4 Lesson Learned dan Tantangan ke Depan Crystalize your goals. Make a plan for achieving them and set your self deadline. Then with supreme confidence, determination, and dissegard for obstacles and other people's critisms, carry out your plan. —Paul J. Mayer, penulis dan motivator-
53
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
Jangan Membangun Kapal Tanpa Visi Hal yang ingin saya ceritakan berikutnya adalah lesson learned. Dalam bagian ini, saya ingin menekankan bahwa jika Anda tidak mempunyai visi 25 tahun ke depan, lebih baik tidak usah membuat kapal peneliti. Sebab membuat kapal peneliti itu sangat melelahkan, apalagi kapal ini (Kapal Peneliti Geomarin III— peny.) dibuat di dalam negeri berkelas dunia, yaitu ClassNK. Mengadakan kapal baru itu setengah mati usahanya. Gangguannya dari mana-mana. LSM, wartawan, semuanya mencecar, mencari-cari celah kesalahan. Saya biarkan saja. Prinsip saya, selama kita benar mengikuti aturan formal dan punya alasan yang kuat tidak perlu takut. Saya pun pernah dipanggil Kejari, Kejati, Mapolda, dan Mabes Polri, untuk dimintai klarifikasi. Demikian pula, panggilan dari KPK sewaktu ketuanya masih Pak Erry Riana Hardjapamekas, sekitar tahun 2003-2004. Waktu itu biaya pengadaan Geomarin III sangat besar, sampai Rp. 98 miliar untuk dua tahun anggaran. Muncul berbagai pengaduan bahwa terjadi penyalahgunaan anggaran negara. Saya memenuhi semua panggilan tersebut dengan data pendukung untuk memberikan klarifikasi. Hasilnya, tidak ditemukan bukti-bukti adanya unsur-unsur penyelewengan dan kerugian anggaran negara. Soal visi ini, saya masih ingat pertanyaan Ditjen Anggaran, “Lantas, setelah punya kapal, kalian mau apa?” Saya jawab, “Saya mau bekerja memetakan laut sampai 25 tahun.” Inilah yang saya maksud sebagai pentingnya visi dalam lesson learned. Jika kita hanya punya program pemetaan 2-3 tahun, percuma saja kita membangun kapal baru. Lelahnya tidak akan terbayar. Visi jangka panjang juga menjadi penting karena begitu kapal rampung, bukan berarti masalah selesai. Semua hal yang terkait dengan kelangsungan operasional kapal harus kami kerjakan dari awal. Selain Nakhoda dan awak kapal (ABK), kapal juga perlu pelabuhan. Di mana kapal ini akan disandarkan? Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta sudah tidak memungkinkan karena sangat padat. Di Pelabuhan Cirebon ternyata tidak muat, sebab draft kapal
54
Lesson Learned dan Tantangan ke Depan
ini 3,5 m sementara kedalaman Pelabuhan Cirebon hanya 2-3 m. Karena itu, lebih dahulu sowan ke Dirjen Perhubungan Laut, Otorita Pelabuhan, dan Syahbandar memohon agar alur dapat dikeruk dahulu, dan kapal Geo marin III dapat tempat sandar yang permanen. Kemudian juga soal listrik. Rasanya, tidak mungkin kita menjalankan generator listrik setiap hari untuk menghidupkan alat-alat kapal selama kapal sandar di pelabuhan. Bayangkan, dalam sehari kita membutuhkan 3 ton solar untuk menjalankan generator kapal. Solar harganya Rp. 11 ribu. Kalikan jumlah itu. Tidak akan ada kapal di Indonesia yang sanggup menjalankan generatornya sehari penuh. Apa yang saya lakukan? Di Cirebon saya datangi pimpinan PLN, kawan semasa Sespim dulu. Saya minta PLN membuat gardu listrik khusus di Pelabuhan Cirebon untuk Geomarin III. Semua peralatan Geomarin III itu elektronik dan tentunya membutuhkan listrik. Tidak ada lagi peralatan yang manual. Dengan gardu itu, kapal kami menjadi satu-satunya kapal di Pelabuhan Cirebon yang mendapatkan pasokan listrik dari PLN. Penggunaan listrik dari PLN akan lebih ekonomis dibandingkan mengguna kan generator. Perhitungannya, seluruh peralatan di kapal Geomarin III paling banyak hanya mengambil daya 100 ribu Watt. Sementara generator kapal jika dinyalakan dayanya mencapai 1 Mega Watt, 10 kali dari kebutuhan kapal pada saat standby. Tentu akan sangat boros jika kami mengambil listrik dari generator, apalagi bahan bakarnya yang mahal karena harus menggunakan solar industri tanpa subsidi. Inilah pembelajaran buat kita semua ke depan. Membangun dan mengurus kapal itu sulit dan melelahkan. Jadi jangan coba-coba membangun kapal kalau kita tidak punya rencana 25 tahun ke depan. Karena sebuah kapal hanya memiliki nilai ekonomis dan memberi manfaat jika dapat digunakan untuk menyelesaikan misi selama 25 tahun. Setelah 25 tahun, sesuai per aturan Menteri Perhubungan, kapal harus di-scrap, dipotong-potong dan dibesituakan.
55
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
Perawatan adalah Prioritas Dilema Berakrobat dengan Anggaran Tugas pengelola kapal adalah mempertahankan kelas kapal. Jangan sampai kelas kapal turun. Standar kelas kapal sangat ketat dan detail persyaratannya, segala komponen kapal dicek, sampai kepada mesin pendorong kapal. Dalam mempertahankan kelas kapal, pertama-tama kita tidak boleh dihalangi oleh sistem penganggaran. Jika misalnya lifecraft tidak diganti pada saat expired, maka kelas kapal akan turun. Ketika ada plating kapal yang aus atau menipis, harus segera diganti. Tidak bisa kita menunggu plate ini dianggarkan dulu untuk tahun depan, baru kemudian tahun depan diganti. Perbaikan atau penggantian harus segera dilakukan begitu ada komponen yang rusak. Kedua, kita harus tahu di mana galangan kapal yang layak dan mampu memperbaiki kapal kita ketika rusak. Ibaratnya, mobil mercy tidak boleh diservis di bengkel kijang. Jika sampai terjadi demikian, kelas kapal juga akan turun. Kapal Geomarin III ini, komponennya berasal dari berbagai negara. Setiap komponen punya tempat khusus untuk memperbaikinya, dan sebagai pengelola kapal kita harus tahu setiap tempat tersebut. Mesin misalnya, yang berasal dari Denmark, hanya bisa diperbaiki di Singapura. Kerusakan bow thruster, yang berperan vital dalam manuver kapal, karena buatan Jerman berarti memang harus dibawa ke sana jika rusak. Anggaran perawatan Kapal Geomarin III ini memang disediakan dalam APBN. Tapi tidak akan cukup. Karena itu kami putar otak untuk menekan serendah mungkin biaya operasionalnya. Misalnya kebutuhan listrik yang diambil dari PLN, itu bisa menekan biaya hingga 10 kali lebih rendah dibandingkan menggunakan generator. Perawatan rutin tentu dibiayai APBN. Setiap lima tahun sekali ada docking besar, setiap tahun ada docking kecil. Ada docking 10 tahunan, 20 tahunan berupa penggantian mesin. Tali-tali tambat misalnya, setelah dua tahun biasanya akan lapuk dan perlu diganti. Semua perawatan itu tentunya harus dianggarkan, dan anggaran kapal ini sangat besar. Anggaran perawatan Geomarin III per tahun pada 2011 mungkin mencapai Rp. 1,2 miliar. Geomarin I seingat saya anggaran perawatannya dibawah Rp. 200 juta per tahun. Pengajuan anggaran pemeliharaan ke
56
Lesson Learned dan Tantangan ke Depan
Kementerian ESDM sebenarnya tidak pernah dipermasalahkan, asalkan alasan yang kita sodorkan kuat, reasonable dan akuntabel akan dikabulkan. Kesulitan yang pernah saya alami pada tahun 2010 atau 2011 adalah ketatnya peraturan anggaran perawatan yang berasal dari APBN. Aturannya sama dengan pengadaan barang dan jasa, yang diatur oleh Keppres 80/2008 yang digantikan menjadi Keppres 54/2010, juga tidak banyak membantu dalam mengelola anggaran perawatan kapal. Anggaran PPGL sendiri terdiri dari dua macam: anggaran APBN murni dan anggaran dari PNBP. Penganggaran Balitbang (yang membawahi PPGL) memang beda dengan Direktorat Jenderal atau Sekretariat Jenderal. Di Balitbang, anggaran terdiri dari DHPB dan Rupiah Murni APBN. Anggaran Rupiah Murni dari APBN tidak menjadi masalah karena per tgl 1 Januari tiap tahun dapat dicairkan. Yang menjadi masalah adalah anggaran yang berasal dari DHPB tadi, yang porsinya dulu hampir 50% dari total anggaran Balitbang. Dana perawatan kapal biasanya diambil dari anggaran DHPB. Anggaran DHPB berasal dari pembayaran royalti produksi batu bara. Umumnya pembayaran itu dilakukan bulan Mei, Juni dan September. Konsekuensinya, pencairan anggaran ini juga mengikuti jumlah pendapatan DHPB yang telah perusahaan-perusahaan batu bara. Misalnya pada bulan Maret baru dibayarkan 10%, maka pencairan dana DHPB juga baru bisa 10%, Agustus baru disetor 25 %, maka dana yang bisa dicairkan juga hanya maksimum 25%. Padahal pemeliharaan kapal tidak bisa menunggu model pencairan seperti itu. Contohnya, pemeliharaan lifecraft, yaitu rakit penyelamat berbentuk kapsul berwarna putih, yang langsung membuka dan mengapung jika dilempar ke air. Alat ini setiap tahun harus diinspeksi, dibawa ke agennya. Di sana segelnya dibuka, kemudian baterai diganti dan makanan kaleng darurat diganti, pompa pengembang dicek lagi expired date-nya. Jika telah expired harus segera diganti. Bayangkan jika expired date perlengkapan lifecraft itu jatuh pada bulan Februari. Sementara anggaran PNBP baru cair pada bulan April. Lantas bagaimana kita merealisasikannya ? Padahal, untuk memperoleh ijin layar dari Syahbandar, dokumen-dokumen kelaikan ini harus dilampirkan.
57
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
Oleh sebab itulah, kadang-kadang kita dituntut untuk berkreasi atau berakrobat tanpa melanggar Keppres. Walaupun upaya ini juga beresiko menjadi temuan pihak Inspektorat Jenderal. Gara-gara langkah saya untuk perawatan lifecraft yang sudah expired itu, PPGL dikenakan TGR (Tuntutan Ganti Rugi) oleh Inspektorat Jenderal Kementerian ESDM dalam jumlah cukup besar. Untungnya, langkah saya ini didukung oleh seluruh komponen PPGL sehingga denda tersebut dapat diatasi bersama. Walaupun, niat baik tetapi berujung musibah ini, tidak masalah membuat semangat saya surut. Lebih baik didenda oleh Inspektorat Jenderal, daripada nantinya terjadi resiko kecelakaan yang berpotensi merenggut nyawa di laut. Saya sampaikan kepada teman-teman pengawas, sebaiknya untuk ke depan, mengirimkan tim pengawas dan pemeriksa yang dapat memahami hal-hal spesifik dan darurat seperti ini, serta yang penting dapat memberikan solusi bersama. Ketimbang terkesan mencari-cari kesalahan untuk meningkatkan prestasi pribadi. Jangan dilupakan, bahwa secara kedinasan kita sama-sama mengabdi untuk negara. Kondisi seperti ini akan menjadi dilema berkepanjangan bagi kami. Jika kami melakukan survei pada bulan Maret dan April sementara lifecraft belum diganti, maka pertama dampaknya adalah kelas kapal akan turun. Lifecraft jelas tercantum sebagai salah satu syarat utama kapal kelas internasional. Dampak keduanya, jika terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa, KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) jelas akan memeriksa. Dan jika mereka menemukan bahwa kami berangkat dengan perlengkapan yang tidak layak, kami bisa dituduh melakukan perbuatan pidana, yaitu melangar undang-undang pelayaran. Jangankan lifecraft, alat pemadam kebakaran yang dibiarkan lewat expired date juga sebenarnya sudah suatu pelanggaran. Hambatan lain berikutnya dalam pengelolaan kapal terkait anggaran ada lah kurang fleksibelnya peraturan penggunaan dana APBN. Contohnya pada pembangunan sebuah jembatan, dana APBN akan cair sesuai tingkat kemajuan (progress) bangunan fisiknya. Ketika jembatan telah rampung 30%, baru pemerintah mencairkan anggaran sebesar 30% pula. Setelah dibentangkan dan mencapai 50%, baru pemerintah membayar 50% ang garan. Lain halnya dengan pengoperasian Geomarin III tidak bisa seperti itu.
58
Lesson Learned dan Tantangan ke Depan
Sekarang misalnya, kami akan berangkat ke perairan Sorong. Tidak mungkin diberi solar 10 ton dulu, harus langsung 80 ton. Setibanya di Laut Banda nanti, kami mau beli dimana?. Salah satu solusinya adalah membuat kontrak jangka panjang dengan Pertamina melalui MoU, sehingga hambatan bahan bakar ini dapat diatasi. Perawatan kapal walaupun prioritas, namun sarat akan hambatan dan rintangan. Disatu sisi, kami dituntut untuk mematuhi dan konsisten terha dap aturan standar seperti ISO 9001-2000 tentang manajemen mutu, dan 18001-2007 tentang keselamatan, namun di sisi yang lain kami juga harus mematuhi aturan penggunaan anggaran menurut Keppres yang berlaku. Ada kalanya, kedua sisi ini tidak bisa sinkron karena fungsi dari waktu, kondisi, dan terkendala aturan lainnya, bahkan berpotensi menjadi dilema baru yang berkepanjangan. Semoga, ke depan ada solusi yang manjur, sehingga program pemetaan nasional ini dapat berjalan sesuai target, dan dilema penggunaan anggaran pemeliharaan ini tetap akuntabel.
Komponennya Baru, Spare Part-nya Bekas Selain perbaikan/penggantian komponen rusak dan pemilihan tempat perawatan yang tepat, ada hal lain yang harus diperhatikan. Hal tersebut adalah penyiapan spare part (suku cadang). Dalam hal ini, kita juga tidak bisa mengharapkan anggaran APBN turun dengan prosedur standar. Misalnya, saya ingin membeli spare part starter dinamo untuk generator kapal. Secara prosedural, tidak mungkin saya meminta anggaran APBN karena anggaran hanya akan turun ketika benda komponen itu rusak. Prinsip APBN adalah pencairan anggaran harus berdasarkan fakta fisik. Misalkan, Anda harus ganti ban yang botak, perlihatkan dulu ban yang botak, baru kami ganti. Jadi dalam kasus kapal, kita harus menunggu dulu spare part kapal menjadi rusak, baru bisa diganti oleh APBN. Geomarin III tidak akan bisa berjalan dengan sistem seperti itu. Terpaksalah kami bermanuver dengan Badan Klasifikasi Indonesia (BKI) dan sepengetahuan Syahbandar, agar menyatakan bahwa starter itu dinyatakan rusak (walaupun masih bisa digunakan), sehingga kita bisa mengajukan anggaran pembelian spare part-nya dari APBN. Begitu barangnya datang,
59
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
langsung kami pasang walaupun komponen yang asli belum rusak betul. Sebab, biasanya pemeriksa dari Inspektorat Jenderal betul-betul akan me meriksa apakah spare part tersebut telah dipasang. Sampai-sampai mereka merangkak dan membongkar generator untuk mencocokkan nomor seri barang yang dipasang, dicocokkan dengan nota pembelian. Jadi, sebenarnya spare part yang betul-betul menjadi persediaan adalah barang bekas pakai, yaitu komponen asli yang diganti dengan spare part yang baru datang tersebut. Suatu keterpaksaan manajemen akal-akalan yang ironis!. Memang manuver ini sebenarnya pelanggaran. Tapi kami bisa apa lagi? Tidak mungkin berlayar tanpa adanya spare part seperti starter dinamo untuk menghidupkan mesin kapal. Bayangkan apa yang terjadi jika mesin kapal mati di tengah laut dan tidak ada spare part yang tersedia. Bagaimana menarik benda seberat 1.300 ton itu ke daratan? Selain itu, Kapal yang tidak bergerak akan hanyut atau bisa tenggelam. Karena itulah, kami catat komponen-komponen apa saja yang penting dan vital, dan diupayakan untuk diprioritaskan pengadaannya sebagai spare part yang siap digunakan. Kami sudah menerapkan manuver semacam ini sejak memelihara Geomarin I. Makanya, Geomarin I bisa melewati 20 tahun tanpa kecelakaan sama sekali, zero accident. Sebenarnya Geomarin I telah tiga kali mengalami mesin mati (mogok) di tengah laut dan harus ditarik ke darat karena tidak ada spare part starter dinamo. Untungnya, lokasi mogok Geomarin I tidak begitu jauh dari pelabuhan. Pernah kapal ini mogok di dekat Surabaya, kemudian di Kendari, dan sekali di Kangean kalau tidak salah. Di Surabaya, kapal ditarik ke Tuban. Starter dinamo-nya dibongkar. Kemudian teknisi kami turun dengan rubber boat ke darat, lari ke jalan cegat bus. Dengan bus itu ke Jakarta sehari semalam mencari bengkel servis untuk starter itu. Setelah diperbaiki sehari di Jakarta, sehari kemudian kembali lagi ke Tuban. Akhirnya dalam tiga hari Geomarin I sudah berjalan kembali. Di Geomarin III, kami tidak berani berbuat seperti itu lagi. Tidak mungkin kami membongkar sendiri alat seperti dinamo starter. Setiap peralatan di Geomarin III ini punya semacam sticker label. Jika sticker itu terlepas atau sobek sedikit saja, kelas kapal kami bisa langsung turun. Untuk membongkar alat seperti
60
Lesson Learned dan Tantangan ke Depan
starter dinamo saja, kami harus melakukan tender. Kepala Kamar Mesin (KKM) kami sebenarnya mampu membuka alat tersebut, tapi peraturan atau SOP melarangnya dengan tegas.
Mungkinkah Ketentuan Umum lebih Fleksibel? Jangankan alat canggih seperti starter dinamo. Flashdisk, bahkan kertas pun harus dibeli melalui tender atau penunjukkan langsung, sesuai aturan pemerintah. Ibaratnya, saya ingin membeli flahsdisk. Saya tidak bisa langsung datang ke sebuah toko dan membelinya. Menurut prosedur tender saya harus menanyakan dulu harga barang tersebut di minimal tiga toko. Kemudian saya akan menetapkan ke toko mana saya akan membeli flashdisk berdasarkan penawaran harga di ketiga toko tersebut. Untungnya kami sekarang punya spare part walaupun berasal dari kompo nen yang digantikan karena yang baru langsung dipasang. Kalau kami tidak langsung memasang komponen spare part yang baru, bisa-bisa kami lang sung ditegur oleh pengawas dari Inspektorat Jenderal Kementerian ESDM. Jika mereka melihat ada komponen baru yang idle, akan langsung dicatat sebagai temuan. Prosedur seperti ini jelas tidak efisien dan terkesan kaku. Suatu ketika tim kami membutuhkan kertas. Sesuai aturan, kertas itu harus dibeli lewat proses penunjukkan langsung. Seperti biasa, penawaran dan penetapan tender memakan waktu minimal 14 hari. Kemudian dari proses penetapan hingga selesainya tender juga memakan waktu minimal 14 hari lagi. Dalam proses menunggu datangnya kertas itu, tim kami sudah terlanjur berangkat. Bahkan ketika mereka pulang pun, kertas belum juga datang. Kertas yang ditenderkan baru datang belakangan dan akhirnya terpaksa disimpan di gudang sebagai persediaan. Kejadian ini terulang beberapa kali sampai-sampai akhirnya staf saya di PPPGL melapor bahwa di gudang telah menumpuk 360 rim kertas! Akhirnya saya mempersilakan siapa pun yang membutuhkan untuk mengambil kertas tersebut, asalkan membuat pengajuan resmi lebih dahulu. Langkah saya ini justru kemudian dipuji oleh Inspektorat karena dianggap sebagai manajemen yang disiplin melakukan pencatatan pengeluaran persediaan. Padahal sejujurnya, ini tak lebih dari sekedar manajemen akal-akalan saja.
61
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
Jadi ibaratnya, kebijakan pemerintah ini seperti seorang ayah yang mem berikan syarat kepada anaknya yang meminta dibelikan buku pelajaran, “Nak, kamu akan ayah belikan buku kalau nilai kamu sudah 9.” Begitu anaknya mendapat nilai 9, buku itu dibelikan. Tentu saja sudah tidak lagi ada gunanya. Sang anak butuh buku itu untuk dipelajari agar bisa mendapat nilai 9. Setelah nilainya diperoleh, untuk apa lagi bukunya diberikan? Soal komputer misalnya, saat itu PPPGL tidak pernah mendapat kompu ter yang bagus. Sebab setiap kali kami mengajukan komputer yang bagus tentu saja dengan harga yang lebih mahal selalu dipertanyakan oleh Ditjen Anggaran. Selalu saja kami diminta menyesuaikan pengajuan dengan standar spesifikasi barang dalam ketentuan Ditjen Anggaran. Akibatnya, pernah suatu kali saya hendak melakukan presentasi di depan para Dirjen untuk sinkronisasi program. Begitu laptop saya nyalakan, langsung mati. Lantas saya mau bicara apa di hadapan mereka? Saya melihat, masalah utama kita dalam pengelolaan kapal masih pada cara menggunakan anggaran. Kita tidak bisa mengikuti prosedur resmi penganggaran lewat APBN. Dalam manajemen kapal, pemilik kapal harus diberi kebebasan untuk menentukan prioritas pemanfaatan dana dalam rangka pemeliharaan kapal. Sedangkan aturan anggaran pemerintah yang kita punyai masih terkesan kaku dan generalis. Peraturan ini terlalu mengedepankan ketentuan umum, sementara banyak kasus khusus yang harus dihadapi. Saya kira hal-hal khusus tersebut bukan hanya terkait masalah pengelolaan kapal melainkan juga dalam bidang-bidang lain yang serupa. Oleh sebab itu, dalam penjelasan tentang manajemen kapal, tidak ada satupun kalimat yang menyebut istilah “kapal pemerintah”. Yang ada adalah “pemilik kapal”. Sebab begitu istilah yang digunakan adalah “kapal pemerintah” atau “kapal milik pemerintah”, maka pengelolaannya akan menjadi repot. Jika pemilik kapalnya adalah pihak swasta, tidak ada masalah selama mereka mematuhi peraturan dan standar internasional tentang pe meliharaan kapal.
62
Lesson Learned dan Tantangan ke Depan
Nyaris Tenggelam di Kangean Tapi yang namanya perawatan barang, tentu tidak bisa semuanya sempurna. Suatu kali ketika kami survei di sekitar Pulau Kangean, Kapal Geomarin I bocor di bawah garis air. Padahal pulau itu jauh dari mana-mana. Sebenarnya lambung kapal sudah mengalami replating. Mungkin saja memang ada bagian lambung yang terlewatkan pada saat inspeksi oleh BKI sehingga tidak di-replating. Tim peneliti di atas kapal terus melakukan survei, tanpa sama sekali tahu bahwa kapal sedang mengalami kebocoran. Begitu sampai di darat, barulah kapten kapal memberitahu bahwa tadi di laut kapal sebenarnya bocor. Kebocoran seharusnya bisa diperbaiki dengan pengelasan di bawah air oleh penyelam. Tapi kami tidak memiliki las basah yang bisa digunakan di bawah air, yang ada hanya las kering. Sementara kapal bocor di bawah garis air. Parahnya lagi, kebocoran ini terjadi di bagian kapal yang tidak memiliki pompa, kalau tidak salah di ruang jangkar. Bayangkan, jika kebocoran ini tidak diketahui dan tidak ditangani, dalam tiga belas jam saja kapal akan tenggelam. Akhirnya kapten di atas kapal berinisiatif menyumbat lubang kebocoran itu dengan gagang sapu dari rotan. Gagang itu mencuat sampai kira-kira 20 cm ke luar lambung kapal. Ajaibnya sumbatan rotan itu bisa bertahan sampai akhirnya kapal bersandar di Surabaya dan kemudian mendapat perbaikan. Saya menilai, kapten kapal sangat bijaksana. Beliau paham bahwa survei ini tidak bisa dibatalkan. Sehingga kapten memilih tidak memutar kapal untuk pulang. Sebab jika survei ini batal, solar dan persediaan yang sudah diisikan ke kapal berikut dana operasional yang sudah dibayarkan, harus dikembalikan kepada pemerintah. Suatu konsekuensi kerja yang tidak logis. PPGL juga pernah mengalami “insiden” lain terkait survei di laut. Ketika itu, kami baru saja pulang ke Cirebon sehabis melakukan suatu survei. Di tengah laut, kami bertemu dengan sebuah kapal yang kehabisan solar. Karena solidaritas sesama pelaut, oleh awak Geomarin I kapal itu diberi satu drum solar agar bisa berlayar sampai pelabuhan terdekat. Tapi kemudian berita yang sampai ke darat dan beredar di media adalah Geomarin I melakukan jual beli solar di laut. Untungnya kami bisa mengklarifikasi kasus ini kepada Syahbandar dan pihak-pihak lain, sehingga beritanya kemudian mendingin.
63
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
Kelola Manusianya ABK juga Manusia Setelah kapal selesai dibangun, tentu dia memerlukan awak dan perwira. Geomarin I memiliki 3 perwira, Geomarin III memiliki 4 perwira. Perwira Pertama bertugas di bagian navigasi, mengatur perjalanan kapal. Perwira Kedua, adalah KKM (Kepala Kamar Mesin). Perwira Ketiga mengurusi bagian logistik seperti makanan dan bahan bakar. Perwira Keempat di bagian teknisi, misalnya mengurusi listrik yang mati atau ketika terjadi kebocoran kapal. Nah, masalahnya saat itu, Geomarin III belum memiliki kapten. Padahal dalam anggaran pembangunan Geomarin III, tidak ada alokasi untuk mendidik kapten. Sementara sekolah pendidikan kapten itu mahal sekali. Akhirnya saya terpaksa. Untuk menjabat posisi kapten di Geomarin III, Perwira Pertama di Geomarin I saya sekolahkan ke Thailand. Sebab sertifikasi awal perwira tersebut hanya layak untuk kapal bertonase 150 DWT, sementara Geomarin III tonasenya mencapai 1.300 DWT. Salah satu perwira di Geomarin I waktu itu, saya minta bekerja di sebuah kapal survei geofisika milik Thailand. Ketika itu, menjelang Geomarin III hampir rampung, kapal Thailand itu memang tengah mencari awak kapal selama setahun. Saya berpesan kepada perwira itu, agar gaji yang ia terima nantinya sebagian dipakai untuk biaya sekolah pendidikan kapten. Hal ini sempat menjadi masalah internal, sebab saya mengizinkan perwira tersebut magang di kapal Thailand tersebut. Padahal yang bersangkutan masih berstatus PNS. Setelah perwira itu kembali dari magang, masuk pendidikan ke jenjang yang setara dengan sekolah kapten. Alhamdulillah, dia lulus menjadi kapten tepat ketika Kapal Geomarin III diserahterimakan. Seandainya dia belum lulus, pasti saya akan bingung mencari kapten. Sebenarnya kapal besar seperti Geomarin III idealnya harus punya dua kapten. Satu bertugas menjalankan kapal, satunya lagi bertugas sebagai captain on board sebagai pengganti. Tapi sayangnya kami tidak punya dua kapten.
64
Lesson Learned dan Tantangan ke Depan
Sebenarnya dengan bahan bakar penuh, Geomarin III bisa berlayar sampai 50 hari di laut. Tapi kami batasi maksimal 30 hari agar sesuai standar kelas internasional. Sebab, meski bahan bakar cukup dan kapal sanggup berlayar, manusia yang menjadi awaknya belum tentu sanggup. Mereka yang terlalu lama berada di tengah laut, bisa mengalami gangguan kejiwaan yang disebut sebagai “megalomania” salah satu penyakit kejiwaan akibat kejenuhan kerja. Gejalanya adalah berhalusinasi misalnya, meski kapal terombang-ambing, dia tidak merasakan apa-apa, rasa sakit pun tidak lagi dirasakan dan cenderung suka melamun. Karena itulah, maksimal dalam 30 hari kapal harus bersandar di pelabuhan dan berganti awak tim peneliti. ABK kapal sendiri tidak diganti, hanya diistirahatkan selama sepekan atau 10 hari. Memang, para awak kapal survei ini belum bisa kita beri fasilitas kesejahteraan di luar yang telah diatur pemerintah. Seringkali saya prihatin kepada mereka. Masalahnya, petugas di Geomarin bekerja 24 jam, atau jika diatur dalam shift dia minimal bekerja 16 jam sehari. Belum lagi uang makan mereka yang dipotong. Mereka yang bekerja di darat mendapat jatah uang makan. Sedangkan kami yang bekerja di Geomarin harus iuran sendiri untuk makan harian, biasanya antara Rp. 30-50 ribu tergantung kebijaksanaan kepala tim. Ditambah lagi masalah mabuk laut. Saya ingat ketika menjadi kepala tim di Geomarin I, muntahan saya warnanya sampai sangat kuning. Tenggorokan perih karena terkena asam lambung yang dimuntahkan. Rasanya begitu sampai lagi di darat, mau menangis minta pensiun saja. Padahal itu baru seminggu di laut. Bagaimana dengan mereka yang 2-3 minggu? Bahkan 3 bulan? Hal-hal seperti ini belum sempat kami carikan kompensasinya (Lazimnya ada tunjangan kompensasi bagi pekerjaan yang beresiko tinggi). Kami terima saja pekerjaan ini sebagai tugas negara. Masalah lain yang saya prihatinkan adalah bahwa para personil ini belum punya asuransi. Kalau pun ada, hanya asuransi pribadi yang diurus perorangan, bagi mereka yang merasa sudah punya penyakit tertentu. Berkali-kali kami mengajukan anggaran asuransi ini ke pemerintah, tidak dikabulkan. Padahal di kapal-kapal internasional, asuransi bagi awak kapal ini wajib. Anehnya di Indonesia, menurut aturan yang berlaku asuransi PNS tidak boleh dibayarkan oleh pemerintah. Hal-hal itulah antara lain yang saya prihatinkan. Syukurlah,
65
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
meski protes, teman-teman tidak terlampau mempermasalahkan hal-hal ini. Saya sampaikan kepada mereka, syukuri saja dulu apa yang ada. Dalam 20 tahun ke depan, mungkin kita tidak akan membuat kapal baru. Karena membangun kapal baru juga otomatis menimbulkan masalah baru: bagaimana mencari kapten, perwira dan ABK-nya? ABK Geomarin III sekarang lebih dari 50% adalah tenaga harian. Jika mereka sudah bosan atau tidak senang lagi bekerja, mereka bisa hengkang setiap akhir kontrak. Kita tentu bakal kesulitan mencari tenaga lagi. Belum lagi banyak para teknisi kapal yang sekitar 5 tahun ke depan akan pensiun sebagai PNS. Karena itu, kita perlu memikirkan bagaimana pengelolaan kapal ke depan.
Pentingnya Manajemen Kapal Berkelas Dunia Manajemen kapal belum masuk ke dalam struktur PPPGL. Dalam struktur PPPGL, tanggung jawab atas pemeliharaan kapal semestinya ada pada Kepala Bidang Sarana yang melakukan pengadaan kapal. Namun jika dilihat, wewenang Kepala Bidang Sarana tidak mencakup hal tersebut, ia hanya bertanggung jawab pada pengadaan seluruh sarana di PPPGL, memelihara dan menyiapkannya ketika akan digunakan. Sementara manajemen kapal dalam praktiknya sangat rumit. Seharusnya memang ada manajemen khusus untuk mengelola kapal, tapi sayangnya hal ini tidak bisa dilakukan karena memang tidak ada dalam struktur PPPGL. Untuk menyiasati hal tersebut, secara tidak tertulis, manajer kapal di PPPGL dijabat oleh Kapus. Itulah sebabnya awak kapal Geomarin III seringkali harus menelepon saya dari tengah laut untuk meminta keputusan. Hal ini berbeda dengan kondisi di BPPT misalnya, yang memiliki manajemen sekaligus manajer kapal dalam struktur organisasinya. Bahkan BPPT sebelumnya pernah melakukan out sourcing dalam pengelolaan kapalnya untuk kapal Baruna Jaya III. Pemerintah membayar pihak swasta untuk mengurus kapalnya, semacam konsultan. Kesulitan BPPT bukan pada tidak adanya manajemen kapal. Kemungkinan besar manajer kapalnya kurang paham dengan mana jemen kapal. Apalagi mereka tidak punya kapten dan nakhkoda kapal. Manajemen kapal sangat penting karena keputusan-keputusan merekalah
66
Lesson Learned dan Tantangan ke Depan
yang akan menentukan masih layak tidaknya sebuah kapal menyandang kelas internasional. Satu hal yang membuat kami dipercaya memperoleh anggaran untuk Geomarin III, adalah track record Geomarin I yang bagus. Selama 20 tahun, Kapal Geomarin I tidak pernah mengalami kecelakaan, zero accident. Karena itu, kapten Kapal Geomarin I dianugerahi Bintang Darmakarya dari Menteri ESDM. Penghargaan ini adalah yang tertinggi bagi PNS. Prestasi ini tentu tidak akan bisa kami raih tanpa kedisiplinan dalam mengelola kapal. Tahun 2004, PPGL pertama kali menerapkan ISO 9001-2000 yaitu tentang manajemen mutu. Seharusnya Kapus sekarang melakukan upgrade, karena ISO 9001-2000 itu sudah diganti dengan ISO 9001-2008. Kemudian setelah kami punya kapal pada tahun 2010, saya siapkan juga SOP untuk keselamatan kerja, yaitu OHSAS 18001-2007. Sebenarnya OHSAS itu tidak boleh hanya dipergunakan di kapal, akan tetapi harus untuk keseluruhan organisasi. Karena itu saya pergunakan juga untuk organisasi PPPGL. Ternyata hasilnya bagus, hidran-hidran di kantor jadi berfungsi, ada tanda-tanda evakuasi, kemudian di tiap ruang ada alat pemadam kebakaran. Semua sistem keselamatan kerja di kantor menjadi lengkap. ISO dan OHSAS adalah dua jenis sertifikasi untuk manajemen sistem kerja. Untuk hal-hal lain PPPGL juga punya berbagai jenis sertifikasi namun jenisnya sertifikasi biasa. Awak kapal juga harus tersertifikasi. Misalnya, Perwira III Kepala Kamar Mesin, dia harus mendapatkan brevet. Untuk itu para ABK kami training di Semarang. Begitu kapal Geomarin III diluncurkan, mereka semua sudah memperoleh brevetnya. Hal ini berbeda dengan Kapal Geomarin I yang para awaknya tidak tersertifikasi. Waktu itu, awak yang lulus pendidikan pelayaran kemudian ada yang masuk menjadi kapten. Ada juga yang bekerja di kamar mesin. Namanya bukan Kepala Kamar Mesin, melainkan ahli mesin, sebab dia tidak mendapatkan brevet. Tantangan utama dalam melakukan penelitian dengan kapal survei di laut adalah manajemen SDM. Dalam survei di darat, relatif lebih mudah mem berikan komando kepada personil. Namun di atas kapal, yang berkuasa adalah kapten (nakhkoda). Menurut Konvensi Hukum Laut Internasional, kapten kapal adalah “perwira berwenang” di laut. Nakhoda-lah berwenang
67
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
menangkap, menyidik, melaporkan dan menghukum pelaku kriminal. Kapten juga berwenang dan bertanggung jawab atas keselamatan kapal, khususnya dalam menghadapi bahaya akibat kondisi cuaca. Jika kapten menilai cuaca terlalu buruk atau ombak terlalu besar, survei ke suatu lokasi bisa dibatalkan walaupun kita sudah merencanakan lintasan ke sana. Peran kapten inilah yang masih kurang dipahami dalam pelaksanaan kegiatan penelitian di laut. Belum ada pembagian yang jelas dalam bentuk SOP mengenai kewenangan. Kepala tim memang berwenang dalam menentukan survei. Namun yang berwenang dan bertanggung jawab dalam masalah keselamatan kapal adalah kapten. Di laut, tanpa SOP, kita bisa bersitegang. Apalagi menyangkut masalah keselamatan, ketika terjadi kecelakaan, orang cenderung berada dalam kondisi stress sehingga mudah tersulut emosinya. Karena belum ada SOP, setiap kali ada permasalahan darurat, mereka me nelepon saya di Bandung. Peran lain yang perlu dipahami adalah security officer, yang personilnya biasanya adalah perwira Angkatan Laut berpangkat kapten ke atas. Tanpa security officer ini, syahbandar pelabuhan tidak akan memberikan izin berlayar. Sang security officer akan terus ikut selama pelayaran survei berlangsung. Dulu, istilah yang dipakai adalah liason officer karena tugas sang perwira adalah sebagai penghubung ke AL. Menurut aturan undang-undang terdahulu, seluruh data kelautan yang disurvei di Indonesia harus diserahkan pula ke AL. Security atau liason officer inilah yang membuat laporan kepada Mabes AL, mengenai detail survei yang kita lakukan. Bisa saja memang data survei kita mengandung informasi pertahanan-keamanan, seperti misalnya penemuan ladang ranjau. Semua itu akan dilaporkan oleh sang security officer, yang biaya operasionalnya ditanggung oleh kami sebagai pelaku survei. Peran pihak-pihak di luar tim peneliti ini yang belum menjadi SOP yang baku. Katanya, SOP akan segera dibuat, meskipun memang sulit karena belum ada contohnya. Untung saja, dalam sertifikasi ISO 9001-2000, peran kapten sudah disinggung. Misalnya, sebelum berangkat harus ada briefing lebih dulu oleh kapten di anjungan. Demikian pula dengan persiapan ke selamatan. Contohnya, penumpang pada dek sekian harus berlari ke mana dalam keadaan darurat, posisi lifeboat ada di mana di tiap dek, bagaimana
68
Lesson Learned dan Tantangan ke Depan
menggunakan pelampung dsb. Semua itu secara rutin dilatihkan kepada awak dan penumpang kapal, sehingga jika seandainya terjadi kecelakaan semua personil sudah paham apa yang harus dilakukan. Hal-hal ini harus dipenuhi jika kita ingin kelas kapal masih tetap pada level internasional. Simbol-simbol standar juga dipahamkan maknanya kepada semua personil. Biasanya simbol-simbol ini berbentuk bendera. Bendera merah dengan kotak hitam di tengahnya, maknanya kapal sedang mengalami kerusakan mesin. Bendera merah dengan garis putih diagonal, berarti sedang ada penyelaman di sekitar kapal sehingga kapal lain tidak boleh melintas. Bendera dengan tiga bola bersusun, artinya kapal ini sedang melaksanakan survei sehingga jalurnya tidak boleh dipotong oleh kapal lain. Kapal lain harus bergeser ke belakang kapal yang sedang survei tersebut. Simbol-simbol ini biasanya di ingatkan kembali oleh kapten kapal pada saat briefing.
SOP Memerlukan Budaya Disiplin dan Konsisten Satu-satunya kapal yang sarat dengan ketentuan internasional di Indonesia menurut saya adalah Kapal Peneliti Geomarin III ini. Karena itu, menjaga kelas internasional dari kapal ini tidak akan mudah. Semakin tinggi kelas kapal maka semakin ketat prinsip yang diberlakukan. Prinsipnya, aturan-aturan dan standar internasional dalam pengelolaan kapal harus dinomorsatukan. Bagaimana mau menjadi nomor satu jika lifecraft di atas kapal dan perlengkapannya terlanjur expired, sebab harus menunggu anggaran cair? Dalam hal inilah diperlukan keberanian mengambil risiko, lebih mengutamakan keselamatan dari pada ketakutan kehilangan jabatan. Perlu diingat bahwa risiko seperti itu jauh lebih kecil daripada risiko kehilangan harta dan nyawa dalam kecelakaan di laut, akibat mengabaian standar keselamatan. Setiap tahun, pelaksanaan ISO untuk Geomarin III diaudit secara detail untuk menjamin penerapan standar keselamatan. Segala hal dicek, mulai dari apakah konsistensinya dijalankan, kondisi fisik kapal seperti apa, perlengkapan lifecraft apakah cukup. Lifecraft berkapasitas 50 orang misalnya, menurut aturan keselamatan internasional harus digandakan seat-nya (menjadi 100 orang). Hal ini untuk mengantisipasi kondisi di mana
69
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
penumpang panik dan melompat ke lifecraft terdekat. Untunglah, para ABK PPPGL telah memiliki pengalaman menerapkan aturan keselamatan internasional selama mengelola Geomarin I, ditambah lagi perlengkapan komunikasi dan keselamatan yang lebih baik saat ini. Masa kerja para ABK kami yang bertugas sejak awal sebagai PNS memberikan keuntungan tersendiri. Pola kerja dan komunikasi telah terbangun dengan berjalannya waktu. Akan jauh lebih sulit membangun pola kerja jika para ABK ini adalah tenaga kontrak yang bisa berganti setiap saat. Saking ketatnya penerapan standar internasional bagi Geomarin III, kokinya pun harus bersertifikat internasional. Ia harus mampu memasak menu masakan Eropa, Korea, Jepang, China, Amerika dll. Menu harus tersedia di meja makan pada jam-jam makan. Kapan pun chef menyalakan kompor harus dicatat pada check list. Kapan makanan dihidangkan juga diatur dengan ketat. Karena jika ABK boleh makan kapan pun mereka mau, waktu istirahat chef (koki) bisa-bisa tidak teratur, dan hal ini melanggar standar internasional. Hal ini berbeda sekali dengan kondisi di Geomarin I dimana para ABK bisa makan kapan saja, begitu lapar tinggal lari ke dapur menyeduh mi instan. Tingkat kedetailan prosedur kapal berkelas internasional sangat terlihat pada log book-nya. Log book ditulis dengan tangan dan ada juga yang berbentuk database. Setiap perwira wajib mencatatkan kegiatannya pada log book-nya masing-masing. Ketika kapal berubah arah dari sekian derajat ke haluan lain misalnya, wajib dicatat pergeseran arahnya, penyebab pergeseran, serta waktu dan tempat terjadinya. Posisi kapal dan kecepatan dari waktu ke waktu juga dicatat sehingga kami bisa menentukan jarak tempuhnya. Log book sebuah kapal ibarat black box pada pesawat terbang. Karena itulah, pada saat audit status ClassNK, tim auditor dari Jepang, China dan Singapura pertamatama mengecek konsistensi log book tersebut. Jika log book-nya saja sudah berantakan, apalagi penerapan prosedur standar internasional yang lain.
Tantangan Masa Depan KP Geomarin III Berdasarkan uraian di atas, dapat kita lihat bahwa seiring perkembangan zaman ke depan, pengelolaan kapal Geomarin III setidaknya akan menghadapi
70
Lesson Learned dan Tantangan ke Depan
sejumlah tantangan baru. Untuk menanggulangi tantangan-tantangan yang mungkin semakin berat ini memerlukan manager yang mumpuni, sehingga tidak boleh kehilangan ide, karena ide akan menginspirasi untuk berbuat lebih. Tantangan yang mungkin akan muncul adalah sebagai berikut: 1. Lokasi penelitian geologi kelautan menggunakan KP Geomarin III semakin jauh dari “homebase” yaitu Pelabuhan Cirebon. Dengan begitu, hari layar untuk perjalanan ke lokasi lebih panjang dari hari layar surveinya sendiri. 2. Bahwa pengelolaan Kapal Peneliti yang berkelas dunia, sarat akan ke patuhan terhadap ketentuan-ketentuan internasional mengenai pe meliharaan fasilitas kapal. Salah satu fasilitas kapal yang sangat esensial adalah perahu penyelamat (lifecraft) yang biasa digunakan jika terjadi kecelakaan di kapal. Fasilitas lifecraft ini mutlak harus diinspeksi setiap tahun. Inspeksi harus meliputi sistem otomatis kompresi untuk me ngembangkan perahu, persediaan makanan darurat yang harus diganti, serta peralatan penunjang lainnya seperti baterai lampu, dan peralatan survival lainnya. 3. Sering terjadi bahwa penjadwalan pemeriksaan lifecraft ini tidak sesuai jadwalnya dengan sistem penganggaran APBN (terutama yang menggunakan anggaran DHPB yang selalu terlambat cair). Karena itu, dibutuhkan komitmen agar kondisi lifecraft senantiasa siap digunakan. Akan tetapi sistem alokasi anggaran juga terpaksa dimajukan. Hal ini sering menjadi temuan dalam pemeriksaan rutin Inspektorat Jenderal KESDM yang bahkan berakibat TGR (Tuntutan Ganti Rugi). Padahal tidak ada sedikit pun ada indikasi kerugian keuangan negara. 4. Oleh sebab itu, sebagai pengelola kapal siap pakai, PPPGL harus berani memajukan sistem alokasi anggaran, walaupun dengan risiko terjadi temuan pemeriksaan lagi. Hal ini mengingat bahwa jika kapal berlayar tanpa lifecraft, akan mengakibatkan risiko yang jauh lebih dahsyat. Selain itu, membawa lifecraft yang belum diinspeksi pada kegiatan penelitian, adalah pelanggaran serius terhadap ketentuan internasional, yang iro nisnya dilakukan oleh sebuah kapal berkelas dunia.
71
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
5. Ketersediaan sumber daya manusia yang khusus yaitu Nakhoda, perwira kapal, serta ABK (Awak Kapal), yang semakin berkurang mengingat usia pensiun. Padahal, penggantinya harus selalu dituntut mempunyai “rasa memiliki kapal”. Terkait hal ini, sebagian Awak Kapal juga masih berstatus pegawai kontrak atau harian. Padahal mereka dituntut bertanggung jawab penuh dengan baik sepanjang waktu. Dikhawatirkan, jika status kepegawaian mereka tidak segera diangkat sebagai PNS, ada kemung kinan akan mengundurkan diri sebagai ABK KP Geomarin III. Dalam masa menunggu pergantian, akan terjadinya kekosongan ABK, yang berdampak baru bagi sistem kerja yang sudah terjalin baik di dalam kapal. 6. Dengan semakin meningkatnya kecanggihan teknologi peralatan ka pal, pengelola termasuk pelaksana dituntut senantiasa meningkatkan pengetahuan. Hal ini dapat dilakukan melalui kursus-kursus singkat di dalam atau luar negeri. Dengan demikian, para pengelola akan selalu dapat mengikuti perkembangan teknologi fasilitas pelayaran, navigasi, ataupun perhubungan lainnya. 7. Sampai saat ini, seluruh personal peneliti dan ABK KP Geomarin III tidak memiliki asuransi kesehatan dan kecelakaan. Padahal bekerja di atas kapal penelitian selama berhari-hari di laut sangat tinggi risiko kecelakaannya, baik fisik ataupun non-fisik (kejiwaan). Demikian pula peralatan survei yang canggih dan relatif mahal, juga tidak diasuransikan. Padahal jika terjadi musibah, misalnya alat tersebut jatuh ke laut akibat tali penarik putus, maka PPPGL tidak memiliki alat cadangan lagi. Akibatnya survei terhenti tidak bisa diselesaikan.
72