BERKEMBANGNYA RADIKALISME DI PERGURUAN TINGGI TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA
disusun oleh Muhammad Aliakov 11.12.5874 Kelompok I
JURUSAN SISTEM INFORMASI 11-S1SI-08 Dosen Pembimbing : Drs. Muhammad Idris P, MM
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA SEMESTER GANJIL T.A. 2011/2012
BERKEMBANGNYA RADIKALISME DI PERGURUAN TINGGI Muhammad Aliakov Jurusan Sistem Informatika STMIK AMIKOM YOGYAKARTA
ABSTRAK Persatuan dan kesatuan NKRI sejatinya adalah amanah dari nilainilai luhur Pancasila yang telah diwariskan oleh seluruh pendiri-pendiri bangsa. Kedamaian dan ketentraman di negara ini merupakan garis besar cita-cita bangsa yang tertulis di Pembukaan UUD 1945. Namun di era reformasi ini nilai-nilai dan cita-cita luhur Pancasila seperti mulai pudar dari jati diri bangsa ini karena mulai suburnya sikap radikalisme dikalangan masyarakat. Kemunculan organisasi yang berlatarbelakang agama garis keras semakin marak pasca tumbangnya orde baru. Syariatsyariat agama yang sejatinya mengajarkan akan cinta kedamaian, sopan santun, dan toleransi umat beragama hanya ditafsirkan oleh suatu kelompok sebagai alat landasan dalam menegakkan ajaran agama dengan jalan kekerasan dan pemaksaan. Paham radikal kelompok itu yang dulunya cenderung diarahkan kepada masyarakat bawah mulai bergeser ke kelompok pelajar baru-baru ini. Bahkan pelajar di perguruan tinggi. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena sesungguhnya para pelajar lah yang akan menjadi tonggak masa depan negara ini. Kata kunci : Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Radikalisme, Syariat Agama, Persatuan.
1
1. LATAR BELAKANG MASALAH Mental radikalisme yang kerap berhubungan langsung dengan aksi-aksi terorisme di Indonesia ini seakan tidak pernah putus dan habis. Setelah peristiwa penggrebekan dan eksekusi mati ditempat kepada buronan teroris nomor satu, Noordin M. Top, berhasil dilakukan 2 tahun lalu yang sempat dianggap puncak keberhasilan pemberantasan terorisme di negara ini ternyata malah menjadi batu loncatan munculnya inovasi baru pergerakan radikal di Indonesia. Keberhasilan mengeksekusi pimpinan teroris di Indonesia itu diharapkan dapat menyurutkan angka terorisme yang terjadi, namun sebaliknya malah makin gencar pergerakan radikalis yang menjurus ke dalam aksi teroris terjadi. Setelah sebelumnya aksi-aksi radikal lebih ditunjukan dengan aksi pengeboman dan juga aksi bom bunuh diri, dua tahun terakhir ini terlihat mulai bergeser menjadi semacam aksi perekrutan yang malah makin meresahkan. Aksi semacam ini memang tidak dilakukan oleh kelompok ataupun mantan anggota teroris yang dipimpin oleh Noordin dulu, NII, suatu organisasi tersembunyi yang memimpikan Indonesia menjadi negara Islamlah yang telah diselidiki bertanggungjawab atas perekrutan radikal semacam itu. Dalam prakteknya, anggota yang telah direkrut ini menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhan dana operasional organisasi. Penipuan, pencurian, dan perampokan halal bagi mereka dilakukan kepada orang yang tak sepaham untuk memenuhi kewajiban aliran organisasi semacam ini. Buruknya lagi, paham seperti ini mulai menyebar dan masuk di kalangan mahasiswa. Sebagian besar dari mereka yang telah terpengaruh pada akhirnya dengan sadar dan tanpa penyesalan meninggalkan kewajiban kuliah mereka. Tentu masalah seperti ini sangat memprihatikan dan disesalkan juga harus sangat diwaspai, karena mahasiswalah yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan. Kemudian potensi kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa itulah yang paling dikhawatirkan dapat dimanfaatkan organisasi radikal ini untuk melancarkan aksi yang dapat merugikan bahkan mengancam kehidupan orang banyak.
2
2. RUMUSAN MASALAH Beberapa rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini diantaranya: 1. Apa yang melatar belakangi berkembangnya paham-paham radikal di Indonesia? 2. Bagaimana proses masuknya paham radikal ke dalam lingkungan perguruan tinggi? 3. Bagaimana solusi untuk menangkal dan juga menghentikan perkembangan radikalisme di lingkungan kampus?
3
3. Pendekatan 3.1. Historis Lahirnya paham radikal yang sampai sekarang ini terus berkembang baik secara terang-terangan maupun rahasia, berkaitan erat dengan peristiwa diproklamirkannya Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949. Negara Islam Indonesia yang saat itu memiliki organisasi Darul Islam dan tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia, memanfaatkan momentum untuk memproklamasikan NII disaat daerah Jawa Barat ditinggalkan oleh TNI karena dikuasai Belanda sesuai perjanjian Renville. Selama masa itu juga dikumandangkan jihad suci melawan penjajah Belanda. Kartusuwiryo, seorang yang disebut sebagai imam atau pemimpin tertinggi memimpin gerakan ini dari tahun 1942 hingga tahun 1962. Disamping itu, NII memiliki empat wilayah yakni Jawa Barat dan sekitarnya, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Gerakan NII kocar-kacir setelah pemberontakan di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Gerakan ini dilumpuhkan lewat penumpasan operasi militer yang disebut operasi Bharatayuda. Pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditangkap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati pada 16 Agustus 1962. Eksekusi mati atas Kartosuwiryo membuat NII vakum selama 10 tahun. NII kembali bergerak di bawah pimpinan Tengku Daud Beureueh pada tahun 1974. Tengku Daud Beureueh pada tanggal 20 September 1953 memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Daud memimpin NII hingga tahun 1979. Setelah Daud, kepemimpinan NII beralih ke kader-kader Kartosuwiryo. Pada tahun 1978, Adah Jaelani meneruskan kepemimpinan NII hingga tahun 1987. Adah ditangkap dan dipenjara pada tahun 1987 dan baru bebas pada tahun 1993.
4
Imam NII lalu diambil alih oleh Ajengan Masduki. Kiai Jawa Barat ini mengomando NII dari 1987 hingga 1990. Namun Ajengan Masduki kemudian pindah ke Malaysia. Di negeri jiran ini, Masduki bergabung dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir mengembangkan jaringan Jamaah Islamiyah. Karena Ajengan Masduki pindah ke Malaysia, kepemimpinan NII di Jawa dilanjutkan oleh Haji Karim hingga tahun 1992. Kemudian Haji Karim meninggal dunia, imam NII lalu diambil alih Abu Toto atau yang sering diisukan Panji Gumilang, pimpinan Pondok Pesantren Al Zaitun. Panji selama 1992-1994 menjadi imam sementara NII. Pada 1994, setelah Adah Jaelani bebas dari penjara, NII kembali dipimpin Adah. Namun tahun 1996, NII kembali diserahkan pada Panji Gumilang karena Adah sudah tua. Lalu di tahun terakhir ini, kerap terjadi kasus pencucian otak dan menghilangnya beberapa penduduk. Kasus ini ditengarai dilakukan oleh NII KW9. Menurut Mustofa B Nahrawardaya, Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), NII yang masih beroperasi sekarang bukan lagi NII yang murni. NII KW 9 merupakan NII palsu yang disusupi intelijen. Alhasil, NII bentukan intelijen ini sungguh jauh benar karakternya dengan NII yang semula dirintis Kartosoewirjo maupun Daud Beureuh. Sementara itu, NII juga memiliki banyak kelompok sempalan. Kelompok sempalan ini misalnya yang dikembangkan oleh Ajengan Masduki dan Baasyir serta Abdullah Sungkar. Pada tahun 1990, Masduki dan Baasyir berkonflik. Akhirnya Baasyir dan Abdullah Sungkar mengembangkan JI. Sementara kelompok yang setia pada Ajengan Masduki membentuk jaringan Angkatan Mujahidin Nusantara (AMIN). Kelompok AMIN ini, menurut pengamat militer Wawan Purwanto, juga melakukan pencucian otak dalam merekrut anggotanya.
5
3.2. Sosiologis Menyebar luasnya gerakan radikal yang dibelakangi oleh pergerakan beratas namakan ajaran agama seperti itu tentu sangat meresahkan kalangan masyarakat secara luas. Tidak lagi condong kepada aksi pengrusakan ataupun kriminalitas semata seperti pengeboman dan ancaman terror bom yang dilakukan pergerakan sejenis sebelumnya, namun lebih kepada mengarah ke ajaran, paham, aqidah, bahkan pengerukan dana terhadap jamaahnya dan sering kali harta masyarakat luas. Dalam aksinya juga, pergerakan ini dapat mengakibatkan orangorang disekitar kita yang menjadi incaran berubah sikap menjadi karakter yang tidak bias kita pahami. Mereka akan menjadi orang yang sepertinya tidak pernah kita kenal sebelumnya bahkan mungkin akan menghilang keberadaannya dari masyarakat. Hal ini akibat doktirinisasi yang kemudian dilakukan perekrutan secara intensif dan efektif oleh para anggota gerakan radikal. NII lah yang sekarang ini ditengarai marak melakukan aksi tersebut. Ajaran agama yang disalahtafsirkan seenaknya sesuai kepentingan gerakan NII KW9 ini dijadikan alat untuk mendoktrin para korbannya. Penyimpangan seperti ini tentu sangat disesalkan karena sungguh jauh benar dari kemuliaan syariat-syariat Islam yang sesungguhnya. Misalnya saja paham jika ingin menjadi umat Islam yang benar, maka umat Islam di Indonesia harus segera melaksanakan hijrah dari Negara Indonesia ke Negara Islam Indonesia (NII). Setiap muslim yang berada di luar gerakan tersebut dituduh kafir dan dinyatakan halal darahnya. Untuk membangun sarana fisik dan biaya operasional gerakan, setiap anggota diwajibkan menggalang dana dengan menghalalkan segala cara, di antaranya menipu. Qanun asasi (aturan dasar) gerakan tersebut dianggap lebih tinggi derajatnya dibadingkan kitab suci Alquran, bahkan tidak berdosa bila menginjak Mushaf Alquran. Tauhid RMU, yang merupakan singkatan dari rububiyah (hukum), mulkiyah (tempat), uluhiyah (umat), merupakan
6
konsep negara bagi NII, orang-orang di luar NII dianggap kafir, zalim, dan fasik. Paham yang radikal seperti itu tentu sangat mengkhawatirkan. Disamping
ajarannya
yang
memperbolehkan
kepada
jamaahnya
menghalakan segala cara dalam mencari dana yang bias berujung kriminalitas, juga dapat memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI. Ajaran yang mengatakan halal darah setiap muslim yang berada di luar NII, berarti dengan kata lain paham ini ingin mengatakan boleh membunuh umat muslim yang berbeda paham. Tentu hal ini sangat membahayakan dan patut diatasi secepatnya. Karena bukan hal yang tidak mungkin jika kelompok ini benar-benar melakukan tindakan yang membahayakan banyak jiwa. Namun jika kita mau mengkritisi lebih dalam, mengapa pada ajaran tersebut hanya mengatakan halal darah muslim di luar NII? Mengapa umat agama lain tidak dihalakan darahnya? Apakah ada konspirasi dibalik organisasi NII itu yang ingin memecah belah antar sesama muslim? 3.3. Yuridis Kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia ini sesungguhnya merupakan kewajiban bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Dalam bangsa yang plural ini, tentu akan selalu dihadapkan kepada berbagai keberagaman di antara warganya. Baik itu keberagaman agama, budaya, suku, adat istiadat, norma, juga pemikiran-pemikiran yang berkembang di segenap warga negara. Untuk itulah diperlukan beberapa landasan yuridis yang mampu mengikat perbedaan-perbedaan tersebut menjadi satu kesatuan dalam NKRI. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam alenia empat menyuratkan bahwa tujuan nasional adalah segenap daya upaya untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
7
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa meliputi; hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak kesejahteraan, oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Negara tidak memiliki kewenangan untuk merubah atau menafikan hak tersebut. Negara justru harus menjamin hakhak setiap individu warga negara untuk menjalankan hajat hidupnya. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Oleh sebab kewajiban dasar itu, individu warga negara mengemban konsekwensi identitas kolektifnya, sebagai bagian dari ke-Indonesiaan, sehingga setiap warga negara Indonesia wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan, bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Keikutsertaan setiap warga negara dalam upaya bela negara, diselenggarakan melalui: a. Pendidikan kewarganegaraan; b. Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; c. Pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan d. Pengabdian sesuai dengan profesi.
9
4. PEMBAHASAN 4.1. Mengenai Latar Belakang Tindakan Radikalisme Radikalisme yang seringkali dibungkus dengan aliran agama, ternyata masih mewarnai tindakan terorisme di Indonesia. Kasus bom bunuh diri (bom di Mariot Dubes Australia, Bom Bali I&II dan yang lainnya), konflik yang berbau sentimen agama di Poso, Maluku, dan yang lainnya, semakin memperjelas bahwa adanya korelasi antara radikalisme di masyarakat dengan doktrin agama. Namun, apakah memang radikalisme yang menyebabkan timbulnya terorisme di Indonesia itu memang terjadi karena doktrin ideologi tertentu? Atau mungkin ada latar belakang lain? Faktor Kemiskinan Dalam kacamata intelektual kampus, radikalisme yang berbasis kelompok agama terkait erat dengan kemiskinan. Selama kemiskinan masih melekat dalam irama kehidupan rakyat, radikalisme akan beranak pinak. Pandangan tersebut, memang sangat realistis dengan kenyataan yang terjadi. Hal itu bisa dilihat dari berkembangnya radikalisme di seluruh pelosok dunia, ternyata lebih marak terjadi di negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Bentuk radikalisme tersebut sering terjadi dalam bentuk pemberontakan sebagian masyarakat yang kecewa terhadap
pemerintahannya
yang dinilai
telah
gagal
menciptakan
kesejahteraan rakyatnya, perang saudara antar-etnis, golongan, ideologi demi sebuah kekuasaan dan untuk menguasai kekuasaan, dan yang lainnya. Semua itu tidak terlepas dari usaha masyarakat untuk melakukan perubahan nasibnya agar menjadi lebih baik (sejahtera) dari keadaan kemiskinan yang menimpanya. Di negara-negara maju sangat jarang terjadi radikalisme dengan latar masalah ekonomi (kemiskinan). Meskipun di negara maju tidak sepenuhnya bersih dari tindakan radikalisme, namun motif radikalisme di negara maju mempunyai latar belakang yang berbeda dengan negaranegara berkembang dan negara-negara miskin. Dalam ajaran Islam juga
10
dijelaskan bahwa timbulnya kekufuran (termasuk radikalime masyarakat) itu bisa terjadi karena kemiskinan. Karena pada dasarnya kemiskinan bisa menyebabkan manusia untuk berbuat kufur. Keadaan rakyat Indonesia sampai dengan saat ini masih dililit dengan problem kemiskinan. Bank Dunia memperhitungkan 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan ini hanya hidup dengan kurang dari 2 dolar AS atau sekitar RP 19.000 per hari (Kompas, 8 Desember 2006). Kondisi Indonesia seperti ini memang sangat rentan timbulnya radikalisme. Menurut kalangan intelektual kampus untuk menghentikan radikalisme di masyarakat perlu ada usaha dari seluruh elemen bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Peran ulama dan pemerintah sangat penting dalam melakukan misi suci ini. Ulama (da’i dan para guru/dosen) bisa terus mengarahkan masyarakat dan para siswa/mahasiswanya, untuk menciptakan masyarakat dan generasi mudanya, untuk mengasah bakat di suatu bidang (profesional) dan berbuat jujur dalam bidangnya. Begitu juga pemerintah sebagai pelayan masyarakat, harus bisa menciptakan iklim perekonomian yang stabil. Dengan semua usaha itu, masyarakat Indonesia bisa terhindar dari problem kemiskinan yang berkepanjangan. Radikalisme pun akan bisa diminimalisasi. Faktor Kebodohan Keterpurukan ekonomi yang dialami oleh sebagian lapisan masyarakat
mengakibatkan
ketidakmampuan
dalam
mengeyam
pendidikan. Hal ini akan berakibat keterpurukan intelegensi dan pengetahuan bagi warga yang kurang mampu. Mereka tidak akan cukup dibekali oleh ilmu pengetahuan yang sedang berkembang. Juga akan lebih rentan terhadap pengaruh-pengaruh yang datang dari pihak lain. Termasuk juga akan mudah diprovokasi oleh paham-paham radikal.
11
Hal ini dianggap oleh sebagian besar orang terjadi karena kegagalan
pemerintah
dalam
merealisasikan
program-program
pendidikannya. Program wajib belajar 9 tahun misalnya, mungkin bagi sebagian masyarakat masih terjangkau untuk dipenuhi. Namun bagi rakyat miskin, program tersebut cukup sulit untuk dipenuhi. Karena bagi mereka mempertahankan kelangsungan hidup lebih penting, sehingga kebutuhan akan pendidikan mereka sampingkan. Meski pemerintah juga telah memberikan fasilitas dana BOS bagi setiap siswa di Indonesia, namun dana yang diberikan itu belum cukup untuk membayarkan biaya-biaya tambahan yang sering dibebankan oleh sekolah. Seperti biaya tunjangan pembangunan, sarana prasarana, les tambahan, buku pelajaran, dll. Parahnya lagi, marak terjadi kasus-kasus penyelewengan dana BOS oleh oknum-oknum tertentu yang berakibat tidak tersalurkannya hak para siswa. Maka dari itu, sudah jadi hal maklum jika banyak generasi muda saat ini tidak banyak mengenyam pendidikan dan sudah tentu menjadi tugas pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih tepat untuk membela rakyat-rakyat kecil. Sehingga akan tercapai kesejahteraan sosial yang lebih merata. Selain itu, tingkat pemahaman agama yang rendah juga dapat mengakibatkan lebih rentan terpengaruh ajaran-ajaran yang menyesatkan. Misalnya saja mengenai ajaran jihad. Jihad sendiri berasal dari kata arab artinya bersungguh-sungguh melakukan sesuatu dalam rangka beribadah mencari ridho Allah. Namun ada beberapa kelompok yang terus saja memaksakan paham bahwa jihad dalam Islam yang hukumnya wajib haruslah dipenuhi dengan berperang. Padahal sesungguhnya jihad di jaman ini tidak harus selalu dengan cara berperang, namun bisa berupa usaha mencari nafkah secara halal demi keluarga. Generasi muda mencari ilmu demi masa depannya. Seorang pedagang yang jujur tidak mengurangi timbangan. Jadi jihad itu banyak macamnya bukan dengan terror dan aksi bom bunuh diri karena itu makin mengotori wajah Islam dimata dunia.
12
Faktor Politik Stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan memperjuangkan
negaranya.
Mereka
akan
sayang
dan
menjaga
kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dar luar. Namun sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah politik kotor, politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompokkelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang mudah saling menghancurkan satu sama lainnya. Bukankah kita pernah membaca sejarah lahirnya garakan khawarij pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA. yang merupakan mascot gerakan terorisme masa lalu yang juga disebabkan oleh munculnya stigma ketidakstabilan dan ketidakadilan politik pada waktu itu. Sehingga munculah kelompok-kelompok yang saling mengklaim paling benar, bahkan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Tentu kita tidak ingin sejarah itu terulang kembali saat ini. Faktor Pendidikan Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang
mengajarkan
toleransi,
kesantunan,
keramahan,
membenci
pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul,
13
lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sementara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama. Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan. Demikianlah penjabaran enam faktor penyulut terorisme, semoga dapat bermanfaat. Tugas kita ke depan tentu sangat berat, maka diperlukan kerjasama yang sinergis antara semua elemen bangsa, baik ulama, pemerintah, dan masyarakat untuk mengikis tindakan terorisme sampai ke akar-akarnya. Paling tidak langkah itu dapat dimulai dengan cara meluruskan paham-paham keagamaan yang menyimpang oleh ulama, menciptakan keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah. Serta menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat yang damai, toleran, aman, merdeka, religius, bertaqwa dan memiliki semangat kecintaan tanah air yang kuat. Dengan langkah ini kita memohon kepada Allah Swt, semoga bangsa dan negara kita terlindung dari bahaya terorisme, sesuai dengan janji dan spirit al-Qur’an: Yang artinya: Seandainya penduduk suatu kaum itu beriman dan bertakwa, maka niscaya akan kami bukakan pintu berkah kepada mereka dari arah langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustkan (agama), maka akan kami binasakan mereka akibat dari perbuatanya itu sendiri (Q.S. al-A’raf: 69).
14
Faktor Psikologis Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual seseorang. Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, lingkungannya, kegagalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan yang menggunung akibat kegagalan hidup yang dideranya, mengakibatkan perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar menampakkan eksistensi dirinya. Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. Mereka inilah yang harus kita bina, dan kita perhatikan. Maka hendaknnya kita tidak selalu meremehkan mereka yang secara ekonomi dan nasib kurang beruntung. Sebab mereka ini sangat rentan dimanfaatkan dan dibrain washing oleh kelompok yang memiliki target terorisme tertentu. Doktrin Radikalisme Ralp Dahrendororf, pelopor sosiologi konflik, menjelaskan radikalisme dengan mengacu pada pemikiran Karl Marx. Di setiap pergantian zaman, radikalisme selalu dimotori oleh kelompok yang kondisi ekonominya relatif lebih baik. Kelompok ini merasa dipinggirkan dalam proses perubahan yang sedang berlangsung. Muncul kekecewaan bercampur kebencian kepada rezim yang berkuasa, yang dianggap memblokir peluang mobilitas sosial mereka. Dalam hal ini, kesenjangan antara harapan dan kenyataan merupakan bahan bakar radikalisme. Dahrendorf berpendapat kelompok miskin cenderung apatis (The Politics of Frustration, Oktober 2005). Hasil penelitian Dr. Marc Sageman, psikiater forensic AS, sangat membantu menjelaskan hal tersebut. Sageman mengambil sempel biografi
15
400 anggota Al-Qaeda maupun jaringannya. Hasilnya dituangkan dalam buku Understanding Terror Networks (2004). Menariknya, Sageman adalah mantan anggota CIA yang bertugas di Pakistan tahun 1980-an. Biografi yang dikumpulkan Sageman sebagian besar warga Arab, komunitas imigran Eropa Barat, dan warga Indonesia dan Malaysia. Mereka ternyata bukan berasal dari negara termiskin. Lebih mengejutkan lagi, tidak ada satupun dari 400 sampel yang berasal dari Afganistan, salah satu negara termiskin di dunia. Dalam kaitannya dengan latar belakang sosial-ekonomi, tiga perempat berasal dari keluarga kelas atas dan menengah. Mereka lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang rukun, penuh perhatian terhadap anak, taat beragama, dan menaruh perhatian terhadap masalah kemasyarakatan. Sekitar 60 persen sampel pernah menjadi mahasiswa. Padahal, di negara asal imigran tersebut tidak semua orang berkesempatan untuk masuk perguruan tinggi. Umumnya mereka bergabung dengan organisasi teroris pada usia rata-rata 26 tahun. Tiga seperempat sudah menikah dan sangat bertanggung jawab kepada keluarga. Dari keseluruhan sampel tidak ditemukan “pencucian otak” oleh keluarga maupun pendidikan. Sekitar 50 persen mereka sejak kecil sudah menekuni agama. Hanya 13 persen dari sampel, yang hampir semua dari Asia Tenggara, mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Hal yang menarik lainnya, 70 persen di antara mereka bergabung dalam jihad global ketika di perantauan. Sekitar 10 persen lagi adalah imigran baru arab magrib di Eropa. Dengan demikian, lebih kurang 80 persen terasing di negeri rantau, terputus dari ikatan sosial budaya asli, dan jauh dari sanak keluarga. Data-data di atas menunjukkan bahwa radikalisme lahir tidak hanya karena kesenjangan ekonomi (kemiskinan) tetapi juga karena ideologi tertentu, khususnya yang bersumber dari oktrin agama. Jika sebagian pelaku terorisme di Indonesia kebetulan berasal dari keluarga
16
miskin dan terdorong oleh suatu ideologi, maka terdoronglah keinginan untuk meluluhlantakkan ketertiban dan keamanan masyarakat. 4.2. Berkaitan dengan Proses Masuknya Paham Radikal ke dalam Lingkungan Perguruan Tinggi Perguruan tinggi merupakan wadah bagi mahasiswa yang memiliki banyak keanekaragam potensi yang dimiliki setiap perorangannya. Baik itu bakat, keahlian, pengetahuan, kepemimpinan, dan intelektual. Disamping itu sebenarnya mahasiswa masih mencari kearah mana orientasi masa depan yang akan ditempuh. Sehingga mereka masih memerlukan beberapa pengaruh yang dapat menunjang dan memfasilitasi prinsip dan jati diri yang sedang dicari. Oleh sebab itulah, ada beberapa kelompok radikal yang memanfaatkan kondisi mahasiswa yang masih labil untuk dipengaruhi dengan konsep radikalisme yang mereka bawakan. Padahal sejatinya konsep radikalisme tidak sepenuhnya mengarah pada kekerasan, pemaksaan, ataupun menjurus hal-hal yang negatif. “Radikalisme itu adalah suatu perubahan yang cepat, tak semua negatif, radikalisme yang destruktif adalah yang tak boleh ditiru, justru semangat mahasiswa yang radikal terkadang dibutuhkan untuk perubahan ke arah yang lebih baik,” (Jusuf Kalla, Okezone.com 19/05/11). Generasi muda yang masih penuh gairah dalam menuntut ilmu tentulah sangat membanggakan. Apalagi jika dapat meraih suatu prestasi atau aktif dalam berbagai organisasi yang nasionalis yang barang kali bisa memfasilitasi rasa nasionalisme pada bangsa ini. Itulah mungkin yang diharapkan oleh Jusuf Kalla secara tersirat. Namun kejadian belakangan ini sangat jauh dari apa yang diharapkan. Kasus terjadinya bom buku di Utan Kayu tanggal 15 Maret 2011 yang sasarannya adalah Ulil Absar Abdala, anggota Jaringan Islam Liberal, sampai temuan terakhir tanggal 26 April 2011, ditemukannya bom di pintu air cililitan. Kegiatan teror dan radikal ini meresahkan berbagai
17
kalangan masyarakat. Yang mengejutkan banyak pihak, ternyata sebagian besar pelaku bom buku dan perencana bom Serpong merupakan lulusan perguruan tinggi, bahkan diantaranya lulusan perguruan tinggi Islam. Pelaku jelas-jelas menunjukkan pemahaman keagamaan Islam dengan cara sempit, bercorak eksklusif, dan keras. (Lutfi Zanwar Kurniawan, hmimpofeuii.blogspot.com, 2011) Ada lagi kejadian yang menyebutkan sebelas mahasiswa menghilang di Malang, Jawa Timur. Kemudian muncul kabar adanya peristiwa penyekapan mahasiswa di Universitas Diponegoro Semarang. Kampus dan mahasiswa seakan menjadi lahan dan sasaran utama kelompok NII untuk merekrut anggotanya. (Radar Lampung, 05/05/ 2011) Kampus yang selama ini dikenal sebagai tempat persemaian manusia berpandangan kritis, terbuka, dan intelek, ternyata tidak bisa imun terhadap
pengaruh
ideologi
radikalisme.
Radikalisme
menyeruak
menginfiltrasi kalangan mahasiswa di berbagai kampus. Dari masa ke masa di lingkungan kampus hampir selalu ada kelompok radikal baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Kasus seperti diatas dapat ditemukan dalam skala berbeda di banyak perguruan tinggi. Beragam penelitian dan pengakuan mereka yang keluar dari sel-sel radikal dan ekstrim mengisyaratkan, mahasiswa perguruan tinggi umum lebih rentan terhadap rekruitment daripada mahasiswa mahasiwa perguruan tinggi agama Islam. Gejala ini jelas berkaitan dengan kenyataan bahwa cara pandang mahasiswa perguruan tinggi umum khususnya bidang sains dan teknologi, cenderung hitam putih. Sedangkan mahasiswa perguruan tinggi agama Islam yang mendapat keragaman perspektif tentang islam cenderung lebih terbuka dan bernuansa ( Azyumardi Azra, Kompas, 27/4/11 )
18
Modus perekrutan yang biasa dilakukan oleh jaringan tersebut secara umum seperti berikut: 1. Mengajak dengan alasan menemui teman yang baru kembali dari Timur Tengah atau teman yang mendapat pencerahan lewat seminar tentang bangkitnya Islam. 2. Mengajak dengan alasan mencarikan kerja. 3. Mengajak ke rumah teman atau semacamnya. 4. Setiap jamaah memiliki target 10 orang untuk dihadirkan setiap bulan, umumnya teman kuliah, SMU, SMP dan SD. 5. Bagi perekrut tanpa target, umumnya “hunting” di kampuskampus, mal dan toko buku. 6. Semua modus berakhir di Malja (kantor/markas) dan proses doktrinasi akan dilakukan di dalam kamar tertutup. 7. Pemberi materi seorang laki-laki, umumnya seorang Mas’ul (pimpinan). Selain itu dalam usaha perekrutannya, jaringan NII memiliki beberapa karakteristik yang bisa dikenali: 1. Untuk merekrut menggunakan dua orang jamaah, satu orang pemancing dan lainnya pengajak. 2. Pemancing bertugas mengawasi dan mengawal serta memotivasi calon jamaah. 3. Pemancing berpura-pura sebagai calon jamaah. 4. Pemancing dan pengajak mengawal calon jamaah hingga tahap hijrah, termasuk menginap dirumah calon jamaah dan pencarian dana untuk shadaqah hijrah. 5. Umumnya perekrut melakukan screening lewat dialog tentang gerakan sesat untuk mengukur pengetahuan calon jamaah tentang NII. 6. Yang dihindari oleh perekrut adalah anak polisi dan anak TNI.
19
Jika seorang mahasiswa telah terpengaruh oleh paham seperti itu dan telah berhasil direkrut oleh jaringan NII, dia akan terjebak dengan banyak kewajiban dan kepentingan. Misalnya saja seperti kewajiban menyetor dana setiap hari. Hal ini tentu akan memaksa mereka melakukan tindakan kriminal pada lingkungannya. Mencuri dari orang di luar kelompok, menipu orang tua dengan alasan menghilangkan laptop, HP, merusakkan barang teman, membantu operasi orang tua teman, dll. Pada akhirnya, yang mereka hadapi hanyalah tindakan yang merugikan orang banyak dan diri sendiri. Perkuliahan pun rela mereka tinggalkan hanya untuk menjalani aliran yang tak berpedoman secara benar kepada syariatsyariat Islam sesungguhnya. 4.3. Solusi untuk Menangkal dan juga Menghentikan Perkembangan Radikalisme di Lingkungan Kampus Perguruan Tinggi adalah suatu komunitas ilmiah. Suatu komunitas yang memiliki karakteristik akademik. Disinilah tempat dimana produk intelektual dilahirkan, dikembangkan dan diimplementasikan. Dengan kata lain perguruan tinggi merupakan laboratorium bagi masyarakat, yang memberikan kontribusi bagi terciptanya proses pemberdayaan berfikir sesuai dengan khasanah ilmu dan kapasitas yang dimiliki untuk dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Esensi peran dan fungsi perguruan tinggi tersebut tertuang kedalam pola orientasi yang menjadi bagian dari kegiatan akademik atau yang biasa dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian). Berbicara tentang pendidikan, maka perguruan tinggi bukan hanya menciptakan suatu mekanisme kegiatan belajar-mengajar secara formal saja. Tetapi ia juga harus mampu menumbuh-kembangkan nilai di dalam pendidikan. Nilai yang dimaksud itu adalah bahwa di dalam pendidikan terdapat budaya dan etika yang harus dipegang. Karena pendidikan hanya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia. Dalam konteks itulah maka pendidikan (khususnya di perguruan tinggi) harus
20
setidaknya mengambil ikhtiar dari hakekat ilmu, yaitu dikaji secara ilmiah dan dianalisa secara kontekstual agar bermanfaat bagi individu, masyarakat bangsa dan negara. Berkaitan dengan pengaruh radikalisme yang belakangan ini menyeruak, maka perguruan tinggi mempunyai tanggungjawab besar dalam menangkal dampak negatif dari jaringan radikal. Sebagai garda depan dalam memantau perkembangan mahasiswa dari berbagai aspek, lembaga pendidikan ini diharapkan mempunyai orientasi yang jelas dan tepat dalam menanamkan nilai nasionalisme yang benar kepada mahasiswanya. Namun bukan hanya pihak lembaga pendidikan saja yang harus turut andil dalam menyikapi tuntutan tersebut. Pemerintah sebagai penyelenggara negara juga memiliki tanggungjawab penuh, khususnya departemen pendidikan pada masalah ini. Sistem pendidikan yang kurang maksimal dan kurang mampu memfasilitasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila dan ajaran agama secara tepat menjadi celah bagi jaringan radikal untuk menyebarkan pemahamannya. Semenjak runtuhnya orde baru, penataran P4 yang saat itu memang terasa dipaksaan pada akhirnya dihentikan dan ditiadakan. Namun bukan dampak positif yang berkembang di masyarakat. Akan tetapi sikap dan moral bangsa yang terkesan lebih bebas dan tanpa memiliki pedoman sedikitpun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Persatuan dan kesatuan bangsa pun terasa mulai menipis dengan makin maraknya aksi perkelahian, tawuran antar kelompok, bahkan pemberontakan yang mengarah pada keinginan keluar dari NKRI ini. Makin parahnya lagi, sikap radikal yang tak bermoral tersebut telah merambah ke ruang lingkup pendidikan di Indonesia. Tawuran antar pelajar SMA ataupun mahasiswa sudah menjadi hal yang biasa bahkan menjadi konsumsi bagi beberapa oknum. Hal ini tentu sangat memprihatinkan karena generasi muda yang kelak menjadi pemimpin bangsa hanya memiliki moral yang brutal dalam diri mereka.
21
Untuk itulah diperlukannya revitaslisasi mata kuliah yang bersifat ideologis pancasila, pendidikan kewarganegaraan, dan agama (dengan tidak menerapkan sistem yang memaksa seperti penataran P4). Dengan memahami pancasila mahasiswa diarahkan untuk menumbuhkan semangat kebangsaan keindonesiaan, dan kewarganegaraan yang bertanggung jawab. Kemudian melalui pendidikan agama, akan diarahkan dalam penguatan perspektif keagamaan-kebangsaan dan diorientasikan untuk penguatan sikap intelektual tentang keragaman agama serta toleransi intra agama dan antar agama serta anatara umat beragama dengan negara. Sehingga mereka akan memiliki prinsip dan pandangan yang jelas dalam kehidupan berbangsa ini. Juga mereka akan mampu untuk lebih memilih dan memilah paham-paham radikal yang berkembang di masyarakat karena telah mempunyai pemahaman yang cukup berkaitan dengan korelasi agama dengan kenegaraan. Selain dari aspek kurikulum yang patut diajarkan di lingkungan kampus, perlu juga upaya pendorong agar organisasi yang terbentuk di perguruan tinggi lebih efektif diikuti oleh mahasiswa. Karena, dari lingkup organisasi inilah mahasiswa akan benar-benar terlatih untuk hidup dalam suatu masyarakat yang majemuk. Dalam suatu masyarakat yang mempunyai beragam cara berinteraksi, memiliki berbagai macam ide kreatifitas, dan pandangan-pandangan mengenai permasalahan negara. Yang tentunya semua aspek tersebut dibimbing kearah yang positif dan bermanfaat.
Sehingga
mereka
akan
terlatih
jiwa
kepemimpinan,
kemufakatan, dan nasionalisme kebangsaan.
22
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Radikalisme di ruang lingkup masyarakat memang tak akan bisa secara total dikontrol dan diatur sedemikian rupa seperti yang kita kehendaki. Bak aspirasi rakyat yang patut didengar oleh wakil-wakil rakyat di pemerintahan, sikap radikalisme juga merupakan ungkapan para pelakunya karena suatu sebab kondisi, kejadian, ataupun kebijakan yang berlangsung di negeri ini. Setiap jengkal masalah yang menjadi isu negeri ini bisa jadi penyulut sikap-sikap radikal untuk bangkit. Apalagi jika isu tersebut berkaitan dengan masalah politik dan sosial. Sama halnya dengan kalangan mahasiswa. Dalam perjalanannya menuju kedewasaan tidak dapat dipungkiri bahwa mereka masih mencari jati diri dan prinsip hidup. Mereka yang dapat dikatakan masih labil acap kali mudah tersulut emosi dan mudah dipengaruhi pikiran-pikiran lingkungannya. Untuk itulah perlu diberikan wadah yang tepat bagi masa peralihan generasi muda ini untuk membentuk pribadi yang kelak memiliki rasa kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi demi terhindar dari pengaruh-pengaruh sesat yang berkembang di masyarakat. Dengan diselenggarakannya pembelajaran Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, dan agama, juga efektifitas kegiatan organisasi yang diberikan maka sudah tentu mahasiswa akan memiliki karakter yang mulia sesuai nilai-nilai luhur Pancasila. 5.2. Saran Disamping membuat sistem pendidikan yang mampu mendorong tercapainya mahasiswa yang memiliki jiwa kebangsaan dan nasionalisme tinggi, pemerintah juga harus lebih memperhatikan masalah-masalah yang masih dihadapi rakyat banyak pada umumnya. Masalah ekonomi dan pendidikan merupakan aspek mendasar yang paling utama harus dibenahi.
23
Tanpa adanya stabilitas perekonomian yang pada kenyataannya makin menunjukan kesenjangan antara si kaya dan si miskin, dapat berakibat munculnya usaha radikal yang bertujuan merubah nasib dan keadaan suatu kelompok yang terpuruk aspek perekonomiannya. Tanpa pendidikan layak dan tinggi yang bisa diakses seluruh lapisan rakyat, maka akan
berakibat
mudah
terpengaruhnya
masyarakat
yang
tak
berpengetahuan lebih untuk mengikuti suatu aliran radikal yang kedepannya merugikan banyak pihak.
24
6. REFERENSI Hendriyansyah,
2011,
Kampus,
Mahasiswa,
dan
Radikalisme,
http://radarlampung.co.id/read/opini/32682-kampus-mahasiswa-danradikalisme Trinanda, Andi, 2011, Eksistensi NII dan Matinya Pendidikan Pancasila ?, http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/04/eksistensi-nii-dan-matinyapendidikan-pancasila/ Zanwar Kurniawan, Lutfi, 2011, Mencegah Radikalisme dari Kampus, http://hmimpofeuii.blogspot.com/2011/05/mencegah-radikalisme-darikampus.html Mughni, Muladi, 2011, Faktor-faktor Penyulut Radikalisme Agama, http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&vie w=article&id=1265:faktor-faktor-penyulut-radikalismeagama&catid=22:pengajian Aruji, Iskandar, 2011, Sejarah Ringkas Berdirinya Negara Islam Indonesia, http://www.iskaruji.com/2011/04/nii-sejarah-ringkas-berdirinyanegara.html Hadhi, Mahatma, dkk, 2011, Negara Islam Indonesia: Fakta Sejarah Dan Perkembangannya, https://sites.google.com/site/ppmenetherlands/news/sejarahnii http://news.okezone.com/read/2011/05/19/337/458910/jk-radikalisme-takselamanya-jelek-buat-mahasiswa Suryana,
Dede,
2011,
Pancasila
Mampu
Redam
Radikalisme,
http://news.okezone.com/read/2011/10/01/337/509539/pancasilamampu-redam-radikalisme Effendi,
Yusuf,
2010,
RADIKALISME
ISLAM
DI INDONESIA,
http://yusufeff84.wordpress.com/2010/04/21/radikalisme-islam-diindonesia/
25
Faisal, Muhammad, 2011, Kebodohan dan Kemiskinan Penyebab Utama Radikalisme
dan
Terorisme,
http://bogorplus.com/kotabogor/66-
kotabogor/2443-kebodohan-dan-kemiskinan-penyebab-utamaradikalisme-dan-terorisme.html Asroni, Ahmad, _________, Radikalisme Islam di Indonesia, Makalah, Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
26