150
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam Bab IV berikut ini dipaparkan mengenai hasil penelitian tentang kondisi empiris Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung sebagai bentuk implementasi kebijakan perubahan dari institut menjadi universitas.
Pemaparan
tersebut
kemudian
dilanjutkan
dengan
analisis/
pembahasan atas hasil penelitian di lapangan untuk dikonfirmasikan dengan teoriteori yang relevan sebagaimana yang disajikan pada Bab II. Hasil-hasil penelitian di lapangan dan pembahasannya menjadi landasan bagi penulis untuk mengajukan model konseptual Manajemen Strategik pengembangan UIN Bandung dengan pendekatan Balanced Scorecard yang di uraikan pada Bab V.
A. Hasil Penelitian 1. Perubahan IAIN menjadi UIN a. Tahap-tahap Perkembangan UIN Bandung Perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN, yang menjadi kecenderungan sejumlah perguruan tinggi Islam di era 2000an (Karni, 2009: 304), merupakan salah satu gambaran realitas bahwa perubahan menjadi keniscayaan bagi suatu perguruan tinggi, tidak terkecuali bagi perguruan tinggi Islam. Perubahan tersebut mencerminkan respons perguruan tinggi Islam di Indonesia terhadap dinamika yang terjadi di masyarakatnya. Dari sisi perubahan secara umum, perubahan yang terjadi saat ini bukanlah merupakan hal baru bagi perguruan tinggi Islam di Indonesia. Ia merupakan kelanjutan dari perkembangan pemikiran Islam di
151
Indonesia mengenai pendidikan tinggi sejak masa-masa awal kemerdekaan. Dengan kata lain, perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN tidak bisa dilepaskan dari rangkaian panjang sejarah perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengetahui secara lebih komprehensif mengenai bentuk perubahan UIN SGD Bandung, paparan mengenai sejarah perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indoensia menjadi sesuatu hal yang tidak bisa dihindari. Keberadaan IAIN sebagai perguruan tinggi di lingkungan Kementerian Agama RI, sejak didirikan sampai perkembangannya sekarang ini merupakan hasil perjuangan yang sudah lama dirintis oleh para tokoh umat Islam. Gagasan mendirikan perguruan tinggi Islam merupakan salah satu mata rantai sejarah perjuangan umat Islam Indonesia sejak awal abad XX. Hal tersebut muncul dari kesadaran kolektif umat Islam di tanah air sejak perempat pertama abad XX yang mengukuhkan pentingnya perbaikan pendidikan Islam. Terdapat empat aspek penting yang menjadi perhatian tentang perlunya pembaharuan atau modernisasi pendidikan Islam pada saat itu. Pertama, kelembagaan; yaitu pembaharuan atau perubahan kelembagaan pendidikan Islam, baik dalam bentuk transformasi dari lembaga yang sudah ada maupun pendirian lembaga pendidikan Islam yang baru. Kedua, subsatansi isi (content) kurikulumnya; yaitu dari pengajaran ilmu-ilmu agama dikembangkan dengan pengenalan pada ilmu-ilmu umum ke dalam lembaga pendidikan Islam. Ketiga, aspek metodologis, yaitu perubahan metodologi pengajaran yang selama itu diterapkan di lingkungan lembaga pendidikan Islam yang dianggap kurang relevan. Keempat; dari segi fungsi; yakni
152
mengembangkan fungsi pendidikan Islam yang secara tradisional meliputi: transfer ilmu-ilmu keislaman (transfer of Islamic knowledge), memelihara tradisi Islam (maintenance of Islamic traditions), dan melahirkan ulama (reproduction of ulama) (UIN Yogyakarta, 2010). Gagasan tersebut direalisasikan dengan didirikannya Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta oleh Masyumi pada tanggal 27 Rajab 1364 bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1945. STI merupakan cikal bakal sejarah berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia. Keputusan Masyumi untuk mendirikan STI tersebut merupakan kelanjutan dari usaha-usaha yang telah dicoba oleh Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) sejak awal tahun 1943. Berdirinya STI merupakan penjelmaan dari pikiran yang jernih dan pandangan yang jauh ke depan dari pemimpin-pemimpin Indonesia tentang corak perguruan Islam yang harus ada. Hal itu terlihat pada gagasan awal pendirian STI, yaitu bahwa ia didirikan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada “orang-orang yang telah mempelajari Islam secara meluas dan mendalam, dan telah memperoleh standar pengetahuan umum yang memadai seperti dituntut oleh masyarakat dewasa ini”. Gagasan itu terumuskan dalam tujuan pendirian STI yaitu menjadi ”Perguruan tinggi yang memberikan pelajaran dan pendidikan tinggi tentang ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu kemasyarakatan agar menjadi penyiar agama dan memberikan pengaruh Islam di Indonesia”. Dengan tujuan tersebut, para pemrakarsa STI berupaya untuk mencari bentuk perpaduan pendidikan yang kelak diharapkan dapat melahirkan ulama’ yang pakar dalam dua
153
bidang sekaligus, mempelajari Islam secara meluas dan mendalam dan juga memiliki kualifikasi ilmu-ilmu ”sekuler” yang memadai (UIN Yogyakarta, 2010). Penegasan arah pengembangan perguruan tinggi Islam (STI) dapat dilihat dalam pidato Mohammad Hatta pada saat pembukaan kembali STI di Yogyakarta pada tanggal 10 April 1946. Dalam pidato yang biasa disebut sebagai ”Memorandum Hatta” itu, ia menyebutkan antara lain: “Demikianlah, dalam lingkungan STI bisa diselenggarakan pengajaran agama yang berdasarkan pengetahuan tentang Filsafat, Sejarah, dan Sosiologi. Agama dan Filsafat memperluas kepercayaan dan memperhalus perasaan agama. ... Agama dan Sejarah memperluas pandangan agama. ... Agama dan Sosiologi mempertajam pandangan agama ke dalam masyarakat yang hendak dipimpin.......”
Mengacu pada Memorandum Hatta tersebut, dapat diketahui ke mana arah pengembangan ilmu yang hendak dicapai oleh STI melaluit rencana pelajarannya. Bisa dikatakan bahwa basic philosophy pengembangan ilmunya adalah integralistik, tidak dikotomis antara ilmu agama dan umum (UIN Yogyakarta, 2010). Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, telah membukakan jalan yang luas bagi umat Islam untuk melaksanakan apa yang telah lama diidamidamkan dalam bidang pendidikan atas dasar ajaran Islam. Keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Islam di Indonesia dilandasi oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama, di dalam ajaran Islam tidak ada pemisahan antara paham kenegaraan dengan agama. Kedua, adanya kewajiban bagi umat Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah. Ketiga, belum adanya perguruan yang berdasarkan Islam yang mampu menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai lapangan.
154
Keempat, pada zaman penjajahan, pendidikan hanya deselenggarakan untuk mendukung kepentingan penjajah. Kelima, umat Islam kekurangan tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan. Keenam, dirasakan perlunya memberi kesempatan kepada sekolah-sekolah agama (madrasah) dan pelajar-pelajar dari pesantren untuk dapat melanjutkan pendidikan mereka hingga perguruan tinggi yang dapat memberikan ilmu-ilmu keahlian (Supardi, et.al.,1994 dalam Sanaky, 2008: 12). Pada saat pusat pemerintahan berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta, Sekolah Tinggi Islam ikut pindah dan berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada tanggal 22 Maret 1948. Dengan mengambil Fakultas Agama dari Universitas Islam Indonesia, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950 mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri/PTAIN (IAIN Bandung, 2003: 1). kemudian pada tahun 1957, Departemen Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Mengingat ruang lingkup disiplin ilmu Agama Islam yang luas, maka pada tanggal 9 Mei 1960, berdasarkan Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960, PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta digabung menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Maksud dan tujuan didirikannya IAIN adalah untuk membentuk sarjana muslim yang mempunyai keahlian dalam ilmu agama Islam, berakhlak mulia, cakap serta mempunyai kesadaran bertanggung jawab atas kesejahteraan umat, masa depan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Disamping itu IAIN juga bertujuan untuk menyiapkan tenaga ahli agama yang terampil bagi keperluan pemerintah dan masyarakat.
155
Setelah melewati perjalanan panjang, IAIN pada akhirnya didirikan juga di tempat-tempat lain di Indonesia hingga berjumlah 14 buah yang tersebar di pelosok tanah air. Salah satunya berkedudukan di Bandung, Jawa Barat, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung. Perjalanan panjang IAIN/UIN Bandung sejak 1968 hingga saat ini dibagi ke dalam enam periode (Natsir, 2011: 14-18). Keenam periode tersebut adalah: 1) Periode Perintisan (1968-1973). Periode ini merupakan masa-masa perintisan dan pengembangan awal IAIN Bandung (Al-Jami’ah alIslamiyah al-Hukumiyah) di Jawa Barat. Pendirian IAIN Bandung didasarkan pada Keputusan Menteri Agama RI Nomor 56 Tahun 1968. 2) Periode Pembangunan Landasan Kelembagaan (1973-1986). Periode ini ditandai dengan penataan dan pengembangan sarana dan prasarana lembaga pendidikan tinggi Islam. Diawali dengan rayonisasi fakultasfakultas di daerah yang menginduk ke IAIN Bandung dan IAIN Jakarta. Kemudian, kampus IAIN Bandung yang awalnya beralamat di Jalan Lengkong Kecil dipindahkan ke Jalan AH. Nasution 105 Bandung. Di samping itu, dilakukan pemantapan sistem pendidikan Islam dengan menerapkan materi kurikulum yang mengacu kepada Universitas AlAzhar, Mesir. 3) Periode Pembangunan Landasan Akademik (1986-1995). Pada periode ini dilanjutkan
pembangunan
sarana
dan
prasarana
kampus,
juga
pengembangan fakultas dan program studi serta perintisan Program Pascasarjana. Sistem pendidikan diubah dari sistem liberal ke sistem
156
terpimpin dengan mengintrodusir sistem kredit semester (SKS). Sedangkan kurikulum dikembangkan dengan mengacu kepada ketentuan pemerintah (kurikulum nasional) dan kebijakan IAIN sendiri (kurikulum lokal). 4) Periode Orientasi Manajemen Akademik (1995-2003). Pada periode ini dilakukan pemantapan pengembangan kurikulum IAIN dengan mengacu kepada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, serta Keputusan Menteri Agama RI Nomor 178/ U/2001 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi. Di samping itu, juga dilakukan program peningkatan mutu akademik melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia. 5) Periode Transformasi Pengembangan Kelembagaan (2003-2007). Pada periode ini terjadi perubahan mendasar dalam kelembagaan IAIN Bandung. IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, dengan statusnya sebagai institut, diubah menjadi universitas dengan nama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Perubahan itu didasarkan pada Peraturan Presiden RI Nomor 57 tahun 2005 tertanggal 10 Oktober 2005. 6) Periode Pengembangan Mutu dan Budaya Akademik (2007-2011). Periode ini merupakan penegasan orientasi pengembangan UIN Bandung sebagai perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif. Landasan pengembangan UIN Bandung didasarkan pada Surat Keputusan Rektor UIN Bandung Nomor Un.05/Kp.07.6/013/2008 tentang Rencana Strategis UIN Sunan Gunung Djati Bandung 2008-2011.
157
b. Gagasan Perubahan IAIN menjadi UIN Sebagaimana terlihat dari perjalanan sejarahnya, berbagai perubahan telah dilakukan di lingkungan IAIN dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat. Namun, seperti dikatakan Imrani (2009), perubahan-perubahan itu ternyata belum dapat memberi kepuasan puncak bagi penyelenggara lembaga pendidikan tinggi Islam ini. Sekitar tahun 1994, Tarmizi Taher, selaku Menteri Agama, menggagas pembentukan center of excellence di setiap IAIN; tahun 1996, pertemuan di Cirasua menghasilkan kesepakatan untuk dilakukan peninjauan terhadap kurikulum IAIN; tahun 2000, pertemuan di Jakarta menghasilkan kesepakatan untuk melakukan peninjuan terhadap gelar kesarjanaan; dan tahun 2001,
pertemuan
di
Semarang
menghasilkan
kesepakatan
mengenai
pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Dalam pertemuan nasional tersebut gagasan untuk mengubah status IAIN menjadi UIN semakin mengemuka. Alasan yang paling menonjol dikemukakan, lanjut Imrani (2009), selalu dikaitkan dengan “permintaan pasar” dan “menyelamatkan masa depan” IAIN. Dengan perubahan status, diprediksi UIN bakal memiliki keunggulan dari universitas umum, khususnya dalam aspek nilai-nilai keislaman. Secara aksiologis, alasan ini cukup berdasar, mengingat tanggung jawab profesional keilmuan menyangkut nilai-nilai moral. Alasan tersebut sejalan dengan yang dikatakan Basyuni, M. (2006), bahwa ditengah-tengah kecenderungan masyarakat terhadap pendidikan yang dapat memberikan kemampuan secara teknologis, fungsional, individual, informatif, dan terbuka, semakin menguat pula tuntutan
158
masyarakat terhadap wujud lain hasil pendidikan, yaitu terkait dengan etik dan moral yang dapat dikembangkan melalui pendidikan agama. Dengan demikian, pemikiran dan gagasan mengubah IAIN menjadi UIN didasarkan atas keinginan untuk menata sistem pendidikan tinggi Islam secara terpadu. Gagasan ini berkaitan dengan isu perlunya islamisasi ilmu pengetahuan dalam rangka menutupi kehampaan mental dan spiritual dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Islamisasi dimaksudkan sebagai upaya memadukan ilmu-ilmu
keagamaan
dengan
ilmu-ilmu
umum.
Melalui
universitas,
kemungkinan pengembangan disiplin ilmu-ilmu umum dapat dilakukan dan dapat dipadukan dengan tradisi kajian Islam yang sudah berkembang (Rahim, 2006: 100). Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam pasal itu dikatakan, bahwa “Universitas menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu”. Sementara kalangan, ungkap Rahim (2006:103), berpandangan bahwa ilmu pengetahuan modern mengandung nilai materialisme dan positivisme sesuai dengan tradisi Barat. Dalam hal ini, islamisasi dimaksudkan sebagai upaya menggantikan
nilai-nilai
itu
dengan
nilai-nilai
keagamaan
yang
lebih
transendental. Paradigma positivistik dalam batas-batas tertentu memang sangat diperlukan dalam proses ilmiah, tetapi ia tidak dapat menjangkau dimensi-dimensi metafisik dan nonmaterial. Karenanya, kehampaan moral dan spiritual akan terus
159
menghantui umat manusia dan pada gilirannya dapat menghancurkan tatanan dunia secara keseluruhan. Menurut Natsir (2006: 30), perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi dan informasi berimplikasi pada kecenderungan sebagian masyarakat yang memisahkan kehidupan duniawi dengan ukhrawi. Perkembangan tersebut juga melahirkan pandangan dikotomis antara pendidikan agama dengan pendidikan umum di kalangan sebagian masyarakat. Pengaruh negatif perkembangan tersebut serta sejumlah tantangan lain yang semakin intensif telah menuntut pendidikan tinggi agama Islam untuk segera berkiprah secara maksimal, sehingga kehadiran era globalisasi tidak dipandang sebagai ancaman atau hambatan, tetapi sebaliknya dijadikan sebagai kesempatan dan peluang dalam upaya mengembangkan pendidikan tinggi dan pembangunan. Perubahan IAIN menjadi UIN akan sangat menentukan kualitas lulusan yang dihasilkan. Perubahan tersebut memiliki arti dan makna terutama berubahnya kultur akademik dan berkembangnya akhlak karimah dari seluruh civitas akademika UIN. Perubahan itu bukan sekedar berganti baju, tetapi menghendaki adanya nilai tambah dari kondisi yang ada sekarang. Melalui perubahan itu diharapkan bahwa IAIN tidak menjadi semacam mesin penghasil pengangguran, tetapi menghasilkan lulusan yang berkembang sisi keilmuannya serta dapat terserap di dunia kerja (Natsir, 2006: 26-27) Bagi civitas akademika IAIN, lanjut Natsir, perubahan ini merupakan sebuah
upaya
kecenderungan
untuk
mempertahankan
menurunnya
minat
eksistensinya
masyarakat
untuk
di
tengah-tengah masuk
IAIN.
160
Kecenderungan yang tampaknya dipengaruhi oleh adanya pandangan dikotomis tersebut cukup memprihatinkan, dan hal ini sekaligus merupakan isyarat bahwa masyarakat tidak lagi tertarik untuk mempelajari agama. IAIN dianggap hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, sedangkan perguruan tinggi lainnya mengajarkan ilmu-ilmu umum. Membiarkan IAIN dalam kondisi demikian akan mengancam kelangsungan hidup IAIN sendiri, dan tidak mustahil perguruan tinggi kebanggaan masyarakat Jawa Barat ini akan “ditutup” karena tidak ada lagi peminatnya. Dengan diubahnya IAIN menjadi universitas, image masyarakat terhadap perguruan tinggi Islam diharapkan dapat berubah. Perubahan itu sekaligus menepis pandangan dikotomis antara ilmu agama dengan ilmu umum. Hal tersebut dimungkinkan, karena dalam wadah universitas, selain akan diajarkan ilmu-ilmu agama, juga diajarkan ilmu-ilmu umum. Kedua bidang ilmu tersebut dipadukan secara integral, sehingga tidak lagi tampak adanya pemisahan secara tajam (Natsir, 2006: 9). Selain untuk mengubah image masyarakat, perubahan juga dimaksudkan untuk meningkatkan peranserta dosen dan sarjana lulusan IAIN dalam penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Diakui Natsir (2006: 17), kiprah yang dilakukan dosen dan mahasiswa IAIN selama ini tampaknya belum mencapai taraf yang optimal. Peranserta mereka dalam kehidupan masyarakat cenderung memapankan pengetahuan masa lalu dan melanggengkan realitas sosial yang timpang melalui justifikasi agama. Bahwa hal tersebut dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, memang harus diakui. Namun
161
harus ditingkatkan ke arah yang lebih selaras dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. c. Strategi Pengembangan UIN Bandung Upaya untuk merealisasikan gagasan perubahan di atas bukanlah merupakan hal yang mudah. Berbagai pertemuan, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun tokohtokoh masyarakat Jawa Barat telah dilakukan Rektor dalam rangka mendapatkan dukungan mereka. Sejak tahun 2004, Rektor dengan dibantu Panitia Konversi IAIN menjadi UIN melakukan berbagai aktivitas untuk mempersiapkan persyaratan-persyaratan. Pertemuan demi pertemuan dilakukan dalam rangka membicarakan mekanisme kerja, langkah-langkah yang harus ditempuh, serta schedule yang tepat (UIN Bandung, 2006: 7). Selain dilakukan melalui rapat-rapat intern, persiapan menuju perubahan IAIN menjadi UIN juga dilakukan melalui seminar, lokakarya dan sarasehan pembukaan program studi-program studi baru. Hal tersebut dilakukan mengingat salah satu persyaratan untuk menjadi universitas, sedikitnya harus ada enam program studi ilmu-ilmu exacta dan empat program studi ilmu-ilmu sosial. Hasil kegiatan-kegiatan tersebut dijadikan sebagai proposal pembukaan program studi yang diajukan kepada pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) untuk mendapatkan persetujuan (UIN Bandung, 2006: 7). Di samping upaya-upaya di atas, untuk mempercepat realisasi gagasan perubahan tersebut, Rektor IAIN Bandung juga melakukan pendekatan melalui lobi-lobi di tingkat pusat. Hal itu mengingat bahwa yang berhak menetapkan
162
perubahan IAIN Bandung menjadi UIN bukanlah pihak IAIN sendiri, melainkan harus didasarkan pada keputusan Presiden Republik Indonesia. Segala upaya yang dilakukan itu pada akhirnya melahirkan hasil yang telah lama diharapkan. Pada tanggal 10 Oktober 2005, bertepatan dengan tanggal 6 Ramadhan 1426 H., Presiden RI mengeluarkan SK Presiden Nomor 57 Tahun 2005 tentang Perubahan IAIN Sunan Gunung Djati menjadi UIN (UIN Bandung, 2006: 10). Penguatan masa depan pendidikan tinggi Islam (shaping the future of Islamic higher education) tidak dilihat sebagai upaya untuk menyeret agama dalam posisi sub-ordinat dalam hubungannya dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Tetapi sebagai suatu usaha revitalisasi kehidupan keberagamaan yang sesuai dengan konteks dan makna empiriknya. Sehingga pendidikan Islam menjadi daya tawar bagi masyarakat dalam menghadapi dan mensikapi perubahan yang begitu cepat. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan UIN Bandung diarahkan untuk menjadi center of academic excellent pengembangan ilmu agama dan ilmu umum. Sehingga UIN Bandung diharapkan mampu memberikan respon positif terhadap berbagai tantangan zaman yang dihadapi masyarakat (social expectation) melalui pengembangan ilmu-ilmu secara integratif-holistik yang dilandasi nilai-nilai Islam (academic expectation) (Natsir, 2011: 1-3). Kemampuan untuk bersaing dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi lainnya dalam menghasilkan lulusan yang bermutu dan kompetitif merupakan cita-cita yang hendak diwujudkan UIN Bandung seiring pengembangan yang dilakukannya. Untuk itu, terdapat lima prinsip pokok yang mendasari
163
pengembangan tersebut, yaitu: (1) regional authonomy parallelism, yakni reformasi yang membawa kebijakan baru dalam pembangunan pendidikan tinggi yang berbasis desentralisasi; (2) keunikan, yakni pemilihan core competence untuk menjadikan UIN Bandung sebagai perguruan tinggi dengan daya tarik khusus; (3) national cohessiveness, yakni prinsip yang mencerminkan bahwa keunikan UIN Bandung bersifat komplementer terhadap perguruan tinggi lain dalam lingkungannya; (4) market oriented, yakni misi yang diemban UIN Bandung dalam menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat; dan (5) managed professionally, yakni pengelolaan UIN Bandung secara profesional sebagai salah satu perguruan tinggi modern (Natsir, 2011: 4-5). Cita-cita dan arah pengembangan UIN dirumuskan ke dalam visi, misi, tujuan, dan tahap-tahap pengembangan dalam Rencana Strategis UIN Bandung 2008-2011. Visi UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah menjadikan UIN sebagai
perguruan
tinggi
yang
unggul
dan
kompetitif
yang
mampu
mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum berlandaskan paradigma wahyu memandu ilmu. Rumusan visi UIN Bandung memiliki benang merah yang hampir sama dengan visi yang dikembangkan UIN lainnya di seluruh Indonesia (Karni, 2009). UIN Syarif Hidayatullah (Syahid) Jakarta, misalnya, merumuskan visinya sebagai berikut: “Menjadikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai lembaga pendidikan tinggi terkemuka dalam mengintegrasikan aspek keilmuan, keislaman dan keindonesiaan” (http://www.uinjkt.ac.id/...). Sedangkan UIN Sunan Kalijaga (Suka)Yogyakarta, rumusan visinya adalah: “Menjadi universitas yang unggul
164
dalam bidang akademik, profesional, efisien, efektif, dan akuntabel untuk memajukan peradaban bangsa” (http://www.uin-suka.ac.id/...). Adapun Misi UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah untuk menyiapkan generasi ulul Albab yang mampu: (1) memadukan dzikir dan fikir, (2) memiliki kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual, serta (3) menemukan, mengembangkan, dan menerapkan ilmu, teknologi, sosial, budaya dan seni. Sedangkan Tujuan UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah: (1) Menyiapkan peserta didik yang memiliki karakteristik keteguhan iman, kemuliaan akhlak, keluasan ilmu, dan keunggulan amal; (2) Mengembangkan penelitian, baik ilmu agama maupun umum; dan (3) Menyebarluaskan ilmu agama dan umum yang digunakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Strategi perubahan UIN Bandung dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: Tahap pertama (2004-2007), UIN Bandung diarahkan menjadi perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif. Tahap kedua (2008-2011) merupakan lanjutan dalam rangka pengembangan perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif. Tahap ketiga (2012-2016) pengembangan UIN Bandung diarahkan sebagai universitas riset (research university). Tahap keempat (20172020) UIN Bandung diarahkan menjadi universitas internasional (international university). Sebagaimana dikemukakan di atas, dua tahapan pertama transformasi IAIN menjadi UIN dimaksudkan sebagai upaya pengembangan kelembagaan (20032007) dan pengembangan mutu dan budaya akademik (2007-2011) (Natsir, 2011). Keberhasilan tahap awal pengembangan UIN Bandung tersebut ditandai dengan
165
pencapaian beberapa indikator sebagai berikut: (1) Rasio calon mahasiswa setiap prodi yang mendaftar dan daya tampung mencapai sekurang-kurangnya 3:1; (2) Lulusan memiliki kompetensi yang jelas sesuai dengan program studinya; (3) Lulusan setiap prodi memiliki kemampuan yang aktif dalam salah satu atau dua bahasa asing (Arab/Inggris); (4) Dosen sesuai dengan keahlian program studi; (5) 30% Dosen berpendidikan doktor; (6) 10% Dosen UIN telah memiliki jabatan akademik Guru Besar; (7) 30% Dosen mampu berbahasa asing (Arab/Inggris); (8) 10% karyawan mampu menggunakan salah satu bahasa asing (Arab/Inggris); (9) Laboratorium dan Perpustakaan sangat memadai sesuai dengan kebutuhan pengembangan prodi; (10) Administrasi terselenggara secara komputerisasi dan online; (11) Setiap Fakultas terdapat mahasiswa asing; (12) Dibukanya program kelas internasional; (13) 40% civitas akademika telah menggunakan internet dalam upaya membangun kultur akademik; (14) Semakin kecil rasio jumlah dosen dan mahasiswa dengan perbandingan 1:20; (15) 80% Jurnal UIN Bandung telah terakreditasi; dan (16) Program studi dan institusi terakreditasi dengan nilai minimal B. 2. Program Pengembangan UIN Bandung Untuk mencapai indikator-indokator keberhasilan di atas, UIN SGD Bandung merumuskan serangkaian kebijakan dan program-program strategis. Kebijakan dan program pengembangan tersebut didasarkan atas analisis lingkungan, baik internal maupun eksternal (SWOT analysis). Pemindaian terhadap lingkungan internal dilakukan guna mengetahui kekuatan dan kelemahan
166
yang dimiliki. Sedangkan pemindaian atas lingkungan eksternal dilakukan guna mengetahui peluang dan ancaman yang dihadapi. a. Kebijakan Pengembangan UIN Bandung Atas dasar analisis SWOT di atas, upaya penataan dan pembenahan UIN Bandung ditempuh melalui lima kebijakan. Pertama, aspek pengembangan kelembagaan baik struktural maupun non-struktural melalui pendekatan pencerahan (enlightenment), pemberdayaan (empowerment), dan pengembangan (development) dalam upaya mewujudkan image building UIN Sunan Gunung Djati yang kondusif dalam pengembangan kultur akademik. Kedua, otonomi dengan semangat kemandirian baik pada bidang akademik, kelembagaan, dan administrasi yang tetap dalam bingkai satu kesatuan sistem. Ketiga, peningkatan kualitas yang berorientasi pada jaminan mutu (quality assurance), pengendalian mutu (quality control), dan perbaikan mutu (quality improvement). Secara operasional, peningkatan kualitas lebih diarahkan pada program akademik, penelitian, tenaga pengajar, mahasiswa, fasilitas, dan kultur akademik yang kondusif. Keempat, inovasi dengan mengembangkan jaringan (network) melalui pola kemitraan dan kerjasama dengan berbagai instansi, baik dalam maupun luar negeri. Kelima, modernisasi manajemen pendidikan dan pelayanan administrasi melalui penataan dan profesionalisasi institusi yang efisien dan efektif. Kebijakan pengembangan UIN Bandung mengacu kepada garis-garis besar kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia, sebagaimana terrumuskan dalam Higher Education Long Term Strategy (HELTS) 2003-2010. HELTS merupakan paradigma baru visi pendidikan tinggi di Indonesia yang meliputi: 1) peningkatan
167
kualitas, 2) memberi akses dan berkeadilan, dan 3) otonomi dan desentralisasi. Tujuan paradigma baru itu adalah dalam rangka membentuk perguruan tinggi yang sehat (health organization) dan mampu meningkatkan daya saing bangsa (competitiveness organization) (UIN Bandung, 2008: 10-11). b. Program Prioritas Pengembangan UIN Bandung Rincian program pengembangan UIN Bandung pada masing-masing tahapannya di arahkan pada penataan dan pengembangan 14 bidang sebagai berikut (UIN Bandung, 2008: 12-21): 1) Kelembagaan.
Program
ini
diarahkan
pada
upaya
mewujudkan
kelembagaan yang berdayaguna dan berhasilguna dengan sasaran restrukturisasi organisasi institusi. Indikator output-nya adalah tertatanya struktur kelembagaan berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 57 Tahun 2005, PMA Nomor 6 Tahun 2006, dan KMA Nomor 486 Tahun 2002. Sedangkan outcome-nya adalah peningkatan kualitas fungsi pelayanan terhadap dosen, karyawan, dan mahasiswa dalam peningkatan kualitas akademik. 2) Sumberdaya Manusia. Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) diarahkan pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas kinerja tenaga dosen
dan
karyawan.
Sasarannya
adalah
terlaksananya
program
peningkatan kualitas profesionalisme, kinerja, dan produktivitas dosen dan karyawan. Adapun outcome dari keberhasilan program tersebut adalah meningkatnya kultur akademik di kalangan civitas akademika UIN Bandung.
168
3) Kurikulum. Pengembangan kurikulum UIN Bandung diarahkan pada upaya mewujudkan struktur kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat berdasarkan wahyu memendu ilmu. Sasaran pengembangan kurikulum
tersebut
adalah
terwujudnya
struktur
kurikulum
yang
berorientasi pada pemberdayaan masyarakat sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Adapun outcome-nya adalah teraplikasikannya rancang bangun epistemologi keilmuan yang integralistik dan holistik berdasarkan paradigma wahyu memandu ilmu. 4) Pembelajaran. Pengembangan bidang pembelajaran diarahkan pada upaya meningkatkan mutu pembelajaran dalam rangka pengembangan akademik. Sasarannya adalah terselenggaranya kualitas proses pembelajaran yang efisien dan efektif untuk mengembangkan pembelajaran berfikir yang kreatif dan inovatif. Adapun output yang diharapkan adalah berupa peningkatan proses pembelajaran secara kuantitatif maupun kualitatif. Sedangkan outcome-nya berupa peningkatan kemampuan akademik mahasiswa. 5) Perpustakaan. Program pengembangan perpustakaan diarahkan pada upaya mewujudkan perpustakaan
yang berkualitas dalam rangka
menciptakan fungsi perpustakaan sebagai center of intellectual, academic information, research, and reference. Adapun sasaran dari program ini adalah meningkatnya kemampuan SDM perpustakaan, dan jumlah literatur secara kuantitas dan kualitas sesuai kebutuhan program studi.
169
6) Penelitian. Pengembangan bidang penelitian diarahkan pada peningkatan kemampuan penelitian di kalangan dosen dan mahasiswa baik kualitas maupun kuantitas. Outcome-nya adalah meningkatnya jumlah penelitian baik
secara
kualitas
berkembangnya
ilmu
maupun
kuantitas.
pengetahuan,
Outcome-nya
publikasi
serta
adalah
peningkatan
pemanfaatan informasi hasil-hasil penelitian. 7) Pengabdian kepada Masyarakat. Pengembangan bidang pengabdian kepada masyarakat diarahkan pada upaya peningkatan peran UIN Bandung melalui implementasi ilmu dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan bangsa. Output-nya adalah meningkatnya pengabdian dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Outcome-nya adalah meningkatnya keberdayaan masyarakat dalam kesadaran beragama, pembangunan dan kepercayaan masyarakat terhadap UIN. 8) Kemahasiswaan dan Alumni. Pengembangan kemahasiswaan diarahkan pada upaya meningkatkan pembinaan mahasiswa dalam bidang akademik dan kegiatan ekstrakurikuler serta meningkatkan kualitas lulusan yang unggul dan kompetitif. Output-nya adalah
meningkatnya kualitas
akademik, al-akhlak al-karimah, kewirausahaan, dan kepemimpinan, serta terwujudnya lulusan yang memiliki kekokohan iman, kemuliaan akhlak, keluasan
ilmu,
dan
keunggulan
amal.
Outcome-nya
adalah
terberdayakannya lembaga kemahasiswaan dan produktivitasnya dalam pengembangan potensi mahasiswa serta meningkatnya minat masyarakat terhadap UIN Bandung.
170
9) Kerjasama. Pengembangan kerjasama diarahkan pada meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak yang menunjang peningkatan lembaga UIN Bandung. Sasaran program ini adalah meningkatnya volume kerjasama dalam pengembangan Tridharma Perguruan Tinggi. Output-nya adalah terselenggaranya kemitraan dalam pengembangan mutu akademik. Outcome-nya adalah
terwujudnya jaringan kerjasama antar lembaga
perguruan tinggi, lembaga negara, pemerintah, dan swasta. 10) Sarana dan Prasarana. Program pengembangan sarana prasarana diarahkan pada upaya mengembangkan sarana dan prasarana yang menunjang seluruh kegiatan akademik dan kelembagaan. Output program ini adalah tersedianya sarana dan prasarana akademik dan penunjang akademik yang memadai. Outcome yang diharapkan adalah meningkatnya prestasi akademik mahasiswa dan kultur akademik, serta produktifnya karya-karya akademik dosen. 11) Pendanaan.
Program
pengembangan
pendanaan
diarahkan
pada
peningkatan sumber-sumber pendanaan di luar sumber-sumber reguler melalui kontrak manajemen, sewa asset, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, kemitraan, dan karya ilmiah. Output-nya adalah meningkatnya pemanfaatan pendanaan secara efektif dan efisien serta mengalirnya sumber-sumber dana baik reguler (DIPA) maupun non-reguler. Outcomenya adalah terwujudnya laporan audit keuangan yang memuat sumber pendanaan serta sistem monitoring dan evaluasi pendanaan secara akuntabel terhadap semua unit kerja.
171
12) Manajemen. Pengembangan bidang manajemen diarahkan pada penataan manajemen perguruan tinggi paradigma baru perguruan tinggi yaitu: kualitas, pemerataan akses dan berkeadilan, serta otonomi berdasarkan standar HELTS 2003-2010. Output-nya
adalah terciptanya Good
university
credibility,
governance
dengan
prinsip
transparency,
accountability, responsibility, dan fairness (C-TARF). Outcome-nya adalah diterapkannya
paradigma
baru
manajemen
perguruan
tinggi
dan
terakreditasinya institusi dan program studi. 13) Sistem Informasi. Mengembangkan sistem informasi sebagai instrumen strategis dalam menunjang peningkatan mutu akademik dan non-akademik baebasis IT. Output-nya adalah terwujudnya suatu software sistem informasi berbasis IT. Outcome-nya adalah terwujudnya akses informasi yang efektif bagi seluruh stakeholders. 14) Penjaminan Mutu. Meningkatnya sistem penjaminan mutu yang berkelanjutan di tingkat internal dan eksternal berdasarkan standar Quality Assurance system (QAS). Output-nya adalah terwujudnya sistem penjaminan mutu baik internal maupun eksternal, serta terwujudnya akreditasi institusi secara periodik. Outcome-nya adalah UIN Bandung memiliki sertifikat penjaminan mutu ISO 9001-2000. c. Pencapaian Sasaran Program Pengembangan UIN Bandung Untuk mengetahui pencapaian sasaran program prioritas pengembangan UIN Bandung secara komprehensif dan berimbang, peneliti dalam hal ini menggunakan Balanced Scorecard (BSC) sebagai alat ukur kinerja manajemen
172
strategis (manajement measurement). BSC memiliki tujuan utama sebagai sebuah pendekatan untuk mengorganisasi dan menyajikan informasi pengukuran kinerja yang merupakan kombinasi antara ukuran hasil yang terbatas dengan ukuran kinerja organisasi yang telah diseleksi dalam konteks memberikan manager informasi yang lebih relevan dan lebih efektif (pengukuran yang tidak terlalu banyak namun memiliki informasi yang luas) ketimbang para manager tersebut menerima informasi melalui laporan manajemen yang masih tradisional, terutama berkaitan dengan kunci tujuan strategis (Kaplan & Norton, 1992 dalam Wilopo, 2002) VISI UIN BANDUNG
Perspektif PELANGGAN
Perspektif PROSES INTERNAL
STRATEGI PENGEMBANGAN UIN BANDUNG
Perspektif KEUANGAN
Perspektif PEMBELAJARAN
Gambar 4.1. Balanced Scorecard UIN SGD Bandung (Sumber: Diadopsi dari Gaspersz, 2006: 211)
BSC digunakan untuk mengukur pencapaian kinerja UIN Bandung dari empat perspektif, yaitu pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan, serta keuangan. Dengan demikian, evaluasi terhadap pencapaian kinerja manajemen strategis UIN Bandung tidak hanya diukur dari peningkatan
173
jumlah mahasiswa (outcome/lagging indicator), tetapi juga dilihat dari bagaimana outcome tersebut dapat dicapai melalui pengukuran pengendali kinerja (driver/lead indicators). Pengembangan dan penataan pengendali kinerja yang berkelanjutan (continuous improving) merupakan jaminan peningkatan hasil (outcome) yang berkelanjutan pula. Adapun hasil evaluasi kinerja UIN Bandung yang dirumuskan ke dalam empat perspektif BSC itu adalah sebagai berikut: 1) Perspektif Pelanggan Inti perspektif pelanggan ialah ukuran seberapa jauh pelanggan merasa puas atas layanan UIN Bandung. Indikasi kepuasan tersebut dapat dilihat dari kemauan mereka untuk meneruskan kesan kepuasannya kepada calon pelanggan, yaitu adik-adik kelasnya, orang tua, saudara-saudaranya, tetangganya, dan sebagainya. Tujuan
utama
pengembangan
UIN
Bandung
antara
lain
adalah
meningkatkan kesan/image bagi masyarakat atau pelanggan dan calon pelanggannya. Upaya tersebut direalisasikan dalam bentuk pengembangan dan penataan program-program strategis sebagaimana telah dipaparkan di atas. Untuk mengetahui ketercapaian indikator-indikator keberhasilan program-program strategis tersebut, dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap ukuranukuran generik masing-masing faktor penentu keberhasilan (critical success factors-CSF) perspektif pelanggan. Adapun CSF perspektif pelanggan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) Kegunaan bagi pelanggan, (2) Mutu
174
jasa yang ditawarkan, (3) Harga jasa yang ditawarkan, (4) Waktu pemberian jasa, serta (5) Kesan dan Reputasi. (a) Kegunaan bagi Pelanggan Ukuran generik CSF kegunaan bagi pelanggan meliputi (a) jumlah mahasiswa terdaftar, (b) jumlah keseluruhan mahasiswa, dan (c) pangsa pasar. Jumlah mahasiswa terdaftar maksudnya adalah jumlah mahasiswa yang terdaftar di masing-masing prodi. Sedangkan jumlah keseluruhan mahasiswa adalah jumlah keseluruhan mahasiswa UIN Bandung. Adapun pangsa pasar adalah jumlah keseluruhan mahasiswa pada suatu daerah yang masuk universitas. Informasi mengenai ketiga ukuran generik kegunaan bagi pelanggan dalam penelitian ini di ambil dari data statistik mahasiswa Program Sarjana yang mendaftar dan diterima masuk di IAIN/UIN Bandung dalam 16 tahun terakhir (Tabel 4.1). Berdasarkan informasi tersebut, jumlah pendaftar ke IAIN sempat mengalami penurunan, terutama sejak tahun akademik 2001-2002 hingga 20052006. Setelah IAIN Bandung berubah status menjadi UIN, dan masyarakat mulai mengetahui banyaknya program studi pilihan yang ditawarkan, jumlah pendaftar dan penerimaan mahasiswa mengalami peningkatan (Muhsin dan Nurolaen dalam Catatan Lapangan/CL: plg.1), terutama dalam lima tahun terakhir. Namun, berdasarkan data perkembangan mahasiswa tahun akademik 2006-2007 sampai dengan 2010-2011, peningkatan tersebut tidak merata apabila dilihat dari jumlah mahasiswa yang mendaftar untuk masing-masing program studi (Bagian Akademik dan Kemahasiswaan).
175
Peningkatan yang cenderung konstan dalam lima tahun tersebut dialami oleh 21 dari 41 prodi yang ada (51%). Gejala tersebut terutama terjadi pada program studi-program studi di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Fakultas Sains dan Teknologi, Fakultas Psikologi, dan program studi-program studi tertentu di Fakultas Syari’ah dan Hukum, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, serta Fakultas Adab dan Humaniora. Sebaliknya, sejumlah program studi agama di Fakultas Ushuluddin, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Fakultas Adab dan Humaniora, serta Fakultas Dakwah, jumlah peningkatan peminatnya tidak banyak dan cenderung fluktuatif. Tabel 4.1. Ratio Pendaftaran dan Penerimaan Mahasiswa Program Sarjana IAIN/UIN Sunan Gunung Djati Bandung (16 Tahun Terakhir)
No.
Tahun Akademik
Lulus
Registrasi
Pendaftar f
%
f
%
1
1995/1996
3.138
1.814
58%
1.441
46%
2
1996/1997
2.687
1.895
71%
1.788
67%
3
1997/1998
2.028
1.525
75%
1.435
71%
4
1998/1999
2.780
2.044
71%
1.938
70%
5
1999/2000
3.012
2.486
67%
2.290
76%
6
2000/2001
4.200
3.157
68%
2.730
65%
7
2001/2002
3.841
2.996
74%
2.486
65%
8
2002/2003
3.685
2.409
66%
2.116
57%
9
2003/2004
3.372
1.951
58%
1.684
50%
10
2004/2005
2.929
2.232
76%
2.088
71%
11
2005/2006
2.521
2.374
94%
1.812
72%
12
2006/2007
2.821
2.412
86%
2.181
77%
13
2007/2008
3.613
2.630
73%
2.405
67%
14
2008/2009
5.105
3.376
66%
3.221
63%
15
2009/2010
6.996
3.792
54%
3.348
48%
16
2010/2011
8.707
4.307
49%
3.583
41%
61.445
41.400
36.546
59%
67%
Sumber: Bagian Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung
176
Gejala yang sama juga dialami UIN lainnya. Di UIN Syahid Jakarta, gejala yang mengiringi pertumbuhan UIN adalah makin surutnya peminat fakultas agama. Diakui Bakir Ihsan, dosen Fakultas Ushuluddin, pendaftar pada fakultas umum di UIN Jakarta jauh lebih membludak dibanding fakultas agama. Fakultas Ushuluddin yang pada tahun 1990-an menjadi favorit, kini mengalami defisit pelamar. Fakultas agama yang masih banyak peminatnya adalah yang memiliki program studi yang dipercaya dapat mempermudah kesempatan kerja. Misalnya program studi ekonomi Islam di Fakultas Syari’ah dan sejumlah program studi di Fakultas Tarbiyah (Karni, 2009: 305). Sebagaimana halnya UIN Jakarta, gejala menurunnya peminat studi agama juga terjadi di beberapa jurusan di UIN Yogyakarta. Suisyanto, dosen Fakultas Dakwah, melihat hal tersebut lebih disebabkan adanya tumpang tindih beberapa jurusan fakultas agama dan umum. Sudah ada jurusan sosiologi agama, di fakultas lain juga dibuka jurusan sosiologi. Di Fakultas Dakwah sudah ada jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, lalu di Fakultas Sosial dan Humaniora juga dibuka jurusan komunikasi. Hal ini menyebabkan jurusan agama menjadi kurang peminatnya (Karni, 2009: 322). Sementara itu, untuk mendapatkan ukuran pangsa pasar, dapat dilihat dari asal daerah tempat tinggal mahasiswa yang kuliah di UIN. Untuk mendapatkan informasi tersebut, dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai sejumlah mahasiswa, melakukan pengamatan mengenai bahasa yang digunakan saat mahasiswa berbicara, dan mempelajari sampel data mahasiswa yang terdapat di masing-masing program studi. Berdasarkan teknik-teknik pengumpulan data
177
tersebut, diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa UIN berasal dari kota-kota di Jawa Barat. Dengan demikian, pangsa pasar UIN Bandung masih didominasi mahasiswa yang berasal dari daerah-daerah tersebut. (b) Mutu jasa yang ditawarkan Penentuan ukuran generik untuk CSF mutu jasa yang ditawarkan dalam penelitian ini meliputi: a) akreditasi program studi dan b) peringkat universitas. Akreditasi Program Studi Sebagaimana diungkapkan dalam Laporan Akhir Kinerja Rektor UIN SGD Bandung Tahun 2007-2011 (Natsir, 2011), dari 41 program studi, 28 di antaranya telah terakreditasi melalui Surat Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Depdiknas RI. Sedangkan akreditasi terhadap program studi lainnya masih dalam tahap pengajuan akreditasi atau re-akreditasi, di antaranya karena terdapat sejumlah prodi yang baru didirikan, terutama prodi-prodi umum. Berdasarkan hasil akreditasi tersebut diketahui bahwa peringkat akreditasi masing-masing program studi itu adalah sebagai berikut: satu program studi memperoleh nilai akreditasi A, 16 program studi memperoleh nilai B, dan 11 program studi memperoleh nilai akreditasi C (Tabel 4.2). Dari 28 program studi yang sudah terakreditasi itu, 11 di antaranya merupakan program studi-program studi dengan jumlah mahasiswa yang cukup banyak atau yang banyak diminati calon mahasiswa. Nilai akreditasi untuk masing-masing dari ke-11 prodi tersebut adalah lima program studi mendapatkan nilai akreditasi B, sedangkan enam program studi lainnya mendapatkan nilai C.
178
Jika dibandingkan dengan hasil akreditasi yang diperoleh UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta hingga tahun 2011, maka hasil akreditasi yang didapatkan UIN Bandung tersebut dapat dikatakan masih jauh tertinggal. Dari 50 program studi Sarjana di UIN Jakarta, 18 di antaranya mendapatkan nilai akreditasi A (Lampiran 4.1). Sedangkan di UIN Yogyakarta, dari 36 program studi Sarjana, 13 di antaranya mendapatkan akreditasi A (Lampiran 4.2).
Tabel 4.2. Hasil Akreditasi Program Studi Tahun 2007-2008 No.
Program Studi
Peringkat
Nilai
Berlaku s.d.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Tafsir dan Hadis Akidah dan Filsafat Tasawuf dan Psikoterafi Perbandingan Agama Sosiologi Agama Ahwal Syakhshiyah Muamalah Siyasah Hukum Pidana Islam Perbandingan Madzhab dan Hukum Ilmu Hukum Sejarah dan Peradaban Islam Bahasa dan Sastra Arab Bahasa dan Sastra Inggris Bimbingan dan Penyuluhan Islam Komunikasi dan Penyiaran Islam Manajemen Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam Humas dan Jurnalistik (Komunikasi) Kependidikan Islam Pendidikan Agama Islam Pendidikan Bahasa Arab Pendidikan Bahasa Inggris Pendidikan Fisika Pendidikan Kimia Pendidikan Biologi Pendidikan Matematika Teknik Informatika
B B B B B C B C B B C B C B C C B B B A B B C C C C B C
337 351 332 315 309 300 345 290 308 343 254 318 294 355 284 280 327 357 315 371 311 323 276 280 297 277 305 249
26-10-2012 26-10-2012 12-04-2013 12-04-2013 26-10-2012 12-04-2013 12-04-2013 10-07-2012 12-04-2013 12-04-2013 16-11-2012 26-10-2012 26-10-2012 26-10-2012 10-07-2012 10-07-2012 30-06-2012 12-04-2013 12-04-2013 26-10-2012 26-10-2012 12-04-2013 30-06-2012 10-07-2012 12-04-2013 10-07-2012 30-06-2012 12-04-2013
Sumber: Pusat Penjaminan Mutu (PPM) UIN Bandung
179
Peringkat Perguruan Tinggi Berdasarkan penilaian Webometrics pada Januari 2011 (http://www. webometrics.info/rank), UIN SGD Bandung belum termasuk perguruan tinggi yang mendapatkan penilaian dari lembaga penilai perguruan tinggi dunia tersebut. Sedangkan enam buah PTAIN sudah menjadi bagian dari penilaian atas aktivitas ilmiah melalui situs internet tersebut. Mereka adalah IAIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, dan UIN Alaudin Makassar. Tabel 4.3. Peringkat PTAIN versi Webometrics No
Nama PTAIN
Peringkat
1.
IAIN Sunan Ampel Surabaya
3145
2.
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
4416
3.
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
6655
4.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7435
5.
UIN Sultan Syarif Kasim Riau
9381
6.
UIN Alaudin Makassar
11452
Sumber: http://www. webometrics.info/rank
(c) Harga jasa yang ditawarkan Harga jasa yang ditawarkan akan mempengaruhi pelanggan dalam memilih sebuah perguruan tinggi. SPP yang “murah” jika dibandingkan dengan perguruan tinggi yang lain, menjadi salah satu pendorong banyaknya mahasiswa yang mendaftar di UIN Bandung (CL. Kode: plg.3 dan plg. 4). Ukuran generik untuk CSF harga jasa yang ditawarkan dalam penelitian ini meliputi: a) Uang sumbangan mahasiswa; dan b) biaya rata-rata per mahasiswa per tahun.
180
Uang Sumbangan Mahasiswa Menurut M. Yamin (Kepala Bagian Akademik dan Kemahasiswaan), uang SPP mahasiswa UIN adalah yang termurah dibanding PTN yang lain (CL. Kode: prg. 4), sebagaimana terlihat dalam Tabel 4.4. Hingga penerimaan mahasiswa tahun 2011, besaran SPP UIN Bandung tidak dinaikkan, yaitu sebesar Rp. 600.000,- (Enamratus ribu rupiah). Sedangkan sumbangan mahasiswa lainnya adalah uang praktikum yang jumlahnya antara Rp 200.000,- hingga 500.000 per semester. Tabel 4.4. Rata-rata Uang Sumbangan Mahasiswa UIN Bandung
Kelompok Prodi
SPP
Uang Praktikum
Mahasiswa Per Tahun
Prodi Agama
600.000
200.000
1.600.000
Prodi Umum non-MIPA
600.000
300.000
1.800.000
Prodi MIPA
600.000
500.000
2.200.000
Sumber: Bagian Akademik dan Kemahasiswaan UIN Bandung
Untuk mengkonfirmasi pernyataan itu, penulis melakukan pembandingan biaya personal/uang sumbangan mahasiswa UIN Bandung dengan tiga PTN lainnya yang berada di kota Bandung. Data pada Tabel 4.5. menunjukkan sampel biaya personal mahasiswa pada tahun 2009. Dari perbandingan itu, maka dapat dikatakan bahwa biaya personal mahasiswa UIN Bandung adalah yang terrendah di antara empat PTN yang ada di Kota Bandung.
181
Tabel 4.5. Perbandingan Biaya Personal Mahasiswa di PTN se-Kota Bandung Jenis Pembiayaan
Nama Perguruan Tinggi Negeri ITB
UNPAD
UPI
UIN Bandung
SPP/BPPP
3.000.000
2.000.000
900.000
600.000
BPPT
200.000 s.d. 1.000.000
DP/SDPA/BPMA
15.000.000 s.d. 80.000.000
12.000.000 s.d. 177.000.000
3.000.000 3.000.000 S.d. 15.000.000
DPL
PRAKTIKUM
500.000
400.000 s.d. 1.000.000
Keterangan: SPP BPPP BPPT DP SDPA BPMA DPL
: : : : : : :
Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan Pokok Biaya Penyelenggaraan Pendidikan Tambahan Dana Pengembangan Sumbangan Dana Pengembangan Akademik Biaya Peningkatan Mutu Akademik Dana Pengembangan Lembaga
Biaya rata-rata Sementara itu, untuk mendapatkan besaran biaya rata-rata per mahasiswa per tahun (unit cost), dilakukan penghitungan dengan cara membagi keseluruhan pembiayaan kegiatan UIN Bandung per tahun dengan jumlah seluruh mahasiswa. Berdasarkan Laporan Akhir Kinerja Rektor UIN Bandung, jumlah keseluruhan mahasiswa UIN Bandung hingga saat ini kurang lebih sebanyak 15.240 orang (Natsir, 2011: 119). Sedangkan realisasi anggaran UIN Bandung dalam empat tahun terakhir (2007 sampai 2010) adalah sebagai berikut (Tabel 4.6):
182
Tabel 4.6. Realisasi Anggaran UIN Bandung
Tahun
Jumlah Anggaran
2007
107.971.498.000
2008
142.862.692.000
2009
260.582.275.000
2010
232.207.906.000
Rata-rata
185.906.092.750
Sumber: Laporan Akhir Kinerja Rektor UIN Bandung (Natsir, 2011)
Dengan rata-rata realisasi anggaran per tahun sebesar 185.906.092.750,maka jika dibagi dengan jumlah mahasiswa sebanyak 15.240 orang, maka ditemukan biaya rata-rata per mahasiswa per tahun kurang lebih sebesar Rp. 12.198.563 (Duabelas juta seratus sembilanpuluh delapan ribu limaratus enampuluh tiga rupiah). Jumlah tersebut, jika dibandingkan dengan standar biaya satuan pendidikan tinggi (unit cost) yang dikelurkan Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2011 untuk universitas negeri di seluruh Indonesia, masih cukup jauh. Tahun 2011 Kementerian Pendidikan Nasional telah mengeluarkan standar biaya satuan pendidikan tinggi (unit cost) untuk universitas negeri di seluruh Indonesia sebesar Rp 27 juta per tahun (http://www. tempointeraktif.com /hg/pendidikan/2011). Biaya rata-rata per mahasiswa per tahun di UIN Bandung tersebut, jika dibandingkan dengan sumbangan rata-rata per mahasiswa per tahun untuk Program Sarjana berdasarkan kelompok program studi di atas, maka prosentase sumber pendanaan dari mahasiswa adalah sebagai berikut: 1) Kelompok Program
183
Studi Agama 13,12%; 2) Kelompok Program Studi Umum Non-MIPA 14,76%; dan 3) Kelompok Program Studi MIPA 18,04%. Rendahnya biaya harus dibebankan kepada mahasiswa tidak berarti bahwa keseluruhan biaya pendidikan di UIN juga murah. Penetapan biaya pendidikan bagi seluruh PTN di Indonesia mengacu kepada Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Bab IX tentang Pembiayaan Pendidikan Pasal 62 PP tersebut dinyatakan: 1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. 2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. 3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. 4) Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, b. bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan c. biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya. 5) Standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP. Berdasarkan ketentuan itu, maka rendahnya harga yang harus dibayarkan oleh mahasiswa, di samping menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat (calon mahasiswa), juga menjadi nilai tambah bagi UIN untuk mempertahankan keutuhan jumlah mahasiswanya sejak mereka mendaftar hingga lulus. (d) Waktu pemberian Jasa Waktu pemberian jasa terrefleksi pada rata-rata waktu yang dibutuhkan mahasiswa dalam menyelesaikan studi di masing-masing fakultas atau program
184
studi. Pada perspektif pelanggan, ukuran waktu penyelesaian studi merupakan bagian dari kepuasan pelanggan. Hitungan angka-angka rata-rata dalam Tabel 4.7 menunjukkan rata-rata jumlah semester yang ditempuh mahasiswa dalam menyelesaikan kuliahnya di masing-masing prodi. Jika dikonversikan ke dalam hitungan tahun, maka waktu rata-rata penyelesaian studi mahasiswa UIN Bandung adalah 4,38 tahun, atau 4 hingga 5 tahun.
Tabel 4.7. Rata-rata Penyelesaian Studi Mahasiswa S1 UIN SGD Bandung
No
Tahun 2008-2009
Tahun 2009-2010
Ganjil
Genap
Ganjil
Program Studi
1.
Ilmu Hukum
8,00
7,92
2.
Siyasah
8,75
9,14
3.
Sastra Inggris
9,60
4.
Pendidikan Matematika
9,00
5.
Pendidikan Fisika
8,83
6.
Pendidikan Kimia
9,35
7,73
7.
Pendidikan Biologi
9,10
8,75
8.
Pendidikan Bhs. Arab
8,00
8,00
Genap
Rata2 Tahun 3,98
9,80
4,62
9,79
4,85
9,00
9,17
UIN BANDUNG
9,44
4,61
8,60
4,41
8,17
4,21
8,17
4,40
7,50
3,92 4,38
Sumber: Bagian Akademik dan Kemahasiswaan UIN Bandung
Pencapaian waktu rata-rata penyelesaian studi mahasiswa UIN Bandung di atas sejalan dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Kepmendiknas) Nomor 232/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam Pasal 5 (1) Kepmendiknas tersebut dikatakan bahwa: “….. yang dijadwalkan untuk 8 (delapan) semester dan dapat
185
ditempuh dalam waktu kurang dari 8 (delapan) semester dan selama-lamanya 14 (empat belas) semester setelah pendidikan menengah”. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan oleh mahasiswa UIN untuk menyelesaikan kuliahnya telah selaras dengan ketentuan. Hal ini pada akhirnya melahirkan salah satu nilai kepuasan bagi pelanggan/mahasiswa. (e) Kesan dan Reputasi Kesan dan reputasi UIN Bandung di mata pelanggan diukur berdasarkan tiga faktor penentu keberhasilan, yaitu identitas brand (kepopuleran nama), jumlah pendaftar secara keseluruhan, dan rasio antara jumlah yang diterima dengan jumlah yang mendaftar. IAIN Bandung berubah status menjadi UIN sejak tanggal 10 Oktober 2005. Dengan demikian, hingga saat ini (tahun 2011), UIN Bandung baru berusia lima tahunan. Dengan usia yang relatif muda, maka masyarakat umum kurang mengenal nama UIN. Mereka lebih mengenal IAIN sebagai nama diri dari perguruan tinggi Islam tersebut. Sementara itu, mahasiswa yang sedang kuliah di UIN, mengenal perguruan tinggi ini melalui guru, alumni atau pemberitaan-pemberitaan di media masa (CL. Kode: plg.3). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Mumuh Mukhsin, Kepala Bagian Akademik, "Ini ada pengaruhnya pemberitaan di Koran dan media massa lainnya, disamping bagi masyarakat umum diketahuinya bahwa di UIN ada jurusan umum menjadi faktor ketertarikan dari mereka” (CL. Kode: plg.1) Ukuran kesan dan reputasi IAIN/UIN Bandung di mata pelanggan dapat di lihat dari jumlah pendaftar dan yang melakukan registrasi sebagaimana telah
186
ditunjukkan pada Tabel 4.1 di atas. Sedangkan sejak ia berubah menjadi universitas, ukuran kesan dan reputasi yang didasarkan pada perbandingan antara mahasiswa yang diterima dengan yang mendaftar dilakukan dengan perhitungan dalam lima tahun terakhir, sebagaimana terlihat dalam Tabel 4.8 di bawah ini:
Tabel 4.8. Rasio Jumlah Pendaftar dan Penerimaan Mahasiswa UIN dalam Lima Tahun Terakhir No.
Tahun Akademik
1
2006/2007
2.821
2.412
1:1,2
2
2007/2008
3.613
2.630
1:1,4
3
2008/2009
5.105
3.376
1:1,5
4
2009/2010
6.996
3.792
1:1,85
5
2010/2011
8.707
4.307
1:2
27.242
16.517
1:1,65
Pendaftar
Jumlah
Diterima
Rasio
Sumber: Bagian Akademik dan Kemahasiswaan UIN Bandung
2) Perspektif Proses Internal Proses bisnis internal lembaga perguruan tinggi meliputi bidang-bidang tridharma perguruan tinggi, yaitu proses pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Faktor penentu keberhasilan dalam perspektif proses internal yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1) proses inovasi, 2) proses operasi, dan 3) proses layanan purnajual. (a) Proses Inovasi Berdasarkan babak sejarah perkembangan di atas, transformasi yang dilakukan UIN Bandung meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut:
187
Pertama, Tahap Pengembangan Kelembagaan (2003-2007). Pada tahap ini terjadi perubahan mendasar, yaitu perubahan dari sebuah institut menjadi universitas. Dalam perubahan itu, UIN Bandung membuka fakultas-fakultas dan program studi-program studi baru yang mengajarkan ilmu-ilmu umum yang berorientasi perluasan akses masyarakat dan kesempatan bersaing di dunia kerja bagi lulusannya di samping fakultas-fakultas/program studi-program studi ilmuilmu agama yang selama ini menjadi kekhasan IAIN. Kedua, Tahap Pengembangan Mutu dan Budaya Akademik (2007-2011). Tahap ini merupakan penegasan orientasi pengembangan UIN Bandung sebagai perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif. Landasan pengembangan tersebut didasarkan pada Surat Keputusan Rektor UIN Bandung Nomor Un.05/Kp.07.6/013/2008 tentang Rencana Strategis UIN Sunan Gunung Djati Bandung 2008-2011. Dengan demikian, tahap awal transformasi IAIN menjadi UIN dilakukan melalui perubahan struktur sebagaimana yang menjadi sasaran dalam skala prioritas program pengembangannya (Natsir, 2011: 93). Upaya itu dilanjutkan dengan pengembangan mutu dan budaya akademik dalam rangka mewujudkan cita-cita perubahan UIN sebagai perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif. Pembukaan program studi baru marupakan salah satu ukuran generik yang menjadi bagian dari indikator ketercapaian arah perubahan yang diinginkan UIN Bandung. Untuk mengubah image masyarakat dan menarik minat calon mahasiswa untuk kuliah di perguruan tinggi Agama Islam ini, perubahan status IAIN menjadi universitas dengan dibukanya progam studi-program studi umum atau memindahkan progam studi-program studi umum yang sudah ada ke dalam
188
fakultas-fakultas baru yang lebih familiar, menjadi bagian dari upaya pengembangan dan penataan kelembagaan di UIN Bandung. Tabel 4.9. Program S1 dan Diploma IAIN Sunan Gunung Djati Bandung
No
Fakultas
Program Studi
1
Adab
2
Dakwah
3
Syari’ah
Al-Ahwal al-Syakhsiyah Mu’amalah Siyasah Perbandingan Madzhab dan Hukum Hukum Konsentrasi Pidana Islam Ilmu Hukum D3 Manajemen Keuangan Syari’ah
4
Tarbiyah
Kependidikan Islam Pendidikan Agama Islam Pendidikan Bahasa Arab Tadris Bahasa Inggris Tadris Matematika Tadris Biologi Tadris Fisika Tadris Kimia Tadris Teknik Informatika Psikologi D2 Guru PAI MI/SD D2 Pendidikan Guru MI D2 Pendidikan Guru RA/TK Islam
5
Ushuluddin
Sejarah dan Kebudayaan Islam Bahasa dan Sastra Arab Bahasa dan Sastra Inggris D3 Terjemah Bahasa Arab D3 Terjemah Bahasa Inggris Bimbingan dan Penyuluhan Islam Komunikasi dan Penyiaran Islam Manajemen Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam Ilmu Komunikasi Kons. Jurnalistik Ilmu Komunikasi Kons. Hubungan Masyarakat
Aqidah dan Filsafat Perbandingan Agama Tafsir dan Hadits Tasawuf Psikoterapi Sosiologi Agama
Sumber: UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2006: 41)
Ketika masih berstatus institut, spesifikasi kekhasan Islam menjadi ciri utama IAIN Bandung yang kelembagaannya berorientasi Universitas Al-Azhar. Nama-nama fakultas juga berorientasi ke Al-Azhar, yakni Fakultas Syari'ah,
189
Fakultas Ushuluddin, Fakultas Dakwah, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Adab. Adapun jumlah program studi yang terdapat di IAIN Bandung sebanyak 33 program studi yang menginduk ke dalam lima fakultas tersebut, sebagaimana terlihat dalam Tabel 4.9. Sementara itu, seiring perubahan status menjadi universitas, penamaan fakultas-fakultas tersebut di atas diubah, namun dengan tetap mempertahankan spesifikasi kekhasan Islam. Perubahannya terletak pada penambahan sebutansebutan yang lebih populer di masyarakat yang digandengkan dengan nama-nama fakultas-fakultas tersebut. Di samping itu, terdapat penambahan fakultas baru yang penamaannya disesuaikan dengan nama yang biasa digunakan di PTN umum. Kedua fakultas tersebut adalah Fakultas Psikologi dan Fakultas Sains dan Teknologi yang didirikan pada tahun 2006 berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 6 tahun 2006. Dengan bertambahnya dua fakultas tersebut, saat ini di lingkungan UIN Bandung terdapat tujuh buah fakultas dengan jumlah program studi sebanyak 41 buah (Tabel 4.10). Dibukanya program studi-program studi baru berdampak langsung terhadap meningkatnya jumlah calon mahasiswa yang mendaftar di UIN. Mumuh Mukhsin, Kepala Bagian Akademik UIN Bandung, menuturkan bahwa bagi masyarakat umum, dibukanya jurusan umum di UIN menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka. Hal senada diungkapkan Nurolaen, Pembantu Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UIN Bandung. Menurutnya, “Beberapa hal yang menjadi daya tarik para calon mahasiswa untuk daftar ke UIN, pertama; Perubahan IAIN menjadi UIN. Point ini yang paling berpengaruh. Kedua; banyak
190
kepala sekolah dan guru yang berasal dari UIN dimana mereka mempromosikan almamaternya. Ketiga; banyaknya lulusan SMA daftar ke UIN karena UIN menjadi salah satu peserta SNMPTN, (dan) prodi umum menjadi daya tarik mereka” (CL. Kode: plg.1). Tabel 4.10. Program S1 dan Diploma UIN Sunan Gunung Djati Bandung No
Fakultas
Program Studi
1
Adab dan Humaniora
Sejarah dan Kebudayaan Islam Bahasa dan Sastra Arab Bahasa dan Sastra Inggris D3 Terjemah Bahasa Arab D3 Terjemah Bahasa Inggris
2
Dakwah dan Komunikasi
Bimbingan dan Penyuluhan Islam Komunikasi dan Penyiaran Islam Manajemen Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam Ilmu Komunikasi Jurnalistik & Humas
3
Syari’ah dan Hukum
Al-Ahwal al-Syakhsiyah Mu’amalah Siyasah Perbandingan Madzhab dan Hukum Hukum Pidana Islam Ilmu Hukum Administrasi Negara Manajemen D3 Manajemen Keuangan Syari’ah
4
Tarbiyah dan Keguruan
Kependidikan Islam Pendidikan Agama Islam Pendidikan Bahasa Arab Pendidikan Bahasa Inggris Pendidikan Matematika Pendidikan Biologi Pendidikan Fisika Pendidikan Kimia Pendidikan Guru MI
5
Ushuluddin
Aqidah dan Filsafat Perbandingan Agama Tafsir dan Hadits Tasawuf dan Psikoterapi Sosiologi
6
Psikologi
Psikologi
7
Sains dan Teknologi
Teknik Informatika Teknologi Pertanian Matematika Biologi Fisika Kimia
Sumber: UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2006: 41)
191
Hal yang sama dilakukan UIN lainnya, seperti UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta (lihat Lampiran 4.1 dan 4.2). Dengan tetap mempertahankan keberadaan fakultas-fakultas agama sebagai ciri khasnya, komposisi fakultasfakultas di ketiga UIN itu didominasi oleh fakultas-fakultas agama. Berbeda dengan itu, UIN Malang, yang pada awalnya berstatus STAIN dengan dua fakultas agama, jumlah fakultas umumnya lebih banyak (Karni, 2009: 329).
(b) Proses Operasi Ukuran-ukuran proses operasi difokuskan pada masalah-masalah yang terkait dengan produktivitas, efisiensi, keteraturan, ketaatasasan, jaminan mutu, biaya proses, dan waktu proses. Dalam penelitian ini, ukuran-ukuran generik proses operasi meliputi: (a) rasio jumlah lulusan, (b) lama rata-rata studi, (c) ratarata IPK mahasiswa, (d) rata-rata SKS per mahasiswa, (e) tingkat putus kuliah, (f) kinerja dosen, dan (g) Teknologi Informasi. Rasio Jumlah Lulusan, Rata-rata Masa Studi, dan Beban SKS Mahasiswa Tabel 4.11. Rasio Jumlah Lulusan, Rata-rata Lama Studi, dan Rata-rata SKS Mahasiswa UIN SGD Bandung No
Program Studi
Rasio Lulusan
Rata2 Masa Studi
Rata2 SKS
1:42
3,98
156
1:9
4,62
153
1.
Ilmu Hukum
2.
Siyasah
3.
Sastra Inggris
1:27
4,85
159
4.
Pendidikan Matematika
1:26
4,61
158
5.
Pendidikan Fisika
1:12
4,41
159
6.
Pendidikan Kimia
1:8
4,21
158
7.
Pendidikan Biologi
1:14
4,40
159
8.
Pendidikan Bhs. Arab
1:11
3,92
160
UIN BANDUNG
1:17
4,38
157,8
Sumber: Bagian Akademik dan Kemahasiswaan UIN Bandung
192
Data pada Tabel 4.11 menunjukkan bahwa rasio antara lulusan dengan keseluruhan mahasiswa UIN secara umum adalah 1:17 mahasiswa. Waktu penyelesaian studi mahasiswa UIN rata-rata 4,38 tahun atau lebih dari empat tahun. Sedangkan beban SKS yang harus ditempuh mahasiswa UIN Bandung untuk menyelesaikan kuliah pada program S1 berkisar antara 156 hingga 160 SKS. Nilai Rata-rata IPK Mahasiswa Nilai rata-rata IPK mahasiswa serta nilai IPK terbaik untuk tiap program studi menunjukkan mutu rata-rata mahasiswa yang sedang belajar. Nilai ini sekaligus untuk mengukur tingkat keberhasilan proses belajar mengajar, baik untuk masing-masing program studi maupun UIN SGD Bandung secara umum. Data dalam Tabel 4.12 adalah rata-rata IPK mahasiswa UIN Bandung dalam empat semester (semester genap dan ganjil) pada tahun 2008-2009 dan 2009-2010. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa secara umum, rata-rata IPK mahasiswa UIN Bandung adalah 2,98. Nilai rata-rata IPK tertinggi dicapai oleh Program Studi Pendidikan Agama Islam, yaitu 3,38; sedangkan yang terrendah adalah Program Studi Teknik Elektro dengan rata-rata IPK 2,48. Tingkat kelulusan mahasiswa, demikian pula dengan waktu yang diperlukan mahasiswa untuk menyelesaikan studi merupakan ukuran-ukuran yang mencerminkan tingkat efisiensi dan efektivitas belajar di perguruan tinggi. Sedangkan indikator keberhasilan proses belajar mengajar disebuah perguruan tinggi dicerminkan dengan rata-rata IPK yang diperoleh mahasiswa. Hal itu terlepas, apakah sebabnya karena faktor mahasiswanya sendiri, atau faktor
193
dosennya, atau karena faktor-faktor lain. Sementara itu, rata-rata SKS mencerminkan beban yang harus dipikul mahasiswa untuk menyelesaikan studinya. Besar-kecilnya beban SKS yang harus diselesaikan setiap mahasiswa akan mempengaruhi mutu proses belajar dan waktu penyelesaian studi mahasiswa. Tabel 4.12. Rerata IPK Mahasiswa Jenjang S-1
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Program Studi Teknik Elektro Matematika Fisika Biologi Kimia Agroteknologi Teknik Informatika Ilmu Administrasi Negara Sosiologi Manajemen Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam Bimbingan & Konseling Islam Komunikasi & Penyiaran Islam Psikologi Ilmu Hukum Siyasah Sastra Inggris Sastra Arab Pendidikan Matematika Pendidikan Fisika Pendidikan Kimia Pendidikan Biologi Pendidikan Agama Islam Manajemen Pendidikan Islam Pendidikan Guru MI Pendidikan Bahasa Inggris Pendidikan Bahasa Arab RERATA UIN
Tahun 2008/2009
Tahun 2009/2010
Ganjil
Genap
Ganjil
Genap
2,45 2,73 2,96 2,91 3,02 2,66 2,77 3,02 2,90 3,05 2,99 3,06 3,01 2,91 2,97 3,07 2,74 3,38 3,02 2,76 2,85 3,02 3,30 3,11 3,38 3,13 3,28 2,98
2,52 2,68 2,81 2,99 3,09 2,83 2,76 3,26 2,92 3,05 3,01
2,82 3,01 3,15 2,76
2,45 2,71 2,86 3,05 3,10 2,80 2,81 3,44 2,92 2,93 3,25 2,94 3,04 2,84 3,13 3,08 2,98
2,90 2,78 2,83 3,09 3,43 3,24 3,28 3,05 3,28 2,99
2,82 2,43 2,89 3,01 3,42 3,23 3,32 3,05 3,43 3,00
2,48 2,73 2,87 3,06 3,08 2,42 2,82 3,38 3,05 3,08 3,28 3,14 3,08 2,15 2,58 3,04 2,98 3,22 2,93 2,49 2,98 2,63 3,35 3,30 3,31 3,24 2,96 2,95
RERATA 2,48 2,71 2,88 3,00 3,07 2,68 2,79 3,28 2,95 3,03 3,13 3,05 3,04 2,68 2,92 3,09 2,87 3,30 2,92 2,62 2,89 2,94 3,38 3,22 3,32 3,18 3,24 2,99
Sumber: Bagian Akademik dan Kemahasiswaan UIN Bandung
Berdasarkan pengukuran proses internal atas empat komponen di atas, maka proses internal yang dilakukan UIN Bandung dapat dikatakan efektif atau
194
mencapai keberhasilan. Kenyataan ini selaras dengan Kepmendiknas Nomor 323 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam pasal 5 ayat (1) Kepmendiknas mengenai Beban dan Masa Studi dikatakan bahwa: Beban studi program sarjana sekurang-kurangnya 144 (seratus empat puluh empat) SKS dan sebanyak-banyaknya 160 (seratus enam puluh) SKS yang dijadwalkan untuk 8 (delapan) semester dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 8 (delapan) semester dan selama-lamanya 14 (empat belas) semester setelah pendidikan menengah. Sementara itu, mengenai Penilaian Hasil Belajar, diatur dalam Pasal 14 dan pasal 15. Dalam Pasal 14 Kepmendiknas disebutkan: (1) Syarat kelulusan program pendidikan ditetapkan atas pemenuhan jumlah SKS yang disyaratkan dan indeks prestasi kumulatif(IPK) minimum. (2) Perguruan tinggi menetapkan jumlah SKS yang harus ditempuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan berpedoman pada kisaran beban studi bagi masing-masing program sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 8. (3) IPK minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi, sama atau lebih tinggi dari 2,00 untuk program sarjana dan program diploma, dan sama atau lebih tinggi dari 2,75 untuk program magister.
Sementara itu, berdasarkan pasal 15 Kepmendiknas tersebut ditetapkan bahwa: (1) Predikat kelulusan terdiri atas 3 tingkat yaitu: memuaskan, sangat memuaskan, dan dengan pujian, yang dinyatakan pada transkrip akademik. (2) IPK sebagai dasar penentuan predikat kelulusan program sarjana dan program diploma adalah: a. IPK 2,00 - 2,75 : memuaskan; b. IPK 2,76 - 3.50 : sangat memuaskan; c. IPK 3.51 - 4,00 : dengan pujian.
195
Tingkat Putus Kuliah Tingkat putus kuliah merupakan salah satu ukuran yang mencerminkan tingkat efektivitas proses belajar mengajar. Tingkat putus kuliah dihitung dengan membandingkan antara mahasiswa yang keluar/DO dengan jumlah keseluruhan mahasiswa. Penelitian terhadap 20 program studi di lingkungan UIN Bandung diperoleh hasil bahwa rata-rata tingkat putus kuliah mahasiswa UIN Bandung adalah 1: 66 (Tabel 4.13). Data tersebut didasarkan pada perbandingan antara jumlah mahasiswa yang keluar/drop out dengan jumlah mahasiswa aktif/yang melakukan registrasi dalam dua tahun, yaitu tahun akademik 2008-2009 dan 2009-2010. Tabel 4.13. Tingkat Putus Kuliah Mahasiswa UIN SGD Bandung No
Program Studi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Teknik Elektro Matematika Fisika Biologi Kimia Agroteknologi Teknik Informatika Ilmu Administrasi Negara Sosiologi Manajemen Dakwah Pengembangan Masy. Islam Bimbingan & Konseling Psikologi Ilmu Hukum Siyasah Pendidikan Matematika Pendidikan Fisika Pendidikan Kimia Pendidikan Biologi Pendidikan Bhs. Arab
Tahun 2008/2009 Ganjil Genap
4:104 1:49 3:111 2:79 4:527
5:41 3:104 3:46
1:74 1:509 6:94
1:135
Tahun 2009/2010 Ganjil Genap
1:13
4:80 3:149 6:153 3:101 6:109 33:614 2:204 1:92
2:18
1:334 3:313 26:213 1:297 1:461 11:291
2:17
2:80
8:272 1:303 1:41 3:308 2:188 1:265 7:442 9:248
13:342 1:344
3:319 2:513 9:272
Rasio UIN Bandung Sumber: Bagian Akademik dan Kemahasiswaan UIN Bandung
Rasio
1:189 8:342
25:366 6:273 9:307 6:478 2:264
1:36 1:24 1:29 1:34 1:29 1:43 1:16 1:113 1:92 1:19 1:189 1:33 1:327 1:41 1:32 1:20 1:85 1:118 1:35 1:66
196
Angka putus kuliah mahasiswa UIN di atas, apabila dibandingkan dengan tingkat putus kuliah mahasiswa ITB, misalnya, secara kuantitatif dapat dikatakan lebih rendah. Angka putus kuliah di ITB pada tahun 2007 dan 2008 mencapai 10% (CL.16). Namun, angka-angka prosentase tersebut belum dapat dijadikan dasar penilaian dalam membandingkan tingkat efektivitas proses belajar mengajar di kedua PTN tersebut, karena masing-masing perguruan tinggi memiliki mekanisme tersendiri mengenai kebijakan DO. Hal itu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 Kepmendiknas Nomor 323 Tahun 2000, bahwa: “Masing-masing pimpinan perguruan tinggi dapat menetapkan mahasiswa putus kuliah berdasarkan kriteria yang diatur dalarn keputusan pimpinan perguruan tinggi.” Dengan adanya kebijakan itu, pada tahun yang sama, fenomena putus kuliah tidak terjadi pada dua perguruan tinggi negeri lainnya di Bandung, yaitu Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Di kedua kampus itu dibuat kebijakan zero DO dengan penerapan yang fleksibel. Konsep zero DO pernah digagas di ITB pada tahun 1990-an. Namun konsep tersebut tidak menjadi kebijakan karena kerumitan dan standar akademis yang tinggi yang diterapkan oleh ITB (CL. 16). Sekalipun secara keseluruhan tingkat putus kuliah mahasiswa UIN jika dilihat dari angka prosentasenya kecil, namun jika dilihat dari jumlah mahasiswa yang keluar dalam setiap semester pada prodi-prodi tertentu, didapati angka-angka yang cukup besar bila dibandingkan dengan prodi-prodi yang lainnya. Misalnya, Program Studi Pendidikan Bahasa Arab dan Program Studi Psikologi mendapati angka putus kuliah dalam jumlah yang cukup besar secara berturut-turut dalam
197
tiga semester. Program Studi Pendidikan Bahasa Arab, pada semester ganjil 20082009 sebanyak 11 orang, pada semester genap 2008-2009 sebanyak 9 orang, dan pada semester ganjil 2009-2010 sebanyak 9 orang. Program Studi Psikologi, pada semester genap 2008-2009 sebanyak 8 orang, pada semester ganjil 2009-2010 sebanyak 13 orang, dan pada semester genap 2009-2010 sebanyak 8 orang. Dengan kenyataan, maka dapat dikatakan bahwa proses belajar mengajar di prodiprodi tersebut, dari segi tingkat putus kuliah, kurang efektif, atau tingkat efektivitasnya lebih rendah bila dibandingkan dengan prodi-prodi lainnya di lingkungan UIN Bandung. Kinerja Dosen UIN Bandung Kinerja dosen merupakan bagian yang dapat menentukan efektivitas proses belajar mengajar di UIN Bandung. Pengukuran terhadap kinerja dosen antara lain dapat dilihat dari produktivitas dosen yang bersangkutan. Produktivitas dosen, secara formal, menjadi salah satu indikasi bahwa proses belajar mengajar di lingkungan perguruan tinggi berlangsung secara efektif. Nilai produktivitas tersebut antara lain dilihat dari tingkat disiplin, jumlah jam mengajar, dan produk dosen berupa penulisan karya ilmiah dan penelitian. Tingkat kehadiran dosen di kelas sudah mulai menunjukkan peningkatan disiplin dengan dilakukannya pengawasan atas kehadiran dosen di kelas. Menurut Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, pengawasan kehadiran dosen dimaksudkan untuk memonitor dan mengevaluasi kehadiran dosen dan mahasiswa, pusat informasi bagi mahasiswa mengenai masuk atau tidaknya dosen mata kuliah tertentu, atau pusat informasi tentang penggantian jadwal/waktu kuliah dan
198
pemberian tugas-tugas
perkuliahan. Upaya tersebut dimaksudkan untuk
meningkatkan efektivitas kehadiran dosen di kelas, yang secara langsung berdampak pada meningkatnya kehadiran dan motivasi mahasiswa untuk kuliah (CL. Kode: eva. 1) Dalam Laporan Hasil Audit Mutu Pembelajaran (AMP) Tahun Akademik 2009/2010 yang dilakukan oleh Tim Auditor Pusat Penjaminan Mutu (PPM) UIN Bandung dikatakan, bahwa dalam pelaksanaan perkuliahan (butir b), masih terdapat sejumlah dosen yang memberikan kuliah tidak pada minggu pertama di awal semester. Dalam frekuensi perkuliahan (butir d), masih ditemukan kehadiran dosen yang kurang dari 14 kali pertemuan. Sementara itu, agenda perkuliahan belum sepenuhnya mencantumkan tanggal dan pokok bahasan. Selanjutnya, dalam nilai akhir semester (butir h), dikatakan bahwa pada umumnya dosen terlambat menyerahkan nilai kepada program studi, walaupun sudah diberi teguran. Hal senada juga diungkapkan Rektor UIN Bandung dalam laporan akhir kinerjanya (Natsir, 2011: 127). Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa kemampuan manajemen pada tingkat universitas belum berhasil meningkatkan disiplin dosen, mahasiswa dan tenaga administratif dalam memacu kegiatan akademik di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Dari sisi ekuivalensi waktu mengajar penuh dosen yang ditetapkan setara dengan 12 SKS, masih terdapat sejumlah dosen yang belum memenuhinya dengan baik (Tabel 4.14). Hal tersebut, bagi prodi-prodi sepi peminat disebabkan oleh sedikitnya jumlah kelas, sementara dosen tetapnya banyak. Sedangkan bagi prodi-
199
prodi umum, mata kuliah yang disajikan tidak sesuai dengan latar belakang keilmuan sejumlah dosen tetap yang berlatar pendidikan agama.
Tabel 4.14. Pelaksanaan Ekuivalensi Waktu Mengajar (12 SKS) Dosen UIN Bandung No
Fakultas
Jml Dosen
Dosen Kurang dari 12 SKS 12
%
1.
Syari’ah & Hukum
144
8,33
2.
Tarbiyah & Keguruan
125
8
6,40
3.
Sains & Teknologi
48
7
14,58
4.
Ushuluddin
101
11
10,89
5.
Dakwah & Komunikasi
111
5
6.
Adab & Humaniora
83
10
12,05
7.
Psikologi
36
5
16,67
4,50
Sumber: Lembar Temuan Audit Itjen Kemenag RI
Adapun
penilaian
kinerja
dosen
UIN
Bandung
dalam
bentuk
pengembangan keilmuan melalui kegiatan penelitian, audit yang dilakukan Itjen Kemenag menilainya kurang maksimal. Hal tersebut dikarenakan motivasi dosen UIN Bandung untuk melakukan kegiatan penelitian mandiri masih rendah. Tugas penelitian baru dilaksanakan oleh dosen yang mendapatkan bantuan dana penelitian. Sebagaimana diungkapkan dalam Laporan Akhir Kinerja Rektor UIN Bandung, kegiatan penelitian selama tahun 2004-2010 yang dilakukan oleh dosen UIN Bandung, baik secara individual maupun kelompok, dilaksanakan sesuai dengan arah kebijakan penelitian dan anggaran DIPA UIN Bandung (Natsir, 2011: 117).
200
Tabel 4.15. Jumlah Penelitian Dosen UIN Bandung tahun 2004-2010 No
Tahun
Individual
Kelompok
Jumlah
1
2004
10
-
10
2 3 4 5 6 7
2005 2006 2007 2008 2009 2010
15 25 64 64 55 74
1 8 7 -
15 25 65 72 62 74
Sumber: Laporan Akhir Kinerja Rektor UIN Bandung
Teknologi informasi Pemanfaatan teknologi informasi merupakan bagian yang menunjang efektivitas dan efisiensi proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Pengembangan teknologi informasi merupakan bagian dari program strategis UIN Bandung dalam bidang Sistem Informasi Terpadu (UIN Bandung, 2008: 20). Sistem tersebut dikembangkan untuk mendukung pengelolaan dan peningkatan program akademik, administrasi, infrastruktur, jaringan, manajemen, dan keuangan. Ia antara lain meliputi sistem informasi akademik, kemahasiswaan, sumberdaya manusia, administrasi, sarana-prasarana, dan keuangan. Pengelolaan data base mahasiswa dan dosen di UIN Bandung belum sepenuhnya terwujud. Program Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) yang menjadikan Bagian Akademik dan Kemahasiswaan sebagai pusat data terpadu perkembangan mahasiswa dan dosen, belum didukung oleh seluruh fakultas. Dari tujuh fakultas yang ada di UIN Bandung, baru dua fakultas yang sudah melakukan entry data yang memuat informasi secara lengkap, akurat, dan up to date, serta sewaktu-waktu dapat diakses oleh stakeholders. Dua fakultas tersebut adalah
201
Fakultas Dakwah dan Komunikasi dan Fakultas Sains dan Teknologi (CL. Kode: IT. 2). Fakultas Dakwah dan Komunikasi, hingga saat ini, merupakan satusatunya fakultas yang ada di UIN Bandung yang sudah mengembangkan Sistem Informasi Terpadu dengan memanfaatkan teknologi informasi secara lebih modern dibandingkan dengan fakultas-fakultas lainnya. Menurut Asep Iwan (operator sekaligus pengembang SIMDAK), Sistem Informasi tersebut dinamakan Sistem Informasi Data Base Akademik (SIMDAK) yang sudah dikembangkan sejak tahun 2006. Dengan sistem tersebut, data mengenai dosen dan mahasiswa yang terkait dengan aktivitas akademik dapat diakses secara lebih mudah oleh stakeholders. Sistem ini memudahkan fakultas atau prodi dalam penelusuran data yang diperlukan, misalnya untuk kebutuhan Audit Penjaminan Mutu atau Akreditasi Program Studi (CL. Kode : IT.1, 2 dan 3). Pengembangan sistem informasi terpadu di Fakultas Sains dan Teknologi (Sainstek) mencakup: (1) Penyusunan pola pengembangan sistem informasi terpadu; (2) Pengembangan dan penataan software sistem informasi fakultas berbasis web UIN; dan (3) Pengembangan software sistem informasi akademik dan sosialisasinya kepada seluruh civitas akademika. Sistem informasi Fakultas Sainstek dikembangkan melalui Information System Science and Technology (ISSTEC). Berdasarkan Laporan Tahunan Fakultas Sainstek 2011, kendala yang dihadapi dalam pengembangan sistem tersebut adalah: (1) belum tersedianya pola pengembangan sistem informasi yang integral, (2) belum tertatanya sistem
202
informasi Fakultas Sainstek berbasis web UIN, dan (3) software sistem informasi akademik belum memenuhi kebutuhan (Fakultas Sainstek, 2011: 6) . (c) Proses Layanan Purnajual. Ukuran-ukuran generik untuk proses layanan purnajual meliputi: (a) fasilitas bagi alumni, (b) jaringan alumni, (c) pencarian pekerjaan, dan (d) kesempatan rekruitmen. Menurut Pembantu Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Bidang Kemahasiswaan, bidang pengembangan alumni di UIN Bandung, hingga saat ini, belum berjalan secara optimal. UIN Bandung belum memiliki fasilitas saranaprasarana kantor bagi alumni (CL. Kode: alm.1). Jaringan alumni melalui media internet penggunaannya belum optimal mengarah pada pengembangan, baik antar dan intra alumni dalam hal pemberdayaan mereka, maupun alumni dengan perguruan tinggi dalam bentuk pengembangan akademik. Hal senada diungkapkan Ketua Program Studi TBI. Menurutnya, mengenai pelayanan kepada alumni, prodi belum memiliki IT yang dapat mendukung kelancaran program akademik dan penyediaan data base. Namun belakangan ini, karena sudah punya pengalaman pada saat ditanyakan oleh assessor BAN PT, prodi sudah membuat web
yang dapat diakses oleh alumni. Hanya
pemanfaatannya belum optimal. Sedangkan hubungan prodi dengan lulusan (misalnya untuk pencarian kerja) belum dilakukan secara optimal. Namun sudah ada upaya untuk menunjukkan beberapa penerbit yang ditawarkan kepada alumni untuk dicoba dimasuki (CL. Kode: alm.3).
203
Lulusan UIN banyak yang masuk dalam wilayah pengabdian yang berbeda dengan latar belakang pendidikan mereka di kampus. Bila biasanya alumni IAIN/UIN menjadi ustad, da’i atau pegawai negeri di lingkungan departemen agama, maka paska reformasi saat ini, tidak sedikit diantara mereka yang aktif di dunia politik. Ada yang berhasil menduduki jabatan pimpinan daerah seperti menjadi pejabat daerah seperti bupati, anggota legislatif dari
tingkat
kabupaten/kota sampai pusat, anggota KPU dan organisasi politik lainnya (CL. Kode: alm.2 dan 4) Menurut Uwes Fatoni, salah seorang alumni IAIN, fenomena tersebut di satu segi menjadi penanda bahwa lulusan UIN mampu eksis di masyarakat. Namun di sisi lain, hal itu menandakan bahwa alumni UIN tidak profesional karena kebanyakan mereka bekerja di luar bidang studi yang pernah digelutinya. Sejatinya perguruan tinggi dianggap berhasil tatkala alumninya mampu bekerja secara profesional sesuai dengan profesi dan latar belakang pendidikannya. Di sisi lain belum tentu keberhasilan alumni menjadi gambaran keberhasilan lembaga almamaternya. Banyak yang mempertanyakan sejauh mana andil kampus dalam membibit dan membina mereka sehingga sukses di puncak karir. Jangan-jangan keberhasilan tersebut semata-mata karena prestasi pribadi, bukan hasil gemblengan studi di kampus (sumber: http://kanguwes.wordpress.com/2008...). Hal senada diungkapkan Sulasman, Pembantu Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Bidang Kemahasiswaan. Menurutnya, memang ada beberapa alumni UIN yang bisa disebut berhasil mengisi bidang-bidang tertentu di masyarakat, misalnya pengusaha, kepala daerah atau politisi. Namun, itu bukan dihasilkan dari
204
program pendidikan yang terrencana dari UIN sendiri, melainkan kreativitas dari individu masing-masing alumni (CL. Kode: alm.1) 3) Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran Faktor penentu keberhasilan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran dalam Balanced Scorecard dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu Ukuran Utama dan Ukuran Pendukung. Ukuran utama berupa Produktivitas Dosen, sedangkan ukuran pendukungnya adalah Kompetensi Dosen dan Teknologi Informasi. Dalam perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, produktivitas mencerminkan peningkatan kinerja bagi karyawan/dosen, sedangkan pada perspektif proses internal, kinerja dosen/karyawan yang diukur melalui produktivitas menunjukkan tingkat mutu proses internal UIN Bandung. (a) Ukuran Utama: Produktivitas Dosen Produktivitas karyawan adalah kinerja yang dihasilkan (output) karyawan, baik berupa kuantitas maupun kualitas. Nilai produktivitas karyawan dalam penelitian ini lebih difokuskan pada produktivitas dosen. Hal tersebut didasarkan pada ketersediaan informasi di lapangan. Namun demikian, untuk faktor-faktor tertentu, penelitian terhadap produktivitas tenaga administrasi atau tenaga penunjang akademik lainnya secara umum juga dilakukan. Adapun ukuran-ukuran generik mengenai ukuran utama perspektif pembelajaran dan pertumbuhan meliputi: (a) Tingkat kehadiran, (b) Jumlah terbitan ilmiah, (c) Jumlah penulian buku, (d) Jumlah hasil penelitian, dan (e) Gugus kendali mutu.
205
Tingkat kehadiran Tingkat disiplin kehadiran karyawan UIN Bandung, secara umum, dinilai masih rendah. Sebagaimana ditegaskan M. Yamin, Kepala Bagian Akademik dan Kemahasiswaan UIN Bandung, bahwa disiplin kehadiran karyawan UIN Bandung belum memperlihatkan nilai-nilai disiplin sebagaimana yang diajarkan dalam shalat lima waktu. Pelaksanaan ajaran ini mestinya terealisasi dalam disiplin waktu kerja karyawan UIN Bandung. Namun, hampir di semua unit kerja, masih didapatkan sejumlah karyawan yang datangnya terlambat. Hal ini menyebabkan pelayanan terhadap kebutuhan-kebutuhan akademik, terutama mahasiswa, menjadi kurang optimal (CL. Kode: bdy. 1). Hal senada diungkapkan Agus Salim Mansyur, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, yang mengatakan bahwa kinerja karyawan dari sisi disiplin kehadiran masih perlu ditingkatkan. Untuk itu pihaknya mengupayakan peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan honorarium setiap program kegiatan, memberikan teladan dengan hadir tepat waktu, berkomunikasi secara intensif terhadap karyawan, juga memberikan peringatan yang tegas baik terhadap dosen maupun karyawan yang dipandang kinerjanya kurang optimal (CL. Kode: vs. 2). Sebagaimana dikemukakan dalam hasil audit internal yang dilakukan PPM UIN pada tahun akademik 2009-2010 terhadap mutu pembelajaran di atas, bahwa dari aspek frekuensi perkuliahan, masih ditemukan kehadiran dosen yang kurang dari 14 kali pertemuan. Sementara itu dari aspek pelaksanaan perkuliahan, masih terdapat sejumlah dosen yang memberi kuliah tidak pada minggu pertama di awal semester.
206
Tabel 4.16. Prosentase Rata-rata Tingkat Kehadiran Dosen UIN Bandung
PROGRAM STUDI
RENCANA
RIIL
(%)
Teknik Elektro
14
14
100
Matematika
14
14
100
Biologi
14
14
100
Ilmu Administrasi Negara
16
14
87,50
Ilmu Hukum
16
15
93,75
Hukum Tatanegara (Siyasah)
16
15
93,75
15,6
14
89,74
Manajemen Dakwah
14
13,4
95,71
Bimbingan & Konseling Islam
14
14
100
15,6
14,8
94,87
Pengembangan Masyarakat Islam
Sosiologi Psikologi
16
16
100
15,6
13,7
87,82
Sastra Arab
16
15
93,75
Pendidikan Fisika
16
15,3
95,63
Pendidikan Kimia
16
13,5
84,38
14,6
14,4
98,63
Sastra Inggris
Rata-rata UIN Bandung
Sumber: Bagian Akademik dan Kemahasiswaan UIN Bandung
Untuk mengetahui produktivitas dosen dari sisi kehadiran, penghitungan dilakukan dengan membandingkan jumlah kehadiran dosen yang riil dengan jumlah kehadiran dosen yang direncanakan/diprogramkan oleh program studi untuk masing-masing mata kuliah. Data pada Tabel 4.16 didapatkan secara acak dengan mengambil 10 orang dosen untuk 15 program studi S1 dari 39 program studi S1 yang ada di lingkungan UIN Bandung pada semester genap tahun 2009 atau semester awal 2010. Gugus Kendali Mutu Untuk menjadi perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif, salah satu upaya yang dilakukan UIN Bandung adalah pengembangan dan penataan bidang
207
penjaminan mutu. Sistem penjaminan mutu UIN Bandung dibangun dan dikembangkan untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Ia dibentuk di tingkat universitas, yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan dan proses pelaksanaan program-program akademik dan nonakademik di lingkungan UIN Bandung. Ia disusun melalui pengorganisasian dan manual mutu yang memuat pernyataan mutu sebagai komitmen institusi, kebijakan mutu, prosedur mutu, dan instruksi kerja mutu (UIN Bandung, 2008: 21). Menurut Hasan Bisri, Ketua PPM UIN Bandung, Penjaminan Mutu merupakan proses penetapan dan pemenuhan atau realisasi visi-misi. Mengukur mengandung arti bahwa tujuan teroperasionalkan, ada kriterianya (indikator pencapaian), dan tolok ukur pencapaiannya (data). Standar Mutu yang telah ditetapkan secara nasional tidak langsung dijadikan tuntutan pemenuhan standarstandar di UIN, tetapi dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang dimiliki. Upaya itu dilakukan terus menerus melalui proses pemenuhan yang dinamis dan peningkatan mutu secara bertahap hingga mencapai standar yang diinginkan (CL. Kode: mt.1). Salah satu strategi yang ditempuh UIN Bandung adalah memilih dan menetapkan sendiri standar mutu pada tingkat universitas, fakultas, jurusan, dan program studi. Standar mutu tersebut meliputi 20 butir mutu, yang meliputi: (1) jatidiri, visi, misi, dan tujuan; (2) mahasiswa; (3) dosen; (4) tenaga penunjang; (5) kurikulum; (6) pendanaan; (7) sarana dan prasarana; (8) perpustakaan; (9) pembelajaran; (10) penelitian; (11) pengabdian kepada masyarakat; (12) atmosfir
208
akademik; (13) tata pamong; (14) pengelolaan program; (15) penjaminan mutu; (16) sistem informasi; (17) lulusan; (18) publikasi; (19) inovasi; dan (20) program studi (PPM UIN, 2008: 1). Dari 20 butir mutu di atas, PPM UIN Bandung pada Tahun Akademik 2009-2010 baru melakukan audit terhadap butir mutu pembelajaran. Sasaran Audit Mutu Pembelajaran (AMP) adalah 41 program studi, dengan mutu pembelajaran mencakup sembilan butir mutu, yaitu; a) Kalender Akademik; b) Pelaksanaan Perkuliahan; c) Satuan Acara Perkuliahan (SAP); d) Frekuensi Perkuliahan; e) Pelaksanaan Supervisi; f) Ujian Tengah Semester (UTS); g) Ujian Akhir Semester (UAS); h) Nilai Akhir Semester; dan i) Indeks Prestasi [IP] Mahasiswa (PPM UIN Bandung, 2010: 1). Pada Tahun Akademik 2009-2010 telah dilakukan audit mutu internal terhadap salah satu butir mutu, yaitu pembelajaran. Sasaran Audit Mutu Pembelajaran (AMP) adalah 41 program studi, dengan mutu pembelajaran mencakup sembilan butir mutu, yaitu; (a) Kalender Akademik; (b) Pelaksanaan Perkuliahan; (c) Satuan Acara Perkuliahan; (d) Frekuensi Perkuliahan; (e) Pelaksanaan Supervisi; (f) Ujian Tengah Semester; (g) Ujian Akhir Semester; (h) Nilai Akhir Semester; dan (i) Indeks Prestasi Mahasiswa (PPM UIN Bandung, 2010: 1). Berdasarkan audit internal terhadap mutu pembelajaran tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: (1) Kalender Akademik. Kalender akademik yang dibuat program studi pada umumnya belum menggambarkan pengembangan dari kalender akademik
209
universitas. Ia hanya merupakan duplikasi kalender akademik yang telah ditetapkan universitas. (2) Pelaksanaan Perkuliahan. Penyerahan kartu rencana studi (KRS), yang merupakan tahap awal rangkaian pelaksanaan perkuliahan, masih mengalami keterlambatan terutama di kalangan mahasiswa baru. Di samping itu, masih terdapat sejumlah dosen yang memberi kuliah tidak pada minggu pertama di awal semester. (3) Satuan Acara Perkuliahan (SAP). Pada umumnya, dosen mengumpulkan SAP pada minggu keempat perkuliahan. (4) Frekuensi Perkuliahan. Kehadiran dosen yang kurang dari 14 kali pertemuan masih ditemukan. Sementara itu, agenda perkuliahan belum sepenuhnya mencantumkan tanggal dan pokok bahasan. (5) Pelaksanaan Supervisi. Sebagian besar supervisi dilakukan di atas meja. Sebagian kecil sudah dilakukan langsung di runag perkuliahan/ pembelajaran. (6) Ujian Tengah Semester (UTS). Pada umumnya, pimpinan fakultas mengeluarkan surat edaran tentang pelaksanaan UTS. Sementara itu, penyelenggaraan UTS dilaksanakan oleh dosen secara individual. (7) Ujian Akhir Semester (UAS). Hanya sebagian kecil fakultas yang menyelenggarakan
UAS
secara
kolektif
melalui
pembentukkan
kepanitiaan. Sebagian lainnya, penyelenggaraan UAS dilaksanakan oleh dosen secara individual.
210
(8) Nilai Akhir Semester. Pada umumnya dosen terlambat menyerahkan nilai kepada program studi, walaupun sudah diberi teguran. (9) Indeks Prestasi (IP) Mahasiswa. IP mahasiswa mencapai rata-rata 3,06 (semester gasal) dan 3,09 (semester genap). Ini merupakan pencapaian IP yang sangat tinggi. Pada tahun akademik 2010-2011, PPM UIN Bandung telah melakukan pengembangan terhadap butir mutu yang diaudit. Penyelenggaraan audit mutu internal tahun akademik 2010-2011 yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2011 meliputi empat butir mutu, yaitu: Dosen, Mahasiswa, Kurikulum, dan Pembelajaran. Informasi mengenai hasil audit tersebut belum dapat diperoleh hingga penulisan laporan penelitian ini dilakukan. Mengenai
evaluasi
mutu
yang
sudah
dilakukan,
Hasan
Bisri
mengemukakan, bahwa mengingat kondisi UIN yang masih dalam proses pengembangan,
terutama
sarana
fisik
yang
sedang
direnovasi/dipugar,
menyebabkan belum memungkinkannya dilakukan pengukuran pada butir mutu secara menyeluruh. Di samping itu, juga terkait dengan sumberdaya, antara lain pendanaan, yang belum mencukupi untuk melakukan proses penetapan dan pemenuhan butir-butir mutu yang lain (CL. Kode: mt.1). Agar pelaksanaan penjaminan mutu dapat dilaksanakan secara efektif dan maka dibentuk satuan penjaminan mutu pada tingkat universitas, fakultas, program pascasarjana, dan jurusan. Satuan penjaminan mutu tingkat universitas adalah Pusat Penjaminan Mutu (PPM). Sedangkan satuan penjaminan mutu tingkat fakultas dan program pascasarjana adalah Komite Penjaminan Mutu
211
(KPM). Sementara itu satuan penjaminan mutu tingkat jurusan adalah Gugus Penjaminan Mutu (GPM) (PPM UIN Bandung, 2009). Jumlah terbitan ilmiah Terbitan berkala ilmiah, berupa jurnal atau majalah ilmiah, menunjukkan produktivitas dan kompetensi kolektif dosen UIN Bandung baik pada tingkat universitas, fakultas, jurusan, maupun program studi. Pengakuan keilmiahan atas terbitan-terbitan tersebut dibuktikan dengan adanya akreditasi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI. Di samping itu, kontinuitas terbitan-terbitan tersebut menunjukkan tingkat konsistensi dan peningkatan produktivitas serta kompetensi keilmuan dosen UIN Bandung. Tabel 4.17. Terbitan Berkala Fakultas-fakultas UIN Bandung No
Nama Jurnal/Majalah
Penerbit
ISSN
1.
Khazanah: Jurnal Ilmu Agama Islam
Program Pascasarjana
1412-372X
2.
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya
Fakultas Ushuluddin
0215-109X
3.
Media Pendidikan:Jurnal Pendidikan Keagamaan
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
1412-064X
4.
Asy-Syari'ah
Fakultas Syari'ah dan Hukum
0854-7742
5.
Psympathic: Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan
Fakultas Psikologi
1979-4789
6.
Ilmu Dakwah
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
1410-5705
7.
ANNIDA: Majalah Aktualisasi Nuansa Ilmu Dakwah
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
1410-5705
8.
Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra dan Sejarah Islam
Fakultas Adab dan Humaniora
1414-007X
9.
Al-Tsaqafa: Jurnal Adab dan Humaniora
Fakultas Adab dan Humaniora
0216-5937
212
Terbitan-terbitan ilmiah di lingkungan UIN Bandung pada umumnya berbentuk jurnal yang diterbitkan oleh masing-masing fakultas sesuai dengan bidang keilmuannya. Pengakuan akreditasi atas jurnal-jurnal itu sangat membantu bagi para dosen dalam memenuhi salah satu persyaratan untuk kenaikan pangkatnya, yaitu tulisan yang dimuat dalam jurnal terakreditasi. Tabel 4.17 merupakan daftar jurnal/majalah ilmiah yang masing-masing diterbitkan oleh tujuh Fakultas dan Program Pascasarjana di lingkungan UIN Bandung. Hingga tahun 2008, sebagian besarnya telah terakreditasi oleh Dikti Kemendiknas. Namun, dari keseluruhan jurnal tersebut, yang dapat bertahan hingga pertengahan tahun 2010, tinggal satu jurnal, yaitu Jurnal Asy-Syari’ah yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum. Jurnal tersebut mendapatkan peringkat B berdasarkan SK Dirjen Dikti Nomor: 108/Dikti/Kep/2007, yang berlaku dari tanggal 23 Agustus 2007 hingga 23 Agustus 2010. Sedangkan pada pengusulan akreditasi tahun 2010, jurnal Asy-Syari’ah pun ternyata gagal untuk mendapatkan nilai akreditasi. Jurnal ini dinyatakan tidak terakreditasi berdasarkan SK Dirjen Dikti Nomor: 51/Dikti/Kep./2010. Dengan kenyataan di atas, maka keseluruhan jurnal dalam Tabel 4.17, saat ini (tahun 2011) tidak satu pun yang mendapatkan akreditasi dari Dirjen Dikti Kemendiknas RI. Hal ini berarti bahwa karya-karya produktif dari dosen-dosen di lingkungan UIN Bandung yang ditulis dalam jurnal-jurnal tersebut tidak diakui sebagai bentuk produktivitas ilmiah. Di samping itu, kenyataan ini sekaligus mempersulit dosen UIN Bandung dalam memenuhi syarat untuk kenaikan pangkat mereka.
213
Jumlah Penulisan Buku Sejumlah dosen UIN Bandung mengungkapkan bentuk produktivitas dan kompetensi mereka dalam bentuk tulisan yang dimuat dalam buku-buku yang diterbitkan. Di samping dipergunakan sebagai referensi mata kuliah, buku-buku itu juga menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi masyarakat luas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama terkait dengan masalah keagamaan. Menurut Supriyadi dan Sarbini (2007) dalam Profile Karya Tulis Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, hingga tahun 2007, karya produktivitas dosen UIN Bandung dalam bentuk buku terbitan tercatat sebanyak 924 buah. Bukubuku tersebut ditulis oleh 125 orang dosen UIN Bandung dengan jumlah yang beragam. Sembilan orang dosen di antaranya menghasilkan lebih dari 20 judul buku, 14 orang menulis 10 sampai 20 judul buku, dan 39 orang menulis antara 5 sampai 9 judul buku. Adapun kriteria tulisan dan jumlahnya dapat dilihat dalam Tabel 4.18 berikut: Tabel 4.18. Jumlah Penulisan Buku Dosen UIN Bandung hingga Tahun 2007 No
Kriteria
Jumlah
Keterangan
1
Tulisan individu dan kelompok
742
51 judul ditulis oleh kelompok
2
Editor
48
3
Terjemahan
105
4
Proses terbit
46
5
Proses penulisan/penyusunan
23
Sumber: Supriyadi dan Sarbini, 2007
214
(b) Ukuran Pendukung •
Kompetensi Dosen
Indikator-indikator pencapaian perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif dalam Rencana Strategis pengembangan UIN Bandung yang merupakan faktor-faktor penentu keberhasilan yang terkait dengan kompetensi dosen antara lain adalah: 1) 30% dosen berpendidikan doktor; 2) 10% dosen memiliki jabatan akademik Guru Besar; dan 3) semakin kecil rasio jumlah dosen dan mahasiswa dengan perbandingan 1:20 (UIN SGD Bandung, 2008). Indikator-indikator
di
atas
dalam
perspektif
pembelajaran
dan
pertumbuhan merupakan ukuran-ukuran generik kompetensi dosen. Dalam penelitian ini, ukuran-ukuran generik tersebut meliputi: (1) Rasio dosen berpendidikan S3; (2) Studi lanjut dosen; (3) Kepangkatan Dosen; dan (4) Rasio dosen dan mahasiswa. Berdasarkan hasil penelitian, data mengenai ukuran-ukuran generik kedua faktor tersebut dipaparkan dalam uraian di bawah ini. Rasio Dosen Berpendidikan S3 Program strategis pengembangan SDM untuk mencapai arah perubahan UIN Sunan Gunung Djati Bandung menjadi perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif pada tahun 2011, di antaranya meliputi program studi lanjut S2 dan S3 bagi dosen dan karyawan (UIN Bandung, 2008: 13). Program tersebut diarahkan antara lain untuk mencapai target 30% dosen UIN Bandung berpendidikan S3.
215
Tabel 4.19. Rasio Dosen Berpendidikan S3 UIN SGD Bandung FAKULTAS Ushuluddin
JUMLAH DOSEN
DOSEN S3
(%)
1:5,61 1:6,58
17,82 15,20
Tarbiyah & Keguruan
125
18 19
Syari’ah dan Hukum
144
28
1:5,14
19,44
Dakwah &Komunikasi
111
6
1:18,50
5,41
Adab & Humaniora
84
8
1:10,5
9,52
Psikologi
37
4
1:9,25
10,81
Sains & Teknologi
55
6
1:9,17
10,91
657
89
1:7,38
13,55
UIN Bandung
101
RASIO
Sumber: Bagian Kepegawaian dan Ortala
Berdasarkan informasi dari Bagian Kepegawaian dan Organisasi Ketatalaksanaan UIN Bandung, hingga tahun 2011, jumlah dosen yang telah menyelesaikan pendidikan S3 sebanyak 89 orang (Tabel 4.19). Jumlah tersebut, apabila dibandingkan dengan keseluruhan jumlah dosen tetap di lingkungan UIN Bandung, maka diperoleh rasio 1:7,4. Sedangkan apabila dilihat dari prosentasenya, jumlah dosen berpendidikan S3 dari keseluruhan dosen mencapai 13,55%. Angka tersebut belum memenuhi target yang sudah ditetapkan dalam Rencana Strategis 2008-2011, yaitu sebesar 30%. Studi Lanjut Dosen Angka prosentase dosen berpendidikan S3 di atas masih di bawah target pencapaian indikator program pengembangan SDM tahun 2011. Namun, jika dilihat dari jumlah dosen yang sedang studi lanjut jenjang S3 dalam Tabel 4.20 di bawah ini, maka target tersebut dapat terlampaui ketika dosen-dosen tersebut sudah menyelesaikan studi jenjang S3 mereka.
216
Tabel 4.20. Studi Lanjut Dosen UIN Bandung FAKULTAS
JML DOSEN
STUDI LANJUT S3 (%) S2
S3
JUMLAH
Ushuluddin
101
5
29
34
28,7
Tarbiyah & Keguruan
125
6
36
42
28,8
Syari’ah dan Hukum
144
16
41
57
28,5
Dakwah & Komunikasi
111
24
33
57
29,7
84
6
34
40
40,5
Psikologi
37
3
10
13
27,0
Sains & Teknologi
55
6
14
20
25,5
657
66
197
263
30,0
Adab & Humaniora
UIN Bandung
Sumber: Bagian Kepegawaian dan Ortala UIN Bandung
Hingga bulan Mei 2011, dosen UIN Bandung yang sedang studi lanjut jenjang S3 berjumlah 197 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah seluruh dosen UIN Bandung, maka prosentase dosen studi lanjut jenjang S3 mencapai 30%. Jumlah ini apabila ditambahkan dengan jumlah dosen yang berpendidikan S3, maka total jumlahnya menjadi 286 orang. Jumlah tersebut bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan dosen UIN Bandung, maka prosentasenya mencapai 43,5%. Angka ini mengandung arti bahwa indikator keberhasilan pengembangan SDM UIN Bandung melalui program studi lanjut telah dapat diwujudkan. Kepangkatan Dosen Pengembangan SDM UIN Bandung, di samping dilakukan melalui program studi lanjut dosen, juga dilakukan dengan memberikan dorongan kepada dosen dalam percepatan kenaikan pangkat ke jenjang jabatan akademik yang lebih tinggi. Target pencapaian jenjang kepangkatan dosen pada tahun 2011 antara lain adalah 10% dosen UIN Bandung memiliki jabatan akademik Guru Besar.
217
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Bagian Kepegawaian dan Ortala UIN Bandung (Tabel 4.21), hingga bulan Mei 2011, dosen yang memiliki jabatan akademik Guru Besar berjumlah 38 orang, atau 5,78% dari keseluruhan dosen UIN Bandung. Jumlah tersebut masih di bawah jumlah yang ditargetkan yaitu 10%. Tabel 4.21. Kepangkatan Dosen UIN Bandung No
JABATAN
1.
Guru Besar
2.
JUMLAH
(%)
38
5,78
Lektor Kepala
256
38,97
3.
Lektor
234
35,62
4.
Asisten Ahli
129
19,63
Sumber: Bagian Kepegawaian dan Ortala UIN Bandung
Rasio Dosen dan Mahasiswa Program pengembangan SDM UIN Bandung, di samping dilakukan dengan pembinaan, pengawasan dan pengendalian kinerja dan produktivitas dosen dan karyawan yang telah ada, juga diupayakan dengan menambah jumlah dosen dan karyawan baru. Program tersebut, terutama dimaksudkan untuk mencapai target rasio dosen dan mahasiswa dengan perbandingan 1:20. Pada semester genap tahun akademik 2009-2010, jumlah mahasiswa S1 yang aktif pada masing-masing fakultas tercatat sebanyak 12.678 orang. Jika dibandingkan dengan keseluruhan dosen UIN Bandung, maka didapatkan angka perbandingan dosen dan mahasiswa sebesar 1:19 (Tabel 4.22). Rasio tersebut melebihi target ideal yang telah ditetapkan yaitu 1:20. Namun, apabila dihitung berdasarkan masing-masing fakultas, maka rasio antara jumlah dosen dengan
218
jumlah mahasiswa terlihat timpang. Misalnya, Fakultas Ushuluddin rasionya sangat kecil, yaitu 1:7, sedangkan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan serta Fakultas Sains dan Teknologi rasionya sangat besar, yaitu 1:36. Tabel 4.22. Rasio Dosen dan Mahasiswa Program S1 UIN Bandung FAKULTAS
JUMLAH DOSEN
JUMLAH MAHASISWA
RASIO
Ushuluddin
101
663
1:7
Tarbiyah & Keguruan
125
4.519
1:36
Syari’ah dan Hukum
144
2.232
1:16
Dakwah & Komunikasi
111
1.553
1:14
84
1.286
1:15
Adab & Humaniora Psikologi
37
468
1:13
Sains & Teknologi
55
1.957
1:36
657
12.678
1:19
UIN Bandung
Sumber: Bagian Akademik dan Kemahasiswaan UIN Bandung
Data pada Tabel 4.22 sekaligus memperlihatkan bahwa penambahan jumlah mahasiswa UIN Bandung lebih banyak diserap oleh Fakultas Tarbiyah dan Keguruan serta Fakultas Sains dan Teknologi. Sedangkan untuk fakultas lain, misalnya Fakultas Ushuluddin, penambahan jumlah mahasiswa tiap tahunnya tidak begitu besar, sehingga menghasilkan angka rasio dosen dan mahasiswa yang sangat kecil. •
Teknologi Informasi
Teknologi informasi dalam perspektif pembelajaran merupakan ukuran pendukung dalam pengembangan produktivitas dosen dan karyawan melalui pemanfaatannya. Sistem informasi UIN Bandung dibangun dan dikembangkan dalam rangka memasuki kompetisi global dengan instrumen dasar penguasaan
219
Sistem Informasi Terpadu. Sistem ini dikembangkan untuk mendukung pengelolaan dan peningkatan mutu program akademik, administrasi, infrastruktur, jaringan kerjasama, manajemen, dan keuangan (Laporan Program Kerja Pembantu Rektor Bidang Perencanaan, Pengembangan, Sistem Informasi, dan Kerjasama UIN Bandung). Menurut Natsir (UIN Bandung, 2011: 134), penyediaan kelengkapan sistem teknologi informasi merupakan keharusan untuk menjadikan UIN Bandung memiliki kemampuan berdayasaing global. Upaya ke arah itu sedang diwujudkan dengan cara: (1) Mengembangkan sistem informasi sebagai instrumen strategis dalam rangka menunjang peningkatan mutu akademik dan non-akademik berbasis information technology (IT); (2) Sistem informasi ditujukan untuk mewujudkan software sistem informasi berbasis information technology (IT) dan terwujudnya akses informasi yang efektif bagi seluruh stakeholders; dan (3) Membentuk dua lembaga, yaitu Pusat Komputer (PUSKOM) dan Pusat Teknologi Informasi (Information Technology Center – ITC). Berdasarkan Laporan Kerja Pembantu Rektor tersebut di atas, hingga tahun 2011, realisasi program kerja Bidang Sistem Informasi UIN yang dapat dicapai adalah sebagai berikut: (1) Penyusunan Entri Data SIMAK mencapai 30%; (2) Pengembangan Sistem Informasi Terpadu mencapai 40%; Implementasi Sofware Sistem Informasi Akademik mencapai 60%; Penataan Website UIN mencapai 60%; dan Penambahan kapasitas Bandwidth mencapai 4 mpbs dari 16 mpbs yang direncanakan.
220
Belum terrealisasinya program pengembangan sistem informasi berbasis IT antara lain disebabkan saat ini UIN sedang memfokuskan diri pada pembangunan dan pengembangan gedung-gedung perkantoran unit-unit kerja dan ruang kuliah serta penataan lingkungan kampus. Seperti dikatakan Hasan Bisri (CL. Kode: IT 3), bahwa fakultas-fakultas lain, terutama Fakultas Sainstek sudah mulai mengembangkan sistem IT, tetapi belum bisa berlanjut karena terganggu oleh adanya renovasi dan pembongkaran gedung UIN Bandung. Dengan kondisi yang demikian, maka audit terhadap pengembangan dan pemanfaatan IT tersebut di masing-masing unit kerja belum dapat dilaksanakan. 4) Perspektif Keuangan Pengembangan dan penataan bidang keuangan merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam program strategis pengembangan UIN Bandung. Dalam Laporan Akhir Kinerja Rektor UIN Bandung 2007-2011, disebutkan bahwa seiring berubahnya status UIN menjadi BLU, maka pengelolaan bidang keuangan UIN mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan UMUM, dengan menerapkan prinsipprinsip: transparansi, kemandirian, akuntabilitas, responsibilitas, dan kewajawan. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, pengelolaan bidang keuangan diupayakan dalam rangka menggali setiap potensi dana, baik yang berasal dari sumber-sumber internal maupun dari sumber-sumber eksternal melalui: (1) Pendayagunaan sumber-sumber pendanaan di luar sumber-sumber reguler, yaitu kontak manajemen, sewa aset, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, kemitraan, dan publikasi karya ilmiah; (2) Pengelolaan dana ditujukan untuk
221
meningkatkan pemanfaatan dana secara efektif dan efisien, baik yang berasal dari sumber-sumber reguler (DIPA), maupun dari luar institusi (non-DIPA); dan (3) Tujuan pengelolaan dana adalah terwujudnya laporan audit keuangan yang memuat sumber pendanaan serta sistem monitoring dan evaluasi secara internal yang akuntabel terhadap semua unit kerja. Rencana Strategis UIN Bandung Tahun 2008-2011 disebutkan, bahwa upaya pengembangan dan penataan program pendanaan antara lain: (1) proporsi dana yang lebih dialokasikan untuk pengembangan program akademik dibandingkan untuk pengembangan investasi pada aspek fisik, sarana, dan prasarana; dan (2) mampu menggalang dana untuk program akademik dari luar sumber pendanaan regular melalui kontrak kerja, kemitraan, hasil penelitian, karya akademik, dan pendayagunaan sumberdaya yang dimiliki. (a) Proporsi Alokasi Dana UIN Bandung Untuk mengetahui jumlah atau prosentase pembiayaan yang dialokasikan untuk pengembangan bidang akademik, peneliti menghitung rasio antara realisasi anggaran untuk program pengembangan akademik dengan program-program pengembangan secara keseluruhan. Informasi realisasi anggaran untuk sejumlah program pengembangan UIN Bandung, sebagaimana Laporan Akhir Kinerja Rektor di atas, dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: (a) Pelayanan Birokrasi dan Pengembangan serta pemeliharaan Sarana-Prasarana; (b) Gaji dan Honorarium; dan (c) Pengembangan bidang akademik. Pengembangan bidang akademik dalam pengelompokkan ini antara lain meliputi: beasiswa, penelitian,
222
pengabdian kepada masyarakat, kegiatan belajar mengajar, bantuan penyelesaian studi, dan pelayanan bantuan pendidikan. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, terlihat bahwa proporsi terbesar realisasi anggaran program UIN Bandung masih pada bidang pelayanan birokrasi dan pengembangan sarana dan prasarana.
Tabel 4.23. Rasio Pendanaan Program Pengembangan UIN Bandung
Tahun
Jumlah Anggaran
Akademik (%)
2007
107.971.498.000
6,52
Gaji (%) 26,55
2008
142.862.692.000
4,29
25,33
2009
260.582.275.000
26,95
18,80
Sumber: Laporan Akhir Kinerja Rektor UIN Bandung
(b) Sumber Pendanaan UIN Bandung Arah pengembangan dan penataan bidang pendanaan selanjutnya adalah mengupayakan agar UIN Bandung mampu menggalang dana untuk program pengembangan dari luar sumber dana regular melalui kontrak kerja, kemitraan, hasil penelitian, karya akademik, dan pendayagunaan sumberdaya yang dimiliki. Target tersebut hingga saat ini belum dapat direalisasikan. Menurut Wardija, Kepala Bagian Perencanaan UIN Bandung, dana anggaran untuk program-program pengembangan UIN hingga saat ini masih mengandalkan dari DIPA dan uang sumbangan mahasiswa berupa SPP dan uang praktikum (CL. Kode: keu.1). Secara rinci, sumber-sumber pendanaan UIN Bandung berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Pinjaman Hutang Luar
223
Negeri (PHLN), Rupiah Pendampingan Murni (RPM), dan Badan Layanan Umum (BLU). Jenis-jenis sumber pendanaan tersebut merupakan keseluruhan jumlah Rencana Anggaran Tahun 2011 (Natsir, 2011: 132), sebagaimana terlihat dalam Tabel 4.24.
Tabel 4.24. Sumber Pendanaan UIN Bandung Tahun Anggaran 2010
No
Sumber Dana
Jumlah (Rupiah)
1.
APBN
145.623.564.000
2.
PHLN
201.626.385.000
3.
RMP
20.180.000.000
4. BLU Jumlah
32.626.403.000 400.056.352.000
Sumber: Bagian Perencanaan dan Laporan Akhir Kinerja Rektor UIN Bandung
Sementara itu, prosentase sumber pendanaan yang berasal dari mahasiswa, bila dibandingkan dengan sumber pendanaan yang berasal dari pemerintah, jumlahnya kecil. Ukuran untuk faktor penentu keberhasilan tersebut dapat dilihat dalam paparan mengenai harga jasa yang ditawarkan pada bagian perspektif pelanggan di atas. Kenyataan ini dapat diartikan bahwa ketergantungan UIN Bandung terhadap uang sumbangan yang berasal dari mahasiswa relatif kecil. Sedangkan ketergantungannya terhadap sumber pendanaan yang berasal dari pemerintah sangat besar. Bahkan, untuk mempertahankan keberadaan program studi yang menjadi fondasi UIN namun kurang diminati mahasiswa, UIN Bandung melakukan proteksi, diantaranya dengan pemberian bantuan pendidikan berupa beasiswa.
224
d. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengukuran di atas, efektivitas perubahan yang dilakukan UIN Bandung melalui pengukuran kinerja dalam perspektif BSC dapat disimpulkan sebagaimana terlihat dalam Tabel 4.25 berikut. Tabel 4.25. Kinerja UIN Bandung dalam Perspektif Balanced Scorecard PERSPEKTIF
PENCAPAIAN
Pelanggan
Melalui inovasi dalam bentuk pengembangan prodi-prodi baru, secara bertahap jumlah mahasiswa UIN Bandung setiap tahun mengalami peningkatan yang signifikan, terutama pada prodi-prodi umum dan prodi-prodi pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Hal ini menunjukkan bahwa strategi pengembangan produk yang dilakukan UIN Bandung telah mampu meningkatkan nilai kegunaan jasa layanan pendidikan tinggi bagi masyarakat. Nilai kegunaan tersebut terkait dengan kebutuhan masyarakat/mahasiswa UIN Bandung dalam mencari pekerjaan dan mengembangkan minat mereka. Selain karena banyaknya pilihan program studi yang ditawarkan, peningkatan jumlah mahasiswa juga disebabkan biaya kuliah yang terjangkau dan nilai keislaman sebagai sebuah keunikan produk yang dikembangkan UIN Bandung sebagai realisasi paradigma wahyu memandu ilmu. Namun, peningkatan minat tersebut belum disertai dengan peningkatan mutu yang memadai. Oleh karena itu, peningkatan image masyarakat sebagaimana yang diharapkan, belum terwujud secara optimal. Kesan yang membuat masyarakat memilih UIN Bandung antara lain karena statusnya sebagai PTN yang menawarkan biaya kuliah yang terjangkau, juga ciri khasnya yang mengajarkan nilai-nilai keislaman. Dengan kriteria-kriteria itu, UIN Bandung menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat apabila tidak diterima di PTN lain yang dipandang lebih unggul..
Proses Internal
Untuk meningkatkan minat masyarakat, UIN Bandung mengembangkan program studi-program studi baru, baik jumlah maupun jenjang. Proses inovasi tersebut secara umum dinilai efektif dalam meningkatkan jumlah peminat terhadap UIN. Dalam proses operasinya, rata-rata prestasi dan masa studi mahasiswa dinilai telah sesuai dengan sasaran yang diharapkan. Namun proses tersebut belum didukung dengan mutu kinerja dosen dan pemanfaatan teknologi informasi yang optimal. Kenyataan itu menyebabkan nilai akreditasi untuk masing-masing program studi belum mencapai target yang diharapkan. Di samping itu, inovasi yang dikembangkan UIN Bandung belum didukung dengan layanan terhadap alumni dalam bentuk jaringan secara memadai, sehingga nilai jual lulusan UIN Bandung belum dapat diukur.
225
Pertumbuhan dan Pembelajaran
Tingkat produktivitas dosen UIN Bandung, terutama dinilai dari aspek disiplin, penulisan karya ilmiah dan kegiatan penelitian, secara umum dinilai belum optimal. Namun, secara potensial tingkat produktivitas tersebut dapat dikembangkan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya dosen yang mengembangkan diri baik melalui pelatihanpelatihan maupun melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di samping itu, program pengembangan teknologi informasi yang sedang diupayakan UIN Bandung juga menjadi potensi yang mendukung peningkatan produktivitas dosen dan karyawan, serta mutu proses baik akademik maupun non-akademik di masa depan. Melalui pemberdayaan dosen/karyawan, potensi sumberdaya manusia dapat dikembangkan secara penuh untuk memberikan kontribusi optimum dalam menghasilkan jasa layanan pendidikan tinggi yang bermutu.
Keuangan
Pengembangan program pendanaan UIN Bandung belum dapat mewujudkan terciptanya sumber pendanaan yang lain di luar sumbersumber reguler, yaitu berupa sumbangan mahasiswa dan pemerintah. Sementara itu, pemanfaatan dana tersebut sebagian besar direalisasikan untuk pengembangan UIN Bandung dalam aspek fisik sarana-prasarana dibandingkan dengan basis proses operasinya, yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Dengan kenyataan itu, siklus hidup UIN Bandung pada saat ini berada pada tahap awal perkembangan (early stage company). Tahapan awal siklus kehidupan UIN Bandung memiliki produk jasa yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan terbaik. Dalam tahap ini, investasi yang ditanam untuk kepentingan masa depan sangat memungkinkan memakai biaya yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah dana yang mampu dihasilkan dari basis operasi yang ada sekarang, dengan produk dan jasa serta konsumen yang masih terbatas (Gaspersz, 2006). Sasaran keuangan untuk growth stage menekankan pada prinsip-prinsip UIN Bandung sebagai BLU, yaitu transparansi, kemandirian, akuntabilitas, responsibilitas, dan kewajawan.
Hasil pengukuran tersebut jika dipaparkan ke dalam pencapaian sasaran program pengembangan UIN Bandung, antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Kelembagaan Strategi pengembangan kelembagaan dititik beratkan pada pemantapan transformasi IAIN menjadi UIN yang diwujudkan dengan membuka beberapa program studi Sarjana dan meningkatkan jenjang S2 dan S3 program-program studi tertentu. Strategi ini dinilai telah mampu meningkatkan minat masyarakat
226
untuk menyekolahkan putra-putrinya di UIN Bandung. Namun di sisi lain, pengembangan tersebut belum dapat memberikan kualitas fungsi pelayanan akademik terhadap dosen, karyawan, dan mahasiswa secara optimal. Diakui Natsir (2011: 141), peran dan fungsi jurusan belum optimal dalam memberikan pelayanan sebagai ujung tombak keilmuan dan pemberdayaan mahasiswa. Menurut Arifin (2008: 265), secara kuantitas, lembaga dan unit-unit kerja di UIN Bandung sudah cukup memadai. Tetapi dilihat dari segi performance-nya, beberapa di antaranya masih harus memacu diri melakukan fungsinya sesuai job deskription yang ada, bahkan harus mampu melakukan terobosan-terobosan positif yang belum terakomodir dalam job deskription tersebut. Hal ini berarti bahwa faktor kualitas the man behind the table akan sangat besar pengaruhnya terhadap kinerja sebuah lembaga di samping faktor dana. 2) Sumberdaya Manusia. Pengembangan SDM diarahkan pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas kinerja tenaga dosen dan tenaga administrasi. Secara kuantitas, jumlah dosen dan tenaga administrasi mengalami peningkatan. Jumlah dosen tetap UIN Bandung pada tahun 2008 sebanyak 483 orang (UIN Bandung, 2008: 7), meningkat menjadi 756 orang pada tahun 2011 (UIN Bandung, 2011: 107). Sedangkan tenaga administrasi, dari 177 orang menjadi 193 orang. Demikian pula, kualifikasi pendidikannya mengalami peningkatan, sekalipun target prosentase dosen berpendidikan S3 sebanyak 30% belum tercapai. Namun, dari sisi kualitas profesionalisme, kinerja, dan produktivitas dosen dan karyawan, sebagaimana ditunjukkan pada pengukuran di atas, masih perlu ditingkatkan.
227
3) Pembelajaran Kemampuan akademik yang diukur dari rata-rata indeks prestasi (IP) mahasiswa menunjukkan tingkat kemampuan akademik yang cukup baik. Namun, hal itu belum dapat dikatakan sebagai hasil sebuah proses pembelajaran yang berhasil. Di satu sisi, sejak awal penerimaan, selektifitas calon mahasiswa cenderung pada pendekatan kuantitas daripada kualitas (UIN Bandung, 2011: 141), sehingga kemampuan akademik yang dihasilkan tidak dapat diukur sejauh mana kemajuannya. Di sisi lain, pencapaian IP dipengaruhi oleh obyektivitas dosen dan seringkali sulit diperbandingkan (Indrajit dan Djokopranoto, 2006). Di samping itu, sarana-prasarana perkuliahan, mutu dosen dan suasana lingkungan kampus yang kondusif juga sangat menentukan. Seperti di katakan Natsir (UIN Bandung, 2011), kelemahan-kelemahan yang masih harus dibenahi untuk program kerja UIN Bandung selanjutnya antara lain meliputi sarana penunjang akademik seperti perpustakaan dan laboratorium yang masih minim; belum terwujudnya kultur akademik yang mendukung terwujudnya sikap mental seorang ilmuwan dan calon ilmuwan; masih didapatinya pemahaman yang bersifat dikotomis di kalangan sivitas akademika UIN; dan lingkungan kampus yang belum tertata secara optimal. Kelemahan-kelemahan tersebut, secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kemampuan akademik mahasiswa. 4) Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Animo civitas akademika UIN Bandung terhadap penelitian masih minim. Kegiatan penelitian yang dilakukan dosen cenderung masih didasarkan pada
228
adanya dana bantuan penelitian yang berasal dari DIPA yang sangat terbatas (UIN Bandung, 2011). Di samping itu, mutu hasil penelitian juga masih perlu ditingkatkan dalam hal relevansinya dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan peran serta dosen dan lulusan UIN dalam bidang pengabdian kepada masyarakat yang diarahkan pada upaya peningkatan peran UIN Bandung melalui implementasi ilmu dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan bangsa, serta peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap UIN (UIN Bandung, 2008). 5) Kemahasiswaan dan Alumni Penataan lembaga-lembaga kemahasiswaan di lingkungan UIN Bandung belum maksimal terutama dalam hal pembinaan terhadap pengembangan profesi dan kreativitas mahasiswa. Sikap dan mental kepemimpinan dan kewirausahaan mahasiswa masih perlu ditingkatkan (UIN Bandung, 2011). Sementara itu, penataan alumni belum berjalan secara optimal, terutama dalam perekrutan dan pencarian pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmu yang mereka kembangkan. Hingga saat ini, kiprah alumni UIN tersebar dalam berbagai sektor kehidupan di masyarakat, namun hal itu belum dapat menunjukkan hasil dari sebuah proses pendidikan yang direncanakan. 6) Pendanaan Sasaran penataan bidang pendanaan yang diarahkan pada peningkatan sumber-sumber di luar sumber-sumber reguler melalui kontrak manajemen, sewa asset, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, kemitraan, dan karya ilmiah,
229
belum terwujud secara optimal. Sumber pendanaan UIN Bandung sebagian besar masih bertumpu pada bantuan dari pemerintah (UIN Bandung, 2011). Hal tersebut berpengaruh pada efektivitas pencapaian program-program lainnya, dalam hal ini universitas cenderung mengukur efektivitas kinerjanya dari perspektif kepuasan pemerintah, dan manajemen puncak cenderung menerapkan sikap kepemimpinan yang bersifat ‘sentralisasi defensif’. Sehingga desentralisasi pendidikan sebagai bagian dari tujuan pengembangan UIN Bandung belum sepenuhnya dapat terrealisasi. 7) Manajemen Masih lemahnya kemampuan ketenagaan baik kualitas maupun kuantitas (UIN Bandung, 2011: 142) menyebabkan peran dan fungsi jurusan sebagai ujung tombak keilmuan dan pemberdayaan mahasiswa belum optimal (UIN Bandung, 2011: 141). Hal tersebut menyebabkan aspek peningkatan kemampuan manajemen di tingkat jurusan atau program studi belum memadai. Di samping itu, kemampuan
manajemen
pada
tingkat
universitas
juga
belum
berhasil
meningkatkan disiplin dosen, mahasiswa, dan tenaga administrasi dalam memacu kegiatan akademik di UIN Bandung (UIN Bandung, 2011: 127). Dengan demikian, pengembangan bidang manajemen yang diarahkan pada terciptanya good
university
governance
dengan
prinsip
credibility,
transparency,
accountability, responsibility, dan fairness (C-TARF) belum dapat terrealisasi secara optimal.
230
8) Sistem Informasi. Pengembangan sistem informasi yang berbasis IT untuk mewujudkan akses informasi yang efektif bagi seluruh stakeholders, belum terlaksana secara optimal. Sistem tersebut baru terlaksana secara lebih memadai di fakultas Dakwah dan Komunikasi dan mulai dikembangkan secara lebih optimal di Fakultas Sainstek. Sementara di fakultas-fakultas lain masih dalam tahap awal pengembangannya. Belum optimalnya pengembangan sistem ini di tingkat fakultas dan unit-unit lain disebabkan pengembangan program secara terpusat di tingkat universitas pun belum sepenuhnya dapat terrealisasi. Dengan demikian, pemanfaatan teknologi informasi di kalangan civitas akademika belum terrealisasi secara optimal, sehingga kemampuan pemanfaatan sistem tersebut belum dapat diukur. 9) Penjaminan Mutu. Pusat Penjaminan Mutu UIN Bandung telah menetapkan standar mutu tersendiri pada tingkat universitas, fakultas, jurusan, dan program studi. Pelaksanaan penjaminan mutu dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang dimiliki. Untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas audit mutu, telah dibentuk satuan penjaminan mutu pada tingkat universitas, fakultas, program pascasarjana, dan jurusan. Satuan penjaminan mutu tingkat universitas adalah Pusat Penjaminan Mutu (PPM). Sedangkan satuan penjaminan mutu tingkat fakultas dan program pascasarjana adalah Komite Penjaminan Mutu (KPM). Sementara itu satuan penjaminan mutu tingkat jurusan adalah Gugus Penjaminan Mutu (GPM) (PPM UIN Bandung, 2009).
231
Butir-butir mutu yang telah ditetapkan PPM belum sepenuhnya dapat audit mengingat keterbatasan sumberdaya yang ada, terutama sumber pendanaannya. Di samping itu, seperti dikatakan Hasan Bisri (CL. Kode: mt.1), belum terlaksananya audit mutu secara optimal mengingat kondisi UIN yang masih dalam proses pengembangan,
terutama
sarana
fisik
yang
sedang
direnovasi/dipugar.
Penyelenggaraan audit mutu internal yang sudah dilakukan PPM pada tahun akademik 2010-2011 meliputi empat butir mutu, yaitu: Dosen, Mahasiswa, Kurikulum, dan Pembelajaran.
3. Faktor Penghambat dan Strategi Penyelesaian Masalah a. Faktor-faktor Penghambat Pengembangan UIN Bandung Laporan Akhir Kinerja Rektor UIN Bandung menyebutkan, bahwa terdapat sejumlah kendala dalam merealisasikan program selama tahun 20072011. Kendala-kendala tersebut secara otomatis menghambat pencapaian visi, misi, dan tujuan pengembangan UIN Bandung (Natsir, 2011: 141). Berdasarkan hasil studi lapangan, kendala-kendala dalam pencapaian rencana-rencana strategis UIN Bandung disebabkan beberapa faktor, antara lain: 1) Hambatan Visi Banyak kalangan yang belum sepenuhnya memahami rumusan visi UIN Bandung. Agus Salim Mansyur, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, mengatakan bahwa di antara kendala yang menyebabkan belum terrealisasinya kebijakan/program pengembangan UIN Bandung adalah karena hubungan
232
komunikasi yang belum optimal serta karyawan kurang memahami atau keliru dalam menerjemahkan kebijakan pimpinan (CL. Kode: vs. 2). Hasan Bisri mengatakan bahwa visi UIN Bandung tidak jelas. Ia mengungkapkan ketidak-mengertiannya tentang ungkapan paradigma “wahyu memandu ilmu” serta pemilahan antara mana yang termasuk kategori ilmu umum dan mana ilmu agama. Ketidakjelasan rumusan visi tersebut, lanjutnya, menyebabkan ketercapaian rencana strategis UIN tidak bisa diukur. Di samping itu, rumusan visi tidak didasarkan pada keselarasan antara analisis kekuatan dan kelemahan yang jelas. Misalnya analisis kekuatan UIN yang mendasarkan pada jumlah dosen S3 atau Guru Besar, kelemahannya bukan mengacu pada produktivitas yang masih rendah, tetapi malah pada penguasaan bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang masih kurang. Menurutnya, jumlah Guru Besar bisa menjadi kekuatan, sekaligus kelemahan. Ia baru merupakan kekuatan potensial sebelum dibuktikan dengan kinerja yang dihasilkannya. Banyaknya dosen berpendidikan S3 dan Guru Besar baru merupakan potensi kekuatan, bukan kekuatan yang sebenarnya. Dari sisi jumlah, mereka bisa menjadi kekuatan. Namun dari sisi produktivitas, jumlah yang banyak tersebut bahkan bisa menjadi beban, ketika mereka tidak produktif (CL. Kode: vs. 1). Pendapat senada dikemukakan M. Yamin, Kepala Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN. Kurang dipahaminya rumusan visi UIN Bandung antara lain disebabkan pendasarannya yang tidak utuh atas kondisi lingkungan UIN, baik eksternal maupun internal. Menurutnya, Visi, Misi dan Program pengembangan UIN tidak berdasar pada kekuatan yang nyata dari UIN (CL. Kode: bdy. 1)
233
Menurut Yamin, rumusan visi-misi UIN Bandung belum logis, tidak berdasar pada analisis kebutuhan yang senyatanya. Hal tersebut antara lain karena dalam proses perumusannya tidak melibatkan unsur-unsur pimpinan di bawah, dan belum mempertimbangkan pelibatan unit-unit kerja secara efektif (CL. Kode: vs. 4). Kurang dipahaminya rumusan visi yang menggambarkan cita-cita yang hendak diwujudkan UIN Bandung tercermin dari masih adanya pandangan dikotomis yang memisahkan antara dasar-dasar ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum di kalangan civitas akademika UIN Bandung (UIN Bandung 2011: 141). Masalah tersebut antara lain berdampak pada belum optimalnya implementasi kurikulum yang berbasis paradigma wahyu memandu ilmu di tingkat jurusan/program studi, sebagaimana terungkap dalam laporan kerja masingmasing fakultas yang di sampaikan pada Rapat Koordinasi UIN Bandung tanggal 1-3 Maret 2011. Dalam Laporan Tahunan Fakultas Sains dan Teknologi, misalnya, dikemukakan bahwa kurikulum tingkat jurusan/program studi dengan paradigma wahyu memandu ilmu belum sepenuhnya dapat direalisasikan. Hal tersebut menuntut adanya evaluasi penerapan kurikulum secara berkelanjutan dan diperlukan adanya review kebijakan kurikulum yang jelas dari universitas. 2) Hambatan Sumberdaya Rektor UIN Bandung, dalam Laporan Kinerja Rektor 2007-2011, mengatakan bahwa minimnya pendanaan yang menunjang kegiatan operasional pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat menjadi salah satu faktor yang menghambat realisasi program pengembangan UIN. Selama ini,
234
menurutnya, pendanaan operasional masih mengandalkan dari mahasiswa melalui SPP dan pemerintah (Natsir, 2011: 141). Menurut Yamin, program prioritas bidang pendanaan dalam mewujudkan sumber-sumber pendanaan dari luar sumber-sumber reguler, seperti penelitian, kerjasama dan pemagangan, belum dapat direalisasikan secara optimal (CL. Kode: prg. 1). Hal yang sama dikemukakan Agus Salim Mansyur. Menurutnya, sumber pendanaan UIN hanya didapatkan dari SPP dan Pemerintah melalui DIPA. UIN belum bisa mengembangkan sumber-sumber dana alternatif di luar dua hal itu. (CL. Kode: prg. 2). Kendala tersebut, seperti dikatakan Hasan Bisri, menyebabkan program-program penetapan dan pemenuhan butir-butir mutu belum dapat dilakukan secara optimal (CL. Kode: mt. 1). Diakui Heri Jauhari, Ketua Program Studi TBI, bahwa kendala dalam pelaksanaan program pengembangan belum didukung secara optimal dengan ketersediaan dana. Setiap tahun prodi dimintakan program kerja oleh universitas, namun banyak yang tidak terlaksana, bahkan lebih banyak program yang secara sentralistik dibuat oleh universitas (CL. Kode: prg. 1). Sehingga program-program UIN Bandung, seperti pengembangan SDM dan penjaminan mutu belum dapat dilakukan secara memadai. Terkait dengan faktor penghambat tersebut, Natsir menegaskan, bahwa kurangnya sumberdaya, struktur, serta kultur mindset peralihan dari non-BLU menjadi BLU menyebabkan belum optimalnya penyelenggaraan UIN Bandung sebagai Badan Layanan Umum (BLU) (UIN Bandung, 2011: 141). Dengan demikian, pengelolaan keuangan UIN Bandung yang mengacu pada prinsip-
235
prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, responsibilitas, dan kewajaran, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, belum dapat direalisasikan secara memadai. 3) Hambatan Manajemen Kemampuan manajemen pada tingkat universitas dan jurusan/program studi belum berhasil dalam meningkatkan disiplin dosen, mahasiswa, dan tenaga administratif dalam memacu kegiatan akademik. Dalam hal ini, ungkap Natsir, peningkatan profesionalisme ketenagaan menjadi kebutuhan mutlak dalam upaya meningkatkan kemampuan layanan kepada mahasiswa (Natsir, 2011: 127). Faktor tersebut menjadi salah satu kendala dalam realisasi rencana strategis UIN. Sebagaimana dikatakan Arifin (2006: 265), faktor kualitas the man behind the table sangat menentukan kualitas manajemen yang dijalankan di UIN Bandung. Ia mencontohkan, di UIN masih ada kesan, bahwa posisi ketua jurusan masih dianggap kurang penting dibanding dengan jabatan dekan. Hal itu antara lain dapat dilihat dari segi ketimpangan fasilitas yang diberikan atau minat orang untuk mengisi jabatan-jabatan tersebut. Menurut Arifin, di perguruan tinggi yang sudah maju, karena mereka menyadari bahwa jurusan adalah ujung tombak dalam aktivitas bidang akademik sebagai inti dalam kehidupan perguruan tinggi, maka persyaratan untuk menjadi ketua jurusan lebih hebat daripada persyaratan untuk dekan atau pembantu dekan. Seorang ketua jurusan haruslah seorang guru besar atau setidak-tidaknya doktor dalam bidangnya, sedangkan dekan tidak perlu karena dekan merupakan jabatan administratif. Demikian halnya dengan fasilitas yang diberikan.
236
Sementara di UIN, seperti terlihat dalam Statutanya (Kemenag RI, 2010), persyaratan untuk jabatan dekan (pasal 101) lebih tinggi dibandingkan dengan persyaratan untuk jabatan ketua jurusan (pasal 105). Adapun fasilitas yang diberikan, lanjut Arifin (2006), untuk dekan, para pembantu dekan, bahkan kepala tata usaha, memiliki ruang kerja tersendiri, sedangkan untuk para ketua jurusan cukup ‘surame’ (satu ruang rame-rame). Sehingga ketika ketua jurusan menjadi dekan atau pembantu dekan, dalam budaya kita masih dianggap naik tahta. Lemahnya kemampuan manajerial antara lain terlihat dari belum jelasnya prosedur kerja dan rumusan evaluasi program kerja. Ketidakjelasan prosedur, antara lain sebagaimana diungkapkan Agus Salim, terlihat dalam program pengembangan UIN Bandung, misalnya pengembangan SDM melalui studi lanjut dosen, belum memiliki pola yang jelas, baik prosedur maupun anggarannya. Semestinya, setiap fakultas atau prodi menentukan jumlah dosen dan program studi lanjutan yang dibutuhkan. Kalau seperti itu, maka kewajiban lembaga untuk membiayainya. Selama ini, pola seperti itu belum dilakukan UIN. Program seperti itu semestinya menjadi prioritas, karena pengembangan dosen sangat menentukan terhadap pengembangan mahasiswa (CL. Kode: prg. 2). Masalah yang sama diungkapkan M. Yamin (CL. Kode: prg. 3 dan 5). Menurutnya, peraturan yang berlaku belum sepenuhnya dijadikan pedoman dan acuan dalam pelaksanaan tugas. Pelaksanaan tugas masih berdasarkan kegiatan dan kebiasaan yang ada, belum berdasarkan pada aturan-aturan yang telah ditetapkan.
237
Evaluasi program sebagai bagian penting dalam merumuskan langkahlangkah pengembangan UIN selanjutnya, juga belum dilakukan secara optimal. Hal tersebut terlihat dari laporan kerja yang di sampaikan masing-masing unit kerja di lingkungan UIN Bandung, umumnya hanya menyampaikan programprogram kerja yang sudah berjalan serta program-program kerja yang akan dilaksanakan. Dalam laporan-laporan tersebut belum secara jelas diungkapkan tentang realisasi/pencapaian program jangka pendek yang dapat dilakukan, serta kendala-kendala yang dihadapi dalam pencapaiannya. Sehingga dapat dijadikan acuan dalam merumuskan strategi pengembangan program-program selanjutnya untuk mencapai tujuan jangka panjang UIN Bandung (CL. Kode: eva. 3). Di samping itu, evaluasi masih cenderung menekankan pada hal-hal yang bersifat teknis seperti kehadiran mahasiswa, dosen dan tenaga administratif. Ia belum banyak menyentuh pada aspek-aspek yang lebih esensi dari suatu pengembangan program akademik, seperti mutu proses, kompetensi dosen, ataupun kinerja karyawan (CL. Kode: eva. 1 dan 2). 4) Hambatan Budaya Belum terwujudnya kultur akademik yang optimal untuk terwujudnya sikap seorang ilmuwan dan calon ilmuwan, yang ditandai dengan animo civitas akademika UIN Bandung yang dirasakan masih kurang dalam melakukan penelitian (Natsir, 2011: 127), menjadi faktor lain yang menghambat pencapaian program pengembangan UIN Bandung. Menurut Asep Saeful Muhtadi, Guru Besar Fak. Dakwah dan Komunikasi, kultur akademik di UIN belum terbangun. Sementara itu, kebijakan pimpinan
238
belum mengarah pada kepentingan akademik, dan masih bersifat sentralistik (CL. Kode: bdy. 2). Hal senada diungkapkan M. Yamin. Menurutnya, kendala-kendala dalam realisasi program antara lain disebabkan kultur akademik UIN belum terbangun. Selama ini yang terlihat adalah berkembangnya kultur politis. Sedangkan nilai-nilai disiplin, kejujuran, dan amanah yang merupakan bagian dari ajaran agama Islam apliksinya rendah. Budaya kesiangan masih banyak ditemukan diberbagai unit kerja. Di samping itu, kebijakan dan program masih bersifat sentralistik (CL. Kode: bdy. 1). b. Strategi Pemecahan Masalah Untuk mengatasi kendala-kendala di atas, dalam rencana program pengembangan UIN Bandung di masa mendatang dirumuskan strategi-strategi pemecahan masalah ke dalam tiga bidang pengembanagn sebagai berikut (Natsir, 2011: 147): 1) Pendidikan. Upaya pemecahan masalah dalam bidang pendidikan dilakukan dalam bentuk: (1) Melakukan percepatan penyempurnaan semua regulasi akademik yang terkait dengan penyelenggaraan program pendidikan, pedoman teknis pelayanan administrasi akademik, dan penyempurnaan kurikulum; (2) Melakukan percepatan upaya peningkatan kualitas/mutu pembelajaran; (3) Membangun kultur akademik (academic atmosphere) dalam kultur pendidikan tinggi Islam yang unggul dan kompetitif melalui penyelenggaraan pendidikan tinggi berbasis manajemen BLU; dan (4) Melakukan perbaikan dan peningkatan mutu manajemen yang memiliki corporate cultur yang efisien dan humanis.
239
2) Penelitian. Upaya pemecahan masalah dalam bidang penelitian dilakukan dalam bentuk: (1) Meningkatkan dana stimulus untuk kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa melalui jalur kerjasama dengan lembaga-lembaga lain; (2) Mendorong kalangan dosen dan mahasiswa untuk aktif menulis dan melakukan kajian-kajian ilmiah, terutama dalam merespon tantangan perubahan baik dalam skala lokal, regional, maupun global; dan (3) Mendorong pemberdayaan lembaga penelitian dan penerbitan UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam mensosialisasikan hasil-hasil penelitian kepada masyarakat. 3) Pengabdian Kepada Masyarakat. Upaya pemecahan masalah dalam bidang penelitian dilakukan dalam bentuk: (1) Meningkatkan peran UIN Bandung dalam pembangunan sosial kemasyarakatan melalui pemanfaatan dan penerapan
ilmu
serta
pendayagunaan
IPTEK;
(2)
Meningkatkan
kemampuan UIN Bandung sebagai agent of social change dan agent of social control dalam merespon perubahan sosial; dan (3) Meningkatkan kemampuan UIN Bandung sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam yang memiliki keunggulan dan panutan bagi masyarakat.
B. Pembahasan Hasil-hasil Penelitian 1. Perubahan IAIN menjadi UIN Terdapat berbagai masalah yang dihadapi umat beragama, terutama di Indonesia, di era global saat ini. Seperti dikatakan Basyuni (2006: 81), masalahmasalah yang dihadapi masyarakat beragama di masa depan antaralain: pertama,
240
tantangan yang semakin berat dan bersifat multidimensi, mulai dari kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan, di samping pluralisme akibat adanya pergeseran-pergeseran demografis yang melahirkan kemajemukan masyarakat. Kedua, kondisi bangsa yang dilanda berbagai kerawanan baik agama maupun sosial yang seringkali menimbulkan konflik kekerasan yang melibatkan umat beragama. Ketiga, dinamika sosial masyarakat yang pada dasarnya terkait dengan bidang kajian yang sangat luas – meliputi ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, dan sebagainya, memerlukan kerangka analisis yang luas dan mendalam. Oleh karena itu, pendidikan Islam, jika diletakkan dalam kerangka makro pendidikan sebagai proses kebudayaan, maka perlu disadari bahwa ia tidak mungkin mengisolasi diri dari perkembangan dan transformasi, baik secara kultural, sosial, maupun struktural. Hal senada dikemukakan Kahmad (2008: 191), bahwa isu-isu global tidak hanya menyangkut aspek-aspek fisik material, tetapi juga aspek-aspek moral dan etika. Globalisasi peradaban dan budaya seiring kemajuan teknologi transportasi dan telekomunikasi, perdagangan dan pasar tenaga kerja, serta internasionalisasi perindustrian, telah melahirkan global community. Masuknya budaya-budaya asing ke Indoensia, sekalipun tidak seluruhnya bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan jatidiri bangsa, namun menjadi sebuah masalah tersendiri yang tidak bisa dihindarkan. Masalah tersebut menuntut para pemeluk agama untuk mengemukakan pikiran-pikiran yang produktif sesuai kebutuhan zaman. Agama diharapkan tidak hanya memainkan peran sebagai pelayan rohaniah, melainkan dituntut untuk melibatkan diri dalam sejarah dan kehidupan sehari-hari. Dengan
241
kata lain, agama dituntut untuk bergerak di antara dua kutub, yaitu “the eternal truth of its foundation, and the temporal situation in which the eternal truth must be received”. Di tengah-tengah kecenderungan masyarakat terhadap pendidikan yang dapat memberikan kemampuan secara teknologis, fungsional, individual, informatif, dan terbuka sesuai tuntutan perubahan sosial yang berkembang di masa sekarang dan yang akan datang, lanjut Basyuni (2006: 82), akhir-akhir ini semakin menguat pula tuntutan terhadap wujud lain dari hasil pendidikan. Sebagai akibat semakin merebaknya budaya global sebagaimana digambarkan di atas, masyarakat saat ini menuntut kehadiran pendidikan yang dapat memberikan kemampuan yang terkait dengan etik dan moral. Wujud pendidikan yang dapat memberikan kemampuan tersebut dapat dikembangkan melalui pendidikan agama. Gagasan dan konsep pengembangan IAIN menjadi UIN antara lain bertitik tolak dari dua masalah utama yang dihadapi IAIN dalam perkembangannya selama ini. Pertama, IAIN belum berperan secara optimal dalam akademik, birokrasi dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Diantara ketiga lingkungan ini, kelihatannya peran IAIN lebih besar pada masyarakat, karena kuatnya orientasi kepada dakwah daripada pengembangan pengetahuan. Kedua, kurikulum IAIN belum mampu merespon perkembangan Iptek dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan terutama bidang kajian agama yang merupakan spesialisasi IAIN kurang mengalami interaksi dan reapprochement dengan ilmu-ilmu umum, bahkan masih cenderung dikhotomis
242
(Azra, 2001). Dengan demikian, seperti diungkapkan Basyuni (2006), perubahan IAIN menjadi UIN mencerminkan kemampuan proyektif pendidikan tinggi Islam dalam menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Perubahan IAIN menjadi UIN sebagai respon terhadap tuntutan perubahan masyarakatnya merupakan keniscayaan umum yang dialami perguruan tinggi. Hal tersebut sebagaimana pernyataan James J. Duderstadt, Presiden University of Michigan periode 1988-1996. Dalam bukunya A University for the 21st Century, ia mengatakan bahwa secara spesifik, merupakan bagian integral dari kehidupan universitas untuk selalu mengevaluasi lingkungan sekitarnya dalam rangka menyesuaikan misi pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat guna melayani kebutuhan yang berubah. Namun perubahan tersebut dengan tetap mempertahankan dan komitmen terhadap nilai-nilai dasarnya. Perubahan akan menjadi kesempatan bagi universitas dalam merumuskan visi, kebijaksanaan, dan kesiapannya untuk memimpin di abad-abad mendatang (Duderstadt, 2003). Strategi pengembangan UIN Bandung dalam wujud pembukaan sejumlah program studi umum merupakan langkah awal dalam merealisasikan visinya, yaitu untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam yang bermuatan etik dan moral ke dalam ilmu-ilmu yang memberi kemampuan teknologis, fungsional, individual, informatif, dan terbuka yang menjadi kecenderungan masyarakat tersebut. Strategi yang dikembangkan UIN Bandung merupakan bentuk strategi pengembangan produk (product development). Strategi itu, dalam kajian manajemen strategik,
dikembangkan dalam upaya meningkatkan penjualan
243
dengan cara memperbaiki mutu produk, atau memodifikasi produk yang ada saat ini (David, 2009: 259-260). Dalam hal ini, UIN Bandung mengupayakan peningkatan minat masyarakat dengan jalan mengajarkan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama secara integral, disertai dengan pengembangan atau peningkatan mutu secara berkelanjutan guna menghasilkan sumberdaya manusia yang memiliki
keunggulan
kompetitif
dan
profesional
untuk
pengembangan
masyarakat. 2. Program Pengembangan dan Pencapaian Sasaran Perubahan Program-program pengembangan yang meliputi 14 bidang yang dilakukan UIN Bandung merupakan bentuk aktivitas nyata dalam rangka mencapai sasaran perubahan yang diinginkan, yaitu terwujudnya perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif. Penggunaan teknik Balanced Scorecard (BSC) dalam mengevaluasi ketercapaian sasaran dalam penelitian ini dimaksudkan guna mengetahui secara komprehensif dan terpadu mengenai capaian-capaian dari berbagai sudut pandang/perspektif. Di samping itu, di antara masing-masing perspektif BSC memiliki hubungan kausalitas, di mana keberhasilan strategi yang dikembangkan pada satu perspektif BSC merupakan akibat dari keberhasilan perspektif lain sekaligus menjadi sebab bagi perspektif berikutnya, demikian pula sebaliknya. Balanced Scorecard merupakan alat ukur kinerja manajemen yang mengkomunikasikan rencana-rencana UIN Bandung yang dinyatakan dalam bentuk pengukuran dan target yang mudah dimengerti oleh karyawan. Sehingga memungkinkan mereka memahami apa yang akan terjadi, dan membuat pelaksanaan rencana-rencana strategis UIN dapat berjalan secara lebih baik.
244
(Gaspersz, 2006: 1-2). Melalui alat ukur ini, program-program pengembangan UIN Bandung diterjemahkan ke dalam empat perspektif yang meliputi: pelanggan, proses internal, pertumbuhandan pembelajaran, serta keuangan. a. Perspektif Pelanggan. Upaya mengubah image seiring perubahan yang dilakukan UIN Bandung menjadi bagian pembahasan perspektif pelanggan. Inti perspektif pelanggan ialah ukuran seberapa jauh pelanggan merasa puas atas layanan universitas. Kepuasan itu pada akhirnya mendorong mereka untuk meneruskan kesan kepuasan tersebut kepada calon pelanggan. Dalam hal produk jasa pendidikan, kepuasan pelanggan atau mahasiswa atas layanan jasa pendidikan suatu perguruan tinggi, akan mendorong mereka untuk meneruskan kepuasan tersebut kepada calon pelanggan lain, seperti orang tua siswa, adik-adik kelasnya, saudara-saudaranya, dan sebagainya (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 140). Di era persaingan saat ini, produk barang atau jasa yang dipilih oleh pelanggan hanyalah jika berbeda (distinct) dengan produk orang lain. Oleh karena itu, kemampuan organisasi untuk membedakan dirinya dari para pesaingnya merupakan penentu daya saing jangka panjang organisasi. Proposisi nilai bagi pelanggan (customer value proposition) berikut ini dapat menempatkan organisasi pada posisi daya saing yang berkesinambungan: a. low cost proposition, b. quality, c. speed, d. service, dan e. innovation (Mulyadi, 2009: 488). Sementara itu, dalil umum mengenai nilai bagi pelanggan meliputi atribut produk (barang/jasa), image atau kesan, dan hubungan antara pelanggan dengan pembuat produk (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 141). Dalam perspektif
245
pelanggan, peningkatan nilai produk pada gilirannya akan meningkatkan nilai penjualan dan pangsa pasar bagi produk yang bersangkutan (Gaspersz, 2009: 56).
Nilai
Kegunaan
=
+
Atribut
Mutu
Harga
Kesan
+
Hubungan
Waktu
Gambar 4.2. Dalil Nilai bagi Pelanggan (Sumber: Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 141)
Atribut kegunaan produk perguruan tinggi dapat diartikan berupa kecocokan program studi dengan kebutuhan masyarakat untuk mencari pekerjaan atau mengembangkan minat. Mutu dapat diekspresikan dengan cara-cara tertentu, misalnya peringkat akreditasi. Harga adalah biaya kuliah mahasiswa, SPP per tahun atau biaya per mahasiswa per tahun. Sedangkan waktu misalnya penyelesaian studi program S1. Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2006), pada umumnya pelanggan tidak mencari yang paling baik dari masing-masing atribut produk tersebut, tetapi kombinasi yang paling baik dari keseluruhannya. Misalnya, mutu berhubungan langsung dengan biaya atau harga. Mutu yang baik tentunya memerlukan biaya yang tinggi. Oleh karenanya, produk yang harganya mahal tetapi mutunya baik akan menjadi pertimbangan bagi pelanggan untuk membelinya. Demikian pula sebaliknya. Image atau kesan adalah faktor yang tidak kelihatan, namun menjadi daya tarik bagi pelanggan. Image memang dapat terbentuk melalui atribut produk,
246
namun atribut yang kurang diketahui pelanggan tidak meninggalkan kesan dan reputasi apa pun. Sebaliknya, kesan dan reputasi itu sangat membekas di benak pelanggan. Sehingga dengan sendirinya pelanggan beranggapan mutu sebuah produk pasti baik, harganya sepadan dengan mutunya, dan sebagainya, tanpa terlebih dahulu melakukan penelitian atas keadaan yang sesungguhnya. Image atau kesan tersebut, dalam usaha bisnis barang atau jasa lain, sama dengan identitas brand. Identitas brand adalah hal yang paling penting dalam pemasaran dan penjualan produk. Ia adalah persepsi total konsumen dalam memandang suatu produk di pasar yang terbentuk dari konfigurasi kata, ide, kesan, dan asosiasi yang dilekatkan pada produk tersebut. Identitas brand juga terkait erat dengan loyalitas. Pelanggan yang loyal terhadap brand tertentu merupakan kekuatan pasar yang utama (Indrajit dan Djokopranoto, 2006). Adapun hubungan pelanggan, terkait dengan kemudahan, kecepatan, kepastian, keandalan dan tanggapan mengenai hubungan antara pelanggan dengan pembuat produk, termasuk dalam hubungannya dengan penyerahan produk barang atau jasa. Menurut Gaspersz (2006: 56), hubungan pelanggan berkaitan dengan tanggung jawab, daya tanggap, keramahtamahan, sopan santun, dan lainlain. 1) Kegunaan bagi Pelanggan Kecenderungan masyarakat memilih perguruan tinggi atau program studi tertentu karena ia dipandang memiliki kegunaan, baik untuk mencari pekerjaan maupun untuk pengembangan minat dan bakat mereka.
Menurut Indrayani
(2010), dalam era globalisasi, institusi pendidikan tinggi harus memungkinkan
247
lulusannya untuk bekerja di mana pun dan di belahan dunia dengan tingkat profesionalisme yang sesuai dengan standar internasional. Pendidikan tinggi harus mampu menghasilkan SDM yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan stakeholder-nya. Hal itu terkait dengan konteks dan peran penting mutu SDM dalam menjamin keberlanjutan dan daya saing industri yang mendasarkan pada kenyataan bahwa telah terjadi pergeseran dalam penekanan faktor produksi dari tenaga kerja (labor) kepada ilmu pengetahuan (knowledge). Dengan kenyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kecenderungan meningkatnya peminat/mahasiswa pada sejumlah program studi di UIN Bandung, terutama prodi-prodi pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan serta prodi-prodi pada Fakultas Sains dan Teknologi, menunjukkan bahwa program studi-program studi tersebut dipandang memiliki nilai kegunaan bagi pelanggan yang lebih besar dibandingkan prodi-prodi lainnya, terutama untuk mencari pekerjaan dan mengembangkan minat mereka. 2) Mutu Jasa yang Ditawarkan Variabel mutu yang dijadikan ukuran dalam atribut produk jasa pendidikan tinggi antara lain meliputi akreditasi program studi dan peringkat universitas. Akreditasi adalah pengakuan terhadap perguruan tinggi atau program studi yang menunjukkan bahwa perguruan tinggi atau program studi tersebut dalam melaksanakan program pendidikan dan mutu lulusan yang dihasilkannya, telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Penetapan akreditasi oleh BAN-PT dilakukan dengan menilai proses dan kinerja serta keterkaitan antara tujuan, masukan, proses
248
dan keluaran suatu perguruan tinggi atau program studi, yang merupakan tanggung jawab perguruan tinggi atau program studi masing-masing (BAN-PT, 2009) Hasil akreditasi program studi memiliki manfaat bagi perbaikan kinerja pimpinan perguruan tinggi. Seperti dikatakan Natsir (2011), hasil akreditasi memberikan manfaat bagi pimpinan UIN Bandung dalam hal-hal sebagai beriktu: 1) melindungi masyarakat dalam kaitannya dengan mutu dan akuntabilitas program studi dan lembaga UIN, 2) membantu UIN dalam melakukan penjaminan mutu, 3) merupakan pertanggungjawaban UIN terhadap publik, 4) membangun pembakuan audit akademik untuk memudahkan mobilisasi mahasiswa di seluruh tanah air, 5) memberikan dasar bagi sertifikasi atau lisensi yang diterbitkan oleh program studi, 6) sebagai bahan dasar dalam pertimbangan untuk alokasi dana bagi program studi, 7) sebagai bahan bagi instansi pemerintah dan swasta dalam rangka pertimbangan penerimaan pegawai, 8) sebagai rujukan bagi pengakuan internasional terhadap ijazah dan sertifikat kompetensi, dan 9) sebagai masukan dalam rangka mengevaluasi kualitas pendidikan tinggi. Sedangkan bagi masyarakat dan pengguna lulusan UIN Bandung, lanjut Natsir, manfaat hasil akreditasi antara lain: 1) calon mahasiswa memiliki panduan dan informasi yang kuat untuk memilih program studi, 2) calon mahasiswa memiliki pilihan program studi yang lebih luas dan variatif, 3) orang tua memiliki dasar arahan yang lebih rasional tentang pilihan program studi bagi putraputrinya, 4) instansi pengguna lulusan UIN memiliki dasar seleksi calon karyawan secara lebih rasional dan objektif, 5) perguruan tinggi internasional memiliki
249
dasar seleksi calon mahasiswa dari Indonesia secara lebih rasional dan objektif, dan 6) masyarakat pada umumnya lebih memahami dan menghargai mutu UIN dari saat ini ke depan (Natsir, 2011: 104). Sementara itu, variabel mutu UIN Bandung dari aspek peringkat universitas yang didasarkan atas teknik pemeringkatan atau perankingan Webometric didasarkan pada pertimbangan bahwa sejumlah PTAIN sudah mendapatkan penilaian peringkat lembaga dunia itu. Pemeringkatan ini merupakan jendela awal bagi masyarakat dalam melihat salah satu indikator mutu universitas. Dalam hal ini, pemeringkatan universitas kelas dunia versi Webometrics kebanyakan mengambil faktor “kehidupan” universitas di dunia internet. Termasuk di dalamnya aksesibilitas dan visibilitas situs universitas, publikasi
elektronik,
keterbukaan
akses
terhadap
hasil-hasil
penelitian,
konektifitas dengan dunia industri dan aktivitas internasionalnya (http://www. ubb.ac.id/...). Kehidupan universitas di dunia internet tidak hanya mencakup publikasi formal (e-jurnal, repositori), tetapi juga komunikasi ilmiah informal. Di samping itu, hal tersebut juga bisa mencapai potensi pelanggan yang jauh lebih besar, menawarkan akses ke pengetahuan ilmiah para peneliti dan lembaga-lembaga yang berlokasi di negara berkembang dan juga untuk pihak ketiga (pemangku kepentingan ekonomi, industri, politik atau budaya) dalam komunitas mereka sendiri. Peringkat Webometrics tidak hanya terfokus pada hasil penelitian tetapi juga di indikator lain yang mencerminkan kualitas global baik sarjana maupun institusi penelitian di seluruh dunia (http://www.webometrics.info/...).
250
3) Harga Jasa yang Ditawarkan Dalam perspektif ini, harga jasa pendidikan tinggi yang ditawarkan universitas akan mempengaruhi kesan dan keputusan pelanggan untuk memilih atau tidak memilih perguruan tinggi yang bersangkutan (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 146). Harga biasanya terkait dengan mutu. Semakin tinggi harga jasa yang ditawarkan sebuah perguruan tinggi, biasanya semakin tinggi pula mutunya, baik mutu proses maupun mutu lulusannya. Di samping itu, kegunaan jasa pendidikan yang ditawarkan, terutama dalam kemudahan mencari pekerjaan, di mana lulusannya banyak diserap oleh dunia usaha, juga akan mempengaruhi lembaga pendidikan yang bersangkutan dalam menetapkan harga yang ditawarkan. Namun demikian, untuk perguruan tinggi negeri seperti halnya UIN Bandung, tidak selamanya mutu yang tinggi terpengaruh langsung oleh harga yang ditawarkan kepada mahasiswanya. Sebagaimana terlihat dalam hasil penelitian di atas, prosentase dana pendidikan yang berasal dari mahasiswa jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan dana yang diperoleh dari pemerintah. Dengan memanfaatkan dana dari pemerintah secara efisien, yaitu mampu menciptakan keseimbangan antara sumber-sumber yang dibutuhkan dengan yang tersedia guna mengurangi hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan pendidikan (Makmun, 1997), disertai upaya pimpinan dalam mencari dan menggali sumber-sumber dana alternatif, UIN Bandung dapat terus meningkatkan mutu pendidikannya.
251
Dalam kaitannya dengan produk jasa yang dihasilkan, Alma (2008: 38) mengatakan, bahwa lembaga pendidikan tidak seperti halnya industri yang mempunyai kebebasan memproduksi barang secara masal. Lembaga pendidikan memiliki beban tertentu, yaitu harus menyesuaikan diri dengan pola-pola kebudayaan masyarakat, keuntungan ekonomis bagi pribadi mahasiswa, dan keuntungan-keuntungan lain bagi masyarakat. Lembaga pendidkan, dalam proses produksinya menawarkan “lingkungan atau iklim pendidikan” seperti kampus yang tenang, indah dan nyaman, yang mendorong semangat belajar mahasiswa, mengesankan
adanya
budaya
kampus,
proses
administrasi
dan
proses
pengambilan keputusan yang mencerminkan keunggulan, kelancaran, ketepatan, serta kecepatan dalam pelayanan. 4) Waktu Pemberian Jasa Dalam konteks universitas, waktu pemberian jasa umumnya terrefleksi pada waktu penyelesaian studi di masing-masing fakultas atau program studi (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 147). Berdasarkan ukuran perspektif pelanggan, semakin singkat waktu yang dibutuhkan oleh mahasiswa dalam menyelesaikan kuliahnya, maka akan semakin puas mereka atas layanan universitas yang bersangkutan. Demikian pula sebaliknya. Keempat ukuran perspektif pelanggan di atas, yaitu kegunaan bagi pelanggan, mutu jasa yang ditawarkan, harga jasa yang ditawarkan dan waktu pemberian jasa, merupakan atribut yang melekat pada produk jasa pendidikan tinggi yang di UIN Bandung kepada pelanggannya. Atribut produk tersebut, secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap keberadaan mahasiswa
252
UIN Bandung saat ini. Sebagaimana dikatakan Indrajit dan Djokopranoto (2006), bahwa pada umumnya pelanggan tidak mencari yang paling baik dari masingmasing atribut produk tersebut, tetapi kombinasi yang paling baik dari keseluruhannya. Dalam konteks ini, mutu produk yang dikembangkan prodi-prodi UIN Bandung berdasarkan hasil akreditasi program studi dan peringkat universitas di atas, belum bisa dikatakan unggul atau sesuai dengan harapan konsumen. Namun, karena biaya personal yang dibebankan kepada mahasiswa jumlahnya relatif murah jika dibandingkan PTN lain, maka kenyataan mutu produk yang demikian dipandang wajar dan sepadan dengan biaya yang harus mereka keluarkan, sehingga tidak menghalangi minat mereka untuk kuliah di UIN Bandung. 5) Kesan dan Raputasi UIN Bandung Kesan dan reputasi adalah faktor yang tidak kelihatan, namun menjadi daya tarik dari sebuah produk atau organisasi penghasil produk tersebut. Kesan atau image yang membekas di dalam benak pelanggan terbentuk melalui atribut produk, sekalipun pengetahuan mereka tentang hal itu tidak selamanya didapatkan atas hasil penelitian. Sehingga, pelanggan dengan sendirinya beranggapan bahwa mutu produk sebuah perguruan tinggi ternama pasti baik, sehingga harga yang harus mereka bayar dianggap sepadan. Demikian pula sebaliknya, terhadap perguruan tinggi yang kurang dikenal, dengan sendirinya pelanggan menganggap mutunya tidak sebagus perguruan tinggi yang sudah dikenal. Dengan demikian pelanggan menganggap wajar atas mutu produk yang kurang bagus karena harga yang mereka bayarkan pun tidak tinggi (Indrajit dan Djokopranoto (2006: 142).
253
Sementara itu, Ulrich (1997) dalam Vibriwati (2011) memberikan pandangan mengenai transformasi sebagai usaha untuk merubah kesan yang fundamental dari bisnis, dilihat dari pelanggan dan karyawan. Transformasi berfokus pada penciptaan mind share lebih dari pangsa pasar. Transformasi dikatakan berhasil ketika pelanggan dan karyawan telah mengubah kesan mereka terhadap institusi organisasi secara fundamental. Dibukanya program studi-program studi umum seiring pengembangan UIN Bandung, secara umum sudah diketahui masyarakat atau calon mahasiswa, baik melalui alumni atau pemberiataan melalui media. Hal tersebut terlihat dari meningkatnya pendaftar pada prodi-prodi tersebut setiap tahunnya. Status UIN Bandung sebagai perguruan tinggi negeri dipandang memiliki keunggulan dibandingkan perguruan tinggi swasta. Di samping itu, biaya kuliah yang harus ditanggung mahasiswa lebih murah bila dibandingkan dengan prodi-prodi sejenis di PTN lain, serta ciri khas (distict) keislaman yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Status UIN sebagai PTN dan biaya kuliah yang terjangkau menjadi bagian dari pilihan responden dalam menentukan perguruan tinggi favotir mereka berdasarkan Survey Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT) sepanjang Desember 2006-Januari 2007 (sumber: http://buds-site.blogspot.com/2008/02/...) Dengan demikian, image atau kesan yang melekat dibenak pelanggan terhadap UIN Bandung adalah mutu produk perguruan tinggi Islam tersebut masih di bawah mutu produk yang ditawarkan PTN lain, tetapi memiliki kelebihan berupa statusnya sebagai perguruan tinggi negeri dan biaya kuliah yang terjangkau (low cost proposition), di samping itu juga memiliki ciri khas nilai-
254
nilai keislaman. Kesan tersebut dapat terus ditingkatkan sejalan dengan upayaupaya perbaikan yang berkelanjutan terhadap atribut-atribut produk jasa pendidikan tinggi yang ditawarkan UIN Bandung di masa depan. b. Perspektif Proses Internal Pengukuran kinerja perguruan tinggi dalam perspektif proses internal dilakukan dengan mengikuti pentahapan atau alur pembagian sebagaimana yang terjadi di perusahaan pencari laba. Ukuran-ukuran tersebut adalah: a. Proses inovasi, b. Proses operasi, dan c. Proses layanan purnajual. Tujuan utama pengukuran perspektif proses bisnis internal ini adalah terkait dengan tingkat efisiensi dan efektivitas pengembangan produk barang atau jasa dari mulai proses penciptaan, pembuatan, hingga penyerahan produk kepada pelanggan. 1) Proses inovasi Proses inovasi merupakan upaya organisasi dalam mengidentifikasi kebutuhan pelanggan masa kini dan masa mendatang serta mengembangkan solusi baru untuk kebutuhan pelanggan. Proses ini adalah upaya jangka panjang yang terbagi ke dalam dua bagian, yaitu proses identifikasi pasar dan proses penciptaan produk atau layanan baru. Upaya ini antara lain dilakukan dengan meluncurkan produk baru, menambah features baru pada produk yang sudah ada, mempercepat penyerahan produk ke pasar, dan lain-lain. Dalam dunia perguruan tinggi, cukupnya dosen dan peneliti berpendidikan S3 merupakan potensi, sedangkan pembukaan program studi baru, misalnya, merupakan proses nyata dalam perspektif ini (Gaspersz, 2006: 59; Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 191)
255
Proses
inovasi
yang
dilakukan
UIN
Bandung
terkait
dengan
pengembangan dan penataan kelembagaan. Di antaranya adalah pengembangan dan penataan fakultas dan program studi yang ada di lingkungan UIN Bandung. Program pengembangan dan penataan fakultas dan program studi meliputi: 1) Pembukaan fakultas dan program studi umum, 2) Penataan atau pemindahan program studi-program studi yang sudah ada ke dalam fakultas baru yang lebih sesuai dengan bidang keilmuan prodi-prodi tersebut, 3) Meningkatkan jenjang kesarjanaan, 4) Menyesuaikan nomenklatur fakultas-fakultas agama dengan sebutan-sebutan yang lebih dikenal masyarakat, dan 5) membuka program pendidikan jenjang S2 dan S3. Perubahan-perubahan yang dilakukan UIN Bandung terhadap lembagalembaga fakultas dan jurusan/program studi tersebut merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan minat masyarakat atau calon mahasiswa terhadap perguruan tinggi Islam itu. Strategi tersebut dilakukan sesuai dengan arah perubahan yang diinginkan, yaitu integrasi ilmu dengan agama. Di samping itu, juga sebagai respon terhadap kecenderungan penurunan minat masyarakat terhadap program studi-program studi agama yang selama ini dikembangkan. Hal tersebut mengingat orientasi perguruan tinggi dewasa ini mengalami perubahan, dari tipe yang disebut magistorum university menjadi studiorum university. Pada tipe pertama, para dosen (magistar) yang menentukan siapa yang layak menjadi mahasiswa dan ilmu apa yang layak diajarkan. Sedangkan tipe terakhir, mahasiswa mempunyai wewenang untuk menentukan sendiri ilmu apa yang dibutuhkan dan siapa yang dianggap layak untuk mengajar (Bisri, 2002: 268).
256
Sebagaimana dikatakan Rahim (2006: 100) di atas, bahwa pemikiran dan gagasan mengubah IAIN menjadi UIN didasarkan atas keinginan untuk menata sistem pendidikan tinggi Islam secara terpadu. Gagasan ini berkaitan dengan isu perlunya islamisasi ilmu pengetahuan dalam rangka menutupi kehampaan mental dan spiritual dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui universitas, yang ditandai dengan dibukanya sejumlah program studi umum, kemungkinan pengembangan disiplin ilmu-ilmu umum dapat dilakukan dan dapat dipadukan dengan tradisi kajian Islam yang sudah berkembang. 2) Proses Operasi Proses operasi terkait dengan perubahan dari konsep pembuatan produk menjadi langkah nyata dalam membuat produk tersebut. Ia terdiri dari tiga bagian, yaitu pembuatan, perakitan, dan penyerahan produk kepada pelanggan. Proses ini antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dalam hal pembuatan produk, meningkatkan kualitas produk dan proses, dan memperpendek waktu siklus (cycle time) sehingga memungkinkan penyerahan produk berkualitas tepat waktu kepada pelanggan. Dengan demikian, ukuran-ukuran utama dalam proses operasi meliputi mutu, waktu, dan biaya. Menurut Anwar, MI (2004: 51), Sebagai sebuah konsep, mutu seringkali ditafsirkan dengan beragam definisi, bergantung kepada pihak dan sudut pandang yang mempersepsikannya. Dengan demikian, mutu pendidikan berkenaan dengan apa yang dihasilkan dan pihak yang menggunakannya. Pengertian tersebut merujuk pada nilai tambah yang diberikan oleh pendidikan, dan pihak-pihak yang memeroses serta menikmati hasil pendidikan.
257
Menanggapi mutu pendidikan sebagai sebuah proses, Anwar, MI (2004: 52) mengatakan bahwa sebagai sistem terbuka, pendidikan mengandung subsubsistem masukan, keluaran dan umpan balik secara internal dan eksternal. Berdasarkan pemahaman demikian, maka mutu proses menunjukkan kebermutuan sub-subsistem dalam sistem proses yang meliputi tindakan kerja, komunikasi dan monitoring. Subsistem tindakan kerja adalah komponen organisasi yang menentukan ukuran kemampuan sistem dalam melaksanakan yang seharusnya dikerjakan. Subsistem komunikasi berfungsi memeroses dan memberikan informasi yang memadai mengenai seluruh tahapan tindakan sistem dan subsistem. Sedangkan subsistem monitoring berfungsi sebagai kontrol sistem terhadap kegiatan dan akuntabilitas sub-subsistem dalam hubungan sinergiknya di seluruh sistem. Adapun indikator-indikator mutu proses pendidikan, sebagaimana dirinci Makmun (1997), meliputi efisiensi, produktivitas, efektivitas, relevansi, akuntabilitas, kesehatan organisasi, dan semangat inovasi. Suatu proses pendidikan yang efisien ialah yang mampu menciptakan keseimbangan antara sumber-sumber yang dibutuhkan dengan yang tersedia guna mengurangi hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan pendidikan. Ukuran-ukuran proses produksi dalam perspektif proses internal BSC yang meliputi (a) rasio jumlah lulusan, (b) lama rata-rata studi, (c) rata-rata IPK mahasiswa, (d) rata-rata SKS per mahasiswa, (e) tingkat putus kuliah, dan (f) kinerja dosen, merupakan indikator kuntitatif efisiensi internal pendidikan. Ia merujuk pada kemampuan UIN Bandung dalam menghasilkan keluaran yang
258
diharapkan dengan biaya terbatas, atau memaksimalkan keluaran yang diharapkan pada tingkat masukan tertentu. Sedangkan hubungan antara keluaran pendidikan dengan tujuan-tujuan masyarakat yang lebih luas merupakan ukuran efisiensi eksternal proses pendidikan itu sendiri. Adapun efektivitas pendidikan, lanjut Makmun (2007), menggambarkan tingkat kesesuaian antara jumlah keluaran yang dihasilkan dengan jumlah yang ditargetkan. Dalam penelitian ini, tingkat efektivitas pendidikan di UIN Bandung dicerminkan dengan tingkat putus kuliah. Tingkat efektivitas pendidikan sangat bergantung kepada cara belajar mengajar, kapasitas dosen, dan kemampuan mahasiswa. Semakin tinggi tingkat putus kuliah dibandingkan dengan jumlah seluruh mahasiswa, berarti semakin rendah tingkat efektivitas perkuliahan. Sedangkan produktivitas pendidikan merupakan ukuran mengenai tingkat daya hasil suatu program dalam satuan waktu tertentu (Makmun, 2007). Produktivitas dosen merupakan salah satu ukuran yang menentukan tingkat keberhasilan pendidikan. Nilai produktivitas tersebut antara lain dilihat dari tingkat disiplin, jumlah jam mengajar, dan produk dosen berupa penulisan karya ilmiah dan penelitian. Ia merupakan indikator kinerja dosen dalam perspektif proses internal yang dapat mempengaruhi mutu pendidikan di UIN Bandung. Sebagaimana dikatakan Gaspersz (2006: 59), bahwa tingkat produktivitas, efisiensi, dan efektivitas merupakan ukuran-ukuran yang menentukan nilai proses bisnis organisasi, termasuk perguruan tinggi. Ukuran-ukuran di atas, menurut Alma (2008: 24), merupakan indikatorindikator mutu akademik dari sudut pandang kuntitatif. Adapun indikator-
259
indikator
kualitatifnya
meliputi
kemampuan
mahasiswa
dalam:
(1)
mengidentifikasi sesuatu secara jelas, (2) memiliki kemampuan dalam eksplanasi, (3) kemampuan memprediksi atau meramal, dan (4) kemampuan mengawasi. Mutu pendidikan, tegas Alma, terletak pada nilai-nilai ilmiahnya. Nilai ilmiah bukan ditentukan pada kemampuan penguasaan, pengaplikasian atau analisisnya, melainkan terletak pada kemampuan mengujinya dengan alternatifalternatif baru atau memfalsifikasikan yang ada, serta menciptakan lagi paradigma, konsep serta metodologi IPTEK modern yang lebih baru. Mutu sebuah perguruan tinggi merupakan daya tarik dan membentuk citra tersendiri bagi publik terhadap perguruan tinggi yang bersangkutan. Mutu terletak pada adanya dosen yang bermutu dan mutu akademik yang dapat dibanggakan. Ia merupakan muara dari proses pendidikan, alat, kurikulum, dan fasilitas yang digunakan. Hal tersebut tercermin pada mutu mengajar dosen, mutu bahan pelajaran, dan mutu hasil belajar, sehingga membentuk seperangkat kemampuan (Alma, 2008: 22),. Mutu dosen yang baik ditentukan oleh kompetensi keilmuan, penguasaan metode mengajar, pengendalian emosi dan disiplin kerjanya. Performa dosen dalam mengajar dipengaruhi oleh dunia makro dan mikronya. Ia dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, latar belakang budaya, kelas sosial dan sebagainya. Oleh karena itu, selain pengetahuan dan kompetensi paedagogisnya, persepsi dan sikapnya terhadap sejumlah faktor di luar dirinya turut memberi andil terhadap pola dan mutu mengajarnya.
260
3) Proses Layanan Purnajual Proses layanan purnajual berkaitan dengan pelayanan kepada pelanggan, seperti pemberian pelatihan penggunaan barang, penyelesaian masalah yang timbul pada pelanggan seperti penyediaan teknisi untuk reparasi, memberikan sentuhan pribadi (personal touch), dan lain-lain (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 191; Gaspersz, 2006:59) Proses layanan purnajual dalam dunia perguruan tinggi merupakan bentukbentuk layanan yang diberikan perguruan tinggi yang bersangkutan terhadap alumninya. Bentuk layanan tersebut misalnya, pengadaan kantor khusus untuk tempat pengurus alumni dan sarana yang dibutuhkannya. Atau dalam bentuk pembuatan jaringan alumni seperti buku tahunan alumni, jaringan situs internet, dan bantuan program berkala. Bahkan, dalam bentuk yang lebih konkret, pihak universitas dapat mengembangkan program pencarian pekerjaan atau kesempatan rekruitman (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 198). Pencarian pekerjaan dapat dilakukan universitas dengan cara bekerjasama dengan perusahaan atau cabang industri pencari bakat tertentu melalui ‘pemesanan’ lulusan terbaik untuk disalurkan menjadi karyawan di perusahaan yang bersangkutan. Atau, melalui kesempatan rekruitmen, yaitu kerjasama perguruan tinggi dengan perusahaan dengan cara memberikan kesempatan kepada perusahaan secara rutin untuk mempresentasikan mengenai perusahaannya kepada calon lulusan, kesempatan pekerjaan, bidang/disiplin yang dibutuhkan, prospek pengembangan karir, dan sebagainya.
261
Menurut Mas’ud (2011), persoalan yang muncul seputar penyelenggaraan pendidikan tinggi berkisar pada kualitas, potensi, sistem, etos kerja, dana, sarana, dan prasarana, atau persoalan yang berkaitan dengan fungsi dan perannya dalam membangun SDM. Persoalan-persoalan tersebut merupakan indikator untuk menentukan standar kualitas PTAI. Secara tidak langsung, kompetensi out-put dan out come tidak saja akan membawa citra terhadap PTAI, tetapi secara luas juga terkait erat dengan citra pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu. Namun satu hal yang perlu direnungkan dalam pengembangan pendidikan tinggi adalah bahwa pengelola juga mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat pengguna. Setiap masyarakat yang mempercayakan pendidikan anggota keluarganya ke sebuah perguruan tinggi, secara sosiologis merupakan sebuah ‘kontrak’ masa depan sebuah keluarga. Kontrak inilah yang harus dibayar mahal oleh perguruan tinggi dengan proses pendidikannya. Produk dari perguruan tinggi, lanjut Mas’ud (2011) sangat dinanti kehadirannya oleh masyarakat sebagai pengguna. Hal itu sangat penting dalam memberikan ‘pencerahan’ – penyelesaian masalah, penjelasan, pemenuhan kebutuhan, penyiapan tenaga terampil serta profesional, dan sebagainya. Sebaliknya, perguruan tinggi juga membutuhkan masyarakat. Jika sebuah perguruan tinggi itu telah mendapatkan kepercayaan (trust) dari masyarakat, maka masyarakat itu akan mengirim putra terbaiknya ke perguruan tinggi tersebut. Masyarakat mau berebut ‘kursi kuliah’ di PT itu meskipun harus membeli ‘kursi kuliah dengan harga yang sangat mahal. Hal ini bisa dilihat dari besarnya
262
dukungan partisipasi masyarakat, baik dana dan pemikiran, yang mengalir kepada perguruan tinggi ‘unggulan’ di tanah air. Perguruan tinggi yang sudah mendapatkan kepercayaan masyarakat seperti UGM, ITB dan sebagainya tidak kesulitan untuk mendapatkan in put terbaik dari seluruh nusantara. c. Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran Pada dasarnya Balanced Scorecard merupakan sistem manajemen bagi organisasi untuk berinvestasi dalam jangka panjang (Gaspersz, 2006: 2; Mulyadi, 2009: 107; Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 220). Investasi yang dimaksud bukanlah investasi dalam pengertian tradisional, yaitu dalam bentuk bangunan, mesin atau peralatan. Dalam hal teknis, semua itu memang diperlukan, namun yang tidak kalah pentingnya adalah investasi di bidang infrastruktur seperti orang, sistem, dan prosedur. Sumberdaya manusia merupakan modal utama perguruan tinggi. Untuk itu, sangat penting bagi perguruan tinggi untuk menekankan pengembangannya pada sumberdaya ini sebagai investasi jangka panjangnya, dengan tidak melupakan pengembangan sumberdaya lainnya. Dalam Balanced Scorecard, modal utama tersebut menjadi pokok pembahasan untuk perspektif pertumbuhan. Ukuran-ukuran untuk perspektif pertumbuhan terbagi ke dalam dua kategori, yaitu ukuran utama dan ukuran pendukung. Ukuran utama terdiri atas faktor-faktor: (a) kepuasan karyawan, (b) Retensi karyawan, (c) Produktivitas karyawan, dan (d) Gugus Kendali Mutu. Sedangkan ukuran pendukung meliputi fakktor-faktor: a. Kompetensi karyawan, b. Teknologi informasi, dan c. Suasana
263
kerja. Hubungan antara kedua kategori ukuran tersebut diperlihatkan dalam Gambar 4.3.
Ukuran Utama Hasil
Kepuasan Karyawan
Produktivitas Karyawan
Retensi Karyawan
Pendukung Kompetensi Karyawan
Infrastruktur Teknologi
Iklim Kerja
Gambar 4.3. Kerangka Ukuran Perspektif Pertumbuhan Sumber: Kaplan dan Norton dalam Indrajit dan Djokopanoto (2006:221)
Dalam penelitian ini, tidak semua komponen ukuran kedua kategori di atas digunakan. Hal ini terkait dengan kebutuhan penelitian dan ketersediaan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Status sebagai pegawai negeri, misalnya, pada saat ini merupakan lapangan pekerjaan yang menjadi kecenderungan masyarakat. Oleh karenanya, tingkat kemampuan UIN Bandung dalam mempertahankan karyawannya (retensi karyawan) dengan sendirinya memiliki tingkat retensi yang tinggi. Oleh karena itu, untuk kategori ukuran utama dalam penelitian ini digunakan faktor penentu keberhasilan berupa produktivitas karyawan – dalam hal ini dosen UIN Bandung, dan gugus kendali mutu. Sedangkan ukuran pendukungnya berupa kompetensi dosen dan tingkat kematangan dalam penggunaan teknologi informasi.
264
1) Produktivitas dan Kompetensi Dosen Dalam manajemen modern, menurut Mulyadi (2009) modal manusia (human capital) merupakan sumberdaya terpenting bagi organisasi. Modal manusia yang dimaksudkan di sini, bukan didasarkan pada jumlah dan tingkat pendidikan dari sumberdaya manusia tersebut, melainkan kemampuan mereka dalam menerapkan ilmu dan pengetahuan ke dalam pekerjaannya. Melalui pemberdayaan karyawan, potensi sumberdaya manusia dapat dikembangkan secara penuh untuk memberikan kontribusi optimum dalam menghasilkan produk/jasa. Tugas utama manajer saat ini adalah berupaya menjadikan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki karyawan tersebut produktif dalam menghasilkan produk/jasa. Tugas tersebut tidak lagi dapat diselesaikan melalui komando dan pengendalian, melainkan dengan komunikasi, persuasi, dan kesalingpercayaan. Demikian halnya lembaga pendidikan tinggi yang tugas pokoknya tidak lain adalah pengembangan sumberdaya manusia. Keunggulan perguruan tinggi lebih banyak ditentukan oleh profesionalisme dosen sebagai sumberdaya terpentingnya. Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2006), keunggulan tersebut tidak saja didasarkan pada jumlah atau tingginya tingkat pendidikan, melainkan pada produktivitas mereka yang tercermin dalam jumlah terbitan ilmiah yang terakreditasi, jumlah penulisan karya ilmiah, jumlah penulisan buku, jumlah penelitian, jumlah paten, serta penghargaan yang didapatkan dosen dan peneliti. Sedangkan jumlah dosen berpendidikan S3, misalnya, baru merupakan potensi keunggulan, bukan keunggulan yang senyatanya.
265
Menyadari hal tersebut, pengembangan sumberdaya yang dilakukan UIN Bandung tidak saja ditekankan pada dorongan bagi mereka untuk studi lanjut, tetapi juga memberikan beragam jenis pelatihan kepada mereka yang terkait dengan peningkatan kemampuan produktivitasnya. Di samping itu, juga dikembangkan sistem pengendalian mutu yang mencerminkan konsistensi UIN dalam mengembangkan human capital-nya. Seperti dikatakan Indrajit dan Djokopranoto (2006: 224), keberadaan gugus kendali mutu mencerminkan bahwa UIN Bandung secara konsisten melakukan upaya perbaikan secara berkelanjutan terhadap produktivitas kinerja. 2) Teknologi Informasi Teknologi informasi dalam perspektif proses internal terkait dengan pemanfaatannya untuk menunjang keberhasilan proses operasi. Dalam hal ini, pemanfaatan teknologi informasi merupakan bagian yang menunjang efektivitas dan efisiensi proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Sedangkan dalam perspektif pertumbuhan dan pembalajaran, ia merupakan modal investasi bagi universitas untuk pertumbuhannya di masa mendatang. Pemanfaatan dan penguasaan teknologi informasi, lebih-lebih bagi sebuah perguruan tinggi merupakan sebuah keniscayaan di zaman sekarang ini. Di era globalisasi,
sebuah
negara
tidak
cukup
hanya
menguasai
sumberdaya
konvensional yang kerap dinyatakan dengan 4M (men, materials, money, dan machines atau method). Masih ada satu sumberdaya kelima yang sangat penting untuk dikuasai oleh sebuah negara, yaitu informasi. Selain berfungsi sebagai faktor produksi penting di samping 4M, informasi juga merupakan bahan mentah
266
knowledge. Sehingga, mereka yang menguasai informasi berpotensi menjadi bagian masyarakat dan komunitas global yang pintar dan cerdas (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 309). Sektor pendidikan, terutama pendidikan tinggi, merupakan komunitas yang memiliki tanggung jawab langsung maupun tidak langsung terhadap proses perencanaan, pembangunan, penerapan, dan pengembangan teknologi informasi sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam hal ini, perguruan tinggi memiliki empat peran strategis dalam pengembangan teknologi informasi di dunia pendidikan (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 310-337). Pertama, pengembangan teknologi informasi di perguruan tinggi berperan dalam meningkatkan information literacy masyarakat. Istilah information literacy sering dikaitkan dengan istilah information competency, yaitu kemampuan seseorang dalam mendayagunakan informasi yang diperolehnya untuk membantu meningkatkan efektivitas kinerja sehari-hari. Seseorang dikatakan memiliki information literacy yang baik apabila yang bersangkutan dapat melakukan investigasi terhadap informasi yang dibutuhkan dalam suatu konteks kondisi tertentu, menyatakannya dalam terminologi yang tepat, melakukan pencarian secara efektif terhadap informasi berkualitas dari berbagai sumber data yang tersedia,
melakukan
analisis
berdasarkan
hasil
kumpulan
informasi,
memanfaatkannya untuk berbagai keperluan positif dan mendatangkan nilai yang signifikan, serta mengolahnya lebih lanjut pengetahuan.
mejadi sebuah sumberdaya
267
Kedua, pengembangan teknologi informasi di perguruan tinggi berperan dalam mengurangi dampak digital gap atau kesenjangan digital. Kesenjangan itu merupakan salah satu musuh utama negara berkembang dan negara miskin di era globalisasi dan teknologi informasi dewasa ini. Beragam hasil penelitian memperlihatkan bahwa isu utama berbagai aspek kesenjangan digital berakar pada kualitas sumberdaya manusia. Dengan kata lain, tingkat kompetensi individu berkaitan
dengan
pemahaman
manfaat
dati
teknologi
informasi
pendayagunaannya untuk meningkatkan kualitas hidup sehari-hari.
dan
Agregasi
seluruh individu akan membentuk sebuah masyarakat ‘buta digital’ yang secara langsung berpengaruh pada tingkat dan kecepatan perkembangan suatu negara. Ketiga, pengembangan teknologi informasi di perguruan tinggi berperan dalam melahirkan daya saing nasional. Teknologi informasi dianggap memiliki suatu karakteristik yang berbeda dengan teknologi lainnya. Hal itu karena hampir semua sendi kehidupan dan sektor industri dapat menerapkannya dan memperoleh manfaat yang signifikan dari teknologi tersebut. Penerapan sejumlah aplikasi teknologi informasi, seperti e-commerce, e-bussiness, e-government, dan elearning – telah menghasilkan berbagai nilai yang sangat berarti seperti perbaikan efisiensi, peningkatan efektivitas, internal kontrol yang lebih baik, dan peningkatan kualitas proses pengambilan keputusan. Agregasi manfaat yang diperoleh setiap organisasi atau perusahaan yang menerapkan teknologi informasi di dalam sebuah negara akan berdampak pada terciptanya daya saing secara nasional. Hal itu dikarenakan telah terjadi perbaikan kinerja di berbagai institusi atau organisasi mikro negara yang bersangkutan.
268
Keempat, pengembangan teknologi informasi di perguruan tinggi berperan dalam menjadikannya sebagai center of excellence. Sebagai pusat keunggulan, perguruan tinggi diharapkan, antara lain: •
Menjadi tempat meningkatkan pengetahuan, kompetensi, keterampilan, maupun keahlian sumberdaya manusia, sehingga konsep sistem informasi nasional dapat dilaksanakan secara efektif.
•
Menjadi komunitas cerdas yang dapat membantu berbagai isu dan kendala yang dihadapi oleh masing-masing simpul, terutama yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan pengalaman stakeholders terkait.
Menjadi pemicu perubahan atau agent of change di kalangan masyarakat, sehingga terjadi percepatan dalam pemahaman dan penggunaan teknologi informasi (lihat Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 333-335) d. Perspektif Keuangan Hingga saat ini, bidang pendanaan UIN Bandung masih terfokus pada investasi pengembangan sarana fisik dibandingkan dengan pengembangan program akademik. Demikian pula, UIN Bandung belum mampu menggali sumber pendanaan di luar pemerintah dan sumbangan mahasiswa. Sumber pendanaan UIN Bandung yang berasal dari pemerintah, sebagaimana halnya PTN-PTN lain, menempati porsi terbesar. Kenyataan di atas merupakan gambaran umum PTN di Indonesia terkait dengan sumber pendanaannya. Hal itu sejalan dengan pernyataan Hunger dan Wheelen (2003: 533-534), yang mengatakan, bahwa sumber penerimaan merupakan gambaran yang paling membedakan antara organisasi nirlaba dengan
269
organisasi nirlaba lainnya, demikian pula dengan perusahaan pencari laba. Perusahaan pencari laba sangat tergantung pada penerimaan yang diperoleh dari penjualan barang-barang dan jasa kepada para pelanggannya, yang biasanya membayar atas biaya dan pengeluaran untuk penyediaan produk atau jasa ditambah dengan laba tertentu. Sebaliknya, organisasi nirlaba sangat tergantung kepada iuran, kewajiban, dan sumbangan dari anggotanya, atau pembiayaan dari pemerintah untuk membayar seluruh biaya dan pengeluarannya. Pola pengaruh pada pengambilan keputusan strategis di masing-masing jenis organisasi tersebut sangat tergantung pada sumber-sumber penerimaan di atas (Gambar 4.4). Bagi perusahaan pencari laba, hubungan antara perusahaan dengan pelanggan biasanya sederhana dan langsung. Perusahaan cenderung tergantung sepenuhnya pada penjualan produk atau jasa mereka kepada pelanggan untuk memperoleh penerimaan. Karena itu mereka sangat tertarik untuk menyenangkan pelangannya. Para pelanggan berada dalam posisi secara langsung mempengaruhi proses pengambilan keputusan organisasi. Oleh karena itu, bidang bisnis perusahaan pencari laba dikatakan berorientasi pasar. Sebaliknya, perguruan tinggi negeri sangat tergantung pada pemerintah untuk pendanaannya. Uang kuliah mahasiswa dan dana-dana yang berasal dari klien lainnya relatif kecil dibanding total penerimaan yang ada. Oleh karena itu, pengambilan keputusan perguruan tinggi tersebut sangat dipengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam situasi seperti ini, organisasi cenderung mengukur efektivitasnya dari kepuasan pemerintah. Organisasi tidak memiliki ukuran yang nyata dalam efisiensi selain dari kemampuannya untuk membawa misinya dan
270
mencapai sasaran-sasarannya dalam kontribusi rupiah yang diterima dari pemerintah tersebut. Dengan pola pengaruh yang digambarkan tersebut, pihak pelanggan, dalam hal ini mahasiswa UIN Bandung, dengan mengesampingkan prosentase total pembiayaan yang dikeluarkannya, mereka dapat berusaha untuk tidak secara langsung mempengaruhi universitas melalui pemerintah. Dalam hal ini, para mahasiswa UIN Bandung dapat melobi pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, atau melakukan demonstrasi untuk mendorong perubahan-perubahan yang mereka inginkan (Hunger dan Wheelen, 2003: 235). Melihat kondisi perubahan yang sedang berlangsung, melalui perspektif keuangan dalam pendekatan Balanced Scorecard ini kita dapat mengidentifikasi bahwa siklus hidup UIN Bandung pada saat ini berada pada tahap awal pertumbuhan. Sebagaimana dikemukakan Gaspersz (2006: 40), bahwa tahaptahap dalam siklus hidup bisnis (business life cycle) terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu: 1) Early stage company Perusahaan/organisasi yang berada pada tahap awal pertumbuhan (early stage company) memiliki produk (barang/jasa) yang bertumbuh secara signifikan, sehingga strategi dan pengukuran dalam perspektif finansial yang dilakukan dapat difokuskan pada pertumbuhan penerimaan (revenue growth), penghasilan/ keuntungan positif (positive earning), dan peningkatan penjualan dan pangsa pasar (sales and market share growth).
271
2) Sustainable stage company Perusahaan/organisasi yang berada tahap keberlangsungan (sustainable stage company) memiliki produk (barang/jasa) yang bertumbuh stabil, sehingga strategi dan pengukuran dalam perspektif finansial yang dilakukan dapat difokuskan pada peningkatan pendapatan operasional, peningkatan tingkat pengembalian investasi (return on investment – ROI), dan peningkatan keuntungan kotor (gross margin). 3) Mature stage company Perusahaan/organisasi yang berada pada tahap kematangan (mature stage company) memiliki produk (barang/jasa) yang bertumbuh secara lambat, sehingga strategi dan pengukuran dalam perspektif finansial yang dilakukan dapat difokuskan pada pengelolaan arus kas (cash flow management), nilai tambah ekonomis (economic value added), dan nilai tambah kas (cash value added).
3. Faktor Penghambat Pengembangan UIN Bandung Berdasarkan hasil penelitian di atas, terdapat empat faktor utama yang menjadi penghambat pengembangan UIN Bandung. Keempat faktor tersebut meliputi: (1) Hambatan visi, (2) Hambatan Sumberdaya, (3) Hambatan Manajemen, dan (4) Hambatan Budaya. a. Hambatan visi Implementasi rencana-rencana bisnis strategis dapat terhambat ketika tidak banyak orang dalam organisasi yang memahami strategi organisasi mereka (Evans, 2002 dalam Gaspersz, 2006: 2). Visi dan misi yang jelas dibutuhkan
272
sebelum merumuskan dan menerapkan strategi-strategi alternatif. Dalam hal ini, penting bagi seorang pemimpin untuk melibatkan sebanyak mungkin manajer dalam proses pengembangan dua pernyataan itu. Langkah-langkah awal yang harus dilakukan seorang pemimpin organisasi adalah menegosiasikan kesepakatan dengan pengambil keputusan tentang upaya keseluruhan perencanaan strategis dan perencanaan langkah-langkah kunci. Dukungan dan komitmen pengambil keputusan atau pemimpin kunci sangat penting jika perencanaan strategis ingin berhasil diwujudkan (Bryson, 1991: 48; Yeoh, 1995; David, 2009: 82). Warjoko, B.A. dalam bukunya Mengukur Sebuah Visi (2008), menegaskan bahwa visi organisasi disamping harus jelas, juga disusun secara strategis. Tanpa visi yang jelas, orang-orang dalam suatu organisasi berjalan meraba dalam kegelapan. Visi menimbulkan perasaan mengetahui arah yang akan ditempuh. Oleh sebab itu, visi yang baik harus dapat menimbulkan motivasi anggota organisasi dan mendorong keinginan mereka untuk mencapai tujuan. Di samping itu, visi juga harus strategis, dalam arti mudah diartikulasikan, mudah dipahami, dan diterima semua pihak dalam organisasi. Visi harus dapat diterjemahkan ke dalam terminologi operasional sehingga semua orang dapat dengan mudah memahami dan selanjutnya melaksanakan. Terkait dengan hal tersebut, Yeoh (1995) menuturkan, bahwa terdapat lima elemen yang menjadi kunci keberhasilan sebuah transformasi. Lima elemen tersebut adalah: 1) A clearly articulated vision of the future for the organization, develop by its leader and understood and subscribed to by all the people in the organization; 2) Business strategies and plans, consistent with the mission, supported by
273
clear, measurable performance indicators. These strategies, plans, and indicators should ultimately be developed at successively lower levels of the organization in order to provide clear guidance and management of performance for all people; 3) Strong leadership of the transformation. In particular, leaders should demonstrate their commitment through their words and actions; 4) An understanding that the transformed organization will require new and different skills, knowledge, and abilities if it is to perform consistent with the mission, plans, and strstegies. It must be prepared to identify and address the gaps in these areas. 5) A well-manage and integrated programme for change.
Pernyataan visi harus bisa menjawab pertanyaan mendasar: “Ingin menjadi seperti apakah kita?” (David, 2009: 82). Dengan demikian, kejelasan visi juga menuntut adanya kejelasan tentang di mana posisi kita saat ini, dan arah mana yang ingin kita capai. Kesadaran akan hal ini mengharuskan suatu SWOT analysis yang realistik. Seperti dikatakan Pearce dan Robinson (1991: 64), faktor penentu utama bagi sukses suatu organisasi adalah sejauh mana ia dapat mengaitkan dirinya secara fungsional dengan lingkungan luarnya. Untuk mendapatkan tempat yang layak dalam situasi persaingan, organisasi harus secara realistik mengevaluasi kekuatan dan kelemahannya (lingkungan internalnya). Pemikiran ini merupakan inti dari konsep diri organisasi. Adapun langkah-langkah dalam evaluasi kekuatan yang ditawarkan David (2009: 146) adalah sebagai berikut: 1) Identifikasi berbagai aspek atau elemen penting dari setiap kekuatan kompetitif yang mempengaruhi organisasi; 2) Evaluasi seberapa kuat dan penting sertiap elemen tersebut bagi organisas; dan
274
3) Putuskan apakah kekuatan kolektif dari elemen-elemen tersebut cukup untuk membuat organisasi untuk melakukan perubahan atau tetap bertahan dalam bisnis yang dijalankan saat ini.
Audit lingkungan eksternal dan internal harus melibatkan sebanyak mungkin manajer dan karyawan. Keterlibatan mereka dalam manajemen strategik, seperti dikatakan David (2009), dapat mengarahkan kepada pemahaman dan komitmen para anggota organisasi. Orang akan senang mendapatkan kesempatan untuk menyumbangkan gagasan dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi organisasi mereka. Analisis kekuatan, kelemahan, keuntungan dan ancaman merupakan modal dalam memilih strategi yang dijalankan. Berdasarkan modal tersebut, strategi yang dijalankan organisasi harus mampu mengambil keuntungan dari peluang eksternal atau meminimalkan dampak dari ancaman potensial (David, 2009; Indrajit dan Djokoptranoto, 2006). Dengan demikian, pemindaian lingkungan yang tidak realistis menyebabkan modal dalam merumuskan strategi menjadi tidak jelas. Sehingga hasil yang diharapkan dari bisnis yang dijalankan pun tidak dapat terukur. b. Hambatan Sumberdaya Organisasi nirlaba, seperti universitas negeri, mernerima dana dari berbagai sumber untuk membiayai pelaksanaan misinya. Organisasi akan berhasil mengembangkan misinya, jika memiliki kemampuan untuk terus-menerus menggalang dana dalam menutupi kebutuhan pembiayaannya. Sebaliknya, ia akan
275
gagal jika terus-menerus mengalami defisit. Kecukupan dana untuk melaksanakan kegiatan tidak hanya tergantung pada jumlah penerimaan yang dapat dikumpulkan, tetapi juga pada kemampuan organisasi dalam mengelola dana tersebut. Oleh karenanya, organisasi memerlukan manajemen keuangan (Indrajit dan Djokopranoto 2006: 170). Universitas negeri, seperti digambarkan Hunger dan Wheelen (2003: 315), sangat tergantung pada pemerintah dalam hal pendanaan program-program kerjanya. Kontribusi dari mahasiswa dan dana-dana yang berasal dari pihak lain, prosentasenya relatif kecil dari keseluruhan jumlah penerimaan. Hal tersebut menyebabkan pengambilan keputusan universitas sangat dipengaruhi oleh pihak pemerintah. Dalam situasi ini, universitas cenderung mengukur efektivitas kinerjanya dari perspektif kepuasan pemerintah. Pihak universitas tidak memiliki ukuran yang nyata dalam efisiensi selain dari kemampuannya untuk membawa misinya dan mencapai sasaran-sasarannya dalam bentuk kontribusi uang yang diterimanya. Pola pengaruh tersebut di atas, lanjut Hunger dan Wheelen (2003: 538540), menimbulkan berbagai hambatan bagi universitas negeri dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi manajemen strategiknya. Dalam perencanaan, fokus perencanaan yang terintegrasi cenderung bergeser dari hasil yang ingin dicapai kepada sumberdaya yang tersedia. Perencanaan menjadi lebih berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya yang dapat diukur secara lebih mudah daripada jasa layanan yang sulit diukur. Dalam implementasi strategi, karena besarnya ketergantungan
kepada
pemerintah
dalam
hal
pendanaan
menyebabkan
276
manajemen puncak senantiasa waspada terhadap penilaian pihak pemerintah terhadap aktivitas organisasi. Kewaspadaan itu mengarah pada “sentralisai defensif”, di mana manajemen puncak mempertahankan wewenang pengambilan keputusannya, sehingga manajer di bawahnya tidak dapat mengambil satu tindakan pun terhadap hal-hal yang menjadi sasaran pihak pemerintah. Sedangkan dalam evaluasi dan pengendalian, universitas negeri cenderung lebih berfokus pada sumber-sumber daya yang mendukung kinerja dibanding dengan kinerja itu sendiri. Universitas negeri lebih menekankan pada penetapan batas maksimum biaya dan pendanaan yang harus dikeluarkan. c. Hambatan Manajemen Menurut Sutisna (1998: 6), dalam menghadapi tantangan perubahan sosial saat ini, pembaharuan sistem pendidikan sangat membutuhkan ide, keterampilan, keberanian, determinasi, dan kemauan untuk penilaian-diri yang didukung oleh kemauan untuk berubah. Oleh karena itu, kedudukan-kedudukan eksekutif di dalam hirarki administratif harus diisi oleh orang-orang yang berwibawa dan cakap, yaitu orang-orang yang mampu memperlihatkan aktivitas profesional yang bermutu. Mereka dituntut untuk berbuat tidak sekedar menjalankan pekerjaan manajemen pendidikan yang rutin, tetapi untuk meningkatkan kualitas, efisiensi, produktivitas, dan relevansi produk pendidikan. Senada dengan itu, Mulyadi (1997) dalam Harsiwi (2003) mengatakan, bahwa kemampuan organisasi untuk bertahan hidup (survive) sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan bisnis yang dihadapi. Kemampuan tersebut sangat ditentukan oleh seberapa
277
berdayanya personil organisasi dalam melakukan perubahan. Oleh karenanya, pemberdayaan personil menjadi prasyarat untuk membangun suatu organisasi yang mampu beradaptasi dengan cepat untuk merespon perubahan lingkungan bisnis yang telah terjadi atau yang potensial akan terjadi. Manajer tingkat puncak dan timnya yang memiliki kemampuan manajerial yang unggul merupakan sumberdaya penting bagi organisasi untuk berupaya mengembangkan keunggulan yang berkesinambungan (Hitt, et.al., 1997). Mereka merupakan sumberdaya manusia yang menjadi agen yang sesungguhnya dalam bisnis. Semua produk serta aset-aset organisasi lainnya adalah hasil perbuatan manusia. Kelangsungan hidup produk dan aset-aset tersebut pada akhirnya tergantung pada sumberdaya tersebut (Sveiby, 2001 dalam Johnson 2003:12). d. Hambatan Budaya Terkait dengan kendala budaya, Hunger dan Wheelen (2003: 539-540) mengatakan, bahwa dalam organisasi profesional seperti perguruan tinggi, nilai profesional dan tradisi dapat menghalangi organisasi untuk mengubah pola prilaku konvensionalnya ke dalam misi pelayanan baru yang sesuai dengan perubahan kebutuhan sosial. Para profesional, jarang memiliki gagasan-gagasan yang jelas tentang aktivitas-aktivitas apa saja yang dapat dilaksanakan dan yang tidak dapat dilaksanakan dalam wilayah kerja mereka. Para profesional sering memandang pekerjaan manajerial sebagai non-profesional dan hanya bersifat pendukung, mereka tidak selalu memandang promosi bagi posisi manajemen sebagai hal yang positif.
278
Dalam kondisi, di mana strategi baru tidak sesuai dengan budaya organisasi, maka pihak manajemen harus mampu memodifikasi budaya tersebut agar sesuai dengan strategi saat ini. Strategi baru harus dijalankan secara hati-hati dengan memperkanalkan serangkaian aktivitas perubahan budaya, seperti modifikasi kecil dalam struktural, aktivitas pelatihan dan pengembangan, atau mempekerjakan manajer-manajer baru yang lebih sesuai dengan strategi baru tersebut (Hunger dan Wheelen, 2003: 362). Komunikasi menjadi hal yang penting bagi organisasi untuk mencapai sasaran perubahan dalam budaya yang efektif (G.G. Gordon, 1985 dalam Hunger dan Wheelen, 2003: 365). Dalam organisasi perguruan tinggi, di mana pekerja yang dominan adalah para profesional, maka tugas utama manajer adalah menjadikan produktif ilmu dan pengetahuan yang dikuasai oleh para pekerjanya dalam menghasilkan jasa layanan pendidikan. Tugas utama tersebut tidak lagi dapat diselesaikan melalui komando dan pengendalian, tetapi dengan komunikasi, persuasi, dan kepercayaan (Mulyadi, 2009: 107). Pearce dan Robinson (1991: 455) menyajikan beberapa pertimbangan pokok sebagai bentuk komunikasi yang dapat menjembatani hubungan strategikultur dalam sebuah organisasi. Pertama, perubahan-perubahan kunci harus jelas terkait dengan misi dasar organisasi. Karena misi merupakan landasan umum yang resmi bagi kultur organisasi, maka pihak manajemen puncak harus memanfaatkan semua forum internal dan eksternal yang ada untuk meneguhkan pesan bahwa perubahan benar-benar terkait dengan misi itu. Kedua, personil yang ada, bila mungkin, harus didahulukan untuk mengisi posisi-posisi yang diciptakan
279
untuk mengimplementasikan strategi baru. Karyawan lama sudah menyerap nilai dan norma bersama yang menjamin kesesuaian ketika perubahan besar dilakukan. Ketiga, perhatian harus diberikan kepada perubahan-perubahan yang paling tidak kompatibel dengan kultur yang ada, sehingga norma-norma yang berlaku tidak terganggu.