BHP: Perspektif Good University Governance Oleh: Subagyo
Part I Gerimis mengguyur lagi!. “Cak Su, BHP itu apa sih?!” tanya Lik Mo tetanggaku kampung melalui telepon. “Badan Hukun Pendidikan Lik! Memangnya ada apa sih?!” “Enggak, aku kok merasa takut saja Cak!” “Takut, memangnya kenapa kok harus takut segala?!” “Iya… Kata mahasiswa yang demo itu biaya pendidikan akan menjadi mahal!” “Terus?!” “Lha kalau mahal, aku kan tidak bisa kuliahkan Lastri nanti to Cak?!” “Terus?!” “Lha… pupuslah harapan memiliki anak sarjana!” “Terus?!” “Welah… Cak Su ngece to… Kok terus terus thok!” “Ora Lik, aku mung pingin ngomong, biaya pendidikan akan mahal bagi kampus yang serakah, gege mongso dan gak kreatif!” ???? Rapat Paripurna DPR (17/12) yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar menyetujui RUU Badan Hukum Pendidikan menjadi undang-undang. Persetujuan ini dicapai setelah melalui pembahasan dan penundaan beberapa kali. Proses selanjutnya hanyalah menunggu presiden mensahkannya. Aksi demontrasi seperti diduga sebelumnya, mewarnai proses paripurna persetujuan RUU BHP ini. Mahasiswa turun kejalan untuk menuntut penolakan atas RUU tersebut. Penolakan ini bersumber pada kekhawatiran mereka atas kemungkinan terjadinya komersialisasi pendidikan dan langkah lepas tangannya pemerintah terhadap pendanaan pendidikan. Anjing mengonggong kafilahpun berlalu. RUU BHP tetap disetujui! Status BHP bagi universitas adalah bentuk otonomi diperluas yang diberikan oleh undang-undang kepadanya. Pemberian ini menuntut konsekuensi yang harus diantisipasi dan dihadapi oleh perguruan tinggi. Menerima BHP tanpa melakukan langkah penyikapan yang proaktif, kreatif dan rasional berarti membiarkan “maut” datang untuk menjemput “kematian” kita. Meskipun nantinya dimungkinkan ada langkah judicial review atas berlakukanya UU BHP ini, maka tidak ada ruginya jika proses penyikapan yang proaktif, kreatif dan rasional disegerakan. Meskipun sudah mulai terbentuk kerangka BHP di beberapa perguruan tinggi, seperti UM dengan proyek I-MHERE-nya, langkah yang lebih operasional perlu segera diterjemahkan dan dilakukan. Prinsip Good University Governance dan Masalahnya BHP merupakan badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Sebagai badan hukum maka BHP merupakan subjek hukum, seperti manusia, yang memiliki asset/kekayaan dan kewajiban hukum sendiri. BHP merupakan badan yang melakukan pengelolaan dana secara otonom dengan prisip nirlaba yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih, sehingga apabila timbul sisa lebih
hasil usaha maka sisa lebih tersebut harus ditanamkan kembali untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu pelayanan pendidikan. Pertanyaannya adalah berapa besar “sisa lebih” yang dikehendaki? Bagaimana mencapai target “sisa lebih” itu? Apa batasan/koridor hukumnya? Pada titik ini, ruang terjadinya komersialisasi pendidikan terbuka. Keinginan untuk cepat “besar” dan “berhasil” dalam investasi peningkatan kapasitas dan/atau mutu pelayanan pendidikan dengan dana “sisa lebih” akan mendorong kecurigaan terjadinya komersialisasi pendidikan itu semakin tinggi. Dalam BHP diatur beberapa prisip sebagai landasan normatif pelaksanaannya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 1. Otonomi Merupakan kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Dalam aspek ini, otonomi memiliki 2 unsur, yaitu (1) Kewenangan, adalah unsur yang sering menjadi pendorong untuk men-segerakan BHP dan (2) Kemampuan, adalah konsekuensi atas kewenangan. Memiliki kewenangan tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menjalankannya merupakan kesia-siakan dari sebuah otonomi. Dengan adanya otonomi nenuntut daya responsif dan adaptif terhadap perubahan menjadi semakin cepat dan bertanggung jawab. 2. Akuntabilitas Merupakan kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan kepada pemangku kepentingan (stakeholder). Akuntabilitas tidak seharusnya dimaknai hanya dalam aspek pelaporan administratif saja tetapi lebih kepada pertanggunganjawab atas pencapaian (progress) dari target yang telah ditetapkan. Setiap progres dan kendala merupakan hak dari stakeholder untuk meminta pertanggunganjawab dari penyelenggara pendidikan. Akuntabilitas terhadap stakeholder internal BHP tidak hanya berpola alir “dari bawah ke atas” tapi juga selayaknya “dari atas ke bawah” pula. Itu lebih berkeadilan!. 3. Transparansi Merupakan keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan kepada pemangku kepentingan (stakeholder). Transparansi tidaklah harus dimaknai sebagai suatu kewajiban tetapi lebih tepat jika dimaknai sebagai suatu “kebutuhan”. Karena transparansi akan mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kecurangan (fraud), ketidakadilan/diskriminasi dan sekaligus berperan sebagai leading indicator terhadap pelaksanaan tata kelola organisasi (good governance). Tuntutan normatif, keharusan adanya transparansi haruslah didukung dengan seprangkat sistem yang baik dan terukur serta perubahan/penciptaan budaya (culture) organisasi yang kondusif. Akomodasi proporsional terhadap sikap kritis dari stakeholder merupakan sebuah keharusan. 4. Penjaminan Mutu Merupakan kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Pendidikan Nasional serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan berkelanjutan. Karena penjaminan mutu merupakan kegiatan yang sistemik, maka ia memerlukan keberadaan dan dukungan dari sub sistem yang lain. Penjaminan mutu harus meneropong dalam segala aspek operasional BHP. Dan yang pasti memberdayakan Penjaminan Mutu baik secara kelembagaan maupun “kepedulian dan kesadaran” untuk merespon hasil kerja yang dilakukan merupakan sebuah keharusan. Hal ini dapat digunakan sebagai media untuk menciptakan kondisi “SADAR MUTU” bagi segenap pihak
dalam BHP. 5. Layanan Prima Yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik. Kepuasan dari stakeholder merupakan indikator yang paling sahih untuk menilai apakah operasional BHP sudah dilakukan dengan baik atau tidak. Segenap tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan harus sanggup untuk memberikan layanan prima. Kesanggupan ini dapat dipenuhi jika didukung dengan manajemen SDM yang baik dan penciptaan nilai (value) organisasi yang mampu menginspirasi perilaku. Ketiadaan nilai dan budaya organisasi yang baik, sulit untuk mendorong kesadaran atas tuntutan layanan prima kepada peserta didik. 6. Akses Yang Berkeadilan Yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial dan kemampuan ekonominya. Prinsip ini menuntut perlakuan non diskriminasi terhadap input mehasiswa. Sehingga kemampuan akademik merupakan satu-satunya syarat dalam penerimaan mahasiswa baru. Bukan yang lain!. Konsekuensi-nya adalah bagaimana sistem yang dibangun dapat memberikan kesempatan yang adil bagi calon peserta didik yang memiliki kemampuan akademik tinggi tetapi tidak didukung oleh kemampuan ekonomi yang baik. Tetapkah mereka memiliki kesempatan yang sama dengan calon mahasiswa yang mendapat dukungan kemampuan ekonomi yang baik? Berpihak kemanakah BHP menyikapinya? 7. Keberagaman Yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap terhadap berbagai pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis dan budaya masing-masing. Prinsip ini menjunjung tinggi keberagaman sebagai kondisi alamiah manusia. Tidak ada perlakuan diskriminatif dalam operasional BHP. Kesempatan berkembang bukan diberikan/difasilitasi atas dasar persamaan agama, ras, etnis dan budaya tetapi dilihat dari penilaian objektif kompetensi dan profesionalisme. Sistem dan budaya organisasi harus mendukung terciptanya tatanan yang non-diskriminasi itu. 8. Keberlanjutan Merupakan kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada kepada peserta didik secara terus menerus dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan pelayanan. Sebagai BHP maka status badan hukum itu bisa dicabut sesuai dengan perundangan yang berlaku. Misalnya pencabutan status BHP melalui putusan pailit. Untuk menghindari itu, maka BHP harus dilakukan dengan pola manajemen yang hati-hati (prudent), profesional dan bertanggung jawab. Pengelolaan BHP yang tidak didasari dengan perencanaan yang baik dan lebih cenderung spekulatif mendorong risiko pailit semakin besar potensinya untuk terjadi. Aspek ini terkait erat dengan pengelolaan keuangan, baik dalam aspek pendanaan (funding) maupun aspek investasi (investment). Penerapan prinsip manajemen risiko yang bertanggung jawab menjadi salah satu cara untuk meminimumkan risiko pailit ini. 9. Partisipasi Atas Tanggung Jawab Negara Yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesungguhnya merupakan tanggung jawab negara. Prinsip-prinsip operasional BHP ini menuntut disusunnya perangkat hukum yang menjadi dasar
kebijakan operasional. Dan perangkat hukum ini harus mampu memberikan jaminan atas pelaksanaan kesembilan prinsip-prinsip diatas. Selanjutnya norma hukum ini harus diikuti dengan aturan pelaksanaan yang lebih operasional. Artinya tidak hanya berhenti hanya sampai dalam tataran normatif yang abstrak. Dan pada akhirnya perangkat hukum yang dibentuk tersebut diharapkan mampu membentuk nilai dan budaya organisasi yang mendukung bagi terbentuk kesadaran menjalankan prinsip-prinsip itu secara sukarela, tanpa ancaman, paksaan dan intimidasi!. Jika itu terjadi, merupakan awal dari pemenuhan harapan akan kualitas pendidikan yang baik. Sis Kucing, tetangga kampung yang korban DO dari sebuah universitas di Malang, menelepon. “Cak Su, kalau perguruan tinggi sampeyan nanti mau dirikan pabrik, tilpon kau ya?! Aku mau nglamar kerja!” “Lho…. Kok pabrik?! Kata siapa Sis?!” “Enggak, kalau BHP kan nanti perguruan tinggi boleh bisnis to?!” “Iya memang, tapi ya… apa harus pabrik to Sis?!” “Ya mungkin Cak!” “Iya nanti tak kabari, kalau…” “Kalau apa Cak?!” Sis memotong bicaraku. “Kalau aku tahu Sis!” “Waduh?! BHP akan membuat orang kampus semakin sibuk ya Cak?!” “Mungkin?!” kataku. “Jika sibuk, terus mahasiswa-nya juga pasti lebih sibuk lagi Cak!” “Kok bisa?!!” “Sibuk nyari dosen-nya yang entah sibuk apa??!” ????
Part II. Sebuah Konsep Manfaat SERING KALI: Kita yang memiliki, Orang lain yang memanfaatkan. Renungan A. Mustofa Bisri dalam “Mencari Bening Mata Air”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008). ***************************** RUU BHP disetujui DPR bersamaan dengan 3 RUU yang lain. Jika dapat dikatakan persetujuan RUU BHP sebagai sebuah kontroversi (karena ada pro dan kontra), sensasi BHP kalah jauh dengan kontroversi persetujuan RUU Mahkamah Agung oleh DPR. Usia pensiun seorang hakim agung menjadi fokus diskusi yang sampai saat inipun masih sengit terdengar, terbaca dan terlihat. Sedangkan “rating” BHP sebagai bahan diskusi relatif rendah. Mengapa demikian?. Entahlah. BHP memang tidak semestinya hanya didiskusikan, diseminarkan dan sejenisnya tetapi perlu disikapi dengan pemikiran dan perencanaan sebagai reaksi dan adaptasi yang lebih positif daripada sekedar berwacana. Ancaman judial review memang bergulir, tetapi adagium “sedia payung sebelum hujan” ataupun bahkan “berpayung biar tidak lebih basah kuyub” mutlak harus dilakukan. Pola pikir strategis dengan pendekatan TOWS layak disegerakan. RUU BHP merupakan Ancaman (Threat) sekaligus Peluang (Opportunity) yang akan kita hadapi dan miliki dan kedua hal itu harus kita hadapi dengan Kelemahan (Weakness) dan Kekuatan (Strength) yang saat ini kita miliki. Keempat hal inilah yang harus kita sinkronisasi dengan manajemen dan tata kelola (good university governance) yang baik untuk
mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi “kemakmuran” stakeholder. Aset dan Manajemen Aset RUU BHP yang disetujui DPR menyebutkan bahwa kekayaan pendiri yang dipisahkan menjadi kekayaan BHP. Dalam titik ini, maka kekayaan BHP adalah semua aset yang saat ini telah dimiliki (given). Jika ditelusuri maka aset yang bersumber dari pendiri (dalam konteks PTN adalah pemerintah pusat) ini terdiri dari 2 bentuk, yaitu aset berwujud dan aset tidak berwujud. Aset berwujud secara fisik dapat berbentuk sarana dan prasaranan pendidikan dalam artian luas, baik yang saat ini sudah dalam penguasaan BHP ataupun yang masih berada dalam penguasaan pihak lain. Dalam konteks ini, maka diperlukan identifikasi dan legalisasi aset sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Identifikasi dilakukan dengan tujuan mendapatkan data sebenarnya tentang jumlah dan bentuk aset yang dimiliki (kuantitas) serta identifikasi nilai ekonomis-nya (kualitas). Pelibatan peran penilai (appraisal) sangat dibutuhkan dalam tahap ini. Setelah mengetahui data rinci aset, baik kauntitas maupun kualitas, maka barulah dilakukan identifikasi potensi/manfaat ekonomis yang bisa diperoleh dari pemanfaatan aset tersebut. Masalah yang sering dihadapi adalah penguasaan aset secara fisik oleh pihak lain. Proses ini memerlukan waktu dan kadang memerlukan biaya yang relatif besar untuk mendapatkannya kembali. Sehingga diperlukan usaha dengan berbagai macam pendekatan agar aset tersebut bisa didapatkan kembali. Aset tidak berwujud berupa kecakapan intelektual, kepemilikan ketrampilan (skill), daya inovasi dan hak milik intelektual (intellectual property right) yang dimiliki oleh tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari BHP yang bersangkutan. Nilai dan potensi aset ini sangat besar, tetapi terkadang belum teridentifikasi/terpetakan dengan baik. Sehingga pengelolaan-nya juga tidak maksimal. BHP memiliki potensi memperoleh peluang ekonomis yang besar atas aset ini jika ia mampu memetakan, memberdayakan (memfasilitasi) dan mengelola aset ini dengan benar. Jika aset ini tidak dikelola dengan baik, maka yang terjadi adalah “SERINGKALI: Kita yang memiliki, Orang lain yang memanfaatkan”, seperti yang dikatakan Gus Mus seperti dikutip diatas. Sinkronisasi antara aset berwujud dengan tidak berwujud akan menghasilkan sinergi yang baik, jika dilakukan dengan tepat. Memanfaatkan aset berwujud secara maksimal (tanpa melalaikan maintenance) dengan dukungan aset tidak berwujud secara profesional sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya akan menghasilkan sinergi yang menguntungkan bagi BHP yang bersangkutan. Sehingga pelaksanaan manajemen aset yang baik mutlak diperlukan. Dana dan Investasi Menurut RUU BHP yang disetujui DPR, sumber pendanaan BHP berasal dari pemerintah, masyarakat dan peserta didik. Dana yang berasal dari pemerintah memiliki sifat kaku (rigid) karena besaran dan alokasinya diatur dan ditentukan jelas. Demikan pula dana yang berasal dari peserta didik juga jelas ketentuannya. Maka akses pendanaan dari masyakarat dalam dilakukan sesuai dengan kaidah perundangan dan dilakukan dengan cara yang profesional dan bermartabat. Efisiensi atas kegiatan operasional BHP mutlak diperlukan. Dari langkah efisiensi ini dapat diakumulasi dana yang relatif besar. Batasan kebijakan efisiensi adalah tidak mengurangi hak stakeholder internal (tenaga pendidikan, tenaga kependidikan dan mahasiswa) dan juga tidak sampai menganggu efektivitas operasional. Salah satu contoh adalah efisiensi yang dapat dilakukan terhadap konsumsi listrik, telepon, air dan lain sebagainya. Penyusunan manual/pedoman tindakan dan pembentukan etos perlu dilakukan untuk mendukung efektivitas dari langkah efisiensi ini. Selanjutnya dana dari sumber ini dapat
digunakan sebagai modal kerja untuk memaksimalkan aset yang dimiliki. Akses dana menurut RUU BHP yang disetujui DPR, juga memperbolehkan BHP mendapatkan dana melalui hutang kepada pihak lain. Pembolehan ini memerlukan penyikapan yang rasional, realistis dan terukur baik manfaat dan risiko yang kemungkinan muncul. Rasionalisasi atas kebijakan akses dana melalui kredit harus jelas. Arus kas, baik kas keluar dan kas masuk selama jangka waktu kredit harus diproyeksikan secara rasional. Disamping itu pengelolaan dananya harus profesional juga. Hal ini sebagai bentuk antisipasi terhadap risiko pailit BHP seperti yang diatur dalam RUU BHP. Prinsip Good University Governance harus menjadi ruh dalam setiap operasional BHP. Kerjasama dengan pihak ketiga yang potensial dan kredibel merupakan salah satu alternatif yang layak dilakukan. Kerjasama yang dapat memberikan implikasi akademik maupun finansial harus direncanakan dan diupayakan secara maksimal. Kerjasama ini tidak optimal jika dilakukan secara sporadis tetapi aspek keberlanjutan harus pula dipertimbangkan. Kerjasama dapat dilakukan dalam bentuk pemanfaatan aset sebagai pelepas modal ataupun sebagai pengelola modal. Alternatif ini sebagai pelepas dan pengelola modal dipilih dengan mempertimbangan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Dalam konteks ini jejaring (networking) dan branding sebuah BHP harus pula disegerakan. Jika hal ini diupayakan secara maksimal maka akan memiliki kontribusi signifikan atas kebijakan pendanaan (funding) maupun kebijakan investasi (investment). Sumber dana bisa pula didapatkan dari aktivitas bisnis yang dilakukan oleh BHP. Maksimalisasi nilai ekonomi aset dengan orientasi bisnis yang prospektif dan profitable dapat menjadi income generating bagi BHP. Untuk itu kebijakan investasi yang kreatif merupakan sebuah keharusan. Knowledge Based Economy memiliki relevansi kuat dengan kharakteristik sebuah BHP. Sehingga siklus DANA-INVESTASIPROFITABILITAS-DANA perlu terus dikembangkan dengan konsep “The Value Cycle Spiral”-nya Roger G. Clarke. ************************* Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. (Rendra dalam Megatruh Kambuh, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2001) (18 & 19 Desember 2008, pernah dimuat di www.wongndoko.blogspot.com)