HASIL PENELITIAN
Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah M. Roikhan Harowi, Soepomo Soekardono, Bambang Udji Djoko R, Anton Christanto Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia
ABSTRAK Rinosinusitis kronik (RSK) adalah peradangan mukosa hidung dan mukosa sinus paranasalis yang berlangsung selama 12 minggu. RSK secara nyata menurunkan kualitas hidup akibat obstruksi hidung dan iritasi, gangguan penghidu, gangguan tidur dan gejala pilek yang persisten. Meskipun terapi bedah dapat mengurangi kejadian rekurensi infeksi, namun efeknya pada kualitas hidup penderita sedikit diketahui. Perbaikan RSK setelah bedah sinus endoskopi (BSE) dilaporkan sangat baik hingga mencapai 98 %.Tujuan penelitian ini adalah membandingkan kualitas hidup penderita RSK yang menjalani bedah konvensional dengan yang menjalani bedah sinus endoskopi. Penelitian menggunakan desain analisis cross sectional pada pasien RSK yang telah menjalani terapi bedah. Penderita dibedakan menjadi kelompok bedah konvensional dan kelompok bedah sinus endoskopi. Masing-masing kelompok berjumlah 31 orang. Kualitas hidup dibandingkan pada minimal 6 bulan pasca-bedah menggunakan Sinonasal Outcome Test 20. Data dianalisis menggunakan uji X2 dan uji X2 Mantel Haenzel. Tidak ada perbedaan karakteristik subyek menurut kelompok terapi (p>0,05). Ada perbedaan bermakna kualitas hidup menurut riwayat alergi (p=0,001). Tidak ada perbedaan rerata skor masing-masing item SNOT 20 menurut kelompok terapi (p>0,05). Hasil analisis regresi logistik menunjukkan ada perbedaan kualitas hidup menurut umur (p=0,032 95% CI 1,197-53,886) dan menurut riwayat alergi (p=0,033 95% CI 1,318-657,202). Tidak ada perbedaan kualitas hidup penderita RSK yang menjalani bedah konvensional dengan BSE (p=0,095 95% CI 0,574-1034,074) Simpulan : Tidak ada perbedaan kualitas hidup berdasarkan SNOT 20 penderita RSK yang menjalani bedah sinus endoskopi dibandingkan bedah konvensional. Kata kunci : rinosinusitis kronik, kualitas hidup, SNOT 20, terapi bedah sinus Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik didefinisikan sebagai gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus paranasalis dan pada mukosa hidung yang telah mengalami perubahan reversibel maupun irreversible dengan berbagai etiologi dan faktor predisposisi dan berlangsung lebih dari 12 minggu1,2,3 RSK masih merupakan tantangan dan masalah dalam praktek umum maupun spesialis mengingat anatomi, etiologi serta penanganannya yang kompleks. Kekerapan rinosinusitis bervariasi. Di Eropa, RSK diperkirakan terjadi pada 10%-30% populasi.4 Di Amerika tahun 1998, RSK diperkirakan terjadi pada 16% populasi dewasa.5 Di RSCM (1995), RSK merupakan 2,8% dari seluruh kunjungan poliklinik 6 ; di RS Dr Karyadi Semarang, sebesar 2,6%.7 Di RS Dr Sardjito Yogyakarta selama tahun 2000 2006 frekuensi penderita RSK 2,5%-4,6%. 8 Garis besar penatalaksanaan RSK terbagi dua : konservatif dan operatif. Penatalaksanaan operatif RSK meliputi bedah konvensional, bedah sinus endoskopi, bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Penatalaksanaan bedah konvensional seperti
antrostomi, Caldwell-Luc, etmoidektomi intranasal kadang-kadang menimbulkan jaringan parut di bekas lubang yang dibuat selain di lubang fungsional sehingga akan mengakibatkan fokus infeksi baru pada sinus. Seluruh mukosa sinus dapat ikut terangkat saat operasi sehingga seluruh silia akan terbuang. Hal ini menimbulkan masalah baru berupa hilangnya fungsi drainase akibat hilangnya silia. 9 Teknik operasi sinus terus dikembangkan terutama bedah sinus endoskopi (BSE) maupun bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Pada bedah sinus menggunakan endoskopi, lapangan pandang operasi dan pengontrolan tindakan bedah dapat lebih baik dan pembuangan berlebihan jaringan dapat dihindari. Keuntungan bedah endoskopi adalah tidak ada luka kulit dan tulang, trauma intranasal dan intrasinus kecil, trauma daerah resesus frontalis dapat dicegah, anatomi daerah hidung dapat terlihat jelas serta mencegah kerusakan membran mukosa sehingga mucociliary clearance normal.10 Rinosinusitis kronis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup akibat gejala lokal seperti nyeri kepala, sekresi hidung dan
CDK 187 / vol. 38 no. 6 / Agustus - September 2011
sumbatan hidung, gangguan penghidu, kesulitan tidur dan juga akibat kelemahan umum11 RSK akan menurunkan produktivitas dan kehilangan 73 juta hari kerja atau sekitar 3% hari kerja penduduk produktif.12 RSK dengan polip nasi secara signifikan akan menurunkan kualitas hidup akibat obstruksi dan iritasi hidung, gangguan penghidu, kesulitan tidur dan gejala pilek persisten.11 Di Amerika (1996), pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan rinosinusitis memerlukan biaya 5,8 milyar dollar; 58,7% (sekitar 3,5 milyar dollar) berkaitan dengan RSK. 13 Penilaian penatalaksanaan RSK menyangkut kualitas hidup sangat penting dan terus dikembangkan, ditandai dengan banyaknya alat ukur yang telah divalidasi, antara lain kuesioner kualitas hidup rinokonjungtivitis, rhinosinusitis outcome measure, sinonasal outcome test 20 (SNOT 20), chronic rhinosinusitis survey (CRS) dan rhinosinusitis disability index (RSDI). 14 SNOT (Sinonasal Outcome Test) 20 sebagai alat ukur kualitas hidup pada RSK telah luas digunakan, dikembangkan dari RSOM 31 untuk kemudahan penggunaan dan penilaian. SNOT 20 berisi 20 pertanyaan menyangkut gejala dan dampak sosial
429
HASIL PENELITIAN emosional rinosinusitis. SNOT 20 memiliki konsistensi internal baik (Cronbach alpha = 0,90), tes re-tes reliabilitas menunjukkan tingkat korelasi tinggi antara 2 dan 4 minggu dengan p< 0,0001, dan responsivitas moderat (0,4).15 Keunggulan lain SNOT 20 yaitu waktu pengisian singkat sekitar 5-10 menit dan format ringkas.14 Deal et al.(2004) secara retrospektif meneliti 201 penderita RSK dengan polip nasi maupun tanpa polip nasi yang menjalani tindakan bedah. Hasil skor subyektif SNOT 20 serta gambaran CT scan dibandingkan menggunakan sistem skor Lund Mackay sebelum dan sesudah pembedahan. Pada kelompok tanpa polip nasi rerata skor SNOT 20 26,5 sebelum operasi dengan perbaikan 5,1 pada 6 bulan pasca-operasi dan 5,0 pada 12 bulan pasca-operasi (perbaikan 85%). Pada kelompok dengan polip nasi rerata skor SNOT 20 32,2 sebelum operasi dengan perbaikan 9,2 pada 6 bulan pasca-operasi dan 9,1 pada 12 bulan pasca-operasi (perbaikan 81% p = 0,003). Polip nasi mempunyai pengaruh negatif pada pasien RSK.16 Salhab et al.(2004) di Saudi Arabia, dengan desain potonglintang meneliti 77 penderita RSK polip nasi maupun tanpa polip nasi yang telah menjalani bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Pengukuran kualitas hidup menggunakan Glasgow Benefit Inventory (GBI) meliputi subskala skor umum (General Subscale Score), subskala skor sosial (Social Subsacle Score), dan skor kesehatan fisik (Physical Health Score). Perbandingan total skor GBI dan subskala skor umum, mengindikasikan keuntungan lebih besar pada RSK dengan polip nasi (p = 0,045 dan p = 0,022).17 Browne et al. (2006) di Inggris, dengan desain potonglintang membandingkan kualitas hidup pasien RSK yang menjalani simple polipektomi dengan yang menjalani polipektomi dan pembedahan tambahan (additional surgery). Kualitas hidup pasien diukur 12 bulan dan 36 bulan sesudah pembedahan. Perbedaan skor SNOT 20 adalah – 0,5 ; 95%CI : -2,1 - +1,3 p = 0,58. Pada 36 bulan setelah pembedahan perbedaan skor SNOT 20 adalah -2,1 ; 95%CI : -4,4 - +0,2 p = 0,08. 11 Rudnick et al.(2006) dengan desain kohort prospektif membandingkan kualitas hidup
430
21 penderita RSK anak yang menjalani adenoidektomi dan bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Kualitas hidup diukur dengan SN-5 yang berisi domain infeksi sinus, sumbatan hidung, gejala alergi, gangguan emosional dan pembatasan aktivitas, sebelum pembedahan dan 6 bulan sesudah pembedahan. Rerata skor SN-5 sebelum pembedahan 25,8 dan sesudah pembedahan 12,0 (p > 0,001), perubahan skor 13,8 (95%CI : 9,6 – 18,1) dan rerata respon standar (SRM) 1,4. Ada perbedaan bermakna antara masing-masing gejala sebelum dan sesudah pembedahan. Dari penelitian ini disimpulkan adenoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional memperbaiki kualitas hidup anak dengan RSK.18 Penelitian penulis berbeda dari penelitianpenelitian di atas, karena meneliti perbedaan kualitas hidup penderita RSK yang menjalani terapi bedah sinus endoskopi dibanding dengan yang menjalani bedah konvensional menggunakan alat ukur Sinonasal Outcome Test (SNOT)20. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan analytic cross sectional untuk menentukan perbedaan kualitas hidup penderita rinosinusitis kronik yang menjalani bedah sinus endoskopi dibandingkan dengan yang menjalani bedah konvensional. Populasi target penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronik. Populasi terjangkau adalah penderita rinosinusitis kronik yang sembuh setelah menjalani terapi bedah sinus endoskopi maupun bedah konvensional. Kriteria inklusi : penderita rinosinusitis kronik dengan maupun tanpa polip nasi yang telah menjalani terapi bedah satu kali, minimal 6 bulan, klinis sudah dinyatakan sembuh, bersedia mengikuti penelitian dengan menjawab kuesioner SNOT 20. Kriteria eksklusi jika terdiagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasalis, status rekam medis tidak lengkap. Besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis beda mean satu sisi karena dianggap terapi bedah konvensional mempunyai skor SNOT 20 lebih tinggi dibanding terapi bedah sinus endoskopi19 dengan = 0,05, dan =0,20 (Lemeshow et al. 1990), didapatkan hasil 30,89. Dibutuhkan 31 sampel untuk masing-masing kelompok.
Variabel bebas penelitian ini adalah tindakan bedah yang dibedakan menjadi (a) bedah konvensional yang meliputi antrostomi, polipektomi, Caldwell Luc, etmoidektomi intranasal (b) Bedah sinus endoskopi. Variabel tergantung adalah kualitas hidup. Kualitas hidup diukur menggunakan SNOT 20 yang dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, berupa skor kualitas hidup dengan skala Likert yang ditansformasi ke skala kontinu. Skor tertinggi adalah 60 dan skor terendah 0. Ditentukan rerata skor SNOT 20. Variabel yang dapat mempengaruhi variabel tergantung dalam penelitian ini antara lain jenis kelamin, umur, ada tidaknya polip nasi, jenis polip nasi, derajat polip nasi, luas penyakit, riwayat alergi. Jenis kelamin terdiri 1) pria, 2) wanita. Umur dibedakan menjadi : 1) kurang dari 15 tahun, 2) 16-25 tahun, 3) 2635 tahun, 4) 36-45 tahun, 5) 46-55 tahun, 6) di atas 55 tahun. Ada tidaknya polip nasi dibedakan 1) RSK dengan polip nasi/polip nasi (+), 2) RSK tanpa polip nasi/polip nasi (-). Derajat polip nasi dibedakan 1) Tanpa polip nasi, apabila tidak terdapat polip nasi, 2) Derajat 1 apabila ditemukan polip nasi terbatas pada meatus media, 3) Derajat 2 apabila ditemukan polip nasi sudah keluar dari meatus media tetapi belum menyebabkan obstruksi kavum nasi, 4) Derajat 3 apabila ditemukan polip nasi sudah keluar dari meatus media dan menyebabkan obstruksi kavum nasi. Luas penyakit didasarkan pada hasil CT scan sinus paranasalis menurut Glicklich (1994) dibagi menjadi 5 tingkat, 1) Derajat 0 apabila terdapat penebalan mukosa kurang dari 2 mm di sebarang sinus, 2) Derajat 1 apabila ditemukan kelainan unilateral, 3) Derajat 2 apabila terdapat kelainan bilateral pada sinus ethmoidalis atau sinus maksilaris saja, 4) Derajat 3 apabila kelainan pada sinus ethmoidalis dan sinus maksilaris dan salah satu antara sinus sphenoidalis atau sinus frontalis, 5) Derajat 4 apabila di semua sinus paranasalis terdapat kelainan.20 Riwayat alergi dibedakan 1) Riwayat alergi positif/(+) yang berarti subyek menderita rinitis alergi, 2) Riwayat alergi negatif/(-) yang berarti subyek tidak menderita rinitis alergi. 2 Analisis c digunakan untuk menghitung perbedaan proporsi variabel (skala nominal yaitu jenis kelamin, ada tidaknya polip nasi, jenis polip nasi, ada tidaknya riwayat alergi)
CDK 187 / vol. 38 no. 6 / Agustus - September 2011
HASIL PENELITIAN 2 menurut kelompok terapi. Uji c MantelHaenszel digunakan untuk menganalisis variabel (skala ordinal umur, derajat polip nasi, luasnya penyakit) menurut kelompok terapi. Uji t tidak berpasangan untuk menguji perbedaan rerata skor kualitas hidup antara kelompok bedah konvensional dengan kelompok bedah sinus endoskop. Selanjutnya dilakukan analisis variabel yang mempengaruhi kualitas hidup menggunakan analisis regresi logistik.
Hasil Dan Pembahasan Penelitian dilakukan mulai Maret 2007 sampai dengan Maret 2008. Subyek terdiri dari 37 laki-laki, 25 perempuan dengan umur tertua 71 tahun, termuda 13 tahun dengan rerata umur 37,40±17,30 (tabel 1). Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada kedua kelompok terapi (p>0.05). Pengukuran kualitas hidup dilakukan minimum enam bulan pasca-bedah menggunakan SNOT 20. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 2. Kelompok konvensional secara keseluruhan mempunyai rerata skor kualitas hidup lebih rendah (17,4194 ± 11,2213) dibandingkan rerata skor kelompok BSE (18,8387±8,5794), tetapi perbedaannya tidak bermakna (p>0,05) untuk seluruh item (tabel 8). Pada item 13 tentang tidur tidak nyenyak terdapat perbedaan bermakna (p=0,049) antara kelompok konvensional (rerata skor 0,61 ± 0,80) dan kelompok BSE (rerata skor 1,03 ± 0,84). Skor SNOT 20 paling kecil adalah 2,0 dan paling besar 45,0 dengan rerata 18,1290 ± 9,9317. Jika diasumsikan rerata skor 18 sebagai batas perhitungan untuk menentukan kualitas hidup maka kualitas hidup baik jika rerata skor SNOT 20 <18 dan kualitas hidup jelek jika rerata skor SNOT 20 ³ 18. Kualitas hidup menurut jenis variabel dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 1. Karakteristik subyek menurut kelompok terapi
Jenis kelamin Umur (tahun)
Ada tidaknya Polip nasi Jenis Polip nasi Derajat Polip nasi
Luas Penyakit
Riwayat Alergi
Laki-laki Perempuan £ 15 16 - 25 26 - 35 36 - 45 46 - 55 > 55 Polip nasi (+) Polip nasi (-) Unilateral Bilateral Tanpa polip Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Derajat 0 Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Derajat 4 R. alergi (+) R. alergi (-)
Konvensional % N 61,3 19 38,7 12 9,7 3 25,8 8 16,1 5 12,9 4 19,4 6 16,1 5 22 71,0 29,0 9 10 45,5 54,5 12 9 29,0 3,2 1 8 25,8 41,9 13 0 0,0 32,3 10 12 38,7 25,8 8 3,2 1 19 61,3 38,7 12
BSE N 18 13 2 8 3 7 7 4 17 14 11 6 14 0 11 6 0 17 6 8 0 21 10
% 58,1 41,9 6,5 25,8 9,7 22,6 22,6 12,9 54,8 45,2 64,7 35,3 45,2 0,0 35,5 19,3 0,0 54,8 19,4 25,8 0,0 67,7 32,3
Total % N 37 59,7 25 40,3 6,1 5 16 25,8 12,9 8 11 17,7 13 21,0 14,5 9 39 62,9 23 37,1 21 53,8 18 46,2 23 37,1 1,6 1 19 30,65 19 30,65 0 0,0 27 43,5 18 29,0 16 25,8 1,6 1 40 64,5 22 35,5
Nilai p 0,796*
0,888**
0,189* 0,232*
0,181*
0,186**
0,613*
2 2 *Uji c ** Uji c Mantel-Haenzel
Tabel 2. Perbandingan rerata skor masing-masing item SNOT 20 menurut kelompok terapi. SNOT 20 1. Usaha mengeluarkan ingus 2. Bersin-bersin 3. Ingus encer di hidung 4. Batuk-batuk 5. Lendir di tenggorokan 6. Ingus kental di hidung 7. Telinga tersumbat 8. Pusing, “nggliyer” 9. Nyeri daerah telinga 10. Nyeri daerah wajah 11. Susah tidur 12. Terbangun malam hari 13. Tidur tidak nyenyak 14. Lelah saat bangun tidur 15. Badan terasa lelah 16. Tidak bisa bekerja 17. Tidak bisa memusatkan perhatian 18. Perasaan putus asa 19. Perasaan sedih,susah 20. Perasaan malu,rendah diri *Uji t tidak berpasangan.
CDK 187 / vol. 38 no. 6 / Agustus - September 2011
BSE Kel Konvensional (rerata ± SD) (rerata ± SD)
1,23 ± 0,92 0,94 ± 0,73 1,19 ± 0,98 0,81 ± 0,87 1,19 ± 0,98 1,23 ± 0,99 0,81 ± 0,79 0,94 ± 1.03 0,61 ± 0,80 1,19 ± 1,08 0,71 ± 0,86 0,58 ± 0,89 0,61 ± 0,80 0,84 ± 0,78 1,00 ± 0,77 0,61 ± 0,72 0,90 ± 0,87 0,71 ± 0,82 0,81 ± 0,79 0,52 ± 0,85
1,03 ± 0,80 1,13 ± 0,67 1,16 ± 0,90 1,10 ± 0,87 1,48 ± 0,89 1,06 ± 0,77 0,94 ± 0,89 1,03 ± 1,02 0,61 ± 0,72 0,90 ± 0,87 0,90 ± 0,83 0,84 ± 0,86 1,03 ± 0,84 1,10 ± 0,79 1,10 ± 0,87 0,68 ± 0,75 0,81 ± 0,75 0,77 ± 0,80 0,81 ± 0,75 0,35 ± 0,55
Perbedaan rerata 0,19 0,19 0,02 0,29 0,29 0,16 0,13 0,02 0,00 0,29 0,19 0,26 0,42 0,26 0,02 0,02 0,02 0,02 0,00 0,16
p* 0,379 0,280 0,893 0,195 0,227 0,477 0,549 0,711 1,000 0,248 0,372 0,249 0,049 0,200 0,645 0,730 0,611 0,756 1,000 0,379
431
HASIL PENELITIAN Tabel 3. Kualitas hidup menurut jenis variabel
Variabel Jenis kelamin
Laki-laki Perempuan Umur (tahun) £ 15 16 - 25 26 - 35 36 - 45 46 - 55 > 55 Ada tidaknya Polip nasi (+) Polip nasi Polip nasi (-) Unilateral Jenis Polip nasi Bilateral Derajat Tanpa polip Polip nasi Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Luas Penyakit Derajat 0 Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Derajat 4 Riwayat Alergi R. alergi (+) R. alergi (-) Konvensional Kel Terapi BSE 2 2 *Uji c ** Uji c Mantel-Haenzel
Kualitas Hidup Baik Jelek % % N N 61,5 21 58,3 16 38,5 15 41,7 10 7,7 8,3 2 3 26,9 25,0 9 7 11,5 13,9 3 5 23,1 13,9 5 6 30,8 13,9 5 8 0,0 25,0 0 9 57,7 24 66,7 15 42,3 12 33,3 11 46,7 7 14 58,3 53,3 8 10 41,7 42,3 12 33,3 11 3,9 0,0 1 0 26,9 7 12 33,3 26,9 7 12 33,3 0,0 0,0 0 0 38,5 17 47,2 10 30,8 8 10 27,8 26,9 25,0 7 9 3,8 0,0 1 0 92,3 16 44,4 24 7,7 2 20 55,6 42,3 11 20 55,6 57,7 16 44,4 15
Tidak ada perbedaan bermakna kualitas hidup menurut jenis kelamin (p= 0,800), umur (p= 0,095), ada tidaknya polip nasi (p=0,470), jenis polip nasi (p=0,477), derajat polip nasi (p=0,483) dan menurut luas penyakit (p=0,633) dan jenis terapi (p=0,303). Ada perbedaan bermakna kualitas hidup penderita RSK pasca terapi bedah menurut riwayat alergi (p= 0,001). a). Kualitas hidup kelompok BSE menurut riwayat alergi Rasio prevalensi riwayat alergi terhadap kualitas hidup pada kelompok BSE adalah 8,36 (95% KI 1,14-77,47). Terdapat perbedaan bermakna kualitas hidup antara penderita dengan riwayat alergi dibanding tanpa alergi pada kelompok BSE (p=0,013). Dapat disimpulkan pada kelompok BSE, riwayat alergi (+) merupakan faktor risiko untuk kualitas hidup jelek (tabel 4). Tabel 4. Kualitas hidup kelompok terapi BSE menurut riwayat alergi
Riwayat alergi R. Alergi (+) R. Alergi (-) Total 2 *Uji c
Total N 37 25 5 16 8 11 13 9 39 23 21 18 23 1 19 19 0 27 18 16 1 40 22 31 31
Nilai p % 59,7 0,800* 40,3 8,1 25,8 12,9 0,095** 17,7 21,0 14,5 62,9 0,470* 37,1 53,8 0,477* 46,2 37,0 1,6 0,483** 30,7 30,7 0,0 43,5 29,0 0,633** 25,8 1,6 64,5 0,001* 35,5 50,0 0,303* 50,0
Kualitas Hidup Jelek 13(86,7) 2(13,3) 15(100)
Baik 7(43,8) 9(56,2) 16(100)
Nilai p* 0,013
b). Kualitas hidup kelompok konvensional menurut riwayat alergi Rasio prevalensi riwayat alergi terhadap kualitas hidup pada kelompok konvensional adalah 12,2 (95% KI 1,9 – tak terhingga). Terdapat perbedaan bermakna kualitas hidup antara penderita dengan riwayat alergi dibanding tanpa alergi pada kelompok konvensional p=0,002. Pada kelompok konvensional, riwayat alergi (+) merupakan faktor risiko untuk kualitas hidup jelek (tabel 5). Tabel 5. Kualitas hidup kelompok terapi konvensional menurut riwayat alergi Riwayat alergi R. Alergi (+) R. Alergi (-) Total 2 *Uji c
CDK 187 / vol. 38 no. 6 / Agustus - September 2011
Kualitas Hidup Jelek 11,5(95,8) 0,5(4,2) 11(100)
Baik 9,5(45,2) 11,5(54,8) 20(100)
Nilai p*
0,002
Kelompok konvensional dengan riwayat alergi (+) dengan rasio prevalensi 12,2 (95%KI 1,9 - tak terhingga) lebih berisiko mendapatkan kualitas hidup jelek dibandingkan kelompok BSE dengan riwayat alergi (+) dengan rasio prevalensi 8,36 (95%KI 1,14-77,47) (tabel 4 dan 5). Hal ini mungkin karena pada bedah konvensional risiko kerusakan jaringan dan pembuangan jaringan sehat lebih besar, timbulnya jaringan parut lebih besar, pemulihan mucociliary clearance lebih sedikit sehingga fungsi drainase lebih jelek. Subanalisis kualitas hidup pada masingmasing kelompok : c). Kualitas hidup pada riwayat alergi (+) pada masing-masing kelompok terapi Pada sampel dengan riwayat alergi (+), kualitas hidup kelompok BSE dan konvensional tidak berbeda bermakna (p=0,519) dengan rasio prevalensi 1,18 (95% KI 0,709-1,969) (tabel 6). Tabel 6. Kualitas hidup pada riwayat alergi (+) Riwayat alergi (+) Kel BSE Kel Konvensional Total 2 *Uji c
Kualitas Hidup Jelek 13(54,2) 11(45,8) 24(100)
Baik 7(43,8) 9(56,2) 16(100)
Nilai p* 0,519
d). Kualitas hidup pada riwayat alergi (-) pada masing-masing kelompok terapi Pada sampel tanpa riwayat alergi, kualitas hidup kelompok BSE dan konvensional juga tidak berbeda bermakna (p=0,138) dengan rasio prevalensi 2,2 (95% KI 0,23 - tak terhingga) (tabel 7). Tabel 7. Kualitas hidup pada riwayat alergi (-) Riwayat alergi (-) Kel BSE Kel Konvensional Total 2 *Uji c
Kualitas Hidup Jelek 2,5(83,3) 0,5(16,7) 2(100)
Baik 9,5(45,2) 11,5(54,8) 20(100)
Nilai p* 0,138
Analisis variabel yang mempengaruhi kualitas hidup dilakukan dengan regresi logistik (tabel 8). Variabel yang berpengaruh bermakna terhadap kualitas hidup adalah riwayat alergi (p=0,033, adjOR 29,433; 95% KI 1,318-657,202) dan umur (p=0,032. adjOR 8,030; 95% KI 1,197-53,886). Tidak ada perbedaan bermakna kualitas hidup berdasarkan
433
HASIL PENELITIAN SNOT 20 di antara yang menjalani terapi bedah sinus endoskopi dibandingkan dengan yang menjalani bedah konvensional. Tabel 8. Hasil analisis regresi logistik pengaruh variabel terhadap kualitas hidup Variabel Riwayat alergi Umur Jenis kelamin Ada tidaknya polip nasi Jenis polip nasi Derajat polip nasi Luas penyakit Jenis terapi
(ß)
Nilai p
AdjOR
95 % CI
3,382 2,083 3,023 1,428 -,340 1,112 - 432 3,193
0,033 0,032 0,081 0,918 0,806 0,315 0,123 0,095
29,433 8,030 20,562 0,120 0,712 3,041 0,239 24,358
1,318-657,202 1,197-53,886 0,691-611,679 0,689-25,209 0,047-10,766 0,347-26,668 0,039-1,476 0,574-1034,074
Hasil ini mungkin karena antara lain, metode pengukuran kualitas hidup sebagai variabel tergantung hanya dilaksanakan sekali sesudah terapi bedah, sehingga perubahan kualitas hidup masing-masing kelompok tidak dapat diketahui. Hasilnya mungkin berbeda jika pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah terapi bedah, sehingga perubahan kualitas hidup dapat diketahui, baik di kelompok konvensional maupun kelompok BSE. Guyat dan Jaeschke (1990) menyarankan pengukuran kualitas hidup dilakukan sebelum terapi, saat dilakukan program terapi, akhir program terapi atau titik waktu tertentu seperti 1,3,6,12,24 bulan.21 Pada penelitian ini pemberian obat-obatan sebelum maupun sesudah terapi bedah tidak bisa dikendalikan. Obat-obatan merupakan variabel luar yang dapat mempengaruhi kualitas hidup subyek; dapat meliputi antibiotika, steroid lokal maupun sistemik,
dekongestan, anti-histamin maupun obatobatan lain yang diminum oleh subyek. Variasi operator pada penelitian ini juga tidak bisa dikendalikan. Variasi operator merupakan variabel luar yang dapat mempengaruhi variabel bebas (bedah sinus endoskopi, bedah konvensional). Variasi operator meliputi operatornya sendiri yang terdiri dari ahli THT (spesialis THT) dan residen THT, ketrampilan dan pengalaman operator.
Penanganan faktor risiko seperti rinitis alergi pada penderita rinosinusitis kronik pasca terapi bedah sangat perlu untuk mendukung keberhasilan terapi bedah. Belum optimalnya penanganan alergi pasca-terapi bedah menyebabkan penderita RSK dengan rinitis alergi mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan penderita RSK tanpa rinitis alergi. Simpulan & Saran Tidak ada perbedaan kualitas hidup berdasarkan SNOT 20 pada penderita rinosinusitis kronik yang menjalani terapi bedah sinus endoskopi dibandingkan dengan yang menjalani bedah konvensional. Perlu penanganan faktor alergi secara holistik pada penderita RSK pasca-terapi bedah dan penelitian longitudinal (cohort prospective) dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien RSK pasca-terapi bedah, seperti penggunaan obat-obatan, saat follow up, variasi operator dan faktor risiko.
Ketidaktaatan pasien dan tidak seragamnya saat kontrol menyulitkan evaluasi hasil pengobatan; sebagian besar pasien tidak kontrol jika keluhan berkurang atau tidak ada keluhan serta alasan ekonomi. Evaluasi dan follow up pasca-terapi bedah pada penderita RSK sangat diperlukan untuk menentukan saat keberhasilan terapi dan kemungkinan komplikasi yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Hilger PA. Penyakit sinus paranasalis. Dalam : Boies Buku Ajar penyakit THT; Effendi H ed. 6th ed. Jakarta. EGC: 1997. Benninger MS, Poole M, Ponikau J. Adult chronic rhinosinusitis: definitions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head Neck Surg 2003;129S(suppl): S1-32. Lanza DC. Diagnosis of chronic rhinosinusitis. Ann. Otorhinolaryngol. 2004; 18: 10-4. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. Am. Fam. Physician 2001;1-8. Anand VK, Epidemiologic and economic impact of rhinosinusitis. (Ann Otol Rhinol Laryngol Suppl. 2004; 193: 3-5. Sucipto D..Temuan sinuskopi pada pasien sinusitis maksilaris kronis. Kongres Nasional Perhati XI. Jogjakarta;1995 :179-89. Suyitno S. Sinusitis maksila pada anak di RSUP DR. Kariadi Semarang. Kumpulan makalah Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) PERHATI-KL. Malang.1996;788-98. RSUP Dr. Sardjito. Data rekam medis RSUP Dr Sardjito Jogjakarta. 2007. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam Soepardi EA dan Iskandar NI (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala dan Leher. 5th ed FKUI, Jakarta. 2001:120-4. Lanza DC, Kennedy DW. Adult rhinosinusitis defined. Report of the rhinosinusitis task force committee meeting. Otolaryngol Head Neck Surg (suppl) . 1997;117:4-5. Browne JP, Hopkins C, Slack R ,Topham J, Reeves B. Health related quality of life after polypectomy with and without additional surgery. Laryngoscope 2006;116:297–302. Cauwenberge PV,Watelet JB. Epidemiology of chronic rhinosinusitis.Thorax 2000; 55 (Suppl 2): S20–1. Campbell GD. Pathophysiology of rhinosinusitis. In : Adult chronic sinusitis and its complication. Pulmonary and Critical Update (PCCU) 2004;16:20-7. Leopold D,Ferguson BJ, Piccirillo JF. Outcomes assessment.Otolaryngol Head Neck Surg. 1997;117 : S58-68. Piccirillo JF, Merritt MG, Richards ML.Psychometric and clinimetric validity of the 20 item sinonasal outcome test (SNOT-20). Otolaryngol Head Neck Surg.2002;126:41-7. Deal RT, Stilianos E, Kountakis SE. Significance of nasal polyps in chronic rhinosinusitis: Symptoms and surgical outcomes. Laryngoscope. 2004;114 (11): 1932-5. Salhab M, Matai V, Salam MA.The Impact of functional endoscopic sinus surgery on health status. Rhinology. 2004;42(2):98-102. Rudnick EF, Mitchell RB. Improvement in quality of life in children after surgical therapy for sinonasal disease.Otolaryngol Head Neck Surg.2006;134:737-40. Lameshow S, Hosmer Jr, DW, Klar J, Lwanga SK. Besar sampel dalam penelitian kesehatan (terj). Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. 1990. Gliklich R, Metson R. A comparison of sinus computed tomography (CT) staging systems for outcomes research. Am J Rhinol.1994;8:291–97. Guyatt GH, Jaeschke R. Measurement in clinical trials: choosing the appropriate approach. In: Spilker (ed) Quality of life assessment in clinical trials. Raven Press, Ltd. New York.. 1990.
434
CDK 187 / vol. 38 no. 6 / Agustus - September 2011