Bagian V
Tantangan Puslitbang tekMIRA ke Depan Sumber Daya Manusia Terbatas Sebagai orang yang mengawali karir di Puslitbang tekMIRA hingga mencapai puncak sebagai Kepala Puslitbang tekMIRA, ia tetap peduli pada perkembangan organisasi yang telah membesarkannya. Baginya, Puslitbang tekMIRA sekarang ini mengalami kesulitan terkait dengan sumber daya manusia. Setelah tahun 1995, pemerintah menerapkan kebijakan zero growth terkait dengan penerimaan pegawai negeri. Dengan kebijakan ini, maka pemerintah tidak lagi menerima pegawai negeri baru sampai ada posisi lowong yang ditinggalkan oleh pegawai negeri sebelumnya. Hal tersebut menyebabkan gap yang sangat lebar di antara pegawai/peneliti di Puslitbang tekMIRA. Tentunya hal seperti itu tidak hanya terjadi di Puslitbang tekMIRA. Menurut Supriatna, lembagalembaga pemerintah lainnya juga mengalami hal yang sama. Contohnya perbedaan umur yang tajam antara seorang Dirjen dengan Direktur, juga antara Direktur dengan Kepala Bagian yang berada di bawahnya. Perbedaan umur bisa mencapai sepuluh hingga lima belas tahun. Supriatna memprediksi, dalam rentang waktu dua hingga tiga tahun ke depan, level Dirjen dan Direktur pada Kementerian ESDM akan diisi |
31
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
oleh para akademisi dari perguruan tinggi, seperti yang pernah terjadi pada tahun 1960-an. Sebab menurutnya, sumber daya yang mumpuni dalam bidang tersebut berasal dari kalangan universitas. Kondisinya, ada kesenjangan generasi di pusat-pusat penelitian. Sebelum adanya kebijakan zero growth, para peneliti dari berbagai pusat penelitian di bawah kementerian dikirim untuk melanjutkan studi ke luar negeri baik di Amerika, Australia, Inggris, Perancis, dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan secara berkelanjutan. Dengan adanya kebijakan zero growth, karena tidak setiap tahun dilakukan penerimaan pegawai negeri, maka pengiriman pegawai untuk studi ke luar negeri juga tidak dapat dilanjutkan. Efeknya, kemampuan sumber daya manusia di pusat-pusat penelitian semakin tertinggal. Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan semakin cepat dan peralatan yang dibutuhkan semakin canggih.
Gambar 9 Pintu Gerbang Gedung Puslitbang tekMIRA
Peraturan Menghambat Menurut Supriatna, sistem regulasi yang ada sekarang ini sangat menghambat kemajuan perkembangan aktivitas penelitian dan pengembangan pada pusat-pusat penelitian. Sejak diberlakukannya |
32
|
peraturan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada tahun 1999, maka pendapatan yang diterima oleh lembaga negara harus terlebih dahulu disetor ke kas negara. Sekiranya lembaga negara akan menarik kembali pendapatan tersebut, maka mekanismenya harus melalui APBN. Akibatnya, akan selalu ada delay terkait penggunaan uang tersebut. Padahal, menurut Supriatna, ketika terjadi kerja sama antara lembaga penelitian dan pihak swasta, maka pihak swasta tidak menghendaki adanya delay. Begitu penandatanganan kontrak antara kedua belah pihak dilakukan, sesegara mungkin proyek kerja sama tersebut dijalankan. Telah banyak kritik atas undang-undang yang mengatur masalah PNBP. Menurut Supriatna, terkadang untuk melakukan perubahan terhadap sistem yang ada perlu dorongan dari pihak di luar sistem. Ia berkisah tentang undang-undang keuangan negara yang pada waktu itu masih berlandaskan undang-undang zaman penjajahan Belanda Indonesische Comptabiliteitswet. Itu artinya, undang-undang yang ada tidak pernah diubah sejak pertama kali diundangkan pada tahun 1926 dan berjalan hingga tahun 1999.
Gambar 10 Gedung Puslitbang tekMIRA
|
33
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
Saat menjadi Kepala Puslitbang tekMIRA, Supriatna berhasil meningkatkan pendapatan lembaga tersebut hingga berkali-kali lipat. Ganjarannya, justru ia dipanggil oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Saat itu belum ada Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). Ada kebingungan tentang bagaimana pendapatan tersebut harus disetor ke kas negara. Saat bertemu dengan berbagai pihak baik BPK atau pun Menteri terkait, ia menyampaikan tentang dibutuhkannya perubahan paradigma dalam lembaga negara. Sebelumnya, pegawai negeri yang kerja keras tidak ada bedanya dengan pegawai negeri yang malas. Tak ada reward dan punishment. Pendapatan Puslitbang tekMIRA yang saat itu begitu besar harus disetor semua ke kas negara. Tentu saja Supriatna mempertanyakan kebijakan itu. Kalau semua harus disetor, untuk apa ia kerja keras. Lebih baik ia tidur saja dan tetap menerima gaji. Ia ingin pegawai negeri digaji berdasarkan performanya. Sebagai analogi, di dunia perhotelan dan restoran dikenal service charge, yang diterima oleh pegawai hotel yang bekerja dengan baik. Besarnya berkisar antara 5-10%. Saat itu Supriatna juga menuntut diberikannya uang pelayanan. “Saya menuntut uang pelayanan itu. Saya dapat 60 miliar rupiah masa saya hanya menerima gaji saja. Buat apa saya kerja keras?” Bahkan ia juga pernah diminta oleh Menteri Keuangan untuk menjelaskan kepada kepala pusat penelitian di berbagai kementerian, bagaimana cara menghasilkan performa sebaik dirinya. Pak Mar’ie Muhammad adalah salah satu menteri yang memanggil Supriatna. “Tolong Pak Supriatna, bagaimana Anda meningkatkan pendapatan dari hasil research? Banyak itu kan, kepala penelitian-kepala penelitian di Departemen Teknis?” tanya Pak Mar’ie. Untuk mengatasi hambatan dalam penyetoran pendapatan kepada kas keuangan negara, akhirnya dikeluarkan Daftar Rekanan Kerja (DRK), di mana pusat penelitian bisa menggunakan sebagian keuntungan yang diperoleh. Sekalipun pendapatan tersebut tetap harus disetor ke kas negara, sebagian bisa digunakan tanpa harus masuk ke kas keuangan negera terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan peraturan PNBP, di mana seluruh pendapatan harus terlebih dahulu masuk kas keuangan negara. |
34
|
Untuk mengatasi keadaan seperti itu, Supriatna mengusulkan untuk mengganti undang-undang yang ada. Pemerintah seharusnya memberikan hak otonomi kepada pusat penelitian. Ia menyarankan agar pendapatan yang diterima cukup dicatat dan diakumulasi sebagai pendapatan negara tanpa harus dimasukkan terlebih dahulu ke dalam kas negara. Setiap pemasukan dan penggunaan harus selalu dicatat. Menurut hemat Supriatna, sistem keuangan yang ada sekarang ini, di mana setiap pendapatan harus disetor secara langsung ke kas negara merupakan warisan cara pikir penjajah Belanda. Saat itu, semua pendapatan harus disetor kepada pemerintah penjajah di Batavia sebelum akhirnya dipotong 40% untuk Negara Belanda. Sesudah merdeka, semestinya tidak perlu menyetor ke Kementerian Keuangan. Seharusnya diberlakukan sistem otonomi sebagaimana perguruan tinggi mendapatkan hak otonomi. Untuk setiap periode tertentu, pemerintah bisa menanyakan berapa pendapatan dan pengeluaran Puslitbang tekMIRA. Sebagai contoh, jika pengeluaran sebesar lima miliar rupiah, sementara pendapatannya hanya dua miliar rupiah, maka pemerintah tinggal menutup kekurangan sebesar tiga miliar rupiah. Puslitbang tekMIRA tidak perlu menyetorkan terlebih dahulu dua miliar pendapatannya. Untuk pelaksanaannya, Supriatna menyarankan agar pemerintah membuat aturan yang sama dengan rencana anggaran belanja. Proses pembelanjaan dapat dilakukan melalui bidding lewat internet atau e-commers, dan diatur sedemikian rupa supaya tidak ada lagi permainan antara pejabat negara dan pihak swasta penyedia barang. Di Indonesia saat ini, proses tersebut mengikuti Peraturan Presiden yang mengharuskan bidding secara langsung. Namun Supriatna yakin, hal semacam itu semakin lama akan semakin ditinggalkan. Contohnya saja Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang saat ini sudah menggunakan ecommers. “Mungkin pengelolaan keuangan di Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah yang terbaik”. Tentang perlunya perubahan atas undang-undang, Supriatna menyarankan agar dibentuk semacam Asosiasi Lembaga Penelitian dan Pengembangan di Indonesia. Asosiasi tersebut yang nantinya akan mengusulkan perlunya pergantian undang-undang. Dengan adanya |
35
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
asosiasi, maka mereka akan mempunyai kekuatan lebih untuk menuntut perubahan. Asosiasi-asosiasi semacam ini sekarang sudah jamak di Indonesia, yang mewadahi Kepala Daerah, baik Camat maupun Lurah. Saat ini, Surpiatna juga aktif sebagai Direktur Eksekutif di APBI-ICMA. Sekiranya ada permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha batubara di Indonesia, maka perusahaan-perusahaan tersebut akan menyampaikan kepada Supriatna terlebih dahulu. Kemudian, ia menindaklanjuti aduan tersebut untuk disampaikan kepada menteri atau dirjen terkait.
Reorientasi Topik Penelitian Puslitbang tekMIRA Supriatna memandang perlunya pembagian kerja antara universitas dan lembaga penelitian. Universitas-universitas top di Indonesia, seumpama ITB, dapat melakukan riset fundamental yang canggih atau yang berada di ujung tombak. Demikian juga dengan LIPI. Dengan melihat kurikulum perguruan tinggi tersebut, terlihat fokus dari penelitian mereka, misalnya mengenai nikel, dikaitkan dengan problem-problem yang dihadapi perusahaan multinasional. Padahal perusahaan tersebut, menurut pendapat Supriatna, tidak perlu dibantu karena sudah mempunyai pendanaan yang kuat dan datang dari negara-negara yang penelitiannya sudah maju. Teknologi yang mereka butuhkan biasanya juga sudah tersedia di pasar. Namun demikian, lembaga-lembaga penelitian perlu mengolah topik penelitian yang lebih sederhana dan lebih aplikatif bagi masyarakat. Supriatna menyarankan agar penelitian Puslitbang tekMIRA konsentrasi ke bahan galian industri dan logam tanah jarang (rare earth). Ia berharap dana penelitian dari pemerintah dikonsentrasikan pada bidang tersebut. Sedangkan penelitian-penelitian terkait bahan mineral lainnya seperti nikel, tembaga, dan emas, biarlah ditangani perusahaan-perusahaan besar. “Kalau penelitian di bidang nikel, penelitian di bidang tembaga, bidang emas, itu perusahaan-perusahaan besar juga melakukan riset. Selama ini untuk tegel, orang hanya mengenal beberapa batuan seperti granit dan marmer. Padahal, batuan gabro bisa dipoles untuk dijadikan |
36
|
tegel. Itu perlu diadakan penelitian terlebih dahulu. Kalau pasar tidak dieducate orang kenalnya hanya dua jenis itu. Padahal sebetulnya lebih dari itu.” Supriatna berkisah, bagaimana dulu ia dan istrinya disebut sebagai rajanya zeolite, salah satu jenis batuan. Istrinyalah yang memperkenalkan jenis batuan tersebut. Jenis batuan ini banyak digunakan sebagai absorben. Ketertarikannya terhadap zeolite dimulai saat ia melihat para penambak udang membeli batu pasir dari Jepang seharga Rp1.600,00 per kilogram. Ia lalu meneliti batu pasir tersebut menggunakan X-ray dan electro microscope. Hasilnya, bahan dasar dari pasir tersebut adalah zeolite, yang banyak sekali dijumpai di Indonesia. Setelah mencari ke berbagai tempat, akhirnya Supriatna menemukan lokasi di mana terdapat banyak batuan zeolite. Hanya bermodalkan Rp 60 per kilogram sebagai biaya giling zeolite, ia menawarkan zeolitenya kepada para penambak udang. Awalnya mereka takut menggunakan zeolite hasil produksi Supriatna. Namun Supriatna berani mengganti kerugian seandainya udang milik para penambak mati setelah menggunakan produknya.
Gambar 11 Maket Gedung Puslitbang tekMIRA
Supriatna juga punya contoh lain terkait dengan dolomit. Ketika tumbuhan kekurangan magnesium, maka daun dari tumbuhan |
37
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
tersebut akan menguning. Penggunaan dolomit untuk sektor pertanian sebenarnya telah tercatat dalam literatur. Namun ketersediaan dolomit di pasaran sangat langka. Sebelumnya petani menggunakan pupuk kiserit untuk mendapatkan magnesium. Karena pupuk ini merupakan ekstrak, harganya sangat mahal. Dolomit mengandung unsur kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Untuk daerah pertanian dan perkebunan di Sumatera dan Kalimantan yang bersifat asam, penggunaan dolomit mempunyai dua manfaat sekaligus. Unsur kalsiumnya dapat digunakan untuk menetralkan pH dari tanah, serta untuk mencukupi kebutuhan tumbuhan akan magnesium. Dolomit tidak perlu diekstrak terlebih dahulu. Batuan kapur dolomit tinggal digerus saja dan bisa langsung digunakan. Dampaknya, harga yang harus dikeluarkan oleh petani bisa jauh berkurang. “Akhirnya orang jadi mengerti. Tidak perlu memakai pupuk kiserit yang mahal, melainkan cukup memakai batuan dolomit dari bantuan kapur dolomit yang digerus.” Menurut Supriatna, sampai sekarang perkebunan-perkebunan di Indonesia masih memakai dolomit. Suatu saat, Supriatna pernah mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan kolega-koleganya mengenai topik penelitian Coal liquefaction, yakni menjadikan batubara sebagai bahan bakar cair. Supriatna tidak setuju karena ia meyakini, proses liquefaction menyebabkan bahan bakar tersebut lebih mahal dari minyak, sehingga menjadi tidak kompetitif. Menurutnya, negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang tidak melakukan penelitian dan menggunakan liquefaction. “Di Amerika itu dari 1 miliar ton batubara diproduksi, 900 juta ton dibakar begitu saja. Mereka tidak berusaha untuk melakukan liquefaction terhadap batubara.” Sekiranya ada peneliti yang berargumen kalau bahan bakar cair dari batubara dibutuhkan untuk bahan bakar kendaraan, Supriatna beranggapan hal itu tidak perlu dilakukan, karena orientasi tren mobil ke depan menggunakan listrik atau hybrid. Lebih lanjut, ia juga meyakini bahwa dalam dua dekade ke depan, kendaraan bermotor tidak lagi menggunakan bahan bakar. Kendaraan akan menggunakan hidrogen di mana dengan bantuan teknologi fuel cell akan dihasilkan listrik untuk menggerakkan kendaraan. Yang dibutuhkan nanti adalah bagaimana |
38
|
caranya kita dapat menyediakan listrik yang murah untuk menghasilkan hidrogen. Sumber energi untuk menghasilkan listrik bisa didapat dari angin, matahari, batubara, air atau geothermal. Listrik tersebut digunakan untuk memecahkan air menjadi hidrogen. Pabrik hidrogen bisa saja dibangun di pedalaman Kalimantan, lalu kita menggunakan hidrogennya di kota. Dengan demikian, polusi di kota semakin rendah karena emisi yang dihasilkan dari penggunaan hidrogen hanya berupa air. Nantinya, kota-kota di Indonesia menjadi bersih. Peneliti-peneliti yang setuju dengan liquefaction biasanya mencontohkan apa yang dilakukan oleh Afrika Selatan. Padahal, menurut Supriatna, Afrika Selatan menggunakan teknologi liquefaction batubara karena pada saat itu negara tersebut diembargo oleh negara-negara Asia, Arab, Eropa, dan Amerika berkaitan dengan politik apartheid. Mau tak mau Afrika Selatan harus mengembangkan teknologi yang bisa memanfaatkan sumber energi yang dimilikinya, yaitu batubara. Padahal, sekarang ini, untuk mendapatkan beberapa ribu barrel bahan bakar cair dari batubara dibutuhkan dana capital sebesar 7 miliar US Dollar. “Saya bilang ke pemerintah, 7 miliar USD Dollar itu bukan kelasnya perusahaan tambang batubara. Uang segitu besar sekali bagi perusahaan tambang batubara. Sayangnya, orang-orang di pemerintahan kurang mempunyai sense secara keekonomian.”
|
39
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
Gambar 12 Salah Satu Sisi Puslitbang tekMIRA
Bagi Supriatna, penelitian terkait batubara yang perlu dilakukan terkait justru proses gasifikasi. Teknologi untuk gasifikasi itu sudah bukan teknologi canggih. Sudah tersedia. Hanya perlu pengembangannya saja. Saat Supriatna kuliah di ITB, dapur-dapur di Bandung menggunakan energi dari gas. Itulah kenapa pabrik Perusahaan Negara Gas (PN Gas) ada di Ciroyom Bandung. Dulu, saat penjajahan Belanda, di akhir abad ke-19, jalan-jalan di kota-kota semacam Batavia, Surabaya, dan Medan, memakai lampu gas yang energinya berasal dari batubara. Teknologinya sudah ada dari dulu. “Jadi penelitiannya harus kembali ke gasification,” tegasnya. Supriatna mengakui, kalau orientasi topik penelitian di Puslitbang tekMIRA sangat terkait erat dengan visi yang dicanangkan oleh Kepala Pusat organisasi tersebut. Contohnya waktu menjabat sebagai Kepala Pusat, ia mengarahkan bawahannya untuk melakukan proyek penulisan buku Bahan Galian Tambang. “Sebagai pimpinan, saya bisa mengarahkan. Tetapi kalau ganti pimpinan tentu visinya lain-lain misalnya ke energi.”
Teknologi untuk Industri Supriatna mengakui, tidak mudah untuk membuat industri percaya untuk menggunakan teknologi yang dihasilkan oleh Puslitbang tekMIRA. “Jujur saja itu yang tersulit. Paling sulit dilakukan karena mengundang agar orang percaya kepada kita.” Menurutnya, pengusaha mempunyai moto ‘seeing is beliving’. Mereka berharap teknologi yang dimiliki Puslitbang tekMIRA benar-benar dapat memberi manfaat kepada mereka. Para pengusaha tersebut tidak ingin mendapatkan penjelasan-penjelasan teoritis.
Menurut Supriatna, dunia industri selama ini masih belum begitu mempercayai lembaga penelitian. Pengusaha di Indonesia umumnya tidak riset minded. Mereka hanya ingin menjadi follower, bukan orang yang pertama. Sebagai contoh, saat itu Puslitbang |
40
|
tekMIRA mempunyai teknologi yang dapat digunakan untuk membuat batubara sebagai pengganti bahan bakar. Batubara tersebut terlebih dahulu harus digerus hingga halus, kemudian dicampur dengan air. Campuran antara serbuk batubara dan air tersebut dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak diesel atau solar. Sekalipun memberikan hasil yang optimal, belum tentu pengusaha mau menggunakannya.
Gambar 13 Tower Puslitbang tekMIRA
Baginya, kondisi Indonesia berbeda dengan kondisi di negara-negara maju. Di Jepang misalnya, pengusaha berlomba-lomba untuk mendatangi |
41
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
seminar-seminar untuk mengetahui aktivitas riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian. Mereka berusaha untuk menjadi yang pertama dalam mengadopsi hasil-hasil penelitian tersebut. Mungkin mereka mempunyai pengalaman, mereka dapat menjadi besar seperti sekarang ini karena memanfaatkan hasil penelitian. Itulah sebabnya 60% peserta seminar-seminar tersebut umumnya adalah pengusaha. “Di Indonesia lain. Kalau kita mengundang para pengusaha, paling yang datang hanya satu atau dua orang saja. Seminar Puslitbang tekMIRA misalnya, yang hadir adalah orang ITB, LIPI, orang perguruan tinggi, lembaga riset dari dalam dan luar negeri. Pengusahanya tidak ada. Paling satu atau dua.” Karena industri besar enggan menggunakan teknologi Puslitbang tekMIRA, maka saat menjadi Kepala Puslitbang tekMIRA, ia memutuskan untuk mengarahkan penelitian-penelitian Puslitbang tekMIRA agar membantu masyarakat kecil. “Mungkin cara saya tidak benar. Tapi karena industri besar tidak melirik hasil penelitian kita, maka saya mencari yang kecil saja, di mana akhirnya sebagian dari mereka ada yang menerima. Itu yang menghibur saya, bahwa saya ada juga gunanya, ada manfaatnya.”
|
42
|