perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77
BAB V PEMBAHASAN
Rancangan penelitian eksperimental murni ini menggunakan dua kelompok subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik dan larutan salin hipertonik kemudian dibandingkan tingkat sumbatan hidung sebelum dan setelah diberikan terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas antara penggunaan cuci hidung dengan larutan salin isotonik dan hipertonik terhadap tingkat sumbatan hidung pada penderita rinosinusitis kronik sehingga pendekatan yang dilakukan adalah denan penelitian eksperimental murni dengan desain Randomized Control Trial double blind. Penelitian ini dilaksanakan pada penderita rinosinusitis kronik di bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali. Sampel penelitian dipilih dengan cara nonprobability sampling, yaitu dengan teknik consecutive sampling: setiap subjek yang memenuhi kriteria penelitian dilibatkan dalam kegiatan penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah subjek penelitian yang diperlukan terpenuhi. Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pasien pada kedua kelompok memperlihatkan homogenitas umur dan jenis kelamin. Rata-rata umur pasien kelompok yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan isotonik adalah 36,67 tahun sedangkan rata-rata umur pasien kelompok yang diberi terapi cuci hidung dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
larutan hipertonik adalah 37,00 tahun. Secara statistik perbedaan yang relatif kecil tersebut dinyatakan tidak signifikan (p = 0,899 > 0,05). Perbandingan proporsi lakilaki dan perempuan pada pasien kelompok yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan isotonik adalah 40,5% dan 59,5% sedangkan pada pasien kelompok yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan hipertonik adalah 38,1% dan 61,9%. Secara statistik perbedaan yang juga relatif kecil tersebut dinyatakan tidak signifikan (p = 0,823 > 0,05). Ottaviano (2006) telah melakukan pengukuran patensi hidung dengan menggunakan nasal inspiratory peak flow meter pada populasi orang dewasa sehat berdasarkan umur, jenis kelamin dan tinggi badan. Tidak ditemukan hubungan antara jenis kelamin dengan umur atau tinggi badan. Ditemukan variasi nilai PNIF pada setiap individu yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan setiap variable pada penelitian tersebut (Ottaviano, 2006). Kedua kelompok kontrol dan perlakuan mendapat terapi medikamentosa yang sama, sehingga perbedaan hanya terdapat pada perlakuan pemberian larutan salin isotonik dengan larutan salin hipertonik. Tingkat sumbatan hidung ditentukan berdasarkan nilai PNIF (peak nasal inspiratory flow) dan dinyatakan secara kategorik dalam 4 tingkatan yaitu berat, sedang, ringan, dan tidak ada. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa secara pasti tingkat sumbatan hidung pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan isotonik dan hipertonik mengalami penurunan dari sebelum terapi hingga akhir minggu kedua selama terapi. Perbandingan tingkat sumbatan hidung antara kedua kelompok commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
eksperimen dilakukan untuk mengetahui jenis larutan dalam terapi cuci hidung yang mana di antara isotonik dan hipertonik yang memberikan pengaruh lebih baik. Pengamatan pada akhir minggu pertama terapi menunjukkan bahwa tingkat sumbatan hidung pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan hipertonik sedikit lebih ringan dibandingkan pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan isotonik. Meskipun begitu perbedaan ini secara statistik dinyatakan tidak signifikan (p = 0,645 > 0,05). Pengamatan pada akhir minggu kedua terapi menunjukkan bahwa tingkat sumbatan hidung pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan hipertonik semakin lebih ringan (dari minggu pertama) dibandingkan pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan isotonik. Meskipun begitu perbedaan ini secara statistik tetap dinyatakan tidak signifikan (p = 0,244 > 0,05). Larutan salin telah banyak digunakan sebagai larutan cuci hidung dalam pengobatan rinosinusitis kronik. Larutan salin hipertonik dikatakan sebagai agen yang dapat meningkatkan pembersihan mukosiliar dan meningkatkan patensi hidung akibat dari pengurangan udem pada mukosa hidung. Penelitian yang dilakukan Baraniuk dkk (2002) menunjukkan penurunan yang minimal pada permukaan hidung yang dihubungkan dengan efek sumbatan pada subjek normal yang diterapi dengan larutan hipertonik. Hal ini berbeda dengan hipotesis yang banyak dikemukakan adalah adanya perbedaan tekanan osmotik dan gradient konsentrasi antara larutan isotonik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
dan hipertonik. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi respon yang terjadi pada penggunaan larutan hipertonik (Baraniuk et al, 2002) Penelitian yang dilakukan Keojampa et al (2004) dan Hauptman dan Ryan (2007) menjelaskan penggunaan larutan salin isotonik dan larutan salin hipertonik secara jelas meningkatkan pemberihan mukosiliar dan memperbaiki patensi hidung. Namun larutan hipertonik tidak memberikan hasil yang signifikan berbeda dengan larutan isotonik terhadap pemeriksaan sumbatan hidung (Keojampa et al, 2004; Hauptman dan Ryan, 2007) Pemberian larutan hipertonik menyebabkan rasa tidak nyaman pada hidung yang diasumsikan sebagai rasa tersumbat. Sekuele rasa tersumbat ini dijelaskan sebagai efek dari adanya rinore dan meningkatnya kerja sekresi kelenjar. Larutan hipertonik diketahui lebih iritatif daripada larutan isotonik. Pada level biokimia, iritasi pada mukosa hidung meningkatkan sementara mediator inflamasi diantaranya leukotrien peptide, Prostaglandin E2 dan tromboxan B2. Selain itu, induksi dari rasa nyeri dan pelepasan neurotransmitter substansi P menunjukkan bahwa mekanisme neurogenik diaktifkan (Mohammadian, 1999; Hauptman dan Ryan, 2007) Hal ini menjelaskan pemberian larutan hipertonik menginduksi respon neuran dan akan memicu terjadinya perubahan pada pembuluh darah yang menyebabkann pembengkakan dan keluhan tersumbat. Perubahan volume nasal di jelaskan sebagai akibat dari 1) penebalan meningkat mukosa yang disebabkan oleh pembengkakan vena sinusoid, atau ekstravasasi plasma dan edema mukosa superficial. 2) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
peningkatan volume lendir karena eksudasi plasma atau eksositosis kelenjar dari serosa dan mukosa (Greift, 2003, Hauptman dan Ryan, 2007). Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukannya penilaian secara subjektif derajat beratnya penyakit yang dapat dihitung menggunakan skor SNOT20.
commit to user