perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN Bab ini pertama menganalisis wacana WB dari segi bahasa yang meliputi peranti kohesi gramatikal dan kohesi leksikal, kedua menelaah nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam WB, ketiga mendeskripsikan relevansi WB dengan pembelajaran BJ di sekolah. Kohesi merupakan salah satu aspek utama dalam analisis wacana. Peranti kohesi sangat menetukan kepaduan dan kebermaknaan wacana. Dengan kata lain, wacana yang padu ialah wacana yang secara gramatikal/bentuk bersifat kohesif dan secara semantik atau hubungan makna bersifat koheren. Seperti yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya, bahwa sarana untuk membentuk wacana yang kohesif dan koheren pastilah didukung adanya peranti kohesi baik grmatikal maupun leksikal sebagai benang pengikat wacana atau perekat antarkalimat/antarparagraf yang mendukung kepaduan wacana. Dalam hal ini yang dimaksud sebagai benang pengikat wacana tersebut adalah peranti kohesi gramatikal dan peranti kohesi leksikal. Peranti kohesi gramatikal yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi: (1) pengacuan (referensi), (2) pelesapan (elipsis), (3) penyulihan (subtitusi), dan (4) perangkaian (konjungsi). Peranti kohesi leksikal yang ditemukan meliputi: (1) pengulangan (repetisi), (2) padan kata (sinonimi), (3) lawan kata (natonimi), (4) sanding kata (kolokasi), (5) kesepadanan (ekuivalensi), dan (6) hubungan atas bawah (hiponimi). Wacana BJ, dalam hal ini adalah WB terdapat peranti kohesi gramatikal dan leksikal yang dipaparkan dalam satuan lingual yang berbeda-beda. Adapun uraiannya dapat diperhatikan pada analisis data berikut ini.
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
1. Peranti Kohesi Wacana a. Peranti Kohesi Gramatikal 1) Pengacuan (referensi) Pengacuan (referensi) merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (referen) yang mendahului ataupun mengikutinya. Pengacuan (referensi) yang dimaksud diwujudkan dalam bentuk pronomina. Dalam penelitian ini ditemukan dua jenis pronomina, yaitu pengacuan persona (pengacuan kata ganti orang) dan pengacuan demonstratif (pengacuan kata ganti penunjuk). a) Pengacuan persona Pengacuan persona terealisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang), yang meliputi persona pertama (persona I), persona kedua (persona II), dan persona ketiga (persona III) baik yang tunggal maupun jamak serta bentuk terikat maupun bebas. Pronomina persona pertama (persona I) tunggal baik yang bentuk bebas maupun terikat yang ditemukan dalam penelitian ini sebagai berikut. Data (4) “Ya ngono iku, piwulang sing bisa dijupuk saka potelot. Kaya sing wis dakandharake mau, yen kowe bisa nindakake lan ngugemi piwulangpiwulang kuwi, uripmu bakal luwih migunani,” simbah putri mungkasi critane karo menerake anggone lenggah. [PS/PSP/14] „Begitulah, piwulang yang bisa diambil dari pensil. Seperti apa yang telah saya jelaskan tadi, kalau kamu bisa melaksanakan dan percaya pada piwulang-piwulang itu, hidupmu akan berguna,” nenek mengakhiri ceritanya sambil membenahi duduknya.‟ Pada data (4) terdapat bentuk pengacuan pronomina persona I tunggal lekat kiri yang ditandai oleh klitik dak „saya‟ yang melekat pada kata dakandharake „saya jelaskan‟ yang mengacu pada referen yang terdapat dalam teks (bersifat endofora) dan berada di sebelah kanan atau disebutkan kemudian (kataforis) yaitu mengacu pada simbah putri „nenek‟ sebagai penutur dalam tururan di atas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
Data (5) “Inggih, mBah. Dakusahakake supaya saged ngugemi lan nindakaken piwulang-piwulang saking potelot menika, “kandhane putune ngyakinake. [PS/PSP/15] „Ya, Nek. Saya usahakan supaya bisa sungguh-sungguh dan melaksanakan piwulang-piwulang dari pensil tersebut,” kata cucunya meyakinkan.‟ Sama seperti pembahasan sebelumnya, pada data (5) ini, terdapat klitik dak „saya‟ yang merupakan pengacuan pronomina persona I tunggal yang mengacu pada cucu nenek. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan itu, maka dapat diidentifikasikan sebagai kategori jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (karena acuhannya terdapat dalam teks dan terletak disebelah kanan atau disebutkan kemudian) melalui pronomina persona I tunggal lekat kiri (melekat pada kata dakusahakake „saya usahakan‟. Data (6) Krungu pangalembana kasebut, wit kuwi mangsuli, “Suwun mitraku. Nggaweya susuhan ing pangku kene.” [PS/SSKS/3] „Mendengar pujian tersebut, pohon itu menjawab, “Terima kasih sahabatku. Buatlah sarang di rantingku sini.‟ Data (7) “Yen, kowe pengin ngrasakake wohku, mangga, jupuken lan rasakna,” kandhane wit iku marang si Kenari. [PS/SSKS/5] „Kalau, kamu ingin merasakan buahku, silakan mengambil dan rasakan,” kata pohon itu kepada si Kenari.‟ Pada data (6) dan (7) di atas terdapat kasus yang sama yaitu terdapat pronomina persona I tunggal terikat lekat kanan yang diketahui dari enklitik -ku yang melekat pada kata mitraku „sahabatku‟ dan pangku „dahanku‟ pada data (6) dan kata wohku „buahku‟ pada data (7). Satuan lingual –ku tersebut semuanya mengacu pada wit „pohon‟ yang terdapat di dalam teks. Dari identifikasi tersebut, satuan lingual –ku yang melekat pada kata mitraku „sahabatku‟, pangku „dahanku‟, dan wohku „buahku‟ merupakan jenis kohesi gramatikal endofora anaforis (unsur yang diacu berada di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69
dalam teks yang disebutkan terdahulu atau antesedennya berada di sebelah kiri) melalui pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (8) Weruh wit kuwi krasa lara, manuk Platuk kuwi banjur njlentrehake, “Aku weruh sajroning awakmu ana uler, dakthotholi ben metu. Merga yen ora dakthotholi, awakmu bisa dadi lara.” [PS/SSKS/6] „Melihat pohon itu merasakan sakit, burung Pelatuk itu kemudian menjelaskan, “Saya melihat disekujur tubuhmu ada ulat, saya patuki agar keluar. Karena kalau tidak saya patuki, kamu bisa jadi sakit.‟ Pada kutipan data (8) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai dengan kata aku „saya‟ dan pronomina persona I tinggal bentuk terikat lekat kiri yang ditandai dari satuan lingual dak- yang melekat pada kata dakthotholi „saya patuki‟, semuannya mengacu pada manuk platuk „burung pelatuk‟ yang terdapat di dalam teks. Dengan ciri-ciri yang telah disebutkan tersebut maka kata kula „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan persona I tunggal bentuk bebas, sedangkan klitik dak- merupakan pengacuan persona I tunggal bentuk terikat lekat kiri. Kedua satuan lingual tersebut merupakan pengacuan endofora anaforis karena referen/acuhannya terdapat di dalam teks, tepatnya mengacu pada antesenden di sebelah kiri atau mengacu pada unsur/referen yang telah disebutkan terdahulu. Kemudian untuk mengetahui kadar keintian unsur lingual (pronomina persona) yang menjadi fokus pembahasan, maka selajutnya akan diuji dengan teknik lesap. (8a.)*Weruh wit kuwi krasa lara, manuk Platuk kuwi banjur njlentrehake, “Ф weruh sajroning awakmu ana uler, Фthotholi ben metu. Merga yen ora Фthotholi, awakmu bisa dadi lara.” *„Melihat pohon itu merasakan sakit, burung Pelatuk itu kemudian menjelaskan, “Ф melihat disekujur tubuhmu ada ulat, Фpatuki agar keluar. Karena kalau tidak Фpatuki, badanmu bisa jadi sakit.”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70
Hasil analisis data (8a) setelah dikenai teknik lesap pada pronomina persona aku „saya‟ dan dak-, tuturannya menjadi tidak gramatikal karena unsur tersebut menjabat fungsi penting dalam kalimat, sehingga unsur tersebut wajib hadir dalam struktur kalimat tersebut, dengan kata lain unsur tersebut merupakan unsur inti dalam struktur kalimat. Penggunaan kata aku „saya‟ dan dak- „ku-„ pada struktur tersebut memberi efek kepada pembaca seolah-olah dapat memerankan langsung apa yang dilakukan oleh pelaku dalam teks (manuk platuk „burung pelatuk‟). Data (9) “Pancen lamis pangucapmu. Kowe notholi aku, mesthi arep mateni aku ta. Wis saiki ngaliha, ngaliha adoh saka aku!” kandhane wit kuwi sengit. [PS/SSKS/7] “Memang manis ucapanmu. Kamu mematuki saya, pasti akan membunuhku, ya kan. Sudah sekarang pergilah, pergilah menjauh dariku!” kata pohon itu sinis. Pada data (9) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas aku „saya‟ yang mengacu pada unsur lain yang berada dalam teks yang disebutkan kemudian yaitu kata wit „pohon‟. Dengan ciri-ciri seperti itu maka kata aku „saya‟ termasuk kategori kohesi gramatikal pengacuan (referensi) endofora (karena acuhannya terdapat dalam teks), yang bersifat kataforis (karena mengacu pada unsur yang disebutkan berikutnya atau antesedennya berada di sebelah kanan) melalui satuan lingual berupa pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Kemudian data diuji dengan teknik lesap untuk mengetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan (pronomina persona I aku saya‟). (9a) * “Pancen lamis pangucapmu. Kowe notholi Ф, mesthi arep mateni Ф ta. Wis saiki ngaliha, ngaliha adoh saka Ф!” kandhane wit kuwi sengit. [PS/SSKS/7] * „Memang manis ucapanmu. Kamu mematuki Ф, pasti akan membunuh Ф, ya kan. Sudah sekarang pergilah, pergilah menjauh dari Ф!” kata pohon itu sinis.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71
Setelah diuji dengan menggunakan teknik lesap, ternyata data (9a) menjadi tidak gramatikal atau tidak berterima, dengan alasan informasi yang disampaikan menjadi tidak jelas/tidak komplet. Dengan argumen tersebut maka, unsur pronomina persona I aku „saya‟ wajib hadir dalam struktur tuturan tersebut. Seperti pada data sebelumnya, penggunaan kata aku „saya‟ pada struktur tersebut pengarang lakukan untuk memberi efek menempatkan pembaca seolah-olah memerankan langsung apa yang dilakukan oleh pelaku dalam teks (wit „pohon‟), sehingga pembaca seakan-akan berinteraksi langsung dan merasakan langsung apa yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita pengarang. Data (10) Wit kasebut kandha, “Sing nembang lan menehi pepuji durung mesthi dadi kanca, nanging sing gelem nuduhake kakurangan lan gelem ngrewangi ngluwari masalahku, yakuwi kanca sejati.” Mangkono tembange wit ksb. [PS/SSKS/14] „Pohon tersebut berkata, “Yang menyanyikan dan memberi pujian belum pasti sahabat, akan tetapi yang mau menunjukan kekurangan dan mau membantu memecahkan masalahku, itulah sahabat sejati.” Begitu nyanyian pohon tersebut.‟ Pada data (10) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai dengan satuan lingual –ku pada kata masalahku yang mengacu pada wit „pohon‟ yang terdapat di dalam teks yang terletak di sebelah kanan atau disebutkan kemudian. Dengan ciri-ciri semacam itu maka –ku adalah jenis kohesi gramtikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (11) “Prajurit, aku krungu yen ing kutha Bagdad iki ana wargaku kang misuwur nduweni sipat kang sabar, tlaten lan jujur, mula kowe takutus supaya mbuktekake apa kahanan kasebut iku pancen bener. Menawa kahanan kang kaya mangkono iku bener, aku bakal menehi kanugrahan.” “Kados pundi cara kula mbuktekaken perkawis punika sang raja?” [PS/TAW/5] „Prajurit, saya mendengar bahwasanya di kota Bagdad ini ada wargaku yang terkenal mempunyei sifat yang sabar, teliti, dan jujur, maka kamu saya utus commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72
supaya membuktikan apakah keberadaan tersebut memang benar. Kalau keadaan tersebut memang benar, saya akan memberikahan anugerah.” “Bagaimana cara hamba membuktikan masalah tersebut sang raja?‟ Pada data (11) di atas terjadi dua tuturan yang pertama dituturkan oleh sang raja di kota Bagdad dan tuturan kedua dituturkan oleh seorang prajurit. Pada tuturan pertama terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas aku „saya‟ dan pronomina persona I tunggal bentuk terikat yaitu –ku dan tak-, ketiga referensi tersebut mengacu pada unsur lain yang berada dalam teks sebelumnya, yaitu sang raja Bagdad yang bijaksana (orang menuturkan itu). Dengan ciri-ciri yang disebutkan tersebut maka satuan lingual aku, -ku, dan tak- „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis (karena acuhannya berada dalam teks dan terletak di sebelah kiri atau antesedennya disebutkan sebelumnya), hanya bedanya kata aku „saya‟ merupakan pronomina persona I tunggal bentuk bebas, sedangkan –ku dan tak- merupakan pronomina persona I tunggal bentuk terikat yang masing-masing secara berturut-turut terikat lekat kanan dan terikat lekat kiri. Pada tuturan kedua terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas kula „saya‟ yang mengacu pada prajurit. Hal itu diketahui dari sebutan/panggilan yang diucapkan oleh penutur pada tuturan pertama. Dengan ciri-ciri seperti yang telah disebutkan itu maka kata kula „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis melalui satuan lingual berupa pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Perbedaan pronomina perosona I tunggal bentuk bebas pada tuturan pertama aku dengan tuturan kedua kata kula „saya‟ adalah aku „saya‟ merupakan bentuk leksikon ngoko sedangkan kula „saya‟ merupakan leksikon krama. Penggunaan leksikon ngoko digunakan pada struktur/konstruksi tuturan ngoko, sebaliknya leksikon krama digunakan pada struktur tuturan ragam krama. Penggunaan ragam ngoko digunakan oleh orang/penutur yang status sosialnya lebih tinggi kepada lawan tutur yang status sosialnya lebih rendah (sang raja kepada prajurit), sebaliknya ragam krama digunakan oleh bawahan kepada atasan (prajurit kepada raja). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73
Data (12) “Pak, aku kepengin nggolek wedhus kanggo diulah ing omahe wong kang nduwe gawe. Kabeneran daksawang wedhusmu akeh banget, mula aku nembung bakal nuku wedhusmu siji bae,” kandhane wong kuwi. [PS/TAW/8] „Pak, saya ingin mencari kambing untuk dimasak di rumah orang yang punya hajat. Kebetulan saya melihat kambingmu banyak sekali, maka saya meminta akan membeli kambingmu satu saja,” kata orang itu.‟ Pada data (12) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas (aku „saya‟) dan bentuk terikat (dak- „ku-„). Kedua pronomina persona tersebut mengacu pada seorang prajurit kerajaan Bagdad yang menyamar menjadi seorang blantik hewan. Hal itu meskipun tidak terdapat dalam kutipan data di atas namun dapat diketahui dari paragraf sebelumnya. Oleh karenanya, dengan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku dan dak- merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan persona I tunggal endofora anaforis (unsur lain yang di acu terdapat dalam teks yaitu pada paragraf sebelumnya). Data (13) “Nuwun sewu pak, menda niki gadhahan bendara kula, pramila kula mboten wenang ngedol menda punika tanpa ijin saking bendara kula,” wangsulane pak Abu. [PS/TAW/9] „Maaf Pak, kambing ini kepunyaan juragan saya, maka dari itu saya tidak berwenang menjual kambing tersebut tanpa seizin dari juragan saya,” jawab Pak Abu.‟ Pada data (13) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai dengan kata kula „saya‟ yang mengacu pada Pak Abu (penutur) yang terdapat dalam teks yang disebutkan kemudian. Dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan itu maka kula „saya‟ pda data (13) merupakan jenis kohesi gramtikal pengacuan endofora (karena unsur yang diacu berada dalam teks), bersifat kataforis (karena acuhannya disebutkan kemudian atau antesedennya berada di sebelah kanan) melalui satuan lingual berupa pronomina persona I tunggal bentuk bebas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
Data (14) “Wedhus sing mbokngon iku cacahe akeh, mula yen daktuku siji bae bendaramu mesthi ora weruh.” “Inggih, bendara kula mboten mangertosi, nanging Gusti Allah ingkang pirsa.” [PS/TAW/10] „Kambing yang kamu gembala itu banyak jumlahnya, maka daritu kalau saya beli satu saja juraganmu pasti tidak tahu.” “Ya, juragan saya tidak mengetahui, tetapi Allah yang Mahatahu.‟ Pada data (14) di atas terdiri dari dua tuturan. Tuturan pertama dilalkukan oleh prajurit yang menyamar sebagai blantik hewan, dan pada tuturan kedua dituturkan oleh Pak Abu sebagai pengembala kambing. Pada tuturan pertama terdapat pengacuan persona I tunggal terikat lekat kiri yang ditandai oleh satuan lingual dakyang melekat pada kata daktuku „kubeli‟yang mengacu pada seorang prajurit yang menyamar sebagai blantik/ pembeli kambing. Dengan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual dak- merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan persona I tunggal terikat lekat kiri. Tuturan kedua terdapat pronomina persona kula „saya‟ yang merupakan pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang mengacu pada Pak Abu si penggembala kambing. Dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan itu maka satuan lingul kula „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora (karena acuhannya berada dalam teks) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (15) “Pak Abu, aku kepengin nuku wedhusmu kabeh iki, bakal daknggo pista ing istana lan kowe aja sumelang mengko uga bakal dakundang ing pista kasebut.” [PS/TAW/14] „Pak Abu, saya ingin membeli semua kambingmu ini, akan saya pakai untuk pesta di istana dan kamu jangan kawatir nanti juga akan saya undang di pesta tersebut.‟ Pada data (15) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat. Pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75
lingual aku „saya‟ dan pronomiona persona I tunggal bentuk terikat yang ditandai oleh satuan lingual dak- „ku-„ yang melekat pada verba nggo „untuk‟ dan kata dakundang „kuundang‟. Satuan lingual pronomina persona I tunggal tersebut mengacu pada unsur lain, yaitu raja Bagdad. Sesuai ciri-ciri yang disebutkan tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ dan dak- „ku-„ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas (aku „saya‟) dan pengacuan persona I tunggal bentuk terikat lekat kiri (dak-). Data (16) “Nuwun sewu sang raja, menda punika sanes gadhahan kula saengga kula mboten wantun ngaturaken kagem panjenengan. Saupami menda punika gadhahan kula, tanpa panjenengan tumbas sampun kula aturaken panjenengan kanthi iklas.”[PS/TAW/15] „Mohon ampun sang raja, kambing ini bukan kepunyaan saya sehingga saya tidak berani memberikan untuk baginda. Kalau saja kambing ini milik saya, tanpa baginda membelinya sudah saya berikan pada baginda dengan ikhlas.‟ Pada data (16) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas kula „saya‟ yang mengacu pada Pak Abu. Pada tuturan data di atas menggunakan struktur ragam krama, sehingga leksikon-leksikon yang digunakan menggunakan leksikon krama termasuk penmggunaan pronomina personanya. Penggunaan ragam krama tersebut didasarkan oleh status sosial penutur (rakyat biasa) yang lebih redah daripada mitra tuturnya (sang raja Bagdad). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kula „saya‟ merupakan kohesi gramatikal pengacuan endofora melalui pronomina persona I tunggal betuk bebas. Data (17) “Iya pak Abu, nanging aku butuh banget wedhus iku kanggo pistaku. Yen kowe ora ngolehi daktuku kabeh, aku tuku siji bae. Menawa mung kalong wedhus siji mesthine rak bendaramu ora weruh.”[PS/TAW/16] „Ya Pak Abu, tetapi saya butuh sekali kambing itu untuk pestaku. Kalau kamu tidak membolehkan saya membeli semuanya, saya membeli satu saja. Kalau hanya berkurang satu kambing saja pastinya juraganmu tidak akan tahu.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76
Pada data (17) di atas terdapat pronomina persona I tunggal yang terdiri dari bentuk bebas aku „saya‟ dan bentuk terikat lekat kanan –ku dan terikat lekat kiri dak-. Semua pronomina persona tersebut mengacu pada raja Bagdad, walaupun tidak terdapat dalam kutipan namun dapat diketahui dari dalam teks keseluruhan. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku, -ku, dan dak- merupakan jenis kohesi gramatikal endofora (unsur yang diacu berada dalam teks) yang secara berturut-turut merupakan pronomina persona I tunggal bentuk bebas, bentuk terikat lekat kanan dan bentuk terikat lekat kiri. Data (18) “Saestu sang raja, kula mboten wantun nyade menda punika” [PS/TAW/17] „Sungguh sang raja, saya tidak berani menjual kambing tersebut.‟ Pada data (18) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kula „saya‟ yang mengacu pada Pak Abu sebagai penggembala kambing, walaupun tidak terdapat dalam kutipan namun dapat diketahui dari dalam teks keseluruhan. Sesuai dengan ciri-ciri yang telah disebutkan maka satuan lingual kula „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (19) “Pak Abu, yen kowe ora gelem ngedol wedhus-wedhus iki marang aku, kowe bakal dakpatrapi paukuman sing abot.” [PS/TAW/18] „Pak Abu, kalau kamu tidak mau menjual kambing-kambing ini kepada saya, kamu akan saya kenai hukuman yang berat.‟ Pada data (19) di atas terdapat pronomina persona I tunggal yang terdiri dari bentuk bebas dan terikat, secara berturut-turut yaitu aku dan dak-, pronomina persona tersebut mengacu pada sang raja Bagdad sebagai penutur tuturan tersebut. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan itu maka satuan lingual aku dan dakmerupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora melalui pronomina persona I commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77
tunggal bentuk bebas untuk aku dan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kiri untuk dak- yang melekat pada kata dakpatrapi „kukenai‟. Data (20) “Sang raja, kula mboten wantun nyade menda punika dhumateng panjenengan, ingkang sepindhah amargi menda punika sanes gadhahan kula. Kaping kalih senaosa bendara kula mboten mangertosi nanging Gusti Allah ingkang mangertosi amargi Maha Mirsani lan Maha Mirengaken. Dados nuwun sewu sang raja, kula langkung ajrih paukumanipun Gusti Allah ing akhirat tinimbang paukuman panjenengan ingkang wonten ing ndonya punika,” jlentrehe Pak Abu.[PS/TAW/19] „Sang raja, saya tidak berani menjual kambing ini kepada baginda, yang pertama karena kambing ini bukan milik saya. Kedua, walaupun juragan saya tidak mengetahui akan tetapi Allah yang mengetahui karena Maha Melihat dan Maha Mendengarkan. Jadi mohon maaf sang raja, kula lebih takut pada hukuman Allah di akhirat daripada hukuman baginda di dunia ini,” kata Pak Abu.‟ Pada data (20) di atas terdapat empat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yaitu kula „saya‟ mengacu pada unsur lain yang berada dalam teks yang disebutkan kemudian, yaitu Pak Abu (orang yang melakukan tuturan itu) yang dapat diketahui secara eksplisit pada akhir paragraf (jlentrehe Pak Abu „kata Pak Abu). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kula „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (unsur yang diacu berada dalam teks dengan disebutkan kemudian atau antesedennya berada di sebelah kanan) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (21) “Ya pak Abu. Kowe ora bakal dakwenehi paukuman amarga aku mung nodhi sepira gedhene rasa sabar, tlaten lan jujurmu. Mula saka iku, kowe malah bakal dakwenehi kanugrahan wujude kalungguhan minangka pawongan kang ngrumat kewan-kewan sing ana ing istana Bagdad.” [PS/TAW/21] „Ya, Pak Abu. Kamu tidak akan saya beri hukuman karena saya hanya menguji seberapa besar rasa sabar, teliti, dan kejujuranmu. Maka dari itu, kamu justru saya berikan anugrah berupa kedudukan sebagai orang yang merawat hewan-hewan yang ada di istana Bagdad.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
Pada data (21) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kiri yang ditandai oleh datuan lingual dak- dan pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual aku ‟saya‟ yang mengacu pada sang raja Bagdad (orang yang melakukan tuturan). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual dak- dan aku dapat diidentifikasikan sebagai jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora melallui pronomina I tunggal bentuk terikat lekat kiri yaitu pada satuan lingual dak- dan pronomina persona I tunggal bentuk bebas yakni pada kata aku „saya‟. Data (22) “Inggih sang raja, kula namung ngestokaken dhawuh panjenengan.” [PS/TAW/22] „Ya sang raja, saya hanya melaksanakan perintah baginda.‟ Pada data (22) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kula „saya‟ yang mengacu pada Pak Abu sebagai penggembala kambing, walaupun tidak terdapat dalam kutipan namun dapat diketahui dari dalam teks keseluruhan. Sesuai dengan ciri-ciri yang telah disebutkan maka satuan lingual kula „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (23) “Nyuwun pangapunten ibu....ibu lenggah ngriki kemawon. Kula ingkang ngadeg, boten menapa-menapa,” ngono pratelane Waluyo. Waluyo lega dene ibu sepuh mau kersa lenggah ing kursine.[DL/WSL/13] „Mohon maaf ibu, ibu duduk di sini saja. Saya yang berdiri tidak apa-apa,” begitu ujar Waluyo. Waluyo lega karena ibu tua tadi mau duduk di kursinya.‟ Pada data (23) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yaitu kula „saya‟ mengacu pada unsur lain yang berada dalam teks yang disebutkan kemudian, yaitu Waluyo (orang yang melakukan tuturan itu) yang dapat diketahui secara eksplisit terdapat dalam teks. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kula „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
(unsur yang diacu berada dalam teks dengan disebutkan kemudian atau antesedennya berada di sebelah kanan) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (24) “Mbok....aku entuk kiriman barang saka Ibu Kusumodilogo. Ibu sepuh sing bareng numpak bis dina Minggu wingi kae. Iki gilo, durung takbukak. Mula aku ya durung ngerti apa isine,” kandhane Waluyo marang Embokne nalika tekan ngomah.[DL/WSL/19] „Bu, Saya mendapat kiriman barang saka Ibu Kusumodilogo. Ibu tua yang naik bis bersama di hari Minggu kemarin itu. Ini, belum saya buka. Jadi saya juga belum tahu apa isinya,” kata Waluyo kepada ibunya ketika sampai di rumah.‟ Pada data (24) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat. Pronomina persona I tunggal bentuk bebas ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ dan pronomiona persona I tunggal bentuk terikat lekat kiri yang ditandai oleh satuan lingual tak- „ku-„ yang melekat pada kata takbukak „kubuka‟. Satuan lingual pronomina persona I tunggal tersebut mengacu pada penutur yang menuturkan tuturan tersebut yaitu Waluyo. Sesuai ciri-ciri yang disebutkan tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ dan tak- „ku-„ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (karena uacuhannya berada dalam teks dan letaknya di sebelah kanan) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas (aku „saya‟) dan pengacuan persona I tunggal bentuk terikat lekat kiri (tak-). Data (25) “Ngger Waluyo, anakku. Ibu ngaturake panuwun marang kowe. Ibu trenyuh, bombong, lan bungah nyawang bebudenmu. Aku ora bisa males kabecikanmu dhek emben kae. Muga-muga kiriman sing ora akeh pangajine iki, ana manfaate kanggo kowe. Wis ngono wae. Ibu ndedonga muga-muga ing tembe uripmu sukses. Saka aku, Ibu Kusumodilogo. [DL/WSL/21] „Nak Waluyo, anakku. Ibu menghaturkan rasa terima kasih padamu. Ibu kagum, bangga, dan bahagia melihat budi pekertimu. Saya tidak bisa membalas kebaikanmu yang dahulu. Semoga kiriman yang tidak berharga ini, ada manfaatnya untuk kamu. Sudah begitu saja. Ibu berdoa semoga di kemudian hari hidupmu sukses. Dari saya, Ibu Kusumodilogo.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
Pada data (25) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk terikat dan bentuk bebas. Pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan ditandai oleh enklitik –ku dan pronomina persona I tunggal bentuk bebas ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟. Pronomina persona tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu Ibu Kusumodilogo (orang yang menuliskan isi surat tersebut). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual –ku dan aku „saya‟ masing masing-masing secara berturut-turut dapat diidentifikasikan sebagai jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (karena acuhannya tertuliskan dalam teks dan letak acuhannya berada di sebelah kanan) melalui pronomina persona bentuk terikat lekat kanan dan pronomina persona bentuk bebas. Data (26) “He-em. Aku pancen kesel banget, wis kawit esuk uthuk-uthuk anggonku ngluku sawah,” wangsulane kebo karo terus nggayemi suket.[DL/MSDKI/4] „Ya. Saya memang lelah sekali, sudah sejak dari pagi buta saya membajak sawah,” jawab kerbau sambil terus mengunyah rumput.‟ Pada data (26) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat. Pronomina persona I tunggal bentuk bebas ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ dan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan ditandai oleh enklitik –ku. Pronomina persona tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu Kerbau, sebagai tokoh hewan yang berperan dalam cerita fantasi yang dapat berbicara. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ dan -ku masing-masing secara berturut-turut dapat diidentifikasikan sebagai jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona bentuk bebas dan pronomina persona bentuk terikat lekat kanan. Data (27) “Apa kandhamu? Dheweke duweni sawenehe bab sing ora diduweni dening bangsane awake dhewe? Apa kuwi? Aku dadi penasaran.” Sapi olehe ngomong kaya ngono karo ndengengek.[DL/MSKDI/7] „Apa katamu? Dia mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki oleh jenis kita? Apa itu? Saya jadi penasaran.” Sapi berkata seperti itu sambil mendongak.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
Data (28) “Hem...saupama aku bisa ngrampas utege manungsa, aku mesthi bakal dadi kewan sing pilih tandhing. Ora ana sing wani marang aku, klebu singa apa dene macan bakal tumungkul marang aku.” Batine sapi karo isih tetep mesam-mesem kebak teges. [DL/MSKDI/10] „Seandainya saya bisa merampas pikiran manusia, saya pasti bisa menjadi hewan yang unggul dalam perang. Tidak ada yang berani sama saya, termasuk singa atau macan akan tunduk pada saya.” Kata sapi dalam hati masih tetap senyum-senyum penuh maksud.‟ Pada data (27) dan (28) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ yang mengacu unsur lain yang disebutkan kemudian secara eksplisit, yaitu sapi (tokoh hewan yang dapat berkomunikasi dalam cerita fantasi). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (29) “Aku arep nggoleki Pak Tani. Arep takjaluk utege. Yen ora gelem menehake dheweke arep tak sruduk nganggo sunguku sing bakoh lan lancip iki,” wangsulane sapi karo mamerake sungune.[DL/MSDKI/12] „Saya mau mencari pak tani. Akan saya minta pikirannya. Kalau tidak mau memberikan, dia akan saya tanduk pakai tandukku yang kuat dan lancip ini,” jawab sapi sambil memamerkan tanduknya.‟ Data (30) “He, Pak Tani. Ayo pasrahna utegmu marang aku saiki uga. Yen ora gelem klakon taksruduk nganggo sunguku sing lancip iki,” kandhane sapi karo mamerake sungune.[DL/MSDKI/15] „Hai, Pak Tani. Serahkan pikirannu kepadaku sekarang juga. Kalau tidak mau akn saya tanduk pakai tandukku yang lancip ini,” kata sapi sambil memperlihatkan tanduknya.‟ Pada data (29) dan (30) di atas terdapat pronomina persona I tunggal betuk bebas dan bentuk terikat. Pronomina persona I tunggal bentuk bebas ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ sedangkan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kiri ditandai oleh satuan lingual tak- dan pronomina persona I tunggal terikat lekat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82
kanan ditandai oleh satuan lingual –ku.
Kesemua pronomina persona tersebut
mengacu pada sapi sebagai tokoh hewan dalam cerita fantasi yang dapat berkomunikasi. Berdasarkan
ciri-ciri
tersebut
masing
secara
berturut-turut
dapat
diidentifikasikan sebagai berikut. Satuan lingual aku „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas, sedangkan satuan lingual tak- dan –ku merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalai PP1T bentuk terikat lekat kiri dan PP1T bentuk terikat lekat kanan. Data (31) Pak Tani kaget oleh pangincim saka sapi ujug-ujug kaya iku. Nanging ora dikatonake rasa kagete. Dheweke muter uteg, banjur kandhane: “Wadhuh, utegku keri ing ngomah. Dadi yen saiki aku durung bisa masrahake marang kowe. Kepriye yen kowe ngenteni ana kene, aku tak bali sedhela njupuk utegku?” kandhane Pak Tani alus.[DL/MSDKI/16] „Pak tani terkejut mendapat ancaman yang tiba-tiba dari sapi seperti itu. Akan tetapi tidak diperlihatkan rasa terkejutnya. Dia berpikir, kemudian berkata, “Aduh, pikiranku tertinggal di rumah. Jadi kalau sekarangsaya belum bisa memberikannya pada kamu. Bagaimana kalau kamu meneunggu di sini, saya balik sebentar untuk mengambil pikiranku?” kata pak tani dengan lembut.‟ Pada data (31) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat. Pronomina persona I tunggal bentuk bebas ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ dan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan ditandai oleh enklitik –ku. Pronomina persona tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu Pak Tani. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku dan ku masing-masing secara berturut-turut dapat diidentifikasikan sebagai jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona bentuk bebas dan pronomina persona bentuk terikat lekat kanan. Data (32) “Ora bisa. Gek-gek aku?”[DL/MSDKI/17]
kuwi
mung
pawadanmu
kanggo
ngapusi
„Tidak bisa. Jangan-jangan itu hanya tipu muslihatmu untuk menipu aku?‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83
Pada data (32) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ yang mengacu pada sapi (tokoh hewan yang dapat berkomunikasi dalam cerita fantasi). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (33) “Yen ra percaya kowe rak bisa takon marang kebo ngendi omahku. Utawa yen wegah takon kebo ya ayo melu menyang omahku,” pangajake Pak Tani.[DL/MSDKI/18] „Kalau tidak percaya kamu kan bisa bertanya kepada kerbau di mana rumahku. Atau kalau tidak mau bertanya pada kerbau mari ikut ke rumahku,” ajak pak tani.‟ Pada data (33) di atas terdapat pronomina persona I tunggal terikat lekat kanan yang ditandai oleh atuan lingual –ku, yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian, yaitu tokoh Pak Tani. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan tersebut maka satuan lingual –ku merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofera kataforis melalui pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (34) “Lha iki ing tanganku iki apa. Ya iki uteg sing takkandhakake keri ana ngomah mau. Saiki wis takgawa. Mesthine kowe durung ngerti kepriye carane migunakake uteg iki. Coba rada nyedhaka mrene takanggokake,” ujare Pak Tani sareh karo mesem marang sapi.[DL/MSDKI/21] „Ini di tanganku ini apa. Ya ini pikiran yang saya katakan tertinggal di rumah tadi. Sekarang sudah saya bawa. Pastinya kamu belum tahu bagaimana cara menggunakan pikiran ini. Coba agak mendekat ke sini saya pakaikan,” ujar pak tani pelan sambil tersenyum kepada sapi.‟ Pada data (34) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan (-ku) dan bentuk terikat lekat kiri (tak-) yang mengacu pada penutur tuturan yaitu Pak Tani. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan tersebut maka satuan lingual –ku dan tak- merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofera kataforis (karena unsur yang diacu terdapat dalam teks dan letak acauhannya di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84
sebelah kanan atau antesedennya disebutkan kemudian) melalui pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan dan lekat kiri. Data (35) “Wis, saiki kowe lerema ana kene. Aku arep nerusake gaweanku,” kandhane Pak tani marang sapi. Suwe-suwe sapi krasa yen dheweke wis dipaeka dening Pak Tani. Dheweke ngrerepe njaluk pangapura. Nanging Pak Tani sing rumangsa kaweden kanggo ngeculake sapi mung kandha: “Wis kowe melua aku wae. Kabeh panganmu taktanggung. Dadi kowe ora perlu rekasa golek pangan dhewe.”[DL/MSDKI/24] „Sudah, sekarang kamu diamlah di sini. Saya akan melanjutkan pekerjaanku,” kata pak tani kepada sapi. Lama-lama sapi merasa kalau dirinya sudah ditipu oleh pak tani. Dia memelas minta ampunan. Akan tetapi pak tani yang merasa takut melepas sapi, hanya berkata, “sudah kamu ikut saya saja. Semua makananmu saya yang jamin. Jadi kamu tidak perlu susah payah mencari makanan sendiri.‟ Pada data (35) di atas terdapat pronomina persona I tunggal yang terdiri dari bentuk bebas (aku „saya‟) dan bentuk terikat lekat kanan (–ku) dan terikat lekat kiri (tak-). Semua pronomina persona tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian, yaitu Pak Tani. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku, -ku, dan tak- merupakan jenis kohesi gramatikal endofora kataforis (unsur yang diacu berada dalam teks, antesedennya disebutkan kemudian) yang secara berturut-turut merupakan pronomina persona I tunggal bentuk bebas, bentuk terikat lekat kanan dan bentuk terikat lekat kiri. Data (36) “Adhuh kethek, mesakna aku, welasana aku. Aku tulungana ya kethek, sebab yen aku nganti kecekel dening manungsa, mesakake anak-anakku sing taktinggal ana guwa. Anakku telu sing isih cilik-cilik iku mesthine lagi ngantu-antu tekaku. Merga pamitku mau pancen arep golek panganan. Nalika arep mampir ngombe ing sendhang, aku kurang ngati-ati, dadine aku bisa kakurung kaya iki,” kandhane macan akeh-akeh.[DL/GK/2] „Aduh kera, kasihanilah saya. Tolonglah saya ya kera, seba kalau saya sampai tertangkap oleh manusia, kasihan anak-anakku yang saya tinggal di gua. Anakku tiga yang masih kecil-kecil itu pasti sedang menunggu-nunggu kedatanganku. Sesab kepergianku tadi memang akan mencari mangsa. Ketika akan mampir minum di sendang, saya kurang berhati-hati, jadinya saya bisa terkurung seperti ini,” kata harimau.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85
Data (37) “Tulung welasana aku ya kethek, mesakna karo anakku sing isih cilik-cilik. Yen aku nganti kecekel dening manungsa, sapa mengko sing arep nggolekake pangan anak-anakku?” sambate macan ngaruwara.[DL/GK/3] „Tolong kasihanilah saya ya kera, kasihanilah anakku yang masih kecil-kecil. Kalau saya sampai tertangkap oleh manusia, siapa nanti yangkan mencarikan makan anak-anakku?” keluh harimau memelas.‟ Pada data (36) dan (37) di atas terdapat pronomina persona I tunggal yang terdiri dari bentuk bebas (aku „saya‟) dan bentuk terikat lekat kanan (–ku) dan terikat lekat kiri (tak-). Semua pronomina persona tersebut mengacu pada macan „harimau‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku, -ku, dan tak- merupakan jenis kohesi gramatikal endofora (unsur yang diacu berada dalam teks) yang secara berturut-turut merupakan pronomina persona I tunggal bentuk bebas, bentuk terikat lekat kanan dan bentuk terikat lekat kiri. Data (38) “Satemene aku ora kabotan nulungi kuwi. Nanging aku wedi mengko yen wis takluwari aku banjur kokklethak, kokdadekake mangsamu,” ujare Gindhul karo nyawang macan sing rupane pancen katon memelas.[DL/GK/4] „Sesungguhnya saya tidak keberatan menolong itu. Akan tetapi saya takut nanti kalau saya bebaskan, saya kemudian kamu mangsa, kamu jadikan mangsamu,” ujar Gindhul sambil memandang harimau yang wajahnya memang kelihatan memelas.‟ Pada data (38) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas (aku „saya‟) dan bentuk terikat lekat kiri (tak-) yang melekat pada verba luwari „bebeskan‟. Satuan lingual pronomina persona I tunggal tersebut mengacu pada penutur yang menuturkan tuturan tersebut yaitu Gindhul seekor kera kelabu yang merupakan tokoh hewan dalam cerita fabel. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ dan tak- „ku-„ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (karena uacuhannya berada dalam teks dan letaknya di sebelah kanan atau antesedennya disebutkan kemudian) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas (aku) dan bentuk terikat lekat kiri (tak-). Data (39)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86
“Aja kuwatir. Aku janji ora bakal munasika kowe. Kepara aku malah bakal maturnuwun banget yen kowe gelem ngluwari aku saka krangkeng iki.”[DL/GK/5] „Jangan kawatir. Aku janji tidak akan menyakiti kamu. Justru saya akan berterimaksih kalau kamu mau membebaskan saya dari kurungan ini.‟ Pada data (39) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ yang mengacu pada macan „harimau‟ (tokoh hewan yang dapat berkomunikasi dalam fabel). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (40) “Apa janjimu bisa takugemi?” Gindhul rumangsa perlu oleh jaminan saka macan[DL/GK/6] „Apakah janjimu bisa saya percaya?” Gindhul merasa perlu memperoleh jaminan dari harimau.‟ Pada data (40) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kiri (tak-) yang melekat pada kata takugemi „kupercaya‟. Satuan lingual pronomina persona I tunggal tersebut mengacu pada penutur yang menuturkan tuturan tersebut yaitu Gindhul seekor kera kelabu yang merupakan tokoh hewan dalam cerita fabel. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan tersebut maka satuan lingual tak- „ku-„ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (karena uacuhannya berada dalam teks dan antesedennya disebutkan kemudian) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bentuk terikat lekat kiri (tak-). Data (41) “Kowe aja urik, lho can. Mau kowe wis janji ora bakal munasika aku yen kowe takluwari saka krangkeng….”[DL/GK/8] „Kamu jangan licik. Tadi kamu sudah berjanji tidak akan memangsa saya kalau kamu saya bebaskan dari kurungan.‟ Pada data (41) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas (aku „saya‟) dan bentuk terikat lekat kiri (tak-) yang melekat pada verba luwari commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87
„bebeskan‟. Satuan lingual pronomina persona I tunggal tersebut mengacu pada penutur yang menuturkan tuturan tersebut yaitu Gindhul seekor kera kelabu yang merupakan tokoh hewan dalam fabel. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ dan tak- „ku-„ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (karena uacuhannya berada dalam teks dan letaknya di sebelah kanan atau antesedennya disebutkan kemudian) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas (aku) dan bentuk terikat lekat kiri (tak-). Data (42) “Ha...ha...ha...kethek, kethek. Kowe kuwi pancen kewan sing goblok lan lugu. Kowe bisa takapusi. Aku ki rak kewan sing tinakdir memangan daging. Dadi nalika weteng ngelih lan ing cedhakku ana memangsan sing bisa kanggo ganjel weteng, apa ya mung bakal taknengke ngono wae? Cetha ora! Aku tetep kepingin mangan kowe. Bakal takoyak menyang ngendi wae playumu,” pangancame macan karo wiwit ancang-ancang arep nubruk kethek maneh.[DL/GK/9] „Ha..ha..ha.. kera, kera. Kamu itu memang hewan yang bodoh dan polos. Kamu bisa saya tipu. Saya ini kan hewan yang ditakdirkan makan daging. Jadi ketika perut lapar dan di dekatku ada mangsa yang bisa untuk mengobati lapar, apa hanya akan saya biarkan begitu saja? Jelas tidak! Saya tetap ingin memakan kamu. Akan saya kejar kemana pun kamu lari,” ancam harimau sambil mulai bersiap-siap menerkam kera kembali.‟ Pada data (42) di atas terdapat pronomina persona I tunggal yang terdiri dari bentuk bebas (aku „saya‟) dan bentuk terikat lekat kanan (–ku) dan terikat lekat kiri (tak-). Semua pronomina persona tersebut mengacu pada macan „harimau‟ sebagai tokoh hewan yang dapat berkomunikasi dalam fabel. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku, -ku, dan tak- merupakan jenis kohesi gramatikal endofora (unsur yang diacu berada dalam teks) yang secara berturut-turut merupakan pronomina persona I tunggal bentuk bebas, bentuk terikat lekat kanan dan bentuk terikat lekat kiri. Data (43) Kethek ora lila tenan karo patine yen mung kanthi cara kaya iku. Ana ngendi jejege adil! Mula banjur kandhane marang macan: “Ya wis, can. Aku lila kokpangan, nanging sadurunge aku njaluk keadilan dhisik.”[DL/GK/10] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88
„Kera sungguh tidak rela dengan kematiannya kalau hanya dengan cara seperti itu. Dimana berdirinya keadilan! Maka katanya kepada harimau: “Ya sudah. Saya rela kamu makan, tetapi sebelumnya saya minta keadilan dahulu.‟ Data (44) “Awake dhewe mlaku golek hakim telu, yen hakim iku ngandhakake aku pancen pantes dadi mangsamu, aku lila kokmangsa.”[DL/GK/11] „Kita berjalan mencari tiga hakim, kalau hakim itu berkata saya memang pantas menjadi mangsamu, saya rela kamu makan.‟ Pada data (43) dan (44) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ yang mengacu unsur lain yang disebutkan sebelumnya secara eksplisit, yaitu kethek „kera‟ (tokoh hewan yang dapat berkomunikasi dalam fabel). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis (unsur yang diacu terdapat dalam teks dan telah disebutkan sebelunya atau antesedennya berada di sebelah kiri) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (45) “Mandheg dhelat, cil. Iki aku arep takon, muga kowe bisa aweh keputusan kang adil,” ujare Gindhul si kethek ngendheg lakune si kancil.[DL/GK/14] „Berhenti sebentar, Cil. Ini saya mau bertanya, semoga kamu bisa memberi keputusan yang adil,”ujar Gindhul si kera menghentikan perjalanan si kancil.‟ Pada data (45) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian secara eksplisit yaitu Gindhul si kethek „Gindhul si kera‟ (tokoh hewan dalam fabel). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (unsud yang diacu terdapat dalam teks dan disebutkan kemudian atau antesedennya berada disebelah kanan) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (46) “Aku rumangsa ora wenang kanggo aweh keadilan. Miturutku macan pancen tinakdir mangan daging, dadi bisa memangsa daginge sapa wae. Nanging rehne kethek wis nandur kabecikan marang macan, kudune kuwi dadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89
tetimbangan kanggone macan yen arep memangsa kethek,” ujare kancil.[DL/GK/18] „Saya merasa tidak berwenang memberi keadilan. Menurutku harimau memang ditakdirkan makan daging, jadi bisa memangsa daging siapa saja. Akan tetapi kera sudah menanam kebaikan pada harimau, harusnya itu menjadi pertimbangan bagi harimau kalau akan memangsa kera,” ujar kancil.‟ Pada data (46) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat. Pronomina persona I tunggal bentuk bebas ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ dan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan ditandai oleh enklitik –ku. Pronomina persona tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu kancil. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ dan -ku masing-masing secara berturut-turut dapat diidentifikasikan sebagai jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona bentuk bebas dan pronomina persona bentuk terikat lekat kanan. Data (47) “Rasah mbulet, cil. Pitakonku mung siji, kethek kuwi bisa ora yen dadi mangsaku?” pitakone macan ora sabar.[DL/GK/19] „Tidak usah berbelit-belit, Cil. Pertanyaanku hanya satu, kera itu bisa tidak kalau jadi mangsaku?” tanya harimau tidak sabar.‟ Data (48) “Ya kuwi wangsulanku. Pikiren dhewe.” Rampung kandha kaya mengkono kancil banjur bablas mlayu. Wegah kagubet ing urusane kethek karo macan.[DL/GK/20] „Yaitu jawabanku. Pikirlah sendiri.” Selesai berkata seperti itu kancil kemudian langsung pergi. Tidak mau tersangkut dengan masalah kera dengan harimau.‟ Pada data (47) dan (48) di atas terdapat pronomina persona I tunggal terikat lekat kanan yang ditandai oleh atuan lingual –ku. Pada data (47) satuan lingual –ku mengacu pada tokoh macan „harimau‟ dan satuan lingual –ku pada data (48) mengacu pada tokoh kancil. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan tersebut maka satuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90
lingual –ku merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofera kataforis melalui pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (49) “Yen aku kongkon mikir dhewe, kowe pantes dadi panganku kanggo ganjel wetengku sing ngelih,” ujare macan karo siap-siap arep nubruk kethek.[DL/GK/21] „Kalau aku disuruh berpikir sendiri, kamu pantas menjadi mangsaku untuk mengisi perutku yang lapar,” ujar harimau sambil bersiap menerkam kera.‟ Pada data (49) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat. Pronomina persona I tunggal bentuk bebas ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ dan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan ditandai oleh enklitik –ku. Pronomina persona tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu macan „harimau‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ dan -ku
masing-masing secara berturut-turut dapat diidentifikasikan
sebagai jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona bentuk bebas dan pronomina persona bentuk terikat lekat kanan. Data (50) “Miturutku kethek pantes dadi mangsane macan, sebab macan pancen mangan daging. Nanging yen urusan males budi, aku ora bisa mutusi. Kuwi gumantung marang rasa pangrasane macan.” Bubar kandha kaya mangkono kidang cepet-cepet mlayu, sumingkir saka papan kono.[DL/GK/25] „Menurutku kera pantas menjadi mangsa harimau, sebab harimau memang memakan daging. Akan tetapi kalau urusan berbalas budi, saya tidak bisa memberi keputusan. Itu tergantung pada perasaan harimau.” Setelah berkata seperti itu kijang cepat-cepat lari, menyingkir dari tempat itu.‟ Pada data (50) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat. Pronomina persona I tunggal bentuk bebas ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ dan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan ditandai oleh enklitik –ku. Pronomina persona tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu kidang „kijang‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ dan -ku
masing-masing secara berturut-turut dapat diidentifikasikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91
sebagai jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona bentuk bebas dan pronomina persona bentuk terikat lekat kanan. Data (51) “Kowe wis krungu dhewe kandhane kidang, saiki manuta takpangan,” ujare macan marang kethek.[DL/GK/26] „Kamu sudah mendengar sendiri perkataan kijang, sekarang menurutlah untuk saya makan,” ujar harimau pada kera.‟ Pada data (51) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kiri (tak-) yang melekat pada kata takpangan „kupercaya‟. Satuan lingual pronomina persona I tunggal tersebut mengacu pada penutur yang menuturkan tuturan tersebut yaitu macan „harimau‟ yang merupakan tokoh hewan dalam fabel. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan tersebut maka satuan lingual tak- „ku-„ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (karena uacuhannya berada dalam teks dan antesedennya disebutkan kemudian) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bentuk terikat lekat kiri (tak-). Data (52) “Aku lagi golek keadilan.” Kethek banjur nyritakake kedadean sing dialami marang beruk.[DL/GK/29] „Saya sedang mencari keadilan.” Kera kemudian menceritakan kejadian yang dialami kepada beruk.‟ Pada data (52) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian secara eksplisit yaitu kethek „kera‟ (tokoh hewan dalam fabel). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (unsud yang diacu terdapat dalam teks dan disebutkan kemudian atau antesedennya berada disebelah kanan) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (53) “Ah, aku ora krungu. Sing banter. Aku wis tuwa, mula kupingku rada budheg,” aloke beruk sawise kethek rampung oleh crita.[DL/GK/30] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92
„Ah, saya tidak mendengar. Yang keras. Saya sudah tua, maka pendengaranku agak tuli,” kata beruk sesudah kera selesai bercerita.‟ Pada data (53) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat. Pronomina persona I tunggal bentuk bebas ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ dan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan ditandai oleh enklitik –ku. Pronomina persona tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu beruk „kera besar‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ dan -ku
masing-masing secara berturut-turut dapat diidentifikasikan
sebagai jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona bebas dan pronomina persona bentuk terikat lekat kanan. Data (54) “Ngene wae, saiki aku tuduhna ana ngendi olehmu nulungi macan mau, yen aku ngerti larah-larahe aku rak bisa menehi keputusan kanthi adil,” kandhane beruk.[DL/GK/31] „Begini saja, sekarang saya tunjukkan ada di mana kamu menolong harimau tadi, kalau aku tahu awal mulanya, saya akan bisa memberi keputusan dengan adil,” kata beruk.‟ Pada data (54) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian secara eksplisit yaitu beruk „kera besar‟ (tokoh hewan dalam fabel). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (unsud yang diacu terdapat dalam teks dan disebutkan kemudian atau antesedennya berada disebelah kanan) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (55) “Kuwi krangkenge isih. Mau macan kekurung ana jero krangkeng kuwi banjur taktulungi,” aloke kethek.[DL/GK/32] „Itu kurungannya masih. Tadi macan terkurung di dalam kurungan itu, kemudian saya tolong,” kata kera.‟ Pada data (55) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kiri (tak-) yang melekat pada kata taktulungi „kutolong‟. Satuan lingual commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93
pronomina persona I tunggal tersebut mengacu pada kethek „kera‟ yang merupakan tokoh hewan dalam fabel. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan tersebut maka satuan lingual tak- „ku-„ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (karena uacuhannya berada dalam teks dan antesedennya disebutkan kemudian) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bentuk terikat lekat kiri (tak-). Data (56) “Coba kaya apa posisine si macan nalika koktulungi mau. Aku kepengin weruh,” aloke beruk.[DL/GK/33] „Coba, seperti apa posisinya si harimau ketika kamu tolong tadi. Saya ingin tahu,” kata beruk.‟ Pada data (56) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian secara eksplisit yaitu beruk „kera besar‟ (tokoh hewan dalam fabel). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (unsud yang diacu terdapat dalam teks dan disebutkan kemudian atau antesedennya berada disebelah kanan) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Data (57) Macan banjur mlebu krangkeng. Sawise macan ana jero, lawang krangkeng banjur ditutup lan dipalang saka jaba dening kethek. “Ngene iki mau posisine macan nalika taktulungi,” kandhane kethek.[DL/GK/34] „Harimau kemudian masuk kurungan. Sedudah harimau ada di dalam, pintu kurungan kemudian ditutup dan dikunci dari luar oleh kera. “Beginilah tadi posisi harimau ketika saya tolong,” kata kera.‟ Pada data (57) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kiri (tak-) yang melekat pada kata taktulungi „kutolong‟. Satuan lingual pronomina persona I tunggal tersebut mengacu pada kethek „kera‟ yang merupakan tokoh hewan dalam fabel. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan tersebut maka satuan lingual tak- „ku-„ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (karena uacuhannya berada dalam teks dan antesedennya disebutkan kemudian) melalui pronomina persona I tunggal bentuk bentuk terikat lekat kiri (tak-). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94
Data (58) “Rehne aku kongkon gawe keputusan sing adil, miturutku iki cukup adil. Saiki macan wis bali ing kahanane sakawit. Dadi jarna wae dheweke kaya iku. Palange ora usah dibukak, thek. Ayo saiki ditinggal wae. Ben dheweke tetep ana kono,” kandhane beruk marang kethek klawu.[DL/GK/36] „Katanya saya disuruh membuat keputusan yang adil, menurutku ini cukup adil. Sekarang harimau sudah kembali pada keadaanya semula. Jadi biarkan saja dia seperti itu. Kuncinya tidak usah dibuka, Ra. Mari sekarang ditinggal saja. Biar dia tetap ada di situ,” kata beruk pada kera abu-abu.‟ Pada data (58) di atas terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat. Pronomina persona I tunggal bentuk bebas ditandai oleh satuan lingual aku „saya‟ dan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan ditandai oleh enklitik –ku. Pronomina persona tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu beruk „kera besar‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual aku „saya‟ dan -ku
masing-masing secara berturut-turut dapat diidentifikasikan
sebagai jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona bentuk bebas dan pronomina persona bentuk terikat lekat kanan. Pronomina persona I jamak Data (59) “Piwulang saka potelot sing kapisan yaiku potelot iku bisa ngelingake kowe, yen kowe bisa nindakake samubarang sing gedhe paedahe ing urip iki. Kaya potelot nalika dienggo nulis, aja lali yen ana tangan sing tansah nuntun langkahmu. Awake dhewe nyebut iku minangka Astane Gusti Allah. Panjenengane sing tansah nuntun awake dhewe miturut kekarepanE.” [PS/PSP/6] „Piwulang dari pensil, yang pertama yaitu pensil itu bisa mengingatkan kamu, kalau kamu bisa mengerjakan sesuatu yang besar manfaatnya dalam hidupmu ini. Seperti pensil ketika dipakai untuk menulis, jangan samapai lupa bahwa ada tangan yang senantiasa menuntun langkahmu. Kita menyebutnya sebagai Tangannya Gusti Allah. Dia yang senantiasa menunjukkan kita menurut kehendak-Nya.‟ Data (60) “Iya. Terus piwulang katelu, potelot mesthi menehi awake dhewe kalodhangan nggunakake setip, kanggo mbusek lan ndandani tulisan-tulisan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95
sing salah, supaya pener. Karana iku, ndandani salahe awake dhewe sajroning urip iki dudu tumindak sing ala. Malah, kuwi bisa ngrewangi awake dhewe supaya tetep ana ing dalan sing bener. [PS/PSP/9] „Ya. Piwulang yang ketiga, pensil pasti memberikan pada kita kadang kala menggunakan karet penghapus, untuk menghapus dan membenahi tulisantulisan yang salah, supaya (jadi) benar. Karena itu, memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini bukan merupkan pekerjaan yang buruk. Bahkan, itu bisa membantu kita supaya tetap di jalan yang benar.‟ Pada data (59) dan (60) di atas terdapat pronomina persona I jamak yang tandai oleh satuan lingual yang bercetak tebal yaitu awake dhewe „kita‟ yang mengacu pada unsur lain yang berada dalam teks yaitu mbah putri „nenek‟ sebagai penutur dan putune „cucunya‟ sebagai mitra tutur. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual awake dhewe merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora melalui pronomina persona I bentuk jamak. Data (61) “Thole Waluyo, awake dhewe iki wong mlarat. Ewasemono ora sah meri karo wong sing sugih bandha. Gusti Allah iku Maha Adil lan Maha Murah. Pangeran bakal maringi marang umat-E sauger gelem nyenyuwun kanthi tumemen. Aja kuwatir yen Pangeran ora bakal maringi marang awake dhewe,” ngono saben-saben Mbok Darso mituturi Waluyo.[DL/WSL/5] „Anak(ku) Waluyo, kita ini orang melarat. Walaupun begitu tidak usah iri hati kepada orang yang kaya raya. Gusti Allah itu Mahaadil dan Maha Pemurah. Pangeran (Tuhan) pasti menganugrahkan pada hambanya yang mau memohon/meminta dengan bersungguh-sungguh. Jangan kawatir kalau-kalau Tuhan tidak mungkin memberi kepada kita,” begitulah setiap kali Bu Darso menasihati Waluyo.‟ Data (62) “Luwih utama maneh menawa awake dhewe tansah perduli lan aweh kawigaten marang wong liya. Gelem weweh marang pepadha. Sing jenenge weweh mono ora kudu menehi dhuwit utawa barang sing larang regane.......” sambunge Mbok Darso karo nggoreng tempe kanggo lawuh mangan wong loro mengko.[DL/WSL/6] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96
„“Lebih utama lagi apabila kita selalu peduli dan perhatian kepada orang lain. Mau memberi kepada sesama. Yang namanya memberi itu tidak harus memberikan uang atau barang yang mahal harganya….” Kata Bu darso lebih lanjut sambil menggoreng tempe untuk lauk makan berdua nanti.‟ Pada data (61) dan (62) di atas terdapat pronomina persona I jamak yang tandai oleh satuan lingual yang bercetak tebal yaitu awake dhewe „kita‟ yang mengacu pada unsur lain yang berada dalam teks yaitu Mbok Darso „Bu Darso‟ sebagai penutur dan Waluyo sebagai mitra tutur. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual awake dhewe merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora melalui pronomina persona I bentuk jamak. Data (63) “Kowe aja ngremehake manungsa. Sanajan awake cilik uklik-uklik lan katone ringkih, nanging dheweke duweni sawenehe bab kang ora diduweni dening bangsa kewan kaya awake dhewe.”[DL/MSKDI/6] „Kamu jangan menganggap remeh manusia. Walaupun badannya kurus kecil dan kelihatan lemah, namun dia memmpunyai sesuatu yang tidak dimiliki oleh jenis hewan seperti kita.‟ Pada data (63) di atas terdapat pronomina persona I jamak yang tandai oleh satuan lingual yang bercetak tebal yaitu awake dhewe „kita‟ yang mengacu pada unsur lain yang berada dalam teks yaitu kebo „kerbau‟ hewan dalam cerita fantasi sebagai penutur dan sapi „sapi‟ sebagai mitra tutur. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual awake dhewe merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora melalui pronomina persona I bentuk jamak. Data (64) “Apa kandhamu? Dheweke duweni sawenehe bab sing ora diduweni dening bangsane awake dhewe? Apa kuwi? Aku dadi penasaran.” Sapi olehe ngomong kaya ngono karo ndengengek.[DL/MSKDI/7] „Apa katamu? Dia mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki oleh jenis kita? Apa itu? Saya jadi penasaran.” Sapi berkata seperti itu sambil mendongak.‟ Pada data (64) di atas terdapat pronomina persona I jamak yang tandai oleh satuan lingual yang bercetak tebal yaitu awake dhewe „kita‟ yang mengacu pada unsur lain yang berada dalam teks yaitu sapi hewan yang berbicara dan kebo „kerbau‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97
sebagai mitra wicara. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual awake dhewe merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora melalui pronomina persona I bentuk jamak. Data (65) “Awake dhewe mlaku golek hakim telu, yen hakim iku ngandhakake aku pancen pantes dadi mangsamu, aku lila kokmangsa.”[DL/GK/11] „Kita berjalan mencari tiga hakim, kalau hakim itu berkata saya memang pantas menjadi mangsamu, saya rela kamu makan.‟ Data (66) “Sapa wae sing sepisanan bisa awake dhewe pethuki ing dalan.”[DL/GK/12] „Siapa saja yang pertama kali kita temui di jalan.‟ Pada data (65) dan (66) di atas terdapat pronomina persona I jamak yang tandai oleh satuan lingual yang bercetak tebal yaitu awake dhewe „kita‟ yang mengacu pada unsur lain yang berada dalam teks yaitu Gindhul si kethek klawu „Gindhul si kera abu-abu‟ sebagai penutur dan macan „harimau‟ sebagai mitra tutur. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual awake dhewe merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora melalui pronomina persona I bentuk jamak. Pengacuan pronomina persona II dapat dilihat pada data berikut. Data (67) Ing sawijining dina, simbah putri kang lagi nyerat layang, menehi pitutur marang putune, “MBah Putri pengin kowe bisa nyinaoni lan mangerteni piwulang saka potelot, nalika kowe wis gedhe mbesuk.” [PS/PSP/1] „Suatu hari, nenek yang baru menulis surat, memberi nasihat kepada cucunya, “Nenek ingin kamu bisa belajar dan mengerti piwulang yang dapat diambil dari pensil, ketika kamu sudah besar nanti.‟ Data (68) Kanthi mesem simbah mangsuli,“Ngene lho le, potelot iku ngandhut limang piwulang sing bisa nentremake awakmu, yen kowe tansah ngugemi lan nindakake piwulang-piwulang kasebut, sajroning uripmu.” [PS/PSP/3] „Sambil tersenyum neneknya menjelaskan, “Begini Cu, pensil itu mengandung lima piwulang yang bisa menentramkan kamu, kalau kamu percaya dan melaksanakan piwulang-piwulang tersebut, selama hidupmu.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98
Data (69) “Piwulang saka potelot sing kapisan yaiku potelot iku bisa ngelingake kowe, yen kowe bisa nindakake samubarang sing gedhe paedahe ing urip iki. Kaya potelot nalika dienggo nulis, aja lali yen ana tangan sing tansah nuntun langkahmu [PS/PSP/6] „Piwulang dari pensil, yang pertama yaitu pensil itu bisa mengingatkan kamu, kalau kamu bisa mengerjakan sesuatu yang besar manfaatnya dalam hidupmu ini. Seperti pensil ketika dipakai untuk menulis, jangan samapai lupa bahwa ada tangan yang senantiasa menuntun langkahmu.‟ Data (70) Semono uga kowe, sajroning urip iki aja wedi ketaton, aja wedi lara nalika nindakake samubarang sing apik lan migunani. [PS/PSP/7] „Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini jangan takut terluka, jangan takut sakit ketika mengerjakan sesuatu yang baik dan bermanfaat.‟ Data (71) “Banjur, piwulang kapapat, kowe dhewe lak ngerti ta yen perangan sing paling penting saka potelot kuwi dudu njabane sing saka kayu, nanging perangan sing ireng sing digawe saka areng ing njerone?” simbah putri takon. [PS/PSP/10] „Kemudian, piwulang yang keempat, kamu sendiri sudah tahukan, kalau bagian yang paling penting dari pensil itu bukan bagian luarnya yang dari kayu, tetapi yang hitam yang dibuat dari arang di dalamnya?” neneknya bertanya.‟ Data (72) “Mula saka iku, tansah mangertenana apa wae sing ana sajroning awakmu. Wawasen, delengen lan dandanana awakmu dhisik, sadurunge kowe nyalahake wong liya. [PS/PSP/12] „Maka dari itu, senantiasa pahamilah apa saja yang ada di dalam dirimu. Perhatikan, lihatlah dan perbaiki dirimu dahulu, sebelum kamu menyalahkan orang lain. Jangan mudah meyalahkan, itu mudah untuk menimbulkan pertengkaran yang lama sembuhnya.‟ Data (73) Semono uga kowe, kudu sadhar yen apa wae sing koktindakake lan kokucapake mesthi nuwuhake anggepan saka wong liya, embuh kuwi apik apa ala. Dadi sing ngati-ati lan waspada, aja nganti pocapan lan tumindakmu nglarani wong liyane.” [PS/PSP/13] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99
„Begitu juga kamu, harus sadar kalau apa saja yang kamu kerjakan dan kamu ucapkan pasti prasangka dari orang lain, entah itu baik atau buruk. Jadi berhati-hatilah dan waspada, jangan sampai ucapan dan perilakumu menyakiti orang lain.‟ Data (74) “Ya ngono iku, piwulang sing bisa dijupuk saka potelot. Kaya sing wis dakandharake mau, yen kowe bisa nindakake lan ngugemi piwulangpiwulang kuwi, uripmu bakal luwih migunani,” simbah putri mungkasi critane karo menerake anggone lenggah. [PS/PSP/14] „Begitulah, piwulang yang bisa diambil dari pensil. Seperti apa yang telah saya jelaskan tadi, kalau kamu bisa melaksanakan dan percaya pada piwulang-piwulang itu, hidupmu akan berguna,” nenek mengakhiri ceritanya sambil membenahi duduknya.‟ Analisis data (67) sampai dengan data (74), sebagai berikut. Pada data (67), (70), dan (71) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya yaitu putu „cucu‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kata kowe „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis untuk data (67) (unsur yang diacu terdapat dalam teks dan letak antesedennya berada disebelah kiri) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas, sedangkan untuk data (70) dan (71) bersifat eksoforis (karena unsur yang diacu berada di luar teks). Pada data (68), (69), (72), dan (74) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ dan pronomina II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu. Pronomina persona II tunggal tersebut mengacu pada unsur lain yang berada di luar teks, yaitu pada seorang cucu yang merupakan lawan tutur dalam tuturan di atas. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual kowe dan –mu merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan eksofora (karena acuannya berada di luar teks) secara berturutturut melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat lekat kanan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100
Pada data (73) di atas ditemukan pengacuan persona II tunggal bentuk bebas (kowe „kamu‟) dan bentuk terikat lekat kiri (kok-) dan bentuk terikat lekat kanan (mu), yang mengacu pada cucu nenek sebagai lawan tutur berada di luar teks. Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat dijelaskan bahwa satuan lingual kowe, kok-, dan – mu merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan persona eksofora, masing-masing secara berturut-turut melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas, bentuk terikat lekat kiri, dan bentuk terikat lekat kanan. Data (75) Kanthi mbengok, Jalak kuwi muji wit ksb; “He, wit kang subur, awakmu katon endah kanthi woh-wohan kang thukul iku.” [PS/SSKS/3] „Dengan berteriak, Jalak itu memuji pohon tersebut; “Hai, pohon yang subur, tubuhmu kelihatan indah dengan buah-buah yang tumbuh itu.‟ Data (76) Nalika manuk Jalak isih ibut nggawe susuh, ana manuk Kenari sing menclok ing sawijing pang ing wit kuwi. Kanthi nembang, dheweke muji, “Oh, wit kang katon ijo royo-royo, woh-wohmu pancen wangi lan apik.” [PS/SSKS/4] „Ketika burung Jalak masih sibuk membuat sarang, ada burung Kenari yang hinggap di salah satu dahan di pohon itu. Dengan bernyanyi, dia memuji, “Oh, pohon yang kelihatan hijau menyenangkan, buah-buahmu memamng harum dan baik.‟ Pada data (75) dan (76) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu yang mengacu pada wit „pohon‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut penanda satuan lingual –mu merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora (karena acuannya berada di dalam teks) melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (77) “Yen, kowe pengin ngrasakake wohku, mangga, jupuken lan rasakna,” kandhane wit iku marang si Kenari. [PS/SSKS/5] „Kalau, kamu ingin merasakan buahku, silakan mengambil dan rasakan,” kata pohon itu kepada si Kenari.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101
Pada data (77) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan berikutnya yaitu si kenari. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kata kowe „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis (unsur yang diacu terdapat dalam teks dan letak antesedennya berada disebelah kanan) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (78) Ora let suwe, ana manuk Platuk kang uga teka ing wit iku. Nanging dheweke ora ngoceh lan ngalembana kaya manuk Jalak apadene manuk Kenari, nanging langsung wae notholi sakujur awake wit ksb, nganti-nganti wit mau sambat kelaran. Weruh wit kuwi krasa lara, manuk Platuk kuwi banjur njlentrehake, “Aku weruh sajroning awakmu ana uler, dakthotholi ben metu. Merga yen ora dakthotholi, awakmu bisa dadi lara.” [PS/SSKS/6] „Tidak berselang lama, ada burung Pelatuk yang juga datang di pohon itu. Akan tetapi dia tidak bersiul dan memuji seperti burung Jalak atau juga burung Kenari, tetapi langsung saja mematuk seluruh bagian tubuh pohon tersebut, sampai-sampai pohon tadi merasa kesakitan. Melihat pohon itu merasakan sakit, burung Pelatuk itu kemudian menjelaskan, “Saya melihat disekujur tubuhmu ada ulat, saya patuki agar keluar. Karena kalau tidak saya patuki, kamu bisa jadi sakit.‟ Pada data (78) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya yaitu wit „pohon‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut penanda satuan lingual –mu merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis (antesedennya berada dalam teks dan terletak disebelah kiri atau disebutkan sebelumnya) melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (79) “Pancen lamis pangucapmu. Kowe notholi aku, mesthi arep mateni aku ta. Wis saiki ngaliha, ngaliha adoh saka aku!” kandhane wit kuwi sengit. [PS/SSKS/7] „Memang manis ucapanmu. Kamu mematuki saya, pasti akan membunuhku, ya kan. Sudah sekarang pergilah, pergilah menjauh dariku!” kata pohon itu sinis.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102
Pada data (79) di atas terdapat pronomina II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu dan pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟. Pronomina persona II tunggal tersebut mengacu pada unsur lain yang berada di luar teks, yaitu manuk Platuk „burung Paltuk‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual kowe dan –mu merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan eksofora (karena acuannya berada di luar teks) secara berturut-turut melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat lekat kanan. Data (80) “Prajurit, aku krungu yen ing kutha Bagdad iki ana wargaku kang misuwur nduweni sipat kang sabar, tlaten lan jujur, mula kowe takutus supaya mbuktekake apa kahanan kasebut iku pancen bener. Menawa kahanan kang kaya mangkono iku bener, aku bakal menehi kanugrahan.” “Kados pundi cara kula mbuktekaken perkawis punika sang raja?” “Kowe kudu nylimur dadi blantik. Kowe kudu bisa mbujuk supaya tukang angon wedhus kasebut gelem ngedol wedhuse kang diengon menyang kowe.” [PS/TAW/5] „Prajurit, saya mendengar bahwasanya di kota Bagdad ini ada wargaku yang terkenal mempunyei sifat yang sabar, teliti, dan jujur, maka kamu saya utus supaya membuktikan apakah keberadaan tersebut memang benar. Kalau keadaan tersebut memang benar, saya akan memberikahan anugerah.” “Bagaimana cara hamba membuktikan masalah tersebut sang raja?” “Kamu harus menyamar jadi pembeli kambing. Kamu harus bisa membujuk supaya penggembala kambing tersebut mau menjual kambing yang digembalakannya kepada kamu.‟ Pada data (80) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya yaitu prajurit „pengawal‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kata kowe „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis (unsur yang diacu terdapat dalam teks dan letak antesedennya berada disebelah kiri) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (81)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103
“Pak, aku kepengin nggolek wedhus kanggo diulah ing omahe wong kang nduwe gawe. Kabeneran daksawang wedhusmu akeh banget, mula aku nembung bakal nuku wedhusmu siji bae,” kandhane wong kuwi. [PS/TAW/8] „Pak, saya ingin mencari kambing untuk dimasak di rumah orang yang punya hajat. Kebetulan saya melihat kambingmu banyak sekali, maka saya meminta akan membeli kambingmu satu saja,” kata orang itu.‟ Pada data (81) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu yang mengacu pada unsur lain yang berada di luar teks yaitu Pak Abu. Berdasarkan ciri-ciri tersebut penanda satuan lingual –mu merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan eksofora melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (82) “Wedhus sing mbokngon iku cacahe akeh, mula yen daktuku siji bae bendaramu mesthi ora weruh.” [PS/TAW/10] „Kambing yang kamu gembala itu banyak jumlahnya, maka daritu kalau saya beli satu saja juraganmu pasti tidak tahu.‟ Pada data (82) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kiri (yang daitandai oleh satuan lingual mbok-) dan bentuk terikat lekat kanan (yang ditandai oleh satuan lingual –mu) yang mengacu pada unsur lain di luar teks yaitu Pak Abu. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan tersebut dapat dijelaskan bahwa satuan lingual mbok- dan –mu
secara berturut-turut merupakan jenis kohesi
gramatikal pengacuan eksofora melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kiri dan bentuk terikat lekat kanan. Data (83) “Kisanak, apa kowe sing jenenge pak Abu?” pandangune sang raja marang Pak Abu. “Inggih leres. Panjenengan punika sinten?” “Aku iki raja kang kuwasa ing Bagdad iki.” [PS/TAW/12] ‘Kisanak, apakah kamu yang bernama Pak Abu?” tanya sang raja kepada Pak
Abu. “Ya benar. Anda ini siapa?” “Saya ini raja yang berkuasa di Bagdad ini.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104
Pada data (83) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ (ragam ngoko) dan panjenengan „kamu‟ ragam krama. Pronomina persona II tunggal kowe „kamu‟ mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu Pak Abu. Pronomina persona II tunggal yang ditandai oleh satuan lingual panjenengan „kamu‟ mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian/di bawahnya yaitu Raja yang berkuasa di Bagdad. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan itu maka satuan lingual kowe „kamu‟ dan panjenengan „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora (karena unsur yang diacu berada dalam teks) bersifat kataforis (antesedennya disebutkan kemudian atau terletak disebelah kanan) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (84) “Pak Abu, aku kepengin nuku wedhusmu kabeh iki, bakal daknggo pista ing istana lan kowe aja sumelang mengko uga bakal dakundang ing pista kasebut.” [PS/TAW/14] „Pak Abu, saya ingin membeli semua kambingmu ini, akan saya pakai untuk pesta di istana dan kamu jangan kawatir nanti juga akan saya undang di pesta tersebut.‟ Pada data (84) di atas terdapat pronomina II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu dan pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟. Pronomina persona II tunggal tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya, yaitu manuk Pak Abu. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual –mu dan kowe merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora (karena acuannya berada di dalam teks) bersifat anaforis (antesedennya berada di sebelah kiri) melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan dan bentuk bebas. Data (85) “Nuwun sewu sang raja, menda punika sanes gadhahan kula saengga kula mboten wantun ngaturaken kagem panjenengan. Saupami menda punika gadhahan kula, tanpa panjenengan tumbas sampun kula aturaken panjenengan kanthi iklas.”[PS/TAW/15] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105
„Mohon ampun sang raja, kambing ini bukan kepunyaan saya sehingga saya tidak berani memberikan untuk baginda. Kalau saja kambing ini milik saya, tanpa baginda membelinya sudah saya berikan pada baginda dengan ikhlas.‟ Pada data (85) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual panjenengan „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan terdahulu yaitu sang raja. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual panjenengan „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (86) “Iya pak Abu, nanging aku butuh banget wedhus iku kanggo pistaku. Yen kowe ora ngolehi daktuku kabeh, aku tuku siji bae. Menawa mung kalong wedhus siji mesthine rak bendaramu ora weruh.”[PS/TAW/16] „Ya Pak Abu, tetapi saya butuh sekali kambing itu untuk pestaku. Kalau kamu tidak membolehkan saya membeli semuanya, saya membeli satu saja. Kalau hanya berkurang satu kambing saja pastinya juraganmu tidak akan tahu.‟ Pada data (86) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ dan pronomina II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu. Pronomina persona II tunggal tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya, yaitu manuk Pak Abu. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual kowe dan -mu secara berturutturut merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora (karena acuannya berada di dalam teks) bersifat anaforis (antesedennya berada di sebelah kiri) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat lekat kanan. Data (87) “Pak Abu, yen kowe ora gelem ngedol wedhus-wedhus iki marang aku, kowe bakal dakpatrapi paukuman sing abot.” [PS/TAW/18] „Pak Abu, kalau kamu tidak mau menjual kambing-kambing ini kepada saya, kamu akan saya kenai hukuman yang berat.‟ Pada data (87) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya yaitu Pak Abu. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106
lingual kata kowe „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis (unsur yang diacu terdapat dalam teks dan letak antesedennya berada disebelah kiri) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (88) “Sang raja, kula mboten wantun nyade menda punika dhumateng panjenengan, ingkang sepindhah amargi menda punika sanes gadhahan kula. Kaping kalih senaosa bendara kula mboten mangertosi nanging Gusti Allah ingkang mangertosi amargi Maha Mirsani lan Maha Mirengaken. Dados nuwun sewu sang raja, kula langkung ajrih paukumanipun Gusti Allah ing akhirat tinimbang paukuman panjenengan ingkang wonten ing ndonya punika,” jlentrehe pak Abu.[PS/TAW/19] „Sang raja, saya tidak berani menjual kambing ini kepada baginda, yang pertama karena kambing ini bukan milik saya. Kedua, walaupun juragan saya tidak mengetahui akan tetapi Allah yang mengetahui karena Maha Melihat dan Maha Mendengarkan. Jadi mohon maaf sang raja, kula lebih takut pada hukuman Allah di akhirat daripada hukuman baginda di dunia ini,” kata Pak Abu.‟ Pada data (88) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual panjenengan „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan terdahulu yaitu sang raja. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual panjenengan „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (89) “Ya pak Abu. Kowe ora bakal dakwenehi paukuman amarga aku mung nodhi sepira gedhene rasa sabar, tlaten lan jujurmu. Mula saka iku, kowe malah bakal dakwenehi kanugrahan wujude kalungguhan minangka pawongan kang ngrumat kewan-kewan sing ana ing istana Bagdad.” [PS/TAW/21] „Ya, Pak Abu. Kamu tidak akan saya beri hukuman karena saya hanya menguji seberapa besar rasa sabar, teliti, dan kejujuranmu. Maka dari itu, kamu justru saya berikan anugrah berupa kedudukan sebagai orang yang merawat hewan-hewan yang ada di istana Bagdad.‟ Pada data (89) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ dan pronomina II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu. Pronomina persona II commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107
tunggal tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya, yaitu manuk Pak Abu. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual kowe dan -mu secara berturutturut merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora (karena acuannya berada di dalam teks) bersifat anaforis (antesedennya berada di sebelah kiri) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat lekat kanan. Data (90) “Inggih sang raja, kula namung ngestokaken dhawuh panjenengan.” [PS/TAW/22] „Ya sang raja, saya hanya melaksanakan perintah baginda.‟ Pada data (90) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual panjenengan „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan terdahulu yaitu sang raja. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual panjenengan „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (91) “Ibu sepuh mau asmane Ibu utawa Eyang Kusumadilogo. Pensiunan guru SD utawa SR jaman biyen. Piyambake mau trenyuh lan ngaturake panuwun kang tanpa upama marang kowe, le. Malah njur takon alamat sekolahanmu barang. Lha nek mau ora tokcaosi lungguhan rak bisa ambruk tenanan. Wong nyatane, penumpang ing sadawaning laku kaya-kaya ora suda,” ngono ceritane embokne Waluyo. Ora krasa dhokar sing ditumpaki wis tekan desa sing dituju.[DL/WSL/15] „Ibu tua tadi namanya Ibu atau Eyang Kusumodilogo. Pensiunan guru SD atau SR zaman dulu. Beliau tadi kagum dan mengucapkan banyak terima kasih padamu, Nak. Bahkan kemudian bertanya alamat sekolahmu juga. Kalau tadi tidak kamu kasih tempat duduk, mungkin bisa pingsan. Pada kenyataannya, penumpang sepanjang jalan seperti tidak berkurang,” begitu ceritanya ibu Waluyo. Tidak terasa dokar yang ditumpangi sudah samapai desa yang dituju.‟ Pada data (91) di atas ditemukan pengacuan persona II tunggal bentuk bebas (kowe „kamu‟) dan bentuk terikat lekat kanan (-mu), serta bentuk terikat lekat kiri (tok-)
yang mengacu pada unsur lain yang berada di luar teks yaitu Waluyo.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat dijelaskan bahwa satuan lingual kowe, -mu dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108
tok- merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan persona eksofora, masing-masing secara berturut-turut melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas, bentuk terikat lekat kanan, dan bentuk terikat lekat kiri. Data (92) “Ngger Waluyo, anakku. Ibu ngaturake panuwun marang kowe. Ibu trenyuh, bombong, lan bungah nyawang bebudenmu. Aku ora bisa males kabecikanmu dhek emben kae. Muga-muga kiriman sing ora akeh pangajine iki, ana manfaate kanggo kowe. Wis ngono wae. Ibu ndedonga muga-muga ing tembe uripmu sukses. Saka aku, Ibu Kusumodilogo. [DL/WSL/21] „Nak Waluyo, anakku. Ibu menghaturkan rasa terima kasih padamu. Ibu kagum, bangga, dan bahagia melihat budi pekertimu. Saya tidak bisa membalas kebaikanmu yang dahulu. Semoga kiriman yang tidak berharga ini, ada manfaatnya untuk kamu. Sudah begitu saja. Ibu berdoa semoga di kemudian hari hidupmu sukses. Dari saya, Ibu Kusumodilogo. Selesai membaca secarik surat tersebut, keduanya (Waluyo dan ibunya) melongo. Tidak terasa air mata kebahagiaan mengalir, membasahi pipi Bu Darso dan pipi Waluyo.‟ Pada data (92) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ dan pronomina II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu. Pronomina persona II tunggal tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya, yaitu Waluyo. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual kowe dan -mu secara berturutturut merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora (karena acuannya berada di dalam teks) bersifat anaforis (antesedennya berada di sebelah kiri) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat lekat kanan. Data (93) “Hei kebo, ketoke kowe lagi kesel banget,” aloke sapi karo melu-melu ndhekem ing cedhake kebo. [DL/MSDKI/3] „Hai kerbau, kelihatannya kamu lelah sekali,” tutur sapi sambil ikut-ikutan mendekamdi dekat kerbau.‟ Pada data (93) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya yaitu kebo „kerbau‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109
satuan lingual kata kowe „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis (unsur yang diacu terdapat dalam teks dan letak antesedennya berada disebelah kiri) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (94) “Yen takgagas-gagas kowe pancen goblok tenan. Awakmu luwih gedhe lan kuwat. Tenagamu mesthine uga luwih rosa. Geneya kowe kok bisa kalah karo manungsa sing awake cilik uklik-uklik kaya kuwi, malah uga kowe mung manut wae didadekne reh-rehane,” kandhane sapi karo melu-melu ngrengguti suket karo kebo.[DL/MSDKI/5] „Kalau saya pikir-pikir kamu memang bodoh sekali. Tubuhmu lebih besar dan kuat. Tenagamu pastinya juga lebih kuat. Mengapa kamu bisa kalah dengan manusia yang badannya kecil dan kurus seperti itu, kamu juga hanya menurut saja dijadikan taklukannya,” kata sapi sambil ikut-ikutan makan rumput dengan kerbau.‟ Pada data (94) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ dan pronomina II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu. Pronomina persona II tunggal tersebut mengacu pada unsur lain yang disebutkan berikutnya, yaitu kebo „kerbau‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual kowe dan -mu secara berturutturut merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora (karena acuannya berada di dalam teks) bersifat kataforis (antesedennya berada di sebelah kanan) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat lekat kanan. Data (95) “Kowe aja ngremehake manungsa. Sanajan awake cilik uklik-uklik lan katone ringkih, nanging dheweke duweni sawenehe bab kang ora diduweni dening bangsa kewan kaya awake dhewe.”[DL/MSKDI/6] „Kamu jangan menganggap remeh manusia. Walaupun badannya kurus kecil dan kelihatan lemah, namun dia memmpunyai sesuatu yang tidak dimiliki oleh jenis hewan seperti kita.‟ Pada data (95) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya yaitu kebo „kerbau‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kata kowe „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110
endofora anaforis (unsur yang diacu terdapat dalam teks dan letak antesedennya berada disebelah kiri) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (96) “He, kowe arep menyang ngendi?” pambengoke kebo.[DL/MSDKI/11] „Hai, kamu mau ke mana?” seru kerbau.‟ Data (97) “Ya kana yen kowe wani,” kebo mung mesem. Dheweke kelingan marang olehe kamalungkung dhek biyen sing njalari dheweke bisa dirangket dening manungsa lan pungkasane didadekake reh-rehane. Rasakna dhewe pi, kowe mengko rak uga bakal ngalami nasip sing padha kaya aku, batine kebo karo ngetutake lungane sapi nganggo matane.[DL/MSDKI/13] „Terserah kalau kamu berani,” kerbau hanya tersenyum. Dia teringat ketika dia menantang (pak tani) dahulu yang menyebabkan dia bisa ditaklukkan oleh pak tani dan akhirnya dijadikan bawahannya(pembantunya). Rasakan sendiri Pi, kamu nanti juga akan mengalami nasib yang sama seperti saya, ungkap kerbau dalam hati sambil memandang kepergian sapi dengan matanya.‟ Pada data (96) dan (97) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yaitu sapi. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kata kowe „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (98) “He, Pak Tani. Ayo pasrahna utegmu marang aku saiki uga. Yen ora gelem klakon taksruduk nganggo sunguku sing lancip iki,” kandhane sapi karo mamerake sungune.[DL/MSDKI/15] „Hai, Pak Tani. Serahkan pikirannu kepadaku sekarang juga. Kalau tidak mau akn saya tanduk pakai tandukku yang lancip ini,” kata sapi sambil memperlihatkan tanduknya.‟ Pada data (98) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya yaitu Pak Tani. Berdasarkan ciri-ciri tersebut penanda satuan lingual –mu merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111
Data (99) Pak Tani kaget oleh pangincim saka sapi ujug-ujug kaya iku. Nanging ora dikatonake rasa kagete. Dheweke muter uteg, banjur kandhane: “Wadhuh, utegku keri ing ngomah. Dadi yen saiki aku durung bisa masrahake marang kowe. Kepriye yen kowe ngenteni ana kene, aku tak bali sedhela njupuk utegku?” kandhane Pak Tani alus.[DL/MSDKI/16] „Pak tani terkejut mendapat ancaman yang tiba-tiba dari sapi seperti itu. Akan tetapi tidak diperlihatkan rasa terkejutnya. Dia berpikir, kemudian berkata, “Aduh, pikiranku tertinggal di rumah. Jadi kalau sekarangsaya belum bisa memberikannya pada kamu. Bagaimana kalau kamu meneunggu di sini, saya balik sebentar untuk mengambil pikiranku?” kata pak tani dengan lembut.‟ Pada data (99) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya yaitu sapi. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kata kowe „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis (unsur yang diacu terdapat dalam teks dan letak antesedennya berada disebelah kiri) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (100) “Ora bisa. Gek-gek kuwi mung pawadanmu kanggo ngapusi aku?” [DL/MSDKI/17] „Tidak bisa. Jangan-jangan itu hanya tipu muslihatmu untuk menipu aku?‟ Pada data (100) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu yang mengacu pada Pak Tani (unsur lain yang tidak terdapat dalam teks). Berdasarkan ciri-ciri tersebut penanda satuan lingual –mu merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan eksofora melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (101) “Yen ra percaya kowe rak bisa takon marang kebo ngendi omahku. Utawa yen wegah takon kebo ya ayo melu menyang omahku,” pangajake Pak Tani.[DL/MSDKI/18] „Kalau tidak percaya kamu kan bisa bertanya kepada kerbau di mana rumahku. Atau kalau tidak mau bertanya pada kerbau mari ikut ke rumahku,” ajak pak tani.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112
Data (102) “Lha iki ing tanganku iki apa. Ya iki uteg sing takkandhakake keri ana ngomah mau. Saiki wis takgawa. Mesthine kowe durung ngerti kepriye carane migunakake uteg iki. Coba rada nyedhaka mrene takanggokake,” ujare Pak Tani sareh karo mesem marang sapi.[DL/MSDKI/21] „Ini di tanganku ini apa. Ya ini pikiran yang saya katakan tertinggal di rumah tadi. Sekarang sudah saya bawa. Pastinya kamu belum tahu bagaimana cara menggunakan pikiran ini. Coba agak mendekat ke sini saya pakaikan,” ujar pak tani pelan sambil tersenyum kepada sapi.‟ Pada data (101) dan (102) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan sebelumnya yaitu sapi. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kata kowe „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis (unsur yang diacu terdapat dalam teks dan letak antesedennya berada disebelah kiri) melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (103) “Wis, saiki kowe lerema ana kene. Aku arep nerusake gaweanku,” kandhane Pak tani marang sapi. Suwe-suwe sapi krasa yen dheweke wis dipaeka dening Pak Tani. Dheweke ngrerepe njaluk pangapura. Nanging Pak Tani sing rumangsa kaweden kanggo ngeculake sapi mung kandha: “Wis kowe melua aku wae. Kabeh panganmu taktanggung. Dadi kowe ora perlu rekasa golek pangan dhewe.”[DL/MSDKI/24] „Sudah, sekarang kamu diamlah di sini. Saya akan melanjutkan pekerjaanku,” kata pak tani kepada sapi. Lama-lama sapi merasa kalau dirinya sudah ditipu oleh pak tani. Dia memelas minta ampunan. Akan tetapi pak tani yang merasa takut melepas sapi, hanya berkata, “sudah kamu ikut saya saja. Semua makananmu saya yang jamin. Jadi kamu tidak perlu susah payah mencari makanan sendiri.‟ Pada data (103) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ dan pronomina II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu. Pronomina persona II tunggal tersebut mengacu pada unsur lain yaitu sapi. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual kowe dan -mu secara berturut-turut merupakan jenis kohesi gramatikal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113
pengacuan melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat lekat kanan. Data (104) “Satemene aku ora kabotan nulungi kuwi. Nanging aku wedi mengko yen wis takluwari aku banjur kokklethak, kokdadekake mangsamu,” ujare Gindhul karo nyawang macan sing rupane pancen katon memelas.[DL/GK/4] „Sesungguhnya saya tidak keberatan menolong itu. Akan tetapi saya takut nanti kalau saya bebaskan, saya kemudian kamu mangsa, kamu jadikan mangsamu,” ujar Gindhul sambil memandang harimau yang wajahnya memang kelihatan memelas.‟ Pada data (104) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kiri dan lekat kanan, yang secara berturut-turut ditandai oleh satuan lingual kokdan –mu, yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu macan „harimau‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual kok- dan –mu merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kiri dan bentuk terikat lekat kanan. Data (105) “Aja kuwatir. Aku janji ora bakal munasika kowe. Kepara aku malah bakal maturnuwun banget yen kowe gelem ngluwari aku saka krangkeng iki.”[DL/GK/5] „Jangan kawatir. Aku janji tidak akan menyakiti kamu. Justru saya akan berterimaksih kalau kamu mau membebaskan saya dari kurungan ini.‟ Pada data (105) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain di luar teks yaitu Gindhul si kethek klawu. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kata kowe „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan eksofora melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (106) “Apa janjimu bisa takugemi?” Gindhul rumangsa perlu oleh jaminan saka macan[DL/GK/6] „Apakah janjimu bisa saya percaya?” Gindhul merasa perlu memperoleh jaminan dari harimau.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114
Pada data (106) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual–mu, yang mengacu pada unsur lain di luar teks yaitu Gindhul si kethek klawu. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual – mu merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan eksofora melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (107) “Kowe aja urik, lho can. Mau kowe wis janji ora bakal munasika aku yen kowe takluwari saka krangkeng. Nanging bareng wis klakon bebas kowe banjur blenjani janjimu. Kuwi jenenge urik. Ora adil.”[DL/GK/8] „Kamu jangan curang. Tadi kamu sudah berjanji tidak akan memangsa saya kalau kamu saya bebaskan dari kurungan. Tetapi sesudah bebas kamu kemudian mengingkari janjimu. Itu namanya curang. Tidak adil.‟ Pada data (107) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ dan pronomina II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu. Pronomina persona II tunggal tersebut mengacu pada unsur lain yaitu macan „harimau‟. Berdasarkan ciriciri tersebut satuan lingual kowe dan -mu secara berturut-turut merupakan jenis kohesi gramatikal endofora anaforis melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat lekat kanan. Data (108) “Ha...ha...ha...kethek, kethek. Kowe kuwi pancen kewan sing goblok lan lugu. Kowe bisa takapusi. Aku ki rak kewan sing tinakdir memangan daging. Dadi nalika weteng ngelih lan ing cedhakku ana memangsan sing bisa kanggo ganjel weteng, apa ya mung bakal taknengke ngono wae? Cetha ora! Aku tetep kepingin mangan kowe. Bakal takoyak menyang ngendi wae playumu,” pangancame macan karo wiwit ancang-ancang arep nubruk kethek maneh.[DL/GK/9] „Ha..ha..ha.. kera, kera. Kamu itu memang hewan yang bodoh dan polos. Kamu bisa saya tipu. Saya ini kan hewan yang ditakdirkan makan daging. Jadi ketika perut lapar dan di dekatku ada mangsa yang bisa untuk mengobati lapar, apa hanya akan saya biarkan begitu saja? Jelas tidak! Saya tetap ingin memakan kamu. Akan saya kejar kemana pun kamu lari,” ancam harimau sambil mulai bersiap-siap menerkam kera kembali.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115
Pada data (108) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ dan pronomina II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu. Pronomina persona II tunggal tersebut mengacu pada unsur lain yaitu kethek „kera‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual kowe dan -mu secara berturut-turut merupakan jenis kohesi gramatikal endofora anaforis melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat lekat kanan. Data (109) “Awake dhewe mlaku golek hakim telu, yen hakim iku ngandhakake aku pancen pantes dadi mangsamu, aku lila kokmangsa.”[DL/GK/11] „Kita berjalan mencari tiga hakim, kalau hakim itu berkata saya memang pantas menjadi mangsamu, saya rela kamu makan.‟ Pada data (109) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kiri dan lekat kanan, yang secara berturut-turut ditandai oleh satuan lingual kokdan –mu, yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu macan „harimau‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual kok- dan –mu merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kiri dan bentuk terikat lekat kanan. Data (110) “Sapa sing arep kokdadekake hakim?” [DL/GK/12] „Siapa yang kan kamu jadikan hakim?‟ Pada data (110) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kiri yang ditandai oleh satuan lingual kok-, yang mengacu pada unsur lain di luar teks yaitu Gindhul si kethek klawu. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual kok- merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan eksofora melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kiri. Data (111) “Mandheg dhelat, cil. Iki aku arep takon, muga kowe bisa aweh keputusan kang adil,” ujare Gindhul si kethek ngendheg lakune si kancil.[DL/GK/14] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116
„Berhenti sebentar, Cil. Ini saya mau bertanya, semoga kamu bisa memberi keputusan yang adil,”ujar Gindhul si kera menghentikan perjalanan si kancil.‟ Pada data (111) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu si kancil. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kata kowe „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Data (112) “Yen aku kongkon mikir dhewe, kowe pantes dadi panganku kanggo ganjel wetengku sing ngelih,” ujare macan karo siap-siap arep nubruk kethek.[DL/GK/21] „Kalau aku disuruh berpikir sendiri, kamu pantas menjadi mangsaku untuk mengisi perutku yang lapar,” ujar harimau sambil bersiap menerkam kera.‟ Data (113) “Kowe wis krungu dhewe kandhane kidang, saiki manuta takpangan,” ujare macan marang kethek.[DL/GK/26] „Kamu sudah mendengar sendiri perkataan kijang, sekarang menurutlah untuk saya makan,” ujar harimau pada kera.‟ Data (114) “Ana apa?” pitakone beruk kaget. “Lho, kok kowe ana kene karo macan?” pitakone maneh weruh macan sing lagi njerum ing ngisor wit ora adoh karo papane Gindhul ngadeg.[DL/GK/28] „Ada apa?” tanya beruk terkejut. “Kamu kok ada di sini dengan harimau?” tanyanya kembali melihat harimau yang sedang tiduran di bawah pohon tidak jauh dari tempat Gindhul berdiri.‟ Pada data (112), (113) dan (114) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu kethek „kera‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual kata kowe „kamu‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117
Data (115) “Ngene wae, saiki aku tuduhna ana ngendi olehmu nulungi macan mau, yen aku ngerti larah-larahe aku rak bisa menehi keputusan kanthi adil,” kandhane beruk.[DL/GK/31] „Begini saja, sekarang saya tunjukkan ada di mana kamu menolong harimau tadi, kalau aku tahu awal mulanya, saya akan bisa memberi keputusan dengan adil,” kata beruk.‟ Pada data (115) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual–mu, yang mengacu pada unsur lain di luar teks yaitu Gindhul si kethek klawu „Gindhul si kera abu-abu‟. Berdasarkan ciriciri tersebut satuan lingual –mu merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan eksofora melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (116) “Coba kaya apa posisine si macan nalika koktulungi mau. Aku kepengin weruh,” aloke beruk.[DL/GK/33] „Coba, seperti apa posisinya si harimau ketika kamu tolong tadi. Saya ingin tahu,” kata beruk.‟ Pada data (116) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kiri yang ditandai oleh satuan lingual kok-, yang mengacu pada unsur lain di luar teks yaitu Gindhul si kethek klawu „Gindhul si kera abu-abu‟. Berdasarkan ciriciri tersebut satuan lingual kok- merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan eksofora melalui pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kiri. Data (117) “Kowe aja mung manthuk-manthuk. Saiki priye keputusanmu?” pitakone macan ora sabar.[DL/GK/35] „Kamu jangan hanya mengangguk-angguk. keputusanmu?” tanya harimau tidak sabar.‟
Sekarang
bagaimana
Pada data (117) di atas terdapat pronomina persona II tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual kowe „kamu‟ dan pronomina II tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh satuan lingual –mu. Pronomina persona II tunggal tersebut mengacu pada unsur lain yaitu beruk. Berdasarkan ciri-ciri tersebut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118
satuan lingual kowe dan -mu secara berturut-turut merupakan jenis kohesi gramatikal eksofora melalui pronomina persona II tunggal bentuk bebas dan bentuk terikat lekat kanan. Pengacuan Persona III dapat dilihat pada pembahasan berikut ini. Data (118) Awake dhewe nyebut iku minangka Astane Gusti Allah. Panjenengane sing tansah nuntun awake dhewe miturut kekarepanE.” [PS/PSP/6] „Kita menyebutnya sebagai Tangannya Gusti Allah. Dia yang senantiasa menunjukkan kita menurut kehendak-Nya.‟ Pada data (118) di atas terdapat pronomina Ilahiah bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual Panjenengane „Dia‟ dan pronomina Ilahiah bentuk terikat lekat kanan yang ditandai satuan lingual –E „-Nya‟ yang melekat pada kata kekarepanE „kehendak-Nya‟.pronomina persona tersebut mengacu pada anteseden di sebelah kiri, yaitu Gusti Allah. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual panjenengane „Dia‟ dan –E „-Nya‟ yang melekat pada kekarepan-E merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anaforis masing secara berturut-turut melalui pronomina Ilahiah bentuk bebas dan bentuk terikat lekat kanan. Data (119) Ora watara suwe sawise kedadeyan mau, wit kasebut pancen nandang lara tenan. Godhong-godhonge sing maune ketel lan ijo royo-royo, saiki malih kuning sarta padha gogrog. Pang-pange sing maune katon rosa saiki malih gapuk lan padha ceklek, nganti bola-bali nibani sapa wae sing liwat ing ngisore. [PS/SSKS/9] „Tidak berselang lama sesudah kejadian tersebut, pohon tersebut memang menderita sakit sungguhan. Daun-daun yang tadinya rindang dan hijau lebat, sekarang berubah kuning dan berjatuhan. Dahan-dahannya yang tadinya kelihatan kuat sekarang rapuh dan mudah patah, sampai berkali-kali menjatuhi siapa saja yang lewat dibawahnya.‟ Data (120) Kabeh padha ngalih, golek panggonan sing luwih penak. Apamaneh wit kasebut rencanane bakal ditegor dening menungsa, supaya ora ana maneh sing ketiban pange. [PS/SSKS/10] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119
„Semua berpindah, mencari tempat tinggal yang lebih nyaman. Apalagi pohon tersebu rencananya akan ditebang oleh manusia, supaya tidak ada lagi yang kejatuhan rantingnya.‟ Pada data (119) dan (120) di atas terdapat pronomina persona III bentuk terikat lekat kanan yaitu –e „-nya‟ yang melekat pada kata godhong-godhonge „daundaunnya‟, pang-pange „dahan-dahannya‟, dan pange „dahannya‟, mengacu pada anteseden di disebelah kirinya yaitu wit „pohon‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka –e merupakan pengacuan persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (121) Nalika kahanan wis ora nyenengake kanggo wit kasebut, dumadakan manuk Platuk teka maneh. Dheweke bali notholi sakujur awake wit iku. [PS/SSKS/11] „Ketika keadaan sudah tidak menyenangkan untuk pohon tersebut, tiba-tiba burung Pelatuk datang kembali. Dia kembali mematuki sekujur tubuh pohon itu.‟ Data (122) Warase wit iku ndadekake dheweke ora sida ditegor.[PS/SSKS/12] „Kembali berseminya pohon itu menjadikan dirinya tidak jadi ditebang.‟ Data (123) Jaman mbiyen ing kutha Bagdad ana tukang angon wedhus jenenge pak Abu. Dheweke iku saben dinane mung angon wedhus bae. [PS/TAW/1] „Zaman dahuludi kota Bagdad ada penggembala kambing bernama Pak Abu. Dia setiap harinya hanya menggembalakan kambing saja.‟ Data (124) Pak Abu iku pawongane sabar lan tlaten. Mula wedhuse lemu-lemu lan saya suwe saya tambah akeh. Saliyane iku, pak Abu iku kondhang minangka pawongan kang jujur. Dadi bendarane kang sengaja ngongkon pak Abu ngengon wedhuse iku percaya banget marang dheweke. [PS/TAW/3] „Pak Abu itu orangnya sabar dan teliti. Maka kambingnya gemuk-gemuk dan semakin lama semakin bertambah banyak. Selain itu, Pak Abu itu terkenal orang yang jujur. Jadi juragan yang sengaja menyuruh Pak Abu mengembalakan kambingnya itu percaya sekali pada dia.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120
Pada data (121), (122), (123), dan (124) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ yang mengacu masing-masing secara berturut-turut pada unsur yang disebutkan sebelumnya yaitu manuk platuk „burung Pelatuk‟, wit „pohon‟, Pak Abu, dan Pak Abu. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan itu maka satuan lingual dheweke „dia‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anforis melali pronomina III tunggal bentuk bebas. Data (125) Sang raja kang wicaksana kepengin mbuktekake apa bener sing dikabarake para warga Bagdad yen pak Abu iku pawongan kang sabar, tlaten lan jujur, mula banjur ngutus prajurite kanggo mbuktekake. [PS/TAW/4] „Sang raja yang bijaksana ingin membuktikan apakah benar yang dikabarkan para warga Bagdad kalau Pak Abu itu orangnya sabar, teliti, dan jujur, maka kemudian mengutus prajuritnya untuk membuktikannya.‟ Pada data (125) terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh –e yang melekat pada kata prajurite „perajuritnya‟, mengacu pada unsur lain yang disebut sebelumnya yaitu sang raja. Berdasarkan hal tersebut satuan lingual –e yang melekat pada kata prajurite „prajuritnya‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (126) Pak Abu rumangsa lingsem, dheweke enggal sungkem marang sang raja lan njaluk pangapura amarga wis rumangsa tumindak kurang tata marang sang raja. [PS/TAW/13] „Pak Abu merasa malu, dia segera bersujud pada sang raja dan meminta ampun karena sudah merasa berbuat kurang sopan kepada sang raja.‟ Data (127) Sang raja kang midhanget wangsulane pak Abu katon kaget lan gumun amarga dheweke ora ngira yen ing jaman saiki isih ana pawongan kang temen-temen jujur kaya ngono. [PS/TAW/20]
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121
„Sang raja yang mendengar jawaban Pak Abu terlihat terkejut dan terheran karena dia tidak mengira kalau dizaman sekarang masih ada orang yang benar-benar jujur seperti itu.‟ Pada data (126) dan (127) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ yang mengacu masingmasing secara berturut-turut pada unsur yang disebutkan sebelumnya yaitu Pak Abu dan sang raja. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan itu maka satuan lingual dheweke „dia‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anforis melali pronomina III tunggal bentuk bebas. Data (128) Pak Abu rumangsa mongkog atine amarga ora ngira yen dheweke bakal nampa kanugrahan kang kaya mangkono. Mula tanpa lali pak Abu tansah nggedhekake rasa syukur menyang Gusti Allah lan nindakake pakaryan ing istana Bagdad kanthi tenanan. [PS/TAW/23] „Pak Abu merasa bangga karena tidak menyangka kalau dia akan menerima anugrah seperti itu. Oleh karena itu, tidak lupa Pak Abu senantiasa menghaturkan rasa syukur kepada Allah dan melaksanakan pekerjaan di istana Bagdad dengan sunguh-sungguh.‟ Pada data (128) terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yaitu –ne „-nya‟ dan bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ yang mengacu pada anteseden yang disebutkan sebelumnya yaitu Pak Abu. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual –ne „-nya‟ dan dheweke „dia‟ merupakan pengacuan endofora anaforis yang masing-masing secara berturut-turut melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan dan melalui pronomina persona III bentuk bebas. Data (129) Senajan Waluyo mono klebu bocah lugu, nanging pinter. Kejaba pinter, Waluyo kang wektu iki kelas enem SD, uga mujudake bocah kang mbangun miturut marang wong tuwane. Ya bab mau kang ndadekake bombong atine Mbok Darso, embokne Waluyo.[DL/WSL/1] „Meski Waluyo tergolong anak yang lugu, namun pintar. Selain pintar, Waluyo yang sekarang ini kelas enam SD, juga merupakan anak yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122
berbakti kepada orang tuanya. Itulah yang menjadikan rasa bangga Mbok Darso, ibunya Waluyo.‟ Pada data (129) terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yaitu –ne „-nya‟ yang melekat pada kata wong tuwane „orang tuanya‟ mengacu pada anteseden yang disebutkan sebelumnya yaitu Waluyo. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual –ne „-nya‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (130) Sasedulur, Waluyo mung cacah loro, yaiku karo Mulyono, kakange. Mulyono sing umure kang lagi ngancik 18 taun, wis kudu pisah karo embokne. Lunga bebara menyang kutha Bandung, melu pakdhene, saperlu golek pangupajiwa. Mbok Darso wis ora saguh ngragadi sekolahe Mulyono. Penghasilane Mbok Darso kanggo nyukupi kebutuhan padinan wae kadhangkala ora nyukupi.[DL/WSL/2] „Waluyo dua bersaudara, yaitu dengan Mulyono, kakaknya. Mulyono yang usianya baru beranjak 18 tahun, sudah harus berpisah dengan ibunya. Pergi merantau ke kota Bandung, ikut pamannya, untuk mencari rezeki. Bu Darso sudah tidak bisa membiayai sekolah Mulyono. Penghasilan Bu Darso untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja kadang kala tidak mencukupi.‟ Pada data (130) terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yaitu –ne „-nya‟ yang melekat pada kata wong tuwane „orang tuanya‟ mengacu pada anteseden yang disebutkan sebelumnya yaitu Mulyono. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual –ne „-nya‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (131) Waluyo manggon ing omah prasaja mung karo embokne.[DL/WSL/3] „Waluyo tinggal di rumah yang apa adanya hanya dengan ibunya.‟ Data (132) Mungguhing Waluyo, pituture Embokne mau ora mung mlebu kuping kiwa metu kuping tengen. DL/WSL/7] „Menurut Waluyo, nasihat ibunya tadi tidak hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan (tidak diperhatikan).‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123
Data (133) Dina Minggu esuk iku Waluyo lan embokne arep lunga menyang Ambarawa saperlu tilik Pak Sugiri, kakange Mbok Darso ya Pakdhene Waluyo. [DL/WSL/8] „Hari Minggu pagi itu Waluyo dan ibunya akan pergi ke Ambarawa untuk berkunjung Pak Sugiri, kakaknya Bu Darso yaitu pamannya Waluyo.‟ Data (134) Salah sawijining penumpang kang ora entuk lungguhan, priyayi putri kang wis sepuh. Numpak bis didherekake dening putrane, sawijining bapak mudha. Wong sakloron mau, ibu lan anak, arep tindak menyang Semarang.[DL/WSL/10] „Salah satu penumpang yang tidak dapat tempat duduk, ibu yang sudah tua. Naik bis diantarkan oleh anaknya, seorang bapak muda. Kedua orang tadi, ibu dan anak, akan berangkat ke Semarang.‟ Data (135) Ora taren karo Embokne, Waluyo terus ngadeg. Marani ibu sepuh mau. Tangane digandheng diajak menyang kursi lungguhe. Ibu sepuh mau diaturi lenggah. Jejer lungguh karo Embokne.[DL/WSL/12] „Tidak berunding (dulu) dengan ibunya, Waluyo terus berdiri. Menghampiri ibu tua tadi. Tangannya digandeng diajak ke ke kursi tempat duduknya. Ibu tua tadi dipersilakan dudu. Berdampingan dengan ibunya.‟ Data (136) Waluyo lega dene ibu sepuh mau kersa lenggah ing kursine.[DL/WSL/13] „Waluyo lega karena ibu tua tadi mau duduk di kursinya.‟ Pada data (131) sampai dengan (136) terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yaitu –ne „-nya‟ mengacu pada anteseden yang disebutkan sebelumnya yaitu Waluyo. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual –ne „-nya‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (137) Mbok Darso senajan klebu uwong sekeng, nanging uripe ora nggrangsang. Entuk asil sethithik utawa akeh tetep disyukuri. Ora jeleh-jeleh Mbok Darso tansah mituturi anak ragile mau amrih bisa dadi bocah utama. Becik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124
kelakuane. Seneng tetulung marang wong liya. Seneng “berbagi” utawa loma marang pepadha.[WDL/SL/4] „Bu Darso walaupun tergolong orang yang tidak mampu, akan tetapi hidupnya tidak suka meminta-minta. Mendapat penghasilan sedikit atau pun banyak tetap disyukuri. Tidak bosan-bosan Bu Darso selalu menasihati anak bungsunya supaya bisa jadi anak yang (berakhlak) mulia. Baik perilakunya. Suka menolong orange lain. Suka berbagi kepada sesama.‟ Data (138) Mbok Darso crita akeh-akeh ngenani Ibu sepuh kang mau lungguh ing jejere.[DL/WSL/14] „Bu darso bercerita banyak tentang ibu tua yang tadi duduk satu tempat duduk dengannya.‟ Pada data (137) dan (138) terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh –e yang melekat pada kata uripe „hidupnya‟ dan jejere „sampingnya‟, mengacu pada unsur lain yang disebut sebelumnya yaitu Mbok Darso. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual –e yang melekat pada kata uripe „hidupnya‟ dan jejere „sampingnya‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (139) “Ibu sepuh mau asmane Ibu utawa Eyang Kusumadilogo. Pensiunan guru SD utawa SR jaman biyen. Piyambake mau trenyuh lan ngaturake panuwun kang tanpa upama marang kowe, le. [DL/WSL/15] „Ibu tua tadi namanya Ibu atau Eyang Kusumodilogo. Pensiunan guru SD atau SR zaman dulu. Beliau tadi kagum dan mengucapkan banyak terima kasih padamu, Nak.‟ Pada data (139) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual piyambake „dia‟ yang mengacu pada anteseden yang disebutkan sebelumnya yaitu Eyang Kusumadilogo. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan itu maka satuan lingual piyambake „dia‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anforis melali pronomina III tunggal bentuk bebas. Data (140) Dina Setu awan, ing sekolahane, Waluyo lagi katrem dolanan bal karo kancakancane ing wayah istirahat. Ana petugas pos nggawa barang kiriman dibuntel nganggo dhus, mlebu menyang ruwang guru.[DL/WSL/16] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125
„Hari Sabtu siang, di sekolah, Waluyo sedang asyik bermain bola dengan teman-temannya di waktu istirahat. Ada petugas pos membawa barang kiriman dibungkus memakai kardus, masuk ke ruang guru.‟ Pada data (140) terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yaitu –ne „-nya‟ yang melekat pada kata kanca-kancane „teman-temannya‟ mengacu pada anteseden yang disebutkan sebelumnya yaitu Waluyo. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual –ne „-nya‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (141) Waluyo sing isih katrem dolanan bal plastik didangu dening Bu Warih, dikandhani yen dheweke nampa kiriman barang saka Ibu Kusumodilogo. [DL/WSL/17] „Waluyo yang masih asyik bermain bola plastik dipanggil oleh Bu Warih, diberitahu kalau dia mendapat kiriman barang dari Ibu Kusumodilogo.‟ Pada data (141) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ yang mengacu pada unsur yang disebutkan sebelumnya yaitu Waluyo. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan itu maka satuan lingual dheweke „dia‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anforis melali pronomina III tunggal bentuk bebas. Data (142) Bungkusan mau banjur dibukak alon-alon dening Waluyo, disekseni embokne.DL/[WSL/20] „Bungkusan tadi kemudian dibuka pelan-pelan oleh Waluyo, disaksikan ibunya.‟ Pada data (142) terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yaitu –ne „-nya‟ yang melekat pada kata embokne „ibunya‟ mengacu pada anteseden yang disebutkan sebelumnya yaitu Waluyo. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual –ne „-nya‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126
Data (143) Sawijinging dina sapi lagi bosen ana jero alas. Rasane sumpeg. Saben dina sing disawang kok mung kuwi-kuwi wae. Dheweke kepengin mlaku-mlaku menyang papan liya supaya bisa weruh sesawangan sing beda. Dheweke tau dicritani dening kethek yen ing kampung ora adoh saka alas iku akeh panganan sing enak-enak sing ditandur dening Pak Tani. [DL/MSDKI/1] „Suatu hari sapi sedang bosan di dalam hutan. Perasaanya sumpek. Setiap hari yang dipandang hanya itu-itu saja. Dia ingin jalan-jalan ke tempat lain supaya bisa melihat pemandangan yang berbeda. Dia pernah diberitahu oleh kera kalau di kampung tidak jauh dari hutan itu banyak makanan yang enak-enak yang ditanam oleh pak tani.‟ Data (144) Batine sapi karo isih tetep mesam-mesem kebak teges. Dheweke banjur ngadeg, mlaku alon-alon ninggalake kebo.[DL/MSKDI/10] „Kata sapi dalam hati masih tetap senyum-senyum penuh maksud. Dia kemudian berdiri, berjalan pelan-pelan meninggalkan kerbau.‟ Pada data (143) dan (144) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ yang mengacu pada unsur yang disebutkan sebelumnya yaitu sapi. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan itu maka satuan lingual dheweke „dia‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anforis melali pronomina III tunggal bentuk bebas. Data (145) “Aku arep nggoleki Pak Tani. Arep takjaluk utege. Yen ora gelem menehake dheweke arep tak sruduk nganggo sunguku sing bakoh lan lancip iki,” wangsulane sapi karo mamerake sungune.[DL/MSDKI/12] „Saya mau mencari pak tani. Akan saya minta pikirannya. Kalau tidak mau memberikan, dia akan saya tanduk pakai tandukku yang kuat dan lancip ini,” jawab sapi sambil memamerkan tanduknya.‟ Pada data (145) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ yang mengacu pada unsur lain yang disebutkan kemudian yaitu sapi serta terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh –ne „-nya‟ yang melakat pada kata sungune „tanduknya‟ yang mengacu pada unsur yang disebutkan sebelumnya yaitu sapi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127
Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual dheweke „dia‟ merupakan pengacuan endofora kataforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk bebas, sedangkan satuan lingual –ne „-nya‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (146) “Ya kana yen kowe wani,” kebo mung mesem. Dheweke kelingan marang olehe kamalungkung dhek biyen sing njalari dheweke bisa dirangket dening manungsa lan pungkasane didadekake reh-rehane. Rasakna dhewe pi, kowe mengko rak uga bakal ngalami nasip sing padha kaya aku, batine kebo karo ngetutake lungane sapi nganggo matane.[DL/MSDKI/13] „Terserah kalau kamu berani,” kerbau hanya tersenyum. Dia teringat ketika dia menantang (pak tani) dahulu yang menyebabkan dia bisa ditaklukkan oleh pak tani dan akhirnya dijadikan bawahannya(pembantunya). Rasakan sendiri Pi, kamu nanti juga akan mengalami nasib yang sama seperti saya, ungkap kerbau dalam hati sambil memandang kepergian sapi dengan matanya.‟ Pada data (146) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ dan pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh –ne „-nya‟ yang melakat pada kata matane „matanya‟ yang mengacu pada unsur yang disebutkan sebelumnya yaitu kebo „kerbau‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual dheweke „dia‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk bebas, sedangkan satuan lingual –ne „-nya‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (147) Pak Tani kaget oleh pangincim saka sapi ujug-ujug kaya iku. Nanging ora dikatonake rasa kagete. Dheweke muter uteg, [DL/MSDKI/16] „Pak tani terkejut mendapat ancaman yang tiba-tiba dari sapi seperti itu. Akan tetapi tidak diperlihatkan rasa terkejutnya. Dia berpikir,‟ Data (148) Pak Tani banjur jumangkah ninggalake kebo. Omahe pancen ora adoh saka sawah kono. Mula ora let suwe dheweke wis bali maneh karo nggawa dhadhung sing lumayan gedhe.[DL/MSDKI/20] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128
„Pak tani melangkah meninggalkan kerbau. Rumahnya memamng tidak jauh dari situ. Maka tidak berselang lama dia sudah kembali lagi dengan membawa tali yang lumayan besar.‟ Pada data (147) dan (148) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh –e „-nya‟ yang melekat pada kata rasa kagete „rasa terkejutnya‟ dan pada kata omahe „rumahnya‟ mengacu pada anteseden yang disebutkan sebelumnya yaitu Pak Tani, selain itu juga terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ yang mengacu pada anteseden yang disebutkan sebelumnya yaitu Pak Tani. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual –e „-nya‟ dan dheweke „dia‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anforis, secara berturut-turut melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan dan pronomina persona III tunggal bentuk bebas. Data (149) Sapi mara nyedhak. Mripate ora uwal saka barang sing dicekel dening Pak Tani. Angen-angene mumbul sundhul langit. Yen dheweke mengko wis nganggo uteg sing arep dipasangake dening Pak Tani kuwi, mesthi dheweke bakal dieringi dening sapa wae. Sebab ora ana sing bakal ngalahake.[DL/MSDKI/22] „Sapi datang mendekat. Matanya tidak berkedip dari barang yang dipegang oleh pak tani. Angan-angannya naik ke langit. Kalau dirinya nanti sudah memakai pikiran yang akan dipasangkan oleh pak tani itu, pasti akan disegani oleh siapa saja. Sebab tidak ada yang akan mengalahkannya.‟ Pada data (149) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh –e „-nya‟ yang melekat pada kata angenangene „angan-angannya‟ dan pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟. Pronomina persona tersebut mengacu pada anteseden yang disebutkan sebelumnya yaitu sapi. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual –e „-nya‟ dan dheweke „dia‟ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora anforis, secara berturut-turut melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan dan pronomina persona III tunggal bentuk bebas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129
Data (150) Suwe-suwe sapi krasa yen dheweke wis dipaeka dening Pak Tani. Dheweke ngrerepe njaluk pangapura. [DL/MSDKI/24] „Lama-lama sapi merasa kalau dirinya sudah ditipu oleh pak tani. Dia memelas minta ampunan.‟ Data (151) Sapi pungkasane manut, tinimbang mati keluwen. Sebab kanthi awak sing dicencang kaya iku dheweke ora bisa bebas golek pangan kaya biyen. Wiwit kuwi sapi banjur dadi ingon-ingone manungsa.”[DL/MSDKI/25] „Sapi akhirnya menurut, daripada mati kelaparan. Sebab dengan tubuh yang diikat seperti itu dirinya tidak bisa bebas mencari makanan seperti dulu. Sejak itu sapi kemudian jadi peliharaan manusia.‟ Data (152) Awan kuwi hawane panas banget. Gindhul, kethek klawu, lagi milang-milang golek banyu kanggo nelesi gorokane sing krasa garing. Dumadakan lamatlamat kupinge krungu swara panguwuh njaluk tulung. Dheweke banjur mlaku nggoleki pernahe swara. [DL/GK/1] „Siang itu cuaca panas sekali. Gindhul, kera abu-abu, sedang melihat-lihat mencari air untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Tiba-tiba samar-samar telinganya mendengar suara minta tolong. Dia kemudian berjalan mencari sumber suara.‟ Pada data (150), (151), dan (152) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ secara berturutturut mengacau pada sapi (untuk data 150 dan 151) dan mengacu pada Gindhul kethek klawu „Gindhul kera abu-abu‟ (pada data (152). Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual dheweke „dia‟ merupakan pengacuan endofora anaforis (karena anteseden terdapat dalam teks dan terletak disebelah kiri atau disebutkan sebelumnya) melalui pronomina persona III tunggal bentuk bebas. Data (153) Gindhul muter uteg. Dheweke ora lila yen dadi mangsane macan sing wis ditulungi kuwi. Olehe tetulung mau kanthi tulus. Tanpa pamrih apa-apa, nanging mosok ya kaya mangkene piwalese? Ora! Kethek ora lila tenan karo patine yen mung kanthi cara kaya iku. Ana ngendi jejege adil! Mula banjur commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130
kandhane marang macan: “Ya wis, can. Aku lila kokpangan, nanging sadurunge aku njaluk keadilan dhisik.”[DL/GK/10] „Gindhul kemudian berpikir. Dia tidak akan rela menjadi mangsa harimau yang sudah ditolong itu. Menolongnya tadi dengan ikhlas. Tanpa pamrih apa pun, tetapi masa seperti ini balasannya? Tidak! Kera sungguh tidak rela dengan kematiannya kalau hanya dengan cara seperti itu. Dimana berdirinya keadilan! Maka katanya kepada harimau: “Ya sudah. Saya rela kamu makan, tetapi sebelumnya saya minta keadilan dahulu.‟ Pada data (153) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ dan pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh –ne „-nya‟ yang melakat pada kata patine „matinya‟ dan kandhane „katanya‟ yang mengacu pada unsur yang disebutkan sebelumnya yaitu Gindhul atau kethek klawu „kera abu-abu‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka satuan lingual dheweke „dia‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk bebas, sedangkan satuan lingual –ne „nya‟ yang melakat pada kata patine „matinya‟ dan kandhane „katanya‟merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (154) “Soal apa?” pitakone kancil wegah-wegahan. Dheweke isih mangkel karo kethek, merga dhek kapan kae, kancil weruh woh-wohan ing alas sing mateng-mateng. Dheweke ngundhang kethek supaya diopekake sebab mung kethek sing bisa menek, nanging karo si kethek jebul malah dientekake. Dheweke ora diomani. [DL/GK/15] „Soal apa?” tanya kancil agak malas. Dia masih jengkel pada kera, karena dulu kancil melihat buah-buahan di hutan yang masak.dia memanggil kera supaya dipetikan sebab hanya kera yang bisa memanjat, tetapi oleh si kera justru dihabiskan. Dia tidak dikasih.‟ Data (155) Nanging rehne kancil isih mangkel karo Gindhul si kethek iku, dheweke wegah aweh keputusan sing adil. Mula keputusane mung digawe ngambang.[DL/GK/17] „Akan tetapi kancil masih jengkel pada Gindhul si kera itu, dia tidak mau memberi keputusan yang adil. Maka keputusannya hanya dibuat tidak jelas.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131
Pada data (154) dan (155) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ yang mengacu pada unsur yang disebutkan sebelumnya yaitu kancil sapi. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual dheweke „dia‟ merupakan pengacuan endofora anaforis (karena anteseden terdapat dalam teks dan terletak disebelah kiri atau disebutkan sebelumnya) melalui pronomina persona III tunggal bentuk bebas. Data (156) Macan manut. Ora sida memangsa kethek. Jane bisa wae dheweke nubruk kethek nalika lena, nanging macan luwih seneng yen kethek memasrahke patine kanthi iklas. Samubarang yen dipasrahke kanthi iklas rasane bakal luwih enak.[DL/GK/22] „Harimau menurut. Tidak jadi memangsa kera. Sebenarnya bisa saja dia menerkam kera ketika lengah, tetapi harimau lebih senang kalau diserahkan dengan ikhlas rasanya lebih enak.‟ Pada data (156) di atas terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ yang mengacu pada anteseden di sebelah kiri yaitu macan „harimau‟ dan terdapat juga pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yang ditandai oleh –ne „-nya‟ yang melekat pada kata patine „matinya‟ mengacu pada anteseden disebelah kirinya yaitu kethek „kera‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat dijelaskan bahwa dheweke „dia‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk bebas, sedangkan satuan lingual –ne yang melekat pada kata patine „matinya‟ merupakan pengacuan endofora anaforis melalui pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Data (157) Kidang ngerti yen kethek ora salah. Ora samesthine macan memangsa kethek sing wis nandur kabecikan iku. Nanging yen dheweke kandha jujur, kidang wedi mengko malah dheweke sing ganti dimangsa dening macan.[DL/GK/24] „Kijang tahu kalau kera tidak bersalah. Tidak semestinya harimau memangsa kera yang sudah berbuat kebaikan itu. Akan tetapi kalau dia berkata jujur, kijang takut nanti kalau dia jadi yang dimangsa harimau. Sudah berkali-kali dia bisa lolos dari terkaman harimau.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132
Data (158) “Rehne aku kongkon gawe keputusan sing adil, miturutku iki cukup adil. Saiki macan wis bali ing kahanane sakawit. Dadi jarna wae dheweke kaya iku. Palange ora usah dibukak, thek. Ayo saiki ditinggal wae. Ben dheweke tetep ana kono,” kandhane beruk marang kethek klawu.[DL/GK/36] „Katanya saya disuruh membuat keputusan yang adil, menurutku ini cukup adil. Sekarang harimau sudah kembali pada keadaanya semula. Jadi biarkan saja dia seperti itu. Kuncinya tidak usah dibuka, Ra. Mari sekarang ditinggal saja. Biar dia tetap ada di situ,” kata beruk pada kera abu-abu.‟ Pada data (157) dan (158) di atas sama-sama terdapat pronomina persona III tunggal bentuk bebas yang ditandai oleh satuan lingual dheweke „dia‟ yang mengacu pada unsur yang disebutkan sebelumnya yaitu kidang „kijang‟ untuk data (157) dan macan „harimau‟ untuk data (158). Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual dheweke „dia‟ merupakan pengacuan endofora anaforis (karena anteseden terdapat dalam teks dan terletak disebelah kiri atau disebutkan sebelumnya) melalui pronomina persona III tunggal bentuk bebas. b) Pengacuan Demonstratif Pengacuan demonstratif meliputi pengacuan demonstratif waktu (temporal), pengacuan demonstratif tempat (lokasional), pengacuan demonstratif ikhwal. Pengacuan demonstratif waktu yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi empat macam yaitu pengacuan demonstratif waktu sekarang (kini), waktu lampau, waktu yang akan datang, dan waktu netral. Adapun pengacuan demonstratif tempat (lokasional) yang ditemukan pengacuan demonstratif tempat dekat, agak jauh, jauh, dan pengacuan demonstratif tempat yang menunjuk secara eksplisit.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133
Pengacuan demonstratif waktu kini, dapat dilihat pada data berikut. Data (159) “Pancen lamis pangucapmu. Kowe notholi aku, mesthi arep mateni aku ta. Wis saiki ngaliha, ngaliha adoh saka aku!” kandhane wit kuwi sengit. [PS/SSKS/7] „Memang manis ucapanmu. Kamu mematuki saya, pasti akan membunuhku, ya kan. Sudah sekarang pergilah, pergilah menjauh dariku!” kata pohon itu sinis.‟ Data (160) Saiki manuk Jalak wis ora manggon ing wit iku maneh. [PS/SSKS/10] ‘Sekarang burung Jalak sudah tidak tinggal di pohon itu lagi.’ Pada data (159) dan (160) di atas terdapat pronomina demonstratif waktu kini yang ditandai oleh satuan lingual saiki „sekarang‟ yang mengacu pada waktu kini, yaitu pada saat tuturan itu dilakukan (tidak diketahui secara pasti kapan tuturan itu dilakukan), namun dapat diperkirakan pada saat musim pohon berbuah yang diketahui dari penggambaran situasi pada paragraf pertama cerita tersebut Ana sawijining wit kang lagi ngancik wayahe woh „ada suatu pohon yang yang sedang musim berbuah‟. Berdasarkan ciri-ciri tersebut kata saiki „sekarang‟ merupakan jenis pengacuan demonstratif eksofora melalui pronomina demonstratif waktu kini. Pengacuan demonstratif waktu lampau, dapat dilihat pada data berikut. Data (161) Ing sawijining dina, simbah putri kang lagi nyerat layang, menehi pitutur marang putune, [PS/PSP/1] „Suatu hari, nenek yang baru menulis surat, memberi nasihat kepada cucunya,‟ Data (162) “Ya ngono iku, piwulang sing bisa dijupuk saka potelot. Kaya sing wis dakandharake mau, [PS/PSP/14] „Begitulah, piwulang yang bisa diambil dari pensil. Seperti apa yang telah saya jelaskan tadi,‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134
Data (163) Jaman mbiyen ing kutha Bagdad ana tukang angon wedhus jenenge pak Abu. [PS/TAW/1] ‘Zaman dahulu di kota Bagdad ada penggembala kambing bernama Pak Abu.’ Data (164) Wektu iku, ana manuk Jalak miber cendhek lan menclok ing sawijining pang ing wit kasebut. Kanthi mbengok, Jalak kuwi muji wit ksb;[PS/SSKS/2] Data (165) Dina kuwi uga si prajurit banjur salin penganggone kaya lumrahe blantik raja kaya lan nggoleki pak Abu. [PS/TAW/6] „Hari itu juga si prajurit kemudian berganti pakaian layaknya pembeli hewan dan mencari Pak Abu.‟ Pada data (161) sampai dengan (165) di atas terdapat penanda pronomina demonstratif waktu lampau yang ditandai oleh satuan lingual ing sawijining dina „di suatu hari‟, mau „tadi‟, jaman biyen „zaman dahulu‟, wektu iku „waktu itu‟ dan dina kuwi „hari itu‟ yang semuanya mengacu pada waktu yang telah berlalu/lampau. Penjelasan secara terperinci dijelaskan sebagai berikut. Frasa ing sawijining dina „pada suatu hari‟ yang menandai bahwa waktu lampau berlalu cukup lama yang tidak diketahui secara pasti kapan kejadiannya. Penanda mau „tadi‟ mengacu pada waktu yang telah lalu belum agak lama/baru saja selesai yaitu waktu nenek menjelaskan piwulang dari pensil tadi. Frasa jaman biyen „zaman dahulu‟ mengacu pada waktu lampau yang sudah lama berlalu diperkirakan beberapa tahun yang lalu sebelum tuturan itu dituturkan (gaya penceritaan cerita rakyat/dongeng). Frasa wektu iku „waktu itu‟ dan dina kuwi hari itu‟ merupakan penanda pengacuan waktu lampau, yang tidak diketahui secara pasti mengacu pada waktu kapan. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual yang disebutkan di atas merupakan jenis pengacuan demontratif eksofora waktu lampau. Pengacuan demonstratif waktu yang akan datang, dapat dilihat pada data berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135
Data (166) “Pak Abu, aku kepengin nuku wedhusmu kabeh iki, bakal daknggo pista ing istana lan kowe aja sumelang mengko uga bakal dakundang ing pista kasebut.” [PS/TAW/14] „Pak Abu, saya ingin membeli semua kambingmu ini, akan saya pakai untuk pesta di istana dan kamu jangan kawatir nanti juga akan saya undang di pesta tersebut.‟ Pada data (166) di atas terdapat pronomina demonstratif waktu yang akan datang yang ditandai oleh satuan lingual mengko „nanti‟ yang mengacu pada waktu yang tidak diketahui secara pasti/jelas, hanya diketahui waktunya saat diadakannya pesta di kerajaan Bagdad. Berdasarkan ciri-ciri tersebut satuan lingual mengko „nanti‟ merupakan jenis pengacuan eksofora melalui pronomina demonstratif waktu yang akan datang. Pengacuan demonstratif waktu netral, dapat dilihat pada data berikut. Data (167) Sore, hawa isis sumilir kalem. Manuk Jalak menclok maneh, ora ing wit kasebut[PS/SSKS/13] ‘Sore, angin berhembus pelan. Burung Jalak hinggap lagi, tidak di pohon tersebut,’ Data (168) Wiwit esuk umun-umun, pak Abu wis budhal menyang ara-ara ing pinggir kutha Bagdad lan lagi mulih nalika srengenge angslup. [PS/TAW/1] „Mulai pagi-pagi, Pak Abu sudah berangkat ke padang ilalang di pinggir kota Bagdad dan baru kembali ketika matahari terbenam.‟ Data (169) Dina Minggu esuk iku Waluyo lan embokne arep lunga menyang Ambarawa saperlu tilik Pak Sugiri, kakange Mbok Darso ya Pakdhene Waluyo. [DL/WSL/8] „Hari Minggu pagi itu Waluyo dan ibunya akan pergi ke Ambarawa untuk berkunjung Pak Sugiri, kakaknya Bu Darso yaitu pamannya Waluyo.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136
Data (170) Dina Setu awan, ing sekolahane, Waluyo lagi katrem dolanan bal karo kanca-kancane ing wayah istirahat. Ana petugas pos nggawa barang kiriman dibuntel nganggo dhus, mlebu menyang ruwang guru.[DL/WSL/16] ‘Hari Sabtu siang, di sekolah, Waluyo sedang asyik bermain bola dengan teman-temannya di waktu istirahat. Ada petugas pos membawa barang kiriman dibungkus memakai kardus, masuk ke ruang guru.’ Pada data (167) samapai dengan (170) terdapat penanda pengacuan demonstratif waktu netral yang ditandai oleh satuan lingual sore „sore hari‟, esuk umun-umun „waktu pagi sekali/fajar‟, nalika srengenge angslup „ketika matahari terbenam‟, dina Minggu esuk „hari Minggu pagi‟, Dina Setu awan „Hari sabtu siang‟, ing wayah istirahat „di waktu istirahat‟. Semua penanda lingual tersebut menunjuk pada waktu netral yang dijelaskan secara eksplisit. Pengacuan demonstratif lokasional dekat, dapat dilihat pada data berikut. Data (171) Krungu pangalembana kasebut, wit kuwi mangsuli, “Suwun mitraku. Nggaweya susuhan ing pangku kene.” [PS/SSKS/3] „Mendengar pujian tersebut, pohon itu menjawab, “Terima kasih sahabatku. Buatlah sarang di rantingku sini.‟ Pada data (171) di atas terdapat penanda pronomina demonstratif tempat yang dekat dengan penutur yaitu kata kene „sini‟. Satuan lingual kene „sini‟ mengacu pada tempat yang dekat dengan tempat penutur (dalam hal ini wit „pohon‟) yaitu ing pangku „dahan pohon itu sendiri‟. Dengan demikian satuan lingual kene „sini‟ merupakan jenis pengacuan demonstratif tempat yang dekat dengan penutur. Data (172) “Nuwun sewu pak, menda niki gadhahan bendara kula, pramila kula mboten wenang ngedol menda punika tanpa ijin saking bendara kula,” wangsulane pak Abu. [PS/TAW/9] „Maaf Pak, kambing ini kepunyaan juragan saya, maka dari itu saya tidak berwenang menjual kambing tersebut tanpa seizin dari juragan saya,” jawab Pak Abu.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137
Pada data (172) di atas terdapat penanda pronomina demonstratif tempat yang dekat dengan penutur yaitu kata niki „ini‟ dan punika „ini‟. Satuan lingual niki „ini‟ dan punika „ini‟ mengacu pada tempat yang dekat dengan tempat penutur (dalam hal ini Pak Abu) yaitu kambing-kambing yang sedang digembala oleh Pak Abu yang temapatnya tidak jauh dari penutur berbicara. Dengan demikian satuan lingual niki „ini‟ dan punika „ini‟ merupakan jenis pengacuan demonstratif tempat yang dekat dengan penutur. Kata niki dan punika merupakan jenis leksikon ragam krama, karena tuturan yang digunakan memakai ragam krama. Data (173) “Lha iki ing tanganku iki apa. Ya iki uteg sing takkandhakake keri ana ngomah mau. [DL/MSDKI/21] „Ini di tanganku ini apa. Ya ini pikiran yang saya katakan tertinggal di rumah tadi.‟ Pada data (173) di atas terdapat penanda pronomina demonstratif tempat yang dekat dengan penutur yaitu kata iki „ini‟. Satuan lingual iki „ini‟ mengacu pada tempat yang dekat dengan tempat penutur (dalam hal ini Pak Tani) yaitu barang yang dibawa oleh Pak Tani (tali). Dengan demikian satuan lingual iki „ini‟ merupakan jenis pengacuan demonstratif tempat yang dekat dengan penutur. Pengacuan demonstratif lokasional agak jauh, dapat dilihat pada data berikut. Data (174) Manuk Platuk kuwi wusanane banjur ngalih saka kono.[PS/SSKS/8] „Burung Pelatuk itu akhirnya kemudian pergi dari situ.‟ Pada data (174) terdapat penanda pronomina demonstratif tempat yang agak jauh yaitu satuan lingual kono „situ‟ yang mengacu pada tempat adanya pohon tersebut dalam cerita fantasi. Unsur yang diacu tersebut tidak terdapat dalam teks,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
138
sehingga termasuk jenis pengacuan eksofora melalui pronomian demonstratif tempat yang agak jauh. Pengacuan demonstratif lokasional jauh, dapat dilihat pada data berikut. Data (175) “Adhuh....mesakake banget ibu sepuh kae. Lha nek ing sadawaning laku bis-e kebak kaya ngene terus piye? Kurang begjane bisa semaput....,” ngono batin atine Waluyo nalika nyawang ibu sepuh bola-bali kedhesuk maju lan kedhesuk mundur dening penumpang liyane.[DL/WSL/11] „Aduh, kasihan sekali ibu tua itu. Kalau di sepanjang jalan, bisnya penuh seperti ini, bagaimana? Bisa-bisa jadi pingsan,” begitu suara hati Waluyo ketika melihat ibu tua yang beberapa kali terdesak maju dan terdesak mundur oleh penumpang lainnya.‟ Pada data (175) terdapat penanda pronomina demonstratif tempat yang jauh dari penutur yaitu satuan lingual kae „itu‟ yang mengacu pada tempat ibu tua berdiri dalam bis dan letaknya jauh dari penutur. Unsur yang diacu tersebut tidak terdapat dalam teks, sehingga termasuk jenis pengacuan eksofora melalui pronomian demonstratif tempat yang jauh dengan penutur. Pengacuan demonstratif lokasional yang menunjuk secara eksplisit, dapat dilihat pada data berikut. Data (176) Wektu iku, ana manuk Jalak miber cendhek lan menclok ing sawijining pang ing wit kasebut. Kanthi mbengok, Jalak kuwi muji wit ksb;[PS/SSKS/2] „Waktu itu, ada burung Jalak terbang rendah dan hinggap di salah satu dahan di pohon tersebut. Dengan berteriak, Jalak itu memuji pohon tersebut‟ Pada data (176) di atas terdapat penanda pronomina demonstratif yang menunjuk tempat secar eksplisit yaitu ing sawijining pang ing wit kasebut „di salah satu dahan pohon tersebut. Data (177) Anggone nembang bebarengan karo srengenge sing wiwit angslup ing sisih kulon. [PS/SSKS/14] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
139
„Dia bernyanyi bersamaan dengan matahari yang mulai terbenam di sebelah Barat.‟ Pada data (177) di atas terdapat penanda pronomina demonstratif yang menunjuk tempat secar eksplisit yaitu ing sisih kulon „di sebelah Barat. Data (178) Jaman mbiyen ing kutha Bagdad ana tukang angon wedhus jenenge pak Abu. Dheweke iku saben dinane mung angon wedhus bae. Wiwit esuk umun-umun, pak Abu wis budhal menyang ara-ara ing pinggir kutha Bagdad lan lagi mulih nalika srengenge angslup. Kanthi sabar pak Abu tlaten nunggoni wedhus kang dingon ana ing ara-ara mau sinambi tetembangan. [PS/TAW/1] „Zaman dahulu di kota Bagdad ada penggembala kambing bernama Pak Abu. Dia setiap harinya hanya menggembalakan kambing saja. Mulai pagi-pagi, Pak Abu sudah berangkat ke padang ilalang di pinggir kota Bagdad dan baru kembali ketika matahari terbenam. Dengan sabar Pak Abu menunggu kambing yang digembalakan di padang ilalang tadi sambil bernyanyi pelan.‟ Pada data (178) di atas terdapat penanda pronomina demonstratif yang menunjuk tempat secar eksplisit yaitu ing kutha Bagdad „di Kota Bagdad dan ara-ara ing pinggir kutha Bagdad „pada ilalang di pinggir kota Bagdad. Data (179) Mula saka iku, kowe malah bakal dakwenehi kanugrahan wujude kalungguhan minangka pawongan kang ngrumat kewan-kewan sing ana ing istana Bagdad.” [PS/TAW/21] „Maka dari itu, kamu justru saya berikan anugrah berupa kedudukan sebagai orang yang merawat hewan-hewan yang ada di istana Bagdad.‟ Pada data (179) di atas terdapat penanda pronomina demonstratif yang menunjuk tempat secar eksplisit yaitu ing istana Bagdad „di istana Bagdad. Data (180) Lungane Mbok Darso lan Waluyo menyang Ambarawa numpak bis jurusan Yogya-Semarang. Munggah saka terminal Giwangan ing Yogya, wong loro entuk lungguhan kabeh. Malah sawetara kursi bis isih kothong. Merga dina Minggu, akeh uwong lelungan, bareng bis tekan terminal Jombor, penumpange dadi kebak uyel-uyelan. [DL/WSL/9] „Kepergian Bu Darso dan Waluyo ke Ambarawa naik bis jurusan YogyaSemarang. Naik (bis) dari Terminal Giwangan Yogya, keduanya dapat tempat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
140
duduk semua. Bahkan beberapa kursi bis masih kosong. Karena Hari Minggu, banyak orang bepergian, sesampainya di Terminal Jombor, penumpangnya jadi penuh sesak.‟ Pada data (180) di atas terdapat penanda pronomina demonstratif yang menunjuk tempat secar eksplisit yaitu Ambarawa (nama suatu kota di Salatiga), Terminal Giwangan Yogya, dan terminal Jombor. Pengacuan pronomina demonstratif penunjuk umum dan ikhwal, dapat dilihat pada data berikut. Data (181) Kanthi mesem simbah mangsuli,“Ngene lho le, potelot iku ngandhut limang piwulang sing bisa nentremake awakmu, yen kowe tansah ngugemi lan nindakake piwulang-piwulang kasebut, sajroning uripmu.” [PS/PSP/3] „Sambil tersenyum neneknya menjelaskan, “Begini Cu, pensil itu mengandung lima piwulang yang bisa menentramkan kamu, kalau kamu percaya dan melaksanakan piwulang-piwulang tersebut, selama hidupmu.‟ Pada data (181) di atas terdapat pronomina demonstratif penunjuk umum yang bersifat endofora anaforis yang ditandai oleh satuan lingual kasebut „tersebut‟ yang mengacu pada hal yang telah disebutkan. Kata kasebut „tersebut‟ mengacu pada limang piwulang sing kinandhut ing potelot „lima piwulang yang terkandung dalam potelot‟. Data (182) …ndandani salahe awake dhewe sajroning urip iki dudu tumindak sing ala. Malah, kuwi bisa ngrewangi awake dhewe supaya tetep ana ing dalan sing bener. [PS/PSP/9] „…memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini bukan merupkan pekerjaan yang buruk. Bahkan, itu bisa membantu kita supaya tetap di jalan yang benar.‟ Pada data (182) di atas terdapat pronomina demonstratif penunjuk umum yang bersifat endofora anaforis yang ditandai oleh satuan lingual kuwi „itu‟ yang mengacu pada hal yang telah disebutkan. Kata kuwi „itu‟ pada data di atas mengacu pada ndandani salahe dhewe sajroning urip „memperbaiki kesalan sendiri dalam menajalani hidup‟. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
141
Data (183) Semono uga kowe, kudu sadhar yen apa wae sing koktindakake lan kokucapake mesthi nuwuhake anggepan saka wong liya, embuh kuwi apik apa ala. [PS/PSP/13] „Begitu juga kamu, harus sadar kalau apa saja yang kamu kerjakan dan kamu ucapkan pasti prasangka dari orang lain, entah itu baik atau buruk.‟ Pada data (183) di atas terdapat pronomina demonstratif penunjuk umum yang bersifat endofora anaforis yang ditandai oleh satuan lingual kuwi „itu‟ yang mengacu pada hal yang telah disebutkan sebelumnya yaitu unsur anggepan „anggapan‟. Data (184) “Prajurit, aku krungu yen ing kutha Bagdad iki ana wargaku kang misuwur nduweni sipat kang sabar, tlaten lan jujur, mula kowe takutus supaya mbuktekake apa kahanan kasebut iku pancen bener. Menawa kahanan kang kaya mangkono iku bener, aku bakal menehi kanugrahan.” “Kados pundi cara kula mbuktekaken perkawis punika sang raja?” [PS/TAW/5] „Prajurit, saya mendengar bahwasanya di kota Bagdad ini ada wargaku yang terkenal mempunyei sifat yang sabar, teliti, dan jujur, maka kamu saya utus supaya membuktikan apakah keberadaan tersebut memang benar. Kalau keadaan tersebut memang benar, saya akan memberikahan anugerah.” “Bagaimana cara hamba membuktikan masalah tersebut sang raja?‟ Pada data (184) terdapat pronomina penunjuk ihwal yang ditandai oleh satuan lingual kasebut iku „tersebut itu‟, mangkono iku „begitu itu‟, punika „itu‟. Pronomina tersebut bersifat endofora anaforis (mengacu pada unsur dalam teks yang telah disebutkan). Pronomina penunjuk ihwal tersebut mengacu pada ana wargaku kang misuwur nduweni sipat kang sabar, tlaten lan jujur „ada wargaku yang terkenal mempunyei sifat yang sabar, teliti, dan jujur‟. Data (185) “Lan piwulang sing keri dhewe, sing kalima yakuwi saben potelot mesthi ninggalake tandha utawa tilas, ing kertas sing dienggo nulis. Semono uga kowe, kudu sadhar yen apa wae sing koktindakake lan kokucapake mesthi nuwuhake anggepan saka wong liya, embuh kuwi apik apa ala. Dadi sing ngati-ati lan waspada, aja nganti pocapan lan tumindakmu nglarani wong liyane.”[PS/PSP/9] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
142
„Dan piwulang yang terakhir, yang kelima yaitu setiap pensil pasti meninggalkan tanda atau bekas pada kertas yang dipakai untuk menulis. Begitu juga kamu, harus sadar kalau apa saja yang kamu kerjakan dan kamu ucapkan pasti prasangka dari orang lain, entah itu baik atau buruk. Jadi berhati-hatilah dan waspada, jangan sampai ucapan dan perilakumu menyakiti orang lain.‟ Pada data (185) di atas terdapat satuan lingual semono uga „begitu juga‟ yang merupakan pronomina komparatif yang berfungsi membandingkan antara potelot mesthi ninggalake tandha utawa tilas, ing kertas sing dienggo nulis „pensil pasti meninggalkan tanda atau bekas pada kertas yang dipakai untuk menulis‟ dengan tindakan dan ucapan yang juga menimbulkan anggapan. 2) Penyulihan (Subtitusi) Penyulihan atau subtitusi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana dengan tujuan untuk memperoleh unsur pembeda, menghadirkan variasi bentuk, menciptakan dinamisasi narasi, dan menghilangkan kemonotonan. Bentuk kohesi garmatikal penyulihan dapat dilihat pada paparan berikiut ini. Data (186) Ora jeleh-jeleh Mbok Darso tansah mituturi anak ragile mau amrih bisa dadi bocah utama. Becik kelakuane. Seneng tetulung marang wong liya. Seneng “berbagi” utawa loma marang pepadha.[WSL/4] „Tidak bosan-bosan Bu Darso selalu menasihati anak bungsunya supaya bisa jadi anak yang (berakhlak) mulia. Baik perilakunya. Suka menolong orange lain. Suka berbagi kepada sesama.‟ Pada data (186) di atas terdapat frasa anak ragile „anak bungsunya‟ yang merupakan penyulih bagi unsur/konstituen Waluyo. Hal tersebut dapat diketahui dengan memperhatikan konteks wacana yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya Ya bab mau kang ndadekake bombong atine Mbok Darso, embokne Waluyo. Sasedulur, Waluyo mung cacah loro, yaiku karo Mulyono, kakange „Itulah yang menjadikan rasa bangga Mbok Darso, ibunya Waluyo. Waluyo dua bersaudara, yaitu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
143
dengan Mulyono, kakaknya‟. Penyulihan pada data di atas mempunyai tujuan untuk menciptakan dinamisasi narasi. Data (187) Gusti Allah iku Maha Adil lan Maha Murah. Pangeran bakal maringi marang umat-E sauger gelem nyenyuwun kanthi tumemen. „Gusti Allah itu Mahaadil dan Maha Pemurah. Pangeran (Tuhan) pasti menganugrahkan pada hambanya yang mau memohon/meminta dengan bersungguh-sungguh.‟ Pada data (187) di atas, frasa Gusti Allah disulih dengan kata Pangeran yang sama-sama berkelas kata nomina yang berfungsi sebagai subjek kalimat. Dengan demikian subtitusi di atas temasuk kategori subtitusi nominal. Penyulihan pada data di atas mempunyai tujuan untuk memperoleh unsur pembeda atau menghadirkan variasi bentuk. Data (188) Rampung maca layang sasuwek mau, wong loro ndomblong. Ora krasa ana eluh kabungahan lan kabagyan ndlewer, nelesi pipine Mbok Darso lan pipine Waluyo.[WSL/21] „Selesai membaca secarik surat tersebut, keduanya (Waluyo dan ibunya) melongo. Tidak terasa air mata kebahagiaan mengalir, membasahi pipi Bu Darso dan pipi Waluyo.‟ Pada data (188) di atas terdapat frasa wong loro „kedua orang‟ merupakan konstituen yang berfungsi menyulih nominal mbok Darso dan Waluyo. Dengan demikian data di atas termasuk dalam kategori subtitusi nominal. Data (189) Macan setuju. Kekarone banjur mlaku nyasak alas kanggo golek hakim kaya panjaluke kethek. Durung adoh anggone mlaku, kekarone kepethuk karo kancil sing arep golek ngombe menyang sendhang. [GK/13] „Harimau setuju. Keduanya kemudian berjalan melintasi hutan untuk mencari hakim seperti permintaan kera. Belum jauh berjalan, keduanya bertemu dengan kancil yang akan mencari minum ke sendang.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
144
Pada data (189) di atas terdapat kata kekarone „keduanya‟ merupakan konstituen yang berfungsi menyulih konstituen macan „harimau‟ dan kethek „kera‟ yang berkategori nominal. Dengan demikian data di atas termasuk dalam kategori subtitusi nominal. Penyulihan pada data di atas mempunyai tujuan untuk menciptakan dinamisasi narasi. Data (190) Kekarone bali nerusake laku. Lakune irit-iritan. Macan ana ngarep, kethek ngetutake buri. Ora let suwe kekarone ketemu karo kidang sing lagi ngrengguti suket.[GK/23] „Keduanya kembali meneruskan perjalanan. Jalanya berbaris. Harimau di depan, kera mengikuti di belakang. Tidak berselang lama keduanya bertemu dengan kijang yang sedang makan rumput.‟ Pada data (190) di atas terdapat kata kekarone „keduanya‟ merupakan konstituen yang berfungsi menyulih konstituen macan „harimau‟ dan kethek „kera‟ yang berkategori nominal. Dengan demikian data di atas termasuk dalam kategori subtitusi nominal. Penyulihan pada data di atas mempunyai tujuan untuk menciptakan dinamisasi narasi. 3) Pelesapan (elipsis) Pelesapan atau elipsis adalah salah satu jenis kohesi gramatikal berupa pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Fungsi elipsis dalam wacana di antaranya adalah menghasilkan kalimat yang efektif dan efisien dalam pemakaian bahasa, serta mencapai aspek kepaduan wacana. Berikut ini dapat dilihat paparan analisis data yang terdapat unsur pelesapan (elipsis). Data (191) Nanging sawise Ф diongoti, potelot bisa dadi landhep maneh lan kena kanggo nulis maneh. [PSP/7] „Akan tetapi, sesudah dirauti, pensil bisa menjadi lancip lagi dan bisa untuk menulis lagi.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
145
Pada data (191) terdapat pelesapan satuan lingual berupa kata, yaitu kata potelot „pensil‟ yang menduduki fungsi sebagai subjek kalimat. Di dalam analisis wacana, unsur/konstituen yang dilesapkan itu ditandai dengan konstituen nol atau zero (atau dengan lambang Ф) pada tempat terjadinya unsur yang dilesapkan tersebut. Apabila data di atas itu dituliskan dengan bentuk yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti data (191a) berikut. Nanging sawise potelot diongoti, potelot bisa dadi landhep maneh lan kena kanggo nulis maneh. „Akan tetapi sesudah pensil dirauti, pensil bisa menjadi lancip lagi dan bisa untuk menulis lagi.‟ Tampak pada analisis tersebut bahwa peristiwa pelesapan seperti pada data (191), menjadikan tuturan itu lebih efektif, efisien dan kohesif, serta memotivasi pembaca untuk lebih kreatif menemukan unsur-unsur yang dilesapkan. Fungsi-fungsi tersebut tidak ditemukan pada data (191a), sekalipun dari segi informasi lebih jelas atau lengkap daripada data (191). Data (192) Semono uga kowe, sajroning urip iki Ф aja wedi ketaton, Ф aja wedi lara nalika nindakake samubarang sing apik lan migunani. [PSP/7] „Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini jangan takut terluka, jangan takut sakit ketika mengerjakan sesuatu yang baik dan bermanfaat.‟ Pada data (192) terdapat pelesapan satuan lingual berupa pronomina persona II tunggal, yaitu kata kowe „kamu‟ yang menduduki fungsi sebagai subjek kalimat. Subjek yang sama tersebut dilesapkan sebanyak dua kali. Apabila data di atas itu dituliskan dengan bentuk yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti data (192a) berikut. (192a) Semono uga kowe, sajroning urip iki kowe aja wedi ketaton, kowe aja wedi lara nalika nindakake samubarang sing apik lan migunani. „Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini kamu jangan takut terluka, kamu jangan takut sakit ketika mengerjakan sesuatu yang baik dan bermanfaat.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
146
Data (193) Wawasen, delengen lan dandanana awakmu dhisik, sadurunge kowe nyalahake wong liya. Ф Aja gampang nyalahake Ф, kuwi ngono gampang nuwuhake padudon sing suwe marine.” [PSP/12] „Perhatikan, lihatlah dan perbaiki dirimu dahulu, sebelum kamu menyalahkan orang lain. Jangan mudah meyalahkan, itu mudah untuk menimbulkan pertengkaran yang lama sembuhnya.‟ Pada data (193) terdapat pelesapan satuan lingual berupa pronomina persona II tunggal, yaitu kata kowe „kamu‟ dan frasa wong liya „orang lain‟. Apabila data di atas itu dituliskan dengan bentuk yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti data (193a) berikut. (193a) Wawasen, delengen lan dandanana awakmu dhisik, sadurunge kowe nyalahake wong liya. Kowe Aja gampang nyalahake wong liya, kuwi ngono gampang nuwuhake padudon sing suwe marine.” „Perhatikan, lihatlah dan perbaiki dirimu dahulu, sebelum kamu menyalahkan orang lain. Kamu jangan mudah meyalahkan orang lain, itu mudah untuk menimbulkan pertengkaran yang lama sembuhnya.‟ Data (194) Simbah putri manthuk, banjur Ф njlentrehake maneh, [PSP/13] „Nenek mengangguk, kemudian menjelaskan lagi,‟ Pada data (194) terdapat pelesapan satuan lingual berupa frasa simbah putri „nenek‟. Apabila data di atas itu dituliskan dengan bentuk yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti data (194a) berikut. (194a) Simbah putri manthuk, banjur simbah putri njlentrehake maneh, „Nenek mengangguk, kemudian nenek menjelaskan lagi,‟ Data (195) Semono uga kowe, Ф kudu sadhar yen apa wae sing koktindakake lan kokucapake mesthi nuwuhake anggepan saka wong liya, embuh kuwi apik apa ala. Dadi Ф sing ngati-ati lan waspada, aja nganti pocapan lan tumindakmu nglarani wong liyane.” [PSP/13] „Begitu juga kamu, harus sadar kalau apa saja yang kamu kerjakan dan kamu ucapkan pasti prasangka dari orang lain, entah itu baik atau buruk. Jadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
147
berhati-hatilah dan waspada, jangan sampai ucapan dan perilakumu menyakiti orang lain.‟ Pada data (195) terdapat pelesapan satuan lingual berupa pronomina persona II tunggal, yaitu kata kowe „kamu‟ yang menduduki fungsi sebagai subjek kalimat pada kalusa kedua kalimat majemuk di atas. Subjek yang sama tersebut dilesapkan sebanyak dua kali, yaitu sebelum frasa kudu sadhar dan sing ngati-ati. Apabila data di atas itu dituliskan dengan bentuk yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti data (195a) berikut. (195a) Semono uga kowe, kowe kudu sadhar yen apa wae sing koktindakake lan kokucapake mesthi nuwuhake anggepan saka wong liya, embuh kuwi apik apa ala. Dadi kowe sing ngati-ati lan waspada, aja nganti pocapan lan tumindakmu nglarani wong liyane.” „Begitu juga kamu, kamu harus sadar kalau apa saja yang kamu kerjakan dan kamu ucapkan pasti prasangka dari orang lain, entah itu baik atau buruk. Jadi kamu berhati-hatilah dan waspada, jangan sampai ucapan dan perilakumu menyakiti orang lain.‟ Data (196) Nanging dheweke ora ngoceh lan ngalembana kaya manuk Jalak apadene manuk Kenari, nanging Ф langsung wae notholi sakujur awake wit ksb, nganti-nganti wit mau sambat kelaran. [SSKS/6] „Akan tetapi dia tidak bersiul dan memuji seperti burung Jalak atau juga burung Kenari, tetapi langsung saja mematuk seluruh bagian tubuh pohon tersebut, sampai-sampai pohon tadi merasa kesakitan.‟ Pada data (196) terdapat pelesapan satuan lingual berupa pronomina persona III tunggal, yaitu kata dheweke „dia‟. Apabila data di atas itu dituliskan dengan bentuk yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti data (196a) berikut. (196a) Nanging dheweke ora ngoceh lan ngalembana kaya manuk Jalak apadene manuk Kenari, nanging dheweke langsung wae notholi sakujur awake wit ksb, nganti-nganti wit mau sambat kelaran. „Akan tetapi dia tidak bersiul dan memuji seperti burung Jalak atau juga burung Kenari, tetapi ia langsung saja mematuk seluruh bagian tubuh pohon tersebut, sampai-sampai pohon tadi merasa kesakitan.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
148
Data (197) Ora watara suwe sawise kedadeyan mau, wit kasebut pancen nandang lara tenan. Godhong-godhonge sing maune ketel lan ijo royo-royo, saiki Ф malih kuning sarta padha gogrog. Pang-pange sing maune katon rosa saiki Ф malih gapuk lan padha ceklek, nganti bola-bali Ф nibani sapa wae sing liwat ing ngisore. „Tidak berselang lama sesudah kejadian tersebut, pohon tersebut memang menderita sakit sungguhan. Daun-daun yang tadinya rindang dan hijau lebat, sekarang berubah kuning dan berjatuhan. Dahan-dahannya yang tadinya kelihatan kuat sekarang rapuh dan mudah patah, sampai berkali-kali menjatuhi siapa saja yang lewat dibawahnya.‟ Pada data (197) terdapat pelesapan satuan lingual yang berupa kata ulang, yaitu kata godhong-godhonge „daun-daunnya‟ dan pang-pange „ranting-rantingnya‟. Apabila data di atas itu dituliskan dengan bentuk yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti data (197a) berikut. (197a) Ora watara suwe sawise kedadeyan mau, wit kasebut pancen nandang lara tenan. Godhong-godhonge sing maune ketel lan ijo royo-royo, saiki godhonggodhonge malih kuning sarta padha gogrog. Pang-pange sing maune katon rosa saiki pang-pange malih gapuk lan padha ceklek, nganti bola-bali pange nibani sapa wae sing liwat ing ngisore. Data (198) Sore, hawa isis sumilir kalem. Manuk Jalak menclok maneh, ora ing wit kasebut, nanging Ф ing wit liyane sing mapane ora adoh saka wit kuwi. „Sore, angin berhembus pelan. Burung Jalak hinggap lagi, tidak di pohon tersebut, tetapi di pohon yang lain yang letaknya tidak jauh dari pohon itu.‟ Pada data (198) terdapat pelesapan satuan lingual yang berupa klausa yang terdiri atas subjek manuk jalak „burung jalak‟ dan predikat menclok „hinggap‟. Pelesapan tersebut dilakukan mempunyai fungsi untuk membentuk kalimat yang efektif, praktis, dan efisiensi bahasa. Apabila data di atas itu dituliskan dengan bentuk yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti data (198a) berikut. (198a) Sore, hawa isis sumilir kalem. Manuk Jalak menclok maneh, ora ing wit kasebut, nanging manuk jalak menclok ing wit liyane sing mapane ora adoh saka wit kuwi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
149
„Sore, angin berhembus pelan. Burung Jalak hinggap lagi, tidak di pohon tersebut, tetapi burung jalak hinggap di pohon yang lain yang letaknya tidak jauh dari pohon itu.‟ Data (199) Pak Abu rumangsa lingsem, dheweke enggal sungkem marang sang raja lan Ф njaluk pangapura amarga Ф wis rumangsa tumindak kurang tata marang sang raja. [TAW/13] „Pak Abu merasa malu, dia segera bersujud pada sang raja dan meminta ampun karena sudah merasa berbuat kurang sopan kepada sang raja.‟ Pada data (199) terdapat pelesapan satuan lingual, yaitu Pak Abu. Apabila data di atas itu dituliskan dengan bentuk yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti data (199a) berikut. (199a) Pak Abu rumangsa lingsem, dheweke enggal sungkem marang sang raja lan Pak Abu njaluk pangapura amarga Pak Abu wis rumangsa tumindak kurang tata marang sang raja. Data (200) Kaping kalih senaosa bendara kula mboten mangertosi nanging Gusti Allah ingkang mangertosi amargi Ф Maha Mirsani lan Maha Mirengaken.[TAW/19] „Kedua, walaupun juragan saya tidak mengetahui akan tetapi Allah yang mengetahui karena Maha Melihat dan Maha Mendengarkan.‟ Pada data (200) terdapat pelesapan satuan lingual, yaitu Gusti Allah. Apabila data di atas itu dituliskan dengan bentuk yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti data (200a) berikut. (200a) Kaping kalih senaosa bendara kula mboten mangertosi nanging Gusti Allah ingkang mangertosi amargi Gusti Allah Maha Mirsani lan Maha Mirengaken. „Kedua, walaupun juragan saya tidak mengetahui akan tetapi Allah yang mengetahui karena Maha Melihat dan Maha Mendengarkan.‟ Data (201) “Ф Nyuwun pangapunten ibu....ibu lenggah ngriki kemawon. Kula ingkang ngadeg, boten menapa-menapa,” ngono pratelane Waluyo. Waluyo lega dene ibu sepuh mau kersa lenggah ing kursine.[WSL/13] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
150
„Mohon maaf ibu, ibu duduk di sini saja. Saya yang berdiri tidak apa-apa,” begitu ujar Waluyo. Waluyo lega karena ibu tua tadi mau duduk di kursinya.‟ Pada data (201) terdapat pelesapan satuan lingual berupa pronomina persona I tunggal, yaitu kata kula „saya‟ yang menduduki fungsi sebagai subjek kalimat. Apabila data di atas itu dituliskan dengan bentuk yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti data (201a) berikut. (201a) “Kula nyuwun pangapunten ibu....ibu lenggah ngriki kemawon. Kula ingkang ngadeg, boten menapa-menapa,” ngono pratelane Waluyo. Waluyo lega dene ibu sepuh mau kersa lenggah ing kursine. „Mohon maaf ibu, ibu duduk di sini saja. Saya yang berdiri tidak apa-apa,” begitu ujar Waluyo. Waluyo lega karena ibu tua tadi mau duduk di kursinya.‟ Data (202) Waluyo sing isih katrem dolanan bal plastik didangu dening Bu Warih, Ф dikandhani yen dheweke nampa kiriman barang saka Ibu Kusumodilogo. [WSL/17] „Waluyo yang masih asyik bermain bola plastik dipanggil oleh Bu Warih, diberitahu kalau dia mendapat kiriman barang dari Ibu Kusumodilogo.‟ Pada data (202) terdapat pelesapan satuan lingual, yaitu Waluyo. Apabila data di atas itu dituliskan dengan bentuk yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti data (202a) berikut. (202a) Waluyo sing isih katrem dolanan bal plastik didangu dening Waluyo dikandhani yen dheweke nampa kiriman barang Kusumodilogo. „Waluyo yang masih asyik bermain bola plastik dipanggil oleh Waluyo diberitahu kalau dia mendapat kiriman barang Kusumodilogo.‟
Bu Warih, saka Ibu Bu Warih, dari Ibu
4) Perangkaian (Konjungsi) Konjungsi adalah kata tugas yang berfungsi menghubungkan dua klausa atau lebih atau pun menghubungkan antarkalimat maupun antaralinea/paragraf. Konjungsi yang ditemukan di sini dapat berupa konjungsi koordinatif, subordinatif, dan konjungsi antarkalimat atau antarparagraf. Analisis wacana mengenai perangkaian (konjungsi) dapat dilihat pada paparan berikut ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
151
1) Konjungsi koordinatif konjungsi koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua unsur atau lebih dan kedua unsur itu memiliki unsur yang sama. a) Konjungsi koordinatif aditif Data (203) MBah Putri pengin kowe bisa nyinaoni lan mangerteni piwulang saka potelot, [PSP/1] „Nenek ingin kamu bisa belajar dan mengerti piwulang yang dapat diambil dari pensil,‟ Pada data (203) di atas terdapat konjungsi lan „dan‟ yang berfungsi menghubungkan secara koordinatif antara klausa Mbah putri pengin kowe bisa nyinaoni „Nenek ingin kamu bisa mengambil pelajaran‟ dengan klausa mangerteni piwulang saka potelot „memahami piwulang dari pensil. Konjungsi lan „dan‟ merupakan konjungsi koordinatif yang menyatakan makna penambahan atau aditif. Data (204) … simbah putri mungkasi critane karo menerake anggone lenggah. [PSP/14] „… nenek mengakhiri ceritanya sambil membenahi duduknya.‟ Pada data (204) juga terdapat konjungsi koordinatif yang menyatakan makna penambahan/aditif, yang ditandai oleh konjungsi karo „sambil/dan‟. Konjungsi karo berfungsi menghubungkan secara koordinatif klausa yang berada di sebelah kirinya dengan klausa yang mengandung konjungsi karo „sambil‟ itu sendiri. Data (205) Kanthi sabar pak Abu tlaten nunggoni wedhus kang dingon ana ing ara-ara mau sinambi tetembangan. [TAW/1] „Dengan sabar Pak Abu menunggu kambing yang digembalakan di padang ilalang tadi sambil bernyanyi.‟ Sama seperti dengan data (204), pada data (205) juga terdapat konjungsi koordinatif yang menyatakan makna penambahan atau aditif. Akan tetapi pada data (205) ini penanda yang digunakan sebagai konjungsi adalah kata sinambi „sambil‟ yang juga merupakan konjungsi koordinatif aditif. Konjungsi sinambi „sambil‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
152
berfungsi menghubungkan klausa yang berada di sebelah kirinya dengan (Pak Abu) tetembangan „bernyanyi‟. b) konjungsi koordinatif pertentangan Data (206) Ora let suwe, ana manuk Platuk kang uga teka ing wit iku. Nanging dheweke ora ngoceh lan ngalembana kaya manuk Jalak apadene manuk Kenari, nanging langsung wae notholi sakujur awake wit ksb, nganti-nganti wit mau sambat kelaran.[SSKS/6] „Tidak berselang lama, ada burung Pelatuk yang juga datang di pohon itu. Akan tetapi dia tidak bersiul dan memuji seperti burung Jalak atau juga burung Kenari, tetapi langsung saja mematuk seluruh bagian tubuh pohon tersebut, sampai-sampai pohon tadi merasa kesakitan.‟ Pada data (206) di atas terdapat konjungsi koordinatif yang menyatakan hubungan pertentangan yang ditandai oleh kata nanging „tetapi‟, konjungsi koordinatif yang menyatakan makna penambahan yang ditandai oleh konjungsi lan „dan‟, serta konjungsi koordinatif yang menyatakan hubungan pemilihan atau alternatif yang ditandai oleh konjungsi apadene „ataupun‟. Konjungsi nanging „tetapi‟ menyatakan hubungan pertentangan manuk platuk kang ora ngoceh lan aweh pangalembana marang wit nanging malah banjur notholi wit kuwi „burung pelatuk yang tidak bersiul dan memberi sanjungan tetapi justru mematuki pohon itu‟ dipertentangkan dengan manuk jalak lan kenari sing teka ing wit kanthi ngoceh lan aweh pangalembana „burung jalak dan kenari yang datang di pohon dengan bersiul dan memberi sanjungan‟. Konjungsi lan „dan‟ berfungsi menghubungkan klausa dheweke ora ngoceh dan (dheweke ora) nglembana „sanjungan‟. Data (207) … yen perangan sing paling penting saka potelot kuwi dudu njabane sing saka kayu, nanging perangan sing ireng sing digawe saka areng ing njerone.[PSP/10] „… kalau bagian yang paling penting dari pensil itu bukan bagian luarnya yang dari kayu, tetapi yang hitam yang dibuat dari arang di dalamnya‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
153
Pada data (207) di atas terdapat konjungsi koordinatif yang menyatakan hubungan pertentangan yang ditandai oleh kata nanging „tetapi‟. Konjungsi nanging „tetapi‟ berfungsi menghubungkan hubungan pertentangan antara pernyataan perangan potelot sing paling penting dudu njabane sing saka kayu „bagian pensil yang paling penting bukan luarnya yang terbuat dari kayu‟ dengan pernyataan perangan potelot sing paling penting yaiku perengan njerone sing digawe saka areng „bagian pensil yang paling penting yaitu bagian dalamnya yang terbuat dari arang‟. c) konjungsi koordinatif alternatif Data (208) … saben potelot mesthi ninggalake tandha utawa tilas ing kertas sing dienggo nulis.[PSP/13] „… setiap pensil pasti meninggalkan tanda atau bekas pada kerta yang dipakai untuk menulis.‟ Pada data (208) terdapat kata utawa „atau‟ yang merupakan konjungsi koordinatif yang menyatakan makna pilihan atau alternatif. Konjungsi utawa „atau‟ berfungsi menghubungkan klausa yang berada di sebelah kirinya (saben potelot mesthi ninggalake tandha) dengan klausa yang yang mengandung kata utawa itu sendiri (saben potelot mesthi ninggalake tilas ing kertas sing dienggo nulis). Data (209) … apa wae sing koktindakake lan kokucapake mesthi nuwuhake anggepan saka wong liya, embuh kuwi apik apa ala.[PSP/13] „… apa saja yang kamu kerjakan dan kamu ucapkan pasti prasangka dari orang lain, entah itu baik atau buruk.‟ Pada data (209) di atas terdapat kata apa „apa‟ yang merupakan konjungsi koordinatif yang menyatakan makna pilihan atau alternatif. Konjungsi apa „apa‟ berfungsi menghubungkan klausa apa wae sing koktindakake lan kokucapake mesthi nuwuhake anggepan saka wong liya, embuh kuwi (anggepan) apik „apa saja yang kamu kerjakan dan kamu ucapkan pasti prasangka dari orang lain, entah itu (anggapan) baik‟ dengan klausa apa wae sing koktindakake lan kokucapake mesthi nuwuhake anggepan saka wong liya, embuh kuwi (anggepan) ala „apa saja yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
154
kamu kerjakan dan kamu ucapkan pasti prasangka dari orang lain, entah itu (anggapan) buruk‟. 2) Konjungsi subordinatif konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan antarklausa yang tidak mempunyai kedudukan sintaktus yang sama. a) Konjungsi subordinatif waktu Data (210) MBah Putri pengin kowe bisa nyinaoni lan mangerteni piwulang saka potelot, nalika kowe wis gedhe mbesuk.” [PSP/1] „Nenek ingin kamu bisa belajar dan mengerti piwulang yang dapat diambil dari pensil, ketika kamu sudah besar nanti.‟ Pada data (210) di atas terdapat konjungsi subordinatif yang menyatakan waktu yang ditandai oleh kata nalika „ketika‟. Konjungsi nalika „ketika‟ berfungsi menghubungkan klausa nalika kowe wis gedhe „ketika kamu sudah dewasa‟ dengan klausa kowe bisa nyinaoni lan mangerteni piwulang saka potelot „kamu bisa mengerti dan mengambil pelajaran dari sebuah pensil‟, kedua klausa tersebut mempunyai hubungan waktu yang bersamaan. Data (211) Sawise mbenerake anggone lenggah, simbah putri banjur ngendikan. [PSP/5] „Sesudah merapikan duduknya, nenek kemudian menjelaskan.‟ Pada data (211) terdapat konjungsi subordinatif yang menyatakan waktu dan urutan (sekuensial) yang ditandai oleh kata sawise „setelah‟ dan banjur „kemudian‟. Konjungsi sawise „setelah‟ dan banjur „kemudian‟ berfungsi menerangkan waktu/aktifitas yang berurutan yaitu simbah putri mbenerake anggone lenggah „nenek yang membenarkan posisi duduknya, kemudian melanjutkan aktifitas (simbah putri) ngendikan „berbicara‟. b) Konjungsi subordinatif syarat Data (212) Ngene lho le, potelot iku ngandhut limang piwulang sing bisa nentremake awakmu, yen kowe tansah ngugemi….[PSP/3] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
155
„Begini Cu, pensil itu mengandung lima piwulang yang bisa menentramkan kamu, jika kamu percaya dan melaksanakan piwulang-piwulang tersebut,‟ Pada data (212) di atas terdapat konjungsi subordinatif syarat yang ditandai oleh kata yen „jika‟. Konjungsi yen „jika‟ tersebut menghubungkan klausa yang mempunyai hubungan syarat, yaitu klausa potelot iku ngandhut limang piwulang sing bisa nentremake awakmu „pensil itu mengandung lima piwulang yang bisa menentramkan kamu‟ dengan syarat jika kowe tansah ngugemi kalima piwulang kasebut „kamu senatiasa percaya dan melaksanakan kelima piwulang tersebut‟. c) konjungsi subordinatif pengandaian Data (213) Tegese, yen wedhuse manak loro, pak Abu bakal oleh upah wedhus siji. Dene menawa wedhuse mung manak siji, pak Abu mung oleh upah separone saka rega wedhus kasebut, nanging sing lumrahe diijoli kanthi wujude upah utawa dhuwit. [TAW/2] „Maksudnya, kalau kambingnya beranak dua, Pak Abu akan mendapat upah kambing satu. Kalau kambingnya hanya beranak satu, Pak Abu hanya mendapat upah separuhnya dari harga kambing tersebut, tetapi biasanya diganti dengan upah berupa uang.‟ Data (214) “Wedhus sing mbokngon iku cacahe akeh, mula yen daktuku siji bae bendaramu mesthi ora weruh.”[TAW/10] „Kambing yang kamu gembala itu banyak jumlahnya, maka daritu kalau saya beli satu saja juraganmu pasti tidak tahu.‟ Data (215) Saupami menda punika gadhahan kula, tanpa panjenengan tumbas sampun kula aturaken panjenengan kanthi iklas.”[TAW/15] Seumpama kambing ini milik saya, tanpa baginda membelinya sudah saya berikan pada baginda dengan ikhlas.‟ Data (216) “Adhuh....mesakake banget ibu sepuh kae. Lha nek ing sadawaning laku bis-e kebak kaya ngene terus piye? Kurang begjane bisa semaput....,” [WSL/11] „Aduh, kasihan sekali ibu tua itu. Kalau di sepanjang jalan, bisnya penuh seperti ini, bagaimana? Bisa-bisa jadi pingsan,‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
156
Data (217) … saupama aku bisa ngrampas utege manungsa, aku mesthi bakal dadi kewan sing pilih tandhing.[MSDKI/10] „seandainya saya bisa merampas pikiran manusia, saya pasti bisa menjadi hewan yang unggul dalam perang.‟ Pada data (213) sampai dengan (217) terdapat konjungsi subordinatif pengandaian yang ditandai oleh kata yang bercetak tebal yaitu kata yen „kalau‟, menawa „kalau‟, mula yen „jikalau‟, saupami „seumpama‟, nek „kalau‟, dan saupama „seumpama‟.
Konjungsi
yen
„kalau‟
pada
data
(213)
menghubungkan
pernyataan/klausa syarat yen wedhuse manak loro „kalau kambingnya beranak dua‟ maka Pak Abu akan mendapatkan upah satu anak kambing. Konjungsi menawa juga menghubungkan pernyataan Pak Abu hanya akan mendapat upah uang dengan syarat menawa „apabila‟ kambing yang di gembalanya hanya beranak satu. Pada data (214) konjungsi mula yen „jikalau‟ menghubungkan pernyataan bendharamu ora bakal ngerti „juraganmu tidak akan tahu‟ andaikan kambing yang digembalakan hanya berkurang satu, karena kambing yang digembalakan banyak. Konjungsi saupami „seupama/andaikan‟ pada data (215) berfungsi menyatakan hubungan pengandaian yaitu klausa/pernyataan menda menika badhe kula caosaken kanthi iklas „kambing ini akan saya berikan dengan ikhlas‟ andaikan menda punika gadhahan kula „kambing ini kepunyaan saya‟. Pada data (216) terdapat konjungsi nek „kalau‟ yang menyatakan hubungan pengandaian yaitu pernyataan „ibu tua akan pingsan‟ andaikan/kalau sadawaning lakuning bis kebak lan ngadeg ora oleh lungguhan „sepanjang perjalanan bis penuh dan berdiri tidak mendapat tempat duduk‟. Pada data (217) juga terdapat konjungsi pengadaian yang ditandai oleh kata saupama „seupama‟ yang berfungsi menghubungkan pernyataan yang mempunyai hubungan pengandaian yaitu sapi bakal dadi kewan sing pilih tanding „sapi akan menjadi hewan yang unggul‟ dengan syarat apabila bisa nduweni uteg manungsa „bisa memiliki otak manusia‟. Jadi dapat disimpulkan, konjungsi pengandaian tersebut mempunyai ciri-ciri yaitu menyatakan sesuatu/pengandaian yang belum terjadi. Konjungsi pengandaian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
157
dapat ditandai oleh satuan lingual yen „kalau‟, dene menawa „kalau‟, mula yen „jikalau‟, saupami „seumpama‟, nek „kalau‟, dan saupama „seumpama‟. d) konjungsi subordinatif eksesif Data (218) Geneya kowe kok bisa kalah karo manungsa sing awake cilik uklik-uklik kaya kuwi, malah uga kowe mung manut wae didadekne reh-rehane,” kandhane sapi karo melu-melu ngrengguti suket karo kebo.[MSDKI/5] „Mengapa kamu bisa kalah dengan manusia yang badannya kecil dan kurus seperti itu, kamu juga hanya menurut saja dijadikan taklukannya,” kata sapi sambil ikut-ikutan makan rumput dengan kerbau.‟ Pada data (218) terdapat konjungsi subordinatif eksesif (konjungsi yang mnguatkan hal yang telah dinyatakan sebelumnya), yaitu konjungsi yang menguatkan pernyataan kebo bisa kalah karo manungsa sing awake cilik „kerbau bisa kalah dengan manusia yang badannya kecil‟, pernyataan dikuatkan oleh pernyataan seseudahnya yaitu malah uga kebo mung manut wae didadekne reh-rehane manungsa „bahkan kerbau mau saja dijadikan pesuruh bagi manusia‟. e) Konjungsi subordinatif menyatakan sebab Data (219) ...nalika potelot iku digunakake kanggo nulis, kadhangkala kudu kaendheg, amarga kudu ngongoti dhisik supaya landhep. [PSP/7] „ketika pensil itu dugunakan untuk menulis, kadang kala harus berhenti, karena harus meraut dahulu supaya tajam.‟ Pada data (219) terdapat konjungsi subordinatif penyebaban atau menyatakan sebab yang ditandai oleh kata amarga „sebab/karena‟. Konjungsi amarga „karena‟ tersebut berfungsi menghubungkan pernyataan
yang mempunyai hubungan
penyebaban, yaitu klausa nalika potelot iku digunakake kanggo nulis, kadhangkala kudu kaendheg disebabkan (potelot) kudu diongoti dhisik supaya landhep „pensil harus dirauti dahulu supaya tajam‟.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
158
f)
Konjungsi subordinatif menyatakan akibat
Data (220) “Nuwun sewu pak, menda niki gadhahan bendara kula, pramila kula mboten wenang ngedol menda punika tanpa ijin saking bendara kula,” wangsulane pak Abu.[TAW/9] „Maaf Pak, kambing ini kepunyaan juragan saya, maka dari itu saya tidak berwenang menjual kambing tersebut tanpa seizin dari juragan saya,” jawab Pak Abu.‟ Pada data (220) di atas terdapat konjungsi pengakibatan yang ditandai oleh satuan lingual pramila „maka‟. Konjungsi pramila „maka‟ berfungsi menghubungkan pernyataan menda niki gadhahan bendara kula „kambing ini kepunyaan juragan saya‟ akibatnya pramila „sehingga‟ kula (Pak Abu) yang hanya sebagai tukang penggembala kambing tidak berhak menjual kambing tanpa izin dari juragannya (kula mboten wenang ngedol menda punika tanpa ijin saking bendara kula. Data (221) “Nuwun sewu sang raja, menda punika sanes gadhahan kula saengga kula mboten wantun ngaturaken kagem panjenengan. [TAW/15] „Mohon ampun sang raja, kambing ini bukan kepunyaan saya sehingga saya tidak berani memberikan untuk baginda. Sama seperti data sebelumnya pada (221) ini terdapat konjungsi subordinatif pengakibatan, namun pada data ini ditandai oleh satuan lingual saengga „sehingga‟. Konjungsi saengga
„sehingga‟ berfungsi menghubungkan pernyataan
yang
mempunyai hubungan akibat, yaitu pada pernyataan menda punika sanes gadhahan kula „kambing ini buka kepunyaan saya‟ akibatnya saengga kula (penggembala) mboten wantun ngaturaken kagem panjenengan „tidak berani memberika kepada Anda (sang raja). Data (222) Nalika arep mampir ngombe ing sendhang, aku kurang ngati-ati, dadine aku bisa kakurung kaya iki,” kandhane macan akeh-akeh.[GK/2] „Ketika akan mampir minum di sendang, saya kurang berhati-hati, jadinya saya bisa terkurung seperti ini,” kata harimau.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
159
Pada data (222) di atas terdapat konjungsi pengakibatan yang ditandai oleh satuan
lingual
menghubungkan
dadine
„jadinya‟.
Konjungsi
antarklausa/pernyataan
yang
dadine yang
„jadinya‟ mepunyai
berfungsi hubungan
pengakibatan. Seperti terlihat pada contoh di atas, aku kurang ngati-ati „saya kurang berhati-hati‟ akibatnya dadine aku bisa kakurung kaya iki „jadinya saya bisa terkurung seperti ini‟. Jadi, konjungsi subordinatif yang menyatakan pengakibatan dalam BJ ditandai oleh satuan lingual pramila, saengga, dan dadine. g) Konjungsi subordinatif menyatakan tujuan Data (223) … potelot mesthi menehi awake dhewe kalodhangan nggunakake setip, kanggo mbusek lan ndandani tulisan-tulisan sing salah, supaya pener [PSP/9] „… pensil pasti memberikan pada kita kadang kala menggunakan karet penghapus, untuk menghapus dan membenahi tulisan-tulisan yang salah, supaya (jadi) benar.‟ Pada data (223) terdapat konjungsi subordinatif tujuan yang ditandai oleh satuan lingual kanggo „untuk‟ dan supaya „supaya‟. Kunjungsi tersebut berfungsi menjelaskan suatu tujuan dari suatu pernyataan, seperti pada pernyataan nggunakake setip „menggunakan penghapus‟ dengan tujuan kanggo „untuk‟ mbusek lan ndandani tulisan-tulisan sing salah, supaya pener „menghapus dan membenahi tulisan-tulisan yang salah, supaya (jadi) benar‟. Data (224) Ora jeleh-jeleh Mbok Darso tansah mituturi anak ragile mau amrih bisa dadi bocah utama.[WSL/3] „Tidak bosan-bosan Bu Darso selalu menasihati anak bungsunya supaya bisa jadi anak yang (berakhlak) mulia.‟ Pada data (224) terdapat konjungsi subordinatif tujuan yang ditandai oleh satuan lingual amrih „supaya‟. Konjungsi amrih „supaya‟ berfungsi menjelaskan suatu tujuan dari suatu pernyataan, seperti pada pernyataan Mbok Darso tansah mituturi anak ragile „Bu Darso senantiasa menasehati anak bungsunya, dengan tujuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
160
amrih (anak ragile) bisa dadi bocah utama „supaya (anak bungsunya) bisa menjadi anak yang berbudi mulia‟. Data (225) Pak, aku kepengin nggolek wedhus kanggo diulah ing omahe wong kang nduwe gawe.[TAW/8] „Pak, saya ingin mencari kambing untuk dimasak di rumah orang yang punya hajat.‟ Pada data (225) terdapat konjungsi subordinatif tujuan yang ditandai oleh satuan lingual kanggo „untuk‟ Kunjungsi kanggo „untuk‟ berfungsi menerangkan suatu tujuan dari suatu pernyataan, terlihat pada pernyataan aku kepengin nggolek wedhus „saya ingin mencari kambaing‟, tujuannya kanggo diulah ing omahe wong duwe gawe „untuk dimasak di rumah orang yang punya hajat‟. Data (226) “Aku weruh sajroning awakmu ana uler, dakthotholi ben metu. Merga yen ora dakthotholi, awakmu bisa dadi lara.” [SSKS/6] „Saya melihat disekujur tubuhmu ada ulat, kupatuki agar keluar. Karena kalau tidak kupatuki, kamu bisa jadi sakit.‟ Pada data (226) terdapat konjungsi subordinatif tujuan yang ditandai oleh satuan lingual ben „agar‟. Konjungsi ben „agar‟ berfungsi menjelaskan suatu tujuan, yaitu pada pernyataan Aku weruh sajroning awakmu ana uler, dakthotholi (awakmu) „saya melihat di dalam tubuhmu ada ulat, kupatuki (tubuhmu), tujuannya ben (ulere) metu „agar (ulatnya) keluar‟. Jadi, konjungsi subordinatif tujuan mempunyai penanda lingual di antaranya kanggo „untuk‟, supaya „supaya‟, amrih „supaya‟, dan ben „agar‟ h) Konjungsi subordinatif menyatakan cara Data (227) Putune mangsuli kanthi manthuk. [PSP/11] „Cucunya memberi jawaban dengan mengangguk.‟ Pada data (227) terdapat konjungsi subordinatif cara yang ditandai oleh satuan lingual kanthi „dengan‟. Konjungsi kanthi „dengan‟ berfungsi menerangkan cara, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
161
terlihat pada pernyataan putune mangsuli „cucunya menjawab‟ dengan cara kanthi manthuk „dengan mengangguk‟. i)
Konjungsi subordinatif konsesif
Data (228) Nanging ora kaya biyen, sanajan isih njerit kelaran, wit iki wis ora perduli maneh awake dithotholi manuk Platuk.[SSKS/11] „Akan tetapi tidak seperti dulu, walaupun masih menjerit kesakitan, pohon ini sudah tidak perduli lagi tubuhnya dipatuki oleh burung Pelatuk.‟ Data (229) Mbok Darso senajan nggrangsang.[WSL/3]
klebu
uwong
sekeng,
nanging
uripe
ora
„Bu Darso walaupun tergolong orang yang tidak mampu, akan tetapi hidupnya tidak suka meminta-minta.‟ Pada data (228) dan (229) terdapat konjungsi konsesif yang ditandai oleh satuan lingual senajan „meskipun‟. Konjungsi senajan ini menghubungkan klausa/pernytaan yang mempunyai hubungan makna keadaan yang berlawan dengan klausa yang lainnya. Terlihat seperti pada data (228) meskipun (pohon merasa) kesakitan, pohon ini sudah tidak peduli lagi tubuhnya dipatuki oleh burung pelatuk serta pada data (229) meskipun Bu Darso termasuk orang yang tidak mampu, dia tidak suka meminta-minta. j)
Konjungsi subordinatif komparatif atau perbandingan
Data (230) Dados nuwun sewu sang raja, kula langkung ajrih paukumanipun Gusti Allah ing akhirat tinimbang paukuman panjenengan ingkang wonten ing ndonya punika,” jlentrehe pak Abu.[TAW/19] „Jadi mohon maaf sang raja, kula lebih takut pada hukuman Allah di akhirat daripada hukuman baginda di dunia ini,” kata Pak Abu.‟ Pada data (230) di atas terdapat konjungsi komparatif (perbandingan) yang ditandai oleh satuan lingual tinimbang „daripada‟. Konjungsi tinimbang „daripada‟ berfungsi menghubungkan antarklausa yang mempunyai hubungan perbandingan, seperti terlihat pada data di atas. kula langkung ajrih paukumanipun Gusti Allah ing commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
162
akhirat „saya lebih takut hukuman dari Allah di Akhirat‟ dibandingkan dengan paukuman panjenengan ingkang wonten ing ndonya punika „hukuman baginda di dunia ini‟. Jadi konjungsi tinimbang membandingkan antara frasa paukumanipun Gusti Allah ing akhirat „hukuman Allah di Akhirat‟ dengan frasa paukuman panjenengan ingkang wonten ing ndonya punika „hukuman baginda di dunia ini‟, kedua frasa tersebut mempunyai kelas yang sama yaitu frasa nomina. k) konjungsi subordinatif harapan (optatif) Data (231) Muga-muga kiriman sing ora akeh pangajine iki, ana manfaate kanggo kowe.[WSL/21] „Semoga kiriman yang tidak berharga ini, ada manfaatnya untuk kamu.‟ Pada data (231) di atas terdapat konjungsi subordinatif yang menyatakan harapan (optatif) yang ditandai oleh satuan lingual muga-muga „moga-moga‟. Konjungsi tersebut berfungsi menyatakan harapan seperti terdapat pada data di atas, kiriman sing ora akeh pengajine iki „kiriman yang tidak berharga ini, diharapkan muga-muga ada manfaate „moga-moga ada manfaatnya‟. 3) Konjungsi antarkalimat konjungsi yang menghubungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam sebuah wacana. Data (232) Ongotan potelot mesthi wae ndadekake potelot ketaton lan lara. Nanging sawise diongoti, potelot bisa dadi landhep maneh lan kena kanggo nulis maneh. Semono uga kowe, sajroning urip iki aja wedi ketaton, aja wedi lara nalika nindakake samubarang sing apik lan migunani. [PSP/7] „Rautan pensil pasti membuat pensil terluka dan sakit. Akan tetapi, sesudah dirauti, pensil bisa menjadi lancip lagi dan bisa untuk menulis lagi. Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini jangan takut terluka, jangan takut sakit ketika mengerjakan sesuatu yang baik dan bermanfaat.‟ Pada data (232) di atas terdapat konjungsi antarkalimat yang ditandai oleh kata yang bercetak tebal yaitu kata nanging „tetapi‟ yang merupakan konjungsi yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
163
menyatakan pertentangan dan konjungsi semono uga yang merupakan konjungsi eksesif atau menguatkan hal yang telah dinyatakan sebelumnya. Konjungsi nanging „tetapi‟ berfungsi menghubungkan pernyataan yang bertentangan yaitu pernyataan Ongotan potelot mesthi wae ndadekake potelot ketaton lan lara, yang merupakan pernyataan menyakitkan atau kurang menyenangkan dipertentangkan dengan sawise diongoti, potelot bisa dadi landhep maneh lan kena kanggo nulis maneh, merupakan pernyataan yang menyenangkan (karena berguna untuk menulis). Konjungsi semono uga „begitu juga‟ selain berfungsi menguatkan pernyataan sebelumnya juga berfungsi membandingkan/mengkomparasikan piwulang yang bisa diambil dari potelot „pensil‟ (potelot bisa kelaran nalika diongoti nanging ing tembe bisa migunani „pensil bisa merasakan sakit ketika dirauti tetapi pada akhirnya akan dapat bermanfaat‟) dikomparasikan dengan manusia dalam menjalani hidup (manusia jangan pernah takut sakit untuk dapat menjadi manusia yang berguna). Jadi, konjungsi semono uga „begitu juga‟ mempunyai fungsi komparatif Data (233) … potelot mesthi menehi awake dhewe kalodhangan nggunakake setip, kanggo mbusek lan ndandani tulisan-tulisan sing salah, supaya pener. Karana iku, ndandani salahe awake dhewe sajroning urip iki dudu tumindak sing ala. Malah, kuwi bisa ngrewangi awake dhewe supaya tetep ana ing dalan sing bener. [PSP/9] „… pensil pasti memberikan pada kita kadang kala menggunakan karet penghapus, untuk menghapus dan membenahi tulisan-tulisan yang salah, supa (jadi) benar. Karena itu, memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini bukan merupkan pekerjaan yang buruk. Bahkan, itu bisa membantu kita supaya tetap di jalan yang benar.‟ Pada data (233) terdapat konjungsi antarkalimat yang menyatakan hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang ditandai oleh satuan lingual karana iku „karena itu‟ dan konjungsi kelebihan (eksesif) yang ditandai oleh satuan lingual malah. Konjungsi karana iku „karena itu‟ berfungsi menghubungkan kalimat pertama dan kedua yang mempunyai hubungan kausalitas, yaitu pada pernyataan kalaimat pertama dijelaskan, menulis dengan pensil dapat dihapus apabila ada tulisan-tulisan yang salah yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
164
kemudian bisa dibenahi supaya menjadi baik dan benar, ada hubungan sebab-akibat dengan kalimat kedua yang dihubungkan dengan konjungsi karana iku. Hubungan tersebut, yakni pada kalimat kedua dijelaskan dalam kehidupan manusia, kadangkala manusia melakukan kesalahan, oleh karenanya memperbaiki kesalahan bukan merupakan hal yang buruk. Sebenarnya penggunaan konjungsi karana iku „karena itu‟ kurang tepat, ada baiknya konjungsi yang digunakan adalah semono uga „begitu juga‟ yang berfungsi mengkomparasikan penggunaan penghapus untuk menghapus tulisan yang salah yang kemudian dibenahi dikomparasikan dengan manusia memperbaiki kesalahannya. Penggunaan
kata
malah
sebagai
konjungsi
eksesif
berfungsi
menghubungakan kalimat kedua dengan ketiga. Pada kalimat ketiga menguatkan pernyataan pada kalimat kedua, yaitu ndandani salahe dhewe dudu prekara kang ala „memperbaiki kesalahan sendiri bukan merupakan perkara yang jelek‟ yang kemudian dikuatkan dengan kalimat ketiga malah, (ndandani salahe dhewe) bisa ngrewangi awake dhewe supaya tetep ing dalan kang bener „malah memperbaiki kesalahan, bisa menuntun kita kepada jalan yang benar. Data (234) Wohe dhewe awerna kuning emas lan katon seger, merak ati sapa wae sing nyawang. Semono uga godhong-godhonge katon ngrembuyung ketel. Mula iku akeh sing padha ngiyub ing wit kasebut saben dinane.[SSKS/1] „Buahnya berwarna kuning emas dan kelihatan segar, menyenangkan siapa yang melihatnya. Begitu juga daun-daunnya kelihatan rindang. Maka dari itu banyak orang yang berteduh di pohon tersebut setiap harinya.‟ Pada data (234) terdapat konjungsi pengakibatan yang ditandai oleh satuan lingual mula iku „makanya‟. Konjungsi mula iku „makanya‟ berfungsi menyatakan akibat dari sebuah sebab yang telah dinyatakan oleh kalimat sebelumnya, yaitu pohon itu mempunyai buah bewarna kuning emas terlihat segar dan menyenangkan hati yang melihatnya serta daunnya rindang, mula iku „sehingga‟ banyak yang berteduh di pohon itu setiap harinya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
165
Data (235) Saiki manuk Jalak wis ora manggon ing wit iku maneh. Swara endahe manuk Kenari uga wis ora tau keprungu maneh.Kabeh padha ngalih, golek panggonan sing luwih penak. Apamaneh wit kasebut rencanane bakal ditegor dening menungsa, supaya ora ana maneh sing ketiban pange. [SSKS/10] „Sekarang burung Jalak sudah tidak tinggal di pohon itu lagi. Suara indah burung Kenari juga sudah tidak pernah terdengar lagi. Semua berpindah, mencari tempat tinggal yang lebih nyaman. Apalagi pohon tersebu rencananya akan ditebang oleh manusia, supaya tidak ada lagi yang kejatuhan rantingnya.‟ Pada data (235) terdapat konjungsi antarkalimat yang menyatakan adanya hal lain di luar yang telah dinyatakan sebelumnya, yaitu ditandai oleh satuan lingual apamaneh „apalagi‟. Konjungsi apamaneh „apalagi‟ berfungsi menghubungkan antarkalimat yang mempunyai hubungan yang menyatakan hal lain yang telah dinyatakan pada kalimat-kalimat sebelumnya, yaitu Saiki manuk Jalak wis ora manggon ing wit iku maneh. Swara endahe manuk Kenari uga wis ora tau keprungu maneh. Kabeh padha ngalih, golek panggonan sing luwih penak. „sekarang burung jalak sudah tidak tinggal di pohon itu lagi, begitu juga dengan burung kenari. Semua meninggalkan (pohon itu). Pernyataan tersebut kemudian dikuatkan oleh kalimat berikutnya menggunakan konjungsi apamaneh „apalagi‟ wit kasebut rencanane bakal ditegor dening menungsa, „rencananya pohon tersebut akan ditebang oleh manusia.‟ Data (236) Pak Abu iku pawongane sabar lan tlaten. Mula wedhuse lemu-lemu lan saya suwe saya tambah akeh. Saliyane iku, pak Abu iku kondhang minangka pawongan kang jujur.[TAW/3] „Pak Abu itu orang yang sabar dan teliti. Maka kambingnya gemuk-gemuk dan semakin lama semakin bertambah banyak. Selain itu, Pak Abu itu terkenal orang yang jujur.‟ Pada data (236) terdapat konjungsi ntarkalimat yang menyatakan adanya hal lain di luar yang telah dinyatakan sebelumnya, yaitu ditandai oleh satuan lingual saliyane iku „selain itu‟. Konjungs saliyane iku „salin itu‟ berfungsi menghubungkan antarkalimat dengan menyatakan hal lain di luar yang telah di sebutan sebelumnya, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
166
dalam data ini menyebutkan mengenai sifat-sifat baik yang terdapat dalam diri Pak Abu, yaitu Pak Abu iku pawongan kang sabar lan tlaten. Saliyane iku, Pak Abu iku kondhang minangka wong jujur. „Pak Abu itu orang yang sabar dan teliti. Selain itu, Pak Abu terkenal oarang yang jujur.‟ Data (237) Sawise irunge sapi kasil dibolong nganggo pring kasebut, dhadhung enggalenggal dipasang. Ora lali gulune uga dicancang nganggo sisane tali. Mesthi wae anggone nyancang utawa naleni rada longgar, dadi gulune sapi ora nganti ketekak. Sawise kuwi sapi banjur dicancang ing wit gedhe sacedhake kono. Pak Tani kanthi cepet banget nganti sapi ora ngrumangsani yen awake wis kacencang.[MSDKI/23] „Setelah hidung sapi berhasil dilubangi memakai bambu tersebut, talinya cepat-cepat dipasang. Tidak lupa lehernya juga diikat memakai sisa tali. Pastinya ikatannya agak longgar, jadi lehernya sapi tidak sampai tercekek. Setelah itu sapi kemudian diikat di pohon besar di dekat situ. Pak tani sangat cepat sampai-sampai sapi tidak merasa kalau dirinya sudah diikat.‟ Pada data (237) terdapat konjungsi antarkalimat yang menyatakan waktu yang ditandai oleh satuan lingual sawise „setelah‟. Konjungsi sawise „setelah‟ berfungsi menghubungkan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Pada data ini, menghubungkan waktu suatu pekerjaan selesai dikerjakan dilanjutkan pekerjaan yang lain. Sawise irunge sapi kasil dibolong nganggo pring, dhadhung dipasang (ing irunge sapi). Gulune sapi dicancang nganggo dhadhung. Sawise kuwi sawise kuwi sapi banjur dicancang ing wit. „Setelah hidung sapi berhasil dilubangi memakai bambu, tali dipasangkan di hidung sapi. Leher sapi juga di ikat memakai tali. Setelah itu baru sapi diikat di pohon. Data (238) “Soal apa?” pitakone kancil wegah-wegahan. Dheweke isih mangkel karo kethek, merga dhek kapan kae, kancil weruh woh-wohan ing alas sing mateng-mateng.Dheweke ngundhang kethek supaya diopekake sebab mung kethek sing bisa menek, nanging karo si kethek jebul malah dientekake. Dheweke ora diomani. Kamangka kancil kemecer banget nyawang woh sing katon abing-abing kuwi.[GK/15]
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
167
„Dia memanggil kera supaya dipetikan sebab hanya kera yang bisa memanjat, tetapi oleh si kera justru dihabiskan. Dia tidak dikasih. Padahal kancil sangat menginginkan buah yang kelihatan merah-merah itu.‟ Pada data (238) terdapat kata kamangka „padahal‟ yang merupakan konjungsi antarkalimat yang menyatakan suatu hal yang tidak diingikan atau menyatakan suatu hal yang bertentangan dengan keinginan. Pada data di atas kancil melihat ada banyak buah-buahan di atas pohon, dia minta tolong pada kera untuk dipetikan, namun oleh si kera buah-buahan itu justru dihabiskan, kamangka „padahal‟ kancil sangat mengingikan buah itu. 4) Konjungsi antaralinea/antarparagraf Data (239) “Banjur, piwulang kapapat, kowe dhewe lak ngerti ta yen perangan sing paling penting saka potelot kuwi dudu njabane sing saka kayu, nanging perangan sing ireng sing digawe saka areng ing njerone?” simbah putri takon. Putune mangsuli kanthi manthuk. Mula saka iku, tansah mangertenana apa wae sing ana sajroning awakmu. Wawasen, delengen lan dandanana awakmu dhisik, sadurunge kowe nyalahake wong liya. [PSP/12] „Kemudian, piwulang yang keempat, kamu sendiri sudah tahukan, kalau bagian yang paling penting dari pensil itu bukan bagian luarnya yang dari kayu, tetapi yang hitam yang dibuat dari arang di dalamnya?” neneknya bertanya. Cucunya memberi jawaban dengan mengangguk. Maka dari itu, senantiasa pahamilah apa saja yang ada di dalam dirimu. Perhatikan, lihatlah dan perbaiki dirimu dahulu, sebelum kamu menyalahkan orang lain.‟ Pada data (239) terdapat konjungsi antarparagraf yang ditandai oleh satuan lingual mula saka iku „maka dari itu‟ yang menyatakan makna menegaskan kembali pernyataan sebelumnya dengan memberikan konklusi atau penjelasan aplikatif. Pada data di atas, seorang nenek menjelaskan pada cucunya, bahwa bagian pensil yang paling penting adalah isi dari pensil itu sendiri, kemudian diberikan simpulan dengan memberikan penjelasan secara aplikatif pada diri manusia, yaitu dengan tansah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
168
mangertenana apa wae sing ana sajroning awakmu. Wawasen, delengen lan dandanana awakmu dhisik, sadurunge kowe nyalahake wong liya. b. Peranti Kohesi Leksikal 1) Pengulangan (Repetisi) Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, silabe, kata, frasa, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan letak satuan lingual yang diulang dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Pembahasan mengenai repetisi dapat dilihat berikut ini. a) Repetisi epizeuksis Data (240) “Piwulang saka potelot sing kapisan yaiku potelot iku bisa ngelingake kowe, yen kowe bisa nindakake samubarang sing gedhe paedahe ing urip iki. Kaya potelot nalika dienggo nulis, [PSP/4] „Piwulang dari pensil, yang pertama yaitu pensil itu bisa mengingatkan kamu, kalau kamu bisa mengerjakan sesuatu yang besar manfaatnya dalam hidupmu ini. Seperti pensil ketika dipakai untuk menulis,‟ Pada data (240) terdapat kata potelot „pensil‟ yang diulang sebanyak tiga kali untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam tuturan. Kata potelot mendapat penekanan khusus karena merupakan bagian dari judul cerita yang perlu diberikan penjelasan lebih luas, sehingga kata potelot banyak dilakukan repetisi dalam teks. Data (241) “Banjur, piwulang kapapat, kowe dhewe lak ngerti ta yen perangan sing paling penting saka potelot kuwi dudu njabane sing saka kayu, nanging perangan sing ireng sing digawe saka areng ing njerone?” simbah putri takon.[PSP/7] „Kemudian, piwulang yang keempat, kamu sendiri sudah tahukan, kalau bagian yang paling penting dari pensil itu bukan bagian luarnya yang dari kayu, tetapi yang hitam yang dibuat dari arang di dalamnya?” neneknya bertanya.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
169
Pada data (241) terdapat kata perangan „bagian‟ yang diulang sebanyak dua kali guna menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan itu. Data (242) “Pancen lamis pangucapmu. Kowe notholi aku, mesthi arep mateni aku ta. Wis saiki ngaliha, ngaliha adoh saka aku!” kandhane wit kuwi sengit.[SSKS/7] „Memang manis ucapanmu. Kamu mematuki saya, pasti akan membunuhku, ya kan. Sudah sekarang pergilah, pergilah menjauh dariku!” kata pohon itu sinis.‟ Pada data (242) terdapat pronomina persona I tunggal aku „saya‟ yang diulang sebanyak tiga kali untuk menekankan pentingnya satuan lingual tersebut dalam konteks tuturan itu. Satauan lingual aku menempati fungsi sintaktis sebagai objek. b) Repetisi tautotes Data (243) “Iya. Terus piwulang katelu, potelot mesthi menehi awake dhewe kalodhangan nggunakake setip, kanggo mbusek lan ndandani tulisan-tulisan sing salah, supaya pener. Karana iku, ndandani salahe awake dhewe sajroning urip iki dudu tumindak sing ala. [PSP/6] „Ya. Piwulang yang ketiga, pensil pasti memberikan pada kita kadang kala menggunakan karet penghapus, untuk menghapus dan membenahi tulisantulisan yang salah, supaya (jadi) benar. Karena itu, memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini bukan merupkan pekerjaan yang buruk.‟ Pada data (243) terdapat kata ndandani „membenahi/memperbaiki‟ yang merupakan kata jadian. Kata tersebut diulang sebanyak dua kali, guna menekankan pentingnya satuan lingual tersebut dalam konteks tuturan itu. Satauan lingual aku menempati fungsi sintaktis sebagai objek. Data (244) “Mula saka iku, tansah mangertenana apa wae sing ana sajroning awakmu. Wawasen, delengen lan dandanana awakmu dhisik, sadurunge kowe nyalahake wong liya. Aja gampang nyalahake, kuwi ngono gampang nuwuhake padudon sing suwe marine.”[PSP/8] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
170
„Maka dari itu, senantiasa pahamilah apa saja yang ada di dalam dirimu. Perhatikan, lihatlah dan perbaiki dirimu dahulu, sebelum kamu menyalahkan orang lain. Jangan mudah meyalahkan, itu mudah untuk menimbulkan pertengkaran yang lama sembuhnya.‟ Pada data (244) terdapat kata awakmu „badanmu‟ dan nyalahake „menyalahkan, yang masing-masing diulang sebanyak dua kali. Pengulangan tersebut berfungsi untuk menekankan maksud jangan sampai suka menyalahkan atau mencaricari kesalahan orang lain. Data (245) “Nuwun sewu pak, menda niki gadhahan bendara kula, pramila kula mboten wenang ngedol menda punika tanpa ijin saking bendara kula,” wangsulane pak Abu.[TAW/9] „Maaf Pak, kambing ini kepunyaan majikan saya, maka dari itu saya tidak berwenang menjual kambing tersebut tanpa seizin dari majikan saya,” jawab Pak Abu.‟ Pada data (245) terdapat frasa nomina yaitu majikan kula „juragan saya‟ yang diulang sebanyak dua kali untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan. Data (246) “Nuwun sewu sang raja, menda punika sanes gadhahan kula saengga kula mboten wantun ngaturaken kagem panjenengan. Saupami menda punika gadhahan kula, tanpa panjenengan tumbas sampun kula aturaken panjenengan kanthi iklas.”[TAW/15] „Mohon ampun sang raja, kambing ini bukan kepunyaan saya sehingga saya tidak berani memberikan untuk baginda. Seumpama kambing ini milik saya, tanpa baginda membelinya sudah saya berikan pada baginda dengan ikhlas.‟ Pada data (246) terdapat frasa nomina menda punika „kambing ini‟ dan pronomina persona II tunggal bentuk krama yaitu panjenengan „anda‟ yang masingmasing secara berturut-turut mendapat pengulangan sebanyak dua kali dan tiga kali. Pengulangan tersebut dilakukan karena satuan lingual yang diulang merupakan unsur utama
yang
dituturkan,
sehingga
mendapat
pengulangan/repetisi. commit to user
penekanan
dengandilakukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
171
c) Repetisi anafora Data (247) “Piwulang saking potelot? Piwulang napa mBah menika? Ketingalipun potelot menika sami mawon rupinipun, setunggal kaliyan sanesipun,” putune isih durung ngerti.[PSP/2] „Piwulang dari pensil? Pelajaran apa itu, Nek? Kelihatannya pensil itu sama saja wujudnya satu dengan lainya,” cucunya masih belu paham.‟ Pada data (247) terdapat kata piwulang „piwulang‟yang diualng sebanyak dua kali yaitu pada tiap awal kalimat, sehingga bentuk pengulangan ini disebut repetisi anafora. Pengulangan tersebut dilakukan untuk menekankan kata piwulang yang merupakan pokok pembahasan dalam cerita yaitu piwulang saka potelot „piwulang dari pensil‟. Data (248) Wohe katon akeh, katon nggrumbul ing sisih ndhuwur. Wohe dhewe awerna kuning emas lan katon seger merak ati sapa wae sing nyawang. [SSKS/1] „Buahnya kelihatan banyak, kelihatan bergerobol di bagian atas. Buahnya berwarna kuning emas dan kelihatan segar, menyenangkan siapa yang melihatnya.‟ Pada data (248) terdapat kata wohe „buahnya‟ yang diualng sebanyak dua kali yaitu pada tiap awal kalimat, sehingga bentuk pengulangan ini disebut repetisi anafora. d) Repetisi epistrofa data (249) … kidang wedi mengko malah dheweke sing ganti dimangsa dening macan. Wis kaping bola-bali dheweke bisa lolos saka incerane macan.[GK/24] „kijang takut nanti kalau dia jadi yang dimangsa harimau. Sudah berkali-kali dia bisa lolos dari terkaman harimau.‟ Pada data (249) terdapat kata macan yang diulang sebanyak dua kali. Pengulangan kata tersebut terletak pada akhir kalimat sehingga disebut repetisi epistrofa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
172
e) Repetisi simploke Tidak ditemukan. f) Repetisi mesodiplosis Tidak ditemukan. g) Repetisi epanalepsis Data (250) Kowe kudu bisa mbujuk supaya tukang angon wedhus kasebut gelem ngedol wedhuse kang diengon menyang kowe.”[TAW/5] „Kamu harus bisa membujuk supaya penggembala kambing tersebut mau menjual kambing yang digembalakannya kepada kamu.‟ Pada data (250) terdapat repetisi epanalepsis, yaitu pronomina persona II tunggal bentuk bebas yaitu kata kowe „kamu‟ yang terletak di akhir kalimat merupakan pengulangan kata yang sama pada awal kalimat. Pengulangan tersebut berfungsi untuk menekankan pentingnya makna satuan lingual kowe „kamu‟ pada tuturan tersebut. h) Repetisis anadiplosis Tidak ditemukan. 2) Padan Kata (Sinonimi) Sinonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Chaer dalam Sumarlam, 2009: 39). Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana. Berdasarkan wyjud satuan lingualnya, sinonimi dapan diperinci sebagai berikut. a) Sinonimi morfem bebas dengan morfem terikat Data (251) …potelot iku ngandhut limang piwulang sing bisa nentremake awakmu, yen kowe tansah ngugemi lan nindakake piwulang-piwulang kasebut, sajroning uripmu.”[PSP/3]
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
173
„…pensil itu mengandung lima piwulang yang bisa menentramkan kamu, kalau kamu percaya dan melaksanakan piwulang-piwulang tersebut, selama hidupmu.‟ Pada data (251) terdapat sinonimi morfem terikat lekat kanan –mu „-mu‟ yang bersinonim dengan morfem bebas kowe „kamu‟. Data (252) Semono uga kowe, kudu sadhar yen apa wae sing koktindakake lan kokucapake mesthi nuwuhake anggepan saka wong liya, embuh kuwi apik apa ala. „Begitu juga kamu, harus sadar kalau apa saja yang kamu kerjakan dan kamu ucapkan pasti prasangka dari orang lain, entah itu baik atau buruk.‟ Pada data (252) terdpat sinonimi morfem bebas kowe „kamu‟ dengan morfem terikat kok- „kamu‟. Data (253) Kabeneran daksawang wedhusmu akeh banget, mula aku nembung bakal nuku wedhusmu siji bae,” kandhane wong kuwi.[TAW/8] „Kebetulan saya melihat kambingmu banyak sekali, maka saya meminta akan membeli kambingmu satu saja,” kata orang itu.‟ Pada data (253) terdapat sinonimi morfem terikat lekat kiri dak- „ku-‟ yang bersinonim dengan morfem bebas kowe „kamu‟. b) Sinonimi kata dengan kata Data (254) Ing sawijining dina, simbah putri kang lagi nyerat layang, menehi pitutur marang putune, “MBah Putri pengin kowe bisa nyinaoni lan mangerteni piwulang saka potelot, nalika kowe wis gedhe mbesuk.”[PSP/1] „Suatu hari, nenek yang baru menulis surat, memberi nasihat kepada cucunya, “Nenek ingin kamu bisa belajar dan mengerti piwulang yang dapat diambil dari pensil, ketika kamu sudah besar nanti.‟ Pada data (254) terdapat kata pitutur yang bersinonim dengan kata piwulang. Kedua kata tersebut mempunyai makna yang sepadan, sehingga disebut sinonimi antarkata yang mendukung kepaduan wacana dari aspek leksikal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
174
Data (255) Kaya potelot nalika dienggo nulis, aja lali yen ana tangan sing tansah nuntun langkahmu.Awake dhewe nyebut iku minangka Astane Gusti Allah. Panjenengane sing tansah nuntun awake dhewe miturut kekarepanE.”[PSP/4] „Seperti pensil ketika dipakai untuk menulis, jangan samapai lupa bahwa ada tangan yang senantiasa menuntun langkahmu. Kita menyebutnya sebagai Tangannya Gusti Allah. Dia yang senantiasa menunjukkan kita menurut kehendak-Nya.‟ Pada data (255) terdapat kata tangan yang bersinonim dengan kata asta „tangan‟. Kata tangan merupakan ragam ngoko, sedangkan kata asta merujuk pada bentuk krama dari kata tangan. Kedua kata tersebut mempunyai makna yang sepadan, sehingga disebut sinonimi antarkata yang mendukung kepaduan wacana dari aspek leksikal. Data (256) Bungkusan mau banjur dibukak alon-alon dening Waluyo, disekseni embokne. Mbaka siji buntele diudhari. [WSL/20] „Bungkusan tadi kemudian dibuka pelan-pelan oleh Waluyo, disaksikan ibunya. Satu per satu bungkusnya dibuka.‟ Pada data (256) terdapat kata dibukak „dibuka‟ yang bersinonim dengan kata diudhari „dibuka‟.
Kata dibukak lebih merujuk pada cara membuka sekaligus,
sedangkan kata diudhari merujuk pada cara membuka sedikit demi sedikit. Kedua kata sebenarnya juga mempunyai makna yang sepadan yaitu sama-sama melakukan hal membuka, sehingga dapat disebut sinonimi antarkata sebagai pendukung kepaduan wacana dari aspek leksikal. Data (257) Ora krasa ana eluh kabungahan lan kabagyan ndlewer, nelesi pipine Mbok Darso lan pipine Waluyo.[WSL/21] „Tidak terasa air mata kebahagiaan mengalir, membasahi pipi Bu Darso dan pipi Waluyo.‟ Pada data (257) terdapat kata kabungahan „kesenangan‟ yang bersinonim dengan kata kabagyan „kebahagiaan‟. Kata kabagyan mempunyai makna yang lebih commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
175
menyenangkan daripada kabungahan. Akan tetapi, kedua kata tersebut tetap mempunyai makna yang bersinonim, sehingga disebut sinonimi antarkata yang mendukung kepaduan wacana dari aspek leksikal. Data (258) “Yen tak gagas-gagas kowe pancen goblok tenan. Awakmu luwih gedhe lan kuwat. Tenagamu mesthine uga luwih rosa.[MSDKI/12] „Kalau saya pikir-pikir kamu memang bodoh sekali. Tubuhmu lebih besar dan kuat. Tenagamu pastinya juga lebih kuat.‟ Pada data (258) terdapat kata kuwat „kuat‟ yang bersinonim dengan kata rosa „kuat‟. Kedua kata tersebut mempunyai makna yang sepadan, sehingga disebut sinonimi antarkata yang mendukung kepaduan wacana dari aspek leksikal. c) Sinonimi kata dengan frasa atau sebaliknya Data (259) Dheweke ora lila yen dadi mangsane macan sing wis ditulungi kuwi. Olehe tetulung mau kanthi tulus. Tanpa pamrih apa-apa, nanging mosok ya kaya mangkene piwalese?[GK/10] „Dia tidak akan rela menjadi mangsa harimau yang sudah ditolong itu. Menolongnya tadi dengan ikhlas. Tanpa pamrih apa pun, tetapi masa seperti ini balasannya?‟ Pada data (259) terdapat bentuk sinonimi kata denga frasa yaitu antara kata tulus dengan frasa tanpa pamrih. Kata tulus mempunyai makna tidak mengharapkan balasan apapun, begitu juga frasa tanpa pamrih mempunyai makna tidak mengharap imbalan apapun. d) Sinonimi klausa/kalimat dengan klausa/kalimat Data (260) “Adhuh kethek, mesakna aku, welasana aku. [GK/2] „Aduh kera, kasihanilah saya. Kasihanilah saya ya kera,‟ Pada data (260) klausa mesakna aku bersinonim dengan klausa welasana aku. Kedua klausa yang bermakna sepadan itu mendukung kepaduan wacana baik secara leksikal maupun semantis. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
176
3) Lawan Kata (Antonimi) Antonimi berlawanan/beroposisi
dapat
diartikan
dengan
satuan
satuan lingual
lingual lain.
yang
Berdasarkan
maknanya sifatnya,
antonimi/oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu oposisi mutlak, oposisi kutub, oposisi hubungan, oposisi hirarkial, dan oposisi majemuk (Sumarlam, 2009: 40). a) Oposisi mutlak Data (261) “Banjur, piwulang kapapat, kowe dhewe lak ngerti ta yen perangan sing paling penting saka potelot kuwi dudu njabane sing saka kayu, nanging perangan sing ireng sing digawe saka areng ing njerone?” simbah putri takon.[PSP/7] „Kemudian, piwulang yang keempat, kamu sendiri sudah tahukan, kalau bagian yang paling penting dari pensil itu bukan bagian luarnya yang dari kayu, tetapi yang hitam yang dibuat dari arang di dalamnya?” neneknya bertanya.‟ Pada data (261) terdapat oposisi mutlak yaitu pada kata njaba „luar‟ dengan kata njero „dalam‟. Kedua kata itu disebut beroposisi mutlak karena kedua kata tersebut bertentangan makana secara mutlak. Data (262) Dados nuwun sewu sang raja, kula langkung ajrih paukumanipun Gusti Allah ing akhirat tinimbang paukuman panjenengan ingkang wonten ing ndonya punika,” jlentrehe pak Abu.[TAW/19] „Jadi mohon maaf sang raja, kula lebih takut pada hukuman Allah di akhirat daripada hukuman baginda di dunia ini,” kata Pak Abu.‟ Pada data (262) terdapat oposisi mutlak yaitu pada kata akhirat „akhirat‟ dengan kata ndonya „dunia‟. Kedua kata tersebut disebut beroposisi mutlak, karena kata akhirat „akhirat‟ hanya beroposisi secara mutlak dengan kata donya „dunia‟. Data (263) “Ya pak Abu. Kowe ora bakal dakwenehi paukuman amarga aku mung nodhi sepira gedhene rasa sabar, tlaten lan jujurmu. Mula saka iku, kowe malah bakal dakwenehi kanugrahan wujude kalungguhan minangka pawongan kang ngrumat kewan-kewan sing ana ing istana Bagdad.”[TAW/20] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
177
„Ya, Pak Abu. Kamu tidak akan saya beri hukuman karena saya hanya menguji seberapa besar rasa sabar, teliti, dan kejujuranmu. Maka dari itu, kamu justru saya berikan anugrah berupa kedudukan sebagai orang yang merawat hewan-hewan yang ada di istana Bagdad.‟ Pada data (263) terdapat oposisi mutlak yaitu pada kata paukuman „hukuman‟ dengan kata kanugrahan „anugrah‟. Kedua kata tersebut disebut beroposisi mutlak, karena kata paukuman „hukuman‟ hanya beroposisi secara mutlak dengan kata kanugrahan „anugrah‟. Data (264) Mungguhing Waluyo, pituture Embokne mau ora mung mlebu kuping kiwa metu kuping tengen. Nanging rumesep ing ati.[WSL/7] „Menurut Waluyo, nasihat ibunya tadi tidak hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan (tidak diperhatikan). Akan tetapi masuk dalamm hati (diperhatikan dan dipahami).‟ Pada data (264) terdapat oposisi mutlak yaitu pada kata kiwa „kiri‟ dengan kata tengan „kanan‟. Kedua kata tersebut disebut beroposisi mutlak, karena kata kiwa „kiri‟ hanya beroposisi secara mutlak dengan kata tengan „kanan‟. b) Oposisi kutub Data (265) Semono uga kowe, kudu sadhar yen apa wae sing koktindakake lan kokucapake mesthi nuwuhake anggepan saka wong liya, embuh kuwi apik apa ala. [PSP/9] „Begitu juga kamu, harus sadar kalau apa saja yang kamu kerjakan dan kamu ucapkan pasti prasangka dari orang lain, entah itu baik atau buruk.‟ Pada data (265) terdapat kata yang beroposisi kutub yaitu kata apik „baik‟ dengan kata ala „buruk‟. Kedua kata tersebut dikatakan beroposisi kutub karena terdapat gradasi di antara keduanya, yaitu adanya realitas apik banget „sangat baik‟, apik „baik‟, rada apik „agak baik‟, rada ala „agak buruk‟, ala „buruk‟, ala banget „sangat buruk‟. Data (266) “Thole Waluyo, awake dhewe iki wong mlarat. Ewasemono ora sah meri karo wong sing sugih bandha.[WSL/4] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
178
„Anak(ku) Waluyo, kita ini orang miskin. Walaupun begitu tidak usah iri hati kepada orang yang kaya raya.‟ Pada data (266) terdapat kata yang beroposisi kutub yaitu kata mlarat „miskin‟ dengan kata sugih „kaya‟. Kedua kata tersebut dikatakan beroposisi kutub karena terdapat gradasi di antara keduanya, yaitu adanya realitas mlarat banget „sangat miskin‟, mlarat „miskin‟, rada miskin „agak baik‟, rada sugih „agak kaya‟, sugih „buruk‟, sugih banget „sangat kaya‟. c) Oposisi hubungan Tidak ditemukan. d) Oposisi hirarkial Tidak Ditemukan e) Oposisi majemuk Tidak ditemukan 4) Sanding kata (kolokasi) Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Analisis data mengenai kolokasi dipaparkan berikut ini. Data (267) Piwulang kapindho, nalika potelot iku digunakake kanggo nulis, kadhangkala kudu kaendheg, amarga kudu ngongoti dhisik supaya landhep. Ongotan potelot mesthi wae ndadekake potelot ketaton lan lara. Nanging sawise diongoti, potelot bisa dadi landhep maneh lan kena kanggo nulis maneh.”[PSP/5] “Iya. Terus piwulang katelu, potelot mesthi menehi awake dhewe kalodhangan nggunakake setip, kanggo mbusek lan ndandani tulisan-tulisan sing salah, supaya pener. Karana iku, ndandani salahe awake dhewe sajroning urip iki dudu tumindak sing ala. Malah, kuwi bisa ngrewangi awake dhewe supaya tetep ana ing dalan sing bener.[PSP/6] „Piwulang yang kedua, ketika pensil itu dugunakan untuk menulis, kadang kala harus berhenti, karena harus meraut dahulu supaya lancip. Rautan pensil pasti membuat pensil terluka dan sakit. Akan tetapi, sesudah dirauti, pensil bisa menjadi lancip lagi dan bisa untuk menulis lagi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
179
Ya. Piwulang yang ketiga, pensil pasti memberikan pada kita kadang kala menggunakan karet penghapus, untuk menghapus dan membenahi tulisantulisan yang salah, supaya (jadi) benar. Karena itu, memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini bukan merupkan pekerjaan yang buruk. Bahkan, itu bisa membantu kita supaya tetap di jalan yang benar.‟ Pada data (267) terdapat kata-kata yang berkolokasi yang cenderung dipakai dalam domain alat-alat menulis, yaitu kata potelot „pensil‟, nulis „menulis‟, ongotan „rautan‟, ngongoti „merauti‟, setip „penghapus‟, mbusek „menghapus‟, dan tulisan „tulisan‟. Kata-kata tersebut cenderung dipakai dalam domain mengenai pembahasan tulis-menulis, yang sesuai dengan topik cerita. Kata-kata yang berkolokasi tersebut dapat mendukung kepaduan wacana. Data (268) Ana sawijining wit kang lagi ngancik wayahe woh. Wohe katon akeh, katon nggrumbul ing sisih ndhuwur. Wohe dhewe awerna kuning emas lan katon seger merak ati sapa wae sing nyawang. Semono uga godhong-godhonge, katon ngrembuyung ketel. Mula iku akeh sing padha ngiyub ing wit kasebut saben dinane. Wektu iku, ana manuk Jalak miber cendhek lan menclok ing sawijining pang ing wit kasebut. Kanthi mbengok, Jalak kuwi muji wit ksb [SSKS/1] „Ada suatu pohon yang sedang musim berbuah. Buahnya kelihatan banyak, kelihatan bergerobol di bagian atas. Buahnya berwarna kuning emas dan kelihatan segar, menyenangkan siapa yang melihatnya. Begitu juga daundaunnya kelihatan lebat dan rindang. Maka dari itu banyak orang yang berteduh di pohon tersebut setiap harinya. Waktu itu, ada burung Jalak terbang rendah dan hinggap di salah satu dahan di pohon tersebut. Dengan berteriak, Jalak itu memuji pohon tersebut‟ Pada data (268) terdapat kata-kata yang berkolokasi yang cenderung dipakai dalam bagian-bagian tumbuhan, yaitu kata wit „pohon‟, woh „buah‟, godhong „daun‟, dan pang „dahan‟. Kata-kata tersebut cenderung dipakai dalam domain tumbuhan. Kata-kata yang berkolokasi tersebut dapat mendukung kepaduan wacana. 5) Hiponimi (Hubungan atas bawah) Hiponim adalah hubungan makna yang umum (generik) dengan makna khusus (spesifik). Hiponim adalah satuan bahasa yang maknanya merupakan bagian dari satuan lingual yang lain. Hipernim adalah satuan lingual yang mencakupi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
180
beberapa unsur di bawahnya (hiponim). Pemaran mengenai hiponimi dapat diperhatikan pada analisis data di bawah ini. Data (269) Sapi kepengin ngerti lan uga kepengin mbuktekake dhewe apa bener critane si kethek kuwi. Sajeg urip sapi pancen durung tau saba ing kampung sing dipanggoni dening manungsa.[MSDKI/1] Tekan tengah-tengah lakune kandheg, merga sapi weruh kebo sing lagi nggeret sawenehing barang lan ana Pak Tani sing ngetutake ing burine.[MSDKI/2] “Hem...saupama aku bisa ngrampas utege manungsa, aku mesthi bakal dadi kewan sing pilih tandhing. Ora ana sing wani marang aku, klebu singa apa dene macan bakal tumungkul marang aku.” Batine sapi karo isih tetep mesam-mesem kebak teges. Dheweke banjur ngadeg, mlaku alon-alon ninggalake kebo. „Sapi ingin mengetahuinya dan membuktikan sendiri apa benar cerita si kera itu. Semenjak hidup sapi memang tidak pernah pergi di kampung yang ditempati oleh manusia. Sampai di tengah-tengah jalannya terhenti, sebab sapi melihat kerbau yang sedang menarik suatu barang dan ada pak tani yang mengikuti di belakangnya. Seandainya saya bisa merampas pikiran manusia, saya pasti bisa menjadi hewan yang unggul dalam perang. Tidak ada yang berani sama saya, termasuk singa atau macan akan tunduk pada saya.” Kata sapi dalam hati masih tetap senyum-senyum penuh maksud. Dia kemudian berdiri, berjalan pelan-pelan meninggalkan kerbau.‟ Pada data (269) di atas yang merupakan hipernim atau unsur yang mencakupi adalah kewan „hewan‟, sedangkan yang menjadi hiponimnya atau unsur yang dicakupi adalah nama-nama hewan yaitu sapi, kebo „kerbau‟, kethek „kera‟, macan „harimau‟, dan singa. Hubungan antarhiponim itu disebut kohiponim. Fungsi hiponimi adalah untuk mengikat hubungan antarsatuan lingual dalam wacana secara semantis, terutama untuk menjalin hubungan antara unsur yang mencakupi dengan unsur yang dicakupi. 6) Kesepadanan (Ekuivalensi) Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
181
kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukan adanya hubungan kesepadanan (Sumarlam, 2009: 46). Berikut ini pemaparan mengenai ekuivalensi dalam data. Data (270) Gindhul muter uteg. Dheweke ora lila yen dadi mangsane macan sing wis ditulungi kuwi. Olehe tetulung mau kanthi tulus. Tanpa pamrih apa-apa, nanging mosok ya kaya mangkene piwalese? Ora! Kethek ora lila tenan karo patine yen mung kanthi cara kaya iku. Ana ngendi jejege adil! Mula banjur kandhane marang macan: “Ya wis, can. Aku lila kok pangan, nanging sadurunge aku njaluk keadilan dhisik.”[GK/10] Gindhul kethek banjur nyritakake olehe nulungi macan, nanging bareng wis ditulungi malah dheweke arep dipangan. Apa kuwi pantes? Ngono wadule Gindhul.[GK/16] Satemene kancil ya ngerti yen Gindhul ora pantes dadi mangsane macan. Wong wis keraya-raya mitulungi kok diwales kaya kuwi. Nanging rehne kancil isih mangkel karo Gindhul si kethek iku, dheweke wegah aweh keputusan sing adil. Mula keputusane mung digawe ngambang.[GK/22] „Gindhul kemudian berpikir. Dia tidak akan rela menjadi mangsa harimau yang sudah ditolong itu. Menolongnya tadi dengan ikhlas. Tanpa pamrih apa pun, tetapi masa seperti ini balasannya? Tidak! Kera sungguh tidak rela dengan kematiannya kalau hanya dengan cara seperti itu. Dimana berdirinya keadilan! Maka katanya kepada harimau: “Ya sudah. Saya rela kamu makan, tetapi sebelumnya saya minta keadilan dahulu. Gindhul si kera kemudian menceritakan awalnya dia menolong harimau, tetapi setelah ditolong kemudian malah akan dimakan. Apa itu pantes? Begitu pengaduan Gindhul. Sesungguhnya kancil mengerti kalau Gindhul tidak pantas jadi korban mangsa harimau. Sudah bersedia menolong tapi dibalas seperti itu. Akan tetapi kancil masih jengkel pada Gindhul si kera itu, dia tidak mau memberi keputusan yang adil. Maka keputusannya hanya dibuat tidak jelas.‟ Pada data (270) terdapat ekuivalensi atau hubungan kesepadanan satuan lingual yaitu kata ditulungi „ditolongi‟, tetulung „meberi pertolongan‟, nulungi „menolong‟, mitulingi „menolong‟. Sejumlah kata tersebut mempunyai hubungan kesepadanan karena dibentuk oleh morfem asal yang sama yaitu tulung „tolong‟.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
182
2. Nilai Pendidikan yang Terkandung dalam WB di Majalah PS dan DL Untuk dapat menelaah isi kandungan nilai-nilai pendidikan yang terkadung dalam WB perlu dilakukan dua teknik membaca, yaitu pertama melakukan pembacaan teks secara heuristik, kemudian yang kedua melakukan pembacaan secara hermeneutik. Pembacaan heuristik dilakukan berdasarkan struktur bahasanya, sedangkan pembacaan hermeneutic adalah pembacaan ulang setelah pembacaan heuristik. Dalam pembacaan hermeneutik ini akan dilakukan pembacaan ulang terhadap teks, kemudian pembacaan teks, dan kontekstualitas teks yang diteliti. a. Nilai Pendidikan Religius/Agama Nilai religius merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam karya sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Tujuan pendidikan agama/religi adalah membentuk manuasia yang beragama, beriman, dan bertakwa atau menjadi pribadi yang religius. Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. 1) Keimanan Keimanan merupakan unsur fundamental atau hal terpenting dalam agama. Keimanan berkaitan dengan akidah yaitu suatu keyakinan atau kepercayaan tentang adanya Tuhan. Iman berarti percaya dan membenarkan akan adanya Tuhan serta menjalankan perintahnya dan menjauhi larangan-Nya. Nilai keimanan merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran paling tinggi karena nilai keimanan bersumber langsung dari Tuhan. Nilai pendidikan religi yang menyiratkan mengenai keimanan kepada Tuhan terlihat pada cerita Piwulang saka Potelot berikut ini. “Piwulang saka potelot sing kapisan yaiku potelot iku bisa ngelingake kowe, yen kowe bisa nindakake samubarang sing gedhe paedahe ing urip iki. Kaya potelot nalika dienggo nulis, aja lali yen ana tangan sing tansah nuntun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
183
langkahmu. Awake dhewe nyebut iku minangka Astane Gusti Allah. Panjenengane sing tansah nuntun awake dhewe miturut kekarepanE.” [PS/PSP] „Piwulang dari pensil, yang pertama yaitu pensil itu bisa mengingatkan kamu, kalau kamu bisa mengerjakan sesuatu yang besar manfaatnya dalam hidupmu ini. Seperti pensil ketika dipakai untuk menulis, jangan samapai lupa bahwa ada tangan yang senantiasa menuntun langkahmu. Kita menyebutnya sebagai Tangannya Gusti Allah. Dia yang senantiasa menunjukkan kita menurut kehendak-Nya.‟ Pada kutipan di atas terdapat nilai keimanan yaitu melalui keyakinan akan keberadaan Tuhan, Tuhan Maha Berkuasa atas segala urusan makhluk-Nya, seperti terlihat pada kutipan di atas kita harus percaya bahwa semua yang terjadi di kehidupan ini semua atas kehendak Tuhan atau takdir Allah (…aja lali yen ana tangan sing tansah nuntun langkahmu. Awake dhewe nyebut iku minangka Astane Gusti Allah. Panjenengane sing tansah nuntun awake dhewe miturut kekarepanE). Keyakinan merupakan kunci keimanan, tanpa dilandasi keyakinan maka tak mungkin ada keimanan. Iman mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia, iman merupakan manifestasi dari kepercayaan seseorang terhadap Tuhannya. Tanpa didasari iman manusia akan menjadi atheis, dia akan bertidak seenaknya saja tanpa aturan karena hidupnya akan terombang ambing tidak ada tujuan hidup (kemana dia akan kembali). Keimanan membuat kehidupan di dunia ini bisa tertata, karena adanya syariat agama yang diajarkan Tuhan melalui utusan-Nya. Dengan keimanan pula, seseorang akan tahu dari mana dia hidup, untuk apa dia hidup, dan akan kemana setelah matinya. Semua itu karena seseorang mempunyai keimanan atau keyakinan dalam beragama. Jadi, melalui pembelajaran sastra tersiratkan nilai pendidikan agama sehingga dapat meningkatkan keimanan bagi pembacanya khususnya para siswa. 2) Mawas diri Mawas diri adalah suatu sikap yang penuh kehati-hatian dalam melakukan segala aktifitas baik bertutur kata maupun bertingkah laku agar tidak menyakiti perasaan atau fisik orang lain. Mawas diri juga dapat dilakukan dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
184
mengintrospeksi diri, mengenai apa saja yang telah diperbuatnya, mengintrospeksi diri tentang kesalahan-kesalahan kemudian berusaha untuk tidak melakukannya lagi dan berusaha berlaku yang lebih baik. Di bawah ini terdapat pelajaran mengenai sikap mawas diri, yang dikutipkan dari WB yang berjudul Piwulang saka Potelot „pelajaran yang bisa diambil dari pensil‟. “Banjur, piwulang kapapat, kowe dhewe lak ngerti ta yen perangan sing paling penting saka potelot kuwi dudu njabane sing saka kayu, nanging perangan sing ireng sing digawe saka areng ing njerone?” simbah putri takon. “Mula saka iku, tansah mangertenana apa wae sing ana sajroning awakmu. Wawasen, delengen lan dandanana awakmu dhisik, sadurunge kowe nyalahake wong liya. Aja gampang nyalahake, kuwi ngono gampang nuwuhake padudon sing suwe marine.” [PS/PSP] „Kemudian, piwulang yang keempat, kamu sendiri sudah tahukan, kalau bagian yang paling penting dari pensil itu bukan bagian luarnya yang dari kayu, tetapi yang hitam yang dibuat dari arang di dalamnya?” neneknya bertanya. “Maka dari itu, senantiasa pahamilah apa saja yang ada di dalam dirimu. Perhatikan, lihatlah dan perbaiki dirimu dahulu, sebelum kamu menyalahkan orang lain. Jangan mudah meyalahkan, itu mudah untuk menimbulkan pertengkaran yang lama sembuhnya.‟ Pada kutipan cerita di atas menyiratkan mengenai nasihat mengenai nilai mawas diri yang disampaikan oleh nenek kepada kepada cucunya melalui penggambaran yang terdapat pada sebuah pensil. Nenek tersebut menjelaskan pada cucunya, bahwa bagian pensil yang paling vital adalah bagian yang terdapat di dalam pensil yaitu bagian hitam yang terbuat dari arang yang bisa digunakan untuk menulis. Penggambaran tersebut, diasosiasikan dengan nilai-nilai kehidupan, bahwa dalam hidup ini seseorang harus paham mengenai apa yang ada dalam diri dirinya, untuk itu seseorang perlu mawas diri dan mengintrospeksi diri tentang kekurangan apa saja yang ada pada diri kita, kesalahan-keslahan apa yang sudah kita perbuat, jangan sampai kita melakukan kesalahan yang sama, setelah itu kita dapat menutup kesalahan-kesalah tersebut dengan perilakau baik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
185
Disamping itu juga dijelaskan, bahwa sebagai makhluk sosial yang hidup bersama, kita jangan sampai mencari-cari kesalahan orang lain, karena hanya akan menimbulkan permusuhan dan hidup menjadi tidak rukun. Akan tetapi, carilah kesalahan kesalahan diri sendiri, kemudian mengubahnya untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. 3) Hati-hati dalam bertingkah laku dan bertutur kata Hati-hati dalam bertingkah laku dan bertutur kata perlu dilakukan agar tidak menyinggung atu menyakiti perasaan orang lain. Sikap tersebut diterapkan kapan saja dan di mana saja kita berada. Berikut ini terdapat nilai pelajaran kehati-hatian yang dikutipkan pada WB yang berjudul Piwulang saka Potelot. Saben potelot mesthi ninggalake tandha utawa tilas, ing kertas sing dienggo nulis. Semono uga kowe, kudu sadhar yen apa wae sing koktindakake lan kokucapake mesthi nuwuhake anggepan saka wong liya, embuh kuwi apik apa ala. Dadi sing ngati-ati lan waspada, aja nganti pocapan lan tumindakmu nglarani wong liyane. [PS/PSP] „Setiap pensil pasti meninggalkan tanda atau bekas pada kerta yang dipakai untuk menulis. Begitu juga kamu, harus sadar kalau apa saja yang kamu kerjakan dan kamu ucapkan pasti prasangka dari orang lain, entah itu baik atau buruk. Jadi berhati-hatilah dan waspada, jangan sampai ucapan dan perilakumu menyakiti orang lain.‟ Pada kutipan data di atas ditanamkan mengenai pentingnya sikap berhati-hati dalam bertingkah laku dan bertutur kata, karena apa ayang kita lakukan pasti akan ada yang suka dan tidak suka atau menimbulkan dampak positif atau negatif. Untuk itu pesan yang bisa diambil dari pelajaran tersebut ialah kita harus berhati-hati agar apa yang kita lakukan dan apa yang kita ucapkan tidak menyakiti atau merugikan orang lain. 4) Larangan berprasangka buruk Setiap orang mempunyai karakter berbeda-beda serta kekurangan dan kelebihan masing-masing, terlebih lagi di mata Tuhan semua manusia itu sama yang membedakan hanyalah ketakwaannya. Untuk itu kita tidak boleh menganggap remeh orang lain, karena belum tentu kita lebih baik daripada yang kita remehkan. Kita juga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
186
tidak boleh membeda-bedakan sesama teman, kita harus berbuat adil. Berikut ini terdapat kutipan yang mengajarkan agar kita tidak menilai sesuatu dari sisi luarnya saja, karena bisa jadi hal tidak mengenakan untuk diri kita itu adalah sesuatu yang baik untuk kita. Wit kasebut kandha, “Sing nembang lan menehi pepuji durung mesthi dadi kanca, nanging sing gelem nuduhake kakurangan lan gelem ngrewangi ngluwari masalahku, yakuwi kanca sejati.” Mangkono tembange wit ksb. „Pohon tersebut berkata, “Yang menyanyikan dan memberi pujian belum pasti sahabat, akan tetapi yang mau menunjukan kekurangan dan mau membantu memecahkan masalahku, itulah sahabat sejati.” Begitu nyanyian pohon tersebut.‟ Digambarkan oleh burung pelatuk terhadap pohon, burung pelatuk yang suka mematuki batang pohon untuk mencari ulat yang menggerogoti tubuh pohon, justru dipandang jahat oleh pohon, sehingga dia mengusir burung pelatuk tersebut. Padahal sesungguhnya niat burung pelatuk baik, yaitu ingin menyelamatkan pohon agar tidak mati dimakan ulat. Setelah beberapa waktu pohon itu benar-benar akan mati karena tubuhnya digerogoti oleh ulat. Pohon pun pasrah menerima keadaannya, akhirnya pohon baru tersadar kalau sesungguhnya burung pelatuk adalah sahabat yang baik yang ingin membantu menolongnya memakani ulat agar ulat tidak menggerogoti tubuh pohon, sehingga pohon tidak jatuh sakit seperti sekarang. Kemudian burung pelatuk datang kembali ke pohon tersebut untuk menolong pohon dengan memakan ulat-ulat yang menggerogoti pohon tersebut. Akhirnya pohon dapat kembali sehat dan bersemi. Pohon pun mengucapkan terima kasih kepada burung pelatuk, dan berkata sahabat sejati adalah yang mau mengingatkan apabila kita berbuat salah dan mau bersama-sama dalam susah dan senang. Pelajaran yang bisa diambil dari kutipan data di atas adalah kita berprasangka buruk kepada Tuhan atas takdir yang sudah ditetapkan kepada kita, boleh jadi yang tidak mengenakan pada diri sekarang ini, akan menjadi membahagiakan dimasa mendatang, karena apa yang sudah ditakdirkan Tuhan adalah yang terbaik untuk makhluknya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
187
5) Istiqomah Istiqomah adalah ketekunan, keajegan, dan kesabaran. Amalan yang dilakukan secara istiqomah dan bersungguh sungguh dapat membuahkan suatu kebahagiaan. Nilai pendidikan istiqomah dapat dipetik dari WB yang berjudul Tukang Angon Wedhus „Penggembala Kambing‟ berikut ini. Jaman mbiyen ing kutha Bagdad ana tukang angon wedhus jenenge pak Abu. Dheweke iku saben dinane mung angon wedhus bae. Kaya padatane wiwit esuk umun-umun, pak Abu wis budhal menyang ara-ara ing pinggir kutha Bagdad lan lagi mulih nalika srengenge angslup. Mula wedhuse lemu-lemu lan saya suwe saya tambah akeh. Kanthi sabar pak Abu tlaten nunggoni wedhus kang dingon ana ing ara-ara mau sinambi tetembangan.[PS/TAW] „Zaman dahulu di kota Bagdad ada penggembala kambing bernama Pak Abu. Dia setiap harinya hanya menggembalakan kambing saja. Seperti biasa mulai pagi-pagi, Pak Abu sudah berangkat ke padang ilalang di pinggir kota Bagdad dan baru kembali ketika matahari terbenam. Maka kambingnya gemuk-gemuk dan bertambah banyak. Dengan sabar Pak Abu menunggu kambing yang digembalakan di padang ilalang tadi sambil bernyanyi.‟ Pada data di atas dikutipkan mengenai nilai keistiqomahan, yaitu yang terdapat pada sifat Pak Abu penggembala kambing di Kota Bagdad, ia mempunyai sifat yang tekun, sabar dan jujur, terbukti pada kutipan Kaya padatane wiwit esuk umun-umun, pak Abu wis budhal menyang ara-ara ing pinggir kutha Bagdad lan lagi mulih nalika srengenge angslup. Mula wedhuse lemu-lemu lan saya suwe saya tambah akeh. Kanthi sabar pak Abu tlaten nunggoni wedhus kang dingon ana ing ara-ara mau „Seperti biasa mulai pagi-pagi, Pak Abu sudah berangkat ke padang ilalang di pinggir kota Bagdad dan baru kembali ketika matahari terbenam. Maka kambingnya gemuk-gemuk dan bertambah banyak. Dengan sabar Pak Abu menunggu kambing yang digembalakan di padang ilalang tadi‟, hal itu membuktikan keistiqomahan (ketekunan dan kesabaran) yang terdapat diri Pak Abu. Sikap jujur, tekun dan sabar terbut yang pada akhirnya mengantarkan Pak Abu menjadi seorang kepercayaan Raja di Bagdad. Jadi, Sikap tekun, jujur, dan sabar itulah yang harus diinternalisasi ke dalam diri kita. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
188
6) Jujur dan Beriman pada Allah Kejujuran merupakan bagian dari iman. Seseorang yang benar-benar beriman kepada Tuhan dalam kehidupannya akan selalu jujur, walaupun itu akan menyakitkannya sekalipun. Seseorang yang beriman tidak akan mau berbohong atau menipu apalagi melakukan tindak korupsi atau hal-hal lain yang dilarang oleh syariat agama, karena dia percaya bahwa semua perbuatannya di dunia ini kan mendapat balasannya di akhirat. Oleh karena itu, orang yang beriman akan takut melanggar larangan Allah atau melakukan perbuatan dosa, karena dia percaya bahwa di akhratnya nanti akan mendapatkan balasan berupa siksaan Tuhan. Jadi, kejujuran sangat ditentukan oleh keimanan seseorang kepada Tuhan dan hari akhir atau pembalasan. Berikut ini ada penggalan kutipan yang dapat diambil nilai-nilai kejujuran dan keimanan yang terdapat pada sebuah cerita pendek yang berjudul Tukang Angon Wedhus. Sang raja, kula mboten wantun nyade menda punika dhumateng panjenengan, ingkang sepindhah amargi menda punika sanes gadhahan kula. Kaping kalih senaosa bendara kula mboten mangertosi nanging Gusti Allah ingkang mangertosi amargi Maha Mirsani lan Maha Mirengaken. Dados nuwun sewu sang raja, kula langkung ajrih paukumanipun Gusti Allah ing akhirat tinimbang paukuman panjenengan ingkang wonten ing ndonya punika,” jlentrehe pak Abu. Sang raja kang midhanget wangsulane pak Abu katon kaget lan gumun amarga dheweke ora ngira yen ing jaman saiki isih ana pawongan kang temen-temen jujur kaya ngono.[PS/ TAW] „Sang raja, saya tidak berani menjual kambing ini kepada baginda, yang pertama karena kambing ini bukan milik saya. Kedua, walaupun juragan saya tidak mengetahui akan tetapi Allah yang mengetahui karena Maha Melihat dan Maha Mendengarkan. Jadi mohon maaf sang raja, kula lebih takut pada hukuman Allah di akhirat daripada hukuman baginda di dunia ini,” kata Pak Abu. Sang raja yang mendengar jawaban Pak Abu terlihat terkejut dan terheran karena dia tidak mengira kalau dizaman sekarang masih ada orang yang benar-benar jujur seperti itu.‟ Pak Abu merupakan seorang tokoh yang patut diteladani. Dia mempunya sifat jujur dan keimanan yang kuat kepada Tuhan. Pak Abu walaupun hanya seorang yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
189
disuruh menggembalakan kambing juragannya, tetapi Pak Abu adalah sosok orang yang jujur. Hal itu terbukti ketika sang raja ingin menguji kejujuran Pak Abu dengan berpura-pura ingin membeli kambing yang digembalakan Pak Abu, tetapi Pak Abu tidak mau menjual kambing itu tanpa seizin dari juragannya. Hal itu menunjukan sifat jujur Pak Abu. Kalau saja Pak Abu bukan orang yang jujur, Pak Abu bisa saja menjual kambing milik juragannya itu dan mengambil semua uang hasil jual kambuing tersebut. Keimanan yang kuat kepada Tuhan juga dicontohkan oleh tokoh Pak Abu. Ketika Pak Abu menolak permintaan sang Raja yang ingin membeli kambing yang digembalakan Pak Abu. Sang raja mengancam akan menghukum Pak Abu apabila dia tidak mau menjual kambing kepadanya. Namun Pak Abu tetap pada pendiriannya, yaitu tidak mau menjual kambing milik juragannya kepada sang Raja tanpa sepengetahuan/persetujuan pemiliknya, walaupun Pak Abu diancam akan dihukum. Pak Abu berkata kepada sang Raja, “Sang raja, saya tidak berani menjual kambing ini kepada baginda, yang pertama karena kambing ini bukan milik saya. Kedua, walaupun juragan saya tidak mengetahui akan tetapi Allah yang mengetahui karena Maha Melihat dan Maha Mendengarkan. Jadi mohon maaf sang raja, kula lebih takut pada hukuman Allah di akhirat daripada hukuman baginda di dunia ini”. Hal tersebut merupakan bukti keimanan yang teguh kepada Tuhan yang terdapat pada diri Pak Abu. Mengetahui sifat jujur dan iman yang kuat pada diri Pak Abu, sang raja justru akan memberikan penghargaan kepada Pak Abu. Begitulah buah daripada kejujuran dan keimanan yang kuat. Kejujuran sangat didukung oleh keimanan seseorang. Iman yang kuat dan kejujuran akan dapat menumpas KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) yang merajalela di negeri ini. 7) Bersyukur Bersyukur merupakan salah satu tanda keiman seseorang kepada Tuhan. Bersyukur atas apa saja yang dianugrahkan Tuhan kepada kita akan menjadikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
190
hidup ini terasa indah dan menyenangkan, tidak ada perasaan iri dan buruk sangka pada sesama dan Tuhan. Dalam ajaran Islam juga dijelaskan, “Sesungguhnya jika kamu (manusia) mau bersyukur, niscaya Aku (Allah) akan menambahkan nikmat kepada manusia, tetapi jika kamu mengingkari nikmat-Ku (nikmat Allah), maka pasti azab-Ku (Allah) sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7). Berikut ini dikutipkan nilai pendidikan religius mengenai sikap bersyukur atas apa yang dianugerahkan Tuhan kepada hamba-Nya, yang terdapat dalam WB yang berjudul Waluyo sing Loma. Mbok Darso senajan klebu uwong sekeng, nanging uripe ora nggrangsang. Entuk asil sethithik utawa akeh tetep disyukuri. Ora jeleh-jeleh Mbok Darso tansah mituturi anak ragile mau amrih bisa dadi bocah utama. Becik kelakuane. Seneng tetulung marang wong liya. Seneng “berbagi” utawa loma marang pepadha.[DL/WSL] „Bu Darso walaupun tergolong orang yang tidak mampu, akan tetapi hidupnya tidak suka meminta-minta. Mendapat penghasilan sedikit atau pun banyak tetap disyukuri. Tidak bosan-bosan Bu Darso selalu menasihati anak bungsunya supaya bisa jadi anak yang (berakhlak) mulia. Baik perilakunya. Suka menolong orange lain. Suka berbagi kepada sesama.‟ Bersyukur dalam BJ dapat dimaknai dengan narima ing pandum „menerima apa yang sudah ditentukan Tuhan‟. Apa saja yang dianugerahkan oleh Tuhan sudah sepantasnya kita terima dengan ikhlas, jangan sampai timbul perasaan suudhon atau menggerutu pada Tuhan. Sikap bersyukur juga dapat dilakukan dengan menggunakan apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita untuk hal-hal kebaikan. Pada kutipan data di atas rasa bersyukur ditunjukan oleh nasihat Bu Darso kepada putranya (Waluyo), bahwa dalam segala hal yang telah dianugrahkan Tuhan dalam kehidupan ini perlu disyukuri dan selalu menasihatkan kebaikan kepada putranya. b. Nilai Pendidikan Moral/Budi Pekerti Nilai pendidikan moral adalah suatu pedoman dalam melakukan sesuatu guna membedakan akhlak yang baik maupun yang tidak baik dalam menjalani kehidupan sehingga tercapai kesuksesan hidup dan kerukunan antarsesama. Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
191
mengenal nilai-nilai etika, yaitu mengenai nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang harmonis dan bermanfaat bagi orang lain, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Berikut ini dikutipkan data WB yang mengandung nilai pendidikan moral. 1) Ketekunan dan keteguhan Sikap tekun dan teguh merupakan nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Sikap tekun dan teguh
akan menjadikan seseorang yang tangguh dan sukses dalam
mewujudkan harapan dan cita-citanya. Berikut ini dicuplikkan menganai nilai-nilai moral yang mengasung pelajaran sikap tekun, teguh dan berbudi luhur yang terdpat dalam WB “Piwulang Saka Potelot”. “Piwulang kapindho, nalika potelot iku digunakake kanggo nulis, kadhangkala kudu kaendheg, amarga kudu ngongoti dhisik supaya landhep. Ongotan potelot mesthi wae ndadekake potelot ketaton lan lara. Nanging sawise diongoti, potelot bisa dadi landhep maneh lan kena kanggo nulis maneh. Semono uga kowe, sajroning urip iki aja wedi ketaton, aja wedi lara nalika nindakake samubarang sing apik lan migunani. Tampanana tatu lan lara kuwi minangka ujian sing ndadekake kowe luwih apik.”[PS/PSP] „Piwulang yang kedua, ketika pensil itu dugunakan untuk menulis, kadang kala harus berhenti, karena harus meraut dahulu supaya lancip. Rautan pensil pasti membuat pensil terluka dan sakit. Akan tetapi, sesudah dirauti, pensil bisa menjadi lancip lagi dan bisa untuk menulis lagi. Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini jangan takut terluka, jangan takut sakit ketika mengerjakan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Terimalah luka dan sakit itu sebagai ujian yang membuat kamu lebih baik.‟ Nilai ketekunan dan keteguhan diasosiasikan dengan gambaran sebuah pensil yang harus dirauti (diongoti atau dilancipi pakai silet) walaupun awalnya menyakitkan atau melukainya namun sesungguhnya pada akhirnya akan membuat pensil itu menjadi runcing sehingga dapat dipakai/nyaman digunkan untuk menulis. Apabila pensil itu tumpul dan dibiarkan saja (tidak dirauti) akibatnya tuliusan menjadi jelek bahkan tidak bisa dipaki untuk menulis. Begitu pula dengan seorang pelajar yang mempunyai kewajiban untuk tekun belajar agar dapat menjadi siswa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
192
yang pandai dan sukses dikemudian hari. Ketekunan dalam belajar, membutuhkan pengorbananan, baik itu waktu, tenaga, dan pikiran yang harus dicurahkan untuk belajar untuk mengasah pikirannya agar menjadi siswa yang pintar dan dapat meraih cita-cita. 2) Akhlak yang baik Sikap mau mengakui kesalahan sendiri, mau meminta maaf, dan memperbaiki kesalahannya merupakan bagian dari nilai-nilai budi pekerti luhur. Ketiga sikap itu secara teori kelihatannya mudah, namun dalam praktiknya memang berat pelaksanaannya. Berikut ini dinukilkan nilai pendidikan budi pekerti dari cerita Piwulang saka Potelot. “Iya. Terus piwulang katelu, potelot mesthi menehi awake dhewe kalodhangan nggunakake setip, kanggo mbusek lan ndandani tulisan-tulisan sing salah, supaya pener. Karana iku, ndandani salahe awake dhewe sajroning urip iki dudu tumindak sing ala. Malah, kuwi bisa ngrewangi awake dhewe supaya tetep ana ing dalan sing bener.[PS/PSP] „Ya. Piwulang yang ketiga, pensil pasti memberikan pada kita kadang kala menggunakan karet penghapus, untuk menghapus dan membenahi tulisantulisan yang salah, supaya (jadi) benar. Karena itu, memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini bukan merupkan pekerjaan yang buruk. Bahkan, itu bisa membantu kita supaya tetap di jalan yang benar.‟ Piwulang yang bisa diambil dari sebuah pensil yaitu ketika menulis kadangkala terdapat kesalahan tulis, apabila kita menulis dengan menggunakan pensil maka tulisan yang salah tersebut dapat dihapus dan selanjutnya dapat dibenahi. Dari ilustrasi tersebut menyiratkan suatu nilai pendidikan moral kepada pembaca, bahwa dalam kehidupan ini sebagai manusia pastilah pernah melakukan kesalahan. Untuk itu yang menandai manusia yang berbudi luhur adalah seseorang yang mau mengakui kesalahannya, menyesalinya, kemudian meminta maaf atau memohon ampunan, selanjutnya memperbaiki kesalahan-kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi. 3) Berbakti pada orang tua Orang tua adalah orang yang pertama tama berjasa besar dalam kehidupan kita. melalui orang tua kitalah, kita dapat dilahirkan dan hidup di dunia ini. Orang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
193
tualah yang pertama-tama memberikan kasih sayang kepada kita sebelum kita berbuat apa-apa selain hanya menangis. Orang tua selalu mencurahakn kasih sayangnya sepanjang masa kepada anaknya. Maka dari itu, sebagai anak harus berbakti kepada kedua oranga tua, karena kasih sayang Tuhan bergantung pada kasih sayang orang tua, ridho illahi juga bergantung oleh ridho dari kedua orang tua. Jadi jangan sampai kita berbuat durhaka kepada kedua orang tua kita dan menyia-nyiakan orang tua kita. Berikut ini ceritakan secara eksplisit pada tokoh Waluyo yang merupakan seorang anak yang sangat berbakti kepada orang tuanya. Senajan Waluyo mono klebu bocah lugu, nanging pinter. Kejaba pinter, Waluyo kang wektu iki kelas enem SD, uga mujudake bocah kang mbangun miturut marang wong tuwane. Ya bab mau kang ndadekake bombong atine Mbok Darso, embokne Waluyo.[DL/WSL] „Meski Waluyo tergolong anak yang lugu, namun pintar. Selain pintar, Waluyo yang sekarang ini kelas enam SD, juga merupakan anak yang berbakti kepada orang tuanya. Itulah yang menjadikan rasa bangga Mbok Darso, ibunya Waluyo.‟ Mungguhing Waluyo, pituture Embokne mau ora mung mlebu kuping kiwa metu kuping tengen. Nanging rumesep ing ati.[DL/WSL] „Menurut Waluyo, nasihat ibunya tadi tidak hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan (tidak diperhatikan). Akan tetapi masuk dalamm hati (diperhatikan dan dipahami).‟ Pada cuplikan cerita Waluyo sing Loma di atas dituliskan secara eksplisit tokoh Waluyo yang mempunyai sifat yang berbakti kepada ibunya (Waluyo mujudake bocah kang mbangun miturut marang wong tuwane). Waluyo adalah seorang anak yatim yang sangat berbakti kepada ibunya, apa yang dituturkan oleh ibunya selalu ditaati oleh Waluyo. Tokoh seperti waluyo sangat baik untuk diteladani semua orang, oleh karena ini merupakan cerita untuk anak WB sehingga anak-anak (para siswa)perlu mencontoh tokoh Waluyo yang menampilakan sikap-sikap baktinya kepada orang tua, berbuat baik kepada sesama, dan suka menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
194
4) Kemandirian Sikap hidup mandiri diperlihatkan oleh tokoh Nisa (naka SD) dalam cerita berjudul Sega Kuning (DL.44/ 30-03-2013) dalam rubrik WB di majalah Djaka Lodang. Berikut kutipan data yang mendidik sikap mandiri sejak dari kecil. …mengko bathine bisa paro edhang lan bebathen saka sega kuning iku mengkone bisa koktabung dhewe. Nanging syarate yen sore kowe kudu ngrewani ibu ngrajang tempe sing kanggo lawuhe. Priye?” “Sip!” Nisa setuju. Dina-dina candhake saben budhal sekolah Nisa mesthi nyangking sega kuning rong tas kresek gedhe sing isine ora kurang saka 60 wungkus, dititipake ing kantin sekolah. … Najan kesel merga saben sore kudu ngrewangi ngrajang tempe lan bumbu, nanging Nisa seneng. Sebab tabungane saiki wis tambah kandel lan yen butuh apa-apa ora perlu nyuwun Ibu maneh. Nisa wis bisa nyukupi kebutuhane dhewe saka bebathen olehe dodol sega kuning. Nanti keuntungannya bisa dibagi duadan keuntungan dari menjual nasi kuning itu yang nantinya bisa kamu tabung. Akan tetapi, syaratnya kalau sore kamu harus membantu ibu memotong-motong tempe untuk lauknya. Bagaimana?” “Sip!” Nisa setuju. Hari-hari berikutnya, setiap berangkat ke sekolah Nisa selalu membawa dua tas kresek besar yang berisi nasi kuning yang tidak kurang dari enam puluh bungkus, dititipkan di kantin sekolah. … Meskipun, lelah karena setiap sore harus membantu memotong tempe dan bumbu, tetapi Nisa senang. Sebab, tabungannya sekarang sudah semakin banyak dan kalau butuh apa saja tidak perlu meminta uang lagi pada Ibunya. Nisa sydah bisa mencukupi kebutuhannya sendiri dari keuntungan hasil menjual nasi kuning. Nilai-nilai yang harus dihindari 5) Serakah Serakah adalah suatu sikap mengambil sesuatu/hak yang bukan miliknya. Serakah sama saja dengan merampas hak milik orang lain. Serakah juga menandakan sikap tidak puas dengan apa yang dimiliki atau suatu sikap tidak mau bersyukur. Sikap serakah tidak boleh ditiru dan harus dihilangkan, karena akan dapat merugikan orang lain atau bahkan akan mencelakakan diri sendiri, seperti pada cuplikan cerita commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
195
Mulabukane Sapi dadi Kewan Ingon-ingonan „Awalmula Sapi menjadi Hewan Peliharaan‟ di bawah ini. He, Pak Tani. Ayo pasrahna utegmu marang aku saiki uga. Yen ora gelem klakon tak sruduk nganggo sunguku sing lancip iki,” kandhane sapi karo mamerake sungune. [DL/MSDKI] „Hai, Pak Tani. Serahkan pikirannu kepadaku sekarang juga. Kalau tidak mau akn saya tanduk pakai tandukku yang lancip ini,” kata sapi sambil memperlihatkan tanduknya.‟ Pada cerita ini, dikisahkan ada seekor sapi yang sombong dan serakah. Dia menyombongkan badannya yang besar dan tenaganya yang kuat. Dia juga menginginkan sesuatu yang bukan hak dia, yaitu ingin merampas otak/akal manusia. Namun karena kebodohannya dia sendiri yang akhirnya ditaklukkan oleh manusia dengan menggunakan akalnya. Itulah akibat jika tidak mau mensyukuri atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan dengan berbuat serakah. Jadi, melalui cerita tersebut pembaca (pelajar/siswa) dapat mengambil pelajaran bahwa menjadi manusia harus bersyukur atas yang telah dianugrahkan Tuhan dan jangan berbuat serakah. 6) Julig/licik Julig merupakan sikap curang atau menipu untuk mendapatkan hal yang diinginkan. Sikap licik ini tidak boleh ditiru, baik itu dalam kehidupan nyata maupun dalam suatu kompetisi. Sikap julik atau tidak sportif dapat merenggangkan bahkan memutus solidaritas persahabatan. Berikut ini contoh perbuatan julig yang diperankan oleh macan dalam cerita Golek Keadilan. Kowe aja urik, lho can. Mau kowe wis janji ora bakal munasika aku yen kowe takluwari saka krangkeng. Nanging bareng wis klakon bebas kowe banjur blenjani janjimu. Kuwi jenenge urik. Ora adil.[DL/GK] „Kamu jangan licik. Tadi kamu sudah berjanji tidak akan memangsa saya kalau kamu saya bebaskan dari kurungan. Tetapi sesudah bebas kamu kemudian mengingkari janjimu. Itu namanya curang/licik. Tidak adil.‟ Pada cerita tersebut macan yang terkurung oleh kerangkeng jebak mengiba kepada kera agar kera mau menolong melepaskannya dari kurungan dengan membukakan kerangkeng. Macan berjanji setelah dapat keluar dari kurungan tersebut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
196
tidak akan memangsa si kera. Namun setelah macan berhasil dibebaskan dari kerangkeng, dia berbuat licik dan melanggar janjinya, dia berusaha menerkam si kera untuk dimangsa, ungtung nya si kera sigap dan segera menghindar. Perbuatan macan seperti itulah dapat dikatakan bersifat julig. Sikap seperti itu tidak boleh ditiru karena dapat dikatakan sebagai sikap munafik, selain dapat memecahkan persahabatan juga orang lain tidak akan percaya lagi pada kata-katanya. 7) Pendendam Sikap balas dendam merupakan sikap yang tidak terpuji, selain dapat memutus persaudaraan juga dapat merugikan diri sendiri yaitu menambah penyakit hati. Dalam agama pun balas dendam tidak dianjurkan abahkan dilarang. Contoh sikap pendendam diperlihatkan oleh tokoh kancil yang balas dendam kepada kera, dalam cerita Golek Keadilan berikut ini. Satemene kancil ya ngerti yen Gindhul ora pantes dadi mangsane macan. Wong wis keraya-raya mitulungi kok diwales kaya kuwi. Nanging rehne kancil isih mangkel karo Gindhul si kethek iku, dheweke wegah aweh keputusan sing adil. Mula keputusane mung digawe ngambang.[DL/GK] „Sesungguhnya kancil mengerti kalau Gindhul tidak pantas jadi korban mangsa harimau. Sudah bersedia menolong tapi dibalas seperti itu. Akan tetapi kancil masih jengkel pada Gindhul si kera itu, dia tidak mau memberi keputusan yang adil. Maka keputusannya hanya dibuat tidak jelas.‟ Pada cerita Golek Keadilan, ketika itu Gindhul si kera ingin mencari keadilan dengan meminta tolong kepada kancil untuk memberikan peradilan atas kasusnya (kera yang akan dimangsa oleh macan, padahal macan sebelumnya sudah berjanji kalau sudah dibebaskan dari kuringan tidak akan memangsa si kera). Kancil yang notabene masih menyimpan perasaan kesal terhadap kera karena dahulu dia pernah ditipu oleh kera, masih menyimpan dendam. Kancil yang dimintai tolong oleh kera untuk memberikan keadilan, dia tidak mau memberikan keputusan yang adil, keputusannya hanya dibuat ngambang tidak jelas. Sikap dendam seperti itulah yang akan merenggangkan persahabatan, dan akan menimbulkan permusuhan yang tiada henti-hentinya. Dalam hidup ini pun tidak akan menjadi tenteram jika diliputi oleh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
197
rasa dendam dan permusuhan. Pesan yang bisa diambil dari cerita ini, jangan pernah menyimpan rasa dendam, hilangkan perasaan dendam. 8) Jangan sombong dan serakah Pada cerita Mulabukane Sapi dadi Kewan Ingon-ingonan walaupun merupakan cerita dongeng, namun juga dapat diambil suatu pelajaran yaitu jangan sampai menjadi orang yang serakah dan sombong karena hal itu yang akan mencelakakan dirinya sendiri. Hal itu dapat dijadikan sebagai pengalaman dan nilai pendidikan sejarahnya. Berikut kutipan mengenai sifat sombong dan serakah yang diperankan oleh tokoh Sapi yang justeru mencelakakan dirinya sendiri. “He, Pak Tani. Ayo pasrahna utegmu marang aku saiki uga. Yen ora gelem klakon taksruduk nganggo sunguku sing lancip iki,” kandhane sapi karo mamerake sungune. „Hai, Pak Tani. Mari serahkanlah akalmu kepadaku sekarang juga. Kalau tidak akan kutanduk pakai tandukku yang lancip ini,” kata sapi sambil memamerkan tanduknya. …. Suwe-suwe sapi krasa yen dheweke wis dipaeka dening Pak Tani. Dheweke ngrerepa njaluk pangapura. Nanging Pak Tani sing rumangsa keweden kanggo nguculake sapi mung kandha: “Wis kowe melua aku wae. Kabeh panganmu taktanggung. Dadi kowe raperlu rekasa golek pangan dhewe.” Sapi pungkasane manut, tinimbang mati keluwen. Sebab kanthi awak sing dicencang kaya iku dheweke ora bisa bebas golek pangan kaya biyen. Wiwit kuwi sapi dadi ingon-ingonane manungsa. „Lama-lama sapi merasa kalau dia sudah ditaklukkan oleh Pak Tani. Dia merengek minta ampun. Namun, Pak Tani yang merasa ketakutan untuk melepas sapi kembali bebas, hanya berkata: “Sudah kamu ikut saya saja. Semua kebutuhan makanmu saya yang menanggungnya. Jadi, kamu tidak usah susah-susah mencari makanan sendiri.” Sapi akhirnya menurut, daripada mati elaparan. Sebab dengan badan yang terikat seperti itu, dia tidak bisa bebas mencari makan seperti dulu. Mulai sejak saat itu sapi menjadihewan peliharaan manusia. Seperti itulah kisah singkat seekor sapi yang sombong dan serakah dengan mengandal-andalkan kekuatan fisiknya, dia ingin menguasai segalanya termasuk manusia yang ingin ditaklukkan dan ingin menjadi rajanya hewan dengan keinginan merampas
otak/akal
manusia.
Namun
justeru
commit to user
karena
kesombongan
dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
198
keserakahannya itulah, sapi dapat diakali dan ditaklukkan oleh manusia menggunakan akalnya yang cerdik. Akhirnya sapi justru tunduk patuh menjadi hewan peliharaan manusia. Dari situlah, dapat diambil nilai pendidikan, jangan pernah kita menjadi manusia yang sombong, sok penguasa, dan serakah, dan jangan semenamena kepada sesama dengan mengandal-andalkan kekuatannya dan kekuasaannya. Dengan sifat-sifat seperti itu, bukannya harga diri dan kewibawaan yang diperoleh, justeru itu akan membuat kita dibenci dan dijauhi oleh orang lain dan tidak mempunyai wibawa. c. Nilai Pendidikan Sosial Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan kelompok dalam ikatan kekeluargaan antarindividu satu dengan lainnya. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial) karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitasaktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antarperorangan, antarkelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Nilai sosial sebagai nilai yang membangun rasa kebersamaan, saling membantu, menghargai, menghormati, dan menyayangi satu sama lain sehingga mewujudkan kerukunan antarsesama manuasia. Jadi nilai sosial merupakan kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam hidup bermasyarakat/sosial. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
199
1) Saling menasihati dalam kebaikan Sikap saling menasihati perlu dilakukan dalam kehidupan bersama untuk menunjang kehidupan yang lebih baik dengan cara saling mengingatkan dan memberi nasihat. Orang yang baik adalah orang yang mau mengingatkan akan kekurangan kita dan mau memberikan perbaikan pada diri kita. Berikut ini adalah contoh sikap memberi nasihat yang baik dari seorang nenek kepada cucunya melalui cerita Piwulang saka Potelot. Ing sawijining dina, simbah putri kang lagi nyerat layang, menehi pitutur marang putune, “MBah Putri pengin kowe bisa nyinaoni lan mangerteni piwulang saka potelot, nalika kowe wis gedhe mbesuk.” Kanthi mesem simbah mangsuli,“Ngene lho le, potelot iku ngandhut limang piwulang sing bisa nentremake awakmu, yen kowe tansah ngugemi lan nindakake piwulang-piwulang kasebut, sajroning uripmu.” [PS/PSP] „Suatu hari, nenek yang baru menulis surat, memberi nasihat kepada cucunya, “Nenek ingin kamu bisa belajar dan mengerti piwulang yang dapat diambil dari pensil, ketika kamu sudah besar nanti.” Sambil tersenyum neneknya menjelaskan, “Begini Cu, pensil itu mengandung lima piwulang yang bisa menentramkan kamu, kalau kamu percaya dan melaksanakan piwulang-piwulang tersebut, selama hidupmu.‟ Pada kutipan cerita Piwulang saka Potelot di atas sikap memberi nasihat dicontohkan oleh nenek kepada cucunya melalui pelajaran yang bisa diambil dari sebuah pensil (menehi pitutur marang putune). Saling memberikan nasihat berguna sebagai benteng agar selalu pada jalan yang benar. 2) Peduli dan tolong menolong Peduli dan suka menolong menunjukan sikap atau jiwa patriotisme. Sikap peduli adalah sikap bisa saling merasakan kesusahan ataupun derita yang dirasakan orang lain. Sikap peduli menunjukan kasih sayang kita kepada sesama. Sikap peduli juga merupakan dasar atau landasan sikap tolong menolong. Sikap tolong menolong dapat memperkuat tali persaudaraan. Untuk itulah sikap peduli dan tolong menolong harus dibuyakan dalam kehidupan bersama baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupan di masyarakat. Berikut ini dicuplikakan cerita Sapa sing Kanca Sejati „Siapa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
200
yang Teman Sejati‟ dan cerita Waluyo sing Loma yang mengandung nilai kepedulian dan jiwa tolong menolong. Weruh wit kuwi krasa lara, manuk Platuk kuwi banjur njlentrehake, “Aku weruh sajroning awakmu ana uler, dakthotholi ben metu. Merga yen ora dakthotholi, awakmu bisa dadi lara. Padha-padha, pancen wis dadi titahe Gusti yen saben makhluk kanthi kabisane dhewe-dhewe kudu gelem tulung-tinulung,” wangsulane manuk Platuk karo notholi wit sing dipencloki. [PS/SSKS] „Melihat pohon itu merasakan sakit, burung Pelatuk itu kemudian menjelaskan, “Saya melihat disekujur tubuhmu ada ulat, saya patuki agar keluar. Karena kalau tidak saya patuki, kamu bisa jadi sakit. Sama-sama, memang sudah menjadi kodrat Ilahi kalau setiap makhluk dengan kesanggupannya sendiri-sendiri harus mau tolong-menolong,” jawab burung Pelatuk sambil mematuki pohon yang dihinggapi.‟ Pada kutipan cerita Sapa sing Kanca Sejati, sikap peduli dan suka menolong dicontohkan oleh burung pelatuk. Awalnya burung pelatuk mengetahui kalau di dalam tubuh si pohon ada ulat yang menggerogori tubuh pohon. Melihat hal tersebut, burung pelatuk merasa kasihan karena pohon bisa mati kering apabila tubuhnya terus dimakan oleh ulat. Selanjutnya burung pelatuk merasa peduli akan keselamatan si pohon kemudian hinggap di pohon tersebut untuk menolong si pohon. Burung pelatuk segera mematuki ulat yang berada di dalam tubuh pohon. Otomatis si pohon merasa kesakitan. Pohon pun justru kesal dan marah kepada burung pelatuk, kemudian mengusirnya. Burung pelatuk berusaha menjelaskan awal perkara tersebut, namun si pohon tetap tidak peduli dengan alasan burung pelatuk. Kemudian burung pelatuk pun pergi dari pohon itu. Beberapa waktu kemudian pohon itu benar-benar terserang oleh banyaknya ulat yang menggerogoti tubuhnya. Pohon tersebut hampir saja mati. Pohon baru tersadar akan kata-kata burung pelatuk dahulu dan dia menyesali kesalahannya yang telah mengusir burung pelatuk yang tulus ikhlas menolongnya. Setelah itu burung pelatuk hinggap kembali ke pohon tadi dan berusaha menolong pohon yang mau mati tersebut dengan memakan ulat-ulat yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
201
menyerangnya. Akhirnya pohon tersebut kembali sehat dan bersemi. Pohon pun mengucap syukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada burung pelatuk. Kemudian keduanya menjadi sahabat sejati saling menolong dan memberikan bantuan. Begitulah pelajaran atau nilai pendidikan yang dapat dipetik dari cerita Sapa sing Kanca Sejati, yang mengandung nilai sikap peduli dan tolong menolong. Pada cuplikan cerita Waluyo sing Loma di bawah ini juga mengandung nilai kepedulian dan tolong menolong antarsesama, yang diperankan oleh tokoh Waluyo seorang bocah yang masih duduk di kelas VI SD. Luwih utama maneh menawa awake dhewe tansah perduli lan aweh kawigaten marang wong liya. Gelem weweh marang pepadha. Sing jenenge weweh mono ora kudu menehi dhuwit utawa barang sing larang regane.[DL/WSL] „Lebih utama lagi apabila kita selalu peduli dan perhatian kepada orang lain. Mau memberi kepada sesama. Yang namanya memberi itu tidak harus memberikan uang atau barang yang mahal harganya‟ Adhuh....mesakake banget ibu sepuh kae. Lha nek ing sadawaning laku bis-e kebak kaya ngene terus piye? Kurang begjane bisa semaput....,” ngono batin atine Waluyo nalika nyawang ibu sepuh bola-bali kedhesuk maju lan kedhesuk mundur dening penumpang liyane. Ora taren karo Embokne, Waluyo terus ngadeg. Marani ibu sepuh mau. Tangane digandheng diajak menyang kursi lungguhe. Ibu sepuh mau diaturi lenggah. Jejer lungguh karo Embokne.[DLWSL] „Aduh, kasihan sekali ibu tua itu. Kalau di sepanjang jalan, bisnya penuh seperti ini, bagaimana? Bisa-bisa jadi pingsan,” begitu suara hati Waluyo ketika melihat ibu tua yang beberapa kali terdesak maju dan terdesak mundur oleh penumpang lainnya. Tidak berunding (dulu) dengan ibunya, Waluyo terus berdiri. Menghampiri ibu tua tadi. Tangannya digandeng diajak ke ke kursi tempat duduknya. Ibu tua tadi dipersilakan dudu. Berdampingan dengan ibunya.‟ Waluyo merupakan anak yang sholeh, patuh kepada orang tuanya, baik hati dan suka menolong sesama yang membutuhkan. Ketika itu Waluyo sedang diajak oleh ibunya berkunjung ke rumah pamannya dengan naik bus umum. Ketika itu bus yang ditumpangi Waluyo dan ibunya sedang penuh sesak oleh penumpang. Waluyo commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
202
melihat ada seorang nenek yang tidak mendapat tempat duduk dan terpaksa harus berdiri. Melihat hal tersebut Waluyo tersentuh hatinya dan ingin menolong nenek tersebut dengan memberikan jatah tempat duduknya untuk nenek itu. Dari pelajaran tersebut, kita melihat sosok Waluyo sebagai seorang anak yang baik hati, peduli, dan suka menolong sesama. Sikap dan watak Waluyo tersebut penuh dengan jiwa sosial yang perlu dicontoh dan dijadikan teladan untuk para pembaca karya sastra khususnya para siswa. 3) Adil dan bijaksana dalam memberi putusan Sikap adil dan bijaksana harus dibina sejak diusia dini. Sikap adil adalah tidak berat sebelah atau memihak pihak yang disukai, yang salah harus dikatakan salah dan yang benar dikatakan benar. Sikap adil mendidik seseorang jujur dan tidak berlaku KKN (korupsi kolusi nepotisme). Perlakuan adil tidak harus memberikan sesuatu dengan sama rata, tetapi sikap adil adalah memberikan hak secara proposional atau menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Berikut ini adalah contoh perilaku adil yang diperlihatkan oleh tokoh Beruk yang memberikan keputusan suatu perkara secara adil. Rehne aku kongkon gawe keputusan sing adil, miturutku iki cukup adil. Saiki macan wis bali ing kahanane sakawit. Dadi jarna wae dheweke kaya iku. Palange ora usah dibukak, thek. Ayo saiki ditinggal wae. Ben dheweke tetep ana kono,” kandhane beruk marang kethek klawu.[DL/GK] „Katanya saya disuruh membuat keputusan yang adil, menurutku ini cukup adil. Sekarang harimau sudah kembali pada keadaanya semula. Jadi biarkan saja dia seperti itu. Kuncinya tidak usah dibuka, Ra. Mari sekarang ditinggal saja. Biar dia tetap ada di situ,” kata beruk pada kera abu-abu.‟ Pada kutipan cerita Golek Keadilan terdapat nilai pendidikan sosial yang mengajarkan mengenai nilai keadilan dan sikap bijaksana dalam memberikan keputusan. Sikap adil dan bijaksana tersebut dicontohkan oleh Beruk dalam menangani sebuah perkara kemudian memberikan keputusan yang adil atas perkara tersebut. Sikap adil dan cerdik tersebut dapat menolong si kera dari upaya licik macan yang kan memangsanya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
203
Sikap adil itulah yang harus menjadi pembelajaran untuk pembaca agar senatiasa menegakkan keadilan dan memberantas tindak KKN. d. Nilai Pendidikan Budaya Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan , simbol-simbol dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang terjadi. 1) Sopan santun berunggah-ungguh (tatakrama) Sopan santun dalam budaya Jawa dapat dilakukan dengan menerapkan tingkat tutur atau unggah-ungguh secara tepat kepada mitra tutur. Unggah-ungguh merupakan adat soapn santun berbahasa Jawa. Adat sopan santun inilah yang akan mencerminkan perilaku penggunannya. Unggah-ungguh bahasa Jawa secra umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu unggah-ungguh ngoko dan unggah-ungguh krama. Unggah-ungguh ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon ngoko. Unggah-ungguh ngoko biasa digunakan oleh penutur dan mitra tutur yang suda akrab, senior kepada junior, atau yang mempunyai status sosial tinggi kepada mitra tutur yang status sosialnya lebih rendah, biasanya juga digunakan pada situasi-situasi non-formal/tidak resmi. Sedangkan Ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa atau tingkat tutur bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama. Unggah-ungguh krama dipakai pakai pada situasi-situasi resmi seprti upacara adat, digunakan oleh orang tua kepada yang lebih muda, dan orang belum kenal/akrab. Unggah-ungguh krama dipakai untuk menghormati mitra wicara dengan menggunakan bahasa yang halus dan menunjukan rasa hormat kepada mitra bicara. Berikut ini dicuplikan mengenai penggunaan unggah-ungguh berbahasa Jawa yang sopan antara orang yang lebih tua (nenek) kepada cucunya. Penggunan ungguh-ungguh berbahasa Jawa ini dipakai oleh penulis untuk mendidik atau memberikan contoh nilai kesopan santunan anak muda kepada yang lebih tua. “Ya ngono iku, piwulang sing bisa dijupuk saka potelot. Kaya sing wis dakandharake mau, yen kowe bisa nindakake lan ngugemi piwulang-piwulang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
204
kuwi, uripmu bakal luwih migunani,” simbah putri mungkasi critane karo menerake anggone lenggah. “Inggih, mBah. Dakusahakake supaya saged ngugemi lan nindakaken piwulang-piwulang saking potelot menika, “kandhane putune ngyakinake. [PS/PSP] „Begitulah, piwulang yang bisa diambil dari pensil. Seperti apa yang telah saya jelaskan tadi, kalau kamu bisa melaksanakan dan percaya pada piwulang-piwulang itu, hidupmu akan berguna,” nenek mengakhiri ceritanya sambil membenahi duduknya. “Ya, Nek. Saya usahakan supaya bisa sungguh-sungguh dan melaksanakan piwulang-piwulang dari pensil tersebut,” kata cucunya meyakinkan.‟ Pada tuturan di atas terdapat penggunanan ragam unggah-ungguh ngoko yang dituturkan oleh nenek kepada cucunya. Penggunaan ragam ngoko oleh nenek kepada cucunya dilatarbelakangi oleh status nenek yang lebih tua daripada cucu, kedua karena digunakan pada situasi yang tidak resmi yaitu ketika berbicara di rumah pada situasi santai. Penggunaan unggah-ungguh krama dituturkan oleh cucu kepada neneknya. Penggunaan ragam krama ini menunjukan sikap sopan santun budaya Jawa oleh orang yang muda kepada yang lebih tua. Unggah-ungguh bahasa Jawa merupakan warisan budaya Jawa yang mestinya harus dilestarikan sebagai kekayaan budaya bangsa. Namun, realita di dalam era globalisasi sekarang ini, budaya berunggahungguh semakin tergilas oleh budaya manca, sehingga tak heran generasi muda sekarang ini sangat jarang yang masih atau bisa secara benar menerapkan unggahungguh bahasa Jawa. Hal tersebut sangat memprihatinkan kita semua sebagai generasi penerus bangsa ini. Untuk itulah dibebrapa bagian karya sastra Jawa sering diajarkan penggunaan unggah-ungguh bahasa Jawa dengan harapan dapat secara tidak langsung mengajarakan ungguh-ungguh bahasa Jawa kepada para pembacanya dan dapat melestarikan budaya Jawa khususnya kesopan-santunan berbahasa atau tatakrama. e. Nilai Pendidikan Historis Nilai pendidikan historis dapat membentuk sikap terhadap permasalahan yang dihadapi agar peristiwa-peristiwa pada masa lampau dapat dijadikan pelajaran. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
205
Nilai pendidikan historis dapat diambil melalui pengalaman-pengalaman atau peristiwa-peristiwa dalam cerita pada karya sastra, yang kemudian dijadikan suatu pelajaran agar dikehidupan mendatang dapat menjadi lebih baik. Pada WB ini terdapat nilai pendidikan sejarah seperti pada cerita Dongenge Simbah (PS.3/19-012013) yang mengisahkan sebuah cerita masa lalu pada zaman pascakemerdekaan RI 1945, yang dalam masa itu Belanda masih ingin kembali menguasai Indonesia setelah Jepang dikalahkan oleh Sekutu Amerika Serikat. Dalam cerita tersebut mengisahkan perjuangan
pada
masa
memperjuangkan
kemerdekaan
RI
sepenuhnya
pascaproklamasi kemerdekaan 1945. Berikut ini kutipan data dari rubrik WB pada majalah PS yang berjudul Dongenge Simbah. 1) Jiwa rela berkorban (nasionalisme) membela tanah air untuk merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. …Bapak kang kagungan jiwa nasionalisme uga milih nyingkir nalika Kecamatan Kedungjati Kabpaten Purwodadi dibroki Landa. Para pejuang kemerdekaan kapeksa mundur lan nganakake bumi angus. Bapak uga ngleksanakake ninggal pakaryan minangka Kepala Sekolah Rakyat. Omah saisine sarta bandha mirunggan kagungane ditinggal prung ngono wae. Beteke merga ngugemi prinsi jati diri ora kersa tembayatan karo penjajah Walanda kan kepengin njajah nadyan Indonesia wis merdika taun 1945. Mula banjur pecah perang kang sinebut perang kemerdekaan. Para pejuang padha ngangkat senjata ora nrimakake negarane dijajah maneh karo Landa. Perang kemerdekaan iki nuwuhake bebanten kang ora sethithik, nyawa bandha kang awujud apa bae musna kanggo nglabuhi negara lan bangsa. (PS.3/19-012013) „Bapak yang mempunyai jiwa nasionalisme juga memilih pergi ketika Kecamatan Kedungjati Kabupaten Purwodadi dimasuki Belanda. Para pejuang kemerdekaan terpaksa mundur dan membumi hanguskan tempat itu. Bapak juga berkorban harus meninggalakan pekerjaannya sebagai kepala sekolah rakyat. Rumah seisinya serta harta miliknya ditinggalkan begitu saja. Dengan maksud karena mengukuhi prinsip jati diri tidak mau kerjasama lagi dengan penjajah Belanda yang ingin menjajah lagi, walaupun Indonesia sudah merdeka tahun 1945. Maka kemudian terjadilah perang yang disebut perang kemerdekaan. Para pejuang semua mengangkat senjata tidak terima jika negara Indonesia dijajah lagi oleh Belanda. Perang kemerdekaan ini menimbulkan korban yang tidak sedikit, nyawa dan harta apa pun itu dikorbankan untuk membela negara dan bangsa (Indonesia). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
206
Dari kutipan data di atas dapat diambil hikmahnya, yaitu sebagai generasi penerus bangsa kita mempunyai kewajiban untuk mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia ini dengan hal-hal yang positif yang dapat mengharumkan citra nama bangsa Indonesia dikancah internasional dengan membawa prestasi-prestasi yang mebanggakan bangsa. Kita juga patut bersyukur atas kehendak dari Allah dan perjuangan para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini sehingga sekarang ini kita menjadi angsa yang merdeka. Tanpa pengorbanannya untuk mewjudkan Indonesia yang merdeka, mustahil kita akan menjadi bangsa yang besar dan merdeka seperti saat ini. 2) Meneruskan perjuangan para pahlawan, membangun negara dan mengisi kemerdekaan. “Aja padha nangis lakonana kahanan iki minangka laku prihatinmu. Besuk yen kowe wis gedhe peperangan mesthi wis ampung. Kowe kabeh kang bakal nggula wenthah negara, ngisi kamardikan, nerusake perjuangane leluhur para pejuang…”(PS.3/ 19-01-2013) „Jangan menangis, jalanilah keadaan ini sebagai laku tirakatmu. Besok kalau kamu sedah dewasa, perang pasti sudah berakhir. Kamu semua yang akan mengatur negara ni, mengisi kemrdekaan, meneruskan perjuangan para pejuang…‟ Dalam kutipan data di atas tersirat pesan kepada kita semua sebagai generasi penerus bangsa untuk mengisi kemerdekaan yang telah dperjuangkan oleh leluhur kita para pahlawan yang telah memerdekakan bangsa dan negara ini dari penjajahan. 3. Relevansi WB dengan Pembelajaran BJ Di Sekolah WB atau cerita pendek untuk anak-anak yang terdapat dalam majalah PS dan DL merupakan salah-satu alternatif bacaan sastra yang dapat digunakan sebagai bahan bacaan pada materi pelajaran bahasa Jawa di sekolah. Hal tersebut karena dalam WB selain menggunakan bahasa dan gaya cerita yang mudah dipahami oleh anak, juga banyak mengandung nilai-nilai edukatif seperti nilai religius, nilai pendidikan budi pekerti, nilai sosial, nilai budaya, dan historis yang sangat relevan untuk perkembangan diri anak/siswa didik. Mengingat hal tersebut WB dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
207
dimanfaatkan untuk meningkatkan minat dan motivasi membaca atau belajar anak didik di sekolah. Sejalan dengan beberapa argumen di atas WB dapat dijadikan sebagai salah satu acuan materi ajar dalam pembelajaran bahasa Jawa. Adapun bukti adanya relevansi WB dengan pembelajaran BJ di sekolah dapat dilihat pada kurikulum BJ berdasarkan Surat Keputusan dari Gubernur Jawa Tengah Nomor 423/5/5/2010 dan 423.5/27/2011 mengenai standar isi mata pelajaran muatan lokal BJ (SD, SMP, dan SMA) di sekolah materi ajar dan RPP, berikut ini. a. Relevansi WB dengan Pembelajaran BJ di SD/MI Berdasarkan kurikulum 2010 sesuai SK Gubernur Jawa Tengah Nomor: 423.5/5/2010 yang memuat Wacan Bocah No.
Kelas / Semester
1)
Kelas I Semester 2
2)
Kelas III Semester 2
3)
Kelas V Semester 2
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
MENDENGARKAN Mampu mendengarkan dan memahami berbagai wacana lisan sederhana (dongeng) dalam ragam bahasa tertentu. MEMBACA Mampu membaca dan memahami berbagai ragam teks bacaan melalui teknik membaca intensif, membaca indah, dan membaca huruf Jawa.
a. Mendengarkan pesan lisan dalam ragam ngoko dan ngoko alus. b. Mendengarkan dongeng binatang. a. Membaca dongeng atau cerita. b. Membaca indah (misal geguritan, tembang Pocung). c. Membaca kalimat sederhana berhuruf nglegena. a) Mendengarkan cerita rakyat. b) Mendengarkan tembang mijil.
MENDENGARKAN Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan melalui pembacaan teks cerita rakyat dan tembang macapat MEMBACA Mampu membaca dan memahami teks cerita anak, membaca indah dan membaca huruf Jawa commit to user
a) Membaca cerita anak. b) Membaca indah (misalnya geguritan).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
208
4)
MENDENGARKAN a) Mendengarkan cerita anak. Mampu mendengarkan dan Kelas VI b) Mendengarkan cerita memahami ragam wacana tokoh wayang Arjuna. Semester 1 lisan melalui pembacaan teks cerita anak dan cerita wayang. Standar kompetensi lulusan untuk SD/MI mata pelajaran mutan lokal bahasa
Jawa berdasarkan SK dan KD yang terdapat dalam standar isi di atas adalah sebagai berikut. 1) Mendengarkan Memahami wacana lisan yang didengar baik teks sastra maupun nonsastra dalam berbagai ragam bahasa berupa cerita teman, teks karangan, pidato, pesan, cerita rakyat, cerita anak, geguritan, tembang macapat, dan cerita wayang. 2) Membaca Menggunakan berbagai keterampilan membaca untuk memahami teks sastra maupun nonsastra dalam berbagai ragam bahasa berupa teks bacaan, cerita rakyat, percakapan, geguritan, cerita anak, cerita wayang, dan huruf Jawa. Berdasarkan standar isi (SI) dan standar kompetensi lulusan (SKL) mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa yang dipaparkan di atas terdapat relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa di SD. Relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa tersebut terdapat pada standar kompetensi aspek mendengarkan (nyemak) dan aspek membaca (maca) dan dispesifikasikan lagi pada kompetensi dasar. Kompetensi dasar pada tahap sekolah dasar (SD) lebih ditekankan pada pengenalan dan pemahaman mengenai WB. Untuk memperkuat argumen di atas, berikut ini juga dipaparkan mengenai SK, KD, dan indikator yang terdapat pada materi ajar / buku teks Wasita Utama Basa Jawa SD/MI dan wawancara langsung dengan guru bahasa Jawa yang menjelaskan adanya relevansi WB pada pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dasar. Kelas I Semester 2 Aspek Mendengarkan (Nyemak) – Wulangan 5 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami berbagai wacana lisan sederhana (dongeng) dalam ragam bahasa tertentu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
209
Kompetensi Dasar
: Mendengarkan dongeng binatang (fabel)
Indikator
: 1) Siswa memahami isi dongeng 2) Siswa dapat menceritakan kembali dongeng yang didengar 3) Siswa dapat menirukan suara, gerakan, dan perilaku tokoh dongeng
Aspek Mendengarkan (Nyemak) – Wulangan 6 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami berbagai wacana lisan sederhana (dongeng) dalam ragam bahasa tertentu Kompetensi Dasar
: Mendengarkan dongeng binatang (fabel)
Indikator
: 1) Siswa memahami isi dongeng 2) Siswa dapat menceritakan kembali dongeng yang didengar 3) Siswa dapat menirukan suara, gerakan, dan perilaku tokoh dongeng
Aspek mendengarkan (Nyemak) – Wulangan 7 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami berbagai wacana lisan sederhana (dongeng) dalam ragam bahasa tertentu Kompetensi Dasar
: Mendengarkan dongeng binatang (fabel)
Indikator
: 1) Siswa memahami isi dongeng 2) Siswa dapat menceritakan kembali dongeng yang didengar 3) Siswa dapat menirukan suara, gerakan, dan perilaku tokoh dongeng Kelas IV Semester 2
Aspek Membaca (maca) – Wulangan 6 Standar Kompetensi : Mampu membaca, mamahami teks sastra , dan membaca kalimat sederhana berhuruf Jawa Kompetensi Dasar
: Membaca teks sastra (dongeng)
Indikator
: 1) Siswa dapat menjawab pertanyaan bacaan 2) Siswa dapat menceritakan kembali isi bacaan secara urut dengan bahasa (dialek sendiri) 3) Siswa dapat meringkas isi bacaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
210
Kelas V Semester 2 Aspek mendengarkan (nyemak) – Wulangan 6 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan melalui pembacaan teks cerita rakyat dan tembang macapat Kompetensi Dasar
: Mendengarkan cerita rakyat
Indikator
: 1) Siswa dapat menyebutkan tokoh utama dan wataknya 2) Siswa dapat meringkas cerita rakyat dengan bahasa sendiri 3) Siswa dapat menceritakan kembali isi cerita secara singkat dengan menggunakan ragam bahasa tertentu
Aspek Membaca (maca) – Wulangan 7 Standar Kompetensi : Mampu membaca dan memahami teks cerita anak, membaca indah, dan membaca huruf Jawa. Kompetensi Dasar
: Membaca cerita anak
Indikator
: 1) Siswa dapat membaca intensif teks bacaan 2) Siswa dapat menjawab pertanyaan 3) Siswa dapat meringkas isi bacaan
Aspek mendengarkan (nyemak) – Wulangan 8 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan melalui pembacaan teks cerita rakyat dan tembang macapat Kompetensi Dasar
: Mendengarkan cerita rakyat
Indikator
: 1) Siswa dapat menyebutkan tokoh utama dan wataknya 2) Siswa dapat meringkas cerita rakyat dengan bahasa sendiri 3) Siswa dapat menceritakan kembali isi cerita secara singkat dengan menggunakan ragam bahasa tertentu
Aspek Membaca (maca) – Wulangan 9 Standar Kompetensi : Mampu membaca dan memahami teks cerita anak, membaca indah, dan membaca huruf Jawa. Kompetensi Dasar
: Membaca cerita anak
Indikator
: 1) Siswa dapat membaca intensif teks bacaan 2) Siswa dapat menjawab pertanyaan 3) Siswa dapat meringkas isi bacaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
211
Kelas VI Semester 1 Aspek mendengarkan (nyemak) – Wulangan 1 Standar Kompetensi : Mampu memahami ragam wacan lisan melalui pembacaan teks cerita anak dan cerita wayang Kompetensi Dasar
: Mendengarkan cerita anak
Indikator
: 1) Siswa dapat menjawab pertanyaan isi cerita 2) Siswa dapat menyebutkan amanat dari cerita anak yang didengarkan 3) Siswa dapat menceritakan kembali cerita yang telah didengarkan dengan menggunakan bahasa sehari-hari
Aspek mendengarkan (nyemak) – Wulangan 3 Standar Kompetensi : Mampu memahami ragam wacan lisan melalui pembacaan teks cerita anak dan cerita wayang Kompetensi Dasar Indikator
: Mendengarkan cerita anak : 1) Siswa dapat menyebutkan pokok cerita anak yang didengarkan 2) Siswa dapat menjelaskan watak tokoh dalam cerita secara lisan maupun tertulis 3) Siswa dapat menarik simpulan atau pesan yang terkandung dalam cerita.
Aspek mendengarkan (nyemak) – Wulangan 5 Standar Kompetensi : Mampu memahami ragam wacan lisan melalui pembacaan teks cerita anak dan cerita wayang Kompetensi Dasar
: Mendengarkan cerita anak
Indikator
: 1) Siswa dapat mencatat sifat tokoh dalam cerita 2) Siswa dapat menentukan tema cerita 3) Siswa dapat menuliskan kembali isi cerita dengan bahasa sendiri.
Untuk memperkuat argumen di atas berikut ini dideskripsikan mengenai hasil wawancara dengan guru SD kelas V dan VI pada tanggal 19 November 2013 yang menyatakan adanya relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa. Dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
212
wawancara tersebut informan menjelaskan bahwa dalam cerkak yang diajarkan di SD meliputi lima jenis yaitu fabel, dongeng, legenda, peristiwa, dan mitos. Informan juga menjelaskan bahwa ada relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa, sebagaimana yang tercantum dalam SK, KD, dan indikator dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), yang dipaparkan sebagai berikut. SK mendengarkan: Mampu mendengarkan, memahami wacana lisan melalui pembacaan teks cerita rakyat, dan tembang macapat. KD: Mendengarkan cerita rakyat. Indikator : Siswa mampu menyebutkan tokoh-tokoh dalam cerita rakyat. SK membaca: Mampu membaca dan memahami teks cerita anak, membaca indah, dan membaca huruf Jawa. KD: Membaca cerita anak. Indikator: Siswa mampu mencritakan kembali isi cerita anak dengan bahasanya sendiri. Selain itu juga dijelaskan bahwa dalam WB/cerkak sering kali mengadung nilai-nilai pendidikan seperti nilai kasih sayang, nilai kebersamaan, nilai tolongmenolong, nilai gotong royong (sosial). Kesimpulannya, terdapat relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dasar (SD) kelas I semester 2, kelas III semester 2, kelas V semester 2, dan kelas VI semester 1 yaitu pada kompetensi/aspek mendengarkan dan aspek membaca.
b. Relevansi WB dengan Pembelajaran Bahasa Jawa SMP/MTs Berikut ini tebel deskripsi kurikulum 2010 sesuai SK Gubernur Jawa Tengah Nomor: 423.5/5/2010, yang memuat mengenai standar isi mata pelajaran muatan lokal BJ di SMP No.
Kelas / Semester
1)
Kelas VII Semester 1
Standar Kompetensi MENDENGAR Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa. commit to user
Kompetensi Dasar a) Mendengarkan percakapan dalam berbagai kegiatan, misalnya percakapan dengan sebaya, guru, orang tua, dan orang yang dituakan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
213
b) Mendengarkan cerita teman tentang budi pekerti/pahlawan dalam ragam ngoko dan krama. c) Mendengarkan pengumuman tentang kegiatan di sekolah atau masyarakat. a) Membaca pemahaman MEMBACA bacaan sastra (cerita wayang Mampu membaca Ramayana) atau bacaan bacaan sastra, nonsastra nonsastra dengan tema dalam berbagai teknik tertentu. membaca, dan bacaan b) Membaca nyaring. berhuruf Jawa. c) Membaca indah geguritan dan tembang Durma.
3)
Kelas VII Semester 2
4)
Kelas VIII Semester 1
a) Membaca pemahaman MEMBACA bacaan sastra (cerita Mampu membaca kethoprak) atau bacaan bacaan sastra, nonsastra nonsastra dengan tema dalam berbagai teknik tertentu. membaca, dan bacaan b) Membaaca indah tembang berhuruf Jawa. macapat Megatruh. c) Membaca paragraf sederhana berhuruf Jawa. a) Mendengarkan legenda. MENDENGAR Mampu mendengarkan b) Mendengarkan iklan. dan memahami wacana lisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa. a) Membaca pemahaman MEMBACA bacaan sastra (cerita lanjutan Mampu membaca wayang Ramayana) atau bacaan sastra, nonsastra bacaan nonsastra dengan dalam berbagai teknik tema tertentu. membaca, dan bacaan b) Membaca indah geguritan berhuruf Jawa. dan tembang Asmaradana. c) Membaca paragraf berhuruf Jawa yang terdiri atas 5-7 kalimat. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
214
6)
Kelas VIII Semester 2
a) Membaca nyaring teks MEMBACA nonsastra. Mampu membaca bacaan sastra, nonsastra b) Membaca indah cerkak dan tembang sinom. dalam berbagai teknik c) Membaca dua paragraf membaca, dan bacaan berhuruf Jawa. berhuruf Jawa.
Standar Kompetensi Lulusan SMP/MTs Mata Pelajaran Muatan Lokal (Bahasa Jawa) Membaca Menggunakan berbagai keterampilan membaca untuk memahami teks sastra maupun nonsastra dalam berbagai ragam bahasa berupa teks bacaan, geguritan, tembang macapat, cerkak, cerita wayang, dan huruf Jawa. Pada standar isi mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa ini ditemukan adanya relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa di SMP. Relevansi tersebut juga dapat diketahui dari standar kompetensi lulusan untuk kompetensi dasar membaca di kelas VII semester 1, kelas VII semester 2, kelas VIII semester 1, dan kelas VIII semester 2. Selain SI dan SKL yang terdapat dalam kurikulum muatan lokal bahasa Jawa SMP sebagai bukti adanya relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa, juga diperkuat dengan terdapatnya materi ajar dalam buku teks Wasita Adi Basa Jawi SMP/SMPLB/MTs sebagai berikut. Kelas VII Semester I Aspek Membaca (maca) – Wulangan 1 Standar Kompetensi : Mampu membaca bacaan sastra, nonsastra dalam berbagai teknik membaca, dan bacaan berhuruf Jawa. Kompetensi Dasar
: Membaca pemahaman bacaan sastra atau bacaan nonsastra dengan tema tertentu.
Indikator
: 1) Mampu menyebutkan dan menuliskan topik bacaan 2) Menjawab dan mengajukan pertanyaan 3) Mampu menjelaskan karakter tokoh-tokoh cerita 4) Mampu menuliskan kembali bacaan keragam bahasa lain (ngoko ke krama) 5) Mampu menceritakan kembali baik lisan maupun tertulis dengan bahasa sendiri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
215
Aspek Mendengarkan (nyemak) – Wulangan 2 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa Kompetensi Dasar Indikator
: Mendengarkan cerita teman tentang budi pekerti /pahlawan dalam ragam ngoko dan krama : 1) Mampu mengungkapkan isi cerita teman secara lisan maupun tertulis dalam ragam bahasa Jawa 2) Mampu memberi tanggapan mengennai isi cerita yang didengar.
Semester II Aspek Membaca (maca) – Wulangan 6 Standar Kompetensi : Mampu membaca bacaan sastra, nonsastra dalam berbagai teknik membaca, dan bacaan berhuruf Jawa. Kompetensi Dasar
: Membaca pemahaman bacaan sastra atau bacaan nonsastra dengan tema tertentu.
Indikator
: 1) Mampu membaca wacana dengan lafal, intonasi, dan ejaan yang benar 2) Mampu membuat rangkuman isi bacaan 3) Mampu menceritakan kembali isi bacaan Kelas VIII Semester I
Aspek Mendengarkan (nyemak) – Wulangan 1 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa Kompetensi Dasar
: Mendengarkan legenda
Indikator
: 1) Mampu mengungkapkan isi cerita legenda secara lisan maupun tulisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa 2) Mampu menjelaskan unsur intrinsik legenda 3) Mampu menuliskan rangkuman isi legenda 4) Mampu menceritakan kembali isi legenda
Aspek Mendengarkan (nyemak) – Wulangan 3 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa Kompetensi Dasar
: Mendengarkan legenda
Indikator
: 1) Mampu mengungkapkan isi cerita legenda secara lisan maupun tulisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
216
2) Mampu menceritakan kembali isi legenda Aspek Mendengarkan (nyemak) – Wulangan 5 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa Kompetensi Dasar
: Mendengarkan legenda
Indikator
: 1) Mampu memahami isi cerita legenda 2) Mampu menjelaskan perwatakan tokoh-tokohnya 3) Mampu menceritakan kembali isi cerita legenda secara lisan maupun tertulis
Semester II Aspek Membaca (maca) – Wulangan 7 Standar Kompetensi : Mampu membaca bacaan sastra, nonsastra dalam berbagai teknik membaca, dan bacaan berhuruf Jawa Kompetensi Dasar
: Membaca indah cerpen (cerkak)
Indikator
: 1) Mampu membaca cerkak dengan lafal, intonasi ekspresi, dan ejaan yang benar 2) Mampu membuat sinopsis cerkak 3) Mampu menceritakan kembali isi cerkak.
Untuk memperkuat argumen mengenai relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa di SMP, peneliti juga melakukan wawancara dengan salah seorang guru bahasa Jawa yang mengajar di salah satu SMP di Surakarta pada tanggal 19 November 2013. Berikut ini deskripsi hasil wawancara dengan salah seorang guru SMP di Surakarta yang menunjukkan adanya relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa di SMP. Adanya relevansi WB dengan pembelajaran BJ, dibuktikan dengan terdapatnya SK, KD, dan indikator dalam RPP, sebagai berikut. Kelas VII semester 1 sebagai berikut. SK mendengarkan: Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa. KD: Mendengarkan cerita teman tentang budi pekerti. Indikator : Siswa mampu mengungkapkan isi cerita. SK membaca: Mampu membaca bacaan sastra, nonsastra dalam berbagai teknik membaca, dan bacaan berhuruf Jawa. KD: Membaca nyaring fabel.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
217
Indikator: Siswa mampu menuliskan kembali isi cerita secara ringkas. Siswa mampu menuliskan pesan moral, nilai-nilai yang gterkandung dalam cerita. Kelas VIII semester 2 SK membaca: Mampu membaca bacaan sastra, nonsastra dalam berbagai teknik membaca, dan bacaan berhuruf Jawa. KD: Membaca indah cerkak. Indikator: Siswa mampu membaca cerkak dengan lafal dan intonasiyang benar. Siswa mampu membuat sinopsis cerkak. Siswa mampu menceritakan kembali isi cerkak. Dalam wawancara tersebut informan juga menerangkan bahwa, dalam WB mengandung nilai moral, persahabatan/sosial, kejujuran, keimanan, tanggung jawab, dan disiplin.
c. Relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa SMA/MA Berdasarkan kurikulum KTSP sesuai SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 423.5/27/2011, mengenai standar isi mata pelajaran muatan lokal BJ di SMA. No.
1)
Kelas / Semester
Kelas X Semester 2
Standar Kompetensi MENDENGARKAN Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan sastra maupun nonsastra dalam berbagai ragam bahasa Jawa. MEMBACA Mampu membaca dan memahami bacaan nonsastra maupun sastra , berhuruf Latin maupun Jawa dengan berbagai keterampilan dan teknik membaca.
commit to user
a)
b)
a) b)
Kompetensi Dasar Mendengarkan berita yang disampaikan melalui media elektronik. Mendengarkan pembacaan cerkak yang disampaikan secara langsung atau rekaman. Membaca nyaring naskah berita. Membaca nyaring cerkak.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
218
Berdasarkan SI yang terdapat dalam kurikulum yang ditetapkan oleh SK gubernur Jawa Tengah di atas menyatakan sebagai bukti adanya relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa di SMA dan sederajatnya. Terbukti dengan adanya SK dan KD mendengarkan dan membaca pada kelas X semester 2. Selajutnya sebagai triangulasi data atau penguat bukti, peneliti melakukan wawancara dengan pengajar/guru bahasa Jawa SMA pada tanggal 19 November 2013. Menurut informan/guru SMA mengatakan bahwa ada relevansi antara WB dengan pembelajaran bahasa Jawa, yang dibuktikan dengan terdapatnya SK, KD, dan indikator, sebagai berikut. Kelas X / Semester 2 SK: Mampu membaca dan memahami bacaan nonsastra maupun sastra, berhuruf Latin maupun Jawa dengan berbagai keterampilan dan teknik membaca. KD: Membaca nyaring cerkak dan membaca dan memahami isi cerkak. Indikator: 1) Siswa mampu memahami isi cerkak. 2) Siswa mampu menemukan tema cerkak yang dibaca. 3) Siswa mampu menemukan alur cerkak. 4) Siswa mampu mengidentifikasi tokoh dan penokohan cerkak. 5) Siswa mampu menemukan amanat yang terkandung dalam cerkak. Selain menjelaskan mengenai SK, KD, dan indikator pembelajaran bahasa Jawa, guru tersebut juga memberikan jawaban bahwa terdapat nilai-nilai pendidikan yang dalam WB, yang dipaparkan sebagai berikut. Dalam WB mengandung nilai pendidikan moral, nilai religius, nilai sosial, nilai budaya dan historis. Berdasar hasil analisis di atas, disimpulkan bahwa WB mempunyai relevansi dengan pembelajaran BJ di sekolah. Relevansi ini terdapat pada jenjang sekolah SD, SMP, dan SMA. Relevansi ini dibuktikan melalui kurikulum mata pelajaran muatan lokal BJuntuk SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK yang berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah dan buku teks materi ajar BJ, RPP dan wawancara mendalam dengan guru bahasa Jawa SD, SMP, dan SMA. WB diajarkan di sekolah pada aspek mendengarkan dan membaca. Sejalan dengan penjelasan di atas WB layak dan relevan dijadikan sebagai bahan materi ajar di sekolah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
219
B. PEMBAHASAN Pembahasan ini membahas mengenai hasil penelitian yang akan dihubungkan dengan tinjauan pustaka (penelitian relevan) serta landasan teori yang digunakan. Pembahasan di sini meliputi peranti kohesi wacana (secara gramatikal dan leksikal), nilai pendidikan dalam WB, dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah 1. Pemanfaatan Kohesi Wacana dalam WB di Majalah PS dan DL. WB merupakan sebuah wacana cerita pendek berbahasa Jawa yang disesuai kebutuhan bacaan (tema) untuk anak-anak, dengan bahsa yang mudah dipahami oleh anak, yang banyak mengandung nilai edukatif/pendidikan. WB mempunyai ciri-ciri penulisan yang cenderung didominasi oleh dialog-dialog singkat, hal tersebut justeru membuat wacana ini mudah untuk dipahami pembaca/khususnya anak-anak. Penggunaan piranti-piranti kohesi ini menjadikan WB tersebut mudah dipahami dan tidak rancu, menghindari penggunaan bahasa yang monoton dengan kata lain, adanya variasi penggunaan bahasa yang membuat wacana lebih menarik,. Sejalan dengan pendapat para pakar analisis wacana, yang menjelaskan bahwa wacana yang utuh atau padu adalah wacana yang mengandung gagasan yang lengkap, artinya wacana yang lengkap tersebut apabila dilihat dari segi hubungan bentuk atau struktur lahir bersifat kohesif dan dilihat dari hubungan makna atau konteksnya bersifat koheren (Sumarlam, 2009: 23). Jadi sebuah wacana yang kohesif apabila hubungan antarklausa dalam kalimat, antarkalimat dalam paragraf, dan hubungan antarparagraf/alenia dalam suatu teks/wacana dapat salig bertalian/berkait baik dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
220
aspek gramtikal maupun leksikalnya. Begitu pun, wacana yang koheren adalah suatu wacana yang mempunyai kesatuan gagasan, atau kesatuan makna, artinya hubungan antarmakna dalam ujaran atau teks bersifat padu (Suwandi, 2008: 120). Dengan demikian, secara komprehensif dapat dikatakan keutuhan wacana dapat terjadi dari adanya saling keterkaitan antara dua aspek yaitu struktur teks bersifat kohesif dan hubungan makna/konteksnya bersifat padu koheren (Mulyana, 2010: 26). Merujuk pada teori yang diungkapkan baik oleh Sumarlam (2009) maupun Mulyana (2010) membagi kohesi ke dalam dua aspek yaitu aspek atau peranti kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Peranti kohesi gramatikal adalah suatu peranti yang digunakan untuk menganalisis wacana dari segi bentuk atau struktur lahirnya, sedangkan peranti kohesi leksikal adalah peranti wacana yang digunakan untuk menganalisis wacana dari segi makna atau struktur semantic dalam wacana (Sumarlam, 2009: 23). Secara lebih rinci, Halliday dan Hasan (dalam Sumarlam, 2009: 23, dan Mulyana, 2010: 29) mengemukakan bahwa peranti gramtikal wacana terdiri dari 1) reference „pengacuan‟ , 2) substitution „penyulihan‟, 3) ellipsis „pelesapan‟, dan 4) conjunction „perangkaian‟, sedangakan kohesi leksikal terdiri atas 1) repetisi (pengulangan), 2) sinonimi, 3) antonimi (lawan kata), 4) hiponimi, 5) kolokasi (sanding kata), dan 6) ekuivalesi. Semua aspek kohesi wacana baik kohesi gramatikal maupun leksikal yang diungkapkan di atas, semua digunakan sebagai peranti untuk menganailis wacana WB dari segi kebahasaan. Pengklasifikasian kohesi yang sedikit commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
221
diungkapkan oleh Suwandi (2008: 126), yang membagi jenis peranti kohesi menjadi tiga yaitu (1) kohesi gramatikal, yang terdiri dari pronomina, penyulihan, dan pelesapan; (2) kohesi leksikal yang terdiri dari pengulangan sinonimi, hiponimi, bagian-keseluruhan,
kolokasi;
dan
(3)
konjungsi.
Perbedaan
perincian
pembagian/klasifikasi kohesi di atas terletak pada salah satu peranti kohesi wacana yaitu peranti konjungsi. Suwandi (2008) menyatakan bahwa peranti konjungsi berada di garis batas antara kohesi gramatikal dan leksikal, dengan argumen bahwa konjungsi bukan merupakan peranti untuk mengingatkan pembaca atas maujud, tindakan, atau keadaanya yang telah dinyatakan, akan tetapi konjungsi yang menandai hubungan-hubungan yang hanya dapat dipahami secara penuh melalui pengacuan pada bagian-bagian lain dari teks, atau dengan kata lain menandai hubungan antarbagian dari sebuah wacana. Sedangkan Sumarlam (2009: 32) dan Mulyana (2010: 29) menganut pendapat dari Halliday dan dan Hasan, yang menyatakan konjungsi termasuk ke dalam salah satu jenis kohesi gramatikal, dengan alasan bahwa konjungsi merupakan sarana penghubung/perangkaian unsur-unsur kewacananan, baik antarkata, antarfrasa, atau antarklausa dalam kalimat, antarkalimat dalam paragraf, maupun antarparagraf dalam kesatuan teks wacana yang membentuk kepaduan wacana dari segi gramatikal. Berdasar komparasi mengenai kohesi wacana di atas peneliti lebih cenderung pada pendapat kedua, dengan argumen bahwa konjungsi merupakan alat pendukung kegramatikalan struktur wacana, sehingga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
222
menjadikan wacana menjadi padu. Adapun temuan dalam penelitian analisis wacana pada WB dijelaskan berikut ini. Semua data yang diteliti mampu dituntaskan dan dianlisis menggunakan teoriteori analisis wacana yang dipaparkan pada landasan teori (peranti kohesi wacana tersebut terdiri dari pengacuan, subtitusi, elipsis, dan konjungsi untuk peranti kohesi gramatikal, serta peranti kohesi leksikal berupa repetisi, sinonimi, antonimi, kolokasi, hiponimi, dan ekuivalensi). Berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat tersebut maka WB layak disebut sebagai sebuah wacana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tarigan (dalam Sumarlam, 2008: 7), bahwa ”wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa, dengan koherensi dan kohesi yang tinggi dan berkesinambungan, mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tulis.” Selanjutnya, masing-masing aspek dari kohesi, baik kohesi gramatikal maupun kohesi leksikal, memiliki peran dalam pembentukan sebuah teks dalam wacana, sehingga wacana dapat tersusun secara koheren. WB adalah wacana yang mempertimbangkan aspek keterpaduan wacana, sehingga meskipun berciri minimalisme tetapi maksud dan tujuan yang terkandung dalam WB tetap tersampaikan secara jelas. Hal ini kembali membuktikan pendapat Halliday dan Hasan (1976:5) yang menyatakan bahwa kohesi merupakan satu set kemungkinan yang terdapat dalam bahasa untuk menjadikan suatu 'teks' itu memiliki kesatuan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
223
a. Kohesi gramatikal pada WB Kohesi gramatikal dalam wacana WB direalisasikan dalam keempat jenis peranti aspek gramatikal, yaitu pengacuan atau referensi, penyulihan atau substitusi, pelesapan atau elipsis, dan perangkaian atau konjungsi. Aspek kohesi gramatikal pada WB didominasi oleh peranti pengacuan/referensi. Referensi yang paling dominan adalah berupa pengacuan persona I, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2. Persentase kemunculan Aspek Graatikal pada Rubrik WB pada Majalah PS dan DL No. 1
2. 3. 4.
Peranti Kohesi Gramatikal WB Pengacuan/referensi a. Referensi pronominal persona (1) Pronominal persona I (2) Pronominal persona II (3) Pronominal persona III b. Referensi Demonstratif (1) Demonstratif waktu Waktu kini Waktu lampau Waktu yang akan datang Waktu netral (2) Demonstratif tempat Dekat dengan penutur Agak jauh dengan penutur Jauh dengan penutur Menunjuk secara eksplisit (3) Demonstratif ikwal/ ekspansif c. Referensi komparatif Subtitusi Elipsis Konjungsi a. Konjungsi koordinatif Aditif Pertentangan commit to user
Jumlah
Persentase (%)
61 53 41
24% 21% 16%
22 5 1 4
9% 2% 0 2%
3 1 1 5 5 5 12
1% 0 0 2% 2%
3 2
1% 1%
2% 5%
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
224
Alternative b. Konjungsi subordinatif Waktu Syarat Pengandaian Eksesif Menyatakan sebab Menyatakan akibat Tujuan Cara Konsesif Perbandingan Optatif c. Konjungsi antarkalimat d. Konjungsi antaralinea JUMLAH
2
1%
2 1 5 1 1 3 4 1 2 1 1 7 1 256
1% 0 2% 0 0 1% 2% 0 1% 0 0 2% 0 100%
Berdasar tabel di atas terlihat jelas bahwa peranti pengacuan mendominasi kemunculan pada rubrik WB, terutama pada referensi persona. Pada peranti pengacuan/referensi didominasi oleh bentuk pengacuan persona 1 (yaitu sejumlah 61 data) dan pengacuan persona II tunggal (sejumlah 53 data). Hal tersebut mengindikasikan bahwa WB merupakan bentuk wacana yang banyak menggunakan kalimat langsung yang berupa percakapan antartokoh dalam suatu cerita. Lebih fokus lagi peranti referensi pronomina persona yang terlihat paling dominan adalah pengacuan persona I. Peranti pengacuan persona I dalam cerita WB paling dominan, hal itu dikarenakan WB merupakan cerita naratif yang berbentuk prosa dengan gaya penceritaan yang didominasi oleh dialog-dialog pendek, selain itu WB juga menggunakan gaya penceritaan dengan penggunakan sudut pandang orang pertama sebagai tokoh utama maupun sebagai tokoh tambahan. Penggunaan sudut pandang/ point of view dalam WB adalah untuk memerankan dan menyampaikan berbagai hal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
225
yang dimaksudkan oleh pengarang. Dalam buku Nurgiyantoro, 2005: 262, penggunaan sudut pandang orang pertama (aku) narrator dimaksudkan oleh pengarang untuk melukiskan segi kehidupan batin tokoh dalam cerita yang paling dalam dan rahasia, sehingga seolah-olah pemabaca ikut melihat, merasakan, terlibat dan dialami oleh tokoh „aku dalam cerita. Selain itu WB juga direkatkan oleh peranti konjungsi, yang menghubungkan antara preposisi yang satu dengan preposisi yang lain, sehingga menjadikan WB sebagai wacana yang padu atau kohesif. b. Kohesi leksikal pada WB WB
memanfaatkan
kohesi
leksikal
sebagai
pendukung
kepaduan
makna/semantis. Semua peranti kohesi leksikal yang digunakan sebagai landasan teori, secara garis besar terpakai/mendukung kepaduan wacan rubrik WB. Persentase kemunculan kohesi leksial pada wacan bocah dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3. Persentase kemunculan Aspek Leksikal pada Rubrik WB pada Majalah PS dan DL No. 1.
2.
Peranti Kohesi Gramatikal WB Repetisi a. Repetisi epizeuksis b. Repetisi tautotes c. Repetisi anafora d. Repetisi epistrofa e. Repetisi mesodiplosis f. Repetisi epanalepsis g. Repetisi anadiplosis h. Repetisi simploke Sinonimi a. Sinonimi morfem (terikat) dengan morfem (bebas) commit to user
Jumlah
Persentase (%) 2 4 2 1 1 -
5% 10% 5% 3%
3
8%
3% 0 0
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
226
3.
4. 5. 6.
b. Sinonimi kata dengan kata c. Sinonimi kata dengan frasa d. Sinonimi frasa dengan frasa e. Sinonimi klausa-klausa Antonimi a. Antonimi oposisi mutlak b. Antonimi oposisi kutub c. Antonimi oposisi hubungan d. Antonimi oposisi hirarkial e. Antonimi oposisi majemuk Kolokasi Hiponimi Ekuivalensi JUMLAH
5 1 1
13% 3% 0 3%
4 2 7 3 2 38
10% 5% 0 0 0 18% 8% 5% 100%
Berdasar tabel di atas, kohesi leksikal secara global didominasi oleh peranti reptisi dan sinonimi yaitu masing-masing sepuluh kali atau intensitas kemunculannya sebesar 26% secara total, lebih fokus lagi unsur yang paling dominan adalah sinonimi kata. Hal tersebut mengindikasikan penggunaan kata-kata yang bervariatif pada WB agar cerita tidak monoton. Pada peranti kolokasi juga sangat berperan pada wacana WB, hal tersebut mempunyai maksud membuat wacana menjadi padu dan logis, karena didukung oleh kata-kata yang mempunyai asosiasi berdampingan/sebidang/ satu domain. c. Perbandingan hasil analisis wacana WB dengan hasil kajian analisis wacana yang relevan Disini akan dibandingkan antara hasil penelitian ini dengan dengan hasil peneltian analisis wacana terdahulu yang dilakukan oleh Nita Rohmayani (2012) “Analisis Tekstual Rubrik “Jagad Sastra” pada “Jagad Jawa” di HArian Solopos
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
227
Edisi Juni-Agustus 2011 dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. Penelitian ini mempunyai keunggulan: 1) Hasil penelitian ini dapat menyempurnakan penelitian terdahulu, yaitu pada penelitian ini ditemukan pengacuan demonstratif umum/ikhwal, misalnya ditandai oleh satuan lingual kasebut, kuwi, punika, mangkono iku, dan semono uga. 2) Penelitian ini mengungkapkan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam karya sastra
(wacan
bocah),
sedangkan
dalam
penelitian
Rohmayani
tidak
mengungkapkan/meneliti nilai-nilai pendidikan. 3) Pada penelitian ini WB mempunyai relevansi dengan pembelajaran BJ dari tingkat SD sampai dengan SMA, sedangkan pada penelitian Rohmayani hanya pada tataran SMA saja. Persamaan kedua penelitian ini sama-sama menganalisis wacana berbahasa Jawa, dengan tujuan penelitian mendeskripsikan aspek/peranti kohesi wacana baik dari segi kohesi gramatikal maupun kohesi leksikal. Temuan mengenai peranti kohesi yang paling dominan adalah sama-sama didominasi oleh peranti pengacuan/referensi persona, mengingat bentuk/genre wacana yang dianalisis adalah bergenre prosa naratif. Perbedaan: dalam penelitian ini pengacuan pronomina persona I yang paling dominan, sedangkan pada penelitian Rohmayani referensi yang paling dominan adalah referensi pronomina persona III. 2. Kandungan Nilai Pendidikan WB di Majalah PS dan DL Berdasarkan teori yang digunakan mengenai nilai-nilai pendidikan, hasil menunjukan bahwa teori mengenai nilai-nilai pendidikan yang dijelaskan pada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
228
landasan teori semua terkandung dalam WB. Hal itu menunjukkan teori yang digunakan sudah tepat guna, selain itu juga menunjukkan bahwa WB banyak mengandung nilai pendidikan baik yang secara tersurat maupun tersirat, sehingga WB layak untuk diajarkan di sekolah dan layak menjadi materi ajar di sekolah. Berdasar hasil penelitian mengenai nilai-nilai pendidikan yang telah dianalisis, penelitian ini mempunyai persamaan dan perbedaan serta mampu menyempurnakan penelitian sebelumnya yaitu penelitian tesis Pebryawan (2012), Wijaya (2013), Riyanton (2013), Suryani (2013), dan Suwarmo (2013). Pada penelitian terdahulu oleh: 1) Pebryawan (2012) menemukan nilai pendidikan agama, karakter, dan sosial budaya pada novel Suparto Brata‟s Omnibus. Pada penelitian 2) Wijaya dan 3) Riyanton (2013) menemukan nilai pendidikan agama, moral, sosial, budaya, dan historis. 4) Suwarmo (2013) dalam penelitiannya pada novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Sinden ditemukan nilai pendidikan agama, budaya (melestarikan tradisi, sapa temen bakal tinemu, eling lan waspada, aja seneng raben, aja seneng royal) nilai pendidikan sosial (kerukunan), dan nilai moral. 5) Suryani (2013) ditemukan nilai pendidikan agama, moral, budaya dan sosial. Pada penelitian ini banyak menjabarkan mengenai nilai pendidikan agama seperti keimanan, mawas diri, kejujuran, nilai kehati-hatian, bersyukur, istiqomah, larangan suudhon. Pada nilai moral: berbakti pada orang tua, nilai/perbuatan yang harus dihindari: serakah, julig/licik, dendam. Nilai sosial: peduli, tolong-menolong, gotong-royong, dan bijaksana. Nilai budaya: sopan santun, tatakrama, berunggahcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
229
ungguh. Nilai pendidikan historis berupa kisah perjuangan pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekan Republik Indonseia, yang mengandung nilai nasionalisme, bela tanah air (patriotisme), rela berkorban untuk negara Indonesia, dan pesan kepada generasi penerus bangsa untuk mengisi kemerdekaan bangsa ini dengan hal-hal yang positif dan prestasi-prestasi yang membangakan bangsa Indonesia dan dapat mengangkat maratabat bangsa Indonesia di kancah internasional. Nilai pendidikan religius yang terkandung dalam WB dalam penelitian ini mencerminkan nilai keimanan, mawas diri, hati-hati dalam tingkah laku dan bertutur kata, istiqomah, jujur, bersyukur, dan larangan berburuk sangka. Nilai pendidikan religius yang terkandung dalam WB tersebut baik secara tersurat maupun tersirat kemudian
diharapkan
dapat
direnungkan
selanjutnya
direalisasikan/
dimplementasikan dalam kehidupan nyata untuk mendekatkan diri pada Tuhan, mengharap ridho dan pahala dari Tuhan untuk mencapai kehidupan yang membahagiakan di akhirat kelak. Dari hasil analisis mengenai nilai pendidikan religius dalam WB di atas diharapkan
nilai-nilai
mengenai
pendidikan
religius
tersebut
mampu
diinternalisasikan dalam diri pembaca dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Selanjutnya dapat membentuk manuasia yang beragama, beriman, dan bertakwa atau menjadi pribadi yang religius. Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
230
Nilai pendidikan moral adalah suatu pedoman dalam melakukan sesuatu guna membedakan akhlak yang baik maupun yang tidak baik dalam menjalani kehidupan sehingga tercapai kesuksesan hidup dan kerukunan antarsesama. Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika, yaitu mengenai nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang harmonis dan bermanfaat bagi orang lain, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai pendidikan moral yang terkandung dalam WB yang telah dianalisis di antaranya nilai ketekunan dan dan keteguhan, budi pekerti luhur, berbakti pada orang tua, mandiri, larangan berbuat julig, dan larangan bersifat pendendam, larangan bersikap sombong dan serakah. Semua nilai-nilai pendidikan moral tersebut dapat diinternalisasikan dalam diri guna membentuk karakter dan kepribadian yang baik pada pembaca. Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan kelompok dalam ikatan kekeluargaan antarindividu satu dengan lainnya. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial) karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitasaktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
231
menyangkut hubungan antarperorangan, antarkelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Nilai sosial sebagai nilai yang membangun rasa kebersamaan, saling membantu, menghargai, menghormati, dan menyayangi satu sama lain sehingga mewujudkan kerukunan antarsesama manuasia. Jadi nilai sosial merupakan kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam hidup bermasyarakat/sosial. Nilai sosial yang terkandung dalam WB yang telah dianalisis yakni sikap saling menasihati, sikap peduli dan tolong menolong, adil serta bijaksana dalam memberi keputusan. Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang terjadi. Nilai budaya yang terkandung dalam WB yaitu nilai sopan santun (menggunakan unggah-ungguh), karena unggah-ungguh merupakan bagian daripada budaya Jawa sabagai kekayaan budaya yang harus tetap dilestarikan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
232
Nilai historis dapat membentuk sikap terhadap permasalahan yang dihadapi sekarang dengan bercermin dari peristiwa-peristiwa pada masa lampau yang dapat dijadikan sebagai pelajaran. Nilai pendidikan historis yang dapat diambil melalui pengalaman-pengalaman atau peristiwa-peristiwa yang diceritakan pada karya sastra, dapat dijadikan suatu pelajaran agar dikehidupan mendatang dapat menjadi lebih baik. Seperti pada kisah Dongenge Simbah, yang telah dipaparkan pada hasil penelitian di atas. Hal tersebut memberikan sebuah pernungan sekaligus nasihat kepada kita sebagai generasi penerus agar tetap mengahargai perjuangan para pahlawan bangsa yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangasa Ini, Bangsa Inonesia tercinta. Perenungan mengenai betapa berat dan gigihnya perjuangan para pahlawan dalam melawan penjajah hingga darah, nyawa, dan harta rela dikorbankan, demi Indonesia merdeka. Kemudian nasihat dari cerita tersebut, menyiratkan kepada pembaca sebagai generasi penerus bangsa untuk mengisi kemerdekaan bangsa ini melaui prestasi-prestasi yang membangakan bangsa ini dan mengakat martabat bangsa ini setinggi-tingginya dikancah internasional. Mari berkarya dan berprestasi! 3. Relevansi WB dengan Pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah WB mempunyai relevansi dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. Hal ini dibuktikan dengan standar isi mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa yang ada pada kurikulum KTSP yang ditetapkan berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 423.5/5/2010 untuk SD dan SMP, serta SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 423/5/27/2011 untuk SMA, dan materi ajar yang digunakan guru untuk mengajarkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
233
BJ di kelas, serta diperkuat dengan hasil wawancara langsung dengan guru pengajar BJ SD, SMP, dan SMA melalui kuesioner terbuka. Berikut ini pembahasan mengenai bukti adanya relevansi WB dengan pembelajaran BJ di sekolah. a. Berdasar kurikulum KTSP untuk SD dan SMP sesuai SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 423.5/5/2010, dan SK Gubernur Tawa Tengah Nomor 423/5/27/2011 untuk SMA. 1) Kurikulum BJ untuk SD Kelas I semester 2,: SK mendengarkan, KD mendengarkan dongeng binatang. Kelas III semeter 2: SK membaca, KD membaca dongeng atau cerita. Kelas V semester 2: SK mendengarkan, KD mendengarkan cerita rakyat, SK membaca, KD membaca cerita anak. Kelas VI semester 1: SK mendengarkan, KD mendengarkan cerita anak. Berdasarkan kurikulum (2010) BJ untuk SD di atas menunjukan bahwa WB mempunyai relevansi dengan pelajaran BJ di SD, yang dibuktikan melalui SK dan KD yang dijabarkan di atas.
2) Kurikulum BJ untuk SMP Kelas VII semester 1: SK mendengarkan, KD mendengarkan cerita teman tentang budi pekerti. Kelas VII semester 2: SK membaca, KD membaca bacaan sastra dengan tema tertentu. Kelas VIII semester 1: SK mendengarkan, KD mendengarkan legenda. SK membaca membaca bacaan sastra dengan tema tertentu. Kelas VIII semester 2: SK membaca, KD membaca indah cerkak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
234
Berdasarkan kurikulum (2010) BJ untuk SMP di atas menunjukan bahwa WB mempunyai relevansi dengan pelajaran BJ di SMP khususnya pada kelas VII dan VIII, yang dibuktikan melalui SK dan KD yang dijabarkan di atas. 3) Kurikulum BJ untuk SMA Kelas X semester 2: SK mendengarkan, KD mendengarkan pembacaan cerkak yang disampaikan secara langsung atau melalui rekaman. SK membaca, KD membaca nyaring cerkak. b. Berdasar materi ajar WB Relevan dengan pembelajaran di Sekolah. 1) Materi WB dalam Materi Ajar BJ SD (Wasita Utama Basa Jawa ) Kelas 1 semester 2 Aspek mendengarkan (Nyemak) – Wulangan 7 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami berbagai wacana lisan sederhana (dongeng) dalam ragam bahasa tertentu Kompetensi Dasar : Mendengarkan dongeng binatang (fabel) Indikator : Siswa memahami isi dongeng Siswa dapat menceritakan kembali dongeng yang didengar Siswa dapat menirukan suara, gerakan, dan perilaku tokoh dongeng Kelas IV Semester 2 Aspek Membaca (maca) – Wulangan 6 Standar Kompetensi : Mampu membaca, mamahami teks sastra , dan membaca kalimat sederhana berhuruf Jawa Kompetensi Dasar
: Membaca teks sastra (dongeng)
Indikator
: Siswa dapat menjawab pertanyaan bacaan Siswa dapat menceritakan kembali isi bacaan secara urut dengan bahasa (dialek sendiri) Siswa dapat meringkas isi bacaan Kelas V Semester 2
Aspek mendengarkan (nyemak) – Wulangan 6 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan melalui pembacaan teks cerita rakyat dan tembang macapat Kompetensi Dasar
: Mendengarkan cerita rakyat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
235
Indikator
: Siswa dapat menyebutkan tokoh utama dan wataknya Siswa dapat meringkas cerita rakyat dengan bahasa sendiri Siswa dapat menceritakan kembali isi cerita secara singkat dengan menggunakan ragam bahasa tertentu
Aspek Membaca (maca) – Wulangan 7 Standar Kompetensi : Mampu membaca dan memahami teks cerita anak, membaca indah, dan membaca huruf Jawa. Kompetensi Dasar
: Membaca cerita anak
Indikator
: Siswa dapat membaca intensif teks bacaan Siswa dapat meringkas isi bacaan Aspek Membaca (maca) – Wulangan 9 Standar Kompetensi : Mampu membaca dan memahami teks cerita anak, membaca indah, dan membaca huruf Jawa. Kompetensi Dasar : Membaca cerita anak Indikator
: Siswa dapat membaca intensif teks bacaan Siswa dapat menjawab pertanyaan Siswa dapat meringkas isi bacaan Kelas VI Semester 1
Aspek mendengarkan (nyemak) – Wulangan 1 Standar Kompetensi : Mampu memahami ragam wacan lisan melalui pembacaan teks cerita anak dan cerita wayang Kompetensi Dasar : Mendengarkan cerita anak Indikator : Siswa dapat menjawab pertanyaan isi cerita Siswa dapat menyebutkan amanat dari cerita anak yang didengarkan Siswa dapat menceritakan kembali cerita yang telah didengarkan dengan menggunakan bahasa sehari-hari Aspek mendengarkan (nyemak) – Wulangan 3 Standar Kompetensi : Mampu memahami ragam wacan lisan melalui pembacaan teks cerita anak dan cerita wayang Kompetensi Dasar : Mendengarkan cerita anak Indikator : Siswa dapat menyebutkan pokok cerita anak yang didengarkan Siswa dapat menjelaskan watak tokoh dalam cerita secara lisan maupun tertulis Siswa dapat menarik simpulan atau pesan yang terkandung dalam cerita. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
236
Aspek mendengarkan (nyemak) – Wulangan 5 Standar Kompetensi : Mampu memahami ragam wacan lisan melalui pembacaan teks cerita anak dan cerita wayang Kompetensi Dasar : Mendengarkan cerita anak Indikator : Siswa dapat mencatat sifat tokoh dalam cerita Siswa dapat menentukan tema cerita Siswa dapat menuliskan kembali isi cerita dengan bahasa sendiri. 2) Materi WB dalam Materi Ajar BJ SMP (Wasita Adi Basa Jawi) Kelas VII Semester I Aspek Membaca (maca) – Wulangan 1 Standar Kompetensi : Mampu membaca bacaan sastra, nonsastra dalam berbagai teknik membaca, dan bacaan berhuruf Jawa. Kompetensi Dasar : Membaca pemahaman bacaan sastra atau bacaan nonsastra dengan tema tertentu. Indikator : Mampu menyebutkan dan menuliskan topik bacaan Menjawab dan mengajukan pertanyaan Mampu menjelaskan karakter tokoh-tokoh cerita Mampu menuliskan kembali bacaan keragam bahasa lain (ngoko ke krama) Mampu menceritakan kembali baik lisan maupun tertulis dengan bahasa sendiri Aspek Mendengarkan (nyemak) – Wulangan 2 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa Kompetensi Dasar : Mendengarkan cerita teman tentang budi pekerti /pahlawan dalam ragam ngoko dan krama Indikator : Mampu mengungkapkan isi cerita teman secara lisan maupun tertulis dalam ragam bahasa Jawa Mampu memberi tanggapan mengennai isi cerita yang didengar. Semester II Aspek Membaca (maca) – Wulangan 6 Standar Kompetensi : Mampu membaca bacaan sastra, nonsastra dalam berbagai teknik membaca, dan bacaan berhuruf Jawa. Kompetensi Dasar : Membaca pemahaman bacaan sastra atau bacaan nonsastra dengan tema tertentu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
237
Indikator
: Mampu membaca wacana dengan lafal, intonasi, dan ejaan yang benar Mampu membuat rangkuman isi bacaan Mampu menceritakan kembali isi bacaan VIII Semester I
Aspek Mendengarkan (nyemak) – Wulangan 1 Standar Kompetensi : Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa Kompetensi Dasar : Mendengarkan legenda Indikator : Mampu mengungkapkan isi cerita legenda secara lisan maupun tulisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa Mampu menuliskan rangkuman isi legenda Mampu menceritakan kembali isi legenda Semester II Aspek Membaca (maca) – Wulangan 7 Standar Kompetensi : Mampu membaca bacaan sastra, nonsastra dalam berbagai teknik membaca, dan bacaan berhuruf Jawa Kompetensi Dasar : Membaca indah cerpen (cerkak) Indikator : Mampu membaca cerkak dengan lafal, ekspresi, dan ejaan yang benar Mampu membuat sinopsis cerkak Mampu menceritakan kembali isi cerkak. 3) WB yang terdapat dalam Materi ajar bahasa Jawa SMA Kelas X semester 2 Aspek Membaca (maca) – Wulangan 7 Standar Kompetensi : Mampu membaca dan memahami bacaan nonsastra maupun sastra, berhuruf Latin maupun Jawa dengan berbagai keterampilan dan teknik membaca. Kompetensi Dasar : Membaca nyaring cerkak. Indikator
: Mampu menentukan topik wacana narasi, Mampu membuat sinosip dari cerkak yang dibaca.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
238
Berdasarkan materi ajar yang memuat bukti-bukti SK, KD, dan indikator pembelajaran BJ, WB layak untuk menjadi materi bahan buku ajar di SD, SMP, dan SMA.
c. Berdasar hasil wawancara dengan guru SD, SMP, SMA 1) Wawancara dengan guru SD Hasil wawancara dan kuesioner informan menjelaskan bahwa dalam cerkak yang diajarkan di SD meliputi lima jenis yaitu fabel, dongeng, legenda, peristiwa, dan mitos. Informan juga menjelaskan bahwa ada relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa, sebagaimana yang tercantum dalam SK, KD, dan indikator sebagaimana dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuatnya, sebagai berikut. SK mendengarkan: Mampu mendengarkan, memahami wacana lisan melalui pembacaan teks cerita rakyat, dan tembang macapat. KD: Mendengarkan cerita rakyat. Indikator : Siswa mampu menyebutkan tokoh-tokoh dalam cerita rakyat. SK membaca: Mampu membaca dan memahami teks cerita anak, membaca indah, dan membaca huruf Jawa. KD: Membaca cerita anak. Indikator: Siswa mampu menceritakan kembali isi cerita dengan bahasanya sendiri. Selain itu juga dijelaskan bahwa dalam WB/cerkak mengadung nilai-nilai pendidikan seperti nilai kasih sayang, nilai kebersamaan, nilai tolong-menolong, nilai gotong royong (sosial). Kesimpulannya, terdapat relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dasar (SD) kelas I semester 2, kelas III semester 2, kelas V semester 2, dan kelas VI semester 1 yaitu pada kompetensi/aspek mendengarkan dan aspek membaca. Mengingat hal tersebut, WB dapat dijadikan salah satu bahan materi ajar bahasa Jawa untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di SD. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
239
2) Wawancara dengan guru SMP Hasil wawancara dan kuesioner dengan salah seorang guru SMP menunjukkan adanya relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa di SMP. Adanya relevansi WB dengan pembelajaran bahasa Jawa, dibuktikan dengan terdapatnya SK, KD, dan indikator dalam RPP. Pada kelas VII semester 1 sebagai berikut. SK mendengarkan: Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan dalam berbagai ragam bahasa Jawa. KD: Mendengarkan cerita teman tentang budi pekerti. Indikator : Siswa mampu mengungkapkan isi cerita. SK membaca: Mampu membaca bacaan sastra, nonsastra dalam berbagai teknik membaca, dan bacaan berhuruf Jawa. KD: Membaca nyaring fabel. Indikator: Siswa mampu menuliskan kembali isi cerita secara ringkas. Siswa mampu menuliskan pesan moral, nilai-nilai yang terkandung dalam cerita. Kelas VIII semester 2 SK membaca: Mampu membaca bacaan sastra, nonsastra dalam berbagai teknik membaca, dan bacaan berhuruf Jawa. KD: Membaca indah cerkak. Indikator: Siswa mampu membaca cerkak dengan lafal dan intonasiyang benar. Siswa mampu membuat sinopsis cerkak. Siswa mampu menceritakan kembali isi cerkak. Dalam wawancara tersebut informan juga menerangkan bahwa, dalam WB mengandung nilai moral, persahabatan/sosial, kejujuran, keimanan, tanggung jawab, dan disiplin. Kesimpulannya, terdapat relevansi WB dengan pembelajaran BJ di SMP yaitu pada kompetensi/aspek mendengarkan dan aspek membaca. Mengingat hal tersebut, WB dapat dijadikan salah satu bahan materi ajar BJ untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di SMP. 3) Wawancara dengan guru SMA Peneliti melakukan wawancara dengan pengajar/guru bahasa Jawa SMA pada tanggal 19 November 2013. Wawancara dilakukan seusai pulang sekolah, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
240
dengan pertimbangan untuk mendapat waktu yang longgar dan lebih nyaman melakukan wawancara. Menurut informan/guru SMA mengatakan bahwa ada relevansi antara WB dengan pembelajaran bahasa Jawa, yang dibuktikan dengan terdapatnya SK, KD, dan indikator, sebagai berikut. Kelas X / Semester 2 SK: Mampu membaca dan memahami bacaan nonsastra maupun sastra, berhuruf Latin maupun Jawa dengan berbagai keterampilan dan teknik membaca. KD: Membaca nyaring cerkak dan membaca dan memahami isi cerkak. Indikator: Siswa mampu memahami isi cerkak. Menemukan tema cerkak yang dibaca. Mengidentifikasi tokoh dan penokohan cerkak. Menemukan amanat yang terkandung dalam cerkak. Selain menjelaskan mengenai SK, KD, dan indikator pembelajaran bahasa Jawa, guru tersebut juga memberikan jawaban bahwa terdapat nilai-nilai pendidikan yang dalam WB, yang dipaparkan sebagai berikut. Dalam WB mengandung nilai pendidikan moral, nilai religius, nilai sosial, nilai budaya dan historis, yang dijabarkan seperti: untuk menggapai cita-cita yang luhur jangan takut dengan rintangan, berhati-hati dalam tingkah laku dan ucapan, melihat diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain, ada kesempatan dan waktu untuk berbenah diri. Dari analisis di atas menunjukan bahwa WB mempunyai relevansi dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. Relevansi ini terdapat pada jenjang sekolah SD, SMP, dan SMA. Relevansi ini dibuktikan melalui kurikulum mata pelajaran mulok bahasa Jawa untuk SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK yang berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah dan buku teks BJ yang mendukung, dan wawancara mendalam dengan guru bahasa Jawa SD, SMP, dan SMA. WB diajarkan di sekolah pada aspek mendengarkan dan membaca. Sejalan dengan penjelasan di atas WB layak dan relevan dijadikan sebagai bahan materi ajar di SD, SMP, dan SMA.
commit to user