BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil-hasil Penelitian Pada bagian ini akan diuraikan mengenai hasil-hasil dan temuan-temuan penelitian berdasarkan analisis data pertanyaan sosiometri, angket, wawancara, observasi, dan yang didasarkan pada analisis data menggunakan teknik-teknik statistik. 1. Pola-pola Sosiometri Untuk mengetahui interaksi sosial siswa dalam pergaulan di kelas dipergunakan teknik sosiometri. Teknik sosiometri memudahkan untuk menilai penyesuain diri seseorang dalam kelompok dan menemukan pola-pola sosiometri yang mencerminkan kecenderungan-kecenderungan anggota kelompok untuk mengadakan interaksi terhadap anggota lainnya. Pertanyaan sosiometri dalam penelitian ini, meminta siswa memilih sahabatnya sekelas sebagai teman yang disukai sekelompok belajar, cocok sebagai teman belajar di sekolah dan sebagai teman belajar bersama untuk mengeijakan pekeijaan rumah yang diberikan guru atau kalau ada tugas lain dari guru, serta sebagai teman yang disukai dalam bermain pada waktu jam istirahat atau setelah jam pelajaran sekolah. Berdasarkan jawaban dari pertanyaan tersebut dapat dibuat sosiogram sebagaimana dikemukakan dalam Gambar 4.1 berikut ini. 160
Gambar 4.1 Pola-pola Sosiometri Siswa Kelas II A SLTP KORPRI UNIT UPI
'162
Keterangan: a. Siswa laki-laki ditandai dengan lambang segi tiga, sedangkan perempuan ditandai dengan lambang lingkaran. b. Angka di dalam lambang segi tiga dan lingkaran menunjukkan kode nama siswa. a. Garis panah dipakai untuk menunjukkan arah pilihan. Gambar 4.1 menunjukkan bahwa dari 48 siswa yang ada di dalam kelas II A dapat dikemukakan beberapa pola sosiometri yang diistilahkan sebagai berikut: a. Pilihan cross-sex (dengan nomor kode 40 — 39, 38 — 40, 48 — 27). Pada dasarnya pilihan yang dilakukan siswa ada juga kepada lawan jenisnya, misalnya laki-laki memilih perempuan dan perempuan memilih laki-laki, yang diistilahkan dengan pilihan cross-sex. b. Chain atau rantai (dengan nomor kode 31 — 33 — 32) menggambarkan siswa pertama memilih siswa kedua dan siswa kedua memilih siswa ketiga, kemudian siswa ketiga memilih siswa pertama. Tampak di sini, siswa pertama intim (suka) dengan siswa kedua dan siswa kedua intim dengan siswa ketiga, kemudian siswa ketiga intim dengan siswa pertama. c. Triangle (dengan nomor kode 43 — 44 — 45) menggambarkan segi tiga. Mereka bertiga saling berpilihan dan merupakan satu kelompok tersendiri. d. Star atau bintang (dengan nomor kode 1) yang menggambarkan seorang siswa yang mendapat pilihan terbanyak dalam teknik sosiometri. Berdasarkan wawancara dengan
siswa yang
lain,
siswa
yang
termasuk kategori
'163
bintang di samping memiliki hasil belajar yang relatif tinggi juga memiliki sifat-sifat yang positif, seperti mengetahui caranya membuat siswa lain merasa senang: jujur, sabar, ramah, mudah bergaul dan akrab dengan siswa yang lain, solidaritas terhadap siswa lain tinggi, dan suka berkomunikasi untuk menceritakan sesuatu, suka memberi bantuan belajar. e. Neglekti (neglegtee), (dengan nomor kode 29) yang menggambarkan seorang siswa yang menerima pilihan paling sedikit dalam teknik sosiometri. Siswa ini mempunyai interaksi yang minimal dengan siswa lainnya dalam kelas tersebut. Berdasarkan wawancara dengan siswa yang lain, penyebabnya karena kurang motivasi belajar, sering absen di kelas dan pendiam. Menurut siswa pada umumnya siswa yang kurang diterima dalam pergaulan adalah yang punya kepribadian angkuh, kasar, tamak, tidak terbuka, mementingkan diri sendiri, suka berbicara keras, minder dalam pergaulan, tidak percaya diri, pembohong, pengganggu, pemarah, pura-pura sakit, tidak ramah. f. Pair atau pasangan (dengan nomor kode 30-32, 31 - 33, 34 - 35, 36 - 37, 46 47, 38 - 39, 40 - 41, 41 - 42), menggambarkan dua siswa saling tertarik (memilih) melakukan interaksi yang akrab. g. Kelompok yang memilki interaksi berbentuk jala, menggambarkan kelompok saling memilih memiliki intensitas keintiman yang kuat. Terdapat tujuh kelompok siswa yang terdiri dari 4 orang yang saling memilih. Kelompok yang terdiri dari empat orang saling memilih sebagai teman saling menyukai untuk
bekeijasama dalam kelompok masing-masing mempunyai jenis
'164
kelamin yang sama. Kelompok yang memiliki interaksi berbentuk jala ini ternyata terdiri dari jenis kelamin yang sama. Siswa laki-laki memilih siswa laki-laki dalam satu kelompok, siswa perempuan memilih temannya yang perempuan pula. Berdasarkan data sosiogram tersebut di atas, diketahui bahwa dari 48 siswa yang ada dalam kelas II A diperoleh tujuh kelompok siswa yang saling memilih yang terdiiri dari empat orang. Dari tujuh kelompok yang saling memilih terdapat tiga kelompok laki-laki, dan empat kelompok perempuan. Adapun ketujuh kelompok siswa yang saling memilih yaitu: Pertama, kelompok satu yaitu dengan kode nomor responden 1, 2, 3, dan 4. Kedua, kelompok dua yaitu dengan kode nomor responden 5, 6, 7, dan 8. Ketiga, kelompok tiga yaitu dengan kode nomor responden 9, 10, 11, 12. Keempat, kelompok empat yaitu dengan kode nomor responden 13, 14, 15 dan 16. Kelima, kelompok lima yaitu dengan kode nomor responden 17, 18, 19 dan 20. Keenam, kelompok enam yaitu dengan kode nomor responden 21, 22,23, dan 24. Ketujuh, kelompok tujuh yaitu dengan kode nomor responden 25, 26, 27 dan 28. Dalam proses belajar mengajar siswa yang lain dikelompokkan pula empat-empat orang dan tetap mengikuti kegiatan bersama di kelas tersebut. Ketika ditanyakan kepada siswa yang saling memilih terdiri dari empat orang tersebut, apakah faktor latar belakang keluarga, faktor kecerdasan dan faktor ekonomi keluarga ada hubungannya dengan status pilihan sosiometri
'165
siswa? Ternyata mereka mengatakan tidak harus demikian. Mereka berteman dengan siapa saja, yang penting ada kecocokan. Menurut siswa kelompok yang anggotanya saling memilih terdiri dari teman yang disukai sekelompok belajar, cocok sebagai teman belajar di sekolah dan sebagai teman belajar bersama untuk mengeijakan pekeijaan rumah yang diberikan guru atau kalau ada tugas lain dari guru, serta sebagai teman yang disukai dalam bermain pada waktu jam istirahat atau setelah jam pelajaran sekolah. Kecocokan itu antara lain karena merasa ada perasaan dekat antara satu dengan lainnya yang ditunjukkan dengan rasa peduli terhadap kawan, setia kawan, tidak saling menjatuhkan, dapat saling menyesuaikan diri dan merasa terdorong untuk berada dalam kelompok bercerita secara terbuka tentang isi hati dan berbagai pengalaman. Berdasarkan
wawancara
dengan
siswa,
kelompok-kelompok
yang
terbentuk atas dasar saling memilih tersebut, pada dasarnya berinteraksi juga dengan anggota-anggota kelompok lain. Sebab setiap siswa mempunyai teman lain untuk diperkenalkan kepada teman sekelompoknya. Adanya kemauan siswa berinteraksi dengan siswa anggota kelompok yang lain ini, menjadi penghubung, membagi informasi/pesan-pesan antara kelompoknya dengan kelompok lain, menerima informasi/pesan-pesan dari
anggota kelompok yang lain dan
menyampaikan informasi tersebut kepada temannya dalam kelompok. Berdasarkan hasil analisis data pola sosiometri seperti diutarakan di atas, ditemukan bahwa pola interaksi pergaulan siswa di SLTP beragam. Setiap siswa
'166
senantiasa mempunyai selera dalam memilih temannya. Siswa sebagai anggota kelompok mempunyai pendapat mengenai anggota tertentu yang lebih disukainya dari yang lain untuk kondisi tertentu. Pola-pola sosiometri siswa SLTP dapat berupa: (1) Pilihan cross-sex. Pada dasarnya pilihan yang dilakukan siswa ada juga kepada lawan jenisnya, misalnya laki-laki memilih perempuan dan perempuan memilih laki-laki, yang diistilahkan dengan pilihan cross-sex. (2) Chain atau rantai, menggambarkan siswa pertama memilih siswa kedua dan siswa kedua memilih siswa ketiga, kemudian siswa ketiga memilih siswa pertama. Pada kelompok ini interaksi dan komunikasi sosial teijadi secara berantai. Aksessibilitas komunikasi melalui saluran individu yang berantai dan bersifat satu arah. (3) Triangle menggambarkan segi tiga. Mereka bertiga
saling
berpilihan
dan
merupakan
satu
kelompok
tersendiri.
Terbentuknya kelompok di antara mereka menunjukkan intensitas interaksi sosialnya dikatakan cukup kuat dalam hubungan yang lebih intim. (4) Star atau bintang menggambarkan seorang siswa yang mendapat pilihan terbanyak dalam teknik sosiom^tri. (5) Neglekti (neglegtee), menggambarkan seorang siswa yang menerima pilihan paling sedikit dalam teknik sosiometri. Siswa ini mempunyai interaksi yang minimal dengan siswa lainnya daiam kelas tersebut. Kesulitan penyesuaian sosial dikarenakan siswa ini memiliki orientasi pribadi yang berbeda bahkan bertolak belakang dengan siswa lain. (6) Pair atau pasangan, menggambarkan dua siswa saling tertarik melakukan interaksi yang akrab. Komunikasi interpersonal pada kelompok ini lebih tinggi frekuensinya
'167
dan lebih intensional dibandingkan dengan kelompok lainnya sehingga pertukaran informasi lebih lancar dan menguntungkan kedua belah pihak. (7) Kelompok yang memilki interaksi berbentuk jala, menggambarkan kelompok yang saling memilih yang memiliki intensitas keintiman yang kuat. Ada kecenderungan gejala siswa laki-laki mengarahkan mayoritas pilihan mereka kepada siswa laki-laki. Begitu pula, yang perempuan mempunyai kecenderungan menetapkan mayoritas pilihan mereka kepada perempuan untuk satu kelompok. Kelompok-kelompok yang terbentuk di antara siswa tidaklah secara ideal mutlak terpisah dari siswa yang lain, karena menurut mereka masih terdapat interaksi anggota-anggota kelompok tersebut dengan anggota/kelompok lain yang menghu-bungkan anggota tersebut dengan kelompoknya, akhirnya memungkinkan meluasnya pergaulan. 2. Derajat Kerjasama, Persaingan, dan Konflik Sebelum dikemukakan derajat keijasama, persaingan, dan konflik berikut ini dikemukakan hasil pengujian normalitas sebaran distribusinya memakai rumus chi kuadrat (%*). Uji normalitas mengandaikan bahwa dalam populasi yang tak terhingga, variat variabel yang dianalisis akan mengikuti ciri-ciri sebaran normal baku. Perhitungannya menggunakan jasa komputer program SPSS for Vindow Release 6.0 seperti pada lampiran. Berdasarkan perhitungan terhadap nilai berikut ini.
tersebut, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.1
'168
Tabel 4.1 Hasil Pengujian Normalitas Distribusi Skor Keijasama, Persaingan, dan Konflik Kelompok Kontrol dan Eksperimen Data yang Diuji Sebarannya
SCelompok Kontrol
t
tabel
t
Keterangan
Kelompok Eksperimen Ketet X2 DF rangan hitung tabel
hitung
DF
Keijasama.
5,1429
7
14,067
Normal
2,8571
8
15,507
Normal
Persaingan.
3,4286
7
14,067
Normal
4,0000
7
14,067
Normal
Konflik.
2,0000
5
11,071
Normal
5,9286
4
9,488
Normal
Berdasarkan hasil perhitungangan X1 seperti tampak dalam Tabel 4.1 nilai X2 hitung < nilai yj tabel pada tingkat kepercayaan 95% jadi hasil pengujian normalitas distribusi skor keijasama, persaingan, dan konflik terhadap kelompok kontrol dan eksperimen tidak signifikan. Ini berarti bahwa data skor keijasama, persaingan, dan konflik berdistribusi normal. Untuk mengetahui tingkat derajat keijasama, persaingan, dan konflik dilakukan dengan analisis deskriptif. "Tingkat-tingkat suatu kegiatan dapat dikategorikan menjadi sangat efektif, efektif, kurang efektif, tidak efektif, dan sangat tidak efektif' (Ametembun, 1981.112). Untuk keperluan itu maka skorskor jawaban untuk data keijasama terlebih dahulu dikategorisasi ke dalam tingkat-tingkat tertentu dengan rentangan nilai (range) dihitung dengan mengurangkan skor ideal tertinggi jawaban responden terendahnya, dibagi dengan jumlah rentangan. 75-25 = 10
5
dengan skor ideal
'169
Dengan demikian, penyusunan rentangan kategori dibuat sebagaimana dikemukakan dalam Tabel 4.2. Tabel 4.2 Derajat Keijasama Kelompok Kontrol dan Eksperimen Berdasarkan Hasil Angket Tingkat Kategori 1. 2. 3. 4. 5.
Kategori
Sangat efektif Efektif Kurang efektif Tidak efektif Sangat tak Ef. Jumlah
Skor
66 - 75 56-65 46-55 36-45 25-35
Kelompok Kontrol Frekuensi Frekuensi Absolut Relatif (%) 3 8 6 7 4 28
10,71 28,57 21,43 25,00 14,29 100
Kelompok Eksper. Frekuensi Frekuensi Absolut Relatif (%) 14 5 6 3
50,00 17,86 21,43 10,71
-
-
28
100
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan derajat keijasama antara siswa model kelompok belajar konvensional dengan kelompok belajar kooperatif. Derajat keijasama siswa model kelompok belajar kooperatif lebih efektif daripada kelompok belajar konvensional. Dari perhitungan skor rata-rata keijasama, untuk siswa kelompok belajar kooperatif rata-rata sebesar 64,46 termasuk kategori efektif dengan skor terendah 36 dan tertinggi 75, sedangkan untuk siswa kelompok belajar konvensional sebesar 52,82 termasuk kategori kurang efektif dengan skor terendah 30 dan tertinggi 72. Selanjutnya untuk data persaingan, skor-skor jawaban responden dikategorisasi ke dalam tingkat-tingkat tertentu pula dengan rentangan nilai (rartge) dihitung dengan mengurangkan skor ideal tertinggi
jawaban responden
dengan skor ideal terendahnya, dibagi dengan jumlah rentangan =
'170 18-6
= 2,4 dibulatkan = 2.
5 Dengan
demikian,
penyusunan
rentangan
kategori
dibuat
sebagaimana
dikemukakan dalam Tabel 4.3. Tabel 4.3 Derajat Persaingan Kelompok Kontrol dan Eksperimen Berdasarkan Hasil Angket Tingkat Kategon 1. 2. 3. 4. 5.
Kategori
Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Jumlah
Skor
1 7 - 18 15-16 13-14 11-12 < 10
Kelompok Kontroi Frekuensi Frekuensi Absolut Relatif (%)
4 8 10 6 28
14,28 28,57 35,72 21,43 100
Kelompok Eksper. Frekuensi Frekuensi Absolut Relatif (%) 6 7 8 5 2 28
21,43 25,00 28,57 17,86 7,14 100
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan derajat persaingan siswa model kelompok belajar konvensional dengan kelompok belaiar kooperatif. Derajat persaingan siswa model kelompok belajar kooperatif lebih tinggi daripada kelompok belajar konvensional. Dari perhitungan skor rata-rata persaingan, untuk siswa kelompok kontrol sebesar 11,71 termasuk kategori rendah dengan skor terendah 6 dan tertinggi 16, sedangkan untuk siswa kelompok eksperimen ratarata sebesar 14,11 termasuk kategori sedang dengan skor terendah 8 dan skor tertinggi 18. Munculnya persaingan dalam arti positif ini digambarkan oleh adanya keaktifan untuk mengeluarkan pendapat/saran karena ada perasaan bersaing,
'171
keinginan sama dan mencontoh cara belajar teman yang pandai, keinginan untuk belajar menghapal agar menyamai teman yang
nilainya tinggi, menyadari
kekurangan diri dan keinginan memperbaikinya, keinginan mencontoh sifat teman yang baik. Selanjutnya
untuk
data
konflik,
skor-skor
jawaban
responden
dikategorisasi pula ke dalam tingkat-tingkat tertentu dengan rentangan nilai dihitung dengan mengurangkan skor ideal tertinggi jawaban responden dengan skor ideal terendahnya, dibagi dengan jumlah rentangan = 12-4
= 1,6 dibulatkan = 2.
5 Dengan
demikian
penyusunan
rentangan
kategori
dibuat
sebagaimana
dikemukakan dalam Tabel 4.4. Tabel 4.4 Derajat Konflik Kelompok Kontrol dan Eksperimen Berdasarkan Hasil Angket Tingkat Kategori 1. 2. 3. 4. 5.
Kategori
Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah Jumlah
Skor
11-12 9-10 7-8 5-6 <4
Kelompok Kontrol Frekuensi Frekuensi Relatif (%) Absolut 2 5 9 8 4 28
7,14 17,86 32,14 28,57 14,29 100
Kelompo c Eksper. Frekuensi Frekuensi Absolut Relatif (%) m
3 9 9 7 28
10,72 32,14 32,14 25 100
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan derajat konflik siswa model kelompok belajar konvensional dengan kelompok belajar kooperatif.
'172
Derajat konflik siswa model kelompok belajar kooperatif lebih rendah daripada kelompok belajar konvensional. Dari perhitungan skor rata-rata konflik, untuk siswa kelompok kontrol sebesar 7,00 termasuk kategori sedang dengan skor terendah 4 dan tertingp1' 12, sedangkan untuk siswa kelompok eksperimen rata-rata sebesar 6,14 termasuk kategori rendah dengan skor terendah 4 dan tertinggi 9. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa tingkatan kategori rata-rata derajat keijasama lebih tinggi daripada tingkatan kategori rata-rata derajat persaingan dan konflik. Menurut guru dan siswa pada umumnya keijasama antar siswa dapat teijadi baik di dalam kelas pada saat proses belajar mengajar maupun di luar proses belajar mengajar. Keijasama di dalam proses belajar mengajar antara lain tergambar dari kesediaan untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan tugas kelompok, saling menghargai pendapat dan saran, solideritas dalam saling belajar membelajarkan, adanya partisipasi dalam merencanakan dan mengambil keputusan kelompok. Keijasama yang ditunjukkan dalam kepedulian sosial khususnya kesediaan membantu/meminjamkan alat pelajaran atau buku-buku dan lain-lain, dan kalaupun siswa tersebut tidak memilikinya akan menyarankannya meminjam pada teman yang lain. Dengan demikian, siswa punya kepedulian sosial terhadap temannya. Demikian pula, apabila ada anggota kelompok siswa yang mendapat musibah (kemalangan/ kematian anggota keluarganya/sakit keras atau musibah yang lain), tindakan siswa cenderung membantu/menyumbang uang seadanya atau mereka siap siaga membantu tenaga.
'173
Dari keterangan orang siswa keijasama di luar proses belajar mengajar terjadi pada waktu mereka mengejakan tugas-tugas latihan membahas soal-soal yang diberikan guru, pada waktu melaksanakan piket membersihkan kelas, pada waktu kerja bakti membersihkan halaman sekolah dan lain-lain. Menurut siswa pada umumnya saling membantu antar siswa, bukan saja dalam bidang mental spiritual melainkan juga dalam bidang fisik material yang dilakukan atas dasar kekeluargaan. Keakraban interaksi antar siswa diwujudkan oleh kebiasaan saling membantu. Sudah biasa mereka saling meminjamkan alat pelajaran, buku-buku, uang, saling berbagi makanan jajanan dan bahkan memberi uang jika kebetulan teman sedang kehabisan uang untuk angkot dan jajan. Kehidupan siswa dalam suatu sekolah seluruhnya berinteraksi, sehingga dalam kondisi seperti itu siswa sulit untuk menyendiri. Pendapat tersebut didukung pula oleh guru yang mengemukakan bahwa siswa selalu berinteraksi dengan siswa lainnya dengan penuh persahabatan, jika teijadi konflik (perselisihan) karena salah paham mereka membiasakan diri untuk segera saling memaafkan, atau ada siswa yang mendahului meminta maaf. Begitu pula, apabila ada siswa yang melecehkan siswa lain, biasanya guru melakukan teguran atau mengingatkannya secara kekeluargaan dengan baik-baik. Menurut siswa, usaha yang paling baik dilakukan untuk mengurangi konflik adalah toleransi, dalam arti mengurangi konflik dengan cara menghindarkan diri dari konflik. Konflik pertengkaran yang teijadi antar siswa dikatakan sangat jarang.
'174
Dominannya keijasama antar siswa di sekolah bukan saja diakui siswa, tetapi juga oleh guru. Menurut guru, sebagai suatu lembaga sosial sekolah mempunyai peran sebagai lembaga tempat siswa belajar bergaul dan menyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya. Guru berperan dalam meningkatkan keijasama antar siswa sehingga interaksi siswa beijalan baik dan lancar serta terhindar dari konflik di sekolah. Kerjasama antar siswa sangat dipupuk di sekolah. Keija kelompok sebagai metode mengajar sering dilakukan guru-guru. Keijasama antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa adalah melalui kegiatan tukar pikiran mengenai masalah yang dihadapi siswa dalam proses belajar mengajar. Guru memotivasi siswa dengan cara memberikan perhatian yang sama pada semua siswa, menciptakan iklim persaingan yang sehat antar siswa, membebaskan siswa untuk berdiskusi secara terarah, dan memberi sesungging senyum atau usapan sayang pada siswa yang aktif dalam berdiskusi. Selanjutnya, dalam meningkatkan moral keija siswa, guru menyadarkan siswa tentang kewajiban sebagai seorang siswa untuk belajar dan menegakkan peraturan yang ada. Penjelasan di atas, kesemuanya merupakan indikator mendukung terwujudnya keijasama yang baik di sekolah. Berdasarkan uraian di atas, hasil penelitian ini menemukan bahwa keijasama merupakan bentuk interaksi sosial yang dominan antar siswa di SLTP KORPRI Unit UPI. Tingkatan kategori rata-rata derajat keijasama lebih tinggi daripada tingkatan kategori rata-rata derajat persaingan dan konflik. Skor rata-rata derajat kerjasama yang mereka lakukan di sekolah termasuk kategori efektif,
'175
sedangkan skor rata-rata untuk derajat persaingan dan konflik termasuk kategori sedang dan cukup rendah. Keijasama ditunjukkan siswa dalam (a) kekompakan kerja, diukur dari kesediaan untuk mufakat dalam menyelesaikan tugas kelompok, saling menghargai pendapat/saran, keijasama sebagai teman di sekolah dan luar sekolah, ketaatan terhadap waktu belajar, dan hubungan keijasama yang akrab; (b) ada tanggung jawab bersama yang dilihat dari solideritas dalam saling belajar membelajarkan, fleksibel dalam melaksanakan rencana kegiatan, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan kelompok, tindakan terhadap keputusan kelompok, kepemimpinan bergilir, dan penilaian yang kontinu; (c) ada semangat kebersamaan, diukur dari adanya perasaan aman karena ada pengalaman belajar/bekeija dan bermain bersama, ada kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan, partisipasi dalam merencanakan kegiatan belajar berkelompok, anggota kelompok saling memotivasi dalam setiap usaha kelompok, ada suasana kelompok yang mendukung (suasana persahabatan,
sifat keterbukaan,
penyesuaian
dalam
kelompok, suasana yang memberi kesan setaraf), ada kepedulian sosial (kesediaan membantu, menjenguk teman yang sakit dan menyumbang uang dan tenaga); dan (d) ada tujuan bersama, yang diukur dari tujuan/alasan berkecimpung dalam kelompok dan pengakuan pada keberhasilan akademik untuk kelompok.
3. Hasil Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Geografi Gambaran skor kemampuan awal, tes awal dan akhir hasil belajar siswa kelompok kontrol dan eksperimen disajikan pada Tabel 4.5 berikut ini.
'176
Tabel 4.5 Skor Kemampuan Awal, Tes Awal, dan Akhir Hasil Belajar Geografi Kelompok Kontrol dan Eksperimen
Keterangan
Rata-rata Simpangan Baku
Ke ompok Kontrol Tes Tes KemampuAwal Akhir an Awal
Kelompok Eksperimen KemampuTes Tes an Awal Awai Akhir
62,61
25,11
65,25
62,96
25,07
7,17
9,40
7,96
7,42
8,37
78 9,11
Nilai Terendah
50
10
50
50
10
55
Nilai Tertinggi
75
42,5
79
75
42,5
92,5
Jumlah Sampel
28
28
28
28
28
28
Kemampuan awal siswa kelompok kontrol dan eksperimen dicerminkan oleh skor tes hasil belajar geografi pada akhir catur wulan I tahun ajaran 1999/2000. Berdasarkan uji perbedaan (perhitungan terlampir) dengan menggunakan Anava, diperoleh F hitung = 0,032 < F tabel = 4,02, berarti ternyata tidak terdapat perbedaan antara skor kemampuan awal siswa kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen. Demikian pula, pengujian perbedaan (perhitungan terlampir) dengan menggunakan Anava, diperoleh F hitung = 0,00176 < F tabel = 4,02, berarti ternyata tidak terdapat perbedaan antara kemampuan tes awal siswa kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen. Tabel 4.5 di atas, menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol, simpangan baku kemampuan awal siswa sebesar 7,17 dengan rata-rata 62,61 memberikan gambaran bahwa apabila distribusi skor ini didekati dengan distribusi normal, maka
'177
sekitar 53,57% siswa memiliki skor antara 55,44 < X > 69,78. Berarti, sebelum diselenggarakan model kelompok belajar konvensional sekitar 53,71% dari 28 siswa berada pada rentang skor antara 55,44 < X > 69,78 dengan rata-rata 62,61, skor terendah 10, dan terttingi 75. Keadaan tes akhir memperlihatkan bahwa simpangan baku tes akhir sebesar 7,96 dengan rata-rata 65,25 memberikan gambaran bahwa apabila distribusi skor ini didekati dengan distribusi normal, maka sekitar 53,57% siswa memiliki skor antara 57,29 < X > 73,21. Kal ini menunjukkan, pada akhir proses belajar mengajar melalui model kelompok belajar konvensional sekitar 53,57% dari 28 siswa berada pada rentang skor 57,29 < X > 73,21, dengan rata-rata 65,25, skor terendah 50, dan terttingi 79. Sebaliknya, pada kelompok eksperimen, simpangan baku kemampuan awal siswa sebesar 7,42 dengan rata-rata 62,96 memberikan gambaran bahwa apabila distribusi skor ini didekati
dengan distribusi normal, maka sekitar 60,71% siswa
memiliki skor antara 55,54 < X > 70,38. Berarti, sebelum diselenggarakan model kelompok belajar kooperatif sekitar 60,71% dari 28 siswa berada pada rentang skor antara 55,54
< X >
70,38 dengan rata-rata 62,96, skor terendah 50, dan skor
tertinggi 75. Keadaan tes akhir memperlihatkan bahwa simpangan baku tes akhir sebesar 9,11 dengan rata-rata 78 memberikan gambaran bahwa apabila distribusi skor ini didekati dengan distribusi normal, maka sekitar 60,71% siswa memiliki skor antara 68,89 < X > 87,11. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada akhir proses belajar mengajar melalui kelompok belajar kooperatif sekitar 60,71% dari 28 siswa berada pada rentang skor 68,89 < X > 87,11, dengan rata-rata 78, skor terendah 55,
'178
dan tertinggi 92,5. Dilihat dari peningkatan skor kemampuan awal siswa terhadap hasil tes akhir, pada kelompok kontrol maupun pada kelompok eksperimen terdapat peningkatan hasil belajar siswa. Peningkatan rata-rata skor tes akhir hasil belajar siswa model kelompok belajar kooperatif lebih tinggi daripada kelompok belajar konvensional. Dengan demikian, terdapat peningkatan hasil belajar yang tinggi melalui model kelompok belajar kooperatif dibandingkan dengan peningkatan hasil belajar siswa melalui model kelompok belajar konvensional. Tabel 4.5 di atas, menunjukkan pula bahwa pada kelompok kontrol, simpangan baku tes awal sebesar 8,37 dengan rata-rata 25,11 memberikan gambaran bahwa apabila distribusi skor ini didekati dengan distribusi normal, maka sekitar 53,57% siswa memiliki skor antara
15,71
< X >
34,51. Berarti,
sebelum
diselenggarakan model kelompok belajar konvensional sekitar 53,71% dari 28 siswa berada pada rentang skor antara 15,71 < X > 34,51 dengan rata-rata 25,11, skor terendah 10, dan terttingi 42,5. Keadaan tes akhir memperlihatkan bahwa simpangan baku tes akhir sebesar 7,96 dengan rata-rata 65,25 memberikan gambaran bahwa apabila distribusi skor ini didekati dengan distribusi normal, maka berarti sekitar 53,57% siswa memiliki skor antara 57,29 < X > 73,21. Hal ini menunjukkan, pada akhir proses belajar mengajar melalui model kelompok belajar konvensional sekitar 53,57% dari 28 siswa berada pada rentang skor 57,29 < X > 73,21, dengan rata-rata 65,25, skor terendah 50, dan terttingi 79. Sebaliknya, pada kelompok eksperimen, simpangan baku tes awal sebesar 8,37 dengan rata-rata 25,07 memberikan gambaran bahwa apabila distribusi skor ini didekati dengan distribusi normal, maka sekitar
'179
60,71% siswa memiliki skor antara 16,70 < X > 33,44. Dengan demikian, sebelum diselenggarakan model kelompok belajar kooperatif sekitar 60,71% dari 28 siswa berada pada rentang skor antara 16,70 < X > 33,44 dengan rata-rata 25,07, skor terendah 10, dan tertinggi 42,5. Keadaan tes akhir memperlihatkan bahwa simpangan baku tes akhir sebesar 9,11 dengan rata-rata 78 memberikan gambaran bahwa apabila distribusi skor ini didekati dengan distribusi normal, maka sekitar 60,71% siswa memiliki skor antara 68,89 < X > 87,11. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada akhir proses belajar mengajar melalui kelompok belajar kooperatif sekitar 60,71% dari 28 siswa berada pada rentang skor 68,89 < X > 87,11, dengan rata-rata 78, skor terendah 55, dan tertinggi 92,5. Dilihat dari peningkatan hasil tes awal terhadap hasil tes akhir, pada kelompok kontrol maupun eksperimen terdapat peningkatan hasil belajar siswa. Peningkatan rata-rata skor tes akhir siswa model kelompok belajar kooperatif lebih tinggi daripada peningkatan rata-rata skor tes akhir siswa model kelompok belajar konvensional. Dengan demikian, terdapat peningkatan hasil belajar tes awal siswa teijadi lebih tinggi sebagai akibat diselenggarakannya model kelompok belajar kooperatif dibandingkan dengan peningkatan hasil belajar siswa melalui model kelompok belajar konvensional. Selanjutnya, skor hasil belajar siswa dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Kategori tinggi, sedang dan rendah tersebut didasarkan pada asumsi bahwa
setiap populasi yang heterogen, tentu terdapat
kelompok tinggi, sedang, dan rendah (Arikunto, 1993:242). Batas-batas kelompok
'180
ditentukan dengan cara sebagai berikut: (1) kelompok atas (tinggi), semua siswa yang mempunyai skor sebanyak skor rata-rata plus satu standar deviasi ke atas, (2) kelompok sedang, semua siswa yang mempunyai skor antara -1 SD (standar deviasi) dan +1 SD, dan (3) kelompok kurang (rendah), semua siswa yang mempunyai skor 1 SD dan yang kurang dari itu (Arikunto, 1993:269). Berdasarkan kategori di atas, skor kemampuan awal, tes awal dan akhir hasil belajar siswa secara berturut-turut dikelompokkan sebagai berikut. Skor kemampuan awal siswa kelompok kontrol dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu tinggi (X > 69,78), sedang (55,44 < X > 69,78) dan rendah (X < 55,54). skor kemampuan awal siswa kelompok eksperimen dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu tinggi (X > 70,38), sedang (55,54 < X > 70,38) dan rendah (X < 55,54). Skor tes awal hasil belajar siswa kelompok kontrol dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu tinggi (X > 34,51), sedang (15,71 < X > 34,51) dan rendah (X < 15,71). Skor tes awal hasil belajar siswa kelompok eksperimen dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu tinggi (X > 33,44), sedang (16,70 < X > 33,44) dan rendah (X < 16,70). Skor tes akhir ha ,1 belajar siswa kelompok kontrol dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu tinggi (X > 73,21), sedang (57,29 < X >
73,21) dan
rendah (X < 57,29). Skor tes akhir hasil belajar siswa kelompok eksperimen dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu tinggi (X > 87,11), sedang (68,89 < X > 87,11) dan rendah (X < 68,89). Atas dasar kriteria pengelompokkan di atas, tampilan
'181
skor kemampuan awal, tes awal, dan akhir hasil belajar siswa berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah dirangkum pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Skor Kemampuan Awal, Tes Awal, dan Akhir Hasil Belajar Geografi Berdasarkan Kategori Tinggi, Sedang, dan Rendah Siswa Kelompok Kontrol dan Eksperimen Kelompok Kontrol 1"es KemampuTes an Awal Awal A chir % F F F % %
KateGori
Kelompok Eksperimen 1"es Tes KemampuA chir an Awal Awal F F % % % F
Tinggi
4
14,29
4
14,29
5
17,86
4
14,29
4
14,29
7
Sedang
15
53,57
15
53,57
15
53,57
17
60,71
17
60,71
17
60,71
Rendah
9
32,14
9
32,14
8
28,57
7
4
14,29
Jumlah
28
100
28
100
28
100
28
28
100
25
100
7
28
25
100
25
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa dilihat dari peningkatan kemampuan awal siswa terhadap hasil tes akhir, terdapat peningkatan frekuensi (persentase) jumlah siswa berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah pada kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatannya pada kelompok kontrol. Pada kelompok kontrol peningkatan frekuensi siswa kelompok tinggi hanya sebesar 3,57% (dari 14,29%, menjadi 17,86%). Hal ini dapat dilihat dari prosentase siswa kelompok kategori rendah hanya mengalami penurunan sebesar 3,57% (dari 32,14% menjadi 28,57%). Pada kelompok eksperimen peningkatan frekuensi siswa kelompok tinggi sebesar 10,71 % (dari 14,29%, menjadi 25%). Hal ini dapat dilihat dari prosentase siswa kelompok kategori rendah mengalami penurunan sebesar 10:71% (dari 25% menjadi 14,29%).
'182
Dilihat dari peningkatan hasil tes awal terhadap hasil tes akhir, terdapat peningkatan frekuensi (persentase) jumlah siswa berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah pada kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatannya pada kelompok kontrol. Pada kelompok kontrol peningkatan frekuensi siswa kelompok tinggi hanya sebesar 3,57% (dari 14.,29%, menjadi 17,86%). Hal ini dapat dilihat dari prosentase siswa kelompok kategori rendah hanya mengalami penurunan sebesar 3,57% (dari 32,14% menjadi 28,57%). Pada kelompok eksperimen peningkatan frekuensi siswa kelompok tinggi sebesar 10,71% (dari 14,29%, menjadi 25%). Hal ini dapat dilihat dari prosentase siswa kelompok kategori rendah mengalami penurunan sebesar 10,71% (dari 25% menjadi 14,29%), Berdasarkan uraian di atas, hasil penelitian ini menemukan bahwa dilihat dari peningkatan skor kemampuan awal siswa terhadap hasil tes akhir, pada kelompok kontrol maupun pada kelompok eksperimen terdapat peningkatan hasil belajar siswa. Peningkatan rata-rata skor tes akhir hasil belajar siswa model kelompok belajar kooperatif lebih tinggi daripada kelompok belajar konvensional. Ditinjau dari peningkatan kemampuan awal siswa terhadap hasil tes akhir, terdapat peningkatan frekuensi (persentase) jumlah siswa berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah pada kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dilihat terdapat
dengan dari
peningkatannya
peningkatan
frekuensi
pada
hasil tes
kelompok kontrol. Selanjutnya, awal
terhadap hasil
tes akhir,
(persentase) jumlah siswa berdasarkan kategori tinggi,
'183
sedang dan rendah pada kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatannya pada kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat disimpulkan hasil penelitian ini menemukan bahwa model kelompok belajar kooperatif lebih efektif daripada kelompok belajar konvensional dalam meningkatkan hasil belajar geografi siswa SLTP kategori tinggi, sedang, dan rendah. Untuk membuktikan model kelompok belajar kooperatif lebih efektif meningkatkan hasil belajar geografi siswa SLTP daripada model kelompok belajar konvensional, maka dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan rumus statistik. 4. Analisis Pengujian Hipotesis Deskripsi data hasil penelitian yang berhubungan dengan pengujian hipotesis yang telah disajikan di atas, pada dasarnya berupa sajian data apa adanya. Kesimpulan-kesimpulan yang telah diambil hanyalah merupakan kesimpulan yang bersifat sementara. Agar kesimpulan yang diambil dapat dipercaya, maka perlu dilakukan pengujian hipotesis secara statistik. Sebelum menganalisis data statistik terlebih dahulu dipenuhi persayatan analisis berikuti ini. a. Pengujian Persyaratan Analisis 1) Pengujian Normalitas Data Dalam penelitian ini pengujian normalitas sebaran data hasil belajar suatu kelompok memakai rumus chi kuadrat (z2). Perhitungannya menggunakan jasa komputer program SPSS for Window Release 6.0 seperti pada lampiran. Hasil perhitungannya dirangkum dalam Tabel 4.7 berikut ini.
'184
Tabel 4.7 Hasil Pengujian Normalitas Data Hasil Belajar Geografi Siswa Kelompok Kontrol dan Eksperimen Data yang Diuji Sebarannya 1.Kemampuan Awal. 2. Tes Awal. 3. Tes Akhir.
kelompok Kontro X hitung
DF
tabel
t
Keterangan
Kelompol < Eksperimen Ketet X2 DF rangan hitung tabel
8,9286 9,7143 14,857
10 7 9
18307 14,067 16,919
Normal Normal Normal
9,857 19,357 12,714
2
9 12 14
16,919 21,026 23,684
Normal Normal Normal
Berdasarkan hasil perhitungangan chi kuadrat seperti tampak dalam Tabel 4,7, ternyata nilai x2 hitung < x2 tabel pada tingkat kepercayaan 95% jadi tidak signifikan. Ini berarti bahwa sebaran data skor hasil belajar berdistribusi normal. 2) Pengujian Homogenitas Variansi antar Kelompok Data Perhitungan untuk pengujian homogenitas dua kelompok data penelitian dapat diperiksa pada lampiran, sedangkan hasilnya dilaporkan pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Hasil Uji Homogenitas Data Kemampuan Awal, Tes Awal,dan Akhir Hasil Belajar Geografi Siswa Kelompok Kontrol dan Eksperimen Data yang Diuji Homogenitasnya 1. Kemampuan Awal. 2. Tes Awal 3. Tes Akhir
F hitung
F tabel
Keterangan
1,0710 0,7929 1,3098
1,88 1,88 1,88
Homogen Homogen Homogen
Dari Tabel 4.8 tampak nilai F hitung c F tabel pada tingkat kepercayaan 95%, jadi tidak signifikan. Ini berarti bahwa populasi dari kedua kelompok data skor hasil belajar memiliki varian yang sama (homogen).
'185
3) Pengajian Linieritas antar Kelompok Data Pengujian linieritas antara dua kelompok data hasil belajar dilakukan dengan cara membuat scatter (diagram pancaran) probabilitas normal dengan standar residual dari skor-skor variabel yang satu dengan skor-skor variabel yang lain, kemudian ditarik garis lurus pada pancaran titik-titik kedua variabel tersebut. Untuk menguji linieritas data menggunakan jasa komputer program SPSS for Window Release 6.0 seperti pada lampiran, nampak diagram pancaran dari skor-skor variabel-variabel dapat ditarik garis lurus pada titik-titik kedua variabel tersebut. Berarti, uji linieritas hubungan antara dua kelompok data menunjukkan hubungan (korelasi) yang linier. Dengan demikian, sesuai dengan pengujian persyaratan analisis. Korelasi antara kemampuan awal (XI) dan tes awal (X2) dengan hasil belajar geografi/tes akhir (Yl) siswa model kelompok belajar kooperatif diungkap melalui analisis korelasi (menggunakan jasa komputer program SPSS for Window Release 6.0). Hasil perhitungan korelasi antara kemampuan awal dengan hasil belajar geografi (tes akhir) model kelompok belajar kooperatif menunjukkan koefisien korelasi (r) = 0,87674 sedangkan nilai r tabel dengan tingkat kepercayaan 95% = 0,374; jadi r hitung >r tabel (signifikan). Koefisien determinasinya (r2 atau R) sebesar 0,76867 atau 76,87%. Berdasarkan koefisien determinasi tersebut, berarti bahwa 76,87% dari variansi dalam variabel hasil belajar diterangkan (dijelaskan) oleh model kelompok belajar kooperatif ditinjau dari kemampuan awal siswa, sedangkan prosentase selebihnya (23,13%) diterangkan oleh variansi dari faktor-faktor lain. Untuk mengetahui kontribusi model kelompok belajar kooperatif terhadap hasil belajar
'186
geografi siswa mengikuti langkah sebagai berikut (Kerlingen F. N. dan Pedhazur E., 1993:1993:25): pertama dihitung koefisien beta (p) dan kedua menentukan kontribusi variabel yang satu dengan yang lainnya melalui rumus 3(rxy)(100%). Hasil perhitungan (3l sebesar 0,876737. Dengan demikian, kontribusi model kelompok belajar kooperatif ditinjau dari kemampuan awal terhadap hasil belajar geografi (tes akhir) adalah pl(rxlyl)(100%) = 0,876737(0,87674)(100%) = 76,87%, sedangkan prosentase selebihnya (23,13%) merupakan kontribusi faktor-faktor lain. Perhitungan korelasi antara tes awal dengan hasil belajar geografi (tes akhir) model kelompok belajar kooperatif menunjukkan koefisien korelasi (r) = 0,77882 sedangkan nilai r tabel dengan tingkat kepercayaan 95% = 0,374, jadi r hitung >r tabel (signifikan). Koefisien determinasinya (r2 atau R) sebesar 0,60656 atau 60,66%. Berdasarkan koefisien determinasi tersebut, berarti bahwa 60,66% dari variansi dalam variabel hasil belajar diterangkan oleh model kelompok belajar kooperatif ditinjau dari tes awal siswa, sedangkan prosentase selebihnya (39,34%) diterangkan oleh variansi dari faktor-faktor lain. Hasil perhitungan
sebesar 0,778822. Jadi,
kontribusi model kelompok belajar kooperatif ditinjau dari tes awal terhadap hasil belajar geografi (tes akhir) adalah 02(rx2yi)(lOO%) = 0,778822(0,77882)(100%) = 60,66%, sedangkan prosentase selebihnya (39,34%) merupakan kontribusi faktorfaktor lain. Selanjutnya, korelasi antara kemampuan awal (X3) dan tes awal (X4) dengan hasil belajar geografi/tes akhir (Y2) siswa model kelompok belajar konvensional diungkap melalui analisis korelasi. Dari hasil perhitungan korelasi antara kemampuan
awal dengan hasil belajar geografi (tes akhir) model kelompok bela) menunjukkan koefisien korelasi (r) = 0,94131 sedangkan nilai r tabel dengan tingkat kepercayaan 95% = 0,374, jadi r hitung >r tabel (signifikan). Koefisien determinasinya (r2 atau R) sebesar 0,88606 atau 88,61%. Berdasarkan koefisien determinasi tersebut, berarti bahwa 88,61% dari variansi dalam variabel hasil belajar diterangkan oleh model kelompok belajar konvensional ditinjau dari kemampuan awal siswa, sedangkan prosentase selebihnya (11,39%) diterangkan oleh variansi dari faktor-faktor lain. Hasil perhitungan 03 sebesar 0,941305. Dengan demikian, kontribusi model kelompok belajar konvensional ditinjau dari kemampuan awal terhadap
hasil
belajar
geografi
(tes
akhir)
adalah
P3(rx3y2)(100%)
=
0,941305(0,94131)(100%) = 88,61%, sedangkan prosentase selebihnya (11,39%) merupakan kontribusi faktor-faktor lain. Perhitungan korelasi antara tes awal dengan hasil belajar geografi (tes akhir) model kelompok belajar konvensional menunjukkan koefisien korelasi (r) = 0,77351 sedangkan nilai r tabel dengan tingkat kepercayaan 95% = 0,374, jadi r hitung >r tabel (signifikan). Koefisien determinasinya (r2 atau R) sebesar 0,59832 atau 59,83%. Berdasarkan koefisien determinasi tersebut, berarti bahwa 59,83% dari variansi dalam variabel hasil belajar diterangkan oleh model kelompok belajar konvensional ditinjau dari tes awal siswa, sedangkan prosentase selebihnya (40,17%) diterangkan oleh variansi dari faktor-faktor lain. Hasil perhitungan 04 sebesar 0,773514. Jadi, kontribusi model kelompok belajar konvensional ditinjau dari tes awal terhadap hasil belajar geografi (tes akhir) adalah p4(rx4y2)(100%) = 0,773514(0,77351)( 100%) =
'188
59,83%, sedangkan prosentase selebihnya (40,17%) merupakan kontribusi faktorfaktor lain. b. Pengujian Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini berbunyi "Model kelompok belajar kooperatif lebih efektif daripada model kelompok belajar konvensional dalam meningkatkan hasil belajar geografi siswa SLTP". Sebagaimana dikemukakan pada bab III, menyadari bahwa pengaruh variabel sertaan perlu dihilangkan, maka pengujian terhadap hipotesis di atas dilakukan melalui analisis kcvariansi. Dalam analisis ini sebagai variabel terikat adalah skor tes akhir hasil belajar, sedangkan variabel sertaan (covariabel) adalah skor kemampuan awal, skor tes awal hasil belajar yang masing-masing sebagai variabel sertaan pertama dan kedua. Hasil uji normalitas, homogenitas dan linieritas untuk variabel-variabel tersebut telah dikemukakan di atas dan telah teruji memenuhi persyaratan. Dengan demikian, pemakaian analisis kovariansi untuk pengujian hipotesis tersebut di atas adalah sahih. Perhitungan untuk analisis kovariansi dalam rangka pengujian hipotesis disajikan pada lampiran, dan hasilnya dirangkum pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Analisis Kovariansi Perbedaan Hasil Belajar Geografi antara Siswa Model Kelompok Belajar Kooperatif dengan Kelompok Belajar Konvensional dk 1
JK 2231,96
RJK 2231,96
Ralat
51
1573,15
30,85
Total
52
3805,11
Sumba" Variasi Perlakuan
Fo
Ft = a 0,05
72,35
4,03
'189
Keterangan: dk JK
derajat kebebasan, = Jumlah Kuadrat,
RJK = Rerata Jumlah Kuadrat, Fo
= Harga F amatan (hitungan),
Ft
= Harga F dari tabel. Dari data hasil analisis kovariansi pada Tabel 4.9, memberikan kesimpulan
bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalam hasil belajar siswa yang belajar melalui
model kelompok belajar kooperatif dan kelompok belajar
konvensional. Selanjutnya, untuk menentukan model kelompok belajar mana yang mampu meningkatkan hasil belajar siswa secara lebih efektif di antara kedua model tersebut, maka dilakukan analisis dengan uji-t Dunnet. Perhitungan uji-t Dunnet terhadap hipotesis dikemukakan dalam lampiran, sedangkan hasilnya dilaporkan pada Tabel 4.10. Tabel 4.10 Uji-t Dunnet Perbedaan Rerata Residu Hasil Belajar Geografi Siswa Kelompok Kontrol dan Eksperimen Kelompok Kontrol
Rerata Residu 63,31
Eksperimen
77,95
t hitung
t tabel = a 0,05
8,54
1,67
Berdasarkan perhitungan dengan uji - t Dunnet diketahui bahwa t amatan (hitung) > t tabel, jadi signifikan. Kesimpulannya bahwa hasil belajar siswa model kelompok belajar kooperatif lebih efektif daripada model kelompok belajar
'190
konvensional. Berarti hipotesis yang telah diajukan dapat diterima. Dengan demikian, penelitian ini menemukan bahwa model kelompok belajar kooperatif lebih efektif daripada model kelompok belajar konvensional dalam meningkatkan hasil belajar geografi siswa SLTP. 5. Hasil Observasi Proses Belajar Siswa Melalui Model Kelompok Belajar Kooperatif Aktivitas siswa selama proses belajar mengajar diamati dan dinilai oleh tiga orang guru IPS. Guru selain sebagai pemimpin, fasilitator, motivator, dan moderator belajar, juga sebagai evaluator. Sebagai pemimpin belajar guru merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengontrol kegiatan belajar siswa. Sebagai fasilitator guru memberikan kemudahan kepada siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya. Sebagai moderator guru mengatur arus kegiatan belajar siswa. Guru menampung persoalan yang diajukan oleh siswa dan mengembalikan lagi persoalan tersebut kepada siswa lain untuk dijawab dan dipecahkannya. Jawaban siswa tersebut dikembalikan kepada penanya atau kelompok untuk dinilai bersama benar tidaknya pernyataan siswa. Sebagai evaluator artinya sebagai penilai yang obyektif dan komprehensif terhadap proses dan produk aktivitas siswa. Pada waktu proses diskusi nilai A dengan skor tiga diberikan untuk pernyataan siswa yang setara dengan kategori baik/tinggi, nilai B dengan skor dua karena setara dengan kategori sedang yang cenderung tengah-tengah, sedangkan nilai C dengan skor satu diberikan karena setara dengan kategori kurang/rendah. Rekapitulasi rata-rata penilaian terhadap aktivitas setiap siswa tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.11 berikut ini.
Tabel 4.11 Rekapitulasi Rata-rata Hasil Penilaian terhadap Aktivitas Siswa Kelompok Kontrol dan Eksperimen Pada Waktu Proses Belajar Mengajar No. Res (1)
1 (2)
I 2 3 4 5 6 7 8 9 10 II 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
3 3 2 3 3 3 3 1 3 3 I 1 3 3 2 1 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2
Hasil Penilaian Aktivitas Siswa Kelompok Kontrol IV m V VI 11 (5) (4) (6) (3) (?) 2 1 1 1 3 3 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 2 1 2 3 I 3 1 3 3 3 3
i 2 1 1 3 3 2 1 2 1 2 I 2 3 3 1 2 3 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3
3 2 2 3 3 3 2 1 2 2 2 1 3 2 2 1 3 2 3 2 2 3 3 3 2 3 3 3
I 2 1 1 2 3 2 1 2 1 1 1 2 3 3 1 2 3 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3
2 2 1 3 3 3 3 1 2 3 I I 2 1 3 1 2 2 2 3 3 1 2 2 3 3 3 3
(8)
I (9)
12 12 8 8 17 18 15 6 12 13 8 6 13 14 15 6 14 14 13 14 14 12 15 13 17 18 18 17
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3
Jib.
Hasil Penilaian Aktivitas Siswa Kelompok Eks perimen VI IV V 111 11 (14 (12 (10 (13 (M 3 3 3 3 2 3 2 2 3 3 3 3 3 2 2 J 3 3 3 2 3 3 2 2 3 j 2 3
' i
: ;
3 J 3 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2
J
J
;
3 3
i ' i ; ,
' ' > ! i i i
; ; : '
1 :
3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 1 2 1 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 3
3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3
Jlh. (15 18 18 18 18 12 14 14 12 15 15 16 16 18 14 14 16 16 16 16 14 16 16 14 15 16 18 16 18
Keterangan; I
= Menyampaikan pendapat dan saran dalam merespon setiap pernyataan persoalan yang disampaikan oleh anggota lain.
II
= Toleransi siswa terhadap siswa lain.
III
= Rasionalitas pernyataan yang dikemukakan siswa.
'192
IV = Kreativitas. V
= Kecakapan berargumentasi.
VI = Partisipasi siswa dalam menulis laporan diskusi (nilai ini diperoleh dari wawancara). Untuk mengetahui tingkatan derajat ativitas siswa pada waktu proses belajar mengajar maka data nilai aktivitas siswa pada Tabel 4.11 di atas, dikategorisasi ke dalam tingkat-tingkat tertentu. Rentangan nilai (range) dihitung sebagai berikut: mengurangkan skor ideal tertinggi dengan skor ideal terendahnya, dibagi jumlah rentangan = (18 — 6) : 3 = 4 . Dengan demikian, penyusunan rentangan kategori derajat ativitas siswa dapat dibuat sebagaimana dikemukakan dalam Tabel 4.12. Tabel 4.12 Tingkatan Derajat Aktivitas Siswa Kelompok Kontrol dan Eksperimen Berdasarkan Hasil Observasi Pada Waktu Proses Belajar Mengajar Tingkat Kategori 1. 2. 3.
Kategori
Tinggi Sedang Rendah
Nilai/ Skor
K d o m p o c Kontrol Frekuensi Frekuensi Relatif Absolut
15 — 18 11-14 < 10
Jumlah
Kelompok Eksper. Frekuensi Frekuensi Absolut Relatif
(%)
(%) 9 13 6
32,14 46,43 21,43
20 8
28
100
28
-
71,43 28,57 -
100
Tabel 4.12 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan derajat aktivitas siswa antara model kelompok belajar konvensional dengan model kelompok belajar kooperatif. Derajat aktivitas siswa model kelompok belajar kooperatif lebih tinggi daripada kelompok belajar konvensional.
'193
Tabel 4.12 di atas menunjukkan bahwa model kelompok belajar kooperatif dapat mendorong siswa untuk belajar lebih aktif, hal ini disebabkan karena dalam bekerja secara berpasang-pasangan siswa yang berperan baik sebagai tutor (pemimpin kelompok) maupun tutee dituntut untuk dapat menjelaskan persoalan yang sedang dibahas. Tutor baru akan memberikan jawaban pemecahan persoalan bilamana tutee tidak dapat menjelaskan jawaban dengan benar. Siswa yang berperan sebagai tutee didorong untuk aktif menuliskan jawabannya di buku dan membacanya sebanyak tiga kali. Akibatnya melalui model kelompok belajar kooperatif keterampilan komunikasi siswa menjadi meningkat. Disamping itu, keaktifan siswa muncul karena adanya tantangan yang dihadapi oleh setiap siswa dalam kelompok untuk mempertahankan penampilan kelompok yang lebih baik. Kondisi ini dapat diketahui dari hasil pengamatan terhadap diskusi bahwa ada kesungguhan siswa dalam memberi dorongan yang konstruktif berupa memperjelas keterangan siswa lain, memberikan saran/alternatif pemecahan, meminta pendapat siswa lain untuk mengomentarinya. Disamping itu, siswa selalu menyampaikan pendapat dalam merespon setiap pernyataan persoalan yang disampaikan siswa lain. Di lain pihak, diketahui pula bahwa setiap siswa berlomba mendahului temannya atau kelompok lain untuk menyampaikan pendapat dan dengan berbagai cara mempertahankan pendapat kelompoknya. Dengan demikian, setiap siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Motivasi itu muncul karena adanya dorongan untuk belajar lebih baik guna mempertahankan prestasi kelompoknya, mereka merasa malu kalau kelompoknya kurang baik.
'194
Pengajaran geografi melalui model kelompok belajar kooperatif juga dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis, sebab melalui aktivitas diskusi kelompok memungkinkan timbulnya konflik kognitif dalam diri siswa. Dengan adanya bantahan-bantahan dari temannya mengakibatkan keseimbangan kognitif yang ada sebelumnya terganggu. Konsep-konsep yang ada dalam benak diri siswa selanjutnya akan disusun kembali berdasarkan argumentasi dari kelompok. Akhirnya siswa dapat memunculkan kualitas pemahaman yang lebih baik. Kecakapan berargumentasi siswa muncul dalam memberi keterangan dengan kalimat/istilah yang mudah dipahami, memberi penjelasan dengan rinci, mengemukakan persoalan yang sama dengan cara yang lebih jelas; cepat tanggap (cepat mengerti terhadap pernyataan/pertanyaan orang lain yang ditunjukkan dengan cepat mengomentarinya), hal ini terutama pada saat siswa
mempertahankan
prestasi
kelompoknya;
pernyataan/pertanyaan
siswa
mengarah kepada pemahaman materi; dan kreativitas yang ditandai dengan bermunculan pendapat melalui bantahan-bantahan kelompok mereka. Berdasarkan uraian-uraian di atas, melalui pengamatan diketahui bahwa model kelompok belajar kooperatif dapat (a) mendorong siswa untuk belajar lebih aktif, (b) meningkatkan motivasi belajar, keterampilan-keterampilan sosial, komunikasi, dan berpikir kritis. 6. Persepsi Guru Mengenai Model Kelompok Belajar Kooperatif Menurut persepsi guru model kelompok belajar kooperatif mempunyai kelebihan dan kelemahan. Adapun kelebihan-kelebihannya yaitu: Pertama, model kelompok belajar kooperatif melatih
siswa memecahkan persoalan dengan
'195
bekerjasama dalam kelompok demokratis. Kedua, jn'odel kelompok belajar kooperatif sangat membantu guru dalam mengajarkan geografi yaitu mengkondisikan dan melatih siswa untuk memiliki sifat-sifat positif dalam mengembangkan konsepkonsep yang mempunyai nilai-nilai praktis bagi kehidupan masyarakat dengan tidak menghilangkan nilai-nilai teoritis. Sifat-sifat positif seperti (a) rasa ingin tahu siswa yang terlihat dari semangat siswa untuk memecahkan persoalan dengan mengajukan berbagai alternatif pemecahan; (b) rasa solideritas antar siswa yang terlihat dari adanya memenuhi kebutuhan peralatan belajar sahabatnya, adanya tutorial sebaya dalam saling belajar membelajarkan dan adanya saling pengertian serta kekompakan anggota; (c) kritis, terlihat dari keaktifan siswa dalam mengeluarkan pendapat dan saran pemecahan baik diminta maupun tidak, mengajukan pertanyaan, dan melakukan berbagai koreksi terhadap berbagai pendapat; (d) kemandirian yang terlihat dari kemauan siswa untuk menemukan sendiri materi pelajaran sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap kelompok; (e) kecerdasan emosional yang terlihat dari kemampuan memantau perasaan dan emosi seperti mengendalikan marah dan percakapan yang melecehkan, peduli terhadap pendapat siswa lain, mau mengerti dan memahami siswa lain, mampu menyesuaikan diri, dan kesetiakawanan; (f) kemampuan siswa dalam berkomunikasi yang teijadi karena siswa di dalam kelompoknya aktif berdiskusi; dan (g) kecermatan mengambil keputusan yang terlihat dari keaktifan siswa melakukan diskusi kelompok. Ketiga, memudahkan siswa memahami pelajaran IPS termasuk geografi secara mantap dan tahan lama, karena proses pengambilan keputusan siswa menggunakan berbagai kemampuannya dalam
'196
mengorganisasikan pengetahuan dan pemahamannya terhadap bahan pelajaran. Keempat, tujuan pengajaran dapat dengan mudah dicapai sesuai dengan yang direncanakan. Siswa terkesan sangat senang mempelajari geografi karena dalam proses belajar mengajar yang mereka alami tidak hanya menghapal atau membayangkan sesuatu melainkan melalui pengalaman berdiskusi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan secara kelompok. Kelima, adanya kepemimpinan yang bergilir bagi setiap anggota kelompok memberikan gambaran kepada setiap anggota punya pengalaman ada tanggung jawab yang sama baik sebagai pemimpin maupun anggota kelompok. Keenam, model kelompok belajar kooperatif tepat dilakukan dalam proses belajar mengajar geografi dan memungkinkan pula diterapkan dalam proses belajar mengajar mata pelajaran lain. Menurut guru, model kelompok belajar kooperatif juga memiliki kelemahankelemahan, yaitu (1) pembicaraan berkecenderungan meluas, (2) aktivitas diskusi cenderung mempergunakan waktu relatif banyak, dan (3) memerlukan biaya yang relatif banyak terutama untuk penyediaan fasilitas penunjang seperti buku-buku dan sumber bacaan lainnya, lembaran tugas kelompok, serta media pengajaran. 4. Pengalaman Siswa Setelah Belajar Melalui Model Kelompok Belajar Kooperatif Menurut siswa pelaksanaan model kelompok belajar kooperatif baik di sekolah maupun di luar sekolah memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif
model kelompok belajar kooperatif di sekolah meliputi: Per\ berbagai pengalaman dalam kelompok demokratis uantuk mendapatkan kesempatan berbicara, inisiatif, menentukan pilihan dan memantau perasaan emosi yang secara umum mengembangkan kebiasaan baik. Kedua, meningkatkan motivasi
dalam
melakukan kegiatan belajar dan mengerjakan tugas yang diberikan guru. Belajar geografi
menjadi
lebih
menarik, menyenangkan,
tidak membosankan dan
bersemangat untuk mempelajari bahan pelajaran karena anggota bekerja dalam suasana bersahabat, ada kekompakan kerja, dan tanggung jawab bersama untuk meraih hasil belajar yang tinggi yang menjadi daya tarik anggota. Ketiga, meningkatkan keberanian dalam berkomunikasi dan mengemukakan pendapat/saran, karena baik sebagai pemimpin maupun anggota kelompok berusaha mengemukakan pendapat dan saran. Segala persoalan dapat dipecahkan, karena dibahas melalui suatu proses yang matang. Keempat, dengan adanya kepemimpinan yang bergilir maka kepercayaan diri meningkat dan ada perasaan senasib sepenanggungan. Di samping itu, kepemimpinan bergilir membuat siswa mau tidak mau berani memimpin kelompok, akibatnya membuat siswa semua aktif mengeluarkan pendapat baik diminta
maupun
tidak
karena
merasa
bertanggung jawab
dan
memberi
peluang/kesempatan yang sama kepada semua anggota mencapai keberhasilan. Kondisi
semacam
ini
menyebabkan
kesimpulan
yang
diperoleh
dipertanggungjawabkan dan usaha kerja kelompok menjadi optimal.
dapat Kelima,
meningkatkan keterampilan berpikir kritis, sehingga pemahaman dan pembahasan oleh semua anggota dapat dicapai dengan tuntas dan mudah. Keenam, kerjasama
'198
dengan teman yang akrab membuat siswa merasa senang dalam kelompoknya saling berbagi pengalaman tentang upaya-upaya mencapai keberhasilan belajar, saling memperhatikan, dan saling memberi bantuan yang dibutuhkan dalam belajar. Ketujuh, kualitas kesimpulan bahan pelajaran yang diperoleh sangat baik karena semua persoalan dibahas secara bersama dan dapat dipecahkan secara tuntas dan jelas. Kedelepan, belajar tidak merasa tertekan, dalam arti tidak ada saling megancam dan curiga, mengurangi rasa cemas, takut dan malu dalam pergaulan, sehingga dapat lebih banyak mengungkapkan bahan yang dipelajari. Dattipak negatif model kelompok belajar kooperatif di sekolah yaitu (1) membiarkan siswa menemukan sendiri jawaban masalah biasanya memerlukan waktu lama; (2) pembicaraan berkecenderungan berkembang; (3) kemungkinan teijadi halhal yang tidak diinginkan seperti siswa terlalu emosional atau kehilangan kontrol; dan (4) memberikan peluang terjadinya persaingan antar kelompok yang memungkinan teijadi klik-klik untuk sementara. Model kelompok belajar kooperatif di luar sekolah juga memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya meliputi:
Pertama,
siswa lebih punya
kemauan untuk menemukan sendiri bahan pelajaran yang dibahas. Kedua, saling belajar membelajarkan. Siswa yang belum tahu menjadi tahu dan siswa yang sudah tahu bertambah pengalamannya. Ketiga, meningkatkan kemampuan mengingat kembali pelajaran, dengan kata lain siswa merasa lebih mudah mempelajari dan memahami pelajaran, sehingga memudahkan mengingat kembali bahan pelajaran. Keempat, saling membantu saling mengoreksi kesalahan, ada toleransi satu sama lain
'199
dan saling membangkitkan minat. Setiap orang tentu ada kekurangannya dan dalam kelompok belajar hal ini terlihat, tetapi dalam kelompok belajar pula kekurangan itu dapat diatasi. Kelima, mengembangkan perasaan sosial dan pergaulan sosial yang baik. Siswa-siswi saling mengenai tentang hak dan kewajiban, kelemahan dan kekuatan masing-masing. Keenam, dapat mengetahui tempat tinggal dan mengenal keluarga siswa. Ketujuh, meningkatkan interaksi antar siswa dan dengan keluarganya sehingga pergaulan menjadi semakin akrab. Dampak negatif model kelompok belajar kooperatif di luar sekolah meliputi: (1) memerlukan banyak waktu untuk berkunjung ke rumah siswa yang lain yang tempat tinggalnya relatif jauh; (2) waktu istirahat dan bermian menjadi berkurang atau tidak ada; seita (3) biasanya dapat menambah beban orang tua seperti penambahan biaya, perasaan curiga terhadapanaknya di peijalanan dan yang pulang tidak tepat waktunya. Menurut siswa melalui model kelompok belajar kooperatif cost (biaya atau pengorbanan yang dikeluarkan) tidak menjadi persoalan (lebih kecil) bila dibandingkan dengan benefit (kelebihan-kelebihan yang diperoleh). Siswa menyayangkan bahwa kenapa model belajar semacam ini tidak dari dulu kami alami dan berharap agar model kelompok belajar kooperatif secara terus menerus diterapkan di sekolah.
B. Pembahasan Untuk memberikan gambaran tentang temuan-temuan penelitian, dilakukan pembahasan dengan hasil telaahan literatur dan temuan-temuan penelitian sebelumnya
'200
1. Pola-pola Sosiometri Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa pola-pola interaksi pergaulan siswa di kelas bermacam-macam. Pertama, pilihan cross-sex. Dari sosiogram diketahui pada dasarnya pilihan yang dilakukan siswa ada juga kepada lawan jenisnya, misalnya laki-laki memilih perempuan dan perempuan memilih laki-laki, yang diistilahkan dengan pilihan cross-sex. Akan tetapi, kelompok yang terdiri dari empat orang saling memilih sebagai teman saling menyukai untuk beketjasama yang baik dalam kelompok masing-masing mempunyai jenis kelamin yang sama. Dengan demikian, ternyata ada kecenderungan gejala siswa laki-laki mengarahkan mayoritas pilihan mereka kepada siswa laki-laki. Begitu pula, siswi perempuan mempunyai kecenderungan menetapkan mayoritas pilihan mereka kepada siswi perempuan untuk satu kelompok. Temuan ini sejalan dengan temuan penelitian Kandel (1978) tentang persahabatan 2.000 siswa sekolah menengah. Ternyata sebagian besar teman paling baik mempunyai kesamaan dalam jenis kelamin, tingkat kelas, usia, dan ras. Kedua, chain atau rantai menggambarkan siswa pertama memilih siswa kedua dan siswa kedua memilih siswa ketiga, kemudian siswa ketiga memilih siswa pertama. Tampak di sini, siswa pertama intim (suka) dengan siswa kedua dan siswa kedua suka dengan siswa ketiga, kemudian siswa ketiga suka dengan siswa pertama. Kondisi ini disebabkan karena setiap siswa ingin mempunyai teman yang lain untuk diperkenalkan kepada teman yang memilihnya, dengan begitu memungkinkan meluasnya pergaulan. Akan tetapi, pada suatu waktu mereka secara bersama-sama berinteraksi.
'201
Ketiga, triangle menggambarkan segi tiga. Mereka bertiga saling berpilihan dan merupakan satu kelompok tersendiri. Terbentuknya kelompok di antara mereka menunjukkan intensitas interaksinya dikatakan cukup kuat dalam hubungan yang lebih intim. Keempat, diistilahkan dengan star atau bintang yang menggambarkan seorang siswa yang mendapat pilihan terbanyak dalam teknik sosiometri. Berdasarkan wawancara dengan siswa-siswi yang lain, siswa kategori bintang di samping memiliki hasil belajar yang relatif tinggi, kritis, kreatif juga memiliki sifat-sifat yang positif seperti mengetahui caranya membuat siswa lain merasa senang, jujur, sabar, ramah, mudah membina keijasama, akrab dengan siswa lain, solideritas terhadap siswa lain tinggi, bertanggung jawab dan suka berkomunikasi untuk menceritakan sesuatu, pandai berolahraga dan terampil memainkan alat musik. Ini berarti siswa yang dikatakan star memiliki sifat-sifat positif, sesuai dengan pendapat
Hartop
(1967:75) sifat-sifat siswa yang diterima oleh kelompok yaitu (1) memiliki kepribadian ceria atau gembira, ramah jujur, murah hati, sabar, mudah membina keijasama, dan memiliki keyakinan diri; (2) memiliki keterampilan misalnya membuat bermacam-macam alat permainan, memainkan alat musik, melukis, dan terampil berolahraga; (3) berprestasi dalam bidang akademis yaitu siswa yang mendapat hasil belajar tinggi dalam mempelajari berbagai mata pelajaran. Menurut Hamsire (Shapiro,
1998:5)
kualitas-kualitas emosional
yang
penting
bagi
keberhasilan pergaulan yaitu: "empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan marah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai,
202
kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap hormat". Dengan demikian, tampilan perilaku yang baik dari siswa membuat diterima dan disukai oleh siswa lain. Kelima, neglekti (neglegtee), yang menggambarkan seorang siswa yang menerima pilihan paling sedikit dalam teknik sosiometri. Siswa ini mempunyai interaksi yang minimal dengan siswa lainnya dalam kelas tersebut. Berdasarkan wawancara dengan siswa yang lain, penyebabnya karena sering acuh tak acuh terhadap pekeijaan teman sekelompok, kadang-kadang absen di kelas dan pendiam. Menurut Goleman (1999:174-175) "Dua kesalahan besar yang hampir selalu menimbulkan penolakan adalah terlampau cepat mencoba menunjukkan keberadaan diri dan tidak menyelaraskan diri dengan kerangka acuan kelompok". Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa siswa yang dikatakan neglekti mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya berhubung dengan kurang diterimanya oleh kawan anggota kelasnya. Penolakan atau pengasingan terhadap siswa tersebut teijadi bukan karena terlalu cepat mencoba menunjukkan keberadaan diri (dalam arti mau menang sendiri, angkuh) tetapi lebih disebabkan karena tidak menyelaraskan diri dengan kerangka acuan kelompok. Keenam, pair atau pasangan, menggambarkan dua siswa saling tertarik melakukan interaksi yang akrab. Komunikasi interpersonal pada kelompok ini lebih tinggi frekuensinya dan lebih intensional dibandingkan dengan kelompok lainnya sehingga pertukaran informasi lebih lancar dan menguntungkan kedua belah pihak.
'203
Ketujuh, kelompok yang memilki interaksi berbentuk jala, menggambarkan kelompok saling memilih memiliki intensitas keintiman yang kuat. Menurut siswa kelompok yang anggotanya saling memilih terdiri dari teman yang disukai sekelompok belajar, cocok sebagai teman belajar di sekolah dan sebagai teman belajar bersama untuk mengerjakan pekeijaan rumah yang diberikan guru atau kalau ada tugas lain dari guru, serta sebagai teman yang disukai dalam bermain pada waktu jam istirahat atau setelah jam pelajaran sekolah. Kecocokan itu didukung antara lain karena tempat tinggal relatif berdekatan, merasa ada perasaan dekat antara satu dengan lainnya yang ditunjukkan dengan rasa peduli terhadap kawan, setia kawan, tidak saling menjatuhkan, dapat saling menyesuaikan diri dan merasa terdorong berada dalam kelompok yang mempunyai jenis kelamin yang sama sehinggga dapat bercerita tentang berbagai pengalaman. Dengan demikian, intensitas interaksi sosial kelompok saling memilih dikatakan cukup kuat dalam hubungan yang lebih intim. Menurut Sukardi (1988:122) istilah kelompok yang memiliki 'interaksi yang berbentuk jala" dimaksudkan suatu kelompok memiliki interaksi sosial yang menampakkan intensitas keintiman lebih kuat, menyeluruh, di mana individu yang satu dengan yang lain saling memilih. "Menurut Festinger dan Back (Seras, 1999:230) "semakin dekat jarak tempat tinggal dua individu, bila diukur dengan jarak fisik atau jarak fungsional, semakin besar kemungkinan bahwa mereka merupakan teman". Menurut Thibout dan Kelley
(Sears, 1999:239-242) teori
pertukaran sosial mengungkapkan bahwa interaksi dalam suatu kelompok terjadi dalam proses tukar menukar antara imbalan dengan ongkos. Sedangkan menurut
'204
Marvin E.S. (Sears, 1999:239-242) dalam teori kesamaan sikap seseorang cenderung tertarik kepada orang lain yang dianggapnya mempunyai sikap sama dengannya. 2. Kerjasama Sebagai Bentuk Interaksi Sosial Siswa yang Dominan di SLTP Bentuk interaksi sosial yang dominan antar siswa di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) KORPRI UNIT UPI adalah keijasama. Bentuk-bentuk interaksi sosial yang lain adalah persaingan dan konflik. Berdasarkan data empirik dari seluruh responden penelitian, diketahui bahwa skor rata-rata derajat keijasama lebih tinggi daripada skor rata-rata derajat persaingan dan konflik. Skor rata-rata derajat kerjasama yang mereka lakukan di sekolah termasuk kategori efektif, sedangkan skor rata-rata untuk derajat persaingan termasuk kategori sedang dan derajat konflik termasuk kategori cukup rendah. Dari data angket, ditinjau dari segi derajat kerjasama yang diukur dengan melihat kekompakan kerja, semangat kebersamaan, dan tanggung jawab bersama untuk mencapai tujuan, diketahui bahwa terdapat 30,35% siswa mengatakan melaksanakan keijasama yang dikategorikan sangat efektif, 23,21% kategori efektif, 21,43% kategori kurang efektif, dan 7,15% ditunjukkan siswa
efektif,
dan
17,86%
termasuk
termasuk kategori sangat tidak efektif.
kategori
tidak
Keijasama yang
dalam (a) kekompakan keija, diukur dari kesediaan untuk
mufakat dalam menyelesaikan tugas kelompok, saling menghargai pendapat/saran, keijasama sebagai teman di sekolah dan luar sekolah, ketaatan terhadap waktu belajar, dan hubungan keijasama yang akrab> (b) .ada tanggung jawab bersama yang
'205
dilihat dari solideritas dalam saling belajar membelajarkan, fleksibel dalam melaksanakan rencana kegiatan, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan kelompok, tindakan terhadap keputusan kelompok, kepemimpinan bergilir, dan penilaian yang kontinu,- (c) ada semangat kebersamaan, diukur dari adanya perasaan aman karena ada pengagunan belajar/bekeija dan bermain bersama, ada kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan, partisipasi dalam merencanakan kegiatan belajar berkelompok, anggota kelompok saling memotivasi dalam setiap usaha kelompok, ada suasana kelompok yang mendukung (suasana persahabatan, sifat keterbukaan, penyesuaian dalam kelompok, suasana yang memberi kesan setaraf), ada kepedulian sosial (kesediaan membantu, menjenguk teman yang sakit dan menyumbang uang dan tenaga); d) ;ada tujuan, yang diukur dari tujuan/alasan berkecimpung dalam kelompok dan pengakuan pada keberhasilan akademik untuk kelompok. Tingginya derajat keijasama yang baik antar siswa mengandung implikasi pentingnya peran bantuan rekan sebaya untuk keberhasilan belajar siswa. Siswa membutuhkan bantuan tertentu dari temannya yang diaggap memiliki gaya atau cara belajar yang lebih baik. Pemberdayaan kelompok sebaya siswa, dapat dipandang sebagai upaya guru untuk mencapai tujuan pengajaran. Potensi sosio-kultural yang dimiliki kelompok digali dan dimanfaatkan siswa sehingga dapat membantu dirinya sendiri dan orang lain. Memberikan kesempatan kepada siswa sekelompok dengan teman yang disukainya, berarti memberi peluang kepada mereka untuk mengalami penguatan interaksi sosial dalam melakukan kegiatan-kegiatan belajar bermanfaat
'206
pula bagi perkembangan kemampuan siswa. Interaksi sosial seperti itu menurut AIfred Adler (Suryabrata, 1973:39) menimbulkan rasa senang dan puas pada anak-anak, karena setiap anak sebagai individu yang berkemauan dan mempunyai tujuan dalam kehidupannya, merasa motif-motif, sifat-sifat dan nilai-nilai yang khas di dalam kepribadiaannya dapat dilaksanakan atau terpenuhi melalui persahabatan yang akrab dengan teman sebaya. Drurnmod (1995:59) mengemukakan "interaksi menghasilkan
pertukaran
perasaan
dan
rangsangan".
Dengan
demikian,
mengembangkan kesadaran para anggota satu sama lain. Para anggota menjadi sadar ketergantungan mereka dan mulai melihat diri mereka sebagai sebuah kelompok. Dominannya keijasama di sekolah dapat dipahami dari segi teori motivasi. Keberadaan motivasi siswa umumnya terkait dengan kebutuhan. Siswa mempunyai motivasi sosial, kebutuhan untuk diterima dalam suatu kelompok atau masyarakat, sehingga menyebabkan siswa terdorong untuk mengaktualisasikan diri. Aktualisasi diri tersebut diwujudkan siswa dalam perilaku yang hasilnya dapat memberi sumbangan berarti pada kelompok. Sejalan dengan pendapat Piaget dan Vygorsky yang mengemukakan bahwa "pengetahuan yang diperoleh siswa sebenarnya adalah hasil interaksi siswa dengan lingkungannya" Slavin (1995:329). Perbuatan tolong menolong antar siswa diwujudkan dalam kemauan siswa untuk berkeijasama dengan siswa lain, dan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan kelompok. Sesuai ^engan pendapat guru dan siswa, bahwa model kelompok belajar kooperatif dapat meningkatkan keijasama antar siswa.
'207
Situasi kondusif dalam belajar mendorong siswa untuk selalu meningkatkan kemampuan akademiknya, karena kemajuan yang dibuat siswa mempengaruhi penilaian kelompok. Menurut Slavin (1995:27) "terciptanya situasi yang mendukung pencapaian keberhasilan dalam belajar kooperatif membuat siswa merasa bahwa lingkungan menghendakinya belajar". Suasana kondusif dalam model kelompok belajar kooperatif didukung oleh interaksi yang baik antar guru dan siswa, antara siswa yang satu dengan yang lainnya, memperhatikan karakteristik fisik kelas, besarnya jumlah anggota kelompok, pemanfaatan kelompok dalam belajar, dan penekanan keijasama daripada persaingan. Terbentuknya kelompok berdasarkan saling memilih membuat komunikasi interpersonal pada kelompok ini lebih tinggi frekuensinya dan lebih intensif dibandingkan dengan kelompok lainnya yang dibentuk bukan atas keinginannya, dan karena kekhasannya inilah pertukaran informasi lebih lancar dan menguntungkan anggota. Rasa persahabatan yang akrab dapat memudahkan adaptasi dalam kelompok. Kondisi tersebut, sesuai dengan pendapat Backman (1974:113) yang mengemukakan bahwa "kualitas relasi interpersonal cenderung meningkatkan akses komunikasi yang memungkinkan anggota kelompok untuk membentuk tata hubungan peran yang seimbang". Menurut siswa melalui keijasama dengan teman yang akrab membuat merasa senang bersama-sama dengan sesamanya, pengalaman
tentang
upaya-upaya
mencapai
keberhasilan
saling berbagi belajar,
memperhatikan, dan saling memberi bantuan yang dibutuhkan dalam belajar.
saling
'208
Berdasarkan
pendapat
guru
model
kelompok
belajar
kooperatif
mengkondisikan dan melatih siswa memiliki sifat-sifat positif seperti rasa solidaritas, adanya tutorial sebaya dengan saling belajar membelajarkan, kecerdasan emosi, toleransi, dan sifat kritis. Sehubungan dengan itu, temuan penelitian Whyte dan Lippite (Sentosa, 1983:77) terhadap
"kelompok
yang bersuasana demokratis
terdapat rasa solideritas antar anggota kelompok sehingga kelompok tersebut ada rasa kesatuan". Eksperimen Festinger, Schachter dan Black (1950) menemukan bahwa keterpaduan kelompok igroup cohesiveness) diawali oleh ketertarikan terhadap kelompok dan anggota kelompok, dilanjutkan dengan interaksi sosial serta tujuantujuan pribadi yang menuntut saling ketergantungan. Selanjutnya, kekuatan-kekuatan di lapangan itu akan menimbulkan perilaku kelompok yang berupa kesinambungan keanggotaaan dan penyesuaian terhadap standar kelompok. Mengelompokkan siswa dengan teman yang saling memilih sebagai teman yang disukai dapat bekeijasama mengurangi terjadinya konflik antar anggota dalam kelompok. Terbukti berdasarkan data angket menunjukkan, bahwa pada model kelompok belajar kooperatif,
10,72% siswa mengatakan ada konflik yang
dikategorikan tinggi, 32,14% termasuk kategori sedang, 32,14% termasuk kategori rendah dan 25% termasuk kategori sangat rendah, sedangkan pada model kelompok belajar konvensional terdapat 7,14% mengatakan merasakan ada konflik yang dikategorikan sangat tinggi,
17,86% termasuk kategori tinggi, 32,14% termasuk
kategori sedang, 28,57% termasuk kategori rendah, dan 14,29% termasuk kategori sangat rendah. Di lain segi, dari perhitungan skor rata-rata konflik, untuk siswa
'209
kelompok belajar kooperatif rata-rata sebesar 6,14 termasuk kategori rendah dengan skor terendah 4 dan tertinggi 9, sedangkan untuk siswa kelompok belajar konvensional sebesar 7,75 termasuk kategori sedang dengan skor terendah 4 dan tertinggi 12. Berdasarkan data cupirik, adanya keijasama antar siswa memberi kesempatan lebih besar kepada anggota berdiskusi saling belajar membelajarkan dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Betapa pentingnya peranan tujuan bersama, terbukti dari temuan penelitian Sherif pada tahun 1952 yang dikutif Hammer dan Organ (1975:131) bahwa selama ada tujuan bersama walaupun dalam suatu kelompok selalu terjadi ketegangan dan konflik, para anggotanya tetap dapat menciptakan keharmonisan dan integrasi.
Dalam eksperimen Sherif (1966) terbukti bahwa ada
faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi hubungan antara dua kelompok, yaitu: (1) Musuh bersama. (2) Tujuan bersama, Musuh bersama dapat digantikan dengan tujuan bersama, tujuan yang lebih tinggi, dan lebih utama daripada tujuan kelompok masing-masing. (3) Mempelajari sesuatu secara bersama. 3. Model Kelompok Belajar Kooperatif Lebih Efektif daripada Model Kelompok Belajar Konvensional dalam Meningkatkan Hasil Belajar Geografi Siswa SLTP Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa "model kelompok belajar kooperatif lebih efektif daripada model kelompok belajar konvensional dalam meningkatkan hasil belajar geografi siswa SLTP". Ini dapat diketahui dari hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis kovariansi menunjukkan bahwa
'210
terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalam hasil belajar siswa yang belajar melalui model kelompok belajar kooperatif dan kelompok belajar konvensional. Selanjutnya, dari hasil pengujian dengan menggunakan uji-t Dunnet membuktikan bahwa hasil belajar siswa melalui model kelompok belajar kooperatif lebih tinggi daripada model kelompok belajar konvensional. Kemampuan awal siswa model kelompok belajar kooperatif dan kelompok belajar konvensional yang dicerminkan oleh skor tes hasil belajar geografi pada akhir catur wulan I tahun ajaran 1999/2000 menunjukkan tidak terdapat perbedaan. Terbukti dari uji perbedaan (terlampir) dengan menggunakan Anava, diperoleh F hitung = 0,032 < F tabel = 4,02. Demikian pula, tidak terdapat perbedaan skor tes awal siswa antara siswa model kelompok belajar dengan model kelompok belajar konvensional. Terbukti dari uji perbedaan (terlampir) dengan menggunakan Anava, diperoleh F hitung = 0,00176 < F tabel = 4,02. Dengan demikian, terdapat peningkatan hasil belajar siswa terjadi lebih tinggi diakibatkan oleh diselenggarakannya model kelompok belajar kooperatif. Data penelitian menunjukkan bahwa kemampuan dan tes awal siswa terhadap hasil tes akhir, terdapat peningkatan frekuensi (prosentase) jumlah siswa berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah pada model kelompok belajar kooperatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok belajar konvensional. Di lain segi, derajat keijasama siswa model kelompok belajar kooperatif lebih efektif daripada derajat keijasama model kelompok belajar konvensional. Dari perhitungan skor rata-rata keijasama, untuk siswa kelompok belajar kooperatif
'211
rata-rata sebesar 64,46 termasuk kategori efektif dengan skor terendah 36 dan tertinggi 75, sedangkan untuk siswa kelompok belajar konvensional sebesar 52,82 termasuk kategori kurang efektif dengan skor terendah 30 dan tertinggi 72. Penelitian-penelitian yang melihat pengaruh model kelompok belajar kooperatif yang dihubungkan dengan perolehan pengetahuan siswa dilakukan oleh Edwards & De Vries (1972), Johnson & Woxman (1985), Van Oudenhoven (1987), semuanya menunjukkan bahwa siswa dari berbagai tingkat kemampuan akademik memperoleh keuntungan dari penggunaan model model kelompok belajar kooperatif. Dikatakan juga, bahwa siswa yang belajar dalam model ini ternyata memiliki perolehan pengetahuan yang lebih baik dibandingkan siswa yang belajar secara tradisional (Edwards & Talbot (1994). Temuan penelitian yang dilaksanakan selama dua tahun di sekolah dasar menunjukkan bahwa model kelompok belajar kooperatif terbukti secara siginifikan berpengaruh positif pada kemampuan dan sikap siswa dalam membaca, bahasa dan matematika, serta interaksi sosial siswa dalam kelas (Stevens & Slavin, 1995:321-351). Selanjutnya, penelitian yang menerapkan model kelompok belajar kooperatif menunjukkan hasil yang positif pada (a) pencapaian sukses akademik, (b) penghargaan dan kepercayaan diri siswa, (c) penerimaan siswa secara sosial dalam lingkungannya (Davidson, 1990:7). Pernyataan tersebut sejalan dengan pernyataan Slavin (1992), Stahl (1994) yang mengemukakan model kelompok belajar kooperatif benarbenar dapat mencapai semua kontent akademik, sosial dan tujuan afektif.
212
Huber, Bogatzki, dan Winter (Slavin, 1995:43) meneliti perbandingan antara model kelompok belajar kooperatif dengan kelompok keija tradisional yang tidak memiliki tujuan kelompok dan pertanggungjawaban individu. Hasil penelitiannya
menunjukkan
bahwa
model
kelompok
belajar
kooperatif
mendapatkan skor yang lebih baik, serta pengaruh tujuan kelompok dan pertanggungjawaban individu terhadap hasil belajar siswa memberikan efek median yang lebih tinggi dibanding kelompok keija tradisional. Sejalan dengan hasil penelitian Oickle (Slavin, 1995:60) yang menemukan bahwa model kelompok belajar kooperatif yang menggunakan teknik penghargaan kelompok memberi pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa.
4. Persepsi Guru Mengenai Model Kelompok Belajar Kooperatif Persepsi guru-guru mengenai model kelompok belajar kooperatif cenderung lebih dominan adanya kelebihan-kelebihan model kelompok belajar kooperatif dibandingkan dengan model kelompok belajar konvensional yang secara garis besar antara lain yaitu: (a) menciptakan kondisi dan situasi yang kondusif untuk melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif, (b) melatih dan mengkondisikan siswa untuk memiliki sifat-sifat positif, (c) memberikan kemudahan kepada siswa untuk memahami pelajaran secara mantap, tahan lama, da/i memudahkan pencapaian tujuan pengajaran sesuai dengan yang
direncanakan,
(d) melatih memecahkan permasalahan dengan
bekeijasama dalam kelompok demokratis yang memiliki kekompakan kerja,
'213
semangat kebersamaan, dan tanggung jawab bersama untuk mencapai tujuan bersama. Adanya persepsi guru bahwa model kelompok belajar kooperatif dapat memudahkan siswa dalam mempelajari materi pelajaran, sesuai dengan pendapat Rogoff (1990:112-113) bahwa belajar dalam situasi keijasama dipermudah oleh konflik di antara bentuk-bentuk pemikiran antagonistik. Pemecahan konflik ini dicapai bila individu-individu yang bekeija sama berusaha mencapai kembali keseimbangan kognitif dalam pemahaman mereka melalui pertimbangan timbal balik terhadap berbagai pandangan alternatif. Hartono dan Inagaki (1991:112113) mengemukakan bahwa ketika para siswa harus menjelaskan atau mempertahankan pendapat sendiri, siswa lain mulai mengkaji pemahaman mereka secara rinci. Dalam hal ini, mereka sering dibantu oleh para kolaborator yang menambahkan atau menguraikan lebih lanjut apa yang telah dikatakan, akhirnya siswa menjadi sadar kekurangan-kekurangan pernyataannya, dan mendorong siswa membentuk kembali kerangka konsep yang baru. Dalam kontek peningkatan kemampuan berpikir Polya (1977:112) mengajukan enam tipe kemampuan berpikir yang menjadi pengaruh metode pemecahan masalah dalam pengajaran matematika yaitu kemampuan-kemampuan berpikir tertib (berpikir komunikatif, sistematis, logis), kreatif, analitis inovatif, menemukan, dan transfer serta fleksibelitas berpikir. Bilamana ditinjau lebih lanjut, kemampuan berpikir siswa yang terungkap melalui angket dan observasi adalah adanya peningkatan keterampilan komunikasi dan kritis yang terwujud
'214
dalam peningkatan keaktifan melakukan diskusi-diskusi: (1) menyampaikan pendapat dan saran/alternatif pemecahan dalam merespon setiap pernyataan persoalan, (2) mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada pemahaman dan penjelasan materi seperti bertanya apa, bagaimana dan mengapa, bertanya meminta penjelasan, dan bertanya berlatar belakang hipotesis; yang akhirnya membuat mereka terlibat dalam adu pendapat yang serius terarah pada pembahasan materi; (3) melakukan berbagai koreksi pernyataan persoalan dari berbagai siswa untuk memperjelas keterangan siswa lain, seperti memberi keterangan
dengan
kalimat
atau
istilah
yang
mudah
dipahami/terinci,
mengemukakan persoalan yang sama dengan cara yang lebih jelas; (4) cepat tanggap dalam arti cepat mengerti terhadap pernyataan/pertanyaan siswa lain yang ditunjukkan dengan cepat mengomentarinya; (5) peningkatan kemauan siswa untuk menemukan sendiri materi7jawaban dari permasalahan yang diajukan, dan (6) peningkatan kualitas kesimpulan materi pelajaran. Adanya kreativitas siswa yang ditandai dengan: bermunculan pendapat melalui
berbagai
bantahan
dan
saran-saran
siswa,
kemampuan
siswa
memunculkan suatu masalah, mencari informasi, mengemukakan penyelesaian masalah, merangkai kata-kata yang jelas. Kesemuanya ini menunjang peningkatan keterampilan berpikir siswa. Kondisi tersebut dapat teijadi karena siswa sebelum belajar di sekolah sudah mendapat penugasan mempelajari bahan pelajaran sehingga sebelum pelaksanaan proses belajar mengajar siswa sudah mempunyai pengetahuan yang akan dikembangkan dalam diskusi-diskusi. Siswa berlatih
'215
mendengarkan dan berkomunikasi atau siswa belajar mengungkap ide yang disampaikan oleh temannya dan mengungkapkannya kembali dalam kata-katanya sendiri. Dengan demikian, model kelompok belajar kooperatif dalam pengajaran geografi profil kemampuan hasil belajar yang ditemukan dalam penelitian ini sebagian besar berada pada peningkatan kemampuan berpikir komunikatif di samping kemampuan berpikir kritis. Menurut Meyers (1986:116) "visualisasi proses berpikir kritis dimulai dengan identifikasi masalah, yang dikaitkan dengan informasi yang berasal dari input dan pe-ngalaman untuk mendapatkan alternatif pemecahan berdasarkan peluang yang ada". Ada persepsi guru bahwa model kelompok belajar kooperatif menciptakan suasana demokratis. Suasana akrab, bersahabat dan terbuka di dalam suatu kelompok menjiwai diskusi yang konstruktif. Dengan keadaan demikian siswa dapat leluasa mengemukakan pendapatnya secara bebas. Siswa dianggap sebagai pribadi, dihargai hak dan kewajibannya untuk menerima dan mengeluarkan pendapat dalam belajar berkelompok, tanpa tekanan dan paksaan. Melalui kelompok belajar kooperatif siswa diberi peluang yang lebih besar untuk berinteraksi dan berdiskusi. Dengan demikian, melalui interaksi yang kontinu dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan tranmisi sosial yang sangat penting bagi setelah
peningkatan keterampilan berpikir
memperhatikan
beberapa
hasil
siswa. Ahmadi
penelitian
menyimpulkan
(1988:98) bahwa,
"pada umumnya sikap-sikap pendidikan yang otoriter, sikap overprotection dan
'216
sikap penolakan anak-anaknya daripada orang tua dapat menjadi suatu handikap bagi perkembangan sosial anak-anak". Mengenai adanya beberapa kelamahan dalam penerapan model kelompok belajar kooperatif, wajar teijadi. Hal ini merupakan sesuatu yang alami karena tidak ada suatu model yang paling sempurna. Kecenderungan bahwa pembicaraan berkecenderungan berkembang merupakan sesuatu yang mungkin dapat teijadi. Dalam kaitan ini kemampuan guru menerapkan model kelompok belajar kooperatif merupakan kata kunci. Kemampuan tersebut adalah kemampuan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengontrol kegiatan siswa dalam diskusi. Ruang gerak guru dalam kelas tidaklah terbatas, melainkan bebas bergerak dari satu siswa ke siswa lain, dari kelompok satu ke kelompok lain. Guru berkeliling dalam ruangan untuk memonitor aktivitas siswa dan berusaha mengarahkan serta memotivasi siswa untuk mengemukakan pendapat/gagasan masing-masing dalam menanggapi persoalan yang dibahas, sehingga kelompok yang melakukan pembicaraan berkecenderungan berkembang dapat diarahkan. Dengan demikian, guru dapat memonitor stiap kemajuan atau kesulitan yang ditemuai siswa, sehingga guru akan mudah memberikan bimbingan agar kelompok dapat bekeija dengan efektif. Dalam mengarahkan siswa, guru membatasi diri, tidak terlalu banyak berbicara, sebaliknya mendorong siswa untuk meningkatkan komunikasinya. Mengingat masih adanya kelompok siswa yang berkemampuan kategori rendah, maka soyogyanya diperhatikan secara khusus dan mendapat bantuan yang
217
diperlukan. Melakukan pengajaran remedial dan meningkatkan frekuensi pemberian tugas latihan. Dalam hal ini, penerapan model kelompok belajar kooperatif dapat mengembangkan potensi-potensi belajar para siswa untuk berperan aktif di dalam belajar bersama. Pemberdayaan kelompok sebaya hendaknya dipandang guru sebagai bagian tak terpisahkan dari keseluruhan upaya lembaga untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Lingkungan sekitar seperti teman yang disukai dan relatif pandai dapat dijadikan sebagai mediator bimbingan. Keeratan hubungan yang akrab dan stabil antar siswa merupakan kekuatan suatu kelompok untuk berpikir dan bertindak sebagai suatu kesatuan untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, bagi kelompok ini rekan sebaya
dijadikan
sebagai
agen
perubahan,
dan
situasi
belajar
dapat
mengembangkan interaksi sosial yang efektif. Sejalan dengan pendapat Soekanto (1990:75) bahwa "Perkembangan jiwa seseorang banyak ditentukan oleh pergaulannya dengan orang-orang lain". Tentu saja suasana belajar yang kondusif mewujudkan suasana belajar yang aktif, artinya siswa menjadi pusat kegiatan belajar di dalam proses belajar mengajar tersebut. Bantuan rekan sebaya di samping merepleksikan kecocokan orientasi pribadi antara kedua belah pihak juga merepleksikan adanya kesamaan dalam peran yang diharapkan bersama. Dalam kaitan ini Slavin (1995:3) mengemukakan bahwa "sering siswa mampu melakukan tugas untuk menjelaskan dengan baik ide-ide matematika yang sulit kepada siswa lainnya, dengan mengubah
218
penyampaian dari bahasa guru menjadi bahasa yang dipahami siswa sebaya, akan tetapi kegaduhan yanp diakibatkan biasa tidak disukai guru". Selanjutnya, wali kelas dan guru bimbingan konseling (konselor) hendaknya secara rutin memotivasi siswa yang berkemampuan rendah tersebut. Bimbingan ditujukan untuk mengubah pola atau sikap dan kebiasaan belajarnya ke arah yang tepat. Di samping itu, guru perlu menginformasikan siswa yang berkemampuan rendah tersebut kepada orang tuanya agar meningkatkan perhatian dan kontrol yang ketat terhadap kegiatan belajar anaknya di rumah dan bila memungkinkan mencarikannya guru les. 5. Pengalaman Siswa Setelah Belajar Melalui Model Kelompok Belajar Kooperatif Pendidikan merupakan proses pemberian pengalaman belajar pada siswa. Siswa merupakan faktor utama dalam proses belajar mengajar. Keberhasilan dalam pemberian pengalaman belajar siswa merupakan keberhasilan proses belajar mengajar. Menurut siswa melalui model kelompok belajar kooperatif cost (biaya atau pengorbanan yang dikeluarkan) tidak menjadi persoalan (lebih kecil) bila dibandingkan dengan benefit (kelebihan-kelebihan yang diperoleh). Adanya pernyataan siswa bahwa "kenapa model belajar semacam ini tidak dari dulu kami alami" menandakan siswa merasa puas belajar melalui model kelompok belajar kooperatif. Oleh karena itu, siswa berharap agar model kelompok belajar kooperatif secara terus menerus diterapkan di sekolah.
'219
Pengalaman siswa mengenai kelebihan model kelompok belajar kooperatif adalah meningkatkan motivasi belajar, kemampuan berpikir kritis, mengembangkan sifat kepemimpinan, memudahkan adaptasi dan belajar dalam suasana yang menyenangkan. Dilihat dari segi tujuan mengajar, faktor motivasi belajar dan kemampuan berpikir siswa merupakan aspek yang penting. Faktor-faktor ini tidak hanya penting artinya bagi siswa untuk meningkatkan aktivitas belajar, melainkan juga menyangkut masalah mutu pendidikan pada umumnya. Tinggi rendahnya mutu pendidikan
tergantung
pada
tinggi
rendahnya
mutu
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya termasuk motivasi dan kemampuan berpikir siswa. Motif merupakan tenaga pendorong yang menggerakkan siswa untuk belajar. Nasution (1978:58) menyatakan "motivasi ekstrinsik memang diperlukan, namun motivasi instrinsik akan memberikan hasil lebih baik". Hal ini berarti,
keinginan
yang kuat untuk belajar yang datang dari pihak siswa sendiri sangat penting untuk keberhasilan belajar. Tanpa motif atau kemauan untuk belajar, para siswa tidak akan belajar, karena itu mereka tidak akan memperoleh hasil yang baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peranan siswa dalam mencapai hasil belajar sangat menentukan. Sekalipun banyak faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar, namun keberhasilan belajar ditentukan usaha nyata siswa yang melakukan kegiatan belajar. Suatu prestasi (termasuk hasil belajar) adalah sesuatu yang harus diraih dengan usaha, bahkan tidak jarang melalui perjuangan yang dicapai seseorang akan banyak tergantung
pada besar kecilnya usaha serta mutu pengetahuan dan
'220
keterampilan dalam melakukan usaha tersebut. Sejalan dengan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, Nasution (1982:53-54) mengemukakan: Hasil belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kecakapan dan ketangkasan belajar berbeda secara individual. Walaupun demikian kita dapat membantu anak dengan memberi petunjuk-petunjuk umum tentang cara-cara belajar yang efisien. Ini tidak berarti bahwa mengenai petunjuk-petunjuk itu dengan sendirinya akan menjamin sukses anak belajar. Sukses hanya tercapai berkat usaha keras tanpa usaha tak akan tercapai sesuatu apapun. Pendapat di atas lebih memperjelas bahwa peranan siswa sangat penting dalam mencapai hasil belajar yang tinggi. Namun demikian, tanggung jawab membina siswa secara efektif tetap berada pada guru. Berdasarkan data empiris, pengalaman siswa melalui model kelompok belajar kooperatif menunjukkan bahwa proses belajar mengajar tidak membosankan, tidak hanya mendengarkan saja, melainkan juga aktif memecahkan masalah tertentu untuk mencapai tujuan bersama. Melalui belajar bersama antara satu dengan yang lain dalam kelompoknya, siswa dapat segera memperoleh bantuan pemecahan masalah melalui temannya. Siswa dalam kelompok berusaha menemukan sendiri alternatif pemecahan persoalan yang disampaikan kepadanya. Siswa yang sudah saling mengenal dengan baik dan akrab dapat bekeijasama secara lancar antara satu dengan yang lain dalam kelompok. Dengan demikian, hal ini dapat membantu guru untuk membuat interaksi efektif. Dalam kaitan psikolog dengan pasiennya Goldstein (1975:112) mengemukakan makin baik interaksi antar pribadi
makin terbuka pasien mengungkapkan
perasaannya, makin cenderung ia meneliti perasaannya secara mendalam beserta penolongnya (psikolog), dan makin cenderung ia mendengar dengan penuh perhatian
'221
serta bertindak atas nasehat yang diberikan penolongnya. Berdasarkan pernyataan ini, dari segi psikologi komunikasi dapat dikemukakan bahwa interaksi interpersonal yang baik antar siswa, mendorong siswa untuk saling terbuka mengungkapkan dirinya sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung di antara mereka. Anggota-anggota yang belajar dalam model kelompok belajar kooperatif dituntut secara bergilir berperan menjadi pemimpin kelompok. Berdasarkan data empiris, kondisi ini membuat kepercayaan diri anggota meningkat sehingga ketergantungan terhadap anggota lain berkurang, ada kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan, menimbulkan suasana yang memberi kesan sejajar/setaraf antar anggota dalam kegiatan belajar membelajarkan. Di samping itu, tidak ada seorangpun merasa menggurui dan digurui tetapi tiap-tiap anggota adalah sekaligus guru dan siswa, ada tanggung jawab bersama, membuat anggota menjadi berani dan aktif mengeluarkan pendapat baik diminta maupun tidak, karena sebagai pemimpin kelompok anggota dituntut untuk berbicara. Akibatnya, anggota merasa bahwa hasil kelompok menapaskan sumbangan pemikiran bersama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kondisi semacam ini mengakibatkan tingginya pengakuan anggota terhadap keberhasilan akademik perorangan untuk mengangkat nama baik kelompok. Pengaruh lebih lanjut dapat meningkatkan motivasi untuk belajar. Siswa yang diberi kepercayaan untuk memimpin kelompok berusaha untuk percaya diri, mandiri, dan berani mengemukakan pendapat untuk memimpin putusan kelompok. Jadi konsepkonsep cemerlang yang tercakup dalam model kelompok belajar kooperatif, seperti meningkatkan kepercayaan diri, semangat belajar dan kemampuan berpikir dapat
'222
diwujudkan. Dengan demikian, siswa tidak terperangkap oleh mitos yang menakutkan bahwa pelajaran IPS sangat kompleks sulit untuk dihapalkan. Bila dikaji secara mendalam maka temuan-temuan penelitian ini relevan, konsisten dengan teori-teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Dengan diketahui bukti empirik kondisi kemampuan hasil belajar siswa, efektivitas penerapan model kelompok belajar kooperatif berikut kelebihan-kelebihannya dapat memperkaya dan melengkapi strategi (model) pengajaran yang ada selama ini. Temuan ini mengisyaratkan pentingnya mempertimbangkan model kelompok belajar kooperatif sebagai suatu alternatif model pengajaran khususnya, dan dalam kegiatan-kegiatan lain di dunia pendidikan pada umumnya. Pentingnya menerapkan model kelompok belajar kooperatif sebagai suatu alternatif model pengajaran IPS dalam melatih kemampuan berpikir dan membina sikap mental
siswa secara tidak langsung juga sikap mental masyarakat
dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat berkembang yang sangat memerlukan orientasi manajemen terhadap nilai-nilai manusiawi. Dengan demikian, tidak hanya aspek teknologi dan ekonomi yang menjadi perhatian dalam berbagai keadaan, akan tetapi aspek manusia dapat diselaraskan secara proporsional dengan aspek ekonomi dan teknologi. Penerapan model kelompok belajar kooperatif di sekolah-sekolah, menjadi
lebih penting dikaitkan dengan kondisi ketidakharmonisan
sosial,
meletusnya kasus konflik yang selalu marak di Tanah Air, yang merupakan bukti masih adanya kerenggangan dalam tali persaudaraan dan integrasi sosial masyarakat
223
tertentu selama ini agak bersifat "artifisial" dan belum menyentuh kodrat manusia sesungguhnya. Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT untuk bertolongtolongan dengan sesamanya dalam berbuat kebaikan dan bertakwa, seperti firmanNya dalam surat Al Maidah ayat 2: "Bertolong-tolonglah dalam berbuat kebaikan dan janganlah bekeijasama di dalam berbuat dosa dan permusuhan". Perbuatan tolong menolong antar siswa dapat diwujudkan melalui model kelompok belajar kooperatif dalam berbagai kegiatan di sekolah sehingga siswa sebagai makhluk sosial menyadari kepentingan pribadi dan masyarakat yang tidak terpisah dari manusia lain di tengahtengah lingkungan sosial, budaya, fisik, dan keagamaan. Dalam konteks sosial berbuat baik (keijasama) antar umat beragama itu boleh, yang tidak boleh adalah mencampur-adukkan cara beribadah. Dengan demikian, unsur utama dalam kepribadian Indonesia berupa gotong royong betul-betul meresapi kelakuan tiap siswa. Pada surat Al-Hujirat ayat 10 dikemukakan bahwa "Orang-orang mukmin itu saling bersaudara, sebab itu perdamaikanlah antara dua orang saudaramu dan takutlah kepada Allah, mudah-mudahan kamu mendapat rahmat". Sejalan dengan itu, Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa "Berbaktilah kepada Allah dan hubungkanlah tali kekeluargaan kalian, karena yang demikian itu lebih langgeng untuk di dunia dan lebih baik bagi kalian di akhirat" (Hadis Riwayat Ahmad). Manusia pada hakikatnya tidak dapat melepaskan diri dari pergaulan hidup. Manusia baru akan sempurna kemanusiaannya apabila ia mampu menciptakan dan hidup dalam pergaulan tersebut.
224
Berinteraksi dan bekeijasama secara harmonis merupakan tuntutan hidup manusia. Hidup di era globalisasi perilaku yang berpegang teguh pada cara-cara berpikir dan bertindak mengembangkan konflik-konflik, anarki, emosional, cepat terhasut, kurang mampu memilah persoalan pribadi atau kelompok, bahkan tak sanggup lagi berpikir secara jernih tentang dampak dari tindakan yang sedang dan akan dilakukan tersebut, kesemuanya dapat merugikan masyarakat. Bagi masyarakat yang sedang membangun keijasama yang baik sangat diperlukan guna mengejar kemajuan dan meningkatkan kesejahteraan hidup. Perilaku yang perlu dikembangkan adalah yang didasarkan pada cara-cara berpikir rasional, keijasama yang baik, berbudi pekerti luhur, mandiri, cerdas, aktif, kritis, kreatif, inovatif, terampil, beretos keija, profesional yang mampu membangun dirinya sendiri dan masyarakat, bertanggung jawab atas pembangunan bangsa, serta beriman, dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Perubahan perilaku dapat dilakukan melalui pendidikan. Penerapan model kelompok belajar kooperatif sebagai suatu alternatif model pengajaran mulai di SLTP sangat tepat dilakukan. Siswa SLTP adalah tergolong siswa yang memasuki permulaan masa remaja (pra remaja). Pengalaman belajar melalui model kelompok belajar kooperatif mulai masa pra remaja penting bagi perkembangan sumber daya manusia yang akan datang. Masa pra remaja mengemban tugas-tugas perkembangan untuk mencapai jati diri, kemandirian emosional, kematangan interaksi sosial, dan mempersiapkan diri untuk meniti karir. Model kelompok belajar kooperatif di samping mempunyai kelebihankelebihan juga kelemahan-kelemahan. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan itu
'225
maka beberapa solusi yang dapat dilakukan yaitu: (1) sebelum menerapkan model kelompok belajar kooperatif guru merencanakan, menyiapkan, dan memfungsikan program pengajaran, sumber-sumber belajar serta alat/media pengajaran; (2) dalam program pengajaran hendaknya dideskripsikan secara jelas kegiatan-kegiatan yang dilakukan guru dan siswa. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengkondisikan agar siswa siap melaksanakan model kelompok belajar kooperatif sesuai dengan waktu yang direncanakan; (3) siswa sebelum diskusi hendaknya dituntut untuk menguasai bahan pelajaran dengan baik, supaya pada waktu melakukan diskusi mereka tinggal mengembangkan pengetahuannya; (4) guru hendaknya mampu mengorganisasikan, menggerakkan dan mengontrol kegiatan belajar siswa dalam model kelompok belajar kooperatif, sehingga waktu proses belajar mengajar yang ada dapat dimanfaatkan dengan efisien dan efektif; (5) penerapan model kelompok belajar kooperatif disarankan menggunakan diskusi terbimbing {guided inquiry) dengan maksud untuk menghindari kemungkinan teijadi hal-hal yang tidak diinginkan dan lebih mengaktifkan setiap siswa berdiskusi kelompok sesuai dengan tujuan pengajaran; (6) usahakan agar siswa dalam kelompoknya menemukan sendiri jawaban terhadap persoalan yang diajukan guru. Peran guru sebagai sumber informasi hendaknya dikurangi.
Dalam
pengajaran
guru
hendaknya
dengan
sungguh-sungguh
menempatkan diri sebagai fasilitator, pemimpin, moderator, motivator, dan evaluator belajar, serta (7) orang tua perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anaknya untuk menunjang kegiatan belajar kelompok dan melakukan kontrol yang ketat serta melaporkan hasilnya kepada guru dengan menandatangani lembaran tugas siswa.