Kondisi Minoritas Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia dan Tantangan Ke Depan∗) Oleh Ahmad Suaedy∗∗)
Hingga 12 tahun masa reformasi setelah tumbangnya diktator Suharto dan Orde Baru belum banyak pihak atau pun perorangan, dan bahkan perguruan tinggi sekalipun, yang secara teratur dan berkesinambungan mengamati dan memantau tentang pelaksanaan Konstitusi berkaitan dengan hak-hak beragama dan berkeyakinan dan kebudayaan pada umumnya di Indonesia.1 Padahal hak-hak tersebut sama pentingnya dari hak-hak lain, seperti hak untuk hidup, memperoleh pendidikan dan kehidupan yang layak dan juga hak-hak berekspresi dan berkumpul. Bahkan dari segi pelaksanaannya, hak beragama dan berkeyakinan, karena sifatnya yang nonderogable, maka bisa dikatakan lebih penting dari hak yang lain tersebut. Dibandingkan dengan sektor lain seperti hukum, ekonomi, politik, dan media maka pelaksanaan hak beragama dan berkeyakinan serta kebudayaan jauh ketinggalan. Dalam bidang politik, misalnya, ada KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan KPU Daerah dengan segala perangkat pengawasannya. Dalam bidang hukum ada KY (Komisi Yudisial) dan KPK (Komisi Pemberantasaan Korupsi), dan juga komisikomisi lembaga penegakan hukum lainnya seperti Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian dan sebagainya. Dalam bidang ekonomi ada Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). Dalam bidang media, ada Dewan Pers dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Dibandingkan dengan semua pelaksanaan hak-hak warga ∗)
Paper disampaikan pada “Seminar Nasional Hak Asasi Manusia, Kerukunan Kehidupan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia,” oleh KOMNAS HAM, Jakarta 29 Juli 2010. ∗∗)
Direktur Eksekutif the Wahid Insitute, Jakarta.
1
Beberapa lembaga yang membuat Laporan dan Evaluasi Tahunan tentang kondisi kehidupan beragama dan berkeyakinan di Indonesia bisa dicatat a.l.: Setara Institute sejak 2007; the Wahid Institute sejak 2008 dan pemantauan setiap bulan melalui Monthly Report on Religious Issues; serta Program Master CRCS UGM sejak 2008, serta Departmen Agama RI tampaknya akan memulai tahun ini.
1
negara dan hak asasi manusia dalam Konstitusi, maka hak beragama dan berkeyakinan dan kebudayaan, belum memperoleh perhatian yang memadai. Semua perangkat komisi dan kelembagaan yang disebut di atas pada dasarnya buah dari demokratisasi paska tumbangnya Orde Baru sebagai respon terhadap perubahan untuk melakukan reformasi di dalam lembaga-lembaga penegak hukum tersebut, yang pada era Orde Baru bersifat represif. Meskipun hasilnya masih banyak dipertanyakan banyak pihak, namun setidaknya telah ada lembaga yang bisa dievaluasi dan secara prosedural memenuhi syarat demokrasi. Sedangkan pelaksanaan hak beragama dan berkeyakinan dan kebudayaan bisa dikatakan seluruhnya masih bersifat represif karena, dengan mengecualikan Amandemen Konstitusi, belum ada reformasi yang berarti sejak Orde Baru. Eksistensi BakorPakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan dalam Masyarakat), misalnya, sejuah ini fungsinya justeru diperkukuh dan masih tertera secara eksplisit di dalam UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004. Demikian juga keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan PNPS No 1 tahun 1965 tanggal 14 Februari 2010 atas Judicial Review yang diajukan beberapa lembaga dan sejumlah tokoh, bisa dikatakan sebagai kemunduran pelaksanaan hak-hak beragama dan berkeyakinan. Sebagai produk lembaga hukum, keputusan MK itu kita hormati, tetapi sebagai substansi keputusan, layak kita persoalkan dan dikritisi karena bisa ditafsirkan sebagai bertentangan dengan Konstitusi khususnya pasal 28 UUD 1945. Salah satu usaha kongkrit dari pemerintah mengenai persoalan ini adalah adanya FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) dalam Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 tahun 2006. Namun karena lembaga ini menempel di lembaga pemerintah daerah Tingkat I dan II dan keputusannya di bawa kontrol Kepala Daerah secara langsung, maka kelembgaan itu bisa dikatakan bersifat represif --belum ketika kita mempersoalkan berbagai fungsi FKUB yang sering merugikan minoritas dan justeru bertentangan dengan misi FKUB itu sendiri, untuk mencari penyelesaian damai dan adil dalam berbagai sengketa. Pertimbangan FKUB tentang isu kerukunan kepada Kepala Daerah juga sering di-by
2
pass oleh mereka, Bupati atau Walikota, untuk kepentingan politiknya.2 Rekrutmen anggota FKUB yang mendasarkan pada besarnya populasi kepemelukan agama di daerah tertentu dengan tidak melalui pemilu, dan juga bukan atas pertimbangan profesionalitas dan kapabilitas, dalam jangka tertentu akan membahayakan, karena akan selalu berorientasi pada kepentingan mayoritas. Jadi, dengan melihat uraian di atas, saya melihat kondisi baik atau buruk pelaksanaan hak-hak beragama dan berkeyakinan dan kebudayaan di Indonesia, tidak semata-mata bersifat kultural, semisal belum siapnya masyarakat tertentu untuk hidup secara rukun dan damai dengan kelompok lain terutama minoritas. Melainkan hal itu bersifat dan berakar pada struktural. Yaitu, belum adanya usaha yang memadai oleh pemerintah dalam penegakan dan pelaksanaan hak-hak tersebut. Dengan kata lain, proses demokratisasi dan reformasi selama ini belum menyentuh pelaksanaan dan perlindungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dan juga jaminan kebudayaan masyarakat yang dijamin oleh Konstitusi. ***
Kondisi riil pelaksanaan hak-hak beragama dan berkeyakinan tidak banyak sumber kuantitatif yang bisa kita acu kecuali yang saya sebut di atas. Namun melalui media massa dan jaringan informasi --the Wahid Institute kebetulan melakukan pemantauan secara cukup intensif--3 sungguh memprihatinkan. Aparat hukum yang memiliki kewajiban dan hak untuk menggunakan perangkat hukum melalui UU dan juga represi dan bahkan senjata untuk mencegah terjadinya pelanggaran, seringkali tidak berkutik di hadapan beringasnya vigilante yang seringkali dibungkus dengan alasan-alasan keagamaan.4 Laporan dari lembaga-lembaga tersebut dari tahun ke tahun belum cukup menggembirakan meskipun tentu saja ada sisi positif.
2
Lihat, misalnya, Subhi Azhari dan Dindin A. Gazali, “FKUB Kota Depok dab Kabupaten Bandung Paska-PBM,” dalam Ahmad Suaedy et. al., Pergerseran Representasi, Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia, Jakarta: WI 2009, hlm. 359-401. 3
Available pada situs www.wahidinstitute.org/dokumen/
4
Lihat juga misanya, Laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, available http://www.state.gov/g/drl/rls/irf/2009/index.htm. Akses 18 Juli 2010.
3
Pembentukan FKUB, misalnya, merupakan usaha yang cukup serius dari pemerintah meskipun dalam pelaksanaan dan juga konseptualnya perlu dikritisi dan diperbaiki. Kecenderungan yang mengkhawatirkan adalah adanya intervensi pemerintah, daerah maupun pusat, karena tekanan kelompok tertentu atau atas keyakainan dirinya untuk melakukan pembatasan, pelarangan, pembatalan ijin dan sebagainya terhadap kelompok agama dan keyakinan tertentu. Demikian juga pembeadaan antara agama yangdiakui dan tidak diakui, serta pembedaan antara agama dan aliran kepercayaan merupakan problem mendasar bagi terbangunnya karater bangsa yang toleran dan harmonis di masa yang panjang. ***
Salah satu sumber penting dari ketidakjelasan pelaksanaan dan jaminan hakhak tersebut adalah belum jelasnya kewenangan lembaga-lembaga hukum yang ada mengenai hal tersebut. Berbagai kasus menunjukkan hal itu. Jika di masa Orde Baru, nyaris semua hal, termasuk konflik antar agama dan keyakinan bisa diselesaikan oleh militer dan birokrasi, karena sifatnya yang represif, maka sekarang ini tidak begitu jelas, siapa yang memiliki kewenangan dan otoritas untuk itu. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah daerah dan bahkan kelompok-kelompok yang suka mengedepankan kekerasan, misalnya, melakukan intervensi sangat jauh dalam banyak kasus tentang nasib minoritas agama dan keyakinan. Bakorpakem dan Kejaksaan dan bahkan Kepolisian acap kali memberi pernyataan mengagetkan bahwa untuk menangani hal-hal demikian mereka menunggu fatwa MUI, atau secara tidak langsung menunggu kelompok-kelompok kekerasan menyerang mereka. Hal ini sungguh merisaukan karena membuat tata pemerintahan negara dan warga negara menjadi jungkir balik. Dan pemerintah memiliki tanggub jawab terhadap carut marutnya tata aturan pemerintahan ini. Dalam
situasi
keterbukaan
dan
demokrasi,
selayaknya
pemerintah
memfasilitasi dan mendorong tersedianya mekanisme sosial dan politik untuk penyelesaian berbagai masalah tersebut di dalam masyarakat sendiri. Bukannya pemerintah melakukan intervensi secara represif seperti melalui Kejaksaan dan Bakorpakem, apalagi dengan intervensi seorang Kepala Daerah dengan alasan apapun 4
yang melanggar hak-hak warga negara. Di luar tugas Konstitusi yang tak terelakkan, sesungguhnya ada cukup alasan dan keharusan demokratisasi Indonesia untuk memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan dan kebudayaan pada umumnya seiring dengan trend globalisasi. Salah satu trend itu adalah kian dihormatinya kelompok-kelompok sosial dan kultural bukan hanya berdasarkan hak-hak yang bersifat individual atau political rights atau negative rights. Bahkan tuntutan itu untuk memperlakukan kelompok-kelompok minoritas berdasarkan hak kolektif atau positive rights. Artinya, pemerintah bukan hanya harus tidak melakukan intervensi hak-hak berkeyakinan mereka, melainkan juga menjamin terlaksananya agama dan keyakinan itu sendiri seperti memastikan tidak terganggunya pelaksanaan ibadah dan tersedianya tempat ibadah atau tempat upacara keagamaan. Menurut Kymlicka,5 misalnya, setidaknya di Eropa, tuntutan dan pemberian jaminan kepada minoritas lebih luas itu sehubungan dengan perubahan geopolitik, yaitu dengan berkurangnya ancaman intervensi dari negara lain. Mislanya dengan runtuhnya negara-negara Komunis sehingga manipulasi kelompok minoritas sebagai alat intervesi antar negara tidak ada lagi. Kedua adalah bahwa konsep keamanan negara kini tidak lagi berpusat kepada tugas negara melainkan berpusat kepada warga negara itu sendiri. Ketiga, adanya konvensi di kalangan negara-negara demokrasi bahwa tirani dan penindasan menjadi musuh bersama, yang dilakukan oleh sesama kelompok atau agama atau etnis sekali pun. Kondisi itu membuat mayoritas di suatu negara dan juga pemerintah tidak lagi mempertinbangkan minoritas sebagai ancaman keutuhan suatu bangsa maupun negara. Dalam konteks Asia Tenggara, misalnya, tidak ada bukti bahwa minoritas di negara lain kini menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa dan alat intervensi oleh negara lain atau berkorelasi dengan mayoritas di negara tertentu untuk mengganggu negara tersebut. Bahkan Muslim minoritas di Thailand dan Filipina sekali pun yang sangat lama bergejolak, tidak ada bukti bekerjasama dengan mayoritas Muslim di negara tetangga seperti Indonesia dan Malaysia untuk suatu gerakan separatisme, misalnya. Maka tidak ada alasan politik bagi pemerintah Indonesia, di luar tugas Konstitusi yang memang sebuah kewajiban,
5
Will Kymlicka, 2005, “Liberal Multiculturalism: Western Models, Global Trends, and Asian Debates,” dalam Will Kymlicka & Baogang He(ed.), Multiculturalism in Aisa, New York, Oxford University Press, 2005, hlm. 22-55.
5
untuk tidak memberikan peluang ekspresi lebih luas dan perlindungan bagi mereka dalam beragama dan berkeyakinan. ***
Ada tiga tantangan utama pelaksanaan perlindungan dan jaminan kebebasan beragama di Indonesia.6 Pertama, adalah adanya kesenjangan konseptual antara peran agama dan negara yang sering tumpang tindih. Hal ini mempengaruhi baik isi UU dan regulasi lainnya maupun persepsi para penegak hukum dimana seolah agama atau kelompok tertentu dalam agama boleh menjadi hakim terhadap kelompok lain dan mereka menjadi pelaksananya dengan mengabaikan hak-hak obyektif warga negara. Sehingga mendesak adanya penegasan tentang kenetralan negara dan pemerintah pada tingkat Konstitusi dan UU dalam melindungi semua warga negara tanpa pandang asal-usul, warga kulit, agama dan sebagainya. Kedua, masih adanya ketidakselaran berbagai UU dan regulasi lainnya dengan Konstitusi Amandemen, baik yang lahir sesudah maupun sebelum Amandemen Konstitusi. Eksistensi Pakem dan BakorPakem dan UU PNPS No. 1 Tahun 1965, misalnya, hampir selalu menjiawai UU lain yang berkaitan dengan agama dan keyakinan yang nota bene tidak sesuai dengan semangat UUD Amandemen. Maka diperlukan adanya penyelarasan berbagai UU dan regulasi lainnya dengan Amandemen Konstitusi yang ada. Akibat dari dua masalah di atas, ketiga, sering ditemukan aparat penegak hukum baik di lapangan maupun di pengadilan cenderung tunduk kepada tekanan massa dengan mendukung salah satu kelompok atau mengancam kelompok lain dan pada preferensi agama dan keyakainan dirinya. Maka diperlukan usaha dari pemerintah untuk meluruskan persepsi tentang posisi dan tugas sebagai aparat negara dan penegak hukum dalam melindungi warga negara secara netral dan adil. Untuk itu sesunggunya diperlukan semacam kelembagaan setingkat Komisi yang secara reguler dan jangka panjang melakukan kajian mendalam dan
6
Diringkaskan dari kesimpulan dalam Ahmad Suaedy et. al., Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: WI, 2009, hlm. 239-248.
6
berkesinambungan untuk hal tersebut. Meskipun saya tahu banyak Komisi di sektor lain yang dianggap terlalu pemborosan dan kurang pekerjaan, tetapi dalam hal jaminan Bergama dan berkeyakinan dan kebudayan pada umumnya sungguh sangat penting. Komisi atau apapun namanya, ini bertugas selayaknya Komnasham, di samping melakukan pemantauan juga bisa melakukan riset mendalam untuk memberikan pertimbangan keputusan jangka panjang maupn pendek kepada pemerintah, pusat maupun daerah, di samping bisa melakukan pendidikan, pendampingan dan mediasi.***
7