BAB IV PEMBAHASAN KASUS
4.1.
Deskripsi Kasus Hujan turun rintik-rintik, Ibu Wendy Soeweno selaku direktur pemasaran
Blitzmegaplex mengemudikan
mobilnya memasuki halaman parkir kantor. Dia
berjalan menuju meja kerjanya dan bersiap menghadiri rapat dengan tim pemasaran Blitzmegaplex. Hari itu, dua hari sebelum rapat dengan dewan komisaris dan jajaran direksi, di ruang rapat yang berlokasi di Patra Kuningan, tim pemasaran blitzmegaplex yang dipimpin oleh Ibu Wendy Soeweno telah menyiapkan data-data baik internal perusahaan maupun eksternal untuk menentukan strategi mereka selanjutnya. Rapat yang diiringi sayup suara hujan itu berlangsung serius tetapi santai. Tim pemasaran Blitzmegaplex saling mengutarakan pendapat masing-masing, berdebat dan berargumen, apa yang harus dilakukan perusahaan setelah melaporan 21 Cineplex ke KPPU ? Apakah keputusan itu merupakan tindakan yang tepat dalam menghadapi kompetitor utama Blitzmegaplex ? Bagaimana strategi mereka selanjutnya dalam menghadapi serangan balik dari 21 Cineplex ? Tak kalah penting juga kompetitor lain baik secara langsung maupun tidak langsung yang turut mempengaruhi eksistensi Blitzmegaplex dalam industri layar lebar di Indonesia.
48
49
4.1.1.
Sejarah Industri Layar Lebar di Indonesia Bioskop pada masa Hindia Belanda disebut gambar idoep. Bangsa
Indonesia sudah dapat menyaksikan pertunjukan ini pada tanggal 5 Desember 1900, tepatnya 5 tahun sejak pertunjukan film pertama di Paris pada tahun 1895. Pada masa itu berlaku juga pemisahan tempat duduk berdasarkan kelas sosial , yaitu kelas 1 untuk warga asli Belanda, kelas 2 untuk warga Timur jauh (Tionghoa, Jepang, India, Arab tidak termasuk), kelas 3 warga campuran Indonesia-Belanda, dan kelas 4 warga pribumi. Pada tahun 1920, bioskop di Hindia Belanda belum diputar dalam gedung bioskop tetapi dalam bangunan rumah biasa dan peralatan pendukung seadanya. Baru pada tahun 1920-1936, gedung bioskop dibangun dengan memperhatikan struktur dan unsur-unsur lainnya didukung dengan peralatan yang lebih memenuhi standard kualitas. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Pada masa penjajahan jepang, segala kegiatan publik yang tidak mendukung propaganda Jepang sulit untuk dilakukan. Peredaran film-film di Indonesia diawasi ketat. Pada masa ini, pemerintah Jepang menetapkan standar harga karcis bioskop yang sangat mahal dan hanya bisa dijangkau oleh orangorang kaya. Harga karcis bioskop dari kelas terendah sekalipun setara dengan harga resmi 1 kg beras pembagian pemerintah yang ditetapkan 10 sen. Apalagi film-film yang dipertunjukkan adalah film propaganda yang sama sekali tidak mengandung nilai hiburan. Akhirnya jumlah bioskop di masa pendudukan Jepang merosot tajam. Jika pada tahun 1942 terdapat sekitar 300 gedung bioskop yang
50
tersebar di wilayah Indonesia, hanya dalam waktu 3 tahun yaitu tahun 1945, jumlah bioskop hanya tersisa 52 gedung , terdiri dari : 12 di Surabaya, 6 di Malang, 4 di Surakarta, 3 di Jogjakarta, 7 di Semarang, 7 di Bandung, dan 13 di Jakarta. Jumlah bioskop pada era Soekarno di Indonesia pada masa ini kurang begitu jelas karena data yang tidak lengkap. Wakil Menteri Perdagangan Indonesia Mr.Latief dalam suatu musyawarah OPS (Organisasi Pengusaha Sejenis) di tahun 1962 pernah menyatakan jumlah bioskop di Indonesia tahun 1960 berjumlah 890 dan menurun menjadi 800 pada tahun 1962. Sedangkan informasi lain yang bersumber dari data Konferensi Kerja OPS Bioskop Seluruh Indonesia tanggal 1718 April 1968 di Tawangmangu mencatat jumlah 350 bioskop pada tahun 1967 dan 450 bioskop pada tahun 1968. Di Indonesia awal Orde Baru dianggap sebagai masa yang menawarkan kemajuan perbioskopan, baik dalam jumlah produksi film nasional maupun bentuk dan sarana tempat pertunjukan. Kemajuan ini memuncak pada tahun 1990-an. Pada dasawarsa itu produksi film nasional 112 judul. Sementara sejak tahun 1987 bioskop dengan konsep sinepleks (gedung bioskop dengan lebih dari satu layar) semakin marak. Sinepleks tidak hanya menjamur di kota besar, tetapi juga menerobos kota kecamatan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang memberikan masa bebas pajak dengan cara mengembalikan pajak tontonan kepada "bioskop depan". Akibatnya, pada tahun 1990 bioskop di Indonesia mencapai
51
puncak kejayaan yaitu 3.048 layar. Sebelumnya, pada tahun 1987, di seluruh Indonesia terdapat 2.306 layar. Indonesia memasuki era millenium baru ditandai dengan pergerakan kembali produksi film nasional, antara lain didukung dengan teknologi digital yang kemudian ditransfer ke seleloid. Masa-masa ini menjadi era kebebasan berkreasi dalam perfilman, namun masa di mana industri perfilman tidak memiliki pijakan atau sebuah sistem yang mendukung. Bioskop-bioskop sudah banyak yang bangkrut, dari yang semula sekitar 4000 layar sekarang tinggal sekitar 400 layar. Hal ini diakibatkan oleh merosotnya produksi film lokal dan rendahnya minat masyarakat untuk menonton bioskop karena munculnya stasiun-stasiun televisi swasta. Produksi film Indonesia memang terus meningkat, namun fasilitas untuk penayangannya justru terasa tidak memadai. Pasar film Indonesia hanya di Jakarta dan beberapa kota besar, tanpa ada alternatif lain, kecuali pasar dalam bentuk penayangan di televisi dan peredaran untuk home intertainment (VCD/DVD) . Selain bioskop-bioskop terlanjur telah banyak yang bangkrut, di masa ini tidak ada lagi jaringan peredaran dan pemasaran seperti 1970-an, di mana ada PERFIN (Pusat Peredaran Film) yang mengatur masalah peredaran. Juga tidak seperti masa itu, di mana dengan banyak bioskop di berbagai daerah, memunculkan distributordistributor untuk sejumlah kawasan edar, sehingga film tidak hanya bertumpu pada jaringan bioskop tertentu.
52
TABEL 4.1 DAFTAR JUMLAH LAYAR BIOSKOP DARI 1936 -2008 Tahun
Jumlah Bioskop
Jumlah Layar
1936
227
227
1942
300
300
1945
52
52
1960
890
890
1962
800
800
1967
350
350
1968
450
450
1987
-
2.306
1990
2600
2.853
2002 264 2007 483 ‐ 2008 Source : dari berbagai sumber
4.1.2.
676 959 644
Latar Belakang Industri Layar Lebar di Indonesia
4.1.2.1.
Organisasi-Organisasi yang Terlibat Dalam Industri Layar Lebar di Indonesia Berbagai organisasi di bidang perfilman sejak masa sebelum Indonesia merdeka muncul dan menghilang atau berganti nama sesuai tuntutan jaman. Mereka memiliki berbagai kepentingan, baik kepentingan golongan atau anggotanya, maupun kepentingan kemajuan perfilman Indonesia. Beberapa organisasi yang telah memiliki sejarah cukup panjang antara lain :
53
a. Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) Dimulai dengan nama Dewan Film Indonesia (1956), kemudian disebut Dewan Film Nasional (1979). Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) berdiri di Jakarta pada tanggal 30 Maret 1992, bersamaan dengan mulai berlakunya Undang-Undang Perfilman Nomor 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman. Kehadiran BP2N diharapkan dapat berperan sebagai tangki pemikir dibidang perfilman nasional serta bersama Pemerintah melaksanakan pengembangan perfilman nasional sesuai amanat Undang-Undang. Berikut ini adalah visi misi BP2N seperti yang tercantum dalam situs resmi mereka : Visi : untuk menumbuhkan dan mengembangkan film nasional sebagai produk industri kebudayaan yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat dalam keanekaragaman nilai-nilai kebangsaan. Misi : menumbuhkan dan mengembangkan perfilman nasional sebagai industri yang mengandung nilai-nilai budaya; memberdayakan seluruh komponen perfilman nasional agar mampu menciptakan film nasional yang memberdayakan masyarakat pada umumnya dalam menciptakan pembangunan watak dan kepribadian bangsa; memantapkan dan mengembangkan
nilai-nilai
keragaman
budaya
bangsa
dan
mempromosikan nilai-nilai tersebut dalam percaturan internasional.
54
b. Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Nederlands Indische Bioscoopen Bond (NIBB) didirikan pada tahun 1936 untuk mengimbangi Indische Film dan Exploitasi Bioskop (PERFEXBI) di Yogyakarta, DJakarta Bioskop Bond (DBB) Jakarta, Lombok Bioskop Bond (LBB) Mataram, Palembang Bioskop Bond (PBB) Palembang dll. Pada tanggal 10 April 1955 didirikan Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (PPBSI) untuk menyatukan semua organisasi perbioskopan yang ada di segenap nusantara. Untuk mengindahkan Peraturan Pemerintah No. 19/tahun/1961, PPBSI berganti nama menjadi Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) Bioskop Swasta. Pada Musyawarah Besar tahun 1992 berganti menjadi Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia
(GPBSI), yang
akronimnya tetap GPBSI.
c. Festival Film Indonesia (FFI) Festival Film Indonesia (FFI) merupakan ajang penghargaan tertinggi bagi dunia perfilman di Indonesia. FFI pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955 dan berlanjut di tahun 1960 dan 1967 (dengan nama Pekan
Apresiasi
diselenggarakan
Film secara
Nasional), teratur
sebelum
pada
tahun
akhirnya
mulai
1973.
Mulai
penyelenggaraan tahun 1979, sistem Unggulan (Nominasi) mulai dipergunakan. FFI sempat terhenti pada tahun 1992, dan baru
55
diselenggarakan kembali tahun 2004. Pada perkembangannya, diberikan juga penghargaan Piala Vidia untuk film televisi. Pada tahun 1966 mulai diberikan Piala Citra kepada pemenang penghargaan. Dalam tradisi FFI, Citra kemudian dijadikan nama piala sebagai simbol supremasi prestasi tertinggi untuk bidang perfilman. Berikut ini adalah gambar beberapa desain Piala Citra :
GAMBAR 4.1. PIALA CITRA Source : wikipedia
4.1.2.2.
Undang-Undang Perfilman dan Distribusi Film di Indonesia Sebagai suatu negara hukum, perfilman di Indonesia terkait industri bioskop di dalamnya juga berlandaskan atas hukum yang telah diatur oleh pemerintah. Pada tahun 2009, RUU Perfilman yang mengatur berbagai hal tentang perfilman termasuk di dalamnya distribusi film, kuota film impor, kuota film lokal, maupun sensor film akhirnya diresmikan menjadi UU No.33 tahun 2009 tentang perfilman yang merupakan perbaikan dari UU no.8 tahun 1992 tentang pefilman. Meski demikian undang-undang perfilman yang baru ini pun menuai protes dari
56
kalangan masyarakat film dan dinilai bisa mengakibatkan menurunnya kualitas film produksi lokal. Menurut masyarakat film, banyaknya jumlah film dengan kualitas di bawah standar tersebut dapat menyebabkan penonton jenuh yang pada akhirnya akan meninggalkan bioskop sama seperti era tahun 1992 dan berujung pada matinya industri bioskop itu sendiri. Untuk mengatur regulasi kompetisi, selain ada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang difasilitasi pemerintah, ada juga organisasi independen seperti Monopoly Watch yang bermarkas di Amerika. Pada tahun 2003, Monopoly Watch pernah melaporkan 21 Cineplex ke KPPU dengan tuduhan praktik monopoli. Kasus ini akhirnya membuat beberapa komisaris memecah kepemilikan saham di beberapa perusahaan namun membebaskan 21 dari tuduhan monopoli. Berikutnya tahun 2009, giliran Blitzmegaplex yang melaporkan 21 Cineplex ke KPPU dengan tuduhan yang sama.
4.1.2.3. a.
Para Pemain Industri Layar Lebar di Indonesia Perusahaan-perusahaan Distributor Film •
PT Camila Internusa Film PT Camila Internusa adalah importir film-film Hollywood untuk Indonesia. Pada era orde baru, tata niaga impor film Mandarin dikuasai oleh Prananto (pengusaha kapal dari Semarang), yang
57
mengharuskan para importir film Mandarin yang sudah ada agar mengimpor film melalui perusahaannya dan membayar fee kepadanya. Kemudian, posisi Prananto ini digeser oleh kakak beradik Benny Suherman dan Bambang Sutrisno melalui perusahaannya PT Sejahtera Film (Perusahaan Importir Khusus Film Mandarin). Bersama Sudwikatmono, mereka bertiga memasang bendera baru dengan nama PT Suptan Film. Pada perkembangannya, para importir film tersebut, termasuk importir film non mandarin seperti film Amerika-Eropa dan India berasosiasi dengan nama Asosiasi Importir Film (AIF). Penyatuan ini berdampak besar bagi bisnis bioskop dan film nasional karena AIF membangun kekuatan besar dalam bisnis yang terintegrasi, yaitu impor film, distribusi film, dan bioskop. •
Jive Entertainment Jive entertainment adalah distributor film independent terdepan di Indonesia yang mempersembahkan berita-berita dan informasi kepada masyarakat umum tentang cerita-cerita paling menghibur dan paling original dari para pembuat film – pembuat film paling inovatif di dunia. Dalam websitenya, Jive menyajikan beritaberita, sinopsis, trailer maupun kuis tentang film yang sedang diputar oleh Blitzmegaplex.
58
b. Perusahaan-perusahaan Produser Film •
Miles Production Miles Production didirikan pada tahun 1996 oleh Mira Lesmana, seorang lulusan Institut Kesenian Jakarta yang juga putri musisi Indonesia Jack Lesmana. Perusahaan ini memproduksi film-film main-stream dengan kualitas cinematografi dan jalan cerita yang baik. Beberapa produknya sempat menjadi box office dan mempelopori kebangkitan film nasional di era Millenium ke-3. Film-film itu antara lain karya Riri Riza, seorang sutradara muda berbakat yang telah menelurkan karya seperti Petualangan Sherina (2000), Ada Apa dengan Cinta (2000) yang sukses menyedot lebih dari 1,6 juta penonton, Eliana-Eliana (2002), Rumah ke Tujuh (2003), Soe Hok Gie (2005), Laskar Pelangi (2009), 3 hari Untuk selamanya, dll. Meskipun Eliana-Eliana kurang mendapat sambutan di tanah air, namun film yang dibintangi Rachel Maryam ini sukses menyabet penghargaan untuk kategori Best Young Cinema dan Best Critics Cinema di ajang Festival Film Internasional Singapura pada April 2002 dan meraih predikat Special Mention untuk kategori penghargaan Dragons and Tigers for Young Cinemadi ajang Festival Film Internasional Vancouver di Kanada, Oktober 2002. Miles juga sempat memproduksi serial Anak Seribu Pulau sebuah program televisi sepanjang 14 episode
59
pada 1997. Selain itu Film Laskar Pelangi yang diadaptasi dari novel dengan judul sama, karya Andrea Hirata juga menjadi film fenomenal tahun 2009. •
Kalyana Shira Kalyana Shira Film adalah perusahaan film independen yang didirikan pada awal tahun 2000 di Jakarta, Indonesia. Afi Shamara dan Nia Dinata adalah pendiri perusahaan ini. Kalyana Shira Film memproduksi sebuah film epik semi kolosal berjudul Ca-bau-kan (The Courtesan), yang diangkat dari novel laris karya Remy Sylado. Film itu menjadi debut Kalyana dengan tim produksinya. Ca-bau-kan adalah film Indonesia pertama setelah masa reformasi yang
berpusar
pada
komunitas
Tionghoa
di
Indonesia.
Selanjutnya, Kalyana banyak meluncurkan film-film yang berhasil menyabet berbagai penghargaan baik di tingkat nasional maupun internasional. Beberapa diantarnya adalah “Biola Tak Berdawai” (atau The Stringless Violin) tahun 2003, “Arisan!” (atau The Gathering) tahun 2003, “Janji Joni” (atau Joni’s Promise) tahun 2005, “Berbagi Suami” (atau Love For Share atau Partage Ton Mari) tahun 2006. Kalyana juga telah memproduksi beberapa program TV programs. Program yang terakhir adalah “Ajang Ajeng”, sebuah reality show yang diproduksi untuk MTV pada 2004.
60
•
Multivision Plus PT Tripar Multivision Plus atau Multivision Plus adalah sebuah perusahaan produksi film Indonesia yang didirikan tahun 1990 di Jakarta setelah munculnya TVRI Jawa Barat. Multivision didirikan oleh Raam Punjabi. Raam mendirikan Multivision pada tahun 1990 di Jakarta. Produksi pertama Multivison adalah serial sinetron komedi Burung Camar, Seputih Merpati dan Mutiara Cinta yang diproduksi pada tahun 1991. Film layar lebar produksi Multivision antara lain Belahan Jiwa, Kuntilanak, Kawin Kontrak, dan sebagainya. Multivision Plus lebih berfokus memproduksi film-film komersial daripada film-film festival. Selain produser-produser lokal, beberapa produser film
Hollywood seperti Warner Brothers, 21th Century, Paramount, Disney, dan sebagainya juga menganggap Indonesia sebagai pasar yang sangat potensial berdasarkan jumlah penduduknya.
c.
Pengusaha Bioskop Selain 21 Cineplex dan Blitzmegaplex, industri layar lebar di Indonesia juga memiliki banyak pemain kecil yang jumlah bioskopnya hanya terletak di satu atau dua kota terutama kota seperti Jakarta atau Bandung. Selain itu juga tersebar bioskop-bioskop kecil yang dikelola
61
oleh pengusaha daerah terutama untuk kota-kota kecil baik di Jawa maupun di luar Jawa. Beberapa bioskop besar di Jakarta yang tidak termasuk dalam jaringan Cineplex 21 atau Blitzmegaplex antara lain :
•
PT Multiplex Media (MPX) PT Multiplex Media yang merupakan perusahaan pemilik Bioskop Multiplex Grande di Jakarta, termasuk salah satu perusahaan baru yang mengembangkan bisnisnya di bidang pemutaran film. MPX Grande Boutique Cinema didirikan pada tahun 2002 adalah sebuah bioskop dengan konsep boutique dan merupakan sebuah First Class Cinema dengan suasana serba cozy. Design teater yang artistik dan futuristik didukung oleh lobby yang luas dan nyaman MPX Grande menawarkan experience tersendiri dalam menikmati film-film
layar
lebar.
Berikut
ini
menampilkan kemewahan bioskop MPX :
adalah
gambar
yang
62
GAMBAR 4.2. INTERIOR MPX Sumber : http://www.mpx.co.id
Keunggulan MPX menurut manajemennya adalah : Vision (“wow” affect dari interior design), smell (aromatherapy), taste (food & drinks), sound (latar belakang musik dan sound system), dan touch (cinema seats). •
Surya M2 Bioskop yang didirikan dalam Mangga Dua Square, suatu kawasan pecinan di Jakarta dan memutar film-film Mandarin serta box office. Gambar di bawah ini merupakan iklan promosi yang menampilkan interior Surya M2 dengan desain minimalis modern yang nyaman :
63
GAMBAR 4.3 GAMBAR INTERIOR SURYA M2 TAHUN 2007 Sumber : http://agungsedayu.com Iklan di atas menyebutkan bahwa Surya M2 menghadirkan filmfilm Mandarin dan juga film-film Barat. Hal ini terkait dengan target market Surya M2 yang merupakan warga keturunan Tionghoa peranakan. Pemilihan lokasi Surya M2 juga berada di daerah pecinan di Jakarta yaitu Mangga Dua.
4.1.2.4.
Kondisi Pasar dalam Industri Layar Lebar di Indonesia
a. Pertumbuhan Pasar Indonesia mulai mengalami perkembangan stabilitas politik ke arah yang lebih baik sejak pemerintahan Abdurahman Wahid (Gusdur) pasca era reformasi. Kondisi ini menyebabkan perusahaan-perusahaan
64
yang gulung tikar mulai bangkit kembali dan beberapa investor asing berani menanamkan modal di Indonesia. Pada tabel di bawah ini terlihat bahwa industry revenue terus mengalami kenaikan sejak tahun 2004.
TABEL 4.2. STATISTIK KUNCI INDUSTRI LAYAR LEBAR DI INDONESIA Key Statistik
2003
2004
2005
2006
2007
Industry Revenue
107,942
104,367 131,689 158,085 169,151 Rp. Billion
Employment
109,600
101,200 85,700
81,000
85,400
Units
Exports
2,856
3,457
6,521
7,820
Rp.
6,481
Billion Imports
10,926
10,899
25,482
30,419
35,880
Rp. Billion
Total Wages
1,425
1,316
1,114
1,010
1,109
Rp. Billion
Domestic Demand
116,012
111,809 150,690 181, 983
197,211 Rp. Billion
Source: http://www.disb2b.com/front/industryreport.php?klui=K96212
Pada tahun 2004, Indonesia berada di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakil Presiden Jusuf Kalla. Meski terjadi penurunan jumlah tenaga kerja tetapi tidak diiringi dengan penurunan jumlah gaji yang signifikan. Permintaan domestik yang terus meningkat menyebabkan jumlah import naik hingga lebih dari dua kali lipat dan jumlah eksport naik hampir dua kali lipat pada tahun
65
2005. Berikut ini adalah tabel jumlah layar bioskop 21 Cineplex, Blitzmegaplex, dan bioskop di luar jaringan kedua perusahaan tersebut : TABEL 4.3. PERBANDINGAN JUMLAH LAYAR BIOSKOP PERIODE APRIL 2008 Jumlah Layar Bioskop
Persentase Luar Jakarta %
Jakarta
186
70%
293
77%
74 %
Blitzmegaplex 29
11%
9
2%
6%
Lainnya
49
19%
78
21%
20 %
TOTAL
264
100% 380
100%
100%
21 Cineplex
%
Source : dari berbagai sumber
Tabel di atas menunjukkan bahwa 21 Cineplex mendominasi pasar seluruh Indonesia hingga lebih dari 50% yaitu 74% dengan total 379 layar. Sedangkan di wilayah Jakarta, 21 Cineplex mendominasi pasar hingga 70% dengan jumlah 186 layar yang terdiri dari Cinema 21, Cinema XXI, dan The Premiere. Jumlah ini terpaut jauh dengan Blitzmegaplex yang memiliki persentase jumlah layar 6% di seluruh Indonesia dan 11% untuk wilayah Jakarta. Bioskop lain merupakan bioskop yang dikelola bukan oleh jaringan besar memiliki persentase jumlah layar 20% di seluruh Indonesia dan 19% di Jakarta.
66
b. Produk Pengganti Tidak terkendalinya penyebaran DVD/VCD bajakan di Indonesia menjadi salah satu pemicu matinya produksi film lokal pada pertengahan era 1990an. Hal ini disebabkan oleh tingginya harga tiket bioskop sehingga masyarakat lebih memilih menonton di rumah dengan budget murah meriah, apalagi kemajuan teknologi audio visual khususnya home entertainment semakin pesat dan dapat dijangkau sampai masyarakat kelas menengah. Karena perusahaan bioskop merasa kurang penonton, akhirnya mereka benar-benar menyeleksi film yang sekiranya mampu menghasilkan banyak pemasukan. Filmfilm lokal yang menurut mereka kurang menghasilkan tidak bisa ditayangkan dan hal ini memicu kelesuan produksi film nasional. Bioskop yang tidak mampu menutup biaya operasional terpaksa gulung tikar. Suatu survey yang dilakukan harian Kompas pada bulan Desember 20071
menyatakan bahwa 62% dari 1358 orang yang
disurvey lebih menyukai menonton film di rumah, sedangkan hanya 12,4% masih pergi ke bioskop dan 60% mengatakan mereka sudah tidak pergi ke bioskop lebih dari satu tahun. Selain Video Disc, yang termasuk home entertainment lainnya adalah permainan elektronik atau sering disebut game. Untuk memainkan game dibutuhkan perangkat seperti PC (Personal 1
Hermawan, Ary. 2008. “Distribution Seen as Main Obstacle to Film Industry Growth”, The Jakarta Post, 29 Maret 2008
67
Computer), konsol game (nintendo, Playstation, Xbox, NDS, PSP, Sega saturn, dsb). Selain game yang dimainkan secara perorangan, ada pula game online, yaitu game yang dimainkan dengan perangkat seperti PC atau konsol dengan dukungan koneksi internet. Game online ini memungkinkan pemain game (gamer) untuk memainkan game yang mereka sukai sambil berinteraksi dengan gamer lain lewat dunia cyber sehingga dapat juga berfungsi sebagai komunitas sosial. Kota besar yang memiliki fasilitas bioskop biasanya juga memiliki sarana hiburan lain seperti mall, restaurant, club, maupun tempat karaoke. Tempat-tempat hiburan ini juga menawarkan banyak alternatif yang dapat menjadi subtitusi bagi industri bioskop. Berikut ini adalah tabel harga barang subtitusi yang dapat memenuhi kebutuhan calon konsumer akan hiburan :
TABEL 4.4. DAFTAR HARGA BARANG SUBTITUSI PERIODE 2009 No. Jenis Barang
Range Harga
1
Portable TV
Rp. 700.000,00 – Rp. 2.000.000,00
2
TV 14” – 32”
Rp. 700.000,00 – Rp. 5.000.000,00
3
TV Plasma / LCD
4
Player (DVD/VCD/Blueray)
+ Rp. 500.000,00 –Rp. 3.000.000,00
5
Speaker Home Teater
+ Rp. 1.500.000,00 –Rp. 5.000.000,00
6
Sony Playstation 2
+ Rp. 1.300.000,00
7
Sony PSP
+ Rp. 2.300.000,00
8
Nintendi Wii
+ Rp. 2.800.000,00
> Rp. 5.000.000,‐
68 9
Nintendo DS
+ Rp. 1.500.000,00
10
Xbox 360
+ Rp. 4.200.000,00
11
DVD game (original)
+ Rp. 200.000,00 – Rp. 400.000,00
12
DVD game (bajakan)
+ Rp. 6.000,00
13
DVD film (original)
+ Rp. 100.000,00 – Rp. 200.000,00
14
DVD film (bajakan)
+ Rp. 5000,00 – Rp. 7000,00
15
1 set PC untuk gaming
+ Rp. 7.000.000,00
16
Tiket Masuk Club
+ Rp. 100.000,00 – Rp. 200.000,00
17
Restaurant kelas A
+ Rp. 50.000,00 – Rp. 500.000,00
18
Restaurant kelas B
+ Rp. 20.000,00 – Rp. 150.000,00
19
Karaoke
+ Rp. 90.000,‐ / jam
20
Langganan TV Berbayar
+ Rp. 200.000,‐ (harga paket standard)
21
Berlangganan Internet
+ Rp. 100.000,‐ s/d Rp. 1.000.000,‐ / bln
Source : dari berbagai sumber
Pada tabel harga produk pengganti di atas, terlihat bahwa biaya yang harus dikeluarkan konsumen relatif lebih rendah daripada biaya menonton bioskop sehingga target pasar akan memiliki lebih banyak pertimbangan untuk menonton bioskop atau tidak.
4.1.3.
21 Cineplex
4.1.3.1.
Sejarah Berdirinya 21 Cineplex Pada tahun 1980an sampai 1990an, industri bioskop di Indonesia mengalami perkembangan pesat ditandai dengan banyaknya jumlah bioskop yang mencapai lebih dari 2000 gedung. Pada masa ini jaringan bioskop 21 turut menyemarakkan industri bioskop Indonesia dan
69
memasuki pasar dengan konsep sinema kompleks (cineplex) yakni konsep gedung bioskop dengan beberapa layar. Apabila konsep bioskop sebelumnya satu gedung hanya memiliki satu layar dengan kapasitas tempat duduk yang banyak, bioskop 21 menawarkan jumlah layar dua atau lebih dengan kapasitas tempat duduk yang lebih sedikit untuk masing-masing layar. Kelebihan konsep ini adalah satu bioskop dapat memutar lebih dari satu film setiap harinya sehingga penonton mendapatkan lebih banyak pilihan. 21 Cineplex berada di bawah naungan PT Nusantara Sejahtera Raya dan lebih dikenal sebagai jaringan bioskop 21. PT Nusantera Sejahtera Raya tergabung dalam Subentra Grup yang didirikan oleh Benny Suherman bersama dua rekannya, Sudwikatmono dan Bambang Sutrisno. Pada masa awal berdiri, bioskop 21 menawarkan pengalaman menonton bioskop yang berbeda dibandingkan bioskop lainnya. Selain konsep cineplex yang menyajikan beberapa judul film sekaligus, 21 juga menawarkan fasilitas tempat duduk yang nyaman, ruangan yang dilengkapi dengan Air Conditioner (AC), sistem tata suara dolby atau THX, kualitas gambar yang jernih, serta suasana lobby yang bersih dan nyaman. Selain dukungan modal yang kuat, competitive advantage inilah yang membuat 21 berhasil merebut hati konsumer sehingga jaringan bioskop ini mampu bertahan menghadapi krisis yang melanda industri bioskop pada pertengahan tahun 1990an. Pada masa itu, televisi-televisi
70
swasta mulai bermunculan dengan berbagai program tontonan yang menarik, pembajakan film dengan media Video Disc (VCD) juga merebut perhatian penonton karena kini mereka dapat menyaksikan film di rumah dengan budget sekitar 5000 sampai 6000 rupiah per keping, jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga tiket bioskop yang berkisar antara 7.000 sampai 15.000 per orang. Kondisi ini menyebabkan banyak pengusaha bioskop terpaksa gulung tikar karena penjualan karcis tidak mampu menutupi biaya operasional sehari-hari sehingga pada tahun 2002 jumlah bioskop di Indonesia tinggal 264 gedung saja. Merosotnya jumlah bioskop di Indonesia ini secara otomatis membuat bioskop 21 menjadi pemimpin pasar dengan jumlah layar hampir 70% dari keseluruhan jumlah layar di Indonesia.
4.1.3.2.
Brand-Brand di Bawah Bendera 21 Cineplex Pada perkembangannya, industri film di Indonesia mengalami pasang naik sejak tahun 2002. Hal ini ditandai dengan kehadiran filmfilm karya sineas muda yang berkualitas dan berhasil meraih berbagai penghargaan. Minat penonton untuk menonton di bioskop kembali lagi, karena itu pada tahun 2004 bioskop 21 berinisiatif menghadirkan Cinema XXI dan The Premiere sebagai bioskop premium dengan harga tiket di atas rata-rata. Manajemen bioskop 21 merasa perlu mengadakan peningkatan performa agar tetap bisa memenangkan hati konsumen sama
71
seperti tahun-tahun sebelumnya, terlebih karena pada tahun 2006 Blitzmegaplex hadir sebagai penantang pasar dalam indutri layar lebar di Indonesia. Berikut ini adalah merk-merk (brand) yang berada di bawah jaringan 21 Cineplex : a. Cinema 21 Cinema 21 merupakan merk yang pertama kali digunakan oleh 21 Cineplex pada era tahun 1980an. Pada masa itu, manajemen melihat bahwa budaya Amerika sedang menjadi budaya pop di Indonesia sehingga logo yang digunakan oleh bioskop 21 didominasi oleh warna merah dan biru dengan motif bintang, sekilas logo ini menyerupai bendera Amerika. Manajemen berharap identitas korporat ini bisa merepresentasikan bioskop 21 sebagai bioskop yang modern dan upto-date.
GAMBAR 4.4. LOGO CINEMA 21 Sumber : wikipedia
Cinema 21 memiliki jaringan bioskop terbanyak yang tersebar di seluruh Nusantara. Di Jakarta Cinema 21 berjumlah 22 gedung dengan 88 layar, sebagian besar berada dalam gedung mall atau pusat perbelanjaan. Berikut ini adalah tabel data jumlah layar Cinema 21 di Jakarta :
72
TABEL 4.5. JUMLAH LAYAR CINEMA 21 DI JAKARTA PERIODE 2009 No.
Nama Bioskop
Jumlah Layar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
ARION 21 ATRIUM 21 BINTARO 21 BLOK M 21 BLOK M SQUARE 21 BUARAN 21 CIBUBUR 21 CIJANTUNG 21 CILANDAK 21 CITRA 21 DAAN MOGOT 21 GADING 21 GAJAH MADA 21 HOLLYWOOD KC 21 KALIBATA 21 LA PIAZZA 21 SEMANGGI 21 SETIABUDI 21 SLIPI JAYA 21 SUNTER TAMINI TIM
3 4 5 6 6 4 4 4 4 4 3 4 2 5 5 4 3 4 4 4 3 3
TOTAL 88
Source : http://www.21cineplex.com
Cinema 21 menyediakan jumlah layar yang berbeda-beda untuk setiap mall atau gedung bioskopnya tergantung dari luas lokasi, kerja sama dengan pihak mall, maupun potensi pasar. Jumlah layar Cinema 21 yang paling sedikit adalah 2 layar dan terbanyak adalah enam layar. Cinema 21 memberlakukan harga tiket bervariasi dan jenis film yang diputar sesuai dengan lokasi dan target yang dituju. Fasilitas lain yang
73
Cinema 21 tawarkan adalah tata suara Dolby Digital. Berikut ini adalah daftar harga tiket Cinema 21 di Jakarta periode 2009 : TABEL 4.6. DAFTAR HARGA TIKET BIOSKOP 21 DI JAKARTA PERIODE JUNI 2009 Nama Bioskop
Nomat (Senin‐ Kamis)
Jumat
HTM Sabtu‐Minggu / Hari Libur
ARION 21 ATRIUM 21 BINTARO 21 BLOK M 21 BLOK M SQUARE 21 BUARAN 21 CIBUBUR 21 CIJANTUNG 21 CILANDAK 21 CITRA 21 DAAN MOGOT 21
Rp. 15.000, Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 10.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 15.000,‐
Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 10.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 25.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 15.000,‐
Rp. 20.000,‐ Rp. 25.000,‐ Rp. 25.000,‐ Rp. 25.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 25.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 35.000,‐ Rp. 25.000,‐ Rp. 20.000,‐
GADING 21 GAJAH MADA 21 HOLLYWOOD KC 21 KALIBATA 21 LA PIAZZA 21 SEMANGGI 21 SETIABUDI 21 SLIPI JAYA 21 SUNTER 21 TAMINI 21 TIM 21
Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp 15.000,‐ Rp 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 10.000,‐
Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 15.000,‐
Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 25.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 25.000,‐ Rp. 25.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 15.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 15.000,‐
Source : http://www.21cineplex.com Cinema 21 berusaha memberikan harga tiket yang terjangkau bagi penonton bioskop dengan memberlakukan hari nonton hemat (nomat). Di beberapa Cinema 21, hari nomat jatuh pada hari Senin sampai kamis, dan di beberapa tempat yang lain jatuh pada hari Senin sampai Jumat. Pada hari nomat ini, Harga Tiket Masuk (HTM) lebih murah 25% - 75% daripada HTM pada akhir pekan. Dengan adanya hari
74
nonton hemat ini, bioskop 21 berharap minat masyarakat untuk menonton bioskop meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sebagai bioskop yang mengadopsi konsep cineplex, Cinema 21 juga dapat menayangkan beberapa judul film sekaligus dalam sehari. Berikut ini adalah contoh jadwal tayang Cinema 21 untuk enam judul film yang diputar sebanyak lima sampai enam kali sehari :
TABEL 4.7. JADWAL TAYANG STUDIO 21 PLANET HOLLYWOOD KARTIKA CHANDRA Studio
Show 1
Show 2
Show 3
Show 4
Show 5
Show 6
Judul 1
1
13:00
14:50
16:40
18:30
20:20
22:10
Judul 2
2
13:15
15:25
17:35
19:45
21:55
‐‐:‐‐
Judul 3
3
13:00
15:10
17:20
19:30
21:40
‐‐:‐‐
Judul 4
4
12:45
14:35
16:25
18:15
20:05
21:55
Judul 5
5
13:45
15:45
17:45
19:45
21:45
‐‐:‐‐
Source : http://www.21cineplex.com Cinema 21 menayangkan satu judul untuk satu studio per harinya dengan tujuan agar penonton memiliki lebih banyak pilihan waktu jika ingin menonton suatu film. Jam tayang film tersebut tergantung pada durasi film yang biasanya berkisar antara 90 sampai 120 menit.
b. Cinema XXI Setelah bertahun-tahun setia dengan merk Cinema 21 sebagai pemimpin pasar, akhirnya manajemen 21 Cineplex merasa bahwa budaya pop di Indonesia sudah banyak berubah. Bila logo 21 yang
75
digunakan pada tahun 1980an saat itu dapat mempresentasikan kesan modern, kini tidak lagi. Meski logo tersebut sudah memiliki brand share dan mind share yang kuat dalam benak konsumen, tapi di era milenium ini logo tersebut mulai terkesan retro. Dalam dunia desain modern awal abad ke 21, kesan modern dipresentasikan oleh desain yang minimalis. Melihat kondisi ini, maka lahirlah Cinema XXI sebagai bentuk peningkatan (upgrade) dari Cinema 21. Manajemen 21 Cineplex ingin menonjolkan kesan modern dan kelas atas ini melalui desain logo yang lebih elegan dengan perpaduan warna coklat emas dan huruf serif tegak, berbeda dengan desain Cinema 21 yang lebih colorful dan memberi kesan ramai ceria.
GAMBAR 4.5. LOGO CINEMA XXI Sumber : wikipedia Aplikasi identitas korporat ini juga dapat dilihat dari warna coklat hangat yang mendominasi interior Cinema XXI serta penataan interior yang minimalis, modern dan elegan. Untuk lebih memanjakan pelanggan, Cinema XXI juga menyediakan sofa yang lebih lebar dan nyaman dibandingkan Cinema 21, sistem tata suara Dolby dan THX, serta fasilitas-fasilitas penunjang lain seperti lounge. Berikut ini adalah contoh foto-foto interior Cinema XXI :
76
GAMBAR 4.6. INTERIOR STUDIO CINEMA XXI Sumber : skyscrapercity.com 21 Cineplex pertama kali mendirikan Cinema XXI di EX Plaza pada tahun 2004 dan memiliki sertifikat tata suara THX untuk semua studionya.
Tahun
berikutnya,
21
Cineplex
mulai
melakukan
perombakan pada beberapa Cinema 21 yang terletak dalam mall-mall kelas atas menjadi Cinema XXI seperti Anggrek XXI, Gading XXI, Plaza Senayan XXI, Pondok Indah XXI, dan sebagainya. Cinema XXI menetapkan HTM lebih mahal dibandingkan Cinema 21 dengan mempertimbangkan segala fasilitas yang disediakan sehingga harga yang dibayarkan oleh konsumen sebanding dengan kenyamanan yang akan didapatkan. Berikut ini adalah daftar harga tiket Cinema XXI di Jakarta periode 2009 :
77
TABEL 4.8. DAFTAR HARGA TIKET BIOSKOP 21 DI JAKARTA PERIODE JUNI 2009 Nama Bioskop
Nomat (Senin‐Kamis)
Jumat
ANGGREK XXI
Rp. 25.000,‐
ARTHA GADING XXI
Rp. 20.000,‐ Rp. 15.000,‐
DJAKARTA XXI
Rp. 15.000,‐
Rp. 20.000,‐
HTM Sabtu‐Minggu / Hari Libur Rp. 35.000,‐ Rp. 25.000,‐ Rp. 25.000,‐
EMPORIUM PLUIT XXI GADING XXI
Rp. 20.000,‐
Rp. 25.000,‐
Rp. 35.000,‐
Rp. 20.000,‐
Rp. 25.000,‐
Rp. 35.000,‐
Gading XXI ( 3D)
Rp 25.000,‐
Rp. 35.000,‐
Rp 50.000,‐
Rp. 20.000,‐ PEJATEN VILLAGE XXI Rp. 20.000,‐ PLATINUM XXI Rp. 15.000,‐
Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 20.000,‐
Rp. 25.000,‐
Rp. 25.000,‐
PLAZA INDONESIA Rp. 15.000,‐ XXI PLAZA INDONESIA Rp 25.000,‐ XXI 3D PLAZA SENAYAN XXI Rp. 25.000,‐
Rp. 25.000,‐
Rp. 35.000,‐
Rp. 35.000,‐
Rp. 50.000,‐
Rp. 35.000,‐
Rp. 50.000,‐
PLAZA SENAYAN XXI Rp. 35.000,‐ 3D PLUIT JUNCTION XXI Rp. 15.000,‐
Rp. 50.000,‐
Rp 70.000,‐
Rp. 20.000,‐
Rp. 25.000,‐
PLUIT VILLAGE XXI Rp. 15.000,‐
Rp. 20.000,‐
Rp. 30.000,‐
PONDOK INDAH XXI Rp. 25.000,‐
Rp. 35.000,‐
Rp. 50.000,‐
PONDOK INDAH XXI Rp. 35.000,‐ 3D PURI XXI Rp. 20.000,‐
Rp. 50.000,‐
Rp. 70.000,‐
Rp. 25.000,‐
Rp. 35.000,‐
PURI XXI (3D)
Rp. 25.000,‐
Rp. 35.000,‐
Rp 50.000,‐
SEASONS CITY XXI
Rp. 15.000,‐ Rp. 20.000,‐ Rp. 25.000,‐ Rp 25.000,‐ Rp 35.000,‐
Rp. 15.000,‐ Rp. 25.000,‐ Rp. 35.000,‐ Rp. 35.000,‐ Rp. 50.000,‐
Rp. 15.000,‐ Rp. 35.000,‐ Rp. 50.000,‐ Rp. 50.000,‐ Rp. 70.000,‐
METROPOLE XXI
SENAYAN CITY XXI 3D STUDIO XXI EX 3D
Source : http://www.21cineplex.com
Rp. 20.000,‐
Rp. 25.000,‐
78
Untuk mengikuti perkembangan dunia audio visual, kini Cinema XXI juga sering menghadirkan film-film 3D dengan teknologi 3D Dolby. HTM untuk film-film 3D ini lebih mahal daripada film-film biasa karena peralatan penunjang yang digunakan juga membutuhkan biaya cukup tinggi. Cineplex 21 juga berusaha menjangkau setiap spot yang memiliki pasar potensial sehingga masyarakat tidak perlu mengunjungi tempat yang jauh untuk mendapatkan kenyamanan menonton. Berikut ini adalah tabel data jumlah layar Cinema XXI di Jakarta : TABEL 4.9. JUMLAH LAYAR CINEMA 21 DI JAKARTA PERIODE 2009 No.
Nama Bioskop
Jumlah Layar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
ANGGREK XXI ARTHA GADING XXI DJAKARTA XXI EMPORIUM PLUIT XXI GADING XXI METROPOLE XXI PEJATEN VILLAGE XXI PLATINUM XXI PLAZA INDONESIA XXI PLAZA SENAYAN XXI PLUIT JUNCTION XXI PLUIT VILLAGE XXI PONDOK INDAH XXI PURI XXI SEASONS CITY XXI SENAYAN CITY XXI STUDIO XXI EX
4 5 2 4 8 7 6 4 5 8 5 5 3 7 4 4 4
TOTAL 85 Source : http://www.21cineplex.com
Untuk daerah Jakarta, dalam waktu lima tahun 21 Cineplex mampu membuka 17 bioskop Cinema XXI, baik yang merupakan renovasi ex-
79
Cinema 21 maupun gedung bioskop baru. Untuk masalah jam tayang, Cinema XXI tidak berbeda dengan Cinema 21 dan tetap menggunakan konsep satu studio untuk satu film dengan jumlah pemutaran sebanyak lima sampai enam kali. Berikut ini adalah contoh jadwal tayang Cinema XXI yang terletak di Plaza Senayan, Cinema XXI ini memiliki jumlah layar terbanyak selain Gading XXI yaitu delapan layar. TABEL 4.10. JADWAL TAYANG STUDIO XXI PLAZA SENAYAN Studio
Show 1
Show 2
Show 3
Show 4
Show 5
Show 6
Judul 1
1
11:45
13:35
15:25
17:15
19:05
20:55
Judul 2
2
12:45
14:35
16:25
18:15
20:05
21:55
Judul 3
3
12:30
14:40
16:50
19:00
21:10
‐‐:‐‐
Judul 4
4
13:00
15:10
17:20
19:30
21:40
‐‐:‐‐
Judul 5
5
12:15
14:25
16:35
18:45
20:55
‐‐:‐‐
Judul 6
6
12:30
14:40
16:50
19:00
21:10
‐‐:‐‐
Judul 7
7
12:00
13:50
15:40
17:30
19:20
21:10
Judul 8
8
12:15
14:30
16:45
19:00
21:15
‐‐:‐‐
Sumber : http://www.21cineplex.com
c. The Premiere Untuk penonton kelas premium, 21 Cineplex menawarkan suatu pengalaman lebih dalam menonton bioskop dengan kehadiran The Premiere. Manajemen 21 Cineplex ingin menonjolkan kesan eksklusif tersebut dengan visualisasi logo korporat berwarna coklat muda dengan jenis font script seperti di bawah ini :
80
GAMBAR 4.7. LOGO THE PREMIERE Sumber : wikipedia
The Premiere bisa dikatakan sebagai studio premium dari Cinema XXI karena keberadaannya tidak pernah berdiri sendiri dan selalu berada di dalam lokasi Cinema XXI. Berikut ini adalah tabel The Premiere di Jakarta : TABEL 4.11. JUMLAH LAYAR CINEMA 21 DI JAKARTA PERIODE 2009 No.
Nama Bioskop
Jumlah Layar
1 2 3 4 5 6
PREMIERE EMPORIUM PLUIT PREMIERE PLAZA SENAYAN PREMIERE PONDOK INDAH PREMIERE PURI PREMIERE SENAYAN CITY PREMIERE STUDIO
2 2 1 1 1 2
TOTAL 13
Source: http://www.21cineplex.com
HTM yang ditawarkan pun sama di semua lokasi The Premiere yaitu Rp. 50.000,- untuk hari nonton hemat (Senin-Kamis/Jumat) dan Rp.100.000,- untuk hari akhir pekan (Sabtu/Minggu). The Premiere menawarkan berbagai kemewahan seperti lobby khusus yang nyaman, kursi bioskop yang mewah lengkap dengan selimutnya serta kapasitas studio yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Cinema XXI sehingga penonton dapat merasakan atmosfer bioskop semi privat. 21
81
Cineplex juga berencana untuk memperbanyak jumlah studio The Premiere dengan membuka di luar kota. Bandung merupakan kota pertama yang menghadirkan The Premiere di luar Jakarta dan dibuka pada tanggal 1 Mei 2009 dalam lokasi Ciwalk XXI. Untuk jam tayang film juga tidak berbeda dengan merk 21 Cineplex lainnya, The Premiere tetap menerapkan konsep satu studio untuk satu film dengan jumlah pemutaran lima sampai enam kali sehari tergantung durasi film yang bersangkutan. Berikut ini merupakan contoh jadwal tayang The Premiere : TABEL 4.12. JADWAL TAYANG STUDIO PREMIERE PLAZA INDONESIA Studio
Show 1
Show 2
Show 3
Show 4
Show 5
Show 6
Judul 1
1
12:30
14:20
16:10
18:00
19:50
21:40
Judul 2
2
13:00
15:10
17:20
19:30
21:40
‐‐:‐‐
Source : http://www.21cineplex.com
4.1.3.3.
Kasus Monopoli di Tahun 2003 Pada tahun 2003, Monopoly
Watch, suatu
organisasi
independen pemantau kegiatan monopoli melaporkan 21 Cineplex ke KPPU dengan tuduhan kasus monopoli terkait jaringan distribusi film impor2. Ketua Komite Eksekutif Monopoly Watch Samuel Nitisaputra menyatakan bahwa akibat pengusaan jalur impor dan distribusi film asing oleh jaringan 21, bioskop kelas dua dan industri film dalam negeri 2
Hdajat, Bagja. 2003, “Cineplex 21 Dipastikan Langgar UU Anti-Monopoli”, Tempointeraktif.com, Selasa 18 maret 2003
82
semakin terpuruk. Menurutnya, selama ini bioskop kelas dua itu harus menunggu selesainya suatu film impor diputar di seluruh bioskop jaringan 21. Monopoly Watch menuduh bahwa kurang menariknya filmfilm yang diputar di bioskop non-21 disebabkan oleh sistem distribusi film Hollywood yang dipegang Subentra group. Ia juga menuduh bahwa Harga karcis sering diputuskan sepihak oleh 21 Cineplex tanpa melibatkan konsumen. Monopoly Watch menyatakan Subentra Group melanggar Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ia berharap jika gugatannya dimenangkan KPPU, Subentra tak lagi menguasai pasar film di dalam negeri dengan memecah kepemilikan perusahaan atau minimal untuk disribusi film tidak dipegang oleh anak perusahaan Subentra. Subentra merupakan induk dari PT Nusantara Sejahtera Raya, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Camila Internusa sebagai distributor film. Monopoly Watch berharap KPPU menjatuhkan sanksi pidana bagi Subentra dengan menjatuhkan hukuman penjara bagi komisaris dan direksi serta mendenda jaringan bioskop 21 dan mencabut izin usaha cineplex jika lembaga itu menemukan pelanggaran Undang-Undang Antimonopoli. Setelah menjalani sejumlah proses pemeriksaan, pada tahun 2003, KPPU tidak menemukan bukti adanya pelanggaran terhadap
83
distribusi dan penayangan film-film impor yang dilakukan oleh Subentra Group. KPPU hanya menemukan PT Nusantera Sejahtera Raya memiliki saham mayoritas di beberapa perusahaan yang bergerak dibidang perbioskopan yaitu PT. Intra Mandiri dan PT. Wedu Mitra di pasar yang sama yaitu di Surabaya. Bioskop-bioskop yang dimiliki oleh kedua perusahaan tersebut menguasai lebih dari 50% pangsa pasar. KPPU akhirnya meminta NSR mengurangi kepemilikan saham di kedua perusahan tersebut.
4.1.4.
Blitzmegaplex
4.1.4.1.
Sejarah Perusahaan dan Company Profile Blitzmegaplex adalah pendatang baru dalam bisnis layar lebar Indonesia. Ide berdirinya berasal dari dua anak muda, Ananda Siregar dan David Hilman, yang ingin meniru konsep sineplex di negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, maupun Singapura yang sudah hadir dengan 15 hingga 25 layar, bukan sekedar 6 layar seperti milik jaringan 21. Ananda adalah putra Arifin Siregar, gubernur Bank Indonesia pada masa Soeharto. Ide mereka terwujud setelah Quvat Management Pte. Ltd., perusahaan investasi yang dijalankan oleh sejumlah bekas pegawai Farallon Capital Management LLC, tertarik pada ide Ananda dan bersedia memodalinya dengan mengucurkan dana tak kurang dari Rp. 250 miliar.
84
Ananda sebelumnya pernah bekerja sebagai eksekutif di Farindo Investment Ltd., yang 90% sahamnya dimiliki oleh Grup Djarum. Sebelum
mendirikan
Blitzmegaplex,
Ananda
Siregar
mengadakan survey selama 2 tahun tentang kebiasaan dan pola menonton movigoers di Jakarta terutama di mall-mall kelas atas. Ia juga melakukan magang di Golden Screen Malaysia selama 6 bulan dan belajar banyak mengenai operasional bioskop, mulai dari memasang film, memutar proyektor sampai mengolah popcorn untuk pelanggan. Pada 16 Oktober 2006, Blitzmegaplex pertama resmi dibuka di Paris Van Java Bandung. Bandung dipilih sebagai kota pertama didirikannya Blitzmegaplex karena kota tersebut merupakan kota pelajar. Blitzmegaplex memilih target market anak muda karena gaya hidup mereka yang suka mencoba hal-hal baru. Di Bandung, Blitz hadir dengan pilihan film-film yang tidak diputar oleh jaringan 21 seperti film-film independen dari Eropa dan Asia. Film-film itu ternyata banyak peminatnya.
Sukses
di
Bandung
ini
diikuti
oleh
kesuksesan
Blitzmegaplex Grand Indonesia Jakarta pada tanggal 21 Maret 2007 yang juga merupakan produk terbaik karena paling besar dan paling lengkap. Selanjutnya Blitzmegaplex berturut-turut membuka bioskop di Pasific Place dan Mall of Indonesia. Kehadiran Blitzmegaplex ini berhasil merebut pangsa pasar dari bioskop kompetitor di sekitarnya sampai sekitar 50%.
85
Wendy Soeweno sebagai direktur pemasaran Blizmegaplex menyatakan bahwa visinya adalah menjadikan perusahaan sebagai “the ultimate one-stop-entertainment” di Indonesia yang menyediakan pelayanan terbaik dan juga film-film berkualitas. Beberapa divisi yang mengatur operasional Blitzmegaplex antara lain divisi project building, purchasing, programming, business development, IT, dan Finance. Sedangkan yang menjabat sebagai CEO adalah Brata Permana, didampingi oleh Ario Adi Cahyono sebaai CFO, dan Herman Cahyadi sebagai COO.
4.1.4.2.
Unit Bisnis Blitzmegaplex
a. Core Product Sebagai perusahaan bioskop, pendapatan utama Blitzmegaplex berasal dari penjualan tiket film yang harganya berbeda-beda untuk setiap daerah di mana Blitzmegaplex tersebut berada. Hal ini menurut CRM manager blitzmegaplex adalah sebagai upaya penyesuaian terhadap daya beli masyarakat di daerah tersebut. Blitzmegaplex dalam auditoriumnya menerapkan standard harga tiket yang berbeda berdasarkan kelas-kelas yang terdiri dari : •
Reguler Class Reguler class merupakan produk Blitzmegaplex yang paling standard, yaitu tiket film untuk kursi reguler pada auditorium
86
dengan fasilitas standar dengan kapasitas tempat duduk terbanyak yaitu sekitar 200 kursi. Berikut ini adalah gambar interior kelas reguler Blitzmegaplex :
GAMBAR 4.8. REGULER CLASS BLITZMEGAPLEX Sumber : www.blitzmegaplex.com •
Satin class Satin Class merupakan produk yang levelnya berada di atas reguler class. Produk ini saat ini hanya tersedia di Grand Indonesia Jakarta Pusat. Deretan kursi satin class ini terletak di atas podium dengan bentuk kursi yang lebih nyaman, meja kecil, serta ruang kaki yang lebih luas. Kapasitasnya terdiri dari masing-masing 64 reclining seats untuk 2 satin class lounge di auditorium 1A dan auditorium 2A Blitzmegaplex Grand Indonesia. Dewasa ini, bioskop-bioskop di Indonesia sudah tidak lagi
menerapkan
sistem
kelas
tempat
duduk
dalam
87
auditoriumnya karena terpengaruh oleh konsep cineplex yang dibawa oleh 21 Cineplex. Setelah sekian lama penonton bioskop Indonesia
terbiasa
dengan
konsep
21
Cineplex,
kini
Blitzmegaplex kembali menawarkan konsep kelas tempat duduk seperti bioskop di masa lalu atau seperti konsep opera di mana terdapat kelas reguler maupun VIP. Berikut ini adalah gambar interior Satin Class yang berada dalam satu auditorium yang sama dengan kelas reguler di Grand Indonesia, hanya saja peletakannya berada di podium :
GAMBAR 4.9. SATIN CLASS BLITZMEGAPLEX Sumber : www.blitzmegaplex.com •
Velvet room Velvet Room
menawarkan kenyamanan dalam
auditorium
khusus dengan sofa bednya. Para moviegoers dapat menyaksikan film dengan kenyamanan ekstra sambil tiduran dilengkapi bantal
88
empuk dan selimut hangat. Blitzmegaplex juga menyediakan sandal tidur yang dapat digunakan jika ingin ke toilet. Jika memerlukan bantuan, penonton dapat memanggil petugas hanya dengan menekan tombol yang terdapat di setiap sofa bed. Produk ini tersedia di Pasific Place Mall dan Mall of Indonesia. Kapasitasnya terdiri dari 21 sofa bed untuk 42 orang di Mall Of Indonesia dan 17 sofa bed untuk 34 orang di Pasific Place Mall. Berikut ini adalah gambar interior Velvet Room yang nyaman :
GAMBAR 4.10. VELVET ROOM BLITZMEGAPLEX Sumber : www.blitzmegaplex.com •
Dining cinema Blitzmegaplex membuka dining cinema sebagai produk inovasi pada tanggal 5 November 2008 di Mall of Indonesia. Konsep Dining Cinema memadukan antara kenikmatan menonton film seru dan kenikmatan sajian istimewa dalam auditorium khusus yang nyaman dan elegan berkapasitas terbatas. Suasana
89
auditorium dining cinema ini mirip seperti velvet class, hanya saja kursinya bukan sofe bed melainkan sofa biasa yang dilengkapi dengan meja makan. Kapasitasnya terdiri dari 32 reclining seats di Mall Of Indonesia. Berikut ini adalah gambar interior Dining Cinema :
GAMBAR 4.11. DINING CINEMA BLITZMEGAPLEX Sumber : www.blitmegaplex.com •
3D Cinema Sebagai upaya mengikuti perkembangan teknologi audio video di
dunia,
Blitzmegaplex
memanjakan
penonton
dengan
pemutaran film-film 3D yang didukung teknologi RealD. Blitzmegaplex pertama kali menghadirkan 3D Cinema ini di Grand Indonesia pada April 2009. Blitzmegaplex sengaja menyediakan auditorium khusus untuk memutar film-film 3D untuk memaksimalkan kemampuan teknologi RealD yang
90
digunakan. Hal ini berbeda dengan kompetitor utamanya, Cinema XXI yang memutar film 3D di studio reguler. Untuk menonton film 3D ini, penonton akan dipinjami sebuah kacamata khusus sehingga gambar yang ditampilkan dapat terlihat lebih berdimensi. Auditorium khusus dengan silver screen yang digunakan untuk mendukung teknologi RealD dapat juga digunakan untuk menampilkan film-film non 3D sehingga gambar yang dihasilkan menjadi lebih baik, hal ini menyebabkan Blitzmegaplex tak jarang juga memutar film-film biasa (non 3D) pada auditorium yang biasa digunakan untuk memutar film 3D. Harga tiket untuk film 3D ini bervariasi untuk tiap bioskop Blitzmegaplex dan dapat dilihat pada daftar harga di bab selanjutnya. Berikut ini adalah tabel data jumlah layar dan kursi Blitzmegaplex di 4 lokasi bioskop : TABEL 4.13. JUMLAH KURSI BLITZMEGAPLEX SECARA KESELURUHAN PER JUNI 2009 Nama Bioskop
Reguler Satin Class Class
Blitzmegaplex PVJ Bandung Blitzmegaplex Grand Indonesia Blitzmegaplex Pasific Place Blitzmegaplex Mall of Indonesia
1986 2565
Velvet Dining 3D TOTAL Class Cinema Cinema
128
831
34
1578
21
32
263
2249
283
2976
203
1068
238
1869
91
TOTAL 6960
128
55
32
987
8162
Source : http://blitzmegaplex.com
TABEL 4.14. JUMLAH LAYAR BLITZMEGAPLEX SECARA KESELURUHAN PER JUNI 2009 Nama Bioskop
Reguler Satin Class Class
Velvet Dining 3D TOTAL Class Cinema Cinema
Blitzmegaplex PVJ Bandung Blitzmegaplex Grand Indonesia Blitzmegaplex Pasific Place Blitzmegaplex Mall of Indonesia
8
1
9
10
1
11
1
8
5
2
7
1
1
1
10
3
1
4
38
TOTAL 30 Source : http://blitzmegaplex.com
Perbandingan jumlah layar Blitzmegaplex terhadap kompetitor yang berdekatan yaitu Cinema XXI dan The Premiere adalah sebagai berikut : •
Blitzmegaplex Grand Indonesia dengan 11 layar berkompetisi dengan XXI EX (4 layar reguler), The Premiere EX (2 layar), XXI Plaza Indonesia (5 layar), dan Djakarta Teater XXI (2 layar)
•
Blitzmegaplex Pasific Place dengan 8 layar berkompetisi dengan XXI Plaza Senayan (8 layar), The Premiere Plaza Senayan (2 layar), XXI Senayan City (4 layar), The Premiere Senayan City (1 layar), dan XXI Platinum FX (4 layar)
92
•
Blitzmegaplex Mall of Indonesia dengan 10 layar berkompetisi dengan XXI Artha Gading (5 layar), dan Gading XXI (8 layar), jumlah layar 21 Cineplex di kawasan ini belum termasuk bioskop Cinema 21 seperti La Piazza 21 dan Gading 21.
•
Blitzmegaplex Paris Van Java Bandung dengan 9 layar berkompetisi dengan XXI Ciwalk Bandung (8 layar) dan The Premiere Ciwalk (3 layar).
Selain tiket untuk kelas tempat duduk, Blitzmegaplex juga menjual tiket berdasarkan jenis film yang diputar, misalnya penjualan tiket untuk film-film India, film-film festival, dan film-film independent (indie).
b. Side Product Selain menjual tiket menonton, Blitzmegaplex juga melengkapi berbagai fasilitas penunjang yang disebut unit bisnis. Produk samping Blitzmegaplex tersebut tediri dari : •
Blitzshoppe yaitu fasilitas penjualan merchandise film.
•
BlitzgameSphere yaitu tempat bermain game dengan berbagai console seperti PS3 dan Xbox khusus pemegang Blitzcard.
•
Blitzcafe yang menyediakan aneka pilihan menu beverage.
•
Blitzbeat yaitu sarana untuk melakukan download musik.
93
•
Billyard dan karaoke yaitu fasilitas hiburan selain menonton yang dapat dinikmati oleh customer Blitzmegaplex.
•
Selain itu Blitzmegaplex juga menyediakan pelayanan yang lebih profesional untuk keperluan bisnis atau promosi seperti Auditorium rent, movie screening booking, screen ad / branding packages, cafe booking, hall booking.
4.1.4.3.
Keunikan Blitzmegaplex Sebagai perusahaan bioskop dengan konsep one stop entertainment, Blitzmegaplex tidak hanya menawarkan serunya nonton film tetapi juga menawarkan pengalaman lebih daripada sekedar nonton film. Untuk itulah Blitzmegaplex memiliki jargon “Beyond Movies”. Keunikan ini merupakan daya tarik bagi konsumen dibanding kompetitornya. Selama ini pengunjung datang ke bioskop hanya untuk menonton film. Kebiasaan nonton di gedung bioskop inipun selalu sama dari waktu ke waktu, penonton datang, mengantri dan membeli tiket di loket, duduk di kursi sesuai nomor tiket, menonton film, lalu pulang atau ke tempat hiburan lainnya. Pernahkan mereka berpikir untuk menonton film sambil menyantap makan siang atau bahkan sambil tiduran di balik selimut dan bantal ? Blitzmegaplex hadir dengan berbagai pengalaman menonton film yang berbeda dan belum pernah dibayangkan sebagain
94
besar penonton pada umumnya. Keunikan-keunikan Blitzmegaplex tersebut antara lain : a. Blitzcard Blitzcard adalah nama untuk kartu pra-bayar Blitzmegaplex. Fasilitas blitzcard ini memungkinkan pelanggan untuk memesan tiket melalui internet sekaligus memilih tempat duduknya. Blitzcard juga dapat digunakan untuk menikmati suguhan hiburan lainnya seperti gamesphere dan karaoke. Blitzcard ini dapat di top-up melalui rekening beberapa bank yang bekerja sama dengan Blitzmegaplex dan saldonya akan dikurangi saat pelanggan menggunakan fasilitasfasilitas
Blitzmegaplex.
Pelanggan
pengguna
blitzcard
juga
mendapatkan berbagai penawaran menarik seperti diskon, voucher, tiket gratis dan sebagainya. Keunikan ini menawarkan alternatif lain selain pembelian tiket langsung di loket sehingga pelanggan tidak perlu mengantri berjam-jam sebelum film dimulai untuk mendapatkan tempat duduk favorit.
b. Velvet Room Velvet Room adalah konsep menonton bioskop serasa di rumah sendiri. Blitzmegaplex menyediakan sofa bed untuk 2 orang yang dapat digunakan untuk tiduran. Disediakan juga bantal dan selimut untuk menambah kenyamanan. Fasilitas ini ada di Pasific Place mall
95
dan MOI. Keunikan ini merupakan inovasi Blitzmegaplex atas komitmennya untuk menawarkan pengalaman lain dalam menonton bioskop. Kebiasaan menonton sambil tiduran di rumah kini dapat dinikmati dalam gedung bioskop dengan layar besar dan sistem tata suara yang memuaskan.
c. Dining Cinema Dining Cinema adalah suatu konsep yang diciptakan manajemen Blitzmegaplex untuk memanjakan penonton yang ingin menikmati makan siang atau makan malam sambil nonton film dalam auditorium berkapasitas kecil dan tempat duduk yang nyaman. Dining Cinema menawarkan menu Korea dan menu barat. Harga tike plus menu Korea dibundel seharga Rp. 80.000,- sedangkan harga tiket pluse menu barat dibundel seharga Rp. 60.000,-. Masing-masing menu terdiri dari 6-7 item. Dalam sehari auditorium dining cinema ini hanya memutar 1 jenis film untuk 2x waktu pertunjukan, yaitu pada pukul 12.30 WIB untuk jam makan siang (lunch) dan pukul 19.00 WIB untuk jam makan malam (dinner). Blitzmegaplex berencana akan menambah jumlah menu ke depannya. Saat ini fasilitas dining cinema hanya tersedia di Blitzmegaplex Mall of Indonesia. Keunikan ini merupakan inovasi lain dari Blitzmegaplex yang menawarkan pengalaman nonton serasa di restoran yang belum pernah ditawarkan oleh kompetitor mana pun.
96
4.1.5. Masuknya Blitzmegaplex Dalam Industri Bioskop Indonesia Sebelum masuk ke pasar, para pendiri Blitzmegaplex telah mengadakan
survey di beberapa
lokasi seperti Jakarta dan
Bandung.
Blitzmegaplex menyadari bahwa kompetitor memiliki sumber daya yang kuat dan tidak mudah untuk memenangkan persaingan. Penghalang inilah yang dirasa cukup kokoh karena kondisi industri bioskop di Indonesia telah lama dikuasai oleh satu pemain. Meski demikian, pihak manajemen merasa bahwa potensi pasar yang masih sangat besar sayang bila dilewatkan begitu saja. Untuk itu Blitzmegaplex mencoba memasuki industri sebagai penantang pasar dengan modal yang kuat, membidik segmen kelas atas, dan menawarkan berbagai alternatif untuk memanjakan pelanggan yang tidak mudah diikuti oleh kompetitor utama. Blitzmegaplex berusaha menemukan kelemahan kompetitor dan menjadikan kelemahan kompetitor tersebut sebagai daya saing dalam memasuki pasar, Subbab berikut ini menjelaskan sepak terjang Blitzmegaplex dalam memasuki industri bioskop Indonesia dan menjadi penantang bagi pemimpin pasar.
4.1.5.1.
Teknologi Blitzmegaplex mengunggulkan teknologi RealD khusus untuk
pemutaran film-film berformat 3 dimensi. Teknologi ini merupakan teknologi pemutar 3D dengan pangsa pasar mencapai 90% di Eropa dan Amerika untuk pemutaran film-film 3D. Penerapan teknologi lainnya ada pada pemanfaatan Blitzcard. Dalam hal ini, Blitzmegaplex mengajak pelanggan untuk menjadi
97
praktis dengan menggunakan internet tanpa perlu mengantri tiket. Blitzcard dapat juga
digunakan
untuk
menikmati
tawaran-tawaran
promosi
dari
pihak
Blitzmegaplex yang bekerja sama dengan tenant lain.
4.1.5.2.
Produk Blitzmegaplex menawarkan beberapa alternatif selain kursi reguler
pada auditoriumnya, antara lain satin class, velvet room, dan dining cinema. Beberapa alternatif ini menawarkan pengalaman menonton yang berbeda dari biasanya, penonton tidak hanya bisa melihat film dengan duduk manis di kursi dengan ruang kaki sempit misalnya, tetapi juga bisa menikmati film di sofa sambil meluruskan kaki, sambil tiduran dengan bantal dan selimut, atau sambil menikmati makan siang dan makan malam. Bila pelanggan memasuki area Blitzmegaplex, selain auditorium film, loket karcis maupun penjual cemilan, pelanggan juga bisa menemukan beberapa alternatif hiburan lainnya seperti tempat karaoke, tempat billyard, tempat main game, cafe maupun tempat khusus merokok.
4.1.5.3.
Harga Dalam menetapkan harga tiket di suatu lokasi, manajemen
Blitzmegaplex melakukan survey terhadap daya beli masyarakat sekitar dan harga tiket yang dipatok oleh kompetitor yang letaknya berdekatan. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan harga tiket Blitzmegaplex berdasarkan tempat, kelas dan hari.
98
TABEL 4.15. DATA HARGA TIKET MASUK (HTM) BLITZMEGAPLEX Lokasi
Kelas
Monday
Tue ‐ Thu
Grand Indonesia, Jakarta
Reguler
Rp. 25.000,00
Rp. 30,000,00
Satin Lounge 3D Hindi Movie Reguler
Rp. 80.000,00
Pasific Place, Jakarta
Weekends / Public holiday Rp. 50,000,00
Rp. 50.000,00 Rp. 50.000,00
Rp. 100.000,00 Rp. 70.000,00
Rp. 30.000,00
Rp. 55.000,00
3D Rp. 50.000,00 Velvet Class Rp. 250.000,00 / bed
Rp. 100.000,00
Mall Of Indonesia, Kelapa Gading Jakarta
Reguler / Dining Cinema
Rp. 35.000,00
3D Rp. 35.000,00 Velvet Class Rp. 200.000,00 / bed
Rp. 70.000,00
Hindi Movie 3D Reguler
Rp. 35.000,00
Rp. 50.000,00
Rp. 35.000,00 Rp. 17.000,00
3D
Rp. 30.000,00
Rp. 70.000,00 Friday: Rp. 22.000,00 Sat‐Sun/Public Holidays : Rp. 27.000,00 Friday: Rp. 45.000,00 Sat‐Sun/Public Holidays : Rp. 60.000,00
Paris Van Java Bandung
Rp. 20.000,00
Source : http://blitzmegaplex.com
4.1.5.4.
Jam Tayang Blitzmegaplex dapat memutar lebih dari satu film pada sebuah
auditorium. Hal ini berbeda dari Cinema XXI yang hanya memutar 1 film untuk 1
99
auditorium. Di bawah ini adalah contoh tabel jadwal tayang di Blitzmegaplex Grand Indonesia yang memiliki jumlah auditorium terbanyak dibandingkan Blitzmegaplex yang lain dan dapat digunakan sebagai data pembanding jadwal tayang pada tahun 2009. TABEL 4.16. JADWAL TAYANG BLITZMEGAPLEX GRAND INDONESIA Auditorium
Judul Film
Jadwal Tayang
Audi 1
The A
Audi 2
The B
Audi 3
The C
Audi 3
The D
Audi 3
The E
Audi 4
The F
Audi 5
The G
Audi 6
The H
Audi 6 Audi 7
The I The J
12:00 14:30 17:00 19:30 22:00 12:45 15:00 17:15 19:30 21:45 12:15 20:00 14:05 18:10 15:55 21:50 12:30 14:45 17:00 19:15 21:30 12:00 14:15 16:30 18:45 21:00 12:00 14:00 18:00 20:00 16:00 12:45 14:30 19:15 21:30
100
Audi 7
The K
Audi 8
The L
Audi 9
The M
Audi 10
The N
Audi 11
The O
16:45 22:00 11:55 14:20 16:45 19:10 21:35 12:00 15:10 18:20 21:30 12:45 15:00 17:15 19:30 21:45 12:30 15:30 18:30 21:30
Source : http://blitzmegaplex.com
Manajemen Blitzmegaplex menerapkan konsep pemutaran film seperti di atas agar rotasi film di antara bioskop-bioskopnya lebih lama sehingga pelanggan yang sibuk dapat memiliki lebih banyak waktu untuk menyaksikan film yang ditunggu-tunggu.
4.1.5.5.
Desain Interior Blitzmegaplex menerapkan desain interior yang berbeda untuk setiap
bioskopnya disesuaikan dengan target pasar di daerah tersebut. Blitzmegaplex yang pertama di Bandung membidik sasaran anak muda sehingga interiornya didesain lebih modis, minimalis dan hangat. Berikut ini adalah gambar desain interior Blitzmegaplex Paris Van Java Bandung :
101
GAMBAR 4.12. INTERIOR BLITZMEGAPLEX PARIS VAN JAVA Sumber : www.blitzmegaplex.com
Blitzmegaplex Grand Indonesia bernuansa minimalis merah dan putih agar memberi kesan modern karena target pasarnya adalah karyawan muda (young adult - adult). Berikut ini adalah gambar interior lobby Blitzmegaplex Grand Indonesia.
GAMBAR 4.13. INTERIOR BLITZMEGAPLEX GRAND INDONESIA Sumber : www.blitzmegaplex.com
102
Sedangkan untuk Blitzmegaplex Pasific Place didominasi warna coklat untuk memberikan kesan elegan dan hangat. Hal ini karena mall Pasific Place sendiri membidik kalangan eksekutif kelas menengah atas di usia yang lebih dewasa (late adult) dibanding Grand Indonesia.
GAMBAR 4.14. INTERIOR BLITZMEGAPLEX PASIFIC PLACE Sumber : www.blitzmegaplex.com Blitzmegaplex Mall of Indonesia (MOI) bernuansa merah oriental karena pengunjung mall di sana kebanyakan beretnis Indonesia keturunan Tionghoa.
GAMBAR 4.15. INTERIOR BLITZMEGAPLEX MALL OF INDONESIA Sumber : www.blitzmegaplex.com
103
Manajemen Blitzmegaplex berharap dengan penerapan konsep desain interior yang berbeda-beda ini, pelanggan dapat merasakan atmosfer yang berbeda bila datang di setiap bioskop Blitzmeagplex sehingga tidak mengalami kebosanan dengan desain yang monoton seperti kompetitor.
4.1.5.5.
Pengelolaan SDM Blitzmegaplex mengutamakan karyawan muda sebagai eksekutif di
lapangan, mereka ini disebut kru (crew). Rata-rata usia karyawan Blitzmegaplex sekitar 18 – 25 tahun, kebanyakan terdiri dari lulusan SMU atau mahasiswa yang bekerja sambilan. Para kru lapangan ini dilatih untuk selalu bersikap ramah terhadap pelanggan dan tanggap akan hal-hal yang dibutuhkan pelanggan.
4.1.5.6.
Pertumbuhan Pangsa Pasar Pertumbuhan pasar Blitzmegaplex yang paling bagus adalah PVJ
Bandung, hal ini disebabkan karena pasar Bandung yang terbatas. Padahal dibanding kompetitor di sekitarnya, harga tiket PVJ paling mahal. Blitzmegaplex di Paris Van Java mengalami kenaikan pertumbuhan bisnis rata-rata 15%3. Setiap bulan, pangsa pasar Blitzmegaplex rata-rata 40% yang artinya menjadi sinyal positif bahwa bisnis ini akan berpotensi berkembang. Pada tahun 2008, pemasukan Blitzmegaplex di tahun pertama sesuai dengan target. Tingkat awareness di Bandung mencapai 40% lebih. Dari sisi revenue, pendapatan dari event pemasaran 3
Wulandari, Th.D. 2009. “PT Graha Layar Prima – Blitzmegaplex Menawarkan Opsi dan Variasi Tontonan”, Bisnis.Com, Minggu 11 mei 2009
104
dan branding di Blitz sudah berlipat tiga dari target awal. Dan menurut data Mei 2007, Blitz Grand Indonesia mendapat 57,87% pangsa pasar (dari lima bioskop: Blitz dan bioskop di sekitarnya) dan di Bandung meraih 46,38% pangsa pasar dari total 7 bioskop. Pada tahun 2006-2009 pertumbuhan pangsa pasar dari pembelian tiket sudah melebihi 300% disebabkan perluasan pasar (pembukaan bioskop di lokasi baru) yaitu di 5 lokasi.
4.1.6. Serangan Balik Cineplex 21 Sebagai pemimpin pasar yang telah mengembangkan bisnisnya selama lebih dari 20 tahun, 21 Cineplex memiliki kepercayaan diri karena pengalaman dan jaringan yang luas di seluruh Indonesia. Meski demikian, 21 Cineplex tetap harus memperhatikan kemunculan kompetitor baru yang dapat menjadi ancaman. Sebagai pemimpin pasar, 21 Cineplex harus kembali membenahi diri agar konsumen tetap menjatuhkan pilihan mereka pada 21. Beberapa perubahan yang dilakukan 21 Cineplex antara lain dijabarkan sebagai berikut :
4.1.6.1.
Konsep Baru Cinema XXI Pada tahun 2004, 21 Cineplex pertama kali mendirikan Cinema XXI di
EX Plaza Jl MH Thamrin Jakarta. Manajemen 21 Cineplex merasa bahwa perusahaan perlu menawarkan sesuatu yang baru dan lebih baik dibandingkan produk terdahulu. Cinema XXI menawarkan fasilitas seperti kursi tempat duduk lebih nyaman dan lebar dibandingkan kursi Cinema 21, suasana lobby dan loket
105
tiket yang modern dan elegan minimalis, serta layar lebar yang didukung dengan sertifikat THX tentu menjadi jaminan penggemar berat film mendapatkan suguhan audio visual yang tidak mengecewakan. Sejak kemunculan Blitzmegaplex sebagai kompetitor di beberapa lokasi seperti Bandung dan kawasan Hotel Indonesia, 21 Cineplex terus menggiatkan pembaharuan Cinema 21 menjadi Cinema XXI di beberapa gedung bioskop, terutama yang berdekatan dengan Blitzmegaplex, antara lain Cinema 21 Ciwalk Bandung menjadi Cinema XXI Ciwalk, Cinema 21 Plaza Senayan menjadi Cinema XXI Plaza Senayam, Cinema 21 Plaza Indonesia menjadi Cinema XXI Plaza Indonesia, Gading 21 menjadi Gading XXI. Selain pembaharuan, 21 Cineplex juga berusaha menambah jumlah layar di setiap titik potensial. Sebagian besar bioskop baru ini sudah mengusung konsep Cinema XXI dan bukan lagi Cinema 21, kecuali di beberapa mall seperti Blok M Square, meskipun pusat belanja tersebut tergolong baru namun bioskop baru yang ada di dalamnya adalah merk Cinema 21 dan bukan Cinema XXI, hal ini karena menyesuaikan HTM yang sesuai untuk pasar yang dibidik. 21 Cineplex memiliki visi masa depan menambahkan lounge, klub dan kafe untuk setiap Cinema 21 dan XXI4. Lounge XXI menyediakan kapasitas untuk 50 orang diperuntukkan sebagai ruang serba guna, tempat peluncuran produk, ataupun pagelaran musik sederhana. Sedangkan Club XXI yang berkapasitas 300 orang diperuntukkan bagi bermacam kegiatan yang lebih besar seperti standing 4
Swa Sembada Online, “Adu Kuat Blitzmegaplex VS 21 Cineplex”, Kamis 27 September 2007
106
party dan pertunjukan musik besar. Selain itu Club XXI juga menyediakan sebuah layar yang dilengkapi proyektor beresolusi tinggi. Berikut ini adalah gambar letak Blitzmegaplex dan Cinema XXI di Jakarta di daerah Bundaran Hotel Indonesia, daerah Senayan, dan daerah Kelapa Gading :
Cinema XXI Djakarta Theater
Cinema XXI Studi EX Cinema XXI Plaza Indonesia
Blitzmegaplex Grand Indonesia
GAMBAR 4.16. LETAK BLITZMEGAPLEX DAN CINEMA XXI DI WILAYAH THAMRIN Sumber : Megapolitan Map & Street Guide 2007 – 2008, BIP
107
Cinema XXI FX Mall Cinema XXI Plaza Senayan
Blitzmegaplex Pasific Place Mall
Cinema XXI Senayan City
GAMBAR 4.17. LETAK BLITZMEGAPLEX DAN CINEMA XXI DI WILAYAH SENAYAN Sumber : Megapolitan Map & Street Guide 2007 – 2008, BIP
Cinema XXI Artha Gading
Blitzmegaplex MOI
Cinema XXI MKG
Cinema 21 La Piazza
GAMBAR 4.18. LETAK BLITZMEGAPLEX, CINEMA XXI DAN CINEMA 21 DI WILAYAH KELAPA GADING Sumber : streetdirectory.com, 2009s
108
Lokasi-lokasi tersebut dipilh oleh 21 Cineplex selain untuk memijakkan kaki dalam pasar potensial juga bertujuan mempertahankan pangsa pasar dengan menambah jumlah layar di sekeliling Blitzmegaplex.
4.1.6.2.
Munculnya The Premiere Untuk
menjangkau
pelanggan
kelas
premium,
Cinema
XXI
menawarkan suatu kenyamanan istimewa dalam studio eksklusif dengan kapasitas tempat duduk terbatas atau sekitar 60 kursi. The Premiere menawarkan kursi yang bisa digunakan untuk posisi tiduran dan juga dilengkapi selimut. Segala kenyamanan ini dapat dinikmati dengan HTM Rp.100.000,- The Premiere pertama kali dibuka di Plaza Senayan setelah mengalami renovasi dari 6 menjadi 9 layar, 2 di antaranya adalah The Premiere. Selanjutnya, The Premiere menyusul dibuka di beberapa mall kelas atas seperti Plaza Indonesia, Senayan City, Emporium Puri, dan sebagainya.
4.1.6.3.
Penerapan M-Tix Ticketing Apabila Blitzmegaplex menawarkan sistem pembelian tiket online
melalui program Blitzcard, Cinema XXI melengkapi kenyamanan para penonton dengan meluncurkan sistem mobile ticketing (M-Tix). M-Tix adalah layanan pembelian/pemesanan tiket bioskop 21 dan XXI secara jarak jauh baik secara online (www.21cineplex.com), SMS (2121), maupun IVR (02131902121). Dengan menggunakan layanan ini penonton tidak perlu antri
109
untuk membeli tiket 21. Untuk mendapatkan M-Tix, penonton harus datang ke bioskop 21 yang telah dilengkapi fasilitas ini (tidak semuanya) kemudian menyerahkan identitas diri dan mengisi M-Tix wallet sebesar Rp.150.000,00. Selanjutnya setelah pelanggan memesan tiket secara online, pelanggan akan mendapatkan kode PIN yang harus dikonfirmasi pada saat datang di bioskop yang bersangkutan untuk mendapatkan tiket di mesin M-Tix. Meski demikian, untuk saat ini sistem M-tix belum dapat digunakan untuk memilih tempat duduk.. Sistem M-Tix ini hanya dapat digunakan khusus untuk membeli tiket dan tidak dapat digunakan untuk fasilitas lain di Cinema XXI.
4.1.6.4.
Penurunan Harga Tiket Masuk dan Penambahan Hari Nonton Hemat (Nomat) Pada 9 Januari 2007, manajemen 21 Cineplex memutuskan untuk
menurunkan HTM tiket Cinema 21 hingga 50% untuk merangsang kembali minat masyarakat menonton bioskop. Hal ini tidak terlepas dari munculnya Cinema XXI yang akan ditujukan untuk segmen di atas Cinema 21, sehingga agar HTM Cinema XXI dapat sesuai dengan kondisi pasar, HTM Cinema 21 sebagai produk terdahulu diturunkan. Pada akhir tahun 2007, 21 Cineplex juga memberlakukan perpanjangan hari nonton hemat (nomat) untuk seluruh Cinema 21, Cinema XXI, maupun The Premiere. Sebelumnya, 21 Cineplex hanya memberlakukan hari nonton hemat ini pada hari Senin saja dengan harga tiket 75%-50% dari harga tiket
110
akhir pekan. Sampai saat ini, hari nonton hemat menjadi hari Senin hingga Kamis atau Jumat. Beberapa contoh penurunan harga tiket misalnya pada Cinema 21 di Planet Hollywood Kartika Chandra. Harga tiket masuk (HTM) di bioskop ini normalnya turun menjadi Rp. 25.000,- sedangkan harga nonton hemat (nomat) menjadi Rp. 15.000,- Sebelumnya HTM di bioskop ini Rp. 50.000,- per orang. Penurunan harga tiket juga dilakukan Bioskop 21 di Taman Ismail Marzuki dari sebelumnya HTM normal Rp. 20.000,- menjadi Rp. 15.000,- dan HTM nomat dari Rp 15.000,- menjadi Rp 10.000,Manajemen 21 Cineplex melakukan subsidi silang secara korporat agar dapat memberikan HTM yang terjangkau bagi penonton di Indonesia. 21 Cineplex melakukan pengaturan hari dengan harga yang beragam karena ingin merespons lebih detail setiap lokasi dengan melihat kemampuan daya beli lingkungan sekitarnya.
4.1.7.
Perilaku Konsumen
4.1.7.1.
Pendapat Konsumen terhadap 21 Cineplex Berikut ini adalah beberapa kutipan langsung dari para pelanggan 21
Cineplex yang dikemukan langsung oleh mereka melalui blog pribadi maupun forum. MichaelHutagalung.com 22.10.07 at 23:56 “21 CINEPLEX JAMAN PURBA Atrium bioskop tuh selalu gelap. Mbak-mbak berbaju gaun lengan
111
panjang loreng merah tua. Lantai atrium bioskop seluruhnya dilapisi oleh karpet GELAP. Suasananya bener2 gelapp.. Studio yang masingmasing hanya memutar SATU FILM untuk SEHARINYA. Kalo inget jaman lebih dulu lagi, kalo nonton tuh harus ngantri.. kalo show mulai jam 13:00, dari jam 12:00 orang-orang dah bejibun untuk berdiri mengantri di depan loket pembelian tiket. Masi inget tiket jaman purba? Warna merah kaya karcis parkir.. hehehe… Inget harga nonton di Jakarta?? 50rb!! 75rb!! Bahkan 100rb!! Inget iklan2 awal sebelum film dimulai?? “Matikan handphone Anda” – sambil menampilkan handphone nokia 6110 berikut desain iklannya yang amat aneh.. (anyway sempet diupdate jadi nokia 6630). Gua sempet kepikiran.. ini pake rol film ato pake slide proyektor OHP ya?? Jelek amat!! Layarnya menurut gua persegi panjang yang mungkin rasionya cuman 4:3.. kaya TV biasa tapi digedein.. 21 CINEPLEX HARI INI Atrium bioskop masih gelap, namun mulai bermunculan banyak XXI yang merupakan versi 21 CINEPLEX yang lebih elegan dan dihiasi dengan mbak-mbak yang masih memakai gaun lengan panjang namun sekarang berwarna hitam. Studio masih memutar 1 film untuk seharinya, walopun ada beberapa studio yang ganti film pas mau malem. Loket beli tiket? Udah online.. Beli tiket gak harus ngantri panjang.. bahkan bisa advanced booking.. Kualitas tiket membaik dan HARGA TIKET TURUN!! Ada program2 nomat yang panjang sekali.. Senin-Kamis NOMAT! Paling mahal nonton cuman 35rb itupun udah di XXI. Dan IKLAN sebelum show UDAH DIGANTI (apalagi di XXI) hahahahaha…” http://forum.kafegaul.com/showthread.php?t=194767&page=2 Alain1500 “Gw lebih prefer XXI ... Sofanya lebih enak, sound system lebih ok, gambar lebih tajam ...” mighty_mouse “21 (XXI). gw cuma pernah nonton di blitz GI. kurang suka. dengan harga yg segitu, mending ke sebrangnya”
4.1.7.2.
Pendapat Konsumen terhadap Blitzmegaplex Berikut ini adalah beberapa kutipan langsung dari para pelanggan
Blitzmegaplex yang dikemukan langsung oleh mereka melalui blog pribadi maupun forum.
112
http://forum.kafegaul.com/showthread.php?t=194767&page=2 Ocaso21 “Gue pilih Blitz aja, ada Game centernya, bisa maen X Box 360 sembari nunggu film,kalo di 21 gamenya udh pada butut semua,tapi ada beberapa yg update spt Tekken 6 di Kelapa Gading atau Mall Taman Anggrek,tapi disitu males antre maennya nich....” egweku “semoga dimasa yang akan datang blitz lebih berkembang lebih pesat lagi....soalnya kan sekarang 21 masih berkuasa....tapi gue demen nonton di blitz soalnya filmnya lebih beragam daripada di 21...semoga tetap suskes yah blitz... ” Shadow_turtle “MAU NONTON dengan kenyamanan gw pilih mega plex kalo nonton di xxi mah nanggung gitu.... kalo loe bilang mahal download aja film nya !!!! nonton di bioskop kita nyari kenyamanan !!!!!!!!!!!!” paulfrank “ne 95% nonton di XXI sih gan, lebih familiar dan harganya mungkin banyak yang masih dibawah dan masalah cabang, XXIes are everywhere! Kalo Blitz kan baru dikit Sekedar review aja bro, masalah Blitz Megaplex yang di Teras Kota (brand-new mall in BSD). gue sempet nonton disitu, berhubung deket sama sekolah gue (walaupun rumah di Jak-Tim) Nah! waktu ane masuk ke area Blitz nya yaaa not bad laah, gak jelek jugaa. Harga Tiket nya juga termasuk murahh gan! ane dapet kopi gratis lagi ada promosi Tapi pas ane udah duduk di studio nya... Bangku nya gan!!! Ga Nyamaaan!! Beneran dah tegak, dan bukan kayak bangku bioskop. It's cushion are jadi kurang enjoy gan, not cozy and comfort, it's.... Stressing!! cuman itu aja sih kekurangannya. no offense dudes, banyak juga temen gue yang berpendapat sama tentang ini Thanks sebelomnya ya gan”
113
4.1.7.3.
Pendapat Konsumen yang Membandingkan Layanan XXI dan Blitzmegaplex Berikut ini adalah hasil persentase dari kuisioner yang diadakan oleh salah satu anggota aktif forum terbesar di Indonesia, Kaskus, mengenai kebiasaan menonton anggota kaskus yang lain :
GAMBAR 4.19. HASIL POLLING BIOSKOP FAVORIT FORUM KASKUS Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=911895
Berikut ini adalah hasil persentase dari kuisioner yang diadakan oleh salah satu anggota aktif forum Kafe Gaul, mengenai kebiasaan menonton anggota kaskus yang lain :
GAMBAR 4.20. HASIL POLLING BIOSKOP FAVORIT FORUM KAFE GAUL Sumber : http://forum.kafegaul.com/showthread.php?t=194767
Berikut ini adalah beberapa kutipan langsung yang dikemukan oleh pelanggan melalui blog pribadi maupun forum yang membandingkan 21 Cineplex dan Blitzmegaplex setelah merasakan pengalaman menonton di kedua bioskop tersebut.
114
Adelays' WEBlog.htm August 13, 2009...10:31 pm “Sedikitnya, lima poin komparasi antara Blitz Megaplex VS Cinema XXI yang saya bandingkan. Tentu saja, ini hanyalah perbandingan awam saya. Anggaplah ini Voice of Customer. Lima komparasi ini saya pilih, karena saya anggap cukup mewakili keingintahuan saya . 1.Staffing Staf Blitz Megaplex terlihat lebih casual dan fleksibel dibandingkan Cinema XXI. Mereka menggunakan T-Shirt dan tanda pengenal yang digantungkan di leher. Sementara XXI kelihatan lebih formil dengan pakaian serba hitam dengan name tag yang disematkan di dada. Sejauh pengamatan saya, staf penjual tiket Cinema XXI selalu wanita, sedangkan Blitz ada pria dan juga wanita. Selain itu staf Blitzmegaplex sangat helpfull, tak jarang saya perhatikan staf Blitzmegaflex sangat perduli terhadap penonton yang membutuhkan bantuan. Untuk urusan staffing ini, saya menyukai pelayanan Blitz. Skor : 1 – 0 untuk Blitzmegaplex . 2. Tiket Tiket Blitz Megaplex berupa lembaran kertas tipis, seperti struk kertas thermal ATM. Berbeda dengan XXI, berupa kertas yang lebih keras, sehingga mudah untuk dikenali. Hampir sempat tertukar dengan karcis parkir ketika hendak menunjukkan tiket tersebut kepada petugas, saya lebih memilih tiket XXI memiliki keunggulan dibandingkan competitornya Blitz Megaplex. Skor: 1 – 1 3. Sekuriti Untuk memasuki area Blitz, sebenarnya saya bisa memahami security Blitz megaplex yang sangat protected dengan memeriksa tas setiap pengunjung seperti ketika hendak memasuki Mall. Namun, kebalikan dari Staffing diatas, saya lebih menyukai fleksiblity security Cinema XXI. Skor : 2-1 untuk XXI 4. Posisi duduk penonton Ruang kaki duduk penonton di Blitz Megaplex yang lapang, menyebabkan kaki penonton bisa lebih santai. Selain itu, jajaran kursi tempat duduk yang semi melingkar, membuat penonton yang duduk disamping kiri dan kanan tidak perlu merasa pegal karena selalu mengarahkan kepala mereka ke layar yang merupakan pusat perhatian penonton. Skor : 2-2 5. Kursi Penonton Kursi penonton XXI ternyata lebih empuk dan lebar, sehingga menonton disini jauh lebih nyaman dan tahan lama jika dibandingkan
115
dengan Blitz yang kursinya agak keras. Duduk berlama-lama menyaksikan film di kursi yang agak keras menjadikan saya kurang nyaman di Blitzmegaplex Skor: 3-2 untuk XXI Setiap orang, tentu boleh punya pendapat yang berbeda. Betul kan…?”
Remi says: Fri, 28.11.08 at 03:55 am “Blitz VS 21??? Bedanya cuma 1 kok, yang satunya masih junior, en yang satunya lagi udah senior. hehehe. Tapi yg gue amatin selama ini sih, ternyata kehadiran si-Blitz emang udah cukup bikin si-21 keki banget en jadi ngeluarin modal banyak buat ngedandanin ruangan2 si-21 supaya bisa jadi kinclong kayak sekarang, udah gitu, NOMATNYA udah gak hari senin lagi, tapi jadi 5 hari! senin sampe jumat. buat gue sih lumayan banget. Soal arsitektur ato layout ato design ruangan ato apalah itu namanya, menurut gue sih tergantung selera masing2 ya. kalo elo mau yang gaul en lebih modern, yang pasti elo datengin aja si-Blitz, tapi kalo elo mau suasana yang lebih klasik, si-21 juga punya kok, tuh yang simbolnya XXI. oiya, soal komitmen dan layanan, gue akuin si-Blitz lebih unggul! soalnya kenapa? gue en temen gue (berdua aja) pernah coba mau nonton film yang diputer si-21, yang menurut gue tuh film gak ada mutunya alias gak worthed banget kalo di-tonton (menurut gue loh ya…) en waktu itu total penontonnya cuma ada 5 orang. en sorry to say, cewek penjaga karcis minta maaf kalo film gak bisa diputer, karena penontonnya harus minimal berjumlah 10 orang. yaaa, gue en temen gue sih gak papa, toh duit gue dibalikin en gue juga gak niat nonton tuh film! tapi kalo si-Blitz BEDA!!! gue coba nonton film kira2 bulan Awal Oktober taon ini (2008) di Blitz Grand Indonesia. en lo tau gue en temen gue mau nonton apa? RIEN SI PEMBUNUH BERANTAI!!! hahaha… dan yang lebih kocak lagi, tuh film yang nonton cuma gue sama temen gue doang, alias berdua. tapi apa? siBlitz tetep ajah muterin tuh film! gue sama temen gue selama didalem serasa punya bioskop sendiri tau gak sih lo! hahahaha…. buat yang satu ini, si-Blitz gue acungin 2 jempol deh! kalo si-21, gak bakal kali ya… rugi bandar bo’! hehehe…
116
the last but not least, semua tergantung elo (tergantung isi kantong elo juga sih..) hehehe.. kalo kantong lo lagi agak tebel, lo dateng aja ke siBlitz, jangan lupa juga cobain SATIN or VELVET CLASSnya, gak usah tanggung2 kalo elo butuh yang namanya kualitas. Tapi, kalo isi kantong lo pas-pasan, gak ada salahnya elo balik lagi ke tempat tongkrongan elo dulu alias si-21, lebih murah dengan sound system yang yaaa lumayan lah. kalo gue sih, XXI jadi alternatifnya.”
nDa says: Sun, 26.04.09 at 07:02 pm “hei……. lo pada lupa ya 21 itu pelopor perfilman dan perbioskopan di indonesia pastinya pangsa pasar lebih berat ke 21… walau lo pada blg blitz inovativ, tp ga jarang jg orang2 pd blg ” blitz? waduh tempat duduknya itu loh!!! pegel bu…. ga nyaman nontonya!! pelayanan mereka bgus, okelah tp percuma jg klo plg nonton lo hrus manggil tkang pijet… hehe.. oia ngomong2 tentang pelayanan lo dah coba nonton di “the Premiere” blm? the prmiere tu VIPnya 21. harganya seratus rb aj,, tp gw puas,, scara slain keramahan karyawan, ddlam bioskopnya ada selimut, trus kursinya jg bs buat tiduran. klo kt org betawi “reclaining seat” wow gw suka bgt nonton dsana…selain knyamanan nonton, mba2 sm mas2nya ramah2 bgt,, makananya jg enak.. popcornnya mang udah khas ya,,, ditambuah nasi gorengnya enak.. patut di coba sm lo2 pde. minumnya blended green tea. uwh mantab bu,, blitz memang beda, pelayananya anak muda dan fresh bgt, tp klo gw fkir2 para pencinta film ga hanya anak muda, oma opa gw jg suka.. intinya the premiere bisa masuk ke semua kalangan.. slamat mencoba guys,,, gw yakin lo pada suka dan pgn balik lg..”
4.1.8.
Dilema Blitzmegaplex Sejak Blitzmegaplex berdiri pada tahun 2006, media Indonesia tak henti
membandingkan dengan 21 Cineplex. Tak jarang juga media mengaitkan reaksi agresif 21 Cineplex terhadap pembenahan dalam bioskop mereka terkait kehadiran Blitzmegaplex. Betapa tidak, selama ini kemunculan kompetitor seperti MPX misalnya tidak menimbulkan respon berarti dari 21 Cineplex. Sementara itu sebagai
117
perusahaan muda, Blitzmegaplex terus berupaya mengembangkan diri dengan berbagai inovasi. Hal ini didukung dengan industri perfilman yang angka produksinya terus merangkak naik sejak tahun 2005. Blitzmegaplex sebagai perusahaan bioskop di Indonesia juga tak ingin ketinggalan dalam animo kebangkitan film nasional dan berusaha menambah terus pemutaran film lokal setiap tahunnya, meski Blitzmegaplex juga menerapkan standar kualitas film yang akan diputar. Ironisnya, jumlah film yang diputar di Blitzmegaplex tak sebanding dengan angka produksi film nasional. Bahkan beberapa judul film lokal yang menjadi box office ternyata tidak ditayangkan di Blitzmegaplex, suatu hal yang menurut beberapa pihak aneh mengingat Blitzmegaplex sering mengadakan festival film Indie karya anak bangsa. Beberapa desas-desus bermunculan seiring fenomena ini. Ada yang mengatakan standar Blitzmegaplex terlalu tinggi untuk film lokal yang kualitasnya kurang, ada yang mengatakan bahwa pemutaran film lokal yang terlalu banyak dapat mempengaruhi buruknya positioning Blitzmegaplex sebagai bioskop untuk kalangan menengah ke atas, dan ada pula yang mengatakan bahwa kejadian ini merupakan ulah 21 Cineplex sebagai imbas persaingan bisnis. Pada tanggal 5 Juni 2009, Blitzmegaplex menuduh 21 cineplex melanggar Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha. Kasus ini mencuat setelah beberapa produser film Indonesia tidak mau menayangkan filmnya di Blitz (Kuntilanak, Denias, ayat-ayat cinta, dan beberapa film lainnya). Blitzmegaplex mendapatkan informasi bahwa 21 Cineplex menolak menayangkan film-film produser tersebut terutama yang berbau horor bila harga
118
HTM di Blitzmegaplex lebih murah. Mereka hanya mau menayangkan bila harga HTMnya sama dengan 21. Ancaman ini jelas menyudutkan produser film karena jumlah bioskop 21 jauh lebih banyak daripada Blitzmegaplex sehingga mau tidak mau produser film tersebut menolak bekerja sama dengan Blitzmegaplex agar film mereka dapat diputar di jaringan yang lebih luas. Manajemen Blitzmegaplex merasa perlu melaporkan 21 Cineplex karena sudah menemui jalan buntu. Dalam kondisi kompetisi industri bioskop di Indonesia yang demikian, Blitzmegaplex melihat bahwa perusahaan harus menyeimbangkan orientasi terhadap kompetitor dan pelanggan. Apa langkah terbaik yang dapat ditempuh Blitzmegaplex untuk dapat mencapai tujuan ini ? Selain itu, sebagai perusahaan yang baru berdiri selama tiga tahun, Blitzmegaplex telah menghadapi reaksi keras dari pemimpin pasar yang telah berdiri selama lebih dari dua puluh tahun. Mengingat sumber daya yang dimiliki 21 Cineplex sangat besar, bukan tidak mungkin ke depannya Blitzmegaplex akan menghadapi kondisi yang tidak diinginkan lagi. Bagaimana langkah Blitzmegaplex selanjutnya menghadapi kondisi persaingan bisnis yang seperti ini ?
4.2. 4.2.1.
Analisis Kasus Alur Pikir Analisis
FUNGSI : • Mengetahui struktur pasar • Mengetahui posisi perusahaan • Mengetahui faktor‐ faktor yang mempengaruhi situasi dan kondisi industri bioskop (micro & macroenvironment)
IDENTIFIKASI PASAR
TOOLS : • ANALISIS PEST • ANALISIS PORTER’S 5 FORCES
119
ANALISIS PERILAKU KONSUMEN
IDENTIFIKASI KOMPETITOR
FUNGSI : • Untuk mengetahui apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggan • Untuk menentukan tujuan dari strategi serang
FUNGSI : • Untuk mengetahui kelemahan, kekuatan, kesempatan dan ancaman kompetitor • Mempelajari musuh agar dapat menyerah secara tepat
TOOLS : Bagan Perilaku Konsumen Kotler
TOOLS : Analisis SWOT
ANALISIS STRATEGI PERGERAKAN STRATEGI SERANG FUNGSI : • Memasuki pasar / segmen baru • Meningkatkan posisi kompetisi
GAGAL ?
STRATEGI BERTAHAN FUNGSI : • Mempertahankan posisi • Mempertahankan pangsa pasar
ANALISIS PASCA PERGERAKAN GAMBAR 4.21. ALUR ANALISIS
SUKSES ?
120
4.2.2.
Analisis PEST Analisa PEST adalah suatu pengamatan atau penelitian sebuah macro-
environtment dari perusahaan yang beroperasi. PEST merupakan kependekan dari Politik, Ekonomi, Sosial, dan Teknologi.
GAMBAR 4.22. BAGAN PEST Sumber : http://otavaland.com/index.php?option=com_content&task=view&id=19&Itemid=9
Analisis
PEST
digunakan
untuk
melihat
faktor-faktor
macro-
environtment yang mempengaruhi Blitzmegaplex dalam industri layar lebar di Indonesia. Tabel berikut ini memperlihatkan faktor-faktor macroenvironment baik yang terjadi di Indonesia maupun di dunia internasional yang mempengaruhi perkembangan Blitzmegaplex :
TABEL 4.17. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEST Politik
Ekonomi
Sosial
Teknologi
Stabilitas Politik
Nilai Inflasi
Perubahan Gaya
Internet
Hidup UU Perfilman
Pertumbuhan
Tingkat Pendidikan
Perkembangan
121 Industri Regulasi Kompetisi
Siklus Bisnis
Teknologi Informasi Komunitas
(KPPU/ Monopoly
Perkembangan Teknologi Seluler
Watch) Organisasi
Daya Beli Konsumen
Pemerintah (BP2N)
Perkembangan Teknologi Audio Visual
Organisasi Pemasok
Film (AIF)
Source : dari berbagai sumber
4.2.2.1.
Politik Keputusan pemasaran sangat dipengaruhi oleh perkembangan dalam
lingkungan politik (Kotler, Armstrong, 2008, 78). Lingkungan politik (political environment) ini terdiri dari hukum, petugas pemerintah, maupun kelompok penekan yang mempengaruhi atau membatasi berbagai organisasi maupun individu dalam masyarakat tertentu. Dalam kasus kompetisi Blitzmegaplex dengan 21 Cineplex, beberapa hal yang mempengaruhi lingkungan politik antara lain : •
Stabilitas politik. Blitzmegaplex berdiri pada tahun 2006 pada saat Indonesia sedang mengalami kemajuan pesat dalam hal stabilitas politik di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada masa ini kepercayan investor asing terhadap bisnis di Indonesia cukup baik terbukti dengan menguatnya mata uang rupiah terhadap dollar Amerika.
122
•
Adanya perubahan Undang – Undang Perfilman. Pada tahun 2009, RUU Perfilman yang mengatur berbagai hal tentang perfilman termasuk di dalamnya distribusi film, kuota film impor, kuota film lokal, maupun sensor film akhirnya diresmikan menjadi UU No.33 tahun 2009 tentang perfilman yang merupakan perbaikan dari UU no.8 tahun 1992 tentang pefilman. Meski demikian undang-undang perfilman yang baru ini pun menuai protes dari kalangan masyarakat film dan dinilai bisa mengakibatkan menurunnya kualitas film produksi lokal. Menurut masyarakat film, banyaknya jumlah film dengan kualitas di bawah standar tersebut dapat menyebabkan penonton jenuh yang pada akhirnya akan meninggalkan bioskop sama seperti era tahun 1992 dan berujung pada matinya industri bioskop itu sendiri.
•
Adanya organisasi yang mengatur regulasi kompetisi. Untuk mengatur regulasi kompetisi, selain ada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang difasilitasi pemerintah, ada juga organisasi independen seperti Monopoly Watch yang bermarkas di Amerika. Pada tahun 2003, Monopoly Watch pernah melaporkan 21 Cineplex ke KPPU dengan tuduhan praktik monopoli. Kasus ini akhirnya membuat beberapa komisaris memecah kepemilikan saham di beberapa perusahaan namun membebaskan 21 dari tuduhan monopoli. Berikutnya tahun 2009, giliran Blitzmegaplex yang melaporkan 21 Cineplex ke KPPU dengan tuduhan yang sama.
123
•
Adanya organisasi pemerintah yang mengawasi perfilman. Pemerintah juga memfasilitasi organisasi perfilman seperti Badan Pengawas Perfilman Nasional (BP2N) dengan visi menumbuhkan dan mengembangkan film nasional sebagai produk industri kebudayaan yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat dalam keanekaragaman nilai-nilai kebangsaan.
•
Adanya organisasi yang mengatur impor film. Selain organisasi-organisasi tersebut, ada juga organisasi pemasok film khusus Hollywood dan Mandarin, AIF (Asosiasi Importir Film) yang memiliki hak eksklusif untuk memasukkan film-film tersebut ke Indonesia. Organisasi ini terbentuk untuk menghindari permainan harga yang dilakukan oleh pihak luar dalam industri perfilman Indonesia. AIF ini terbentuk pada era orde baru dan pemilik sahamnya juga memiliki saham pada jaringan bioskop 21 sehingga otomatis jaringan bioskop 21 memiliki lebih banyak kemudahan untuk memutar film-film yang diimport oleh AIF. Faktor-faktor tersebut di atas turut mempengaruhi terbentuknya
struktur pasar oligopoli dalam industri layar lebar di Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai lingkungan ekonomi (economic environtment).
124
4.2.2.2.
Ekonomi Lingkungan ekonomi (economic environment) terdiri dari faktor-faktor
yang mempengaruhi daya beli dan pola pengeluaran konsumen (Kotler, Armstrong, 2008). Dari faktor politik, kita dapat melihat bahwa stabilitas politik yang baik mengakibatkan kondisi ekonomi yang baik pula. •
Nilai inflasi Meningkatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menyebabkan investasi asing masuk dan bangkitnya industri-industri yang sempat gulung tikar pada masa krisis global.
•
Pertumbuhan industri Pertumbuhan industri film yang menjadi cikal bakal pertumbuhan industri bioskop telah terjadi sejak tahun 2000. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi film lokal yang kian bertambah setiap tahunnya, rumah produksi pun bermunculan, dan imbasnya adalah pengusaha bioskop tidak kekurangan pasokan film. Meski industri layar lebar ini pernah mencapai tahap declining pada tahun 1992, tetapi kini pengusaha bioskop kembali memiliki kesempatan yang luas untuk menambah total market maupun menciptakan segmen baru karena jumlah pemain yang sangat sedikit.
•
Siklus Bisnis Pada tahun 1990 industri bioskop Indonesia mengalami masa puncak dengan jumlah layar mencapai 2853. Setelah kemunculan TV swasta
125
dan teknologi Video Disk (VCD) sebagai kompetitor tidak langsung, industri ini mengalami penurunan drastis karena tidak mampu menawarkan konsep baru. Baru pada awal tahun 2000 yang menandai menggeliatnya industri perfilman Indonesia, industri bioskop turut bernapas kembali dengan kembalinya minat masyarakat untuk menonton bioskop. Berikut ini adalah diagram siklus bisnis industri bioskop di Indonesia dari tahun 1936 – 2007 ditinjau dari jumlah layar bioskop, kasus ini berada pada posisi siklus di tahun 2006.
GAMBAR 4.23. SIKLUS BISNIS INDUSTRI BIOSKOP INDONESIA TAHUN 1936 – 2007 Sumber : dari berbagai sumber
126
•
Meningkatnya daya beli konsumen Berdasarkan tabel 4.2, total wages mengalami peningkatan sejak tahun 2004 meskipun total tenaga kerja mengalami penurunan, hal ini menunjukkan adanya kenaikan gaji. Selain itu meningkatnya permintaan (demand) pada tahun 2005 menunjukkan membaiknya daya beli masyarakat terutama di kota-kota besar. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan tertarik untuk menembus segmen kelas atas.
4.2.2.3.
Sosial Dalam analisis ini lingkungan budaya (cultural environment)
dimasukkan dalam lingkungan sosial (social environment). Lingkungan ini dibuat ole institusi dan dorongan lain yang menimbulkan nilai-nilai dasar dalam masyarakat, persepsi, pilihan, dan perilaku mereka. •
Perubahan gaya hidup Bagi anak muda khususnya di kota-kota besar, mengikuti gaya hidup tertentu telah menjadi identitas sosial mereka. Mencari hiburan di pusatpusat perbelanjaan pada akhir pekan sudah menjadi hal yang wajib. Hiburan akhir pekan itu, salah satunya adalah menonton bioskop. Mengikuti perkembangan film-film terbaru kini telah menjadi standar seberapa “gaul”nya mereka. Sebagai contoh, pada bab 4.1, salah satu movigoers menyebutkan istilah “gak banget” untuk film-film yang masa edarnya telah lewat.
127
•
Tingkat pendidikan Meningkatnya tingkat pendidikan di Indonesia ditandai dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan teknologi khususnya teknologi informasi dan telekomunikasi. Tingkat pendidikan seseorang juga mempengaruhi pemilihan film yang akan ditonton, mereka menolak atau memberikan tanggapan negatif untuk film komersial yang dibuat dengan kualitas seadanya. Bioskop yang memutar film-film seperti itu akan dinilai sebagai bioskop kelas dua. Itulah sebabnya Blitzmegaplex berkomitmen untuk memutar film-film berkualitas untuk menjaga positioning mereka.
•
Komunitas Bangkitnya industri perfilman nasional juga memunculkan komunitaskomunitas film. Komunitas ini dapat menjadi jembatan yang baik antara perusahaan dengan konsumen sehingga perusahaan dapat menggali informasi
sebanyak
mungkin
untuk
menjadi
customer-centered
company yaitu perusahaan yang berorientasi pada kebutuhan dan keinginan pelanggan.
4.2.2.4.
Teknologi Lingkungan teknologi (technological environment) mungkin adalah
dorongan yang paling dramatis saat ini yang membentuk nasib kita (Kotler,
128
Armstrong, 2008). Teknologi baru menciptakan pasar dan kesempatan baru. Meski demikian, setiap teknologi baru akan menggantikan teknologi lama. •
Internet Sebagai negara berkembang yang baru mengenal internet, penduduk Indonesia sangat antusias terhadap segala perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Pola penyampaian informasi yang dulu dilakukan secara manual kini disampaikan secara online (dengan koneksi internet), misalnya pendidikan online (online education), belanja online (online shopping), perbankan online (online banking), komunitas online (online community), dan sebagainya.
•
Perkembangan teknologi informasi Perkembangan internet juga sangat mempengaruhi perkembangan teknologi informasi. Banyak perusahaan maupun instansi-instansi menggunakan internet untuk membuat usaha mereka menjadi lebih efektif dan efisien. Blitzmegaplex mencoba membaca animo ini menjadi strategi bisnis mereka melalui kehadiran Blitzcard. Blitzcard ini mengintegrasikan teknologi informasi dan internet untuk memberikan pelayanan yang user friendly sekaligus menyajikan data kepada perusahaan.
•
Perkembangan teknologi telepon seluler Perkembangan telepon selular di Indonesia juga telah dimanfaatkan oleh kompetitor untuk memberikan layanan pembelian tiket melalui Short
129
Message Service (SMS). Perkembangan teknologi telepon seluler ini juga memungkinkan kita terhubung dengan internet sehingga dapat terkoneksi secara online kapan pun dan di mana pun. •
Perkembangan teknologi audio visual Sedangkan dari perkembangan teknologi audio visual, ada beberapa hal yang dapat diperhatikan. Pertama perkembangan alat operasional bioskop itu sendiri yang mencakup alat perekam (film), alat proyeksi gambar (proyektor dan layar) serta sistem tata suara. Perkembangan teknologi digital kini membuat gambar yang ditampilkan menjadi lebih bagus. Teknologi digital ini mengakibatkan maraknya pembajakan film dalam bentuk DVD yang menjadi ancaman barang subtitusi bagi industri bioskop. Perkembangan teknologi tiga dimensi (3D) dalam industri video juga turut dimanfaatkan Blitzmegaplex sebagai salah satu competitive advantage mereka.
4.2.3.
Analisis Perilaku Konsumen Perilaku konsumen adalah sebuah pembelajaran tentang bagaimana
seorang individu, grup, atau organisasi memilih, membeli, dan membuang barang, pelayanan, ide, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka (Kotler, 2009). Hal pertama yang perlu diperhatikan untuk memahami perilaku konsumen adalah model rangsangan-respon (stimuli-response) seperti yang ditunjukkan bagan berikut ini
130
Marketing Stimuli Product & Service Price Distribution Communication
Other Stimuli Economic Technological Political Cultural
Consumer Psychology Motivation Perception Learning Memory
Consumer Characteristic Cultural Social Personal
Buying Decision Process Problem Recognition Information Search Evaluation of alternatives Purchase decision Post‐purchase decision
Purchase Decision Product choice Brand choice Dealer choice Purchase Amount Purchase Timing Payment Method
GAMBAR 4.24. BAGAN PERILAKU KONSUMEN Sumber : A Framework For Marketing Management, Kotler & Keller (2008,P.104) Bagan di atas menunjukkan bahwa rangsangan lingkungan (environtment) dan pemasaran (marketing) memasuki benak sadar konsumen dan membentuk proses psikologi digabungkan dengan beberapa karakteristik konsumen untuk menghasilkan proses pemutusan membeli dan proses membeli. Dalam kasus ini, teori perilaku konsumen digunakan untuk mempelajari faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsumen untuk memilih lalu membeli maupun tidak memilih dan tidak membeli suatu produk yaitu pelayanan yang ditawarkan Blitzmegaplex dan 21 Cineplex. Faktor-faktor tersebut dapat dijabarkan seperti berikut ini :
4.2.3.1. •
Rangsangan pemasaran (marketing stimuli) Pilihan Film Ketika pelanggan akan memutukan untuk menoton film, yang menjadi pertimbangan adalah jenis film yang diputar. Sesuai dengan segmen pasar yang dibidik oleh Blitzmegaplex, jenis film yang diputar pun
131
bervariasi, bukan hanya fim-film komersil Hollywood dan film nasional melainkan juga film komersil Eropa, film-film festival, dan film independen, film India, film Mandarin, Korea, Thailand dan sebagainya. Blitzmegaplex berusaha menawarkan film-film bermutu dan dapat dinikmati oleh pengagum karya seni sehingga film tidak hanya menjadi hiburan belaka. •
Kelas teater / tempat duduk Bila penonton menginginkan kenyaman lebih saat menonton film, Blitzmegaplex menawarkan kelas yang lebih eksklusif seperti Satin Class, Velvet room, dan Dining Cinema. Meski demikian, beberapa pelanggan
juga
mengeluhkan
ketidaknyaman
kursi
reguler
Blitzmegaplex bila dibandingkan dengan 21 Cineplex. •
Fasilitas hiburan lain Pelanggan yang datang lebih cepat sebelum film diputar biasanya malas menunggu di dalam area bioskop dan memilih jalan-jalan keluar area yang biasanya berada di dalam pusat perbelanjaan (mall). Untuk mensiasati kondisi ini, Blitzmegaplex sesuai dengan konsep “one stop entertainment” menawarkan pilihan hiburan lain selain bioskop seperti Blitzgamesphere, area bermain game konsol yang disediakan khusus untuk pemegang Blitzcard. Selain itu juga ada ruang karaoke, pool biliard, kafe, dan Blitzbox yang menyediakan berbagai CD musik film.
132
•
Blitzcard Pelanggan yang sibuk dengan agenda kerja biasanya tidak memiliki banyak waktu untuk mengantri di loket tiket. Kondisi ini mendorong Blitzmegaplex menawarkan Blitzcard, suatu kartu yang dapat digunakan pelanggan Blitzmegaplex untuk membeli tiket secara online lewat internet. Pelanggan dapat memilih lokasi bioskop, posisi tempat duduk, judul film, dan jam tayang dengan bebas tanpa perlu mengantri di loket tiket bahkan sehari sebelum jam tayang yang diinginkan. Manfaat lain dari Blitzcard ini adalah pelanggan berhak mendapatkan potongan harga (discount / voucher) bila berbelanja di vendor yang bekerja sama dengan Blitzmegaplex.
•
RealD 3D Pelanggan yang mengutamakan kualitas tampilan visual untuk film-film berformat tiga dimensi (3D) akan mencari teknologi canggih yang dapat menghasilkan diunggulkan
tampilan
maksimal.
Blitzmegaplex
Teknlogi
merupakan
salah
RealD
3D
yang
satu
daya
tarik
dibandingkan teknologi Dolby 3D milik kompetitor.
4.2.3.2. •
Rangsangan lain (other stimuli) Gaya hidup kalangan muda di kota besar Menonton bioskop sudah menjadi gaya hidup khususnya bagi kalangan muda di ibukota. Menonton film terbaru telah menjadi ukuran seberapa
133
“gaul”nya seseorang, bahkan ada kelompok yang rela mengeluarkan biaya lebih untuk dapat menonton film di hari pertamanya diputar. •
Meningkatnya pendapatan Meningkatnya pendapatan menyebabkan calon pelanggan memiliki lebih banyak peluang untuk meningkatkan intensitas menonton bioskop daripada menikmati hiburan lainnya.
4.2.3.3.
Psikologi Konsumen (consumer psychology) Psikologi konsumen dibagi menjadi empat proses kunci yakni motivasi
(motivation), persepsi (perception), pembelajaran (learning), dan ingatan (memory). (Kotler, Keller, 2009) •
Motivasi didorong oleh kebutuhan baik ragawi maupun rohani yang pada level tertentu mampu membuat kita melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Beberapa motivasi orang untuk menonton misalnya karena orang tersebut memang ingin menonton film dengan layar lebar, ingin melakukan refreshing (penyeragaran), ingin bersosialisasi, atau sekedar mengisi waktu luang.
•
Persepsi
adalah
proses
konsumen
memilih,
mengatur,
dan
menerjemahkan informasi yang didapat untuk menghasilkan citra dunia yang penuh arti. Untuk membentuk persepsi konsumen, perusahaan biasanya mengeluarkan iklan-iklan maupun promosi sedemikian rupa agar membentuk suatu persepsi yang mereka kehendaki. Promosi
134
teknologi RealD sebagai teknologi 3D terdepan misalnya akan membentuk
persepsi
sebagian
konsumen
bahwa
kualitas
3D
Blitzmegaplex lebih baik daripada Cinema XXI. •
Proses pembelajaran (learning) dapat dilihat dari harga tiket Cinema XXI yang lebih murah dibanding Blitzmegaplex di beberapa spot membuat konsumen memberikan respon bahwa harga tiket Cinema XXI secara keseluruhan lebih murah dibanding Blitzmegaplex, meskipun di beberapa lokasi seperti Blitzmegaplex MOI menjual harga tiket sama dengan tiket Cinema XXI Kelapa Gading. Contoh lain adalah keluhan konsumen mengenai ketidaknyaman kursi Blitzmegaplex Grand Indonesia kelas reguler akan membuat mereka merespon setiap spot Blitzmegaplex memiliki kursi yang tidak nyaman. Hal ini terjadi karena pembelajaran berasal dari pengalaman saat seseorang bertindak.
•
Proses ingatan (memory) biasanya dibentuk dari pengalaman seseorang terhadap sesuatu. Dalam kasus ini, ingatan konsumen dapat dikaitkan dengan brand knowledge, yaitu pengetahuan seseorang terhadap suatu merk. Sebagai perusahaan bioskop yang telah berdiri lebih dari 20 tahun dengan nama 21, tentu sampai sekarang banyak konsumen yang masih bingung atau menganggap sama antara Cinema 21 dan Cinema XXI.
135
4.2.3.4.
Karakteristik Konsumer (consumer characteristic) Karakteristik konsumen terdiri dari faktor budaya (cultural), faktor
sosial (social), dan faktor personal (Kotler, Keller, 2009). •
Faktor budaya merupakan pengaruh yang paling fundamental terhadap diri seseorang, misalnya tentang bagaimana mereka dididik dalam sebuah keluarga, nilai-nilai yang ditanamkan baik itu agama maupun norma, cara hidup berbangsa, maupun tata cara dalam ras tertentu. Di Indonesia misalnya, film dewasa dapat dikategorikan untuk penonton yang telah berusia 18 atau 21 tahun ke atas, hal ini mungkin saja berbeda dengan negara lain yang menganggaep suatu film dapat ditonton oleh penonton berusia 13 tahun ke atas. Film-film yang mengandung provokasi berkaitan dengan SARA (suku, agama, ras, antar golongan) akan sulit lolos sensor karena Indonesia merupakan negara dengan berbagai suku sehingga perlu diperhatikan hak-hak suatu golongan tertentu agar tidak menyinggung perasaan yang dapat menyebabkan perpecahan. Strategi pemasaran yang berkaitan dengan kelompok atau etnis tertentu (subculture) dapat dijadikan pendekatan terhadap konsumen, Blitzmegaplex Kelapa Gading memiliki desain interior bernuansa oriental karena daerah tersebut merupakan daerah komunitas warga Indonesia etnis Tionghoa peranakan.
•
Faktor sosial mempengaruhi konsumen dalam menentukan tempat duduk dalam suatu auditorium. Sekelompok konsumen akan selalu
136
membeli tiket kelas satin di Blitzmegaplex atau The Premiere karena merasa kelas tersebut cocok dengan status sosial mereka. Pengaruh keluarga juga masih menjadi faktor penting terutama bila konsumen tersebut masih tinggal bersama orang tua. Beberapa keluarga masih menerapkan jam malam untuk anak remaja mereka sehingga tidak dapat menonton film yang diputar tengah malam pada akhir pekan. Jam tayang tengah malam ini biasanya dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menayangkan film-film yang ditujukan untuk penonton dewasa. •
Faktor personal berkaitan dengan usia konsumen, pendapatan, kepribadian, dan konsep diri. Misalnya penonton anak-anak lebih menyukai film kartun, penonton remaja lebih menyukai film romantis atau aksi sedangkan penonton dewasa lebih menyukai film drama atau thriller. Penonton dengan budget sedang misalnya akan lebih memilih nonton di Cinema 21 dibanding Cinema XXI karena harga tiket yang lebih murah tetapi film yang diputar sama. Penonton yang memiliki pengetahuan tentang film akan selektif memilih film berkualitas daripada penonton yang menonton film hanya untuk mengisi waktu luang.
4.2.3.5.
Proses Pemutusan Membeli (buying decision process) Sebelum konsumen mencapai keputusan untuk membeli atau tidak,
mereka akan melalui lima tahap yang disebut buying decision process. Proses ini
137
terdiri dari pengenalan masalah (problem recognition), penggalian informasi (information search), evaluasi akan alternatif (evaluation of alternatives), keputusan
membeli
(purchase
decision)
dan
perilaku
setelah
membeli
(postpurchase behaviour). (Kotler, Keller, 2009). Meski demikian, tidak semua tahap di atas harus dilalui secara berurutan, banyak kasus di mana konsumen langsung menuju keputusan membeli tanpa melalui proses pengenalan masalah atau pengumpulan informasi. Berikut ini adalah tahapan yang dilalui oleh konsumen sebelum membeli tiket : •
Problem Recognition Masalah yang dihadapi konsumen di sini adalah mereka ingin menonton bioskop tetapi belum mengetahui film apa yang akan ditonton, atau telah mengetahuinya namun belum memastikan akan menonton kapan, di mana, berapa biaya yang harus dikeluarkan dan bersama siapa mereka menonton.
•
Information search Dalam membeli tiket bioskop, biasanya konsumen mencari informasi mengenai film yang akan ditonton melalui review atau trailer. Informasi ini dapat dilihat di website resmi milik Blitzmegaplex atau 21 Cineplex, koran, maupun media massa lainnya. Inilah sebabnya penonton film rela mengantri berjam-jam demi sebuah film box-office karena film tersebut banyak direview sebagai film bagus dan berkualitas, contohnya adalah Spiderman, Harry Potter, atau Avatar.
138
•
Evaluation of Alternatives Untuk membuat keputusan, konsumen tak jarang melakukan evaluasi mengenai tempat bioskop. Misalnya untuk menonton film box-office beberapa penonton memilih tiket kelas satin di auditorium 1 agar bisa mendapatkan kursi yang nyaman dengan layar lebar dibanding ketika menonton di kelas reguler auditorium 3 atau 4. Sedangkan untuk menonton film yang tidak termasuk box-office penonton enggan mengeluarkan uang untuk tiket mahal dan memilih tiket Cinema 21 yang paling murah di hari kerja.
•
Purchase Decision Pada tahap ini, konsumen telah melakukan pembelian tiket baik datang langsung ke loket maupun membeli melalui internet.
•
Postpurchase Decision Pada tahap setelah membeli, konsumen akan mendapatkan pengalaman terhadap produk tersebut. Pada tahap ini, bila konsumen puas kemungkinan besar akan kembali lagi sedangkan bila tidak puas akan memilih produk yang lain. Misalnya pada bab 4.1 ada komentar dari konsumen yang mengeluhkan ketidaknyamanan kursi Blitzmegaplex sehingga enggan untuk menonton di sana lagi.
139
4.2.3.6.
Proses Membeli (purchase decision) Proses ini merupakah tahap dari perilaku konsumen di mana mereka
telah melakukan beberapa hal yaitu memilih produk, brand atau dealer, menentukan jumlah pembelian, menentukan waktu pembelian, dan melakukan metode pembayaran. Pada tahap ini, konsumen telah membuat keputusan final untuk menonton di Blitzmegaplex atau di 21 Cineplex, di lokasi mana bioskop tersebut berada, membeli berapa tiket, memilih jam tayang pada hari tertentu apakah pada hari kerja atau akhir pekan, dan melakukan pembayaran apakah datang langsung ke lokasi atau melakukan transaksi secara tunai dengan uang cash / kartu debit maupun dengan kartu prabayar seperti Blitzcard.
4.2.4.
Porter’s 5 Forces Analysis Porter five forces analysis ialah sebuah model yang diciptakan oleh
Michael E. Porter pada tahun 1979. Model ini diciptakan untuk mengidentifikasi halhal yang mempengaruhi sebuah perusahaan dalam menciptakan sebuah strategi (Kurtz, 2008). Berikut ini adalah bagan analisis lima ancaman dalam industri bioskop di mana Blitzmegaplex berada dalam posisi pendatang baru.
140
Ancaman Pendatang Baru / Threat of New Entrant
Kekuatan Pemasok / Bargaining Power of Supplier
•
• •
• •
Ancaman Blitzmegaplex sebagai pendatang baru terhadap XXI memiliki derajat sedang Blitzmegaplex menghadapi Entry barrier dan Exit barrier tinggi Dibutuhkan modal besar dan jaringan yang luas untuk menjadi pemain yang kuat
•
Tingkat Persaingan / Competitive Rivalry • • • •
Ancaman Produk Pengganti / Threat of Subtitude Product • • • •
Tinggi Maraknya DVD bajakan dengan harga murah Pilihan hiburan lain di kota besar sangat banyak dan bervariasi Perkembangan teknologi yang cepat memicu munculnya barang-barang subtitusi berkualitas
•
Tingkat sedang, masih terkonsentrasi di beberap wilayah saja Pemimpin pasar menguasai market share lebih dari 50% di seluruh Indonesia Jumlah pemain sedikit Biaya untuk berkompetisi tinggi Struktur pasar diferentiated oligopoly
•
Kekuatan pemasok agak tinggi Tidak ada regulasi untuk distribusi (produser film lokal merangkap distibutor) Pemasok film impor Hollywood & Mandarin terkonsentrasi dalam Asosiasi Importir Film Pemasok sulit menyalurkan film bila tidak memiliki jalur khusus terhadap suatu bioskop
Kekuatan Pembeli / Bargaining Power of Buyer • • •
Sedang Jumlah konsumen terbatas, hanya 12% dari penduduk Indonesia Jumlah pemain sedikit sehingga konsumen tidak memiliki banyak pilihan
GAMBAR 4.25. BAGAN PORTER’S 5 FORCES
4.2.4.1.
Ancaman Pendatang Baru (Threat of new entrant) Dalam industri bioskop di Indonesia saat ini, Blitzmegaplex memiliki
entry dan exit barrier yang tinggi. Dibutuhkan modal besar dan jaringan yang kuat untuk masuk ke dalam industri perbioskopan, apalagi dengan adanya suasana oligopoli di mana 70% pangsa pasar dikuasai oleh pemimpin pasar. Modal besar
141
tadi juga merupakan salah satu faktor tingginya exit barrier, sebagai gambaran pengusaha bioskop yang telah memiliki gedung dengan interior dan struktur gedung bioskop akan sulit merombak sebagian strukturnya untuk dijadikan bangunan lain, ditambah lagi biaya alat-alat operasional bioskop yang tergolong mahal, sehingga beberapa bioskop yang masih bertahan memilih untuk tidak menutup bioskopnya melainkan bermain di segmen bawah dengan kualitas seadanya. Dalam satu dekade terakhir dunia perbioskopan Indonesia, hanya segelintir pengusaha bioskop yang mampu bertahan menghadapi dominasi penguasa pasar, hal ini diperburuk oleh kondisi “mati suri” perfilman nasional pada tahun 1992 – 2000. Di Jakarta sendiri, pemain baru dalam industri bioskop selain Blitzmegaplex adalah Surya M2 yang menghadirkan film-film barat serta Mandarin, terletak di pusat perbelanjaan Mangga Dua Square, namun bioskop ini tidak memiliki jaringan yang kuat dan belum menjadi kompetitor yang mengusik. Berbagai faktor di atas menyebabkan ancaman pendatang memiliki derajat sedang.
4.2.4.2.
Ancaman Produk Pengganti (Threat of subtitude products) Kemajuan teknologi memberikan dampak yang signifikan terhadap
munculnya barang subtitusi menonton bioskop. Contohnya adalah perkembangan teknologi video audio home entertainment seperti
VCD, DVD, home teater,
playstation dan sebagainya. Bila para pelaku industri bioskop tidak mengimbangi kemajuan teknologi yang telah terimplementasi dalam industri barang subtitusi, maka industri ini akan menuju kejatuhan. Contoh nyatanya, bioskop yang
142
dilengkapi dengan peralatan seadanya lama kelamaan tidak akan bertahan hidup menghadapi gempuran pesaing dengan peralatan yang modern. Maraknya pembajakan film dalam bentuk DVD di Indonesia juga menjadi salah satu faktor tingginya ancaman barang subtitusi bagi pelaku industri bioskop. Sebagai perusahaan di bidang jasa, yaitu pemutaran film, pelanggan berkewajiban meluangkan waktu dan mengeluarkan biaya untuk mendapatkan hiburan. Dengan modal yang sama ini, penyedia jasa lain seperti restaurant, karaoke, dan club juga bisa didapatkan oleh calon pelanggan. Otomatis pilihan ini juga menjadi barang subtitusi bagi industri bioskop.
4.2.4.3.
Ancaman
Kekuatan
Pembeli
(Threat
of
buyer’s
growing
bargaining power) Menurut Kotler, pembeli memiliki bargaining power yang tinggi bila mereka terkonsentrasi atau terorganisasi. Sedangkan di Indonesia, sebelum kemunculan Blitzmegaplex yang terjadi justru sebaliknya, yaitu pelanggan memiliki bargaining power yang rendah karena tidak bisa menentukan harga karcis bioskop. Pemimpin pasar yang mendominasi membuat pelanggan tidak memiliki banyak pilihan. Sejak kemunculan Blitzmegaplex, harga karcis bioskop kompetitor dinilai terlalu tinggi dan kemudian terjadilah kompetisi harga meskipun bukan fokus utama. Selain faktor-faktor tersebut, faktor lainnya adalah rendahnya jumlah masyarakat yang mau menonton bioskop, dari hasil survey yang dilakukan, hanya kurang dari 12% dari total populasi yang mau mengeluarkan
143
uangnya untuk menonton bioskop, mereka lebih memilih menonton DVD atau menunggu suatu film diputar di televisi. Berbagai faktor inilah yang mengakibatkan ancaman kekuatan pelanggan di Indonesia memiliki derajat sedang.
4.2.4.4.
Ancaman Kekuatan Pemasok (Threat of supplier’s growing
bargaining power) Dalam industri bioskop di Indonesia, di mana undang-undang tentang distribusi film dianggap sebagai sistem yang masih belum baik oleh masyarakat film, rumah produksilah yang mendistribusikan filmnya. Dalam kasus tudingan monopoli terhadap 21 Cineplex, Blitzmegaplex memiliki bargaining power yang agak rendah terhadap supplier. Blitzmegaplex menuduhkan adanya Silent Embargo terhadap perusahaan mereka yang dilakukan oleh kompetitor, di mana posisi kompetitor saat ini memiliki bargaining power yang cukup tinggi terhadap supplier mereka karena memiliki jaringan yang sangat luas di seluruh Indonesia. Apalagi Asosiasi Importir Film (AIF) yang menguasai import film-film Hollywood dan Mandarin memiliki hubungan eksklusif dengan jaringan bioskop 21 mengakibtkan perusahaan-perusahaan bioskop di luar jaringan 21 kesulitan mendapatkan film Hollywood baru sebelum film tersebut diputar di jaringan 21. Meski demikian, Blitzmegaplex juga memiliki pemasok eksklusif film-film nonHollywood seperti film-film Eropa dan beberapa negara Asia yaitu Jive Entertainment, sehingga dari pemasok inilah Blitzmegaplex dapat memutar film-
144
film berkualitas yang tidak akan diputar oleh jaringan 21. Faktor-faktor di atas menyebabkan ancaman kekuatan pemasok memiliki derajat agak tinggi.
4.2.4.5.
Tingkat Persaingan (Threat of intense segment rivalry) Dalam industri bioskop Indonesia, persaingan yang terjadi tergolong
sedang. Hal ini disebabkan selain karena jumlah pemain yang sedikit juga karena market share yang didominasi oleh jaringan bioskop 21 melebihi 70% untuk seluruh Indonesia. Struktur pasar diferentiated oligopoly ini menyebabkan Blitzmegaplex berada di posisi kurang nyaman karena harus menelurkan strategistrategi yang lebih inovatif, dana / kapital yang sangat besar, serta pemasaran yang jitu seperti branding yang kuat untuk bersaing dengan penguasa pasar. Persaingan antara Blitzmegaplex dengan 21 Cineplex dapat dirasakan oleh para moviegoers (sebutan untuk para penggemar nonton bioskop) dengan adanya persaingan harga, event-event promo, serta akhir-akhir ini adanya isu monopoli yang berlanjut ke KPPU.
4.2.5. 4.2.5.1.
Mengidentifikasi dan Menganalisa Kompetitor Identifikasi Kompetitor Ditinjau dari sudut pandang pendekatan pasar (market approach),
kompetitor Blitzmegaplex adalah semua perusahaan yang dapat memenuhi apa yang dibutuhkan oleh calon customernya. Blitzmegaplex sebagai perusahaan bioskop dengan konsep One Stop Entertainment menawarkan beberapa hal di
145
samping layanan utamanya yaitu pemutaran film, misalnya dengan menyediakan lounge, cafe, toko merchandise, bilyard, karaoke maupun layanan terbarunya restauran bioskop (dining cinema). Sebagai perusahaan pemutar film, kompetitor langsung Blitzmegaplex adalah jaringan bioskop lain seperti jaringan bioskop 21 Cineplex, MPX, Surya M2 dan bioskop-bioskop di daerah lainnya. Sedangkan kompetitor tidak langsung adalah kompetitor yang juga menawarkan barang subtitusi atau pengganti nonton bioskop serta kompetitor yang bergerak di industri produk sampingan Blitzmegaplex. Kompetitor tidak langsung ini antara lain perusahaan distribusi DVD/VCD/home entertainment, restaurant, tempat karaoke, cafe, club, penerbit (publisher) game online, sampai website penyedia layanan unduh (download) film seperti indowebster maupun youtube.
4.2.5.2.
Analisa Strategi dan Tujuan Kompetitor Pada studi kasus ini, Blitzmegaplex jelas sekali menantang sang
penguasa pasar yaitu jaringan bioskop 21 Cineplex. Blitzmegaplex memilih 21 Cineplex sebagai kompetitor utama karena perusahaan tersebut menguasai market share lebih dari 70% di seluruh Indonesia. Karena itu untuk mewujudkan visi Blitzmegaplex sebagai “The ultimate One Stop Entertainment in Indonesia” perlu dilakukan langkah besar bukan hanya sebagai pendatang baru yang malu-malu tetapi sebagai pendatang baru yang mampu mengusik penguasa pasar.
146
Dalam menghadapi penantang pasar ini, kita juga dapat melihat bahwa 21 Cineplex tidak tinggal diam melainkan melakukan pergerakan. Sebagai perusahaan bioskop yang telah berusia lebih dari dua dekade, perusahaan ini telah memasuki masa maturity, tidak ada perubahan berarti dalam berbagai hal selain kenaikan harga. Layanan yang diberikan pun tidak mengalami peningkatan, hal ini bisa kita baca dalam komentar pelanggan pada bab 4.1 yang mengamati 21 Cineplex dahulu dan sekarang. Sejak beberapa tahun terakhir ini, tepatnya sejak tahun 2004, 21 Cineplex mulai membangun Cinema XXI di Studio EX Plaza Indonesia namun saat itu tarif yang dikenakan pada pelanggan masih cukup mahal. Pada tahun-tahun selanjutnya Cinema XXI ini mulai menggantikan penampilan Cinema 21. Saat ini ada 3 brand di bawah bendera 21 Cineplex yaitu Cinema 21, Cinema XXI, dan The Premiere. Meskipun pihak manajemen 21 Cineplex menyangkal bahwa Cinema XXI tidak didirikan dengan maksud membedakan segmen pasar, namun kenyataannya masyarakat sendiri yang memberikan standar kelas dua pada Cinema 21, segmen kelas menengah untuk Cinema XXI serta segmen kelas atas untuk The Premiere. Selain itu sejak kehadiran Blitzmegaplex, 21 Cineplex juga menurunkan harga tiket. Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa 21 Cineplex selain melakukan strategi branding juga melakukan pricing strategy. Sebagai pemimpin pasar dengan pangsa pasar lebih dari 70%, 21 Cineplex bertujuan untuk tetap mempertahankan market share mereka sehingga posisi sebagai market leader tidak tergoyahkan. Selain itu usaha ekspansi ke luar daerah Jakarta bertujuan untuk meningkatkan total market. Strategi ini merupakan
147
strategi yang cerdik karena dengan menancapkan kaki ke lokasi baru, 21 Cineplex dapat menghambat calon kompetitor yang akan muncul belakangan.
4.2.5.3.
Menganalisa SWOT Kompetitor Posisi kompetisi merujuk kepada seberapa kuat atau lemah sebuah
bisnis individual, berhubungan dengan kompetitor langsungnya (Healy, 2006). Dengan mengetahui posisi kompetitornya, suatu perusahaan dapat memperkirakan kekuatan kompetitor. Dalam kasus ini, posisi 21 Cineplex masuk ke dalam kategori kuat (strong), yakni perusahaan dapat mengambil aksi mandiri tanpa membahayakan posisi jangka panjangnya dan dapat menjaganya bagaimanapun aksi kompetitor. 21 Cineplex telah memiliki jaringan yang sangat luas di Indonesia, tidak dibutuhkan waktu lama untuk membuka outlet baru di suatu daerah, apalagi bila daerah tersebut memiliki potensi pasar. 21 Cineplex hanya perlu menerapkan strategi untuk menjaga market share mereka karena daur hidup perusahaan telah mencapai maturity. Sedangkan posisi Blitzmegaplex berada dalam kategori dapat baik (favourable), yakni perusahaan memiliki kekuatan yang dapat dieksploitasi dalam strategi-strategi tertentu dan memiliki kesempatan di atas rata-rata untuk meningkatkan posisinya. Hal ini berarti dengan kapabilitas yang dimiliki, Blitzmegaplex dapat meningkatkan posisi mereka namun hal tersebut bukan hal yang mudah dan diperlukan jangka waktu yang cukup lama. Dalam industri layar lebar Indonesia, struktur pasar yang terbentuk adalah diferentiated oligopoly. Dalam struktur pasar ini, jumlah penjual sebatas
148
dua atau beberapa saja, tetapi lebih sedikit daripada kompetisi murni atau kompetisi monopoli. Perbedaannya dengan oligopoli homogen adalah produk atau jasa yang ditawarkan di sini memiliki diferensiasi satu dengan yang lainnya. Pada struktur pasar ini, strategi branding yang kuat sangat esensial. Strategi pertahanan seperti pengembangan produk dan program loyalti konsumen juga perlu dikombinasikan dengan strategi pertumbuhan. Dalam situasi kompetisi ini, kita dapat melihat bahwa baik Blitzmegaplex maupun 21 Cineplex telah menerapkan stratregi branding dengan implementasi logo yang terintegrasi. 21 Cineplex juga berusaha meningkatkan loyalitas pelanggan dengan strategi penerapan harga dan pengembangan produk. Sedangkan strategi Blitzmegaplex untuk meningkatkan loyalitas pelanggan adalah dengan adanya Blitzcard. Pada umumnya suatu perusahaan harus memantau 3 variabel saat menganalisis kompetitor (Kotler, 2009), yaitu : ‐
share of market : dalam hal ini market share 21 Cineplex di Jakarta lebih besar daripada Blitzmegaplex karena jumlah bioskop maupun layar lebih banyak. Namun jika jumlah layar Blitzmegaplex dibandingkan dengan jumlah layar 21 Cineplex di sekitarnya, perolehan market share Blitezmegaplex telah mencapai lebih dari 50%.
‐
share of mind : yakni persentase pelanggan yang menyebutkan kompetitor sebagai perusahaan pertama yang muncul di otak bila ditanya hal yang berkaitan dengan suatu industri. Dilihat dari usia perusahaan 21 Cineplex yang telah menjadi pemimpin pasar lebih dari satu dekade, persentasenya
149
sangat tinggi. Penonton bioskop di Jakarta selama beberapa tahun telah mengucapkan frase “nonton 21” sebagai pengganti frase “nonton bioskop”. ‐
share of heart : yakni persentase pelanggan yang menyebutkan kompetitor sebagai brand pilihan pertama dalam membeli / memilih produk. Dalam forum kaskus, jumlah responden yang memilih 21 Cineplex jauh lebih banyak daripada yang memilih Blitzmegaplex, yaitu 55,25% untuk Cinema XXI dan 19,12% untuk Blitzmegaplex. Sedangkan pada forum Kafe Gaul, responden yang memilih bioskop milik jaringan 21 sebanyak 62,65% dan responden yang memilih Blitzmegaplex sebanyak 21,69%. Hal ini menunjukkan 21 Cineplex memiliki share of heeart yang lebih kuat dibanding Blitzmegaplex. Selain kekuatan dan kelemahan kompetitor yang merupakan faktor
internal, perlu juga diperhatikan faktor eksternalnya, yaitu kesempatan (opportunity) dan ancaman (threats). Kesempatan yang dimiliki oleh 21 Cineplex adalah bahwa pasar di Indonesia masih besar dan berpotensi untuk digali lebih lanjut. Generasi telah berganti dan sejak fase declining pada tahun 1990an belum ada perusahaan bioskop yang menawarkan inovasi. Dengan sumber daya yang besar dan jaringan yang luas, tentunya 21 Cineplex memiliki kesempatan yang lebih baik bila dapat berinovasi. Sedangkan ancaman yang dapat menghadang 21 Cineplex dalam eksistensinya adalah kecenderungan perubahan gaya hidup masyarakat kota yang dinamis dapat menyebabkan segmen pasar menjadi cepat bosan dan jenuh dengan sesuatu yang sama. Karena itulah, bila produk yang ditawarkan telah memasuki fase mature, 21 Cineplex perlu melakukan
150
pembenahan atau konsumen akan memilih produk kompetitor yang relatif baru dan menarik untuk dicoba. Faktor pendatang baru dan DVD bajakan juga merupakan ancaman nyata bagi 21 Cineplex.
4.2.6.
Analisa Strategi Serang Blitzmegaplex Pada dasarnya, menyerang dilakukan bila kita bermaksud melakukan
sesuatu yang baru dalam industri. Sesuatu yang baru itu misalnya : industri baru dalam wilayah geografi yang sama, industri sama dalam wilayah geografi yang baru, atau industri baru dalam wilayah geografi yang baru. Sebagai tambahan, bila kita memasuki suatu segmen dalam industri dan wilayah geografi yang sama atas dasar inisiatif kita sendiri, hal ini bisa dikatakan sebagai serangan, tetapi bila kita memasuki segmen tersebut sebagai reaksi terhadap kompetitor, hal tersebut dapat digolongkan sebagai gerakan pertahanan. Vasconcellos (2005) memjelaskan serangan dengan persamaan sebagai berikut : Attack = (1) entry + (2) unprovoked Dapat dijabarkan bahwa menyerang berarti melakukan sesuatu yang baru dalam industri dan wilayah geografi yang sama tanpa ada pancingan dari pihak mana pun. Pendiri Blitzmegaplex mendirikan perusahaan bioskop baru atas dasar inisiatif sendiri karena mereka melihat adanya peluang dalam industri ini. Blitzmegaplex bermaksud melebarkan sayap ke seluruh Indonesia. Di lain pihak, 21 Cineplex adalah perusahaan bioskop yang juga memiliki jaringan di seluruh Indonesia. Karena itu dapat disimpulkan bahwa Blitzmegaplex melakukan serangan
151
terhadap 21 Cineplex karena perusahaan baru tersebut berada dalam segmen dan wilayah geografi yang sama.
4.2.6.1.
Tujuan Strategi Serang Blitzmegaplex Bila suatu bisnis tertantang untuk menjadi yang terdepan dalam suatu
segmen atau seluruh pasar, yang harus diperhatikan adalah pemilihan strategi untuk mendapatkan market share. Keputusan pertama yang harus dibuat adalah menentukan kompetitor mana yang akan dibidik. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa Blitzmegaplex menyerang 21 Cineplex yang posisinya adalah sebagai pemimpin pasar. Strategi ini biasanya sangat riskan kecuali penantang didukung oleh sumber daya yang jauh lebih besar atau pemimpin pasar kehilangan performa yang baik di mata konsumen. Blitzmegaplex menyerang pemimpin pasar karena pemain dalam industri bioskop di Indonesia dewasa ini tidak banyak. Pemain tersebut berada dalam skala kecil dengan sumber daya serta modal terbatas. Kekuatan ini tidak sebanding dengan sumber daya yang mendukung Blitzmegaplex. Satu-satunya perusahaan bioskop besar dengan modal memadai serta jaringan yang luas hanya 21 Cineplex. Untuk mewujudkan visinya sebagai perusahaan “one stop entertainment” terbaik di Indonesia, Blitzmegaplex harus menyerang pemimpin pasar.
152
4.2.6.2.
Stretagi Serang Blitzmegaplex Secara Umum Pada bab 2 telah dijelaskan mengenai beberapa strategi serang secara
umum. Vanconcellos (2005) membagi strategi serang menjadi enam kategori yaitu frontal attack, flanking attack, bypass attack, guerilla attack, differentiated circle dan undifferentiated circle. Untuk menganalisa yang mana strategi Blitzmegaplex, kita dapat melihat dari bagan di bawah ini :
153 Yes
Is the percentage of sales that the segment represents in the total turnover of the industry leader ?
One
Is the Industry leader in these segments ?
Number of Segments in which our company enters
Large : Frontal Attack
Small : Flanking Attack
No
Is the segment in some way a subtitude for the segments the industry leader is in ?
Yes : Bypass
No : Guerilla
Two or More
What is the relation between our number of models and segments ?
Fewer Models than the segment : Undiffentiated Circle
As many models as the segment : Differentiated Circle
GAMBAR 4.26. BAGAN STRATEGI SERANG Sumber : Strategy Moves, Vasconcellos (2005, P.47)
154
Pada bagan di atas, ada dua tipe serangan yang menjadi perhatian, yaitu serangan dari arah sayap (flanking attack) dan serangan dari arah depan (frontal attack). Flanking attack menurut Vasconcellos (2005) berarti menyerang kompetitor tetapi bukan pada kekuatannya. Flanking attack ini masih bisa dikelompokkan lagi menjadi beberapa tipe antara lain : berdasarkan geografi (geographical flanking), berdasar produk (product), berdasar kebutuhan (need), dan berdasar klien (clients). Dalam kasus ini, pada awalnya Blitzmegaplex memasuki pasar dengan strategi flanking attack berdasarkan klien. Mereka memilih target market pada segmen yang berada di atas Cinema 21, yaitu target market yang sama dengan Cinema XXI. Pada tahun 2006, jumlah Cinema XXI sangat terbatas dan bukan merupakan representasi persentase penjualan terbesar 21 Cineplex. Cinema XXI dibuka pertama kali di EX Plaza Indonesia dengan harga tiket untuk weekend mencapai Rp.60.000,- Kelebihan Cinema XXI dibandingkan Cinema 21 adalah memiliki desain interior serta mebel yang lebih nyaman dan eksklusif, ukuran layar yang lebih besar, dan beberapa studionya dilengkapi sertifikat THX untuk sistem tata suara. Kelemahannya masih sama dengan tipikal bioskop 21 yang lain yaitu jumlah layar yang terbatas yaitu empat layar reguler ditambah dua layar The Premiere. Blitzmegaplex membidik target market ini dengan menawarkan pelayanan yang lebih lengkap, bukan hanya kenyamanan menonton bioskop tetapi juga berbagai fasilitas penunjang lainnya. Blitzmegaplex menyerang titik lemah Cinema XXI dengan jumlah layar 11. Jumlah ini hampir mencapai dua kali lipat jumlah layar Cinema XXI.
155
Flanking attack ini pada perkembangannya berubah menjadi frontal attack karena beberapa hal. Blitzmegaplex mendirikan bioskopnya pada spot yang menjadi jantung 21 Cineplex, spot-spot tersebut merupakan spot dengan tingkat penjualan yang tinggi, contohnya di City Walk (Ciwalk) Bandung dan Bundaran HI Jakarta. Strategi flanking attack yang dilakukan Blitzmegaplex berhasil dengan sukses karena meraih market share sekitar 50% dari bioskop milik 21 Cineplex di sekitarnya. Kondisi ini memicu 21 Cineplex melakukan serangan balasan sebagai bentuk pertahanan mereka. Cinema XXI didirikan untuk menggantikan Cinema 21 di beberapa lokasi, sekarang ini hampir 50% dari layar milik 21 Cineplex di Jakarta merupakan Cinema XXI. Selain itu secara tidak langsung telah terjadi pergeseran segmentasi karena kemunculan brand baru Cinema XXI, brand terdahulu Cinema 21 menjadi bioskop kelas menengah dengan harga tiket murah dan terjangkau. Karena itu, serangan Blitzmegaplex tidak lagi disebut flanking karena kini mereka berada pada satu segmen dengan pemimpin pasar dan segmen tersebut merepresentasikan lebih dari 50% persentase penjualan produk utama. Blitzmegaplex beradu secara langsung (head to head) dengan Cinema XXI. Berikut ini adalah tabel matriks perbedaan segmen antara brand Blitzmegaplex, Cinema XXI, dan Cinema 21 :
156
TABEL 4.18. MATRIKS PERBEDAAN SEGMENTASI Segmen Pasar
Brand Tingkat ekonomi Blitzmegaplex
A
Usia target pasar 15 - 50
Selera Film
Kelas A, Menyukai hal – B
Cinema XXI
A
15 - 50
B
21 - 50
Sedang
kenyamanan
Kelas B, Menyukai C
Awareness terhadap teknologi Tinggi
hal baru
Kelas A, Mengutamakan B
Cinema 21
Gaya Hidup
Rendah
harga yang terjangkau dan film nasional
4.2.6.4.
Faktor Kunci Kesuksesan Blitzmegaplex Ada
beberapa
hal
yang
menjadi
faktor
penentu
kesuksesan
Blitzmegaplex pada serangannya yang pertama, antara lain : •
Produk Keunikan Blitzmegaplex dalam memasuki pasar adalah dengan menawarkan produk yang berbeda dari kompetitor dan belum pernah ada di Indonesia sebelumnya. Keunikan produk utama dapat dilihat dari banyaknya jumlah layar bioskop dalam 1 bioskop yang memungkinkan penonton memiliki lebih banyak pilihan film. Selain itu, Blitz juga menawarkan fasilitas pendukung seperti wi-fi internet yang dapat dinikmati pelanggan. Semua hal yang ditawarkan Blitz ternyata mampu menarik perhatian pasar Bandung dan
157
menjawab keinginan serta kebutuhan mereka sehingga sampai tahun 2009, perolehan admisi terbaik masih tetap dipegang oleh Blitz PVJ Bandung. •
Distribusi Dalam menentukan penyebaran bioskopnya, Blitz memfokuskan pada lokasilokasi kunci yang menjadi pusat bisnis, misalnya di Bundaran HI, Kelapa Gading, Senayan, dan Serpong. Hal ini dimaksudkan karena sasaran pasar Blitz adalah kelas menengah ke atas yang banyak beraktifitas atau bermukim di daerah sekitar pusat bisnis.
•
Customer Relationship Management (CRM) Untuk membentuk relasi yang baik dengan pelanggan dan menjaganya, Blitz telah melakukan orientasi kepada pelanggan. CRM Blitz dilakukan baik secara online dan offline, yaitu dengan memanfaatkan situs jejaring facebook untuk mendengarkan dan berkomunikasi langsung dengan pelanggan atau dengan mengadakan event-event festival maupun promosi.
4.2.7. 4.2.7.1.
Menganalisa Strategi Pertahanan 21 Cineplex Memperluas Pangsa Pasar Sebagai pemimpin pasar, 21 Cineplex memiliki banyak kesempatan
untuk memperluas pangsa pasar. Kotler (2009) menyatakan bahwa ada beberapa cara untuk meningkatkan pangsa pasar, yaitu meraih konsumen baru dan menawarkan kegunaan lebih. Untuk meraih konsumen baru, suatu perusahaan dapat mencarinya dalam beberapa kategori berikut ini : mereka yang tidak
158
menggunakan produk dan memiliki kemungkinan menggunakannya, mereka yang belum pernah menggunakan produk sama sekali, atau mereka yang tinggal di daerah yang belum terjangkau oleh perusahaan. Sedangkan untuk menawarkan kegunaan lebih, perusahaan dapat meningkatkan jumlah, level maupun frekuensi penggunaan sehingga produk atau jasa menjadi lebih sering dipakai. Sebagai perusahaan dengan sumber daya yang besar dan sudah berpengalaman, tidak sulit bagi 21 Cineplex untuk membuka bioskop di wilayah baru. Dalam kasus ini, 21 Cineplex selain menghambat gerak kompetitor dengan mengubah brand Cinema 21 menjadi Cinema XXI, juga membuka banyak bioskop baru di mall baru, sebagai contohnya pembukaan Cinema 21 di Blok M Square untuk menyaingi MPX Grande, atau rencana pembukaan Cinema XXI di Lenmarc Mall Surabaya untuk mendahului pembukaan kompetitornya Blitzmegaplex di Mall Ciputra. 21 Cineplex juga merencanakan pembukaan bioskop-bioskop baru di daerah yang lebih kecil namun memiliki potensi pasar. Selain meraih konsumen baru, 21 Cineplex juga menerapkan harga diskon untuk seperti buy one get one free dan harga nomat (nonton hemat) untuk meningkatkan frekuensi pelanggan menonton bioskop bukan hanya pada akhir pekan tetapi juga pada hari-hari kerja.
4.2.7.2.
Mempertahankan Pangsa Pasar Untuk mempertahankan market share, 21 Cineplex telah melakukan
beberapa strategi yang bisa disebut sebagai strategi bertahan. Jika Vanconcellos
159
(2005) menyatakan bahwa “attack = entry + unprovoked” maka strategi bertahan (defense) adalah kondisi bila salah satu dari dua elemen menyerang (attack) tersebut tidak termasuk. Jika demikian dapat disimpulkan bahwa strategi bertahan terbagi menjadi dua yaitu saat perusahaan kita tidak memasuki segmen baru (tidak ada elemen entry) tetapi tetap bertahan pada segmennya dan saat perusahaan kita memasuki segmen baru karena reaksi terhadap gerak kompetitor (entry and provoked). Strategi untuk tetap bertahan tanpa memasuki segmen baru antara lain memberi sinyal (signaling), menciptakan penghalang masuk (creating entry barriers), dan menahan pijakan (holding the ground). Sedangkan strategi yang termasuk memasuki segmen baru sebagai reaksi terhadap kompetitor antara lain global service, pre-emptive strike, blocking, counter-attack, dan withdrawal. Dalam kasus ini, strategi pertahanan 21 Cineplex dapat digolongkan ke dalam strategi blocking. Blocking adalah strategi pertahanan yang dilakukan oleh perusahaan dengan cara memasuki segmen yang sama dengan kompetitor. Dalam blocking ada empat aturan main yang menentukan sukses tidaknya suatu perusahaan yakni bertindak cepat (swiftly), bertindak lugas (boldly), memberikan nama/brand baru, dan memiliki competitive advantage. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan bagaimana suatu perusahaan melakukan blocking dan mengapa usaha tersebut dilakukan :
160
TABEL 4.19. STRATEGI MELAKUKAN BLOCKING How
Why
Move swiftly
To prevent the competitor strenghthening
Move boldly
To maximize impact through force
Create a new brand name
To show customers that the new brand is distinct from the old one
Maximize synergy Be sure your strenght are equal to the To create competitive advantage new segment’s success factors Sumber : Strategy Moves, Vasconcellos (2005,P.118)
21 Cineplex pada awalnya tidak memberikan segmentasi yang jelas bagi pelanggan, harga tiket ditentukan berdasarkan lokasi suatu bioskop, misalnya harga bioskop di daerah Bundaran Hotel Indonesia lebih mahal dua sampai tiga kali lipat dibandingkan harga tiket bioskop di daerah Blok M. Baru belakangan, terdapat perbedaan harga tiket berdasarkan brand baru milik 21 Cineplex. Perbedaan itu terkait dengan strategi blocking yang dilakukan oleh perusahaan yakni memasuki segmen yang sama dengan Blitzmegaplex. 21 Cineplex kini memasuki segmen kelas satu dengan brand Cinema XXI dan kelas premium The Premiere. Meski demikian, 21 Cineplex tetap mempertahankan brand awal yaitu Cinema 21 untuk beberapa bioskop kelas dua dengan harga tiket termurah Rp. 10.000,00. Dengan strategi blocking ini, 21 Cineplex telah mengubah strategi serang Blitzmegaplex dari flanking menjadi frontal attack karena kini mereka
161
berada dalam satu segmen di mana segmen tersebut memberikan kontribusi yang besar dalam persentase penjualan tiket. 21 Cineplex dalam melakukan penghalangan (blocking) untuk mempertahankan market sharenya melakukan pergerakan dengan sangat cepat (act switfly). Hal ini bisa dilihat dari pembukaan situs baru Cinema XXI di tempattempat di mana Blitzmegaplex nantinya akan berdiri. Sebagai contoh, sebelum Blitzmegaplex melakukan grand opening di Teraskota BSD Serpong, 21 Cineplex telah mengubah Cinema 21 yang berada di BSD Plaza menjadi Cinema XXI. Hal yang sama juga terjadi pada Djakarta Theater yang telah diakuisi oleh 21 Cineplex menjadi Cinema XXI, pembukaan Cinema XXI di Mall FX, pembukaan XXI dan The Premiere di Senayan City dan perombakan total Cinema XXI serta The Premiere Plaza Senayan. Spot-spot tersebut berada dalam radius antara satu sampai lima kilomater untuk menambah jumlah bioskop di sekitar SudirmanThamrin, di mana pada daerah tersebut terdapat dua bioskop Blitzmegaplex yaitu Blitzmegaplex Grand Indonesia dan Blitzmegaplex Pasific Place. Untuk melakukan aturan kedua, act boldly, 21 Cineplex memberikan promosi yang cukup berani dengan menurunkan harga tiketnya hingga dua kali lipat. Penurunan harga ini diikuti oleh sederetan promosi lain seperti hari nonton hemat yang semula hanya hari Senin menjadi hari Senin sampai Kamis. Sedangkan untuk hari akhir pekan, promosi yang ditawarkan berlaku untuk pemegang kartu kredit BCA dengan promo buy one get one free. Pelayanan lain untuk menyaingi Blitzmegaplex dalam hal kemudahan pembelian tiket adalah
162
fasilitas Mtix Ticketing, meski fasilitas ini hanya bisa digunakan di beberapa bioskop Cinema XXI saja. Tidak cukup sampai di situ, 21 Cineplex memiliki hak eksklusif dengan AIF (Asosiasi Importir Film) untuk mendapatkan hak eksklusif menayangkan film-film box office Hollywood pada pemutaran perdana sebelum diputar di bioskop lainnya. Aturan ketiga diimplementasikan 21 Cineplex dengan memunculkan brand baru Cinema XXI dan The Premiere. Kedua brand ini diciptakan untuk menandai masuknya 21 Cineplex di segmen yang sama dengan Blitzmegaplex. Bila 21 Cineplex hanya melakukan perubahan interior dan peningkatan pelayanan pada Cinema 21, secara psikologis masyarakat akan tetap menganggap Cinema 21 berada di bawah Blitzmegaplex. Kemunculan dua brand baru ini secara otomatis telah membentuk persepsi konsumen akan produk 21 Cineplex yang lebih baik daripada Cinema 21 sehingga dengan sendirinya segmen pasar akan bergeser. Kini masyarakat menilai Cinema 21 sebagai bioskop kelas dua yang berada di bawah Cinema XXI dan The Premiere. Aturan keempat mengenai competitive advantage merupakan hal yang lebih mudah dilakukan oleh pemimpin pasar karena hal tersebut merupakan kekuatan yang tidak dimiliki oleh penantang pasar. Dalam kasus ini, 21 Cineplex memiliki jaringan bioskop yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah yang sangat mendominasi ini membuat 21 Cineplex memiliki bargaining power yang cukup tinggi dibanding para pemasok film terlebih perusahaan pemasok film yang belum terkenal. Kondisi ini menyebabkan 21 Cineplex dapat memutuskan film apa yang
163
akan diputar dan film apa yang tidak akan diputar sehingga proses seleksi ada di tangan 21 Cineplex. Bila 21 Cineplex memutuskan tidak memutar suatu film, maka risikonya pemasok film tersebut harus mendistribusikan film kepada jaringan bioskop lain yang jumlahnya lebih sedikit. Jumlah bioskop yang tersebar di mana-mana ini menyebabkan konsumen lebih memilih menonton di bioskop milik 21 Cineplex karena dekat dengan tempat tinggal. Kelebihan lain adalah harga tiket yang lebih murah dari kompetitor. Cinema XXI dapat memberikan pelayanan yang hampir sama dengan Blitzmegaplex namun dengan harga tiket yang lebih murah. Pada bab 4.1 dapat dilihat bahwa beberapa konsumen mengakui bahwa fasilitas tempat duduk Cinema XXI jauh lebih nyaman dibanding tempat duduk Blitzmegaplex. Selain itu, harga makanan dan minuman ringan yang ditawarkan pun lebih murah. Keunggulan lain, seperti disebutkan pada paragraf sebelumnya bahwa 21 Cineplex memiliki hak eksklusif pada salah satu pemasok film sehingga dapat menayangkan film Hollywood terlebih dahulu, dengan demikian film-film yang diputar oleh 21 Cineplex khususnya Cinema XXI dan The Premiere merupakan film-film terbaru yang up-to-date.
4.2.8. Strategi
Serang
Blitzmegaplex
Menghadapi
Pertahanan
21
Cineplex Strategi 21 Cineplex membalikkan strategi serang Blitzmegaplex menjadi frontal attack adalah strategi yang cerdik. Hal ini dikarenakan risiko kegagalan frontal attack adalah yang paling besar di antara enam strategi serang.
164
Bagan di bawah ini menggambarkan mengapa frontal attack merupakan strategi dengan faktor kegagalan terbesar : Frontal Attack Characteristics
Thus,
1.
1.
2.
The entry is in the market segment where competitor is present The segment is important to the competitor, representing a high percentage of sales
Consequently,
The competitor is forced to retaliate The company will suffer both a certain retaliation and a strong one
2.
The competitor can retaliate powerfully, as it is so strong
GAMBAR 4.27. BAGAN MENGAPA FRONTAL ATTACK GAGAL Sumber : Strategy Moves, Vasconcellos (2005, P.70) Dari bagan di atas kita dapat melihat bahwa dengan melakukan frontal attack, kompetitor akan terpaksa melakukan serangan balasan dan serangan tersebut bisa sangat kuat. Dengan demikian, perusahaan harus mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki dan tidak boleh lengah sedikit pun. Sebagai perusahaan baru, hal ini bukanlah hal yang mudah. Itulah mengapa frontal attack bagi perusahaan baru sering mengalami kegagalan. Blitzmegaplex boleh saja menuai suskes di Bandung ketika memasuki pasar dengan strategi flanking attack, tetapi menghadapi frontal attack yang terjadi di Jakarta sangatlah sulit, terbukti dari beberapa bioskop yang didirikan Blitzmegaplex di Jakarta, pertumbuhan penjualan yang terbaik tetap terjadi di Blitzmegaplex Paris Van Java Bandung. 21 Cineplex rupanya tidak mau hal yang sama terjadi di area kekuatan mereka sehingga di mana saja Blitzmegaplex mendirikan bioskop baru, di situlah 21 Cineplex mengerahkan kekuatan. Meski demikian, para pakar telah belajar dari pengalaman dan pengamatan. Mereka menjelaskan bahwa strategi (mengenai di mana) dan
165
taktik (mengenai kapan) yang dilakukan secara tepat dapat menghindarkan perusahaan dari kegagalan.
4.2.8.1.
Strategi Menghadapi Frontal Attack Menurut Vasconcellos ada delapan aturan main yang sangat penting
dalam melakukan frontal attack. Aturan main tersebut bahkan bisa membuat serangan semakin kuat. Ketiga aturan pertama dari delapan aturan tersebut bersumber pada satu prinsip yang harus dipegang kuat, yaitu fokus.
TABEL 4.20. DELAPAN ATURAN DALAM FRONTAL ATTACK Only one industry segmen Only one competitor Act upon only one competitor
Focus
weakness 4.1 Your strenght matches the key success factor Be sure we have advantage over the competitor weakness
And/or 4.2 Synergy And/or 4.3 Size
Achieve surprise Speed (deploy resources at a fast
Speed on top of surprise will make the competitor’s
pace)
reaction difficult
Leave an escape route to the competitor
Otherwise ego will clash
Is the segment worth it ?
8.1
Volume
8.2
Growth rate (future)
8.3
Profit margin (value)
Source : Strategy Moves, Vasconcellos (2005, P.77)
166
Aturan pertama, fokus pada satu segmen. Dalam kondisi frontal attack, perusahaan harus berfokus pada satu segmen dan memperkuat segmen tersebut dengan sumber daya yang dimiliki. Aturan kedua adalah fokus pada satu kompetitor. Bila Blitzmegaplex mengarahkan serangan pada Cinema XXI, maka mereka harus berkonsentrasi pada Cinema XXI saja. Mewaspadai brand lain seperti Cinema 21 atau The Premiere maupun perusahaan lain tetap dilakukan asalkan fokus utama strategi serang tetap diarahkan pada Cinema XXI. Aturan ketiga adalah menyerang poin terlemah kompetitor. Poin ini sebaiknya merupakan poin yang tidak dapat dipecahkan kompetitor dengan mudah dan cepat. Untuk menemukan titik terlemah kompetitor, perusahaan dapat melakukan beberapa cara seperti mengadakan penelitian pasar pada klien, mengamati trend sosial dan isu budaya, melihat operasi kompetitor, dan memutarbalikkan promosi kompetitor. Aturan keempat, perusahaan harus memiliki competitive advantage. Dalam kasus ini, Blitzmegaplex memiliki keunikan lebih dibanding Cinema XXI yang dapat menjadi competitive advantage, yaitu dengan adanya Blitzcard, teknologi RealD, jumlah layar yang lebih banyak, judul-judul film berkualitas yang ditawarkan, adanya event-event festival bagi komunitas film, dan fasilitas hiburan pendukung lainnya seperti wi-fi, tempat bilyard, karaoke dan sebagainya. Selain keunikankeunikan tersebut, sinergi dan ukuran (size) dapat dijadikan competitive advantage. Bila 21 Cineplex dapat memutar film secara eksklusif dari penyalur film, Blitzmegaplex juga harus memiliki penyalur eksklusif sehingga film-film yang ditayangkan di sana tidak akan diputar oleh 21 Cineplex, dalam kasus ini
167
Blitzmegaplex bersinergi dengan Jive Entertainment secara eksklusif, serta partner-partner lainnya untuk keperluan promosi seperti JIFFEST, Bank BRI, UOB Buana, CIMB Niaga, Seputar Indonesia, Detikhot, kaskus, radio Ardan, akarpadi, dan hepC. Di samping sinergi, yang perlu diperhatikan adalah ukuran (size). 21 Cineplex selama lebih dari dua dekade telah membangun jaringan yang luas dan memiliki ratusan layar di seluruh Indonesia. Hal ini merupakan kekuatan kompetitor, Blitzmegaplex sebagai perusahaan muda masih kalah dalam ukuran bila dibandingkan 21 Cineplex, namun hal ini bisa diatasi bila jumlah market share pada titik-titik kuat 21 Cineplex dapat ditingkatkan. Aturan kelima dan keenam berkaitan dengan waktu. Dalam frontal attack, kecepatan serangan merupakan taktik yang baik karena dapat mencegah kompetitor melakukan persiapan. Dalam waktu lima tahun, Blitzmegaplex telah membuka lima bioskop di Jakarta dan Bandung, berikutnya menyusul di sekitar Jakarta dan luar daerah, kondisi ini termasuk lambat dalam proses, karena sebelum Blitzmegaplex mempersiapkan dan membuka situs barunya, kompetitor telah membuka bioskop di wilayah yang sama lebih cepat. Salah satu contohnya adalah pembukaan di BSD Serpong Teraskota. Sebelum Blitzmegaplex melakukan grand opening, 21 Cineplex telah mengubah brand Cinema 21 menjadi Cinema XXI di wilayah tersebut. Aturan ketujuh adalah meninggalkan rute untuk keluar. Hal ini lebih ditujukan pada akhir pertempuran, bila kompetisi yang terjadi sudah tidak sehat dan bila kompetitor sulit untuk dikalahkan. Aturan kedelapan adalah meninjau
168
ulang kembali apakah frontal attack ini berharga untuk segmen yang dibidik, karena frontal attack ini biasanya memerlukan biaya yang sangat besar sehingga harus ditinjau ulang kembali faktor volume, growth rate dan proft margin akan lebih baik.
4.2.8.2.
Strategi Inovasi Persaingan yang kompetitif memberikan dorongan yang esensial pada
inovasi (Joe Tidd, et all, 2005). Teknologi dapat membantu memberi suatu perusahaan sebuah kompetensi khusus, membuatnya mampu menyediakan barang dan jasa yang lebih baik daripada kompetitor.
TABEL 4.21. PORTER’S GENERIC STRATEGY Cost
Differentiation Cost Focus
leadership Product development
Process development
Differentiation Focus
Lower Cost material
Enhance Quality
Ease of manufacture
Enhance Feature
Improve Logistic Learning curve
Deliverability Precision
Minimum feature
Niche market
Minimize cost
Precision
Quality Economic of control scale Response time Sumber :Managing Innovation, Joe Tidd (2005, P.120)
Quality Control Response Time
169
Dalam
melakukan
serangan
pasca
pertahanan
21
Cineplex,
Blitzmegaplex sebaiknya menerapkan strategi diferensiasi dalam pengembangan produk, yaitu dengan meningkatkan kualitas produk, meningkatkan fitur, dan mempermudah penyampaian ke konsumen. Dalam hal ini, Blitzmegaplex dapat melakukan beberapa hal seperti : •
Pengembangan produk Pengembangan produk dapat dilakukan dengan memperbanyak jenis film
yang
diputar,
meratakan
penyebaran
fasilitas
antara
Blitzmegaplex satu dengan yang lain, meningkatkan kualitas menu makanan, dan meningkatkan pelayanan para staf terutama yang berhubungan langsung dengan konsumen. •
Peningkatan fitur Peningkatan fitur dapat dilakukan dengan membenahi hal-hal yang dikeluhkan oleh konsumen, misalnya mengubah standar kursi, memperbaiki ukuran ruang gerak kaki untuk kelas standard, dan melatih petugas operasional alat-alat pemutar film.
•
Mempermudah penyampaian Strategi ini dapat dilakukan secara perlahan-lahan mengingat investasi yang dibutuhkan sangat besar dan kondisi perfilman Indonesia belum terlalu stabil. Blitzmegaplex harus terus membuka bioskop baru di tempat-tempat yang strategis, yaitu lokasi yang memenuhi beberapa
170
syarat antara lain terdapat target pasar yang mau menonton film, di pusat keramaian seperti pusat perbelanjaan, tempat yang mudah diakses,
memiliki
berbagai
fasilitas
pendukung,
dan
kondisi
lingkungan yang memadai.
4.2.8.3.
Menyeimbangkan Orientasi Terhadap Pelanggan dan Kompetitor Sebagai perusahaan baru, Blitzmegaplex hendaknya tidak hanya
berfokus pada bagaimana menghadapi kompetitor tetapi juga menempatkan perhatian pada kebutuhan konsumen (Kotler, 2009). •
Orientasi terhadap Kompetitor Dalam menentukan harga tiket di suatu lokasi, Blitzmegaplex selain melakukan survey terhadap daya beli target pasar juga melihat harga tiket yang dipatok oleh kompetitor. Blitzmegaplex juga melihat peluang pasar saat mengetahui bahwa admisi kompetitor di suatu wilayah cukup besar, sehingga Blitmegaplex berencana membuka bioskop di daerah tersebut, yaitu di Bekasi, Tomang, dan Serpong.
•
Orientasi terhadap Pelanggan Untuk
berorientasi
kepada
pelanggan,
Blitzmegaplex
perlu
membangun sarana untuk dapat mendengarkan atau mengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh konsumen. Blitzmegaplex mencoba menggunakan pendeketan dengan secara online (dengan media internet) dan offline (dengan menyelenggarakan event). Secara
171
online,
Blitzmegaplex
memanfaatkan
situs
perusahaan
untuk
memberitahukan kepada pelanggan berbagai informasi maupun promosi terbaru. Selain itu mengikuti trend jejaring sosial, Blitz juga memiliki akun di facebook untuk beriteraksi secara langsung dengan pelanggan, sehingga dengan demikian kesalahan informasi dapat diminimalkan. Blitz juga memiliki thread khusus untuk dijadikan topik dalam beberapa forum. Melalui media online ini, Blitzmegaplex dapat mengetahui suara konsumen seperti kurang nyamannya kursi di beberapa lokasi Blitz, kurangnya kualitas sound system di suatu lokasi, kepuasan menggunakan Blitzcard, antusias pelanggan terhadap pembukaan gedung Blitz yang baru dan sebagainya. Sedangkan secara offline,
Blitzmegaplex
mewadahi
sineas
perfilman
dengan
mengadakan festival film independent. Event semacam ini dapat menjembatani antara perusahaan dengan target pasar secara langsung.