113
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bagian ini mengemukakan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Fokus utama penelitian ini adalah apakah benar terdapat kecenderungan umum model pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta dapat memberikan pertumbuhan atau kemampuan dalam peningkatan kemandirian pada anak tunalaras? Penyajian pada bab ini akan dibagi ke dalam dua bagian, bagian pertama menyaikan data hasil penelitian dan bagian kedua menyajikan pembahasan hasil penelitian.
A. Deskripsi Profil Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, penelitian ini dilakukan terhadap Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta, gambaran dari hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk deskripsi hasil penelitian. Hasil-hasil penelitian yang disajikan pada bagian ini berupa keteranganketerangan atau data-data kasus menyangkut tiga indikator kasus, untuk masingmasing subjek penelitian. Indikator-indikator yang disajikan dan menjadi bahasan dalam bagian ini, yaitu:
114
1. Data yang berhubungan dengan kondisi objektif pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta; 2. Data yang berhubungan dengan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup; dan 3. Data yang berhubungan dengan implementasi model pelatihan kecakapan hidup. Telaah penelitian terhadap kondisi objektif pelatihan kecakapan hidup dan profil Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta akan berkenaan dengan komponen-komponen pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup yang selama ini dilaksanakan (analisis deskriptif). Telaah penelitian mengenai pengembangan model pelatihan kecakapan hidup, akan berkenaan dengan tiga komponen kegiatan yakni telaah terhadap: 1. Komponen perencanaan program; 2. Komponen pelaksanaan; dan 3. Komponen evaluasi kegiatan. Pada komponen perencanaan program, hal-hal yang menjadi fokus kajian penelitian ini adalah: 1. Jenis kegiatan pada tahap perencanaan, 2. Materi yang diprogramkan, 3. Alokasi waktu yang ditetapkan, 4. Tenaga yang dipersiapkan, 5. Pembiayaan, 6. Organisasi pelaksana kegiatan,
115
7. Evaluasi, 8. Sarana-prasarana yang dipersiapkan untuk kegiatan pelatihan. Pada komponen pelaksanaan kegiatan, hal-hal yang menjadi fokus telaah dalam penelitian ini diarahkan pada: 1. Materi-materi yang diberikan dalam PKH, 2. Metode yang digunakan dalam penyampaian materi, 3. Media yang digunakan dalam proses pelatihan, 4. Waktu yang digunakan dalam proses pelatihan, 5. Tenaga pembimbing atau nara sumber teknis, dan 6. Tingkat partisipasi peserta; meliputi kehadiran dan keaktifan selama mengikuti proses pelatihan. Pada komponen evaluasi, hal-hal yang menjadi fokus telaah dalam penelitian ini diarahkan pada: 1. Jenis evaluasi; 2. Waktu pelaksanaan evaluasi; dan 3. Kriteria yang digunakan dalam melakukan evaluasi hasil penelitian terhadap keterlibatan peserta dalam proses pelatihan dan kemandirian peserta setelah mengikuti pelatihan.
1.
Deskripsi Umum Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta
a.
Sejarah Berdirinya Panti Timbulnya masalah cross boys dan cross girls tahun 1957 di beberapa
kota besar di Indonesia, mendorong Departemen Sosial mendirikan suatu Camp
116
yang diresmikan tanggal 21 Desember 1959 dengan nama Pilot Proyek Karang Taruna Marga Guna dengan Surat Keputusan Kepala Jawatan Pekerjaan Sosial No. 3/BUL-DJPS-A/62. Melalui Surat Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-2-49/4479 tanggal 30 Oktober 1965 selanjutnya ditetapkan menjadi Pilot Proyek Taruna Loka Marga Guna yang terdiri dari Taman Rekreasi Sehat Anak-anak Dwikora, Observation Home untuk anak-anak Tuna Sosial, Camp pendidikan dan latihan kerja untuk anak-anak mogok (drop out), serta Usaha Kesejahteraan Wanita/gadis desa/LSD. Surat Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-1-48/144 tanggal 7 Oktober 1968 menetapkan proyek tersebut menjadi Panti Pendidikan Anak Tuna Sosial Wisma Handayani, Camp pendidikan dan latihan kerja anak-anak mogol, Sanggar rekreasi sehat Ade Irma Suryani, Pusat Perkemahan Remaja (termasuk Pramuka) dari Jakarta dan sekitarnya, serta Pusat Pendidikan, kursus-kursus dan upgrading petugas Direktorat Jenderal Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Masyarakat Departemen Sosial. Pada rapat dinas staf Direktorat Kesejahteraan Anak dan Taruna dengan staf Pilot Proyek Taruna Loka Marga Guna tanggal 18 Oktober, 30 Oktober dan 5 Nopember 1971, dihasilkan suatu keputusan bahwa mulai tanggal 1 Desember 1971 kegiatan proyek tersebut menjadi : 1) Panti
Pendidikan
Anak
Tuna
Sosial
Wisma
Handayani
sebagai
kegiatan pokok. 2) Pelayanan suplementer.
umum
(community
service)
sebagai
kegiatan
117
Terbitnya Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 10 Tahun 1975 yang salah satunya melahirkan Direktorat Rehabilitasi Tuna Sosial di dalam Direktorat Jenderal Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Departemen Sosial, maka nama Panti Pendidikan Anak Tuna Sosial dirubah menjadi Panti Rehabilitasi Sosial Anak Nakal (PRAN) Wisma Handayani. Tahun 1983 secara resmi PRAN Wisma Handayani dialihkan statusnya dari pengolahan Direktorat Rehabilitasi Tuna Sosial menjadi salah satu Unit Pelaksana Teknis Kantor Wilayah Departemen Sosial DKI Jakarta. Selanjutnya melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI Nomor : 06/KEP/BRS/IV/1994 tanggal 1 April 1994 dan Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 14/HUK/1994 tanggal 23 April 1994 tentang pembakuan penamaan Panti/Sasana, Panti Rehabilitasi Anak Nakal Wisma Handayani berubah menjadi Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani. Berdasarkan keputusan tersebut, garis koordinasi pertanggungjawaban panti kepada Kantor Wilayah Departemen Sosial DKIJakarta.
b. Maksud dan Tujuan Dalam mengemban amanat UUD 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum Departemen Sosial merupakan leading sector dalam mengembangkan Usaha Kesejahteraan sosial. Pengembangan Usaha tersebut diimplementasikan pada berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada serta mengembangkan kapasitas sosial masyarakat.
118
PSMP Handayani adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis yang menangani permasalahan anak nakal dengan maksud: 1) Untuk serta
dapat fungsi
memulihkan
kondisi
sosial
nakal
tumbuh
dan
menjadi
sumber
anak
berkembang daya
psikologis sehingga
secara
manusia
wajar yang
dan
kondisi
sosial
mereka
dapat
hidup,
di
masyarakat
berguna,
serta
produktif
dan
berkualitas, serta berakhlak mulia. 2) Menghilangkan anak
yang
label
dan
menghambat
stigma tumbuh
negatif
masyarakat
kembang
mereka
terhadap untuk
berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat. Maksud tersebut dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sehingga pada akhirnya dapat tercipta suatu pelayanan yang komprehensif dan berorientasi pada kepentingan penerima pelayanan. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. c.
Fungsi Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah salah satu alternatif
dari sekian banyak lembaga Pemerintah maupun swasta yang memberikan pelayanan sosial kepada anak yang mengalami gangguan perilaku dan emosi. Dalam Keputusan Menteri No. 59/HUK/2003 tentang Organisasi dan Tata
119
Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial ditetapkan bahwa Panti Sosial adalah Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Sosial yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, sehari-hari secara fungsional dibina oleh para Direktur terkait sesuai dengan bidang tugasnya. Tugas pokok dan fungsinya adalah memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan ketrampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan. Departemen sosial RI (dalam Profil PSMP Handayani, 2006: 4-5) menjabarkan peran, fungsi dan tugas panti sosial percontohan adalah sebagai berikut: 1) Sebagai Pusat Pelayanan Kesejahteraan Sosial, fungsi dan tugasnya adalah sebagai berikut: a) Menggugah, meningkatkan dan mengembangkan kesadaran sosial, tanggung jawab sosial, prakarsa dan peran serta perorangan, kelompok dan masyarakat. b) Penyembuhan dan pemulihan sosial. c) Penyantunan dan penyediaan bantuan sosial. d) Mengadakan bimbingan lanjut. 2) Sebagai
Pusat
Informasi
tugasnya adalah sebagai berikut:
masalah
kesosialan,
fungsi
dan
120
a) Menyiapkan
dan
menyebarluaskan
informasi
tentang
masalah kesejahteraan sosial. b) Menyelenggarakan konsultasi sosial bagi masyarakat. 3) Sebagai
Pusat
Pengembangan
Kesejahteraan
Sosial,
fungsi
dan
tugasnya adalah : a) Mengembangkan kebijaksanaan dan perencanaan sosial. b) Mengembangkan metode pelayanan sosia. Panti Sosial sedikitnya memiliki ketiga fungsi tersebut. Namun demikian menurut Siahaan, yang dikutip oleh Tim Peneliti di Badan Pelatihan dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI (dalam Profil PSMP Handayani, 2006: 5) sesungguhnya masih ada satu fungsi lagi yang ada dalam sebuah Panti, yaitu fungsi pendidikan dan pelatihan. Menurutnya, hal itu mengingat bahwa dalam sebuah panti terdapat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik kepada klien secara langsung maupun kepada tenaga di luar Panti dalam meningkatkan kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial. d. Sasaran Garapan Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani memberikan beberapa alternatif penanganan permasalahan anak nakal. Pengertian anak nakal adalah anak yang berperilaku menyimpang dari norma-norma sosial, moral dan agama yang merugikan keselamatan dirinya, mengganggu dan meresahkan ketentraman dan ketertiban masyarakat serta kehidupan keluarga dan atau masyarakat (Kepmensos RI No 23/HUK/1996). Pelayanan yang diberikan tidak dapat lepas dari kontribusi keluarga dan masyarakat sebagai lingkungan terdekat dari anak
121
nakal. Dengan demikian partisipasi aktif dari keluarga dan masyarakat sangat dibutuhkan bagi keberhasilan proses pelayanan. Sasaran garapan dalam penanganan anak nakal meliputi : 1) Anak nakal Anak nakal yang dapat memperoleh pelayanan di PSMP Handayani meliputi: a) Anak
nakal
yang
berusia
10-18
tahun
dan
belum
menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. Bagi mereka diberikan pelayanan pendidikan setaraf Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) umum. b) Anak
nakal
menamatkan diberikan
yang
berusia
pendidikan
bimbingan
16-21
Sekolah
fisik,
tahun Dasar
mental,
dan
minimal
(SD).
sosial
Bagi
dan
telah mereka
ketrampilan
kerja. c) Anak nakal yang berkonflik dengan hukum, meliputi : (1) Sedang dalam proses penyidikan oleh polisi. (2) Sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum. (3) Menjalani putusan hakim. (4) Setelah selesai menjalani pidana anak. 2) Orang tua anak nakal Orang tua sebagai lingkungan terdekat anak perlu dipersiapkan supaya mampu memberikan daya dukung bagi tumbuh kembangnya potensi anak. Menghadapi permasalahan anak nakal, orang tua diharapkan dapat menciptakan kondisi yang dapat menghindarkan anak dari perilaku nakal.
122
Untuk mencapai hal itu, maka PSMP Handayani melaksanakan kegiatan motivasi dan konsultasi keluarga melalui home visit secara berkala. 3) Masyarakat Lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting untuk mencegah timbulnya permasalahan kenakalan anak. Ini dimungkinkan dengan adanya berbagai upaya memberikan kesempatan kepada anak nakal untuk mengaktualisasikan diri mereka di dalam kehidupan masyarakat. PSMP Handayani telah melakukan berbagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat termasuk dunia usaha (bengkel-bengkel skala kecil dan menengah) di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya agar dapat menerima eks anak nakal mengikuti program magang. Lebih lanjut diharapkan dapat memberikan lapangan kerja bagi mereka. 4)
Instansi/lembaga berkonflik
dengan
BAPAS/RUTAN kewenangan hukum
yang
agar
dan
berwenang hukum
lebih
(kepolisian,
LAPAS
menangani
Anak)
kasus
cepat
menangani
kasus
kejaksaan,
yang
memiliki
anak
yang
pengadilan, tugas
dan
anak
yang
berkonflik
dengan
tertangani
demi
kepentingan
terbaik
bagi anak. e. Persyaratan dan Calon Klien Anak nakal yang dapat diberikan pelayanan memiliki dua klasiflkasi rujukan: 1) Rujukan
dari
keluarga/tokoh
masyarakat/
Sosial atau Organisasi masyarakat lainnya.
PSM/
LSM/
Organisasi
123
2) Rujukan
dari
Balai
(RUTAN)
dan
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan
Lembaga
(BAPAS),
Pemasyarakatan
Pemasyarakatan
Rumah
Tahanan
(LAPAS)
Departemen
Anak
Hukum
dan
HAM. Bagi calon penerima pelayanan diharapkan dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Laki-laki/Perempuan 2) Usia 10 s/d 21 tahun 3) Sehat
fisik
dan
berdasarkan
mental,
Surat
tidak
menderita
Keterangan
penyakit
Sehat
kronis/menular dari
Dokter
Puskesmas/Rumah Sakit. 4) Menanda
tangani
surat
pernyataan
sanggup
mengikuti
program
rehabilitasi sosial. 5) Surat Penyerahan dari orang tua/wali/lembaga. 6) Bila masih sekolah (kelas V SD s/d kelas III SLTP), harus melampirkan surat pindah dan raport. 7) Pas photo ukuran 4 x 6 (4 lembar) dan 2 x 3 (2 lembar). 8) Lulus Seleksi. f. Pelayanan Pelaksanaan kegiatan operasional pelayanan dan rehabilitasi sosial anak nakal di PSMP Handayani berpedoman pada Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 40/HUK/2004 tentang Prosedur Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial. Kegiatan operasional dikoordinasikan ke dalam dua Seksi dan satu Sub Bagian, yaitu :
124
1) Sub Bagian Tata Usaha Tugasnya mencakup persiapan sarana dan prasarana pelayanan seperti sarana fisik dan SDM. Tugasnya meliputi penyiapan asrama, kebutuhan fisik (makan) klien, sarana dan prasarana ketrampilan. 2) Seksi Program dan Advokasi Sosial (PAS). Tugasnya melakukan persiapan perencanaan program baik program yang berkaitan dengan operasional perkantoran maupun program rehabilitasi sosial secara keseluruhan. 3) Seksi Rehabilitasi Sosial Tugasnya melakukan bimbingan rehabilitasi sosial langsung kepada klien. Bimbingan yang dilaksanakan meliputi bimbingan fisik, mental, sosial dan ketrampilan yang disesuaikan dengan kebutuhan klien. Tahapan proses pelayanan rehabilitasi sosial di PSMP Handayani adalah sebagai berikut: 1) Pendekatan Awal Merupakan kegiatan penjangkauan (out reach) klien. Pendekatan awal dilakukan dengan langsung mendatangi lokasi dimana terdapat permasalahan anak nakal. PSMP Handayani bekerja sama dengan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam melakukan seleksi. 2) Penerimaan Calon klien yang dinyatakan dapat mengikuti seleksi datang ke PSMP Handayani. Calon klien diharuskan mengikuti tes berupa tes wawancara, tes sosiometri, tes fisik, tes buta warna, dsb. Setelah dinyatakan lulus tes maka
125
dilakukan pemeriksaan berkas kelengkapan administrasi. 3) Pengasramaan Calon klien yang telah lulus seleksi maupun sudah memenuhi kelengkapan persyaratan ditempatkan di asrama. Pengasramaan di PSMP menganut sistem kepengasuhan dimana klien tinggal bersama-sama keluarga asuh sebagai keluarga pengganti. 4) Orientasi Pada awal proses pelayanan, klien diwajibkan mengikuti orientasi selama kurang lebih dua minggu. Materi pada saat orientasi bertujuan untuk memberikan gemblengan disiplin kepada klien sehingga mereka dapat menyesuaikan dengan pola pelayanan yang teratur dan sistematis. Pemberi materi terdiri dari Pihak Koramil, Kepolisian Sektor Cipayung dan pegawai yang ditunjuk. 5) Assesmen Langkah awal dalam proses pelayanan adalah kegiatan assesmen dengan tujuan untuk mengungkap dan memahami latar belakang permasalahan klien. Tujuan assesmen adalah untuk dapat menentukan fokus masalah sehingga dapat menentukan jenis pelayanan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan klien. 6) Perumusan Rencana Intervensi Berdasarkan hasil assesmen pekerja sosial, maka dirumuskan rencana intervensi pelayanan rehabilitasi untuk masing-masing klien. Rencana intervensi diberikan sesuai dengan karakteristik masing-masing klien dan
126
berdasarkan tingkat kedalaman masalah. 7) Bimbingan Fisik, Mental, Sosial dan Ketrampilan Berdasarkan oleh
pekerja
rumusan sosial,
rencana
klien
intervensi
selanjutnya
yang
telah
memperoleh
disusun
bimbingan
fisik, mental, sosial dan kecakapan vokasional sesuai dengan minat dan bakatnya. Sedangkan bagi warga belajar mengikuti
kegiatan
belajar
mengajar
usia sekolah diharuskan di
SLB-E
Handayani.
Bimbingan fisik, mental, sosial dan kecakapan vokasional di PSMP Handayani dilaksanakan secara terintegrasi. 8) Resosialisasi Pada tahap resosialisasi, PSMP Handayani melakukan sosialisasi terhadap keluarga, masyarakat dan pihak dunia usaha yang dapat memberikan dukungan bagi perkembangan maksimal klien. PSMP Handayani telah menjalin kerjasama dengan berbagai bengkel kecil dan menengah di wilayah DKI Jakarta untuk dapat menerima klien magang (praktik belajar kerja). Selanjutnya diharapkan mereka dapat memberikan lapangan kerja bagi eks klien. 9) Penyaluran Klien yang telah selesai mengikuti program magang maka akan disalurkan. Bentuk penyaluran disesuaikan dengan jenis bimbingan yang diikuti. Bagi klien yang mengikuti program bimbingan pendidikan SLB-E maka disalurkan kepada Sekolah Menengah Atas atau yang sederajat. Sedangkan untuk klien yang mengikuti bimbingan ketrampilan disalurkan
127
pada bengkel-bengkel yang menerima mereka bekerja. 10) Bimbingan Lanjut Tahap ini merupakan tahap untuk mengadakan evaluasi dan monitoring terhadap eks klien. Pihak PSMP Handayani melakukan bimbingan lanjut secara berkala dalam waktu satu tahun setelah klien disalurkan. Tujuannya adalah memantau perkembangan klien baik di lingkungan rumah maupun lingkungan tempat kerja. PSMP Handayani harus mampu memaksimalkan kondisi lingkungan yang dapat menjaga konsistensi perubahan perilaku. 11) Terminasi Setelah melalui masa bimbingan lanjut selama satu tahun dan dinilai bahwa eks klien sudah memiliki kemampuan untuk mandiri maka dilakukan terminasi. 12) Pengarsipan data klien Pengarsipan data klien dilakukan mulai tahap penerimaan. Untuk persyaratan awal masuk panti file klien dihimpun oleh Seksi PAS dan selanjutnya diserahkan kepada pekerja sosial yang menangani klien. Untuk perkembangan selanjutnya sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab pekerja sosial. Meskipun file klien lengkap ada di pekerja sosial tetapi masing-masing bagian seperti Seksi Rehabilitasi Sosial, Tata Usaha dan PAS juga melakukan pengarsipan. g. Daya Tampung Mengacu pada Keputusan Menteri Sosial No. 59/HUK/2003 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja PSMP Handayani sebagai Panti dengan
128
eselonering III tipe A, kapasitas tampung ditetapkan sebanyak 100 klien. Kapasitas tersebut terisi dari pelayanan yang sifatnya reguler dan pelayanan pengembangan. Pelayanan reguler merupakan bentuk pelayanan yang diberikan kepada anak nakal rujukan dari masyarakat dan BAPAS/LAPAS dalam suatu periode tertentu sesuai dengan kemampuan masing-masing anak. Pelayanan pengembangan sifatnya lebih multi sektoral yang meliputi pelayanan bagi remaja putus sekolah terlantar, penyandang cacat rungu wicara, karang taruna yang diselenggarakan secara insidental yang difokuskan pada pelatihan kecakapan vokasional teknik pendingin, las dan service motor. Pelayanan ini dilakukan bekerja sama dengan berbagai orsos/ormas/lembaga pemerintah yang ada. Tujuannya agar dapat memberikan respon positif terhadap masyarakat lingkungan sekitar panti. h. Sarana dan Prasarana Sebagai panti percontohan, PSMP Handayani telah dilengkapi berbagai sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk mendukung proses pelayanan. Berbagai upaya pembenahan sarana dan prasarana terus dilakukan agar pelayanan yang diberikan dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat. Beberapa sarana dan prasarana yang ada tersebut adalah: 1) Sarana gedung yang cukup representatif. 2) Sarana peralatan yang sesuai dengan tuntutan jaman. 3) Kondisi lingkungan yang cukup nyaman, asri dan jauh dari kebisingan. Kondisi sarana dan prasarana PSMP Handayani dapat dilihat pada gambar (lampiran).
129
i. Personalia Daya Manusia merupakan penggerak utama suatu program. Dalam melaksanakan pelayanan sosial terhadap anak nakal, diperlukan SDM dengan kualitas yang cukup handal. Dukungan SDM/personalia di PSMP Handayani dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini: TABEL 4.1 DATA PERSONALIA PSMP HANDAYANI TAHUN 2006 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
TINGKAT PENDIDIKAN / JURUSAN S2 Kessos Sl Kessos Sl Hukum D III Kessos D III Pendidikan SMA SMK SMP SD JUMLAH
JUMLAH 2 4 1 1 3 7 12 2 1 33
Sumber : Data Kepegawaian, Tata Usaha 2006
Jumlah pegawai tersebut terbagi dalam berbagai jabatan antara lain jabatan struktural, jabatan fungsional dan staf. Untuk lebih rincinya dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut : TABEL 4.2 DATA PERSONALIA BERDASARKAN JABATAN DI PSMP HANDAYANI TAHUN 2006 NO 1. 2. 3.
JABATAN Jabatan Struktural Jabatan fungsional pekerja sosial Staff JUMLAH
JUMLAH 4 12 17 33
Sumber : Data Kepegawaian, Tata Usaha 2006
130
Jumlah pekerja sosial yang ada di PSMP Handayani adalah 12 orang. Perbandingan pekerja sosial dengan jumlah klien adalah satu orang pekerja sosial menangani delapan sampai sembilan orang klien.
j. Jaringan Kerja Dalam mengembangkan profesionalisme pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi anak nakal, PSMP Handayani perlu mengembangkan jaringan kerja baik dengan instansi pemerintah, pemerintah daerah, orsos, LSM maupun organisasi kemasyarakatan. Sejalan dengan konsep multi layanan yang harus dilaksanakan jaringan kerja menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan sasaran garapan yang akan diberikan pelayanan. Jaringan kerja yang telah dikembangkan oleh PSMP Handayani dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya adalah : 1) Instansi pemerintah lain seperti dengan Ditjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM dalam pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum. Selain itu juga berkoordinasi dengan Depatrtemen Pendidikan Nasional (Direktorat Pendidikan Dasar) dalam pembinaan anak SLB-E. 2) Dinas
Sosial
wilayah
propinsi
maupun
Kabupaten/Kotamadya
dalam kegiatan penjangkauan klien. 3) Orsos/Ormas/LSM, Dewan Kelurahan, Sanggar Kegiatan Belajar dalam kegiatan rujukan klien. 4) Dunia Usaha yang terdiri dari Perusahaan-perusahaan/bengkel- bengkel yang bergerak dibidang service AC, service motor dan las dalam kegiatan Praktik Belajar Kerja (PBK) atau magang klien.
131
5) Kalangan Akademisi seperti Universitas Indonesia, UPI Bandung, STKS Bandung, IISIP Jakarta, Universitas Persada YAI dalam kegiatan Praktik Kerja Lapangan bagi mahasiswa dan warga belajar.
k. Penyaluran Klien Setelah melalui serangkaian proses pembinaan fisik, mental, sosial dan kecakapan vokasional klien akan disalurkan. Untuk dapat disalurkan sebelumnya klien mengikuti Program Praktik Belajar Kerja (PBK) di perusahaan/bengkel yang sesuai dengan bidang kecakapan vokasional yang diperoleh. Selama menjalani proses pembinaan dan mengikuti PBK, pekerja sosial melakukan pemantauan terhadap perkembangan klien. Hasil pemantauan tersebut yang akan menjadi dasar bagi penentuan penyaluran. Klien yang telah selesai masa pembinaan dapat disalurkan pada : 1) Perusahaan/bengkel kerja 2) Sekolah-sekolah formal untuk melanjutkan jenjang pendidikan klien. 3) Organisasi sosial/ yayasan untuk mendapatkan pelayanan lanjutan. 4) Orang tua.
l.
Indikator Kinerja 1) Semakin
meningkatnya
prosentase
anak
nakal
yang
telah
mendapat pelayanan dan rehabilitasi sosial. 2) Semakin meningkatnya jumlah Orsos/LSM/dunia usaha atau masyarakat yang ikut terlibat dalam upaya pelayanan anak nakal.
132
3) Terbangunnya jaringan kerja yang dibentuk pemerintah dan masyarakat.
m. Peserta Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta Anak nakal yang dapat diberikan pelayanan memiliki dua klasiflkasi rujukan: 1) Rujukan
dari
keluarga
/tokoh
masyarakat/
PSM/LSM/
Organisasi
Sosial atau Organisasi masyarakat lainnya. 2) Rujukan dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Rumah Tahanan (RUTAN) dan
Lembaga
Pemasyarakatan
(LAPAS)
Anak
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM. Bagi calon penerima pelayanan diharapkan dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut, untuk laki – laki / perempuan: 1) Usia 10 s/d 21 tahun 2) Sehat
fisik
dan
berdasarkan Surat
mental,
tidak
menderita
penyakit
kronis/menular
Keterangan Sehat
dari Dokter Puskesmas/ Rumah
surat
sanggup
Sakit. 3) Menanda
tangani
pernyataan
mengikuti
program
rehabilitasi sosial. 4) Surat penyerahan dari orang tua/wali/lembaga. 5) Bila masih sekolah (kelas V SD s/d kelas III SLTP), harus melampirkan surat pindah dan raport. 6) Pas photo ukuran 4 x 6 (4 lembar) dan 2 x 3 (2 lembar). 7) Lulus Seleksi.
133
2. Kondisi Faktual Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta Pada bagian ini akan menyajikan deskripsi tentang pelaksanaan kegiatan PKH di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta yang akan difokuskan pada.aspek perencanaan, pelaksanaan pelatihan, dan evaluasi kegiatan. a. Perencanaan Program PKH Kegiatan yang penulis lakukan untuk mengetahui tahap perencanaan yang dilaksanakan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta adalah melakukan pertemuan dengan pengelola, warga belajar tunalaras, pekerja sosial, tutor, dan orang tua asuh. Dalam pertemuan ini, peneliti menerima informasi dari Panti Sosial Marsudi Putra
Handayani Jakarta berkenaan dengan masalah-masalah
yang berhubungan dengan tujuan kegiatan, peran dan fungsi panti sosial dalam program, waktu atau lamanya kegiatan, jumlah peserta kegiatan dan sebagainya. Demikian pula sebaliknya, pihak pengelola panti sosial menerima penjelasan dari pihak peneliti berkenaan dengan rencana peneliti mengadakan penelitian dan uji coba model untuk membimbing dan membelajarkan warga belajar
(anak
tunalaras) dalam mencapai tujuan model pelatihan kecakapan hidup, yakni tercapainya kemandirian. Materi-materi yang dipersiapkan PSMP Handayani Jakarta untuk membekali warga belajar peserta kegiatan latihan adalah materi teknik las, teknik pendingin, dan kecakapan vokasional otomotif. Menurut pengelola dan nara sumber teknis materi ini lebih banyak dipersiapkan dalam bentuk praktik. Berikut ini penulis sajikan rancangan pelatihan yang dibuat pada tahap perencanaan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani.
134
1) Jenis Pelatihan kecakapan hidup Las a) Nama Pelatihan
: Tingkat Dasar Lanjutan
b) Lama Pelatihan
: 715 Jam (@ 45 Menit)
c) Tempat Pelatihan
: PSMP Handayani
d) Tujuan Umum Pelatihan
: Pada akhir pelatihan peserta mampu :
(1) Mengidentifikasikan, menggunakan dan memelihara peralatan kerja mekanik/ listrik, las listrik maupun acetelyn. (2) Memahami prinsip kerja las listrik dan acetelyn. (3) Merawat dan memelihara peralatan las listrik maupun acetelyn. (4) Mengetahui dan memahami simbol-simbol las. (5) Merancang gambar dan perencanaan suatu bentuk pola. (6) Membuat, mendesain, membending suatu produksi barang. TABEL 4.3 MATERI PELATIHAN LAS DI PSMP HANDAYANI No.
Materi pelatihan
Jam Pelatihan Keterangan Teori Praktik Jumlah 12 14 36 @ 45 menit
1.
Kerja bangku
2.
Las acetelyn
40
204
244
3.
Las listrik
40
203
243
4.
Simbol-simbol las
16
32
48
5.
16
32
48
6.
Alat perkakas dan pengukuran Keselamatan kerja
16
32
48
7.
Gambar tehnik
16
32
48
8.
Ilmu bahan
16
32
48
9.
Evaluasi
16
40
56
188
627
715
JUMLAH
Sumber: PSMP Handayani Jakarta
135
2) Jenis Pelatihan kecakapan hidup Teknik Pendingin a) Nama Pelatihan
: Montir muda pendingin rumah tangga
b) Lama Pelatihan
: 715 Jam (@ 45 Menit)
c) Tempat Pelatihan
: PSMP Handayani
d) Tujuan Umum Pelatihan
: Pada akhir pelatihan peserta mampu :
(1) Mengidentifikasikan, menggunakan dan memelihara peralatan kerja mekanik/listrik untuk perawatan dan perbaikan mesin pendingin / AC rumah tangga dengan memperhatikan keselamatan kerjanya. (2) Memahami prinsip kerja mesin pendingin/AC rumah tangga baik mekanik maupun sistem listriknya. (3) Merawat
dan memperbaiki gangguan/kerusakan pada
mesin
pendingin/AC rumah tangga, baik mekanik maupun system listriknya untuk memperpanjang usia pakai. TABEL 4.4 MATERI PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP TEKNIK PENDINGIN DI PSMP HANDAYANI TAHUN 2006 No 1 2 3 4 5 6
Mata Latihan Dasar refigerasi Alat dan bahan Komponen Listrik Servis & reparasi Evaluasi akhir JUMLAH
Jam Pelatihan Keterangan Teori Praktik Jumlah 42 40 82 @ 45 menit 40 120 160 40 160 200 45 80 125 32 80 112 16 20 36 215 500 715 Sumber: PSMP Handayani Jakarta
3) Jenis Pelatihan kecakapan hidup Otomotif a) Tempat Pelatihan
: PSMP Handayani
136
b) Tujuan Umum Pelatihan
: Pada akhir pelatihan peserta mampu :
(1) Mengidentifikasikan, menggunakan dan memelihara peralatan kerja mekanik/ listrik untuk perawatan dan perbaikan Mesin Sepeda Motor dengan memperhatikan keselamatan kerja. (2) Memahami prinsip kerja Mesin Sepeda Motor 2 tax dan 4 tax. (3) Memahami kerusakan mesin sepeda motor baik kelistrikan, mesin dan casis. (4) Merawat dan memelihara mesin sepeda motor baik 4 tax maupun 2 tax. TABEL 4.5 MATERI PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP OTOMOTIF DI PSMP HANDAYANI TAHUN 2006 Jumlah Pelatihan Teori Praktik Jumlah 16 24 50
No
Materi Pelatihan
1
Kerja Bangku
2
Keselamatan Kerja
16
-
16
3
16
24
50
4
Alat Perkakas dan Pengukuran Casis
24
127
151
5
Motor Bakar
32
118
150
6
Kelistrikan
32
118
150
7
Troubleshooting
24
48
72
8
Pemeliharaan
16
24
50
9
Evaluasi
8
48
5,6
Jumlah
184
531
715
Keterangan @ 45 menit
Sumber: PSMP Handayani Jakarta
Mencermati uraian materi pada tiga jenis kecakapan vokasional tersebut, tampak bahwa hampir keseluruhan materi yang disajikan berbentuk praktik.
137
Materi yang berbentuk informasi atau kecakapan akademik hanya sebagian kecil saja. Waktu yang ditetapkan dan dipersiapkan PSMP untuk melayani peserta kegiatan pelatihan, adalah setiap hari kecuali hari Minggu dan hari libur nasional mulai pukul 07.00 s/d 15.00 WIB. Menurut pengelola, penetapan waktu tersebut bertujuan agar warga belajar dapat secara langsung terlibat aktif pada kegiatankegiatan tersebut karena penentuan waktunya berdasarkan masukan dari warga belajar. Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta dalam rangka memberikan pelayanan dan bimbingan terhadap warga belajar menunjuk 3 orang tutor. Ketiga orang tutor yang ditunjuk tersebut, masing-masing memiliki keahlian khusus terdiri atas: 1 orang tenaga ahli las, 1 orang tenaga ahli bidang teknik pendingin, dan 1 orang teknik otomotif. Pembiayaan kegiatan pelatihan Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta sepenuhnya ditanggung oleh Departemen Sosial. Untuk mendukung kegiatan pelatihan pada tahap perencanaan, PSMP tidak secara khusus membuat panitia atau organisasi pelaksana, namun hanya menunjuk dan mempersiapkan orang-orang yang diberi tugas melayani dan membimbing hal-hal yang diperlukan atau ditanyakan oleh para peserta kegiatan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Kegiatan evaluasi untuk mengukur kecakapan vokasional dan keterlibatan warga belajar selama dan setelah mengikuti program pelatihan, dilakukan melalui evaluasi hasil oleh team tutorial dan nara sumber teknis dari PSMP selaku pihak
138
penyelenggara. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui penguasaan kecakapan vokasional tertentu. Evaluasi dilaksanakan selama kegiatan tutorial berlangsung dengan cara mengamati dan memperhatikan peningkatan kecakapan vokasional pada setiap pertemuan. Sarana-prasarana yang dipersiapkan PSMP untuk mendukung pelaksanaan program pelatihan adalah berupa sarana atau peralatan yang ada di lingkungan dan atau yang biasa digunakan sehari-hari oleh PSMP yakni bengkel, ruang praktik, dan peralatan lain yang cukup memadai. Agar lebih jelas alur pada tahap perencanaan tersebut, penulis sajikan pemetaannya dalam bentuk skema berikut ini. Pertemuan dengan Perangkat Depsos, Pengurus, Tutor, dan WARGA BELAJAR
Masukan dari berbagai pihak
Perancangan Program -
PSMP Pertemuan dengan orang tua asuh
Penyusunan materi pelatihan Penyusunan tatalaksana proses pelatihan Penyiapan sarana dan prasarana
Warga Belajar Tutor
GAMBAR 4.1 ALUR TAHAP PERENCANAAN KEGIATAN PELATIHAN DI PSMP HANDAYANI JAKARTA
b. Pelaksanaan Program PKH Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, pelaksanaan kegiatan pelatihan sebagian besar berjalan sesuai dengan rencana. Materi-materi yang
139
disampaikan dan latihan sebagaimana telah ditentukan dalam kegiatan perencanaan sebagian besar adalah materi-materi yang berhubungan dengan kecakapan vokasional las, pendingin, dan otomotif. Nara sumber teknis atau instruktur dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan adalah nara sumber teknis yang telah berpengalaman dan menjadi tutor di lingkungan PSMP Handayani Jakarta, yakni sebanyak 3 orang tersebut. Metode yang digunakan dan kegiatan pelatihan sebagian besar adalah praktik yang divariasi dengan kegiatan dialog dan diskusi. Kedua metode tambahan itu dilakukan secara temporer dan kondisional yang tidak menyita waktu secara signifikan. Tingkat kehadiran peserta selama proses pelatihan sebagai salah satu indikator partisipasi peserta dalam mengikuti kegiatan, menurut para pelaksana kegiatan cukup baik. Angka partisipasi warga belajar menurut para pelaksana dapat dikategorikan 90% hadir dalam setiap kegiatan. Menurut para pengelola dan pelaksana, dalam proses pelatihan, peserta kegiatan cukup responsif dalam mengikuti materi atau bahan latihan yang disampaikan oleh nara sumber atau instruktur kegiatan. Bentuk-bentuk respon peserta menurutnya antara lain; mengajukan pertanyaan, tanggapan, dan usulan sehingga kegiatan pelatihan yang dilaksanakan tidak membosankan dan berlangsung dengan penuh semangat. Agar lebih jelas alur pada tahap pelaksanaan tersebut, penulis sajikan pemetaannya dalam bentuk skema berikut ini.
140
PELAKSANAAN
TUTOR RANCANGAN PROGRAM
1. Materi: Las, Teknik Pendingin, dan Otomotif 1. Metode: Praktik
WARGA BELAJAR
2. Angka Partisipasi: Kehadiran WARGA BELAJAR 90%
GAMBAR 4.2 ALUR TAHAP PELAKSANAAN KEGIATAN PELATIHAN DI PSMP HANDAYANI JAKARTA
c. Evaluasi Kegiatan Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa para pengelola dan instruktur pelatihan PSMP Handayani Jakarta tidak mempersiapkan secara khusus tentang rencana kegiatan evaluasi terhadap warga belajar, akan tetapi bukan berarti kegiatan evaluasi tidak dilaksanakan. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap nara sumber teknis yang ditunjuk untuk membimbing peserta, diperoleh informasi bahwa sekalipun tidak secara tertulis, kegiatan evaluasi atau penilaian tetap dilakukan. Menurut nara sumber teknis (pembimbing), mereka selalu bertanya dan mengadakan ricek terhadap penguasaan kecakapan vokasional tertentu seperti: sudah sampai mana materi yang dipelajari peserta, atau kemampuan apa yang sudah dikuasai peserta? Pertanyaan-pertanyaan ini menurutnya sering dilontarkan para instruktur bahkan hampir setiap hari. Oleh karena itu, nara sumber teknis
141
pada tataran tertentu telah melakukan evaluasi dengan cara pengamatan. Fokus materi evaluasi menurutnya secara garis besar dilakukan terhadap proses dan melihat hasilnya. Dari sisi proses aspek yang dilihatnya antara lain kecakapan vokasional menggunakan alat, ketelatenan, dan keuletan dalam mengerjakan latihan, serta keseriusan dalam memperhatikan setiap materi yang diberikan. Sedangkan dari sisi hasil, hal-hal yang dinilai menurutnya menyangkut kecepatan pengerjaan dan kerapihan hasil pekerjaan. Hasil evaluasi yang dilakukan melalui pengamatan, menurut pengelola dan para intsruktur, PKH dapat memberikan manfaat yang cukup baik bagi warga belajar atau peserta pelatihan. Pasca kegiatan PKH, menurutnya warga belajar cukup menguasai kemampuan teknis kecakapan vokasional yang dilatihkan. Palaksanaan evaluasi dilakukan dengan
telah menggunakan teknik evaluasi
kinerja. Di samping itu, evaluasi pun dilakukan selama dan setelah mengikuti program pelatihan atau evaluasi proses. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap nara sumber teknis yang ditunjuk sebagai instruktur peserta, juga diperoleh informasi bahwa setiap pertemuan dilakukan evaluasi. Evaluasi yang dimaksud adalah evaluasi untuk menguji kecakapan vokasional yang dimiliki warga belajar pada setiap pertemuan. Evaluasi proses juga dilakukan setiap kali pertemuan. Pelaksanaannya kurang bervariasi dan baru pada tahap mengetes kemampuan secara parsial. Ada kalanya evaluasi dilakukan dengan cara mengevaluasi hasil kinerja warga belajar, misalnya: tutor mengevaluasi hasil reparasi motor, hasil pengelasan atau hasil kinerja warga belajar tertentu. Secara bersama-sama dengan
142
warga belajar, hasil reparasi tersebut dievaluasi untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan produk tersebut. Hasil evalusi itu kemudian disimpulkan untuk memperoleh informasi mengenai kelemahan tersebut yang selanjutnya dijadikan model bagi peserta yang lain. Secara garis besar,
fokus materi evaluasi diarahkan pada proses dan
melihat hasilnya. Dari sisi proses aspek yang dilihatnya antara lain kecakapan vokasional menggunakan alat, ketelitian, dan keuletan dalam mengerjakan latihan, serta keseriusan dalam memperhatikan setiap materi yang diberikan. Sedangkan dari sisi hasil, hal-hal yang dinilai menyangkut kecepatan pengerjaan dan kerapihan hasil pekerjaan (produk). Hasil evaluasi yang dilakukan melalui pengamatan, menurut nara sumber dan tutor, kegiatan pelatihan dapat memberikan manfaat yang cukup bagi warga belajar. Alur tahap evaluasi dapat dilihat pada skema berikut ini.
Jenis Evaluasi: Evaluasi Kinerja
Feed Back
Evaluasi Evaluasi Proses; Setiap Pertemuan
GAMBAR 4.3 ALUR TAHAP EVALUASI DI PSMP HANDAYANI JAKARTA Hasil analisis dan deskripsi pendidikan PKH di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta, kemudian penulis tuangkan ke dalam gambar berikut ini.
143
Persiapan Awal Program Pelatihan Kecakapan Hidup
PROGRAM KERJA DEPSOS
PROGRAM KERJA DIKNAS
PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP ANAK TUNALARAS DI PSMP HANDAYANI JAKARTA
Pelaksanaan Program Pelatihan Kecakapan Hidup
Bimbingan fisik Bimbingan Mental Bimbingan Sosial Bimbingan Keterampilan
Ekstrakurikuler Bimbingan Kecakapan Akademis
Penyaluran dan Pembinaan Lanjut Program Pelatihan Kecakapan Hidup
Anak bekerja/ membuka usaha
Anak dapat melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi
GAMBAR 4.4 MODEL PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP DI PSMP HANDAYANI JAKARTA
144
B. Analisis Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta Berikut ini akan penulis paparkan realisasi pelaksanaan
pelatihan
kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai sumber data, observasi lapangan, dan analisis dengan pendekatan SWOT. 1. Hasil Wawancara a) Pelatihan kecakapan hidup menurut Kepala Panti PSMP Handayani Jakarta PSMP Handayani adalah salah satu unit pelaksana teknis yang menangani permasalahan anak nakal yang bermaksud untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup, menjadi
tumbuh
dan
sumber
berkembang
daya
manusia
secara yang
wajar
di
berguna,
masyarakat
serta
produktif
dan
berkualitas, serta berakhlak mulia. Menghilangkan label dan stigma negatif masyarakat terhadap anak yang menghambat tumbuh kembang mereka untuk berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat. Maksud tersebut dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sehingga dapat tercipta suatu pelayanan yang komprehensif dan berorientasi pada kepentingan penerima pelayanan. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya.
145
Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah lembaga Pemerintah maupun swasta yang memberikan pelayanan sosial kepada anak yang mengalami gangguan perilaku dan emosi. Tugas pokok dan fungsinya adalah memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan ketrampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan. Yang
terlibat dalam pembuatan perecanaan program, menurut kepala
panti meliputi: Kepala panti, instruktur, dan nara sumber teknis. Kepala panti berpendapat bahwa pelaksanaan pelatihan yang berjalan selama ini masih kurang optimal. Kekurangan itu, berkenaan dengan: a. Tidak tersusunnya program kerja pelatihan yang sistematis dan fleksibel sesuai dengan tuntutan perkembangan pendidikan, terutama tentang: kurikulum, standar keahlian intsruktur, sistem pelatihan yang efektif, bimbingan mental yang optimal, biaya, dan sebagainya. Selama ini, pelatihan berjalan sesuai dengan petunjuk teknis dari Departemen Sosial. b. Tidak ada tindak lanjut dari pelatihan kecakapan hidup untuk masa depan warga belajar, masih belum terealisasikan karena untuk sekarang ini panti hanya dapat memberikan pelatihan yang berbentuk pembekalaan keaahlian saja. c. Tidak adanya pemisahan latar belakang sosial dan pendidikan secara proporsional sehingga anak tunalaras diarahkana kepada pelatihan keahlian
146
yang sudah tersedia di panti (teknik otomotif, pengelasan, dan teknik pendingin) sehingga ditemukan warga belajar yang kurang aktif karena bidang keahliannya yang tidak sesuai. b) Pelatihan kecakapan hidup Menurut Instruktur Pelatihan kecakapan hidup
adalah pengajaran keterampilan yang
diarahkan pada keterampilan warga belajar dalam menguasai bidang keahlian yang dilatihkan. Pelatihan kecakapan hidup ini merupakan suatu usaha panti dalam membekali warga belajar agar mempunyai kemampuan vokasional untuk mengenal dan memasuki dunia kerja. Bekal keterampilan ini secara luas diberikan kepada warga belajar.
Kemudian kurikulum belum ada untuk pelatihan
kecakapan hidup, sehingga instruktur harus membuat kurikulum pelatihan kecakapan hidup
sendiri yang tidak memiliki konsistensi. Kemudian,
tidak
adanya buku sumber atau panduan untuk anak dalam pelatihan keterampilan pun menghambat pelaksanaan program pelatihan. Panduan tersebut mungkin berupa modul yang efektif. Di samping itu, Pelatihan kecakapan hidup merupakan salah satu program penyiapan kerja bagi warga belajar untuk menghadapi lapangan kerja. Penyiapan kerja secara sederhana belum diintegrasikan dalam materi pelatihan. Seperti yang telah diutarakan, pemberian informasi tentang pentingnya mempelajari satu keterampilan untuk masa depan anak wajib disampaikan tutor walaupun tidak secara langsung dalam mengarahkan warga belajar pada satu pilihan program keterampilan tertentu.
147
d) Pelatihan kecakapan hidup Menurut Warga Belajar Pelatihan ini menurut saya sangat bermanfaat. Harapan saya dengan mengikuti keterampilan ini, saya akan lebih mudah kembali ke masyarakat dan memiliki keahluan yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan di masa datang. 2. Hasil Observasi Hasil observasi lapangan menghasilkan beberapa data yang sangat penting untuk diungkapkan. Melihat lingkungan sekitar PSMP Handayani Putera Jakarta, yang sangat kondusf dan memadai, PSMP ini seharusnya mampu menjelma menjadi salah satu panti yang dapt membantu warga belajar dalam menapaki masa depannya agar lebih baik. Kelengkapan sarana dan prasarana pelatihan
kecakapan hidup sangat
memadai. Lingkungan yang cukup luas, sarana ibadah yang memadai, sarana praktek yang optimal, dan kemapanan para pengelolanya, merupakan sebuah modal dalam pengembangan pelatihan. Kegiatan pelatihan antara tutor dan warga belajar terlihat berjalan dengan baik. Dari hasil pegamatan langsung penulis, diketahui bahwa panti belum mempunyai kurikulum sendiri yang aplikatif yang dijadikan pegangan untuk pelatihan kecakapan hidup. Selain itu, tidak adanya buku sumber atau panduan pelatihan yang berstandar akan menghambat juga. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani memerlukan suatu perencanaan yang dituangkan dalam program kerja yang kemudian direalisasikan dalam
pelaksanaan
kurikulum, standar keahlian tutor, dan sebagainya.
kegiatan pelatihan,
standar
148
2. Hasil Analisis SWOT Analisis model faktual pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarat akan menggunakan pendekatan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat). Berdasarkan pendekatan tersebut dapat dijelaskan berikut ini. Kekuatan (strength) di PSMP
Handayani Jakarta
pada pelaksanaan
pelatihan kecakapan hidup, yakni adanya kesatupaduan dan struktur organisasi manajemen lembaga yang sangat optimal. PSMP ini sudah memiliki kelengkapan personal dan sumber daya yang memadai. Melalui Surat Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-2-49/4479 tanggal 30 Oktober 1965, PSMP ditetapkan menjadi Pilot Proyek Taruna Loka Marga Guna yang terdiri dari Taman Rekreasi Sehat Anak-anak Dwikora, Observation Home untuk anak-anak Tuna Sosial, camp pendidikan dan latihan kerja untuk anak-anak mogok (drop out), serta Usaha Kesejahteraan Wanita/gadis desa/LSD. Surat Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-1-48/144 tanggal 7 Oktober 1968 menetapkan proyek tersebut menjadi Panti Pendidikan Anak Tuna Sosial Wisma Handayani, camp pendidikan dan latihan kerja anak-anak, Sanggar rekreasi sehat Ade Irma Suryani, Pusat Perkemahan Remaja (termasuk Pramuka) dari Jakarta dan sekitarnya, serta Pusat Pendidikan, kursus-kursus dan upgrading petugas Direktorat Jenderal Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Masyarakat Departemen Sosial. Kelemahan (weakness) atas pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta, di antaranya: pertama, proses penyusunan rencana program kegiatan PSMP tidak melibatkan warga belajar secara intensif. Kedua,
149
tidak mengadakan tes keterampilan awal warga belajar sehingga tidak diketahui keterampilan siap warga belajar. Ketiga, materi-materi program pelatihan yang akan dikembangkan tidak dibuat secara terencana dan sistematis. Keempat, tidak merumuskan tujuan kegiatan/program secara eksplisit yang diarahkan untuk menumbuhkembangkan kemandirian berwirausaha warga belajar. Kelima, nara sumber teknis atau tutor tidak mempersiapkan rencana pelatihan dalam bentuk tertulis baik dalam modul atau kemasan tertulis lainnya. Keenam, tidak mempersiapkan proses evaluasi program secara sistematis. Hal tersebut antara lain disebabkan
oleh
kurangnya
pemahaman
mereka
terhadap
aspek-aspek
pengembangan evaluasi pelatihan secara terintegrasi. Ketujuh, ada kecenderungan nara sumber teknis (tutor) tidak menguasai azas-azas pelatihan dengan sistem tutorial, baik pada tahapm perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Kedelapan, nara sumber teknis dalam setiap pertemuan, tidak pernah menjelaskan tujuan pelatihannya secara detail sehingga kurang menggugah rasa keingintahuan warga belajar. Kesembilan, kegiatan pelatihan dan PKH hanya bertumpu pada praktik dan penguasaan keterampilan yang berkenaan dengan keterampilan ototmotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin sehingga hanya bersifat praktik dan warga belajar belum memiliki sikap kemandirian. Kesepuluh, proses pelatihan tidak menggunakan metode pelatihan
yang terpadu. Sebagian besar hanya
bertumpu pada kegiatan praktik sehingga tidak menampakkan proses pelatihan dengan model tertentu. Kesebelas, tidak dibuatkannya rencana evaluasi secara terpadu atau terintegrasi yang komprehensif, sehingga tolok ukur kriteria penilaiannya tidak jelas.
150
PSMP Handayani Jakarta dalam beberapa segi memiliki kelemahan dan keterbatasan. Akan tetapi, pada sisi lain, pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup memiliki
beberapa
peluang
(opportunity)
yang
memungkinkan
terus
dikembangkan. Peluang tersebut antara lain: pertama, perhatian dan antusiasme masyarakat sekitar sangat tinggi. Ini dibuktikan dari partisipasi masyarakat yang turut andil sebagai partisipan dan sponsor pelaksana di PSMP Handayani Jakarta. Partisipasi masyarakat diwujudkan dalam bentuk menitipkan anaknya yang nakal di PSMP. Di samping itu, sabagian anggotam masyarakat sekitar PSMP turut andil dalam membantu kelancaran program. Misalnya, memanfaatkan jasa keterampilan yang dimiliki warga belajar atau turut serta menjadi sponsor bengkel kerja magang warga belajar. Antusiame yang tinggi tersebut menjadi bekal dan fondasi pengembangan PSMP. Kedua, program pelatihan otomotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin merupakan bidang kerja yang aplikatif dan berkembang pesat di masyarakat yang pertumbuhannya sangat dinamis. Diharapkan dengan pemilihan materi latih pada bidang tersebut, warga belajar dapat memanfaatkannya ketika kembali ke masyarakat dan mampu bekerja atau embuka lahan usaha yang produktif. Ketiga, perhatian pemerintah daerah daerah dan pusat sangat tinggi. Perhatian tersebut berupa dukungan dana, manajemen, peralatan, dan personalia. Keempat, Kinerja PSMP Handayani Jakarta sangat baik sehingga mempunyai reputasi nasional dan daya tarik kepada masyarakat untuk turut serta berpartisipasi. Profil dan berbagai kesuksesan dalam menjalankan program, menjadi unggulan di mata masyarakat. Kelima, upaya untuk menjalin kerja sama dengan pihak lain, telah dirintis sejak dulu dan kini berjalan dengan berbagai
151
instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka pengembangan PSMP Handayani. Ancaman (threat) terhadap keberlangsungan PSMP, yang perlu diantisipasi di antaranya: pertama, keterbatasan dana operasional. Sementara ini, PSMP mengandalkan dana subsidi pemerintah yang pada tataran tertentu dana tersebut cukup memadai. Akan tetapi, pengembangan program yang lain memerlukan suntikan dana tambahan sehingga PSMP dapat melakukan pengembangan. Kedua, keterbatasan personalia, khususnya instruktur. Intrusktur yang diberdayakan selama ini adalah rekruetmen yang berstatus PNS, honorer, dan tenaga lapangan. Rekruetmen pada umumnya adalah alumni PSMP yang mempunyai
keahlian
tertentu.
Dengan
keterbatasan
anggaran,
maka
pengembangan diri para personalia tersebut terbatas sehingga berimbas pula pada keterbatasan pengembangan programnya.
C. Analisis Kebutuhan Model dan Pengembangan Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta 1. Analisis Kebutuhan Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta Analisis kebutuhan pengembangan model bermaksud memberikan gambaran mengenai strategi atau pendekatan dalam pengembangan
model
pendidikan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta sehingga dapat tergambarkan bentuk titik masuk atau aspek pelatihan di PSMP dan alternatif strategi pengembangannya. Pendekatan yang dilakukan dalam menetapkan titik masuk sebagai fokus peluang pengembangan model pendidikan kecakapan hidup ini menggunakan pendekatan kelembagaan. Dapat dipahami secara teoritis,
152
apabila kita hendak memasuki dan memahami masyarakat hendaknya harus masuk dengan cara memilih fokus yang dipandang strategis dan mudah dimasukinya. Secara kelembagaan, terdapat dua peluang yang akan dijadikan kunci ke arah pengembangan model pendidikan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta, yaitu adanya peluang prospek usaha dan pengembangan potensi diri warga belajar di masyarakat dan pengembangan pada keterikatan antara warga belajar dengan lembaga (PSMP) dalam monitoring dan bimbingan terpadu kepada warga belajar setelah warga belajar selesai mengikuti pelatihan di PSMP. Namun dari hasil studi lapangan mengenai aspek peluang tersebut, berhasil diidentifikasi bahwa peluang tersebut merupakan salah satu alternatif program yang dipandang representatif
dapat
dikembangkan
secara
utuh
dan
berkesinambungan
(sustainable) melalui studi ini. Peluang pengembangan ini dimaksudkan aspekaspek pokok dari usaha lapangan masyarakat yang dipandang sebagai potensi yang dapat mendukung terhadap model pengembangan pendidikan kecakapan hidup yang akan diterapkan di PSMP Handayani Jakarta. Berdasarkan dua peluang untuk penggambaran model, yaitu lapangan usaha masyarakat dan jenis kelembagaan ekonomi PSMP, dapat diprediksi alternatif
strategi
pengembangan
seperti
apa
yang
akan
diterapkan.
Memperhatikan karakteristik dua kelembagaan di atas, yaitu: lapangan usaha masyarakat sekitar PSMP Handayani Jakarta dan lembaga pengembangan ekonomi, dihubungkan dengan karakteristik bidang keterampilan yang dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan model pelatihan kecakapan hidup
153
ini, maka strategi pengembangan yang dipandang tepat adalah melalui pelatihan dengan model sinergi belajar dan usaha. Merujuk pada analisis masalah model faktual yang dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa perencanaan di PSMP
kurang optimal, terutama
berkenaan dengan aspek: penyusunan rencana program kegiatan; tes awal materimateri program; perumusan tujuan kegiatan/program; tidak ada rencana pelatihan dalam bentuk tertulis; tidak mempersiapkan proses evaluasi; dan penguasaan yang rendah nara sumber teknis (tutor) terhadap azas-azas pelatihan dengan sistem
tutorial.
Dengan demikian, pada aspek perencanaan menunjukkan
perlunya ada sebuah perlakuan terapan bagi para warga belajar maupun nara sumber teknis PSMP
tentang materi-materi yang berkaitan dengan masalah
pendidikan khususnya
berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan
perencanaan program. Analisis kebutuhan model pelatihan
kecakapan hidup pada aspek
pelaksanaan ditunjukkan oleh adanya gejala yang kurang optimal. Diidentifikasi bahwa program pendidikan kecakapan hidup yang selama ini dilaksanakan di PSMP
Handayani
Jakarta
mengandung
kelemahan
berkenaan
dengan:
penyampaian tujuan; pengemasan materi yang tidak dituangkan ke dalam modul yang sistematis; proses pelatihan hanyalah berupa pelatihan dan penguasaan keterampilan; dan proses pelatihan tidak menggunakan metode pelatihan yang integratif, yakni metode belajar dan usaha. Analisis kebutuhan model pelatihan kecakapan hidup pada aspek evaluasi ditunjukkan pula oleh aspek yang terkait dengan masalah: tidak adanya penduan
154
evaluasi standar untuk mengukur keterampilan warga belajar, tidak adanya proses evaluasi intensif dan terukur selama kegiatan berlangsung, dan tidak dibuatkannya rencana kegiatan evaluasi secara terpadu.
2. Pengembangan Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta a. Rancangan Model Konseptual Pelatihan Kecakapan Hidup Rancangan model konseptual merupakan kerangka model yang hendak disusun ke dalam model yang lebih operasional dalam pelaksanaan uji coba model. Model pelatihan kecakapan hidup untuk meningkatkan kemandirian anak tunalaras dilaksanakan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Tujuan yang ingin dicapai dalam rancangan model konseptual yang akan dikembangkan dalam penelitian ini secara substansial meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah membantu anak tunalaras untuk mengembangkan kemandirian diri sendiri dan kelompok dalam belajar, bekerja, dan berusaha secara berkelanjutan dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki warga belajar dan masyarakat dengan tetap memperhatikan pelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Kegiatan bimbingan dan pembinaan maupun bantuan terhadap kelompok sasaran yang ada dimaksudkan agar mereka (warga belajar) mampu berkembang menjadi insan yang mandiri serta berkelanjutan dalam mengembangkan usaha dengan sikap yang mandiri. Tujuan jangka pendek melalui pelatihan kecakapan hidup diharapkan agar anak tunalaras (warga belajar) yang berasal dari berbagai latar belakang memiliki kecakapan akademik dan kecakapan vokasional dalam mengembangkan
155
potensi yang dimiliki untuk bekerja, mengelola, dan mengolah sumber daya yang ada dengan atau bersama orang lain sehingga menjadi usaha produktif. Desain pengembangan model pelatihan kecakapan hidup mengandung 7 (tujuh) tahapan yang diajukan dalam pengembangan model ini. Bila disajikan dalam bentuk narasi, ketujuh tahapan tersebut adalah: a. Fase kajian teori; landasan teori dan penyusunan desain; b. Fase penemuan model di lapangan (praksis); c. Deskripsi sistem pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta; d. Verifikasi Model/validasi ahli, praktisi dan uji coba terbatas; hasil validasi gagasan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup, e. Implementasi Model (treatment); f. Penerapan gagasan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup, g. Hasil Implementasi dan dampak (kemandirian); hasil pengembangan model pelatihan kecakapan hidup. Ketujuh fase di atas telah dideskripsikan pada bagian terdahulu/dalam desain penelitian. Bagian ini berupaya mengemukakan alur proses penelitian sebagai salah satu perwujudan dari proses menuju pada fase ke empat, yaitu verifikasi model, terutama validasi ahli dan praktisi. Diharapkan dengan adanya proses
verifikasi
dan
validasi
model,
hasil
penelitian
ini
memiliki
pertanggungjawaban ilmiah yang tinggi. Pembahasan mengenai alur proses penelitian dan pengembangan model kecakapan hidup pada bagian ini menggambarkan mengenai implementasi atau
156
pelaksanaan penelitian dan pengembangan model, sebagai bagian dari fase-fase yang telah dirancang dalam desain secara makro, pada bagian ini berupaya mendeskripsikan beberapa aspek. Alur proses atau tahapan studi lapangan dalam rangka penelitian dan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta, merentang sejak dilakukannya studi lapangan tahap 1 sampai dengan berhasil diungkapkan hasil pengembangan modelnya itu sendiri. Bertitik tolak dari kondisi faktual anak tunalaras yang tergabung dalam PSMP Handayani Jakarta, serta analisis masalah, kebutuhan belajar dan karakteristik anak tunalaras, maka program kegiatan pelatihan berbasis kemandirian menjadi pertimbangan dalam mendesain model pelatihan kecakapan hidup. Model konseptual yang disusun dalam program kemandirian anak tunalaras melalui PKH ini secara umum sama dengan program-program pelatihan yang lain, yaitu terdiri dari tiga langkah pokok, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan diakhiri dengan penilaian. Berdasarkan tiga langkah pokok dalam model konseptual yang dikembangkan, dapat dijelaskan aspek-aspek komponen model pelatihan kemandirian anak tunalaras yang akan diujicobakan dan dikembangkan dalam penelitian ini. Adapun aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut : 1) Perencanaan Sistem perencanaan pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian anak tunalaras disusun dengan pendekatan partsisipatif, sehingga melibatkan calon peserta, pekerja sosial (peksos), dan instansi terkait untuk menetapkan berbagai
157
hal yang terkait dengan perencanaan program. Perencanaan program yang dilakukan sejalan dengan konsep tujuan dan fungsi panti sosial. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. Panti Sosial sedikitnya memiliki ketiga fungsi tersebut. Namun demikian menurut Siahaan, yang dikutip oleh Tim Peneliti di Badan Pelatihan dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI (2003), sesungguhnya masih ada satu fungsi lagi yang ada dalam sebuah panti, yaitu fungsi pendidikan dan pelatihan. Menurutnya, hal itu mengingat bahwa dalam sebuah panti terdapat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik kepada klien secara langsung maupun kepada tenaga di luar Panti dalam meningkatkan kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial. Sebagaimana yang dilakukan dalam pengembangan model pelatihan kecakapan hidup sebagai upaya peningkatan kemandirian anak tunalaras ini, tidak akan terjadi tumpang tindih baik dari sisi program maupun sasaran karena semua instansi yang terlibat terlebih dahulu telah melakukan koordinasi. Bentuk koordinasi yang dilakukan adalah sebelum kegiatan pelatihan berlangsung, terlebih dahulu dilakukan rapat kerja bersama yang dipimpin dan dihadiri oleh para pengurus dan pengelola panti. Hasilnya disepakati kalau program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup menjadi tanggung
158
jawab bersama. Masing-masing instansi yang terlibat (Depsos dan Depdiknas) menyatakan kesediaannya untuk membantu dalam hal pengelolaan dan pembinaan lanjutan. Rancangan program pelatihan kecakapan hidup yang telah tersusun dan disepakati bersama ini terdiri atas tiga jenis kecakapan vokasional yaitu perbengkelan las, teknik pendingin, dan otomotif. Sebagaimana yang juga telah diungkapkan sebelumnya bahwa ketiga jenis kecakapan vokasional ini dilatihkan dalam satu paket pelatihan atau dalam waktu yang bersamaan. Pemisahannya dilakukan hanya pada saat pemberian materi teknis atau praktik, sedang saat acara pembukaan, pemberian materi umum dan acara penutupan tetap dilakukan bersama. Dalam menyususn rancangan pengembangan program pelatihan kecakapan hidup mengandung unsur-unsur yang dapat diuraikan sebagai berikut : a) Tujuan Pelatihan Secara umum tujuan pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras di puast Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP Handayani adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. Secara khusus, program PKH di PSMP Handayani bertujuan : (a) Meningkatkan kecakapan akademik
dan kecakapan vokasional anak
tunalaras yang dapat dijadikan mata pencaharian.
159
(b) Menyebarluaskan kecakapan akademik
dan kecakapan vokasional
melalui peningkatan kecakapan hidup. (c) Menumbuhkembangkan kreatifitas masyarakat khususnya warga belajar tunalaras dalam memecahkan permasalahan dengan memanfaatkan potensi sumber daya dan kelembagaan masyarakat. (d) Untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup, tumbuh
dan
berkembang
menjadi
sumber
daya
secara
manusia
wajar yang
di
masyarakat
berguna,
serta
produktif
dan
berkualitas, serta berakhlak mulia. b) Kelompok Sasaran Kelompok sasaran program ditetapkan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh PSMP Handayani yaitu anak nakal yang mempunyai kriteria sebagai berikut : a) Anak
nakal
yang
berusia
10-18
tahun
dan
belum
menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. Bagi mereka diberikan pelayanan pendidikan setaraf Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) umum. b) Anak
nakal
menamatkan
yang
berusia
pendidikan
16-21
Sekolah
tahun Dasar
dan (SD).
minimal Bagi
diberikan bimbingan fisik, mental, sosial dan ketrampilan kerja. c) Anak nakal yang berkonflik dengan hukum, meliputi : (1) Sedang dalam proses penyidikan oleh polisi.
telah mereka
160
(2) Sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum. (3) Menjalani putusan hakim. (4) Setelah selesai menjalani pidana anak. c) Sumber Belajar/Fasilitator Kriteria dan kualifikasi untuk Sumber Belajar (SB) yang direkrut untuk program pelatihan kecakapan hidup adalah sebagai berikut: a) Berusia 20-50 tahun b) Tingkat pendidikan minimal SMA c) Alumni PSMP Handayani Jakarta. d) Mampu menjalin kerja sama dan berkomunikasi dengan baik e) Memiliki kemampuan membelajarkan dan melatih f)
Memiliki kecakapan vokasional vokasional sesuai yang diprogramkan
d) Kurikulum Identifikasi kebutuhan warga belajar menunjukkan ada 3 (tiga) aspek yang perlu dilakukan penguatan yaitu: (a) aspek personal, berupa ketidakmampuan anak tunalaras sebagai warga belajar dalam memecahkan masalah dan menyadari potensi yang dimilikinya; (b) aspek sosial, berupa keterbatasan anak tunalaras dalam hal kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya; dan (c) aspek vokasional, berupa keinginan anak tunalaras untuk menguasai kecakapan vokasional tertentu sehingga mampu menjadi manusia yang produktif dan mandiri.
161
Dengan
memperhatikan
hasil
identifikasi
tersebut
dan
mempertimbangkan kondisi masyarakat maka disusun isi kurikulum yang difokuskan pada pengembangan kecakapan individu, kecakapan sosial, dan kecakapan vokasional. Berdasarkan fokus tersebut, maka disusun kriteria isi kurikulum pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian sebagai berikut: a) Strategi pelatihan kecakapan hidup dengan berbagai jenis kecakapan vokasional selalu diarahkan untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat setempat. b) Menjadikan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari sebagai masukan pokok pengembangan kurikulum. c) Pengelolaan usaha mandiri sebagai fokus materi pelatihan dengan penekanan pada pengembangan kemandirian. d) Jenis kecakapan vokasional yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar dan permintaan pasar. Untuk tema kurikulum, hal-hal yang dikemukakan mencakup: (1) Kecakapan akademik akademik
tentang jenis-jenis keterampilan; (2) Kecakapan
tentang pembentukan dan strategi pengelolaan usaha; (3)
Kecakapan akademik tentang pengelolaan/proses perbengkelan dan jasa; (4) Kecakapan akademik tentang pemasaran; (5) Kecakapan akademik tentang pengelolaan keuangan; (6) Kecakapan akademik
tentang pengelolaan
organisasi/kelompok yang terlibat dalam kegiatan usaha; dan (7) Kecakapan akademik tentang pengelolaan jiwa kepemimpinan dalam menjalankan usaha bersama.
162
e) Bahan Ajar dan Latihan Bahan ajar yang dikembangkan untuk program pelatihan semuanya dituangkan dalam bentuk diktat/modul yang mencakup bahan ajar kegiatan kecakapan vokasional dan usaha bersama. Secara rinci, bahan ajar ini mencakup: a) Modul pelatihan seri kegiatan kewirausahaan tentang proses pelayanan servis dan jasa. b) Modul
pelatihan
seri
kewirausahaan
tentang
Kepemimpinan,
Sumberdaya Manusia (SDM) dan Pengelolaan Keuangan. c) Modul kecakapan vokasional bidang perbengkelan (Las, teknik pendingin, dan otomotif). f) Media Pelatihan Keterampilan Media pelatihan yang dipergunakan adalah alat tulis, modul dan bahan-bahan praktik. g) Metode Pelatihan Keterampilan Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan model pelatihan kecakapan hidup adalah pendekatan andragogi, partisipatoris dengan metode ceramah, diskusi, kerja kelompok dan praktik. h) Waktu dan Tempat Pelatihan Kegiatan pelatihan dilangsungkan selama dua minggu atau 12 hari penuh dari tgl 14 Februari - 28 Maret 2008. Kegiatannya dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pada uji coba tahap pertama selama 6 hari dan uji coba tahap kedua juga 6 hari dengan jumlah jam pelajaran sebanyak 96 jam @ 45 menit.
163
i) Evaluasi Akhir Pelatihan Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan dengan (a) evaluasi prapelatihan (b) evaluasi proses pelatihan, dan (c) evaluasi akhir pelatihan. Pada dasarnya, evaluasi dilakukan pada aspek-aspek (a) kemampuan memahami materi dan (b) kemampuan mempraktikkan. b. Pelaksanaan Pelibatan berbagai pihak dalam proses pelatihan kecakapan vokasional menjadi penting dalam pelatihan, misalnya antara lain: lembaga pemerintah daerah melalui dinas/instansi teknis terkait, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Disnakertrans, sumber belajar/fasilitator, tokoh masyarakat dan para kader organisasi kemasyarakatan. Kerja sama berbagai pihak sesungguhnya sangat diperlukan dalam program pelatihan kecakapan hidup, yaitu sejak perencanaan program sampai evaluasi program pelatihan, termasuk kegiatan monitoring, dan pembinaan berkelanjutan. Keterlibatan mereka dalam kegiatan evaluasi pelatihan kecakapan vokasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan satu program pelatihan kecakapan hidup. Dalam banyak hal, pemantauan pasca kegiatan pelatihan terabaikan yang disebabkan berbagai alasan, antara lain tidak tersedianya anggaran atau terbatasnya sumber daya manusia (Sumber Belajar dan atau tenaga pendamping) yang bertanggung jawab pada program pelatihan. Dalam pelatihan yang menganut sistem pelatihan
orang dewasa, yaitu anak tunalaras sebagai warga belajar
sehingga kemampuan dalam penguasaan
materi selama proses dan setelah
kegiatan berakhir sesungguhnya dapat diketahui oleh warga belajar sendiri.
164
c. Evaluasi Evaluasi model pelatihan kecakapan hidup lebih mengedepankan pada kerja sama untuk mengetahui keberhasilan pencapaian program pelatihan kecakapan vokasional oleh warga belajar. Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan secara bersama-sama, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil program pelatihannya. Evaluasi proses dilakukan terhadap warga belajar, terdiri dari motivasi belajar, kerja sama, dan partisipasi warga belajar dalam proses pelatihan. Bagi sumber belajar/fasilitator evaluasi tersebut bermanfaat untuk memperbaiki dan meningkatkan unjuk kerja (performance) sebagai pembelajar atau warga belajar, antara lain terkait dengan penguasaan materi, penggunaan media dan bahan pelatihan, metode dan fasilitas/sarana pelatihan, serta bimbingan selama proses pelatihan. Sedangkan evaluasi akhir pelatihan dilakukan untuk mengetahui penguasaan materi pelatihan oleh warga belajar (teori dan praktik). Evaluasi pasca penyelenggaraan program pelatihan kecakapan hidup selain dilakukan oleh peneliti juga melibatkan beberapa petugas atau sumber belajar sekaligus melakukan pemantauan (monitoring). Kegiatan para petugas tersebut adalah untuk melakukan pemantauan pada kemandirian warga belajar yang telah mengikuti program pelatihan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kontribusi penerapan model pelatihan kecakapan hidup dalam menguasai kecakapan vokasional (vocational skills) untuk meningkatkan kemandirian anak tunalaras (warga belajar), kesejahteran, dan taraf hidup mereka. Model konseptual pelatihan kecakapan hidup yang dikembangkan dan
165
mengacu pada pendekatan pelatihan orang dewasa (adult learning) ini, dalam perspektif
Pendidikan
Luar
Sekolah
program
pelatihan
tersebut
diimplementasikan melalui pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Pendekatan ini juga berlaku dalam program pembinaan lanjutan setelah mereka memiliki kecakapan vokasional dan usaha. Sedangkan secara substansial pengembangan model pada program pelatihan yang dikembangkan mengarah pada munculnya kepercayaan yang melekat pada warga belajar untuk mengatur diri dalam menjalankan tugas sehari-hari karena menyadari telah memiliki kemampuan yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum, walaupun dalam pelatihan kecakapan hidup lebih menekankan pada penguasan kecakapan vokasional praktis, namun tidak mengabaikan aspek kecakapan akademik
secara teoretis. Dalam pelatihan
kecakapan vokasional orang dewasa kegiatan belajar kecakapan vokasional praktis akan menarik bilamana materi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan dengan metode pelatihan yang menarik pula. Karena itu model belajar dengan "learning by doing" dan metode pemecahan masalah (problem solving methods) adalah motode-metode yang dianggap sangat tepat bagi warga belajar. Untuk itu, metode pelatihan kecakapan hidup juga akan menarik dan bermakna bagi warga belajar bilamana terdapat kesesuaian antara materi dengan jenis kecakapan vokasional yang dipilih atas dasar kebutuhan nyata kelompok sasaran program (calon warga belajar) melalui kesepakatan bersama. Berdasarkan analisis hasil studi eksplorasi dan analisis kebutuhan belajar anak tunalaras sebagai warga belajar, pengembangan model pelatihan kecakapan
166
hidup dalam penelitian ini mencakup beberapa hal, di antaranya sebagai berikut: Pertama, deskripsi model pelatihan yang dikembangkan akan mencoba menggambarkan pelatihan kecakapan hidup sebagai sistem, konsep, program dan pendekatan. Dalam penelitian ini, pelatihan kecakapan hidup dipandang sebagai penguatan untuk kemandirian anak tunalaras sebagai warga belajar. Selain itu, dipaparkan juga mengenai pengembangan media dan bahan materi pelatihan menggunakan sistem penghantaran secara terintegrasi. Kedua, memaparkan potensi-potensi sumber daya yang ada di masyarakat (SDA, SDM dan nilai budaya), yang menjadi basis dan sumber pelatihan warga belajar dalam rangka untuk memperoleh sumber penghasilan atau pendapatan. Sebagian sumber daya lokal dipilih atas dasar keunggulan-keunggulan komparatif dengan pertimbangan potensi ekonomi pedesaan dan perkotaan yang diarahkan kepada pelatihan ekonomi yang mampu memberikan nilai tambah. Ketiga, untuk menyosialisasikan konsep pelatihan kecakapan hidup bagi warga belajar, perlu dipilih jenis-jenis usaha ekonomi produktif melalui pengembangan model yang akan diujicobakan. Pelatihan jenis-jenis kecakapan vokasional usaha ekonomi produktif bagi kelompok warga belajar dalam penelitian dan pengembangan model pelatihan ini terbatas pada pengelolaan dan pelayanan di bidang jasa. Keempat, proses perancangan program dan bahan belajar yang menggambarkan tentang langkah-langkah kegiatan apa yang dilakukan, dengan dan bersama siapa merancang dan melaksanakan program pelatihan serta bahan belajar apa yang sebaiknya dikembangkan. Dalam proses ini, tidak lupa juga
167
memperhatikan karakteristik warga belajar (anak tunalaras) sebagai kelompok sasaran, bagaimana prosesnya, apa metode dan keluaran (produk) yang dihasilkan. Kelima, proses kemandirian anak tunalaras
melalui model pelatihan
kecakapan hidup menggambarkan bagaimana memproses antara instrumen input, environment input, dan other input yang disepakati bersama untuk menghasilkan output serta outcomes, serta untuk mengetahui keberhasilan pelatihan terhadap kelompok sasaran. Peran dan tugas-tugas fasilitator dan kelompok sasaran akan dikembangkan ke dalam aktifitas pelatihan keterampilan. Pengorganisasian warga belajar dan bahan belajar, penggunaan motode pelatihan serta bimbingan lanjutan menjadi bagian yang terintegrasi dalam model pelatihan kecakapan hidup dengan pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Program pelatihan melalui model pelatihan kecakapan hidup bukanlah suatu produk final bagi program kemandirian anak tunalaras dalam upaya mengatasi masalah ekonomi. Atas pertimbangan dan alasan tersebut, rancangan model konseptual yang disusun mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang diperkirakan akan terjadi dan menjadi hambatan dalam proses penelitian dan pengembangan model, baik yang bersifat internal (bersumber dari diri peneliti sendiri, seperti keterbatasan kemampuan dan pemahaman) antara lain: menjustifikasi secara akurat fenomena-fenomena sosial terhadap model-model pelatihan yang relatif beragam dan berubah, maupun eksternal (bersumber dari peneliti, seperti administratif dan kondisi lapangan). Oleh karena itu, perlu langkah-langkah persiapan yang dapat mengeliminir hambatan yang bakal terjadi, sehingga perlu adanya antisipasi dalam implementasinya.
168
b. Validasi dan Revisi Rancangan Model Konseptual Kegiatan validasi dilakukan setelah rancangan model konseptual selesai disusun. Dalam upaya mendapatkan model akhir, model konseptual yang telah disusun masih perlu mendapatkan perbaikan dan penyempurnaan dengan mendengarkan masukan dan pandangan dari kalangan pakar Pendidikan Luar Sekolah dan pakar pelatihan serta praktisi program pelatihan. Secara khusus, juga diminta masukan dari praktisi baik dari Dinas Sosial dan Diknas Jakarta untuk visualisasi model sehingga menjadi visualisasi yang mudah dipahami dan menarik. Langkah selanjutnya dari hasil penelitian dengan prosedur penelitian dan pengembangannya, dilakukan diskusi dengan teman sejawat dan pihak yang terlibat dalam program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan. Diskusi dilakukan dengan cara memberikan rancangan model konseptual pelatihan yang akan dikembangkan dan bahan belajar yang akan digunakan dalam pelatihan untuk diberi catatan perbaikan dan penyempurnaan. Hasil diskusi dengan para pakar dan praktisi disusun dan dikompilasikan sebagai bahan
untuk berdiskusi dan mengadakan pembahasan dengan nara
sumber lain agar semakin menyempurnakan dan memperbaiki model tersebut. Dalam penelitian ini, dilakukan dua tahapan pengujian validasi, yakni teoritik dan empirik. Berikut ini beberapa masukan yang penting dari nara sumber. a.
Penilaian Ahli terhadap Rancangan Model konseptual Beberapa masukan penting dari nara sumber terhadap model yang akan
dikembangkan, antala lain sebagai berikut: 1) Model pelatihan kecakapan hidup cukup memadai dan sesuai dengan
169
kebutuhan dalam rangka meningkatkan kemandirian anak tunalaras; 2) Model pelatihan kecakapan hidup
selain memerlukan pelibatan berbagai
pihak, juga memerlukan pendekatan yang tepat sehinga bisa dijalin kerjasama sejak dari mulai pelatihan sampai kegiatan berusaha; 3) Model pelatihan kecakapan hidup yang dibangun khusus bagi anak tunalaras harus selalu direncanakan dari bawah dengan melibatkan calon warga belajar; 4) Model yang diajukan ini cukup memadai dan dapat menjadi panduan para fasilitator/tutor dan pendamping dalam melakukan tugas pembinaan kecakapan vokasional kepada anak tunalaras; 5) Sistem dan proses perencanaan program, pendekatan, media, materi serta metode pelatihannya cukup memadai dengan prinsip kecakapan hidup, pendekatan partisipatif sebagai upaya kemandirian anak tunalaras; 6) Model ini dapat diterima karena proses kemandirian anak tunalaras dilakukan dengan basis masyarakat atau memanfaatkan sebagian sumber daya lokal (alam, manusia dan budaya setempat); 7) Model ini dimungkinkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat umumnya dan kelompok gabungan anak tunalaras khususnya dalam hal pelatihan keterampilan; 8) Model ini dapat memberikan penguatan terhadap model pelatihan yang telah ada, khususnya dalam program pelatihan ekonomi masyarakat yang selama ini kurang memperoleh penekanan dalam melakukan identifikasi dan penentuan prioritas kebutuhan belajar masyarakat; dan 9) Sistematika dan visualisasi, serta kerangka bahan belajar untuk pelatihan
170
kecakapan hidup melalui pelatihan sebagai upaya kemandirian anak tunalaras sudah sesuai. Komentar yang diberikan nara sumber memberikan penekanan pada empat hal, yaitu: (1) rancangan model, media pelatihan, pemanfaatan sumber daya lokal yang terkait dengan pelatihan kecakapan hidup, dan relevansinya dengan kebutuhan anak tunalaras; (2) kerangka pikir, isi sistematika, alur dan visualisasi model; dan (3) proses pengelolaan pelatihan; serta (4) bahan dan sumber belajar. Beberapa hal yang perlu direvisi dari model pelatihan kecakapan hidup bagi anak tunalaras berdasarkan masukan dari para ahli adalah (1) visualisasi model dalam bentuk gambar disesuaikan dengan aspek-aspek komponen model pelatihan kecakapan hidup supaya lebih spesifik; (2) arah program pelatihan kecakapan hidup lebih ditekankan pada usaha untuk membangun kemandirian anak tunalaras sehingga memiliki nilai tambah dalam pemberdayaannya; dan (3) pelatihan kecakapan hidup lebih ditekankan pada vocational skills, Beberapa masukan yang berasal dari nara sumber pada model konseptual pelatihan kecakapan hidup untuk meningkatkan kemandirian anak tunalaras, kemudian dijadikan bahan perbaikan dan penyempurnaan, terutama terkait dengan pelatihan kecakapan hidup yang lebih ditekankan pada “vocational skills” dan pembentukan kemandirian. b. Penilaian Praktisi terhadap Rancangan Model Konseptual Komentar praktisi terhadap model konseptual yang akan dikembangkan lebih memberikan penekanan pada tiga hal, yaitu: (1) model, khususnya relevansinya dengan kebutuhan anak tunalaras yang terkait dengan memberikan
171
bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan keterampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan; (2) evaluasi dan monitoring; dan (3) bahan belajar sebagai panduan warga belajar dan fasilitator/pembimbing. Beberapa hal yang perlu direvisi dari model ini berdasarkan masukan dari para praktisi adalah memperbaiki kekurangan dalam menentukan jenis-jenis kecakapan vokasional terapan yang ekonomis disesuaikan dengan kebutuhan belajar yang dipilih dan disepakati oleh calon warga belajar dengan mempertimbangkan potensi setempat dan yang mungkin disediakan termasuk fasilitas/peralatan praktik dan media pelatihan yang dibutuhkan dalam pelatihan. c. Tanggapan Warga Belajar terhadap Desain Model Konseptual Tanggapan terhadap rancangan model konseptual pelatihan kecakapan hidup terutama ditujukan dan diharapkan datang dari para anak tunalaras calon warga belajar yang dijadikan peserta dalam penelitian ini. Komentar calon warga belajar terhadap model konseptual yang akan dikembangkan dalam penelitian ini lebih memberikan penekanan pada tiga hal, yaitu: (1) kesesuaian model pelatihan kecakapan hidup dengan kebutuhan belajar dan potensi sumber daya yang ada di daerah; (2) bahan belajar yang mereka butuhkan; (3) fasilitator/sumber belajar, dan pembimbing. Rancangan model konseptual terlebih dahulu direvisi berdasarkan beberapa masukan yang diberikan para pembimbing, para ahli di luar
172
pembimbing, para praktisi pelatihan PLS, dan calon warga belajar sehingga dihasilkan sebuah model konseptual yang siap untuk diimplementasikan. Sebagaimana diungkapkan dalam bab III, bahwa model pengembangan penelitian dilakukan dalam dua kegiatan (I dan II). Hasil model konseptual dari pengembangan penelitian yang dilakukan pada kegiatan I, setelah divalidasi dan direvisi atau yang siap untuk diimplementasikan dapat dilihat pada gambar 4.5 sebagai berikut.
173
Model konseptual (lihat di file gambar model)
174
Gagasan model pelatihan kecakapan hidup dilatarbelakngi oleh beberapa masalah yang muncul sebagai hasil kajian lapangan melalui observasi dan studi lapangan. Permasalahan pertama berkenaan dengan input warga belajar. Warga belajar pada pelatihan kecakapan hidup berasal dari Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Mereka datang dari berbagai daerah lengkap dengan berbagai latar belakangnya. Karakteristik utama warga belajar tersebut adalah: (1) mereka mempunyai penyimpangan perilaku; (2) memiliki permasalahan dalam belajar; (3) membutuhkan pendidikan khusus; dan sebagainya. Permasalahan kedua, berkenan dengan kompetensi vokasional yang rendah. Kompetensi vokasional warga belajar tersebut hanya berkenaan dengan keterampilan yang berhubungan dengan keperluan hidup yang kurang produkif. Kompetensi vokasional yang produktif harus dimiliki oleh warga belajar agar mereka mampu memenuhi kebutuhannya sendiri secara ekonomi bahkan mampu mandiri secara wirausaha. Permasalahan ketiga berkenaan dengan latar belakang ekonomi yang beragam tetapi pada umumnya berasal dari kalangan ekonomi kurang mampu. Latar belakang ekonomi menjadi fokus perhatian penulis sebagai bahan kajian penyusunan model karena berhubungan langsung dengan tujuan dan dampak pengembangan model pelatihan kecakapan hidup. Tujuan akhir model ini adalah terbentuknya warga belajar yang memiliki kecakapan hidup dan kemandirian. Kondisi ekonomi yang kurang tentu akan berpengaruh pada karakteristik warga belajar dalam berbagai sudut pandang. Permasalahan berikutnya berkenan dengan perencanan, pelaksanaan,
175
evaluasi, dan sumber belajar (tutor) juga yang kurangmemahami azas-azas pelaksanaan pelatihan. Keempat aspek tersebut tidak dikelola denganbaik layaknya kegiatan pelatihan yang harus disusun dan silaksanakan dengan sistematis. Beberapa permasalahan dan latar belakang tersebut menjadi dasar pemikiran penulis dalam mengembangkan model konseptual pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Latar belakang tersebut menjadi dasar penyusunan program dan dasar penyusunan teknis pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Program pelatihan berkenaan dengan pengembangan pada aspek: kurikulum, pendekatan, dan tujuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta adalah kurikulum terintegratif. Kurikulum ini merupakan sebuah program kerja yang dikembangkan berdasarkan aspek-aspek unsur-unsurnya secara terintegrasi yakni: kemandirian secara fisik, mental, dan sosial; pengembangan sarana dan prasarana pendukung pelatihan, uraian waktu, teknik evaluasi, dan sebagainya. Pendekatan yang dikembangkan adalah pendekatan pelatihan partisipatif. Pendekatan ini sangat cocok diterapkan pada anak tunalaras karena anak tunalaras memiliki penyimpangan perilaku yang berbeda dari anak biasa sehingga keterlibatan emosi dan sosialnya harus dikontrol. Pendekatan partisipatif mampu mengakomodasi karakteristik anak tunalaras sehingga memungkinkan mereka aktif dan turut berperan serta dalam pelatihan. Tujuan pelatihan adalah agar anak tunalaras memiliki kecakapan
176
vokasional. Kecakapan vokasional yang dikembangkan melalui pelatihan ini adalah kecakapan di bidang otomotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin. Pada aspek teknis pelatihan berkenaan dengan manajemen, proses belajaran mengajar (pelatihan), dan evaluasi serta pengembangannya. Manajemen berkenaan dengan tata laksana pelatihan. Manajemen yang dimaksud adalah manajemen dalam bidang: tata rancang personal, tata rancang materi pelatihan, tata rancang sarana dan prasarana, tata rancang keuangan, dan sebagainya. PBM berkenaan dengan teknik proses pelatihan. Evaluasi dan pengembangannya berkenaan dengan teknik penentuan model evaluasi, jenis evaluasi, instrumen evaluasi, dan teknik pengukurannya. Seluruh paparan di atas merupakan pengembangan tahap perencanaan pelatihan. Tahap perencanaan ini akan menjadi landasan pelaksanaan pelatihan. Proses pelatihan kecakapan hidup dikembangkan berdasarkan beberapa unsur yang turut berpengaruh pada pelaksanaannya. Pertama, pemberian tes awal. Tes awal diterapkan untuk mengetahui kemampuan awal warga belajar yang berkenaan dengan materi pelatihan yanag akan disampaikan. Melalui tes awal titik tolak materi akan dikembangkan sesuai dengan hasilnya. Proses pelatihan juga dipengaruhi oleh proses bimbingan fisik, mental, dan sosial yang sudah menjadi program kerja Panti Sosial. Bimbingan tersebut biasanya dilaksanakan pada pagi hari dan malam hari. Secara khusus, faktor lingkungan juga turut mempengaruhi input (warga belajar). Faktor-faktor tersebut adalah: lingkungan sekitar, keluarga, ekonomi, dan sebagainya. Faktor tersebut merupakan faktor bawaan yang tidak dapat dilepaskan pada diri warga belajar. Proses pelaksanaan pelatihan diakhiri
177
oleh pemberian tes akhir yang merupakan salah satu cara yang paling efekif untuk menguji keberhasilan pelatihan lebih jauh lagi keberhasilan rancangan model. Seluruh pelaksanaan tersebut merupakan tahap pelaksanaan model atau kegiatan inti. Gambaran pelaksanaan pelatihan tersebut pun dapat dijadikan dasar dalam merevisi program kegiatan. Revisi diperlukan pada saat menemukan bagianbagian pelatihan yang kurang optimal. Proses pelatihan kecakapan hidup diharapkan mampu membentuk warga belajar memiliki kemandirian secara fisik, mental, dan sosial. Di samping itu, diharapkan juga dapat membentuk warga belajar yang memiliki kecakapan hidup akademik, vokasional, sosial, dan personal. Semua karakteristik warga belajar yang menjadi tujuan pelatihan tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan evaluasi. Hasil evaluasi perancangan pelatihan tersebut dapat mejadi dasar pengembangan model pelatihan kecakapan hidup. Pengembangan dapat dilakukan melalui pemberdayaan warga belajar ke bengkel-bengkel yang sudah menjalin kerja sama,
mendirikan koperasi, dan sebagainya. Paparan model pelatihan
tersebut merupakan dasar bagi pelaksanaan pelatihan (tahap implementasi model).
C. Implementasi Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta 1. Uji Coba Model Tahap I Kegiatan implementasi (uji coba) model pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras dilakukan melalui dua tahap. Pada uji coba tahap 1, sumber belajar/tutor yang didampingi peneliti lebih aktif dalam
178
memberikan atau menyampaikan materi baik teori maupun praktik kepada warga belajar selama berlangsungnya kegiatan uji coba. Kegiatan ini dilakukan selain untuk mengetahui hasil atau kesesuaian antara konsep dengan penerapannya, juga untuk melihat kemungkinan adanya kelemahan dan hambatan yang akan segera diperbaiki. Pada uji coba tahap 2, sumber belajar/tutor mengurangi perannya dalam kegiatan proses pelatihan. Sumber belajar yang tetap didampingi peneliti lebih banyak melakukan pengamatan atau sebagai pemantau dan hanya sesekali memberikan arahan bila dianggap masih ada kegiatan dari warga belajar yang masih kurang sesuai. Pada tahap kedua ini lebih diarahkan agar setiap warga belajar memiliki kemandirian dan pengalaman langsung dalam melakukan setiap kegiatan. a.
Persiapan Pada tahap persiapan, yaitu sebelum model konseptual diujicobkan atau
diimplementasikan, lagkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, melakukan diskusi dengan calon warga belajar yang diikuti oleh aparatur Dinas Sosial Kota Jakarta sebagai pengelola (pekerja sosial), orang tua asuh, dan instruktur. Fokus diskusi membahas tentang masalah-masalah sosialekonomi, termasuk masalah pendidikan anak tunalaras, pelatihan yang efektif, jalinan kerja sama dengan pihak luar (para penguasaha atau pemilik bengkel), dan potensi-potensi ekonomi yang mungkin dan dapat dikembangkan. Kedua, penentuan jensi-jenis kecakapan vokasional praktis yang dijadikan materi pelatihan sesuai dengan kebutuhan belajar calon warga belajar pada
179
program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup. Ketiga, melakukan koordinasi dengan pengelola Panti Asuhan Marsudi Putra Handayani Jakarta, dalam hal ini ditujukan pada upaya menjalin kerja sama dan penguatan kelembagaan untuk mendukung pengembangan program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup. Keempat, penyiapan bahan belajar. Materi-materi pelatihan yang dimasukan dalam program pelatihan keterampilan, disusun dalam bentuk bahan belajar berdasarkan kebutuhan belajar calon warga belajar. Penyiapan materimateri bahan belajar dilakukan mulai bulan Juli sampai Agustus 2008. Peyusunan bahan belajar tertulis dilakukan melalui kerja sama dengan beberapa instansi terkait, khususnya Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan Kota Jakarta yang berkedudukan sebagai praktisi dalam penyusunan model bahan belajar. Setelah melalui diskusi dan validasi, selanjutnya bahan belajar diperbanyak sesuai dengan kebutuhan program pelatihan kecakapan hidup. Kelima, penetapan nama calon warga belajar
yang akan mengikuti
pelatihan kecakapan hidup. Jumlah seluruh warga belajar pelatihan sebanyak 60 orang. Keenampuluh warga belajar tersebut terbagi menjadi tiga kelompok, yakni 25 orang warga belajar kelompok kecakapan vokasional otomotif, 18 orang warga belajar kelompok kecakapan vokasional pengelasan, dan 17 orang warga belajar teknik pendingin. Keenam, penetapan waktu dan tempat pelatihan. Sebelum kegiatan pelatihan diselenggarakan, terlebih dahulu peneliti mengadakan pertemuan dengan tutor/fasilitator, dan perwakilan calon warga belajar
Dari pertemuan
180
tersebut disepakati program dan jadwal kegiatan pelatihan untuk uji coba model tahap I, sekaligus menyepakati jenis-jenis kecakapan vokasional yang akan dipelajari dan menentukan tempat penyelenggaraan program pelatihan. Kegiatan program pelatihan pada tahap I disepakai mulai tanggal 14 sampai 28 Pebruari 2008. Ketujuh, persiapan peralatan pelatihan dan pelatihan, media/bahan pelatihan yang dibutuhkan dalam pelatihan, selain disiapkan sendiri oleh peneliti, juga disiapkan oleh PSMP, dan fasilitator.
b. Pelaksanaan Sebelum pelaksanaan eksperimen terlebih dahulu dilakukan tes awal (pretest) kepada warga belajar sebagai subyek penelitian. Fokus tes yang dilakukan secara tertulis hanya berorientasi pada dimensi pelatihan keterampilan. Setelah warga belajar diberikan perlakuan dengan model program pelatihan kecakapan hidup selanjutnya dilakukan tes akhir (posttest ). Pemberian pretes, dilakukan secara tertulis, observasi, dan dengan wawancara kepada seluruh warga belajar yang telah dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok pengelasan, kelompok teknik pendingin, dan kelompok teknik otomotif. Materi yang diujicobakan berupa kegiatan praktik, dan aspek yang diwawancarakan berkisar pada kemampuan awal atau yang telah dikuasai dari masing-masing jenis kecakapan vokasional yang mereka ikuti. Materi pretes yang diberikan kepada tiap kelompok terdiri dari materi kecakapan akademik sebanyak 15 item, materi kecakapan vokasional sebanyak 15 item, materi kecakapan
181
personal sebanyak 15 item, dan
materi kecakapan sosial sebanyak 15 item.
Penilaian keempat aspek kecakapan tersebut dilakukan dengan menggunakan pilihan berganda. Setiap item yang benar diberi skor 1 dan salah dengan skor 0, serta benar semua diberi skor 15 (100%). 1) Kelompok Teknik Otomotif Secara umum hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi kecakapan akademik otomotif yang mereka butuhkan. Kekurangan ini dibuktikan dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu memperoleh nilai ratarata sebelum pelatihan sebesar 7,60 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 7, dan nilai maksimum 9. Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal ratarata sebesar 7,28 nilai minimum 6 dan maksimum 9. Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan
182
kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,56 nilai minimum 7 dan maksimum 8. Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada
beberapa orang yang sudah
terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,56 nilai minimum 6 dan maksimum 9. Secara rinci hasil pretes kecakapan hidup otomotif dari keempat aspek (kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial) pada tahap I terhadap 25 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan vokasional dapat dilihat dalam tabel 4.6 berikut: TABEL 4.6 DATA HASIL PRETES KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF Jumlah Skor WB
Akademik
%
Vokasional
%
Personal
%
Sosial
%
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
7
46.67
8
53.33
8
53.33
8
53.33
2
7
46.67
8
53.33
8
53.33
7
46.67
3
7
46.67
8
53.33
7
46.67
7
46.67
4
7
46.67
8
53.33
7
46.67
7
46.67
5
7
46.67
6
40.00
7
46.67
8
53.33
6
8
53.33
6
40.00
8
53.33
8
53.33
7
7
46.67
7
46.67
8
53.33
8
53.33
8
8
53.33
7
46.67
7
46.67
7
46.67
9
7
46.67
6
40.00
7
46.67
7
46.67
10
8
53.33
7
46.67
8
53.33
7
46.67
11
8
53.33
6
40.00
8
53.33
8
53.33
12
9
60.00
7
46.67
8
53.33
8
53.33
13
9
60.00
8
53.33
8
53.33
8
53.33
183
1
2
3
4
5
6
7
8
9
14
8
53.33
8
53.33
7
46.67
8
53.33
15
8
53.33
7
46.67
7
46.67
8
53.33
16
7
46.67
8
53.33
7
46.67
7
46.67
17
7
46.67
8
53.33
7
46.67
9
60.00
18
8
53.33
7
46.67
7
46.67
9
60.00
19
7
46.67
7
46.67
8
53.33
9
60.00
20
7
46.67
7
46.67
8
53.33
6
40.00
21
8
53.33
8
53.33
8
53.33
7
46.67
22
8
53.33
8
53.33
8
53.33
8
53.33
23
8
53.33
8
53.33
7
46.67
7
46.67
24
8
53.33
7
46.67
8
53.33
6
40.00
25
7
46.67
7
46.67
8
53.33
7
46.67
Jumlah
190
1266.67
182
1213.333
189
1260
189
1260
7.60
50.67
7.28
48.53
7.56
50.40
7.56
50.40
Ratarata
2) Kelompok Teknik Pengelasan Hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-masing
materi teknik pengelasan.
Kekurangan ini dibuktikan dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu memperoleh nilai rata-rata sebelum pelatihan sebesar 7,61 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 7 dan nilai maksimum 8. Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan praktis yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,28 nilai minimum 6 dan maksimum 8.
184
Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,44 nilai minimum 7 dan maksimum 8. Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama yang berkenaan dengan tekinik pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,33 nilai minimum 7 dan maksimum 8. Secara rinci hasil pretes kecakapan hidup teknik pengelasan dari keempat aspek (kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial) pada tahap I terhadap 18 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan hidup dapat dilihat dalam tabel 4.7 berikut. TABEL 4.7 HASIL PRETES KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN Jumlah Skor WB Akademik
%
Vokasional
%
Personal
%
Sosial
%
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
7
46.67
8
53.33
8
53.33
8
53.33
2
8
53.33
8
53.33
8
53.33
7
46.67
3
8
53.33
8
53.33
7
46.67
7
46.67
185
4
Jumlah Skor 8
53.33
Jumlah Skor 8
53.33
Jumlah Skor 7
46.67
Jumlah Skor 7
46.67
5
8
53.33
6
40.00
7
46.67
8
53.33
6
8
53.33
8
53.33
8
53.33
8
53.33
7
7
46.67
7
46.67
8
53.33
8
53.33
8
8
53.33
7
46.67
7
46.67
7
46.67
9
7
46.67
6
40.00
7
46.67
7
46.67
10
8
53.33
7
46.67
8
53.33
7
46.67
11
8
53.33
6
40.00
8
53.33
7
46.67
12
7
46.67
7
46.67
8
53.33
7
46.67
13
7
46.67
8
53.33
8
53.33
7
46.67
14
8
53.33
8
53.33
7
46.67
7
46.67
15
8
53.33
7
46.67
7
46.67
8
53.33
16
7
46.67
7
46.67
7
46.67
7
46.67
17
7
46.67
7
46.67
7
46.67
8
53.33
18
8
53.33
8
53.33
7
46.67
7
46.67
Jumlah
137.00
913.33
131.00
873.33
134.00
893.33
132.00
880.00
Rata-rata
7.61
50.74
7.28
48.52
7.44
49.63
7.33
48.89
WB
WB
WB
WB
WB
3) Kelompok Teknik Pendingin Pada kelompok teknik pendingin, secara umum hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata tidak jauh berbeda dengan kecakapan vokasional lainnya. Seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi kecakapan vokasional teknik pendingin yang mereka butuhkan. Kekurangan ini dibuktikan dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu memperoleh nilai rata-rata sebelum pelatihan sebesar 7,88 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 7 dan nilai maksimum 8.
186
Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal ratarata sebesar 7,76 nilai minimum 7 dan maksimum 9. Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,71 nilai minimum 7 dan maksimum 9. Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,59 nilai minimum 7 dan maksimum 9. Secara rinci hasil pretes kecakapan hidup teknik pendingin dari keempat aspek (kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial) pada tahap I terhadap 17 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan ini dapat dilihat dalam tabel 4.8 berikut:
187
TABEL 4.8 HASIL PRETES KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN Jumlah Skor WB Akademik
%
Vokasional
%
Personal
%
Sosial
%
1
2
3
4
5
6
7
1
8
53.33
7
46.67
7
46.67
7
46.67
2
9
60.00
7
46.67
7
46.67
9
60.00
3
8
53.33
8
53.33
9
60.00
8
53.33
4
7
46.67
7
46.67
8
53.33
7
46.67
5
7
46.67
7
46.67
8
53.33
7
46.67
6
8
53.33
8
53.33
8
53.33
8
53.33
7
9
60.00
7
46.67
7
46.67
7
46.67
8
9
60.00
7
46.67
7
46.67
7
46.67
9
8
53.33
8
53.33
7
46.67
7
46.67
10
9
60.00
9
60.00
8
53.33
7
46.67
11
8
53.33
8
53.33
8
53.33
8
53.33
12
7
46.67
8
53.33
8
53.33
7
46.67
13
7
46.67
8
53.33
8
53.33
8
53.33
14
7
46.67
8
53.33
7
46.67
7
46.67
15
9
60.00
9
60.00
8
53.33
9
60.00
16
7
46.67
8
53.33
8
53.33
8
53.33
17
7
46.67
8
53.33
8
53.33
8
53.33
Jumlah
134.00
893.33
132.00
880.00
131.00
873.33
129.00
860.00
Rata-rata
7.88
52.55
7.76
51.76
7.71
51.37
7.59
50.59
Setelah diketahui hasil dari tes awal, langkah selanjutnya dilakukan uji coba model pelatihan dan pengujian bahan belajar. Kegiatan tes awal bertujuan
188
untuk mengetahui di bidang mana saja yang dianggap lemah oleh warga belajar, yang selanjutnya akan diberikan penekanan-penekanan khusus pada bidang yang dianggap lemah tersebut. Sebelum warga belajar mempraktikkan secara langsung, masing-masing kelompok didampingi oleh para tutor dan sumber belajarnya. Materi yang diberikan pada saat uji coba, diawali oleh nara sumber dengan menjelaskan dan mempraktikkan masing-masing jenis keterampilan. Setiap akhir penjelasan dari masing-masing keterampilan, warga belajar disuruh menanyakan hal-hal yang dianggap kurang jelas. Kemudian tiap-tiap warga belajar disuruh mempraktikkan materi yang telah diberikan dalam dan diujicobakan tutor. Sedangkan untuk pengujian bahan belajar, kepada warga belajar juga dibagikan satu buah bahan belajar atau modul dari masing-masing jenis keterampilan. Setiap warga belajar diminta untuk memberikan tanggapan atas isi dan bentuk bahan belajar yang telah dibagikan. Kalau materi teknis dari keempat jenis kecakapan vokasional diberikan secara terpisah kepada masing-masing kelompok, maka pemberian materi umum yang berkenaan kemandirian seperti kemandirian secara fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), kemandirian secara mental (dapat berpikir secara kreatif dan analitis dalam menyusun dan mengekspresikan gagasan) dan kemandirian secara emosional (nilai yang ada dalam diri sendiri). c.
Penilaian (Evaluasi) Kegiatan penilaian (evaluasi) dilakukan sesuai rancangan dan persiapan
model yang telah ditetapkan. Penilaian selain bertujuan untuk melihat hasil kemampuan atau peningkatan materi yang telah diberikan melalui tes akhir (postes), juga untuk melihat bagaimana proses dari keseluruhan kegiatan pelatihan
189
yang telah dilaksanakan. Kegiatan postes dilaksanakan dengan membagikan lembaran tes dari masing-masing jenis kecakapan yang telah diberikan kepada keempat kelompok sesuai jenis keterampilannya. Hasil tes dibantu dengan hasil wawancara, dan hasil pengamatan atau observasi. Kegiatan pengamatan dilakukan selama berlangsungnya kegiatan uji coba. Hasil postes
pada uji coba tahap
pertama adalah sebagai berikut. 1) Kelompok Otomotif Secara umum hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan kecakapan akademik. Peningkatan ini diperoleh setelah warga belajar mengikuti proses pelatihan. Dengan menggunakan alat tes yang sama, pada akademik
aspek kecakapan
warga belajar mampu memperoleh nilai rata-rata setelah pelatihan
sebesar 12,32 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 11 dan nilai maksimum 13. Selanjutnya untuk menguji sigfikansinnya digunakan uji t
karena data
merupakan skala interval dan berdasarkan uji normalitas diperoleh kesimpulan baik data pretes dan postes mengikuti distribusi normal. Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,76 nilai minimum 11 dan maksimum 14.
190
Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan terampil dalam menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada
beberapa orang yang
sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,56 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 11,92 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Secara rinci, hasil postes
kecakapan vokasional otomotif dari keempat
aspek (kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial) pada tahap I terhadap 25 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan vokasional dapat dilihat dalam tabel 4.9 berikut. TABEL 4.9 HASIL POSTES UJI COBA TAHAP I KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF
WB
Jumlah Skor Akademik
%
Vokasional
%
Personal
%
Sosial
%
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
12
80.00
13
86.67
14
93.33
10
66.67
2
12
80.00
13
86.67
12
80.00
12
80.00
3
12
80.00
11
73.33
11
73.33
11
73.33
191
Jumlah Skor
WB
Akademik
%
Vokasional
%
Personal
%
Sosial
%
4
11
73.33
11
73.33
11
73.33
13
86.67
5
11
73.33
12
80.00
12
80.00
12
80.00
6
12
80.00
13
86.67
13
86.67
13
86.67
7
12
80.00
14
93.33
13
86.67
14
93.33
8
13
86.67
14
93.33
14
93.33
11
73.33
9
13
86.67
13
86.67
13
86.67
13
86.67
10
13
86.67
13
86.67
13
86.67
13
86.67
11
12
80.00
14
93.33
14
93.33
11
73.33
12
11
73.33
12
80.00
14
93.33
12
80.00
13
13
86.67
12
80.00
14
93.33
11
73.33
14
13
86.67
13
86.67
11
73.33
13
86.67
15
12
80.00
13
86.67
11
73.33
13
86.67
16
12
80.00
14
93.33
12
80.00
11
73.33
17
14
93.33
12
80.00
13
86.67
12
80.00
18
13
86.67
12
80.00
13
86.67
11
73.33
19
13
86.67
12
80.00
14
93.33
12
80.00
20
13
86.67
12
80.00
12
80.00
13
86.67
21
12
80.00
14
93.33
14
93.33
11
73.33
22
11
73.33
13
86.67
11
73.33
11
73.33
23
13
86.67
13
86.67
11
73.33
13
86.67
24
13
86.67
13
86.67
13
86.67
11
73.33
25
12
80.00
13
86.67
11
73.33
11
73.33
Jumlah
308
2053.3
319
2126.7
314
2093.3
298
1986.7
Ratarata
12.32
82.13
12.76
85.07
12.56
83.73
11.92
79.47
Hasil analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap pertama, ternyata warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan tersebut terlihat dari pemberian pretes postes yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.10 sebagai berikut.
dan
192
TABEL 4.10 PENINGKATAN HASIL PRETES - POSTES UJI COBA TAHAP I PADA KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF Jumlah Skor WB
Akademik
Vokasional
Personal
Sosial
Pretes
Postes
Gain
Pretes
Postes
Gain
Pretes
Postes
Gain
Pretes
Postes
Gain
1
7
12
5.00
8
13
5.00
8
14
6.00
8
10
2.00
2
7
12
5.00
8
13
5.00
8
12
4.00
7
12
5.00
3
7
12
5.00
8
11
3.00
7
11
4.00
7
11
4.00
4
7
11
4.00
8
11
3.00
7
11
4.00
7
13
6.00
5
7
11
4.00
6
12
6.00
7
12
5.00
8
12
4.00
6
8
12
4.00
6
13
7.00
8
13
5.00
8
13
5.00
7
7
12
5.00
7
14
7.00
8
13
5.00
8
14
6.00
8
8
13
5.00
7
14
7.00
7
14
7.00
7
11
4.00
9
7
13
6.00
6
13
7.00
7
13
6.00
7
13
6.00
10
8
13
5.00
7
13
6.00
8
13
5.00
7
13
6.00
11
8
12
4.00
6
14
8.00
8
14
6.00
8
11
3.00
12
9
11
2.00
7
12
5.00
8
14
6.00
8
12
4.00
13
9
13
4.00
8
12
4.00
8
14
6.00
8
11
3.00
14
8
13
5.00
8
13
5.00
7
11
4.00
8
13
5.00
15
8
12
4.00
7
13
6.00
7
11
4.00
8
13
5.00
16
7
12
5.00
8
14
6.00
7
12
5.00
7
11
4.00
17
7
14
7.00
8
12
4.00
7
13
6.00
9
12
3.00
18
8
13
5.00
7
12
5.00
7
13
6.00
9
11
2.00
19
7
13
6.00
7
12
5.00
8
14
6.00
9
12
3.00
20
7
13
6.00
7
12
5.00
8
12
4.00
6
13
7.00
21
8
12
4.00
8
14
6.00
8
14
6.00
7
11
4.00
22
8
11
3.00
8
13
5.00
8
11
3.00
8
11
3.00
23
8
13
5.00
8
13
5.00
7
11
4.00
7
13
6.00
24
8
13
5.00
7
13
6.00
8
13
5.00
6
11
5.00
25
7
12
5.00
7
13
6.00
8
11
3.00
7
11
4.00
Jumlah Ratarata
190
308
118.00
182
319
137.00
189
314
125.00
189
298
109.00
7.60
12.32
4.72
7.28
12.76
5.48
7.56
12.56
5.00
7.56
11.92
4.36
Dari hasil analisis uji coba lapangan ditemukan; bahwa secara deskriptif model yang dikembangkan telah dianggap layak, namun masih ada beberapa
193
faktor yang perlu diperbaiki dalam implementasi tahap berikutnya, yaitu: (a) waktu praktik bagi warga belajar yang perlu diperbanyak, (b) bahan belajar lebih disederhanakan, dan (memperbanyak kegiatan praktik. Sedangkan setelah pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup diidentifikasi: (a) perlunya program pembinaan lanjutan dan (b) pembentukan jaringan kemitraan dalam pemagangan dengan kelompok usaha. Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil pretes dan postes, kecakapan hidup warga belajar dianggap masih belum memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-rata setelah uji coba tahap I pada aspek kecakapan akademik sebesar 4,72 (31,47%); materi kecakapan vokasional mengalami kenaikan sebesar 5,48 (36,53%); kecakapan personal mengalami kenaikan sebesar 5 (33,33%); dan kecakapan sosial mengalami kenaikan sebesar 4,36 (29,07%).
2) Kelompok Teknik Pengelasan Sama halnya dengan kecakapan hidup yang lain, hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masingmasing materi teknik pengelasan. Dengan menggunakan alat tes yang sama, pada akademik
aspek kecakapan
warga belajar mampu memperoleh nilai rata-rata setelah pelatihan
sebesar 12,61 yang menunjukkan nilai minimum 11 dan nilai maksimum 14. Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan
194
akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan teknik pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,83 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan terampil dalam menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,22 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil berkomunikasi dan bekerja sama yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 11,13 nilai minimum 11 dan maksimum 13. Secara rinci hasil postes kecakapan hidup teknik pendingin dari keempat aspek (kecakapan akademik, vokasional, personal, dan sosial) pada tahap I terhadap 18 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan vokasional dapat dilihat dalam tabel 4.11 berikut.
195
TABEL 4.11 HASIL POSTES UJI COBA TAHAP I KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN Jumlah Skor WB
Akademik
%
Vokasional
%
Personal
%
Sosial
%
1
13
86.67
14
93.33
12
80.00
12
80.00
2
13
86.67
12
80.00
12
80.00
12
80.00
3
12
80.00
14
93.33
11
73.33
13
86.67
4
13
86.67
13
86.67
11
73.33
11
73.33
5
11
73.33
12
80.00
12
80.00
12
80.00
6
12
80.00
13
86.67
12
80.00
13
86.67
7
12
80.00
13
86.67
13
86.67
13
86.67
8
13
86.67
12
80.00
11
73.33
11
73.33
9
14
93.33
13
86.67
12
80.00
13
86.67
10
13
86.67
12
80.00
13
86.67
12
80.00
11
12
80.00
14
93.33
12
80.00
11
73.33
12
11
73.33
12
80.00
11
73.33
12
80.00
13
13
86.67
14
93.33
14
93.33
11
73.33
14
14
93.33
12
80.00
11
73.33
12
80.00
15
12
80.00
14
93.33
12
80.00
13
86.67
16
12
80.00
12
80.00
14
93.33
12
80.00
17
13
86.67
11
73.33
13
86.67
12
80.00
18
14
93.33
14
93.33
14
93.33
11
73.33
Jumlah
227.00
1513.33
231.00
1540.00
220.00
1466.67
216.00
1440.00
12.61
84.07
12.83
85.56
12.22
81.48
12.00
80.00
Ratarata
Hasil analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap pertama, sebagian warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan tersebut terlihat dari pemberian pretes dan postes yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.12 berikut ini.
196
TABEL 4.12 PENINGKATAN HASIL PRETES – POSTES UJI COBA TAHAP I PADA KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN Jumlah Skor WB
Akademik
Vokasional
Personal
Sosial
Pretes
Postes
Gain
Pretes
Postes
Gain
Pretes
Postes
Gain
Pretes
Postes
Gain
1
7
13
6.00
8
14
6.00
8
12
4.00
8
12
4.00
2
8
13
5.00
8
12
4.00
8
12
4.00
7
12
5.00
3
8
12
4.00
8
14
6.00
7
11
4.00
7
13
6.00
4
8
13
5.00
8
13
5.00
7
11
4.00
7
11
4.00
5
8
11
3.00
6
12
6.00
7
12
5.00
8
12
4.00
6
8
12
4.00
8
13
5.00
8
12
4.00
8
13
5.00
7
7
12
5.00
7
13
6.00
8
13
5.00
8
13
5.00
8
8
13
5.00
7
12
5.00
7
11
4.00
7
11
4.00
9
7
14
7.00
6
13
7.00
7
12
5.00
7
13
6.00
10
8
13
5.00
7
12
5.00
8
13
5.00
7
12
5.00
11
8
12
4.00
6
14
8.00
8
12
4.00
7
11
4.00
12
7
11
4.00
7
12
5.00
8
11
3.00
7
12
5.00
13
7
13
6.00
8
14
6.00
8
14
6.00
7
11
4.00
14
8
14
6.00
8
12
4.00
7
11
4.00
7
12
5.00
15
8
12
4.00
7
14
7.00
7
12
5.00
8
13
5.00
16
7
12
5.00
7
12
5.00
7
14
7.00
7
12
5.00
17
7
13
6.00
7
11
4.00
7
13
6.00
8
12
4.00
18
8
14
6.00
8
14
6.00
7
14
7.00
7
11
4.00
Jumlah
137
227
90.00
131
231
100.00
134
220
86.00
132
216
84.00
7.61
12.61
5.00
7.28
12.83
5.56
7.44
12.22
4.78
7.33
12.00
4.67
Ratarata
Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil pretes dan postes, kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap masih belum memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor ratarata setelah uji coba tahap I pada aspek kecakapan akademik
sebesar 5,00
(33,33%); materi kecakapan vokasional mengalami kenaikan sebesar 5,56 (37,07%); kecakapan personal mengalami kenaikan sebesar 4,78 (33,33%); dan kecakapan sosial mengalami kenaikan sebesar 4,67 (31,87%).
197
3) Kelompok Teknik Pendingin Pada kelompok teknik pendingin, secara umum hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata tidak jauh berbeda dengan kecakapan vokasional lainnya. Seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi kecakapan vokasional teknik pendingin yang mereka butuhkan. Kekurangan ini dibuktikan dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu memperoleh nilai rata-rata sesudah pelatihan tahap I sebesar 12,76 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 11 dan nilai maksimum 14. Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,59 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan terampil dalam menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,71 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga
198
belajar dinyatakan masih terampil berkomunikasi dan bekerja sama yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,41 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Secara rinci hasil postes kecakapan hidup teknik pendingin dari keempat aspek (kecakapan akademik, vokasional, personal, dan sosial) pada tahap I terhadap 17 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan hidup dapat dilihat dalam tabel 4.13 berikut. TABEL 4.13 HASIL POSTES UJI COBA TAHAP I KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN WB
Jumlah Skor Akademik
%
Vokasional
%
Personal
%
Sosial
%
1
12
80.00
13
86.67
11
73.33
12
80.00
2
14
93.33
12
80.00
13
86.67
13
86.67
3
14
93.33
12
80.00
14
93.33
14
93.33
4
11
73.33
11
73.33
12
80.00
11
73.33
5
11
73.33
13
86.67
11
73.33
13
86.67
6
13
86.67
13
86.67
12
80.00
13
86.67
7
14
93.33
13
86.67
14
93.33
13
86.67
8
14
93.33
14
93.33
12
80.00
11
73.33
9
13
86.67
12
80.00
13
86.67
13
86.67
10
13
86.67
12
80.00
12
80.00
11
73.33
11
12
80.00
12
80.00
14
93.33
13
86.67
12
13
86.67
13
86.67
13
86.67
13
86.67
13
12
80.00
12
80.00
14
93.33
12
80.00
14
14
93.33
12
80.00
14
93.33
12
80.00
15
13
86.67
14
93.33
12
80.00
13
86.67
16
12
80.00
12
80.00
12
80.00
12
80.00
199
WB
Jumlah Skor Akademik
%
Vokasional
%
Personal
%
Sosial
%
17
12
80.00
14
93.33
13
86.67
12
80.00
Jumlah
217
1446.67
214
1426.7
216
1440
211
1406.7
Rata-rata
12.76
85.10
12.59
83.92
12.71
84.71
12.41
82.75
Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap pertama, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi, baik pada aspek kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial. Peningkatan aspek kecakapan akademik merujuk pada pengertian bahwa kecakapan akademik warga belajar pada teknik pendingin telah meningkat. Peningkatan kecakapan vokasional menunjukkan pengertian bahwa keterampilan warga belajar pada teknik pendingin telah meningkat. Peningkatan kecakapan personal menunjukkan pengertian bahwa kecakapan menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif warga belajar pada teknik pendingin telah meningkat. Peningkatan kecakapan sosial menunjukkan pengertian bahwa keterampilan berkomunikasi dan bekerja sama warga belajar pada teknik pendingin pun telah meningkat. Itu menunjukkan bahwa para warga belajar telah mengalami peningkatan dalam berbagai aspek kecakapan. Penguasaan materi tersebut terlihat dari pemberian pretes dan postes yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.14 sebagai berikut.
200
TABEL 4.14 PENINGKATAN HASIL PRETES – POSTES DARI UJI COBA TAHAP I PADA KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN Jumlah Skor WB
Akademik
Vokasional
Personal
Sosial
Pretes
Postes
Gain
Pretes
Postes
Gain
Pretes
Postes
Gain
Pretes
Postes
Gain
1
8
12
4.00
7
13
6.00
7
11
4.00
7
12
5.00
2
9
14
5.00
7
12
5.00
7
13
6.00
9
13
4.00
3
8
14
6.00
8
12
4.00
9
14
5.00
8
14
6.00
4
7
11
4.00
7
11
4.00
8
12
4.00
7
11
4.00
5
7
11
4.00
7
13
6.00
8
11
3.00
7
13
6.00
6
8
13
5.00
8
13
5.00
8
12
4.00
8
13
5.00
7
9
14
5.00
7
13
6.00
7
14
7.00
7
13
6.00
8
9
14
5.00
7
14
7.00
7
12
5.00
7
11
4.00
9
8
13
5.00
8
12
4.00
7
13
6.00
7
13
6.00
10
9
13
4.00
9
12
3.00
8
12
4.00
7
11
4.00
11
8
12
4.00
8
12
4.00
8
14
6.00
8
13
5.00
12
7
13
6.00
8
13
5.00
8
13
5.00
7
13
6.00
13
7
12
5.00
8
12
4.00
8
14
6.00
8
12
4.00
14
7
14
7.00
8
12
4.00
7
14
7.00
7
12
5.00
15
9
13
4.00
9
14
5.00
8
12
4.00
9
13
4.00
16
7
12
5.00
8
12
4.00
8
12
4.00
8
12
4.00
17
7
12
5.00
8
14
6.00
8
13
5.00
8
12
4.00
Jumlah
134
217
83.00
132
214
82.00
131
216
85.00
129
211
82.00
Rata-rata
7.88
12.76
4.88
7.76
12.59
4.82
7.71
12.71
5.00
7.59
12.41
4.82
Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil pretes dan postes, kecakapan akademik dan kemampuan warga belajar dianggap cukup memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-rata setelah uji coba tahap I pada aspek kecakapan akademik sebesar 4,88 (32,53%); materi kecakapan vokasional mengalami kenaikan sebesar 4,82 (32,13%); kecakapan personal mengalami kenaikan sebesar 5 (33,33%); dan kecakapan sosial mengalami kenaikan sebesar 4,82 (32,13%).
201
Hasil analisis dari kegiatan uji coba tahap pertama menunjukkan bahwa kegiatan uji coba masih perlu ditingkatkan atau ditambah lagi. Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan para peserta, diketahui bahwa implementasi dari model yang dikembangkan telah sesuai dengan kebutuhan mereka. Metode penilaian program yang penulis terapkan telah sesuai menurut pemahaman mereka, ternyata program pelatihan kecakapan hidup melalui empat kecakapan hidup tersebut yang diterapkan mampu memberikan kontribusi kepada para peserta dalam menumbuhkan kemandirian warga belajar. Akan tetapi, apabila dilihat dari skor yang dihasilkan masih terdapat beberapa kekurangan, seperti belum adanya peserta yang belum mampu mencapai nilai sampai 100%. Tidak maksimalnya perolehan skor lebih banyak disebabkan oleh waktu, keterlibatan warga belajar yang terbatas, dan materi pelatihan yang belum optimal dalam praktiknya. Oleh sebab itu, masih perlu diberikan beberapa pengulangan dan penambahan materi lain yang berkaitan dengan program pembinaan lanjutan agar warga belajar memiliki kecakapan hidup pada empat kecakapan hidup tersebut yang pada akhirnya mampu mencapai kemandirian secara ekonomi (mencukupi kebutuhan sendiri).
2. Uji Coba Model Tahap II a. Persiapan Sebagaimana yang dilakukan pada tahap uji coba tahap I, persiapan kegiatan untuk pelaksanaan uji coba model pada tahap II hampir sama dengan tahap pertama. Hanya saja pada tahap II langkah-langkahnya yang ditempuh
202
sedikit lebih praktis, yaitu sebagai berikut. Pertama, memeriksa hasil uji coba tahap I dan melakukan pertemuan dengan petugas-petugas yang terlibat dalam kegiatan pelatihan untuk merevisi hal-hal yang perlu dilakukan sebelum melakukan uji coba tahap II. Kedua, mengadakan pertemuan dengan warga belajar untuk menentukan dan menyepakati hal-hal dari jenis kecakapan vokasional yang masih dianggap kurang dan perlu diperdalam. Uji coba tahap II dimulai pada tanggal 14 - 28 Maret 2008 yang tetap diikuti oleh 60 orang warga belajar, yang selanjutnya kembali dibagi menjadi tiga kelompok kecil sesuai jenis kecakapan hiidup yang diikuti yaitu: otomotif, pengelasan, dan teknik pendingin. Ketiga, peneliti kembali menyiapkan berbagai keperluan kegiatan program pelatihan kecakapan vokasional bersama warga belajar, tutor, dan para pengelola yang terlibat. Berbagai keperluan tersebut antara lain; tempat, kurikulum, dan peralatan/bahan-bahan yang diperlukan.
b. Pelaksanaan Pelaksanaan eksperimen (uji coba tahap II) tanpa tes awal (pretes t), karena pesertanya yang masih sama maka tetap menggunakan atau mengambil hasil postes pada tahap I. Program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup berbasis masyarakat, dirancang agar warga belajar dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan serta profesionalisme dalam bekerja. Kemampuan ini bersifat makro, yang perlu dijabarkan dalam seperangkat kecakapan seperti; akademik, vokasional, personal, dan sosial
sehingga strategi pelatihan yang
203
diterapkan dalam pelatihannya adalah untuk: 1) mengembangkan wawasan baru tentang pentingnya kemandirian hidup secara fisik, mental, dan sosial demi keberlangsungan hidup di masyarakat dan menjalankan usaha; 2) memotivasi warga belajar agar mampu memanfaatkan kecakapan akademik
dan keterampilannya, serta dapat menganalisis dan
mengkonstruksikan rencana pengembangannya setelah kembali ke masyarakat; dan 3) mengupayakan agar warga belajar (anak tunalaras) memiliki kemampuan dalam merencanakan dan menggunakan kecakapan vokasional yang dikuasainya dan mendorong diaplikasikannya kecakapan hidup tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh dalam memenuhi kebutuhan hidup. Proses pelatihan
melalui pelatihan kecakapan hidup
lebih banyak
dilakukan untuk praktik dan pendalaman. Secara tutorial, kepada warga belajar juga diberikan pemantapan kembali mengenai materi kecakapan akademik tentang kegiatan teknis atau praktik yang dirasa waktunya masih kurang, serta materi
tentang
cara
menjadi
karyawan
yang
baik,
pembinaan
lanjutan/pendampingan dan kemitraan yang juga sangat diperlukan peserta terutama dalam menjalankan usaha.
c. Penilaian (Evaluasi) Kegiatan penilaian dilakukan dengan tujuan untuk melihat hasil kemampuan atau peningkatan materi yang telah diberikan sejak dari mulai tahap I
204
sampai tahap II. Pada tahap II ini, kegiatan penilaian dilakukan untuk melihat hasil dari proses pelatihan terhadap peningkatan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial warga belajar, yang cara penilaiannya dilakukan melalui tes akhir (postes ). Kegiatan postes dilaksanakan dengan membagikan lembaran tes dari masing-masing jenis kecakapan hidup yang telah diberikan kepada ketiga kelompok sesuai jenis kecakapan hidup masing-masing. Hasil tes tetap dibantu dengan hasil wawancara, dan pengamatan atau observasi. Hasil dari kegiatan evaluasi akhir menunjukkan bahwa warga belajar setelah mengikuti
pelatihan kecakapan hidup, telah dapat meningkatkan
kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial seperti kesadaran memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam mengikuti pelatihan dan kesediaan untuk beradaptasi di masyarakat serta berkeinginan untuk mandiri. Hasil evaluasi akhir terhadap 60 orang warga belajar ternyata telah menunjukkan peningkatan yang cukup baik. Gambaran hasil peningkatan yang diperoleh peserta setelah mengikuti pelatihan Peningkatan tersebut juga dapat dilihat dari nilai minimum dan maksimum yang diperoleh peserta setelah mengikuti pelatihan atau setelah akhir uji coba tahap kedua. Berdasarkan hasil evaluasi akhir dari dua uji coba yang telah dilaksanakan, ternyata kegiatan pelatihan kecakapan hidup secara umum mampu meningkatkan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan persoal, dan kecakapan sosial warga belajar. Untuk melihat hasil yang diperoleh dari kedua kelompok setelah mengikuti pelatihan dapat dilihat sebagai berikut.
205
1) Kelompok Teknik Otomotif a) Tes kecakapan akademik
pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,44 (89,60%). b) Tes kecakapan vokasional pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,84 (92,70%). c) Tes kecakapan personal
pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,76 (91,71%). d) Tes kecakapan sosial pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,04 (86,93%). Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap kedua, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan. Peningkatan tersebut terlihat dari hasil tes akhir yang dapat dilihat pada tabel 4.15 sebagai berikut. TABEL 4.15 HASIL POSTES UJI COBA TAHAP II KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF WB
Jumlah Skor Akademik
%
Vokasional
%
Personal
%
Sosial
%
1
13
86.67
15
100.00
14
93.33
13
86.67
2
14
93.33
14
93.33
14
93.33
12
80.00
3
14
93.33
13
86.67
14
93.33
13
86.67
4
14
93.33
13
86.67
14
93.33
14
93.33
206
Jumlah Skor
WB
Akademik
%
Vokasional
%
Personal
%
Sosial
%
5
13
86.67
14
93.33
13
86.67
13
86.67
6
13
86.67
14
93.33
14
93.33
13
86.67
7
13
86.67
15
100.00
13
86.67
14
93.33
8
14
93.33
15
100.00
14
93.33
13
86.67
9
14
93.33
13
86.67
14
93.33
13
86.67
10
14
93.33
14
93.33
13
86.67
13
86.67
11
12
80.00
15
100.00
14
93.33
13
86.67
12
13
86.67
13
86.67
14
93.33
12
80.00
13
13
86.67
14
93.33
14
93.33
13
86.67
14
14
93.33
13
86.67
13
86.67
13
86.67
15
13
86.67
13
86.67
13
86.67
13
86.67
16
12
80.00
15
100.00
12
80.00
14
93.33
17
14
93.33
14
93.33
15
100.00
12
80.00
18
13
86.67
12
80.00
14
93.33
14
93.33
19
14
93.33
14
93.33
14
93.33
14
93.33
20
14
93.33
12
80.00
14
93.33
13
86.67
21
13
86.67
15
100.00
14
93.33
13
86.67
22
14
93.33
15
100.00
15
100.00
13
86.67
23
14
93.33
13
86.67
14
93.33
14
93.33
24
14
93.33
13
86.67
14
93.33
12
80.00
25
13
86.67
15
100.00
13
86.67
12
80.00
Jumlah
336
2240
346
2306.7
344
2293.3
326
2173.3
Rata-rata
13.44
89.60
13.84
92.27
13.76
91.73
13.04
86.93
2) Kelompok Teknik Pengelasan a. Tes kecakapan akademik pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 14,11 (94,070%). b. Tes kecakapan vokasional pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 14,39
207
(95,93%). c. Tes kecakapan personal
pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,89 (92,59%). d. Tes kecakapan sosial pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,61 (90,74%). Hasil analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap kedua, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut terlihat dari hasil tes akhir uji coba tahap II yang dapat dilihat pada tabel 4.16 sebagai berikut. TABEL 4.16 HASIL POSTES UJI COBA TAHAP II KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN WB
Jumlah Skor Akademik
%
Vokasional
%
Personal
%
Sosial
%
1
14
93.33
15
100.00
13
86.67
12
80.00
2
13
86.67
13
86.67
13
86.67
13
86.67
3
15
100.00
15
100.00
13
86.67
14
93.33
4
14
93.33
14
93.33
13
86.67
12
80.00
5
14
93.33
14
93.33
14
93.33
12
80.00
6
14
93.33
14
93.33
14
93.33
14
93.33
7
14
93.33
15
100.00
15
100.00
13
86.67
8
15
100.00
14
93.33
13
86.67
14
93.33
9
15
100.00
14
93.33
14
93.33
14
93.33
10
14
93.33
14
93.33
14
93.33
14
93.33
11
13
86.67
15
100.00
15
100.00
14
93.33
12
13
86.67
15
100.00
15
100.00
15
100.00
13
14
93.33
15
100.00
15
100.00
13
86.67
208
14
Jumlah Skor 15
100.00
Jumlah Skor 13
86.67
Jumlah Skor 13
15
14
93.33
15
100.00
16
14
93.33
15
17
14
93.33
18
15
Jumlah Rata-rata
WB
86.67
Jumlah Skor 15
100.00
14
93.33
14
93.33
100.00
13
86.67
14
93.33
15
100.00
14
93.33
14
93.33
100.00
14
93.33
15
100.00
14
93.33
254.00
1693.33
259.00
1726.67
250.00
1666.67
245.00
1633.33
14.11
94.07
14.39
95.93
13.89
92.59
13.61
90.74
WB
WB
WB
WB
3) Kelompok Teknik Pendingin a. Tes kecakapan akademik pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 14,41 (96,08%). b. Tes kecakapan vokasional pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,94 (92,94%). c. Tes kecakapan personal
pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 14,29 (95,29%). d. Tes kecakapan sosial pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,88 (95,55%). Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap kedua, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut terlihat dari hasil tes akhir yang dapat dilihat pada tabel 4.17 sebagai berikut:
209
TABEL 4.17 HASIL POSTES UJI COBA TAHAP II KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN WB
Jumlah Skor Akademik
%
Vokasional
%
Personal
%
Sosial
%
1
14
93.33
15
100.00
14
93.33
14
93.33
2
14
93.33
15
100.00
14
93.33
14
93.33
3
15
100.00
15
100.00
15
100.00
15
100.00
4
14
93.33
14
93.33
15
100.00
14
93.33
5
15
100.00
14
93.33
15
100.00
14
93.33
6
15
100.00
13
86.67
14
93.33
13
86.67
7
14
93.33
14
93.33
15
100.00
14
93.33
8
15
100.00
14
93.33
12
80.00
14
93.33
9
15
100.00
14
93.33
15
100.00
13
86.67
10
15
100.00
12
80.00
13
86.67
14
93.33
11
15
100.00
13
86.67
15
100.00
15
100.00
12
15
100.00
14
93.33
13
86.67
14
93.33
13
14
93.33
14
93.33
15
100.00
14
93.33
14
14
93.33
13
86.67
14
93.33
14
93.33
15
13
86.67
14
93.33
15
100.00
13
86.67
16
14
93.33
14
93.33
14
93.33
14
93.33
17
14
93.33
15
100.00
15
100.00
13
86.67
Jumlah
245.00
1633.33
237.00
1580.00
243.00
1620.00
236.00
1573.33
14.41
96.08
13.94
92.94
14.29
95.29
13.88
92.55
Ratarata
D. Deskripsi Uji Efektivitas Model 1. Deskripsi Efektivitas Model Berdasarkan Hasil Analisis Kuantitatif (Statistik) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap subjek penelitian (warga belajar) sebanyak 60 orang yang telah menerima pretes dan postes, maka diadakan pengolahan data dengan penghitungan statistik
untuk mengetahui
210
perbedaan kemampuan yang berkenaan dengan kemampuan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial bidang kecakapan hidup (teknik otomotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin). Berikut akan diuraikan hasil pengujian untuk keempat aspek tersebut. a. Teknik Otomotif Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba baik tahap 1 maupun tahap 2 sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut terlihat dari hasil postes
yang
hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.18 sebagai berikut: TABEL 4.18 PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF Jumlah Skor WB
Akademik Tahap 1
Tahap 2
Vokasional Gain
Tahap 1
Tahap 2
Personal Gain Tahap 1
Tahap 2
Sosial Gain
Tahap 1
Tahap 2
Gain
1
12
13
1.00
13
15
2.00
14
14
0.00
10
13
3.00
2
12
14
2.00
13
14
1.00
12
14
2.00
12
12
0.00
3
12
14
2.00
11
13
2.00
11
14
3.00
11
13
2.00
4
11
14
3.00
11
13
2.00
11
14
3.00
13
14
1.00
5
11
13
2.00
12
14
2.00
12
13
1.00
12
13
1.00
6
12
13
1.00
13
14
1.00
13
14
1.00
13
13
0.00
7
12
13
1.00
14
15
1.00
13
13
0.00
14
14
0.00
8
13
14
1.00
14
15
1.00
14
14
0.00
11
13
2.00
9
13
14
1.00
13
13
0.00
13
14
1.00
13
13
0.00
10
13
14
1.00
13
14
1.00
13
13
0.00
13
13
0.00
11
12
12
0.00
14
15
1.00
14
14
0.00
11
13
2.00
12
11
13
2.00
12
13
1.00
14
14
0.00
12
12
0.00
13
13
13
0.00
12
14
2.00
14
14
0.00
11
13
2.00
14
13
14
1.00
13
13
0.00
11
13
2.00
13
13
0.00
15
12
13
1.00
13
13
0.00
11
13
2.00
13
13
0.00
16
12
12
0.00
14
15
1.00
12
12
0.00
11
14
3.00
17
14
14
0.00
12
14
2.00
13
15
2.00
12
12
0.00
18
13
13
0.00
12
12
0.00
13
14
1.00
11
14
3.00
19
13
14
1.00
12
14
2.00
14
14
0.00
12
14
2.00
211
WB
Jumlah Skor
WB
Jumlah Skor
WB
Jumlah Skor
WB
Jumlah Skor
WB
Jumlah Skor
WB
Jumlah Skor
WB
20
13
14
1.00
12
12
0.00
12
14
2.00
13
13
0.00
21
12
13
1.00
14
15
1.00
14
14
0.00
11
13
2.00
22
11
14
3.00
13
15
2.00
11
15
4.00
11
13
2.00
23
13
14
1.00
13
13
0.00
11
14
3.00
13
14
1.00
24
13
14
1.00
13
13
0.00
13
14
1.00
11
12
1.00
25
12
13
1.00
13
15
2.00
11
13
2.00
11
12
1.00
Jumlah
308
336
28.00
319
346
27.00
314
344
30.00
298
326
28.00
Ratarata
12.32
13.44
1.12
12.76
13.84
1.08
12.56
13.76
1.20
11.92
13.04
1.12
Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil test tahap I dan tahap II, kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap sudah memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor ratarata setelah uji coba tahap II pada aspek kecakapan akademik
sebesar 1,12
(7,46%); kecakapan vokasional sebesar 1,08 (7,2%); kecakapan personal sebesar 1,20 (8%); kecakapan sosial sebesar 1,12 (7,46%). Berdasarkan paparan tabel pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa rata-rata hasil tes tahap I sebesar 49,56 : 4 = 12,39 atau
(12,32 + 12,76 + 12,56
+11,92): 4 ternyata lebih kecil dari hasil tes tahap II yaitu sebesar 54,08: 4 = 13,52 atau
(13,44+13,84+13,76+13,04): 4 . Hasil ini menunjukkan bahwa
kegiatan PKH terhadap warga belajar memiliki pengaruh kepada mereka. Berdasarkan hasil Uji t terhadap 25 orang warga belajar sebelum dan sesudah PKH, secara deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.19. berikut.
212
Tabel 4.19 Rekapitulasi Hasil Tes Tahap I dan II N
Mean
Min
Max
Tahap I
25
12,39
12
14
Tahap II
25
13,52
12
15
Dari tabel 4.21. menunjukkan bahwa hasil mean sesudah PKH 13,52 ternyata lebih besar dari mean sebelum PKH 12,39. Dengan demikian, terdapat perbedaan yaitu terdapat perubahan positif dari kemampuan warga belajar. Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa t hitung = 4,32 sedangkan t tabel (0,005) = 2,80. Jadi t hitung > t tabel. Dengan demikian, ada perbedaan yang signifikan antara tes tahap I dan Tes tahap II.
b. Teknik Pengelasan Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap kedua sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut secara umum menunnjukkan bahwa model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta yang diujicobakan berhasil. Keberhasilan tersebut terlihat dari hasil postes tahap 2 yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.20 sebagai berikut:
213
TABEL 4.20 PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II PADA KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN Jumlah Skor WB
Akademik
Vokasional
Personal
Tahap 1
Tahap 2
Gain
Tahap 1
Tahap 2
Gain
Tahap 1
Tahap 2
1
13
14
1.00
14
15
1.00
12
13
2
13
13
0.00
12
13
1.00
12
3
12
15
3.00
14
15
1.00
4
13
14
1.00
13
14
5
11
14
3.00
12
6
12
14
2.00
7
12
14
8
13
9
Sosial Tahap 1
Tahap 2
1.00
12
12
0.00
13
1.00
12
13
1.00
11
13
2.00
13
14
1.00
1.00
11
13
2.00
11
12
1.00
14
2.00
12
14
2.00
12
12
0.00
13
14
1.00
12
14
2.00
13
14
1.00
2.00
13
15
2.00
13
15
2.00
13
13
0.00
15
2.00
12
14
2.00
11
13
2.00
11
14
3.00
14
15
1.00
13
14
1.00
12
14
2.00
13
14
1.00
10
13
14
1.00
12
14
2.00
13
14
1.00
12
14
2.00
11
12
13
1.00
14
15
1.00
12
15
3.00
11
14
3.00
12
11
13
2.00
12
15
3.00
11
15
4.00
12
15
3.00
13
13
14
1.00
14
15
1.00
14
15
1.00
11
13
2.00
14
14
15
1.00
12
13
1.00
11
13
2.00
12
15
3.00
15
12
14
2.00
14
15
1.00
12
14
2.00
13
14
1.00
16
12
14
2.00
12
15
3.00
14
13
-1.00
12
14
2.00
17
13
14
1.00
11
15
4.00
13
14
1.00
12
14
2.00
18
14
15
1.00
14
14
0.00
14
15
1.00
11
14
3.00
Jumlah
227
254
27.00
231
259
28.00
220
250
30.00
216
245
29.00
12.61
14.11
1.50
12.83
14.39
1.56
12.22
13.89
1.67
12.00
13.61
1.61
Ratarata
Gain
Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil test tahap I dan tahap II, kecakapan hidup
dan kemampuan warga belajar dianggap sudah
memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor ratarata setelah uji coba tahap II pada aspek kecakapan akademik sebesar 1,50 (10%); kecakapan vokasional sebesar 1,56 (10,4%); kecakapan personal sebesar 1,67 (11,13%); kecakapan sosial sebesar 1,61 (10,73%). Berdasarkan paparan tabel pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa
Gain
214
rata-rata hasil tes tahap I sebesar 49,66 : 4 = 12,415 atau (12,61 + 12,83 + 12,22 +12,00): 4 atau
ternyata lebih kecil dari hasil tes tahap II yaitu sebesar 56: 4 = 14
(14,11+14,39+13,89+13,61): 4 . Hasil ini menunjukkan bahwa kegiatan
PKH terhadap warga belajar pada teknik pengelasan memiliki pengaruh kepada mereka. Berdasarkan hasil Uji t terhadap 18 orang warga belajar sebelum dan sesudah PKH, secara deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.21. berikut : Tabel 4.21 Rekapitulasi Hasil Tes Tahap I dan II N
Mean
Min
Max
Tahap I
18
12,415
11
14
Tahap II
18
14
12
15
Dari tabel 4.22. menunjukkan bahwa hasil mean sesudah PKH 14,00 ternyata lebih besar dari mean sebelum PKH 12,415. Dengan demikian, terdapat perbedaan yaitu terdapat perubahan positif dari kemampuan warga belajar. Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa t hitung = 8,78 sedangkan t tabel (0,005) = 2,90. Jadi t hitung > t tabel. Dengan demikian, ada perbedaan yang signifikan antara tes tahap I dan tes tahap II. c. Teknik Pendingin Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap kedua sudah menunjukkan adanya peningkatan kecakapan. Peningkatan Peningkatan tersebut terlihat dari hasil postes tabel 4.22 sebagai berikut:
yang hasilnya dapat dilihat pada
215
TABEL 4.22 PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN Jumlah Skor WB
Akademik Tahap 1
Tahap 2
1
12
2 3
Vokasional Gain
Tahap 1
Tahap 2
14
2.00
13
14
14
0.00
14
15
1.00
4
11
14
5
11
6
Personal Gain
Tahap 1
Tahap 2
15
2.00
11
12
15
3.00
12
15
3.00
3.00
11
14
15
4.00
13
13
15
2.00
7
14
14
8
14
9
Sosial Gain
Tahap 1
Tahap 2
Gain
14
3.00
12
14
2.00
13
14
1.00
13
14
1.00
14
15
1.00
14
15
1.00
3.00
12
15
3.00
11
14
3.00
14
1.00
11
15
4.00
13
14
1.00
13
13
0.00
12
14
2.00
13
13
0.00
0.00
13
14
1.00
14
15
1.00
13
14
1.00
15
1.00
14
14
0.00
12
12
0.00
11
14
3.00
13
15
2.00
12
14
2.00
13
15
2.00
13
13
0.00
10
13
15
2.00
12
12
0.00
12
13
1.00
11
14
3.00
11
12
15
3.00
12
13
1.00
14
15
1.00
13
15
2.00
12
13
15
2.00
13
14
1.00
13
13
0.00
13
14
1.00
13
12
14
2.00
12
14
2.00
14
15
1.00
12
14
2.00
14
14
14
0.00
12
13
1.00
14
14
0.00
12
14
2.00
15
13
13
0.00
14
14
0.00
12
15
3.00
13
13
0.00
16
12
14
2.00
12
14
2.00
12
14
2.00
12
14
2.00
17
12
14
2.00
14
15
1.00
13
15
2.00
12
13
1.00
Jumlah
217
245
28.00
214
237
23.00
216
243
27.00
211
236
25.00
Rata-rata
12.76
14.41
1.65
12.59
13.94
1.35
12.71
14.29
1.59
12.41
13.88
1.47
Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil test tahap I dan tahap II, kecakapan hidup
dan kemampuan warga belajar dianggap sudah
memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor ratarata setelah uji coba tahap II pada aspek kecakapan akademik sebesar 1,65 (11%); kecakapan vokasional sebesar 1,35 (9%); kecakapan personal
sebesar 1,59
(10,6%); kecakapan sosial sebesar 1,47 (9,8%). Berdasarkan paparan tabel pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa rata-rata hasil tes tahap I sebesar 50,47 : 4 = 12,62 atau
(12,76 + 12,59 + 12,71
216
+12,41): 4
ternyata lebih kecil dari hasil tes tahap II yaitu sebesar 56,52: 4 =
14,13 atau
(14,41+13,94+14,29+13,88): 4 . Hasil ini menunjukkan bahwa
kegiatan PKH terhadap warga belajar memiliki pengaruh kepada mereka. Berdasarkan hasil Uji t terhadap 17 orang warga belajar sebelum dan sesudah PKH, secara deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.23. berikut. Tabel 4.23 Rekapitulasi Hasil tes tahap I dan II N
Mean
Min
Max
Tahap I
17
12,62
11
14
Tahap II
17
14,13
12
15
Dari tabel 4.23. menunjukkan bahwa hasil mean sesudah PKH 12,62 ternyata lebih besar dari mean sebelum PKH 14,13. Dengan demikian, terdapat perbedaan yaitu terdapat perubahan positif dari kemampuan warga belajar. Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa t hitung = 5,65 sedangkan t tabel (0,005) = 2,92. Jadi t hitung > t tabel. Dengan demikian, ada perbedaan yang signifikan antara tes tahap I dan tes tahap II.
2. Deskripsi Efektivitas Model Berdasarkan Hasil Analisis Kualitatif Deskripsi efektivitas model pada penelitian ini pun akan menyertakan deskripsi hasil analisis kualitatif berupa respon atau tanggapan dari pihak-pihak yang terlibat dengan pelaksanaan pelatihan di PSMP Handayani Jakarta. a. Tangapan atau Respon Kepala PSMP Handayani Modal pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak
217
tunalaras yang telah diterapkan dan dikembangkan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta merupakan sebuah model pelatihan yang baik. Pelaksana pelatihan dapat mengikuti dan melaksanakan setiap tahapan pelatihan ini dengan terencana, tepat, dan terstruktur. Pelaksana pelatihan kecakapan hidup di PSMP menjadi berhasil. Pada tahap perencanaan, mode tersebut mampu menyuguhkan persiapan yang lengkap dalam menyelenggarakan sebuah pelatihan. Tahap perencanaan yang meliputi tujuan, sasaran, kurikulum, dan tata laksana pelatihan sangat tertata sehingga segala persiapan yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan pelatihan tersebut menjadi lengkap. Pada tahap pelaksanaan, model tersebut mampu menyelenggarakan pelatihan yang komunikatif, integratif, dan efesien. Tatanan pelatihan mulai tutor, warga belajar, dan suasana pelatihan mampu memberi kesan bahwa pelatihan tersebut terselengara dengan baik. Penambahan materi kecakapan hidup dan kewirausahaan, memungkinkan warga belajar siap menhgadapi dunianya di masa yang akan datang. Pada tahap evaluasi, peltihan dengan model tersebut mampu mengukur kemampuan siswa secara lengkap dan utuh. Dengan sistem penilaian yang komprehensif, meliputi empat kecakapan hidup, maka hasil evaluasi ini dapat menggambarkan kondisi nyata para warga belajar. Warga belajar belajar di PSMP ini adalah anak tunalaras. Salah satu karakteristik anak tunalaras adalah adanya penyimpangan perilaku yang memerlukan bimbingan dari berbagai pihak, orang tua, masyarakat, pemerintah,
218
khusunya panti-panti. Oleh karena itu, model pelatihan kecakapan hidup yang diterapkan oleh peneliti akan kurang lengkap apabila tidak disertasi oleh adanya keberlanjutan atau kesinambungan berbagai pihak. Model ini apabila diterapkan dapat dikembangkan dengan melibatkan keluarga, masyarakat, dan lembaga (instansi pemerintah) untuk mengontrol para warga belajar. Ada pun bentuk dan strateginya dapat dikembangkan kemudian hari. Yang penting, kontrol atau pengawasan dari pihak tersebut menjadi sebuah faktor penambah kelengkapan model tersebut. Di sisi lain, warga belajar yang tunalaras tersebut pun, memerlukan adanya sarana untuk pengembangan potensi diri bahkan jika memungkinkan adanya pengembangan usaha. Potensi diri berkenaan dengan penyediaan peluang dalam bentuk pemberian pekerjaan. Denga bekal pelatihan yang dilaksanakan di PSMP, warga belajar telah memiliki potensi berupa keahlian yang dipilihnya sehingga tidak akan bermanfaat apabila tidak dikembangkan. Di pihak lain, jika warga belajar tidak mau bekerja, maka patut pula diberi kesempatan untuk mengembangkan usaha. Pengembangan usaha yang sesuai dengan karakteristik warga belajar. Selain itu, dapat pula kembangkan usaha secara berkelompok dalam sebuah ikatan usaha bersama. b. Ketua Pelaksana Program Pelatihan Kecakapan Hidup Pendidikan kecakapan hidup merupakan ragam kemampuan yang diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan bermartabat. Kecakapan hidup merupakan kemampuan berkomunikasi secara efektif, kemampuan mengembangkan kerja sama, melaksanakan peranan sebagai
219
warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja. Kaitannya dengan pelaksanaan pelatihan kecakapn hidup yang telah dilaksanakan di PSMP ini, penyelenggaraannya telah sesuai dengan konsep tersebut. Keterampilan warga belajar yang dikembangkan meningkat baik secara terjemahan angka-angka, maupun dengan hasil unjuk kerja berupa hasil tes keterampilan. Bagi kami, model pelatihan tersebut sangat aplikatif, sistematis, komprehensif, dan mudah dilaksanakan. Model ini akan menjadi panduan bagi kami dalam menyelenggarakan sebuah pelatihan. Akan tetapi, agar pelatihan ini menjadi lebih efektif dan dengan dasar pengalaman menyelenggarakan pelatihan selama ini, warga belajar hendaknya tidak dijadikan sebagai objek pelatihan seperti siswa di sekolah. Dalam pelatihan tersebut warga belajar tidak ditargetkan untuk mencapai tujuan tertentu saja akan tetapi yang perlu ditargetkan adalah dampak pelatihan untuk masa depan warga belajar. Oleh karena itu, model ini harus
menyertakan
adanya
pengawasan
secara
berkelanjutan,
membina
komunikasi dengan warga belajar sampai batas wajtu tertentu, dan adanya fasilitas dari penyelenggara pelatihan (PSMP) agar warga belajar memiliki peluang untk bekerja atau menciptakan lapangan usaha. c. Pengurus Asrama Program Pelatihan Salah satu karakteristik anak tunalaras adalah perilakunya yang tidak diharapkan oleh lingkungan, sering bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tempat dia berada. Tingkah lakunya sering membuat
220
orang menjadi marah karena merasa terganggu atau dirugikan, dan mereka cenderung berhubungan dengan otorita, seperti polisi, pengadilan, guru atau orang tua. Anak tunalaras ini prestasinya di sekolah cenderung menurun dan dijauhi oleh teman-temannya sehingga mereka membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak tunalaras yang ditampung di panti rehabilitasi sosial diharapkan mereka memiliki seperangkat keterampilan teknis yang harus dimiliki anak untuk melaksanakan tugas perkembangannya sebagai individu yang memiliki kualitas SDM yang bisa bersanding dan bersaing. Pelatihan kecakapan hidup yang diselenggarakan peneliti secara psikologis mampu mengurangi perilaku warga belajar yang kurang baik. Dengan adanya kesibukan berupa latihan-latihan, maka perilaku warga belajar menjadi terkontrol. Pelatihan ini mampu mewadahi warga belajar dalam mengembangkan potensi dan keterampilannya. Akan tetapi, pelatihan ini harus mampu menjaga sikap warga belajar agar tidak kembali menjadi anak tunalaras. Oleh karena itu, hendaknya lembaga penyelenggara pelatihan menjadi jembatan penghubung kelangsungan hidup warga belajar setelah terjun ke masyarakat melalui program monitoring atau bimbingan terpimpin. Program monitoring ini diperkukan agar warga belajar mampu mengembangkan segala potensinya dengan arahan dan bimbingan lembaga sebagai pengendalinya. d. Tutor dan Sumber Belajar Program Pelatihan Kecakapan Hidup Interaksi tutor sebagai sumber belajar dengan warga belajar tunalaras berlangsung dengan baik. Dalam kemasan model pelatihan kecakapan hidup yang telah diselenggarakan oleh peneliti, pelatihan berlangsung dengan baik dan lancar.
221
Keterampilan warga belajar meningkat dengan cepat. Keterampilan teknik las, teknik otomotif, dan teknik pendingin pada setiap kelompok warga belajar dapat dikuasai dengan baik sehingga apabila bekerja atau terjun membuka usaha pada tingkatan standar sudah cukup. Modal keterampilan yang telah dimiliki warga belajar akan menjadi lebih baik lagi apabila lembaga (pemerintah atau swasta) mampu memfasilitasi warga belajar dalam mengembangkan potensinya. Lembaga tersebut hendaknya menjadi sarana suksesnya warga belajar. Salah satu langkahnya adalah mengadakan pengawasan perilaku warga belajar setelah dilepas dari panti dan membuka peluang untuk mengembangkan potensinya. Pemikiran tersebut lahir dari keyakinan bahwa warga belajar akan berkembang kecakapan hidupnya apabila difasilitasi oleh lembaga dan adanya keberlanjutan pengawasan perilakunya. Kalau tidak diarahkan warga belajar tunalaras bukan tidak mungkin akan kembali menjadi sosok manusia yang mempunya penyimpangan perilaku.
E. Model yang Direkomendasikan 1.
Rasional Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia semakin hari semakin
bertambah dengan pesat, berdasarkan data sheet keadaan jumlah penduduk tahun 2005 diperkirakan berjumlah 221.900.000 orang. Berdasarkan data tersebut apabila jumlah anak usia sekolah berkisar 40 % dari populasi penduduk, maka diperkirakan anak usia sekolah berjumlah 88.750.000 orang. Kauffman J. M dan Hallahan D. P (1982) menyebutkan prevalensi anak tunalaras berjumlah 2 % dari
222
anak usia sekolah, sehingga berdasarkan pendapat tersebut di Indonesia anak tunalaras diperkirakan berjumlah 1.775.000 orang. Berdasarkan data Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah DEPDIKNAS, Th 2006 Anak Tunalaras (Anak Nakal) yang berjumlah 1.775.000 orang ini baru tertampung 788 orang yang tersebar di 13 Sekolah Luar Biasa (SLB/E) seIndonesia jadi pada dasarnya belum seluruhnya tertampung dalam pendidikan formal apalagi nonformal, ini menandakan bahwa Pendidikan Luar Sekolah untuk anak tunalaras masih dianggap hutan belantara, mengingat belum banyak yang membuka secara khusus tentang pendidikan nonformal yang diperuntukkan bagi anak tunalaras, kebanyakan baru pada taraf pendidikan formal. Secara kualitas dan kuantitas saat ini para remaja yang melakukan pelanggaran hukum di negara Indonesia semakin meningkat, hal tersebut di sinyalir dalam pernyataan resmi pejabat negara dalam arti penegak hukum. Data menunjukkan bahwa daya tampung LP anak di Tangerang isinya sudah melebihi kapasitas yang seharusnya bahkan mencapai empat kali lipat. Akhir tahun 2007 kenakalan yang dilakukan remaja dalam Gang Motor menujukkan kriminalitas yang sadisme, dengan melakukan penganiayaan dan perampokan di jalanan tanpa pilih bulu.
Romli Atmasasmita (1985:23) mengatakan :“Delinquency adalah
suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan tercela.” Para remaja nakal banyak yang terlibat dalam pelanggaran norma hukum
223
dan sosial yang dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, anak tunalaras perlu diberikan layanan rehabilitasi melalui berbagai bimbingan, seperti bimbingan mental, bimbingan fisik, bimbingan sosial, dan bimbingan kecakapan vokasional yang terangkum dalam pelatihan kecakapan hidup / life skills education. Setelah mengikuti program pelatihan kecakapan hidup diharapkan mereka dapat meningkatkan kemandirian dan dapat berprilaku humanis, sehingga mereka dapat memperoleh bekal kecakapan vokasional yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat. Pelatihan kecakapan hidup sangat perlu diberikan kepada anak tunalaras, mengingat pandangan masyarakat terhadap anak yang telah diberi label “anak nakal / tunalaras” lebih-lebih mereka diketahui pernah berada pada lembaga pendidikan atau penampungan anak nakal masih dipandang negatif, walaupun anak tersebut sudah tidak memiliki label anak nakal / tunalaras. Diharapkan dengan bekal kecakapan vokasional hidup yang diperoleh melalui program pelatihan kecakapan hidup, anak tersebut dapat memiliki sikap kemandirian yang diharapkan masyarakat dimana mereka tinggal. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pengajaran” yang diperkuat lagi oleh Undang-undang Pendidikan tentang Pendikan dan pengajaran luar biasa, serta Deklarasi hak anak yang berbunyi : The child that is hungry must be fed. The child that is sick must be nursed. The child that is physically and mentally handicapped must be helped. The maladjusted child must be reeducated. The orphan and the waif must be sheltered and secured. Dengan demikian jelas bahwa para remaja yang berstatus sebagai anak
224
tunalaras baik yang ditampung di Sekolah Formal yaitu Sekolah Luar Biasa Bagian E, di
Panti Panti Sosial mapun narapidana dalam Lembaga
Pemasyarakatan anak (LP) harus diberikan pelayanan pendidikan serta bimbingan sesuai dengan deklarasi tersebut. Masalah Kenakalan remaja merupakan masalah yang sangat kompleks, yang dapat menimbulkan masalah sosial dalam kerangka Pembangunan Nasional. Sehingga menuntut adanya upaya penanggulangan baik yang bersifat preventif, represif maupun rehabilitasi. Untuk menangani hal tersebut diperlukan suatu kebijakan tertentu didalam melakukan rehabilitasi para remaja, salah satu diantaranya melalui proses pendidikan melalui jalur Pendidikan Luar Sekolah. Kenyataan di lapangan pendidikan yang bermuatan pelatihan pendidikan kecakapan hidup (Life skills education) yang diberikan kepada anak tunalaras baik yang ditampung di Panti Panti Sosial, di Sekolah Formal yaitu Sekolah Luar Biasa Bagian E, mapun narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) anak, diselenggarakan secara paralel antara pendidikan formal dengan pendidikan luar sekolah, tetapi penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunalaras akan lebih efektif apabila diselenggarakan dengan integrated model antara Pendidikan Luar Sekolah dengan pendidikan formal, artinya model ini menggabungkan kedua jalur pendidikan tersebut kedalam suatu system yang terpadu. Sistem terpadu meliputi pengintegrasian kurikulum, proses pendidikan dan pengelolaan, serta koponenkomponen lainnya dari kedua jalur pendidikan tersebut. Sistem pendidikan terpadu diharapkan akan lebih fleksibel dan akan berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan erat relevansinya dengan perkembangan pembangunan bangsa.
225
Mengingat ragamnya keberadaan dan latar belakang pendidikan yang telah di peroleh anak tunalaras sebelumnya, semua program PLS pada dasarnya dapat dilaksanakan dan diikuti oleh semua anak tunalaras. Dalam konteks pendidikan yang berkelanjutan, program pelatihan kecakapan hidup merupakan kegiatan yang secara khusus dikembangkan untuk warga belajar yang membutuhkan. Program ini dirancang untuk membantu warga belajar dalam meningkatkan kemampuan berwirausaha dan menguasai kecakapan vokasional tertentu sehingga menjadi terampil dan mampu hidup di masyarakat dengan layak. Program ini pun merupakan: (a) pendidikan berkelanjutan untuk orang dewasa; (b) merespon kebutuhan dan keinginan; dan (c) mencakup pengalaman yang diberikan sebagai sub-sistem pendidikan formal, nonformal, dan informal. Sebagai program, pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras yang bertujuan agar: a. Kesehatan dan kebugaran jasmani anak
nakal tetap terjaga, sekaligus
menanamkan disiplin diri. Pelaksanaannya dilakukan sejak awal proses rehabilitasi secara teratur setiap pagi dan sore hari. b. Tumbuh dan terbentuknya kondisi psikis atau kepribadian klien dan mantapnya sikap mental, integritas dan disiplin diri. c. Meningkatkan kemampuan menjalankan ibadah agama, dan meningkatkan ketahanan sosial anak nakal terhadap pengaruh buruk lingkungan. d. Memulihkan dan mengembangkan tingkah laku positif anak tunalaras, sehingga mampu melaksanakan tugas, fungsi dan peran sosialnya secara
226
wajar dan dapat menjadi relasi dengan anggota keluarga dan masyarakat dimana ia tinggal, dalam arti dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat e. Meningkatkan kemampuan anak tunalaras dalam berbagai jenis kecakapan vokasional usaha/kerja untuk menunjang kebutuhan masa depannya. Secara teknis dikelompokkan berdasarkan minat dan kemampuannya. Jenis kecakapan vokasional yang diselenggarakan meliputi las, otomotif, salon, elektronika, menjahit, hasta karya, komputer, mengetik, mix farming. f. Agar anak nakal dapat dipantau dan tidak terpengaruh lingkungan yang kurang baik atau pengaruh yang kurang baik dari teman sebaya. Program ini juga dimaksudkan untuk: (a) menumbuhkan kecakapan vokasional bermata pencaharian; (b) mengajarkan kecakapan vokasional ekonomi; (c) mendapatkan akses pada informasi baru untuk memperbaiki kualitas hidup; (d) menumbuhkan kesadaran kritis tenang peristiwa mutakhir di lingkungannya; (e) membantu mengembangkan sikp rasional dan ilmiah, (f) mengorientasikan pada nilai-nilai dan sikap baru yang dibutuhkan dalam pembangunan; dan (g) untuk hiburan dan kegembiraan (diadaptasi dari Sakya, 1986: 8). Dalam program kemandirian anak tunalaras dengan menerapkan model PKH, konsep dasar yang harus dibangun adalah: a.
berorientasi pada warga belajar;
b.
program pelatihan memberi kesadaran bahwa PKH tersebut sangat penting bagi warga belajar; dan
227
c.
memberikan manfaat yang riil dan dapat dirasakan sejalan dengan proses berlangsungnya program pelatihan. Dengan kata lain, apa yang dipelajari dalam kegiatan PKH yang
berorientasi pada kemandirian, merupakan materi kegiatan yang dibutuhkan atau sesuai dengan harapan peserta pelatihan. Melalui pendekatan pelatihan tersebut, seluruh tahapan kegiatan, materi kegiatan maupun dampak akhir kegiatan, betul-betul dirumuskan dan dilaksanakan bagi kepentingan warga belajar. Pengembangan model PKH yang berorientasi pada kemandirian sangat relevan dan dapat dilaksanakan secara efektif. 2.
Komponen Model Unsur-unsur komponen model Pelatihan Kecakapan Hidup dalam
Peningkatan kemandirian anak tunalaras dikembangkan setelah melalui revisi dan penyempurnaan, selanjutnya dijadikan sebagai konsep model akhir atau disebut model empirik. a. Perencanaan Sistem perencanaan pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian anak tunalaras disusun dengan pendekatan partsisipatif, sehingga melibatkan calon peserta, pekerja sosial (peksos), dan instansi terkait untuk menetapkan berbagai hal yang terkait dengan perencanaan program. Perencanaan program yang dilakukan sejalan dengan konsep tujuan dan fungsi panti sosial. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam
228
suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. Panti Sosial sedikitnya memiliki ketiga fungsi tersebut. Namun demikian menurut Siahaan, yang dikutip oleh Tim Peneliti di Badan Pelatihan dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI (2003), sesungguhnya masih ada satu fungsi lagi yang ada dalam sebuah panti, yaitu fungsi pendidikan dan pelatihan. Menurutnya, hal itu mengingat bahwa dalam sebuah panti terdapat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik kepada anak tunalaras secara langsung maupun kepada tenaga di luar Panti dalam meningkatkan kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial. Sebagaimana yang dilakukan dalam pengembangan model pelatihan kecakapan hidup sebagai upaya peningkatan kemandirian anak tunalaras ini, tidak akan terjadi tumpang tindih baik dari sisi program maupun sasaran karena semua instansi yang terlibat terlebih dahulu telah melakukan koordinasi. Bentuk koordinasi yang dilakukan adalah sebelum kegiatan pelatihan berlangsung, terlebih dahulu dilakukan rapat kerja bersama yang dipimpin dan dihadiri oleh para pengurus dan pengelola panti. Hasilnya disepakati kalau program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup menjadi tanggung jawab bersama. Masing-masing instansi yang terlibat (Depsos dan Depdiknas) menyatakan kesediannya untuk membantu dalam hal pengelolaan dan pembinaan lanjutan. Rancangan program pelatihan kecakapan hidup yang telah tersusun dan disepakati bersama ini terdiri atas tiga jenis kecakapan yaitu perbengkelan las, teknik pendingin, dan otomotif.
229
Sebagaimana yang juga telah diungkapkan sebelumnya bahwa ketiga jenis kecakapan ini dilatihkan dalam satu paket pelatihan atau dalam waktu yang bersamaan. Pemisahannya dilakukan hanya pada saat pemberian materi teknis atau praktik, sedang saat acara pembukaan, pemberian materi umum dan acara penutupan tetap dilakukan bersama. Dalam menyususn rancangan pengembangan program pelatihan kecakapan hidup mengandung unsur-unsur yang dapat diuraikan sebagai berikut. b. Tujuan Pelatihan Secara umum tujuan pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras di pusat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. Secara khusus, program ini bertujuan untuk: 1) Meningkatkan kecakapan hidup anak tunalaras yang dapat dijadikan sarana untuk pengembangan diri dan memenuhi mata pencaharian. 2) Menyebarluaskan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial melalui peningkatan kecakapan hidup. 3) Menumbuhkembangkan kreatifitas masyarakat khususnya warga belajar tunalaras dalam memecahkan permasalahan dengan memanfaatkan potensi sumber daya dan kelembagaan masyarakat. 4) Untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup, tumbuh dan berkembang
230
secara wajar di masyarakat sertamenjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif dan berkualitas, serta berakhlak mulia. c.
Kelompok Sasaran Kelompok sasaran program ditetapkan berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan oleh PSMP Handayani yaitu anak nakal yang mempunyai kriteria sebagai berikut : 1) Anak nakal yang berusia 10-18 tahun dan belum menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. Bagi mereka diberikan pelayanan pendidikan setaraf Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) umum. 2) Anak
nakal
menamatkan diberikan
yang
berusia
pendidikan bimbingan
16-21
Sekolah fisik,
tahun Dasar
mental,
dan (SD).
sosial
dan
minimal Bagi
telah mereka
keterampilan
kerja. 3) Anak nakal yang berkonflik dengan hukum, meliputi : a) Sedang dalam proses penyidikan oleh polisi. b) Sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum. c) Menjalani putusan hakim. d) Setelah selesai menjalani pidana anak. d. Sumber Belajar/Fasilitator Kriteria dan kualifikasi untuk Sumber Belajar (SB) yang direkrut untuk program pelatihan kecakapan hidup adalah sebagai berikut: 1) Berusia 20-50 tahun 2) Tingkat pendidikan minimal SMA
231
3) Alumni PSMP Handayani Jakarta. 4) Mampu menjalin kerja sama dan berkomunikasi dengan baik 5) Memiliki kemampuan membelajarkan dan melatih 6) Memiliki kecakapan vokasional vokasional sesuai yang diprogramkan e. Kurikulum Identifikasi kebutuhan warga belajar menunjukkan ada 3 (tiga) aspek yang
perlu
dilakukan
penguatan
yaitu:
(a)
aspek
ketidakmampuan anak tunalaras sebagai warga belajar
personal,
berupa
dalam memecahkan
masalah dan menyadari potensi yang dimilikinya; (b) aspek sosial, berupa keterbatasan anak tunalaras dalam hal kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya; dan (c) aspek vokasional, berupa keinginan anak tunalaras untuk menguasai kecakapan vokasional tertentu sehingga mampu menjadi manusia yang produktif dan mandiri. Dengan memperhatikan hasil identifikasi tersebut dan mempertimbangkan kondisi masyarakat maka disusun isi kurikulum yang difokuskan pada pengembangan kecakapan individu, kecakapan sosial, dan kecakapan vokasional. Berdasarkan fokus tersebut, maka disusun kriteria isi kurikulum pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian sebagai berikut: 1) Strategi pelatihan kecakapan hidup dengan berbagai jenis kecakapan selalu diarahkan untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat setempat. 2) Menjadikan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari sebagai masukan pokok
232
pengembangan kurikulum. 3) Pengelolaan usaha mandiri sebagai
fokus
materi
pelatihan dengan
penekanan pada pengembangan kemandirian. 4) Jenis kecakapan vokasional yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar dan permintaan pasar. Untuk tema kurikulum, hal-hal yang dikemukakan mencakup: (1) Kecakapan akademik tentang jenis-jenis keterampilan; (2) Kecakapan vokasional tentang pembentukan dan strategi pengelolaan usaha; (3) Kecakapan vokasional tentang pengelolaan/proses perbengkelan dan jasa; (4) Kecakapan vokasional tentang pemasaran; (5) Kecakapan akademik tentang pengelolaan keuangan; (6) Kecakapan personal tentang pengelolaan organisasi/kelompok yang terlibat dalam kegiatan usaha; dan (7) Kecakapan sosial tentang pengelolaan jiwa kepemimpinan dalam menjalankan usaha bersama. f. Bahan Ajar dan Latihan Bahan ajar yang dikembangkan untuk program pelatihan
semuanya
dituangkan dalam bentuk diktat/modul yang mencakup bahan ajar kegiatan kecakapan vokasional dan usaha bersama. Secara rinci, bahan ajar ini mencakup : 1)
Modul pelatihan seri kegiatan kewirausahaan tentang proses pelayanan service dan jasa.
2)
Modul pelatihan seri kewirausahaan tentang Kepemimpinan, Sumberdaya Manusia (SDM) dan Pengelolaan Keuangan.
3)
Modul kecakapan vokasional bidang perbengkelan (las, teknik pendingin, dan otomotif).
233
g. Media pelatihan keterampilan Media pelatihan yang dipergunakan adalah alat tulis, modul dan bahanbahan praktik. h. Metode pelatihan keterampilan Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan model pelatihan kecakapan hiudp adalah pendekatan andragogi, partisipatoris dengan metode ceramah, diskusi, kerja kelompok dan praktik. i.
Waktu dan tempat pelatihan Kegiatan pelatihan dilangsungkan selama dua minggu atau 12 hari penuh
dari tgl 14 sampai 26 Februari 2008. Kegiatannya dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pada uji coba tahap pertama selama 6 hari dan uji coba tahap kedua juga 6 hari. Kegiatan pelatihan dipusatkan di PSMP Handayani Jakarta, dengan jumlah jam pelajaran sebanyak 96 jam @ 45 menit. j. Evaluasi akhir pelatihan Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan dengan (a) evaluasi pra-pelatihan; (b) evaluasi proses pelatihan keterampilan; dan (c) evaluasi akhir pelatihan keterampilan. Pada dasarnya, evaluasi dilakukan pada aspek-aspek (a) kemampuan memahami materi dan (b) kemampuan mempraktikkan. k. Pelaksanaan Pelibatan berbagai pihak dalam proses pelatihan kecakapan vokasional menjadi penting dalam pelatihan, misalnya antara lain: lembaga pemerintah daerah melalui dinas/instansi teknis terkait, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial,
234
Disnakertrans, sumber belajar/fasilitator, tokoh masyarakat dan para kader organisasi kemasyarakatan. Kerja sama berbagai pihak sesungguhnya sangat diperlukan dalam program pelatihan kecakapan hidup, yaitu sejak perencanaan program sampai evaluasi program pelatihan, termasuk kegiatan monitoring, dan pembinaan berkelanjutan. Keterlibatan mereka dalam kegiatan evaluasi pelatihan kecakapan hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan satu program pelatihan kecakapan hidup. Dalam banyak hal pemantauan pasca kegiatan pelatihan terabaikan yang disebabkan berbagai alasan, antara lain tidak tersedianya anggaran atau terbatasnya sumber daya manusia (sumber belajar dan atau tenaga pendamping) yang bertanggung jawab pada program pelatihan.
Dalam pelatihan yang
menganut sistem pelatihan orang dewasa, yaitu anak tunalaras sebagai warga belajar sehingga kemampuan dalam penguasaan
materi selama proses dan
setelah kegiatan berakhir sesungguhnya dapat diketahui oleh warga belajar sendiri. l. Evaluasi Evaluasi model pelatihan kecakapan hidup lebih mengedepankan pada kerja sama untuk mengetahui keberhasilan pencapaian program pelatihan kecakapan vokasional oleh warga belajar. Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan secara bersama-sama, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil program pelatihannya. Evaluasi proses dilakukan terhadap warga belajar, terdiri dari motivasi belajar, kerja sama, dan partisipasi warga belajar dalam proses pelatihan. Bagi sumber belajar/fasilitator evaluasi tersebut bermanfaat
235
untuk memperbaiki dan meningkatkan unjuk kerja (performance) sebagai pembelajar atau warga belajar, antara lain terkait dengan penguasaan materi, penggunaan media dan bahan pelatihan, metode dan fasilitas/sarana pelatihan, serta bimbingan selama proses pelatihan. Sedangkan evaluasi akhir pelatihan dilakukan untuk mengetahui penguasaan materi pelatihan oleh warga belajar (teori dan praktik). Evaluasi pasca penyelenggaraan program pelatihan kecakapan hidup selain dilakukan oleh peneliti juga melibatkan beberapa petugas atau sumber belajar sekaligus melakukan pemantauan (monitoring). Kegiatan para petugas tersebut adalah untuk melakukan pemantauan pada kemandirian warga belajar yang telah mengikuti program pelatihan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kontribusi penerapan model pelatihan pelatihan kecakapan hidup
dalam menguasai kecakapan vokasional (vocational skills)
dalam rangka meningkatkan kemandirian anak tunalaras (warga belajar), kesejahteran, dan taraf hidup mereka. Model konseptual pelatihan kecakapan hidup
yang dikembangkan
mengacu pada pendekatan pelatihan orang dewasa (adult learning) ini, dalam perspektif pendidikan luar sekolah program pelatihan tersebut diimplementasikan melalui pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Pendekatan ini juga berlaku dalam program pembinaan lanjutan setelah mereka memiliki kecakapan vokasional dan usaha. Sedangkan secara substansial pengembangan model pada program pelatihan
yang dikembangkan mengarah pada munculnya kepercayaan yang
melekat pada warga belajar untuk mengatur diri dalam menjalankan tugas sehari-
236
hari karena menyadari telah memiliki kemampuan yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum, walaupun dalam pelatihan kecakapan vokasional lebih menekankan pada penguasan kecakapan vokasional praktis, namun tidak mengabaikan aspek kecakapan akademik
secara teoretis. Dalam pelatihan
kecakapan hidup orang dewasa, kegiatan belajar kecakapan vokasional praktis akan menarik bilamana materi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan dengan metode pelatihan yang menarik pula. Karena itu model belajar dengan "learning by doing" dan metode pemecahan masalah (problem solving methods) adalah motode-metode yang dianggap sangat tepat bagi warga belajar. Untuk itu, metode pelatihan kecakapan vokasional juga akan menarik dan bermakna bagi warga belajar bilamana terdapat kesesuaian antara materi dengan jenis kecakapan vokasional yang dipilih atas dasar kebutuhan nyata kelompok sasaran program (calon warga belajar) melalui kesepakatan bersama. Berdasarkan analisis hasil studi eksplorasi dan analisis kebutuhan belajar anak tunalaras sebagai warga belajar, pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam penelitian ini mencakup beberapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, deskripsi model pelatihan yang dikembangkan akan mencoba menggambarkan pelatihan kecakapan hidup sebagai sistem, konsep, program dan pendekatan. Dalam penelitian ini, pelatihan kecakapan hidup dipandang sebagai penguatan untuk kemandirian anak tunalaras. Selain itu, dipaparkan juga mengenai pengembangan media dan bahan materi pelatihan menggunakan sistem penghantaran secara terintegrasi.
237
Kedua, memaparkan potensi-potensi sumber daya yang ada di masyarakat (SDA, SDM dan nilai-nilai budaya), yang menjadi basis dan sumber pelatihan warga belajar dalam rangka untuk memperoleh sumber penghasilan atau pendapatan. Sebagian sumber daya lokal dipilih atas dasar keunggulankeunggulan komparatif dengan pertimbangan potensi ekonomi pedesaan dan perkotaan yang diarahkan kepada pelatihan ekonomi yang mampu memberikan nilai tambah. Ketiga, untuk menyosialisasikan konsep pelatihan kecakapan hidup bagi warga belajar, perlu dipilih jenis-jenis usaha ekonomi produktif melalui pengembangan model yang akan diujicobakan. Pelatihan jenis-jenis kecakapan vokasional usaha ekonomi produktif bagi kelompok warga belajar dalam penelitian dan pengembangan model pelatihan ini terbatas pada pengelolaan dan pelayanan di bidang jasa. Keempat, proses perancangan program dan bahan belajar
yang
menggambarkan tentang langkah-langkah kegiatan apa yang dilakukan, dengan dan bersama siapa merancang dan melaksanakan program pelatihan serta bahan belajar apa yang sebaiknya dikembangkan. Dalam proses ini, tidak lupa juga memperhatikan karakteristik warga belajar (anak tunalaras) sebagai kelompok sasaran, bagaimana prosesnya, apa metode dan keluaran (produk) yang dihasilkan. Kelima, proses kemandirian anak tunalaras
melalui model pelatihan
kecakapan hidup menggambarkan bagaimana memproses antara instrumen input, environment input, dan other input yang disepakati bersama untuk menghasilkan output serta outcomes, serta untuk mengetahui keberhasilan pelatihan terhadap
238
kelompok sasaran. Peran dan tugas-tugas fasilitator dan kelompok sasaran akan dikembangkan ke dalam aktifitas pelatihan keterampilan. Pengorganisasian warga belajar dan bahan belajar, penggunaan motode pelatihan serta bimbingan lanjutan menjadi bagian yang terintegrasi dalam model pelatihan kecakapan hidup dengan pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Program pelatihan melalui model pelatihan kecakapan hidup bukanlah suatu produk final bagi program kemandirian anak tunalaras
dalam upaya
mengatasi masalah ekonomi. Atas pertimbangan dan alasan tersebut, rancangan model konseptual yang disusun mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang diperkirakan akan terjadi dan menjadi hambatan dalam proses penelitian dan pengembangan model, baik yang bersifat internal (bersumber dari diri peneliti sendiri, seperti keterbatasan kemampuan dan pemahaman, antara lain: menjustifikasi secara akurat fenomena-fenomena sosial terhadap model-model pelatihan yang relatif beragam dan berubah, maupun eksternal (bersumber dari peneliti, seperti administratif dan kondisi lapangan). Oleh karena itu, perlu langkah-langkah persiapan yang dapat mengeliminir hambatan yang bakal terjadi, sehingga perlu adanya antisipasi dalam implementasinya.
3. Asumsi Model Model pelatihan kecakapan hidup memiliki beberapa asumsi sebagai landasan agar betul-betul sesuai dengan karakteristik fungsional model yang dikembangkan.
239
a. Kepemilikan
kecakapan
vokasional
dan
penguasaan
faktor-faktor
pendukungnya merupakan instrumen efektif untuk membentuk kemandirian sosial dan ekonomi para warga belajar. b. Warga belajar merasa dapat diterima oleh kelompoknya, yang didasari oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya, khususnya dalam hubungan sosial, dan merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya. Manifestasi dari keadaan ini antara lain, individu aktif menghadapi keadaan lingkungan, berani mengemukakan apa yang menjadi kehendaknya atau ideidenya secara bertanggung jawab, dan tidak mementingkan diri sendiri melalui refleksi kolektif. c. Pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup merupakan proses pemberdayaan (empowering) yang memungkinkan warga belajar mampu mengenali faktorfaktor yang menghalangi perubahan atau perkembangannya yang meliputi: Pertama individu merasa adekkuat terhadap apa yang dilakukan, hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan, kemampuan, dan kecakapan vokasional yang dimiliki. Kedua, individu merasa dapat diterima oleh kelompoknya, yang didasari oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya, khususnya dalam hubungan sosial, dan merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya. Ketiga, individu memiliki ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan dan kemampuannya. Individu merasa tenang dalam menghadapi berbagai situasi.
240
d. Proses pelatihan kecakapan hidup memerlukan suasana saling membutuhkan, saling belajar, suasana aman, hangat, suasana saling menghargai, dan saling percaya. Model pelatihan kecakapan hidup bukanlah suatu model yang kaku akan tetapi memerlukan jaringan hubungan antara warga belajar dan sumber belajar serta bersama lingkungannya. e. Kemandirian merupakan paradigma sosial dengan tiga karakteristik, yaitu mandiri secara fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), mandiri secara mental (dapat berpikir secara kreatif dan analitis dalam menyusun dan mengekspresikan gagasan) dan mandiri secara emosional (nilai yang ada dalam diri sendiri).
4. Pendekatan Model Agar model pendidikan kecakapan hidup yang dikembangkan efektif, maka dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan yang dikembangkan dalam konseptualisasi dan implementasi model, antara lain: pendekatan partisipatif, kolaboratif, dan berkelanjutan.
5. Prosedur Penerapan Model Langkah-langkah penerapan model program pemberdayaan melalui pelatihan integratif ini dapat diterapkan dengan prosedur yang dapat dilihat pada Tabel 4.24.berikut.
241
TABEL 4.24 PROSEDUR PENERAPAN MODEL No
6.
Tahap
Langkah
1
Perencanaan
a. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait pada pemerintah daerah; Dinsos dan Dinkes. b. Identifikasi kebutuhan warga belajar c. Identifikasi taraf kecakapan vokasional warga belajar d. Menetapkan kriteria WB e. Menetapkan kriteria tutor f. Menetapkan tujuan g. Mengembangkan kerangka kurikulum h. Mengidentifikasi media pelatihan i. Merancang dan mengembangkan bahan ajar j. Merancang teknik penyampaian (delivery system) k. Menetapkan teknik evaluasi
2
Pelaksanaan
3
Evaluasi
a. Pelatihan kecakapan hidup otomotif, pengelasan, dan teknik pendingin b. Proses Pelatihan Keterampilan c. Monitoring kegiatan pelatihan pelatihan kecakapan hidup (kecakapan vokasional) a. Evaluasi awal (pretest) b. Evaluasi proses c. Evaluasi akhir
Indikator Keberhasilan Pengembanggan model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan
kemandirian anak tunalaras lebih ditekankan pada vocational skills. Oleh karena itu, keberhasilan program pelatihan kecakapan hidup ini adalah sebagai berikut : a. Program pelatihan ini memiliki tingkat kesesuaian kebutuhan warga belajar dalam peningkatan kecakapan akademik, kecakapan vokasional,
242
kecakapan personal, dan kecakapan sosial sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta sumber daya yang ada di masyarakat; b. Kebermaknaan model program kemandirian melalui pelatihan kecakapan hidup yang dikembangkan agar para warga belajar memiliki motivasi untuk belajar dan berusaha sehingga muncul keberdayaan dalam dirinya untuk berubah dari diri-sendiri dan bersama orang lain. Refleksinya adalah terbentuknya kemandirian warga belajar, yaitu mandiri secara fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), mandiri secara mental (dapat berpikir secara kreatif dan analitis dalam menyusun dan mengekspresikan gagasan) dan mandiri secara emosional (nilai yang ada dalam diri sendiri). Model pendidikan kecakapan hidup yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat pada visualisasi gambar sebagai berikut.
243
Model empirik (lihat di file gambar model)
244
Model empirik yang menjadi produk akhir penelitian ini dikembangkan berdasarkan model konseptual yang telah melalui berbagai tahap validasi dan uji coba. Secara umum model empirik tidak jauh berbeda dengan model konseptual. Pengembangan model empirik terjadi pada bagian dampak pelatihan atau outcomes. Secara sistematika atau alur pelatihan yang dikembangkan, model empirik memiliki kesepadanan dengan model konseptual, maka penjelasan model empirik hanya dipaparkan yang berkenaan dengan dampak pengembangan model saja. Tujuan pelatihan model pelatihan kecakapan hidup adalah membentuk warga belajar agar memiliki kecakapan hidup sesuai dengan keahliannya masingmasing. Akan tetapi, kecakapan hidup tersebut harus dikembangkan dalam bentuk program nyata melalui berbagai bentuk usaha. Oleh karena itu, model pelatihan yang dikembangkan penulis merekomendasikan agar pelatihan kecakapan hidup dilanjutkembangkan melalui kegiatan pengembangan pelatihan kecakapan hidup. Pengembangan yang dimaksud adalah: (1) Adanya kontrol yang intensif dan berkelanjutan dari pihak keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait. Kontrol terhadap anak tunalaras yang sudah dilatih melalui pelatihan ini belum tentu akan mencapai keberhasilan yang memadai apabila tidak dikontrol melalui berbagai bentuk. (2) Pelatihan kecakapan hidup harus dilandasi oleh pengembangan potensi diri anak tunalaras dalam bentuk penyaluran kerja atau pengembangan usaha yang difasilitasi oleh lembaga, baik swasta maupun pemerintah. Anak tunalaras memiliki keterbatasan dalam mengaktualisasikan dirinya di masyarakat. Oleh karena itu,
pelatihan ini menyarankan agar
245
pengembangan potensi diri anak tunalaras dan pengembangan usaha menjadi program intensif dampak pengembangan model.
F. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Pembahasan Umum Berdasarkan PP 73 Bab II Pasal 2 tentang tujuan PLS, menyatakan bahwa tujuan Pendidikan Luar Sekolah memiliki makna: (1) melayani warga belajar supaya tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayat guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya. (2) Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan pendidikan ke tingkat dan/atau jenjang yang lebih tinggi. (3) Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah. Tujuan PLS tiada lain untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilainilai yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta secara efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya, masyarakat dan bahkan negaranya. Pendidikan Luar Sekolah sebagai sebuah proses pendidikan berbasis masyarakat, memiliki keleluasaan dalam mengembangkan dan membina programprogramnya. Hal ini disebabkan pendidikan luar sekolah pada prosesnya bertujuan menjangkau semua lapisan masyarakat pada kondisi apapun. Sesuai dengan prinsip tersebut, hasil penelitian dan pengembangan model yang dilakukan dalam studi ini, menunjukkan bahwa PLS memiliki keluasan dalam hal pengembangan
246
dan pengendalian konsep-konsep yang selalu menjadi acuan dalam prinsip pembelajarannya. Sebagaimana prinsip pembelajaran sepanjang hayat yang dikemukakn Gonzales dan Pijono (1997:232) bahwa konsep dasar hakekat pendidikan sepanjang hayat, yaitu : 1) setiap orang harus didorong untuk menjadi pelajar yang mengarahkan diri sendiri dan menjadi agen-agen aktif untuk pendidikan mereka sendiri, 2) Banyak sumber-sumber pendidikan alternatif disamping sekolah yang melayani kebutuhan pendidikan mereka, 3) semua pengalaman dan sumber belajar itu tersedia buat semua orang, setiap saat, baik yang belajar paruh waktu. Program-program PLS yang dijalankan pada satu negara pada umumnya merupakan jawaban terhadap permasalahan (sosial) yang dihadapi negara tersebut. Selama ini PLS dipandang memberikan solusi terhadap permasalahan karena pendidikan luar sekolah merupakan alternatif solusi yang baik untuk memecahkan
berbagai
permasalahan
tersebut.
Peran
PLS
sebagaimana
diungkapkan di atas, sejalan dengan pendapat Sutaryat Trisnamansyah (2003: 19), bahwa PLS bertujuan untuk: (1) memperoleh keterampilan yang segera akan dipergunakan, (2) berpusat pada peserta didik, (3) waktu penyelenggaraan relatif singkat, dan pada umumnya tidak berkesinambungan, (4) menggunakan kurikulum kafetaria, (5) menggunakan metode pembelajaran partisifatif, dengan penekanan pada belajar mandiri, (6) hubungan pendidik dengan peserta didik bersifat mendatar, (7) penggunaan sumber-sumber lokal. Berdasarkan paparan di atas, PLS memiliki banyak keunggulan yaitu; memiliki program yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan belajar masyarakat.
247
Oleh karena itu, dalam aplikasinya penggunaan kurikulum dan proses pembelajaran ditetapkan bersama peserta didik. Karakteristik pendidikan luar sekolah tersebut merupakan rujukan konsep bagi pengembangan pendidikan kecakapan hidup. Peningkatan mutu pendidikan merupakan komitmen untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, agar dapat hidup sejajar dengan bangsa lain di dunia ini. Dalam merealisasikan komitmen tersebut
di
atas,
Pemerintah
(Departemen
Pendidikan
Nasional)
telah
mengupayakan berbagai inovasi dan program pendidikan, antara lain Program Pendidikan beorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education). Tujuan utama pendidikan kecakapan hidup adalah untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang dikembangkan dalam menjaga kelangsungan hidup dan mengembangkan dirinya. Meskipun bervariasi dalam menyatakan tujuan pendidikan kecakapan hidup, namun konvergensinya cukup jelas yaitu bahwa tujuan utama pembelajaran kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan mampu,
sanggup,
dan
terampil
menjaga
kelangsungan
hidup
dan
perkembangannya di masa datang. Esensi dari pembelajaran kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata, baik preservatif maupun progresif. Lebih spesifiknya, tujuan pendidikan kecakapan hidup dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, memberdayakan aset kualitas batiniyah, sikap, dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui pengenalan (logos), penghayatan (etos), dan pengamalan (patos) nilai-nilai
248
kehidupan sehari-hari sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. Kedua, memberikan wawasan yang luas tentang pengembangan karir, yang dimulai dari pengenalan diri, eksplorasi karir, orientasi karir, dan penyiapan karir. Ketiga, memberikan bekal dasar dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai nilai-nilai kehidupan sehari-hari yang dapat memampukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi kehidupan masa depan yang sarat kompetisi dan kolaborasi sekaligus. Keempat, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya sekolah melalui pendekatan manajemen berbasis sekolah dengan mendorong peningkatan kemandirian sekolah, partisipasi stakeholders, dan fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah.
Kelima,
memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari, misalnya kesehatan mental dan pisik, kemiskinan, kriminal, pengangguran, lingkungan sosial dan pisik, narkoba, kekerasan, dan kemajuan iptek. Salah satu latar belakang penelitian ini adalah mewujudkan konsep PLS dan pendidikan kecakapan hidup dalam konteks pengembangan model. Pengembangan model yang dimaksud adalah pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Penelitian ini diterapkan pada sekelompok warga belajar tunalaras. Pelatihan dalam konteks kelompok didasari oleh pemikiran bahwa kegiatan belajar dalam kelompok lebih bermakna dan memberikan kekuatan kolektivitas. Oleh karena itu, kelompok belajar dapat berfungsi: (1) sebagai metode, (2) sebagai media, (3) sebagai sarana
249
pembelajaran, dan (4) sebagai agen perubahan. Dalam pandangan lain, Kindervatter (1979:207) menyatakan peran kelompok belajar sangat penting sebagai agen pembaharuan dalam rangka pemberdayaan (empowering process). Manfaat yang dapat diperoleh dari kelompok belajar adalah dapat dengan mudah membelajarkan anggotanya, mengubah tingkah lakunya, bahkan mengembangkan masyarakat sampai dengan berdirinya lembaga keuangan lokal (the local bank). Pengembangan model pelatihan kecakapan hidup pun berkenaan dengan konsep pelatihan. Pelatihan (training) merupakan pembelajaran pengembangan individual yang bersifat mendesak karena munculnya suatu kebutuhan saat ini. Menurut Robinson dalam Anwar (2004: 163) pelatihan sebagai suatu instruksi atau proses pendidikan yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilan yang telah dimiliki. Pengertian pelatihan tersebut memiliki makna bahwa tujuan dasar pelatihan untuk membangun dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan individu agar dapat mencapai tingkat yang diharapkan. Selanjutnya Anwar (2004: 169), menegaskan bahwa pelatihan adalah usaha berencana yang diselenggarakan supaya dicapai penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang relevan dengan kebutuhan peserta pelatihan. Dari definisi tersebut dapat ditafsirkan bila pelatihan kecakapan hidup diberikan kepada anak tunalaras dapat meningkatkan kualitas sikap anak tunalaras dalam meningkatkan kemandiriannya untuk hidup bermasyarakat secara wajar. Pelatihan pada hakikatnya pun merupakan salah satu wujud konkret
250
pendidikan. Tilaar (1999) menegaskan bahwa hakikat pendidikan berkenaan dengan konsep pendekatan reduksionisme dan pendekatan holistik integratif. Sejalan dengan pendapat tersebut, pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani merupakan refleksi hakikat pendidikan melalui pendekatan holistik integratif. Bila pendekatan reduksionisme melihat proses pendidikan, peserta didik, dan keseluruhan perbuatan pendidikan termasuk lembaga pendidikan tidak secara utuh, maka pendekatan holistik integratif memandang bahwa hakikat pendidikan memiliki komponen: pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan; proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi; eksistensi manusia yang memasyarakat; proses pendidikan dalam masyarakat yang membudaya; dan proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi-dimensi waktu dan ruang. Pengembangan model pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta, dilakukan melalui langkah-langkah: 1) mengadakan pendekatan terhadap pihak panti ; 2) koordinasi dengan sumber belajar; 3) penyiapan lingkungan; dan 4) penyiapan panduan model pelatihan kecakapan hidup. Pendekatan terhadap pihak panti, bertujuan untuk memperoleh izin untuk mengadakan dan menerapkan pengembangan PKH. Pendekatan terhadap pihak panti dilakukan sejak di awal kegiatan. Dukungan pihak panti terhadap pengembangan model pelatihan kecakapan hidup ini ditunjukkan dengan: 1) menerima dengan baik kehadiran peneliti; 2) mengadakan dialog secara terbuka bersama peneliti tentang hal-hal yang berhubungan dengan program PKH; 3) menyambut baik dan merespon dengan segala tawaran peneliti untuk mengembangkan model pelatihan kecakapan
251
hidup yang ditunjukkan dengan sikap dan tindakannya yang kondusif;
4)
menyediakan dan melengkapi fasilitas yang diperlukan bagi terselenggaranya pengembangan model; dan 5) memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada peneliti untuk melakukan penelitian dan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta merupakan bentuk pelayanan rehabilitasi sosial yang diberikan kepada anak tunalaras meliputi: pembinaan fisik, bimbingan mental dan sosial, pelatihan ketarampilan, serta resosialisasi serta pembinaan lanjut anak nakal agar dapat menjalankan fungsi sosialnya
secara
wajar
dan
mampu
berperan
aktif
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Berdasarkan uraian di atas, bahwa dalam pengembangan pelatihan kecakapan hidup juga termasuk juga ada proses rehabilitasi. Departemen Sosial dalam Sunaryo (1995: 108) memberi pengertian bahwa “rehabilitasi adalah suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penderita cacat mampu melakukan fungsi-fungsi sosialnya
secara wajar dalam kehidupan
masyarakat”. Secara lebih spesifik rehabilitasi sosial dapat diartikan sebagai suatu proses perbaikan yang ditujukan pada anak luar biasa khususnya anak tunalaras agar mereka cakap berbuat dalam menjalani hidup dan kehidupannya di masyarakat secara lebih bermakna. Sebelum uji lapangan dimulai, peneliti terlebih dahulu mengadakan sosialisasi tentang pengembangan model pelatihan kecakapan hidup yang akan
252
dilaksanakan, melalui tanya jawab dan diskusi terhadap pihak yang terkait di panti. Kegiatan ini dilakukan selama kegiatan penelitian tahap satu dan tahap dua, dan seminggu sebelum pelaksanaan uji lapangan II kegiatan sosialisasi lebih diintensifkan. Kegiatan yang dilakukan dalam uji lapangan II adalah menerapkan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup diPanti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Pada tahap pelaksanaan uji lapangan II, para sumber belajar dan peserta program menunjukkan kesungguhan dalam mengikuti setiap tahapan kegiatan pada pengembangan model PKH. Tahapan-tahapan penerapan model pelatihan kecakapan hidup yang diikutinya secara sungguh-sungguh adalah sebagai berikut: 1. kegiatan pada tahap perencanaan, meliputi; kegiatan mengidentifikasi kebutuhan
belajar,
merumuskan
dan
mengadakan
kontrak
belajar,
merumuskan materi belajar, dan merumuskan/memilih alat dan media belajar; 2. tahap pelaksanaan, meliputi; a) menciptakan iklim pelatihan yang harmonis sehingga terjalin hubungan akrab antara sumber belajar dengan peserta program; dan b) sumber belajar dan peserta program bersama-sama dalam mengisi kegiatan pelatihan sehingga terjadi proses interaksi saling membelajarkan secara dinamis; 3. pada tahap evaluasi, sumber belajar maupun peserta program sama-sama melakukan kegiatan evaluasi baik terhadap proses maupun hasil pelatihan, sehingga kegiatan evaluasi benar-benar bertumpu pada sumber belajar dan peserta program; dan
253
4. membahas dampak model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan/ pengembangan usaha maupun terhadap kecakapan akademik , keterampilan, serta sikap kemandirian peserta program. Monitoring dan evaluasi dilakukan pada saat model pelatihan kecakapan hidup berlangsung, kegiatan ini dilakukan terutama untuk menilai kelayakan dan efektivitas model yang dikembangkan. Setiap selesai penyajian, peneliti bersamasama dengan sumber belajar dan peserta program mendiskusikan hasil uji lapangan yang dilakukan. Peneliti mengikuti setiap perubahan dan perkembangan sebagai pengaruh dari penerapan model pelatihan kecakapan hidup terhadap peserta program. Hasil monitoring dan evaluasi tersebut, dijadikan sebagai bahan diskusi bersama dengan sumber belajar dan peserta program, setiap satu minggu selama pelaksanaan uji lapangan II. Hasil monitoring, evaluasi dan diskusi bersama dengan sumber belajar dan peserta program, menunjukkan bahwa model pelatihan kecakapan hidup dapat dikembangkan secara efektif dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Beberapa indikator yang menunjukkan keefektifan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Nara sumber belajar dan peserta program telah memperoleh dan memiliki pemahaman yang lebih tinggi tentang isi dan prinsip-prinsip model pelatihan kecakapan hidup yang dikembangkan. 2. Pihak panti dan peserta program dapat mengembangkan model pelatihan kecakapan hidup sesuai dengan prosedur yang didesain dalam model.
254
3. Sumber belajar dan peserta program dapat menumbuhkan iklim pelatihan yang harmonis dan akrab. 4. Adanya kesanggupan dari sumber belajar dan peserta program untuk menerapkan model PKH dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. 5. Model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta dikembangkan dapat
meningkatkan kecakapan akademik,
yang
kecakapan
vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial, serta menumbuhkan kemandirian warga belajar. Implikasi teoritis dari pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta ini, memperkuat teori-teori kemandirian sebelumnya. Pendapat tersebut diartikan kemandirian adalah penggunaan daya sendiri untuk bertindak dan membuat keputusan atau mempertimbangkan tanpa bergantung kepada orang lain. Brookfield (1993) mengemukakan bahwa kemandirian sebagai kekuatan seseorang di dalam memahami dan menyadari alternatif – alternatif pilihan bagi dirinya. Covey (1989:49) menegaskan pula bahwa Independence is the paradigma of
I-I can do it; Iam responsible: I am self-reliant: I can choose..
Interdependence is the paradigma of We-We can do it: We can cooperate: We can combine our talents and abilities and create something greatertogether. Wetherington (Rifaid,2000) mengemukakan bahwa kemandirian ditunjukan oleh adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif, kreatif, kemampuan mengatasi
255
masalah, penuh ketekunan, merasa puas atas usahanya dan berkeinginan mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Havighurst (1972) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu: (a) emosi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua; (b) ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua; (c) Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi; dan (d) sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. Model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras yang dikembangkan secara nyata telah dapat meningkatkan empat kecakapan hidup, yakni kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial. Implikasi teoritis pada model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras terletak pada: pertama, aspek relevansinya dengan kebutuhan. Berdasarkan temuan empiris, penerapan model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta menunjukkan efektivitasnya bagi terpenuhinya kebutuhan pelatihan warga belajar sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar dan kreativitas. Kedua, aspek inovasinya dalam pengembangan anak tunalaras di masyarakat. Dalam penerapannya, model pelatihan kecakapan hidup mampu memberikan rehabilitasi dan peningkatan kecakapan hidup anak tunalaras yang positif. Warga belajar tunalaras merupakan salah satu komponen
256
bangsa yang perlu mendapat perhatian serius melalui cara-cara yang tepat dan akurat agar mampu memperbaiki kehidupan dan penghidupannya. Upaya untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupannya dilakukan melalui jalur pendidikan nonformal yang merupakan alternatif terbaik dan paling tepat.
2. Pembahasan Khusus PSMP Handayani adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis yang menangani permasalahan anak nakal dengan maksud untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat serta menjadi
sumber
daya
manusia
yang
berguna,
produktif
dan
berkualitas, serta berakhlak mulia. Menghilangkan label dan stigma negatif masyarakat terhadap anak yang menghambat tumbuh kembang mereka untuk berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat. Maksud tersebut dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sehingga pada akhirnya dapat tercipta suatu pelayanan yang komprehensif dan berorientasi pada kepentingan penerima pelayanan. Tujuan pelayanan dan rehabilitasi sosial anak nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah salah satu alternatif dari sekian banyak lembaga Pemerintah maupun swasta yang memberikan pelayanan sosial
257
kepada anak yang mengalami gangguan perilaku dan emosi. Dalam Keputusan Menteri No. 59/HUK/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial ditetapkan bahwa Panti Sosial adalah Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Sosial yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, sehari-hari secara fungsional dibina oleh para Direktur terkait sesuai dengan bidang tugasnya. Tugas pokok dan fungsinya adalah memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan ketrampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan. Pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta bertujuan agar warga belajar diharapkan menguasai empat kecakapan secara komprehensif yakni kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial. Melalui pelatihan kecakapan hidup
ini
diharapkan warga belajar memiliki kemandirian untuk memasuki dunia kerja atau berusaha mandiri minimal untuk dirinya sendiri dan keluarganya serta dapat dikembangkan untuk
membuka lapangan kerja sehingga warga belajar
memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang layak. Berdasarkan hasil studi terhadap objek penelitian dan beberapa literatur yang berkenaan dengan penyelenggaraaan kecakapan hidup di PSMP Handayani
258
Jakarta, ternyata masih menghadapi berbagai masalah dalam pengembangannya. Secara mendetail permasalahan tersebut dijelaskan sebagai berikut. a.
Proses penyusunan rencana program kegiatan PSMP tidak melibatkan warga belajar secara intensif.
b.
Tidak mengadakan tes keterampilan awal warga belajar sehingga tidak diketahui keterampilan siap warga belajar.
c.
Materi-materi program pelatihan yang akan dikembangkan tidak dibuat secara terencana dan sistematis.
d.
Tidak merumuskan tujuan kegiatan/program secara eksplisit yang diarahkan untuk menumbuhkembangkan kemandirian berwirausaha warga belajar.
e.
Nara sumber teknis tidak mempersiapkan rencana pelatihan dalam bentuk tertulis baik dalam modul atau kemasan lainnya.
f.
Tidak mempersiapkan proses evaluasi program secara sistematis. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka terhadap aspekaspek pengembangan evaluasi pelatihan secara terintegrasi.
g.
Ada kecenderungan nara sumber teknis (tutor) tidak menguasai azas-azas pelatihan
dengan sistem
tutorial, baik pada tahapm perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi. h.
Nara sumber teknis tidak pernah menjelaskan tujuan pelatihan nya secara detail sehingga kurang menggugah rasa keingintahuan warga belajar.
i.
Kegiatan pelatihan dan PKH hanya bertumpu pada praktik dan penguasaan keterampilan yang berkenaan dengan keterampilan ototmotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin sehingga hanya bersifat praktik dan warga
259
belajar belum memiliki sikap kemandirian. j.
Proses pelatihan
tidak menggunakan metode pelatihan
yang terpadu.
Sebagian besar hanya bertumpu pada kegiatan praktek sehingga tidak menampakkan proses pelatihan dengan model tertentu. k.
Tidak dibuatkannya rencana evaluasi secara terpadu atau terintegrasi yang komprehensif, sehingga tolok ukur kriteria penilaiannya tidak jelas. Permasalahan tersebut di atas, akan menjadi faktor-faktor penghambat atau
kendala perkembangan PSMP
dalam menunjang pendidikan di Indonesia,
khususnya pendidikan nonformal. Berkenaan dengan hal tersebut, upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional pada jalur PLS, khususnya pada PSMP banyak bergantung kepada berbagai faktor, baik secara internal sistem PSMP maupun faktor-faktor eksternal sistem PSMP. Salah satu faktor kunci (the key factor) yang berasal dari “internal sistem " PSMP adalah pola pengembangan program dan efesiensinya terutama yang berkenaan dengan pendidikan kecakapan hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecakapan hidup warga belajar melalui model tersebut memberikan manfaat bagi upaya peningkatan pemerolehan dan peningkatan keterampilan warga belajar. Untuk memberikan penilaian atas model pelatihan kecakapan hidup
sebagai suatu altematif pendidikan luar
sekolah, perlu diapresiasi melalui kajian teoritis. Untuk kepentingan itu, efektivitas model dapat analisis dengan menggunakan pendekatan dan keterkaitan komponen pendidikan luar sekolah antara lain yaitu: masukan (input), proses (process), keluaran (output), masukan lain (other input) dan dampak (impact).
260
Melalui pendekatan andragogik yang dikembangkan dalam model pelatihan kecakapan hidup, warga belajar
setahap demi setahap terjadi perubahan orientasi pada diri
mulai bergeser. Kondisi tersebut tampak pada tingginya minat
mereka untuk belajar berbagai hal yang berkenaan dengan upaya-upaya yang sekiranya dapat mengembangkan usaha produktifnya. Perubahan sebagaimana diuraikan di atas, tidak terlepas dari peran dan posisi sumber belajar. Fasilitator dalam proses belajar aktif berbeda dengan guru dalam pengajaran secara tradisional.
Dalam
pengajaran
tradisional
seorang
guru
menyampaikan
pengetahuannya kepada murid. Sedangkan dalam proses belajar aktif, seorang fasilitator membantu kelompok (memfasilitasi) peserta pelatihan mencari dan menemukan ide-ide sendiri serta menyimpulkannya. Hasil pengamatan, peran fasilitator sudah menjalankan fungsinya sebagai pihak yang memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar sesuai prosedur yang ditetapkan dalam model yang dikembangkan. Dalam praktiknya, fasilitator memberikan bantuan kepada warga belajar untuk memecahkan masalah yang menjadi kendala dan tidak pernah mendahului dalam membuat kesimpulan. Selama proses, fasilitator senantiasa memperbaiki pandangan-pandangan yang salah pada saat yang tepat dalam proses diskusi maupun kegiatan lain selama pembelajaran berlangsung. Kehadiran fasilitator dalam proses pelatihan hidup sangat menentukan motivasi belajar peserta dan keberlangsungannya.