DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………………………… 1 2. TUJUAN ……………………………………………………….…………………………………………………………………….. 2 3. PEMBAHASAN ………………..………………………………………………………………………………………………….. 2 Lahan Basah di Papua Barat ………………………………………………………………………………………………… 2 Ekosistem Hutan Bakau ………………….………………………………………………………………………………..... 3 Ekosistem Gambut ……………………………………………………………………………………………………………… 7 Ancaman Terhadap Lahan Gambut dan Bakau di Papua Barat …………................................... 10 4. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………………………………………………………. 21 5. DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………………………………….. 28
LAHAN BASAH DAN PERKEBUNAN SAWIT DI PROPINSI PAPUA BARAT Hasil kunjungan lapangan 1 Agustus – 9 Agustus, 2016 Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Tambrauw dan Manokwari Oleh
Conservation International-Indonesia dan Nyoman Suryadiputra
PENDAHULUAN Papua Barat selain memiliki keanekaragaman hayati tinggi, propinsi ini merupakan salah satu propinsi yang memiliki ratio tutupan hutan yang besar di Indonesia. Hutan Papua Barat terdiri dari hutan dataran rendah, hutan daerah pegunungan dan hutan lumut alpine (Pegunungan Arfak), hutan gambut dan hutan rawa terutama di bagian selatan propinsi ini. Sebagai konsekwensi propinsi baru, terjadi akselerasi kegiatan pembangunan fisik dan ekonomi. Pembagunan fisik meliputi pembangunan jalan maupun pusat pemerintahan baru; sementara pembangunan ekonomi masih terpusat pada pemanfaatan sumber daya alam ‐‐‐ seperti pembukaan lahan hutan untuk perkebunan, termasuk lahan gambut. Lahan gambut menjadi perhatian pemerintah dan masyakat dunia karena kandungan karbon yang tersimpan di dalamnya serta pemanfaatan lahan gambut untuk pekebunan selalu dibarengi dengan kebakaran hutan, penyumbang emisi gas rumah kaca dan persoalan kabut asap, seperti yang terjadi pada Tahun 2015. Dari luas total sekitar 9,4 juta ha hutan di Papua Barat, sekitar 969.261 ha (10.31%) merupakan hutan gambut. Hutan gambut terbesar di Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Maybrat dan Teluk Bintuni, dan masuk dalam kategori Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK). Dikhawatirkan daerah hutan ini akan dikonservikan untuk kegiatan pembangunan infrastruktur dan perkebunan, terutama kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit merupakan pilihan utama, karena sawit merupakan salah komiditi perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi dan telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan perekonomian Indonesia dan minyak sawit banyak digunakan dalam berbagai produk rumah tanggah. Paling tidak saat ini tercatat ada sekitar 30 usaha perkembunan sawit di Papua Barat, dengan luas lahan sekitar 693,047 ha. Ekspansi sawit yang cepat ini dapat memberikan pertumbuhan ekonomi bagi daerah, tetapi menambah ancaman terhadap keberadaan laham gambut dan rawa, serta meningkatkan konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit. Berbagai bencana alam (banjir dan longsor di
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 1
Kabupaten Pegunungan Arfak dan Manokwari Selatan) telah terjadi dan akan terus terjadi, jika pemanfaatan lahan gambut dan rawa tidak direncanakan dengan baik.
TUJUAN: Laporan ini bertujuan menyampaikan hasil kunjungan ke lapangan untuk keadaan lahan basah (gambut dan bakau), terutama hubungannya dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit di Papua Barat. Adapun tujuan khusus: 1) menyampaikan status dan ancaman terhadap hutan gambut di Papua Barat; dan 2) memberikan rekomendasi strategis pengelolaan hutan gambut guna mengurangi konversi hutan dan dampak ekologis yang mungkin ditimbulkan dari pemanfaatan hutan gambut, serta kegiatan perkebunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
PEMBAHASAN: Laporan merupakan hasil kunjungan lapangan selama 8 hari (1-9 Agustus 2016) dan juga hasil kajian ilmiah dan populer dari berbagai website, wawancara, dan berdasarkan hasil pengamatan penulis tentang dampak perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dan bakau di Sumatera dan Kalimantan.
Lahan Basah di Papua Barat Menurut Konvensi Ramsar Pasal 1 Ayat 1 (KEPRES RI No. 48/1991), lahan basah didefinisikan sebagai daerah payau, paya, tanah gambut atau perairan, baik yang bersifat alami maupun buatan, tetap ataupun sementara, dengan perairannya yang tergenang ataupun mengalir, tawar, agak asin ataupun asin, termasuk daerahdaerah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut. Terkait definisi demikian, Papua Barat memiliki berbagai jenis ekosistem lahan basah, antara lain:
Hutan bakau, terutama terdapat di Kabupaten Bintuni seluas 225,367 ha, Manokwari 1,995 ha, Sorong dan Sorong Selatan;
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 2
Lahan gambut (luas jumlah 974,217 ha) terutama terdapat di daerah pesisir Kabupaten Bintuni, Kaimana, Manokwari, Sorong Selatan dan Teminabuan (Wetlands International, 2006).
Sungai (panjangnya sekitar 5,661 km);
Danau (17,874 ha) meliputi diantaranya Danau Anggi Giji (4,687 ha) di Cagar Alam Pegunungan Arfak, Kabupaten Manokwari, Danau Ayamaru (sekitar 10,000 ha) di Kabupaten Maybrat, Danau Yamur (3.187 ha) di Kabupaten Fakfak; dan
Terumbu karang, terutama di Kabupaten Raja Ampat (perairan Waigeo Barat, Pulau Misool, Pulau Kofiau, Waigeo Selatan, Ayau dan Samate);
Dari berbagai tipe lahan basah diatas, laporan ini akan membahas ekosistem hutan bakau dan gambut, dikarenakan kedua ekosistem ini sangat rentan akibat adanya pembangunan lahan perkebunan sawit di Papua Barat.
Ekosistem Hutan Bakau Ekosistem hutan bakau adalah kesatuan antara komunitas vegetasi bakau yang berasosiasi dengan fauna dan mikro organisme sehingga dapat tumbuh dan berkembang pada daerah sepanjang pantai terutama di daerah pasang surut, laguna, muara sungai yang terlindung dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir dalam membentuk keseimbangan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Ekosistem hutan bakau mempunyai berbagai fungsi penting, diantaranya sebagai system penyangga kehidupan, sumber pangan, pelindung pesisir, menjaga kekayaan keanekaragaman hayati, berkontribusi sebagai pengendali iklim global melalui penyerapan karbon (PerPres RI Nomor 73, Tahun 2012). Menurut Bakosurtanal (2009), kini bernama BIG/Badan Informasi Geospasial, luas ekosistem hutan bakau di Papua Barat dan Papua adalah sekitar 1,634,003 ha atau sekitar 50% dari total luas ekosistem hutan bakau yang ada di seluruh Indonesia yaitu 3,244,018 ha. Di Papua Barat, ekosistem bakau banyak dijumpai di pesisir pantai Kabupaten Kaimana, Bintuni, Manokwari, Sorong dan Sorong Selatan.
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 3
Gambar 1: Peta lahan gambut dan hutan bakau di Papua Barat. Sehubungan dengan dampak perubahan iklim, hutan bakau memiliki peran penting dalam menahan karbon, salah satu komponen gas rumah kaca. Misalnya, Conservation International (CI) menduga hutan bakau di Teluk Arguni, Kabupaten Kaimana menyimpan 717 ton karbon atau sekitar 2,631 ton karbondioksida (CO2) per hektarenya (Tempo, 17 Juli 2016). Donato dkk (2011) dalam Journal Nature Geoscience April 2011 mendapatkan simpanan karbon di ekosistem hutan bakau yang masih baik dapat mencapai 1,023 ton karbon/ha atau sekitar 3,754 ton CO2/ha. Dari angka-angka demikian, dapat disimpulkan bahwa simpanan karbon pada ekosistem hutan bakau di Papua Barat dan Papua sangat besar, dapat mencapai 1,671,585,069 ton karbon atau setara 6,134,717,203 ton CO2. Sedemikian luasnya eksositem bakau dan nilai cadangan karbon biru (blue carbon) di pesisir Papua Barat, berpotensi dalam konteks perdagangan karbon melalui skema restorasi ekosistem, yang mana pada saat ini skema tersebut masih berfokus di hutan dataran tinggi dan lahan gambut (terutama di Kalimantan dan Sumatera). Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 4
Selain sebagai cadangan karbon, pada ekosistem hutan bakau agak ke hulu sungai dan berair tawar di Distrik Kais (Sorong Selatan), juga banyak dijumpai adanya tanaman nipah (Nypa spp) yang berpotensi sebagai pencegah abrasi, habitat berbagai satwa akuatik dan daratan, simpanan karbon, bahan baku pembuatan gula. Ekosistem bakau juga banyak rumpun sagu yang banyak dijumpai di Distrik Kais memiliki nilai ekonomis sebagai sumber nafkah mata pencaharian penduduk lokal.
Populasi tanaman Nipah nipah di di ekosistem ekosistem Bakau Bakau di di sepanjang sepanjang sungai SungaiKais Kais, Kab. SorongSorong Kabupaten SelatanSelatan
Sagu ditepi Sungai Kais, Sorong Selatan (Foto : Nyoman Sp)
Persiapan Populasi tanaman Pohon Sagu Nipah untuk di ekosistem diambil patinya, Bakau diSorong sepanjang Selatan Sungai Kais, (Foto Kabupaten : Nyoman Sorong Sp) Selatan
Memeras remahan serat Sagu untuk diambil patinya (Foto : Nyoman Sp)
Memeras remahan serat Sagu untuk diambil patinya (Foto : Nyoman Sp)
Gambar 2: Hamparan tanaman nypah dan sagu di sepanjang Sungai Kais (Sorong Selatan).
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 5
Ekosistem bakau di berbagai lokasi pesisir di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi telah sejak dulu beralih fungsi menjadi tambak-tambak udang dan ikan (Gambar 3), bahkan untuk Sumatera (terutama di pantai barat Sumatera Utara) kini banyak dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit.
Gambar 3: Pesisir pantai Indramayu di Jawa Barat (kiri) dan Pantai Timbul Seloko Demak di Jawa Tengah (kanan) terabrasi akibat hutan mangrove dialihfungsikan menjadi pertambakan.
Substrat gambut yang berasosiasi dengan terumbu karang
Sawit ditanam di tepi Pantai Teluk Mambang, Kec. Natal Kabupaten Mandailing Natal
Gambar 4: Kebun sawit tumbang, dibangun berdekatan dengan tepi pantai (ini terlihat di daerah Teluk Mambang, Desa Perdamaian Baru, Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara).
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 6
Sawit ditanam tidak jauh dari Pantai dan tergenang luapan air pasang dari Laut, Kec. Natal Kabupaten Mandailing Natal
Sawit ditanam dekat Pantai di daerah Kunkun, Kec. Natal Kabupaten Mandailing Natal
Gambar 5: Perkebunan sawit yang dibangun di lahan eks-mangrove di daerah tepi pantai Kunkun Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal, SUMUT, kini sering tergenang akibat pasang air laut. Tanaman sawit berumur 11 tahun dilaporkan tidak produktif meskipun tanaman dapat tumbuh.
Ekosistem Gambut: Ekosistem gambut memiliki peranan hidrologis (tata air) yang sangat penting karena secara alami, gambut berfungsi sebagai penyimpan (reservoir) air tawar (warna air coklat kehitaman) dengan kapasitas tampung yang sangat besar (Gambar 6).
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 7
Gambar 6: Lahan gambut berisikan tumpukan bahan organik yang berumur ribuan tahun dan 90% berisi air tawar.
Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0.80.9 m3/m3 gambut (Wetlands International – Indonesia Programme, 2004), dengan demikian lahan gambut dapat mengatur debit air sungai (pada musim hujan dan musim kemarau) dan mempertahankan tingkat kelembaban gambut sehingga terhindar dari kebakaran. Selain menyimpan air, ekosistem gambut yang belum terganggu menyimpan cadangan karbon dalam jumlah sangat besar dan mendukung berbagai kehidupan flora dan fauna di atas dan sekitarnya. Lahan gambut merupakan kumpulan bahan organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dan terakumulasi pada rawa sejak ribuan tahun yang lalu. Lahan gambut di Indonesia sebagian besar hamparannya berada di dataran rendah pesisir, dengan elevasi dan ketinggian kurang dari 30 m dari permukaan laut. Luas Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 8
lahan gambut di seluruh Indonesia (umumnya terdapat di Kalimantan, Sumatera dan Papua) sebesar 21 juta ha (atau sekitar 39% dari total lahan gambut tropis di dunia yang luasnya diperkirakan 54 juta ha). Propinsi Papua dan Papua Barat memiliki rawa gambut seluas 7.97 juta hektar (Wetlands International, 2006) dengan kandungan cadangan karbon sebesar 3.6 milyar ton C atau setara 13.30 milyar ton CO2, (lihat tabel 1 di bawah ini). Tabel 1. Luas dan simpanan karbon di lahan gambut Propinsi Papua dan Papua Barat (Wahyunto, dkk. 2006). Nama Provinsi Papua Papua Barat Total
Luas lahan gambut (Ha) 7,001,238 974,217
Simpanan Carbon (mill ton C) 3,304.74 318.11
7,975,455
3,622,84
(% area) 87.78 12,22 100.00
Diperkirakan hutan bakau dan gambut di Papua dan Papua Barat, menyimpanan cadangan karbon sekitar 5,29 milyar ton C (atau setara 19.43 milyar ton CO2). Berdasarkan hasil kajian Wahyunto, dkk (2006), saat itu beberapa kabupaten belum mengalami pemekaran, lahan gambut di Papua Barat dengan luas jumlah 974,217 ha dan simpanan karbon sebesar 318 juta ton C. Lahan gambut, umumnya terdapat di daerah Kabupaten Teminabuan (293,193 ha), Bintuni (269,010 ha), Kaimana (91,302 ha) dan Sorong (termasuk Sorong Selatan dan Maybrat; seluas 86,685 ha). Ketebalan gambut di Papua Barat pada umumnya dikategorikan dangkal/tipis (kurang dari 1 meter) dengan tipe kematangan hemist. Sedangkan gambut dalam (2-3 meter) umumnya dijumpai di Bintuni, Manokwari dan Teminabuan (Gambar 7).
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 9
Tabel 2. Persebaran dan luas lahan gambut berdasarkan tingkat kedalaman di masing-masing Kabupaten di Propinsi Papua Barat (Wahyunto,dkk 2016). No
Kedalaman/Ketebalan
Jenis Gambut Bintuni
1
2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12
13 14
Mineral/mineral bergambut Sangat Dangkal/Sangat Tipis Mineral bergambut (> 50 cm) Subtotal % Mineral/Hemists Mineral/Hemists Mineral/Saprists/ Hemists Dangkal Tipis (50‐100 cm) Saprists/mineral bergambut Hemists/mineral Subtotal % Mineral/Hemists Mineral/Saprists Mineral/Fibrists Hemists/Fibrists/ Mineral Sedang (101 ‐ 200 cm) Saprists/Hemists/ Mineral Subtotal % Hemists/Fibrists Saprists/mineral Dalam/Tebal (201‐ 300 cm) Subtotal % Jumlah %
Luas Gambut di masing‐masing Kabupaten (ha) Raya Ampat/ Fakfak Kaimana Manokwari Salawati Sorong Teminabuan Wondama
202,667 3,557 61,163 20,921
52,215 35,493
3,878 39,686
6,050 14,751
43,879 42,806
84,476 192,234
5,180 1,191 269,010 25,669 31,9 3,0
3,594 91,302 10,8
1,591 45,155 5,3
20,801 2,5
86,685 10,3
16,483 293,193 34,7
954
11,081
25,160
67,772 954 52,2 0,7 336,782 26,623 34,6 2,7
11,081 8,5 102,383 10,5
67,772
25,160 ‐ ‐ 19,4 70,315 20,801 86,685 7,2 2,1 8,9
Luas Ha
%
6,530 403,252 6,097 413,151
12,627 1,5
24,808 24,808 ‐ 19,1 318,001 12,627 32,6 1,3
28,039 844,442 86,68 100
129,775
13.32
129,775 100 974,217 100
Catatan: Nama-nama kabupaten masih didasarkan pada data sebelum terjadi pemekaran. Untuk mendapat data lahan gambut daerah pemekaran, perlu melihat penetapan administrasi wilayah-wilayah baru (Wahyumto dkk. 2016)
Ancaman Terhadap Lahan Gambut dan Bakau Papua Barat Ancaman utama terhadap lahan gambut dan bakau adalah perluasan usaha perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan sumber data dari Pusat Data dan Informasi Pertanian tahun 2009, luas perkebunan sawit di Papua Barat sampai dengan Tahun 2007 adalah 31,144 ha, dimana sekitar 28,981 ha berada di lahan gambut dengan ketebalan <2 m sekitar 28,017 ha dan >2 m sekitar 964 ha. Menurut data Atlas Sawit Papua (Franky dan Moran, 2015) sampai dengan tahun 2014 luas perkebunan sawit yang telah beroperasi di Papua Barat mencapai 693,047 ha (meningkat 6 kali lipat dalam kurun waktu antara tahun 2007 – 2014). Dari luas tersebut sekitar 186,891 ha (27%) telah beroperasi sedangkan 506,156 ha masih dalam proses perijinan pelepasan kawasan hutan, sudah menerima pelepasan kawasan hutan dan sudah memperoleh persetujuan prinsip melepaskan kawasan hutan).
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 10
Tabel 3. Persebaran kebun kelapa sawit baik yang telah atau belum dibuka pada tahun 2014 (Franky dan Moran, 2015). No
LOKASI
Luas (ha)
1
Sorong (Distrik Klamono, Seget, Salawati, Beraur, Segun, Kota Sorong
162,986
2 3 4 5 6 7 8
Sorong Selatan (Distrik Moswareb dan Wayer, Saifi dan Seremuk) Bintuni Maybrat Kaimana Fakfak Manokwari Teluk Wondama Total luas konsesi perkebunan sawit Luas Lahan yang telah beroperasi (27%) Luas lahan yang dalam proses perijinan (73%)
191,472 115,261 48,321 99,500 30,596 35,974 8,937 693, 047 186,891 506,156
Jika mengacu pada Tabel 2 tentang persebaran lahan gambut di Papua Barat, maka perlu diperhatikan adalah rencana (atau telah) konversi lahan gambut untuk perkebunan sawit, terutama di Bintuni, Sorong Selatan, dan Kaimana. Demikian pula halnya dengan dibukanya perkebunan sawit di lokasi non-gambut (tanah mineral) pada lokasi perbukitan sebagaimana terlihat di perkebunan sawit di Distrik Mladofok dan Klamono, Kabupaten Sorong (Gambar 8) dan rencana pembukaan perkebunan sawit di Distrik Moraid, Klaso dan Klayli (Gambar 9, 10 dan 11).
Perkebunan sawit di Mladofok, Kabupaten Sorong
Sawit ditanam pada substrat berbatu di Mladofok Kabupaten Sorong
Gambar 8: Perkebunan sawit di daerah perbukitan Mladofok Kabupaten Sorong
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 11
Air hitam berasal dari lahan gambut dibalik hutan dibelakangnya di Klaso
Dataran banjir di daerah Klaso tidak layak untuk perkebunan Sawit
Gambar 9: Lahan gambut di Kampung Sebaga (kiri) di daerah Klasou dan dataran banjir akibat luapan air sungai / Kali Klasop dan Kali Warsamson (Kabupaten Sorong)
Daerah Kalaili (Kab. Sorong) disinyalir akan dijadikan perkebunan Sawit
Daerah perbukitan di Distrik Moraid (Kab. Sorong) disinyalir akan dijadikan perkebunan Sawit
Gambar 10: Lahan berhutan di Distrik Klayili (Kab. Sorong, kiri), dan Moraid (Kabupaten Sorong/Tabraw, kanan) yang diduga akan dibuka untuk perkebunan sawit.
Bibit kelapa sawit siap ditanam di lahan gambut di sekitar Kampung Sumano Distirk Sungai Kais, Sorong Selatan
Seorang gadis kecil Kampung Sumano, Sungai Kais (Sorong Selatan) sedang mengolah remahan pohon sagu untuk diambil patinya
Gambar 11: Lahan gambut di Kampung Sumano di daerah Sungai Kais (Sorong Selatan) siap ditanami sawit. Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 12
Box 1: Wawancara Masyarakat Wawancara dengan seorang mandor di kebun penampungan bibit kelapa sawit, Desa Joksiro, Distrik Moswaren, Sorong Selatan (2 Agustus 2016).
“Saat ini ada sekitar 10,000 ha lahan mineral (termasuk perbukitan) telah kami tanami sawit. Selanjutnya sekitar 400,000 bibit telah kami siapkan untuk ditanam di lokasi baru (sekitar 12,000 ha) di Desa Nawir, Desa Sekat, Desa Hohore, Desa Siranggo, Desa Mukatemi (Distrik Kais-Sorong Selatan). Ada bagian-bagian dari lokasi ini adalah lahan gambut yang terletak kearah hilir Sungai Kais. Hutan ini merupakan lahan adat, serta memiliki keanekaragam hayati cukup tinggi (ada buaya muara, berbagai jenis burung diantaranya kaswari, rusa, babi hutan, dll). Bibit-bibit belum kami tanam karena mendengar pernyataan Presiden Jokowi, bahwa aka ada moratorium perluasan perkebunan sawit di seluruh Indonesia”.
400,000 bibit Sawit siap ditanam. Berpotensi mengalihfungsi kawasan hutan adat milik masyarakat Desa Joksiro, Kabupaten Sorong Selatan
Hutan adat yang berpotensi dialihfungsikan untuk dijadikan perkebunan Sawit di Desa Joksiro, Kabupaten Sorong Selatan
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 13
Pembukaan area perkebunan Sawit di daerah perbukitan di Desa Joksiro, Distrik Kais
Kali Sinareh yang dibagian hilirnya terdapat lahan gambut, yang kaya akan keanekaragaman hayati akan dibuka untuk perkebunan Sawit
Gambar 12: Lokasi penampungan bibit sawit di Distrik Joksiro dengan vegetasi hutan dibelakangnya yang siap untuk dijadikan perkebunan sawit.
Selain acaman dari perkebunan kelapa sawit, lahan basah Papua Barat juga terancam rencana konversi, sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK783/2014) sekitar 1.5 juta hektar Hutan Produksi yang dapat dikonversi mejadi Hutan Pemanfaatan Lain dan 840,000 hektar untuk pemanfaatann lainnya. Dari luas HPK yang dikonversi, 260,000 ha adalah hutan gambut dan 100,000 ha adalah hutan bakau. Kabupaten Sorong memiliki hutan yang luas untuk konversi yaitu sekitar 422.132 ha (Gambar 13).
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 14
Gambar 13. Peta kawasan hutan Papua Barat sesuai SK No. 783/2014 MLHK. Warna merah menunjukkan kawasan hutan yang dapat dikonversi.
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 15
Gambar 14; Luas kawasan hutan kabupaten/kota di Propinsi Papua Barat yang dapat dikonversikan ( MLHK 2014, Wetland International 2002).
Jika lahan basah untuk kepentingan perkebunan, maka berbagai persoalan lingkungan akan muncul, untuk itu perlu pertimbangan yang tepat dan secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, atas hal-hal sebagai berikut: 1. Peran dan kontribusi lahan hutan bakau dan gambut di Papua Barat dalam mitigasi perubahan iklim, misalnya:
Tingginya simpanan karbon pada vegetasi dan pada substrat bakau di Papua Barat (diperkirakan antara 717 – 1,023 ton karbon atau sekitar 2,631- 3,754 ton karbon dioksida (CO2) per hektarnya; dan
Tingginya simpanan karbon pada lahan gambut di Papua Barat (diperkirakan sekitar 327 ton karbon atau sekitar 1,200 ton karbondioksida (CO2) per hektarnya.
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 16
2. Tingginya nilai kekayaan hayati (biodiversity) pada kedua ekosistem tersebut di atas. Saat kunjungan ke Distrik Kais (Sorong Selatan) penduduk melaporkan masih dijumpainya berbagai jenis burung (termasuk kasuari), rusa, kangguru papua, babi hutan, ular, buaya muara, bahkan ditemukannya mamalia paling langkah dan terancam Zaglossus bruijnii di salah perkebunan sawit di Klamono); 3. Tanaman kelapa sawit bukan merupakan tanaman lahan basah yang bisa tumbuh secara alami di lahan gambut yang 80-90% berisikan air, sehingga untuk menumbuhkan sawit di lahan gambut, maka airnya mesti dibuang atau dikurangi melalui pembangunan jaringan kanal-kanal yang sangat luas;
Gambar 15. Jaringan drainase berupa kanal-kanal di lahan gambut memicu gambut menjadi kering dan mudah terbakar 4. Pembuangan air atau pengeringan lahan gambut melalui jaringan kanalkanal drainase (panjang kanal sekitar 120 – 700 meter per hektar lahan) mengakibatkan gambut menjadi kering, teroksidasi akibat perurarian secara mikrobiologi, mengalami subsiden (penurunan permukaan tanah gambut) dan mudah terbakar serta mengemisikan gas rumah kaca dalam jumlah besar (Catatan: jika air gambut diturunkan hingga 1 meter, maka GRK yang diemisikan akibat oksidasi mikrobiologi sekitar 95 ton CO2/ha/tahun (http://www.geog.le.ac.uk/carbopeat/media/pdf/wg3flyer.pdf ). Nilai emisi ini akan bertambah besar jika materi gambut juga terbakar); Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 17
Box 2: Penurunan Lahan Gambut
Di Delta Upang Sumatera Selatan, penurunan permukaan gambut terjadi selama 8 tahun dengan rata-rata penurunan 2-5 cm/tahun pada gambut-dangkal (Chambers 1979).
Di Barambai, Kalimantan Selatan tercatat penurunan gambut dangkal sebesar 1.6-5.5 cm/tahun dan pada lahan bergambut (peaty soil) sebesar 2.4-3.2 cm/tahun (Dradjat dkk. 1989).
Kecepatan penurunan permukaan gambut rata-rata di Indonesia dan Malaysia, berdasarkan data terakhir adalah antara 2-4 cm/tahun, sesudah penurunan awal pada tahun-tahun pertama yang terkadang mencapai 60 cm/tahun (Andriesse 1997).
Kejadian subsiden di lahan gambut juga terjadi di Sarawak Malaysia, , melaporkan nilai dugaan subsiden mencapai rata-rata 4.6 cm/tahun (antara 1974-1988), lalu akan berkurang menjadi 2 cm/tahun antara 1988-2000 (Wosten, dkk. 1977)
5.
Lahan gambut yang telah mengalami subsiden (penurunan) sebagaimana tersebut di atas dapat menyebabkan terjadinya perubahan ketebalan dan topografi gambut. Kondisi demikian akan diperparah oleh adanya kebakaran yang terjadi berulang kali pada setiap musim kemarau dan mengakibatkan hilangnya materi gambut dan pada akhirnya lahan gambut menjadi mudah mengalami genangan;
6.
Lahan gambut yang telah mengalami subsiden cukup parah, akan membentuk genangan permanen menyerupai danau. Jika lahan gambut tersebut berada dekat pantai, atau masih terpengaruh pasang surut air laut, maka genangannya akan berisikan air laut. Lahan gambut yang sudah tergenang, akan sulit atau mustahil dapat dipulihkan dan akibatnya lahan tersebut menjadi tidak produktif. Pohon sawit akan mudah tumbang akibat terjadinya subsiden dan genangan air akan memperparah kondisi tanaman sawit tersebut;
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 18
Gambar 16: Pohon sawit doyong dan tergenang akibat gambut mengalami subsiden 7. Budidaya kelapa sawit menggunakan berbagai bahan kimia (herbisida, pestisida, pupuk dll). Beberapa bahan kimia yang digunakan cukup berbahaya bagi kesehatan manusia maupun bagi kehidupan flora fauna akuatik dan daratan. Jika tanaman sawit ditanam di lahan gambut, maka bahan-bahan kimia tersebut mudah tercuci dan terbawa air gambut ke perairan umum (seperti sungai, danau, rawa dan pantai).
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 19
Box 3: Pemakaian herbisida Dari beberapa herbisida yang dipakai di lapangan, ada beberapa dilaporkan berbahaya bagi kesehatan manusia, diantaranya adalah herbisida gramoxone paraquat. Dari beberapa informasi di website (https://en.wikipedia.org/wiki/Paraquat) dinyatakan bahwa Paraquat adalah herbisida tanaman dan berbahaya bagi manusia (diantarnya menyebabkan Parkinson). Juga dapat menimbulkan iritasi mata, kulit, tenggorokan, system pernafasan dll (http://www.cdc.gov/niosh/npg/npgd0478.html). Selama kunjungan di beberapa lokasi perkebunan sawit di distrik Warmare, Prafi, Masni di Kabupaten Manokwari, pengginaan gramoxone masih dipakai di lapangan.
8. Selain herbisida, penggunaan CuSO4 yang kurang tertib di perkebunan sawit akan menyebabkan bahan ini masuk ke dalam ekosistem perairan, lalu akan menyebabkan pencemaran air, matinya algae atau tanaman air di dalamnya secara cepat. CuSO4 yang terakumulasi di dasar perairan sebagai endapan logam berat akhirnya menyebabkan sedimen dasar perairan menjadi steril dan keanekaragaman hayati akuatik dapat menghilang serta rantai makanan bagi satwa (misal ikan) akan terganggu (http://www.aquaticbiologists.com/ aquatic-chemicals/herbicides/copper-sulfate); 9. Perkebunan sawit di lahan gambut sangat rentan terkena serangan Ganoderma (‘Penyakit Busuk Pangkal Batang’). Beberapa perkebunan sawit di lahan gambut Sumatera, melaporkan 30% dari pohon sawit yang ditanam disalah satu blok perkebunan terserang Ganoderma (Suryadiputra, 2016). Kondisi ini sangat membahayakan keberlanjutan budidaya tanaman sawit di lokasi perkebunan ini dan juga di sekitarnya. Karena hingga kini belum ada cara paling efektif untuk mengatasinya.
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 20
Gambar 17. Ganoderma pada tanaman sawit di Sumatera Utara 10. Kebanyakan anggota masyarakat di pedalaman Papua Barat (seperti di distrik Klaso, Kalyli dan Moraid) masih menggantungkan kehidupannya dari perburuan satwa liar di hutan-hutan. Jika lahan berhutan digantikan dengan kelapa sawit, maka nafkah mata pencaharian mereka dan keanekaragaman hayati akan hilang; dan 11. Banyak masyarakat yang tinggal di daerah rawa/gambut/pesisir sungai menggantungkan kehidupannya dari tanaman sagu dan ikan. Jika vegetasi lahan gambut (seperti sagu) digantikan dengan sawit maka sumber pangan mereka akan terganggu.
KESIMPULAN & SARAN 1. Usaha sawit di lahan gambut sangat diragukan keberlanjutannya untuk jangka panjang, dikarenakan lahan gambut sangat rapuh (fragile) dan akan rusak (mengalami subsiden, kering dan mudah terbakar) ketika air gambut dikeringkan melalui pembuatan saluran/parit; 2. Untuk mencegah kebakaran di lahan gambut, perlu dibuat peraturan yang mengharuskan seluruh kegiatan perkebunan sawit di lahan gambut untu:
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 21
a) segera menutup/menyekat seluruh saluran/ kanal yang terdapat di atas lahan gambut dan penutupan ini dilakukan segera sebelum musim hujan berakhir; b) membangun embung-embung (kolam cadangan air) di lokasi kebun sawit yang rawan terbakar; c) menerapkan integrasi budidaya ikan (di dalam kanal yang disekat dengan tanaman asli gambut (paludiculture: seperti tanaman sagu, di masingmasing tepi kanal sejauh 10 meter ke tengah lahan kebun sawit); d) melarang pembangunan kebun-kebun sawit di daerah sempadan sungai, danau, rawa, pantai dan daerah perbukitan; dan e) mengatur tinggi muka air lahan gambut agar dapat dipertahankan sekitar maksimum 0.4 meter dari atas permukaan lahan kebun, sesuai PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut; 3. Melarang pembukaan kebun sawit baru di lahan gambut dan mineral, tetapi meningkatkan produtivitas sawit pada lahan yang sudah terlanjur dibuka. Hal demikian sejalan dengan himbauan Presiden RI pasca kebakaran lahan dan hutan menjelang akhir tahun 2015 dan Deklarasi Provinsi Papua Barat sebagai Propinsi Konservasi; 4. Mempertimbangkan kembali pembukan lahan gambut untuk sawit Kabupaten Bintuni, Sorong Selatan, Manokwari, Fak-fak, Kaimana, Teminabuan dan Wondama, karena lokasi-lokasi ini berpotensi mengalami banjir jika suatu saat nanti gambutnya mengalami subsiden; 5. Memantau produksi sawit yang ditaman di bekas hutan bakau, jika tanaman sawit sudah tidak produktif, maka lahan tersebut harus dikembalikan fungsinya sebagai kawasan bakau dengan ditanami kembai berbagai jenis hutan bakau (misal: Avicennia spp, Rhizophora spp); 6. Pemerintah Daerah untuk memperhatikan Surat Edaran Menteri KLHK No. S 661/Menlhk-Setjen/Rokum/2015 Arahan Presiden RI – Rapat Kabinet- 4 November 2015, pada tiga butir pertama dinyatakan sbb:
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 22
a) Pemerintah dan Pemda tidak mengeluarkan lagi izin baru di lahan gambut bagi keperluan apapun kecuali untuk kepentingan publik dan kontrol pemerintah; b) Dilarang melakukan pembukaan lahan (land clearin) untuk penanaman baru meskipun dalam area yang sudah memiliki izin konsesi; c) Dilarang melakukan aktivitas penanaman di lahan dan hutan yang terbakar karena sedang dalam proses penegakan hukum serta rencana pemulihan. 7. Terkait hal di atas, Pemerintah Propinsi Papua Barat disarankan agar segera memetakan calon lokasi kebun sawit baru (jika ada), yang di lapangan memperlihatkan adanya indikasi bekas di/terbakar (misal lokasi daerah Kota Sorong, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Tambrauw dan di Kabupaten Teluk Wondama. http://news.liputan6.com/read/2347219/bmkg-deteksi-40-titik-kebakaranhutan-di-papua-barat). Terkait butir 3 dari surat edaran di atas, maka lahan tersebut tidak boleh dilakukan penanaman; 8. Perlu pendataan dan penertiban penggunaan bahan bahan kimia (seperti herbisida, CuSO4) yang digunakan perkebunan kelapa sawit; 9. Pemerintah perlu mengawasi pembangunan ataupun perluasan peningkatan kapasitas PKS (Pabrik Kelapa sawit). Jika ijin-ijin pembangunan atau peningkatan kapasitas PKS tetap diberikan, maka peluang dibukanya perkebunan sawit baru (di sekitar lokasi PKS) akan sulit dikendalikan; 10. Dinas Perkebunan dan Kehutanan, agar meminta semua pemilik perkebunan sawit yang berada di lahan gambut untuk: a) Melakukan pemetaan terhadap lokasi-lokasi perkebunan sawit yang sudah terinfeksi ganoderma; b) Melibatkan para penyuluh pertanian/perkebunan untuk cara-cara mengatasinya; c) Komunikasikan informasi tersebut (terutama terkait ciri-ciri tanaman terinfeksi ganoderma) kepada seluruh pengelola perkebunan sawit; dan
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 23
d) Antisipasi bahwa perkebunan semacam ini dapat saja ditinggalkan pengelolanya atau menggunakan cara bakar untuk mengatasinya. 11. Pemerintah disarankan memetakan kembali keberadaan lahan gambut di Papua Barat (skala 1 : 50,000), yang memuat ketebalan gambut, jenis tutupan lahan, status lahan, konflik dengan keperuntukan, keberadaan sungai, lokasi yang sering tergenang/ kebanjiran dan terbakar, laju dan subsiden tahunan, agar peta ini membantu Pemerintah Daerah dalam penerapkannya PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut; 12. Untuk mengantisipasi menurunnya permukaan lahan gambut (subsiden) yang mengakibatkan terjadinya genangan dimasa mendatang dan akhirnya tanaman sawit tidak lagi dapat tumbuh, Pemerintah disarankan meminta pihak swasta untuk memulai plot percobaan pada salah satu (atau lebih) blok tanam untuk menanam tanaman lahan basah yang tahan genangan air dan memiliki nilai ekonomis tinggi (misal: Ramin, Jelutung, Sago, Rotan, Rumput purun, Tengkawang dll). Tanaman tersebut dapat ditanam di tepi saluran keliling dengan jarak sekitar 10 meter dari tepi saluran (di bagian tengah, untuk sementara waktu sawit dapat dipertahankan); sedangkan saluran keliling agar ditutup/blok (setidaknya 20 cm dari bawah permukaan tanah gambut) untuk digunakan sebagai kolam budidaya ikan rawa (misal: gabus, toman, lele, betok). 13. Dengan cara demikian, ke depan, diharapkan petani sawit akan memiliki alternative pendapatan jika suatu saat sawit sudah tidak dapat lagi tumbuh di lahan yang tergenang. Selain itu, dengan mempertahankan keberadaan muka air tanah di lahan gambut, akan diperoleh dampak positif sbb: (a) laju subsiden akan berkurang; (b) gambut akan tetap basah sehingga sulit terbakar dan emisi gas rumah kaca dapat diredam; dan (c) produktivitas lahan dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang lebih lama. 14. Dalam mengatur pengelolaan lahan gambut dan bakau di Papua Barat, Pemerintah agar mengacu pada berbagai kebijakan terkait, diantaranya: a) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 tahun 2012, tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Bakau;
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 24
b) Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, PPEG; c) Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produklsi Biomasa; d) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2011 tentang Sungai; e) Kepres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; f) Peraturan Menteri Pertanian No. 11/2015 Tentang sistim Sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil); g) PerPres No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca; h) Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 14/Permentan/FL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit; i) Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 10/2011, lalu diperpanjang pada No. 6/2013 dan No. 10/2015, Tentang: Penundaan Pemberian Izin baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan alam Premier dan lahan gambut; dan j) Surat Edaran Menteri KLHK No. S 661/Menlhk-Setjen/Rokum/2015 Arahan Presiden RI – Rapat Kabinet- 4 Nov 2015, dll. 15. Pemerintah Propinsi Papua Barat disarankan untuk membentuk Badan Restorasi Gambut Daerah. Usulan pembentukan BRG-Daerah dapat disampaikan kepada Kepala Badan Restorasi Gambut Nasional di Jakarta. Dengan dibentuknya BRG Daerah, nantinya dapat mengintegrasikan strategi dan kebijakan Pusat kepada Daerah, khususnya terkait kegiatan restorasi dan pengelolaaan lahan gambut. Selain itu BRG Daerah dapat diperluas sebagai wadah/Forum untuk menyampaikan / membahas permasalahan lahan gambut di daerah dan dicarikan solusi untuk menanggulanginya.
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 25
16. Beberapa pasal-pasal (yaitu Pasal 2, ayat 2 dan 3; Lampiran I dan II) yang termuat di dalam Permentan Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015 (tentang system sertifikasi ISPO), tersirat adanya kelemahan-kelemahan, sebagai berikut: a) Tidak ada kewajiban bagi Usaha Kebun Plasma, Usaha Kebun Swadaya dan Perusahaan Perkebunan yang memproduksi minyak kelapa sawit untuk energi terbarukan untuk berpartisipasi dalam sistim Sertifikasi ISPO; b) Tidak ada kewajiban bagi Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha pengolahan hasil Perkebunan untuk melakukan Pelindungan Terhadap Pemanfaatan Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (tapi kepada mereka hanya diwajibkan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan); c) IUP-Perkebunan hanya wajib dimiliki oleh unit pengolahan hasil kelapa sawit dengan kapasitas lebih dari 5 ton TBS per jam dan harus memenuhi penyediaan bahan baku paling rendah 20% dari kebun sendiri dan kekurangannya wajib dipenuhi dari masyarakat atau kemitraan pengolahan; d) Ketiga butir ulasan di atas sangat potensial menyebabkan terjadinya pembukaan lahan gambut atau non gambut oleh pihak non perusahaan (seperti oleh petani plasma, petani swadaya) di dekat lokasi keberadaan Perusahaan Pengolahan Kelapa Sawit (PKS), dan mereka ini (plasma dan swadaya), karena tidak diwajibkan mengikuti sertifikasi ISPO akan bertindak tanpa perlu memperhatikan kaedah-kaedah lingkungan sebagaimana ditetapkan dalam ISPO. Kondisi demikian akan lebih dirangsang atau diperparah, jika di sekitar lahan plasma dan swadaya terdapat juga Perusahaan Pengolahan Kelapa Sawit (PKS) yang memiliki kapasitas olah TBS > 5 ton/jam dan hanya diwajibkan memasok TBS paling rendah 20% dari kebun sendiri, dan 80% dari masyarakat yang notabene tidak wajib mengikuti ISPO; e) Terkait hal-hal di atas, kepada Pemerintah Propinsi Papua Barat disarankan agar segera memetakan titik – titik lokasi Pabrik/Pengolahan Kelapa Sawit/PKS (kordinat, nama desa, nama pemilik usaha, kapasitas olah TBS harian), sebagai indikasi akan Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 26
terjadinya potensi pembukaan lahan di sekitarnya untuk kebun sawit. Pembukaan kebun-kebun sawit yang dipicu oleh pembangunan ‘PKS-PKS baru’ akan berdampak sangat buruk terhadap lingkungan alam di Papua Barat.
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 27
Daftar Pusaka Andriesse, J. P. (1997) The reclamation of peatswamps and peat in Indonesia. Widiatmaka (ed) Center for Wetland Studies, Faculty of Agriculture, Bogor Agriculture University. Chambers, M.J. (1979) Rate of peat loss on the Upang transmigration project South Sumatra. Makalah A17. Third Symposium on Tidal Swamp Land Development Aspects, Palembang February 5 – 10, 1979. Donato, D.C., Kauffman, J.B., Murdiyarso, D., Kurnianto, S., Stidham, M. and Kanninen, M. (2011) Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature Geoscience 4:293–297. doi: 10.1038/NGEO1123. Dradjat, M., Soeprapto S., M. Shodiq Hidayat, dan Mulyono N. (1989) Subsidence of peat soils in the tidal swamplands of Barambai, South Kalimantan. In ILRI. Symp. Lowland Development in Indonesia, Jakarta, 24-31 August 1986, pp’s 168-181, Wageningen, The Netherlands. Franky, Y. L dan Selwyn Moran (Penyunting) (2015). Atlas Sawit papua: Dibawah Kendali Penguasa Modal. ISBN 978-602-98794-1.4. Edisi I Maret 2015. Penerbit PUSAKA, Pasar Minggu, Jakarta. http://irjabar.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Provinsi-Papua-Barat-DalamAngka-2014.pdf; https://jalanblog.wordpress.com/2011/11/11/danau-framu-ayamaru-kabmaybrat/ http://www.wetlands.or.id/wdb/siteinfo.php?SITE_COD=IRJ09; https://alamendah.org/2009/07/21/berkenalan-dengan-terumbu-karangindonesia/ http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/14/08/26/nawoxzpembangunan-ancam-kerusakan-terumbu-karang-di-raja-ampat; http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasankonservasi/details/1/64; http://nasional.kompas.com/read/2011/09/30/03541337/mangrove.papua.barat .masih.lestari; Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), 2009 (Penyunting: Guridno Bintar Saputro, Sri Hartini, Sukristijono Sukardjo, Al. Susanto, Aris Poniman). Peta Mangroves Indonesia Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 28
Tempo, 17 Juli 2016. Potensi Blue Carbon di Papua Barat Besar, Ini Faktanya. Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo, 2004. Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Kalimantan / Map of Peatland Distribution Area and Carbon Content in Kalimantan, 2000 – 2002. Wetlands International - Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC). ISBN: 979-95899-9-1. Wetlands International (2006) (Wahyunto, Bambang Heryanto, Hasyim Bekti dan Fitri Widiastuti, 2006). Peta-Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Papua / Maps of Peatland Distribution, Area and Carbon Content in Papua, 2000 - 2001. Wetlands International – Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC). Wosten, J.H.M., Ismail, A.B., and van Wijk, A.L.M. (1997) Peat Subsiden and its practical implications: a case study in Malaysia. Geoderna, 78:25-36.
Laporan Perjalanan: Lahan Basah dan Perkebunan Sawit di Papua Barat | 29