IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Implementation of Rice Policy at Farmers Level: Performance and Future Perspectives Surya Abadi Sembiring1, Harianto2, Hermanto Siregar2, dan Bungaran Saragih2 2
1 Dosen Unika Santo Thomas Medan Dosen Program Studi EPN Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT The implementation of effective rice policy will clearly show the achievement of its objectives. The objective of this paper is to analyze the performance policy and future perspectives of the implementation of rice policy according to the Presidential Instruction Decree. The study had been carried out in six villages of rice production centers in Sub District of Sei Rampah, Regency of Serdang Bedagai, North Sumatra Province. The survei with questionnaire was employed as method of the study to collect data and information from 30 farmer’s leaders. Purposive sampling was used in sample selection method which generated from 59 farmer’s groups. The results of the study are (1) the policy implementation of direct aid for rice improved seeds, subsidized fertilizers, and irrigation improvement are not effective which in contrast with the effective implementation on government purchase price policy; and (2) the ineffective policy implementation has caused the scarcity of subsidized fertilizers, unachievable of balance fertilization, increase of production cost, and increase of rice land conversion. The strategic policy implications based on this study are listed as follows: (1) to develop and improve irrigation systems; (2) to improve control on the distribution of subsidized fertilizers; (3) to purchase the grains directly from the farmers; (4) to increase the government purchase price level, (5) to improve the performance of field extension workers; and (6) to make available as many as 25 kg/ha of improved rice seeds for farmers. Key words: rice policy, government purchase price, presidential instruction
ABSTRAK Implementasi kebijakan perberasan yang efektif menyebabkan tujuan kebijakan perberasan tercapai. Tujuan makalah adalah menganalisis kinerja dan perspektif kedepan implementasi kebijakan perberasan dalam Instruksi Presiden terhadap petani. Basis informasi penelitian adalah 30 orang kontak tani yang ditentukan secara pursposive sampling dari 59 kelompok tani pada enam desa sentra produksi padi di kecamatan Sei Rampah, kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan (1) implementasi Bantuan Langsung Benih Unggul, pupuk bersubsidi dan perbaikan jaringan irigasi tidak efektif, sebaliknya implementasi Harga Pembelian Pemerintah efektif, dan (2) implementasi kebijakan yang tidak efektif menyebabkan kelangkaan pupuk, pemupukan berimbang tidak tercapai, terjadi peningkatan biaya IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Surya Abadi Sembiring, Harianto, Hermanto Siregar dan Bungaran Saragih
339
produksi dan konversi lahan sawah. Kebijakan strategis yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah (1) membangun dan memperbaiki jaringan irigasi, (2) mengawasi distribusi pupuk bersubsidi, (3) membeli langsung gabah petani, (4) menaikkan harga pembelian pemerintah, (5) mendorong peningkatan kinerja penyuluh pertanian lapangan, dan (6) memberikan bantuan benih unggul kepada petani 25 kg per ha. Kata Kunci: kebijakan perberasan, harga pembelian pemerintah, Instruksi Presiden
PENDAHULUAN Kebijakan perberasan pada dasarnya berkenaan dengan tindakan yang dipilih oleh pemerintah untuk mempengaruhi ekonomi perberasan termasuk tujuan dan instrumen kebijakan yang dipertambangkan. Dalam kurun waktu 2005-2008, pemerintah mengeluarkan tidak kurang dari lima Instruksi Presiden tentang Kebijakan Perberasan Nasional, dengan tujuan peningkatan pendapatan petani, pengembangan ekonomi perdesaan, stabilisasi ekonomi dan ketahanan pangan. Instrumen kebijakan perberasan dalam Instruksi Presiden antara lain : (1) penggunaan benih padi unggul bersertifikat; (2) penggunaan pupuk berimbang; (3) rehabilitasi jaringan irigasi utama; dan (4) harga pembelian pemerintah. Faktor-faktor yang menyebabkan pemerintah campur tangan dalam perberasan nasional (Suryana dan Murdianto, 2001; Simatupang, 2001; Sawit, 2001, 2007; Saragih, 2001) adalah : (1) kondisi perberasan internasional, khususnya pasar beras dunia hanya sekitar 4-5 persen dari total produksi dunia sehingga tidak dapat diandalkan sebagai pengadaan beras domestik; (2) beras sebagai bahan makanan pokok; (3) kondisi excess supply pada musim panen raya yang merugikan produsen dan musim panceklik yang merugikan konsumen; (4) perubahan lingkungan strategis domestik, dengan berlangsungnya proses desentralisasi dan otonomi daerah; dan (5) pergerakan harga gabah antar musim. Thorbecke dan Hall (1982) dan Ellis (1992) melalui kerangka berpikir model kebijakan Timbergen mengemukakan bahwa implementasi instrumen kebijakan menciptakan efek samping. Beberapa efek samping dikemukakan oleh Harianto (2001), Surono (2001), Simatupang (2001), Sumodiningrat (2004), dan Saragih (2010) antara lain adalah : (1) penurunan harga beras akan menguntungkan jika konsumen adalah petani subsisten yang menjadi net buyer, sebaliknya merugikan petani konsumen yang net seller, (2) harga dasar gabah yang lebih tinggi dari harga luar negeri menyebabkan aliran beras masuk dari pasar dunia ke domestik; (3) kebijakan harga dasar gabah merugikan konsumen dan pelaksanaannya menimbulkan beban anggaran bagi pemerintah; (4) harga jual gabah petani lebih rendah dibandingkan dengan harga pembelian pemerintah (HPP); (5) harga beli petani terhadap pupuk bersubsidi diatas Harga Eceran Tertinggi (HET); dan (6) subsidi pupuk menimbulkan kelangkaan yang mendorong kenaikan harga pupuk. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 4, Desember 2010 : 339-361
340
Petani menghadapi sejumlah kendala dalam mencapai tujuan kebijakan seperti yang diungkapkan oleh Herdt dan Wickham (1978), Sudaryanto (2001), Natawijaya (2002), LPPM IPB (2006), Bachruddin (2008), Prabowo (2008), dan Sembiring (2008a), antara lain adalah : (1) keragaan irigasi, musim, faktor-faktor ekonomi, hama dan penyakit, dan ketersediaan teknologi baru; (2) kendala teknis, manajemen, sosial dan ekonomi dalam menerapkan kegiatan pasca panen; (3) konversi lahan pertanian yang berdampak negatif terhadap kapasitas produksi, penyerapan tenaga kerja dan hilangnya asset pertanian yang bernilai tinggi; (4) ketersediaan dan akses sarana dan prasarana pengangkutan yang relatif murah; (5) marjin keuntungan yang tidak dinikmati oleh petani tetapi oleh pelaku tata niaga; dan (6) relatif lemahnya sosialisasi dan advokasi kebijakan. Permasalahan lainnya dikemukakan oleh Simatupang (2001), antara lain: (1) rata-rata skala penguasaan lahan usahatani padi hanya 0,3 ha; (2) sekitar 70 persen petani padi (khususnya buruh tani dan petani skala kecil) termasuk golongan masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah; (3) sekitar 60 persen petani adalah net consumer beras; dan (4) rata-rata pendapatan rumah tangga petani padi dari usahatani padi hanya sekitar 30 persen dari total pendapatan keluarga. Disisi lain, pemerintah mempunyai keterbatasan menjalankan dan mengawasi implementasi kebijakan perberasan di lapangan. Tujuan penelitian adalah menganalisis kinerja dan perspektif kedepan implementasi kebijakan perberasan yang mencakup bantuan benih, pupuk bersubsidi, rehabilitasi jaringan irigasi dan harga pembelian pemerintah. Responden penelitian adalah 30 orang kontak tani dari 59 kelompok tani di kecamatan Sei Rampah, kabupaten Serdang Bedagai, provinsi Sumatera Utara
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SARANA PRODUKSI PADI Kebijakan Bantuan Benih Kendala dari sisi pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan menyebabkan implementasi kebijakan pengadaan bantuan benih diundur dari April 2007 menjadi Maret 2008 (Sembiring, 2008a). Implementasi kebijakan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) di kecamatan Sei Rampah menghadapi beberapa kendala, antara lain: (1) sebagian kelompok tani memperoleh bantuan benih kurang dari 25 kg per ha; (2) kelompok tani dengan luas hamparan sawah lebih kecil menerima BLBU, lebih banyak dibandingkan dengan petani yang lebih luas; dan (3) terdapat kelompok tani menerima BLBU lebih dari satu kali. Kondisi tersebut membuktikan bahwa kebijakan perberasan memunculkan permasalahan baru (Sembiring, 2008b), yaitu perasaan ”tidak adil” di antara kelompok tani. Ketua kelompok tani perlu lebih bijaksana dalam membagi BLBU, dengan cara : (1) membagikan bantuan benih secara adil dan merata, dan (2) IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Surya Abadi Sembiring, Harianto, Hermanto Siregar dan Bungaran Saragih
341
anggota kelompok tani yang bertempat tinggal di desa lain menerima BLBU dalam proporsi yang lebih kecil dari anggota kelompok tani dalam desa. Varitas padi Ciherang merupakan persentase terbesar yang ditanam petani pada MTK (April-September) 2008, MTH (Oktober-Maret) 2008/2009 dan MTK 2009, masing-masing mencapai 79,92, 86,51 dan 76,60 persen (Tabel 1). Sebaliknya dalam tiga musim tanam terakhir, varitas padi Mekongga menunjukkan trend naik dari nol persen menjadi 16,65 persen. Terkait dengan hasil tersebut, Suprihatno dan Daradjat (2008) mengemukakan 14 alasan petani untuk menanam varitas unggul tertentu, dimana lima alasan utama yang menjadi penentu pilihan petani adalah potensi hasil tinggi, harga jual gabah tinggi, rasa nasi enak (sesuai dengan preferensi konsumen), daya tahan terhadap hama dan penyakit dan umur genjah. Tabel 1. Jenis Varitas Padi Ditanam Petani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, MT 2008-2009
No 1
2
3
Uraian Varitas Padi Musim Tanam Kering (MTK) Tahun 2008 (%) a. Ciherang b. Cibogo
Strata Luas Penguasaan Lahan Sawah (Ha) 0,01- 0,51- 1,01- 1,51> 2,00 0,50 1,00 1,50 2,00
Total (%)
13,32 36,63 13,32 0,00 3,33 6,66
9,99 5,00
6,66 0,00
79,92 14,99
Varitas Padi Musim Tanam Hujan (MTH) Tahun 2008/2009 (%) a. Ciherang 13,32 39,96 13,32 13,32 b. Cibogo 0,00 0,00 6,66 3,33
6,66 0,00
86,58 9,99
Varitas Padi Musim Tanam Kering (MTK) Tahun 2009 (%) a. Ciherang b. Cibogo c. Mekongga
6,66 0,00 0,00
76,60 3,33 16,65
13,32 26,64 13,32 16,66 0,00 3,33 0,00 0,00 0,00 9,99 6,66 0,00
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009.
Kebijakan Pupuk Bersubsidi Pada kurun waktu 1998-2006, pupuk tersedia di kios pupuk tetapi petani memiliki modal yang terbatas membeli pupuk, sebaliknya tahun 2007-2009, petani memiliki modal tetapi pupuk tidak tersedia dalam jumlah yang dibutuhkan petani. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 4, Desember 2010 : 339-361
342
Petani menghadapi perubahan untuk memperoleh pupuk bersubsidi, dari sistim terbuka menjadi tertutup, yang dimulai tahun 2007. Pada sistem terbuka, petani memiliki akses yang lebih luas untuk memperoleh pupuk, sebaliknya dengan sistem tertutup petani memperoleh jumlah pupuk bersubsidi sesuai dengan isian dalam Rencana Definitif Kelompok Tani (RDKK). Proses penyusunan RDKK membutuhkan waktu dua minggu. Pada kelompok tani tertentu, petani perlu melampirkan daftar pajak dalam pengisian RDKK, untuk mencegah terjadinya permintaan pupuk yang melebihi luas pengusahaan lahan. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dihadapkan pada dilemma dalam penyusunan RDKK (Sumaryanto dan Pasandaran, 1991). Di satu pihak jika RDKK disusun berdasarkan permintaan petani (lewat kelompok tani), PPL menghadapi ketidak terjaminan aplikasi teknologi usahatani sesuai dengan anjuran dan tidak seragam. Tabel 2. Kendala yang Dihadapi Petani dalam Memperoleh Pupuk Bersubsidi dalam Implementasi Kebijakan Perberasan di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2009
No
Permasalahan Dihadapi Petani
Strata Luas Penguasaan Lahan Sawah (Ha) 0,01- 0,51- 1,01- 1,51- >2,0 0,50 1,00 1,50 2,00 0 3,33 13,32 6,66 3,33 0,00
Jumlah
1
Kesulitan memperoleh pupuk Urea bersubsidi (%)
2
Kesulitan memperoleh pupuk SP-36 bersubsidi (%)
3,33
0,00
0,00
0,00
0,00
3,33
3
Kesulitan memperoleh pupuk ZA bersubsidi (%)
3,33
19,98
9,99
9,99
0,00
43,29
4
Kesulitan memperoleh pupuk NPK bersubsidi (%)
3,33
19,98
6,66
0,00
0,00
29,97
5
Kesulitan memperoleh pupuk KCL
0,00
9,99
3,33
0,00
0,00
13,32
6
Kesulitan memperoleh pupuk Organik bersubsidi ( % )
0,00
3,33
3,33
0,00
0,00
6,66
7
Harga pupuk sulit terjangkau (%)
0,00
6,66
3,33
0,00
0,00
9,99
8
Ketersediaan pupuk bersubsidi tidak tepat waktu (%)
0,00
13,32
0,00
0,00
3,33
16,65
9
Pembelian pupuk dengan sistim paket memberatkan petani (%)
3,33
0,00
0,00
0,00
3,33
6,66
10
Tambahan biaya karena membeli pupuk dengan kredit/utang (%)
0,00
0,00
3,33
0,00
0,00
3,33
11
Pupuk yang diperoleh petani tidak sesuai RDKK (%)
0,00
3,33
0,00
0,00
0,00
3,33
Sumber :
26,64
Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Surya Abadi Sembiring, Harianto, Hermanto Siregar dan Bungaran Saragih
343
Jumlah pupuk yang diperoleh petani tidak sesuai RDKK (Tabel 2). Survei yang dilakukan pada PPL, terjadi kelangkaan pupuk pada masa tanam. Jumlah pupuk ZA bersubsidi adalah 50 kg tetapi yang terpenuhi hanya 25 kg, sehingga petani terpaksa membeli pupuk non-subsidi dengan harga Rp 3.400 per kg. Darwis dan Nurmanaf (2004) mengemukakan bahwa sistem distribusi pupuk yang tidak berjalan menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk, sehingga petani harus membeli pupuk dengan harga lebih mahal. Alasan lain dikemukakan oleh Kariyasa dan Yusdja (2005) bahwa pemakaian pupuk urea di tingkat petani melebihi dosis anjuran. Pemikiran petani yang menganggap pupuk urea merupakan pupuk utama sedangkan jenis pupuk KCL dan SP-36 hanya bersifat pelengkap (Rachman, 2003). Kariyasa et al. (2004) menyebutkan upaya pemerintah melindungi petani melalui kebijakan subsidi pupuk belum bisa berjalan seperti yang diharapkan, yang terbukti masih seringnya terjadi fenomena lonjakan harga dan kelangkaan pupuk di tingkat petani. Petani kesulitan memperoleh pupuk bersubsidi, baik urea, SP-36, ZA, dan NPK (Tabel 2), dan diikuti dengan harga pupuk yang sulit terjangkau. Kelangkaan pupuk terjadi karena perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non-subsidi, yang terjadi pada daerah-daerah yang berdekatan dengan perkebunan besar. Kondisi tersebut juga dihadapi petani di desa Sungai Parit dimana pupuk bersubsidi mengalami perembesan ke sektor perkebunan kelapa sawit. Kondisi tersebut menyebabkan harga pupuk lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah (Tabel 3). Petani membeli pupuk Urea dan SP-36 masing-masing 24,08 persen, 7,21 persen lebih mahal dari HET pada Musim Tanam Kering (MTK) Tahun 2008. Harga pupuk Urea dan SP-36 pada MTK Tahun 2009, masing-masing 24,83 dan 8,58 persen lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayar petani, meskipun HET pupuk bersubsidi tetap sama dengan tahun 2008. Harga beli pupuk ZA dan NPK phonska oleh petani sekitar 34,09 dan 10,62 persen diatas HET pupuk bersubsidi pada MTK 2008 (Tabel 4). Hasil ini berbeda dengan studi Rachman et al (2002) yang dikutip Rachman (2003) di lima provinsi sentra produksi padi, dimana harga ZA di atas HET sebesar 19 persen. Harga pupuk ZA dan NPK phonska pada MTK 2009, masing-masing 35,53 dan 15,42 persen di atas HET, meskipun HET pupuk bersubsidi tidak berubah dari tahun 2008. Kondisi di atas membuktikan bahwa kebijakan pupuk bersubsidi belum efektif. Harga pupuk bersubsidi yang lebih tinggi dari HET, sehingga petani tidak melakukan pemupukan berimbang dan tidak menerapkan dosis pemupukan sesuai anjuran. Pemupukan berimbang yang dianjurkan pemerintah adalah Urea 225 kg, ZA 100 kg, SP 150 kg dan KCL 100 kg per ha. Kendala keterbatasan modal dan ketersediaan pupuk menyebabkan terdapat perbedaan rekomendasi pemupukan dengan jumlah aplikasi pupuk oleh petani. Pada MTK 2008, jumlah pupuk per ha Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 4, Desember 2010 : 339-361
344
untuk Urea, SP-36, ZA, NPK phonska masing-masing 126,92 kg, 69,27 kg, 71,73 kg dan 80,91 kg. Berdasarkan fakta tersebut maka diktum tentang penggunaan pupuk berimbang dalam usahatani padi dalam Inpres No 1 Tahun 2008 belum tercapai. Tabel 3. Harga Pupuk Bersubsidi Urea dan SP-36 di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai , MT 2008 – 2009
No 1
2
Uraian
Strata Luas Penguasaan Lahan Sawah (Ha) Rataan 0,01- 0,51- 1,01- 1,51> 2,00 0,50 1,00 1,50 2,00
Harga pupuk Urea Bersubsidi Tahun 2008 a.
Musim Tanam Kering 2008 (Rp/Kg)
1 500 1 469 1 500 1 480 1 500
1 489
b.
Musim Tanam Hujan 2008 (Rp/Kg)
1 500 1 469 1 500 1 480 1 500
1 489
c.
Musim Tanam Kering 2009 (Rp/Kg)
1 500 1 476 1 510 1 504 1 500
1 498
d.
HET Tahun 2008-2009 (Rp/Kg)
1 200 1 200 1 200 1 200 1 200
1 200
e.
Harga Urea lebih mahal dari HET Musim Tanam Kering 2008 (%)
25,00 22,16 25,00 23,33 25,00
24,08
f.
Harga Urea lebih mahal dari HET Musim Tanam Hujan 2008 (%)
25,00 22,16 25,00 23,33 25,00
24,08
g.
Harga Urea lebih mahal dari HET Musim Tanam Kering 2009 (%)
25,00 23,00 25,83 25,33 25,00
24,83
Harga pupuk SP-36 Tahun 2008 a.
Musim Tanam Kering 2008 (Rp/Kg)
1 750 1 646 1 633 1 680 1 600
1 662
b.
Musim Tanam Hujan 2008 (Rp/Kg)
1 750 1 646 1 633 1 680 1 600
1 662
c.
Musim Tanam Kering 2009 (Rp/Kg)
1 775 1 659 1 660 1 732 1 600
1 685
d.
HET Tahun 2008-2009 (Rp/Kg)
1 550 1 550 1 550 1 550 1 550
1 550
e.
Harga SP-36 lebih mahal dari HET Musim Tanam Kering 2008 (%)
12,90
6,19
5,35
8,38
3,22
7,21
f.
Harga SP-36 lebih mahal dari HET Musim Tanam Hujan 2008 (%)
12,90
6,19
5,35
8,38
3,22
7,21
g.
2.7 Harga SP-36 lebih mahal dari 14,51 6,32 7,09 11,74 3,22 8,58 HET Musim Tanam Hujan 2009 (%) Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009. Keterangan: Harga Urea, SP-36, ZA dan NPKphonska tahun 2008 dan 2009 di Lini IV di provinsi Sumatera Utara. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Surya Abadi Sembiring, Harianto, Hermanto Siregar dan Bungaran Saragih
345
Tabel 4. Harga Pupuk Bersubsidi ZA dan NPK di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai , MT 2008 – 2009
No 1
Uraian Harga pupuk ZA Tahun 2008 a. Musim Tanam Kering 2008 (Rp/Kg) b. Musim Tanam Hujan 2008 (Rp/Kg) c. Musim Tanam Kering 2009 (Rp/Kg) d. HET Tahun 2008-2009 (Rp/Kg) e. Harga ZA lebih mahal dari HET Musim Tanam Kering 2008 (%) f. Harga ZA lebih mahal dari HET Musim Tanam Hujan 2008 (%) g. 1.7 Harga ZA lebih mahal dari HET Musim Tanam Kering 2009 (%)
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) Rataan 0,01- 0,51- 1,01- 1,51> 2,00 0,50 1,00 1,50 2,00 1 450 1 450 1 475 1 050 38,09
1 381 1 383 1 383 1 050 31,52
1 417 1 417 1 427 1 050 34,95
1 344 1 344 1 372 1 050 28,00
1 450 1 450 1 450 1 050 36,47
1 408 1 409 1 421 1 050 34,09
38,09 31,71 34,95 28,00 36,47 34,19 40,47 31,71 35,90 30,66 36,47 35,33
2
Harga pupuk NPK Phonska Tahun 2008 a. Musim Tanam Kering 2008 (Rp/Kg) 1 800 1 992 1 900 1 940 2 050 1 936 b. Musim Tanam Hujan 2008 (Rp/Kg) 1 800 1 992 1 900 1 940 2 050 1 936 c. Musim Tanam Kering 2009 (Rp/Kg) 2 000 2 047 1 960 1 992 2 100 2 020 d. HET Tahun 2008-2009 (Rp/Kg) 1 750 1 750 1 750 1 750 1 750 1 750 e. Harga NPK phonska lebih mahal dari 2,85 13,82 8,57 10,85 17,14 10,62 HET Musim Tanam Kering 2008 (%) f. Harga NPK phonska lebih mahal dari 2,85 13,82 8,57 10,85 12,40 10,62 HET Musim Tanam Hujan 2008 (%) g. 2.7 Harga NPK phonska lebih mahal 14,28 16,97 12,00 13,82 20,00 15,42 dari HET Musim Tanam Kering 2009 (%) Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009. Keterangan: Harga Urea, SP-36, ZA dan NPKphonska tahun 2008 dan 2009 di Lini IV di provinsi Sumatera Utara.
Persepsi petani ketika distribusi pupuk bersubsidi tidak tepat waktu dapat dilihat pada Tabel 5. Sekitar 69.93 persen petani menyatakan hasil panen berkurang apabila distribusi pupuk bersubsidi tidak tepat waktu di petani. Seperti yang dikemukakan oleh Kariyasa et al. (2004), bahwa prinsip dasar pemberian subsidi pupuk adalah azas 6 tepat ( tepat waktu, jumlah, jenis, tempat, mutu dan harga yang layak) dan subsidi harus dan sepatutnya sebesar-besarnya dinikmati oleh petani. Sekitar 3,33 persen petani akan melakukan demonstrasi dalam menyalurkan aspirasinya. Petani padi sawah pernah melaksanakan demonstrasi ke DPRD Serdang Bedagai terkait dengan kelangkaan pupuk pada bulan Desember 2007. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 4, Desember 2010 : 339-361
346
Tabel 5. Dampak dan Respon Petani terhadap Ketidak-tepatan Distribusi Pupuk Bersubsidi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2009 Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0,01- 0,51- 1,01- 1,51> 0,50 1,00 1,50 2,00 2,00
Total (%)
No
Dampak yang Dialami
1
Pertumbuhan padi terhambat (%)
0,00
3,33
3,33
0,00
0,00
6,66
2
Waktu pemupukan terlambat (%)
0,00
6,66
0,00
3,33
0,00
9,99
3
Dosis pemupukan tidak tepat (%)
0,00
0,00
3,33
0,00
0,00
3,33
4
Hasil panen berkurang (%)
13,32
23,31
9,99
13,32
6,66
66,6
5
Pendapatan turun (%)
0,00
0,00
0,00
3,33
0,00
3,33
6
Kecewa (%)
3,33
0,00
3,33
0,00
0,00
6,66
7
Demonstrasi (%)
0,00
0,00
0,00
3,33
0,00
3,33
8
Merugikan petani (%)
0,00
3,33
0,00
0,00
0,00
3,33
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009.
Petani kesulitan menerapkan pupuk organik, karena sebagian lahan sawah memiliki struktur lahan sawah berpasir. Disisi lain, petani tidak mudah mengubah sikap fanatik terhadap pupuk kimia beralih ke pupuk organik, sehingga wajar petani menggunakan pupuk organik dalam jumlah relatif rendah, 18,33 kg per ha. Kendala lain yang dihadapi petani yaitu keterbatasan sumberdaya modal (28,19%), disisi lain harga pupuk non-bersubsidi tidak terjangkau. Sebagi contoh, harga pupuk urea nonsubsidi bisa mencapai 157,14 persen lebih tinggi dari harga pupuk urea bersubsidi. Keterbatasan modal menyebabkan petani tergantung dengan pedagang pupuk sehingga petani menambah biaya sekitar 10-15 persen dari harga pembelian pupuk. Apabila harga pembelian pupuk urea sebesar Rp 75.000 per zak maka waktu panen petani membayar sebesar Rp 90.000. Dengan kata lain, beban biaya per kg pupuk urea yang ditanggung oleh petani sebesar Rp 300 per kg. Sistem pembayaran melalui yarnen menyebabkan harga pupuk urea per kg meningkat tajam dari Rp 1.200 menjadi Rp 1.800 per kg, artinya harga urea lebih mahal 50 persen dari HET yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian, petani menghadapi kesulitan melakukan pemupukan tiga kali, karena biaya yang dikeluarkan petani meningkat. Sumber informasi terbesar diperoleh dari tenaga PPL mencapai 83,25 persen (Tabel 6). Kegiatan petani mengikuti pertemuan kelompok tani juga menjadi sumber informasi kebijakan pupuk bersubsidi, yaitu melalui kontak tani dan petani, masing-masing 6,66 dan 16,65 persen. Kinerja Kepala Unit Pertanian IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Surya Abadi Sembiring, Harianto, Hermanto Siregar dan Bungaran Saragih
347
Daerah (KUPD) yang merangkap sebagai petani dan kegiatan pertanian lainnya juga merupakan sumber informasi yang efektif bagi petani mengikuti perkembangan kebijakan pemerintah. Tabel 6. Sumber Informasi Petani tentang Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2009
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sumber Informasi
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0,01- 0,51- 1,01- 1,51>2,00 0,50 1,00 1,50 2,00
Penyuluh Pertanian Lapangan ( % ) 13,32 33,30 16,65 Kontak Tani ( % ) 0,00 6,66 0,00 Petani Lain ( % ) 3,33 6,66 6,66 Dinas Pertanian ( % ) 9,99 13,32 9,99 KUPD ( % ) 3,33 23,31 3,33 Telivisi ( % ) 9,99 13,32 6,66 Radio ( % ) 3,33 3,33 6,66 Koran ( % ) 6,66 6,66 3,33 Kios/Pedagang Pupuk 0,00 3,33 0,00
9,99 0,00 0,00 6,66 3,33 6,66 0,00 0,00 3,33
6,66 0,00 0,00 0,00 3,33 6,66 0,00 0,00 0,00
Total (%) 79,92 6,66 16,65 39,96 36,63 43,29 13,32 16,65 6,66
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009.
Kondisi tersebut mengindikasikan kesadaran petani akan pentingnya peranan pupuk dalam meningkatkan produksi padi. Tabel 7 menunjukkan sekitar 16,65 persen petani mengharapkan pemerintah berusaha sehingga pupuk bersubsidi dengan tepat waktu sampai di petani. Hasil survei menunjukkan bahwa distribusi pupuk tidak tepat waktu sampai di petani. Tabel 7. Respon Petani terhadap Kebijakan Perberasan di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2009
No
Uraian
1
Mengikuti Kebijakan HET a. Ya b Tidak Dukungan Pemerintah 5T + H (Pupuk) a. Ya b. Tidak c. Ya dan Tidak
2
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) Total (%) 0,01- 0,51- 1,01- 1,51> 2,00 0,50 1,00 1,50 2,00 0,00 33,30 16,65 13,32 6,66 3,33
9,99 6,66
6,66 66,6 0,00 29,97
3,33 6,66 3,33 3,33 6,66 33,30 16,65 13,32 3,33 0,00 0,00 0,00
3,33 19,98 6,66 76,69 0,00 3,33
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 4, Desember 2010 : 339-361
348
Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase petani mengikuti kebijakan HET mencapai 66,6 persen, artinya petani memiliki respon positif terhadap kebijakan pemerintah, tetapi tidak menjamin petani memberikan penilaian positif terhadap kebijakan tersebut. Penilaian petani terhadap kebijakan distribusi pupuk bersubsidi terkait dukungan pemerintah terhadap pelaksanaan 5T+H (tepat waktu, jumlah, jenis, tempat, mutu dan harga yang layak) rendah, dimana 76,69 persen dari petani mengatakan ’Tidak’ artinya pelaksanaan 5T + H tidak dirasakan petani.
KEBIJAKAN REHABILITASI LAHAN IRIGASI Kendala terbesar yang dihadapi petani dalam infrastruktur irigasi yaitu ketersediaan air untuk irigasi yang terbatas, sekitar 63,27 persen (Tabel 8). Kendala tersebut secara signifikan mempengaruhi produksi padi, seperti yang dikemukakan oleh Herdt dan Wickham (1978); bahwa ada tidaknya irigasi merupakan kendala terbesar sehingga terjadi gap antara produksi potensial dengan produksi aktual. Tabel 8 menunjukkan bahwa petani dengan skala penguasaan lahan sawah diatas dua ha tidak mempunyai kendala infrastruktur irigasi, kecuali di desa Sungai Parit, dengan kendala ketersediaan air untuk irigasi yang terbatas dan saluran pembuangan air yang kurang berfungsi. Sebaliknya, petani yang usahataninya berada di desa Pematang Pelimpahan tidak mempunyai kendala infrastruktur dan ketersediaan air irigasi. Tabel 8. Kendala Petani di Bidang Infrastruktur Irigasi dalam Implementasi Kebijakan Perberasan di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2009
No
Permasalahan Dihadapi Petani
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) Jumlah 0,01- 0,51- 1,01- 1,51>2,00 0,50 1,00 1,50 2,00
1
Ketersediaan air untuk irigasi terbatas (%)
6,66 26,64
9,99 16,65
3,33
63,27
2
Irigasi belum tersedia (%)
3,33
0,00
0,00
0,00
0,00
3,33
3
Pembuangan air irigasi tidak tersedia (%)
3,33
0,00
0,00
0,00
0,00
3,33
4
Saluran pembuangan air kurang berfungsi (%)
3,33
0,00
0,00
0,00
3,33
6,66
5
Tali air mengalami kebocoran (%)
0,00
0,00
3,33
0,00
0,00
3,33
6
Pintu air irigasi rusak (%)
0,00
0,00
3,33
0,00
0,00
3,33
7
Bendungan air tidak berfungsi (%)
0,00
3,33
0,00
0,00
0,00
3,33
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Surya Abadi Sembiring, Harianto, Hermanto Siregar dan Bungaran Saragih
349
Posisi daerah persawahan di kecamatan Sei Rampah berdekatan dengan ibukota kabupaten dan perkebunan kelapa sawit merupakan daya tarik besar kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan pada masa yang datang, apabila rehabilitasi lahan irigasi tidak diprioritaskan oleh pemerintah. Fakta empiris tersebut sejalan dengan Iqbal dan Sumaryanto (2007), yang mengemukakan daerah persawahan yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan paling rentan terhadap alih fungsi lahan. Disisi lain Irawan (2005) mengemukakan bahwa lahan sawah yang sudah dikonversi bersifat permanen, tidak akan pernah berubah kembali menjadi lahan sawah. Perbaikan jaringan irigasi di kecamatan Sei Rampah merupakan prioritas utama bagi pemerintah sehingga petani tidak terdorong melakukan konversi lahan sawah. Mengikuti apa yang diungkapkan oleh Pasandaran (2007) bahwa penundaan investasi publik untuk infrastruktur irigasi berarti menunda kemampuan mendukung ketahanan pangan dan akan memperbesar impor beras. Perlu disadari benar oleh pemerintah bahwa membangun irigasi berarti mendukung kesejahteraan petani. Di desa Sungai Parit, dengan debit air sungai hanya mampu mengairi sawah seluas 80 hektar, tidak memungkinkan melakukan tanam serempak, sehingga menciptakan peluang kepada hama (tikus) memiliki ruang gerak yang lebih luas, yang berdampak terhadap kerusakan tanaman padi sawah. Serangan hama tikus menyebabkan produktifitas padi sawah turun. Perbaikan jaringan irigasi akan meningkatkan debit air sehingga mampu mengairi sawah yang lebih luas sehingga tanam serempak terlaksana, sehingga dapat meminimalkan serangan hama tikus. Permasalahan utama petani dalam implementasi kebijakan perberasan adalah ketersediaan air untuk irigasi terbatas, mencapai 63,27 persen dari petani (Tabel 8). Di desa Sungai Parit, kegiatan petani mengatasi permasalahan suplai air dengan melakukan gotong royong pada setiap musim tanam dengan membangun bendungan sementara, dari tumpukan plastik yang diisi dengan tanah/pasir. Kegiatan tersebut membutuhkan tambahan biaya yang dikeluarkan petani sekitar Rp 5 juta di desa Sei Rejo. Petani melakukan pompanisasi dengan cara mengeruk air dari sungai Rampah dan dialirkan ke lahan sawah. Petani mengeluarkan tambahan biaya sebesar 20 kg gabah per 0,04 ha. Sedangkan di desa Pematang Ganjang, petani melakukan penambahan debit air dengan mesin pompa. Seperti dikemukakan oleh Mardianto et al. (2005), bahwa terbatasnya sumber daya air akan mendorong pengembangan irigasi pompa, khususnya pada lahan tadah hujan. Curah hujan tinggi, tanpa dukungan sistem irigasi menyebabkan lahan sawah banjir sehingga menimbulkan kerugian bagi petani. Kerugian dapat terjadi pada masa vegetatif dan panen padi, selanjutnya mempengaruhi pendapatan petani. Dalam bahasa petani, selama jaringan irigasi berfungsi dengan baik maka petani tidak kuatir meskipun harga saprodi naik. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 4, Desember 2010 : 339-361
350
KEBIJAKAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH Petani mengikuti kebijakan HPP dan mampu membedakan Gabah Kering Panen (GKP) dengan Gabah Kering Giling (GKG) tetapi kurang memperhatikan kadar air gabah dalam transaksi dengan agen/pedagang padi (Tabel 9). Persentase petani yang mempertimbangkan kadar air ketika melakukan transaksi dengan pedagang sekitar 33,3 persen, sedangkan sisanya kurang memperhatikan kualitas gabah yang dihasilkan. Seperti yang diungkapkan oleh PPL, ketergantungan petani dengan pedagang pupuk yang sekaligus juga sebagai pedagang padi melalui sistem yarnen, menjadi salah satu pertimbangan petani kurang mempertimbangkan kualitas gabah. Studi ini menunjukkan bahwa penjualan gabah dilakukan pada tingkat usahatani, artinya petani jarang melakukan kegiatan penjemuran dalam rangka meningkatkan kualitas gabah. Tabel 9. Respon Petani terhadap Kebijakan Perberasan di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2009
No 1
2
3
Uraian Mengikuti Kebijakan HPP (%) a. Ya b. Tidak Mampu Membedakan GKP dan GKG a. Ya b. Tidak Gabah dijual dengan Memperhatikan Kadar Air a. Ya b. Tidak
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) Total (%) 0,01- 0,51- 1,01- 1,51> 2,00 0,50 1,00 1,50 2,00 6,66 19,98 13,32 6,66 19,98 6,66
9,99 6,66
6,66 0,00
56,61 39,96
13,32 39,96 19,98 16,65 0,00 0,00 0,00 0,00
6,66 100,00 0,00 0,00
0,00 13,32 6,66 13,32 26,64 13,32
0,00 6,66
9,99 6,66
29,97 66,60
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009.
Sumber informasi utama bagi petani mengetahui kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yaitu PPL, TV dan KUPD masing-masing 79,92, 36,63 persen, dan 23,31 persen (Tabel 10). Fakta tersebut mengindikasikan bahwa (1) pertemuan kelompok tani yang dilakukan satu kali dalam sebulan, merupakan media yang efektif dalam menyampaikan pesan kebijakan pemerintah kepada petani, dan (2) mass media juga merupakan sarana pendukung yang efektif dalam penyampaian kebijakan pemerintah. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Surya Abadi Sembiring, Harianto, Hermanto Siregar dan Bungaran Saragih
351
Tabel 10. Sumber Informasi Petani tentang Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2009
No
Sumber Informasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Penyuluh Pertanian Lapangan (%) Kontak Tani ( % ) Petani Lain ( % ) Pedagang /Agen/Toke ( % ) Dinas Pertanian ( % ) KUPD ( % ) Telivisi ( % ) Radio ( % ) Koran ( % )
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0,01- 0,51- 1,01- 1,51> 0,50 1,00 1,50 2,00 2,00
Total (%)
13,32 26,64 19,98 13,32 3,33 3,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,66 0,00 3,33 3,33 3,33 0,00 0,00 0,00 16,65 0,00 0,00 0,00 16,65 3,33 9,99 0,00 0,00 3,33 0,00 0,00 3,33 3,33 0,00
79,92 6,66 0,00 13,32 6,66 23,31 36,63 3,33 6,66
6,66 0,00 0,00 3,33 0,00 6,66 6,66 0,00 0,00
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009.
Survei pendahuluan menunjukkan harga gabah petani di provinsi Sumatera Utara lebih tinggi dari HPP, khususnya di daerah sentra produksi padi. Kualitas gabah pada MTH lebih seragam dan kering dibandingkan dengan MTK, sehingga secara umum harga Gabah Kering Panen pada MTH lebih tinggi dari MTK (Tabel 11), masing-masing 11,06 dan 10,91 persen. Studi Pranadji dan Hutabarat (1998) mengemukakan bahwa gabah yang dijual pada musim gadu (September-Januari), harga di pasaran lebih tinggi dibandingkan dengan Dolog/Bulog. Tabel 11. Perbedaan Harga Gabah Kering Panen dengan HPP GKP di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, MT 2008 Strata Lahan Sawah (Ha) 0,01-0,50 0,51-1,00 1,01-1,50 1,51-2,00 >2,00 Rata-rata
Harga GKP MTK 2008 Harga PerbeHPP GKP Jual daan (Rp/Kg) (Rp/Kg) (%) 2 400,00 2 200 9,09 2 495,83 2 200 13,44 2 441,67 2 200 10,98 2 580,00 2 200 17,27 2 300,00 2 200 4,54 2 443,50 2 200 11,06
Harga GKP MTH 2008 PerbeHarga Jual HPP GKP daan (Rp/Kg) (Rp/Kg) (%) 2 575,00 2 400 7,29 2 662,50 2 400 10,93 2 683,33 2 400 11,80 2 740,00 2 400 14,16 2 650,00 2 400 10,41 2 662,16 2 400 10,91
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 4, Desember 2010 : 339-361
352
Berdasarkan indikator yang digunakan Simatupang et al. (2005), disimpulkan bahwa HPP GKP yang ditetapkan melalui Inpres No 3 Tahun 2007, No 1 Tahun 2008 dan No 8 Tahun 2008 dapat terlaksana secara efektif dan berjalan relatif stabil. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa fakta berikut ini. Pertama, rata-rata harga GKP dan yang diterima petani lebih tinggi dari HPP GKP. Kedua, harga GKP di tingkat petani stabil pada tingkat harga yang cukup tinggi (di atas HPP) dan yang lebih penting kenaikan harga GKP lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga GKG. Dengan kata lain, Inpres tersebut mampu meningkatkan pendapatan petani padi, karena dalam kenyataannya sebagian besar petani menjual gabahnya dalam bentuk GKP. Dari sisi pendekatan harga, instrumen HPP dalam Inpres efektif, bukan berarti implementasi Inpres pada tingkat petani di kecamatan Sei Rampah lepas dari kendala. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain: (1) pembelian gabah petani tidak dilakukan oleh Perum Bulog/badan pemerintah/badan usaha di bidang pangan tetapi oleh agen/pedagang, (2) pada umumnya proses penjualan gabah diantara petani dengan pedagang berdasarkan pengalaman agen, tidak mengikuti persyaratan kualitas kadar air maksimum dan kadar hampa/kotoran sesuai dengan diktum keenam dalam Instruksi Presiden, (3) petani tetap dalam posisi tawar yang lemah, dalam penentuan harga gabah, karena adanya informasi yang tidak simetris diantara petani dengan agen/pedagang, sehingga petani bersikap pasrah terhadap informasi yang diterima, (4) kendala infrastruktur seperti ketersediaan alat pengukur kadar air gabah, kerusakan jalan, jembatan yang rusak, merupakan ”alat pembenaran harga” oleh pedagang, dan petani menerima saja harga yang ditentukan oleh pedagang, dan (5) pada kasus tertentu, petani berusaha meningkatkan ”posisi tawar” nya dengan menyebutkan harga gabah pembelian pemerintah, justru melemahkan posisi petani, karena reaksi si agen/pedagang menyuruh petani menjual gabahnya ke pemerintah atau PPL yang pada faktanya tidak mungkin dilakukan.
PERSPEKTIF KEBIJAKAN KE DEPAN Bantuan Langsung Benih Unggul yang diberikan kepada petani kurang memadai dan terlambat diterima oleh petani. Besarnya BLBU belum mengikuti ketentuan pemerintah, karena jumlahnya kurang dari 25 kg per ha. Pemerintah perlu konsisten melaksanakan kebijakan BLBU yang ditawarkan kepada petani, sehingga tujuan kebijakan tercapai. Besarnya BLBU diterima petani disesuaikan dengan luas hamparan sawah yang dikuasai oleh masing-masing kelompok tani. Jenis varitas BLBU yang diberikan yaitu varitas Ciherang. Pemerintah melalui KUPD/PPL memfasilitasi pendistribusian BLBU antara produsen benih (PT SHS dan PT Pertani) sehingga menimbulkan rasa adil diantara kelompok tani. Pembangunan irigasi dan perbaikan sistim jaringan irigasi merupakan syarat esensial untuk mewujudkan tujuan kebijakan perberasan (Tabel 12). Seperti IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Surya Abadi Sembiring, Harianto, Hermanto Siregar dan Bungaran Saragih
353
yang diungkapkan oleh Pasandaran (2007) bahwa adanya teknologi revolusi hijau yang responsif terhadap air memerlukan upaya perbaikan infrastruktur irigasi yang sudah ada dan perluasan sistem irigasi khususnya di luar Jawa. Pemerintah memberikan prioritas utama dalam pembangunan irigasi dan perbaikan sistem irigasi, sehingga petani tidak ”tergoda” melakukan konversi lahan. Petani memiliki ”godaan’ mengkonversi lahan sawah menjadi lahan sawit, karena mengusahakan perkebunan kelapa sawit lebih menjanjikan dibandingkan dengan bertanam padi. Hasil survei menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil (3,33%) petani yang menjual sawah, karena alasan ekonomi. Tabel 12. Saran Petani Padi kepada Pemerintah terkait dengan Kebijakan Irigasi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2009
No
Saran Petani
1
Pemerintah melakukan perbaikan jaringan irigasi (%)
2
Pemerintah melarang petani mengkonversi lahan sawah menjadi kebun Kelapa Sawit (%)
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) Total (%) 0,01- 0,51- 1,01- 1,51> 0,50 1,00 1,50 2,00 2,00 0,00 13,32 6,66 3,33 3,33 26,44 0,00
3,33
0,00
0,00
0,00
3,33
3
Pemerintah melakukan 6,66 16,65 6,66 3,33 0,00 33,30 pembangunan irigasi (%) Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009.
Petani menunjukkan kekhawatiran terjadinya konversi lahan sawah, apabila perbaikan jaringan irigasi tidak diperhatikan oleh pemerintah. Kondisi tersebut didukung dengan pengalaman seharian para petani, ketika membandingkan keuntungan berkebun sawit dengan bersawah. Apabila pemerintah tidak serius memperhatikan perbaikan jaringan irigasi, petani di desa Sungai Parit akan mengalihkan lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit, karena keuntungan berkebun sawit lebih menjanjikan dibandingkan dengan bersawah. Petani sudah memberikan tanggung jawabnya dalam bentuk pemberian pajak air kepada lembaga P3A tetapi petani tetap dihadapkan dengan risiko banjir dengan segala kerugian yang mengikutinya dan ketidakpastian pelaksanaan pembangunan irigasi. Petani tidak mudah memperoleh pupuk bersubsidi (urea, SP36, ZA, NPK dan pupuk organik) dan harga yang sulit terjangkau. Persentase harga pupuk bersubsidi lebih mahal dari HET tahun 2009 lebih tinggi dari tahun 2008. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan saprodi, secara khusus kebijakan pupuk bersubsidi tidak efektif. Kondisi tersebut menjadi suatu alasan yang kuat bahwa permasalahan pupuk terletak pada sistem distribusi pupuk itu sendiri. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 4, Desember 2010 : 339-361
354
Sistem pembelian paket oleh distributor pupuk memberatkan petani, karena dengan ”terpaksa” membeli saprodi yang tidak diperlukan untuk kegiatan usahatani, atau kurangnya pengetahuan menyebabkan biaya yang dikeluarkan petani naik. Disamping itu, petani tidak menerima jumlah pupuk bersubsidi sesuai dengan RDKK sehingga tujuan kebijakan pemerintah tidak tercapai. Terkait dengan kebijakan saprodi, tindakan pemerintah antara lain : (1) melakukan pengawasan distribusi pupuk bersubsidi, (2) tidak mengeluarkan kebijakan menaikkan harga pupuk bersubsidi, (3) penyaluran pupuk bersubsidi ke petani tepat waktu, (4) jumlah kebutuhan pupuk bersubsidi untuk tanaman pangan ditingkatkan, dan (5) menyediakan pupuk organik (Tabel 13). Dari sisi petani tetap mengharapkan pemerintah meneruskan kebijakan pupuk bersubsidi. Tabel 13. Saran Petani Padi kepada Pemerintah terkait dengan Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2009 Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) Total (%) 0,01- 0,51- 1,01- 1,51> 2,00 0,50 1,00 1,50 2,00
No
Saran Petani
1
Pemerintah mengawasi distribusi pupuk bersubsidi sehingga lancar (%)
0,00
6,66
0,00
3,33
0,00
9,99
2
Pemerintah mengawasi supaya harga pupuk lebih stabil/tidak naik (%)
3,33
0,00
0,00
0,00
0,00
3,33
3
Pemerintah berusaha sehingga pupuk bersubsidi tepat waktu sampai di petani (%)
3,33
9,99
0,00
3,33
0,00 16,65
4
Pemerintah perlu meningkatkan jumlah pupuk bersubsidi (%)
3,33
6,66
3,33
0,00
0,00 13,32
5
Pemerintah menyediakan pupuk organik (%)
0,00
0,00
3,33
0,00
0,00
3,33
6
Pemerintah tidak menghilangkan subsidi (%)
3,33
0,00
0,00
0,00
0,00
3,33
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009.
Ke-enam saran petani terkait dengan kebijakan pupuk bersubsidi pada Tabel 13 sudah dilakukan oleh pemerintah, tetapi petani dengan skala penguasaan lahan sawah lebih kecil dari satu hektar di kecamatan Sei Rampah kurang merasakan manfaat dari kebijakan tersebut. Sebaliknya, petani dengan skala penguasaan lahan sawah di atas dua hektar tidak memberikan saran terhadap pemerintah. Apakah itu berarti petani yang memiliki lahan sawah yang luas sudah merasa puas dengan kebijakan pupuk bersubsidi atau petani tersebut bisa bertahan tanpa campur tangan pemerintah, studi ini tidak menjawab kondisi di atas. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Surya Abadi Sembiring, Harianto, Hermanto Siregar dan Bungaran Saragih
355
Saran petani kepada pemerintah untuk menyediakan pupuk organik mengindikasikan bahwa petani menyadari peranannya untuk meningkatkan produksi. Teknologi baru tidak selalu identik dengan ”peralatan untuk kegiatan usahatani yang canggih” tetapi cara-cara dan metode baru yang dapat menaikkan produksi (Mubyarto, 1989). Menurut Doll dan Orazem (1984), kehadiran teknologi menyebabkan biaya produksi turun dan diikuti dengan kenaikan keuntungan dalam jangka pendek. Harga jual gabah petani lebih tinggi 10-11 persen di atas HPP, namun petani tetap mengharapkan pemerintah meningkatkan HPP terhadap gabah dan membeli langsung gabah petani (Tabel 14). Studi tentang kebijakan perberasan oleh Hutauruk (1996); Hutauruk dan Sembiring (2002); dan Kusumaningrum (2008) membuktikan bahwa kenaikan harga dasar gabah/harga pembelian pemerintah akan meningkatkan kesejahteraan produsen. Dengan demikian, harapan petani terhadap pemerintah adalah rasional karena kebijakan pemerintah menaikkan HPP menguntungkan bagi petani. Tabel 14. Saran Petani Padi kepada Pemerintah terkait dengan Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2009
No
Saran Petani
1
Pemerintah menghentikan impor beras (%) Pemerintah menaikkan Harga Pembelian Pemeritah terhadap gabah (%) Pemerintah memantau harga gabah petani (%) Pemerintah memperhatikan keseimbangan kenaikan harga gabah dengan pupuk (%) Pemerintah membeli Gabah dari petani bukan tengkulak (%)
2
3 4
5
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) Total (%) 0,01- 0,51- 1,01- 1,51> 2,00 0,50 1,00 1,50 2,00 0,00
3,33
0,00
0,00
3,33
6,66
9,99 16,65
6,66
3,33
0,00
36,33
0,00
0,00
0,00
3,33
0,00
3,33
0,00
3,33
0,00
0,00
0,00
3,33
0,00
3,33
3,33
0,00
0,00
6,66
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009.
Pemerintah menghadapi kesulitan untuk melakukan pembelian langsung gabah petani, karena keterbatasan sumberdaya. Kesulitan tersebut dapat dipecahkan dengan memfungsikan kembali koperasi sebagai ”perpanjangan pemerintah” untuk membeli langsung gabah petani. Dari 59 kelompok tani di kecamatan Sei Rampah, masih tersisa satu kelompok tani yang memiliki Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 4, Desember 2010 : 339-361
356
kelembagaan koperasi yaitu Koperasi Sri Murni. Koperasi ini menjalankan fungsi mensuplai saprodi dan simpan pinjam bagi anggotanya. Dengan dukungan pemerintah, koperasi ini dapat bertindak merealisasikan harapan petani. Oleh karena itu, campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk mendorong petani membentuk koperasi petani baik di tingkat desa atau kelompok tani. Kehadiran koperasi petani yang difasilitasi pemerintah akan meningkatkan kesejahteraan petani, sehingga tujuan kebijakan perberasan dalam Inpres tercapai. Sumber informasi utama petani mengetahui kebijakan saprodi adalah PPL (Tabel 15), sehingga pemerintah perlu mengangkat status PPL harian menjadi pegawai tetap (Pegawai Negeri). Perubahan status tersebut penting sehingga mendorong kinerja dan kepercayaan diri dalam membimbing petani. Disamping itu, perbaikan infrastuktur jalan usahatani menjadi penting, karena terkait dengan ketersediaan saprodi pada tingkat lokalitas usahatani Tabel 15. Saran Petani Padi kepada Pemerintah terkait dengan Kebijakan Pendukung di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2009
No 1
Saran Petani
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) Total (%) 0,01- 0,51- 1,01- 1,51> 2,00 0,50 1,00 1,50 2,00 0,00 9,99 0,00 0,00 3,33 12,32
Pemerintah meneruskan bantuan subsidi (%) 2 Pemerintah memperbaiki jalan usahatani 0,00 0,00 0,00 3,33 0,00 3,33 (%) 3 Pemerintah memperhatikan kesejahteraan 3,33 0,00 0,00 0,00 0,00 3,33 PPL (%) 4 Pemerintah meneruskan pemberian bantuan 3,33 6,66 3,33 3,33 0,00 16,65 kepada petani (%) 5 Pemerintah mengusahakan sehingga harga 3,33 0,00 3,33 0,00 0,00 6,66 pestisida tidak naik (%) 6 Pemerintah perlu mendorong PPL 0,00 3,33 0,00 6,66 0,00 9,99 meningkatkan kinerja (%) 7 Pemerintah tetap memperhatikan sektor 0,00 3,33 0,00 0,00 0,00 3,33 pertanian (%) 8 Pemerintah melakukan subsidi terhadap 0,00 3,33 0,00 0,00 0,00 3,33 pestisida (%) 9 Pemerintah tidak menghilangkan subsidi 3,33 0,00 0,00 0,00 0,00 3,33 (%) 10 Pemerintah mengangkat status PPL harian 3,33 0,00 0,00 0,00 0,00 3,33 menjadi PNS (%) 11 Pemerintah konsisten melaksanakan 0,00 0,00 3,33 0,00 0,00 3,33 kebijakan yang ditawarkan (%) Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, 2008/2009.
Semua negara penghasil beras di Asia memberikan insentif usahatani padi yang cukup lengkap (Mardianto dan Ariani, 2004). Sebagai contoh, India, IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Surya Abadi Sembiring, Harianto, Hermanto Siregar dan Bungaran Saragih
357
Philippina,Vietnam, Myanmar dan Thailand memberikan insentif berupa subsidi input (pupuk), bahan bakar, pengadaan alsintan, dan bunga kredit usahatani. Republik Rakyat China, sebagai negara produsen dan konsumen beras terbesar dunia berusaha membimbing petani melalui penyuluhan dan percontohan yang konkrit. PENUTUP Implementasi kebijakan Bantuan Langsung Benih Unggul, pupuk bersubsidi dan perbaikan jaringan irigasi tidak efektif, sebaliknya implementasi kebijakan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah kering Panen dan Gabah Kering Giling efektif. Implementasi kebijakan bantuan langsung benih unggul, pupuk bersubsidi dan rehabilitasi jaringan irigasi yang tidak efektif menyebabkan kelangkaan pupuk, pemupukan berimbang tidak tercapai dan biaya produksi yang dikeluarkan petani meningkat, dan membuka kemungkinan terjadinya konversi lahan sawah, sehingga tujuan kebijakan perberasan tidak tercapai. Upaya pencapaian tujuan kebijakan perberasan yang efektif sebaiknya pemerintah memberikan BLBU kepada petani minimal 25 kg per ha dan memfasilitasi pendistribusiannya melalui KUPD/PPL sehingga menimbulkan rasa adil diantara kelompok tani. Pemerintah perlu melakukan pengawasan distribusi pupuk bersubsidi, tidak mengeluarkan kebijakan menaikkan harga pupuk bersubsidi, menyalurkan pupuk bersubsidi ke petani tepat waktu, menjamin ketersediaan pupuk bersubsidi untuk tanaman pangan, mengusahakan kenaikan harga gabah lebih tinggi dari HET pupuk bersubsidi, meneruskan kebijakan pupuk bersubsidi, dan meningkatkan status PPL harian menjadi pegawai tetap (PNS). Upaya lainnya yang perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain melakukan pembangunan irigasi dan perbaikan sistim jaringan irigasi, melakukan pembelian langsung gabah petani, dan memfasilitasi pembentukan koperasi petani di tingkat desa atau kelompok tani.
DAFTAR PUSTAKA Bachrudin, Z. 2008. Kebijakan dan Langkah Operasional Pengembangan Mekanisasi Pertanian dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas Tanaman Pangan Utama. Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian tanggal 23 Oktober 2008. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Darwis, V dan A.R.Nurmanaf. 2004. Kebijakan Distribusi, Tingkat Harga dan Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani. Forum Penelitian Agro Ekonomi 22(1): 63-73. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 4, Desember 2010 : 339-361
358
Direktorat Perbenihan. 2008. Laporan Bulanan Desember 2008. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Jakarta. Doll, J.P. and F. Orazem. 1984. Production Economics: Theory with Application. Jhon Wiley and Sons, New York. Ellis, F. 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press, Cambridge. Harianto. 2001. Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Herdt, R.W. and T.H. Wickham. 1978. Exploring the Gap Between Potential and Actual Rice Yields: The Philippine Case. In Barker and Hayami (Editor) Economic Consequences of the New Rice Technology. The International Rice Research Institute, Los Banos. Hilman, A.L. 2003. Public Finance and Public Policy. Responsibilities and Limitations of Government. Cambridge University Press, Cambridge. Hutauruk, J. 1996. Analisa Dampak Kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi Pupuk di Indonesia. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hutauruk, J. dan S.A. Sembiring. 2002. Dampak Kebijakan Harga Dasar dan Subsidi Pupuk terhadap Kesejahteraan Konsumen dan Produsen. Laporan Penelitian disampaikan dalam Simposium Hasil Penelitian dan Seminar Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik, Tanggal 7-8 Maret 2002, Jakarta. Irawan, B. 2005. Dinamika Produktifitas dan Kualitas Budidaya Padi Sawah. Dalam Kasryno, E.Pasandaran, dan A.M Fagi (Editor) Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Iqbal, M dan Sumaryanto.2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 5(2): 167-182 Kariyasa, K., M. Maulana, dan S. Murdianto. 2004. Usulan Tingkat Subsidi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang Relevan serta Perbaikan Pola Pendistribusian Pupuk di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 2(3): 277-287. Kariyasa, K. dan Y.Yusdja. 2005. Evaluasi Kebijakan Sistem Distribusi Pupuk Urea di Indonesia: Kasus Provinsi Jawa Barat. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 3(3): 201-216. Kusumaningrum, R. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Surya Abadi Sembiring, Harianto, Hermanto Siregar dan Bungaran Saragih
359
Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor. 2006. Studi Biaya Distribusi Pupuk Urea Bersubsidi dari Lini III ke Lini IV. Hasil Penelitian disampaikan pada Seminar Nasional: Sistem Distribusi Pupuk Urea Bersubsidi Tanggal 3 Desember 2006, Jakarta. Mardianto, S dan M.Ariani. 2004. Kebijakan Proteksi dan Promosi Komoditas Beras di Asia dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 2(4): 340-353. Natawijaya, R.S. 2001. Dinamika Pasar Beras Domestik. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Pasandaran, E. 2007. Pengelolaan Infrastruktur Irigasi dalam Kerangka Ketahanan Pangan Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 5(2): 126-149. Prabowo, H.E. 2008. Penyusutan Lahan Isu Utama Ketahanan Pangan. Kompas 4 Oktober 2008, 21: (1-7). Pranaji, T. dan B. Hutabarat. 1998. Beberapa Aspek Sosial Ekonomi Kegiatan Pengeringan Padi. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Agro Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 6(2): 53-60. Rachman, B.2003. Evaluasi Kebijakan Sistem Distribusi dan Harga Pupuk di Tingkat Petani. Analisis Kebijakan Pertanian 1(3): 221-237. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Saragih, B. 2001. Sambutan Menteri Pertanian Republik Indonesia pada Diskusi Panel Reformulasi Kebijakan Ekonomi Beras Nasional Tanggal 17 Juli 2001, Bogor. Saragih, B. 2010. Impor Beras antara Prinsip dan Keluwesan. Suara Agribisnis. Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. Penerbit. PT Permata Wacana Lestari. Jakarta. Sawit, M.H. 2001. Kebijakan Harga Beras: Periode Orba dan Reformasi. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Sawit, M.H. 2007. Usulan Kebijakan Beras dari Bank Dunia: Resep yang Keliru. Analisis Kebijakan Pertanian 5(3): 193-212. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Sembiring, S.A. 2008(a). Kebijakan Pengadaan Benih di Indonesia Tahun 2007. Paper dipresentasikan pada Kuliah Kebijakan Pertanian Lanjutan. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sembiring, S.A. 2008 (b) Kebijakan Perberasan Nasional. Suara Pembaruan. 21 Oktober 2008, 4:(3-6).
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 4, Desember 2010 : 339-361
360
Simatupang, P. 2001. Kebijakan Harga Gabah Mengambang Terkendali Sebagai Opsi Pengganti Harga Dasar Gabah. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Simatupang, P., S. Mardianto., K.Kariyasa. dan M.Maulana. 2005. Evaluasi Pelaksanaan Harga Gabah Pembelian Pemerintah Tahun 2005 dan Perspektif Penyesuaiannya Tahun 2006. Analisis Kebijakan Pertanian 3(3): 187-200. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Sudaryanto, T. 2001. Perkembangan Industri Pupuk, Investasi Irigasi, dan Konversi Lahan. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Sumaryanto dan E. Pasandaran. 1991. Keragaan Kredit Usahatani dalam Menunjang Peningkatan Produksi Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 9(1). Sumodiningrat, G. 2004. Subsidi untuk Petani Padi Mencari Format yang Tepat. Kompas, Senin 6 September 2004, 1: (6), 11: (5-9). Suprihatno,B dan A.A. Daradjat. 2008. Kemajuan dan Ketersediaan Varitas Unggul Padi. Padi. Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Buku I. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Surono, S. 2001. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Impor Beras Serta Kebijakan Pemerintah untuk Melindungi Petani. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Suryana, A. dan S. Mardianto. 2001. Dinamika Kebijakan Perberasan Nasional. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Thorbecke,E. and L. Hall. 1982. Nature and Scope of Agricultural Sector Analysis: An Overview. In Thorbecke, E and L. Hall (Edited). In Agricultural Sector Analysis and Models in Developing Countries. Development Policy Studies and Training Service Policy Analysis Division. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN DI TINGKAT PETANI: KINERJA DAN PERSPEKTIF KE DEPAN Surya Abadi Sembiring, Harianto, Hermanto Siregar dan Bungaran Saragih
361