LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
BAGIAN KEEMPAT RENCANA POLA RUANG WILAYAH KAB. LUWU TIMUR
Berdasarkan Permen PU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten, pengertian rencana pola pemanfaatan ruang adalah rencana yang menggambarkan letak, ukuran dan fungsi dari kegiatan-kegiatan lindung dan budidaya. Substansi dari rencana pola pemanfaatan ruang meliputi batas-batas kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan kawasan-kawasan lainnya (kawasan lindung dan kawasan budidaya). Pengembangan rencana pola pemanfaatan ruang bertujuan untuk : 1. Pemanfaatan ruang harus memperhatikan daya dukung lingkungan. 2. Tersedianya lahan yang dapat menampung perkembangan jumlah penduduk dan tenaga kerja. 3. Terciptanya sinkronisasi antara rencana pola pemanfaatan ruang dan rencana struktur tata ruang yang dikembangkan. 4. Memperhatikan kesesuaian lahan dan kondisi eksisting. 5. Mewujudkan aspirasi masyarakat.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 1
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Rencana pola ruang wilayah kabupaten merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah kabupaten yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Rencana pola ruang wilayah kabupaten berfungsi:
sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kabupaten;
mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang;
sebagai dasar penyusunan indikasi program utama jangka menengah lima tahunan untuk dua puluh tahun; dan
sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah kabupaten. Pada prinsipnya pemanfaatan ruang merupakan perwujudan dari upaya
pemanfaatan sumberdaya alam di suatu wilayah melalui pola pemanfaatan yang diyakini dapat memberikan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan/atau kegiatan alam. Hasil dari pemanfaatan ruang meliputi; lokasi, sebaran, permukiman, tempat kerja, industri, pertanian, pariwisata, pertambangan dan mineral, pola penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan, serta penggunaan budidaya lainnya.
4.1.
KAWASAN LINDUNG Rencana pola pemanfaatan
ruang kawasan lindung
ditujukan untuk
mewujudkan kelestaian fungsi lingkungan hidup, meningkatkan daya dukung lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem antarwilayah guna mendukung proses pembangunan berkelanjutan. 1.
Klasifikasi dan Kriteria Pengelolaan Kawasan Lindung Penetapan kawasan lindung merupakan perwujudan dari pengembangan
struktur ruang wilayah Kabupaten Luwu Timur yang berlandaskan pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Setelah kawasan lindung ini ditetapkan sebagai wilayah limitasi atau kendala bagi pengembangan kawasan budidaya, selanjutnya dapat ditentukan kawasan budidaya. Kawasan lindung termasuk kekayaan flora dan fauna Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 2
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
atau biota yang ada di darat dan perairan pesisir. Pertimbangan yang digunakan untuk penetapan kawasan lindung di Kabupaten Luwu Timur adalah : (1) kriteria kawasan lindung menurut Kepres Nomor 32 Tahun 1990 didasarkan pada klasifikasi kriteria serta urutan prioritas penerapannya, (2) hasil analisis kesesuaian lahan. 2.
Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung Klasifikasi kawasan lindung di Kabupaten Luwu Timur dari fungsinya,
meliputi:
Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya adalah kawasan hutan lindung.
Kawasan perlindungan setempat, terdiri dari: - Kawasan sempadan pantai - Kawasan sempadan sungai - Kawasan sempadan danau
Kawasan suaka alam, terdiri dari: - Kawasan cagar alam - Kawasan konservasi perairan Penetapan kawasan lindung di Kabupaten Luwu Timur berdasarkan klasifikasi
kriteria serta urutan prioritas penerapannya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.1. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung di Kabupaten Luwu Timur Fungsi Kawasan Kawasan yang memberikan perindungan kawasan bawahannya
Peruntukan Ruang Hutan Lindung
Rencana Pengelolaan
Lokasi
1. Mempertahankan kawasan hutan lindung yang sudah ditetapkan dan meningkatkan fungsi hidrologisnya, sehingga tidak boleh dikonversi untuk kepentingan lain yang mengubah fungsi hutan lindung. 2. Menjaga fungsi hutan lindung yang masih baik serta mengembalikan kawasan yang beralih pemanfaatan lahannya dari non hutan menjadi hutan lindung. 3. Beberapa kawasan tertentu, terutama hutan produksi (terbatas dan tetap) yang memenuhi kriteria hutan lindung agar diproses secara cermat sesuai prosedur yang berlaku menjadi kawasan hutan lindung.
Rencana alokasi hutan lindung seluas 254.283,64 hektar. Lokasi hutan lindung tersebar di Kecamatan Towuti, Nuha, Wasuponda, Malili, Angkona, Tomoni, Mangkutana, Wotu, dan Kecamatan Burau.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 3
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
4. Mengukuhkan kawasan sebagai hutan lindung apabila kawasan tersebut belum dikukuhkan. 5. Bagi kawasan non hutan (perkebunan) yang mempunyai kriteria lindung agar dikaji dan dipertimbangkan fungsinya sebagai hutan lindung atau kawasan resapan air atau dialihfungsikan secara bertahap (terutama bagi HGU-nya telah habis atau dihapuskan) secara cermat dan tepat sehingga menjadi bagian dari kawasan yang berfungsi lindung. 6. Kegiatan pada kawasan hutan lindung harus dibatasi secara ketat dan tidak mengganggu fungsi lindung seperti ekosistem, penelitian, dan pendidikan lingkungan. 7. Kegiatan budidaya yang sudah berlangsung pada kawasan hutan lindung dicegah perkembangannya, dan secara bertahap diarahkan sesuai fungsi kawasan. 8. Wilayah-wilayah perkampungan/penduduk asli/setempat yang berada di kawasan ini diupayakan mendapat perlakuan khusus, antara lain: a. Pemanfaatannya harus tetap mengacu pada fungsi lindung. b. Luasnya tidak boleh ditambah dan tidak boleh diperjualbelikan. c. Tidak diperkenankan mengubah bentang alam, kecuali untuk meningkatkan sistem konservasi tanah dan air. 9. Tidak diperkenankan mendirikan bangunan, kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi hutan lindung dan atau bangunan yang merupakan bagian jaringan atau transmisi bagi kepentingan umum/ekowisata sepanjang tidak mengganggu keseimbangan ekosistemnya, misalnya pos pengamatan dan penjagaan, jalan setapak untuk wisata, triangulasi, jaringan listrik/telekomunikasi dan patok. 10.Melakukan rehbilitasi dan reboisasi dengan tutupan vegetasi tetap, terutama pada lahan-lahan yang saat ini kritis. 11.Menjaga dan melindungi flora dan fauna yang ada. 12.Monitoring secara kontinyu, khususnya pada kegiatan/pemanfaatan lahan yang saat ini tidak sesuai dengan peruntukan fungsi hutan lindung. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 4
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
13.Dilakukan pola-pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan. 14.Dilakukan studi-studi terhadap potensi ekonomi hutan lindung untuk sumberdaya non kayu. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya
Cagar Alam
1. Memperhatikan keberadaan kawasan baik fungsi dan kualitasnya. 2. Dapat dikembangkan sebagai daerah ekowisata selama tidak mengganggu fungsi utama kawasan. 3. Rehabilitasi dan reboisasi terhadap kawasan yang mengalami kerusakan lingkungan. 4. Melakukan pengawasan dan pengamanan kawasan terhadap gangguan dan kegiatan pariwisata.
1. Konservasi Perairan
1. Mempertahankan kawasan-kawasan resapan air atau kawasan yang berfungsi hidrologis untuk menjamin ketersediaan sumberdaya air. 2. Tidak diperkenankan mendirikan bangunan kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi kawasan selama tidak mengganggu ekosistem kawasan .
Luas rencana kawasan cagar alam adalah 101. 453, 89 hektar. Kawasan cagar alam tersebar di Kecamatan Angkona, Kalaena, Mangkutana, Nuha, Towuti, dan Kecamatan Wasuponda
Luas rencana kawasan konservasi perairan adalah 73.445,47 hektar. Kawasan konservasi ini tersebar di Kecamatan Towuti dan Kecamatan Nuha.
3. Kawasan ini dikategorikan sebagai wilayah limitasi bagi pembangunan fisik dan diperlukan bagi kelestarian lingkungan. Kawasan Perlindungan Setempat
(a) Sempadan Sungai
1. Tidak mengeluarkan ijin bangunan dan kegiatan yang berdampak mengganggu aliran sungai pada daerah sempadan sungai, kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi kawasan. 2. Bangunan yang sudah berada di kawasan sempadan sungai ditata, baik secara rekayasa teknis maupun non teknis, sehingga tidak mengganggu aliran sungai.
Luas sempadan sungai adalah 36.083,21 hektar. Kawasan sempadan sungai tersebar di seluruh Kabupaten Luwu Timur.
3. Menata atau mengelola saluran-saluran bangunan limbah yang menuju badan sungai dan tertentu pada sempadan pantai. 4. Melakukan konservasi lahan pada jalur kiri dan kanan sungai yang potensial erosi dan longsor. (b) Sempadan Pantai
1.
Pemanfaatan lahan pada kawasan ini baik melalui rekayasa teknis maupun non teknis harus dilakukan melalui kajian AMDAL yang cermat dan tidak diperkenankan memberi dampak negatif terhadap lingkungan pantai.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
Luas sempadan pantai adalah 5.542,97 hektar. Lokasi kawasan sempadan pantai berada di Kec.
IV - 5
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
(c) Kawasan Sekitar Danau
2.
Penataan dan pengendalian terhadap bangunan atau aktivitas yang mengganggu lingkungan pantai dan keindahannya.
3.
Menyusun pengelolaan terpadu kawasan pesisir terutama untuk pengembangan kegiatan budidaya.
1. Melakukan rehabilitasi dan konservasi lahan pada kawasan yang rawan erosi untuk mencegah percepatan sedimentasi pada danau. 2. Menata ulang kawasan meningkatkan fungsi kawasan
untuk
3. Kegiatan budidaya dapat dilakukan selama tidak mengganggu kualitas dan fungsi danau 4. Memasang rambu/tanda perungatan di wilayah radius kawasan
Angkona, Burau, Malili dan Kecamatan Wotu.
Kawasan sekitar danau memiliki luas 6.575,38 hektar. Lokasi kawasan sekitar danau terdapat di Kecamatan Towuti, Nuha dan Kecamatan Wasuponda.
Sumber : Hasil Analisis Tim Tahun 2009
4.1.1. Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya merupakan yang ditujukan untuk mencegah erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin tersedianya unsur hara tanah dan air permukaan. Kriteria dari kawasan ini adalah:
Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, dan curah hujan yang
melebihi
nilai
skor
175
menurut
Keputusan
Menteri
Pertanian
No.837/KPTS/UM/11/1980 dan atau
Kawasan hutan mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih (Inmendagri 8/1985) dan atau
Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian diatas permukaan laut 2.000 meter atau lebih. Kawasan lindung ini di Kabupaten Luwu Timur secara keseluruhan memiliki
luas sekitar 350.852 Ha, yang antara lain terdapat pada Kecamatan Burau, Wotu, Tomoni, Mangkutana, Kalaena, Angkona, Malili, Towuti Nuha, dan Wasuponda Adapun arahan pengaturan dari kawasan ini adalah sebagai berikut:
Hutan lindung yang telah ada berdasarkan peraturan/perundangan yang berlaku tetap dipertahankan.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 6
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Penggunaan lahan yang telah ada (permukiman, sawah, tegalan, tanaman tahunan/perkebunan, dan lain-lain) di dalam kawasan ini secara bertahap dialihkan ke arah usaha konservatif dan/atau dibatasi secara ketat, sehingga fungsi lindung yang diemban dapat dilaksanakan.
Kawasan lahan >40% diluar hutan lindung/cagar alam dan terindikasi telah digunakan sebagai lahan budidaya juga akan tetap dibatasi secara ketat dan akan dijadikan area penyanggah (buferzone) bagi kawasan tersebut.
Penggunaan lahan yang akan mengurangi fungsi konservasi secara bertahap dialihkan fungsinya sebagai lindung sesuai kemampuan dana yang ada.
Penggunaan lahan baru tidak diperkenankan bila tidak menjamin fungsi lindung terhadap hidro-orologis, kecuali jenis penggunaan yang sifatnya tidak bisa dialihkan (menara BTS, jaringan listrik, telepon, air minum dan lain-lain), hal tersebut tetap memperhatikan azas konservasi.
Adanya potensi pertambangan pada beberapa bagian di kawasan hutan lindung Kabupaten
Luwu
Timur
perlu
mendapatkan
perhatian
serius.
Dalam
pelaksanaannya, kegiatan ini wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, terutama terkait dengan tumpang tindih lahan pertambangan dan hutan lindung.
4.1.2. Kawasan Perlindungan Setempat Kawasan perlindungan setempat diarahkan bagi pengembangan Sempadan Sungai, Sempadan Pantai, dan Kawasan Resapan Air. A. Kawasan Sempadan Sungai Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
Tujuan dari penentuan ini adalah untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik dan dasar sungai, serta mengamankan aliran sungai.
Kriteria dari kawasan sempadan sungai adalah kawasan yang sekurang-kurangnya berada 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri-kanan anak sungai yang berada di luar permukiman (SK Mentan nomor 837/KPTS/Um/11/1980 dan
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 7
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
nomor 887/KPTS/Um/1980). Sempadan sungai di kawasan permukiman berupa daerah sepanjang sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi (10-15 meter).
Kawasan sempadan sungai dialokasikan di sepanjang aliran sungai yang ada di Kabupaten Luwu Timur. Pengalokasian dan pengelolaan kawasan ini secara tepat diharapkan dapat tetap menjaga keberadaan sungai di Kabupaten Luwu Timur, mengingat wilayah ini terbagi menjadi beberapa WAS (Wilayah Aliran Sungai) dan Sub WAS yang sudah tentu terdiri dari banyak sungai dan anak sungai yang membentang, diantaranya WAS Kalaena, Tomoni, Larona, WAS Malili, Sub WAS Pongkeru.
B. Kawasan Sempadan Pantai dan Danau Sempadan pantai adalah kawasan sepanjang pantai, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai terhadap daratan dari bahaya abrasi dan intrusi air laut ke darat, juga terhadap keragaman biota yang ada di kawasan pantai. Lokasi ini di Kabupaten Luwu Timur terdapat pada beberapa kecamatan, diantaranya Kecamatan Malili, Wotu, Angkona dan Burau. Demikian halnya dengan sempadan danau yang terdapat di Kabupaten Luwu Timur, diantaranya Danau Towuti, Danau Matano dan Danau Mahalona perlunya melestarikan fungsi untuk menjaga luapan air danau, serta menjaga kelestarian keragaman biota yang ada.
Tujuan dari penentuan kawasan sempadan pantai dan danau adalah untuk melindungi wilayah pantai dari usikan kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai dan danau;
Pengaturan umum terhadap kawasan sempadan pantai dan danau adalah :
Khusus untuk pemanfaatan hutan bakau (mangrovee) untuk pengembangan perikanan tambak dapat dilakukan secara ketat dengan tetap mengedepankan aspek pelestarian pantai, dan danau, dengan terlebih dahulu mengarahkan pada arahan lokasi yang telah ditetapkan;
Batas sempadan pantai yang berhutan bakau (mangrovee) minimal adalah 130 kali perbedaan pasang dan surut tertinggi.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 8
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
C. Kawasan Resapan Air Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (aquifer) yang berguna sebagai sumber air. Tujuan dari penentuan kawasan resapan air adalah memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah resapan air tanah untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan. Kriteria dari kawasan resapan air adalah kawasan dengan curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran. Kawasan resapan air di Kabupaten Luwu Timur terdapat di pada hampir setiap kecamatan, terutama pada lahan-lahan pertanian basah, sekitar pantai, sekitar danau Towuti, Matano dan Mahalona.
4.1.3. Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya Pengelolaan kawasan cagar alam merupakan komponen yang penting dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang di Kabupaten Luwu Timur untuk menjaga kelestarian lingkungan. Beberapa upaya pengelolaan kawasan cagar alam di Kabupaten Luwu Timur, antara lain: -
Menambah dan memelihara keanekaragaman flora dan fauna di dalam kawasan.
-
Memperketat penjagaan dan pengawasan kawasan cagar alam dan disekitarnya guna tetap terpeliharanya kawasan sesuai dengan fungsi kelestariannya. Luas rencana kawasan cagar alam di Kabupaten Luwu Timur adalah 101. 453,
89 hektar. Kawasan cagar alam tersebar di Kecamatan Angkona, Kalaena, Mangkutana, Nuha, Towuti, dan Kecamatan Wasuponda 4.1.4. Kawasan Rawan Bencana Kawasan rawan bencana alam, diarahkan pada daerah-daerah yang rawan gempa akibat adanya patahan dan sesar, juga pada daerah rawan bencana tsunami di pesisir pantai, daerah tanah longsor, dan banjir. Pengalokasian ini ditujukan untuk
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 9
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh bencana alam. Potensi rawan bencana Kabupaten Luwu Timur berupa tanah longsor, luapan air sungai, rawan gempa dan rawan banjir yang hampir terjadi setiap tahun. Adapaun arahan rencana penanganan kawsan rawan bencana di Kabupaten Luwu Timur sebagai berilkut:
Untuk tanah longsor dan luapan air sungai diarahkan pengendaliannya dengan menetapkan deliniasi kawasan lindung agar pemanfaatan lahan pada kawasan tersebut mengeliminir kegiatan-kegiatan budidaya yang dapat menyebabkan terjadi longsor pada kawasan tersebut, terutama pada kawasan hulu sungai. Rawan longsor dan luapan air sungai di Kabupaten Luwu Timur sering terjadi pada Kecamatan Kalaena, Mangkutana, Towuti, Malili, dan Kecamatan Nuha.
Untuk daerah rawan banjir diarahkan pengendaliannya dikawasan yang sering terkena banjir seperti di sekitar Kecamatan Malili (Kota Lama Malili), Kecamatan Wotu, Kalaena, Mangkutana, Burau dan Kecamatan Tomoni.
Untuk rawan gempa bumi, diarahkan pengendalian ketat pada wilayah yang berada tepat pada jalur patahan (sesar Matano) yang melalui beberapa wilayah kecamatan seperti Kecamatan Kalaena, Mangkutana, Malili, hingga ke Kecamatan Wasuponda dan Nuha
Gambar 4.1. Patahan Matano yang Melintasi Wilayah Kabupaten Luwu Timur Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 10
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Gambar 4.2. Peta Rencana Kawasan Lindung Kabupaten Luwu Timur
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 11
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Gambar 4.3. Peta Rencana Kawasan Sempada pantai, sungai dan danau
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 12
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
4.2.
KAWASAN BUDIDAYA Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia. Kawasan budidaya dalam RTRW Kabupaten Luwu Timur diarahkan untuk:
Memberikan arahan pemanfaatan ruang kawasan budidaya secara optimal dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Memnerikan arahan dalam menentukan prioritas pemanfaatan ruang antara kegiatan budidaya yang berlainan.
Memberikan arahan bagi perubahan jenis pemanfaatan ruang dari jenis kegiatan budidaya tertentu ke jenis lainnya. Proses penentuan kawasan budidaya di dalam RTRW Kabupaten Luwu Timur
didasarkan pada:
Kawasan lindung yang telah ditetapkan sebelumnya dan menjadi limitasi bagi penetapan kawasan budidaya di wilayah Kabupaten Luwu Timur.
Kriteria
menurut
pedoman
penyusunan
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
Kabupaten/Kota (RTRWK)
Hasil analisis kesesuaian lahan Kabupaten Luwu Timur Tahun 2009 Kawasan budi daya yaitu kawasan yang dilihat dari kondisi fisik dan potensi
sumber daya alamnya dapat dan perlu dimanfaatkan guna kepentingan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia dan pembangunan. Berdasarkan peraturan Keppres No. 57 Tahun 1989 tentang Kriteria Kawasan Budidaya serta SK Mentan No. 683/Kpts/Um/8/1981 dan No. 837/Kpts/Um/11/1980 yang berkaitan dengan penetapan kriteria kawasan hutan produksi, kawasan budi daya di Kabupaten Luwu Timur terdiri dari hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, perkebunan, pertanian padi sawah dan padi ladang, permukiman (termasuk kawasan pemerintahan) dan kawasan pertambangan. Kriteria kawasan budidaya merupakan ukuran yang digunakan untuk penentuan suatu kawasan yang dutetapkan untuk berbagai kegiatan usaha dan atau kegiatan yang terdiri dari kriteria teknis sektoral dan kriteria ruang. Kriteria teknis Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 13
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
sektoral adalah ukuran untuk menentukan bahwa penentuan pemanfaatan ruang suatu kegiatan dalam kawasan yang memenuhi ketentuan-ketentuan teknis, daya dukung, kesesuaian lahan dan bebas bencana alam. Sedangkan keriteria ruang adalah ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan untuk suatu kegiatan budidaya dalam kawasan, menghasilkan nilai strategis terbesar terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya dan tidak bertentangan dngan pelestarian lingkungan. Kriteria ruang tersebut berdasarkan azas-azas sebagai berikut: 1. Saling menunjang antar kegiatan meliputi:
Meningkatkan daya guna pemanfaatan ruang serta sumber daya yang ada di dalamnya guna perkembangan kegiatan sosial, ekonomi dan budaya.
Dorongan terhadap perkembangan kegiatan sekitarnya.
2. Kelestarian lingkungan, meliputi:
Jaminan terhadap ketersediaan sumberdaya dalam waktu panjang.
Jaminan terhadap kualitas lingkungan.
3. Tanggap terhadap dinamika perkembangan, meliputi:
Peningkatan pendapatan masyarakat.
Peningkatan pendapatan daerah dan nasional.
Peningkatan kesempatan kerja.
Peningkatan ekspor
Peningkatan peran serta masyarakat dan kesesuaian sosial budaya Kawasan budidaya yang akan ditetapkan di Kabupaten Luwu Timur terdiri
dari: 1. Kawasan hutan produksi, meliputi hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas. 2. Kawasan budidaya pertanian, meliputi kawasan tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering, peternakan, perkebunan, dan perikanan. 3. Kawasan budidaya non pertanian, meliputi kawasan permukiman, pertambangan, industri, pariwisata dan sebagainya. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 14
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Kriteria bagi kawasan budidaya secara umum didasarkan pada faktor-faktor kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kagiatan budidaya tertentu. Secara rinci, kriteria dan klasifikasi kawasan budidaya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.2. Klasifikasi dan Kriteria Kawasan Budidaya yang Diterapkan di Kabupaten Luwu Timur Jenis
Fungsi
Kriteria
Keterangan Arahan pengembangan hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap dan hutan produksi konversi:
Kawasan Hutan Produksi Terbatas
Kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan yang memiliki skor < 124 di luar hutan suaka alam, hutan wisata dan hutan konversi lainnya (SK Mentan No. 683//KPTS/Um/8 dan 837/KPTS/Um/11/1980).
Kawasan Hutan Produksi
Kawasan Hutan Produksi Tetap
Kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan yang memiliki skor 125-174, di luar hutan suaka alam, hutan wisata dan hutan konversi lainnya (683 /KPTS/Um/11/1980).
Kawasan Hutan Produksi Konversi
Kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan yang memiliki skor < 124 di luar hutan suaka alam, hutan wisata, hutan produksi terbatas, dan hutan konversi lainnya (SK Mentan No. 683/KPTS/Um/8 dan 837/KPTS/Um/11/1980). - Ketinggian < 1000 meter dpl
Kawasan Budidaya Pertanian
Kawasan Pertanian Lahan Basah
- Kemiringan lerang < 40%
Kawasan Pertanian Lahan Kering
- Ketinggian < 1000 meter dpl
Kawasan Tanaman Pangan/Perkebu
- Ketinggian < 2000 meter dpl
- Kedalaman efektif tanah > 30 cm - Terdapat sistem irigasi (teknis, semi teknis dan sederhana)
- Kemiringan lerang < 40% - Kedalaman efektif tanah > 30 cm
- Kemiringan lerang < 40%
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
-
Kategori hutan
-
Re-evaluasi peta paduserasi
-
Hasil analisis fisik dengan mempertimbangkan adanya wilayah limitasi, sesuai dengan kriteria dalam Kepres 32 Tahun 1990 bagi kawasan lindung.
Dalam rangka memberikan arahan bagi pengembangan kawasan budidaya, kawasan ini mencakup hutan produksi, konversi yang telah ditetapkan seperti di atas setelah dikurangi arel yang potensial untuk kegiatan budidaya yang bersifat lebih intensif.
Arahan pengembangan kawasan pertanian lahan basah didasarkan pada potensi dan kesesuian lahan dengan dukungan jaringan irigasi.
Pemetaannya dalam skala 1:100.000 hanya dilakukan dalam kawasan pertanian lahan kering yang didalamnya dapat pula terdiri atas kawasan pertanian lahan basah Arahan pengembangan kawasan tanaman tahunan dan perkebunan
IV - 15
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
nan
- Kedalaman efektif tanah > 30 cm
didasarkan pada potensi pengembangan perkebunan, selain kesesuaian lahan dari hasil analisis.
- Ketinggian < 1000 meter dpl
-
Kawasan Peternakan
- Kemiringan lerang < 15%
Kawasan Perikanan
- Kemiringan lerang < 8%
Kawasan Permukiman
- Jenis tanah/iklim sesuai dengan padang rumput
-
Kawasan Pertambangan
Kemiringan lerang < 15% Ketersediaan air terjamin Aksesibilitas yang baik Tidak berada pada daerah rawan bencana Berada dekat dengan pusat kegiatan
Mempunyai potensi bahan tambang
Kawasan Pariwisata
-
- Persediaan air permukaan cukup
-
Memiliki keindahan dan panorama alam Memiliki kebudayaan yang bernilai tinggi Memiliki bangunan sejarah
Kawasan ini mencakup kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan. Ketentuan mengenai batas wilayah, ibukota kabupaten dan kecamatan menurut peraturan perundang undangan. Untuk permukiman perdesaan, keberadaan saat ini menjadi dasar untuk pertimbangan perluasannya Kawasan ini tidak dapat diarahkan pengembangannya secara spesifik pada skala 1:100.000 atau lebih besar. Wilayah kontrak karya dan kuasa pertambangan yang ada perlu dipertegas pada skala yang lebih besar untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dengan kawasan lain. -
Sumber : Hasil Analisis Tim Tahun 2009
Tabel 4.3. Kriteria Kawasan Budidaya Pesisir dan Laut No. 1.
Kawasan Perikanan Tangkap
Kriteria 1. Jauh dari areal budidaya 2. Berjarak aman dari kawasan-kawasan lainnya. Jarak aman tersebut sama seperti yang disebutkan bagian sebelumnya, yaitu berdasarkan atas tipe pasut dan kecepatan arus di kawasan yang ditentukan. 3. Keberadaan front (pertemuan dua massa air yang berbeda karakteristiknya). Di kawasan pesisir, front ini sering ditemui di daerah muara sungai atau perairan teluk atau selat. 4. Merupakan daerah “up-welling” daerah yang kaya dengan unsur hara dan tempat berkumpulnya beberapa jenis ikan. 5. Karakteristik fisik perairan yang sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh untuk pengoperasian jaringan tangkap yang diperlukan dasar perairan yang landai dengan substrak pasir atau lumpur. 6. Pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan perikanan di pantai dilaksanakan dengan tidak mengubah kondisi
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 16
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
pantai untuk menghindari proses erosi maupun sedimentasi. 7. Jauh dari spawning ground dan nursey ground. 2.
Perikanan Budidaya
1. Terlindung ari gelombang dan angin. Menghindari terjadinya kerusakan pada kegiatan atau usaha budidaya yang berasal dari gelombang dan arus yang besar. 2. Jauh dari permukiman dan industri. Limbah atau pencemaran yang berasal dari rumah tangga dan industri dapat mengakibatkan kerusakan perairan dan kegagalan usaha budidaya. 3. Jauh dari muara sungai. Muara sungai juga dapat mempengaruhi budidaya laut dengan adanya proses sedimentasi akibat aktivitas di daerah atas (up-land), seperti penebangan hutan, pertanian, permukiman dan industri yang dekat bantaran sungai. Kondisi ini menjadi kompleks karena daerah muara sungai secara oseanografi sangat dipengaruhi oleh air laut. Akibatnya kondisi perairan, biota dan ekosistemnya memiliki karakteristik yang khas. Dengan demikian kegiatan budidaya laut tidak mungkin dilakukan di daerah ini. 4. Kualitas air baik. Kelayakan kondisi perairan dapat diukur dari parameter fisika (kecerahan), kimia (disolved Oxygen –DO, Chemical Oxygen Demand-COD, kandungan organik, Biologycal Ozygen Demand-BOD, kandungan klorofil, dan parameter biologi: plankton. 5. Jaminan keamanan merupakan faktor yang mendukung keberhasilan budidaya.
3.
Kawasan Pariwisata
1.
Berjarak aman dari kawasan perikanan dan pertambangan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kagiatan di kawasankawasan tersebut tidak menyebar dan mencapai kawasan pariwisata atau sebaliknya.
2.
Berjarak aman dari kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung.
3.
Sirkulasi massa air di kawasan perlu lancar.
Sumber : Hasil Analisis Tim Tahun 2009
Agar
pembangunan
wilayah
pesisir
Kabupaten
Luwu
Timur
dapat
berkelanjutan, secara garis besar wilayah pesisir perlu dipilah menjadi tiga mintakat (zones), yaitu : (1) mintakat preservasi, (2) mintakat konservasi dan (3) mintakat pemanfaatan. Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007, mintakat (1) dan (2) dinamakan sebagai kawasan lindung, sedangkan mintakat (3) disebut sebagi kawasan budidaya. Mintakat preservasi adalah suatu daerah yang memiliki ekosistem unik, biota endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan (spawning grounds), daerah pembesaran (nursey ground), dan alur migrasi (migration routes) dari biota perairan. Kecuali kegiatan pendidikan dan penelitian ilmiah, dalam mintakat ini tidak diperbolehkan adanya kegiatan manusia (pembangunan). Mintakat konservasi adalah daerah yang diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan atau pemanfaatan secara terbatas dan terkendali. Misalnya kawasan Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 17
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
hutan mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan wisata alam (ecotourism). Sementara
ini
mintakat
pemanfaatan
memang
diperuntukan
bagi
kegiatan
pembangunan dalam tingkat pemanfaatan yang lebih intensif, seperti industri, tambak intensif, pariwisata komersial, permukiman, pelabuhan dan pertambangan. Pada wilayah pesisir dan laut Kabupaten Luwu Timur terdapat berbagai kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya tersebut di atas, diantaranya untuk perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, industri kelautan dan lainnya. Kondisi kawasan lindung di wilayah pesisir Kabupaten Luwu Timur pada saat ini banyak dijadikan areal tambak oleh masyarakat, sehingga perlu diatur dalam pembatasan konversi hutan bakau agar kelestarian sumberdaya tetap terjaga. A. Rencana Pengelolaan Kawasan Budidaya Darat Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan budidaya ditujukan untuk menjaga kualitas daya dukung lingkungan Kabupaten Luwu Timur, menciptakan lapangan pekerjaan, terciptanya keserasian dengan struktur ruang yang direncanakan. Untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Luwu Timur, maka setiap luasan pengembangan kawasan budidaya harus memperhatikan potensi tenaga kerja dan daya dukung lingkungan yang dimiliki. Berdasarkan hal tersebut, maka rencana pemanfaatan ruang kawasan budidaya seluas 217.103,44 hektar atau 31,26% dari luas wilayah Kabupaten Luwu Timur seperti yang ditunjukan tabel berikut. Tabel 4.4. Rencana Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya di Kabupaten Luwu Timur No.
PEMANFAATAN RANG KAWASAN BUDIDAYA
1.
Kawasan Hutan Produksi Terbatas
2.
Kawasan Hutan Produksi Tetap
3.
LUAS (HEKTAR)
PERSENTASE (%)
72.052,42
33,17
8.613,20
3,97
Kawasan Hutan Produksi Konversi
16.902,21
7,78
4.
Kawasan Pertanian Lahan Basah
17.312,15
7,97
5.
Kawasan Pertanian Lahan Kering
19.849,62
9,14
6.
Kawasan Perkebunan
39.238,39
18,07
7.
Kawasan Permukiman
6.140,99
2,83
8.
Kawasan Pertambangan
37.083,00
17,07
Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009 Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 18
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
B.
Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Kalautan Saat ini perkembangan kawasan pesisir dan laut di Kabupaten Luwu Timur
memungkinkan terjadi dampak perkembangan yang positif dan negatif terhadap kondisi lingkungan, ekosistem kawasan dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Oleh
karena
itu,
maka
upaya
yang
harus
dilakukan
adalah
bagaimana
mengoptimalkan perkembangan ini sehingga secara fungsional tetap dan dapat dimanfaatkan atau ditingkatkan pemanfaatannya untuk kepentingan pembangunan kawasan pesisir dan laut di Kabupaten Luwu Timur. Pengoptimasian suatu perkembangan bertujuan untuk mencari konfigurasi yang optimal untuk mencapai tujuan tertentu dengan mengacu kepada kendala dan keterbatasan tertentu. Upaya optimasi pemanfaatan ruang di kawasan pesisir dan laut Kabupaten Luwu Timur, maka perlu dilakukan perumusan seperti yang terlihat pada tabel berikut. Tabel 4.5. Optimasi Kawasan Pesisir dan Laut di Kabupaten Luwu Timur TUJUAN
RUMUSAN
OPTIMASI PEMANFAATAN RUANG
Tingginya kebutuhan ruang akibat meningkatnya jumlah penduduk dengan sistem aktivitasnya. Sehingga perlu memperhatikan jumlah penggunaan lahan dan aktivitas masyarakat yang optimal
PENINGKATAN INTENSITAS RUANG
Dikombinasikan dengan daya tampung ruang di kawasan agar lebih optimal bermanfaat dengan makin meningkatnya berbagai kendala penggunaan lahan pesisir
KENDALA/KETERBATASAN
KETERANGAN
Keterbatasan daya dukung fisik Ketersediaan prasarana pendukung Dampak eksternal lingkungan sekitarnya Keterbatasan daya dukung fisik Azas diminishing return tingkat pelayanan (peningkatan usaha) pengadaan prasarana pelayanan mencapai titik optimum dan setelah itu penambahan jumlah prasarana tidak dapat lagi memberikan penambahan tingkat pelayanan
Setiap jenis pemanfaatan ruang akan mencapai tingkat efisiensi dan bahwa keefektifan penggunaan kawasan dalam kondisi aglomerasi yang saling menguntungkan.
Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 19
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
1.
Optimasi dan Sinergi Perencanaan Ruang Kawasan Pesisir dan Laut Pengembangan kawasan pesisir dan laut merupakan suatu perwujudan
berbagai kegiatan usaha masyarakat melalui dinamisasi perkembangannya di wilayah ini. Dengan demikian selama dinamika perkembangan kawasan pesisir tidak menimbulkan dampak negatif, mempunyai efek ganda positif dan potensial bagi pengembangan keseluruhan wilayah pesisir di Kabupaten Luwu Timur secara ekonomis, sosiologi dan fisik, maka rencana pengoptimasian kawasan pesisir harus dapat mengalokasikan berbagai kegiatan fungsional yang berkembang berdasarkan kaidah dan arahan perencanaan yang bersifat komprehensif. Diestimasikan perkembangan berbagai kegiatan di kawasan pesisir Kabupaten Luwu Timur akan berkembang terus, maka dalam kurun waktu perencanaan dapat terjadi perkembangan baru yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal kawasan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rencana pengembangan pesisir Kabupaten Luwu Timur dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.6. Faktor yang Mempengaruhi Perencanaan Kawasan Pesisir NO. 1.
2.
3.
4.
FAKTOR Faktor internal
Faktor kegiatan/aktivitas manusia
Perkembangan kemampuan kualitas budaya masyarakat pesisir
Faktor eksternal
VARIABEL/INDIKATOR FAKTOR
Pertambahan penduduk
Peningkatan kepdatan penduduk
Pengendalian penduduk
Kegiatan usaha
Mobilitas penduduk
Produktivitas masyarakat
Taraf sosial ekonomi masyarakat
Kegiatan dan pergerakan investasi masyarakat
Tingkat sosial budaya masyarakat
Perkembangan pendidikan masyarakat
Perkembangan kesadaran masyarakat
Perkembangan kesadaran terhadap wawasan lingkungan
Perkembangan perekonomian wilayah sekitar Kabupaten Luwu Timur
Perkembangan sistem komunikasi dan teknologi serta ilmu pengetahuan wilayah sekitar Kabupaten Luwu Timur
Perkembangan sosial politik dan sosial budaya
Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 20
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
2.
Optimasi dan Sinergi Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir dan Laut Diestimasikan
perkembangan
pemanfaatan
ruang
kawasan
pesisir
di
Kabupaten Luwu Timur cukup intensif di masa yang akan datang, antar lain: permukiman, kegiatan perikanan tangkap dan budidaya, kegiatan pariwisata dan perkembangan bagian fungsional lainnya yang berbatasan langsung dengan pantai. Terdapat beberapa kendala dan keterbatasan yang akan dihadapi dalam pemanfaatan ruang kawasan pesisir di wilayah ini adalah: (1) keterbatasan daya dukung fisik, (2) tingkat ketersediaan prasarana lingkungan, (3) dampak terhadap lingkungan sekitar dan wilayah pedalaman (hinterland-nya). Upaya yang diarahkan untuk pengembangan kawasan pesisir dari segi pemanfaatan ruangnya adalah:
Pengembangan jenis fungsional yang optimal dan mempunyai manfaat bagi pengembangan kawasan pesisir di wilayah ini.
Meningkatkan intensitas pemanfaatan ruang yang sesuai dengan daya tampung lahan sesuai dengan fungsi kegiatannya baik dari segi fisik, sosial budaya maupun sosial ekonomi akan meningkat kemanfaatannya.
Upaya yang harus dilakukan adalah : (1) mengidentifikasi pemanfaatan ruang di kawasan akibat terjadinya perubahan internal dan eksternal, (2) meningkatkan optimasi pemanfaatan ruang, (3) melakukan evaluasi, pengawasan dan penajaman kebijakan pencapaian target sesuai rumusan rencana untuk masa datang dan keterkaitan rumusan rencana dengan instansi sektor terkait.
3.
Optimasi dan Sinergi Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir dan Laut Perkembangan dan perubahan kegiatan fungsional di kawasan pesisir di
wilayah Kabupaten Luwu Timur, seperti kawasan hutan bakau menjadi tambak, permukiman nelayan, sepanjang tepi pantai dibangun jalan dan muara sungai menjadi pelabuhan pendaratan ikan nelayan tradisional dan tempat pelelangan ikan akan mempengaruhi perkembangan sarana dan prasarana di wilayah tersebut. Perubahan ini juga akan mempengaruhi kepada kepentingan batasan-batasan wilayah yang dapat dikembangkan, dibatasi perkembangannya atau dilarang untuk berkembang. Optimasi pengendalian yang diperlukan untuk kawasan pesisir Kabupaten Luwu Timur adalah: Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 21
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Pengendalian pengembangan untuk pengamanan pantai dan perusakan yang terjadi dari arah daratan dengan cara menetapkan sempadan pantai sesuai dengan kondisi wilayah pantai yang bersangkutan.
Pengembangan dan reboisasi pada wilayah-wilayah yang harus dikonversikan dengan pengoptimasian wilayah hutan bakau sepanjang pesisir pada bagianbagian kawasan tertentu.
Penetapan wilayah yang memungkinkan untuk dibangun, wilayah yang adapat dibangun dengan persyaratan teknis tertentu (bersyarat) dan wilayah yang mutlak tidak dapat dibangun untuk konservasi pantai.
Penetapan jenis kegiatan fungsional yang dapat dikembangkan di kawasan pesisir Kabupaten Luwu Timur.
4.2.1. Kawasan Peruntukan Hutan Produksi Tata guna hutan dan lahan dimaksudkan sebagai prakondisi untuk menciptakan kepastian status dan hak terhadap kawasan hutan dan lahan yang akan dimanfaatkan dengan berdasarkan potensi dan keadaan kawasan hutan dan lahan yang sebenarnya di lapangan. Oleh karena itu, perlu diadakan penatagunaan kawasan hutan dan lahan yang akan direhabilitasi yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat, instansi pemerintah dan pihak-pihak yang terkait. Hal ini disebabkan karena terdapat beberapa sistem kepemilikan lahan oleh masyarakat yang perlu ditata secara partisipatif untuk menunjang kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), yaitu tanah milik, tanah yang dikuasai (bukti penguasaan biasanya SPPT), tanah ongko, dan tanah negara bebas. Tata guna hutan dan lahan akan dilaksanakan melalui pemetaan partisipatif antar pemilik lahan. Pengukuran lokasi untuk tujuan pemetaan akan melibatkan semua pemilik lahan, dan pemilik yang bertetangga untuk bersama-sama mengukur dan menentukan batas serta memasang patok pada batas lokasi lahan mereka. Pada saat pelaksanaan tata guna hutan dan lahan, akan dibuat kesepakatan antara petani pengelola RHL, terutama yang berada di dalam kawasan hutan untuk tidak lagi melakukan perluasan areal tanpa sepengetahuan semua pihak yang terkait dengan kegiatan RHL. Pada peta tata guna hutan dan lahan desa juga tergambarkan lokasilokasi yang dapat dikembangkan dengan pola agroforestry untuk pengembangan Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 22
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
hutan rakyat pada lahan milik dan pola-pola hutan kemasyarakatan pada kawasan hutan yang telah dirambah. a. Pembangunan Tanaman Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Pembangunan tanaman RHL harus didukung dengan tersedianya bibit dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Dalam hal ini seyogyanya dibangun Kebun Bibit Desa (KBD) pada lokasi-lokasi tertentu yang akan melayani kebutuhan bibit pada lokasi-lokasi RHL di sekitarnya. Bibit yang diproduksi mencakup jenis-jenis pohon hutan, pohon unggulan setempat, jenis-jenis andalan, penghasil buah-buahan, obatobatan, dan rempah-rempah. Pembangunan tanaman harus mengacu kepada sebuah rancangan teknis yang menguraikan secara rinci rangkaian kegiatan pembangunan tanaman RHL, yang meliputi kegitan penanaman, peremajaan, dan pemeliharaan tanaman RHL.
b. Perlindungan dan Pengamanan Areal RHL Perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga dan memelihara hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar berfungsi secara optimal dan lestari yang dilaksanakan melalui upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, serta hama dan penyakit. Kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan oleh pemerintah desa dan masyarakatnya sangat diperlukan dalam bentuk kegiatan secara berkelanjutan dan efektif. Bentuk perlindungan dan pengamanan yang diharapkan dapat dilakukan oleh masyarakat melalui kelompok atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat berupa:
1)
Perlindungan dan pengamanan sumber mata air yang terdapat di dalam wilayah hutan pada setiap desa.
2)
Perlindungan terhadap lahan usaha dari gangguan serangan hama dan penyakit.
3)
Perlindungan dan pengamanan hutan di desa atau dusun dari gangguan pembukaan lahan atau penebangan tanpa sepengetahuan lembaga pengelolaan hutan oleh desa.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 23
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
4)
Program perlindungan pengembalaan ternak dengan kegiatan: pengendalian pengembalaan
ternak
sapi
liar
yang
diarahkan
untuk
melindungi
tanaman/tegakan hutan, pengadaan aturan tata tertib pengembalaan ternak, pengkandangan ternak untuk penggemukan sapi.
5)
Program pengamanan hutan oleh desa dengan pembentukan lembaga/satuan pengamanan hutan di setiap dusun.
6)
Perlindungan dan pengamanan tersebut seharusnya dijabarkan secara tertulis dalam bentuk peraturan desa dan peraturan daerah.
c.
Model Rehabilitasi Hutan dan Lahan Berdasarkan kondisi areal sasaran RHL (BAB VIII), maka model RHL harus
disesuikan dengan kondisi hutan dan lahan serta kondisi masyarakat di sekitar areal RHL. Model rehabilitas pada masing-masing areal sasaran RHL diuraikan sebagai berikut: 1) CCCCCCCC
Tanah Terbuka Tanah terbuka umumnya dijumpai dalam kawasan hutan. Pada lahan terbuka
dalam kawasan hutan tersebut, dapat dilakukan pembangunan hutan kemasyarakatan (HKM) dengan pola agroforestry. Model pemanfaatan ruang untuk rehabilitasi tanah terbuka di dalam kawasan hutan diperlihatkan pada gambar berikut.
Gambar 4.4.
Model Pemanfatan Ruang Tanah Terbuka dalam Kawasan Hutan
Keterangan : A : Areal Pemukiman. B : Lahan Terbuka dalam Kawasan Hutan untuk Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) dengan Pola Agroforestry. C : Kawasan Hutan yang kondisinya masih bagus. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 24
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
2)
Semak Belukar
-
Model buffer agroforestry Model buffer adalah suatu model rehabilitasi yang dilaksanakan pada lahan
milik di sepanjang batas dengan daerah pemukiman sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai buffer/penyangga agar masyarakat tidak merambah kawasan hutan karena kebutuhannya dapat dipenuhi dari areal rehabilitasi yang mereka kelola. Model buffer sesuai untuk diterapkan pada lahan-lahan masyarakat yang berbatasan dengan kawasan hutan yang berpenutupan semak belukar. Gambaran penataan ruang Model buffer agroforestry diperlihatkan pada gambar berikut.
A
B
Gambar 4.5.
C Penataan Ruang Model Buffer Agroforestry
Keterangan : A : Areal Pemukiman. B : Areal milik masyarakat yang berpenutupan semak belukar C : Kawasan Hutan yang kondisinya masih bagus.
-
Model tersebar pola HKm Model tersebar adalah sistem penanaman secara spot/mosaik pada tempat-
tempat tertentu pada kawasan hutan yang sebagian arealnya secara setempat-setempat telah mengalami kerusakan akibat perambahan, sedang sebagian lainnya masih cukup baik. Model ini juga dapat diterapkan pada areal alang-alang dan semak belukar yang luas, direhabilitasi secara bertahap melalui penanaman hutan secara mosaik. Gambaran penataan rehabilitasi ruang dengan model tersebar diperlihatkan pada gambar berikut.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 25
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Hkm D KR
HR
Hkm HR A
B
C
Gambar 4.6.
Penataan Ruang Model Tersebar
Keterangan : A : Areal Pemukiman B : Lahan Milik lokasi Pengembangan Hutan Rakyat/Kebun Rakyat (HR/KR). C : Kawasan Hutan yang mengalami kerusakan D : Kawasan Hutan yang kondisinya masih bagus
-
Model Jalur Model jalur merupakan suatu model dimana rehabilitasi dilakukan melalui
penanaman secara jalur. Jalur tanam berselang-seling dengan jalur penutupan hutan alam atau semak belukar, yang berfungsi sebagai jalur konservasi. Model ini cocok diterapkan pada areal semak belukar ataupun lahan pertanian campur semak dengan kemiringan lereng lebih dari 40%. Gambaran penataan ruang Model Jalur diperlihatkan pada gambar berikut.
D JK
JK
JK
A
B
B
Gambar 4.7.
C Penataan Ruang Model Jalur
Keterangan : A : Areal Pemukiman. B : Lahan Milik lokasi Pengembangan Hutan Rakyat Pola Agroforestry secara Jalur. C : Kawasan Hutan lokasi Pengembangan Hutan Kemasyarakatan Pola Agroforestry secara Jalur. D : Kawasan Hutan yang kondisinya masih bagus. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 26
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
: B dan C : Lokasi RHL Pola Jalur : JK : Lokasi Jalur Konservasi
3)
Pertanian Lahan Kering Campur Semak (PLKCS) Pertanian lahan kering campur semak umumnya berupa lahan yang
dimanfaatkan oleh petani secara periodik atau yang dikenal dengan sistem rotasi. Lahan tersebut berupa ladang yang dikelola oleh petani dalam jangka waktu 2 – 5 tahun (tergantung tingkat kesuburannya), selanjutnya lahan tersebut diberakan dan setelah dianggap subur akan diolah kembali. Sebelum ladang tersebut ditinggalkan, biasanya ditanami dengan tanaman tahunan, baik berupa pohon buah-buahan (MPTS) maupun jenis kayu-kayuan. Tanaman tahunan ini ditanam sebagai tanda kepemilikan atau hak pemanfaatan lahan, selai itu tanaman tersebut merupakan aset mereka di masa yang akan datang. Strategi pemanfaatan lahan pada areal pertanian lahan kering campur semak adalah dengan melakukan pengayaan (enrichment planting) yaitu dengan memperkaya atau meningkatkan komposisi jenis pada lahan tersebut dengan menanam pohon buah-buahan maupun jenis kayu-kayuan sesuai dengan pilihan petani. Dampak yang diharapkan dari metode pengayaan ini adalah pendapatan petani lebih stabil dan meningkat, demikian pula laju perambahan dapat dikendalikan, serta secara ekologis mutu lingkungan hidup akan lebih baik.
d. Pola Tanam pada Berbagai Model Rehabilitasi Pada setiap model rehabilitasi yang diuraikan di atas, dapat dikembangkan pola-pola sebagai berikut: -
Pola Agroforestry Pola agroforestry yang dapat dikembangkan antara lain Silvopasture dan
Agrisilviculture. Sistem penanaman dapat dilakukan dengan tumpangsari maupun alley cropping. Mengingat dalam pola ini akan dimasukkan unsur tanaman pangan maka perlu disertai dengan upaya konservasi tanah.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 27
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Alley cropping merupakan pola agroforestry yang sesuai untuk lahan datar sampai topografi agak miring. Dengan alley cropping tanaman pohon ditanam secara kelompok berselang-seling dengan tanaman pangan menurut kontur. Pohon-pohon yang ditanam secara berkelompok tersebut dapat berfungsi sebagai penahan erosi yang cukup efektif disamping sebagai sumber bahan organik untuk mempertahankan dan mengembalikan kesuburan tanah. Bagian lahan yang diperuntukkan untuk tanaman semusim dapat ditanami dengan tanaman pangan seperti jagung, kacang tanah, kacang ijo, kacang kedelai, atau sayur-sayuran secara bergilir sepanjang tahun selama daur. Pada jalur tanaman kayu-kayuan seperti mahoni, jati, durian, rambutan, nangka dll. Penanaman tanaman semusim (tumpangsari) hanya pada tahun pertama atau kedua (sampai tajuk pohon saling bersinggungan atau tertutup). Lebar jalur untuk komponen kayu-kayuan adalah 9 meter dan untuk tanaman semusim 10 -17 m, tergantung kepada petani dan kondisi lahannya. Pada daerah yang masyarakatnya banyak mengusahakan ternak, ternak tidak dilepas melainkan dikandangkan sehingga kebutuhan makanan dibawakan ke kandang (cut and carry). Model ini sekaligus dapat mengurangi bahaya kerusakan tanaman akibat ternak, sehingga produksi dapat lebih meningkat.
Pemotongan
rumput dan pemangkasan pohon untuk makanan ternak dilakukan secara berkala dan bergilir, sehingga ketersediaan dan kecukupan makanan ternak terpenuhi sepanjang tahun. Pemotongan rumput dilakukan pada musim hujan, sedangkan pemangkasan pohon untuk makanan ternak dilakukan pada musim kemarau. -
Pola Pengayaan Pola Pengayaan dilakukan pada kawasan hutan yang penutupan lahannya telah
mengalami kerusakan secara setempat-setempat yang penutupannya semak belukar, atau pada lahan pertanian lahan kering campur semak (PLKCS), sehingga tidak diperlukan penanaman secara menyeluruh. Pengayaan ini mengikuti model spot/mosaik dengan jalan menanam jenis-jenis kayu unggulan setempat dan jenisjenis pohon penghidupan (MPTS) yang ditanam secara mengelompok maupun secara campuran. Jenis-jenis pohon unggulan setempat seperti: kemiri, durian, langsat, rambutan, nangka, petai, mangga, kapuk, dan sebagainya. Penanaman dapat dilakukan secara campuran ataupun secara kelompok.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 28
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
-
Pola Hutan Campuran Sistem Jalur Hutan campuran sistem jalur merupakan pola yang sesuai untuk penutupan
pada lahan milik dan kawasan hutan yang penutupannya semak belukar. Penanaman secara jalur dimaksudkan agar belukar yang ada tidak ditebang habis melainkan ditebang secara jalur sehingga akan terdapat jalur tanaman dan jalur konservasi secara berselang-seling. Lebar jalur tergantung dari kondisi tanah, kemiringan lereng dan jenis tanaman. Untuk menentukan berapa lebar jalur yang paling efektif perlu dilakukan penelitian dan uji coba, melalui pembangunan plot coba (demplot Agroforestry). -
Pola Hutan Tanaman Campuran/Hutan Serbaguna. Pada pola ini beberapa jenis pohon, jenis kayu-kayuan untuk pertukangan dan
jenis MPTS dapat ditanam secara bercampur disesuaikan dengan kondisi lapangan, lebar tajuk dan kebutuhan akan cahaya dari masing-masing jenis yang dipilih. Pola ini cukup baik untuk diterapkan pada penutupan semak belukar, dan atau alang-alang. Kombinasi tanaman dapat dilakukan sesuai keinginan dan tujuan penekanan yang diinginkan. Perbandingan antara kayu-kayuan dan jenis MPTS dapat dipilih antara lain : 70% :30%, 50% : 40%, 50% : 50% dan seterusnya. Model kebun campuran ini adalah mengkombinasikan tanaman kayu-kayuan, MPTS, dan tanaman semusim. Untuk lahan dengan tutupan alang-alang, dapat dikembangkan pola berikut: -
Pola Hutan Tanaman Penghasil Kayu dan Buah Pola ini sesuai dilaksanakan pada areal alang-alang dan tanah kosong untuk meningkatkan produktifitasnya dengan menanam tanaman MPTS
yang
bermanfaat bagi penduduk. -
Hutan Tanaman Kayu Pertukangan Hutan tanaman kayu pertukangan diarahkan pada areal semak belukar, alang-
alang dan tanah kosong pada kawasan hutan atau lahan milik. Jenis yang dikembangkan adalah jenis kayu yang disenangi oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan kayu pertukangan seperti, jati, suren, pinus, mahoni, uru, johar, dll. Tanaman kayu-kayuan ditanam pada jalur tersendiri dan tanaman MPTS ditanam pada jalur tersendiri pula, sehingga terbentuk sabuk-sabuk yang mengikuti kontur. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 29
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Luas lahan dan hutan yang perlu di rehabilitasi di Kabupaten Luwu Timur, mencapai 60.122 ha, yang terdiri dari 3.981 pada kawasan hutan dan 56.141 di luar kawasan hutan (APL). Rincian luas lahan dan hutan yang perlu di rehabilitasi pada setiap tipe kawasan hutan pada masing-masing kecamatan diuraikan berikut ini. 1. Kecamatan Angkona Kecamatan Angkona mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 5.936 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan
serta
konservasi
tanah
pada
areal
penggunaan
lain.Padaareal
penggunaanlain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 3.165 ha, Cagar Alam 233, Hutan Lindung 128 ha, Hutan Produksi 1.079, serta Hutan Produksi terbatas sebesar 1.331 ha, dengan prioritas pelaksanaan pada umumnya berada pada prioritas 1 dan 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Angkona diperlihatkan pada tabel berikut. Tabel 4.7. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan Kecamatan Angkona No. 1. 2. 3. 4. 5.
FUNGSI KAWASAN HUTAN Areal Penggunaan Lain Cagar Alam Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Total Luas
Skala Perioritas 1 2 33 3.132 233 128 27 1.052 2 1.329 62 5.874
Total Area 3.165 233 128 1.079 1.331 5.936
Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
2. Kecamatan Burau Kecamatan Burau mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 8.635 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 2.871 ha, Hutan Lindung 952 ha, Hutan Produksi Konvaersi 4.574 ha dan Kawasan Lindung sebesar 235 ha, dengan prioritas pelaksanaan hanya pada prioritas 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Burau diperlihatkan pada tabel berikut.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 30
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Tabel 4.8. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan di Kecamatan Burau No. 1. 2. 3. 4.
FUNGSI KAWASAN HUTAN Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Konversi Kawasan Lindung
Total Luas Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
Skala Perioritas 1 2 2.871 952 4.574 235 8.635
Total Area 2.871 952 4.574 235 8.635
3. Kecamatan Kalaena Kecamatan Kalaena mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 76 ha, dan hanya pada Areal Penggunaan Lain pada skala prioritas 2, seperti diperlihatkan pada tabel berikut. Tabel 4.9. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi Pada Areal Penggunaan Lain di Kecamatan Kalaena No. 1.
FUNGSI KAWASAN HUTAN Areal Penggunaan Lain
Total Luas Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
Skala Perioritas 1 2 76 76
Total Area 76 76
4. Kecamatan Malili Kecamatan Malili mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 4.753 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 2.971 ha, Cagar Alam seluas 286 ha, Hutan Lindung 575 ha, Hutan Produksi 631 ha serta Hutan Produksi Terbatas sebesar 631 ha, yang umumnya pada skala prioritas 1 - 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Malili diperlihatkan pada tabel berikut. Tabel 4.10. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan Kecamatan Malili. No. 1. 2. 3. 4. 5.
FUNGSI KAWASAN HUTAN Areal Penggunaan Lain Cagar Alam Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas
Total Luas Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
Skala Perioritas 1 2 42 2.929 286 575 289 121 510 173 4.580
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
Total Area 2.971 286 575 289 631 4.753
IV - 31
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
5. Kecamatan Mangkutana Kecamatan Mangkutana mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 10.080 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 5.344 ha, Cagar Alam seluas 139 ha,
Hutan Lindung 1.398 ha, Hutan Produksi 208 ha serta Hutan Produksi
Konversi sebesar 2.991 ha, dengan skala prioritas pelaksanaan 1 - 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Mangkutana diperlihatkan pada tabel berikut. Tabel 4.11. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan Kecamatan Mangkutana No. 1. 2. 3. 4. 5.
FUNGSI KAWASAN HUTAN Areal Penggunaan Lain Cagar Alam Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Konversi
Total Luas Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
Skala Perioritas 1 2 60 5.284 139 1.398 208 2.991 60 10.020
Total Area 5.344 139 1.398 208 2.991 10.080
6. Kecamatan Nuha Kecamatan Nuha mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 7.723 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 2.489 ha, Cagar Alam seluas 914 ha, Hutan Lindung 4.241 ha, Hutan Produksi Terbatas 32 ha serta Taman Wisata Alam sebesar 25 ha, dengan skala prioritas pelaksanaan 1 - 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Nuha diperlihatkan pada tabel berikut. Tabel 4.12. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan Kecamatan Nuha No. 1. 2. 3. 4. 5.
FUNGSI KAWASAN HUTAN Areal Penggunaan Lain Cagar Alam Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Taman Wisata Alam
Total Luas Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
Skala Perioritas 1 2 855 1.634 914 719 3.522 32 25 1.604 6.119
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
Total Area 2.489 914 4.241 32 25 7.723
IV - 32
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
7. Kecamatan Tomoni Kecamatan Tomoni mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 3.279 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 890 ha, Hutan Lindung 103 ha, Hutan Produksi 219 ha serta Hutan Produksi Konversi sebesar 2.067 ha, dengan skala prioritas pelaksanaan 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Tomoni diperlihatkan pada tabel berikut. Tabel 4.13. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan Kecamatan Tomoni No. 1. 2. 3. 4.
FUNGSI KAWASAN HUTAN Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Konversi
Total Luas Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
Skala Perioritas 1 2 890 103 219 2.067 3.277
Total Area 890 103 219 2.067 3.279
8. Kecamatan Tomoni Timur Kecamatan Tomoni Timur mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 386 ha, dan hanya pada Areal Penggunaan Lain pada skala prioritas 2, seperti diperlihatkan pada tabel berikut. Tabel 4.14. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi Pada Areal Penggunaan Lain Kecamatan Tomoni Timur No. 1.
FUNGSI KAWASAN HUTAN Areal Penggunaan Lain
Total Luas Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
Skala Perioritas 1 2 386 386
Total Area 386 386
9. Kecamatan Towuti Kecamatan Towuti mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 9.111 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 5.134 ha, Hutan Lindung 3.618 ha, serta Hutan Produksi Terbatas sebesar 293 ha,
dengan skala prioritas
pelaksanaan 1 - 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Towuti diperlihatkan pada tabel berikut. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 33
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Tabel 4.15. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi Pada Areal Penggunaan Lain di Kecamatan Towuti. No. 1. 2. 3.
FUNGSI KAWASAN HUTAN Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas
Total Luas Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
Skala Perioritas 1 2 63 5.071 1.277 2.341 41 252 1.392 7.719
Total Area 5.134 3.618 293 9.111
10. Kecamatan Wasuponda Kecamatan Wasuponda mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 10.142 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 4.952 ha, Cagar Alam 223 ha, Hutan Lindung 1.987 ha, Hutan Produksi 293 serta Hutan Produksi Terbatas sebesar 2.673 ha, dengan skala prioritas pelaksanaan 1 - 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Wasuponda diperlihatkan pada tabel berikut. Tabel 4.16. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi Pada Areal Penggunaan Lain di Kecamatan Wasuponda No. 1. 2. 3. 4. 5.
FUNGSI KAWASAN HUTAN Areal Penggunaan Lain Cagar Alam Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas
Total Luas Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
Skala Perioritas 1 2 415 4.537 223 54 1.933 293 193 2.480 688 9.454
Total Area 4.952 223 1.987 293 2.673 10.142
4.2.2. Kawasan Peruntukan Pertanian Rencana pengembangan pertanian padi sawah dan padi ladang dilakukan di seluruh kecamatan di Kabupaten Luwu Timur, terutama untuk kegiatan pertanian dengan irigasi teknis di Kecamatan Wotu, Burau, Mangkutana, Tomoni, Kalaena, dan Angkona. Arahan pengembangan kawasan pertanian di Kabupaten Luwu Timur, memperhatikan beberapa hal berikut :
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 34
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
1. Definisi (1) Kawasan Pertanian/Pedesaan Berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan kawasan pertanian adalah kawasan pedesaan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. (2) Persawahan Merupakan lahan yang dominan berfungsi untuk budidaya pada dalam kondisi terhambat (basah) dengan sumber air dapat berasal dari air hujan maupun irigasi, (3) Sawah Irigasi Teknis Merupakan sawah yang memperoleh pengairan dari irigasi teknis yaitu jaringan saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian irigasi dapat diukur dengan mudah. Biasanya saluran primer (induk) dan sekunder serta tersier terpisah. Saluran primer dan sekunder serta pembangunannya dibangun dan dipelihara oleh Dinas Pengairan Pemerintah Kabupaten/Kota. 2. Dasar Hukum/Landasan Hukum
Undang-undang No.26 Tahun 2007.
Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Ketua Bappenas No. 5334/MK/9/1994.
Keputusan Menteri Agraria/Keputusan BPN No. 460 - 3346 (31-10-1994).
3. Tipologi Pertanian Menurut kesesuaian lahan, budidaya pertanian dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu:
Sawah (padi sawah)
Tanaman pangan lahan kering (seperti padi gogo, jagung, kedelai, kacang tanah, sayur-sayuran dan buah-buahan)
Tanaman keras (seperti kelapa, kelapa sawit, kakao, kopi, karet, durian, rambutan dan sebagainya).
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 35
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Gambar 4.8. Peta Paduserasi Kabupaten Luwu Timur
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 36
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Gambar 4.9. Sebaran Kawasan Hutan Produksi Kabupaten Luwu Timur
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 37
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Sedangkan khusus lahan sawah, berdasarkan sumber air dapat dibagi menjadi sawah irigasi teknis, setengah teknis, dan tadah hujan. 4. Konsep Keruangan Pendekatan ruang kegiatan pertanian mempertimbangkan pada aspek lahan, ekonomi, dan lingkungan, serta diarahkan pada penggunaan lahan yang lestari (berkelanjutan). Adapun hirarki kawasan pertanian dapat dilihat ilustrasi Tabel 4.6. a. Pemanfaatan Ruang untuk Pertanian Potensi lahan untuk penggunaan berbagai pertanian secara luas dapat dinilai melalui evaluasi kemampuan lahan. Dalam evaluasi kemampuan lahan, lahan dapat dikelompokan menjadi 8 kelas, yang didasarkan pada empat faktor, yaitu tanah, topografi, drainase, dan reaksi tanah. Tabel 4.17. Ilustrasi Hirarki Kawasan Pertanian 1. RTRW Kabupaten Hutan Produksi Pariwisata
Kawasan Lindung
Permukiman Pertanian
Industri Perikanan
2. RDK (Golongan Komoditas) Perkebunan
Pariwisata Industri Peternakan Perikanan Tanaman Pangan Lahan Basah Tanaman Pangan Lahan Kering
3. Wilayah Komoditas Sawah Iirigasi Teknis Perumahan Petani
Sawah Irigasi Setengah Teknis Gudang Pupuk Gudang dan Obat-Obatan Beras
Sawah Tadah Hujan Tempat Penggilingan Padi
b. Alokasi Ruang untuk Golongan Komoditas Secara umum komoditas pertanian dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu tanaman perkebunan/tahunan, tanaman pangan lahan kering, dan tanaman pangan lahan basah. Masing-masing mempunyai persyaratan yang berbeda. Untuk mendapatkan ruang yang cocok untuk pengembangan golongan komoditas, diperlukan prosedur evaluasi kesesuaian lahan.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 38
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
c. Alokasi Ruang Untuk Lahan Irigasi (Wilayah Komoditas) Alokasi lahan untuk irigasi merupakan suatu langkah evaluasi lahan untuk suatu penggunaan khusus bagi pengembangan sistem irigasi. Pembangunan sistem irigasi diperlukan karena sebagian lahan kekurangan air sehingga air merupakan pembatas utama bagi pengembangan pertanian. Disamping itu, pembangunan sistem irigasi sangat diperlukan untuk meningkatkan intensitas penggunaan lahan di samping meningkatkan efesiensi penggunaan air baik untuk tanaman palawija maupun padi sawah. Di dalam perencanaan irigasi ada empat persyaratan pokok yang perlu dipikirkan, yaitu letaknya, jumlah air yang tersedia, luas lahan yang dapat diairi, dan pembiayaan. Untuk keperluan evaluasi lahan irigasi diperlukan sejumlah data fisik dan kimia tanah serta sifat-sifat seperti disajikan dalam tabel berikut. Tabel 4.18. Data Tanah dan Lokasi yang Diperkirakan dalam menilai Lahan untuk Irigasi KONDISI DATA IKLIM Berupa Data: Data Curah Hujan Data Evapotranspirasi Potensial Temperatur Keragaman Musim
KONDISI TANAH Berupa Data: Tekstur dan Struktur Keadaan batu (stonisess) Kedalaman dan perakaran Konsistensi Lapisan kedap air Pengaturan horison Warna Karatan dan Glei
KONDISI DRAINASE DAN HIDROLOGI Berupa Data: Morfologi profil Muka air tanh Laju infiltrasi Data hnar air Drainase permukaan
KONDISI TOPOGRAFI DAN VEGETASI Berupa data Relief makro Relief mikro Bahaya erosi Vegetasi Accesibility Bahaya banjir
Hasil Laboratorium: Distribusi butiran Bobot isi dan porositas Kemantapanagregat Bahan organik KYK dan kejenuhan basa Daya hantar listrik HP, dll
Sumber : Hasil Analisis Tim Tahun 2009
4.2.3. Kawasan Perikanan Penangkapan ikan, pelabuhan dan pengolahan ikan dalam kajian ini dipandang sebagai satu sistem. Pendekatan satu sistem pada kegiatan perikanan tersebut disebabkan masyarakat di Kabupaten Luwu Timur sudah menyatu pada kegiatan ini, sehingga lokasi penangkapan ikan, lokasi pelabuhan (penampungan) ikan Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 39
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
dan lokasi pengolahan ikan perlu berada pada sebaran yang optimal dari perhitungan ekonomi skala masyarakat. 1. Arahan Analisis Skala Kegiatan Untuk
memperkirakan
besarnya
skala
kegiatan
perikanan
(jumlah
penangkapan ikan) perlu dilakukan pernahaman atas:
Pola penangkapan ikan sampai saat ini.
Perkiraan permintaan ikan pada masa yang akan datang. Agar dapat diperoleh informasi lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan rujukan pada data sekunder. Selanjutnya dilakukan perhitungan proyeksi dengan model regresi.
2. Arahan Analisis Kebutuhan Ruang Kegiatan Untuk memperkirakan besarnya ruang yang dibutuhkan oleh kegiatan perikanan perlu diketahui :
Komponen ruang di dalam kawasan perikanan.
Rasio kebutuhan ruang untuk setiap komponen. Untuk mendapatkan data dan informasi tersebut perlu rujukan pada laporan
atau buku mengenai kebiasaan masyarakat nelayan dan permukimannya. 3. Arahan Analisis Orientasi Lokasi Untuk dapat mengetahui orientasi lokasi perkembangan perikanan, maka perlu diketahui:
Sebaran lokasi kegiatan dan pemukiman masyarakat nelayan saat ini. Kendala alamiah fisik-ruang.
Untuk mengetahui hal tersebut perlu dimiliki peta mengenai sebaran lokasi kegiatan dan pemukiman nelayan, serta peta kondisi fisik wilayah studi.
4. Keterkaitan (jarak) dengan kegiatan lainnya Untuk dapat mengetahui keterkaitan (jarak) dengan kegiatan lainnya, maka perlu dipahami:
Kegiatan-kegiatan terkait di dalam perikanan.
Sebaran lokasi kegiatan terkait yang sudah ada.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 40
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
5. Kebutuhan Prasarana Sarana Untuk dapat mengetahui kebutuhan prasarana dan sarana menunjang perikanan diperlukan:
Perkiraan kebutuhan prasarana sarana pada tahun 2029.
Sebaran prasarana sarana yang ada saat ini. Untuk mendapatkan informasi tersebut perlu rujukan pada data sekunder dan
narasumber. Kawasan perikanan dibagi menjadi dua yaitu kawasan perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Untuk kawasan perikanan budidaya dan perikanan darat direncanakan semua kecamatan. Sedangkan untuk kawasan perikanan tangkap terdapat di perairan Teluk Bone di Kabupaten Luwu Timur yaitu di Kecamatan Malili, Wotu, Burau, dan Kecamatan Angkona. Konsepsi pengembangan infrasruktur penunjang budidaya perikanan terpadu yang diarahkan untuk menjadikan Kabupaten Luwu Timur sebagai kabupaten dengan potensi aktivitas perikanan potensil di Provinsi Sulawesi Selatan. Upaya-upaya yang ditempuh, antara lain:
Pengembangan industri kecil dan kerajinan rakyat khususnya perikanan darat dan laut menuju usaha yang semakin efisien, mampu berkembang dan mandiri serta mampu mendorong lapangan kerja baru;
Pembinaan dan bimbingan pengembangan usaha kerajinan rakyat untuk kemudahan dan interaksi yang saling menguntungkan dengan dunia usaha dan lembaga perbankan dan keuangan hubungannya dalam peningkatan modal usaha;
Pengembangan sistem informasi dan promosi hasil-hasil industri;
Pembangunan
industri
harus
tetap
memperhitungkan
prinsip-prinsip
pemanfaatan sumberdaya kini dan masa datang, sehingga orientasi perkembangan industri senantiasa dilaksanakan berdasarkan kelestarian lingkungan dan daya dukung sumberdaya yang ada;
Pemberiaan kemudahan dalam hal permodalan dan pemasaran kepada industriindustri kecil dan menengah;
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 41
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Penataan struktur industri disertai dengan penetapan kawasan pengembangan industri pada lokasi-lokasi strategis yang telah ditetapkan atau yang akan ditetapkan;
Pengembangan kawasan/zona industri yang terpadu dengan mengikutsertakan para investor dalam menamkan modalnya dalam sektor industri menengah dan besar;
Pengembangan kawasan/zona industri yang terpadu dengan tingkat kemudahan infrastruktur dan pemanfaatan transportasi moda darat dan laut;
Kebijakan
pendukung,
seperti
regulasi
dan
peraturan
lainnya
yang
mempermudah industriawan untuk berusaha secara maksimal, yang dimulai dari kemudahan perizinan, pajak dan retribusi mulai dari proses produksi serta pasca produksi. Untuk pemanfaatan kawasan perikanan darat tersebar pada semua kecamatan dapat memanfaatkan potensi lahan sekitar 3500 Ha. Potensi lahan dan produktifitas pengembangan perikanan darat di Kabupaten Luwu Timur untuk tahun 2008 hingga 2009, dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.19. Potensi , Luas Lahan, Produksi dan Produktifitas Kolam Air Tawar dan Sawah Mina padi di Kabupaten Luwu Timur Potensi Lahan (Ha)
Lahan Produktif (Ha)
Produksi (Ton)
Produktifitas (Kg/Ha)
Burau
150
49,25
15,43
691
Wotu
200
45,5
16,61
675
Mangkutana
500
114
41,95
720
Kalaena
350
58,5
22,07
748
Tomoni
300
46,43
14,67
650
Tomoni Timur
500
50
17,76
710
Angkona
250
51
17,46
663
Malili
300
97
37,34
736
Nuha
75
30,5
9,65
698
Wasuponda
75
27
9,84
707
Towuti
800
115,5
43,64
775
Jumlah 2009
3500
684,68
246,42
706,64
Jumlah 2008
3500
512
174,28
659,07
Kecamatan
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Luwu Timur, Tahun 2010
4.2.4. Kawasan Pertambangan Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 42
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Berdasarkan karateristik kondisi geologi, Kabupaten Luwu Timur mempunyai potensi sumberdaya alam khusus untuk sumberdaya mineral. Adapun potensi tersebut berupa nikel, bijih besi, marmer, batu gamping dan bahan galian industri lainnya. Keberadaan nikel di Kabupaten Luwu Timur tidak diragukan lagi. PT. Inco Tbk telah melakukan eksploitasi selama puluhan tahun dan kini banyak investor yang berniat lagi menanamkan modalnya untuk mengeksplotasi nikel dan besi tersebut termasuk PT. Citra Lampia Mandiri ini. Sedangkan Potensi Laterit Besi juga banyak dijumpai dan berasosiasi dengan laterit besi. Secara stratigrafi Laterit Besi berada pada lapisan limonit, sedangkan nikel lebih banyak ditemukan pada lapisan saprolitnya. Potensi marmer di daerah Sorowako cukup besar. Khusus untuk daerah Malindaouwe,
cadangan
marmernya
mencapai
95.559.240m3 sampai
dengan
134.820.006,3 m3 yang memungkinkan untuk di tambang, sedangkan total cadangan dari daerah ini adalah 192.600.009 m3. Marmer ini terdapat pada kompleks Melange Wasuponda (MTmw). Sementara potensi marmer lainnya belum diteliti secara detail. Marmer tersebut mempunyai tekstur yang unik yaitu Tipe A (ornamental marble), B dan C (architectural marble). Potensi marmer yang lain berasal dari batu gamping Formasi Matano (Kml), tersusun oleh bagian atas batu gamping berupa rijang radiolaria, dan batu lempung napalan, sedangkan bagian bawah terdiri dari rijang radiolaria dengan sisipan batu gamping yang semakin banyak ke bagian atas. Batu gamping pada lapisan atas umumnya berwarna putih kotor sampai kelabu, berlapis, di beberapa tempat bersifat dolomitan. Potensi lain yang terdapat di Kabupaten Luwu Timur selain nikel dan marmer adalah silika. Sumberdaya ini bukan berupa pasir tetapi dalam bentuk batuan yaitu rijang dari kompleks Melange Wasuponda (MTmw). Potensi silika ini telah dikelola untuk dimanfaatkan sebagai bahan campuran pada proses pemurnian nikel. Lebih lengkapnya jenis-jenis potensi sumberdaya mineral yang terdapat di Kabupaten Luwu Timur, berdasarkan UU No.11 Tahun 1967 (tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan) dan PP No.27 Tahun 1980 (tentang Penggolongan Bahan-Bahan Galian), adalah:
Bahan galian golongan A, yaitu batubara.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 43
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Bahan galian golongan B, meliputi: emas (Au), tembaga (Cu), seng (Zn) nikel (Ni), kromit (Cr), dan besi (Fe).
Bahan galian golongan C, meliputi: batuan beku basa-ultrabasa (gabro, peridotit, dunit, serpentinit, basal), marmer, fosfat, lempung, rijang (chert) dan serpih, talk, klorit, kuarsa, kuarsit, asbes, mika, batusabak (slate), dan sirtu (pasir-batu). Sumberdaya mineral yang sampai saat ini belum dilakukan kegiatan
penambangan (eksploitasi) karena masih berada pada tahap kegiatan ekplorasi prospeksi, meliputi batubara, tembaga, seng, kuarsa, asbes, mika, batusabak, talk, fosfat. Dengan demikian kadar dan astimasi cadangan (tereka) sangat terbatas sesuai dengan tingkat eksplorasinya. Batubara, endapan batubara ditemukan dalam bentuk lensa atau sisipan pada singkapan batulempung anggota satuan batupasir kasar (F. Larona) di Daerah Kawasule, Kecamatan Malili dengan kedudukan perlapisan N215oE/20o, dan tebal tidak kurang dari 10 cm. Kromit, hasil kajian Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral RI – Lembaga Penelitian Unhas (2003), menyimpulkan bahwa kromit di Luwu Timur juga ditemukan di Kecamatan Towuti dengan sumberdaya hipotesis (hasil penelitian tahapan prospeksi) sebesar 50.000 ton, dengan kadar Cr2O3 32,5-45,0 %. Besi, Endapan pasir besi di daerah ini berwarna hitam, ukuran pasir halussedang, komposisi mineral berat (besi dan kromit), felspar, dan kuarsa; tersebar sebagai endapan pasir pantai; berbatasan dengan singkapan batuan ultrabasa dan lapukannya dalam bentuk laterit.Lokasi singkapan besi limonit adalah di Desa Harapan, Kecamatan Malili, dan endapan pasir besi tersebar di Pantai Teluk Bone, sekitar Jalan Poros Malili-Karebbe-Sultra, Daerah Laoli, Desa Lampia, Kecamatan Malili.Pada tahun 2004 sebuah investor lokal, yaitu PT. GEMA NUSANTARA SAKTI, telah melakukan kegiatan Penyelidikan Umum endapan laterit besi di Kecamatan Malili, dengan luas wilayah 10.000 ha (Laporan Akhir “Profil Daerah dan Daya Saing Investasi Kabupaten Luwu Timur”, LP UNHAS dan BAPPEDA LUTIM, 2006). Marmer dan Batugamping, penyebaran cukup luar pada topografi kars, terdapat pada satuan batugamping dan marmer, tekstur bervariasi, komposisi kimia:
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 44
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
CaO 45,88%, MgO 8,00%, Fe2O3 0,06%, MnO 0,01%, P2O5 0,01%; dan SiO2 0,8%. Besar sumberdaya hipotetiknya adalah 544.500.000 m³. Fosfat, terdapat di Gua Panning, Gunung Batuputih,
Kecamatan Burau.
Kenampakan lapangannya berwarna coklat tua, berukuran butir halus (lempung), dan bersifat tak padu (un-consolidated). Luas sebaran endapan fosfat di daerah ini adalah 145,92 m2, dengan volume total sebesar 358,78 m3. Data laboratorium menunjukkan rata-rata berat jenis conto endapan sebesar 1,24, maka jumlah tonase endapan fosfat adalah : volume total x berat jenis = 358,78 m3 x 1,24 = 444,89 ton. Data kimia diketahui rata-rata
kandungan
P2O5
adalah
16,68%,
dengan
demikian
maka
sumberdayanyaadalah: Tonase x % P2O5 = 444,89 ton x 16,68% = 74,21 ton P2O5. Gabro, Serpentin, Peridotit dan Dunit ; bahan galian ini dapat menjadi batuan induk dari unsur-unsur yang bernilai ekonomis seperti nikel, cobal, dll. Disamping itu dapt pula sebagai bahan galian golongan c untuk keperluan bahan bangunan dan kontruksi. Kawasan peruntukan pertambangan di kabupaten Luwu Timur, sebaiknya ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut: 1)
Memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas berdasarkan peta/data geologi;
2)
Merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk pemusatan kegiatan pertambangan secara berkelanjutan;
3)
Tidak berada dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung Untuk
kepentingan
perlindungan
lingkungan,
perlu
disusun
rencana
pengelolaan kawasan pertambangan, yakni: 1)
Pengembangan kawasan pertambangan dilakukan dengan mempertimbangkan potensi bahan galian, kondisi geologi dan geohidrologi dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan;
2)
Pengelolaan kawasan bekas penambangan harus direhabilitasi/reklamasi sesuai dengan zona peruntukan yang ditetapkan dengan melakukan penimbunan tanah subur dan/atau bahan-bahan lainnya sehingga menjadi lahan yang dapat
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 45
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
digunakan kembali sebagai kawasan hijau, ataupun kegiatan budidaya lainnya dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup; 3)
Setiap kegiatan usaha pertambangan harus menyimpan dan mengamankan tanah atas (top soil) untuk keperluan rehabilitasi/reklamasi lahan bekas penambangan.
4)
Memperhatikan kelestarian lingkungan dan upaya-upaya menjaga kestabilan fungsi lahan agar jangan sampai terganggu dan berubah secara drastis.
5)
Memperhatikan
pertimbangan
faktor
ekonomi
pengembangan
dengan
mengutamakan aktivitas yang lebih menguntungkan dan bermanfaat bagi pembangunan. 6)
Memperhatikan ketersediaan cadangan sumber daya mineral agar jangan sampai di eksploitasi secara berlebihan. Sumberdaya
MIGAS
juga
mempunyai
potensi
menjanjikan,
dimana
keberadaannya didukung oleh hasil Survey Seismik perusahaan minyak Arco di Blok Teluk Bone tahun 1992 (telah diserahkan ke Pertamina). Dua lintasan seismic (Line IND-06 dan 09) dan satu sumur eksplorasi (BBA-IX) yang termasuk wilayah Kabupaten Luwu Timur menunjukkan model perangkap Hidrokarbon yang cukup ideal. Di Kabupaten Luwu Timur, terdapat 15 jenis bahan galian tambang selain nikel, yakni (1) batu bara, (2) batu gamping kristalin, (3) biji besi, (4) emas, (5) gabbro, (6) klorit, (7) kromit, (8) kwarsa, (9) marmer, (10) oksida besi, (11) pasir besi, (12) peridotit, durit dan serpentin, (13) rijang dan serpih, (14) sertu, (15) talk. Hasil analisis sebaran potensi bahan galian tambang Kabupaten Luwu Timur dengan peta kawasan lindung, menunjukkan bahwa dari 29 sebaran lokasi bahan galian tambang, hanya 26,5 % atau enam lokasi bahan galian tersebut yang berada dalam kawasan lindung, sedangkan sisahnya sebanyak 23 lokasi berada dalam kawasan budi daya. Dengan demikian ke 23 lokasi yang berada dalam kawasan budidaya, tidak ada permasalahan untuk pengembangan kegiatan pertambangannya. Sebaran jenis tambang bahan galian dalam kawasan lindung dan budi daya diperlihatkan tabel berikut. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 46
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Tabel 4.20. Sebaran jenis Bahan Galian Tambang pada Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Jenis Bahan Galian Tambang
No. 1.
Batu Bara
2. Batu Gamping Kristalin 3. Biji Besi 4. Emas 5. Gabbro 6. Klorit 7. Kromit 8. Kwarsa 9. Marmer 10. Oksida Besi 11. Pasir Besi 12. Peridotit, Dunit, Serpentin 13. Rijang dan Serpih 14. Sirtu 15. Talk Sumber : Hasil Analisis Tim Tahun 2009
Jumlah Lokasi
Sebaran Letak Lokasi Kawasan Kawasan Lindung Budidaya
1
-
1
6 1 1 1 1 1 1 2 1 1 6 2 2 2
2 1 2 1 -
4 1 1 1 1 1 1 1 5 2 2 2
Pada tabel tersebut, memperlihatkan bahwa keenam lokasi bahan galian tambang yang berada dalam kawasan lindung, terdiri dari dua lokasi bahan galian batu gamping kristalin, satu lokasi bahan galian klorit, dua lokasi bahan galian marmer, serta satu lokasi bahan galian peridotit, durit dan serpentin. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang Kehutanan, keenam lokasi yang berada dalam kawasan lindung yang berstatus hutan lindung, sebenarnya masih bisa ditambang tetapi dengan menggunakan teknik pertambangan bawah tanah. Dengan demikian, pemerintah Kabupaten Luwu Timur masih mempunyai peluang untuk memanfaatkan keempat sumber daya mineral yang berada dalam kawasan lindung tersebut. Peta sebaran lokasi bahan galian di Kabupaten Luwu Timur, diperlihatkan pada gambar berikut.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 47
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Gambar 4.10. Lokasi Sebaran Bahan Galian Tambang 4.2.5. Kawasan Pariwisata Berdasarkan hasil identifikasi potensi wilayah Kabupaten Luwu Timur pada kajian terpisah yang dinyatakan pada Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2028, Kabupaten Luwu Timur memiliki beberapa kawasan pariwisata pegunungan, alam, adat istiadat dan pesisir pantai yang dapat diandalkan. Beberapa obyek dan kawasan wisata di Kabupaten Luwu Timur, antara lain :
Wisata Bahari dan wisata pantai meliputi Wisata Pantai Lemo di Kec. Burau, Batu Menggoro di Desa Harapan Kec. Malili, dan Pesona Bawah Laut Bulu Poloe di Kecamatan Malili
Wisata Alam, antara lain Air Terjun Salu Anuang di Kec. Mangkutana, air tejun matabuntu di Kecamatan Wasuponda. Serta Air Terjun Atue di Kec. Malili
obyek wisata untuk Pendidikan yaitu Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KDHTK) seluas 731,48 Ha di Desa Puncak Indah.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 48
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Obyek wisata keagamaan.
Obyek wisata budaya.
Dengan demikian lingkup analisis utamanya adalah pada lokasi-lokasi tersebut. 1. Arahan Analisis Skala Kegiatan Untuk memperkirakan besarnya skala kegiatan pariwisata (jumlah wisata yang datang) pada kedua lokasi tersebut perlu dilakukan pemahaman atas:
Karakteristik kunjungan wisata sampai saat ini.
Perkiraan permintaan pariwisata, target kunjungan wisata nasional dan internasional pada masa yang akan datang. Agar dapat diperoleh informasi lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, maka diperlukan rujukan pada data sekunder dan pada narasumber.
2. Arahan Analisis Kebutuhan Ruang Kegiatan Untuk memperkirakan besamya ruang yang dibutuhkan oleh kegiatan pariwisata perlu diketahui :
Komponen ruang di dalam kawasan wisata.
Rasio kebutuhan ruang periwisatawan.
3. Arahan Analisis Orientasi Lokasi Untuk dapat mengetahui orientasi lokasi perkembangan pariwisata pada dua lokasi utama tersebut perlu diketahui:
Sebaran lokasi kegiatan dan konsentrasi penduduk yang sudah ada di kedua wilayah.
Kendala alamiah fisik-ruang dan sosial-ruang pada kedua wilayah.
4. Keterkaitan (jarak) dengan kegiatan lainnya Untuk dapat mengetahui keterkaitan (jarak) dengan kegiatan lainnya, maka perlu dipahami:
Kegiatan-kegiatan terkait di dalam kepariwisataan.
Sebaran lokasi kegiatan terkait yang sudah ada.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 49
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
5. Kebutuhan Prasarana Sarana Untuk dapat mengetahui kebutuhan pasarana dan sarana menunjang kepariwisataan diperlukan:
Perkiraan kebutuhan prasarana sarana hingga akhir tahun rencana 2029.
Sebaran prasarana sarana yang ada saat ini.
4.2.6. Kawasan Permukiman Kawasan perumahan adalah komponen pokok yang selalu ada dalam setiap rencana tata ruang wilayah kabupaten. Walaupun rencana rinci dari kawasan perumahan belum terlihat secara jelas dalam rencana tata ruang wilayah dengan skala 1 : 100.000 ataupun skala 1 : 50.000, namun indikasi dari alokasi untuk kawasan ini telah dituangkan dalam bentuk rencana sistem permukiman pedesaan dan perkotaan. 1. Dasar Hukum Perencanaan Kawasan Perumahan Dasar hukum yang digunakan dalam perencanaan kawasan perumahan antara lain meliputi: Undang-undang No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, terutama pada pasal 1, 3, 7, 18, 19, 23, dan 31 Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terutama pada pasal yang terkait dengan pengembangan perumahan. 2. Konsep dan Kriteria Keruangan Konsep keruangan dari perencanaan kawasan perumahan dapat dilihat pada Tabel 4.21.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 50
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Tabel 4.21. Kriteria Keruangan Perencanaan Kawasan Permukiman Kriteria
Perumahan Perdesaan
Perumahan Perkotaan
Kedekatan
Relatif dekat dengan tempat kerja
Relatif dekat dengan pusat kegiatan dan tempat kerja Baik Tersedia sumber/jaringan air bersih Untuk perumahan Bukan kaw. lindung dan irigasi teknis Tanah darat yang kurang produktif Dekat dengan prasarana/sarana umum kota Memiliki jalan penghubung ke jalan arteri primer/sekunder dan jalan kolektor primer/sekunder dalam jaringan jalan kota Kemudahan penggunaan transportasi Tidak terdapat pencemaran lingkungan hidup Perubahan bentuk lahan dan bentang alam tidak menimbulkan kerusakan lingkungan sekitarnya
Aksesibilitas Air bersih
Baik Tersedia Sumber air Untuk Perumahan Bukan kawasan lindung/irigasi teknis
Peruntukkan kawasan Kesesuaian dengan lahan sekitarnya
Lahan sesuai perumahan Perlu kawasan penyangga
Pola transportasi
Memiliki jalan penghubung ke jalan arteri primer dan atau sekunder
Pelestarian lingkungan hidup
Tidak terdapat pencemaran lingkungan hidup Tidak menimbulkan kerusakan bentang alam
Kepadatan penduduk dan bangunan rendah Jenis rumah tidak jauh berbeda dengan kawasan sekitarnya Sumber: Pedoman Pengaturan Spasial, Depdagri, 1996
Kesesuaian terhadap kondisi sosial ekonomi wilayah
Kepadatan penduduk dan bangunan tinggi
3. Kriteria Teknis Kritetia teknis perencanaan kawasan perumahan antara lain sebagai berikut:
Bebas banjir
Kemiringan lereng 0 - 15 %
Kesesuaian lahan untuk permukiman
4. Arahan Analisis Skala Kegiatan Untuk
rnemperkirakan
besarnya
skala
kegiatan
permukiman
(jumlah
penduduk) perlu dilakukan pemahaman atas:
Pola pertumbuhan perumahan/permukiman sampai saat ini
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 51
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan laju pertumbuhan penduduk permukiman. Agar dapat diperoleh informasi lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, maka diperlukan rujukan pada data sekunder. Selanjutnya dilakukan perhitungan proyeksi dengan model regresi bunga berganda. 5. Arahan Analisis Kebutuhan Ruang Kegiatan Untuk memperkirakan besarnya ruang yang dibutuhkan oleh kegiatan permukiman/perumahan perlu diketahui :
Komponen ruang di dalam kawasan permukiman
Rasio kebutuhan ruang untuk sejumlah tertentu penduduk
6. Arahan Analisis Orientasi Lokasi Perumahan/permukiman penduduk di Kabupaten Luwu Timur sebagian besar menempati kawasan perkotaan, namun sebagian berada di perdesaan. Analisis ruang kawasan perumahan/permukiman di dalam Kabupaten Luwu Timur hingga Tahun 2029 tetap perlu mempertimbangkan orientasi lokasi seperti yang ada sekarang ini, sebab masyarakat yang tinggal di perdesaan atau perkampungan perlu mendapatkan pelayanan dasar yang sama dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan. Untuk dapat mengetahui orientasi lokasi perkembangan permukiman perlu diketahui hal-hal berikut:
Kecenderungan arah perkembangan permukiman/perumahan sampai saat ini
Kendala alamiah sosial-budaya, hankam, dan fisik-ruang Untuk mengetahui hal tersebut perlu dimiliki peta mengenai sebaran lokasi
permukiman/perumahan dan besarannya secara time series, serta peta kondisi fisik wilayah studi. Di samping itu perlu pula informasi mengenai kendala sosial budaya dan hankam dalam perkembangan ruang permukiman/perumahan. 7. Keterkaitan (jarak) dengan kegiatan lainnya Untuk dapat mengetahui keterkaitan (jarak) dengan kegiatan lainnya, maka perlu dipahami :
Kegiatan-kegiatan terkait dengan kegiatan perumahan.
Sebaran lokasi kegiatan terkait yang sudah ada.
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 52
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
8. Kebutuhan Sarana dan Prasarana Untuk dapat mengetahui kebutuhan prasarana sarana menunjang perumahan diperlukan :
Perkiraan sebaran jumlah penduduk perumahan pada hingga akhir tahun perencanaan 2029.
rasio kebutuhan prasarana sarana menurut sejumlah tertentu pemukim.
Sebaran prasarana sarana yang ada saat ini. Kawasan permukiman yang akan dikembangkan di Kabupaten Luwu Timur
harus terdapat di lahan potensial yang ada di Kabupaten Luwu Timur. Kawasan permukiman ini akan menjadi konsentrasi penduduk, terutama di pusat-pusat pelayanan yang direncanakan. Secara rinci lokasi pengembangan perumahan dan permukiman di Kabupaten Luwu Timur diuraikan pada gambar 4.4. 4.2.7. Kawasan Indutri 1. Arahan Analisis Skala Kegiatan Untuk memperkirakan besamya skala kegiatan industri perlu diketahui:
Usulan perkembangan kegiatan industri (selain perikanan).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri sampai saat ini. Agar dapat diperoleh informasi lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, maka diperlukan rujukan pada data sekunder dan nara sumber. Selanjutnya dilakukan perhitungan proyeksi dengan model regresi. 2. Arahan Analisis Kebutuhan Ruang Kegiatan Untuk memperkirakan besarnya ruang yang dibutuhkan oleh kegiatan industri/ perkebunan perlu diketahui.
Angka laju perkembangan jumlah usaha industri.
Usulan pembangunan kawasan industri. Untuk mendapatkan data dan informasi tersebut perlu rujukan pada laporan
dinas perindustrian dan perdagangan. 3. Arahan Analisis Orientasi Lokasi Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 53
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Untuk dapat mengetahui orientasi lokasi perkembangan industri perlu diketahui :
Kecenderungan arah perkembangan kegiatan masyarakat saat ini.
Kendala alamiah sosial-budaya, hankam, dan fisik-ruang.
Arahan penggunaan lahan industri. Untuk mengetahui hal tersebut perlu dimiliki peta mengenai sebaran lokasi
kegiatan masyarakat, serta peta kondisi fisik wilayah studi. 4. Keterkaitan (jarak) dengan kegiatan lainnya Untuk dapat mengetahui keterkaitan (jarak) dengan kegiatan lainnya, maka perlu dipahami:
Kegiatan-kegiatan terkait dengan kegiatan industri.
Sebaran lokasi kegiatan terkait yang sudah ada. Untuk itu diperlukan peta yang memuat informasi penyebaran, lokasi kegiatan
saat ini 5. Kebutuhan Sarana dan Prasarana Untuk dapat mengetahui kebutuhan sarana dan prasarana menunjang industri diperlukan:
Perkiraan kawasan industri pada tahun 2029.
Sebaran sarana dan prasarana yang ada saat ini. Untuk mendapatkan informasi tersebut perlu rujukan pada data sekunder dan
primer di wilayah Kabupaten Luwu Timur. Mengenai Rencana Pola Ruang Kabupaten Luwu Timur tahun 2009-2029 diuraikan pada gambar 4.22. Tabel 4.22. Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya Kabupaten Luwu Timur JENIS KAWASAN
TUJUAN BUDIDAYA
RENCANA PEMANFAATAN
LOKASI
1. KAWASAN HUTAN
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 54
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
- Penataan batas kawasan hutan produksi
a. Kawasan Hutan Produksi
- Memanfaatkan hasil hutan yang eksploitasinya dapat dengan tebang pilih atau tebang habis tanam. - Memanfaatkan hasil hutan secara terbatas yang eksploitasinya hanya dapat dilakukan dengan tebang pilih dan tanam.
- Pemantauan dan pengendalian kegiatan pengusahaan hutan - Mengusahakan hutan produksi melalui HPH dan penerapan prinsip tebang pilih secara tepat pada kawasan hutan produksi - Pengawasan secara ketat pada kewajiban reboisasi dan rehabilitasi tanah pada bekas tebangan HPH - Penyelesaian masalah tumpang tindih dengan kegiatan budidaya lainnya.
- Luas kawasan hutan produksi terbatas adalah 72.052,43 hektar yang tersebar di Kecamatan Angkona, Burau, Malili, Towuti, Wasuponda dan Kecamatan Wotu. - Luas kawasan hutan produksi tetap adalah 8.613,20 hektar yang tersebar di Kecamatan Angkona, Burau, Kalaena, Mangkutana, Tomoni, dan Kecamatan Wasuponda. - Luas kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi adalah 16.902,21 hektar yang tersebar di Kecamatan Burau, Mangkutana dan Tomoni.
2. KAWASAN PERTANIAN
a. Kawasan Tanaman Pangan Lahan Basah
b. Kawasan Tanaman Pangan Lahan Kering
Pengembangan areal persawahan pada kawasan-kawasan yang sesuai menurut hasil analisis kesesuaian lahan didukung prasarana pengairan/irigasi
Mengembangkan areal tanaman lahan kering dengan memanfaatkan potensi dan kesesuaian lahan
-
Pengembangan prasarana pengairan
-
Pengendalian kagiatan lain agar tidak mengganggu kawasan pertanian yang subur
-
Perluasan areal persawahan
-
Pengembangan usaha transmigrasi untuk menunjang pengembangan kawasan pertanian tanaman pangan lahan basah
-
Perluasan areal pertanian lahan kering
-
Pemantauan dan pengendalian terhadap kegiatan perladangan berpindah
-
Pengembangan kawasan sesuai dengan kesesuaian lahan secara optimal
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
Tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Luwu Timur, kecuali Kecamatan Nuha dan Towuti dengan luas mencapai 17.312,15 hektar.
Tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Luwu Timur dengan luas mencapai 19.849,62 hektar.
IV - 55
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
c. Kawasan Tanaman Tahunan/Perkebunan
d. Kawasan Peternakan
e. Kawasan Perikanan
Mengembangkan produksi perkebunan terutama untuk komoditas utama dengan memanfaatkan potensi dan kesesuaian lahan
Mengembangkan areal peternakan atau pengembalaan dengan memanfaatkan potensi dan kesesuaian lahan
Mengambangkan produksi perikanan dengan memanfaatkan potensinya.
-
Perluasan dan peremajaan areal perkebunan
-
Pengembangan kawasan perkebunan secara optimal sesuai dengan potensi lainnya
-
Pengendalian usaha perkebunan agar tetap terjaga kelestarian lingkungannya
-
Pengembangan kawasan peternakan/pengembala an secara intensif
-
Pengendalian upaya pemanfaatan lahan pada kawasan peternakan untuk menjaga kelestarian sumber makanan bagi ternak hewan besar.
Pengembangan produksi perikanan dengan tetap menjaga kelestariannya
Tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Luwu Timur dengan luas mencapai 39.238,39 hektar.
Kawasan peternakan tersebar diseluruh kecamatan di Kabupaten Luwu Timur, dimana produksi peternakan terbesar berada di Kecamatan Malili. Kawasan perikanan tersebar di Kecamatan Burau, Wotu, Angkona dan Kec. Malili. Produksi terbesar perikanan berada di Kecamatan Malili dan Wotu.
3. KAWASAN NON PERTANIAN
a. Kawasan Permukiman Perkotaan
Mengembangkan kawasan permukiman sebagai tempat pemusatan penduduk yang ditunjang oleh penyediaan sarana dan prasarana perkotaan sesuai dengan hirarki dan fungsinya
b. Kawasan Permukiman Perdesaan
Mengembangkan kawasan permukiman perdesaan yang erat kaitannya dengan kegiatan budidaya pertanian yang lokasinya tersebar sesuai dengan potensinya.
- Penataan ruang kawasan perkotaan (RDTR, RTRK/RTBL) sesuai UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. - Penyusunan instrumen pengendalian kawasan perkotaan (zoning Regulation). - Pembangunan dan peningkatan sarana dan prasarana permukiman terutama air bersih, drainase, limbah, persampahan, listrik dan komunikasi. - Pengembangan desa-desa menjadi pusat pertumbuhan - Penyediaan sarana dan prasarana pendukung sesuai dengan fungsi dan hirarkinya. - Peningkatan prasarana perhubungan untuk aksesibilitas desa-kota,
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
Kawasan permukiman tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Luwu Timur dengan luas mencapai 6.140 hektar
IV - 56
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
c. Kawasan Pertambangan
Memanfaatkan kawasan dengan potensi bahan galian strategi bagi kegiatan eksplorasi, eksploitasi yang temasuk dalam wilayah kuasa pertambangan
wilayah dan produksi, pemasaran hasil-hasil pertanian. - Pemanfaatan dan pengendalian kagiatan pertambangan agar tidak mengganggu fungsi lindung - Pengendalian fungsi lindung dan rahabilitasi tanah pada kawasankawasan bekas kuasa pertambangan.
Kawasan pertambangan tersebar di Kecamatan Malili, Nuha, Towuti dan Wasuponda dengan luas mencapai 36.994,44 hektar Kawasan wisata terbagi menjadi:
d. Kawasan Pariwisata
Mengembangkan kawasan pusat layanan wisata melalui penyediaan sarana dan prasarana pendukung serta atraksi kesenian tradisional dan penjualan kerajinan dan cinderamata lokal.
- Penyusunan RIP Pariwisata Wilayah Kabupaten Luwu Timur - Penyusunan rencana detail dan zonasi kawasan pariwisata - Peningkatan aksesibilitas kawasan wisata - Pengembangan promosi dan manajemen wisata
- Wisata pantai di Kec. Burau dan Kec. Malili - Wisata Alam terdapat di Kec.. Burau, Nuha, Mangkutana, Kalaena, Towuti, dan Wasuponda, Kec. Malili -
Wisata budaya terdapat di Kec. Mangkutana dan Kalaena
Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 57
LAPORAN RENCANA
Revisi RTRW Kabupaten Luwu Timur 2009 - 2029
Gambar 4.11. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Luwu Timur
Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur
IV - 58