BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian Dalam bab ini, diuraikan mengenai hasil penelitian tentang perbedaanperbedaan sosial dalam novel ditinjau dari tiga faktor utama yaitu: perbedaan sosial berdasarkan faktor kelahiran/keturunan tokoh, perbedaan sosial berdasarkan faktor uang/kekayaan tokoh dan perbedaan sosial bedasarkan faktor pekerjaan tokoh.
4.1.1 Wujud Perbedaan Sosial Masyarakat Bolaang Mongondow dalam Novel ditinjau dari Faktor Kelahiran/Keturunan Tokoh Salah satu faktor yang menentukan strata sosial masyarakat adalah faktor kelahiran/keturunan. Berdasarkan faktor keturunannya perbedaan sosial dalam masyarakat dilihat dari enam tingkatan strata yang ada yaitu golongan Mododatu yakni raja dan keturunannya, golongan Kohongian yaitu golongan keturunan raja yang tidak berhak menjadi raja, golongan Simpal yaitu pembantu raja, golongan Nonow yaitu golongan penjaga keamanan, Tahig yang merupakan golongan pekerja dan terakhir, Yobuat adalah golongan bawah kaum budak yang juga sering disebut Ata. Dalam Novel Duka di Tengah Bahagia wujud perbedaan sosial berdasarkan faktor kelahiran/keturunan tokoh yang ada dalam cerita sebagai berikut: Novel Duka di Tengah Bahagia diawal kisah memaparkan dialog antara tokoh utama yaitu Muna dengan pesuruh yang bernama Tolutuy. Dalam dialog tersebut
Tolutuy memanggil Muna dengan sapaan Abo’ yaitu gelar untuk bangsawan pria, Panggilan Abo’ memiliki makna tertentu karena hanya pria dari keturunan Bangsawanlah yang berhak dipanggil dengan sapaan Abo’. Hal ini digambarkan melalui kutipan (1) di bawah ini. (1) Aduh, Abo’.kita kan melewati kampung-kampung. Ketemu banyak orang, juga banyak gadis. Malulah kalau bajunya penuh lumpur (DDB, 2009: 1). (2) “lagi pula, Abo’ dan Bua’ pasti akan marah besar. Aku juga yang kena,” kata Tolutuy (DDB, 2009: 1). Orang tua Muna juga di panggil oleh Tolutuy dengan sapaan Abo’ bagi orang tua laki-laki dan Bua’ bagi orang tua perempuan pada kutipan (2). Kedua orang tua Muna disapa demikian karena keduanya merupakan keturunan bangsawan tulen. Karena berasal dari keturunan bangsawan, keluarga Muna memiliki seorang pesuruh yang bernama Tolutuy. Tolutuy adalah ata yang artinya budak merupakan istilah bagi golongan Yobuat. Golongan Yobuat adalah strata terendah dalam enam golongan strata yang ada. Ata bisa dari keturunan dan bisa juga karena melakukan kesalahan. (3) Tolutuy adalah ata. Dia harus melayani segala keperluan Muna. Entah bagaimana Tolutuy menjadi ata Muna tidak tahu. Ata bisa dari keturunan. Orang tuanya ata maka anaknya akan menjadi ata. Bisa juga karena melakukan kesalahan. Namun kesalahan apa yang dilakukan Tolutuy sehingga ia menjadi manusia rendahan semacam itu? Muna tak tahu pasti. Yang ia tahu, sejak dia bisa mengenali sekeliling, Tolutuy telah menjadi pelayan (DDB, 2009: 2). Kutipan (3) di atas, menjelaskan kedudukan Tolutuy sebagai budak di keluarga Muna. Biasanya yang berhak memliliki ata hanya dari kaum bangsawan saja
atau mereka yang berasal dari golongan Mododatu dan Kohongian saja. Hal ini dapat dilihat pada kutipan (4) berikut: (4) Beginilah yang dikatakan pototonggolipu oleh orang tuanya. Hajatan bagi para bangsawan dengan ata sebagai pekerja (DDB, 2009: 48). Pototonggolipu’ yang dimaksud dalam kutipan (4) di atas, merupakan hajatan bagi kaum bangsawan. Dalam hajatan seperti itu kaum ata yang mengerjakan semua pekerjaan yang ada. Selagi masih terikat oleh tuannya, ata harus mengikuti apapun perintah tuannya. Kaum ata sebenarnya dapat bebas ketika dinyatakan bebas oleh tuannya. Hal ini yang dirasakan tokoh Tolutuy ketika tuannya Ayah Muna yang bernama Abo’ Ladang mengangkatnya sebagai anak dan pewarisnya. Walau demikian tetap saja Tolutuy tidak bisa menjadi Abo’ karena hubungan darah. Hal ini dibuktikan oleh dialog tokoh Bulan dengan tokoh Latmi dalam kutipan (5) berikut ini: (5)Dia bukan ata lagi Bulan. Dia sudah dianggkat anak oleh Abo’ Ladang dan dinyatakan sebagai pewaris satu-satunya semua peninggalan Abo’ Ladang” (DDB, 2009: 74). Tokoh Bulan dalam kutipan (5) adalah istri dari Muna yang hanya merupakan keturunan rakyat biasa yang dikenal dengan Tuangi Lipu’. Tuangi Lipu’ umumnya berprofesi sebagai petani atau pedagang. Tuangi Lipu’ adalah orang-orang dari golongan Tahig (golongan pekerja). Hal ini digambarkan dalam kutipan (6) berikut: (1) Rumah panggung itu hanya milik Tuangi Lipu’, yaitu golongan masyarakat di bawah bangsawan yang berdagang (DDB, 2009: 18).
Tuangi Lipu’ umumnya memiliki pesuruh atau pembantu layaknya bangsawan yang memiliki ata. Tapi para pesuruh dari Tuangi Lipu’ tidak berhak disebut ata karena yang berhak memiliki ata hanya para Bangsawan. Tokoh Latmi pada kutipan (5) adalah contoh dari pesuruh Tuangi Lipu’ milik keluarga Bulan. Perbedaan ata dengan pesuruh Tuangi Lipu’ adalah ata bekerja tanpa digaji oleh tuannya, dan terikat dengan sang tuan. Sementara pesuruh tuangi Lipu’ tidak terikat oleh tuannya dan ia menerima upah sesuai dengan hasil pekerjaannya. Dalam novel tokoh Tolutuy adalah contoh dari ata sedangkan tokoh Latmi adalah contoh dari pesuruh Tuangi Lipu’. (2) Tolutuy tampaknya tak lagi menjadi budaknya, mungkin orang tuanya melarang. Ah, Tolutuy, sekali budak tetap saja budak! Sangat berbeda dengan Latmi. Walau yatim piatu dan jelas terikat pada keluarga istrinya namun Latmi mendapatkan kebebasan. Mungkin karena gelar yang disandang. Bagaimanapun Tolutuy tetap ata sedang Latmi sebenarnya manusia bebas karena hanya bangsawan yang berhak punya ata (DDB, 2009: 62). Pada kutipan (7) Tolutuy dilarang oleh orang tua Muna untuk melayani Muna disebabkan orang tuanya melarang Muna untuk menikahi gadis dari keturunan rakyat biasa. Hal ini menyebabkan timbulnya perselisihan antara tokoh Muna dan kedua orang tuanya dan menyebabkan Muna membenci bangsawan yang menyombongkan kelas mereka. Berikut kutipannya: (3) Dari membenci system, Muna beralaih membenci bangsawan pongah yang menindas manusia yang berada di bawah kelas mereka (DDB, 2009: 3). Walau keturunan bangsawan, Muna bukanlah siapa-siapa jika berhadapan dengan orang yang berada dalam komalig. Komalig adalah rumah tempat Raja dan keluarganya tinggal.
(4) Muna tak pernah melihat pangkat orangnya kalau ingin menghajar. Kalau yang dihajar hanya anak bangsawan yang darahnya sudah bercampur- hanya salah satu yang bangsawanatau kedua orang tuanya bangsawan tapi tak memegang pemerintahan (seperti orang tua Muna) maka tak masalah sepanjang Muna memenangkan perkelahian.Namun jika yang dihadapi orang dalam komalig, akan sangat repot. Abo’ Ladang dan bua’ Longkagi akan dipanggil mereka harus menghadap dengan posisi bersimpuh, mengatur kata, memohon maaf dan ampunan (DDB, 2009: 6). Kutipan (9) menjelaskan tentang kedudukan orang-orang dalam komalig. Orang-orang dalam komalig sangat berkuasa. Tak ada seorangpun yang berani pada orang-orang dalam komalig ini dikarenakan Raja dan keluarganya menduduki strata tertinggi dalam sosial masyarakat Bolaang Mongondow di masa itu. Dalam novel, komalig adalah tempat tinggal tokoh Datu’ sebagai Raja. Kekuasaan tertinggi ada di tangan tokoh Datu’. Ini digambarkan seperti dalam kutipan berikut: (5)
Komalig berupa rumah pangun tingi dan besar. Halamannya yang luas ditata apik. Parit yang agak lebar dibuat mengelilingi halaman. Sebuah jembatan yang bis dipasang/angkat letakkan di gapura depan. Hanya disana satu-satunya tempat keluar masuk dari komalig. Muna, Abo’ Yusuf, dan Samuel menaiki tangga seolah merekalah pemilik komalig, namun, begitu masuk ruang dalam, mereka berjongkok dan berjalan dengan tumit. Datu’ di singasananya (DDB, 2009: 99).
Datu’ pada kutipan (10) merupakan sapaan yang artinya Raja. Datu’ dan keturunannya menduduki strata tertinggi dalam sistem sosial masyarakat Bolaang Mongondow di masa kerajaan. Orang yang berhak menjadi Datu’ dipilih dari keturunan Raja-Bangsawan dan harus berkelamin laki-laki. Datu’ begitu dijunjung tinggi oleh rakyat karena ia dianggap sebagai pemimpin yang harus didengarkan dan diikuti. Baik rakyat biasa maupun golongan bangsawan jika menghadap Datu’ harus
berjalan berjinjit pertanda merendahkan diri seperti ada kutipan (10) di atas dan pada kutipan (11) berikut ini: (6)
Samuel sudah mengajarkan bagaimana menghadap Datu’. Sejak masuk dari pintu dalam komalig sampai ke singgasana Datu’ harus berjalan berjinjit (DDB, 2009: 104).
Pada kutipan (11) menggambarkan, semakin tinggi gelar seseorang maka ia akan makin dihormati. Hal inilah yang menyebabkan keturunan bangsawan begitu di banggakan. Banyak masyarakat biasa sering mengorbankan anak gadisnya untuk memperoleh turunan bangsawan walau tanpa dinikahi. Para
Abo’ muda
memanfaatkan darah bangsawan mereka untuk meniduri para gadis tersebut tanpa tanggung jawab jika gadis yang ditiduri hamil bahkan melahirkan seorang anak. Anak dari hasil hubungan tersebut tetap dirawat oeh pihak perempuan. Hal ini biasa terjadi pada kegiatan Turney. Turney adalah kunjungan bangsawan untuk disodorkan gadisgadis dari golongan rakyat biasa untuk mereka tiduri. Turney dijelaskan dalam novel seperti kutipan (12) dan (13) berikut ini: (7)
(8)
Turney adalah kunjungan pejabat. Dalam kunjungan itu, sudah menjadi kebiasaan disuguhkan perempuan untuk menjadi teman tidurnya. Hanya teman tidur. Tanpa dinikahi. Jika yang ditiduri hamil dan melahirkan seorang anak maka sang anak dirawat oleh keluarga perempuan. Aneh. Keluarga perempuan malah bangga karena mereka mendapat turunan bangsawan (DDB, 2009: 2829). Turney adalah kesenangan amtenar yang kebanyakan bangsawan. Rakyat bodoh ini menganggap darah bangsawan sedemikian mulia sehingga mereka rela anak gadisnya ditiduri sampai hamil dan melahirkan. Para bagsawan itu tidak akan menikahi anak gadisnya namun mereka ikhlas saja, bahkan mereka bangga (DDB, 2009: 31-32).
Sebenarnya, Laki-laki keturunan bangsawan bisa saja menikah dengan perempuan biasa. Garis bapak- yang kemudian dikenal dengan patriarki- membuat anak-anak mereka tetap biasa menyandang gelar Abo’ dan Bua’. Hal ini tergambar dalam kutipan (14) berikut: (9)
Lelaki bangsawan yang berhubungan dengan perempuan biasa sebenarnya tak masalah. Garis bapak- yang kemudian dikenal dengan patriarki- membuat anak-anak mereka tetap biasa menyandang gelar Abo’ dan Bua’ (DDB, 2009: 41).
Dalam novel, tokoh Muna yang keturunan bangsawan tulen ditentang orang tuanya ketika ia mencintai tokoh Bulan anak dari seorang Tuangi Lipu’ dan menikahinya. Tetapi, anak Muna tetap bisa menyandang gelar Abo’ seperti kutipan (15) berikut: (10) “Biarlah Abo’ saya gendong, Haji” Sial. Sekarang anaknya yang dipanggil Abo’ (DDB, 2009: 71). Selain sapaan Abo’ pada kutipan (14) dan (15) serta sapaan Bua’ pada kutipan (14) di atas, ada pula sapaan Bai’. sapaan Bai’ digunakan bagi perempuan yang berdarah campuran sebagai akibat perkawinan antara Bangsawan dengan rakyat biasa. Keturunan rakyat biasa tidak berhak di panggil Bai’. (11) Inde’ Onow memang selalu begitu, tak mengenal pranata. Setiap pasiennya ia panggil Bai’, suatu sebutan yang sebenarnya hanya berlaku bagi orang di bawah sedikit bangsawan dan di atas rakyat biasa. Panggilan Bai’ diberlakukan pada perempuan yang orang tua perempuannya bangsawan dan orang tua lelakinya rakyat biasa (DDB, 2009: 117). Pada kutipan (16) di atas, tokoh Inde’ Onow memanggil semua pasiennya dengan sapaan Bai’. Hal ini sebenarnya tidak dibolehkan. Tetapi tokoh Inde’ Onow
adalah sosok yang tak mengenal pranata. Sebenarnya, perbedaan manusia berdasarkan strata sosialnya tidak sejalan dengan agama. Dalam agama manusia dibedakan hanya dari amalnya saja. Hal ini seperti digambarkan dalam kutipan (17) berikut: (12) “Apa manusia bisa dibedakan antara bagsawan dan rakyat biasa,Aba’?” Tanya Muna menggugat. “tidak, Abo’. Manusia sama di hadapan Allah, yang membedakan manusia hanya amal kebajikannya. Rasulullah bukan bangsawan dan miskin. Dia punya kedudukan karena umat mempercayainya. Beliau hanya manusia biasa yang menjadi utusan Allah. Kna itualau benar kita muslim, seharusnya kita mengikuti ajaran beliau” (DDB, 2009: 54). Kutipan (17) di atas, adalah landasan berpikir tokoh Muna sehingga walaupun ia bangsawan ia tidak angkuh dan sombong. Inilah yang membuat Muna begitu berbeda dengan bangsawan-bangsawan lain. Disamping gelar yang disandang dan tempat tinggal tokoh dalam novel, upacara kematian juga menjadi simbol di strata mana seseorang itu berasal. Jika yang meninggal adalah keturunan Bangsawan, yakni mereka yang berada di golongan Kohongian seperti tokoh Muna dalam cerita, maka akan dibuatkan tonggoluan. Tonggoluan ialah tempat jenazah dibaringkan dikelilingi lapi-lapi yang terbuat dari kain sikayu yang ditempel dengan manik-manik. (18)Orang-orang kaget melihat tonggoluan saat mereka bertaajiah. Bulan marhum, walau orangnya baik namun hanya dari golongan Tuangi Lipu’. Tak layak dibuatkan tonggoluan karena tonggoluan hanya bagi raja, turunan raja dan angsawan (DDB, 2009: 121). (19)Bagi Muna sendiri , itu merupakan bagian dari penghormatan dan pemuliaan atas penggabdian marhum padanya (DDB, 2009: 122).
Pada kutipan (18) dan (19) menggambarkan tokoh Muna yang membuatkan tonggoluan kepada istrinya ketika meninggal sebagai bentuk pemuliaan bukan berdasarkan tradisi kebangsawanan. Tonggoluan sebenarnya hanya sebuah tradisi yang sengaja diciptakan untuk menampakkan adanya suatu perbedaan dalam masyarakat di masa itu.
4.1.2 Wujud Perbedaan Sosial Masyarakat Bolaang Mongondow dalam Novel Ditinjau dari Faktor Uang/Kekayaan Tokoh Uang/kekayaan merupakan salah satu faktor penentu di strata mana seseorang itu berasal. Di masa kerajaan Bolaang Mongondow, para bangsawan dan keturunannya memiliki uang yang berlimpah dibanding dengan rakyat biasa. Hal ini terjadi karena indikator perbedaan sosial berdasarkan uang/kekayaan dilihat dari perannya dalam memberikan latar belakang keluarga dan cara hidup. Dalam novel, berdasarkan latar belakang keluarga yang dimiliki, uang/kekayaan milik bangsawan biasa diperoleh mereka secara turun-temurun atau diwariskan dari orang tua ke anakanak mereka. Dalam pembagian warisan, Datu’ mendapat pembagian budel sesuai ketentuannya sebelum seluruh harta dibagikan kepada anak-anaknya. Jika harta milik suami-istri tanpa anak, maka ketika mereka meninggal, seluruh hartanya menjadi milik Datu’ atau Raja. Ada pula para bangsawan yang memiliki anak tetapi tidak mewariskan harta pada anak mereka. Hal ini biasa terjadi karena anak bangsawan menikihi rakyat biasa sehingga menyebabkan orang tua keturunan bangsawan membuang sang anak. Dalam novel, harta milik tokoh Abo’ Ladang tidak
diwariskannya kepada Muna dalam hal ini anaknya karena tokoh Muna telah dibuang sebagai anak karena menikahi gadis dari rakyat biasa (Tuangi Lipu’). (20)Dalam surat itu dia diminta ke pengadilan berdasarkan permohonan yang diajukan Abo’ Ladang. Permohonan tersebut adalah pemutusan hubungan orang tua-anak antara Abo’ Ladang dan Muna. Pemutusan tersebut berakibat hukum kepada penentuan warisan. Nama Muna dicoret sebagai ahli waris Abo’ Ladang (DDB, 2009: 74). Pada kutipan (20) di atas, menggambarkan pemutusan hubungan orang tua – anak antara tokoh Muna dan ayahnya. Penentuan ini berpengaruh terhadap penentuan warisan. Orang tua Muna berhak menentukan siapa pewaris yang akan ditunjuk nantinya. Namun jika orang tua Muna meninggal dan diproses secara hukum kerajaan, maka seluruh harta menjadi milik Datu’. Hal ini digambarkan pada kutipan (21) berikut: (21)“Kalau hukuman dijatuhkan, seluruh hartanya akan menjadi milik kerajaan. Dan Datu’ sudah memutuskan untuk memberikan semua harta orang tuamu padamu”(DDB, 2009: 94). Kutipan (21) di atas, menggambarkan hak-hak Datu’ terhadap harta yang dimiliki seseorang. Datu’ dalam kutipan di atas adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Dikatakan demikian, karena Ia mengembalikan apa yang sebenarnya menjadi hak Muna. Sosok Datu’ dalam novel ini, adalah sosok yang dapat menjadi teladan bagi pemimpin-pemimpin di masa sekarang ini. Kekayaan seseorang juga dapat dilihat pada bentuk tempat tinggal seperti pada kutipan (10) yang menjelaskan kemegahan tempat tinggal tokoh Datu’ dan cara berpakaian tokoh yang ada dalam cerita.
4.1.3 Wujud Perbedaan Sosial Masyarakat Bolaang Mongondow dalam Novel Ditinjau dari Faktor Pekerjaan Tokoh Di masa kerajaan Bolaang Mongondow, pekerjaan seseorang turut menentukan di strata mana orang tersebut berasal. Seorang keturunan Bangsawan tidak diperkenankan bekerja. Pekerjaan hanya dilakukan oleh mereka di bawah golongan Bangsawan. Datu’ berhak atas hasil pekerjaan mereka, misalnya bagi mereka yang bekerja sebagai nelayan dan pemburu jika berhasil menangkap ikan dan berburu maka ikan terbesar dan hasil buruan terbaik diperuntukkan bagi Datu’. Bagi mereka yang bertani maka hasil pertama kebun dan buah-buahan diperuntukkan bagi Datu’.
Dalam
Novel,
tokoh
Muna
yang
bangsawan
menentang
kodrat
kebangsawanannya dengan memilih untuk bertani. Bagi Muna bertani bukanlah pekerjaan rendahan seperti anggapan para Bangsawan selama ini. Berikut gambarannya pada kutipan( 22): (22) “selain berburu, saya ini petani, Ama’”(DDB, 2009: 32). Gambaran pekerjaan Muna pada kutipan (22) di atas, tidak sesuai dengan gelarnya sebagai bangsawan. Bertani hanya pekerjaan rakyat biasa dan kaum ata. Kaum bangsawan biasanya menyuruh ata mereka atau menyewa rakyat biasa untuk mengerjakan sawah mereka. Gambarannya ada pada kutipan (23): (23)“kulihat pekerjaanmu belum selesai Utuy,” kata Muna. Tolutuy tercekat “ah, biar saya selesaikan dulu” Muna tersenyum “ kalau kau lelah istirahat saja”
“ah, tidak. Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya,” tergopo-gopo Tolutuy menuruni tangga dan secepat kilat kebarisan padi yang belum ia selesaikan. (DDB, 2009:29). Karena bertani hanya dilakukan oleh kaum ata dan rakyat biasa maka akan timbul rasa heran jika ada bangsawan yang bertani. Pada kutipan (24) berikut gambarannya: (24) “Abo’ yang bertani?” Bulan terbahak. Kalau hanya mengawasi orang bekerja,mungkin. Namun benar-benar bekerja, mencangkul, bermandikan lumpur, rasanya tak ada. Membayangkan seorang Abo’ memegang cangkul, rasanya menggelikan (DDB, 2009: 27). Pada kutipan (24) digambarkan bahwa betapa anehnya seorang keturunan bangsawan memilih pekerjaan sebagai petani. Di masa kerajaan Bolaang Monondow bertani memang dianggap sebagai pekerjaan rendahan karena mengotori badan dengan lumpur. (25)Baru sekarang ia mendengar ada putra bangsawan bertani. Setahunya, para putra bangsawan tak ada yang mau mengotori badannya dengan tanah (DDB, 2009: 32). Pada kutipan (25) menggambarkan bahwa petani bukanlah pekerjaan yang cocok bagi seorang keturunan bangsawan. Tokoh Muna tidak peduli dengan anggapan orang-orang ia malah menerima lahan pertanian yang diberikan Datu’ meskipun itu jauh dari pusat kota dan membuka lahan pertanian di sana sebagaimana pada kutipan (26) berikut: (26) Dua hari mereka di sana untuk menentukan batas-batas. Dan tanah itu ternyata sangat luas. “Datu’ hanya membetikan ini padaku?” Tanya Muna, tak percaya. “kalau engkau mau,” kata Samuel. Tentu saja aku mau (DDB, 2009: 80).
Golongan bangsawan seharusnya bekerja pada Datu’ Mereka menggunakan pakaian kebesaran simbol keangkuhannya. Tokoh Abo’ Yusuf dan Samuel dalam novel merupakan contoh orang-orang yang bekerja pada Datu’. Berikut gambarannya pada kutipan (27): (27)Ditengah kegalauannya datang Abo’ Yusuf dan anaknya Samuel. Bapak-anak itu memakai baju seragam, hijau berbis kuning dan ikat kepala hijau juga. Lucu. Baju itu kontras denan kulit mereka yang gelap dan matahari yang panas namun mereka sangat percaya mengenakannya. Mertua Muna langsung datang menyongsong kedua pembesar kerajaan itu (DDB, 2009: 78). Pada kutipan (27), menggamabrkan keangkuhan dari orang-orang yang bekerja pada Datu’. Umumnya orang-orang yang bekerja pada Datu’ dihormati dang disegani masyarakat. Hal ini disebabkan kebanyakan dari pembesar kerajaan adalah keturuan bangsawan. Sebenarnya pada hakikatnya, pekerjaan apapun bentuknya baik itu petani atau pembesar kerajaan sama-sama baik. Hanya saja, di masa kerajaan pekerjaan seseorang turut menentukkan derajat seseorang dimata masyarakat.
4.2 Pembahasan 4.2.1 Perbedaan Sosial Masyarakat Bolaang Mongondow Berdasarkan Faktor Kelahiran/Keturunan Di dalam novel, berdasarkan keturunannya penggolongan seseorang dalam suatu strata tertentu ditentukan oleh gelar yang dikenal lewat sapaan yang melekat pada seseorang sebagai berikut:
1) Gelar Datu’, merupakaan sapaan bagi seorang raja yang memegang pemerintahan di wilayah Bolaang Mongondow pada masa kerajaan. Datu’ dan keturunannya menduduki strata tertinggi dalam sistem sosial masyarakat bolaang mongondow di masa kerajaan. 2) Gelar Abo’, biasa digunakan untuk menyapa pria keturunan bangsawan yang bukan pewaris jabatan Raja. Selain keturunan bangsawan tidak ada yang berhak menyandang gelar tersebut. Apabila terjadi perkawinan antara pria keturunan bangsawan dengan gadis dari rakyat biasa maka keturunan anak laki-laki hasil perkawinan tersebut tetap bisa menyandang gelar Abo’. 3) Gelar Bua’, merupakan sapaan bagi wanita keturunan bangsawan yang bukan pewaris jabatan Raja. 4) Gelar Bai’, adalah sapaan untuk perempuan yang berdarah campur sebagai akibat perkawinan antara bangsawan dan rakyat biasa. 5) Gelar ata, merupakan sapaan untuk budak yang dapat diperjualbelikan atau dihadiakan kepada raja. Seseorang dijadikan ata dikarenakan keturunan maupun melakukan kesalahan. Dikaitkan dengan sejarah Bolaang Mongondow, Masyarakat Bolaang Mongondow di masa kerajaan kental akan perbedaan sosial berdasarkan strata sosialnya. Hal ini diawali di masa pemerintahan Tadohe pada masa Punu-Punu, ketika Tadohe dinobatkan sebagai Punu ke-VII, Tadohe melaksanakan musyawarah di Tudu in Bakid (Puncak Gunung Musyawarah). Dengan adanya musyawarah tersebut,
Tadohe berhasil mempersatukan seluruh rakyat yang hidup berkelompok dengan boganinya masing-masing. Dalam musyawarah tersebut, rakyat diwakili oleh Paloko dan pemuka adat serta pihak pemerintah diwakili oleh Kinalang. Seluruh kesepakatan dalam musyawarah disebut Perjanjian Paloko-Kinalang. Perjanjian tersebut diikuti dengan pengucapan ikrar dan sumpah bersama. Perjanjian tersebut berisi tentang beberapa peraturan hukum adat Bolaang Mongondow, peraturan di bidang pemerintahan, peraturan di bidang pertanian dan perkebuanan serta dalam bidang sosial budaya kemasyarakatan. Dalam bidang budaya kemasyarakatan, Tadohe membuat suatu susunan kasta (tingkatan) dalam masyarakat berdasarkan kelahiran/keturunannya menjadi enam tingkatan yaitu Mododatu, Kohongian, Simpal, Nonow, Tahig dan Yobuat. Golongan Mododatu (kaum ningrat) dalam hal ini yaitu pihak yang berhak menjadi raja dengan definisinya pengangkatan raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan rajaraja. Golongan Kohongian yaitu golongan keturunan raja yang tidak berhak menjadi raja atau secara patrilineal adalah bukan pihak yang berhak menjadi raja karena Pengangkatan Raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja. Golongan Simpal yaitu golongan Raja-Raja bawahannya para raja dan bangsawan Bolaang Mongondow atau dikenal dengan pemegang pemerintahan atau pembantu raja. Keempat, Golongan Nonow yaitu golongan penjaga keamanan. Golongan Tahig merupakan golongan pekerja. Golongan Yobuat adalah golongan bawah yang juga sering disebut Ata.
Di bidang peraturan hukum adat, berpengaruh terhadap pelaksanaan upacara perkawinan maupun kematian yang berbeda sistem tingkatan atau kelasnya berdasarkan keturunannya. Dalam upacara pernikahan misalnya, selain golongan mododatu dan kohongian tidak diperkenankan untuk menabuh kulintang atau gendang menjelang atau saat pernikahan kecuali ada izin dari salah satu tokoh golongan bangsawan. Pada upacara kematian, bekas tempat tidur atau pembaringan jenazah yang disebut Tonggoluan hanya dibolehkan pada golongan raja-raja hingga golongan kohongian. Tonggoluan itu dihiasi lapi-lapi yaitu hiasan yang terbuat dari kain peninggalan Portugis yang bernama sikayu yang ditempeli untaian manik-manik warna-warni. Bagi golongan raja dan bangsawan dikedua ujung Tonggoluan digantung paying hitam dalam keadaan terbuka tetapi menggantung secara terbalik. Jika meninggal golongan mododatu dan kohongian, maka di depan rumah dibuat matubo berhias pucuk daun kelapa atau janur kuning dan pada pucuknya dikibarkan bendera putih tanda berkabung. Dalam novel, upacara perkawinan tokoh Muna dan Bulan tidak dilaksanakan selayaknya upacara perkawinan keturunan bangsawan karena orang tua Muna tidak merestui perkawinan tersebut. Tetapi pada upacara kematian tokoh Bulan, dilaksanakan layaknya upacara kematian golongan mododatu dan kohongian. Ini dilakukuan suami Bulan yakni Muna yang merupakan keturunan kohongian untuk memuliakan istrinya yang sudah meninggal.
4.2.2 Perbedaan Sosial Masyarakat Bolaang Mongondow Berdasarkan Faktor Uang/Kekayaan Golongan bangsawan adalah golongan yang memiliki kekayaan tertinggi di masa kerajaan Bolaang Mongondow. Datu’ sebagai kepala pemerintahan memiliki beberapa hak atas kepemilikan kekayaan dari rakyat biasa sebagai berikut: 1) Apabila seseorang berhasil menangkap ikan atau berburu maka ikan terbesar atau hasil buruan terbaik harus diperuntukkan bagi Raja. 2) Hasil pertama kebun dan buah-buahan diperuntukkan bagi Raja. 3) Raja berhak atas pelanggaran denda dan pelanggaran aturan atau hukum kerajaan. 4) Bila seseorang menggarap tanah untuk perkebunan harus terlebih dahulu memberitahukan kepada Raja. 5) Jika suami-istri tanpa anak meninggal maka harta miliknya menjadi milik Raja. Jika yang meninggal golongan kohongian maka Raja menerima pemberian budel sebanyak 30 Real. Dalam novel, harta milik keluarga Muna dari golongan kohongian di wariskan orang tua Muna kepada budak mereka dari golongan Yobuat. Hal ini tidak direstui oleh Datu’ sehingga setelah orang tua Muna meninggal harta tersebut diambil oleh Datu’ dan diserahkan kepada Muna sebagai pewaris yang sah. Jika ditinjau dari sejarahnya, fasilitas dan hak-hak Raja di atas, didasarkan pada penetapan hak-hak Raja yang terkandung dalam isi perjanjian Paloko-Kinalang. Hal inilah yang menjadi penyebab adanya perbedaan sosial masyarakat berdasarkan kekayaannya. Masyarakat biasa (golongan Tuangi Lipu’) kehidupannya tetap akan
biasa-biasa saja sedangkan Raja dan keturunannya akan semakin kaya dikarenakan hak kepemilikan kekayaan tersebut.
4.2.3 Perbedaan Sosial Masyarakat Bolaang Mongondow Berdasarkan Faktor Pekerjaan Faktor pekerjaan seseorang turut menjadi penentu strata sosial orang tersebut. Dalam novel, tokoh Muna yang bangsawan menentang kodrat kebangsawanannya dan memilih bekerja sebagai petani. Kesungguhannya untuk bertani dibuktikannya dengan menerima lahan perkebunan yang terletak di Pinolosian yang di berikan oleh Datu’. Lahan tersebut dikelolahnya dan setelah mendapatkan hasil maka diboyongnya istrinya yang bernama Bulan dan anak-anaknya untuk tinggal di sana. Dikaitkan dengan sejarah di masa kerajaan Bolaang Mongondow, umumnya masyarakat yang dekat dengan Bandar (pusat pemerintahan) membuka lahan pertanian di pedalaman. Setelah mereka sudah berhasil maka kepala-kepala keluarga itu memboyong anak istrinya dan anggota keluarga lain ke pemukiman baru seperti yang dilakukan tokoh Muna dalam novel. Akhirnya pemukiman baru menjadi desa baru yang disebut Totabuan. Berdasarkan sejarah Bolaang Mongondow, awal mulanya, penduduk Bolaang Mongondow mencari makan dengan mengumpulkan dari hutan, berburu dan menangkap ikan. Nanti setelah datangnya para pedagang asing dari Portugis dan Spanyol yang memperkenalkan cara bercocok tanam, maka mata pencarian berubah menjadi bertani, baik itu bercocok tanam padi, jagung maupun kelapa.
Makin lama persawahan makin luas. Untuk menambah kebun lading, para petani mulai membuka ladangnya di lereng-lereng gunung. Hasil padi dan jagung di samping untuk dijadikan makanan juga dijual untuk mendapatkan uang. Apabila persediaan padi dan jagung semakin berkurang penduduk menggantinya dengan mengolah sagu. Bertani umumnya dikerjakan oleh rakyat biasa. Golongan Mododatu dan Kohongian tidak melakukan pekerjaan itu. Jika seseorang dari Golongan Mododatu dan Kohongian memiliki lahan pertanian, umumnya lahan tersebut dikerjakan oleh budak mereka (kaum ata). Para bangsawan biasanya hanya mengawasi saja.