Bioenergi : Status Saat ini dan Perspektif Ke Depan
BIOENERGI: STATUS SAAT INI DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Current Status and the Future Perspective of Bioenergy Bustanul Arifin Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA, Professorial Fellow di InterCAFE dan MB-IPB
ABSTRACT This paper analyzes the economics of bioenergy development in Indonesia covering the current status and future perspective. First, policy basis and political commitment of bioenergy development are discussed comprehensively, especially in the last five years. The analysis proceeds with the escalation of food prices and its connection with global oil prices and other important determinants such as climate change, production disruption and structural change in the global trade. Bioenergy development in Indonesia has not shown a solid progress as some scientific studies and empowerment programs are on-going. This paper suggests that bioenergy development in Indonesia has to be integrated with research and development on the topics, formulation, policy implementation and policy monitoring-evaluation of the current policies on relevant subjects. Key words : bioenergy, food prices, development for the future
ABSTRAK Makalah ini menganalisis ekonomi pengembangan bioenergi Indonesia, meliputi status saat ini dan perspektif ke depan. Pertama, landasan kebijakan dan komitmen politik pengembangan bioenergi dibahas secara kronologis dan komprehensif, terutama selama lima tahun terakhir. Analisis dilanjutkan dengan fenomena eskalasi harga komoditas pangan, yang berhubungan erat dengan kenaikan harga minyak bumi dunia dan beberapa determinan penting seperti perubahan iklim, gangguan produksi dan perubahan struktur perdagangan dunia. Dinamika pengembangan bioenergi di Indonesia masih belum menunjukkan kesimpulan kinerja yang solid karena cukup banyak studi ilmiah dan program pendampingan yang saat ini sedang berlangsung (on-going). Makalah ini menyarankan bahwa pengembangan bioenergi harus dilakukan dengan suatu langkah yang terintegrasi, dari penelitian-pengembangan, perumusan kebijakan, implementasi kebijakan dan monitoring-evaluasi pelaksanaan kebijakan yang ada. Kata kunci : bioenergi, kebijakan, harga pangan, pegembangan ke depan
PENDAHULUAN
Bioenergi sebenarnya merupakan sumber energi alternatif, terbarukan, dan seharusnya menjadi energi masa depan di Indonesia. Bioenergi di Indonesia atau disebut juga biofuel atau bahan bakar nabati (BBN) memperoleh perhatian sangat besar sejak 2005 atau sejak harga minyak mentah dunia naik sangat liar.
11
Bustanul Arifin
Pemerintah bahkan sempat membentuk Tim Nasional Pengembangan Bioenergi sebelum dinyatakan berakhir sampai pertengahan 2010, dengan hasil-hasil yang belum banyak diketahui masyarakat. Seiring dengan hal di atas, diskusi publik tentang bioenergi seakan mengalami anti-klimaks karena beberapa program dan rencana kerja yang telah dirancang cukup lama ternyata banyak menemui hambatan di lapangan. Dalam kosa kata bahasa kebijakan publik, proses formulasi, organisasi, dan implementasi kebijakan pengembangan bioenergi di Indonesia tidak memiliki basis ilmiah yang kuat, terutama dalam perspektif sosialekonomi. Sesuatu yang terlihat solid secara teknis dan biofisik ternyata tidak masih sangat rapuh ketika harus melibatkan sistem insentif, monitor, penegakan, kelembagaan pasar, dan proses keputusan dalam individu petani dan masyarakat, sampai pada dukungan kebijakan di tingkat lokal, dan sebagainya. Bahwa sumber energi di Indonesia masih didominasi oleh energi tidak terbarukan, fakta tersebut memang tidak terbantahkan. Pangsa minyak bumi masih sangat besar, yaitu sekitar 51,7 persen, diikuti oleh gas alam 28,6 persen dan batubara 15,3 persen. Pangsa energi terbarukan masih sangat kecil, yaitu di bawah 5 persen, dengan hydropower berkontribusi sekitar 3,1 persen dan geothermal sekitar 1,3 persen (Departemen Energi dan Sumber daya Mineal, 2008). Pengembangan sumber energi alternatif di Indonesia memang sudah dilakukan, walaupun masih sangat lambat, seperti mini dan micro-hydro, biomasa, energi matahari dan angin. Ketergantungan yang tinggi terhadap sumber energi minyak bumi, tapi kinerja produksi masih di bawah 1 juta barrel per hari atau cukup jauh dari tingkat konsumsi 1,5 juta barrel per hari, tentu sangat menyulitkan bagi Indonesia untuk dapat mengambil manfaat dari kenaikan harga minyak bumi dunia. Bahkan, justru sebaliknya yang terjadi karena Indonesia telah amat tergantung pada BBM asal impor dan harus keluar dari keanggotaan organisasi pengekspor minyak bumi OPEC. Indonesia mengalami kesulitan ekonomi cukup besar ketika harga minyak bumi dunia menyentuh US$ 120 per barrel, dan pemerintah harus menaikkan harga eceran bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2005 karena angka subsidi yang harus dikurangi untuk menjaga stabilisasi anggaran negara. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2011, subsidi energi mencapai Rp 144 triliun, yang terdiri dari subsidi BBM Rp 89 triliun dan subsidi listrik Rp 54 triliun. Pada tahun 2011 nanti, Pemerintah berencana mengurangi subsidi energi menjadi Rp 133 triliun dengan konsekuensi bahwa harga eceran BBM kembali akan dinaikkan atau kelompok penghasilan menengah-tinggi tidak harus menikmati subsidi BBM, kewajiban penggunaan pertamax bagi kendaraan bermotor keluaran 2005 atau lebih baru. Dalam konteks konsumsi dan subsidi energi ini, pengurangan konsumsi energi tidak terbarukan sebesar 10 persen saja, maka pengembangan energi terbarukan dapat menghemat devisa negara sampai Rp 100 triliun (Arifin, 2008). Dengan kata lain, pengembangan energi terbarukan dan bioenergi dapat mengurangi ketergantungan pada impor minyak bumi, dan seharusnya juga mampu berkontribusi pada kesehatan anggaran negara. Namun demikian, pengembangan bioenergi di Indonesia tidak sesederhana dan selinier seperti dibayangkan. Pengembangan bioenergi sangat berhubungan dengan fluktuasi harga BBM dan harga komoditas pangan di tingkat
12
Bioenergi : Status Saat ini dan Perspektif Ke Depan
global dan tingkat nasional. Ketika harga BBM naik menjulang, harga komoditas yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi juga ikut naik. Harga gula, jagung, ubi kayu, kedelai, minyak kelapa sawit, minyak rapa (yang dibuat dari canola) naik secara liar dan sangat fluktuatif dalam lima tahun terakhir. Di satu sisi, Indonesia memang harus mengembangkan bioenergi dan energi alternatif lain, namun di sini lain, Indonesia tetap harus menjaga ketahanan pangan dan keberlanjutan produksi sekian macam komoditas pangan strategis, karena tingkat kemiskinan yang masih 13,3 persen. Di sinilah permasalahan akademik menjadi layak untuk memperoleh jawaban yang memadai, sebagaimana akan dibahas dalam makalah ini. Makalah ini membahas ekonomi pengembangan bioenergi Indonesia, meliputi status saat ini dan perspektif ke depan. Analisis meliputi landasan kebijakan bioenergi, eskalasi harga komoditas pangan dalam lima tahun terakhir, dan dinamika pengembangan biofuel di Indonesia. Penutup makalah ini adalah perspektif masa depan pengembangan bioenergi Indonesia.
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN BIOENERGI
Indonesia secara politik telah memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan bioenergi, paling tidak ditunjukkan oleh serangkaian kebijakan nasional berikut ini. Pertama, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi secara umum memandatkan penggunaan energi yang efisien, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan energi, kesejahteraan rakyat, konservasi lingkungan dan ketahanan nasional. Kebijakan nasional atau landasan hukum energi tersebut menekankan peran energi dalam kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional. Pada sisi suplai, UU 30/2007 tersebut mengamanatkan ketahanan energi melalui kegiatan produksi, eksplorasi dan konservasi; sedangan pada sisi demand, landasan hukum itu mengamanatkan konservasi energi, diversifikasi energi, termasuk pengembangan bioenergi. Pemerintah akan mempertahankan subsidi energi, terutama kepada sasaran yang layak, dan juga mengembangkan kebijakan harga energi (energy pricing policy). Singkatnya, UU 30/2007 mengakomodasi sisi suplai dalam hal produksi, kapasitas dan disribusi; serta sisi suplai dalam konteks efisiensi dan konservsi energi, serta prinsip-prinsip kebijakan harga yang adil. Kedua, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bakar nabati (BBN) memang lahir sebelum UU 30/27 tentang energi tersebut. Pada hakikatnya, tema Inpres 1/2006 itu adalah memberikan instruksi kepada 14 pejabat negara plus gubernur dan bupati/ walikota untuk: “mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan percepatan penyediaan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain”. Pada saat Inpres itu dikeluarkan, Indonesia benar-benar sedang berada pada suasana panik karena harga minyak bumi dan harga pangan dunia naik secara liar dan sempat mempengaruhi keseimbangan harga-harga pangan di dalam negeri. Kritik utama pada saat Inpres 1/2006 itu dikeluarkan adalah bahwa kebijakan terebut tidak dilengkapi oleh studi akademik yang dapat dipertanggungjawabkan tentang
13
Bustanul Arifin
dampak pengembangan bioenergi pada kinerja sektor pertanian, pengentasan kemiskinan dan kualitas lingkungan hidup. Ketiga, Peraturan Presiden No 5/2006 tentang Pengembangan Bahan Bakar Nabati, yang merupakan kelanjutan dari Inpres 5/2006 dengan cakupan yang lebih luas dan agak mengikat, yang berupaya memfokuskan pada diversifikasi energi untuk memenuhi permintaan energi dalam jangka panjang. Secara eksplisit kebijakan Perpres 5/2006 tersebut menetapkan target 17 persen sumber energi berasal dari energi terbarukan pada tahun 2025, beserta 30 persen dari gas, 33 persen dari batubara, dan 20 persen dari energi fosil atau minyak bumi. Dalam Perpres 5/2006, sumber-sumber energi terbarukan berasal dari bioenergi sebesar 5 persen, geothermal sebesar 5 persen, serta energi biomasa, nuklir, matahari dan angin sebesar 5 persen, plus energi batu bara yang dicairkan (liquefied coal) sebesar 2 persen (lihat Gambar 1)
Energy Mix in 2025
Energy Mix in 2006 Hydropower 3.11%
Oil 20%
Geothermal 1.32% Gas 28.57%
Biofuels, 5%
Gas,30%
Geothermal, 5%
RE,17 %
Biomass, Nuclear, hydropower, Solar & wind energy, 5%
Oil 51.66%
Coal 15.34% Liquefied coal, 2%
Coal33%
Energy Elasticity = 1.8
Energy Elasticity < 1
Gambar 1. Target Ramuan Energi Tahun 2025 (Berdasarkan Perpres 5/2006)
Keempat, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi, yang menekankan pada biomasa, geotermal, matahari, air, angin dan gelombang. Permen 2/2004 tersebut memang merupakan pemikiran awal untuk mewujudkan langkah-langkah operasional pengembangan energi terbarukan. Untuk melaksanakan kebijakan pengembangan bioenergi tersebut, pemerintah pernah membentuk Tim Nasional (Timnas) Pengembangan Biofuel pada tahun 2006, yang dibiayai dari anggaran negara. Timnas sebenarnya telah mengembangkan cetak biru (blueprint) pengembangan energi nasional, yang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Secara ringkas, pokok-pokok kebijakan pengembangan bioenergi dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) berdasarkan
14
Bioenergi : Status Saat ini dan Perspektif Ke Depan
cetak biru kebijakan energi nasional (2006), bioenergi ditargetakan mencapai 2 persen dari total konsumsi diesel (solar) pada tahun 2010; (2) biodiesel dari kelapa sawit merupakan prioritas pertama, dengan target 62.000 kiloliters (equivalen 62.000 ton); (3) pemerintah mencoba berbagai instrumen kebijakan dalam pengembangan minyak sawit mentah (CPO) melaui alokasi wajib pasar domestic (DMO=domestic market obligation) dan areal tertentu pada kebun kelapa sawit untuk biofuel; dan (4) biodiesel dari pohon jarak (Jatropha curcas) merupakan prioritas berikutnya, karena pohon jarak telah dikenal luas oleh masyarakat dan tidak berebutan (non-trade-off) dengan komoditas pangan. Tabel 1. Target Nasional Pengembangan Bioenergi, 2006-2010 Uraian Konsumsi biodiesel (ton)
2006
2007
2008
2009
2010
12.438
13.184
13.975
14.814
15.713
Suplai biodiesel (ribu ton):
Cetak biru energi nasional
50
100
300
500
702
Minyak kelapa sawit
62
125
349
593
471
Pohon jarak (Jatropha curcas)
0
7
70
148
341
Areal khusus (ribu ha):
Minyak kelapa sawit
18
36
100
169
135
Pohon jarak (Jatropha curcas)
40
341
345
360
375
Sumber: Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN=Bioenergi), 2006
Secara tidak langsung, pengembangan bioenergi juga akan berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja sebesar 3,5 juta, sekaligus mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga yang bekerja di sektor ini. Disamping itu, pemerintah juga merencanakan pengembangan 1000 desa mandiri energi dan 12 zona khusus bioenergi, sehingga target pengurangan konsumsi BBM sebesar 10 persen akan tercapai dalam waktu dekat. Timnas juga menargetkan pengembangan area untuk bioenergi sampai 5,25 juta hektar, yang meliputi 1,5 juta hektar kebun kelapa sawit, 1,5 juta hektar kebun jarak, 1,5 juta hektar ubi kayu dan 750 juta hektar tebu. Namun demikian, sampai saat makalah ini selesai ditulis pada akhir November 2010, perkembangan dan pencapaian target-target di atas tidak pernah dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat umum. Apabia semua target ini mampu terealisasi pada akhir 2010, Indonesia seharusnya mampu untuk memenuhi kebutuhan energi di tingkat domestik, bahkan mampu mengekspor produk-produk yang berasal dari pengembangan bioenergi tersebut.
FLUKTUASI HARGA PANGAN DUNIA
Memperhatikan eskalasi harga pangan dunia saat ini, para analis hampir sepakat bahwa era harga pangan murah sudah lewat. Tepatnya sejak tahun 2005
15
Bustanul Arifin
harga pangan berbasis biji-bijian mulai menunjukkan trend peningkatan. Pada tahun 2007, trend eskalasi harga pangan itu mencapai laju yang sangat tinggi, bahkan sampai dua kali lipat atau lebih, yang mungkin di luar dugaan para analis. Bagi Indonesia, pelajaran dari krisis kedelai pada awal tahun 2008 seharusnya menjadi titik tolak untuk benar-benar melakukan perubahan kebijakan perekonomian secara umum yang lebih fundamental, khususnya yang berhubungan dengan pembangunan pertanian. Pada masa mendatang masih akan muncul lagi kasus-kasus lain yang pasti akan mempengaruhi laju inflasi dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Namun demikian, eskalasi harga pangan adalah tantangan (dan peluang) baru untuk merumuskan strategi antisipasi dan mitigasi terhadap berbagai perekonomian di Indonesia, khususnya tentang ketahanan pangan dan konsekuensi sosial-politiknya. Tiga komoditas pangan biji-bijian utama di tingkat global, seperti beras, gandum dan jagung, yang mengalami lonjakan di luar akal sehat. Harga gandum dunia per 12 November 2010 untuk kualitas Kanada sekitar US$ 365 per ton (naik lebih dari 60 persen dibandingkan harga bulan Juni 2010), karena faktor kekeringan di Rusia yang cukup signifikan. Harga beras kualitas sedang-tinggi (Thai 5% broken) juga mendekati US$ 460 per ton (naik 30%), dan harga jagung kualitas sedang (number 2 yellow) di atas US$ 240 per ton (naik 90%) (Data diambil dari Laporan Berkala Bank Dunia, Commodity Market Review, edisi 12 November 2010). Struktur pasar beras dunia beras menjadi agak kacau karena produsen beras dunia tidak memprioritas untuk “melempar” produksi berasnya ke pasar global, yang mengakibatkan stok beras dunia makin tipis. Strategi protektif negara-negara eksportir besar beras dunia, seperti Thailand, Vietnam, India, dan China, memang sempat menjadi ajang diskusi hebat pada Food Summit di Roma. Dalam istilah ekonomi politik, negara-negara produsen beras besar ini sedang mengalami masalah coordination failure karena mereka saling mengirim sinyal yang tidak direspons secara baik sesuai kaidah-kaidah dalam ilmu ekonomi modern. Namun, sebagai negara yang berdaulat, negara produsen beras dunia itu lebih mengutamakan stok beras di dalam negerinya sendiri serta fluktuasi harga pangan pokok yang sering memiliki dimensi politik yang lebih besar. Sesuatu yang perlu diwaspadai adalah bahwa para pelaku ekonomi dan pemimpin politik negara-negara produsen pangan cenderung menahan stok untuk kebutuhan domestiknya dan tidak secara gegabah melempar ke pasar global. Amerika Serikat sedang menahan stok jagung karena permintaan untuk etanol juga besar. Hal yang sama terjadi di kedelai AS. Permintaan yang besar terhadap kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel juga membuat pemilik stok minyak kedelai tidak segera melempar ke pasar, karena permintaan masih akan terus meningkat. Negara produsen gandum seperti AS, Kanada, dan Uni Eropa juga bermain “tarik-ulur” karena fenomena kekeringan yang melanda Australia tahun 2007, yang menurunkan produksinya sampai 20 persen. Thailand, Vietnam dan China sebagai produsen beras dunia juga tidak serta merta tergiur untuk melempar stok domestiknya ke pasar global, walaupun pada tingkat harga yang menggiurkan.
16
Bioenergi : Status Saat ini dan Perspektif Ke Depan
Sebagaimana disebutkan di atas, harga minyak nabati dunia seperti CPO naik 43 persen dan kedelai naik 90 persen karena pangsa minyak kedelai yang dijadikan biodiesel telah mencapai 43 persen dari total produksi dunia. Pangsa rapeseed yang dikonversi menjadi biodiesel juga telah mencapai 34 persen, sedangkan pangsa CPO untuk biodiesel baru sekitar 7 persen dari total 11,75 miliar liter produksi biodiesel dunia (Majalah Financial Times, edisi 23 November 2007). Kenaikan harga gula tercatat “hanya” 26 persen dalam setahun terakhir, sedikit lebih rendah dibandingkan kenaikan harga CPO dan kedelai di atas. Kinerja produksi gula di Brazil yang mencapai 23 juta ton masih cukup untuk memenuhi permintaan konversi tebu menjadi bioetanol, sebagai sumber utama (50 persen) bahan bakar bersih tersebut. Menariknya lagi, tingginya permintaan bioetanol juga telah dipenuhi dari produksi jagung (36 persen) dan gandum (9 persen) untuk menghasilkan 45 miliar liter etanol. Sejarah ekonomi pangan berbasis biji-bijian memang diwarnai oleh penurunan harga riil secara signifikan selama 100 tahun terakhir, sehingga nyaris semua kebijakan seakan terperangkap untuk menghasilkan pangan murah. Mendiang Profesor D.Gale Johnson dari Universitas Chicago AS (1916-2003) pernah menganalisis laju penurunan harga pangan utama dunia: gandum, beras dan jagung berdasarkan data yang ada sejak 1905 (Gambar 2). Esensi dari pemikiran Profesor Johnson adalah bahwa peningkatan produktivitas pangan yang berkesinambungan akan meningkatkan pendapatan petani, walaupun secara riil harga pangan menurun. Kenaikan harga pangan tidak harus direkayasa secara berlebihan karena pada waktunya hal itu akan terjadi.
Catatan: Untuk semua harga, 1996=100
Gambar 2. Perkembangan Indeks Harga Pangan Biji-Bijian Seratus Tahun Terakhir
17
Bustanul Arifin
Pemikiran yang seakan-akan melawan arus teori elastisitas permintaan pangan dan pertanian itu memang baru terbukti beberapa tahun setelah wafatnya. Dokumen kajian itu kini tersimpan di perpustakaan Badan Perdagangan Chicago (CBOT=Chicago Board of Trade) dan sering dijadikan referensi betapa ekonomi pangan berbasis biji-bijian sedang mengalami titik balik. Implikasi penting dari titik balik ekonomi pangan ini adalah betapa strategis dan pentingnya sektor pangan dan pertanian bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Fenomena titik balik ini mungkin saja menjadi berkah bagi bidang ilmu dan profesi sosial-ekonomi pertanian dan/atau manajemen agribisnis secara umum. Cukup masuk akal jika pada masa lalu bidang ilmu ini tidak menjadi pilihan, karena siapa pun tidak mau diasosikan dengan profesi dengan trend harga riil (dan ekspektasi pendapatan) yang menurun. Setelah trend harga pangan (dan pertanian) menunjukkan eskalasi yang sangat tinggi, peran komoditas pangan menjadi sangat lebih strategis bagi masa depan perekonomian, Bahkan, komoditas pangan telah menjadi ”primadona investasi” karena ekspektasi penerimaan ekonomi yang cukup tinggi. Pada minggu ketiga Maret 2008, pasar komoditas pangan dunia mengalami fenomena sangat menarik karena secara tiba-tiba harga beberapa komoditas pangan di pasar global mengalami penurunan sampai 12 persen. Para analis mulai mengalamatkan fenomena tersebut sebagai aksi spekulasi yang dilakukan oleh para spekulan dan investor di pasar berjangka komoditas pangan, bukan terdapat lonjakan suplai atau produksi pangan secara tiba-tiba. Benar, bahwa Kazakhtan sebagai salah satu negara pecahan Uni Soviet kini mulai diperhitungkan dalam pasar pangan dunia karena secara tiba-tiba menghasilkan surplus gandum tahun lalu di atas 500 ribu ton atau mencapai produksi total 8.5 juta ton. Bagi produsen besar gandum dunia seperti Amerika Serikat yang mencapai 33.5 juta ton dan Rusia dengan produksi 12.5 juta ton, faktor yang paling menentukan dalam pembentukan harga dunia adalah volume ekspor dan total volume gandum yang diperdagangankan di pasar global. Apabila negara-negara ini (tepatnya, pelaku ekonomi skala besar di Amerika Serikat dan Rusia) menahan produksi untuk tidak dilempar ke pasar dunia, maka harga keseimbangan akan bergolak. Dalam kosa kata ekonomi internasional, big-country position dapat mempengaruhi harga tingkat global. Fenomena “pergeseran aset” ke perdagangan komoditas pangan (baca: spekulasi) dari pemilik modal karena ketidakpastian pasar keuangan global, sebenarnya juga berhubungan dengan semakin jatuhnya nila mata uang Dolar Amerika Serikat (relatif terhadap mata uang lain di dunia). Pasar minyak mentah dunia sendiri memang semakin menipis sejak pertengahan tahun 2007 juga merupakan sesuatu yang sangat tidak biasa, karena pada musim dingin di belahan bumi utara, volume perdagangan minyak dunia biasanya meningkat. Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat semakin kuatlah proposisi yang menyebutkan bahwa pola kenaikan harga komoditas pangan (dan pertanian) yang berkait erat dengan peningkatan harga minyak dunia ini telah membentuk pola, struktur dan sistem perdagangan dunia baru. Tidak mustahil untuk disimpulkan bahwa tahun 2008 adalah titik balik ekonomi pangan karena pola eskalasi harga pangan telah menciptakan keseimbangan baru perdagangan dunia.
18
Bioenergi : Status Saat ini dan Perspektif Ke Depan
Perlu ditambahkan di sini, bahwa fenomena dan tingkah laku harga CPO di pasar global, yang sering mengalami kejutan yang menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Misalnya tentang gejala penurunan harga CPO pada bulan Juni 2008 yang berada di bawah US$ 1.200 per ton. Pada bulan Mei 2008, harga CPO di pasar internasional bahkan pernah melampaui US$ 1.300 per ton, dan menjadi insentif tersendiri bagi ekspor CPO Indonesia. Penurunan harga CPO dunia waktu itu sebenarnya lebih banyak disebabkan panen raya yang terjadi di Indonesia dan Malaysia terutama kebun-kebun muda yang baru dibuka lima-enam tahun lalu. Akibatnya, suplai dunia CPO meningkat, sehingga harga sedikit tertekan ke bawah. Faktor musim panas juga berpengaruh, sehingga tingkat permintaan minyak bumi sedikit menurun. Akibat berikutnya, harga minyak bumi dunia juga tertekan sampai di bawah US$ 120 per barrel, suatu penurunan signifikan dari tingkat harga minyak bumi sejak tahun 2005 yang pernah menembus US$ 144 per barel. Disamping itu, seperti umumnya terjadi pada musim panas, beberapa komoditas yang menjadi bahan baku minyak nabati dunia, seperti kedelai dan minyak kanola juga mengalami panen. Maksudnya, sumber minyak makan dunia tidak seluruhnya bergantung pada CPO Indonesia dan Malaysia. Argumen lama bahwa produksi CPO Indonesia diperoleh melalui konversi hutan tropis masih menjadi “senjata ampuh” yang digunakan para pejabat Uni Eropa. Dengan pertambahan areal kelapa sawit di Indonesia yang sangat cepat, masyarakat global wajar mempertanyakan proses konversi kebun sawit yang kini mencapai lebih dari 6 juta hektar tersebut. Apa pun argumen yang dibawa negara pembeli CPO Indonesia, para pengampu kepentingan (stakeholders) minyak kelapa sawit harus mampu menjelaskannya secara elegan dan bertanggung jawab. Skema RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) yang menjadi acuan tentang keberlanjutan usaha dan industri CPO, keramahan terhadap lingkungan hidup dan keadilan sosial-ekonomi nampaknya masih perlu disempurnakan. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa industri CPO di Indonesia telah menjadi taruhan kredibilitas strategi pengembangan biofuel di Indonesia, serta pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan hidup. Dalam kaitannya dengan pasar minyak goreng di dalam negeri, saat ini pun agak sulit untuk berharap bahwa harga minyak goreng akan turun sampai di bawah Rp 8.000 per kilogram. Komoditas strategis ini telah masuk ke dalam ranah politik, karena berhubungan langsung dengan persoalan sehari-hari, terutama pada kelompok penghasilan rendah. Pemerintahanakan melakukan kebijakan populis seperti program stabilisasi harga (PSH) minyak goreng dan operasi pasar di beberapa tempat yang menjadi “pusat perhatian” karena dimensi politiknya yang demikian kental. Pelaksanaan DMO mungkin masih bermasalah karena kualitas enforcement di lapangan agak rumit karena harus melibatkan pemerintah daerah beserta perangkat bawahan administrasinya.
DINAMIKA PENGEMBANGAN BIOENERGI Pengembangan bioenergi di Indonesia sebenarnya relatif baru, sehingga agak sulit berharap terlalu besar untuk menghasilkan kinerja yang baik dalam
19
Bustanul Arifin
waktu singkat. Negara-negara maju di Amerika Serikat dan Eropa telah cukup lama memulai pengembangan bioenergi, sehingga landasan kebijakan dan basis akademiknya telah cukup solid, walaupun langkah-langkah yang ditempuh terkadang kontroversial. Amerika Serikat memproduksi besar-besaran etanol sekitar 23 persen dari produksi jagung sesuai dengan Energy Policy Act 2005. Uni Eropa mensubsidi minyak nabati untuk menghasilkan biosolar dengan target 5,75 persen pangsa pasar biofuel dan diesel pada tahun 2010. Negara-negara berkembang yang cukup advanced dalam pengembangan bioenergi diantaranya adalah Brazil dan China. Brazil bahkan telah memulai diskusi publik, debat terbuka dan policy exercise lainnya sejak decade 1970-an. Brazil telah menggunakan campuran biosolar lebih dari 50 persen dan secara mengagumkan telah mengintegrasikan kebijakan bioenergi ke dalam kebijakan otomotif dan transportasi lainnya. Brazil juga telah mengkonversi 50 persen produksi tebu untuk menghasilkan etanol keperluan domestik dan ekspor. Dengan pengalaman empiris yang demikian panjang, kinerja bioenergi di Brazil sering dijadikan rujukan dan benchmark dalam pengembangan biofuel. Lebih menarik lagi, struktur biaya produksi bioenergi di Brazil lebih baik dan lebih kompetitif dibandingkan struktur biaya produksi di China (Tabel 2). Bioetanol dari tetes dan nira di Brazil (15 sen dollar AS per liter) lebih efisien dibandingkan di China (24,9 sen dollar AS per liter). Bioetanol dari ketela pohon di Thailand (23,9 sen dollar AS per liter) lebih efisien dibandingkan di China (37,4 sen dollar AS per liter). Bioetanol dari jagung di Amerika Serikat (25,5 sen dollar AS per liter) lebih efisien dibandingkan di China (44,2 sen dollar AS per liter). Tabel 2. Perbandingan Biaya Produksi Bioetanol Negara
Bahan Baku
Biaya Produksi (Sen dollar AS/liter)
Brazil Tebu (tetes + nira) 15,0 (Rp 1400,-) Thailand Ubi kayu 23,9 Thailand Tetes 17,9 Thailand Nira Tebu 25,1 (Rp 2310,-) China Nira + tetes 24,9 China Ubi kayu 37,4 China Jagung 44,2 Amerika Serikat Jagung 25,5 Eropa Gandum 42,0 Eropa Bit 45,0 (Rp 4140,-) Catatan: Biaya belum termasuk overhead cost dan penyusutan mesin Sumber: Hendroko et al, 2007
Walau pun masih terbatas, beberapa studi telah mulai membuat perbandingan beberapa tanaman pangan dan perkebunan pada proses konversi menjadi bioenergi (Tabel 3). Produktivitas tanaman untuk biosolar dan biokerosen pada minyak sawit sebesar 3.500 liter per hektar, minyak jarak pagar sebesar
20
Bioenergi : Status Saat ini dan Perspektif Ke Depan
3.400 liter per hektar, minyak kelapa sebesar 2.200 liter per hektar, minyak lobak sebesar 1.000 liter per hektar, kacang tanah sebesar 900 liter per hektar, minyak biji matahari sebesar 800 liter per hektar dan minyak kacang kedelai sebesar 550 liter per hektar. Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol adalah sebagai berikut: jagung sebesar 400 - 2.500 liter per hektar per tahun, ubi kayu sebesar 2.000 - 7.000 liter per hektar per tahun, tebu sebesar 3.000 - 8.500 liter per hektar per tahun, ubi jalar sebesar 1.200 - 5.000 liter per hektar per tahun, dan kentang 1.000 - 4.500 liter per hektar per tahun. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa jagung lebih efisien untuk menghasilkan bioetanol (400 liter/ton) dibandingkan tetes (250 liter/ton), ubi kayu (166,6 liter/ton), ubi jalar (125 liter/ton), sagu (90 liter/ton) dan tebu (67 liter/ton). Tabel 3. Konversi Biomasa Menjadi Etanol Biomasa
Etanol (liter/ton)
Ketela pohon Ubi jalar Jagung Sagu Tetes Tebu Sorgum Sorgum manis Kentang Beet Nira aren Sumber: Lihat Prihandana et al. (2008)
166,6 125 400 90 250 67 N/A N/A N/A N/A N/A
1)
(liter/hektar/tahun)
2)
2.000 – 7.000 1.200 – 5.000 400 – 2.500 N/A N/A 3.000 – 8.500 1.500 – 5.000 2.000 -6.000 1.000 – 4.500 3.000 – 8.000 40.000
Studi lain juga menampilkan biaya produksi per liter biosolar dirinci menjadi biaya bahan baku dan biaya proses (Mursanti, 2007; Santoso, 2009). Biaya proses biosolar dari minyak jarak dengan asumsi biji jarak seharga Rp 500 per kg dan diperlukan 3,56 kg untuk membuat 1 liter biosolar (Tabel 4). Selain bahan baku diperlukan biaya proses berupa biaya alat, aditif, katalis, minyak, air, tenaga kerja, dan listrik. Biaya produksi biosolar sebesar Rp 2.948,49 per liter, dimana biaya proses produksi sebesar Rp 1.168,49 per liter (Tabel 4). Dengan menggunakan asumsi biaya proses produksi tetap sebesar Rp 1.168,49 per liter dan jika CPO dijadikan sebagai bahan baku biosolar, dimana harga CPO dapat mencapai sebesar Rp 5.500 per kg, maka biaya produksi biosolar dari CPO adalah sebesar Rp 6.168 per liter (Mursanti, 2007; Santoso, 2009). Pada saat harga CPO tinggi, maka harga biosolar berbahan baku CPO lebih mahal dibandingkan harga solar bersubsidi, sehingga usaha biosolar seolaholah tidak ekonomis.
21
Bustanul Arifin
Tabel 4. Struktur Biaya Produksi Biosolar Jenis Bahan baku biji jarak (kg) Biaya proses Biaya alat Biaya aditif (methanol) (liter) Biaya katalisator (NaOH) (liter) Biaya minyak tanah (liter) Biaya air pencuci (liter) Biaya tenaga kerja Biaya energi listrik Jumlah biaya proses Jumlah biaya produksi biosolar/liter Sumber Mursanti (2007); Santoso (2009)
3,56
Harga per Unit (Rp) 500
1 0,2 0,00035 0,04 1 2
115,38 4200 2600 2500 10 37
Jumlah Unit
Total (Rp) 1780 115,38 840 0,91 100 10,4 73 28,8 1168,49 2948,49
Studi ekonomi bioenergi yang agak lengkap sedang dilaksanakan oleh Konsorsium empat lembaga akademik di Indonesia, yaitu: International Center for Applied and Economics di Institut Pertanian Bogor (InterCAFE-IPB), Jurusan Sosial-Ekonomi Pertanian di Universitas Lampung (Sosek-UNILA), Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM IPB), dan Brighten Institute, Bogor. Penelitian yang berjudul Effects of Biofuels on Agricultural Development, Food Security, Poverty and the Environment in Indonesia dimaksudkan untuk mencapai beberapa tujuan strategis seperti: (1) mengetahui dampak pengembangan bioenergi terhadap pendapatan, kesempatan kerja, dan pola konsumsi masyarakat pedesaan di Indonesia; (2) mengetahui dampak pengembangan bioenergi terhadap lingkungan hidup, termasuk pada pola tataguna lahan, (3) mengetahui dampak perubahan harga-harga komoditas pertanian karena pengembangan biofuel di negara-negara maju, (4) mengembangkan data base dan model bioenergi di Indonesia, (5) menganalisis dampak pengembangan biofuel pada beberapa skenario kebijakan dan perubahan teknologi, termasuk komersialisasi dan pengembangan varietas baru pada beberapa tanaman pangan dan perkebunan yang digunaka sebagai bahan baku bioenergi; dan sebagainya. Empat komoditas bahan baku bioenergi digunakan sebagai benchmarks dalam analisis ekonomi lebih lanjut, yaitu: tebu, ubi kayu, kelapa sawit dan pohon jarak. Studi tersebut melibatkan banyak peneliti, dosen, dan mahasiswa S1, S2, dan S3 terutama di IPB dan UNILA, serta juga melibatkan narasumber ahli dari para akademisi dengan reputasi tinggi dan pengambil keputusan kebijakan di beberapa lembaga pemerintah, khususnya di tingkat nasional. Selain memanfaatkan data, publikasi, dan literatur ekonomi bioenergi, studi komprehensif tersebut juga mengambil data lapangan di Lampung untuk ubi kayu dan tebu; di Riau untuk kelapa sawit dan di Nusa Tenggara Barat untuk pohon jarak. Beberapa hasil analisis telah dilaksanakan dan menghasilkan skripsi sarjana dan tesis magister, dan beberapa lagi masih dalam tahap penyelesaian. Studi yang menggunakan metodologi persamaan keseimbangan umum (CGE) dan simulasi kebijakan (InApSim) tersebut, saat ini telah memasuki babak akhir penyelesaian
22
Bioenergi : Status Saat ini dan Perspektif Ke Depan
skenario dan implikasi kebijakan yang kemungkinan dilaksanakan di Indonesia. Tabel 4 berikut ini adalah beberapa saja dari nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang yang diekstraksi dari analisis fungsi respon penawaran pada beberapa komoditas yang berhubungan (langsung dan tidak langsung) dengan pengembangan bioenergi. Tabel 5. Respons Penawaran Beberapa Komoditas Pertanian di Indonesia
Kelapa sawit
Luas areal 2) Produktivitas 2) Penawaran
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 0,0261 0,2496 0,0281 0,0880 0,0542 0,3377
Ketela pohon
Luas areal Produksi
0,1411 0,0863
0,1897 0,0528
Puteri, 2009 Puteri, 2009
Tebu
Produktivitas Penawaran
0,2700 0,2700
0,3800 0,3800
Sanjaya, 2009 Sanjaya, 2009
Jagung
Areal panen Produktivitas Penawaran
0,2916 0,0987 0,3903
0,2916 0,7622 1,0538
Siregar, 2009 Siregar, 2009 Siregar, 2009
Kedelai
Areal Penawaran Areal panen Penawaran
0,6600 0,6600 0,3600 0,2800
2,1800 2,1800 1,4600 1,3200
Al-Mudatsir, 2009 Al-Mudatsir, 2009 Purba, 2009 Purba, 2009
Kacang tanah
Areal panen Produktivitas Penawaran
0,0807 0,0813 0,1620
0,0813 0,1363 0,3013
Nariswari, 2009 Nariswari, 2009 Nariswari, 2009
Kelapa
Produktivitas 1) Penawaran
0,0284 0,0284
0,0491 0,0491
Sianipar, 2009 Sianipar, 2009
Kopi
Luas areal Produktivitas Penawaran
0,0624 0,1091 0,1715
0,2588 0,1091 0,3679
Lukiawan, 2009 Lukiawan, 2009 Lukiawan, 2009
Komoditi
Ubi jalar
Respons 2)
1)
Padi Penawaran 0,4371 Na 1) 2) Keterangan: harga kopra, harga CPO Sumber: Dikumpulkan dari Laporan Sementara Studi Biofuel (2010)
Sumber Oktavianto, 2009 Oktavianto, 2009 Oktavianto, 2009
Sari, 2009
Respon penawaran pada beberapa komoditi pertanian di Indonesia (Tabel 5) dalam periode jangka pendek menunjukkan inelastis, demikian pula dalam periode jangka panjang juga inelastis, kecuali pada komoditas jagung, kedelai dan ubi jalar yang dalam periode jangka panjang menunjukkan elastis. Respons penawaran jagung terhadap harga jagung dalam periode jangka panjang bersifat
23
Bustanul Arifin
elastis sebesar 1,05. Respon areal kedelai dan penawaran kedelai terhadap harga kedelai dalam periode jangka panjang bersifat elastis sebesar 2,18. Respons areal panen ubi jalar terhadap harga ubi jalar dalam periode jangka panjang bersifat elastis sebesar 1,46 dan respons penawaran ubi jalar terhadap harga ubi jalar dalam periode jangka panjang bersifat elastis sebesar 1,32.
PENUTUP: PERSPEKTIF KE DEPAN
Sebagai penutup, makalah singkat ini telah menguraikan bahwa pengembangan bioenergi, baik di tingkat nasional maupun di tingkat global, adalah bahwa proses dan dinamika pembangunan pertanian telah mengalami perubahan, bahkan sangat signifikan. Bersama-sama dengan faktor perubahan iklim, pengembangan bioenergi menjadi salah satu faktor penting pada titik balik penurunan harga komoditas pangan (relatif) selama 100 tahun terakhir. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa titik balik ekonomi pangan berbasis biji-bijian dan komoditas pertanian lain memang telah terjadi pada paruh kedua dekade 2010-an ini. Dengan kata lain, ke depan harga-harga komoditas pangan dan pertanian, secara relatif akan mengalami trend peningkatan, walaupun masih akan berfluktusi sesuai dengan dinamika internal dan eksternal yang ada. Disamping itu, harga-harga komoditas pangan dan pertanian juga akan ditentukan oleh fluktuasi harga minyak mentah dunia, perkembangan (spekulasi) di pasar modal dan bursa komoditas, dan sebagaainya. Demikian pula, harga-harga yang cenderung meningkat ini juga akan menentukan pola permintaan dan penawaran pangan dan pertanian lain, termasuk kebijakan dan struktur perdagangan global. Para pelaku ekonomi dan pemimpin politik negara-negara produsen pangan di tingkat global cenderung menahan stok untuk kebutuhan domestiknya dan tidak secara gegabah melempar ke pasar global. Amerika Serikat sedang menahan stok jagung karena permintaan untuk etanol juga besar. Hal yang sama terjadi di kedelai AS. Permintaan yang besar terhadap kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel juga membuat pemilik stok minyak kedelai tidak segera melempar ke pasar. Pembangunan pertanian ke depan akan lebih menantang dan sangat mungkin penuh risiko dan ketidakpastian, apalagi jika kinerja produksi dan konsumsi juga tidak dapat direncanakan dan dikendalikan dengan baik. Indonesia sebenarnya dapat dikatakan mampu meredam eskalasi harga beras yang terjadi sejak 2008 karena kinerja produksi dan produktivitas dapat dijaga dengan baik, serta manajemen stok pangan dilakukan secara lebih decisive dan agak terkoordinasi. Beberapa kasus kontroversial seperti melonjaknya harga gandum, jagung, kedelai, gula, atau fluktuasi harga minyak sawit, kopi, lada dan lain-lain masih akan sering bermunculan. Kasus-kasus tersebut pasti akan berpengaruh pada laju inflasi, kondisi perekonomian, bahkan pada status atau kinerja sosiapolitik di Indonesia. Pengembangan bioenergi ke depan juga akan menjadi salah satu faktor penentu yang signifikan bagi kinerja pembangunan pertanian dan kesejahteraan
24
Bioenergi : Status Saat ini dan Perspektif Ke Depan
petani secara umum. Di tingkat mikro, minyak kelapa sawit (CPO) menjadi salah satu sumber bahan baku bioenergi yang paling siap dan feasible dalam jangka pendek-menengah. Bahan baku bioenergi yang berasa dari ubi kayu dan tebu (untuk etanol) juga secara teknis dan ekonomis mampu menjadi penghela bagi petani kecil di perdesaan. Namun demikian, untuk mencapai skala ekonomi yang menguntungkan bagi pengembangan ubi kayu dan tebu sebagai bahan baku bioenergi, perluasan skala usaha dan perubahan teknologi masih sangat diperlukan. Produksi ubi kayu dan tebu Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan saja masih jauh dari memadai, apalagi jika akan dijadikan bahan baku bioenergi. Kasus pada pohon jarak sedikit berbeda karena walaupun secara teknis buah biji jarak mampu dikonversi menjadi minyak jarak dan biodiesel, secara ekonomi sampai saat ini pasar minyak jarak masih belum terbentuk secara sempurna. Dimensi sosial ekonomi dari usahatani pohon jarak masih belum teridentifikasi dengan baik di Indonesia. Bagi Indonesia, tantangan di depan mata adalah bagaimana meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, melalui peningkatan produksi dan produktivitas pangan. Pengembangan bioenergi, terutama yang berasal dari komoditas pertanian amat penting untuk segera dilakukan, melalui suatu langkah yang terintegrasi, dari penelitian-pengembangan, perumusan kebijakan, implementasi kebijakan dan monitoring-evaluasi pelaksanaan kebijakan yang selama ini dilakukan. Semua orang paham bahwa Indonesia wajib melakukan perubahan kebijakan yang fundamental, yang mampu memberian insentif dan bantalan (cushion) yang memadai kepada para petani dan pelaku ekonomi lain, agar dampak yang harus ditanggung tidaklah terlalu besar. Di sinilah tantangan pembangunan pertanian ke depan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, B. 2007. Prospects of Palm Oil Industry for Food and Energy. Paper presented at GAPKI (Indonesian Palm Oil Association) Conference and Expo, on November 7-8 in Bali, Indonesia. Arifin, B. 2008. Biofuel Development in Indonesia. Book Chapter in Andre Nassar (ed). “Biofuel Development in Asia and Latin America. Sao Paolo: Institute for Trade Negotiations (ICONE). Departemen Energi dan Sumber daya Mineral. 2008. Penyediaan energi untuk memacu pertumbuhan industri. Bahan presentasi Menteri Purnomo Yusgiantoro pada Rapimnas KADIN, tanggal 31 March, 2008 di Jakarta. International Center for Applied Finance and Economics-Bogor Agricultural University. 2010. Progress Report on Biofuel Study, February 2010. Submitted for the International Funds for Agricultural Development (IFAD). Bogor: InterCAFE. Tidak dipublikasikan. Mursanti. 2007. Proses Produksi dan Substitusi Biodiesel dalam Mensubstitusi Solar untuk Mengurangi Ketergantungan terhadap Solar. Makalah disampaikan pada Seminar Sumber daya Alam dan Lingkunga Universitas Indonesia, 13 Desember 2007 di Depok.
25
Bustanul Arifin
Prihandana, R., K. Noerwijan, P.G. Adinurani, D. Setyaningsih, S. Setiadi, dan R. Hendroko. 2008. Bioetanol Ubi Kayu: Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta: AgroMedia. Priyanto, U. 2007. Menghasilkan Biodiesel Jarak Pagar Berkualitas: Menguraikan Cara Membuat Biodiesel Jarak Pagar, dari Memilih Biji Jarak hingga Menghasilkan Biodiesel yang Berkualitas. Cetakan Kedua. Jakarta: Agromedia. Priyarsono, D. S. 2007. The Policy of Bio-Energy Development in Indonesia. Mimeo. Bogor: Brighten Institute and Bogor Agricultural University. Riyanto, A and W Subari. 2008. Tak Selicin yang Dibayangkan. Trust, 27 (6), April 6 – May 2, 2008. pp: 24-25 Santoso, A. 2009. Kajian Produk Agroindustri yang Potensial dan Feasibel untuk Dikembangkan sebagai Bahan Baku Biodiesel di Indonesia. Laporan Penelitian. Malang: Universitas Merdeka. Susila, W.R. dan E. Munadi. 2008. Dampak Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO terhadap Kemiskinan di Indonesia. Informatika Pertanian 17 (2), pp:1173-1194. Tjakrawan, P. 2008. Bahan Bakar Nabati dan Pangan. Makalah disampaikan pada Rapimnas KADIN, tanggal 29 Maret, 2008 di Jakarta.
26
Bioenergi : Status Saat ini dan Perspektif Ke Depan
Lampiran 1. Peta Jalan (Roadmap) Pengembangan Biofuel Indonesia 2005 - 2025 Year
2005-2010
2011-2015
2016-2025
Biodiesel
Biodiesel Utilization 10% of Diesel Fuel Consumption 2.41 million kL
Biodiesel Utilization 15% of Diesel Fuel Consumption 4.52 million kL
Biodiesel Utilization 20% of Diesel Fuel Consumption 10.22 million kL
Bioethanol
Bioethanol Utilization 5% Gasoline Consumption 1.48 million kL
Bioethanol Utilization 10% Gasoline Consumption 2.78 million kL
Bioethanol Utilization 15% Gasoline Consumption 6.28 million kL
Biokerosene Utilization 1 million kL
Biokerosene Utilization 1.8 million kL
Biokerosene Utilization 4.07 million kL
PPO Utilization 0.4 million kL
PPO Utilization 0.74 million kL
PPO Utilization 1.69 million kL
BIOFUELS Utilization 2% of energy mix 5.29 milion kL
BIOFUELS Utilization 3% of energy mix 9.84 milion kL
BIOFUELS Utilization 5% of energy mix 22.26 milion kL
Bio-oil - Biokerosene
- Pure Plantation Oil for Power Plant
BIOFUELS
Sumber: Timnas Pengembagan Biofuel Indonesia, 2008
27