BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan Film Senyap mengungkapkan bahwa komunis merupakan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi saat peristiwa pemberantasan komunis 1965 yang dampaknya masih terasa hingga masa sekarang sehingga membutuhkan adanya tindakan rekonsiliasasi sesegera mungkin. Hal yang menarik dan membedakan film Senyap dengan film-film sejenis mengenai peristiwa 1965 adalah keberanian film Senyap dalam menyajikan pernyataan dari para pelaku pemberantasan dengan menyebutkan nama dan diperlihatkan wajah mereka dengan jelas. Adegan reka ulang merupakan salah satu poin penting yang menjelaskan secara visual dan verbal bahwa kekejaman benar-benar terjadi dalam proses penumpasan komunisme di Indonesia. Tetapi, hal paling bernilai sekaligus mengejutkan adalah keberanian Adi Rukun sebagai karakter utama untuk bertemu dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam kepada para pelaku pemberantasan yang memiliki kekuasaan. Melalui analisis wacana visual dan verbal yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa wacana pelanggaran HAM tersebut disajikan dengan mengungkap beberapa hal yang berkaitan. Pertama, mengungkap tindakan kejahatan kemanusiaan terhadap komunis. Tindakan kejahatan ini berupa pembunuhan, pemerkosaan dan perampokan terhadap masyarakat yang tertuduh sebagai komunis. Kedua, mengungkap kondisi penyintas dan keluarga komunis yang terbunuh pasca peristiwa 1965. Ditunjukkan adanya tindakan diskriminasi terhadap keluarga komunis yaitu tidak mendapatkan kesempatan bekerja di sektor pemerintahan, sehingga berdampak pada kondisi perekonomian keluarga korban mengalami kesulitan ekonomi. Selain itu, diperlihatkan juga interaksi antara penyintas dan keluarga komunis dengan pelaku pemberantasan mengalami kerenggangan. Kerenggangan ini juga disebabkan karena keluarga korban menginginkan agar para pelaku pemberantasan mendapatkan balasan atas tindakannya. Tetapi, disisi lain mereka (termasuk penyintas) tidak mau
162
mengungkit peristiwa pemberantasan karena tidak mau mendapatkan masalah. Mereka tidak memiliki daya untuk mendapatkan harapannya. Padahal, keluarga korban pemberantasan komunis masih terluka. Ketiga, mengungkap kondisi pelaku dan keluarga pelaku setelah peristiwa 1965. Ditunjukkan bagaimana kebanggaan para pelaku pemberantasan yang merasa bahwa tindakan memberantas komunis adalah hebat dan heroik. Sikap bangga ini juga didukung oleh adanya impunitas yang melindungi para pelaku pemberantasan. Ditunjukkan juga bahwa para pelaku tidak terbuka terhadap keluarga pelaku mengenai tindakannya dalam peristiwa pemberantasan komunis. Atas semua kebanggaan, sikap menutupi perbuatan yang mereka lakukan, serta adanya impunitas yang melindung mereka, pada akhirnya diperlihatkan bahwa sebenarnya pelaku merasa bersalah atas pemberantasan komunis. Meskipun pelaku merasa bersalah, tidak semua keluarga pelaku pemberantasan bisa bersikap terbuka, menerima dan membangun hubungan baik dengan keluarga korban pemberantasan. Keempat, mengungkap identitas komunis. Selama ini komunis lekat dengan stigmatisasi dan labeling yang membentuk identitas mereka sehingga mendapatkan perlakuan-perlakuan tidak adil dalam kehidupan sehari-hari. Ditunjukkan
bahwa
komunis
adalah
kelompok
yang
kejam,
pelaku
pemberontakan 30 September 1965 dan membunuh para jenderal. Selain itu, komunis juga dianggap sebagai kelompok yang tidak beragama. Padahal, masyarakat (baik yang terlibat dalam pemberantasan komunis ataupun tidak) tidak mengetahui secara pasti identitas komunis dan tindakan yang dilakukan dalam pergerakan politiknya. Pada akhirnya, ditunjukkan bahwa identitas komunis adalah bentukan dari propaganda pemerintah. Kelima, mengungkap pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa pemberantasan komunis. Ditunjukkan bahwa terdapat keterlibatan militer (Angkatan Darat) dan Jenderal Soeharto dalam peristiwa G30S yang kemudian berujung pada pemberantasan komunis. Pembantaian para komunis ini juga didukung oleh Amerika. Selain itu, organisasi Pemuda Pancasila dan kelompok masyarakat yang merupakan umat Muslim juga berperan dalam pemberantasan ini.
163
Keenam, mengungkap kebutuhan rekonsiliasi yang menjadi tujuan akhir dari pengungkapan wacana pelanggaran HAM yang disajikan dalam film Senyap. Rekonsiliasi dibutuhkan karena adanya ketegangan hubungan antara keluarga komunis dan pelaku pemberantasan komunis. Sikap pemerintah pun masih mengecam dan membenci komunis serta pergerakannya. Selain itu, terdapat impunitas terhadap pelaku pemberantasan. Kendala juga terdapat dalam upaya menjalin hubungan baik antara penyintas, keluarga komunis dan pelaku pemberantasan komunis beserta keluarga. Dalam mengungkapkan wacana pelanggaran HAM tersebut, berbagai strategi dilakukan untuk memberikan kesan yang kuat dalam film Senyap. Penyajian shot-shot yang memperlihatkan ekspresi, situasi dan kondisi dilakukan untuk memperkuat kebenaran yang dihadirkan. Setting, lighting, rhythm editing, dan sound yang menyajikan suara dengan jelas menjadi bagian dari strategi yang disusun secara teknis sinematik yang memperkuat sifat realistis film dokumenter. Penyajian gambar yang dramatis dan disturbing membangun mood yang mampu mengarahkan penonton untuk turut merasa terbawa ke dalam kondisi yang memprihatikan sehingga tercipta kesepahaman yang melahirkan opini sesuai tujuan film ini diproduksi, yaitu komunis merupakan korban kejahatan kemanusiaan yang perlu dikembalikan haknya dengan cara rekonsiliasi. Dalam menyajikan film Senyap, terdapat kuasa yang membentuk kebenaran dalam konten film. Joshua Oppenheimer merupakan sutradara yang berpengalaman dalam memproduksi film dokumenter. Senyap merupakan film dengan tema yang ia minati yaitu bidang kemanusiaan. Pengaruh eksekutif produser juga tampak jelas dalam relasi kuasa yang membentuk wacana pelanggaran HAM yang ditampilkan. Werner Herzog, Errol Morris dan Andre Singer adalah sutradara dan produser yang telah memiliki banyak pengalaman dalam memproduksi film dokumenter. Mereka berpengalaman memproduksi film dokumenter tentang ketidakadilan kemanusiaan dengan cara penyajian yang ekstrem, disturbing, persuasif dan juga provokatif. Praktik kuasa juga dilakukan oleh ko-sutradara dan tim anonim yang merupakan
warga
Indonesia.
Mereka
memiliki
kuasa
dengan
adanya
164
“kelonggaran” karena penggunaan kata anonim melindungi identitas diri mereka. Mereka bekerja tanpa tekanan dan ketakutan atas ketidakamanan kelangsungan hidup mereka setelah film Senyap ditonton oleh khalayak luas. Tim anonim dapat dengan leluasa mengungkap wacana pelanggaran HAM dalam film ini dengan menggambarkan ‘fakta’ yang ingin mereka sajikan dalam film Senyap. Mereka melakukan perlawanan atas pemerintah khususnya Orde Baru dengan segala wacana dan stigma yang dilekatkan kepada kelompok komunis. Penggunaan nama anonim memberikan kuasa yang besar karena mereka dapat mengkonstruksi film untuk membentuk propaganda tandingan setelah sekian lama terbungkam oleh propaganda pemerintah melalui berbagai media salah satunya film Pengkhianatan G30S yang memberikan dampak yang sangat besar. Film Senyap dapat disebut sebagai film propaganda setidaknya berdasarkan tiga hal. Pertama, film Senyap menyajikan fakta yang timpang. Fakta-fakta yang disajikan dalam film Senyap tidak menyeluruh dari berbagai sudut pandang, memberikan porsi yang lebih besar kepada penyintas dan keluarga (eks) komunis, sehingga cenderung memihak kepada (eks) komunis. Kedua, film Senyap melakukan rekonstruksi historis. Melalui informasi-informasi yang diberikan, film Senyap mencoba memberikan kebenaran baru mengenai sejarah Indonesia. Ketiga, film Senyap menyudutkan kelompok tertentu sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa pemberantasan komunis tahun 1965. Film propaganda memang biasanya dihadirkan dalam bentuk dokumenter untuk meyakinkan penonton terhadap sudut pandang politik tertentu. Terlepas dari benar atau tidaknya fakta-fakta yang disajikan dalam film Senyap, sajian yang diberikan mengarahkan penonton untuk mempercayai wacana yang diangkat dengan tidak memberikan akses informasi yang menyeluruh yang dapat menjadi pertimbangan penilaian penonton. Film Senyap yang merupakan film dokumenter bertujuan untuk mengungkap wacana pelanggaran HAM terhadap komunis pada peristiwa pemberantasan 1965 tidak memberikan informasi atau pengetahuan yang menyeluruh dari berbagai aspek salah satunya mengapa kelompok komunis diberantas. Informasi hanya didapatkan dari keterangan yang diperoleh oleh
165
pelaku pemberantasan. Meskipun bersifat dokumenter yang menyajikan realita, namun pengungkapan kebenaran dalam film Senyap hanya dilihat dari satu sisi sehingga dapat berkecenderungan kepada satu pihak. Hal ini menunjukkan bahwa film Senyap telah dikonstruksikan agar sesuai dengan tujuan untuk mengungkap wacana pelanggaran HAM yang menyatakan bahwa komunis adalah korban dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh berbagai pihak terlibat. Salah satu bentuk dari konstruksi kebenaran tersebut adalah dengan menampilkan beberapa pihak yang dianggap bertanggungjawab atas pemberantasan yang menimbulkan banyak korban jiwa. Tetapi sayangnya, dengan hanya menampilkan pihak-pihak tertentu saja, seperti masyarakat umat Muslim, organisasi Pemuda Pancasila, Angkatan Darat dan Soeharto, justru dapat bertendensi menyudutkan dan mengakibatkan adanya respon yang menimbulkan pergolakan di masyarakat. Selain itu, adanya adegan-adegan yang menunjukkan bahwa keluarga komunis yang menjadi korban pemberantasan masih menyimpan kebencian dan dendam dapat menimbulkan kecurigaan dari kalangan tertentu bahwa komunis masih melakukan pergerakan atau setidaknya pembelaan dengan bantuan media yang dipaparkan kepada masyarakat luas secara masif yaitu film Senyap itu sendiri. Perubahan sosial tampak pada wacana identitas komunis yang kemudian berkaitan dengan wacana pelanggaran HAM terhadap komunis. Jika pada jaman Pemerintah Orde Baru identitas komunis selalu yang dilekatkan dengan kekejaman dan pemberontak, setelah pergantian pemerintahan mulai muncul pengetahuan dan perubahan yang menunjukkan adanya kebenaran dari sisi lain yaitu kelompok keluarga komunis melalui berbagai media massa. Tetapi, upayaupaya tersebut tidak cukup menarik perhatian pemerintah dan masyarakat luas untuk peduli pada kondisi penyintas maupun keluarga komunis. Hingga akhirnya munculnya film Senyap menjadi tonggak awal reaksi dan tindakan nyata dari masyarakat dan pemerintah dalam melakukan segala upaya yang berkaitan dengan kasus ini meskipun belum terdapat penyelesaian dan tindakan rekonsiliasi. Upaya kepedulian kemanusiaan untuk melakukan perbaikan kondisi masyarakat agar terjadi rekonsiliasi memang merupakan tindakan mulia yang patut dihargai. Tetapi, film Senyap terdapat kekurangan-kekurangan dalam
166
menyajikan kebenaran dan cara penyajiannya dapat mengadu domba berbagai pihak yang menimbulkan pergolakan di masyarakat. Film Senyap yang menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan ini pada akhirnya menyisakan permasalahan-permasalahan baru yang justru mempersulit adanya proses rekonsiliasi karena berbagai pihak khususnya pemerintah semakin enggan untuk memberikan tanggapan dan tindakan mengenai kasus ini. Untuk memulihkan kondisi masyarakat dan pemerintahan yang tegang dan saling berseberangan atas peristiwa pemberantasan komunis serta dampak-dampak yang ditimbulkan, dibutuhkan adanya pelurusan sejarah, pengakuan (kesalahan) dari berbagai pihak, tindakan saling memaafkan dan pengembalian hak asasi manusia yang selama ini tidak diberikan selayaknya. Tetapi, atas penyampaian wacana pelanggaran HAM oleh film Senyap yang timpang dan mengakibatkan pergolakan masyarakat dan pemerintah, baik disengaja ataupun tidak disengaja, dibutuhkan adanya tanggung jawab dari para pembuat film secara langsung ataupun tidak langsung.
2. Saran Penelitian Penelitian ini merupakan pembongkaran wacana pelanggaran HAM pada peristiwa pemberantasan komunis 1965 yang menggunakan penggabungan metode analisis wacana visual Gillian Rose dan metode Norman Fairclough, baik verbal maupun visual agar dapat menghasilkan temuan analisis yang tajam dan menyeluruh. Sebagai upaya pengembangan studi, peneliti menyarankan agar penelitian tentang film Senyap dapat dikaji dari aspek lain. Misalnya, kajian yang menyorot kepada penggambaran kondisi politik pemerintahan Indonesia dari aspek lain salah satunya konteks historis. Selain itu, terdapat juga adegan-adegan yang disajikan secara simbolis sehingga penelitian yang berfokus pada metode semiotika dibutuhkan untuk memperluas penelitian mengenai penggambaran kondisi masyarakat dan pemerintahan Indonesia yang diungkap oleh kacamata orang asing. Sehingga, penelitian mengenai representasi kondisi negara Indonesia yang digambarkan oleh produksi asing dapat menjadi temuan yang menarik dan bermanfaat bagi aspek sosial budaya dan politik pemerintahan Indonesia.
167