BAB IV TEMUAN, INTERPRETASI, DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini dibahas tiga bagian penting yang terkait dengan masalah dan pertanyaan penelitian. Pada bagian pertama disajikan temuan penelitian yang terdiri atas: kondisi pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar yang diperoleh melalui studi pendahuluan,
desain
model
pembelajaran
yang
dikembangkan
dan
prosedur
pelaksanaannya, hasil uji coba model skala terbatas dan lebih luas, dan efektivitas model melajui hasil uji validasi. Selanjutnya, pada bagian kedua diuraikan interpretasi hasil penelitian, dan terakhir, pada bagian ketiga dipaparkan pembahasan hasil penelitian. A. Temuan Penelitian 1. Hasil Studi Pendahuluan Metode penelitian Educational Research and Development mempersyaratkan dilakukan studi pendahuluan sebelum sebuah model pembelajaran dikembangkan. Studi pendahuluan penting dilakukan sebagai langkah awal untuk memperoleh data dari sumber-sumber yang telah ditetapkan dalam rancangan penelitian. Selain itu, hasil studi pendahuluan merupakan basis konseptual yang diperoleh dari teori-teori dan hasil penelitian terdahulu yang relevan
serta
kajian
kondisi
aktual
lapangan
untuk
mengembangkan sebuah model pembelajaran. Dalam penelitian ini, dengan dukungan hasil studi pendahuluan diperoleh model pembelajaran bahasa Inggris yang efektif dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa kelas V sekolah dasar serta dengan kondisi lingkungan yang tersedia. Untuk memperoleh kondisi aktual lapangan, ada dua sumber data yang digunakan dalam studi pendahuluan, yaitu: siswa kelas V dan guru yang mengajar di kelas V
125
126 sekolah dasar yang tersebar dalam wilayah kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Instrumen yang digunakan adalah pedoman observasi berberituk rating scale ditambah dengan catatan seperlunya, pedoman wawancara, dan dokumentasi. Responden yang merupakan sumber data tersebut berupa sampel yang ditentukan melalaui teknik sample bertujuan (purposive sampling) bagi penentuan daerah kecamatan dan sample berstrata {stratified sampling) untuk penentuan sekolah dasar dalam setiap kecamatan. Prosedur penentuan ditempuh dengan memilih tiga dari empat kecamatan dalam wilayah kota Kendari, Provinsi Sulawsi Tenggara. Langkah berikut adalah memilih tiga sekolah dasar berkategori baik, tiga berkategori sedang, dan tiga lainnya berkategori kurang dari ketiga kecamatan terpilih. Kriteria penentuan kategori masingmasing sekolah dasar terpilih diperoleh dari Ka Subdin PSD Dinas Pendidikan Kota Kendari dan dari Pengawas TK/SD setempat Untuk lebih jelasnya penyebaran dan kategori sekolah dasar yang menjadi sumber data pada studi pendahuluan dapat dilihat pada table 4.1 berikut. Table 4.1 Sumber Data Penelitian dalam Studi Pendahuluan No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sekolah
Kategori
Jumlah Siswa
Kecamatan
SDN 1 Kendari SDS Katolik 22 SDN 3 Baruga SDN 12 Baruga SDN 1 Baruga SDN 9 Mandonga SDN 12 Kendari SDN 12 Mandonga SDN 6 Baruga
Baik Sedang Kurang Baik Sedang Kurang Baik Sedang Kurang
42 40 34 42 36 30 30 32 34
Kendari Kendari Baruga Baruga Baruga Mandonga Kendari Mandonga Mandonga
orang orang orang orang orang orang orang orang orang
127 Berikut adalah identitas responden
guru khususnya yang terkait dengan
pendidikan terakhir, pengalaman mengajar bahasa Inggris di sekolah dasar, dan lama mengajar bahasa Inggris di kelas V sekolah dasar seperti pada table 4.2. Table 4.2 Identitas Responden Guru Kode Guru
A B C D E F G H I
Pendidikan Terabir
Sarjana Muda IAIN, Tarbiah Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris D3 Pendidikan Bahasa Inggris Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris D3 Pendidikan Bahasa Inggris Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris D3 Pendidikan Bahasa Inggris Sarjana Perikanan
Pengalaman Mengajar Bhs. Inggris di SD
Pengalaman Mengajar Bhs. Inggris di Kelas V
8 tahun
6 tahun
4 tahun
4 tahun
5 tahun
4 tahun
5 tahun
3 tahun
5 tahun
5 tahun
1 tahun
1 tahun
8 tahun
8 tahun
3 tahun
3 tahun
3 tahun
3 tahun
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hanya ada dua orang yang tidak berlatar belakang pendidikan bahasa Inggris dari sembilan orang guru responden atau 22,22%. Ini bearti 77,78% adalah guru yang dipandang layak mengajar bahasa Inggris secara formal, dengan rincian empat orang berkualifikasi SI, dan tiga orang lainnya D3. Untuk lama mengajar, hanya satu orang yang baru berpengalaman satu tahun, selebihnya cukup berpengalaman dengan rentang antara tiga sampai delapan tahun. Dengan kenyataan ini
128 kualitas belajar mengajar lebih mudah ditingkatkan karena tingkat pendidikan guru yang memadai untuk mengajar di sekolah dasar. Dalam studi pendahuluan, diperoleh kondisi pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar yang dilakukan melalui
studi dokumentasi, observasi kelas, dan
wawancara. Dari studi dokumentasi dan observasi kelas diperoleh data yang terkait dengan komponen pembelajaran dengan rincian: tujuan dan rencana pembelajaran, bahan ajar dan metode penyampaian, proses dan interaksi pembelajaran, dan evaluasi proses dan hasil belajar. Selain itu melalui interview dengan responden guru dan siswa diperoleh data tentang: bagaimana guru mengembangkan kompetensi komunikatif; dan bagaimana siswa memperoleh pembelajaran bahasa Inggris. Melalui angket terbuka dan interview tak berstruktur, dijaring data tentang motivasi dan sikap siswa kelas V sekolah dasar terhadap pembelajaran bahasa Inggris. a. Kondisi pembelajaran di sekolah dasar Tujuan dan Rencana Pembelajaran Sembilan orang guru yang menjadi responden penelitian ini terbagi dua kelompok dalam memandang dan memperlakukan tujuan dan rencana pembelajaran. Tiga orang yang menyiapkan rencana pembelajaran (33,33%), enam orang lainnya (66,67%) mengajar tanpa rencana tertulis atau hanya mengikuti alur kegiatan dalam buku sumber dengan sedikit modifikasi urutan sesuai dengan kebutuhan siswa. Kelompok pertama menganggap perlu membuat catatan khusus (rencana pembelajaran) yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan pengalaman belajar kepada siswa melalui rumusan kompetensi dasar, tujuan, dan indikator ketercapaian kompetensi dasar. Hal itu dimaksudkan agar mereka tidak keluar dari
129 rencana pemberian pengalaman belajar yang telah ditetapkan atas pertimbangan tugas dan latihan berbahasa Inggris yang realistis dan pedagogis. Dari pendapat itu jelas terlihat kemampuan guru yang sangat memadai untuk dikembangkan lebih jauh agar dapat memfasilitasi dan membimbing siswa belajar. Kelompok kedua lebih bergantung pada buku sumber dengan hanya sedikit memperhatikan kesesuaian bahan ajar dan tugas serta latihan yang diberikan. Kelompok itu memandang buku sumber sebagai acuan setiap kegiatan belajar bahasa Inggris sehingga
cenderung
mengikuti
metode
yang
disarankan
penulis
dalam
urutan
penyampaian, dan cara mengerjakan tugas dan latihan, tanpa memperhatikan jumlah waktu (pace) yang sesuai berdasarkan tujuan pengembangan kompetensi terkait. Akibatnya, pembelajaran cenderung kaku dan monoton karena didikte oleh penulis yang jauh dari pemahaman kondisi kelas tempat buku itu digunakan. Berikut beberapa hal yang dapat d [kemukakan dari kedua kelompok di atas: Karena tidak memiliki silabus kurikulum muatan lokal, guru cenderung tidak merumuskan kompetensi dasar, tujuan, dan indikator. Rumusan kompetesi dasar secara umum dipetik atau diadaptasi dari Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Inggris SMP atau dari buku sumber tanpa memperhatikan penekanan pengalaman belajar yang menjadi fokus. Kompetensi dasar dan indikator secara umum belum sesuai dengan tugas dan latihan yang diberikan. Tugas dan latihan tersebut masih ada yang kurang bermakna dan relevan dengan perkembangan siswa khususnya yang berkaitan dengan faktor kapasitas pemrosesan (processing capacity) bahasa.
130 Bahan Ajar/Metode Penyampaian Bahan Ajar Sebagian besar guru terpaku pada materi, tugas dan latihan dalam satu buku sumber tertentu tanpa memperhatikan faktor processing capacify bahasa siswa dalam menyelesaikan tugas dan latihan tersebut. Mereka belum menyesuaikan materi, tugas dan latihan dengan tingkat kemampuan siswa.Variasi materi, tugas dan latihan lebih banyak bergantung pada buku acuan guru. Sebagian besar guru hanya mengikuti irama penulis yang menuangkan materi, tugas dan latihan berdasarkan variabilitas yang tidak meperhitungkan kebutuhan ril siswa secara spesifik. Karena itu pembelajaran cenderung terpaku pada pemberian pengalaman berbahasa yang kurang komunikatif dengan dominasi tugas dan latihan pedagogis dengan format jawaban 'benar/salah'. Tidak memberi peluang kepada siswa berpikir divergen. Semua guru telah memberi pengalaman baru bagi siswa, walaupun kurang memperhatikan realitas tentang dimana, kapan, dan kepada siapa sebuah ujaran sesuai digunakan. Selain itu, mereka juga belum mampu membedakan kompleksitas tuntutan kognitif yang dikandung oleh tugas dan latihan tersebut sehingga urutan sering tidak mengikuti prinsip dari yang mudah ke yang sulit atau dari yang konkret ke yang abstrak. Guru masih kurang memahami bagaimana: memfasilitasi siswa agar mampu mengungkapkan dirinya sendiri melalui kegiatan komunikatif, menyajikan kosa kata dan ujaran baru sesuai tingkat perkembangan siswa, mengarahkan siswa agar mampu menggunakan bahasa lisan atau tulis yang bermakna dan mengalir secara alami berdasarkan topik dan hubungan interpersonal antar pemakai bahasa, dan menyajikan bahasa yang bermakna dalam konteks budaya penutur asli.
131 Metode Penyampaian Sebagian besar guru belum memahami pentingnya kegiatan pendahuluan untuk mengantar siswa memasuki pengalaman baru. Mereka membuka pelajaran dengan mengajukan pertanyaan tentang apa yang dipelajari siswa sebelumnya. Jika pertanyaan tidak dijawab benar, maka guru menjelaskan kembali materi tersebut. Kemudian memberi penjelasan tentang apa yang akan dipelajari saat itu. Pada kegiatan inti guru telah memfasilitasi rekonstruksi pengalaman baru, namun sebatas hanya dengan mengerjakan tugas/latihan yang ada dalam buku teks. Sebelum siswa mengerjakan tugas/latihan, guru terlebih dahulu memberi contoh penyelesaian soal. Kemuadian ia memberi waktu kepada siswa untuk menyelesaikan soal-soal itu baik secara individu maupun kelompok. Setelah siswa selesai, guru lalu mengecek jawaban dan menjelaskan kembali jawaban yang salah. Pada kegiatan penutup, guru memberi pekerjaan rumah yang dipetik dari soal-soal yang ada dalam buku teks, yang belum sempat diselesaikan siswa pada saat kegiatan inti berlangsung. Guru telah memberi bantuan baik secara klasikal maupun individual bila siswa menemukan kesulitan. Satu hal esensial yang belum dilakukan adalah memberikan bimbingan dan mengarahkan siswa secara bertahap menemukan oleh diri sendiri fakta, pengetahuan dan keterampilan yang menjadi tujuan pembelajaran. Ternyata semua guru tidak melakukan umpan balik melalui pertanyaan terarah. Siswa belum diberi kesempatan menyadari pengalaman yang baru diperoleh agar dapat membandingkannya dengan pengetahuan dan keterampilan sebelumnya. Namun, mereka memberi penguatan positif berupa pujian bagi siswa yang telah berhasil menjawab dengan benar. Hal berbeda adalah frekuensi pemberian pujian. Ada yang memberi pujian
132 terlalu sering sehingga cenderung dimaknai sebagai ungkapan yang biasa saja dilakukan guru, artinya tidak memberi makna apa-apa yang dapat memotivasi belajar. Kegiatan pembelajaran belum memfasilitasi penerapan fakta, pengetahuan, dan keterampilan yang baru diperoleh dalam memecahkan persoalan-persoalan pedagogi k atau autentik. Tugas dan latihan yang diberikan guru terpaku pada kegiatan inti, yang di dalamnya siswa diperhadapkan lebih bayak pada penyelesaian persoalan pedagogik dari buku sumber. Penggunaan media belum dapat mempermudah siswa memahami konsepkonsep bahasa karena tidak disertai dengan konteks yang jelas. Guru juga belum menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar. Misalnya pemanfaatan diri sendiri dan lingkungan sekitar siswa untuk memperkenalkan kosa kata baru dan kegiatan-kegiatan komunikatif seperti menulis atau berbicara tentang sebuah topik. Semua guru belum menyajikan drill bermakna {meaningful drill)
Mereka
menyajikan drill mekanis, siswa mengulangi ujaran yang diucapkan guru dengan penekanan pada bunyi bahasa dan intonasi yang dianggap tepat. Prosedur yang ditempuh mulai dari pengulangan secara klasikal, separuh kelas, dan akhirnya secara individual. Demikian seterusnya sampai siswa mampu melafalkan bunyi-bunyi bahasa dan intonasi kalimat yang berterima. Guru selalu mngeroksi kesalahan siswa. Namun, belum semua guru mampu melaksanakan koreksi kesalahan siswa dengan cara yang lebih santun. Misalnya melalui parafrase atau mengulangi kalimat yang sama dalam bentuk dan pengucapan yang benar sambil memberi kesan melalui tatapan atau dengan nada dan mimik tertentu.
Proses/Interaksi Pembelajaran Proses Pembelajaran
L
^ \ • SlV^-S* ,
Guru menyajikan materi dengan lancar karena telah mempelajariny^sefeehffif^ masuk kelas bahkan ada di antara mereka membawa catatan kecil untuk mengatur urutan penyajian dengan sedikit modifikasi dari buku sumber. Modifikasi urutan penyajian dilakukan berdasarkan urutan logis yang diperkirakan sesuai dengan materi yang relevan dengan topik tertentu. Namun, pengaturan waktu kegiatan sering diabaikan sehingga penyelesaian tugas dan latihan sering ditentukan oleh cepat-lambatnya siswa. Hal itu terjadi karena mereka belum memiliki pengetahuan berapa waktu yang tepat bagi anak untuk menyelesaikan tugas dan latihan sesuai tuntutan kognitif yang melekat di dalam tugas tersebut. Penjelasan guru pada setiap pelaksanaan tugas sangat bervariasi. Ada yang menjelaskan setelah yakin siswa siap menerima penjelasan. Sebagian menjelaskan tanpa memperhatikan apakah semua siswa sudah siap atau belum. Lainnya memberi penjelasan sambil mengecek pemahaman siswa melalui pertanyaan atau menyuruh salah seorang menjelaskan kembali cara mengerjakan tugas dan latihan tersebut Hanya sebagian kegiatan pembelajaran yang dipantau memperlihatkan bahwa siswa cenderung lebih aktif daripada guru dalam menyelesaikan tugas dan latihan. Dalam hal ini, siswa mengajukan pertanyaan bila menemukan masalah yang belum dapat dipecahkan sendiri. Cara guru menjawab pertanyaan siswa bervariasi. Ada yang menjawab sambil menuliskannya di papan tulis. Sebagian menjawab sambil menyuruh siswa memperhatikan buku sumber kemudian menjelaskan dengan panjang lebar. Yang lainnya menjawab setelah memastikan tak ada siswa lain yang dapat membantu.
134 Pada umumnya guru memberi bantuan sesuai kebutuhan, yang berbeda adalah caranya- Sebagian berkeliling kelas memantau siswa dalam mengerjakan tugas dan latihan sambil memberi penjelasan singkat bila menemukan siswa dalam kesulitan, yang lain hanya menunggu pertanyaan dari siswa sambil memantau kegiatan dari depan kelas, bantuan biasanya diberikan dalam bentuk penjelasan keseluruh kelas. Guru memiliki kesungguhan menyajikan pelajaran. Hal itu dibuktikan dengan suara yang lantang cukup terdengar ke seluruh kelas, mimik yang menampakkan kesungguhan dan air muka yang berseri-seri, serta perlakuan kepada siswa yang baik. Semua guru membangun hubungan baik (rappori) dengan siswa yang memfasilitasi proses belajar yang tidak mencekam (non-threatening atmosphere). Guru dan siswa memahami peran dan tugas masing-masing sehingga tidak terjadi salah komunikasi ketika melaksanakan tugas dan peran tersebut, walaupun guru sesekali menggunakan bahasa Inggris. Dalam hai berbahasa Inggris, semua guru masih membutuhkan peningkatan kelancaran (fluency) dan ketepatan (accwacy) yang lebih baik, baik menyangkut tata bahasa dan pemilihan kata maupun pengucapan dan aksen yang tepat (register) untuk mengungkapkan ide dan gagasan. Guru kurang kreatif menggunakan the teacher 's metalanguage, sehingga terkesan hanya ungkapan itu-itu saja yang dapat dikatakan, misalnya good morning, openyour book dan lain-lain. Guru juga kurang kreatif dalam mengorganisasi kelas, proses pembelajaran cenderung monoton.
Mereka mengatur siswa bekerja secara individual, sesekali
berpasangan dalam praktik bercakap dengan membaca dialog dari buku sumber. Demikian juga dalam kegiatan memberi bimbingan dan menyelesaikan tugas dan latihan,
135 serta menentukan alat bantu pembelajaran. Sebagian besar guru hanya menggunakan alat bantu dengan memanfaatkan gambar dalam buku sumber, yang lain membuat sendiri sesuai dengan kebutuhan topik pembelajaran. Inisiatif guru terlihat dari seberapa sering dan variatifnya mendorong siswa agar belajar lebih tekun ketika menemukan siswa yang memerlukan bantuan menyelesaikan tugas dan latihan. Tidak semua guru mampu melakukan inisiasi yang tepat untuk menstimulasi (memotivasi) siswa agar menyelesaikan tugas dan latihan dengan baik. Interaksi pembelajaran. Pada umumnya guru belum secara optimal mendorong semua siswa agar berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan. Siswa belum sepenuhnya diberi kesempatan mengambil peran dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok melalui diskusi dan mengambil kesimpulan. Hanya sebagian kecil siswa (terkesan orang-orang yang sama) yang mendominasi dan terlibat aktif dalam tanya jawab. Siswa belum memperoleh kesempatan luas untuk bertanya dan berpendapat. Guru membatasi waktu bertanya, lebih senang menjelaskan seiagi siswa mendengar dengan tertib. Pada umumnya guru belum mampu menciptakan suasana yang mendorong siswa mengajukan pertanyaan dan mengemukakan pendapat Belum semua siswa penuh perhatian dan terlibat dalam setiap kegiatan. Mereka cenderung pasif dan menunggu sampai guru turun tangan membantu. Kira-kira 25%-35% yang lain cenderung lebih memperhatikan, lebih aktif dan berinisiatif melibatkan diri dalam setiap kegiatan. Suasana kelas cukup kondusif. Siswa tidak merasa cemas kecuali pada pembelajaran 'tata bahasa' ketika siswa diperhadapkan pada jawaban benar atau salah.
]36 Evaluasi Semua guru belum melakukan evaluasi proses, apalagi menggunakan alat evaluasi seperti daftar check, penilaian kinerja, dan penilaian kemajuan belajar siswa lainnya. Guru belum melakukan evaluasi formatif secara formal karena alasan tidak cukup waktu. Untuk mengetahui keberhasilan siswa, guru mengecek pekerjaan secara klasikal dengan mengajukan pertanyaan "benar" atau "salah" pada setiap butir soal. Guru kemudian memperkirakan berapa persen siswa menjawab benar dan salah. Mereka belum memahami bahwa evaluasi proses penting untuk memantau kemajuan belajar siswa sehingga tidak mempersiapkannya dari awal. Guru tidak menyiapkan evaluasi hasil belajar dengan baik, belum membuat kisikisi tes. Butir-butir tes tidak mewakili empat keterampilan bahasa dan unsur-unsur bahasa, bahkan cenderung fokus pada testing the language areas saja dalam bentuk discrete Hem tesi. Sebagian besar guru hanya memetik kembali soal-soal dari tugas dan latihan dari buku sumber yang telah diselesaikan siswa sebelumnya. Melalui analisis dokumen, ditemukan kurang lebih 83,33% dari 30 butir soal yang menguji kemampuan siswa terhadap kosa kata dan tata bahasa. Selebihnya 16,67% menguji kemampuan membaca pemahaman. b. Pengembangan kemampuan komunikatif Dalam wawancara dengan guru, diajukan empat butir pertanyaan pokok, yaitu: (1) Apa yang Anda ketahui tentang kemampuan komunikatif?; (2) Bagaimana Anda mengembangkan kemampuan komunikatif?; (3) Adakah pola tertentu yang Anda ikuti?; dan (4) Bagaimana Anda mengevaluasi kemampuan komunikatif siswa? Berikut adalah
137 uraian hasil wawancara dengan guru yang telah dikalimatkan kembali namun tidak menyimpang dari maksudnya: 1) Keyakinan guru tentang kemampuan komunikatif Pemahaman guru terhadap kemampuan komunikatif beragam walaupun hampir separuh dari mereka sarjana (SI) pendidikan bahasa Inggris dan dua di antaranya D3 pendidikan bahasa Inggris. Ada yang memahami sebagai kemampuan menyampaikan dan menerima pesan baik lisan maupun tertulis. Tingkat kemampuan menyampaikan dan menerima pesan bergantung atas pengetahuan bahasa sebagai media komunikasi yang digunakan. Menurutnya, semakin luas pengetahuan gramatikal dan unsur-unsur bahasa lainnya serta pengetahuan tentang situasi kapan dan dimana sebuah ujaran sesuai digunakan, semakin lancar seseorang menuangkan dan atau memaknai pesan. Sebagian memahaminya sebagai kemampuan berkomunikasi lisan (tindak tutur bahasa) yang diajarkan kepada siswa agar mampu dan terampil berkomunikasi dalam bahasa Inggris di mana dan kapan diperlukan. Kelompok kecil ini menganggap kemampuan komunikatif sebagai bahan pembelajaran bahasa Inggris baik pada tingkat sekolah dasar mau pun pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Agar memiliki kemampuan itu, siswa diberi latihan bercakap-cakap secara berpasangan melalui teks berbentuk dialog dari buku sumber. Selain itu, siswa dilatih mengucapkan bunyi secara tepat dengan drill, dan menerjemahan kata-kata sulit. Seorang guru menjelaskan kemampuan komunikatif sebagai kemampuan yang dimiliki pemakai bahasa untuk mengekspresikan dan menangkap ide, pikiran, perasaan, dan gagasan. Menurutnya, ada esensi yang terkait dengan kemampuan (kompetensi) seperti pengetahuan 'tentang bahasa' dan keterampilan menggunakan bahasa sebagai
138 media komunikasi. Pengetahuan mencakup kemampuan merangkai kata dan kalimat sesuai kaidah tata bahasa yang tepat mewakili pesan yang disampaikan. Pengetahuan saja tidak cukup, tapi harus disertai dengan keterampilan mengucapkan bunyi bahasa yang tepat, memilih kata dan kalimat yang sesuai dengan topik serta kepada siapa pembicaraan ditujukan. 2) Bagaimana Anda mengembangkan kemampuan komunikatif? Walaupun keyakinan tentang kemampuan komunikatif beragam, cara guru mengembangkannya cenderung sama. Mereka berangkat dari buku-buku sumber yang tersedia. Ada yang memilih materi dari beberapa sumber dan ada pula yang memilih dari satu buku tertentu. Kegiatan yang diberikan sudah mengarah pada pengembangan kemampuan
komunikatif,
walaupun
tidak jelas
fokus
pengembangannya.
Empat
keterampilan bahasa (language skills) dan unsur-unsur bahasa {language components) tidak disajikan secara terintegrasi. Menyimak belum dipersiapkan khusus sebagai pembelajaran.
Ketika guru
mengarahkan siswa untuk mengerjakan tugas, siswa biasanya menyimak penjelasan guru yang disajikan dalam bahasa Inggris. Siswa memahami maksudnya karena penjelasan diulangi dalam bahasa Indonesia. Membaca kata dan kalimat dilakukan dengan suara nyaring, dan biasanya menjadi menu utama kegiatan pembelajaran. Berbicara dilakukan siswa melalui dialog tertulis dari buku sumber tanpa memahami situasi kapan, dimana, dan kepada siapa ujaran ditujukan. Menulis cenderung merupakan latihan menulis ejaan (kosa kata) dan kalimat-kalimat lepas, tidak utuh dari konteks sosial dimana sebuah bentuk bahasa dan ujaran sesuai digunakan.
139 Pada pengembangan unsur-unsur bahasa, guru memberikan tugas dan latihan kepada siswa sesuai dengan buku sumber. Pada umumnya guru menyajikan tugas dan latihan kosa kata melalui gambar. Siswa menjawab dengan menuliskan kosa kata berdasarkan gambar yang disajikan. Kegiatan monoton karena guru tidak mengambil contoh dari lingkungan siswa, seperti benda-benda yang ada di kelas atau di lingkungan sekolah. Tak satu orang guru pun yang memperkenalkan kosa kata melalui kegiatan yang lebih bermakna, misalnya menyuruh siswa melakukan sesuatu yang direspon dengan melakukan perintah itu. Untuk mengembangkan kompetensi gramatikal, guru menjelaskan tata bahasa dengan contoh
kalimat dari buku sumber.
Siswa mendengar
penjelasan guru,
memperhatikan contoh yang diberikan kemudian mengerjakan soal-soal. Setelah itu pekerjaan siswa dicek dengan menyuruh siswa menulis jawaban di papan tulis. Banyak waktu yang terbuang dalam kegiatan itu. Guru tidak memperhatikan berapa waktu yang sesuai untuk peralihan tugas dari kegiatan satu ke yang lain. Latihan pengucapan dilakukan melalui drill—siswa mengulangi kalimat-kalimat yang diucapkan guru, meniru pengucapan dan intonasi sebagai model. Drill dilakukan secara klasikal, separuh kelas, dalam jumlah siswa tertentu, dan secara individual. 3) Adakah pola tertentu yang Anda ikuti? Semua guru bereaksi sama menanggapi pertanyaan ini. Mereka mengenal prosedur dengan tiga tahapan pembelajaran: Pendahuluan (mereka sebut apersepsi); Kegiatan inti; dan Kegiatan penutup. Pada kegiatan pendahuluan, guru mengajukan pertanyaan yang terkait dengan materi pembelajaran sebelumnya. Siswa menjawab secara klasikal, biasanya serentak beberapa orang. Ketika siswa menjawab kurang tepat, guru menjelaskan kembali tanpa
140 memperhatiakan
waktu
yang
tersedia.
Setelah
semua
jelas,
guru
kemudian
memperkenalkan materi pembelajaran berikutnya melalui penjelasan pengantar. Memasuki tahap kegiatan inti, guru menyuruh siswa membuka buku sumber, dan memperkenalkan topik babasan. Penjelasan tentang cara mengerjakan tugas dan latihan pada umumnya mengawali kegiatan ini. Siswa mendengar penjelasan guru dengan seksama sambil memperhatikan contoh di papan tulis. Sebagian guru mengecek apakah siswa mengerti atau tidak dengan menyuruh salah seorang mengulangi atau menjelaskan kembali apa yang harus dilakukan dan cara melakukannya. Setelah guru yakin, siswa pun disuruh mengerjakan tugas dan latihan. Guru memonitor dan memberi bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan. Kegiatan berikut, guru mengecek hasil pekerjaan siswa secara lisan atau tertulis di papan tulis. Tahap akhir dari prosedur pembelajaran adalah penutup. Kegiatan pada tahap ini cenderung dimaknai sebagai kegiatan evaluasi formatif. Evaluasi formatif sering tidak dilakukan secara formal, akan tetapi hanya dengan pengamatan keberhasilan siswa mengerjakan tugas dan latihan pada kegiatan inti. Guru mengetahui taraf serap materi melalui pengamatan dan perkiraan hasil belajar secara klasikal. Selain evaluasi formatif, kegiatan penutup sering juga mencakup pemberian pekerjaan rumah. 4) Bagaimana Anda mengevaluasi kemampuan komunikatif siswa? Untuk pertanyaan ini, guru pada umumnya menjawab singkat, 'mengevaluasi materi yang telah diajarkan'. Alat evaluasi berbentuk tes pilihan ganda (paper andpencil tesi). Mereka tidak menerapkan evaluasi proses belajar yang dilakukan dengan alat penilaian kemajuan belajar.
141 c Tanggapan siswa terhadap cara guru mengembangkan kemampuan komunikatif. Untuk
memperoleh
tanggapan
siswa
tentang
cara
guru
mengembangkan
kemampuan komunikatif, diajukan pertanyaan berkisar pada bagaimana guru mengelola pembelajaran. Wawancara fokus pada langkah-langkah pembelajaran, bagaimana guru membantu siswa dalam kesulitan, bagaimana siswa belajar menyimak, membaca, berbicara, dan menulis serta belajar kata-kata bahasa Inggris yang difasilitasi guru. Jumlah responden 40 orang sampel yang diambil secara acak dari empat sekolah yang berbeda. Hal itu dimaksudkan agar bisa mewakili siswa lain karena karakteristik yang sama. Tanggapan siswa dikemukakan sebagai berikut: Pada umumnya siswa mengemukakan bahwa guru mulai pelajaran dengan salam, mengabsen siswa, kemudian menanyakan pelajaran yang lalu atau jawaban pekerjaan rumah yang ditugaskan sebelumnya. Setelah itu barulah guru menyuruh membuka buku sumber pada halaman tertentu. Guru menunjuk bacaan atau soal-soal dalam buku itu, menjelaskan dan memberi contoh tertulis tentang bagaimana menyelesaikan soal-soal itu. Siswa pada umumnya bekerja secara individual, sementara guru memantau dari depan kelas. Setelah siswa selesai mengerjakan soal-soal, mereka pun disuruh menuliskannya di papan tulis, satu persatu siswa ditunjuk untuk mendapat giliran ke depan. Sebagai kegiatan akhir, guru menutup pelajaran dengan memberi pekerjaan rumah. Bila guru menemukan siswa dalam kesulitan menyelesaikan soal-soal, mereka memberi bantuan dengan menjelaskan kembali materi bersangkutan. Sering juga guru berkeliling mengamati pekerjaan siswa sambil memberi jawaban atau menunjukkan cara menjawabnya.
142 Pada umumnya siswa menyatakan bahwa mereka tidak pernah diberi pelajaran menyimak, tapi sering mendengar guru berbahasa Inggris saat memberi salam dan ketika memberi instruksi kepada siswa untuk mengerjakan latihan. Misalnya: "Openyow book, page
." Pada pelajaran membaca, terutama membaca pemahaman, guru mulai dengan
menerjemahkan kata-kata sulit, sementara siswa menyalin ke dalam buku catatan. Setelah itu siswa disuruh menjawab pertanyaan secara individual. Langkah akhir dari pelajaran membaca pemahaman adalah guru mengecek jawaban dengan menyuruh siswa menuliskannya di papan tulis. Selain membaca pemahaman, siswa juga di suruh membaca nyaring kata atau kalimat tertentu, meniru model pengucapan guru yang dianggap benar. Pada
pelajaran berbicara, siswa ditugasi membaca dialog dalam buku sumber.
Guru memberi contoh terlebih dahulu tentang bagaimana percakapan dilakukan. Selanjutnya guru menerjemahkan percakapan tersebut secara lisan untuk dicatat oleh siswa. Langkah berikut siswa membaca dialog secara berpasangan. Guru memperbaiki pengucapan siswa yang kurang tepat yang diikuti oleh siswa bersangkutan atau secara klasikal. Sama halnya dengan membaca, menulis dilakukan dengan mengerjakan soal-soal dan latihan dalam buku sumber. Sering menulis kata yang relevan dengan gambar, atau menulis suatu kalimat yang sesuai dengan kalimat pemicunya. Dengan perkataan iain, menulis dilakukan dengan mengisi kata pada kalimat-kalimat rumpang.
143 d. Motivasi dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris Untuk memperoleh data tentang motivasi dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris, diberikan angket terbuka melalui sebuah pertanyaan: "Bagaimana pengalaman anda dalam belajar bahasa Inggris selama ini? Jawaban diuraikan secara tertulis dalam bentuk esai. Selain angket terbuka dilakukan juga wawancara pada siswa (responden) yang sama, dengan maksud untuk menggali lebih jauh informasi yang belum jelas dari angket. Dari empat puluh orang responden, diperoleh data deskriptif dalam empat kategori yang berbeda sebagai berikut. 1). Tertarik belajar bahasa Inggris karena sadar akan pentingnya bahasa Inggris. Siswa dalam kelompok ini mengaku bahwa mereka belajar bahasa Inggris karena senang dan atas kemauan sendiri walaupun juga atas dukungan, orang tua. Motivasi belajar timbul karena ingin (mampu) berkomunikasi dengan orang asing, bekerja di kantor perusahaan asing, dan karena meyakini penguasaan bahasa Inggris akan membantu dalam memperoleh pengetahuan. Informasi tentang manfaat belajar bahasa Inggris kebanyakan diperoleh dari orang tua dan guru. Kondisi pendidikan dan ekonomi orang tua siswa dalam kelompok ini umumnya tergolong baik, mampu memberikan kontribusi terhadap kemajuan belajar anak. Kelompok ini sering mengikuti les bahasa Inggris baik yang dilakukan gurunya sendiri mau pun dari kursus-kursus resmi. Mereka memiliki dorongan yang kuat baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Dari pernyataan suka atau senang bahasa Inggris walaupun sulit, dapat dikemukakan bahwa siswa dalam kelompok ini memiliki sikap positif terhadap pelajaran bahasa Inggris.
144 2). Tertarik belajar bahasa Inggris karena dipelajari di sekolah. Kelompok siswa ini mengaku tidak banyak informasi tentang pentingnya belajar bahasa Inggris yang diperoleh dari orang tua. Namun, mereka mengaku senang belajar walaupun sulit menulis dan mengucapkan kata-kata bahasa Inggris. Mereka menyukai pelajaran bahasa Inggris karena gurunya baik, suka membantu kalau salah dalam menjawab soal-soal. Mereka juga mengakui mulai menyenangi bahasa Inggris setelah guru memperkenalkan kata-kata melalui gambar, bacaan dan lagu. Kondisi pendidikan dan ekonomi orang tua siswa dalam kelompok ini bervariasi dari tingkat SMA sampai perguruan tinggi, pegawai negeri atau pun swasta. Jumlah siswa responden dalam kelompok ini lebih banyak daripada kelompok responden pada kategori lain. Dari pernyataan tertulis atau lisan yang diberikan, ditemukan bahwa rata-rata mereka memiliki motivasi belajar dan cenderung memiliki sikap positif terhadap pembelajaran bahasa Inggris. 3). Belajar bahasa Inggris karena ingin memperoleh nilai yang bagus. Kelompok siswa ketiga adalah mereka yang ingin belajar bahasa Inggris karena ganjaran yang diberikan guru berupa nilai yang tinggi. Mereka mengaku orang tua mereka senang bila memperoleh nilai tinggi termasuk juga dalam pelajaran bahasa Inggris. Mereka mengaku bahwa kadang-kadang pelajaran bahasa Inggris sulit dan kadang-kadang juga mudah. Senang belajar membaca dan menulis (menyalin kata atau kalimat) tapi ragu-ragu bila disuruh bercakap-cakap oleh guru—cenderung gugup kalau disuruh mengucapkan kata-kata secara berulang-ulang. Kondisi pendidikan dan ekonomi orang tua siswa dalam kategori ini juga bervariasi. Dari pernyataan tertulis dan lisan yang diberikan, dikemukakan bahwa siswa dalam kategori ini rata-rata memiliki motivasi
145 tinggi untuk belajar bahasa Inggris (mungkin juga untuk pelajaran lain) karena pengaruh orang tua agar mereka berprestasi di sekolah. 4). Kurang tertarik belajar bahasa Inggris. Kelompok siswa keempat adalah mereka yang kurang tertarik belajar bahasa Inggris. Ada berbagai alasan yang dikemukakan, yaitu sulit mengerjakan PR karena orang tua tidak bisa membantu, nilai yang diberikan guru selalu rendah, sulit membaca dan menulis karena lain huruf lain bacanya, tidak suka kata-kata bahasa Inggris, dan sebagainya. Kondisi pendidikan dan ekonomi orang tua siswa dalam kategori ini sebagian besar agak rendah. Jumlah siswa dalam kategori ini paling sedikit di antara jumlah siswa pada kategori lain. Dari jawaban tertulis dan lisan yang diberikan, ditemukan bahwa siswa dalam kelompok ini rendah motivasinya dan sikapnya cenderung negatif terhadap pembelajaran bahasa Inggris. e. Ikhtisar hasil studi pendahuluan Terlepas dari beberapa hal yang sudah baik, ada beberapa yang perlu diperhatikan dari informasi yang berhasil dikumpulkan, yaitu: 1) Sebagian besar guru belum menyiapkan tujuan dan rencana pembelajaran, kegiatan dilakukan dengan mengikuti alur dalam buku sumber. 2) Penyajian materi pembelajaran cenderung terpaku pada buku sumber pegangan guru, lingkungan belum dimanfaatkan sebagai media dan sumber belajar yang akrab dengan keadaan siswa. 3) Sebagian besar guru belum memahami pentingnya kegiatan lead-in untuk mengantar siswa memasuki pengalaman baru.
146 4) Kesempatan untuk mengkonstruksi (reconstruction) sendiri pengalaman baru yang difasilitasi dan dibimbing guru melalui kegiatan eksplorasi dan penemuan pengetahuan dan keterampilan baru melalui tugas dan latihan yang direncanakan belum dimanfaatkan secara optimal. 5) Kesempatan menerapkan fakta, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh ke dalam situasi dan konteks baru (production) belum tersedia. 6) Bagaimana memfasilitasi siswa agar mampu mengungkapkan dirinya sendiri melalui kegiatan komunikatif belum dilakukan. 7) Umpan balik (feedback) agar siswa menyadari pengalaman yang baru diperoleh belum mendapat perhatian. 8) Siswa belum diantar pada pemecahan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan terbimbing (leading questions) untuk menemukan sendiri pemecahan masalah yang dibutuhkan. 9) Pada umumnya siswa menyelesaikan tugas dan latihan secara individual. 10)EvaIuasi proses, apalagi menggunakan alat evaluasi tertentu, seperti dañar check, penilaian kinerja, dan penilaian kemajuan belajar siswa lainnya belum dilakukan. Il)Belum ada pola tertentu yang diikuti dalam mengembangkan kompetensi komunikatif siswa. 12) Masih ada siswa yang memiliki motivasi rendah dan sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris yang kurang mendukung. Ke 12 butir temuan di atas dapat direduksi menjadi, butir: 1 terkait dengan dokumen rencana pembelajaran; 2, 6 berkenaan dengan bahan ajar/tugas dan sistem penunjang/media pembelajaran; 3, 4, 5, dan 11 menyangkut prosedur atau langkah-
langkah pembelajaran; 7, 8, dan 9 adalah perihal proses pembelajaran; 10 berkenam;>>*
j z
dengan model evaluasi proses dan hasil belajar; dan 12 terkait dengan motivasi.dan
MjpB'SSr
siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris. 2. Pengembangan Draft Awal Model Pembelajaran Kurikulum mata pelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing dalam sistem pendidikan di Indonesia khususnya bagi pendidikan dasar dan menengah menganut model kompetensi komunikatif, dan model bahasa sebagai sistem semiotik sosial. Kedua model ini berimplikasi pada perlunya model pembelajaran bahasa Inggris yang sesuai dan dapat
mengakomodasi
karakteristik
pelajaran
bahasa
Inggris.
Misalnya,
model
kompetensi komunikatif mengisyaratkan penguasaan kompetensi wacana yang didukung oleh kompetensi yang lain agar seseorang mampu menggunakan bahasa sebagai alat untuk menyatakan makna dalam sebuah interaksi. Demikian pula dalam model bahasa sebagai sistem semiotik sosial, pembelajaran dikemas dalam tiga aspek penting—yang tidak terlepas dari makna—konteks, teks, dan sistem bahasa. Model pembelajaran bermakna mengakomodasi kedua model di atas untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran bahasa Inggris bagi siswa sekolah dasar khususnya kelas V. Model pembelajaran bermakna juga mempertimbangkan kesesuaian dengan karakteristik siswa sebagai pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing dalam sistem pendidikan di Indonesia. Telah disebutkan pada bab H, bahwa siswa memiliki ciri khas (karakteristik) tersendiri yang dalam berbagai hal berbeda dengan pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Siswa memiliki pengalaman kognitif sebagai entry behaviour, dari lingkungan sosiokultural yang beragam, berkomunikasi dalam dua atau lebih bahasa sebelum belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing, dan jarak budaya
A
/
148
penutur asli dengan budaya siswa sendiri, serta jarak linguistik antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Hal-hal
inilah yang menjadi pertimbangan sehingga mode!
pembelajaran
bermakna dianggap paling sesuai. Model pembelajaran bermakna meyakini bahwa esensi tujuan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar adalah agar siswa mau dan menghargai (appreciate) belajar bahasa Inggris. Oleh karena itu, maka: (1) materi, sumber dan media belajar disesuaikan dengan dunia nyata dan lingkungan sosial anak. (2) kompleksitas tugasAatihan berbahasa dan kebahasaan disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual siswa (concrete operation), (3) tugas/latihan akan bermakna bagi anak bila bahasa Inggris disajikan dalam bentuk keseluruhan dan dalam konteks dunia nyata, (4) pembicaraan mengenai tata bahasa yang abstrak dilakukan dengan cara yang bijaksana, (5) mengoptimalkan panca indra anak dalam bermain sambil belajar bahasa Inggris, dan (6) membantu siswa berkembang dan memperoleh pengalaman yang bermakna, serta (7) memanfaatkan usia optimal dalam memperoleh bahasa. Draf awal model pembelajaran dikembangkan dari dua sumber utama, yakni: ( I ) hasil kajian teori-teori belajar, dan (2) Model "The 4Mat System" hasil adaptasi oleh lembaga penelitian Arlington Public Schools, ESOL/HILT Program, dan Center for Applied Linguistics. Selain itu, pengembangan draf awal model didasarkan pada pemenuhan kondisi yang dibutuhkan oleh pembelajaran bahasa Inggris dewasa ini. Model menganut Comparative Summaries dengan prinsip eclecticism—sebuah model pembelajaran yang merupakan kombinasi tiga teori belajar utama yang jamak dikenal sebagai model behavioris, kognitif, dan konstruktif. Selain itu, model juga dipengaruhi oleh the 4Mat System—Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman oleh
149 McCarthy (1980) hasil adaptasi. Dengan perkataan lain, draft yang dikembangkan disesuaikan dengan kondisi ril kebutuhan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar yang diperoleh melalui studi pendahuluan. Berapa besar sumbangan teori-teori belajar terhadap model yang dikembangkan diuraikan sebagai berikut a. Pengaruh teori-teori belajar Secara teoretis, pengembangan model pembelajaran dalam kajian ini diilhami pandangan dan keyakinan Piaget yang masih bertahan sampai kini, yakni the constructive nature of the learning process, keyakinan yang menekankan hakikat konstruktif dalam proses belajar. Menurut Piaget the main underlying assumption of constructivism is that individuals are actively involved right from birth in constructing personal meaning, that is their own personal understanding, from their experiences. In other words, everyone makes their own sense of the world and the experiences that surround them. ... the learner is brought into central focus in learning theory (William dan Burden, 1997: 21). Kutipan ini mengisyaratkan setiap siswa secara aktif sejak lahir telah membangun apa yang disebut sebagai personal meaning, melalui pemaknaan dan pemahaman sendiri tentang dunia (yang secara tipikal berbeda dengan orang lain) yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman. Setiap orang pada dasarnya mengkonstruksi dunianya sendiri dan pengalaman-pengalamannya yang diperoleh melalui aktivitas sekitar mereka. Oleh karena itu, Piaget menempatkan siswa sebagai pusat dalam teori belajar. Dari konsep ini muncul sebuah pertanyaan: "Bagaimana memfasilitasi siswa agar mampu merekonstruksi pengetahuan dan keterampilan berdasarkan pengalaman belajar bahasa Inggris bermakna yang dimediasi guru di dalam kelas?" Jawaban pertanyaan ini mengacu pada peran dan hubungan guru dan siswa yang membentuk sistem sosial
150 (social system) dengan karakteristik yang tipikal untuk sebuah interaksi di kelas. Jika demikian, perlu dikembangkan sebuah desain model pembelajaran yang menawarkan seperangkat langkah (syntax) yang mengakomodasi sistem sosial di atas dengan segala kegiatan, perilaku, dan nilai yang diinginkan, sistem penunjang (support system), dan evaluasi kemajuan belajar siswa Agar memperoleh kekuatan konseptual, ketiga hal itu harus memiliki landasan filosofis dan psikologis yang sesuai. Pengembangan model ini berlandaskan atas keyakinan konstruktivis seperti yang dikemukakan Piaget di atas. Walau demikian, perlu juga dicatat bahwa dari sudut pandang
'pengajaran*
(teaching)—terpisah
dari
'pembelajaran',
konstruktivisme
sebenarnya tidak menganjurkan satu cara mengajar yang paling tepat bagi guru. Menurut Glasersfeld (Williams dan Burden, 1997: 51) cara yang baik adalah yang bermanfaat dan bermakna menurut situasi sendiri.. Tujuan model pembelajaran ini adalah untuk melatih siswa mengembangkan sikap sebagai 'a language researcher'. Menurut Hatch dan Hawkins (1987) dalam CelceMurcia (1991: 347) 'a teaching model which trains learner to develop a "language researcher" attitude is most consistent with research findings'. Oleh karena itu, model yang dikembangkan mengarahkan proses, meningkatkan sistem penyampaian dan mutu pembelajaran agar siswa memiliki kompetensi komunikatif dalam bahasa Inggris yang memadai (mastery of subject matter) dan keterampilan sosial. Dalam posisi kurikulum (Miller dan Seiler, 1985: 197), model ini mengikuti kriteria 'transformasi' dalam arti pada model: dipentingkan hubungan antara pengalaman luar (outer) dan struktur dalam (inner atau skemata) pembelajar, ada fase penyadaran akan perubahan yang dimiliki siswa setelah pembelajaran, menekankan strategi berpikir
151 divergen (divergent thinking process), dan dalam belajar dimungkinkan pengaktifan baik otak kiri maupun otak kanan melalui kegiatan yang direncanakan. Model pembelajaran berangkat dari perspektif konstruktivisme yang memandang bahwa (1) siswa membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pada pengalaman awal, (2) pengalaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman belajar bermakna, (3) siswa memperoleh pengetahuan secara asimilatif dan akomodatif, dan (4) pengetahuan baru sama dengan gabungan dari pengetahuan lama dengan pengetahuan baru.
Perspektif/konsep itu menjadi titik
berangkat dikembangkannya asumsi kunci (lihat Bab n) yang mendasari pengembangan model pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Perspektif dan asumsi kunci mendorong perlunya suatu keadaan dan atau peristiwa dalam model pembelajaran dimana
siswa
memperoleh
kesempatan
membangun
pemahaman
tentang
dunia
sekitarnya, menafsirkan kenyataan dan pengalaman yang berbeda agar mampu mengatasi masalah dalam kehidupan nyata melalui pengalaman belajar yang difasilitasi dan dimediasi. Namun, konsepsi sebuah model tidak dapat secara utuh menganut satu teori tertentu dengan
mengabaikan
teori-teori
lainnya
Kombinasi
teori
dapat saling
melengkapi dan saling menguatkan, karena masing-masing teori memiliki kekuatan dan kelemahan. Ryder (2006: 1) mengemukakan ringkasan model desain pembelajaran dalam tiga model, yaitu "Model Petunjuk/Resep (Prescriptive Models), Model Penomenologi (Phenomenological Models), dan Model Komparasi (Comparative Models)". Masing-masing model mengadopsi dan merupakan kombinasi dari teori-teori belajar tertentu. Khusus yang tersebut terahir, model itu menganut kombinasi model
152 behavioris, kognitif, dan konstruktif dalam satu kerangka pemikiran. Model komparasi tidak mengkolak-kotakkan secara tegas untuk kemudian memilih salah satu secara terpisah, tapi menentukan kombinasi yang tepat untuk aplikasi yang sesuai dengan keadaan dan konteks pembelajaran (Yulaelawati, 2004: 56). Kombinasi teori-teori tersebut dalam model pembelajaran yang dikembangkan pada hakekatnya saling melengkapi, tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai entitas yang berbeda dan memiliki garis pemisah. Dengan maksud memperjelas peran dan sumbangan relatif dari masing-masing teori, hal itu dapat diuraikan sebagai berikut. 1). Sumbangan nisbi teori behavioris Teori belajar behavioris, yang fokus pada perubahan perilaku yang dapat diamati dan diukur, masih tetap dapat digunakan terutama untuk mengamati perubahan perilaku yang jelas. Perubahan perilaku dapat diketahui jika tujuan pembelajaran, kompetensi dan indikator ketercapaian dirumuskan kemudian diukur setelah pembelajaran berlangsung. Tujuan pembelajaran bermanfaat karena siswa dapat secara langsung merespon melalui kegiatan yang terarah pada pencapaian hasil belajar. Gagasan tujuan instruksional oleh behavioris menjadi kombinasi yang saling menguatkan dengan konsep konstruktif yang meyakini bahwa negosiasi tujuan dengan siswa lebih menstimulasi bangkitnya motivasi dan kesiapan siswa mengikuti pelajaran. Selain itu, kombinasi kedua konsep ini juga bermanfaat bila rumusan tujuan instruksional diarahkan pada penguasaan konten dan proses (keterampilan/prosedur) untuk mencapainya. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam "mengembangkan model pembelajaran" posisi teori belajar behavioris berkontribusi pada tahap perencanaan dan evaluasi pembelajaran khususnya dalam hal product oriented, yang dapat menjadi
153 paduan harmonis dengan process oriented dalam konsep konstruktivis. Demikian juga kombinasi antara individual work pada behavioris dengan konsep cooperative smallgroups pada konsep konstruktivis. 2) Sumbangan nisbi teori kognitif Teori belajar kognitif (Piaget) terkenal dengan gagasan perwakilan mental, atau lazim disebut skema (tunggal) atau skemata (jamak). Skema adalah struktur mental atau kognitif dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dengan dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima akan dipahami seseorang. Informasi yang sesuai dengan skema yang dimiliki siswa akan dengan mudah diserap. Jika tidak sesuai, maka informasi tersebut ditolak atau diubah, atau disesuaikan dengan skema yang ada. Kemungkinan lain adalah skema yang akan diubah dan disesuaikan dengan informasi yang diterima Untuk mengakomodasi teori ini, perlu dikembangkan satu langkah dalam model pembelajaran dimana siswa dapat mengaktifkan skemata berupa konsep atau kategori yang dimiliki dengan mengaitkannya pada konsep atau kategori baru yang akan diterima melalui kegiatan atau media tertentu. Dengan pengaktifan skemata ini, siswa akan lebih mudah mengasosiasi, mengadaptasi dan mengkordinasi informasi yang baru diterima sehingga proses untuk mencapai pengertian akan lebih mudah. Selain itu, teori ini juga menekankan perlunya pemberian umpan balik {feedback) pada tanggapan yang benar dalam perannya sebagai pendorong (motivator) belajar. Posisi teori belajar kognitif melengkapi teori perilaku behavioris. Artinya teori kognitif mendasarkan proses berpikir dibalik prilaku yang dapat diamati. Kognitif mengamati perubahan prilaku seseorang untuk digunakan sebagai indikator terhadap
154 peristiwa
mental
yang
terjadi
dalam
pikiran
siswa.
Dalam
kaitannya
dengan
pengembangan model pembelajaran, konsep advance organisers Ausabel sangat baik ditempatkan sebagai satu dalam seperangkat langkah model pembelajaran. Hal itu demikian karena advance organisers berperan menjembatani apa yang telah diketahui dengan apa yang akan diketahui siswa dalam konteks sebuah proses pembelajaran. Advance organisers bermanfaat dan dipandang penting ketika memperkenalkan sebuah topik atau konsep baru dimulai dengan menyinggung topik atau konsep itu—apakah melalui pertanyaan pengungkap (eliciting questions) atau media lain—sekali pun siswa belum memahami topik dan konsep dimaksud. Selain
itu,
aplikasi
teori
kognitif dalam
pembelajaran
bahasa
Inggris
mempengaruhi strategi pembelajaran, dan penyesuaian strategi dengan perkembangan kognitif siswa.
Siswa
diharapkan
menggunakan
kemampuan
kognitifnya
untuk
mengamati, memikirkan, dan mengkategorisasi serta membangun hipotesis tentang bahasa sehingga secara bertahap dapat menangkap konsep bagaimana bahasa digunakan secara fungsional—pembelajaran melalui strategi induktif. 3) Sumbangan nisbi teori konstruktif Teori belajar konstruktif berperan penting dalam model yang dikembangkan karena
secara
konseptual
menyumbang dalam
berbagai
komponen,
mulai
dari
perencanaan, implementasi, sampai pada evaluasi kemajuan belajar. Guru berpengalaman mengajukan empat pertanyaan: (1) apa yang perlu diketahui siswa (what)—konsepsi bahan ajar, (2) mengapa hal itu perlu diketahui (why)—konsepsi pedagogik-teoretis, dan (3) bagaimana hal itu diketahui (how)—konsepsi procedural, mediatif, dan teoretis; serta (4) bagaimana mengetahui tingkat keberhasilan (how)—
155 konsepsi evaluatif. Dengan demikian, perencanaan harus menyentuh beberapa hal sebagai berikut. Pertama, pada tataran konsepsi bahan ajar yang akan mengantar siswa pada fakta, pengetahuan, dan keterampilan baru, pembicaraan materi dalam model konstruktif terkait dengan tugas (iasks)—latihan berbahasa dan perihal bahasa—yang tidak beridiri sendiri melainkan berinteraksi secara dinamis dengan tiga faktor lainnya, guru-siswa, dan konteks (William and Burdens, 1997: 43). Bahan ajar, dalam wujud tugas dan latihan, menghubungkan (interfacing) siswa dengan guru, disamping guru dengan siswa juga berinteraksi satu sama lain. Di satu sisi, perilaku guru dalam interaksi merefleksi nilai dan keyakinan {values and beliefs). Di sisi lain, cara bereaksi dan merespon perilaku guru akan dipengaruhi oleh perasaan dan karakteristik individual siswa. Dalam tataran konteks, bahan ajar, tugas dan latihan harus selalu terkait dengan lingkungan atau sering dimana siswa berada agar lebih bermakna, di samping sering budaya penutur asli bahasa target. Singkatnya, bahan ajar dan konteks mempengaruhi sistem sosial dalam pelaksanaan model pembelajaran. Konteks, dimana proses pembelajaran berlangsung, diposisikan sebagai situasi yang mengkondisikan, oleh karena itu sangat penting dalam membentuk perilaku yang terjadi di dalam proses pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Situasi dapat berarti lingkungan emosional seperti keyakinan dan kepemilikan, lingkungan fisik, etos sekolah secara keseluruhan, lingkungan sosial yang lebih luas, dan latar budaya. Kedua, pada level konsepsi pedagogik, model konstruktif sangat memperhatikan bahan ajar, tugas dan latihan yang dapat membangkitkan minat siswa untuk melakukan eksplorasi, mengemukakan gagasan dari hasil eksplorasi baik secara lisan maupun
156 tertulis, dan melakukan percobaan untuk menguji dan merevisi asumsi-asumsi yang telah dibangun sehingga gagasan itu dapat digunakan dalam situasi yang baru dan dalam konteks dunia nyata. Untuk memperoleh hal itu diperlukan tujuan yang hendak dicapai baik dalam bentuk proses maupun hasil belajar. Ketiga, tingkat konsepsi prosedural, mediatif, dan teoretis terkait dengan implementasi model. Pada tataran prosedural, model konstruktif mengajukan satu langkah dalam model pembelajaran, yang oleh Reece dan Walker (1997: 112) disebut Restructuring-—salah satu dari lima langkah dalam sebuah model konstruktif yang disederhanakan. Restructuring mengakomodasi pemberian kesempatan bagi siswa untuk melakukan eksplorasi dan diskusi melalui kegiatan praktis di kelas yang memungkinkan siswa mengembangkan skema (asimilasi), membentuk skema baru sesuai informasi yang baru, atau memodifikasi skema yang ada agar sesuai dengan informasi yang baru diterima (akomodasi). Proses asimilasi dan akomodasi berlangsung terhadap informasi dan konsepkonsep bahasa bila tersedia bahan ajar (content) yang proses (process) penyajiannya memperhatikan teori-teori pemerolehan bahasa asing/kedua, misalnya hipotesis input (i + 1) oleh Krashen dan Terrel. Hal itu sejalan dengan penanganan the Zone of Proximal Development (Vygotsky), lapisan pengetahuan dan atau keterampilan yang ada di atas kemampuan siswa saat ini. Pada daerah itu siswa memerlukan bantuan dan dukungan belajar baik dari guru mau pun dari teman sejawat. Dukungan belajar dan memecahkan masalah dilakukan melalui scaffolding (Bruner)—percakapan yang mendukung anak dalam menyelesaikan tugas dan kegiatan.
. • '157 '.
v t'**
Konsepsi mediatif bermakna di dalam setiap langkah pembelajaran^: menyatu dengan tindakan-tindakan serta tingkah laku yang direncanakan, rjen mediasi yang sesuai. Konstruktivis meyakini pentingnya guru mengerti pen belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa agar mampu menerima bantuan belajar yang dibutuhkan. Hal itu sejalan dengan keyakinan kognitif (Vygotsky, Bruner) bahwa proses berpikir dan pemerolehan pengetahuan siswa perlu dimediasi melalui interaksi dan percakapan siswa dengan guru di dalam kelas (landasan psikologis). Interaksi dan percakapan itu diharapkan mampu mendorong siswa untuk belajar dan memecahkan masalah oleh dirinya sendiri. Konsepsi teoretis berarti setiap langkah pembelajaran didukung oleh teori-teori bagaimana siswa belajar dan teori-teori pemerolehan bahasa kedua. Ellis dalam Oliva (1992 ; 413) menyatakan bahwa model mengajar adalah strategi-strategi yang didasarkan atas teori-teori tentang bagaimana siswa belajar. Dalam konteks ini penentuan langkah model yang didukung teori-teori belajar dan belajar bahasa kedua/asing tetap terkait dengan filosofi konstruktif dalam posisi kurikulum transformasi. Keempat, konsepsi evaluatif penting bagi model konstruktif dalam mengamati kemajuan
belajar
yang
berorientasi
proses
(process-oriented
evaluation)
dengan
melakukan refleksi terhadap prosess pembelajaran, penilaian mandiri, dan penilaian acuan patokan. Penilaian proses pada model konstruktif dapat dilengkapi dengan penilaian yang berorientasi produk (product-oriented) behavioris melalui pengukuran hasil belajar (achievement testing) dengan penilaian acuan norma. Dalam model pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, teori konstruktif berimplikasi pada
158
*,
perlunya sistem evaluasi yang dapat menyediakan informasi berkelanjutan mengenai
• ¡5". kompetensi komunikatif, bahkan juga tentang motivasi dan sikap. Berdasarkan uraian di atas, desain the MID-Model yang dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan komunikatif siswa kelas V sekolah dasar mengajukan komponen: (1) Tujuan, (2) Materi/bahan ajar, (3) Sumber Belajar, dan (4) Prosedur dengan strategi konseptual berbentuk fase belajar linier: "(a) Lead in (b) Reconstruction, dan (c) Production" serta (5) Evaluasi. Strategi konseptual itu dapat diterjemahkan ke dalam beberapa tahap (stages) pembelajaran di dalam kelas berupa strategi operasional (implementasi). Aktivitas/perilaku pada setiap tahap dalam desain implementasi bersifat fleksibel—dapat dikembangkan
berdasarkan
kebutuhan,
dan
menuntut kecerdasan
serta kreativitas guru. Secara skematik, prosedur dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 4.1 Desain the MID-Model
Langkah
konseptual model
ini
dapat
didekatkan dengan
praktik-praktik
pedagogis di dalam kelas menjadi implementasi. Telah disebutkan terdahulu bahwa tujuan model pembelajaran adalah
untuk
menumbuhkan
sikap siswa sebagai a
159 language researcher. Oleh karena itu, sistem sosial yang berkembang dalam aplikasi model harus memfasilitasi kesempatan belajar trial and error, memperoleh umpan balik, membangun hipotesis tentang bahasa, dan mervisi asumsi-asumsi itu agar menjadi lancar berbahasa. Dalam bentuk 'draf awal' implementasi dikemukakan sebagai berikut:
1. Draw on experience and knowledge—guru melibatkan siswa dalam kegiatan yang memanfaatkan pengalaman nyata dan pengetahuan yang terkait dengan pengalaman dan pengetahuan baru yang akan diperoleh pada kegiatan inti (fase input); 2.
Input Stage—penyajian input baru melalui aktivitas yang berfokus pada siswa, eksplorasi dan diskusi dengan tugas-tugas terbimbing menyimak, membaca pemahaman melalui fasilitasi dan mediasi guru;
3. Reinforcement Stage—siswa mengerjakan tugas yang bersifat replikasi relatif berkenaan dengan tema dan kompleksitas tugas dari tugas sebelumnya pada fase input; dan 4.
Application Stage—siswa menerapkan pengetahuan, informasi, dan atau keterampilan baru dalam memecahkan persoalan-persoalan pedagogik atau autentik melalui tugas-tugas berbicara dan menulis dalam kontrol siswa dan guru.
Bagan 4. 2 Draf Awal Implementasi Model Evaluasi Pembelajaran Sesuai dengan karakteristik the MTD-Model yang memberi penekanan pada kemampuan komunikatif siswa dalam pelajaran bahasa Inggris, maka evaluasi diarahkan pada penilaian kemampuan "wacana lisan dan tulis sederhana" (discourse competence) dengan fokus pada fluency tanpa mengurangi pentingnya penilaian pada accuracy. Artinya, penilaian utama diarahkan pada kemampuan dan kelancaran berbahasa Inggris
160 lisan/tulis sederhana yang dapat dimengerti, terlepas dari kesalahan gramatikal yang tidak mengganggu arus komunikasi. Hal itu dilakukan untuk mendorong tercapainya tujuan pembelajaran yang dievaluasi: "(1) Students use English to interact in the classroom, dan (2) Students use English to obtain, process, construct, and provide subject matter information in spoken and written form." Evaluasi pembelajaran dilakukan dalam dua bentuk: evaluasi proses dan evaluasi hasil belajar. Evaluasi proses dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung dengan menggunakan format penilaian unjuk kerja siswa sebagai alatnya. Sasaran evaluasi adalah kompetensi tindak tutur bahasa (actional compétence), dan partisipasi dalam kegiatan komunikasi. Penilaian menggunakan teknik Holistic Scheme, didasarkan atas ketercapaian tiga aspek, yaitu content,
expression,
mengacu pada
Expression menunjukkan kemampuan
"pesan" yang disampaikan.
dan participation. Content
menggunakan kata, pengucapan dan struktur kalimat yang dapat dengan tepat mengantar pesan yang ingin disampaikan. Participation merujuk pada motivasi dan sikap yang dapat diamati
melalui
kesungguhan
dan
kerjasama
dalam
menyelesaikan
tugas/latihan
berbahasa dan kebahasaan. Evaluasi hasil belajar dilaksanakan pada akhir segmen atau sebuah unit pembelajaran dengan tes tertulis sebagai alatnya. Sasaran evaluasi adalah kompetensi komunikatif dalam pelajaran bahasa Inggris yang mampu ditunjukkan siswa melalui penyelesaian tes hasil belajar. Untuk menentukan nilai akhir, penilaian pada evaluasi proses berkontribusi terhadap pengambilan keputusan pada hasil penilaian evaluasi hasil belajar.
161 b. Pengaruh model the 4Mat System Selain pertimbangan gabungan teori-teori belajar yang telah disebutkan, model pembelajaran ini juga memperhatikan "Model The 4Mat System" oleh McCarhty (1980) yang telah diadaptasi untuk pembelajaran bahasa kedua bagi anak usia sekolah dasar dan sekolah lanjutan oleh kelompok kerjasama lembaga peneliti yang terdiri atas Arlington Public Schools, ESOL/HILT Program, dan the Center for Applied Linguistics pada tahun 1987. Alasan mempertimbangkan Model the 4Mat System adalah bahwa model yang dikembangkan bernaung dalam landasan filosofis yang sama 'Konstruktivisme'. The 4Mat System adalah Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Experiential Learning) yang terdiri atas strategi konseptual, dan strategi operasional dalam bentuk lesson plan, lihat Bab U. Pada table 4.3 tampak daerah yang berhubungan antara Model the 4Mat System dan model yang dikembangkan. Table 4.3 Keterkaitan Fase Belajar the 4Mat System dengan Draf Desain the MID-Model
Phase of learning
Desain The 4Mat System
Draft Desain The MID-Model
1
Concrete Experience (Feeling over thinking)
1. Lead in (Both feeling and thinking)
2 3 4
Observation and Reflection Formation of abstract concepts Generalization, and
2. Reconstruction
testing implications of concepts in new situations.
3. Production
162 1. Lead in Secara umum konsep Lead in sama dengan Concrete Experience dalam arti keduanya mencoba mengaitkan skemata siswa pada awal pembelajaran dengan konsepkonsep bahasa, fakta, dan atau informasi yang akan dipelajari. Kegiatan itu dilakukan guru melalui: (1) penciptaan situasi dalam bentuk kegiatan yang terkait dengan pengalaman siap siswa; dan (2) pertanyaan atau tugas-tugas agar siswa merefleksi dan menganalisis pengalaman-pengalaman tertentu masa lalu. Pada the 4Mat System, kedua aktivitas itu lebih melibatkan perasaan atau pengetahuan intuitif siswa. Pada draft model yang dikembangkan, selain perasaan dan pengetahuan intuitif siswa, prediksi melalui teknik uji coba dimugkinkan dengan (3) pertanyaan perihal konsep-konsep bahasa, ide, dan informasi tertentu walaupun hal-hal tersebut belum diketahui siswa. Hal itu dimaksudkan agar siswa menggunakan pengetahuan siap (know/edge of the world) untuk melalukan abstraksi—memasuki proses memperoleh pemahaman (general idea) terhadap konsep-konsep bahasa ide, atau informasi yang akan dipelajari. Jawaban siswa atas pertanyaan yang diajukan tidak harus benar, akan tetapi lebih bersifat trigger untuk mengajak mereka berpikir tentang konsep-konsep, ide, dan atau informasi yang akan dipelajari. 2.
Reconstruction Reconstruction adalah sebuah fase yang di dalamnya guru memfasilitasi dan
memediasi pengalaman belajar yang relevan, misalnya dengan menyajikan input berupa konsep bahasa atau informasi melalui kegiatan menyimak dan membaca teks untuk dielaborasi, didiskusikan, dan kemudian disimpulkan oleh siswa. Kegiatan dilakukan melalui pemberian pertanyaan atau tugas-tugas yang mengarahkan siswa mencari,
163 menemukan konsep atau fakta (observation and reflection), kemudian membangun asumsi sementara (hypothesising), (atau formation of abstract concept) tentang konsep bahasa atau informasi tertentu, dan menarik kesimpulan. Melalaui refleksi/review terdapat ruang bagi siswa menyadari perolehan baru dibandingkan dengan pengetahuan sebelum pembelajaran. Dalam fase ini belajar tidak hanya diarahkan pada pengembangan cognitive semata, tapi juga metacognitive strategy. Hal itu dimungkinkan karena strategi metakognitif sangat mungkin muncul dari pengalaman siswa mengerjakan tugas-tugas berbahasa dan kebahasaan yang dimediasi guru dalam berbagai cara. 3.
Production Production adalah fase terakhir dari model yang dikembangkan. Konsep bahasa
dan atau informasi baru diuji coba dalam bentuk kegiatan komunikasi autentik/semi autentik. Kontrol kegiatan lebih bertumpu pada siswa untuk mengekspresikan diri sendiri melalui tugas-tugas komunikatif yang bertujuan, jelas dan terarah. Production paralel dengan sebagian tahap keempat Model the 4Mt System, yaitu testing implications of concepts in new situations. Hal esensial yang membedakan model yang dikembangkan dengan the 4Mat System, antara lain: terbuka ruang untuk penyajian input melalui ceramah (lectwing) pada the 4Mat System, sedangkan pada model yang dikembangkan tidak; terdapat mediasi guru yang lebih terstruktur pada model yang dikembangkan, sedangkan pada the 4Mat System lebih fleksibel. Kemungkinan natural exposers terhadap bahasa target lebih banyak pada seting siswa dengan the 4Mat System, sedangkan pada model yang dikembangkan tidak—kemungkinannya terbatas hanya dalam kelas. Oleh karena itu, unsur penunjang belajar dalam hal kesempatan menggunakan bahasa target berbeda.
164 Perbedaan itu mewarnai perlakuan dan sistem sosial yang dibangun oleh model yang dikembangkan. Perbedaan konseptual tampak pada perbandingan antara kedua model sebagai berikut. Table4.4 Perbandingan Model the 4Mat System dengan Model yang Dikembangkan
Perbandingan
Persamaan
Perbedaan The 4Mat System
Keterangan Draf model yang dikembangkan
1. Sen&itif pada I. Lebih pada Ss' 1. Mengatur keseimkebutuhan dan controlled activity bangan T' s controllminat siswa ed dengan Ss' secara individual. controlled activity. 2. Keterampilan berbahasa disajikan secara terintegrasi. 3. Memperhatikan perimabangan kegiatan berbahasa yang melibatkan otak kanan dan kiri
2. Experiential Learning (EL)
2. Selain EL, melibatkan pendekatan Content-Based.
3. Penekanan pada proses.
3. Penekanan pada proses dan hasil belajar.
4. Evaluasi lebih pada proses.
4. Evaluasi proses dan hasil belajar.
Latar belakang/seting pengalaman siswa terhadap bahasa target berbeda. The 4Mat System dengan SL learners, model yang dikembangkan dengan FL learners.
c. Penyesuaian dengan kondisi ril lapangan Pengaruh yang tak kalah pentingnya dalam pengembangan model ini berasal dari temuan studi pendahuluan. Data pada butir 3, 4, 5, dan 11 diakomodasi oleh draft model pembelajaran yang berwujud seperangkat langkah konseptual. "Lead in, Reconstruction, dan Productioh". Data pada butir I diakomodasi ke dalam bentuk dokumen rencana pembelajaran yang berisi, kompetensi dasar, tujuan, dan indikator ketercapaian,
165 sementara data pada butir 2 dan 6
mempengaruhi sistem penunjang dan bahan ajar
dalam bentuk perbaikan yang dibutuhkan atau penyesuaian dengan model. Data pada butir 7, 8, dan 9 berimplikasi pada perbaikan proses dan prakn'k pembelajaran, sementara data pada butir 10 untuk perbaikan sistem evaluasi, dan data pada butir 12 berpengaruh pada bagaimana membangkitkan motivasi dan sikap siswa melalui kegiatan-kegiatan berbahasa yang bermakna. 3. Kompetensi Dasar, Tujuan, Indikator, dan Materi Pembelajaran Setelah draft model pembelajaran diperoleh, maka langkah berikutnya adalah menetapkan bahan ajar bahasa Inggris khususnya untuk siswa kelas V sekolah dasar semester genap. Hal itu dilakukan karena dalam studi pendahuluan ditemukan tak satu sekolah pun yang menggunakan kurikulum bahasa Inggris muatan lokal yang telah dikembangkan Depdikbud, Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara melalui sebuah proyek Rekayasa Kurikulum. Peneliti telah berusaha menemukan dokumen kurikulum dari berbagai pihak namun hasilnya tetap nihil. Jalan keluar yang diambil guru-guru adalah menggunakan buku sumber yang tersedia di pasaran. Silabus dan Rencana Pembelajaran Semester Genap 2004-2005 dikembangkan bersama sembilan orang guru yang terkait dalam uji coba terbatas, uji coba luas, dan uji validasi model melalui eksperimen. Materi pembelajaran merupakan lanjutan dari bahan ajar sebelumnya, tetap sinambung dan memperhatikan prinsip here and now. Sumber yang digunakan adalah kurikulum bahasa Inggris SMP untuk landasan konseptual, beberapa buku sumber, kondisi lingkungan siswa, dan pengalaman guru dalam menangani
pembelajaran
bahasa
Inggris
di
sekolah
dasar selama
ini.
Tujuan
pengembangan silabus dan rencana pembelajaran adalah untuk memperoleh seperangkat
166
bahan ajar dan sistematika pembelajaran (the selecting and grading of content) yang dianggap memenuhi kebutuhan, sesuai dengan perkembangan, dan lingkungan sosial siswa. Dalam silabus dan rencana pembelajaran dirumuskan kompetensi dasar, tujuan pembelajaran, indikator ketercpaian tujuan, dan materi pembelajaran, yang semuanya mengacu pada "Standar Kompetensi". Kompetensi dasar dirumuskan dengan mengacu pada kompetensi tindak bahasa (actional competence) baik tindak tutur untuk bahasa lisan maupun kompetensi retorika untuk bahasa tulis. Tujuan pembelajaran dirumuskan dengan mengacu pada kemampuan komunikatif (penguasaan discourse competence) lisan dan tulis sederhana sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual siswa. Indikator ketercapaian tujuan dirumuskan secara operasional sehingga mampu menunjukkan kemampuan nyata yang diperoleh siswa setelah pembelajaran dan dapat diukur melalui unjuk kerja dengan
alat tes dan
atau
non-tes.
Terakhir,
materi
pembelajaran
dikembangkan berdasarkan keyakinan atas model kompetensi komunikatif, dan model bahasa yang relevan. Materi pembelajaran juga disesuaikan dengan kehidupan nyata di luar kelas, dikembangkan, dan disusun serta disajikan melalui metode TPR dan strategi Integrated Skills. 4. Uji Coba Model Setelah
draft
model
pembelajaran,
silabus
dan
rencana
pembelajaran
dikembangkan secara kolaboratif dengan guru-guru yang terlibat dalam penelitian, maka tiba saatnya diujicobakan secara siklis di dalam kelas yang telah ditetapkan. Uji coba dilakukan sebanyak tujuh kali putaran dengan rincian masing-masing empat kali pada uji
167 coba skala terbatas dan tiga kali pada uji coba skala lebih luas. Setiap putaran menggunakan alokasi waktu 2 x 40 menit. Untuk mengetahui pemahaman guru terhadap model, kelebihan model, dan halhal yang perlu diperbaiki, dalam setiap putaran pada uji coba terbatas dilakukan observasi kelas dan umpan balik (feedback) agar diperoleh informasi yang berguna untuk refleksi bagi perbaikan siklus berikutnya Pada putaran terakhir uji coba terbatas, sepuluh orang siswa mengisi angket yang bertujuan untuk memperoleh informasi dari sisi siswa akan kelayakan draft model. Pada uji coba model lebih luas selain observasi dan umpan balik, guru-guru penguji coba mengisi angket yang menjaring kelebihan dan kekurangan model yang perlu diperbaiki. Sama dengan akhir tahap uji coba terbatas, pada uji coba lebih luas 30 orang siswa (10 orang pada masing-masing kelas uji coba) mengisi angket untuk tujuan yang sama. Ada lima substansi yang dinilai dalam uji coba model terbatas dan lebih luas, yakni: (1) Penerapan model pembelajaran; (2) Kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar, (3) Interaksi belajar-mengajar, (4) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar, termasuk perilaku-perilaku yang muncul dalam implementasi model; dan (5) Hambatan-hambatan penerapan uji coba model. Untuk menilai kelima aspek tersebut, digunakan panduan observasi dalam bentuk penilaian kualitatif dan kuantitatif. Selain kelima aspek di atas, khusus pada uji coba model lebih luas juga dinilai hasil belajar dalam bentuk kemampuan komunikatif, dan motivasi serta sikap positif siswa sebelum dan sesudah uji coba model.
168 a. Tahap uji coba model skala terbatas Uji coba terbatas {preliminary field testing) dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi apakah desain model yang dikembangkan layak dan dapat diterapkan dengan benar oleh guru. Uji coba terbatas dilakukan pada satu sekolah dasar yakni SD Negeri Baruga 6, Kelurahan Bende Kecamatan Baruga. Guru penguji coba adalah sarjana perikanan, namun kompeten dalam berbahasa Inggris, berpengalaman mengajar orang dewasa dan anak-anak pada kursus bahasa Inggris door to door. Uji coba model dilakukan secara berulang-ulang sampai diperoleh darft model yang siap untuk diujicobakan dalam skala yang lebih luas. Hasil setiap siklus uji coba digunakan sebagai bahan masukan untuk memperbaiki pelaksanaan desain model yang dikembangkan. Setelah setiap siklus uji coba selesai, dilakukan evaluasi, penyempurnaan draft awal, dan implementasi model untuk uji coba lebih luas. b. Tahap uji coba model skala lebih luas Tahap uji coba lebih luas dikenal sebagai tahap uji coba utama {main field testing). Ada dua tujuan uji coba lebih luas, yakni untuk: (1) memperoleh informasi tentang apakah desain model yang dikembangkan layak dan dapat diterapkan dengan benar oleh guru, penilaian menggunakan data kualitatif; dan (2) mengetahui seberapa efektif atau bagaimana dampak (penerapan) model terhadap pencapaian hasil belajar, motivasi, dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris hingga siap untuk diuji validasi. Penilaian menggunakan data kuantitatif yang diperoleh dari tes hasil belajar, tes motivasi dan sikap. Tahap uji coba lebih luas melibatkan tiga sekolah dasar dari masing-masing tiga kategori sekolah yakni "baik, sedang, dan kurang". Sekolah dasar dimaksud adalah SD
169 Negeri 12 Kendari, SD Negeri 3 Baruga, dan SD Negeri 6 Baruga. Ujic^a$ijal£s' beberapa kali secara siklis pada tiga kelas dari sekolah yang telah dite^apfân.-HaSil uji coba luas digunakan sebagai bahan masukan untuk menentukan apakah t e l a b ^ g r o i e h model pembelajaran yang lebih halus yang siap diuji validasi pada tahap penelitian berikutnya. Untuk mencapai target tersebut, ada serangkaian langkah yang perlu dilakukan, yakni, tes awal-implentasi-tes akhir, dan evaluasi serta penyempurnaan. 5. Hasil Uji Coba Model a. Hasil uji coba model skala terbatas Dalam sub-bagian ini disajikan hasil uji coba model dalam skala terbatas yang meliputi: (1) penerapan model pembelajaran; (2) kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar, evaluasi proses dan hasil belajar; (3) interaksi belajarmengajar, dan (4) kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar termasuk perilaku-perilaku yang muncul, serta (5) hambatan-hambatan penerapan uji coba model yang ditemukan ketika implementasi model berlangsung. Setiap butir itu akan dibahas secara berturut-turut menurut jumlah siklus uji coba, dari uji coba pertama sampai uji coba ke empat. Hal ini dimaksudkan agar urutan perkembangan dan kemajuan setiap butir tampak dari awal sampai akhir sklus uji coba. Uji coba pertama 1 ) Penerapan model pembelajaran. Ada tiga unsur yang membangun kesesuaian
penerapan
model
dengan
penerapan model
rencana
pembelajaran,
pembelajaran, yakni penerapan
langkah
pembelajaran (classroom practice), dan kejelasan instruksi (clarity of instruction) guru pada saat memulai dan setiap peralihan tugas dan kegiatan. Ketiga unsur ini penting
170 dalam menilai apakah langkah-langkah model dengan aktivitas dan perilaku yang melekat di dalamnya secara utuh dilaksanakan atau belum. Yang menjadi penilaian khususnya unsur pertama dan kedua adalah seberapa jauh yang tercantum dalam rencana pembelajaran dilaksanakan. Untuk usur ketiga, penilaian dilakukan lebih pada kualitas pelaksanaannya. Pada siklus pertama dengan pembelajaran listening, secara umum penerapan model belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Walaupun rencana pembelajaran dikembangkan secara kolaboratif, pada implementasi model pembelajaran masih terdapat kealpaan guru dalam mengelola kegiatan. Kecuali fase pembelajaran yang lain, guru tidak optimal melakukan kegiatan: draw on experience and knowledge, input, dan reinforcement serta instruksi guru yang kurang jelas baik ketika penyajian materi maupun ketika mulai dan atau dalam peralihan kegiatan, seperti yang direncanakan. Kealpaan dimaksud adalah: ( I ) pada fase draw on experience and knowledge pengajuan rangkaian pertanyaan tidak cukup untuk membangkitkan kesadaran siswa mengidentifikasi rangsangan yang datang, (2) pada fase input dan reinforcement proses pemaknaan konsep bahasa dan informasi yang disampaikan dalam bahasa Inggris sebagai input terganggu oleh terjemahan yang dilakukan guru, dan (3) penjelasan guru yang tidak fokus ketika menjelaskan materi pelajaran, dan (4) penjelasan guru yang belum fokus ketika memulai dan dalam peralihan dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain.
171 2) Kemampuan guru memfasilitsi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa Berbeda dengan uraian pada butir satu di atas, butir dua lebih fokus pada kualitas pelaksanaan yang merefleksi kemampuan guru dalam aplikasi model pembelajaran yang diuji coba. Draw on experience and knowledge (Lead in) Pada pembelajaran listening, guru belum lancar mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan pengalaman siap siswa. Guru masih belum mampu mengarahkan aktivitas yang membangkitkan motivasi dan potensi siap siswa untuk melakukan prediksi terhadap konsep bahasa atau informasi baru yang akan dipelajari. Kelemahan tampak pada cara guru mengajukan pertanyaan dan mengelola jawaban yang beragam untuk merangsang pikiran siswa. Nampaknya guru berada dalam suatu proses untuk mampu melakukan aktivitas motivasi yang lebih baik. Input Stage (Reconstruction) Pada tataran input, guru belum mampu membimbing siswa melakukan eksplorasi, menemukan pengetahuan dan keterampilan baru. Pada fase input, melalui Metode TPR yang digunakan untuk memperkenalkan kosa kata, guru kurang sabar untuk tidak menerjemahkan
kalimat-kalimat
perintah
yang
diberikan
sehingga
mengurangi
kesempatan bagi siswa memperoleh pengalaman belajar bahasa melalui proses kognitif yang dikordinasi dengan kegiatan fisik dengan teknik trial and error. Selain itu, guru masih sering menjelaskan arti kata secara verbal. Dengan kenyataan itu, guru masih dalam proses adaptasi untuk mampu memfasilitasi input yang lebih baik.
172 Reinforcement Stage Pada fase reinforcement guru memfasilitasi kegiatan melalui demonstrasi seorang siswa yang melakukan perintah guru. Namun kejadian pada pemberian input terulang lagi yaitu kalimat dalam bahasa Inggris diterjemahkan sehingga mengganggu perhatian siswa terhadap input bahasa dan informasi yang diberikan. Selain itu, guru masih menemukan kesulitan dalam menggali apa saja yang dipahami siswa dengan kalimat perintah dan aktivitas yang ditampilkan seorang siswa lainnya. Bentuk pertanyaan yang diajukan sering tidak runtut, nampak ragu-ragu dimulai dari mana, bagaimana melakukannya dan tujuannya apa. Guru masih dalam proses adaptasi untuk mampu memfasilitasi reinforcement yang lebih baik. Application Stage (Production) Pada tataran application, siswa diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sendiri dalam bahasa yang lebih autentik (real world task) atau pun dalam bahasa untuk memecahkan persoalan-persoalan pedagogis (pédagogie task). Guru belum mampu memanfaatkan fase application secara efektif, meskipun sistem penunjang telah tersedia seperti tugas dan latihan berbahasa dalam bentuk berbicara dan atau menulis. Hasil observasi menujukkan bahwa kelemahan guru terletak pada bagaimana memediasi siswa dalam memberi dorongan (encouragement)„ menunjukkan kata-kata kunci (dues), dan mengatur kegiatan secara bertahap. Support ing System Menggunakan media pembelajaran membantu memperjelas konsep, menjadi sumber belajar itu sendiri, membawa dan memperjelas konteks dalam kegiatan berbahasa, serta menyajikan bahan ajar secara visual maupun auditory. Hasil observasi
173 menunjukkan
bahwa
guru
mampu
menggunakan
realia cukup
memadai
dalam
memperkenalkan kosa kata baru. Realia yang digunakan menjadi titik berangkat pengembangan kalimat-kalimat perintah dalam bahasa Inggris yang direspon siswa secara fisik dengan menunjuk, mengambil, memperlihatkan, dan atau meletakkan kembali sebuah benda di tempat yang ditentukan. Selain itu, materi dikembangkan menurut prinsip 'kere and now' sehingga siswa mudah menyesuaikan diri pada tingkat kompleksitas tugas yang diberikan. Guru juga cukup membangun hubungan baik (rapport) kepada siswa yang memungkinkan proses pembelajaran berjalan lancar tanpa perasaan cemas. Evaluasi Evaluasi proses pembelajaran belum berjalan dengan baik karena guru ingin menilai semua siswa pada kesempatan yang sama, dan seobyektif mungkin. Akibatnya, format penilaian yang tersedia belum digunakan secara optimal. Indikator yang digunakan sering kurang teramati pada setiap individu siswa untuk dijadikan dasar penilaian. Namun, dalam konteks yang terbatas guru sudah melakukan penilaian unjuk kerja melalui pengamatan terhadap respon siswa melalui aktivitas nyata dalam bentuk fisik. 3) Interaksi belajar-mengajar Dari enam butir yang membangun interaksi belajar-mengajar, dua di antaranya yakni: pemberian kesempatan bertanya kepada siswa; dan bimbingan guru yang dilakukan dalam bentuk pertanyaan terarah menempati urutan terendah kualitasnya. Adapun empat butir yang lainnya telah dilaksanakan sebagaimana diharapkan.
174 Guru kurang memberi kesempatan bertanya kepada siswa. Kesempatan ini terabaikan karena kurang disadari betapa pentingnya mengartikulasi: "Ada pertanyaan?" atau "Siapa yang ingin bertanya?" kedua kalimat ini akan menstimulasi siswa untuk berani mengajukan pertanyaan. Sementara itu, bimbingan guru belum tersedia secara optimal karena kurang siapnya melaksanakan bimbingan terhadap siswa yang mengalami kesulitan. Beberapa butir yang lain seperti: keterlibatan siswa dalam kelompok kerja; kesempatan menyelesaikan tugas di bawah bimbingan guru; pengelolaan kesalahan siswa; dan suasana kelas yang menyenangkan sudah berjalan sesuai kebutuhan. Struktur kegiatan belajar-mengajar dimulai secara individual memperhatikan input, berkelompok mendiskusikan masukan baru dan menarik kesimpulan, kemudian dilanjutkan dengan bekerja
berpasangan
atau
berkelompok
untuk
mempraktikkan
pengetahuan
dan
keterampilan baru ke dalam kegiatan komunikatif terbimbing. Siswa bekerja di bawah bimbingan guru agar kesalahan dapat dikelola sesegra mungkin tanpa memberi rasa cemas bagi siswa sehingga tercipta suasana kelas yang kondusif. 4) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar Ada empat komponen yang membangun kemampuan siswa dalam merespon langkah-langkah utama model pembelajaran, masing-masing diuraikan sebagai berikut. Draw on experience and knowledge (Lead in) Komponen pertama, kemampuan siswa menjawab pertanyaan guru sesuai dengan pengalaman siap yang terkait dengan materi yang akan dipelajari. Butir ini penting dinilai dalam uji coba terbatas karena keyakinan bahwa siswa sudah memiliki gagasan dan citraan terhadap sesuatu yang diwakili dalam struktur mental yang dikenal sebagai
175 skema.
Untuk
memulai
pembelajaran,
seyogyanya
ada
aktivitas
yang
mampu
menjembatani skema yang sudah ada dengan informasi baru. Asosiasi pengetahuan siap dengan informasi baru menentukan tingkat penerimaan dan pemahaman informasi. Kemampuan siswa mengaitkan pengetahuan siap dengan materi yang akan dipelajari juga ditentukan oleh efektif-tidaknya pertanyaan penggali (eliciting questions) yang dijailkan guru dalam fase ini. Semakin efektif pertanyaan, semakin terarah jawaban siswa dan semakin mengait dengan materi yang akan dipelajari. Namun, fokus utama bukanlah jawaban siswa harus benar, tapi paling tidak fase itu membangkitkan motivasi belajar dengan memanfaatkan pengalaman nyata siswa. Dalam pembelajaran listening dengan metode TPR plus, masih ada sebagian besar siswa yang mengabaikan pertanyaan penggali yang diajukan guru. Pada mulanya mereka tidak menjawab, namun selang beberapa saat kemudian mereka pun merespon pertanyaan guru dengan bahasanya sendiri, tampak sebagai bahasa antara (interlanguage). Misalnya dengan mengatakan: (#l)"Door for close." "Chair for sit.". Dua kalimat ini merefleksi pengalaman dan pengetahuan siap siswa. Terjadi asosiasi antara satu konsep benda yang dikenal dan kegunaan benda itu dalam kehidupan sehari-hari kemudian diungkapkan dalam bentuk bahasa yang unik. Input Stage (Reconstruction) Komponen kedua, melakukan eksplorasi dan menemukan pengetahuan dan keterampilan baru melalui mediasi guru. Tahap ini penting dinilai dalam uji coba model terbatas karena model yang dikembangkan meyakini perlunya satu tahap yang menentukan dalam langkah pembelajaran. Pada tahap itu, siswa memperoleh kesempatan mengkonstruksi sendiri pengalaman baru yang difasilitasi dan dimediasi guru melalui
176 kegiatan eksplorasi dan penemuan konsep-konsep bahasa, fakta, dan atau informasi baru melalui tugas dan latihan yang direncanakan untuk mengembangkan kompetensi komunikatif
Pengembangan
kompetensi
itu
dilaksanakan
melalui
pembelajaran
keterampilan berbahasa terintegrasi (integrated skills). Hasil observasi menunjukkan bahwa siswa dalam kapasitas terbatas telah melakukan kegiatan-kegiatan yang menuntun mereka ke dalam proses pencarian dan penemuan konsep-konsep bahasa, fakta, dan informasi melalui perintah lisan yang diberikan guru. Namun, mereka masih terkendala dengan minimnya bantuan yang terpola dari guru sehingga belum optimal berperan dalam setiap kegiatan. Mereka terbiasa dengan bantuan guru melalui pemberitahuan secara langsung kalau menemui kesulitan. Beberapa hal yang dapat dilakukan: berusaha dengan coba-salah memberi makna pada perintah guru melalui gerakan-gerakan (#2) menunjuk, mengambil, memperlihatkan, membuka obyek yang diperintahkan, dan menulis kata dan kalimat yang didengar secara berkelompok. Suasana keias agak ribut tapi siswa nampak antusias karena bebas dari rasa cemas. Reinforcement Stage Dalam fase reinforcement, siswa telah mencoba mengemukakan apa yang telah ditangkap dari kalimat perintah yang diberikan guru dan yang ditampilkan siswa lain ketika merespon secara fisik. Walaupun sebagian dari mereka (secara fisik) belum berbuat apa-apa, dapat dipastikan secara mental mengikuti apa yang didemonstrasikan temannya dalam merespon perintah guru tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya semua siswa sudah terlibat dalam kegiatan ini, paling tidak telah mengikuti perintah guru dan membayangkan apa yang dilakukannya seandainya mereka yang harus tampil.
177 Terlepas dari kelemahan ini, beberapa hal yang dapat dilakukan siswa: (#3) mengemukakan
makna
kata
setelah
melakukan
perintah
guru,
misalnya
"take
(mengambil), open (membuka), walk to (berjalan ke), show (tunjukkan)", (#4) menulis kata dan kalimat dengan ejaan yang tepat setelah diskusi dan demonstrasi menulis di papan tulis yang "dibimbing" guru. Keberhasilan ini berpotensi membangun kepercayaan diri dan kemandirian siswa karena apa yang diperoleh merupakan temuan sendiri secara individual maupun kelompok. Application Stage Komponen keempat, menerapkan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam persoalan-persoalan pedagogik/autentik. Tahap ini penting dinilai dalam uji coba model terbatas karena model yang dikembangkan meyakini perlunya tersedia kesempatan bagi siswa untuk menerapkan fakta, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh ke dalam situasi dan konteks baru {production) sehingga membantu menginternalisasi fakta, pengetahuan dan keterampilan tersebut ke dalam kehiduapan berbahasa yang realistis dan atau pedagogis. Hasil
observasi
menunjukkan bahwa siswa kurang berusaha dan
mampu
menerapkan konsep-konsep bahasa, fakta, dan informasi baru ke dalam kegiatan berbahasa pedagogis apa lagi realistis karena dorongan belajar, pemberian contoh atau kata-kata kunci dari guru kurang berkesan bagi mereka. Sejumlah besar siswa ragu-ragu (momen yang paling bagus untuk bantuan guru) mengatakan atau menuliskan sesuatu kalau tidak diyakini kebenarannya. Kebiasaan berbahasa Inggris dengan coba-coba baru tahap awal karena yang berlaku selama ini adalah coba-tapi harus benar melalui tugastugas dengan format jawaban tunggal sebagai warisan pembelajaran sebelumnya.
178 Terlepas dari kelemahan ini, siswa telah berusaha: (#5) menulis kalimat dan memberi perintah kepada yang lain, misalnya Go open the door, Sit down. Yang lain merespon dan berusaha sedapat mungkin tepat dalam mendemonstrasikan makna perintah. Keadaan ini memacu siswa belajar memahami reaksi orang lain dalam berkomunikasi lisan. 5) Hambatan-hambatan Ada beberapa hambatan yang muncul pada uji coba pertama ini, yaitu: guru belum
sepenuhnya
memahami
langkah
pembelajaran
sehingga
penerapan
belum
konsisten dengan rencana pembelajaran, penjelasan guru belum mampu mengarahkan siswa untuk mengambil kesimpulan pelajaran, dan siswa belum terbiasa mengambil kesimpulan pelajaran, serta kebiasan berbahasa Inggris coba-coba belum tertanam bagi siswa. Uji coba kedua 1) Penerapan model pembelajaran. Pada siklus kedua dengan pembelajaran reading, kecuali pada penjelasan materi pelajaran, kealpaan-kealpaan di atas telah dapat diminimalkan sedemikian rupa sehingga (1) pada fase draw on experience and knowledge, proporsi dan kualitas pertanyaan yang diajukan berangsur sesuai dengan kebutuhan, (2) pada fase input dan reinforcement, keinginan menerjemahkan kalimat bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia sudah berkurang, (3) penjelasan guru akan materi pelajaran tidak fokus (bahkan cenderung abstrak) sehingga siswa tampak bimbang, dan (4) penjelasan guru ketika mulai dan pada saat pergantian kegiatan sudah mulai fokus. Namun, ada catatan tentang peran reinforcement baik yang dirasakan guru penguji coba maupun oleh peneliti sendiri.
179 Catatan ini akan dibahas pada topik 'kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa'. 2) Kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa Draw on experience and knowledge (Lead in) Pada uji coba kedua untuk pembelajaran reading, kegiatan draw on experience and konwledge sudah dilakukan sesuai dengan rencana. Kuantitas pertanyaan sudah proporsional untuk menggugah kesadaran siswa mengidentifikasi rangsangan yang datang sehingga jawaban yang diberikan mulai memperlihatkan fokus yang jelas. Pertanyaan terarah yang diajukan guru tampak sudah membangkitkan motivasi dan potensi siap siswa untuk melakukan prediksi terhadap konsep bahasa atau informasi baru yang akan ditemukan dalam wacana. Guru mampu mengajukan pertanyaan dan mengelola jawaban yang beragam untuk merangsang pikiran siswa. Input Stage (Reconstruction) Ketika guru memfasilitasi input untuk pembelajaran reading, pertanyaan yang diajukan guru tampak membangkitkan motivasi dan potensi siap siswa untuk menemukan konsep bahasa melalui informasi baru (pesan) yang ditanyakan dalam wacana. Guru mampu mengajukan pertanyaan yang memungkinkan siswa menemukan pesan yang tersurat dalam wacana. Reinforcement Stage Kemampuan
guru
memfasilitasi
reinforcement
sudah
baik-
Bacaan
dan
pertanyaan bacaan yang diajukan memiliki kompleksitas yang sama dengan pertanyaan bacaan pada input stage. Siswa tampak antusias menemukan jawaban secara individual dan mendiskusikannya dengan yang lain. Namun, dari diskusi peneliti sebagai observer
180 .- dengan guru penguji coba ditemukan adanya sesuatu yang hilang dari rangkaian kegiatan antara input dan reinforcement. Sesuatu itu dalam bentuk kegiatan yang lebih penting dari sekedar penguatan yang berupa latihan duplikasi dari latihan pada fase input. Pemahaman siswa tentang konsep bahasa dan atau informasi perlu jelas sebelum memasuki fase application, kalau tidak siswa akan menemui kesulitan seperti yang tampak dalam observasi. Untuk meyakini berapa dalam pemahaman siswa terhadap esensi pembelajaran, perlu ada satu fase dimana siswa mampu 'menarik kesimpulan materi' dari rangkaian kegiatan yang diselesaikan. Untuk itu mulai uji coba ketiga di samping penjelasan, juga ditempuh cara lain untuk membimbing siswa menemukan kesimpulan pelajaran. Cara itu dilakukan melalui rangkaian kegiatan terencana dengan pertanyaan terarah {leading questions) yang dikonstruksi secara sistematis baik melalui alur berpikir induktif maupun deduktif Cara itu dipertimbangkan karena dengannya rangkaian jawaban siswa dapat terkait satu sama lain hingga membentuk satu simpul yang memudahkan siswa memahami materi pembelajaran secara utuh. Untuk itu, pada uji coba ketiga ditambahkan satu langkah yang disebut ''generalization '. Application Stage (Production) Dalam membaca pemahaman, terdapat penguasaan guru yang berangsur memadai ketika harus membimbing siswa menerapkan pengetahuan tentang istilah hubungan kekerabatan dalam keluarga (family) yang dituangkan ke dalam sebuah teks tertulis tentang keluarga sendiri.
Svpport System
-
(
f, ' ' ---
ij
Bahan ajar dalam bentuk wacana dengan tema keluarga memberi r^oiivpHce'pa^l? 2 jl siswa untuk mengetahui istilah dalam hubungan keluarga. Tema ini ^mSfiifea imaginasi siswa yang terkait dengan keluarga sendiri secara nyata—ayah, ibu, dan saudara-saudara—sehingga siswa mudah menyesuaikan diri pada tingkat kompleksitas tugas berbahasa dan kebahasaan yang diberikan. Selain itu, guru semakin efektif menggunakan gambar atau foto. Dalam pembelajaran reading, dengan sebuah foto keluarga guru mengembangkan pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Inggris yang mengarah pada pemahaman kosa kata tentang hubungan kekerabatan. Siswa terdorong untuk menjawab pertanyaan melalui teknik uji coba. Evaluasi Evaluasi proses pembelajaran sudah berjalan lebih baik dari siklus sebelumnya. Guru berusaha mengamati siswa secara lebih baik walaupun indikator yang digunakan masih sering terlupakan, sehingga guru merasa terganggu dalam mengingat dan memberi penilaian sambil melakukan pembelajaran secara bersamaan. Format penilaian yang tersedia sudah dimanfaatkan dengan baik. Untuk penilaian unjuk kerja, kemampuan siswa dapat dilihat dari jawaban atas pertanyaan pemahaman wacana tentang keluarga, cara menjawab dengan lisan dan atau tertulis, pengucapan dan struktur kalimat. 3)
Interaksi belajar-mengajar
Pada uji coba kedua untuk pembelajaran reading, guru sudah memperhatikan kapan siswa perlu diberi kesempatan mengajukan pertanyaan. Ia pun mengartikulasi "Ada pertanyaan?" Walaupun masih kurang siswa yang merspon, tapi paling tidak satu langkah perbaikan dalam kegiatan pembelajaran telah terjadi sesuai tujuan uji coba.
182 Sementara itu, bimbingan guru dalam bentuk penjelasan cenderung abstrak bagi siswa sehingga nampak kurang efektif. 4) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar Draw on experience and knowiedge Pada tahap uji coba kedua dalam pembelajaran reading, secara kuantitatif jumlah siswa menjawab pertanyaan semakin banyak. Demikian juga kualitas jawaban tampak semakin baik. Hal itu menjadi pertanda bahwa kegiatan itu mampu membangkitkan minat siswa memasuki pembelajaran. Selain itu, jawaban yang diberikan merefleksi pengalaman nyata siswa dalam merespon pertanyaan guru, atau dalam menanggapi sebuah gambar. Pada awal pembelajaran reading, siswa mampu merespon gambar dengan frase dan kata: (#6) father and mother, two son and daughter one, famity. Input Stage Siswa semakin mampu melakukan eksplorasi dan menemukan konsep-konsep bahasa, fakta, dan informasi melalui tugas dan latihan yang difasilitasi dan dimediasi guru. Salah satu yang mendukung pencapaian itu adalah arahan yang semakin jelas dari guru. Siswa sudah mampu mengambil manfaat dari kegiatan yang dituntun oleh guru dalam menyelesaikan tugas. Siswa (#7) dapat menjawab pertanyaan bacaan melalui kerja individual kemudian didiskusikan dalam kelompok. Siswa beradu argumen untuk sesuatu yang diyakini, namun menerima pendapat yang lain sehingga terbangun keterampilan sosial melalui kerjasama kelompok. Reinforcement Stage Pada pembelajaran reading, siswa cenderung lebih mudah menjawab pertanyaan bacaan yang dikemas dalam bentuk yang mirip dengan wacana dan pertanyaan yang
183
diberikan pada fase input. Namun, tampak adanya kesenjangan alur berpikir antara fase input {reconstruction) dan application {production). Siswa tidak memperoleh ketegasan tentang pengetahuan yang baru diperoleh dalam bentuk kesimpulan, yang memungkinkan mereview pengetahuan itu dan menyesuaikannya dengan yang baru diperoleh. Terlepas dari kelemahan itu, (#8) siswa telah berusaha menelusuri sumber informasi dalam wacana atas bimbingan guru. Kondisi itu dapat membelajarkan siswa bagaimana belajar. Application Stage (Production) Observasi menunjukkan bahwa siswa sudah mampu menerapkan konsep-konsep bahasa, fakta, dan informasi baru ke dalam kegiatan berbahasa pedagogis dan realistis. Dorongan untuk berhasil, pemberian contoh atau kata-kata kunci dari guru mulai berdampak bagi siswa, sehingga mereka berusaha mengoptimalkan kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki. Sejumlah siswa tidak lagi ragu-ragu mengatakan atau menuliskan sesuatu walau belum diyakini kebenarannya. Kebiasaan berbahasa Inggris coba-coba sudah nampak. Beberapa hal yang telah dapat dilakukan (#9) menuliskan susunan keluarga adik kakak, ibu dan ayah dalam teks sederhana. 5) Hambatan-hambatan Terdapat beberapa hambatan yang ditemukan pada uji coba kedua ini, namun yang paling dominan adalah: penjelasan guru masih cenderung abstrak sehingga belum memfasilitasi penarikan kesimpulan pelajaran bagi siswa, siswa belum terbiasa menarik kesimpulan pelajaran, dan partisipasi siswa dalam kerja kelompok belum optimal yang satu cenderung mendominasi yang lain, serta seting tempat duduk yang tidak bisa dirubah sesuai kebutuhan.
184 Uji coba ketiga 1) Penerapan model Pada siklus ketiga dengan pembelajaran speaking, kelemahan pada siklus sebelumnya telah dapat diminimalkan sehingga untuk 'sementara' dianggap memenuhi persyaratan terselenggaranya pembelajaran yang sesuai dengan konsep dan prinsip yang dibangun oleh model pembelajaran yang dikembangkan. Artinya (1) pada fase draw on experience and knowledge, proporsi dan kualitas pertanyaan yang diajukan sudah sesuai dengan kebutuhan, (2) pada fase input dan reinforcement, karena beberapa pertimbangan konseptual dan berdasarkan data yang diperoleh secara empiris melalui siklus-siklus sebelumnya, maka antara input
dan reinforcement diajukan satu tahap kegiatan yang
disebut 'generalization', dan (3) diperlukan kegiatan tambahan dari penjelasan guru terhadap materi pelajaran yang memungkinkan siswa menemukan sendiri esensi pelajaran namun dimedtasi oleh guru. 2) Kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa Pada pembelajaran speaking, setelah dilakukan refleksi terhadap penampilan dan penguasaan guru, kemampuan guru beranjak ke satu titik yang lebih baik terutama dalam fase draw on experience and knowledge, input, dan application serta pemanfaatan media pembelajaran. Draw on experience and knowledge Pada
fase
ini,
pertanyaan
terarah
yang
diajukan
guru
nampak
sudah
membangkitkan motivasi dan potensi siap siswa untuk melakukan prediksi terhadap konsep bahasa atau informasi baru yang akan dipelajari. Guru mampu mengajukan pertanyaan dan mengelola jawaban yang beragam untuk dapat diarahkan pada keadaan
185
dimana akumulasi kejadian mampu merangsang pikiran siswa. Dengan proses itu, diharapkan siswa mampu menemukan hubungan antara pengalaman lalu dan pengalaman baru sebagai respon terhadap stimulus yang datang sehingga memudahkan pemahaman. Input Stage Pada fase input, guru mampu menjelaskan bahwa siswa akan bercakap-cakap tentang aktivitas rumah tangga melalui ungkapan permintaan, melakukan percakapan atau bimbingan, memonitor kegiatan siswa yang bekerja individual dan berpasangan, serta menggali jawaban siswa untuk ditulis di papan tulis. Demikian pula, Guru mampu mengkontekstualisasikan percakapan melalui demonstrasi dengan mimik yang sesuai sehingga makna ungkapan mudah ditangkap siswa. Guru sudah berada pada level tertentu dimana ia mampu memfasilitasi pengalaman belajar bahasa Inggris untuk mengembangkan kompetensi komunikatif melalui keterampilan berbicara. Generalization
Stage
Pada fase generalization, yang menjadi kelemahan adalah kemampuan guru mengajukan rangkaian pertanyaan terarah secara gradual yang sering belum runtut dan konsisten meskipun sudah berpola pada lingkup spesifik ke lingkup yang lebih luas atau sebaliknya untuk memudahkan siswa membentuk gagasan atau simpulan umum dari akumulasi fakta atau peristiwa bahasa. Selain itu, tampak juga bahwa dengan jumlah siswa yang agak besar guru menemui kesulitan dalam mengoptimalkan mediasi maten, tugas berbahasa dan kebahasaan kepada siswa. Reinforcement Stage Guru tidak memperoleh kesulitan memfasilitasi reinforcement pada pembelajaran speaking. Bahan ajar yang dipilih untuk tujuan ini
memiliki kompleksitas yang sama
186
dilihat dari ungkapan dan tugas yang diberikan dengan ungkapan dan tugas pada input stage.
Siswa nampak antusias melakukan percakapan secara berpasangan.
Tugas
bercakap dilakukan dengan mengikuti pola percakapan yang ada, tinggal mengganti bagian-bagian tertentu sesuai konteks yang diinginkan siswa. Application Stage Pada fase application, hasil observasi menujukkan adanya perbaikan penguasaan guru terhadap bagaimana memediasi siswa dalam bentuk dorongan, menunjukkan katakata
kunci,
dan
mengatur
kegiatan
secara
bertahap
sehingga
siswa
mampu
menyelesaikan tugas dengan baik. Support System Guru berhasil membangun hubungan baik (rapport) dengan siswa. Kelas dimulai dengan salam dan doa. Siswa terkesan dengan kepribaidan guru yang ramah dan bersahabat sehingga lingkungan belajar cukup memberi rasa aman bagi siswa untuk belajar bahasa Inggris. Selain itu, guru semakin efektif menggunakan gambar atau photo sebagi wahana pembelajaran yang memberi konteks penggunaan bahasa dalam bentuk ungkapan. Dengan sebuah gambar tentang orang yang melakukan percakapan, guru mampu membangkitkan minat siswa untuk menjawab pertanyaan yang mengarah pada ungkapan permintaan (requests) dengan teknik coba-coba Evaluasi Untuk evaluasi proses dan unjuk kerja, guru sudah memiliki kemampuan yang diperlukan dalam mengelola penilaian sehingga telah berjalan lebih baik dari siklus sebelumnya. Guru mulai terbiasa mengamati siswa secara keseluruhan, tidak lagi merasa terganggu dengan kegiatan yang
berlangsung secara bersamaan. Format penilaian
187
kemajuan belajar sudah dimanfaatkan dengan baik. Untuk evaluasi unjuk kerja, penilaian dilakukan atas kemampuan siswa menyampaikan dan menerima pesan, mengucapkan dan melafalkan bunyi secara berterima, menggunakan kosa kata dan struktur kalimat yang tepat. 3) Interaksi belajar-mengajar Pada uji coba ketiga dengan pembelajaran speaking, perhatian guru dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan semakin nyata. Bimbingan guru tidak lagi fokus pada pemberian penjelasan semata, akan tetapi lebih pada pemberian kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri kesimpulan pelajaran melalui pertanyaan terarah yang diajukan dalam fase generalization. Namun, karena strategi ini baru bagi guru penguji coba maka masih terdapat kelemahan pada kemampuan mengajukan rangkaian pertanyaan terarah secara gradual yang sering tidak runtut dan konsisten, 4) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar Draw on experience and knowledge Pada tahap uji coba ketiga dalam pembelajaran speaking, jumlah siswa menjawab pertanyaan semakin banyak, demikian pula kualitas jawaban tampak semakin baik. Hal itu menjadi pertanda bahwa kegiatan mampu membangkitkan minat siswa memasuki pembelajaran. Selain itu, jawaban yang diberikan merefleksi pengalaman nyata siswa dalam merespon pertanyaan guru, atau dalam menanggapi sebuah gambar. Pada awal pembelajaran, pertanyaan direspon dengan kalimat: (#10) they speak, she ask him, he answer her, he is angry. Demontrasi tata bahasa yang benar merefleksi kemampuan yang telah dimiliki siswa dan digunakan merespon stimulan yang datang.
188 Input Stage Pada fase ini siswa semakin mampu melakukan eksplorasi dan menemukan konsep-konsep bahasa, fakta, dan informasi melalui tugas dan latihan yang difasilitasi dan dimediasi guru. Salah satu yang mendukung pencapaian itu adalah demonstrasi percakapan oleh guru yang mampu mewakili dua karakter pembicara dalam dialog. Siswa mampu mengambil manfaat dari kegiatan yang dituntun oleh guru dalam menyelesaikan tugas. Dengan mengamati demonstrasi guru, siswa berusaha memahami ungkapan (#11) "It's very hot in here." "Willyou open the window, please? " "Yes,sure". Generalization Stage Ditemukan bahwa siswa belum secara optimal menarik kesimpulan pelajaran karena dua hal, yakni pertanyaan terarah yang diajukan guru belum berpola dan runtut, di lain pihak siswa belum terbiasa menarik kesimpulan dari rangkaian jawaban pertanyaan terbimbing. Selain itu, siswa juga terkesan kurang sabar mengikuti bimbingan melalui seperangkat
pertanyaan.
Terlepas
dari
kelemahan
itu,
siswa
telah
berusaha
menyimpulkan bahwa (#11) "Will you open the window, please?" adalah ungkapan perrnintaan untuk menyuruh seseorang melakukan sesuatu. Reinforcement Stage Respons siswa pada fase ini cukup komunikatif. Mereka mampu melakukan percakapan sederhana walaupun masih sangat guided dengan mengganti beberapa kata pada ungkapan permintaan agar seseorang melakukan sesuatu. Siswa yang lain mampu menjawab sesuai dengan keinginan siswa yang meminta.
189 Application Stage Observasi menunjukkan bahwa siswa sudah mampu menerapkan konsep-konsep bahasa, fakta, dan informasi baru ke dalam kegiatan berbahasa pedagogis dan realistis. Dorongan untuk berhasil, pemberian contoh atau kata-kata kunci dari guru mulai berdampak bagi siswa, sehingga mereka berusaha mengoptimalkan kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki. Sejumlah siswa tidak lagi ragu-ragu mengatakan atau menuliskan sesuatu walau belum diyakini kebenarannya. Kebiasaan menguji coba bahasa Inggris yang dimiliki sudah tampak. Beberapa hal yang telah dapat dilakukan (#12) melakukan percakapan dengan mengganti bagian kalimat tertentu. Misalnya // 's hot in here diganti dengan It's dark in here. Siswa mampu menggunakan kalimat perintah (#13) Will you put on the light, please? 5) Hambatan-hambatan Setelah guru penguji coba melakukan implementasi model untuk ketiga kalinya, tampak kelemahan-kelemahan semaiku berkurang. Hal ini disebabkan karena umpan balik dan saran perbaikan yang dilakukan secara kolaboratif dengan peneliti. Kelemahan yang nampak adalah: leading questions yang diajukan guru belum runtut menurut alur berpikir induktif atau deduktif, dan pengaturan seting tempat duduk mengambil waktu, kelas cenderung gaduh sehingga menyulitkan pengaturan kena kelompok yang optimal. Selain itu, dengan jumlah siswa yang agak besar pelaksanaan mediasi materi, tugas/latihan berbahasa dan kebahasaan kepada siswa kurang optimal. Uji coba keempat 1) Penerapan model pembelajaran Pada
siklus
keempat
dengan
pembelajaran
writing,
kelemahan-kelemahan
sebelumnya telah dapat d*iminimalkan sehingga untuk'sementara'dianggap memenuhi
190
persyaratan terselenggaranya pembelajaran yang sesuai dengan konsep dan prinsip yang dibangun oleh model yang dikembangkan. Dengan fakta-fakta itu, dapat dikemukakan bahwa penerapan model pembelajaran oleh guru penguji coba telah berjalan sesuai dengan rencana sehingga siap memasuki tahap uji coba model selanjutnya dengan jumlah kelas yang lebih besar. 2) Kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa Sebelum memasuki siklus keempat dengan pembelajaran writing, seperti pada peralihan siklus sebelumnya diadakan umpan balik terhadap kekuatan dan kelemahan penyajian pembelajaran. Berdasarkan pengalaman guru penguji coba sebelumnya, ia merasa yakin mampu melakukan pembelajaran seperti yang telah direncanakan secara lebih berkualitas.
Oleh karena itu pada siklus keempat dengan pengembangan
keterampilan writing, tanpa mengurangi kepekaan terhadap kualitas pelaksanaan fase yang lain, fokus perhatian observasi ditujukan pada fase generalization. Sebelum pembelajaran dilakukan, terlebih dulu guru penguji coba mendalami target konsep bahasa, fakta, dan atau informasi yang dituju. Kemudian secara bersamasama mendalami rangkaian pertanyaan terarah yang menjadi sistem utama dalam memasuki proses abstraksi untuk mendapatkan pengertian yang mengarah ke simpulan pelajaran. Hasil observasi menunjukkan bahwa guru telah semakin malang menangani fase generalisasi walaupun masih perlu peningkatan kualitas pertanyaan.
Dengan
demikian secara keseluruhan langkah pada implementasi model yang dikembangkan siap memasuki uji lebih luas.
191 3) Interaksi belajar mengajar Karena hanya terdapat dua hal yang perlu perhatian pada uji coba kedua dan ketiga,
maka
pada
uji
coba
keempat
dalam
pembelajaran
writing
perbaikan
dititikberatkan pada kelemahan itu. Sebelum memasuki uji coba itu, terlebih dahulu diadakan diskusi tentang tujuan dan cara memberikan kesempatan bertanya kepada siswa yang lebih efektif dengan tidak hanya bertanya "Ada pertanyaan?" tapi mendorong siswa melalui kalimat: "Bagaimana dengan
apa sudah jelas?" dan sebagainya. Hasil yang
diperoleh telah memperlihatakan kemahiran guru melakukan kedua hal itu sehingga interaksi belajar-mengajar telah siap diuji lebih luas pada fase penelitian selanjutnya4) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar Pada uji coba keempat dalam pembelajaran writing, keempat komponen di atas telah berjalan sesuai kebutuhan. Siswa telah 'mampu' merespon semua kegiatan dan perilaku yang diinginkan yang menyatu dalam kegiatan tersebut, misalnya: (1) menjawab pertanyaan atau merespon prompt baik dalam bentuk kata dan kalimat mau pun dalam bentuk gambar atau realia yang membangun pengalaman belajar melalui kegiatankegiatan terencana; (2) melakukan eksplorasi, menemukan konsep-konsep bahasa, fakta, atau informasi baru melalui fasilitasi dan mediasi guru; (3) menarik prinsip-prinsip umum dalam bentuk kesimpulan pelajaran; dan (4) menerapkan pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang baru diperoleh ke dalam persoalan-persoalan pedagogik atau otentik. Dengan demikian, kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar sebagai salah satu unsur observasi memberi indikasi siapnya uji coba model lebih luas pada kegiatan penelitian berikutnya. Beberapa kemampuan menulis yang ditampilkan adalah (#14) menuliskan postur tubuh sperti tali, short, thin dan merangkai kata menjadi kalimat
192
Sederhana dan bermakna tentang penampilan orang terdekatnya walaupun tata bahasa terabaikan. Misalnya kalimat dari tiga siswa yang berbeda (#15) My father is fat, My moiher white and thin. My uncle black. Terlepas dari kesalahan tata bahasa yang mengikuti aturan bahasa Indonesia (fall-back), kalimat-kalimat ini merupakan hasil transformasi pengetahuan yang diperoleh siswa dari pengalaman belajar ke dalam dunia nyata. 5) Hambatan-hambatan Beberapa hambatan sebelumnya telah dapat dikurangi eksistensinya, ini disebabkan guru dan siswa mulai terbiasa dengan iklim pembelajaran yang dikembangkan. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada namun tidak krusial, satu hambatan yang masih terasa mengganggu adalah kelemahan guru terhadap kontrol waktu yang sesuai untuk setiap pergantian fase kegiatan ipace). Selama pelaksanaan uji coba model skala terbatas terdapat berbagai hambatan. Namun, secara gradual pada setiap siklus ada kemajuan yang berarti baik penguasaan guru terhadap penerapan model maupun kemajuan siswa bereaksi secara pedagogis sebagai
dampak
penerapan
model
yang
dikembangkan.
Hambatan-hambatan
teridentifikasi dalam bentuk fisik dan non-fisik. Hambatan fisik lebih pada adanya kendala yang berbentuk lingkungan fisik dalam menyelenggarakan setiap kegiatan di kelas. Hambatan non-fisik berupa penguasaan guru dan respon siswa terhadap penerapan model yang belum berjalan sesuai dengan kebutuhan. Namun, secara bertahap hambatanhambatan itu telah dapat diatasi sehingga tujuan uji coba skala terbatas dapat dicapai, yang memungkinkan dilakukan uji coba model lebih luas.
Pada Tabel 4.5 disajikan proses kemajuan uji coba model dala . 'f.
yang
Sf
^
datanya diperoleh melalui observasi kelas. Skor setiap aspek Ijib
-
'\ dengan kriteria yang terpenuhi selama penerapan model.
\,
Tabel 4.5 Skor Setiap Aspek Hasil Uji Coba Model Terbatas
Aspek-Aspek 1. Penerapan model: a. Kesesuaian dengan RP; b. Langkah-langkah pembelajaran; c. Kejelasan instruksi.
Skor Ujicoba I
Skor Ujicoba 2
Skor Ujicoba 3
Skor Ujicoba 4
50,00 2 2 2
66,67 3 3 2
75,00 3 3 3
100 4 4 4
62^0 2
83^3 3
100 4
1 2
2 2
3 3
4 4
2
3
3
4
3
3
4
4 4
2. Kemampuan guru: a. Mengaitkan pengalaman siswa dengan materi yang akan dipelajari; b. Membimbing siswa; c. Mengarahkan siswa mengambil kesimpulan; d. Memfasilitasi tugas/latihan berbahasa dan kebahasaan. e. Menggunakan alat/media pembelajaran. f Melakukan evaluasi proses
45,83 I
2
3
4
3. Interaksi bdajar-mengajan a. Keterlibatan siswa dalam setiap kegiatan; b. Kesempatan menyelesaikan tugas melalui bimbingan guru; c. Kesempatan bertanya; d. Pengelolaan kesalahan siswa; e. Suasana kelas yang menyenangkan, f Bimbingan guru dalam bentuk pertanyaan terarah.
54,17 3
66,67 3
83,33 4
2
3
3
4
1 3 3
2 3 3
3 3 4
4 4 4
1
2
3
4
4. Kemampuan siswa: a. Menjawab pertanyaan guru pada awal pembelajaran; b. Melakukan eksplorasi; c Mengambil kesimpulan pelajaran d. Menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang baru diperoleh. 5. Hambatan-Hambatan
50,00
2
56,25 2
75,00 3
3 2 l
3 2 2
3 2 2
4 4 4
40
30
20
10
100 4
100 4
194
* *L
Apabila data hasil ujicoba model dalam sakala terbatas seperti telah dipaparkan di
atas dikonversi ke dalam grafik, maka grafik kemajuan setiap aspek akan tampak sebagai terikut.
120 1
í: Isi-Í--AS. ..• i: ;
100 80 60
flliil
••
.
. .
.L'
--
I
•
: —jv i ••
•>,
•
-
m Ujicobal • Ujicoba2
. -• . r
• Ujicoba3 • Ujicoba4
40 . r .
20
-.i
j
j •
i -
r
4l
0 Pener. Model
Kemam. Guru
IBM
Kemam. Siswa
Hambatan
Diagram 4.3 Grafik Kemajuan Uji Coba Mode! Terbatas
6) Tanggapan siswa terhadap kelayakan model Berikut adalah tanggapan siswa terhadap kelayakan model pembelajaran yang diperoleh dari jawaban 10 orang sampel yang diambil secara acak dari 34 orang siswa kelas uji coba model terbatas. Penyebaran angket dimaksudkan untuk memperoleh informasi pendukung tentang kelayakan model yang dikembangkan dari sudut pandang siswa sebagai pembelajar yang mengalami secara langsung penerapan model di kelas. Angket diberikan setelah empat kali putaran uji coba terbatas selesai dilaksanakan. Jawaban dianalisis dan disajikan dalam bentuk persentase (%) seperti diuraikan berikut
mi.
195 Dari pertanyaan yang menggali pendapat siswa terhadap aplikasi model pembelajaran secara keseluruhan, diperoleh
100% siswa yang menjawab kegiatan
belajar-mengajar yang diikuti sangat menarik. Terdapat 60% siswa yang sangat setuju dan 40% lainnya setuju bahwa pertanyaan guru pada awal pembelajaran terkait dengan pengalaman nyata mereka. Pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut pengetahuan siap siswa sehingga mudah dijawab oleh mereka. Diperoleh 60% siswa yang menjawab sangat setuju, 30% setuju, dan 10% tidak setuju. Pertanyaan
berikut menyangkut kemandirian belajar yang difasilitasi
dan
dimediasi guru sehingga siswa mampu menemukan sendiri jawaban dari tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan yang diberikan. Terdapat 70% siswa yang menjawab sangat setuju, 20% setuju, dan 10% tidak setuju bahwa kegiatan pembelajaran memberi kesempatan kepada mereka untuk menemukan sendiri jawaban dari tugas dan latihan dimaksud. Mediasi (bimbingan) yang diberikan guru dalam menemukan sendiri jawaban dijawab sangat membantu oleh 90% siswa, dan tidak membantu sebanyak 10%. Tentang diskusi kelompok dalam mencari dan menemukan jawaban dari tugas dan latihan yang diberikan diperoleh 80% siswa yang menjawab sangat bermanfaat, dan 20% menyatakan bermanfaat. Diskusi dan kerja kelompok tidak terlepas dari bimbingan guru untuk mengarahkan siswa menarik kesimpulan pelajaran. Terdapat 80% siswa yang menjawab bimbingan guru sangat mempermudah dan 20% berpendapat mempermudah. Informasi dan atau konsep-konsep bahasa baru yang diperoleh dari penyelesaian tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan dapat dipraktikkan ke dalam situasi yang berbeda. Terdapat 90% siswa menjawab sangat setuju, dan 10% lainnya setuju. Proses mempraktikkan perolehan itu pada tahap akhir pembelajaran dianggap sangat mudah
196 diikuti oleh 80% siswa, dan mudah diikuti 20% lainnya. Secara keseluruhan dari awal sampai akhir pembelajaran suasana sangat menyenangkan menurut 80% siswa dan sisanya sebanyak 20% menganggap menyenangkan. Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa mampu merespon setiap langkah dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan tujuan ujicoba model. b. Hasil uji coba model dalam skala lebih luas Uji coba model dalam skala lebih luas dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang berkenaan dengan kelayakan model melalui penguasaan guru menerapkan model, pencapaian kompetensi komunikatif, dan pengaruh model terhadap motivasi dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Untuk memperoleh data yang diperlukan, peneliti menjaring data melalui observasi kelas, angket, wawancara, dan tes hasil belajar. Selain itu, uji coba model juga dilakukan untuk memperluas skala uji coba agar diperoleh penampilan model yang lebih halus dan pada gilirannya siap divalidasi. Dalam uji coba ini dilibatkan tiga orang guru dari tiga sekolah yang berbeda menurut kategori, "baik", "sedang", dan "kurang". Satu orang guru telah menerapkan model pada uji coba skala terbatas. Berikut uraian hasil observasi, evaluasi hasil belajar, motivasi dan sikap siswa yang diperoleh
selama
siklus
kelima,
pembelajaran dalam uji coba lebih luas.
keenam,
dan
ketujuh
penerapan
model
197 1) Hasil observasi kelas Uji coba kelima a) Penerapan model pembelajaran. Sebelum uji coba model lebih luas di mulai, terlebih dahulu diadakan diskusi dengan ketiga guru penguji coba kemudian menyusun rencana pembelajaran yang akan digunakan yang nantinya diharapkan merefleksi langkah konseptual desain model pembelajaran yang dikembangkan. Untuk penerapan model pembelajaran, sejak awal telah nampak bahwa semua langkah utama yang direncanakan terlaksana tanpa satu pun yang terlewati. Namun, masih ada beberapa catatan tentang kegiatan yang belum optimal dilakukan seperti ketika guru memberikan instruksi dan penjelasan ketika memulai dan untuk setiap perlaihan tugas dari satu tahap ke tahap selanjutnya. b) Kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa Pada uji coba kelima (listening, reading), guru yang telah menerapkan model pembelajaran pada uji coba terbatas tidak mengalami kendala yang berarti selama itu terkait dengan tahap-tahap pembelajaran yang memfasilitasi dan memediasi siswa belajar. Penguasaan kegiatan dimaksud merefleksi konsepsi model pembelajaran sesuai dengan tujuan uji coba. Karena siswa uji coba model lebih luas berbeda dari siswa uji coba terbatas, beberapa hal yang terkait dengan respon siswa seperti yang akan dibahas pada butir empat masih perlu mendapat perhatian khusus. Sementara iru, dua orang guru penguji coba baru memperlihatkan usaha sungguh-sungguh untuk menguasai taha-tahap pembelajaran dan berusaha konsisten menerapkan model pembelajaran.
sesuai
dengan
rencana
198 Draw on experience and knowledge Pada siklus kelima bagi kedua guru yang baru dilibatkan dalam uji coba skala lebih luas, pelaksanaan tahap-tahap pembelajaran adalah sesuatu yang masih baru. Mereka belum mahir melakukan kegiatan
draw on experience and knowledge—
mengarahkan aktivitas yang membangkitkan motivasi dan potensi siap siswa untuk melakukan perediksi terhadap konsep bahasa dan atau informasi baru yang akan dipelajari. Cara guru mengajukan pertanyaan dan mengelola jawaban yang dapat menghubungkan sturktur intelektual siswa dengan pengalaman baru belum memadai. Kegiatan ini belum fokus terkait pada esensi bahasan pada tahap reconstruction. Input Stage Pada pembelajaran listening, guru memfasilitasi input pesan dan bahasa melalui metode TPR untuk memperkenalkan kosa kata melalui kalimat perintah dalam bahasa Inggris. Guru memberi perintah secara berulang-ulang sambil memberi bantuan dengan mimik sehingga siswa paham akan perintah tersebut. Ketiga orang guru penguji coba bertahan untuk tidak mengartikan perintah itu ke dalam bahasa Indonesia walau siswa belum menampilkan respon yang tepat. Mereka paham akan konsep developmental error yang melekat pada metode ini. Guru memperlihatkan kemampuan yang cukup memadai untuk kegiatan ini. Pada pembelajaran reading, guru menyajikan sebuah teks tentang keluarga dengan seperangkat pertanyaan pemahaman. Guru mengajukan pertanyaan terlebih dahulu—sekalian mengecek pemahaman tentang pertanyaan itu—kemudian menyuruh siswa membaca teks (dalam hati). Hal itu dilakukan agar siswa siap dengan cara membaca yang cepat dan tepat {reading for purpose) karena sebelumnya telah tahu
199 informasi apa yang dibutuhkan. Guru kemudian mengecek jawaban siswa sambil menuliskannya di papan tulis. Jawaban benar atau salah tetap dituliskan agar siswa menyadari (aware of) mengapa jawaban itu benar atau salah pada fase generalization. Generalization
Stage
Pada fase generalization guru masih ragu-ragu membimbing siswa untuk membentuk gagasan atau simpulan umum dari akumulasi fakta melalui pertanyaan terarah. Rangkaian pertanyaan sering tidak sistematis dan konsisten pada lingkup spesifik ke lingkup yang lebih umum atau sebaliknya agar siswa mudah menarik kesimpulan. Terlepas dari kelemahan itu, peneliti dan guru penguji coba mengamati bahwa setelah siswa memperoleh kesimpulan pelajaran perlu secara eksplisit dilakukan refleksi terhadap apa yang telah dipelajari siswa saat itu. Pertanyaan "Apa yang telah kamu pelajari hari ini memungkinkan siswa menyadari perolehannya dan atau memperbaiki pengetahuan dan konsep bahasa sebelumnya. Reinforcement Stage Untuk fase reinforcement pembelajaran listening, guru telah memfasilitasi tugas dan latihan yang dapat memberi penguatan terhadap pesan dan konsep-konsep bahasa melalui sebuah lagu / have two eyes to see with—terkait dengan nama-nama anggota badan. Untuk pembelajaran reading, guru telah memfasilitasi tugas dan latihan yang dapat memberi penguatan tentang cara memperoleh informasi yang tepat dan konsep bahasa yang membawa pesan untuk dipahami siswa. Namun, menurut pengamatan dan penilaian yang dilakukan secara kolaboratif dengan tiga guru penguji coba disimpulkan bahwa pada dasarnya fase reinforcement tidak diperlukan jika fase generalization dengan pertanyaan terarah berfungsi dengan baik.
200 Application Stage Pada fase application,
kemampuan guru memfasilitasi kegiatan agar siswa
menerapkan pengetahuan dan keterampilan baru pada fase application masih perlu ditingkatkan. Terutama bagaimana memediasi siswa sehingga terdorong melakukan kegiatan berbahasa secara alami
setelah menyimak atau membaca pemahaman.
Penguasaan guru belum memadai ketika harus membimbing siswa menggunakan pengetahuan tentang istilah hubungan kekerabatan dalam sebuah keluarga yang dituangkan ke dalam sebuah teks tertulis. Support System Bahan ajar disiapkan dengan mempertimbangkan topik yang sesuai dengan perkembangan siswa. Kegiatan dalam menyimak terkait dengan aktivitas keseharian siswa sambil belajar arti kosa kata tertentu melalui respon pisik. Untuk kegiatan membaca, wacana disiapkan dalam konteks yang bermakna bagi kehidupan siswa. Bercerita tentang keluarga dan anggota-anggotanya, hubungan anggota satu dengan yang lain. Tentang penggunaan media pembelajaran, guru penguji coba belum efektif menggunakan gambar atau benda-benda tertentu dalam latihan menyimak. Dalam pembelajaran membaca, dengan sebuah gambar keluarga artifisial, guru masih kaku mengembangkan pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Inggris yang mengarah pada pemahaman kosa kata hubungan kekerabatan. Evaluasi Ketiga guru penguji coba telah berusaha melakukan penilaian proses melalui lembar penilaian yang telah disiapkan sebelumnya. Guru mengamati siswa dan melakukan penilaian proses yang terkait dengan motivasi, sikap, dan kerja sama dalam
201 melaksanakan kegiatan. Untuk penilaian kompetensi komunikatif guru mengamati kinerja siswa dalam berkomunikasi. Fokus penilaian adalah kejelasan pesan yang disampaikan/diterima, pemilihan kata, pengucapan, dan tata bahasa. Tata bahasa memperoleh penilaian paling kurang bobotnya dalam kriteria penilaian. c) Interaksi belajar-mengajar Pada siklus kelima, seorang penguji coba hanya kekurangan dua hal yang masih perlu
diperbaiki
dalam
mengelola
interaksi
belajar-mengajar,
yakni
pemberian
kesempatan kepada siswa untuk bertanya, dan pengelolaan kesalahan siswa yang belum dilakukan secara bijaksana. Cara membimbing siswa melalui pertanyaan terarah sudah agak baik namun masih perlu ditingkatkan. Sementara seorang lainnya, selain ketiga hal di atas, masih lemah dalam membantu siswa menyelesaikan tugas dan latihan listening dan reading pada fase reconstruction. Ia cenderung membiarkan siswa bergelut dengan masalahnya sendiri dengan harapan agar siswa dapat menemukan sendiri pemecahan yang dibutuhkan. Guru bersangkutan kurang memahami peran dalam mengarahkan dan membimbing siswa untuk dapat menyelesaikan tugas dan latihan yang diberikan. d) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar mengajar Draw on experience and knowledge Pada siklus kelima, terlepas dari kekurangan guru mengajukan pertanyaan, secara umum dari tiga kelas uji coba model sakala lebih luas, siswa mampu menjawab pertanyaan terarah yang diajukan guru ketika mengawali pembelajaran menyimak dan membaca. Siswa menjawab pertanyaan lisan dalam bahasa Inggris tentang gerakan yang mungkin dilakukan dengan anggota badan tertentu dalam olah raga, (#16) rise hands, put hands, move your head. Respon siswa merefleksi pengalaman yang dimiliki dan terkait
202 dengan gerakan-gerakan serta konsep-konsep bahasa yang akan dipelajari. Demikian pula ketika guru memperlihatkan gambar sambil mengajukan pertanyaan, siswa mampu menjawab dalam kalimat yang terkait dengan hubungan keluarga, (#17) he'sfather, boy and giri, mother sits in a chair. Kenyataan itu memperlihatkan bahwa siswa mampu mengasosiasikan pengalaman yang dimiliki dengan stimulus yang datang. Input Stage Dengan arahan dan bimbingan guru, dalam fase input siswa sangat aktif menyimak perintah guru dan merespon dengan aktivitas fisik menunjuk, mengangkat, dan menyentuh bagian badan tertentu yang diperintahkan. Siswa antusias mencoba dan mencoba lagi merespon perintah dalam bahasa Inggris sampai benar, sementara siswa lain memperhatikan dengan saksama. Seringkah terdengar arahan dari siswa yang melihat temannya salah dalam melakukan perintah guru, (#18) no, your chin sentuh, on your stomach. Ini menandakan bahwa secara mental semua siswa aktif menyimak perintah lisan yang disampaikan guru dalam bahasa Inggris. Dalam pelajaran membaca, siswa aktif membaca dalam hati (tidak seperti biasanya) dan mampu mengikuti arahan guru untuk menyelesaikan tugas membaca pemahaman sesuai waktu yang tersedia. Generatization Stage Pada kegiatan generalisasi di kelas sekolah berkategori baik, diskusi berlangsung sebagaimana mestinya—tugas jelas, hampir semua siswa berpartisipasi aktif, bertanya dan menjawab sampai tiba pada kesimpulan yang diambil dalam kelompok. Kata/kalimat yang ditulis dapat dimengerti walaupun struktur dan ejaan belum sepenuhnya tepat Di lain pihak, pada dua kelas lainnya guru berulangkah mengarahkan pada apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan tugas. Diskusi belum berjalan sebagaimana mestinya—
203 beberapa di antara anggota kelompok kurang jelas atas tugas yang diberikan hingga tidak memiliki catatan tentang kata/kalimat yang disimak, dan tentang jawaban pertanyaan bacaan. Belum semua siswa aktif berpartisipasi sehingga sulit mengambil kesimpulan. Reinforcement Stage Untuk fase reinforcement pembelajaran listening, siswa memperoleh tugas dan latihan yang memberi penguatan terhadap pesan dan konsep-konsep bahasa melalui sebuah lagu—terkait dengan nama-nama anggota badan. Untuk pembelajaran reading, siswa memperoleh tugas dan latihan yang memberi penguatan tentang cara memperoleh informasi yang tepat dan konsep bahasa yang membawa pesan untuk dipahami. Application Stage Pada tahap aplikasi, kejadian ketika tahap generalisasi terulang—arahan guru untuk mengerjakan tugas dimengerti siswa pada sekolah berkategori baik sehingga mereka mampu menulis kalimat-kalimat sederhana tentang aggota keluarganya, (#19 my father work in office, he go everyday. Demikian juga ketika memberi perintah lisan kepada temannya (#20) take the book and give to me, hold your ear, stand up and go to the door, perintah itu dapat dilakukan dan di'respon dengan baik oleh siswa yang lain. Walaupun
kelas
agak
gaduh
motivasi
dan
antusiasme
siswa
belajar
nampak
menggembirakan. Hal itu berbeda dengan apa yang diamati pada dua sekolah lainnya— campur tangan guru masih hampir mendominasi setiap uasaha siswa menyelesaikan tugas menulis kalimat perintah dan teks sederhana tentang anggota keluarga mereka. Namun, beberapa di antara mereka dapat menyelesaikan tugas tepat pada waktunya.
204 e) Hambatan-hambatan Seperti pada siklus-siklus sebelumnya, peneliti berusaha memahami setiap masalah yang timbul dan menentukan mana yang paling mendasar menghambat pelaksanaan uji coba, maka pada uji coba kelima ini dikemukakan beberapa masalah. Masalah dimaksud adalah: pelaksanaan draw on experience and knowledge belum terarah, guru belum menguasai cara mengarahkan siswa melalui leading questions, guru belum trampil memanfaatka media dalam mengajukan pertanyaan terkait dengan makna yang terkandung dalam gambar, dan siswa belum terbiasa mengambil kesimpulan pelajaran apa lagi melalui leading questions. Uji coba keenam a) Penerapan model pembelajaran Untuk penerapan model pembelajaran, semua langkah utama yang direncanakan terlaksana tanpa satu pun yang terlewati. Kegiatan guru memberikan instruksi dan penjelasan pada saat memulai dan untuk setiap perlaihan tugas dari satu tahap ke tahap selanjutnya sudah memenuhi kebutuhan. Guru mampu memberikan penjelasan dan instruksi pada setiap peralihan tugas dan kegiatan secara jelas sehingga siswa mampu menangkap apa yang harus dilakukan berdasarkan arahan guru. Satu hal yang masih perlu perhatian adalah jumlah waktu yang digunakan pada setiap pelaksanaan tugas sering molor dari waktu seharusnya. Dari hasil angket yang disebarkan, tiga guru penguji coba sepakat mengusulkan satu kegiatan pada fase generalisasi, yaitu pertanyaan yang bersifat review terhadap pengetahuan yang baru saja diperoleh siswa. Pertanyaan dimaksud dapat menyadarkan
205 adanya perubahan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh bila dengan sebelum siswa memperoleh pengalaman belajar.
| £g
.-^
p
b) Kemampuan guru memfasilitasi kegiatan belajar mengajar t?agt St&wa V ^ ' Oraw on experience and knowledge
"i-^.
Pada siklus keenam, guru telah mampu melakukan kegiatan draw on experience and knowledge dalam mengawali pembelajaran speaking. Guru menunjukkan sebuah gambar dari sejumlah orang yang sedang bercakap-cakap sambil mengajukan pertanyaan yang
mengarah
Keberhasilan
pada
dilihat
contoh dari
ungkapan
jawaban
siswa
tentang
kondisi
mereka-reka
kesehatan
kalimat
seseorang.
yang
mungkin
di kemukakan oleh masing-masing yang melakukan pembicaraan dalam gambar. Input Stage Guru menyajikan input dengan melakukan demonstrasi percakapan dua orang, satu orang minta yang lainnya untuk melakukan sesuatu melalui kalimat permintaan. Yang lain merespon permintaan itu dengan melakukan sesuatu secara demonstratif yang dapat diamati siswa sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat ditangkap dengan lebih berkesan. Guru melakukan percakapan secara berulang-ulang dengan mimik yang menambah pengertian pada setiap gerakan yang dilakukaa Suara dan intonasi disesuaikan dengan pesan yang terkandung dalam ujaran. Generalization and review Stage Pada fase ini, kemampuan guru berangsur sesuai dengan harapan walau belum optimal. Hal itu terjadi karena mereka sudah memiliki pengalaman mengajukan pertanyaan terbimbing untuk mengarahkan siswa menarik kesimpulan pelajaran. Guru telah mampu mengajukan pertanyaan yang mengarahkan siswa mengambil kesimpulan
206 pada fungsi bahasa atau ujaran yang menyatakan permintaan agar seseorang melakukan sesuatu. Di samping itu, mereka juga telah membantu siswa melakukan review terhadap kemajuan belajarnya hari itu. Application Stage Pada fase aplikasi, keterampilan guru masih sama seperti yang diperlihatkan pada siklus
kelima
dalam
memfasilitasi
siswa
untuk
menerapkan
pengetahuan
dan
keterampilan yang baru diperoleh ke dalam aktivitas berbahasa yang lebih bermakna. Mediasi dilakukan dalam bentuk pemberian kalimat-kalimat kunci yang di dalamnya terdapat rumpang yang diisi siswa sesuai dengan konteks sendiri. Siswa menggunakan kalimat-kalimat ini dalam praktik bercakap-cakap yang dilakukan secara berpasangan. Support System Bahan ajar disiapkan secara kolaboratif oleh peneliti dan guru penguji coba. Percakapan mengambil tema kegiatan di rumah. Tingkat kompleksitas tugas dan latihan berbahasa memperhatikan prinsip i + 1. Dalam kosa kata dan ungkapan dipilih kegiatan yang menggabungkan kosa kata dan ungkapan yang (diasumsikan) telah diperoleh siswa dengan yang baru. Akan halnya dengan penggunaan media pembelajaran, tampaknya guru tidak lagi menghadapi kendala dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan terarah berdasarkan konteks yang terbawa oleh media yang digunakan. Gambar yang disediakan juga semakin berkualitas, cukup besar dan terlihat oleh semua siswa di dalam kelas. Evaluasi Evaluasi proses pembelajaran sudah berjalan lebih baik dari siklus-siklus sebelumnya. Guru berusaha mengamati perilaku siswa dengan lebih baik karena telah
207 mempelajari kriteria penilaian. Format penilaian sudah dimanfaatkan dengan baik. Untuk penilaian unjuk kerja dalam kompetensi komunikatif diperlihatkan siswa melalui percakapan sederhana yang topiknya telah disiapkan guru sebelumnya. Penilaian fokus pada kejelasan pesan yang disampaikan/diterima, pemilihan kata, pengucapan, dan tata bahasa. Tata bahasa memperoleh penilaian paling sedikit bobotnya dalam kriteria penilaian. c) Interaksi belajar mengajar Siswa terlibat dalam kegiatan bercakap-cakap secara berpasangan dengan antusias. Mereka mampu bertanya bila terdapat makna kata yang belum jelas. Guru tidak memperlakukan kesalahan siswa sebagai sesuatu yang harus mendapat hukuman dalam bentuk apapun. Hal itu menciptakan suasana belajar yang lebih kondusif—tidak menegangkan (stress-Jree environment). Dalam hal memberi bantuan bagi siswa yang membutuhkan, guru tidak lagi memberinya secara langsung akan tetapi melalui pertanyaan-pertanyaan yang terarah pada jawaban. Jawaban diperoleh sendiri oleh siswa dengan memperhatikan akumulasi jawaban yang diberikan. d) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar mengajar Draw on experience and knowledge Pada siklus keenam dalam pembelajaran speakings kemajuan respon siwa mulai tampak. Kemampuan melakukan aktivitas pada fase ini semakin baik. Dua buah kalimat dari dua orang siswa merespon gambar yang ditunjukkan guru dengan berseru (#20) ill, he is ill, sedih—what 's sedih? Dengan suara gaduh, hampir semua siswa menyerukan kata dan atau kalimat yang dapat diucapkan menurut tanggapannya masing-masing
208 terhadap gambar yang diperlihatkan. Kejadian yang sama terjadi pada dua kelas uji coba lainnya. Input Stage Dalam fase ini, guru memfasiltasi input pesan dan bahasa melalui demonstrasi percakapan dua orang—yang satu bertanya tentang perasaan dan yang lainnya menjawab. Mereka mampu menuliskan kalimat percakapan yang didemonstrasikan guru yang berkenaan dengan ungkapan yang menyatakan kondisi seseorang, dengan struktur kalimat yang tepat, (#21) / am very tired
Dari jawaban ini nampak bahwa siswa pada
hakikatnya telah memanfaatkan pengetahuan siap sehingga mampu menangkap kalimat panjang yang diucapkan guru. General ization and review Stage Ketika siswa sekolah berkategori baik diperhadapkan pada aktivitas menarik kesimpulan, mereka hampir tidak menemukan kesulitan. Mereka menemukan sendiri dan memahami secara konseptual ungkapan yang menyatakan kondisi seseorang. Pada dua kelas lainnya, siswa sekolah berkategori sedang dan kurang semakin baik dalam memahami instruksi tentang apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan tugas. Dengan pengalaman pada siklus kelima, siswa mulai mampu menarik kesimpulan dari akumulasi jawaban berdasarkan pertanyaan terarah dari guru. Sebagian beasar telah mampu menemukan sendiri dan memahami bahwa ungkapan (#22) How do you feel? digunakan untuk menanyakan kondisi seseorang. Perolehan ini diyakini sebagai akibat dari mediasi guru menstimulasi operasi kognitif siswa untuk berpikir runtut dan sistematis.
209 Application Stage Pada f^se aplikasi, selain berkembangnya kemampuan memahami instruksi dajj arahan guru, fcjswa pada ketiga kejas uji coba juga telah rmunpu menuliskan dan^ melakukan percakapan yang terkait dengan kesehatan seseorang. Walaupun untuk tata bahasa, kosa kata dan pelafalan siswa masih perlu dampingan guru yang lebih intensif. e) Hambatan-hambatan Dalam
uji
coba
keenam,
ditemukan
masalah
semakin
berkurang
bila
dibandingkan dengan uji coba sebelumnya. Masalah yang muncul dalam uji coba ini adalah: belum semua siswa aktif dalam pembelajaran, siswa belum terbiasa dengan teknik uji-coba dalam berbicara, dan guru tidak mengontrol waktu pada setiap pergantian fase kegiatan sehingga waktu yang digunakan tidak lagi sesuai jadwal pelajaran. Uji coba ketujuh a) Penerapan model pembelajaran Pada siklus ketujuh, semua kelemahan yang masih ada pada siklus kelima dan keenam sudah berangsur dapat diatasi sehingga penguasaan guru menerapkan model pembelajaran semakin optimal. b) Kemampuan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa Draw on experience and knowledge Pada fase ini ketiga guru penguji coba telah memiliki kemampuan yang 'memadai' untuk menarik perhatian siswa mengemukakan pengalaman dan pengetahuan mereka yang terkait dengan materi yang akan dipelajari. Guru dalam tingkat yang dipersyaratkan model telah mampu mengkondisikan siswa agar merespon prompt yang
210 diberikan apakah dalam bentuk pertanyaan penggali atau memberi komentar pada sebuah gambar dibawah bimbingan guru. Input Stage Peran guru pada fase ini adalah memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa agar menemukan dan meperoleh pengetahuan dan keterampilan baru sesuai dengan tujuan pembelajaran. Guru penguji coba menguraikan penampilan mereka (pakaian/warna pakaian, postur tubuh) dalam bentuk wacana sederhana dan menuliskannya dipapan tulis. Ada interaksi antara guru dan siswa melalui tanya jawab perihal kata yang kurang jelas bagi siswa. Generalization and review Stage Guru membimbing siswa untuk mengetahui struktur teks yang menjelaskan penampilan seseorang melalui pakaian dan warna pakaian yang dipakai. Bimbingan ini dilakukan melalui pertanyaan terarah. Karena pengalaman telah ada sebelumnya, guru telah memiliki kemampuan yang dipersyaratkan oleh model untuk membimbing siswa dengan cara ini. Guru penguji coba mampu mengajukan pertanyaan yang mengarahkan siswa mengambil kesimpulan pada fungsi bahasa atau kalimat-kalimat yang menjelaskan penampilan seseorang. Di samping itu, mereka juga telah membantu siswa melakukan refleksi terhadap kemajuan belajarnya hari itu. Application Stage Pada fase aplikasi, keterampilan guru memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang baru diperoleh ke dalam aktivitas berbahasa yang lebih bermakna semakin baik. Guru menyiapkan sebuah gambar dengan ciri tertentu dari orang dalam gambar tersebut. Mediasi dilakukan dalam bentuk
211 pemberian kalimat-kalimat kunci yang di dalamnya terdapat rumpang yang diisi siswa sesuai dengan konteks yang dibawa gambar. Siswa menggunakan kalimat-kalimat ini dalam praktik menulis dan menjelaskan penampilan seseorang. Support System Guru menampilkan diri sebagai model yang dicermati siswa dalam usaha menjelaskan penampilan seseorang. Materi terkait dengan warna pakain dalam kalimat atau
ungkapan
yang menjelaskan
penampilan
seseorang.
Siswa memperlihatkan
antusiasme yang tinggi sehingga mereka mampu mengungkapkan warna pakaian dalam bahasa Inggris. Ketiga guru penguji coba tampil dengan penampilan yang sangat bersahabat sehingga suasana belajar jauh dari menegangkan. c) Interaksi belajar mengajar Pada siklus ini, kejadian tidak berbeda dengan yang ada pada siklus keenam sebelumnya Siswa terlibat dalam kegiatan menulis penampilan orang yang paling dekat dalam konteks kekerabatan. Mereka bertanya apa bahasa Inggrisnya 'bergaris-garis, gemuk-tinggi, dan lain-lain. Guru tidak memperlakukan kesalahan siswa sebagai sesuatu yang harus mendapat hukuman dalam bentuk apapun. Hal itu menciptakan suasana belajar yang lebih kondusif—bebas dari rasa cemas (stress free environment). Dalam hal memberi bantuan bagi siswa yang membutuhkan, guru tidak lagi melakukannya secara langsung akan tetapi siswa disuruh membuka kamus. Kata-kata yang dibutuhkan dalam merangkai makna tentang penampilan seseorang ditemukan sendiri dari dalam kamus.
212 d) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar mengajar Draw on experience and knowledge Dalam putaran ketujuh pada mata pelajaran menulis, kemampuan merespon pada fase ini semakin berkembang menjadi lebih baik. Sebagian besar siswa mampu mengemukakan warna pakaian yang dipakainya dan orang tuanya hari itu. Ketika guru mengemukakan warna pakaian yang dipakai hari itu, sebagian besar siswa mampu menangkap dan mencatat kata-kata bahasa Inggris walaupun ejaan masih ada yang kurang tepat dan cenderung hanya menuliskan bunyi yang didengar dari guru, misalnya (#24 whait (white), blek (black), colorful, sebagaian lainnya telah menulis dengan benar. Rekaman ini secara spontan dilakukan dalam usaha memberi makna tentang apa yang telah didengar dari guru. Nampak adanya usaha bawa sadar (subconscious) untuk menggunakan bahasa Inggris walau masih dalam konteks yang terbatas. Input Stage Pada fase input siswa secara individual membaca dalam hari model teks tentang t
warna pakaian guru di papan tulis dan mengajukan pertanyaan tentang kata/kalimat yang bagi mereka masih kurang jelas artinya. Untuk menjawab pertanyaan siswa, guru pun menjelaskan dengan contoh-contoh kalimat yang diartikulasi sambil menunjuk wama atau obyek tertentu yang berkenaan dengan hal yang ditanyakan. Generalization and review Stage Selanjutnya dalam fase ini, walaupun penggunaan waktu cenderung lebih lama, sebagian besar siswa mampu mengambil kesimpulan pelajaran dan dengan bimbingan guru mampu menilai betapa perubahan pengetahuan tentang konstruksi teks yang menjelaskan warna pakaian seseorang yang sebelumnya tidak diketahui menjadi
213 diketahui. Hal ini sangat menggembirakan mengingat bahwa siswa telah mampu menilai sendiri kemajuan belajarnya melalui refleksi yang dibimbing guru. Application Stage Dalam fase aplikasi, hampir secara otomatis siswa mengerti arahan guru untuk mengerjakan tugas dan latihan. Secara individual siswa menulis teks sederhana tentang penampilan seseorang khususnya warna pakaian yang dipakai keluarga. Misalnya kalimat dari tiga siswa berbeda (#25) my father is wearing shirt white, My mother use jacket black, My uncle is tie black. Untuk tata bahasa, kosa kata dan ejaan, siswa masih perlu dampingan guru yang lebih intensif Namun, satu hal yang patut diyakini bahwa siswa telah melakukan eksperimen dengan pengetahuan bahasa dan kebahasaan yang dimiliki dalam konteks dunia nyata. e) Hambatan-hambatan Beberapa hambatan yang ditemukan pada siklus ini terkait dengan penggunaan waktu yang kurang efektif bagi siswa. Hal itu disebabkan karena kurangnya perhatian baik guru mau pun siswa akan pentingnya memanfaatkan waktu yang relatif singkat untuk beberapa tugas berbahasa dan kebahasaan. Selain itu, guru tidak mengontrol waktu pada setiap pergantian fase kegiatan. Pada Tabel 4.6 disajikan proses kemajuan uji coba model lebih luas yang datanya diperoleh melalui observasi kelas. Skor setiap aspek diberikan sesuai dengan kriteria yang terpenuhi selama penerapan model.
214 Tabel 4.6 Skor Setiap Aspek Observasi Hasil Ujicoba Model Lebih Luas Skor Ujicoba 5
Skor Ujicoba 7
Skor Ujicoba 6
Aspek-Aspek 1
! 2
1. Penerapan modei: a. Kesesuaian dengan RP; b. Langkah-langkah pembelajaran; c. Kejelasan instruksi.
5833 58,33 3 3 2 2 2 2
2, Kemampuan guru: a. Mengaitkan pengalaman siswa dengan materi yang akan dipelajari; b. Membimbing siswa; c Mengarahkan siswa mengambil kesimpulan; d. Memfasilitasi tugas/latihan berbahasa dan kebahasaan; e. Menggunakan alat/media pembelajaran. f. Melaksanakan evaluasi proses/ unjuk kerja siswa. 3. Interaksi belajar-mengajar: a Keterlibatan siswa dalam setiap kegiatan; b. Kesempatan menyelesaikan tugas melalui bimbingan guru. c. Kesempatan bertanya; d Pengelolaan kesalahan siswa; e. Suasana kelas yang menyenangkan; f. Bimbingan guru dalam bentuk pertanyaan terarah. 4. Kemampuan siswa: a. Menjawab pertanyaan guru pada awal pembelajaran. b. Melakukan eksplorasi; c. Mengambil kesimpulan pelajaran d. Menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang baru diperoleh. 5. Hambatan-hambatan
! 3
1 ! 2
3
1
! 2
! 3
75 3 3 3
75 3 3 3
100 4 4 4
100 4 4 4
100 4 4 4
100 4 4 4
7033 66,67 9533 2 2 4
874 3
79,17 3
100 4
100 4
95 4
100 4
3 2
3 2
3 4
4 3
3 3
4 4
4 4
4 3
4 4
3
3
4
3
3
4
4
4
4
4
3
4
4
4
4
4
4
4
3
3
4
4
3
4
4
4
4
3
623 3
91,67 3
75 3
75 3
100 4
100 4
9533 100 4 4
3
3
4
3
3
4
4
4
4
2 2 3
2 2 3
3 4 4
3 3 3
3 3 3
4 4 4
4 4 4
4 4 4
4 4 4
2
2
4
3
3
4
4
3
4
62^ 3
624 3
56,25 2
75 3
75 3
75 3
100 4
100 4
100 4
3 2 2
3 2 2
3 2 2
3 3 3
3 3 3
3 3 3
4 4 4
4 4 4
4 4 4
91,67 4 4 3
40
30
20
215 Apabila hasil uji coba model dalam skala lebih luas seperti yang tampak pada table 4.6 di atas dikonversi ke dalam bagan, akan terlihat seperti berikut:
i
Estimated Marginal Means of Hasil Ujicoba Ujieobe 5 00 6.00 7.00
Penerapan model I Interaksi B-M I Hambatan Kemampuan Guru Kemampuan siswa
Variabel Penelitian Diagram 4.4 Perkembangan Hasil Uji Coba Model Lebih Luas
f) Persepsi siswa terhadap kelayakan model Berikut diuraikan tanggapan siswa terhadap kelayakan model pembelajaran yang diperoleh dari 30 orang sampel yang diambil secara acak dari tiga kelas uji coba model lebih luas. Tujuan penyebaran angket adalah untuk memperoleh informasi pendukung tentang kelayakan model dari perspektif siswa sebagai pembelajar yang mengalami secara langsung penerapan model di kelas. Angket diberikan setelah empat kali putaran
216 uji coba terbatas selesai dilaksanakan. Jawaban dianalisis dan disajikan dalam bentuk persentase (%) seperti diuraikan berikut ini. Dari
pertanyaan yang menggali
persepsi
siswa terhadap aplikasi
model
pembelajaran secara keseluruhan, diperoleh 66,67% siswa yang menjawab kegiatan belajar-mengajar sangat menarik, yang lain 33,33% menyatakan menarik. Terdapat 33,33% siswa yang sangat setuju, 50% setuju dan 6,67% lainnya tidak setuju bahwa pertanyaan guru pada awal pembelajaran terkait dengan pengalaman nyata mereka. Pertanyaan-pertanyaan itu menyangkut pengetahuan siap siswa sehingga mudah dijawab oleh mereka. Diperoleh 43,33% siswa yang menjawab sangat setuju, 40% setuju, dan 16,67% lainnya tidak setuju. Pertanyaan berikutnya adalah kemandirian belajar yang difasilitasi dan dimediasi guru sehingga siswa mampu menemukan sendiri jawaban dari tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan yang diberikan. Terdapat 56,67% siswa yang menjawab sangat setuju, dan 43,33% lainnya setuju bahwa kegiatan pembelajaran memberi kesempatan kepada mereka untuk menemukan sendiri jawaban dari tugas dan latihan dimaksud. Mediasi (bimbingan) yang diberikan guru dalam menemukan sendiri jawaban dijawab sangat membantu oleh 66,67% siswa, dan membantu sebanyak 33,33%. Tentang diskusi kelompok dalam mencari dan menemukan jawaban dari tugas dan latihan yang diberikan diperoleh 70% siswa yang menjawab sangat bermanfaat, dan 30% menyatakan bermanfaat. Diskusi dan kerja kelompok tidak terlepas dari bimbingan guru untuk mengarahkan siswa menarik kesimpulan pelajaran. Terdapat 43,33% siswa yang menjawab bimbingan itu sangat mempermudah, 40% berpendapat mempermudah, dan lainnya 16,67% menjawab tidak mempermudah.
Informasi dan atau konsep-konsep bahasa baru yang diperoleh darf tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan dapat dipraktikkan ke dalarn si&foi berbeda. Terdapat 76,67% siswa yang menjawab sangat setuju, dan 2 3 , ^ & : J & menyatakan setuju. Proses mempraktikkan perolehan itu pada tahap akhir pembelajaran dianggap sangat mudah diikuti oleh 40% siswa, mudah diikuti 43,33%, dan 16,67% lainnya berpendapat tidak mudah diikuti. Secara keseluruhan dari awal sampai akhir pembelajaran suasana sangat menyenangkan menurut 83,33% siswa dan selebihnya sebanyak 16,67% menganggap menyenangkan. Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa mampu merespon setiap langkah dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan tujuan uji coba model. c.
Beberapa kendala pada pelaksanaan uji coba model terbatas dan lebih luas.
Selama pelaksanaan uji coba model skala terbatas dan lebih luas, terdapat berbagai hambatan, seperti telah dipaparkan pada setiap siklus uji coba. Hambatanhambatan itu dapat diklasifikasi ke dalam dua kategori, fisik dan non-fisik. Hambatan fisik
lebih
pada
adanya
kendala
yang
berbentuk
lingkungan
fisik
dalam
menyelenggarakan setiap kegiatan di kelas. Misalnya, jumlah siswa yang lebih dari tiga puluh orang, dan tempat duduk yang posisinya tidak bisa diubah sesuai kebutuhan. Jumlah siswa yang banyak berakibat pada kurang optimalnya guru memediasi materi, tugas/latihan berbahasa dan kebahasaan kepada siswa.
Seting tempat duduk yang
cenderung statis menghambat posisi dalam kelompok diskusi sehingga siswa kurang mampu berperan dalam sebuah kegiatan komunikatif
218 Hambatan non-fisik berupa penguasaan penerapan
model
• ^pelaksanaan
belum
optimal
langkah-langkah
sesuai
pembelajaran
guru
kebutuhan. yang
dan
respon
Penguasaan
siswa terhadap guru
secara konseptual
terhadap
memerlukan
pengetahuan dan keterampilan tertentu pada siklus-siklus awal tampak belum memadai. Namun, secara bertahap hambatan-hambatan itu telah dapat diatasi berkat evaluasipenilaian-perbaikan yang dilakukan secara berkesinambungan pada akhir setiap siklus uji coba. Demikian pula dengan respon siswa, pada awalnya mereka tampak kaku. Namun dengan pengalaman merespon setiap kegiatan melalui pengulangan-pengulangan, pada akhirnya mereka mampu dan terbiasa. 2) Hasil belajar, motivasi, dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris a) Hasil belajar Pada uji coba model kelima, keenam, dan ketujuh digunakan pretes dan postes pada masing-masing siklus. Seperti yang telah dijelaskan pada bab terdahulu, tes bahasa Inggris yang diberikan untuk menguji kemampuan komunikatif siswa adalah seperangkat soal yang telah diuji reliabiltas dan validitasnya, baik melalui pakar di bidang ini maupun melalui uji lapangan. Oleh karena itu, soal-soal diyakini dapat menjaring kemampuan awal (sebelum implementasi model) dan kemampuan akhir siswa (setelah implementasi model). Hasil belajar tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
219 Tabel 4.7 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Hasil Belajar Bahasa Inggris Test Statistics (b) POST-PRE Productive Skill (Writing)
POSTPRETEST Hasil Belajar Bahasa Inggris Model Luas
-3.717(a) .000
-4.231(a) .000
-t.600(a) .000
•4 385(a) 000
-3.580(a) .000
-4.631(a) .000
-4.782(a) .000
-3.305(a) .001
-3.535(a) .000
-3.628(a) .000
-3.574(a) .000
POST-PRE Receptive Skills (ListeningReading)
Kategori Sekolah
Ujicoba 5, 6, dan 7
Baik
Z Asymp. Sig. (2taiied)
-3.791(a) .000
Sedang
Z Asymp Sig. (2tailed)
Z Asymp. Sig. (2tailed) a Based on negative ranks, b Wilcoxon Signed Ranks Test.
Kurang
Tabel
4.7
di
atas
menunjukkan
POST-PRE Productive Skill (Speaking)
hasil
pengujian
dampak
model
yang
dikembangkan terhadap hasil belajar bahasa Inggris melalui uji coba model lebih luas pada tiga sekolah dasar dengan kategori "baik", "sedang", dan "kurang". Bagi sekolah berkategori baik, tampak harga WiIcoxon Signed Ranks Test untuk selisih postes dengan pretes hasil belajar bahasa Inggris adalah 4,600, dengan rincian sebagai berikut: selisih postes dengan pretes receptive skills (listening-reading) adalah 3,791; productive skill (speaking) adalah 3,717; dan productive skill (writing) adalah 4,231. Semua hasil pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Hal itu menunjukkan bahwa model yang dikembangkan berdampak positif yang signifikan terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa sekolah dasar tempat uji coba. Bagi sekolah berkategori sedang, harga Wilcoxon Signed Ranks Test untuk selisih postes dengan pretes hasil belajar bahasa Inggris adalah 4,782, dengan rincian
220
sebagai berikut: selisih postes dengan pretes receptive skiUs (listening-reading) adalah 4,385, productive skill (speaking) adalah 3,580, dan productive skill (writing) adalah 4,631. Semua hasil pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Data itu menunjukkan bahwa model yang dikembangkan berdampak positif yang signifikan terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa sekolah dasar berkategori sedang. Bagi sekolah berkategori kurang, harga Wilcoxon Signed Ranks Test untuk selisih postes dengan pretes hasil belajar bahasa Inggris adalah 3,574, dengan rincian sebagai berikut: selisih postes dengan pretes receptive skills (listening-reading) adalah 3,305, productive skill (speaking) adalah 3,535, dan productive skill (writing) adalah 3,628. Semua hasil pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Seperti halnya dengan sekolah berkategori baik dan sedang, data itu menunjukkan bahwa model yang dikembangkan juga memberi dampak positif yang signifikan terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa sekolah dasar berkategori kurang. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa pada tingkat signifikansi 9 5 % model berdampak positif yang signifikan terhadap hasil belajar bahasa Inggris bagi tiga kelompok siswa pada uji coba model lebih luas. Dengan demikian, telah diperoleh desain model yang lebih halus sehingga uji validasi model sudah dapat dilakukan pada fase penelitian berikutnya. b) Motivasi belajar Berikut adalah ringkasan hasil pengujian dampak model terhadap motivasi belajar bahasa Inggris bagi siswa dari tiga kategori sekolah dasar tempat pelaksanaan uji coba model lebih luas.
221
Tabel 4.8 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Motivasi Belajar Bahasa Inggris Uji Coba Model Luas Test Statistics^
Selisih Postes-Pretes
Kategori Sekolah
-4.707(a)
Z Baik
.000
Asymp. Sig. (2-taiied)
-4.686(a)
Z Sedang
.000
Asymp. Sig. (2-taiied)
-3.623(a)
Z Kurang
.000
Asymp. Sig. (2-taiied)
a Based on negative ranks. b Wilcoxon Signed Ranks Test.
Tabel
4.8
di
atas
menunjukkan
hasil
pengujian
dampak
model
yang
dikembangkan terhadap (aspek-aspek) motivasi belajar bahasa Inggris melalui uji coba model lebih luas pada tiga sekolah dasar berkategori "baik", "sedang", dan "kurang". Pada tabel tersebut tampak harga Wilcoxon Signed Ranks Test untuk masing-masing sekolah dasar sebagai berikut: Pada sekolah berkategori baik, selisih postes dengan pretes motivasi adalah 4,707. Hasil pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05 (atau .000) yang berarti model yang dikembangkan berdampak positif yang signifikan terhadap motivasi belajar bahasa Inggris siswa kelas V sekolah dasar tempat uji coba. Hal serupa terjadi pada sekolah berkategori sedang dan kurang. Pada sekolah berkategori sedang, selisih postes dengan pretes motivasi adalah 4,686, sementara pada sekolah berkategori kurang adalah 3,623. Masing-masing hasil pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05 (atau .000). Hal itu berarti bahwa model yang
222
dikembangkan berdampak positif yang signifikan terhadap motivasi belajar bahasa Inggris siswa kelas V sekolah dasar tempat uji coba. c) Sikap belajar Berikut adalah ringkasan hasil pengujian dampak model terhadap sikap belajar bahasa Inggris siswa dari tiga kategori sekolah dasar tempat uji coba model lebih luas dilaksanakan. Table4.9 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Sikap Belajar Bahasa Inggris Uji Coba Model Luas Test Statistics(b) Kategori S e k o l a h
Selisib Postes-Pretes Z
Baik
-4.683(a)
Asymp. Sig. (2-tailed)
.000
Z Sedang
-4.641(a)
Asymp. Sig. (2-tailed)
.000
Z Kurang
-3.603(a)
Asymp. Sig. (2-tailed)
.000
a Based on negative ranks. b Wilcoxon Signed Ranks Test.
Tabel
4.9
di
atas
menunjukkan
hasil
pengujian
dampak
model
yang
dikembangkan terhadap (aspek-aspek) sikap dalam belajar bahasa Inggris melalui uji coba model lebih luas pada tiga sekolah dasar berkategori "baik", "sedang", dan "kurang". Pada tabel itu tampak harga Wilcoxon Signed Ranks Test untuk masingmasing sekolah dasar sebagai berikut:
223
Pada sekolah berkategori baik, selisih postes dengari prêtes sikap belajar bahasa Inggris adalah 4,683. Hasil pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05 (atau .000). Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa model yang dikembangkan berdampak positif yang signifikan terhadap aspek sikap dalam belajar bahasa Inggris siswa kelas V sekolah dasar tempat uji coba. Hal serupa terjadi pada sekolah berkategori sedang dan kurang. Pada sekolah berkategori sedang, selisih postes dengan prêtes sikap belajar bahasa Inggris adalah 4,641, sementara pada sekolah berkategori kurang adalah 3,603. Masing-masing hasil pengujian itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05 (atau .000). Karena itu, dapat dikemukakan bahwa model yang dikembangkan berdampak postif yang signifikan terhadap aspek sikap belajar bahasa Inggris siswa kelas V sekolah dasar tempat uji coba. 6.
Perubahan Sosok the ftflD-Model Selama Penelitian Perubahan sosok model mempertimbangkan apakah: (1) implementasi telah
optimal merefleksi desain model, (2) aktivitas dan perilaku yang menyatu dengan langkah pembelajaran membantu siswa membangun pemahaman baru melalui prosesproses asimilasi dan akomodasi, (3) langkah pembelajaran dapat dilaksanakan oleh guru dan direspon oleh siswa sesuai dengan konsep pengembangan kemampuan komunikatif, dan (4) apakah fasilitasi dan mediasi materi, tugas, dan latihan yang dilakukan guru meningkatkan motivasi dan sikap positif siswa dalam pelajaran bahasa Inggris. Berikut adalah uraian singkat perubahan sosok model selama penelitian. a.
Draf Awal
Draf awal desain dan implementasi the MID-Model diuji coba pada setiap siklus, dievaluasi berkenaan dengan penguasaan guru terhadap langkah pembelajaran, dan
224
respon siswa, serta apakah implementasi secara konseptual telah merefleksi modei desain yang telah ditetapkan. Draf awal desain dan implementasi the MID-Model adalah:
Deasin
1. 2. 3. 4.
Tujuan Pembelajaran Materi Pembelajaran Media/Sumber Belajar Prosedur a. Lead in
Implementasi
I) Draw on experience and knowledge
b. Reconstruction
2) Input stage 3) Reinforcement stage
c. Production
4) Application stage
5. Evaluasi
Bagan 4.5 Draf Awal Desain/Implementasi the MID-Model
b. Modifikasi desain the MID-Model Setelah uji coba model terbatas berjalan sampai pada putaran kedua tampak adanya suatu kesenjangan yang menghambat arus dan kepaduan proses belajar dari tahap input ke tahap aplikasi. Dengan tahap Reinforcement saja tampaknya tidak cukup memuluskan proses informasi yang diperoleh dari tahap input untuk masuk ke tahap Application. Untuk itu, atas hasil observasi dan umpan balik yang dilakukan bersama peneliti dan guru penguji coba, diambil keputusan menempatkan satu fase kegiatan yang dapat menjembatani kesenjangan dimaksud, yaitu tahap Generalization. Tahap itu membantu siswa menarik kesimpulan pelajaran melalui mediasi guru. Maka, pada uji coba ketiga, keempat, dan kelima implementasi model menjadi:
225
Deasin
1. 2. 3. 4.
Implementasi
Tujuan Pembelajaran Materi Pembelajaran Media/Sumber Belajar Prosedur a. Lead in
1)
Draw on experience and knowledge
b. Reconstruction
2) 3) 4)
Input stage Generalization stage Reinforcement stage
c. Production
5)
Application stage
5. Evaluasi
Bagan 4.6 Modifikasi Desain/Implementasi the MID-Model
c Desain a k h i r the MID-Model Setelah uji coba model terbatas berjalan sampai pada putaran ketiga dan keempat, serta uji coba model lebih luas putaran kelima, hasil pengamatan dan evaluasi menunjukkan bahwa kegiatan Reinforcement tidak lebih penting dari empat tahap lainnya. Ternyata peran penguatan itu dapat digantikan oleh peran Generalization. Ketika siswa telah menangkap esensi materi melalui proses pengambilan kesimpulan yang dimediasi guru, fungsi
'penguatan'
sekaligus menyatu (embedded) dalam proses
pengambilan kesimpulan itu. Selain itu, masukan guru pada uji coba kelima akan pentingnya tahap review juga diakomodasi, sehingga menjadi Generalization and review stage.
Tahap generalization membimbing siswa melakukan abstraksi dan hipotesis
tentang konsep-konsep bahasa dan informasi baru melalui tahap-tahap kegiatan
226
terbimbing atau dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan terarah untuk menarik
kesimpulan pelajaran, dan Review mengarahkan siswa melakukan refleksi terhadap apa yang telah dipelajari saat itu dibandingkan dengan pengetahuan sebelumnya. Oleh karena itu, memasuki siklus uji coba model lebih luas yang keenam, dan ketujuh kegiatan Reinforcement tidak lagi masuk dalam model pembelajaran yang dikembangkan. Posisi dan perannya sekaligus diganti dengan kegiatan Generalization and Review.
Dalam
aplikasi
tahap
itu
ada
pertanyaan terarah yang sekaligus
menggantikan peran penjelasan guru untuk mengarahkan siswa mengambil kesimpulan secara mandiri, dan juga penyadaran akan kemajuan belajarnya.
Tahap model
pembelajaran dimaksud tampak lebih sederhana, sebagai berikut:
D e s a i n / I m p l e m e n t a s i the M ID-Model S i a p Validasi
Desain
1. 2. 3. 4.
Implementasi
Tujuan Pembelajaran Materi Pembelajaran Sumber Belajar Prosedur Pembelajaran
(Phase of learning)
5.
a.
Lead in
]) Draw on experience and knowledge
b.
Reconstruction
2) Input stage 3) Generalization and R e v i e w stage
c.
Production
4) Application
Evaluasi
Bagan 4.7 Desain/Implementasi the MU)-Model Siap Validasi
Dari observasi dan tanggapan guru penguji coba setelah melakukan pembelajaran pada uji coba model keenam dan ketujuh diperoleh data bahwa dengan dikeluarkannya
227 tahap Reinforcement, langkah model pembelajaran semakin padu terkait satu sama lain sebagai satu sistem, mendukung proses pembelajaran bermakna untuk meningkatkan kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap positif. Pertimbangan yang diambil sehingga Generalization dimasukkan menjadi bagian dari fase Reconstruction
(input + generalization and review) adalah
berdasarkan
pengamatan dalam dua fase ini terjadi proses asimilasi, akomodasi dan gabungan keduanya yang menghasilkan adaptasi atau kecocokan yang lebih lengkap yang disebut "belajar". Prinsip inilah yang membedakan antara model the 4Math System dengan model pembelajaran yang dikembangkan. Pada titik itu telah diperoleh model pembelajaran yang siap memasuki uji validasi dengan menggunakan metode penelitian eksperimen, melibatkan enam sekolah dasar dengan rincian tiga kelas eksperimen dan tiga kelas kontrol yang berbeda menurut tingkat kategorisasi relatif yang ditetapkan. 7.
Uji Validasi Model Untuk mengetahui efektivitas model, diperlukan uji validasi yang bertujuan untuk
memperoleh informasi tentang dampak yang ditimbulkan implementasi the MID-Model pada hasil belajar, motivasi dan sikap positif siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Sesuai dengan sifat data dan permasalahan yang dikemukakan, maka digunakan teknik
statistik
non-parametrik
dengan
the
Wilcoxon
Test
untuk
sampel
beda
{independent samples). Hal itu juga didasarkan atas pertimbangan bahwa rancangan penelitian yang digunakan pada tahap ini adalah two group pretest-posttest design. Sebelum uji validasi, terlebih dahulu
dilakukan pretes untuk memperoleh
informasi tentang kemampuan komunikatif awal siswa kelompok eksperimen dan
228 kontrol;
Untuk menguji
homogenitas varian, digunakan
Test of Homogeneity of
Variances.'Pada. Tabel 4.10 tampak bahwa sebelum uji validasi, tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor rata-rata kemampuan komunikatif kelompok eksperimen dan kontrol, dengan harga statistik Test of Homogeneity of Variances masing-masing 0,637, 0,644, dan 0,874 bagi kelompok eksperimen dan kontrol dalam tiga kategori sekolah. Tabel 4.10 Kemampuan Komunikatif Siswa Sebelum Uji Validasi Test of Homogeneity of Variances Kategori/KIp. Perlakuan Baik/ Eksperimen Kontrol
N
Mean
Std. Deviation
I-a v en e Statistic 0,225
1
66
0,637
0,215
1
62
0,644
0,025
1
58
0,874
35 33
5.3497 5.2606
1.47325 1.33797
Total
68
5.3065
1.39945
Sedang/ Eksperimen Kontrol
31 33
6.3010 5.6200
1,95741 1.61179
Total
64
5.9498
1.80602
Kurang/ Eksperimen Kontrol
30 30
6.2393 6.1183
0,94635 0.92139
Total
60
6.1788
0,92801
a.
df2
dfl
Sig.
Uji Validasi pada sekolah berkategori baik 1) Hasil belajar bahasa Inggris
Rata-rata skor tes hasil belajar bahasa Inggris kelompok eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori baik adalah 1,968, sedangkan rata-rata pada kelompok kontrol adalah 0,919. Ringkasan perhitungan uji Wilcoxon untuk pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada tabel berkut.
229 Tabel 4.11 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Hasil Belajar Bahasa Inggris Kelompok Perlakuan Eksperimen Kontrol
Rata-rata 1,968 0,919
Simpangan Baku 0,867 0,749
•w *j
WiIcoxon 764.500
^
< 0,005
Pada tabel di atas tampak bahwa harga uji Wilcoxon adalah 764,500. Harga itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Karena harga rata-rata kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol, maka itu berarti ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada hasil belajar bahasa Inggris. Itu berarti pula, ada dampak positif yang signifikan dari model yang diujicobakan terhadap hasil belajar bahasa Inggris pada murid sekolah dasar tempat penelitian. 2) Motivasi belajar bahasa Inggris Rata-rata skor hasil pengukuran motivasi belajar bahasa Inggris kelompok eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori baik adalah 12,80, sedangkan rata-rata pada kelompok kontrol adalah 10,06. Ringkasan perhitungan uji Wilcoxon untuk pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada berikut. Tabel 4.12 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Motivasi Belajar Bahasa Inggris Kelompok Perlakuan Eksperimen Kontrol
Rata-rata 12,80 10,06
Simpangan Baku 10,70 5,58
Wilcoxon 1025.000
P 0,163
Pada Tabel 4.12 tampak bahwa harga rata-rata motivasi belajar bahasa Inggris pada kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol (12,80 >
230 10,06). Perbedaan harga rata-rata itu menunjukkan hahwa ada dampak positif yang -ditimbulkan oleh model yang diujicobakan terhadap motivasi belajar bahasa Inggeris. #
"iilgrga. statistik uji Wilcoxon adalah 1025,00 memiliki peluang kekeliruan (P) sebesar 0,T63. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, tidak ada perbedaan yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dalam motivasi belajar bahasa Inggeris. Dengan perkataan lain, model yang diujicobakan berdampak secara tidak signifikan terhadap motivasi belajar bahasa Inggris. Temuan
di
atas
konsisten
dengan
aspek-aspek
motivasi
intrinsik
yang
menunjukkan skor rata-rata yang sudah tinggi sebelum dan setelah perlakuan, dengan implementasi
the
MID-Model
bagi
kelompok
eksperimen
dan
dengan
model
pembelajaran konvensional bagi kelompok kontrol. Hal itu juga sejalan dengan temuan pada hasil wawancara siswa pada sekolah berkategori baik. Terdapat beberapa kegiatan dalam implementasi the MID-Model yang kurang berpengaruh/berkesan bagi siswa. Hal itu disebabkan karena siswa pada sekolah berkategori baik sudah memiliki motivasi yang tinggi sehingga dengan cara apa pun seorang guru menciptakan pengalaman belajar, siswa akan tetap memiliki dorongan yang kuat—intrinsic motivation. 3) Sikap belajar bahasa Inggris Rata-rata skor hasil pengukuran sikap pada pelajaran Bahasa Inggeris kelompok eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori baik adalah 15,37, sedangkan rata-rata pada kelompok kontrol adalah 8,12. Ringkasan perhitungan uji Wilcoxon untuk pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada tabel berikut.
231 Tabel 4.13 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model pada Sikap terhadap Pembelajaran Bahasa Inggris Kelompok Perlakuan Eksperimen Kontrol
Rata-rata 15,37 8,12
Simpangan Baku 14,84 13,23
Wilcoson 964.000
P 0,032
Pada Tabel 4.13 tampak bahwa harga rata-rata sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris pada kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol (15,37 > 8,12). Perbedaan harga rata-rata itu menunjukkan hahwa ada dampak positif yang ditimbulkan oleh model pada sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Harga statistik uji Wilcoxon adalah 964,000 memiliki peluang kekeliruan (P) sebesar 0,032. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, ada perbedaan yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol di kalangan murid sekolah dasar pada sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggeris. Dengan perkataan lain, model yang diujicobakan berdampak positif secara signifikan terhadap sikap pada pembelajaran bahasa Inggris. b. Uji validasi model pada sekolah berkategori sedang 1) Hasil belajar bahasa Inggris Rata-rata hasil tes belajar bahasa Inggris kelompok eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori sedang adalah 1,620, sedangkan rata-rata pada kelompok kontrol adalah 0,620. Ringkasan perhitungan uji WiIcoxon untuk pengujian validitas model disajikan pada tabel berikut.
232
Tabel 4.14 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Hasil Belajar Bahasa Inggris Kelompok Perlakuan Eksperimen Kontrol
Rata-rata 1,620 0,620
Sim pangan Baku 0,972 0,709
Wilcoxon
P
754.500
< 0,005
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga uji Wilcoxon adalah 754.500. Harga itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Karena harga rata-rata kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol, maka itu berarti ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada hasil belajar bahasa Inggris. Hal itu berarti pula bahwa model yang dikembangkan berdampak positif yang signifikan terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa sekolah dasar tempat uji coba. 2) Motivasi belajar bahasa Inggris Rata-rata skor hasil pengukuran motivasi belajar bahasa Inggris kelompok eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori sedang adalah 12,29, sedangkan ratarata pada kelompok kontrol adalah 0,736. Ringkasan perhitungan uji WiIcoxon untuk pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada Tabel 4.14 di bawah ini. Tabel 4.15 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Motivasi Belajar Bahasa Inggris Kelompok Perlakuan Eksperimen Kontrol
Rata-rata 12,29 0,736
Sim pangan Baku 9,060 8,979
Wilcoxon 924.500
P 0,047
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga rata-rata motivasi belajar bahasa Inggris pada kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol (12,29 >
233
0,736). Perbedaan harga rata-rata itu menunjukkan bahwa ada dampak positif yang ditimbulkan oleh model yang dikembangkan terhadap motivasi belajar bahasa Inggris. Harga statistik uji Wilcoxon adalah 924.500, memiliki peluang kekeliruan (P) sebesar 0,047). Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, ada perbedaan motivasi yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan rata-rata kelompok kontrol terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Hal itu berarti pula bahwa model yang dikembangkan berdampak positif yang signifikan terhadap motivasi belajar bahasa Inggris siswa sekolah dasar tempat uji coba. 3) Sikap belajar bahasa Inggris Rata-rata skor hasil pengukuran sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris kelompok eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori sedang adalah 22,13, sedangkan rata-rata kelompok kontrol adalah 3.55. Ringkasan perhitungan uji WiIcoxon untuk pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada tabel berikut. Tabel 4.16 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Sikap Belajar Bahasa Inggris Kelompok Perlakuan Eksperimen Kontrol
Rata-rata 22,13 3,55
Sim pangan Baku 20,843 17,901
Wilcoxon 821.000
P 0,001
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga rata-rata sikap pada pembelajaran bahasa Inggris pada kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol (22,13 > 3,55). Perbedaan harga rata-rata itu menunjukkan bahwa ada dampak positif yang ditimbulkan oleh model yang diujicobakan terhadap sikap pada pembelajaran bahasa Inggris. Harga statistik uji Wilcoxon adalah 821.000, memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05 (P = 0,001). Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 9 5 % ada
perbedaan yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol terhadap sikap dalam pembelajaran bahasa Inggris. Dengan perkataan lain, model yang diuji validasi berdampak positif secara signifikan terhadap sikap siswa pada pembelajaran bahasa Inggris. c Uji validasi model pada sekolah berkategori kurang 1) Hasil belajar bahasa Inggris Rata-rata skor tes hasil belajar bahasa Inggeris kelompok eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori kurang adalah 1,819, sedangkan rata-rata pada kelompok kontrol adalah 0,857. Ringkasan perhitungan uji WiIcoxon untuk pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan dalam tabel berikut. Tabel 4.17 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Hasil Belajar Bahasa Inggris Kelompok Perlakuan Eksperimen Kontrol
Rata-rata 1,819 0,857
Sim pangan Baku 0,855 0,699
Wilcoion 628.500
P 0,000
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga uji Wilcoxon adalah 628.500. Harga itu memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Karena harga rata-rata kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol, maka itu berarti ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada hasil belajar bahasa Inggris. Itu berarti pula, ada dampak positif yang signifikan dari model yang divalidasi terhadap hasil belajar bahasa Inggeris pada murid sekolah dasar tempat penelitian.
235 1) Motivasi belajar bahasa Inggris Rata-rata skor hasil pengukuran motivasi belajar bahasa Inggris kelompok eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori kurang adalah 15,57, sedangkan ratarata pada kelompok kontrol adalah 1,70. Ringkasan perhitungan uji Wilcoxon untuk pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada tabel berikut. Tabel 4.18 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Motivasi Belajar Bahasa Inggris Kelompok Perlakuan Eksperimen Kontrol
Rata-rata 15,57 1,70
Sim pangan Baku 11,732 9,809
Wilcoxon 617.000
P 0,000
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga rata-rata motivasi belajar bahasa Inggris pada kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol (15,57 > 1,70). Perbedaan harga rata-rata itu menunjukkan bahwa ada dampak positif yang ditimbulkan oleh model itu terhadap motivasi belajar Bahasa Inggris bagi siswa sekolah dasar. Harga statistik uji Wilcoxon adalah 617.000, memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, ada perbedaan motivasi yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Atau, model yang diujicobakan berdampak positif secara signifikan pada motivasi terhadap pembelajaran bahasa Inggris. 3) Sikap belajar bahasa Inggris Rata-rata skor hasil pengukuran sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris kelompok eksperimen pada uji validasi sekolah berkategori kurang adalah 18,10, sedangkan rata-rata pada kelompok kontrol adalah 5,42. Ringkasan perhitungan uji
236 WiIcoxon untuk pengujian validitas model yang dikembangkan disajikan pada tabel berikut. Tabel 4.19 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Sikap pada Pembelajaran Bahasa Inggris Kelompok Perlakuan Eksperimen Kontrol
Rata-rata 18,10 5,42
Simpangan Baku 19,99 16,72
Wilcoxon 920.500
P 0,013
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga rata-rata sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris pada kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata kelompok kontrol (18,10 > 5,42). Perbedaan harga rata-rata itu menunjukkan hahwa ada dampak positif yang ditimbulkan oleh model yang diujicobakan terhadap sikap pada pembelajaran bahasa Inggris. Harga statistik uji Wilcoxon adalah 920.500 memiliki peluang kekeliruan (P) sebesar 0,013. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, ada perbedaan yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol di kalangan murid sekolah dasar pada sikap terhadap pelajaran bahasa Inggeris. Dengan perkataan lain, model yang diujicobakan berdampak secara signifikan pada sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris. a.
Hasil uji validasi model terhadap hasil belajar, motivasi, dan sikap siswa dalam tiga kategori sekolah. Dalam Tabel 4.20, 4.21, dan 4,22
disajikan
ringkasan
perbandingan
hasil
belajar kelompok sekolah dasar berkategori baik, sedang, dan kurang. Demikian juga hasil pengukuran motivasi dan sikap terhadap pembelajaran
bahasa Inggris.
237
1) Hasil belajar bahasa Inggris Tabel 4.20 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Hasil Belajar Bahasa Inggris Siswa Sekolah Dasar dalam Tiga Kategori
Kategori Sekolah
Kelompok Perlakuan
Ratarata
Simpang an Baku
WiIcoxon
P
Eksperimen
1,968
0,867
764,500
< 0,005
Kontrol Eksperimen
0,919 1,620
0,749 0,972
754,500
< 0,005
Kontrol Eksperimen
0,619 1,819
0,709 0,855
628,500
< 0,005
Kontrol
0,857
0,699
Baik
Sedang
Kurang
Pada tabel di atas, tampak harga rata-rata skor tes hasil belajar bahasa Inggris kelompok eksperimen siswa sekolah berkategori baik, sedang, dan kurang lebih besar dari rata-rata pada kelompok kontrol. Harga statistik uji Wilcoxon seperti dalam tabel memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, ada perbedaan yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pada hasil belajar bahasa Inggris. Itu berarti pula, ada dampak positif yang signifikan dari model yang diujicobakan terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa kelas V dari tiga kategori sekolah tempat uji coba.
238 2) Motivasi belajar bahasa Inggris Tabel 4.21 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Model terhadap Motivasi Belajar Bahasa Inggris Bagi Siswa Sekolah Dasar dalam Tiga Kategori
Kategori Sekolah
Ratarata
Simpang an Baku
Wilcoxon
P
Eksperimen
12,80
10,701
1025,000
0,163
Kontrol Eksperimen
10,06 12,29
5,579 9,060
924,500
0,047
Kontrol Eksperimen
7,36 15,57
8,979 11,732
617,000
0,000
Kontrol
1,70
9,809
Kelompok Perlakuan
Baik
Sedang
Kurang
Pada tabel di atas, tampak bahwa harga rata-rata skor tes motivasi belajar bahasa Inggris kelompok eksperimen siswa sekolah berkategori baik, sedang, dan kurang lebih besar dari rata-rata pada kelompok kontrol. Namun, harga statistik uji Wilcoxon pada sekolah berkategori baik (1025.000) memiliki peluang kekeliruan (P) > 0,05, atau P = 0,163. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, tidak ada perbedaan yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pada motivasi belajar bahasa Inggris. Itu berarti pula, model yang diujicobakan tidak berdampak positif yang signifikan terhadap motivasi belajar bahasa Inggris pada siswa kelas V sekolah dasar berkategori baik tempat uji coba. Hal itu berbeda dengan sekolah berkategori sedang dan kurang. Pada keduanya, harga rata-rata skor tes motivasi belajar bahasa Inggris kelompok eksperimen lebih besar dari rata-rata kelompok kontrol. Dengan harga statistik uji Wilcoxon seperti dalam tabel, yang masing-masing memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05, (atau P = 0,047, dan (P) =
239 0,000), maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada motivasi belajar. Itu berarti pula, model yang diujicobakan berdampak positif secara signifikan terhadap motivasi belajar bahasa Inggris pada siswa kelas V sekolah dasar berkategori sedang dan kurang. 3) Sikap belajar bahasa Inggris Tabel 4.22 Ringkasan Hasil Pengujian Dampak Mode! Terhadap Sikap Belajar Bahasa Inggris Siswa Sekolah Dasar dalam Tiga Kategori
Kategori Sekolah
Ratarata
Simpang an Baku
Wilcoxon
P
Eksperimen
15,37
14,840
964,000
0,032
Kontrol Eksperimen
8,12 22,13
13,228 20,843
821,000
0,001
Kontrol Eksperimen
3,55 18,10
17,901 19,992
920,500
0,013
Kontrol
5,41
16,715
Kelompok Perlakuan
Baik
Sedang
Kurang
Pada tabel di atas, tampak harga rata-rata skor tes sikap belajar bahasa Inggris kelompok eksperimen siswa sekolah berkategori baik, sedang, dan kurang lebih besar dari rata-rata pada kelompok kontrol. Harga statistik uji Wilcoxon seperti dalam tabel memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Harga itu menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 95%, ada perbedaan yang signifikan dari rata-rata kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pada sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Itu berarti pula, ada dampak positif yang signifikan dari model yang diujicobakan terhadap sikap
240 dalam pembelajaran bahasa Inggris bagi siswa kelas V, tiga kategori sekolah tempat uji coba. e. Hasil wawancara pada uji validasi model Wawancara dilakukan setelah uji validasi model dilaksanakan, yaitu tanggal 6, 8, dan 9 Juni 2005. Wawancara melibatkan 15 orang responden siswa dari tiga sekolah berkategori baik, sedang, dan kurang, jadi, jumlah siswa pada masing-masing sekolah adalah 5 orang yang diambil secara acak. Dengan teknik pengambilan sampel seperti itu diharapkan responden yang terpilih akan dapat secara representatif mewakili karakteristik subjek pada sekolah masing-masing. Tujuan wawancara adalah untuk memperoleh informasi perihal 'dampak yang ditimbulkan the MID-Model terhadap motivasi, dan sikap positif siswa setelah mengikuti pembelajaran. Informasi yang diperoleh bermanfaat sebagai data pendukung dari data yang telah diperoleh melalui tes motivasi dan sikap yang diberikan sebelumnya. Model wawancara adalah 'wawancara tak berstruktur'—pewawancara mengajukan pertanyaan secara garis besar kemudian, dalam topik yang sama, melanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik untuk menggali informasi lebih dalam. Sedikit ada hambatan dengan teknik itu karena siswa sering tidak bisa menjawab sesuai harapan. Alat/media yang digunakan dalam wawancara adalah tape-recorder, ditambah dengan catatan seperlunya berkenaan dengan identitas siswa, dan hal lain yang dianggap mendukung. Garis besar pertanyaan adalah (1) Bagaimana pendapat kamu tentang cara belajar bahasa Inggris sekarang ini? Mengapa? Kamu suka atau tidak suka, alasan? (2) Bagaimana cara belajar sebelumnya? Kamu suka atau tidak suka, alasan? (3) Kalau cara
belajar yang dulu dengan yang sekarang dibandingkan, mana yang mendariwig lebih giat belajar? Mengapa, bisa dijelaskan? (4) Menurut r j e n g a I a m W | k ^ i u / a $ F perbedaan dianfcra keduanya,
da„ (5) Dengan eara bdajar seperti sCcurarfg.'apakah
kamu ingin terus belajar bahasa inggris atau tidak? Mengapa? Pewawancara tetap mempertimbangkan bahasa yang berterima bagi siswa ketika melakukan wawancara. Selain itu, wawancara juga dilakukan dalam situasi yang sangat bersahabat agar siswa tidak merasa 'terintimidasi' yang dapat mempengaruhi autentisitas jawaban yang diberikan. Seperti telah dijelaskan pada Bab III, teknik yang digunakan menganalisis hasil wawancara adalah mempelajari hasil rekaman wawancara dan catatan-catatan yang relevan (field note), memilah-milah (to fracture) informasi dan mengkategorisasikannya (categorizing) ke dalam beberapa fokus melalui pengkodean berdasarkan tema/topik yang sama. Jawaban responden menghasilkan enam kategori, yaitu: (1) langkah pembelajaran (procedure/technique), (2) peran guru-siswa, dan hubungan keduanya yang menciptakan pengalaman belajar (social system/atmosphere) yang terbangun dari aplikasi model, (3) menemukan sendiri jawaban tugas-tugas yang diberikan (exploration), (4) kesempatan menggunakan bahasa Inggris (opportunities), (5) berbahasa Inggris atas keinginan sendiri untuk menyampaikan pesan (real use), dan (6) belajar melalui Format terstruktur kaku versus belajar dengan format terstruktur fleksibel (format), serta (7) kerja sama dalam belajar (collaborative learning). Dari kategori-kategori
itu, kemudian dilakukan pemaknaan (contextualizing)
informasi/data yang dikaitkan dengan dampak model terhadap motivasi dan sikap siswa setelah mengalami pembelajaran dengan the MID-Model. Hasilnya digunakan untuk
242 melakukan pembandingan (comparing and contrasting) agar diperoleh karakteristik masing-masing siswa dari sekolah berkategori baik, sedang, dan kurang. Melalui strategi pembandingan ditemukan keteraturan (regulations) yang mengarah kepada karakteristik siswa dari masing-masing kategori sekolah sebagai berikut. 1) Prosedur dan teknik pembelajaran Pada sekolah berkategori baik, prosedur pembelajaran cenderung ditanggapi sebagai sesuatu yang mendorong mereka berusaha sendiri dalam memahami pelajaran, tidak sepenuhnya bergantung pada guru. Hal itu dianggap baik karena mereka berusaha sampai dapat menyelesaikan tugas secara mandiri. Pada sekolah berkategori sedang, prosedur pembelajaran cenderung dikaitkan dengan cara (teknik) guru menyampaikan pelajaran yang membuat mereka dapat berkomuikasi secara langsung dalam bahasa Inggris. Pada sekolah berkategori kurang, prosedur pembelajaran cenderung dipersepsi sebagai cara guru menyampaikan pelajaran yang tidak menegangkan. Kalau jawaban tugas yang diberikan belum diketahui, guru memberi bantuan walaupun secara tidak langsung. Temuan #1 Bagi sekolah berkategori baik, prosedur dan teknik pembelajaran the MIDModel dipersepsi sebagai sesuatu yang mendorong mereka untuk mampu belajar secara mandiri. Temuan #2 Bagi sekolah berkategori sedang, prosedur dan teknik pembelajaran the MID-Model dipersepsi sebagai sesuatu yang dapat memfasilitasi mereka berkomunikasi secara langsung dalam bahasa Inggris. Temuan #3 Bagi sekolah berkategori kurang, prosedur dan teknik pembelajaran the MID-Model dipersepsi sebagai pembelajaran yang tidak menegangkan.
243 2) Sistem sosial/atmosfir dalam kelas Pada sekolah berkategori baik, siswa merasa dekat dengan guru karena cara guru membimbing dilakukan dengan sangat bersahabat. Guru menempatkan diri dan berperan sebagai pembelajar dalam diskusi atau dalam aktivitas dimana siswa dalam proses menyelesaikan tugas-tugas. Dengan peran seperti itu, siswa merasa terdorong untuk menyelesaikan tugas-tugas. Selain itu, siswa merasa nyaman, bebas dari suasana tertekan dalam kelas. Pada sekolah berkategori sedang, jawaban siswa hanya secara samar-samar menyinggung
peran
guru
dan
hubungan
yang
dibangun
dengan
siswa
dalam
melaksanakan pembelajaran. Walau demikian, mereka merasakan bahwa suasana belajar bebas dari rasa cemas. Sedangkan pada sekolah berkategori kurang, siswa mempersepsi peran dan hubungan yang dibangun guru dalam proses pembelajaran sangat baik—"guru tidak marah kalau (kami) salah, malah membimbing". Siswa merasa tidak tertekan dan terpaksa menyelesaikan tugas-tugas. Temuan #4 Pada sekolah berkategori baik dan kurang, siswa mempersepsi kalau peran dan hubungan yang dibangun guru dengan siswa tidak formal, karena itu membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas. Temuan #5 Pada sekolah berkategori sedang, siswa cenderung tidak memberikan kesan kalau peran dan hubungan yang dibangun guru dengan siswa formal atau tidak formal sehingga membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas. Temuan #6 Pada tiga kategori sekolah, siswa memberikan tanggapan bahwa proses pembelajaran berlangsung dalam suasana yang bebas dari rasa cemas.
244 3) Menemukan sendiri jawaban tugas-tugas yang diberikan. Pada sekolah berkategori baik, siswa menanggapi bahwa mereka mencari dan menemukan sendiri makna kata dan kalimat melalui mediasi guru. Hal itu dianggap berbeda dengan pengalaman belajar sebelumnya, di mana guru memberitahu arti kata dan kalimat bahasa Inggris. Sebagian responden mengakui kedua cara itu baik, yang lainnya mempersepsi bahwa kegiatan menemukan sendiri lebih baik karena mendorong mereka berusaha dalam belajar. Pada sekolah berkategori sedang, tak satu pun jawaban siswa yang menyinggung bahwa mereka menemukan sendiri jawaban tugas-tugas yang diberikan. Hal itu berarti dua kemungkinan, guru lemah dalam memediasi siswa dengan pengalaman belajar yang bertumpu pada kegiatan mencari dan menemukan sendiri jawaban tugas-tugas itu, atau siswa menanggapinya bahwa kondisi seperti itu bukan sesuatu yang baru bagi mereka. Sedangkan pada sekolah berkategori kurang, siswa memiliki kesan bahwa mereka mencari dan menemukan sendiri jawaban tugas-tugas yang
diberikan,
menurutnya
"guru
cuma
membimbing".
Sebagian
responden
mengungkap bahwa hal itu berbeda dengan pengalaman belajar sebelumnya. Temuan #5 Bagi
sekolah
berkategori
baik
dan
kurang,
kegiatan
mencari
dan
menemukan sendiri jawaban tugas-tugas yang dimediasi guru dipersepsi sebagai sesuatu yang positif, dan hal itu berbeda dari pengalaman belajar sebelumnya. Temuan #6 Bagi sekolah berkategori sedang, kegiatan mencari dan menemukan sendiri jawaban tugas-tugas yang dimediasi guru dipersepsi sebagai sesuatu yang biasa saja, tidak ada kesan tersendiri.
245 4) Kesempatan menggunakan bahasa Inggris Pada sekolah berkategori baik, hanya sebagian siswa menanggapi bahwa mereka memperoleh kesempatan menggunakan bahasa Inggris dengan kalimat sendiri. Walaupun pada umumnya mengakui bahwa pembelajaran dulu dengan sekarang berbeda. Dulu percakapan dilakukan melalui buku sumber—membaca dialog, sekarang bercakap-cakap sendiri. Pada sekolah berkategori sedang, semua siswa menanggapi bahwa mereka memperoleh kesempatan berkomunikasi dalam bahasa Inggris, antara lain, "
kita
berkomunikasi secara langsung". Percakapan seperti itu dapat ditemukan sehari-hari. Hal itu berbeda dengan dulu, dulu bercakap melalui buku sumber. Pada sekolah berkategori kurang, inti jawaban siswa kurang lebih sama dengan jawaban pada sekolah berkategori sedang. Temuan #7 Bagi sekolah berkategori baik, kesempatan menggunakan bahasa Inggris cenderung kurang berkesan, walau mereka yakin bahwa dengan cara itu pembelajaran
bahasa
Inggris
sekarang
berbeda
dari
yang
dialami
sebelumnya. Temuan #8 Bagi sekolah berkategori sedang dan kurang, kesempatan menggunakan bahasa Inggris ditanggapi positif, dan dengan cara itu pembelajaran sekarang berbeda dari yang dialami sebelumnya. 5) Berbahasa Inggris karena ingin berkomunikasi Pada sekolah berkategori baik, jawaban siswa tidak banyak menyinggung bahwa mereka berbahasa Inggris karena ada pesan yang ingin disampaikan, hal itu konsisten dengan kenyataan yang ditemukan pada butir 4 di atas. Aktivitas yang dibangun the MID-Model dalam memfasilitasi penggunaan bahasa secara nyata (non-pedagogis)
246 kurang berkesan. Tidak diperoleh informasi yang dapat memperjelas akan hal itu. Pada sekolah berkategori sedang, jawaban siswa banyak yang mendukung bahwa mereka melakukan percakapan karena ada pesan yang ingin disampaikan, antara lain "saya mengeluarkan pendapat sendiri dalam bercakap-cakap." Persepsi itu konsisten dengan apa yang dikemukakan pada butir 4 di atas. Pada sekolah berkategori kurang, inti jawaban siswa kurang lebih sama dengan jawaban pada sekolah berkategori sedang. Temuan #9 Bagi sekolah berkategori baik, berbahasa Inggris (realistic) karena ada pesan yang ingin disampaikan melalui aktivitas yang dibangun dalam pembelajaran cenderung kurang berkesan. Temuan #10 Bagi sekolah berkategori sedang dan kurang, berbahasa Inggris (realistic) karena ada pesan yang ingin disampaikan melalui aktivitas yang dibangun dalam pembelajaran, ditanggapi positif oleh siswa. 6) Format belajar terstruktur kaku versus terstruktur fleksibel Pada sekolah berkategori baik, sedang, dan kurang, tidak dapat dipilah dalam menanggapi kategori ini. Siswa mengemukkan adanya perbedaan antara cara guru memberi pelajaran bahasa Inggris sekarang dan sebelumnya. Perbedaan yang paling dirasakan adalah bahwa guru dulu terikat dengan buku sumber dalam menyajikan pelajaran, sekarang tidak. Bercakap-cakap dalam pelajaran sebelumnya dilakukan dengan membaca buku sumber—tidak bercakap sesuai keinginan. Sekarang, menurut mereka "berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan teman secara langsung"—sesuai dengan keinginan sendiri. Sebagian kecil siswa menanggapi cara itu sebagai sesuatu yang kadang menyulitkan, yang lain menanggapi secara positif dengan mengatakan itu "dapat memperluas pengetahuan bahasa Inggris kita".
247 Sebagian siswa menyatakan senang belajar dengan buku sumber, seperti juga dengan pembelajaran sekarang. Yang lain, lebih memperjelas keinginan belajar bahasa Inggris dengan tidak terlalu terikat pada buku sumber. Karena dengan cara itu mereka memperoleh kesempatan berbahasa Inggris sesuai keinginan sendiri—ada pesan yang ingin disampaikan yang mendorong keinginan berkomunikasi, sehingga tidak terpaksa dan tidak takut salah. Temuan #11 Sebagian siswa menginginkan pembelajaran yang tidak terpaku pada jawaban benar-salah, seperti yang ditemukan dalam kebanyakan buku sumber, akan tetapi menginginkan pembelajaran yang lebih memberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sendiri. Temuan #12 Terdapat siswa yang mempersepsi belajar dengan (terpaku pada) buku sumber sama baiknya dengan pembelajaran sekarang—pembelajaran yang dikembangkan the MJD-Model. 7) Kerja sama dalam belajar Pada sekolah berkategori baik, jawaban siswa tidak banyak menyinggung kerjasama dalam belajar. Aktivitas proses pembelajaran dalam kategori ini, yang dibangun oleh the MID-Model, kurang berkesan bagi mereka. Tanggapan siswa terhadap kategori ini sama dengan kategori pada butir 5 di atas. Tidak terjaring informasi yang dapat memperjelas hal itu. Pada sekolah berkategori sedang, jawaban siswa banyak menyinggung dan sangat mengapresiasi kategori ini. Menurut mereka, antara lain "Saya bekerja sama dengan teman, bukan saja pendapat saya yang diambil, tapi pendapat teman sebangku saya juga". Pada sekolah berkategori kurang, inti jawaban siswa sama dengan
248 jawaban pada siswa sekolah berkategori sedang. Salah satu jawaban siswa, "Kerja kelompok bagus, karena saling mendengarkan pendapat yang berbeda". Temuan #13 Bagi sekolah berkategori baik, bekerja sama dalam kelompok melalui aktivitas yang dibangun dalam pembelajaran the MID-Model cenderung kurang berkesan. Temuan #14 Bagi sekolah berkategori sedang dan kurang, bekerja sama dalam kelompok melalui aktivitas yang dibangun dalam pembelajaran the MID-Model, ditanggapi positif oleh siswa. B. Interpretasi Hasil Penelitian Dalam subbab ini dibahas interpretasi temuan penelitian yang berkenaan dengan pengembangan draf awal desain the MID-Model untuk mengembangkan kompetensi komunikatif, motivasi dan sikap belajar bahasa Inggris siswa kelas V sekolah dasar, hasil implementasi model, dan faktor-faktor yang mendukung pengembangan model. 1. Interpretasi Terhadap Pengembangan Desain the MID-Model a. Komponen desain the MID-Model Draf awal desain the MID-Model dikembangkan berdasarkan hasil kajian teoriteori belajar, pengaruh the 4Mat System McCarthy yang telah di adaptasi untuk pembelajaran bahasa asing atau bahasa kedua bagi siswa sekolah dasar, dan analisis kebutuhan lapangan. Desain the MID-Model adalah strategi yang terdiri atas seperangkat langkah konseptual dalam pola pemikiran yang tersaji secara utuh, memiliki tujuan, materi, dan model evaluasi proses dan hasil belajar. Pola itu dapat dituangkan ke dalam implementasi berupa tahapan kegiatan pembelajaran yang komponennya berorientasi
pada pengembangan kemampuan komunikatif, dan berimplikasi pada motivasi^ terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Desain model itu menganut Comparative Summeries yang memadukan\tiga_TC^ belajar utama, yaitu teori behavioris, kognitif, dan konstruktif. Masing-masing teori memberi sumbangan relatif terhadap komponen: tujuan untuk mencapai kompetensi dasar, materi pembelajaran, tahap/kegiatan pembelajaran, evaluasi proses dan hasil belajar. Keempat komponen ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dengan aplikasi the MID-Model adalah untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris "lisan dan tulis" (discourse competence)
sederhana
melalui
interaksi
komunikatif.
Interaksi
komunikatif itu
memfasilitasi pemerolehan input linguistik dan pesan secara bersamaan tanpa ada tekanan penguasaan yang dipaksakan. Diharapkan juga bahwa dengan aplikasi model itu siswa termotivasi untuk belajar dan memiliki sikap positif terhadap bahasa Inggris sebagai mata pelajaran di sekolah dasar. Pengembangan tujuan pembelajaran secara konseptual mengacu pada tingkat literasi yang ditargetkan kepada siswa sekolah dasar yakni tingkat performattve—mampu membaca, menulis, dan berbicara dengan simbol-simbol bahasa Inggris yang digunakan. Aspek lain yang terkait dengan tujuan adalah fokus pembelajaran. Fokus pembelajaran lebih diarahkan pada fluency (kelancaran berbahasa) daripada accuracy (ketepatan berbahasa). Namun, pada kesempatan tertentu keduanya memiliki titik berat yang sama. Materi
dikembangkan berdasarkan
atas prinsip-prinsip pembelajaran
yang
relevan, misalnya melalui prinsip here and now, dan the zone of proximal development. Bahan ajar disajikan dari hal-hal yang terdekat dengan pengalaman siswa, berangsur ke
250 hal-hai baru namun masih tetap dalam jangkauan kemampuan kognitifnya. Urutan dan tingkat kesulitan (task complexity) bahan ajar disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif dan prinsip pemerolehan bahasa asing. Misalnya, memperhatikan kepekaan usia operasi konkret dan hipotesis input. Perhatian pada usia operasi konkret membantu memilah materi dan menghindari penyajian konsep-konsep bahasa yang abstrak. Dengan hipotesis input, diharapkan pesan dapat dimengerti pada kesempatan yang sama dengan input linguistik yang menjadi target pembelajaran. Aspek lain yang erat kaitanya dengan bahan ajar adalah strategi penyampaian yang sesuai
dengan karakteristik siswa dan esensi
bahan ajar.
Metode/startegi
pembelajaran yang dipilih dalam uji coba dan validasi model adalah Total Physical Response
dan
Integrated skills.
Metode
7*0/«/
Physical Response
(TPR)
khusus
digunakan untuk mengembangkan keterampilan menyimak bagi pembelajar pemula. Metode itu sangat sesuai digunakan untuk siswa sekolah dasar karena mencoba mengkordinasikan pemahaman bunyi-bunyi bahasa dengan respon berupa gerak fisik sebagai indikator pemahaman siswa. Dengan prinsip trial and error, kegiatan berbahasa tidak
mencemaskan
dan
cenderung
memberikan
pengalaman
belajar
yang
menyenangkan. Kesalahan merespon perintah dianggap sebagai sesuatu yang wajar (developmental error) dalam proses pemahaman informasi dan konsep-konsep bahasa. Strategi Integrated Skills mengembangkan keempat keterampilan berbahasa yang dikemas dalam satu pertemuan secara utuh mencakup listening, speaking, reading, dan writing. Startegi itu memfasilitasi pengalaman berbahasa dalam kerangka pengembangan kompetensi komunikatif melalui wacana lisan dan tertulis. Dalam setiap pertemuan, ada satu ketrampilan berbahasa yang menjadi fokus utama pengembangan. Sementara
251 ketrampilan berbahasa yang lain menjadi kegiatan pendukung. Fokus ketrampilan berbahasa yang dikembangkan diatur secara bergantian sesuai kebutuhan dan dituangkan ke dalam rencana pembelajaran. Implementasi model di kelas merupakan aplikasi nyata dari strategi konseptual yang telah diformulasi secara utuh. Implementasi itu berwujud penerapan strategi operasional dalam tahapan kegiatan pembelajaran berbasis aktivitas rekonstruktif dan komunikatif sebagai
strategi
untuk
mencapai
kompetensi
komunikatif.
Aktivitas
rekonstruktif membangun pemahaman siswa atas konsep-konsep bahasa tertentu melalui pengalaman belajar yang relevan. Sedangkan aktivitas komunikatif mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris yang didorong oleh kemauan berkomunikasi karena rasa ingin tahu tentang pesan yang dibawa oleh bentuk-bentuk teks ataupun sebuah ujaran. Lingkungan kelas diciptakan demikian rupa sehingga siswa tidak merasa terbebani oleh suasana belajar yang cenderung mengikat dan terpaksa. Strategi pembelajaran dimaksud adalah: (1) Draw on experience and knowledge, (2) Input stage, (3) Generalization and review stage, dan (4) Application stage. Strategi itu diturunkan dari desain the MIDModel yang diformulasi atas: "(1) Lead in, (2) Reconstruction, dan (3) Production. Untuk dapat mengukur kemampuan komunikatif sebagai hasil belajar, siswa diberi seperangkat tes yang merujuk pada tingkat literast performative sebagai acuan kemampuan atau keberhasilan belajar yang telah dinyatakan dalam tujuan pembelajaran. Siswa menyelesaikan tes menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Tes berbicara tidak dilakukan secara lisan melainkan secara tertulis karena masalah teknis dan waktu yang sulit dipecahkan.
252 b. Proses modifikasi draf awal desain the MID-Model Modifikasi draf awal desain the MTD-Model dilakukan dalam uji coba model terbatas dan uji coba model lebih luas. Untuk memperoleh desain model halus yang siap validasi, dibutuhkan tiga kali perubahan tahap pembelajaran dalam desain implementasi. Pada siklus pertama dan kedua uji coba model terbatas dengan pembelajaran listening dan reading, desain implementasi model yang diuji coba adalah Draw on experience and knowledge (Lead in), Input stage. Reinforcement stage (Reconstruction), dan Application stage (Production). Berdasarkan hasil pengamatan dan diskusi dengan guru penguji coba disadari adanya suatu kekosongan (gap) dalam laju proses berpikir dari tahap input ke tahap aplikasi. Kekosongan itu disebabkan ketiadaan kesimpulan pelajaran yang dirumuskan secara eksplisit yang memungkinkan siswa mereview perolehan setelah mengalami pembelajaran. Kesimpulan pelajaran diambil melalui sebuah proses berpikir baik secara induktif maupun secara deduktif yang dimediasi guru. Dengan
demikian,
kegiatan
siswa
tidak hanya
menerima
input
melalui
penyelesaian tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan akan tetapi perlu kesempatan khusus agar siswa belajar bagaimana menarik kesimpulan dari informasi dan atau konsep-konsep bahasa yang dipelajari.
Kegiatan itu diberikan setelah penyajian input
dalam tahap reconstruction, dan sebelum reinforcement. Langkah yang memfasilitasi kesempatan khusus tersebut disebut generalisation. Pada siklus ketiga dan keempat dengan pembelajaran speaking dan writing, prosedur konseptual itu bertahan karena dianggap telah dapat merepresentasi model yang diinginkan untuk mengembangkan kemampuan komunikatif, motivasi dan sikap belajar bahasa Inggris. Oleh karena itu, uji coba model secara terbatas dihentikan untuk
253 memasuki uji coba model lebih luas yang melibatkan tiga sekolah dalam tiga kateori, baik, sedang, dan kurang. Pada siklus kelima dengan dua kali pertemuan dalam pembelajaran listening dan reading, prosedur pembelajaran yang diperoleh pada siklus sebelumnya diaplikasi dengan pengamatan khusus pada lama waktu yang digunakan dan reaksi siswa setelah menyelesaikan latihan pada tahap reinforcement. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa waktu yang tersedia tidak cukup untuk menyelesaikan tahap berikutnya. Selain itu ada kecenderungan siswa pintar kurang bersemangat merespon latihan yang diberikan. Setelah dua kali pertemuan pada uji coba model kelima di setiap kategori sekolah selesai, peneliti bersama dengan ketiga guru penguji coba melakukan umpan balik terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. Akhirnya disepakati bahwa tahap reinforcement sebaiknya dikeluarkan dari komponen model, dan tahap generalization dilengkapi dengan review. Kesepakatan itu dilandasi asumsi bahwa kesimpulan pelajaran yang ditarik sendiri berperan menumbuhkan kemandirian siswa, juga sebagai penguatan terhadap materi yang telah dipelajari. Karena itu, peran generalisasi dapat mengganti peran reinforcement. Prosedur ini bertahan sampai uji coba model ketujuh, diperolehnya model pembelajaran yang siap untuk uji validasi. 2. Interpretasi T e r h a d a p Strategi Konseptual the MID-Model Sebagaimana telah diujicobakan, the MID-Model terdiri atas beberapa fase pembelajaran yang mengikuti proses belajar atau pemecahan masalah yang secara sistematis mengantar siswa mengaktifkan memori, memanfaatkan pengalaman baru dan mengasosiasikannya dengan pengalaman yang telah dimiliki
untuk memudahkan
pemahaman informasi dan konsep-konsep bahasa, melakukan abstraksi dan mengambil
254 kesimpulan
pelajaran,
dan
akhirnya
menggunakan
kemampuan
berbahasa
dan
kebahasaan yang diperoleh ke dalam situasi dan konteks baru. Lead m mengawali kegiatan pembelajaran. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengaktifkan informasi dan konsep-konsep bahasa yang telah dimiliki siswa agar siap diasosiasikan dengan informasi dan konsep-konsep bahasa baru yang akan difasilitasi guru pada fase berikutnya. Ada dua alternatif kegiatan dalam bentuk pengalaman belajar yang dapat dilakukan baik oleh guru maupun siswa. Guru mengajukan pertanyaan penggali pengalaman (eliciting questions) dalam bahasa Inggris sebagai pemajanan. Siswa menjawab pertanyaan ini dengan bahasa yang sama. Atau guru menunjukan sebuah gambar dan semacamnya untuk dikomentari siswa. Oleh guru, akumulasi jawaban siswa diarahkan untuk mendekati informasi dan atau konsep-konsep bahasa yang akan dipelajari. Setelah siswa siap memasuki fase berikutnya, maka guru pun mengantar dengan penjelasan singkat tapi fokus untuk menyadarkan akan keterkaitan topik yang baru dibicarakan dengan apa yang dipelajari pada fase berikutnya. Reconstruction adalah fase kedua kegiatan pembelajaran. Walaupun kegiatan ini sepenuhnya terpulang kepada siswa sebagai pembelajar—the meaning maker terhadap dunia sekitarnya—guru tetap dituntut untuk mampu memfasilitasi dan memediasi pengalaman belajar yang relevan dengan kebutuhan siswa. Kebutuhan ditinjau dari sudut perkembangan kemampuan berpikir, lingkungan kehidupan sosial, dan bagaimana seorang anak usia kelas lima sekolah dasar memperoleh bahasa kedua/asing. Tujuan fase ini adalah untuk memberikan pengalaman belajar agar siswa mampu mengeksplorasi dan mendiskusikan informasi dan atau konsep-konsep bahasa melalui tugas dan kegiatan pemecahan masalah di kelas—input stage.
Siswa diharapkan mampu melakukan
255 abstraksi dan menarik kesimpulan pelajaran (cognitive process)—generalization,
dan
secara bertahap menyadari bahwa ia mampu menjadi pembelajar mandiri (metacognitive process). Setelah siswa menyelesaikan tugas dan siap memasuki fase berikutnya, maka guru pun mengantar siswa dengan penjelasan singkat tapi fokus untuk menyadarkan pentingnya aplikasi pengetahuan yang diperoleh ke dalam situasi lain namun masih dalam konteks yang sama melalui tugas dan kegiatan tertentu. Production adalah fase terakhir kegiatan pembelajaran. Tujuan fase ini adalah untuk memberi kesempatan kepada siswa menggunakan perolehan berupa informasi dan konsep-konsep bahasa yang baru dipelajari ke dalam situasi yang berbeda. Tugas dan latihan
dilakukan
secara
terbimbing,
namun
siswa
tetap
memiliki
kebebasan
mengekspresikan diri dalam konteks berbahasa dan kebahasaan yang dituntut. Agar arus komunikasi berjalan lebih lancar, maka fokus pembelajaran lebih pada fluency daripada accuracy, walaupun pada dasarnya keduanya saling mendukung.
Berdasarkan pengalaman implementasi model, penulis meyakini rangkaian kegiatan di atas merupakan satu kesatuan yang utuh, membentuk sistem pembelajaran yang mengacu kepada alur berpikir untuk memecahkan masalah-masalah pedagogis dan sosial melalui tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan. Aktivitas dan perilaku yang menyatu pada setiap fase dilaksanakan atas dasar pertimbangan: kematangan berpikir siswa (cognitive development), pemilihan materi yang berada satu tingkat di atas level siswa namun masih dalam jangkauan kognitifnya (input hypothesis i + 1), penyediaan mediasi guru bila diperlukan (scaffolding) yaitu ketika mereka berada pada posisi disequilibrium, atau daerah dimana tugas dan latihan hanya bisa diselesaikan atas bantuan
256 guru (the zone of proximal devehpment), pemilihan metode dan strategi pembelajaran bahasa asing yang mempertibangkan keseimbangan pengaktifan otak kanan dan otak kiri (TPR) dan strategi pembelajaran Integrated Skills dengan fokus utama pada fluency dan sesekali accuracy bila dipandang perlu.
3. Interpretasi Terhadap Kompetensi Dasar, Tujuan, Indikator, dan Materi Pembelajaran Hasil implementasi model pembelajaran yang dikembangkan melalui uji coba terbatas dan uji coba model lebih luas menunjukan bahwa: (1) rumusan kompetensi dasar yang baik adalah yang mengacu pada "Standar Kompetensi" yang menggambarkan isi atau pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diinginkan diperoleh siswa, (2) tujuan pembelajaran telah dirumuskan untuk mencapai tindak bahasa (actional compelence) menyimak, membaca, berbicara, dan menulis yang disajikan secara terintegrasi, (3) indikator yang dirumuskan telah sejalan dengan tujuan, aktivitas, dan kemampuan nyata siswa setelah mengikuti pembelajaran, dan (4) materi pembelajaran telah sesuai dengan perkembangan intelektual siswa, menganut prinsip here and now, diorganisasikan dan disajikan melalui aktivitas yang memfasilitasi pengembangan kemampuan komuniktif, motivasi, dan sikap positif siswa. Organisasi dan kegiatan pembelajaran mencakup tiga aspek dalam pembelajaran bahasa, yakni konteks, teks, dan sistem bahasa.
4. Interpretasi Terhadap Hasil Implementasi tbe MID-Model Hasil implementasi model pembelajaran yang dikembangkan melalui uji coba terbatas dan uji coba model lebih luas menunjukkan bahwa: (1) kemampuan guru yang dipersyaratkan
dalam
menerapkan
model
pembelajaran
untuk
mengembangkan
kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa
257 Inggris
semakin
baik
seiring
dengan
berjalannya
siklus-siklus
uji
coba,
(2)
kontekstualisasi kebahasaan yang dilakukan melalui media gambar dan alat bantu lainnya semakin memberi kontribusi akan proses dan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep bahasa yang dipelajari, (3) interaksi belajar-mengajar mengalami kemajuan secara bertahap, (4) kemampuan komunikatif sebagai hasil-belajar siswa berkembang secara bertahap, walaupun tingkat kemajuan ketrampilan wacana lisan dan tertulis berbeda-beda karena perbedaan esensi dan karakteristik kebahasaan, (5) motivasi belajar siswa memperlihatkan kemajuan yang cukup berarti walaupun tidak sesignifikan dengan hasil belajar, (6) sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris cenderung semakin positif, dan (7) hambatan-hambatan selama uji coba model semakin dapat diminimalkan seiring dengan berjalannya siklus-siklus uji coba. Temuan di atas mengisyaratkan adanya perkembangan dan kemajuan secara bertahap dari satu penerapan ke penerapan lainnya yang terjadi selama implementasi model pembelajaran. Hal itu dimungkinkan karena uji coba model menggunakan sistem siklis—setiap akhir sebuah siklus dilakukan evaluasi, penilaian dan perbaikan sehingga kelemahan dapat diminimalkan sedikit demi sedikit. Dengan uji coba secara siklis peneliti secara kolaborauf dengan guru penguji coba dapat merevisi dan merevisi prosedur konseptual dan tahapan pembelajaran yang bersamanya melekat kegiatan dan konsep-konsep bahasa yang ingin dikembangkan. Pada subbab ini di kemukakan hal-hal yang terkait dengan interpretasi hasil implementasi model pembelajaran yang diuji coba, meliputi:
258 a. Hubungan implementasi model dengan desain mode) pembelajaran Implementasi
model
pembelajaran
merupakan
realisasi
operasional
dari
seperangkat langkah konseptual dalam saru kerangka berpikir yang utuh dalam bentuk desain model pembelajaran. Apabila realisasi operasional konsisten dengan prinsipprinsip yang telah dibangun oleh sebuah model pembelajaran, maka akan menghasilkan rangkaian
aktivitas
yang
di
dalamnya melekat perilaku
dan
nilai
yang
ingin
dikembangkan yang tidak terlepas dari tujuan pengembangan model. Selanjutnya, konsistensi
realisasi
operasional
di
kelas
akan
menghasilkan
tingkat
kualitas
pembelajaran yang tidak terlepas dari kualitas desain model pembelajaran rujukannya, dan pun juga dari penguasaan guru terhadap rencana yang telah dibuat secara kolaboratif. Apabila implementasi the MID-Model yang telah diuji coba dan diuji validasi menghasilkan temuan seperti yang dipaparkan di atas, maka dapat diyakini bahwa sesungguhnya perilaku dan nilai tersebut diperoleh
melalui
sebuah rencana dan
penerapan model yang baik di kelas. Rencana dan penerapan secara operasional merefleksi kualitas model pembelajaran yang telah diformulasi secara konseptual dalam bentuk strategi pembelajaran yang rasionalnya dibangun atas teori-teori belajar yang relevan. b. Kualitas interaksi belajar-mengajar Interaksi belajar-mengajar terkait dengan penciptaan pengalaman melalui tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan serta suasana belajar yang memungkinkan siswa mengambil manfaat melalui proses eksplorasi materi yang difasilitasi dan dimediasi guru. Dengan model ini, keseimbangan keterlibatan siswa dan guru dalam setiap kegiatan
259 sangat mempengaruhi tinggi rendahnya taraf serap materi yang dapat diukur melalui pengamatan dan tes hasil belajar. Peningkatan
kualitas
interaksi
belajar-mengajar
ditandai
dengan
semakin
optimalnya peran siswa dan guru dalam memanfaatkan kesempatan berinteraksi secara pedagogis dan secara sosial. Kedua tipe interaksi ini juga ditentukan oleh peran bahan ajar dan tugas yang memungkinkan terjadinya proses belajar melalui pengalaman yang diperoleh dari interaksi. Dalam implementasi the MID-Model, guru menggunakan materi yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan perkembangan siswa dan merefleksi konteks berbahasa yang relevan dengan dunia nyata, selain memenuhi konteks kebahasaan yang diperlukan dalam mendukung kemampuan komunikatif siswa. Sejak siklus awal, semua guru penguji coba telah berusaha menguasai dan melaksanakan tahap-tahap pembelajaran pada tataran interaksi. Kalau pada siklus yang satu dirasa masih lemah maka pada siklus lain berikutnya diperbaiki berdasarkan masukan yang diperoleh melalui umpan balik. Keadaan seperti itu mengisyaratkan bahwa guru penguji coba secara bertahap mampu mengkaji pengalaman dari siklus sebelumnya dan menjadikan pengalaman itu sebagai titik balik perbaikan pada siklus-siklus selanjutnya. Demikian pula dengan pengalaman mengikuti pembelajaran pada setiap siklus, siswa secara berangsur-angsur melakukan peran yang semakin kondusif untuk interaksi yang bersifat rekonstruktif dan komunikatif. Oleh karena, itu wajar kalau terjadi peningkatan kualitas interaksi belajar-mengajar seiring dengan bertambahnya siklussiklus uji coba model pembelajaran.
260 c. Kemampuan guru melaksanakan kegiatan pembelajaran Tak bisa dipungkiri bahwa kemampuan guru penguji coba sangat menentukan dalam implementasi model pembelajaran yang dikembangkan selama uji coba terbatas dan uji coba model lebih luas. Jika kemampuan guru lambat dalam peningkatan, maka akan berpengaruh pada jumlah siklus yang dibutuhkan dalam uji coba model. Sebaliknya, jika guru dapat melaksanakan konsep-konsep model secara operasional di kelas sesuai target waktu yang dibutuhkan, maka akan berkontribusi pada keputusan siklus layak dihentikan untuk uji validasi pada tahap berikutnya Sejak siklus awal, semua guru penguji coba telah berusaha menguasai tahap-tahap pembelajaran yang meliputi berbagai aspek mendasar atas konsep model yang diuji coba. Pada aspek kemampuan mengaitkan pengalaman siswa dengan materi yang akan dipelajari, nampak adanya kemajuan secara bertahap bila diamati melalui rangkaian pertanyaan atau penjelasan yang semakin fokus dan runtut. Penjelasan atau pertanyaan yang diajukan pada awal pembelajaran mengarahkan siswa ke jalan berpikir yang terpusat pada rangkaian kejadian yang mengaitkan pengalaman-pengalaman masa lalu dengan pengalaman belajar yang akan diperoleh. Pada aspek kemampuan memfasilitasi 'rekonstruksi pengalaman' dalam bentuk tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan, peningkatan dapat dilihat dari perspektif kemajuan dalam merencanakan bahan ajar, bimbingan yang diberikan guru ketika proses eksplorasi materi terjadi, penciptaan pengalaman beiajaT yang semakin kondusif, dan tugas dan latihan yang relevan dengan perkembangan siswa. Kemampuan-kemampuan itu diperoleh berkat kerjasama yang baik antara peneliti dan guru penguji coba baik sebelum maupun sesudah pembelajaran pada setiap siklus.
261 Peningkatan pada aspek kemampuan guru mengarahkan siswa untuk mengambil kesimpulan pelajaran dapat diamati dari berbagai kesempatan mengajukan pertanyaanpertanyaan terarah dari mulai pembelajaran listening, reading, speaking, dan writing. Sejak siklus awal, semua guru penguji coba telah berusaha menguasai keterampilan bertanya yang memungkinkan siswa menarik kesimpulan pelajaran dari rangkaian jawaban yang terkait satu sama lain. Kemajuan yang diperoleh berjalan seiring dengan bertambahnya siklus-siklus uji coba model baik dalam skala terbatas maupun dalam skala lebih luas.
Indikator keberhasilan guru mengembangkan ketrampilan mengajukan
pertanyaan terarah dapat juga dilihat dari efektivitas (rangkaian) jawaban yang diberikan siswa yang cenderung mengarah pada satu titik—kesimpulan. Peningkatan pada aspek kemampuan menyiapkan dan menggunakan media pembelajaran mengalami proses yang relatif sama dengan aspek-aspek lain yang membentuk 'kemampuan guru melaksanakan pembelajaran'. Pada mulanya guru penguji coba belum efektif menggunakan gambar benda-benda tertentu dalam tugas listening dan reading.
Melalui
sebuah
gambar
artfisial
keluarga,
guru
masih
terlihat
kaku
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Inggris yang mengarah pada pemahaman kosa kata tentang hubungan kekerabatan. Pada siklus-siklus berikutnya ketika pembelajaran speaking dan writing berlangsung, guru penguji coba secara berangsur mampu memanfaatkan gambar dengan baik. Ada tiga hal yang mempengaruhi peningkatan kemampuan guru melaksanakan pembelajaran di atas, yakni (1) Pada dasarnya kemampuan-kemampuan itu tidaklah diperoleh tanpa evaluasi dan penilaian pengalaman dari setiap siklus uji coba model— terjadi pembelajaran yang berlangsung
secara bertahap,
(2)
Pola kegiatan yang
262 dikembangkan dalam the MJJD-Model mudah dipahami oleh guru penguji coba, dan (3) Motivasi guru penguji coba yang cukup tinggi untuk mencoba the MID-Model sebagai sesuatu yang baru bagi mereka. d. Kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap siswa sebelum dan sesudah perlakuan Dari hasil uji coba model lebih luas dengan tiga kelas perlakuan dapat diketahui bahwa model berdampak positif yang signifikan terhadap kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap positif bagi siswa kelas V sekolah dasar tempat uji coba dilakukan. Dampak yang ditimbulkan itu diamati dari gained score setiap sampel penelitian yang diketahui setelah diadakan uji Wilcoxon untuk data related samples (sampel sama). Semua pengujian dilakukan pada tingkat kekeliruan (P) 0,05. Namun, ada hal penting yang perlu dicatat bahwa model yang diuji coba tidak berdampak positif yang signifikan terhadap semua aspek dalam motivasi dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Artinya ada sebagian aspek-aspek dimaksud yang tidak secara signifikan terpengaruh oleh implementasi model yang diujicobakan, walaupun hasil keseluruhan menunjukkan adanya dampak positif yang signifikan. 1)
Selisih skor rata-rata postes-pretes kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap siswa pada uji coba model lebih luas.
a)
Peningkatan kemampuan komunikatif siswa
Apabila kita memperhatikan Tabel 4.7 dapat diketahui bahwa semua hasil pengujian Wilcoxon untuk kemampuan komunikatif bagi siswa kelas V dari tiga sekolah dasar tempat uji coba memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Ini menunjukkan bahwa secara internal model yang diuji coba berdampak positif yang signifikan terhadap hasil belajar bahasa Inggris bagi siswa tiga sekolah dasar yang masing-masing berkategori
263 baik, sedang, dan kurang. Dengan perkataan lain, terdapat peningkatan hasil belajar yang signifikan setelah siswa mengikuti kegiatan pembelajaran dengan the MID-Model. Pada dasarnya data ini mengandung arti bahwa the MID-Model berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan komunikatif siswa dalam bentuk hasil belajar melalui strategi pembelajaran integrated skills. Dengan strategi itu siswa diberi kesempatan bereksperimen tidak saja pada satu fokus ketrampilan bahasa, namun juga pada keterampilan bahasa yang lain dalam satu konteks kegiatan komunikatif yang relatif merefleksi dunia nyata. Unsur-unsur bahasa disajikan secara terpadu dalam satu kegiatan dengan pengembangan keempat keterampilan bahasa untuk menghindari pembelajaran yang eksplisit atau kegiatan yang menuntut siswa berpikir abstrak terhadap konsep bahasa. The MID-Model terdiri atas langkah konseptual yang secara operasional diimplemntasi pada kelas-kelas uji coba secara siklis. Melalui kegiatan yang terencana dalam jumlah siklus tertentu, siswa memperoleh pengalaman belajar yang berkenaan dengan peningkatan kemampuan komunikatif, tugas dan latihan difasilitasi dan dimediasi guru dengan cara yang relatif bermakna bagi perkembangan mereka. Kondisi itu memungkinkan mereka berhasil mencapai tingkat kemampuan berbahasa yang memadai setelah perlakuan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran yang diujicobakan memberi kontribusi kepada peningkatan hasil belajar siswa. b) Peningkatan motivasi belajar siswa Apabila kita memperhatikan Tabel 4.8 dapat diketahui bahwa semua hasil pengujian Wilcoxon untuk variabel motivasi belajar bagi siswa kelas V tiga sekolah dasar tempat uji coba memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Ini menunjukkan bahwa secara
264 internal model yang diuji coba berdampak positif yang signifikan terhadap motivasi belajar bahasa Inggris bagi siswa tiga sekolah dasar yang masing-masing berkategori baik, sedang, dan kurang. Dengan perkataan lain terdapat peningkatan motivasi belajar yang signifikan setelah siswa mengikuti kegiatan pembelajaran dengan the MID-Model. Kalau dirinci lebih lanjut dari sepuluh aspek variabel motivasi yang dikaji, maka tampak bahwa ada aspek tertentu yang tidak signifikan atau P > 0.05. Walaupun beberapa aspek motivasi tidak signifikan, pada dasarnya data ini mengandung arti bahwa the MIDModel berpengaruh terhadap peningkatan motivasi siswa melalui pengalaman belajar yang diciptakan dengan kegiatan-kegiatan yang cukup bervariasi, fasilitasi dan mediasi guru, lingkungan belajar, dan bahan ajar yang diberikan. Kondisi itu memungkinkan mereka berhasil mencapai tingkat motivasi belajar bahasa Inggris yang memadai setelah perlakuan.
Oleh
karena itu,
dapat
dikatakan bahwa model
pembelajaran
yang
diujicobakan memberi kontribusi kepada peningkatan motivasi belajar bagi siswa. c) Peningkatan sikap positif siswa Apabila kita memperhatikan Tabel 4.9 dapat diketahui bahwa semua hasil pengujian Wilcoxon untuk variabel sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris bagi siswa kelas V tiga sekolah dasar tempat uji coba memiliki peluang kekeliruan (P) < 0,05. Ini menunjukkan bahwa secara internal model yang diuji coba berdampak positif yang signifikan terhadap sikap positif siswa tiga sekolah dasar yang masing-masing berkategori baik, sedang, dan kurang. Dengan perkatan lain, terdapat peningkatan sikap positif yang signifikan setelah siswa mengikuti kegiatan pembelajaran bahasa Inggris dengan the MID-Model.
Kalau dirinci lebih lanjut dari tujuh aspek pada variabie sikap yang d* tampak bahwa ada aspek tertentu yang tidak signifikan atau P > 0.05. Wala aspek yang tidak signifikan, pada dasarnya data ini mengandung arti bahwa the MIDModel berpengaruh terhadap peningkatan sikap positif siswa melalui pengalaman belajar yang difasilitasi dan mediasi guru, lingkungan belajar, dan bahan ajar yang diberikan. Kondisi itu memungkinkan mereka mamiliki sikap positif setelah perlakuan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran yang diujicobakan memberi kontribusi kepada peningkatan sikap positif terhadap pembelajaran bahasa Inggris bagi siswa kelas V sekolah dasar tempat uji coba Dari hasil pengamatan pada uji coba model, baik dalam skala terbatas maupun dalam skala lebih luas, dapat diketahui bahwa terjadi kemajuan dalam meminimalkan hambatan-hambatan yang muncul
seiring dengan bertambahnya siklus uji
coba
Hambatan-hambatan yang ditemukan terkait dengan faktor guru dan siswa, namun secara bertahap dapat diminimalkan. Hingga akhir siklus uji coba masih terdapat hambatan yang berhubungan dengan penggunaan waktu oleh guru yang kurang efektif Hal itu terjadi karena guru kurang mengontrol waktu yang sesuai untuk pergantian setiap fase kegiatan. 2)
Selisih skor rata-rata postes-pretes kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap siswa pada uji validasi model a) Peningkatan kemampuan komunikatif
Pada Tabel 4.20 tampak harga rata-rata kemampuan komunikatif pada masingmasing kelompok eksperimen lebih besar dari harga rata-rata masing-masing kelompok kontrol. Semua pengujian memiliki peluang kekeliruan (P) < 0.05. Hal itu berindikasi bahwa secara eksternal the MJD-Model berdampak positif yang signifikan terhadap hasil
266 belajar bahasa Inggris siswa dari tiga sekolah kategori berbeda. Dapat dikemukakan bahwa
siswa
yang
mengikuti
pembelajaran
dengan
the
MID-Model
mencapai
kemampuan komunikatif yang cenderung lebih baik dari pada mereka yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional setelah perlakuan. Namun, kalau dirinci lebih lanjut pada setiap aspek substansi kemampuan yang diujikan, maka tampak bahwa ada aspek tertentu yang tidak signifikan atau P > 0.05. Untuk sekolah berkategori baik model berdampak positif yang signifikan untuk semua aspek. Pada sekolah berkategori sedang, model berdampak positif tapi tidak signifikan terhadap listening dan reading walau rata-rata skor postes lebih besar daripada rata-rata skor pretes, untuk sekolah berkategori kurang model berdampak positif tapi tidak signifikan terhadap speakmg walau rata-rata skor postes lebih besar dari rata-rata pretes. Walau demikian, data ini mengandung arti bahwa the MID-Model berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan komunikatif siswa. b) Peningkatan motivasi belajar Kecuali kelompok eksperimen dan kontrol sekolah berkategori baik, tampak pada Tabel 4.21 harga rata-rata motivasi siswa pada kelompok eksperimen dari sekolah berkategori sedang dan kurang lebih besar dari harga rata-rata kelompok kontrol. Semua pengujian memiliki peluang kekeliruan (P) < 0.05. Hal itu berindikasi bahwa secara eksternal the MID-Model berdampak positif yang signifikan terhadap motivasi belajar bahasa Inggris siswa dari dua sekolah kategori berbeda. Siswa dari dua kategori sekolah yang mengikuti pembelajaran dengan the MID-Model memiliki motivasi yang cenderung lebih baik daripada mereka yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional setelah megikuti perlakuan.
267 Pada kelompok eksperimen dan kontrol
sekolah berkategori baik, secara
eksternal model tidak berdampak positif yang signifikan terhadap variabel motivasi belajar siswa walaupun rata-rata skor kelompok eksperimen lebih besar dari rata-rata skor kelompok kontrol. Dari sepuluh aspek variabel motivasi yang dikaji tak satu aspek pun yang signifikan. Hasil pengujian Wdcoxon memiliki peluang kekeliruan (P) > 0.05 yang berarti bahwa model tidak berdampak positif yang signifikan terhadap varibel motivasi belajar siswa. Hal itu dimungkinkan karena sejak awal siswa sudah memiliki motivasi intrinsik yang tinggi. Fakta di atas konsisten dengan hasil wawancara yang menunjukkan bahwa ada beberapa kegiatan yang kurang berpengaruh bagi siswa—apa pun yang dilakukan guru siswa akan dengan mudah menyesuaikan diri karena pada dasarnya mereka memiliki motivasi intrinsik yang kuat. Pada kelompok eksperimen dan kontrol sekolah berkategori sedang, model nyaris tidak berdampak positif yang signifikan terhadap variabel motivasi belajar siswa. Semua hasil pengujian Wilcoxon memiliki peluang kekeliruan (P) < 0.05 (atau P = 0.047). Namun, jika ditelaah aspek motivasi satu demi satu, tampak bahwa hanya satu aspek yang signifikan, yaitu motivational intensity. The MID-Model tidak berdampak secara signifikan terhadap sembilan aspek motivasi lainnya. Semua hasil pengujian Wilcoxon memiliki peluang kekeliruan (P) > 0.05, walaupun skor rata-rata kelompok eksperimen lebih besar daripada kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen dan kontrol sekolah berkategori kurang, model berdampak positif yang signifikan terhadap variabel motivasi belajar siswa. Semua hasil pengujian Wdcoxon memiliki peluang kekeliruan (P) < 0.05. Namun, jika aspek motivasi
268 ditelaah satu demi satu, tampak bahwa the MID-Model tidak berdampak positif yang signifikan terhadap enam aspek motivasi belajar siswa. Keenam aspek ini memiliki peluang kekeliruan (P) > 0.05, walaupun skor rata-rata kelompok eksperimen lebih besar daripada skor rata-rata kelompok kontrol, c) Peningkatan sikap-belajar siswa Pada Tabel 4.22 tampak rata-rata skor sikap siswa pada masing-masing kelompok eksperimen lebih besar dari rata-rata skor kelompok kontrol. Semua pengujian memiliki peluang kekeliruan (P) < 0.05. Hal itu berindikasi bahwa secara ekternal the MID-Model berdampak positif yang signifikan terhadap sikap belajar bahasa Inggris siswa dari tiga sekolah kategori berbeda. Dapat dikemukakan bahwa siswa yang mengikuti pembelajaran dengan the MID-Model memiliki sikap yang cenderung positif dari mereka yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional setelah perlakuan. Akan tetapi kalau dirinci lebih lanjut pada setiap aspek variabel sikap yang dikaji, tampak bahwa ada aspek tertentu yang tidak signifikan atau P > 0.05. Untuk sekolah berkategori baik model berdampak positif tapi tidak signifikan pada sikap terhadap speaking, reading, writing, vocabulary, grammar, dan pronunciation walau rata-rata skor kelompok eksperimen sedikit di atas dari rata-rata skor kelompok kontrol. Untuk sekolah berkategori sedang model berdampak positif tapi tidak signifikan pada sikap terhadap speaking, dan writing, walau rata-rata skor kelompok eksperimen lebih besar dari pada rata-rata skor kelompok kontrol. Sementara itu, pada sekolah berkategori kurang model tidak berdampak positif secara signifikan untuk aspek listening, speaking, reading, writing, dan grammar, walau rata-rata skor kelompok eksperimen lebih besar dari rata-rata skor kelompok kontrol
269 (kecuali speaking 0,90 < 1.09). Semua hasil pengujian WiIcoxon
pada aspek-aspek ini
memiliki peluang kekeliruan (P) > 0.05. Walau demikian, secara keseluruhan data ini tetap mengandung arti bahwa the MJD-Model berpengaruh terhadap peningkatan sikap positif siswa pada sekolah tempat uji coba. S. Interpretasi Terhadap Faktor-Faktor Pendukung Pengembangan the MTD- Model Pada
hakekatnya
ada
beberapa
faktor
yang
mendukung
keberhasilan
pengembangan the MID-Model, baik yang bersifat fisik seperti lingkungan belajar yang tercipta melalui tersedianya alat/media pembelajaran, maupun yang bersifat non-fisik seperti guru, siswa, dan bahan ajar itu sendiri. Faktor-faktor tersebut berupa latar belakang pendidikan guru, pengalaman kerja guru, kinerja (peran) guru, kesiapan siswa belajar, materi/bahan ajar yang relevan, dan alat/media pembelajaran. Faktor-faktor ini selain dapat menjadi pendukung keberhasilan, juga sewaktu-waktu muncul sebagai faktor penghambat.
Sejauh
mana
faktor-faktor
tersebut
mendukung
bagi
keberhasilan
pengembangan the MID-Model diuraikan sebagai berikut. a. Latar belakang pendidikan guru Pada Table 4.2 dapat diketahui bahwa dari sembilan orang guru hanya ada dua orang yang tidak berlatar belakang pendidikan bahasa Inggris. Dari keduanya satu sarjana perikanan, dan yang lainnya sarjana Tarbiyah IAIN.
Kedua orang itu memiliki
kemampuan yang baik dalam berbahasa Inggris karena pengalaman mengajar kursus door to door bagi anak-anak dan orang dewasa selama bertahun-tahun. Ada empat orang berkualifikasi SI, dan tiga orang lainnya D3. Dari lama mengajar di sekolah dasar, hanya satu orang yang baru berpengalaman satu tahun, selebihnya cukup berpengalaman dengan rentang antara tiga sampai delapan tahun.
270 Dengan fakta itu, dapat dikemukakan bahwa kualitas belajar mengajar bahasa Inggris di sekolah dasar tempat penelitian lebih mudah ditingkatkan apabila diajar oleh guru dengan tingkat pendidikan yang memadai. Melihat bidang keilmuan yang dimiliki tentu mereka lebih mungkin untuk melakukan perbaikan-perbaikan mutu pembelajaran bahasa Inggris melalui pengalaman yang semakin bertambah. Selain itu, dengan tingkat pendidikan
yang
cukup
memadai,
guru
memiliki
wawasan
untuk
maju
dan
mengembangkan karir sehngga lebih mudah diajak dan diyakinkan akan inovasi-inovasi pembelajaran yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Oleh
karena
itu,
dalam
konteks
pengembangan
the
MID-Model
untuk
meningkatkan kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap positif siswa, maka latar belakang pendidikan guru dipandang sebagai faktor pendukung yang ikut menyumbang kelancaran dan keberhasilan uji coba dan uji validasi model. b. Pengalaman mengajar guru Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa (kecuali satu orang) pengalaman mengajar bahasa Inggris di sekolah dasar yang dimiliki responden guru adalah antara tiga sampai delapan tahun, jumlah waktu yang tidak sedikit untuk mendalami, merasakan, dan menjadi lebih peka terhadap apa yang menjadi tanggungjawab profesionalnya. Dengan pengalaman itu guru mudah menyesuaikan diri dalam berbagai inovasi aktivitas pembelajaran, mengambil peran dalam meningkatkan mutu pembelajaran, melakukan diskusi-diskusi dan umpan balik tentang pengalaman mengajar, serta melakukan penilaian diri sendiri (self assessment). Oleh
karena
itu,
dalam
konteks
pengambangan
the
MID-Model
untuk
meningkatkan kemampuan komunikatif, motivasi, dan sikap positif siswa,
maka
271 pengalaman mengajar yang dimiliki guru responden tersebut dapat dipandang sebagai faktor pendukung atas kelancaran dan keberhasilan uji coba dan uji validasi model, c Peran guru Peran guru dalam kegiatan uji coba dan uji validasi model baik dalam bentuk penyiapan perangkat pembelajaran maupun implementasi model pembelajaran pada hakikatnya memberi kontribusi yang sangat berarti atas kelancaran dan keberhasilan uji coba dan uji validasi model sehingga menghasilkan the MID-Model untuk meningkatkan kemampuan komunikatif, motivasi dan sikap positif siswa. Kelancaran dan keberhasilan itu tak lepas dari keyakinan (belief) yang konsisten atas konsep-konsep yang dibangun the MID-Model dan peran aktif yang dimainkan guru penguji coba dalam melaksanakan tugas-tugas yang dituntut bagi terselenggaranya kegiatan pembelajaran. Mereka mampu menempatkan
siswa:
(I)
sebagai
klien
(client)—mengidentifikasi
kebutuhan
dan
membangun hubungan baik terhadap siswa, (2) sebagai mitra kerja (learner as partner)—melakukan negosiasi atas perilaku dan nilai yang dikomunikasikan, dan (3) sebagai individual explorer—membangun sendiri makna melalui pengalaman belajar yang difasilitasi guru. Guru juga melakukan peran sebagai fasilitator dalam konteks penyedia dan perancang pengalaman belajar bagi siswa. Misalnya memilih dan menentukan bahan ajar yang setingkat di atas struktur kognitif siswa (the zone ofproximal development), selain dari peran mediator melalaui kegiatan scaffolding yaitu membantu siswa dalam bentuk dukungan belajar melalui dorongan, pemberian contoh atau model, pertanyaan terarah dan penyajian tugas/kegiatan dalam bentuk bagian-bagian ke keseluruhan.
272
Pada Diagram 4.3 dan 4.4 tampak bahwa guru responden telah memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan pembelajaran yang dipandu oleh konsep-konsep yang dikembangkan melalui pembelajaran bermakna. Walau masih terdapat kekurangan, secara bertahap pemahaman mereka telah sampai pada tingkat yang dipersyaratkan dalam aplikasi model pembelajaran. Implikasi dari kemampuan ini, diharapkan mereka dapat mengembangkan
pembelajaran
atas
dasar
konsep-konsep
yang
dibangun
dalam
pembelajaran bermakna, bahkan menularkannya kepada guru-guru bahasa Inggris di sekolah dasar lain di daerah Propinsi Sulawesi Tenggara melalui kegiatan KKG dan PKG. d. Peran siswa dalam belajar Tak bisa dipungkiri bahwa perilaku dan aktivitas siswa dalam merespon setiap kegiatan pembelajaran yang dilandasi konsep-konsep the MJD-Model amat menentukan bagi terciptanya pengalaman belajar yang sesuai untuk mengembangkan kompetensi komunikatif, motivasi, dan sikap positif siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Bahkan keputusan yang diambil atas efektif tidaknya model yang di uji cobakan sangat bergantung
pada
perilaku-perilaku
siswa
yang
muncul
sebelum
dan
sesudah
pembelajaran. Salah satu ukuran keberhasilan atau efektivitas model pembelajaran diperoleh dari hasil pengamatan dan penilaian atas perilaku yang ditampilkan siswa secara nyata baik dalam aktivitas yang direkam dalam catatan (note-taking) maupun yang diperoleh melalui penilaian hasil belajar. Perilaku dan aktivitas siswa ditampilkan melalui kegiatan merespon stimulan guru dengan bahasa sendiri, mengajukan pertanyaan yang berkenaan dengan pemecahan masalah tugas-tugas berbahasa dan kebahasaan, belajar dalam kelompok-kelompok kecil,
273 dan praktik berbahasa Inggris secara berpasangan. Hasil pengamatan sampai akhir siklus uji coba model pembelajaran menunjukkan adanya keterlibatan aktif sebagian besar siswa dalam setiap kegiatan. Peran itu nampaknya terbentuk dalam bingkai pola-pola interaksi yang dibangun guru: cara membimbing, cara mengajukan pertanyaan, dan cara memperlakukan kesalahan berbahasa siswa yang dipandang sebagai developmental error. Kondisi seperti itu menjadi dasar terciptanya suasana belajar yang kondusif bagi siswa, yang dimungkinkan terbangun jika konsep-konsep yang melandasi the MID-Model dilaksanakan secara disiplin dan konsisten, e. Peran materi/bahan ajar Materi atau bahan ajar merupakan kesatuan integral dengan unsur lain dalam lingkup pembelajaran yang menggerakkan proses komunikasi resiprokal antara guru dan siswa yang berlangsung secara dinamis. Proses komunikasi itu dilakukan dalam bingkai pengalaman belajar bahasa dan perihal bahasa yang difasilitasi dan di mediasi guru untuk mencapai kemampuan komunikatif, motivasi dan sikap positif Bahan ajar, dalam wujud tugas dan latihan di kelas, berperan menghubungkan siswa dengan guru, selain guru dengan siswa juga berinteraksi satu sama lain. Peran bahan ajar dalam interaksi merefleksi perilaku dan nilai yang ingin diperoleh siswa melalui pengalaman belajar bahasa dan perihal bahasa. Oleh karena itu dengan bahan ajar, siswa dapat melakukan eksplorasi, mengemukakan gagasan baik lisan mau pun tertulis dari hasil eksplorasi, dan melakukan percobaan untuk menguji dan merevisi asumsi-asumsi yang telah dibangun sehingga gagasan itu dapat digunakan dalam situasi yang baru dan dalam konteks dunia nyata.
Bahan ajar juga menstimulasi dan
mengarahkan perilaku siswa dalam setiap pengalaman belajar.
274
Melalui hasil pengamatan yang dilakukan sejak awal sampai akhir uji coba model diperoleh informasi bahwa pada hakekatnya bahan ajar, yang dipilih sesuai kebutuhan siswa, berpengaruh atas kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan langkah operasional the MTU-Model di setiap kelas uji coba model. Terlepas dari beberapa kelemahan, yang pada akhirnya dapat direduksi, ternyata bahan ajar yang relevan dengan dunia nyata siswa dapat menyumbang optimalisasi pelaksanaan langkah pembelajaran. Misalnya, ketika guru penguji coba mengajukan pertanyaan pengungkap yang berkenaan dengan pengalaman siswa pada fase lead-in, mereka mampu merespon dengan lancar sehingga tujuan fase ini tercapai sesuai rencana—menumbuhkan motivasi siswa ketika memasuki awal pembelajaran. f. Peran alat/media pembelajaran Alat/media pembelajaran sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan uji coba the MJTJ-Model. Tanpa alat/media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan proses pembelajaran maka pelaksanaan uji coba tidak akan berjalan sesuai dengan rencana— model mempersyaratkan saran alat/media pembelajaran yang relevan. Ketiadaan sarana dapat berakibat pada tidak optimalnya implementasi sehingga tidak memberikan gambaran yang valid akan efektivitas model yang diuji coba terhadap pengembangan kompetensi komunkanf, motivasi, dan sikap positif siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat/media pembelajaran menyumbang pada pelaksanaan strategi operasional karena liga hal, yakni (1) menstimulasi respon siswa, (2) memberi konteks yang memperjelas sering kegiatan berbahasa, dan (3) memfasilitasi imaginasi siswa yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Misalnya pada fase draw on experience and knowledge siswa mampu bereaksi dalam bentuk kegiatan berbahasa
275 inggris menurut konteks yang dibawa sebuah gambar. Ketika siswa harus menjawab pertanyaan pengungkap dari guru, mereka mampu melakukannya karena dituntun oleh media pembelajaran yang digunakan. Demikian juga ketika diperkenalkan nama-nama benda, siswa mudah mengingatnya karena bantuan realia yang digunakan. Alat/media pembelajaran yang disiapkan guru adalah yang dapat membawa pesan materi atau bahan ajar yang ingin dikomunikasikan kepada siswa. Misalnya dalam pembicaraan yang berkenaan dengan istilah dalam hubungan keluarga digunakan media pembelajaran dalam bentuk foto atau gambar keluarga. Dalam pembicaraan yang terkait dengan nama-nama benda media yang digunakan adalah realia—dapat secara langsung merepresentasi benda yang dirujuk. C. Pembahasan Hasil Penelitian Pada bagian ini akan dibahas hasil interpretasi dari perspektif teoretis dalam kerangka (1) desain the MID-Model hasil pengembangan, (2) hasil implementasi the MID-Model untuk meningkatkan kemampuan komunikatif, motivasi dan sikap positif siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris, dan (3) faktor-faktor yang mendukung pengembangan the MID-Model. 1. Desain the MID-Model Hasil Pengembangan The MID-Model pada hakekatnya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan lapangan seperti yang diperoleh pada temuan studi pendahuluan, sesuai dengan karakteristik pelajaran bahasa Inggris dan juga karakteristik siswa sebagai pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing pada sistem pendidikan di Indonesia. The MID-Model dibangun atas prinsip-prinsip belajar behavioris, kognitif, dan konstruktivis, serta the 4Mat System McCarthy yang telah diadaptasi secara kolaboratif
276
oleh tiga lembaga penilitian untuk pembelajaran bahasa kedua/asing bagi siswa sekolah dasar. The MID-Modei dikembangkan untuk mengarahkan proses, meningkatkan sistem penyampaian dan mutu pembelajaran agar siswa memiliki kompetensi komunikatif, motivasi dan sikap positif terhadap pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Selanjutnya, tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah untuk mengembangkan kemampuan berbahasa lisan dan tulis sederhana melalui interaksi komunikatif sehingga siswa memperoleh input linguistik dan pesan secara bersamaan tanpa ada tekanan penguasaan yang dipaksakan. Dengan aplikasi model itu, siswa diharapkan termotivasi belajar dan memiliki sikap positif terhadap pembelajaran bahasa Inggris. The MED-Model adalah konsep yang di dalamnya terdapat prinsi-prinsip yang melandasi praktik-praktik pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. The MID-Model memiliki organisasi kelas yang jelas dan konsisten, namun tetap fleksibel untuk dikembangkan. Organisasi kelas dalam konteks the MID-Model adalah prosedur dengan segala aktivitas dan perilaku (sistem sosial) yang ada di dalamnya yang membangun pengalaman belajar bagi siswa. Belajar tidak saja melibatkan proses kognitif tapi juga proses metakognitif. The MID-Model terdiri atas "Desain Pembelajaran" berisi strategi konseptual dan "Implementasi Pembelajaran" berisi strategi operasional. Ada tiga fase dalam desain pembelajaran, yakni (1) Lead in, (2) Reconstruction, dan (3) Production. Fase itu kemudian dijabarkan ke dalam implementasi, yaitu: Draw on experience and knowledge, Input stage. Generalization and review stage, dan Application. Setiap fase memfasilitasi dan mendorong kegiatan untuk mengembangkan sistem sosial (Joyce dan Weil dalam Seller dan Miller, 1985: 191) atau aktivitas dan perilaku tertentu yang dilakukan guru dan
277 siswa. Seperti yang dikatakan Elus dalam Oliva (1992: 4 1 3 ) ' . . . each r r y i ^ ^ ^ ^ t e t s ' o f a rationale, a series of steps (actions and behaviours) to be taken by thläeicfeiUan<Mhe leamer...'. Tahap belajar yang dikembangkan the MID-Model juga sejalan dej^ffl-teori cognitive map menurut Feuerstein (Williams dan Bürden, 1997: 176), yang^ei^SaTm bahwa elemen terahir kognitif map dikenal sebagai 'the phase of cognitive functions required by the mental act'. Fase ini disebut sebagai tahap belajar yang diorganisasi ke dalam tiga urutan linier sederhana: input—elaborasi—output. Fase pertama, Lead in membangun aktivitas pada awal pembelajaran untuk menggali pengalaman siap siswa agar menghubungkannya dengan pengalaman belajar yang akan diperoleh. Fase ini membantu siswa mengaktifkan konsep atau kategori (skemata) yang dimiliki dengan mengaitkannya pada konsep atau kategori baru yang akan diterima. Dengan aktifnya skemata ini, siswa lebih mudah menghubungkan, mengadaptasi dan mengkordinasi informasi yang baru diterima sehingga proses untuk mencapai pengertian lebih mudah. Prinsip itu sesuai dengan teori belajar kognitif yang meyakini bahwa siswa memiliki sturktur mental atau kognitif yang dengannya ia mampu secara intelektual beradaplasi dengan dan mengkordinasi lingkungan sekitarnya.
Skemata itu akan
beradabtasi dan berubah selama perkembangan mental siswa (Suparno, 1997: 30). Fase kedua, Reconstruction mengakomodasi pemberian kesempatan bagi siswa untuk melakukan eksplorasi dan diskusi melalui kegiatan praktis di kelas yang memungkinkan siswa mengembangkan skema (asimilasi), membentuk skema baru sesuai informasi yang baru, atau memodifikasi skema yang ada agar sesuai dengan informasi yang baru diterima (akomodasi). Pada fase ini, siswa secara sistematis melakukan
278
eksplorasi materi melalui pengalaman belajar yang memberikan pemahaman konsepkonsep bahasa Inggris. Mereka mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber, mengolah informasi yang relevan, mengkonstruksi informasi dan membangun hipotesis (mengabstraksi), merevisi asumsi-asumsi tentang konsep-konsep bahasa, sampai pada tahap mengambil kesimpulan hingga siap bereksperimen dengan kemampuan bahasa dan kebahasaan yang dimiliki. Pada fase ini siswa terlibat dalam proses-proses berpikir kognitif dan metakognitif. Prinsip itu konsisten dengan teori belajar konstruktif yang meyakini bahwa siswa membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman baru berdasarkan pada pengalaman awal, dan memperoleh pengetahuan secara asimilatif dan akomodatif melalui interaksi dengan lingkungan (disimpulkan dari Woolfolk, 1995: 31). Fase ketiga, Production mengakomodasi kebutuhan siswa bereksperimen dengan pengetahuan bahasa dan kebahasaan yang baru saja diperoleh melalui pengalaman belajar yang difasilitasi pada tahap sebelumnya. Fase ini memberi kesempatan kepada siswa menerapkan fakta, pengetahuan, dan keterampilan baru dalam memecahkan persoalanpersoalan pedagogik/autentik sederhana. Konsep bahasa dan atau informasi baru diuji coba dalam bentuk kegiatan komunikasi terencana dan terbimbing.
Walau demikian,
kontrol kegiatan lebih bertumpu pada siswa untuk mengekspresikan diri sendiri, pikiran dan perasaan melalui tugas-tugas komunikatif yang bertujuan, jelas dan terarah. Fase ini sesuai dengan sebagian tahap keempat Model the 4Mt System, yaitu testing implications of concepts in new situations. Selanjutnya, strategi operasional untuk mendekatkan konsep dan prinsip yang melandasi setiap strategi konseptual the MID-Model ke dalam aktivitas pedagogik di kelas dijabarkan sebagai berikut.
279 Konsep dan prinsip yang melekat pada fase pertama, (Lead in), diakomodasi dalam kegiatan draw on experience and knowledge. Melalui kegiatan ini, siswa raerespon dengan bahasa Inggris terhadap setiap stimulus (prompt) yang diajukan guru. Prompt bisa dalam bentuk pertanyaan pengungkap, media gambar, realia, dan atau melalui keduanya sekaligus. Pertanyaan pengungkap diajukan secara bertahap, runtut, dan fokus pada satu topik dan konsep bahasa tertentu. Respons siswa berbentuk jawaban dari pertanyaan yang diajukan guru. Proses mental yang terjadi ketika siswa menjawab pertanyaan adalah aktifnya memori pengalaman masa lalu berupa fakta atau konsep-konsep bahasa yang terkait dengan pengalaman belajar yang akan diperoleh. Tujuan langkah itu adalah untuk membangkitkan motivasi dengan menggali pengetahuan siap yang terkait dengan pengalaman baru agar lebih mudah memperoleh pemahaman. Untuk
mengembangkan
kompetensi
wacana tulis,
keterampilan
membaca
misalnya, isu prediction telah dikaji yang hasilnya bermanfaat untuk membangun skema yang berkenaan dengan kemampuan seseorang menginterpretasi teks secara bermakna. Skemata yang oleh Rumelhart (Celce-Murcia, 1991. 176) disebut sebagai 'the building blocks of cognition' digunakan dalam proses interpretasi data, menarik informasi dari memori, dan mengarahkan arus processing dalam sistem informasi. Dalam hubungannya dengan konsep the MID-Model, pemanfaatan skemata adalah elemen utama dalam sistem pembelajaran
yang
menginterpretasi
mendorong
siswa
menarik
informasi
dari
memori
untuk
informasi dan konsep-konsep bahasa dalam pengalaman belajar
terencana. Konsep dan prinsip yang melekat pada fase kedua (Reconstruction), terwakili dalam dua tahap kegiatan, input stage dan generalization and review stage. Pada tahap
280 input siswa melakukan eksplorasi, menemukan, dan mendiskusikan fakta atau konsepkonsep bahasa. Kegiatan dilakukan dengan bermain, bernyanyi, menyimak, dan atau membaca. Dalam kegiatan menyimak, siswa merespon perintah guru secara fisik, belajar ejaan (spelling) dengan menulis kata melalui kegiatan "trial and error", dan atau menyimak pembicaraan (termasuk dialog) yang didemonstrasikan guru. Dalam kegiatan membaca, siswa membaca teks sederhana untuk tugas pemahaman dan latihan membaca nyaring. Pada kedua kegiatan itu, siswa membangun hipotesis, melakukan umpan balik, dan merevisi asumsi-asumsi tentang informasi dan konsep bahasa yang diperoleh. Tahap ini konsisten dengan pernyataan Hatch dan Hopkins (Celce-Murcia, 1991: 347) yaitu 'Language leamers need opportunities to learn by trial and error, get feedback, build hypothesis about language, and revise these assumptions in order to become fluent.' Pada tahap generalization and review, siswa berpartisipasi aktif baik secara individual maupun kelompok dalam organisasi pengalaman belajar yang diciptakan demikian rupa sehingga memungkinkan mereka mendalami materi. Pendalaman materi dilakukan siswa dengan menyelesaikan tugas-tugas kemudian menganalisis jawaban atas mediasi (pertanyaan-terarah) guru yang bersifat prompt hingga sampai pada kesimpulan pelajaran. Hal itu sejalan dengan perspektif Piaget (William dan Burden, 1997: 59) 'Organisasi kelas dibuat demikian rupa agar siswa mampu melakukan eksplorasi oleh diri sendiri hingga menarik kesimpulan pelajaran dengan prompt guru seperlunya'. Konsep generalisasi dan review memfasilitasi process of causal reasoning, yang berpotensi memberi pengalaman tentang cara menemukan informasi atau konsep-konsep bahasa yang lebih efektif Dapat pula siswa mengambil kesimpulan tentang prinsipprinsip umum dari apa yang telah dipelajari. Fase ini secara tersurat memfasilitasi
281
penyadaran akan informasi, fakta, ataupun konsep-konsep bahasa yang baru diperoleh dibandingkan dengan pengetahuan sebelumnya. Selain itu, setelah siswa mampu membangun hipotesis tentang konsep-konsep bahasa, mereka memperoleh kesempatan untuk merevisi asumsi-asumsi itu atas mediasi guru. Konsep dan prinsip yang melekat pada fase ketiga (Production), terwakili dalam kegiatan
application.
Fase
ini
bertujuan
untuk
memberi
siswa
kesempatan
mempraktikkan inforfamsi dan atau konsep bahasa baru yang diperoleh pada langkah sebelumnya.
Fase ini memfasilitasi siswa untuk dapat mengembangkan keterampilan
berbicara dan menulis tentang sebuah topik melalui kerja kelompok atau berpasangan, dan melakukan simulasi atas sebuah kejadian/peristiwa yang menuntut aplikasi fakta, informasi, dan atau konsep-konsep bahasa dalam konteks pedagogik ataupun dunia nyata (real world use of language). Hal itu sejalan dengan keyakinan Feuerstein (William dan Burden, 1997: 176) bahwa "The input needs to be processed and use in some way (elaboration). Finally, the person will need to express a message or their findings appropriately (output).' Setelah siswa memperoleh input dan memprosesnya (dalam sebuah kegiatan
pedagogik di
kelas—elaboration stage), maka
seseorang perlu
melakukan kegiatan praktis dalam bentuk komunikasi nyata dalam kegiatan terencana dan dalam kontrol tertentu (output stage). Tahap evaluasi proses dilakukan guru sejak fase lead in sampai
akhir
pembelajaran. Tujuan evaluasi proses adalah untuk mengetahui partisipasi siswa dalam setiap kegiatan. Kualitas partisipasi diukur secara kualitatif melalui pengamatan langsung terhadap motivasi, sikap, dan kerjasama siswa dalam sub-penilaian participation. Sementara sub-penilaian lainnya content, dan expression mengukur pesan yang ingin
282
disampaikan dan ungkapan yang dapat membawa pesan yang ingin disampaikan. Kesalahan tata bahasa dan pengucapan (accvracy) tetap diterima sepanjang tidak terlalu mengganggu pesan yang disampaikan. Evaluasi hasil belajar fokus pada actional compétence, kompetensi tindak tutur dalam bahasa lisan dan kompetensi retorika dalam bahasa tulis, menganut prinsip how language is used in communication. Baik pada evaluasi proses maupun evaluasi hasil belajar, penilaian menganut pendekatan holistic bukan analytic—tidak memecahkan kategori penilaian ke dalam bagian-bagian atau aspek-aspek bahasa tertentu. Mencermati elaborasi konsep, prinsip, dan langkah pembelajaran the MED-Model yang telah melalui beberapa tahap uji coba dan uji validasi seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa model pembelajaran ini secara sistematis dan konsisten telah mengarahkan: (1) sebuah rencana dalam implementasi kurikulum, (2) desain bahan pembelajaran, (3) proses kegiatan dalam kelas, dan (4) desain proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan belajar. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Joice dan Weil, (1980: 1), yang menyatakan bahwa model mengajar adalah sebuah rencana yang dapat digunakan dalam implementasi kurikulum, mendesain bahan pembelajaran, dan mengarahkan pembelajaran dalam kelas. Selain itu, the MJD-Model juga memiliki landasan teori-teori belajar, mengajukan seperangkat langkah pembelajaran yang secara operasional dapat digunakan di kelas, sistem sosial yang dapat penunjang terjadinya proses pengalaman belajar dalam sebuah organisasi kelas, dan metode evaluasi yang merekam kemajuan belajar siswa. Hal itu sejalan dengan pendapat Ellis dalam Oliva (1992: 413) yang menyatakan bahwa model
283 mengajar adalah strategi yang didasarkan atas teori-teori belajar, yang menu prosedur, sistem penunjang, dan metode evaluasi kemajuan belajar siswa, il °# 2. Kompetensi Dasar, Tujuan, Indikator, dan Materi pembelajara The MID-Model telah diimplementasikan melalui uji validasi untuk mempereterT informasi
tentang
kesesuaian
kompetensi
dasar,
tujuan,
indikator,
dan
materi
pembelajaran. Sesuai tidaknya komponen-komponen di atas terhadap perkembangan intelektual, dan lingkungan sosial siswa dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan terhadap respon siswa dalam belajar, hasil belajar, dan motivasi, serta sikap positif siswa. Dari respon siswa yang teramati selama proses pembelajaran dari satu siklus ke siklus lainnya tampak adanya perilaku yang mengarah pada ketercapaian kompetensi dasar melalui organisasi materi, tugas/latihan dengan cognitive demand yang sesuai perkembangan intelektual siswa pada tingkat operasi konkret. Kalau hal ini benar adanya,
maka
penyesuaian
komponen-komponen
di
atas
telah
sejalan
dengan
karakteristik anak pada usia operasi konkret Piaget (Anwar, 1984: 31). Dalam hal ini, dengan perantaraan materi, tugas/latihan berbahasa dan kebahasaan, yang diarahkan oleh tujuan dan indikator ketercapaian, siswa mampu melakukan aktivitas logis tertentu walaupun masih selalu dengan situasi-situasi yang konkret Siswa mampu melakukan peniruan, penguatan, dan juga pengujian hipotesis tentang informasi dan atau konsepkonsep bahasa yang baru dipelajari. Pemahaman baru yang diperoleh tidak lepas dari pemanfaatan pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimiliki sebelumnya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa materi/bahan ajar. yang sesuai dengan siswa kelas
V sekolah dasar adalah materi/bahan ajar yang memiliki
karakteristik: (1) terkait dengan lingkungan sosial siswa, (2) tingkat kompleksitas
284
tugas/latihannya sesuai dengan perkembangan intelektual siswa (usia operasi konkret) dan
pemerolehan
bahasa
asing,
(3)
pesan
dan
makna
komunikatifnya
dapat
divisualisasikan melalui alat bantu/media pembelajaran, dan (4) dapat menstimulasi emosi siswa untuk menggunakan bahasa Inggris menyampaikan pesan tanpa terganggu dengan
kaidah-kaidah
bahasa
yang
berpotensi
menghambat
keinginan
siswa
berkomunikasi. 3. Dampak (efektivitas) Implementasi the MID-Model The MID-Model telah diimplementasikan melalui uji validasi untuk memperoleh informasi tentang efektivitas model. Efektif tidaknya model dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan terhadap hasil belajar, motivasi dan sikap siswa yang tidak terlepas dari tujuan yang telah ditetapkan. Apa yang telah dilakukan dalam implementasi adalah usaha-usaha untuk memperoleh informasi seberapa jauh hasil yang diperoleh melalui penerapan konsep-konsep yang melekat pada the MID-Model. Konsep-konsep dimaksud terealisasi dalam sebuah proses penerapan ide (rencana) dan seperangkat aktivitas serta perilaku
tertentu
untuk
sebuah
perubahan—meningkatkan
mutu
dan
sistem
pembelajaran. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan yang dilakukan telah sejalan dengan pandangan Fullan (1991: 65) yang mengemukakan bahwa "Implementation consists of the process of putting into practice an idea, program, or set of activities and structures new to the people attempting or expected to change". Dalam pembahasan dampak implementasi model, perlu dijelaskan proses-proses yang terjadi dibalik data (temuan) yang diperoleh. Hal itu demikian karena dampak yang ditimbulkan sebuah model pembelajaran tak lepas dari proses-proses yang memfasilitasi dan memberi kontribusi atas diperolehnya data tersebut. Menurut Ellis dalam Oliva
285 (1992; 413) proses-proses ini disebut sebagai actions and behaviours, baik yang dilakukan guru maupun yang dilakukan siswa, yang melekat dalam setiap langkah pembelajaran. Selain itu, makna data yang diperoleh bila dihubungkan dengan praktikpraktik pembelajaran dan teori-teori yang relevan juga penting dibahas. Hal itu demikian karena untuk memahami sejauhmana penelitian berkontribusi terhadap praktik-praktik pendidikan di kelas dan teori-teori belajar dalam konteks dan karakteristik subyek penelitian. Implementasi
the
MED-Model
menunjukkan
adanya
kemajuan
dari
satu
implementasi pembelajaran ke implementasi berikutnya dan berdampak pada kinerja guru,
pencapaian
kompetensi
komunikatif,
motivasi,
dan
sikap
siswa terhadap
pembelajaran bahasa Inggris. Di sisi lain, hambatan-hambatan yang muncul dalam implentasi secara bertahap dapat dikurangi sampai pada ambang toleransi. Hal itu dapat terjadi karena pelaksanaan pembelajaran dari sejumlah uji coba dilakukan secara siklis, terencana, dan bertujuan. Setiap akhir implementasi pada setiap siklus diadakan evaluasi untuk penilaian dan perbaikan pada siklus berikutnya. Apabila fakta (fact) ini benar adanya, akan sejalan dengan pandangan Borg dan Gali (1983: 772) yang menyatakan bahwa pengembangan suatu model pembelajaran yang dilakukan secara siklis dapat meningkatkan mutu produk pembelajaran hingga semakin baik. Pada uraian terdahulu dapat dilihat proses kemajuan kinerja guru menerapkan semua langkah operasional the MID-Model melalui presentase data yang berwujud nilai—out
of one
hundred.
Demikian
juga
kemajuan
pencapaian
kompetensi
komunikatif, motivasi dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris dapat dilihat dalam bentuk data statistik perbedaan rata-rata skor postes-pretes dari masing-
286
masing sampel pada uji coba model lebih luas dan uji validasi model pada kelas-kelas eksperimen dan kontrol. Apabila tujuan pengembangan the MJD-Model adalah untuk mengarahkan proses, meningkatkan sistem penyampaian dan mutu pembelajaran agar siswa memiliki kompetensi komunikatif, motivasi dan sikap positif terhadap pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, maka terlepas dari kelemahan yang ada, data pada uraian sebelumnya memberikan bukti bahwa sesungguhnya program pembelajaran yang dilaksanakan melalui the MID-Model efektif mencapai tujuan. Efektif tidaknya sebuah program salah satunya dilihat dari seberapa besar tujuan telah tercapai berdasarkan kriteria yang digunakan. Sebagaimana dikemukakan Weis yang dikutip Kartowagiran (1996: 12) "The purpose of evaluastion is to measure the effects of program against the goal it sets out to accomplish as a menas of contributing to subsequent decision making about the program and improving future programming.' Untuk dapat mencermati proses-proses apa yang terjadi di balik temuan itu dikaitkan dengan teori-teori yang relevan, berikut adalah elaborasi secara detail. a.
Dampak the MID-Model terhadap kinerja guru dalam implementasi model
Apa yang terjadi dalam proses pengembangan model—uji coba terbatas dan uji coba model
lebih luas—sama sekali tak lepas dari kualitas kerja guru dalam
implementasi model pembelajaran. Kinerja guru penguji coba bertambah baik seiring dengan bergulirnya siklus-siklus uji coba yang selalu diselingi dengan evaluasipenilaian-perbaikan merupakan
pada
kesempatan
setiap ahir belajar
yang
siklus.
Momen
mampu
evaluasi-penilaian-perbaikan
meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan guru dalam aplikasi the MID-Model. Jika demikian, perbaikan-perbaikan
287
yang
dilakukan
secara
berkesinambungan
selama
proses
pengembangan
model
menstimulasi kreativitas, kecakapan, kesungguhan, dan ketekunan para guru penguji coba. Hal ini berarti pula bahwa the MBD-Mode! memiliki relevansi yang nyata terhadap pengembangan kompetensi guru dalam meningkatkan mutu dan sistem pembelajaran. Sukmadinata
(1988:
218)
menyatakan
bahwa
implementasi
kurikulum
hampir
seluruhnya tergantung pada kreativitas, kecakapan, kesungguhan dan ketekunan guru. b.
Dampak the MID-Model terhadap pencapaian kemampuan komunikatif siswa
Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes dan pretes dari kelompok sampel baik pada uji coba model luas maupun pada uji validasi model dengan kelompok eksperimen dan kontrol. Dengan perkataan lain, the MID-Model berdampak positif secara signifikan terhadap pencapaian kemampuan komunikatif siswa pada sekolah dasar berkategori baik, sedang, dan kurang. Pencapaian ini tak lepas dari keyakinan the MID-Model tentang bagaimana meningkatkan kemampuan komunikatif bagi siswa kelas V sekolah dasar melalui tahap-tahap pembelajaran dalam sebuah organisasi kelas yang direncanakan dengan baik. Walau demikian, terdapat perbedaan rata-rata skor postes dan pretes yang tidak signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol bagi siswa sekolah berkategori sedang pada aspek pembelajaran iistening dan reading dan juga pada aspek pembelajaran speaking bagi siswa sekolah berkategori kurang. Dengan perkataan lain, the MID-Model tidak berdampak positif yang signifikan terhadap pencapaian kompetensi wacana lisan dan tulis dalam bentuk keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca bagi siswa sekolah dasar tempat uji coba. Hal demikian dimungkinkan terjadi karena potensi siswa
288
pada kelompok eksperimen dan kontrol relatif sama, walaupun proses pembelajaran dilakukan berbeda. Agar lebih jelas, proses-proses yang terjadi dibalik temuan di atas dapat dielaborasi sebagai berikut Dalam mengawali kegiatan pembelajaran, organisasi kelas the
MLD-Model
konsisten
dengan
pentingnya
trigger
(pemicu)
yang
berperan
memancing informasi dan atau konsep-konsep bahasa yang telah ada pada struktur kognitif siswa untuk diasosiasikan ke konsep-konsep baru melalui mediasi yang relevan, terencana dan bertujuan. Mediasi melalui meta-language guru (sebagai language exposure) mendorong siswa untuk berkomunikasi lisan dalam bahasa Inggris. Dalam kegiatan itu siswa menjawab pertanyaan penggali, memberi komentar tentang sebuah topik melalui gambar, realia, atau benda asli. Jawaban dan komentar diberikan dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia atau kombinasi keduanya. Jawaban dan komentar yang diberikan tidak harus tepat untuk membangun rasa percaya diri {self confidence) siswa. Dalam the MID-Model, jawaban-jawaban ini mampu menyiapkan dan mendekatkan struktur kognitif yang sudah ada dengan struktur kognitif baru hingga memudahkan pemahaman. Fakta itu memperkuat keyakinan Ausabel seperti yang dikatakan William dan Burden (1997: 17) tentang prinsip 'advance organizer'. Menurutnya, (dalam konteks pembelajaran bahasa), fungsi utama konsep itu adalah untuk menjembatani apa yang telah diketahui siswa dengan apa yang perlu diketahui. Ketika memperkenalkan sebuah topik/bahasan baru, bermanfaat dan penting jika dimulai dengan membicarakan (melalui pertanyaan/komentar siswa) topik/bahasan tersebut bahkan sebelum dipelajari dan
289 dipahami. Dalam konteks ini, Ausabe! tidak saja menekankan pentingnya proses kognitif, tetapi juga konsep makna pada jantung proses dimaksud. Selain itu, fakta ini juga diperkuat oleh keyakinan konstruktivis bahwa dalam memproses
pengetahuan
terdapat
proses
kognitif
yang
dengannya
seseorang
mengintegrasi persepsi, konsep, atau pun pengalaman baru ke dalam skema yang sudah ada dalam pikirannya. Oleh karena itu, pengalaman berbahasa dalam dunia nyata yang telah dimiliki siswa akan berkontribusi pada pembelajaran yang lebih bermakna bila dijadikan titik tolak untuk membangun pemahaman baru tentang informasi atau konsepkonsep bahasa yang dipelajari. Selain itu, pembelajaran yang bermakna berimplikasi pada motivasi dan sikap siswa dalam belajar. Memasuki fase berikutnya, the MID-Model menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk dapat melakukan eksplorasi informasi dan atau konsep-konsep bahasa melalui tugas dan latihan yang difasilitasi dan dimediasi guru. Organisasi kelas memfasilitasi pengalaman belajar bagi siswa untuk mengembangkan pemahaman terhadap informasi dan atau konsep-konsep bahasa melalui kegiatan menyimak dan membaca pemahaman, menjawab pertanyaan dan mengerjakan tugas-tugas, melakukan diskusi, tanya jawab kepada guru ataupun antar teman, dan kerja kelompok atau berpasangan. Semua itu dilakukan dalam bingkai peningkatan kemampuan komunikatif. Dalam kegiatan di atas, siswa lebih aktif dalam proses rekonstruksi pengalaman dengan aktivitas berbahasa dan kebahasaan melalui input dan kesempatan bekerja secara individu dan kelompok. Dalam kerja kelompok, ada interaksi sosial dan pedagogik melalui tugas-tugas yang berbentuk 'masalah' untuk dieksplorasi dengan cara dialog antara guru dan siswa ataupun antar siswa. Dengan demikian, the MID-Model
290 mengajukan satu fase kegiatan yang diperkuat oleh keyakinan pendekatan konstruktivis terhadap pendidikan. Menurut Glasersfeld (Williams dan Burden, 1997; 49)
isu,
konsep, dan tugas-tugas lebih baik disajikan dalam bentuk masalah untuk dieksplorasi melalui dialog daripada melalui injeksi dan reproduksi informasi.' Dalam fase itu pula siswa berlatih menarik kesimpulan pelajaran yang dimediasi guru melalui leading questions. Jawaban siswa secara akumulatif dari satu topik dan konsep-konsep bahasa tertentu terarah pada kesimpulan yang diambil melalui proses berpikir induktif atau deduktif. Hal itu dilakukan dalam tataran 'abstraksi' sederhana tentang kosa kata, dan konsep-konsep bahasa yang disajikan melalui obyek konkret atau kejadian yang dapat diamati secara langsung—kontekstualisasi bahasa melalui media gambar, foto, realia, mimik, dan demonstrasi. Pada tingkat kompleksitas tugas yang masih dalam jangkauan kognitif siswa usia kelas V sekolah dasar, sangat mungkin mereka diberi kesempatan melakukan abstraksi, membangun hipotesis tentang bahasa dan kalau mungkin merevisi asumsi-asumsi itu dengan mediasi guru. Kegiatan itu tidak saja mendukung proses pengembangan kognitif tapi juga keterampilan metakognittf siswa hingga kelak mampu menjadi pembelajar mandiri. Dalam konteks tertentu fakta di atas bisa sejalan, bisa pula tidak dengan pandangan Piaget (Williams dan Burden, 1997: 22) yang menyatakan ....ketikamengajar anak usia sekolah dasar (young learners), kita tidak perlu mengharapkan mereka sampai pada penalaran (abstract reasoning), oleh karena itu mereka tidak perlu diperhadapkan pada aturan-aturan tata bahasa. Pada usia ini, lebih baik menyediakan kesempatan kepada mereka untuk mengalami sendiri bahasa target dalam dunia nyata anak usia mereka.
29!
Fase terahir the MID-Model menyediakan waktu dan kesempatan bagi siswa untuk menggunakan perolehan berupa informasi dan atau konsep-konsep bahasa ke dalam situasi baru dalam konteks yang mendekati realitas dunia nyata melalui kegiatan berbicara dan menulis. Siswa bercakap-cakap dan atau menulis sebuah topik dalam teks lisan/tulis sederhana secara terbimbing (guided, semi-guded iask\ dilakukan secara individual atau berpasangan. Walaupun tugas-tugasnya terbimbing, siswa tetap memiliki kebebasan mengekspresikan diri sesuai kemampuan. Kebebasan mengekspresikan diri dilakukan dalam tugas-tugas yang fokus pada fluency hingga mengurangi kecemasan siswa, yang pada akhirnya mendorong kepercayaan diri menggunakan bahasa Inggris. Dalam the MID-Model, untuk membantu siswa menyelesaikan tugas, guru memfasilitasi kata-kata kunci, memberi dorongan, memberi contoh atau model, dan menyajikan tugas dan kegiatan dalam bentuk bagian-bagian ke keseluruhan. Fakta itu sejalan dengan konsep scaffolding. Bruner (Woolfolk, 1995: 42) menyatakan siswa perlu bantuan dalam situasi dimana ia sulit memecahkan masalah sendirian, dukungan belajar dan memecahkan masalah dalam bentuk kata-kata kunci, dorongan, pemberian contoh, dan segala sesuatu yang memfasilitasi siswa tumbuh sebagai pembelajar mandiri. c. D a m p a k the MID-Model t e r h a d a p motivasi belajar Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes dan pretes motivasi belajar kelompok sampel pada uji coba model luas. Hal serupa juga terjadi pada uji validasi model dengan kelompok eksperimen dan kontrol, kecuali sekolah berkategori baik. Hanya kelompok eksperimen dan kontrol sekolah berkategori sedang dan kurang the MID-Model berdampak positif secara signifikan terhadap pencapaian motivasi
292
belajar siswa. Walaupun kalau dicermati lebih jauh, tampak bahwa terdapat banyak aspek-aspek motivasi yang membentuk kualitas motivasi secara keseluruhan tidak signifikan berbeda pada dua pasang kelompok eksperimen-kontrol sekolah berkategori sedang dan kurang. Sementara itu, bagi sekolah berkategori baik tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes dan pretes motivasi belajar kelompok eksperimen dan kontrol. Perlu
dijelaskan
bahwa
setiap
kegiatan
dalam
kelas
diharapkan
dapat
mempengaruihi motivasi, atau paling tidak organisasi kelas the MD>Model berimplikasi pada meningkatnya motivasi belajar siswa. Pencapaian ini tak lepas dari keyakinan the MTD-Model tentang bagaimana mengelola kelas yang mendorong siswa belajar lebih aktif
melalui
tahap-tahap
pembelajaran
dalam
sebuah
organisasi
kelas
yang
memperhatikan tahap-tahap perkembangan intelektual. Kalau kenyataan ini benar adanya, maka akan konsisten dengan teori mediasi yang menyatakan bahwa: "... it is the role of the teacher to help learners to find ways of moving into their next level of understanding of the language." (Williams dan Burden,1997: 66). Teori ini menyarankan apa yang harus dilakukan guru untuk mendukung dan meningkatkan motivasi belajar (dan sikap positif) siswa, dan sekaligus berimplikasi pada praktik-praktik pembelajaran bahasa asing bahwa motivasi (dan sikap positif) dapat dipengaruhi atau ditumbuhkan melalui kegiatan tertentu yang bermakna dan menarik. Kalau ternyata ada aspek-aspek motivasi yang tidak signifikan berbeda pada kelompok eksperimen dan kontrol sekolah berkategori sedang dan kurang, maka sangat mungkin disebabkan karena siswa kurang mengatribusi diri terhadap faktor internal dan eksternal sehingga mempengaruhi tinggi-rendahnya motivasi menyelesaikan tugas dan
293
menjaga agar tetap ada motivasi. Kalau kenyataan ini benar adanya, maka akan sejalan dengan pendapat Williams dan Burden (1997: 137-139) yang menyatakan sejauhmana faktor-faktor internal berinteraksi satu sama lain dan seberapa penting individu mengatribusi diri terhadap faktor-faktor ini akan mempengaruhi tingkat dan tingginya motivasi menyelesaikan tugas dan menjaga agar motivasi tetap ada. Selanjutnya dikemukakan bahwa faktor internal sangat ditentukan oleh pengaruh faktor eksternal dan secara dinamis berinteraksi satu sama lain. d. Dampak the MID-Modei terhadap sikap positif siswa Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes dan pretes dari kelompok sampel baik pada uji coba model luas maupun pada uji validasi model bagi kelompok eksperimen dan kontrol pada tiga kategori sekolah. Itu berarti the MJD-Model berdampak positif secara signifikan terhadap sikap siswa dalam belajar bahasa Inggris. Kalau temuan ini benar adanya, akan sejalan dengan hasil penelitian Taylor (1974) dan Schuman (1975) (Nurhadi dan Roekhan, 1990: 162) yang antara lain menemukan bahwa anak-anak mempunyai kapasitas empatik yang lebih besar dan belum mengembangkan hambatan tentang identitas diri. Karena itu tidak takut kedengaran aneh, dan siap untuk mengambil resiko ketika bereksperimen dengan bahasa target. Dibandingkan orang dewasa, anak-anak tidak memiliki sikap negatif terhadap penutur bahasa dan memiliki motivasi integratif yang kuat untuk belajar bahasa. Namun, pandangan itu tidak konsisten dengan pendapat Brown (1994: 93) tentang affective factors bagi anak-anak pembelajar bahasa kedua. Menurutnya, mitos bahwa anak-anak relatif tidak terpengaruh oleh hambatan seperti yang dimiliki orang dewasa dalam belajar bahasa "tidak demikian". Anak-anak inovatif terhadap bentuk-
294
bentuk bahasa, tapi masih memiliki hambatan-hambatan, terutama sangat sensitif terhadap teman-temannya sendiri. Dalam banyak hal anak-anak lebih mudah putus asa {fragile) daripada orang dewasa. Egonya masih sedang terbentuk, oleh karena itu sedikit saja salah komunikasi bisa salah diinterpretasi. Sama halnya dengan motivasi setiap kegiatan dalam kelas diharapkan mampu mempengaruihi sikap siswa kearah yang lebih positif, yang ternyata memang terbukti. Pencapaian ini tak lepas dari keyakinan the MID-Model tentang bagaimana memilih materi dan metode pembelajaran, serta teknik-teknik mediasi guru yang memungkinkan siswa merasa senang dan tertarik belajar bahasa Inggris. Pemilihan materi, metode, dan teknik mediasi konsisten dengan teori-teori pemerolehan bahasa kedua/asing dan tahaptahap perkembangan kognitif. Kalau kenyataan itu benar, akan kosisten dengan teori mediasi yang menyatakan bahwa: "... it is the role of the teacher to help learners to find ways of moving into their next level of understanding of the language." (Williams dan Burden,1997: 66). Teori itu menyarankan apa yang harus dilakukan guru untuk mendukung dan meningkatkan motivasi belajar dan sikap positif siswa, dan sekaligus berimplikasi pada praktik-praktik pembelajaran bahasa asing bahwa motivasi dan sikap positif dapat dipengaruhi melalui kegiatan yang bermakna dan menarik. Kalau dibandingkan dampak the MID-Model terhadap motivasi dan sikap positif siswa, maka tampak ada ketidakkonsistenan pada kelompk eksperimen dan kontrol untuk sekolah berkategori baik. Dengan temuan seperti itu, dapat diketahui bahwa pada dasarnya "motivasi tidak selalu konsisten dengan sikap positif atau sebaliknya". Hal itu tampaknya mengingkari pandangan Winkel (1983: 31) bahwa terdapat hubungan yang
295
erat antara bermotivasi intrinsik-berminat-berperasaan senang, dan sikap positif terhadap belajar berperan dalam menghubungkan ketiga hal itu. Kemungkinan lain, hal itu memperlihatkan kelemahan penelitian ini dari sudut pandang konstruksi instrumen yang menjaring data motivasi dan sikap positif. Namun, perlu diketahui bahwa pengembangan instrumen telah dilaksanakan sesuai prosedur yang berlaku—membuat kisi-kisi, penilaian pakar, dan uji coba lapangan yang menggunakan perhitungan statistik yang relevan. Atau hal itu membuktikan bahwa mengukur motivasi dan sikap sulit dilakukan karena sifatnya cenderung labil, tidak menetap. 4. Faktor-Faktor Pendukung Pengembangan the MID-Model Ada beberapa faktor yang mendukung pengembangan the MED-Model. Faktorfaktor itu adalah latar belakang pendidikan guru, pengalaman kerja guru, kinerja guru, kesiapan siswa belajar, materi atau bahan ajar yang relevan, dan alat atau media pembelajaran. Latar belakang pendidikan guru memberi kontribusi yang signifikan untuk kelancaran dan keberhasilan pengembangan the MID-Model. Dengan bidang keilmuan yang relevan, guru lebih mudah diyakinkan dan memahami konsep yang melekat pada model
pembelajaran.
Sehingga
kualitas
belajar-mengajar
bahasa
Inggris
dapat
ditingkatkan melalui perbaikan mutu dan inovasi-inovasi praktik pembelajaran yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Dari pengalaman uji coba model, dapat diamati kemampuan guru yang semakin baik sejalan dengan bertambahnya siklus-siklus uji coba. Hal itu terjadi karena evaluasi-penilaian-perbaikan yang dilakukan setiap akhir siklus mudah dipahami dan dilaksanakan guru penguji coba. Kontribusi tingkat pendidikan tentu berperan penting dalam kemudahan-kemudahan ini.
296
Demikian halnya dengan pengalaman kerja dan
kinerja guru, akumulasi
pengalaman mengajar terbentuk melalui proses yang dihayati, dievaluasi, dan disadari kelemahan dan kelebihannya. Semakin berpengalaman seorang guru, akan semakin mampu melakukan adaptasi kearah perbaikan mutu dan sistem pembelajaran. Sehingga ketika diperhadapkan pada sebuah inovasi dan perilaku-perilaku yang diinginkan bagi sebuah praktik pembelajaran, guru mudah menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan yang dipersyaratkan. Dengan perkataan lain, pengalaman kerja guru sangat berkontribusi pada kelancaran dan keberhasilan implementasi the JvflD-Model. Pendidikan dan pengalaman kerja berinteraksi secara dinamis dalam membangun kompetensi seorang guru sehingga mampu berperan aktif dalam setiap usaha perbaikan rjraktik-praktik pembelajaran. Secara bertahap peran dan kinerja yang ditampilkan guru dalam pengembangan the MID-Model
berjalan sesuai
dengan rencana. Mereka
melakukan peran sebagai fasilitator, penyedia dan perancang pengalaman belajar bagi siswa. Misalnya memilih dan menentukan bahan ajar yang setingkat di atas struktur kognitif siswa. Hal itu sejalan dengan konsep the zone of proximal development, yang menurut Wertsch (1991) dalam Wolfoolk (1995: 50) adalah 'the area where the child cannot solve a problem alone, but can be successful under adult guidance or in collaboration with a more advance peer.' Ketika siswa dalam posisi mental dimana stimulus (informasi, konsep bahasa baru) yang disajikan sebagai input tidak cocok dengan skema yang ada dalam dirinya, terjadi apa yang disebut oleh Piaget sebagai disequilibrium. Dalam kondisi itu, peran guru sebagai mediator sangat dibutuhkan agar siswa tidak mengundurkan diri dari proses belajar dalam arti mengacuhkan informasi.
297
Peran guru sebagai mediator dalam implementasi the MID-Model menuntut keahlian tertentu dalam memediasi input baru kepada anak dan mendukung mereka menyelesaikan tugas dan latihan berbahasa dan kebahasaan yang setingkat di atas kemampuan yang ada. Dukungan belajar dan memecahkan masalah diberikan dalam bentuk kata-kata kunci dan pertanyaan penggali/terarah, pemberian dorongan dan contoh/model melalui demonstrasi. Hal itu sejalan dengan konsep scaffolding (Cameron, 2001; 8)—"Talk that supports a child in carrying out an activity", atau percakapan yang mendukung anak dalam menyelesaikan tugas dan kegiatan. Demikian juga Woods (1998) dalam Cameron (2001: 9) yang mengemukakan bahwa guru dapat melakukan scaffolding dalam berbagai cara: 'attend to what is relevani, adopt useful strategjes, dan remember the whole task and goals'. Kalau dalam implementasi the MID-Model peran guru seperti itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya, tidak akan mungkin implementasi model berjalan sesuai rencana. Peran siswa dalam belajar salah satu faktor pendukung yang sangat menentukan dalam mengelola organisasi kelas the MID-Model sehingga implementasi model berjalan lancar sesuai dengan rencana. Hasil pengamatan sampai akhir siklus uji coba model menunjukkan adanya keterlibatan aktif sebagian besar siswa dalam setiap kegiatan. Peran itu nampaknya terbentuk dalam bingkai pola-pola interaksi yang dibangun guru. Siswa sebagai meaning maker dari input yang diberikan mampu melakukan eksplorasi, melakukan abstraksi (walaupun masih selalu terkait dengan benda-benda konkret), menarik kesimpulan pelajaran dan menggunakan pengetahuan baru ke dalam situasi yang berdeda.
298
Dalam konteks itu, siswa diperhadapkan pada pengalaman berbahasa pedagogis, real atau quasy-real yang memungkinkan mereka memperoleh input secara lebih baik sesuai dengan perkembangan intelektualnya. Menurut Piaget (Anwar, 1984:25) Peristiwa belajar bagi siswa pada usia operasi konkret sudah mampu melakukan operasi secara verbal pada objek dengan cara merangkaikan, mengklasifikasikan, menyimpulkan, dan meramalkan. Selanjutnya, pengalaman berbahasa dan kebahasaan siswa dalam the M D > Model
dilaksanakan
melalui
interaksi
dan
kerja
sama
dalam
kelompok
yang
memungkinkan terjadinya umpan balik terhadap pengalaman belajar sehingga proses pembelajaran berjalan lebih manusiawi. Hal itu sejalan dengan klaim Celce-Murcia (1991:
347) yang menyatakan "interacting and cooperating with
others allow
opportunities for feedback on one's own language leaming and humanizes the Iearoing process". Jika dalam implementasi the MBD-Model peran siswa seperti itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sulit dibayangkan implementasi model berjalan sesuai dengan rencana. Peran materi dan tugas berbahasa dan kebahasaan juga tak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan peran siswa dalam mendukung pengembangan the MJD-Model. Dengan bahan ajar, siswa dapat melakukan eksplorasi, mengemukakan gagasan baik lisan mau pun tertulis dari hasil eksplorasi, dan melakukan percobaan untuk menguji dan merevisi asumsi-asumsi tentang bahasa yang telah dibangun sehingga dapat digunakan dalam situasi baru baik dalam konteks pedagogis maupun konteks dunia nyata. Peran materi seperti itu diyakini mampu mengembangkan kompetensi komunikatif siswa melalui penyajian yang memperhatikan hipotesis input i + 1 (Krashen dan Terrel (1988:
299
32). Siswa belajar melalui interaksi, negosiasi makna, dan dalam proses yang bertujuan serta terbimbing untuk mengekspresikan diri dengan bahasa target yang dimiliki. Hal itu sejalan dengan teori dan hasil penelitian pemerolehan bahasa kedua (Williams dan Burden, 1997: 168) yang mengklaim bahwa individu memperoleh bahasa asing melalui proses interaksi dan negosiasi makna dalam situasi yang bertujuan. Artinya materi dan tugas berbahasa dan kebahasaan berfungsi sebagai forum yang memfasilitasi interaksi antara dua atau lebih peserta. Kalau dalam implementasi the MID-Model peran materi dan tugas berbahasa dan kebahasaan seperti itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sulit dibayangkan implementasi model berjalan sesuai rencana. Alat
atau
media
pembelajaran
adalah
bagian
integral
yang
mendukung
implementasi the MID-Model, tak dapat dipisahkan dengan unsur-unsur lain yang membentuk proses pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan komunikatif siswa. Dari implementasi model, diperoleh informasi bahwa alat atau media pembelajaran menyumbang pelaksanaan strategi operasional dalam
menstimulasi respon siswa,
memberi konteks dan memperjelas seting kegiatan berbahasa, serta menstimulasi imaginasi siswa yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Lebih khusus, alat atau media pembelajaran menjembatani
pesan yang melekat pada materi yang
ingin
dikomunikasikan kepada siswa. Tersedianya alat atau media pembelajaran yang relevan dengan informasi dan konsep-konsep bahasa yang akan diberikan sebagai input, sangat membantu implementasi the MID-Model. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terkait dengan sistem penunjang the MID-Model tidak terlepas dari sebuah sistem atau strategi pembelajaran dalam kerangka berpikir yang utuh. Joyce dan Weil (Seiler dan Miller
300
1985:19*I>dan Ellis (Oliva (1992: 413) menyatakan model pembelajaran memiliki sistem penunjang' yang diperlukan (support system). Hal itu dimaksudkan agar implementasi model dapat secara optimal berjalan sehingga mampu merefleksi keutuhan konsepi
konsep-yang membangun model tersebut. Jika implementasi model dapat secara optimal merefleksi konsep-konsep yang membangunnya, maka tujuan model pembelajaran akan tercapai dengan baik. 5. Relevansi the MID-Model Dengan Mata Pelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab X, Pasal 37 ayat (1) berbunyi "Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat muatan lokal"—salah satunya adalah pelajaran bahasa. Terlepas dari alasan yang lain, itulah yang menjadi Iandasan kuat sehingga pelajaran Bahasa Inggris paling banyak diminati oleh sekolah-sekolah dasar seluruh Indonesia dibandingkan dengan muatan lokal yang lain. Namun, dari beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris tidak memenuhi kondisi-kondisi yang seyogyanya ada untuk mendukung penyelenggaraan dimaksud. Pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sangat bervariasi, karena kemampuan guru mengelola pembelajaran, menggunakan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran, menggunakan sarana dan fasilitas belajar, dan mengelola pengalaman belajar yang kurang memperhatikan perkembangan intelektual siswa. Selain itu, pengajaran terpaku pada buku teks, sementara dari sejumlah 37 macam buku teks bahasa Inggris hanya 19,04% yang termasuk berkategori baik.
Di sisi lain, banyak
sekolah dasar telah menetapkan bahasa Inggris sebagai pelajaran muatan loka! sejak kelas
301
tiga,
bahkan
beberapa
dimulai
kelas
satu,
dengan
tujuan agar
siadfe^uSfatiS
berkomunikasi lisan dan tulis dalam bahasa Inggris sederhana untuk m e n j i i t ^ K g f e g e ^ , ^ ke jenjang pendidikan selanjutnya.
,
,
Dari temuan-temuan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa salah satu hal yang paling mendasar dan mendesak untuk dilakukan adalah perbaikan pada proses, peningkatan mutu sistem penyampaian dan mutu pembelajaran agar siswa mau belajar dan menghargai pelajaran bahasa Inggris, memiliki kemampuan komunikatif, bahkan juga motivasi belajar dan sikap positif. Salah satu hai yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan itu adalah mengembangkan model pembelajaran yang peka terhadap usia perkembangan dan teroi-teori belajar yang relevan, pemilihan materi, metode dan teknik pembelajaran yang peduli akan realitas kehidupan anak, serta mementingkan proses dan hasil belajar. The MfD-Model diyakini relevan sebagai salah satu wahana untuk memecahkan sebagian masalah mendesak dari kondisi pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar dewasa ini, khususnya perbaikan proses, sistem penyampaian dan mutu pembelajaran agar siswa mampu berkomunikasi lisan dan tertulis sederhana. Relevan karena the MTDModel berangkat dari asumsi-asumsi dasar tentang bagaimana seorang anak belajar bahasa (kedua/asing), kapan anak perlu dibantu dalam proses pencarian makna, pengaturan
bahan
ajar
dan
tingkat
kompleksitas
tugas
yang
relevan
dengan
perkembangan intelektual, serta penyediaan pemajanan (exposure) bahasa Inggris yang cukup. Model ini juga mengatur dan memfasilitasi pengalaman belajar dalam bentuk tugas-tugas berbahasa dan kebahasaan untuk mengembangkan kemampuan komunikatif,
302
motiasi, dan sikap positif siswa dalam pelajaran bahasa Inggris. Selain itu, guru tidak perhi mengikuti materi dan metode atau alur penyampaian sebuah buku teks secara iinutlak, tapi memilih bahan ajar dari beberapa buku sumber yang dianggap sesuai.