Konferensi Nasional Teknik Sipil I (KoNTekS I) – Universitas Atma Jaya Yogyakarta Yogyakarta, 11 – 12 Mei 2007
SEKTOR KONSTRUKSI DAN PILIHAN KEBIJAKAN INDUSTRI KONSTRUKSI KE DEPAN Danang Parikesit1, Akhmad Suraji2, Hengki Purwoto3, Lilik Wachid Budi Susilo4 1
(a) Guru Besar Universitas Gadjah Mada, (b) Peneliti PUSTRAL dan Ketua LPPM UGM, dan (c) Wakil Ketua Center for Engineering and Industry Policy Studies, PII Pusat. Email:
[email protected] 2 Peneliti pada PUSTRAL UGM, Dosen Fakultas Teknik Universitas Andalas, dan Koordinator KAKI (Komunitas Aksi untuk Konstruksi Indonesia), 3 Peneliti pada PUSTRAL UGM, Dosen Fakultas Ekonomi UGM 4 Peneliti pada PUSTRAL UGM
1. PENGANTAR Sektor konstruksi memiliki peran cukup besar terhadap pembangunan nasional. Peran industri ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap makro ekonomi, yaitu pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja. Secara empiris, kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional dapat mencapai 5-9% GDP. Analisis keluaran konstruksi terhadap keseluruhan total formasi kapital tetap (GDFCF: gross domestic fixed capital formation) dari negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa keluaran konstruksi (construction output) masing-masing 50% dan 70% dari GDFCF. Kebijakan pembangunan oleh pemerintah nasional maupun lokal akan menentukan derajad permintaan (demand) sektor konstruksi, biaya produksi dari proses penyelenggaraan konstruksi, kondisi penawaran (supply) dan interrelasi antar sektor (backward and forward linkages). Industri konstruksi merupakan penyerap tenaga kerja yang besar, baik di negara berkembang maupun yang sudah maju sebesar kurang lebih 5% dari total angkatan kerja. Di Indonesia, pada tahun 2003 jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi adalah 4.106.597. Sektor konstruksi Indonesia mampu menyerap 4.52% dari total angkatan kerja di Indonesia. Penyerapan tenaga kerja langsung maupun tidak langsung oleh sektor ekonomi lain yang terkait dengan sektor konstruksi dapat lebih tinggi dari penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi. Kenyataan lain menunjukkan bahwa sektor konstruksi dapat berada pada seluruh sektor dan hal ini mestinya sektor konstruksi tidak dipandang sebagai sektor yang terpisah. Investasi kapital dari sektor konstruksi diperlukan karena produk mereka diperlukan tidak untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi produk barang dan jasa yang mereka buat digunakan untuk kegiatan sektor lain. Misalnya, produk industri konstruksi adalah bendung yang digunakan untuk membangun sektor pertanian, gedung sekolah dibangun untuk tempat melakukan pendidikan, dan suatu pabrik dibuat untuk menghasilkan barang. Di Inggris, misalnya, tahun 1993 industri ini menyerap 14% angkatan kerja, di mana nilai dari keluaran sektor konstruksi tahun 1993 adalah £46.3 billion, yang merepresentasikan hampir 10% dari GDP.Sektor ini juga merepresentasikan hampir 50% dari total formasi kapital tetap (gross fixed capital formation) salah satu negara maju ini dan boleh jadi sektor ini memegang peran yang sama besar di banyak negara maju di dunia. Indonesia, sebagai kategori negara sedang berkembang, pada kondisi normal industri konstruksi nasional dapat menyumbang sampai dengan 9% GDP,
ISBN 979.9243.80.7
63
Danang Parikesit, Akhmad Suraji, Hengki Purwoto, Lilik Wachid Budi Susilo
tetapi pada kondisi krisis sektor ini hanya menyumbang rata-rata 6% GDP. Hampir di berbagai belahan dunia, kegiatan bisnis konstruksi telah menjadikan industri konstruksi menjadi pilar utama pembangunan suatu negara.
2. INDUSTRI KONSTRUKSI DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA Tabel 1 menunjukkan perkembangan nilai nominal dan riil dari Jasa Konstruksi di Indonesia dan PDB selama 1999-2002. Besarnya sumbangan sektor ini terhadap PDB adalah sebesar 5,88% pada tahun 2001 kemudian turun menjadi 5,47% pada tahun 2002. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia ternyata telah mempengaruhi perkembangan jasa konstruksi. Sebelum terjadi krisis ekonomi sektor konstruksi tumbuh sangat cepat seiring dengan perkembangan pembangunan yang mencakup segala aspek terutama ditunjukkan oleh hasil pembangunan secara fisik di setiap wilayah Indonesia. Namun pada tahun 1998 yang merupakan puncak krisis, sektor ini mengalami kemerosotan yang paling parah dibanding sektor-sektor lain. Bermacam usaha telah dilakukan para pelaku bisnis di bidang ini, sehingga pada tahun 2000 sektor ini mulai menunjukkan kebangkitannya. Hal ini ditandai dengan dimulainya pembangunan fisik yang pelaksanaannya sempat ditangguhkan. Tabel 1 Perkembangan Nilai Nominal dan Riil Sektor Konstruksi dan PDB (Rp miliar): 1999-2002 Nilai Nominal
Lapangan Usaha Sektor Bangunan Total PDB
1999
2000
22035,6
23278,7
379352,5
398016,9
2001
Nilai Riil 2002
1999
2000
2001
2002
24259,1
25255,3
67612,2
76573,4
85263,2
92366,3
411691
426740,5
1099732
1264919
1449398
1610012
5,92%
6,15%
6,05%
5,88%
5,74%
Pangsa 5,81% 5,85% 5,89% Sumber: Pendapatan Nasional Indonesia 1999-2002 BPS, diolah
Perkem bangan Nilai Riil Sektor Konstruksi dan PDB (Rp m iliar): 1999-2002
Perkembangan Nilai Nominal Sektor Konstruksi dan PDB (Rp miliar): 1999-2002 6,20%
6,00%
6,15% 6,05%
5,92%
6,00%
5,89%
5,90%
5,88%
5,85%
5,74%
5,80%
5,81% 5,80%
5,60%
5,40%
5,70%
1999
2000
2001
2002
1999
2000
2001
2002
Gambar 1. Kecenderungan kontribusi sektor konstruksi terhadap pembentukan ekonomi nasional, 1999 - 2002 Pertumbuhan sektor ini pada tahun 2002 tercatat hanya sebesar 4,11%, lebih rendah bila dibanding dengan pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 4,21% (BPS, 2002: 32). Namun prospek sektor ini diharapkan tetap akan cerah, terutama dengan proyek baru dalam pembangunan infrastruktur di berbagai sektor. Ketika pendapatan nasional tinggi dan terus naik, sebagian besar dari pendapatan tersebut akan digunakan untuk investasi. Lebih lanjut, negara-negara yang memiliki pendapat nasional tinggi akan melakukan investasi yang lebih tinggi daripada negara-negara dengan pendapatan rendah.
64
ISBN 979.9243.80.7
Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Konstruksi ke Depan
Kontribusi langsung dan tidak langsung dari industri konstruksi terhadap GDP dan penyerapan tenaga kerja berada pada urutan kedua setelah sektor pertanian di banyak negara berkembang dan hampir sama dengan sektor pertanian dan manufaktur untuk negara-negara maju. Karena 50% - 70% dari investasi kapital negara melibatkan sektor konstruksi, efisiensi dari program investasi dan pergerakan pertumbuhan ekonomi akan sangat tergantung dari efisiensi dari industri konstruksi. Bahkan program pembangunan yang telah ditetapkan sangat baik dapat terganggu oleh biaya tinggi, keterlambatan penyelesaian pelaksanaan konstruksi, dan rendahnya kualitas pekerjaan akibat industri konstruksi tidak efisien. Selanjutnya kondisi ini pada gilirannya akan mengurangi nilai manfaat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Secara tradisional, industri konstruksi telah banyak digunakan oleh berbagai negara untuk menggerakan pembangunan nasional. Sebagian besar pasar konstruksi di negara sedang berkembang banyak didominasi oleh permintaan pemerintah baik pusat maupun daerah akan belanja publik untuk produk-produk bangunan infrastruktur. Permintaan konstruksi lebih banyak didominasi oleh sektor publik. Khusus di negara sedang berkembang, sektor publik memiliki lebih dari 70% dari total permintaan konstruksi. Di Indonesia, sampai dekade 90an, pasar konstruksi publik dapat mencapai 80%, dan sejak deregulasi perbankan tahun 1990an, pasar konstruksi swasta mengalami kenaikan yang cukup besar, bahkan di tahun 2004 perbandingan pasar sektor konstruksi publik dan swasta dapat mencapai 41,25% : 58,75%. Angka investasi swasta ini berubah secara marginal dari sekitar 59% di tahun 2003. Pemerintah (APBN&APBD) Swasta (BUMN&Swasta)
Pemerintah (APBN&APBD) 41,25%
Swasta (BUMN&Swasta) 58,75%
Sumber: Potensi Jasa Konstruksi Indonesia, Bapekin 2004
Gambar 2. Pangsa Pasar Konstruksi Tahun 2004 Oleh karena itu, pemerintah memainkan peran sangat penting didalam berbagai urusan (affairs) industri konstruksi. Kebijakan pembangunan oleh pemerintah baik di tingkat nasional maupun lokal akan menentukan derajad permintaan (demand) sektor konstruksi, biaya produksi dari proses penyelenggaraan konstruksi, kondisi penawaran (supply) dan interrelasi antar sektor (backward dan forward linkages). Pemerintah akan memiliki kepentingan untuk menjamin adanya akuntabilitas publik melalui peningkatan efisiensi dan efektitas (cost effectiveness) dan keberhasilan pencapaian kualitas tinggi dari suatu produk konstruksi agar dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang besar. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa sektor konstruksi memiliki kemampuan untuk menyerap tenaga kerja cukup besar khususnya tenaga kerja tidak terampil dan semi terampil (Ganesan, 2000). Di negara-negara maju, industri ini mampu menyerap tenaga kerja antara 6% sampai 9% dari total angkatan kerja. Di negara-negara sedang
ISBN 979.9243.80.7
65
Danang Parikesit, Akhmad Suraji, Hengki Purwoto, Lilik Wachid Budi Susilo
berkembang, sektor konstruksi dapat menyerap tenaga kerja antara 4% sampai dengan 10% dari total angkatan kerja (Field & Ofori, 1988). Menurut data BPS (2003), jumlah tenaga kerja konstruksi adalah 4.106.957. Sebagian besar atau 55,75% tenaga kerja perkotaan, sedangkan sisanya 44,25% tenaga kerja perdesaan. Dari jumlah tersebut, 3,15% (129.516) adalah tenaga kerja perempuan. Berdasarkan klasifikasi keahlian, jumlah tenaga kerja tidak terampil dan semi terampil di sektor konstruksi mencapai 78,84%. Penyebaran tenaga kerja konstruksi berdasarkan propinsi menunjukkan bahwa hampir sebagian besar berada di pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah 21,2%; Jawa Barat 19,1%; dan Jawa Timur 17,8%. Tabel 2 Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Beberapa Sektor Pembangunan Backward linkage No
SEKTOR
Direct Indirect
Total
Forward linkage Direct Indirect
Total
Angka Pengganda Kesemptan Output Pendapatan Kerja 1.320 0.040 2.27E-07
1
Pertanian
0.190
1.061
1.251
0.678
1.326
2.005
2
Pertambangan
0.843
1.607
2.450
0.687
1.332
2.019
1.236
0.038
1.6E-08
3
Industri Listrik, Gas dan Air Minum Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restauran Angkutan dan Komunikasi Jasa-jasa
0.303
1.155
1.458
0.384
1.176
1.560
1.700
0.244
2.06E-08
0.512
1.301
1.813
0.716
1.527
2.243
1.823
0.135
5.06E-09
0.860
1.321
2.181
0.085
1.062
1.147
1.787
0.310
2.52E-08
1.851
1.863
3.715
0.381
1.174
1.555
1.724
0.067
7.13E-08
0.266
1.140
1.406
0.442
1.251
1.693
1.587
0.307
3.31E-08
0.332
1.287
1.620
0.271
1.176
1.447
1.446
0.089
4.89E-08
9 Lainnya 0.055 1.031 1.087 1.512 2.241 3.754 1.586 0.002 Sumber: Tabel Input-Output 2005 yang diturunkan dari Tabel Input-Output 2000 dengan metode RAS, diolah.
2.3E-07
4 5 6 7 8
Sektor Bangunan (Konstruksi) memiliki keterkaitan ke depan (2,18) lebih tinggi dibanding keterkaitan ke belakang (1,15). Artinya sektor bangunan relatif lebih berperan sebagai penyedia input bagi sektor-sektor lain dibandingkan sebagi pengguna output sektor lain. Meskipun sektor konstruksi menggunakan input dari sektor-sektor lain (industri semen, penambangan pasir, jasa dan lain-lain) tetapi peran tersebut lebih kecil dibandingkan perannya sebagai penghasil input untuk sektor lain (misal: pembangunan gedung untuk sektor industri, irigasi untuk sektor pertanian). Di sini sektor bangunan bisa kita lihat sebagai precondition kegiatan produksi sektor lain. Bangunan jalan, jembatan, irigasi sebagai precondition bagi perkembangan aktivitas sektor lain.
3. PERSPEKTIF TERHADAP INDUSTRI KONSTRUKSI Turin (1973) menyatakan bahwa definisi industri konstruksi sangat tergantung dari cara pandang terhadap aspek-aspek industri konstruksi. Beberapa pihak hanya mempertimbangkan keluaran konstruksi, misalnya Wells (1986) dan Henriod (1984). Wells (1986) mengatakan “construction is generally defined to encompass the creation of physical infrastructure (roads, railways, harbours), other civil engineering works (dams, irrigation projects, power plants), all building works (including housing), as well as the maintenance and repair of existing infrastructure”. Dari perspektif yang lain Ive dan Gruneberg (2000) menyatakan bahwa industri konstruksi hanya terdiri dari dari perusahaan-perusahaan yang melaksanakan pekerjaan produksi (proses konstruksi) di lapangan, sedangkan perancang dan pengawas serta penyedia bahan bangunan tidak termasuk dalam industri ini. Hillebrant (1984) mencatat bahwa industri konstruksi dapat mencakup semua pihak
66
ISBN 979.9243.80.7
Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Konstruksi ke Depan
yang terlibat dalam penyelenggaraan konstruksi, termasuk para profesional. Sedangkan Bon (2000) memasukkan sektor-sektor penting lainnya dalam merealisasikan program penyelenggaraan konstruksi. Sementara itu, Kwakye (1997) menjelaskan bahwa produksi dari produk konstruksi terjadi dalam suatu kumpulan berbagai industri. Kumpulan industri ini disebut industri konstruksi (construction industry). Kata industri konstruksi dapat dimaknai sebagai suatu kumpulan dari bermacam industri karena penyelesaian suatu bangunan terdiri dari rangkaian penyusunan material atau komponen menggunakan peralatan yang diproduksi oleh suatu industri serta keterlibatan jasa tenaga dan pikiran manusia. Pada prinsipnya, industri konstruksi merupakan suatu industri manufaktur. Oleh karena itu kata “construction industry” lebih banyak dipakai untuk menggambarkan suatu kegiatan manufakturing bangunan, baik gedung maupun infrastruktur. Di Indonesia, industri konstruksi dipahami sebagai gabungan dua jenis industri, yaitu industri barang (material, komponen dan peralatan) konstruksi dan industri jasa (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan) suatu penyelengaraan konstruksi. Industri barang konstruksi lebih banyak disebut sebagai kategori industri manufaktur. Oleh karena itu, istilah industri konstruksi dipersempit menjadi industri jasa konstruksi. Dengan demikian, undang-undang untuk sektor konstruksi (construction law) difokuskan menjadi undang-undang jasa konstruksi (construction services law). Implikasi selanjutnya adalah bahwa subyek industri jasa konstruksi di Indonesia adalah para badan usaha yang bergerak dalam penyediaan jasa perencanaan dan pengawasan (consulting services) dan penyediaan jasa pelaksanaan (contracting services). Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa cakupan subyek industri jasa konstruksi di Indonesia adalah para konsultan perencana, konsultan pengawas dan pelaksana. Dengan garis pembatas ini, maka produk dari proses fabrikasi atau manufaktur material dan komponen konstruksi, seperti batu-bata, kusen pintu jendela, pipa gorong-gorong, pipa baja konstruksi, dan lain-lain tidak menjadi bagian integral dari suatu pengembangan industri konstruksi seperti di negara-negara lain. Demikian juga, para vendor atau suplier dari produk-produk bahan atau komponen konstruksi juga tidak menjadi bagian utuh dari pengembangan industri konstruksi. Di Negara ini, tatalaksana dalam industri konstruksi lebih menfokuskan hal-hal yang terkait langsung dengan struktur interaksi pengguna dan penyedia jasa untuk suatu proses konstruksi. Hal ini membawa dampak bahwa pembicaraan mengenai konstruksi Indonesia akan selalu hanya merujuk pada aspek jasa perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dari suatu proses konstruksi dan tidak pada berbagai elemen untuk memproduk “bangunan (gedung dan infrastruktur)”
INDUSTRI KONSTRUKSI INDUSTRI JASA KONSTRUKSI
Gambar 2. Industri Konstruksi dan Industri Jasa Konstruksi ISBN 979.9243.80.7
67
Danang Parikesit, Akhmad Suraji, Hengki Purwoto, Lilik Wachid Budi Susilo
Gambar 2 menjelaskan struktur industri konstruksi dan industri jasa konstruksi. Berdasarkan gambar ini maka industri jasa konstruksi merupakan bagian dari industri konstruksi. Pendekatan ilmu ekonomi menyatakan bahwa industri merupakan kumpulan kegiatan usaha (bisnis) sejenis. Masukan dari kegiatan usaha sektor konstruksi ini dapat berupa barang, seperti bahan dan peralatan maupun jasa. Demikian juga keluaran dari kegiatan ini dapat berupa jasa maupun barang. Dengan demikian, komoditas dari sektor konstruksi ini dapat berbentuk barang konstruksi (construction goods) dan jasa konstruksi (construction services). Di Indonesia, istilah industri jasa konstruksi (construction services industry) lebih banyak dirujuk daripada industri konstruksi (construction industry). Istilah industri jasa konstruksi lebih dikaitkan dengan usaha memberikan jasa untuk membangun suatu bangunan. Proses membangun suatu bangunan meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dari proses pelaksanaan. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18/1999, yang dimaksud jasa konstruksi mencakup perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan untuk membangun suatu bangunan (konstruksi). Konstruksi meliputi semua kegiatan yang hasil akhirnya berupa bangunan/konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, baik dimanfaatkan untuk tempat tinggal atau sarana kegiatan lainnya. Hasil kegiatan tersebut antara lain bisa digunakan secara individu atau umum seperti: jalan, gedung, jembatan, rel dan jembatan kereta api, terowongan, bangunan air dan drainase, bangunan sanitasi, landasan pesawat terbang, dermaga, bangunan pembangkit listrik, transmisi, distribusi dan bangunan jaringan komunikasi. Kegiatan konstruksi meliputi perencanaan, persiapan, pembuatan, pembongkaran dan perbaikan bangunan. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 1999, Usaha Jasa Konstruksi dapat diklasifikasikan menjadi usaha perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Usaha perencanaan konstruksi yang memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi. Usaha pelaksanaan konstruksi yang memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi. Usaha pengawasan konstruksi memberikan layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi. Bentuk usaha jasa konstruksi adalah perseorangan dan badan hukum. Usaha perseorangan, yaitu selaku pelaksana konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil. Selaku perencana konstruksi atau pengawas konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya. Usaha berbadan hukum, yaitu usaha untuk pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan. Bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural dan/atau sipil dan/atau mekanikal dan/atau elektrikal dan/atau tata lingkungan, masing-masing beserta kelengkapannya.
68
ISBN 979.9243.80.7
Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Konstruksi ke Depan
Sumber: Potensi Jakstra (Bapekin), 2004
Gambar 3. Persebaran Domisili Penyedia Jasa Menurut Kwakye (1997) ada 14 (empat belas) karakteristik industri konstruksi yang membedakan dengan sektor lain. Industri konstruksi memiliki karakter terfragmentasi (fragmented industry) atas dasar kelembagaan dari profesional konstruksi, asosiasi usaha (trade association) dan berbagai partisipan proyek konstruksi dari korporasi berbeda. Industri ini juga memiliki karakter ketidakberaturan pendayagunaan tenaga kerja (irregular unemployment). Tenaga kerja di sektor konstruksi sangat tergantung dari permintaan. Pada kondisi tertentu industri konstruksi akan membutuhkan suplai tenaga kerja yang besar, tetapi pada kondisi lain akan terjadi pengurangan tenaga kerja. Dengan demikian, kegiatan sektor konstruksi akan dapat menyerap tenaga kerja yang besar, tetapi disisi lain begitu sektor konstruksi ini mengalami penurunan permintaan maka akan menimbulkan pengangguran. Sektor konstruksi akan sangat tergantung pada tenaga kasar (reliance on casual labour). Penggunaan tenaga lepas melalui subkontraktor tenaga (mandor borong atau bass borong) merupakan hal yang umum dilakukan di Indonesia. Industri ini tidak banyak memiliki struktur tenaga kerja tetap (self employment) untuk suatu periode yang panjang. Oleh karena itu di negara-negara maju, asosiasi tenaga kerja (trade union) menjadi mitra utama dalam bisnis konstruksi. Industri konstruksi juga tidak banyak melakukan investasi kapital (lack of investment) untuk modal kapital seperti peralatan, tetapi lebih banyak menggunakan skema subkontraktor (sub-leting), termasuk sewa peralatan. Komponen biaya untuk peralatan untuk kegiatan sektor konstruksi mencapai 5% untuk bangunan gedung (building works) dan 9% untuk bangunan civil (civil works). Investasi modal kapital untuk peralatan dapat membutuhkan jumlah biaya yang besar, sedangkan jumlah pekerjaan sulit diprediksi (unpredictable workload). Kondisi ini menyulitkan pihak pelaku industri konstruksi melakukan strategi investasi. Karakteristik lainnya dari industri konstruksi adalah kompleksitas struktur (complex structure) dari proses interaksi berbagai pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan proyek konstruksi, seperti perencanaan, perancangan, rekayasa, survai, pengkontrakan, manajemen bisnis dan proyek, penyewaan peralatan, produksi dan suplai material. Semua ini menyebabkan industri konstruksi rentan terhadap perselisihan (dispute), keterlambatan (delay), pembengkakan biaya (cost overrun), kecelakaan (accidents), dan kegagalan (failures). Penelitian oleh Ofyer (1998) terhadap tuntutan kerusakan konstruksi pada 204 bangunan tempat tinggal (73%) proyek komersial (27%) di Amerika menunjukkan sumber kegagalan konstruksi dominan pada masalah pelaksanaan konstruksi (54%), sedangkan masalah desain, pemeliharaan dan bahan merupakan faktor penentu lainnya.
ISBN 979.9243.80.7
69
Danang Parikesit, Akhmad Suraji, Hengki Purwoto, Lilik Wachid Budi Susilo
Disamping itu, separasi fungsi (separation of functions) antara desain dan produksi terjadi pada sektor ini. Hal ini menyebabkan proses produksi baru bisa dimulai setelah desain selesai. Kondisi ini juga dapat memicu bahwa proses desain tidak memperhatikan kemudahan konstruksi (constructability/buildability) termasuk pertimbangan ekonomis dari pelaksanaan konstruksi. Kondisi ini sering juga dipicu oleh sikap tidak bisa bersatu (lack of unity of approach) yang memunculkan istilah diametral mereka dan kita (them and us). Para penyedia jasa penyelenggaraan proyek cenderung memperjuangkan kepentingan mereka sendiri daripada secara bersamasama menyelesaikan masalah untuk maksud memberikan manfaat kepada pihak pengguna jasa. Industri konstruksi juga sangat tergantung dengan industri-industri terkait lainnya (dependency on several industries) untuk proses produksi dan suplai dari berbagai bahan dan komponen hasil pabrikasi. Hal ini dapat menyebabkan industri konstruksi rentan terhadap kelangkaan bahan atau material serta ketidakefisienan metoda produksi dari industri-industri terkait. Proses produksi di sektor konstruksi dapat memakan waktu yang lama (long production cycle). Secara empiris, terdapat tenggang waktu cukup lama antara pengembangan ide (inception) dan tahap pelaksanaan proyek, serta waktu proses produksi dapat bertahun-tahun (multiyears). Berdasarkan kondisi ini, kenaikan tibatiba dari permintaan produk konstruksi dapat mempengaruhi proses produksi. Oleh karena itu, Kwakye (1997) menegaskan bahwa suplai dari barang-barang konstruksi adalah tidak elastis (inelastic) bahkan pada waktu yang panjang. Disisi lain, karakteristik dari sektor ini adalah bahwa organisasi penyelenggara proyek konstruksi bersifat sementara (transient organisation). Setiap proyek baru membutuhkan manajemen dan partisipan baru dari sejumlah disiplin serta karakteristik dari proses pelaksanaan kegiatan, untuk beberapa tingkat, akan bervariasi dari setiap proyek. Kegiatan proses produksi di sektor ini akan dipengaruhi oleh sifat dinamis dari pekerjaan konstruksi (mobile operatives and equipment). Tempat kerja dan proses produksi perlu diorganisir secara terus menerus karena perubahan akan terjadi setiap waktu. Oleh karena itu, mobilisasi tenaga kerja dan peralatan tersebut akan sering terjadi dalam proses pelaksanaan kegiatan di sektor konstruksi. Kegiatan-kegiatan proses produksi di sektor konstruksi juga sangat rentan terhadap lingkungan alam dan sosial yang tidak mudah dikendalikan dan bahkan tidak disukai. Kondisi cuaca dan lingkungan sosial akan sangat mempengaruhi produktifitas dan bahkan hal-hal yang bersifat non-teknis dapat meningkatkan biaya produksi. Industri konstruksi juga dikenal dengan industri dengan banyak pihak (multi party industry) berbasis manajemen rantai suplai (supply chain management). Aliran dana (cash flow) mengalir dari pihak pemberi tugas (clients) kepada kontraktor utama dan selanjutnya turun kepada subkontraktor. Kesulitan pendanaan di tingkat rantai terbawah akan dipengaruhi oleh rantai di atasnya. Konstruksi memiliki lingkup yang amat luas. Konstruksi atau “construction” memiliki definisi sebuah proses untuk menjadikan sesuatu yang dari berbagai masukan yang dibutuhkan. Dalam pengertian yang lebih sempit hasil dari sebuah kegiatan konstruksi adalah berwujud fisik. Kegiatan konstruksi terdiri dari (1) penyelenggaraan kegiatan penyediaan bahan baku, sumber daya manusia, sumber daya keuangan dan teknologi, dan (2) proses dalam mengkombinasikan input produksi tersebut menjadi keluaran. Dari pemanfaatnya, hasil konstruksi dapat dikategorikan menjadi dua yaitu yang berupa produk barang public (public goods), dan barang privat (private goods).
70
ISBN 979.9243.80.7
Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Konstruksi ke Depan
Barang publik dari kegiatan konstruksi seringkali kita kenal dengan infrastruktur Pembiayaan Pembiayaan atau prasarana. Sedangkan barang privat pemerintah swasta dalam adalah hasil kegiatan yang Barang publik Jalan raya, irigasi, PDAM, jalan tol, kepemilikannya adalah orang perorang jaringan bandara, telekomunikasi pelabuhan atau badan usaha, baik pemerintah dan listrik maupun non pemerintah. Dari Mall, Kantor, Barang privat Pasar, pembiayaannya, terdapat pula dua perumahan Rumah tinggal kemungkinan kegiatan konstruksi dapat rakyat diselenggarakan, yaitu pembiayaan oleh Negara (melalui pemerintah) dan oleh swasta.
Tabel 1. Pembiayaan Kegiatan Konstruksi
Pemerintah memiliki peran strategis dalam pembinaan konstruksi dan investasi. Secara praktis peran pembinaan ini sangat erat kaitannya dengan domain manajemen pemerintah dalam melakukan pengaturan, pengawasan dan pemberdayaan sektor konstruksi. Oleh karena itu, pemerintah perlu menetapkan apa yang menjadi urusan pemerintah kaitannya dengan pembinaan konstruksi dan investasi. Berangkat dari hal ini, maka aspek-aspek penting yang harus menjadi perhatian pemerintah akan lebih jelas. PENYEDIA BARANG DAN JASA KONSTRUKSI
PRODUK KONSTRUKSI
USAHA KONSTRUKSI: KAPITAL/MODAL SDM TEKNOLOGI MANAJEMEN USAHA
Gambar 4.
PENYEDIA BARANG DAN JASA KONSTRUKSI
PENGUSAHAAN KONSTRUKSI: INFORMASI PASAR AKSES PASAR TRANSAKSI/ PENGADAAN PENJAMINAN MUTU
Usaha dan Pengusahaan Konstruksi
Secara praktis, domain manajemen pemerintah terkait dengan urusan pembinaan konstruksi dan investasi di sektor konstruksi adalah perdagangan konstruksi (construction trade) dan industri konstruksi (construction industry). Dua subyek ini muncul atas bangkitan dari hubungan permintaan (demand) oleh konsumen (consumer) dan suplai (supply) dari barang dan jasa oleh pelaku usaha konstruksi untuk mewujudkan produk konstruksi. Permintaan tersebut akan menjadi pasar (market) perdagangan konstruksi, sedangkan suplai akan melahirkan pelaku (supplier) atau industri yang memberikan produk, baik barang konstruksi (construction products) maupun jasa konstruksi (construction services) dari sektor konstruksi. Perdagangan konstruksi akan erat kaitannya dengan pengusahaan (tata niaga) sektor konstruksi, sedangkan industri konstruksi akan kaitannya dengan usaha di sektor konstruksi. Usaha tersebut membutuhkan sarana dan cara-cara usaha termasuk sumberdaya (modalities). Pengusahaan perdagangan konstruksi berkaitan dengan aspek informasi pasar (market information), cara-cara memasuki pasar konstruksi (entry to construction market), transaksi atau pengadaan, serta kebutuhan akuntabilitas publik dari produk barang dan jasa di pasar konstruksi. Sedangkan, industri konstruksi berkaitan dengan usaha di bidang konstruksi, termasuk jasa konstruksi yang
ISBN 979.9243.80.7
71
Danang Parikesit, Akhmad Suraji, Hengki Purwoto, Lilik Wachid Budi Susilo
membutuhkan dukungan sumberdaya usaha, seperti ketersediaan teknologi, akses kepada kapital pada lembaga keuangan, profesionalitas sumberdaya manusia, efisiensi dan efektifitas proses usaha (business process). Berangkat dari pemikiran di atas, kebijakan dan strategi pembinaan konstruksi dan investasi perlu dikaitkan dengan dua urusan pengelolaan sektor konstruksi tersebut yaitu pengusahaan dan usaha di sektor konstruksi (construction trade and construction industry). Selanjutnya, dua subyek urusan pengelolaan sektor konstruksi oleh pemerintah ini perlu dijangkarkan pada suatu visi dari industri konstruksi nasional.
4. STRUKTUR PEMANGKU KEPENTINGAN SEKTOR KONSTRUKSI Secara umum, pemangku kepentingan (stakeholders) sektor konstruksi terdiri dari 5 (lima) unsur utama, yaitu (i) regulator, (ii) pemilik, (iii) investor, (iv) penyedia konstruksi, baik barang maupun jasa, dan (v) konsumen produk konstruksi dalam hal ini dapat sebagai pengguna (consumers) maupun pemanfaat (users). Regulator adalah pihak yang melakukan pengaturan-pengaturan di sektor konstruksi, terutama pengaturan transaksi dan penjaminan mutu. Pemilik adalah pihak yang memiliki informasi pasar serta memberikan akses pasar. Investor adalah pihak yang menyediakan investasi untuk pengadaan produk konstruksi. Sedangkan pihak penyedia jasa (service providers) adalah pihak yang menggunakan kapital, SDM, teknologi dan manajemen untuk menyediakan jasa maupun barang konstruksi. Konsumen adalah pihak yang menggunakan jasa dan barang konstruksi. Pemerintah dapat sebagai pihak pemilik sekaligus pengguna (consumers), sedangkan untuk produk konstruksi yang bersifat publik, maka masyarakat adalah pihak pemanfaat (users). Namun demikian, secara praktis pemangku kepentingan (stakeholders) sektor konstruksi terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu (i) regulator, (ii) konsumen produk konstruksi dalam hal ini dapat pengguna (consumers) maupun pemanfaat (users), dan (iii) penyedia konstruksi, baik barang maupun jasa. Regulator adalah pihak yang melakukan pengaturan-pengaturan di sektor konstruksi, terutama pengaturan transaksi dan penjaminan mutu. Konsumen adalah pihak yang memiliki informasi pasar serta memberikan akses pasar. Sedangkan pihak penyedia jasa adalah pihak yang menggunakan kapital, SDM, teknologi dan manajemen untuk menyediakan jasa dan barang konstruksi. Para pemangku kepentingan tersebut akan berbeda cakupan perannya berdasarkan sifat pengadaan barang dan jasa (komoditi) oleh publik (pemerintah) atau swasta. Peran pemangku kepentingan dapat dibedakan atas (i) pengadaan pemerintah untuk komiditi non kompetisi, (ii) pengadaan pemerintah untuk komoditi kompetisi, dan (iii) pengadaan swasta untuk komiditi baik kompetisi maupun non kompetisi. Berdasarkan ketiga jenis pengadaan ini, pengaturan pengusahaan perdagangan akan memiliki perbedaan-perbedaan, termasuk pengaturan investasinya. Pada pengadaan pemerintah (government procurement) untuk komoditi non kompetisi, maka pemerintah akan bertindak sebagai regulator dan konsumen serta sekaligus sebagai investor. Pada kasus ini, pemerintah sebagai regulator dapat melakukan pengaturan proses transaksi dan penjaminan mutu. Keputusan Presiden No. 80/ 2003 merupakan pengaturan pengadaan (transaksi) barang dan jasa
72
ISBN 979.9243.80.7
Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Konstruksi ke Depan
pemerintah, sedangkan misalnya, Undang-Undang Bangunan Gedung No. 28/2002 merupakan instrumen untuk penjaminan mutu. Sedangkan pengadaan pemerintah untuk komoditi kompetisi, pengaturan dapat dilakukan oleh suatu badan regulator independen. Pemerintah memiliki peran menetapkan rumusan-rumusan pengaturan tersebut. Pada posisi ini, pemerintah bertindak sebagai pihak konsumen. Namun demikian, pengaturan transaksi atau pengadaan dan penjaminan mutu, serta informasi dan akses pasar dilakukan berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengadaan ini, investasi dapat dilakukan oleh pihak swasta. Untuk kasus pengadaan pemerintah dengan melibatkan investor swasta, maka pengaturannya dilakukan berdasarkan Perpres 67/2005. Berbeda dengan pengadaan pemerintah, baik komiditi kompetisi maupun non kompetisi, untuk pengadaan swasta untuk komoditi kompetisi maupun non kompetisi, peran pemerintah adalah sebagai regulator. Pada pengadaan jenis ini, swasta atau masyarakat bertindak sebagai konsumen sekaligus sebagai investor. Pengaturan dari pengadaan ini hanya berkaitan dengan penjaminan mutu, sedangkan transaksi, penyediaan informasi dan akses pasar tidak dilakukan pengaturan-pengaturan. Pada pengadaan swasta, pihak konsumen (swasta dan masyarakat) tidak memiliki kewajiban untuk pengaturan informasi dan akses pasar, termasuk pengaturan untuk transaksi dengan sektor pengusahaan. Pengadaan pemerintah maupun swasta untuk komoditi kompetisi dan non kompetisi akan selalu bersinggungan dengan permintaan investasi. Pemerintah sebagai konsumen untuk pengadaan publik, pembiayaan pengadaan tersebut dilakukan dengan penyediaan dana sendiri (APBN, Pinjaman atau Kredit Ekspor). Namun demikian, pembiayaan pengadaan pemerintah dapat berasal dari dana investasi swasta, dan dana masyarakat melalui ventura. Sedangkan jika swasta sebagai konsumen produk konstruksi, maka pembiayaan pengadaan tersebut dapat melalui dana sendiri (tabungan, penjualan saham) maupun dana swasta investor serta masyarakat sendiri. Di banyak negara, kelembagaan di sektor konstruksi berfungsi memfasilitasi dan mendorong pengembangan industri konstruksi. Bentuk kelembagaan tersebut bisa organisasi publik (pemerintah) maupun non pemerintah, termasuk asosiasi perusahaan maupun asosiasi profesi terkait dengan sektor konstruksi. Kelembagaan sektor ini dapat berada pada level lokal, nasional, regional dan internasional. Lembaga yang hampir di setiap negara ada adalah lembaga pengembangan industri konstruksi (Construction Industry Development Board) atau institut untuk industri konstruksi (Construction Industry Institute). Disamping itu, lembaga pelatihan industri konstruksi (Construction Industry Training Board (CITB) atau Construction Industry Training Institute (CITI)) juga merupakan lembaga yang menfasilitasi dan mendorong kegiatan pelatihan (continuing professional development) SDM konstruksi. Beberapa contoh kelembagaan di tingkat nasional di negara-negara lain, misalnya CIDB Malaysia, Building and Construction Authority (BCA) di Singapore, Construction Industry Institute (CII) di Amerika, Construction Industry Research and Information Agency (CIRIA) dan Bulding Research Establishment (BRE) di Inggris, Australian Construction Industry Institute (ACII) di Australia, dan LPJK di Indonesia. Sedangkan di tingkat regional, misalnya, ECI (European Construction Institute) untuk Eropa, dan di tingkat internasional, misalnya CIB (International of Construction Research Council) yang memiliki kantor pusat di Belanda.
ISBN 979.9243.80.7
73
Danang Parikesit, Akhmad Suraji, Hengki Purwoto, Lilik Wachid Budi Susilo
Di Indonesia, sektor konstruksi memiliki lembaga pengembangan jasa konstruksi (LPJK) di tingkat pusat dan daerah. Untuk mendorong pengembangan sektor konstruksi, pemerintah juga memiliki lembaga yang melakukan kegiatan pembinaan konstruksi (BPKSDM). Disamping itu pemerintah juga memiliki lembaga pelatihan jasa konstruksi (PUSAT PEMBINAAN KOMPETENSI DAN PELATIHAN KONSTRUKSI). Di pihak masyarakat konstruksi, lembaga-lembaga yang terkait dengan sektor konstruksi adalah asosiasi profesi dan badan usaha.
5. STRATEGI DASAR DALAM PENGEMBANGAN KONSTRUKSI INDONESIA Heglo dalam Abidin (2006), kebijakan dikonsepsikan sebagai “a course of action intended to accomplish some ends” atau suatu tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kebijakan sedikitnya terdapat tiga elemen penting, yaitu: (1) tujuan (the desired ends to be achieved); (2) program atau cara tertentu yang ditawarkan untuk mencapai tujuan; dan (3) prakiraan dampak yaitu analisis implikasi yang diperkirakan timbul dari program yang ditawarkan untuk mencapai tujuan. Dikaitkan dengan peran pemerintah dalam menfasilitasi dan mendorong pengembangan sektor konstruksi nasional, kebijakan pembinaan konstruksi nasional merupakan cara atau tindakan pemerintah untuk mengatasi tantangan dan menjawab peluang serta mengambil prioritas di sektor konstruksi dan atau tindakan untuk mencapai tujuan dari pengembangan sektor konstruksi itu sendiri melalui penggunaan instrumen berupa pengaturan, pengawasan dan pemberdayaan. Selanjutnya rekomendasi pilihan-pilihan strategi dasar pengembangan konstruksi Indonesia adalah (1) revitalisasi sektor konstruksi; (2) Ketahanan dan Pertumbuhan Sektor Konstruksi; (3) Penataan Regulasi Sektor Konstruksi Untuk Perkuatan Domestik dan Liberalisasi Perdagangan Jasa; (4) Penataan Pengusahaan (Tata Niaga) Perdagangan Sektor Konstruksi; (5) Pemberdayaan Kelembagaan Sektor Konstruksi; (6) Peningkatan Sinergi Sektor Terkait; (8) Peningkatan Kompetensi SDM Konstruksi; (9) Pengawasan Penyelenggaraan Bisnis Konstruksi; (10) Perlindungan Pengguna dan Pemanfaat Sektor Konstruksi; (11) Peningkatan Investasi untuk Sektor Konstruksi; (12) Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah. (1) Revitalisasi Sektor Konstruksi Tujuan utama dari revitalisasi sektor konstruksi adalah membangun kapasitas dan efisiensi dari industri konstruksi nasional agar dapat mengimplementasikan program investasi pengadaan infrastruktur secara efektif. Program investasi ini termasuk investasi publik oleh pemerintah maupun investasi swasta. Program investasi ini mencakup investasi untuk membuat infrastruktur dan properti baru maupun pemeliharaan fasilitas yang sudah ada. Pengembangan kapasitas industri konstruksi melibatkan peningkatan kemampuan dalam mengimplementasikan program pembangunan infrastruktur dan properti dengan sedapat mungkin menunggunakan sumberdaya lokal (manusia, bahan dan peralatan serta teknologi) agar supaya memberikan nilai tambah sektor konstruksi dan keterkaitannya dengan sektor lain secara optimum. Nilai tambah sektor konstruksi akan dapat digunakan untuk mengevaluasi kapasitas dari industri konstruksi. Efisiensi industri tergantung dari keefektifan dari pihak-pihak yang terlibat langsung dengan industri konstruksi, misalnya kontraktor, pemilik, konsultan, dan pemasok serta lingkungan bisnis konstruksi, misalnya kebijakan, prosedur, insentif dan fasilitasi dalam penggunaan
74
ISBN 979.9243.80.7
Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Konstruksi ke Depan
sumberdaya secara produktif. Efektifitas pembiayaan (cost effectiveness), penyelesaian proyek tepat waktu, dan kualitas dari proses dan produk konstruksi adalah ukuran efisiensi yang paling berguna. Kapasitas dan efisiensi merupakan indikator dari pertumbuhan industri konstruksi dan bukan jumlah kontraktor dan ukuran keluaran konstruksi. Pengembangan industri konstruksi merupakan tugas yang tidak mudah. Upaya ini membutuhkan usaha yang konsisten dan komitmen yang tinggi dari setiap pemangku kepentingan. Undang-Undang Jasa Konstruksi sebenarnya telah memberi dasar berpijak untuk revitalisasi industri konstruksi. Revitalisasi ini akan terjadi jika sektor ini dapat mengadaptasi ilmu pengetahuan dan teknologi, mengadaptasi standard klasifikasi dan kualifikasi yang diperlukan untuk menyosong persaingan global, dan melakukan peningkatan kapasitas (capacity building) yang berkelanjutan sehingga dapat memunculkan kompetensi, kapasitas, kemampuan, dan keandalan kualitas layanan. Hal-hal ini bisa terjadi jika ada upaya meletakan strategi nasional untuk pengembangan industri konstruksi. Salah satu aspek penting adalah pemberdayaan industri konstruksi nasional melalui revitalisasi kelembagaan pengembangan konstruksi, asosiasi profesi dan perusahaan, pelatihan SDM konstruksi dan aksi yang memihak untuk pemberdayaan usaha perorangan, kecil dan menengah sektor konstruksi. Revitalisasi industri konstruksi ini tentu harus diarahkan untuk menumbuhkembangkan industri konstruksi agar handal, profesional, berdayasaing tinggi, efisien dan mandiri. Revitalisasi akan lebih efektif jika tata pemerintahan di tingkat mikro, meso dan makro dapat diwujudkan. Hal ini membutuhkan pranata kelembagaan dan regulasi nasional yang terintegrasi dan saling melengkapi sehingga timbul kepastian hukum untuk mendorong tumbuhnya usaha sektor konstruksi yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja iklim investasi untuk pengadaan infrastruktur dan proses penyelenggaraannya dengan usaha yang sehat dan dinamis. Revitalisasi industri konstruksi tentu memerlukan keterlibatan semua pihak pemangku kepentingan. Pemerintah memegang peran sentral dalam mendorong terjadinya dinamika dan inisiasi revitalisasi tersebut. Para pemangku kepentingan dituntut untuk saling bahu membahu untuk mencapai visi konstruksi melalui pelaksanaan misi konstruksi. Hal ini membutuhkan methodologi yang tepat untuk menjamin adanya sinergi, aliansi strategis dan kemitraan yang saling menguntungkan. Kondisi ini akan dibutuhkan untuk melakukan pengembangan sumberdaya manusia yang berkelanjutan, pemberdayaan pihak-pihak yang terlibat di sektor konstruksi, munculnya kreativitas dan inovasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sistem manajemen bagi pemutakhiran proses penyelenggaraan konstruksi. Revitalisasi juga diperlukan untuk mewujudkan kompetensi, kapasitas, kapabilitas, pengalaman dan profesionalitas dalam industri konstruksi sehingga diakusi menjadi kelas dunia. Kompetensi sumberdaya manusia, termasuk para profesional jasa konstruksi merupakan persyaratan utama menuju persaingan di pasar global. Kompetensi profesional konstruksi akan sangat erat kaitannya dengan moda ke 3 dan ke 4 perdagangan jasa konstruksi, yaitu keberadaan perusahaan di negera lain (commercial presence) dan keberadaan individu yang memberikan jasa di negara lain (presence of natural person). Keunggulan kompetensi para profesional jasa konstruksi akan memberikan dampak yang besar bagi perusahaan jasa konstruksi dalam bersaing dengan perusahaan luar negeri. Isu lain yang sedang menjadi perdebatan adalah sertifikasi keahlian dan ketrampilan SDM Konstruksi Indonesia. Undang-Undang Jasa Konstruksi menjelaskan bahwa ISBN 979.9243.80.7
75
Danang Parikesit, Akhmad Suraji, Hengki Purwoto, Lilik Wachid Budi Susilo
asosiasi profesi merupakan badan yang berhak memberikan sertifikasi kepada anggotanya. Maka berbagai asosiasi berlomba-lomba mengadakan sertifikasi. Namun sayangnya, para asosiasi ini tidak pernah mengembangkan standar tersendiri tentang standar kompetensi termasuk standar kualifikasi dan klasifikasi untuk suatu keahlian tertentu. Asosiasi-asosiasi yang mengeluarkan sertifikasi, ternyata sertifikasi tersebut tidak diakui di tingkat regional dan internasional. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk membuat “mutual recognition” dari suatu sertifikasi di tingkat regional dan global. Sebagai langkah strategis adalah bahwa insinyur profesional Indonesia dapat mengadopsi standar ASEAN Engineer atau APEC Engineer. Disamping isu rendahnya komampuan komunikasi, SDM Konstruksi Indonesia juga sangat lemah kemampuan kerjasama (team work) dan kepemimpinan (leadership). Padahal kemampuan ini sangat dibutuhkan di kegiatan-kegiatan industri jasa konstruksi yang bisa sangat komplek dan melibatkan berbagai keahlian dan spesialisasi. Kemampuan ini akan sangat mempengaruhi produktifitas kerja team. Kemampuan ini juga akan sangat terkait dengan kemampuan komunikasi personal (effective personal communication). Kemampuan lain adalah penguasan teknologi informasi dan komunikasi (ICT= Information Communication Technology). Di era digital, kemampuan ICT oleh seorang profesional merupakan hal yang mutlak. Pada abad teknologi informasi sekarang ini, kompetensi dalam pengoperasian komputer berserta perangkat lunaknya sudah menjadi kebutuhan dasar. Secara umum, kemampuan ICT oleh profesional konstruksi Indonesia sudah mencukupi. (2) Ketahanan dan Pertumbuhan Sektor Konstruksi Indonesia bersama-sama negara-negara ASEAN merupakan pangsa pasar potensial untuk sektor konstruksi. Ketahanan pasar konstruksi domestik bisa terjadi jika dapat dicapai efisiensi. Sedangkan pertumbuhan pasar konstruksi dapat terjadi jika terjadi investasi dari investor domestik maupun asing. Kerjasama regional harus dibangun agar dapat menciptakan arus investasi yang saling mengungtungkan di antara negaranegara yang terlibat. Secara nasional, nilai proyek di pasar konstruksi relatif kecil bila dibandingkan dengan jumlah perusahaan konstruksi. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Konstruksi dan Investasi (Bapekin) menunjukkan bahwa pada tahun 2002, volume pangsa konstruksi nasional mencapai Rp 156 triliun yang terdiri dari APBN Rp 20,84 triliun, APBD 5,987 triliun, BUMN/BUMD Rp 21,141 triliun, swasta Rp 58,666 triliun dan dana mega proyek migas yang dicanangkan pemerintah sebesar Rp 50 triliun. Dari jumlah tersebut, 30 % nya masih dikuasai pasar konstruksi di Jakarta dan provinsi yang ada di Pulau Jawa dan diperebutkan sekitar 97.000 kontraktor besar, kecil dan menengah (Bisnis Indonesia 21/10/2003). Dari sejumlah kontraktor tersebut, 2,8 % nya adalah kontraktor sekala besar yang berdomisili di Jakarta. Meskipun jumlahnya sedikit tetapi menguasai pangsa pasar konstruksi yang besar.
76
ISBN 979.9243.80.7
Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Konstruksi ke Depan
Pe m e r in t a h ( A PB N & A PB D ) 200 S w a s ta ( B U M N & S w a s ta ) 180 163 T o ta l 160 160 140 121 120 94
100 80
133
130
1 2 7 ,5
124
177
173
170
166
66
60
42
4 2 ,5
42
44
43
40 20 0 2004
2005
2006
2007
2008
2009
Sumber: Potensi Jakons Bapekin, 2004
Gambar 5 Perkiraan Perkembangan Dana Konstruksi Tahun 2004 – 2009 Potensi-potensi Pertumbuhan Pasar konstruksi dan Investasi dapat semakin besar seiring dengan pertumbuhan makro ekonomi. Pertumbuhan sektor ini pada tahun 2002 tercatat hanya sebesar 4,11%, lebih rendah bila dibanding dengan pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 4,21% (BPS, 2002: 32). Namun prospek sektor ini diharapkan tetap akan cerah, terutama dengan proyek baru dalam pembangunan infrastruktur di berbagai sektor. Tahun 2003, potensi pasar (nilai proyek) nasional yang diperebutkan masyarakat konstruksi mencapai Rp 100 triliun yang terdiri atas 19 % merupakan proyek APBN, 9 % APBD dan sisanya 72 % melalui sektor swasta dan BUMN. Melihat nilainya yang relatif terbatas, masyarakat konstruksi perlu terus meningkatkan kemampuan dan profesionalisme. Pada tahun 2003, asosiasi yang diregistrasi LPJKN adalah 97.000 yang relatif tidak sebanding dengan potensi pasar konstruksi yang ada. Banyaknya perusahaan konstruksi yang baru disebabkan oleh relatif mudahnya proses untuk menjadi pelaksana konstruksi, sedangkan aspek profesionalime sering relatif kurang diperhatikan. Tabel 3. Pertumbuhan Perusahaan Konstruksi 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003 Des
2004 Juli
1. Perumahan dan Non Perumahan (26)
265
128
219
245
269
296
309
328
361
2. Fasilita Publik di bidang pertanuian (22)
285
131
193
222
250
286
317
346
374
3. Jalan, jembatan dan Pelabuhan
275
132
196
223
252
291
322
352
385
4. Energi, Gas, Air danTelekomunikasi
226
118
215
240
256
279
285
296
324
5. Bangunan lain (25)
258
131
208
236
258
285
302
324
356
6. Umum (26)
261
128
211
238
263
293
310
332
365
Tipe Konstruksi
Catatan : angka dalam kurung ( ) dalam tipe konstruksi menunjukkan kelompok yang diwakili dalam sektor konstruksi *) tahun 1996, menggunakan tahun dasar 1983 (1983=100),
Usaha pengembangan potensi sektor konstruksi perlu dilakukan dengan dasar keunggulan komparatif dan kompetitif yang ada. Pengembangan potensi sektor konstruksi berdasarkan keunggulan komparatif memiliki arti bagaimana pengembangan potensi sektor konstruksi tersebut berdasarkan atas kepemilikan sumber. Sebagai contoh, di tataran daerah kemungkinan dikembangkan potensi sektor konstruksi berdasarkan atas kepemilikan sumber daya tenaga kerja, material, modal dan input-input lain yang ada di daerah tersebut. Sedangkan pengembangan potensi berdasar keunggulan komptitif menekankan manajemen dan teknologi yang diterapkan. Kekhasan sektor konstruksi di suatu daerah di Indonesia akan menuntut pengelolaan dan teknologi yang tepat.
ISBN 979.9243.80.7
77
Danang Parikesit, Akhmad Suraji, Hengki Purwoto, Lilik Wachid Budi Susilo
(3) Penataan Regulasi Sektor Konstruksi Untuk Perkuatan Domestik dan Liberalisasi Perdagangan Jasa Penataan hukum dan perundangan untuk sektor konstruksi merupakan bagian penting dari proses pembinaan sektor konstruksi. Undang-undang No. 18 Tahun 1999 beserta Keppress 28, 29 dan 30 telah memberikan landasan bagi pembinaan sektor konstruksi. Namun demikian, penyelenggaraan konstruksi dapat berkaitan dengan pranata hukum lainnya, seperti ketenagakerjaan, investasi, keterlibatan sektor swasta dalam pengadaan infrastruktur, undang-undang tanggung jawab profesional (professional engineer acts) dan undang-undang sektoral yang saling terkait. Disamping kegiatan penyelenggaraan konstruksi akan berkaitan juga dengan undang-undang bangunan, misalnya undang-undang gedung, undang-undang jalan, undang-undang sumberdaya air, dan undang-undang tata ruang wilayah. Di Indonesia, regulasi industri jasa konstruksi atau hukum perikatan antara penyedia dan pengguna jasa dirumuskan dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18/1999, dan dilengkapi dengan Keputusan Menteri. Namun demikian, berbagai undangundang dapat berimplikasi terhadap industri jasa konstruksi, misalnya undang-undang ketenagakerjaan, undang-undang otonomi daerah, undang-undang penanaman modal, undang-undang asuransi, dan sebagainya. Jasa konstruksi secara umum akan tergantung pada tingkat hingga sejauh mana capital flow yang dapat disediakan dari pihak penyelenggara jasa konstruksi tersebut dalam pelaksanaan proses dan tahapannya. Sedangkan dalam pembicaraan masalah permodalan, hal inilah yang selalu menjadi masalah klasikal dari investor dalam negeri. Di satu sisi, bergabungnya Indonesia sebagai salah satu anggota WTO (World Trade Organizations) secara tidak langsung telah mendeklarasikan tentang adanya kesiapan dari Indonesia baik secara politis, sosial maupun ekonomi dalam era keterbukaan, terutama terkait dengan terbukanya peluang untuk menanam investasi dalam setiap sektor yang ada di republik ini. Permasalahan mengenai jasa konstruksi secara khusus telah diatur dalam regulasi Indonesia yaitu melalui Undang-undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang tertuang dalam Lembaran Negara tahun 1999 nomor 54, tambahan Lembaran Negara nomor 3833. Dengan adanya pengaturan yang secara lex specialis mengatur tentang pengadaan jasa konstruksi cukup memadai sebagai langkah awal dan persiapan untuk memasuki tahapan yang lebih lanjut. Pemerintah sendiri telah memberikan batasan tentang prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam pengadaan barang dan jasa melalui Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Prinsip tersebut antara lain efisien, efektif, bersaing/kompetitif, transparan, adil, non-diskriminatif dan juga bertanggung jawab. Dari beberapa pokok garis kebijakan umum yang dicanangkan oleh pemerintah tercermin adanya goodwill dari pemerintah dalam peningkatan peran serta secara penuh dari usaha nasional dalam jasa konstruksi ataupun pengadaan jasa secara umum. Hal inilah yang kemudian dapat menjadikan adanya friksi mengenai kepentingan untuk memajukan sektor usaha nasional sementara pemerintah di satu sisi dihadapkan pada permasalahan keterbatasan jangka waktu dan modal yang lebih dari investor asing.
78
ISBN 979.9243.80.7
Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Konstruksi ke Depan
(4) Penataan Pengusahaan (Tata Niaga) Perdagangan Sektor Konstruksi Perusahaan konstruksi mengkombinasikan input-input (material, mesin, tenaga kerja, tenaga profesional, teknologi, sistem manajemen dan modal) untuk menghasilkan output (barang atau jasa) konstruksi. Untuk memperoleh input-input tersebut sektor konstruksi terkait dengan sektor pendukungnya seperti manufaktur (semen, besi, dll), perdagangan (ekspor dan impor), perbankan, asuransi dan sektor-sektor lain. Tata niaga perdagangan sektor konstruksi terkait dengan bagaimana tata niaga input dan output sektor konstruksi dapat efisien dan efektif. Tujuan tersebut dapat tercapai jika pasar baik input dan output (barang dan jasa) konstruksi adalah kompetitif. Dengan demikian tata niaga perdagangan sektor konstruksi harus menjamin: a. pasokan input (material, sumber daya manusia, peralatan dan modal) yang kompetitif - kesetaraan bargaining position penyedia dan pengguna barang/jasa konstruksi, b. informasi simetris (symetric information) yang menjamin persaingan sehat, c. kebebasan perusahaan konstruksi untuk keluar masuk industri (freely enter or exit). Ketahanan pasar konstruksi ditentukan oleh ketahanan sisi permintaan dan sisi penawaran sektor konstruksi. Dari sisi permintaan, sektor konstruksi sangat dipengaruhi kondisi perekonomian makro sektoral secara keseluruhan. Permintaan sektor konstruksi akan tinggi jika perkembangan sektor-sektor-sektor yang lain juga tinggi. Dari sisi penawaran, sektor konstruksi sangat dipengaruhi oleh bagaimana pelaku-pelaku (perusahaan) konstruksi mampu bersaing dalam dalam keunggulankeunggulan komparatif dan daya saing (comparative and competitive advantages). Keunggulan komparatif lebih banyak menekankan kepemilikan/pasokan input. Sedangkan keunggulan kompetitif lebih banyak menekankan sistem manajemen dan teknologi dalam mengkombinasikan input secara lebih efisien. Penyediaan baik input maupun output sektor konstruksi akan efisien jika pasar input maupun output tersebut adalah persaingan sempurna. Jika pasar-pasar tersebut adalah pasar tidak sempurna (monopoli, oligopi dalam bentuk kartel misalnya) maka akan terdapat kekuatankekuatan pasar (market power) dari pihak penjual yang akan mendistorsi pasar dan selanjutnya menciptakan ketidakefisienan. Sektor konstruksi memiliki angka pengganda output dan pendapatan yang relatif tinggi. Ini berarti sektor konstruksi memiliki peran yang relatif besar dalam peningkatan pembentukan output nasional dan pendapatan masyarakat. Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang berkaitan dengan penerimaan penerimaan pemerintah (pajak), pengeluaran pemerintah dan transfer pemerintah. Kebijakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dapat mempengaruhi sektor konstruksi. Dari segi infrastruktur saja, dalam laporan perkembangan terakhir infrastruktur oleh Bank Dunia (2004) Indonesia diprediksi membutuhkan investasi infrastruktur sebedar US$ 5 milyar (2% dari GDP) untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi jangka menengah sebesar 6%. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi aturan-aturan umum usaha jasa konstruksi di Indonesia. Kebijakan perpajakan atas jasa konstruksi mulai diberlakukan tahun 2001 mengikuti ketentuan yang diatur dalam PP 140 tahun 2000 dan KMK No. 559/KMK.04/2000 serta Keputusan Dirjen Pajak No Kep-96/PJ/2001. Berdasarkan ketiga peraturan tersebut, pengenaan pajak penghasilan (PPh) atas jasa konstruksi dibedakan menjadi dua yaitu bersifat tidak final dan final. Tergantung dari kualifikasi Wajib Pajak (WP) sebagai pengusaha di bidang jasa konstruksi: kecil atau
ISBN 979.9243.80.7
79
Danang Parikesit, Akhmad Suraji, Hengki Purwoto, Lilik Wachid Budi Susilo
besar. PPh atas jasa konstruksi bersifat tidak final terhadap WP penerima jasa konstruki yang: a. tidak termasuk WP dengan kualifikasi usaha kecil termasuk orang perorangan b. termasuk pengusaha kecil berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang tetapi nilai pengadaannya lebih besar dari satu miliar rupiah. (5) Pemberdayaan Kelembagaan Sektor Konstruksi Kelembagaan sektor konstruksi sesungguhnya dapat memberikan peran yang sangat penting dalam pengembangan sektor konstruksi. Industri konstruksi di Negara ini juga didukung oleh lembaga-lembaga pengembangan industri jasa konstruksi, seperti construction industry development board, dan construction industry training institute. Berdasarkan amanat Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18/1999, lembaga pengembangan jasa konstruksi (LPJK) memiliki tugas pokok dan fungsi pengembangan sektor konstruksi. Pemberdayaan lembaga ini diperlukan agar dapat berperan dalam melakukan revitalisasi industri konstruksi nasional dalam rangka peningkatan kapasitas dan efisiensi. Pemberdayaan perlu juga dilakukan terhadap asosiasi usaha dan profesi agar dapat meningkatkan profesionalitas anggota asosiasi. Meskipun secara prinsip, pemerintah tidak memiliki wewenang melakukan intervensi, tetapi peran fasilitasi dan pendorong bagi keberdayagunaan Di Eropa dan Amerika Serikat, industri jasa konstruksi telah mengembangkan berbagai aspek, tidak saja berkaitan dengan quality assurance, tetapi misalnya safety, dispute resolution, aplikasi teknologi komputasi, seperti virtual reality, dan lain sebagainya. Secara makro pemerintah juga telah mengembangkan suatu sistem regulasi yang bisa membuat industri jasa konstruksi lebih efektif dalam pelaksanaan proyek, seperti construction design & management Regulation (CDM Regulation) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris dan sekarang diadopsi oleh negara-negara Eropa lainnya. Mereka juga sudah mengembangkan model partnering dalam pelaksanaaan proyek. Disamping itu pemerintah mereka juga menfasilitasi penyediaan informasi untuk industri konstruksi, seperti construction industry information center yang dapat diakses oleh publik dan masyarakat konstruksi. Perusahaan-perusahaan jasa konstruksi di Amerika dan Negara-Negara Eropa, seperti Jerman, Inggris dan Perancis telah mempunyai reputasi internasional melalui proyek-proyek konstruksi yang mereka kerjakan di negara-negara lain. Kemampuan teknologi dan keuangan merupakan keunggulan mereka untuk bersaing ditingkat global. Jepang merupakan negara yang memiliki industri jasa konstruksi sangat kuat. Banyak perusahaan-perusahaan jasa konstruksi negara ini yang telah lama beroperasi di berbagai negara yang mendapat bantuan Jepang. Disamping kemampuan teknologi dan permodalan, perusahaan-perusahaan jasa konstruksi Jepang dikenal lebih efektif dalam melaksanakan proyek-proyek konstruksi. Tipikal orang-orang Jepang yang ulet dan pekerja keras telah menjadikan industri jasa konstruksi dari negara ini sangat kompetitif di pasar internasional. Kerjasama riset dan pengembangan di industri dan perguruan tinggi telah menghasilkan inovasi teknologi yang luar biasa di Jepang. Jika industri konstruksi Indonesia di-benchmark dengan industri jasa konstruksi negara-negara tersebut di atas, maka posisi industri jasa konstruksi nasional masih sangat rendah. Beberapa hal yang telah negara-negara tersebut lakukan, belum banyak dilakukan oleh industri jasa konstruksi Indonesia. Indonesia sendiri baru punya 80
ISBN 979.9243.80.7
Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Konstruksi ke Depan
lembaga pengembangan industri konstruksi (construction industry development board), meskipun ternyata hanya berkaitan dengan pengembangan jasa konstruksi bukan industri konstruksi. Kerjasama riset dan pengembangan antara industri jasa konstruksi dan perguruan tinggi atau lembaga riset juga belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan jasa konstruksi Indonesia lebih banyak melakukan kegiatan sebagai pedagang dari pada industriawan. (6) Peningkatan Sinergi Sektor Terkait Industri jasa konstruksi bukan merupakan sektor industri yang berdiri sendiri. Industri ini juga memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor industri yang lain. Oleh karena itu, kinerja industri ini juga dipengaruhi oleh kinerja industri lainnya. Misalnya, kinerja SDM Konstruksi akan dipengaruhi oleh kinerja industri pendidikan. Rendahnya mutu lulusan perguruan tinggi juga telah menjadi isu yang mengemuka. Perguruan tinggi nasional ternyata belum memberikan produk lulusan sesuai dengan harapan industri. Selain industri pendidikan, permodalan perusahaan-perusahaan jasa konstruksi akan dipengaruhi oleh dukungan dari industri keuangan, misalnya perbankan. Keandalan industri keuangan juga ada kaitannya dengan pemberian jaminan (bond). Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa perusahaan jasa konstruksi nasional tidak masuk kualifikasi menjadi peserta tender di negara lain, karena jaminan penawaran (tender bond) dari perbankan Indonesia tidak diakui oleh negara asing, karena posisi kinerja perbankan nasional yang sangat rendah. Perusahaan-perusahaan jasa konstruksi akan selalu menghadapi resiko konstruksi yang besar dari setiap pelaksanaan proyek. Resiko ini dapat berkaitan dengan akibat perubahan alam, sosial dan politik. Oleh karena itu peran industri asuransi sangat diperlukan oleh industri jasa konstruksi untuk melakukan manajemen resiko. Salah satu tindakan dari manajemen resiko adalah melakukan transfer resiko dengan menggunakan pendekatan asuransi (construction all risks). Disisi pelaksanaan proyek konstruksi, industri jasa konstruksi akan berkaitan erat dengan industri peralatan konstruksi, industri material konstruksi, dan industri komponen konstruksi. Keandalan industri jasa konstruksi dalam menyelenggarakan kegiatan proyek konstruksi akan sangat dipengaruhi oleh keandalan industri-industri ini. Oleh karena itu secara keseluruhan, industri jasa konstruksi akan menjadi bagian dari industri konstruksi. (7) Pengembangan Teknologi di Sektor Konstruksi Teknologi merupakan bagian penting dari modalitas industri konstruksi untuk dapat menyelenggarakan kegiatan konstruksi secara efektif dan efisien. Pengembangan sektor konstruksi memerlukan dukungan inovasi teknologi konstruksi. Secara prinsip, pengembangan teknologi ini dapat dilakukan dengan membuka akses terhadap penerapan teknologi mutakhir, dan pemanfaatan teknologi tepat. Pengembangan teknologi akan lebih efektif jika dilakukan dengan pola kemitraan antara industri konstruksi dan lembaga atau institusi riset dan pengembangan. Perguruan tinggi, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, dapat diajak untuk melakukan kegiatan pengkajian dan inovasi teknologi konstruksi. Beberapa adaptasi teknologi mutakhir, misalnya teknologi jembatan panjang, pengembangan “virtual reality” untuk pengendalian konstruksi, teknologi bahan konstruksi, konservasi energi untuk bangunan gedung. Teknologi lokal, misalnya, penerapan dan pengembangan teknologi sosrobahu untuk landas putar gelagar jembatan, teknologi cakar ayam, teknologi pondasi sarang laba-laba, sambungan JHS ISBN 979.9243.80.7
81
Danang Parikesit, Akhmad Suraji, Hengki Purwoto, Lilik Wachid Budi Susilo
untuk pondasi pancang, penggunaan bahan pengikat sintesis untuk beton aspal. Sedangkan teknologi tepat, misalnya penerapan “labour based technology” untuk pengadaan infrastruktur perdesaan, penjernihan air untuk konsumsi manusia, penggunaan bahan alam untuk bangunan tempat tinggal, misal bambu. (8) Peningkatan Kompetensi SDM Konstruksi Istilah profesionalitas sering dimaknai dengan sikap kerja yang sungguh-sunguh berdasarkan kemampuan pengetahuan keilmuan dan ketrampilan hingga dapat memberikan hasil kerja yang maksimal dan imbalan kerja yang sesuai. Secara empiris profesionalitas usaha dan SDM konstruksi masih dianggap belum maksimal. Salah satu faktor penting dari pengembangan industri konstruksi adalah membangun profesionalitas usaha dan SDM konstruksi. Hal ini memicu kebutuhan akan standar minimal yang harus dimiliki oleh SDM konstruksi. Standar ini akan memberi jaminan kepada pihak yang menggunakan jasa profesional tenaga kerja konstruksi akan hasil pemberian jasa. Bakuan kompetensi ini menjadi penting untuk segera disusun oleh pihak-pihak yang berkepentingan termasuk organisasi profesi. Peran utama pemerintah adalah menfasilitasi adanya konvensi untuk menetapkan bakuan kompetensi untuk lima bidang umum, yaitu (i) teknik sipil, (ii) arsitektur, (iii) mekanikal, (iv) elektrikal, dan (v) tata lingkungan. Peningkatan profesionalitas usaha dan SDM konstruksi membutuhkan proses pendidikan yang baik agar pengetahuan keilmuan menjadi tinggi, membutuhkan praktek lapangan agar mendapatkan pengalaman, dan membutuhkan sikap mental berdasarkan etika dan profesi yang unggul agar dapat menghasilkan produk kerja dengan efektif dan efisien serta bermutu tinggi. Hal ini bisa dicapai jika para pemangku kepentingan melakukan upaya-upaya yang serius. Kerjasama antara asosiasi profesi maupun perusahaan dengan institusi perguruan tinggi dan instansi pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan baik pengetahuan keilmuan maupun ketrampilan sangat diperlukan sebagai media untuk pengembangan profesionalitas berkelanjutan dari SDM konstruksi. Peningkatan profesionalitas SDM konstruksi tidak bisa dipisahkan dari peran serta institusi pendidikan. Institusi inilah yang menyediakan layanan untuk memberikan pengetahuan keilmuan kepada SDM konstruksi. Kerjasama antara institusi pendidikan dan industri melalui fasilitasi pemerintah untuk memutakhirkan kurikulum pendidikan dan pelatihan menjadi sangat penting untuk segera dilakukan. Dalam rangka menghadapi liberalisasi perdagangang jasa konstruksi, pemerintah dapat menfasilitasi adanya MRA (mutual recognition aggreement) praktek profesional dari pelaku jasa konstruksi secara bilateral maupun regional dengan negara-negara lain. MRA ini dapat diwujudkan bila ada kesepahaman dalam menetapkan bakuan kompetensi yang dapat dirujuk oleh negara-negara yang melakukan kesepakatan. Secara praktis, bakuan kompetensi insinyur tingkat regional (ASEAN Engineer maupun APEC Engineer) dapat diadaptasi untuk para insinyur Indonesia. Asosiasi profesi harus didorong untuk melakukan upaya-upaya terstruktur untuk meningkatkan profesionalitas anggotanya. Sertifikasi merupakan salah satu alat untuk memberikan pengakuan kepada anggota asosiasi. Penyelenggaraan sertifikasi perlu didorong secara transparan dan adil. Hal ini bisa dilakukan jika mekanisme penyelenggaraan sertifikasi (assessment of professional engineers) dilakukan oleh suatu asosiasi yang telah diakusi kapabilitasnya. Kerjasama antara perguruan tinggi atau instansi yang memiliki
82
ISBN 979.9243.80.7
Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Konstruksi ke Depan
kompetensi dalam penilaian kompetensi akan lebih efektif dilakukan oleh asosiasi profesi. Dunia usaha membutuhkan tenaga kerja yang mampu beradaptasi dalam perubahan yang cepat. Untuk itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk memberikan bekal yang cukup dalam proses pendidikan formal. Dalam pengembangan usaha jasa konstruksi, kompetensi profesi yang sistematis dilakukan melalui proses sertifikasi oleh LPJK. Sejauh ini sertifikasi disyaratkan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui KEPPRES 80/2003. Asosiasi profesi yang terakreditasi melaksanakan kegiatan sertifikasi ini melalui proses pengujian tertulis. Beberapa asosiasi profesi, seperti PII (Persatuan Insinyur Indonesia), melakukan proses sertifikasi internal sebagai insinyur professional (IP) dan mendorong disetarakannya IP ini pada tingkat ASEAN (ASEAN Engineers’ Register) dan APEC (APEC Engineers’ Register). PII juga melangkah lebih jauh dengan berupaya menjadi anggota dari Washington Accord yang berfungsi meletakkan dasar-dasar kompetensi global dalam bidang keinsinyuran. Dalam upaya ini, pemerintah perlu mendukung upaya asosiasi profesi untuk dapat membuka kesempatan melakukan pengakuan kesetaraan profesi insinyur dan ahli (termasuk ahli madya) dalam usaha jasa konstruksi. Bersama-sama dengan departemen yang membidangi pendidikan tinggi dan LPJK, pemerintah perlu mengalokasikan sumberdaya untuk mempercepat upaya seperti itu. Sejauh ini, pendidikan tinggi yang menghasilkan ahli madya dan sarjana (baik sarjana terapan/lulusan program pendidikan D4 maupun sarjana teori, lulusan pendidikan S1) dinilai kualitasnya berdasarkan Indeks Prestasi Mahasiswa yang ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi. Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi melakukan akreditasi terhadap program-program studi penyelenggara pendidikan yang berkaitan dengan jasa konstruksi, misalnya mendidikan ilmu teknik. Hasil dari akreditasi diumumkan secara terbuka kepada khalayak melaui websites (www.dikti.or.id). Dengan demikian masyarakat diharapkan dapat membuat keputusan yang paling baik pada saat rekrutmen mahasiswa maupun penerimaan pegawai. Beberapa masalah yang masih dimiliki adalah proses akreditasi yang masih belum mantap, terutama dalam kriteria dan proses evaluasi. Dunia usaha melalui asosiasi usaha dan asosiasi profesi diharapkan turut serta dalam pengembangan sektor pendidikan SDM Konstruksi melalui, misalnya penyusunan kurikulum pendidikan tinggi baik untuk pendidikan tinggi yang menghasilkan ahli madya maupun sarjana (baik sarjana terapan/lulusan program pendidikan D4 maupun sarjana teori, lulusan pendidikan S1); penetapan kriteria akreditasi program studi yang dikaitkan dengan penyerapan dunia usaha terhadap lulusan pendidikan tinggi; dan pelaksanaan proses akreditasi program studi (9) Pengawasan Penyelenggaraan Bisnis Konstruksi Tantangan atau masalah yang dihadapi oleh penyedia jasa konstruksi kecil-menengah bertambah besar, karena melihat kenyataan bahwa sementara perubahan sistem perdagangan dunia dari proteksi ke liberalisasi sedang berlangsung, namun perlindungan yang diberikan oleh pemerintah selama ini terhadap pangsa pasar domestik penyedia jasa semakin berkurang. Dilain pihak muncul banyak persyaratanpersyaratan internasional yang baru seperti ISO 9000, ISO 14000 dan sebagainya. Dari sisi penyedia jasa khususnya penyedia sektor konstruksi kelas kecil-menengah di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia), keharusan memenuhi standarisasi internasional seperti di atas dalam periode yang pendek bisa merupakan suatu hambatan baru bagi usaha-usaha mereka untuk persaingan bebas. Disebut hambatan ISBN 979.9243.80.7
83
Danang Parikesit, Akhmad Suraji, Hengki Purwoto, Lilik Wachid Budi Susilo
karena persyaratan-persyaratan yang terkandung di dalam standarisasi tersebut sangat sulit dipenuhi mereka. Hal ini disebabkan karena banyak penyedia jasa kecilmenengah masih sangat terbatas akan teknologi dan SDM, ditambah lagi dengan kurangnya akses informasi dan modal. Demikian pula halnya dengan kemampuan Pemerintah Daerah dan secara khusus Pemda Kabupaten/Kota dalam memberdayakan dan meningkatkan usaha-usaha kecil-menengah sektor sektor konstruksi terlihat masih sangat kurang atau bahkan belum ada, ini terutama dalam mengantisipasi bermacammacam persaingan usaha. Daya saing dan tingkat kemampuan penyedia sektor konstruksi kecil-menengah untuk bersaing di era AFTA sangat ditentukan oleh dukungan sepenuhnya dari pemerintah (Pusat dan Daerah). Dukungan sepenuhnya tidak berarti pemerintah melakukan intervensi di semua aspek kegiatan sektor konstruksi, melainkan dalam bentuk menciptakan suatu lingkungan berusaha yang kondusif, sehingga penyedia sektor konstruksi kecil-menengah mampu melakukan pemberdayaan secara optimal. Pengalaman di banyak negara termasuk Indonesia, pengaruh kebijaksanaan pemerintah terhadap pengembangan usaha-usaha kecil-menengah termasuk usaha sektor konstruksi terjadi lewat dua jalur yakni jalur tidak langsung (makro) misalnya lewat kebijaksaan ekonomi makro, seperti kebijaksanaan fiska, kebijaksanaan moneter, kebijaksanaan investasi dan lainnya, dan jalur langsung (mikro) yakni lewat kebijaksanaan Usaha Kecil Menengah (UKM). Sementara itu dukungan nasional dari pemerintah pusat lebih dititikberatkan pada hal-hal berikut: penyediaan/fasilitas infrastruktur lunak seperti informasi teknologi pasar dan lainnya; penguatan kapabilitas teknologi peraturan dan standar; upaya untuk mempermudah akses bagi pendanaan; mendorong inisiatif lokal/daerah. Untuk mengatasi keterbatasanketerbatasan yang disebutkan di atas, penyedia sektor konstruksi kecil dan menengah dapat melakukan kerjasama antar penyedia jasa dengan membentuk jaringan dunia bisnis pengembangan relasi jangka panjang dengan perusahaan-perusahaan besar lokal dan juga dengan perusahaan-perusahaan asing: pertukaran informasi dan sumberdaya produksi, solusi-solusi bersama terhadap problem-problem yang timbul serta relasirelasi informal. Keterbatasan dana pemerintah menyebabkan penyediaan infrastruktur publik tidak dapat memenuhi tuntutan harapan masyarakat. Investasi infrastruktur publik telah menurun drastis semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia – dari US$ 8 milyar pada tahun 1994 menjadi US$ 1 milyar pada tahun 2002 (Bank Dunia 2004). Setelah implementasi otonomi dan desentralisasi, kontribusi pemeritah daerah terhadap total investasi infrastruktur relatif sama dengan kontribusi pemerintah pusat. Infrastruktur publik sangat dibutuhkan oleh Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi jangka menengah. Oleh karena itu peran serta swasta sangat diharapkan untuk memenuhi gap kebutuhan infrastruktur publik (baik ekonomi maupun sosial). Sektor konstruksi terkait erat dengan penyediaan infrastruktur tersebut. Peran sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur publik (baik ekonomi maupun sosial) harus memperhatikan standar pelayanan dan keselamatan masyarakat. Pemerintah memiliki kewenangan untuk melindungi standar pelayanan dan keselamatan publik tersebut. Pihak swasta biasanya menekankan keuntungan finansial dalam usahanya. Begitu pula dalam keikutsertaan pihak swasta dalam penyediaan fasilitas/infrastruktur publik misal mall, gedung pertemuan, obyek wisata dan sebagainya; pihak swasta akan menekan biaya investasi dan operasional untuk mendapatkan keuntungan finansial. Sering biaya untuk memenuhi standar pelayanan dan keselamatan publik terabaikan. 84
ISBN 979.9243.80.7
Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Konstruksi ke Depan
Persaingan sehat antar pelaku-pelaku (perusahaan) konstruksi untuk berperan dalam penyediaan output konstruksi baik private maupun publik harus tercipta. Peran komite etika usaha dan KPPU sangat dibutuhkan untuk menciptakan persaingan yang sehat antar pelaku konstruksi. Penentuan standar pelayanan dan keselamatan publik harus diperhitungkan oleh setiap pelaku konstruksi. Struktur pasar jasa konstruksi yang mendekati persaingan monopolistik di Indonesia akan mempengaruhi bagaimana pelaku konstruksi berperilaku (conduct). Bagaimana pelaku konstruksi menghadapi pasar yang persaingan monopolistik tersebut tercermin pada potret strategi bisnis yang mereka lakukan (Chou & Shy 1991). Industri konstruksi yang memerlukan biaya investasi awal dan biaya operasional (fixed dan marginal cost) yang tinggi, akan menyebabkan terdapatnya sejumlah pelaku konstruksi dominan. Dengan kata lain, ketika industri konstruksi butuh investasi awal yang tinggi maka hanya ada beberapa perusahaan yang menguasai pasar. Sebaliknya, ketika industri konstruksi membutuhkan biaya investasi awal yang rendah maka akan terdapat banyak perusahaan konstruksi. Demikianlah yang terjadi di Indonesia. Pasar konstruksi besar dimana membutuhkan investasi awal (biaya tetap) yang tinggi pasti dikuasai oleh beberapa perusahaanperusahaan konstruksi yang relatif sedikit jumlahnya. Sebaliknya, pasar konstruksi kecil akan diperebutkan oleh perusahaan-perusahaan konstruksi kecil yang relatif banyak jumlahnya. Pada tahun 2002, volume pangsa jasa konstruksi nasional mencapai Rp 156 triliun yang terdiri dari APBN Rp 20,84 triliun, APBD 5,987 triliun, BUMN/BUMD Rp 21,141 triliun, swasta Rp 58,666 triliun dan dana mega proyek migas yang dicanangkan pemerintah sebesar Rp 50 triliun. Dari jumlah tersebut, 30 persen-nya masih dikuasai pasar konstruksi di Jakarta dan provinsi yang ada di Pulau Jawa dan diperebutkan sekitar 97.000 kontraktor besar, kecil dan menengah (Bisnis Indonesia 21/10/2003). Dari sejumlah kontraktor tersebut, 2,8 prosennya adalah kontraktor sekala besar yang berdomisili di Jakarta. Meskipun jumlahnya sedikit tetapi menguasai pangsa pasar jasa konstruksi yang besar. Intervensi tangan pemerintah, peran komite etika usaha dan KPPU sangat diperlukan pada kondisi pasar konstruksi yang cenderung persaingan monopolistik tersebut. Pemerintah dapat mengatur bisnis konstruksi tersebut sehingga distorsi yang disebabkan oleh sifat persaingan monopolistik tersebut dapat dikurangi. Intervensi dapat dilakukan melalui perpajakan, pengawasan dan penentuan reward/punishment yang jelas, standar administrasi, ketentuan teknis. (10) Perlindungan Pengguna dan Pemanfaat Sektor Konstruksi Akuntabilitas proses dan produk konstruksi diperlukan agar memberikan perlindungan kepada pengguna dan pemanfaat sektor konstruksi. Aspek-aspek penting dari perlindungan konsumen ini adalah perlindungan terhadap kecelakaan konstruksi, penerapan sistem mutu konstruksi dan pencegahan pencemaran lingkungan akibat kegiatan konstruksi. Berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen No. 8 Tahun 1999, maka pengguna dan pemanfaat sektor konstruksi memiliki hak untuk terlindungi dari setiap aspek kegagalan proses dan produk konstruksi. Oleh karena itu secara prinsip pihak konsumen konstruksi mendapat hak perlindungan atas keamanan, kenyamanan, dan keuntungan ekonomis atas penyelenggaraan kegiatan konstruksi dan juga produk konstruksi. Dengan demikian, pengguna dan pemanfaat sektor konstruksi dapat terlindungi dari kegagalan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan konstruksi serta kegagalan produk konstruksi. Keadaan ini dimungkinkan jika para
ISBN 979.9243.80.7
85
Danang Parikesit, Akhmad Suraji, Hengki Purwoto, Lilik Wachid Budi Susilo
pelaku industri konstruksi selalu meningkatkan profesionalitas penyelenggaraan konstruksi agar mendapat kualitas konstruksi yang tinggi.
dalam
(11) Peningkatan Investasi untuk Sektor Konstruksi Permintaan penyelenggaraan konstruksi, terutama infrastruktur akan mengalami puncaknya dalam 5–15 tahun mendatang. Bank Dunia memperkirakan bahwa permintaan infrastruktur untuk Indonesia akan mengalami peningkatan yang luar biasa. Dengan segala keterbatasan pendanaan yang dimiliki Pemerintah, pembiayaan swasta juga tidak dapat diharapkan menjadi alternatif pembiayaan infrastruktur yang tahun 2000 mencapai titik terendah yaitu 0% dari GDP. Hal ini disebabkan karena regulasi kerangka kerjasama yang belum diatur dengan sangat jelas seperti pemisahan yang tegas atas fungsi operator dan regulator dari BUMN atau swasta penyelenggara infrastruktur sehingga BUMN atau swasta yang terlibat lebih memfokuskan diri pada masalah-masalah pengembangan korporasi sedangkan aspek regulasi akan ditangani oleh pemerintah dan/atau badan regulator independendan dan penetapan tarif atas pelayanan jasa infrastruktur yang masih belum kondusif. Keterbatasan pendanaan tersebut sangat dirasakan, misalnya dalam sektor jalan, kebutuhan Indonesia untuk dana perbaikan kerusakan dan pemeliharaan jalan diperkirakan sebesar Rp. 6 - 8 trilyun per tahun. Sedangkan anggaran pemerintah yang tersedia pada tahun 2003 untuk sektor jalan hanya sekitar Rp. 4,585 trilyun. (12) Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah Paska desentralisasi, terdapat kesulitan yang tinggi untuk memperoleh informasi mengenai alokasi pembiayaan infrastruktur, terutama bagi infrastruktur yang didanai dari APBD baik murni ataupun yang berasal dari alokasi dana: Dana Alokasi Khusus (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sementara itu kemampuan pemerintah dalam investasi infrastruktur dapat dilihat dari proporsi yang disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN tahun 2003 adalah sebesar Rp.370,6 trilyun dengan dana sebesar Rp. 65,1 trilyun dialokasikan untuk anggaran pembangunan. Dari dana sejumlah tersebut, direncanakan sebesar Rp. 18,9 trilyun dialokasikan untuk keperluan infrastruktur. Alokasi belanja daerah adalah Rp. 116,9 trilyun yang direncanakan untuk Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp. 79,5 milyar, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp. 116,4 trilyun. Dari DAK direncanakan dana sebesar Rp. 1,1 trilyun untuk pembangunan infrastruktur. Dengan demikian maka jumlah dana APBN dan Alokasi Belanja Daerah yang digunakan untuk pembangunan Infrastruktur adalah sebesar Rp. 20 Trilyun. Jumlah dana untuk infrastruktur dibandingkan dengan belanja negara (Rp.20 trilyun: Rp.370,6 trilyun) adalah sebesar 5,4%, sedangkan dibandingkan dengan anggaran pembangunan dari APBN (Rp.20 trilyun : Rp.65,1 trilyun) sebesar 30,9%. Setelah desentralisasi, pembiayaan pemerintah dalam sektor infrastruktur pada beberapa tahun terakhir mengalami kecenderungan penurunan yang signifikan. Berdasarkan lingkup pemerintahan, Anggaran Pembangunan Nasional menunjukkan kecenderungan penurunan pada beberapa tahun terakhir, dan pada skala propinsi dan kabupaten terdapat kecenderungan adanya kenaikan, namun demikian harapan proses substitusi APBD (baik propinsi dan kabupaten/kota) ternyata tidak dapat terwujud hingga alokasi infrastruktur mencapai titik terendahnya kurang dari 3% GDP.
86
ISBN 979.9243.80.7
Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Konstruksi ke Depan
6. DAFTAR PUSTAKA 1.
Abidin, S.Z. (2006), Kebijakan Publik, Suara Bebas, Jakarta
2.
Barret, P. (2005), Revaluing Construction – A Global CIB Agenda, CIB Report, Publication 305, Netherland
3.
Bon, R. (2000), Economic Structure and Maturity (Collected Papers in InputOutput Modelling and Application, Ashgate Publishing Company, UK
4.
Chou, C. dan O. Shy (1991), Intraindusty trade and the variety of home product, Canadian Journal of Economics 24:405-416
5.
Field, B and Ofori, G. (1988), Construction and Economic Development, Third World Planning Review,
6.
Ganesan (1999), Employment, Technology and Construction Development, Ashgate, UK
7.
Henriod, (1984), The Construction Industry Issues and Strategis in Developing Countries, World Bank Publication, Geneva.
8.
Hillebrandt, P.M. (1984), Analysis of the British Construction Industry, MacMillan Publishers Ltd, UK
9.
Ive and Gruneberg (2000), The Economics of the Modern Construction Sector, MacMillan, UK
10. Kwakye, A. A. (1997), Construction Project Administration in Practice, The Chartered Institute of Building, England, 11. Ofori, G (1990), The Construction Industry, Aspects of Its Economics and Management, Singapore University Press, National University of Singapore 12. Ofyer, N. (2002), Construction Defects Education in Construction Management, ASC Proceedings of the 38th Annual Conference Virginia Polytechnic Institute and State University - Blacksburg, Virginia April 11 – 13 13. Turin, D A (1973), The Construction Industry: Its Economic Significance and its Role in Development, UCERG, London. 14. Wells, J (1986), The Construction Industry in Developing Countries: Alternative Strategies for Development, Croom Helm Ltd, London 15. World Bank (2004), Indonesia Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action. The World Bank East Asia Infrastructure Department and Indonesia Country Programme, Jakarta, Indonesia
ISBN 979.9243.80.7
87