BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Dari segi model bagi hasil pada petani bawang merah di dusun Temukerep yaitu pelaksanaan bagi hasil pertanian di dusun Temukerep desa Larangan kecamatan Larangan Kabupaten Brebes dilaksanakan dengan cara lisan atau musyawarah mufakat antara para pihak, atau yang disebut dengan sistem saling percaya satu dengan yang lainnya. Terjadinya bagi hasil pertanian di desa ini dikarenakan pemilik lahan tidak
sanggup
untuk menggarap semua lahannya. Pihak
penggarap sawah menerima tawaran pekerjaan tersebut
guna
mencukupi kebutuhan ekonomi dalam keluarga. Pemilik lahan mempercayakan sepenuhnya penggarapan sawah miliknya tersebut pada petani penggarap untuk diolah guna memperoleh keuntungan bersama.
Petani penggarappun
melaksanakannya
dengan
kesungguhan hati karena adanya rasa saling percaya yang murni diantaranya. Besarnya pembagian hasil ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Apabila terjadi kerusakan maka yang menanggung kerugian akibat panen adalah kedua belah pihak tersebut. Model bagi hasil dari budidaya tanaman bawang merah di dusun Temukerep
116
117
mempunyai berbagai pembagian menurut kesepakatan bersama yang berlaku umum di masyarakat, yaitu : a. Sepersepuluh (1/10), artinya : 1 untuk pemilik dan 9 untuk penggarap karena pemilik hanya menyediakan lahannya saja, sedangkan penggarap yang menanam tanaman bawang merah, juga mengeluarkan biaya untuk pengobatan dan pemupukan serta tenaga kerja untuk merawat tanaman b. Sepersembilan (1/9), artinya : 1 untuk pemilik dan 8 untuk penggarap, menurut hasil wawancara dengan petani di dusun Temukerep model ini biasanya digunakan oleh pemilik lahan yang kaya c. Seperdelapan (1/8), artinya : 1 untuk pemilik dan 7 untuk penggarap, menurut hasil wawancara dengan petani di dusun Temukerep model ini digunakan apabila lahan yang digunakan kurang subur atau susah untuk ditanami tanaman bawang merah dan letak lahan yang lumayan jauh dari sungai ataupun sumber air lainnya. 2. Dari segi penerapan bagi hasil pada petani bawang merah ditinjau dalam hukum Islam yaitu para petani bawang merah di dusun Temukerep banyak yang memiliki lahan pertanian, namun mereka tidak ahli dalam bertani karena mereka sibuk dengan kegiatan atau pekerjaan mereka yang lain. Dari hasil wawancara, peneliti dapat menyimpulkan bahwa di dusun Temukerep itu bagi hasilnya tergolong
118
dalam sistem bagi hasil yang dinamakan mukhobaroh yaitu bibit dari penggarap, pemilik lahan hanya menyerahkan lahannya saja untuk digarap, namun ada juga yang bibit itu dari pemilik lahan atau bagi hasil dalam syari’at Islam dinamakan muzara’ah. Untuk rukun dan syarat itupun sama dengan yang diterangkan dalam hukum Islam, tapi mereka belum memahami atau mengenal istilah bagi hasil dalam syari’at Islam yang disebutkan di atas. Hal ini karena mereka merupakan masyarakat jawa yang melakukan usaha bercocok tanam atau bertani secara turun temurun dari nenek moyang mereka dahulu. Karena itu, mereka menggunakan istilah-istilah jawa dalam bagi hasilnya yaitu maro renteban yang terjadi pada bulan april sampai juni, maro ketiganan yang terjadi pada bulan juni sampai dengan agustus, maro tiba udan yang terjadi pada bulan oktober sampai desember, dan maro lerengan yang terjadi pada bulan desember sampai bulan februari. 3. Dari segi sistem keuntungan dan kerugian yang diperoleh petani bawang merah di dusun Temukerep dalam bagi hasil yaitu dalam usaha pertanian tidak selalu mendapatkan keuntungan, akan tetapi terkadang mendapatkan kerugian seperti halnya gagal panen. Di dusun Temukerep juga pernah mengalami gagal panen yang disebabkan oleh hama ataupun oleh kondisi alam (musim). Apabila panen
gagal,
pembagian bagi hasil pertanian dengan cara hasil panen dikurangi biaya yang telah dikeluarkan pemilik lahan, kemudian sisanya
119
baru dibagi dua dengan penggarap lahan. Pembagian hasil atau kerugian seperti ini, terjadi pada model bagi hasil tani bagi bawang merah dengan status sewa tenaga dengan mana tercantum pada sub A bab IV. Sedangkan
apabila
panen menggalami
gagal
total,
terkadang
pemilik lahan memberikan semua uang hasil panen ke penggarap sawah karena uang yang dihasilkan terlalu sedikit. Pembagian hasil atau kerugian seperti ini, terjadi pada model bagi hasil tani bawang merah dengan status sewa lahan, sebagaimana tersebut pada sub A bab IV. Dalam pelaksananan bagi hasil usaha tani bawang merah di dusun Temukerep banyak hambatan-hambatan, semua hambatan tersebut dapat teratasi atas sikap dan kelapangdadaan setiap masing-masing pihak. Hambatan-hambatan seperti tidak terlaksananya undangundang
bagi
hasil,
ingkar
janji,
selisih
hasil
panen, dan
ketidakcocokan yang telah mereka sepakati dalam perjanjian lisan akan ditindak secara kekeluargaan. Pada waktu pemilik ataupun penggarap merasa ada kecurangan yang dilakukan, maka mereka memilih untuk memberhentikan pelaksanaan kerja sama bagi hasil pertanian tersebut. Antara pemilik dan penggarap biasanya menganggap mereka sudah tidak cocok sehingga terpaksa melakukan penghentian pelaksanaan kerja sama tersebut. Pihak pemilik
secara otomatis melemparkan
120
pekerjaan ke penggarap
lahan
lain guna meneruskan pengerjaan
lahannya, sedangkan pihak penggarap sendiri sudah tidak bertanggung jawab atas lahan pemilik lahan. Hambatan dalam kegagalan panen pertanian lahan biasanya diselesaikan secara kekeluargaan. Dalam hal ini, biasanya hasil panen tidak menutup biaya operasional yang
telah
dikelurkan
oleh
penggarap.
Penggarap
merasa
mendapat kerugian karena modal yang telah dikeluarkan dalam bagi hasil usaha bawang merah ini cukuplah besar. Untuk mengatasi masalah ini, setelah hasil panen dijual biasanya penggarap meminta modal dikembalikan dahulu, kemudian sisanya baru dibagi dua. B. Saran 1. Sebaiknya perjanjian pelaksanaan bagi hasil di dusun Temukerep desa Larangan kecamatan Larangan kabupaten Brebes jangan dilakukan dalam bentuk lisan, melainkan dalam bentuk tertulis agar mempunyai kekuatan hukum jangan hanya dengan asas kepercayaan atau kekeluargaan. 2. Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bagi hasil dalam syari’at Islam atau hukum Islam, sebaiknya perangkat dusun Temukerep atau kepala dusun bekerjasama dengan pihak Kecamatan Larangan dan Dinas Pertanian dan Holtikultura kabupaten Brebes untuk lebih banyak lagi mengadakan penyuluhan arahan tentang halhal yang berkaitan dengan bagi hasil dalam hukum Islam sehingga masyarakat lebih tau tentang itu, agar sesuai dengan al-qur’an dan
121
hadist. Karena mayoritas masyarakat dusun Temukerep beragama Islam. C. Penutup Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah peneliti tetapkan, penulisan skripsi tentang “ Tinjauan Hukum Islam dalam Bagi Hasil Pada Peani Bawang Merah di Dusun Temukerep desa Larangan kecamatan Larangan kabupaten Brebes”. Peneliti menyadari bahwa penyusunan serta penulisan skripsi masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saransaran serta kritikan-kritikan yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya kami ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya, serta bagi para pembaca umumnya.