak bidang untuk mempermudah pekerjaan, sebetulnya sangat disayangkan bila permasalahan di atas tidak kunjung terselesaikan. Sementara permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan yang menyangkut kepentingan semua penduduk negeri tanpa kecuali. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkap begitu pentingnya pembenahan manajemen penyediaan data pangan dengan menggunakan teknologi sistem informasi. Berbasis pada penggunaan teknologi sistem informasi, disamping dapat memberikan jalan keluar pada permasalahan pengadaan data pangan, terkait kebutuhan dan ketersediaannya, tekonologi sistem informasi juga dapat digunakan untuk merancang peta perwilayahan komoditi. Jika peta perwilayahan komoditi yang akurat telah tersedia, maka berbagai perencanaan pembangunan pertanian yang berbasis komoditi dapat dilakukan dengan mudah. Disamping itu peta perwilayahan komoditi yang akurat bisa dimanfaatkan oleh kelompok pengguna lain untuk melakukan analisis data. Dengan ketersediaan data pertanian yang akurat maka akan meminimalisir tumpang tindih program yang dilakukan antar departemen, sehingga pembiayaan pembangunan yang dilakukan akan lebih efisien. Melalui tulisan ini, diharapkan para pemangku kebijakan menyadari bahwa teknologi sistem informasi merupakan solusi yang efektif dan efisien untuk penyediaan data yang akurat, sehingga data yang ada dapat digunakan sebagai basis atau pijakan pembangunan yang dapat diandalkan.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
31
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
MATERI DAN METODE Tulisan ini didasari oleh beberapa sumber penulisan antara lain dari media pemberitaan; publikasi data pertanian oleh Kementrian Pertanian Republik Indonesia seperti Pusdatin (pusat data dan informasi) dan Renstra (Rencana Strategis) pertanian Indonesia; makalah-makalah seminar beserta publikasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS). Tulisan ini merupakan riview dari berbagai sumber tersebut yang kemudian ditarik benang merah permasalahan yang mendominasi beberapa tulisan, untuk dicarikan kemungkinan solusi yang tepat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Badan Pusat Statistik meragukan kualitas data luas panen pangan sebagai basis penghitungan produksi pangan yang dikumpulkan Kementerian Pertanian dan dinas pertanian di daerah. Konflik kepentingan muncul karena data yang dikumpulkan menjadi justifikasi keberhasilan program oleh institusi pengumpul data. Hal itu terungkap dalam lokakarya wartawan dalam rangka peningkatan pemahaman data pangan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu (25/11/2015), di Jakarta. Lokakarya itu bertema ”Data Pangan sebagai pijakan Pengambilan.kebijakan”.
Gambar 1. Perbandingan luas lahan pertanian (dalam hektar). Dalam gambar 1, data BPS berasal dari laporan statistic pertanian (SP) Tanaman Panga, BPS. Sedangkan data Kementrian Pertanian berasal dari Statistik Lahan Pertanian 2014, Pusdatin yang diambil dari BPS. Perhitungan produksi padi yang dihitung berdasarkan luas lahan jelas-jelas tidak valid karena produktifitas lahan tidak dapat diseragamkan. Bustanul Arifin Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung mengatakan, data yang tidak akurat menyebabkan beban bagi anggaran. Sementara BPS pada 2015 tengah melakukan survey penghitungan luas panen, stok beras, dan citra satelit atau menggunakan foto udara. Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS S Happy Hardjo mengatakan, mekanisme penghitungan produksi padi yang berlaku sejak 1973 adalah hasil perkalian luas panen padi dengan produktivitas tanaman padi perhektar. Data produksi diperoleh dari hasil kerja sama BPS dengan Kementerian Pertanian dengan BPS sebagai koordinator. Pengumpulan data luas panen menjadi
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
32
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
tanggung jawab Kementan dan dinas pertanian. Adapun data produktivitas dikumpulkan dan menjadi tanggung jawab BPS bekerja sama dengan Kementan dan dinas pertanian. ”Sebanyak 75 persen data dikumpulkan Kementan atau dinas pertanian. BPS hanya berkontribusi 25 persen,”ucapnya. Metodologi yang dilakukan adalah dengan pengumpulan data di tingkat kecamatan. Saat ini ada 6.700 kecamatan. Petugas pengumpul data adalah koordinator cabang dinas (KCD), petugas penyuluh lapangan, dan petugas dinas pertanian lain. Dalam kondisi berbagai keraguan terhadap data produksi pangan nasional, BPS terus melakukan upaya perbaikan kualitas data dengan uji coba kerangka sampel area, akan tetapi hasilnya belum signifikan. Penyajian data produksi pangan pokok yang tidak akurat juga akan berdampak pada penyediaan jenis pangan sumber protein yang berasal dari hewan ternak yang mengunakan input pakan dari biji-bijian seperti jagung, kelangkaan jagung yang membuat harga daging ayam terus meningkat signifikan (Susilo, 2016), adalah juga merupakan dampak dari data yang kurang akuat antara kebutuhan dan ketersediaan. Metode pengumpulan data pangan yang masih konvensional seperti saat ini, sangatlah tidak efisien dan jika tidak ada terobosan baru mustahil untuk dapat menghasikan data yang akurat. Jika metode pengumpulan data dimodernisasi dengan teknologi informasi maka bukan tidak mungkin permasalahan data yang selama ini tidak kunjung terselesaikan menjadi memperoleh solusi atau jalan keluar, karena kegunaan teknologi adalah untuk mempermudah pekerjaan yang sulit dilakukan.
KESIMPULAN Selama ini, kontribusi BPS dalam pengumpulan data produksi padi hanya 25 persen, tetapi tanggung jawabnya 100 persen untuk mempublikasikannya, karena BPS adalah lembaga penyedia data yang diakui. Konflik data pangan pokok yang melebar ke berbagi permasalahan lain termasuk berimbas pada penyediaan bahan pangan sumber protein yang berasal dari hewan ternak terjadi karena metode pengumpulan data yang masih konvensional. Modernisasi metode pengumpulan data dengan memanfaatkan system teknologi informasi merupkan terobosan baru yang bukan saja dapat mengatasi permasalahan data untuk jenis bahan pangan pokok, tetapi sangat memungkinkan diterapakan untuk semua jenis komoditi bahan pangan. Penggunaan teknologi system informasi dalam manajemen data akan menghasilkan peta perwilayahan komoditi yang sangat bermanfaat baik untuk perencanaan program-program pembangunan, analisis data, atupun bagi pengguna lain.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada pihak panitia Musyawarah Nasional I PERSEPSI yang telah terselenggara di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Dengan jerih payah panitia juga penulis diberikan kesempatan untuk dapat mengikuti seminar, MUNAS sekaligus menulis makalah untuk diterbitkan dalam prosiding MUNAS.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
33
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Kompas, 26 november 2015. Data Pangan Tidak akurat Kompas, 26 januari 2016. Lonjakan Harga Pangan Merupakan Tanggung Jawab Bersama Susilo, Joko Renstra, 2015-2019 Kementrian Pertanian. Pusdatin, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementrian Pertanian
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
34
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Skenario Pemodelan Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman di Bawah Pohon Kelapa Di Kabupaten Minahasa Selatan Meiske L. Rundengan, Anneke K. Rintjap1dan Maasje T. Massie Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, Manado, 95115
[email protected]
INTISARI Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian bertujuan untuk mendesain model sistem integrasi sapi–tanaman, yang cocok dengan potensi dan ketersediaan sumberdaya petani, dalam menunjang pembangunan pertanian peternakan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan di Kabupaten Minahasa Selatan. Penelitian ingin mengkaji sistem integrasi ternak sapi dan tanaman kelapa, sehingga peternak sampel harus memenuhi kriteria utama penelitian, yaitu memiliki ternak sapi dan areal tanaman kelapa. Penelitian ini menggunakan unit penelitian yaitu para peternak sapi anggota kelompok petani/peternak sebagai unit penelitian utama, dan pihak-pihak yang terlibat dalam sistem agribisnis ternak sapi. Pengambilan sampel dilakukan secara bertingkat (Multistage Random Sampling) mulai tingkat kecamatan, desa, kelompok tani, dan petani responden. Analisis dilakukan melalui pemodelan (modelling) dengan menggunakan aplikasi software Win QSB. Luaran yang diharapkan yaitu: di antara beberapa skenario yang dianalisis, diperoleh model sistem integrasi sapi–tanaman di lahan kelapa yang memberikan keuntungan paling maksimal bagi anggota kelompok petani/peternak sapi. Hasil skenario pemodelan melalui metode optimasi model menunjukkan bahwa model usahatani terpadu pada lahan kelapa yang melibatkan tanaman jagung di dalam sistem pertanian terpadu kelapa dengan sapi menghasilkan total pendapatan lebih tinggi diperoleh pada model sistem kelapa-sapi-jagung dengan pendapatan usahatani sebesar Rp 16.457.915 dan pendapatan usaha ternak sapi sebesar Rp 9.076.571 atau total pendapatan usahatani terpadu sebesar Rp 25.534.486. Untuk pemberdayaan petani, maka perlu penerapan sistem pertanian terpadu model sistem Kelapa-Sapi-Jagung yang memberikan pendapatan usahatani tertinggi di dalam sistem pertanian terpadu, menghasilkan efisiensi pembiayaan dan total pendapatan petani lebih tinggi, dibandingkan sistem kelapa dan sapi non integrasi. Kata kunci: Skenario, Integrasi, Sapi-Tanaman, Minahasa Selatan
ABSTRACT The research was conducted in South Minahasa Regency of North Sulawesi Province. The research aims to design a model of a cattle-crops under coconut tree integration system, which fits with the potential and available of farming resources, to support the development of Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
35
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
sustainable and environmentally friendly livestock farming in South Minahasa Regency. The study evaluated the system integration of cattle, crops and coconut plant, so farmers must meet the criteria of the main sample study, which has cattle and coconut plant farming. Sampling was done by Multistage Random Sampling began sub-district, village, and farmers respondent. The analysis was conducted through modeling using software applications Win QSB. Expected outcomes were: among several scenarios analyzed, obtained a integration system model of cattlecrop in coconut lands that provide the maximum benefit for farmers. The results of modeling scenarios through the model optimization method showed that the model of integrated farming in coconut lands involving corn crop with cattle integrated farming systems in coconut land produce higher total revenue earned on the coconut-cattle-corn system model with farm income of IDR16,457,915 and cattle farming income of IDR9,076,571 or total integrated farming income of IDR25,534,486. To empower farmers, it is necessary the implementation of integrated farming system model of Cattle-Corn-Coconut that provides the highest farming income in the integrated farming system, generating efficiency and the financing of farmers' total income is higher, than the non integration system. Keywords: Scenario, Integration, Cattle-Crops, South Minahasa.
PENDAHULUAN Pertanian dan peternakan berwawasan lingkungan dewasa ini menjadi urgen dan menjadi pertimbangan pengambilan kebijakan, mengingat praktek pertanian konvensional selama ini dianggap kurang memberi perhatian terhadap aspek lingkungan. Sistem usahatani ternak sapi potong perlu dikembangkan dengan sistem terpadu (integrated system) sapi dan tanaman, sebab banyak manfaat yang jelas dari sistem integrasi tanaman ternak antara lain, yaitu: pertama, teratasinya kekurangan pakan ternak; kedua, termanfaatkannya ternak sebagai penghasil pupuk organik dan sumber energi terbarukan; ketiga, terjaganya kualitas lahan pertanian dengan pasokan pupuk organik asal ternak; terakhir, terhindarnya pencemaran udara dari kotoran ternak atau sisa tanaman. Sistem integrasi ternak sapi dengan tanaman telah menjadi salah satu program prioritas pemerintah dalam program pencapaian swasembada daging sapi. Sujana (2009) menjelaskan sistem peternakan terpadu dengan tanaman, di mana sistem integrasi ternak sapi dengan tanaman ini telah menjadi prioritas nasional untuk menciptakan lingkungan pertanian yang bersahabat. Selanjutnya dikatakannya bahwa usaha ternak sapi mempunyai peluang besar untuk dilakukan pengembangan dilihat dari potensi sumberdaya pakan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk mencapai ketersediaan pakan, maka dengan luasan sekitar 14,4 juta hektar kebun tanaman hijauan yang sudah ada masih membutuhkan 12,4 juta hektar lagi di mana saat ini adalah kesempatan istimewa dalam menambah populasi ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan domba menuju sistem terintegrasi ternak dan tanaman. Dengan sistem integrasi, asumsi sederhananya 25% dari 26,8 juta hektar lahan tanam secara nasional dapat digunakan untuk
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
36
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
menambah kapasitas penggunaannya untuk satu ekor ternak per hektar. Diharapkan ke depan akan ada penambahan 6,7 juta ekor ternak sapi yang setara dengan 1,2 ton daging sapi. Pengembangan sistem integrasi ternak sapi-tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan pemodelan dan simulasi. Sridadi (2009) menjelaskan bahwa pemodelan dan simulasi sistem begitu pesat berkembang. Pendekatan pemodelan dan simulasi secara ekoagribisnis atau ecofarming yang telah dikenal menurut Franzluebbers (2007) yaitu Model Sistem Usahatani Terintegrasi atau Integrated Farming System Model (IFSM) ataupun Model Sistem Tanaman-Ternak Terintegrasi atau Integrated Crop–Livestock Systems Model (ICLSM). Provinsi Sulawesi Utara yang dikenal dengan julukan daerah nyiur belambai telah menetapkan kelapa sebagai salah satu komoditas unggulan. Potensi lahan kelapa di Provinsi Sulawesi Utara yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan integrasi ternak sapi dan tanaman kelapa, yaitu seluas 273.194 Ha atau 71.21% dari luas areal perkebunan di daerah ini (BPS, 2009), dengan asumsi 25 persen atau 68.298 hektar dapat dimanfaatkan untuk usaha ternak sapi dengan asumsi kapasitas penggunaannya (carrying capacity) satu ekor ternak per hektar maka dapat dipelihara sebanyak 68.298 ekor. Lahan areal tanaman kelapa dapat dijadikan kebun tanaman hijauan yang diintegrasikan dengan ternak sapi potong. Peternak memiliki sumberdaya lahan dan asset yang merupakan faktor utama keberhasilan program pemberdayaan petani peternak. Program pemerintah dalam pemberdayaan petani peternak umumnya ditujukan pada pemberdayaan kelompok peternak, termasuk peternak sapi. Namun sering program kurang memberikan insentif ekonomi bagi peternak sehingga program mengalami kegagalan disebabkan petani kurang memperoleh dampak yang signifikan dari program, sehingga petani kembali ke aktivitas usahatani semula yang lebih memberi stabilitas ekonomi bagi keluarganya. Permasalahannya bagaimana potensi dan prospek secara fisik dan ekonomis agar kelompok petani peternak yang menjadi sasaran pelaku program pemerintah pada pengembangan ternak sapi potong, mampu menerapkan sistem integrasi sapi dan tanaman. Kabupaten Minahasa Selatan di Provinsi Sulawesi Utara terdapat kelompok-kelompok tani peternak yang sebagian di antaranya telah memperoleh bantuan program pengembangan peternakan sapi, baik melalui Badan Ketahanan Pangan dan Dinas Pertanian Peternakan ataupun Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak). Hanya saja program-program tersebut dilaksanakan tidak didasarkan atas ketersediaan sumberdaya petani peternak, serta belum mempertimbangkan aspek lingkungan untuk mengembangkan peternakan berkelanjutan dan ramah lingkungan di Sulawesi Utara. Untuk itu yang menjadi masalah penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana kondisi usahatani ternak sapi potong dan usahatani saat ini baik dari produktivitas dan keuntungan yang diperoleh petani peternak. 2. Bagaimana model memperdayaan kelompok tani peternak sapi secara Sistem Integrasi Sapi– Tanaman, yang paling optimal dan cocok dengan potensi dan ketersediaan sumberdaya petani.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
37
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
3. Bagaimana keberlanjutan usaha model Sistem Integrasi Sapi–Kelapa, baik secara fisik maupun finansial agar peternak anggota kelompok tani yang menjadi sasaran pelaku program mau dan mampu menerapkan sistem integrasi ini di Kabupaten Minahasa Selatan.
MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara, di mana dipilih 3 (tiga) Kecamatan yang memiliki areal lahan tanaman kelapa dan populasi ternak sapi, yaitu Kecamatan Sinonsayang, Kecamatan Tumpaan dan Kecamatan Tareran. Penelitian ingin mengkaji sistem integrasi ternak sapi dan tanaman kelapa, sehingga peternak sampel harus memenuhi kriteria utama penelitian, yaitu memiliki ternak sapi dan areal tanaman kelapa. Kriteria khusus yaitu peternak sampel penelitian harus anggota kelompok petani/peternak, memiliki jumlah ternak sapi yang dipelihara sebanyak minimal dua ekor ternak sapi dewasa dengan lama beternak minimal lima tahun dan memiliki areal tanaman kelapa minimal 0,25 hektar. Penelitian ini menggunakan unit penelitian yaitu para peternak sapi anggota kelompok petani/peternak sebagai unit penelitian utama, dan pihak-pihak yang terlibat dalam sistem agribisnis ternak sapi. Pengambilan sampel dilakukan secara bertingkat (Multistage Random Sampling) mulai tingkat kecamatan, desa, kelompok tani, dan petani responden sesuai petunjuk Parel et.al., (1973), dan Singarimbun dan Effendi (1989). Definisi variabel penelitian, yaitu: Produksi Ternak Sapi adalah jumlah ternak sapi yang dipelihara dan dihasilkan oleh peternak selama satu tahun periode pemeliharaan terakhir, yang diukur dengan jumlah ekor satuan ternak (ST). Biaya Usaha Ternak Sapi, adalah keseluruhan jumlah uang yang dibayarkan peternak dalam membiayai ternak sapinya selama satu tahun periode pemeliharaan terakhir yang diukur dalam satuan rupiah. Tenaga Kerja, adalah keseluruhan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam usaha ternak sapi selama satu tahun periode terakhir yang diukur dalam hari orang kerja (HOK). Pendapatan Usaha Ternak Sapi adalah pendapatan dari nilai penggunaan tenaga kerja ternak sapi baik disewakan maupun digunakan sendiri, serta nilai jual ternak sapi dan hasil ikutannya (seperti pupuk) selama satu tahun periode terakhir (Rp). Luas Lahan Kelapa adalah luas areal lahan kelapa diukur dengan satuan Ha. Luas Lahan Jagung adalah luas areal lahan ditanami jagung diukur satuan Ha. Luas Lahan Padi adalah luas areal lahan ditanami padi diukur satuan Ha. Kapasitas Tampung adalah luas areal lahan kelapa, jagung dan padi ladang yang dapat dipelihara ternak sapi, ditanami hijauan maupun menghasilkan bahan pakan penguat yang diukur dengan satuan ternak (ST/Ha). Produksi Kelapa adalah jumlah kelapa/kopra yang dihasilkan dari areal sendiri, diukur dengan Kg/Tahun. Pendapatan Usaha Kelapa adalah nilai jual dari hasil kelapa/kopra dan hasil ikutannya (Rp).
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
38
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Produksi Jagung adalah jumlah jagung pipil kering yang dihasilkan dari areal sendiri, diukur dengan Kg/Tahun. Pendapatan Usaha Jagung adalah nilai jual dari hasil jagung, jagung muda (babycorn) dan hasil ikutannya (jerami dll), diukur dengan Rp/Tahun. Produksi Padi adalah jumlah gabah kering padi ladang yang dihasilkan dari areal sendiri, diukur dengan Kg/Tahun. Pendapatan Padi adalah nilai jual dari hasil gabah kering giling dan hasil ikutannya (dedak dll), diukur dengan Rp/Tahun. Untuk pengembangan peternakan ternak sapi Sistem Integrasi Sapi–Kelapa dilakukan melalui skenario pemodelan (modelling) dengan menggunakan aplikasi software Win QSB. Luaran yang diharapkan yaitu: di antara beberapa skenario yang dianalisis, diperoleh model sistem integrasi sapi–tanaman di lahan kelapa yang memberikan keuntungan paling maksimal bagi anggota kelompok petani/peternak sapi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan penelitian telah dilakukan melalui survei pengumpulan data primer dari reponden penelitian yaitu anggota dari empat kelompok peternak sapi, terdiri dari satu kelompok peternak di Desa Pinapalangkow Kecamatan Suluun Tareran, dua kelompok peternak di Desa Ongkaw II Kecamatan Sinonsayang, dan satu kelompok peternak di Desa Paslaten Kecamatan Tumpaan. Sedangkan data sekunder menyangkut keadaan umum dan data statistik di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Minahasa Selatan, dan di Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Utara. Analisis Optimasi dapat dilakukan dengan sasaran tunggal (Single Goal Programming) terhadap satu output, maupun dengan beberapa sasaran (Multiple Goal Programming) terhadap beberapa output. Penelitian ini terhadap sistem usahatani terpadu dengan output kelapa, jagung, padi, dan ternak sapi, sehingga dilakukan secara Multiple Goal Programming. Optimasi dilakukan pada sistem usaha tani terpadu antara sapi dan kelapa disertai jagung dan/atau padi ladang. Ada dua kendala dalam optimasi yaitu kendala lahan, dan tenaga kerja keluarga. Kendala yang pertama adalah luasan lahan usaha (yang menjadi dasar pembentukan optimasi). Berikut disajikan pemaparan hasil luasan usaha pada keempat pola usahatani yang terkait pada 3 jenis tanaman.
Pola Kelapa Kelapa-Jagung Kelapa-Padi Kelapa-Jagung-Padi
Tabel 1. Kendala Luasan Usaha Luas Untuk Luas Untuk Luas Lahan Kelapa Saja Jagung Saja 1,508 1,508 1,550 1,395 0,620 1,525 1,373 1,542 1,388 0,310 Rata-rata 1,416 0,465
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
Luas Untuk Padi Saja 0,610 0,308 0,459
39
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Berdasarkan beberapa tujuan dan kendala di atas, maka optimasi Multiple Goal Programming dalam penelitian ini akan menyelesaikan permasalahan setiap tujuan, kendala, dan variable keputusan, sebagai berikut: Tujuan: T1: T2: T3: T4: T5: T6:
Max: Max: Min: Min: Min: Min:
6.149.616 X1 + 4.332.042 X1 + 367.553 X1 + 1.469.256 X1 + 2.650.246 X2 2.657.161 X3
8.287.997 3.235.447 183.558 1.044.026
X2 + 6.945.392 X3 X2 + 3.254.868 X3 X2 + 207.564 X2 + 1.015.059 X3
X3
Kendala: K1: X1 + X2 + X3 ≤ 2.340 K2: 23.72X1 + 62.49X2 + 54.24X3 ≤ 109.55 K3: X1 ≥ 1.373, X2 ≥ 0, serta X3 ≥ 0 Setiap tujuan, kendala, dan variable keputusan di atas, disajikan secara matriks sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 2. Matriks Tujuan dan Kendala Optimasi Multiple Goal Programming Usaha Kelapa Usaha Jagung Usaha Padi Right Hand Tanda (X1) (X2) (X3) Side (RHS) Tujuan T1 6.149.616 8.287.997 6.945.392 Max T2 4.332.042 3.235.447 3.254.868 Max T3 367.553 183.558 207.564 Min T4 1.469.256 1.044.026 1.015.059 Min T5 2.650.246 Min T6 2.657.161 Min Kendala K1 1 1 1 2,340 K2 23,72 62,49 54,23 109,550 K3 1 1,373 K4 1 0 K5 1 0 Sumber: Diolah dari data primer. Variabel Keputusan: X1 : luas areal kelapa yang dioptimasikan (ha) X2 : luas areal jagung yang dioptimasikan (ha) X3 : luas areal padi yang dioptimasikan (ha)
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
40
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Penyelesaian dan hasil optimalisasi Multiple Goal Programming dengan menggunakan perangkat lunak Win QSB yang dapat disajikan secara ringkas pada Tabel 3. menunjukkan bahwa pada keempat pola tanam (kelapa, kelapa-jagung, kelapa padi, kelapa-jagung-padi) direkomendasikan untuk mempertahankan jumlah tanaman dan produksi kelapa untuk keseluruhan luas lahan 1,37 Ha, disertai penanaman tanaman jagung seluas 0,97 ha. Tabel 3. Hasil Optimalisasi Multiple Goal Programming Fungsi Simbol Solusi Keputusan Usaha Kelapa X1 1,37 Ha Usaha Jagung X2 0,97 Ha Usaha Padi X3 0 Ha Tujuan Maksimasi Pendapatan Tani T1 16.457.915 Rp/thn Maksimasi Pendapatan Ternak T2 9.076.571 Rp/thn Minimasi Biaya Ternak T3 682.150 Rp/thn Minimasi Biaya Kelapa T4 3.026.861 Rp/thn Minimasi Biaya Jagung T5 2.562.787 Rp/thn Minimasi Biaya Padi T6 0 Rp/thn Kendala Luas Lahan K1 2,34 Ha Tenaga Kerja Keluarga K2 93 HOK/thn Jika dikonversi 90 persen dan 40 persen kenyataan yang sebenarnya adalah 1,80 Ha akan menghasilkan tujuan sebagai berikut: 1. Pendapatan hasil pertanian (kelapa dan jagung) tertinggi yaitu mencapai Rp 16.497.915 per ha tiap tahun, 2. Pendapatan hasil pemeliharaan sapi tertinggi yaitu mencapai Rp 9.076.571 per ha tiap tahun, 3. Biaya pemeliharaan sapi terendah mencapai Rp 682.150 per ha tiap tahun. 4. Biaya produksi kelapa terendah mencapai Rp 3.026.861 per ha tiap tahun, 5. Biaya produksi jagung terendah mencapai Rp 2.562.787 per ha tiap tahun, 6. Biaya produksi padi terendah mencapai Rp 0 per ha tiap tahun (optimasi tidak merekomendasi untuk mengusahakan padi). Sistem usaha tani terpadu pada usaha tani kelapa dapat menghemat biaya pembelian saprodi pada tanaman kelapa. Pembelian saprodi meliputi pembelian herbisida, pupuk anorganik dan pestisida. Petani kelapa secara non terpadu mengeluarkan biaya untuk pembelian saprodi pertanian per hektar lebih banyak dibandingkan dengan petani yang mempergunakan sistem pertanian terpadu. Kelapa yang ditanam dengan sistem pertanian terpadu membutuhkan biaya pembelian saprodi per hektar lebih rendah. Penurunan biaya pembelian saprodi melalui sistem pertanian terpadu karena setiap komponen dalam sistem tersebut akan saling melengkapi. Hal tersebut mengakibatkan biaya pembelian saprodi pertanian dapat menurun. Pada sistem pertanian terpadu, kotoran sapi dipergunakan sebagai pupuk organik sehingga biaya pembelian pupuk
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
41
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
anorganik menjadi menurun. Hijauan yang ada di sekitar lahan kelapa dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sehingga lahan kelapa menjadi lebih bersih. Kondisi lahan yang bersih membuat hama penyakit menjadi lebih rendah sehingga biaya untuk pembelian pestisida menurun.
KESIMPULAN Hasil pemodelan melalui metode optimasi model menunjukkan bahwa model usahatani terpadu pada lahan kelapa yang melibatkan tanaman jagung di dalam sistem pertanian terpadu kelapa dengan sapi menghasilkan total pendapatan lebih tinggi. Pendapatan tertinggi diperoleh pada model sistem kelapa-sapi-jagung dengan pendapatan usahatani sebesar Rp 16.457.915 dan pendapatan usaha ternak sapi sebesar Rp 9.076.571 atau total pendapatan usahatani terpadu sebesar Rp 25.534.486. Untuk pemberdayaan petani, maka perlu penerapan sistem pertanian terpadu model sistem Kelapa-Sapi-Jagung yang memberikan pendapatan usahatani tertinggi di dalam sistem pertanian terpadu, menghasilkan efisiensi pembiayaan dan total pendapatan petani lebih tinggi, dibandingkan sistem kelapa dan sapi non integrasi.
DAFTAR PUSTAKA Agustinus, 2011. Pemeliharaan Sapi di Bawah Pohon Kelapa. http://epetani.deptan.go.id/budidaya/pemeliharaan-sapi-di-bawah-pohon-kelapa-1875 diakses Jumat, 16 Mei 2015. BPS Sulut, 2013. Berita Resmi Statistik Provinsi Sulawesi Utara No. 52/09/71/Th. VII, 2 September 2013. Badan Pusat Statistik, Manado. Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006. Statistik Perkebunan. Direktorat Perkebunan Departemen Pertanian, Jakarta. Diwyanto, K., S. Rusdiana dan B. Wibowo, 2010. Pengembangan Agribisnis Sapi Potong dalam Suatu Sistem Usahatani Kelapa Terpadu. Wartazoa, Buletin Ilmu Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia. 20(1):31-43. Maret 2010. Ibrahim, M.N.M and T.N. Jayatileka. 2000. Livestock Production under Coconut Plantations in Srilanka : Cattle and Buffalo Production Systems. Asian-Aus.Sci. 13(1):60-67. Ifar, S., 2007. Peran Ruminansia dalam Sistem Pertanian (Referensi untuk Integrasi Sapi pada Crash Program Agribisnis Jagung di Sulawesi Utara). J. Ternak Tropika. 6 (2) :71-78. Rogi, J.E.X., J.I. Kalangi, J.A. Rombang, A. Lumingkewas, S. Tumbelaka, dan Y. Paskalina, 2010. Produktivitas Jagung (Zea mays L.) Pada Berbagai Tingkat Naungan Kelapa (Cocos nucifera L.). Buletin Palma 38:49-59. Salendu, H.S., Maryunani, Sumarsono, and B. Polii, 2012a. Analysis of Carrying Capacity of Agro-Ecosystem Coconut-Cattle in South Minahasa Regency. Journal of Animal Production 14(1):56-62. Singarimbun, M. dan S. Effendi, 1989. Metode Penelitian Survay. LP3ES. Jakarta. Sridadi, B., 2009. Pemodelan dan Simulasi Sistem : Teori, Aplikasi dan Contoh Program dalam Bahasa C. Penerbit Informatika, Bandung. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
42
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
ANALISIS SIKAP MULTIATRIBUT FISHBEIN TERHADAP PRODUK RENDANG PARU DI KAMPUNG RENDANG KOTA PAYAKUMBUH SUMATERA BARAT Elfi Rahmi dan James Hellyward Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis Padang e-mail :
[email protected]
INTISARI Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis analisis sikap konsumen terhadap Rendang Paru yang diproduksi Kampung Rendang Kota Payakumbuh. Responden penelitian adalah 60 orang. Data yang dikumpulkan berhubungan dengan atribut produk. Atribut produk yang menjadi variabel pada penelitian ini adalah pernyataan positif tentang tekstur, rasa, keamanan, tampilan, dan kemasan. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis fishbein. Dari analisis fishbein menunjukkan bahwa rendang paru dari tiga merek yang jadi objek penelitian mendapatkan skor 11.01, 12.04 dan 3.47. Ini artinya, konsumen mempunyai sikap positif dan setuju dengan pernyataan positif terhadap atribut rendang paru. Keywords: rendang telur, perilaku konsumen, atribut produk, fishbein, marketing
ABSTRACT The objective of this research was to analyze consumer attitude of Rendang Paru product that is produced by ‘Kampung Rendang’ in Payakumbuh City. There were 60 respondents. Data that were collected related with atributtes of product, the attributes were positive statement about tecture, taste, savety, colour/performance, and packaging. Collected data were analyzed by fishbein analysis. From fishbein analysis, the result of the research showed that rendang paru product of three home industries, got the score 11.64, 12.65 and 3.97. It was mean, the consumers had positif attitude of rendang paru, and agreed with the positive statements of attributes that it was of rendang paru. Keywords: rendang telur, attitude of consumers, attributes of product, fishbein, marketing
PENDAHULUAN Usaha rendang di Kota Payakumbuh berkembang pesat, pemerintah daerah menamakan kawasan ini kampung rendang, dan bahkan pemerintah membuatkan gapura saat memasuki kawasan tersebut yang bertuliskan selamat datang di Kampung Rendang Kota Payakumbuh. Sebagai ikon daerah setempat diharapkan outlet-outlet rendang ini ramai dikunjungi dan menjadi salah satu daerah tujuan wisata kuliner di Sumatera Barat. Beberapa outlet rendang yang
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
43
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
merupakan pionir yang sudah dikenal diantaranya Usaha Rendang Yolanda, Usaha Rendang Erika, dan Usaha Rendang Dapoer Riry Family. Masih banyak lagi usaha rendang lainnya yang terdapat di kawasan Kampung Rendang Payakumbuh. Selain mempunyai outlet/gerai di kampung rendang ketiga usaha rendang ini melakukan kerjasama dengan toko pusat oleh-oleh di luar kota, yaitu di Kota Padang seperti Christine Hakim, Sherly, Mahkota, bahkan toko pusat oleh-oleh di luar propinsi, seperti Jakarta, Bandung, Batam, Surabaya, dan lain-lain. Namun persoalannya muncul karena beberapa toko pusat oleh-oleh mempunyai persyaratan untuk memasarkan rendang tersebut harus dengan menggunakan merek dagang toko pusat oleh-oleh tersebut, bukan menggunakan merek dagang usaha rendang yang memproduksi. Hal ini merupakan salah satu kelemahan produsen rendang, karena tidak berupaya keras untuk membangun merek. Selain itu, hal ini juga merugikan produsen rendang, karena akan sulit mengidentifikasi produk mana yang lebih memiliki kualitas rasa yang enak, sehingga bisa membangun merek. Kelemahan lainnya yaitu, jika ada salah satu produk yang mendapatkan testimoni tidak bagus dari konsumen maka akan merusak citra makanan khas Payakumbuh secara keseluruhan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kualitas rendang sangat ditentukan oleh waktu, jika terjadi perputaran penjualan yang lama, menyebabkan menurunnya kualitas rasa. Idealnya faktor utama/atribut yang biasanya dipertimbangkan konsumen untuk memutuskan melakukan pembelian terhadap produk makanan adalah rasa. Apalagi produk rendang merupakan makanan khas yang kaya bumbu dan teknis pembuatan yang sedikit rumit, sehingga sangat menentukan dan mempengaruhi rasa. Takaran bumbu yang kurang tepat ataupun teknis memasak yang berbeda akan mempengaruhi rasa dan tampilan rendang yang diproduksi. Termasuk dalam hal baru diproduksi dan sudah lama diproduksi, karena kualitas rasa yang sudah lama jeda waktu produksi dengan waktu konsumsi akan sangat terasa, dan otomatis akan menurunkan minat konsumen untuk melakukan pembelian ulang. Rasa juga terkait dengan ada tidaknya zat yang berbahaya bagi tubuh misalnya terlalu terasa penyedap makanan dan lain-lain. Apalagi rendang paru, paru memiliki tekstur yang lembek sehingga sulit membuat rendang paru yang renyah. Dan paru juga merupakan jenis makanan yang tidak familiar direndang dan belum tentu disukai banyak orang. Akan tetapi teknis memasak yang tepat dengan takaran bumbu yang akan menghasilkan citarasa yang enak. Oleh karena itu strategi pemasaran yang paling tepat untuk langkah awal bagi produk makanan adalah dengan mempertahankan kualitas produk, karena produk makanan terkait dengan citarasa konsumen. Hal ini sangat diperlukan oleh produsen untuk melakukan evaluasi terhadap produk yang diproduksi sehingga bisa lebih meningkatkan kualitas dan memenangkan pasar. Menurut Peter & Olson (1999), Engel, et.all,.(1994), Schiffman & Kanuk (1994), sikap diartikan evaluasi dari seseorang, menunjukkan penilaian langsung dan umum terhadap suatu produk. Riset pasar atau riset konsumen merupakan salah satu kegiatan penting untuk mengetahui sikap konsumen terhadap suatu produk.
MATERI DAN METODE
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
44
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Penelitian ini menggunakan desain survai dengan jumlah seluruh responden adalah 60 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara tertulis disertai penjelasan sebelum responden mengisi kuisioner dan mengisi kuisioner sebelum dan sesudah melakukan uji organoleptik untuk beberapa atribut produk yang dievaluasi. Peubah penelitian adalah atribut produk yang paling menonjol yang biasa dijadikan penilaian bagi konsumen dalam keputusan pembelian, yaitu terdiri dari dua kelompok variabel. Yang pertama variabel ei adalah variabel kepentingan terhadap enam atribut produk yaitu : (Variabel ei) (a) Tekstur renyah, empuk (b) Rasa sesuai selera, enak, gurih (c) Tidak ada zat berbahaya (misal terlalu terasa penyedap) (d) Warna/bentuk menarik (e) Kandungan gizi/parunya masih terasa (f) Kemasan menarik Setiap responden diminta untuk menyatakan sikapnya dalam 5 angka skala : Sangat penting +2 +1 0 -1 -2 Sangat tidak penting Variabel kelompok kedua, variabel bi yaitu variabel evaluasi tingkat kepercayaan, bahwa rendang telur dari tiga merek tersebut memiliki ke enam atribut pada variabel kepentingan (variabel ei) sebelumnya. Setiap responden diminta untuk menyatakan sikapnya terhadap pernyataan apakah semua jenis rendang dari 3 merek tersebut memiliki atribut di atas dalam 5 angka skala : Sangat baik +2 +1 0 -1 -2 Sangat buruk Skor rata-rata setiap variabel digunakan untuk menghitung skor Model Sikap Multiatribut Fishbein. Untuk setiap merek perlu menilai kepercayaan konsumen untuk masing-masing atribut (Eugene dan Israel, 1984). Model Sikap Fishbein yang digunakan pada penelitian ini adalah menghitung Ao (Attitude toward the object), yaitu sikap seseorang terhadap sebuah objek, yang dikenali lewat atribut-atribut yang melekat pada obyek tersebut. (Engel, et.al, 1994). Pengukuran sikap dilakukan dengan mengukur keseluruhan atribut (multiatribut), dengan rumus (Fishbein, 1963) : Ao = Σ(bi x ei) Dimana : Ao = sikap terhadap produk rendang paru bi = tingkat kepercayaan konsumen terhadap atribut i pada rendang paru ei = tingkat kepentingan konsumen terhadap atribut i pada rendang paru Σ = penjumlahan dari sejumlah atribut i Penilaian dengan metode ini diambil dari perhitungan nilai rataan atribut seluruh responden, lalu diformulasikan ke dalam Metode Analisis Fishbein. Hasil formulasi tersebut berupa nilai dari varibel-variabel Fishbein yang ditampilkan dalam suatu tabel. Setelah itu semua hasil analisis Fishbein untuk setiap rendang akan dilihat perbandingan perolehan nilai setiap
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
45
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
merek yaitu yang diproduksi oleh Usaha Rendang Dapoer Riry Family, Usaha Rendang Erika, Usaha Rendang Yolanda.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tingkat kepentingan dan tingkat kepercayaan responden terhadap rendang paru dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Hasil analisis sikap multiatribut Fishbein terhadap produk rendang telur untuk ketiga merek (n=60) Tingkat Kepercayaan Skor Rendang Riry Rendang Rendang Evaluasi Family Erika Yolanda Kepentingan No. Atribut (ei) bi ei.bi bi ei.bi bi ei.bi 1 Tekstur 1,83 0,63 1,15 1,73 3,17 0,1 0,18 2 Rasa 1,85 0,65 1,20 1,2 2,22 -0,23 -0,43 3 Aman 1,6 0,78 1,25 0,95 1,52 0,48 0,77 4 Tampilan 1,48 0,92 1,36 1,32 1,95 0,12 0,18 5 Gizi 1,6 1,28 2,05 1,28 2,05 0,8 1,28 6 Kemasan 1,18 1,1 1,30 1,1 1,30 0,85 1,00 𝛴 ei.bi 8,31 12,21 2,99 Dari hasil evaluasi tingkat kepentingan, responden berpendapat bahwa atribut yang paling penting adalah rasa, karena terlihat dari perolehan skor tertinggi adalah rasa yaitu 1,85. Sedangkan yang terendah adalah kemasan rendang. Ini artinya konsumen akan mempertimbangkan atribut rasa sebagai atribut terpenting dalam memilih produk rendang telur. Sumarwan (2000), dalam penelitiannya menyatakan bahwa dalam memilih produk makanan konsumen akan lebih mementingkan atribut internal dibandingkan dengan atribut eksternal (kemasan). Kemasan merupakan atribut eksternal yang dimiliki oleh semua produk makanan, salah satu fungsi penting dari kemasan adalah untuk melindungi produk tetap aman dan higienis untuk dikonsumsi. Namun dengan semakin tingginya tingkat persaingan setiap produsen mencoba merancang kemasan semenarik mungkin agar menarik minat konsumen sehingga berfungsi sebagai alat pemasaran yang efektif. Walaupun skor kepentingan kemasan adalah paling rendah bukan berarti responden menganggap kemasan tidak penting, hanya saja tingkat kepentingannya lebih kecil dibandingkan atribut lainnya. Puspita dan Nugrahani (2014), hasil penelitiannya (produk obat) juga memperoleh skor tingkat kepentingan internal (kualitas khasiat) lebih tinggi dibandingkan atribut eksternal (layanan).
KESIMPULAN Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa konsumen memiliki sikap positif terhadap produk rendang paru, ini terlihat dari perolehan total skor positif untuk semua merek. Ini artinya konsumen memiliki preferensi yang positif terhadap produk rendang paru yang diproduksi di Kampung Rendang Kota Payakumbuh.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
46
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada banyak pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian. Terimakasih juga kepada LPPM Unand yang telah mendanai pelaksanaan penelitian ini, artikel ini merupakan bagian dari penelitian skim Dosen Muda Tahun 2015.
DAFTAR PUSTAKA Engel, J.F., Roger D.B., Paul W.N. 1994. Perilaku Konsumen Edisi Keenam Jilid 1. Binarupa Aksara. Jakarta Eugene, D.J., Israel, D.N. 1984. Alternative Questionnare Formats for Country Images Study. Journal of Marketing Reseacrh 21, November : 463-471. Fishbein, M. 1963. An Investigation of the relationship between beliefs about an object and the attitude toward that object. Human Relations 16, Agustus : 233-240. Peter & Olson. 1999. Consumer Behaviour and Marketing Strategy. 5th Edition. Boston, MA : Irwin Puspita dan Nugrahani. 2014. Analisis Sikap Multiatribut Fishbein Mengenai Atribut Obat Herbal Merek Tolak Angin Sido Muncul di Kota Bandung. Jurnal Sosioteknologi Volume 13, Nomor 1, April 2014 Schiffman, L & Kanuk, L.L. 2008. Consumer Behaviour 7th Edition Sumarwan, U. Analisis Sikap Multiatribut Fishbein Terhadap Produk Biskui Sandwich Coklat. Media Gizi dan Keluarga, Desember 2000, XXIV (2) : 79-85.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
47
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
TINGKAT DAYA SAING USAHA PETERNAKAN AYAM PETELUR DI KABUPATEN MAROS, PROPINSI SULAWESI SELATAN Sitti Nurani Sirajuddin1, Ilham Rasyid1, dan Nurul Ilmi Harun2 1
Departemen Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin Jl.Perintis Kemerdekaan Km.10 Tamalanrea,Makassar 90245, 2Mahasiswa PascaSarjana Ilmu dan Teknologi Peternakan, Fakultas peternakan,Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerkaan Km 10 Tamalnrea, Makassar 90245 Alamat korrespondensi:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat daya saing usaha ayam ras petelur di Kabupaten Maros,Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan pada bulan September hingga bulan November di Kecamatan Bantimurung,Kabupaten Maros dengan menggunakan sumber data primer dan data sekunder.Analisis data yang digunakan yaitu metode pAM (Policy Analysis Matrix). Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ayam ras petelur di Kabupaten Maros mempunyai tngkat daya saing akan tetapi kebijakan pemerintah daerah masih perlu dilakukan agar pendapatan peternak ayam ras petelur dapat meningkat. Kata kunci : daya saing, usaha ayam ras petelur, peternak, kebijakan
ABSTRACT This study aimed to determine the level of business competitiveness laying chicken in Maros, South Sulawesi Province. This research was conducted in September to November in Bantimurung , Maros Regency using primary data sources and secondary data. The analysis used the method of PAM (Policy Analysis Matrix). The results showed that businesses laying chicken in Maros regency has competitiveness but government policy still needs to be done so that the laying chicken farmer incomes can be increased. Keywords: competitiveness, businesses laying chicken, farmers, policy
PENDAHULUAN Prospek usaha peternakan ayam ras petelur di Indonesia dinilai sangat baik dilihat dari pasar dalam negeri maupun luar negeri, jika ditinjau dari sisi penawaran dan permintaan. Di sisi penawaran, kapasitas produksi peternakan ayam ras petelur di Indonesia masih belum mencapai kapasitas produksi yang sesungguhnya (Abidin, 2003). Hal ini terlihat dari masih banyaknya perusahaan pembibitan, pakan ternak, dan obat-obatan yang masih berproduksi di bawah kapasitas terpasang. Artinya, prospek pengembangannya masih terbuka. Di sisi permintaan, saat ini produksi telur ayam ras baru mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri sebesar 65%. Sisanya dipenuhi dari telur ayam kampung, itik, dan puyuh. Iklim perdagangan global yang sudah mulai terasa saat ini, semakin memungkinkan produk telur ayam ras dari Indonesia untuk ke pasar luar Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
48
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
negeri, mengingat produk ayam ras bersifat elastis terhadap perubahan pendapatan per kapita per tahun dari suatu negara. Meskipun potensi usaha budidaya ayam ras petelur sangatlah menarik, namun sejumlah tantangan bisa menjadi penghambat usaha yang bisa mengubah potensi keuntungan menjadi kerugian. Menurut Yupi (2011), tantangan dan hambatan dalam usaha peternakan ayam ras petelur antara lain manajemen pemeliharaan yang lemah, fluktuasi harga produk, fluktuasi harga sarana produksi, tidak ada kepastian waktu jual, marjin usaha rendah, serta sarana produksi yang sangat tergantung pada impor dan persaingan global yang semakin ketat. Kabupaten Maros sebagai salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan sangat berperan dalam pengembangan usaha peternakan. Daerah ini merupakan daerah yang berbatasan dengan kota metropolitan dimana banyak tenaga kerja yang datang di kota tersebut untuk mencari pekerjaan, salah satunya adalah pekerjaan di bidang usaha peternakan ayam petelur. Sebagaimana diketahui ayam merupakan ternak penghasil daging dan telur yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Namun pihak pengusaha mempunyai kendala dalam pengembangan usahanya yaitu masalah modal. Selain faktor modal yang sangat perpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja pada usaha peternakanayam pedaging dan petelur yaitu tingkat upah dan skill juga sangat berpengaruh terhadap penyerapan kerja. Oleh karena itu perlu mengetahui tingkat daya saing usaha ayam ras petelur di kabupaten Maros.
METODE ANALISA DATA Penelitian ini dilakukan pada ulan September hingga bulan November 2016 di Kabupaten Maros. Pengumpulan data mencakup data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden sebanyak 3 orang peternak ayam petelur di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan dengan wawancara langsung dan indepth interview dan menggunakan kuisioner yang berisikan karakteristik peternak, biaya produksi mencakup biaya tetap, biaya variable, dan pendapatan. Data sekunder diperoleh dari jurnal hasil penelitian di Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur.Analisis data yang digunakan yaitu Policy Analysis Matrix (PAM) (Pearson, Gotsch and Bahri, 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada pembahasan kali ini, peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros dianggap sebagai data aktual/privat dan data dari Kabupaten Lamongan dianggap sebagai data social. Berdasarkan asumsi tersebut, maka diperoleh sebuah data perbandingan dalam bentuk Matrix pada Tabel 1. Tabel 1. Policy Analysis Matrix (PAM) usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros Biaya Pendapatan Keuntungan Input Tradable Domestik Privat
Rp 35.112.000
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
Rp 21.050.000
|
12 - 13 Februari 2016
Rp 2.950.000
Rp 11.112.000
49
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Social Rp 38.821.128 Rp 19.008.631 Rp 2.965.037 Rp 16.847.460 Divergency Rp (3.709.128) Rp 2.041.369 Rp (15.037) Rp (5.735.460) Sumber: Data Primer (2015). Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan pendapatan memberikan divergensi negatif pada usaha ayam petelur di Kabupaten Maros. Total pendapatan diperoleh dari hasil penjualan telur. Pendapatan peternak dapat berubah berdasarkan harga jual telur. Besarnya pendapatan dipengaruhi oleh jumlah produksi telur. Penerimaan usaha peternakan ayam petelur sangat fluktuatif disebabkan oleh harga DOC dan harga jual telur yang bersifat fluktuatif akan tetapi tingkat keuntungan usaha ayam ras petelur di Kabupaten Maros rendah disebabkan harg pakan dan DOC rendah sementara harga jual telur tetap,hal tersebut diatas sejalan dengan pendapat Rasyaf (2005) bahwa salah satu kegagalan yang gampang terjadi dalam usaha peternakan ayam petelur adalah manajemen pemeliharaan yang mengakibatkan input produksi sangat meningkat akibat dari kekurang telitian peternak. Menurut Mila (2011), karena harga bahan baku pakan yang tinggi sangat mempengaruhi biaya yang dikeluarkan peternak dimana biaya pakan 60-70% dari biaya keseluruhan produksi peternakan. Pada faktor domestik terjadi divergensi negatif, hal ini menunjukkan bahwa manajemen kurang efesien dalam penggunaan tenaga kerja padahal upah tenaga kerja factual lebih mahal dibandingkan upah kerja sosial. Pada usaha privat, tenaga kerja dengan populasi ayam petelur diberikan gaji Rp.200.000/bulan sedangkan pada usaha sosial diberikan gaji sekitar Rp.192.000/bulan. Peningkatan gaji tenaga kerja disesuaikan dengan jumlah populasi ayam petelur yang dipelihara. Kegagalan dalam manajemen sumberdaya ditingkat privat berimbas pada kurangnya keuntungan yang diperoleh. Divergensi keuntungan yang negatif adalah merupakan bukti hal tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Pearson (2005) bahwa penawaran, produksi nasional dibatasi oleh keterbatasan sumber daya (lahan, tanaga kerja, dan modal), harga input dan kemampuan manajemen. Parameter-parameter ini merupakan komponen dari fungsi produksi sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam menghasilkan komoditas peternakan. Tingkat Daya Saing Usaha Ayam Ras Petelur Untuk mengetahui tingkat daya saing usaha ayam ras petelur di Kabuaten Maros dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2. Ratio analisis model PAM usaha ayam petelur Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan Indikator Analisis Model PAM Nilai Koefisien Proteksi Output (NPCO) 0,9 Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1,11 Rasio Nilai Privat (PCR) 0,21 Rasio Nilai Sumber Domestic (DRC) 0,15 Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,71 Koefisien Keuntungan (PC) 0,66 Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) -0,15
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
50
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Sumber : Data Primer (2015). Tabel 2 menunjukkan bahwa usaha ayam rs petelur mempunyai daya saing yang cukup,hal ini dapat dilihat Nilai keunggulan komparatif atau efisiensi ekonomi dapat diukur menggunakan Rasio Nilai Privat (PCR) dan Rasio Nilai Sumber Domestik (DRC). Nilai PCR yang diperoleh adalah 0,21%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha petenakan ayam petelur di Kabupaten Maros memiliki nilai kompetitif yang baik, karena PCR < 1, dengan nilai yang kecil, maka daya kompetitif usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros cukup besar. Nilai DRC usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros adalah 0,15%, yang berarti nilai DRC < 1. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha tersebut efisien dalam menggunakan sumber daya domestik artinya memiliki daya saing sehingga mampu berproduksi sendiri.sementara kebijakan pemerintah masih diperlukan,hal ini dapat dilihat pada, koefisien proteksi output nominal (NPCO) menunjukkan nilai 0,9%. Apabila nilai NPCO lebih kecil dari satu (NPCO<1), maka yang terjadi adalah produsen tidak menerima subsidi atas output dari pemerintah Nominal Protektion Coefisien on Inputs (NPCI) yaitu 1,11% nilai rasio ini tinggi yang dipengaruhi oleh harga DOC dan pakan yang digunakan pada peternakan ayam petelur Kabupaten Maros lebih tinggi dibandingkan dengan harga DOC dan pakan yang digunakan pembanding sosial. Nilai Koefisien proteksi input nominal yang lebih besar dari satu (NPCI > 1) berarti pemerintah tidak menurunkan harga input asing tradable dipasar domestik dibawah harga dunia sehingga biaya produksi tinggi dan menghasilkan keuntungan yang lebih kecil. Pengaruh kebijakan input-output dapat dijelaskan melalui analisis Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient atau EPC), Koefisien Keuntungan (PC) dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik (Hidayat, 2009). Nilai EPC usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros adalah 0,71%, yang berarti nilai koefisien proteksi efektif yang lebih kecil dari satu (EPC<1) menunjukan bahwa dampak kebijakan pemerintah tidak memberikan dukungan terhadap aktivitas produksi dalam negeri. Nilai koefisen keuntungan (PC) merupakan indikator yang menunjukan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing (tradeable) dan input domestik. Nilai yang diperoleh adalah 0,66%, dimana PC < 1. Nilai tersebut mencerminkan bahwa keuntungan yang diterima produsen lebih kecil.Nilai SRP yang membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi suatu sistem komoditas. Nilai SRP yang diperoleh adalah -0,15 yang berarti lebih kecil dari 0 yang berarti Nilai SRP negatif (SRP < 0) bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan pelaku usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros mengeluarkan biaya lebih tinggi dari biaya sosialnya.
KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan Policy Analysis Matrix (PAM) maka tingkat daya saing usaha ayam ras petelur cukup tinggi akan tetapi kebijakan pemerintah belum mendukung dalam
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
51
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
penentuan harga telur dan harga pkan yang perlu disubsidi agar keuntungan peternak ayam ras petelur dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 2003. Meningkatkan Produktivitas Ayam dan Itik Ras Petelur. PT Agromedia Pustaka. Jakarta. Asnawi, A. 2009. Perbedaan Tingkat Keuntungan Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur antara Sebelum dan Sesudah Memperoleh Kredit PT. BRI di Kabupaten Pinrang. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan, Vol. XIII(1), Januari 2009. Eviana, B., Hartono, B., dan Fanani, Z. 2014. Analisis Finansial Usaha Peternakan Ayam Petelur di Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan. Universitas Brawijaya. Malang. Mila, F. 2011. Analisis Ekonomi Perusahaan Peternakan Ayam Petelur UD. Jaya di Desa Bululawang Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang. Universitas Brawijaya. Malang . Pearson, R. Scott., Gotsch, Carl dan Bahri, Sjaiful. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Pemerintah Kabupaten Maros. 2010. Potensi Peternakan. http://maroskab.go.id. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2015. Rasyaf, M. 2005. Berternak Ayam Petelur Cetakan ke-20. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Yupi. 2011. Analisis Usahatani Ayam Ras Petelur (Studi Kasus Peternakan Ayam Ras Petelur Jaya Abadi Farm Desa Tegal Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat). Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
52
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
MODEL ALTERNATIF UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF BAGI PETERNAK KAMBING DI KABUPATEN MAJENE, SULAWESI BARAT Tanri Giling Rasyid, Sitti Nurani Sirajuddin, dan Sofyan Nurdin Kasim Departemen Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin Jl.Perintis Kemerdekaan Km.10 Tamalanrea,Makassar 90245
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model alternatif untukpengembangan ekonomi produktif untuk peternak kambing di kabupaten Majene,propinsi Sulawesi Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2015 hingga Oktober 2015, dan tempat penelitian adalah di Desa Bababulo, kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene Sulawesi Barat.Sedangkan penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling dan analisis data yang digunakan yaitu statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan model intervensi pelatihan partisipatif dengan pola learning by doing perlu dilakukan bagi peternak kambing dan kelompok eksperiment sangat puas dengan pengetahuan yang diperolehnya melalui model intervensi pelatihan partisipatif dengan pola learning by doing, jika dibandingkan dengan kelompok control Kata kunci; model intervensi,ekonomi produktif, peternak kambing.
ABSTRACT This study aimed to find out an alternative model of economic for development of productive goat breeders in Majene regency, West Sulawesi province. This research was conducted in September 2015 until October 2015, and the research is in the village of Bababulo, sub Pamboang, Majene Sulawesi Barat.Sampling was done by purposive sampling and data analysis used is descriptive statistics. Results showed participatory training intervention models with patterns of learning by doing, and experiment group was very dissatisfied and knowledge not improve with model or pattern of participatory training intervention approaches when implemented Keywords: intervension model,economic produktif,goat farmers
PENDAHULUAN Kabupaten Polman, ppropinsi Sulawesi barat merupakan salah satu daerah yang mengembangkan komoditas unggulan yaitu ternak kambing akan tetapi dalam pengembangan usaha tersebut menghadap beberapa permasalahan yaitu pakan bagi ternak kambing pada waktu tertentu berlimpah akan tetapi lain waktu mengalami kekeringan(Tanrigiling et al,2015) sehingga perlu pengolahan pakan pada saat berlimpah misalnya pembuatan silase, hal ini senada dengan pendapat Okine, dkk., bahwa (produk silase dapat dihasilkan dengan baik dengan menggunakan
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
53
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
beberapa bahan sebagai penyerap air (absorbant) seperti dedak dan kulit kacang kedele untuk menurunkan kadar air. Produk silase yang dihasilkan dapat digunakan selama empat hari setelah silo dibuka, dan silase mulai mengalami pelapukan setelah hari ke lima. Dengan demikian, teknologi silase ini dapat digunakan sebagai cara preservasi terutama untuk melakukan penyimpanan pakan dalam jumlah besar.Kemudian Wahyono.(2015), menyatakan bahwa banyak calon peternak ataupun investor peternakan kambing mengurungkan niatnya ketika harus berhitung dengan permasalahan hijauan pakan ternak, karena mereka menjadi ragu ketika harus menyediakan luasan lahan tertentu untuk menanam hijauan pakan ternak dengan segala permasalahan tata laksana pemeliharaan. Bahkan di tingkat peternak kecilpun tidak jarang ketika musim kemarau tiba terpaksa harus menjual sebagian ternaknya untuk mengatasi terbatasnya hijauan yang tersedia. Apakah hal seperti ini harus terjadi selamanya maka jawabannya disinilah diperlukan teknologi pakan fermentasi, pakan komplit atau lengkap (complete feed) maka ternak tidak perlu lagi diberikan hijauan makanan ternak. Ditambahkan Wahyono (2015), bahwa keunggulan complete feed adalah mengandung nutrisi yang seimbang juga bahan pakan compleet feed murah harganya. Hal ini dimungkinkan karena bahan bakunya berasal dari limbah pertanian dan agroindustri ditambah perlakuan suplementasi bahan bahan bernilai nutrisi tinggi. Keunggulan lainnya seperti hemat dalam penggunaan tenaga kerja (1 orang tenaga kerja untuk 100 ekor – 150 ekor), mudah diaplikasikan, waktu penggemukan relatif pendek (3 bulan – 4 bulan) pertumbuhan bobot badan cukup tinggi 100 gram – 150 gram/ekor/hari, praktis dan ekonomis (1 ekor kambing membutuhkan 1 kg/hari) dan harga relatif lebih murah Rp.1100,00/kg. Juga dijelaskan agar ternak dapat beradaptasi dapat diberi jamu yang dibuat dari bahan ekstrak bahan organik yang dilanjutkan dengan proses fermentasi yang ditambahkan mikroorganisme efektif. Manfaat dari jamu ternak tersebut yaitu mempercepat adaptasi ternak menggunakan pakan kering, merangsang nafsu makan ternak dan meningkatkan efisiensi pencernaan, meningkatkan kesehatan ternak dan mengurangi bau kotoran ternak. World Bank, (2003), menyatakan bahwa guna kelanjutan usaha masyarakat miskin sebaiknya mereka dibentuk dalam kelompok serta diberdayakan. Waseko Tirta Consultant dan Disiplan Consultant (2003), menyatakan bahwa perlunya masyarakat perdesaan dan perkotaan diberdayakan ,utamanya yang tergolong miskin melalui pendeteksian kemiskinan dan sebaiknya mereka dibina dalam satuan kelompok.Nuch (2001), menyatakan demi keberhasilan anggota masyarakat terjaring dalam kelompok maka aspek yang sangat penting diperhatikan sebelum pembekalan pembinaan aspek bina social,bina ekonomi,fisik dan lingkungan maka perlu dilakukan pengamatan awal dari aspek social ekonomi yang merupakan masalah bagi mereka, dan akan terjawab melalui pembinaan masyarakat akan aktif berpartisipasi karena materi yang diberikan adalah sesuai dengan kebutuhan sasaran.Sehingga Koesnadi (2000), menyatakan bahwa sasaran akan mudah menerima suatu hal yang baru (inovasi) jika materi yang diberikan adalah sesuai kebutuhannya dan dapat diaplikasikan. Materi dan Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2015 hingga Oktober 2015, dan tempat penelitian adalah di Desa Bababulo, kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene Sulawesi
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
54
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Barat.Sedangkan penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan alasan bahwa sampel yang terpilih adalah merupakan sampel yang berasal dari masyarakat perdesaan yang berada di Desa Palipi , kecamatan Banggae sebanyak 15 orang, dan juga sebanyak 15 orang yang berasal dari Desa bababulo, Kecamatan Pamboang Kabupaten majene Sulawesi Barat, sehingga total responden adalah 30 orang. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer sedangkan data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah bersasal dari Dinas pertanian dan peternakan Kabupaten majene, data dari Kantor kelurahan/desa, BP3K,Bappeda, data kelompok tani dan data yang bersumber pada Biro Pusat Statistik.Metode analysis yang digunakan adalah analysis kontribusi (persentase) atau analysis statistic deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian terhadap kelompok control dan kelompok eksperiment yaitu terdiri dari 15 orang kelompok control dan 15 orang responden kelompok eksperiment yang berasal dari kelompok peternak kambing desa palipi,kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, dan kelompok peternak kambing yang berasal dari peternak kambing desa bababulo,kecamatan Pamboang, Kebupaten Majene melalui pre-test dan post-test sebagai dasar yang diharapkan dalam pembentukan model alternative pengembangan usaha ternak kambing yang dapat dijadikan acuan bagi pihak peternak dan pemerintah setempat untuk perbaikan usaha masyarakat di tingkat perdesaan. Pre-test dan Post-test pada responden yang diteliti pada penelitian tersebut menunjukkan terjadi perbedaan yang nyata antara kelompok control (tanpa intervensi pelatihan partisipatif) dengan kelompok eksperiment (intervensi pelatihan partisipatif), dan untuk lebih jelasnya tampak pada Tabel.1 Tabel.1. Perbandingan Hasil Pre Test dan Post Test pada Responden kelompok control dan Kelompok Eksperiment No Materi Kelompok Kelompok Hasil capaian Hasil Capaian kontrol Eksperiment kelompk control kelompok (%) Eksperiment (%) 1. Pre Test 15 15 0,00 0,00 a. Bina Pakan 0,00 0,00 (konsentrat,fermentasi) b. Bina Kesehatan 0,00 0,00 (vaksinasi) 2. Post Test 15 15 0,00 100,00 a. Bina Pakan 0,00 100,00 (konsentrat,fermentasi) b. Bina Kesehatan 0,00 100,00 (vaksinasi) Sumber : Data Primer yang diolah,2015 Tabel.1menunjukkan bahwa kelompok eksperimen dan kelompok control sebelum diberikan intervensi pelatihan partisipatif ternyata pengetahuannya dalam hal pakan konsentrat dan
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
55
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
fermentasi dan vaksinasi ternak kambing adalah rendah, dan setelah dilakukan intervensi pelatihan partisipatif pada kelompok eksperimen ternyata terjadi perubahan yang sangat signifikan atau berbeda sangat nyata jika dibandingkan dengan kelompok control, hal ini ditunjukkan oleh hasil post test yang menunjukkan kelompok control pengetahuan pre test dan post test tidak terjadi perubahan nilai yaitu tetap nihil (0,00%), sedangkan kelompok eksperiment progressnya yaitu pre test adalah 0,00%, dan setelah dilakukan intervensi pelatihan partisipatif dan dilakukan post test hasilnya adalah mengerti apa yang diberikan atau dapat dinyatakan 100,00% terjadi penambahan Pengetahuan bina pakan, dan bina kesehatan.Ini berarti bahwa sentuhan intervensi pelatihan partisipatif dengan metoda learning by doing dapat merubah pengetahuan peternak kambing dari belum tahu menjadi sangat tahu atau dari pengetahuan 0,00% menjadi 100,00%. Jika ditinjau dari aspek tingkat kepuasan responden yang mendapatkan intervensi pelatihan partisipatif atau kelompok eksperiment dan yang tidak mendapatkan pelatihan intervensi pelatihan atau kelompok control yang diperoleh pada penelitian ini,dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel.2. Tingkat Kepuasan Responden Kelompok Eksperiment dan Kelompok Kontrol dengan Adanya Intervensi Pelatihan Partisipatif No Materi Responden Kepuasan Kelompok Kepuasan Kelompok Eksperimen (%) Kontrol (%) 1. Bina Pakan 30 15 (100,00) 15 (0,00) (konsentrat,fermentasi) 2.
Bina Kesehatan 30 15 (100,00) 15 (0,00) (Vaksinasi) Sumber : Data Primer yang Diolah, 2015 Tabel 2. tampak bahwa secara rata rata responden yang mengikuti pelatihan intervensi partisipatif bina pakan dan bina kesehatan atau kelompok eksperiment menyatakan sangat puas , sedangkan bagi responden yang tidak mengikuti intervensi pelatihan bina pakan dan bina kesehatan atau kelompok control menyatakan belum puas karena perkembangan pengetahuan responden tampa intervensi pelatihan tidak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan kelompok yang mengikuti intervensi pelatihan.
KESIMPULAN Pendekatan pembinaan kelompok peternak kambing guna pengembagan usaha ternak kambing untuk mencapai ekonomi produktif dapat dilakukan melalui intervensi pelatihan partisipatif dengan pola learning by doing sementara tingkat Kepuasan yang dicapai oleh kelompok yang mengalami intervensi pelatihan atau kelompok eksperimen secara rata rata merasakan sangat puas dengan adanya pelatihan, sedangkan kelompok peternak kambing tanpa intervensi pelatihan partisipatif atau kelompok control secara rata rata merasakan tidak puas dengan tidak adanya pengetahuan yang diberikan kepadanya.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
56
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Bulu G.Y, (2014). Pengembangan ternak Kambing pada Lahan Kering di Kabupaten Lombok Timur,BPPT,Nusa Tenggara barat. Disnak Kalsel,(2014).Membuat pakan Fermentasi ternak Kambing,Disnak Kalsel. Nuch M, (2001). Konsep Dasar dan Perencanaan Program pemberdayaan masyarakat,RSI,World Bank, Jakarta. Koesnadi,(2000).Penyuluhan dan Aplikasinya, Brawijaya University, Malang Jawa Timur. Tanri Giling Rasyid, Syamsuddin Hasan,Sjamsuddin Rasjid, Sitti Nurani Sirajuddin., (2015). Accessibility Goat Livestoct Cooperation With The Government, Merchant Banking and Collecting in Majene Regency, West Sulawesi Province, American-Eurasian Journal of Sustainable Agriculture.Vol.(9); page 13-18. Wahyono .E,(2015).Teknologi Pakan lengkap Solusi Bagi Permasalahan Pakan Ternak kambing,UPTD,Jatinangor, Jawa Barat. Waseko Tirta Consultant,(2003). Pemberdayaan Kemiskinan Perkotaan,PT Waseko Tirta ,Jakarta World Bank, (2001). Business Development in Distrct South Sulawesi,PCO, Jakarta.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
57
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
TANGGAPAN PETERNAK SAPI POTONG TERHADAP LEMBAGA PEMBIAYAAN FORMAL DAN INFORMAL DI PEDESAAN Aslina Asnawi, A. Amidah Amrawaty, Hastang, dan Ikrar Mohammad Saleh Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar Email:
[email protected]
INTISARI Salah satu hal yang menghambat perkembangan usaha peternakan khususnya sapi potong adalah rendahnya kepemilikan modal. Oleh karena itu peternak memilih pembiayaan yang berasal dari pembiayaan eksternal yaitu lembaga informal maupun formal. Diantara kedua lembaga tersebut masing-masing memiliki karakteristik atau perbedaan. Studi ini mengidentifikasi tanggapan peternak terhadap kedua lembaga tersebut. Dengan perbedaan tersebut memungkinkan peternak untuk memilih salah satu sumber pembiayaannya apakah dari lembaga formal maupun informal. Data dikumpulkan melalui instrumen kuesioner dalam pendekatan survei. Analisis statisitik yang meliputi statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga informal lebih fleksibel karena cukup hanya kepercayaan antara peternak dengan pemberi pinjaman, prosedurnya lebih mudah dan sederhana, waktunya lebih cepat, jumlah dana yang diterima sama dengan yang diinginkan, tingkat suku bunganya relatif lebih tinggi. Sedangkan pada lembaga formal mensyaratkan collateral, prosedurnya rumit dan panjang, waktunya relatif lama, jumlah dana yang diterima tidak sama dengan yang diusulkan dan tingkat suku bunga relatif lebih rendah. Kata Kunci: Lembaga Formal dan Informal, Peternak Sapi Potong
ABSTRACT The low financial capacity to encourage beef cattle farmers seek external financing whether from formal financing such as bank or government and informal financing. This study aims to determine the response of beef cattle farmers to formal and informal institutions in rural areas . Data were collected using a questionnaire and analyzed using descriptive statistics . The results showed that the response of farmers tend to side with informal institutions than formal institutions because there is no collateral requirement , the procedure is not long, fast realization time, the amount of funds received is equal to that proposed and location of informal institutions in the rural area. Key Words: Beef Cattle Farmers, Formal and Informal Institutions
PENDAHULUAN Latar Belakang
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
58
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Peran lembaga pembiayaan dalam menyediakan kredit sangat membantu petani pada umumnya terutama bagi peternak sapi potong. Rendahnya kepemilikan modal mengharuskan peternak harus mencari alternatif pembiayaan selain pembiayaan yang bersumber dari kas peternak. Hal ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dalam usaha peternakan sapi potong yang dilakukan. Pembiayaan eksternal menjadi alternatif pembiayaan bagi peternak karena terkendala pada pembiayaan internal. Keterbatasan akses pendanaan eksternal pada peternak mandiri merupakan salah satu implikasi dari pecking order theory (Myers, 1984). Pembiayaan eksternal dapat berasal dari dua sumber yaitu: lembaga pembiayaan formal dan informal. Pembiayaan formal seperti bank dan pemerintah sedangkan informal bisa berasal dari teman, keluarga, sesama peternak, rentenir, atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yaitu lembaga keuangan yang dibentuk oleh sekelompok petani/peternak di daerah pedesaan. (Wahab and Abdesamed, 2012; Asnawi, 2013a). Selain itu pedagang input pertanian, pedagang hasil-hasil pertanian dan juga para pedagang yang berfungsi kedua-duanya, yaitu pedagang input dan pedagang output (Nurmanaf et al., 2006). Salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah kendala pembiayaan pada lembaga formal seperti perbankan. Determinan akses pembiayaan bagi peternak pada lembaga formal sebagaimana yang dijelaskan Asnawi (2013b) yaitu: relationship yang relatif rendah antara peternak dan pemberi pinjaman, ketersediaan informasi tentang pembiayaan masih rendah, prosedur dan collateral yang memberatkan peternak serta lokasi yang relatif jauh dari tempat peternak. Hal ini dipertegas oleh Nurmanaf (2007) bahwa aksesibilitas sebagian besar petani terhadap lembaga pembiayaan formal sangat rendah karena di pihak lembaga formal diterapkan standar perbankan komersial dengan prinsip kehati-hatian. Pemilihan pembiayaan antara lembaga formal dan informal tentunya memiliki pertimbangan tertentu bagi peternak terkait dengan karakteristiknya masing-masing (Asnawi dan Hastang, 2015). Namun keberadaan salah satu lembaga tersebut diharapkan bisa saling melengkapi dan bukan saling mematikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan peternak sapi potong terhadap lembaga pembiayaan formal dan informal yang ada di daerah pedesaan.
MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Yang menjadi objek penelitian adalah peternak yang telah menerima bantuan dari pemerintah atau dari perbankan yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut peternak non mandiri karena mereka memiliki kewajiban untuk mengembalikan bantuan maupun kredit yang diterima. Selain itu peternak mandiri yaitu peternak tidak memperoleh bantuan kredit. Jumlah peternak non mandiri di kabupaten Bone sebanyak 1.416 orang sedangkan peternak mandiri sebanyak 90.441 orang. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 88 orang masing-masing 44 peternak mandiri dan 44 orang peternak non mandiri (Metode penentuan sampelnya diadopsi dari Asnawi, 2013a). Dalam penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner dan tidak ada pemisahan antara peternak
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
59
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
mandiri dan non mandiri. statisik deskriptif.
Data dikumpulkan dan dianalisis dengan menggunakan analisis
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang tanggapan peternak sapi potong terhadap lembaga pembiayaan formal dan informal setelah dimatriks dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tanggapan Peternak Sapi Potong terhadap Lembaga Informal dan Formal Tanggapan Peternak Karakteristik Pembiayaan Informal Pembiayaan Formal Persyaratan Lebih fleksibel, cukup Harus ada agunan kepercayaaan (collateral) Prosedur Mudah dan simpel Rumit, banyak tahapannya Waktu realisasi Cepat Lama Jumlah dana yang diterima Sesuai yang diinginkan Tidak sesuai yang diusulkan Tingkat suku bunga Relatif lebih tinggi Relatif lebih rendah Sumber: Data Primer, 2013. Berdasarkan Tabel 1. terlihat bahwa secara umum ciri dari pembiayaan yang bersumber dari lembaga informal relatif lebih berpihak kepada peternak. Hal ini disebabkan oleh pembiayaan ini lebih fleksibel karena biasanya tidak mengharuskan ada jaminan atau agunan yang harus diserahkan kepada pemberi pinjaman. Sedangkan pada pembiayaan formal, pihak perbankan mensyaratkan harus ada collateral atau agunan yang diserahkan kepada perbankan yang selanjutnya dinilai kelayakan jumlah kredit yang dapat diberikan kepada peternak. Hal ini sesuai dengan Bougheas (2005) bahwa collateral dapat mengurangi risiko dari kredit yang diberikan oleh lembaga pembiayaan karena akan mengkalim collateral tersebut jika terjadi masalah. Namun persyaratan ini tentunya sangat memberatkan bagi peternak karena umumnya merek tidak memiliki asset yang secara fisik dapat diajaminkan. Sementara pada lembaga informal, kepercayaan (trust) antara peternak dan pemberi pinjaman sangat penting dan dianggap sudah cukup. Hal ini memungkinkan mengingat bahwa antara peternak dan pemberi pinjaman berada di daerah pedesaan dan diantara mereka sudah kenal satu sama lain. Prosedur atau tahapan yang harus dilalui oleh peternak dalam mengusulkan kredit juga menjadi salah satu pembeda antara lembaga informal dan formal. Pembiayaan formal relatif membutuhkan waktu yang agak lama karena ada beberapa prosedur yang harus diurus seperti mendapatkan surat keterangan dari pemerintah setempat dan tahapan lainnya. Selain itu pihak pemberi pinjaman butuh waktu untuk melakukan survei ke lokasi peternak untuk melihat kondisi ril dari usaha yang dijalankan apakah layak atau tidak diberikan pinjaman. Nurmanaf (2007) juga menjelaskan bahwa rumitnya prosedur dan waktu yang lama menjadi salah satu penghambat bagi peternak untuk mengakses pendanaan dari perbankan. Sementara pada pembiayaan informal, lebih mudah dan sederhana prosedurnya, terutama apabila sudah kenal satu sama lain maka
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
60
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
kadang-kadang tidak membutuhkan prosedur dan tidak mengharuskan harus ada surat keterangan, surat rekomendasi dari instansi terkait. Oleh karena tidak memiliki prosedur yang panjang maka peternak dapat memperoleh pinjaman dengan cepat sesuai dengan kapan dana tersebut dibutuhkan. Sedangkan pada pembiayaan formal, karena prosedurnya cukup panjang, maka dana yang dibutuhkan oleh peternak kadang-kadang diterima di saat tidak dibutuhkan lagi. Jumlah dana yang diterima pun terdapat perbedaan. Penerima pinjaman dalam hal ini peternak, biasanya akan menerima pinjaman tidak sama jumlahnya dengan yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh adanya biaya administrasi dan biaya lainnya yang timbul selama pengurusan, dan biaya-biaya laiinya. Namun pada pembiayan informal, jumlah dana yang diterima sama dengan jumlah dana yang dibutuhkan karena dalam tidak ada biaya administrasi, provisi dan biaya lainnya. Dari tingkat bunga yang dibebankan kepada peternak, mereka beranggapan bahwa tingkat bunga pada pembiayaan formal memang relatif lebih rendah dibandingkan pembiayaan informal. Namun karena membutuhkan persyaratan administrasi yang banyak dan membutuhkan waktu yang lama sehingga peternak lebih merasa cocok pada pembiayaan informal. Hal ini disebabkan oleh bunganya memang lebih tinggi pada lembaga informal tapi karena lebih simpel dan dananya segera dapat diterima maka pembiayaan ini lebih dipilih dibandingkan dengan pembiayaan formal. Hasil penelitian ini sejalan dengan Nurmanaf (2007) bahwa sumber-sumber pembiayan informal “sangat mengerti” kondisi dan kebutuhan petani. Pinjaman diberikan tanpa agunan dan dengan prosedur sederhana. Realisasi dilakukan dengan cepat, dekat, tepat waktu dan jumlah sesuai kebutuhan, walaupun harus membayar dengan bunga yang lebih tinggi. Menurut Krisnamurti (2005) bahwa lembaga informal lebih fleksibel dibandingkan dengan lembaga formal karena tidak memerlukan prosedur administrasi yang rumit, lebih mudah diakses dan biasanya didasarkan pada prinsip kepercayaan karena sudah saling mengenal antara debitur dan kreditur seperti hubungan saudara, tetangga, mitra kerja dan hubungan kekerabatan yang lain, dana yang dibutuhkan dapat segera diperoleh sesuai kapan waktu dibutuhknnya.
KESIMPULAN Kendala pembiayaan internal mendorong peternak mencari alternatif pembiayaan eksternal baik dari perbankan maupun bantuan pemerintah. Tanggapan peternak cenderung berpihak pada lembaga informal karena berada di daerah pedesaan, tidak membutuhkan persyaratan yang banyak namun cukup kepercayaan antara peternak dan pemberi pinjaman, prosedurnya tidak panjang, waktu relasiasinya lebih cepat dan jumlah dana yang diterima sama dengan yang mereka butuhkan. Sedangkan pada pembiayaan formal masih mensyaratkan adanya collateral, prosedurnya panjang sehingga waktu realisasinya memakan waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
61
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Asnawi, A. 2013a. Financing, Working Capital Management, Cash Conversion Cycle and Business Performance in Beef Cattle Breeding Business in South Sulawesi. Dissertation. Faculty of Economics and Business. Airlangga University. Surabaya. Asnawi, A. 2013b. Determinant of Funding Accessibility and its Impacts to the Performance of Beef-Cow Breeding Enterprises in South Sulawesi Province, Indonesia. European Journal of Business and Management., 5(29): 77-84. Asnawi, A dan Hastang. 2015. Financing Preferences of Beef Cattle Farmers in Bone Regency South Sulawesi. Advances in Environmental Biology. 9(24) November. Pages: 411-413. Bougheas, S., Mitzen, P., and Yalcin, C. 2005. Access to External Finance: Theory and Evidence on the Impact of Monetary Policy and Firm-Specific Charactersitics. Journal of Banking and Finance, 30(1), 199-227. Krisnamurti, B. 2005. Pengembangan Keuangan Mikro Bagi Pembangunan Indonesia. Media Informasi Bank Perkreditan Rakyat, Edisi IV Mret 2005. Myers. 1984. Capital Structure Puzzle. Journal of Finance, 39 (1), 572-592. Nurmanaf, A.R., E.L. Hastuti., Ashari, S. Friyatno dan B. Wiryono. 2006. Analisis Sistem Pembiayaan Mikro dalam Mendukung Usaha Pertanian di pedesaan. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen pertanian. Nurmanaf, A.R. Lembaga Informal Pembiayaan Mikro Lebih Dekat dengan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Vol. 5 No. 2. Juni 2007. Pp 99-109.Wahab and Abdesamed, 2012 Wahab, K., Abdesamed, K.H. 2012. Small ND Medium Enterprises (SMEs) Financing Practice and Accessing Bank Loan Issues-The Case of Libya. World Academy of Science, Enginering and Technology. 72.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
62
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
PERANAN PENYULUH TERHADAP ADOPSI INOVASI INSEMINASI BUATAN (IB) PADA USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DI DAERAH TRANSMIGRASI KABUPATEN DHARMASRAYA Ediset, A. Anas dan E. Heriyanto Bidang Kajian Pembangunan dan Bisnis Peternakan , Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Andalas Email :
[email protected]
INTISARI Kondisi Eksisting daerah Transmigrasi Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat adalah tidak seimbangnya antara permintaan akan daging sapi dengan jumlah populasi sapi yang tersedia, oleh karena itu diperlukan intervensi pemerintah melalui program yang relevan. Program pemerintah sala satunya adalah program penyuluhan dalam proses adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB) yang membutuhkan peranan penyuluh serta kualifikasi penyuluh yang memadai sehingga katersediaan jumlah populasi ternak sapi terjaga. Penelitian ini dilakukan di Daerah Transmigrasi Kabupaten Dharmasraya dengan tujuan untuk : 1) mengetahui peranan penyuluh dalam adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB) pada usaha peternakan sapi potong. 2) mengetahui kualifikasi penyuluh yang berperan dalam adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB). Penelitian ini menggunakan pendekatan metode survey dan pendekatan analisa data sekunder, jumlah sampel dalam penelitian sebanyak 50 orang ditentukan dengan teknik quota sampling atas dasar peternak sapi potong yang telah menerapkan Iseminasi Buatan (IB). Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Analisis data secara deskriptif kuantitatif yang dihitung dengan menggunakan skala likert. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan penyuluh sebagai edukasi, diseminasi inovasi, fasilitasi dan konsultasi sudah berperan baik, sebagai advokasi penyuluh berperan sedang kemudian sebagai supervisi dan evaluasi peranan penyuluh masih kurang. Kualifikasi penyuluh dilihat dari kemampuan berkomunikasi, sikap dan adaptasi sosial budaya sudah baik, namun dilihat dari pengetahuan penyuluh masih kurang. Kesimpulan peranan penyuluh belum optimal dan kualifikasi penyuluh sudah baik. Kata kunci : Penyuluh, Peranan, Kualifikasi, Adopsi Inovasi, Inseminasi Buatan
ABSTRACT This research was conducted at the Regency Dharmasraya in order to: 1) determined the role of extension in innovation adoption Artificial Insemination (AI) . 2) determined the qualifications agents whose role in the innovation adoption Artificial Insemination (AI). Research this approach survey method and approach to the analysis of secondary data, the number of samples in this study were determined by quota sampling technique based on the homogeneity of the population, namely farmers beef cattle that have implemented Artificial
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
63
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Insemination (AI) on their cattle, so the sample set as many as 50 people. The data collected are primary data with the help of questionnaires and secondary data with the literature study and related agencies. Descriptive analysis of quantitative data which is calculated using a Likert scale. The results showed that the role of extension is not optimal, especially on the role of advocacy, the role of supervision and evaluation role. Qualifications extension seen from the ability to communicate, attitude and socio-cultural adaptation was good, but the views from the extension of knowledge about innovation was counseled still lacking. Keyword: Role, Instructor, Innovation Adoption dan Artificial Insemination
PENDAHULUAN Program pemerintah untuk mengantisipasi pengurangan jumlah populasi ternak sapi di Kabupaten Dharmasraya diantaranya adalah program penyuluhan. Implementasi dari program penyuluhan ini diharapkan dapat membantu peternak dalam mencarikan solusi dari permasalahan yang berkaitan dengan penerapan inovasi. Adopsi inovasi pada usaha peternakan sapi potong tidak terlepas dari penyuluh, baik itu peranannya maupun kualifikasi penyuluhnya. Inovasi Inseminasi Buatan (IB) merupakan bagian dari inovasi bidang peternakan yang harus di adopsi oleh peternak, maka dalam proses adopsi inovasi IB dibutuhkan peranan penyuluh serta kualifikasi penyuluh yang memadai.
MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di daerah transmigrasi Kabupaten Dharmasraya. Penelitian ini merupakan penelitian survey. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder sesuai dengan kebutuhan penelitian. Populasi adalah seluruh peternak sapi potong yang ada di transmigrasi sitiung I, sampel di quotakan menjadi 50. Teknik sampling adalah Accidental Sampling. Analisa data secara deskriptif kuantitatif. Analisa ini dihitung dengan menggunakan skala likert. Selanjutnya nilai skor yang diperoleh akan dibandingkan dengan kategori yang telah ditetapkan oleh Ditjen Peternakan (1992).
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Peranan Penyuluh dalam Adopsi Inovasi Inseminasi Buatan (IB) Peranan Indikator Persentase (%) Edukasi Setuju 97.2 Diseminasi Inovasi Setuju 96.5 Fasilitasi Setuju 97.2 Konsultasi Setuju 92.5 Advokasi Setuju 79.0 Supervisi Setuju 31.3 Evaluasi Setuju 29.8
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
Hasil Peranan Baik Baik Baik Baik Sedang Kurang Kurang
64
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Peranan Penyuluh sebagai Edukasi Peran edukasi sudah berjalan dengan baik, dimana 97,2% peternak sapi potong didaerah ini menyatakan setuju kalau penyuluh telah menjalankan peranan edukasi tersebut dalam adopsi inovasi. Kondisi ini menandakan bahwa penyuluh sudah mampu berperan sebagai pendidik. Mosher (1968) dalam Mardikanto (2010) menyatakan bahwa fasilitator/penyuluh harus mampu melaksanakan peranan ganda, baik sebagai penyuluh itu sendiri maupun sebagai guru bagi sasaran penerima manfaat. Peran Penyuluh sebagai Diseminasi Inovasi Penyuluh sudah menjalankan peranan diseminasi inovasi dengan baik, dimana sebesar 96.5% peternak setuju dengan peranan tersebut, itu tidak terlepas dari kemampuan penyuluh untuk memberikan penyadaran dan meyakinkan para peternak sapi potong bahwa inovasi yang ditawarkan merupakan suatu inovasi yang memiliki keunggulan. Anwar dkk (2009) menyatakan bahwa persyaratan utama agar suatu pesan (inovasi) dapat diterima dengan jelas oleh sasaran adalah mengacu pada kebutuhan masyarakat,mudah dipahami, biaya rendah, peluang keberhasilan tinggi dan sesuai dengan lingkungan. Peran Penyuluh sebagai Fasilitasi Peran fasilitasi (penghubung) telah dilakukan dengan baik oleh penyuluh, dimana 97.2% peternak menyatakan setuju bahwa penyuluh telah menjalankan peranan fasilitasi, ini membuktikan bahwa penyuluh selalu memberikan kemudahan dan sumber kemudahan yang diperlukan oleh peternak sapi potong sehingga terjadi adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB). Suhardiyono (1990) mengatakan bahwa penyuluh mesti berperan sebagai jembatan penghubung antara peternak dengan pemangku kepentingan pembangunan, baik itu untuk perbaikanperbaikan teknologi maupun untuk perbaikan organisasi. Peran Penyuluh sebagai Konsultasi Peternak sapi potong di daerah penelitian cukup puas (92.5% setuju) dengan peranan penyuluh sebagai konsultasi. Berperan baiknya penyuluh sebagai konsultan/penasehat ini disebabkan oleh para penyuluh didaerah ini memanfaatkan media antar-pribadi dalam memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi oleh peternak. Mardikanto (2010) mengungkapkan bahwa media antar pribadi merupakan media yang memungkinkan para pihak yang berkomunikasi dapat berkomunikasi secara langsung, baik dengan tatap muka (percakapan antar individu) ataupun dengan menggunakan alat (telepon). Peranan Penyuluh sebagai Advokasi Peternak sebesar 79.0% menyatakan setuju kalau peranan advokasi telah dilakukan penyuluh, peranan ini hanya berada pada kategori sedang yang disebabkan oleh penyuluh jarang mengikutsertakan peternak sapi potong dalam perencanaan dan pengambilan keputusan kegiatan penyuluhan. Coley (1971) dalam Anwar dkk (2009) memberikan acuan untuk mengefektifkan komunikasi dalam penyuluhan harus diupayakan adanya kepentingan yang sama (Overlaping of Interest) antara kebutuhan yang dirasakan oleh peternak dengan informasi yang ditawarkan oleh penyuluh.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
65
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Peranan Penyuluh sebagai Supervisi Peranan supervisi masih kurang dilakukan oleh penyuluh, dimana 31.4% saja peternak yang setuju kalau peranan ini sudah berjalan, hal ini disebabkan oleh terbatasnya jumlah penyuluh dan kurang komitmen penyuluh terhadap profesinya sebagai penyuluh. Rogers (1995) mengatakan bahwa kunci keberhasilan penyuluh diantaranya adalah kerja keras dan beremphaty/bertenggang rasa, memahami dan menempatkan diri sebagai penerima manfaat. Peran Penyuluh sebagai Evaluasi Penyuluh masih kurang berperan dalam hal evaluasi, dimana hanya 28.9% peternak yang setuju kalau penyuluh sudah menjalankan peranan tersebut, ini membuktikan bahwa penyuluh belum melakukan evaluasi terhadap kegiatan yang sudah dilakukan. Mardikanto (2010) mengungkapkan bahwa fasilitator/penyuluh yang profesional harus memiliki kumpulan laporan keberhasilan kegiatan penyuluhan, himpunan tantangan yang menyangkut keterkaitan: penyuluhan dan peternak, antar institusi dan antar wilayah serta daftar sumber daya yang digunakan dan alat peraga yang digunakan dalam kegiatan penyuluhan. Tabel 2. Kualifikasi Penyuluh Kualifikasi Kemampuan Berkomunikasi Sikap Penyuluh Pengetahuan Penyuluh Karakteristik Sosial Budaya
Indikator Setuju Setuju Setuju Setuju
Persentase (%) 99.3 93.0 43.2 89.3
Hasil Kualifikasi Baik Baik Kurang Baik
Kemampuan Berkomunikasi Peternak sebanyak 99.3% setuju kalau penyuluh sudah memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, ini dikarenakan para penyuluh sering dikirim untuk mengikuti kegiatan pelatihan. Swanson (1997) mengatakan bahwa untuk pengembangan profesionalisme penyuluh, perlu dilakukan pelatihan-pelatihan baik itu menyangkut teori belajar maupun yang menyangkut semangat belajar. Sikap Penyuluh Penyuluh sudah bersikap baik dalam proses adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB), ini disetujui oleh 93.0% peternak. Kondisi ini terjadi karena penyuluh berdomisili di daerah stempat dan mengetahui kelbihan dari inovasi yang disampaikan. Mardikanto (2010) menjelaskan bahwa sikap penyuluh juga ditentukan oleh keyakinan penyuluh terhadap inovasi yang disampaikan telah teruji manfaatnya, serta memiliki peluang keberhasilan untuk diterapkan pada kondisi alam wilayah kerjanya. Pengetahuan Penyuluh Pengetahuan penyuluh masih kurang, hanya 43.2% peternak saja yang setuju dengan pengetahuan penyuluh, hal ini disebabkan oleh pendidikan formal penyuluh masih rendah yaitu SLTA. Berlo (1960) dalam Mardikanto (2010) mengatakan bahwa pengetahuan tentang
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
66
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
isi,fungsi, serta nilai yang terkandung dalam suatu inovasi adalah bagian dari kualifikasi dari seorang penyuluh. Karakteristik Sosial Budaya Penyuluh Penyuluh memiliki karakteristik sosial budaya yang baik, dimana 89.3% peternak setuju jika penyuluh sudah memahami bahasa, kebiasaan dari masayarakat sasaran. Mardikanto (2010) menjelaskan bahwa penyuluh sejauh mungkin harus memiliki latar belakang sosial budaya yang sesuai dengan keadaan sosial budaya masyarakat penerima manfaat.
KESIMPULAN Penyuluh belum berperan optimal dalam proses adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB) di daerah Dharmasraya meskipun kualifikasi penyuluhnya sudah baik.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, S; Madariza, F. dan Anas, A. 2009. Ilmu penyuluhan pertanian. Buku Ajar. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Ditjen Peternakan . 1992. Pedoman Identifikasi Faktor Penentu Teknis Peternakan . Proyek Peningkatan Produksi Peternakan . Diklat Peternakan. Jakarta Mardikanto. 2010. Komunikasi Pembangunan. Acuan Bagi Akademisi, Praktisi dan Peminat Komunikasi Pembangunan. UNS Press. Surakarta. Rogers EM, Schoemaker FF. 1995. Communication of Innovations: A Cross Cultural Approach. Revised Edition. New York: The Free Press. Suhardiyono, L. 1990. Penyuluhan. Petunjuk Bagi Penyuluh Pertanian. Penerbit Erlangga. Jakarta. Swanson, B.E., 1997. Improving Agricultural Extension. Rome: FAO
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
67
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
ANALISIS SEKTOR PEREKONOMIAN MENGGUNAKAN LOCATION QUONTIENT (LQ) DI PROPINSI JAWA TENGAH Nurdayati dan Bambang Sudarmanto Jurusan Penyuluhan Peternakan, STPP Magelang Email Korespondensi:
[email protected]
INTISARI Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi sub sektor perekonomian basis dan non basis, dan untuk mengidentifikasi pertumbuhan sektor perekonomian dari tahun 2010 – 2015 di Provinsi Jawa Tengah. Data dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan lain-lain yang diterbitkan literatus mengenai penelitian ini, Location Quotient (LQ) dan Dynamic Location Quotient (DLQ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari delapan sektor diketahui bahwa sektor Pertanian, indostri pengolahan, Perdagangan hotel dan restoran, komunikasi dan pengangkutan beserta keuangan persewaan adalah sektor dasar. Sementara itu, yang lain penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dasar dan sektor non basis dari 2010 – 2015 yang berfluktuasi. Kata kunci : Location Quotient (LQ), sektor basis
ABSTRACT This study was conducted to identify the sectors of basic and non-basic and basic to identify growth sectors - basic and non-basic from years 2010 - 2015 in the province of Central Java. Data collected from the Central Bureau of Statistics (BPS). analysis of the research to use Location Quotient (LQ) and Dynamic Location Quotient (DLQ). The results showed that out of the eight sectors is known that the Agricultural sector, Tanaman processing, hotel and restaurant trade, communication and transport sectors as well as financial leasing is basic. Meanwhile, another study showed that the growth of basic and non-sector basis from 2010 - 2015 fluctuating. Kata kunci : Location Quotient (LQ), basic sector.
PENDAHULUAN Pembangunan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi masyarakat dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Untuk meningkatkan kondisi masyarakat perlu adanya kerjasama antara semua elemen yang terkait sehingga dapat berjalan dengan lancar dan dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Pembangunan adalah sebuah perubahan yang direncanakan sehingga perlu dengan pertimbangan yang lebih matang. Arsyad (2001) dijelaskan bahwa pembangunan daerah merupakan upaya daerah untuk menekankan pelaksanaan kebijakankebijakan pembangunan yang bertumpu pada keiklhasan daerah dengan menggunakan potensi sumber daya manusia yang ada dan potensi alam yang menjadi cirikhas daerah. Adanya pemertaan pembangunan sedikit banyaknya akan berdampak pada perubahan daerah baik secara Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
68
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
fisik maupun non fisik. Perubahan fisik akan nampak dengan adanya perubahan dari adanya peningkatan pendapatan pada suatu daerah, perluasan kesempatan kerja serta peningkatan sektor ekonomi. Salah satu kebijakan untuk meningkatkan pendapatan daerah adalah dengan mengidentifikasi sektor yang merupakan sektor basis dan non basis. Pemerintah pada suatu wlayah selalu berupaya untuk mendorong masing-masing daerah pada suatu wilayah untuk mengembangkan sektor ekonomi yang merupakan sektor basis dan mendorong sektor ekonomi non basis agar menjadi basis. Pertumbuahan sektor pertanian suatu daerah pada dasarnya dipengaruhi oleh keunggulan kompetitif suatu daerah, spesialisasi wilayah serta potensi pertanian yang dimiliki oleh daerah tersebut. Adanya potensi pertanian disuatu daerah tidaklah mempunyai arti bagi pertumbuhan pertanian apabila tidak ada upaya memanfaatkan dan mengembangkan potensi pertanian secara optimal. Untuk itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sub sektor perekonomian basis dan non basis serta untuk mengetahui laju pertumbuhan dari sektor-sektor perekonomian di Propinsi Jawa Tengah.
MATERI DAN METODE Materi yang diginakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan data sekunder dengan metode studi kepustakaan yaitu pengumpulan informasi dan pengetahuan yang diperlukan untuk penelitian . Data yang dikumpulkan adalah data runtun waktu (time series) berupa data tahunan dari tahun 2010 sampai dengan 2013 (5 tahun) yang bersumber dari (1) Statistik Jawa Tengah, Statistik Indonesia, Internet, SUSENAS berbagai jurnal majalah literatur dan sumber lain. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian diskriptif analitis, yaitu menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan datadata. Data disajikan, dianalisis dan diintepretasikan (Narbuko dan Achmadi, 1997). Alat analisis yang digunakan pada Penelitian ini adalah Analisis Location Quontient(LQ) dan Dynamic Location Quotient ( DLQ). Untuk menentukan beberapa sektor perekonomian di termasuk wilayah basis aata non basis menggunakan Analisis Location Quontient(LQ)adalah sbb: 𝐿𝑄 =
𝑣𝑖/𝑣𝑡 𝑉𝑖/𝑉𝑡
Keterangan LQ = Location Quotient vi = Output sektor i di suatu daerah vt = Output total daerah tersebut Vi = Output sektor i nasional Vt = Output total nasional Kriteria : 1. Bila LQ>1 menunjukkan sektor tersebut tergolong sektor basis di suatu wilayah . 2. Bila LQ<1 menunjukkan sektor tersebut tergolong sektor non basis di suatu wilayah. 3. Bila LQ = 1 menunjukkan keswasembadaan (self-sufficiency) sektor tersebut di suatu Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
69
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
wilayah. Untuk mengetahui perubahan posisi yang terjadi pada sektor perekonomian di Propinsi Jawa Tengah digunakan analis Dynamic Location Quotient ( DLQ) sbb: 1 + gij /(1 + gj) 𝐷𝐿𝑄 = (1 + Gi)/(1 + G) Keterangan DLQ = Dynamic Location Quontient gij = Laju pertumbuhan PDRB sektor perekonomian wilayah Provinsi Jawa Tengah gj = Laju pertumbuhan PDRB wilayah Provinsi Jawa Tengah Vi = Laju pertumbuhan PNB sektor perekonomian Vt = Laju pertumbuhan PNB total Kriteria : 1. Bila LQ>1 menunjukkan sektor tersebut tergolong sektor basis di suatu wilayah . 2. Bila LQ<1 menunjukkan sektor tersebut tergolong sektor non basis di suatu wilayah. 3. Bila LQ = 1 menunjukkan keswasembadaan (self-sufficiency) sektor tersebut di suatu wilayah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perekonomian regional dapat dibedakan menjadi dua sektor basis dan sektor non basis. Sektor basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hasil produksinya dapat untuk melayani pasar baik di dalam maupun di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan (Wijaya dan Hastarini, 2006). Sektor tersebut dikatakan basis apabila memiliki nilai Indeks Location Quotient lebih dari satu (LQ>1). Sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya mampu menyediakan barang serta jasa yang dibutuhkan masyarakat yang bertempat tinggal didalam batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan (Wijaya dan Hastarin, 2006). Sektor tersebut merupakan sektor non basis apabila memiliki nilai Indeks Location Qoutient kurang dari satu (LQ < 1). Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Location Quetient di Propinsi Jawa Tengah Lapangan Usaha
2010
Pertanian Pertambangan Industri pengolahan Listrik gas dan air bersih Bangunan Perdagangan hotel dan restoran Komunikasi dan pengangkutan
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
1.39533 0.09254 1.49231 0.04743 0.66831 1.45442 1.65546
2011
2012
2013
1.41078 0.08025 1.50314 0.04631 0.64743 1.42656 16.3185
1.40158 0.08116 1.52705 0.04721 0.63979 1.53185 1.62526
1.36699 0.08756 1.12949 0.0359 0.46244 1.06327 1.1018
12 - 13 Februari 2016
70
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Keuangan persewaan dan jasa perusahaan 1.02444 1.00946 0.96345 0.66577 Sumber : Data Terolah Suatu cara untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau non basis. Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa ada 4 ektor yang merupakan sektor basis yaitu sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, sektor komunikasi dan pengangkutan dan keuangan persewaan dan Jasa Perusahaan. Artinya kelima sektor tersebut menjadi basis atau menjadi sumber pertumbuhan , memiliki keunggulan komperatif, dan hasilnya tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di Propinsi Jawa Tengah akan tetapi juga dapat diekspor ke luar wilayah. Untuk sektor pertambangan, sektor Industri pengolahan dan sektor bangunan termasuk non basis. Produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri . Sektor pertambangan sektor listrik gas dan air bersih serta sektor bangunan termasuk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri atau dalam kategori non basis , sedangkan sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaan juga termasuk non basis tidak memiliki keunggulan komparatif. Produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak mampu untuk diekspor. Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Dynamic Location Quetient di Propinsi Jawa Tengah Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013 Pertanian 0.257246 0.21486 0.185517 0.000172 Pertambangan 0.004742 0.01792 0.037989 0.249705 Industri pengulahan 0.366024 0.622771 0.693485 0.621453 Listrik gas dan air bersih 0.005576 0.03789 0.056013 0.013381 Bangunan 0.063238 0.072471 0.08446 0.078579 Perdagangan hotel dan restoran 0.17925 0.459442 0.325098 0.35217 Komunikasi dan pengangkutan 0.066544 0.068976 0.058938 0.053685 Keuangan persewaan dan jasa perusahaan 0.039169 0.030381 0.042041 0.068462 Sumber Data Terolah Pada Tabel 2. diperoleh hasil dari analisis metode Dynamic Location Quotient terhadap sektor perekonomian di Propinsi Jawa Tengah dapat diketahui bahwa untuk semua sektor kedepannya tidak bisa menjadi basis akan tetapi jika dilihat dari pertumbuhannya sektor Industri pengolahan dan , dapat menjadi basis karena jika dilihat dari pertumbuhan yang dari tahun 2010 s.d 2013 mengalami peningkatan, sedangkan untuk pertanian justru akan mengalami penurunan. Hal ini akan berdampak buruk berantai pada pencapaian sasaran pembangunan di Jawa Tengah untuk itu sangat perlu untuk diperbaiki. Prospek pencapaian sasaran =sasaran utama pembangunan Propinsi Jawa Tengah akan sangat dipengaruhi oleh dinamika lingkungan baik internak daerah Jawa Tengah maupun lingkungan eksternal. Dampak krisis di Eropa dan pelambatan arus perdagangan global merupakan ancaman eksternal yang bisa mengganggu kinerja perekonomian daerah.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
71
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
KESIMPULAN 1. Sektor perekonomian yang menjadi sektor basis bagi perekonomian di wilayah Propinsi Jawa Tengah adalah dari sektor pertanian, Industri Pengolahan, Perdagangan hotel dan restoran, komunikasi dan pengangkutan beserta keuangan persewaan. 2. Beberapa sektor pertanian yang menjadi basis mengalami perubahan yang semula menjadi basis maka akan menjadi non basis.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, L. 1999 Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi ke 1 BPFE – UGM Yogyakarta. Badan Pusat Statistik, 2015 . Jawa Tengah Dalam Angka 2010 s.d 2014 . Badan Pusat Statistik Jawa Tengah Badan Pusat Statistik, 2015. Pendapatan Nasiaonal Indonesia 2010 – 2015. Badan Pusat Statistik Indonesia Narbuko, C., dan A. Achmadi, 1997, Metodologi Penelitian. Bumi Aksara . Jakarta
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
72
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
PENGETAHUAN PETERNAK SAPI POTONG TENTANG PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN TERNAK (STUDI KASUS DI KECAMATAN MAIWA, KABUPATEN ENREKANG, SULAWESI SELATAN) Veronica Sri Lestari, Djoni Prawira Rahardja, Hastang, Muhammad Ridwan, Ahmad Ramadhan Siregar, Tanrigiling Rasyid, Kasmiyati Kasim, Wachniyati Hatta, dan Jamila Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar 90245, Sulawesi Selatan, Indonesia Email:
[email protected] INTISARI Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengetahuan peternak sapi potong tentang pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Penelitian ini dilakukan dari bulan September sampai Oktober 2015 dikecamatan Maiwa, kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Populasi adalah seluruh peternak sapi potong yang telah mendapatkan penyuluhan pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Sebanyak 36 peternak sapi potong dipilih secara acak. Data diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner dan observasi. Jumlah pertanyaan ada 10 buah dengan jawaban tertutup dan diberi skor 1 untuk jawaban benar dan 0 untuk jawaban salah. Nilai tertinggi adalah 10 dan nilai terendah adalah 0. Data yang telah dikumpulkan dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitan menunjukkan bahwa pengetahuan peternak sapi potong tentang pemanafatan limbah pertanian sebagai pakan ternak termasuk kategori rendah. Kata-kata kunci: limbah pertanian, pengetahuan, peternak sapi potong ABSTRACT This study was conducted to determine the knowledge of beef cattle farmers on the use of agricultural waste as animal feed. This study was conducted from September to October 2015 in Maiwa subdistrict, Enrekang regency, South Sulawesi. The population of this research consisted of beef cattle farmers who have received extention of using agricultural waste as animal feed. A total of 36 cattle farmers were selected randomly. Data were obtained through interviews using questionnaires and observation. There were 10 number of questions. The score for a correct answer was 1, while the score for wrong answer was 0. The highest value was 10 and the lowest score is 0. The collected data were analyzed descriptively. The results showed that beef cattle farmers knowledge on the use of agicultural waste as animal feed was low. Key words: agricultural waste, knowledge, cattle farmers
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
73
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
PENDAHULUAN Limbah pertanian merupakan limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan pertanian, contohnya sisa daun-daunan, ranting, jerami, kayu dan lain-lain (Haghi, 2010). Untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein pada ternak sapi potong diperlukan hijauan dan konsentrat. Menurut Syamsu dan Karim (2013), jerami padi adalah salah satu limbah pertanian yang sering dipakai untuk pakan ternak, tetapi beberapa peternak belum memanfaatkannya secara optimal. Lima (2012) mengatakan bahwa pemanfaatan limbah pertanian tanaman pangan sebagai pakan ternak masih sangat rendah yaitu 5%, disamping itu peternak belum mengetahui dan menerapkan teknologi pengolahan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Kabupaten Enrekang merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang terkenal dengan hasil pertanian, perkebunan dan hortikultura. Tentunya limbahnya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Namun dalam kenyataannya para peternak sapi potong belum mengetahui dan belum memanfaatkannya secara optimal, sehingga ternak sapi dimusim kemarau kekurangan pakan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengetahuan peternak sapi potong tentang pemanfatan limbah pertanian sebagai pakan ternak, sehingga dapat ditentukan kebijakan pemerintah selanjutnya dalam mengatasi kekurangan pakan ternak sesuai potensi setempat.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dari bulan September sampai Oktober 2015 di kecamatan Maiwa, kabupaten Enrekang. Data diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner, dan observasi. Sampel adalah 36 peternak sapi potong yang telah mendapatkan penyuluhan pemanfataan limbah pertanian. Data yang diambil terdiri dari identitas responden meliputi: jenis kelamin, umur, pekerjaan, jumlah sapi, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman beternak. Data pengetahuan peternak sapi potong tentang pemanfaatan limbah pertanian diperoleh satu minggu setelah dilakukan penyuluhan pemanfaatan limbah pertanian. Adapun indikator pengetahuan terdiri dari: a. Pengertian Jerami Padi; b. Pengertian Jerami Jagung; c. Kelebihan Jerami Padi; d. Kelebihan Jerami Jagung; e. Nilai Gizi Bahan Pakan; f. Perlakuan Amoniasi; g. Pakan Alternatif; h. Pakan Ternak Sapi Potong; i. Hambatan Pemanfaatan Jerami. Untuk mengukur variabel penelitian yang digunakan maka dilakukan pengukuran dengan cara menguraikan indikator-indikator variabel dalam bentuk item-item pertanyaan yang disusun dalam kuesioner dengan menggunakan skala Guttman. Skala Guttman ialah skala yang digunakan untuk jawaban yang bersifat jelas (tegas) dan konsisten. Misalnya benar – salah, ya – tidak, positif – negatif, pernah – belum pernah (Riduwan, 2009). Jumlah pertanyaan ada 10 buah dengan jawaban tertutup. Apabila nilai yang diperoleh lebih kecil atau sama dengan 5, maka pengetahuan peternak adalah rendah apabila nilainya lebih besar dari 5, maka pengetahuannya tinggi. Benar : 1 ketika peternak tahu dan memahami pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak sapi potong. Salah : 0 ketika peternak tidak tahu dan tidak memahami pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak sapi potong. Data dianalisa secara deskriptif.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
74
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden Secara umum, mayoritas peternak berada pada usia produktif 17 orang (47%), pendidikan rendah karena lulus SD 23 orang (64%), pengalaman beternak kurang karena 27 orang ( 75%) berpengalaman antara 1-10 tahun, jumlah sapi yang dimiliki skala kecil karena 21 orang (58%) memelihara antara 1-5 ekor, dan jumlah tanggungan keluarga kecil yaitu 1 – 4 orang pada 17 orang peternak (47%). Pengetahuan peternak Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan peternak dalam pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak sapi potong di Kabupaten Enrekang termasuk kategori rendah, karena nilai skor pengetahuan adalah 5. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Lestari dkk (2015) yang mengatakan bahwa pengetahuan peternak sapi potong di kabupaten lain di Sulawesi Selatan yaitu di kabupaten Sinjai dalam memanfaakan limbah pertanian sebagai pakan ternak masih rendah. Kebanyakan limbah jerami padi dan jerami jagung ditumpuk ataupun dibakar. Peternak di kecamatan Maiwa sebagian besar tidak memanfaatkan limbah pertanian yang cukup banyak tersedia disekitarnya. Hanya 8 responden (22%) yang mengetahuinya dan memanfaatkannya. Hal ini disebabkan karena peternak kurang telaten atau kurang motivasi untuk memberikan limbah pertanian pada ternaknya. Apabila peternak mencoba memberikan limbah pertanian sekali pada ternak sapinya dan ternaknya menolak, maka peternak tersebut tidak akan mencobanya lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Febrina dan Liana (2008) yang mengatakan bahwa hanya 20% responden yang memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ruminansia.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan peternak sapi potong tentang pemanfaatan limbah pertanian termasuk kategori rendah. Oleh karena itu diperlukan penyuluhan yang intensif oleh instansi terkait supaya peternak sapi potong termotivasi memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak.
DAFTAR PUSTAKA Haghi, A.K. 2010. Waste Management. Canada :Nova Science. Febrina, D. dan M. Liana. 2008. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ruminansia pada peternak rakyat di kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu. Jurnal Peternakan 5(1): 28 – 37. Lima, D. 2012. Produksi limbah pertanian dan limbah peternak serta pemanfaatannya di kecamatan Huamual Belakang dan Tanimel Kabupaten Seram Bagian Barat. Jurnal Agroforestri VIII(1): 1-7. Riduwan. 2009. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Alfabeta. Bandung.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
75
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Syamsu, J. dan H. Karim. 2013. The Policy strategy of rice straw utilization as feed for ruminants. Asian Journal of Agriculture and Rural Development. 3(9): 615-621. Lestari, V. S., D.P. Rahardja., dan M. B. Rombe. 2015. Pengetahuan dan sikap peternak sapi potong terhadap teknologi pengolahan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan, 4(2): 90-92.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
76
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
THE PERCEPTION FARMERS ABOUT INTEGRATION SYSTEM OF BEEF CATTLE ON OIL PALM PLANTATION IN DHARMASRAYA REGENCY Ir. Amna Suresti, M.Si., Prof. Dr. Ir. Asdi Agustar, M.Sc., dan Nilsen Oktafiardi Animal Husbandry Faculty, Andalas University, Padang.
[email protected]
ABSTRACT The main objects of this research were to determine the perception farmers about integration system of beef cattle on oil palm plantation and to determine factors that influence the perception farmers about integration system of beef cattle on oil palm plantation. Survey was conducted. Fourty respondents were collected accidentally and interviewed using instrument that had been prepared. Perception was measured using a likert scale and was analyzed descriptively. To determine the factors that influence the perception of farmers conducted multiple linear regression analysis with respondents perceptions about the integration beef cattle on oil palm plantation as the dependent variable and then age, education, experience palm gardening, raising cattle experience, and experience in raising cattle in oil palm plantations of respondent as an independent variable. The results obtained from the calculation by way of scoring on a Likert scale, a score was the average score of 105.30 in the 2nd interval of 71 - 110. The Interval categorize the perception of the category quite well. It explained that the assessment and understanding given or owned by farmers, cattle ranchers on system integration with palm oil plantations was good enough. That was, the understanding of farmers about the integration system of beefcatle on oil palm plantation was not fully understand the concept of integration cattle - palm-ideally yet. Keywords : Perception, Integration, Beef Cattle, Palm Oil.
PENDAHULUAN Dalam konsep SISKA, pemeliharaan sapi dengan kelapa sawit akan terjadi simbiosismutualisme, dimana sapi dengan kelapa sawit akan saling memberikan keuntungan atau manfaat untuk kelestariannya. Ternak sapi akan mendapatkan sumber hijauan dari lingkungan kelapa sawit, baik itu rumput-rumput yang tumbuh mengganggu terhadap tanaman (gulma) ataupun limbah dari hasil pemangkasan kelapa sawit seperti daun, pelepah, dan tandan kosong untuk memenuhi kebutuhan serat kasarnya. Sebaliknya kelapa sawit dapat tumbuh subur akibat dari sumbangan ternak sapi berupa pupuk organik yang mampu mengubah sifat fisik tanah dengan meningkatkan unsur hara tanah dan memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih baik. Dengan adanya peningkatan sifat fisik tanah diharapkan tanaman kelapa sawit mengalami Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
77
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
peningkatan produksi. Selain itu, ternak sapi berpotensi digunakan untuk mengangkut buah kelapa sawit dari dalam areal perkebunan hingga tempat pengumpulan sementara. Adanya ternak sapi yang dipelihara di dalam kebun kelapa sawit dapat meringankan penggunaan tenaga kerja manusia, sehingga usaha berlangsung efisien. Dengan demikian SISKA merupakan suatu pola dalam usaha tani – ternak dengan kebun kelapa sawit. Apabila pola tersebut dilakukan dengan baik akan dapat meningkatkan efisiensi usaha. Selanjutnya usaha tani yang efisien diharapkan mampu meningkatkan penghasilan petani yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan petani yang melakukannya (Manti dkk, 2003) Kabupaten Dharmasraya merupakan suatu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah petani, khususnya petani sawit. Menurut data Profil wilayah (2010) penduduk yang matapencarian utamanya bertani ialah sebanyak 60.75%, dan lebih dari 50% luas daerah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit. Selain dari berkebun kelapa sawit mereka juga beternak sapi pada lahan yang sama. Hal tersebut sesuai dengan pola integrasi sapi dengan kelapa sawit. Tetapi pada pelaksanaan pola integrasi yang dilakukan oleh petani – peternak belumlah sesuai dengan konsep integrasi yang sebenarnya. Pada umumnya mereka hanya memanfaatkan gulma yang tumbuh di areal perkebunan, tanpa memanfaatkan hijauan dari limbah perkebunan seperti daun, pelepah, dan tandan kosong kelapa sawit yang diberikan perlakuan khusus agar kemudian dijadikan sebagai makanan ternak. Berdasarkan keterangan di atas, ada pertanyaan umum yang harus dicarikan jawabannya, yaitu apakah petani sawit yang memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit didasari oleh persepi yang baik tentang sistem integrasi sapi – sawit. Pertanyaan ini perlu dijawab berdasarkan pada pemahaman bahwa tindakan seseorang terhadap sesuatu hal didasari oleh persepsinya yang berkenaan dengan hal tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah penelitian dengan judul “Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit di Kabupaten Dharmasraya.”dengan rumusan masaah adalah‖Bagaimana persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit di Kabupaten Dharmasraya?‖ Tujuan Penelitian Untuk mengetahui persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit di Kabupaten Dharmasraya.
MATERI DAN METODE Jenis penelitian ini merupakan survei (survey studies) dengan metoda pengumpulan wawancara (interview). Variabel Penelitian Untuk menjawab tujuan penelitian pertama, persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – kelapa sawit dilihat dari tiga aspek, yaitu: (1) Aspek ekonomi pada sistem integrasi sapi – sawit (2) Aspek ekologi pada sistem integras sapi – sawit (3) Aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
78
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Analisis Data Penelitian Pengukuran persepsi berdasarkan skor yang ditentukan dengan menggunakan skala Likert. Berdasarkan pada jarak interval skor yang diperoleh dapat ditentukan kategori persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit adalah Interval Skor Kategori 31—70 Tidak Baik 71—110 Cukup Baik 111—150 Baik Jika dilihat persepsi peternak pada masing-masing aspek, maka interval skor adalah selisih antara skor tertinggi dalam satu aspek, yaitu 50 dengan skor terendah dalam satu aspek, yaitu 10.
HASIL DAN PEMBAHASAN Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit Persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit ini ditinjau dari aspek ekonomi, aspek ekologi, dan aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit. Dari masingmasing aspek tersebut memberikan penjelasan terhadap penilaian dan pemahaman yang diberikan oleh narasumber (responden) tentang sistem integrasi sapi dengan tanaman kebun kelapa sawit. Berdasarkan pada hasil yang didapatkan dari hasil perhitungan dengan cara skoring pada skala Likert, didapatkan nilai rataan skor 105,30 dalam interval ke-2, yaitu 71 – 110. a. Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit dari Aspek Ekonomi Dari hasil pengukuran persepsi dengan menggunakan skala Likert, didapatkan persepsi responden tentang sistem integrasi sapi – sawit berdasarkan pada aspek ekonomi tergolong baik. Persepsi yang baik dari responden tersebut ditunjukkan dari rataan skor skala Likert, yaitu 37.5 yang berada pada tepi bawah interval 37 – 50 yang dikategorikan sebagai persepsi yang baik. Persepsi yang baik dari responden tentang pola integrasi sapi dengan kelapa sawit terhadap aspek ekonominya muncul dari penilaian yang baik pula dari responden. Di samping itu, responden yang dilakukan wawancara, juga menyatakan bahwasanya dengan pola integrasi sapi – sawit mereka merasakan adanya keuntungan yang diperoleh dari segi ekonomi dari sistem integrasi. b. Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit dari Aspek Ekologi Berdasarkan hasil pengukuran skala Likert mengenai persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit dari aspek ekonomi, didapatkan persepsi responden tentang pola integrasi sapi – sawit yang ditinjau dari aspek ekologi tergolong cukup baik. Persespi responden yang cukup baik didasarkan pada rataan skor, yaitu 32,08 (80%) yang berada pada interval skor 24 – 36. Dapat diartikan bahwa pada umumnya responden tidak memahami sepenuhnya manfaat yang dapat diperoleh dari sistem integrasi sapi – sawit. Hanya sebagian dari sistem integrasi yang dapat dipahami responden terhadap manfaat ekologi pola integrasi sapi dengan kelapa sawit.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
79
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit dari Aspek Efisiensi Memelihara Sapi di dalam Kebun Kelapa Sawit Berdasarkan dari pengukuran skala Likert mengenai persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit dari aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit, didapatkan persepsi peternak tentang sisem integrasi sapi – sawit tergolong cukup baik. Persepsi cukup baik tersebut dijelaskan dari rataan skor yang diperoleh dari skala Likert, yaitu 33,38 yang berada pada interval 24 – 36. Artinya responden belum sepenuhnya memahami manfaat yang dapat diberikan oleh sistem integrasi sapi – sawit dari aspek efisiensi memelihara sapi di dalam areal perkebunan kelapa sawit dengan baik. Pemahaman responden yang demikian disampaikan di atas terlihat pada hasil wawancara peneliti dengan responden. Sebanyak 85% responden setuju dengan integrasi pemeliharaan sapi dengan sawit dapat terjadi penghematan penggunaan tenaga kerja. Bahkan 2,5% menyatakan sangat setuju dengan hal tersebut. Tetapi pada pernyataan pemeliharaan sapi di dalam kebun kelapa sawit tidak akan menghemat tenaga kerja, karena pekerjaannya masing-masing memperlihatkan ketidakkonsistenan responden dengan pernyataan sebelumnya. Dari tabel 8 menjelaskan bahwa responden penelitian mempunyai persepsi cukup baik tentang sistem integrasi sapi – sawit bila dilihat dari aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit, yaitu sebanyak 77,5%. Sedangkan responden yang mempunyai persepsi baik tentang sistem integrasi sebanyak 22,5%. Dapat disimpulkan bahwa pada umumnya dari aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit responden tidak memahami dengan baik atau tidak memahami dengan baik pola integrasi sapi – sawit secara menyeluruh. Dari ketiga aspek yang dilihat dari pola integrasi sapi dengan kelapa sawit menunjukkan peternak yang ada di Kkabupaten ini mempunyai persepsi yang cukup baik tentang sistem integrasi sapi – sawit. Persepsi peternak yang cukup baik menggambarkan bahwa pemahaman peternak tentang sistem integrasi sapi dengan kelapa sawit masih kurang. Sehingga pandangan peternak tentang pola integrasi didapatkan hanya dari pengalamannya dalam memelihara sapi di areal perkebunan kelapa sawit. Informasi yang diterima peternak untuk melakukan usaha tani terpadu ini tidak didapatkan dari Dinas terkait yang selayaknya memberikan penyuluhan mengenai sistem integrasi ini. Mereka melakukan pemeliharaan sapi di areal perkebunan atas dasar inisiatif atau melihat peternak lain yang merasakan keringanan yang dapat diperoleh dari memelihara sapi di dalam kebun sawit. Namun mereka tidak memahami secara keseluruhan manfaat yang dapat diperoleh dari pola integrasi sapi dengan kelapa sawit. Hal itulah yang menyebabkan kuranganya pemahaman peternak mengenai sistem integrasi sapi – sawit. c.
KESIMPULAN Persepsi peternak Nagari Padang Laweh Kecamatan Padang Laweh cukup baik tentang sistem integrasi sapi – sawit. Hasil yang didapatkan dari hasil perhitungan dengan cara skoring pada skala Likert, didapatkan nilai rataan skor 105,30 dalam interval ke-2, yaitu 71 – 110. Interval tersebut mengkategorikan persepsi pada kategori cukup baik. Hal tersebut menjelaskan bahwa penilaian dan pemahaman yang diberikan atau dimiliki petani-peternak tentang sistem
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
80
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
integrasi sapi dengan kebun kelapa sawit ialah cukup baik. Artinya, pemahaman petani-peternak mengenai sistem integrasi sapi –sawit belumlah memahami sepenuhnya konsep integrasi sapi – sawit se-idealnya.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. BPS. 2011. Dharmasraya Dalam Angka – Dharmasraya In Figures. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Dharmasraya. Dharmasraya. Diwyanto, K, Prawiradiputra B.R., dan Lubis D. 2001. ―Integrasi Tanaman Ternak Dalam Pengembangan Agribisnis Yang Berdaya Saing‖, Berkelanjutan Dan Berkerakyatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Manti, I., Azmi, Priyotomo E. Sitompul D. 2003. ―Kajian Sosial Ekonomi Sistem Integrasi Sapi Dengan Kelapa Sawit (SISKA)‖. Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Sapi. Balai Pengkajian Teknlogi Pertanian Bengkulu, PT Agricinal. .Profil Nagari Padang Laweh. 2010. Gambaran Profil Nagari Padang Laweh Tahun 2010. Wali Nagari Padang Laweh. Kecamatan Padang Laweh. Kabupaten Dharmasraya. Psychologymania. 2011. ―Persepsi‖. http://www.psychologymania.com/2011/08/pengertianpersepsi.html. Diunduh 03 Maret 2013. Sarwono, S. W. 2011. Teori-teori Psikologi Sosial. Cetakan Ke-15. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.Pasuruan. 67184. Wikipedia.Org. 2013. ―Persepsi‖. http://id.wikipedia.org/wiki/persepsi. Diunduh 26 Maret 2013.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
81
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
ADOPSI INOVASI PADA TEKNIS PEMELIHARAAN USAHA PETERNAKAN DI SITIUNG, SUMATERA BARAT Winda Sartika, Basril Basyar dan Ediset Fakultas Peternakan Universitas Andalas Email :
[email protected]
ABSTRAK Peningkatan jumlah populasi ternak pada dasarnya ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya penerapan aspek teknis pemeliharaan pada usaha peternakan seperti bibit, pakan, tatalaksana pemeliharaan, pencegahan penyakit dan pemasaran. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adopsi inovasi pada teknis pemeliharaan usaha peternakan di Sitiung. Metode yang digunakan adalah metode survey, sampel ditentukan dengan formula slovin berdasarkan teknik Cluster random sampling sehingga diperoleh sampel sebanyak 98 peternak. Analisa data dilakukan secara deskriptif dengan bantuan tabel untuk tabulasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adopsi inovasi pada aspek teknis pemeliharaan usaha peternakan di Sitiung masih perlu ditingkatkan. Penerapan inovasi tertinggi terlihat pada teknis pakan ternak (72,93%) sedangkan penerapan inovasi terendah berada pada sistem pemasaran (0,22%). Kata kunci : adopsi inovasi, usaha peternakan, Sitiung
PENDAHULUAN Sitiungm erupakan salah satu desa atau daerah transmigrasi yang terletak di Provinsi Sumatera Barat yang mata pencarian penduduknya rata-rata berasal dari usaha pertanian seperti bertani dan beternak. Pada umumnya pemeliharaan ternak di kabupaten Dharmasraya baik itu ternak besar maupun ternak kecil dilakukan secara semi intensif dan bersifat usaha sambilan sehingga pertambahan populasi ternak dari tahun ke tahun masih rendah. Kondisi usaha peternakana yang seperti ini perlu mendapatkan dukungan dari stakeholders terkait agar dapat meningkatkan jumlah populasi ternak yang mereka pelihara. Peningkatan populasi pada dasarnya ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya penerapan inovasi baru pada usaha peternakan seperti inovasi yang berkaitan dengan teknis pemeliharaan ternak seperti inovasi bibit, inovasi pakan, inovasi perkandangan, tatalaksanan pemeliharaan dan pemasaran. Dengan adanya inovasi-inovasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan jumlah populasi serta kesejahteraan peternak. Penerapan inovasi diatas juga perlu di dukung oleh program pemerintahan yang sesuai. Salah satu program yang biasa dilakukan dalam membangun sub sektor peternakan adalah penyuluhan. Penyuluhan diartikan sebagai suatu sistem pendidikan luar sekolah untuk para peternak dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup berswadaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya sendiri serta masyarakat (Syahyuti, 2006). Penyuluhan merupakan salah satu upaya pemerintah yang memiliki peranan penting
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
82
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
dalam meningkatkan pengetahuan peternak dalam pembangunan pertanian khususnya peternakan. Peranan penyuluh tidak hanya menyampaikan informasi kepada petani-peternak tetapi juga harus mampu menambah, mengubah, dan membangun aspek-aspek pengetahuan (Kognitif), sikap (Afektif), dan keterampilan petani-peternak (Pyhsikomotorik) sehingga mampu beternak dan berusaha ternak yang lebih baik dan menguntungkan. Proses penyuluhan yang dilakukan pada peternak pada gilirannya adalah bertujuan untuk merubah perilaku peternak itu sendiri atau mengadopsi inovasi yang ditawarkan, artinya dari tidak menerima suatu inovasi menjadi menerima inovasi atau dari tidak menerapakan akhirnya menerapakan inovasi yang ditawarkan baik itu pada tingkatan pengetahuan (Kognitif), sikap (Afektif) maupun pada tingkatan keterampilan (Physikomotorik).
MATERI DAN METODA Penelitian ini dilaksanakan di Nagari Sitiung Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat pada tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Rumah Tangga Peternak di Kecamatan Sitiung berdasarkan populasi terbanyak dan Rumah Tangga Peternak terbanyak (RTP). yaitu 5.425 RTP. Dari populasi 5.425 RTP akan diambil sampel sebanyak 98 sampel, pengambilan besarnya sampel ditentukan dengan formula Slovin ( Agustar, 1996 ) sebagai berikut : 5.425 5.425 5.425 N n= n= = = n = 98,2 2 2 55,25 1 Ne 1 (5.425)( 0,1) 1 54,25 Dimana : n = Jumlah Sampel N = Jumlah Populasi keseluruhan peternak e = Batas ketelitian yang diinginkan (10% ) Penelitian ini menggunakan metode survei. Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan petani peternak yang menjadi sampel dengan menggunakan daftar pertanyaan yang terpola dan terstruktur tentang usaha ternak apa saja sudah mendapat inovasi pada teknis pemeliharaan usaha peternakannya (bibit, pakan, kandang dan tatalaksana pemeliharaan, pencegahan penyakit serta pemasaran). Analisa data dilakukan dengan tabulasi (persentase dan angka), gambar dan kalimat kemudian dilakukan analisis secara deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Adopsi Inovasi pada Bibit Penerapan inovasi yang terkait dengan bibit dilihat berdasarkan jenis ternak yang diusahakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh peternak ayam ras (broiler) sudah menerapkan inovasi pada bibit, seperti seleksi bibit, varietas unggul, kesehatan fisik bibit, serta bangsa asal dari bibit tersebut berasal. Peternak ayam ras broier juga melakukan adopsi inovasi yang berkaitan dengan bibit tidak terlepas dari tujuan usaha dan skala usaha peternakan yang mereka lakukan, di Sitiung usaha peternakan ayam ras dilakukan untuk tujuan orientasi bisnis dan sudah dalam skala yang besar. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
83
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Adopsi inovasi yang paling rendah penerapannya pada bibit berdasarkan hasil penelitian adalah pada usaha ternak kambing yaitu sebesar 44.44%. Hal ini disebabkan sebagian besar usaha peternakan yang dilakukan masih bersifat semi intensif, itu artinya usaha peternakan kambing yang dilakukan masih kurang mengandalkan curahan tenaga manusia dalam mengurusnya serta rendahnya penggunaan inovasi-inovasi yang berkaitan dengan aspek bibit. Rasyaf (2004) mengemukakan bahwa penduduk di pedesaan banyak melakukan sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif, hal ini dipengaruhi oleh faktor sosial dan pengetahuan masyarakat desa yang masih kurang dalam memahami cara pemeliharaan ternak. Tabel 1. Penerapan Inovasi pada Aspek Teknis Pemeliharaan Usaha Peternakan No Jenis Penerapan Inovasi Sapi Ayam Kambin Kerba Ayam (%) Buras g (%) u (%) Ras (%) (%) 54.84 61.43 44.44 100 1 Bibit 70 65.81 88.84 40 70 100 2 Pakan Perkandangan dan 58.06 71.79 62.50 56.25 100 3 Tatalaksana 50.00 29.17 52.78 62.50 83.33 4 Pencegahan Penyakit 1.08 0 0 0 5 Pemasaran 0
Ratarata (%) 66.14 72.93 58.11 55.56 0.22
Adopsi Inovasi Pada Pakan Hasil penelitian memperlihat bahwa inovasi pada pakan banyak diterapkan pada usaha peternakan ayam ras (broiler) dimana semua peternak sudah menerapkan inovasi yang terkait dengan pakan seperti jenis pakan, kandungan unsur pakan, cara pemberian pakan serta frekuensi pemberian pakan. Kondisi ini membuktikan bahwa bila suatu usaha sudah bersifat komersil, maka usaha tersebut akan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan didukung oleh penerapan inovasi yang relevan. Usaha peternakan ayam ras (broiler) yang dilakukan didaerah penelitian sudah bersifat komersil dan berorientasi profit, oleh karena itu pada aspek pakan sudah dilakukan adopsi inovasi yang sesuai, karena secara teoritis biaya pakan merupakan salah satu biaya produksi yang cukup besar dan harus benar-benar diperhatikan.. Inovasi pada aspek pakan yang masih rendah penerapannya di temui pada usaha ternak kambing, dimana penerapan inovasi yang berkaitan dengan pakan pada usaha peternakan kambing sebesar 40%. Rendahnya penerapan inovasi pada aspek pakan adalah disebabkan oleh sistem pemeliharaan yang masih sederhana, disamping itu peternak beranggapan bahwa pakan untuk ternak kambing bisa dipenuhi dengan melepaskan ternak keluar kandang dengan memanfaatkan hijauan yang tersedia. Adopsi Inovasi Pada Kandang dan Tatalaksana Pemeliharaan Kandang pada dasarnya bertujuan untuk melindungi ternak yang dipelihara dari musuh, dari sinar matahari yang terik dan untuk memberikan kenyamanan pada ternak yang dipelihara. Keberadaan kandang sangat penting artinya bagi ternak yang dipelihara, oleh karena itu kandang merupakan bagian penting dalam melakukan suatu usaha peternakan.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
84
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usaha peternakan ayam ras (broiler), adopsi inovasi terkait dengan kandang, seperti jarak kandang, konstruksi, bahan, serta ukuran kandang sudah diterapkan oleh sebagian besar peternak, sedangkan pada usaha peternakan kerbau tingkat penerapan inovasi yang berkaitan dengan kandang tingkat penerapannya masih rendah. Rendahnya penerapan inovasi pada ternak kerbau karena pemeliharaan yang bersifat sambilan. Inovasi untuk tatalaksana pemeliharaan pada usaha peternakan kerbau juga masih rendah, karena ternak kerbau pada siang hari selalu dilepas dipadang penggembalaan tanpa dicarikan rumput tambahan untuk pakan pada malam hari. Sistem perkawinan yang dilakukan belum mengadopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB) dan masih menggunakan perkawinan alami dengan pejantan. Adopsi Inovasi Pencegahan Penyakit Penyakit pada suatu usaha peternakan adalah faktor penting yang harus mendapat perhatian serius, karena apabila faktor ini tidak diperhatikan akan menyebabkan kerugian secara ekonomis. Penyakit pada ternak biasanya akan cepat menular dari satu ternak ke ternak berikutnya karena ternak pada dasarnya hidup berkoloni. Kondisi ini bisa diantisipasi dengan penerapan beberapa inovasi, seperti sanitasi, vaksinasi, karantina dan isolasi. Inovasi sanitasi, vaksinasi dan karantina dapat diterapkan sebagi upaya untuk pencegahan terhadap serangan penyakit sedangkan isolasi dilakukan sebagai tindakan untuk menghindari penularan suatu penyakit dari satu ternak yang terjangkit terhadap ternak yang lain. Hasil penelitian terhadap inovasi yang berkaitan dengan kesehatan ternak ini berbeda berdasarkan jenis ternak yang dipelihara, dimana penerapan inovasi yang paling tinggi terjadi pada usaha peternakan ayam ras (broiler) yaitu sebesar 83.33%, hal ini disebabkan karena usaha yang dilakukan sudah dikelola dengan baik serta pengetahuan peternak yang cukup baik terhadap berbagai macam jenis penyakit. Fakta yang ada pada usaha peternakan ayam ras (broiler) diatas bertolak belakang dengan kondisi yang ada pada usaha peternakan ayam buras/ayam kampung, dimana pada usaha peternakan ayam buras penerapan inovasi yang berkaitan dengan pencegahan penyakit masih rendah yaitu 29.17%. Hal ini dikarenakan usaha yang dilakukan hanya bersifat sambilan, sehingga ternak ayam yang sakit akan diberi obat secara tradisional saja. Peternak dapat menghindari terjadinya serangan penyakit pada ayam tersebut dengan melakukan tindakan pencegahan seperti dengan penerapan inovasi vaksinasi yang dilakukan secara berkala, penerapan inovasi sanitasi dengan membersihkan kadang ternak secara periodik serta penerapan kandang karantina secara konsisten terhadap ternak yang baru datang. Hal ini sesuai dengan pendapat Abidin (2006) bahwa pencegahan penyakit dilakukan dengan kandang karantina, menjaga kebersihan sapi bakalan dan kandang, serta melakukan vaksinasi secara berkala. Adopsi Inovasi Pada Pemasaran novasi pada pemasaran seperti penjualan melalui koordinasi kelompok, pertukaran, mengidentifikasi pelanggan serta basis pelanggan dapat diterapkan oleh peternak guna meningkatkan penghasilan usahanya. Hasil penelitian di daerah penelitian memperlihatkan bahwa penerapan inovasi yang berkaitan dengan pemasaran masih sangat rendah bahkan pada beberapa jenis usaha peternakan seperti usaha ternak kerbau, usaha ternak kambing, usaha ternak
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
85
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
ayam ras (broiler) dan ayam buras belum diterapkan sama sekali, sedangkan pada usaha peternakan sapi meskipun sudah diterapkan namun masih sangat minim yaitu sebesar 0.22%. Jika hal ini berlangsung terus menerus maka kesejahteraan peternak akan sulit untuk ditingkatkan. Kotler (2002) pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan menciptakan, menawarkan dan bertukar produk yang bernilai dengan pihak lain. Menurut Bulu et al. (2009) dalam Anggriyani et al (2012) menyatakan bahwa kepercayaan petani terhadap inovasi yang disampaikan sumber informasi akan lebih kuat jika inovasi yang di introduksi itu tersedia dan mudah dijangkau petani serta tersedia pasar yang dapat menampung hasil produksi.
KESIMPULAN Penerapan inovasi pada aspek teknis pemeliharaan usaha peternakan di Sitiung masih perlu ditingkatkan. Nilai rata-rata penerapan inovasi pada aspek pakan dan bibit cukup baik yaitu 72,93% dan 66,14%. Sedangkan penerapan inovasi pada aspek perkandangan dan tatalaksana pemeliharaan sebesar 58,11% pencegahan penyakit (55,56%) dan pemasaran (0,22%) masih cukup rendah serta perlu diperhatikan lebih lanjut oleh peternak guna untuk meningkatkan masa depan usaha serta kesejahteraan peternak.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. PT Agromedia Pustaka, Jakarta. Agustar, A. 1999. Paradigma Baru Pembangunan Peternakan dan Kendala Penerapan Kebijaksanaan Pemerintah. Makalah Pada Seminar Pembangunan Peternakan Sumatera Barat Di POLITANI. Universitas Andalas .anggal 1 Desember. Anggriyani, E, Trisakti H, dan Suharjono T. 2012. Pengetahuan, Afeksi, dan inovasi Pengolahan Kotoran Ternak Menjadi Kompos pada Kelompok Peternak Sapi Potong di Kabupaten Bantul. Buletin Peternakan Universitas Gajah Mada, Vol. 36 (2), hal 141-149, Kotler, Philip. 2002. Manajemen Pemasaran. PT Prebalindo, Jakarta. Rasyaf, M. 2004. Beternak Ayam Kampung, cetakan ke-28. Penebar Swadaya, Jakarta. Syahyuti. 2006. Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT. Bina Rina Pariwar, Jakarta UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Hibah Bersaing Tahun 2014 yang di danai dengan Dana DP2M dari Dikti Tahun Anggaran 2014. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dikti, LPPM Unand dan Fakultas Peternakan Unand yang telah memberikan kepercayaan untuk melaksanakan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bisa memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Amin
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
86
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
PENGARUH KARAKTERISTIK PETERNAK TERHADAP KEPUTUSAN PEMBIAYAAN USAHA BROILER MELALUI KEMITRAAN DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN (The Influence of Breeders Characteristics Against Decision Business Financing Through Partnership System in Padang Pariaman) Dwi Yuzaria, Ikhsan Rias, dan Mulina Wati Pembangunan & Bisnis Peternakan Fakultas Peternakan Unand Email korespondensi:
[email protected]
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik peternak yaitu umur, pendidikan, pengalaman usaha (lama usaha), kemampuan mengambil resiko dan sikap tentang manfaat hutang terhadap keputusan pembiayaan melalui kemitraan dengan PT Ciomas Adisatwa di Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam. Penelitian ini dilakukan dengan metoda survey secara sensus terhadap 50 orang peternak broiler di lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan (1) menggunakan kuesioner yang sebagiannya dengan menggunakan skala likert untuk faktor kemampuan mengambil resiko dan sikap terhadap manfaat hutang, (2) wawancara mendalam dan (3) observasi pada satu periode produksi selama 32 hari (1Agustus-1September 2015). Alat analisis menggunakan rentang skala dan penetapan score untuk variable kualitatif dan menggunakan alat analisis regressi logit untuk melihat pengaruh masing-masing karakteristik terhadap keputusan pembiayaan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa faktor pendidikan, pengalaman usaha dan sikap terhadap manfaat hutang berpengaruh positif, sementara umur dan kemampuan mengambil resiko berpengaruh negative terhadap keputusan pembiayaan melalui kemitraan atau mandiri. Kata kunci: Broiler, Kemitraan, karakteristik peternak, Keputusan pembiayaan
ABSTRACT The aimed of this study to analyze the characteristics of breeders such as age, education, business experience (old business), the ability to take risks and attitudes towards the benefits of debt to finance decisions through a partnership with PT Ciomas Adisatwa in District of Kayu Tanam. This research was conducted by survey methods, census of 50 broiler breeder at the sites. The data collection is done in 3 ways: (1) using a questionnaire that partly by using Likert scale factor for the ability to take risks and attitudes towards the benefits of debt, (2) in-depth interviews and (3) observation on a production period of 32 days from 1 August to September 1, 2015. The analysis tool uses a range of scales and determining scores for qualitative variables and using a logit regression analysis to see the effect of each characteristic on financing decisions. The study concluded that the factors of education, business experience and attitudes
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
87
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
towards the benefits payable positive effect, while the age and ability to take the risk of a negative effect on financing decisions through a partnership or independently. Keywords: Broiler, partnership, farmer characteristic, financing decisions
PENDAHULUAN Usaha mikro subsektor peternakan unggas pedaging (broiler) di Kabupaten Padang Pariaman pada umumnya bercirikan pengusaha dan pekerja berpendidikan rendah, penguasaan lahan sempit, kepemilikan ayam broiler sedikit, alat produksi sederhana, sering menghadapi kendala permodalan dan tidak mempunyai akses terhadap permodalan perbankan konvensional. Sumber pembiayaan melalui kemitraan usaha mempunyai peluang cukup besar bagi peternak sebagai sumber pembiayaan. Menurut Hafsah (2000) kemitraan merupakan suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Ada beberapa perusahaan produsen input yang melakukan sistem kemitraan di Kabupaten Padang Pariaman, antara lain PT. Japfa Comfeed dengan beberapa anak perusahaannya dan PT. Charoen Pohkpand. Peternak unggas di daerah ini cukup sulit menentukan perusahaan mana yang akan dipilih sebagai mitra, karena masing-masing perusahaan menawarkan keunggulan dan persyaratan yang berbeda. Suatu keputusan yang diambil seseorang akan sangat bergantung pada keluasan wawasannya terhadap sesuatu hal. Menurut Cassar (2004), keputusan yang diambil seseorang yang melekat sangat berpengaruh seperti umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan pengalaman. Sedangkan menurut Romano et al (2000) keputusan pembiayaan dipengaruhi oleh jiwa kewirausahaan, tanggap terhadap resiko, skala usaha dan struktur usaha yang dimiliki. Peternak broiler di lokasi penelitian Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, rata-rata berusia muda, diduga belum memiliki pengalaman manajemen usaha yang cukup untuk berproduksi baik. Peternak dengan usia muda dan pengalaman yang rendah pada umumnya kemampuan kerjanya masih rendah, serta pola pikir yang masih rancu dalam mengambil keputusan pembiayaan, apakah akan menggunakan biaya sendiri atau dengan kemitraan sebagai sumber permodalan usahanya. Menurut Hidayat (2007) semakin lama pengalaman seorang peternak maka semakin terampil dalam menjalankan dan mengelola usahanya. Peternak berpendidikan rendah, SMP dan SMA, dan belum memiliki pemikiran matang dan wawasan yang luas dalam berusaha. Oleh karena itu peternak kurang berani dalam menghadapi resiko dan kurang memahami tentang manfaat dari hutang. Kondisi ini diduga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan pembiayaan untuk pengembangan usahanya.
MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan dengan metode survey dan menggunakan kuesioner sebagai instrument utama untuk mengumpulkan data. Responden diambil secara sensus artinya semua peternak ayam broiler yang ada di Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, baik peternak dengan sistim kemitraan maupun peternak dengan pembiayaan mandiri diambil sebagai sumber data primer.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
88
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Peternak ayam broiler sistim kemitraan yang diambil adalah peternak yang bermitra dengan PT. Ciomas Adisatwa. Hal ini dilakukan karena perusahaan inti lainnya tidak bersedia dijadikan responden. Jumlah peternak yang menjadi responden sebanyak 50 peternak. Untuk variable X4 (kemampuan mengambil resiko dan X5 (sikap terhadap manfaat hutang) data menggunakan skala likert yang dibagi dalam 3 rentang skala yaitu menghindari, menghadapi dan menantang resiko serta menghindari hutang, berhutang dengan resiko kecil dan berani berhutang. Analisis data menggunakan regressi logit dengan rumus (Kuncoro 2004) sebagai berikut : Prob
1
𝑦=0 =
1+exp 𝑏𝑜 +𝑏1 𝑥 1 +𝑏2 𝑥 2 +𝑏3 𝑥 3 +𝑏4 𝑥 4 +𝑏 5 𝑥 5 Y = Peluang Keputusan penggunaan sumber pembiayaan 0=tidak bermitra, 1=bermitra b1-n = Delta kenaikan atau penurunan X (koefisien regresi) X1 = Umur X2 = Tingkat pendidikan X3 = Pengalaman Beternak X4 = Kemampuan mengambil risiko X5 = Sikap terhadap manfaat hutang
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi ayam yang dipelihara peternak mandiri di Kecamatan 2x11 Kayu Tanam Kabupaten Padang Pariaman paling tinggi berkisar 1000-6.200 ekor, sedangkan peternak yang bermitra berkisar 3.500-10.000 ekor. Menggunakan bentuk kandang panggung, berlantai dua untuk menghemat biaya pembuatan kandang. Hasil analisis data menggunakan SPSS diperoleh hasil yang terlihat pada Tabel 1, yang merupakan gambaran pengaruh karakteristik peternak terhadap keputusan pembiayaan dengan kemitraan. Tabel 1. Variables in the Equation B
S.E
Wald
Df
Sig.
Exp (B)
Step1a X1 -.037 .047 .615 1 .433 .964 X2 .439 .202 4.702 1 .030 1.551 X3 .961 .392 5.997 1 .014 2.613 X4 -3.287 1.500 4.805 1 .028 .037 X5 3.367 1.304 6.669 1 .010 28.990 Constant -5.136 3.302 2.420 1 .120 .006 Sumber : Hasil Pengolahan data penelitian dengan SPSS
95.0% C.I.for EXF (B) Lower Upper .880 1.056 1.043 2.306 1.211 5.637 .002 .706 2.251 373.282
Berdasarkan Table 1 dapat dituliskan persamaan: Prob y=0 =
1 1+exp (-5,136-0,037X1+0,439X2+0,961X3-3,287X4+3,367X5)
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
89
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Dan persamaan regressi logitnya seperti berikut ini : Ln Y= -5,136 - 0,037 X1 + 0,439 X2 + 0,961 X3 -3,287 X4 + 3,367 X5 Faktor umur (X1) tidak berpengaruh terhadap keputusan pembiayaan dilihat dari angka odd ratio 0,964<1, sehingga koefisien regressi bertanda negatif -0,037 dan angka signifikansi 0,433>0,05 atau dengan kata lain peternak memiliki kebebasan untuk memilih bermitra atau tidak bermitra. Faktor pendidikan (X2) yang dilihat dari lama mendapatkan pendidikan formal menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembiayaan terlihat dari angka odd ratio sebesar 1,551>1, koefisien regresi 0,439 artinya 43,9% pendidikan berpengaruh terhadap keputusan pembiayaan bermitra dengan tingkat signifikansi 0,030<0,05. Artinya, peternak yang lebih tinggi tingkat pendidikannya akan cenderung memilih sumber pembiayaan kemitraan, sesuai dengan pendapat Gebru (2009), semakin tinggi tingkat pendidikan pemilik usaha akan menggunakan hutang yang berasal dari pihak luar di dalam membiayai usahanya. Faktor pengalaman usaha berpengaruh signifikan (sig 0,014<0,05) dengan angka odd ratio 2.613>1, sehingga koefisien regresi + 0,961, artinya 96,1% pengalaman usaha berpengaruh terhadap keputusan bermitra. Kemampuan mengambil resiko berpengaruh nyata (sig 0,028<0,05), dengan angka odd ratio sebesar -0,037<1 dan koefisien regressi -3,287, artinya 328,7% menghindari resiko sehingga memilih untuk bermitra. Menurut Kasmir (2007), kemampuan menghadapi resiko turut mempengaruhi keputusan dalam pendanaan perusahaan dan ini merupakan salah satu ciri jiwa kewirausahaan yang melekat pada sebagian besar pengelola usaha kecil. Faktor sikap terhadap manfaat hutang berpengaruh nyata (sig 0,010< 0,05) dengan odd ratio sebesar 28,990>1, koefisien regresi +3,367 artinya 336,7%, peternak mengambil sikap bahwa kemitraan memberikan manfaat terhadap perkembangan usaha. Sesuai dengan pendapat Romano el al (2000), sikap pengusaha terhadap hutang juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan pendanaan bagi pengelola usaha mikro, kecil dan menengah. Semakin peternak memanfaatkan hutang kredit (bermitra) dalam usaha peternakan ayam broiler dan menambah skala usahanya maka keuntungan yang diperoleh juga semakin besar. Kasmir (2007) menyatakan bahwa salah satu peranan kredit adalah meningkatkan pendapatan para debitur apabila kredit tersebut digunakan sebagai modal dalam mengelola usahanya.
KESIMPULAN Karakteristik peternak yang tidak berpengaruh terhadap keputusan pembiayaan melalui kemitraan hanya faktor umur, sementara pendidikan, pengalaman usaha, kemampuan menghadapi resiko dan sikap terhadap manfaat hutang sangat berpengaruh dalam memutuskan sumber pembiayaan melalui kemitraan untuk mengembangkan usaha ayam broiler di Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
90
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Cassar, G. 2004. The financing of business start-ups. Haas School of Business, University of California at Berkeley. Berkeley Gebru, GH. 2009. Financing preferences of micro and small enterprise owners in Tigray: does POH hold?. Mekelle University.Ethiopia Hafsah, 2000. Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategis. Penerba Swadaya, Jakarta. Hidayat, Aceng 2007. Modul Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Kelembagaan. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kasmir. 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Edisi enam. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Kuncoro, Mudrajad, 2004, Metode Kuantitatif. Edisi kedua.UPP AMP YKPN Yogyakarta. Romano, C A., Tanewski, G.A., and Smyrnios, K.X. 2000. Capital Struktur Decision Making : A Model For Familiy Business. Journal of Business Venturing. 16 : 285 – 310.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
91
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
PRODUKTIVITAS USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG RAKYAT BERDASARKAN BANGSA SAPI DI JAWA TENGAH (Beef Cattle Fattening Productivity Based on Cattle Breed in Central Java) Edy Prasetyo, Titik Ekowati, Wiludjeng Rossali, dan Mukson Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang, Semarang 50275, Indonesia. E-mail Korespondensi:
[email protected]
INTISARI Penggemukan sapi potong rakyat banyak diusahakan di Provinsi Jawa Tengah dan pada umumnya belum memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi usaha. Kondisi tersebut apabila berlanjut akan berdampak negatif terhadap kuantitas produksi yang dihasilkan, dan pendapatan peternak. Tujuan penelitian adalah: (i) mengkaji kuantitas produksi (pertambahan bobot badan ternak) pada usaha penggemukan sapi potong rakyat; dan (ii) menganalisis faktor-faktor produksi yang mempengaruhi kuantitas produksi pada usaha penggemukan sapi potong rakyat. Penelitian dilakukan pada lima wilayah kabupaten sentra pengembangan sapi potong di Jawa Tengah (yaitu Kabupaten Blora, Rembang, Grobogan, Wonogiri, dan Kabupaten Boyolali), dan sebagai elementer unitnya adalah usaha penggemukan sapi potong rakyat. Penelitian menggunakan metode survai, sedangkan penentuan sampel sebanyak 165 responden dilakukan menggunakan metode multi stage quota sampling. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan analisis regresi linear berganda (fungsi produksi model Cobb-Douglas). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa rata-rata produktivitas usaha penggemukan sapi potong rakyat pada bangsa Peranakan Ongole (PO) sebesar 0,41 kg/hari, Persilangan Simental - PO (SPO) sebesar 0,84 kg/hari, dan Persilangan Limousine – PO (LPO) sebesar 0,94 kg/hari. Kuantitas produksi (pertambahan bobot badan ternak) dipengaruhi oleh jumlah sapi yang diusahakan, bobot badan bakalan, lama waktu penggemukan, dan curahan tenaga kerja, sedangkan jumlah hijauan pakan ternak, dan pakan konsentrat tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan ternak. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa produktivitas usaha penggemukan sapi potong rakyat masih dalam katagori rendah, hal ini karena usaha penggemukan sapi potong rakyat masih diusahakan secara tradisional yang tercermin dari jumlah faktor-faktor produksi yang dialokasikan belum optimal. Kata kunci: produktivitas, faktor-faktor produksi, sapi potong rakyat.
ABSTRACT Beef cattle fattening farm most operate in Central Java and farmers commonly have not been thought yet economically. If that condition is not managed continuously, it will be negative impact to the quantity and farm income. Aims of research are: 1) to analyze beef cattle quantity of production (weight gain), 2) to analyze some factors influencing the quantity of production. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
92
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
The research was held in five regions as a center of beef cattle development, namely Blora, Rembang, Grobogan, Wonogiri and Boyolali. The elementary unit of research is beef cattle fattening farm. The method of research was survey and the determination of 165 respondents used multi stage quota sampling. Data were analyzed statistical descriptive and analysis of multiple linear regression with Cobb Douglas model. The result of research showed that the productivity of Ongole Grade (PO) beef cattle fattening was 0.41kg/day, Simmental – Ongole Grade Crossbred (SPO) was 0.84kg/day and Limousine – Ongole Grade Crossbred (LPO) 0.94kg/day. The production quantity (weight gain) was influenced by beef farm scale, the initial body weight, time of fattening and outflow of working time, while number of forage, concentrage (dry matter) were not influence to weight gain. Based on the reserch result can be concluded that productivity of beef cattle fattening was still low. It can be happen because beef cattle fattening was stiil manage traditionally which it shown from the allocation production factors have not be optimal yet. Keywords: Productivty, factors of production, beef cattle.
PENDAHULUAN Eksistensi usaha penggemukan sapi potong mempunyai arti yang penting, khususnya dalam rangka pemenuhan pangan hewani asal ternak bagi masyarakat. Penggemukan sapi potong banyak diusahakan di Provinsi Jawa Tengah, dan lokasinya tersebar dari dataran rendah sampai dengan dataran tinggi. Sapi potong pada tingkat peternak rakyat pada umumnya diusahakan sebagai usaha sambilan, sehingga prinsip-prinsip ekonomi termasuk di antaranya penggunaan faktor-faktor produksi belum/tidak dialokasikan secara efisien. Menurut Prasetyo et al. (2012), kelemahan yang lain pada sistem peternakan rakyat ialah orientasi usaha yang dilakukan oleh peternak pada umumnya belum mengarah kepada komersialisasi, sehingga sistem agribisnis belum diterapkan secara baik. Kondisi tersebut bila berlanjut akan berdampak negatif terhadap kuantitas produksi, dan pendapatan. Menurut Lestari et al. (2011), produktivitas usaha sapi potong dapat dilihat dari rata-rata pertambahan bobot badan (PBB). Tinggi dan rendahnya kuantitas produksi usaha ternak sapi potong sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas faktor-faktor produksi yang digunakan, karena faktor-faktor produksi tersebut akan berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan jumlah produk tertentu. Hubungan faktor-faktor produksi dalam menghasilkan produk diwujudkan dalam bentuk fungsi produksi. Jumlah produk tertentu dapat dihasilkan dari penggunaan faktor-faktor produksi dalam berbagai kombinasi. Kombinasi faktor-faktor produksi yang optimal, akan didapatkan efisiensi usaha yang paling baik. Tujuan penelitian adalah: (i) mengkaji kuantitas produksi (PBB) pada usaha penggemukan sapi potong rakyat; dan (ii) menganalisis faktor-faktor produksi yang mempengaruhi kuantitas produksi pada usaha penggemukan sapi potong rakyat. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai teori (utamanya bidang sosial ekonomi peternakan) dan dapat diaplikasikan sebagai rekomendasi untuk meningkatkan produktivitas usaha penggemukan sapi potong pada tingkat peternak rakyat.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
93
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan pada pertengahan 2012 pada lima wilayah kabupaten sentra pengembangan sapi potong di Jawa Tengah (Kabupaten Blora, Rembang, Grobogan, Wonogiri, dan Kabupaten Boyolali), dan usaha penggemukan sapi potong rakyat dibakukan sebagai elementer unit. Penelitian menggunakan metode survai, sedangkan penentuan sampel menggunakan metode multi stage quota sampling. Jumlah sampel keseluruhan yang diambil pada lima wilayah kabupaten sebanyak 165 responden. Data empiris dikumpulkan dari sumber primer yang merupakan data cross section. dan dikumpulkan menggunakan cara wawancara kepada responden yang berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan. Di samping data primer juga didukung data dari sumber sekunder yang mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian. Data hasil penelitian diolah dengan tahapan editing, koding, dan tabulating sehingga siap untuk dianalisis. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan analisis regresi linear berganda (fungsi produksi model Cobb-Douglas). Pertambahan bobot badan (PBB) ternak merupakan selisih antara bobot badan akhir penggemukan dengan bobot badan awal penggemukan (bobot badan bakalan). Sedangkan untuk menganalisis pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi terhadap kuantitas produksi usaha penggemukan sapi potong, dianalisis menggunakan Multiple Linear Regression yang ditransformasikan menjadi fungsi produksi model Cobb-Douglas. Fungsi Produksi Model Cobb-Douglas : Yi = α X1 β1 X2 β2 X3 β3 …………………….. X6 β6 E Keterangan: Yi : Pertambahan bobot badan ternak (kg). α : Konstanta (intercept). βi : Pada regresi linier berganda βi adalah koefisien regresi. X1 : Jumlah ternak sapi yang diusahakan (ekor). X2 : Bobot badan awal (bakalan) sapi potong (kg). X3 : Lama waktu penggemukan sapi potong (bulan). X4 : Hijauan pakan ternak sapi potong (ton Bahan Kering/periode). X5 : Konsentrat sebagai pakan ternak (ton Bahan Kering/perode). X6 : Pencurahan tenaga kerja (hok). E : Simpangan stokastik (disturbance term).
HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha penggemukan sapi potong adalah penting, sebab faktor-faktor produksi dalam suatu proses produksi akan memberikan imbalan hasil yang berupa output bagi pelaku proses produksi. Semakin tinggi kualitas faktor-faktor produksi yang dialokasikan dalam proses produksi, semakin tinggi pula kuantitas produk usaha ternak yang dihasilkan. Identifikasi penggunaan faktor-faktor produksi secara rinci seperti pada Tabel 1.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
94
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Tabel 1. Penggunaan Faktor-faktor Produksi pada Usaha Penggemukan Sapi Potong Rakyat/Periode Produksi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Unsur-unsur Identifikasi Rata-rata jumlah sapi/ usaha penggemukan (ekor) Bobot badan awal sapi bakalan (kg) Rata-rata lama waktu penggemukan/periode (bulan) Rata-rata hijauan pakan ternak/periode (ton BK) Rata-rata konsentrat/ periode (ton BK) Rata-rata curahan tenaga kerja/periode (hok)
Bangsa Sapi PO SPO 2,18 3,38
LPO 4,40
Ratarata 3,08
272,53
315,67
350,70
310,81
10,34
6,78
6,68
7,82
7,28
9,05
10,65
8,38
1,62
2,14
3,17
2,02
91,04
117,36
154,32
109,93
Imbangan pemberian pakan dalam bentuk bahan kering pada usaha penggemukan sapi potong tingkat peternak rakyat adalah sebesar 80,55% (BK hijauan pakan ternak) berbanding 19,44% (BK pakan tambahan/konsentrat), dan apabila dirinci berdasarkan masing-masing bangsa sapi adalah sebesar 78,57% berbanding 21,43% pada sapi LPO, 79,52% berbanding 20,48% pada sapi SPO, dan 81,76% berbanding 18,24% pada sapi PO. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian Sutopo dan Karyadi (2008) yang melaporkan, bahwa usaha penggemukan sapi potong pada peternak rakyat yang tidak tergabung dalam kelompok tani ternak di Kecamatan Gunungpati Semarang mempunyai imbangan hijauan pakan dengan konsentrat sebesar 86,00% berbanding 14,00%, sedangkan pada peternak anggota kelompok tani ternak sebesar 60,00% berbanding 40,00%. Identifikasi kuantitas produksi usaha penggemukan sapi potong rakyat disajikan pada Tabel 2. Tingginya PBB pada sapi LPO bila dibandingkan dengan sapi SPO maupun sapi PO, adalah sebagai akibat dari potensi genetik individu di antara bangsa sapi yang tidak sama. Tabel 2. Identifikasi Produktivitas Usaha Ternak Sapi Potong. No. Unsur-unsur Identifikasi Bangsa Sapi PO SPO LPO 1. Rata-rata bobot awal/ekor 272,53 315,67 350,70 ternak (kg) 2. Rata-rata bobot akhir/ekor 398,91 485,54 536,33 ternak (kg) 3. Rata-rata Pertambahan bo126,38 169,87 185,63 bot badan ternak (kg) 4. PBB ternak (kg/hari) 0,41 0,84 0,93
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
Ratarata 310,81 469,52 160,53 0,68
95
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Berdasarkan konsumsi pakan, secara berurutan pada sapi LPO mengkonsumsi hijauan pakan sebanyak 12,08 kg BK/ekor/ hari dan konsentrat sebanyak 3,59 kg BK/ekor/hari, pada sapi SPO sebanyak 13,16 kg BK/ekor/hari dan 3,11 kg BK/ekor/hari, dan pada sapi PO sebanyak 10,76 kg BK/ekor/hari dan 2,40 kg BK/ekor/hari. Dari jumlah fisik bahan kering yang dikonsumsi dan produk yang dihasilkan (PBB per hari), dapat disimpulkan bahwa pada sapi LPO dapat memanfaatkan pakan lebih efisien bila dibandingkan dengan sapi SPO maupun PO, yang ditunjukkan oleh besarnya nilai konversi pakan yaitu secara berurutan sebesar 16,85 pada sapi LPO, 19,37 pada sapi SPO, dan sebesar 33,00 pada sapi PO. Perbedaan konversi pakan tersebut diduga disebabkan karena jenis imbangan pakan dan bangsa sapi yang juga berbeda. Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan hasil penelitian De Carvalho et al. (2010), bahwa pada sapi LPO lebih baik dengan nilai konversi pakan 16,85 berbanding 18,47, namun pada sapi PO tidak lebih baik dengan nilai konversi pakan 33,00 berbanding 22,55. Pakan mempunyai peranan penting pada peningkatan produksi, baik untuk pertumbuhan maupun untuk proses produksi yang lain. Besarnya nilai konversi pakan merupakan cerminan dari jumlah pakan yang dikonsumsi untuk meningkatkan PBB sebanyak 1,00 kg/ekor/hari, yaitu perbandingan antara pakan yang dikonsumsi (BK) dengan PBB per hari yang dihasilkan. Konversi pakan yang ideal untuk sapi dengan bobot badan 300 kg adalah sebesar 9,00. Ditinjau dari PBB sapi potong, hasil penelitian ini relatif berbeda bila dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian laboratorium. Menurut Ngadiyono (1995), pada sapi Sumba Ongole yang diberi pakan berupa konsentrat dan rumput raja (85% : 15%) menghasilkan PBB 0,85 kg/ekor/hari. Hasil penelitian Hamdan (2004) dalam Ngadiyono et al. (2008), pada sapi PO dengan pakan konsentrat dan jerami padi fermentasi (JPF) menghasilkan PBB 0,78 kg/ekor/hari. Hasil penelitian Daryanti et al. (2002) menunjukkan, bahwa pada penggemukan sapi PO dengan pakan dasar jerami padi teramoniasi ditambah konsentrat 4 kg/ekor/hari, menghasilkan PBB sebesar 0,72 kg/ekor/hari. Pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi terhadap PBB sapi potong rakyat dianalisis menggunakan paket program SPSS (Statistical Package for Social Sciences) dan diperoleh nilainilai koefisien regresi, t hitung dan probabilitas kesalahan seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Koefisien Regresi. Unstandardized Stand. Coefficients Coef. B Std. Error Beta T 16,234 1,077 15,077 0,236 0,108 0,170 2,183 -3,156 0,188 -2,526 -16,765 -3,924 0,208 -2,228 -18,860 0,126 0,157 0,103 0,800 -0,007 0,102 -0,006 -0,068 3,942 0,247 3,312 15,978
Model 1 Konstanta Jumlah sapi (ekor) Bobot badan awal (kg) Lama wkt pengg (bl) HPT (ton BK) Konsentrat (ton BK) Tenaga kerja (hok) Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
Sig. 0,000 0,030* 0,000* 0,000* 0,425 0,946 0,000*
96
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Unstandardized Stand. Coefficients Coef. Model B Std. Error Beta T 1 Konstanta 16,234 1,077 15,077 Jumlah sapi (ekor) 0,236 0,108 0,170 2,183 Bobot badan awal (kg) -3,156 0,188 -2,526 -16,765 Lama wkt pengg (bl) -3,924 0,208 -2,228 -18,860 HPT (ton BK) 0,126 0,157 0,103 0,800 Konsentrat (ton BK) -0,007 0,102 -0,006 -0,068 Tenaga kerja (hok) 3,942 0,247 3,312 15,978 Dependent Variable: Pertambahan Bobot Badan ternak (kg).
Sig. 0,000 0,030* 0,000* 0,000* 0,425 0,946 0,000*
Berdasarkan Tabel 3, dapat disusun persamaan model Cobb-Douglas sebagai berikut: Y = 16,236 X1 170 X2 -2,526 X3 -2,228 X4 0,103 X5 -0,006 X6 3,312 Menurut Ghozali (2007), jika satuan ukuran variabel independen tidak sama, maka sebaiknya interpretasi persamaan regresi menggunakan standardized beta, karena akan mampu mengeliminasi perbedaan unit ukuran pada variabel independen. Hasil persamaan model CobbDouglas menunjukkan, bahwa faktor-faktor produksi jumlah sapi yang diusahakan (X1), hijauan pakan ternak (X4), dan curahan tenaga kerja (X6) mempunyai hubungan yang positif (searah) terhadap PBB sapi potong (Y). Sedangkan faktor-faktor produksi bobot badan awal sapi potong (X2), lama waktu penggemukan (X3), dan pakan konsentrat (X5) berhubungan negatif (berlawanan arah) terhadap PBB sapi potong (Y). Secara serempak faktor-faktor produksi yang digunakan berpengaruh nyata terhadap kuantitas produksi usaha ternak sapi potong (PBB). Kondisi ini ditunjukkan oleh F hitung sebesar 488,152 dengan nilai signifikansi 0,000 (P < 0,01 < 0,05). Dari Tabel 3, dapat diketahui, bahwa secara parsial jumlah sapi yang diusahakan (X1), bobot badan bakalan (X2), lama waktu penggemukan (X3), dan curahan tenaga kerja (X6) berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kuantitas PBB sapi potong, sedangkan hijauan pakan ternak (X4), dan pakan konsentrat (X5) tidak berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kuantitas PBB sapi potong (Y). Koefisien korelasi diperoleh sebesar 0,974, yang berarti faktor-faktor produksi yang dibakukan sebagai variabel independen mempunyai keeratan hubungan kuat dengan kuantitas PBB sapi potong (variabel dependen). Koefisien determinasi diperoleh sebesar 0,947; yang berarti bahwa variasi yang terdapat pada faktor-faktor produksi sebesar 94,70% dapat menerangkan variasi yang terjadi pada kuantitas PBB sapi potong (Y), sedangkan sebesar 5,30% diterangkan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
97
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa produktivitas usaha penggemukan sapi potong rakyat masih dalam katagori rendah, hal ini karena usaha penggemukan sapi potong rakyat belum diusahakan secara intensif dan tercermin dari jumlah faktor-faktor produksi yang dialokasikan belum optimal. Sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas usaha penggemukan sapi potong rakyat, perlu memperhatikan penggunaan faktor-faktor produksi yang secara signifikan berpengaruh nyata terhadap kuantitas produksi sapi potong.
DAFTAR PUSTAKA Daryanti, S., M. Arifin, dan Sunarso. 2002. Respon produksi Sapi PO terhadap aras pemberian konsentrat dan pakan basal jerami padi fermentasi. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Agribisnis. BPTP Yogyakarta – UMY Yogyakarta. Hal. 263 – 268. De Carvalho, M.C., Soeparno, dan N. Ngadiyono. 2010. Pertumbuhan dan produksi karkas sapi peternakan Ongole dan Simmental peranakan Ongole jantan yang dipelihara secara feedlot. Buletin Peternakan. 34(1): 38 – 46. Prasetyo, E., Sunarso, P.B. Santosa, and E. Rianto. 2012. The influence of agribusiness subsystem on beef cattle fattening farm’s profit in Central Java. J. Indonesian Trop. Anim. Agric. 37(2): 121-126. Ghozali, I., 2007. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Lestari, C.M.S., R. Adiwinarti, M. Arifin and A. Purnomoadi. 2011. The performance of java and ongole crossbred bull under intensive feeding management. J. Indonesian Trop. Anim. Agric. 36 (3): 109 – 113. Ngadiyono, N. 1995. Pertumbuhan serta Sifat-sifat Karkas dan Daging Sapi Sumba Ongole, Brahman Cross, dan Australian Commercial Cross yang dipelihara secara Intensif pada berbagai Bobot Potong. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ngadiyono, N., G. Murdjito, A. Agus, dan U. Supriyana. 2008. Kinerja produksi sapi peranakan ongole jantan dengan pemberian dua jenis konsentrat yang berbeda. J. Pengemb. Peteranakan Tropis. 33 (4): 282 – 289. Sutopo, dan Karyadi. 2008. Studi komparasi pemeliharaan usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. Agromedia. 26(2): 55 - 62. Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke 6. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
98
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
IDENTIFIKASI PENGETAHUAN LOKAL PADA PETERNAK SAPI BALI DI KABUPATEN BARRU, PROPINSI SULAWESI SELATAN A. Amidah Amrawaty, Sitti Nurani Sirajuddin, Aslina Asnawi, and Hastang Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar Email :
[email protected]
INTISARI Pengetahuan lokal berdasar pada pengalaman dan percobaan yang berulang-ulang sesuai kemampuan masyarakat sehingga mudah diterapkan, oleh karena itu diperlukan kajian mengenai pengetahuan lokal dalam mendukung program pemerintah dan kesuksesan pembangunan peternakan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi dan mengkaji sistem pengetahuan lokal yang sudah berkembang di kalangan masyrakat, khususnya peternak sapi Bali. Pendekatan yang digunakan adalah penelitian kualitatif (qualitative research). Strategi yang digunakan adalah studi kasus, dilaksanakan di kawasan Agropolitan di Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Kawasan Agropolitan dipilih 4 desa, yaitu Desa Palakka, Desa Tompo, Desa Galung dan Desa Anabanua yang merupakan pusat pengembangan komoditas unggulan lokal yang berbasis Sapi Potong (sapi Bali). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pengetahuan lokal dalam praktek pengembangan sapi Bali berlangsung dalam konteks yang menyeimbangkan aspek ritual spiritual dan kalkulasi rasional. Praktek pengetahuan lokal dalam pemeliharaan sapi Bali adalah pengetahuan yang menyangkut tentang pemeliharaan dan perkandangan, pakan, seleksi, sistem bagi hasil, pengendalian penyakit, reproduksi, dan penjualan. Kata Kunci : pengetahuan lokal, peternak sapi bali
ABSTRACT The aim of this study was to identify and analyze local knowledge in Bali cattle development. The paradigm used was constructivism paradigm with a qualitative approach. descriptive type of research using case study method. The study was conducted in four villages subjected to Agropolitan Program, i.e. Palakka, Tompo, Galung and Anabanua in Barru District, province of South Sulawesi. The results indicated that the local knowledge of the farmers were : a) knowledge of animal housing, b) knowledge of the prevention and control disease, c) knowledge of the feed, d) knowledge of breed selection, e) knowledge of sharing arrangement, f) knowledge of marketing, Application of local knowledge in the development of Bali cattle takes place within the context of balancing the spiritual and ritual aspects of rational calculation Key word : local knowledge, farmer
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
99
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan sistem pengetahuan lokal merupakan pengetahuan lokal spesifik dan praktis di dalam segala aspek kehidupan. Pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan kompleks, kepercayaan dan praktis dari pengerahuan umum (Ciran, 1993). Dalam bidang peternakan misalnya, Sapi Bali merupakan salah satu ternak lokal yang telah dipelihara oleh peternak secara turun temurun. Program pencapaian swasembada pangan di Sulawesi Selatan menempatkan komoditi ini sebagai komoditi utama dalam pembangunan peternakan. Berkaitan dengan pengetahuan lokal, Titilola (1990), mengingatkan bahwa transfer teknologi dari negara maju ke negara sedang berkembang bisa menghambat pengembangan teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan. Masyarakat peternak sendiri sebetulnya sudah ada teknologi asli atau indigenous teknologi (IT) sebagai milik masyarakat yang sudah diterapkan dan menyatu dengan budaya setempat (Warren, 1992, dan Walker, et al, 1999). Masyarakat dengan mudah menerapkan teknologi asli karena menurut De Walt (1994) inputnya relatif rendah, resiko kecil dan cukup ramah lingkungan, sedangkan teknologi introduksi umumnya menggunakan input tinggi, resiko besar dan sering tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu diperlukan kajian mengenai pengetahuan loal dalam mendukung program pemerintah dan kesuksesan pembanguan peternakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menggali sistem pengetahuan lokal yang sudah berkembang di kalangan masyrakat, khususnya peternak sapi Bali.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah penelitian kualitatif (qualitative research). Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang merupakan salah strategi dalam penelitian kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan AprilSeptember 2015 di kawasan Agropolitan di Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Kawasan Agropolitan dipilih 4 desa, yaitu Desa Palakka, Desa Tompo, Desa Galung dan Desa Anabanua yang merupakan pusat pengembangan komoditas unggulan lokal yang berbasis Sapi Potong (sapi Bali).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan lokal, baik yang bersumber dari ajaran agama maupun kearifan lokal, dalam banyak hal telah memberi tuntunan bagi masyarakat, termasuk dalam bidang peternakan. Usaha yang dijalani peternak melahirkan banyak kombinasi usaha. Keberhasilan kombinasi usaha ini melahirkan prinsip-prinsip tertentu dalam masyarakat yang kemudian mengakar menjadi budaya dan kemudian diwariskan transgenerasi kepada masyarakat lain. Salah satu ungkapan prinsip tersebut adalah :“…..jika ingin bekerja di sawah, peliharalah sapi”. Hal senada juga diungkapkan oleh S Said (salah saeorang petani di lokasi penelitian) bahwa pesan secara lisan yang disampaikan orang tuanya yang berkaitan dengan pemeliharaan sapi adalah “memelihara sapi banyak rezeki”. Pengalaman peternak tersebut membuktikan
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
100
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
bahwa ternak sapi mampu memberikan beberapa ketahanan dalam rumah tangga petani, bahkan proporsi beberapa pengeluaran petani yang memerlukan biaya yang cukup besar pada umumnya diandalkan dari sapi. Hal ini juga diungkapkan oleh salah seorang informan, H. Muh Tang (58 Tahun): “….Saya beternak sejak tahun 50 an, prinsip saya sederhana, jika harga gabah sudah 10 tahun tidak berubah maka harga sapi dengan rentang waktu yang sama sudah mengalami kenaikan beberapa kali, bahkan pada waktu-waktu tertentu, harga sapi akan melonjak. Inilah keuntungannya memelihara sapi. Untuk biaya naik haji dan berkurban pada pada hari raya Idul Adha sepenuhnya saya andalkan dari hasil memelihara sapi” (Wawancara di Desa Tompo Tgl 9 Juni 2014). Pada pengetahuan lokal, beberapa anjuran dan pantangan yang diwariskan secara transgenerasi tetap dilakukan oleh petani peternak. Ciri tindakan tradisional masyarakat terpresentasekan dalam pelaksanaan acara-acara yang hampir seluruhnya dilakukan atau berhubungan dengan rasa syukur mereka terhadap keberhasilan usaha ternaknya. Selain meneruskan kebiasaan leluhur yang terkait dengan kepercayaan yang transgenerasi, pelaksanaan upacara tersebut juga mengalami reinterpretasi yang bukan hanya meneruskan kebiasaan tetapi ada makna lain yang menjadi dasar motivasinya. Dalam perkembangannya terjadi pergeseran praktek budidaya sapi Bali yang awalnya berdasarkan pertimbangan ritual spiritual berkembang menjadi praktek yang berlandaskan pertimbangan kalkulasi rasional. Misalnya ternak Ternak sapi kemudian mengalami perkembangan dan diakui oleh masyarakat sebagai barang yang bernilai ekonomis. Selain digunakan dalam upacara adat, juga dapat ditukar dengan barang berharga lainnya. Setelah menyadari bahwa sapi bernilai ekonomi, maka mulailah mereka melakukan kegiatan pemeliharaan dengan mengusahakan bagaimana ternak yang dipelihara dapat meningkat nilai ekonominya. Pengetahuan lokal yang menyangkut pemeliharaan sapi Bali yang telah dikembangkan oleh peternakan secara turun temurun antara lain dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel 1. Pengetahuan Lokal dalam Pengembangan Sapi Bali di kabupaten Barru No. Praktek Pengetahuan Lokal 1. Pemeliharaan dan Penanaman pohon Lokal, pengembalaan Perkandangan ekstensif 2. Pakan Rumput lapangan, batang pisang, daun bila, jerami segar, garam 3. Seleksi Penelusuran silsilah, jumlah lingkaran tanduk, panjang ekor, bentuk tanduk 4. Sistem bagi Hasil Tesang (sistem gaduh sapi) 5. Pengendalian Penyakit Penggunaan kunyit, sabuk kelapa, tampa’ lorong (brotowali) 6. Reproduksi Kawin Alam 7. Penjualan Sumber: data primer diolah, 2015
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
Berdasarkan taksiran
12 - 13 Februari 2016
101
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
KESIMPULAN Dari uraian hasil penelitian pada bab-bab sebelumnya, dapat dirumuskan beberapa proposisi sebagai berikut : 1. Aplikasi pengetahuan lokal dalam praktek pengembangan sapi Bali berlangsung dalam konteks yang menyeimbangkan aspek ritual spiritual dan kalkulasi rasional. 2. Praktek pengetahuan lokal dalam pemeliharaan sapi Bali adalah pengetahuan yang menyangkut tentang pemeliharaan dan perkandangan, pakan, seleksi, sistem bagi hasil, pengendalian penyakit, reproduksi, dan penjualan.
DAFTAR PUSTAKA Ciran. 1993. Indegenious Knowledge and Development Monitor. International Development Research Centre. Ottawa Canada. De Walt,B.R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management. In : Human Organization Vol.53. No. 2. Center for Latin American Studies. Titilola, S.O. 1990. The Economic of Incorporating Indigenous Knowledge System Into Agricultural Development. A Model and Analytical Framework. In : Studies in Technology and Social Change, No.17. Iowa State University Research Foundation. Walker, D.H., P.J. Thorne, F.L. Sinclair, B. Thapa C.D. Word, D.B. Subba. 1999. A System Approach to Comparing Indogenous and Sientific Knowledge : Consistency and Discriminatory Power of Indigenous and Laboratory Assesment of The Nutrive Value of Tree Fodder. Journal of Agricultural Systems 62 (87-103). Warren. 1993. Using IK for Agriculture and Rural Development. Current Issues and Studies. In : Indigenous knowlede and Development Monitor Vol. 1 No. 1 CIKARD.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
102
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
ANALISA EKONOMI USAHA PETERNAKAN AYAM PETELUR JANTAN DI DESA BALESARI KECAMATAN NGAJUM KABUPATEN MALANG Dimas Pratidina Puriastuti Hadiani1), Henny Leondro2), dan Sri Wahyudi3) 1,2
) Dosen Fakultas Peternakan Universitas Kanjuruhan Malang, 3) Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Kanjuruhan Malang, Jl. S. Supriyadi 48 Malang Indonesia Email:
[email protected] 1)
INTISARI Penelitian ini dilaksanakan di peternakan milik Bapak Muktiono di Desa Balesari kecamatan Ngajum Kabupaten Malang pada tanggal 25 September 2015 sampai 10 Desember 2015. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan usaha peternakan ayam petelur jantan secara finansial. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi usaha peternakan ayam petelur jantan jenis lohman dengan populasi sejumlah 24.000 ekor per periode. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan pendekatan kuantitatif. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan finansial. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah: biaya total produksi, penerimaan, keuntungan, BEP, dan R/C rasio. Hasil penelitian menunjukan bahwa total biaya produksi sebesar Rp. 335.995,920 dengan persentase terbesar didapat dari biaya pakan sebesar 78,67 %. Penerimaan Rp. 459.134.112 dengan persentase terbesar didapat dari penjualan ternak sebanyak 99,65 %, dan keuntungan sebesar Rp. 123.138.192, sedangkan BEP harga diperoleh apabila harga jual ternak senilai Rp. 18.764 per Kg, dan BEP produksi sebesar 13.150 Kg, dengan R/C rasio sebesar 1,37. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usaha peternakan ayam petelur jantan milik Bapak Muktiono di Desa Balesari Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang ini layak untuk dikembangkan karena memenuhi kriteria R/C rasio lebih dari 1. Kata kunci: Analisa Ekonomi Usaha, BEP, Ayam Petelur Jantan
ABSTRACT ECONOMIC ANALYSIS OF BUSINESS MALE LAYING CHICKEN FARM IN THE BALESARI VILLAGE NGAJUM SUB DISTRICT MALANG This research was carried out on a farm owned by Mr. Muktiono in the Balesari village Ngajum subdistrict Malang on September 25 through December 10, 2015. The purpose of this study was to determine the feasibility of male laying chicken financially. The material used in this study is the economic value of farm types lohman male laying chicken with a population of 24,000 chicken per period. The method used in this research is survey method with quantitative approach. Data were analyzed descriptively and financially. The variables were observed in this
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
103
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
study are: the total cost of production, revenues, profit, BEP, and R/C ratio. The results showed that the total cost of production Rp. 335,995.920 largest percentage obtained from feed costs amounted to 78.67%. Acceptance Rp. 459 134 112 largest percentage of turnover derived from bird as much as 99.65%, and a profit of Rp. 123 138 192, while the price BEP obtained if the selling price of bird worth Rp. 18 764 per kg, and BEP production amounted to 13 150 kg, with R / C ratio of 1.37. From the results of this study concluded that male laying chicken farm owned by Mr. Muktiono in the Balesari village Ngajum subdistrict Malang is feasible to be developed because it meets the criteria of the R/C ratio of more than 1. Keywords: Ekonomic Analysis, BEP ,Male Laying Chicken
PENDAHULUAN Ayam ras petelur merupakan hewan yang populer untuk diternakkan di Indonesia dengan populasi mencapai lebih dari 110 juta ekor (Data Direktorat Jenderal Peternakan thn. 2011). Banyak orang memilih usaha tersebut karena telur dan daging ayam merupakan sumber protein hewani yang terjangkau. Ayam petelur diperoleh dari usaha penetasan ayam petelur yang dilakukan oleh breeder. Hasil penetasan tersebut tentunya tidak kesemuanya ayam betina. Jika presentase diasumsikan 50% ayam betina, maka 50% akan dihasilkan produk yang berupa ayam petelur dengan jenis kelamin jantan. Ayam pejantan memiliki nilai lebih tersendiri, tekstur daging yang lebih padat dibanding jenis ayam pedaging lainnya menjadikan ayam jantan memiliki pangsa pasar tersendiri. Perlu juga diketahui bahwa harga jual ayam pejantan ini lebih mahal dari ayam pedaging. Karena ayam pejantan ini biasanya juga dijadikan pengganti ayam kampung oleh warung-warung makanan. Hal inilah yang menjadikan peluang usaha ternak ayam pejantan memiliki potensi yang cukup bagus.Usaha peternakan ayam petelur jantan milik Bapak Muktiono yang ada di Desa Balesari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang merupakan salah satu upaya untuk memanfaatkan peluang bisnis yang ada. Oleh karena itu perlu adanya penelitian yang menganalisa usaha peternakan ayam petelur jantan tersebut, salah satunya dengan analisa ekonomi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengambilan kebijakan usaha selanjutnya.
MATERI DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di peternakan milik Bapak Muktiono di Desa Balesari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang. Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 25 September 2015 sampai 10 Desember 2015. Materi Penelitian Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi usaha peternakan ayam petelur jantan tipe medium jenis lohman dengan jumlah populasi 24.000 ekor per periode pemeliharaan (2,5 bulan).
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
104
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan pendekatan kuantitatif. Variabel Penelitian Biaya Total Produksi Biaya total produksi adalah semua pengeluaran proses produksi sebagai hasil penjumlahan biaya tetap dan biaya tidak tetap. Soekartawi (2006) menggambarkan biaya total dengan rumus :TC = TFC + TVC Penerimaan Penerimaan adalah perkalian jumlah unit yang dijual dengan harga per-unit produk tersebut. Soekartawi (2006) menggambarkan penerimaan dengan rumus sebagai berikut: TR = PXQ Keuntungan Keuntungan adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya yang telah dikeluarkan oleh peternak. Soekartawi (2006) menggambarkan secara sistematis sebagai berikut: Π = TR – TC BEP Break even point (BEP) adalah suatu keadaan dimana sebuah perusahaan tidak mengalami kerugian atau memperoleh keuntungan (Syukur, 2008). Secara sistematis dapat ditulis sebagai berikut: BEP produk = TC/P BEP harga = TC/Q R/C Rasio R/C rasio (Revenue Cost Ratio) yaitu perbandingan antara penerimaan dengan biaya (Soekartawi, 2006). Rumus ini dapat ditulis secara sistematis sebagai berikut: RC Rasio = TR/TC
HASIL DAN PEMBAHASAN Total Biaya Produksi Tabel 1. Total Biaya Produksi Per Periode Pemeliharaan Uraian Jumlah (Rp.) Persentase (%) Biaya Tetap Penyusutan kandang dan peralatan 4.500.000 1,34 Sub Total (I) 4.500.000 1,34 Biaya Tidak Tetap Tagihan listrik PLN 000 2.500.000 0,74 Bibit 6.760.000 7,96
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
105
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Pakan Tenaga kerja Sekam Koran OVK Gas LPG Biaya transportasi Sub Total (II) Total Biaya Produksi (I + II) Sumber : Data Primer Diolah 2015
264.299.800 11.124.120 4.000.000 300.000 1.612.000 15.600.000 5.300.000 331.495.920 335.995.920
78,67 3,31 1,19 0,09 0,48 4,64 1,58 98,66 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa biaya pakan merupakan biaya produksi terbesar, hal ini sesuai dengan pernyataan Santoso (2010) bahwa pakan merupakan faktor yang paling banyak membutuhkan biaya dalam usaha peternakan ayam pedaging yaitu mencapai 75% dari seluruh biaya produksi. Penerimaan Usaha Tabel 2. Penerimaan Usaha Per Periode Pemeliharaan Uraian Jumlah (Rp.) Persentase (%) Penerimaan Penjualan Ternak 457.534.112 99,65 Penjualan kotoran + karung bekas 1.600.000 0,35 Total Penerimaan 459.134.112 100 Sumber : Data Primer Diolah 2015 Dari total penjualan ternak mendapatkan hasil sebesar Rp. 457.534.112, hasil ini diperoleh dari total bobot panen sebesar 17.906 Kg dengan harga Rp. 25.552/Kg berat hidup. Populasi ternak ayam dari peternakan milik Bapak Muktiono ini adalah 24.000 ekor dengan angka kematian 552 ekor atau 2,3 % sehingga yang terjual adalah 23.448 ekor, dari perhitungan ini dapat diketahui bahwa berat rata-rata ternak adalah 0,76 Kg/ekor. Angka kematian ini cukup baik, hal ini sesuai dengan pernyataan Bell dan Weaver (2002) yang menyatakan bahwa pemeliharaan ayam pedaging dinyatakan berhasil jika angka kematian secara keseluruhan kurang dari 5%.Sedangkan untuk hasil dari penjualan kotoran ternak dan karung bekas kemasan pakan mendapatkan hasil sebesar Rp. 1.600.000, angka ini didapat dari total korotan yang dijual sebanyak 800 karung dengan harga Rp. 2.000 per karung.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
106
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Keuntungan Usaha Tabel 3. Keuntungan Usaha Per Periode Pemeliharaan Uraian Jumlah (Rp.) Total Penerimaan 459.134.112 Biaya Total Produksi 335.995.920 Total Keuntungan 123.138.192 Total Keuntungan Per ekor 5.252 Sumber : Data Primer Diolah 2015 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa keuntungan usaha peternakan ayam petelur jantan milik Bapak Muktiono periode ini adalah sebesar Rp. 123.138.192 dan keuntungan per ekor adalah Rp. 5.252. Titik Impas/BEP Tabel 4. Titik Impas/BEP Per Periode Pemeliharaan Uraian Perhitungan Riil BEP harga (Rp.) 18.764 25.552 BEP Produksi (Kg) p 13.150 17.906 Sumber : Data Primer Diolah 2015 R/C rasio R/C rasio yang diperoleh dari usaha peternakan ayam petelur jantan milik Bapak Muktiono adalah sebesar 1,37. Artinya setiap pengeluaran sebesar Rp. 1,- dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 0,37. R/C rasio > 1, usaha peternakan ayam petelur layak dikembangkaR/C rasio digunakan untuk mengukur tingkat kelayakan suatu usaha dan untuk mengetahui sejauh mana usaha tersebut layak dikembangkan atau tidak. Kriteria penilaian R/C rasio sebagai berikut : R/C rasio > 1, usaha peternakan ayam petelur layak dikembangkan. R/C rasio = 1, usaha peternakan ayam petelur tersebut tidak untung tidak rugi. R/C rasio < 1, usaha peternakan ayam petelur tidak layak dikembangkan (Soekartawi, 2006).
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usaha peternakan ayam petelur jantan milik Bapak Muktiono di Desa Balesari Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang ini layak untuk dikembangkan karena memenuhi kriteria R/C rasio lebih dari 1.
DAFTAR PUSTAKA Bell, D. D., and W. D. Weaver. 2002. Comercial Chicken Meat and Egg Production. 5 th Edition. Springer Science and Business Media, Inc, New York. Santoso, H. 2010. Pembesaran Ayam Pedaging Hari Per Hari di Kandang Panggung Terbuka. Penebar Swadaya. Jakarta. Soekartawi , 2006. Teori ekonomi produksi. Penerbit Rajawali, Jakarta.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
107
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN MODEL SISTEM INTEGRASI TERNAK SAPI˗TANAMAN DI KABUPATEN MINAHASA (KASUS DI KECAMATAN LANGOWAN SELATAN) Bonny F.J. Sondakh dan Richard E.M.F. Osak Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado, 95115
[email protected]
INTISARI Pengusahaan ternak sapi dengan tanaman sudah ada integrasi (integration) tapi belum terintegrasi (integrated), artinya usaha pokok petani yaitu tanaman jagung dan padi, sedangkan usaha ternak sapi hanya sebagai usaha sampingan terutama fungsinya sebagai sumber tenaga pengolah pertanian. Penelitian ini bertujuan: (1) mengetahui sejauh mana usaha ternak sapi dan tanaman tanpa pola sistem integrasi ternak sapi–tanaman; dan (2) melakukan kajian kebijakan Pola Sistem Integrasi Ternak Sapi–Tanaman. Penelitian menggunakan metode survai dengan pengambilan sampel secara sengaja (Purposive Sampling) sesuai petunjuk Singarimbun dan Effendi (1989) dengan kriteria utama, yaitu memiliki usaha ternak sapi dan usaha tanaman pangan, memiliki jumlah ternak sapi yang dipelihara sebanyak minimal dua ekor ternak sapi dewasa, dan memiliki pengalaman lama beternak minimal lima tahun. Hasil penelitian disimpulkan bahwa peternakan sapi yang diintegrasikan dengan tanaman memberikan tambahan peningkatan pendapatan bagi petani peternak, dengan memberi kontribusi pada konservasi kesuburan lahan secara organik (non kimiawi). Berdasarkan rumusan strategi-strategi yang dianalisis melalui analisis SWOT, direkomendasikan suatu program yaitu : Program pemberdayaan peternak melalui pola Sistem Integrasi Sapi dan Tanaman (SISTA) meningkatkan pendapatan keluarga peternak dan ramah lingkungan. Kata kunci: Strategi, Pengembangan, Integrasi, Sapi, Tanaman
ABSTRACT The existing cattle and plant integration have not integrated farming, meaning that the main farming are maize and rice farm, while the cattle farming is only as a sideline functions as a source of agricultural processing power. This study aims to (1) determine the extent to which the cattle farm integration with crops cultivated without pattern of crops-livestock integration system, and (2) conduct policy research to Cattle-Plants Integration System Model. This study usesd survey method and purposive random sampling with the main criterias are has a cattle farming and food crops farming, has kept the number of cattle at least two beef cattle, and has minimum of five years long experience of cattle farm. The research concludes are dairy farm that integrated with crops give additional income for farmers, by reducing the rate of degradation of the environment, and contribute to the conservation of soil fertility by organic (non-chemical). Based on the formulation of the strategies analyzed through a SWOT analysis, a program is recommended: Program of the farmers empowerment in developing cattle production that environmentally and sustainable based through patterns Cattle and Crop Integration Farming
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
108
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
System (CCIFS), for to increase the income and welfare of farmers household in the district of Minahasa. Keywords: Strategy, Integration, Cattle, Crops, Minahasa.
PENDAHULUAN Potensi pengembangan produksi peternakan di antaranya dengan usahatani sistem integrasi sapi–tanaman di Indonesia sangat besar, didukung oleh potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian yaitu: 100,7 juta ha yang limbahnya dapat mencukupi biomassa pakan sapi sepanjang tahun (1-3 ekor sapi/ha). Bila tidak dimanfaatkan, limbah pertanian akan menjadi masalah dan kendala dalam agribisnis, karena pada saat panen terbuang dan menjadi pencemar (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2009). Konsep pertanian terpadu, yang melibatkan tanaman dan ternak telah diterapkan di Indonesia sejak lama sebagaimana terjadi di negara-negara Asia Tenggara. Devendra (2011) menjelaskan bahwa beberapa penelitian dan pengembangan sistem integrasi ternak ruminansia dengan tanaman di Asia Tenggara menunjukkan peningkatan produktivitas ternak, peningkatan nilai tambah pada tanaman, pengembangan keberlanjutan, serta berdampak ekonomi, di mana terjadi peningkatan pendapatan sekitar 30%, penghematan biaya sekitar 47-60% dan memberikan kelayakan finansial yaitu internal rate of return (IRR) sebesar 19% per tahun. Roughsedge, Amer dan Simm (2003) menjelaskan bahwa melalui simulasi model integrasi ternak dan tanaman menunjukkan peningkatan keuntungan finansial dikarenakan terjadi penghematan biaya produksi dalam usaha ternak sapi. Franzluebbers (2007) menjelaskan bahwa peluang untuk mengintegrasikan tanaman dan ternak dapat menghasilkan tanaman yang berbeda sepanjang tahun, melalui sistem integrasi hijauan dan ternak dengan tanaman bisa mendapatkan keuntungan baik untuk tujuan produksi maupun lingkungan. Awal pengembangan konsep pertanian terpadu dimulai dengan sistem pertanian yang melakukan pertanaman kombinasi beberapa jenis tanaman dalam satu lahan yang sama (multiple cropping). Selanjutnya berkembang lagi dengan memasukan komponen ternak dalam sistim usahatani yang dikenal dengan sistim usaha tani (farming system) dan terakhir sistem integrasi tanaman-ternak (crop livestock system). Sistem integrasi ternak dan tanaman, pada prinsipnya teknologi yang diintroduksikan mencakup teknologi pengolahan limbah tanaman untuk pakan ternak dan pengelolaan kotoran ternak untuk pupuk organik bagi tanaman. Inovasi dan teknologi pertanian yang baik dapat mengubah limbah pertanian menjadi sumberdaya yang bagus sebagai pakan ternak, yakni peternakan yang menghasilkan pupuk dapat diolah menjadi sumber energi alternatif seperti biogas dan limbah padat dapat diolah menjadi kompos untuk menyediakan pupuk organik bagi tanaman sehingga ramah lingkungan. Dengan sistem terintegrasi ini, asumsi sederhananya 25% dari 26,8 juta hektar lahan tanam dapat digunakan untuk menambah kapasitas penggunaannya untuk 1 ekor ternak per hektar. Diharapkan ke depan akan ada penambahan 6,7 juta ekor ternak sapi yang setara dengan 1,2 ton daging sapi (Sujana, 2009). Usaha ternak sapi di Kabupaten Minahasa umumnya diusahakan dengan usahatani tanaman pangan dan palawija, di mana tanaman pangan yang diusahakan di antaranya jagung dan padi. Namun dalam pengusahaan ternak sapi dengan tanaman sudah ada integrasi (integration) tapi belum dilakukan secara terintegrasi (integrated), artinya petani dalam usaha
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
109
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
pokoknya yaitu tanaman jagung dan padi, sedangkan usaha ternak sapi hanya sebagai usaha sampingan terutama fungsinya sebagai sumber tenaga pengolah pertanian. Di Kecamatan Langowan Selatan terdapat beberapa kelompok tani peternak sapi, yang mengusahakan ternak sapi bersamaan dengan tanaman jagung dan padi. Usaha ternak sapi selain usaha tanaman jagung dan padi merupakan tumpuan rumahtangga anggota. Usaha tanaman jagung bagi peternak merupakan sumber pakan bagi ternak sapi yang mereka usahakan, yaitu biji jagung dan jerami jagung segar untuk diberikan pada ternak sapi, sedangkan jerami padi belum termanfaatkan kareta ketidak tahuan cara pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi. Permasalahannya selama ini dalam usaha ternak sapi mengalami kendala dalam mencukupi pakan ternak sapi karena keterbatasan lahan baik untuk penanaman hijauan (rumput dan legume) maupun untuk tanaman jagung dan padi. Di saat panen jagung, kebutuhan pakan relatif tercukupi dari tambahan biji jagung dan jerami segar, namun manakala menunggu panen berikutnya (paceklik) peternak kesulitan dalam penyediaan pakan, yang harus dipenuhi dengan membeli dari petani lain atau luar desa sehingga mengurangi pendapatan usahanya. Di sisi lain, pada saat panen jagung petani memperoleh produk samping dari tanaman yaitu: daun, batang dan tongkol jagung, serta jerami padi yang dapat menjadi sumber pencemar lingkungan dan tidak termanfaatkan karena belum mengetahui pengolahan, pengawetan dan pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi. Sedangkan ternak sapi menjadi input sebagai sumber tenaga kerja dalam usaha tanaman baik untuk pengolahan tanah maupun transportasi hasil, juga limbah ternak sapi yaitu feses dapat digunakan sebagai pupuk organik dan kompos bagi tanaman. Berdasarkan pemikiran di atas maka penelitian bertujuan untuk: (1) Mengetahui sejauh mana usaha ternak sapi dan tanaman tanpa pola sistem integrasi ternak sapi–tanaman; dan (2) Melakukan kajian kebijakan pengembangan Pola Sistem Integrasi Ternak Sapi–Tanaman.
MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Langowan Selatan Kabupaten Minahasa. Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (Purposive Random Sampling) sesuai Singarimbun dan Effendi (1989) berdasarkan tujuan tertentu. Penelitian ingin mengkaji sistem integrasi ternak sapi dan tanaman, sehingga peternak sampel harus memenuhi kriteria utama penelitian, yaitu memiliki usaha ternak sapi dan usaha tanaman pangan, memiliki jumlah ternak sapi yang dipelihara sebanyak minimal dua ekor ternak sapi dewasa, dan memiliki pengalaman lama beternak minimal lima tahun. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terhadap responden dengan mengisi kuisioner dan pengamatan langsung pada usahanya. Data sekunder diperoleh melalui instansi terkait dalam penelitian ini, yaitu data statistik yang relevan dengan penelitian ini. Selain variabel-variabel kuantitatif, juga akan diteliti mengenai variabel-variabel kualitatif deskriptif untuk melengkapi data kuantitatif yang akan dianalisis melalui Analisis SWOT. Analisis yang digunakan untuk potensi sistem integrasi peternakan sapi dan tanaman kelapa dilakukan dengan Analisis SWOT (Strenghts atau Kekuatan, weakness atau kelemahan, Opportunities atau peluang dan Threats atau ancaman), menurut petunjuk Hunger dan Wheelen (2003), Rangkuti (2001) dan Umar (2001) sebagai suatu alat analisis yang digunakan secara umum dalam merumuskan suatu Strategi Pengembangan. Analisis SWOT dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan agribisnis peternakan sapi yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
110
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
kekuatan (Strenghts) dan kelemahan (Weakness) dalam integrasi peternakan sapi dengan tanaman itu sendiri, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor-faktor peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) yang berada di luar sistem integrasi peternakan sapi dan tanaman pangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk perumusan strategi menurut Rangkuti (2008) dapat mengunakan Analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, threats) yang mengidentifikasi berbagai faktor internal dan eksternal secara sistematis. Aspek-aspek internal dan eksternal dianalisis untuk mendapatkan informasi yang akurat untuk dievaluasi serta merumuskan strategi pengembangan Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman. Proses identifikasi dilakukan dengan menggunakan daftar matriks sederhana berdasarkan data-data dan informasi serta kajian literatur dalam penelitian ini. Faktor internal dan eksternal hasil identifikasi selanjutnya akan dievaluasi untuk menentukan faktor-faktor strategis yang paling menentukan pengembangan Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman. Hasil Proses identifikasi faktor internal dan eksternal pengembangan agribisnis Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman di Kecamatan Langowan Selatan Kabupaten Minahasa sebagai bahan evaluasi untuk penentuan perumusan strategi diuraikan sebagai berikut: A. Kekuatan (strengths) a) Pengalaman beternak sapi responden rata-rata antara 6-10 tahun (69.82) b) Tingkat pendidikan petani peternak responden rata-rata SMA (61,11%) c) Umumnya umur peternak tergolong produktif rata-rata 28-37 tahun (62.5 %) d) Memiliki lahan untuk pengembangan skala usaha dan perluasan tanaman hijauan di areal tanaman dan perkebunan rata-rata 0.26-0.50 ha (53.22%) e) Usaha agribisnis sistem integrasi ternak sapi dengan tanaman dengan kepemilikan ternak sebanyak 2 ekor, menguntungkan sekitar Rp.17.012.860 per tahun atau Rp.1.417.738 per bulan. f) Harga daging sapi berkisar Rp.70.000-Rp.80.000/Kg (Rata-rata Rp.75.000) g) Terdapat fasilitas pendukung rumah potong hewan (RPH) dan pengolahan hasil ternak sapi = 1 unit. h) Ketersediaan pakan konsentrat bijian terutama jagung produksi 32 kw/ha. i) Ketersediaan by product pertanian sebagai sumber pakan alternatif terutama jerami jagung, serta jerami dan dedak padi. B. Kelemahan (weaknesses) a) Tingginya biaya modal untuk investasi, saat ini rata-rata investasi peternak responden sebesar Rp.4,176,625 b) Harga sumberdaya input relatif tinggi sehingga biaya pokok relatif besar yaitu rata-rata Rp.7.917.458/ekor untuk fattening dan Rp7.503.853/ekor untuk starter-finisher. c) Dominasi peternak adalah skala kecil dengan kepemilikan rata-rata < 4 ekor d) Tujuan usaha umumnya hanya untuk sumber tenaga kerja ternak sebesar 97% e) Produk bijian sebagai sumber pakan penguat masih bersaing dengan kebutuhan manusia baik jagung muda maupun jagung kering, dikonsumsi manusia > 89 persen.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
111
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
f) Ketrampilan pengolahan limbah tanaman menjadi pakan = 0 g) Kelompok peternak kurang aktif, kelompok aktif hanya 10.98 persen h) Peternak belum melakukan mitra usaha dengan pengusaha atau lembaga sebagai sumber modal maupun pemasaran hasil, jumlah pemitra = 0 C. Peluang (opportunities) a) Kebijaksanaan pembangunan pertanian cukup mendukung dengan program ketahanan pangan dan program swasembada daging 2014. b) Kebijakan pemerintah daerah dengan crash program jagung yang mendukung ketersediaan bahan pakan konsentrat. c) Permintaan pasar ternak sapi lokal yang tinggi baik pasar lokal maupun antar pulau. d) Terdapat sarana dan lembaga pemasaran, perkreditan dan penyuluhan. e) Terdapat sarana dan prasarana infrastuktur transportasi dan komunikasi yang baik dan lancar. D. Ancaman (threats a) Masuknya ternak sapi dan hasilnya dari daerah dan negara luar (impor). b) Alokasi anggaran pembangunan pemerintah pusat dan daerah diprioritaskan ke sektor lain. c) Alat pertanian dan alat transportasi modern mulai menggantikan tenaga kerja ternak sapi. Berdasarkan deskripsi kualitatif dan kuantitatif identifikasi faktor internal dan eksternal pengembangan agribisnis Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman di Kabupaten Minahasa, dapat dianalisis Internal Factor Analysis Summary (IFAS) dan External Factor Analysis Summary (EFAS) berdasarkan petunjuk David (2006).
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
112
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Tabel 1. Internal Factor Analysis Summary (IFAS) Kekuatan (Strengtness)
Bobot Ranking Skor
(1)
S.1. Pengalaman beternak sapi responden ratarata antara 6-10 tahun (69.82) S.2. Tingkat pendidikan petani peternak responden rata-rata SMA (61,11%) S.3. Umumnya umur peternak tergolong produktif rata-rata 28-37 tahun (62.5 %) S.4. Memiliki lahan untuk pengembangan skala usaha dan perluasan tanaman hijauan di areal tanaman dan perkebunan rata-rata 0.26-0.50 ha (53.22%) S.5. Usaha agribisnis sistem integrasi ternak sapi dengan tanaman dengan kepemilikan ternak sebanyak 2 ekor, menguntungkan sekitar Rp.17.012.860 per tahun atau Rp.1.417.738 per bulan. S.6. Harga ternak sapi rata-rata Rp.28.500/Kg Berat Hidup dan Rp.70.000/Kg Daging. S.7. Terdapat fasilitas pendukung rumah potong hewan (RPH) dan pengolahan hasil ternak sapi = 1 unit. S.8. Ketersediaan pakan konsentrat bijian terutama jagung dengan jumlah rata-rata 32 kw/ha S.9. Ketersediaan by product pertanian sbg sumber pakan alternatif terutama jerami jagung, serta jerami dan dedak padi.
Kelemahan (Weakness) (1)
W.4. Tujuan usaha umumnya hanya untuk sumber tenaga kerja ternak sebesar 97% W.5. Produk bijian sebagai sumber pakan penguat masih bersaing dengan kebutuhan manusia baik jagung muda maupun jagung kering, dikonsumsi manusia > 89 persen. W.6. Ketrampilan pengolahan limbah tanaman menjadi pakan = 0 W.7. Kelompok peternak kurang aktif, kelompok aktif hanya 10.98 persen W.8. Peternak belum melakukan mitra usaha dengan pengusaha atau lembaga sebagai sumber modal maupun pemasaran hasil, jumlah pemitra = 0 Total Bobot Faktor Internal ( Kekuatan + Kelemahan)
|
(3)
(2)x(3)
4
0.60
0.10
4
0.40
0.10
4
0.40
0.05
5
0.25
0.10
4
0.40
0.05
5
0.25
0.05
2
0.10
0.06
3
0.18
0.04
1
0.04
Bobot Ranking Skor
W.1. Tingginya biaya modal untuk investasi, saat ini rata-rata investasi peternak responden sebesar Rp.4,176,625 W.2. Harga sumberdaya input relatif tinggi sehingga biaya pokok relatif besar yaitu rata-rata Rp.7.917.458/ekor untuk fattening dan Rp7.503.853/ekor untuk starter-finisher. W.3. Dominasi peternak adalah skala kecil dengan kepemilikan rata-rata < 4 ekor
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
(2)
0.15
(2)
(3)
(2)x(3)
0.05
5
0.25
0.05
3
0.15
0.08
3
0.24
0.03
2
0.06
Total Skor
2.62
Total Skor (4)
1.06 0.02
4
0.08
0.01
2
0.02
0.02
1
0.02
0.04
6
0.24
1.00
12 - 13 Februari 2016
113
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Tabel 1. External Factors Analysis Summary (EFAS) PELUANG (OPPORTUNITY) (1)
Bobot Ranking Skor (2)
(3)
(2)X(3)
0.15
3
0.45
0.10
4
0.4
O.3. Permintaan pasar ternak sapi lokal yang tinggi baik pasar lokal maupun antar pulau.
0.20
5
1
O.4. Terdapat sarana dan lembaga pemasaran, perkreditan dan penyuluhan.
0.05
1
0.05
O.5. Terdapat sarana dan prasarana infrastuktur transportasi dan komunikasi yang baik dan lancar
0.10
2
0.2
T.1. Masuknya ternak sapi dan hasilnya dari daerah dan negara luar (impor).
0.10
5
0.5
T.2. Alokasi anggaran pembangunan pemerintah pusat dan daerah diprioritaskan ke sektor lain.
0.20
3
0.6
T.3. Alat pertanian dan alat transportasi modern mulai menggantikan tenaga kerja ternak sapi.
0.10
3
0.3
Total Bobot Faktor Eksternal (Peluang + Ancaman)
1.00
O.1. Kebijaksanaan pembangunan pertanian cukup mendukung dengan program ketahanan pangan dan program swasembada daging 2014. O.2. Kebijakan pemerintah daerah dengan crash program jagung yang mendukung ketersediaan bahan pakan konsentrat.
Total Skor (4)
2.1
TREATHS (ANCAMAN)
1.4
Berdasarkan Diagram Strategic Choice pada Gambar 1, maka strategi pengembangan berada pada 4 (empat) pilihan sebagai berikut: Strategi S-O berada pada posisi pertumbuhan cepat atau Rapid Growth (kuadran ungu) Strategi W-O berada pada posisi strategi memelihara pilihan atau Agresive Maintenance Strategy (kuadran kuning) Strategi S-T berada pada posisi Concentric Diversification Strategy (kuadran hijau muda) Strategi W-T berada pada posisi strategi bergerilia atau Guerilla Strategy (kuadran biru muda) Faktor internal dan eksternal strategis yang diuraikan di atas selanjutnya dianalisis dengan menggunakan matriks SWOT untuk menentukan beberapa strategi yang dapat diterapkan. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi usaha agribisnis dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. Metode perumusan strategi dilakukan berdasarkan Matriks SWOT dapat menghasilkan beberapa kemungkinan alternatif strategis (David, 2006).
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
114
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Gambar 1. Diagram Pilihan Strategis Untuk Pengembangan Berdasarkan analisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam pengembangan peternakan Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman, berdasarkan Matriks SWOT, maka strategi kebijakan yang dapat dilaksanakan melalui program, dapat dirumuskan sebagai berikut : I. Strategi S-O : 1.1. Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi dan skala usaha 1.2. Peningkatan investasi di tingkat peternak (budidaya) dan fasilitas pendukung II. Strategi W-O : 2.1. Pemberdayaan peternak skala kecil melalui program kemitraan peternak dan pengusaha /peternak besar melalui kebijakan regulasi pemerintah 2.2. Fasilitasi pemerintah bagi swasta dalam industri sarana produksi III. Strategi S-T : 3.1. Peningkatan stándar produksi sesuai standar impor 3.2. Peningkatan produksi di tingkat peternak melalui peningkatan proporsi alokasi anggaran pemerintah IV. Strategi W-T : 4.1. Peningkatan efisiensi produksi untuk menghasilkan output yang mampu bersaing dengan produk luar 4.2. Pemberdayaan peternak kecil melalui kebijakan dan alokasi anggaran pemerintah melaui kelompok peternak
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
115
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
116
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Pelaksanaan strategi-strategi tersebut harus dilaksanakan secara sinergi, sinkron, dan komprehensif karena rumusan strategi tersebut terkait satu dengan yang lainnya membentuk suatu hubungan yang saling mendukung, saling membutuhkan, dan saling menarik dan mendorong (pull-push factors). Untuk melaksanakan masing-masing strategi tersebut baik secara parsial, sebagian, ataupun komprehensif maka direkomendasikan suatu program yaitu : Program pemberdayaan peternak dalam mengembangkan produksi dan pemasaran melalui integrasi ternak sapi dan tanaman. Berdasarkan hasil analisis maka Implikasi Pengembangan Sistem Integrasi Sapi dan Tanaman di Kabupaten Minahasa, yaitu: 1) Pengembangan kawasan agribisnis sebagai basis dan sumber perekonomian dasar penduduk dengan peningkatan teknologi pertanian dan peternakan agar dapat memacu serta meningkatkan produktivitas. 2) Menciptakan kondisi daerah yang berdaya saing, memiliki nuansa yang proinvestasi dan bisnis, pro-lingkungan melalui penataan institusi, sistem, dan prosedur yang transparan serta regulasi-regulasi investasi di daerah. 3) Pengembangan perdagangan dan industri dengan mengutamakan pengembangan agroindustri daerah berbasis sumber daya lokal yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah relatif. 4) Mendorong dan melibatkan Pemerintah Pusat dan Provinsi untuk secara langsung membantu dalam bentuk asset dan/atau modal serta mendukung pihak swasta dalam mengelola kegiatan-kegiatan investasi strategis bagi masyarakat di Kabupaten Minahasa. 5) Mendorong pemerintah Pusat dan Provinsi untuk menfasilitasi fasilitas yang masih dihadapkan dengan kendala-kendala internal dan eksternal seperti manajemen, teknologi, modal kerja, informasi, pemasaran, dan ketenagakerjaan. Sedangkan strategi yang dapat diaksanakan yaitu: 1) Pengembangan usaha agribisnis pertanian peternakan dengan pendekatan kewilayahan terpadu dengan konsep pengembangan agribisnis, agroteknologi serta agroriset dan pengembangan industri daerah berorientasi nilai tambah seperti industri produk turunan jagung, industri pengolahan produk daging (bakso, nugget, sosis, dll). 2) Mengembangkan praktek-praktek budidaya pertanian dengan menggunakan teknik tepatguna dan usaha non pertanian yang ramah lingkungan dan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari upaya mempertahankan daya dukung lingkungan dan pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan kewilayahan terpadu dengan konsep pengembangan agribisnis/agropolitan di wilayah Tompaso, Kawangkoan, Kakas, dan Langowan. Langkah selanjutnya yaitu mengkaji kelima subsistem agribisnis ini dalam model pengembangan kelembagaan, model pengembangan infrastruktur dan model pengembangan Agribisnis SISTA (Sistem Integrasi Sapi-Tanaman) dalam bentuk model investasi kawasan yang kemudian akan menjadi dasar untuk kompilasi model dinamik. Secara komprehensif perlu mengembangkan infrastruktur yang menunjang sistem agribisnis pada kawasan. Dengan berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga off farm-nya yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
117
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya. Di sisi lain pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis serta penguatan kelembagaan kelompok petani peternak agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditas pertanian serta produk-produk olahan pertanian, merupakan prioritas utama yang harus disiapkan. Kemudian diikuti dengan peningkatan sarana-prasarana meliputi: jaringan jalan termasuk jalan usaha tani (farm road), irigasi, pasar, air bersih, pemanfaatan limbah, dan pengolahan sampah (zero waste). Pengembangan sistem integrasi tanaman ternak (sapi) bertujuan untuk: 1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian melalui penyediaan pupuk organik yang memadai, 2) mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman, 3) mendukung upaya peningkatan produksi daging dan populasi ternak sapi, dan 4) meningkatkan pendapatan petani atau pelaku pertanian. Melalui kegiatan ini, produktivitas tanaman maupun ternak menjadi lebih baik sehingga akan meningkatkan pendapatan petani-peternak.
KESIMPULAN Peternakan sapi yang diintegrasikan dengan tanaman memberikan tambahan peningkatan pendapatan bagi petani peternak dan memberi kontribusi pada konservasi kesuburan lahan secara organik (non kimiawi). Berdasarkan analisis SWOT, direkomendasikan suatu program yaitu: Program pemberdayaan peternak dalam mengembangkan produksi peternakan sapi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan melalui pola Sistem Integrasi Sapi dan Tanaman (SISTA), dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak di Kabupaten Minahasa.
DAFTAR PUSTAKA Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2009. Perspektif Daya Dukung Lahan Pertanian dan Inovasi Teknologi dalam Sistem Integrasi Ternak Tanaman Berbasis Sawit, Padi dan Kakao. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak–Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. David, F.R., 2006. Managemen Strategis. Terjemahan. Salemba Empat, Jakarta. Devendra, C., 2011. Integrated Tree Crops-ruminants Systems in South East Asia: Advances in Productivity Enhancement and Environmental Sustainability. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 24(5):587-602. Ditjennak, 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Franzluebbers, A. J., 2007. Integrated Crop-Livestock Systems in the Southeastern USA. Agron. J. 99:361–372. Hadi, P.U. dan N. Ilham, 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong Di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4):148−157.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
118
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Hunger, J.D. dan Th.L. Wheelen, 2003. Manajemen Strategis. Terjemahan. Penerbit Andi, Yogyakarta. Rahardi dan R. Hartono, 2003. Agribisnis Peternakan. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. Rangkuti, F., 2008. Analisis SWOT Tekhnik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Umum Jakarta. Roughsedge, T., P.R. Amer and G. Simm, 2003. A Bio-Economic Model For The Evaluation Of Breeds And Mating Systems In Beef Production Enterprises. Animal Science 77: 403-416 Singarimbun, M. dan S. Effendi, 1995. Metode Penelitian Survey. LP3S. Jakarta. Sujana, Tj. D., 2009. Sistem Integrasi Ternak-Tanaman Pangan Menuju Swasembada Daging 2014. Makalah Dirjen Peternakan sebagai keynote speech dalam International Seminar on Animal Industry 2009 di IPB International Convention Center (IICC). http://www.ipb.ac.id/?b=1373 Suryana, 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis Dengan Pola Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(1). Umar, H., 2001. Strategic Manajemen in Action. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
|
12 - 13 Februari 2016
119
174