48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Hasil penelitian ini akan dikemukakan dalam empat bagian yang disusun berdasarkan pertanyaan penelitian. Bagian pertama adalah hasil analisis pelaksanaan peer assessment pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw untuk mengungkap keterampilan presentasi siswa. Pada bagian ke dua, dikemukakan kendala-kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan peer assessment tersebut. Selanjutnya yang ke tiga adalah hasil analisis mengenai kemampuan siswa dalam melakukan peer assessment. Pada bagian terakhir, dikemukakan tanggapan guru dan siswa mengenai penerapan peer assessment pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw untuk mengungkap keterampilan presentasi siswa.
1. Pelaksanaan Peer Assessment pada Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw untuk Mengungkap Keterampilan Presentasi Siswa Secara garis besar, terdapat lima kegiatan penting yang dilakukan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan peer assessment pada pembelajaran Jigsaw. Kelima kegiatan tersebut adalah 1) Pemberian motivasi siswa; 2) Pemberian latihan melakukan peer assessment pada siswa; 3) Implementasi peer assessment pada pembelajaran Jigsaw alat indera; 4) Komunikasi hasil peer assessment kepada siswa; 5) Pemanfaatan hasil peer assessment. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan
suatu
kronologi
proses
yang
berurutan
berdasarkan
waktu
49
pelaksanaannya. Secara umum kronologi proses tersebut dapat diilustrasikan dengan gambar 4.1. Memberi informasi ttg p.a kpd siswa (pengertian, tujuan, keuntungan) Pemberian motivasi siswa Siswa termotivasi
Memberi tahu rencana penerapan p.a. pd pemb Memberitahukan kontribusi hasil p.a thd nilai akhir Pengembangan & Negosiasi Kriteria
Latihan p.a
Diskusi aturan main p.a
Simulasi menilai teman rubrik
Task
Observasi kel oleh observer Implementasi P.A. pada Pemb. Jigsaw
Observasi kelas oleh guru
Siswa melakukan p.a presentasi
Hasil observasi
Pengumuman langsung di kelas Komunikasi Hasil
Nilai
Informasi perseorangan Feedback Pemanfaatan Hasil Siswa
Diskusi dgn guru dan staf kurikulum ttg kontribusi nilai p.a
guru
Gambar 4.1. Kronologi Proses Pelaksanaan Peer Assessment Ket : p.a : Peer Assessment
(Sumber data : Catatan Penelitian)
50
a. Pemberian Motivasi Siswa Pada pertemuan pertama materi sistem ekskresi, dilakukan
kegiatan
pemberian motivasi kepada siswa. Kegiatan ini dilakukan dengan cara memberikan informasi mengenai peer assessment di akhir pembelajaran. Informasi yang diberikan meliputi pengertian peer assessment, tujuannya, kelebihan peer assessment dari sistem penilaian yang lain, serta memberitahukan keuntungan yang akan didapatkan siswa jika mengikuti peer assessment. Selain itu siswa juga diberitahukan bahwa peer assessment akan dicoba untuk diterapkan pada pembelajaran kelompok. Pada kesempatan ini, guru juga mengajak siswa untuk turut berpartisipasi dalam pelaksanaan peer assessment. Siswa juga diberitahu bahwa hasil peer assessment ini akan memberikan kontribusi pada nilai akhir semester mereka. Hasil angket (gambar 4.2.) menunjukkan bahwa hampir seluruh siswa (89,58 %) mengaku memahami adanya keuntungan mengikuti peer assessment dan berminat mengikuti peer assessment. Sementara itu, hasil observasi menunjukkan bahwa ketika siswa diberitahu manfaat atau keuntungan mengikuti peer assessment, mereka terkesan tak acuh dan tidak menunjukan ekspresi ketertarikan pada peer assessment. Hasil wawancara dengan siswa diketahui bahwa siswa merasa tidak berkepentingan dalam urusan penilaian karena hal tersebut merupakan tugas dan kewenangan guru. “...Saya tidak begitu memikirkan itu, itu kan tugas guru....” Setelah diyakinkan bahwa hasil peer assessment ini akan diusahakan dapat memberi kontribusi nilai pada rapor, barulah siswa terlihat berminat mengikuti
51
peer assessment. Siswa mengaku tertarik mengikuti peer assessment karena tertarik dengan kontribusi nilainya. Berikut adalah jawaban siswa saat ditanya mengenai alasan mengikuti peer assessment : “....saya mengikuti peer assessment karena hasilnya akan dimasukkan jadi nilai psikomotor.....”.
Berdasarkan hasil-hasil tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa peer assessment merupakan sesuatu yang baru bagi siswa yang menjadi subjek penelitian. Maka proses pemberian motivasi menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Proses pemberian motivasi pada siswa dapat dilakukan dengan cara memberitahukan informasi sedini mungkin kepada siswa mengenai peer assessment terutama mengenai tujuan dan manfaatnya. Kendala dalam kegiatan ini yaitu siswa tidak begitu merespon ketika diberitahu keuntungan yang menurut mereka abstrak. Siswa baru tertarik pada peer assessment setelah mengetahui bahwa nilai hasil peer assessment akan masuk menjadi nilai rapor. Hal ini berarti
52
bahwa siswa lebih tertarik mengikuti peer assessment jika menyadari adanya manfaat yang nyata bagi mereka. Bagi sebagian besar siswa nilai rapor adalah tolak ukur keberhasilan belajar.
b. Latihan Peer Assessment Pemberian latihan peer assessment kepada siswa pertama kali dilaksanakan ketika pertemuan kedua materi sistem ekskresi. Pembelajaran saat itu menggunakan metode berfikir-berpasangan-berbagi (Think-pair-share). Diskusi singkat diadakan di awal pembelajaran untuk merumuskan kriteria penilaian komunikasi lisan siswa. Hasil observasi menunjukkan, hanya lima orang siswa (10,20 %) yang terlibat diskusi secara aktif. Artinya, dari 48 siswa yang hadir hanya sebagian kecil siswa saja yang ikut memberikan masukkan secara lisan. Siswa yang lain hanya mengikuti dan menyepakati apa yang didiskusikan. Siswa yang memberi masukkan pun harus dibimbing dengan pertanyaan-pertanyaan pengarah. Setelah mendapatkan kriteria sederhana, selanjutnya dilaksanakan pembelajaran. Di akhir pembelajaran, siswa dipersilahkan untuk memberikan penilaian terhadap komunikasi lisan temannya saat berbagi pemahaman materi (diskusi) berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil latihan pertama ini dapat disimpulkan bahwa ketika pengembangan kriteria dilakukan dengan cara diskusi langsung di kelas, hanya sebagian kecil siswa saja yang berkontribusi memberikan masukan kriteria
53
penilaian. Hal ini berarti diskusi langsung bersama seluruh anggota kelas tidak efektif untuk mengembangkan kriteria penilaian presentasi. Latihan tahap ke dua dilaksanakan saat pembelajaran materi sistem ekskresi manusia melalui metode Jigsaw. Pada kesempatan ini, kriteria penilaian dituliskan oleh guru di papan tulis. Kriteria yang digunakan adalah hasil penyusunan kembali oleh guru berdasarkan kriteria pada saat latihan pertama dengan penambahan dan pengurangan. Pada saat diskusi Jigsaw, siswa dipersilakan menilai setiap presentasi teman sekelompoknya menggunakan kriteria yang ada pada papan tulis. Penilaian ini menjadi tugas perseorangan dan boleh dikerjakan secara individual di rumah. Hasil penilaian harus dikumpulkan pada pertemuan selanjutnya. Siswa juga dipersilakan untuk menuliskan masukkan kriteria secara tertulis pada lembar penilaian tersebut. Berdasarkan hasil pengumpulan lembar penilaian, hampir seluruh kriteria yang diperoleh masih sama dengan kriteria yang dituliskan oleh guru di papan tulis pada awal pembelajaran. Siswa hanya mengubah kriteria dari segi struktur dan redaksi kalimat. Akan tetapi, ada hal menarik dari latihan ke dua ini. Sebagian besar siswa berinisiatif untuk membuat format penilaian yang sama untuk seluruh kelas dan format tersebut diketik rapih. Setelah itu mereka memperbanyak format tersebut dan selanjutnya masing-masing siswa menuliskan hasil penilaiannya pada format tersebut dengan tulisan tangan. Sebagian kecil lainnya mengerjakan penilain pada buku catatan khusus biologi. Kesimpulan dari hasil latihan kedua adalah bahwa ketika siswa diminta untuk mengerjakan penilaian di rumah, sebagian besar siswa cenderung malas
54
untuk mengerjakan karena memiliki banyak tugas akademik lain. Siswa diduga baru mengerjakan penilaian sesaat sebelum hasil penilaian harus dikumpulkan. Hal ini berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa format penilaian diperbanyak pagi hari sebelum pengumpulan lembar penilaian. Hal ini diperkuat dengan pengakuan siswa: “ format ini ada seorang yang bikin pak. Karena bagus, kami print dan terus difotocopy....”
“ fotocopynya tadi pagi, Pak”. Hasil wawancara
lainnya menunjukkan bahwa siswa mengaku memiliki banyak tugas yang harus dikerjakan “ ...tugas kami banyak, Pak. Belum sempat mengerjakan, jadi kami mengerjakan tugas bapak tadi pagi....” Latihan yang ketiga merupakan simulasi dari implementasi peer assessment. Kegiatan yang dilakukan adalah pembelajaran Jigsaw materi sistem koordinasi. Sebelumnya siswa telah diberi task untuk membuat poster. Sebelum mulai pembelajaran, siswa mendapatkan task dan rubrik penilaian presentasi. Selanjutnya, guru menjelaskan secara singkat isi task dan rubrik tersebut. Saat pembelajaran, siswa harus mempresentasikan posternya. Ketika presentasi berlangsung, siswa lain dalam kelompok tersebut menyimak dan mengobservasi presentasi. Penilaian dilakukan setiap presentasi selesai. Penilaian menggunakan kriteria hasil akhir pengembangan bersama siswa yang telah disusun menjadi rubrik. Pada latihan ini observer yang telah dilatih dua kali turut hadir untuk mencoba melakukan pengamatan gejala yang muncul pada saat diskusi kelompok. Observer juga memegang rubrik penilaian presentasi dan diminta untuk menyamakan persepsi pengamatan dengan siswa. Setelah pembelajaran selesai, siswa diberi lembar negosiasi yang berisi daftar kriteria
55
penilaian dan kolom tanggapan siswa terhadap kriteria tersebut disertai saran perbaikan rubrik dan task. Lembar tersebut dikumpulkan bersama hasil penilaian. Lembar negosiasi yang belum selesai diisi dapat dikumpulkan dua hari kemudian. Hasil dari kegiatan ini, lembar negosiasi yang kembali hanya sebanyak 27 lembar (56,2 %). Siswa yang tidak mengembalikan lembar negosiasi mengaku lembar tersebut hilang atau tertinggal di rumah. Dari jumlah yang kembali pada umumnya siswa menyetujui kriteria yang ada pada daftar dan mengaku telah mengerti kriteria yang diajukan. Dari 22 indikator kriteria yang ada pada daftar, kurang dari setengahnya yang dikomentari. Hasil kegiatan simulasi dapat digunakan untuk menyiapkan strategi mengantisipasi masalah yang mungkin muncul saat implementasi. Dalam simulasi ini, observer berusaha untuk menyamakan persepsi mengenai standar penilaian untuk meminimalkan perbedaan penafsiran amatan. Akan tetapi perbedaan penilaian siswa dan observer tetap terjadi. Pemberian lembar negosiasi dapat menjaring keterangan mengenai pemahaman siswa terhadap kriteria. Kesimpulan yang dapat ditarik dari latihan ke tiga adalah bahwa simulasi peer assessment penting untuk dilakukan. Hasil latihan peer assessment sebanyak tiga kali menunjukkan bahwa hampir separuh siswa (47,92 %) mengaku tidak ikut serta memberikan masukkan dalam pengembangan kriteria penilaian presentasi. Dari alasan angket diketahui bahwa rata-rata siswa mengaku pasif dan siap menerima saja hasil pengembangan kriteria. Hasil angket dan catatan penelitian mengenai kontribusi siswa dalam pengembangan kriteria presentasi disajikan dalam gambar 4.3.
56
Hasil akhir pengembangan kriteria didapatkan 30 kriteria presentasi. Sebagian besar dari kriteria ini adalah hasil pengembangan peneliti dan observer, hanya sebagian kecil saja dari kriteria ini yang merupakan hasil masukkan dari siswa. Ketika ditanyakan pada siswa tentang pengembangan kriteria, siswa menjawab “Saya hanya ikut setuju saja karena takut salah. Jadi menurut saya kriteria langsung aja tetapkan oleh guru! Saya akan setuju-setuju saja asal kriterianya jelas. “
4.16%
Tidak memberi masukan kriteria
10.20%
Memberi masukan tertulis 47.92% 37.72%
Memberi masukan secara langsung dan lisan Tidak menjaw ab/tidak mengisi angket
Gambar 4.3. Kontribusi sisw a dalam mengembangkan kriteria presentasi
Hampir seluruh siswa (87,50 %) mengaku memahami aspek-aspek (kriteria) yang akan dinilai beserta standar penilaian yang ada pada lembar penilaian. Seluruh siswa (100 %) juga mengaku mengetahui aturan main peer assessment. Dalam catatan peneliti, hampir seluruh siswa selalu mengikuti latihan yang diadakan sebanyak tiga kali.
Selain itu, seluruh siswa setidaknya pernah
mengikuti latihan menilai.. Tapi hasil angket menunjukkan bahwa tidak semua siswa mengaku pernah mengikuti latihan. Hanya 89,58 % siswa yang mengaku pernah mengikuti latihan. Diduga siswa yang mengaku tidak pernah mengikuti latihan adalah yang tidak mengikuti simulasi dan yang tidak menyadari bahwa
57
sebenarnya latihan itu dilaksanakan secara terintegrasi dengan pembelajaran sebelumnya. Hasil angket secara lengkap ditunjukkan dengan gambar 4.4. Kesimpulan dari pelaksanaaan latihan peer assessment ini adalah: 1) pengembangan kriteria dengan melibatkan siswa kurang efektif jika dilakukan melalui diskusi langsung bersama seluruh siswa di kelas; 2) pengembangan kriteria dengan sistem tertulis pun kurang mendapatkan apresiasi siswa; 3) negosiasi kriteria dapat memberikan informasi mengenai tingkat pemahaman siswa akan kriteria penilaian serta didapatkan kesepakatan akan standar penilaian; 4) simulasi peer assessment penting dilakukan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik pada siswa mengenai apa yang harus ia lakukan; 5) kegiatan simulasi dapat menberikan gambaran kesulitan yang muncul pada pelaksanaan peer assessment sehingga guru dapat menyusun strategi untuk mengantisipasinya.
58
c. Implementasi Peer Assessment Tahap implementasi peer assessment dilangsungkan pada pembelajaran materi alat indera manusia dengan metode pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung, lalu-lintas guru tidak terlalu lancar karena jumlah siswa banyak sementara ruangan sempit. Kehadiran 12 orang observer menambah sesak ruangan kelas. Namun, mobilitas guru masih dapat dilakukan ke setiap kelompok. Suasana kelas saat pembelajaran ribut karena pada saat bersamaan setidaknya ada 12 orang siswa yang melakukan presentasi. Akan tetapi menurut pengakuan seluruh observer, mereka masih bisa mendengar dengan jelas suara siswa saat presentasi. Kegiatan presentasi tidak begitu terhambat oleh adanya peer assessment karena dalam task sudah diatur kapan siswa harus menilai dan kapan siswa harus menyimak dan melakukan presentasi. Kegiatan peer assessment juga berlangsung lancar, tidak terhambat oleh kejadian apapun. Selain itu, terdapat satu orang siswa yang materi presentasinya sama dengan rekannya yang lain karena siswa tersebut tidak hadir saat pembagian tugas kelompok dan rekannya tidak memberitahu. Presentasi siswa dengan materi yang sama tidak begitu diperhatikan rekan sekelompoknya. Siswa mengaku materi yang disampaikan sudah tidak menarik lagi karena sudah dipresentasikan sebelumnya jadi terkesan mengulang. Secara umum kegiatan peer assessment lancar, hanya saja sebagian kecil siswa tidak memberikan alasan penilaian untuk seluruh kriteria, padahal telah disediakan kolom untuk itu. Diduga siswa malas untuk memberikan komentar atau tidak tahu alasan apa yang harus dituliskan.
59
Berdasarkan angket siswa, sebagian besar siswa (68,75 %) merasa waktu yang diberikan untuk menilai teman sekelompok cukup luang. Hal ini mengindikasikan bahwa penilaian siswa akan lebih akurat karena tidak dikejar waktu. Secara umum, situasi pembelajaran saat impelmentasi peer assessment dapat disimpulkan berlangsung baik. Waktu yang diberikan selama lima menit untuk setiap kali peer assessment cukup luang, karena setiap siswa sudah memahami benar kriteria dan standar penilaian. Siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Setidaknya, 88,89 % dari waktu yang tersedia untuk pembelajaran saat itu digunakan oleh siswa untuk belajar dalam kelompok Jigsaw. Porsi guru sebagai pusat kegiatan saat itu hanya 11,11 % yaitu saat membuka dan menutup kegiatan.. Waktu pembelajaran menjadi bertambah karena ada anggota kelompok yang menggunakan waktu presentasi lebih dari yang disediakan. Selain itu, siswa juga terlena dengan diskusi sehingga memakan waktu yang lebih. Presentasi materi yang sama menurunkan antusiasme siswa. Siswa menganggap presentasi materi yang sama hanya ulangan presentasi sebelumnya. Menurut catatan peneliti dan observer, siswa sangat antusias dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari tidak satupun siswa yang izin keluar kelas atau melakukan aktivitas lain yang mengganggu jalannya pembelajaran. Diduga hal ini dikarenakan siswa tidak mau kehilangan point. Alasannya, dalam kriteria penilaian terdapat aspek mengikuti dan menyimak presentasi dengan serius dan empatik. Sebagian besar siswa (54,17 %) merasa konsentrasinya tidak terpecah ketika harus presentasi, menyimak sekaligus
60
menilai teman. Hal ini berarti sebagian besar siswa sudah mampu mengatur prioritas kegiatan. Dalam melakukan peer assessment, siswa mengaku jujur dalam menilai (100,00 %), tidak terpengaruh orang lain (87,50 %), tidak bergantung penilaian rekan yang lain (95,84 %), tidak berpihak pada teman yang pintar dan sahabat (91,67 %), dan tidak menjelekan penilaian pada orang yang tidak disukai (95,24%). Dalam catatan peneliti dan observer, siswa memang mengerjakan penilaian sendiri-sendiri di tempat masing-masing. Menurut hasil wawancara non formal, siswa mengatakan “...belum tentu teman yang lain benar dalam menilai, setiap orang kan mempunyai pendapat yang berbeda.” Sebagian besar siswa (66,67 %) merasa percaya diri saat menilai teman. Hampir separuh siswa (39,58 %)
mengaku takut salah dalam memberikan
penilaian. Penilaian siswa sebagian besar (66,67 %) tidak dipengaruhi oleh suasana hati. Hasil angket mengenai kondisi siswa saat melakukan penilaian disajikan pada gambar 4.5. Sebagian besar siswa (64,58 %) mengaku merasa nyaman dan tidak terganggu saat dinilai dan saat melakukan penilaian. Walaupun ada observer yang mengawasi pada setiap kelompok, hampir seluruh siswa (93,75 %) sepakat merasa tidak terganggu saat presentasi. Begitu pula saat melakukan penilaian siswa hampir seluruhnya (91,67 %) mengaku tidak diintervensi atau diganggu oleh observer. Bahkan hanya sebagian kecil saja (18,75 %) yang mengaku merasa tidak nyaman dengan adanya observer. Hasil angket mengenai kondusifitas penilaian disajikan pada gambar 4.6.
61
62
Berdasarkan hasil temuan saat implementasi peer assessment, dapat disimpulkan bahwa kondisi siswa mendukung terhadap proses penilaian. Kondisi ini memberikan arti bahwa peer assessment dilakukan siswa dengan sungguhsungguh. Terdapat dugaan siswa berlaku seperti demikian karena ingin mendapatkan point sempurna dan diduga karena siswa merasa kinerjanya diamati oleh observer. Namun, terdapat sedikit gangguan. Menurut beberapa observer, siswa cenderung lebih peduli pada bagusnya presentasi daripada penilaian. Hal ini berarti, siswa lebih ingin mendapatkan nilai yang bagus dari presentasi daripada harus memberi nilai. Siswa memiliki anggapan bahwa bagaimanapun ia menilai temannya, tidak akan berpengaruh pada nilai yang diperoleh.
d. Komunikasi Hasil Peer Assessment Setelah tahap implementasi, dilakukan tindak lanjut terhadap hasil peer assessment. Hasil penilaian yang didapatkan diolah oleh guru dan dijadikan nilai kemudian diumumkan di depan kelas dihadapan seluruh siswa. Hasil pekerjaan tiap siswa dibacakan satu-persatu. Berdasarkan data angket, sebagian besar siswa (95,84 %) mengaku mengetahui hasil pekerjaannya karena diumumkan oleh guru. Akan tetapi, hasil ini tidak dibahas dan tidak diberi komentar satu-persatu secara jelas karena waktu tidak cukup. Siswa juga tidak mendapatkan lembar hasil penilaian secara tertulis karena lembaran tersebut bersatu untuk semua kelompok. Siswa tidak begitu peduli dengan hasil penilaian presentasi. Terbukti dangan sikap siswa yang lebih peduli dengan nilai ulangan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya permintaan saat itu untuk mengumumkan hasil ulangan harian saja.
63
Kondisi ini mengindikasikan bahwa siswa memiliki pandangan bahwa nilai ulangan harian lebih penting dari hasil peer assessment. Diduga kuat siswa telah memiliki pemahaman bahwa yang paling penting dalam nilai rapor adalah nilai kognitif. Dalam pandangan siswa, nilai ini ditentukan oleh nilai ulangan harian dan ulangan umum, bukan oleh hasil peer assessment. Hampir seluruh siswa (85,41 %) merasa cukup puas dengan mengetahui bahwa hasil presentasinya diperiksa oleh guru. Berdasarkan angket siswa (79,17%) mengaku mendapatkan komentar dari hasil pekerjaannya. Hal ini disebabkan karena saat siswa konsultasi perseorangan tentang hasil ulangan, guru memanfaatkan kesempatan itu untuk memberitahukan nilai presentasi dan memberi
komentar
pada
siswa.
Tidak
terdapat
cukup
waktu
dalam
menyelenggarakan diskusi untuk memperdebatkan hasil penilaian yang diberikan temannya. Artinya siswa kurang mendapatkan kesempatan untuk protes dan klarifikasi nilai. Waktu yang disediakan oleh guru untuk mendiskusikan hasil peer assessment tersita oleh adanya remedial ulangan harian. Namun berdasarkan hasil angket, hampir seluruh siswa (79,17 %) mengaku percaya pada penilaian yang diberikan oleh temannya. Hampir seluruh siswa (87,50 %) juga tidak merasa dirugikan dengan penilaian yang diberikan oleh teman sendiri. Hasil angket mengenai komunikasi hasil penilaian disajikan dalam gambar 4.7.
64
Berdasarkan temuan pada kegiatan komunikasi hasil penilaian, dapat disimpulkan bahwa siswa kurang begitu peduli dengan hasil peer assessment. Siswa lebih peduli pada hasil ulangan harian. Dibutuhkan waktu khusus untuk melaksanakan diskusi untuk membahas hasil peer asssessment. Pelaksanaan peer assessment ini memberikan feedback bagi siswa dan guru. Feedback ini dapat dirasakan manfaatnya mulai dari sebelum pembelajaran, yaitu membuat siswa menjadi lebih mempersiapkan diri untuk mempelajari materi yang akan dipresentasikan (89,58 %), dan siswa berusaha menampilkan kinerja terbaik saat belajar karena mmengetahui akan dinilai oleh teman (93,75 %). Sebagian besar siswa (70,83 %) mengaku menjadi tahu kekurangannya dalam melakukan presentasi dan menilai teman sendiri dari hasil penilaian sesama. Terlebih lagi, hampir seluruh siswa
(81,25 %) mengaku mempunyai rencana untuk
meningkatkan kemampuannya dalam menilai setelah mengetahui hasil peer assessment.
65
Guru juga mendapatkan manfaat dari feedback yang diperoleh. Guru punya rencana untuk lebih sering melaksanakan pembelajaran kooperatif yang bisa mengakomodasi pengembangan presentasi siswa. Hasil wawancara dengan guru pun menggembirakan, karena beliau mengatakan “saya akan mencoba menerapkan peer assessment pada setiap pembelajaran tapi metode pembelajaran dan
aspek
yang
diukurnya
bervariasi.”
Guru
juga
berencana
akan
merekomendasikan presentasi dengan metode seperti ini daripada presentasi atau diskusi kelas karena terbukti efektif.
e. Pemanfaatan Hasil Peer Assessment Ketika dilakukan upaya memanfaatkan hasil peer assessment untuk bisa berkontribusi pada nilai akhir siswa, guru mendapatkan kendala yang berat. Awalnya guru menentukan perbandingan bobot penilaian guru dan siswa adalah 1:3. Tapi kenyataanya justru nilai presentasi tidak berkontribusi sama sekali terhadap nilai rapor. Hal ini disebabkan karena guru penanggung jawab mata
66
pelajaran hanya meminta nilai hasil ulangan harian dan tugas saja. setelah menelusuri rekap nilai untuk rapor yang ada pada bagian kurikulum, ternyata pada umumnya guru tidak memanfaatkan nilai psikomotor. Ada juga yang nilai psikomotornya relatif sama untuk semua siswa. Begitu pula pada rekap nilai pada buku pribadi siswa di BK yang diminta dituliskan oleh guru hanyalah nilai kognitif saja. Diduga, terdapat pemahaman yang sama antara guru dan siswa bahwa nilai kognitif hasil belajar adalah aspek yang sangat penting dalam pembelajaran serta jeuh lebih penting dari nilai psikomotor. Dari
temuan-temuan yang muncul sepanjang proses penelitian dapat
dikemukakan mutu pelaksanaan dari masing-masing aspek peer assessment. Mutu pelaksanaan peer assessment tersebut disajikan pada tabel 4.2. Tabel 4.1. Mutu Pelaksanaan Peer Assessment No 1. 2
3 4
Aspek peer assessment Pemotivasian Siswa terhadap peer assessment Latihan peer assessment sekaligus Pengembangan dan Negosiasi Kriteria Penilaian Presentasi bersama Siswa Situasi/kondisi pembelajaran
7
Kondisi Siswa saat Pembelajaran Berlangsung Komunikasi hasil penilaian bersama siswa Perolehan feedback dari peer assessment Pemanfaatan hasil pseer assessment
8
Efisiensi
5 6
Mutu pelaksanaan Baik, kendala yang ditemukan hanya sedikit dan tidak berpengaruh signifikan Baik, kendala yang ditemukan hanya sedikit dan tidak berpengaruh signifikan Baik, kendala yang ditemukan hanya sedikit dan tidak berpengaruh signifikan Baik, kendala yang ditemukan hanya sedikit dan tidak berpengaruh signifikan Cukup baik, terdapat beberapa kendala yang cukup berarti namun masih dapat diselesaikan sangat baik tanpa ada kendala apapun kurang baik, kendala yang ditemukan sulit diatasi Cukup baik, terdapat beberapa kendala yang cukup berarti namun masih dapat diselesaikan
Secara umum, pelaksanaan peer assessment pada pembelajaran kooperatif Jigsaw untuk mengungkap kemampuan presentasi siswa sudah baik. Namun
67
pelaksanaan tersebut tidak lepas dari adanya kendala sehingga pelaksanaannya belum optimal.
2. Kendala-Kendala yang Ditemukan dalam Pelaksanaan Peer assessment Berdasarkan
temuan
pada
pelaksanaan
peer
assessment,
dapat
diidentifikasi kendala-kendala yang muncul dalam pelaksanaan peer assessment pada pembelajaran Jigsaw. Kendala-kendala tersebut disajikan pada tabel 4.3. Tabel 4.2. Kendala Yang Ditemukan Dalam Pelaksanaan Peer Assessment No 1
2
3
Tahapan peer assessment Pemotivasian Siswa terhadap peer assessment
Kendala yang ditemukan
Faktor penyebab
Siswa belum merasakan keuntungan peer assessment yang nyata sehingga pada awal pengenalan peer assessment siswa kurang begitu merespon.
Latihan peer assessment sekaligus Pengembangan dan Negosiasi Kriteria Penilaian Presentasi bersama Siswa Situasi/kondisi pembelajaran
Hanya sebagian kecil dari siswa yang ikut mengembangkan kriteria penilaian Negosiasi sukar dilakukan melalui diskusi secara langsung
Siswa lebih tertarik untuk mengikuti ulangan. Selain itu, Siswa belum pernah melakukan peer assessment jadi belum merasakan manfaatnya. Siswa lebih percaya pada manfaat yang kongkrit seperti kontribusi terhadap nilai rapor Nilai rapor dianggap tolak ukur kesuksesan belajar Siswa mengaku pasif dan cenderung ikut-ikutan saja
Negosiasi tertulis kurang mendapat apresiasi siwa mobilisasi terganggu. suara gaduh. Waktu pembelajaran melebihi alokasi
4
Kondisi Siswa saat Pembelajaran Berlangsung
Siswa cenderung lebih fokus atau peduli pada bagusnya presentasi daripada pemberian nilai.
5
Komunikasi hasil penilaian bersama siswa
Nilai siswa tidak dikomentari satu-persatu di depan kelas secara langsung Siswa tidak mendapatkan lembaran hasil penilaian secara tertulis
Waktu yang tidak memadai, tidak mungkin dilakukan di luar jam karena kesibukan siswa yang padat Siswa tidak begitu peduli pada kriteria penilaian Ruangan sempit, terlalu banyak siswa dan observer Presentasi serentak Beberapa presentasi siswa yang melebihi waktu dan siswa terlena dengan diskusi Kemampuan mempresentasikan dirasa lebih penting daripada kemampuan menila
Waktu yang tidak memungkinkan, siswa yang tidak begitu peduli dangan hasil peer assessment
68
7
Pemanfaatan hasil peer assessment
8
Efisiensi
9
Kendala lain
Tidak terdapat prosedur keluhan untuk memperdebatkan hasil penilaian Pemanfaatan nilai presentasi untuk nilai rapor tidak terlaksana banyak waktu yang dibutuhkan untuk untuk menerapkan peer assessment Repot dalam mengelaola peer assessment Butuh biaya untuk pengadaan instrumen dan kebutuhan lainnya Sulit untuk membuat instrumen untuk menilai komunikasi individu Ada
siswa
yang
materi
presentasinya sama
terbentur sistem penilaian di sekolah, guru penanggunag jawab mata pelajaran hanya meminta nilai hasil ulangan saja Peer assessment ini baru dilakukan pertama kali jadi pasti banyak pengorbanan.
Butuh waktu dan usaha yang keras sementara kesibukan guru bukan hanya ini Jumlah murid yang tidak pas, siswa tidak mendapatkan task.
3. Kemampuan Siswa dalam Melakukan Peer Assessment Kemampuan siswa dalam melakukan peer assessment yang akan dilaporkan adalah mengenai indeks kesesuaian penilaian antara siswa dengan guru serta perbandingan nilai yang diberikan siswa dengan nilai yang diberikan guru. Dalam konteks ini guru diwakili oleh observer yang telah dilatih oleh peneliti. Siswa dan observer melakukan observasi terhadap amatan yang sama yaitu presentasi dengan menggunakan rubrik presentasi. Hasil penilaian antara siswa dengan observer kemudian dianalisis dan dicari harga indeks kesesuaian penilaiannya. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada tabel 4.4. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa hampir seluruh siswa (81,25 %) mampu melakukan peer assessment dengan baik. Sebagian kecil lainnya (18,75 %) berada pada kategori cukup.
69
Tabel 4.3. Indeks Kesesuaian Penilaian Siswa dengan Observer Kel
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Penilai A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D
% kesepakatan dengan observer Penilaian Penilaian Penilaian ke-1 ke-2 ke-3 76 66 60 80 80 66 76 86 80 70 80 66 86 96 100 86 86 90 73 86 93 90 86 93 80 83 90 70 86 86 86 90 90 86 90 73 93 96 90 96 100 96 96 100 96 96 96 96 80 86 76 63 73 70 76 86 80 70 83 86 90 80 76 90 73 80 90 96 83 90 96 80 86 73 76 90 76 80 86 83 83 90 93 60 73 73 83 93 76 66 90 80 66 86 70 73 83 86 83 83 70 70 90 80 83 70 66 70 83 76 90 86 83 96 66 86 80 70 80 56 83 86 70 93 76 76 86 80 73 90 83 96 73 80 60 76 90 63 66 86 53 73 73 90
Rata-rata % kesepakatan
kategori
67 75 80 72 94 87 84 90 84 80 88 83 93 97 97 96 80 68 80 80 82 81 90 88 78 82 84 81 76 78 78 76 83 74 84 68 83 88 77 68 79 81 79 89 71 76 68 78
Cukup Cukup Baik Cukup Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Cukup Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Cukup Baik Cukup Baik Baik Baik Cukup Baik Baik Baik Baik Cukup Baik Cukup Baik
70
Perbandingan antara nilai yang diberikan siswa dengan nilai yang diberikan guru dapat dilihat pada lampiran 4.5. Berdasarkan tabel tersebut, sebanyak 76 penilaian siswa (52,8 %) lebih rendah dari guru. Sebanyak 51 penilaian (35,4 %) lebih tinggi dari guru. Sisanya, sebanyak 17 penilaian (11,8 %) sama dengan penilaian guru. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan siswa memberikan nilai yang lebih tinggi daripada guru. Siswa melakukan penilaian sebanyak tiga kali. Total penilaian siswa adalah 144 penilaian. Berdasarkan data, hanya 11,11 % penilaian siswa yang konsisten selalu lebih rendah atau selalu lebih tinggi. Hasil penilaian lainnya tidak konsisten. Penilaian tersebut terkadang lebih tinggi atau lebih rendah dari guru. Hal ini menunjukkan adanya faktor subjektifitas dalam penilaian presentasi siswa. Setiap penilai memungkinkan untuk memiliki interpretasi berbeda dalam setiap amatan. Hanya terdapat 17 (11,80) penilaian siswa yang nilainya sama dengan observer. Nilai yang sama antar siswa dengan observer belum tentu menunjukkan indeks kesesuaian penilaian. Berdasarkan hasil-hasil tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa siswa sudah dapat dikatakan mampu melakukan penilaian terhadap presentasi temannya. Akan tetapi, terdapat unsur subjektifitas dalam penilaian tersebut. Subjektifitas penilaian dipengaruhi oleh banyak variabel.
71
4. Tanggapan Guru dan Siswa Mengenai Penerapan Peer assessment a. Tanggapan Siswa Tanggapan siswa mengenai penerapan peer assessment pada pembelajaran kooperatif didapatkan dari hasil angket siswa. Angket diberikan setelah seluruh tahapan pelaksanaan peer assessment selesai. Gambar 4.9. menunjukkan hasil tanggapan siswa mengenai penerapan peer assessment.
Berdasarkan hasil tersebut, pada umumnya siswa memberikan tanggapan yang positif terhadap penerapan peer assessment. Hal senada juga didapatkan dari hasil wawancara siswa. Secara umum, hasil wawancara terhadap perwakilan siswa
72
menunjukkan bahwa peer assessment dapat digunakan untuk menilai proses presentasi siswa dalam kelompok dan siswa percaya bahwa peer assessment akan memberikan manfaat bagi mereka. Dengan demikian, peer assessment dapat diterapkan pada pembelajaran yang mereka laksanakan untuk menilai presentasi selanjutnya.
b. Tanggapan Guru Tanggapan guru mengenai penerapan peer assessment pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw untuk mengungkap kecakapan berkomunikasi lisan siswa didapatkan dari hasil wawancara dengan salah seorang guru biologi yang ikut serta mengamati pelaksanaan peer assessment. Namun, guru biologi yang diwawancara bukan guru yang mengajar di kelas penelitian. Beliau juga merupakan anggota staf kurikulum bagian akademik. Materi wawancara terbagi menjadi beberapa bagian yaitu: 1) kelebihan dan kelemahan peer assessment; 2) apresiasi terhadap peer assessment; 3) rencana penerapan peer assessment . 1). Kelebihan dan Kelemahan Peer Assessment Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa guru berpendapat peer assessment dapat mengungkap proses dalam kelompok. Peer assessment juga dianggap baik untuk menilai presentasi. Guru juga menganggap bahwa peer assessment dapat membantu meringankan tugasnya untuk menilai kegiatan yang sukar teramati. Berikut petikan wawancaranya: “ peer assessment dapat membantu guru dalam menilai kerja pada kelompok karena guru cuma ada seorang sementara siswa banyak. Jadi, penilaian akan lebih baik dan objektif jika dilakukan oleh sesama siswa”. “...penilaian
73
presentasi dapat juga menggunakan peer assessment tapi kriterianya jangan banyak-banyak supaya siswa bisa lebih fokus dalam menilai”. Menurut pengamatan guru siswa sudah mampu objektif dalam menilai. Siswa juga akan mendapatkan feedback positif dari peer assessment yang bermanfaat untuk memperbaiki kualitas belajarnya. Kendala dalam melaksanakan peer assessment menurut guru terutama adalah menyita banyak waktu untuk mempersiapkan segala keperluannya. Selain itu, peer assessment terkesan merepotkan. Hal tersebut yang membuat guru malas untuk melaksanakan peer assessment. 2) Apresiasi Guru Terhadap Peer Assessment Secara umum guru memberikan apresiasi yang sangat positif terhadap penerapan peer asssessment. Beliau setuju dengan penerapan peer assessment untuk menilai presentasi lisan siswa dalam kelompok. Beliau mengemukakan bahwa peer assesment juga dapat digunakan untuk menilai keterampilan proses yang lain. Menurut guru, peer assessment tidak mudah untuk diterima oleh beberapa guru yang ortodok. Alasan utamanya adalah merepotkan dan mereka cenderung berorientasi hasil. Padahal menurut beliau jika mau sedikit berusaha, peer assessment dapat dilaksanakan. “Saya pribadi setuju dengan peer assessment, tidak hanya untuk komunikasi saja, bisa juga untuk menilai praktikum dan sebagainya. Namun, tidak semua guru bisa menerima inovasi. Biasanya guru yang ortodok tidak menerima sistem yang macam-macam. Kalau guru-guru muda mungkin bisa menerima peer assessment.”
74
3) Rencana Guru untuk Menerapkan Peer Assessment Setelah mengamati proses pelaksanaan peer assessment pada pembelajaran kooperatif, guru memiliki rencana untuk menerapkan peer assessment pada pembelajaran yang ia laksanakan. Guru juga berencana untuk menerapkan peer assessment untuk metode belajar yang bervariasi agar siswa tidak bosan. Guru merencaranakan untuk menerapkan peer assessment dengan cara yang sederhana saja. hasil peer assessment menurut guru akan dimanfaatkan untuk nilai psikomotor siswa dan dapat dimasukkan menjadi nilai rapor. Guru berencana akan mendiskusikan penerapan peer assessment dengan guru biologi yang lain dalam forum MGMP. “InsyaAlloh saya akan menerapkan peer assessment dalam pembelajaran, tapi tidak setiap saat, khawatir siswa jadi bosan. Metode p[embelajaran yang digunakan pun harus bervariasi agar tidak monoton.” “ .....insya Alloh dalam forum MGMP akan saya diskusikan...” Berdasarkan
keterangan
tersebut,
dapat
disimpulkan
bahwa
guru
memberikan tanggapan yang sangat baik terhadap penerapan peer assessment. Guru menyadari akan arti penting dan manfaat peer assessment bagi guru dan siswa. Hal ini memberikan tanda bahwa penerapan peer assessment dapat dilaksanakan di sekolah ini.
B. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa masalah yang penting untuk dibahas. Masalah tersebut berkaitan dengan kendala yang ditemukan dalam penerapan peer assessment pada pembelajaran kooperatif.
75
1. Pemberian Motivasi Siswa Hasil penelitian menunjukkan bahwa peer assessment adalah sesuatu yang baru bagi siswa. Sebelum penelitian dilakukan, siswa pada umumnya tidak mengetahui peer assessment dan belum pernah melaksanakan peer assessment. Siswa memandang bahwa penilaian adalah tugas dari guru. Hal ini selaras dengan pendapat yang diungkapkan oleh Brown et al. (1994), Zariski (1996) serta Lie dan Angelique (2003) bahwa siswa memandang guru lebih banyak tahu dalam hal penilaian. Siswa juga menyatakan bahwa mereka berada di sekolah untuk diajari bukan untuk mengajar. Berdasarkan hal tersebut, maka
pemberian motivasi
kepada siswa penting dilakukan supaya siswa tertarik untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan
peer assessment. Pemberitahuan rasionalisasi, tujuan dan
keuntungan peer assessment akan membuat siswa dan tertarik untuk mengikuti peer assessment (Brown et al., 1994; Bostock, 2000; Lie dan Angelique, 2003). Berdasarkan hasil observasi saat kegiatan pemberian motivasi, siswa awalnya tidak menunjukkan ekspresi ketertarikan pada peer assessment. Siswa tidak bertanya lebih jauh mengenai peer assessment. Ternyata, siswa menganggap keuntungan dari peer assessment terlalu abstrak dan belum terasa manfaatnya. Hal ini dikarenakan siswa belum memiliki pengalaman mengikuti peer assessment sebelumnya, jadi manfaat peer assessment belum mereka rasakan. Setelah melaksanakan peer assessment, barulah siswa mengaku mengetahui tujuan peer assessment dan menyadari adanya keuntungan yang akan mereka peroleh dengan mengikuti peer assessment. Hal itu selaras dengan pendapat Zariski (1996) yang mengemukakan bahwa siswa perlu melaksanakan peer assessment terlebih dahulu
76
untuk merasakan manfaatnya secara langsung. Agar siswa tertarik untuk melaksanakan peer assessment, maka
guru harus mengintegrasikan peer
assessment pada pembelajaran yang positif, tidak mengancam dan menarik. Selain masalah tersebut, terdapat hal lain yang menjadi kendala dalam motivasi siswa untuk melaksankakan peer assessment. siswa pada umumnya memiliki pandangan bahwa nilai yang menjadi tolak ukur keberhasilan belajar mereka adalah nilai rapor. Dalam persepsi siswa yang mempengaruhi nilai rapor adalah aspek kognitif seperti hasil ulangan harian, ulangan umum dan tugas. Hal ini diperparah dengan metode pembelajaran dan penilaian konvensional yang biasa diterapkan oleh guru, sehingga pandangan siswa tersebut seolah-olah menjadi benar. Rustaman et al. (2000) menyebutkan bahwa kondisi penilaian di sekolah saat ini cenderung untuk menekankan pada penilaian hasil belajar kognitif dan melupakan aspek psikomotor. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam memberikan motivasi kepada siswa diperlukan adanya stimulus yang nyata dalam pandangan siswa. Peneliti memberitahukan pada siswa bahwa hasil peer assessment akan digunakan sebagai nilai psikomotor dalam rapor. Hal ini dilakukan agar siswa bersemangat untuk dapat melaksanakan peer assessment. Strategi ini ternyata sangat ampuh, siswa tertarik untuk mengikuti peer assessment. Bahkan, dalam alasan angket siswa mengaku bahwa mereka mengikuti peer assessment karena tahu hasilnya akan dimasukkan ke dalam nilai psikomotor pada rapor. Kesimpulan yang dapat diambil dari kegiatan pemberian motivasi kepada siswa adalah bahwa pemberian motivasi penting dilakukan sebelum melaksanakan
77
peer
assessment
melaksanakannya.
apalagi Pemberian
jika
siswa
motivasi
belum dapat
berpengalaman dilakukan
dalam
dengan
cara
memberitahukan tujuan dan keuntungan peer assessment. Keuntungan peer assessment yang diberikan harus yang bersifat nyata dalam pandangan siswa.
2. Pengembangan Kriteria dan Latihan Peer Assessment Seperti yang telah disinggung sebelumnya, siswa pada umumnya belum berpengalaman dalam melakukan peer assessment. Oleh sebab itu pelatihan penting untuk dilakukan untuk memberi bekal pengalaman bagi siswa (Isaacs, 1999; Bostock, 2000; Wilson, 2002; Ho, 2003; Lie dan Angelique, 2003; Wheater et al., 2005; Zulrahman, 2007). Permasalahan yang ditemukan dalam latihan adalah hanya sebagian kecil siswa yang terlibat dalam pengembangan kriteria penilaian. Siswa mengaku pasif dan menerima saja apa yang telah ditentukan. Hal ini diduga bahwa siswa tidak memiliki resiko apapun jika tidak ikut mengembangkan kriteria. Siswa juga merasa
lebih
baik
mengerjakan
aktivitas
lain
daripada
harus
repot
mengembangkan kriteria. Padahal, keikutsertaan siswa dalam pengembangan kriteria akan membuat siswa merasa lebih memiliki proses penilaian (Bostock, 2000). Selain itu, siswa juga akan lebih memahami kriteria penilaian jika mereka sendiri yang mengembangkannya (Lie dan Angelique, 2003). Pengembangan kriteria oleh siswa sebenarnya tidak terlalu berpengaruh terhadap proses pelaksanaan peer assessment. Hal ini ditunjukkan dengan pelaksanaan peer assessment yang lancar. Siswa juga mengaku memahami
78
kriteria penilaian walaupun tidak ikut mengembangkan kriteria tersebut. Tidak ada jaminan bahwa siswa yang aktif dalam pengembangan kriteria akan sangat baik dalam kinerjanya. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Wheater et al. (2005) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kontribusi siswa dalam mengembangkan kriteria dengan nilai kinerja siswa yang bersangkutan. Penilai tidak mempertimbangkan bahwa siswa yang dinilainya adalah siswa yang berkontribusi dalam pengembangan kriteria atau bukan. Dengan mempertimbangkan kurang efektifnya pengembangan kriteria penilaian oleh siswa, maka peneliti menyarankan untuk peer assessment yang diselenggarakan pada tingkat SMA pembuatan kriteria sebaiknya dilakukan oleh guru. Guru mengembangkan kriteria berdasarkan indikator presentasi. Kemudian hasilnya baru dikomunikasikan dengan siswa. Hal tersebut selaras dengan pendapat Isaacs (1999) bahwa terdapat alternatif dalam pengembangan kriteria penilaian yaitu dengan cara pengembangan kriteria dilakukan oleh guru atau guru memberikan lembaran kriteria untuk dipahami oleh siswa. Permasalahan lainnya adalah latihan terlalu menyita banyak waktu. Lie dan Angelique (2003) menyarankan agar proses persiapan peer assessment dilakukan di luar jam pelajaran. Namun, hal itu kurang memungkinkan untuk dilakukan pada penelitian ini mengingat siswa dan guru juga memiliki kegiatan lain. Selain itu, banyaknya kegiatan latihan membuat siswa menjadi jenuh. Hal ini selaras dengan pendapat Ho (2003) yang menyatakan bahwa peer assessment terkadang membuat siswa jenuh. Siswa merasa bosan karena harus terus menerus melakukan
79
penilaian, padahal mereka menganggap bahwa hal tersebut seharusnya bukan pekerjaan mereka. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa sebaiknya kegiatan pelatihan cukup dilakukan sekali saja asal efektif. Pengembangan kriteria lebih baik dilakukan oleh guru tanpa melibatkan siswa. Hal ini untuk menghemat waktu dikarenakan subjek penelitian umumnya kurang berani untuk memberikan masukan. Apalagi untuk hal yang dianggap kurang penting dan tidak beresiko apapun bagi mereka jika tidak terlibat. Hasil pengembangan tersebut lalu didiskusikan bersama siswa dengan tujuan agar siswa mengetahui dan memahami kriteria yang dinilai dan siswa mengerti apa yang ia cari ketika penilaian. Setelah itu, kriteria boleh dibawa dan didiskusikan bersama teman sekelompok masingmasing untuk disamakan persepsi penilaiannya.
3. Implementasi Peer Assessment pada Pembelajaran Kooperatif Tahapan implementasi berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan siswa sudah terlatih dalam situasi yang sama. Siswa lebih aktif dan antusias dalam pembelajaran. guru tidak lagi dominan dalam pembelajaran. Hal ini selaras dengan pernyataan Lie (2002) bahwa dalam kelompok belajar kooperatif, siswa lebih aktif dalam belajar. Selain itu, dengan melakukan penilaian, siswa menjadi terlibat secara aktif dalam presentasi (Wheater et al., 2005). Waktu penilaian yang melebihi alokasi jam pelajaran disebabkan adanya kelompok yang terlalu lama dalam presentasi dan diskusi. Padahal di awal pembelajaran siswa telah diberitahukan alokasi waktu untuk setiap presentasi
80
yang dilakukan. Bahkan, efisiensi waktu menjadi salah satu kriteria dalam penilaian. Pengelolaan waktu yang baik dibutuhkan oleh seorang presenter dalam presentasi.(http://www.eng.auburn.edu/department/che/_doc/Oral%20Communica tion%20Assessment%20Rubric.doc). Waktu yang melebihi alokasi ini diduga karena siswa terlena dengan waktu sehingga asyik berdiskusi. Hal ini menunjukkan bahwa peer assessment membuat presentasi siswa lebih hidup dan siswa lebih antusias. Namun, lebihnya waktu pembelajaran menjadi catatan dalam penelitian ini. Siswa juga mengaku nyaman dalam melakukan penilaian. Pembelajaran harus dilakukan dalam kondisi yang nyaman agar hasilnya baik (Rustaman et al., 2000)
Namun, masih terdapat
kendala dalam tahapan implementasi ini yaitu mobilisasi guru menjadi terhambat karena jumlah siswa yang banyak, ditambah dengan hadirnya observer, sementara ruangan kelas sempit sehingga suara kelas menjadi gaduh. Menurut Wheater et al. (2005), suasana kelas saat pelaksanaan peer assessment harus kondusif dan mendukung pelaksanaan peer assessment. Oleh sebab itu, saat impelmentasi siswa dibebaskan untuk menempati tempat yang paling dianggap nyaman dalam belajar. Kondisi siswa saat melakukan peer assessment sudah baik. Siswa jujur, tidak memihak, tidak bergantung pada suasana hati dan tidak merasa terganggu dalam penilaian. Pengelompokkan yang heterogen dan lintas kelompok sosial juga membuat kondisi siswa lebih baik dalam melakukan penilaian. Menurut Bostock (2000) dan Hughes (2006), kondisi siswa yang baik akan menentukan penilaian. Hasil penilaian akan lebih akurat dan dapat dipercaya.
hasil
81
Menurut beberapa observer, dalam proses presentasi ada beberpa siswa yang lebih fokus pada bagus tidaknya cara penyampaian presentasi daripada memberikan penilaian. Hal ini berarti, siswa lebih ingin mendapatkan nilai yang bagus dari presentasi daripada harus memberi nilai. Siswa memiliki anggapan bahwa bagaimanapun ia menilai temannya, tidak akan berpengaruh pada nilai yang diperoleh. Hal ini dapat disebabkan karena siswa belum memahami bahwa kecakapan menilai merupakan hal yang penting untuk dimiliki (Bostock, 2000). Selain itu, siswa belum menyadari bahwa sebenarnya kecakapan dalam melakukan penilaian akan memberikan kontribusi terhadapa nilai.. Padahal, sebelum pembelajaran dimulai, guru telah memberitahukan bahwa kecakapan siswa dalam menilai juga akan diperiksa dengan cara mencocokkan jawaban penilaian dengan penilaian observer. Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa saat implementasi tidak terdapat kendala yang begitu berarti. Kendala yang muncul hanya bersifat teknis dan human error yang masih dapat ditoleransi. Hal ini dikarenakan siswa telah memiliki pengalaman latihan, memahami kriteria dan task penilaian, sudah mulai senang dalam pembelajaran bahkan disuga siswa telah mulai merasakan manfaat dengan adanya peer assesment ini.
4. Komunikasi Hasil Penilaian Setelah tahapan implementasi selesai didapatkan hasil penilaian. Hasil penilaian ini dikomunikasikan kepada seluruh siswa dengan cara mengumumkan hasil penilaian di depan kelas. Hasil peer assessment penting untuk
82
dikomuniasikan agar siswa tahu kelemahannya dan mendapatkan feedback dari hasil penilaian tersebut (Ho, 2003; Wheater et al., 2005; Wilson, 2002) Tidak semua hasil penilaian dikomentari secara lisan satu persatu karena waktu yang tidak memungkinkan. Waktu yang tidak mendukung ini menyebabkan tidak terlaksananya diskusi untuk me-review hasil penilaian dengan semua anggota kelas. Padahal diskusi ini penting sebagi suatu prosedur keluhan untuk memperdebatkan hasil penilaian siswa (Wheater et al., 2005). Selain itu, ketika proses komunikasi hasil itu berlangsung siswa tidak begitu peduli pada hasil peer
assessment, akan tetapi siswa lebih peduli pada nilai
ulangan yang akan diumumkan saat itu juga. Kondisi ini berlangsung pada saat siswa akan mengahadapi ulangan umum dan siswa tersebut menunggu nilai ulangan harian yang akan diumumkan. Ketidakpedulian siswa terhadap hasil peer assessment ini dikarenakan siswa merasa bahwa penilaian tersebut tidak begitu penting. Pandangan siswa ini disebabkan selama ini penilaian terhadap kinerja dengan peer assessment tidak pernah dilakukan di sekolah.
5. Pemanfaatan Hasil Peer Assessment Kendala yang dirasakan paling berat dalam penerapan peer assessment ini adalah pemanfaatan hasil peer assessment untuk nilai sumatif. Menurut Bostock (2000), hasil peer assessment dapat digunakan untuk nilai formatif maupun sumatif. Pada awal penelitian, telah direncanakan bahwa hasil peer assessment ini akan diusahakan untuk dapat memberikan kontribusi pada nilai akhir (sumatif) siswa. Namun, hal tersebut tidak dapat terpenuhi karena hasil belajar siswa yang
83
dimanfaatkan untuk nilai sumatif saat itu adalah hasil ulangan harian dan ulangan umum saja. Peneliti telah merekomendasikan hal ini kepada guru penanggungjawab mata pelajaran. Namun, sepertinya untuk saat ini nilai hasil peer assessment belum dapat termanfaatkan sebagai nilai sumatif. Perlu perencanaan yang matang sehingga hasil peer assessment ini dapat dimanfaatkan untuk nilai sumatif. Hal ini juga didukung oleh pernyataan. Bostock (2000) bahwa biasanya guru tidak sempat meluangkan waktu untuk memasukkan hasil peer assessment ini menjadi nilai sumatif. Selain itu, hasil peer assessment ini masih harus dilakukan pengulangan karena dikhawatirkan belum reliabel. Dengan pertimbangan tersebut, Lie dan Angelique (2003) dan Zulrahman (2007) mengungkapkan bahwa hasil peer assessment ini lebih baik digunakan untuk kepentingan formatif saja. lebih jauhnya Biggs et al. (Bostock 2000) menyatakan bahwa peer assessment tidak semata-mata melibatkan siswa dalam membuat judgement terhadap
kinerja
siswa
lain
melainkan
lebih
(keputusan akhir)
menitikberatkan
kepada
pengembangan kriteria dan memperoleh keterangan seputar peningkatan proses belajar siswa. 6. Kemampuan Siswa dalam Melakukan Peer Assessment Berdasarkan hasil penelitian, terungkap bahwa hampir seluruh siswa (81,25 %) mampu melakukan peer assessment dengan baik. Sebagian kecil lainnya (18,75 %) berada pada kategori cukup. Keterangan tersebut mengindikasikan bahwa siswa sudah mempu menilai rekannya. Hal ini dikarenakan siswa telah mengalami latihan dengan baik. Latihan tersebut membuat mereka memahami
84
kriteria penilaian dan mengerti apa yang harus mereka lakukan saat penilaian. Menurut Lie dan Angelique (2003), siswa yang telah memahami kriteria dan mengerti akan tampilan apa yang harus ia amati dari temannya saat penilaian akan mampu menilai dengan baik. Dalam tiga kali menilai, sebagian besar siswa (88,89%) hasil penilaiannya tidak konsisten. Terkadang memberikan nilai yang lebih tinggi dari guru
dan
terkadang lebih rendah dari guru atau sama dengan guru. Hal ini diduga adanya unsur subjektifitas dalam penilaian. pemahaman akan isi materi presentasi mempengaruhi penilaian (Hughes, 2006). Menurut Zariski (1996), siswa tidak memiliki tingkat pemahaman yang sama dengan guru terhadap materi presentasi. Menurut Wheater et al. (2005) peer assessment dalam presentasi akan rentan dengan subjektifitas. Berdasarkan pembehasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh siswa telah mampu melakukan peer assessment dengan baik. Akan tetapi subjektifitas dalam penilaian presentasi sukar untuk dihindari. 7. Tanggapan Guru dan Siswa Terhadap Penerapan Peer Assessment Sebelum penelitian ini dilaksanakan, siswa menganggap peer assessment itu hanya membebani dan merupakan tugas dari guru. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Brown et al. (1994), Zariski (1996), serta Lie dan Angelique (2003). Setelah pelaksanaan peer assessment, baik siswa maupun guru memberikan tanggapan yang positif terhadap penerapan peer assessment pada pembelajaran kooperatif.
85
Siswa
merasa
senang
melakukan
peer
assessment,
siswa
setuju
diterapkannya peer assessment, siswa mengakui bahwa peer assessment dapat menilai proses pada kelompok, dan siswa menyadari akan manfaat peer assessment. Guru merasa terbantu dengan diterapkannya peer assessment. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Brown et al., (1994); Race et al., (2005); Zariski, (1996); Isaacs, (1999); Bostock, (2000). Guru juga berencana untuk
menerapkan
peer
assessment
dalam
pembelajaran
biologi
dan
menyosialisasikannya dalam forum MGMP. Hal ini membuktikan pernyataan Zariski (1996) bahwa dengan usaha yang keras untuk mengintegrasikan peer assessment pada pembelajaran yang menarik dan positif, maka keuntungan yang dijanjikan oleh peer assessment dapat dirasakan.