128
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Masyarakat Petani dari Lingkungan Pertanian 1. Deskripsi Hasil Studi Ekplorasi Studi ekplorasi bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum tentang lokasi penelitian, yang dalam penelitian ini mengambil tempat uji coba di Kabupaten Bandung. Sasaran uji coba dalam pembuatan model pelatihan adalah masyarakat petani hortikultura penggarap lahan Perhutani. Perolehan hasil dari studi ekplorasi akan sangat berpengaruh pada model konseptual yang akan dibangun dan dikembangkan. Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pembuatan sebuah model, di samping diperlukan kecermatan dalam mengadakan pendekatan, juga pelaksanaan wawancara harus benar-benar mendalam sesuai kebutuhan rancangan model itu sendiri dan dilakukan pada sumber-sumber yang relevan.
1.1. Deskripsi umum tentang Kabupaten Bandung a. Kondisi geografis. Kabupaten Bandung yang merupakan bagian dari Propinsi Jawa Barat memiliki luas 311.475,19 Ha (3.073,70 Km2). Wilayah Kabupaten Bandung merupakan suatu cekungan yang berbukit-bukit dengan ketinggian antara 600 meter terendah dan 2300 meter tertinggi. Secara geografis Kabupaten Bandung terletak diantara 6o,41’ sampai dengan 70,19’ Lintang Selatan dan 107o,22’ sampai dengan 108o,5’ Bujur Timur.
129
Dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bandung oleh Badan Perencanaan Daerah menunjukan, 31 % dari seluruh wilayah Kabupaten Bandung atau 97.907,15 Ha, merupakan kawasan hutan lindung yang terdiri dari hutan, daerah sempadan, ruang terbuka dan wilayah perairan. Wilayah Kabupaten Bandung yang terdiri atas 46 kecamatan dan 451 desa memiliki batas-batas wilayah administratif sebagai berikut : -
Sebelah Utara dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang
-
Sebelah Timur dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut
-
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur
-
Sebelah Barat dengan Kabupaten Cianjur
-
Bagian Tengah berbatasan dengan Kotamadya Bandung Jumlah penduduk kabupaten Bandung berdasarkan BPS Propinsi
Jawa barat sampai tahun 2003 mencapai 4.017.583 jiwa. Penduduk lakilaki berjumlah 2.053.675 jiwa dan perempuan 1.963.907 jiwa, sehingga rasio jenis kelaminnya mencapai 104,57 dengan rata-rata kepadatan per kilometer persegi (Km2) 1.307 jiwa.
b. Kondisi Sumberdaya Manusia Secara umum tingkat pendidikan penduduk kabupaten Bandung masih dapat dikatakan rendah. Keadaan ini dibuktikan dengan jumlah penduduk miskin yang mencapai 313.249 jiwa atau menduduki posisi 1 dari 25 kabupaten/kota yang ada. Angka partisipasi sekolah (APS), melek huruf dan buta huruf penduduk laki-laki dan perempuan menurut usia di kabupaten/kota Bandung dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut.
130
Tabel. 4.1. Angka Partisipasi Sekolah (APS), Melek Huruf dan Buta Huruf Penduduk Laki-laki dan Perempuan di Kabupaten Bandung Tahun 2003
N 0
USIA
1
7 - 12
ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH (%) 96,84
2 13 - 15
80,85
3
16 -18
42,96
4
19 -24
8,46
Laki-laki
MELEK HURUF (%) 98,66
BUTA HURUF (%) 1,34
Perempuan
97,69
2,31
Laki-laki
99,23
0,77
Perempuan
99,15
0,85
N 0
USIA
JENIS KELAMIN
1
10 +
2 10 - 44
Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat, susenas 2003. Sedangkan menurut data suseda
tahun 2003, angka Indeks
Pembanguan Manusia (IPM) di Kabupaten Bandung menunjukkan kenaikan bila dibanding tahun 1999 yang baru 94,7 %, dan kini sudah mencapai 67,5 %. Kenaikan ini ditunjang oleh adanya peningkatan komponen pendidikan, dan mampu menaikkan angka melek huruf hingga mencapai 97,5 %. Tingkat pengangguran terbuka (TPK) menurut jenis kelamin menunjukkan persentasi; laki-laki 10,54 % dan perempuan 17,15 %. Persentasi angka pengangguran di kabupaten Bandung tersebut menunjukkan masih tinggi, ini dibuktikan berdasarkan data yang diterima dari Dinas Tenaga Kerja pada tahun 2003, dari jumlah pencari kerja yang terdaftar sebanyak 6.126 orang. Persentasi penduduk usia 10 tahun keatas yang telah bekerja berdasarkan status dan jenis pekerjaan yang digeluti dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini :
131
Tabel 4.2 Persentasi Penduduk Usia 10 Tahun Keatas yang Bekerja Berdasarkan Status dan Jenis Pekerjaan di Kabupaten Bandung Tahun 2003
1
STATUS PEKERJAAN Berusaha sendiri
2
Berusaha dibantu-
NO
orang lain 3
(%)
NO
25,59
1
JENIS PEKERJAAN Tenaga professional
2
Tenaga kepemimpinan
12,62
Berusaha dibantupekerja tetap
dan ketatalaksanaan 3
4,23
0,57
Pejabat pelaksanan dan tata usaha
4,83
4
Tenaga usaha penjualan
19,62
3,93 51,02
(%)
4
Buruh/karyawan
5
Pekerja
5
Tenaga usaha jasa
keluarga/tidak
6
Tenaga usaha pertanian
23,63
7
Tenaga produksi
40,55
8
Anggota TNI
0,98
9
Lain-lain
0,82
dibayar
6,84
4,77
Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat, susenas 2003. Sedangkan kondisi kesehatan masyarakat secara umum di Kabupaten Bandung yang mengalami keluhan kesehatan sebanyak 16,15 %, yang diartikan secara rata-rata setiap 10 orang penduduk terdapat 1-2 orang yang mengalami keluhan kesehatan. Jumlah tenaga medis yang ada di Puskesmas Kabupaten Bandung: dokter umum 8 %, dokter gigi 4 %, perawat 16 %, bidan 17 %, sanitarian 5 % dan lain-lain 50 %. Sedangkan masalah kesejahteraan penduduk bila dilihat dari kondisi rumah tinggal, penggunaan air bersih dan gizi menunjukkan; rumah masyarakat yang berlantai tanah masih cukup tinggi, yaitu 98,65 %. Rumah tangga yang menggunakan fasilitas air minum sendiri atau tidak menggunakan ledeng
132
(air terlindung) masih sebesar 56,85 %. (BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2003). Persentasi keadaan gizi balita yang memiliki gizi baik ada sebanyak 75,19 %, balita yang memiliki gizi kurang 18,68 % dan gizi buruk 6,13 %. Secara umum kondisi tersebut menunjukkan 2 dari 10 balita di kabupaten bandung masih termasuk dalam kategori masih kekurangan gizi. (BPS Kabupaten Bandung tahun 2002).
c. Kondisi Sumberdaya Alam Sumberdaya alam kabupaten Bandung sangat potensial sebagai sumber pendapatan bagi pemerintah daerah, terutama dari jenis non migas. Lapangan pekerjaan yang tersedia sebagai sumber pendapatan asli daerah dan telah mampu menyerap tenaga kerja adalah; lapangan kerja sektor pertanian dengan mampu menyerap 24, 37 %, pertambangan dan penggalian 0,62 %, industri 27,17 %, listrik gas dan air 0,31 %, konstruksi 6,63 %, perdagangan 20,98 %, transportasi dan komunikasi 6,64 %, keuangan 0,76 %, jasa 12,47 %, dan lapangan kerja yang lainnya hanya 0,05 %. Secara umum sektor pertanian di tahun 2004 mengalami penurunan nilai (depresiasi) sebesar 1,12 %. Penurunan yang paling besar dialami oleh sub sektor kehutanan yang mencapai 11,80 %, sedang sektor perikanan 8,27 %, sektor peternakan 2,46 %, dan sektor tanaman bahan makanan 2,21 %. Sedangkan sektor yang mengalami pertumbuhan yaitu sektor perkebunan sebesar 6,58 %.
133
Dilihat dari peranan sektor pertanian dalam perekonomian di kabupaten Bandung secara keseluruhan, kontribusi sektor pertanian di tahun 2004 menunjukkan kenaikan sebesar 9,42 % bila dibandingkan dari tahun sebelumnya yaitu 2003 sebesar 9,40 %. Untuk lebih jelasnya tentang kontribusi sektor pertanian dapat dilihat pada tebel. 4.3 berikut : Tabel. 4.3 Kontribusi Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Berlaku Di Kabupaten Bandung Tahun 2004 SEKTOR
KONTRIBUSI 2003 (%) 2004 (%) PERTANIAN : 9,40 9,42 6,36 6,38 1. Tanaman bahan makan 2. Perkebunan 1,42 1,42 3. Peternakan 1,28 1,28 0,07 0,06 4. Kehutanan 5. Perikanan 0,27 0,28 Sumber : BPS Kabupaten Bandung 2004 Kontribusi berbagai sektor di kabupaten Bandung dalam dua tahun terakhir yaitu 2003 dan 2004 dapat dilihat pada tabel 4.4 sebagai berikut : Tabel. 4.4 Kontribusi Berbagai Sektor Atas Dasar Harga Berlaku Di Kabupaten Bandung Tahun 2003 dan 2004 SEKTOR 1. Pertanian 2. Pertambangan/Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan, Jasa Persh. 9. Jasa-jasa Sumber: BPS Kabupaten Bandung 2004.
KONTRIBUSI 2003 (%) 2004 (%) 9,40 9,42 0,73 0,73 53,73 53,33 3,49 3,48 2,44 2,51 17,43 17,57 5,10 5,16 2,20 2,27 5,48 5,53
134
Dari uraian diatas ternyata kontribusi dari sektor pertanian menduduki posisi teratas, ini membuktikan kalau sumberdaya alamnya lebih cocok untuk sektor pertanian karena selain lahannya yang subur juga curah hujan cukup baik yaitu rata-rata 1,735 mm/tahun.
1.2. Deskripsi lokasi ujicoba Kecamatan Lembang yang berpenduduk 147.986 jiwa dengan jumlah desa sebanyak 16 desa, memiliki luas wilayah 9.826,54 km2. Sedang jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia produktif berjumlah 147.986 orang dengan kriteria ; usia 0-14 tahun sebanyak 52.834 orang, usia 15-64 tahun sebanyak 89.554 orang, dan usia 65 tahun keatas 5.595 orang. Sebagian besar dari penduduk kecamatan Lembang bermata pencaharian sebagai petani sayur-sayuran dan buah-buahan diantaranya ; kubis, tomat, kentang, cabai, sawi, pisang, jeruk dan alpukat, sedangkan yang lain berprofesi sebagai karayawan, pedagang, bergerak di bidang jasa atau angkutan. Desa Suntenjaya yang dijadikan lokasi ujicoba memiliki luas wilayah 1.465.56 ha, dan luas wilayah yang dijadikan areal pertanian dan perkebunan 310 ha, pemukiman penduduk 100 ha, jalan desa 16,5 ha. Desa yang berjarak 13,5 km dari pusat kecamatan Lembang ini berada pada 1280 meter diatas permukaan laut, dan bercurah hujan rata-rata 2.027 mm pertahun dengan suhu rata-rata 20 derajat celcius. Secara geografis letak desa Suntenjaya berbatasan dengan : (1) sebelah utara dengan Kabupaten Subang, (2) sebelah selatan dengan Kecamatan
135
Cimenyan, (3) sebelah barat dengan Desa Cibodas, dan (4) Sebelah timur dengan Kecamatan Cilengkrang. Jumlah penduduk desa Suntenjaya sebanyak 6.503 jiwa, terdiri dari 3.312 laki-laki dan 3.191 perempuan. Kondisi sumberdaya manusia desa secara umum masih rendah.
Jumlah penduduk menurut tingkat
pendidikan dan mata pencaharian yang dijadikan sumber penghasilan masyarakat desa Suntenjaya dapat dilihat pada tabel 4.5 sebagai berikut : Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan dan Mata pencaharian di Desa Suntenjaya No
Tingkat Jumlah No Jenis Pendidikan Pekerjaan 1 Tamat TK 18 Orang 1 Pegawai Negeri 2 4191 Orang 2 Tamat SD Swasta 3 Tamat SLTP 542 orang 3 Pedagang 4 Tamat SLTA 365 orang 4 Tani 8 orang 5 5 Tamat D1-D3 Buruh Tani 6 Tamat S1-S3 7 orang 6 Pertukangan 7 Pensiunan 8 Jasa Sumber : Data Monografi Desa Suntenjaya Tahun 2002.
Jumlah 28 644 231 1473 992 57 36 64
orang orang orang orang orang orang orang orang
Jumlah penduduk yang sebagian besar petani adalah bertani dengan jenis tanaman sayur-sayuran, selebihnya petani buah-buahan, palawija dan perkebunan. Kegiatan perekonomian desa sebelum diberlakukan larangan untuk menggarap lahan banyak didukung dengan mata pencaharian bertani jenis tanaman hortikultura. Setiap musim panen desa selalu ramai dikunjungi para pengusaha atau juragan baik sebagai penanam modal maupun para pembeli untuk membeli atau mengambil
136
hasil panen yang di tanamnya. Luas lahan dan hasil panen dari masingmasing jenis pertanian per sekali panen dapat dilihat pada tabel 4.6 sebagai berikut : Tabel. 4.6 Luas Lahan dan Hasil Panen Tiap Jenis Tanaman No Jenis Tanaman Luas Lahan . 1. Jagung 3 Ha 2 Ketela pohon 12 Ha 3 Ketela rambat 10 Ha 4 Kubis (Kol) 39 Ha 5 Kentang 72 Ha 6 Sawi 5 Ha 7 Tomat 15 Ha 8 Buncis 25 Ha 9 Lombok (cabai) 18 Ha 10 Pisang 50 Ha 11 Jeruk 75 Ha 12 Alpukat 8 Ha 13 Kopi 14 Ha 14 Tembakau 15 Ha Sumber : Data Monografi Desa Suntenjaya.
Hasil 21 Ton 49 Ton 95 Ton 112.710 Ton 125.321 Ton 52.460 Ton 70.586 Ton 61.182 Ton 52 Ton 110.500 Ton 9 Ton 12,8 Ton 12 Ton 35 Ton
Desa Suntenjaya yang berjarak 48 kilometer dari ibukota Kabupaten Bandung (Soreang) ini memiliki sarana dan prasarana yang relatif terbatas. Sarana pendidikan hanya memiliki tiga buah bangunan SD dengan jumlah guru sebanyak 28 orang dan jumlah siswa 784 orang. Walaupun sarana penerangan seperti listrik sudah masuk sampai kedusun-dusun, namun sarana perhubungan seperti jalan hanya baru memiliki jalan kabupaten 4,5 kilometer dan jalan desa 7,5 kilometer, sedangkan jalan dusun yang menghubungkan antar kampung walaupun ada namun belum terpelihara dengan baik.
137
Lokasi ujicoba model dilakukan di Desa Suntenjaya, tepatnya di Kampung Pasir Angling RW 16.
Kampung Pasir Angling yang
memiliki dua RW dan empat RT ini, berpenduduk 670 jiwa dan memiliki jumlah kepala keluarga sebanyak 180 kepala keluarga.
1.3. Deskripsi analisis jenis usaha Kampung Pasir Angling desa Suntenjaya memiliki potensi berupa sumberdaya alam yang masih dapat dikembangkan untuk dijadikan lahan pertanian maupun usaha lain bagi masyarakat sesuai. Permasalahannya masyarakat belum mampu untuk mengembangkan dan memanfatkan potensi yang ada. Masyarakat petani hanya terbiasa melakukan kegiatan mengolah lahan Perhutani dengan tanaman sayur-sayuran seperti kubis, kentang dan tomat sebagai mata pencaharian tetap mereka. Namun setelah jenis komoditas tersebut dilarang untuk diteruskan, masyarakat kampung Pasir Angling tidak memiliki mata pencaharian tetap lagi. Hasil eksplorasi terungkap kalau masyarakat petani sebelumnya, disamping bertanam sayur mereka juga menyempatkan menanam tanaman lain seperti pisang. Hanya saja tanaman pisang merupakan tanaman sampingan walaupun cukup banyak dan mampu mendatangkan hasil. Pisang kurang diperhatikan pada saat itu, karena mereka menganggap harga jual pisang tak sebaik harga sayur-sayuran. Setelah tanaman hortikultura dengan jenis sayur-sayuran dilarang, masyarakat mengharapkan tanaman pisang dapat dikembangkan
138
disamping jenis yang lain. Alasan masyarakat karena tanaman pisang termasuk tanaman yang tetap diperbolehkan untuk dikembangkan, selain pemasarannya yang tidak sulit. juga harga jualnya cukup baik setelah sayur-sayuran. Sedangkan untuk beralih ke tanaman keras, selain terhambat oleh masalah biaya, dan produksinya yang lama juga nilai jualnya belum dapat dipastikan. Dari hasil koordinasi masyarakat petani dengan Pihak Perhutani dan Dinas Pertanian yang diwakili oleh Penyuluh Pertanian Lapangan kecamatan
Lembang,
disepakati
untuk
membudidayakan
dan
mengembangkan tanaman pisang dengan cara yang lebih baik, karena selama ini masyarakat hanya mampu membudidayakan secara tradisional. Pemilihan tanaman pisang bukan tidak beralasan, karena masyarakat yakin harga buah pisang yang tetap stabil walaupun produksinya melimpah dan mereka tahu kemana harus memasarkannya. Sisi lain limbah batang pisang yang terbuang dapat dikelola untuk dimanfaatkan menjadi pakan ternak sapi, hanya saja baru sebagian kecil mayarakat yang memiliki sapi. Kesempatan ini mereka manfaatkan dengan
mengharapkan
untuk
diberikan
bantuan
dan
pelatihan
pemeliharaan ternak sapi yang baik, sementara tenaga pelatihnya juga tersedia. Bidang peternakan ini mereka harapkan, karena selain dapat memanfaatkan
limbah
tanaman
pisang,
juga
tanaman
rumput
diperbolehkan untuk ditanam karena tidak harus mengolah tanah dan cara memanennya cukup dengan disabit. Hasil dari kotoran ternak dapat
139
mereka gunakan sebagai pupuk tanaman pisang dan rumput (rumput gajah). Pengembangan keterampilan dalam bertani pisang dan beternak sapi walaupun menjadi kebutuhan, namun masyarakat juga menyadari kalau terasa masih cukup lama untuk menikmati hasilnya, sementara tuntutan kebutuhan hidup seperti kebutuhan pokok atau pangan tidak dapat ditunda. Untuk mengatasi kebutuhan yang mendesak tersebut sesuai keinginan masyarakat, potensi sumberdaya alam dan kondisi pasar yang ada, maka disandingkan dengan pemberian pelatihan keterampilan beternak kelinci yang hasilnya relatip lebih cepat untuk dinikmati. Sementara untuk memenuhi kebutuhan harian, masyarakat diberikan pelatihan bidang jasa seperti keterampilan berjual beli, terutama untuk melakukan jual beli pisang. Keterampilan ini dapat langsung dimanfaatkan setelah selesai pelatihan, karena selain kampung Pasir Angling menghasilkan pisang ada juga desa lain diluar Pasir Angling
yang
banyak
menghasilkan
pisang
walaupun
cara
penanamannya masih dilakukan secara tradisional. Dengan demikian, sambil menunggu hasil dari usaha yang lain masyarakat dapat melakukan usaha berjual beli pisang. Pisang mereka beli dari kampung lain dengan cara memanen dan mengumpulkan sendiri, barau menjualnya kepasar. Apalagi cara memanen dan berjual beli pisang sudah mereka pelajari dan kuasai sebelumnya. Selama ini hasil pisang dari desa Suntenjaya lebih banyak dijual melalui para tengkulak yang datang langsung ke desa mereka, bahkan pembelian dilakukan dengan
140
sistem ijon atau tanaman belum tua sudah dijual. Melalui pelatihan masyarakat petani Pasir Angling akan mampu menjalankan usaha jual beli sendiri dan lebih menguntungkan, serta dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat lain untuk menjual pisang jika pisangnya sudah layak untuk dipanen. Keuntungan dari jual beli pisang akan mereka gunakan untuk menanggulangi kebutuhan hidup sehari-hari sambil menunggu hasil panen dari usaha yang lain. Uraian diatas menjadi alasan untuk melahirkan sebuah model, maka lahirlah model pelatihan keterampilan usaha terpadu bagi petani sebagai upaya alih komoditas. Pelatihan keterampilan dimaksud dilakukan sesuai hasil identifikasi kebutuhan belajar yang dilakukan kepada kesepuluh responden. Dari masing-masing responden calon peserta pelatihan yang mengharapkan pelatihan bertani pisang sebanyak lima orang, jual beli pisang dua orang, serta berternak sapi dan kelinci sebanyak tiga orang. Dalam model pelatihan keterampilan usaha terpadu ini diajarkan empat jenis keterampilan atau kegiatan yaitu; bertani pisang, beternak sapi, beternak kelinci, dan kegiatan jual beli. Dari keempat jenis keterampilan tersebut, usaha bertani pisang dan beternak sapi digolongkan ke kelompok usaha jangka panjang. Kelompok usaha jangka menengah dengan jenis usaha berternak kelinci, dan kelompok usaha jangka pendek adalah kegiatan jual beli. Dikatakan jangka pendek karena hasilnya dapat dinikmati langsung sambil menunggu hasil atau produksi dari kegiatan yang lain Dari ketiga kelompok jenis usaha ini
141
dikelola secara bersama-sama oleh sepuluh orang. Pembagian kelompok menjadi dua yang tiap kelompoknya memiliki anggota lima orang, bertujuan untuk memudahkan dalam pembagian tugas. Instansi yang telibat dalam kegiatan pelatihannya adalah Perhutani Bandung Utara, Dinas Pertanian, Balai Besar Diklat Agribisnis Hortikultura (BBDAH) bertindak sebagai pelatih dalam bidang pertanian dan peternakan, Bank Rakyat Indonesia (BRI) membantu atau memberikan materi tentang bagaimana cara mendapatkan modal. Sebagai modal awal dalam menjalankan usaha, selain berasal dari lembaga pemerintah juga dari perorangan.
2. Analisis Permasalahan Pelatihan Petani di Suntenjaya
2.1 Analisis kondisi petani hortikultura Dari hasil eksplorasi menunjukkan bahwa masalah umum yang dihadapi Desa Suntenjaya berkaitan dengan pengembangan programprogram Pendidikan Luar Sekolah (PLS), serta alasan penting yang melatarbelakangi dipilihnya Desa Suntenjaya khususnya kampung Pasir Angling adalah ; Pertama : Desa Suntenjaya merupakan sumber penghasil sayuran terbesar di Kecamatan Lembang. Lahan pertanian yang digunakan sebagai sumber penghasilan atau dijadikan usaha oleh masyarakat dengan bertanam sayuran tersebut sebagian besar milik Pemerintah yang dikelola Perum Perhutani. Sehubungan dengan dikeluarkan peraturan
142
pemerintah yang melarang warga masyarakat untuk mengolah lahan tersebut dengan jenis komoditas seperti sayur-sayuran sebagaimana yang telah mereka lakukan selama ini, masyarakat petani kini tidak memiliki mata pencaharian tetap lagi, dan hanya ada sebagian kecil masyarakat yang masih tetap dapat melanjutkan usahanya itupun bagi mereka yang tidak mengunakan lahan Perhutani. Kedua : Kampung Pasir Angling yang penduduknya berjumlah 180 kepala keluarga, dan hidupnya bergantung dari hasil mengolah lahan Perhutani, sampai saat ini belum memiliki mata pencaharian tetap lagi. Keinginan petani untuk beralih ke usaha lain sesuai yang diperbolehkan oleh pemerintah dengan jenis tanaman atau komoditas tertentu menjadi terhalang karena tidak memiliki pengetahuan, keterampilan dan biaya (masih bergantung kepada pemilik modal dari luar). Walaupun etos kerja dari masyarakat masih cukup tinggi, namun keterampilan yang mereka miliki tidak sesuai lagi dengan usaha yang akan dikembangkan, karena lahan Perhutani hanya boleh ditanamani dengan jenis tanaman keras atau tanaman lain yang tidak harus sesering mungkin mengolah tanah (tanaman semusim). Ketiga : Latar belakang pendidikan masyarakat Pasir Angling yang rata-rata hanya tamat SD atau putus sekolah SLTP, dirasakan sangat sulit untuk mampu bersaing bila harus beralih profesi apalagi bila tidak diberikan bantuan oleh pihak lain. Dari hasil pengamatan dan informasi yang diberikan masyarakat pasca diberlakukan larangan untuk
143
menggarap, belum ada pihak lain yang memberikan bantuan dalam mengatasi permasalahan yang sedang mereka hadapi. Sedangkan untuk berpindah lokasi dalam melanjutkan usaha pertaniannya, masyarakat petani tidak memiliki lahan . Rumah sebagai tempat tinggal juga sebagian masih menempati lahan milik pemerintah yang dikelola Perum Perhutani. Untuk mengurangi beban yang dirasakan masyarakat dalam memperoleh penghasilan, sebagian masyarakat bekerja serabutan, seperti menjadi buruh tani atau kuli cangkul di petani kampung lain yang tidak menggunakan lahan milik Perhutani. Selebihnya ada yang berternak sapi dengan sistim bagi hasil dan tukang ojek cadangan di desa atau menggunakan motor orang lain, karena mereka tidak memiliki motor sendiri. Keempat : Kampung Pasir Angling merupakan kampung yang terhitung paling miskin diantara sepuluh kampung yang ada di Desa Suntenjaya. Kampung ini 98 % mengharapkan hasil pendapatan dari hasil pengolahan lahan Perhutani, dan hanya 2 % yang mengolah lahan diluar milik Perhutani (data monografi desa Suntenjaya). Sedangkan lembaga atau organisasi pendukung yang diharapkan dapat mendukung keberdayaan ekonomi masyarakat belum tersedia. Secara spesifik hasil analisis tentang penghasilan rata-rata petani hortikultura yang dijadikan reponden dalam penelitian ini, baik sebelum maupun sesudah diberlakukan larangan (sebelum diberikan pelatihan keterampilan usaha terpadu) dapat dilihat dalam tabel 4.7 berikut:
144
Tabel 4.7 Penghasilan Rata-Rata Peserta Pelatihan Sebelum Beralih Komoditas
No
Nama
Usia
L/P
1. Oleh 40 Th L 37 Th 2. Otang L 3. Enjang 38 Th L 4. Aep 34 Th L 5. Asep 25 Th L 6. Aang 26 Th L 39 Th 7. Awan L 31 Th 8. Tato L 23 Th 9. L Alit 27 Th 10. L Momon Sumber : Diolah dari hasil identifikasi
Tingkat Pendidi kan SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD
Penghasilan rata-rata sekarang Rp. 100.000,Rp. 100.000,Rp. 80.000,Rp. 100.000,Rp. 80.000,Rp. 80.000,Rp. 100.000,Rp. 100.000,Rp. 80.000,Rp. 100.000,-
Penghasilan rata-rata sebelumnya Rp. 500.000,Rp. 600.000,Rp. 450.000,Rp. 600.000,Rp. 400.000,Rp. 400.000,Rp. 500.000,Rp. 600.000,Rp. 400.000,Rp. 500.000,-
Dari hasil analisis yang dilakukan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat petani
hortikultutra
kampung Pasir Angling selain
penghasilannya yang masih rendah juga masih sulit untuk berkembang. Dengan masih adanya beberapa faktor pendukung yang dapat dimanfaatkan
untuk
memberdayakan
masyarakat
petani,
maka
permasalahan ini masih memungkinkan untuk diatasi. Faktor-faktor pendukung tersebut adalah dengan masih ditemukan beberapa instansi terkait di Kabupaten Bandung yang menyatakan siap untuk membantu, seperti: Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Balai Besar Diklat Agrobisnis Hortikultura (BBDAH) dan Balai Latihan Kerja Pertanian (BLKP).
145
2.2. Analisis kebutuhan model pelatihan keterampilan Setelah diketahui kondisi masyarakat petani penggarap lahan Perhutani dan lingkungan pertanian di desa Suntenjaya, langkah selanjutnya dilakukan pemberdayaan kepada masyarakat petani melalui pelatihan. Kegiatan pelatihan diperlukan karena kemampuan yang dimiliki petani saat ini terutama untuk menemukan dan menjalankan usaha belum berkembang. Keterampilan yang dimiliki hanya pada bertani jenis sayur-sayuran dan belum mampu beralih ke jenis komoditas lain. Setelah keterampilan bertani sayur-sayuran yang dijadikan sebagai sumber usaha masyarakat dilarang, kini masyarakat penggarap lahan Perhutani lebih banyak menganggur. Berdasarkan hasil ekplorasi, juga ditemukan kalau model pelatihan yang selama ini dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintahan atau lembaga kemasyarakatan belum mampu menyentuh keseluruh lapisan masyarakat.
Sebagaimana
yang dialami masyarakat Suntenjaya,
khususnya bagi petani penggarap di kampung Pasir Angling yang semenjak diberlakukan larangan untuk menggarap lahan dengan jenis tanaman sayur-sayuran, belum pernah menerima pelatihan lain. Dapat kita maklumi bersama kalau permasalahan pemberdayaan masyarakat terutama yang berhubungan dengan kemiskinan
menjadi sangat
kompleks, karena tidak cukup hanya ditangani oleh satu instansi atau lembaga saja. Untuk itu diperlukan kerjasama dari berbagai pihak seperti lembaga pemerintah, swasta, tokoh masyarakat, serta dari masyarakat
146
tani itu sendiri, khususnya individu atau kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program pelatihan. Keberadaan program pelatihan sebagai pemberdayaan masyarakat, terutama yang bertujuan untuk memperbaiki penghasilan menjadi sangat penting. Program pelatihan atau melalui pembelajaran keterampilan yang diberikan, merupakan salah satu bentuk tindakan yang dapat memberdayakan masyarakat dalam mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi. Pernyataan ini menjadi salah satu alasan pertimbangan tentang perlunya keterlibatan dari berbagai pihak dalam pelaksanaan program pelatihan. Dari hasil analisis kebutuhan pelatihan keterampilan bagi petani penggarap lahan Perhutani di Desa Suntenjaya Kecamatan Lembang, selanjutnya akan dikemukakan rancangan model pelatihan keterampilan usaha terpadu sebagai upaya alih komoditas. Melalui pelatihan keterampilan usaha terpadu, masyarakat petani penggarap akan memiliki peluang untuk mengembangkan kemampuan keterampilannya sehingga dapat dijadikan sebagai sumber usaha baru. Di samping adanya dukungan dari sumberdaya yang ada, juga jenis keterampilan yang dikembangkan masih memiliki peluang pasar yang luas. Arah yang dituju dalam perencanaan dan pelaksanaan pelatihan keterampilan usaha terpadu adalah untuk mendorong dan menciptakan suatu situasi yang memungkinkan bagi masyarakat untuk berkembang. Kesempatan berkembang yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan
147
pengetahuan,
keterampilan dan sikap masyarakat dalam menjalankan
usaha, yaitu dari mulai mengolah, memelihara, memanen dan memasarkan hasil.
2.3. Analisis fasilitator dan kemitraan usaha Proses kegiatan pelatihan tidak terlepas dari pembelajaran, demikian juga sebaliknya. Kegiatan tersebut harus saling melengkapi atau saling mendukung, karena belajar saja tanpa latihan akan sulit untuk membuktikan kebenarannya. Dari uraian tersebut, jelas bahwa dalam proses pembelajaran dan pelatihan, terutama dalam seting PLS tidak terlepas dari adanya peranan seorang fasilitator. Dalam pelatihan keterampilan usaha terpadu, khususnya bidang pertanian, orang yang berperan sebagai fasilitator sekaligus sebagai sumber belajar maupun mitra kerja adalah instruktur pertanian atau Penyuluh Pertanian Lapangan, maupun masyarakat petani maju lainnya. Untuk
meningkatkan
partisipasi
masyarakat
petani
dalam
kelompok belajar, maka seorang fasilitator tetap memerlukan bentuk model yang tepat sehingga proses pembelajaran benar-benar berlangsung efektif. Dalam menentukan sebuah model, tidak semua Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang selalu bertindak sebagai fasilitator mengetahui model yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Apalagi kebanyakan tugas yang dijalankan penyuluh pertanian lapangan lebih hanya sekedar melaksanakan tugas atau
148
kewajibannya sebagai pegawai negeri. Di samping itu penyuluh pertanian lapangan yang seharusnya lebih dekat dengan petani terutama kehadirannya dilapangan, belum dapat terpenuhi. Sehingga tidak jarang kita temui di lapangan program yang dijalankan lebih banyak bersifat top-down atau datang dari penyuluh bukan dari petani. PPL yang seharusnya menjadi agen perubahan (change-agent), masih belum dapat memberikan perubahan yang berarti dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Melihat kondisi PPL yang dianggap dalam melaksanakan tugasnya belum sesuai dengan keinginan masyarakat, maka diperlukan suatu model pembinaan secara terpadu. Dengan keterpaduan dari berbagai elemen dalam melaksanakan pembinaan masyarakat, kekurangan yang selama ini dirasakan masyarakat petani akan teratasi. Keterpaduan bukan saja hanya ditunjukkan dengan kerjasama dari tim fasilitator dalam melaksanakan program pada jenis pelatihan keterampilan tertentu saja, akan tetapi mampu mengembangkan dan memadukan beberapa jenis keterampilan. Pengembangan jenis keterampilan tentunya didukung oleh potensi sumberdaya yang ada, yang disamping sesuai dengan kebutuhan petani juga memiliki hubungan dengan jenis keterampilan sebelumnya. Permasalahan tentu tidak akan selesai hanya sampai disini, karena masih ada permasalahan lain yang menghadang didepan, yaitu masalah modal usaha dan pemasaran. Untuk itu diperlukan mitra usaha yang bukan saja hanya dalam bentuk bantuan modal usaha, tetapi sampai
149
kepada pemasaran produk. Sebelum sesuatu jenis keterampilan dikembangkan, sebaiknya terlebih dahulu harus dilihat apakah produk yang dihasilkan akan laku terjual atau sudah sesuai dengan permintaan pasar, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Dengan demikian keterpaduan diperlukan bukan saja dari segi tim fasilitator dalam memberikan pelatihan kepada masyarakat, melainkan sampai kepada pengembangan jenis keterampilan dan sampai ke pemasaran. Kegiatan ini dimaksudkan agar setelah kegiatan pelatihan selesai, tidak akan berhenti sampai disitu, melainkan masyarakat yang ditinggalkan mampu melaksanakan usahanya sendiri karena kebutuhan jaringan sudah terbentuk. Di samping jaringan kemitraan, perlu juga dilakukan program pendampingan. Dalam pelatihan ini selain PPL atau instruktur pertanian ikut berperan sebagai pendamping, juga ditunjuk tokoh masyarakat setempat sebagai pendamping. Alasan ditunjukknya tokoh masyarakat setempat, karena selain dianggap lebih dekat dengan masyarakat juga masyarakat petani sendiri merasa tidak terlau canggung untuk berhubungan dengannya. Dengan
berasaskan
kepada
kondisi
kelompok,
metoda
pembelajaran dan pelatihan, kondisi fasilitator dan pendamping, maka efektifitas proses pelatihan melalui model pelatihan keterampilan usaha terpadu ini sangat sesuai untuk menjadikan petani menjadi lebih berdaya dan mampu mandiri.
150
B. Pengembangan Model Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu. 1. Penyusunan model konseptual Bogdonis
dan
Salisburry
dalam
Hidayanto
(1998:105)
mengungkapkan; model pengembangan dalam pembelajaran dan pelatihan terdiri dari tiga model :1). Model prosedural, yaitu disebut juga dengan model yang bersifat deskriptif, dengan menampilkan langkah-langkah yang harus diikuti dalam menghasilkan sebuah produk. 2) Model konseptual, yaitu model yang bersifat analisis terhadap komponenkomponen produk yang akan dikembangkan serta keterkaitan antar komponen. 3) Model teoretik, yaitu model yang menunjukan hubungan perubahan antar peristiwa. Di dalam model pelatihan keterampilan usaha terpadu ini menggunakan model pengembangan pembelajaran yang mengikuti model konseptual,
yaitu
dengan
komponen-komponen
yang
melakukan
analisis
deskripsi
dijadikan
sebagai
komponen
terhadap model
pembelajaran. Rancangan model konseptual merupakan kerangka atau dasar-dasar dari sebuah bangun model yang hendak disusun ke dalam model yang lebih operasional untuk di ujicobakan. Pada satu pihak pelaksanaan ujicoba dimaksud berupa
pengelolaan program pelatihan
keterampilan usaha terpadu bagi petani hortikultura sebagai upaya alih komoditas di desa Suntenjaya Kecamatan Lembang. Sedang di pihak lain berguna untuk memperoleh temuan akademik bagi pengembangan keilmuan pendidikan luar sekolah.
151
Masyarakat desa Suntenjaya sebagai kelompok sasaran ujicoba, selama menjadi petani penggarap lahan Perhutani baru sekali menerima pelatihan, yaitu pelatihan membuat keripik pisang dan singkong yang diselenggarakan oleh pihak Balai Latihan Kerja Pertanian (BLKP) Lembang, tepatnya
di tahun 2001. Kegiatan inipun baru menyentuh
sebagian kecil ibu-ibu rumah tangga, sedangkan bagi para kepala keluarga sebagai petani sayur belum pernah menerima bantuan dalam bentuk apapun. Sampai akhirnya mereka dilarang untuk menggarap lahan dengan komoditas tersebut. Pelatihan keterampilan usaha terpadu yang di rancang terdiri dari empat jenis keterampilan ini merupakan upaya untuk menjawab permasalahan, dan sebagai upaya memenuhi kebutuhan masyarakat. Keempat jenisnya dikemas ke dalam suatu program pelatihan yang hasilnya untuk dijadikan usaha bersama atau kelompok. Tiap jenis keterampilan biasanya dilatihkan secara terpisah, namun pada penelitian ini dilaksanakan dalam satu paket pelatihan. Kegiatan ini dimaksudkan, selain
melihat
adanya
keterhubungan
dari
masing-masing
jenis
keterampilan tersebut, juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan petani dari mulai yang dirasa sangat mendesak atau dalam jangka pendek, menengah
maupun
jangka
panjang.
Dengan
demikian
secara
berkesinambungan hasil pelatihan yang diberikan akan dapat dinikmati, dan petani hortikultura yang saat ini tidak memiliki mata pencaharian tetap lagi akan segera mendapatkan kembali pekerjaannya.
152
Dalam pelaksanaan pelatihan keterampilan usaha terpadu selain diperlukan pengelolaan yang baik, juga perlu didukung berbagai faktor seperti; kemampuan tenaga pengajar, kurikulum yang tepat, sumbersumber (alam, manusia, dan organisasi/budaya), sarana/prasarana, peluang pasar, dan sumber biaya (permodalan). Keberhasilan dari model pelatihan keterampilan usaha terpadu tidak saja hanya pada meningkatnya kemampuan peserta dan memiliki usaha baru, akan
tetapi melalui
keterlibatan peserta dalam setiap aktivitas di pelatihan dapat membantu peserta untuk; (1)
menilai sikap dan perilaku
diri sendiri, (2)
memecahkan masalah yang dihadapi, serta (3) mampu merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. (Joice, 1992 : 70). Rancangan model pelatihan yang dikembangkan dan dilatihkan kepada masyarakat petani penggarap mencakup beberapa hal ; Pertama, deskripsi model pelatihan, menggambarkan konsep, tujuan, ciri-ciri pelatihan keterampilan usaha terpadu, model beroperasi dan yang menjadi perbedaan dengan model lainnya terutama sebagai satuan PLS. Kedua, memaparkan kondisi objektif masyarakat Suntenjaya dan potensi sumberdaya yang ada sebagai pendukung terselenggaranya pelatihan. Ketiga, dalam upaya menemukan kemanfaatan dari model pelatihan yang dikembangkan, perlu dipilih jenis keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebagai warga belajar. Dalam hal ini
153
ditemukan empat jenis keterampilan, yaitu pembudidayaan pisang, beternak sapi, beternak kelinci dan kegiatan berjual beli. Keempat, perancangan program dan bahan belajar serta langkahlangkah yang dilakukan dalam pelatihan, seperti; proses, metode pembelajaran
dalam
pelatihan,
iklim
belajarnya,
dan
lain-lain.
dikembangkan dengan memperhatikan kelompok sasaran. Kelima, proses pembelajaran dalam pelatihan menggambarkan bagaimana memproses antara input dan instrumental input dalam pelatihan untuk menghasilkan output yang disepakati bersama. Peran dan tugastugas fasilitator, kelompok sasaran, dan nara sumber teknis dikembangkan ke dalam aktivitas pelatihan. Pengorganisasian peserta dan bahan belajar, penggunaan
metode
dalam
pembelajaran
dan
pelatihan
serta
pembimbingan, semuanya digambarkan menjadi bagian yang terintegrasi. Keenam, pemantauan dan penilaian hasil dari pembelajaran dan pelatihan, dilakukan untuk melihat perkembangan kemajuan kelompok sasaran
sebagai
warga
belajar
dalam
menguasai
pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang telah dibelajarkan. Dari rancangan model yang diuraikan tersebut, langkah selanjutnya peneliti menyusun model konseptual. Dalam melakukan penyusunan model konseptual, tetap akan memperhatikan beberapa hal yang tercakup dalam rancangan model. Secara garis besar model konseptual pelatihan keterampilan usaha terpadu yang disusun menganut model tiga langkah, yaitu :
154
1. Perencanaan, selain merencanakan sumber belajar, kurikulum, materi, sarana dan prasarana pelatihan, sebelum pelaksanaan pelatihan juga perlu diperhatikan persiapan pembelajaran, seperti: a) tujuan apa yang ingin dicapai dari penyelenggaraan pelatihan setelah diketahui kondisi dan permasalahan yang dihadapi masyarakat, b) menentukan mata pelajaran sesuai dengan jenis keterampilan yang akan dikembangkan, c) menentukan kelompok sasaran pelatihan yang beranggotakan sejumlah peserta sesuai
persyaratan yang telah ditetapkan, d)
merumuskan tujuan pelatihan sesuai dengan Tujuan Instruksional Umum maupun Khusus yang ingin dicapai. 2. Pelaksanaan, dalam tahap pelaksanaan dan observasi, yang juga perlu diperhatikan sesuai perencanaan, adalah: a) melaksanakan tes awal, yaitu dengan memberikan sejumlah pertanyaan melalui lembaran tertulis dan melalui pengamatan, b) pengembangan materi pelajaran dan praktek, kegiatan ini dilakukan setelah memperoleh hasil tes awal dan setelah mengetahuai hasil dari ujicoba yang dilakukan pada tahap pertama. Kegiatan ini bertujuan untuk memperbaiki model konseptual awal, terutama bila dianggap masih memiliki kekurangan, c) Pengembangan strategi pembelajaran adalah suatu strategi untuk menentukan langkah-langkah penyampaian materi sesuai jenis usaha yang akan dikembangkan. 3. Evaluasi, tahap evaluasi dilakukan sesuai rancangan dan persiapan model yang ditetapkan. Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengetahui
155
bagaimana proses dan hasil dari kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan melalui tes secara tertulis dan melalui kegiatan pengamatan. Secara garis besar, model pelatihan keterampilan usaha terpadu bagi petani sebagai upaya alih komoditas, dikembangkan kedalam tiga tahapan. Masing-masing tahapan dalam model tersebut dapat dilihat pada gambar 4.1. berikut:
PERENCANAAN
EVALUASI
PELAKSANAAN
Gambar 4.1. Tahapan model pelatihan keterampilan usaha terpadu
2. Validasi model konseptual Dalam melakukan validasi model konseptual, selain kepada promotor, ko-promotor dan anggota, juga kepada nara sumber dan praktisi pelatihan. Aspek-aspek yang divalidasi oleh para ahli tersebut meliputi : a. Validasi isi (content validity), seperti : (1) penetapan fokus model pelatihan keterampilan usaha terpadu, (2) penetapan metode dan teknik, (3) penetapan isntrumen. b. Validasi struktur (construct validity), seperti : (1) penetapan alur proses pelatihan, (2) penyajian bagan dan gambar.
156
Kegiatan validasi dilakukan pada dua tahapan, yaitu teoritik dan empirik yang dapat diuraikan sebagai berikut : Validasi teoritik ; dapat ditempuh dengan beberapa cara, seperti : a. Berdiskusi dengan ahli pada bidang yang dikaji yang berasal dari PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, yang dilanjutkan ke Kesatuan Pemangku Hutan Bandung Utara,
Dinas Pertanian
Kabupaten Bandung, dan Balai Besar Diklat Agrobisnis Hortikultura (BBDAH) dan Balai Latihan Kereja Pertanian (BLKP) Lembang. b. Berdiskusi dan berkonsultasi dengan ahli pendidikan luar sekolah, terutama pada model pelatihan dan pembelajaran dengan para pembimbing dan lembaga/instansi terkait seperti; Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah (BPPLS) di Lembang c. Berdiskusi dengan para praktisi pelatihan, seperti; Para Pamong Belajar BPPLS, Instruktur BBDAH, Instruktur BLKP, dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kabupaten Bandung, serta tanggapan dari para peserta pelatihan mengenai konsep yang ditawarkan. Validasi empirik ; dilakukan melalui kegiatan ujicoba model dalam kancah lapangan. Selain kegiatan validasi teoritik dan empirik, peneliti juga melakukan penelaahan kembali teori-teori, konsep-konsep yang relevan dengan model pelatihan keterampilan usaha terpadu dan model-model pelatihan yang telah dilakukan.
157
3. Revisi model konseptual. Sebelum model konseptual yang divalidasi diimplementasikan, terlebih dahulu dilakukan revisi model. Revisi dilakukan berdasarkan intepretasi dan penilaian para ahli dan praktisi, serta tanggapan dari peserta pelatihan. Hasil analisis dari para ahli dan praktisi ada beberapa hal yang perlu direvisi dalam model konseptual, yaitu : a. Dari pembimbing yang dilakukan pada
saat-saat bimbingan
disarankan agar : (1) selain model perlu dibuat dalam bentuk gambar, juga fokus penelitian model pelatihan keterampilan usaha terpadu harus jelas, (2) penetapan dan penggunaan metode serta langkahlangkah dalam penelitiannya harus sistematis, (3) Penggunaan bahasa dan pembuatan instrumen diupayakan sesederhana mungkin sesuai target kelompok sasaran. b. Dari para ahli di luar pembimbing yaitu oleh Idochi Anwar (dosen PPS UPI) yang dilakukan dirumah pada tanggal 7 Juni 2005, dan dengan Buchari Alma (dosen FIPS UPI) yang dilakukan di rumah dan di unit usaha pada tanggal, 20 dan 25 Juni 2005. Secara umum disarankan; agar model yang dirancang selain mudah untuk dilaksanakan dan dipahami peserta, juga harus mampu memberikan motivasi kepada peserta untuk menjalankan usaha. Di samping itu selain perlu diusahakan adanya keterlibatan orang lain yang berperan sebagai pendamping, baik yang berasal dari masyarakat setempat maupun dari luar, juga perlu dicarikan mitra usaha.
158
c. Dari praktisi yaitu dengan BBDAH yang diwakili oleh Abdurrahman di kantor BBDAH Lembang, dan dengan pihak BLKP yang diwakili oleh Parman di kantor BLKP Lembang. Pertemuan dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 2005. Pada prinsipnya mereka menyatakan kalau model layak untuk diujicobakan, dan disarankan agar penerapan model diupayakan lebih banyak materi praktek dari pada materi teori. d. Dari praktisi atau dengan pihak BPPLS Jayagiri yang diwakili oleh : Ade Kusmiadi, Safuri, Dadang, Dadan dan Hidayat, pada tanggal : 8 dan 11 Juli 2005, di kantor BPPLS Lembang. Secara umum mereka menyatakan kalau model layak untuk dilakukan ujicoba, hanya saja sebelum pelaksanaan pelatihan disarankan agar terlebih dahulu dilakukan musyawarah atau sosialisasi baik dengan tokoh masyarakat setempat maupun kepada peserta pelatihan.
Revisi dari para ahli dan praktisi terhadap model konseptual secara garis besar memberikan penekanan kepada empat hal, yaitu : a. Isi model, khususnya relevansinya dengan kebutuhan masyarakat. b. Kejelasan kerangka berpikir atau alur penelitian (isi dan sistematika) c. Metode yang digunakan, dan d. Proses pengelolaan pelatihan dan pembelajaran. Sementara dari warga belajar, menganggap positif karena konsep yang ditawarkan sangat sesuai dengan kebutuhan mereka. Di samping itu komponen-komponen dari model pembelajaran yang ditawarkan dalam pelatihan yang menganut model pembelajaran partisipatif, juga dianggap
159
sangat sesuai dan diperlukan dalam upaya memberdayakan
petani.
Sungguhpun demikian, berdasarkan wawancara dengan warga belajar diperlukan penambahan waktu untuk kegiatan diskusi dalam kelompok dengan sumber belajar. Berdasarkan beberapa masukan yang diberikan para pembimbing, para ahli diluar pembimbing dan para praktisi pelatihan PLS, maka dihasilkan sebuah model konseptual yang siap untuk diimplementasikan. Hasil dari model konseptual tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2 sebagai berikut:
Revisi Program
Permasalahan
Evaluasi
Pelaksanaan Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu Analisis Kebutuhan Pelatihan
Kurikulum
Bertani pisang
Sarana/ prasarana
Pengelolaan
Beternak sapi Usaha Terpadu
Belajar dan Berusaha Perencanaan Pelatihan
Beternak kelinci Sumbersumber
Berjual beli Peluang pasar
Biaya/ modal
Karakteristik Masyarakat
Gambar 4.2 : Model Awal Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu.
160
161
C. Implementasi Model 1. Dasar implementasi model pelatihan keterampilan Setelah dilakukan analisis kebutuhan, dan sebelum model pelatihan diujicobakan atau diimplentasikan, terlebih dahulu dilakukan sosialisasi gagasan. Dalam kegiatan sosialisasi yang perlu disampikan adalah model pelatihan keterampilan kepada pihak terkait seperti; PT. Perhutani, Dinas Pertanian dan para sumber belajar dengan teknik Group Discussion process (GDP). Dengan teknik ini diharapkan dapat memberikan masukan dan dukungan dalam rangka menyusun kerangka model. Dalam teknik GDP akan terjadi Brainstorming, yang diharapkan dapat menemukan kesepakatan dan kesamaan pemahaman yang meliputi ; (1) ide atau gagasan tentang model pelatihan keterampilan, (2) perangkat sarana dan prasarana pelaksanaan model, (3) komponen-komponen gagasan pelaksanaan model pelatihan keterampilan seperti diantaranya ; (a) fokus pelatihan yang dikembangkan, dan (b) langkah-langkah dan isntrumen implementasi model pelatihan, dan (4) terminologi atau peristilahan yang digunakan dalam pelaksanaan model pelatihan keterampilan usaha terpadu. Setelah gagasan disosialisasikan yang sekaligus dalam rangka validasi empiris (lapangan), diperoleh hasil adanya kesejajaran gagasan dan ternyata masih terdapat beberapa koreksi dan pelurusan dalam beberapa peristilahan diantaranya seperti; istilah terpadu yang difokuskan pada jenis keterampilan yang akan dijadikan usaha. Demikian pula pada tahap validasi ahli yang menyarankan perlunya dilakukan pelurusan dari beberapa landasan teoritis.
162
Dalam model pelatihan keterampilan usaha terpadu ini, berhasil mengimplementasikan beberapa jenis keterampilan sesuai kebutuhan dengan mempertimbangkan beberapa aspek sebagai berikut : a. Dalam batas minimal, diimplentasikannya jenis keterampilan ini sehubungan dengan tersedianya potensi dan daya dukung baik secara internal (motivasi) maupun eksternal (sarana/prasarana) di lingkungan pertanian. b. Tersedianya jaringan untuk kerjasama atau kemitraan dalam menjalankan kegiatan usaha terpadu seperti; rangsangan modal awal dari Lembaga BPLS dan dari sumber belajar BBDAH Lembang. Pihak BRI Unit Kecamatan Lembang juga menyediakan pinjaman modal, dan jaringan pemasaran hasil melalui kegiatan kelompok. c. Pelatihan keterampilan yang dikembangkan memiliki prospek yang sangat baik dan memungkinkan untuk diaplikasikan, sehingga dapat dijadikan bekal hidup atau sebagai pengganti keterampilan sebelumnya yang telah dilarang. d. Pelatihan keterampilan yang dikembangkan memiliki nilai inovatif yang relevan dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat, serta adanya dukungan sumberdaya manusia yang memadai. e. Pelatihan keterampilan yang dikembangkan memiliki nilai-nilai ekonomis yang khas dan sesuai dengan karakteristik lingkungan masyarakat setempat.
163
2. Langkah-langkah implementasi model Kegiatan implementasi (uji coba) model pelatihan keterampilan usaha terpadu dilakukan melalui dua tahap. Tahap I (Pertama), fasilitator/tutor yang didampingi peneliti lebih aktif dalam memberikan atau menyampaikan materi baik teori maupun praktek kepada warga belajar selama berlangsungnya proses pelatihan. Kegiatan ini dilakukan selain untuk mengetahui apakah dalam penerapannya sudah sesuai dengan konsep yang telah dihasilkan, juga untuk melihat kemungkinan adanya hambatan yang dihadapi. Tahap II (Kedua), fasilitator/tutor mengurangi perannya dalam kegiatan proses
pelatihan. Fasilitator/tutor yang tetap didampingi peneliti
lebih banyak melakukan pengamatan atau sebagai pemantau dan hanya sesekali memberikan arahan bila dianggap masih ada kegiatan dari peserta yang masih kurang sesuai. Pada tahap kedua ini lebih diarahkan agar setiap peserta memiliki pengalaman langsung dalam melakukan setiap kegiataan.
2.1. Uji Coba Tahap Pertama Langkah-langkah pelaksanaan uji coba tahap pertama secara garis besar dilakukan melalui tiga tahap, yaitu : 1) Tahap perencanaan uji coba model a) Identifikasi kebutuhan, potensi dan jenis keterampilan yang akan diujicobakan., yaitu dengan melakukan konsolidasi antara peneliti dengan tokoh masyarakat kampung Pasir Angling, tutor dan calon peserta pelatihan untuk pelaksanaan uji coba.
164
b) Menetapkan sasaran uji coba, yaitu merencanakan jumlah peserta yang akan diberikan uji coba. Sasaran ujicoba adalah 10 orang masyarakat dari kampung Pasir Angling yang ditunjuk dan dipilih berdasarkan kesepakatan bersama dengan tokoh masyarakat (RW setempat dan Kepala Desa Suntenjaya) c) Merancang instrumen uji coba, yaitu ; mempersiapkan alat penguji pada saat ujicoba. Instrumen uji coba yang dipersiapkan selain menggunakan alat tes juga menggunakan lembaran observasi. Kegiatan observasi dilakukan untuk melihat penguasaan awal peserta terhadap jenis keterampilan yang akan dikembangkan. d) Menetapkan sumber belajar, yaitu mempersiapkan calon tutor yang sesuai dengan jenis keterampilan yang akan dikembangkan. Calon tutor untuk uji coba tahap pertama hanya diambil dari Balai Besar Diklat Agrobisnis Hortikultura (BBDAH) Lembang, Perhutani, BRI dan instansi terkait lainnya. e) Menyusun materi pelatihan, peneliti bersama tutor mempersiapkan materi yang akan diuji cobakan. Materi tersebut meliputi praktek cara pengembangbiakan tanaman pisang dari bonggol dan anakan, cara memilih bibit sapi dan kelinci, serta cara berjual beli. Proses kegiatan dilakukan secara langsung, ditambah dengan pengujian bahan belajar, seperti dalam sisi keterbacaan dan bentuknya.
165
f) Menetapkan sarana prasarana, yaitu mempersiapkan bahan-bahan yang akan digunakan untuk kegiatan praktek, seperti: alat-alat pertanian dan lokasi untuk praktek. g) Menyusun jadwal kegiatan bersama tutor, yaitu mempersiapkan waktu dan materi pelajaran yang akan diujicobakan. Kegiatan uji coba dilakukan selama 4 hari (tanggal,18, 19, 20 dan 21 Juli 2005). h) Menetapkan tempat (lahan) uji coba, yaitu mempersiapkan lokasi yang akan dijadikan tempat prkatek. Tempat prakteknya dengan menggunakan lahan pertanian milik warga masyarakat setempat.
2) Tahap pelaksanaan uji coba model a) Pemberian pre-test; dilakukan secara tertulis, observasi dan dengan wawancara. Materi yang diuji cobakan berupa kegiatan praktek, dan aspek yang diwawancarakan berkisar kemampuan awal atau yang telah dikuasai seperti: cara pengembangbiakan tanaman pisang dari bonggol dan anakan, pengetahuan tentang kemampuan untuk memilih bibit atau bakalan sapi dan kelinci yang baik untuk dikembangkan dan cara pemeliharaannya. Materi pre-test yang diberikan tediri dari materi pengetahuan sebanyak 25 item, yang terdiri dari pengetahuan bertani pisang dan berjual beli pisang 12 item, pengetahuan beternak sapi dan kelinci serta melakukan jual beli sebanyak 13 item. Materi keterampilan sebanyak 25 item yang terdiri dari pengetahuan tentang teknik pengembangbiakan dan
166
pemeliharaan tanaman pisang 13 item, dan teknik pemilihan bibit atau bakalan, pemeliharaan sapi sampai pemasaran hasil sebanyak 12 item. Sedangkan materi tentang sikap ada 10 item yang terdiri dari berbagai pernyataan seperti seputar peraturan pemerintah mengenai penggunaan lahan, mengenai perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pelatihan. Pemberian tes tertulis hanya untuk materi pengetahuan dan sikap, sedang untuk keterampilan dilakukan dengan wawancara dan diperkuat melalui pengamatan. Penilaian untuk kebenaran dari hasil tes, diukur menurut ukuran kebenaran yang diberlakukan oleh dinas pertanian dan peternakan. Penilaian pengetahuan dilakukan dengan menggunakan pilihan berganda. Setiap item yang benar diberi skor 1 dan salah dengan skor 0, serta benar semua diberi skor 25 (100 %). Keterampilan dan sikap penilaiannya menggunakan skala likert yang setiap itemnya diberi skor tertinggi dengan nilai 4 dan terendah 1. Jadi untuk keterampilan dengan jumlah soal sebanyak 25 item, diberi skor tertinggi 100 (100 %) dan skor terendah 25 (25 %). Demikian juga tentang sikap dengan jumlah soal 10 item, untuk skor tertinggi 40 (100 %) dan terendah 10 (25 %). Untuk melihat tingkat perolehan nilai dari masing-masing
peserta dibuat prosentasi (%), yang
dilakukan dengan cara membagi jumlah nilai yang diperoleh dengan jumlah soal dikali 100 %. Jumlah skor dari hasil pre-test dapat dilihat dalam tabel 4.8 berikut:
167
Tabel :4.8 Hasil Pre Test Sebelum Uji Coba Tahap I No
Inisial
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ol. Ot En Ae As Aa An Ta Al Mo Jumlah Rata-rata
Pengetahuan 13 13 12 14 14 14 15 14 12 14 135 13,5
% 52 52 48 56 56 56 60 56 48 56 540 54
Jumlah Skor Keterampilan % 37 37 36 36 40 40 39 39 39 39 38 38 42 42 41 41 37 37 38 38 387 387 38,7 38,7
Sikap 25 25 26 25 30 25 29 28 27 26 266 26,6
% 62,5 62,5 65 62,5 75 62,5 72,5 70 67,5 65 665 66,5
b) Pelaksanaan uji coba pelatihan dan pengujian bahan belajar. Sebelum peserta mempraktekkan secara langsung materi yang diberikan pada saat uji coba, terlebih dahulu tutor menjelaskan dan mempraktekkan cara pengembangbiakan tanaman pisang dari bonggol dan anakan. Langkah selanjutnya fasilitator membawa peserta kelokasi ternak sapi dan kelinci disekitar desa terdekat. Kembali fasilitator menunjukkan tentang ciri-ciri sapi dan kelinci yang baik dan sehat, serta cara pemeliharaannya. Materi akhir yang diberikan tentang pengelolaan keuangan atau cara menghitung rugi laba dalam melakukan usaha jual beli (buah pisang, sapi dan kelinci). Setiap akhir penjelasan dari masing-masing keterampilan, peserta disuruh untuk memperaktekkan materi yang telah diberikan dan diuji cobakan tutor. Sedangkan untuk pengujian bahan belajar, peserta dibagikan satu buah bahan belajar dalam bentuk
168
diktat/modul ukuran folio yang berisikan tentang keterampilan yang diajarkan. Setiap peserta diminta untuk memberikan tanggapan atas isi dan bentuk bahan belajar yang telah dibagikan. c) Pemberian Post-test. Kegiatan post-test dilaksanakan dengan membagikan lembaran tes tentang jenis keterampilan yang telah diberikan dibantu dengan wawancara, dan ditambah melalui hasil pengamatan dengan menggunakan lembaran observasi. Kegiatan pengamatan dilakukan selama berlangsungnya kegiatan uji coba. Hasil dari pemberian post-test pada akhir kegiatan uji coba tahap I dapat dilihat pada tabel 4.9 sebagai berikut: Tabel :4.9 Hasil Post-Test Tahap I
No
Inisial
Pengetahuan
%
Jumlah Skor Keterampilan
%
Sikap
%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ol. Ot En Ae As Aa An Ta Al Mo Jumlah Rata-rata
18 17 17 19 20 20 22 19 18 20 190 19
72 68 68 76 80 80 88 76 72 80 760 76
76 67 67 76 76 69 76 71 70 67 715 71,5
76 67 67 76 76 69 76 71 70 67 715 71,5
32 31 30 30 35 34 36 32 34 35 329 32,9
80 77,5 75 75 87,5 85 90 80 85 87,5 822.5 82,25
3) Tahap pengumpulan data dan analisa data a) Melakukan pengamatan (observasi) pelaksanaan ujicoba pelatihan. Hasil pengamatan selama kegiatan uji coba tahap I, merupakan
169
bahan masukan untuk tahap uji coba II. Kegiatan pengamatan bertujuan untuk melihat segala kekurangan atau hambatan selama berlangsungnya ujicoba. Hasil ini diperlukan untuk menentukan langkah-langkah dalam upaya perbaikan di tahap selanjutnya.. b) Melakukan wawancara terhadap gagasan warga belajar dan sumber belajar mengenai kegiatan uji coba. Kegiatan wawancara bertujuan untuk mengetahui materi apa yang belum mereka pahami dan dianggap masih kurang jelas. Selain itu kira-kira hal apa saja yang masih dibutuhkan peserta dan belum diperoleh dalam kegiatan uji coba. Sedang dari fasilitator mengenai kelemahan yang ditemui selama uji coba model dilaksanakan, dan perlu diperbaiki maupun ditambahkan pada tahap implementasi atau uji coba berikutnya.. c) Melaksanakan pencatatan terhadap pelaksanaan uji coba pelatihan. Selama ujicoba berlangsung, setiap perkembangan dan hambatan yang ditemui baik sejak merencanakan sampai berakhirnya ujicoba harus dicatat atau didokumentasikan. Kegitan ini bertujuan agar langkah-langkah yang diterapkan selama kegiatan uji coba model dapat terkontrol dan tidak terabaikan. Dengan demikian bila ada hal-hal yang dianggap masih kurang dan tidak tepat akan dapat dengan mudah untuk diketahui dan dilakukan perbaikan. d) Melakukan analisis data berkenaan dengan pelaksanaan uji coba melalui prosentasi penguasaan materi. Dari hasil kegiatan uji coba
170
terhadap 10 orang warga belajar, terdapat peningkatan penguasaan materi yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut; Tabel 4.10 Peningkatan Hasil Pre-Test dan Post-Test dari Uji Coba Tahap I Pengetahuan
Keterampilan
Sikap ,
%
PreTest
PostTest
Pe ning kat an
PreTest
PostTest
Pe ning kat an
%
No
PreTest
PostTest
Pen ing kat an
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 RtRt
13 13 12 14 14 14 15 14 12 14
18 17 17 19 20 20 22 19 18 20
5 4 5 5 6 6 7 5 6 6
20 16 20 20 24 24 28 20 24 24
37 36 40 39 39 38 42 41 37 38
76 67 67 76 76 69 76 71 70 67
39 31 27 37 37 31 34 30 33 29
39 31 27 37 37 31 34 30 33 29
25 25 26 25 30 25 29 28 27 26
32 31 30 30 35 34 36 32 34 35
7 6 4 5 5 9 7 4 7 9
17,5 15 10 12,5 12,5 22,5 17,5 10 17,5 22,5
13,5
19,0
5,5
22
38,7
71,5
32,8
32,8
26,6
32,9
6,3
15,7
%
e) Tindak lanjut program pengembangan model pelatihan. Peneliti bersama ketua kelompok atau pendamping yang ditunjuk, tutor dan warga belajar merencanakan program belajar yang masih perlu dikembangkan setelah uji coba selesai.
Dasi hasil analisis uji coba lapangan ditemukan; bahwa secara deskriptif model yang dikembangkan telah dianggap layak, namun masih ada beberapa faktor yang perlu diperbaiki dalam implementasi tahap berikutnya, yaitu : (a) selain waktu praktek bagi peserta yang perlu diperbanyak, juga materi teori perlu ditambah, (b) perlunya disediakan pendamping dalam menjalankan usaha, baik yang berasal dari masyarakat
171
setempat maupun dari luar, (c) pembentukan jaringan kemitraan dalam menjalankan usaha, baik dalam permodalan maupun pemasaran, (d) bahan belajar lebih disederhanakan, baik bentuk maupun bahasanya, serta setiap jenis keterampilan yang dipelajari agar bahan belajarnya dibuat terpisah. Secara kuantitatif, bila dilhat dari perbandingan hasil pre-tes dan post-tes, pengetahuan dan kemampuan peserta dianggap masih belum memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah skor rata-rata pada saat pre-tes untuk materi pengetahuan sebesar 13,5 dan post-tes sebesar 19, atau peningkatan hasil rata-rata yang diperoleh hanya baru sebesar 5,5 (22 %). Demikian juga untuk materi keterampilan yang menunjukkan pada saat pre-tes diperoleh hasil skor rata-rata sebesar 38,7 dan post-tes sebesar 71,5, atau peningkatan hasil rata-rata sebesar 32,8 (32,8 %). Sedangkan dari hasil tes sikap menunjukkan pada saat pre-tes hasil skor rata-rata yang diperoleh sebesar 26,6 dan post-tes 32,9 atau peningkatan hasil rata-rata sebesar 6,3 (15,7 %). Hasil analisis dari kegiatan uji coba tahap pertama menunjukkan kalau kegiatan uji coba masih perlu ditingkatkan atau ditambah lagi. Tidak maksimalnya perolehan skor lebih banyak disebabkan oleh waktu dan keterlibatan peserta yang terbatas, walaupun tidak tertutup kemungkinan juga perlu adanya penambahan beberapa materi lain sebagaimana telah di deskripsikan di atas. Sebagai solusi, berdasarkan hasil kajian atau analisis pada ujicoba tahap pertama, model konseptual yang ada perlu di revisi kembali sebelum
172
di implementasikan pada tahap berikutnya. Hasil revisi menunjukkan kalau pada uji coba tahap kedua waktu pemberian materi teori dan praktek masih perlu ditambah lagi. Diantara materi yang perlu ditambahkan tersebut selain materi teknis juga materi tentang kegiatan pendampingan dan kemitraan. Pemberian materi ini karena terkait erat dengan kegiatan usaha kelompok yang akan dijalankan pada saat pasca pelatihan.
2.2. Uji Coba Tahap Kedua Pada prinsipnya sebagaimana langkah-langkah pada ujicoba tahap pertama, pada pelaksanaan uji coba tahap kedua juga sama, namun terdapat beberapa revisi yang selain terdapat penambahan materi juga ada materi kegiatan yang tidak perlu diulang lagi. Kegiatan merevisi model konseptual dilakukan berdasarkan beberapa kelemahan dan harapan warga belajar pada saat uji coba tahap pertama. Kelemahan dan harapan yang perlu ditambahkan dalam uji coba tahap kedua, yaitu selain waktu untuk kegiatan praktek juga materi pendampingan dan kemitraan. Secara terperinci langkah-langkah dalam penyelenggaraan program pelatihan keterampilan usaha terpadu bagi petani sebagai upaya alih komoditas, setelah diberikan beberapa perbaikan dapat dilihat pada gambar 4.3. dan uraiannya sebagai berikut :
173
ANALISIS KEBUTUHAN
PERMASALAHAN
PERENCANAAN PELATIHAN Sumber belajar Kurikulum Jadwal dan materi Sarana dan prasarana
8 Tahap Pembelajaran PELAKSANAAN PELATIHAN
Pengembangan alat revisi program berdasarkan hasil
EVALUASI 8. Tes akhir (Post-test)
1. 2. 3. 4.
Persiapan : Tujuan pelatihan Mata pelajaran Kelompok sasaran Perumusan tujuan hasil
Pelaksanaan : 5. Tes awal (Pre-test) 6. Pengembangan materi pelajaran dan praktek. 7. Pengembangan strategi pembelajaran
Gambar 4.3. Langkah-langkah Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu
1) Perencanaan Pelatihan Dalam merencanakan pelatihan keterampilan usaha terpadu sebagai pemberdayaan masyarakat petani, selain melakukan koordinasi dengan berbagai lembaga/instansi terkait, juga melakukan koordinasi
174
dengan kepala desa dan tokoh masyarakat Suntenjaya. Kegiatan perencanaan pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat, khususnya dalam upaya membangun masyarakat untuk menemukan mata pencaharian baru sebagai pengganti mata pencaharian sebelumnya yang telah dilarang. Perencanaan pelatihan diarahkan pada pemenuhan tuntutan kebutuhan tenaga yang mampu mengembangkan kemampunnya dalam menjalankan usaha, juga terampil dalam mengerjakannya. Dalam membuat perencanaan program di bidang pelatihan, yang perlu diperhatikan adalah : -
Cara memulai membuat perencanaan.
-
Berbagai pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam perencanaan
-
Kehati-hatian
dalam
penyusunan
program,
agar
hasil
pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan dapat lebih terarah -
Dampak yang akan ditimbulkan bagi pelaku atau instansi terkait dalam penyusunan perencanaan program pelatihan.
Perencanaan yang dikoordinasikan dengan tokoh masyarakat desa Suntenjaya dan instansi terkait di Kabupaten Bandung adalah yang berkenaan dengan tenaga pengajar, kurikulum pembelajaran dan pelatihan, jadwal pelatihan, fasilitas dalam proses belajar mengajar dan lain-lain. Uraian dari perencanaan yang dikoordinasikan tersebut adalah sebagai berikut :
175
a) Penyiapan tenaga pengajar Tenaga pengajar yang dipersiapkan diambil sesuai kompetensi atau materi yang akan diajarkan dalam pelatihan, dan benar-benar orang yang memiliki dan diakui kredibilitasnya. Penyiapan dan pemilihan tenaga pengajar dilakukan peneliti, sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Pemberi materi non teknis diambil dari Perhutani, BRI Unit Kecamatan, BPPLS Jayagiri dan Kadin Kota Bandung. Untuk materi teknis diambil dari BBDAH Lembang. Tugas tenaga pengajar sebelum mengajar adalah : (1) Membuat materi bahan ajar bersama dengan peneliti (2) Menyusun persiapan mengajar (3) Menyusun tahap-tahap PBM baik untuk teori maupun praktek (4) Membuat materi tes dan cara pelaksanaannya bersama peneliti (5) Membuat laporan pelaksanaan mengajar (6) Memberikan bimbingan khusus terhadap warga belajar yang dianggap tertinggal Dalam membuat persiapan agar pelaksanaan pelatihan dapat sinkron dan terintegrasi, diadakan pertemuan dengan seluruh tenaga pengajar. Setiap tenaga pengajar terlebih dahulu membahas materi yang akan diberikan saat pelatihan dengan peneliti, sehingga peneliti juga dapat memahami isi materi yang akan disampaikan. Pertemuan dengan seluruh tenaga pengajar pada dasarnya agar pelaksanaan pelatihan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
176
Koordinasi dengan tenaga pengajar tentang materi sangat diperlukan, agar strategi yang ditempuh untuk mencapai sasaran dapat disepakati bersama. Dengan adanya pertemuan bersama, maka semua langkah dalam kegiatan pelatihan dapat terlaksana dengan baik.
b) Penyiapan kurikulum pelatihan Kurikulum dalam pelatihan pada dasarnya merupakan refleksi dari pandangan orang terhadap pelatihan itu sendiri. Penyiapan kurikulum dilakukan tenaga pengajar dan membahasnya bersama dengan peneliti, karena kurikulum merupakan dokumen tertulis sebagai langkah awal dalam menterjemahkan apa yang diinginkan dari pelatihan tersebut. Dalam pelatihan keterampilan usaha terpadu ini, selain adanya keterhubungan dari masing-masing jenis keterampilan yang akan dipelajari untuk dijadikan sumber usaha, juga perlu diupayakan untuk dihubungkan dengan peran masyarakat dalam ikut serta menjaga kelestarian lingkungan. Keterhubungan ini sangat perlu diperhatikan dalam merancang kurikulum pelatihan keterampilan usaha terpadu yang akan dilaksanakan. Substansi kurikulum diarahkan dan diupayakan agar dapat menyentuh kebutuhan dari warga belajar atau petani dan pertumbuhan kepribadian peserta. Penentuan materi kurikulum didasarkan agar warga belajar mengalami perubahan, yang tidak hanya meningkatkan kemampuannya saja dalam menemukan mata pencaharian, tetapi juga
177
terampil dalam melakukannya. Dengan demikian dalam kurikulum selain bertujuan untuk menjadikan warga belajar terampil dalam bidang teknis, juga terampil dalam bidang non teknis seperti; bidang hubungan manusia, kerjasama, koordinasi dan politis. Berdasarkan gambaran tentang keterampilan tersebut,
peneliti
menetapkan
kurikulum yang diberikan dalam pelatihan secara substansional memuat tentang : (1) Keterampilan teknis (technical skill), atau dalam pelatihan ini menjadi tujuan utama, yaitu kemampuan untuk menggunakan alat dan prosedur pengolahan sehingga dapat meningkat dari yang sebelumnya. Secara terperinci peningkatan kemampuan tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka seperti dalam; (a) pengolahan lahan (land skill), (b) pelayanan/perawatan (service skill), dan (c) melakukan usaha (bussines skill) (2) Keterampilan
non
teknis/manusiawi
(human
skill),
yaitu
kemampuan untuk dapat bekerja sama dengan orang lain, seperti memahami dan merancang serta mendorong orang lain. Orang lain tersebut selain anggota kelompok, juga orang diluar anggota kelompok seperti; sesama petani maupun organisasi/lembaga yang terkait dengan kegiatan pelatihan, karena program pelatihan ini tidak dapat dikerjakan dan diputuskan sendiri. Dari keterampilan manusiawi ini dapat berkembang dan dijadikan sebagai : (a) keterampilan politis (political skill), yaitu ; keterampilan yang
178
mampu memperoleh kekuatan untuk menjadi tujuan bersama, (b) keterampilan konseptual (conceptual skill), yaitu; keterampilan mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai kepentingan dalam kelompok sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
c) Penyusunan jadwal dan materi kegiatan Penyusunan jadwal untuk kegiatan pelatihan, disesuaikan dengan keinginan warga belajar. Waktu pelatihan dilaksanakan selama 6 (enam) hari, dengan pembagian materi 2 (dua) hari untuk teori dan 4 (empat) hari praktek. Pelatihan di mulai hari Senin tanggal 25 Juli 2005 sampai dengan hari Sabtu 30 Juli 2005. Penyampaian materi selama pelatihan dilakukan secara fleksibel, maksudnya bila ada materi yang dianggap cukup langsung masuk ke materi lain, begitu juga sebaliknya. Pemberian materi juga ada yang dikembangkan atau ditambahkan karena dianggap masih ada kebutuhan dari warga belajar yang belum terpenuhi., misalnya seperti bagaimana cara menambah modal usaha, siapa yang akan dijadikan pendamping, dan mitra usaha dalam pemasaran hasil. Penambahan materi dapat langsung diberikan pada saat itu juga atau pada waktu jam istirahat, sehingga para warga belajar benar-benar dapat memahami alur atau materi yang dianggap kurang dalam pelatihan. Para tenaga pengajar/sumber belajar berusaha menerangkan materi sejelas-jelasnya dan memberi kebebasan kepada warga belajar
179
untuk menanyakan hal-hal yang dianggap kurang jelas dan belum dimengerti. Materi-materi pelatihan keterampilan usaha terpadu terdiri dari non teknis dan teknis yang dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Pembinaan Kelompok Tani (Non Teknis) a.
Dinamika Kelompok
b.
Penguatan organisasi lokal dalam implementasi PHBM dilapangan
c.
Menumbuhkan dan mengembangkan kelompok
d.
Menumbuhkan jiwa kewirausahaan
e.
Mendapatkan dan menghitung biaya usaha (permodalan)
f.
Kegiatan ekonomi produktif dan pemasaran
g.
Kebijakan KRPH (Kepala Resort Polisi Hutan)
(2) Praktek Lapangan (Teknis) a.
Pemilihan dan perbanyakan bibit pisang dari Bonggol dan anakan
b. Pengolahan lahan dan pembuatan lubang tanam c. Pemasangan pupuk dasar dan penanaman d. Penyiangan, pemupukan susulan e. Pengaturan jumlah anakan f. Mengenal hama dan penyakit tanaman pisang g. Pemberantasan hama dan pengendalian hama penyakit pisang h. Memanen pisang dan pengelolaan pasca panen
180
i. Pemilihan bibit atau bakalan ternak sapi dan kelinci j. Pembuatan kandang, pemeliharaan dan pengaturan sanitasi lingkungan k. Mengenal jenis-jenis penyakit sapi dan kelinci, serta cara melakukan pencegahan dan pengobatan
d) Penyiapan fasilitas proses belajar mengajar Kegiatan pelatihan keterampilan usaha terpadu, dilaksanakan di RW 16 kampung Pasir Angling desa Suntenjaya. Tempat yang digunakan untuk pelatihan atau praktek adalah lahan milik Perhutani yang sebelum diberlakukan larangan mereka gunakan sebagai lahan bertani sayur-sayuran. Untuk pemberian materi teori menggunakan salah satu rumah penduduk atau kepala Rukun Warga. Sedangkan sarana pelatihan lainnya selain menggunakan milik petani sendiri seperti; cangkul, golok dan alat-alat pertukangan, sedang alat-alat tulis dari bantuan BPPLS dan bahan belajar (modul) dari peneliti. Bahan belajar digunakan sebagai pelengkap, berisikan materi praktek dari masing-masing jenis keterampilan yang akan dijadikan usaha. Penggunaan bahan belajar berfungsi sebagai pelengkap atau untuk memperjelas apabila teori yang disampaikan sumber belajar dianggap belum jelas, atau warga belajar dapat mempelajarinya terlebih dahulu untuk materi yang akan didiskusikan di hari berikutnya.
181
2) Persiapan Pelatihan Persiapan kegiatan pelatihan, dilakukan bersama-sama antara peneliti dengan instansi terkait seperti BPPLS Lembang, Pihak Perhutani, dan BBDAH Lembang untuk merumuskan berbagai hal yang perlu dipersiapkan. Peneliti dalam kegiatan persiapan telah menentukan tujuan pelatihan, mata pelajaran, kriteria calon peserta, dan merumuskan tingkat hasil belajar serta membahasnya secara bersama dengan pihak BPPLS dan BBDAH Lembang. Dalam mempersiapkan proses belajar mengajar, peneliti menggunakan 8 (delapan) langkah sistem pembelajaran yang terbagi ke dalam 3 (tiga) tahap yaitu ; Persiapan, Pelaksanaan, Evaluasi yang kemudian dilakukan pengembangan alat revisi program. Dalam tahap persiapan ini dibagi kedalam 4 (empat) langkah, seperti:
a) Menentukan tujuan pelatihan Tujuan pelatihan dapat dilakukan dengan jalan menentukan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh warga belajar setelah selesai mengikuti pelatihan. Dengan demikian diperlukan suatu bentuk program pelatihan yang dapat memenuhi kebutuhan dari pesertanya. Bentuk dari program pelatihan keterampilan usaha terpadu ini mampu memenuhi kebutuhan tersebut, karena dibuat secara terencana dan sistematis, jadi bukan hanya berdasarkan kebiasaan dan pengalaman dalam melatih saja. Kegiatan implementasi dari program pelatihan ini
182
dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur peningkatan kemampuan dari warga belajar setelah selesai mengikuti pelatihan. Tujuan pembelajaran dalam pelatihan dirumuskan sesuai kebutuhan pelatihan yang telah dianalisis sebelumnya, seperti untuk : (1) Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan warga belajar (2) Meningkatkan keterampilan dalam berusaha (3) Mampu berkreatifitas dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar
b) Penentuan mata pelajaran Mata pelajaran yang diberikan dan dilatihkan dalam pelatihan harus sesuai dengan kebutuhan warga belajar. Dalam mata pelajaran sudah dapat dirumuskan pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap apa yang diperlukan dalam upaya untuk mencapai tujuan dari pelatihan sebagaimana yang telah dirumuskan. Di dalam merumuskan mata pelajaran, peneliti menetapkan mata pelajaran yang sifatnya spesifik dan jelas ruang lingkupnya sesuai dengan keinginan dan tujuan pelatihan. Dengan demikian akan dapat memberdayakan warga belajar dalam upaya mengembangkan kemampuan berusaha. Perumusan mata pelajaran tersebut meliputi : (1) Pengenalan lingkungan/sumber-sumber yang ada (2) Pengenalan dasar-dasar berusaha dan jenis usaha (3) Pengembangan kemampuan usaha (4) Pengelolaan usaha dan pemasaran.
183
Penyiapan mata pelajaran tersebut dapat dilakukan peneliti berdasarkan hasil analisis kebutuhan pelatihan, walaupuan ada beberapa dari mata pelajaran tersebut yang sebenarnya sudah mereka kuasai sebelum mengikuti pelatihan. Namun karena setiap mata pelajaran akan terintegrasi antara satu dengan lainnya, maka mata pelajaran tersebut perlu diberikan dan juga dapat sebagai pemantapan terhadap peserta pelatihan. Setiap mata pelajaran diatas diberikan secara tutorial, dan di dukung dengan praktek lapangan, seperti : mengolah lahan, memilih bibit pisang dan
menanam, membuat kandang dan memilih bibit
ternak sapi dan kelinci, merawat atau memelihara, dan lain-lain.
c) Menentukan target kelompok calon peserta Kegiatan yang tidak kalah penting dalam melaksanakan pelatihan adalah penentuan peserta pelatihan atau warga belajar, karena dengan penentuan warga belajar yang benar selain mampu menumbuhkan motivasi belajar yang baik juga akan menghasilkan petani sebagai SDM yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang baik. Dengan menemukan warga belajar yang tepat akan sangat mempengaruhi produktivitas dan kualitas dari usaha yang akan dijalankan. Dalam menentukan target sasaran sebagai calon warga belajar dalam kelompok belajar, terlebih dahulu dilakukan identifikasi
184
kemampuan awal (entering behavior). Identifikasi calon warga belajar tersebut juga sebagai mana telah diungkapkan sebelumnya, yaitu : (1) Telah mengenal dan mampu menggunakan alat-alat pertanian (2) Bertempat tinggal di lingkungan pertanian desa Suntenjaya (3) Dapat membaca, menulis dan berhitung (4) Berumur maksimal 44 tahun Dari persyaratan tersebut ditemukan dan ditetapkan sebanyak 10 (sepuluh) orang, dari 25 orang warga masyarakat petani yang teridentifikasi dan mengikuti sosialisasi. Masyarakat yang terpilih sebagai calon warga belajar dalam pelatihan ini, kesemuanya berasal dari desa Suntenjaya. Dalam menetapkan calon warga belajar, peneliti tetap berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat. Hasil yang disepakati setiap calon peserta terpilih harus siap untuk menularkan ilmu yang diperolehnya kepada orang lain yang membutuhkannya.
d) Merumuskan tujuan/tingkat keberhasilan Tujuan instruksional umum (TIU) pelatihan keterampilan usaha terpadu bagi masyarakat petani adalah: setelah selesai dari mengikuti pelatihan, warga belajar mampu melaksanakan dan mengembangkan usahanya. Sedangkan tujuan intruksional khusus (TIK) dirumuskan lebih rinci dengan melakukan sesuatu dalam ukuran tertentu dan dalam kondisii tertentu, seperti : setelah selesai mengikuti pelatihan, (1) warga belajar dapat memahami apa-apa yang diharapkan dari hasil
185
suatu pelatihan, (2) dapat mengidentifikasi dan memanfaatkan potensi lingkungan atau sumber-sumber yang ada untuk kepentingan usahanya, dan (3) dapat melakukan perubahan sikap/tingkah laku sesuai harapan warga belajar maupun pemerintah.
3) Pelaksanaan Pelatihan Dalam pelatihan keterampilan usaha terpadu dirancang agar warga belajar dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan serta profesionalisme dalam bekerja. Kemampuan ini bersifat makro, yang perlu dijabarkan dalam seperangkat kemampuan seperti; kognitif, psikomotorik dan afektif. Sehingga strategi pembelajaran yang diterapkan dalam pelatihannya adalah untuk : -
Mengembangkan wawasan baru tentang kemampuan petani atau warga belajar dalam berusaha.
-
Memotivasi warga belajar agar mampu menggunakan konsep maupun sarana dan prasarana yang ada, agar dapat menganalisis dan mengkonstruksikan rencana pengembangan kemampuan.
-
Mengupayakan agar dapat sebanyak mungkin mengusai bidang keterampilan (merencanakan, menggunakan dan melaksanakan) dan mendorong diaplikasikannya keterampilan tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh dalam menjalankan usaha. Proses belajar mengajar dalam kegiatan pelatihan keterampilan
usaha terpadu lebih banyak dilakukan di luar ruangan, pembelajaran
186
diberikan dalam bentuk kombinasi yaitu antara tutorial, demontrasi, praktek dan pendalaman. Secara tutorial, para peserta diberikan materi pengetahuan tentang; pengelolaan, permodalan dan pemasaran, yang dilakukan melalui tatap muka di ruangan. Sedangkan secara demontrasi, pelatih mendemontrasikan bahan belajar di depan para warga belajar. Dalam pelaksanaan pelatihan ini dibagi ke dalam 3 (tiga) langkah seperti :
a) Pelaksanaan tes awal (pre-test) Tes awal bertujuan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan awal yang dimiliki warga belajar sebelum mengikuti pelatihan. Kegiatan tes awal pada uji coba kedua ini dilakukan hanya dengan mengambil hasil post-test yang dilakukan pada saat uji coba tahap pertama. Data dari kegiatan post-test ini setelah ditabulasikan dan diolah untuk mengetahui hasilnya berdasarkan hasil tiap-tiap individu dan hasil kelompok, kemudian diarsipkan untuk dibandingkan dengan hasil tes akhir atau post-test tahap kedua. Segala kelemahan yang ditemukan dari hasil post-test atau selama uji coba tahap pertama, dilakukan beberapa revisi atau perbaikan untuk diuji cobakan kembali pada tahap berikutnya atau tahap kedua. Di antara materi yang perlu ditambahkan seperti pada kegiatan teknis atau praktek, yang dirasa waktunya masih kurang serta materi tentang cara mendapatkan modal, pendampingan dan kemitraan yang juga sangat diperlukan peserta terutama dalam menjalankan usaha.
187
Materi post-test yang dijadikan sebagai awal pada tahap kedua ini adalah sebagaimana yang telah diruraikan sebelumnya, yaitu sebanyak 60 item, yang dibagi menjadi 3 bagian: (1) Pengetahuan sebanyak 25 item materi teknis (diluar materi non teknis) yaitu: (a) tentang bertani pisang 12 item, dan (c) beternak sapi dan kelinci 13 item. Test diberikan secara tertulis menggunakan pilihan berganda (multiple choice), dengan pilihan skor untuk yang benar 1 dan salah 0. (2) Keterampilan sebanyak 25 item, yang terdiri dari : (a) cara bertani pisang 13 item, dan (b) cara beternak sapi dan kelinci 12 item. Test dilakukan
dengan
melakukan
pengamatan
yang
hasilnya
dituangkan kedalam lembaran observasi menggunakan skala likert dengan pilihan rentang skor 1, 2, 3 dan 4. (3) Sikap terhadap penyelenggaraan pelatihan sebanyak 10 item. Test tentang sikap juga diberikan secara tertulis dengan menggunakan skala likert dengan pilihan rentang skor 1, 2, 3 dan 4. Hasil kegiatan test sebelumnya terhadap 10 orang peserta yang akan dijadikan sebagai dasar pengembangan ketahap berikutnya menunjukkan bahwa pengetahuan rata-rata yang diperoleh adalah: (a) untuk pengetahuan, dari 25 item yang diberikan diperoleh nilai ratarata sebesar 19 (76 %), dengan nilai minimum
17 (68 %) dan
maksimum 22 (88 %), ( b) untuk keterampilan, dari 25 item yang di observasi diperoleh nilai rata-rata sebesar 71,5 (71,5 %), dengan nilai minimum 67 (67 %) dan maksimum 76 (76 %), dan (c) untuk sikap
188
dari 10 item yang diberikan diperoleh nilai rata-rata sebesar 32,9 (82,25 %), dengan nilai minimum 30 (75 %), maksimum 36 (90 %).
b) Pengembangan materi pelajaran dan praktek Pengembangan materi pelajaran dan praktek dilakukan setelah diketahui kemampuan awal peserta yang diperoleh dari hasil pre-test. Segala bentuk kekurangan yang ditemui sebagai hasil awal tahap kedua, akan dilakukan perbaikan dan dikembangkan sesuai keinginan peserta atau untuk melengkapi kekurangan yang belum mereka miliki. Dari hasil awal tersebut menunjukkan bahwa masih perlu dilakukan revisi pembelajaran pada model konseptual pelatihan keterampilan usaha terpadu yang akan diujicobakan, dan warga belajar masih
membutuhkan
diperdalam.
Dengan
pengembangan demikian
beberapa
dilakukan
materi
penambahan
untuk dan
pendalaman tentang beberapa materi teori dan praktek seperti ; (1) Cara merawat tanaman pisang, seperti ; kebersihan lingkungan, pengaturan jumlah anakan, dan pemupukan. (2) Cara merawat sapi dan kelinci, seperti: kebersihan kandang dan lingkungan, pengaturan pemberian pakan dan minum. (3) Cara mengelola kegiatan usaha, seperti: bagaimana agar usaha yang dilakukan dapat berjalan dengan lancar dan terus berkembang (4) Cara melakukan pemasaran hasil usaha, seperti: penjualan secara kelompok maupun perorangan, dan cara mengantisipasi agar harga produk yang dipasarkan tetap mampu bersaing dipasaran.
189
Akibat adanya revisi dari model konseptual tersebut, maka setting aplikasi usaha terpadu menjadi berubah. Untuk mendapatkan keterampilan baru dan menjalan usaha baru tersebut, ternyata tidak cukup hanya mengetahui bertanam pisang dan menunggu hasilnya, serta hanya memelihara sapi dan kelinci saja, akan tetapi juga diperlukan pendalaman seperti; kemampuan melakukan perawatan tanaman pisang, merawat sapi dan kelinci, hingga sampai ke pemasaran hasil usaha. Materi lain yang juga perlu ditambahkan baik dalam pelaksanaan pelatihan maupun menjalankan usaha adalah : (1) Permodalan, yaitu: suatu upaya untuk memberikan jalan atau bantuan sesuai kebutuhan masyarakat. Bantuan yang dibutuhkan masyarakat petani atau warga belajar tidak cukup hanya dengan pelatihan, penyediaan sarana dan prasarana. Walaupun bantuan tersebut merupakan modal, namun belum menjamin masyarakat dapat
berusaha tanpa adanya modal lain, yaitu uang. Sesuai
harapan tersebut kantor BRI Unit Kecamatan Lembang telah siap untuk memberikan bantuan modal usaha, melalui program Kredit Tanpa Agunan (KTA). Kepada peserta juga diajarkan cara-cara mengajukan permohonan kredit dengan segala kelengkapan persyaratan dan yang menjadi tanggungjawabnya.. (2) Pendampingan, yaitu: suatu kegiatan yang bertujuan untuk membantu warga belajar atau kelompok dalam memecahkan masalah, dan dalam melakukan koordinasi dengan pihak ketiga,
190
baik dengan kelompok atau lembaga lain sebagai pembina maupun lembaga jaringan. Pendekatan apapun yang dipilih dalam menjalankan suatu program, diperlukan adanya kelompok atau perorangan sebagai pendamping. Perorangan atau kelompok tersebut harus mampu memerankan pendamping secara optimal dengan mengedepankan prinsip pendampingan seperti: (a) membantu menumbuhkan minat dan pembentukan kelompok belajar, (b) mengarahkan individu melalui kelompok belajar agar selalu menjaga kebersamaan dengan mematuhi aturan-aturan yang dibuat bersama, (c) merangsang kegiatan kelompok agar terus berkembang
untuk
mampu
meningkatkan
aktivitas
dan
produktivitas Pendamping berasal dari:(a) pendamping lokal yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat maupun aparat desa setempat, (b) pendamping teknis seperti tutor atau tenaga penyuluh pertanian. Materi ini diberikan bertujuan agar peserta pelatihan memahami apa yang menjadi tugas serta peran pendamping, dan peran peserta atau warga belajar sebagai orang yang didampingi (3) Kemitraan, yaitu: merupakan usaha untuk melakukan jalinan kerja sama atau dukungan kebijakan, informasi dan berkolaborasi. Program kemitraan yang sifatnya kebijakan kerjasama dilakukan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung dan dinas/instansi terkait, seperti Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Pendidikan, PT. Perhutani, dan BRI. Kerjasama dalam bidang informasi selain
191
dengan
Badan
Perencanaan
Pembanguan
Daerah,
Dinas
Perindustrian dan Perdagangan, juga langsung dengan para pedagang di pasar. Sedangkan kerjasama kolaboratif dilakukan dengan kepala desa dan tokoh masyarakat setempat.
c) Pengembangan strategi pembelajaran Strategi pembelajaran merupakan rancangan pemikiran untuk menentukan langkah-langkah yang harus dijalani dalam penyampaian suatu mata pelajaran. Dalam menentukan langkah-langkah tersebut juga harus disesuaikan dengan target populasi, sifat mata pelajaran, tujuan pembelajaran dari mata pelajaran tertentu dan proses belajar. Rancangan dari materi pembelajaran berisikan beberapa strategi atau langkah-langkah yang harus dilalui oleh seorang pengajar dalam menyampaikan materi pelajaran kepada kelompok. Oleh karena itu, strategi pembelajaran perlu dirancang dengan teliti sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai melalui penyampaian materi pelajaran sesuai waktu yang telah dirancang, dengan metode dan sarana pembelajaran yang sesuai pula. Kecepatan dan keberhasilan belajar dapat dicapai diantaranya dengan memperhatikan prinsip tentang ; (1) belajar bagaimana belajar (learning how to learn), dan (2) memahami dengan baik tehnik belajar sendiri (natural learning style). Pengembangan strategi pembelajaran yang dilakukan dalam pelatihan keterampilan usaha terpadu ini adalah :
192
(1) Mengenalkan konsep dasar dalam melakukan usaha, kemudian digunakan sebagai karangka acuan untuk menganalisis potensi lingkungan untuk dikembangkan sebagai sumber usaha. (2) Mengenalkan cara melakukan atau mempraktekkan usaha yang baik dengan jenis keterampilan yang telah dipilih. (3) Mengajak peserta pelatihan untuk merencanakan pemanfaatan jaringan guna kegiatan permodalan dan pemasaran.
4) Tahap evaluasi pelatihan Kegiatan evaluasi pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilakukan, dalam upaya menyerap kurikulum yang telah ditetapkan. Melalui evaluasi dapat diketahui bagian kurikulum yang dianggap masih lemah dan perlu dikembangkan. Di samping itu dengan kegiatan evaluasi juga akan dapat diketahui faktor penyebab kelemahan kurikulum dan proses belajar mengajar, sehingga dapat diupayakan penanggulangannya. Pelaksanaan evaluasi bertujuan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang ditimbulkan dari pemberian keseluruhan materi program pelatihan bagi warga belajar, terutama dalam mendukung keberhasilan petani untuk mengembangkan kemampuan berusaha setelah mereka selesai mengikuti pelatihan. Kegiatan evaluasi akan efektif bila isi materi pembelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan warga belajar atau sasaran kelompok belajar.
193
Kegiatan evaluasi dilakukan dengan pemberian tes tertulis, yang dilakukan pada akhir sessi pelatihan atau pada saat-saat akhir menjelang penutupan ditambah hasil observasi. Inti dari hasil pada evaluasi akhir menunjukkan bahwa seluruh warga belajar telah terampil dan mampu melakukan kegiatan usaha secara terpadu. Di samping itu, juga telah ditemukan calon pendamping dalam menjalankan usaha yaitu fasilitator atau tenaga pengajarnya sendiri dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan Lembang. Untuk mitra usaha sebagai pemberi modal bila diperlukan yaitu; melalui program kredit tanpa agunan yang diberikan BRI Unit Kecamatan Lembang, yang caranya harus diusulkan atas nama kelompok. Hasil dari kegiatan evaluasi akhir menunjukkan warga belajar setelah mengikuti pelatihan keterampilan usaha terpadu, telah dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan, serta memiliki perubahan pola pikir/sikap seperti meningkatnya kepedulian warga belajar dalam mengikuti pelatihan dan kesediaan untuk menjalankan usaha bersama. Hasil evaluasi terhadap 10 orang warga belajar pada tahap ini telah meningkat. Peningkatan pengetahuan rata-rata yang diperoleh peserta dari masing-masing aspek seperti : (a) tes pengetahuan sebesar 23 (92 %), dengan nilai minimum 21 (84 %) dan maksimum 25 (100 %), (b) keterampilan sebesar 76,6 (76,6 %), dengan nilai minimum 75 (75 %) dan nilai maksimum 84( 84 %), dan (c) sikap sebesar 34,9 (87,25 %), dengan nilai minimum 30 (75 %) dan nilai maksimum 39 (97,5 %).
194
Hasil evaluasi akhir (post test) dari materi yang diujikan secara keseluruhan dapat dilihat dalam tabel 4.11 berikut ini : Tabel 4.11 Hasil Post-Test Kegiatan Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu
No
Inisial
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ol. Ot En Ae As Aa An Ta Al Mo Jumlah Rata-rata
Pengeta huan 22 22 21 23 24 24 25 24 22 23 230 23
% 88 88 84 92 96 96 100 96 88 92 920 92
Jumlah Skor Keteram % pilan 83 83 75 75 76 76 84 84 77 77 78 78 84 84 76 76 78 78 75 75 786 786 78,6 78,6
Sikap
%
32 33 34 30 36 35 38 35 37 39 349 34,9
80 82,5 85 75 90 87,5 95 87,5 92,5 97,5 872,5 87,25
Dari hasil evaluasi akhir ternyata kegiatan pelatihan mampu meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peserta. Peningkatan dari hasil uji coba ini diperkuat dengan hasil pengujian menggunakan Wilcoxon Match Pairs Test, yang dibahas dan dapat dilihat pada analisis hasil penilitian di halaman selanjutnya.
5) Pengembangan alat revisi program berdasarkan hasil penilaian Perkembangan kualitas kinerja dari diri warga belajar di dalam mengembangkan kemampuan berusaha, dapat diketahui dengan jalan mengadakan pemantauan. Kegiatan pemantauan perilaku dan kualitas kinerja dilapangan dilakukan dengan pengamatan dan interview baik
195
kepada petani sebagai warga belajar maupun tokoh masyarakat setempat. Sedangkan informasi yang diperoleh dari hasil penilaian atau evaluasi akhir, kemudian dirangkum sebagai kesatuan informasi yang dapat digunakan untuk; a) Menghasilkan suatu jenis pelatihan keterampilan usaha terpadu yang telah direvisi. b) Mengembangkan desain pelatihan keterampilan usaha terpadu, seperti dalam hal perumusan tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus, materi teori dan praktek pelatihan dan teknik penyampaian materi. Dengan model pelatihan keterampilan yang diberikan, dapat meningkatkan
kemampuan
masyarakat
petani
dalam
beralih
komoditas, sehingga masyarakat petani dapat menghidupkan kembali usahanya. Keterpaduan dari berbagai jenis keterampilan sebagai hasil pelatihan, selain merupakan keterampilan baru juga dijadikan sebagai mata pencaharian baru bagi masyarakat petani penggarap lahan Perhutani di desa Suntenjaya. Apalagi sebagai modal awal kelompok telah mendapatkan bantuan dari instansi terkait seperti; (1) bibit pisang anakan sebanyak 200 batang dari BPPLS, dengan jenis pisang ambon 100 batang dan pisang raja 100 batang, (2) Bantuan modal awal untuk usaha jual beli pisang Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) yang juga dari BPPLS, (3) Bakalan sapi untuk digemukkan sebanyak 2 ekor (seharga Rp.8.000.000) dari fasilitator atau instruktur BBDAH, dan
196
(4) Bibit kelinci sebanyak 22 ekor betina, dan 3 ekor pejantan (seharga Rp.375.000), yang juga sumbangan dari BPPLS. Pemberian bibit pisang, kelinci dan modal awal usaha diberikan kepada kelompok dan sepenuhnya dikelola untuk kepentingan kelompok. Sedangkan untuk penggemukan sapi dengan sistim bagi hasil antara kelompok dengan si pemberi bantuan, yaitu instruktur BBDAH. Kegiatan seperti ini dapat membantu mempercepat perubahan bagi masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup melalui mata pencaharaian baru. Dalam kegiatan praktek selalu ada perubahan dan penambahan materi, karena harus selalu disesuaikan dengan perkembangan maupun tuntutan warga belajar. Materi tambahan tetap diberikan dan diajarkan seperti; cara menjalin mitra usaha serta cara mengakses pasar dan permodalan. Di samping itu warga belajar juga mengharapkan agar tetap diberikan bimbingan dalam menjalankan usaha, oleh sebab itu program pendampingan akan terus diupayakan selama usaha masyarakat masih berjalan dan belum mampu untuk mandiri. Dengan berbekal keterampilan yang telah ada, ditambah bantuan modal awal yang dibarengi dengan kegiatan pendampingan dan kemitraan, maka masyarakat petani atau kelompok akan menjadi berdaya, yaitu ; mampu dan terampil dalam bekerja secara mandiri yang akhirnya dapat meningkatkan tarap mereka.
197
3. Analisis Hasil Implementasi Sesuai rancangan penelitian yang disusun, bahwa dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yang diperkuat dengan analisis uji statistik nonparametrik (uji wilcoxon).
3.1. Analisis deskriptif. Dari hasil analisis deskriptif terhadap persepsi warga belajar setelah mengikuti pelatihan ditemukan beberapa kekuatan dan kelemahan : a. Kekuatan : 1) Pengetahuan dan keterampilan warga belajar setelah mengikuti pelatihan menjadi bertambah, mereka tidak memiliki keraguan lagi untuk menjalankan usaha secara bersama 2) Sikap dan prilaku warga belajar setelah mengikuti pelatihan dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan usaha secara terpadu. 3) Metode yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar dalam persepsi mereka mampu membangkitkan keakraban emosional dan dapat menambah kepercayaan diri 4) Substansi kurikulum telah menyentuh seluruh kebutuhan kelompok dalam pengembangan kemampuan berusaha.
Persepsi warga belajar terhadap keberadaan sumber belajar selama pelatihan: 1) Sumber belajar dapat memunculkan masalah dari warga belajar
198
2) Selalu memberikan kesempatan untuk berdiskusi dan menjawab pertanyaan dari warga belajar 3) Menyajikan materi secara sistematis dan tidak kaku atau tidak selalu terikat dengan jadwal 4) Humoris dan memilik dasar keilmuan yang luas
b. Kelemahan : 1) Kemampuan warga belajar hanya baru sebatas peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam berusaha, sedang dalam pemeliharaan dan pemasaran produk yang akan dihasilkan untuk sementara masih diperlukan program pendampingan 2) Akses permodalan dan pemasaran masih rendah sehingga masih perlu dilanjutkan dengan program kemitraan 3) Program pelatihan hanya baru dapat dinikmati oleh sebagain kecil masyarakat, dan terbatas kepada masyarakat yang bisa baca, tulis dan berhitung
3.2. Analisis Statistik Nonparametrik Analisis statistik nonparametrik bertujuan untuk memperkuat hasil dari analisis deskriptif. Penggunaanya didasarkan atas pertimbangan di antaranya: selain subjek penelitian yang tidak diambil secara acak atau secara purposive, juga jumlahnya relatif kecil (10 orang). Analisis uji wilcoxon dalam pelatihan keterampilan usaha terpadu juga dilakukan
199
untuk melihat tingkat perkembangan kemampuan yang dimiliki peserta dilihat dari tiga aspek yaitu; kognitif, psikomotori dan afektif setelah selesai
mengikuti
pelatihan.
Tingkat
signifikansi
pengetahuan,
kemampuan keterampilan dan sikap dari warga belajar juga dapat dilihat melalui pengujian dengan menggunakan analisis nonparametrik, karena sifat datanya yang bebas distribusi. Dalam melakukan analisis uji statistik nonparametrik,
data
yang
berbentuk
ordinal
terlebih
dahulu
ditranformasikan kedata nominal, dan analisis yang digunakan melalui uji beda dengan menggunakan Uji Wilcoxon (Siegel, 1997:93 dan Sugiyono, 2001:44). Penganalisisan data dilakukan dengan cara membandingkan hasil pre-test dengan post-test, yaitu untuk menguji signifikansi dari dua subjek penelitian yang berpasangan. Dalam penelitian ini, pengujian dengan uji wilcoxon hanyalah dilakukan pada hasil uji coba tahap kedua, yaitu membandingkan hasil post-test pada tahap pertama yang dijadikan sebagai pre-test pada uji coba tahap kedua, dengan hasil post-test tahap kedua. Alasannya, karena pada tahap uji coba tahap pertama secara persentasi antara pre-test dan post-test telah menunjukkan perbedaan yang signifikan. Bila dibandingkan secara persentasi terlihat peningkatan pada uji coba tahap pertama terlihat lebih besar bila dibanding dengan uji coba tahap kedua. Hasil ini cukup memungkinkan, karena pada uji coba tahap kedua merupakan hasil perbaikan dari model yang di uji cobakan pada tahap pertama, bahkan
200
pada aspek sikap yang kembali diujicobakan, ada beberapa item yang hasilnya tidak berubah. Dari 60 item materi uji yang diberikan kepada peserta pelatihan dibagi menjadi dua bagian yaitu melalui tes tertulis dan melalui pengamatan (observasi). Jumlah materi tes tertulis sebanyak 35 item dan melalui observasi sebanyak 25 item, materi ini diujicobakan kepada dua subjek berpasangan. Dua subjek penelitian yang diteliti tersebut yaitu warga belajar sebelum dan warga belajar sesudah mengikuti pelatihan saling berhubungan satu sama lain (Two Relatied Samples). Dalam melakukan uji statistik, pengolahan hasil data-data peneltian dilakukan dengan melalui empat tahap :
1) Editing, yaitu proses yang dilakukan setelah data terkumpul, untuk melihat apakah jawaban pada daftar pertanyaan telah terisi dengan lengkap atau belum. 2) Koding, yaitu suatu usaha untuk mengklasifikasi jawaban responden menurut macamnya untuk dikelompokkan dalam kategori yang sama 3) Skoring, yaitu berupa angka pada jawaban untuk mendapatkan data kuantitatif yang diperlukan dalam pengujian 4) Tabulasi, yaitu pengelompokan atas jawaban dengan teliti dan teratur kemudian dihitung dan dijumlahkan ke dalam bentuk tabel. Analisis pengujian efektifitas atau analisis uji wilcoxon dilakukan dengan melihat: (1) hasil perhitungan atau test pengetahuan, keterampilan
201
dan sikap dari masing-masing warga belajar baik sebelum maupun sesudah mengikuti pelatihan, (2) rata-rata dan nilai total dari ketiga aspek yang dilakukan pengujian, dan (3) beda dari sebelum dan sesudah serta jenjang nilai dari masing-masing warga belajar. Dari deskripsi data hasil pre-test dan post-test kesepuluh orang peserta terhadap tiga aspek yang diteliti, yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap, sesuai masing-masing aspek yang diuji, maka hasilnya dapat dilihat sebagai berikut :
a. Aspek Pengetahuan Pada aspek pengetahuan tentang pembudidayaan tanaman pisang, beternak sapi dan kelinci serta pengetahuan jual beli, setelah dilakukan tes ternyata dari seluruh warga belajar menunjukkan peningkatan yang signifikan. Peningkatan pengetahuan ini dibuktikan dari 25 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar diperoleh nilai rata-rata sebelum pelatihan 19 dan sesudah pelatihan 23. Standar deviasi sebelum pelatihan, 1,5635 dan sesudah pelatihan 1,1972. Nilai minimum sebelum pelatihan 17 dan nilai maksimum 22. Nilai minimum sesudah pelatihan 21 dan nilai maksimum 25. Secara terperinci hasil pre-test dan post-test tentang pengetahuan terhadap sepuluh warga belajar pelatihan keterampilan usaha terpadu dapat dilihat pada tabel 4.12 berikut :
202
Tabel 4.12 Hasil Pre-Test dan Post-Test Pengetahuan
Responden
Pre Test
Pos Test
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rata-rata
18 17 17 19 20 20 22 19 18 20 190 19
22 22 21 23 24 24 25 24 22 23 230 23
Beda Pre & Post +4 +5 +4 +5 +4 +4 +3 +5 +4 +3
Tanda Jenjang Jenjang + 5 9 5 9 5 5 1,5 9 5 1,5
5 9 5 9 5 5 1,5 9 5 1,5 55,0 T= 55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Dari tabel 4,12 menunjukkan bahwa ternyata hasil post-test (230) lebih besar dari pre-test (190), berarti kegiatan pelatihan berpengaruh terhadap pengetahuan peserta. Tabel 4.12 juga menunjukkan nilai jenjang terkecil adalah 0 (nol). Dengan demikian dari tabel kritis test wilcoxon untuk n = 10 dengan kesalahan α 0,05 (uji 2 pihak), maka T tabel = 8. Karena jumlah jenjang terkecil adalah 0, dan ternyata lebih kecil dari 8, maka hipotesis (Ho) di tolak. Artinya terdapat perbedaan pengetahuan warga belajar antara sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Berdasarkan hasil Uji Wilcoxon sebelum dan sesudah pelatihan secara deskriptif statistik dapat dilihat pada tabel 4.13. berikut:
203
Tabel 4.13 Deskriptif Statistik Hasil Uji Wilcoxon untuk Pengetahuan
Sebelum Sesudah
N 10 10
Mean 19 23
Std Deviasi 1,5635 1,1972
Min 17 21
Max 22 25
Dari tabel 4.13 hasil mean sesudah pelatihan (23) ternyata lebih besar dari mean sebelum pelatihan (19). Dengan demikian perbedaan pengetahuan yang dimaksud adalah terdapat atau adanya perubahan positif dari pengetahuan warga belajar.
b. Aspek Keterampilan Pada aspek keterampilan setelah dilakukan pengamatan, seluruh warga belajar telah dinyatakan terampil dalam melakukan pembudidayaan tanaman pisang, beternak sapi dan kelinci, dan telah dinyatakan siap untuk menjalankan usaha secara terpadu. Hasil ini dibuktikan, dari 25 item hasil observasi yang dilakukan kepada peserta, diperoleh nilai rata-rata sebelum pelatihan 71,5 dan sesudah 78,6. Standar deviasi sebelum pelatihan, 4,0893, sesudah pelatihan 3,6576. Nilai minimum sebelum pelatihan 67, maksimum 76. dan nilai minimum sesudah pelatihan 75 maksimum 84. Hasil pre-test dan post-test tentang kemampuan keterampilan yang dikuasai warga belajar, dari sepuluh orang warga belajar sebagai peserta pelatihan keterampilan usaha terpadu yang diuji dapat dilihat pada tabel 4.14 berikut :
204
Tabel 4.14 Hasil Pre-Test dan Post-Test Keterampilan
Responden
Pre Test
Post Test
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rata-rata
76 67 67 76 76 69 76 71 70 67 715 71,5
83 75 76 84 77 78 84 76 78 75 786 78,6
Beda Pre & Post +7 +8 +9 +8 +1 +9 +8 +5 +8 +8
Tanda Jenjang Jenjang + 3 6 9,5 6 1 9,6 6 2 6 6
3 6 9,5 6 1 9,5 6 2 6 6 55,0 T=55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Dari tabel 4,14 menunjukkan bahwa ternyata hasil post-test (786) lebih besar dari pre-test (715), yang berarti kegiatan pelatihan berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan peserta. Tabel 4.14 juga menunjukkan nilai jenjang terkecil adalah 0 (nol). Dengan demikian dari tabel kritis test wilcoxon untuk n = 10 dengan kesalahan α 0,05 (uji 2 pihak), maka T tabel = 8. Karena jumlah jenjang terkecil adalah 0, dan ternyata lebih kecil dari 8, maka Ho di tolak. Artinya terdapat perbedaan keterampilan warga belajar antara sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Untuk hasil Uji Wilcoxon sebelum dan sesudah pelatihan secara deskriptif statistik dapat dilihat pada tabel 4.15. berikut:
205
Tabel 4.15 Deskriptif Statistik Hasil Uji Wilcoxon untuk Keterampilan
Sebelum Sesudah
N 10 10
Mean 71,5 78,6
Std Deviasi 4,0893 3,6576
Min 70 75
Max 76 84
Dari tabel 4.15 ternyata hasil mean sesudah pelatihan (78,6), juga lebih besar dari mean sebelum pelatihan (71,5). Dengan demikian perbedaan keterampilan yang dimaksud juga adalah adanya perubahan positif keterampilan yang dimiliki dari warga belajar.
c. Aspek Sikap Pada aspek sikap yang diberikan penilaian adalah ; mengenai sikap peserta terhadap peraturan tentang penggunaan lahan dan keberadaan program pelatihan yang diselenggarakan. Setelah dilakukan test, dari 10 soal tertulis yang
menggunakan skala likert diperoleh nilai rata-rata
sebelum pelatihan 32,9 dan sesudah pelatihan 34,9. Standar deviasi sebelum pelatihan, 2,1833 dan sesudah pelatihan 2,7669. Sedangkan untuk nilai minimum sebelum pelatihan diperoleh 30 dan nilai maksimum 36. Nilai minimum sesudah pelatihan 30 dan nilai maksimum 39. Hasil pre-test dan post-test tentang sikap dari hasil pengujian terhadap kesepuluh warga belajar sebagai peserta pelatihan keterampilan usaha terpadu dapat dilihat pada tabel 4.16 berikut:
206
Tabel 4.16 Hasil Pre-Test dan Post-Test Sikap
Responden
PreTest
PostTest
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rata-rata
22 31 30 30 35 34 36 32 34 35 329 32,9
22 33 34 30 36 35 38 35 37 39 349 34,9
Beda Pre & Post 0 +2 +4 0 +1 +1 +2 +3 +3 +4
Tanda Jenjang Jenjang + 1,5 5,5 9,5 1,5 3,5 3,5 5,5 7,5 7,5 9,5
1,5 5,5 9,5 1,5 3,5 3,5 5,5 7,5 7,5 9,5 55,0 T=55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Dari tabel 4,16 menunjukkan bahwa ternyata hasil post-test (349) lebih besar dari pre-test (329), yang berarti kegiatan pelatihan berpengaruh terhadap peningkatan sikap peserta. Tabel 4.16 juga menunjukkan nilai jenjang terkecil adalah 0 (nol). Dengan demikian dari tabel kritis test wilcoxon untuk n = 10 dengan kesalahan α 0,05 (uji 2 pihak), maka T tabel = 8. Karena jumlah jenjang terkecil adalah 0, dan ternyata lebih kecil dari 8, maka Ho di tolak. Artinya terdapat perbedaan sikap warga belajar antara sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Berdasarkan hasil Uji Wilcoxon tentang sikap warga belajar sebelum dan sesudah pelatihan secara deskriptif statistik dapat dilihat pada tabel 4.17 berikut:
207
Tabel 4.17 Deskriptif Statistik Hasil Uji Wilcoxon untuk Sikap
Sebelum Sesudah
N 10 10
Mean 32,9 34,9
Std Deviasi 2,1833 2,7669
Min 30 30
Max 36 39
Dari tabel 4.17 ternyata hasil mean sesudah pelatihan (34,9) ternyata tetap lebih besar dari sebelum pelatihan (32,9). Dengan demikian perbedaan sikap yang dimaksud juga menunjukkan bahwa terdapat perubahan positif pada sikap dari warga belajar. Sebagai
upaya
pembuktian
kalau
hasil
pelatihan
dapat
meningkatkan ketiga aspek seperti; pengetahuan, keterampilan dan sikap sebagaimana uraian diatas, dalam wilcoxon dapat digunaan rumus atau uji Z. Pengujian dengan uji Z hanya digunakan untuk pembuktian saja, karena sebenarnya penggunaan rumus ini diberlakukan apabila peserta sebagai subjek penelitian melebihi dari 25 orang. Sedangkan apabila subjek penelitian kurang dari 25 uji Z tidak berlaku. Pengujian ketiga aspek tersebut dapat dilakukan dengan sekali uji, karena jumlah jenjang/rangking terkecil (T) yang sama-sama 0. Caranya dengan memasukkan harga-harga dari hasil penelitian ke dalam rumus seperti :
208
T − µΤ Z= = σΤ
µT =
σT =
n(n + 1) 4 n(n + 1)(2n + 1) 24 Τ−
n(n + 11) 10(10 − 1) 110 = = = 27,5 4 4 4
n(n + 1)(2n + 1) = 24
10(11)(20 + 1) = 24
96,25 = 9,8107
10(10 + 1) 0 − 27,5 4 = = -2,8031 9,8107 10(10 + 1)(2.10 + 1) 24 0−
Z=
Bila tarap kesalahan 0,025, maka z tabel = 1,96. Karena harga z hitung 2,8031 ternyata lebih besar dari -1,96, dengan demikian Ho ditolak. Jadi pelatihan keterampilan usaha terpadu berpengaruh signifikan yaitu dengan meningkatnya pengetahuan, keterampilan dan sikap dari warga belajar. Kesimpulan ini menunjukkan sama dengan hasil uraian yang telah dipaparkan diatas. Dengan demikian berdasarkan hasil analisa uji wilcoxon, secara umum hasil pre-test dan pos-test dari ketiga aspek (pengetahuan, keterampilan dan sikap) sesuai tabel-tabel diatas terdapat perbedaan, dan ternyata hasil rata-rata sesudah pelatihan lebih besar bila dibandingkan dengan hasil rata-rata sebelum pelatihan. Hasil ini diperkuat dengan pembuktian menggunakan uji Z yang menunjukkan bahwa kegiatan pelatihan keterampilan usaha terpadu mampu memberikan perubahan yang positif kepada warga belajar atau petani.
209
D. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Pembahasan Khusus 1.1. Hasil Studi Pendahuluan
Berdasarkan deskripsi data hasil studi pendahuluan pada lokasi uji coba dari 6.503 penduduk desa Suntenjaya, terdapat 670 jiwa atau 180 kepala keluarga yang tinggal di kampung Pasir Angling. Penduduk kampung Pasir Angling yang dijadikan sasaran uji coba model, rata-rata sebelumnya bermata pencaharian sebagai petani hortikultura penggarap lahan Perhutani dengan jenis sayur-sayuran (kubis, kentang, tomat, cabai dan sawi). Namun semenjak diberlakukannya larangan dari pemerintah daerah untuk menggarap lahan dengan jenis tanaman tersebut, masyarakatnya lebih banyak menganggur. Dari gambaran tersebut, menunjukkan bahwa menganggurnya masyarakat diakibatkan tingkat kemampuan masyarakat petani yang masih sangat terbatas sehingga tidak mampu untuk mengembangakan kejenis komoditas lain sesuai anjuran pemerintah daerah. Rendahnya kemampuan masyarakat petani tersebut berkaitan erat dengan kurangnya keterlibatan mereka dalam aktivitas lain untuk mengembangkan keterampilannya selain bertani sayuran. Dari studi awal yang dilakukan juga menunjukkan kalau keterlibatan masyarakat petani penggarap dalam aktivitas bidang pertanian dan yang lainnya masih belum dilakukan secara optimal. Anggota masyarakat masih tertap mengharapkan agar diperbolehkan untuk melakukan aktivitas seperti
210
bertani sayur-sayuran. Sedangkan untuk melakukan kegiatan lain, seperti beralih usaha dengan jenis komoditas lain, selain kemampuan dan keterampilan yang belum dimiliki dengan baik juga terbentur pada masalah modal atau baya. Di samping itu, rendahnya tingkat pendidikan turut mempersulit masyarakat untuk melakukan aksesibilitas dan pasar, sehingga masyarakat kampung Pasir Angling lebih memilih bekerja serabutan atau menjadi kuli cangkul di lahan petanian lain yang tidak terkena larangan. Kegiatan inipun tidak memberi jaminan, karena keberadaannya yang musiman atau tidak tetap. Melihat kondisi masyarakat Pasir Angling yang serba terbatas tersebut, maka perlu diberdayakan dalam bentuk pelatihan keterampilan Dengan pelatihan keterampilan, masyarakat akan memiliki pengetahuan dan keterampilan baru yang dapat dijadikan sumber usaha menggantikan usaha sebelumnya. Dari sepuluh warga belajar yang dijadikan subjek dalam penelitian ini pada awalnya hanya menginginkan diberikannya pelatihan keterampilan bertani pisang. Namun mengingat hasil panen yang cukup lama sementara kebutuhan pokok harus segera terpenuhi, mereka mengharapkan diberikan jenis pelatihan yang lebih cepat mendatangkan hasil. Setelah diadakan pendekatan kepada beberapa instansi terkait dan calon nara sumber seperti Dinas Pertanian, BLKP, BBDAH, dan BPPLS, dan calon warga belajar sendiri, maka disepakati untuk menambah kegiatan dari bertanam pisang, ditambah dengan usaha beternak sapi dan kelinci serta keterampilan berjual beli. Alasan
211
pengembangan usaha ini selain adanya keterkaitan antara keterampilan yang satu dengan yang lain, dan adanya dukungan dari berbagai pihak, juga usaha tersebut tidak dilarang. Keempat jenis keterampilan yang akan dijadikan usaha, dilatihkan dalam satu paket pelatihan keterampilan secara terpadu. Di samping itu, hasil dari salah satu jenis keterampilan yang dilatihkan seperti keterampilan berjual beli, setelah selesai pelatihan dapat langsung mereka terapkan dan dapat langsung dinikmati hasilnya. Keterampilan jual beli dilakukan dengan melakukan jual beli pisang yang dibeli dari desa Suntenjaya dan desa lain, dikumpulkan, lalu dijual kepasar. Kegiatan ini dilakukan sambil menjalankan dan menunggu usaha yang lain mendatangkan hasil. Dalam penyusunan program pelatihan yang diberikan sebagai upaya pemberdayaan, keterlibatan masyarakat merupakan hal yang penting. Dengan melibatkan masyarakat dalam penyusunan program tentu akan mendapatkan dukungan terhadap pelaksanaan rencana program yang akan diberikan. Pernyataan ini sejalan dengan ungkapan Boone dan Shearon, (1973), dan Boyle, (1981) ; bahwa dukungan masyarakat diperlukan untuk (1) mendapatkan persetujuan pada rencana yang telah dibuat dan mempermudah pelaksanaan, (2) membuat keputusan tentang situasi, dan atau arah/pemecahan bagi kebutuhankebutuhan serta masalah-masalah yang telah dirumuskan, (3) memberi kesempatan memperoleh pengalaman belajar pada anggota masyarakat
212
tani yang dilibatkan dalam perencanaan maupun pelaksanaan program kegiatan belajar. Kegiatan pembelajaran dan pelatihan diperlukan, karena dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Prinsip-prinsip yang dilakukan pada pembelajaran dan pelatihan harus mengacu kepada keberpihakan kepada masyarakat atau kelompok, yaitu bersifat informal dan terbuka, prinsip kemitraan, saling menghargai, ketauladanan, kepemimpinan,
keberlanjutan, saling membelajarkan dan belajar
berdasarkan pengalaman.
1.2. Hasil Ujicoba Model
Penguji cobaan model dilakukan sebanyak dua kali, yaitu melalui uji coba tahap pertama dan kedua. Pada prinsipnya kegiatan uji coba tahap petama sama dengan tahap kedua, hanya pada uji coba tahap pertamma waktunya lebih terbatas. Materi yang diuji cobakan yaitu: selain kegiatan teoritis juga kegiatan teknis dengan mempraktekkan langsung seperti, memilih dan melakukan pembibitan pisang dari anakan dan bonggol, penyemaian dan penanaman, pemanenan, pemilihan bibit sapi dan kelinci yang baik untuk digemukkan dan dibudidayakan, serta cara melakukan jual beli hasil dari yang mereka jalankan. Sedangkan kegiatan non teknis lainnya yang dilakukan pengujian adalah; menguji bahan belajar (modul) yang telah dipersiapkan. Jenis pengujian untuk melihat keterbacaan, pemahaman, bentuk dan isinya.
213
Hasil penilaian pada ujicoba tahap pertama menunjukkan kalau pengetahuan peserta pelatihan secara umum sesuai materi yang diujicobakan, ternyata masih banyak yang belum memahami benar dan belum terampil. Dari 60 item yang diujicobakan baik yang dilakukan secara tertulis dan melalui observasi sebelumnya rata-rata baru menguasai : untuk pengetahuan 13,5 (54 %), keterampilan 38,7 (38,7 %) dan sikap 22,6 (66,6 %). Setelah diberilkan pelatihan dan dilakukan post-test dari kegiatan ujicoba tahap pertama, para warga belajar sudah menunjukkan peningkatan, yaitu rata-rata: untuk pengetahuan 19 (76 %), keterampilan 71,5 (71,5 %) dan sikap 32,9 (82,25 %). Sedangkan hasil pengujian bahan belajar yang sebelumnya dari keempat jenis keterampilan dijadikan satu, secara umum peserta menyarankan agar dipisahkan menjadi beberapa bagian sesuai jenis keterampilan yang dikembangkan. Untuk bentuk yang sebelumnya ukuran folio diubah menjadi ukuran kwarto, dan isi bahan belajar seperti kalimat agar lebih disederhanakan. Dari hasil uji coba tahap pertama menunjukkan kalau model layak untuk dikembangkan, namun masih ada beberapa faktor yang perlu diperbaiki, diantaranya seperti: (1) tutor tidak terlalu mendominasi jalannya pelatihan, atau warga belajar diberi kebebasan untuk beraktifitas dan bertanya, dan (3) pelatihan harus lebih berorientasi untuk melihat hasil dari pada proses, dan pembagian tugas agar diberikan secara merata kepada seluruh anggota kelompok belajar.
214
Setelah dilakukan revisi berdasarkan hasil uji coba tahap pertama, maka di dalam uji coba tahap kedua warga belajar telah banyak dan mampu menguasai materi baik teori maupun praktek. Hasil ini terlihat adanya peningkatan rata-rata pada evaluasi akhir (post-test) seperti : untuk pengetahuan menjadi 23 (92 %) keterampilan 78,6 (78,6) dan sikap 34,9 (87,25 %). Keberadaan bahan belajar sebagai pendukung pelatihan juga dianggap peserta selain lebih menarik dan sederhana, juga dirasa lebih mudah untuk dipahami.
1.3. Keefektifan Model Pelatihan
Hasil analisis deskriptif dilakukan dengan membandingkan data dari setiap evaluasi pertama dan kedua, yang dilanjutkan dengan melakukan perbandingan atau melihat perbedaan dengan uji statistik non parametrik (uji wilcoxon). Dengan uji wilcoxon dapat dijadikan sebagai petunjuk mengenai seberapa jauh keefektifan dari model pelatihan keterampilan usaha terpadu yang dikembangkan terhadap kemampuan petani dalam beralih komoditas. Hasil implementasi model pelatihan keterampilan usaha terpadu ternyata mampu memberdayakan masyarakat dalam mengembangkan kemampuan berusaha. Analisis pengujian efektifitas dilakukan dengan melihat: (1) hasil perhitungan tiga aspek seperti; pengetahuan, keterampilan, dan sikap dari warga belajar, dan (2) nilai rata-rata dari ketiga
aspek.
Dari
hasil
perhitungan
memperlihatkan
terdapat
215
peningkatan atau perbedaan dan yang signifikan pada warga belajar, yang hasilnya bila dibandingkan antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan, adalah sebagai berikut:
a) Pengetahuan : Pada aspek pengetahuan, sebelum dilakukan tindakan uji coba tahap kedua kepada warga belajar terlebih dahulu diberikan tes tertulis dengan menggunakan pilihan berganda. Tes ini dilakukan dengan mengambil hasil tes akhir dari hasil uji coba tahap pertama untuk dijadikan sebagai awal atau sebagai ukuran kemampuan awal pada tahap kedua.
Dari hasil tes tertulis tersebut, yaitu hasil dari sebelum dan
sesudah dilakukan tindakan dimasukkan kedalam tabel penolong untuk tes wilcoxon. Dari 25 item pertanyaan yang diberikan, diperoleh nilai rata-rata (jumlah jawaban benar dibagi jumlah peserta) sebesar 19. Setelah dilakukan tindakan diperoleh rata-rata sebesar 23, dengan jenjang terkecil adalah 0. Dengan demikian dari tabel kritis uji wilcoxon untuk n = 10, dengan kesalahan alfa 0,05 maka T tabel = 8. Karena jenjang terkecil adalah 0, dan ternyata lebih kecil dari 8, maka terdapat perbedaan pengetahuan warga belajar antara sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan (Ho ditolak). Dengan demikian perbedaan yang dimaksud adalah terdapat perubahan positif dari pengetahuan warga belajar.
216
b) Keterampilan : Pada aspek keterampilan, dari 25 item pernyataan yang dituangkan kedalam lembaran observasi dan diuji menggunakan skala likert dengan empat pilihan kecakapan. Hasil tes sebelum dan sesudah dilakukan tindakan melalui skala likert tersebut, dimasukkan kedalam tabel penolong untuk tes wilcoxon. Hasil sebelum dilakukan tindakan uji coba tahap kedua (hasil akhir tahap satu) terhadap warga belajar diperoleh nilai rata-rata sebesar 71,5 dan setelah dilakukan tindakan diperoleh nilai rata-rata sebesar 78,6, dengan jenjang terkecil 0. Dengan demikian dari tabel kritis uji wilcoxon untuk n = 10, dengan kesalahan alfa 0,05 maka T tabel = 8. Karena jenjang terkecil adalah 0, dan ternyata lebih kecil dari 8, maka terdapat perbedaan keterampilan warga belajar antara sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan (Ho ditolak). Dengan demikian perbedaan yang dimaksud adalah terdapat perubahan positif dari keterampilan warga belajar.
c) Sikap: Pada aspek sikap, pengujiannya juga dilakukan menggunakan pernyataan yang dituangkan kedalam skala likert melalui empat pilihan sikap. menunjukkan adanya peningkatan atau perubahan sikap dari warga belajar walaupun tingkat signifikannya relatif kecil. Hasil sebelum dan sesudah dilakukan tindakan melalui skala likert ini juga dimasukkan kedalam tabel penolong untuk tes wilcoxon. Dari 10 item pernyataan
217
yang diberikan, perolehan rata-rata warga belajar sebelum dilakukan tindakan uji coba tahap kedua adalah 32,9 dan setelah dilakukan tindakan diperoleh nilai rata-rata sebesar 34,9, dengan jenjang terkecil tetap 0. Dengan demikian dari dari tabel kritis uji wilcoxon untuk n = 10, dengan kesalahan alfa 0,05 maka T tabel = 8. Karena jenjang terkecil adalah 0, dan ternyata lebih kecil dari 8, maka terdapat perbedaan sikap warga belajar antara sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan ( Ho ditolak). Dengan demikian perbedaan yang dimaksud adalah terdapat perubahan positif dari sikap warga belajar. Dengan mencermati hasil-hasil perhitungan tersebut, terhadap kelompok yang diberikan tindakan, terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah diberikan tindakan. Perbedaan tersebut merupakan efek dari model pelatihan keterampilan usaha terpadu, dimana efek model pelatihan yang dikembangkan memberikan dampak positif kepada warga belajar. Hasil analisis ini dapat menjawab permasalahan dalam penelitian, bahwa model pelatihan keterampilan usaha terpadu dalam memberdayakan masyarakat tani mengembangkan kemampuan berusaha terbukti efektif.
2. Pembahasan Umum
Penelitian ini secara praktis bertujuan untuk memberdayakan masyarakat petani penggarap lahan Perhutani di Desa Suntenjaya, yang dilakukan melalui pelatihan. Dengan pemberian pelatihan, masyarakat petani yang sebelumnya tidak memiliki mata pencaharian tetap, akan dapat
218
menemukan dan mengembangkan keterampilan baru yang dapat dijadikan sebagai pengganti mata pencaharian sebelumnya yang telah dilarang. Secara umum kondisi kehidupan masyarakat petani penggarap lahan Perhutani di desa Suntenjaya masih berada dalam garis kemiskinan. Diantara penyebabnya adalah selain rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan untuk berkembang, juga tidak dimilikinya modal dalam bentuk dana usaha dan hanya menghandalkan modal tenaga. Para petani penggarap lahan Perhutani yang bermodalkan tenaga ini, dalam menjalankan usahanya sebagai petani sayuran dilakukan dengan cara bagi hasil atau sebagai buruh tani. Usaha yang mereka jalankan lebih banyak dimodali oleh para juragan atau para pemilik modal yang bertempat tinggal diluar desa Suntenjaya, sehingga para pemilik modallah yang lebih berperan dan mendominasi usahanya dari pada si petani sendiri. Ketidakberdayaan yang dialami masyarakat petani desa Suntenjaya selain disebabkan oleh keterbatasan modal usaha, dan rendahnya tingkat pendidikan yang rata-rata hanya tamat Sekolah Dasar (SD), juga ditambah dengan tidak dimilikinya pengetahuan dan keterampilan lain yang dapat digunakan sebagai alternatif. Keterampilan bertani sayuran yang dimiliki masyarakat rata-rata diperoleh dengan cara belajar secara alami atau turun temurun dari orang tua mereka maupun dari sesama petani, sehingga dengan diberlakukannya larangan untuk bertani sayuran atau tanaman semusim masyarakat desa Suntenjaya tidak dapat berbuat banyak. Di samping adanya juga faktor lain yang menjadi penyebab masyarakat petani
219
kurang berkembang, seperti sikap yang selalu pasrah pada nasib. Kondisi semacam ini memberi tekanan terhadap sosiokultur pada kehidupan masyarakat petani yang akan selalu hidup dalam ketidakberdayaan. Pernyataan ini sejalan dengan ungkapan Soewardi (1972) dalam Safuri (2003:216) yang menyatakan; bahwa ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia khususnya di Jawa lebih disebabkan oleh faktor-faktor struktur dan terutama kultural yang mewarnai kehidupan ekonomi elit dengan ekonomi rakyat. Faktor-faktor kultur tersebut diantaranya adalah tidak berorientasi ke masa depan, tidak suka menabung untuk peningkatan investasi atau karena penghasilannya yang sudah tidak mencukupi, kurang ulet dan cepat menyerah, suka berpaling keakhirat, lamban dan kurang respon terhadap pembaharuan. Faktor-faktor struktur yang menghambat keberdayaan masyarakat, adalah lemahnya akses terhadap unsur-unsur kemajuan seperti modal, teknologi, manajemen, informasi dan pemasaran. Ketidakberdayaan petani hortikultura membuat mereka semakin terdesak, bukan saja terhadap lingkungan eksternal yang diluar sektor pertanian, tetapi juga internal dalam kehidupan petani yang semakin terpuruk dan rawan konflik perebutan lahan atau perambahan hutan yang semakin luas karena sumber-sumber potensi alam yang semakin menipis serta distribusi pendapatan yang tidak merata. Distribusi pendapatan ini mempunyai konsekuensi terhadap laju pertumbuhan ekonomi, karena dengan semakin tidak meratanya distribusi pendapatan, makin tinggi pula kesenjangan pendapatan. Pendapatan masyarakat selagi masih menjadi
220
petani sayur banyak ditentukan oleh modal atau biaya, namun saat ini tidak cukup hanya dengan biaya, akan tetapi harus ditambah dengan modal pengetahuan dan keterampilan baru. Dengan diberikannya pelatihan keterampilan usaha terpadu, masyarakat sebagai warga belajar dapat memanfaatkan pengalaman yang telah dimiliki sebagai sumber belajar potensial untuk dikembangkan. Pernyataan ini cukup beralasan, karena di dalam kegiatan pembelajaran berdasarkan empowering process, selalu menekankan pendekatan yang memperluas pengalaman warga belajar untuk memperoleh pemahaman dan mengontrol segala kekuatan yang ada di masyarakat seperti kekuatan sosial, ekonomi dan politik. Proses pembelajaran yang dilakukan dalam pelatihan keterampilan usaha terpadu selalu dikaitkan dengan masalahmasalah dan kebutuhan warga belajar, serta mengutamakan kerjasama dalam menemukan pemecahannya. Dalam aplikasinya, pembelajaran dan pelatihan diawali dengan pembentukan kelompok belajar dan penyiapan sumber
belajar.
Sumber
belajar
mengembangkan
kepemimpinan
partisipatif dan secara bertahap mengalihkan tanggung jawab belajar kepada kelompok. Kegiatan ini didukung oleh pengembangan proses dan hubungan-hubungan demokratis, yang dalam pembelajarannya juga mengintegrasikan proses replektif dan tindakan, serta menggunakan metode yang tepat untuk meningkatkan rasa percaya diri bagi warga belajar (Trisnamansyah, 1993 :9).
221
Dari uraian yang digambarkan diatas, ada dua asumsi yang perlu diperhatikan dalam memberdayakan masyarakat miskin. Pertama, ketidakberdayaan kelompok miskin dianggap sebagai akibat dari syndrom kemiskinan yang melekat pada kehidupan kelompok miskin itu sendiri. Kedua, ketidakberdayaan itu dianggap sebagai konsekuensi dari bentuk
pengelolaan pelayanan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya, kelompok sekarang dianggap sebagai korbannya. Bagi masyarakat
petani
hortikultura
menganggap
asumsi
kedua
ada
kebenarannya, karena orientasi pembangunan yang kurang memperhatikan rakyat kecil. Eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik modal kepada petani mengakibatkan harga jual produksi pertanian menjadi rendah, karena pemilik modal yang menentukan harga jualnya. Sebagai akibatnya masyarakat akan terus selalu dalam lingkaran kemiskinan. Pemberian
pelatihan
keterampilan
usaha
terpadu
mampu
memberikan daya dorong kepada warga belajar, karena selain dalam program pembelajarannya menyajikan bahan belajar yang memiliki muatan keterampilan, juga mengembangkan model yang berorientasi kepada kehidupan, dan menolong warga belajar untuk lebih menyadari nilai-nilai internal dan eksternal. Kegiatan ini juga dapat mendorong warga belajar untuk berusaha sendiri mencari dan menyerap informasi baru, mengembangkan tujuan dan komitmen sendiri, berusaha turut membantu masyarakat agar dapat memberdayakan dirinya secara terarah dan berkesinambungan.
222
Pelaksanaan pembelajaran dalam pelatihan keterampilan usaha terpadu dilakukan secara partisipatif, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya perasaan rendah diri, patah semangat, tidak berdaya terhadap tekanan lingkungan, sikap hormat yang berlebihan diberikan warga belajar kepada sumber belajar. Kegiatan pembelajaran yang dikembangkan dalam pelatihan ini sejalan dengan ungkapan Srinivasan (1977:25), yaitu bertujuan untuk; (1) memperkuat kemampuan warga belajar dalam upaya pemecahan masalah melalui motivasi belajar sepanjang hayat, (2) melengkapi
warga
belajar
dengan
berbagai
keterampilan
untuk
menghadapi lingkungan secara baik dengan pemberian keterampilan produktif, dan (3) mengembangkan kemampuan warga belajar dan memperkuat kesadaran diri secara positif, dalam bentuk pembelajaran keterampilan berusaha dan pengenalan potensi diri dan lingkungannya. Secara umum sesuai hasil pengembangan model dan pembahasan dalam pelatihan keterampilan usaha terpadu, ada empat hal penting yang perlu dilakukan bagi masyarakat petani penggarap lahan Perhutani sebagai upaya alih komoditas. Keempat hal yang direkomendasikan dalam model akhir untuk meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat petani selain; (1) pendidikan (pembelajaran dan pelatihan) itu sendiri, juga (2) permodalan, (3) pendampingan, dan (4) kemitraan. Dengan adanya penambahan perlakuan pada hal-hal tersebut, akan dapat meningkatkan atau mengembangkan usaha yang dijalankan warga belajar, sehingga mereka memiliki matapencaharian tetap yang akan berdampak pada
223
peningkatan pendapatan maupun kehidupan. Masing-masing dari upaya tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Pendidikan (pembelajaran dan pelatihan) Pemberian pendidikan bagi masyarakat petani penggarap lahan Perhutani, merupakan tuntutan riil yang harus dipenuhi sebagai investasi sumberdaya manusia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Investasi jangka pendek mencakup peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta pelaksanaan penyuluhan pertanian secara terpogram. Sedangkan untuk jangka panjang mencakup pelayanan pendidikan persekolahan dan kesehatan. Kondisi latar belakang pendidikan masyarakat petani penggarap di Suntenjaya sangat memprihatinkan. Jika dilihat rata-rata tingkat pendidikan petani penggarap di Kabupaten Bandung sangat rendah (90 % berpendidikan SD). Serta anak laki-laki bagi keluarga petani merupakan aset sebagai tenaga kerja yang dapat membantu keluarganya dalam kegiatan mengelola lahan pertanian. Kegiatan seperti ini bertujuan untuk mengurangi biaya produksi dan menambah penghasilan. Walaupun mampu mendatangkan hasil, namum kondisi demikian hanya untuk jangka pendek, sedang bila dilihat dari jangka panjang hakekatnya mengorbankan generasi petani yang memiliki kecakapan dan sesuai (competence and compatible) dengan tuntunan rill pertanian untuk saat
ini dan masa depan.
224
Dengan pemberian pelayanan pendidikan, kesehatan dan gizi yang mencukupi kapada anak-anak petani, tentu akan melahirkan generasi petani yang relevan dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian. Anak-anak petani yang sehat dan bermutu akan mampu meningkatkan dan menganekaragamkan kegiatan ekonomi keluarga. Dengan demikian lahan yang diolah tidak semata-mata hanya untuk kegiatan bertani saja, akan tetapi dapat digunakan dengan kegiatan berternak dan usaha lainnya. Di samping itu hasil pertanian yang selama ini di jual melalui tengkulak, akan dapat dilakukan sendiri oleh petani.
2) Permodalan Permodalan bagi semua kegiatan usaha merupakan kebutuhan utama. Hanya saja bagi sebagian masyarakat modal hanya selalu ditafsirkan dalam bentuk materi atau uang, dan mereka tidak menyadari kalau tenaga, pikiran, pengetahuan dan keterampilan juga merupakan modal. Unsur-unsur yang juga merupakan modal tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain, karena uang tanpa ilmu pengetahuan juga akan kurang bermanfaat. Walaupun demikian memang tidak dapat dipungkiri bahwa modal dalam bentuk uanglah yang dirasakan paling dominan dalam kegiatan usaha termasuk usaha pertanian. Bahkan jumlah permodalan yang dibutuhkan di sektor ini juga membutuhkan investasi yang cukup mahal. Kantor-kantor unit BRI kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung, terutama kecamatan
225
Lembang sudah menyediakan dana untuk bantuan Kredit Tanpa Agunan (KTA) kepada masyarakat, namun karena adanya keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki masyarakat petani, mereka belum berani atau belum tau cara untuk mendapatkannya. Dengan alasan tersebut, maka selain memberikan pelatihan kepada masyarakat petani penggarap desa Suntenjaya, juga diperlukan penambahan dengan program pendampingan dan kemitraan..
3) Pendampingan Kegiatan pendampingan merupakan suatu proses belajar dan bekerja bagi petani. Proses pendampingan lebih ditekankan pada unsur pembinaan agar mereka dapat menjalankan usahanya sendiri. Proses pendampingan bukan berarti ketidakpercayaan kita terhadap inisiatif yang dilakukan oleh petani dan anak-anaknya dalam melakukan usaha, tetapi secara empiris bakal pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui bangku sekolah apalagi hanya tamat SD dirasa belum cukup memberi bekal secara langsung untuk kegiatan pertanian yang mereka hadapi. Pendampingan dilakukan berkenaan dengan aspek manajemen usaha, penggunaan modal usaha, pengolahan dan pemasarannya. Jika petani atau anak-anak petani tidak dikenalkan sejak dini tentang bagaimana menjaga kelestarian lingkungan, maka selain akan menurunkan hasil produksi pertanian yang akan terus menurun, juga peran hutan sebagai daerah resapan air akan menurun
226
juga. Petani penggarap lahan Perhutani secara umum dan khususnya di Kecamatan Lembang juga harus dibekali dengan pengetahuan dan praktek konservasi lingkungan dan sumberdaya alam, sehingga kemakmuran/kesejahteraan petani yang diperoleh dari kegiatan mengolah lahan hutan dapat berjalan dengan baik sesuai ketentuan dan berlangsung secara lestari.
3). Kemitraan Tingkat pendidikan petani penggarap yang masih rendah mengakibatkan para petani bekerja dengan cara-cara tradisional, dan agak sulit untuk menerima perubahan. Petani masih menganggap kalau cara berusaha mereka selama ini tidak akan bakal merugikan orang lain dan membahayakan kelestarian lingkungan. Salah satu pendekatan yang ditempuh untuk mengantisipasi hal tersebut adalah melalui pola kemitraan. Prinsip-prinsip yang harus dikembangkan dalam melaksanakan pola kimitraan antara lain: (1) saling menguntungkan, (2) kesamaan derajat dan kedudukan, (3) kolaboratif, dan (4) saling percaya dan memberdayakan. Pola kemitraan dapat dilakukan secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dalam implementasinya perlu ada inisiator, dapat dari petani yang kredibel (tokoh petani), Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Kehutanan, PT. Perhutani atau agen pembaharu yang melakukan pola kemitraan, dan dapat juga diantara petani sendiri
227
yang telah maju dengan petani tradisional atau yang masih lamban terhadap adopsi inovasi. Secara vertikal pola kemitraan diwujudkan melalui kerjasama antara para petani dengan dinas-dinas yang terkait di bidang pertanian dan peternakan, lembaga permodalan, industri pengolahan hasil pertanian dan peternakan, dan pemasaran.
Selain keempat hal yang direkomendasikan tersebut, kegiatan pengembangan model yang dilakukan tetap mengedepankan kebutuhan warga belajar seperti; (1) melihat potensi sumberdaya yang ada, (2) bahan belajarnya diarahkan pada pendidikan mata pencaharian, dan (3) penetapan jenis usaha yang sesuai. Pengembangan model pembelajaran juga dilakukan melalui instrumen pelatihan dengan memanfaatkan sumber belajar, warga belajar, dan instansi terkait lainnya yang dilakukan sejak persiapan sampai uji coba. Sedangkan instrumen pembelajaran keterampilan menggunakan bahan belajar berupa buku kecil dengan bahasa Indonesia yang sederhana dan dilengkapi dengan ilustrasi gambar. Keterpaduan berbagai komponen dari model yang dikembangkan secara umum meliputi tiga tahapan, yaitu : perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pelatihan. Rancang bangun konseptual sebagai model akhir yang dikembangkan melalui tahapan tersebut, keterpaduannya terdiri dari; sistem, proses, pendekatan, materi dan metode pelatihan yang saling terkait sehingga membentuk satu kesatuan sebagai produk model pelatihan keterampilan usaha terpadu. Konseptualisasi model akhir yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar 4.4. berikut:
228
229
Dari hasil pembahasan dan analisis Model Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu, model pelatihan yang dikembangkan pada pengujian efektifitas model menemukan beberapa proposisi sebagai berikut. a. Desa Suntenjaya yang sebagian merupakan desa hutan, memiliki potensi sumberdaya alam dan lingkungan yang baik sebagai daerah pertanian. Sumberdaya ini merupakan aset yang sangat berharga dan dapat diolah atau dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Di samping itu, karena sebagian besar masyarakat Suntenjaya hidupnya lebih banyak bergantung dari mengolah lahan hutan atau sebagai Masyarakat Desa Hutan, maka dalam mengolah sumber-sumber tersebut diperlukan kerjasama dari berbagai pihak terutama pihak Perhutani Bandung Utara agar tidak terjadi kesalahan. b. Usaha terpadu yang dikembangkan masyarakat petani penggarap sebagai usaha ekonomi produktif adalah; usaha bertani pisang, beternak sapi, beternak kelinci, dan melakukan jual beli. Usaha ini memiliki karakteristik (1) memiliki keunggulan dalam mengantisipasi krisis yang sedang dihadapi masyarakat petani, (2) sesuai kebutuhan dan tumbuh atas prakarsa warga masyarakat setempat, dan (3) memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi desa. c. Tingkat keberhasilan dalam penyelenggaraan program PLS seperti kegiatan pelatihan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantara faktor yang dianggap kuat adalah dengan adanya kejelasan kerangka model
230
(petunjuk teknis) dari program yang diluncurkan, yaitu dapat memberikan acuan bagi penyelenggara program di lapangan. d. Implementasi penyelenggaraan program PLS hendaknya dikelola dalam kerangka sistem yang sistematis dan komprehensip. Dalam penelitian dan penyelenggaraan model pelatihan keterampilan usaha terpadu ini menggunakan delapan langkah sistem pembelajaran. e. Pelatihan keterampilan yang diterapkan mampu meningkatkan keberdayaan ekonomi masyarakat, seperti untuk ; (1) meningkatkan keterampilan fungsional, (2) meningkatkan pendapatan, dan (3) meningkatkan akses terhadap sumber-sumber bagi kepentingan pengembangan usaha. f. Keefektifan dari model pelatihan keterampilan usaha terpadu bagi masyarakat petani, bukan saja terletak seberapa besar peningkatan pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap yang dihasilkan dari pelatihan, akan tetapi juga diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan kemandirian bagi petani.
E. Temuan, Indikator Keberhasilan dan Keterbatasan Penelitian 1. Temuan Penelitian
Dalam penelitian model pelatihan keterampilan usaha terpadu ini peneliti menggunakan subjek penelitian yang diambil secara purposive, dan terpilih sebanyak 10 orang sebagai warga belajar. Untuk kegiatan analisis dari kesepuluh warga belajar yang terpilih digunakan seluruhnya. Dari kegiatan
231
analisis yang dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif, jawaban kesepuluh warga belajar ditabulasikan kedalam tabel induk penelitian. Berdasarkan tabel induk penelitian tersebut kemudian dianalisis secara rinci sesuai dengan rancangan analisis yang telah dikemukakan sebelumnya. Dari analisis secara kualitatif ditemukan bahwa kesepuluh warga belajar tersebut mampu diberdayakan melalui sebuah program pelatihan dalam mengembangkan kemampuan berusaha. Selesai mengikuti pelatihan warga belajar dapat mengidentifikasi sumber-sumber yang dapat mendukung rencana usaha yang akan dijalankan. Sumber-sumber tersebut seperti penyandang dana atau modal usaha, pendamping dan mitra kerja dalam menjalankan usaha. Target dari kegiatan pelatihan ini dirasa telah tercapai dan cukup memuaskan. Hasilnya, ditandai dengan tingkat pemahaman peserta terhadap konsep dasar dan manfaat usaha terpadu termasuk dalam kategori baik. Dampak dari pelatihan mampu meningkatkan keterampilan warga belajar yang sebelumnya tidak mereka pahami secara dalam. Di samping itu tingkat kepedulian masyarakat terhadap sesama petani dan lingkungan sangat baik, kalau sebelumnya mereka menjalankan usaha tidak memperhatikan akan dampak lingkungan dan cara bekerjanya lebih banyak secara sendiri-sendiri, setelah mengikuti pelatihan warga belajar mampu memilih dan menentukan usaha secara bersama-sama. Selain jenis keterampilan yang dijadikan usaha sesuai dengan kondisi lingkungan, juga tingkat kepedulian sesama petani dalam menjalankan usaha kelompok semakin tinggi. Jadi secara deskriptif tujuan instruksional baik secara umum maupun khusus telah tercapai.
232
Temuan dari hasil analisis kualitatif diperkuat oleh temuan dari analisis yang dilakukan secara kuantitatf. Analisis kuantitatif bertujuan untuk melihat hasil perbandingan dua subjek yang berpasangan yaitu warga belajar sebelum dan sesudah pelatihan. Dari hasil analisis kuantitatif diketahui bahwa telah terjadi perbedaan secara nyata antara warga belajar sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan, sehingga dapat dikatakan bahwa pelatihan keterampilan usaha terpadu terbukti efektif dalam memberdayakan warga belajar mengembangkan kemampuan berusaha. Di samping itu dari hasil analisis juga menunjukan bahwa kegiatan pelatihan keterampilan usaha terpadu membawa dampak posistif terhadap warga belajar. Diantara dampak yang ditimbulkan seperti dapat merubah persepsi maupun sikap dari warga belajar dalam menjalankan usaha. Dari hasil analisis deskriptif maupun uji non parametrik, keduanya menunjukan bahwa tujuan dari penelitian untuk memberdayakan masyarakat petani penggarap dalam menemukan dan menjalankan usaha baru dapat tercapai. Dari hasil temuan di lapangan juga menunjukkan bahwa model pelatihan ini ternyata sesuai dan ideal bagi masyarakat petani penggarap dalam meningkatkan kemampuan berusaha. Temuan lain dari hasil pelatihan adalah dengan dapat langsung diterapkannya keterampilan jual beli dengan melakukan jual beli pisang. Keterampilan berjual beli dilakukan, selain dengan membeli pisang dari desa Suntenjaya juga dengan membeli pisang dari desa terdekat di luar Suntenjaya. Hasil dari kegiatan berjual beli pisang, keuntungannya mereka gunakan untuk
233
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kegiatan ini dilakukan dengan membagi tugas secara bergiliran kepada anggota yang ada dalam kelompok, karena harus dibarengi dengan tugas-tugas lain dari hasil pelatihan yang juga harus tetap dikerjakan. Selain temuan diatas, diketahui kalau di desa Suntenjaya belum ada yang memberikan bantuan kepada masyarakat dalam bentuk apapun, terutama setelah diberlakukannya larangan untuk menggarap lahan Perhutani. Pelatihan yang diberikan ini hanya bersifat stimulan kepada sebagian kecil masyarakat, sedangkan secara lebih luas masih diperlukan adanya koordinasi dari berbagai pihak atau instansi terkait dalam melakukan pembinaan secara integratif dan komprehensif. Apabila program pembinaan secara terpadu kepada masyarakat petani penggarap lahan Perhutani dapat dilaksanakan, maka sebagian besar masyarakat petani yang tinggal di sekitar hutan atau hidup sebagai masyarakat desa hutan, selain dapat meningkatkan taraf hidup dan hidup mandiri, juga akan mampu mengurangi urbanisasi. Uraian diatas merupakan gambaran keberhasilan dari penyelenggaran sebuah model pelatihan keterampilan usaha terpadu yang telah dikembangkan. Hasil penyelenggaraan pelatihan bagi petani sebagai upaya alih komoditas tersebut diharapkan akan dapat keberlanjutan dalam bentuk usaha. Dengan adanya keberlanjutan program dalam bentuk usaha, maka masyarakat petani dapat menemukan jenis keterampilan baru yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan, yang akhirnya akan berdampak pada peningkatan kehidupan.
234
2. Indikator Keberhasilan Penelitian
Keefektifan dari model yang dilaksanakan dapat diketahui dengan melihat tingkat kesesuaian dari model dengan program pelatihan keterampilan usaha terpadu terhadap kebutuhan peserta pelatihan. Sebagai indikator untuk mengukur keberhasilan model adalah adanya kesesuaian materi pelatihan dengan kebutuhan peserta. Di samping itu program pelatihan yang diselenggarakan memiliki dampak positif sebagai proses perubahan sesuai keinginan petani, yang diantaranya : a) Masyarakat petani penggarap lahan Perhutani mampu mengembangkan usahanya sebagai upaya alih komoditas. b)
Masyarakat
petani menjadi
bersemangat
untuk
berusaha
dalam
memanfaatkan lahan kembali dengan jenis komoditas yang sesuai c) Masyarakat petani menjadi memiliki jenis usaha beragam yang dilakukan atau dikerjakan sebagai usaha kelompok. d) Masyarakat petani menjadi terbuka dan menyadari segala perubahan yang terjadi serta menerima pihak-pihak lain yang ingin membantu e) Menyadari akan manfaat iklim saling belajar dan bekerjasama baik dengan sesama peserta maupun dengan lingkungan sekitar f) Menumbuhkan rasa percaya diri dan keinginan untuk menjalankan usaha secara mandiri g) Masyarakat petani mampu menjalin kerjasama dengan berbagai instansi terkait sehubungan dengan kegiatan usahanya
235
3. Keterbatasan Penelitian.
Segala keterbatasan yang tidak terhindarkan dalam penelitian ini, tetap diupayakan untuk tidak mengurangi makna dari hasil penelitian.; Pertama, penelitian pengembangan ini dilaksanakan dalam kelompok
kecil yang memiliki karakteristik tersendiri yaitu petani hortikultura. Padahal masih banyak lagi masyarakat di kecamatan dan desa yang sama yang terkena kebijakan tentang larangan untuk menggarap lahan Perhutani belum memperoleh kesempatan untuk diberikan pelatihan. Kedua, hasil penelitian dan pengembangan dari model ini hanya baru
diujicobakan pada satu kelompok tani saja, sehingga keefektifan model pelatihan masih perlu diuji cobakan kepada kelompok tani yang lebih luas, terutama kepada masyarakat tani dengan karakteristik yang berbeda, guna memperoleh kekonsistenan keefektifan model pelatihan keterampilan usaha terpadu sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam mengembangkan kemampuan berusaha. Ketiga, berkaitan dengan lingkup penelitian, terutama dalam
penjabaran komponen yang dijadikan indikator kesesuaian dalam instrument masih dirasakan kurang lengkap. Dengan kekurangan ini, maka masih diperlukan penjabaran lebih lanjut sehingga komponen-komponen model pelatihan keterampilan usaha terpadu dalam upaya alih komoditas, terutama bagi warga belajar atau kelompok petani yang tidak memiliki mata pencaharian tetap lagi akan menjadi lebih sempurna.
236
Keempat, penelitian ini hanya untuk memberdayakan masyarakat
petani melalui sebuah pelatihan agar dapat mengembangkan kemampuan dalam beralih komoditas pada jenis tertentu saja, dan hanya baru pada sebagian kecil masyarakat. Dari hasil penelitian ini masih memungkinkan untuk dilanjutkan dengan pengembangan kejenis keterampilan lain sesuai potensi daerah, terutama diperuntukkan bagi msyarakat petani lain yang belum menerima pelatihan.