DAMPAK KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI TERHADAP KINERJA EKONOMI SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA
KUSRIATMI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi terhadap Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014 Kusriatmi NRP : H363090231
RINGKASAN KUSRIATMI. Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi terhadap Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI, YUSMAN SYAUKAT, dan ALI SAID. Komoditas sapi potong mempunyai peranan yang strategis dalam perekonomian Indonesia. Selain kontribusinya terhadap pembentukan PDB dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan, daging sapi juga merupakan salah satu sumber protein hewani. Konsumsi daging sapi di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Di sisi lain, pertumbuhan produksi daging sapi domestik relatif lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan konsumsi. Hal ini menyebabkan impor semakin meningkat. Untuk mendorong produksi daging sapi nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap daging sapi impor, pemerintah mencanangkan Kebijakan Swasembada Daging Sapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) mengkaji dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap produksi daging sapi nasional dan kinerja subsektor peternakan di Indonesia, 2) mengevaluasi dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap tingkat kesejahteraan produsen dan konsumen daging sapi serta penghematan devisa di Indonesia, dan 3) meramalkan produksi dan permintaan daging sapi dalam kerangka pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika dengan sistem persamaan simultan. Data yang digunakan merupakan data time series tingkat nasional selama periode 1990 – 2011. Berdasarkan kriteria order condition, persamaan dalam model teridentifikasi secara berlebih (over identified). Estimasi parameter menggunakan metode Two Stage Least Square (2SLS). Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan teknologi melalui peningkatan dosis IB, peningkatan impor sapi bibit, dan kebijakan subsidi suku bunga pinjaman pada bank akan mendorong produksi ternak sapi dan daging sapi serta menurunkan impor sapi bakalan dan impor daging sapi. Peningkatan produksi ternak sapi mendorong peningkatan GDP dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan. Kebijakan pembatasan impor sapi bakalan dan impor daging sapi akan meningkatkan produksi daging sapi namun menurunkan populasi dan produksi ternak sapi, sehingga menurunkan PDB dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan. Kombinasi kebijakan dalam rangka mewujudkan swasembada daging sapi akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menghemat devisa. Kombinasi kebijakan belum mampu mewujudkan swasembada daging sapi di Indonesia pada tahun 2014. Diperkirakan Indonesia akan mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2021. Pembatasan impor baik sapi bakalan maupun daging sapi secara bertahap dan diikuti dengan peningkatan teknologi yang lebih baik serta penyediaan sapi bibit yang lebih besar berdampak positif terhadap kinerja industri sapi potong dan subsektor peternakan serta pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia. Kata kunci : daging sapi, swasembada.
kesejahteraan,
kinerja
subsektor
peternakan,
SUMMARY
KUSRIATMI. The Impact of Beef Self-sufficiency Policy on Economic Performance of Livestock Subsector in Indonesia. Supervised by RINA OKTAVIANI, YUSMAN SYAUKAT, and ALI SAID. Beef cattle have a strategic role in the Indonesian economy. In addition to its contribution to GDP and employment in the livestock sub-sector, the beef is also one source of animal protein. Beef consumption tends to increase over time. However, the growth of domestic beef production is slower than the growth in consumption. This has led to the increasing import. In this regard, the government has set self-sufficiency policy to encourage the growth of beef cattle and beef production. This study is aimed to: 1) analyze the impact of beef self-sufficiency policies on national beef production and performance in livestock subsector, 2) evaluate the impact of beef self-sufficiency policies on producer and consumer welfare in Indonesia and foreign exchange savings, and 3) forecasting production and demand for beef within the framework of achieving beef self-sufficiency in Indonesia. This study used econometric model with simultaneous equations and utilized time series data from 1990 – 2011 periods. Based on order condition criteria, this model is over identified. Parameter estimation used Two Stages Least Squares method. Simulation results showed that technological improvements through increasing doses of Artificial Insemination (AI), increased breeder cattle imports, and the subsidies policy of interest rate on bank loans will encourage beef cattle production and domestic beef production as well as lower import feeder cattle and beef imports. Increased beef cattle production will encourage GDP and employment in the livestock subsector. Import restrictions policy on feeder cattle and beef will increase domestic beef production but reduce the population and beef cattle production, resulting in lower GDP and employment in the livestock subsector. Combination of policies in order to achieve beef self-sufficiency will increase the social welfare and save foreign exchange. Combination policies have not been able to achieve beef self-sufficiency in Indonesia in 2014. Indonesia is expected to achieve beef self-sufficiency in 2021. Gradually imports restrictions on feeder cattle and beef and was followed by an increase in technology and the provision of breeder cattle have positive impact on the beef industry and livestock sector and the achievement of beef selfsufficiency in Indonesia. Key words : beef, performance of livestock subsector, self-sufficiency, welfare.
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAMPAK KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI TERHADAP KINERJA EKONOMI SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA
KUSRIATMI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Sri Hartoyo, MS Dr Ir Harianto, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Ir Arief Daryanto, MEc Prof (R) Dr Ir I Wayan Rusastra, APU
Judul Disertasi
:
Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi terhadap Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia
Nama Mahasiswa
:
Kusriatmi
NRP
:
H363090231
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS Ketua
Dr Ir Yusman Syaukat, MEc Anggota
Dr Ali Said, MA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 13 Januari 2014
Tanggal Lulus :
Judul Disertasi Nama NIM
Modifikasi Statistik Getis Lokal pada Matriks Pembobot AMOEBA untuk Model Panel Spasial dan Kajian Performanya Jajang G161090031
.. Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Jr. Asep Saefuddin, M.Sc Ketua /
Prof. Dr. Ir. I Wayan Mangku, M.Sc Anggota
~
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Statistika
Dr. Jr. Aji Hamim Wigena, M.Sc
Tanggal Ujian : D 5
MAR 2014
Tanggal Lulus :
1 3 MAR 2014
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi dengan judul “Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi terhadap Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia” merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap kinerja industri sapi potong dan subsektor peternakan serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan model ekonometrika sistem persamaan simultan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini dapat terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS selaku ketua komisi pembimbing serta Dr Ir Yusman Syaukat, MEc dan Dr Ali Said, MA selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan selama proses penyusunan proposal, penelitian, hingga penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Dr Ir Arief Daryanto, MEc dan Prof (R) Dr Ir I Wayan Rusastra, APU selaku dosen penguji luar komisi serta Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Dr Muhamad Firdaus, SP MSi selaku wakil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan wakil Rektor IPB atas koreksi dan masukannya pada saat ujian terbuka. 2. Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Dr Ir Harianto, MS selaku dosen penguji luar komisi serta Dr Meti Ekayani, SHut MSc selaku penguji yang mewakili program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas koreksi dan masukannya pada saat ujian tertutup. 3. Kepala BPS Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa kepada penulis selama menempuh pendidikan pada program Doktor di IPB. 4. Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Statistik BPS dan Kepala BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada program Doktor di IPB. 5. Kepala BPS RI, Kepala BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pimpinan BI, beserta staf yang telah membantu penulis selama melakukan penelusuran data untuk keperluan penelitian 6. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Bapak/Ibu staf pengajar, dan seluruh staf administrasi yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan. 7. Teman-teman EPN angkatan 2009 atas kebersamaan dalam mengikuti kuliah dan sebagai teman diskusi yang baik dalam penyelesaian disertasi ini. 8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penyusunan disertasi ini. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua penulis (Bapak D. Sukijono dan Ibu Martini), suami (Djoko Muljanto, SP), serta anakku tersayang (Surya Adi Pradana) yang selalu mendo’akan dan memberikan dukungan selama penulis menempuh masa pendidikan di IPB. Tidak lupa kepada kedua adikku (Hernowo, ST MM dan Ery Subono, ST MM) dan keluarga, penulis
mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan disertasi. Segala kekeurangan yang terdapat pada disertasi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan disertasi ini. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, Februari 2014 Kusriatmi
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFAR LAMPIRAN
xviii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Kebaruan dan Posisi Penelitian
1 1 6 11 11 13
2 TINJAUAN PUSTAKA Strategi Substitusi Impor Kebijakan Swasembada Daging Sapi Potensi Usaha Peternakan dalam Penyediaan Daging Nasional Perkembangan Populasi Ternak Perkembangan Produksi Daging Konsumsi Daging Landasan Teori Teori Ekonomi Swasembada Kebijakan Tarif Impor Kebijakan Kuota Impor Kebijakan Subsidi Produksi Langsung Perubahan Teknologi dan Peningkatan Produktivitas Penawaran dan Permintaan Daging Sapi Fungsi Penawaran Daging Sapi Fungsi Permintaan Daging Sapi Elastisitas Kinerja Perekonomian Pendapatan Nasional Kesempatan Kerja Dampak Teknologi Terhadap Kesejahteraan Hasil Penelitian Terdahulu Kebijakan Perdagangan dan Penawaran Daging Sapi Peranan Teknologi dalam Swasembada Pangan Kerangka Konseptual
15 15 17 21 22 24 25 26 26 27 28 28 29 31 31 33 34 35 35 37 38 40 40 43 47
xii 3
METODOLOGI PENELITIAN Spesifikasi Model Blok Penawaran Ternak Sapi Potong Produksi Ternak Sapi Potong Impor Ternak Sapi Potong Populasi Ternak Sapi Potong Blok Penawaran Daging Sapi Produksi Daging Sapi Domestik Impor Daging Sapi Nasional Penawaran Daging Sapi Nasional Blok Permintaan Daging Sapi Permintaan Daging Sapi Domestik Excess Demand Daging Sapi Blok Harga Daging Sapi Harga Riil Daging Sapi Domestik Harga Riil Daging Sapi Impor Blok Kinerja Subsektor Peternakan GDP Subsektor Peternakan Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan Prosedur Analisis Identifikasi Model Uji Statistik F dan Uji Statistik t Uji Statistik Durbin Watson (Dw) dan Durbin h Validasi Model Simulasi Model Perubahan Kesejahteraan dan Pengeluaran Devisa Jenis dan Sumber Data Definisi Operasional Variabel
4 KERAGAAN INDUSTRI SAPI POTONG DAN SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA Unit Usaha dan Populasi Ternak Sapi Potong Struktur Populasi Ternak Sapi Potong Akses terhadap Sumber Modal Perkembangan Produksi dan Penyediaan Daging Sapi Peranan Subsektor Peternakan dalam Perekonomian Indonesia Perkembangan PDB Peternakan Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan
51 51 53 53 54 55 56 56 56 57 58 58 58 59 59 59 60 60 60 61 61 62 62 63 64 66 67 68
71 71 73 75 76 79 79 80
xiii
5
HASIL ESTIMASI MODEL SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KINERJA EKONOMI SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA Keragaan Umum Model Swasembada Daging Sapi dan Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia Blok Penawaran Ternak Sapi Potong Produksi Ternak Sapi Potong Impor Sapi Bakalan Populasi Ternak Sapi Blok Penawaran Daging Sapi Produksi Daging Sapi Lokal Impor Daging Sapi Nasional Blok Permintaan Daging Sapi Blok Harga Daging Sapi Harga Daging Sapi Domestik Harga Daging Sapi Impor Blok Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan Pertumbuhan Ekonomi Subsektor Peternakan Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan
6 DAMPAK KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI TERHADAP KINERJA INDUSTRI SAPI POTONG DAN SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA Hasil Validasi Model Simulasi Peramalan Periode 2012–2021 Dampak Kenaikan Dosis Inseminasi Buatan Sebesar 25 Persen Dampak Peningkatan Impor Sapi Bibit Sebesar 20 Persen Dampak Penurunan Tingkat Bunga Pinjaman Menjadi 5 Persen Dampak Peningkatan Impor Sapi Bibit 20 Sebesar Persen dan Penurunan Tingkat Bunga Pinjaman Menjadi 5 Persen Dampak Penurunan Impor Sapi Bakalan 25 Sebesar Persen dan Impor Daging Sapi 35 Persen Dampak Kenaikan Dosis IB 25 Persen, Kenaikan Impor Sapi Bibit 20 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 Persen, Penurunan Impor Sapi Bakalan 25 Persen, dan Impor Daging Sapi 35 Persen Dampak Kenaikan Dosis IB 30 Persen, Kenaikan Impor Sapi Bibit 30 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 Persen, Penurunan Impor Sapi Bakalan 25 Persen, dan Impor Daging Sapi 35 Persen
83 83 84 84 87 89 90 91 92 94 96 96 98 99 99 100
103 103 104 105 106 107 108 109
111
112
xiv Dampak Kenaikan Dosis IB 30 Persen, Kenaikan Impor Sapi Bibit 30 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 Persen, Penurunan Impor Sapi Bakalan 20 Persen, dan Impor Daging Sapi 20 Persen Dampak Kenaikan Dosis IB 40 Persen, Kenaikan Impor Sapi Bibit 30 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 Persen, Penurunan Impor Sapi Bakalan 20 Persen, dan Impor Daging Sapi 20 Persen Rangkuman Dampak Berbagai Alternatif Kebijakan Dampak Simulasi kebijakan terhadap Kesejahteraan Proyeksi Produksi dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia
113
115 116 119 121
7 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Implikasi Kebijakan Saran Penelitian Lanjutan
125 125 126 127
DAFTAR PUSTAKA
129
LAMPIRAN
137
RIWAYAT HIDUP
189
xv
DAFTAR TABEL
1
Distribusi Produk Domestik Bruto Indonesia atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha, 2005–2011 (persen)
1
Perkembangan produksi, ekspor, dan impor daging sapi di Indonesia, 2004–2011 (000 ton)
4
Perkembangan volume ekspor dan impor sapi bibit dan sapi bakalan di Indonesia, 2004–2011 (ton)
4
Persentase target produksi daging sapi domestik dan impor berdasarkan skenario pesimistic, most likely dan optimistic
20
5
Performa sapi potong pada berbagai skenario program PSDSK 2014
21
6
Perkembangan populasi ternak di Indonesia, 1990–2011 (ribu ekor)
23
7
Perkembangan produksi daging di Indonesia, 1990–2011 (ribu ton)
25
8
Perkembangan produksi, impor, dan konsumsi daging sapi di Indonesia, 1999–2010 (ton)
26
Dampak perubahan teknologi terhadap kesejahteraan
39
2 3 4
9
10 Ringkasan studi terdahulu tentang kebijakan perdagangan dan penawaran daging sapi
42
11 Ringkasan studi terdahulu tentang peranan teknologi dalam swasembada pangan
45
12 Banyaknya unit usaha dan populasi ternak menurut jenis unit usaha sapi potong di Indonesia, 2011
72
13 Persentase populasi sapi potong di Indonesia menurut jenis kelamin, umur, dan pulau tahun 2011
74
14 Perkembangan pemotongan ternak sapi potong di Indonesia menurut asal ternak, 1990–2011
76
15 Peranan sapi lokal, sapi impor, dan daging sapi impor dalam penyediaan daging sapi di Indonesia, 1990–2011 (persen)
78
16 Perkembangan jumlah tenaga kerja pertanian dan peternakan di Indonesia tahun 20012011
81
17 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model produksi ternak sapi
85
18 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model impor sapi bakalan
87
19 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model populasi ternak sapi
90
xvi 20 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model produksi daging sapi lokal
92
21 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model impor daging sapi
93
22 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model permintaan daging sapi
95
23 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model harga daging sapi domestik
97
24 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model harga daging sapi impor
99
25 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model PDB sapi potong
100
26 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model permintaan tenaga kerja peternakan
101
27 Hasil validasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia
103
28 Dampak kenaikan dosis IB sebesar 25 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021
105
29 Dampak kenaikan impor sapi bibit Sebesar 20 Persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021
107
30 Dampak penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021
108
31 Dampak kenaikan impor sapi bibit sebesar 20 persen dan penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021
109
32 Dampak penurunan impor sapi bakalan 25 persen, dan penurunan impor daging sapi 35 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021
110
33 Dampak kenaikan dosis IB 25 persen, kenaikan impor sapi bibit 20 persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 25 persen, dan penurunan impor daging sapi 35 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021
111
34 Dampak kenaikan dosis IB 30 persen, kenaikan impor sapi bibit 30 persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 25 persen, dan penurunan impor daging sapi 35 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021
113
xvii
35 Dampak kenaikan dosis IB 30 persen, kenaikan impor sapi bibit 30 persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 20 persen, dan penurunan impor daging sapi 20 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021
114
36 Dampak kenaikan dosis IB 40 persen, kenaikan impor sapi bibit 30 persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 20 persen, dan penurunan impor daging sapi 20 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021
115
37 Dampak berbagai alternatif kebijakan terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021
117
38 Perbandingan dampak berbagai alternatif kombinasi kebijakan terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021
118
39 Dampak berbagai alternatif kebijakan terhadap perubahan surplus produsen, surplus konsumen, dan cadangan devisa
120
40 Proyeksi permintaan dan produksi daging sapi di Indonesia, 2012– 2021
122
41 Proyeksi permintaan dan produksi daging sapi di Indonesia pada berbagai kombinasi kebijakan, 2012–2021
123
DAFTAR GAMBAR 1 2
Laju pertumbuhan PDB nasional, PDB sektor pertanian, dan PDB subsektor peternakan di Indonesia, 1990–2011(persen)
2
Perkembangan konsumsi daging sapi di Indonesia dan proporsi penyediaan menurut asal produk, 1999–2010
8
3
Argumen industri muda
16
4
Kegiatan pokok dan kegiatan operasional dalam program PSDSK 2014
19
5
Kebijakan tarif impor pada kasus negara kecil
27
6
Kebijakan kuota impor pada kasus negara kecil
28
7
Dampak subsidi langsung terhadap produksi
29
8
Pengaruh perubahan teknologi terhadap output
30
9
Dampak perbaikan teknologi terhadap penawaran
31
10 Dampak perubahan teknologi terhadap produksi dan kesejahteraan
39
xviii 11 Kerangka analisis penelitian
49
12 Keterkaitan antar variabel dalam model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia
52
13 Populasi sapi potong menurut pulau di Indonesia, 2011 (juta ekor)
72
14 Populasi sapi potong menurut provinsi di Indonesia di Indonesia, 2011
73
15 Persentase populasi sapi potong di Indonesia menurut jenis kelamin, 2011
74
16 Persentase rumah tangga peternakan dan sapi potong menurut akses ke sumber modal
75
17 Perkembangan impor daging sapi di Indonesia, 1990–2011 (ton)
77
18 Perkembangan PDB subsektor peternakan di Indonesia tahun 20002011
79
19 Kontribusi PDB subsektor peternakan dalam pembentukan PDB pertanian dan PDB nasional di Indonesia tahun 20002011
80
20 Perkembangan harga sapi domestik dan harga sapi impor di Indonesia, 1990–2011 (rupiah/kg)
88
21 Perkembangan harga daging sapi domestik dan harga daging sapi impor di Indonesia, 1990–2011 (rupiah/kg)
94
DAFTAR LAMPIRAN 1
Data dasar yang digunakan dalam analisis
139
2
Program estimasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia
144
Hasil estimasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia
146
Program validasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia
156
Hasil validasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia
160
Program simulasi peramalan dengan menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
161
Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB sebesar 25 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
164
Hasil simulasi peramalan peningkatan impor sapi bibit sebesar 20 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
166
3 4 5 6 7
8
xix
9
Hasil simulasi peramalan penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
168
10 Hasil simulasi peramalan peningkatan impor sapi bibit sebesar 20 persen dan penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 Persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
170
11 Hasil simulasi peramalan penurunan impor sapi bakalan sebesar 25 Persen dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 Persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
172
12 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 25 persen, peningkatan impor sapi bibit 20 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 25 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
174
13 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 30 persen, peningkatan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 25 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
176
14 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 30 persen, peningkatan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 20 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 20 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
178
15 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 40 persen, peningkatan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 20 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 20 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
180
16 Program peramalan variabel eksogen dan variabel endogen tahun 2012-2020 menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
182
17 Hasil peramalan variabel endogen tahun 2012–2020 menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
185
18 Perkembangan produksi dan ketersediaan protein dari daging sapi dan daging ayam di Indonesia, 2000-2011
187
19 Daftar singkatan
188
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian memainkan peranan penting dalam perekonomian di negara berkembang. Ada beberapa peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi antara lain: 1) sebagai penyedia pangan, 2) sebagai sumber tenaga kerja bagi sektor perekonomian lain, 3) sebagai sumber kapital bagi pertumbuhan ekonomi modern khususnya dalam tahap awal pembangunan, 4) sebagai sumber devisa, dan 5) memperluas pasar bagi produk yang dihasilkan dari sektor industri (Gillis et al. 1992; Meijerink and Roza 2007). Dalam perekonomian Indonesia, sektor pertanian sampai saat ini masih mempunyai peranan yang cukup penting. Ditinjau dari kontribusinya terhadap pendapatan nasional, sektor ini pada tahun 2011 memberikan kontribusi sebesar 14.70 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sumbangan sektor pertanian tersebut merupakan nomor dua setelah sektor industri pengolahan yang memberikan sumbangan 24.33 persen terhadap PDB (Tabel 1). Tabel 1 Distribusi produk domestik bruto Indonesia atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha, 2005–2011 (persen) Lapangan usaha 1. Pertanian a. Tanaman bahan makanan b. Tanaman perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan 2. Pertambangan & penggalian 3. Industri pengolahan 4. Listrik, gas, & air bersih 5. Konstruksi 6. Perdagangan, hotel & restoran 7. Pengangkutan dan komunikasi 8. Keuangan, real estate & jasa perusahaan 9. Jasa-jasa Produk Domestik Bruto
2005 13.13 6.54 2.03 1.59 0.81 2.15 11.14 27.41 0.96 7.03 15.56 6.51 8.31
2007 13.72 6.71 2.07 1.55 0.92 2.47 11.15 27.05 0.88 7.72 14.99 6.69 7.73
2009 15.29 7.48 1.99 1.87 0.80 3.15 10.56 26.36 0.83 9.90 13.28 6.31 7.23
2011* 14.70 7.14 2.07 1.74 0.70 3.05 11.85 24.33 0.77 10.16 13.80 6.62 7.21
9.96 100.00
10.08 100.00
10.24 100.00
10.56 100.00
Sumber : http://www.bps.go.id (diolah). Keterangan : * Angka sementara.
Apabila dirinci menurut subsektor, komposisi PDB sektor pertanian selama tujuh tahun terakhir tidak mengalami perubahan yang berarti. Seperti tahun-tahun sebelumnya, subsektor tanaman bahan makanan masih mendominasi pembentukan nilai tambah sektor pertanian pada tahun 2011 dengan kontribusi sebesar 7.14 persen, sementara subsektor peternakan menempati urutan ke-4 dengan kontribusi sebesar 1.74 persen. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, secara jelas telah memperlihatkan ketangguhan sektor pertanian. Pada saat krisis
2 tersebut perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi yang luar biasa hebat, yaitu sebesar 13.13 persen tahun 1998. Sementara itu, sektor pertanian hanya mengalami kontraksi sebesar 1.33 persen, namun subsektor peternakan mengalami kontraksi yang cukup besar yaitu mencapai 13.94 persen (Gambar 1). Hal ini disebabkan komponen impor yang cukup besar dalam struktur input subsektor peternakan terutama komoditas ternak unggas. 15
5
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
-5
1991
0 1990
Laju pertumbuhan (%)
10
-10 -15
PDB nasional
PDB pertanian
PDB peternakan
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah). Gambar 1 Laju pertumbuhan PDB nasional, PDB sektor pertanian, dan PDB subsektor peternakan di Indonesia, 1990–2011 (persen)
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) bulan Februari 2011, sektor ini menyerap tenaga kerja paling besar dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, yaitu sekitar 38.17 persen (http://www.bps.go.id). Dengan demikian, tampak bahwa sektor pertanian masih merupakan sektor yang diperhitungkan dalam mendukung perekonomian nasional. Selain peranannya dalam penciptaan PDB dan penyediaan lapangan kerja, sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat. Sebagai kebutuhan dasar, pangan selalu menempati prioritas yang tinggi dalam pembangunan ekonomi nasional. Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan setiap orang berhak untuk memperoleh pangan yang cukup (Sekretariat Negara 1996). Pangan yang cukup dan berkualitas merupakan prasyarat bagi perkembangan organ-organ fisik manusia sejak dari kandungan dan juga berpengaruh terhadap perkembangan intelegensinya sesuai dengan potensi genetiknya. Pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia sebagai generasi penerus bangsa yang akan melaksanakan pembangunan dalam era persaingan yang semakin ketat. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan unsur terpenting dan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan. Perkembangan kualitas sumber daya manusia di suatu wilayah dapat diukur dengan menggunakan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dicirikan dengan peningkatan harapan hidup sangat ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsinya. Salah satu bahan
3 pangan yang sangat penting adalah pangan hewani yang merupakan sumber protein untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel, dan menjaga sel darah merah agar tidak mudah pecah. Dalam membentuk masyarakat yang sehat, cerdas, produktif, dan berkualitas, peranan protein hewani hampir tidak dapat tergantikan oleh protein nabati (Daryanto 2009). Subsektor peternakan mempunyai peranan yang besar dalam hal penyediaan pangan hewani yang bermutu tinggi. Produk peternakan mengandung zat gizi yang sangat diperlukan untuk perkembangan tubuh manusia, utamanya protein dan lemak. Produk peternakan berupa daging, susu, dan telur merupakan sumber protein hewani bagi masyarakat. Protein adalah salah satu nutrien yang sangat penting bagi tubuh yang berfungsi sebagai zat pembangun. Jika tingkat konsumsi protein hewani pada masyarakat berkecukupan, maka pada gilirannya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang mengandung berbagai macam zat gizi yang diperlukan tubuh berupa 10 macam asam amino esensial dan asam lemak (terutama conjungated linoleic acid) yang bermanfaat bagi pertumbuhan neuron pada otak, dan selanjutnya neuron ini menentukan tingkat kecerdasan manusia. Terdapat korelasi positif antara kecerdasan dengan konsumsi daging per kapita suatu negara. Negara yang tingkat konsumsi protein hewaninya tinggi, umumnya memiliki nilai human development index yang tinggi (BAPPENAS 2010). Konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat dari negara ASEAN lainnya. Laporan FAO menyatakan bahwa rata-rata konsumsi daging (daging merah dan putih) rakyat Indonesia pada tahun 2006 masih cukup rendah, yaitu sebesar 4.5 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi daging di Malaysia sudah mencapai 38.5 kg/kapita/tahun dan konsumsi daging di Thailand mencapai 8.5 kg/kapita/tahun. Sementara itu, peringkat IPM pada tahun 2007/2008 masingmasing adalah 107 (Indonesia), 63 (Malaysia), dan 78 (Thailand) (Daryanto 2009). Permintaan suatu komoditas dipengaruhi oleh harga produk, harga produk substitusinya, tingkat pendapatan, jumlah penduduk, dan selera masyarakat (Ilham dan Yusdja 2004). Seiring dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya pendapatan masyarakat permintaan terhadap produk peternakan juga meningkat. Secara nasional konsumsi daging mengalami peningkatan dari 1.46 juta ton pada tahun 2006 menjadi 1.73 juta ton pada tahun 2009 (Kementerian Pertanian 2010b). Dengan demikian terjadi peningkatan rata-rata 5.93 persen per tahun. Hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS juga menunjukkan adanya kenaikan konsumsi daging penduduk Indonesia dalam periode 2009–2010. Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan penduduk Indonesia untuk konsumsi daging segar sebesar Rp 8 114 pada tahun 2009 kemudian meningkat menjadi Rp 10 370 pada tahun 2010. Rata-rata konsumsi daging sapi/kerbau masyarakat Indonesia mengalami peningkatan dari 0.006 kg/kapita/minggu pada tahun 2009 menjadi 0.007 kg/kapita/minggu pada tahun 2010. Sementara untuk konsumsi daging ayam meningkat dari 0.069 kg/kapita/minggu pada tahun 2009 menjadi 0.080 kg/kapita/minggu pada tahun 2010 (BPS 2010b). Selama ini kebutuhan daging sapi Indonesia dipenuhi dari tiga sumber, yaitu sapi lokal, sapi impor dan daging sapi impor. Berdasarkan data dari
4 Kementerian Pertanian selama periode 2004–2011 produksi daging sapi dalam negeri berfluktuasi, meskipun menunjukkan adanya trend kenaikan. Sementara itu neraca perdagangan daging sapi Indonesia selalu mengalami defisit. Defisit neraca perdagangan daging sapi cenderung meningkat dari 12.95 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 90.51 ribu ton pada tahun 2010, kemudian turun menjadi 64.72 ribu ton pada tahun 2011. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan daging sapi di dalam negeri selalu lebih besar dibandingkan dengan produksi dalam negeri. Untuk menutupi kekurangan supply daging sapi dalam negeri dilakukan impor dari berbagai negara, terutama dari Australia (Tabel 2). Tabel 2 Perkembangan produksi, ekspor, dan impor daging sapi di Indonesia, 2004–2011 (000 ton) Tahun
Produksi
1
447.57 358.70 395.84 339.47 392.50 409.30 436.50 465.80
2004 20051 20062 20072 20082 20093 20103 20114 Sumber :
Neraca perdagangan Ekspor 0.02 0.09 0.01 0.04 0.06 0.01 0.00 0.30
Impor 12.97 12.75 24.08 39.35 45.71 67.39 90.51 65.02
1
3
2
4
Departemen Pertanian 2007. Kementerian Pertanian 2010b. Keterangan : produksi daging dalam bentuk karkas.
Selisih -12.95 -12.67 -24.07 -39.31 -45.65 -67.38 -90.51 -64.72
Kementerian Pertanian 2011b. Kementerian Pertanian 2012b.
Selain melakukan perdagangan terhadap produk daging sapi, Indonesia juga melakukan perdagangan terhadap ternak hidup baik berupa sapi bibit (cattle breed) maupun sapi bakalan (feeder steer/feeder cattle). Seperti halnya perdagangan produk daging sapi, neraca perdagangan ternak hidup Indonesia juga selalu mengalami defisit baik yang berupa sapi bibit maupun sapi bakalan karena volume impor jauh lebih besar dibandingkan dengan volume ekspor. Ekspor ternak sapi hidup sebagian besar ke Singapura dan Malaysia (BPS 2009c). Tabel 3 Perkembangan volume ekspor dan impor sapi bibit dan sapi bakalan di Indonesia, 2004–2011 (ton) Tahun Ekspor 0 1 3 13 32 0 0 0
20041 20051 20062 20072 20082 20092 20103 20114 Sumber :
1 2
Sapi bibit Impor 1 459 1 615 2 172 49 449 28 1 133 0
Selisih -1 459 -1 614 -2 169 -36 -417 -28 -1 133 0
Departemen Pertanian 2007. Kementerian Pertanian 2010b.
Ekspor 571 0 4 82 60 60 0 0 3 4
Sapi bakalan Impor 82 538 89 672 92 999 145 468 198 460 229 155 208 584 118 921
Selisih -81 967 -89 672 -92 995 -145 386 -198 400 -229 094 -208 584 -118 921
Kementerian Pertanian 2011b. Kementerian Pertanian 2012b .
5 Impor sapi bibit selama tahun 2004–2011 berfluktuasi, sedangkan impor sapi bakalan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sebagian besar impor ternak sapi berupa sapi bakalan yang akan dipotong untuk menghasilkan daging sapi setelah dilakukan penggemukan di dalam negeri. Tahun 2004 volume impor sapi bakalan sebesar 82.54 ribu ton dengan volume ekspor sebesar 0.57 ribu ton. Tahun 2009 volume impor sapi bakalan meningkat menjadi 229.16 ribu ton kemudian turun menjadi 208.58 ribu ton pada tahun 2010 dan 118.92 ribu ton pada tahun 2011. Volume ekspor sebesar 0.06 ribu ton pada tahun 2009 dan setelah itu tidak ada lagi ekspor sapi dari Indonesia (volume nol) (Tabel 3). Peningkatan supply melalui impor sering dihadapkan pada kendala nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Jika terjadi depresiasi rupiah maka akan berpengaruh terhadap penyediaan barang/jasa yang berasal dari impor karena harga barang impor menjadi lebih mahal. Hal ini bisa berpengaruh terhadap stabilitas pangan di dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mengurangi tingkat ketergantungan produk daging sapi impor, maka produksi daging sapi dalam negeri harus ditingkatkan. Peningkatan produksi daging sapi domestik akan menggantikan supply daging sapi yang berasal dari impor. Kebijakan ini dikenal dengan strategi substitusi impor atau dikenal dengan kebijakan inward-looking yang menekankan pada pengembangan komoditas untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri agar dapat menggantikan produk impor (Bulmer-Thomas 1982; Hess and Ross 1997; Todaro and Smith 2009). Dalam upaya menjamin ketersediaan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat, pemerintah kembali mencanangkan program Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 (PSDSK 2014). Program ini merupakan revisi dari program sebelumnya yaitu Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010 di mana kedua program ini telah gagal dicapai (Syamsu 2010). Kebijakan swasembada daging sapi merupakan salah satu program Kementerian Pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan utama bagi masyarakat. Program ini sesuai amanat Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025 dan tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahap ke-2 (20102014), di mana pembangunan pertanian tetap memegang peran yang strategis dalam perekonomian nasional sebagai penyedia bahan pangan. Dalam periode ini Kementerian Pertanian menempatkan beras, jagung, kedelai, daging sapi, dan gula sebagai lima komoditas pangan utama. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan utama tersebut, target Kementerian Pertanian selama 20102014 adalah pencapaian swasembada untuk kedelai, daging sapi, dan gula, serta swasembada berkelanjutan untuk komoditas beras dan jagung (Anonim 2011). Pengembangan komoditas sapi potong juga dipandang mampu memadukan pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity), karena usaha ini melibatkan banyak tenaga kerja. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2003, tercatat ada sekitar 2.57 juta rumah tangga yang mengusahakan ternak sapi potong dengan jumlah peternak sekitar 2.76 juta orang (BPS 2005b). Usaha peternakan sapi potong di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh rumah tangga. Hasil Pendataan Sapi Poptong, Sapi Perah, dan Kerbau 2011 (PSPK 2011) menunjukkan bahwa 98.03 persen ternak sapi diusahakan oleh rumah tangga
6 (BPS – Ditjen PKH 2011b). Selain itu, usaha sapi potong juga mempunyai komponen input lokal yang relatif tinggi. Hal ini terbukti pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 hingga 1998, industri sapi potong di Indonesia relatif bisa bertahan dibandingkan dengan komoditas ternak unggas yang komponen impornya relatif tinggi. Saat ini PSDSK 2014 merupakan salah satu program dari 21 program utama Kementerian Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumber daya domestik khususnya ternak sapi potong. Swasembada daging sapi merupakan program pemerintah dalam upaya untuk menyediakan minimum 90 persen dari total kebutuhan daging sapi lokal di dalam negeri, sedangkan 10 persen sisanya dipenuhi dari impor baik berupa sapi bakalan maupun daging sapi. Swasembada daging sapi diharapkan dapat mengurangi tingkat ketergantungan terhadap impor baik sapi bakalan maupun daging sapi dengan mengembangkan potensi dalam negeri (Kementerian Pertanian 2010a). Salah satu tujuan penting PSDSK 2014 adalah perkembangan populasi dan perbaikan produktivitas sapi potong, serta peningkatan produksi daging sapi yang terjamin Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH) secara berkesinambungan. Orientasi swasembada daging sapi tidak semata-mata diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan konsumen dengan pengendalian impor (sapi dan daging) tetapi lebih diarahkan dalam konteks peningkatan produksi, kesejahteraan peternak, dan kesinambungan usaha peternak sapi serta meningkatkan daya saing produksi, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dampaknya akan mengurangi ketergantungan dari impor daging dan sapi bakalan. Dengan program ini diharapkan terjadi peningkatan produksi daging sapi dalam negeri untuk menggantikan daging sapi impor, sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap produk impor. Swasembada daging secara langsung akan menghemat devisa, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya akan memberi dampak peningkatan kesejahteraan peternak dan merangsang kegiatan ekonomi di perdesaan (Ditjen Peternakan 2011). Dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana dampak kebijakan swasembada daging sapi tahun 2014 yang telah dicanangkan sejak akhir tahun 2009 terhadap kinerja subsektor peternakan serta kesejahteraan produsen dan konsumen daging sapi di Indonesia serta penghematan devisa.
Perumusan Masalah Peternakan merupakan salah satu subsektor yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Meskipun kontribusinya masih relatif kecil terhadap pembentukan PDB sektor pertanian, yaitu hanya sebesar 11.85 persen dan 1.74 persen terhadap total PDB 2011, namun subsektor peternakan berpotensi menjadi sumber pertumbuhan baru bagi sektor pertanian di masa mendatang. Setelah krisis ekonomi yang sempat menghancurkan usaha peternakan di Indonesia, subsektor ini mampu bangkit dan tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian secara keseluruhan. Berdasarkan data dari BPS, selama periode 2000–2011 subsektor peternakan tumbuh rata-rata 4.29 persen per
7 tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan sektor pertanian (3.45 persen per tahun). Subsektor peternakan juga menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 1993, jumlah rumah tangga yang terlibat langsung dalam usaha peternakan mencapai 5.47 juta. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan menjadi 5.63 juta pada tahun 2003 dan jumlah rumah tangga usaha ternak sapi potong mencapai 2.57 juta dengan jumlah peternak sebesar 2.76 juta (BPS 2005b). Selain kontribusinya dalam penciptaan PDB dan penyerapan tenaga kerja, sub sektor peternakan juga berperan dalam penyediaan pangan bagi masyarakat, terutama protein hewani. Ketersediaan pangan merupakan masalah yang krusial bagi pemerintah dan masyarakat. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, maka permintaan pangan juga semakin meningkat. Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 mencapai 205.13 juta jiwa dan jumlah tersebut terus bertambah hingga mencapai 237.56 juta jiwa pada tahun 2010. Dengan demikian, laju pertumbuhan Indonesia mencapai 1.49 persen per tahun (BPS 2009b, 2010a). Jumlah penduduk Indonesia yang besar dan terus bertambah mengakibatkan pemenuhan kebutuhan pangan merupakan tantangan besar yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia. Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah laju permintaan terhadap pangan lebih cepat daripada penyediaannya. Permintaan yang meningkat cepat merupakan resultan dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi yang mencerminkan peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu, pertumbuhan produksi peternakan nasional relatif lambat. Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan kapasitas produksi nasional tersebut mengakibatkan penyediaan pangan nasional yang berasal dari impor cenderung meningkat. Ketergantungan terhadap pangan impor ini diterjemahkan sebagai ketidakmandirian dalam penyediaan pangan nasional (Saliem et al. 2003). Dalam beberapa dasawarsa terakhir permintaan produk petemakan cenderung terus meningkat, seiring dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging sapi secara nasional cenderung meningkat. Selama periode 1999–2010 konsumsi daging sapi mengalami peningkatan rata-rata 4.49 persen per tahun. Sementara itu produksi daging sapi domestik hanya tumbuh rata-rata 2.58 persen per tahun. Kondisi tersebut mengakibatkan impor daging sapi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dengan laju pertumbuhan rata-rata 21.58 persen per tahun. Gambar 2 menyajikan perkembangan konsumsi daging sapi nasional dan persentase penyediaan yang dibedakan menurut asal produksi daging, yaitu produksi domestik dan impor. Dari gambar tersebut terlihat bahwa konsumsi daging sapi secara nasional berfluktuasi, namun menunjukkan trend kenaikan. Apabila dilihat berdasarkan asal produknya, proporsi konsumsi daging sapi yang berasal dari impor cenderung meningkat. Pada tahun 1999 konsumsi daging sapi impor volumenya kurang dari 5 persen, dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 21.67 persen. Dalam hal ini, produksi daging sapi domestik yang tercatat juga mencakup hasil pemotongan ternak yang berasal dari penggemukan sapi bakalan impor. Menurut hasil perhitungan dari Ditjen Peternakan, proporsi impor daging
8 sapi dan sapi bakalan dalam konsumsi daging sapi nasional mencapai lebih dari 30 persen dari kebutuhan daging sapi nasional (Ditjen Peternakan 2011). 100
418
90 Persentase penyediaan
390 375
70 60
287
287
290
294
289 258
330 310
299
20 0
340 321
40
10
350
347
50
370
Total konsumsi (000 ton)
410
80
30
430
270
259
250
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
produksi domestik
impor
konsumsi
Sumber : Ditjen Peternakan; BPS (diolah). Gambar 2 Perkembangan konsumsi daging sapi di Indonesia dan proporsi penyediaan menurut asal produk, 1999–2010
Secara agregat, Indonesia merupakan negara importir produk peternakan termasuk produk daging sapi dan cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa produksi daging dalam negeri tidak bisa memenuhi permintaan yang ada. Hadi et al. (1999) memperkirakan bahwa jika tidak ada perubahan teknologi secara signifikan dalam proses produksi daging sapi dalam negeri serta tidak adanya peningkatan populasi sapi yang berarti, maka kesenjangan antara produksi daging sapi dalam negeri dengan jumlah permintaan akan semakin melebar, sehingga berdampak pada volume impor yang semakin besar. Hal ini tentu saja akan mengancam ketahanan pangan dari sisi kemandirian pangan. Kemandirian pangan dapat diartikan bahwa kebutuhan pangan nasional minimum 90 persen dari dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri (Suryana 2004). Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, kemandirian pangan menjadi lebih penting lagi. Menurut Yusdja dan Ilham (2006), industri peternakan yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku dan teknologi impor mempunyai resiko yang tinggi. Seperti yang terjadi pada masa krisis moneter tahun 1997/1998, industri sapi potong domestik terutama industri peternakan yang dikelola oleh perusahaan (feedloter) mengalami guncangan yang hebat. Hal ini disebabkan melambungnya biaya operasional karena sebagian besar bahan baku pakan berasal dari impor. Selain itu juga disebabkan oleh sulitnya mendapatkan sapi bakalan dari luar negeri untuk usaha penggemukan karena harga yang relatif mahal akibat melemahnya nilai rupiah. Sebagai negara kecil, Indonesia adalah price taker terkait dengan impor produk sapi potong. Dalam hal ini stabilitas nilai tukar rupiah akan berpengaruh terhadap harga daging sapi impor dan pengembangan industri peternakan sapi nasional.
9 Selain nilai tukar, tarif impor yang ditetapkan oleh pemerintah juga akan berpengaruh terhadap impor ternak dan daging sapi. Besaran tarif impor mempengaruhi harga komoditas di pasar domestik yang akan berpengaruh terhadap produksi dan jumlah impor. Dalam era perdagangan bebas, hambatan perdagangan antar negara berupa tarif secara bertahap akan dihapuskan. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi perkembangan harga produk impor di pasar domestik dan produksi daging sapi nasional serta keberhasilan program swasembada daging sapi yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Hasil penelitian Tseuoa (2011) tentang Dampak ASEAN, Australia and New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) terhadap Industri Daging Sapi di Indonesia menunjukkan bahwa penghapusan tarif impor daging sapi dari Australia dan Selandia Baru akan menurunkan harga daging sapi dalam negeri sehingga permintaan daging sapi dalam negeri meningkat. Namun demikian, produksi daging sapi dalam negeri menurun, sehingga kenaikan penawaran daging sapi dalam negeri disebabkan oleh kenaikan impor daging sapi. Ketergatungan pada sapi bakalan impor dan daging sapi impor untuk memenuhi konsumsi domestik dapat melemahkan upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam negeri. Jika karena sesuatu hal terjadi hambatan impor seperti depresiasi rupiah yang cukup tajam, kenaikan tarif impor, dan gangguan hubungan bilateral, maka untuk memenuhi konsumsi masyarakat terpaksa memotong sapi domestik yang kondisi perkembangannya relatif lambat. Akibatnya akan menguras sumber daya yang dapat mengarah pada kepunahan (Ilham 2006). Pertumbuhan produksi daging sapi nasional relatif lambat sebagai akibat rendahnya produktivitas ternak sapi potong dalam negeri. Menurut Subagyo (2009), hal ini antara lain disebabkan oleh terbatasnya pejantan unggul, ketersediaan dan kualitas pakan yang rendah terutama pada musim kemarau, efisiensi reproduksi ternak yang rendah dengan jarak beranak (calving interval) yang panjang, serta adanya wabah penyakit. Rendahnya pertumbuhan produksi ternak sapi nasional berpengaruh terhadap penyediaan sapi bakalan dan produksi daging sapi domestik. Produksi ternak sapi sangat ditentukan oleh ketersediaan sapi betina produktif sebagai faktor produksi utama. Tingginya tingkat pemotongan sapi betina produktif akan menghambat laju pertumbuhan produksi ternak sapi nasional. Menurut Ilham (2006), sekitar 28 persen sapi yang dipotong setiap hari merupakan betina produktif. Ada beberapa faktor yang mendorong pemotongan sapi betina produktif, antara lain: (1) peternak memerlukan dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, (2) harga sapi betina lebih murah daripada sapi jantan, sedangkan harga jual dagingnya sama, (3) adanya pemotongan di luar RPH pemerintah, dan (4) RPH hanya berorientasi pada keuntungan sehingga tidak berkepentingan melarang pemotongan sapi betina produktif. Upaya peningkatan penyediaan sapi induk dapat dilakukan melalui pengendalian pemotongan betina produktif dan impor bibit. Rendahnya pertumbuhan produksi ternak sapi nasional mendorong peningkatan impor sapi bakalan dan daging sapi untuk memenuhi permintaan daging sapi yang semakin meningkat. Impor dilakukan karena produksi daging sapi nasional tidak mampu memenuhi konsumsi masyarakat. Kondisi tersebut
10 menyebabkan terjadinya kompetisi antara produk sapi domestik dengan produk sapi impor. Kebijakan PSDSK 2014 merupakan upaya pemerintah untuk mendorong produksi daging sapi nasional. Program PSDSK 2014 dirinci menjadi lima kegiatan pokok, yaitu (1) penyediaan bakalan/daging sapi lokal, (2) peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal, (3) pencegahan pemotongan sapi betina produktif, (4) penyediaan bibit sapi lokal, dan (5) pengaturan stok daging sapi dalam negeri (Ditjen Peternakan 2011). Dalam penelitian ini, akan dikaji aspek perbaikan teknologi budidaya sapi potong melalui Inseminasi Buatan (IB) untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi, pengendalian impor untuk mengatur stok sapi bakalan dan daging sapi dalam negeri, dan penyediaan bibit sapi melalui subsidi bunga bagi peternak dan impor sapi bibit. Kegiatan tersebut diharapkan dapat mendorong pertumbuhan produksi daging sapi nasional. Upaya peningkatan produksi daging sapi domestik melalui program PSDSK 2014 akan mempengaruhi perekonomian nasional khususnya subsektor peternakan. Ada beberapa variabel makroekonomi yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja perekonomian suatu wilayah antara lain pendapatan nasional atau GDP/PDB dan kesempatan kerja (Mankiw 2007). Peningkatan produksi daging sapi akibat adopsi teknologi baru dapat mempengaruhi sektor ekonomi yang lain melalui perubahan harga relatif. Secara sederhana fenomena tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Prasada 2007): 1. Ekspansi output akan mendorong peningkatan penawaran sehingga harga output turun secara relatif dibandingkan dengan harga komoditas yang lain. 2. Pengaruh kenaikan pendapatan sebagai akibat dari perubahan harga relatif input dan penerimaan akan menciptakan permintaan yang lebih besar terhadap komoditas yang lain. Hal ini akan menurunkan harga relatif output terhadap komoditas lainnya. Perubahan output tersebut akan membawa dampak terhadap kesempatan kerja bagi masyarakat. Peningkatan kesempatan kerja akan berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan PDB. Meningkatnya pendapatan masyarakat akan meningkatkan daya beli masyarakat dan mempengaruhi akses masyarakat terhadap pangan. Daya beli yang tinggi memungkinkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dalam mengkonsumsi barang dan jasa serta memperluas permintaan masyarakat, tidak hanya pada kebutuhan primer namun juga terhadap kebutuhan sekunder. Hal ini akan mendorong pertumbuhan industri sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan manfaat ekonomi ke berbagai lapisan masyarakat (Siregar 2009). Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa secara agregat Indonesia merupakan negara net importir produk peternakan termasuk daging sapi karena produksi daging sapi nasional tidak mampu mencukupi permintaan. Impor sapi bakalan dan daging sapi cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Untuk meningkatkan produksi daging sapi nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap daging sapi impor, pemerintah mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun 2014 (PSDSK 2014) yang merupakan kelanjutan dari Program Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010. Program swasembada daging sapi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan daya beli masyarakat serta menghemat devisa.
11 Secara umum permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap kinerja ekonomi subsektor peternakan dan kesejahteraan produsen serta konsumen daging sapi di Indonesia. Secara spesifik permasalahan tersebut dapat dirinci sebagai berikut: 1. Bagaimana dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap produksi daging sapi nasional dan kinerja subsektor peternakan di Indonesia? 2. Bagaimana dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap perubahan kesejahteraan produsen dan konsumen daging sapi serta penghematan devisa di Indonesia? 3. Bagaimana prospek swasembada daging sapi di Indonesia?
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah tentang swasembada daging sapi terhadap perekonomian di Indonesia secara keseluruhan serta kesejahteraan masyarakat. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengkaji dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap produksi daging sapi nasional dan kinerja subsektor peternakan di Indonesia. 2. Mengevaluasi dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap tingkat kesejahteraan produsen dan konsumen daging sapi serta penghematan devisa di Indonesia. 3. Meramalkan produksi dan permintaan daging sapi dalam kerangka pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan penyusunan rencana pembangunan peternakan khususnya peternakan sapi potong pada masa yang akan datang.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Program PSDSK 2014 meliputi daging sapi dan daging kerbau, namun kajian dalam penelitian ini hanya mencakup daging sapi. Hal ini dengan pertimbangan bahwa konsumsi daging kerbau di Indonesia sangat rendah. Hasil Susenas Panel 2009 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi per kapita daging kerbau di Indonesia kurang dari 0.001 kg/minggu (BPS 2009a). Penelitian ini mencakup data Indonesia yang bersifat agregat nasional. Selain itu, pasar produk sapi potong dan tidak dirinci menurut jenis/bangsa sapi potong dan wilayah/region. Industri sapi potong juga tidak dipisahkan antara usaha peternakan rakyat dan usaha peternakan skala besar (perusahaan peternakan) dengan pertimbangan bahwa sebagian besar ternak sapi potong di Indonesia diusahakan oleh rumah tangga serta keterbatasan data yang tersedia. Dengan demikian, model produksi ternak sapi potong yang dibangun mengacu pada perilaku usaha peternakan rakyat. Permintaan daging sapi tidak dirinci menjadi permintaan untuk rumah tangga, hotel, restoran, dan supermarket.
12 Berkaitan dengan judul ada beberapa hal penting yang menjadi cakupan penelitian yaitu kebijakan swasembada daging sapi, pasar daging sapi, kinerja subsektor peternakan, kesejahteraan masyarakat, serta proyeksi penawaran dan permintaan daging sapi untuk memperkirakan pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia. Kebijakan swasembada daging sapi dikaji dari aspek perkembangan teknologi untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi potong, penyediaan sapi bibit melalui subsidi suku bunga pinjaman, serta pengaturan stok daging sapi di dalam negeri melalui pengendalian impor bakalan dan daging sapi. Karena keterbatasan data yang tersedia, aspek penyediaan bakalan lokal dan penyelamatan sapi betina produktif tidak dimasukkan dalam model. Meskipun secara eksplisit tidak dicantumkan dalam program PSDSK 2014, akan dikaji pula dampak peningkatan impor sapi bibit terhadap kinerja industri sapi potong dan subsektor peternakan di Indonesia. Program swasembada diartikan sebagai peningkatan produksi domestik agar dapat memenuhi permintaan domestik. Dalam program PSDSK 2014, upaya peningkatan produksi daging sapi domestik antara lain melalui peningkatan produktivitas ternak sapi lokal. Secara operasional kegiatan tersebut diimplemetasikan melalui optimalisasi program Inseminasi Buatan (IB) dan Intesifikasi Kawin Alam (InKA); penyediaan dan pengembangan pakan dan air; serta penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan. Kajian tentang aspek perkembangan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dengan menggunakan proksi jumlah penggunaan dosis IB. Dengan adanya perbaikan teknologi diharapkan akan meningkatkan tingkat produktivitas industri ternak sapi potong. Sapi bibit merupakan faktor produksi yang menentukan perkembangan populasi ternak sapi dan penyediaan daging sapi nasional. Program bantuan permodalan dengan bunga rendah (karena disubsidi pemerintah) bagi pelaku usaha pembibitan sapi potong diharapkan dapat membantu peternak untuk meningkatkan skala usaha sehingga dapat meningkatkan populasi dan penyediaan bibit secara berkelanjutan. Subsidi suku bunga bank dari pemerintah diimplementasikan melalui program Kredit Usaha Pembibitan Sapi Potong (KUPS) yang bekerja sama dengan beberapa lembaga perbankan nasional. Pengaturan stok sapi bakalan dan daging sapi dalam negeri bertujuan untuk mendorong pengembangan usaha sapi potong berbasis sumber daya lokal untuk mewujudkan swasembada daging sapi secara berkelanjutan. Secara oprasional kegiatan ini dilakukan melalui pengendalian impor sapi bakalan dan daging sapi dengan menerapkan regulasi impor secara konsisten (Ditjen Peternakan 2011). Pasar daging sapi yang dibangun dalam model meliputi produksi ternak sapi potong, penawaran, permintaan, dan harga daging sapi. Penawaran daging sapi dibedakan menjadi penawaran daging sapi yang berasal dari produksi domestik dan impor daging sapi. Produksi daging sapi domestik dibedakan menjadi produksi daging sapi hasil pemotongan sapi bakalan lokal dan tambahan produksi daging sapi hasil penggemukan/penambahan bobot ternak sapi bakalan impor. Terkait dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan swasembada daging sapi, yang berarti produksi daging sapi dalam negeri mampu memenuhi minimum 90 persen dari kebutuhan nasional, maka daging sapi yang berasal dari sapi bakalan impor diperhitungkan sebagai supply daging sapi yang berasal dari impor.
13 Namun, tambahan berat badan ternak setelah dilakukan pemeliharaan di dalam negeri dihitung sebagai produksi dalam negeri. Peningkatan produksi ternak sapi mempengaruhi kinerja perekonomian khususnya subsektor peternakan. Variabel yang digunakan untuk menggambarkan kinerja perekonomian adalah pertumbuhan GDP subsektor peternakan dan penyerapan tenaga kerja. GDP subsektor peternakan diuraikan menjadi GDP sapi potong dan GDP non-sapi potong. Perubahan produksi daging sapi akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, baik peternak sapi potong sebagai produsen maupun masyarakat di luar peternak sebagai konsumen daging sapi. Dampak kesejahteraan dihitung dengan menggunakan indikator perubahan surplus produsen dan surplus konsumen. Selain itu, peningkatan produksi daging sapi domestik akan berpengaruh terhadap jumlah impor daging sapi dan sapi bakalan sehingga akan mempengaruhi pengeluaran devisa.
Kebaruan dan Posisi Penelitian Beberapa penelitian tentang penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia telah dilakukan antara lain oleh Ilham (1998), Kariyasa (2004), dan Tseuoa (2011). Ilham (1998) membedakan penawaran daging sapi yang berasal dari peternakan rakyat dan industri peternakan. Sementara Kariyasa (2004) dan Tseuoa (2011) tidak melakukan hal tersebut. Tseuoa (2011) memisahkan daging sapi hasil pemotongan sapi bakalan impor dengan produksi daging sapi lokal. Semua produksi daging sapi yang berasal dari pemotongan sapi bakalan impor setelah dilakukan penggemukan di dalam negeri dikategorikan sebagai daging sapi impor. Dalam penelitian tersebut belum dilakukan kajian tentang perilaku produksi ternak dan populasi ternak sapi potong. Penelitian tentang perilaku produksi dan populasi ternak dilakukan oleh Sukanata (2008) untuk wilayah Bali. Dalam penelitian ini akan dikaji tentang perilaku produksi ternak dan populasi ternak sapi potong di Indonesia, karena beberapa implementasi kebijakan swasembada daging sapi diarahkan pada usaha budidaya ternak. Selain itu, produksi daging sapi hasil pemotongan sapi bakalan impor akan dirinci menjadi daging sapi hasil konversi dari berat impor sapi bakalan dan tambahan bobot ternak selama proses penggemukan di dalam negeri. Produksi daging dari tambahan bobot ternak tersebut dikategorikan sebagai produksi domestik karena merupakan nilai tambah dari proses produksi di dalam negeri. Selain itu, juga dilakukan kajian tentang perilaku PDB sapi potong dan permintaan tenaga kerja pada subsektor peternakan di Indonesia. Penelitian tentang daging sapi yang telah dilakukan selama ini lebih difokuskan pada analisis faktor-faktor yang mempengaruhi serta dampak suatu kebijakan terhadap penawaran dan permintaan daging sapi. Sementara itu, kajian tentang dampak swasembada daging sapi terhadap kierja perekonomian Indonesia khususnya subsektor peternakan sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana dampak kebijakan swasembada daging sapi tahun 2014 yang telah dicanangkan sejak akhir tahun 2009 terhadap kinerja subsektor peternakan dan kesejahteraan produsen serta konsumen daging sapi di Indonesia Indonesia.
14 Dalam penelitian ini akan dikaji pengaruh berbagai kebijakan dalam program PSDSK 2014 terhadap produksi ternak sapi potong, produksi daging sapi, dan permintaan daging sapi di Indonesia. Penyediaan daging sapi untuk memenuhi konsumsi domestik berasal dari produksi domestik dan impor. Impor terkait dengan produk sapi potong dibedakan menjadi impor sapi bibit sebagai induk untuk menghasilkan sapi bakalan, impor sapi bakalan yang akan dipotong untuk menghasilkan daging sapi setelah dilakukan penggemukan di dalam negeri, serta impor berupa daging sapi. Produksi daging sapi yang berasal dari pemotongan sapi bakalan impor dibedakan menjadi daging sapi impor yaitu hasil konversi dari berat hidup ternak sapi bakalan impor menjadi daging sapi dan tambahan berat selama proses penggemukan di Indonesia yang dikategorikan sebagai produksi daging sapi domestik. Dampak terhadap terhadap kinerja subsektor peternakan di Indonesia ditinjau dari sisi pertumbuhan GDP dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu juga akan dievaluasi dampak swasembada daging sapi terhadap kesejahteraan dan perubahan cadangan devisa.
2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini akan dibahas mengenai konsep, teori, dan studi empiris mengenai strategi substitusi impor, kebijakan swasembada, penawaran dan permintaan daging nasional, kinerja perekonomian, dan kesejahteraan. Pada bagian akhir akan disajikan kerangka konseptual yang merupakan dasar pemikiran dari penelitian ini. Strategi Substitusi Impor Strategi substitusi impor (import substitution) adalah serangkaian usaha untuk mencoba mengganti komoditas-komoditas yang semula selalu diimpor, ke sumber-sumber produksi dan penawaran dari dalam negeri. Strategi ini juga dikenal dengan kebijakan inward-looking yang menekankan pengembangan industri yang berorientasi pada pasar domestik untuk membuat barang-barang yang menggantikan produk impor. Pemilihan strategi ini dilandasi pada pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan mengembangkan industri di dalam negeri yang memproduksi barang-barang pengganti produk impor (Todaro and Smith 2009; Tambunan 2001). Menurut Hess and Ross (1997) dan Tambunan (2001) ada beberapa motif yang mendorong suatu negara menerapkan strategi substitusi impor, antara lain: 1. Sumber daya alam (seperti bahan baku) dan faktor produksi (terutama tenaga kerja) cukup tersedia di dalam negeri, sehingga secara teoritis biaya produksi untuk memanfaatkan sumber-sumber ekonomi tersebut menjadi relatif rendah. Teori klasik dari Adam Smith menyatakan bahwa suatu negara sebaiknya berspesialisasi untuk memproduksi barang-barang yang bahan baku utamanya berlimpah di negara tersebut, yang berarti negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif atas barang-barang tersebut. 2. Potensi permintaan di dalam negeri yang cukup tinggi. 3. Dapat mengurangi ketergantungan terhadap produk impor, yang berarti juga mengurangi defisit neraca perdagangan dan menghemat devisa sehingga meningkatkan kemampuan suatu negara untuk mengimpor barang modal. 4. Bagi negara-negara dengan tingkat pengangguran tinggi, strategi substitusi impor merupakan alat untuk menciptakan lapangan kerja. 5. Dengan proteksi dari pemerintah yang bersifat sementara, diharapkan produsen domestik akan mampu meningkatkan daya saingnya dan akhirnya bisa menjadi eksportir. Konsep dasar dari strategi substitusi impor meliputi: Pertama, identifikasi pasar domestik yang besar, yang mengindikasikan adanya peningkatan impor dari tahun ke tahun. Kedua, teknologi produksi dapat diterapkan oleh produsen lokal atau para investor luar negeri bersedia mensuplai teknologi, manajemen dan kapital. Ketiga, menerapkan hambatan-hambatan tarif, seperti tarif atau kuota impor, untuk mengatasi biaya awal yang tinggi dari produksi lokal dan membuatnya menguntungkan bagi investor-investor lokal dalam mencapai target industri (Gillis et al. 1992). Strategi ini berorientasi pada penciptaan output untuk memenuhi pasar di dalam negeri, karena pasar luar negeri sudah dikuasai oleh negara-negara maju
16 (Sahrial 2005). Pelaksanaan strategi substitusi impor didasarkan pada pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan pengembangan industri di dalam negeri yang memproduksi barang-barang pengganti (substitusi) impor (Arief 1990). Penerapan strategi substitusi impor didasarkan pada alasan bahwa secara historis perdagangan berlangsung sebagai mekanisme ketimpangan internasional yang merugikan negara berkembang dan menguntungkan negara maju. Ketimpangan tersebut muncul karena semakin lebarnya nilai tukar perdagangan (Term of Trade=TOT) antara komoditas pertanian dari negara-negara berkembang dan komoditas industri dari negara-negara maju. Hal tersebut diatasi dengan mengembangkan produk substitusi impor yang diproteksi melalui fasilitas bea masuk terhadap bahan-bahan mentah dan barang-barang modal. Sebagai alasan utama penerapan strategi substitusi impor adalah untuk mencukupi kebutuhan domestik dalam jangka panjang dan menghemat devisa melalui penggantian barang-barang impor dengan produksi dalam negeri (Susilowati 2007). Pembangunan industri substitusi impor melandaskan pada argumen industri muda (infant–industry argument) di mana industri semacam ini dilakukan hanya untuk kasus negara-negara yang baru berkembang dalam upaya mengatasi keterbatasan mereka sampai dapat tumbuh bersaing secara efektif di pasar internasional (Chacholiades 1990). Secara grafis, infant-industry argument dapat dijelaskan seperti yang disajikan pada Gambar 3. Kondisi awal Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) dinyatakan sebagai kurva U1V dengan TOT dunia konstan pada L1P1, produksi berada di P1 dan konsumsi di C1. Dengan adanya proteksi dan subsidi terhadap produk substitusi impor, maka KKP akan bergeser ke kanan ke kurva U2V, akibatnya produksi meningkat ke P2 dan konsumsi ke C2 yang menunjukkan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Produk substitusi impor L2 U2 P2 L1
C2
C1 U1 P1
O
V
Produk lokal
Sumber : Chacholiades 1990 Gambar 3 Argumen industri muda Untuk mendukung keberhasilan strategi tersebut, pemerintah memberikan proteksi dengan pemberlakuan hambatan tarif (tariff barriers) atau kuota terhadap impor produk-produk tertentu. Selain itu, mereka juga diberi insentif berupa keringanan pajak, serta berbagai macam fasilitas dan rangsangan investasi
17 lainnya. Jika semua berjalan lancar, maka konsumsi barang impor semakin berkurang dan kondisi keuangan negara akan membaik. Pada akhirnya, komoditas tersebut akan mampu bersaing di pasar internasional sehingga proteksinya akan dikurangi sedikit demi sedikit. Begitu komoditas tersebut mampu menurunkan biaya rata-ratanya sehingga harganya menjadi cukup kompetitif di pasar internasional, maka industri tersebut akan mampu menghasilkan devisa (Todaro and Smith 2009).
Kebijakan Swasembada Daging Sapi Swasembada daging sapi merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri secara mandiri. Jika dari arti kata swasembada berarti 100 persen kebutuhan daging berasal dari produksi dalam negeri. Berdasarkan kenyataan bahwa selama ini neraca perdagangan daging sapi Indonesia selalu mengalami defisit, berarti produksi daging sapi belum bisa memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri. Oleh karena itu untuk mencapai swasembada, produksi daging sapi dalam negeri harus ditingkatkan sehingga mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dalam rangka peningkatan produksi daging sapi nasional, pemerintah menggulirkan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun 2014 (PSDSK 2014). Program ini merupakan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumber daya domestik khususnya ternak sapi potong. Program ini merupakan revisi dari program sebelumnya yaitu Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi 2010 yang dianggap gagal. Ada beberapa hal yang menyebabkan kegagalan tersebut antara lain sebagai berikut (Ananto 2013): 1. Belum memperoleh dukungan dana yang memadai; 2. Tantangan dan permasalahan: aspek teknis, ekonomi, sosial maupun kebijakan-kebijakan pendukungnya; 3. Lemahnya koordinasi antar instansi, antar sektor, serta antar pengemban kepentingan. Menurut Kementerian Pertanian (2010b), dengan swasembada daging sapi diharapkan akan diperoleh keuntungan antara lain: (1) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan peternak; (2) penyerapan tambahan tenaga kerja baru; (3) penghematan devisa negara; (4) optimalisasi pemanfaatan potensi ternak sapi lokal; dan (5) semakin meningkatnya peyediaan daging sapi yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) bagi masyarakat sehingga ketentraman lebih terjamin. Sasaran PSDSK 2014 adalah sebagai berikut: 1. Meningkatnya populasi sapi potong menjadi 14.2 juta ekor tahun 2014 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 12.48 persen. 2. Meningkatnya produksi daging dalam negeri sebesar 420.3 ribu ton pada tahun 2014 atau meningkat 10.4 persen setiap tahunnya. 3. Tercapainya penurunan impor sapi dan daging sehingga hanya mencapai 10 persen dari kebutuhan konsumsi masyarakat. 4. Bertambahnya penyerapan tenaga kerja sebagai dampak dari pertambahan populasi dan produksi ternak sebesar 76 ribu orang/tahun.
18 5. Meningkatnya pendapatan peternak sapi potong minimal setara dengan UMR masing-masing propinsi. Ditjen Peternakan (2011) menyatakan bahwa untuk mencapai sasaran tersebut, secara teknis dilakukan strategi sebagai berikut: a. Menekan kematian pedet dari 20–40 persen menjadi 5–10 persen, dan kematian induk dari 10–20 persen menjadi 2–5 persen, khususnya di beberapa wilayah sumber bibit sebagai akbibat kekurangan pakan dan air pada saat musim kering. b. Mencegah pemotongan sapi betina produktif yang secara nasional masih sangat besar, yang diperkirakan mencapai sekitar 150–200 ribu ekor/tahun terutama di NTT, NTB, Bali, dan Jawa. c. Melakukan tunda potong sapi lokal atau sapi hasil IB sehingga mencapai bobot potong maksimal sesuai potensi genetik dan potensi ekonominya, yang diperkirakan dapat meningkatkan produksi daging sekitar 20–30 persen. d. Meningkatkan produktivitas sapi lokal dan sapi hasil IB sehingga meningkatkan jumlah sapi betina produktif, menekan nilai atau angka service per conception (S/C), memperpendek calving interval, mempercepat umur beranak pertama, dan memperpanjang masa produktif (longivity), yang secara keseluruhan dapat meningkatkan calf crop sekitar 30–40 persen. e. Meningkatkan mutu genetik sehingga Average Daily Gain (ADG) menjadi lebih besar, mempercepat waktu penggemukan, memperbaiki efisiensi penggunaan pakan, serta meningkatkan persentase karkas dan kualitas daging. Program PSDSK 2014 mencakup 5 kegiatan pokok dan dirinci dalam kegiatan operasional sebagai berikut: a. Penyediaan bakalan/daging sapi lokal 1. Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal 2. Pengembangan pupuk organik dan biogas 3. Pengembangan integrasi ternak sapi dan tanaman 4. Pemberdayaan dan peningkatan kualitas Rumah Potong Hewan (RPH) b. Peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal 5. Optimalisasi Inseminasi Buatan (IB) dan Intensifikasi Kawin Alam (InKA) 6. Penyediaan dan pengembangan pakan dan air 7. Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan c. Pencegahan pemotongan sapi betina produktif 8. Penyelamatan sapi betina produktif d. Penyediaan bibit sapi lokal 9. Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha pembibitan 10. Pengembangan usaha pembibitan sapi potong melalui Village Breeding Centre (VBC) 11. Penyediaan sapi bibit melalui subsidi bunga (program Kredit Usaha Pembibitan Sapi/KUPS) e. Pengaturan stock daging sapi dalam negeri. 12. Pengaturan stock sapi bakalan dan daging sapi 13. Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging Secara diagramatik, 13 kegiatan operasional yang diimplementasikan untuk menerapkan lima kegiatan pokok disajikan pada Gambar 4.
Kegiatan operasional
Kegiatan pokok
KEGIATAN POKOK DAN OPERASIONAL DALAM PROGRAM PSDSK 2014
Penyediaan bakalan/daging sapi lokal
Peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal
1. Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal 2. Pengembangan pupuk organik dan biogas 3. Pengembangan integrasi ternak sapi dan tanaman 4. Pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH
5. Optimalisasi IB dan INKA 6. Penyediaan dan pengembangan pakan dan air 7. Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan
Pencegahan pemotongan sapi betina produktif
8. Penyelamatan sapi betina produktif
Sumber : Ditjen Peternakan (2011). Gambar 4 Kegiatan pokok dan kegiatan operasional dalam program PSDSK 2014
Penyediaan bibit sapi
Pengaturan stock daging sapi di dalam negeri
9. Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha pembibitan 10. Pengembangan pembibitan sapi potong melalui VBC 11. Penyediaan bibit melalui subsidi bunga (KUPS)
12. Pengaturan stock sapi bakalan dan daging sapi 13. Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging
20 Tantangan yang dihadapi dalam usaha pengembangan industri sapi potong adalah adanya perdagangan bebas. Semua hambatan perdagangan antar negara baik bersifat non tarrif barier maupun tariff barier secara bertahap diturunkan. Non-tarif barrier yang masih diperbolehkan adalah Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT), serta hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kebudayaan. Indonesia sebagai negara yang bebas penyakit Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Bovine Spongioform Encephalopathy (BSE) ternyata belum mampu memanfaatkan kondisi ini untuk menjadi negara eksportir daging, bahkan justru sebaliknya masih menjadi negara importir daging dan sapi bakalan dalam jumlah yang sangat besar. Terkait dengan impor produk ternak sapi, pemerintah menetapkan kebijakan fiskal berupa tarif bea masuk sebesar 5 persen untuk impor daging sapi dan jeroan. Untuk impor sapi hidup yang berupa sapi bibit dan feeder cattle dikenakan tarif 0 persen. Impor sapi bibit diperlukan untuk usaha pembibitan atau usaha perkembangbiakkan menghasilkan sapi bakalan, sehingga dikenakan tarif 0 persen. Impor feeder cattle sejauh dapat dijadikan sapi bakalan juga dikenakan tarif biaya masuk 0 persen, dengan syarat berat badan maksimal 350 kg. Kegiatan penggemukan akan memberi nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja (Ditjen Peternakan 2011). Tabel 4 Persentase target produksi daging sapi domestik dan impor berdasarkan skenario pesimistic, most likely dan optimistic Tahun Produksi domestik (%) Impor (%) pesimistic most likely optimistic pesimistic most likely optimistic 2009 63.50 63.50 63.50 36.50 36.50 36.50 2010 52.10 70.20 78.90 47.90 29.80 21.10 2011 50.80 75.50 85.90 49.20 24.50 14.10 2012 49.60 80.50 92.90 50.40 19.50 7.10 2013 48.60 85.30 100.90 51.40 14.70 -0.90 2014 47.60 90.00 110.00 52.40 10.00 -10.00 Sumber : Ditjen Peternakan (2011).
Tingkat keberhasilan program PSDSK 2014 disusun dalam beberapa skenario yang bersifat pessimistic, most likely, dan optimistic. Pada skenario pesimistic tidak ada upaya khusus yang bersifat terobosan tetapi hanya melaksanakan kegiatan reguler yang biayanya sepenuhnya dari APBN reguler. Untuk skenario most likely dilakukan upaya khusus yang bersifat terobosan dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas ternak, menerbitkan regulasi yang kondusif dan menerapkan sistem perkarantinaan yang kuat. Upaya untuk mencapai swasembada daging adalah dengan melaksanakan semua kegiatan pokok dan kegiatan operasional seperti tercantum pada Gambar 4. Pada skenario optimistic, dilakukan semua kegiatan pokok dan kegiatan operasional seperti pada skenario most likely ditambah program yang mempercepat perkembangan usaha peternakan mulai dari hulu, on farm (budidaya), maupun hilir. Tambahan program diantaranya mencakup penyediaan kredit berbunga murah atau subsidi bunga atau berbagai insentif yang membuat usaha peternakan sapi menjadi semakin kondusif (Ditjen Peternakan 2011). Ketiga skenario tersebut didasarkan pada skenario
21 produksi domestik dan impor, baik sapi bakalan maupun daging. Skenario tersebut secara umum dapat digambarkan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 tersebut nampak bahwa untuk skenario pesimistic tanpa upaya-upaya terobosan (kegiatan reguler) produksi domestik akan mengalami penurunan sampai dengan 47.6 persen pada tahun 2014, dan ketergantungan impor semakin meningkat. Sedangkan untuk skenario most likely 90 persen kebutuhan konsumsi dapat dipenuhi dari produksi domestik dan sisanya 10 persen dipenuhi melalui impor. Untuk skenario optimistic, apabila mampu dalam kurun waktu lima tahun produksi domestik dapat melebihi tingkat konsumsi masyarakat sehingga memiliki peluang untuk ekspor (surplus produksi). Setelah melalui berbagai pertimbangan maka skenario most likely dipilih sebagai target dan sasaran utama PSDSK 2014. Pertimbangan penting dipilihnya skenario most likely adalah ketersediaan sumber daya manusia dan infrastruktur yang masih dapat dikembangkan dengan sumber dana yang memungkinkan. Selain itu, ternak lokal yang ada masih dapat ditingkatkan populasi, produksi, produktivitas dan reproduktivitasnya. Untuk mencapai swasembada daging sapi diperlukan populasi sapi domestik pada tahun 2014 sebesar 14.2 juta ekor, sehingga akan terdapat tambahan impor sapi bakalan sebanyak 85.40 ekor setara dengan daging sebesar 15.4 ribu ton dan daging 31.2 ribu ton (Kementerian Pertanian 2010a). Pilihan skenario ini mensyaratkan adanya peningkatan angka kelahiran ternak, pemendekan calving interval, impor bibit, IB, InKA, peningkatan berat karkas IB dan InKA, peningkatan intensitas penanganan gangguan reproduksi, penyelamatan betina produktif dan penanganan gangguan penyakit hewan, serta penurunan angka kematian ternak. Secara rinci, parameter yang harus dicapai pada skenario yang telah dipilih adalah seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Performa sapi potong pada berbagai skenario program PSDSK 2014 Parameter teknis Kelahiran (%) Kematian (%) Calving Interval (bulan) Impor bibit (ekor) Kelahiran IB ( 000 ekor) Kelahiran INKA (000 ekor) Berat karkas INKA (kg/ekor) Berat karkas IB (kg/ekor) Ganguan reproduksi (000 ekor) Penyelamatan betina produktif (000 ekor) Penanggulangan penyakit (000 ekor)
Kinerja sapi potong berdasar skenario pesimistic most likely optimistic 20.0 23.6 28.5 1.4 1.4 1.4 21.0 17.5 15.0 5 000.0 5 000.0 50 000.0 886.4 1 599.5 1 599.5 1 003.8 1 179.7 1 562.2 114.6 139.1 164.5 222.2 226.0 240.9 100.0 200.0 400.0 0.0 150.0 250.0 1 100.0 1 200.0 1 400.0
Sumber : Ditjen Peternakan (2011); Kementerian Pertanian (2010a).
Potensi Usaha Peternakan dalam Penyediaan Daging Nasional Sektor peternakan mempunyai peranan penting dalam menyediakan pangan (food) bagi masyarakat berupa daging, telur, dan susu yang mengandung protein hewani yang sangat dibutuhkan bagi perkembangan tubuh manusia. Dengan demikian, usaha peternakan dapat dilihat dari dua aspek penting yakni
22 dari aspek perkembangan populasi ternak maupun dari aspek kualitas ternak dalam mendukung produksi daging di Indonesia sesuai kebutuhan konsumen. Menurut Husodo (2000), dalam keluarga pętani sejak dulu ternak memiliki fungsi sosial yang lebih menonjol dibanding fungsi ekonomi. Di perdesaan, pętani yang memiliki ternak lebih banyak cenderung memiliki kedudukan sosial yang lebih baik. Di keluarga pętani, secara ekonomis ternak memiliki berbagai peranan yakni sebagai tabungan/investasi yang sewaktu-waktu mudah dijual, dipekerjakan di sawah atau sebagai penarik pedati, dan penghasil pupuk untuk mendukung pertanian (Soehadji 1992). Oleh karena itu strategi pembangunan peternakan ke depan adalah bagaimana menghasilkan peternakan rakyat yang tangguh. Kebijakan yang tepat di bidang peternakan adalah melalui peningkatan produktivitas dan kualitas daging di dalam negeri dan rangsangan penambahan populasi dengan menciptakan harga daging yang baik. Dalam rangka menunjang ketahanan pangan nasional, yakni untuk meningkatkan ketersediaan pangan sumber protein hewani asal ternak, maka prioritas utama yang dikembangkan adalah usaha budidaya dan industri pendukungnya dengan memanfaatkan sumber daya lokal, sehingga pengembangan industri peternakan secara bertahap akan mengurangi yang sifatnya footloose. Sudardjat (2000), menyatakan bahwa strategi ketahanan pangan di bidang peternakan adalah merupakan bagian dari pencapaian visi pembangunan produksi peternakan kedepan yakni "Mewujudkan Masyarakat Sehat dan Produktif serta Kreatif melalui Pembangunan Peternakan Tangguh Berbasis Sumberdaya Lokal". Oleh karena itu, peningkatan populasi ternak dan kualitas produksi khususnya produksi daging di samping susu dan telur merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang ketahanan pangan khususnya penunjang protein hewani asal ternak. Perkembangan Populasi Ternak Secara nasional, populasi ternak cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun selama periode 1990–2011, kecuali untuk ternak kerbau dan babi (Tabel 6). Laju pertumbuhan populasi ternak bervariasi untuk masing-masing jenis ternak. Populasi ayam ras pedaging (broiler) mengalami perkembangan yang paling pesat dibandingkan dengan jenis ternak yang lain, dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 5.68 persen per tahun. Perkembangan populasi ternak lainnya rata-rata kurang dari 4 persen per tahun, bahkan populasi kerbau mengalami penurunan sebesar 4.37 persen per tahun. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 kemudian diikuti dengan krisis ekonomi berdampak terhadap industri peternakan di Indonesia. Secara umum, populasi ternak cenderung mengalami penurunan setelah terjadi krisis tersebut, walaupun dampaknya bervariasi untuk masingmasing jenis ternak. Hal tersebut terjadi karena banyak usaha peternakan yang mengalami kehancuran karena melonjaknya harga pakan ternak dan bahan baku lainnya yang sebagian besar berasal impor. Dengan demikian banyak industri peternakan yang menutup usahanya karena tidak tertutupnya biaya produksi. Industri peternakan yang paling terpukul akibat krisis tersebut adalah ayam ras pedaging. Pada tahun 1997 populasi ayam ras pedaging mengalami penurunan sekitar 15 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Setelah itu,
23 pada tahun 1998 terjadi pengurangan populasi yang sangat drastis hingga mencapai 45 persen. Hingga tahun 1999 populasinya masih terus berkurang walaupun tidak sedrastis pada tahun sebelumnya. Depresiasi nilai rupiah yang sangat besar mengakibatkan harga pakan dan bibit (DOC) yang sebagian besar berasal dari impor menjadi sangat mahal, sehingga banyak pengusaha yang gulung tikar. Tabel 6 Perkembangan populasi ternak di Indonesia, 1990–2011 (ribu ekor) Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 r (%)
Sapi perah 294 310 312 330 334 341 348 334 322 332 354 347 358 374 364 361 369 374 458 475 488 597 3.43
Sapi Kerbau Kambing Domba potong 10 410 3 335 11 328 6 006 10 750 3 311 11 484 6 108 11 211 3 342 12 062 6 235 10 829 3 057 11 502 6 240 11 368 3 104 12 770 6 741 11 534 3 136 13 167 7 168 11 816 3 171 13 840 7 724 11 939 3 065 14 163 7 698 11 634 2 829 13 560 7 144 11 276 2 504 12 701 7 226 11 008 2 405 12 566 7 427 10 215 2 333 12 464 7 401 11 298 2 403 12 549 7 641 10 504 2 459 12 722 7 811 10 533 2 403 12 781 8 075 10 569 2 128 13 409 8 327 10 875 2 167 13 790 8 980 11 515 2 086 14 470 9 514 12 257 1 931 15 147 9 605 12 760 1 933 15 815 10 199 13 582 2 000 16 620 10 725 14 824 1 305 17 483 11 372 1.70 -4.37 2.09 3.09
Babi 7 136 7 612 8 135 8 704 8 858 7 720 7 597 8 233 7 798 7 042 5 357 5 369 5 927 6 151 5 980 6 801 6 218 6 711 6 838 6 975 7 477 7 758 0.40
Ayam Ayam ras buras pedaging 201 366 326 612 208 966 407 908 222 530 459 097 222 893 528 159 243 260 622 965 250 080 689 467 260 713 755 956 260 835 641 374 253 133 354 004 252 653 324 347 259 257 530 874 268 039 621 870 275 292 865 075 277 357 847 744 276 989 778 970 278 954 811 189 291 085 797 527 272 251 891 659 243 423 902 052 249 963 1 026 379 257 544 986 872 274 893 1 041 968 1.49 5.68
Itik 25 553 26 442 27 342 26 618 27 536 28 341 29 959 30 320 25 950 27 552 29 035 32 068 46 001 33 863 32 573 32 405 32 481 35 867 39 840 40 680 44 302 49 392 3.19
Sumber : http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/newkom.asp. Keterangan : r = rata-rata pertumbuhan per tahun.
Industri sapi potong juga menunjukkan fenomena yang serupa dengan industri ayam ras pedaging, meskipun dampaknya tidak terlalu drastis. Dengan adanya krisis moneter perkembangan populasi sapi potong mengalami penurunan dari 11.94 juta ekor pada tahun 1997 menjadi 11.63 juta ekor pada tahun 1998. Kondisi tersebut terus berlangsung lama hingga tahun 2001 dengan jumlah populasi sebesar 10.22 juta ekor. Kemudian pada tahun 2002 sampai 2011 populasi ternak sapi potong cenderung mengalami peningkatan. Secara umum populasi sapi potong selama periode 1990–2011 mengalami pertumbuhan walaupun relatif lambat yaitu rata-rata sebesar 1.70 persen per tahun. Di Indonesia terdapat dua pola sistem usaha ternak sapi potong yakni Industri Peternakan Rakyat (INAYAT) dan industri peternakan yang dikelola oleh perusahaan secara komersial (feedloter). Peternakan sapi rakyat umumnya merupakan usaha sambilan dengan memadukan komoditas utama berupa usaha pertanian tanaman pangan. Perusahaan peternakan umumnya merupakan usaha penggemukan ternak sapi potong yang bibitnya sebagian besar diperoleh dari
24 impor sapi bakalan dan bakalan lokal (Priyanto 2003). Pada saat krisis moneter nilai rupiah mengalami depresiasi yang cukup besar terhadap US $, sehingga harga ternak bakalan yang berasal dari impor menjadi sangat mahal. Hal ini berdampak pada lesunya usaha ternak sapi potong khususnya industri peternakan yang dikelola oleh feedloter (program penggemukan). Namun demikian, karena basis usaha peternakan sapi potong sebagian besar merupakan usaha peternakan rakyat dan hanya sebagian kecil dikelola feedloter maka dampaknya tidak terlalu besar. Manajemen pemeliharaan secara umum berbasis pada pakan lokal sehingga kurang berpengaruh terhadap usaha peternakan sapi secara nasional. Ternak kambing dan kerbau yang merupakan basis produksi daging juga cenderung mengalami penurunan populasi dengan adanya krisis moneter. Kondisi tersebut menggambarkan adanya kelesuan di bidang usaha peternakan. Menurunnya populasi ternak belum sepenuhnya menggambarkan perkembangan produksi ternak secara umum. Hal tersebut perlu dikaji tentang jumlah pemotongan dan mutasi ternak (ekspor dan impor) selama periode yang sama. Dua faktor utama yang dapat mempengaruhi populasi ternak adalah penambahan dan pengurangan jumlah ternak. Penambahan populasi berasal dari kelahiran dan impor ternak dari luar negari. Pengurangan jumlah ternak sebagai akibat adanya pemotongan, kematian, dan ekspor. Perkembangan Produksi Daging Produksi daging yang tercatat di sini adalah hasil pemotongan ternak yang dilakukan di dalam negeri, baik yang bibitnya berasal dalam negeri maupun impor kemudian dilakukan penggemukan/pemeliharaan di dalam negeri. Produksi daging nasional selama periode 1990–2011 cenderung mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan yang bervariasi untuk masing-masing jenis ternak. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada produksi daging ayam ras yang mencapai 7.72 persen per tahun. Hal ini sejalan dengan berkembangnya industri perunggasan dengan teknologi budidaya dan pemuliaan yang intensif. Untuk daging unggas yang lain pertumbuhannya kurang dari 5 persen, bahkan produksi daging ayam buras hanya tumbuh rata-rata 1.23 persen per tahun. Produksi daging sapi, kambing, domba, dan babi masing-masing meningkat 2.83 persen, 0.93 persen, 1.67 persen, dan 2.42 persen per tahun. Sementara produksi daging kerbau mengalami penurunan sebesar 0.79 persen per tahun (Tabel 7). Secara umum produksi daging nasional masih bertumpu pada daging unggas. Dengan teknologi intensif dan periode produksi yang relatif pendek serta harga produk yang relatif lebih murah, industri perunggasan sesuai untuk memenuhi konsumsi protein hewani dalam upaya mendukung peningkatan gizi masyarakat. Seperti halnya yang terjadi pada populasi ternak, krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 juga berdampak pada penurunan produksi daging nasional. Produksi daging ayam ras mengalami penurunan yang paling besar dibandingkan dengan jenis daging lainnya. Pada tahun 1997 produksi daging ayam ras turun dari 645.08 ribu ton (tahun 1996) menjadi 564.23 ribu ton (turun sebesar 12.53 persen). Kemudian tahun 1998 terjadi penurunan yang sangat tajam menjadi 311.22 ribu ton (turun 44.84 persen) dan tahun 1999 produksinya belum pulih, hanya mengalami sedikit peningkatan menjadi 318.65 ribu ton.
25 Tabel 7 Perkembangan produksi daging di Indonesia, 19902011 (ribu ton) Tahun
Sapi
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 r (%)
259.22 262.19 297.01 346.28 336.46 311.97 347.20 353.65 342.60 308.77 339.94 338.69 330.29 369.71 447.57 358.70 395.84 339.47 392.50 409.30 436.50 465.80 2.83
Kerbau Kambing Domba 44.29 47.53 45.00 51.23 48.20 46.15 48.66 47.35 46.34 48.11 45.85 43.65 42.30 40.64 40.24 38.10 43.89 41.75 39.00 34.60 35.90 37.50 -0.79
58.26 57.03 68.76 71.19 57.06 55.89 59.61 65.48 47.50 45.57 44.89 48.70 58.20 63.90 57.13 50.60 65.01 63.61 66.00 73.82 68.80 70.70 0.93
31.72 37.41 30.21 40.05 42.62 38.39 39.03 41.69 34.16 32.32 33.41 44.77 68.70 80.60 66.10 47.30 75.18 56.85 47.00 54.26 44.90 44.90 1.67
Babi 123.81 110.05 149.90 169.32 183.63 177.82 189.54 146.78 134.79 134.82 162.40 160.15 164.49 177.09 194.67 173.69 195.99 225.90 209.80 200.10 212.00 204.60 2.42
Ayam buras 218.99 227.24 242.00 242.40 282.05 269.40 281.46 314.01 294.16 285.86 265.21 275.14 288.34 298.51 296.42 301.42 341.25 294.88 273.50 247.70 267.60 283.10 1.23
Ayam ras 279.18 345.77 393.29 445.24 521.12 584.87 645.08 564.23 311.22 318.65 538.74 625.25 794.67 819.20 894.49 824.29 918.89 1 000.94 1 076.00 1 156.70 1 272.00 1 330.50 7.72
Itik 10.54 10.47 11.28 10.98 19.46 21.43 20.43 20.39 15.81 15.67 13.79 23.12 21.80 21.24 22.21 21.35 24.53 44.10 31.00 25.78 26.00 29.20 4.97
Sumber : http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/newkom.asp. Keterangan : r = rata-rata pertumbuhan per tahun. produksi daging dalam bentuk karkas.
Produksi daging sapi juga terkena imbas krisis ekonomi walaupun tidak separah produksi daging ayam ras. Penurunan produksi daging sapi mulai terjadi pada tahun 1998, dari 353.65 ribu ton (tahun 1997) menjadi 342.60 ribu ton (turun 3.12 persen). Pada tahun 1999 kembali terjadi penurunan produksi sebesar 9.87 persen menjadi 308.77 ribu ton. Setelah itu, produksi daging sapi mengalami fluktuasi hingga tahun 2011. Konsumsi Daging Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, permintaan daging sapi secara umum baik dari segi kualitas maupun kuantitas juga mengalami kenaikan (Priyanti et al. 1998). Kebutuhan daging sapi ini sebagian besar dipenuhi dari produksi lokal. Namun karena kebutuhannya yang meningkat setiap tahun, maka diperlukan impor daging sapi dan sapi bakalan untuk digemukkan dalam rangka pemenuhan daging nasional. Kebijakan impor daging terpaksa dilakukan meskipun harus menguras devisa negara, karena kebutuhan masyarakat akan daging terus meningkat, tetapi produksi daging lokal belum mampu mengejar laju pertambahan permintaan di datam negeri baik secara kuantitas maupun kualitas. Konsumsi daging sapi secara nasional mengalami fluktuasi, namun menunjukkan adanya trend kenaikan. Selama periode 1999–2010, total konsumsi meningkat rata-rata 4.49 persen per tahun. Kebutuhan konsumsi tersebut sebagian
26 besar dipenuhi dari produksi dalam negeri. Namun demikian, perlu dicatat bahwa produksi daging sapi domestik sebagian berasal dari hasil pemotongan sapi bakalan impor yang kemudian dilakukan penggemukan di dalam negeri. Selama periode tersebut, pasokan produksi dalam negeri mencapai 90.08 persen dan impor sebesar 9.95 persen. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa volume ekspor daging sapi dari Indonesia sangat kecil. Data impor tidak termasuk impor jeroan. Pangsa impor memang masih relatif kecil, namun ada kecenderungan terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 21.58 persen per tahun. Sementara konsumsi yang berasal dari daging sapi domestik hanya tumbuh sebesar 2.58 persen per tahun (Tabel 8). Kondisi ini perlu mendapat perhatian pemerintah. Apakah impor terus dilepas untuk mendapat produk yang berkualitas dengan harga bersaing dan cenderung menguntungkan konsumen, atau mengendalikan impor untuk melindungi produsen dengan terus mengupayakan peningkatan kualitas dengan harga yang bersaing. Tabel 8 Perkembangan produksi, impor, dan konsumsi daging sapi di Indonesia, 1999–2010 (ton) Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata r (%/th)
Produksi 247 016 271 952 270 952 247 486 277 024 335 364 268 774 296 603 254 365 294 100 306 688 327 069 283 116 (90.08) 2.58
Impor 10 548 26 937 16 438 11 455 10 666 11 772 19 941 24 079 39 352 45 580 67 908 90 506 31 265 (9.95) 21.58
Konsumsi 257 537 298 850 287 047 258 783 287 481 347 098 288 552 320 671 293 645 339 568 374 590 417 590 314 285 (100.00) 4.49
Sumber : Ditjen Peternakan 2000–2012; BPS 2000–2011 (diolah). Keterangan : r = rata-rata pertumbuhan per tahun. (....) = persentase terhadap konsumsi. produksi, impor, dan konsumsi daging dalam bentuk potongan daging tanpa tulang.
Landasan Teori Teori Ekonomi Swasembada Swasembada merupakan usaha untuk mencukupi kebutuhan sendiri (Departemen Pendidikan Nasional 2007). Swasembada dapat tercapai apabila produksi domestik dapat memenuhi permintaan domestik. Upaya untuk mendorong peningkatan produksi domestik dapat dilakukan melalui berbagai kebijakan antara lain kebijakan tarif dan kuota impor, subsidi produksi langsung, dan perbaikan teknologi produksi untuk meningkatkan produktivitas.
27 Kebijakan Tarif Impor Banyak negara menggunakan tarif impor untuk mempertahankan harga domestik suatu produk di atas harga dunia yang memungkinkan industri domestik menikmati keuntungan yang lebih tinggi daripada dalam perdagangan bebas. Sebagai negara kecil dan net importir daging sapi maka harga domestik sangat dipengaruhi oleh harga daging sapi dunia. Houck (1986) menyatakan bahwa karakteristik negara kecil adalah fungsi excess supply rest of the world berupa garis horizontal yaitu ES(R). Pemerintah menggunakan kebijakan perdagangan untuk mengendalikan volume perdagangan dan harga daging sapi di dalam negeri. P
S
Pd g Pw a
h b
P
i c
k
l
d
e
f
ES(R) t
D
ED ED*
O
q O qm (a) (b) Sumber : Houck (1986). Gambar 5 Kebijakan tarif impor pada kasus negara kecil Mekanisme bekerjanya kebijakan tarif dalam mempengaruhi volume impor, produksi dan harga daging sapi domestik disajikan pada Gambar 5 untuk kasus negara kecil. Jika pemerintah tidak memberlakukan tarif impor (free trade) maka harga daging sapi domestik sama dengan harga daging sapi dunia Pw, produksi dalam negeri ab, konsumsi ac, dan volume impor adalah df (pada panel b) atau bc (pada panel a). Untuk merangsang peningkatan produksi daging sapi dalam negeri maka pemerintah mengenakan tarif impor sebesar t sehingga kurva ED yang mencerminkan permintaan dalam negeri atas daging sapi impor bergeser ke kiri menjadi ED* dan memotong ES di titik e pada panel (b). Volume impor berkurang menjadi de dan harga daging sapi domestik Pd, meningkat dan lebih tingi dari harga daging sapi dunia (Pw). Dengan naiknya harga domestik maka produksi dalam negeri naik dari semula ab menjadi gh, konsumsi berkurang menjadi gi dan impor menurun manjadi hi. Adanya tarif telah meningkatkan harga daging sapi domestik, meningkatkan produksi, namun mengurangi konsumsi. Pihak yang diuntungkan dengan kenaikan harga karena adanya tarif impor adalah produsen dan pemerintah karena mendapatkan penerimaan sebesar dekl (volume impor dikali tarif) pada panel (b) atau daerah yang diarsir.
28 Kebijakan Kuota Impor Selain tarif impor, pemerintah juga bisa mengendalikan volume perdagangan dan harga daging sapi di dalam negeri dengan menggunakan instrumen kebijakan berupa kuota impor. Jika pemerintah menggunakan kuota untuk membatasi impor, maka produsen luar negeri hanya bisa mengirimkan sejumlah tertentu (Pindyck dan Rubinfeld 1998b).
S
P
Pd g Pw a
h b
P
i
k c
l
d
e
D O
q
f ES(R)
ED* O
(a) Sumber : Houck (1986). Gambar 6 Kebijakan kuota impor pada kasus negara kecil
qm
ED qm
(b)
Houck (1986) menyatakan bahwa kuota impor merupakan hambatan perdagangan non tarif yang memiliki dampak tidak langsung terhadap harga namun besarnya setara dengan akibat yang ditimbulkan oleh tarif impor (kesetaraan harga dengan volume) jika kuota yang ditetapkan lebih kecil dari volume impor pada free trade (binding quota). Dengan penggunaan kuota maka volume impor telah ditetapkan terlebih dahulu dan ED* patah dan tegak pada besarnya kuota impor tersebut (qm). Pada kasus kuota impor adalah binding maka ED* menunjukkan volume kuota impor dan harga domestik yang terjadi adalah Pd lebih tinggi dari harga free trade Pw. Dengan naiknya harga maka produsen meningkatkan produksi domestik (dari ab menjadi gh) dan konsumen mengurangi konsumsi (dari ac menjadi gi). Kebijakan Subsidi Produksi Langsung Subsidi produksi langsung merupakan alternatif peningkatan produksi selain tarif atau kuota. Subsidi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pemberian langsung kepada produsen sejumlah nilai tertentu untuk setiap unit produk yang diproduksi, dan yang kedua dengan memberikan subsidi input yang paling penting (critical) untuk produksi seperti pupuk, irigasi, dan sebagainya. Dengan subsidi jenis kedua ini maka harga input akan berada di bawah harga pasar bebas (free market) dan dapat dilakukan dengan pemberian melalui produsen input atau ke
29 petani langsung. Analisis keseimbangan parsial dari subsidi produksi langsung disajikan pada Gambar 7. P
S
P S*
s
Pd
f ES(R)
Pw
d
e
a
b
c
D q O (a) Sumber: Houck (1986). Gambar 7 Dampak subsidi langsung terhadap produksi
ED ED*
O
qm (b)
Subsidi langsung akan menyebabkan biaya produksi menjadi lebih murah yang ditunjukkan dengan pergeseran kurva penawaran (S) menjadi S*. Jarak horizontal antara kurva D dengan S* (panel a) merupakan fungsi ED* (panel b), dan merupakan fungsi permintaan impor yang dihadapi eksportir luar negeri dengan adanya subsidi poduksi di negara importir. Jarak horizontal ED dan ED* (panel b) sama dengan jarak horizontal S* dan S (panel a). Dengan menurunnya kurva permintaan impor maka volume impor berkurang sebesar bc yang ekuivalen dengan peningkatan produksi domestik de. Peningkatan produksi ini sebagai akibat dari menurunnya biaya produksi (cost lowering subsidy) yang besarnya setara dengan fe (sama dengan s) untuk setiap unit produksi. Total nilai subsidi adalah daerah yang diarsir pada panel (a). Perubahan Teknologi dan Peningkatan Produktivitas Perubahan teknologi mencakup seluruh perubahan teknik produksi. Perbaikan teknologi akan meningkatkan produktivitas dan akan berdampak terhadap peningkatan output melalui perbaikan efisiensi dalam penggunaan sumber daya (Ellis 1992). Produktivitas merupakan rasio dari output yang diproduksi per unit sumber daya (input) yang digunakan. Tingkat produktivitas adalah sejumlah output yang dihasilkan dari sumber daya yang digunakan, dengan pilihan sejumlah tenaga kerja, material dan beberapa kombinasi sumber daya yang mungkin. Produktivitas mengukur kemungkinan variasi output maupun input yang digunakan, sehingga dimungkinkan adanya produktivitas tenaga kerja, produktivitas kapital, dan lain-lain (Sudarsono 1995). Menurut Nicholson (2002), produktivitas dinyatakan sebagai sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis yang mengacu pada perbandingan output terhadap input. Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya tingkat produktivitas,
30 misalnya produktivitas tenaga kerja. Produktivitas mengacu pada kemampuan satu unit input untuk menghasilkan tingkat output tertentu pada periode waktu tertentu. Menurut Gathak dan Ingersent (1984), perbaikan teknologi dalam bidang pertanian akan memiliki dua karakteristik, yaitu: (1) membentuk fungsi produksi yang baru yang lebih tinggi dari penggunaan input yang jumlahnya tetap, dan (2) dapat dihasilkan output yang sama dengan memberikan sejumlah input yang lebih sedikit, sehingga akan menurunkan biaya produksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa dengan adanya perbaikan teknologi akan menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi produksi secara positif dan vertikal ke atas. Squires (1988) menyatakan bahwa perubahan teknologi akan berdampak terhadap perubahan produktivitas. Produktivitas yang lebih tinggi dapat terjadi jika output yang dihasilkan lebih banyak dengan menggunakan input yang sama, atau dapat juga output sama untuk penggunaan input lebih sedikit. Dengan menggunakan fungsi produksi untuk kasus 1 output dengan 2 input disajikan kerangka dasar untuk mengukur perubahan produktivitas sebagai berikut: Y(t) = A(t)f[K(t), L(t)] ....................................................................... (2.1 ) di mana Y(t) adalah output, K(t) menunjukkan penggunaan kapital pada waktu t, L(t) penggunaan tenaga kerja pada waktu t, dan A(t) menggambarkan parameter efisiensi yang memungkinkan pergeseran fungsi produksi. Gambar 8 menyajikan dua tingkat fungsi produksi sesuai persamaan (2.1) di mana Y1(t) > Y0(t). Sumbu vertikal menggambarkan output di mana Y” > Y’ > Y, dan sumbu horizontal menggambarkan indeks dari input agregat di mana X” > X’. Jika teknologi tetap, tetapi input lebih banyak digunakan, maka produksi bergerak dari B ke C. Jika terdapat inovasi teknologi, dengan menggunakan jumlah input sama, maka output akan bergeser dari B ke E dan output meningkat dari Y ke Y’. Y(f) Y1(t) = A1(t)[K(t), L(t)]
Y” Y’
D E Y0(t) = A0(t)[K(t), L(t)]
Y
O
C B
X’
X”
X(t)
Sumber : Squires (1988). Gambar 8 Pengaruh perubahan teknologi terhadap output Adanya peningkatan teknologi menyebabkan proses produksi menjadi lebih efisien, sehingga dengan sumber daya (input) yang tersedia produsen mampu menghasilkan output lebih banyak. Hal ini ditunjukkan dengan pergeseran kurva penawaran ke kanan dari S0 ke S1 seperti terlihat pada Gambar 9. Pada
31 kondisi autarki, sebelum ada perbaikan teknologi, produksi dan konsumsi sebesar Q0 pada tingkat harga P0. Dengan adanya teknologi yang lebih baik, kurva penawaran bergeser ke kanan dan keseimbangan pasar terjadi pada tingkat harga P1 dan produksi (sama dengan konsumsi) pada Q1, di mana Q1 > Q0 dan P1 < P0. Apabila terjadi perdagangan internasional, sebelum ada perubahan teknologi, produksi domestik sebesar Q2 sedangkan konsumsi sebesar Q3 (di mana Q3 > Q2). Sebagai negara net importir, untuk memenuhi permintaan domestik sebesar Q3, maka diperlukan impor sebesar Q3 – Q2. Dengan adanya perubahan teknologi, produksi domestik meningkat menjadi Q4. Dengan asumsi permintaan tetap, maka kebutuhan impor menjadi Q3 – Q4. Dalam hal ini (Q3–Q2) > (Q3–Q4). Dengan demikian, perbaikan teknologi akan dapat mengurangi supply yang berasal dari impor. S0
P
S1
P0 P1 Pw
D O
Q2
Q4 Q0 Q1
Q3
Q
Gambar 9 Dampak perbaikan teknologi terhadap penawaran Penawaran dan Permintaan Daging Sapi Fungsi Penawaran Daging Sapi Menurut Nicholson (1978), produksi merupakan kegiatan transformasi dari berbagai input (sumber daya) untuk menghasilkan output. Lembaga yang mengkoordinasi proses transformasi tersebut dinamakan perusahaan, baik yang berupa perusahaan besar maupun kecil. Hubungan antara input dan output dapat diformulasikan dalam sebuah fungsi produksi. Henderson and Quandt (1980) serta Sugiarto et al. (2007) menyatakan bahwa fungsi produksi adalah suatu fungsi yang menunjukkan hubungan teknis antara faktor produksi dan output, yaitu jumlah maksimum output yang dapat dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi tertentu. Secara umum fungsi produksi dapat dinyatakan dalam bentuk matematis sebagai berikut: Q = f(Xi) .......................................................................................... keterangan: Q = Xi =
total output faktor produksi (i = 1, 2, 3, ..., n)
(2.2)
32 Dalam penelitian ini fungsi produksi daging sapi dapat dirumuskan sebagai berikut: Q = f( S, P, O) .............................................................................. keterangan: Q S P O
= = = =
(2.3)
total produksi daging sapi jumlah sapi bakalan jumlah pakan sapi faktor produksi lain
Produksi daging sapi merupakan fungsi dari jumlah sapi bakalan (S), jumlah pakan sapi (P), dan faktor produksi lainnya (O). Dari fungsi produksi dapat dibangun fungsi penawaran output melalui penurunan fungsi keuntungan atau fungsi biaya. Pendekatan pertama dikenal dengan pendekatan primal, sedangkan pendekatan kedua dikenal dengan pendekatan dual, sehingga dikenal dengan pendekatan primal-dual, dan hasilnya akan sama. Jika PS sebagai harga input S (sapi bakalan), PP sebagai harga input P (pakan), PO sebagai harga input O (lainnya), dan F merupakan biaya tetap, maka Biaya Total (TC) yang dikeluarkan untuk memproduksi sejumlah output daging sapi (Q) dapat dituliskan: TC = PS*S + PP*P + PO*O + F ........................................................
(2.4)
Dari persamaan (2.3) dan (2.4) dapat dirumuskan fungsi keuntungan sebagai berikut: π = PQ*Q –TC ................................................................................... π = PQ*f(S, P, O)–(PS*S + PP*P + PO*O + F) .................................. keterangan: π PQ
(2.5) (2.6)
= keuntungan = harga daging sapi
Maksimisasi keuntungan harus memenuhi first order condition, yang diperoleh dengan menentukan turunan pertama fungsi keuntungan terhadap S, P, dan O sama dengan nol atau nilai produk marjinal tiap faktor harus sama dengan harga tiap faktor yang digunakan. Adapun second order condition ditunjukkan dengan turunan kedua fungsi keuntungan mempunyai nilai Hessian Determinant lebih besar nol. ∂π/∂S = PQ*∂f/∂S–PS = 0, atau PQ*MPS = PS ........................... ∂π/∂P = PQ*∂f/∂P–PP = 0, atau PQ*MPP = PP ........................... ∂π/∂O = PQ*∂f/∂O–PO = 0, atau PQ*MPO = PO .......................... keterangan: MPS = MPP = MPO =
(2.7) (2.8) (2.9)
produk marjinal dari faktor produksi S produk marjinal dari faktor produksi P produk marjinal dari faktor produksi O
Persamaan (2.7), (2.8), dan (2.9) menunjukkan bahwa pada saat keuntungan maksimum, nilai produk marjinal tiap input sama dengan harga input itu sendiri. Kondisi ini menggambarkan tingkat penggunaan input S, P, dan O yang optimal pada tingkat harga masing-masing input tersebut. Dengan demikian, fungsi permintaan input S, P dan O masing-masing dapat diformulasikan sebagai berikut: S = f(PS, PP, PO, PQ ) ...................................................................... (2.10)
33 P = f(PP, PS, PO, PQ ) ...................................................................... (2.11) O = f(PO, PS, PP, PQ) ...................................................................... (2.12) Dengan mensubstitusikan persamaan (2.10), (2.11), dan (2.12) ke persamaan (2.3), dapat diperoleh fungsi penawaran daging sapi sebagai berikut: QS = f(PQ, PS, PP, PO) ...................................................................... (2.13) Dari persamaan (2.13) diketahui penawaran daging sapi merupakan fungsi dari harga daging sapi, harga sapi bakalan, harga pakan, dan harga input lainnya. Usaha sapi potong juga dipengaruhi oleh pasar kapital, terutama jika melakukan pengembangan usaha yang membutuhkan jumlah dan jenis input yang lebih besar. Tambahan dana dapat bersumber dari bank, artinya produksi daging sapi juga dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Selain harga produk dan harga faktor produksi, penawaran atau produksi juga dipengaruhi oleh teknologi (Koutsoyiannis 1979). Penelitian Simatupang et al. (1995) tentang respon penawaran produk peternakan (termasuk daging sapi) dengan sistem persamaan tunggal diketahui bahwa penawaran daging dipengaruhi oleh lag harga daging, harga padi sebagai input dan lagnya dengan elastisitas harga sebesar 0.23 pada jangka pendek dan 0.73 dalam jangka panjang. Dengan demikian penawaran daging sapi diformulasikan sebagai berikut: QS = f (PQ, PS, PP, PO, B, T, QS-1) .................................................. (2.14) keterangan: B T QS-1
= tingkat suku bunga bank = teknologi = lag penawaran daging sapi
Fungsi Permintaan Daging Sapi Fungsi permintaan konsumen menunjukkan jumlah barang yang diminta (akan dibeli) sebagai fungsi dari harga barang itu, harga-harga komoditas pengganti atau komplemen dan pendapatan konsumen. Fungsi permintaan daging sapi diturunkan dari fungsi utilitas konsumen daging sapi yang dimaksimumkan dengan kendala tingkat pendapatan (Henderson and Quandt 1980). Apabila diasumsikan fungsi utilitas (kepuasan) konsumen daging adalah sebagai berikut: U = u(Q, R) ..................................................................................... (2.15) keterangan: U = Q = R =
total utilitas jumlah konsumsi daging sapi jumlah konsumsi barang lain (substitusi atau komplemen)
Dengan asumsi semua pendapatan digunakan untuk mengkonsumsi kedua barang tersebut, maka kendala pendapatan dari konsumen pada tingkat pendapatan tertentu (misalnya sebesar Y0) adalah: Y0 = PQ*Q + PR*R ............................................................................ (2.16) keterangan: Y0 = PQ = PR =
tingkat pendapatan atau anggaran yang tersedia harga daging sapi harga barang lainnya
34 Untuk memaksimumkan utilitas konsumen, maka turunan parsial pertama dari persamaan Lagrange berikut harus sama dengan nol: £ ∂£/∂Q ∂£/∂R ∂£/∂λ
= = = =
u(Q, R) + λ (Y0–PQ*Q–PR*R) .......................................... ∂U/∂Q–λPQ = 0, atau UQ = λPQ ..................................... ∂U/∂R–λPR = 0, atau UR = λPR ..................................... Y0–PQ*Q–PR*R = 0 ..........................................................
(2.17) (2.18) (2.19) (2.20)
Dengan menyelesaikan persamaan (2.18) dan (2.19) diperoleh persamaan berikut: λ = UQ/PQ = UR/PR, atau UQ/UR = PQ/PR .......................................... (2.21) keterangan: λ =
Lagrange multiplier dan dapat diinterprestasikan sebagai utilitas marginal dari pendapatan utilitas marjinal terhadap konsumsi daging sapi utilitas marjinal terhadap konsumsi barang lainnya
UQ = UR =
Diasumsikan pula bahwa syarat turunan kedua dari £ untuk maksimisasi dengan kendala terpenuhi, yaitu matriks Hessian bernilai lebih besar dari nol. Hasil penyelesaian akhir dari penurunan tersebut adalah fungsi permintaan kedua komoditas (Silberberg 1981) yaitu: QQ = f (PQ, PR, Y) ............................................................................. (2.22) QR = f (PR, PQ, Y) ............................................................................. (2.23) Elastisitas Konsep elastisitas digunakan untuk memperoleh ukuran kuantitatif respon suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk model yang dinamis, dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan jangka panjang (Gujarati 1995). Jika suatu fungsi berupa persamaan: Yt = b0 + b1Xt + b2Yt-1 ..................................................................... (2.24) maka elastisitas jangka pendek dan jangka panjang dapat dirumuskan sebagai berikut: ESR = ∂Yt / ∂Xt * t / t ................................................................... (2.25) ELR = ESR / 1–b2 ............................................................................... (2.26) keterangan: ESR ESR t t
b2
= = = = =
elastisitas jangka pendek (short-run) elastisitas jangka panjang (long-run) rata-rata peubah eksogen rata-rata peubah endogen koefsien dugaan dari peubah-peubah lag-endogenous
Dalam kaitannya dengan penawaran, dua konsep elastisitas yang penting adalah elastisitas harga atas penawaran dan elastisitas silang atas penawaran. Terkait dengan permintaan, menurut Koutsoyianis (1979), ada tiga konsep elastisitas yang penting yaitu elastis harga atas permintaan (EP), elastisitas silang atas permintaan (EXY), dan elastististas pendapatan atas permintaan (EI). Nilai elastisitas dapat dirumuskan sebagai berikut: EP = ∂Q / ∂P * / ................................................................... (2.27) EXY = ∂QX / ∂PY * Y / X ......................................................... (2.28) EI = ∂Q / ∂I * / ..................................................................... (2.29)
35 keterangan: Q P Qx PY I
= = = = =
jumlah barang yang diminta harga Q jumlah barang X yang diminta harga barang Y Pendapatan
X Y
= = = = =
rata-rata Q rata-rata P rata-rata QX rata-rata PY rata-rata I
Jika elastisitas harga suatu barang bersifat inelastis (0 < EP < 1), pada umumnya barang tersebut merupakan barang kebutuhan pokok. Jika 1 < EP < maka barang tersebut dikatakan elastis dan pada umumnya merupakan barang mewah. Elastisitas jangka panjang lebih elastis dari pada jangka pendek. Jika elastisitas pendapatan (EI) terhadap suatu barang bernilai positif maka barang tersebut merupakan barang normal, jika bernilai nol merupakan barang netral, dan jika bernilai negatif merupakan barang inferior. Nilai elastisitas silang (EXY) dapat menunjukkan apakah suatu barang berhubungan sebagai substitusi atau komplemen dengan barang lainnya. Jika nilainya negatif berarti barang X mempunyai hubungan komplemen terhadap barang Y, tapi jika positif maka barang X mempunyai hubungan substitusi terhadap barang Y. Kinerja Perekonomian Selama lebih dari tiga dekade terakhir, teori makroekonomi dan aplikasinya dalam perekonomian telah berkembang lebih baik, di mana prinsipprinsip teori makroekonomi banyak mendasari kegiatan makroekonomi itu sendiri (Chari and Kehoe 2006). Menurut Mankiw (2007), ada beberapa variabel yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja perekonomian, antara lain pendapatan nasional atau GDP dan kesempatan kerja. Pendapatan Nasional Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian. GDP dapat menggambarkan kemampuan suatu negara mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu besaran GDP yang dihasilkan sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi yang ada. GDP merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. GDP umumnya disajikan atas dasar harga berlaku dan harga konstan. GDP atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan GDP atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi. Menurut Mankiw (2007), penghitungan pendapatan nasional dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan produksi (value of product approach) dan pendekatan pengeluaran (expenditure approach). BPS menambahkan satu pendekatan lagi yaitu pendekatan pendapatan (income approach) (http://www.bps.go.id).
36 a. Pendekatan Produksi Secara garis besar pendapatan nasional dari sisi nilai produksi (Y) adalah penjumlahan dari nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu. Unit-unit produksi tersebut dalam penyajian ini dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu : (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas dan Air Bersih, (5) Konstruksi, (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7) Pengangkutan dan Komunikasi, (8) Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan, dan (9) Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah. Setiap sektor tersebut dirinci lagi menjadi sub-sub sektor. GDP dari sisi nilai produksi dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = PiQi ........................................................................................ (2.30) keterangan: Y = Pi = Qi = i =
pendapatan nasional (GDP) harga barang i jumlah produksi barang i 1,2,3,....,n
b. Pendekatan Pendapatan PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi). c. Pendekatan Pengeluaran Pendapatan nasional adalah penjumlahan semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran investasi swasta, pengeluran pemerintah, dan ekspor neto (ekspor dikurangi impor). GDP dari sisi pengeluaran dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = C + I + G + NX ......................................................................... (2.31) keterangan: Y = C = I = G = NX =
pendapatan nasional (GDP) konsumsi rumah tangga investasi pengeluran pemerintah ekspor neto (X – M)
Secara konsep ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktorfaktor produksi. PDB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDB atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah dicakup pajak tak langsung neto (BPS 2012a). Persamaan (2.31) menunjukkan bahwa komponen PDB meliputi konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor neto. Fungsi konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan dikurangi pajak (Y – T), atau disebut dengan
37 pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income). Sedangkan fungsi investasi mengaitkan jumlah investasi pada tingkat bunga riil (r). Iinvestasi tergantung pada tingkat bunga riil karena tingkat bunga merupakan biaya pinjaman, jika semakin tinggi tingkat bunga riil maka investasi semakin menurun. Komponen yang ketiga adalah pembelian pemerintah atau belanja pemerintah. Perekonomian suatu negara diharapkan ada dalam situasi anggaran berimbang di mana belanja pemerintah sama dengan penerimaan pajak (G = T). Namun kenyataannya suatu negara seringkali mengalami defisit anggaran di mana belanja pemerintah lebih besar dari penerimaan pajak (G > T) atau surplus anggaran di mana belanja pemerintah kurang dari penerimaan pajak (G < T). Komponen yang terakhir adalah ekspor neto yang menunjukkan pengeluaran neto dari luar negeri atas barang dan jasa dalam negeri, yang memberikan pendapatan bagi produsen domestik (Mankiw 2007). Kesempatan Kerja Di samping menaikkan tingkat pendapatan masyarakat, tujuan penting lain dari pembangunan adalah untuk menciptakan kesempatan kerja. Tujuan ini hanya akan tercapai apabila penambahan kesempatan kerja berkembang lebih cepat dari penambahan tenaga kerja. Dalam kajian ini menggunakan pendekatan kesempatan kerja pada subsektor peternakan secara agregat. Menurut Mankiw (2007), output dalam pereknomian (GDP) bergantung pada jumlah input (faktor produksi) dan kemampuan untuk mengubah input menjadi output, seperti yang ditunjukkan dalam fungsi produksi. Dua faktor produksi yang penting adalah modal (K) dan tenaga kerja (N). Secara teoritis permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand) dari fungsi produksi. Permintaan tenaga kerja bergantung pada tingkat output yang dihasilkan dan biaya input tenaga kerja. Jika sektor dalam perekonomian dianggap sebagai perusahaan yang bertujuan memaksimumkan keuntungan dan modal (K) dianggap tetap, maka keuntungan perusahaan dapat dirumuskan sebagai berikut: = P*Y–W*N–K ....................................................................... (2.32) = P*f(N)–W*N–K ................................................................... (2.33) keterangan: π P Y W N K
= = = = = =
keuntungan harga output output upah tenaga kerja jumlah tenaga kerja modal
Keuntungan maksimum tercapai apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan sama dengan nol dan turunan kedua lebih kecil dari nol. Diasumsikan perusahaan menjual outputnya pada pasar persaingan sempurna, sehingga perusahaan sebagai penerima harga (price taker) di pasar output. Turunan pertama dari fungsi keuntungan adalah sebagai berikut: ∂π/∂N = P*∂f/∂N–W keterangan: MPN =
= 0, atau P*MPN = W ............................. (2.34)
produk marjinal tenaga kerja (N)
38 Permintaan tenaga kerja dapat dirumuskan sebagai berikut: DN = f(W,P) ................................................................................... (2.35) Menurut Hanani (2000), di Indonesia umumnya tidak mengambil alokasi penggunaan tenaga kerja dalam jangka pendek sebagai akibat perubahan upah dan harga komoditi sudah melekat pada pendapatan sektoral, maka permintaan tenaga kerja ssubsektor peternakan diturunkan langsung dari produksi subsektor peternakan. Permintaan tenaga kerja subsektor peternakan dapat dirumuskan sebagai berikut: DNP keterangan: DNP YP
= f(YP) ................................................................................ (2.36) = =
permintaan tenaga kerja subsektor peternakan output subsektor peternakan
Dampak Teknologi Terhadap Kesejahteraan Pelaku pasar dikelompokkan menjadi produsen dan konsumen. Perubahan teknologi dalam proses produksi akan mempengaruhi keseimbangan pasar dan akan mempengaruhi kesejahteraan para pelaku ekonomi. Ellis (1992) dan Just et al. (1982) menyatakan bahwa producer surplus dan consumer surplus merupakan alat praktis untuk mengukur perubahan kesejahteraan (social welfare) yang timbul sebagai implikasi dari pemberlakuan suatu kebijakan. Surplus produsen didefinisikan sebagai keuntungan yang diperoleh oleh produsen karena dia menerima harga sebesar P untuk semua unit yang terjual, meskipun ia mungkin bersedia menawarkan jumlah unit yang lebih sedikit dengan harga-harga yang lebih rendah. Surplus produsen disebut juga sebagai sewa ekonomi (economic rent), dengan asumsi biaya tetap (fixed cost) tidak diperhitungkan. Istilah sewa di sini menunjukkan biaya alternatif atau biaya oportunitas (opportunity cost) (Daryanto 1982). Menurut Sugiarto et al. (2007), surplus produsen adalah keuntungan yang diperoleh produsen karena harga yang terbentuk di pasar melebihi harga yang mau mereka tawarkan pada tingkat penjualan tertentu. Just et al. (1982) juga menyatakan bahwa surplus produsen adalah area di atas kurva supply dan di bawah garis harga yang merupakan kelebihan dari total penerimaan (TR) atas biaya variabel (TVC). Surplus konsumen menunjukkan keuntungan yang diperoleh konsumen, karena membeli suatu komoditas. Keuntungan tersebut diperoleh konsumen karena harga yang berlaku pada kondisi keseimbangan lebih rendah daripada harga yang mereka bersedia membayar. Surplus konsumen menunjukkan terjadinya kelebihan kepuasan yang dinikmati oleh konsumen akibat adanya perbedaan antara kepuasan yang diperoleh seseorang dalam mengkonsumsi sejumlah komoditas dengan pembayaran yang harus dikeluarkan untuk memperoleh komoditas tersebut (Sugiarto et al. 2007). Dampak perubahan teknologi terhadap penawaran dan kesejahteraan diilustrasikan pada Gambar 10. Jika diasumsikan tidak terjadi perdagangan antar wilayah, maka keseimbangan awal terjadi pada titik E0 (P0, Q0), di mana surplus produsen sebesar a + b dan surplus konsumen sebesar c. Dengan penggunaan teknologi baru maka produktivitas akan meningkat dan kurva penawaran akan bergeser ke kanan dari S0 menjadi S1. Keseimbangan baru terjadi pada titik E1
39 (P1,Q1), pada kurva permintaan yang sama (D). Jumlah produksi meningkat dari Q0 menjadi Q1, sementara harga barang turun dari P0 menjadi P1. Dengan adanya perubahan jumlah produksi dan harga produk maka terjadi perubahan kesejateraan yang diukur dari perubahan surplus produsen dan surplus konsumen. Perubahan kesejahteraan tersebut disajikan pada Tabel 9.
P
S0 c
S1
E0
P0 a
P1
e
E1
b d
D O
Q0
Q
Q1
Sumber : Ellis (1992) (dimodifikasi).
Gambar 10 Dampak perubahan teknologi terhadap produksi dan kesejahteraan Setelah terjadi perubahan teknologi dan perubahan keseimbangan pasar, surplus konsumen berubah menjadi c + a + e. Dengan demikian, terjadi perubahan surplus sebesar a + e, yang menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan teknologi akan menguntungkan konsumen. Di sisi lain, surplus produsen berubah menjadi b + d, yang berarti produsen mengalami perubahan surplus sebesar d a. Net gain atau loss bagi produsen tergantung pada nilai d–a. Jika d > a maka produsen akan diuntungkan dengan adanya perubahan teknologi. Nilai d dan a tergantung pada elastisitas permintaan. Apabila permintaan produk bersifat elastis, maka nilai d akan lebih besar daripada a, sehingga produsen diuntungkan karena kesejahterannya meningkat dan sebaliknya (Ellis 1992). Menurut hasil kajian Kariyasa (2004), respon permintaan daging sapi bersifat elastis terhadap perubahan harganya dengan elastisitas jangka pendek (SR) sebesar -9.35 dan elastisitas jangka panjang (LR) sebesar -10.89. Dengan demikian, secara teori dapat dikatakan bahwa peningkatan teknologi dalam industri sapi potong akan menguntungkan peternak sapi potong karena penerimaan dan kesejahteraannya meningkat. Tabel 9 Dampak perubahan teknologi terhadap kesejahteraan Uraian
Teknologi Lama
Teknologi Baru
Perubahan
Surplus produsen
a+b
b+d
a + d
Surplus konsumen
c
c+a+e
a+e
a+b+c
a+b+c+d+e
d+e
Total
40 Hasil Penelitian Terdahulu Kebijakan Perdagangan dan Penawaran Daging Sapi Beberapa studi terkait dengan kebijakan perdagangan dan komoditas sapi potong telah dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Tabel 10 menyajikan ringkasan studi terdahulu terkait dengan penawaran dan permintaan komoditas daging sapi. Hasil penelitian Furuya (2000) tentang analisis penawaran dan permintaan daging sapi di Jepang dengan menggunakan model ekonometrik menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran konsumen terutama mempengaruhi impor daging sapi dari USA. Perubahan harga daging sapi domestik di USA sangat berpengaruh terhadap harga perdagangan besar daging sapi di USA, namun kurang berpengaruh terhadap industri daging sapi di Jepang. Dampak stabilisasi harga anak sapi terhadap pasar anak sapi dan investasi cukup besar, namun dampaknya terhadap pasar sapi dewasa dan karkas relatif kecil. Hasil analisis model penawaran dan permintaan menunjukkan bahwa perubahan investasi mempengaruhi pasar ternak sapi dan daging sapi dalam jangka waktu 25 tahun kemudian. Sukanata (2008), mengkaji dampak Kebijakan Kuota Perdagangan Terhadap Penawaran dan Populasi Sapi Serta Kesejahteraan Peternak di Provinsi Bali dengan menggunakan model ekonometrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan kuota perdagangan sapi potong dari Bali ke Jakarta dapat meningkatkan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta dan kesejahteraan peternak sapi, namun menurunkan populasi sapi di Bali. Jika kebijakan tersebut diimbangi dengan kebijakan peningkatan produksi (peningkatan realisasi teknologi IB, kredit, dan pencegahan pemotongan sapi betina induk produktif), maka penawaran dan populasi sapi serta kesejahteraan peternak di Bali dapat ditingkatkan secara simultan. Penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta merupakan penawaran yang dibatasi oleh kuota. Kondisi tersebut dicerminkan oleh perilaku penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta yang kurang responsif terhadap perubahan harga sapi potong di Jakarta. Penawaran tersebut lebih dipengaruhi oleh sisi produksi dibandingkan sisi harga. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan kuota cukup efektif untuk mengendalikan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta dalam rangka mencegah penurunan populasi. Priyanto (2003), melakukan evaluasi terhadap kebijakan impor daging sapi dalam rangka proteksi peternak domestik dengan menggunakan pendekatan analisis penawaran dan permintaan. Penelitian ini menggunakan model ekonometrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program Inseminasi Buatan (IB) belum mampu memperbaiki kualitas penawaran daging sapi, sementara laju perkembangan usaha peternakan rakyat tidak banyak dipengaruhi oleh harga daging sapi. Peningkatan konsumsi daging nasional meningkatkan volume impor daging sapi, sementara tarif impor membatasi volume impor daging sapi di Indonesia. Konsumsi daging nasional dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan responsif terhadap perubahan jumlah penduduk. Krisis moneter dan harga daging domestik berdampak menurunkan konsumsi daging nasional. Kenaikan harga daging impor meningkatkan harga daging domestik. Sementara penawaran daging domestik dan populasi sapi nasional cenderung menurunkan harga daging sapi domestik. Impor daging sapi kurang dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar rupiah.
41 Penghapusan tarif impor meningkatkan impor daging dan sapi bakalan. Kenaikan tarif impor 15 persen mampu menekan impor daging sapi sebesar 75.5 persen, namun tidak banyak berdampak terhadap perkembangan usaha peternakan rakyat. Simulasi peningkatan populasi sapi sebesar 20 persen berdampak menurunkan impor daging sapi sebesar 37.34 persen dan meningkatkan penawaran daging sapi nasional sebesar 17.65 persen serta meningkatkan penawaran daging peternakan rakyat sebesar 13.31 persen. Simulasi peningkatan realisasi IB sebesar 20 persen mampu menekan impor daging sebesar 38.22 persen, namun belum mampu meningkatkan kinerja usaha peternakan rakyat. Dengan menggunakan model ekonometrik, Kariyasa (2004) melakukan penelitian tentang permintaan dan penawaran daging sapi di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa produksi daging sapi dalam negeri dipengaruhi oleh harga daging sapi dalam negeri, suku bunga, populasi ternak sapi, harga ternak sapi, dan harga pakan. Sementara impor daging sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi impor, kurs rupiah terhadap dollar AS, tarif impor, dan peubah harga daging sapi dalam negeri. Harga daging sapi impor dipengaruhi oleh harga ternak sapi Australia, tarif impor dan kurs rupiah. Dalam jangka pendek dan jangka panjang produksi daging sapi dalam negeri hanya responsif terhadap perubahan harga daging sapi itu sendiri dan harga ternak sapi. Sementara itu, permintaan daging sapi dalam negeri hanya respon terhadap perubahan harga daging sapi itu sendiri dan pendapatan per kapita. Penelitian Tseuoa (2011) tentang dampak ASEAN Australia and New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) terhadap industri daging sapi di Indonesia dengan menggunakan model ekonometrik menunjukkan bahwa Penghapusan tarif impor daging sapi untuk impor dari Australia dan Selandia Baru dalam AANZFTA akan mengurangi produksi daging sapi dalam negeri, meningkatkan impor daging sapi dan penawaran daging sapi dalam negeri, dan menurunkan harga daging sapi dalam negeri sehingga permintaan daging sapi meningkat. Alternatif kebijakan terbaik untuk meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri dan mengurangi impor daging sapi adalah kombinasi dari pengurangan suku bunga sebesar empat persen, meningkatkan impor sapi bibit 60 persen, peningkatan teknologi inseminasi buatan 64 persen, dan peningkatan tarif impor daging sapi dari Australia dan Selandia Baru sebesar 40 persen. Kombinasi kebijakan ini dapat dilaksanakan menjelang pelaksanaan AANZFTA. Meskipun demikian, dengan kebijakan ini pada tahun 2014 Indonesia hanya akan mencapai swasembada daging sapi 52 persen. Menjivar (2004) melakukan kajian tentang pengaruh perubahan nilai tukar dan variabilitasnya terhadap perdagangan daging merah antara Kanada dan Amerika Serikat dengan menggunakan metode Johansen’s Maximum Likelihood Cointegration. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa depresiasi dolar Kanada terhadap US$ mempunyai pengaruh yang positif terhadap ekspor daging merah dari Kanada ke Amerika Serikat. Sementara volatilitas nilai tukar berpengaruh negatif terhadap ekspor daging merah dari Kanada ke Amerika Serikat. Walaupun signifikan dalam jangka pendek, namun pengaruhnya relatif kecil untuk beberapa komoditi. Devadoss et al. (2006) menganalisis dampak ekonomi dari kemungkinan penurunan permintaan akibat penyakit sapi gila terhadap industri daging dan ternak sapi di Amerika Serikat dengan menggunakan model CGE. Hasil kajian
42 menunjukkan bahwa skenario penurunan permintaan luar negeri sebesar 90 persen dan penurunan permintaan domestik 10 persen memberikan hasil yang konsisten dengan kejadian aktual setelah merebaknya penyakit sapi gila pada tahun 2003. Industri daging dan ternak sapi akan mengalami penurunan yang cukup besar secara ekonomi hanya jika permintaan domestik menurun secara signifikan. Jika ekspor daging sapi AS menurun 10 persen tidak banyak berpengaruh terhadap penurunan impor daging sapi AS. Kerugian secara ekonomi akan lebih buruk apabila wabah penyakit sapi gila terjadi lebih intensif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wabah penyakit sapi gila dalam skala besar dapat menghancurkan industri ternak dan daging sapi. Tabel 10 Ringkasan studi terdahulu tentang kebijakan perdagangan dan penawaran daging sapi No. Pengarang 1. Furuya (2000)
Topik
Metode analisis
2. Sukanata (2008)
penawaran dan permintaan daging sapi di Jepang Kebijakan kuota perdagangan
3. Priyanto (2003)
Kebijakan impor Ekonometrik daging sapi
4. Kariyasa (2004)
Penawaran dan Ekonometrik permintaan daging sapi di Indonesia Liberalisasi Ekonometrik perdagangan dan industri daging sapi di Indonesia
5. Tseuoa (2011)
Ekonometrik
Ekonometrik
6. Menjivar (2004)
Perubahan nilai Ekonometrik tukar dan perdagangan daging merah antara Kanada dan Amerika Serikat 7. Devadoss et Dampak CGE al. (2006) penyakit sapi gila terhadap permintaan 8. Somwaru and Valdes (2004)
Struktur produksi DEA nondaging sapi di parametric Brazil dan efisiensi produksi
Ringkasan studi kenaikan pengeluaran konsumen mempengaruhi impor, namun harga impor kurang berpengaruh terhadap industri daging sapi di Jepang. kebijakan kuota cukup efektif untuk mengendalikan penawaran sapi potong dari Bali ke Jakarta impor daging sapi kurang dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar dan penghapusan tarif impor meningkatkan impor daging dan sapi bakalan dalam jangka pendek dan jangka panjang produksi daging sapi dalam negeri hanya responsif terhadap perubahan harga daging sapi itu sendiri dan harga ternak sapi Penghapusan tarif impor daging sapi dari Australia dan Selandia Baru dalam AANZFTA akan mengurangi produksi daging sapi dalam negeri, meningkatkan impor dan penawaran daging sapi dalam negeri, serta menurunkan harga daging sapi dalam negeri. Depresisasi dolar Kanada terhadap US$ meningkatkan ekspor daging merah dari Kanada ke Amerika Serikat, namun volatilitas nilai tukar berpengarug negatif terhadap ekspor daging merah dari Kanada ke Amerika Serikat. Industri daging dan ternak sapi secara ekonomi akan mengalami penurunan yang besar hanya jika permintaan domestik menurun secara signifikan akibat adanya penyakit sapi gila. Peternakan sapi potong yang terintegrasi (pembibitan - pemotongan) paling efisien dengan skala pengembalian yang meningkat. Secara keseluruhan efisiensi usaha ternak sapi potong di Brazil masih rendah.
43 Somwaru and Valdes (2004) dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) non-parametric melakukan kajian terhadap perubahan struktur produksi daging sapi di Brazil serta mengukur efisiensi dan daya saingnya dengan menggunakan data hasil survey terhadap 450 usaha peternakan sapi potong. Struktur usaha peternakan sapi potong dibedakan menjadi 3 jenis yaitu pembibitan, penggemukan (feedloter), dan pembibitan-pemotongan. hasil kajian menunjukkan bahwa peternakan sapi potong yang terintegrasi (pembibitan - pemotongan) paling efisien dengan skala pengembalian yang meningkat. Secara keseluruhan efisiensi usaha ternak sapi potong di Brazil masih rendah (0.945). Usaha ternak sapi potong dalam skala besar ( 5 000 unit ternak) lebih menguntungan daripada usaha skala kecil ( 500 unit ternak). Brazil mempunyai keunggulan kompetitif dalam memproduksi daging sapi karena harga input yang rendah dan sumber daya alam yang melimpah dengan potensi sumber pakan ternak yang besar. Hal tersebut menyebabkan produksi dan ekspor daging sapi Brazil meningkat dengan pesat. Biaya tenaga kerja yang rendah dan potensi pasar domestik yang besar mendorong pengembangan ternak sapi dan produksi daging sapi. Menurut Kaimowitz et al. (2012), ada beberapa faktor yang mendorong peningkatan ekspor daging sapi Brazil antara lain devaluasi mata uang yang menyebabkan produk ekspor Brazil menjadi lebih kompetitif di pasar internasional. Sementara harga di pasar domestik meningkat sehingga peternak sapi potong terpacu untuk mengembangkan usahanya. Usaha penanggulangan penyakit kuku dan mulut melalui vaksinasi serta merebaknya penyakit sapi gila di luar Brazil (Kanada dan Amerika Serikat) pada tahun 2003 juga menyebabkan peningkatan ekspor daging sapi dari Brazil. Di sisi lain, peningkatan produksi ternak sapi juga menyebabkan penurunan luas hutan di negara tersebut. Peranan Teknologi dalam Swasembada Pangan Kajian tentang swasembada pangan yang dikaitkan dengan kebijakan perdagangan dan perkembangan teknologi telah dilakukan oleh Piñeiro (2006), Taniguchi (2001), Kraybill (2002), Beghin et al. (2003), Duncan et al. (2003), Taufikurahman (2004), De Janvry and Sadoulet (2001), Bautista (2000), serta Chemingui and Thabet (2009). Tabel 11 menyajikan ringkasan studi terdahulu terkait dengan dampak kebijakan perdagangan dan perkembangan teknologi terhadap swasembada pertanian. Piñeiro (2006), mengkaji dampak kebijakan yang terkait dengan meningkatnya keterbukaan ekonomi terhadap pembangunan sektor pertanian, dengan fokus adopsi teknologi di Argentina. Tingkat adopsi teknologi diukur dengan menggunakan proksi rata-rata tertimbang jumlah traktor yang terjual dan jumlah pupuk yang dikonsumsi. Untuk menganalisis dampak perubahan lingkungan ekonomi terhadap tingkat adopsi teknologi digunakan model ekonometrik dan untuk menganalisis kemungkinan jalur pertumbuhan dengan adanya implementasi kebijakan digunakan model CGE recursive dynamic. Hasil analisis menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi dan liberalisasi perdagangan mendorong produsen untuk mengadopsi teknologi baru. Motivasi untuk mengadopsi teknologi terjadi pada saat produsen kehilangan daya saing di pasar dunia dan/atau karena stabilitas dan transparansi ekonomi membuat produsen merasa lebih nyaman dengan adanya inovasi. Lingkungan makroekonomi yang
44 kondusif mempunyai pengaruh positif terhadap perubahan teknologi dan modernisasi produksi. Sementara itu, perdagangan bebas di tingkat dunia akan lebih mendorong pertumbuhan sektor pertanian dibandingkan dengan perjanjian perdagangan bebas regional. Namun, hal ini akan terjadi jika ada penurunan hambatan perdagangan dan subsidi produsen secara nyata di negara maju. Kebijakan swasembada pangan (beras) di Jepang diatur dalam undangundang pangan utama (food basic law) yang berlaku sejak tahun 1960-an dan hasilnya adalah rata-rata pendapatan rumah tangga petani pangan (food farmer household income) lebih tinggi dari pada rata-rata pendapatan tumahtangga masyarakat kota. Hasil simulasi menggunakan model keseimbangan umum (CGE) menunjukkan bahwa dampak liberalisasi perdagangan terhadap kemakmuran petani relatif kecil. Pendapatan rumah tangga petani penuh (full time farmer) hanya berkurang sekitar 6.3 persen jika tarif impor nol persen, jauh lebih kecil dari manfaat yang diperoleh konsumen dengan penurunan harga pangan yang terjadi. Dari sisi swasembada, ditemukan bahwa liberalisasi perdagangan akan meningkatkan impor yang berarti mengurangi tingkat swasembada (self sufficiency ratio) (Taniguchi 2001). Penelitian lain di Republik Dominika oleh Kraybill (2002) yang juga menggunakan model keseimbangan umum (CGE) menunjukkan bahwa perdagangan bebas untuk beras menguntungkan masyarakat terutama penduduk miskin yang membelanjakan sebagian besar penghasilannya untuk pangan. Penghapusan tarif beras sebesar 40 persen menurunkan harga beras impor sebesar 28 persen (dipengaruhi juga oleh Armington elasticity of substitution). Namun demikian bersama dengan penghapusan subsidi air guna menjaga keberlanjutan pemeliharaan, kebijakan penghapusan tarif impor menurunkan kemakmuran petani karena subsidi tersebut langsung mempengaruhi penerimaan lahan irigasi (return to irigated land) yang merupakan aset berharga yang dimiliki petani. Dampak dari penghapusan subsidi air dan tarif impor beras terhadap produksi dan impor sangat tergantung pada elastisitas perdagangan. Pada elastisitas perdagangan rendah kebijakan simultan tersebut akan mengurangi produksi beras 11.01 persen dan meningkatkan impor sebesar 20.06 persen. Sementara itu pada elastisitas moderat dan tinggi dampaknya secara berurutan adalah mengurangi produksi masing-masing 20.34 persen dan 39.23 persen serta meningkatkan impor masing-masing 43.76 persen dan 91.93 persen. Sementara itu penelitian Beghin et al. (2001) menggunakan model multimarket produk pertanian dan pangan untuk mengestimasi respon penawaran dan permintaan terhadap intervensi pemerintah dan efek kesejahteraan di Korea Selatan. Untuk mencapai swasembada, pemerintah Korea Selatan menggunakan instrumen pembatasan perdagangan dan harga administratif terhadap komoditas pertanian dan pangan penting, yang diikuti dengan target produksi. Hasil kajian menunjukkan bahwa kebijakan tersebut menyebabkan penurunan kesejahteraan. Tujuan swasembada menyebabkan penurunan permintaan dan peningkatan harga yang cukup signifikan. Sistem subsidi lebih optimal untuk mencapai swasembada. Duncan et al. (2003) melakukan penelitian tentang biaya ekonomi dalam program swasembada pangan di China dengan menggunakan model keseimbangan umum. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada perubahan kebijakan perdagangan maka tingkat swasembada secara perlahan akan mengalami penurunan. Untuk mempertahankan swasembada pada tingkat yang
45 sama dengan tahun 2001, diperlukan sedikit peningkatan proteksi. Namun, untuk mencapai swasembada penuh pada tahun 2010 untuk semua komoditas pertanian diperlukan proteksi yang cukup besar. Proteksi tersebut dapat menyebabkan kerugian pada pekerja rumah tangga dan perlambatan pertumbuhan di sektor modern. Tabel 11 Ringkasan studi terdahulu swasembada pangan
tentang
Topik
Metode analisis
1. Piñeiro (2006)
Keterbukaan ekonomi dan adopsi teknologi di Argentina
Ekonometrik; CGE recursive dynamic
2. Taniguchi (2001)
Liberalisasi perdagangan beras di Jepang
CGE
3. Kraybill (2002)
Liberalisasi pasar CGE beras & rasionalisasi harga air
4. Beghin et al. (2001)
Ketahanan pangan dan proteksi pertanian di Korea Selatan
No.
Pengarang
peranan
teknologi
dalam
Ringkasan studi stabilitas ekonomi dan liberalisasi perdagangan mendorong produsen untuk mengadopsi teknologi baru; perdagangan bebas di tingkat dunia akan lebih mendorong pertumbuhan sektor pertanian dibandingkan dengan perjanjian perdagangan bebas regional. liberalisasi perdagangan akan meningkatkan impor yang berarti mengurangi tingkat swasembada (self sufficiency ratio) Penghapusan subsidi air dan tarif impor beras akan menurunkan produksi dan meningkatkan impor beras di Republik Dominika.
multimarket model
Kebijakan swasembada dengan pembatasan perdagangan dan pemberlakukan harga administratif menyebabkan penurunan kesejahteraan. Sistem subsidi lebih optimal untuk mencapai swasembada.
5. Duncan et al. Biaya ekonomi (2003) program swasembada pangan di China
CGE
Untuk mempertahankan tingkat swasembada seperti tahun 2001 hanya diperlukan kenaikan proteksi yang relatif kecil, namun untuk mencapai swasembada penuh pada tahun 2010 diperlukan kenaikan proteksi yang cukup besar.
6. De Janvry and Sadoulet (2001)
Teknologi pertanian dan pengentasan kemiskinan
CGE
7. Taufikurahman (2004)
Produktivitas pangan dan kinerja perekonomian
CGE
Teknologi pertanian dapat mengurangi kemiskinan melalui pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung. Pengaruh langsung adalah meningkatnya kesejahteraan petani miskin pengguna teknologi. Sementara pengaruh tidak langsung adalah keuntungan yang diperoleh pihak lain dengan adanya adopsi teknologi melalui penurunan harga-harga bahan makanan, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi. peningkatan produktivitas pangan berdampak terhadap peningkatan output dan penurunan harga.
46 Tabel 11 (Lanjutan) No.
Pengarang
8. Bautista (2000)
Topik Pembangunan berbasis pertanian di Vietnam
Metode analisis SAM
9. Chemingui and liberalisasi CGE Thabet (2009) perdagangan dan kemiskinan
Ringkasan studi multiplier GDP sektor pertanian lebih besar dibandingkan dengan sektor pertambangan dan industri serta jasa Sebagai negara net importir produk pertanian, liberalisasi perdagangan akan menurunkan nilai tukar perdagangan di Tunisia
Taufikurahman (2004), dengan menggunakan Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2000 dan SNSE Tahun 1999 melakukan kajian tentang dampak peningkatan produktivitas pangan terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum. Besaran shock komoditas pangan yang digunakan untuk simulasi kebijakan adalah padi (1.29 persen), jagung (3.42 persen), kedelai (1.27 persen), ketela pohon (1.56 persen) dan umbi-umbian (1.69 persen). Hasil kajian menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas pangan berdampak terhadap peningkatan output dan penurunan harga baik di tingkat produsen maupun konsumen. Peningkatan produktivitas pangan hanya berdampak kecil terhadap kenaikan GDP riil. Di sisi lain, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga mengalami penurunan. De Janvry and Sadoulet (2001) melakukan kajian tentang peranan teknologi pertanian terhadap kemiskinan di negara-negara Afrika dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan total factor productivity (TFP) sebesar 10 persen melalui perubahan teknologi seperti penggunaan benih unggul pada semua jenis tanaman akan meningkatkan pendapatan rumah tangga baik di pedesaan (7.6 persen) maupun perkotaan (4.3 persen). Sementara PDB riil tumbuh sebesar 6,8 persen dan kesempatan kerja di luar sektor pertanian meningkat 8.3 persen. Di sisi lain, kenaikan teknologi pertanian menyebabkan penurunan harga pangan sebesar 6 persen. Pertumbuhan ekonomi juga merangsang kenaikan permintaan terhadap komoditas lainnya. Hal tersebut akan menekan kemiskinan baik secara langsung maupun tidak langsung. Fenomena yang sama juga terjadi apabila tejadi kenaikan TFP sebesar 10 persen pada subsektor peternakan, walaupun dampaknya tidak sebesar peningkatan TFP 10 persen pada seluruh sektor pertanian. Dengan menggunakan analisis multiplier SAM, Bautista (2000) mengkaji pengaruh pertumbuhan produktivitas terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dan dampaknya terhadap pemerataan pendapatan rumah tangga di Vietnam Tengah. Dalam kajian tersebut Bautista mengelompokkan unsur perekonomian ke dalam 25 aktivitas atau sektor produksi, 5 kelompok faktor produksi tenaga kerja serta mengelompokkan institusi ke dalam 4 golongan rumah tangga desa-kota berdasarkan kelompok pendapatan, 2 kelompok perusahaan (BUMN dan non BUMN), pemerintah dan neraca kapital serta Rest of the World (ROW). Hasil analisis multiplier tersebut menunjukkan bahwa multiplier GDP sektor pertanian lebih besar dibandingkan dengan sektor pertambangan dan industri serta jasa. Komoditas ubi kayu, ubi jalar dan ternak, yang sebagian besar
47 ditujukan untuk pasar lokal justru memiliki multiplier terbesar, sebaliknya beras dan komoditas lain yang berorientasi ekspor memiliki multiplier terkecil. Sektor industri, khususnya industri-industri skala besar yang padat modal dan kandungan impor tinggi memiliki multiplier yang relatif kecil dan sebaliknya untuk sektor industri pengolahan hasil pertanian. Chemingui and Thabet (2009), melakukan penelitian tentang liberalisasi perdagangan produk pertanian dan kemiskinan di Tunisia dengan menggunakan model CGE. Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagai negara net importir produk pertanian, Tunisia diperkirakan akan mengalami penurunan nilai tukar perdagangan akibat kenaikan harga-harga dunia produk pertanian. Sebagai negara dengan tingkat proteksi yang tinggi pada produk pertanian, maka sektor pertanian di Tunisia diperkirakan akan mengalami kerugian dalam rejim liberalisasi perdagangan yang akan menghapus proteksi tersebut. Di sisi lain, Tunisia juga memperoleh manfaat dari liberalisasi perdagangan berupa peningkatan efisiensi dalam proses produksi. Hasil simulasi menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dapat mengurangi tingkat kemiskinan rumah tangga di pedesaan, yang sebagian besar terdiri dari petani dan buruh di sektor pertanian. Hasil positif dari simulasi tersebut disebabkan oleh kemampuan petani untuk menggantikan komoditas yang semula diproteksi seperti gandum dan produk peternakan dengan komoditas ekspor seperti zaitun, kurma, dan jeruk.
Kerangka Konseptual Daging sapi merupakan komoditas pangan yang mempunyai peranan penting sebagai salah satu sumber protein hewani yang sangat diperlukan bagi perkembangan tubuh manusia. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, dan perubahan selera masyarakat, permintaan terhadap komoditas daging sapi juga semakin meningkat. Penyediaan daging sapi berasal dari produksi domestik dan impor. Kendala yang dihadapi dalam upaya memenuhi kebutuhan daging sapi nasional adalah laju pertumbuhan produksi domestik lebih lambat daripada laju permintaannya. Untuk menutupi kekurangan tersebut dilakukan impor baik dalam bentuk daging sapi maupun sapi bakalan yang kemudian dipelihara sebelum dilakukan pemotongan. Dalam beberapa tahun terakhir jumlah impor sapi bakalan dan daging sapi cenderung mengalami peningkatan. Ketergantungan yang tinggi terhadap produk impor akan mengancam ketahanan pangan dari sisi kemandirian pangan. Untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap impor daging sapi, pemerintah kembali menggulirkan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 (PSDSK 2014) setelah kegagalan program sebelumnya yaitu Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010 (Syamsu 2010). Program ini bertujuan untuk meningkatkan produksi daging sapi domestik dan mengurangi impor serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak. Program swasembada daging sapi untuk meningkatkan produksi daging sapi nasional pada dasarnya merupakan suatu kebijakan pemerintah dengan menerapkan strategi substitusi impor. Strategi substitusi impor diminati oleh banyak negara berkembang setidaknya karena 2 alasan berikut. Pertama, strategi
48 substitusi impor yang pada dasarnya diterapkan untuk memenuhi permintaan domestik akan barang-barang konsumsi tidak selalu memerlukan teknologi maju untuk memproduksinya. Kedua, bagian yang paling menarik dari strategi substitusi impor adalah kemungkinan penghematan devisa melalui penurunan belanja negara dalam bentuk valuta asing yang pada gilirannya akan menurunkan defisit perdagangan. Namun demikian strategi tersebut harus diterapkan secara rasional, karena untuk meningkatkan produksi daging sapi domestik juga menggunakan komponen input yang berasal dari impor. Apabila produk impor digantikan dengan produk domestik, maka harus diperhatikan seberapa besar devisa neto yang dihemat. Hal ini perlu dipertimbangkan karena dalam proses produksi domestik juga memerlukan input yang berasal dari impor baik secara langsung maupun tidak langsung (Bulmer-Tomas 1982). Dengan perbaikan teknologi dalam budidaya sapi potong melalui peningkatan dosis Inseminasi Buatan (IB) diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sektor tersebut. Bantuan pemerintah berupa pemberian subsidi bunga bagi usaha pembibitan sapi potong melalui Kredit Usaha Pembibitan Sapi Potong (KUPS) akan meningkatkan kemampuan peternak untuk meningkatan skala usahanya sehingga meningkatkan penyediaan sapi bakalan dan sapi bibit. Adanya peningkatan produktivitas dan penyediaan sapi bibit akan berdampak terhadap peningkatan produksi sapi potong dan menggeser kurva supply ke kanan yang pada gilirannya akan menurunkan harga produk sapi potong. Peningkatan produksi dan penurunan harga produk sapi potong pada gilirannya juga akan menurunkan harga daging sapi domestik sehingga lebih kompetitif dan mampu bersaing serta mensubstitusi daging impor. Peningkatan supply domestik juga akan berdampak terhadap peningkatan kesempatan kerja. Pertumbuhan output sektoral akan berdampak terhadap PDB subsektor peternakan. Selain itu juga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat dan pengeluaran devisa. Di lain pihak, kebijakan ekonomi berupa pengendalian impor yang diterapkan oleh pemerintah juga akan berpengaruh terhadap perkembangan produksi daging sapi domestik. Upaya untuk mengendalikan impor bisa melalui kebijakan tarif impor atau kuota impor. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan kebijakan tarif/kuota impor akan berpengaruh terhadap harga impor daging sapi dan sapi bakalan yang akan mempengaruhi produksi daging sapi domestik.
49 pertumbuhan penduduk perkembangan ekonomi perubahan selera pertumbuhan produksi lambat
PERMINTAAN DAGING SAPI
impor
kemandirian pangan
KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI
peningkatan produktivitas SP → teknologi IB penyediaan bibit → subsidi bunga pengaturan stok →pengendalian impor
penyediaan bibit → impor sapi bibit
input domestik
tarif/kuota impor nilai tukar
impor input
X dan M DSP
produksi SP
produksi DSP
daya beli RT
devisa
pendapatan RT Peternakan
supply domestik
permintaan DSP
harga
Keterangan: SP DSP RT X M
= = = = =
sapi potong daging sapi rumah tangga ekspor impor
Kinerja Peternakan (GDP, Kesempatan kerja) Kesejahteraan Pengeluaran Devisa
Gambar 11 Kerangka analisis penelitian
kesempatan kerja Peternakan
50
Halaman ini sengaja dikosongkan
3 METODOLOGI PENELITIAN Spesifikasi Model Model merupakan suatu representasi dari fenomena aktual yang meliputi sistem atau proses yang riil. Sementara itu model ekonometrika adalah suatu pola khusus dari model aljabar suatu fenomena ekonomi yang bersifat stochastic yang mencakup satu atau lebih variabel pengganggu (Intriligator 1978). Menurut Koutsoyiannis (1977), model ekonometrika merupakan gabungan atau integrasi dari teori ekonomi, matematika ekonomi, dan statistik. Model ekonometrika, tidak seperti teori ekonomi dan matematika ekonomi, mempertimbangkan adanya pengaruh gangguan yang random sehingga menghasilkan suatu pola perilaku ekonomi yang tidak deterministik. Model ekonometrika dapat digunakan untuk: (1) alat analisis, seperti pengujian atas teori ekonomi, (2) penetapan kebijakan, yaitu menyediakan nilai estimasi parameter perilaku ekonomi, dan (3) peramalan dampak, yaitu menggunakan nilai estimasi tersebut untuk memprediksi kondisi ekonomi mendatang. Model ekonometrika merupakan gambaran dari hubungan masing-masing variabel penjelas (explanatory variables) terhadap variabel endogen (endogenous variables). Model yang baik haruslah memenuhi: (1) kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful) khususnya yang menyangkut tanda dan besaran (magnitude and sign) dari parameter persamaan yang terbentuk apakah sesuai dengan harapan teoritis secara apriori, (2) kriteria statistika yang dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) dan secara statistik memuaskan (statistically satisfactory), serta (3) kriteria ekonometrika yang menetapkan apakah estimasi parameter memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, efficiency, consistency, dan sufficiency (Koutsoyiannis 1977). Spesifikasi model merupakan suatu upaya untuk mempelajari hubungan antar variabel dan kemudian mengekpresikan hubungan tersebut dalam bentuk persamaan matematika. Spesifikasi model ekonometrika dibuat berdasarkan pada teori ekonomi dan berbagai pengalaman empiris yang berhubungan dengan fenomena yang sedang dipelajari. Koutsoyiannis (1977) menyatakan bahwa spesifikasi model meliputi penentuan mengenai: (1) dependent dan independent variable (jika menggunakan model persamaan tunggal) atau endogenous dan exogenous variable (jika menggunakan model persamaan simultan) yang dimasukkan dalam model, (2) harapan secara teori mengenai tanda dan besaran parameter estimasi dari fungsi yang sedang dipelajari, (3) bentuk matematika dan model (jumlah persamaan, apakah bentuk persamaan linier atau non linier, dan sebagainya). Model ekonometrika dibedakan atas persamaan tunggal dan persamaan simultan. Persamaan tunggal adalah persamaan di mana dependent variable dinyatakan sebagai sebuah fungsi dari satu atau lebih independent variables, sehingga hubungan sebab akibat antara dependent dan independent variables merupakan hubungan satu arah. Sedangkan persamaan simultan adalah suatu persamaan yang membentuk suatu sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan diantara berbagai variabel dalam persamaan tersebut. Perumusan model ekonometrika swasembada daging sapi serta keterkaitan
52 dengan perekonomian Indonesia terdiri dari beberapa persamaan struktural dan persamaan identitas. Persamaan struktural merupakan representasi dari variabelvariabel endogen dan eksogen yang secara operasional menghasilkan tanda dan besaran nilai-nilai parameter sesuai dengan harapan teoritis secara apriori. Untuk menyusun model yang bersifat dinamik dengan memasukkan variabel bedakala ke dalam model (Sitepu dan Sinaga 2006).
Jumlah Wisman Harga Daging Sapi Dunia (AS) Harga Daging Sapi Australia
Nilai Tukar Rupiah
Harga Sapi Bakalan
Impor Sapi Bakalan
Faktor konversi
Tarif Impor
Impor Daging dari Sapi Bakalan
Harga Daging Sapi Impor
Total Impor Daging Sapi
Impor Ternak
Penawaran Daging Sapi Domestik
Trend Harga Daging Sapi Jakarta
Harga Daging Ayam Ras
Dummy Kebijakan PSDSK 2014
Curah Hujan Inseminasi Buatan Suku Bunga Bank Impor Sapi Bibit
Impor Daging Sapi
Ekspor Daging Sapi
Dummy Krisis Ekonomi
Harga Daging Sapi Domestik
Permintaan Daging Sapi Domestik
Produksi Daging Sapi
Populasi Ternak
Produksi Ternak
Produksi Daging Sapi Domestik
Produksi Daging Sapi Lokal
Produksi Daging Extra Weight Sapi Bakalan Impor
Excess Demand Daging Sapi
GDP Non Peternakan GDP Non-migas
GDP Peternakan
GDP Sapi Potong
GDP Non Sapi Potong Upah Peternakan
Keterangan : = variabel endogen = variabel eksogen
Pertumbuhan GDP Peternakan
Permintaan TK Peternakan
Gambar 12 Keterkaitan antar variabel dalam model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia
53 Semua variabel endogen merupakan variabel yang diestimasi parameternya dan sekaligus dihipotesiskan dalam persamaan yang menggambarkan produksi sapi potong, penawaran dan permintaan daging sapi, serta kinerja subsektor peternakan di Indonesia. Di kelompok lain, terdapat variabel penjelas yang terdiri atas variabel eksogen (exogenous variables) dan lag endogen (lagged endogenous variables). Variabel eksogen merupakan variabel yang mempengaruhi variabel endogen dalam sistem, tetapi nilai variabel tersebut tidak dipengaruhi oleh sistem. Beberapa persamaan dalam model diadaptasi dari hasil penelitian Ilham (1998), Kariyasa (2004), Sukanata (2008), dan Tseuoa (2011) dengan beberapa penyesuaian yang diperlukan dalam penelitian ini. Spesifikasi model dalam studi ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu membangun model untuk menganalisis dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia. Model ekonometrika yang dibangun telah mengalami beberapa kali respesifikasi. Model terdiri dari persamaan struktural dan identitas, yang dikelompokkan menjadi 5 blok persamaan, yaitu: (1) blok penawaran ternak sapi potong, (2) blok penawaran daging sapi, (3) blok permintaan permintaan daging sapi, (4) blok harga daging sapi, dan (5) blok kinerja subsektor peternakan. Masing-masing blok terdiri dari persamaan struktural dan persamaan identitas. Keterkaitan antar variabel dalam suatu persamaan pada masing-masing blok dapat dilihat pada Gambar 12. Blok Penawaran Ternak Sapi Potong Produksi Ternak Sapi Potong Produksi ternak sapi potong adalah jumlah ternak sapi yang dilahirkan hidup selama jangka waktu tertentu (satu tahun). Hasil produksi tersebut sebagian besar ditawarkan untuk dipotong dan sebagian lagi diekspor ke luar negeri. Populasi ternak akan tumbuh apabila tingkat pemotongan ternak dan ekspor lebih rendah dibandingkan dengan produksi ternak ditambah impor ternak dari luar negeri. Produksi ternak sapi berkaitan dengan populasi betina induk, tingkat teknologi yang digunakan, ketersediaan pakan, dan realisasi kreadit untuk pengembangan ternak sapi. Sapi betina induk merupakan mesin biologis untuk memproduksi anak, oleh karena itu peningkatan populasi sapi betina induk diharapkan dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan produksi sapi. Sapi betina induk berasal dari sapi domestik dan impor sapi bibit. Dengan adanya tambahan sapi betina induk yang berasal dari impor diharapkan akan dapat memacu peningkatan produksi ternak sapi domestik. Karena keterbatasan data yang tersedia, jumlah sapi betina produktif menggunakan proksi populasi ternak sapi dengan asumsi semakin besar populasi ternak sapi maka jumlah sapi betina produktif juga semakin besar. Dalam salah satu kegiatan pokok PSDSK 2014, upaya peningkatan produksi daging sapi domestik dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal. Upaya peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan perbaikan teknologi berupa optimalisasi IB (Inseminasi Buatan) dan INKA (Intensifikasi Kawin Alam); penyediaan dan pengembangan pakan dan air; dan penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan. Tingkat adopsi teknologi dalam budidaya ternak sapi potong
54 menggunakan proksi jumlah dosis IB. Teknologi IB merupakan upaya untuk mengatasi kesulitan untuk memperoleh pejantan yang berkualitas, sehingga produktivitas ternak sapi potong meningkat dan akan mendorong pertumbuhan produksi ternak sapi. Pakan sapi merupakan input produksi yang sangat penting. Hampir semua peternak menggunakan pakan hijauan sebagai pakan sapi. Karena keterbatasan data, dalam penelitian ini akan digunakan data curah hujan sebagai proksi ketersediaan hijauan pakan ternak pada usaha peternakan rakyat. Ketersediaan hijauan pakan ternak terkait dengan volume curah hujan. Semakin tinggi curah hujan yang terjadi dalam suatu periode (satu tahun) diharapkan dapat menghasilkan pakan hijauan yang lebih banyak sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan produksi ternak sapi. Seperti halnya usaha bisnis lainnya, dalam pengembangan usaha peternakan juga diperlukan dana yang cukup besar. Salah satu sumber dana yang ada adalah dari pinjaman bank. Semakin tinggi realisasi kredit dari perbankan untuk pengembangan usaha peternakan sapi, diharapkan akan dapat meningkatkan produksi sapi. Tinggi rendahnya tingkat bunga pinjaman pada bank akan mempengaruhi peternak untuk meminjam modal pada bank. Semakin tinggi tingkat bunga yang berlaku maka akan menurunkan kesediaan peternakan untuk meminjam karena biayanya semakin besar. Dengan demikian tambahan modal untuk peternak yang bersumber dari bank menjadi semakin kecil. Berdasarkan uraian di atas maka persamaan produksi sapi dapat dirumuskan sebagai berikut: QTSt = a0 + a1POPTt-2 + a2MSBTt-2 + a3VIBt-1 + a4CHt-1 + a5RIRt + U1 (3.1) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut: a1, a2, a3, a4 > 0 dan a5 < 0 keterangan: QTSt POPTt-2 VIBt-1 CHt RIRt MSBTt-2
= = = = = =
Jumlah produksi ternak sapi potong Populasi ternak sapi potong pada tahun t-2 Jumlah dosis IB yang digunakan pada tahun t-1 Curah hujan Suku bunga riil Impor sapi bibit pada tahun t-2
Impor Ternak Sapi Potong Impor ternak sapi meliputi impor sapi untuk bibit dan impor sapi bakalan. Impor sapi bakalan ditujukan untuk produksi daging sapi, sementara impor sapi bibit ditujukan untuk menghasilkan pedet. Usaha penggemukan sapi (feedlot) lebih memilih impor sapi bakalan dari Australia daripada membeli sapi bakalan hasil pembibitan di dalam negeri. Ada beberapa alasan yang mendasari keputusan tersebut, antara lain: (1) sapi bakalan impor lebih murah daripada sapi bakalan domestik, (2) untuk memperoleh sapi bakalan dalam jumlah besar, cara impor lebih cepat dibandingkan dengan pengadaan dari dalam negeri, dan (3) waktu dan biaya transportasi dari Australia (Darwin) lebih murah dibandingkan dengan mendatangkan sapi bakalan dari NTT, NTB, dan Sulawesi Selatan (Hadi dan Ilham 2002).
55 Impor sapi bakalan merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi nasional. Impor sapi bakalan dipengaruhi harga impor sapi bakalan, nilai tukar rupiah, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, produksi daging sapi lokal, permintaan daging sapi, kebijakan PSDSK 2014, dan krisis ekonomi. Persamaan impor ternak sapi dapat dirumuskan sebagai berikut: MSBKt = b0 + b1RHSBKt + b2RNTRt + b3WAt + b4QSDSLt + b5QDDSt + b6D1t + b7D2t + U2 ...........................................
(3.2)
MTSt
(3.3)
= MSBTt + MSBKt ................................................................
Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut: b1, b2, b4, b6, b7 < 0 dan b3, b5 > 0 keterangan: MSBTt MSBKt MTSt RNTRt WAt RHSBKt QSDSLt QDDSt D1t
= = = = = = = = =
D2t
=
Impor sapi bibit Impor sapi bakalan Total impor ternak sapi Nilai tukar rupiah riil terhadap US Dollar Jumlah wisatawan mancanegara Harga riil sapi bakalan impor Produksi daging sapi lokal Permintaan daging sapi Dummy swasembada daging sapi, (D = 1, ada kebijakan swasembada dan D = 0, tidak ada kebijakan swasembada) Dummy krisis ekonomi, (D = 1, saat krisis dan D = 0, bukan krisis)
Populasi Ternak Sapi Potong Populasi ternak sapi adalah jumlah ternak sapi pada satu tahun tertentu. Populasi ternak dipengaruhi oleh penambahan dan pengurangan ternak serta populasi ternak tahun sebelumnya. Penambahan ternak berasal dari jumlah produksi ternak dan impor ternak. Sedangkan pengurangan ternak disebabkan oleh pemotongan ternak untuk menghasilkan daging, kematian, dan ekspor ternak ke luar negeri. Ekspor ternak jumlahnya sangat kecil dan data jumlah kematian ternak tidak tersedia dengan baik, sehingga kedua variabel tersebut tidak dimasukkan dalam model. Jumlah pemotongan ternak menggunakan proksi produksi daging sapi, baik yang berasal dari pemotongan sapi lokal maupun sapi bakalan impor. Persamaan populasi ternak sapi adalah sebagai berikut: POPTt
= c0 + c1QTSt + c2MTSt + c3QSDt + c4POPTt-1 + U3 ......
(3.4)
QSDt
= QSDSt + QBMt ............................................................
(3.5)
Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut: c3 < 0; c1, c2 > 0; dan 0 < c4 < 1 keterangan: POPTt QTSt MTSt QSDt QSDSt QBMt POPTt-1
= = = = = = =
Populasi ternak sapi Jumlah produksi ternak sapi potong Total impor ternak sapi Total produksi daging sapi Total produksi daging sapi dalam negeri Impor daging dalam bentuk sapi bakalan Populasi ternak sapi potong pada tahun t-1
56 Blok Penawaran Daging Sapi Produksi Daging Sapi Domestik Produksi daging sapi domestik bersumber dari pemotongan sapi bakalan lokal dan tambahan bobot sapi bakalan impor setelah dilakukan pemeliharaan di dalam negeri. Berdasarkan hasil studi “Penyempurnaan Neraca Pangan Komoditas Peternakan (Karkas)” tahun 2002, rata-rata berat hidup sapi impor yang dipotong sekitar 487.02 kg/ekor (BPS 2002). Rata-rata berat sapi bakalan impor dalam periode 1999–2008 sekitar 346.34 kg/ekor. Dengan demikian penambahan bobot selama pemeliharaan sekitar 40.62 persen. Meningkatnya produksi ternak sapi akan meningkatkan penawaran ternak sapi untuk dipotong yang berarti akan meningkatkan produksi daging sapi. pemotongan ternak sapi pada umumnya dilakukan pada ternak dewasa, yaitu yang ternak berumur lebih dari 2 tahun. Peningkatan harga daging dapat merangsang peningkatan jumlah ternak yang dipotong, sehingga peningkatan harga daging sapi berpotensi meningkatkan produksi daging sapi. Volume daging sapi impor yang beredar di pasar domestik juga berpengaruh terhadap produksi daging sapi domestik. Dengan tingkat harga yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga daging sapi domestik, maka daging sapi impor merupakan pesaing bagi daging sapi lokal. Perubahan produksi biasanya dipengaruhi produksi tahun sebelumnya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka persamaan produksi daging sapi dapat diformulasikan sebagai berikut: QSDSLt = d0 + d1RHDSt-1 + d2QTSt-2 + d3QSMt + d4D1t + d5QSDSLt-1 + U4 ................................................................. (3.6) QSDSMt = 0,4062 * QBM .................................................................... (3.7) QSDSt = QSDSLt + QSDSMt ........................................................... (3.8) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut: d3 < 0; d1, d2, d4 > 0; dan 0 < d5 < 1 keterangan: QSDSt QSDSLt QSDSMt QBM QSDSLt-1 RHDSt-1 QTSt-2 QSMt D1t
= = = = = = = = =
Total produksi daging sapi dalam negeri Produksi daging sapi lokal Produksi daging sapi dari tambahan bobot tenak sapi bakalan impor Impor daging dalam bentuk sapi bakalan Lag produksi daging sapi lokal Lag harga riil daging sapi dalam negeri Produksi ternak sapi potong tahun t-2 Total impor daging sapi Dummy swasembada daging sapi, (D = 1, ada kebijakan swasembada dan D = 0, tidak ada kebijakan swasembada)
Impor Daging Sapi Nasional Impor daging sapi diperoleh dari impor dalam bentuk daging sapi ditambah dengan hasil pemotongan ternak yang berasal dari impor sapi bakalan. Karena keterbatasan data penawaran daging sapi yang berasal dari impor sapi bakalan, maka produksi daging sapi dari impor sapi bakalan dihitung dengan menggunakan faktor konversi terhadap ternak hidup yang diadopsi dari beberapa hasil studi BPS (2002). Hasil studi menunjukkan bahwa setiap ekor ternak sapi
57 bakalan impor yang dipotong dengan berat 487.02 kg/ekor, rata-rata menghasilkan 232.01 kg karkas. Faktor konversi dari karkas ke daging adalah 0.8 (periode 1990–2001) dan 0.7493 (periode 2002–2011). Faktor konversi dari ternak hidup menjadi potongan daging tanpa tulang merupakan hasil perkalian antara rasio karkas terhadap ternak hidup dengan faktor konversi karkas ke daging. Dengan demikian, jumlah produksi daging sapi yang berasal dari impor sapi bakalan diperoleh dari hasil kali volume impor sapi bakalan setiap tahun (ribu ton) dengan faktor konversi tersebut. Hal ini dilakukan karena pada saat menghitung swasembada daging sapi di Indonesia, maka produksi daging sapi domestik semestinya adalah hasil pemotongan ternak sapi yang diproduksi di dalam negeri. Secara teoritis, adanya perbedaan harga yang relatif besar antar wilayah merupakan sinyal untuk mendorong terjadinya perdagangan antar wilayah. Kelangkaan pasokan daging sapi lokal dan adanya permintaan dari segmen pasar tertentu (kedutaan negara lain, hotel berbintang, restoran besar, dan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas) merupakan alasan untuk membuka peluang impor daging sapi (Bielik and Kunova 2007). Persamaan impor daging sapi Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: QDMt = e0 + e1RHSMt + e2RNTRt + e3QSDSLt + e4QDDSt + e5QDMt-1 + U5 ......................................................................
(3.9)
QBMt = kt * MSBKt .......................................................................... (3.10) QSMt = QDMt + QBMt ..................................................................... (3.11) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut: e 1, e2, e3 < 0; e4 > 0; dan 0 < e5 < 1 keterangan: QDMt QBMt QSMt RHSMt RNTRt QSDSLt QDDSt QDMt-1 kt MSBKt
= = = = = = = = = =
Impor daging sapi Indonesia Impor daging dalam bentuk sapi bakalan Total Impor daging sapi Harga riil daging sapi impor Nilai tukar rupiah riil terhadap US Dollar Produksi daging sapi lokal Permintaan daging sapi Lag impor daging sapi Indonesia Faktor konversi Impor sapi bakalan
Penawaran Daging Sapi Nasional Penawaran daging sapi nasional merupakan penjumlahan dari produksi daging sapi domestik ditambah dengan impor daging sapi dikurangi ekspor daging sapi. Sesuai sifat daging segar yang bervolume besar (voluminuous atau bulky) dan gampang rusak (perisable), maka istilah stok dalam perdagangan daging sapi relatif terbatas dan hanya terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini disebabkan karena biaya penyimpanan dengan cold storage cukup mahal dan tersedia dalam jumlah yang terbatas. Penawaran daging sapi domestik merupakan persamaan identitas yang dapat dirumuskan sebagai berikut: QSTt
= QSDSt + QSMt QSEt ................................................... (3.12)
58 keterangan: QSTt QSDSt QSMt QSEt
= = = =
Total penawaran daging sapi dalam negeri Produksi daging sapi dalam negeri Total impor daging sapi Indonesia Ekspor daging sapi Indonesia
Blok Permintaan Daging Sapi Permintaan Daging Sapi Domestik Permintaan terhadap suatu barang, secara teoritis dipengaruhi oleh harga barang tersebut dan harga barang lain (substitusi/komplemen). Daging ayam, diduga merupakan barang substitusi dari daging sapi. Selain itu juga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat. Persamaan permintaan atau konsumsi daging sapi domestik dirumuskan sebagai berikut: QDDSt = f0 + f1RHDSt + f2RHDAYt + f3GDPt + f4D1t + f5D2t + U6 (3.13) GDPt
= GDPPt + GDPNPt .............................................................. (3.14)
Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut: f1, f5 < 0 dan f2, f3, f4 > 0 keterangan: QDDSt RHDSt HDAYt GDPt GDPPt GDPNPt D1t
= = = = = = =
D2t
=
Permintaan daging sapi dalam negeri Harga riil daging sapi dalam negeri Harga riil daging ayam GDP non-migas GDP subsektor peternakan GDP non-peternakan Dummy swasembada daging sapi, (D = 1, ada kebijakan swasembada dan D = 0, tidak ada kebijakan swasembada) Dummy krisis ekonomi, (D = 1, saat krisis dan D = 0, bukan krisis)
Excess Demand Daging Sapi Excess demand merupakan kelebihan permintaan atas penawaran yang ada. Selama ini Indonesia merupakan negara net importir daging sapi, yang berarti kebutuhan daging sapi dalam negeri tidak bisa dipenuhi oleh produksi daging sapi dalam negeri sehingga dilakukan impor baik dalam bentuk daging sapi maupun sapi bakalan. Dalam kebijakan swasembada daging sapi, ditargetkan bahwa jumlah impor maksimum 10 persen dari kebutuhan domestik. Kelebihan permintaan atas penawaran (excess demand) daging sapi dalam negeri dapat dirumuskan sebagai berikut: EQDSt = QDDSt–QSDSt ................................................................... (3.15) keterangan: EQDSt QDDSt QSDSt
= = =
Excess demand daging sapi Permintaan daging sapi dalam negeri Produksi daging sapi dalam negeri
59 Blok Harga Daging Sapi Harga Riil Daging Sapi Domestik Harga suatu komoditas di pasar ditentukan oleh total permintaan dan penawarannya (Henderson and Quandt 1980). Model pasar yang demikian disebut model equilibrium, di mana harga ditentukan pada saat penawaran sama dengan permintaan. Sebagai negara kecil (small country) dan net importir daging sapi, harga daging sapi domestik juga dipengaruhi oleh harga daging sapi impor dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Kota Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi dan konsumen daging sapi yang cukup dominan di Indonesia. Dengan demikian, perubahan harga daging sapi di Jakarta diduga akan mempengaruhi harga daging sapi nasional. Persamaan harga daging sapi domestik dapat dirumuskan sebagai berikut: RHDSt = g0 + g1RHDSJt + g2RHSMt + g3RNTRt + g4QSDSt + g5QDDSt + g6Tt + g7RHDSt-1 + U7 ...................................... (3.16) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut: g4 < 0; g1, g2, g3, g5, g6 > 0 dan 0 < g7 < 0 keterangan: RHDSt RHDSJt RHSMt RNTRt QSDSt QDDSt Tt RHDSt-1
= = = = = = = =
Harga riil daging sapi dalam negeri Harga riil daging sapi Jakarta Harga riil daging sapi impor Nilai tukar rupiah riil terhadap US Dollar Produksi daging sapi dalam negeri Permintaan daging sapi dalam negeri Trend waktu Lag harga riil daging sapi dalam negeri
Harga Riil Daging Sapi Impor Impor daging sapi terutama berasal dari Australia, sehingga harga daging sapi di Australia akan berpengaruh terhadap harga daging sapi impor di Indonesia. Selain itu harga riil daging sapi dunia juga akan mempengaruhi harga riil daging sapi impor. Harga dunia daging sapi impor diwakili oleh harga daging sapi di Amerika Serikat sebagai negara produsen dan konsumen daging sapi terbesar di dunia. Kebijakan tarif impor juga berpengaruh terhadap harga daging sapi impor di Indonesia. Persamaan harga daging sapi impor dapat dirumuskan sebagai berikut: RHSMt = h0 + h1RHDSWt + h2HDSAt + h3TIt + h4RHSMt-1 + U8 .......... (3.17) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut: h1, h2, h3 > 0 dan 0 < h4 < 1 keterangan: RHSMt RHDSAt RHDSWt TIt RHSMt-1
= = = = =
Harga riil daging sapi impor Harga riil daging sapi di Australia Harga riil daging sapi dunia Tarif Impor daging sapi Lag harga riil daging sapi impor
60 Blok Kinerja Subsektor Peternakan GDP Subsektor Peternakan Output yang dihasilkan dari suatu proses produksi dipengaruhi oleh jumlah input dan teknologi yang digunakan. Tingkat output sapi potong akan mempengaruhi nilai GDP sapi potong yang merupakan bagian dari GDP subsektor peternakan. Output sapi potong meliputi jumlah kelahiran hidup ternak sapi dan penambahan berat ternak sapi setelah dilakukan pemeliharaan/hasil penggemukan. GDP subsektor peternakan merupakan penjumlahan dari GDP sapi potong dan GDP non-sapi potong. GDP sapi potong dan GDP peternakan dapat dirumuskan sebagai berikut: GDPSPt = i0 + i1QTSt + i2MSBKt + i3D2t + i4GDPSPt-1 + U9 ............ (3.18) GDPPt
= GDPSPt + GDPNSPt .......................................................... (3.19)
Tingkat pertumbuhan GDP peternakan (GROWTHt) merupakan persamaan identitas sebagai berikut: GROWTHt = (GDPPt GDPPt-1 ) / GDPPt-1 * 100 .............................. (3.20) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berilut: i3 < 0 ; i1, i2 > 0 dan 0 < i4 < 0 keterangan: GDPSPt GDPNSPt GDPPt QTSt MSBKt GDPSPt-1 GDPPt-1 GROWTHt
= = = = = = = =
GDP sapi potong GDP non-sapi potong GDP subsektor peternakan Produksi ternak sapi potong Impor sapi bakalan Lag GDP sapi potong Lag GDP peternakan Pertumbuhan GDP subsektor peternakan
Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan Permintaan tenaga kerja subsektor peternakan dipengaruhi oleh upah tenaga kerja dan PDB subsektor peternakan. PDB peternakan dirinci menjadi PDB sapi potong dan PDB non-sapi potong. Persamaan permintaan tenaga kerja subsektor peternakan dapat dirumuskan sebagai berikut: DLPt = j0 + j1RWPt + j2GDPSPt + j3GDPNSP + j4DLPt-1+ U10 ....... (3.21) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut: j1 < 0 ; j2, j3 > 0; dan 0 < j4 < 1 keterangan: DLPt RWPt GDPSPt GDPNSPt DLPt-1
= = = = =
Permintaan tenaga kerja subsektor peternakan Upah riil tenaga kerja subsektor peternakan GDP sapi potong GDP non-sapi potong Lag permintaan tenaga kerja nasional subsektor peternakan
61 Prosedur Analisis Identifikasi Model Dalam penelitian ini digunakan pendekatan ekonometrik dengan sistem persamaan simultan. Dalam sistem persamaan simultan jumlah persamaan harus sama dengan jumlah variabel endogen. Untuk itu diperlukan identifikasi model. Identifikasi model ditentukan berdasarkan order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition adalah sebagai berikut (Koutsoyiannis 1977): (K M) > (G 1) ............................................................................ (3.22) keterangan: K = total variabel dalam model, yaitu jumlah endogenous variables dan predetermined variables, M = jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model, dan G = total persamaan dalam model, yaitu jumlah variabel endogen dalam model.
Jika dalam suatu persamaan model menunjukkan kondisi sebagai berikut: ( K – M ) > ( G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (over identified), (K – M ) = ( G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified), dan (K – M ) < (G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified). Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural harus exactly identified atau over identified untuk dapat mengestimasi parameternya. Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan tersebut tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus syarat cukup yang ditentukan oleh rank condition yang menyatakan suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G 1) dari parameter struktural variabel yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut (Koutsoyiannis 1977). Dari spesifikasi model yang telah ditentukan sebelumnya, diketahui bahwa total endogenous variables adalah sebanyak 21 variabel, yang terdiri dari 10 persamaan struktural dan 11 persamaan identitas, serta 31 predetermined variables yang terdiri dari 21 exogenous variables dan 10 lag endogenous variables. Jumlah variabel terbanyak dalam suatu persamaan adalah 8 variabel. Dalam model ini diperoleh jumlah K = 52, M = 8, dan G = 21. Berdasarkan kriteria order condition, persamaan struktural dalam model teridentifikasi secara over identified. Dengan demikian estimasi parameter dapat dilakukan dengan menggunakan metode 2SLS (Two Stage Least Squares). Estimasi model dilakukan dengan program komputer/software SAS versi 9.1.
62 Uji Statistik F dan Uji Statistik t Pada setiap persamaan digunakan uji statistik F untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak variabel endogen. Selanjutnya, untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan dilakukan uji statsitik t. Pada uji satatistik-F, hipotesis yang digunakan: H0 : 1 + 1 + ... + i = 0 ............................................................................. (3.23) H1 : minimal ada satu i ≠ 0 ......................................................................... (3.24) keterangan: i = banyaknya variabel bebas dalam suatu persamaan.
Apabila nilai peluang (P-value) uji statistik F < taraf α, maka H0 tolak. H0 ditolak berarti variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Pada uji satatistik t, hipotesis yang digunakan: H0 : i = 0 ..................................................................................................... (3.25) H1 : uji satu arah .......................................................................................... (3.26) a). i > 0; b). i < 0; Kriteria uji: Jika: i > 0, bila P-value uji t < α, maka disimpulkan tolak H0. i < 0, bila P-value uji t < α, maka disimpulkan tolak H0. Uji Statistik Durbin Watson (Dw) dan Durbin h Untuk mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan uji Dw (Durbin-Watson Statistics) dan Dh (Durbin-h Statistics). Uji Dh digunakan apabila dalam persamaan simultan tersebut terdapat variabel bedakala (lag endogenous variable). Menurut Pyndick dan Rubinfiled (1998a) uji serial korelasi menggunakan uji statistik Dw (Durbin Watson) tidak valid untuk digunakan pada persamaan yang memiliki variabel bedakala. Sebagai penggantinya, maka digunakan uji ststistik Dh sebagai berikut:
n 1 ............................................................. (3.27) h = 1 d 2 1 nvar keterangan: d = n = var (β) =
dw statisitik jumlah pengamatan varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable.
Jika ditetapkan taraf α = 0.05, diketahui -1.96 < hhitung < 1.96 disimpulkan bahwa persamaan tidak mengalami serial autokorelasi. Jika nilai hitung hhitung ≤ -1.96 maka terdapat autokorelasi negatif, sebaliknya jika diketahui hhitung ≥ 1.96 maka terdapat autokorelasi positif.
63 Validasi Model Setelah dilakukan identifikasi dan estimasi model, tahap selanjutnya dilakukan validasi model. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dibangun cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan dan peramalan, dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Kriteria uji validitas model yang digunakan adalah ketepatannya menjelaskan dan menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Uji validitas model yang sering digunakan adalah Root Means Squares Error (RMSE), Root Mean Squares Percent Error (RMSPE), dan Theil’s Inequality Coefficient (U-Theil). Kriteria-kriteria tersebut dirumuskan sebagai berikut (Pindyck and Rubinfeld 1998a):
RMSE =
1 n s Yt Yt a n t 1
RMSPE =
1 n Yt s Yt a x100 .................................................. (3.29) a n t 1 Yt
2
............................................................ (3.28)
2
U
1 n Yt s Yt a n t 1
= n
1 Yt s n t 1
2
n
2
.............................................. (3.30)
1 Yt a n t 1
2
keterangan:
Yt s
=
nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi
Yt a
=
nilai aktual variabel observasi
n
=
jumlah periode observasi
RMSE adalah rata-rata kuadrat dari perbedaan nilai estimasi dengan nilai pengamatan (aktual) suatu variabel endogen. Jika nilai RMSE semakin kecil maka estimasi variabel endogen semakin valid. RMSPE adalah rata-rata kuadrat dari proporsi perbedaan nilai estimasi dengan nilai pengamatan suatu variabel endogen. Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai variabel endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Jika nilai RMSPE semakin kecil maka estimasi variabel endogen semakin valid. Pindyck and Rubinfeld (1998a) menyatakan bahwa statistik U-Theil adalah perbandingan RMSE dengan rata-rata kuadrat nilai pengamatan variabel endogen. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika Yt s = 0 atau U=1 maka estimasi variabel endogen disebut sebagai naïf. Jika Yt s = Yt a atau U=0, maka estimasi variabel endogen disebut sebagai sempurna, sangat mendekati kenyataan. Statistik U-Theil dapat diuraikan ke dalam komponen bias, variance, dan covariance. Bias portion (UM) mengindikasikan terjadinya error sistematik,
64 yaitu mengukur sejauh mana nilai rata-rata hasil estimasi menyimpang dari data aktualnya (nilai pengamatannya). Dengan demikian diharapkan nilai UM mendekati nol, berapapun nilai U-Theil yang diperoleh. Estimasi variabel endogen dikatakan valid jika UM < 0,20. Variance portion (US) mengukur sejauh mana nilai keragaman estimasi menyimpang dari nilai pengamatannya. Nilai yang diinginkan dari US adalah mendekati nol, yang menunjukkan bahwa model dapat mengikuti perilaku data aktual dari variabel yang diamati. Covariance portion (UC) adalah proporsi kovarian dan merupakan bias residu dari UM dan US, dan sering disebut sebagai error yang bukan berasal dari sistem atau kesalahan yang tidak sistemik (non-systematic error). Secara ideal, kesalahan-kesalahan akan terdistribusi pada UC, jika Theil’s Inequality Coefficient (U) lebih besar dari nol. Nilainya harus mendekati satu. UC berfungsi untuk menjelaskan kesalahan yang tersisa. Hubungan antara ketiga proporsi bias tersebut: UM + US + UC = 1. Untuk setiap nilai U > 0, diharapkan UM = US = 0 dan UC = 1. Nilai statistik UM, US, dan UC adalah sebagai berikut: UM = US
=
UC
=
........................................................................ (3.31)
–
........................................................................ (3.32)
–
–
.................................................................. (3.33)
keterangan: σs σa ρ n
= = = = = =
rata-rata nilai estimasi variabel endogen rata-rata nilai pengamatan variabel endogen standar deviasi nilai estimasi variabel endogen standar deviasi nilai pengamatan variabel endogen koefisien korelasi antara nilai estimasi dengan nilai pengamatan variabel endogen jumlah pengamatan
Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s dan makin besar nilai R2, maka estimasi model semakin baik.
Simulasi Model Simulasi pada dasarnya merupakan solusi matematis (mathematical solution) dari berbagai persamaan secara simultan. Simulasi model dengan demikian merujuk kepada sekumpulan persamaan tersebut. Simulasi model dilakukan dengan berbagai alasan, misalnya untuk pengujian dan evaluasi model, analisis kebijakan historis, dan untuk peramalan (Pindyck and Rubinfeld 1998b). Sesuai tujuan studi, dilakukan simulasi kebijakan ex-ante forecasting untuk periode 2012–2021. Sebelum melakukan peramalan pada nilai variabel endogen, dilakukan peramalan untuk nilai variabel penjelas, dengan asumsi dan dianggap relevan serta realistis menggunakan metode peramalan tertentu. Ada dua pendekatan dasar
65 dalam peramalan model ramalan data time series. Pertama, pendekatan kecenderungan waktu yang bertujuan untuk menangkap perilaku jangka panjang dengan menyesuaikan persamaan sebagai fungsi dari waktu atau trend. Fungsi trend yang biasa digunakan adalah polynomial dan exponensial. Yang kedua adalah model pendekatan data time series untuk menangkap perilaku jangka pendek dengan menggunakan metode autoregressive model (Sitepu dan Sinaga 2006). Peramalan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan software SAS versi 9.1. dengan tahap sebagai berikut: (1) variabel yang termasuk dalam kategori eksogen diramalkan dengan menggunakan model kecenderungan linier (trend linear model) dengan metode Stepwise Autoregressive dengan prosedur FORECAST dan asumsi rata-rata perubahan nilai variabel penjelasnya, (2) nilai variabel eksogen kemudian dijadikan data baru yang kemudian digunakan untuk meramalkan variabel endogen, (3) variabel endogen yang ada selanjutnya diramalkan dengan menggunakan model dampak kebijakan swasembada daging sapi dengan metode Newton dan prosedur SIMNLIN, (4) hasil peramalan variabel endogen tersebut dijadikan peramalan dasar untuk dibandingkan dengan nilai variabel endogen hasil analisis dengan berbagai alternatif kebijakan, dan (5) dampak dari kebijakan swasembada daging sapi yang dihasilkan dapat dilihat dari perbandingan antara nilai variabel endogen tanpa alternatif kebijakan dengan nilai peramalan variabel endogen dengan alternatif kebijakan, yaitu berbagai kebijakan untuk mewujudkan swasembada daging sapi. Analisis simulasi kebijakan dimaksudkan untuk mengkaji dampak program kebijakan swasembada daging sapi terhadap produksi dan konsumsi daging sapi nasional serta kinerja subsektor peternakan di Indonesia yang meliputi pertumbuhan GDP subsektor peternakan dan kesempatan kerja. Beberapa skenario kebijakan yang akan dievaluasi dampaknya meliputi berbagai kebijakan sesuai dengan target pada program PSDSK 2014 dan kombinasi kebijakan di luar besaran target PSDSK 2014, sebagai berikut: 1. Perbaikan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi potong melalui peningkatan dosis IB sebesar 25 persen. Optimalisasi IB antara lain dilakukan melalui penambahan jumlah straw semen beku 80 persen melebihi jumlah akseptor, baik melalui program pemerintah maupun swadaya. Dalam blue print PSDSK 2014 penambahan jumlah straw semen beku pada tahun 2013 ditargetkan sebesar 2.948.686 dosis dan pada tahun 2014 sebesar 3.685.857 dosis atau meningkat 25 persen (Kementerian Pertanian 2012a). 2. Penyediaan sapi bibit a. Peningkatan impor sapi bibit sebesar 20 persen Secara eksplisit peningkatan impor sapi bibit tidak tercantum dalam program PSDSK 2014. Sapi bibit impor akan menambah jumlah sapi betina produktif yang merupakan mesin biologis untuk memproduksi pedet/sapi bakalan dan akan meningkatkan populasi ternak sapi. Selama periode 1990–2011 impor sapi bibit cukup berfluktuasi. Peningkatan impor sapi bibit akan menambah sapi betina produktif dan diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan produksi ternak sapi di dalam negeri, sehingga dapat menurunkan ketergantungan terhadap impor secara bertahap.
66 b. Penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen. Untuk mendorong usaha pembibitan ternak sapi potong, pemerintah menggulirkan program subsidi bunga pinjaman melalui program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). KUPS merupakan skim kredit perbankan dengan suku bunga bersubsidi yang dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 131/PMK.05/2009 tentang Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) tanggal 18 Agustus 2009 dan Permentan No. 40/Permentan/ PD.400/9/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan KUPS tertanggal 8 September 2009 (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Dalam implementasinya, peternak sapi potong memperoleh kredit dari perbankan yang sudah ditunjuk dengan dikenakan bunga pinjaman sebesar 5 persen per tahun. 3. Pengaturan stok daging dalam negeri a. Penurunan kuota impor sapi bakalan sebesar 25 persen. Impor sapi bakalan merupakan salah satu sumber penyediaan daging sapi impor. Dalam road map PSDSK ditargetkan jumlah impor akan dikurangi secara bertahap dari 520 ribu ekor pada tahun 2010 menjadi 175.4 ribu ekor pada tahun 2014. Dengan demikian laju penurunan jumlah impor sapi bakalan rata-rata 23.8 persen per tahun (Kementerian Pertanian 2012a). Kenaikan harga sapi bakalan impor menyebabkan penurunan permintaan sapi bakalan impor dan meningkatkan produksi daging sapi domestik. b. Penurunan kuota impor daging sapi sebesar 35 persen. Dalam program PSDSK 2014, jumlah impor daging akan dikurangi secara bertahap dari 120 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 23.3 ribu ton pada tahun 2014, atau menurun rata-rata 33.6 persen per tahun (Kementerian Pertanian 2012a). Penurunan kuota impor diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi daging sapi domestik. 4. Kombinasi skenario 1, 2, dan 3. Kombinasi ini merupakan implementasi dari berbagai kegiatan dalam program PSDSK 2014 dilakukan secara bersama-sama. 5. Berbagai alternatif kombinasi kebijakan di luar besaran target PSDSK 2014: a. Peningkatan dosis IB sebesar 30 persen, peningkatan impor sapi bibit sebesar 30 persen, penurunan suku bunga bank menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 25 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 persen. b. Peningkatan dosis IB sebesar 30 persen, peningkatan impor sapi bibit sebesar 30 persen, penurunan suku bunga bank menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 20 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 20 persen. c. Peningkatan dosis IB sebesar 40 persen, peningkatan impor sapi bibit sebesar 30 persen, penurunan suku bunga bank menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 20 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 20 persen. Perubahan Kesejahteraan dan Pengeluaran Devisa Perubahan kebijakan akan mempunyai dampak yang menguntungkan maupun merugikan bagi setiap pelaku ekonomi. Simulasi kebijakan terkait dengan
67 swasembada daging sapi berguna untuk mengevaluasi dampak perubahan kebijakan terhadap penawaran dan permintaan daging sapi serta kinerja subsektor peternakan di Indonesia. Untuk mengukur perubahan kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan indikator surplus produsen dan surplus konsumen. Kebijakan ini diharapkan bisa meningkatkan produksi domestik dan mengurangi impor sehingga akan menghemat devisa. Analisis perubahan kesejahteraan dan pengeluaran devisa dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Sinaga 1989): 1. Perubahan Surplus Produsen ∆PS = QSDSb (RHDSb – RHDSs) + ½ (QSDSb – QSDSs) (RHDSb – RHDSs) ....................................................................................... (3.34) 2. Perubahan Surplus Konsumen ∆CS = QDDSb (RHDSb–RHDSs) + ½ (QDDSb–QDDSs) (RHDSb– RHDSs)........................................................................................ (3.35) 3. Perubahan Surplus Net Surplus = ∆PS + ∆CS ...................................................................... (3.36) 4. Perubahan Pengeluaran Devisa ∆DEV1 = (RHSBTb * MSBTb)–(RHSBTs * MSBTs) ............................ (3.37) ∆DEV2 = (RHSBKb * MSBKb)–(RHSBKs * MSBKs) ........................... (3.38) ∆DEV3 = (RHSMb * QDMb)–(RHSMs * QDMs) ................................... (3.39) ∆DEV = ∆DEV1 + ∆DEV2 + ∆DEV3 ................................................... (3.40) keterangan: PS CS DEV QSDS QDDS RHDS RHSBT RHSBK RHSM MSBT MSBK QDM b s
= = = = = = = = = = = = = =
surplus produsen surplus konsumen devisa produksi daging sapi dalam negeri permintaan daging sapi dalam negeri harga riil daging sapi dalam negeri harga riil sapi bibit impor harga riil sapi bakalan impor harga riil daging sapi impor impor sapi bibit impor sapi bakalan impor daging sapi nilai dasar/basis nilai simulasi
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder time series selama periode 1990–2011. Data tersebut diambil dari berbagai sumber seperti Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, BPS, Bank Indonesia, FAO, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, serta studi berbagai literatur yang terkait dengan penelitian ini. Data tersebut digunakan untuk membangun model persamaan simultan.
68 Definisi Operasional Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 jenis, yaitu variabel kuantitatif dan kualitatif. Variabel kuantitatif dalam rupiah telah diriilkan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) nasional tahun dasar tahun 2000, kecuali variabel GDP/PDB yang sudah menggunakan harga konstan dengan tahun dasar 2000. Variabel kuantitatif dalam US$ telah diriilkan dengan IHK Amerika Serikat tahun dasar tahun 2000. Variabel kualitatif meliputi variabel dummy kebijakan swasembada daging sapi 2014 (D1) dan dummy krisis ekonomi di Indonesia (D2). Definisi operasional variabel disajikan adalah sebagai berikut: 1. Produksi ternak sapi potong (QTS) adalah jumlah ternak sapi yang dilahirkan hidup selama jangka waktu tertentu (satu tahun), diukur dalam satuan juta ekor. 2. Populasi ternak sapi potong (POPT) adalah jumlah ternak sapi pada satu tahun tertentu, diukur dalam satuan juta ekor. 3. Impor sapi bakalan (MSBK) adalah volume impor ternak sapi dalam satu tahun tertentu yang ditujukan untuk dilakukan penggemukan di dalam negeri sebelum dipotong untuk menghasilkan daging, diukur dalam satuan ribu ton. 4. Impor sapi bibit (MSBT) adalah volume impor ternak sapi dalam satu tahun tertentu yang ditujuan untuk menghasilkan pedet, diukur dalam satuan ton. 5. Total impor ternak sapi (MTS) adalah jumlah impor sapi bakalan dan impor sapi bibit dalam satu tahun tertentu, diukur dalam satuan ribu ton. 6. Produksi daging sapi lokal (QSDSL) adalah jumlah produksi daging sapi dalam satu tahun tertentu yang berasal dari hasil pemotongan ternak sapi yang diproduksi/dilahirkan di dalam negeri, baik yang berasal dari sapi intuk lokal maupun sapi induk impor, diukur dalam satuan ribu ton. 7. Produksi daging sapi bakalan impor (QSDSM) adalah adalah jumlah produksi daging sapi dalam satu tahun tertentu yang berasal dari tambahan bobot ternak sapi bakalan impor selama proses penggemukan di dalam negeri, diukur dalam satuan ribu ton. 8. Produksi daging sapi dalam negeri/domestik (QSDS) adalah jumlah produksi daging sapi lokal dan produksi daging sapi bakalan impor dalam satu tahun tertentu, diukur dalam satuan ribu ton. 9. Impor daging sapi Indonesia (QDM) adalah volume impor dalam bentuk daging sapi selama tahun satu tertentu, diukur dalam satuan ribu ton. 10. Impor daging dalam bentuk sapi bakalan (QBM) adalah hasil konversi berat sapi bakalan impor menjadi daging sapi, diukur dalam satuan ribu ton. 11. Total impor daging sapi (QSM) adalah jumlah impor daging sapi dalam bentuk daging dan hasil konversi sapi bakalan impor selama satu tahun tertentu, diukur dalam satuan ribu ton. 12. Total produksi daging sapi (QSD) adalah jumlah produksi daging sapi yang berasal dari hasil pemotongan ternak sapi bakalan lokal dan sapi bakalan impor (termasuk tambahan bobot ternak sapi selama proses penggemukan di dalam negeri) selama satu tahun tertentu, diukur dalam satuan ribu ton. 13. Total penawaran daging sapi dalam negeri (QST), adalah jumlah produksi daging sapi domestik ditambah total impor daging sapi dikurangi ekspor daging sapi selama satu tahun tertentu, diukur dalam satuan ribu ton.
69 14. Permintaan daging sapi dalam negeri (QDDS) adalah jumlah konsumsi daging sapi di dalam negerai selama satu tahun tertentu, diukur dalam satuan ribu ton. 15. Excess demand daging sapi (EQDS) adalah selisih antara jumlah daging sapi yang diminta dengan produksi daging sapi domestik dalam satu tahun tertentu, diukur dalam satuan ribu ton. 16. Harga riil daging sapi dalam negeri (RHDS) adalah harga rata-rata daging sapi di pasar domestik/nasional dalam satuan Rp/kg pada tahun tertentu yang telah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). 17. Harga riil daging sapi impor (RHSM) adalah harga rata-rata daging sapi impor di Indonesia (cif) dalam satuan US$/ton pada tahun tertentu, yang diperoleh dari hasil bagi antara nilai impor dengan dengan volume impor daging sapi di Indonesia kemudian dideflasi dengan IHK Amerika Serikat. 18. GDP sapi potong (GDPSP) adalah nilai tambah bruto/PDB komoditas sapi potong dalam satu tahun tertentu atas dasar harga konstan 2000, diukur dalam satuan triliun rupiah. 19. GDP subsektor peternakan (GDPP) adalah nilai tambah bruto/PDB subsektor peternakan dalam satu tahun tertentu atas dasar harga konstan 2000, diukur dalam satuan triliun rupiah. 20. Pertumbuhan GDP subsektor peternakan (GROWTH) laju pertumbuhan PDB subsektor peternakan atas dasar harga konstan 2000 pada tahun tertentu, dalam satuan persen. 21. GDP non-migas (GDP) adalah total PDB nasional dikurangi dengan PDB migas atas dasar harga konstan 2000 pada tahun tertentu, dalam satuan triliun rupiah. 22. Permintaan tenaga kerja subsektor peternakan (DLP) jumlah tenaga kerja yang bekerja pada subsektor peternakan pada tahun tertentu, diukur dalam satuan ribu orang. 23. Curah hujan (CH) adalah rata-rata jumlah curah hujan pada berbagai stasiun pengamatan di Indonesia selama satu tahun, dalam satuan millimeter. 24. Dummy swasembada daging sapi (D1) adalah peubah dummy yang dimasukkan dalam model untuk melihat dampak kebijakan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 (PSDK 2014) yang implementasinya di mulai sejak tahun 2010. 25. Dummy krisis ekonomi (D2) adalah peubah dummy dalam model untuk melihat dampak peristiwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998–1999. 26. Ekspor daging sapi Indonesia (QSE) adalah total volume ekspor daging sapi Indonesia ke luar negeri pada tahun tertentu, dalam satuan ribu ton. 27. Faktor konversi (k) adalah angka konversi dari berat ternak hidup menjadi potongan daging sapi tanpa tulang. 28. GDP non-sapi potong (GDPNSP) adalah total nilai tambah bruto/PDB subsektor peternakan atas dasar harga konstan 2000 pada tahun tertentu selain komoditas sapi potong, dalam satuan triliun rupiah. 29. GDP non-peternakan (GDPNP) adalah total PDB non-migas atas dasar harga konstan 2000 pada tahun tertentu dikurangi PDB subsektor peternakan, dalam satuan triliun rupiah.
70 30. Harga riil daging ayam (RHDAY) adalah harga rata-rata daging ayam nasional dalam satuan Rp/kg pada tahun tertentu yang telah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). 31. Harga riil daging sapi Jakarta (RHDSJ) adalah harga rata-rata daging sapi di kota Jakarta dalam satuan Rp/kg pada tahun tertentu yang telah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). 32. Harga riil daging sapi dunia (RHDSW) adalah rata-rata harga daging sapi dunia pada tahun tertentu dengan menggunakan harga nominal daging sapi di Amerika Serikat kemudian dideflasi dengan IHK Amerika Serikat, dalam satuan US $/ton. Amerika Serikat merupakan negara produsen dan konsumen daging sapi terbesar di dunia. 33. Harga riil daging sapi di Australia (RHDSA) adalah rata-rata harga daging sapi di Australia pada tahun tertentu yang dideflasi dengan IHK Amerika Serikat, dalam satuan US $/ton. 34. Harga riil sapi bakalan impor (RHSBK) adalah harga rata-rata impor sapi bakalan di Indonesia (cif) dalam satuan US$/ton pada tahun tertentu, yang diperoleh dari hasil bagi antara nilai impor dengan dengan volume impor sapi sapi bakalan di Indonesia kemudian dideflasi dengan IHK Amerika Serikat. 35. Jumlah wisatawan mancanegara (WA) adalah jumlah warga negara asing yang datang ke Indonesia pada tahun tertentu dengan tujuan untuk berwisata, dalam satuan ribu orang. 36. Volume dosis IB (VIB) adalah total straw semen beku yang diaplikasikan dalam teknik perkawianan melalui Inseminasi Buatan pada sapi potong selama satu tahun tertentu, dalam satuan ribu dosis. 37. Nilai tukar rupiah riil (RNTR) adalah rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada tahun tertentu, dalam satuan Rp/US $. 38. Tingkat suku bunga riil (RIR) adalah besaran suku bunga riil dalam persen yang diperoleh dari tingkat bunga pinjaman nominal pada bank umum dikurangi dengan tingkat inflasi. 39. Upah tenaga kerja subsektor peternakan adalah upah yang dibayarkan kepada buruh di subsektor peternakan, dalam satuan ribu rupiah per bulan. Tingkat upah riil diperoleh dari upah nominal dideflasi dengan IHK umum.
4 KERAGAAN INDUSTRI SAPI POTONG DAN SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, terutama dalam menyediakan kebutuhan protein hewani, serta merupakan komoditas ekonomi yang mempunyai nilai strategis. Salah satu program pemerintah di subsektor peternakan adalah meningkatkan produksi daging dalam negeri agar tercapai swasembada daging sapi dan kerbau pada tahun 2014. Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) tahun 2014 tercapai jika 90 persen kebutuhan konsumsi daging dapat dipasok dari produksi dalam negeri.
Unit Usaha dan Populasi Ternak Sapi Potong Untuk memperoleh data dasar populasi ternak sapi potong di Indonesia, pada tahun 2011 Direktorat Jenderal Petenakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik melakukan Pendataan Sapi Poptong, Sapi Perah, dan Kerbau 2011 (PSPK 2011) dengan metode sensus dan tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai census date (BPS– Ditjen PKH 2011b). Unit usaha yang menguasi ternak sapi potong meliputi rumah tangga, perusahaan peternakan berbadan hukum, pedagang ternak dan lainnya. Rumah tangga pemelihara adalah rumah tangga yang memelihara ternak termasuk pedagang ternak yang biasanya melakukan pemeliharaan ternak selama 2 bulan atau lebih. Perusahaan peternakan berbadan hukum adalah unit usaha yang mengusahakan ternak baik untuk pengembangbiakan, penggemukan, pembibitan, maupun perdagangan dengan status badan hukum PT, CV, Firma, Koperasi, BUMN, dan Yayasan. Pedagang ternak adalah anggota rumah tangga yang melakukan perdagangan ternak, memperjualbelikan ternak yang bukan hasil pemeliharaan sendiri dengan tujuan memperoleh keuntungan dengan jangka waktu pemeliharaan kurang dari 2 bulan. Lainnya adalah unit usaha yang melakkan pemeliharaan ternak meliputi rumah tangga khusus (asrama, pesantren), Rumah Potong Hewan (RPH), Unit Pelaksana Teknis, dll. (BPS–Ditjen PKH 2011a). Banyaknya unit usaha dan populasi ternak pada tahun 2011 disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan hasil PSPK 2011 jumlah unit usaha peternakan sapi potong di Indonesia pada tahun 2011 tercatat 5.75 juta unit dengan populasi sapi potong 14.8 juta ekor. Sebagian besar populasi ternak sapi potong dikuasai oleh rumah tangga yaitu sebanyak 14.53 juta (98.03 persen) ekor dengan jumlah rumah tangga sebanyak 5.74 juta. Dengan demikian rata-rata dalam 1 rumah tangga usaha sapi potong menguasai 3 ekor ternak. Sementara itu, ternak sapi yang diusahakan oleh perusahaan berbadan hukum sebanyak 0.18 juta ekor (1.23 persen) dengan rata-rata jumlah ternak per perusahaan sekitar 734 ekor. Jumlah ternak yang dikuasai oleh pedagang sekitar 0.63 persen.
72 Tabel 12 Banyaknya unit usaha dan populasi ternak menurut jenis unit usaha sapi potong di Indonesia, 2011 Jenis unit usaha Rumah tangga Perusahaan berbadan hukum
Jumlah unit usaha (buah)
Jumlah ternak (ekor)
5 736 149
14 532 847
(99.81)
(98.03)
249
182 743
(0.00) Pedagang
93 474
(0.17)
9
(0.63)
699
Total
734
(1.23)
10 037
Lainnya
Jumlah ternak per unit usaha (ekor) 3
15 309
(0.01)
(0.01)
5 747 134
14 824 373
(100.00)
(100.00)
22 3
Sumber : BPS–Ditjen PKH (2011b). Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan persen.
Secara regional, populasi sapi potong sebagian besar terdapat di pulau Jawa sebanyak 7.51 juta ekor atau 50.68 persen dari total populasi sapi potong di Indonesia, kemudian pulau Sumatera sebanyak 2.72 juta ekor (18.38 persen), Bali dan Nusa Tenggara 2.1 juta ekor (14.18 persen), Sulawesi 1.8 juta ekor (12.08 persen), sedangkan sisanya berada di Kalimantan, serta Maluku dan Papua dengan jumlah populasi masing-masing kurang dari 0.5 juta ekor (Gambar 13).
Sulawesi 1.79 Kalimantan 0.44
Maluku & Papua 0.26
Sumatera 2.72
Bali & Nusra 2.10
Jawa 7.51
Sumber : BPS–Ditjen PKH (2011b). Gambar 13 Populasi sapi potong menurut pulau di Indonesia, 2011 (juta ekor)
73 5000 4500 4000
Populasi (000 ekor)
3500 3000 2500 2000 1500 1000
0
1. Aceh 2. Sumut 3. Sumbar 4. Riau 5. Jambi 6. Sumsel 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Kep. Babel 10. Kep. Riau 11. DKI Jakarta 12. Jawa Barat 13. Jawa Tengah 14. DI… 15. Jawa Timur 16. Banten 17. Bali 18. NTB 19. NTT 20. Kalbar 21. Kalteng 22. Kalsel 23. Kaltim 24. Sulut 25. Sulteng 26. Sulsel 27. Sultra 28. Gorontalo 29. Sulbar 30. Maluku 31. Maluku… 32. Papua Barat 33. Papua
500
Sumber : BPS–Ditjen PKH (2011b). Gambar 14 Populasi sapi potong menurut provinsi di Indonesia, 2011 Sebaran populasi sapi potong di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 14. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan populasi sapi potong terbesar di Indonesia yaitu sebanyak 4.73 juta ekor atau 31.89 persen dari populasi sapi potong di Indonesia, kemudian disusul Jawa Tengah 1.94 juta ekor (13.07 persen). Provinsi lain yang memiliki populasi sapi potong cukup besar, yaitu lebih dari 0.5 juta ekor tercatat secara berturut-turut adalah Sulawesi Selatan 984 ribu ekor (6.64 persen), Nusa Tenggara Timur (NTT) 778.6 ribu ekor (5.25 persen), Lampung 742.8 ribu ekor (5.01 persen), Nusa Tenggara Barat (NTB) 685.8 ribu ekor (4.63 persen), Bali 637.5 ribu ekor (4.30 persen), dan Sumatera Utara 541.7 ribu ekor (3.65 persen).
Struktur Populasi Ternak Sapi Potong Berdasarkan hasil awal PSPK2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 130 Juni 2011, populasi sapi potong betina lebih banyak daripada sapi jantan, masing-masing sebesar 68.15 persen dan 31.85 persen (Gambar 15).
74
jantan 31.85% betina 68.15%
Sumber : Kementan–BPS (2011). Gambar 15 Persentase populasi sapi potong di Indonesia menurut jenis kelamin, 2011
Menurut kategori umurnya, populasi sapi potong terbanyak adalah sapi potong betina dewasa (> 2 tahun) yang mencapai 66.09 persen dari total populasi sapi potong betina di Indonesia. Sementara sapi potong betina anak (< 1 tahun) dan muda (12 tahun) masing masing 14.03 persen dan 19.88 persen dari total populasi. Sementara itu untuk sapi potong jantan, komposisinya hampir berimbang untuk masing-masing kategori umur. Persentase tertinggi adalah yang berumur muda (12 tahun), yaitu sekitar 38.52 persen dari total populasi sapi potong jantan. Kemudian diikuti oleh sapi jantan dewasa dan anak masing-masing sebesar 30.80 persen dan 30.68 persen (Tabel 13). Tabel 13 Persentase populasi sapi potong di Indonesia menurut jenis kelamin, umur, dan pulau tahun 2011 Pulau
Jantan
Betina
Anak
Muda
Dewasa
Jumlah
Anak
Muda
Sumatera
32.11
35.86
32.02
100.00
14.94
19.68
65.38
100.00
Jawa
30.85
41.72
27.43
100.00
13.36
20.71
65.92
100.00
Bali & Nusra
27.13
37.35
35.52
100.00
14.76
19.58
65.66
100.00
Kalimantan
25.94
33.63
40.43
100.00
14.16
20.52
65.32
100.00
Sulawesi
33.46
32.47
34.07
100.00
14.26
17.16
68.58
100.00
Maluku & Papua
32.73
31.77
35.50
100.00
16.27
18.70
65.02
100.00
30.68
38.52
30.80
100.00
14.03
19.88
66.09
100.00
INDONESIA
31.85
TOTAL
Dewasa Jumlah
68.15 100.00
Sumber : Kementan–BPS (2011). Keterangan : Nusra = Nusa Tenggara.
Jika ditinjau berdasarkan pulau, kondisinya tidak jauh berbeda dengan data nasional, di mana persentase ternak sapi potong betina dewasa pada umumnya dominan, yaitu lebih dari 65 persen terhadap total populasi sapi potong betina di masing-masing pulau. Persentase tertinggi di Sulawesi, tercatat 68.58 persen merupakan sapi potong betina dewasa dan yang terendah di Maluku dan Papua yaitu sebesar 65.02 persen. Dengan memperhatikan persentase jumlah sapi potong betina yang dominan pada umur dewasa tersebut, maka dapat dijadikan sebagai
75 bahan pertimbangan bahwa kondisi sektor peternakan sapi potong di Indonesia cukup mendukung program pemerintah dalam rangka meningkatkan populasi ternak sapi. Melalui penerapan program Inseminasi Buatan yang efektif terhadap sapi potong betina dewasa diharapkan dapat meningkatkan populasi ternak. Sementara itu untuk sapi potong jantan, tercatat persentase tertinggi adalah yang berumur muda (12 tahun), yaitu sekitar 38.52 persen dari total populasi sapi potong jantan. Berdasarkan pulau, persentase tertinggi dijumpai di pulau Jawa sebesar 41.72 persen dari total populasi sapi potong jantan di wilayah tersebut dan yang paling rendah terdapat di Maluku dan Papua yaitu sebesar 31.77 persen (Tabel 13).
Akses terhadap Sumber Modal Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan suatu usaha adalah modal. Tambahan modal sangat berguna untuk mengembangkan usaha peternakan. Sumber modal yang biasa terdapat di masyarakat berupa lembaga formal seperti bank, koperasi, dan yang informal seperti perorangan. Selama ini akses peternak sapi potong terhadap sumber permodalan terutama lembaga formal sangat minim. Berdasarkan hasil Survei Rumah Tangga Usaha Peternakan 2004 (STU04), hanya 2.8 persen rumah tangga usaha ternak sapi potong yang memperoleh tambahan modal untuk meningkatkan usahanya. Sementara untuk rumah tangga peternakan secara keseluruhan persentasenya relatif lebih tinggi meskipun masih kurang dari 10 persen (Gambar 16).
100% 80% 97.2
93.5
2.8
6.5
60% 40% 20% 0%
Sapi Potong
Mendapat tambahan modal
Peternakan
Tidak mendapat tambahan modal
Sumber : BPS (2005a). Gambar 16 Persentase rumah tangga peternakan dan sapi potong menurut akses ke sumber modal Dari jumlah rumah tangga usaha peternakan sapi potong yang mendapat tambahan modal, hanya 10.6 persen yang memanfaatkan bank sebagai sumber tambahan modal. Hal ini disebabkan antara lain karena proses yang berbelit-belit
76 (33.2 persen), bunga bank terlalu tinggi (24.1 persen), dan harus memakai agunan (23.3 persen). Seperti diketahui bahwa mekanisme pemberian kredit pada bank dibatasi oleh beberapa syarat, seperti harus ada agunan dan prosesnya tidak sederhana sehingga memakan waktu yang lama (BPS 2005a).
Perkembangan Produksi dan Penyediaan Daging Sapi Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional berasal dari hasil pemotongan ternak sapi dan impor daging. Ternak yang dipotong berasal dari dalam negeri (sapi lokal) dan sapi impor. Impor ternak sapi sebagian besar berasal dari Australia. Perkembangan jumlah pemotongan ternak sapi selama periode 1990–2011 disajikan pada Tabel 14. Total pemotongan ternak sapi agak berfluktuasi walaupun cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 2.77 persen per tahun. Tabel 14 Perkembangan pemotongan ternak sapi potong di Indonesia menurut asal ternak, 1990–2011 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata r (%)
Total pemotongan (000 ekor) 1 263 1 277 1 447 1 687 1 551 1 590 1 767 1 658 1 792 1 644 1 695 1 784 1 693 1 736 1 733 1 654 1 800 1 886 1 899 2 055 2 069 2 239 1 724 (2.77)
Sapi impor Volume % (000 ekor) 0.00 2 0.18 19 1.32 35 2.10 78 5.04 186 11.70 205 11.61 277 16.71 50 2.78 118 7.20 268 15.79 168 9.42 142 8.37 209 12.03 236 13.60 256 15.49 266 14.76 414 21.96 570 30.02 662 32.19 602 29.11 396 17.68 235 13.61 (29.33)
Sapi lokal Volume % (000 ekor) 1 263 100.00 1 275 99.82 1 428 98.68 1 651 97.90 1 473 94.96 1 404 88.30 1 562 88.39 1 381 83.29 1 742 97.22 1 526 92.80 1 428 84.21 1 616 90.58 1 551 91.63 1 527 87.97 1 498 86.40 1 398 84.51 1 534 85.24 1 472 78.04 1 329 69.98 1 394 67.81 1 466 70.89 1 843 82.32 1 489 86.39 (1.82)
Sumber : Ditjen PKH (diolah). Keterangan : r = rata-rata laju pertumbuhan per tahun.
Secara umum proporsi sapi lokal masih lebih tinggi dibandingkan dengan sapi impor. Selama periode tersebut rata-rata pemotongan ternak sapi lokal sekitar
77 86.39 persen dan sapi impor 13.61 persen. Namun demikian, volume impor ternak sapi mengalami perkembangan cukup pesat dengan laju pertumbuhan rata-rata sekitar 30 persen per tahun. Volume impor sapi bakalan meningkat tajam pada tahun 1995 hingga 1997, kemudian turun drastis pada tahun 1998 akibat krisis ekonomi yang melanda negeri ini. Setelah itu meningkat lagi dan puncaknya pada tahun 2009 yang mencapai 662 ribu ekor. Pada tahun 2010–2011 jumlah impornya terus menurun seiring dengan penerapan kebijakan pembatasan impor sapi akalan untuk mewujudkan swasembada daging sapi. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri, Indonesia melakukan impor daging sapi dari beberapa negara terutama dari Australia dan New Zealand. Daging impor dalam bentuk daging sapi beku (frozen) dan segar/ dingin (fresh/chilled) terutama untuk memenuhi permintaan daging berkualitas tinggi oleh super market, hotel berbintang, dan restoran besar (Hadi et al. 1999). 100 90 80
volume (000 ton)
70 60 50 40 30 20 10
Daging segar/dingin
Daging beku
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
0
Total
Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Volume I (BPS berbagai terbitan).
Gambar 17 Perkembangan impor daging sapi di Indonesia, 1990–2011 (ton) Gambar 17 menyajikan perkembangan impor daging sapi di Indonesia selama periode 1990–2011. Impor daging sapi mengalami peningkatan yang pesat pada tahun 1996 dan 1997. Tampaknya lonjakan impor tersebut untuk mengimbangi turunnya pemotongan ternak sapi terutama pada tahun 1997. Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi, volume impor merosot tajam, kemudian mengalami flutuasi sampai tahun 2004. Setelah itu meningkat pesat hingga tahun 2010 yang mencapai 90.5 ribu ton. Pada tahun 2011 mengalami penurunan yang drastis karena ada pembatasan impor daging sapi dalam kerangka kebijakan swasembada daging sapi. Impor daging sapi di Indonesia didominasi oleh daging beku. Peranan ternak sapi lokal, ternak sapi impor, dan daging sapi impor dalam penyediaan daging sapi nasional disajikan pada Tabel 15. Penyediaan daging sapi
78 di Indonesia berasal dari produksi domestik dan impor. Daging sapi produksi domestik meliputi hasil pemotongan ternak sapi lokal dan hasil penggemukan sapi bakalan impor. Dalam hal ini produksi daging sapi dari hasil penambahan berat badan ternak setelah dilakukan pemeliharaan di dalam negeri dihitung sebagai produksi daging domestik, karena merupakan hasil proses produksi (nilai tambah) di dalam negeri. Daging sapi yang dimaksudkan dalam uraian ini adalah bagian serat yang dipisahkan dari karkas. Tabel 15 Peranan sapi lokal, sapi impor, dan daging sapi impor dalam penyediaan daging sapi di Indonesia, 1990–2011 (persen) Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Produksi domestik sapi penggemukan lokal bakalan impor 99.32 0.00 98.92 0.06 97.34 0.39 96.63 0.66 94.13 1.19 81.52 4.52 73.13 6.21 69.69 6.55 90.76 1.77 87.28 2.49 74.19 4.85 83.31 3.17 86.95 2.49 83.54 3.68 84.67 3.45 77.50 4.50 77.93 4.21 61.74 7.18 57.25 8.47 51.16 8.87 53.25 7.24 70.90 4.02 79.60 3.91
Impor daging sapi 0.68 0.88 1.31 1.09 1.75 2.83 5.37 7.61 3.11 4.10 9.01 5.72 4.42 3.71 3.39 6.91 7.51 13.40 13.42 18.13 21.67 15.17 6.87
bakalan impor 0.00 0.14 0.96 1.62 2.93 11.13 15.29 16.14 4.36 6.13 11.94 7.80 6.14 9.07 8.49 11.09 10.35 17.68 20.86 21.84 17.83 9.90 9.62
Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber : Ditjennak; BPS (diolah)
Pada Tabel 15 terlihat bahwa peranan sapi lokal dalam penyediaan daging sapi nasional masih cukup dominan, namun cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 1990, sekitar 99 persen kebutuhan daging sapi nasional dipenuhi dari produksi daging sapi lokal. Pada tahun 1997 kontribusinya menjadi sekitar 70 persen dan pada tahun 1998 kembali meningkat menjadi 91 persen seiring merosotnya impor daging sapi dan sapi bakalan. Jatuhnya nilai rupiah pada tahun tersebut terutama selama Januari hingga Juni 1998 merupakan penyebab utama merosotnya volume impor daging ternak sapi pada tahun 1998 karena harga impor dalam rupiah menjadi sangat mahal. Pada tahun-tahun berikutnya kembali menurun hingga mencapai titik terendah 51 persen pada tahun 2009. Di sisi lain peranan daging sapi impor dan produksi daging sapi hasil pemotongan sapi bakalan impor cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
79 Peranan Subsektor Peternakan dalam Perekonomian Indonesia Perkembangan PDB Peternakan Salah satu indikator makro untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada suatu periode tertentu adalah Produk Domestik Bruto (PDB). PDB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi di suatu daerah pada suatu periode tertentu. Berdasarkan perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB), peternakan termasuk salah satu subsektor yang berada di dalam lingkup sektor pertanian. Subsektor peternakan dan hasil-hasilnya meliputi semua kegiatan pembibitan dan budidaya segala jenis ternak dan unggas dengan tujuan untuk dikembangbiakkan, dibesarkan, dipotong, dan diambil hasil-hasilnya, baik yang dilakukan oleh rakyat maupun oleh perusahaan peternakan. Perkembangan PDB subsektor peternakan atas dasar harga nominal dan harga riil disajikan pada Gambar 18.
PDB Peternakan (triliun rupiah)
140
129.3 119.4
120 104.9 100 83.3
80 61.3
60 40 20
30.3 25.2 27.6
40.6
34.4
37.4
29.4
30.6 31.7
44.2 32.3
51.1
33.4
34.2
35.4
36.6
38.2
40.0
0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011* Harga Berlaku
Harga Konstan 2000
Sumber : BPS (diolah). Gambar 18 Perkembangan PDB subsektor peternakan di Indonesia tahun 20002011 Berdasarkan Gambar 18 terlihat bahwa selama periode 20002011 PDB subsektor peternakan di Indonesia selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Nilai PDB subsektor peternakan atas dasar dasar harga berlaku pada tahun 2011 mencapai 129.3 triliun rupiah. Secara nominal, angka PDB ini mengalami kenaikan sebesar 104.07 triliun rupiah dibandingkan dengan tahun 2000 yang mencapai 25.2 triliun rupiah atau meningkat lebih dari 5 kali lipat. Dengan demikian, selama periode tersebut PDB subsektor peternakan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 16.02 persen per tahun. Kenaikan ini dipengaruhi oleh kenaikan produksi dan inflasi. Berdasarkan harga konstan 2000, angka PDB subsektor peternakan mengalami kenaikan, dari 25.2 triliun rupiah pada tahun 2000 menjadi 40 triliun rupiah pada tahun 2011 atau mengalami pertumbuhan
80 rata-rata 4.29 persen per tahun. Kenaikan ini murni disebabkan oleh peningkatan produksi seluruh komoditas peternakan dan sudah terbebas dari pengaruh inflasi. Selama periode 20002011 kontribusi subsektor peternakan dalam dalam pembentukan PDB sektor pertanian dan PDB nasional tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Pada tahun 2000 subsektor peternakan menyumbang sekitar 11.6 persen dalam penciptaan PDB sektor pertanian kemudian menjadi 11.8 persen pada tahun 2011. Kontribusi tertinggi sebesar 12.3 yang terjadi pada tahun 2004 dan yang terendah sebesar 10.7 persen pada tahun 2003. Sementara kontribusinya dalam PDB nasional sebesar 1.8 persen pada tahun 2000 dan 1.7 persen pada tahun 2011 (Gambar 19).
Kontribusi subsektor peternakan (%)
14.0 12.0
11.6
11.8
12.3 11.6
12.1
11.8
10.7
11.3
11.6
12.2
12.1
11.8
10.0 8.0 6.0 4.0 2.0
1.8
1.9
1.8
1.8
1.8
1.6
1.5
1.6
1.7
1.9
1.9
1.7
0.0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Terhadap PDB Pertanian
Terhadap PDB Nasional
Sumber : BPS (diolah) Gambar 19 Kontribusi PDB subsektor peternakan dalam pembentukan PDB pertanian dan PDB nasional di Indonesia tahun 20002011 Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan Selain PDB, indikator makro lain yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja perekonomian adalah penciptaan kesempatan kerja. Selama periode 20012011 penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian agak berfluktuasi, namun cenderung mengalami penurunan rata-rata 0.1 persen per tahun. Pada tahun 2001 terdapat sekitar 39.74 juta orang yang mempunyai pekerjaan utama di sektor pertanian. Sampai tahun 2003 jumlahnya terus meningkat menjadi 42 juta orang. Setelah itu berfluktuasi dan cenderung menurun hingga menjadi 39.33 juta orang pada tahun 2011. Selama periode tersebut penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian rata-rata sebesar 40.86 juta orang per tahun. Di lain pihak, penyerapan tenaga kerja pada subsektor peternakan cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 2001 tercatat sekitar 2.6 juta orang yang mempunyai pekerjaan utama pada subsektor peternakan dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 4.2 juta orang atau mengalami peningkatan rata-rata 4.92
81 persen per tahun. Proporsi kesempatan kerja peternakan dalam sektor pertanian juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 sekitar 6.55 persen tenaga kerja sektor pertanian bekerja pada subsektor peternakan dan pada tahun 2011 persentasenya meningkat menjadi 10.69 persen. Secara umum, selama periode 20012011 jumlah tenaga kerja di sektor pertanian rata-rata sebanyak 40.86 juta orang dan 8.05 persen diantaranya bekerja pada subsektor peternakan. Tabel 16 Perkembangan jumlah tenaga kerja pertanian dan peternakan di Indonesia tahun 20012011 Tahun
Pertanian (000 orang) 39 744 40 633 42 001 40 608 41 310 40 136 41 206 41 332 41 612 41 495 39 329 40 855 -0.10
Peternakan (000 orang) % 2 601 6.55 2 702 6.65 2 462 5.86 2 820 6.94 2 577 6.24 2 455 6.12 3 770 9.15 4 044 9.78 4 386 10.54 4 168 10.04 4 204 10.69 3 290 8.05 4.92
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 rata-rata r (%/tahun) Sumber : BPS (diolah). Keterangan : r = rata-rata laju pertumbuhan per tahun.
82
Halaman ini sengaja dikosongkan
5 HASIL ESTIMASI MODEL SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KINERJA EKONOMI SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA Hasil estimasi Model Swasembada Daging Sapi di Indonesia akan dibahas secara rinci pada setiap persamaan. Model yang digunakan telah mengalami beberapa kali perubahan spesifikasi, dan hasil estimasi parameter telah sesuai dengan kriteria ekonomi, statistik, dan ekonometrik. Program dan hasil estimasi model selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3.
Keragaan Umum Model Swasembada Daging Sapi dan Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia Model Swasembada Daging Sapi Indonesia seperti yang dirumuskan pada Bab IV menunjukkan keterkaitan produksi ternak sapi, produksi dan penawaran daging sapi, serta kinerja subsektor peternakan di Indonesia diestimasi menggunakan metode 2SLS (Two-Stage Least Square) berdasarkan data time series dari tahun 1990 sampai tahun 2011 yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Setelah dilakukan respesifikasi terhadap Model, diperoleh 21 persamaan yang terdiri atas 10 persamaan struktural dan 11 persamaan identitas. Respesifikasi dilakukan untuk memperoleh model yang baik menurut kriteria ekonomi, statistik, dan ekonometrika. Berdasarkan kriteria ekonomi, hasil estimasi parameter setiap persamaan struktural dalam model sesuai dengan teori ekonomi yang terlihat dari tanda dan besaran hasil estimasi parameter yang menunjukkan hubungan peubah penjelas (explanatory variable) dengan peubah endogennya (endogenous variable). Hampir semua peubah penjelas yang dimasukkan dalam persamaan struktural mempunyai parameter dugaan yang tandanya sesuai dengan harapan. Berdasarkan kriteria statistik, hasil estimasi model menunjukkan indikator statistik yang relatif baik. Nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing persamaan struktural dalam model pada berkisar antara 0.76–0.99, kecuali untuk persamaan struktural produksi ternak sapi (QTS) yang bernilai 0.63. Dengan demikian, secara umum variasi explanatory variables (peubah-peubah penjelas) dalam masing-masing persamaan dapat menjelaskan dengan cukup baik keragaman setiap endogenous variable (peubah endogen). Nilai statistik uji-F pada umumnya cukup tinggi, kecuali pada persamaan produksi ternak sapi (QTS) yang mempunyai nilai statistik uji-F yang relatif rendah yaitu 4.77. Semua persamaan struktural, nilai statistik uji-F nyata pada α sebesar 0.01. Dengan demikian secara keseluruhan dapat diinterpretasikan bahwa peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah penjelas yang secara individu tidak berpengaruh secara nyata terhadap peubah endogennya apabila menggunakan taraf nyata atau α sebesar 5 persen. Namun dengan taraf nyata yang lebih fleksibel, yaitu α sebesar 20 persen, terlihat bahwa sebagian
84 besar peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh secara nyata terhadap masing-masing peubah endogennya. Nilai Durbin-Watson (DW) berkisar antara 1.4897 sampai dengan 2.9898, yaitu berturut-turut pada persamaan impor daging sapi (QDM) dan persamaan produksi ternak sapi (QTS) serta hasil uji statistik Durbin-h (Dh) diperoleh kisaran nilai -1.934 sampai dengan 1.584 dan beberapa persamaan tidak bisa ditentukan. Berdasarkan hal tersebut mengindikasikan adanya masalah autokorelasi dalam model. Masalah ini sering ditemui pada penelitian bidang ekonomi yang disebabkan oleh keterkaitan antar variabel. Menurut Pyndick dan Rubinfeld (1998b) masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi. Dengan demikian, hasil pendugaan model dalam penelitian dapat dinyatakan cukup representatif. Berdasarkan hasil estimasi parameter tersebut, maka model yang digunakan dalam penelitian ini cukup baik dalam menjelaskan perilaku produksi ternak sapi, pasar daging sapi, dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia. Berikut disajikan hasil estimasi untuk kelima blok yang dianalisis yaitu Blok Penawaran Ternak Sapi Potong, Blok Penawaran Daging Sapi, Blok Permintaan Daging Sapi, Blok Harga Daging Sapi, dan Blok Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan.
Blok Penawaran Ternak Sapi Potong Produksi Ternak Sapi Potong Hasil estimasi parameter produksi ternak sapi potong disajikan pada Tabel 17. Dalam penelitian ini produksi ternak sapi potong merupakan gabungan dari seluruh usaha peternakan sapi potong baik yang berasal dari usaha peternakan rakyat maupun perusahaan peternakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa variasi peubah-peubah penjelas secara bersama-sama mampu menjelaskan sekitar 63 persen variasi produksi ternak sapi potong di Indonesia, dan sisanya sekitar 37 persen dijelaskan oleh peubah lain yang belum masuk dalam model. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa kenaikan populasi ternak sapi potong pada tahun t-2 cenderung meningkatkan produksi ternak sapi, namun tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata atau sebesar 0.20. Populasi ternak adalah jumlah ternak pada akhir tahun. Karena keterbatasan data yang tersedia, populasi ternak sapi pada tahun t-2 digunakan sebagai proksi dari jumlah betina produktif pada tahun t-1. Dengan masa kebuntingan sekitar 9 bulan, maka ternak sapi yang meengalami proses pembuahan pada tahun t-1 diperkirakan akan melahirkan pedet pada tahun berikutnya. Keberadaan sapi betina induk sangat penting untuk menghasilkan anak sapi. Dalam hal ini, populasi ternak tidak berpengaruh nyata dalam memproduksi ternak sapi bisa disebabkan komposisi ternak sapi menurut umur dan jenis kelamin tidak sama setiap tahunnya. Selain itu juga bisa disebabkan proses pembuahan yang tidak efektif. Sumber sapi betina induk selain dari sapi betina induk lokal, juga berasal dari impor sapi bibit. Impor sapi bibit pada tahun t-2 berpengaruh nyata terhadap produksi ternak sapi di Indonesia dengan tingkat kepercayaan 90 persen. Impor sapi bibit akan menambah jumlah betina produktif yang merupakan mesin
85 biologis untuk memproduksi ternak sapi potong. Sapi bibit yang diimpor memerlukan pemeliharaan dan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan di Indonesia sampai siap untuk menghasilkan anak sapi. Tabel 17 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model produksi ternak sapi Variabel
Keterangan
Intercept POPT_2 Lag2 populasi ternak sapi potong MSBT_2 Lag2 impor sapi bibit VIB_1 Lag Inseminasi Buatan CH_1 Lag curah hujan RIR Suku bunga bank R-squared Adj R-squared F-statistic DW
Parameter dugaan -2.227420 0.184246 0.000191 0.000409 0.000894 -0.003970 0.63024 0.498180 4.77 2.98992
Pr > |t| 0.1969 0.2179 0.0639 0.0572 0.0018 0.2913
Elastisitas jangka jangka pendek panjang 0.8253 0.0921 0.1974 0.7477 -0.0113
0.0094
Dilihat dari elastisitasnya, produksi sapi potong di Indonesia tidak responsif terhadap perubahan jumlah impor sapi bibit, dengan nilai elastisitas jangka pendek sebesar 0.092. Artinya, apabila jumlah impor sapi bibit meningkat 10 persen, maka produksi ternak sapi di Indonesia hanya akan meningkat 0.92 persen. Hal ini disebabkan oleh jumlah impor sapi bibit sangat kecil dibandingkan dengan total populasi ternak sapi potong. Berdasarkan data dari Ditjen PKH (berbagai publikasi), selama periode 1990–2011 impor sapi bibit sangat berfluktuasi dan jika dirata-rata sekitar 4 ribu ekor per tahun. Sementara populasi ternak sapi potong rata-rata mencapai 11.5 juta per tahun. Hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011, menunjukkan bahwa sekitar 45 persen dari populasi ternak sapi merupakan sapi betina dewasa (BPS dan Ditjen PKH 2011). Dengan demikian, jumlah impor sapi bibit hanya sekitar 0.08 persen dari total sapi betina dewasa. Kondisi tersebut menyebabkan jumlah kelahiran ternak sapi dari tambahan impor sapi bibit persentasenya relatif kecil dibandingkan dengan total kelahiran ternak sapi potong. Penerapan teknologi Inseminasi Buatan (IB) diharapkan akan dapat meningkatkan produksi sapi di Indonesia. Pada penelitian ini teknologi IB memberikan pengaruh yang positif pada produksi sapi, dan signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 90 persen. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa aplikasi IB mampu mendorong pertumbuhan produksi ternak sapi di Indonesia. Respon produksi ternak terhadap perubahan volume/dosis IB yang diaplikasikan bersifat inelastis dalam jangka pendek dengan nilai elastisitas sebesar 0.197. Artinya jika dosis IB ditingkatkan 10 persen, maka produksi ternak sapi potong hanya meningkat sekitar 2 persen. Beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan hal ini antara lain: pertama, tidak semua dosis IB yang diaplikasikan dapat menghasilkan kebuntingan pada aplikasi yang pertama. Kebuntingan dapat terjadi setelah dilakukan 2–3 kali aplikasi, atau dapat dikatakan service per conception belum baik. Kedua, jumlah sapi betina yang mendapat aplikasi IB relatif rendah. Hasil Survei Rumah Tangga Peternakan Nasional (SPN) 2008 menunjukkan bahwa jumlah sapi betina dewasa yang
86 dilakukan IB pada tahun 2008 sebesar 22.78 persen dari total sapi betina dewasa. Jumlah sapi betina yang berhasil bunting dengan sekali IB sebesar 12.72 persen, yang berhasil bunting dengan dua kali IB sebesar 7.48 persen, dan sekitar 2 persen berhasil bunting dengan tiga kali IB. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat keberhasilan teknologi IB pada tahun 2008 mencapai 97.45 persen (BPS dan Ditjen Peternakan 2009). Pada survei tahun sebelumnya (SPN07) jumlah sapi betina dewasa yang dilakukan IB sebesar 19.3 persen. Tingkat keberhasilannya sebesar 81.77 persen dan hanya 42.18 persen yang berhasil bunting dengan sekali IB (BPS dan Ditjen Peternakan 2007). Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa aplikasi teknologi IB semakin baik, namun karena jumlahnya masih relatif kecil dibandingkan dengan total sapi betina dewasa yang ada sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar dalam meningkatkan produksi ternak sapi potong. Rendahnya keberhasilan teknologi IB pada aplikasi yang pertama dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ketrampilan inseminator, keterbatasan fasilitas inseminator, pengetahuan petani untuk melaporkan sapinya yang siap kawin, dan kesehatan ternak (Ilham, 2001). Hubungan antara produksi sapi dengan penerapan teknologi IB yang diperoleh dari penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilham (1998) dan Sukanata (2008). Ilham (1998) menyatakan bahwa teknologi IB memberikan pengaruh yang positif terhadap penawaran peternakan rakyat namun tidak nyata (p > 0.20). Hasil penelitian Sukanata (2008) juga menunjukkan bahwa teknologi IB memberikan pengaruh positif terhadap produksi sapi di Bali, namun pengaruhnya tidak nyata pada selang kepercayaan 80 persen. Sementara hasil penelitian Tseuoa (2011), menunjukkan bawah teknologi IB secara nyata meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia. Jumlah curah hujan berpengaruh nyata terhadap produksi ternak sapi di Indonesia. Ketersediaan air yang cukup diperlukan dalam proses pertumbuhan tanaman. Pada saat curah hujan tinggi, maka pertumbuhan tanaman akan relatif lebih baik sehingga produksi hijauan pakan ternak juga meningkat. Hijauan pakan ternak merupakan sumber pakan utama bagi ternak sapi potong di Indonesia. Ketersediaan hijauan pakan ternak sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kondisi kesehatan ternak sapi. Kondisi sapi induk dan sapi pejantan yang baik akan mempengaruhi keberhasilan proses pembuahan dan kebuntingan ternak sapi. Apabila dilihat dari elastisitasnya, produksi ternak sapi potong tidak responsif terhadap perubahan jumlah curah hujan dalam jangka pendek dengan nilai elastisitas sebesar 0.7477. Hal ini sesuai dengan sifat produk pertanian termasuk peternakan yang memerlukan waktu dalam merespon perubahan yang terjadi. Marsh (1994) menyatakan bahwa respon produksi ternak besar seperti sapi terhadap perubahan terknologi, harga, dan kebijakan pemerintah memerlukan waktu yang cukup panjang karena faktor biologis. Kenaikan tingkat suku bunga bank, dalam hal ini suku bunga pinjaman modal kerja, cenderung menurunkan produksi ternak sapi di Indonesia walaupun pengaruhnya tidak signifikan. Pada umumnya, peternak sapi belum melakukan akses ke bank untuk memperoleh tambahan modal guna meningkatkan usahanya. Hasil Survei Rumah Tangga Usaha Peternakan 2004 (STU04) yang merupakan salah satu kegiatan dalam Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga usaha peternakan sapi potong yang memperoleh tambahan modal hanya 2.8 persen dari total rumah tangga usaha peternakan sapi potong pada tahun
87 2004. Dari jumlah tersebut hanya 10.6 persen yang memanfaatkan lembaga perbankan untuk memperoleh tambahan modal (BPS 2005a). Penggunaan fasilitas kredit perbankan berkaitan dengan tingkat kemudahan prosedur untuk memperoleh kredit pada lembaga perkreditan formal. Hasil penelitian Syukur et al. (1993) menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen responden yang diteliti menyatakan bahwa kemudahan prosedur tersebut akan mementukan keputusan masyarakat untuk mengambil atau tidak mengambil kredit dari bank. Pemberian fasilitas kredit dari bank juga berkaitan dengan tingkat kelayakan usaha. Sebagian besar usaha peternakan sapi di Indonesia merupakan usaha kecil dengan penguasaan ternak sapi 2–3 ekor (BPS dan Ditjen PKH 2011). Kondisi tersebut seringkali dinilai kurang layak untuk memeproleh kredit dari bank. Selain itu, bunga bank yang relatif tinggi juga menyebabkan peternak enggan untuk meminjam modal di bank karena khawatir tidak bisa mengembalikan atau kehilangan hartanya untuk membayar pinjaman tersebut. Hasil STU04 juga menunjukkan bahwa kendala utama rumah tangga usaha peternakan sapi potong dalam mengakses dana perbankan adalah proses yang berbelit-belit, bunga terlalu tinggi, dan harus memakai agunan (BPS 2005a). Impor Sapi Bakalan Impor sapi bakalan merupakan salah satu sumber untuk meningkatkan penawaran ternak sapi yang akan dipotong untuk menghasilkan daging dalam rangka memenuhi konsumsi daging nasional. Hasil pendugaan parameter faktorfaktor yang mempengaruhi impor sapi bakalan di Indonesia disajikan pada Tabel 18. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9925 mengandung arti bahwa keragaman explanatory variables secara bersama-sama mampu menjelaskan 99.25 persen keragaman impor sapi bakalan. Berdasarkan uji statistik-t menunjukkan bahwa impor sapi bakalan dipengaruhi oleh jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada taraf nyata 15 persen, harga sapi bakalan impor dan krisis ekonomi pada taraf nyata 10 persen, nilai tukar rupiah pada taraf nyata 5 persen, serta produksi daging sapi lokal, permintaan daging sapi, dan kebijakan PSDSK 2014 pada taraf nyata 1 persen. Tabel 18 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model impor sapi bakalan Variabel
Keterangan
Intercept RHSBK Harga sapi bakalan impor RNTR Nilai tukar rupiah WA Jumlah wisman QSDSL Produksi daging sapi lokal QDDS Permintaan daging sapi D1 Dummy kebijakan PSDSK 2014 D2 Dummy krisis ekonomi R-squared Adj R-squared F-statistic DW
Parameter dugaan 21.48830 -0.01004 -0.00332 0.00531 -1.20623 1.19794 -50.45750 -8.18548 0.99248 0.98809 226.15000 2.03734
Pr > |t| 0.2046 0.0524 0.0306 0.1263 <.0001 <.0001 0.0002 0.0975
<.0001
Elastisitas jangka jangka pendek panjang -0.1217 -0.2073 0.2551 -2.5477 3.4200
88 Kenaikan harga sapi bakalan impor berpengaruh negatif terhadap volume impor sapi bakalan. Kenaikan harga impor sapi bakalan akan menyebabkan produk sapi bakalan impor menjadi tidak kompetitif terhadap sapi bakalan lokal sehingga volume impor sapi bakalan cenderung menurun. Namun demikian, harga ternak impor (dalam US$) jika dikonversikan dalam rupiah relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan harga ternak sapi domestik. Sejak tahun 2002 hingga sekarang harga nominal ternak sapi impor dalam rupiah selalu dibawah harga ternak sapi domestik (Gambar 20). Hal ini merupakan insentif bagi importir untuk melakukan impor ternak karena masih memperoleh keuntungan dari kegiatan tersebut. Respon impor sapi bakalan terhadap perubahan harga impor dan nilai tukar rupiah bersifat inelastis dalam jangka pendek dengan nilai elastisitas masing-masing -0.12 dan -0.21. 35,000 30,000
Harga (Rp)
25,000 20,000 15,000 10,000 5,000
Harga Sapi Domestik
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
0
Harga Sapi Impor
Sumber : BPS dan Ditjen PKH (diolah).
Gambar 20 Perkembangan harga sapi domestik dan harga sapi impor di Indonesia, 1990 – 2011 (rupiah/kg). Apresiasi rupiah akan meningkatkan jumlah impor sapi bakalan. Menguatnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menyebabkan harga barang impor menjadi relatif lebih murah di pasar domestik sehingga semakin kompetitif dibandingkan dengan sapi bakalan lokal. Setelah krisis ekonomi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat secara nominal relatif stabil. Sementara itu, kenaikan harga-harga barang dan jasa di dalam negeri relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat, sehingga secara riil rupiah cenderung mengalami apresiasi. Hal ini mendorong peningkatan impor sapi bakalan karena penurunan harga impor ternak juga akan berdampak terhadap penurunan harga ternak di pasar domestik sehingga mengurangi penawaran sapi bakalan lokal. Dalam jangka pendek, respon perubahan nilai tukar rupiah terhadap volume impor sapi bakalan bersifat inelatis. Hasil kajian ini sejalan dengan temuan Tseuoa (2011) yang menunjukkan bahwa penurunan nilau tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan mendorong peningkatan impor sapi bakalan dan responnya bersifat elastis dalam jangka pendek dan jangka panjang.
89 Kenaikan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara akan meningkatkan volume impor sapi bakalan. Kenaikan jumlah wisatawan mancanegara akan meningkatkan permintaan terhadap daging sapi. Sepuluh negara pasar utama wisatawan yang datang berkunjung ke Indonesia adalah Singapura, Malaysia, Australia, China, Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, Amerika Serikat, dan Inggris (BPS 2012c). Negara-negara tersebut pada umumnya merupakan negara dengan konsumsi daging sapi per kapita lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Kenaikan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara akan meningkatkan permintaan daging sapi terutama dari pengusaha hotel dan restoran untuk mendukung perkembangan industri pariwisata di Indonesia. Dengan kondisi pertumbuhan produksi ternak sapi domestik yang relatif lambat maka kebutuhan akan daging sapi impor menjadi semakin besar. Salah satu diantaranya dalam bentuk impor sapi bakalan. Produksi daging sapi lokal berpengaruh negatif terhadap volume impor sapi bakalan. Kenaikan volume produksi daging sapi yang berasal dari hasil pemotongan sapi lokal akan memperkecil kesenjangan antara permintaan dengan penawaran daging sapi domestik. Dengan demikian kebutuhan terhadap daging sapi impor semakin berkurang. Respon impor sapi bakalan terhadap perubahan produksi daging sapi lokal bersifat elastis dalam jangka pendek dengan nilai elastisitas sebesar -2.5477. Artinya, jika produksi daging sapi lokal meningkat 10 persen, maka volume impor sapi bakalan turun sebesar 25.48 persen. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Tseuoa (2011). Sebaliknya, permintaan daging sapi berpengaruh positif terhadap volume impor sapi bakalan. Kenaikan permintaan daging sapi nasional akan meningkatkan volume impor sapi bakalan. Dengan kondisi pertumbuhan produksi ternak sapi lokal yang relatif lambat, maka kenaikan permintaan akan memperbesar kesenjangan antara kebutuhan dengan produksi domestik. Untuk menutupi kekurangan tersebut maka diperlukan impor yang semakin besar, dan salah satunya dalam bentuk sapi bakalan. Respon volume impor sapi bakalan terhadap perubahan permintaan daging sapi bersifat elastis dalam jangka pendek dengan nilai elastisitas sebesar 3.42. Kebijakan PSDSK 2014 dan krisis ekonomi mendorong pengurangan junlah impor sapi bakalan. Kebijakan PSDSK 2014 merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan swasembada daging sapi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional minimum 90 persen dari produksi daging sapi domestik dan sisanya dari impor pada tahun 2014. Melalui pengaturan impor diharapkan dapat mendorong produksi daging sapi domestik. Seiring dengan peningkatan produksi daging domestik tersebut, maka impor baik berupa daging sapi maupun sapi bakalan dapat berkurang secara bertahap. Sementara itu kondisi krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia juga menurunkan impor sapi bakalan karena daya beli yang menurun dan depresiasi rupiah yang sangat tajam sehingga harga sapi bakalan impor di pasar domestik meningkat. Populasi Ternak Sapi Populasi ternak sapi adalah jumlah ternak sapi pada tahun tertentu. Hasil pendugaan parameter faktor-faktor yang mempengaruhi populasi ternak sapi disajikan pada Tabel 19. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9961 yang
90 mengandung arti keragaman peubah-peubah penjelas secara bersama-sama mampu menjelaskan 99.61 persen keragaman populasi ternak sapi. Berdasarkan uji statistik-t menunjukkan bahwa populasi ternak sapi dipengaruhi oleh produksi ternak sapi, impor ternak sapi, produksi daging, dan populasi ternak sapi tahun sebelumnya pada taraf nyata 1 persen. Semua peubah yang mempengaruhi populasi ternak sapi di Indonesia responnya tidak elastis dalam jangka pendek, namun elastis dalam jangka panjang kecuali peubah total impor ternak. Peningkatan produksi ternak yang menunjukkan peningkatan jumlah kelahiran hidup akan menambah populasi ternak. Demikian juga halnya dengan peningkatan total impor ternak yang merupakan penjumlahan dari impor sapi bibit dan impor sapi bakalan. Sedangkan produksi daging yang menggambarkan tingkat pemotongan ternak akan menurunkan populasi ternak. Produksi daging berasal dari pemotongan ternak sapi domestik ditambah dengan pemotongan sapi bakalan impor. Semakin tinggi produksi daging mengindikasikan semakin banyak jumlah ternak sapi yang dipotong dan semakin besar pengurangan populasi ternak. Sebenarnya masih ada faktor lain yang dapat mengurangi populasi ternak, yaitu ekspor ternak dan kematian ternak. Dalam penelitian ini kedua variabel tersebut tidak dimasukkan dalam model dengan pertimbangan volume ekspor ternak sangat kecil dan dalam beberapa tahun tidak ada ekspor ternak sapi sama sekali (volume nol). Sementara variabel tingkat kematian ternak karena keterbatasan data yang tersedia. Tabel 19 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model populasi ternak sapi Variabel
Keterangan
Intercept QTS Produksi ternak sapi potong MTS Total impor ternak sapi potong QSD Total produksi daging POPT_1 Lag populasi ternak sapi potong R-squared Adj R-squared F-statistic DW Dh
Parameter dugaan -0.09823 1.05686 0.00353 -0.00731 0.95451 0.99605 0.99500 945.43000 1.48969 1.15048
Pr > |t|
Elastisitas jangka jangka pendek panjang
0.3644 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
0.2148 0.0307 -0.1654
4.7211 0.6749 -3.6351
<.0001
Blok Penawaran Daging Sapi Penawaran daging sapi berasal dari produksi daging sapi domestik ditambah impor daging dikurangi ekspor daging. Produksi daging sapi domestik berasal dari pemotongan ternak sapi dari bakalan lokal ditambah dengan hasil penggemukan sapi bakalan impor. Impor daging sapi terdiri dari impor dalam bentuk daging sapi dan hasil pemotongan sapi bakalan impor. Volume impor daging dari pemotongan sapi bakalan impor merupakan hasil perkalian volume impor sapi bakalan dengan faktor konversi tertentu. Impor daging sapi di Indonesia merupakan penjumlahan dari berbagai jenis daging sapi impor yaitu berupa karkas dan setengah karkas, potongan daging
91 lainnya bertulang, serta daging tanpa tulang dalam kondisi segar/dingin dan beku. Selama periode 1990–2011, impor daging sapi tanpa tulang mencapai sekitar 94 persen dari total impor daging sapi, dan 91 persen diantaranya dalam kondisi beku dan 3 persen sisanya dalam kondisi segar/dingin. Sementara untuk potongan daging lainnya bertulang volumenya sekitar 5.5 persen dan sisanya berupa karkas dan setengah karkas. Komposisi setiap tahunnya tidak banyak bervariasi. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penjumlahan volume impor daging sapi diasumsikan sebagai impor potongan daging tanpa tulang. Impor daging sapi dalam konteks ini tidak termasuk impor jeroan (offal). Produksi Daging Sapi Lokal Hasil pendugaan parameter faktor-faktor yang mempengaruhi produksi daging sapi lokal disajikan pada Tabel 20. Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaman peubah-peubah penjelas secara bersama-sama mampu menjelaskan 76.12 persen keragaman produksi daging sapi lokal. Beradasarkan hasil uji statistik-t, produksi daging sapi lokal dipengaruhi oleh harga daging sapi domestik tahun sebelumnya, produksi ternak sapi pada tahun t-2, total impor daging sapi, dan kebijakan PSDSK 2014 pada taraf nyata 1 persen. Sedangkan produksi daging sapi pada tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata (p > 0.2). Semua peubah yang mempengaruhi produksi daging sapi lokal di Indonesia responnya tidak elastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan kata lain, produsen daging sapi dalam menjalankan usahanya tidak responsif terhadap perubahan harga daging, produksi ternak, dan volume impor daging. Harga daging sapi domestik pada tahun sebelumnya berpengaruh positif dan nyata secara statistik terhadap produksi daging sapi lokal. Harga pada tahun sebelumnya merupakan referensi bagi produsen daging sapi untuk merencanakan tingkat produksinya. Seperti halnya produk pertanian pada umumnya, proses produksi daging sapi memerlukan waktu yang relatif lama sehingga respon produksi terhadap perubahan harga tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Menurut Marsh (1994), pada peternakan besar seperti sapi, respon produksi terhadap perubahan harga, teknologi, dan kebijakan pemerintah memerlukan waktu yang relatif panjang karena faktor biologis. Kenaikan harga daging merupakan insentif bagi produsen daging sapi lokal untuk meningkatkan produksinya. Dengan asumsi harga input konstan, kenaikan harga daging akan meningkatkan value of marginal product sehingga produsen akan meningkatkan penggunaan input untuk mendapatkan output yang lebih besar dan memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Produksi ternak sapi pada tahun t-2 juga berpengaruh positif dan nyata secara statistik terhadap produksi daging sapi lokal. Setelah berumur 2 tahun, ternak sapi bisa dipotong untuk menghasilkan daging. Menurut Ditjen PKH (2012) ternak sapi siap dipanen (dipotong) pada umur 2.5 tahun. Peningkatan produksi ternak sapi pada tahun t-2 akan meningkatkan penawaran ternak sapi lokal untuk menghasilkan daging sapi. Kebijakan PSDSK 2014 juga berpengaruh positif terhadap produksi daging sapi lokal. Tujuan PSDSK 2014 adalah untuk meningkatkan produksi daging sapi dan kerbau dengan berbasis pada sumber daya lokal.
92 Di sisi lain, kenaikan impor daging sapi berpengaruh negatif terhadap produksi daging sapi lokal. Dengan harga daging sapi impor yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga daging sapi domestik, maka daging sapi lokal tidak bisa bersaing dengan daging sapi impor. Dengan demikian, jika terjadi kenaikan impor produk daging sapi, maka produksi daging sapi lokal akan menurun karena konsumen yang rasional akan lebih memilih daging sapi impor yang harganya lebih murah apalagi dengan kualitas yang lebih bagus. Tabel 20 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model produksi daging sapi lokal Variabel
Keterangan
Intercept RHDS_1 Lag harga daging sapi domestik QTS_2 Lag2 produksi ternak sapi potong QSM Total impor daging sapi D1 Dummy kebijakan PSDSK 2014 QSDSL_1 Lag produksi daging sapi lokal R-squared Adj R-squared F-statistic DW Dh
Parameter dugaan 87.30493 0.00435 32.11208 -0.84083 70.8991 0.064811 0.76116 0.67586 8.92000 2.45954 -1.93381
Pr > |t| 0.1248 0.0086 0.0068 <.0001 0.0005 0.3687
Elastisitas jangka jangka pendek panjang 0.4504 0.3271 -0.2482
0.4816 0.3498 -0.2654
0.0006
Impor Daging Sapi Nasional Tabel 21 menyajikan hasil pendugaan parameter faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia. Variasi harga daging sapi impor, nilai tukar rupiah, produksi daging sapi lokal, permintaan daging sapi domestik, lag impor daging sapi, dan peubah dummy secara bersama-sama mampu menjelaskan 96.75 persen variasi impor daging sapi. Berdasarkan hasil uji statistik-t produksi daging sapi lokal, permintaan daging sapi, dan impor daging sapi tahun sebelumnya berpengaruh secara nyata terhadap impor daging sapi dan responnya bersifat elastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan harga daging sapi impor cenderung meningkatkan volume impor daging sapi, tetapi pengaruhnya tidak signifikan (p > 0.2). Secara teori, kenaikan harga daging sapi impor akan menurunkan volume impor daging sapi. Hasil penelitian Priyanto (2003) dengan menggunakan data tahun 1980–2000 juga menunjukkan hasil yang serupa. Beberapa penelitian lainnya menunjukkan adanya hubungan yang negatif antara harga daging sapi impor dengan volume impor daging sapi namun pengaruhnya tidak nyata seperti yang dilakukan oleh Ilham (1998), Kariyasa (2004), dan Tseuoa (2011). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa impor daging sapi di Indonesia tidak ditentukan oleh harga daging sapi impor sendiri, melainkan sudah menjadi tuntutan konsumen untuk memenuhi kebutuhan akibat adanya kesenjangan antara permintaan dan penawaran di dalam negeri. Selain itu, pangsa pasar daging impor dengan kualitas utama (prime cut) adalah segmen masyarakat
93 tertentu yang pada umumnya berpendapatan tinggi serta usaha hotel dan restoran untuk memenuhi permintaan turis asing, sehingga kenaikan harga tidak memberikan pengaruh yang berarti. Dari segi kualitas menunjukkan bahwa daging sapi impor mempunyai kualitas yang lebih bagus dibandingkan dengan daging sapi lokal (hasil peternakan rakyat), tetapi setara dengan kualitas daging sapi produksi feedloter. Tabel 21 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model impor daging sapi Variabel
Keterangan
Intercept RHSM Harga daging sapi impor RNTR Nilai tukar rupiah QSDSL Produksi daging sapi lokal QDDS Permintaan daging sapi QDM_1 Lag impor daging sapi R-squared Adj R-squared F-statistic DW Dh
Parameter dugaan -7.27469 0.002468 -0.00014 -0.29869 0.292158 0.394159 0.96749 0.95588 83.33 1.73903 0.57083
Pr > |t|
Elastisitas jangka jangka pendek panjang
0.3668 0.3253 0.4628 <.0001 <.0001 0.0016
0.1816 -0.0340 -2.4520 3.2418
0.2997 -0.0561 -4.0473 5.3509
<.0001
Di sisi lain, harga daging sapi impor setelah dikonversikan dalam rupiah relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga daging sapi domestik. Sejak awal tahun 1990-an harga nominal daging sapi impor selalu lebih murah dibandingkan dengan harga daging sapi domestik. Tingginya harga daging sapi di pasar domestik disebabkan antara lain oleh tingginya biaya transportasi dari sentra produksi ternak menuju sentra konsumsi daging sapi. Biaya transportasi merupakan komponen utama dalam biaya pemasaran ternak sapi di Indonesia. Selain itu, penyusutan bobot ternak sapi selama proses transpotasi mencapai 5.5 persen untuk wilayah Jawa dan 10.5 untuk wilayah luar Jawa (Ilham dan Yusdja 2004). Menurut Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian, Syukur Iwantoro, keterbatasan infrastruktur membuat sapi mendapat perlakuan yang tidak baik selama pengiriman dari produsen (peternak) ke tempat pemotongan hewan. Kondisi tersebut membuat bobot badan sapi susut sampai 30 persen (Anonim 2013). Selisih harga daging sapi domestik dan harga daging sapi impor cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 21). Selisih harga yang semakin besar merupakan daya tarik tersendiri bagi importir untuk melakukan kegiatan impor daging sapi walaupun harganya naik, karena masih memperoleh keuntungan dari kegiatan tersebut. Harga impor yang lebih kompetitif di pasar domestik mendorong peningkatan jumlah impor daging sapi. Selain itu, adanya campur tangan pemerintah berupa penetapan kuota impor menyebabkan variabel harga impor dan nilai tukar rupiah tidak berpengaruh nyata terhadap volume impor. Produksi daging sapi lokal berpengaruh negatif dan nyata secara statistik terhadap volume impor daging sapi (p < 0.01). Peningkatan produksi daging sapi lokal berarti meningkatkan penawaran daging sapi domestik, sehingga kesenjangan antara permintaan dengan penawaran juga semakin kecil. Mengingat
94 selama ini, Indonesia merupakan negara net importir daging sapi, maka impor merupakan solusi untuk menutupi kesenjangan tersebut. 70,000 60,000
Harga (Rp)
50,000 40,000 30,000 20,000 10,000
Harga Daging Sapi Domestik
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
0
Harga Daging Sapi Impor
Sumber : BPS (diolah). Gambar 21 Perkembangan harga daging sapi domestik dan harga daging sapi impor di Indonesia, 1990 – 2011 (rupiah/kg) Permintaan daging sapi berpengaruh positif dan nyata secara statistik terhadap volume impor daging sapi (p < 0.01). Meningkatnya permintaan daging sapi nasional antara lain disebabkan oleh meningkatnya pendapatan masyarakat. Meningkatnya pendapatan masyarakat cenderung merubah pola konsumsi masyarakat yang mengarah pada peningkatan konsumsi protein hewani termasuk daging sapi. Konsumen dengan pendapatan tinggi cenderung memilih daging sapi dengan kualitas yang lebih bagus. Kenyataan bahwa kualitas daging sapi impor lebih bagus dibandingkan dengan daging sapi lokal mendorong peningkatan impor daging sapi. Selain itu, selama ini produksi daging sapi lokal belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi nasional sehingga masih dibutuhkan impor daging sapi. Volume impor daging sapi pada tahun sebelumnya juga berpengaruh terhadap impor pada tahun berikutnya. Jumlah impor pada periode sebelumnya merupakan referensi bagi pemerintah untuk menentukan kuota impor pada periode berikutnya, selain pertimbangan jumlah produksi dan permintaan daging sapi.
Blok Permintaan Daging Sapi Hasil pendugaan parameter faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi di Indonesia disajikan pada Tabel 22. Nilai koefisien (R2) sebesar 0.8797 mengandung arti bahwa 87.97 persen variasi permintaan daging sapi dapat dijelaskan oleh variasi peubah penjelas secara bersama-sama. Peubah-peubah tersebut adalah harga daging sapi domestik, harga daging ayam ras, PDB nonmigas, dummy kebijakan PSDSK 2014, dan dummy krisis ekonomi. Berdasarkan
95 hasil uji statistik-t menunjukkan bahwa PDB non-migas dan kebijakan PSDSK 2014 berpengaruh nyata terhadap permintaan daging sapi pada taraf nyata 1 persen, harga daging sapi domestik berpengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen, serta harga daging ayam ras dan krisis ekonomi pada taraf nyata 10 persen. Tabel 22 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model permintaan daging sapi Variabel
Keterangan
Intercept RHDS Harga daging sapi domestik RHDAY Harga daging ayam GDP PDB non-migas D1 Dummy kebijakan PSDSK 2014 D2 Dummy krisis ekonomi R-squared Adj R-squared F-statistic DW
Parameter dugaan 207.3865 -0.0095 0.009248 0.140774 62.10682 -38.5104 0.87965 0.83666 20.46 2.549579
Pr > |t| <.0001 0.0385 0.0621 0.0007 0.0058 0.0661
Elastisitas jangka jangka pendek panjang -0.7511 0.3817 0.6844
<.0001
Kenaikan harga daging sapi domestik berdampak negatif terhadap permintaan daging di Indonesia. Namun demikian, permintaan daging sapi tidak responsif terhadap perubahan harga daging sapi dalam jangka pendek dengan nilai elastisitas sebesar -0.7511. Artinya jika terjadi kenaikan harga daging sapi sebesar 10 persen, maka permintaan daging sapi akan turun 7.51 persen. Hal ini bukan berarti daging sapi merupakan barang kebutuhan pokok, karena masih bisa disubstitusi dengan bahan pangan yang lain seperti daging ayam. Kenyataan ini sejalan dengan temuan Tseuoa (2011) yang menyatakan bahwa permintaan daging sapi tidak responsif terhadap perubahan rasio harga daging sapi domestik dan daging ayam. Hasil kajian Hadi et al. (2002) juga menunjukkan bahwa permintaan daging sapi tidak elastis terhadap perubahan harga sendiri dengan nilai elastisitas sebesar -0.21. Hal ini bisa disebabkan oleh harga daging sapi yang cukup tinggi sementara pendapatan masyarakat pada umumnya masih relatif rendah, sehingga sebagian besar masyarakat mengkonsumsi daging sapi pada momen-momen tertentu seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Hari Natal, atau untuk keperluan pesta. Rumah tangga dengan pendapatan tinggi pada umumnya bermukim di wilayah perkotaan, terutama di Jakarta, yang mendominasi konsumsi daging sapi dan hanya merupakan sebagian kecil dari penduduk Indonesia (Hadi et al. 1999). Selain itu, proporsi pendapatan rumah tangga untuk konsumsi daging sapi relatif kecil. Daging ayam ras merupakan salah satu komoditas substitusi daging sapi dan merupakan salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat. Respon permintaan daging sapi terhadap perubahan harga daging ayam ras bersifat ineslatis dalam jangka pendek, yang ditunjukkan dengan nilai elastisitasnya sebesar 0.3817. Konsumen cenderung mengkonsumsi salah satu di antara kedua komoditas tersebut untuk memenuhi kebutuhan protein hewani berdasarkan pertimbangan harga. Harga daging ayam jauh lebih murah dibandingkan dengan harga daging sapi sehingga lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani. Hasil Susenas 2009 menunjukkan bahwa konsumsi daging ayam mencapai 0.059 kg/kapita/minggu,
96 sedangkan konsumsi daging sapi hanya sebesar 0.006 kg/kapita/minggu (BPS 2009). Dengan harga daging sapi yang cukup tinggi, maka kenaikan harga daging ayam tidak berpengaruh banyak terhadap kenaikan permintaan daging sapi. Harga daging sapi sekitar dua kali lipat harga daging ayam, bahkan beberapa tahun terakhir harganya naik lebih pesat dibandingkan harga daging ayam. Hasil kajian Priyanto (2003) menunjukkan bahwa daging ayam merupakan komoditas substitusi bagi daging sapi. Sementara hasil penelitian Ilham (1998) menunjukkan bahwa ikan kembung merupakan komoditas substitusi bagi daging sapi. Daya beli masyarakat yang representasikan dengan nilai PDB non-migas menunjukkan pengaruh yang positif terhadap permintaan daging sapi. Semakin tinggi daya beli masyarakat maka permintaan daging sapi akan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa daging sapi merupakan barang normal. Nilai elastisitas pendapatan sebesar 0.6844 dalam jangka pendek. Artinya apabila terjadi peningkatan pendapatan masyarakat sebesar 10 persen maka permintaan daging sapi akan meningkat sekitar 7 persen. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Ilham (1998), Ilham et al. (2002), dan Tseuoa (2011) yang menyatakan bahwa respon permintaan daging sapi terhadap perubahan pendapatan bersifat inelastis dalam jangka pendek dengan nilai elastisitas masing-masing 0.5998, 0.7679, dan 0.1598. Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Kariyasa (2004) menunjukkan menyatakan bahwa respon permintaan daging sapi terhadap perubahan pendapatan bersifat elastis. Krisis ekonomi berpengaruh negatif terhadap permintaan daging sapi. Pada masa krisis, perekonomian Indonesia mengalami kemerosotan sehingga daya beli masyarakat menurun. Pendapatan yang ada lebih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pokok, sehingga permintaan daging sapi yang bukan merupakan kebutuhan pokok menurun.
Blok Harga Daging Sapi Harga Daging Sapi Domestik Hasil pendugaan parameter persamaan harga daging sapi domestik menunjukkan bahwa 96.88 persen keragaman harga daging sapi domestik mampu dijelaskan secara bersama-sama oleh kearagaman harga daging sapi Jakarta, harga daging sapi impor, nilai tukar rupiah, produksi daging sapi domestik, permintaan daging sapi, trend, dan lag harga daging sapi domestik (Tabel 23). Berdasarkan hasil uji statistik-t hampir semua peubah penjelas, kecuali lag harga daging sapi domestik, berpengaruh nyata terhadap harga daging sapi domestik. Harga daging sapi Jakarta dan produksi daging sapi domestik pada taraf nyata 1 persen, permintaan daging sapi domestik, trend, dan harga daging sapi impor pada taraf nyata 5 persen, serta nilai tukar rupiah pada taraf nyata 15 persen. Harga daging sapi di Jakarta memberikan pengaruh positif terhadap harga daging sapi nasional. Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi dan konsumen utama daging sapi di Indonesia. Perubahan harga daging sapi di Jakarta akan ditransmisikan ke berbagai wilayah di Indonesia sehingga mempunyai andil yang cukup besar untuk mempengaruhi harga daging sapi nasional. Kenaikan harga daging sapi di Jakarta akan diikuti dengan kenaikan harga daging sapi nasional.
97 Responnya bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Harga daging sapi impor berpengaruh positif terhadap harga daging sapi nasional. Dalam era perdagangan bebas, perubahan harga di pasar internasional akan berpengaruh terhadap situasi pasar domestik. Sebagai negara yang tergolong small country, dalam perdagangan internasional Indonesia berperan sebagai price taker. Jika terjadi kenaikan harga daging sapi impor maka pelaku usaha daging sapi di dalam negeri juga akan menaikkan harga daging sapi domestik. Namun demikian responnya bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ilham (1998). Tabel 23 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model harga daging sapi domestik Variabe l
Keterangan
Intercept RHDSJ Harga daging sapi Jakarta RHSM Harga daging sapi impor RNTR Nilai tukar rupiah QSDS Produksi daging sapi domestik QDDS Permintaan daging sapi domestik T Trend RHDS_1 Lag harga daging sapi domestik R-squared Adj R-squared F-statistic DW Dh
Parameter dugaan -8394.96 0.75483 2.12433 0.31386 -27.23920 24.79789 226.59950 0.07112 0.96884 0.95066 53.3 2.38422 -1.00757
Pr > |t| 0.0383 <.0001 0.0310 0.1210 0.0051 0.0189 0.0199 0.2770
Elastisitas jangka jangka pendek panjang 0.8571 0.9227 0.1781 0.1918 0.0868 0.0935 -0.2727 -0.2936 0.3136 0.3376
<.0001
Kenaikan nilai tukar rupiah akan meningkatkan harga daging sapi domestik. Kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan menyebabkan konversi harga impor daging sapi dalam rupiah menjadi lebih tinggi. Artinya harga daging sapi impor menjadi lebih mahal di pasar domestik sehingga pedagang akan meningkatkan harga jual daging sapi impor di pasar domestik. Kejadian ini akan diikuti dengan kenaikan harga daging sapi domestik. Setelah krisis ekonomi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tidak banyak mengalami perubahan yang berarti, sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar terhadap perubahan harga di pasar domestik. Di sisi lain, produksi daging sapi domestik berpengaruh negatif terhadap harga daging sapi domestik. Artinya kenaikan produksi daging sapi nasional akan menurunkan harga daging sapi domestik. Peningkatan produksi akan memperkecil excess demand terhadap daging sapi sehingga harga akan cenderung menurun untuk mencapai keseimbangan pasar. Harga daging sapi domestik tidak responsif terhadap perubahan penawaran domestik, dengan nilai elastisitas sebesar -0.2727 dalam jangka pendek dan -0.2936 dalam jangka panjang. Hasil kajian ini sejalan dengan hasil penelitian Ilham (1998) dan Kariyasa (2004). Sebaliknya, permintaan daging sapi berpengaruh positif terhadap harga daging sapi domestik. Apabila terjadi kenaikan permintaan daging sapi akibat
98 adanya peningkatan pendapatan masyarakat atau peningkatan jumlah penduduk, maka akan terjadi excess demand terhadap daging sapi sehingga harga daging sapi di pasar domestik akan meningkat. Respon harga terhadap perubahan permintaan bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang dengan nilai elastisitas masing-masing 0.3136 dan 0.3376. Adanya kompetitor daging sapi impor dengan harga yang lebih murah, maka perubahan permintaan tersebut bisa saja dipenuhi dari produk impor. Dengan demikian harga daging sapi domestik tidak banyak mengalami kenaikan. Apalagi jika didukung dengan adanya kemudahan dalam proses impor daging sapi. Seiring dengan perkembangan perekonomian nasional, harga daging sapi di pasar domestik cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Harga Daging Sapi Impor Hasil pendugaan parameter harga daging sapi impor disajikan pada Tabel 24. Kemampuan peubah penjelas secara bersama-sama untuk menerangkan variasi harga daging sapi impor sekitar 76.44 persen. Peubah-peubah penjelas tersebut adalah harga daging sapi dunia, harga daging sapi Australia, tarif impor, dan lag peubah endogen. Harga daging sapi Australia dan lag peubah endogen berpengaruh nyata terhadap harga daging sapi impor pada taraf nyata 1 persen, dan tarif impor pada taraf nyata 20 persen. Harga daging sapi dunia yang diwakili oleh harga daging sapi di Amerika Serikat tidak berpengaruh nyata terhadap harga daging sapi impor (p > 0.2). Amerika Serikat merupakan negara produsen, konsumen, dan importir daging sapi terbesar di dunia (Kementerian Pertanian 2011a). Tanda parameter dugaan tidak sesuai dengan hipotesis namun tidak signifikan pada taraf nyata 20 persen. Hasil kajian ini sejalan dengan temuan Kariyasa (2004) yang menggunakan data tahun 1970–1999. Seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dan kunjungan wisatawan mancanegara di Indonesia, maka permintaan impor daging sapi dengan kualitas baik semakin meningkat. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan (2011) volume impor daging sapi dengan kualitas prime cut meningkat dari 11.10 ribu ton pada tahun 2007 menjadi 15.11 ribu ton pada tahun 2009. Hal ini menyebabkan harga daging sapi impor di Indonesia cenderung mengalami kenaikan. Sementara itu, harga daging sapi di Amerika Serikat relatif konstan bahkan cenderung menurun dibandingkan harga pada tahun 1990-an. Harga daging sapi di Australia memberikan pengaruh positif terhadap harga daging sapi impor di Indonesia. Brazil dan Australia merupakan negara eksportir daging sapi terbesar di dunia dengan kontribusi masing-masing 21.99 persen dan 18.73 persen dari total volume ekspor daging sapi dunia selama periode 2002–2011 (Kementerian Pertanian 2011a). Seperti diketahui bahwa impor daging sapi Indonesia sebagian besar berasal dari Australia kemudian diikuti oleh New Zealand. Oleh karena itu harga daging sapi di Australia sangat menentukan harga daging sapi impor di Indonesia. Dalam jangka pendek harga impor daging sapi di Indonesia tidak responsif terhadap perubahan harga daging sapi di Australia, namun dalam jangka panjang bersifat responsif dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar 0.518 dalam jangka pendek dan 1.025 dalam jangka panjang.
99 Untuk melindungi usaha peternakan sapi domestik dari desakan daging sapi impor yang harganya relatif lebih murah, pemerintah mengenakan tarif terhadap terhadap harga daging sapi impor yang masuk ke Indonesia. Kenaikan tarif impor daging akan meningkatkan harga daging sapi impor. Namun seiring dengan perkembangan perdagangan internasional yang menuju era perdagangan bebas, maka hambatan perdagangan berupa tarif secara bertahap dikurangi. Respon harga daging sapi impor terhadap perubahan tarif impor bersifat inelastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pada awal tahun 1990-an tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, kemudian pada pertengahan tahun 1990-an mengalami penurunan secara bertahap dan pada akhir tahun 1990-an menjadi 5 persen dan konstan hingga sekarang. Besaran tarif yang tidak banyak variasinya menyebabkan pengaruhnya tidak terlalu besar terhadap perubahan harga impor daging sapi. Tabel 24 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model harga daging sapi impor Variabel
Keterangan
Intercept RHDSW Harga daging sapi dunia (AS) RHDSA Harga daging sapi Australia TI Tarif impor RHSM_1 Lag harga daging sapi impor R-squared Adj R-squared F-statistic DW Dh
Parameter dugaan 425.6841 -0.20777 0.573587 10.02848 0.494621 0.76439 0.70157 12.17000 1.534096 1.58379
Pr > |t| 0.2800 0.2423 0.0048 0.1870 0.0051
Elastisitas jangka jangka pendek panjang -0.2985 0.5180 0.0554
-0.5906 1.0250 0.1097
0.0001
Blok Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan Pertumbuhan Ekonomi Subsektor Peternakan Pertumbuhan ekonomi subsektor peternakan merupakan perubahan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor peternakan pada tahun berjalan dibandingkan dengan PDB subsektor peternakan pada tahun sebelumnya. Persamaan pertumbuhan ekonomi subsektor peternakan adalah sebagai berikut: GROWTHt = (GDPPt GDPPt-1 ) / GDPPt-1 * 100 .............................. keterangan: GROWTHt = GDPPt = GDPPt-1 =
(5.1)
Pertumbuhan GDP subsektor peternakan PDB subsektor peternakan pada tahun t (triliun rupiah) PDB subsektor peternakan pada tahun t-1 (triliun rupiah)
PDB subsektor peternakan merupakan penjumlahan dari PDB sapi potong (GDPSP) ditambah PDB non-sapi potong (GDPNSP). Hasil pendugaan parameter persamaan PDB sapi potong disajikan pada Tabel 25. Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaman peubah-peubah penjelas secara bersama-sama mampu menjelaskan 78.67 persen keragaman PDB sapi
100 potong. Peubah-peubah penjelas tersebut adalah produksi ternak sapi potong, volume impor sapi bakalan, dan PDB sapi potong pada tahun sebelumnya. Beradasarkan hasil uji statistik-t, PDB sapi potong dipengaruhi oleh produksi ternak sapi dan volume impor sapi bakalan masing-masing pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen. Semua peubah yang mempengaruhi PDB sapi potong responnya tidak elastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. PDB sapi potong mencakup semua nilai tambah dari kegiatan pembibitan dan budidaya ternak sapi potong dengan tujuan untuk dikembangbiakkan, dibesarkan, dipotong, dan diambil hasil-hasilnya baik yang diusahakan oleh rakyat maupun perusahaan peternakan dalam periode tertentu (satu tahun). Peningkatan produksi ternak sapi potong akan berpengaruh terhadap peningkatan PDB sapi potong. Produksi ternak sapi potong merupakan jumlah anak sapi yang dilahirkan hidup yang merupakan hasil dari perkembangbiakan ternak dalam periode tertentu (satu tahun). Semakin banyak produksi ternak sapi maka akan semakin besar nilai tambah yang dihasilkan. Tabel 25 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model PDB sapi potong Variabel
Keterangan
Intercept QTS Produksi ternak sapi potong MSBK Impor sapi bakalan GDPSP_1 Lag PDB Sapi potong R-squared Adj R-squared F-statistic DW Dh
Parameter dugaan -0.25231 3.11174 0.01143 0.05837 0.78674 0.74675 19.68 2.26348 -0.94058
Pr > |t| 0.4312 <.0001 0.0189 0.3711
Elastisitas jangka jangka pendek panjang 0.8407 0.1308
0.8928 0.1389
<.0001
Impor sapi bakalan juga berpengaruh positif terhadap PDB sapi potong. Sapi bakalan impor sebelum dipotong untuk menghasilkan daging sapi, dilakukan pemeliharaan sekitar 3 bulan sampai diperoleh berat yang optimal. Dalam proses pembesaran/penggemukan sapi bakalan impor akan diperoleh tambahan bobot ternak sapi yang merupakan bagian nilai tambah bagi industri sapi potong di Indonesia. Peningkatan PDB sapi potong akan meningkatkan PDB subsektor peternakan dengan asumsi komoditas peternakan yang lain relatif konstan. Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan Selain besaran PDB, indikator lain yang digunakan untuk mengukur kinerja subsektor peternakan adalah kesempatan yang tercipta akibat adanya suatu aktivitas eknonomi pada subsektor ini. Hasil pendugaan parameter permintaan tenaga kerja peternakan disajikan pada Tabel 26. Hasil analisis menunjukkan bahwa 81.17 persen variasi permintaan tenaga kerja peternakan mampu dijelaskan oleh upah tenaga kerja peternakan, PDB sapi potong, PDB non-sapi potong, dan lag endogenous variable. Berdasarkan hasil uji statistik-t, semua peubah penjelas berpengaruh nyata terhadap permintaan tenaga kerja peternakan masing-masing pada taraf nyata 10 persen untuk upah tenaga kerja peternakan, 5 persen untuk
101 PDB sapi potong dan PDB non-sapi potong, serta 1 persen untuk lag permintaan tenaga kerja peternakan. Tabel 26 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model permintaan tenaga kerja peternakan Variabel
Keterangan
Intercept RWP Upah riil TK Peternakan GDPSP PDB sapi potong GDPNSP PDB non-sapi potong DLP_1 Lag permintaan TK Peternakan R-squared Adj R-squared F-statistic DW Dh
Parameter dugaan 760.8442 -2.9095 101.6452 38.2720 0.5193 0.8117 0.7615 16.1700 2.1532 -0.6293
Pr > |t| 0.1330 0.0867 0.0136 0.0397 0.0072
Elastisitas jangka jangka pendek panjang -0.2949 0.2989 0.2482
-0.6136 0.6218 0.5164
<.0001
Upah rata-rata subsektor peternakan berpengaruh negatif terhadap permintaan tenaga kerja peternakan. Kenaikan upah tenaga kerja akan menyebabkan marginal cost (MC) meningkat. Dengan asumsi harga output konstan, maka kenaikan tingkat upah pekerja mengakibatkan MC > MR (marginal revenue). Produsen yang rasional akan mengurangi penggunaan input tenaga kerja sampai kondisi MC = MR sehingga diperoleh keuntungan yang maksimum. Parameter estimasi bernilai -2.9095, artinya jika upah tenaga kerja per bulan naik Rp. 1000 per bulan, ceteris paribus, maka permintaan tenaga kerja berkurang sebanyak 2.9 ribu orang. Respon permintaan tenaga kerja terhadap perubahan tingkat upah bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja merupakan input pokok dalam proses produksi. PDB peternakan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap permintaan tenaga kerja peternakan. Peningkatan PDB peternakan yang mencerminkan kenaikan skala usaha subsektor peternakan akan meningkatkan permintaan terhadap input yang dibutuhkan dalam proses produksi peternakan, termasuk tenaga kerja. PDB peternakan dirinci menjadi PDB sapi potong dan PDB non-sapi potong. Kesempatan kerja peternakan lebih responsif terhadap perubahan PDB sapi potong daripada perubahan PDB non-sapi potong, dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar 0.3 (jangka pendek) dan 0.62 (jangka panjang) untuk PDB sapi potong serta 0.25 9jangka pendek) dan 0.52 (jangka panjang) untuk PDB non-sapi potong. Parameter estimasi PDB sapi potong bernilai 101.65, mengandung arti bahwa jika PDB sapi potong naik Rp. 1 triliun, ceteris paribus, maka permintaan tenaga kerja akan meningkat sebanyak 101.65 ribu orang. Sementara itu, nilai parameter estimasi PDB non-sapi potong sebesar 38.27. Artinya, apabila PDB non-sapi potong meningkat Rp. 1 triliun, ceteris paribus, maka permintaan tenaga kerja akan meningkat sebanyak 38.27 ribu orang. Dengan demikian, pengembangan komoditas sapi potong akan lebih mendorong penyerapan tenaga kerja di subsektor peternakan dibandingkan dengan pengembangan komoditas peternakan yang lain.
102 Respon permintaan tenaga kerja bersifat inelastis dalam jangka pendek dan jangka panjang baik terhadap perubahan PDB sapi potong maupun perubahan PDB non-sapi potong. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja merupakan input pokok dalam proses produksi. Dalam jangka pendek jumlah angkatan kerja relatif konstan, dan perpindahan tenaga antar sektor ekonomi juga tidak mudah. Sektor peternakan pada umumnya merupakan pekerjaan sampingan. Hasil Survei Rumah Tangga Usaha Peternakan 2004 (STU04) menunjukkan bahwa secara umum rumah tangga peternakan yang menjadikan usaha peternakan sebagai sumber pendapatan utama hanya 10.1 persen. Usaha di sektor pertanian lainnya masih merupakan sumber pendapatan utama bagi rumah tangga peternakan di Indonesia, yaitu sebesar 63.8 persen (BPS 2005b).
6 DAMPAK KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI TERHADAP KINERJA INDUSTRI SAPI POTONG DAN SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA Hasil Validasi Model Validasi model digunakan untuk mengetahui apakah model yang dibangun cukup valid untuk dilakukan simulasi alternatif kebijakan dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika menggunakan beberapa indikator diantaranya adalah Root Means Squares Percent Error (RMSPE) untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing peubah endogen hasil pendugaan mengikuti nilai data aktualnya selama periode pengamatan. Selain RMSPE digunakan statistika proporsi bias (UM) yang mengindikasikan error sistematis dimana nilai yang diinginkan adalah nol sehingga jika nilainya lebih besar dari 0.2 mengindikasikan adanya bias sistematik, proporsi regresi (UR), proporsi varian (US) yang idealnya mendekati nol, serta proporsi distribusi (UD) dan proporsi kovarian (UC) yang idealnya mendekati satu (Sitepu dan Sinaga 2006). Theils Inequality Coeficient (U) idealnya mendekati nol dan jika nilainya satu maka model dikatakan naif. Validasi model swasembada daging sapi di Indonesia dilakukan dengan simulasi dasar untuk periode sampel pengamatan tahun 1990–2011. Tabel 27 Hasil validasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia Variabel QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
Keterangan Produksi ternak sapi potong Impor sapi bakalan Produksi daging sapi bakalan lokal Impor daging sapi Populasi ternak sapi potong Permintaan daging sapi domestik Harga daging sapi domestik Harga daging sapi impor PDB sapi potong Permintaan TK peternakan Total impor ternak sapi Impor daging sapi ex bakalan impor Total impor daging sapi Produksi daging sapi bakalan impor Produksi daging sapi domestik Total penawaran daging sapi Produksi daging Excess demand daging sapi PDB peternakan PDB non-migas Pertumbuhan PDB peternakan
RMSPE 20.67 111.40 18.77 105.90 8.99 7.28 5.01 12.69 23.37 12.46 108.10 111.40 104.50 111.40 15.01 6.89 8.14 108.30 5.92 0.13 169.90
Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC) 0.07 0.02 0.92 0.05 0.88 0.05 0.36 0.59 0.08 0.87 0.04 0.56 0.40 0.03 0.93 0.02 0.17 0.80 0.03 0.94 0.46 0.32 0.22 0.20 0.34 0.02 0.28 0.70 0.52 0.46 0.03 0.02 0.95 0.07 0.90 0.01 0.00 0.99 0.07 0.92 0.10 0.04 0.86 0.01 0.89 0.06 0.00 0.94 0.09 0.85 0.05 0.36 0.59 0.08 0.87 0.05 0.36 0.59 0.08 0.87 0.04 0.31 0.64 0.09 0.87 0.05 0.36 0.59 0.08 0.87 0.03 0.52 0.45 0.00 0.96 0.00 0.25 0.75 0.46 0.54 0.01 0.00 0.99 0.27 0.71 0.01 0.24 0.74 0.04 0.94 0.10 0.16 0.74 0.09 0.81 0.10 0.03 0.87 0.03 0.87 0.00 0.74 0.25 0.22 0.78
U 0.074 0.230 0.106 0.177 0.045 0.042 0.020 0.057 0.080 0.054 0.229 0.233 0.202 0.233 0.085 0.037 0.045 0.197 0.025 0.001 0.560
104 Hasil validasi model disajikan pada Tabel 27. Dari 21 persamaan, terdapat 13 persamaan (62 persen) yang memiliki nilai RMSPE di bawah 25 persen. Artinya nilai prediksi masih dapat mengikuti kecenderungan data peramalannya dengan tingkat kesalahan di bawah 25 persen. Nilai RMSPE yang lebih dari 25 persen umumnya terjadi pada persamaan-persamaan identitas. Hal ini terjadi karena error variabel endogen terakumulasi pada persamaan identitas tersebut, seperti pada persamaan seperti pada persamaan total impor ternak sapi, impor daging sapi ex bakalan impor, total impor daging sapi, produksi daging sapi bakalan impor, excess demand daging sapi, dan pertumbuhan GDP peternakan. Selain itu, nilai RMSPE yang lebih dari 25 persen juga terjadi pada persamaan struktural impor sapi bakalan dan impor daging sapi karena nilainya berfluktuasi. Sebagian besar nilai statistik U mendekati nol, yaitu 15 persamaan mempunyai nilai statistik U lebih kecil dari 20 persen dan 6 persamaan mempunyai nilai U lebih besar dari 20 persen. Nilai U-Theil tertinggi adalah 0.56 yaitu pada persamaan pertumbuhan GDP peternakan yang merupakan persamaan identitas dengan nilai proporsi bias (UM) kecil yaitu 0.00. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model dapat mengikuti data aktualnya dengan baik. Dilihat dari komponen statistik U, terlihat bahwa proporsi bias (UM) dan proporsi keragaman (US) mendekati nol, dan proporsi covarians (UC) mendekati satu. Dengan demikian, jika dilihat secara keseluruhan, maka model yang dibangun cukup valid digunakan untuk melakukan simulasi peramalan dampak perubahan faktor eksternal dan kebijakan.
Simulasi Peramalan Periode 2012–2021 Simulasi model bisa berdampak positif maupun negatif atau tidak berdampak sama sekali terhadap masing-masing peubah endogen. Simulasi peramalan dilakukan pada periode pengamatan 2012–2021. Dalam penelitian ini dilakukan 6 (enam) simulasi yang terkait dengan target kebijakan pemerintah dalam upaya untuk mewujudkan swasembada daging sapi pada tahun 2014 Simulasi kebijakan tersebut adalah kenaikan dosis Inseminasi Buatan (IB) sebesar 25 persen, penurunan suku bunga pinjaman pada bank menjadi 5 persen, kenaikan impor sapi bibit sebesar 20 persen, kombinasi penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen dan kenaikan impor sapi bibit 20 persen, kombinasi penurun impor sapi bakalan dan impor daging sapi masing-masing 25 persen dan 35 persen, serta kombinasi semua kebijakan yaitu kenaikan dosis IB 25 persen, kenaikan impor sapi bibit 20 persen, penurunan suku bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 25 persen, dan penurunan impor daging sapi 35 persen. Sebagai pembanding dilakukan 3 (tiga) simulasi kombinasi kebijakan di luar target PSDSK 2014, yaitu (1) kenaikan dosis IB 30 persen, kenaikan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 25 persen, dan penurunan impor daging sapi 35 persen, (2) kenaikan dosis IB 30 persen, kenaikan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 20 persen, dan penurunan impor daging sapi 20 persen, serta (3) kenaikan dosis IB 40 persen, kenaikan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 20 persen, dan penurunan impor daging sapi 20 persen.
105
Dampak Kenaikan Dosis Inseminasi Buatan Sebesar 25 Persen Inseminasi buatan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki kulitas genetik sapi lokal. Teknologi IB merupakan salah satu implementasi langkah operasional dalam kebijakan PSDSK 2014 untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi potong berupa kenaikan jumlah kelahiran ternak sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan populasi ternak sapi. Dalam blue print PSDSK 2014 penambahan jumlah straw semen beku pada tahun 2013 ditargetkan sebesar 2 948 686 dosis dan pada tahun 2014 sebesar 3 685 857 dosis atau meningkat 25 persen (Kementerian Pertanian 2012a). Dalam simulasi ini diasumsikan efektivitas penggunaan IB sama dengan periode sebelumnya. Dengan demikian, kenaikkan aplikasi dosis IB diikuti dengan kenaikan jumlah sapi betina produktif yang akan menjadi akseptor baru dalam metode perkawinan tersebut. Hasil simulasi peningkatan dosis IB sebesar 25 persen disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Dampak kenaikan dosis IB sebesar 25 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 Variabel QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
Keterangan Produksi ternak sapi potong Impor sapi bakalan Produksi daging sapi bakalan lokal Impor daging sapi Populasi ternak sapi potong Permintaan daging sapi domestik Harga daging sapi domestik Harga daging sapi impor PDB sapi potong Permintaan TK peternakan Total impor ternak sapi Impor daging sapi ex bakalan impor Total impor daging sapi Produksi daging sapi bakalan impor Produksi daging sapi domestik Total penawaran daging sapi Produksi daging sapi Excess demand daging sapi PDB peternakan PDB non-migas Pertumbuhan PDB peternakan
Satuan
Nilai dasar
Nilai simulasi
juta ekor 4.70 5.05 ribu ton 180.40 161.60 ribu ton 265.70 284.90 ribu ton 57.65 50.77 juta ekor 24.13 25.20 ribu ton 396.00 399.70 Rp/kg 29 955.10 29 575.60 US $/ton 2 247.50 2 247.50 triliun Rp 17.41 18.32 ribu orang 5 511.90 5 678.10 ribu ton 180.80 162.10 ribu ton 64.39 57.71 ribu ton 122.00 108.50 ribu ton 26.15 23.44 ribu ton 291.90 308.40 ribu ton 413.90 416.80 ribu ton 356.20 366.10 ribu ton 104.10 91.38 triliun Rp 49.44 50.34 triliun Rp 2 505.60 2 506.50 persen 3.72 3.93
Perubahan Unit % 0.34 7.32 -18.80 -10.42 19.20 7.23 -6.88 -11.94 1.08 4.46 3.70 0.93 -379.50 -1.27 0.00 0.00 0.90 5.19 166.20 3.02 -18.70 -10.34 -6.68 -10.37 -13.50 -11.07 -2.71 -10.37 16.50 5.65 2.90 0.70 9.90 2.78 -12.72 -12.22 0.90 1.83 0.90 0.04 0.22 5.83
Hasil simulasi peningkatan dosis IB sebesar 25 persen berdampak pada peningkatan produksi ternak sapi sebesar 7.32 persen atau setara dengan 0.34 juta ekor per tahun dan populasi ternak sapi sebesar 4,46 persen (setara dengan 1,08 juta ekor per tahun). Kenaikan produksi ternak sapi akan mendorong kenaikan populasi ternak sehingga meningkatkan penawaran ternak sapi lokal untuk dipotong dan meningkatkan produksi daging sapi lokal sebesar 7.23 persen.
106 Kenaikan produksi daging sapi lokal menyebabkan impor sapi bakalan dan impor daging sapi turun masing-masing sebesar 10.42 persen dan 11.94 persen. Secara keseluruhan produksi daging sapi domestik meningkat sebesar 5.65 persen karena adanya penurunan produksi daging dari hasil penggemukan sapi bakalan impor. Kenaikan produksi daging sapi domestik berdampak pada penurunan harga daging sapi di pasar domestik sebesar 1.27 persen. Kenaikan produksi ternak sapi juga berdampak pada peningkatan PDB sapi potong sebesar 5.19 persen, sehingga PDB peternakan dan PDB non-migas serta perumbuhan PDB peternakan meningkat masing-masing 1.83 persen, 0.04 persen, dan 5.83 persen. Kenaikan PDB peternakan berdampak pada peningkatan kesempatan kerja di subsektor peternakan sebesar 3.02 persen (setara dengan 166.2 ribu orang). Di sisi lain, kenaikan pendapatan masyarakat dan penurunan harga daging sapi mendorong peningkatan permintaan daging sapi sebesar 0.93 persen. Namun demikian, kenaikan penawaran daging sapi domestik yang relatif lebih besar dibandingkan dengan kenaikan permintaan menyebabkan kesenjangan antara permintaan dan penawaran daging sapi domestik menurun sebesar 12.22 persen. Dampak Peningkatan Impor Sapi Bibit Sebesar 20 Persen Impor sapi bibit merupakan salah satu kebijakan untuk menambah sapi betina produktif di dalam negeri. Sapi betina produktif merupakan mesin biologis untuk memproduksi ternak sapi dan meningkatkan populasi ternak sapi. Impor sapi bibit diperlukan untuk menurunkan ketergantungan terhadap sapi bakalan impor secara bertahap. Hasil simulasi peningkatan impor sapi bibit sebesar 20 berdampak terhadap peningkatan produksi ternak sapi sebesar 0.69 persen. Sementara populasi ternak secara keseluruhan meningkat 0.44 persen. Volume impor sapi bibit selama periode 1990–2011 berfluktuasi dan secara rata-rata sekitar 4 ribu ekor per tahun atau kurang dari 0.05 persen terhadap total populasi ternak sapi. Selama periode 1990–2011, volume impor sapi bibit hanya sekitar 1.3 persen dari total impor ternak sapi di Indonesia. Karena jumlahnya yang relatif kecil sehingga pengaruhnya terhadap produksi ternak dan populasi ternak juga tidak terlalu besar. Meskipun impor sapi bibit meningkat 20 persen, namun penurunan impor sapi bakalan sebesar 1.05 persen berdampak terhadap penurunan total impor ternak sapi turun sebesar 1 persen, karena sebagian besar impor ternak sapi berupa sapi bakalan yang dipersiapkan untuk memproduksi daging sapi. Peningkatan produksi ternak sapi mendorong peningkatan produksi daging sapi lokal sebesar 0.72 persen, sehingga impor sapi bakalan dan impor daging sapi turun masing-masing sebesar 1.05 persen dan 1.17 persen. Impor daging sapi secara keseluruhan turun sebesar 1.07 persen atau setara dengan 1.3 ribu ton. Penurunan impor sapi bakalan juga menyebabkan tambahan produksi daging sapi hasil penggemukan sapi bakalan impor juga menurun, sehingga produksi daging sapi domestik hanya meningkat sebesar 0.55 persen. Kenaikan produksi daging sapi domestik mengakibatkan harga daging sapi domestik turun sebesar 0.12 persen. Penurunan harga daging sapi di pasar domestik dan kenaikan PDB nonmigas mendorong kenaikan permintaan daging sapi sebesar 0.10 persen. Dibandingkan dengan kenaikan permintaan daging sapi, kenaikan produksi
107 daging sapi masih lebih besar sehingga memperkecil excess demand daging sapi sebesar 1.15 persen. Kenaikan produksi ternak juga berdampak terhadap peningkatan PDB sapi potong sebesar 0.49 persen sehingga PDB subsektor peternakan meningkat sebesar 0.17 persen. Sementara itu, kesempatan kerja pada subsektor peternakan meningkat 0.29 persen. Tabel 29 Dampak kenaikan impor sapi bibit sebesar 20 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 Variabel QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
Keterangan Produksi ternak sapi potong Impor sapi bakalan Produksi daging sapi bakalan lokal Impor daging sapi Populasi ternak sapi potong Permintaan daging sapi domestik Harga daging sapi domestik Harga daging sapi impor PDB sapi potong Permintaan TK peternakan Total impor ternak sapi Impor daging sapi ex bakalan impor Total impor daging sapi Produksi daging sapi bakalan impor Produksi daging sapi domestik Total penawaran daging sapi Produksi daging sapi Excess demand daging sapi PDB peternakan PDB non-migas Pertumbuhan PDB peternakan
Satuan
Nilai dasar
Nilai simulasi
juta ekor 4.70 4.73 ribu ton 180.40 178.50 ribu ton 265.70 267.60 ribu ton 57.65 56.98 juta ekor 24.13 24.23 ribu ton 396.00 396.40 Rp/kg 29 955.10 29 917.80 US $/ton 2 247.50 2 247.50 triliun Rp 17.41 17.50 ribu orang 5 511.90 5 527.70 ribu ton 180.80 179.00 ribu ton 64.39 63.73 ribu ton 122.00 120.70 ribu ton 26.15 25.89 ribu ton 291.90 293.50 ribu ton 413.90 414.20 ribu ton 356.20 357.20 ribu ton 104.10 102.90 triliun Rp 49.44 49.52 triliun Rp 2 505.60 2 505.70 persen 3.72 3.73
Perubahan Unit
%
0.03 -1.90 1.90 -0.68 0.11 0.40 -37.30 0.00 0.09 15.80 -1.80 -0.66 -1.30 -0.27 1.60 0.30 1.00 -1.20 0.09 0.10 0.02
0.69 -1.05 0.72 -1.17 0.44 0.10 -0.12 0.00 0.49 0.29 -1.00 -1.02 -1.07 -1.02 0.55 0.07 0.28 -1.15 0.17 0.00 0.49
Dampak Penurunan Tingkat Bunga Pinjaman Menjadi 5 persen Tingkat bunga pinjaman merupakan biaya input bagi pengusaha yang menggunakan jasa bank dalam meningkatkan modal usahanya. Subsidi bunga pinjaman melalui program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) diharapkan dapat meningkatkan akses peternak untuk memperoleh tambahan modal melalui bank. KUPS merupakan skim kredit perbankan dengan suku bunga bersubsidi yang dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 131/PMK.05/2009 tentang Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) tanggal 18 Agustus 2009 dan Permentan No. 40/Permentan/PD.400/9/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan KUPS tertanggal 8 September 2009 (Ditjen PKH 2011). Peternak sapi potong yang memperoleh kredit dari perbankan yang sudah ditunjuk hanya dikenakan biaya bunga pinjaman sebesar 5 persen per tahun. Selisih bunga pinjaman yang berlaku dibiayai oleh pemerintah. Penurunan suku bunga melalui subsidi berarti menurunkan biaya produksi sehingga kemampuan peternak dalam mengelola usahanya semakin meningkat
108 dari sisi pembiayaan. Hal ini akan berdampak pada peningkatan produksi ternak, populasi ternak, dan produksi daging sapi lokal masing-masing sebesar 0.96 persen, 0.59 persen, dan 0.98 persen. Dari sisi permintaan, peningkatan produksi daging sapi domestik menyebabkan harga daging di pasar domestik turun sebesar 0.17 persen dan permintaan daging sapi domestik meningkat 0.13 persen. Penurunan suku bunga pinjaman berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan daging sapi nasional serta kinerja subsektor peternakan. PDB peternakan dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan masing-masing meningkat sekitar 0.24 persen dan 0.40 persen. Rendahnya dampak penurunan suku bunga pinjaman pada bank disebabkan jumlah peternak sapi potong yang memanfaatkan bank untuk meningkatkan modal usaha masih relatif kecil. Tabel 30 Dampak penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 Variabel QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
Keterangan Produksi ternak sapi potong Impor sapi bakalan Produksi daging sapi bakalan lokal Impor daging sapi Populasi ternak sapi potong Permintaan daging sapi domestik Harga daging sapi domestik Harga daging sapi impor PDB sapi potong Permintaan TK peternakan Total impor ternak sapi Impor daging sapi ex bakalan impor Total impor daging sapi Produksi daging sapi bakalan impor Produksi daging sapi domestik Total penawaran daging sapi Produksi daging sapi Excess demand daging sapi PDB peternakan PDB non-migas Pertumbuhan PDB peternakan
Satuan
Nilai dasar
Nilai simulasi
juta ekor 4.70 4.75 ribu ton 180.40 177.80 ribu ton 265.70 268.30 ribu ton 57.65 56.73 juta ekor 24.13 24.27 ribu ton 396.00 396.50 Rp/kg 29 955.10 29 904.20 US $/ton 2 247.50 2 247.50 triliun Rp 17.41 17.53 ribu orang 5 511.90 5 533.80 ribu ton 180.80 178.30 ribu ton 64.39 63.49 ribu ton 122.00 120.20 ribu ton 26.15 25.79 ribu ton 291.90 294.10 ribu ton 413.90 414.30 ribu ton 356.20 357.60 ribu ton 104.10 102.40 triliun Rp 49.44 49.56 triliun Rp 2 505.60 2 505.70 persen 3.72 3.74
Perubahan Unit
%
0.05 -2.60 2.60 -0.92 0.14 0.50 -50.90 0.00 0.12 21.90 -2.50 -0.90 -1.80 -0.36 2.20 0.40 1.40 -1.70 0.12 0.10 0.03
0.96 -1.44 0.98 -1.60 0.59 0.13 -0.17 0.00 0.68 0.40 -1.38 -1.39 -1.48 -1.39 0.75 0.10 0.39 -1.63 0.24 0.00 0.68
Dampak Peningkatan Impor Sapi Bibit Sebesar 20 Persen dan Penurunan Tingkat Bunga Pinjaman Menjadi 5 persen Kombinasi kebijakan subsidi bunga pinjaman dan peningkatan jumlah betina produktif merupakan upaya untuk meningkatkan ketersediaan sapi betina produktif dan diharapkan mampu mendorong produksi ternak sapi nasional. Gabungan kedua kebijakan tersebut berpengaruh terhadap peningkatan produksi ternak dan populasi ternak sapi nasional masing-masing sebesar 1.66 persen (setara dengan 0.08 juta ekor) dan 1.03 persen (setara dengan 0.25 juta ekor).
109 Dari sisi produksi daging sapi nasional, kenaikan produksi dan populasi ternak sapi berarti meningkatkan penawaran ternak untuk dipotong dan menghasilkan daging sapi. Produksi daging sapi lokal mengalami peningkatan sebesar 1.69 persen atau setara dengan 4.5 ribu ton. Hal ini menyebabkan penurunan impor sapi bakalan dan impor daging sapi masing-masing sebesar 2.44 persen dan 2.78 persen. Sehingga secara total, produksi daging sapi domestik meningkat sebesar 1.3 persen. Meningkatnya penawaran menyebabkan harga daging sapi di pasar domestik turun 0.29 persen sehingga permintaan daging sapi nasional meningkat 0.23 persen. Kenaikan produksi yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan permintaan menyebabkan kesenjangan antara produksi dan permintaan turun sebesar 2.79 persen. Tabel 31 Dampak kenaikan impor sapi bibit sebesar 20 persen dan penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 Variabel QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
Keterangan Produksi ternak sapi potong Impor sapi bakalan Produksi daging sapi bakalan lokal Impor daging sapi Populasi ternak sapi potong Permintaan daging sapi domestik Harga daging sapi domestik Harga daging sapi impor PDB sapi potong Permintaan TK peternakan Total impor ternak sapi Impor daging sapi ex bakalan impor Total impor daging sapi Produksi daging sapi bakalan impor Produksi daging sapi domestik Total penawaran daging sapi Produksi daging sapi Excess demand daging sapi PDB peternakan PDB non-migas Pertumbuhan PDB peternakan
Satuan
Nilai dasar
Nilai simulasi
juta ekor 4.70 4.78 ribu ton 180.40 176.00 ribu ton 265.70 270.20 ribu ton 57.65 56.05 juta ekor 24.13 24.37 ribu ton 396.00 396.90 Rp/kg 29 955.10 29 866.90 US $/ton 2 247.50 2 247.50 triliun Rp 17.41 17.62 ribu orang 5 511.90 5 549.70 ribu ton 180.80 176.50 ribu ton 64.39 62.83 ribu ton 122.00 118.90 ribu ton 26.15 25.52 ribu ton 291.90 295.70 ribu ton 413.90 414.50 ribu ton 356.20 358.50 ribu ton 104.10 101.20 triliun Rp 49.44 49.64 triliun Rp 2 505.60 2 505.80 persen 3.72 3.76
Perubahan Unit % 0.08 1.66 -4.40 -2.44 4.50 1.69 -1.60 -2.78 0.25 1.03 0.90 0.23 -88.20 -0.29 0.00 0.00 0.20 1.17 37.80 0.69 -4.30 -2.38 -1.55 -2.41 -3.10 -2.54 -0.63 -2.41 3.80 1.30 0.60 0.14 2.30 0.65 -2.90 -2.79 0.20 0.41 0.20 0.01 0.04 1.17
Dari sisi kinerja ekonomi subsektor peternakan, kenaikan produksi ternak sebesar 0.08 juta ekor dan penurunan impor sapi bakalan sebesar 4.4 ribu ton masih berdampak pada kenaikan PDB sapi potong sebesar 0.2 triliun rupiah (1.17 persen), sehingga PDB peternakan secara keseluruhan meningkat 0.41 persen dan menambah kesempatan tenaga kerja pada sektor ini sebesar 37.8 ribu orang. Dampak Penurunan Impor Sapi Bakalan Sebesar 25 Persen dan Impor Daging Sapi Sebesar 35 Persen Salah satu kegiatan pokok dalam kebijakan PSDSK 2014 adalah pengaturan stok daging sapi dalam negeri. Salah satu kegiatan operasionalnya
110 adalah pengaturan stok sapi bakalan dan daging sapi. Pengaturan stok sapi bakalan ditargetkan untuk memberdayakan usaha peternakan sapi potong berbasis sumber daya lokal, melalui pengaturan impor sapi bakalan. Pengaturan stok daging sapi melalui pengaturan kuota impor daging sapi yang bertujuan untuk mengurangi kontribusi daging sapi impor dalam pemenuhan kebutuhan pasar domestik. Penurunan impor daging baik dalam bentuk impor sapi bakalan maupun impor daging sapi diharapkan akan merangsang produksi daging domestik untuk menggantikan produk daging sapi impor sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungan terhadap produk impor. Kombinasi kebijakan ini dimaksudkan untuk mengurangi proporsi daging sapi impor baik yang berasal dari impor sapi bakalan maupun berupa daging sapi impor. Jika kuota impor sapi bakalan diturunkan sebesar 25 persen dan impor daging sapi diturunkan sebesar 35 persen, maka supply daging sapi impor turun sebesar 29.69 persen atau setara dengan 36.22 ribu ton. Penurunan supply daging sapi impor mendorong peningkatan produksi daging sapi lokal sebesar 35.04 persen atau setara dengan 93.1 ribu ton. Untuk itu, akan terjadi pengurasan populasi ternak karena terjadi pemotongan ternak dalam jumlah yang cukup besar, sehingga dampak negatifnya adalah terjadi penurunan populasi ternak dan jumlah kelahiran ternak sapi yang mencapai 22.35 persen dan 12.95 persen. Tabel 32 Dampak penurunan impor sapi bakalan 25 persen dan penurunan impor daging sapi 35 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 Variabel QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
Keterangan Produksi ternak sapi potong Impor sapi bakalan Produksi daging sapi bakalan lokal Impor daging sapi Populasi ternak sapi potong Permintaan daging sapi domestik Harga daging sapi domestik Harga daging sapi impor PDB sapi potong Permintaan TK peternakan Total impor ternak sapi Impor daging sapi ex bakalan impor Total impor daging sapi Produksi daging sapi bakalan impor Produksi daging sapi domestik Total penawaran daging sapi Produksi daging sapi Excess demand daging sapi PDB peternakan PDB non-migas Pertumbuhan PDB peternakan
Satuan
Nilai dasar
juta ekor 4.70 ribu ton 180.40 ribu ton 265.70 ribu ton 57.65 juta ekor 24.13 ribu ton 396.00 Rp/kg 29 955.10 US $/ton 2 247.50 triliun Rp 17.41 ribu orang 5 511.90 ribu ton 180.80 ribu ton 64.39 ribu ton 122.00 ribu ton 26.15 ribu ton 291.90 ribu ton 413.90 ribu ton 356.20 ribu ton 104.10 triliun Rp 49.44 triliun Rp 2 505.60 persen 3.72
Nilai simulasi 4.09 135.30 358.80 37.48 18.73 464.40 29 241.80 2 247.50 14.89 5 081.10 135.70 48.30 85.78 19.62 378.40 464.20 426.70 85.95 46.91 2 503.10 2.72
Perubahan Unit % -0.61 -12.95 -45.10 -25.00 93.10 35.04 -20.18 -35.00 -5.39 -22.35 68.40 17.27 -713.30 -2.38 0.00 0.00 -2.53 -14.50 -430.80 -7.82 -45.10 -24.94 -16.09 -24.99 -36.22 -29.69 -6.54 -24.99 86.50 29.63 50.30 12.15 70.50 19.79 -18.15 -17.43 -2.53 -5.11 -2.50 -0.10 -0.99 -26.76
Di sisi lain, pengurangan impor sapi bakalan juga menurunkan produksi daging sapi domestik yang berasal dari hasil penggemukan sapi bakalan impor sebelum dilakukan pemotongan. Dengan demikian total produksi daging sapi domestik hanya meningkat 29.63 persen dan menyebabkan penurunan harga
111 daging sapi domestik sebesar 2.38 persen. Akibat penurunan harga maka permintaan daging sapi nasional mengalami kenaikan sebesar 17.27 persen meskipun PDB non-migas turun 0.1 persen. Kenaikan produksi yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan permintaan daging sapi domestik menyebabkan penurunan gap antara permintaan dan produksi daging sapi domestik sebesar 17.43 persen. Dari aspek kinerja ekonomi subsektor peternakan, penurunan impor sapi bakalan dan produksi ternak sapi menyebabkan penurunan PDB sapi potong hingga mencapai 14.5 persen atau sekitar 2.53 triliun rupiah. Sebagai akibatnya nilai PDB dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan turun masing-masing 5.11 persen dan 7.82 persen. Dampak Kenaikan Dosis IB 25 Persen, Kenaikan Impor Sapi Bibit 20 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 persen, Penurunan Impor Sapi Bakalan 25 Persen, dan Impor Daging Sapi 35 Persen Kombinasi kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi, peningkatan penyediaan sapi bibit, serta pengaturan stok melalui penurunan kuota impor. Apabila kombinasi kebijakan ini dapat dilaksanakan, maka produksi ternak sapi ternak sapi masih mengalami penurunan sebesar 3.1 persen dan populasi ternak secara keseluruhan juga mengalami penurunan sebesar 15.02 persen. Tabel 33 Dampak kenaikan dosis IB 25 persen, kenaikan impor sapi bibit 20 persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 25 persen, dan penurunan impor daging sapi 35 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 Variabel QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
Keterangan Produksi ternak sapi potong Impor sapi bakalan Produksi daging sapi bakalan lokal Impor daging sapi Populasi ternak sapi potong Permintaan daging sapi domestik Harga daging sapi domestik Harga daging sapi impor PDB sapi potong Permintaan TK peternakan Total impor ternak sapi Impor daging sapi ex bakalan impor Total impor daging sapi Produksi daging sapi bakalan impor Produksi daging sapi domestik Total penawaran daging sapi Produksi daging sapi Excess demand daging sapi PDB peternakan PDB non-migas Pertumbuhan PDB peternakan
Satuan
Nilai dasar
Nilai simulasi
juta ekor 4.70 4.56 ribu ton 180.40 135.30 ribu ton 265.70 369.10 ribu ton 57.65 37.48 juta ekor 24.13 20.50 ribu ton 396.00 466.80 Rp/kg 29 955.10 29 008.40 US $/ton 2 247.50 2 247.50 triliun Rp 17.41 16.40 ribu orang 5 511.90 5 354.00 ribu ton 180.80 135.80 ribu ton 64.39 48.30 ribu ton 122.00 85.78 ribu ton 26.15 19.62 ribu ton 291.90 388.70 ribu ton 413.90 474.40 ribu ton 356.20 437.00 ribu ton 104.10 78.10 triliun Rp 49.44 48.43 triliun Rp 2 505.60 2 504.60 persen 3.72 3.18
Perubahan Unit % -0.15 -3.10 -45.10 -25.00 103.40 38.92 -20.18 -35.00 -3.62 -15.02 70.80 17.88 -946.70 -3.16 0.00 0.00 -1.01 -5.80 -157.90 -2.86 -45.00 -24.89 -16.09 -24.99 -36.22 -29.69 -6.54 -24.99 96.80 33.16 60.50 14.62 80.80 22.68 -26.00 -24.97 -1.01 -2.04 -1.00 -0.04 -0.54 -14.54
112 Peningkatan produktivitas ternak dengan adanya perbaikan teknologi melalui peningkatan dosis IB serta penambahan sapi bibit impor belum mampu mengimbangi penurunan populasi ternak akibat pemotongan ternak. Penurunan impor daging dan sapi bakalan mendorong pertumbuhan produksi daging sapi lokal sebesar 38.92 persen dan secara keseluruhan produksi daging sapi domestik meningkat sebesar 33.16 persen karena adanya penurunan produksi daging dari hasil penggemukan sapi bakalan impor. Berdasarkan kenyataan tersebut, produksi ternak dengan adanya perbaikan teknologi untuk meningkatkan produktivitas sapi potong dan penambahan sapi induk dari impor belum mampu mengimbangi pengurasan ternak akibat pemotongan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Kenaikan produksi daging sapi domestik yang cukup besar menyebabkan harga daging sapi di pasar dalam negeri mengalami penurunan hingga 3.16 persen. Hal ini berdampak pada kenaikan permintaan daging sapi nasional sebesar 17.88 persen, meskipun PDB non-migas turun sebesar 0.04 persen. Secara keseluruhan selisih antara permintaan dan produksi daging sapi domestik berkurang hingga 24.97 persen. Dalam hal ini porsi daging sapi impor dalam konsumsi daging sapi nasional sekitar 18.38 persen. Penurunan produksi ternak dan penurunan impor sapi bakalan menyebabkan penurunan PDB sapi potong sebesar 5.8 persen. Dengan demikian PDB peternakan juga mengalami penurunan sebesar 2.04 persen dan kesempatan kerja berkurang sebesar 2.86 persen. Dampak Kenaikan Dosis IB 30 Persen, Kenaikan Impor Sapi Bibit 30 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 persen, Penurunan Impor Sapi Bakalan 25 Persen, dan Impor Daging Sapi 35 Persen Simulasi ini merupakan pengembangan kombinasi kebijakan sebelumnya yang merupakan target dalam pencapaian swasembada daging sapi 2014. Dalam simulasi ini penggunaan dosis IB dan impor sapi bibit ditingkatkan lebih tinggi lagi masing-masing sebesar 30 persen untuk menggambarkan peningkatan teknologi dan penyediaan sapi bibit. Dengan kombinasi kebijakan tersebut produksi ternak sapi masih mengalami penurunan sebesar 1.11 persen atau setara dengan 0.05 juta ekor, dan populasi ternak mengalami penurunan sebesar 13.54 persen. Penurunan impor sapi bakalan sebesar 25 persen dan impor daging sapi sebesar 35 persen mendorong peningkatan produksi daging sapi lokal sebesar 39.71 persen. Secara keseluruhan, produksi daging sapi domestik meningkat sebesar 33.88 persen karena ada penurunan produksi daging sapi dari penggemukan sapi bakalan impor. Peningkatan teknologi untuk meningkatkan produktivitas ternak dan penambahan sapi betina produktif belum mampu mengimbangi penurunan populasi ternak akibat pemotongan untuk memenuhi konsumsi. Hal ini menyebabkan penurunan populasi ternak sebesar 13.54 persen atau setara dengan 3.27 juta ekor. Peningkatan produksi daging sapi domestik menyebabkan penurunan harga daging sapi di pasar domestik sebesar 3.32 persen, sehingga permintaan daging sapi meningkat sebesar 18.01 persen. Peningkatan produksi yang lebih
113 besar daripada permintaan tersebut memperkecil excess demand daging sapi sebesar 26.5 persen. Dari sisi kinerja subsektor peternakan, penurunan produksi ternak sapi dan penurunan impor sapi bakalan menyebabkan PDB sapi potong mengalami penurunan sebesar 4.04 persen, setara dengan 0.7 triliun rupiah. Dengan demikian PDB subsektor peternakan juga menurun sebesar 1.42 persen, sehingga kesempatan kerja pada subsektor peternakan menurun sebesar 1.87 persen. Tabel 34 Dampak kenaikan dosis IB 30 persen, kenaikan impor sapi bibit 30 persen, penurunan tingkat bunga hngga 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 25 persen, dan penurunan impor daging sapi 35 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 Variabel QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
Keterangan Produksi ternak sapi potong Impor sapi bakalan Produksi daging sapi bakalan lokal Impor daging sapi Populasi ternak sapi potong Permintaan daging sapi domestik Harga daging sapi domestik Harga daging sapi impor PDB sapi potong Permintaan TK peternakan Total impor ternak sapi Impor daging sapi ex bakalan impor Total impor daging sapi Produksi daging sapi bakalan impor Produksi daging sapi domestik Total penawaran daging sapi Produksi daging sapi Excess demand daging sapi PDB peternakan PDB non-migas Pertumbuhan PDB peternakan
Satuan
Nilai dasar
juta ekor 4.70 ribu ton 180.40 ribu ton 265.70 ribu ton 57.65 juta ekor 24.13 ribu ton 396.00 Rp/kg 29 955.10 US $/ton 2 247.50 triliun Rp 17.41 ribu orang 5 511.90 ribu ton 180.80 ribu ton 64.39 ribu ton 122.00 ribu ton 26.15 ribu ton 291.90 ribu ton 413.90 ribu ton 356.20 ribu ton 104.10 triliun Rp 49.44 triliun Rp 2 505.60 persen 3.72
Nilai simulasi 4.65 135.30 371.20 37.48 20.86 467.30 28 961.20 2 247.50 16.71 5 409.10 135.90 48.30 85.78 19.62 390.80 476.50 439.10 76.52 48.73 2 504.90 3.27
Perubahan Unit % -0.05 -1.11 -45.10 -25.00 105.50 39.71 -20.18 -35.00 -3.27 -13.54 71.30 18.01 -993.90 -3.32 0.00 0.00 -0.70 -4.04 -102.80 -1.87 -44.90 -24.83 -16.09 -24.99 -36.22 -29.69 -6.54 -24.99 98.90 33.88 62.60 15.12 82.90 23.27 -27.58 -26.50 -0.70 -1.42 -0.70 -0.03 -0.45 -12.11
Dampak Kenaikan Dosis IB 30 Persen, Kenaikan Impor Sapi Bibit 30 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 persen, Penurunan Impor Sapi Bakalan 20 Persen, dan Impor Daging Sapi 20 Persen Simulasi ini juga merupakan pengembangan kombinasi kebijakan yang merupakan target dalam pencapaian swasembada daging sapi 2014. Dalam simulasi ini penggunaan dosis IB dan impor sapi bibit masing-masing sebesar 30 persen, lebih tinggi daripada target PSDSK 2014. Sementara itu, kuota impor sapi bakalan dan impor daging sapi diturunkan masing-masing hanya 20 persen, lebih rendah dibandingkan dengan target PSDSK 2014. Artinya, kuota impor sapi bakalan dan impor daging sapi relatif lebih besar dibandingkan dengan target PSDSK 2014.
114 Dengan volume impor yang masih relatif tinggi, maka dampak terhadap kenaikan produksi daging sapi lokal relatif lebih rendah dibandingkan dengan kombinasi kebijakan sebelumnya, yaitu sebesar 36.43 persen atau setara dengan 96.80 ribu ton. Produksi daging sapi dari hasil proses penggemukan sapi bakalan impor turun sebesar 20 persen, sehingga secara keseluruhan produksi daging sapi domestik meningkat sebesar 31.35 persen. Di sisi lain, produksi ternak meningkat sebesar 0.23 persen juga turut mendorong peningkatan produksi daging sapi lokal. Kenaikan produksi ternak tersebut didorong oleh adanya peningkatan dosis IB dan impor sapi bibit, meskipun populasi ternak mengalami penurunan sebesar 11.28 persen akibat meningkatnya pemotongan ternak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Peningkatan produksi daging sapi domestik sebesar 31.35 persen menyebabkan penurunan harga daging sapi di pasar domestik sebesar 2.74 persen, sehingga permintaan daging sapi meningkat sebesar 17.6 persen. Peningkatan produksi daging sapi domestik relatif masih lebih besar daripada permintaan domestik. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara produksi dan permintaan daging sapi juga semakin kecil, yaitu berkurang sebesar 20.95 persen. Nilai tambah yang dihasilkan dari peningkatan produksi ternak sapi sebesar 0.01 juta ekor belum mampu mengimbangi penurunan nilai tambah akibat penurunan impor sapi bakalan sebesar 36.08 ribu ton, sehingga PDB sapi potong masih mengalami penurunan sebesar 0.39 triliun rupiah (turun 2.24 persen). Dengan demikian PDB subsektor peternakan juga menurun sebesar 0.79 persen dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan menurun sebesar 0.87 persen. Tabel 35 Dampak kenaikan dosis IB 30 persen, kenaikan impor sapi bibit 30 persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 20 persen, dan penurunan impor daging sapi 20 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 Variabel QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
Keterangan Produksi ternak sapi potong Impor sapi bakalan Produksi daging sapi bakalan lokal Impor daging sapi Populasi ternak sapi potong Permintaan daging sapi domestik Harga daging sapi domestik Harga daging sapi impor PDB sapi potong Permintaan TK peternakan Total impor ternak sapi Impor daging sapi ex bakalan impor Total impor daging sapi Produksi daging sapi bakalan impor Produksi daging sapi domestik Total penawaran daging sapi Produksi daging sapi Excess demand daging sapi PDB peternakan PDB non-migas Pertumbuhan PDB peternakan
Satuan
Nilai dasar
juta ekor 4.70 ribu ton 180.40 ribu ton 265.70 ribu ton 57.65 juta ekor 24.13 ribu ton 396.00 Rp/kg 29 955.10 US $/ton 2 247.50 triliun Rp 17.41 ribu orang 5 511.90 ribu ton 180.80 ribu ton 64.39 ribu ton 122.00 ribu ton 26.15 ribu ton 291.90 ribu ton 413.90 ribu ton 356.20 ribu ton 104.10 triliun Rp 49.44 triliun Rp 2 505.60 persen 3.72
Nilai simulasi 4.71 144.32 362.50 46.12 21.40 465.70 29 134.30 2 247.50 17.02 5 463.90 144.90 51.52 97.65 20.93 383.40 481.00 434.90 82.29 49.05 2 505.20 3.37
Perubahan Unit % 0.01 0.23 -36.08 -20.00 96.80 36.43 -11.53 -20.00 -2.72 -11.28 69.70 17.60 -820.80 -2.74 0.00 0.00 -0.39 -2.24 -48.00 -0.87 -35.90 -19.86 -12.87 -19.99 -24.35 -19.96 -5.23 -19.99 91.50 31.35 67.10 16.21 78.70 22.09 -21.81 -20.95 -0.39 -0.79 -0.40 -0.02 -0.34 -9.23
115 Dampak Kenaikan Dosis IB 40 Persen, Kenaikan Impor Sapi Bibit 30 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 persen, Penurunan Impor Sapi Bakalan 20 Persen, dan Impor Daging Sapi 20 Persen Dalam simulasi ini penggunaan dosis IB ditingkat lagi menjadi 40 persen. Sementara kombinasi kebijakan lainnya sama seperti simulasi sebelumnya. Dengan kombinasi kebijakan ini produksi ternak sapi meningkat sebesar 3.44 persen atau setara dengan 0.16 juta ekor. Peningkatan produksi ternak sapi tersebut yang diikuti dengan penurunan impor sapi bakalan sebesar 20 persen dan impor daging sapi sebesar 20 persen mendorong peningkatan produksi daging sapi lokal sebesar 37.67 persen. Secara keseluruhan, produksi daging sapi domestik meningkat sebesar 32.51 persen karena ada penurunan produksi daging sapi dari penggemukan sapi bakalan impor. Tabel 36 Dampak kenaikan dosis IB 40 persen, kenaikan impor sapi bibit 30 persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 20 persen, dan penurunan impor daging sapi 20 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 Variabel QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
Keterangan Produksi ternak sapi potong Impor sapi bakalan Produksi daging sapi bakalan lokal Impor daging sapi Populasi ternak sapi potong Permintaan daging sapi domestik Harga daging sapi domestik Harga daging sapi impor PDB sapi potong Permintaan TK peternakan Total impor ternak sapi Impor daging sapi ex bakalan impor Total impor daging sapi Produksi daging sapi bakalan impor Produksi daging sapi domestik Total penawaran daging sapi Produksi daging sapi Excess demand daging sapi PDB peternakan PDB non-migas Pertumbuhan PDB peternakan
Satuan
Nilai dasar
juta ekor 4.70 ribu ton 180.40 ribu ton 265.70 ribu ton 57.65 juta ekor 24.13 ribu ton 396.00 Rp/kg 29 955.10 US $/ton 2 247.50 triliun Rp 17.41 ribu orang 5 511.90 ribu ton 180.80 ribu ton 64.39 ribu ton 122.00 ribu ton 26.15 ribu ton 291.90 ribu ton 413.90 ribu ton 356.20 ribu ton 104.10 triliun Rp 49.44 triliun Rp 2 505.60 persen 3.72
Perubahan
Nilai simulasi
Unit
4.86 144.32 365.80 46.12 21.98 466.50 29 058.50 2 247.50 17.52 5 552.70 144.90 51.52 97.65 20.93 386.80 484.40 438.30 79.74 49.54 2 505.70 3.52
0.16 -36.08 100.10 -11.53 -2.15 70.50 -896.60 0.00 0.10 40.80 -35.90 -12.87 -24.35 -5.23 94.90 70.50 82.10 -24.36 0.10 0.10 -0.20
% 3.44 -20.00 37.67 -20.00 -8.90 17.80 -2.99 0.00 0.60 0.74 -19.86 -19.99 -19.96 -19.99 32.51 17.03 23.05 -23.40 0.21 0.00 -5.32
Peningkatan aplikasi dosis IB untuk meningkatkan produktivitas ternak dan penambahan sapi betina produktif belum mampu mengimbangi penurunan populasi ternak akibat pemotongan untuk memenuhi konsumsi domestik. Hal ini menyebabkan populasi ternak masih mengalami penurunan sebesar 8.9 persen atau setara dengan 2.15 juta ekor. Peningkatan produksi daging sapi domestik sebesar 32.51 persen menyebabkan penurunan harga daging sapi di pasar domestik sebesar 2.99 persen, sehingga permintaan daging sapi meningkat sebesar 17.8 persen. Peningkatan
116 produksi relatif masih lebih besar dibandingkan dengan kenaikan permintaan, sehingga excess demand daging sapi berkurang sebesar 23.4 persen. Dari sisi kinerja subsektor peternakan, kenaikan produksi ternak sapi sudah sebesar 0.16 juta ekor sudah bisa menutupi penurunan nilai tambah dari proses penggemukan sapi bakalan impor. Dengan demikian PDB sapi potong meningkat sebesar 0.6 persen setara dengan 0.10 triliun rupiah. Dengan demikian PDB subsektor peternakan juga mengalami kenaikan sebesar 0.21 persen. Kenaikan PDB peternakan meningkatkan permintaan terhadap input termasuk tenaga kerja. Kesempatan kerja pada subsektor peternakan meningkat sebesar 0.74 persen atau setara dengan 40.80 ribu orang. Rangkuman Dampak Berbagai Alternatif Kebijakan Hasil berbagai simulasi kebijakan di atas menunjukkan bahwa perbaikan teknologi melalui peningkatan dosis IB dan penyediaan sapi bibit melalui peningkatan impor sapi bibit serta subsidi suku bunga pinjaman mampu meningkatkan produksi dan populasi ternak sapi. Kenaikan produksi ternak akan mendorong peningkatan produksi daging sapi lokal dan penurunan harga daging sapi di pasar dalam negeri serta kenaikan PDB non-migas, sehingga mendorong peningkatan permintaan daging sapi. Kenaikan produksi daging sapi relatif masih lebih besar dibandingkan dengan kenaikan permintaan sehingga excess demand daging sapi semakin kecil. Di sisi lain, kenaikan produksi daging sapi lokal juga mendorong penurunan impor sapi bakalan dan impor daging sapi. Meskipun impor sapi bakalan menurun, namun kenaikan produksi ternak masih berdampak positif terhadap pembentukan PDB sapi potong sehingga PDB dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan juga meningkat. Kebijakan pengaturan stok daging dalam negeri melalui penurunan kuota impor baik berupa sapi bakalan maupun daging sapi berdampak negatif terhadap produksi ternak sapi dalam jangka panjang. Berkurangnya pasokan daging sapi akibat pengurangan impor akan mendorong peningkatan pemotongan ternak untuk memproduksi daging dalam rangka memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri. Hal ini berdampak terhadap pengurasan sumber daya domestik sehingga populasi ternak mengalami penurunan yang berimplikasi terhadap berkurangnya populasi ternak. Sebagian dari ternak sapi yang dipotong adalah sapi betina produktif sehingga dampak lanjutannya adalah penurunan produksi ternak sapi potong. Selain itu, pengurasan sumber daya domestik juga berdampak pada penurunan kinerja subsektor peternakan. Penurunan produksi ternak sapi dan impor sapi bakalan berdampak pada penurunan PDB sapi potong yang berimbas pada penurunan PDB dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan. Fenomena ini mengandung arti bahwa dalam jangka panjang penurunan impor daging sapi yang relatif besar akan menyebabkan kenaikan angka pengangguran dan penurunan daya beli masyarakat. Kenaikan produksi daging sapi domestik menyebabkan penurunan excess demand daging sapi. Kombinasi kebijakan pengaturan stok daging sapi yang diikuti dengan perbaikan teknologi untuk meningkatkan produktivitas ternak dan penyediaan sapi bibit sesuai dengan target PSDSK 2014 belum mampu memperbaiki kinerja peternakan sapi potong, meskipun produksi daging sapi lokal mengalami kenaikan. Apabila tujuan kebijakan swasembada hanya semata-mata untuk
117 mengurangi ketergantungan terhadap produk impor daging sapi dan meningkatkan penyediaan daging sapi yang bersumber dari produksi dalam negeri, maka kombinasi kebijakan ini bisa mewujudkan tujuan tersebut. Namun dalam jangka panjang akan terjadi pengurasan sumber daya domestik karena peningkatan produksi ternak yang berasal dari perbaikan teknologi dan penambahan sapi induk belum mampu menutupi penurunan populasi akibat peningkatan jumlah pemotongan ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi nasional. Dari sisi kinerja ekonomi subsektor peternakan, kombinasi kebijakan tersebut juga berdampak negatif. Penurunan produksi ternak dan penurunan impor sapi bakalan menyebabkan penurunan nilai tambah PDB sapi potong. Dengan demikian PDB dan kesempatan kerja pada sub sektor peternakan juga menurun. Tabel 37 Dampak berbagai alternatif kebijakan terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 Variabel
Keterangan
Nilai dasar
QTS Produksi ternak sapi potong 4.70 MSBK Impor sapi bakalan 180.40 QSDSL Produksi daging sapi lokal 265.70 QDM Impor daging sapi 57.65 POPT Populasi ternak sapi potong 24.13 QDDS Permintaan daging sapi domestik 396.00 RHDS Harga daging sapi domestik 29 955.10 RHSM Harga daging sapi impor 2 247.50 GDPSP PDB sapi potong 17.41 DLP Permintaan TK peternakan 5 511.90 MTS Total impor ternak sapi 180.80 QBM Impor daging sapi ex bakalan impor 64.39 QSM Total impor daging sapi 122.00 QSDSM Produksi daging sapi bakalan impor 26.15 QSDS Produksi daging sapi domestik 291.90 QST Total penawaran daging sapi 413.90 QSD Produksi daging sapi 356.20 EQDS Excess demand daging sapi 104.10 GDPP PDB peternakan 49.44 GDP PDB non-migas 2 505.60 GROWTH Pertumbuhan PDB peternakan 3.72 Keterangan: Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 Simulasi 6
: : : : : :
1 7.32 -10.42 7.23 -11.94 4.46 0.93 -1.27 0.00 5.19 3.02 -10.34 -10.37 -11.07 -10.37 5.65 0.70 2.78 -12.22 1.83 0.04 5.83
Perubahan (persen) 2 3 4 5 0.69 0.96 1.66 -12.95 -1.05 -1.44 -2.44 -25.00 0.72 0.98 1.69 35.04 -1.17 -1.60 -2.78 -35.00 0.44 0.59 1.03 -22.35 0.10 0.13 0.23 17.27 -0.12 -0.17 -0.29 -2.38 0.00 0.00 0.00 0.00 0.49 0.68 1.17 -14.50 0.29 0.40 0.69 -7.82 -1.00 -1.38 -2.38 -24.94 -1.02 -1.39 -2.41 -24.99 -1.07 -1.48 -2.54 -29.69 -1.02 -1.39 -2.41 -24.99 0.55 0.75 1.30 29.63 0.07 0.10 0.14 12.15 0.28 0.39 0.65 19.79 -1.15 -1.63 -2.79 -17.43 0.17 0.24 0.41 -5.11 0.00 0.00 0.01 -0.10 0.49 0.68 1.17 -26.76
6 -3.10 -25.00 38.92 -35.00 -15.02 17.88 -3.16 0.00 -5.80 -2.86 -24.89 -24.99 -29.69 -24.99 33.16 14.62 22.68 -24.97 -2.04 -0.04 -14.54
Dosis IB meningkat 25 persen. Impor sapi bibit naik 20 persen. Suku bunga bank komersial menjadi 5 persen. Simulasi (2) + Simulasi (3). Impor sapi bakalan turun 25 persen dan impor daging sapi turun 35 persen. Simulasi (1) + Simulasi (4) + Simulasi (5).
Pada Tabel 38 disajikan perbandingan simulasi berbagai kombinasi kebijakan terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja subsektor peternakan di Indonesia. Simulasi 6A merupakan kombinasi kebijakan sesuai dengan target yang tercantum dalam program PSDSK 2014. Apabila penggunaan dosis IB dan impor sapi bibit ditingkatkan menjadi 30 persen (simulasi 6B), ternyata belum mampu meningkatkan produksi ternak sapi. Produksi ternak sapi
118 masih mengalami penurunan sebesar 1.11 persen akibat penurunan populasi ternak, meskipun tidak sebesar simulasi 6A (target PSDSK 2014). Produksi daging sapi lokal meningkat lebih tinggi yaitu sebesar 39.71 persen. Penurunan produksi ternak sapi dan penurunan nilai tambah dari proses penggemukan sapi bakalan impor menyebabkan PDB dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan masih mengalami penurunan. Tabel 38 Perbandingan dampak berbagai alternatif kombinasi kebijakan terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 Variabel
Keterangan
QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
Produksi ternak sapi potong Impor sapi bakalan Produksi daging sapi bakalan lokal Impor daging sapi Populasi ternak sapi potong Permintaan daging sapi domestik Harga daging sapi domestik Harga daging sapi impor PDB sapi potong Permintaan TK peternakan Total impor ternak sapi Impor daging sapi ex bakalan impor Total impor daging sapi Produksi daging sapi bakalan impor Produksi daging sapi domestik Total penawaran daging sapi Produksi daging sapi Excess demand daging sapi PDB peternakan PDB non-migas Pertumbuhan PDB peternakan
Satuan
Nilai dasar
juta ekor 4.70 ribu ton 180.40 ribu ton 265.70 ribu ton 57.65 juta ekor 24.13 ribu ton 396.00 Rp/kg 29 955.10 US $/ton 2 247.50 triliun Rp 17.41 ribu orang 5 511.90 ribu ton 180.80 ribu ton 64.39 ribu ton 122.00 ribu ton 26.15 ribu ton 291.90 ribu ton 413.90 ribu ton 356.20 ribu ton 104.10 triliun Rp 49.44 triliun Rp 2 505.60 persen 3.72
Perubahan (persen) Sim 6A Sim 6B Sim 6C Sim 6D -3.10 -1.11 0.23 3.44 -25.00 -25.00 -20.00 -20.00 38.92 39.71 36.43 37.67 -35.00 -35.00 -20.00 -20.00 -15.02 -13.54 -11.28 -8.90 17.88 18.01 17.60 17.80 -3.16 -3.32 -2.74 -2.99 0.00 0.00 0.00 0.00 -5.80 -4.04 -2.24 0.60 -2.86 -1.87 -0.87 0.74 -24.89 -24.83 -19.86 -19.86 -24.99 -24.99 -19.99 -19.99 -29.69 -29.69 -19.96 -19.96 -24.99 -24.99 -19.99 -19.99 33.16 33.88 31.35 32.51 14.62 15.12 16.21 17.03 22.68 23.27 22.09 23.05 -24.97 -26.50 -20.95 -23.40 -2.04 -1.42 -0.79 0.21 -0.04 -0.03 -0.02 0.00 -14.54 -12.11 -9.23 -5.32
Keterangan: Sim 6A : VIB naik 25%, MSBT naik 20%, IR turun menjadi 5%, MSBK turun 25%, QDM turun 35% (target PSDSK 2014). Sim 6B : VIB naik 30%, MSBT naik 30%, IR turun menjadi 5%, MSBK turun 25%, QDM turun 35%. Sim 6C : VIB naik 30%, MSBT naik 30%, IR turun menjadi 5%, MSBK turun 20%, QDM turun 20%. Sim 6D : VIB naik 40%, MSBT naik 30%, IR turun menjadi 5%, MSBK turun 20%, QDM turun 20%.
Pada simulasi 6C penurunan impor lebih rendah daripada simulasi 6A dan 6B, yaitu sebesar 20 persen baik impor sapi bakalan maupun impor daging sapi. Pada kombinasi ini produksi daging sapi lokal relatif lebih rendah dibandingkan dengan kedua kombinasi sebelumnya, sehingga pengurangan populasi ternak juga lebih rendah. Hal ini menyebabkan produksi ternak sapi meningkat sebesar 0.23 persen. Namun demikian, peningkatan produksi ternak belum mampu mengimbangi penurunan nilai tambah dari proses penggemukan sapi bakalan impor. Hal ini menyebabkan penurunan PDB sapi potong, PDB subsektor peternakan, dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan. Apabila penggunaan dosis IB yang menggambarkan perbaikan teknologi ditingkatkan lebih tinggi lagi menjadi 40 persen, maka produksi ternak sapi meningkat lebih tinggi menjadi 3.44 persen (Simulasi 6D). Dalam hal ini diasumsikan efektifitas aplikasi IB tidak mengalami perubahan. Jika efektifitas aplikasi IB mengalami peningkatan, maka produksi ternak sapi dapat meningkat
119 lebih tinggi lagi. Peningkatan produksi ternak sapi mendorong peningkatan produksi daging sapi lokal sebesar 37.67 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan simulasi 6C, namun masih lebih rendah dibandingkan dengan simulasi 6A dan 6B. Dengan peningkatan produksi ternak sapi yang lebih tinggi, maka penurunan populasi ternak sapi paling rendah dibandingkan dengan tiga simulasi sebelumnya. Selain itu peningkatan PDB dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan sudah mengalami kenaikan. Berdasarkan hasil simulasi dari berbagai kombinasi kebijakan dapat dikatakan bahwa penurunan kuota impor secara bertahap dan diikuti dengan perbaikan teknologi dan peningkatan penyediaan sapi bibit akan berdampak positif terhadap kinerja industri sapi potong dan kinerja subsektor peternakan di Indonesia. Penurunan kuota impor secara bertahap akan menurunkan tingkat pemotongan ternak, sehingga memperlambat laju penurunan populasi ternak. Di sisi lain, perbaikan teknologi untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi potong dan ditambah dengan peningkatan jumlah sapi betina produktif mendorong peningkatan jumlah kelahiran ternak sapi. Peningkatan produksi ternak sapi akan mendorong peningkatan PDB sapi potong, PDB peternakan, dan kesempatan kerja.
Dampak Simulasi Kebijakan terhadap Kesejahteraan Perubahan penawaran dan permintaan daging sapi maupun perubahan harga daging sapi di Indonesia akibat perubahan kebijakan berdampak pada kesejahteraan produsen dan konsumen daging sapi. Selain itu, perubahan volume impor akan berpengaruh terhadap pengeluaran devisa. Perubahan surplus produsen, surplus konsumen, dan cadangan devisa dari berbagai alternatif kebijakan dalam rangka mewujudkan swasembada daging sapi disajikan pada Tabel 39. Kebijakan perbaikan teknologi melalui peningkatan dosis IB (simulasi 1) berdampak terhadap peningkatan produktivitas ternak sapi potong sehingga meningkatkan penawaran daging sapi domestik dan menurunkan harga. Dari sisi konsumen, penurunan harga dan kenaikan konsumsi daging sapi akan meningkatkan surplus konsumen sekitar 149.58 miliar rupiah. Di sisi lain, penurunan harga akan merugikan produsen daging sapi. Namun, peningkatan produktivitas ternak sapi masih mampu menutupi kerugian tersebut sehingga produsen masih memperoleh tambahan surplus sekitar 107.65 miliar rupiah. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan meningkat sekitar 257.23 miliar rupiah. Kenaikan produksi daging sapi dalam negeri menyebabkan penurunan impor sapi bakalan dan impor daging, sehingga menghemat devisa sebesar US$ 41.28 juta. Kebijakan penyediaan sapi bibit baik melalui peningkatan impor sapi bibit (simulasi 2) maupun subsidi suku bunga pinjaman pada bank (simulasi 3) menyebabkan kesejahteraan produsen dan konsumen meningkat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan tersebut mampu meningkatkan penawaran daging sapi domestik dan menurunkan harga daging sapi di pasar dalam negeri. Meskipun penurunan harga cenderung merugikan produsen, namun kenaikan produksi daging masih mampu menutupi kerugian tersebut sehingga surplus
120 produsen masih meningkat sekitar 10.85 miliar rupiah pada simulasi 2 dan 14.80 miliar rupiah pada simulasi 3. Kombinasi kedua simulasi tersebut meningkatkan surplus produsen sebesar 25.58 miliar rupiah. Dari sisi konsumen, kebijakan tersebut meningkatkan kesejahteraan konsumen dengan adanya kenaikan surplus konsumen masing-masing sekitar 14.76 miliar rupiah(simulasi 2), 20.14 miliar rupiah (simulasi 3), dan 34.89 miliar rupiah (simulasi 4). Peningkatan produksi daging sapi lokal akan menurunkan impor sapi bakalan serta impor daging sapi dan akan mengurangi pengeluaran devisa. Namun demikian, penyediaan sapi bibit melalui penambahan impor sapi bibit memerlukan devisa. Devisa neto yang bisa dihemat dari masing-masing simulasi kebijakan adalah sebesar US$ 3.98 juta (simulasi 2), US$ 5.65 juta (simulasi 3), dan US$ 9.64 juta (simulasi 4). Tabel 39 Dampak berbagai alternatif kebijakan terhadap perubahan surplus produsen, surplus konsumen, dan cadangan devisa Skenario Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 Simulasi 6A Simulasi 6B Simulasi 6C Simulasi 6D
Surplus produsen (Rp. juta) 107 645.18 10 858.03 14 801.72 25 578.00 177 362.05 230 521.45 240 971.05 202 039.92 219 173.87
Surplus konsumen (Rp. juta) 149 579.93 14 763.34 20 143.67 34 887.51 258 071.94 341 380.02 358 151.86 296 431.92 323 448.45
Net surplus (Rp. juta) 257 225.10 25 621.37 34 945.39 60 465.51 435 433.99 571 901.47 599 122.92 498 471.84 542 622.32
Cadangan devisa (000 US$) 41 276.37 3 980.61 5 646.66 9 639.85 107 258.16 107 108.32 107 033.39 75 215.48 75 215.48
Keterangan: Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi
1 2 3 4 5 6A 6B 6C 6D
: : : : : : : : :
Dosis IB meningkat 25 persen. Suku bunga bank komersial turun menjadi 5 persen. Impor sapi bibit naik 20 persen. Simulasi (2) + Simulasi (3). Impor sapi bakalan turun 25 persen dan impor daging sapi turun 35 persen. Simulasi (1) + Simulasi (4) + Simulasi 5). Modifikasi simulasi 6A dengan dosis IB dan impor sapi bibit meningkat 30 persen. Modifikasi simulasi 6B dengan impor sapi bakalan dan impor daging sapi turun 20 persen. Modifikasi simulasi 6C dengan dosis IB meningkat 40 persen.
Kebijakan pengaturan stok daging di dalam negeri melalui penurunan kuota impor sapi bakalan dan daging sapi (simulasi 5) mendorong peningkatan produksi daging sapi domestik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Kenaikan produksi daging sapi meningkatkan kesejahteraan produsen dan konsumen. Surplus produsen meningkat sebesar 177.36 miliar rupiah dan surplus konsumen meningkat sebesar 258.07 miliar rupiah. Selain itu, pengurangan impor juga menghemat devisa sebesar US$ 107.26 juta. Simulasi 6A merupakan kombinasi kebijakan pengaturan stok daging melalui pembatasan impor yang diiringi dengan peningkatan produktivitas dan penyediaan sapi bibit menghasilkan kesejahteraan yang lebih tinggi. Surplus produsen meningkat sebesar 230.52 miliar rupiah dan surplus konsumen meningkat sebesar 341.38 miliar rupiah, sehingga net surplus mencapai 571.9 miliar rupiah. Namun demikian, jumlah devisa yang bisa dihemat sedikit lebih
121 rendah dibandingkan dengan simulasi 5 yaitu sebesar US$ 107.11 juta karena ada tambahan pengeluaran untuk impor sapi bibit. Kombinasi kebijakan 6B menghasilkan kesejahteraan tertinggi. Surplus produsen meningkat sebesar 240.97 miliar rupiah dan surplus konsumen meningkat sebesar 358.15 miliar rupiah, sehingga net surplus meningkat 599.12 miliar rupiah. Hal ini sejalan dengan peningkatan produksi daging sapi domestik yang paling tinggi yaitu sebesar 39.71 persen. Namun demikian, jumlah devisa yang bisa dihemat sedikit lebih rendah dibandingkan dengan hasil simulasi 6A, yaitu sebesar US$ 107.03 juta, karena adanya peningkatan impor sapi bibit yang memerlukan devisa. Kombinasi kebijakan 6D menghasilkan surplus yang relatif lebih rendah simulasi 6A dan 6B. Sejalan dengan peningkatan produksi daging sapi domestik sebesar 37.67 persen, surplus produsen meningkat sebesar 219.17 miliar rupiah dan surplus konsumen meningkat 323.45 miliar rupiah. Dengan demikian, net surplus sebesar 542.62 miliar rupiah. Penurunan kuota impor yang lebih rendah juga menyebabkan penghematan devisa yang lebih rendah, yaitu sebesar US$75.22 juta. Namun demikian, simulasi ini menghasilkan kinerja subsektor peternakan yang lebih baik dibandingkan dengan simulasi 6A, 6B, dan 6C.
Proyeksi Produksi dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia Tabel 40 menyajikan hasil proyeksi permintaan dan produksi daging sapi di Indonesia selama periode 2012–2021 . Hasil proyeksi ini diperoleh dari model ekonometrik yang telah dibangun sebelumnya. Proyeksi dilakukan untuk melihat sampai seberapa jauh produksi daging sapi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri serta untuk melihat bagaimana tingkat ketergantungan terhadap produk daging sapi impor pada masa yang akan datang. Permintaan daging sapi yang disajikan pada tabel ini merupakan hasil proyeksi berdasarkan simulasi kombinasi kebijakan sesuai dengan target PSDSK 2014 (Simulasi 6A). Sedangkan produksi daging sapi domestik merupakan hasil proyeksi dari berbagai kombinasi kebijakan. Hasil proyeksi sampai tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah produksi daging sapi dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Pada tahun 2014 kebutuhan konsumsi mencapai 457.07 ribu ton, sementara produksi daging sapi dalam negeri sebesar 364.57 ribu ton, dengan asumsi program kebijakan swasembada daging sapi diimplementasikan secara konsisten (simulasi 6A). Dengan demikian, produksi dalam negeri hanya bisa memenuhi sekitar 79.76 persen dari kebutuhan dalam negeri, sehingga 20.24 persen sisanya harus dipenuhi dari impor. Namun, apabila tidak ada implementasi program swasembada maka produksi domestik hanya sebesar 251.99 ribu ton atau sekitar 55.13 persen dari kebutuhan konsumsi daging sapi nasional. Tahun 2014 merupakan target pemerintah untuk bisa mewujudkan swasembada daging sapi, yaitu mampu meningkatkan produksi daging sapi hingga bisa memenuhi minimum 90 persen dari kebutuhan konsumsi daging sapi dalam negeri. Apabila aplikasi dosis IB dan impor sapi bakalan ditingkatkan masingmasing menjadi 30 persen, maka pada tahun 2014 produksi daging sapi domestik mencapai 366.98 ribu ton, atau sekitar 80.29 persen dari kebutuhan konsumsi
122 (Simulasi 6B). Sementara itu, jika aplikasi dosis IB dan impor sapi bibit ditingkatkan masing-masing menjadi 40 persen dan 30 persen, dan kuota impor sapi bakalan dan impor daging sapi hanya diturunkan masing-masing sebesar 20 persen, maka produksi daging sapi domestik hanya mampu memenuhi sekitar 78.86 persen dari kebutuhan konsumsi dalam negeri (Simulasi 6D). Tabel 40 Proyeksi permintaan dan produksi daging sapi di Indonesia, 2012–2021 Permintaan Tahun daging sapi
Produksi daging sapi domestik Sim 0
(ribu ton) (ribu ton)
Sim 6A
Sim 6B
Sim 6C
Sim 6D
%
(ribu ton)
%
(ribu ton)
%
(ribu ton)
%
(ribu ton)
%
2012
441.29
237.29
53.77
337.24
76.42
337.24
76.42
326.66
74.02
326.66
74.02
2013
453.93
275.50
60.69
374.50
82.50
374.50
82.50
365.44
80.50
365.44
80.51
2014
457.07
251.99
55.13
364.57
79.76
366.98
80.29
357.00
78.11
360.43
78.86
2015
460.96
265.29
57.55
374.43
81.23
375.89
81.55
366.17
79.44
369.13
80.08
2016
463.91
271.22
58.46
377.58
81.39
379.80
81.87
370.78
79.93
374.18
80.66
2017
466.89
278.29
59.60
380.96
81.59
383.34
82.10
374.96
80.31
378.75
81.12
2018
473.44
305.77
64.58
401.12
84.72
403.72
85.27
397.03
83.86
401.19
84.74
2019
476.08
313.71
65.89
403.62
84.78
406.53
85.39
400.97
84.22
405.62
85.20
2020
484.10
349.02
72.10
429.81
88.78
433.03
89.45
429.70
88.76
434.89
89.83
2021
490.42
370.56
75.56
443.24
90.38
446.82
91.11
445.42
90.82
451.22
92.01
Keterangan: Sim 0 : Tanpa kebijakan swasembada. Sim 6A : Dosis IB naik 25%, impor sapi bibit naik 20%, tingkat bunga bank turun menjadi 5%, impor sapi bakalan turun 25%, impor daging sapi turun 35% (target PSDSK 2014). Sim 6B : Dosis IB naik 30%, impor sapi bibit naik 30%, tingkat bunga bank turun menjadi 5%, impor sapi bakalan turun 25%, impor daging sapi turun 35%. Sim 6C : Dosis IB naik 30%, impor sapi bibit naik 30%, tingkat bunga bank turun menjadi 5%, impor sapi bakalan turun 20%, impor daging sapi turun 20%. Sim 6D : Dosis IB naik 40%, impor sapi bibit naik 30%, tingkat bunga bank turun menjadi 5%, impor sapi bakalan turun 20%, impor daging sapi turun 20%.
Apabila hasil proyeksi ini dikaitkan dengan program pemerintah untuk mewujudkan swasembada daging sapi, diperkirakan Indonesia akan mencapai swasembada daging sapi sekitar tahun 2021 (Simulasi 6A). Pada tahun 2021 produksi daging sapi dalam negeri baru mencapai sekitar 90.38 persen dari total kebutuhan konsumsi daging sapi nasional. Dengan demikian, kebutuhan daging sapi impor di Indonesia sekitar 9.62 persen. Dalam hal ini, kondisi tersebut sudah memenuhi kriteria swasembada, yaitu mampu menyediakan minimum 90 persen kebutuhan konsumsi daging sapi dari hasil produksi dalam negeri. Seiring dengan peningkatan produksi daging sapi dalam negeri, maka proyeksi impor menunjukkan tren yang semakin menurun. Peningkatan teknologi dan penyediaan sapi betina produktif akan mendorong peningkatan produksi daging sapi domestik, sehingga mempercepat pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia. Jika aplikasi dosis IB dan impor sapi bakalan ditingkatkan masing-masing menjadi 30 persen, maka pada tahun 2021 akan tercapai swasembada daging sapi dengan produksi domestik sebesar 446.82 ribu ton atau sekitar 91.11 persen dari kebutuhan konsumsi (Simulasi 6B). Jika aplikasi dosis IB ditingkatkan lagi menjadi 40 persen namun kuota impor sapi bakalan dan impor daging sapi hanya diturunkan masing-masing sebesar 20 persen, maka pada tahun 2020 produksi daging sapi domestik diperkirakan mencapai 434.89 ribu ton atau sekitar 89.83 persen dari kebutuhan konsumsi. Pada tahun 2021 produksi daging sapi domestik diperkirakan akan
123 mencapai 451.22 ribu ton atau sekitar 92.01 persen dari kebutuhan konsumsi (Simulasi 6D). Apabila hasil proyeksi produksi daging sapi domestik dibandingkan dengan proyeksi permintaan pada masing-masing kombinasi kebijakan menunjukkan bahwa tingkat pencapaian swasembada sedikit lebih rendah. Dengan kombinasi kebijakan peningkatan aplikasi dosis IB sebesar 30 persen, peningkatan impor sapi bibit sebesar 30 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan kuota impor sapi bakalan sebesar 25 persen, dan penurunan kuota impor daging sapi sebesar 35 persen (Simulasi 6B), produksi daging sapi domestik pada tahun 2014 hanya mampu memenuhi 80.20 persen dari kebutuhan konsumsi. Pada tahun 2020 dan 2021 produksi daging sapi domestik mencapai sekitar 89.31 persen dan 90.95 persen dari total konsumsi (Tabel 41). Angka tersebut sedikit lebih rendah daripada rasio produksi domestik terhadap total permintaan hasil proyeksi pada simulasi kebijakan sesuai target PSDSK 2014 seperti yang tercantum pada Tabel 40. Tabel 41 Proyeksi permintaan dan produksi daging sapi di Indonesia pada berbagai kombinasi kebijakan, 2012–2021 Tahun 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 r (%)
Sim 6B Produksi Permintaan domestik (ribu ton) (ribu ton) 441.32 337.24 453.95 374.50 457.60 366.98 461.32 375.89 464.42 379.80 467.45 383.34 474.06 403.72 476.76 406.53 484.86 433.03 491.26 446.82 3.18
%*) 76.42 82.50 80.20 81.48 81.78 82.01 85.16 85.27 89.31 90.95
Sim 6C Produksi Permintaan domestik (ribu ton) (ribu ton) 439.12 326.66 451.94 365.44 455.41 357.00 459.18 366.17 462.44 370.78 465.62 374.96 472.59 397.03 475.56 400.97 484.15 429.70 490.99 445.42 3.51
%*) 74.39 80.86 78.39 79.74 80.18 80.53 84.01 84.32 88.75 90.72
Sim 6D Produksi Permintaan domestik (ribu ton) (ribu ton) 439.16 326.66 451.98 365.44 456.17 360.43 459.89 369.13 463.24 374.18 466.51 378.75 473.57 401.19 476.66 405.62 485.37 434.89 492.36 451.22 3.65
%*) 74.38 80.85 79.01 80.27 80.77 81.19 84.72 85.10 89.60 91.64
Keterangan: r : Rata-rata laju pertumbuhan per tahun. *) : Persentase produksi terhadap permintaan. Sim 6B : Dosis IB naik 30%, impor sapi bibit naik 30%, tingkat bunga bank turun menjadi 5%, impor sapi bakalan turun 25%, impor daging sapi turun 35%. Sim 6C : Dosis IB naik 30%, impor sapi bibit naik 30%, tingkat bunga bank turun menjadi 5%, impor sapi bakalan turun 20%, impor daging sapi turun 20%. Sim 6D : Dosis IB naik 40%, impor sapi bibit naik 30%, tingkat bunga bank turun menjadi 5%, impor sapi bakalan turun 20%, impor daging sapi turun 20%.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan hasil proyeksi harga daging sapi domestik dan nilai PDB. Kedua hal tersebut mempengaruhi permintaan daging sapi domestik. Peningkatan teknologi yang digambarkan dengan peningkatan aplikasi dosis IB dan peningkatan jumlah betina produktif dengan adanya penambahan impor sapi bibit akan meningkatkan produksi ternak sapi, sehingga mendorong peningkatan produksi daging sapi lokal. Hal ini berdampak pada penurunan harga daging sapi domestik. Selain itu, peningkatan produksi ternak juga mendorong peningkatan PDB sapi potong. Dengan demikian, PDB peternakan dan PDB nasional yang tercipta juga relatif lebih tinggi. Penurunan
124 harga daging sapi domestik dan besarnya PDB nasional yang tercipta akan meningkatkan permintaan daging sapi. Jika aplikasi dosis IB ditingkatkan lagi menjadi 40 persen dan kuota impor hanya diturunkan sebesar 20 persen (lebih rendah daripada target PSDSK 2014) baik untuk impor sapi bakalan maupun impor daging sapi (Simulasi 6D), maka produksi ternak sapi meningkat lebih tinggi lagi yaitu mencapai 3.44 persen (Tabel 38). Dengan produksi ternak sapi dan volume impor sapi bakalan yang lebih besar, maka nilai tambah komoditas sapi potong yang tercipta juga lebih besar. Dengan demikian, PDB subsektor peternakan dan PDB nasional juga lebih besar. Peningkatan PDB yang lebih besar akan mendorong peningkatan permintaan daging sapi yang lebih besar pula. Pada tahun 2021 permintaan daging sapi nasional mencapai 492.36 ribu ton, sementara produksi daging sapi domestik sekitar 451.22 ribu ton atau 91.64 dari total permintaan. Dalam jangka pendek, penurunan kuota impor yang lebih rendah akan menyebabkan kenaikan produksi daging sapi lokal yang relatif lebih kecil. Namun dalam jangka panjang, peningkatan produksi ternak sapi yang lebih tinggi mampu mendorong produksi daging sapi lokal dan permintaan daging sapi yang lebih tinggi. Pada simulasi 6B, dengan penurunan kuota impor sapi bakalan sebesar 25 persen dan impor daging sapi sebesar 35 persen, rata-rata laju pertumbuhan produksi daging sapi domestik mencapai 3.18 persen per tahun. Apabila penurunan kuota impor dikurangi menjadi masing-masing 20 persen, maka laju pertumbuhan produksi daging sapi domestik mencapai 3.51 persen per tahun (Simulasi 6C). Jika penuruna kuota impor menjadi 20 persen dan diikuti dengan perbaikan teknologi melalui peningkatan aplikasi dosis IB menjadi 40 persen, maka laju pertumbuhan produksi daging sapi lokal meningkat lebih tinggi lagi yaitu mencapai 3.65 persen per tahun. Penurunan impor daging sapi secara bertahap akan mencegah pemotongan ternak sapi dalam jumlah besar, termasuk di dalamnya mencegah pemotongan betina produktif yang merupakan mesin biologis untuk memproduksi ternak sapi. Hal ini akan menghambat penurunan populasi ternak sapi secara drastis. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa penurunan kuota impor secara bertahap yang diikuti dengan peningkatan teknologi melalui aplikasi dosis IB serta penyediaan sapi bibit akan mendorong peningkatan produksi daging sapi domestik, sehingga akan mempercepat pencapaian swasembada daging sapi.
7 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam upaya mewujudkan swasembada daging sapi serta dampaknya terhadap kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Perbaikan teknologi dalam budidaya ternak sapi potong melalui peningkatan penggunaan dosis Inseminasi Buatan (IB) serta penyediaan sapi bibit melalui impor sapi bibit dan subsidi bunga pinjaman menjadi 5 persen akan mendorong produksi ternak sapi dan produksi daging sapi dalam negeri serta menurunkan ketergantungan terhadap impor daging sapi. Peningkatan produksi ternak sapi akan meningkatkan PDB dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan. 2. Kebijakan pengaturan stok daging dalam negeri melalui penurunan kuota impor sapi bakalan dan impor daging sapi akan mendorong peningkatan produksi daging sapi lokal, namun akan berdampak pada penurunan produksi ternak dan populasi ternak. Dari sisi kinerja subsektor peternakan, penurunan produksi ternak dan penurunan impor sapi bakalan menyebabkan penurunan PDB dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan. 3. Kebijakan penurunan impor sapi bakalan sebesar 25 persen dan penurunan impor daging sapi sapi sebesar 35 persen yang dikombinasikan dengan peningkatan aplikasi dosis Inseminasi Buatan sebesar 25 persen, peningkatan impor sapi bibit sebesar 20 persen, dan penurunan tingkat bunga bank menjadi 5 persen (sesuai target PSDSK 2014) akan mendorong peningkatan produksi daging sapi dalam negeri, namun belum mampu meningkatkan populasi dan produksi ternak sapi dalam negeri. Dari sisi kinerja ekonomi, kombinasi kebijakan tersebut masih berdampak negatif terhadap penciptaan PDB dan kesempatan kerja subsektor peternakan. 4. Simulasi kebijakan dalam rangka mewujudkan swasembada daging sapi baik parsial maupun kombinasi semua alternatif kebijakan, mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik produsen maupun konsumen daging sapi yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan surplus produsen dan surplus konsumen. Selain itu, kebijakan tersebut juga memperbaiki neraca perdagangan dengan meningkatnya cadangan devisa. Kombinasi kebijakan dengan penurunan kuota impor yang lebih besar akan menghasilkan kesejahteraan dan cadangan devisa yang lebih tinggi. 5. Hasil proyeksi produksi dan permintaan daging sapi menunjukkan bahwa pada tahun 2014 Indonesia belum mampu mewujudkan swasembada daging sapi, meskipun kombinasi kebijakan dilaksanakan secara konsisten. Pada tahun 2014 produksi daging sapi dalam negeri baru mampu memenuhi sekitar 79.76 persen dari total kebutuhan konsumsi daging sapi dalam negeri. Apabila kombinasi kebijakan tersebut masih dilanjutkan secara konsisten, diperkirakan pada tahun 2021 Indonesia akan mencapai swasembada daging sapi dengan tingkat produksi daging sapi dalam negeri sekitar 90.38 persen dari total konsumsi daging sapi nasional. Penurunan kuota impor secara bertahap yang
126 diikuti dengan peningkatan teknologi melalui aplikasi dosis IB serta penyediaan sapi bibit akan mendorong peningkatan produksi daging sapi domestik, sehingga akan mempercepat pencapaian swasembada daging sapi. 6. Kombinasi kebijakan penurunan kuota impor baik sapi bakalan maupun daging sapi secara bertahap dan diikuti dengan peningkatan teknologi melalui aplikasi Inseminasi Buatan serta penyediaan sapi bibit yang lebih besar merupakan kombinasi kebijakan yang paling baik karena berdampak positif terhadap kinerja industri sapi potong dan subsektor peternakan serta mempercepat pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia.
Implikasi Kebijakan 1. Teknologi untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi potong merupakan faktor penting mendorong produksi ternak dan daging sapi dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya dalam jangka panjang. Salah satu teknologi dalam budi daya sapi potong adalah teknik perkawinan melalui inseminasi buatan. Salah satu kunci keberhasilan inseminasi buatan adalah sapi dipelihara secara intensif dengan cara dikandangkan. Hal ini akan memudahkan dalam mendeteksi birahi dan melaksanakan inseminasi buatan (Soeharsono et al. 2010). Berdasarkan hasil PSPK 2011 menunjukkan bahwa Sumatera, Jawa, dan Bali cocok untuk wilayah pengembangan teknologi inseminasi buatan karena di wilayah tersebut sebagian besar ternak sapi potong dipelihara dengan cara dikandangkan dengan persentase masing-masing sebesar 95.61 persen, 99.83 persen, dan 88.66 persen (BPSDitjen PKH, 2011b). Pada wilayah pengembangan teknologi inseminasi buatan seperti Jawa, Sumatera, dan Bali, perlu ditingkatkan efektifitas aplikasi Inseminasi Buatan dengan cara meningkatkan jumlah dan ketrampilan inseminator, peningkatan fasilitas pelayanan Inseminasi Buatan pada sentra produksi sapi potong, serta penyuluhan kepada peternak. Selain itu perlu ditingkatkan jumlah ternak yang akan menjadi akseptor dalam perkawinan melalui teknik inseminasi buatan. Peningkatan teknologi budidaya ternak sapi potong melalui Inseminasi Buatan perlu dukungan Balai Inseminasi Buatan untuk meningkatkan penyediaan jumlah straw semen beku. Untuk meningkatkan jumlah dan kualitas semen beku, maka perlu penambahan bibit sapi jantan serta penggantian sapi jantan yang sudah tua secara regular pada sentra produksi semen beku. 2. Sapi betina produktif memegang peranan penting dalam upaya pengembangan ternak sapi potong. Untuk itu perlu ditingkatkan upaya pencegahan pemotongan sapi betina produktif melalui pengawasan di RPH dan pemberian dana talangan dari pemerintah bagi kelompok peternak untuk membeli sapi betina produktif yang akan dipotong. Peningkatan jumlah sapi betina produktif bisa dilakukan melalui penambahan impor sapi bibit. 3. Kebijakan swasembada daging sapi melalui penurunan kuota impor yang cukup besar cenderung akan meningkatkan pemotongan ternak sapi domestik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Hal ini akan menghambat perkembangan populasi ternak sapi dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek masih diperlukan impor untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, namun dalam jangka panjang ketergantungan terhadap daging sapi impor
127 harus dikurangi. Kebijakan penurunan kuota impor dilakukan secara bertahap serta diikuti dengan peningkatan teknologi dalam budidaya sapi potong melalui peningkatan aplikasi dosis Inseminasi Buatan dan penambahan jumlah betina produktif sebagai akseptor untuk meningkatkan produktivitas sapi potong. 4. Salah satu penyebab kesenjangan yang tinggi antara harga daging sapi dalam negeri dengan harga daging sapi impor adalah mahalnya biaya transportasi dari pusat produksi ternak dengan pusat konsumsi daging sapi dan tingginya penyusutan bobot ternak sapi selama proses transportasi. Untuk menurunkan biaya tersebut, lebih baik diperbanyak pembangunan RPH dan cold storage dekat dengan pusat produksi ternak sapi. Dengan demikian pengiriman produk sapi potong lebih banyak dalam bentuk daging sapi. Untuk mengurangi tingkat penyusutan bobot ternak sapi dan mengurangi jumlah ternak yang cacat atau mati selama proses transportasi diperlukan perbaikan pembangunan infrastruktur berupa pelabuhan, sarana bongkar muat, dan kapal ternak. 5. Berdasarkan hasil proyeksi produksi dan permintaan daging sapi, Indonesia belum bisa mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2014. Untuk itu perlu mencari komoditas pangan lainnya sebagai sumber protein hewani. Hasil analisis ekonometrik menunjukkan bahwa daging ayam merupakan substitusi bagi daging sapi. Selama periode 20002011 laju pertumbuhan produksi daging ayam ras mencapai 8.11 persen per tahun dan mampu menyediakan protein hewani bagi masyarakat rata-rata sebesar 1.13 gram/kapita/hari. Selama periode tersebut ketersediaan protein hewani bagi stiap penduduk Indonesia yang berasal dari ayam ras cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 6.46 persen per tahun. Sementara sumber protein hewani dari daging sapi domestik rata-rata sebesar 0.55 gram/kapita/hari dengan laju pertumbuhan 1.26 persen per tahun (Lampiran 18). Berdasarkan data tersebut daging ayam ras mampu menyediakan protein dalam jumlah yang relatif lebih besar dan pertumbuhannya lebih pesat dibandingkan dengan daging sapi. Dengan siklus produksi yang relatif lebih pendek, maka daging ayam ras bisa dipertimbangkan untuk melengkapi daging sapi dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia.
Saran untuk Penelitian Selanjutnya 1. Hasil analisis model menunjukkan bahwa penurunan penawaran daging sapi yang berasal dari impor akan mendorong produksi daging sapi lokal. Namun demikian, lebih dari 90 persen ternak sapi diusahakan oleh rumah tangga dan pada umumnya bersifat sambilan. Ternak sapi dianggap sebagai tabungan dan dijual sewaktu rumah tangga tersebut membutuhkan dana yang besar. Untuk itu, perlu dilakukan kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi rumah tangga peternakan untuk menjual ternaknya. 2. Aspek peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak dalam penelitian ini hanya dikaji dari penggunaan dosis Inseminasi Buatan untuk meningkatkan jumlah kelahiran ternak. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa efektivitas teknik Inseminasi Buatan masih relatif rendah yang ditandai dengan tingginya angka service per conception dan rendahnya angka conception rate. Kondisi
128 kesehatan ternak sapi turut berpengaruh terhadap tingkat produktivitas ternak. Untuk itu perlu dilakukan kajian tentang penggunaan vaksin dalam upaya menanggulangi gangguan reproduksi dan meningkatkan pelayanan kesehatan hewan. 3. Dalam penelitian ini aspek permodalan diwakili dengan variabel tingkat bunga pinjaman. Pada kenyataannya peternak sapi potong yang memanfaatkan sektor perbankan untuk meningkatkan modal usaha jumlahnya sangat kecil. Kondisi tersebut lebih banyak disebabkan oleh sulitnya peternak untuk mengakses modal dari perbankan. Untuk itu, perlu dikaji peranan sumber modal yang lain dalam pengembangan industri ternak sapi potong.
DAFTAR PUSTAKA Ananto N. 2013. Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi). Disampaikan dalam Diskusi Media Paparan Kajian Kebijakan Tata Niaga Daging Sapi Sebagai Komoditas Strategis Komisi Pemberantasan Korupsi, 20 Februari 2013. Jakarta. Anonim. 2011. Cuplikan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2011– 2014. Analisis Kebijakan Pertanian. 9 (1): 91–108., Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. _______. 2012. Protein Hewani Penting untuk Anak-anak, Remaja dan Dewasa. http://www.livestockreview.com/2012/07/protein-hewani-penting-untukanak-anak-remaja-dan-dewasa/. [1 Desember 2013]. _______. 2013. Konsumsi Daging Masyarakat Indonesia Meningkat. http://www. businessnews.co.id/ekonomi-bisnis/konsumsi-daging-masyarakat-indonesia meningkat.php. [1 Desember 2013]. Arif S. 1990. Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik: Kumpulan Karangan. Jakarta: Universitas Indonesia. Azis IJ. 1989. Export Performance and Employment Effect. Jakarta: Inter University Center Economics, University of Indonesia. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Naskah Kebijakan (Policy Paper): Strategi dan Kebijakan dalam Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2014 (Suatu Penelahaan Konkrit). Jakarta: Direktorat Pangan dan Pertanian, BAPPENAS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2002. Laporan Akhir Penyempurnaan Neraca Pangan Komoditas Peternakan (Karkas) Dalam Rangka NBM. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________________. 2005a. Sensus Pertanian 2003; Analisis Rumah Tangga Usaha Peternakan. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________________. 2005b. Sensus Pertanian 2003; Hasil Pencacahan Survei Rumah Tangga Peternakan (Buku D3). Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________________. 2009a. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________________. 2009b. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia: Oktober 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________________. 2009c. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia; Ekspor 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
130 _________________________. 2010a. Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat Per Provinsi. Badan Pusat Statistik, Jakarta _________________________. 2010b. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________________. 2010c. Statistik Perusahaan Peternakan: Ternak Besar dan Ternak Kecil 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________________. 2011a. Ringkasan Eksekutif Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2011. BPS. Jakarta. _________________________. 2011b. Statistik Indonesia 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________________. 2012a. Konsep Produk http://www.bps. go.id/aboutus.php. [28 Juni 2012].
Domestik
Bruto.
_________________________. 2012b. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial_Ekonomi Indonesia November 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________________. 2012c. Statistik Kunjungan Mancanegara 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Wisatawan
Badan Pusat Statistik–Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Survei Rumah Tangga Peternakan Nasional 2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _______________________________________________. 2009. Survei Rumah Tangga Peternakan Nasional 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik–Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011a. Pedoman Teknis Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________________________________________________________. 2011b. Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau 2011 (PSPK 2011). Jakarta: Badan Pusat Statistik. Bautista RM. 2000. Agriculture-Based Development: A SAM Perspective on Central Vietnam. The Developing Economies. XXXIX (1): 112-132. Beghin JC, Bureau JC, Park SJ. 2001. Food Security and Agricultural Protection in South Korea. Working Paper 01-WP 284. Center for Agricultural and Rural Development Iowa State University. Bielik P, Kunova D. 2007. The impact of BSE on meat consumption in Slovakia. Paper prepared for presentation at The 1st Mediterranean Conference of Agro-Food Social Scientists. 103 EAAE Seminar Adding Value to the AgroFood Supply Chains in the Future Euromediterranean Space. BarcelonaSpain, April 23rd-25th. Branson WH. 1989. Macroeconomic Theory and Policy. 3rd Edition. New York: Harper & Row, Publisher Inc.
131 Budiono. 1996. Pengantar Ekonomi Makro. Edisi 2. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada. Bulmer-Thomas V. 1982. Input-Output Analysis in Developing Countries; Source, Methods, and Application. New York: John Wiley & Sons. Chacholiades M. 1990. International Economics. New York: McGraw-Hill Publishing Company. Chari VV, Kehoe PJ. 2006. Modern Macroeconomics in Practice: How Theory is Shaping Policy. The Journal of Economic Perspectives. 20(4): 3-28. Chemingui MA, Thabet C. 2009. Agricultural Trade Liberalization and Poverty in Tunisia: Micro-simulation in a General Equilibrium Framework. Aussenwirtschaft; Mar 2009; 64(1): 71-90. Daryanto A. 1982. Bahan Kuliah Dasar-Dasar Ekonomi Sumberdaya. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. __________. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. Bogor: IPB Press. Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Pertanian. 2007. Statistik Pertanian 2007. Jakarta: Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian. Devadoss S, Holland DW, Stodick L, Ghosh J. 2006. A General Equilibrium Analysis of Foreign and Domestic Demand Shocks Arising from Mad Cow Disease in the United States. Journal of Agricultural and Resource Economics. 31 (2): 441–453. De Janvry A, Sadoulet E. 2001. World Poverty and the Role of Agricultural Technology: Direct and Indirect Effects. http://are.berkeley.edu/~esadoulet/ papers/JDS_Final.pdf. [7 Maret 2012]. Direktorat Jenderal Peternakan. 2011. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian. Jakarta. http://www.ditjennak.go.id/regulasi%5Cblueprint.pdf. [25 Oktober 2011]. Dornbusch R dan Fischer S. 1997. Makroekonomi. Terjemahan. Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga. Duncan R, Rees L, Tyers R. 2003. Revisiting the Economic Costs of Food SelfSufficiency in China. Working Paper No. 432, August 2003. Faculty of Economics and Commerce, Australian National University. Ellis F. 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. New York: Cambridge University Press. Furuya J. 2000. Econometric Analysis of Japanese Beef Supply and Demand [Dissertation]. Missouri: Faculty of the Graduate School University of Missouri-Columbia. Ghatak S, Ingersent K. 1984. Agricultural and Economic Development. Baltimore, Meryland: The John Hopkins University Press.
132 Gillis M, Perkins DH, Roemer M, Snodgrass DR. 1992. Economics of Development. 3rd Edition. New York: W.W. Norton & Company. Gujarati DN. 1995. Basic Econometrics. 2nd Edition. Singapura: McGraw-Hill International. Hadi PU, Ilham N. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 21(4): 148–157. Hadi PU, Saliem HP, Ilham N. 1999. Pengkajian Konsumsi Daging dan Kebutuhan Impor Daging Sapi dalam Sudaryanto et. al. (eds) Analisis dan Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi. Monograph Series No. 20. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Hallam D. 1990. Econometric Modelling of Agricultur Commodity Markets. London: Routledge. Hanani AR N. 2000. Model Mikro-Makroekonomi Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan Menghadapi Era Liberalisasi Perdagangan. Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Henderson JM, Quandt RE. 1980. Microeconomic Theory: A Mathematical Approach. London: McGraw-Hill International Book Company. Hess P, Ross C. 1997. Economic Development; Theories, Evidence, and Policies. Orlando: The Dryden Press. Houck JP. 1986. Elements of Agricultural Trade Policies. New York: MacMillan Publishing Company. http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/newkom.asp http://www.bps.go.id http://www.ditjennak.go.id Husodo SY. 2000. Upaya HKTI dalam Mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional dan Agribisnis Peternakan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Ilham N. 1998. Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. ________. 2006. Analisis Sosial Ekonomi dan Strategi Pencapaian Swasembada Daging 2010. Analisis Kebijakan Pertanian. 4(2): 131–145. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Ilham N, Yusdja Y. 2004. Sistem Transportasi Perdagangan Ternak Sapi dan Implikasi Kebijakan di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. 2(1):37-53. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Intriligator MD. 1978. Econometric Models, Techniques and Application Prentice. Hall International, New Delhi.
133 Jamli A. 1996. Teori Ekonomi Makro. Edisi Pertama. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada. Just RE, Hueth DL, Schmitzt A. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy. London: Prentice-Hall, Inc. Kaimowitz D, Mertens B, Wunder S, Pacheco P. 2012. Hamburger Connection Fuels Amazone Destruction: Cattle Ranching and Deforestation in Brazil’s Amazone. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR). Kariyasa K. 2004. Analisis Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia Sebelum dan Saat Krisis Ekonomi: Suatu Analisis Proyeksi Swasembada Daging Sapi 2005. SOCA. 4(3): 283–293. Kementerian Pertanian. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 40/Permentan/ PD.400/9/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi. Jakarta: Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian. 2010a. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 19/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian. 2010b. Statistik Pertanian 2010. Jakarta: Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian. 2011a. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Peternakan Daging Sapi. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian. __________________. 2011b. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011. Jakarta: Ditjen PKH, Kementerian Pertanian. __________________. 2012a. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 Dengan Pendekatan Sistem Modelling. Jakarta: Ditjen PKH, Kementerian Pertanian. __________________. 2012b. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2012. Jakarta: Ditjen PKH, Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian–Badan Pusat Statistik. 2011. Rilis Hasil Awal PSPK2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Koutsoyiannis A. 1977. Theory of Econometrics. Second Edition. New York: Harper and Row Publisher Inc. Kraybill D, Diaz-Rodriguez I, Southgate D. 2002. A Computable General Equilibrium Analysis of Rice Market Liberalization and Water Price Rationalization in the Dominican Republic. Paper presented at 14th International Conference on Input-Output Technique. Montreal. Labys WC. 1973. Dynamic Commodity Models: Specification Estimation, and Simulation. Lexington: DC Health and Company. Mankiw NG. 2007. Makroekonomi. Liza F, Nurmawan I, penerjemah; Hardani W, Barnadi D, Saat S, editor. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics. 6th Edition.
134 Marsh JM. 1994. Estimating Intertemporal Supply Response in The Fed Beef Market. American Journal of Agricultural Economics. 71(August 1994): 444–453. Meijerink, Gerdien, Roza P. 2007. The Role of Agriculture in Economic Development. Markets, Chains and Sustainable Development Strategy and Policy Paper, no. 4. Stichting DLO: Wageningen. http://led.co.za/sites/ led.co.za/files/cabinet/orgname-raw/document/2011/fullreport4_meijerink_ roza.pdf. [10 Juli 2013]. Menjivar O. 2004. The effects of Exchange Rate Changes and Its Variability on Trade of Red Meat Between Canada and The United States [Thesis]. Ottawa: Faculty of Graduate Studies of The University of Guelph. Nicholson W. 1978. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions. Second Edition. Illionis: The Dryden Press. ___________. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Mahendra IGNB, Abdul A, penerjemah; Kristiaji WC, Yati S, Nurcahyo M, editor. Edke-8. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Intermediate Microeconomics and Its Application. Nugroho HT. 2010. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Pindyck RS, Rubinfeld DL. 1998a. Econometric Models and Economic Forecasts. Fourth Edition. Singapore: McGraw-Hill. ____________________________. 1998b. Microeconomics. 4th Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Piñeiro V. 2006. The Impact of Trade and Policy Liberalization on Argentina’s Agricultural Sector: Technology Adoption in Dynamic Model [Dissertation]. Maryland: Faculty of Graduate School of the University of Maryland. Prasada DVP. 2007. Technological Change in Canadian Agriculture: A Computable General Equilibrium Analysis [Thesis]. Ottawa: The Faculty of Graduate Studies of The University of Guelph. Priyanti A, Soedjana TD, Matondang R, Sitepu P. 1998. Estimasi Sistem Permintaan dan Penawaran Daging di Propinsi Lampung. Jurnal llmu Ternak dan Veteriner. 3(2): 71–77. Priyanto D. 2003. Evaluasi Kebijakan Impor Daging Sapi Dalam Rangka Proteksi Peternak Domestik: Analisis Penawaran dan Permintaan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sahrial. 2005. Prespektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi: Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian melalui Dukungan Kawasan Sentra Produksi [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
135 Saliem HP, Mardianto S, Simatupang P. 2003. Perkembangan dan Prospek Kemandirian Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian. 1(2): 123–142. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Sekretariat Negara. 1996. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Jakarta: Sekretariat Negara. Silberberg E. 1981. The Structure of Economics: A Mathematical Analysis. The International Student Edition. Tokyo: Mc.Graw Hill Kogakusha, Ltd. Simatupang P, Sudaryanto T, Mardianto S. 1995. Livestock supply response in Indonesia. Bogor: Center for Agro Socio Economic Research (BogorIndonesia) in collaboration with International Food Policy Research Institute Washington DC-USA). Sinaga BM. 1989. Econometric Model of The Indonesian Hardwood Products Industry: A Policy Simulation Analysis [Dissertation]. Los Banos: University of the Philippines. Siregar H. 2009. Peningkatan Daya Beli Masyarakat: Mengapa Diperlukan dan Bagaimana Mewujudkannya? Di dalam: Sardin DS, editor. Makro-Mikro Pembangunan: Kumpulan Makalah dan Esai. hlm: 235–240. Bogor: IPB Press. Sitepu RK, Sinaga BM. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika: Estimasi, Simulasi dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Bogor: Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soehadji. 1992. Pembangunan Peternakan dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Prosiding Agro-lndustri Peternakan di Pedesaan. Bogor: Balai Penelitian Ternak Ciawi. Soeharsono, Saptati RA, Diwyanto K. 2010. Kinerja Reproduksi Sapi Potong Lokal dan Sapi Persilangan Hasil Inseminasi Buatan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010. Somwaru A, Valdes C. 2004. Brazil’s Beef Production and Its Efficiency: A Comparative Study of Scale Economies.GTAP Seventh Annual Conference on Global Economic Analysis: Trade, Poverty, and the Environment. June 17-19, 2004. Washington DC: The World Bank Squires D. 1988. Index Number and Productivity Measurement in Multispecies Fisheries: An Application to the Pacific Coast Trawl Feet. NOAA Technical Report NMFS 67. U.S. Department of Commerce. Subagyo I. 2009. Potret Komoditas Daging Sapi. http://id.scribd.com/doc/ 77426085/komoditas-sapi. [23 Oktober 2011]. Sudardjat. 2000. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional Bidang Peternakan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
136 Sugiarto, Herlambang T, Brastoro, Sudjana R, Kelana S. 2007. Ekonomi Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sukanata IW. 2008. Dampak Kebijakan Kuota Perdagangan Terhadap Penawaran dan Populasi Sapi Serta Kesejahteraan Peternak di Provinsi Bali [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sukirno S. 2006. Makroekonomi. Teori Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suryana A. 2004. Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005– 2009. Makalah disampaikan dalam seminar “Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005–2009”. Bogor 4 Agustus 2004. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Susilowati SH. 2007. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syamsu JA. 2010. Edisi Tiga: Swasembada Daging Sapi 2014. http://www.jasmal. info/2010/01/edisi-tiga-swasembada-daging-sapi-2014.html. [28-10-2011]. Tambunan TTH. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia. _____________. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia, Beberapa Isu Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia. Taniguchi K. 2001. A General Equilibrium Analysis of Japanese Rice Market Trade Liberalization. Paper Presented at Annual Meeting of the AAEA,Chicago. Taufikurahman MR. 2004. Dampak Peningkatan Produktivitas Pangan Terhadap Kinerja Sektoral dan Ekonomi Makro di Indonesia: Analisis Ekonomi Keseimbangan Umum [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Todaro MP, Smith SC. 2009. Economic Development. 10th Edition. Boston: Pearson Education Inc. Tseuoa T. 2011. Impact of ASEAN Australia and New Zealand Free Trade Agreement on Beef Industry in Indonesia [Thesis]. Bogor: Graduate School of Bogor Agricultural University. Yusdja Y, Ilham N. 2006. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
LAMPIRAN
138
139 Lampiran 1 Data dasar yang digunakan dalam analisis Produksi ternak sapi Tahun
(Juta ekor) QTS
Impor sapi
Impor sapi
bibit (ton)
bakalan (000 ton) MSBK
(000 ton) QSDSL
MSBT
Produksi daging sapi lokal
Impor daging sapi (000 ton) QDM
Perminta an daging sapi
Harga daging sapi domestik
(000 ton) QDDS
(Rp/kg) HDS
1990
2.182
2 575
0.00
207.38
1.42
208.68
4 949
1991
2.238
0
0.79
209.33
1.87
211.62
5 650
1992
2.555
2 497
6.05
234.37
3.15
240.58
5 934
1993
2.031
2 241
11.94
270.62
3.05
280.03
6 640
1994
2.843
433
21.07
257.88
4.80
273.97
7 628
1995
2.285
1 304
75.04
209.36
7.26
256.79
9 123
1996
2.490
1 335
117.74
214.66
15.77
293.52
10 007
1997
2.351
1 454
129.67
213.43
23.32
306.23
10 698
1998
2.179
411
32.35
256.74
8.81
282.89
14 047
1999
1.721
32
41.43
224.81
10.55
257.54
20 133
2000
1.981
162
93.68
221.75
26.94
298.85
23 610
2001
1.551
1 621
58.82
239.43
16.44
287.05
29 003
2002
3.101
2 272
44.52
225.14
11.45
258.78
33 330
2003
1.406
2 029
73.09
240.34
10.67
287.48
34 314
2004
2.643
1 459
82.54
293.93
11.77
347.10
34 484
2005
2.097
1 615
89.67
223.76
19.94
288.55
38 251
2006
2.576
2 172
93.00
249.92
24.08
320.67
43 720
2007
2.413
49
145.47
181.35
39.35
293.64
49 647
2008
2.616
449
198.46
194.48
45.58
339.57
54 381
2009
2.397
28
229.15
191.66
67.91
374.59
60 910
2010
2.967
1 133
208.58
222.37
90.51
417.59
64 713
3.941 Ditjen Peternak Sumber an; BPS (diolah)
0
118.92
303.94 Ditjen Peternak an; BPS (diolah)
65.02
428.66 Ditjen Peternak an; BPS (diolah)
68 741
2011
BPS
BPS
BPS
BPS
140 Lampiran 1 (lanjutan) Tahun
Harga daging sapi impor
GDP sapi potong
(triliun (US$/ton) Rp) HSM GDPSP
TK Peternak an (000 orang) DLP
Curah Hujan
Dummy Dummy Swasem krisis bada ekonomi
(mm/ thn) CH
GDP Non Peternakan (triliun Rp)
D1
D2
GDPNP
1990
4 042
7.89
3 017
2 167
0
0
779.80
1991
2 938
7.73
2 934
1 837
0
0
830.85
1992
2 223
9.76
3 001
2 539
0
0
901.11
1993
2 009
7.32
2 853
2 080
0
0
972.11
1994
2 154
10.75
2 830
1 849
0
0
1 050.91
1995
2 002
7.85
2 806
1 859
0
0
1 148.96
1996
2 056
9.12
2 867
1 546
0
0
1 243.46
1997
1 575
8.64
2 578
1 372
0
0
1 308.54
1998
1 172
5.88
2 806
1 826
0
1
1 122.42
1999
1 445
6.09
2 758
1 551
0
1
1 132.48
2000
1 523
5.98
2 680
2 007
0
0
1 193.10
2001
1 437
7.65
2 601
2 372
0
0
1 250.43
2002
1 621
7.49
2 702
1 946
0
0
1 315.48
2003
1 738
4.45
2 462
2 412
0
0
1 390.83
2004
2 303
9.39
2 820
2 198
0
0
1 474.62
2005
2 149
7.58
2 577
2 511
0
0
1 572.92
2006
1 961
9.43
2 455
2 007
0
0
1 669.99
2007
2 296
10.09
3 770
2 391
0
0
1 787.54
2008
2 760
11.10
4 044
2 392
0
0
1 904.20
2009
2 791
10.50
4 386
2 206
0
0
2 000.04
2010
3 199
12.33
4 168
2 973
1
0
2 132.90
2011
3 603
14.62
4 204
2 247
1
0
2 282.83
BPS (diolah)
BPS (diolah)
Sumber
BPS (diolah)
BPS
Ditjen Petern akan
BPS (diolah)
141 Lampiran 1 (lanjutan) Tahun
GDP Non Sapi potong
Harga Daging Sapi Jakarta
(triliun Rp)
(Rp/kg)
GDPNSP
HDSJ
Harga Daging ayam
Harga Daging sapi dunia
Harga Daging sapi Australia
Harga sapi bakalan impor
(Rp/kg)
Harga sapi bibit impor (US$/ton)
(US$/ton) (US$/ton) (US$/ton) HDAY
HDSW
HDSA
HSBK
HSBT
1990
10.45
6 654
2 684
3 073
1 708
1 589
3 105
1991
11.72
7 428
2 971
3 082
1 713
1 251
2 444
1992
11.23
7 801
3 257
3 023
1 559
1 371
1 783
1993
14.84
8 550
3 634
3 078
1 400
1 433
1 526
1994
12.30
9 633
4 233
2 828
1 720
2 068
3 651
1995
16.41
11 613
4 957
2 620
1 638
1 454
2 428
1996
16.37
12 078
5 387
2 514
1 432
978
2 258
1997
18.10
12 308
5 715
2 685
1 289
903
2 146
1998
17.13
19 107
8 894
2 531
1 218
618
1 385
1999
18.34
26 411
14 325
2 685
1 323
951
2 319
2000
19.25
27 901
15 307
2 653
1 344
987
1 395
2001
19.98
32 434
16 701
2 758
1 446
985
1 240
2002
21.94
41 610
18 287
2 572
1 761
1 000
1 344
2003
26.19
40 458
17 198
3 083
1 827
911
1 402
2004
22.28
40 227
17 471
3 319
2 262
1 079
1 571
2005
24.76
43 928
18 571
3 470
2 620
1 201
1 190
2006
24.00
49 904
20 078
3 372
2 620
1 168
1 172
2007
24.13
50 038
21 560
3 477
2 818
1 501
3 061
2008
24.32
54 500
28 949
3 446
2 646
1 895
5 901
2009
26.15
59 500
30 499
3 105
2 544
1 870
2 662
2010
25.88
61 393
27 813
3 567
2 813
2 134
2 665
2011
25.31
64 330
28 639
3 681
2 716
2 699
2 184
BPS
BPS
Sumber
BPS (diolah)
FAO
FAO
BPS (diolah)
BPS (diolah)
142 Lampiran 1 (lanjutan) Tahun
Nilai Tukar Rupiah
Jumlah Penduduk
Eskpor Daging sapi
Suku bunga bank
Tarif Impor daging sapi
Tren
(%) IR
TI
T
Volume Inseminasi Buatan
(Rp/US$)
(Juta orang)
NTR
POP
(000 ton) QSE
1990
1 901
179.38
0.06
15
30
1
268
1991
1 992
182.94
0.00
21
30
2
831
1992
2 062
186.04
0.09
24
30
3
1 242
1993
2 110
189.14
0.02
20
30
4
1 541
1994
2 200
192.22
0.00
19
30
5
1 636
1995
2 308
195.28
0.02
19
27
6
1 616
1996
2 383
198.32
0.00
19
20
7
1 434
1997
4 650
201.35
0.01
21
10
8
1 493
1998
8 025
204.39
0.00
30
10
9
1 130
1999
7 100
207.44
0.01
27
5
10
1 092
2000
9 595
205.13
0.02
19
5
11
950
2001
10 400
208.00
0.17
19
5
12
944
2002
8 940
210.90
0.08
19
5
13
899
2003
8 465
213.84
0.11
18
5
14
694
2004
9 290
216.83
0.02
15
5
15
282
2005
9 900
220.93
0.08
15
5
16
679
2006
9 020
224.23
0.01
16
5
17
824
2007
9 419
227.58
0.04
15
5
18
817
2008
10 950
230.98
0.06
14
5
19
939
2009
9 400
234.43
0.01
14
5
20
2 463
2010
8 991
237.64
0.00
13
5
21
2 656
2011
9 068
243.74
0.00
13
5
22
2 607
BPS
BPS
BI
Ditjen Bea & Cukai
Sumber
BPS
(000 dosis)
(%)
VIB
Ditjen Peternakan
143 Lampiran 1 (lanjutan) Tahun
Jumlah Wisman (000 orang) WA
Tkt Upah Peternakan
Populasi ternak
Faktor IHK konversi Indonesia
(Rp. 000/ bln)
(Juta ekor)
WP
POPT
k
IHK
IHK dunia (AS)
CPIW
1990
2 178
61
10.41
0.3811
28.51
76.46
1991
2 570
76
10.75
0.3811
31.22
79.69
1992
3 064
78
11.21
0.3811
32.77
82.10
1993
3 403
101
10.83
0.3811
35.97
84.61
1994
4 006
118
11.37
0.3811
39.29
86.10
1995
4 324
137
11.53
0.3811
42.69
88.53
1996
5 034
152
11.82
0.3811
45.45
91.19
1997
5 185
170
11.94
0.3811
50.47
93.24
1998
4 606
221
11.63
0.3811
89.65
94.76
1999
4 728
274
11.28
0.3811
91.45
93.01
2000
5 064
327
11.01
0.3811
100.00
100.00
2001
5 154
316
10.22
0.3811
112.55
104.40
2002
5 033
487
11.30
0.3570
123.84
106.13
2003
4 467
516
10.50
0.3570
130.11
108.57
2004
5 321
525
10.53
0.3570
138.43
111.41
2005
5 002
489
10.57
0.3570
162.12
115.17
2006
4 871
562
10.88
0.3570
172.82
118.93
2007
5 506
584
11.51
0.3570
184.21
122.31
2008
6 234
653
12.26
0.3570
204.58
126.92
2009
6 324
616
12.76
0.3570
210.27
126.46
2010
7 003
727
13.58
0.3570
224.90
128.64
2011
7 650
886
14.82
0.3570
233.42
132.68
BPS
BPS
Sumber
BPS
BPS (diolah)
Ditjen Peternakan
BPS (diolah)
144 Lampiran 2 Program estimasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia /*CREATING VARIABLES*/ RHDAY = HDAY/IHK*100; RHDS = HDS/IHK*100; RHDSJ = HDSJ/IHK*100; RHSM = HSM/CPIW*100; RHDSW = HDSW/CPIW*100; RHDSA = HDSA/CPIW*100; RHSBK = HSBK/CPIW*100; RNTR = NTR/IHK*CPIW; IHK_1 = LAG(IHK); INFL = (IHK - IHK_1)/IHK_1*100; RIR = IR - INFL; RWP = WP/IHK*100; MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP
= = = = = = = = = =
MSBK + (MSBT/1000); k * MSBK; QDM + QBM; 0.4062 * QBM; QSDSL + QSDSM; QSDS + QSM - QSE; QSDS + QBM; QDDS - QSDS; GDPSP + GDPNSP; GDPP + GDPNP;
MSBT_2 VIB_1 CH_1 QTS_2 QSDSL_1 POPT_1 POPT_2 QDM_1 RHDS_1 RHSM_1 GDPSP_1 GDPP_1 DLP_1 GROWTH RUN;
= = = = = = = = = = = = = =
LAG2(MSBT); LAG(VIB); LAG(CH); LAG2(QTS); LAG(QSDSL); LAG(POPT); LAG2(POPT); LAG(QDM); LAG(RHDS); LAG(RHSM); LAG(GDPSP); LAG(GDPP); LAG(DLP); (GDPP - GDPP_1)/GDPP_1*100;
PROC SYSLIN 2SLS DATA=SIMULTAN OUTEST=HASIL; ENDOGENOUS QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QSD EQDS GDPP GDP GROWTH; INSTRUMENTS k CH_1 CPIW D1 D2 GDPNP GDPNSP MSBT_2 QSE RHDSW RHDSA RHDSJ RHDAY RHSBK RIR RNTR RWP T TI VIB_1 WA DLP_1 GDPP_1 GDPSP_1 POPT_1 POPT_2 QDM_1 QSDSL_1 QTS_2 RHDS_1 RHSM_1; /*PERSAMAAN STRUKTURAL*/ MODEL QTS = POPT_2 MSBT_2 VIB_1 CH_1 RIR /DW; MODEL MSBK = RHSBK RNTR WA QSDSL QDDS D1 D2 /DW; MODEL QSDSL = RHDS_1 QTS_2 QSM D1 QSDSL_1/DW; MODEL QDM = RHSM RNTR QSDSL QDDS QDM_1/DW;
145 MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL
POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP
= = = = = =
QTS MTS QSD POPT_1/DW; RHDS RHDAY GDP D1 D2 /DW; RHDSJ RHSM RNTR QSDS QDDS T RHDS_1/DW; RHDSW RHDSA TI RHSM_1/DW; QTS MSBK GDPSP_1/DW; RWP GDPSP GDPNSP DLP_1 /DW;
/*PERSAMAAN IDENTITAS*/ IDENTITY MTS = MTS + 0; IDENTITY QBM = QBM + 0; IDENTITY QSM = QSM + 0; IDENTITY QSDSM = QSDSM + 0; IDENTITY QSDS = QSDS + 0; IDENTITY QST = QST + 0; IDENTITY QSD = QSD + 0; IDENTITY EQDS = EQDS + 0; IDENTITY GDPP = GDPP + 0; IDENTITY GDP = GDP + 0; IDENTITY GROWTH = GROWTH + 0; RUN;
146 Lampiran 3
Hasil estimasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
QTS QTS
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 14 19
3.900933 2.288710 6.189643
0.780187 0.163479
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.40433 2.40720 16.79651
F Value
Pr > F
4.77
0.0094
R-Square Adj R-Sq
0.63024 0.49818
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept POPT_2 MSBT_2 VIB_1 CH_1 RIR
1 1 1 1 1 1
-2.22742 0.184246 0.000191 0.000409 0.000894 -0.00397
2.531840 0.229596 0.000118 0.000243 0.000255 0.007061
-0.88 0.80 1.62 1.68 3.50 -0.56
0.3938 0.4357 0.1277 0.1144 0.0035 0.5826
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.989915 20 -0.54487
147 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
MSBK MSBK
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
7 12 19
77804.39 589.7744 78394.17
11114.91 49.14787
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
7.01055 93.55950 7.49315
F Value
Pr > F
226.15
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.99248 0.98809
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RHSBK RNTR WA QSDSL QDDS D1 D2
1 1 1 1 1 1 1 1
21.48830 -0.01004 -0.00332 0.005308 -1.20623 1.197944 -50.4575 -8.18548
25.12952 0.005722 0.001606 0.004416 0.069270 0.093746 10.01291 5.962890
0.86 -1.76 -2.07 1.20 -17.41 12.78 -5.04 -1.37
0.4092 0.1047 0.0611 0.2526 <.0001 <.0001 0.0003 0.1949
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.037337 20 -0.03151
148 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
QSDSL QSDSL
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 14 19
14700.82 4612.935 19313.75
2940.163 329.4953
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
18.15201 233.49700 7.77398
F Value
Pr > F
8.92
0.0006
R-Square Adj R-Sq
0.76116 0.67586
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RHDS_1 QTS_2 QSM D1 QSDSL_1
1 1 1 1 1 1
87.30493 0.004350 32.11208 -0.84083 70.89910 0.064811
72.66711 0.001609 11.36871 0.154676 16.94809 0.189427
1.20 2.70 2.82 -5.44 4.18 0.34
0.2495 0.0172 0.0135 <.0001 0.0009 0.7373
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.459538 20 -0.28363
149 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
QDM QDM
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 14 19
10903.87 366.3666 11270.24
2180.774 26.16905
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
5.11557 25.31850 20.20487
F Value
Pr > F
83.33
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.96749 0.95588
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RHSM RNTR QSDSL QDDS QDM_1
1 1 1 1 1 1
-7.27469 0.002468 -0.00014 -0.29869 0.292158 0.394159
20.94748 0.005330 0.001421 0.038485 0.051921 0.111073
-0.35 0.46 -0.10 -7.76 5.63 3.55
0.7335 0.6505 0.9255 <.0001 <.0001 0.0032
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.778439 20 0.074715
150 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
POPT POPT
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 15 19
23.32227 0.092506 23.41478
5.830567 0.006167
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.07853 11.57750 0.67831
F Value
Pr > F
945.43
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.99605 0.99500
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept QTS MTS QSD POPT_1
1 1 1 1 1
-0.09823 1.056855 0.003525 -0.00731 0.954510
0.277913 0.037453 0.000341 0.000824 0.028504
-0.35 28.22 10.35 -8.88 33.49
0.7287 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.489687 20 0.233525
151 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
QDDS QDDS
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 14 19
44073.89 6030.178 50104.07
8814.778 430.7270
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
20.75396 306.70400 6.76677
F Value
Pr > F
20.46
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.87965 0.83666
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RHDS RHDAY GDP D1 D2
1 1 1 1 1 1
207.3865 -0.00950 0.009248 0.140774 62.10682 -38.5104
37.75650 0.004978 0.005654 0.035130 21.41684 24.08983
5.49 -1.91 1.64 4.01 2.90 -1.60
<.0001 0.0770 0.1242 0.0013 0.0116 0.1322
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.549579 20 -0.2975
152 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
RHDS RHDS
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
7 12 19
2.8103E8 9039464 2.9007E8
40147582 753288.7
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
867.92205 23772.2124 3.65099
F Value
Pr > F
53.30
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.96884 0.95066
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RHDSJ RHSM RNTR QSDS QDDS T RHDS_1
1 1 1 1 1 1 1 1
-8394.96 0.754827 2.124330 0.313855 -27.2392 24.79789 226.5995 0.071119
4333.291 0.097758 1.032011 0.254948 8.949979 10.61563 98.30290 0.116821
-1.94 7.72 2.06 1.23 -3.04 2.34 2.31 0.61
0.0766 <.0001 0.0619 0.2419 0.0102 0.0377 0.0398 0.5540
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.384216 20 -0.22987
153 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
RHSM RHSM
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 15 19
2966143 914243.0 3880386
741535.6 60949.54
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
246.87960 1982.50856 12.45289
F Value
Pr > F
12.17
0.0001
R-Square Adj R-Sq
0.76439 0.70157
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RHDSW RHDSA TI RHSM_1
1 1 1 1 1
425.6841 -0.20777 0.573587 10.02848 0.494621
713.9924 0.289827 0.193347 10.94429 0.168422
0.60 -0.72 2.97 0.92 2.94
0.5599 0.4845 0.0096 0.3740 0.0102
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.534096 20 0.124946
154 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
GDPSP GDPSP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 16 19
88.22462 23.91516 112.1398
29.40821 1.494698
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1.22258 8.80100 13.89136
F Value
Pr > F
19.68
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.78674 0.74675
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept QTS MSBK GDPSP_1
1 1 1 1
-0.25231 3.111742 0.011427 0.058374
1.432607 0.550627 0.005046 0.174308
-0.18 5.65 2.26 0.33
0.8624 <.0001 0.0378 0.7421
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.263475 20 -0.18729
155 The SAS System
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
DLP DLP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 15 19
6374015 1478408 7852423
1593504 98560.51
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
313.94348 3068.40000 10.23150
F Value
Pr > F
16.17
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.81173 0.76152
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RWP GDPSP GDPNSP DLP_1
1 1 1 1 1
760.8442 -2.90946 101.6452 38.27198 0.519324
658.4969 2.034930 41.50824 20.33659 0.187544
1.16 -1.43 2.45 1.88 2.77
0.2660 0.1733 0.0271 0.0794 0.0143
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.153245 20 -0.07842
156 Lampiran 4
Program validasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA SIMULTAN; SET DAGING_S; /*CREATING VARIABLES*/ RHDAY = HDAY/IHK*100; RHDS = HDS/IHK*100; RHDSJ = HDSJ/IHK*100; RHSM = HSM/CPIW*100; RHDSW = HDSW/CPIW*100; RHDSA = HDSA/CPIW*100; RHSBK = HSBK/CPIW*100; RNTR = NTR/IHK*CPIW; IHK_1 = LAG(IHK); INFL = (IHK - IHK_1)/IHK_1*100; RIR = IR - INFL; RWP = WP/IHK*100; MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP
= = = = = = = = = =
MSBK + (MSBT/1000); k * MSBK; QDM + QBM; 0.4062 * QBM; QSDSL + QSDSM; QSDS + QSM - QSE; QSDS + QBM; QDDS - QSDS; GDPSP + GDPNSP; GDPP + GDPNP;
MSBT_2 VIB_1 CH_1 QTS_2 QSDSL_1 POPT_1 POPT_2 QDM_1 RHDS_1 RHSM_1 GDPSP_1 GDPP_1 DLP_1 GROWTH RUN;
= = = = = = = = = = = = = =
LAG2(MSBT); LAG(VIB); LAG(CH); LAG2(QTS); LAG(QSDSL); LAG(POPT); LAG2(POPT); LAG(QDM); LAG(RHDS); LAG(RHSM); LAG(GDPSP); LAG(GDPP); LAG(DLP); (GDPP - GDPP_1)/GDPP_1*100;
PROC SIMNLIN DATA=SIMULTAN DYNAMIC SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH; INSTRUMENTS k CH_1 CPIW D1 D2 GDPNP GDPNSP MSBT_2 QSE RHDSA RHDSW RHDSJ RHDAY RHSBK RIR RNTR RWP T TI VIB_1 WA; QTS_2 QSDSL_1 QDM_1 POPT_1 POPT_2
= = = = =
Lag2(QTS); Lag(QSDSL); Lag(QDM); LAG(POPT); LAG2(POPT);
157 RHDS_1 RHSM_1 GDPSP_1 GDPP_1 DLP_1
= = = = =
Lag(RHDS); Lag(RHSM); Lag(GDPSP); Lag(GDPP); Lag(DLP);
PARM a0 -2.22742 a5 -0.00397
a1 0.184246
a2 0.000191
a3 0.000409
a4 0.000894
b0 21.4883 b5 1.197944
b1 -0.01004 b6 -50.4575
b2 -0.00332 b7 -8.18548
b3 0.005308
b4 -1.20623
c0 87.30493 c5 0.064811
c1 0.00435
c2 32.11208
c3 -0.84083
c4 70.8991
d0 -7.27469 d5 0.394159
d1 0.002468
d2 -0.00014
d3 -0.29869
d4 0.292158
e0 -0.09823
e1 1.056855
e2 0.003525
e3 -0.00731
e4 0.95451
f0 207.3865 f5 -38.5104
f1 -0.0095
f2 0.009248
f3 0.140774
f4 62.10682
g0 -8394.96 g5 24.79789
g1 0.754827 g6 226.5995
g2 2.12433 g7 0.071119
g3 0.313855
g4 -27.2392
h0 425.6841
h1 -0.20777
h2 0.573587
h3 10.02848
h4 0.494621
i0 -0.25231
i1 3.111742
i2 0.011427
i3 0.058374
j0 760.8442
j1 -2.90946
j2 101.6452
j3 38.27198
QTS MSBK
= =
QSDSL QDM POPT QDDS RHDS
= = = = =
RHSM GDPSP DLP
= = =
a0 + a1*POPT_2 + a2*MSBT_2 + a3*VIB_1 + a4*CH_1 + a5*RIR ; b0 + b1*RHSBK + b2*RNTR + b3*WA + b4*QSDSL + b5*QDDS + b6*D1 + b7*D2; c0 + c1*RHDS_1 + c2*QTS_2 + c3*QSM + c4*D1 + c5*QSDSL_1; d0 + d1*RHSM + d2*RNTR + d3*QSDSL + d4*QDDS + d5*QDM_1; e0 + e1*QTS + e2*MTS + e3*QSD + e4*POPT_1; f0 + f1*RHDS + f2*RHDAY + f3*GDP + f4*D1 + f5*D2; g0 + g1*RHDSJ + g2*RHSM + g3*RNTR + g4*QSDS + g5*QDDS + g6*T + g7*RHDS_1; h0 + h1*RHDSW + h2*RHDSA + h3*TI + h4*RHSM_1; i0 + i1*QTS + i2*MSBK + i3*GDPSP_1; j0 + j1*RWP + j2*GDPSP + j3*GDPNSP + j4*DLP_1;
MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH RUN;
= = = = = = = = = = =
MSBK + (MSBT/1000); k * MSBK; QDM + QBM; 0.4062 * QBM; QSDSL + QSDSM; QSDS + QSM - QSE; QSDS + QBM; QDDS - QSDS; GDPSP + GDPNSP; GDPP + GDPNP; (GDPP - GDPP_1)/GDPP_1*100;
j4 0.519324;
158 Lampiran 5
Hasil validasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations Number of Statements Program Lag Length
21 21 59 21 31 2
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
SIMULTAN
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
21 2 NEWTON 1E-8 9.69E-14 1 20 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
Variables Solved For
22 2 20 3 22
QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
159 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics
Variable QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
N Obs
N
20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
Actual Mean Std Dev 2.4072 93.5595 233.5 25.3185 11.5775 306.7 23772.2 1982.5 8.8010 3068.4 94.6943 34.1090 59.4275 13.8551 247.4 306.7 281.5 59.3519 29.2465 1472.0 3.7657
0.5708 64.2340 31.8828 24.3551 1.1101 51.3523 3907.3 451.9 2.4294 642.9 63.8717 22.8941 45.4787 9.2996 28.3718 51.3348 31.9561 45.5035 5.7580 404.6 4.5437
Predicted Mean Std Dev 2.5036 106.1 224.1 27.2982 12.3202 302.9 23949.1 2008.3 9.2665 3151.9 107.3 38.8539 66.1520 15.7824 239.8 305.9 278.7 63.0823 29.7120 1472.5 4.2226
0.4861 80.9072 40.5273 26.7867 1.6113 32.1410 3638.4 389.4 2.2733 541.0 80.2869 28.8368 55.4150 11.7135 30.4562 35.3366 18.3571 52.0268 6.2194 404.8 8.6108
Statistics of fit
Variable QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
N
Mean Error
Mean % Error
Mean Abs Error
Mean Abs % Error
RMS Error
RMS % Error
R-Square
20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
0.0964 12.5839 -9.4456 1.9797 0.7427 -3.7878 176.9 25.7899 0.4655 83.4627 12.5839 4.7448 6.7245 1.9274 -7.5182 -0.7937 -2.7734 3.7304 0.4655 0.4655 0.4569
6.7798 40.0487 -2.7031 20.4496 6.2943 -0.2691 1.1009 2.7347 8.7552 3.9703 39.0810 40.0487 29.0809 40.0487 -1.9533 0.5872 -0.2742 28.5352 1.4335 0.0277 -9.1044
0.3019 37.7691 34.7082 9.9438 0.8669 18.6620 728.8 177.1 1.1856 266.4 37.7691 13.9109 22.0480 5.6506 29.8066 18.1754 18.5335 22.1568 1.1856 1.1856 6.3766
14.6145 71.9730 14.4222 72.0412 7.3735 5.6670 3.3325 9.3463 16.1112 9.1890 69.2108 71.9730 68.2268 71.9730 11.6667 5.7346 6.3321 70.8155 4.4570 0.0929 133.4
0.3734 56.3828 48.9791 12.7931 1.0905 25.9454 980.2 234.1 1.4994 339.5 56.3828 20.6384 32.1580 8.3833 41.4439 22.9175 25.2821 30.6044 1.4994 1.4994 8.5201
20.6661 111.4 18.7699 105.9 8.9904 7.2807 5.0141 12.6853 23.3712 12.4598 108.1 111.4 104.5 111.4 15.0082 6.8892 8.1443 108.3 5.9196 0.1265 169.9
0.5495 0.1890 -1.484 0.7096 -.0157 0.7313 0.9338 0.7176 0.5990 0.7064 0.1797 0.1446 0.4737 0.1446 -1.246 0.7902 0.3411 0.5238 0.9286 1.0000 -2.701
160 Theil Forecast Error Statistics
Variable QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
N
MSE
Corr (R)
20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
0.1394 3179.0 2398.9 163.7 1.1892 673.2 960816 54783.2 2.2483 115273 3179.0 425.9 1034.1 70.2801 1717.6 525.2 639.2 936.6 2.2483 2.2483 72.5918
0.77 0.72 0.09 0.88 0.88 0.90 0.97 0.85 0.81 0.85 0.72 0.71 0.81 0.71 -0.01 0.92 0.59 0.80 0.97 1.00 0.24
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U 0.07 0.05 0.04 0.02 0.46 0.02 0.03 0.01 0.10 0.06 0.05 0.05 0.04 0.05 0.03 0.00 0.01 0.01 0.10 0.10 0.00
0.02 0.36 0.56 0.17 0.32 0.28 0.02 0.00 0.04 0.00 0.36 0.36 0.31 0.36 0.52 0.25 0.00 0.24 0.16 0.03 0.74
0.92 0.59 0.40 0.80 0.22 0.70 0.95 0.99 0.86 0.94 0.59 0.59 0.64 0.59 0.45 0.75 0.99 0.74 0.74 0.87 0.25
0.05 0.08 0.03 0.03 0.20 0.52 0.07 0.07 0.01 0.09 0.08 0.08 0.09 0.08 0.00 0.46 0.27 0.04 0.09 0.03 0.22
0.88 0.87 0.93 0.94 0.34 0.46 0.90 0.92 0.89 0.85 0.87 0.87 0.87 0.87 0.96 0.54 0.71 0.94 0.81 0.87 0.78
0.1511 0.5008 0.2079 0.3686 0.0938 0.0835 0.0407 0.1153 0.1645 0.1084 0.4975 0.5063 0.4338 0.5063 0.1665 0.0737 0.0893 0.4131 0.0504 0.0010 1.4656
0.0744 0.2303 0.1058 0.1765 0.0453 0.0422 0.0203 0.0574 0.0804 0.0537 0.2291 0.2326 0.2016 0.2326 0.0845 0.0370 0.0450 0.1974 0.0249 0.0005 0.5602
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Variable
Relative Change Corr N MSE (R)
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
20 0.0293 20 2.7875 20 0.0467 20 1.6311 20 0.00845 20 0.00581 20 0.00245 20 0.0147 20 0.0391 20 0.0148 20 2.2267 20 2.7874 20 1.8305 20 2.7874 20 0.0275 20 0.00510 20 0.00706 20 2.1249 20 0.00373 20 1.723E-6 20 2.5097
0.03 0.03 0.04 0.02 0.49 0.01 0.05 0.02 0.08 0.08 0.02 0.03 0.02 0.03 0.03 0.00 0.01 0.03 0.05 0.04 0.00
0.89 0.48 0.19 0.35 0.62 0.73 0.93 0.70 0.81 0.59 0.74 0.48 0.26 0.48 0.34 0.76 0.69 0.28 0.40 1.00 0.33
0.03 0.32 0.45 0.84 0.35 0.03 0.24 0.12 0.01 0.15 0.02 0.32 0.78 0.32 0.39 0.01 0.11 0.81 0.51 0.17 0.62
0.94 0.66 0.50 0.14 0.17 0.96 0.72 0.86 0.90 0.77 0.96 0.66 0.19 0.66 0.58 0.99 0.89 0.16 0.44 0.79 0.38
0.17 0.01 0.01 0.43 0.15 0.05 0.11 0.00 0.04 0.00 0.05 0.01 0.30 0.01 0.01 0.07 0.01 0.36 0.08 0.18 0.12
0.80 0.97 0.95 0.56 0.36 0.94 0.84 0.98 0.88 0.92 0.93 0.97 0.67 0.97 0.96 0.93 0.99 0.61 0.87 0.78 0.88
Inequality Coef U1 U 0.4625 0.9951 1.3549 2.1366 1.7943 0.6497 0.4122 0.7681 0.5946 0.9002 0.6440 0.9949 1.8941 0.9949 1.2080 0.6087 0.7303 2.0607 1.0505 0.0184 1.5036
0.2511 0.4638 0.6439 0.6303 0.5462 0.3526 0.1913 0.3901 0.3050 0.4432 0.3391 0.4638 0.6180 0.4638 0.5808 0.3269 0.3784 0.6325 0.4415 0.0092 0.5967
161 Lampiran 6 Program simulasi peramalan dengan menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1 OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA RAMAL; SET DAGING_RML; /*PROGRAM SIMULASI 1. Peningkatan Dosis IB sebesar 25% */ VIB = 1.25*VIB; /*2. Peningkatan Impor sapi bibit sebesar 20% */ MSBT = 1.2*MSBT; /*3. Penurunan suku bunga bank menjadi 5% */ IR = 5; /*4. Peningkatan impor sapi bibit 20% dan penurunan suku bunga bank menjadi 5% */ MSBT = 1.2*MSBT; IR = 5; /*5. Penurunan impor sapi bakalan 25%* dan penurunan impor daging sapi 35%*/ MSBK = 0.75*MSBK; QDM = 0.65*QDM; /*6A. Kombinasi simulasi 1, 4, dan 5 */ VIB = 1.25*VIB; MSBT = 1.2*MSBT; IR = 5; MSBK = 0.75*MSBK; QDM = 0.65*QDM; /*6B. Modifikasi simulasi 6A */ VIB = 1.3*VIB; MSBT = 1.3*MSBT; IR = 5; MSBK = 0.75*MSBK; QDM = 0.65*QDM; /*6C. Modifikasi simulasi 6A */ VIB = 1.3*VIB; MSBT = 1.3*MSBT; IR = 5; MSBK = 0.8*MSBK; QDM = 0.8*QDM; /*6C. Modifikasi simulasi 6A */ VIB = 1.3*VIB; MSBT = 1.3*MSBT; IR = 5; MSBK = 0.8*MSBK; QDM = 0.8*QDM; /*6D. Modifikasi simulasi 6A */ VIB = 1.4*VIB; MSBT = 1.3*MSBT; IR = 5;
162 MSBK QDM
= =
0.8*MSBK; 0.8*QDM;
/*CREATING VARIABLES*/ RHDAY = HDAY/IHK*100; RHDSJ = HDSJ/IHK*100; RHDSW = HDSW/CPIW*100; RHDSA = HDSA/CPIW*100; RHSBK = HSBK/CPIW*100; RNTR = NTR/IHK*CPIW; IHK_1 = LAG(IHK); INFL = (IHK - IHK_1)/IHK_1*100; RIR = IR - INFL; RWP = WP/IHK*100; MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP
= = = = = = = = = =
MSBK + (MSBT/1000); k * MSBK; QDM + QBM; 0.4062 * QBM; QSDSL + QSDSM; QSDS + QSM - QSE; QSDS + QBM; QDDS - QSDS; GDPSP + GDPNSP; GDPP + GDPNP;
MSBT_2 VIB_1 CH_1 QTS_2 QSDSL_1 POPT_1 POPT_2 QDM_1 RHDS_1 RHSM_1 GDPSP_1 GDPP_1 DLP_1 GROWTH RUN;
= = = = = = = = = = = = = =
LAG2(MSBT); LAG(VIB); LAG(CH); LAG2(QTS); LAG(QSDSL); LAG(POPT); LAG2(POPT); LAG(QDM); LAG(RHDS); LAG(RHSM); LAG(GDPSP); LAG(GDPP); LAG(DLP); (GDPP - GDPP_1)/GDPP_1*100;
PROC SIMNLIN DATA=RAMAL DYNAMIC SIMULATE STAT OUT=RAMAL; ENDOGENOUS QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH; INSTRUMENTS k CH_1 D1 D2 GDPNP GDPNSP MSBT_2 QSE RHDSA RHDSW RHDSJ RHDAY RHSBK RIR RNTR RWP T TI VIB_1 WA; QTS_2 QSDSL_1 QDM_1 POPT_1 POPT_2 RHDS_1 RHSM_1 GDPSP_1 GDPP_1 DLP_1
= = = = = = = = = =
Lag2(QTS); Lag(QSDSL); Lag(QDM); LAG(POPT); LAG2(POPT); Lag(RHDS); Lag(RHSM); Lag(GDPSP); Lag(GDPP); Lag(DLP);
163 PARM a0 -2.22742 a5 -0.00397
a1 0.184246
a2 0.000191
a3 0.000409
a4 0.000894
b0 21.4883 b5 1.197944
b1 -0.01004 b6 -50.4575
b2 -0.00332 b7 -8.18548
b3 0.005308
b4 -1.20623
c0 87.30493 c5 0.064811
c1 0.00435
c2 32.11208
c3 -0.84083
c4 70.8991
d0 -7.27469 d5 0.394159
d1 0.002468
d2 -0.00014
d3 -0.29869
d4 0.292158
e0 -0.09823
e1 1.056855
e2 0.003525
e3 -0.00731
e4 0.95451
f0 207.3865 f5 -38.5104
f1 -0.0095
f2 0.009248
f3 0.140774
f4 62.10682
g0 -8394.96 g5 24.79789
g1 0.754827 g6 226.5995
g2 2.12433 g7 0.071119
g3 0.313855
g4 -27.2392
h0 425.6841
h1 -0.20777
h2 0.573587
h3 10.02848
h4 0.494621
i0 -0.25231
i1 3.111742
i2 0.011427
i3 0.058374
j0 760.8442
j1 -2.90946
j2 101.6452
j3 38.27198
j4 0.519324;
QTS MSBK
= =
QSDSL QDM POPT QDDS RHDS
= = = = =
RHSM GDPSP DLP
= = =
a0 + a1*POPT_2 + a2*MSBT_2 + a3*VIB_1 + a4*CH_1 + a5*RIR ; b0 + b1*RHSBK + b2*RNTR + b3*WA + b4*QSDSL + b5*QDDS + b6*D1 + b7*D2; c0 + c1*RHDS_1 + c2*QTS_2 + c3*QSM + c4*D1 + c5*QSDSL_1; d0 + d1*RHSM + d2*RNTR + d3*QSDSL + d4*QDDS + d5*QDM_1; e0 + e1*QTS + e2*MTS + e3*QSD + e4*POPT_1; f0 + f1*RHDS + f2*RHDAY + f3*GDP + f4*D1 + f5*D2; g0 + g1*RHDSJ + g2*RHSM + g3*RNTR + g4*QSDS + g5*QDDS + g6*T + g7*RHDS_1; h0 + h1*RHDSW + h2*RHDSA + h3*TI + h4*RHSM_1; i0 + i1*QTS + i2*MSBK + i3*GDPSP_1; j0 + j1*RWP + j2*GDPSP + j3*GDPNSP + j4*DLP_1;
MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
= = = = = = = = = = =
MSBK + (MSBT/1000); k * MSBK; QDM + QBM; 0.4062 * QBM; QSDSL + QSDSM; QSDS + QSM - QSE; QSDS + QBM; QDDS - QSDS; GDPSP + GDPNSP; GDPP + GDPNP; (GDPP - GDPP_1)/GDPP_1*100;
RANGE TAHUN 2012 TO 2021; RUN; PROC PRINT DATA=RAMAL; RUN;
164 Lampiran 7
Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB sebesar 25 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 91 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
21 21 59 Tahun 21 31 2
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
RAMAL RAMAL_1
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
21 2 Tahun 2012 2021 NEWTON 1E-8 3.2E-15 1 10 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
Variables Solved For
12 2 10 23 32
QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
165 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2021 Descriptive Statistics
Variable QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
N Obs
N
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Actual Mean Std Dev 4.7012 180.4 265.7 57.6630 24.1240 396.0 29955.7 2247.4 17.4120 5511.3 180.8 64.3949 122.1 26.1572 291.8 413.9 356.2 104.2 49.4370 2505.6 3.7148
0.9371 36.7930 47.7848 12.6003 5.8947 16.9066 518.4 98.9132 2.6576 708.7 36.9076 13.1351 25.6631 5.3355 42.5076 17.4441 29.6050 26.2372 4.9926 141.0 1.3780
Predicted Mean Std Dev 5.0460 161.6 284.9 50.7709 25.2014 399.7 29575.6 2247.5 18.3163 5678.1 162.1 57.7065 108.5 23.4404 308.4 416.8 366.1 91.3760 50.3413 2506.5 3.9330
1.0129 44.7455 56.7449 16.1941 6.4058 18.8487 338.3 99.0173 2.7969 751.7 44.8705 15.9742 32.1201 6.4887 50.2813 18.4451 34.4093 31.7357 5.1291 141.1 1.9294
166 Lampiran 8 Hasil simulasi peramalan peningkatan impor sapi bibit sebesar 20 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
21 21 59 Tahun 21 31 2
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
RAMAL RAMAL_2
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
21 2 Tahun 2012 2021 NEWTON 1E-8 2.34E-15 1 10 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
Variables Solved For
12 2 10 23 32
QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
167 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2021 Descriptive Statistics
Variable QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
N Obs
N
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Actual Mean Std Dev 4.7012 180.4 265.7 57.6630 24.1240 396.0 29955.7 2247.4 17.4120 5511.3 180.9 64.3949 122.1 26.1572 291.8 413.9 356.2 104.2 49.4370 2505.6 3.7148
0.9371 36.7930 47.7848 12.6003 5.8947 16.9066 518.4 98.9132 2.6576 708.7 36.9306 13.1351 25.6631 5.3355 42.5076 17.4441 29.6050 26.2372 4.9926 141.0 1.3780
Predicted Mean Std Dev 4.7344 178.5 267.6 56.9771 24.2320 396.4 29917.8 2247.5 17.4979 5527.7 179.0 63.7304 120.7 25.8873 293.5 414.2 357.2 102.9 49.5229 2505.7 3.7348
0.9424 37.4687 48.5863 12.9293 5.9429 17.0871 499.8 99.0173 2.6665 711.8 37.6080 13.3763 26.2376 5.4335 43.2063 17.5248 30.0439 26.7083 5.0011 141.0 1.4750
168 Lampiran 9 Hasil simulasi peramalan penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
21 21 59 Tahun 21 31 2
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
RAMAL RAMAL_3
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
21 2 Tahun 2012 2021 NEWTON 1E-8 2.95E-15 1 10 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
Variables Solved For
12 2 10 23 32
QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
169 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2021 Descriptive Statistics
Variable QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
N Obs
N
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Actual Mean Std Dev 4.7012 180.4 265.7 57.6630 24.1240 396.0 29955.7 2247.4 17.4120 5511.3 180.8 64.3949 122.1 26.1572 291.8 413.9 356.2 104.2 49.4370 2505.6 3.7148
0.9371 36.7930 47.7848 12.6003 5.8947 16.9066 518.4 98.9132 2.6576 708.7 36.9076 13.1351 25.6631 5.3355 42.5076 17.4441 29.6050 26.2372 4.9926 141.0 1.3780
Predicted Mean Std Dev 4.7470 177.8 268.3 56.7300 24.2688 396.5 29904.2 2247.5 17.5311 5533.8 178.3 63.4899 120.2 25.7896 294.1 414.3 357.6 102.4 49.5561 2505.7 3.7417
0.9461 37.7937 48.9564 13.0668 5.9637 17.1676 491.3 99.0173 2.6732 713.9 37.9104 13.4924 26.4908 5.4806 43.5277 17.5730 30.2430 26.9339 5.0082 141.0 1.4376
170 Lampiran 10 Hasil simulasi peramalan peningkatan impor sapi bibit sebesar 20 persen dan penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 Persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
21 21 59 Tahun 21 31 2
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
RAMAL RAMAL_4
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
21 2 Tahun 2012 2021 NEWTON 1E-8 1.92E-15 1 10 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last Variables Solved For
12 2 10 23 32
QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
171 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2021 Descriptive Statistics
Variable QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
N Obs
N
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Actual Mean Std Dev 4.7012 180.4 265.7 57.6630 24.1240 396.0 29955.7 2247.4 17.4120 5511.3 180.9 64.3949 122.1 26.1572 291.8 413.9 356.2 104.2 49.4370 2505.6 3.7148
0.9371 36.7930 47.7848 12.6003 5.8947 16.9066 518.4 98.9132 2.6576 708.7 36.9306 13.1351 25.6631 5.3355 42.5076 17.4441 29.6050 26.2372 4.9926 141.0 1.3780
Predicted Mean Std Dev 4.7797 176.0 270.2 56.0526 24.3748 396.9 29866.9 2247.5 17.6162 5549.7 176.5 62.8348 118.9 25.5235 295.7 414.5 358.5 101.2 49.6412 2505.8 3.7600
0.9509 38.4596 49.7412 13.3929 6.0099 17.3458 472.9 99.0173 2.6797 717.1 38.6011 13.7301 27.0586 5.5772 44.2117 17.6511 30.6727 27.3978 5.0145 141.0 1.5299
172 Lampiran 11 Hasil simulasi peramalan penurunan impor sapi bakalan sebesar 25 Persen dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 Persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
19 19 45 Tahun 19 28 2
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
RAMAL RAMAL_5
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
19 2 Tahun 2012 2021 NEWTON 1E-8 8.88E-15 1 10 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
12 2 10 23 32
Variables Solved For QTS QSDSL POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
173 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2021 Descriptive Statistics
Variable QTS QSDSL POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
N Obs
N
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Actual Mean Std Dev 4.7012 265.7 24.1240 396.0 29955.7 2247.4 17.4120 5511.3 135.7 48.2962 85.7772 19.6179 285.3 371.0 333.6 110.7 49.4370 2505.6 3.7148
0.9371 47.7848 5.8947 16.9066 518.4 98.9132 2.6576 708.7 27.7094 9.8513 17.9912 4.0016 43.8256 26.1037 34.1207 27.5708 4.9926 141.0 1.3780
Predicted Mean Std Dev 4.0931 358.8 18.7343 464.4 29241.8 2247.5 14.8872 5081.1 135.7 48.2962 85.7772 19.6179 378.4 464.2 426.7 85.9531 46.9122 2503.1 2.7219
0.4143 30.5787 2.3612 13.4242 838.8 99.0173 1.0331 401.0 27.7094 9.8513 17.9912 4.0016 26.6460 9.8603 17.1010 14.2778 3.3592 139.3 1.2661
174 Lampiran 12 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 25 persen, peningkatan impor sapi bibit 20 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 25 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
19 19 45 Tahun 19 28 2
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
RAMAL RAMAL_6A
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
19 2 Tahun 2012 2021 NEWTON 1E-8 2.91E-15 1 10 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
12 2 10 23 32
Variables Solved For QTS QSDSL POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
175 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2021 Descriptive Statistics
Variable QTS QSDSL POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
N Obs
N
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Actual Mean Std Dev 4.7012 265.7 24.1240 396.0 29955.7 2247.4 17.4120 5511.3 135.8 48.2962 85.7772 19.6179 285.3 371.0 333.6 110.7 49.4370 2505.6 3.7148
0.9371 47.7848 5.8947 16.9066 518.4 98.9132 2.6576 708.7 27.7324 9.8513 17.9912 4.0016 43.8256 26.1037 34.1207 27.5708 4.9926 141.0 1.3780
Predicted Mean Std Dev 4.5562 369.1 20.5021 466.8 29008.4 2247.5 16.4033 5354.0 135.8 48.2962 85.7772 19.6179 388.7 474.4 437.0 78.1046 48.4283 2504.6 3.1762
0.5482 35.2307 3.4091 14.6849 723.5 99.0173 1.4842 508.9 27.7324 9.8513 17.9912 4.0016 31.3780 14.9438 22.1199 17.2273 3.8151 139.8 1.8466
176 Lampiran 13 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 30 persen, peningkatan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 25 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
19 19 45 Tahun 19 28 2
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
RAMAL RAMAL_6B
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
19 2 Tahun 2012 2021 NEWTON 1E-8 4.69E-15 1 10 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
12 2 10 23 32
Variables Solved For QTS QSDSL POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
177 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2021 Descriptive Statistics
Variable QTS QSDSL POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
N Obs
N
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Actual Mean Std Dev 4.7012 265.7 24.1240 396.0 29955.7 2247.4 17.4120 5511.3 135.9 48.2962 85.7772 19.6179 285.3 371.0 333.6 110.7 49.4370 2505.6 3.7148
0.9371 47.7848 5.8947 16.9066 518.4 98.9132 2.6576 708.7 27.7438 9.8513 17.9912 4.0016 43.8256 26.1037 34.1207 27.5708 4.9926 141.0 1.3780
Predicted Mean Std Dev 4.6497 371.2 20.8602 467.3 28961.2 2247.5 16.7094 5409.1 135.9 48.2962 85.7772 19.6179 390.8 476.5 439.1 76.5176 48.7344 2504.9 3.2666
0.5751 36.2140 3.6201 14.9408 701.4 99.0173 1.5752 530.5 27.7438 9.8513 17.9912 4.0016 32.3808 16.0457 23.1880 17.9069 3.9062 139.9 2.0007
178 Lampiran 14 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 30 persen, peningkatan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 20 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 20 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
19 19 45 Tahun 19 28 2
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
RAMAL RAMAL_6C
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
19 2 Tahun 2012 2021 NEWTON 1E-8 3.4E-15 1 10 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
12 2 10 23 32
Variables Solved For QTS QSDSL POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
179 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2021 Descriptive Statistics
Variable QTS QSDSL POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
N Obs
N
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Actual Mean Std Dev 4.7012 265.7 24.1240 396.0 29955.7 2247.4 17.4120 5511.3 144.9 51.5160 97.6464 20.9258 286.6 384.2 338.1 109.4 49.4370 2505.6 3.7148
0.9371 47.7848 5.8947 16.9066 518.4 98.9132 2.6576 708.7 29.5835 10.5081 20.5304 4.2684 43.5619 23.3770 33.2153 27.3041 4.9926 141.0 1.3780
Predicted Mean Std Dev 4.7124 362.5 21.4043 465.7 29134.3 2247.5 17.0225 5463.9 144.9 51.5160 97.6464 20.9258 383.4 481.0 434.9 82.2872 49.0475 2505.2 3.3734
0.6282 39.4638 3.9619 15.5613 641.3 99.0173 1.7312 562.3 29.5835 10.5081 20.5304 4.2684 35.3564 16.5665 25.4715 20.2448 4.0634 140.0 2.0673
180 Lampiran 15 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 40 persen, peningkatan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 20 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 20 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
19 19 45 Tahun 19 28 2
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
RAMAL RAMAL_6D
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
19 2 Tahun 2012 2021 NEWTON 1E-8 3.62E-15 1 10 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
12 2 10 23 32
Variables Solved For QTS QSDSL POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
181 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2021 Descriptive Statistics
Variable QTS QSDSL POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
N Obs
N
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Actual Mean Std Dev 4.7012 265.7 24.1240 396.0 29955.7 2247.4 17.4120 5511.3 144.9 51.5160 97.6464 20.9258 286.6 384.2 338.1 109.4 49.4370 2505.6 3.7148
0.9371 47.7848 5.8947 16.9066 518.4 98.9132 2.6576 708.7 29.5835 10.5081 20.5304 4.2684 43.5619 23.3770 33.2153 27.3041 4.9926 141.0 1.3780
Predicted Mean Std Dev 4.8634 365.8 21.9783 466.5 29058.5 2247.5 17.5168 5552.7 144.9 51.5160 97.6464 20.9258 386.8 484.4 438.3 79.7388 49.5418 2505.7 3.5188
0.6740 41.0865 4.3037 15.9768 606.8 99.0173 1.8840 597.8 29.5835 10.5081 20.5304 4.2684 37.0098 18.3947 27.2252 21.4053 4.2159 140.2 2.2885
182 Lampiran 16
Program peramalan variabel eksogen dan variabel endogen tahun 2012-2020 menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA DAGING; SET DAGING_SR; PROC FORECAST DATA=DAGING METHOD=STEPAR TREND=2 OUT=N_EXO OUTDATA LEAD=10; ID TAHUN; VAR QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP k CH D1 D2 GDPNP GDPNSP MSBT QSE HDSA HDSW HDSJ HDAY HSBK IR NTR WP T TI VIB WA IHK CPIW HSBT; RUN; PROC PRINT DATA=N_EXO; RUN; DATA DAGING1; SET N_EXO; IF TAHUN IF TAHUN IF TAHUN IF TAHUN IF TAHUN IF TAHUN IF TAHUN IF TAHUN IF TAHUN IF TAHUN IF TAHUN IF TAHUN IF TAHUN IF TAHUN RUN;
> > > > > > > > > > > > > >
2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
_TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST'
PROC PRINT DATA=DAGING1; RUN; DATA RAMAL; SET DAGING1; /*CREATING VARIABLES*/ RHDAY = HDAY/IHK*100; RHDSJ = HDSJ/IHK*100; RHDSW = HDSW/CPIW*100; RHDSA = HDSA/CPIW*100; RHSBK = HSBK/CPIW*100; RNTR = NTR/IHK*CPIW; IHK_1 = LAG(IHK); INFL = (IHK - IHK_1)/IHK_1*100; RIR = IR - INFL; RWP = WP/IHK*100;
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
QTS = 1; MSBK = 1; QSDSL = 1; QDM = 1; POPT = 1; QDDS = 1; RHDS = 1; RHSM = 1; GDPSP = 1; DLP = 1; D2 = 0; k = 0.357; TI = 5; D1 = 1;
183 MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP
= = = = = = = = = =
MSBK + (MSBT/1000); k * MSBK; QDM + QBM; 0.4062 * QBM; QSDSL + QSDSM; QSDS + QSM - QSE; QSDS + QBM; QDDS - QSDS; GDPSP + GDPNSP; GDPP + GDPNP;
MSBT_2 VIB_1 CH_1 QTS_2 QSDSL_1 POPT_1 POPT_2 QDM_1 RHDS_1 RHSM_1 GDPSP_1 GDPP_1 DLP_1 GROWTH RUN;
= = = = = = = = = = = = = =
LAG2(MSBT); LAG(VIB); LAG(CH); LAG2(QTS); LAG(QSDSL); LAG(POPT); LAG2(POPT); LAG(QDM); LAG(RHDS); LAG(RHSM); LAG(GDPSP); LAG(GDPP); LAG(DLP); (GDPP - GDPP_1)/GDPP_1*100;
PROC SIMNLIN DATA=RAMAL DYNAMIC SIMULATE OUT=N_ENDO; ENDOGENOUS QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH; INSTRUMENTS k CH_1 CPIW D1 D2 GDPNP GDPNSP MSBT_2 QSE RHDSA RHDSW RHDSJ RHDAY RHSBK RIR RNTR RWP T TI VIB_1 WA; QTS_2 QSDSL_1 QDM_1 POPT_1 POPT_2 RHDS_1 RHSM_1 GDPSP_1 GDPP_1 DLP_1
= = = = = = = = = =
Lag2(QTS); Lag(QSDSL); Lag(QDM); LAG(POPT); LAG2(POPT); Lag(RHDS); Lag(RHSM); Lag(GDPSP); Lag(GDPP); Lag(DLP);
PARM a0 -2.22742 a1 0.184246 a2 0.000191 a3 0.000409 a4 0.000894 a5 -0.00397 b0 21.4883 b1 -0.01004 b2 -0.00332 b3 0.005308 b4 -1.20623 b5 1.197944 b6 -50.4575 b7 -8.18548 c0 87.30493 c1 0.00435 c5 0.064811
c2 32.11208 c3 -0.84083 c4 70.8991
d0 -7.27469 d1 0.002468 d2 -0.00014 d3 -0.29869 d4 0.292158 d5 0.394159
184 e0 -0.09823 e1 1.056855 e2 0.003525 e3 -0.00731 e4 0.95451 f0 207.3865 f1 -0.0095 f5 -38.5104
f2 0.009248 f3 0.140774 f4 62.10682
g0 -8394.96 g1 0.754827 g2 2.12433 g3 0.313855 g4 -27.2392 g5 24.79789 g6 226.5995 g7 0.071119 h0 425.6841 h1 -0.20777 h2 0.573587 h3 10.02848 h4 0.494621 i0 -0.25231 i1 3.111742 i2 0.011427 i3 0.058374 j0 760.8442 j1 -2.90946 j2 101.6452 j3 38.27198 j4 0.519324; QTS MSBK
= =
QSDSL QDM POPT QDDS RHDS
= = = = =
RHSM GDPSP DLP
= = =
a0 + a1*POPT_2 + a2*MSBT_2 + a3*VIB_1 + a4*CH_1 + a5*RIR ; b0 + b1*RHSBK + b2*RNTR + b3*WA + b4*QSDSL + b5*QDDS + b6*D1 + b7*D2; c0 + c1*RHDS_1 + c2*QTS_2 + c3*QSM + c4*D1 + c5*QSDSL_1; d0 + d1*RHSM + d2*RNTR + d3*QSDSL + d4*QDDS + d5*QDM_1; e0 + e1*QTS + e2*MTS + e3*QSD + e4*POPT_1; f0 + f1*RHDS + f2*RHDAY + f3*GDP + f4*D1 + f5*D2; g0 + g1*RHDSJ + g2*RHSM + g3*RNTR + g4*QSDS + g5*QDDS + g6*T + g7*RHDS_1; h0 + h1*RHDSW + h2*RHDSA + h3*TI + h4*RHSM_1; i0 + i1*QTS + i2*MSBK + i3*GDPSP_1; j0 + j1*RWP + j2*GDPSP + j3*GDPNSP + j4*DLP_1;
MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
= = = = = = = = = = =
MSBK + (MSBT/1000); k * MSBK; QDM + QBM; 0.4062 * QBM; QSDSL + QSDSM; QSDS + QSM - QSE; QSDS + QBM; QDDS - QSDS; GDPSP + GDPNSP; GDPP + GDPNP; (GDPP - GDPP_1)/GDPP_1*100;
RANGE TAHUN 2012 TO 2021; RUN; PROC PRINT DATA=N_ENDO; VAR QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH; RUN;
185 Lampiran 17 Hasil peramalan variabel endogen tahun 2012–2020 menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
21 21 59 Tahun 21 31 2
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
RAMAL N_ENDO
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
21 2 Tahun 2012 2021 NEWTON 1E-8 4.37E-15 1 10 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
Variables Solved For
12 2 10 23 32
QTS MSBK QSDSL QDM POPT QDDS RHDS RHSM GDPSP DLP MTS QBM QSM QSDSM QSDS QST QSD EQDS GDPP GDP GROWTH
186 The SAS System Obs 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
QTS
MSBK
QSDSL
QDM
POPT
QDDS
3.5256235662 3.8287900085 3.9169442795 4.0245041114 4.4891718698 4.5449888020 5.1103306312 5.4004850807 5.8293860403 6.3417888245
220.23061950 182.51459186 217.83160729 205.41034988 202.54975909 198.37894437 170.94358985 165.68693483 129.57584901 110.65593889
205.35092076 249.03627542 220.34486611 235.46850298 241.85144994 249.60152591 280.92765772 289.6875218 330.09842038 354.45329815
70.286883449 62.409473612 67.733263733 66.583017909 65.255829457 63.584032941 56.037561647 51.720688276 41.008663267 32.013869291
16.242957772 17.607551116 19.207703293 20.739828194 22.646942521 24.470087865 26.582603737 28.842243276 31.162044897 33.742402788
370.17278680 382.49174097 382.79152339 387.28140392 390.89577209 394.75452612 402.90573161 406.83096449 416.85854697 425.06243911
RHDS
RHSM
GDPSP
DLP
29645.051732 28930.944667 29517.639457 29654.956808 29936.507251 30240.334944 30178.152972 30601.641824 30412.203363 30438.529919
2403.0100671 2224.5310929 2150.8920022 2147.9323104 2150.0622046 2175.3992670 2219.3234745 2278.4206534 2338.1478026 2387.3931577
14.088524096 14.569894425 15.275874820 15.509846457 16.936742527 17.146064150 18.603977209 19.531899416 20.508053699 21.943303181
4510.0512250 4737.2604917 4950.1041095 5109.7926575 5364.5209694 5545.6962835 5816.1153962 6079.3445067 6343.9600814 6656.1074677
Obs 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
MTS 220.873 183.113 218.386 205.920 203.016 198.801 171.321 166.021 129.865 110.901
QBM
QSM
78.6223 65.1577 77.7659 73.3315 72.3103 70.8213 61.0269 59.1502 46.2586 39.5042
148.909 127.567 145.499 139.915 137.566 134.405 117.064 110.871 87.267 71.518
Obs
QSDSM
QSDS
QST
QSD
EQDS
GDPP
GDP
GROWTH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
31.9364 26.4671 31.5885 29.7873 29.3724 28.7676 24.7891 24.0268 18.7902 16.0466
237.287 275.503 251.933 265.256 271.224 278.369 305.717 313.714 348.889 370.500
386.159 403.033 397.395 405.133 408.752 412.737 422.743 424.548 436.118 441.980
315.910 340.661 329.699 338.587 343.534 349.190 366.744 372.865 395.147 410.004
132.885 106.988 130.858 122.026 119.672 116.385 97.189 93.117 67.970 54.563
42.6170 43.8752 45.3580 46.3689 48.5726 49.5588 51.7936 53.4984 55.2514 57.4635
2330.83 2350.76 2381.11 2418.79 2463.66 2511.89 2564.89 2620.06 2677.34 2736.66
6.72919 2.95242 3.37968 2.22856 4.75266 2.03032 4.50934 3.29149 3.27676 4.00372
187 Lapiran 18 Perkembangan produksi dan ketersediaan protein dari daging sapi dan daging ayam di Indonesia, 2000-2011 Produksi daging (ribu ton) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 rata-rata r (%)
Daging sapi 236.25 248.53 231.60 250.93 305.90 236.76 263.41 202.44 223.26 224.89 252.61 321.19 249.81 2.83
Daging ayam Buras Ras 153.82 312.47 159.58 362.65 167.24 460.91 173.14 475.14 171.92 518.80 174.82 478.09 197.93 532.96 171.03 580.55 158.63 624.08 143.67 670.89 155.21 704.29 164.20 736.83 165.93 538.14 0.60 8.11
Jumlah penduduk (ribu orang) 205,133 207,995 210,898 213,841 216,826 220,926 224,228 227,579 230,980 234,432 237,641 243,740 222,852 1.58
Ketersediaan protein (gr/kapita/hari) Daging ayam Daging sapi Buras Ras 0.56 0.35 0.72 0.58 0.36 0.83 0.54 0.38 1.04 0.57 0.38 1.05 0.69 0.37 1.13 0.52 0.37 1.03 0.57 0.42 1.13 0.44 0.36 1.21 0.47 0.32 1.28 0.47 0.29 1.36 0.52 0.31 1.40 0.64 0.32 1.43 0.55 0.35 1.13 1.26 -0.94 6.46
Sumber : BPS; Kementrian Pertanian (diolah) Keterangan : r = rata-rata laju pertumbuhan per tahun produksi daging dalam bentuk potongan daging tanpa tulang
188 Lampiran 19. Daftar singkatan AANZFTA
:
ASEAN, Australia, and New Zealand Free Trade Agreement
ADG
:
Average Daily Gain
ASUH
:
Aman, Sehat, Utuh, dan Halal
BAPPENAS :
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BPS
:
Badan Pusat Statistik
CGE
:
Computable General Equilibrium
cif
:
cost insurance and freight
Ditjen
:
Direktorat Jenderal
GDP
:
Gross Domestic Product
IB
:
Inseminasi Buatan
INAYAT
:
Industri Peternakan Rakyat
InKA
:
Intesifikasi Kawin Alam
Kementan
:
Kementerian Pertanian
KUPS
:
Kredit Usaha Pembibitan Sapi Potong
MC
:
Marginal Cost
MR
:
Marginal Revenue
PDB
:
Produk Domestik Bruto
P2SDS
:
Program Percepatan Swasembada Daging Sapi
PKH
:
Peternakan dan Kesehatan Hewan
PSDSK
:
Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Kerbau
PSPK
:
Pendataan Sapi Poptong, Sapi Perah, dan Kerbau
RMSPE
:
Root Means Squares Percent Error
RPH
:
Rumah Potong Hewan
RPJMN
:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJPN
:
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
SAKERNAS :
Survei Angkatan Kerja Nasional ()
SPN
:
Survei Rumah Tangga Peternakan Nasional
STU04
:
Survei Rumah Tangga Usaha Peternakan 2004
SUSENAS
:
Survei Sosial Ekonomi Nasional
VBC
:
Village Breeding Centre
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 9 November 1968 di Kebumen, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak D. Sukijono dan Ibu Martini. Pada tahun 1994, penulis menikah dengan Djoko Muljanto, SP dan dikaruniai seorang putra bernama Surya Adi Pradana. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas di Kebumen, Jawa Tengah. Pada tahun 1987, setelah menyelesaikan pendidikan di SMAN Kebumen, penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada melalui jalur PMDK dan berhasil menyelesaikan pendidikan pada bulan November 1992 pada Program Studi Ilmu Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian UGM. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan S-2 pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Bidang Ilmu-ilmu Pertanian, Program Pascasarjana UGM atas beasiswa Program Science and Technology for Industrial Development (STAID) BPP Teknologi pada tahun 1997 dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2009, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program Doktor pada Program Studi Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor atas beasiswa Badan Pusat Statistik. Pada tahun 1994 penulis bekerja di BPS Provinsi D.I. Yogyakarta sebagai staf Bidang Pengolahan, Neraca Wilayah, dan Analisis Statistik. Setelah menyelesaikan masa Tugas Belajar di UGM, penulis mengemban tugas sebagai Pelaksana Tugas Kepala Seksi Statistik Produksi di BPS Kabupaten Sleman, Provinsi D.I. Yogyakarta pada tahun 2000 dan dilantik pada tahun 2001. Seiring dengan reorganisasi pada Badan Pusat Statistik, pada tahun 2002 penulis menjabat sebagai Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik di BPS Kota Yogyakarta Provinsi D.I. Yogyakarta. Pada tahun 2005 dimutasi dan memegang jabatan sebagai Kepala Seksi Neraca Produksi pada Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik di BPS Provinsi D.I. Yogyakarta. Bogor,
Februari 2014
Kusriatmi