PENGEMBANGAN USAHA DAN INVESTASI SUBSEKTOR PETERNAKAN1) PENDAHULUAN Diawali dengan adanya krisis moneter yang melanda negara-negara Asia yang kemudian melanda Indonesia pada pertengahan Juli 1997, ternyata membawa dampak yang cukup besar dengan terhentinya sebagian besar kegiatan produksi dan usaha di subsektor peternakan yang menyebabkan antara lain terjadinya penurunan daya beli masyarakat maupun pemutusan hubungan kerja. Dalam mengatasi permasalahan yang timbul, berbagai reformasi kebijakan telah dilaksanakan pemerintah. Selama krisis ekonomi berlangsung, ternyata kegiatan usaha yang berorientasi pada penggunaan bahan baku di dalam negeri seperti usaha sektor pertanian masih mampu bertahan terhadap goncangan kriris. Pada tahun 1998 saat puncak krisis, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan negatif sebesar -13,45 persen, sektor pertanian masih dapat tumbuh sebesar 0,43 persen. Bila dilihat kontribusi masing-masing subsektor di bidang pertanian, subsektor yang masih mengalami pertumbuhan positif adalah perkebunan, perikanan dan kehutanan masing-masing sebesar 6,55, 6,21, dan 2,01 persen, sedangkan subsektor yang mengalami pertumbuhan negatif adalah subsektor tanaman pangan dan peternakan masing-masing sebesar -1,15 dan -8,24 persen. Angka-angka pertumbuhan tersebut di atas, membuktikan bahwa subsektor yang mengalami pertumbuhan positif adalah kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya dalam negeri dan yang berorientasi ke pasar ekspor. Sedangkan subsektor yang mengalami pertumbuhan negatif disebabkan antara lain oleh ketergantungan yang relatif tinggi terhadap bahan baku impor seperti bahan baku pakan unggas 60 – 70 persen berasal dari impor. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri telah ditempuh berbagai langkah upaya untuk membuka peluang investasi dan peluang pasar di subsektor peternakan sekaligus melalui pengembangan investasi nasional yaitu dengan meningkatkan peran swasta dalam kegiatan pembangunan peternakan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal. PERKEMBANGAN INVESTASI SUBSEKTOR PETERNAKAN Dalam lima tahun terakhir investasi di subsektor peternakan masih relatif sangat kurang jika dibandingkan dengan bidang lainnya. Perkembangan 1
Disampaikan pada pertemuan “Pengembangan Usaha dan Investasi Subsektor Peternakan”, tanggal 29 Oktober 2002 di Jakarta.
PENGEMBANGAN USAHA DAN INVESTASI SUBSEKTOR PETERNAKAN
393
persetujuan penanaman modal di subsektor peternakan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Keragaan Persetujuan PMDN dan PMA Subsektor Peternakan PMDN Tahun
PMA
Investasi Proyek Proyek (Rp. milyar) 5 485,6 7 1996 1 154,6 3 1997 3 159,4 1 1998 6 1,1 1 1999 1 9,2 0 2000 20 213,5 17 2001 Sumber data: BKPM Juni 2000 dan Semester I tahun 2001.
Investasi (US$ juta) 86,0 1,8 15,4 48,3 15,0 1534,6
Kecilnya minat investasi di subsektor peternakan antara lain karena berbagai faktor seperti: (1) Tingkat resiko usaha yang lebih tinggi dibandingkan usaha di bidang lainnya; (2) Investasi yang dibutuhkan relatif besar; (3) Pengembalian modal yang cukup lama; (4) Pelaksanaan investasi dilakukan secara bertahap dan jangka waktunya lebih lama; (5) Lebih merupakan kegiatan rintisan bagi pengembangan suatu wilayah karena sarana dan prasarana ekonomi kurang tersedia secara mamadai, khususnya di luar Pulau Jawa; (6) Budidaya pertanian khususnya peternakan masih dilakukan secara tradisional, sehingga produktivitasnya masih relatif rendah; dan (7) Teknologi pasca panen yang belum cukup memadai. Berdasarkan data dari Menteri Negara/Kepala BKPM dan Pembinaan BUMN secara keseluruhan nilai realisasi investasi PMDN untuk subsektor peternakan cenderung berfluktuasi. Realisasi PMDN dan PMA dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Realisasi PMDN dan PMA Subsektor Peternakan Tahun
PMDN Investasi (Rp.milyar) 298,51 48,08 709 56,9 185,5
1995 1996 1997 1998 1999* Sumber data: BKPM Keterangan: * Juni 2000 s/d September tahun 1999.
PMA Proyek Investasi (US$ juta) -
Dari Tabel 2 tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa realisasi investasi terendah terjadi pada tahun 1998 dengan nilai sebesar Rp 56,9 milyar, menurun AKP. Volume 2 No. 4, Desember 2004 : 393-402
394
hampir 91,97 persen bila dibandingkan dengan nilai realissi pada tahun 1997 yang mencapai Rp 709 milyar. Hal ini terjadi selain krisis ekonomi sejak tahun 1997 yang masih berlanjut, juga keadaan politik Indonesia yang belum sepenuhnya stabil sehingga investor cenderung masih menunggu terhadap setiap kemungkinan yang terjadi. Realisasi investasi PMA untuk sektor pertanian dan industri makanan pada tahun 1995 – 1999 cenderung berfluktuasi. Realisasi investasi terendah terjadi pada tahun 1998 dengan nilai sebesar Rp 63,7 milyar, menurun hampir 87 persen. Rencana Investasi Subsektor Peternakan Tahun 2000 – 2005 Sasaran PDB, investasi dan penyerapan tenaga kerja subsektor peternakan dalam tahun 2000 – 2005 dapat disajikan dalam Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Rencana Investasi Subsektor Peternakan Tahun 2000 – 2005 Uraian
2000
Kenaikan (%)
2001
2002
2003
2004
2005
7.853,5 2,30
8.082,0 2,91
8.366,7 3,52
8.715,6 4,17
9.136,9 4,83
3,22 25,52
433,3 535,2
601,1 742,5
777,1 950,0
967,9 1.195,6
1.186,3 1.465,5
-432,4 -769,4
28,78 28,78
3.144,6 49,8
3.197,9 53,4
3.255,1 57,2
3.316,4 61,3
3.382,2 65,8
3.453,3 71,1
1,84 7,23
I. Proyeksi PBD Tinggi 8.385,0 1. Milyar 1,94 2. Pertumbuhan
8.565,8 2,16
8.891,0 3,80
9.346,9 5,13
9.934,2 6,28
10.568,8 6,39
4,34 36,21
614,7 759,3
1.105,7 1.365,9
1.550,0 1.914,8
1.996,9 2.466,8
2.157,4 2.665,0
40,62 40,62
3.599,6 96,2
3.705,9 106,3
3.817,7 111,9
2,78 3,54
I. Proyek PDB Rendah 7.676,7 1. Milyar 1,69 2. Pertumbuhan II. Investasi (Rp.juta) 1. Sasaran rendah 2. Sasaran tinggi III. Tenaga kerja (000 orang) 1. Kesempatan kerja 2. Penambahan
II. Investasi (Rp.juta) 1. Sasaran rendah 2. Sasaran tinggi
541,2 668,5
III. Tenaga kerja (000 orang) 3.320,3 3.413,0 3.503,4 1. Kesempatan kerja 90,4 92,7 93,0 2. Penambahan Sumber: Ditjen. Bina Produksi Peternakan (2001).
Realisasi Investasi Subsektor Peternakan Tahun 1999 – 2000 Realisasi investasi subsektor peternakan dikelompokkan menjadi praproduksi, produksi dan pasca produksi sebagaimana Tabel 4 berikut ini.
PENGEMBANGAN USAHA DAN INVESTASI SUBSEKTOR PETERNAKAN
395
Tabel 4. Realisasi Investasi Subsektor Peternakan Tahun 1999 – 2000 (Rp.juta) Uraian Pra produksi: - Target - Realisasi - Persentase (%) 2. Produksi: - Target - Realisasi - Persentase (%) 3. Pasca produksi: - Target - Realisasi - Persentase (%) 4. Jumlah total: - Target - Realisasi - Persentase (%) Keterangan: *) angka sementara; **) angka perkiraan
Tahun 1999*)
2000*)
Kenaikan %/th (1999-2000)
1.
290.674 395.175 136
218.481 333.630 153
-25 -16 12
308.071 552.079 179
231.557 440.770 190
-25 -20 6
290.674 385.665 133
218.481 325.600 149
-25 -16 12
889.419 1.332.919 150
668.518 1.100.000 165
-25 -17 10
KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL Kemampuan sumber-sumber di dalam negeri saat ini sangat terbatas baik dari segi penyediaan dana, penguasaan teknologi maupun kemampuan memasuki pasar global. Demikian pula tentang tersedianya prasarana dan sarana untuk menunjang perkembangan investasi khususnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Dalam perekonomian global, kegiatan ekonomi tidak lagi mengenal batas negara, sehingga negara yang paling siap dalam memberikan pelayanan maupun jaminan keamanan untuk tempat investasi tentu menjadi pilihan utama bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Untuk meningkatkan daya saing dan mengembalikan Indonesia sebagai negara tujuan investasi, Pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan berusaha untuk mendapatkan masukan dari berbagai forum seminar, temu usaha, dialog langsung dengan asosiasi dan pengusaha dalam negeri maupun asing. Masukan yang sangat berharga tersebut diperlukan dalam upaya memperbaiki iklim investasi di Indonesia agar lebih kondusif bagi masuknya PMA. Beberapa kondisi yang diinginkan oleh investor asing antara lain: (a) Perlakuan yang sama dalam hukum; (b) Konsistensi dalam pelaksanaan peraturan; (c) Adanya jaminan berinvestasi dan berusaha; (d) Kebijaksanaan yang transparan; dan (e) Kemudahan dan kesederhanaan prosedur perizinan. AKP. Volume 2 No. 4, Desember 2004 : 393-402
396
Untuk mengakomodasi kondisi yang diinginkan oleh “para investor”, berbagai upaya telah dilakukan, diantaranya adalah penetapan kebijakan di bidang investasi melalui peraturan perundangan sebagai berikut: (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang mengatur antara lain: a) memperluas sumber pendanaan untuk sektor usaha kecil; b) meningkatkan akses permodalan; serta c) memberikan kemudahan dan memperkuat struktur permodalannya. (2) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil yang meliputi bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia dan teknologi. (3) Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing. (4) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Ketentuan ini meruipakan petunjuk pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada prinsipnya kewenangan penanaman modal sesuai aturan ini berada pada kabupaten/kota. (5) Peraturan Pemerintah Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-Daerah Tertentu. STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN Pengembangan usaha peternakan pada umumnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu peternakan rakyat dan perusahaan peternakan rakyat. Untuk memajukan pembangunan di bidang peternakan, maka diperlukan fasilitasi dari pihak pemerintah sehingga peternakan dapat berkembang. Peternakan Rakyat Pada umumnya sebagian besar (+ 90%) usaha peternakan di Indonesia masih dilaksanakan oleh peternakan rakyat. Usaha peternakan rakyat ini dicirikan dengan kondisi permodalan serta manajemen usaha terbatas, sangat sulit untuk berkembang apabila tidak ada dukungan kredit usaha dalam rangka meningkatkan skala usaha menuju pada skala usaha yang ekonomis. Perusahaan Peternakan Perusahaan peternakan pada saat ini sudah mulai tumbuh berkembang dibandingkan ketika terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1977. Untuk PENGEMBANGAN USAHA DAN INVESTASI SUBSEKTOR PETERNAKAN
397
mendorong pertumbuhan dan pengembangan usaha peternakan perlu diambil langkah-langkah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif di bidang peternakan. Langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah untuk menumbuhkembangkan usaha peternakan telah dikeluarkan peraturan dan pedoman antara lain: (1) Keputusan Presiden RI Nomor 127 Tahun 2001 Keputusan Presiden RI Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan. Bidang/jenis usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil adalah bidang/jenis usaha yang ditetapkan untuk usaha kecil yang perlu dilindungi, diberdayakan, dan diberikan peluang berusaha agar mampu dan sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya untuk mengoptimalkan peran sertanya dalam pembangunan. Bidang/jenis usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil pada subsektor peternakan adalah peternakan ayam buras. Bidang/jenis usaha terbuka untuk usaha menengah dan usaha besar dengan syarat kemitraan pada subsektor peternakan tidak ada dan untuk usaha di subsektor peternakan kemitraan sepenuhnya diserahkan kepada perusahaan peternakan dan peternakan rakyat. (2) Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/Kpts/OT.210/6/2002 Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/Kpts/OT.210/6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan. Pedoman ini dimaksudkan memberikan pedoman bagi aparatur yang bertugas di bidang pelayanan perizinan, pembinaan dan pengawasan usaha peternakan di kabupaten/kota dengan tujuan untuk mempermudah dan memberikan kepastian usaha di subsektor peternakan. Pembiayaan Untuk Pengembangan Usaha Peternakan Selama ini subsektor peternakan banyak dibiayai oleh kredit program yang disalurkan oleh bank pelaksana, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Letter of Intent antara Pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF), maka keberadaan kredit program dengan suku bunga rendah tersebut menjadi terbatas. Pada masa yang akan datang, petani maupun pengusaha peternakan akan lebih banyak mengandalkan kredit komersial. Ketersediaan modal dalam pembiayaan usaha peternakan memiliki peranan sangat penting. Adanya sumber pembiayaan yang mudah diakses petani/pengusaha dan memiliki persyaratan ringan akan mampu menggerakkan berbagai usaha di subsektor peternakan. Melihat kondisi tersebut maka untuk mendukung pembangunan subsektor peternakan diperlukan alternatif pembiayaan AKP. Volume 2 No. 4, Desember 2004 : 393-402
398
bagi para pelaku agribisnis, baik skim kredit perbankan maupun non perbankan yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya untuk mendukung usaha peternakan. Kredit Perbankan Skim kredit untuk usaha peternakan melalui perbankan antara lain: a. KKPA (Kredit Kepada Koperasi Primer Untuk Anggotanya) KKPA adalah kredit investasi atau modal kerja yang diberikan bank kepada koperasi primer untuk diteruskan kepada anggotanya guna membiayai usaha yang produktif anggota koperasi termasuk sapi perah. b. KKP (Kredit Ketahanan Pangan) KKP adalah kredit investasi atau modal kerja yang diberikan bank pelaksana kepada peternak, kelompok peternak dalam rangka pembiayaan pengembangan budidaya peternakan sapi potong, ayam buras, itik dan usaha penggemukan sapi perah jantan untuk produksi daging. c. Kredit Umum Pedesaan (KUPEDES) KUPEDES adalah kredit usaha pedesaan yang diberikan oleh Bank pelaksana kepada koperasi/peternak yang diteruskan kepada anggotanya guna membiayai usaha anggota yang telah dinilai layak untuk mendapat kredit. d. Kredit Umum Kecil (KUK) KUK adalah kredit investasi atau pembiayaan dari bank untuk investasi dan atau modal kerja, yang diberikan dalam bentuk rupiah atau valuta asing dalam nasabah usaha kecil dalam rangka membiayai usaha produktif. e. Kredit Taskin Agribisnis
f.
Kredit Taskin Agribisnis adalah fasilitas kredit yang disediakan untuk membantu kelompok Taskin (keluarga pra sejahtera dan Sejahtera I) yang telah siap ditingkatkan menjadi koperasi ataupun usaha kecil yang formal, guna mengembangkan usahanya dengan memanfaatkan teknologi tepat guna. Kredit Usaha Mikro (KUM) KUM adalah penyaluran kredit yang diberikan kepada golongan masyarakat sosial ekonomi lemah pelaku kegiatan usaha mikro yang tergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang terdiri dari Kelompok Simpan Pinjam (KSP) maupun Kelompok Usaha Mikro (KUM). Dalam hal KSP, kelompok harus sudah memiliki pengamanan mengelola kegiatan simpan pinjam diantara anggotanya. Kelompok yang sudah ada diseleksi dan harus memenuhi kriteria tertentu. Bagi pengusaha mikro dalam satu lingkungan ikatan pemersatu yang belum memiliki dan berminat untuk memperoleh layanan bank, dapat membentuk KPM yang berfungsi membantu bank dan para anggotanya dalam memobilisasi tabungan, menekan biaya transaksi dan resiko dalam pelayanan kredit.
g. Jenis kredit lainnya yang dikeluarkan bank untuk pembangunan peternakan. PENGEMBANGAN USAHA DAN INVESTASI SUBSEKTOR PETERNAKAN
399
Kredit Non Perbankan Skim kredit untuk usaha peternakan melalui non perbankan antara lain: a. Modal Ventura Modal ventura adalah suatu jenis pembiayaan berupa penyertaan modal bersifat sementara oleh Perusahaan Modal Ventura (PMV) kepada Perusahaan Pasangan Usaha (PPU) baik perorangan, kelompok maupun usaha berbadan hukum dengan pola pembiayaan keuntungan akan ditentukan oleh PMV dan PPU. b. Dana dari Bagian Laba BUMN Dana dari bagian laba BUMN adalah merupakan dana Pemerintah atas nama Departemen Keuangan, yang sepenuhnya digunakan untuk pembiayaan koperasi dan pengusaha kecil, sehingga BUMN mempunyai kewajiban untuk menanggungjawabkan kepada pemerintah dan dalam pelaksanaannya BUMN akan diperiksa oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). c. Dana dari Lembaga Keuangan Pedesaan (LKP) LKP adalah lembaga keuangan pedesaan yang didirikan oleh masyarakat untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. d. Dana dari Lembaga Keuangan Non Perbankan lainnya yuang telah berkembang di masyarakat. PELUANG INVESTASI SUBSEKTOR PETERNAKAN Potensi pengembangan peternakan memiliki prospek yang cerah, karena Indonesia memiliki sumberdaya yang cukup besar. Dalam upaya pengembangannya pemerintah senantiasa berusaha untuk mengkaitkan dengan usaha kecil dan menengah melalui program kemitraan dengan berbagai pola yang dapat memberikan dampak yang cukup besar terhadap peningkatan pendapatan dan mutu hasil peternakan rakyat. Mengingat sumber pembiayaan pemerintah yang semakin terbatas, maka untuk menggerakkan usaha di subsektor peternakan diperlukan kebijakan pengembangan peternakan yang mendorong tumbuhnya peluang investasi dalam usaha agribisnis peternakan dan mendorong terciptanya peluang pasar/promosi potensi agribisnis peternakan. Peluang investasi di subsektor peternakan masih terbuka lebar bagi pra investor baik dari hulu, budidaya maupun industri hilir. Peluang investasi subsektor peternakan tersebut antara lain: Peluang Investasi Pengembangan Ternak Sapi Potong Peluang investasi untuk pengembangan sapi potong meliputi 19 provinsi yaitu Nanggore Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, AKP. Volume 2 No. 4, Desember 2004 : 393-402
400
Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, Maluku, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara. Dengan daya dukung potensi wilayah yang cocok untuk pengembangan sapi potong, potensi sumberdaya yang cukup, ketersediaan pakan ternak dan transportasi yang lancar. Pada umumnya pemeliharaan peternakan sapi potong di 19 provinsi tersebut masih bersifat tradisional, dan para peternak masih kekurangan modal usaha. Pengembangan ternak sapi potong disamping untuk kebutuhan lokal, juga untuk mengantisipasi permintaan ekspor untuk negara-negara ASEAN yang pada saat ini belum terpenuhi. Apabila dilihat dari potensi dan daya dukung tersebut di atas, maka peternakan sapi potong cukup menjanjikan, oleh karena itu masih terbuka bagi para investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya. Dilihat dari potensi sumberdaya lokal yang dimiliki oleh provinsiprovinsi tersebut, terdapat peluang untuk mengintegrasikan pengembangan sapi potong dengan perkebunan kelapa sawit dan areal jagung sebagai berikut: Peluang Investasi Integrasi Ternak Sapi Potong dengan Kelapa Sawit Peluang investasi untuk pengembangan integrasi sapi potong dengan kelapa sawit terdiri dari 11 (sebelas) provinsi yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Papua, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Bengkulu. Peluang Investasi Integrasi Ternak Sapi dengan Jagung Peluang investasi untuk pengembangan sapi potong yang diintegrasikan pada areal tanaman jagung terdiri dari 8 (delapan) provinsi yaitu: Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Lampung, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Peluang Investasi Pengembangan Ternak Kambing Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jambi dan Jawa Timur sangat berpotensi dalam pengembangan ternak kambing. Pengembangan ternak kambing selain untuk mencukupi kebutuhan lokal, juga untuk memenuhi permintaan ekspor untuk negara-negara ASEAN dan Timur Tengah. Permintaan daging segar sejumlah 4000 – 4500 ton per tahun dan 200.000 – 250.000 ekor per tahun pada saat ini belum terpenuhi. Pada umumnya peternakan kambing di ke-4 provinsi tersebut masih bersifat tradisional dan para peternak masih kekurangan modal usaha. Apabila dilihat dari potensi dan daya dukung di provinsi-provinsi tersebut di atas, maka prospek peternakan ternak kambing cukup menjanjikan, sehingga masih terbuka bagi para investor baik dari dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya. PENGEMBANGAN USAHA DAN INVESTASI SUBSEKTOR PETERNAKAN
401
Peluang Investasi Pengembangan Itik Alabio Di Provinsi Kalimantan Selatan terdapat ternak itik yang spesifik yaitu itik Alabio yang tersebar di 3 (tiga) kabupaten yaitu Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara. Prospek pemeliharaan itik Alabio sangat menggembirakan dikarenakan permintaan itik Alabio dari luar Provinsi Kalimantan Selatan terus menunjukkan peningkatan. Dalam rangka memenuhi permintaan itik Alabio baik untuk permintaan dari luar Provinsi Kalimantan Selatan maupun kemungkinan ekspor, maka diperlukan adanya investor dalam maupun luar negeri yang bersedia menanamkan modalnya untuk pengembangan itik Alabio. Peluang Investasi Pengembangan Ternak Babi Untuk mengantisipasi permintaan daging babi dalam memenuhi kebutuhan lokal dan ekspor, maka diperlukan adanya program pengembangan ternak babi. Lokasi pengembangan ternak babi terdapat di 4 (empat) provinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara. Disamping itu untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam menyediakan daging babi yang aman, sehat dan utuh serta untuk mengantisipasi permintaan daging untuk memenuhi permintaan pasar dari Filipina, Serawak dan Singapura, diperlukan adanya Rumah Pemotongan Babi yang sesuai dengan standar internasional. Mengingat sumber modal yang terbatas, maka dalam rangka pengembangan ternak babi sekaligus dengan Rumah Pemotongan Babi di ke-4 provinsi tersebut masih diperlukan adanya investasi dari dalam maupun dari luar negeri. Peluang Investasi Pembangunan Rumah Pemotongan Potong Dari data populasi yang ada dan dengan adanya permintaan daging ayam yang setiap tahunnya meningkat serta sumberdaya pakan lokal yang cukup tersedia, maka Provinsi Sumatera Utara dan Jambi memerlukan adanya Rumah Pemotongan Ayam yang memenuhi standar internasional. Rumah Pemotongan Ayam yang berstandar internasional ini diperlukan untuk mengantisipasi permintaan daging ayam yang aman, sehat, utuh dan halal untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun ekspor. Dalam mewujudkan peluang tersebut, diperlukan adanya investor baik dalam maupun luar negeri untuk bekerjasama dalam pembangunan Rumah Pemotongan Ayam tersebut. PENUTUP Dengan berkembangnya usaha dan investasi subsektor peternakan diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri dan membuka peluang pasar di subsektor peternakan serta meningkatkan peran swasta dalam kegiatan pembangunan peternakan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal. AKP. Volume 2 No. 4, Desember 2004 : 393-402
402