BAB IV ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN
A. Analisis Model Bagi Hasil Pada Petani Bawang Merah di Dusun Temukerep Desa Larangan Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes Proses bagi hasil tidak lepas dengan yang namanya kerja sama, atau dalam syari’at Islam dinamakan syirkah. Definisi syirkah menurut Idris Ahmad sebagaimana yang dikutip oleh Hendi Suhendi, ialah Dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam usaha, dengan menyerahkan modal masing-masing, di mana keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masingmasing.1 Dalam usaha tani merah bawang merah di dusun Temukerep adalah para petani bekerja sama dalam bagi hasil pada tanaman bawang merah, dalam istilah ekonomi bagi hasil juga disebut profit and loss sharing. Sistem profit and loss sharing (bagi hasil) adalah suatu kerja sama antara dua pihak dalam menjalankan usaha. Pihak pertama, yaitu pemodal (shohibul mal) yang memiliki andil dalam bentuk pendanaan baik berupa modal kerja saja atau modal secara keseluruhan. Sementara itu, pihak kedua adalah pengusaha (penggarap) yang memiliki andil dalam bentuk keahlian, kentrampilan, sarana, dan waktu untuk pengelolaan usaha. Kedua belah pihak berhak atas hasil usaha yang mereka kerjakan. Karena
1
Suhendi Hendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 125
97
98
tidak ada yang dapat memastikan jumlah keuntungan yang akan diperoleh dari suatu usaha, pembagian hasil usaha tersebut ditetapkan dalam bentuk persentase bagi hasil dari keuntungan yang didapat, bukan atas besar dana yang diinvestasikan.2 Dalam pertanian,model bagi hasil masih bertahan, tetapi ada kecenderungan menurun. Bagi hasil yang masih banyak di gunakan adalah antara pemodal atau pemilik tanah dengan tenaga kerja saat panen. Selain itu, masih ada (walau sudah sangat jarang) pemilik lahan yang menyerahkan pengelolaan lahannya kepada mitranya dengan hanya dilandasi oleh rasa saling percaya. Biasanya antara pemilik dengan mitranya mempunyai tanggung jawab yang sudah ditentukan berdasarkan kesepakatan yang berlaku. Adapun model-model bagi hasil yang lazim dilakukan adalah sebagai berikut:3 1. Bagi hasil dengan tenaga kerja (penggarap lahan) saat panen Sistem ini biasanya dikenal dengan istilah bawon atau maro. Ketika panen, pemilik lahan bekerja sama dengan buruh tani dan hasilnya dibagi. Adapun pola bagi hasilnya bervariasi yaitu 1:4, 1:7, 1:8, 1:9, 1:10, 3:7. Bagi hasil gabah atau tanaman hasil panen antara pemilik lahan dengan mitra kerja umumnya. Artinya bagi hasil yang dilakukan didasarkan pada keuntungan bersih yang didapat ketika panen.
2
Yaumiddin, Umi karomah., Usaha Bagi Hasil Antara Teori dan Praktik, (Sidoarjo: Kreasi Kencana. 2010). Hlm 22 3 Ibid., hlm 23
99
2. Seperempat Keuntungan panen dibagi empat, yaitu 3 bagian diserahkan kepada pemilik lahan dan mitra mendapatkan 1 bagian. 3. Sepertiga Bagi hasil dengan nisbah 2:1, pemilik lahan bertanggung jawab terhadap satu kali pemupukan dan pembibitan, sementara mitra bertanggungjawab atas pemupukan selanjutmya dan pembajakan, obat, ngurit dan pengairan. Begitu pula di dusun Temukerep desa Larangan kecamatan Larangan kabupaten Brebes dengan luas wilayah 59,8 km2 yang diantaranya merupakan lahan pertanian yang menyebabkan mayoritas masyarakat di dusun tersebut bekerja sebagai petani, dari petani padi, palawija maupun holtikultura. Namun sebagian masyarakat di dusun ini, memilih menanam tanaman holtikultura yaitu bawang merah karena tanaman bawang merah sangat cocok dibudidayakan di dusun tersebut. Selain itu, mereka paling ahli dalam bercocok tanam dalam tanaman bawang merah ini. Para petani di desa ini pun banyak yang menggunakan sistem bagi hasil. Hal ini, karena sebagian masyarakat di dusun ini tidak mempunyai sawah ladang yang luas. Sementara itu, untuk menanam bawang merah dibutuhkan lahan yang luas untuk hasil yang lumayan ketika bagi hasil nanti. Model bagi hasil dari budidaya tanaman bawang merah di dusun Temukerep mempunyai berbagai pembagian menurut kesepakatan bersama yang berlaku umum di masyarakat, yaitu :
100
a) Sepersepuluh (1/10), artinya : 1 untuk pemilik dan 9 untuk penggarap karena pemilik hanya menyediakan tanahnya saja, sedangkan penggarap yang menanam tanaman bawang merah, juga mengeluarkan biaya untuk pengobatan dan pemupukan serta tenaga kerja untuk merawat tanaman b) Sepersembilan (1/9), artinya : 1 untuk pemilik dan 8 untuk penggarap, menurut hasil wawancara dengan petani di dusun Temukerep model ini biasanya digunakan oleh pemilik lahan yang kaya c) Seperdelapan (1/8), artinya : 1 untuk pemilik dan 7 untuk penggarap, menurut hasil wawancara dengan petani di dusun Temukerep model ini digunakan apabila lahan yang digunakan kurang subur atau susah untuk ditanami tanaman bawang merah dan letak lahan yang lumayan jauh dari sungai ataupun sumber air lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh bapak Sujono ketua kelompok tani dari Rt 04 Rw 10 :4 “ Dalam bagi hasil yang saya lakukan salama ini adalah 1: 10 de, karena pemilik tanah hanya menyediakan tanahnya saja, sisanya yaitu bibit dan tenaga kerja serta untuk biaya penanaman saya.” Pembagian hasil dari budidaya tanaman bawang merah
ini
sendiri
mempunyai masa tanam dalam 1 (satu) tahun atau dalam istilah jawa yang biasa masyarakat dusun Temukerep gunakan, yang terdiri dari:
4
Dok., Wawancara dengan Sujono, penggarap sawah, pada tanggal 18 Maret 2015
101
a) Ranteban : terjadi pada bulan April-Juni Pada bulan ini curah hujan mulai berkurang, sehingga untuk sistem pengairannya sendiri menggunakan cara pengairan langsung dari
sungai
ataupun dengan cara pompanisasi. Sistem
tersebut
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air untuk pengairan lahan itu sendiri pada tanaman bawang merah dan dalam
pemupukan atau
pengobatan menggunakan insektisida. Namun untuk hasil panen pada musim ini tanaman bawang merah yang dihasilkan bagus, harga tanaman pada musim ini biasanya naik (mahal) karena pada musim ini bawang merah hasil panen tersebut dapat dijadikan bibit bawang merah nantinya, juga modal yang dikeluarkan oleh petani cukup bayak untuk pompaninisasi, pemupukan serta pengobatan yang menggunakan intektisida. b) Ketiganan: terjadi pada bulan Juli-September Pada bulan ini mempunyai curah hujan yang jarang dan memasuki pada zonasi wilayah rawan kekeringan, sehingga petani tidak mendapatkan hasil panen yang maksimal. Jadi, hasil panen yang dihasilkan tidak menentu, bisa gagal panen ataupun malah sebaliknya. Untuk pemupukan atau obat juga menggunakan insektisida. Sementara itu, pada musim ini petani yang menanam tanaman bawang merah sedikit. Mereka lebih memilih menanam sayur-sayuran seperti cabe, terong, tomat, kacang panjang dan lain-lain. Hal ini karena petani lebih mudah dalam merawat tanaman tersebut, tidak
102
membutuhkan air dan pemupukan yang cukup banyak dibandingkan dengan tanaman bawang merah. c) Tiba Udan: terjadi pada bulan Oktober-Desember Pada bulan ini curah hujan yang tinggi akan membuat tanaman tumbuh subur. Tanaman bawang merah membutuhkan air yang banyak untuk proses pertumbuhannya, petani lebih ringan pada bulan ini dikarenakan banyaknya air hujan yang turun. Sehingga tidak perlu menyiram tanaman sesering mungkin, namun pada masa ini petani harus waspada karena air hujan juga dapat memicu datangnya hama tanaman bawang jadi petani memperbanyak pengobatan pada jenis fungisida. d) Lerengan: terjadi pada bulan Januari-Maret Pada bulan inipun sama seperti pada masa tiba udan, namun air hujan yang turun tidak seperti pada masa tiba udan. Untuk pengobatan menggunakan fungisida. Tabel 1.2 Kalender Masa Tanam Bawang Merah dalam Satu Tahun
Musim
Bulan 1
Ranteban Ketiganan
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
103
Tiba Udan Lerengan
Masyarakat dusun Temukerep dalam menyebut istilah bagi hasil itu dengan istilah maro. Dan pada kenyataan yang ada, jangka waktu perjanjian bagi hasil di dusun Temukerep ini sendiri adalah 1 (satu) tahun terdiri dari 4 (tempat ) kali
masa
tanam. Apabila ingin
diteruskan setelah jangka waktu selesai, maka penggarap lahan harus mendapatkan persetujuan dulu dari pemilik
lahan. Hal
ini
juga
mempunyai alasan yang sama yaitu karena adanya kebiasaan dan rasa saling percaya. Hal-hal yang melandasi adanya kepercayaan bagi para pihak, yaitu karena mereka sudah saling kenal dalam waktu yang cukup lama, dan hidup bertetangga ataupun masih ada hubungan saudara. Dilihat dari ciri modelnyanya, sistem bagi hasil usaha tani bawang merah di dusun Temukerep dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Model bagi hasil usaha tani bawang merah dengan status sewa lahan atau tanah
104
Tabel 1.3 Model Bagi hasil dengan Status Sewa Lahan
Lahan
Bibit
Alat
Tenaga
Biaya
Pemilik lahan
v
-
-
-
-
Penggarap
-
V
v
v
v
Pada model ini jika terjadi gagal panen atau rugi, biasanya pemilik lahan menyerahkan semua hasil panen tanaman bawang merah tersebut diserahkan semuanya kepada penggarap. Hal ini karena penggarap sudah mengeluarkan banyak biaya serta bibit untuk menanam tanaman bawang merah, sedangkan pemilik hanya menyerahkan lahannya saja atau menyewakan untuk ditanami tanaman bawang merah. Serta model ini biasanya dipakai oleh masyarakat dusun Temukerep yang mempunyai lahan lebih atau biasa disebut juragan lahan ( orang kaya). 2. Model bagi hasil usaha tani bawang merah dengan status sewa tenaga (upah) Tabel 1.4 Model Bagi Hasil dengan Status Sewa Tenaga Lahan
Bibit
Alat
Tenaga
Biaya
V
V
-
-
V
-
-
v
v
-
Pemilik lahan Penggarap
105
Pada model ini jika terjadi gagal panen atau rugi, baik penggarap maupun pemilik lahan mendapatkan bagian masing-masing dari bagi hasil yang disepakati sebelumnya. Hal ini karena mereka sama-sama mengeluarkan biaya dan tenaga dalam menanam tanaman bawang merah tersebut. Selain itu, biasanya model ini digunakan oleh masyarakat dusun Temukerep yang memiliki lahan namun tidak ahli dalam menanam tanaman bawang merah ataupun tak memiliki waktu untuk mengurus tanaman bawang merah seperti pegawai negeri, pedagang, guru, karyawan swasta dan lain-lain. Namun keinginan untuk membudidayakan tanaman bawang merah sangat besar karena jika panen berhasil maka hasil
yang diperoleh untuk menambah
perekonomian keluarganya.
B. Analisis Penerapan Bagi Hasil Pada Petani Bawang Merah Ditinjau Dalam Hukum Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia telah ditemukan sistem bagi hasil di desa-desa khususnya di sektor usaha pertanian. Bagi hasil dalam
pertanian
merupakan
bentuk
pemanfaatan lahan dimana
pembagian hasil terdapat dua unsur produksi, yaitu modal dan kerja dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil lahan. Sistem yang berkembang di kehidupan masyarakat ini yang menghendaki konsep hukum Islam sebenarnya juga telah lama berakar dari budaya bangsa. Contoh yang paling menarik antara lain dalam tata cara pembagian hasil
106
atas garapan tanah pertanian. Telah lama berlalu disini sistem bawon atau baron, maro, pertelonan dll. Dimana sistem-sistem tersebut banyak kesamaannya dengan sistem bagi hasil berdasarkan prinsip Islam.5 Sistem bagi hasil di bidang pertanian dalam pandangan hukum Islam yaitu kerja sama antara pengusaha dan pemodal dalam Islam dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut: 1. Muzara’ah ( Harvest-yield profit sharing) Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi al-muzara’ah yang dikemukakan dalam fiqh. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:6
ِالزرع ِ ِِالشِركِةِِف Perserikatan dalam pertanian. Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen. Al-Muzara’ah seringkali diidentikan dengan Mukhobarah. Di antara keduanya ada sedikit perbedaan sebagai berikut:7
5
Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta : PT. Pena Budi Aksara, 2009). Hlm. 133.
6
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm 275-275 Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Kencana. 2012). Hlm 249
7
107
a. Muzara’ah: benih dari pemilik lahan b. Mukhobarah: benih dari penggarap Jumhur
ulama
yang
membolehkan
akad
muzara’ah
mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun muzara’ah menurut mereka sebagai berikut :8 a. Pemilik tanah b. Petani penggarap c. Objek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani d. Ijab dan kabul. Contoh ijab dan kabul: “Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada engkau untuk digarap dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Petani penggarap menjawab “Saya terima tanah pertanian ini untuk digarap dengan imbalan hasilnya dibagi dua, harus ada ketentuan bagi hasil. 2. Ijarah a. Pengertian Ijarah Kata ijarah diderivasi dari bentuk fi’il “ ajara-ya’juru-ajran” ajaran semakna dengan kata al’iwadh yang mempunyai arti ganti dan upah, dan juga dapat berarti sewa atau upah.9 Dalam arti luas ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu.10
8
Ghazali Abdur Rahman, Ihsan Ghofur, dkk., Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm 115-116 9 Huda Qamarul, Fiqih Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm 77 10 Karim Helmi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm 29
108
b. Landasan Syara’ Hampir semua ulama fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam Islam. Jumhur Ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan al-qur’an :11
ِ فانِارضعنِلكمِفأِت وه َّنِاجورِه َِّن Artinya: “ Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya” (QS. Thalaq : 6) c. Rukun ijarah Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada (4) empat yaitu:12 (a) Aqid ( orang yang akad) (b) Shighat akad (c) Ujroh (upah) (d) Manfaat d. Syarat ijarah Menurut jumhur ulama ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan manfaat atau objek akad ijarah yaitu:13 (a) Manfaat yang akan dijadikan objek ijarah harus diketahui dengan pasti, mulai dari bentuk, sifat, tempat hingga waktunya
11
Syafi’i Rachmat, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), hlm 121 Ibid., hlm 125 13 Huda Qamarul, Fiqih Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm 82 12
109
(b) Manfaat itu harus dipenuhi dalam arti yang sebenarnya. Karena itu ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak boleh menyewakan benda milik bersama yang tidak dapat dibagi tanpa ada teman serikatnya, karena manfaatnya tidak dapat terpenuhi. (c) Manfaat yang dimaksud bersifat mubah. Karena itu tidak boleh menyewakan barang yang manfatnya untuk kegiatan yang dilarang oleh syara’, misalnya menyewakan tempat untuk perjudian atau pelacuran dan lain-lain. e. Akhir ijarah Penghabisan ijarah yaitu:14 (a) Menurut ulama Hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang berakad. Sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal tetapi diwariskan. (b) Pembatalan akad (c) Terjadi kerusakan terhadap barang yang disewa. Akan tetapi, menurut ulama lainnya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijarah, tetapi harus diganti selagi masih dapat diganti. (d) Habis waktu kecuali ada uzur
14
Op., Cit. Syafe’i Rachman, hlm 82
110
Begitu pula perjanjian bagi hasil petani bawang merah sudah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat di dusun Temukerep. Pemilik tanah yang mempunyai lahan pertanian yang luas, biasanya tidak bisa menggarap semua lahan pertaniannya sendiri, maka pemilik tanah menawarkan kepada orang lain guna mengolah lahan pertanian miliknya dengan cara bagi hasil. Selain itu, ada pula pihak yang sengaja menawarkan diri kepada pemilik lanah untuk memberikan ijin mengolah lanah pertanian miliknya gadai atau sewa. Sistem bagi hasil lanah pertanian atau maro telah membudaya dikalangan masyarakat secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya sebagai adat. Dalam pelaksanaan bagi hasil lahan pertanian di dusun Temukerep desa Larangan kecamatan Larangan kabupaten Brebes, pemilik lahan pertanian tidak mau mempercayakan pengerjaan lahannya kepada orang yang belum dikenal. Hal ini dilakukan agar pemilik lahan merasa yakin atas lahan yang akan dipercayakannya tersebut dapat mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkannya. Dalam bagi hasil lahan pertanian di dusun Temukerep terdapat tiga unsur pokok, yaitu pemilik lahan, penggarap lahan dan lahan garapan. Pemilik lahan adalah orang yang mempunyai lahan pertanian yang mana karena keadaan tertentu menyerahkan hak pengerjaan lahannya kepada orang lain yang disebut penggarap lahan. Penggarap lahan yaitu orang yang
mengerjakan lahan pertanian
mendapatkan
bagian
dari
hasil
milik pertanian
pemilik sesuai
lahan
dan
dengan
cara
111
pembagian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. lahan garapan adalah suatu lahan yang menjadi objek pengolahan yang dimiliki oleh pemilik lahan dan kemudian diserahkan kepada pihak penggarap dengan tujuan mendapatkan hasil. Perjanjian bagi hasil lahan pertanian pada umumya terjadi dikarenakan pemilik miliknya. Pemilik
tidak
dapat
mengerjakan
lahan
tidak mempunyai waktu, oleh karena
pertanian itu pemilik
menawarkan kepada orang lain yang mau mengerjakan lahannya dengan cara bagi hasil. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan pemilik lahan yaitu Munari El-Fatih (45 Tahun) menyatakan sebagai berikut: “Ya dari pada nanti sawah saya terlantar karena tidak ada waktu yang cukup untuk mengurus dan mengolahnya de, kan bapak dagang, jadi bapak sengaja menawarkan kepada orang lain untuk dikerjakan dengan baik dengan cara bagi hasil ini”15 Para petani bawang merah di dusun Temukerep banyak yang memiliki lahan pertanian, namun mereka tidak ahli dalam bertani karena mereka sibuk dengan kegiatan atau pekerjaan mereka yang lain. Dari hasil wawancara, peneliti dapat menyimpulkan bahwa di dusun Temukerep itu bagi hasilnya tergolong dalam sistem bagi hasil yang dinamakan mukhobaroh
yaitu bibit dari penggarap, pemilik lahan
hanya
menyerahkan lahannya saja untuk digarap, namun ada juga yang bibit itu dari pemilik lahan
atau
bagi hasil dalam syari’at Islam dinamakan
muzara’ah. Untuk rukun dan syarat itupun sama dengan hukum Islam, tapi mereka belum memahami atau mengenal istilah bagi hasil dalam syari’at 15
Dok., wawancara pada bapak Munari El-fatih 18 Maret 2015
112
islam yang disebutkan di atas. Hal ini karena mereka merupakan masyarakat jawa yang melakukan usaha bercocok tanam atau bertani secara turun temurun dari nenek moyang mereka dahulu. Karena itu, mereka menggunakan istilah-istilah jawa dalam bagi hasilnya yaitu maro renteban yang terjadi pada bulan april sampai juni, maro ketiganan yang terjadi pada bulan juni sampai dengan agustus, maro tiba udan yang terjadi pada bulan oktober sampai desember, dan maro lerengan yang terjadi pada bulan desember sampai bulan februari.
C. Analisis Sistem Keuntungan Dan Kerugian Yang Diperoleh Petani Bawang Merah Di Dusun Temukerep Dalam Penerapan Bagi Hasil Seperti yang telah diketahui, keuntungan akan dibagi dikalangan rekanan dalam usaha berdasarkan bagian-bagian yang telah mereka tetapkan sebelumnya. Bagian keuntungan setiap pihak harus ditetapkan sesuai bagian atau prosentasi. Tidak ada jumlah pasti yang diterima dalam syirkah. Juga adanya kesepakatan yang menunjukkan bahwa tidak ada jumlah yang pasti yang dapat ditetapkan bagi pihak manapun dalam syirkah. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa dalam pembagian keuntungan, pihak-pihak dalam usaha tersebut bisa menetapkan berapapun bagian tersebut melalui perjanjian bersama, sebagaimana yang disepakati dalam syirkah. Pendapat ini hanya didukung oleh ahli-ahli fiqh menganut madzhab Hambali dan Hanafi. Menurut para fuqoha dari madzhab Maliki
113
dan Syafi’i, pembagian keuntungan dalam syirkah harus mencerminkan jumlah modal yang ditanamkannya.16 Sebagaimana dalam perjanjian syirkah, ahli-ahli fiqh pengikut Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai jumlah bagian atas jumlah-jumlah modal yang diinvestasikan yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa suatu jumlah uang tertentu sebagai keuntungan tidak dapat dibagi kepada pihak manapun. Dan tidak boleh ditetapkan untuk menambah jumlah dirham lebih dari modal yang diinvestasikan kepada satu pihak tertentu. Jika ada salah satu dari kedua pihak menetapkan satu jumlah dirham tertentu dalam syirkah maka itu tidak dapat disahkan.17 Bagi hasil pertanian merupakan suatu persekutuan ekonomi dalam bentuk tradisional. Aturan-aturan dalam bagi hasil ini tidak tertulis dan tidak berbentuk perjanjian ttulis yang memiliki kekuatan hukum yang tinggi. Hukum yang ada adalah hukum adat yang mempunyai sanksi hukum yang kurang tegas dan jelas. Seperti halnya dalam pelaksanaan bagi hasil di Dusun Temukerep desa Larangan kecamatan Larangan kabupaten Brebes yang memberlakukan hukum adat apabila terjadi gagal panen. Dalam usaha pertanian tidak selalu mendapatkan keuntungan, akan tetapi terkadang mendapatkan kerugian seperti halnya gagal panen. Di dusun Temukerep juga pernah mengalami gagal panen yang disebabkan 16
Siddiqi, M. Nejatullah, Kemitraan Usaha Bagi Hasil dalam Hukum Islam,(Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1996) hlm 19 17 Ibid., hlm 20
114
oleh hama ataupun oleh kondisi alam (musim). Apabila panen gagal, pembagian bagi hasil pertanian dengan cara hasil panen dikurangi biaya yang telah dikeluarkan pemilik lahan, kemudian sisanya baru dibagi dua dengan penggarap lahan. Pembagian hasil atau kerugian seperti ini, terjadi pada model bagi hasil tani bagi bawang merah dengan status sewa tenaga dengan mana tercantum pada sub A bab IV. Seperti halnya yang dikatakan oleh bapak Sutirwo (45 tahun) yang menyatakan bahwa: “ Kendala terkadang gagal panen, tanaman yang saya tanam pernah gagal panen, tanaman yang saya tanam pernah hancur semua. Tapi ya tetap hasilnya dibagi dua, soalnya sudah perjanjian dari awal sih”18 Setiap kerugian dalam bagi hasil pertanian sawah akan ditanggung kedua belah pihak dan akan diselesaikan dengan kekeluargaan. Sedangkan apabila panen menggalami gagal total, terkadang pemilik lahan memberikan semua uang hasil panen ke penggarap sawah karena uang yang dihasilkan terlalu sedikit. Pembagian hasil atau kerugian seperti ini, terjadi pada model bagi hasil tani bawang merah dengan status sewa lahan, sebagaimana tersebut pada sub A bab IV. Dalam pelaksananan bagi hasil usaha tani bawang merah di dusun Temukerep
banyak hambatan-hambatan
yang dan
semua
hambatan tersebut dapat teratasi atas sikap dan kelapangdadaan setiap masing-masing pihak. Hambatan-hambatan seperti tidak terlaksananya undang-undang bagi hasil, ingkar janji, selisih hasil panen, dan 18
2015
Dok., Wawancara dengan Sutirwo, penggarap lahan, pada tanggal 18 Maret
115
ketidakcocokan yang telah mereka sepakati dalam perjanjian lisan akan ditindak secara kekeluargaan. Pada waktu pemilik ataupun penggarap merasa ada kecurangan yang dilakukan, maka mereka memilih untuk memberhentikan pelaksanaan kerja sama bagi hasil pertanian tersebut. Antara pemilik dan penggarap biasanya menganggap mereka sudah tidak cocok sehingga terpaksa melakukan penghentian pelaksanaan kerja sama tersebut. Pihak pemilik secara otomatis melemparkan pekerjaan ke penggarap lahan lain guna meneruskan pengerjaan lahannya, sedangkan pihak penggarap sendiri sudah tidak bertanggung jawab atas lahan pemilik lahan. Hambatan dalam kegagalan panen pertanian lahan biasanya diselesaikan secara kekeluargaan. Dalam hal ini, biasanya hasil panen tidak menutup
biaya operasional
yang
telah
dikelurkan
oleh
penggarap. Penggarap merasa mendapat kerugian karena modal yang telah dikeluarkan dalam bagi hasil usaha bawang merah ini cukuplah besar. Untuk mengatasi masalah ini, setelah hasil panen dijual biasanya penggarap meminta modal dikembalikan dahulu, kemudian sisanya baru dibagi dua. Seperti halnya yang dikatakan lagi sebelumnya oleh bapak Sutirwo ( 45 tahun) yang menyatakan bahwa: “Ya diambil gimana baiknya aja, misal gagal panen ya semua biaya yang saya keluarkan dikembalikan dulu, habis itu sisanya baru dibagi dua”19
19
Dok., Wawancara dengan Sutirwo, penggarap sawah, pada tanggal 18 Maret 2015