perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 111
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian ini meliputi 1. Kategori dan Ekspresi Linguistik Ranah Pertanian yang Mencerminkan Pemikiran Kolektif dan Kearifan Lokal, 2. Eksistensi Folklor yang Mencerminkan Kearifan Lokal Petani, 3. Pandangan Dunia, Pandangan Hidup, dan Pola Pikr Petani yang Mencerminkan Kearifan Lokal, 4. Karakteristik Bahasa dan Budaya Komunitas Petani Kebumen yang Berbeda dengan Daerah Periferal dan Pusat Budaya.
1. Kategori dan Ekspresi Linguistik Ranah Pertanian yang Mencerminkan Pemikiran Kolektif dan Kearifan Lokal
Pemikiran kolektif dan kearifan local pada komunitas petani yang dikaji melalui Kategori dan ekspresi diuraiakn dalam Bab lima melalui beberapa ranah yakni : ranah pertanian padi gaga, ranah perkebunan, ranah peternakan, dan ranah empang sawah. Setelah pembahasan tentang pemikiran kolektif akan diuraikan kearifan local pada masing-masing ranah. a. Pemikiran Kolektif Terkait Ranah Pertanian Padi Gaga32
Bagi masyarakat Pesisir Selatan, sawah tidak sekadar menjadi sumber mata pencaharian. Sawah menyimpan nilai kearifan lokal di dalamnya, seperti tampak dalam upacara menanam dan memanen padi. Bagi kalangan masyarakat petani, dikenal upacara Mboyong Mbok Sri/ Dewi Sulasih, upacara methik yang disebut jabel, upacara wiwit, dan upacara Bersih Desa. Upacara- upacara ini 32
Pada dataran tinggi Watu Agung disebut sebagai pari gathak yang diambil sisa-sisa panen yang tumbuh kemudian ditanam ulang. Namun karena perkembangan demografi maka hal tersebut berubah menjadi padi gaga yang mana makin lama pari gaga ini sekarang di pesisir Selatan commit to useradalah padi biasa. Kebumen menjadi system gaga karena padi yang ditanam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 112
memiliki tujuan mulia untuk menjaga keseimbangan alam dan memakmurkan kaum tani. Pada sawah lahan kering atau juga disebut tegalan ini biasa dimanfaatkan oleh para petani sebagai lahan untuk menanam padi gaga ‘pari gaga’. Pari gaga ‘padi gaga’= padi ladang: Padi gaga di lokasi penelitan ini bukanlah merupakan nama jenis padi, melainkan penanaman padi dengan sistem gaga yaitu lahan kering, sedangkan yang ditanam jenisnya adalah jenis padi seperti Cisedani, Ir 64, Cibagendit, dan lain-lain. Sebaliknya pari gaga pada daerah dataran tinggi memiliki makna yang berbeda yakni sebagai pari gathak ‘pari liar’ artinya padi yang tidak dikultivasi. Pari gaga ‘padi ladang’ di lokasi penelitian yakni sebagai dataran rendah di pesisir Selatan
ini merupakan
penanaman padi yang menggantungkan perairannya dari tadah hujan sehingga mempunyai usia yang lebih panjang dibandingkan dengan padi yang ditanam pada tanah basah yang disebut sebagai padi sawah (Kebumen dalam Angka, 2009: 157). Padi gaga ini ditanam dengan cara
bergantian
jagung atau
dengan
tanaman
kacang tanah. Hal ini
dilakukan untuk memutus siklus hama. Hama tanaman padi gaga ini biasanya berupa uret yang memakan akar padi sehingga padi gagal tumbuh. Cara petani dalam mengatasi hama ini telah dilakukan secara turun temurun dengan cara menggenangi lahan untuk waktu beberapa hari sebelum menanam padi
Gambar 4.1: sawah padi gaga
gaga. Dengan cara ini, uret tersebut akan mati. Penyakit lain yang menyerang daun padi adalah nglaras33 yang biasa disebut oleh petani sebagai kena kuning ‘kena kuning’ . Makna kena kuning ‘kena kuning’ adalah penyakit nglaras1 . Bila seorang petani sudah mengucapkan ekspresi tersebut, ada nuansa kepedihan di balik ekspresi tersebut. Mereka menyebutnya kena kuning ‘kena kuning’ setara 33
Nglaras dari kata klaras dalam bahasa Jawa yang berarti daun. Hal ini disebabkan penyakit ini commit menyerang daun dan membuat daun menjadi layu to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 113
dengan petani Jawa yang menyebut tikus sebagai den baguse ‘tuan yang tampan’. Penyebutan itu dimaksudkan untuk menghargai dan menganggap penyakit tanaman itu sebagai teman. Mereka tidak mengganggapnya
sebagai penyakit
agar hama itu tidak tidak ngamuk ‘marah’ sehingga mengakibatkan kerugian yang makin parah. Masyarakat setempat meyakini bahwa mala ‘penyakit’ ada yang ngangon ‘menggembalakan’. Cara mengatasi hama untuk penyakit ini hanya dengan menaburi awu alus ‘abu halus’. Tanaman pari gaga ‘padi gaga’ memiliki bagian-bagian seperti damen ‘pohon padi’, lamen ‘gagang padi’, gabah ‘biji padi yang belum diselep’, beras, menir, katul, mendong, merang, oman. Apabila telah menjadi beras dan sudah dimasak, biji padi menjadi sega ‘nasi’ dan bagian dari nasi yang hanya satu biji saja disebut upa. Pertanian dalam arti luas mencakup subsektor pertanian bahan tanaman pangan seperti padi, perkebunan, peternakan, serta perikanan. Lahan persawahan di Kabupaten Kebumen mencapai dua pertiga di antaranya merupakan sawah irigasi, baik irigasi secara teknis, sederhana PU, sederhana non-PU maupun irigasi setengah teknis. Adapun sepertiga lainnya merupakan sawah tadah hujan, yaitu sawah yang penggunaan lahannya tergantung musim. Lahan ini membentang lurus sepanjang pesisir Selatan. Hasil panen padi dikenal sebagai padi sawah bagi sawah padi yang dihasilkan dari sawah basah, sedangkan padi ladang adalah padi yang dihasilkan dari sawah tadah hujan yang diolah secara gaga. Dalam kaitan dengan penanaman padi gaga ini terdapat beberapa kategori dan ekspresi linguistik yang menyangkut tentang kultivasi tanaman padi, yaitu yang tidak jauh berbeda dengan padi sawah basah. Pari gathak ‘padi gathak’ Pari ‘padi’ Pari gaga ‘padi gaga’
- masa tanam - pembibitan - pengolahan sawah - masa tanam - pemupukan - pemeliharaan - masa panen - pascapanen
Ekspesi linguistic dan kearifan lokal
commit toKolektif user Dalam Pertanian Padi Gaga Bagan 4.1: Alur Pembahasan Pengetahuan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 114
1) Pemikiran Terkait Pemilihan dan Penetapan Masa Tanam
Petani menggunakan ungkapan tertentu dalam penetapan masa tanam walaupun ini tidaklah mutlak mengingat adanya musim ekstrem yang anomali. Ekspresi tersebut di antaranya mangsa ‘musim’ yang dipedomani berbeda dengan petani di Jawa Tengah sebagai pusat budaya memakai pedoman pranoto mongsa. Penjabaran hal-hal tersebut sangat rigit dan mendetail
sampai
pengaruhnya
terhadap
tingkah laku manusia yang dilahirkan pada mangsa ‘musim’
tertentu. Kata mangsa
berhubungan dengan iklim, musim, serta gejala alam yang menyertainya. Daerah penelitian merupakan Gambar 4.2: petani sedang nipar bibit
mendetail. Mereka
daerah transisi yang
memiliki kemiripan dengan daerah periferal sehingga tidak menggunakan musim secara
hanya menggunakan mangsa rendheng ‘musim penghujan’
dan mangsa ketiga ‘musim kemarau’ dengan mempertimbangkan gejala alam sebagai pertimbangan. Menurut mereka, ternyata gejala alam ini dinilai lebih akurat. Hal ini disebabkan gejala alam
tidak dikaitkan dengan bulan, tetapi
langsung pada alam yang berubah selaras dengan perubahan iklim itu sendiri. Perhitungan pranata mangsa
yang dipedomani oleh petani di daerah Jawa
Tengah yang sangat terpengaruh oleh perhitungan yang dibuat oleh PB X sebagai pusat budaya dengan menggunanakan candraning mangsa34 ‘candranya musim’. 34
Pranata mangsa pada daerah pusat budaya yang telah ditetapkan oleh Sinuhun Pakubuwono VII memiliki candraning mangsa ‘candranya musim’ yang rumit dan dihubungkan dengan tingkah laku bayi yang baru lahir pada musim tertentu misalnya kasa digambarkan dengan setyo murca ign embananI anak yang lahir pada musim ini memiliki rasa belas kasih, mangsa karo debagai bantala rengka anak yang lahir memiliki watak jorok, mangsa katelu adalah suto manut ing bapa dan anak yang lahir memiliki watak kikir, mangsa kapat disebut waspa kumembeng jroning kalbu anak yang lahir memiliki watak resikan ‘suka kebersihan’, mangsa kalima disebut pancuran emas sumawur ing jagad anak yang lahir saat ini memiliki watak juweh, kanem dicandra dengan rasa mulya kasucian dan anak yang lahir pada bulan ini memiliki watak lantip atine, kawolu adalah commit towatak user murah hati, kasangka adalah wedharing anjrah jroning kayun dan anak yang lahir memiliki wacana mulya pengaruhnya terhadap watak anak adalah crawak, pandai, kasepuluh dicandra
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 115
Pengaruh musim ini selain dihubungkan dengan tanaman dan hewan juga dihubungkan dengan manusia melalui kelahirannya sesuai dengan alam pikiran orang Jawa sehingga watak bayi dapat diprediksi melalui kelahirannya pada saat musim tertentu. Perhitungan menggunakan pranata mangsa ini lama kelamaan juga akan dipelajari oleh petani daerah pesisir Selatan sebagai daerah transisi karena faktor komunikasi global dan transportasi yang makin mudah. Oleh sebab itu, pada masa mendatang petani di daerah penelitian akan menggunakan pedoman pranata mangsa yang telah diperikan secara terperinci meskipun sering tidak tepat. Hal ini disebabkan
faktor iklim
ekstrem yang terjadi secara anomali. Pranata mangsa petani di daerah pesisir Selatan adalah 1) mangsa ketiga ‘musim panas’ ditandai dengan adanya kayu-kayu patah. Mangsa Gambar 4.3: Tanah nelo
ini juga ditandai dengan adanya binatang kecil
belalang dan jangkrik mulai ngerong ‘membuat rumah dalam tanah dan sembunyi di dalamnya’. Pada musim kemarau ini juga disebut sebagai musim paceklik karena pada tengah-tengah musim bila panas sekali tanah pada nela ‘pecahpecah’. Pada musim paceklik semacam ini petani menyandarkan kehidupannya pada aktivitas menderes, baik pada kelapanya sendiri maupun ngodhe ‘membantu tetangganya’. Ngodhe dilakukan oleh petani yang tidak memiliki pohon kelapa atau yang hanya memiliki pohon kelapa sedikit. Pembagian bagi petani yang ngodhe untuk nderes ini dua hari hasil niranya untuk yang memiliki pohon dan dua hari bagi yang ngodhe dengan istilah maro. Bagi petani yang berani melaut, saat seperti ini digunakan untuk melaut mencari tangkapan ikan. Sebaliknya pada musim seperti ini, tanaman ubi-ubian mulai menjalar yang nantinya bisa dipakai gedhong minep jroning kalbu dan pengaruhnya terhadap anak mudah sakit hati/gampang marah, dhesta dicandra dengan sotya sinarawedi pengaruh terhadap anak climut, sadha dicandra dengan tirta sah saka sasana dan anak yang lahir pada musim ini berwatak belas kasih.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 116
sebagai bahan makanan atau makan ternak. 2) mangsa rendheng ‘ musim penghujan’ yang dimulai dengan sedikit gerimis. Pada musim ini, mulai tampak adanya hujan ini untuk pohon dhangsul ’kedelai’, uwi ‘jenis ubi tanah’, gadung ‘jenis ubi tanah’,palawija ‘palawija’ mulai tumbuh dan menjalar. Apabila sudah mulai tampak mendung dan hujan mulai sering turun, beberapa petani sudah mulai membuat benih mbibit. Pada saat ini terdapat gejala alam lain yakni wit asem ‘pohon asam’ mulai bersemi, uler ‘ulat’ mulai berkembang biak. Pada mangsa ‘musim’ ini petani memilih dan menetapkan masa mulai mengolah tanah untuk persiapan wiwit ‘mulai tanam’. Selanjutnya ketika hujan sudah mulai turun agak banyak ditetapkan petani sebagai wiwit ‘permulaan masa tanam’. Mangsa ini dimulai kira-kira bulan Oktober hingga November yang ditandai hujan mulai turun meskipun baru satu dua kali dalam satu minggu. Pada saat mulai menanam, petani mengawali dengan maculi ‘mencangkul’ dan juga nggaru ‘menggaru’ sawah untuk mulai ditanami bibit yang pada saat itu mulai dapat didaud ‘diambil’ dan semaikan di tanah. Kira-kira satu bulan setelah disemai, pohon padi mulai beranak dan bertumbuh menjadi banyak. Saat ini biasanya bersamaan dengan musim buah-buahan seperti mangga, rambutan. Beberapa saat setelah pohon padi manak ‘beranak’ menjadi banyak dan lahan sawah telah penuh dengan pohon padi maka pohon-pohon padi mulai meteng ‘hamil’ yakni batang pohon padi mulai menggembung berisi calon padi. Itulah sebabnya disebut meteng ‘hamil’ karena peristiwa ini seperti wanita yang sedang hamil, yakni menjadi
dasar
pohonnya menggembung berisi padi. Hal inilah yang
masyarakat
menganggapnya
padi
sebagai
wanita
dan
mengibaratkanya dengan metafora Dewi Sri yang siap menghidupi segenap petani dengan menjadi padi sebagai makanan utama. Bersamaan dengan ini pula terjadi fenomena alam pada binatang yang ditandai banyaknya anjing dan kucing kawin. Pohon padi yang meteng akan berkembang menjadi mliki ‘muncul padi muda’ yang pada masyarakat di Jawa Tengah dikatakan sebagai njebul ‘muncul’. Saat mliki tidak bersamaan. Oleh karena itu, nampaknya padi di sawah tidak merata kelihatan ada yang sudah ada padinya dan ada yang belum muncul padinya. commit to user Namun, lama kelamaan semua padi akan mliki yang disebut sebagai mratak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 117
‘merata’. Artinya, merata semuanya sudah muncul padi semua meskipun padi tersebut belum padat. Pada waktu seperti ini terdapat peristiwa alam yang lain, yakni adanya
musim gangsir ngenthir ‘musim gangsir berbunyi’, gareng
ngereng-ngereng ‘binatang garengpung berbunyi’. Apabila sudah mratak, pada saat bersamaan burung-burung membuat sarang dan bertelur. Perkembangan berikutnya adalah mapak ‘padi yang sebelumnya disebut dengan mratak sudah berisi penuh’. Tahap terakhir sebelum dipanen adalah kuning ‘kuning’. Fenomena alam yang tejadi adalah telur burung mulai menetas sehingga banyak burung berada di sawah mengambil
padi yang sudah kuning untuk ngloloh piyike
‘memberi makan anaknya’. Itulah sebabnya di sawah dijumpai keprak ‘orangorangan sawah’ untuk menghalau burung supaya padinya tidak banyak yang dimakan burung. Sawah di pesisir Selatan pada musim seperti ini tergenang air yang disebabkan adanya hujan yang sudah lebat dan terus menerus. Oleh karena itu, laut tidak dapat menampung lagi. Akibatnya,
terjadilah rob ‘air hujan
menggenang’ seperti ini akan mencul pemandangan adanya empang sawah tempat ikan dan padi tumbuh bersama. Bila musim hujan akan hampir berlalu yang ditandai
dengan
berkurangnya frekuensi turun hujan dan matahari mulai kelihatan bersinar mulai menyengat, air di empang sawah banyune wis surut ‘air empang sudah mulai susut’ dan akhirnya parine wis tua ‘padinya sudah tua’. Pada saat demikian yang pertama dipanen adalah padi terlebih dahulu, kemudian mereka memanen ikan. Hal ini memudahkan dalam memanen ikan karena semua padi sudah dipotong pendek sehingga tidak menghalangi dalam menjaring ikan empang. Musim demikian dijuluki dengan mangsa mbedhidhing ‘musim menjelang kemarau’. Keadaan alam sebagai penanda musim tersebut berasal dari leluhur yang mencatat kejadian dan pengalaman serta memperhatikan (niteni) keadaan yang dialami, kemudian diwariskan kepada anak cucu sebagai piweling ‘pesan’ atau wasiat untuk dilestarikan. Penentuan musim menurut gejala alam ini akan lebih akurat karena tidak menentukan berdasarkan bulan seperti layaknya petani di Jawa Tengah yang menggunakan pranata mangsa. Hal ini disebabkan commit to user
gejala
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 118
alam yang ekstrem tidak selalu menepati bulan-bulan tertentu, tetapi gejala alam mengikuti mesim ekstrem itu sendiri. Karena usia padi ladang yang lebih lama dibandingkan dengan padi sawah basah, terdapat ungkapan panen panen kana ‘panen-panen di sana’ yang memiliki makna panen di tempat lain yang menanam padi dengan tanah sawah yang menggunakan irigasi sudah panen. Adapun padi pada tanah ladang yang disebut sebagai pari gaga belum panen karena usianya yang lebih lama. Hal ini memberikan dampak yang cukup baik karena harga beras hasil dari pari gaga menjadi lebih mahal sebab panen di tempat lain sudah habis.Itulah buah kesabaran sebagai nrima ‘menerima’.
2) Ekspresi Linguistik Terkait Kategori Pemilihan Masa Tanam ‘wiwit’
Sebagai bagian integral masyarakat Jawa, dalam penetapan masa tanam terdapat ekspresi petani yang berupa satuan lingual kata, frasa, serta kalimat sampai pada tataran wacana. Ekspresi tersebut mempunyai makna berkait dengan konteks sosial budaya. Ekspresi linguistik tersebut sebagai berikut. Tabel 4.1: Ekspresi Linguistik dalam Kategori Masa Tanam SATUAN LINGUAL kata
EKSPRESI
MAKNA
KETERANGAN
mangsa
Musim
hanya mengenal 2 musim yakni kering dan penghujan
ngela
tanah pecah-pecah
terjadi pada musim kemarau panjang
ngerong
masuk liang untuk bersembunyi
gejala binatang sebagai penanda musing kemarau
ngodhe
menjadi buruh tani
petani yang tidak memiliki lahan akan mengerjakan sawah petani lain untuk mendapatkan upah
maro
dibagi dua
upah bagi pekerja yang tidak memiliki sawah akan mendapat penghasilan separo dari hasil sawah ang digarapnya
dhangsul
kedelai
ditanam bergantian dengan padi, jagung, dan kacang tanah
uwi
commit to user ditanam dipinggir sawah sebagai jenis ubi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 119
Frasa
Kalimat
pemisah dengan sawah lain
gadhung
jenis ubi
budin
singkong
palawija
palawija
aneka jenis tanaman ubi-ubi an
mbibit
membuat bibit
dari kata bibit yang berarti benih
uler
ulat
ulat pengganggu daun
wiwit
mulai
mulai menanam padi
maculi
mencangkul
mencangkul bila untuk tanah yang baru hanya diperbolehkan 3 cangkulan dan dilanjutkan hari berikutnya
mangsa rendheng
musim penghujan
mulai menanam bagi petani
mangsa ketiga musim kemarau
petani beralih ke mata pencaharian lain seperti nelayan, peternak, pedagang
mangsa paceklik
musim paceklik
bisa terjadi di darat karena musim kering namun juga bisa terjadi bagi nelayan karena adanya gejala alam tertentu sehingga nelayan susah mendapatkan ikan.
gareng ngerengngereng
Binatang gareng berbunyi.
Bila Binatang ini sudah mengeluarkan bunyi-bunyian, hal ini sebagai penanda musim dingin
3) Pemikiran Terkait Ketegori Masa Pembibitan ‘gawe bibit’
Ungkapan gawe bibit adalah ‘menyiapkan tempat pembibitan’ sampai penyemaian atau menyebarkan gabah ‘biji padi’. Setelah hujan turun, petani mulai
maculi
‘mencangkuli’
tanah
tersebut hingga siap digunakan untuk nipar bibit menabur bibit padi’. Mangsa gawe bibit ‘saat menyemaikan benih’ biasanya dipilih masa yang tidak banyak risiko, yakni pada saat sudah mulai hujan,
tetapi
tetap
dengan
mempertimbangkan cuaca walaupun hal Gambar 4.4: Benih padi mulai didaut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 120
itu tidak mutlak. Berdasarkan gejala alam, mereka meyakini bahwa apabila nipar bibit ‘menyemai biji padi’ dilakukan sebelum atau sesudah waktu yang ditetapkan tersebut, benih tidak dapat tumbuh dan atau gabah ‘biji padi’ tidak thukul ‘tumbuh’. Hal lain secara mistis yang juga perlu diperhatikan bagi petani adalah menghindari hari kapesan ‘hari nahas yaitu hari meninggalnya orang tua atau saudara’. Ungkapan dan maksud ungkapan yang digunakan petani pada masa gawe bibit ‘menyemai atau menabur benih padi’ adalah sebagai berikut. Rendheng ‘tanam pertama’ dan satdon ‘tanam kedua’. Pada masa tanam pertama, biasanya petani menggunakan bibit yang diperoleh dari pemerintah karena biasanya petani mendapat subsidi berupa bibit secara gratis. Setelah padi ini siap dipanen, baru diambil sebagai bibit dengan istilah mudhun sapisan ‘turun sekali’ dan selanjutnya kembali untuk membeli bibit lagi karena bibit tersebut bila diambil dari mudhun keloro ‘turun kedua’ bibit sudah tidak baik. Pada saat pembibitan mudhun sepisan ‘turun sekali’ digunakan proses: 1) ngariti pari ‘memanen padi dengan sabit’. Petani memotong padi yang sudah menguning dengan sabit. Bila dirasa padi yang akan dijadikan bibit kurang bagus, petani memilih untuk membeli bibit yang sudah jadi. Alat yang digunakan petani ialah arit ‘sabit’. Ngariti pari ‘memotong padi dengan sabit’ dilanjutkan dengan maculi sawah kanggo mbibit ‘mencangkuli sawah tempat pembibitan’. 2) Maculi ‘mencangkuli’. Petani maculi ‘mencangkuli’ lahan pertanian untuk bibit ‘tempat penyemaian’. Alat yang digunakan adalah pacul ‘cangkul’. 3) ngemplep gabah ‘merendam gabah’. Pada pagi hari dan sore petani mencangkuli sawah, sedangkan menjelang malam hari petani ngemplep gabah ‘merendam gabah’ (masih dalam karung) dalam air selama semalam suntuk. Pagi hari berikutnya gabah ditiriskan tetap dalam karung. 4) nimpahi ‘dilakukan dengan menginjak-injak tanah yang sudah dicangkuli agar tanah menjadi rata dan gembur’, selanjutnya tanah dihaluskan dengan kayu dan dilanjutkan dengan ditipar lemon ‘ditaburi pupuk’. 5) bibit ditipar atau bisa disebut juga ngipuk ‘biji padi ditaburkan’. Gabah yang sudah semalam dibungkus dalam karung dan plastik dibawa ke pembibitan ‘tempat penyemaian’ dan ditipar ‘disebar’ secara merata. Nipar bibit ‘menabur commitberusia to user25 hari untuk siap ditanam. biji padi’ ini dibiarkan sampai kirta-kira
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 121
4) Eksprei linguistik Terkait Kategori Masa Pembibitan
Dalam masa pembibitan ditemukan ekspresi petani yang berupa satuan lingual kata, frasa, serta kalimat sampai pada tataran wacana. Ekspresi tersebut mempunyai makna berkait dengan konteks sosial budaya. Ekspresi linguistic tersebut sebagai berikut.
Tabel 4.2: Ekspresi Linguistik dalam Kategori Masa Pembibitan SATUAN LINGUAL
kata
EKSPRESI LINGUISTIK
MAKNA
KETERANGAN
gabah
biji padi
Biji padi yang sudah dilepaskan dari batangnya dengan menggunakanmesin rontok. Pada zaman dahulu, untuk merontokkan padi digunakan lumbung dengan istilah ditutu.
pacul
cangkul
Cangkul merupakan alat yang digunakan untuk mencangkuli sawah yang akan dipakai untuk membuat bibit.
thukul
tumbuh
Setelah didiamkan selama 2-7 hari, padi akan tumbuh menjadi benih padi yang siap dipindahkan ke sawah apabila telah berumur kira-kira 2-3 minggu.
satdon
tanam kedua
Hasil panenan pertama dipilih gabah yang baik untuk dijadikan bibit yang ditanam kembali
luku
bajak
Alat yang dipakai untuk membalik tanah sebagai persiapan untuk ditanami. Biasanya digunakan kerbau untuk menjalankan luku ini. Namun, sekarang sudah tergantikan oleh traktor untuk daerah Kebumen bagian tengah. Untuk daerah pesisir, para petani masih menggunakan kerbau karena tanahnya gembur dan berpasir.
arit
sabit
Sabit adalah alat yang dipakai untuk
commit to memanen user padi dengan istilah ngariti
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 122
pari ‘memotong padi dengan arit’ galengan
pematang
nimpahi
frasa
Tanah pembatas sawah yang biasanya digunakan untuk jalan petani untuk mengontrol tanamannya. Dalam hal pembuatan bibit pada satdon padi yang berada di dekat pematang ini dipilih karena padinya lebih besar dan bagus Menginjak-injak tanah agar gembur sehingga dapat dipakai untuk menabur bibit padi.
nipar bibit
menabur bibit Menabur binih ini untuk daerah di padi pesisir selatan agak berbeda dengan di bagian tengah karena benih hanya ditipar di dekat pantai pada tanah berpasir dan hanya disiram air untuk beberapa kali jadi tidak digenangi seperti pada tanah sawah biasa.
mangsa gawe bibit/ mbibit
saat Bagi beberapa petani di daerah menyemaikan Kebumen, mereka dapat membeli bibit benih dari pasar yang sudah siap tanam.
mudhun sapisan turun sekali
Bibit padi yang diambil dari hasil panen pertama dari benih yang dibeli dari pusat pertanian biasanya masih dapat menghasilkan padi dengan baik dalam arti kualitas dan kuantitas.
mudhun keloro turun ke dua
Biasanya petani tidak mau menanam pada turun kedua karena hasilnya kurang bagus. Turun kedua ini maksudnya adalah padi yang telah ditanam ulang itu diambil sebagai bibit lagi.
ngariti pari
memanen padiMemanen padi saat ini dengan dengan sabit menggunakan arit ‘sabit’ dan tidak lagi menggunakan ani-ani seperti zaman dahulu. Pelakunya pun juga berbeda karena ngariti dilakukan oleh pak tani, sedangkan ani-ani dilakukan oleh mbok tani.
ngemplep gabah
merendam gabah
ditipar lemon
ditaburi pupuk Pupuk disebut sebagai lemon ini dimaksudkan agar tanamannya lemu ‘gemuk’ dan lemon dibuat dari pupuk kandang hasil kotoran dari ternak yang commit to dipelihara. user
Padi yang akan dijadikan bibit ini harus direndam terlebih dahulu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 123
5) Pemikiran Terkait Ketegori Masa Pengolahan Sawah ‘nggarap sawa’
Istilah
nggarap sawah atau
‘mengolah sawah’ adalah ungkapan yang
digunakan petani. Alat yang digunakan adalah pacul dan arit ‘cangkul’ dan ‘sabit’. Saat ini luku bajak’ masih digunakan meskipun sudah menggunakan traktor. Alat seperti arit ‘sabit’ dan pacul ‘cangkul’ belum dapat diganti dengan yang lain. Para petani pada masa pengolahan tanah pasti akan membawa arit dan pacul tersebut. petani masih menggunakan luku dan garu ‘bajak’ khususnya di bagian selatan yang merupakan
daerah
pesisir,
informan
mengatakan hal ini disebabkan karena tanah di bagian selatan Kebumen ini cenderung masih gembur karena mengadhung pasir pantai, Gambar 4.5: Petani membawa pacul ke sawah
sehingga tidak membutuhkan alat berat seperti traktor bahkan kadang kalau sawahnya tidak
lebar cukup dengan tenaga manusia dengan cara digadokki ‘dipukuli dengan menggunakan kayu supaya tanah menjadi gembur’. Pada masa pengolahan tanah petani menyiapkan lahan agar siap ditanami sambil menunggu bibit siap tanam. Setelah tanah siap maka salah satu ngluku dan 2 orang ngiciri, nipar, ngipuk ‘menaburkan binih padi’. Alat utama untuk mengolah sawah kayu ‘kayu’, Pacul ‘cangkul’ sehingga alat ini selalu dibawa petani sebagai alat untuk penggarap sawah terutama pada bagian tertentu. Bagian yang dimaksud adalah batas atau galengan ‘pematang sawah’ satu dengan lainnya. Galengan ‘pematang’ tersebut biasanya juga diperbaiki agar pada saat petani mengecek sawah dapat melewati galengan tersebut dan tidak menginjak-injak bibit yang sudah ditanam. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 124
Pada saat mengolah tanah ada kepercayaan yang merupakan mitos bahwa apabila tanah yang akan diolah ini adalah tanah yang baru saja dibeli, tanah tersebut harus dipacul dulu tiga kali dengan istilah telung kaclukan ‘tiga paculan’ terus ditinggal pergi. Keesokan harinya baru dilanjutkan mengolah tanah karena apabila langsung dicangkul dan ditanami, yang memiliki tanah akan mengalami sakit seperti yang pernah terjadi yakni pemilik sawah baru ini sakit tidak bisa buang air kecil dan air besar sampai pemilik tanah tersebut harus opname di rumah sakit. Si pemilik tanah baru bisa sembuh ketika dilakukan selamatan di sawah baru yang diolah tanpa cara yang telah disepakati secara konvesional ini. Oleh sebab itu, tidak jarang sebelum mengolah tanah baru ini diadakan kenduri dengan memberikan sesajen pada tanah tersebut pada saat hendak melaksanakan mencangkul tiga kali (telung kaclukan). Sesajen yang dibuat untuk tanah baru ini adalah: dawegan, komaran, pisang sepasang (raja 2, ambon 2), tumpeng, ingkung, kupat lepet, sekar telon (mawar, kenongo, kantil).
6) Ekspresi Linguistik Terkait Kategori Masa Pengolahan Sawah
Pada masa pengolaha sawah terdapat ekspresi petani yang berupa satuan lingual kata, frasa, serta
kalimat sampai pada tataran wacana. Ekspresi
tersebut mempunyai makna berkait dengan konteks sosial budaya. Ekspresi linguistic tersebut sebagai berikut.
Tabel 4.3: Ketegori dan Ekspresi Linguistik dalam Masa Pengolahan Sawah SATUAN LINGUAL Kata
EKSPRESI LINGUISTIK luku
kayu
MAKNA bajak
KETERANGAN Untuk membalikan tanah atau mengolah tanah untuk persiapan menanam paadi dan biasanya ditarik oleh hewan seperti kerbau atau sapi. Namun, sekarang sapi atau kerbau diganti traktor untuk daerah bagian tengah
Kayu commit to user Sebagai
alat
pembantu
untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 125
menggemburkan tanah
Frasa
ngipuk
menginjak- Hal ini dilakukan dengan tujuan injak tanah agar tanahnya lembek. sawah
ngiciri
menyirami Bagi petani yang ladangnya dekat dengan sungai atau memiliki sumur di sawah, petani tersebut dapat menyirami dengan air dari situ, tetapi bagian pesisir selatan ini biasanya merupakan sawah tadah hujan.
garu
alat untuk Biasanya kalau tanah selesai menghalusk dibajak, lalu dihaluskan dengan an hasil menggunakan garu. Apabila bajakan. menggunakan traktor, petani tidak perlu menggunakan garu.
traktor
traktor
Alat untuk membajak sawah dengan menggunakan motor sebagai pengganti bajak dan garu.
digadokki
menandai tanah
Petani biasanya membuat tanda di sawah untuk menempatkan bibit padi agar urut sehingga oksigen dapat merata pada tanaman padi.
nggarap sawah
mengolah sawah
Mengolah sawah dalam hal ini dilakukan petani yang bermukim di pesisir selatan yang merupakan sawah tadah hujan yang pada waktu banjir juga dapat berfungsi sebagai empang
telung kaclukan
tiga cangkulan
Kegiatan ini merupakan kepercayaan pada komunitas petani sebagai persyaratan bagi pemilik tanah baru apa bila ingin menanami sawahnya dengan mencangkul 3 cangkulan saja, kemudian ditinggal pergi dan baru ditanami hari berikutnya.
7) Pemikiran Terkait Ketegori Masa Tanam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 126
Masa tanam dilaksanakan setelah penyemaian benih menjadi bibit siap tanam. Ungkapan dan maksud ungkapan pada masa tanam. 1) nyampari ‘membuat garigaris dengan kaki untuk menandai tempat menanam padi’. 2) Ndhaut ‘mencabuti bibit’. petani (laki-laki) mengambil atau mencabuti bibit siap tanam dan kemudian tiap-tiap tiga sampai lima tempah (satu tempah sama dengan satu kolong jari-jari tangan) diikat menjadi satu dengan kenteng ‘tali’ yang sudah disiapkan sebelumnya dan disebut winih sak pocong ‘bibit satu ikat’. 3) Nempahi ‘menata bibit Gambar4.6: Benih padi baru disemai
yang sudah ditali secara urut dan rapi di sawah’. Petani (laki-laki) membawa bibit ‘bibit padi’ ke sawah yang sudah siap ditanami. Alat angkut bibit bernama kasang ‘alat angkut barang yang terbuat
dari anyaman bambu dalam bentuk sepasang dan menyatu’ sehingga dapat diletakkan di tempat boncengan (bagian belakang sepeda). 4) Tandur ‘menanam padi’ yaitu kegiatan menanam bibit padi dengan cara mundur yang dilakukan oleh petani wanita. Agar tanaman padi ditanam rapi dan mudah, dalam matun ‘penyiangan’ petani menggunakan kentheng sing wis di tampar, yaitu tali rafia yang telah dipilin. Petani wanita menanam bibit padi secara bergotong royong kira-kira 15- 20 orang tiap satu ubin ( satu ubin kira-kira 50 m persegi) sawah. Kentheng akan diangkat dua petani wanita yang tandur yang paling tepi (kanan dan kiri) untuk dipindahkan sebagai ukuran (pathokan) ke larikan berikutnya sehingga tanaman bibit menjadi rapi dari berbagai sisi. 5) Ngirim ‘membawakan makanan dan minuman ke sawah untuk para pekerja’. Ketika para petani wanita tandur ‘menanam padi’, anak atau keluarga yang lain membawakan makan ke sawah sebagai makan siang. Setelah itu, petani harus menunggu tiga sampai tujuh hari baru melakukan kegiatan berikutnya yaitu nglemon ‘pemupukan’.
8) Ekspresi Linguistik Terkait Kategori Masa Tanam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 127
Pada masa tanam dalam pelaksanaannya banyak dijumpai ekspresi linguistik yang berupa satuan lingual kata, frasa, serta
kalimat sampai pada
tataran wacana. Ekspresi tersebut mempunyai makna berkait dengan konteks sosial budaya. Ekspresi linguistic tersebut sebagai berikut.
Tabel 4.4: Ekspresi Linguistik dalam Kategori Masa Tanam SATUAN EKSPRESI MAKNA KETERANGAN LINGUAL LINGUISTIK kata nyampari membuat garis Membuat garis agar tanaman padi yang ditanam dapat rapi urut dengan baik. ndhaut mencabuti bibit Setelah mencapai usia 21 hari, bibit dapat dipindahkan ke sawah untuk ditanam. Bibit ini dicabuti. Ada beberapa petani kadang hanya membuat bibit dan menjualnya di pasar atau di tepi jalan sehingga ada petani yang langsung membeli bibit terus menanam. Namun, ada juga petani yang hanya membuat bibit, tetapi tidak menanamnya. tempah mendistribusik Pendistribusian ini biasanyaa belum an bibit yangdiatur masih secara acak. telah di ikatikat ke sawah kentheng tali Petani membuat tali dari rafia untuk dipakai menandai garis-garis tempat padi ditanam agar dapat rapi. mbanjari menandai Setelah ditandai dengan tali, masih digunakan bambu yang dilubangi untuk memberi jarak tanam agar teratur. Kecuali itu, kegiatan ini juga bertujuan agar kebutuhan makanan dan oksigen tanaman tercukupi kasang alat yang Agar lebih memudahkan petani dalam dipasang petanimenjual dan mengangkut hasil dibelakang tanamannya, mereka menggunakan sepeda motor. sepeda motor. Untuk itu mereka menambahkan alat seperti kayu melintang di bagian boncengannya. tandur menanam padi Menanam padi setelah menjadi bibit dengan cara mundur. Kegiatan ini disebut sebagai tandur ‘nanem karo mundur’ matun penyiangan Setelah padi ditanam, petani menyiangi sawahnya untuk mengambil rumput/gulma yang dianggap akan commit to mengganggu user pertumbuhan padi.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 128
ubin
larikan
ngirim
frasa
winih pocong
satuan ukuran Dalam menghitung luas tanah khususnya sawah petani biasanya menggunakan satuan ubin=50m. baris-baris Baris-baris yang dibuat petani dengan menggunakan tali rafia yang telah dikentheng ‘diplintir’ membawa Ngirim dalam hal ini adalah mengirim makanan untuk makan siang ayah atau ibu yang sedang pekerja bekerja di sawah. Mengirim biasanya dilakukan oleh mbok tani untuk pak tani atau anak mereka ke sawah. sak bibit satu ikat Bibit yang sudah siap ditanam akan diikat-kat untuk dijual atau ditanam agar mudah untuk membawanya.
9) Pemikiran Terkait Ketegori Masa Pemupukan ‘nglemon’35
Ungkapan yang berupa kata dan frasa digunakan pada masa nglemon ‘pemupukan’. Nglemon ‘pemupukan’ tanaman padi harus dilakukan oleh para petani dengan menggunakan lemon ‘pupuk kandang hasil dari kotoran binatang peliharaan’ sebanyak tiga kali dengan tahapan sebagai berikut. 1) nglemon pisanan ‘memberi pupuk pertama kali’. Nglemon pisanan yaitu pemupukan dasar yang dilakukan oleh petani pada umur tanaman baru tujuh hari. Jenis pupuk tambahan yang digunakan apabila pupuk kandang tidak mencukupi urea. Tujuan pemupukan ini adalah untuk memperkuat oyot ‘akar’ dan damen ‘batang padi’ yang baru saja ditanam. 2) nglemon pindho ’memberi pupuk kedua’. Nglemon pindho yaitu pemupukan pertumbuhan dengan pada umur tanaman 2 minggu sambil didangir ‘dicabuti rumput yang tumbuh disawah’. 3) nglemon pungkasan ‘memberi pupuk yang terakhir’. nglemon pungkasan pemupukan tahap akhir atau penutup bertujuan memperbesar bunga dan buah. Pemupukan ini dilakukan setelah padi berumur antara 90 hari.
10) Ekspresi Linguistik Terkait Kategori Masa Pemupukan ‘nglemon’ 35
Nglemon dimaksudkan agar tanaman menjadi lemu’gemuk’ dengan anggapan bila tanaman commit to user gemuk maka tidak mudah terserang penyakit dan tanbah subur.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 129
`Pada masa pemupukkan dalam pelaksanaannya banyak dijumpai ekspresi linguistik yang berupa satuan lingual kata, frasa, serta
kalimat sampai pada
tataran wacana. Ekspresi tersebut mempunyai makna berkait dengan konteks sosial budaya. Ekspresi linguistic tersebut sebagai berikut.
Tebel 4.5: Ketegori dan Ekspresi Linguistik dalam Masa Pemupukan SATUAN LINGUAL kata
frasa
EKSPRESI LINGUISTIK
MAKNA
KETERANGAN
nglemon
pemupukan
Pemupukan dilakukan oleh petani lebih dari satu. Dengan demikian, ada ungkapan nglemon pisan, nglemon pindho’.
oyot
akar
Akar padi ini kadang bisa dimakan uret yang merupakan hama tanaman padi gaga. Oleh karena itu, di lokasi penelitian digunakan cara tanam bergantian untuk memotong siklus hama uret ini.
damen
batang padi
Setelah padi dituai, pohonnya dapat diambil sebagai makanan ternak atau ada yang dijual untuk makanan ternak petani lain apabila sudah melebihi porsi makanan bagi ternaknnya sendiri.
ndangir
mencabut Ndangir dilakukan pada tanah ladang. rumput/ menyiangi rumput dengan menggunakan pacul
cemendil
kotoran kambing
nglemon pisanan
memberi Setelah padi ditanam, padi diberi pupuk pupuk kandang untuk pertama kali pada saat padi pertama kali berumur 7 hari
nglemon pindho
memberi Memberi pupuk yang kedua dilakukan pupuk kedua pada padi berusia 10-15 hari.
nglemon pungkasan
memberi Pemupukan terakhir dilakukan pada saat commit to padi user berusia 20-25 hari menjelang pupuk
Kotoran kambing ini sebelum dipakai sebagai pupuk biasanya diolah terlebih dahulu secara sederhana.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 130
terakhir
dipanen.
11) Pemikiran Terkait Kategori Masa Pemeliharaan ‘matun’
Para petani menggunakan ungkapan yang berbentuk satuan lingual pada masa pemeliharaan, yakni matun ‘penyiangan’. Matun dilakukan dalam tiga tahapan sebagai berikut. 1) Nyoroki ‘penyiangan tahap awal menggunakan sorok’ ‘alat yang digunakan
disebut
sorokan’. Sorokan dibuat dari kayu yang berbentuk bulat dan atau lonjong yang dipenuhi dengan paku. Paku ditancapkan tidak terlalu dalam ke kayu. Paku-paku tersebut terbentuk seperti landak sehingga dapat
menarik
rumput
atau
tanaman
pengganggu lain yang berada di antara
Gabar 4.7: Petani mengolah tanaman pengganti yakni kacang
tanaman padi. Nyoroki dapat dilakukan oleh petani lelaki atau wanita. Pada saat nyoroki inilah larikan tanaman padi yang rapi ketika masa tanam membantu memudahkan pekerjaan nyoroki. Pemeliharaan ini dilakukan ketika tanaman padi berumur 12 sampai dengan 20 hari. 2) matun pisan ‘menyiangi gulma yang pertama kali dilakukan’. Matun dilaksanakan pada umur tanaman 14 sampai dengan 21 hari sehingga nyoroki dan matun selalu beriringan. 3) Matun pindho ‘menyiangi gulma yang kedua’. Matun ini dapat diulangi lagi pada tanaman padi mencapai umur empat minggu atau 30 hari. Hal ini dilakukan pada gulma yang tumbuh setelahdilakukan pemupukan’. Setelah nglemon dan matun ‘pemupukan dan penyiangan’, petani biasanya juga mengontrol tanaman padi, air, dan binatang pengganggu, yaitu manuk ‘burung’ dan walang ‘belalang’ dengan cara masing-masing sesuai dengan kasus yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 131
dihadapainya. Untuk mengusir manuk ‘burung’ biasanya petani membuat keprak ‘orang-orangan’ dari kayu dan plastik berwarna hitam atau bekas baju yang dibuat mirip manusia. petani beranggapan keprak tersebut membuat burung akan takut dan tidak mengganggu padi. Dua minggu sebelum masa panen, para petani nggawe bibit ‘menyiapkan tempat pembibitan’ persiapan masa tanam berikutnya (tahap kedua). Pada masa ini biasanya petani memotong padi yang sudah menguning beberapa jengkal sesuai dengan kebutuhan penyiapan tempat pembibitan. Hal ini dilakukan pada padi mudhun sepisan ‘turun pertama’.
12) Pemikiran Terkait Kategori Aneka rumput ‘suket’
Pada saat perawatan petani mengenali beberapa jenis rumput yang tumbuh di sekitar sawah sehingga petani dapat memilih rumput mana yang merupakan gulma dan rumput mana yang tidak, bahkan mengerti jenis rumput yang berguna sebagai obat dan makanan ternak (lihat Wakit, 2013: 351).
a) Suket Teki ‘rumput teki’
Suket teki ‘rumput teki’ yaitu jenis rumput yang memiliki ciri fisik buahnya seperti kentang hitam di pangkalnya, namun kecil secara tradisional buahnya digunakan untuk ramuan obat tradisional seperti untuk menurunkan panas tubuh, dan perangkat spiritual untuk sesaji ketika mau melaksanakan semedi ‘bertapa’. Perangkat sesaji saket-teki ‘rumput teki’ itu dapat ditelisik dari ekspresi nonverbalnya (simbiolis) dalam teteki ‘bertapa’ atau semedi ‘bertapa’. Menurut persepsinya unsur leksikal teki36 dalam suket teki ‘rumput teki’ mengalami reduplikasi awal menjadi teteki ‘bertapa’. Secara alami suket teki ‘rumput teki’ daunnya dimanfaatkan untuk bahan humus guna menyuburkan tanah berpasir milik pribadi atau milik negara di sepanjang pesisir selatan Kebumen sebagai 36
Secara verbal teki sebagai nama rumput dapat dijadikan nama bahan obat tradisional yang bersifat fisik, dan secara nonverbal menunjuk pada perilaku spritiual teteki nya ‘bertapa’ itu yang bersifat metafisik (informan : Pak Barjo, 46 commit to user tahun, Kyai )
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 132
lahan garapannya. Mdengan demikian tanah berpasir dapat bertambah kandungan nutrisinya setelah rumput tersebut membusuk secara alami di tanah berpasar itu, di samping bermanfaat untuk makanan ternaknya.
b) Suket Pulutan ‘rumput pulutan’
Secara morfologis dari kata pulutan ‘seperti pulut’. Secara fisik rumput itu merupakan jenis rumput yang dapat menempel pada benda lain seperti celana wisatawan, nelayan, dan masyarakat setempat jika melewati areal rumput pulutan di lahan berpasir. Rumput pulutan secara alami bermanfaat untuk mengurangi debu pasir ketika angin laut maupun angin darat berhembus, sehingga udara disekitarnya tetap aman dari hamburan debu pasir. Rumput pulutan dalam jumlah banyak dapat ditata rapi untuk menahan derasnya air hujan di lahan berpasir, sehingga pematang lahan yang berfungsi untuk pembatas lahan yang lebih tinggi dengan lahan yang lebih rendah, teraseringnya menjadi lebih kuat dan membuat ladang berpasir tetap rapi. Berdasarkan potensi alaminya rumput pulutan ini juga dapat diolah menjadi humus untuk menyuburkan tanah berpasir setelah mengering kena sinar matahari dan membusuk tersiram air hujan di lahan itu.
c) Suket Dhepleng ‘rumput dhepleng’
Suket dhepleng ‘rumput dhepleng’ merupakan Jenis rumput di pesisir selatan Kebumen bermanfaat untuk memperkuat posisi dan tekstur tanah, sehingga mengurangi erosi tanah berpasir. Jenis rumput ini memilki ciri daunnya hijau lemas halus lonjong dan mengeluarkan gatah putih bening jika dipatahkan batangnya. Menurutnya getah rumput itu dapat dimanfaatkan untuk obat tradisional yaitu diteteskan pada luka baru, agar cepat mengering. Tumbuhnya menjalar kesana kemari sesuai dengan liku – liku lahan, kecuali ditata sedemikian rupa sehingga menjadi lebih rapi untuk menahan gerusan tanah berpasir. Jenis rumput ini banyak ditemukan, karena tumbuh liar dan subur di lahan berpasir. commit to user Secara potensial rumput dhepleng ini dapat hidup dilahan berpasir, meskipun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 133
tanah di sana tidak banyak menahan resapan air untuk hidup rerumputan disana. Menurutnya jenis rumput ini dapat hidup dengan rintik – rintik embun malam hari, terutama ketika musim kemarau atau hujan belum turun, sehingga tetap bisa hidup. Secara potensial rumput dhepleng bermanfaat dijadikan humus untuk menyuburkan tanah, sehingga dapat menambah kandungan nutrisi tanah berpasir jika membusuk di lahan itu.
d) Suket Dileman ‘rumput dileman’
Suket jenis ini merupakan jenis rumput yang dapat hidup ditanah berpasir pesisir selatan Kebumen. Secara fisik rumput itu bercirikan tumbuh menjalar, jika dipatahkan batangnya mengeluarkan getah putih, memiliki bunga kecil putih, daun hijau bentuknya oval dan teksturnya lemah halus. Seperti rumput lainnya secara alami bermanfaat untuk menahan erosi tanah berpasir dari guyuran hujan dan hembusan angin. Seperti lainnya rumput dileman ini dalam jumlah banyak dapat menambah humus untuk menyuburkan tanah berpasir, karena gampang menyatu dalam tanah berpasir jika telah mengering terkena terik matahari dan membusuk tersiram hujan di lahan itu. Secara umum bermanfaat menambah humus lahan yang dibudidayakan untuk tanaman seperti gandhul kalifornia ‘pepaya kalifornia’.
e) Suket Dhukut-gulung ‘rumput dhukut-gulung’
Merupakan salah satu jenis rumput yang tumbuh
di
Kebumen.
tanah Sebagai
berpasir rumput
pesisir pesisir
selatan dapat
bermanfaat untuk memperkuat tekstur tanah di pesisir laut, karena secara fisik suket dhukutgulung ‘rumput dhukut-gulung’ berakar kuat, sehingga dapat menyangga batangnya berdiri commit to user Dambar 4.8: Dukut Gulung
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 134
tegak, batang rumput kaku seperti bambu kecil, akar tumbuh memanjang ke kanan dan ke kiri, ± 30 cm tumbuh batang tegak untuk menahan daun, akarnya bisa memenjang sampai puluhan meter mengikuti topografi tanah berpasir di sana, dan daunnya tersusun dan bentuknya seperti daun pandan kecil tetapi tidak berduri. Secara potensial rumput di pesisir selatan Kebumen ini dapat menjadi humus tanah berpasir, baik tanah milik negara maupun milik sendiri ketika telah mengering dan membusuk.
f) Suket Jalantrang 'rumput jalantrang''
Sujet jalantrang ‘rumput jalantrang merupakan jenis rumput yang hidup di tanah berpasir pesisir selatan Kebumen. Seperti rumput lainnya bermanfaat untuk memperkuat posisi tanah berpasir, yaitu untuk menahan erosi tanah berpasir ketika hujan tiba dan pasir bertaburan menjadi debu karena hembusan angin kencang. Ciri fisiknya yaitu tekstur daunnya kombinasi warna hijau, kecoklatan, kaku, mirip daun tebu tetapi kecil, batangnya menjalar setiap ±10-15 cm ruasnya tumbuh daun, tumbuh mengikuti liuk-liku lahan, jika dipatahkan batangnya mengeluarkan getah putih bening. Dapat menjadi obat tradisional, seperti obat sakit keju 'rematik'. Seperti lainnya rumput ini bermanfaat untuk menahan erosi tanah, karena jenis rumput ini tumbuh subur di lahan berpasir. Secara potensial jenis rumput jalantrang ini dapat hidup di lahan yang kurang bisa menahan resapan air untuk kebutuhan hidupnya.
g. Suket Kapukan 'rumput kapukan'
Kata kapulan secara morfologis berasal dari bentuk kapuk+an 'seperti kapuk'. rumput itu merupakan salah satu jenis rumput yang hidup di tanah berpasir pesisir selatan Kebumen. Karakteristik rumput itu tumbuh tegak (tidak menjalar), batangnya bercabang, memiliki bunga kecil putih yang mirip bunga kapuk, maka disebut suket kapukan 'rumput kapukan', daun hijau bentuknya oval commit to user dan teksturnya lemas halus. Rumput iui disebut kapukan karena bentuk dan wama
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 135
bunganya seperti kapuk. Manfaatnya seperti rumput lainnya untuk menahan erosi tanah berpasir ketika hujan tiba, dan secara alami limbahnya untuk humus tanah berpasir setelah mengering karena terik matahari dan membusuk karena air hujan.
h. Suket Kemangian’rumput kemangian’
Seperti nama-nama rumput yang lain nama kemangian juga dapat diamati melalui bentuk morfologisnya berasal dari bentuk
kemangi+an
'(baunya)
seperti
kemangi'. Menurutnya rumput itu baunya menyengat seperti daun kemangi yang dapat hidup di tanah berpasir peisisir selatan Kebumen. Bermanfaat untuk memperkuat tekstur tanah dari terpaan angin daya dan air Dambar 4.9: Rumput Kemangian
hujan, sehingga menahan erosi dan debu yang berhamburan. Karakteristiknya daun
bercabang tiga, warna daua hijau, daunnya lembut dan lemas, baunya sengar 'menyengat' seperti daun kemangi, maka disebuat rumput kemangian 'daunnya berbau seperti kemangi'. Jenis rumput kemangian itu semua binatang piaraan tidak mau memakan, karena sengar 'menyengat' baunya. Menurutnya limbah rumput ini menjadi humus tanah setelah mengering terkena ten'k matahari dan membusuk karena hujan. Oleh karena daunnya rimbun, lemas, lebar dan teba memungkinkan limbahnya banyak memberi nutrisi untuk tanah berpasir.
i. Suket Sandhurid' rumput sanduria'
Jenis rumput lain yang dapat hidup di tanah berpasir pesisir selatan Kebumen. Secara alami bermanfaat untuk memperkuat posisi dan tekstur tanah agar tidak terkena erosi ketika hujan menahan berhamburnya debu ketika commitdan to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 136
angin daya bertiup. Jenis rumput ini secara fisik bercirikan daunnya bulat, waraa hijau, lembut dan lemas, bau daunnya seperti bayam, batangnya tumbuh bercabang, untuk obat tradisional seperti bobokan 'olesan badan' (obat luar) ketika si anak sedang deraam. Di samping itu untuk makanan ternak piaraan seperti sapi dan kambing. Di samping untuk makanan ternak sapi, obat tradisional bobokan badan', juga dimanfaatkan untuk menahan erosi tanah berpasir, karena
rumput
sandhuria itu banyak ditemukan di sana.
j. Suket Gajah 'rumput gajah'
Suket
gajah
‘rumput
gajah
merupakan yang banyak dijumpai di pinggir sawah dan rumput jenis rumput yang laku dijual, karena setiap peternak sapi lebih menyukai rumput ini dari pada rumput lainnya. Alasannya setelah dicampur dengan bekatul Gambar 4.10: Rumput gajah
dapat
menambah
gisi
dan
mempercepat berkembangnya fisik sapi, baik sapi pedaging maupun tipe sapi perah. Oleh
karena itu suket gajah 'rumput gajah' menjadi pilihan utama untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ternak sendiri, di samping untuk memenuhi konsumsi ternak orang lain. Rumput gajah ini dibudidayakan di lahan berpasir milik negara di pesisir selatan Kebumen, tetapi juga banyak yaiig ditanam di lahan sendiri seperti di sawah atau ladang yang memungkinkan rumput gajah itu dapat tumbuh subur. Rumput tersebut dapat tumbuh subur di lahan berpasir setelah humus dan lemon 'pupuk' berupa cemendhil 'kotoran kambing' dan tlepong 'kotoran
sapi'
ditaburkan guna memperbanyak nutrisi tanah. Aktivitas ini menunjukan kearifan petani dan membudidayakan berbagai tanaman di tanah berpasir tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 137
13. Ekspresi Linguistik pada Kategori Pemeliharaan Tanaman Padi ‘matun’ Dalam masa pemeliharaan tanaman padi ‘nglemon’ petani mengenali berbagai jenis rumput yang dapat diamati dari ekspresi linguistiknya. Ekspresi linguistik itu berupa satuan lingual seperti pada tabel berikut.
Tabel 4.6: Kategori dan Ekspresi Linguistk Masa Pemeliharaan dan Matun SATUAN LINGUAL
Kata
Frasa
EKSPRESI LINGUISTIK
MAKNA
KETERANGAN
matun
Hal ini dilakukan untuk mengambil menyiangi rumput rumput atau gulma yang mengganggu tanaman padi di sawah.
nyoroki
menggaruk
Menggaruki sawah agar rumput kecilkecil tidak tumbuh/ supaya mati
manuk
burung
Burung ini adalah burung pipit, gelatik pemakan padi. Biasanya pada saat padi mulai berisi bersamaan masa perkembang biakannya yakni telurnya menetas.
walang
belalang
Belalang merupakan hama yang memakan daun tanaman biasanya dan padi tertentu.
keprak
orang-orangan
Orang-orangan/keprak mulai diaktifkan pada saat padi mulai menguning karena pada saat ini telur burung mulai menetas dan induknya terbang ke sawah untuk menghisap isi padi.
Suket
Teki, Pulutan, Rumput yang beraneka jenis ini Dhepleng, dikenali dengan baik oleh para petani Dileman, kapukan, karena mereka sering jalantran, menggunakannya untuk keperluan kemangian, tertentu sandhurid, gajah
matun pisan
menyiangi rumput Matun pisan dilaksanakan pada umur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 138
tahap pertama
matun pindho
tanaman 14 s.d. 21 hari.
Matun pindho pada tanaman padi mencapai umur empat minggu atau 30 menyiangi rumput hari. Hal ini dilakukan pada gulma tahap kedua yang tumbuh setelah dilakukan pemupukan.
Dhukut gu7lung karena bentuknya Jenis rumput yang yang bulat dan bergulung-gulung Dhukut gulung hidup di pesisir kalau tertiup angin di sepanjang yang panas pantai yang panas
14. Pemikiran Terkait Ketegori Selama Masa Panen’jabel’
Panen pada ranah pertanian di pesisir Selatan ini berkait dengan ekspresi linguistik tentang aktivitas masa jabel ‘masa panen’ yang terdiri atas alat yang dipakai, sebutan aktivitas yang langsung, serta hasil yang diperoleh saat panen. Sebelum panen dimulai, diadakan ritual sebagai ucapan syukur kepada sang Gambar 4.11: Damen yang telah dibongkok untuk makanan ternak
pencipta
yang
panenan
yang
telah
memberikan
berlimpah.
Upacara
tersebut disebut dengan jabel37 ‘petik’. Tradisi ini terdiri atas dua jenis yaitu buangan ‘sesajen yang dibuang’ dan megana ‘nama tumpeng’. Tumpeng dengan sayuran dan telur di dalamnya setelah didoakan bersama terus tumpeng dibuka, lalu dimakan bersama-sama seluruh odean ‘buruh pembantu memetik padi’. Sebagai buangan ‘untuk yang dibuang’ terdiri dari daun pitikan untuk buangan dipojok sawah. Sesajinya berupa berbagai hal ditaruh di takir. Isinya beras ada yang kuning dan putih, gula kelapa, jenang abang putih, kembang talon (mawar, kenanga, dan kantil) ditambah kemenyan di taruh di takir ‘ tempat untuk menaruh sesajen yang dibuat dari daun pitikan. Takir yang berisi sesajen itu dibuang di 37
Jabel dapat pula dimaknai sebagai mengambil kembali binih yang dititipkan kepada Dewi Sri commit to userkeluarga untuk dibawa pulang sebagai makanan yang menghidupi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 139
pojok sawah. Kalau untuk yang makan adalah nasi tumpeng megana (merga ana= ana panen berarti ada rezeki dan berkat yang perlu disukuri), lauknya ampas kelapa, dimasak pakai dengan menggunakan daging ayam atau menthok yang dicacah, serta telur ditaruh di dalamnya. Lauk di sekitar berupa sayur oseng, rempeyek, srundeng, serta takir untuk buangan. Bentuk tumpeng dan nama tumpeng ini sama dengan yang ada di desa Watu Agung di Banyumas. Namun, berbeda dengan yang ada di pusat budaya Solo dan Yogja yang tumpeng tidak berisi, tetapi semua lauk pauknya ada di luar tumpeng tersebut. Ungkapan yang digunakan untuk menyebutkan nama peralatan petani adalah sebagai berikut. 1) Ani-ani ‘ketam’ digunakan petani untuk memetik padi yang tinggi. Namun, ketam saat ini sudah jarang karena petani memilih jenis padi yang pendek sehingga tidak perlu lagi memanen dengan menggunakan ani-ani ‘ketam’. Selain itu ani-ani ‘ketam’ sekarang sudah ditinggalkan karena dianggap kurang efektif karena hanya dilakukan oleh petani wanita mbok tani. 2) Rit ‘sabit yang berbentuk bulan sabit kalau di Jawa Tengah disebut clurit’ digunakan untuk mengganti ani-ani yang dianggap kurang efektif. Dengan rit panen padi dapat dilakukan oleh pria dan wanita dengan waktu yang jauh lebih cepat daripada dengan ani-ani. 3) rontok ‘perontok padi’. Setelah dipotong dengan rit ‘clurit’ padi harus dirontokkan dengan alat yang disebut rontok. Rontok ‘perontok padi’ terbuat dari berbagai bahan (dibeli di toko-toko peralatan pertanian) dan digerakkan dengan kaki, sedangkan tangan digunakan untuk memegani pohon padi yang dirontokkannya. Rontok hanya dimiliki oleh beberapa petani setiap kampung. Di pesisir Selatan ini pada saat petik banyak sekali orang yang menjajakan dawet di sekitar sawah dengan tujuan membantu para petani yang kepanasan ngorong ‘dahaga’. Dengan dawet ini, para petani dapat melepas dahaga dengan memberi sejimpit gabah secara suka rela. Dalam sistem ini dijuluki sebagai uruban ‘barter’. Dengan sistem ini, dapat ditandai adanya kearifan lokal sebagai barter komuditas sehingga mereka saling merasakan apa yang tidak dimiliki. Bila dihitung-hitung dengan uruban, para penyedia dawet ini akan mendapat lebih commit to gabah user dijual. Dalam hal ini terbukti banyak hasil apabila hasil pengumpulan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 140
bahwa dalam masyarakat sederhana di pesisir Selatan tidaklah materialistis (menghitung segala sesuatu dengan dengan uang). Namun, mereka
lebih
menekankan pada saling memberi dan membantu. 4) Mesin rontok ‘perontok padi yang dijalankan dengan mesin’. Mulai banyak dipakai para petani dengan cara menyewa dan sudah ada yang mengelola dari pihak persewaan. Petani harus menyewa sekitar Rp 150.000,00 untuk merontokkan padi satu ubin ‘satu tapal sawah’. Setelah dirontokkan,
gabah dibawa pulang dan hari-hari berikutnya
gabah dipeme ‘dikeringkan dengan sinar matahari’ menjadi gabah garing ‘padi yang kering’. Gabah garing (padi/gabah kering) biasanya dimasukkan dalam karung, lalu ditimbang, kemudian disimpan dalam ruang khusus yang disebut dengan balean, sepen, genuk, lumbung. Lumbung ada dua jenis yaitu yang berbentuk ruangan dinamakan lumbung sepen ‘ruang lumbung’. Tempat yang terbuat dari tempayan disebut sebagai genuk. Selain genuk dan lumbung sepen ada juga lumbung bersama yang dinamakan lumbung paceklik ‘tempat penyimpanan beras bersama’. Lumbung ini dipakai membantu bagi warga yang kekurangan beras pada waktu musim paceklik. Biasanya mereka mengembalikan pada saat telah panen lagi di kemudian hari. Semua petani mempunyai lumbung dengan ukuran disesuaikan dengan jumlah padi petani. Petani biasanya juga menjual sebagian hasil panen untuk berbagai keperluan mereka. Penjualan dapat dilakukan di sawah atau ditebaske sebelum ‘dipanen’, atau didol ‘dijual di rumah setelah dipanen’. Perlu dijelaskan pula bahwa beberapa ungkapan juga digunakan, misalnya, pada masa panen ada tukang tebas ‘pembeli padi di sawah’ sehingga pemilik tinggal menerima uang saja. Dalam hal ini biasanya ada beberapa petani yang menjual hasil panen dengan cara nebaske ‘menjual padi di sawah’ karena beberapa pertimbangan antara lain, mereka membutuhkan uang dengan segera atau hasil panen tidak terlalu baik sehingga lebih baik langsung dijual ke tukang tebas. Ungkapan lain yang digunakan adalah meme atau mepe ‘mengeringkan padi atau gabah di bawah sinar matahari’ dan dilakukan di halaman rumah masingmasing atau di jalan raya. Selanjutnya petani langsung nggarap sawah ‘mengolah tanah’ untuk persiapan tanam ke dua yang disebut satdon. Namun, ada pula yang commit to user dengan menanam kacang brul tidak melaksanakan satdon, tetapi menggantikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 141
‘kacang tanah. Hal ini dimaksudkan untuk memotong hama tanaman. Setelah itu, dilanjutkan menanam jagung. Kemudian kembali pada tanam padi lagi.
15. Ekspresi Linguistik Terkait Kategori Masa Panen ‘jabel’
Sebagai bagian integral masyarakat Jawa, dalam penetapan masa panen terdapat ekspresi petani yang berupa satuan lingual kata, frasa, serta kalimat sampai pada tataran wacana. Ekspresi tersebut mempunyai makna berkait dengan konteks sosial budaya. Ekspresi linguistic tersebut sebagai berikut.
Tabel 4.7: Ketegori dan Ekspresi Linguistik Selama Masa Panen SATUAN LINGUAL kata
EKSPRESI LINGUISTIK
MAKNA
KETERANGAN
jabel
masa Panen
buangan
sesajen yang dibuang Sesajen yang tidak dapat dimakan manusia dibuang untuk makanan sang penunggu.
takir
tempat sajen
Tempat untuk meletakkan buangan biasanya terbuat dari daun mangkokan.
balean/genuk
lumbung
Tempat menyimpan padi.
sepen
uruban
Dapat diartikan sebagai menjabel kembali benih padi yang dititipkan kepada Dewi Sri karena telah berhasil.
Tempat menyimpan padi bersama. Biasanya setiap desa memiliki sepen bersama untuk mencadangi apabila ada petani yang kehabisan beras dapat meminjamnya dari sini. Apabila panen berikutnya, mereka berkewajiban mengembalikan. Namun, sekarang ini tidak setiap desa memiliki sepen. barter
Barter berlangsung antara petani saat memanen padi di sawah dengan penjual dawet karena commit to user mereka merasa haus kepanasan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 142
Para petani hanya memberikan padi seikhlasnya kepada penjual dawet.
frasa
ditebaske
dijual sebelum panenBiasanya hasil panen ada yang dibawa pulang ke dijual sebelum dipanen karena rumah yang punya membutuhkan dana.
ijon
menjual padi sebelumPadi ini kadang dijual sebelum masak masak bila sang petani membutuhkan uang untuk keperluan tertentu, misalnya harus membayar sekolah anaknya atau mengadakan hajatan.
meme
mengeringkan padiPadi yang telah dirontok menjadi dengan sinar matahari gabah terus dijemur di depan rumah masing-masing di atas bagor/karung plastik, lalu pada sore hari digulung.
gabah garing
gabah yang kering
tukang tebas
pembeli padi disawah Tukang tebas ini biasanya berkeliling desa untuk membeli beras sebelum waktunya.
mesin rontok
mesin perontok padiMesin yang dipakai untuk dengan mesin merontokkan padi dari tangkainya setelah dipanen. Biasanya kegiatan ini dilaksanakan langsung di tepi sawah setelah dipanen.
sudahGabah yang sudah kering ini siap untuk diselepkan/diolah menjadi beras yang siap untuk dikonsumsi. Biasanya menyelepkan ini hanya seperlunya saja agar padi tahan lama.
16. Pemikiran Terkait Kategori Masa Pasca Panen ‘mboyong mbok Sri’
Bagi masyarakat pesisir Selatan, sawah tidak sekadar menjadi sumber mata pencaharian dan menyimpan nilai kearifan lokal di dalamnya, seperti tampak dalam upacara pascapanen yang
dikenal upacara mboyong mbok Sri/ Dewi
Sulasih ‘membawa Dewi Padi kecommit rumah’tosetelah user upacara methik yang dinamakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 143
sebagai jabel. Dalam upacara mboyong mbok Sri/Dewi Sulasih tampak terlihat perilaku untuk memuliakan Mbok Sri atau Dewi Padi. Secara sistem tanda, Mbok Sri merupakan simbol pangan yang merupakan sumber kehidupan/makanan pokok. Dengan dimuliakan, diharapkan ketersediaan pangan akan tercukupi, harga pangan murah, dan jumlah melimpah. Dengan demikian, tidak ditemukan lagi orang yang kekurangan dan kesulitan memperoleh pangan. Setelah upacara jabel
sebagai
pembukaan untuk memetik padi pethik pari,
ritual ditutup dengan makan nasi
secara bersama-sama yang dibawa dari rumah.
Kebersamaan
ini
menyiratkan
maksud menyatunya segenap warga di tempat tersebut. Adapun padi yang telah dirontok (zaman dulu dibuat dalam bentu boneka, lalu boneka ini disebut boneka
Dambar 4.12: Gabah yang baru dirontok kemudian dijemur
pengantin), padi dibawa pulang ke rumah dengan cara digendong dan dipayungi untuk disimpan di sepen, balean ‘lumbung’. Ada anggapan lumbung ini merupakan tempat khusus untuk Mbok Sri beristirahat. Tempatnya dialasi daun tawas dan diberi air putih satu gelas agar suasana dingin sehingga Mbok Sri/ Dewi Sulasih betah tinggal. Daun tawas menyiratkan kehati-hatian mawas atau hemat dalam menggunakan padi dan banyu adem. Hal ini bermaksud agar padi lebih tahan lama saat disimpan. Gabah yang sudah dibawa pulang akan dipepe ‘dijemur’ setiap hari di depan rumah atau di tepi jalan dengan menggunakan plastik. setelah sore hari, plastik ini akan digulung ‘dilipat melingkar’ sampai besuk pagi harinya dijemur lagi sampai gabar menjadi gabah garing. Apabila gabah sudah kering, gabah
akan diselepke “diselepkan” menjadi beras. Gabah
yang kecil-kecil
lembut disebut menir. Kulit padi terdapat dua jenis yaitu mendong ‘dedak’ dan yang lembut ‘lembut’ disebut sebagai katul ‘bekatul ’. Bagian lain yang tidak dibawa pulang adalah damen/wit pari ‘pohon pari’ commit to user dan lamen/ gagang pari ‘tangkai padi’ yang dibongkok ‘dibendel’, lalu dijual di
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 144
pinggir sawah atau diangkut ke pinggir jalan besar sebagai makanan ternak dengan harga Rp 5000,00 per bendel. Oleh sebab itu, pada pascapanen padi akan banyak dijumpai beberapa bendel damen ini ditepi jalan sepanjang jalan raya hampir di setiap kecamatan. Para petani yang tinggal ditepi jalan raya dapat menjadi pengepul bagi petani yang lain dan dibayar apabila damen ini sudah laku.
17. Ekspresi Linguistik pada Kategori Pasca Panen Pada saat pasca panen petani banyak menggunakan ekspresi linguistic yang berupa satuan lingual kata, frasa, serta kalimat sampai pada tataran wacana. Ekspresi tersebut mempunyai makna berkait dengan konteks sosial budaya. Ekspresi linguistic tersebut sebagai berikut
Tabel 4.8: Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Masa Pascapanen SATUAN EKSPRESI LINGUAL LINGUISTIK kata
MAKNA
KETERANGAN
diselepke
dimasukkan kedalam Padi yang sudah kering menjadi mesin selep yakni gabah dimasukkan ke dalam mesin mesin yang dipakai selep untuk dijadikan beras. untuk mengelupas kulit gabah
mendang
brambut kecil-kecil Pada saat beras dimasukkan ke yang masih bersama dalam mesin selep keluarnya beras kadang-kadang masih bersama dengan mendang ini.
beras
beras
Gabah yang sudah diselep dan siap dimasak menjadi nasi.
menir
beras yang lembut
Gabah yang diselepkan kadang bisa pecah menjadi beras kecil-kecil yang disebut menir, tetapi bisa juga terjadi karena memang gabahnya tidak sempurna isinya.
brambut
sabut
Kulit padi yang paling luar.
mendong
dedak commit to user Kulit ari padi sisa selepan yang masih kasar biasanya untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 145
makanan ternak. katul
bekatul
Kulit ari pada beras yang jika beras diputihkan akan membentuk sisa yang disebut katul. Sisa ini adalah yang paling lembut sehingga dapat dimasak menjadi bubur katul yang banyak mengadhung vitamin B.
damen/wit pari pohon padi
Pohon padi yang sudah diambil padinya dan masih dapat dipakai untuk makanan ternak dan ada yang dijual kalau sudah mencukupi kebutuhan ternaknya sendiri.
lamen/gagang daun padi terakhir pari
Daun padi yang terakhir dekat dengan bulir padi ketika masih ada ani-ani ‘ketam’ dipakai sebagai patokan pembatas pemotongan padi supaya masih bisa diikat.
merang
kumpulan gagang padi Biasanya tangkai padi dipakai sebagai bahan pembuat shampoo atau sebagai campuran pembuatan dawet maka daerah ini terkenal dengan dawet hitam
ageman
ikatan padi
Bulir-bulir padi dikumpulkan menjasi satu kemudian diikat. Ikatan ini disebut ageman. Hal ini dilakukan untuk memudahkan membawa pulang namun sekarang sudah tergantikan dengan karung karena sudah ada mesin perontok.
dibongkok
dibendel
Sisa pohon padi yang telah di potong dibendel dengan rapi sehingga mudah untuk membawanya.
18. Pemikiran Terkait Jenis dan Manfaat Tanaman Penyela
Dalam bercocok tanam, masyarakat menggunakan sistem tanam bergantian antara padi, kacang brul, dan terakhir jagung. Giliran ini dahulu sama semuanya. commit to user Dalam perkembangannya, sekarang menjadi pilihan ada yang setelah padi terus
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 146
jagung,
dilanjutkan
kacang
brul.
Penggunaan sistem tanam bergantian ini dimaksudkan untuk memotong siklus hama pada padi ladang. Karena tidak menggunakan acuan pranata manga rendheng
yang rigit, pada musin sebagian
dari
mereka
memanfaatkan tanam kedua dengan Gambar 4.13: Tanaman penyela yang bevariasi
menanam
selain
padi.
Dengan
demikian, terdapat variasi tanaman di daerah pesisir Selatan ini. Variasi itu nampak seperti deretan petak-petak yang berbeda, yakni ada petak padi, petak kacang brul, serta petak jagung. Semua itu bergantung selera dan perhitungan masing-masing petani. Berbagai tanaman penyela tersebut diantaranya adalah jagung, kedelai ‘dhangsul’, wijen, kacang brool, kacang panjang. Tanaman jagung tidak hanya sebagai tanaman penyela namun ternyata pada kenyataannya sebagai alternatif lain pemberi nafkah tambahan, karena lebih mudah perawatannya karena tidak membutuhkan air yang menggenang dan lebih tahan dari penyakit tanaman. Hasil yang diperoleh dari tanaman jagung selain di konsumsi sendiri juga dapat dijual untuk dioleh oleh pabrik yang sudah siap menerima hasil panen jagung petani Kebumen. Oleh pabrik jagung diolah menjadi bihun, makanan ternak, tepung, dan bahan pangan lainnya. Ada beberapa jenis jagung yang ditanam oleh petani yaitu jagung kapal terbang yang memiliki cirri-ciri setiap pohon bertongkol dua, jagung pioneer yang bercirikan satu pohon bertongkol satu namun berukuran besar, dan NK 33 yang bercirikan buahnya penuh dalam satu pohon. Dalam kualitas pada dasarnya semua jenis memiliki keunggulan masing-masing sehingga petani bebas memilih sesuai selera. Tanaman alternative lainnya adalah wujen yang juga merupakan komuditas pertanian yang menjanjikan karena belum banyak yang menanam. Selain itu wijen commit to userbahan makanan seperti onde-onde, juga memiliki berbagai manfaat yakni sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 147
minyak,
enting-enting.
Dengan
demikian
wijen
masih
banyak
yang
membutuhkan. Harga wijen cukup bagus yaitu berkisar antara Rp. 33.000,sampai Rp.34.000,- namun bila bias menjual kepada pembuat kue sendiri bias mencapai Rp. 37.000,-. Menurut nelayan tanaman wijen sebenarnya masih sangat menjanjikan namun karena penanamannya yang masih sulit maka baru beberapa petani yang menanam wijen ini. Tanaman penyela yang banyak memberikan keuntungan bagi petani cukum bervariasi diantaranya, kedelai dhangsul, kacang tanah kacang brool, kacang panjang
kacang
dawa,
pare.
Dalam
memilih
tanaman
pare
petani
mempertimbangkan harga dan kebutuhan di pasaran.Hal ini terekspresikan dalam ungkapan verbal berikut nyong niteni mangsa lan rega sing apik. Mengenai tehnik penkualan hasil tkomuditas hasil pertanian ini masyarakat petani memiliki beberapa tehnik yaitu ada yang diambil bakul pembeli langsung (biasanya sebagai pengepul), ada yang dikirim kepada pengepul, dan ada yang langung dibawa ke pasar.
b. Pemikiran Kolektif Terkait Ranah Perkebunan Pemikiran kolektif pada ranah perkebunan dapat digolongkan menjadi dua hal yakni perkebunan kelapa deres dan gandhul kalifornia yakni nama jenis papaya yang mulai di kembangkan oleh petani Kebumen sebagai alternative baru terutama untuk mengisi kekosongan tanah di pesisir. Pada perkebunan kelapa deres meliputi masa kultivasi, masa pemeliharaan, proses menderes, dan bagianbagian kelapa. Pada bagian perkebunan gandhul kalifornia di uraikan tentang cara pengelolaan dan aneka ekspresi linguistiknya. Dari pemikiran tersebut dapat dipahami kearifan lokalnya yang menjadi pedoman oleh komunitas petani.
1) Pemikiran Terkait Kategori Kultivasi Kelapa Deres Kultivasi kelapa deres diawali dengan pembuatan tiris/ cikal ‘tunas kelapa’ commit to user yang kemudian ditanam pada tanah di pesisir Selatan yang berpasir yang telah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 148
diberi lemon ‘pupuk’ terlebih dahulu sehingga tanah yang berpasir itu menjadi subur dan siap untuk ditanami tiris ‘tunas kelapa’. Ada 2 jenis kelapa yaitu klapa abang ‘kelapa merah’ dan klapa ijo ‘kelapa hijau’.
Namun,
para
petani
tidak
membedakan antara keduanya karena hasil deresan sama. Untuk pengobatan, mereka menggunakan membedakan
kelapa hasil
hijau. deresan
Yang adalah
pemupukan dan perawatan tanaman kelapa Gambar 3.14: Petani sedang menderes kelapa
itu. Bila pemupukannya dilakukan secara rutin setiap tahun, hasil deresannya akan
tetap banyak. Kelapa bisa mulai dideres kira-kira setelah berusia 5 sampai dengan 6 tahun. Usia kelapa bisa sampai puluhan tahun sehingga memiliki pohon kelapa berarti memiliki aset yang sangat berharga karena usia produktif kelapa cukup lama. Setiap kepala keluarga di pesisir Selatan rata-rata memiliki 30 sampai dengan 100 pohon kelapa. Kelapa deres adalah pohon kelapa yang dimanfaatkan adalah manggarnya. Pada kelapa yang baru pertama kali dideres terdapat mitos bila ingin sajeng/badheg ‘nira’ dapat keluar banyak harus ditabuhi dhandhang gula ‘diiringi musik dengan irama dhandhanggula’. Selain manggar ‘bunga kelapa’, juga janur ‘daun kelapa yang masih muda’ digunakan seagai pembungkus kupat lepet ‘ketupat berbentuk memanjang seperti terompet kecil berisi ketan dicampur parutan kelapa’ yang merupakan makanan tradisional daerah pesisir Selatan. Kupat lepet banyak dijumpai dijual di tepi pantai dan di warung di pasar-pasar tradisional. Selain itu janur juga banyak dipakai untuk berbagai perlengkapan sesaji pada saat upacara tradisioal seperti upacara pernikahan, jabel, wiwit, suran, dan lain-lain. Apabila pohon kelapa terlalu tinggi,
pemilik pohon biasanya
membiarkan manggar menjadi kelapa karena pertimbangan ora cucuk ‘tidak menguntungkan’ sebab untuk menderes pohon yang terlalu tinggi bisa untuk commit to user nderes tiga pohon lebih.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 149
Dalam proses menjadi kelapa ini, setelah mengeluarkan manggar, manggar akan menjadi bluluk ‘kelapa yang masih kecil yang belum bisa dimanfaat’. Di lokasi penelitian terdapat mitos apabila seseorang bermimpi ketiban bluluk ‘kejatuhan kelapa yang masih sangat muda’ ini berarti mendapat firasat yang kurang baik. Oleh sebab itu, mereka perlu banyak berdoa. Setelah bluluk terus menjadi clupak ‘kelapa tanggung masih muda yang sudah keluar airnya, tetapi belum
ada
daging
kelapanya
sama
sekali’
dan
selanjutnya
menjadi
degan/dawegan38 ‘kelapa muda yang sudah ada airnya dan sudah ada daging kelapanya walaupun masih tipis’ yang siap untuk dijual. Harga dawegan/ degan biasanya rata-rata Rp 900,00 sampai dengan Rp 1000,00 per biji. Bila sudah keluar dari daerah pesisir, harga bisa sampai Rp 5000,00 per biji terutama di lokasi pariwisata. Harga itu adalah rega neng nduwur ‘harga di atas pohon’. Jadi, pembeli yang datang akan mengambil sendiri degan itu. Sebenarnya banyak sekali kebutuhan degan
‘kelapa muda’ ini sampai kantu-kantu ‘terlambat untuk
mencukupi permintaan’. Selain pohon kelapa terlalu tinggi, kriteria lain yang tidak akan dideres adalah jenis kelapa tertentu yang kalau dideres akan menjadi gula gemblung ‘gula kelapa yang kurang baik sehingga hanya dipakai sebagai campuran pembuatan kecap. Jenis kelapa ini
berharga murah. Untuk membedakan itu, ada ciri-ciri
khusus yang dipahami oleh petani secara turun temurun, yaitu sebagai kelapa yang produktif daunnya lemas menjuntai dengan istilah blarake manglung. Jadi, yang tidak produktif ditandai oleh daunnya kaku dan keras sehingga blarak ‘daun kelapa’ banyak yang robek. Blaraknya jejek ‘kalau daun kelapanya lurus’ dan getas ‘mudah patah’ ditandai bila dipanjat thothoke ‘pelepahnya’ mudah ceplok ‘patah’ dan membahayakan yang memanjat. Pohon yang demikian biasanya ditunggu kelapanya sampai tua untuk dijual sebagai kelapa atau dijual sebagai daweagan/degan ‘kelapa muda’. Bila dijual sebagai degan, biasanya diambil sak 38
Air kelapa yang dipakai untuk pengobatan adalah banyu degan bukan banyu kambil karena airnya masih penuh dan unsur-unsur kimianya masih bagus, sedangkan apabila telah menjadi kelapa maka kadar kimia dan jumlah air sudah berkurang karena sudah banyak menjadi daging kelapa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 150
janjang ‘satu gerombol’ dengan cara diderek menggunakan tali supaya tidak jatuh sehingga bentuknya tetap bagus. Bila kelapa muda digunakan untuk obat atau sebagai penawar racun, digunakan degan ijo ‘degan kelapa hijau’ yang dalam mengunduhnya juga tidak boleh jatuh.
Kalau kelapa
jatuh, hal ini
akan
mengalami kerusakan sehingga komposisi kimia di dalamnya juga berubah. Dengan demikian khasiat buah kelapa hijau ini tidak manjur lagi. Air kelapa dianggap air suci yang dapat menawarkan racun dan mengusir roh jahat. Selain itu, degan juga dipakai pada upacara ritual yang memiliki makna simbolik, yaitu banyu degan sing suci iku lambag niat nyong sing suci lan woh degan sing bunder iku lambang tekad nyong sing kuat ‘air degan yang suci merupakan lambang kesucian niat yang baik dan bentuk kelapa muda yang bulat merupakan niat yang bulat’. Air kelapa muda dikatakan suci karena air ini tidak terkontaminasi oleh air yang lain dan udara karena letaknya yang berada di dalam buah. Dalam konteks budaya pesisir sebagai petani dalam menapaki kehidupan, segala sesuatu harus dilakukan dengan niat yang baik dan kebulatan tekad sehingga pantang menyerah. Oleh karena itu, ada ungkapan opo wae nyong lakoni sing penting halal kanggo nyukupi butuh ‘apa saja saya kerjakan untuk mencukupi kebutuhan’. Oleh karena itu, petani yang memiliki pohon kelapa sedikit akan ngodhe ‘menawarkan jasa’ untuk mendereskan petani yang mempunyai kelapa banyak dengan perhitungan 2 hari hasilnya untuk yang memiliki pohon kelapa dan yang 2 hari untuk yang ngodhe ‘membantu mendereskan’. Fenomena ini menunjukkan pandangan masyarakat pesisir Selatan yang menghargai sesamanya seagai sapodo-podo seperti halnya pada uruban yakni tidak menghitung secara materialisitis segala sesuatu. Namun, kegiatan ini lebih menekankan adanya
saling menolong dan bekerja sama saling
membutuhkan (simbiosis mutualisme). Padahal, kalau dihitung ongkos sebagai buruh harian, hasilnya akan lebih kecil. kecuali itu, yang memiliki pohon kelapa akan lebih beruntung. Hal
inilah yang merupakan kearifan lokal masyarakat
pesisir Selatan yang dipertahankan sampai saat ini sehingga terwujud kerukunan dan gotong royong yang selaras antara anggota masyarakat petani. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 151
2) Ekspresi Linguistik Terkait Kategori Kultivasi Kelapa Deres
Dalam proses kultivasi kelapa deres petani menggunalan ekspresi linguistik berupa satuan lingual kata, frasa, serta kalimat sampai pada tataran wacana. Ekspresi tersebut mempunyai makna berkait dengan konteks sosial budaya. Ekspresi linguistic tersebut sebagai berikut Tabel 4.9: Ekspresi Linguistik dalam Kategori Kultivasi Kelapa Deres SATUAN EKSPRESI LINGUAL LINGUISTIK Kata
MAKNA
KETERANGAN
tiris/cikal
kelapa yang sudah Tiris ini sebelum ditanam tanah yang tumbuh tunas yang dipakai sudah disiapkan dengan siap ditanam memberinya pupuk terlebih dahulu untuk beberapa lama sampai menyatu dengan tanah.
janur
daun kelapa masih muda
bluluk
kelapa yang masih Kelapa yang masih sangat muda yang kecil belum dapat diambil airnya
cengkir
kelapa yang masih Kelapa yang masih sangat muda yang muda sudah dapat diambil airnya, tetapi belum memiliki daging kelapa.
kemlamut
kelapa muda
Kelapa yang masih sangat muda yang sudah dapat diambil airnya dan sudah memiliki daging kelapa, tetapi masih sangat tipis.
manggar
bunga kelapa
Bunga kelapa ini dapat dipilih untuk dideres atau diambil ekstraknya atau dibiarkan menjadi kelapa dengan berbagai pertimbagangan.
clupak
penutupcommit bunga kelapa Clupak ini biasanya dimanfaatkan to user sebagai penutup bumbung agar tidak
yang Janur ini dipakai untuk membungkus makanan yang disebut dengan lepet atau dijadikan hiasan pada saat orang punya kerja sehingga janur ini dapat dijual. Kadang-kadang pada saat hari raya janur dicuri orang.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 152
kemasukan air pada waktu musim penghujan.
frasa
sajeng/badheg nira
Air yang berasal dari bunga kelapa yang ditampung dan siap dibuat menjadi minuman kesehatan, obat, dan bahan pembuat gula kelapa.
thothok
pelepah daun
Pelapah daun kelapa bagian pangkal. Pada malam jumat Kliwon banyak orang yang mennunggu jatuhnya karena diyakini pelepah yang jatuh pada malam Jumat Kliwon dapat dipakai untuk menulak hama tanaman bila diletakkan di pojok sawah.
bambung
wangwung
Wangwung merupakan tempat menampung nira yang terbuat dari pohon bambu yang dipotong. Pada daerah dataran tinggi biasanya ada yang menggunakan bekas botol air mineral untuk menggantikannya.
tapas
tapas
Tapas berbentuk jaring-jaring yang pada mulanya sebagai pembungkus pohon kelapa ketika masih muda.
dhandhang gula
nama jenis tembang Dhandhang gula merupakan jenis Jawa tembang ini adalah tembang yang mengisahkan proses kehidupan saat masih sangat muda atau remaja
kupat lepet
jenis makanan
ora cucuk
tidak menguntungkan Istilah ora cucuk digunakan apabila pohon kelapa terlalu tinggi untuk dideres atau yang daunnya keras karena akan menghasilkan gula yang tidak bagus.
Kupat lepet merupakan makanan yang terbuat dari ketan dan dibungkus dengan daun kelapa yang masih muda ‘janur’
ketiban bluluk kejatuhan kelapa Masyarakat setempat beranggapan yangmasih muda apabila bermimpi kejatuhan kelapa yang masih sangat muda, hal ini merupakan perlambang yang kurang baik. Biasanya untuk menangkalnya, commit to user masyarakat harus melaksanakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 153
beberapa ritual. degan/dawegan kelapa muda
Kelapa muda yang sudah dapat diambil airnya untuk minuman atau untuk obat dan sudah memiliki daging kelapa yang sudah tebal.
rega nduwur
Kalau menjual kelapa kepada tengkulak yang dihitung harganya diatas dan pembeli harus mengambil sendiri karena akan berbeda kalau sudah ada dibawah berarti tambah ongkos memetik.
neng harga di atas pohon
sak janjang
setangkai
Penjualan kelapa biasanya tidak dihitung satuan, tetapi dihitung tiap tangkai yang berisi beberapa tangkai.
kantu-kantu
terlambat mencukupi Bila musim kemarau, banyak sekali permintaan kebutuhan kelapa muda untuk dijual dipantai atau dibawa ke kota. Dengan demikian, mereka kadang-kadang tidak dapat mencukupi kebutuhan permintaan kelapa.
gula gemblung gula jawa yang tidak Gula gemblung dihasilkan oleh jadi pohon kelapa yang daunnya tegak. Oleh karena itu, pohon kelapa yang daunnya tegak tidak akan dideres, tetapi dijual sebagai kelapa. blarake mangklung
daunnya menjuntai
Penanda pohon kelapa itu baik untuk dideres
blarake ceplok daun kelapa jatuh
Daun kelapa ini akan jatuh jika dimakan hama.
degan ijo
Buah kelapa hijau yang masih muda yang biasanya dipakai untuk obat atau untuk menetralisasi racun.
degan kelapa hijau
kala jengglong perangkap tikus yang Alat ini dipasang apabila ditengarai dan kala jepret terbuat dari bumbung ada tikus di pohon. sehingga tikus akan terperangkap kedalam bumbung dan tidak bias keluar dan perangkap tikus yang dapat menjepret apabila terpijak tikus maka commit tikus toakan user terjepit dan langsung
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 154
mati kadal ijo
kalimat
kadal Hijau
Kadal ini dianggap mengganggu dalam proses menderes karena sering memporak porandakan bumbung sehingga nira tidak bisa masuk ke dalam bumbung.
tawon ngentup tawon menyengat Apabila manggar/bunga kelapa manggar bunga kelapa disengat oleh lebah, manggar akan layu sehingga tidak dapat diambil niranya.
Gambar 4.15 : Tumbuh Kembang Tanaman Kelapa 1. Tiris ‘tunas ditanaman
kelapa’
siap
2. Kelapa mulai tumbuh tetapi bila tidak terawat akan ada yang rusak
3. Kelapa mulai mengeluarkan 8. Manggar kalau tidak di deres akan manggar ‘bunga kelapa’ menjadi kelapa muda
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 155
3) Pemikiran Terkait Kategori Pemeliharaan Pohon Kelapa
Walaupun pohon kelapa ini tidak mengenal musim dalam menghasilkan sajeg/ badheg ‘nira’, pohon kelapa
layaknya
pohon lain perlu mendapat pemeliharaan yang baik agar produksinya tetap stabil dengan
cara
memberi lemon
Pemberian lemon
‘pupuk’.
dilakukan sebanyak 1
tahun sekali dengan cara mencangkuli kira- Gambar 4.16: Nira masih dalam kira berdiameter 1 meter sekeliling pohon bumbung kelapa, lalu dimasukkan lemon dan ditutup lagi. Selain pemeliharaan, juga perlu dilakukan dalam rangka mencegah penyakit tanaman dan pengobatan apabila tanaman itu telah terkena hama/ penyakit. Dalam rangka pencegahan dari penyakit yaitu 1) kadal ijo ‘kadal hijau’ yang sering mengencingi bluluk
dan clupak menyebabkannya jatuh dari pohon sehingga
petani tidak jadi panen kelapa. Untuk itu dapat diantisipasi dengan memasang kolo ‘jebakan’ 2) bambung ‘wangwung’ yang makan janur menyebabkan daun tidak baik otomatis lama kelamaan menjadi tidak subur, 3) tawon ngentup mangggar ‘tawon yang menyengat bunga kelapa’ mengakibatkan manggar layu dan tidak dapat dideres. Hal ini sangat merugikan petani. 4) tikus akan merusak tapas penutup bumbung mengakibatkan air sajeng/adeg dimasuki semut dan kadang-kadang tumpah. Untuk mengatasi hama tikus ini, biasanya petani menggunakan kala jengglong dan kala jepret ‘perangkap tikus yang terbuat dari bumbung sehingga tikus akan terperangkap ke dalam bumbung. Dengan demikian, tikus tidak bisa keluar. Perangkap tikus dapat menjepret tikus. Apabila penjepret terpinjak tikus, tikus akan terjepit dan tikus langsung mati.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 156
4) Pemikiran Terkait Kategori Proses Bedhel-wala ‘menderes’
Pohon kelapa yang dapat dideres adalah daunnya papahe manglung ‘daunnya lemas menjuntai’ dan dapat dideres dua kali sehari pada pukul 06.00 dan pukul 15.00. Hasil deresan berupa sajeng/ badheg ‘nira’ yang kemudian dibawa pulang untuk diolah menjadi gula kelapa. Namun, ada yang langsung dijual sebagai legen ‘minuman dari nira’. Hal ini dilakukan karena petani tersebut tidak sempat membuat sendiri gula kelapa yang disebabkan alasan repot atau tidak punya kayu bakar untuk membakarnya. Gula yang baik berwarna coklat karena menggunakan bahan campuran alami enjet
‘kapur sirih’, sedangkan
yang
berwarna kuning dan nampak lebih menarik diberi obat kimia sebagai bahan pencampur gula kelapa. Sajeg juga dapat digunakan sebagai obat batuk dengan cara meminumnya 2 kali sehari dalam keadaan segar setelah turun dari pohon. Sajeg ini tidak diberi campuran apapun. Cara menderes adalah memotong manggar kira-kira 1 sampai dengan 2 cm kemudian ditadahi bumbung ‘ditampung dengan bumbung’ dan ditutup dengan tapas agar tidak kemasukan air bila turun hujan atau tidak kemasukan semut. Sebelum dipasang, bumbung ini diberi enjet
agar sajeg kalau dimasak cepat
mengental. Kecuali bila dibutuhkan untuk obat atau dijual menjadi legen, tidak perlu ditambah enjet. Alat yang dibawa selama menaiki pohon untuk menderes adalah arit, bumbung, dan cangklikan. Bumbung yang dipasang pada pagi hari diambil sore hari dan sebaliknya bumbung yang dipasang pada sore hari diambil pagi hari. Karena dalam menampung sajeng menggunakan bumbung, hal ini disebut sebagai gula bumbung ‘gula bumbung’. Setelah sampai di rumah, gula bumbung ini harus segera dimasak. Bila tidak segera dimasak, gula bumbung akan banger ‘bau tidak sedap’. Namun, ada cara lain yaitu dengan menggunakan botol bekas aqua. Kalau
memakai botol ini, sajeg bisa bertahan 2-3 hari dan
akan menjadi gula alkohol ‘gula alkohol’ yang ditandai keluarnya bunyi ceeess kalau botol dibuka. Baunya
tidak banger, malah rasanya seperti alkohol/soda. to user alkohol murni. Gula alkohol ini bila disuling akancommit menghasilkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 157
Proses membuat gula diawali dengan merebus nira sampai beberapa jam di atas luweng/pawon ‘tempat untuk menempatkan api dari kayu semacam kompor’ dan sambil sadengsadeng
‘kadang-kadang’
diaduk
menggunakan kebok ‘alat pengaduk’. Setelah agak mengental, gula dicedho Gambar 4.17: Nira yang siap dimasak menjadi gula kelapa
‘diciduk’ untuk dimasukkan ke dalam cirik/cowek ‘cetakan’. Setelah kering,
gula kelapa ini dilepaskan dari cetakannya dan dikumpulkan. Kemudian gula dijual dengan harga Rp 7000,00 per kilogram. Dalam satu hari apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh, mereka dapat menghasilkan kira-kira 5 kilogram per hari karena seorang penderes dapat memanjatkan kira-kira 30 pohon pada pagi hari dan 30 pohon pada sore hari. Mereka menjual gula kelapa ini ke warungwarung setempat sebagai pengepul pada tiap desa yang kemudian setelah terkumpul banyak akan diambil oleh pengepul kecamatan. Berikut adalah nama alat yaang dipaka dalam membuat gula kelapa.
5) Pemikiran Terkait Kategori Bagian Kelapa dan Pemanfaatannya
Pohon kelapa memang sarat akan manfaat dari hampir seluruh bagiannya Berikut adalah bagian dari pohon kelapa yaitu; 1) glugu ‘batang pohon’ digunakan sebagai kayu bangunan apabila ingin mendirikan rumah. Kayu glugu ‘kayu dari pohon kelapa’ ini sangat kuat bila digunakan untuk membuat rumah. Kayu ini biasanya dipadukan dengan pring ‘bambu’. Pohon kelapa biasanya akan ditebang apabila tidak produktif lagi untuk diganti dengan tiris ‘tunas kelapa’ sebagai upaya regenerasi tanaman, 2) blarak ‘daun kelapa yang sudah tua’ bermanfaat untuk membuat lidi. Masyarakat setempat meyakini ada mitos apabila sudah
to user kering dan thothok ‘batang daun commit kelapa yang sudah tua’ jatuh pada malam Jumat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 158
Kliwon akan diluru ‘dicari’ untuk penangkal hama penyakit bila diletakkan pada sudut-sudut sawah. Mereka percaya bahwa wabah penyakit tanaman itu ada yang ngangon ‘menggembala’. Oleh sebab itu, dengan melek ‘tirakat’ pada malam Jumat Kliwon, mereka berkeyakinan
tidak diganggu yang angon mala
‘menggembala penyakit tanaman’. Ada yang percaya apabila blarak bila dimantrai dan diluru pada malam Jumaat Kliwon diambil dengan telanjang serta ditarik mundur dengan tidak disertai doso ‘amarah’, dapat dipakai untuk mengetahui siapa yang memiliki tuyul39 ‘tuyul’ yang disuruh pemiliknya mencuri uang tetangga secara gaib, 3) janur ‘daun kelapa yang masih muda’ dipakai sebagai pembungkus kupat lepet ‘ketupat’. Menjelang menjelang lebaran, janur sangat dibutuhkan banyak orang sehingga harganya mencapai Rp 5000,00 per tangkai. Pada hari Raya Idul Fitri, banyak orang membutuhkan janur sehingga janur dicuri orang. Hal ini mengakibatkan janur entong ‘habis’, 4) klarik ‘daun kelapa yang sudah kering’ dipakai untuk bahan bakar pembuatan gula kelapa’ 5) tapas ‘kelopak bunga kelapa yang sudah kering’ biasanya hanya dipakai sebagai penutup bumbung yang disebut sebagai genes. Namun, sekarang dapat dikembangkan menjadi aneka kerajinan tangan dan bahkan bisa menjadi tas. Selain bagian pohonya, limbah kelapa juga memiliki aneka manfaat seperti batok kelapa dapat dipakai bahan aneka kerajinan tangan dan juga bahan bakar pembuat sajeng dan sepet
‘pembungkus kelapa’ dapat diselep untuk membuat keset,
tambang, awul-awul ‘bahan bakar’.
6) Ekspresi Linguistik Terkait Kategori Pemiliharaan Kelapa Deres
Pada kategori pemeliharaan pohon kelapa terdapat banyak ekspresi linguistic yang mengungkapkan nama-nama setiap tahap perkembangan kelapa. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pola kehidupan petani nelayan yang lebih 39
Tuyul dipercaya adalah anak baru lahir yang belum sempat minum air susu ibunya yang dijadika lebon ‘korban’ kanggo pesugihan ‘untuk mencari kekayaan’ secara gaib dan tidak halal (informan: Barja)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 159
banyak menggantungkan kehidupannya pada pohon kelapa. Ekspresi tersebut dapat dicermati pada table berikut.
Tabel 4.10: Ekspresi Linguistik pada Kategori Pemeliharaan dan Pemanfaatan Kelapa Deres
SATUAN EKSPRESI LINGUAL LINGUISTIK kata
frasa
MAKNA
KETERANGAN
glugu
batang pohon
Pohon kelapa
blarak
daun kelapa
Daun kelapa bisa dipakai sebagai bahan pembuat kajang dan lidinya bisa dibuat sapu lidi atau sebagai tusuk sate.
diluru
dicari
Istilah ini biasanya dipakai dalam konteks mencari sesuatu yang sulit
melek
tidak tidur
Melek maksudnya dalam konteks ini adalah tidak tidur sebelum jam 12 tengah malam sebagai upaya untuk bermunajat.
thuyul
tuyul
Tuyul merupakan makhluk gaib yang dipercaya dipelihara orang tertentu untuk mencuri uang orang lain.
klarik
daun yang kering
genes
sabut kelapa
bathok
kulit kelapa
awul-awul
serabut kelapa Awul-awul dipakai untuk bahan bakar. yang sudah rusak
kayu glugu
kayu dari pohon Kayu glugu merupakan kayu dari pohon kelapa kelapa. Kay u ini biasanya dipakai sebagai bahan bangunan.
kelapa Klarik merupakan daun kelapa yang sudah sudah kering ini biasanya dipakai untuk bahan bakar membuat gula kelapa. Genes sekarang diekspor sebagai bahan pembuat sofa. Berbeda dengan zaman dulu yang hanya dipakai bahan bakar atau bahan pembuat keset.
keras Bathok merupakan kulit kelapa yang keras sebagai bahan bakar
ngangon mala mengawasi mala merupakan tindakan commit toNgangon user mengamati tanaman dengan cermat untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 160
penyakit
mengidentifikasi adanya hama penyakit tanaman.
home industri produk rumahan Gula kelapa ini termasuk sebagai olahan rumahan yang masih dikerjakan secara tradisional nata de coco
produk olahan Nata de coco banyak dijual di supermaket. dari pabrik yang Produk ini sudah berbentuk kemasan yang dibuat dari sari bagus karena merupakan produk pabrikan. kelapa
coco fiber
serat kelapa
Coco fiber merupakan nama lain dari nata de coco.
virgin coconut minyak kelapa oil
Minyak kelapa ini dibuat oleh pabrik dengan jalan penyulingan sehingga minyak ini sebagai obat-obatan dan lain dengan minyak kelapa yang dipakai untuk menggoreng.
gandhul kalifornia
Nama jenis kates karena di pesisir Selatan Kebumen ni terdapat beberapa jenis pepaya yakni pepaya Bangkok, Orange Ladi, Wulung, Jawa.
jenis pepaya
7) Pemikiran Terkait Perkebunan Gandhul California ‘pepaya kalifornia’ Jenis perkebunan lain yang ada di lokasi penelitian adalah Gandhul California. Gandhul California merupakan jenis pepaya yang dibudidayakan di daerah pesisir selatan dalam rangka memanfaatka bagian gisik ‘tepian laut’ yang berpasir. Bagian ini semula merupakan lahan kosong yang panas. Bagian ini tidak dimanfaatkan sehingga ditanami pohon pepaya Gandhul California. Lahan berpasir di ujung pantai ini merupakan lahan milik negara sehingga dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang bersedia. oleh sebab itu, semua boleh ikut mengelola bersama dengan sistem saham. Diakui pengelolaan lahan di pesisir ini memakan biaya yang lebih mahal karena tanah pasir belum mengadhung lemon. Kecuali itu, lahan ini kering karena tidak ada irigasi. Untuk itu, penggunaan pupuk dan pengolahannya selisih 20% sampai dengan 30% dibanding lahan commit to user sawah kering. Hal ini merupakan pemikiran kolektif masyarakat dengan istilah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 161
lemah ora kanggo nggawe timbang muspra ‘tanah tidak dipakai daripada tidak dimanfaatkan’. Sebaliknya buah yang dihasilkan pohon yang ditanam di lahan yang berpasir lebih bagus yakni lebih halus, manis, dan cerah. Dengan kata lain luwih madolke ‘lebih berpotensi terjual’. Pemikiran menanam pepaya Gandhul California didapat ketika para petani yang burusaha untuk bertransformasi menjadi nelayan ini belajar tentang pernelayanan di Cilacap dan pantai Glagah yang merupakan daerah yang telah maju dalam hal pernelayanan. Dengan masuknya Gandhul California, kategori dan ekspresi linguistik pada jenis pepaya bertambah menjadi kates bangkok, kates thailand, kates jawa, kates wulung40, kates orange lady, kates Gandhul California. Nama California sebenarnya bukanlah pepaya yang didatangkan dari Amerika seperti kebanyakan orang mengira pepaya ini diimpor dari Amerika sehingga konsumen merasa bahwa pepaya ini rasanya lebih enak bila dibandingkan dengan jenis pepaya lain yang telah lama beredar di pasaran. Sebenarnya
jenis pepaya ini adalah hasil pengembangan dari Institut
Pertanian Bogor oleh Prof. Dr. Ir Sriani Sujiprihati, MS dengan nama aslinya pepaya calina. Beliau tidak mengerti mengapa pepaya ini berubah nama setelah banyak dibudidayakan di banyak daerah dan buahnya beredar di pasaran. Pada mulanya jenis pepaya ini
hanya tersedia di swalayan. Secara toponimi41,
pemberian nama ini dikaitkan sistem pemasaran42 yang ada dengan tujuan untuk menyaingi pepaya yang sudah ada seperti pepaya bangkok dan pepaya thailand. Harapannya adalah
penggunaan nama california berarti memiliki tingkatan
negara yang lebih tinggi. Kecuali itu, lebih jauh akan membuat konsumen merasa pepaya ini memiliki kepantasan harga lebih mahal dan rasa lebih enak. Gandhul 40
Kates wulung ‘pepaya yang warna daun dan pohonnya ungu’ adalah jenis pepaya yang langka dan pepaya ini memiliki kasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit diantaranya: panas dalam, susah buang air besar. 41 Istilah pemberian nama dengan analogi yakni salah satu fenomena perubahan bahasa yang terkait dengan suatu prosedur penetapan kaidah berdasarkan hal-hal yang sudah berlaku sebelumnya. 42 "Yang menamakan pepaya california bukan kami, tapi pedagangnya. Padahal itu adalah pepaya callina hasil pemuliaan yang kami lakukan bertahun-tahun," kata Dr Sriani, kepala Divisi Pemuliaan Tanaman, Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 162
california dapat bertahan beberapa hari dari mulai dipetik sehingga tetap kenyal tidak blenyek meskipun dibawa dengan jarak tempuh yang cukup jauh seperti Jakarta, Semarang, Jogyakarta, atau Bandung. Gandhul California memiliki karakteristik pohon pendek dan buahnya sangat lebat. Pohon ini sangat menguntungkan petani. Cara menanam Gandhul california mulai dari membeli bibitnya di pusat pertanian dalam posisi di polibag. Bibit pepaya yang kira-kira sudah berumur 40 hari ditanam pada lahan yang sudah disiapkan yaitu lahan yang telah diberi lemon secara urut agar dapat dengan mudah merawatnya. Sekitar 4 bulan kemudian pepaya biasanya sudah mulai berbunga. Berdasarkan bunganya, petani dapat mengidentifikasi bentuk pepaya yang akan muncul nanti. oleh sebab itu, apabila sekiranya bunganya menunjukkan calon buahnya bulat, pohon itu
akan
segera ditebang dan digantikan dengan Gambar 4.18: Kebun gandhul kalifornia
tanaman pepaya yang baru. Hal ini dilakukan karena buah yang laku adalah
yang berbentuk lonjong ‘oval’. Untuk tujuan itu, petani merasa lebih baik pohon tersebut segera diganti karena sama-sama memelihara dengan biaya yang sama. Para petani mengutamakan yang lebih bernilai tinggi. Usia pepaya dapat dipanen dengan maksimal apabila telah mencapai 7 sampai dengan 8 bulan dengan lama panen secara efektif 29 bulan. Hal ini berdasarkan kirakira usia produktif pepaya 3 tahun. Setiap musim pohon pepaya dapat menghasilkan
Gambar 4.19: Bunga gandhul kalifornia yang ditengarai menjadi pepaya yang bagus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 163
buah 50 sampai dengan 60 kg dengan harga Rp 2.300,00 per kilogram. Karena pepaya dapat dipanen setiap lima hari sekali, setiap 400 ubin (1 ubin=14m2) dapat menghasilkan 400 sampai dengan 650 buah pepaya setiap lima hari. Manfaat lain dari pohon pepaya selain diambil buahnya yang matang, ada juga yang membutuhkan untuk obat pada saat masih setengah matang ‘kates mengkel’. Pepaya ini dapat dipakai obat panas dalamm dan sakit maag. Pepaya ini sama halnya dengan kates wulung. Pepaya yang sudah terlalu masak dianggap BS (barang sisa), rusak dipakai makan endhel
bebek, menthok, guramih,
kambing. Adapun daun pepaya digunakan untuk jamu, yang disebut paitan ‘minuman yang rasanya pahit’. Selebihnya daun yang busuk akan diambil setiap beberapa hari sekali dan dibuang untuk pupuk lemon tanaman. Tanaman pepaya california merupakan tanaman yang produktif. Oleh karena itu, tanaman ini tidak dilakukan secara tumpang sari, seperti tanaman yang lainnya karena hal ini dapat mengganggu pertumbuhan pepaya. Dalam pemeliharaan, buah pepaya selalu dicek setiap hari. Kalau petani lengah sedikit saja, akan ada tawon buah yang mengentup buah. Buah itu nampak kuning seperti matang padahal belum matang. Akhirnya, buah akan menjadi busuk. Untuk mencegah adanya hama tawon buah, digunakan pembasmi serangga yang dibeli dari toko pertanian. Hal ini merupakan pengaruh dari luar sejalan dengan kemajuan dan perkembangan pola pertanian yang bukan asli dari pertanian lokal. Pemikiran awal petani yang hendak bertransformasi mata pencaharian menjadi nelayan ditempuh guna mengatasi kehidupan setempat. daripada uang Rp 15 juta untuk biaya menjadi TKI/ TKW dan ketika pulang kembali seperti keadaan semula, uang tersebut dijadikan modal untuk memanfaatkan apa yang ada di desanya dengan semboyan nyong pilih anang ngomah bae timbang dadi TKI/ TKW akibate rumah tangga rusak ‘saya pilih di rumah saja daripada menjadi TKI/ TKW berakibat rumah tangga hancur’. Dengan disertai optimisme hidup yang tinggi dan kerja keras serta gotong royong yang kuat, mereka berprinsip seng bodhol bae laku opo maneh iki barang sing iso dipangan enak ‘seng rongsok aja laku apalagi makanan yang enak dimakan’. Kebersamaan sangat diperlukan dalam commit to user membesarkan perkembangan hasil pepaya. Apabila yang menanam pepaya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 164
hanya sedikit, mereka akan susah menjual. Bila menanamnya hanya sedikit, akan habis untuk dicoba oleh masyarakat entek diicipi bae. Dengan penanaman secara serentak, pepaya akan menghasilkan banyak buah sehingga akan mudah memanggil bakul ‘tengkulak’ untuk datang membeli dan dengan kekompakan. Dengan demikian, harga akan dapat dipertahankan tidak akan dipermainkan oleh bakul. Dengan bekal kemauan keras dan keyakinan seperti yang tecermin dalam ungkapan verbal mereka seperti nyong bodho tambane sinau, nyong mlarat tambane kerja ‘saya bodoh obatnya belajar, saya miskin obatnya bekerja’, membuahkan hasil suksesnya pepaya california ini. Dengan demikian, pohon pepaya ini dapat mengobati kekecewaan warga ketika terjadi musim paceklik di laut karena
adanya iklim yang ekstrem dengan ombak yang besar. Kalau
mengharapka panen padi, ternyata panen masih lama.
8) Ekspresi Linguistik Terakait Kategori Gandhul Kaifornia
Pada dunia perkebunan gandhul kalifornia ekspresi linguistik yang berupa satuan lingual kata, frasa, serta kalimat sampai pada tataran wacana. Ekspresi tersebut mempunyai makna berkait dengan konteks sosial budaya. Ekspresi linguistic tersebut sebagai berikut.
Tabel 4.11: Ekspresi Linguistik pada Kategori Gandhul California SATUAN EKSPRESI LINGUAL LINGUISTIK kata
MAKNA
KETERANGAN
gisik
tepian laut
Tepi laut yang berpasir dan panas oleh petani dapat diolah sebagai perkebunan pohon pepaya california.
lonjong
oval
Pepaya gandhul california ini yang laku di pasaran adalah yang bentuk buahnya oval. Bentuk buah dapat diidentifikasi sejak dari bunganya. Apabila telah diketahui bahwa nantinya akan menghasilkan buah yang bulat, pohonnya akan segera diganti.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 165
frasa
polibag
plastik tempat Untuk menanam gandhul california, petani penyemai biji menggunakan polibag baru. Setelah tanaman berakar kuat, baru dipindah ke tanah.
blenyek
lembek
paitan
minuman yang Minuman yang termasuk dalam paitan rasanya pahit adalah minuman jamu seperti jamu dari daun pepaya, jamu dari buah pare.
Buah pepaya jawa kurang disukai. Hal ini disebabkan pepaya akan terasa jemek/lembek jika sedikit masak.
kates Bangkok pepaya bangkok
Aneka jenis pepaya yang tumbuh di daerah Pesisir Selatan Kebumen. Sampai saat ini dari semua jenis itu yang paling mahal dan katesTthailand pepaya thailand paling disukai adalah jenis gandhul california. kates Jawa pepaya jawa kates wulung
pepaya wulung
orange lady
pepaya orange lady
kates gandhul pepaya gandhul california california kates mengkel kates yang Pepaya yang masih muda biasanya masih masih muda sedikit keras dan dapat dipergunakan untuk pengobatan beberapa penyakit. tawon buah
entek bae
kalimat
kumbang buah Kumbang yang berada di lokasi tanaman pepaya gandhul california. Lebah ini sangat merugikan petani karena apabila buah pepaya disengat lebah, buah akan menjadi mengeras dan menguning terus membusuk.
diicipi habis dicoba
Petani memiliki prinsip kalau mau menanam sebaiknya langsung banyak karena apabila tidak banyaak sekalian akan habis hanya untuk dicoba-coba.
lemah ora tanah tidak Tanah pasir di pinggir laut ini pada kanggo gawe dipakai dari mulanya tidak dimanfaatkan dan timbang pada tidak cenderung kotor. muspra dimanfaatkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 166
c. Pemikiran Kolektif Petani Terkait Ranah Empang Sawah
Sudah menjadi kebiasaan sejak dahulu apabila mangsa rendheng banter ‘musim penghujan deras’ sawah sepanjang pesisir Selatan
mengalami
banjir
sehingga
menggenangi sawah para petani. Hal ini dahulu merupakan bencana karena air yang menggenang menjadi tempat berkembangnya Gambar 4.20: alah satu jenis ikan dari hasil empang sawah
nyamuk
yang
akhirnya
berdampak
menimbulkan penyakit malaria dan demam berdarah (DB). Sejak saat itu masyarakat petani pesisir Selatan mencari jalan pemecahan yang merupakan pemikiran kolektif seperti ide untuk menabur benih ikan ke dalam genangan banjr itu. Hasilnya bencana yang semula sangat ditakuti menjadi berkah karena keunikan sistem empang sawah ini. Ikan yang ditaburkan ternyata dapat tumbuh bersama-sama dengan padi yang pada waktu mangsa ketiga ‘musim kemarau’ mulai tiba dan air genangan mulai surut, ikan dan padi dapat dituai bersama. Kecerdasan kolektif lain dari mereka adalah munculnya ide di samping ikan itu untuk memperoleh hasil tambahan ketika terkena rob, ikan yang bersifat kanibal ditaburkan pada saat ikan lain sudah mulai membesar dengan maksud ikan jenis kanibal itu tidak makan ikan lainnya. Demikian pula modal yang mereka gunakan bersifat kolektif bergantung seberapa luas lahan yang tergenang air. Akibatnya,
secara manajerial pembagian hasilnya nanti
sangat ditentukan oleh saham yang mereka bayarkan. Seperti dalam ungkapan unggahmu pira udhunmu pira ‘sahammu berapa, hasilmu berapa’. Dalam hal ini mereka juga memiliki kecerdasan kolektif, yaitu
ikan tidak perlu memberi
makan bagi aneka jenis ikan itu karena mereka akan makan rumput, sisa cacing tanah, keong sawah, sisa hewan kecil yang menempel pada batang pohon padi, dan tanaman kecil lainnya. Semua yang tersedia di lahan sudah merupakan nutrisi yang cikup bagi ikan-ikan tersebut. Masyarakat pesisir Selatan yang tentu commit user saja merupakan petani penderes, petanitonelayan, dan petani peternak. Waktu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 167
memanen tidak ada masalah karena mereka memiliki filosofi saya suwe iwak saya gedhe, saya tambah anakke, saya abot timbangane ‘semakin lama ikan semakin
semakin
besar badannya, banyak anaknya, semakin
timbangannya’. Secara kultural mereka harus
sabar dalam
berat
mengikuti
perkembangan alam dengan istilah ora iso nggege mangsa ‘tidak bisa mempercepat musim’. Secara ekonomis mereka optimis tidak ada ruginya memiliki usaha seperti ini. Jadi, mereka memiliki sangu sabar ‘berbekal kesabaran’ Kelompok tani yang lahannya tidak tergenang air disarankan untuk ikut inves atau menanamkan modalnya dengan cara menabur bibit ikan yang diambil dari desa Ngrajak Magelang. Bila sudah dipanen, mereka akan mendapat bagian sesuai dengan sahamnya. Dengan cara ini, petani merasa diuwongke sehingga selama ikan mulai tumbuh tidak perlu dikawatirkan akan dipancingi uwong/ dicolong uwong/dipanen uwong ‘diambil orang/ dicuri/dipanen orang’ karena seakan seperti ada konvensi semua merasa memiliki dan berkewajiban untuk bersama-sama menjaga dengan istilah kabeh podo dhuweki. Keadaan seperti ini juga merupakan alternatif yang dapat dimanfaatkan penduduk pesisir Selatan sebagai hasil sampingan pada ngarepke mangsa ketiga ‘menjelang musim kemarau’. Mereka menanggapi hal ini dengan ungkapan kabeh ki ikhtiar hasile terserah kana ‘semua itu usaha hasilnya terserah yang di sana’. Mereka memiliki pepatah sebagai ungkapan pandangan hidup mereka untuk selalu optimis adalah gili malang pitu, gili mujur wolu ‘jalan melintang ada tujuh, jalan lurus ada delapan’ mencerminkan harapan dan optimisme masyarakat yang lebih besar dibandingkan dengan pesimisnya. Gili malang pitu ‘jalan melintang ada tujuh’ berarti terdapat tujuh hambatan tetapi ada gili lempeng wolu ‘jalan lurus ada delapan’ maksudnya ada jalan keluar untuk mengatasi masalah ada delapan dalam arti lebih banyak. Itulah sebabnya untuk mengatasi tantangan yang datang setiap musin penghujan yang selalu banjir mendapat jawaban dan malah mendatangkan berkat. Sebagai pengepul dari tiga desa Tegalretno, Karangagadung, dan Karangreja commit di to user adalah Mas Dirun. Ikan yang ditanam empang adalah nila, kalper, mujahir,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 168
kakap, greskap dan yang terkhir adalah bawal. Ikan bawal memiliki harga jual paling mahal. Akan tetapi, ikan ini tergolong kanibal. Oleh sebab itu, ikan tersebut dimasukkan setelah ikan-ikan yang lain sudah mulai agak agal ‘besar’. Ikan hasil empang disebut sebagai iwak empang ‘ikan darat’. Ikan darat biasanya dijual ke pasar-pasar untuk memenuhi kebutuhan lokal Kebumen sedangkan ikan laut diekspor ke Taiwan sehingga hasil tangkapan ikan laut dijual ke pabrik pengekspor. Bagi Mas Dirun, si pengepul ikan, manajemen di tiga desa administrasinya dibuat secara rapi sehingga dapat dipertanggungjawabkan pada saat rembug desa ‘rapat desa’. Hal ini mempertimbangkan anggaran, proses, pemeliharaan, pembelian bibit, dan perhitungan lahan yang tergenang sebagai inves/modal yang diperhitungkan juga. Sebagai cermin masyarakat agraris, mereka lebih mementingkan kebersamaan dalam berbagai sektor termasuk dalam pengelolaan empang sawah ini. Luas lahan yang tergenang air kira-kira setiap 125 Ha dapat disebari ikan sekitar 130.000 ekor ikan dengan perbandingan 60.000 ekor ikan nila, 20.000 greskap, 2000 ikan bawal. Harga masing-masing ikan berbeda ketika dipanen dan ikan bawal adalah yang paling mahal berkisar Rp 15.000,00 per kilogram. Lahan ini bagi beberapa petani juga merupakan hiburan karena kalau kesel nyawang tanduran yo terus nyawang iwak ‘kalau capek melihat tanaman ya melihat ikan’. Dalam pengelolaan empang sawah terdapat ekspresi linguistic dalam bentuk satuan lingual seperti berikut. Tabel 4.12: Ekspresi Linguistik pada Ranah Empang sawah SATUAN EKSPRESI LINGUAL LINGUISTIK
MAKNA
KETERANGAN
kata
Nila, kalper, jenis ikan air tawar Dari semua jenis ikan tersebut, ikan yang mujahir, yang ditabur di paling masal adalah ikan bawal. Namun, kakap, empang sawah ikan ini adalah jenis ikan kanibal greskap, sehingga dimasukkan setelah semua ikan bawal, agal agak besar.
frasa
iwak empang ikan darat
Ikan yang berada di dalam empang sawah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 169
rembug desa
kalimat
rapat desa
Rapat desa dilaksanakan pada saat akan menjual hasil panenan ikan, akan menanam ikan, membagi hasil panen.
kabeh padha semua dhuweki memiliki
merasa Semua masyarakat desa merasa memiliki ikan yang berada di empang karena semua memiliki andil saham walaupun tidak sama jumlahnya.
ngarepke menjelang mangsa ketiga kemarau
musim Pada menjelang musim kemarau air sudah mulai surut dan biasanya padi suda menguning dan siap dipanen bersama panen ikan.
kabeh ki semua itu usaha Rasa optimis masyarakat desa yang ikhtiar hasile hasilnya terserah mengatasi bencana sebagai berkat terserah kana yang di sana gili malang jalan melintang ada Kemungkinanan adanya jalan dalam pitu, gili mujur tujuh, jalan lurus memecahkan masalah selalu ada wolu ada delapan kesel nyawang kalau capai/lelah Empang sawah ternyata merupakan tanduran yo melihat tanaman, ya hiburan dan pengharapa bagi seluruh terus nyawang melihat ikan masyarakat desa. iwak
d. Pemikiran Kolektif Terkait Ranah peternakan
Beternak bagi masyarakar pesisir Selatan memiliki dua manfaat yakni sebagai tabungan kanggo celengan ‘tabungan’ dan kanggo lemon sebagai pupuk kandang’ karena memakai pupuk kimia memiliki dampak yang kurang baik bagi tanah pascapenanaman seperti lemahe dadi atos ra iso ditanduri maning ‘tanahnya rusak tidak bisa ditanami lagi. Penyebab lain adalah beralihnya kembali pada kearifan lokal dalam menggunakan pupuk kandang ini juga disebabkan pupuk kimia dapat merusak tanah serta harganya mahal. Kecuali itu, pupuk kimia dipermainkan oleh tengkulak sehingga susah dicari. Gawe lemon dewe wong nyong pakan ra tuku, saya suwe sapine saya gede terus manak dadi akeh dadi celengan ‘buat pupuk sendiri karena makanannya tidak beli lamato user lama sapinya tambah besar dancommit beranak menjadi banyak menjadi tabungan’.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 170
Pemikiran seperti ini menyiratkan kearifan lokal yang sebenarnya telah dilakukan oleh nenek moyang mereka sebelum mengenal adanya pupuk kimia. Ternyata kearifan lokal ini masih relevan digunakan sampai sekarang. Hal ini terbukti dengan pengakuan dan apresiasi masyarakat terhadap penggunaan pupuk organik dengan memberikan harga yang lebih tinggi dibandingkan hasil tanaman yang menggunakan pupuk kimia. Ekspresi linguistik pada ranah peternakan lain yaitu penamaan jenis binatang yang diternak di antaranya: sapi lemosin, sapi jawa, wedhus jawa,wedhus etawa, pitik, endhel ‘menthok dan bebek’. Semua jenis hewan itu makan dari sisa hasil panen padi dan palawija seperti rendheng, lamen, damen, dedak, katul, budin sehingga tidak membeli. Sebagai bagian ‘investasi/tabungan’
dari celengan ternak
agar
nantinya bisa berbuah seperti yang diharapkan,
ada pedoman dalam
membeli ternak terdapat lima macam pedoman yakni 1) suku, 2) watu, 3) pendhito, 4) buta, 5) ratu dan masingmasing ungkapan memiliki makna tersendiri yang secara kultural yang tersembunyi di belakang kata tersebut
Gambar 4.21: Sapi limosin milik petani
seperti: suku maka mengadhung makna binatang yang akan dibeli nantinya akan beranak pinak menjadi beberapa suku dalam hal ini beberapa kelompok. Watu mengadhung arti nantinya binatang ini akan keras kepala sukar diatur sehingga tidak akan berkembang biak hanya sendiri terus sehingga perhitungan yang jatuh pada kata watu dihindari. Pendhito
berarti seperti pendeta yang membawa
kedamaian walapun nantinya hasilnya tidak sebanyak suku. Namun, yang memiliki akan tetap damai dan dapat menggunakan hasil ternak itu dengan tenang tidak cepat habis. Buta ‘raksasa’ ternak yang dibeli pada hari yang jatuh hitungannya buta biasanya juga dihindari. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 171
Hal ini disebabkan ternak tersebut akan cepat besar dan gemuk. Namun, yang memiliki akan merasa ngangah-angah ‘tidak pernah puas’. Dengan kata lain menjadi angkara dan suka marah. Sebagai contoh seperti yang terjadi pada informan yang memelihara sapi limosin dengan
modal yang cukup banyak.
Setelah besar dan memakan biaya untuk makanannya juga banyak, akan harga sapi turun.
dijual
Akibatnya, mereka
menjadi rugi. Kerugian itu disebabkan Gambar 4.22: Ayam sebagai celengan petani
pada saat itu pemerintah mengimpor sapi dari luar negeri sehingga berdampak
jatuhnya harga sapi lokal. Inilah yang namanya apes ‘sial’. Adapun, kata ratu mengadhung arti bahwa ternak yang dibeli nantinya akan ngunggahke drajat ‘menaikan pangkat’ pemiliknya seperti membawa keberuntungan maka kalau dijual lakunya mahal atau mudah beranak. Sebagai contoh menghitung pedoman hari misalnya: hari akan membeli ternak itu minggu legi. Minggu memiliki nilai perhitungan 5 dan legi memiliki nilai 5. Kalau dijumlah, menjadi 10. Sepuluh bila dihitung berurutan 5 mulai dari suku hingga ratu jatuh pada ratu. Minggu legi baik untuk membeli binatang ternak. Dalam hal ini mereka tidak bermaksud untuk mensakralkan hari karena menurut mereka semua hari itu baik.
Kalau
bisa memilih, yo nyong milih dino sing paling apik ‘ya saya memilih hari yang paling baik’. Dalam beternak, kadang petani tidak hanya memelihara ternaknya sendiri. Namun, ada yang memelihara milik tetangga atau teman lain desa yang diistilahkan digaduhi dan pembagian hasilnya paron ‘separohnya’. Kalau beranak empat,
dibagi dua. Yang
punya dua dan yang memelihara sing
nggadhuh dua. Kegiatan ini bisa menggunakan cara lain. Kalau
dijual,
untungnya dibagi dua. Yang menjadi dasar atas sistem nggadhuh
adalah
kepercayaan karena mereka memiliki falsafah ora duwe napa-napa ning commit to user disuyudi, laku nyong sing dadi celengan urip merga laku-clathu-pithuku ‘tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 172
memiliki apa-apa tetapi dihormati, perbuatan saya menjadi tabungan saya selain itu perbuatan akan mendapat imbalan sesuaai dengan yang dilakukan’. Mereka semua percaya apa yang dilakukan akan dituai sendiri. Oleh sebab itu, mereka memiliki pedoman hidup harus jujur. Hal
ini merupakan kearifan lokal
masyarakat setempat. Seperti halnya tanaman, binatang pun memiliki penyakit, misalnya untuk kambing. Apabila kambing beranak, lalu air susunya tidak dapat keluar, hal itu disebut kamisandak. Kalau dibiarkan, susu kambing akan abuh ‘bengkak’ dan tidak lama akan mati. Oleh sebab itu, kambing harus segera diobati. Menurut masyarakat setempat, obat yang mujarab secara turun temurun adalah membakar batok kelapa sampai menjadi arang, lalu digepuk ‘ditumbuk’ sampai halus, dicampur dengan lenga klentik ‘minyak kelapa’ dan badheg setengah mateng ‘nira yang setengah matang’ terus dioleskan pada susu kambing yang kena kamisandak. Adapun untuk sapi yang baru saja melahirkan, ada penyakit yang disebut kena jambon yakni bagian dalam vagina sapi keluar. Penyakit ini sampai sekarang belum ada obatnya. Oleh karena itu, salah satu alternatif adalah harus memanggil orang dari dinas peternakan dengan biaya yang cukup mahal agar sapi itu bisa sembuh. Oleh sebab itu, apabila ada istilah kena jambon ‘kena penyakit habis melahirkan’, berarti mengeluarkan banyak uang. Dengan demikian makna frasa jambon bila diekspresikan pasti ada hubungan dengan nuansa kesedihan dari yag mengucapkan.Eksprei linguistic tersebut dapat digongkan dalam bentuk satuan lingual kata, phrasa, kalimat seperti berikut.
Tabel 4.13: Ekspresi Linguistik pada Ranah Peternakan SATUAN EKSPRESI LINGUAL LINGUISTIK kata
MAKNA
KETERANGAN
Pitik
ayam
Ayam, endel dimanfaatkan daging, telur, dan kotorannya
endhel
menthok dan bebek
nggadhuh
merawat ternak orang lain Apabila petani tidak memiliki ternak sendiri, mereka dapat membantu memelihara ternak petani lain dengan perhitungan pembagian sesuai commit to user kesepakatan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 173
frasa
budin
singkong
Budin dimanfaatkan sebagai makanan sapi walaupun juga ada yang dimasak. Namun, untuk daerah pesisir selatan berbeda dengan di bagian tengah yang dibuat sebagai makanan yang khas Kebumen yakni lanting.
Apes
Sial
Bila melanggar aturan adat seperti melakukan sesuatu pada hari kematian orang tua, mereka akan mengalami sial dalam segala sesuatu.
kamisandak
nama penyakit
Kambing yang habis menyusui, tetapi air susunya tidak bisa keluar kemudian bengkak. Apabila tidak segera diobati, biasanya akan mati.
Suku
suku
Pedoman yang dipakai petani dalam membeli hewan ternak
watu
batu
pendhito
pendeta
Buto
raksasa
Ratu
Raja
ngangah-angah angkara murka menjadi tidak pernah merasa cukup sehingga akan menjadi manusia yang rakus dan jahat
kalimat
minggu legi
minggu dengan pasaran Minggu yang memiliki pasaran legi legi sebagai acuan hitungan minggu memiliki bobot tersendiri. Legi memiliki bobot tersendiri, lalu diurutkan dengan pedoman yang ada jatuhnya pada kata apa itulah yang menjadi pedoman baik dan buruk dalam membeli binatang ternak.
lenga klentik
minyak kelapa
kena jambon
kena penyakit melahirkan
badheg setengahnira yang mateng matang
Minyak yang dibuat dari minyak kelapa yang diolah kembali denagn dicampuri daun pandan dan biasanya untuk pengobatan. habis Penyakit ini menimpa kerbau atau sapi yang habis melahirkan karena uterusnya keluar. Untuk proses penyembuhannya, kerbau tersebut harus dioperasi oleh dokter hewan. setengah Nira yang diambil dari pohon kelapa terus direbus sebentar sebelum
user yo nyong pilihya saya commit memilihto hari Petani tidak mau dikatakan dina sing paling mengkultuskan hari karena hal ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 174
apik
yang paling baik
dianggap sirik. Oleh karena ungkapan tersebut dianggap netral.
itu,
e. Pemikiran Kolektif Komunitas Petani Terkait Ranah Obat-obatan Sebagai menggunakan
petani pesisir Selatan dalam mengatasi segala penyakit juga konsep
agraris
yang
mendasarkan
penyembuhan
pada
ketersediaan obat oleh alam. Mereka percaya kabeh taneman ki iso kanggo obat. Dadi, kabeh penyakit ki iso diobati saka tanemantaneman dewek ‘semua tanaman bisa untuk obat. Jadi,
semua penyakit
disembuhkan
dengan
itu
bisa
tanaman-tanaman
sendiri’. Kalau memang sudah tidak bisa disembuhkan, biasanya ada tandanya, seperti misalnya ada istilah ‘yen pancen wis ora iso Gambar 4.23: Daun Tawa untuk pengobatan dan acara ritual
diobati maning, biasane obate digoleki ora nana. Koyo kemaduan ki yen diluru angel
entong ora nana padahal biasane akeh. Dadi ora iso arep gawe obat ‘kalau sudah tidak bisa diobati, biasanya obatnya tidak ada lagi. Seperti kemladean kalau dicari susah padahal biasanya banyak pas mau dipakai obat dicari dimana–mana tidak ada’. Berikut adalah jenis penyakit dan obat secara alam yang didapat dari informan: 1) diare diobati dengan daun jambu kluthuk, gedhang kluthuk, gedang ambon, adaspulosari, garam, secukupnya diperas dengan air panas, 2) batuk dapat diobati dengan sajeng yang asli diminum pagi hari, tetapi tidak diberi obat gula dan diberi kapur sirih, 3) untuk membuang racun dengan degan kelapa hijau dengan syarat petik tidak boleh dijatuhkan. Kalau kepala muda itu dijatuhkan, unsur kimia di dalamnya menjadi bercampur dan pori-pori degan membuka. Hal ini mengakibatkan pudarnya khasiat degan tersebut. Caranya degan direbus ditambah dengan daun tawa, adas pulosari terus
to user diminum, 4) kanker payudaracommit kemaduan (kemladean kuning-kuning seperti
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 175
bakmi yang merembet di pohon tetehan) digodog dalam kuali, lalu diminum untuk menyembuhkan. Obat ini telah dibuktikan keampuhannya oleh informan sendiri untuk mengobati isterinya yag sakit kanker payudara, 5) obat asam urat: pandan digodhog ‘direbus’ ditambah adas pulasari, kunir putih dimabil bersama dobos-nya (akar yang menggantung) diambil pucuknya yang ada lendirnya 6) penyakit dalam suket-pager ‘jenis rumput’, suket meniran untuk linu, sambilata untuk anyang-anyangen 7) obat ambeien: suruh kuning, kembang jambe ‘bunga jambe’ yang jatuh di tanah, dideplok ‘ditumbuk’ ditambah air, lalu diminum. Dalam memberikan obat ini, biasanya mereka tidak ditarik biaya. Mereka hanya mengganti tetulung ora ngarani, ning ganti luru jamu ‘menolong tidak minta imbalan, hanya mengganti cari obat’. Makna ungkapan ini adalah imbalan sekadarnya karena pekerjaan harian petani setelah menderes adalah mencari rumput atau nderes untuk mendapatkan penghasilan. Apabila mereka dimintai tolong mencarikan jamu, mereka tentu saja tidak bekerja. Dengan demikian, yang meminta tolong seharusnya memahami hal ini dengan mengganti sekadarnya.
f. Pemikiran Kolektif Terkait Bentuk Pemanfaatan Tanaman Nonpangan
Komunita petani di Kebumen selain membuat tambahan penghasilan melalui tanaman penyela juga memanfaatkan tanaman non pangan untuk kebutuhan dalam banyak hal seperti membuat rumah, makanan ternak, sebagai kayu bakarm penyubur tanah, kerajinan, pembungkus makanan.
1) Pohon Johar sebagai Tanaman Alternatif Bahan Bangunan
Menurut tradisi petani pohon johar merupakan jenis tanaman yang banyak dijumpai disekitar sawah baik di dataran rendah bagian tengah maupun pesisir selatan Kebumen yang bisa digunakan untuk bahan bangunan. Pohon tersebut userkampung' di samping sebagai kayu dikenal petani sebagai tahun 'kayucommit tahun, to kayu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 176
gisik ‘kayu dipesisir’. Adapun besar kecilnya pohon johar dipahami petani tergantung berapa lama kayu itu dibiarkan tumbuh dan tingkat kesuburan tanahnya, sehingga pada saat kayu johar cukup usia bisa menjadi alternatif bahan bangunan (di sampingglugu) untuk balungan ‘kerangka rumah’ dan usuk ‘kaso’. Secara umum bagi petani yang memiliki kemampuan ekonomi lebih jenis kayu jati hutan maupun kayu jati kebon menjadi pilihan, sedangkan yang tidak mampu secara ekonomi kayu yang dipilih terekspresikan dalam asal hukuh nyangga gendheng 'asal kuat menyangga genting’ bisa dipakai. Pohon Johar ini dibiarkan tumbuh pada sekitar sawah karena dipercaya bahwa selain dapat di,amfaatkan sebagai alternative bahan bangunan juga dapat dipakai sebagai bahan obat-obatan dan juga sebagai tempat berteduh pada saat petani beristirahat siang selama bekerja di sawah sambil menikmati bekalnya. Terekspresikan dalam
menggep ringep rasane 'berteduh di bawahnya terasa
nyaman’.
2) Pohon Nyamplung sebagai Biodiesel
Pohon nyamplung merupakan jenis pohon yang tumbuh liar sepanjang Pesisir Selatan sehingga membentuk hutan belukar. Karena tumbuh liar dan subur maka
dengan
bimbingan
dari
Dinas
Perkebunan, buahnya dapat diolah menjadi bahan biodisel, dan daunnya untuk makanan ternak. Sejak saat itu tanaman ini sengaja dibudidayakan olehma syarakat petani di pesisir selatan karena dapaat memberikan hasil meskipun tidak banyak..Menurut petani Gambar 4.24: Pohon Nyamplung
pohon nyamplung ini bukan jenis pohon asli di pesisir selatan Kebumen, karena petani
memperoleh bibit nyamplung dari petani Cilacap. Sementara pengolahan biji nyamplung pada
awalnya
akan diolah sendiri, tetapi ternyata tidak commit to user memungkinkan akhimya dijual kepada pihak lain yang telah berpengalaman
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 177
mengolah nyamplung. Tanaman ini dikelompokkan sebagai tanaman industri rakyat yang produktif dan prospektif kedepannya,
namun pembudidayaannya
masih tumpangsari, sehingga terkesan kurang maksimal pengelolaannya. Ke depannya pohon nyamplung sebagai bahan mentah biodiesel memiliki
peluang
besar untuk pengembangan ekonomi petani di samping menangkap ikan di laut.
3) Pohon Klaraside sebagai Makanan Ternak dan Penahan Air Pohon klaraside sangat banyak dijumpai di sepanjang pesisir Selatan dan merupakan jenis pohon yang hidup dan banyak ditanam petani di lahan negara maupun lahan milik perorangan di peisisir selatan Kebumen. Pohon tersebut di samping berfungsi untuk penghijauan, pembatas lahan milik warga/ perorangan, sebagai penguat pematang ladang dan sebagai penahan erosi tanah berpasir, dan daunnya untuk makanan ternak ketika makanan ternak lainnya tidak tersedia akibat faktor musim yang ekstrim. Secara alami pohon klaraside itu jenis tanaman yang bisa hidup subur tanpa pupuk di lahan berpasir seperti itu. Pohon ini banyak dimanfaatkan oleh petani sebagai makanan ternak karena selain sangat mudah didapat juga disukai oleh binatang ternak. Pohon klaraside juga dapat membantu memfilter air laut dan menjaga keberadaan air sehingga meskipun musim
panas
tetapi
petani
Gambar 4.25: Daun klaraside
tidaak
kekurangan air oleh karena itu tanaman ini tetap dilestarikan dan dijaga pertumbuhannya oleh petani. Meskipun di pesisir pantai namun air yang dihasilkan terasa tawar artinya tidak asin sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain kelebiha-kelebihan tersebut juga kemudahan commit to user mendapatkan air karena hanya digali tiga sampai empat meter bisa mengeluarkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 178
sumber air tawar dan tidak asin. Karena mudahnya sumber air tawar bersih seperti nyong garuk telung meter wis bisa nginum ‘saya menggali tiga meter sudah keluar airnya bisa diminum'
4) Pohon Cemara ‘cemara’ sebagai Penghijauan dan Pendukung Pariwisata
Pohon cemara 'cemara' merupakan salah satu jenis tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat petani, pemerintah setempat bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tanaman tersebut dipilihdengan pertimbangan ekologis tanah yang berpasir dan potensi sebagai kawasan wisata laut selatan seperti di Petilasan Pandan kuning yang terletak di pesisir selatan Karanggadung, Petanahan, Kebumen. Petilasan Pandankuning merupakan lokasi wisata spiritual yang banyak dikunjungi oleh para wistawan domestik maupun wisatawan mancanegara.Oleh karenanya pohon cemara dipilih petani dan instansi terkait untuk menyiapkan fasilitas lingkungan alam yang teduh didukung penghijauan yang cukup dan orientasi pengembangan objek wisata yang berbasis pada lingkungan alam pesisirlaut selatan Kebumen. Petani
menyambut
pengembangan
kawasan wisata alam pesisir laut itu dengan gembira, karena di samping lingkungannya menjadi hijau, tertata bagus dan bersih, jalan menuju pantai untuk mencari ikan ke laut menjadi lebih tertata. Gembiraan itu secara fisik karena lingkungan menjadi bersih, dan secara Gambar 4.26: Penanda pelaksana proyek penanam Cemara
metafisik suasana Petilasan Pandankuning itu menjadi kurang kharismatis, karena setelah
ditata meskipun menjadi lebih baik, tetapi terlalu ramai untuk membangun focus batin. Di samping itu penonjolan commitlokasi to userwisata Petilasan Pandankuning
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 179
mengingatkan kisah lama yang terangkum dalam folklore Dewi Sulastri, yaitu sosok wanita cantik yang diyakini sebagian petani sebagai jelmaan Ratu Selatan itu akan ikut senang. Dewi Sulastri di tempat itu pernah dibelenggu oleh Adipati Jaka Puring terekspresikan dalam mBok Ratu lan Dewi Sulastri kepranan 'Ibu Ratu dan Dewi Salastri (menjadi) senang', karena lokasi itu ditata menjadi lebih rapi. Tanaman cemara di kawasan objek wisata spiritual Patilasan Pandankuning menjadikan tempat itu lebih rindang, sehingga para pengunjung, baik wisatawan spiritual maupun wisatawan biasa, wisatawan domestik maupun mancanegara terasa nyaman, karenakarena secara ekologis menambah estetis lingkungan alam. Berangkat dari tanah berpasir yang panas pada siang hari serta dingin pada malam hari menjadi lingkungan alam yang menjanjikan untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata yang potensial. Di samping didukung pula jalan pesisir selatan Jawa Tengah (Kabupaten Kebumen Purworejo, Kulonprogo dan Bantul) yang disebut dengan jalur Daendeles, sebagai jalan alternatif menuju Yogyakarta dan sebaliknya. Adanya fasilitas jalan tersebut banyakpara pengendara melalui jalur itu. Dampak perubahan itu maka banyak bus jurusan Jakarta- Jogyakarta dan sebaliknya, atau bus pariwisata yang melayani perjalanan wisatawan domestik maupun mancanegara juga banyak melewati jalan deandeles itu, terutama pada hari libur panjang termasuk liburan lebaran atau hari hari besar lainnya. Hal itu menambah peluang usaha bagi petani di sepanjang Pesisir Selatan yang terekspresikan nyong bisane nunut obahe jaman ‘saya hanya bisa mengikuti perkembangan jaman’, tidak bias menentukan perkembangan dan perubahan itu.
5) Pandhan 'pandan’ sebagai Penghijauan dan Bahan Kerajinan
Pohon pandhan 'pandan' merupakan jenis tanaman yang dimanfaatkan oleh masyarakatpetani untuk melengkapi penghijauan di lahan kosong pesisir selatan Kebumen.Pohon tersebut di samping berfungsi
untuk penghijauan lahan
berpasir, secara ekonomis daun pandan dapat diguanakan untuk bahan kerajinan commit to user tikar guna memenuhi konsumsi sendiri maupun dijual untuk bahan kerajinan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 180
tas,tikar berhias , serta bahan kerajinan lain. Sepintas luas lahan berpasir dengan jumlah tanaman pandan kurang maksimal, karena tidak sebanding dengan lahan kosong yang demikian luas di pesisir selatan Kebumen. Tanaman pandan cukup subur di lahan berpasir dan lebih potensial sekiranya petani membudidayakan dengan cara yang profesional, sehingga pandan bisa menjadi komoditas alam yang dapat mendukung kesejahteraan masyarakat petani di pesisir selatan Kebumen. Ekspresi verbal petani dalam pandhan lengseran Dewi Sulastri nguripi yen disregi 'pandan "warisan" Dewi Gambar 4.27: Pohon Pandan
Sulastri, menjadi nafkah jika dikelola lebih
serius'. Ekspresi verbal petani yang menyebut pandhan sebagai lengseran’ warisan’ itu terkait folklor Dewi Sulastri di Patilasan Pandankuning, Petanahan, Kebumen. Ekspresi verbal "warisan" dipahami petani secara simbolis warisan tentang nilai-nilai keteladanan dan kemuliaan pribadi Dewi Sulastri sebagai seorang wanita. Secara folklor dipahami petani bahwa daun pandhan yang digunakan untuk mengikat Dewi Sulastri karena watak jahat Jaka Puring kemudian daun pandan dari warna hijau berubah menjadi warna kuning.Warna kuning tersebut secara kultural petani dipahami sebagai bukti keagungan pribadi Dewi Sulastri. Kisah tersebut hingga kini masih melegenda ditandai Petilasan Pandankuning beserta tradisi yang yang mendukung legenda itu. Kuatnya pengaruh folklor tersebut, akibatnya petilasan tersebut dipadang sebagai tempat keramat dan dipersepsikan sebagai tempat yang baik untuk semedi'bertapa. Hal itu tercermin dalam perangkat sesaji pelaksanaan upacara ritual sedekah-laut 'sesajilaut ' maupun berbagai aktivitas spiritual petani maupun pihak lain ketika sedang bermunajat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 181
6) Pohon Turi Sebagai Penyubur Tanah dan Bahan Pengobatan Setiap sawah sepanjang Pesisir Selatan banyak dijumpai pohon turi pada setiap pinggir sawah. Hal ini disebabkan adanya pemikiran masyarakat petani bahwa pohon turi memiliki manfaat yang sangat banyak diantaranya akarnya dapat menyuburkan sawah, bunganya dapat dipakai sebagai bahan makanan sebagai sayuran yang banyak dijajakan di warung-warung sepanjang pantai penyerta pecel lepet, pecel megana. Manfaat lain pohon turi yaitu sebagai bahan jamu pelancar ASI (Air Susu Ibu) maka apabila seorang wanita setelah melahirnya diwajubkan mengkonsumsi bunga turi ini dengan ekspresi gawe tegehan turi ‘membuat sayur turi’. Manfaat lain dalam pengobatan adalah melancarkan buang air besar dan bahkan bila digabung dengan kunyit dapat dipakai sebagai antibiotik. Pemanfaatan pokon turi tersebut telah dimaulai sejak nenek oyang mereka ketika berada di dataran tinggi sehingga bila dirunut sampai daerah Watu Agung. Postula keajegan tersebut juga terdapat di daerah dataran tinggi, sedang, rendah dan pesisir Selatan. Bila di cermati secara ilmiah ternyata hal ini telah dibuktikan bahwa kesuburan itu disebabkan adanya butiran-butiran pada akar pohon turi yang mengadhung oksigen. Efek farmakologis 43 bunga turi oleh Dr Mangestuti Apt MS-Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dalam Sentra Informasi Iptek pohon turi dapat juga digunakan sebagai pelembut kulit, pencahar.Ternyata akar turi pun juga
bermanfaat
untuk
kesehatan
yaitu
untuk
mengatasi
pegal
linu.
Cara :Akar turi (berbunga merah) digiling halus. Tambahkan air sehingga adonan menyerupai bubur. Gosokkan adonan tersebut pada bagian tubuh yang linu. Turi juga dapat meredakan sakit kepala.
43
Sumber : Dr Mangestuti Apt MS – Fakultas Farmasi UNAIR Sentra informasi IptekRamuan tradisional sakit kepala. Laman infosehat09hartonoprasetyo di poskan 30 Maret 2010 dan diakses tanggal 2 Februari 2014.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 182
Berikut adalah ekspresi kinguistik terkait dengan tanaman nonpangan yang terwujud dalam bentuk satuan lingual kata, frasa, dan kalimat.
Tabel 4.14: Ekspresi Linguistik pada Ranah Tanaman Nonpangan SATUAN LINGUAL Kata
EKSPRESI LINGUISTIK Johar
MAKNA Nama jenis pohon
Nyamplung
Klaraside
Cemara
Pandhan
Frasa
balungan
kerangka rumah
usuk
kaso
semedi
bertapa
hukuh nyangga gendheng kayu gisik
asal kuat menyangga genting kayu dipesisir
Kayu jati
KETERANGAN Pohon yang banyak ditanam petani sebagai penyedia bahan bangunan alternative dan obat-obatan. Nyampung banyak tumbuh liar di daerah sekitar pantai yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan biodiesel. Pohon klaraside banyak tumbuh liar di sekitar Pesisir Selatan Kebumen yang dimanfaatkan sebagai pencegah abrasi air laut dan sebagai makanan ternak pada saat tidak musim panen. Cemara di sepanjang Pesisir Selatan merupakan hasil penghijauan yang di tanam oleh fakultas pertanian Universitas Gajahmada sebagai uji coba dan sangat bermanfaat untuk menambah kerindangan pantai. Jenis pohon cemara di sini adalah cemara yang pendek, Pohon pandan banyak tumbuh juga di bagian pantai yang jenisnya agak berbeda dengan pandan biasa karena pandan di Pesisir Selatan ini besar dan banyak dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan. Pohon pandan ini keberadaanya sangat erat dengan ceritera mistik yang beredar di Desa Petanahan yakni ceritera Pandankuning. Secara umum bagi petani yang memiliki kemampuan ekonomi kurang mampu memanfaatkan kayu johar dan yang memiliki ekonomi lebih jenis kayu jati hutan maupun kayu jati kebon menjadi pilihan sebagai penyangga rumah Badian dari rumah yang disebut rumah Bandhung Petani banyak mnemanfaatkan tanaman pandan yang tinggi dan rimbun sebagai tempat bertapa.
Kayu jenis ini merupakan kayu yang lebih ekonomis untuk dijadikan sebagai commit to userbahan bangunan. Kayu jati Kayu pilihan yang dipakai oleh petani
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 183
Kalimat
Nyong garuk telung meter wis bisa nginum
saya menggali tiga meter sudah keluar airnya bisa diminum
Nyong bisane nunut obahe jaman
Saya hanya bisa mengikuti perkembangan jaman. Pandan warisan Dewi Sulastri, menjadi nafkah jika dikelola lebih serius
pandhan lengseran Dewi Sulastri nguripi yen disregi
yang memiliki ekonomi bagus sebagai bahan bangunan pembuat rumah. Meskipun derah tepi pantai namun air yang dihasilkan sangat berlimpah dan tidak berasa asin karena adanya pasi besi dan tanaman Klarasise yang tumbuh liar sepanjang pantai. Perubahan pemikiran masyarakat setempat sebagai akibat tumbuhnya tanaman yang mengakibatkan lokasi pantai menjadi daerah pariwisata. Petani yang menyebut pandhan sebagai lengseran Warisan itu terkait folklor Dewi Sulastri di Patilasan Pandankuning, Petanahan
g. Kearifan Lokal yang Signifikan Terkait Bidang Pertanian Setelah mencermati pemikiran kolektif yang tentu saja bermula dari pemikiran perorangan yang ternyata sangat bermanfaat bagi kehidupan komunitas maka dapat diketahui kearifan lokalnya. Kearifan local ini merupakan ekstrasi dari pemikiran kolektif yang ternyata merupakan hal yang sangat bermanfaat dan mengadhung nilai-nilai luhur yang dapat diwariskan secara turun temurun. Dengan kata lain kebaukan ini dapat menjadi pedoman hidup komunitas petani pada generasi ke generasi berikutnya. Kearifan local tersebut dapat diambil dan cermati pada tiap-tiap ranah seperti ranah padi gaga, ranah perkebunan, ranah peternakan, ranah empang sawah, ranah peternakan, dan menderes.
1) Menjadi Petani Subsisten Penanam Padi Gaga sebagai Bentuk Kearifan Lokal (local wisdom)
Kearifan lokal masyarakat petani dan nelayan Kebumen tampak pada pemertahanan mata pencaharian menjadi petani sehingga dapat dikategorikan sebagai petani subsisten meskipun terdapat beberapa alternatif mata pencaharian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 184
seperti sebagai penderes, peternak dan upaya transformasi yang terakhir sebagai nelayan. Upaya pemertahanan mata pencaharian itu dapat dilihat pada ekspresi linguistik mereka yang mengatakan bahwa seperti ‘ kabeh nelayan mesthi tani, ning saben wong tani durung mesthi nelayan, saben penderes mesthi wong tani ning saben wong tani durung mesthi nderes’ ‘semua nelayan itu petani dan semua petani itu penderes dan peternak namun tidak semua nelayan itu petani.
a) Kearifan Lokal Terkait Sistem Ekonomi Kemasyarakatan dalam Bentuk Uruban ‘barter’
Uruban ‘barter artinya bertukar. Barter (uruban) ternyata masih menjadi bagian gaya hidup petani ketika berada di sawah seperti dikala belum ada uang. Ternyata mereka tetap hidup dan bisa menurunkan hingga generasi sekarang ini. Mereka tidak selalu sesuatu
dengan
mengukur segala
materi.
Mereka
yang
mempunyai sawah menanam padi dan memiliki tanaman-tanaman palawija yang bisa mereka gunakan sebagai kebutuhan sehari-hari, sepert jamu, dan pohon kelapa yang
dapat
mereka
gunakan
untuk
membangun rumah. Hasil bumi inilah yang Gambar 4.28: Penjual dawet keliling saat jabel
dapat dipakai sebagai bahan untuk uruban ‘barter’. Misalnya pada waktu musim jabel
‘panen’ banyak penjaja dawet yang berjualan di sawah. Petani yang minum tidak perlu membayar namun biasanya mereka memberikan beberapa tangkai padi. Dawet yang mereka jajakan kepada petani pun juga hasil dari kebun kelapa, untuk membuat santannya, dan gula merah pemanisnya, sedangkan cendol dibuat dari tepung budin. Pada akhir panen, gabah yang diperoleh akan lebih banyak nilainya bila dibandingkan dengan hasil menjual dawet yang hanya diharga dua ribu rupiah semangkok. `Uruban ‘barter artinya bertukar. commit to user Barter (uruban) ternyata masih
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 185
menjadi bagian gaya hidup petani ketika berada di sawah seperti dikala belum ada uang. Ternyata mereka tetap hidup dan bisa menurunkan hingga generasi sekarang ini. Mereka tidak selalu mengukur segala sesuatu dengan materi. Mereka yang mempunyai sawah menanam padi dan memiliki tanaman-tanaman palawija yang bisa mereka gunakan sebagai kebutuhan sehari-hari, sepert jamu, dan pohon kelapa yang dapat mereka gunakan untuk membangun rumah. Hasil bumi inilah yang dapat dipakai sebagai bahan untuk uruban ‘barter’. Misalnya pada waktu musim jabel ‘panen’ banyak penjaja dawet yang berjualan di sawah. Petani yang minum tidak perlu membayar namun biasanya mereka memberikan beberapa tangkai padi. Dawet yang mereka jajakan kepada petani pun juga hasil dari kebun kelapa, untuk membuat santannya, dan gula merah pemanisnya, sedangkan cendol dibuat dari tepung budin. Pada akhir panen, gabah yang diperoleh akan lebih banyak nilainya bila dibandingkan dengan hasil menjual dawet yang hanya diharga dua ribu rupiah semangkok. `Uruban ‘barter artinya bertukar. Barter (uruban) ternyata masih menjadi bagian gaya hidup petani ketika berada di sawah seperti dikala belum ada uang. Ternyata mereka tetap hidup dan bisa menurunkan hingga generasi sekarang ini. Mereka tidak selalu mengukur segala sesuatu dengan materi. Mereka yang mempunyai sawah menanam padi dan memiliki tanaman-tanaman palawija yang bisa mereka gunakan sebagai kebutuhan sehari-hari, sepert jamu, dan pohon kelapa yang dapat mereka gunakan untuk membangun rumah. Hasil bumi inilah yang dapat dipakai sebagai bahan untuk uruban ‘barter’. Misalnya pada waktu musim jabel ‘panen’ banyak penjaja dawet yang berjualan di sawah. Petani yang minum tidak perlu membayar namun biasanya mereka memberikan beberapa tangkai padi. Dawet yang mereka jajakan kepada petani pun juga hasil dari kebun kelapa, untuk membuat santannya, dan gula merah pemanisnya, sedangkan cendol dibuat dari tepung budin. Pada akhir panen, gabah yang diperoleh akan lebih banyak nilainya bila dibandingkan dengan hasil menjual dawet yang hanya diharga dua ribu rupiah semangkok. commit to user Astronomi dalam Pertanian b) Kearifan Lokal Terkait Pengetahuan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 186
Masyarakat petani Kebumen dalam menentukan masa tanam menggunakan kearifan lokal yakni tetap menggunakan dua musim yang mirip dengan daerah relig Watu Agung yaitu mangsa rendheng ‘musim penghujan’ dan mangsa ketiga ‘musim kemarau’ dengan tidak menggunakan perhitungan pranata mangsa seperti yang ada pada petani Jawa Tengah karena pranata mangsa merupakan deskripsi lengkap yang dibuat oleh PB VII tahun 1855 (Panjebar Semangat) berarti berasal dari pusat budaya. Dalam menetapkan masa tanam, mereka juga memperhatikan gejala alam lain yang mendukung atas penetapan aktivitas bertani. Misalnya, pada waktu padi sudah mulai mapak ada keprak sebab fenomen alam pada waktu mapak bersamaan dengan menetasnya telur burung pipit. Dengan demikian,
burung sudah mulai banyak yang turun ke sawah untuk mencarikan
makan anaknya dengan mengisap isi padi yang masih belum padat. Hal ini mengakibatkan padi akan gabuk ‘kopong’. Keberadaan burung pipit dalam rangka mencari makan untuk ngloloh piyeke ‘memberi makan anaknya’.
c) Kearifan Lokal Terkait Teknis Bertanam Kearifan teknis tecermin dalam cara perawatan tanaman padi yang masih menggunakan lemon ‘pupuk kandang’. Secara linguistik lemon berasal dari kata lemu ‘gemuk’ ditambah akhiran (–an) dimaksudkan untuk membuat tanaman lemu ‘gemuk’. Secara konsep migrasi pola pertanian dari dataran tinggi ke dataran rendah, makna lemon memiliki makna yang berbeda karena lemon di dataran rendah adalah pupuk kandang dibuat dengan teknologi sederhana penjemuran. Adapun lemon di dataran tinggi adalah pupuk humus karena ketersediaan hutan penyuplai daun-daunan yang jatuh terus menumpuk dan mengalami pembusukan. Kalau ditinjau secara diakronis, penyediaan lemon pada waktu dahulu ketika keseimbangan alam masih terjaga lemon didapat dengan menanam tanaman pinggiran sawah yang akarnya dapat memberikan kecukupan kesuburan bagi tanah di sekitarnya seperti pohon lamtoro, nyiur, dan lain-lain. Kearifan teknis (technic wisdom)lain tecermincommit dalamto user cara perawatan penyakit tanaman.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 187
Masyarakat
menggunakan istilah kena kuning ‘kena kuning’ secara kultural
penyebutan penyakit dengan leksikon kuning ini bertujuan menganggap penyakit sebagai sesuatu yang baik. Sama halnya dengan pandan kuning, sebuah nama petilasan yang dianggap sakral dan setara pula dengan parine wis kuning ‘padinya sudah kuning’. Dengan demikian, penyakit itu tidak ngamuk ‘marah’ karena penyakit itu dipercaya ada yang ngangon ‘menggembalakan’. Hal yang sama juga terjadi pada petani di Jawa Tengah yang menyebut tikus dengan den baguse ‘tuan yang tampan’. Secara linguistik terjadi diversifikasi makna kuning ‘kuning’ yang masuk dalam kategori kata sifat menjadi kata benda seperti kena kuning = kena watu dan pandan kuning = nama sebuah petilasan tidak sama maknanya dengan pandan yang berwarna kuning. Penyakit kena kuning itu sebenarnya namanya adalah nglaras yang berasal dari kata klaras yang artinya daun sebab penyakit ini menyerang daun sehingga daun akan lembek dan layu. Cara–cara mengatasi masalah kena kuning
dapat dikategorikan masih sederhana, yakni dengan
menaburkan abu gosok pada tanaman daun yang kena penyakit tersebut. Cara sederhana lain yang juga merupakan kearifan lokal masyarakat pesisir Selatan adalah mengelola tanah ladang untuk menanam padi yang disebut sebagai pari gaga tetap dipertahankan menjadi mata pencaharian utama.
Kearifan lokal
lainnya adalah cara mengatasi hama pari gaga yang disebut uret. Mereka hanya d menggenangi lahan mereka untuk membunuh uret tersebut. Hama uret merupakan hama khusus padi gaga yang tidak dijumpai pada padi sawah biasa. Selain menggenangi sawah, ada cara lain yakni dengan cara melaksanakan cara tanam bergantian dengan jagung dan kacang brul. Tradisi penanaman dengan cara bergantian dan menggenangi sawah untuk membunuh hama tanaman telah menjadi tradisi yang sudah lama. Namun, kegiatan itu tetap dipertahankan sampai sekarang.
d) Kearifan Lokal Terkait Sistem Sosial Kemasyarakatan Kearifan social tecermin dalam cara masyarakat petani yang mementingkan committetap to user kehidupan sederhana dan kebersamaan melaksanakan kegiatan kebersamaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 188
tersebut dalam segala sektor kehidupan kemasyarakatan di antaranya adanya kerigan, nderep, ngodhe dan uruban. Kerigan merupakan kerjasama bergotong royong untuk melaksanakan pekerjaan seperti membuat rumah, memperbaiki jalan, sedangkan nderep ‘menuai padi bersama’ adalah kerja sama yang hanya ada pada proses bertani yaitu saat panen padi yang disebut pada jabel, uruban juga ada pada saat jabel dengan menyediakan dawet untuk pelepas dahaga bagi yang nderep. Baik nderep maupun uruban ini tidak mendapat imbalan uang, tetapi mereka akan mendapat imbalan padi sak palilahe ‘sekadarnya/ seikhlasnya’. Bentuk lain dari kebersamaan adalah pada saat hajatan. Dalam kehidupan mereka terdapat larangan orang tua menghadiri pesta perkawinan anaknya laki-laki di tempat pesta pengantin perempuan. Dengan demikian, pihak pengantin laki-laki nyambat ‘minta tolong’ orang lain untuk mewakilinya.
Kalau hal itu tidak
dilakukan, mereka akan dikatakan kabeh dipangan dhewek’.
e) Kearifan Lokal Terkait Situasi Kultural Kearifan cultural tecermin dalam kepercayaan pamali tetap dilaksanakan seperti (a) larangan menanam pada hari meninggalnya orang tua seperti diistilahkan dengan dina kapesan ‘hari nahas’. Hal ini mengadhung makna kultural yang arif yaitu agar anak tidak melupakan orang tuanya dengan tetap mengenangnya meskipun hanya pada saat meninggalnya. Pelarangan lain yang masih dipertahankan adalah (b) pernikahan antara kulon gili karo etan gili ‘barat jalan dan timur jalan’. Hal ini didasarkan adanya postulat keajegan pernikahan itu mengakibatkan lahirnya anak cacat atau kepahitan hidup pasangan itu. Dalam hal ini kepatuhan para generasi untuk manut mengikuti arahan orang tua masih baik sehingga dalam perjodohan jarang terjadi konflik yang berkaitan dengan masalah tersebut. Kearifan kultural (cultural wisdom) selanjutnya juga tecermin dalam kepercayaan dan pemertahanan upacara ritual wiwit dan jabel adalah bentuk lain kearifan lokal masyarakat pesisir Selatan. Ubarampe ‘perangkat’ upacara tradisi merupakan sistem simbol yang sarat makna. Terdapat perbedaan antara sesajen pada tradisi wiwit dan jabel commit karenato user pada wiwit lebih sederhana bila
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 189
dibandingkan pada saat jabel. Hal ini disebabkan
jabel mengadhung unsur
kesenangan dan ungkapan rasa syukur, sedangkan pada wiwit terkandung rasa keprihatinan dan permohonan agar nantinya padi dapat tumbuh dan selamat baik yang ditanam maupun yang menanam. Ungkapan verbal pada wiwit : Nyong tandur ‘Saya menanam’ Dewi Sri ana kene ‘Dewi Sri ada di sini’ mbabar pari sakethi sak palilahe Hyang Widhi ‘Menabur sejumput padi, seikhlas Tuhan’ subur-subur dadi makmur ‘subur-subur menjadi makmur’.
Ungkapan lain:
Slamet sing nandur lan sing ditandur ‘selamat yang menanam dan yang di tanam’. Ungkapan verbal pada upacara jabel adalah: Nyong mboyong Dewi Sri ’akumembawa Dewi Sri’ maring kadhatone ‘ke dalam istananya’ dadi pari nguripi mbarkahi sabumi ‘menjadi padi yang menghidupi seluruh bumi’. Tumpeng yang dipakai pada upacara tradisi jabel disebut dengan tumpeng megana yang mengadhung makna merga ana ‘karena ada’. Maksudnya adalah karena ada berkat dalam bentuk panen padi.
Hal
ini diungkapkan
sebagai ungkapan rasa syukur. Tumpeng megana memiliki kesamaan dengan tumpeng di dataran tinggi Watu Agung, tetapi berbeda Gambar 4.29: Suasana nipar bibit padi
dengan tumpeng yang ada di pusat budaya Solo dan Yogja. Perbedaan tersebut tampak
pada penataan lauk pauknya sebab lauk pada tumpeng megana diletakkan di dalam tumpeng dan dikeluarkan setelah didoakan dan hendak dimakan bersama. Adapun tumpeng yang ada di Solo dan Yogja menyajikan lauk pauknya berada di luar tumpeng, lalu lauk pauk itu ditata sedemikian variatif. Hal ini melambangkan karakteristik masyarakat transisi yang tertutup dan sederhana. Namun, mereka
tidak dengan mudah menerima pengaruh dari luar bila
dibandingkan pada masyarakat daerah pusat budaya yang lebih terbuka terhadap masuknya berbagai perubahan.
Tumpeng megana
sebelum dimakan selalu
diadakan doa bersama terlebih dahulu. Hal ini menandakan bahwa terdapat commit to user keselarasan hubungan antara horisontal dan vertikal, antara makrokosmos dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 190
mikrokosmos, dan antara manusia dengan Tuhan. Secara kemanusiaan pada saat seperti ini merupakan momen yang sangat tepat untuk berbagi dari yang memiliki (pemilik sawah) dengan buruh derep yang membantu menuai padi. Solidaritas kemanusiaan juga terwujud dalam bentuk lumbung paceklik yang diisi bersama saat panen. Apabila musim paceklik, lumbung tersebut bisa digunakan siapa saja yang tidak punya beras untuk dimakan. Namun, mereka mempunyai kesadaran untuk mengembalikan beras pada waktu panen mendatang.
2) Kearifan Lokal Ranah kelapa Deres Sebagai bagian yang tidak dapat dipisah dengan petani dan memberilan tambahan penghasilan yang lebih dapat dijagakke ‘di harapkan’ maka pada ranah kelapa deres ini sangat banyak ditemukan kearifan local yang terimplikasikan di dalam aktivitasnya. Kearifan local tersebut dapat dijumpai pada tehnik mulai dari penanaman, perawatan, saat nderes.
a) Kearifan Lokal Terkait Teknik Perawatan Pohon Kelapa Kearifan teknis tecermin dalam cara masyarakat mengenali pohon kelapa yang dapat dideres melalui daunnya, yakni daun kelapa lemas menjuntai dengan istilah papahe manglung. Apabila daunnya keras,
tidak bisa dibuat gula jika
dideres. Apabila dipaksakan untuk dideres, hasil deresannya akan menjadi gula gemblung ‘gula gemblung’. Artinya, gulanya tidak keras dan ngolet ‘menggeliat’. Gula ini tergolong gula yang tidak bagus sehingga biasanya hanya digunakan sebagai campuran pembuatan kecap. Makna gemblung
juga dipakai untuk
menyebut keadaan orang yang keracunan buah kecubung dengan makna orangnya seperti bingung dan setengah sadar. b) Kearifan Lokal Terkait Proses Menderes bedhel-wala
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 191
Kearifan cultural tecermin dalam kepercayaan secara turun menurun adalah pada saat pertama kali pohon kelapa akan dideres sebaiknya dinyanyikan dhandhang gula44 agar sajenge deres ‘niranya keluar banyak. Hal ini mengadhung makna seperti halnya proses kehidupan Jawa yang dilambangkan dalam macapat (lagu Jawa yang menggambarkan proses kehidupan mulai lahir sampai meninggal). Pada bagian lagu dhandhang gula adalah lambang bagian kehidupan yang manis dan indah sehingga harapannya pohon kelapa akan menghasilkan gula yang manis dan memberikan kehidupan yang indah bagi pemilikya. Seacara linguistik makna nderes adalah memotong manggar dan mengambil getahnya. Makna ini masih merupakan makna yang berkaitan dengan pohon kelapa dan berbeda dengan daerah dataran tinggi Watu Agung yang telah mengalami perkembangan semantik setelah masuknya Perhutani yang menanam pohon karet dan pinus sehingga ekspresi nderes harus diungkapan berbentuk frasa misalnya nderes sajeng, nderes pinus, nderes karet.
3) Kearifan Lokal Ranah Gandhul California’Pepaya Kalifornia’
Meskipun penanaman gandhul kalifornia ini tergolong baru namun dalam pelaksanaannya petani tetap berdasarkan kearifan local yang dapat menjadikan 44
Para perintis bangsa di zaman dulu telah menggambarkan bagaimana keadaan manusia dalam berproses mengarungi kehidupan di dunia selangkah demi selangkah yang dirangkum dalam tembang macapat (membaca sipat). Masing-masing tembang menggambarkan proses perkembangan manusia dari sejak lahir hingga mati. Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke dalam berbagai bentuk tembang menceritakan sifat lahir, sifat hidup, dan sifat mati manusia sebagai sebuah perjalanan yang musti dilalui setiap insan. Penekanan ada pada sifat-sifat buruk manusia, agar supaya tembang tidak sekedar menjadi iming-iming, namun dapat menjadipepeling dan saka guru untuk perjalanan hidup manusia. Alurnya adalah: mijil = lahirnya jabang bayi, maskumambang= kebahagiaan keluarga atas kelahiran seorang bayi, kinanti=anak yang mulai bisa berjalan, sinom=anak yang masih muda, dhandhang gula remaja yang menginjak dewasa, asmaradana=orang yang mulai terkena api asmara, gambuh=sifat manusia yang angkara yang harus dipahami oleh manusia dan harus diubah sendiri, durma=sifat acuh tak acuh, pangkur=usia yang sudah mulai usur, megatruh=tiba saatnya meninggal, pocong= manusia yang mati harus dipocong/ dibungkus kain kafan, wirangrong= kehidupan di dunia yang sarat akan penderitaan harus diubah oleh manusia agar menjadi berkat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 192
system penanaman gandhul kalifornia ini menjadi sebuah kearifan lokal baru. Hal ini merupakan upaya menselaraskan lingkungan pesisir yang panas menjadi sebuah peluang usaha tambahan yang mensejahterakan semua komunitas petani secara bersama. Cara petani dan nelayan mengatasi masalah pemanfaatan lahan di pesisir Selatan yang berpasir yang kering dan panas diubah dengan menggunakan lemon cemendil ‘pupuk kotoran kambing’ menjadi kebun gandhul california yakni pepaya yang bernilai unggul. Pemikiran kolektif ini merupakan upaya dalam mencari tambahan penghasilan di kala paceklik darat karena musim ekstrem dan paceklik laut karena adanya bencana tsunami di berbagai lokasi di Indonesia. Dengan ungkapan seng bodhol bae laku opo maneh barang sing iso dipangan ‘seng yang sudah rusak saja laku apalagi barang yang bisa dimakan’ ungkapan ini mengadhung makna optimistis yang tinggi dan kerja keras di lingkungan petani pesisir Selatan dalam mengatasi masalah kehidupan yang berkaitan dengan faktor alam dan demografis. Sejak adanya gandhul california ini masyarakat mulai terjadi perkembangan makna kerigan ‘gotong royong’ karena mulai bergotong royong dengan lingkungan diluar petani pesisir Selatan dalam rangka memasarkan buah pepaya tersebut. Secara linguistik dengan masuknya gandhul california ini maka bertambah pula golongan pepaya di lokasi penelitian. 4) Kearifan Lokal dalam Mengatasi Lahan yang Tergenang Air Hujan
Menunjukkan kearifan
ekonomis
kearifan dan
kearifan
teknis, sosial
tecermin dalam cara mengatasi masalah kehidupan dengan cara yang baik. Dengan demikian, bencana yang setiap tahun terjadi yang mengakibatkan terjangkitnya penyakit malaria dan demam berdarah dapat diubah menjadi berkat yang dapat menyejahterakan masyarakat petani. Kearifan lokalcommit dalamtobentuk user kerigan juga merupakan unsur
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 193
utama dalam pengelolaan empang sawah karena keberadaan sawah yang tergenang air tidak dapat dipisah-pisahkan. Jadi, secara manajemen, luas sawah menjadi perhitungan pembagian hasil. Adapun, petani yang tidak tergenang air sawahnya dapat ikut andil dengan cara menginvestasikan modal dengan cara membeli bibit ikan. Untuk pengelolaan ini terdapat ekspresi verbal piro unggahmu piro unduhmu ‘berapa kamu urun, berapa kamu mengambil untung’. Dalam hal ini unsur keadilan merupakan hal yang utama tanpa mengecilkan siapa pun dengan istilah kabeh diuwongke ‘semua Gambar 4.30: Tanaman pencegah abrasi
diperhitungkan’ melalui rembuk desa ‘rapat desa’. Cara seperti ini menjadikan semua
warga desa rumangsa nduweki lan melu ngrumat ‘semua merasa memiliki dan ikut menjaga’. Unsur kesabaran dan harapan adalah kekuatan dalam menanti panen raya ikan maupun padi karena mereka tumbuh bersama dalam satu genangan air. Hal ini terekspresikan dalam ungkapan saya suwe saya gedhe iwake saya abot ‘makin lama makin besar ikannya makin berat timbangannya’. Bentuk kesabaran ini telah tertanam secara kolektif sehingga tidak ada istilahnya ngijon ‘meminta hasil lebih dahulu’. Secara linguistik dalam kaitannya dengan makna, dengan adanya iwak empang ‘iwak darat’ menjadi menambah jumlah kategori iwak ‘ikan’ menjadi iwak empang, iwak laut, iwak kali, iwak tambak ‘ikan empang, ikan laut, ikan sungai, ikan tambak’. 5) Kearifan Lokal Terkait Pendayagunaan Ternak Menunjukkan kearifan teknis, kearifan ekonomis dan kearifan astronomis tecermin dalam cara peternak secara tradisional memfungsikan sebagai celengan ‘tabungan’ dan gawe lemon ‘penyedia pupuk kandang’. Tabungan dalam bentuk memelihara hewan ini sebenarnya sudah banyak ditinggalkan di kota karena adanya beberapa risiko. Kecuali itu mereka merasa kerepotan untuk merawat. Namun, petani di pesisir Selatan memiliki pemikiran yang lain karena makanan bagi ternak ini telah tersedia secara berlimpah dari hasil sawah mereka. Apabila tidak pada musim panen, makanan ternak commit to dapat user diambil dari tanaman klaraside
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 194
yang banyak dijumpai di daerah sepanjang pantai karena tanaman ini dapat tumbuh dengan liar pada ekologi pantai pesisir Selatan. Dengan cara demikian, nilai ekonomis hewan itu menjadi naik sejalan dengan lamanya waktu karena saya suwe saya gedhe regane mundak larang. Yen manak, yo kuwi mlebu nambahi batine nyong ‘makin lama makin besar harganya makin mahal. Kalau beranak menambah untung saya’. Bila diperhitungkan, kenaikan keuntungan hasil ternak ini akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bunga bank meskipun ada risiko dalam memelihara ternak tersebut. Untuk mengantisipasi risiko itu petani memiliki kepercayaan tersendiri yang telah lama dipedomani, yakni dengan menggunakan perhitungan hari pada waktu membeli seperti mempertimbangkan jumlah hari yang kalau dibagi lima akan jatuh pada ekspresi 1) suku, 2) watu, 3) pendhito, 4) buta, 5) ratu dan masing-masing ungkapan memiliki makna tersendiri yang secara kultural tersembunyi di belakang kata tersebut seperti: suku yang
mengadhung makna binatang yang
akan dibeli nantinya beranak pinak menjadi beberapa suku dalam hal ini beberapa kelompok, Gambar 4.31: pemeliharaan ternak dengan cara alamiah
watu mengadhung arti yang menyerupai sifat batu yang keras yang berarti nantinya binatang ini akan
keras kepala sukar diatur sehingga tidak akan berkembang biak hanya sendiri terus. Perhitungan yang jatuh pada kata watu dihindari. Pendhito berarti seperti pendeta yang membawa kedamaian walapun nantinya hasilnya tidak sebanyak suku. Namun, pemiliknya akan tetap damai sehinggadapat menggunakan hasil ternak itu dengan tenang tidak cepat habis. Buta ‘raksasa’ ternak yang dibeli pada hari yang jatuh hitungannya buta biasanya juga dihindari. Hal ini disebabkan ternak nantinya cepat besar dan gemuk, tetapi yang memiliki akan merasa ngangah-angah ‘tidak pernah puas’. Dengan kata lain menjadi angkara dan suka marah. Aura buta ‘raksasa’ ini memiliki daya yang bisa mendatangkan banyak bala atau penyakit bagi hewan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 195
6) Kearifan Lokal Terkait Ranah pengobatan
Menunjukkan kearifan teknis, kearifan ekonomis (economic wisdom) dan kearifan sosial (social wisdom) tecermin dalam cara sebagai masyarakat agraris yang dekat dengan lingkungan alam, mereka dapat menggunakan sumber daya alam berupa tanaman di sekitarnya sebagai obat dalam menyembuhkan
segala
penyakit.
Cara
penyembuhan secara tradisional ini merupakan bentuk kearifan lokal yang sebenarnya masih relevan pada saat sekarang. Hal ini dapat dilihat Gambar 4.32: Jamu yang terbuat dari rebusan bahan-bahan verbal
fenomena penyembuhan secara tradisional yang disebut
dengan
pengobatan
alternatif
yang
semakin marak di kota-kota besar. Bukti keampuhan penggunaan obat tradisional yang telah terbukti mampu menyembuhkan kanker payudara isteri Barja (informan) telah banyak didengar oleh daerah kota lain di luar desa lokasi penelitian ini sehingga dia sering didatangi ‘tamu’ minta tolong untuk membuatkan jamu. Dalam hal pembuatan jamu secara linguistik terdapat istilah sak palilahe ngganti luru jamu ‘sekadarnya mengganti mencari jamu’ karena frasa itu berhubungan dengan siklus kehidupan petani di Pesisir Selatan yang apabila tidak musim panen mereka setiap hari pergi menderes pagi dan sore kemudian siang mencari makan untuk ternak. Bila dia dimintai tolong mencarikan obat, aktivitas mereka itu akan terganggu yang berdampak penghasilannya juga berkurang. Oleh sebab itu, yang meminta tolong harus dengan suka rela mengganti. 2. Eksistensi Folklor yang Mencerminkan Kearifan Lokal Komunitas Petani
Sebagai lokasi penelitian yang merupakan daerah transisi yang masyarakatnya mengalami transformasi mata pencaharian dari petani subsisten commit to user menjadi nelayan, lokasi penelitian juga memiliki beberapa folklor yang perlu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 196
dikaji guna menguak kearifan lokal masyarakat pemiliknya. Untuk keperluan tersebut digunakan analisis folklor seperti yang dituliskan oleh James Danan Djaya (1991). Menurut beliau, folklor dapat dikelompokkan menjadi 3 (Danan Djaya, 1991), yakni folklor setengah atau sebagian lisan, folklor bukan lisan, dan folklor lisan.
a. Kajian Folklor Setengah lisan atau sebagian Lisan dalam Komunitas Petani Folklor setengah lisan dalam konteks pertanian di pesisir selatan Kebumen merupakan perpaduan antara folklor lisan dan folklor bukan lisan. Bentuk folklor setengah lisan atau sebagian lisan adalah upacara tradisi karena di dalamnya terdapat ungkapan nonverbal yang diikuti oleh ungkapan verbal. Pada daerah penelitian, terdapat beberapa macam upacara tardisi yakni upacara sedekah bumi dan sedekah laut, upacara wiwit, upacara jabel, upacara memulai tanah baru, upacara permohonan kesembuhan, upacara tulak sawan, dan upacara pembuatan rumah bandung. Setiap sesaji memiliki makna simbolik yang khas yang tidak sama dengan daerah lain. Dalam setiap upacara selalu diikuti dengan ungkapan verbal yang berbeda-beda pada setiap upacara bergantung pada tujuan upacara itu sendiri seperti yang tertuang pada diagram berikut:
Aktivitas nonverbal à aneka sesajiàmakna simbolik
Folklor setengah lisan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 197
Ekspresi verbal à mantra à analisis linguistik Bagan 4.2: Analisis Folklor Setengah Lisan
1) Deskripsi Upacara Tradisi Suran sebagai Sedekah Bumi dan Laut
Nama adat tradisional ‘suran’ juga disebut ‘sedekah bumi dan sedekah laut di Kecamatan Klirong dan Petanahan yang ada komunitas petani dan nelayan’. Upacara ini disebut
upacara
tradisional
‘suran’
karena
pelaksanaanya selalu pada bulan Syura atau Muharam. Adapun penyebutan upacara ‘sedekah bumi dan laut’ karena dikaitkan dengan tujuan penyelenggaraan upacara tradisional ini, yaitu Gambar 4.33: pacara sedekah bumi bersama komunitas tani-
untuk memohon keselamatan bagi bumi dan laut beserta
isinya,
terutama
di
lingkungan
penyelenggara upacara yang lokasinya berada di ujung selatan di pinggir laut selatan Kebumen agar Ibu Ratu dan Dewi Sulasih/ Dewi Nawangwulan/ Dewi Sri45 selalu memberkahi dan melindungi masyarakat. Memberkahi dalam arti bagi petani agar tanaman yang ditanam dapat berhasil dengan baik dan pada saat menjadi nelayan akan mendapat izin oleh ibu Ratu untuk memanen ikan secukupnya. Metafora Dewi Sri di daerah penelitian yang merupakan daerah pesisir selalu dihubungkan dengan adanya Ibu Ratu disebabkan adanya mata pencaharian ganda, yaitu sebagai nelayan dan sebagai petani. Itulah sebabnya sedekah bumi dilaksanakan di tepi pantai dan dilarung ke laut. Isi sesajen yang dilarung berupa hasil bumi sebagai persembahan kepada Ibu Ratu/Mbok 45
Di lokasi penelitian terdapat varian-varian penyebutan dan cerita Dewi Sri karena sifat folklor yang disebarkan secara lisan dari generasi ke generasi sehingga dalam perjalannya terdapat commit user beberapa perubahan karena mengalami reduksi dantomenambahan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 198
Ratu/Ratu Kidul. Pola pikir ini merupakan pemikiran kreatif dan imajiner tokoh masyarakat yang kemudian berkembang menjadi pemikiran kolektif masyarakat pesisir selatan yang memiliki mata pencaharian ganda, yakni sebagai petani dan nelayan. Cara seperti ini merupakan pemikiran kolektif yang arif karena mengembalikan sebagian dari yang diambil sehingga tidak memakan semuanya tanpa memberi imbalan kepada alam semesta yang disitilahkan dengan mbagehi ‘memberi bagian’. Dengan kata lain, masyarakat masih mempertimbangkan keseimbangan alam.
a) Latar Belakang Diselenggarakannya Upacara Tradisi Suran sebagai Sedekah Bumi dan Laut
Bulan Sura adalah bulan pertama pada bulan Jawa. Sudah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya bahwa dalam memulai segala sesuatu selalu diawali dengan doa dan permohonan kepada Tuhan46 agar selalu mendapat keselamatan, keberkahan, dan perlindungan. Hal tersebut dapat dilihat pada saat orang Jawa hendak memulai sesuatu, misalnya pada saat akan membuat rumah, memulai hidup baru (berumah tangga), mulai menanam, atau memetik padi. Bagi orang Jawa, bulan Sura yang merupakan bulan pertama ini adalah bulan yang dianggap sakral dan sangat gawat. Karena dianggap sakral, pada bulan sura ini orang Jawa takut untuk mengadakan kegiatan yang bersifat senangsenang seperti hajatan mantu atau khitanan. Konon ceritanya, pada bulan Sura ini Batoro Kolo sedang mencari mangsa. Akibatnya pada bulan ini orang harus berlaku hati-hati. Ada anggapan dari mereka jika menginginkan sesuatu atau citacita, pada bulan ini tepat untuk bermunajat dengan istilah nyura47. Nyura dilakukan orang Jawa totok ‘asli’ yang masih memakai tradisi puasa 40 hari, yaitu 46
Tuhan sebagai penguasa tertinggi yang disebut sebagai Yang Widhi Wasa pada masyarakat di lokasi penelitian dikategorikan memiliki beberapa subkategori sebagai bawahan yang menguasai daerah-daerah yang berbeda seperti penguasa darat, penguasa laut, dan penguasa gunung. 47
commit to user Di wilayah Yogja-Solo kegiatan ini disebut ngrowot .
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 199
10 hari terakhir bulan besar sampai akhir bulan Sura 30 hari. Dari lama puasa 40 hari ini dapat dikelompokksn menjadi 10 hari sebagai persiapan terhadap datangnya bulan Sura yang dianggap sakral tersebut. Puasanya tidak makan makanan yang batangnya bolong ‘berlubang’ dan beras termasuk tanaman yang pohonnya berlubang. Pada saat Nyura ini, mereka tidak makan nasi. Menurut mereka, dengan melaksanakan hal ini badan terasa lebih sehat sehingga bisa menambah rezeki. Kecuali itu, mereka juga beranggapan akan mendapatkan keselamatan dan kemantapan hati dalam melaksanakan pekerjaan. Persembahan sebagai sedekah laut dan bumi biasa dimaknai sebagai perkawinan langit dan bumi yang akan membuahkan kemakmuran pasa manusia48.
b) Waktu dan Tempat Penyelenggaraan Upacara Tradisi Suran sebagai Sedekah Bumi dan Laut Waktu dan tempat pelaksanaa upacara berbeda dengan di pusat budaya Yogja dan Solo. Di Yogja dan Solo selalu dilaksanakan pada malam satu Sura dengan mengarak pusaka keraton. Namun, di daerah Pesisir Selatan yang merupakan lokasi penelitian, upacara ritual Suran tidak dilaksanakan pada malam satu Sura, tetapi pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon. Yang penting masih dalam bulan Sura. Tempat penyelenggaraan dilakukan di tepi laut sepanjang Pesisir Selatan dengan mengadakan larungan sesaji ke tengah samudra. Hal ini disebabkan para petani di lokasi tersebut juga sebagai nelayan. Dalam hal ini menyampaikan hasil bumi kepada penguasa laut dimaksudkan
sebagai
persembahan dan sebagai izin agar diberi izin untuk mengambil rezeki dari laut kala sedang menjadi nelayan. Sebaliknya pada upacara di darat terkadang memakai hasil laut untuk persembahan. Hal ini merupakan bagian dari kepercayaan masyarakat bahwa manusia harus juga berbagi dengan penguasa darat apabila mendapat rezeki dari laut49. 48 49
Merupakan pengaruh Budha
Suatu upaya penyatuan antara darat commit dan laut to sebagai user bagian dari penyedia penghidupan dan rezeki bagi masyarakat yang sedang mengalami transformasi mata pencaharian.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 200
c) Tujuan Penyelenggaraan Upacara Tradisi Suran sebagai Sedekah Bumi dan Laut Penyelenggaraan upacara Suran ini bertujuan untuk mengadakan perenungan tentang apa yang telah dilakukan selama satu tahun yang telah lewat serta memohon agar pada tahun yang akan datang, Tuhan akan selalu melindungi dan memberkati dalam setiap langkah sehingga selamat semuanya. Bagi petani, mereka selalu berdoa agar slamet sing ditandur, slamet sing nandur ‘selamat yang ditanam dan selamat yang menanam’. Ketika para nelayan melaut, mereka juga mendapatkan tangkapan yang banyak sehingga dapat menjadi tambahan penghasilan. d) Prosesi Pelaksanaan Upacara Tradisi Suran sebagai Sedekah Bumi dan Laut Orang yang terlibat upacara ini melibatkan seluruh anggota masyarakat, yaitu tokoh masyarakat, aparat pemerintah setempat, kaum ulama, para tetua , para pemuda, kaum laki-laki, muda-mudi, dan kaum ibu-ibu. Kaum laki-laki biasanya terlibat dalam prosesi kegiatan upacara, sedangkan kaum perempuan mempersiapkan
sarana dan
prasarana
seperti
perlengkapan
sesaji
dan
perlengkapannya. Pada saatnya kaum perempuan atau ibu-ibu membagi makanan kepada peserta upacara, sedangkan bapak-bapak bertugas melarung setelah terlebih dahulu membacakan doa.
e) Ungkapan Nonverbal Berupa Sarana Sesaji dalam Upacara Tradisi Suran sebagai Sedekah Bumi dan Laut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 201
Sarana sesaji yang diperlukan dalam penyelenggaraan upacara adat tradisional Suran adalah tumpeng megana, ingkung ayam, kelapa muda, pisang, dan bunga. Sarana dalam upacara ritual ini sarat akan makna simbolik. Makna tersebut di antaranya (a) tumpeng. Tumpeng
sanepan
melambangkan kekuatan Jawa, yaitu lancip memuji Allah, tajam, jejek. Warna tumpeng tidak masalah sehingga tumpeng di daerah transisi tidak mengenal warna seperti di pusat budaya yang telah mengalami berbagai inovasi; Gambar 4.34: Aneka sesaji sedekah bumi dan laut
(b) ingkung. Makna ingkung
adalah sanepa
kanggo rasul/ rasulan/ Rasulullah, saking ayam jago simbol lanang, rasul lanang, jumbuhe
kanggo Nabi Khidir/penjaga air, Nabi Ilyas/penjaga bumi. Disarankan jika mau pergi jawab/ meminta kepada Nabi Ilyas untuk keselamatan yang di rumah maupun yang sedang pergi; (c) lawuhan sakubarampene; (d) endhog, endhog, neng jero tumpeng tandha suci (halal); (e) pisang, pisang meliputi pisang raja, emas, ambon. Maknanya adalah sanepa mbekteni Nabi Adam/Ibu Hawa, sebagai cikal bakal/babad alas/babad kawa; (f) kupat, kupat bermakna sanepa meminta keselamatan kepada Allah SWT. Ratu Selatan hanya menjadi perantara (jalan, torikot), tidak musyrik; (g) kembang telon. Kembang telon bermakna sanepan wangen-wangen ‘bau harum’ agar malaikat akan datang membantu doa. Hal ini disebabkan malaikat suka bau harum dan wangi; (h) cempaka bares. Cempaka bares meliputi cempaka gondhok, warna coklat, sebesar jambe; cempaka cina; cempaka bares; cempaka wulung; serta cempaka mulia. Cempaka bares dan cempaka mulia lebih unggul; (h) degan/dawegan. degan/ dawegan merupakan sanepa banyu suci, tetapi tidak menyucikan karena masih suci air laut (tanda, sanepa). Maksudnya para nelayan merendahkan diri pada air laut milik ratu yang lebih suci, sedangkan mereka menganggap dirinya kotor. Degan dua tumpeng itu dipersembahkan untuk Ratu Kidul dan Nabi Khidir ( yang bermakna Jawa/ laut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 202
dan Islam/ laut). Pola seperti ini merupakan balutan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Dengan adanya dua tumpeng ini, membuat upacara ini tidak musyrik dari sudut pandang Islam.
f) Jalannya Upacara Tradisi Suran sebagai Sedekah Bumi dan Laut
Jalannya upacara atau urutan upacara dalam prosesi beragam dari satu tempat dengan tempat yang lain. Namun, pada dasarnya sama yaitu diawali dengan doa dan dilanjutkan dengan kenduri. Sebelum kenduri dilaksanakan, diadakan pembagian santunan bagi para yatim setempat berupa uang. Khusus di daerah yang terdapat komunitas nelayan dan petani, dalam upacara tradisi ini terdapat dua bagian yaitu sebagai buangan yang dilarung ke tengah samudra dan sebagian lagi untuk kenduri. Kalau musim sedang tidak paceklik laut, warga setempat mengadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk yang disaksikan oleh seluruh warga desa. Pada saat seperti ini biasanya dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan di lokasi pertunjukan wayang kulit. Pantangan dalam penyelenggaraan upacara adat tradisional Sura adalah
pada dasarnya selama
penyelenggaraan kegiatan upacara tersebut seluruh peserta upacara tidak boleh berbicara dan berbuat yang tidak baik. Hal ini disebabkan bulan ini dianggap bulan yang sangat gawat sehingga kadang-kadang pada bulan ini sering terjadi musibah dan kecelakaan.
g) Ungkapan Verbal pada Upacara Tradisi Suran sebagai Sedekah Bumi dan Laut Dalam upacara tradisi setengah lisan selalu diikuti dengan ungkapan verbal sebagai penyampaian niat para masyarakat seperti berikut: Semilah, kanthi nyuwun berkah lan slamet rina wengi seka panguwaosing Gusti Allah lantaran kanjeng Nabi Khidir lan mBok Ratu sing ngratoni laut kidul, nyong kabeh aji sarana sajen rupa werna-werna, kabeh mau nyong bekteni jalaran mung pasrah commit user ing samukabeh-kabehe supaya nemu bejatolan slamet ing darat lan ing segara, aja
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 203
ana barang kasedhak nemu mburine ‘Dengan menyebut nama Allah, dengan mengharap berkah dan selamat siang dan malam dari kekuasaan Allah lewat perantara Kanjeng Nabi Kidir dan Ibu Ratu yang menempati laut selatan (Kebumen), saya semua memberikan sarana sesaji berbagai macam (wujudnya), semua itu saya hormati karena hanya dalam rangka pasrah atas semuanya agar mendapat keberuntungan dan selamat di daratan dan di lautan, jangan sampai ada karma atau halangan di belakang harinya’.
2) Upacara Wiwit ‘upacara ritual menjelang masa tanam’
Nama upacara tradisi menjelang panen adalah wiwit. Makna kata wiwit ‘mulai’ dalam bahasa Jawa berarti mulai. Hal ini
dimaksudkan untuk memohon kepada
Tuhan agar padi yang mulai ditanam akan tumbuh subur dan berkembang menjadi banyak sehingga dapat mencukupi kebutuhan makan bagi seluruh keluarga yang menanam. Upacara wiwit biasanya dilaksanakan secara sederhana, yaitu hanya dengan sedikit sesajen Gambar 4.35: Menjelang upacara wiwit
sebagai buangan ‘dibuang’. Upacara disertai
dengan
ekspresi
verbal
ini yang
dilafalkan oleh petani yang memiliki sawah seperti berikut: Nyong tandur Dewi Sri ana kene, mbabar pari sakethi, sak palilahe Hyang Widhi subur-subur dadi makmur ‘saya menabur sejumput padi, seikhlas Tuhan, Dewi Sri ada di sini, subur-subur menjadi makmur’. Mereka percaya apabila mereka memohon kepada Tuhan, padi yang hanya sedikit akan menjadi banyak sehingga menghasilkan padi yang nantinya menjadi beras yang dapat menghidupi seluruh bumi. Selain itu, upacara wiwit juga ditutup dengan ungkapan muga slamet sing nanem lan sing ditanem ‘semoga selamat yang menanam dan yang ditanam’. Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa permohonan agar tanaman dapat mencukupi petani. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 204
Kecuali itu, mereka juga memohon keselamatan bagi yang menanam sehingga dapat merawat tanaman dan dapat menikmati hasil tanamannya.
a) Latar Belakang Penyelenggaraan Upacara Wiwit ‘tanam padi’
Upacara ritual wiwit dilatarbelakangi adanya kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan Yang Mahakuasa bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini ada dalam kendali-Nya karena Tuhanlah pencipta dan pemilik dunia seisinya. oleh sebab itu, segala sesuatu harus memohon izin dan berkat-Nya supaya usaha dalam menanam tanaman padi yang merupakan makanan pokok dapat berhasil. Kesuburan tanah dan tanaman padi yang menyuburkan masyarakat adalah bagian dari penguasa darat yaitu Dewi Sri. Selain berhasil dalam menanam, mereka juga berkeyakinan selamat dari segala hama penyakit yang menyerang tanaman itu dan penyakit yang menyerang pemilik tanaman. Kearifan lokal yang dapat diamati melalui sosiokultural masyarakat
setempat
adalah
keseimbangan
antara
makrokosmos dan mikrokosmos (jagad gedhe lan jagad cilik). Inilah yang menjadi kearifan lokal yang ada pada ranah kepercayaan (beliefing).
b) Waktu dan Tempat Pelaksanaan Upacara Wiwit ‘tanam padi’
Tempat upacara wiwit berada di sawah masing-masing petani yang diikuti oleh para anggota keluarga dan penggarap sawah. Waktu yang dipilih adalah waktu mulai tanam kita-kira sesudah adanya mulai hujan. Yang penting adalah mereka tidak melanggar aturan menanam yakni hari kapesan. Hari kapesan ini tentu saja berbeda pada masing-masing keluarga. Hari yang disukai untuk melaksanakan upacara ritual adalah Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon dan pada pagi hari sebelum mulai menanam pertama kali.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 205
c) Ungkapan Nonverbal dalam Bentuk Sarana dan Prasarana Sesaji Upacara Wiwit ‘tanam padi’
Pada acara ritual wiwit terdapat sesaji yang tidak dimakan yang disebut sebagai buangan yang terdiri atas kembang cempaka bares, kemenyan, daun sirih, daun pitikan, telor mentah. Makna secara simbolik atas uborampe’sesaji’ tersebut adalah kembang cempaka
bares
‘bunga
cemoaka
bare’.
Menyan ‘kemenyan’, merupakan bau-bauan Gambar 4.36: Sesaji buangan
yang dusukai oleh mahkluk halus, sedangkan kinang’sirih’ adalah kesukaan ibu Ratu dan
Dewi Sulasih. Daun pitikan adalah suatu kebiasaan komunitas petani untuk dijadikan alas telur. Telur dimaknai sebagai wiji dadi ‘biji yang jadi’ agar biji-biji padi menjadi beras. Barang-barang atau ubarampe tersebut dibuang di pojok sawah yang dipercaya banyak manfaatnya. Peletakkan di pojok sawa secara ekonomis dapat dianggap mageri ‘memagari’ seluruh sawah sehimgga tidak perlu membuat banyak layaknya pagar tetapi secara filosofis adalah sebagai persembahan kepada utusane ibu ratu ‘suruhannya ibu Ratu’ yang diyakini bahwa Dewi Kesuburan asalah Dewi Sulasih yang merupakan puteri dari ibu Ratu yang diikuti oleh hulu baling dari pantai Selatan.
d) Ungkapan Verbal Upacara Wiwit ‘tanam padi’
Wiwit adalah awal mulai menanam bagi petani di Kebumen dan pada saat seperti ini merupakan saat yang perlu keprihatinan karena pada awal inilah yang menentukan panenan nantinya. Oleh karena itu masyarakat petani ini sangat berhati-hati Gaambar 4.37: Mbah Darmuji to user sedang menyiapkan buangan baik dalam menentukan hari dancommit membaca
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 206
mantra berserta penyediaaan sarana sesajinya. Dengan kesadaran yang besar bahwa manusia hanyalah mahkluk ciptaan Tuhan yang kecil sedangkan Tuhanlah yang menguasai bumi ini maka segala kegiatan selalu memohon ijin kepada Tuhan sang penguasa bumi yang disebut juga manusia hanyalah mahkluk ciptaan Tuhan yang kecil sedangkan Tuhanlah yang menguasai bumi ini maka segala kegiatan selalu memohon ijin kepada Tuhan sang penguasa bumi yang disebut juga Hyang Widhi Wasa ‘penguasa tertinggi’. Ungkapan yang biasa di lafalkan saat wiwit adalah sebagai berikut: Nyong tandur Dewi Sri ana kene, mbabar pari sakethi, sak palilahe Hyang Widhi subur-subur dadi makmur ‘saya Menabur sejumput padi, seikhlas Tuhan, Dewi Sri ada di sini, subur-subur menjadi makmur. Dalam hal ini nampak terdapat permohonan ijin kepada Dewi Sri sebagai penguasa bumi yang merupakan wakil Tuhan Sang Penguasa tertinggi dalam urusan yang bersangkutan dengan pemanfaatan bumi. Dalam contoh wacana ungkapan verbal di atas terkandung makna budaya sebagai berikut. Di wiwit ini, ketika mantra ini disampaikan untuk menanam padi, petani menyadari kehadiran Dewi Sri di lokasi itu, walaupun banyaknya padi hanya sejumput yang akan ditanam namun akan berkembang menjadi panenan yang berlimpah, karena padi itu akan bertumbuh subur atas kuasa Tuhan dan memberikan kesejahteraan. Padi yang ditanam atau dipanen merupakan metafor dari Dewi Sri, lambang kesuburan yang juga di kenal di daerah Jawa Tengah, Sunda, dan Bali. Dewi Sri merupakan gambaran dunia supranatural, yang dalam budaya Jawa khususnya berkaitan dengan konsep penguasa hajat hidup yang memberi rejeki kepada petani agar hasil panenannya berlimpah. Hal ini identik dengan dengan gambaran dunia supranatural dalam tokoh “Hyang Widhi” yang menggambarkan sang penguasa tertinggi, “sing gawe urip” atau ‘yang memberi hidup”. Dalam agama Hindu, tokoh tersebut mirip dengan dewa penguasa tertinggi “Sang Hyang Widhi Wasa”. Ada relasi antara ke dua tokoh supranatural itu untuk memberi kesuburan dan kemakmuran agar kehidupan berlangsung lancar dan diberi kemudahan. Padi yang ditanam dalam jumlah sedikit, namun diibaratkan setelah ditanam dapat menghasilkan panenan yang berlimpah berkat kuasa Sang Pencipta Kehidupan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 207
3) Upacara Ritual Jabel ‘panen pdi’
Nama upacara ritual jabel berasal dari njabel yang berarti mencabut. Yang dicabut adalah padi dari pohonnya untuk dibawa pulang dan ditempatkan di sebuah tempat khusus sebagai bahan makanan utama masyarakat agraris. Makna jabel juga bisa sebagai njabel yaitu meminta kemabali. Minta kembali bibit padi yang telah diserahkan kepada Dewi Sri untuk dikembangkan. Karena padi telah dapat berkembang dan berbuah, mereka berasumsi perlu
diadakan upacara
sebagai ucapan syukur atas berkah dan keselamatan yang telah diterima. Acara ritual ini juga merupakan momen yang tepat untuk saling berbagi antara pemilik sawah dengan para pekerja sawah yang disebut sebagai petani penggarap.
a) Latar Belakang Penyelenggaraan Upacara Jabel ‘panen padi’
Masa panen adalah masa yang dinanti dari proses panjang selama mulai pembibitan, penanaman, perawatan, dan pemupukan yang dalam masa itu tentu melewati banyak suka duka dan keprihatinan agar tanaman dapat selamat sampai pada tahap akhir yakni panen. Apabila dapat melewati masa sulit dan akhirnya sampai panen, sudah sewajarnya mereka
mengadakan upacara sebagai ucapan
syukur kepada Tuhan karena tanpa karunia-Nya Gambar 4.38: Nasi megana dalam upacara jabel
tanaman tidak mungkin bisa selamat. Ungkapan rasa sukur diwujudkan dengan upacara makan bersama di sawah sebagai momen saling berbagi
sesama umat manusia yang telah dapat mewujudkan kesejahteraan bersama melalui kerjasama sehingga dapat dimaknai sebagai momen sosiokultural
user masyarakat petani Pesisir Selatan commit sebagaito masyarakat yang tetap mempertahankan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 208
bertani sebagai matapencaharian utama yang tidak tergantikan. Hal lain yang mendasari adanya upacara jabel adalah membawa kembali Dewi Sri yang berwujud padi ke rumah untuk menjadi makanan yang memberi kehidupan bagi seluruh keluarga. Karena padi adalah makanan pokok, upacara ini merupakan upacara puncak dalam siklus bertani.
b) Waktu dan Tempat Penyelenggaraan Upacara Jabel ‘panen padi’
Upacara jabel dilaksanakan pada masa panen sehingga tidak dapat dipastikan tanggal dan harinya. Hal ini disebabkan masing-masing pemilik sawah memiliki waktu yang berbeda karena masa tanamnya juga berbeda. Perbedaan ini disebabkan setiap pemilik sawah memiliki keinginan untuk menanam yang bervariasi dan bebas menentukan saat menanam dan jenis tanamannya sehingga masa panennya tidak sama. Lokasi diselenggarakan upacara jabel adalah di sawah milik petani sebelum membawa pulang padi hasil panenanya ke rumah setelah padi selesai dirontok.
c) Ungkapan Verbal Upacara Jabel ‘panen pasi’
Seperti telah diuraikan tujuan upacara ini adalah untuk mengucapkan syukur atas keberhasilan dalam menanam padi dan menjabel membawa kembali padi yang dimetaforakan sebagai Dewi Sri kembali pulang ke rumah. Ungkapan verbal pada upacara jabel adalah: Nyong mboyong Dewi Sri maring kadhatone dadi pari nguripi mbarkahi sabumi, ‘aku membawa Dewi Sri ke dalam istananya menjadi padi yang menghidupi seluruh bumi’. Secara simbolis yang menjadi sesaji adalah banyu tawa, godong tawas ‘air tawar, daun kluwih, batu’. Makna simbolis dari masing-masing sesaji adalah agar padinya kerasan karena suasana dingin. Dengan demikian, padi tidak cepat habis dan selalu luwih ‘berlebih’. Pelibat pada upacara jabel adalah keluarga pemilik sawah dan para penggarap sawah dan pemilik sawah yang berdekatan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 209
4) Upacara Ritual Tulak Sawan ‘menolak balak’
Istilah sawan adalah tulah yang menyebabkan penyakit yang tidak jelas penyebabnya, bahkan secara medis tidak dapat dideteksi. Seseorang dapat terkena sawan apabila melakukan sesuatu yang melanggar adat kepercayaan masyarakat setempat atau melakukan sesuatu yang yang tidak berkenan bagi yang gaib, seperti diisitilahkan sing nunggu. Hal ini didukung karena adanya lingkungan daerah agraris yang masih religi yang masih banyak terpengaruh oleh kepercayaan mitologi. Sebagai contoh ada seseorang yang membeli sawah baru, kemudian pembeli tersebut langsung menanaminya dengan padi, padahal pembeli tersebut belum mengadakan upacara ritual dan memakai cara tradisi setempat, mencangkul satu kali lalu ditinggal pulang.
yaitu
Sebagai akibatnya orang tersebut
terkena sawan sehingga tidak bisa buang air besar selama 5 hari sampai opname di rumah sakit PKU selama 1 minggu. Namun, pembeli sawah tersebut belum juga sembuh. Dia baru sembuh setelah mendapat pengobatan secara supranatural dari wong tua/wong pinter ‘orang tua/orang pandai’. Untuk mengobati penyakit kena sawan ‘terkena tulah’ seperti contoh itu diperlukan pengobatan yang bersifat religi seperti telah dijelaskan di atas. Hal tersebut dilakukan karena penyakit yang tidak bisa dideteksi secara medis. Tentu saja menurut mereka juga tidak dapat diobati secara medis pula. Dalam pengobatan ini disajikan makanan dan minuman yang dalam penyajiannya selalu disertai pengucapan mantra. Upacara ini merupakan upaya menetralkan tulah atau untuk menebus kesalahan.
a) Latar Belakang Upaca Tulak Sawan ‘tulak bala’
Upacara ritual dengan menyajikan makanan dan minuman dengan diikuti pembacaan mantra dilakukan
karena hal ini dianggap sebagai penebus atas
kesalahan yang telah dilakukan dengan sengaja maupun tidak terhadap barang sing ora ketok atau badan alus atau makhluk gaib. Karena berurusan dengan commit to user barang yang tidak kelihatan, tata caranya juga dengan menggunakan cara yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 210
sesuai dengan
dunia supranatural. Dalam
berkomunikasi dengan dunia supranatural selalu dilakukan dengan menggunakan perantara yang disebut sebagai wong tua/wong pinter ‘orang yang dituakan’ karena tidak setiap orang dapat berkomunikasi dengan makhluk gaib. Untuk Gambar 4.39 : Sesaji tolak bala
menjadi wong tua/wong pinter ‘orang tua/orang pandai’, perlu laku ‘melakukan’ bertapa dan
berpuasa yang cukup sulit sehingga sampai dijuluki wong sing garing silite/madhang longan turu longan50 ‘kering duburnya/makan longan tidur longan’. Apabila puasa dan tirakatnya dapat diterima yang bersangkutan akan mendapatkan wangsit. Wangsit tersebut bisa berupa barang atau penglihatan yang dapat dipakai sebagai sarana untuk mengobati penyakit sawan atau berkomunikasi dengan dunia supranatural.
b) Waktu dan tempat Upacara Tulak Sawan ‘tulak bala’
Waktu dan tempat dilaksanakan upacara ritual bergantung dari permintaan pelaksana upacara ritual tersebut karena kebutuhan untuk ritual bergantung dari ada tidaknya yang terkena sawan ‘tulah’. Pelaksanaannya biasanya di tempat yang orang tersebut terkena sawan. Misalnya, apabila yang bersangkutan melanggar aturan di sawah, upacara juga dilaksanakan di tempat tersebut.
50
Garing silite ‘kering duburnya’ memiliki makna secara implisit bahwa yaang bersangkutan merupakan orang yang jarang makan karena selalu berpuasa mati raga atau manusia yang sudah tidak lagi mementingkan duniawi. Adapun madang longan turu longan ‘tidur di bawah tempat tidur dan makan juga di bawah tempat tidur’, mengandung arti secara implisit bahwa oraang tersebur selalu bersemadi serta tidak pergi ke mana-mana. Apabila telah berhasil, orang tersebut akan memiliki kepekaan terhadap gelombang yang tinggi atau rendah yang menurut orang normal commit to user tidak dapat menangkapnya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 211
c) Ungkapan Nonverbal dalam Bentuk Sarana UpacaraSesaji Tulak Sawan
Sarana yang dipakai dalam upacara ritual terdiri atas makanan dan sesaji lain yang dibagi dua yakni dibuang yang disebut sebagai buangan dan yang dimakan bersama sebagai bancakan (kenduri). Sesaji dalam upacara ini dapat dikatakan sebagai tebusan atau permintaan maaf atas kesalahan yang telah dilakukan dengan wujud upacara ritual. Sarana upacara memiliki makna kultural bahwa terdapat relasi antara manusia dengan badan alus/sing ora ketok ‘makhluk goib’. Dengan demikian, buangan dimaksudkan untuk si badan alus, sedangkan yang dipakai bancakan untuk si badan wadag ‘manusia’. Makna simbolik sarana ritual tersebut adalah sesajinya tergantung gaibnya. Misalnya seseorang meminta apa, contohnya ada yang minta degan/komaran 2 buah, pisang sepasang (raja 2 lirang, ambon 2 lirang), tumpeng, ingkung, kupat lepet, sekar telon (mawar, kenongo, kantil), jajan pasar. Syarat lainnya dimulai dengan mencangkul 3 cangkulan atau telung kaclukan. Selanjutnya ditinggal pulang dahulu. Maksudnya sawah tidak langsung dikerjakan. Cara demikian dikategorikan sebagai cara untuk memperkenalkan diri kepada sang penunggu.
d) Ungkapan Verbal Upacara Sesaji Tulak Sawan
Ungkapan verbal bagi petani yang hendak mencangkul pertama kali sebagai perkenalan adalah sebagai berikut: Mantranipun ‘bismillah nyuwun sewu mbah, kula badhe macul. Permisi kalih panjenengan. Ampun ngganggu kulo sami-sami umatipun Gusti Allah, ‘Mantranya dengan menyebut nama Allah, mbah minta izin saya akan mencangkul. Jangan mengganggu saya. Kita samasama umatnya Allah’. Sesajinya tergantung gaibnya minta apa. Untuk ungkapan penyembuhan adalah sebagai berikut: Bismillah kepareng matur kula aturi daharan arupi kebul menyan badhe nyuwun pitulungan panjenengan, gandeng si commit to user A sakit mencret nyuwun tulung supados waras, ‘dengan menyebut nama Allah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 212
mohon izin saya memberi asap menyan bermaksud minta tolong karena si A sakit perut minta tolong supaya sehat lagi’.
5) Upacara Tradisi Membuat Rumah bandhung
Rumah merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dalam prinsip hidup orang Jawa manusia harus memiliki papan, pangan, lan sandang ‘tempat; rumah, makan, dan pakaian’. Karena rumah adalah salah satu dari kebutuhan pokok manusia, dalam pembangunannya pun
tidak
sembarangan, yakni melalui proses panjang. Bagi masyarakat Pesisir Selatan Kebumen juga sama dengan daerah lain, bentuk dan nama rumah memiliki nama tertentu yang menjadi ikon daerah tersebut. Sebagai contoh adalah di Solo/Jogja dikenal bentuk rumah Joglo. Namun, di Kebumen dan Banyumas disebut sebagai rumah bandung. Kata bandung memiliki makna kependekan dari kata diundungundung ‘ditumpuk-tumpuk’.
a) Latar Belakang Membuat Rumah bandhung
Karena rumah Bandung bukanlah rumah biasa, melainkan
merupakan
simbol sosial kemasyarakatan dan bagian dari sistem religi masyarakat setempat, sebelum membangun rumah
perlu diadakan selamatan dengan mengadakan
upacara ritual. Semua itu berawal dari cerita informan bahwa membuat rumah bandung tidak boleh sembarangan, bahkan tidak boleh membuat lebih dari satu dalam satu tahun. Kalau akan membuat rumah bandung di bagian tengah, warga harus menunggu sesudah atau melewati bulan Sura. Apabila terpaksa membuat masih dalam tahun yang sama, warga harus menyembelih kambing di atas takiran yang berarti akronim ditata lan nganggo pikiran . Berganti tahun itu maksudnya kalau memilih bulan, disarankan bulan Besar atau Sapar sehingga menjadi bulan Besar-Sura- Sapar. Sebab Sura adalah sebagai penanda tahun baru penanggalan Jawa. Sapar sudah berada di ambang bulan Sura. Selain itu mendirikan rumah commit tokarena user harus dipertimbangkan. Hal ini bandung juga tidak boleh sekehendaknya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 213
disebabkan
sekali membuat rumah bandung tidak dapat dengan mudah diganti
dengan rumah lojen51
‘rumah gedong’ yaitu kayunya tidak boleh dipotong-
potong, apalagi yang takiran/guru saka tengah ‘penyangga bagian tengah’. Takiran itu artinya ditata dan dipikir. Jatuhnya ukuran berapa meter panjang dengan berapa meter lebar agar bentuknya simetri dan bagus. Takiran jumlahnya ditumpuk empat-empat, artinya kiblat empat lima pancer ‘kiblat papat lima pancer’52. Kiblat empat maksudnya Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Pancer yang dimaksud adalah yang memiliki rumah itu sendiri. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah membangun rumah apabila divariasi dengan rumah biasa, sebaiknya rumah bandung diletakkan di bagian belakang dengan istilah buta mangku wanita ‘raksasa memangku wanita’ itu baik. Kalau
dua-duanya bandung, rumah itu dinamai Karno tandhing ‘Karna
bertempur’. Makna Karno tandhing itu tidak baik karena selalu ada pertengkara. Adapun, rumah bandung yang di depan tidak diperbolehkan sama sekali.
b) Sarana dan Prasarana Membuat Rumah bandhung
Dalam melaksanakan upacara ritual mendirikan rumah bandung, ada dua jenis yaitu yang dipasang di atas kayu bagian tumpukan dengan perhitungan 4x4x4x4, yang bermakna daun dadap agar suasananya selalu dingin, daun tawa agar diluputkan dari berbagai usaha tenung atau niat jahat, dan diberi daun yang berwarna ungu. Warna ungu bermakna apabila ada sesuatu, pemilik rumah dapat segera wungu ‘bangun’. Bila mendirikan rumah kedua dalam tahun yang sama, mereka harus menyembelih kambing di atas kayu-kayu itu. Jenis yang lain adalah
51
Ada beberapa jenis rumah di daerah Kebumen yaitu lojen, bandhung, srotong, limasan (srotong+dudur) dan paling sakral adalah membuat rumah bandung karena ini merupakan simbol tradisional adat masyarakat daerah Banyumas dan sekitarnya termasik Kabupaten Kebumen. 52
Ini merupakan pengaruh Islam karena bagi orang Jawa adalah sedulur papat lima pancer ‘saudara empat dan lima pancer’ maksudnya adalah empat penjuru angin dan lima pancer adalah commit to user dirinya sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 214
makanan untuk kenduri yaitu tumpeng, aneka lauk, serta jenang merah putih yang semuanya penuh makna.
c) Waktu dan Tempat Upacara Membuat Rumah bandhung
Upacara dilaksanakan di tempat atau dirumah yang akan didirikan itu. Saat yang paling tepat adalah pada waktu akan memulai mendirikan takiran ‘tiang penyangga’. Tiang penyangga ini sangat penting. Tiang ini merupakan kekuatan dari rumah itu sendiri. Oleh karena itu, pada saat itulah saat yang paling sakral. Zaman dahulu ada istilah wibawane omah bandung ‘wibawanya rumah bandung’. kalau betul-betul dihitung sesuai tahun jumlahnya sewindu, yaitu alip, ehe, jim, je, dal, be, wawu, jimakir . Yang lebih penting lagi adalah bahwa ketika mau mendirikan takiran, tidak diperbolehkan
dengan weton orang yang akan
menempati rumah tersebut dengan istilah aja podo karo wetone sing arep manggon ‘jangan sama dengan hari pasaran lahirnya yang mau menempati’. Zaman dahulu kalau mendirikan rumah bandung, disarankan menghadap ke laut karena menghadap ibu ratu. Jadi,
hanwanya terasa dingin. Kalau
menghadap ke utara itu, hal itu bermakna membelakangi ibu ratu. Dengan demikian, akan terasa panas hawanya. Namun, sekarang hal itu sudah bukan lagi menjadi perhitungan yang utama mengingat faktor demografi.
d) Ungkapan Verbal pada Saat Pembuatan Rumah bandhung
Sebelum
memulai
memasang
takiran
penyangga tengah, dilafalkan ungkapan verbal berikut ini: Dhuh gusti Allah mugi-mugi kajat kula dikabuli, mugi-mugi kula diparing slamet donya ngakerat, panjang umur, ayem papan lan gampang rejekine, saiki lan mbesuke, karana Allah ‘ Ya Tuhan Gambar 4.40: Bentuk takiran rumah bandhung
commit to user saya dikabulkan, semoga saya semoga keinginan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 215
diberi keselamatan dunia akerat, panjang umur, damai dan mudah rezekinya sekarang dan yang akan datang karena kuasa Tuhan’.
6) Hal-hal Berkaitan dengan Folklor Setengah/sebagian Lisan Berdasarkan ciri-ciri di atas yang sudah dipaparkan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa upacara tradisi di Pesisir Selatan Kebumen merupakan salah satu jenis folklor dilihat dari : a) upacara tradisi di pesisir Selatan ini penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yaitu dari mulut ke mulut, b) upacara tradisi bersifat tradisional, yaitu penyebarannya dalam waktu yang cukup lama, c) upacara tradisi dilakukan dalam versi-versi yang berbeda. Maksudnya, dalam setiap daerah tata caranya ada yang berbeda karena penyebarannya dari mulut ke mulut. Walaupun demikian, perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan, d) upacara tradisi bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi, e) upacara tradisi mempunyai kegunaan atau fungsi, yaitu untuk merefleksikan diri dari peristiwa yang telah berlalu dalam rangka menyambut datangnya masa yang akan datang, f) upacara tradisi menjadi milik bersama karena pencipta yang pertama sudah tidak diketahui lagi, g) hari yang menjadi kesukaan masyarakat untuk melaksanakan upacara tradisi adalah Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Jadi, upacara tradisi di Pesisir Selatan Kebumen termasuk folklor yang masih hidup, h) Upacara tradisi di kecamatan bagian selatan Kabupaten Kebumen memiliki manfaat sebagai media sebagai media silaturahmi, dan i) Di samping tujuan utama tersebut, juga terdapat manfaat yang lain yaitu sebagai momen untuk berbagi antara yang memiliki lebih kepada yang membutuhkan misalnya para anak yatim. Sebagai rangkuman akan folklor setengah lisan/sebagian lisan disampaikan dalam bentuk tabel berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 216
Tabel 4.15: Tabel Aktivitas Verbal dan Nonverbal dan Makna simbolisnya NO 1
KATEGORI UPACARA Suran/sedekah laut bagi petani dan nelayan
EKSPRESI NON VERBAL Tumpeng 2 buah
MAKNA
Degan 2 tumpeng itu untuk Ratu Kidul dan Nabi Khidir (Jawa/ laut dan Islam/ laut). tumpeng melambangkan kekuatan Jawa: lancip memuji Allah, tajam, jejek, warna tidak masalah sehingga tumpeng di daerah transisi tidak mengenal warna seperti di pusat budaya yang telah mengalami berbagai inovasi Ingkung dari ayam Simbol Rasul yang pria jago maka dipilih ayam jago untuk Nabi Kidir dan Nabi Ilyas Lawuhan Aneka hasil bumi sebagai tanda persembahan dan berbagi Endhog Telur diletakkan di dalam tumpeng sebagai lambang Adam dan Hawa sebagai cikal bakal pisang pisang meliputi pisang raja, pisang emas, serta pisang ambon yang bermakna/sanepa mbekteni Nabi Adam/Ibu Kawa sebagai cikal-bakal Kupat Kupat bermakna/sanepa meminta keselamatan kepada Allah SWT, sedangkan Ratu selatan hanya menjadi perantara (jalan, tarekat), tidak musyrik; kembang telon kembang talon bermakna/sanepan wangen-wangen ‘bau harum’ agar malaikat akan datang membantu doa karena malaikat suka bau harum-wangi cempaka barescommitcempaka to user bares meliputi: cempaka gondhok, warna
EKSPRESI VERBAL Semilah, kanthi nyuwun berkah lan slamet rina wengi seka panguwaosing Gusti Allah lantaran kanjeng Nabi Kidir lan mBok Ratu sing ngratoni laut kidul, nyong kabeh aji sarana sajen rupa wernawerna, kabeh mau nyong bekteni jalaran mung pasrah ing samukabehkabehe supaya nemu beja lan slamet ing darat lan ing segara, aja ana barang kasedhak nemu mburine ‘Dengan menyebut nama Allah, dengan mengharap berkah dan selamat siang dan malam dari kekuasaan Allah lewat perantara Kanjeng Nabi Kidir dan Ibu Ratu yang menempati laut selatan (Kebumen), saya semua memberikan sarana sesaji berbagai macam (wujudnya), semua itu saya hormati karena hanya dalam rangka pasrah atas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 217
degan/ dawegan dan tumpeng
2
Wiwit
cempaka bares Kemenyan
daun sirih saubarampene daun pitikan
3
Jabel
coklat, sebesar jambe; cempaka cina; cempaka bares; cempaka wulung; cempaka mulia. Semua itu menyimbolkan sebagai persembahan kesukaan mahkluk gaib degan/ dawegan merupakan lambang air suci, tetapi tidak menyucikan. Maksudnya para nelayan merendahkan diri pada air laut milik ratu yang lebih suci dan menyadari bahwa dirinya kotor. kesukaan makhluk gaib Kemenyan sebagai wewangian berfungsi untuk memanggil sang penunggu sawah untuk membantu menjaga sawahnya agar tidak dimakan tikus dan hama lainnya. Kesukaan ibu ratu
Jenis daun yang dibuang di pojok-pojok sawah kacang panjang Kacang panjang sebagai simbol agar padi yang ditanam akan tumbuh tinggi dengan untaian padi yang panjang berisi penuh padi telur mentah Telur mentah ditaruh di atas daun pitikan sebagai buangan banyu tawa ‘air Air tawar tawar’ merupakanlambang suasana dingin. Hal ini dimaksudkan supaya beras tahan tinggal di tempatnya sehingga tidak cepat habis godhong kluwih Lambang agar padinya ‘Daun kluwih’ selalu berlebih dari kata luwih yang berarti lebih godhong tawa ‘daun Daun tawas dilambangkan tawas’ . sebagai daun yang dianggap dapat menawarkan segala jenis kiriman kejahatan melalui tenung atau segala commitkejahatan to user mahkluk gaib Tumpeng megana Tumpeng dengan isi lauk di
semuanya agar mendapat keberuntungan dan selamat di daratan dan di lautan, jangan sampai ada karma/halangan di belakang harinya’
Nyong tandur Dewi Sri ana kene, mbabar pari sakethi, sak palilahe Hyang Widhi subur-subur dadi makmur ‘saya Menabur sejumput padi, seikhlas Tuhan, Dewi Sri ada di sini, subur-subur menjadi makmur
Nyong mboyong Dewi Sri maring kadhatone dadi pari nguripi mbarkahi sabumi aku membawa Dewi Sri ke dalam istananya menjadi padi yang menghidupi seluruh bumi’
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 218
4
Tanah baru yang akan mulai ditanami
degan/ komaran 2 buah
pisang sepasang (raja 2 lirang, ambon 2 lirang, emas 2 lirang) Tumpeng
5
Tulak bala/ tulak sawan
sekar telon (mawar, kenongo, kantil), jajan pasar kupat lepet Kembang telon
Menyan
dalam misalnya ampas kelapa seperti urapan, telur sebagai lambang kemakmuran dengan makna merga ana ‘karena ada’. Maksudnya ada yang dipanen Air suci dan kemudian dibuka dan dituang di tanah baru yang hendak ditanami sebagai lambang kemauan baik agar samasama menempati tempat itu Persembahan kepada penunggu tanah
Permohonan yang kuat kepada Tuhan untuk diberi izin memulai mengolah tanah tersebut
Mantranipun ‘bismillah nyuwun sewu mbah kulo badhe macul permisi kalih panjenengan ampun ngganggu kulo sami2 umatipun Guti Allah. Mantranya: ‘dengan menyebut nama Allah mbah minta izin saya akan mencangkul, jangan mengganggu saya sama-sama umatnya Allah’.
Sebagai persembahan bau yang harum kepada penunggu sawah/gaibnya agar senang mohon keselamatan Bunga tiga warna bermakna sebagai persembahan dan dianggap bunga adalah makanan kesukaan mahkluk halus Kemenyan untuk dibakar sebagai persembahan penambah keharuman bunga tiga macam
commit to user
Bismillah kepareng matur kulo aturi daharan arupi kebul menyan bade nyuwun pitulungan panjenengan, gandeng---------sakit mencret nyuwun tulung supados waras. Maksudnya: ‘Dengan menyebut nama Allah mohon izin saya memberi asap menyan bermaksud minta tolong, karena ------sakit perut minta tolong supaya sehat lagi’.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 219
6
Upacara mendirikan rumah bandung
Kambing
daun Tawa
daun yang berwarna ungu
tumpeng dengan aneka lauk sebagai kenduri yang dibagikan kepada para tetangga jenang abang putih
Kambing disembelih bila mereka mendirikan rumah bandung lebih dari satu dalam satu tahun sebagai lambang korban pengganti korban akibat melanggar larangan membuat rumah bandung sebelum ganti tahun Lambang menawarkan segala upaya jahat yang dikirim kepada penghuni rumah Kalau ada yang jahat, seperti pencuri, mereka dapat bangun dari tidur sehingga dapat mencegahnya Suatu upaya kegiatan sosial untuk berbagi dengan tetangga terutama apabila pembuat rumah adalah orang baru maka sebuah ajang perkenalan diri. Lambang penyerahan diri secara total keada Tuhan akan segala kehidupan
Dhuh gusti Allah mugi-mugi kajat kula dikabuli, mugi-mugi kula diparing slamet donya ngakerat, panjang umur, ayem papan lan gampang rejekine, saiki lan mbesuke, karana Allah ‘ Ya Tuhan semoga keinginan saya dikabulkan, semoga saya diberi keselamatan dunia akhirat, panjang umur, damai dan mudah rezekinya, sekarang dan yang akan datang karena kuasa Tuhan’.
Tabel 4.16: Tabel Analisis Mantra
(Ungkapan Verbal) NO
MANTRA
1
Suran
2
Wiwit
ADRESSE Masyarakat petani dan nelayan
Masyarakat petani
KONTEKS SETING ADRESS TEMPAT WAKTU Ibu Ratu/mbok Di pesisir Bulan Sura, Ratu/Ratu dan tetapi tidak Suida dan dilanjutkan harus malam Dewi melabuh Sura. Sulastri/Dewi sesajen Upacara ini Sri/Dewi dilakukan Nawangwulan pada pagi hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon Dewi Di sawah Pada awal Sulastri/Dewi perorangan mulai mau Sri/Dewi menanam commit to user Nawangwulan
TOPIK Mohon keselamatan
Mohon kesuburan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 220
3
jabel
Masyarakat petani
Dewi Sulastri/Dewi Sri/Dewi Nawangwulan
Di sawah perorangan
Pada saat mau membawa pulang gabah ke lumbung
4
Tanah angker
Pemilik tanah
Penunggu tanah
Di tanah yang baru yang hendak ditanami
5
Tulak sawan
Yang kena sawan
Mahkluk gaib
6
Membuat rumah bandung
Pembuat sawah
Penunggu tanah, Tuhan
Tempatnya dimana terjadi pelanggaran terhadap Goib Di rumah yang sedang dibangun
Pada saat akan mulai menanammi atau menggunakan tanah tersebut Segera setelah diketahui penyebabnya
Pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon yang penting bukan pada weton yang akan menempati
Ucapan syukur dan mohon agar hasil panen awet dan bermanfaat sebagai sumber kehidupan seluruh keluarga Mohon izin
Mohon ampun
Mohon keselamatan dan perlidungan
7) Aspek Leksikal Pembentuk Mantra (Ungkapan Verbal) Dalam penjabaran unsur leksikal yang terdapat pada 10 buah ungkapan verbal komunitas petani di Kabupaten Kebumen dalam folklor sebagian lisan ditemukan beberapa bentuk sesuai dengan tujuan penyapa terhadap pesapa sperti berikut ini.
a) Repetisi dalam Mantara Penanda Kedekatan dengan Penguasa Tertinggi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 221
Repetisi (pengulangan) merupakan salah satu cara untuk mempertahankan hubungan kohesif antarkalimat (Rani, Arifin, & Martutik, 2004). Munculnya bentuk-bentuk yang diulang pada yngkapan verbal tersebut akan mempertahankan ide atau topik yang disampaikan oleh pemohon yang biasanya disampaikan oleh penatua yang dipercaya oleh komunitas petani
kepada Penguasa (Wujud
Tertinggi, makhluk halus (benda-benda dan gejala alam), dan jenis fauna). Hal ini dimaksudkan agar topik yang berupa wujud permintaan atau permohonan beserta sifat-sifatnya yang ada pada ungkapan verbal yang disampaikan oleh pemohon dapat diterima. Dengan pengulangan bentuk-bentuk tertentu pada ungkapan verbal yang digunakan, pemohon akan lebih mudah dikenali oleh penguasa karena tidak meninbulkan Pemaknaan baru atau ganda dalam setiap penggunaanya. Dengan demikian, pengulangan pada ungkapan verbal tersebut dijadikajm sebagai rasa kedekatan antara penyapa53 dengan pesapa dalam setiap berkomunikasi. Hal ini merupakan salah satu keyakinan bagi komunitas petani penggunaan mantra sebagai ungkPn verbal mereka akan selalu membawa keberuntungan dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini merupakan pola tindakan yang dijalankari oleh warga kolektif orang komunitas petani di Kabupaten Kebumen yang kemudian dibakukan menjadi tradisi (adat-istiada^ yang telah menjadi bagian dari dirinya melalui proses belajar (bdk: Koentjaraningrat, 1966).
b) Sinonimi dalam Mantra sebagai Pengungkapan Penegasan Permohonan Di samping makna-makna yang dijelaskan secara ekplisit atau implisit dalam unsur leksikal diatas ada juga makna tertentu yang ditunjukkan dari bentukbentuk sinonimi yang muncul. Unsur sinonim yang sering muncul pada mantra ko0munitas petani adalah yang merujuk kepada Wujud Tertinggi dan makhluk halus. Hal ini menunjukkan adanya penegasan terhadap keberadaan Wujud
53
Penyapa adalah komunitas petani dan pesapa adalah penguasa tertinggi atau penguasa commit to user setempat dan berbagai bentuknya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 222
Tertinggi dan makhluk halus yang ada dalam dunia mereka. Makna tersebut dipertegas lagi dengan adanya unsur repetisi yang digunakan pada mantra-mantra tersebut. Sehubungan dengan itu, adanya bentuk hiponim yang menandakan tingkatan relasi yang ada dalam dunia pertanian, berkah “rezeki”, misalnya, itu berasal dari Wujud Tertinggi kemudian diturunkan, nguripi “menghidupi” kepada manusia (komunitas petani Kebumen) sebagai makhluk ciptaan-Nya. Hal ini dapat dikatakan bahwa relasi itu dapat berwujud vertikal dan horizontal.
c)Antonimi dalam Mantra sebagai Penanda Cakupan Permohonan Kepada Penguasa Tertinggi
Lain halnya dengan adanya unsur antonim pada mantra. Unsur tersebut dimaknai dengan berdimensi ganda yang bersifat saling bertentangan (periksa Ola, 2005: 201). Hal ini dapat dilihat pada dimensi ganda yang saling bertentangan antara donya 'dunia' dengan akhirat "akhirat, antara bumi 'tanah' dengan segara ‘laut', antara rina 'siang’ dengan wengi ‘malam’.
d)Aspek Leksikal Kolokasi sebagai Penanda Kejelasan Tujuan Permohonan
Selanjutnya, adanya unsur kolokasi yang ada dalam mantra-mantra menunjukkan bahwa segala sesuatu dalam dunianya selalu berhubungan antara satu dengan yang lain dan segala sesuatu yang ada itu mempunyai manfaat. Hal ini dilihat pada bentuk mboyong Dewi Sri ‘membawa Dewi Sri’ berhubungan dengan kadatonne 'istananya', sehingga dapat memberikan makanan bagi masyarakat di bumi ini dengan istilah mberkahi lan nguripi sabumi ‘memberkati dan menghidupi manusia di bumi’.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 223
Tabel 4.17 : Aspek Leksikal Ungkapan Verbal Komunitas Petani Kabupaten Kebumen NO
NAMA MANTRA
ASPEK LEKSIKAL REPETISI
HIPONIMI
ANTONIMI
KOLO KIAL
SINONI MI
1
Suran/ sedekah laut dan sedekah bumi
V
v
v
v
v
2
Wiwit
V
v
-
-
-
3
Jabel
-
v
-
-
-
4
Akan memulai tanah baru
V
v
-
v
-
5
Tulak sawan
-
-
v
-
-
6
Upacara mendirikan Rumah
V
v
v
-
-
7
Memberi pengobatan
V
v
v
-
-
8
Hendak melaut
V
v
v
-
-
9
Hendak masuk laut
-
v
v
-
-
10
Hendak menabur jala
V
v
v
-
v
8) Bentuk Leksikon dalam Ekspresi Verbal (mantra) Selain pendeskripsian sistem tata bahasa (kalimat dan wacana) yang khas sebagai pembentuk mantra/ ungkapan verbal di atas, akan diperiksa juga kosa kata (leksikon) sebagai pembentuk mantra. Bentuk leksikon ini sebagai penopang sistem tata bahasa di atas untuk mengungkapkan makna mantra. Bentuk kosa kata (leksikori) yang terdapat pada mantra komunitas petani Kabupaten Kebumen itu bukan saja berasal dari kosa kata bahasa Jawa Banyumas mengingat Kabupaten commit tokemiripan user Kebumen sebagai darah transisi memiliki dalam pemakaian bahasanya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 224
dengan Bahasa Jawa Banyumas itu sendiri, namun juga berasal dari bahasa asing. Sehubungan dengan itu, dalam deskripsi bentuk-bentuk leksikon ini didasarkan pada leksikon yang berasal dari relig yakni bahasa Jawa Banymas di Kabupaten Kebumen
dan
yang
merupakan
leksikon
serapan
dari
bahasa
asing.
Pengklasifikasian tersebut dapat dijabarkan dalam bentuk bagan berikut.
a) Leksikon Bercirikan Bahasa Jawa Banyumas Pembentuk Mantra
Mantra-mantra komunitas petani di Kabupaten Kebumen sebagiaja besar mempunyai bentuk kosa kata yang berasal dari bahasa Jawa Banyumas itu sendiri baik yang digunakan sehari-hari maupun yang berbentuk arkais. Sehubungan dengan
itu,
leksikon
yarig
berbentuk
bahasa
Jawa
Banyumas
dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu leksikon yang berasal dari bahasa Jawa Banyumas sehari-hari dan yang berbentuk arkais. Leksikon dari Bahasa Jawa Banyumas Sehari-hari maksudnya adalah bahasa yang berasal dari bahasa Jawa Banyumas sehari-hari dibagi berdasarkan jumlah leksikon yang ada pada setiap mantra, yaitu (i) Sebagian leksikon dan (ii) keseluruhan leksikon sebagai komponen mantra. Sebagian bentuk leksikon yang berasal bahasa Jawa Banyumas sehari-hari itu terdapat pada mantra petani yang hendak melaut. “Semilah irohman irohim, niat nyong ambyur samudra amet urip saanane sing bisa ditrima saka samudra ya digawa, rina wengi nyong miwiti, pasrah maring Hyang Widi, slamet samangkat lan samulihe nyong” artinya ‘Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, niatku melaut di lautan mencari kehidupan (rizki) seadanya yang bisa diterima/ dicari dari samudra ya dibawa, siang dan malam saya mulai/ lakukan, berserah diri kepada Tuhan, selamat seberangkat dan sepulang saya’.
Bentuk-bentuk leksikon yang dimaksud dapat dilihat pada beberapa mantra berikut yang di dalamnya ditandai dengan hurup tebal. Namun, tidak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 225
ditampilkan semua mantra-mantra yang termasuk dalam komponen yang dimaksud. Leksikon dari Bahasa Jawa Banyumas Arkais. Istilah arkais dalam tulisan ini berhubungan dengan masa dahulu atau berciri kuno, tua; tidak lazim dipakai lagi (tentang kata); atau ketinggalan zaman (lihat KBBI, 2003), Sehubungan dengan itu, dalam mantra-mantra komunitas petani ditemukan leksikon yang bercirikan seperti pada pengertian arkais itu sebagai pembentuknya. Bentuk arkais ini merupakan bentuk leksikon yang berasal dari bahasa Jawa kuno juga. Dengan kata lain, leksikon arkais itu dijadikan sebagai pelengkap mantra yang menjadi komponen mantranya. Leksikon bahasa arkais yang dimaksud adalah bentuk siro sebagai penghormatan terhadap ikan yang dianggap sebagai anak buah ibu ratu sehingga dalam hal ini juga dapat dikatakan sebagai idiosenkretik . Kata tersebut ditemukan pada mantra petani yang menjadi nelayan seperti berikut: “Nyong jala sira ora lunga, nyong (a) doh sangka darat, mara sapalilah sira, nyong butuhaken sapira kancanira kabeh gak ana sing kari, dadi-dadi kabeh wis ngerti arep dadi siji kersaning Hyang Widi” artinya ‘akan saya jaring kamu (ikan) jangan pergi, saya jauh dari darat, mendekatlah dengan suka rela, saya butuhkan berapa temanmu semua jangan ada yang tertinggal, jadi-jadi semua sudah tahu akan berkumpul jadi satu atas ijin Tuhan’.
b) Leksikon Bercirikan Bahasa Jawa Pusat Budaya sebagai Pembentuk Mantra
Dalam Bentuk Krama. Leksikon yang berasal dari bahasa Jawa Pusat Budaya banyak ditemukan pada beberapa bentuk. Hal demikian karena pengaruh dari pusat budaya melalui tingkat tutur cukup kuat. Tingkat tutur krama yang dipakai merupakan pengaruh rasa hormat terhadap penguasa tertinggi. Mantra yang demikian dapat dicermati dari contoh berikut: Dhuh gusti Allah mugi-mugi kajat kula dikabuli, mugi-mugi kula diparing slamet donya ngakerat, panjang umur, ayem papan lan gampang rejekine, saiki lan mbesuke, karana Allah ‘ Ya Tuhan semoga keinginan saya dikabulkan, semoga saya diberi keselamatan dunia akerat, panjang umur, damaicommit dan mudah rejekinya, sekarang dan yang to user akan datang, karena kuasa Tuhan’
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 226
c) Leksikon Serapan dari Bahasa Arab sebagai Pembentuk Mantra Selain bahasa Jawa Krama, mantra komunitas petani di Kabupaten Kebumen sebagian besar juga dibentuk oleh kosakata yang berasal dari bahasa Arab. Sebagian leksikon dari bahasa Arab menjadi komponen mantra. Bentuk leksikon bahasa Arab yang merupakan bagian komponen mantra-mantra itu dapat ditelusuri dengan menjadikan dua bagian, yaitu (a) terdapat satu atau dua leksikon dan (b) terdapat tiga atau lebih leksikon. Pertama, ada beberapa data mantra nelayan Kebumen yang terdiri dari satu atau dua leksikon bahasa Arab adalah bentuk pembuka mantra seperti Bismillah. Contoh mantra tersebut adalah sebagai berikut: Bismillah kepareng matur kulo aturi daharan arupi kebul menyan bade nyuwun pitulungan panjenengan, gandeng----------sakit mencret nyuwun tulung supados waras. dengan menyebut nama Allah mohon ijin saya memberi asap menyan bermaksud minta tolong, karena ------sakit perut minta tolong supaya sehat lagi’
Mantra-mantra komunitas petani tersebut yang dibentuk dari leksikon bahasa Arab baik hanya sebagian rnaupun keseluruhan komponen itu sebagian besar ditemukan pada awal dan akhir mantra yang bersangkutan. Akan tetapi, ada juga beberapa leksikon bahasa Arab yang terdapat di bagian tengah mantra sebagai pembentuknya. Contoh mantra yang memakai bahasa Arap sebagai penutup adalah sebagai berikut: Dhuh gusti Allah mugi-mugi kajat kula dikabuli, mugi-mugi kula diparing slamet donya ngakerat, panjang umur, ayem papan lan gampang rejekine, saiki lan mbesuke, karana Allah ‘ Ya Tuhan semoga keinginan saya dikabulkan, semoga saya diberi keselamatan dunia akerat, panjang umur, damai dan mudah rejekinya, sekarang commit user dan yang akan datang, karena kuasatoTuhan’
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 227
Berikutnya adalah mantra yang menggunakan leksikon bahasa Arab yang diletakkan di tengan-tengah; Semilah, kanthi nyuwun berkah lan slamet rina wengi seka panguwaosing Gusti Allah lantaran kanjeng Nabi Kidir lan mBok Ratu sing ngratoni laut kidul, nyong kabeh aji sarana sajen rupa werna-werna, kabeh mau nyong bekteni jalaran mung pasrah ing samukabeh-kabehe supaya nemu beja lan slamet ing darat lan ing segara, aja ana barang kasedhak nemu mburine ‘Dengan menyebut nama Allah, dengan mengharap berkah dan selamat siang dan malam dari kekuasaan Allah lewat perantara Kanjeng Nabi Kidir dan Ibu Ratu yang menempati laut selatan (Kebumen), saya semua memberikan sarana sesaji berbagai macam (wujudnya), semua itu saya hormati karena hanya dalam rangka pasrah atas semuanya agar mendapat keberuntungan dan selamat di daratan dan di lautan, jangan sampai ada karma/ halangan di belakang harinya’
Dari pemerian tentang leksikon sebagai pembentuk mantra komunitas petani di Kabupaten Kebumen di atas ditunjukkan bahwa tidak hanya berasal bahasa Jawa Banyumas saja, tetapi juga berasal dari leksikon bahasa asing (bahasa Jawa Krama dan bahasa Arab). Hal ini dapat dikatakan bahwa komunitas petani di Kabupaten Kebumen telah mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah komunitas petani tidak lagi mengisolasikan diri dan mulai membuka diri dengan lingkungan sekitarnya. Penyesuaian diri itu dimulai sejak adanya pengaruh bahasa asing terhadap mantra-mantranya. Dengan kata lain, komunitas petani di Kabupaten Kebumen telah mengikuti perkembangan yang dialami oleh etnis lain yang ada di sekitarnya, Di samping itu, dengan adanya pemakaian leksikon bahasa Arab pada mantra-mantranya ini dapat dikatakan bahwa komunitas petani adalah sebagai salah satu penganut ajaran Islam yang berasal dari negeri Arab tersebut. Oleh karena itu, mereka selalu disesuakian dengan ajaran agamanya. Penggunaan leksikon ini dimasudkan agar setiap pengucapan atau pemakaian mantra selalu mendapat ridho dan berkah dari Wujud Tertinggi (Tuhan), sehingga apa yang diharapkan lewat pemakaian mantramantranya tersebut dapat tercapai. Dengan commit to userleksikon bahasa Arab ini juga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 228
dijadikan sebagai salah satu kekuatan magi yang ada pada mantra-mantra untuk membangun relasi horizontal dengan alam sekitarnya. Sebagian besar bertipe mantra pendek, yakni hanya menekankan pada kepentingan tujuan mantra tersebut. b. Analisis Folklor Bukan Lisan pada Komunitas Petani Folkor bukan lisan di antaranya termasuk jenis makanan dan jamu tradisional. Dalam pandangan budaya Jawa, hal-hal yang berkaitan dengan bahan makanan dan pengobatan merupakan suatu kesatuan dalam sistem kepercayaan dan sistem sosial buday (Dr.Arief Budiwiranto, M.Si, 2007/2008)54. Demikian juga pada masyarakat di Pesisir Selatan. Sampai sekarang melalui konsep agraris budaya pesisir sebagai daerah transisi yang merupakan bagian integral dari Kabupaten Kebumen, mereka memandang tanam-tanaman baik untuk bahan pangan maupun sarana upacara tradisi yang bermakna religius dan gambaran kearifan lokal adat masyarakat dan sebagai jamu untuk pengobatan tradisional. Banyak orang telah disembuhkan dengan obat tradisional yang terbuat dari tanaman sekitar pesisir. Bahkan, penyakit yang berat sekalipun seperti kanker payudara. Berbagai khasiat tanaman obat dan pemanfaatan tanaman untuk bahan makanan juga dipakai untuk upacara keagamaan dan semua bernilai religi serta pesan-pesan moral melalui pengolahan maupun pengadaannya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa masyarakat pesisir memandang tanaman pangan dan tanaman obat sebagai bagian dari kearifan lokal yang berbasis pada sistem kepercayaan seperti pada masa lalu masih adanya keyakinan pada Dewi Sri/Desi Sulasih dan Ibu Ratu yang menyimbolkan kesuburan dan kesejahteraan boga. Meskipun mulai mengalami perubahan sosial, tradisi atas boga dan husada sampai sekarang masih melekat pada masyarakat.
54
Laporan Penelitian PDK (naskah publikasi) dengan judul Aspek Budaya Pada Tradisi Kuliner user Budaya (Sebuah tinjauan Folklore), Tradisional di Kota Malang Sebagai commit IdentitastoSosila Universitas Muhamadiyah Malang, 2007/2008.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 229
Dalam penetapan identifikasi dan klasifikasi makanan dan obat-obatan tradisional dapat diketahui bahwa makanan dapat berupa makanan, minuman, dan makanan ringan atau jajanan. Makanan dapat dibedakan makanan harian serta makanan adat dan tradisi yang berkaitan dengan peringatan daur hidup dan makanan untuk upacara ritual sebagai sesaji. Minuman terdiri atas minuman ringan dalam kegiatan sehari-hari maupun untuk upacara adat dan resepsi. Dalam hal minumana ini juga terdapat jamu untuk terapi kesehatan dan minuman sehat yang dikonsumsi sebagai minuman segar. Klasifikasi tersebut merupakan identifikasi atas bahan, manfaat dan nilai. Makanan merupakan sumber penghidupan manusia, kebudayaan, dan lingkungannya. Dalam perspektif budaya, makanan merupakan sebuah identitas, representasi, dan produksi dari kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Pola makan dan jenis makanan masyarakat dapat menggambarkan perilaku hidup seperti kesehatan, gaya hidup, lingkungan, dan sistem-sistem sosial masyarakat pendukungnya (Arif Budi Wurianto, 2008: 4). Makanan secara budaya menggambarkan identitas lokal masyarakat pesisir yang mendukung budaya Jawa yang mencirikan lingkungan agraris. Makanan juga menggambarkan representasi, regulasi, konsumsi, dan produksi. Makanan menggambarkan adanya resistensi terhadap makanan modern lain dan pemaknaannya. Selain itu, makanan juga menunjukkan latar belakang sosial, ekonomi, dan golongan konsumen. Oleh sebab itu, dalam tata boga suatu masyarakat dikelola dengan regulasi adat istiadat yang berisi anjuran, pantangan, dan etika tata cara pemanfaatannya. Pesisir Selatan sebagai wilayah kebudayaan Jawa daerah transisi yang memiliki kecenderungan mirip dengan daerah konservatif memiliki keragaman kuliner dan husada mirip dengan daerah konservatif yang berada di wilayah pegunungan yang subur dataran tinggi dan memungkinkan tumbuhnya beraneka tanaman pangan dan tanaman obat-obatan serta masyarakatnya yang menjadikan tanaman pangan dan obat sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Kemiripan tersebut karena adanya upaya resistensi tanaman dan inovasi. Adapun tanaman subtitusi memiliki pemaknaan yang berbeda. Mengingat boga dan husada commit user tradisional sekarang sedang marak di to masyarakat serta adanya upaya untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 230
melindunginya sebagai bagian dari paten kultural,
perlu diadakan upaya
pendokumentasian melalui pelestarian serta pengenalan kepada daerah di luar pesisir agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas sebagai pengobatan alternatif yang keberadaannya telah diakui oleh dunia medis. Makanan tradisional adalah makanan rakyat yang dapat dikategorikan sebagai folklor material bukan lisan yang terdiri atas konsep makanan, bahan makanan, cara memperoleh makanan, cara mengolah makanan, cara penyajian, fungsi makanan, dan pengobatan tradisional. Sejalan dengan apa yang telah disebutkan itu, daerah pesisir Selatan memiliki kebudayaan dan pemikiran kolektif masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Meskipun terdapat beberapa perubahan, hal itu hanya sekadar sebagai simplifikasi atau modifikasi. Oleh sebab itu, makanan daerah pesisir Selatan ini merupakan ikon daerah pertanian yang bercirikan pesisir yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Dalam keseharian, makanan dibuat dengan bahan yang tumbuh di sawah, ladang, kebun, laut, yang dipelihara di halaman, dan peternakan yang dihasilkan sendiri. Dalam sudut ilmu pandang antropologi, folklor makanan merupakan fenomena kebudayaan. Oleh
karena itu, makanan merupakan bagian dari upaya
mempertahankan hidup yang ditentukan oleh kebudayaan masing-masing kolektif yamg berhubungan erat dengan kondisi geografis. Banyak cara mendapatkan makanan. Namun, di wilayah Pesisir Selatan sebagai daerah pertanian subsisten dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu langsung mengambilnya dari alam seperti menangkap ikan dari laut yang sudah tersedia dari alam dan jenis lainnya adalah melalui upaya pembudidayaan seperti menanam padi di sawah, menanam sayur di ladang, atau membudidayakan ikan di empang sawah. Kegiatan upacara-upacara
memperoleh makanan sering diiringi pula dengan
kepercayaan/keyakinan/keagamaan,
baik
yang
sederhana
maupun yang kompleks. Demikian pula cara pengolahan makanan. Cara pengolahan makanan
dapat dilihat berdasarkan sifat alamiah maupun sifat
kebudayaan melalui tata cara kebudayaannya yang terkait dengan lingkungan alam, budaya, dan tata kebiasaannya. Ada makanan mentah, dimasak, peragian commit to user (fermentasi) penggaraman, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 231
Seperti telah disebutkan bahwa cara penyajian makanan dibedakan untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk kepentingan sosial budaya seperti weweh ‘mengantar makanan’ dan untuk sesaji yang bersifat ritual keagamaan seperti untuk Suran, jabel, dan wiwit. Cara penyajian makanan untuk sehari-hari adalah sederhana, sedangkan untuk pesta atau upacara lebih rumit, bahkan tampak lebih indah dengan penambahan aksesori. Dari cara penyajian makanan dapat dikaji bahwa makanan di daerah pesisir masih tergolong sederhana karena belum banyak modifikasi, misalnya dengan penambahan warna buatan yang membahayakan seperti banyak dijumpai di kota-kota besar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa budaya daerah penelitian ini pun masih tergolong cenderung religi. Bentuk modifikasi yang dilakukan adalah mengganti pembungkus makanan lepet dengan plastik dan menempatkan minuman sajeng dalam botol bekas minuman air mineral berbagai jenis merek. Jenis makanan memiliki arti simbolik, arti sosial, budaya, agama, dan lain-lain. Arti sosial mempunyai fungsi kemasyarakatan seperti untuk hidangan pada waktu rembuk desa. Makanan juga dapat dijadikan sebagai simbol solidaritas kelompok, seperti ketika ada kerigan ‘gotong royong’. Bagi yang tidak dapat ikut gotong royong, warga tersebut menyumbangkan makanan sebagai ganti tenaga.
FOLKLOR BUKAN LISAN
Kesehari an Simbolik Sosial Budaya Agama
MAKANAN TRADISIO NAL
JAMU TRADISION AL
Manusia hewan
Bagan 4.3: Analisis Folklor Bukan Lisan commit to user
- Mengambil langsung -melalui pembudidaya an
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 232
1)
Folklor Bukan Lisan dalam Bentuk Makanan Sehari-hari
Makanan dalam kehidupan sehari-hari di Pesisir Selatan dapat dibedakan menjadi dua yakni untuk dimakan sendiri dalam keluarga dan untuk komoditas penjualan seperti di warung-warung. Dalam hal makanan yang dijual di lokasi penelitian Kecamatan Ambal terkenal dengan satai ambal. Satai ayam ambal dikenal sangat lezat dan sehat karena bahannya dari ayam kampung yang diternak oleh warga dengan menggunakan makanan organik. Satai ambal dapat dijumpai sepanjang jalan di pesisir selatan. Satai ini dimakan dengan ketupat, bukan lontong seperti di Solo Yogja. Di lokasi penelitian lain, ditemukan
komoditas makanan tradisional
lain seperti di Kecamatan Petanahan yang terkenal dengan kacang balado,
yaitu kacang
brul yang merupakan hasil pertanian setempat digoreng dan dimasak dengan gula kelapa, lalu Gambar 4.41: Lepet makanan khas untuk segala peristiwa
dibumbu pedas. Kacang balado ini dijual ke banyak tempat seperti di bus, terminal, toko, dan
lain-lain. Makanan tradisional lain yang sering dijajakan di tepi pantai adalah pecel, kacang rebus, megana, dan lepet. Semua makanan tersebut merupakan olahan dari hasil pertanian setempat. Pecel dibuat dari sayuran yang diambil dari tanaman sekitar berupa daun bayam dan kacang panjang. Sambal pecel dibuat dari kacang brul atau kacang tanah yang juga hasil pertanian setempat. Pecel dimakan sebagai lauk dengan megana, yakni nasi yang dicampur dengan parutan commit to user kelapa atau lepet adalah nasi yang dibungkus dengan janur. Selain makanan berat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 233
seperti yang telah disebutkan, terdapat istilah pacitan ‘makanan ringan penyerta minuman’ yang juga terbuat dari bahan setempat, misalnya oyek. Makanan ini berasal dari budhin ‘singkong’ yang diparut, kemudian diberi tambahan bumbu. Setelah itu, makanan digoreng. Kalau mereka menerima tamu, tamu tersebut hanya diberi minuman. n Mereka akan mengatakan: Wah, wedhange kendhel! ‘Wah, minumanya berani sendirian!. Ekspresi itu mengandung makna bahwa minuman kalau disuguhkan biasanya dibarengi dengan makanan kecil (snack). Kalau tanpa makanan kecil, makanan tersebut dikatakan ‘berani’. Untuk jenis minuman, yang tergolong minuman tradisional adalah badheg, sajeng ‘nira’ yang diminum langsung atau direbus.
2)
Makanan pada Acara Ritual sebagai Wujud Folklor Bukan Lisan
Dalam acara ritual keagamaan ataupun upacara tradisi juga disertakan makanan tradisional daerah pesisir yang sarat akan makna simbolik. Seperti pada saat wiwit. Pada saat wiwit disajikan jenang abang putih ‘bubur merah putih’ yang memiliki makna jiwa raga yang merupakan kesatuan unsur darah dan daging, jiwa dan raga, lahir dan batin. Dalam hal ini adalah kebulatan tekad dalam mengarungi kehidupan dengan memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber makanan dan kehidupan. Jenang abang ‘bubur merah’ dibuat hanya dengan menambahkan gula kelapa pada sebagian dari jenag putih ‘bubur putih’. Jadi, membuatnya pada mulanya bersama-sama. Contoh lain misalnya nasi tumpeng megana yang memiliki makna merga ana ‘karena ada’. Maksudnya ada yang dituai sebagai hasil panen pada upacara jabel. Orang yang melaksanakan nyura hanya makan tanaman yang batangnya tidak bolong ‘berlubang’. Sebagai lauknya adalah tempe dan tahu adem. Maksudnya adem adalah tahu tersebut tanpa diberi garam sehingga terjemahan adem bukan dingin, melainkan tawar atau anyep. Buah penyerta acara ritual adalah pisang, commit to usermuda (dawegan). Pisang meliputi sedangkan untuk minumannya adalah air kelapa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 234
pisang raja, pisang emas, serta pisang ambon yang memiliki makna simbolik/sanepa mbekteni Nabi Adam/Ibu Kawa, sebagai cikal-bakal/ babad-alas, ingkung sakubarampene, endhog, neng jero tumpeng tandha suci (khalal) ‘telur di dalam tumpeng sebagai tanda suci/ halal’, kupat sanepa meminta keselamatan kepada Allah SWT, Ratu selatan hanya menjadi perantara (jalan), tidak musyrik. Ketupat memiliki makna simbolik meminta keselamatan kepada Tuhan’. Acara ritual yang membutuhkan makanan tradisional sebagai bagian dalam ritual baik sebagai buangan ‘dibuang’ dan yang dimakan oleh peserta acara ritual yaitu upacara suran ‘dilakukan pada bulan Sura’. Upacara wiwit ‘diadakan menjelang tanam padi’, upacara jabel ‘diadakan setelah panen padi’, dan upacara untuk tolak bala.
3)
Folklor Bukan Lisan dalam Bentuk Makanan sebagai Kegiatan Sosial Kemasyarakatan Makanan tradisional juga memiliki fungsi sebagai tali perekat dan sebagai
solidaritas dalam masyarakat yang telah dilakukan secara turun-menurun. Sampai sekarang belum banyak berubah meskipun di tempat lain hal-hal seperti ini telah jarang dikerjakan dan cenderung dihitung secara matematis. Acara sosial kemasyarakatan di daerah Pesisir Selatan ini berupa kerigan ‘gotong-royong’ pembuatan rumah, membersihkan kampung, hajatan, atau layatan. Pada saat seperti ini pasti ada makanan berupa makan besar seperti nasi dengan lauk pauk berupa tahu, tempe, ceplok telur, ikan goreng dan tegean ‘sayuran dengan kuah’, misalnya sayur asam, sayur bayam, atau sayur sop. Makan besar dihidangkan pada siang hari sekitar pukul 12. Oleh karena itu, acara makan ini disebut dengan rolasan, sedangkan makanan kecil dihidangkan pada pagi sekitar pukul 9 dan sore hari sekitar pukul 15 sebagai pacitan. Acara-acara yang berkaitan dengan daur hidup seperti kelahiran, khitanan, tunangan, perkawinan, kehamilan, dan kematian juga menggunakan makanan dan commit to user minuman baik dalam bentuk olahan maupun dalam bentuk bahan mentah. Olahan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 235
dipakai sebagai hidangan santapan dan weweh ‘mengirim makanan’ pada masingmasing acara yang setiap acara memiliki ciri khas masing-masing. Adapun bahan makanan mentah dipakai untuk menyumbang. Bahan makanan mentah untuk weweh ‘menyumbang’ adalah beras, jagung, gula, teh, kelapa, kacang, kedelai dan lainlain dengan variasi pilihan masing-masing orang berbeda. Bagi penerima bahan makanan ini ada yang bertanggung jawab mencatat
keluar
masuknya
menerima dengan bahan
makanan
sehingga dapat terdomumentasikan siapa dan apa yang diberikan karena akan digunakan sebagai pedoman untuk mbales ‘membalas’. Dalam arti Gambar 4.42: Makan bersama saat di sawah
memberikan ganti nanti bila yang bersangkutan juga menyelenggarakan hajatan. Dalam hal inilah
kerukunan dan kemasyarakatan dilaksanakan dengan tidak mengukur secara nilai material yang masih dipertahankan secara turun temurun. Hak ini tentu saja berbeda dengan daerah pusat budaya yang sudah maju. Semua diukur dengan nilai uang dengan alasan lebih luwes ‘praktis’. Mereka percaya dengan falsafah sapa nandur bakale ngunduh ‘siapa menanam pasti menuai’. Beberapa peristiwa upacara yang berkaitan dengan daur hidup adalah 1) kehamilan: dalam masa kehamilan ini terdapat upacara 4 bulan sebagai penanda habisnya masa nyidam dan upacara 7 bulan yang menandai bahwa bayi yang sedang dikandung telah mencapai taraf kesempurnaan sehingga sudah siap untuk dilahirkan, 2) kelahiran bayi yang disertai dengan penyediaan makanan adalah sepasaran ‘5 hari setelah bayi lahir’, selapanan ‘usia 35 hari’, dan puputan ‘lepasnya tali pusar’, 3) selamatan khitanan, 4) perkawinan: pada upacara pernikahan ada beberapa tahapan upacara yang membutuhkan adanya makanan tradisional yakni nontoni ‘melihat calon menantu’, komaran ‘melamar’, dan yang tahap finalnya adalah ijab qabul pernikahan, 5) kematian: pada tahap kematian ini penyediaan makanan dimulai pada saat pemakaman, peringatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 236
Berikut adalah jenis makanan pada setiap acara sosiokultural yang menyangkut peristiwa daur hidup:
Tabel 4.18: Ragam Makanan Sarana Upacara No 1
Peristiwa Kehamilan
Upacara Empat bulan yang disebut dengan ngapati atau ngupati. Tujuh bulan yang disebut dengan upacara kebayang juga disebut dengan mitoni dan mitulikuri Upacara 35 hari yang disebut dengan selapanan Upacara puput puser
2
Kelahiran
2
Khitanan
Adeg Terop Kirim Doa Sesudah dikhitan
3
Perkawinan
Lamaran 1 nontoni/melihat calon menanti Lamaran 2 tunangan /komaran Ijab qabul Nikahan
Ragam dan Jenis Makanan Ketupat, lepet, lauk-pauk berupa gorenggorengan serta buah yang sedang musim. Sesaji untuk menggunakan tumpeng kuat, aneka buah, kelapa muda sebanyak 2. Untuk buangan adalah daun kluwih, daun alang-alang, dadap serep, pandan wangi. Nasi tumpeng, lauk yang terdiri dari telur rebus, goreng-gorengan, sayur dan bumbu, jenang abang-putih, jajan pasar. Untuk sesajen berupa bunga, kemenyan, 2 sisr pisang raja, setangkep gula jawa, 1 butir kelapa, 1 ekor ayam hidup. Tumpeng Nasi megana, tegehan, terancam, urap-urap, goreng-gorengan tahu tempe, telur dadar, opor ayam, sambal goreng, botok teri, dan jenang abang.daging, perkedel kentang, apem, pisang raja.
Aneka makanan sebagai pacitan dan ayam ingkung, atau sesuai dengan kemampuan calon pelamar. Barang yang wajib adalah gula, kopi dan teh. Peningset yang dibawa berupa pakaian dan perlengkapan pengantin putri, pisang raja, bunga cempaka, kue basah dan pisang goreng, kue-kue kering. Nasi golong, botok mlanding dan teri, sayur gori dan kluwih, terancam, urapurap, ayam, sambel goreng, jenang abang. Tumpeng megana dengan lauk kering tempe, mie, serundeng daging, sambal goreng kentang, ayam goreng, budhin, kembang setaman: kembang cempaka, kanthil. ayam dimasak opor. commit to user Daging/ ayam goreng, sambel goreng
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 237
kobis. 4
Kematian
4)
Pemakaman Tahlilan 3 hari sampai 7 hari Peringatan 40 hari dan 100 hari Kol 1 Kirim Doa, dan Kol 2 Kirim
Nasi megana, ingkung ayam, sayur sambal goreng, goreng-gorengan, ketan, kolak, apem.
Folklor Bukan Lisan dalam Bentuk Jamu Tradisional sebagai Husada
Sebagai masyarakat petani yang erat dengan dunia agraris, mereka mempunyai pola pikir yang sangat alami. Maksudnya, semua yang ada di sekitar lingkungan berupa tanaman dapat menjadi obat bagi segala penyakit. Pemikiran tersebut sudah secara turun temurun telah terbukti kebenarannya. Oleh sebab itu, tanaman yang dijadikan obat tersebut
masih dipertahankan sampai sekarang
sebagai kearifan lokal masyarakat Pesisir Pantai Selatan meskipun telah mengalami transformasi mata pencaharian. Contoh penyakit dan bahan-bahan alami yang dapat dipergunakan dalam pengobatan:
Tabel 4.19: Jamu Tradisional No 1
Nama Penyakit Mencret
2
Maag
3
Tipes
4
Batuk
5
membuang racun
Ramuan
Cara Mengolah
jambu kluthuk, gedhang diperas dengan air panas kluthuk, pisang ambon, terus diminum adaspulosari, garam, secukupnya kunir, temu lawak, dikepruk lalu diperas adaspulosari, gula aren, meliputi cacing 5 ekor cacing itu dikukus digoreng sangan, kasih dawung, adaspulosari; sajeng asli diberi kapur sirih (tidak diberi obat gula) kelapa hijau dengan syaratto user degan tadi direbus commit petik tidak boleh dijatuhkan. ditambah dengan daun
Keterangan Pilih salah satu
diminum pagi hari
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 238
Kalau dijatuhkan, unsur kimianya menjadi campur dan pori-pori degan membuka sehingga khasiatnya pudar air degan + kemaduan (kemladean kuning-kuning seperti bakmi yang merembet di pohon tetehan) pandan (kendoga, seperti nanas)
tawa, adas pulosari dalam degan terus diminum
6
kanker payudara
7
asam urat
8
Ambeien
suruh kuning, kembang jambe yang jatuh di tanah,
Digodhog ditambah adas pulasari dan kunir putih serta dobos-nya (akar yang menggantung) diambil pucuknya yang ada lendirnya. Dideplok serta air diminum.
9
linu
10
penyakit dalam
11
Udun/bisul
Suket pager (suketpager), suket: suket meniran Sambilata, anyang untuk campuran meniran dan sambilata,suket sanggatelik, cimplukan injet, gula jawa, sabun mandi, kunir
dilumatkan lalu ditempelkan
kecubung wulung diambil daun, buahnya, ditambah kumis kucing, serai
dibebek (dibedakkan) untuk urut-urut dibedakkan
blimbing pulasari
dibebekkan kemudian diminum
dhengen (kaku-kaku, tetapi bukan stroke) sakit srepet/ encok gegere sakit
5)
wulung,
adas
digodog dalam kuali, lalu diminum berkhasiat untuk menyembuhkan.
Diminum rutin kurang lebih 15 hari
Doa menurut keyakinan karena yakin adalah obat tidak diminum, bahaya
Cara Mendapatkan Bahan Makanan dan Pengobatan Berbasis Kearifan Lokal
Berkaitan dengan makanan dan bahan pengobatan, dapat digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu dengan mengambil, menanam/berternak, dan membeli. Bahan yang dimaksud dengan hanya mengambil adalah yang telah disediakan oleh alam sehingga para petani commit to user
Gambar 4.43: Daun sebagai bahan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 239
tidak perlu menanam atau memelihara. Di antaranya bahan dari laut Selatan seperti ikan laut yang bisa langsung dimasak dan dihidangkan. Namun, ada yang diasinkan terlebih dahulu sebagai ikan asin sebelum dimasak. Contoh lain yang tinggal mengambil adalah rumput yang tumbuh liar di berbagai lokasi. Biasanya rumput ini digunakan untuk bahan obat tradisional. Bahan yang diperoleh dengan menanam/berternak adalah masakan yang dibuat dari bahan hasil kebun daerah Pesisir Selatan sendiri, misalnya beras, kelapa, kacang brul atau hasil ternak sendiri seperti ayam dan kambing. Contohnya kambing etawa yang diambil susunya untuk kesehatan. Adapun bahan makanan yang dibeli adalah bumbu atau bahan utama yang tidak dapat dihasilkan dari lokasi Pesisir Selatan ataupun dari laut, misalnya bumbu dapur seperti brambang, bawang, dan penyedap rasa, dan lain-lain. 6)
Rumah Bandung sebagai Folklor Bukan Lisan
Bentuk lain dari folklor bukan lisan selain makanan dan obat tradisional adalah bentuk rumah adat. Rumah adat merupakan bentuk rumah yang mencirikan suatu daerah seperti misalnya rumah joglo adalah bentu rumah masyarakat Jawa Tengan. Daerah penelitian Kabupaten Kebumen dalam hal rumah adat memiliki kesamaan dengan daerah Banyumas yakni rumah Bandung. Pesan yang terkandung dalam folklor buykan lisan bentuk rumah adat bandhung senantiasa diulang kembali untuk ngawekani 'mengerti' terhadap dhanyang 'penunggu tempat' untuk harmoni kehidupan di darat, laut maupun tempat tinggalnya. Pesan yang bersifat spiritual maupun praktikal tersebut seperti terekspresikan dalam folklor takiran dalam umah bandhungan 'rumah bandungan'. "...Umah bandhung(ari)kajenge tiban diundhung-undhung 'kayunya ditumpuktumpuk'. Critane nek damel umah bandhung mboten kenging gemampang, mboten saged sekaligus. Nek (ngedegne) tengah nggih gantos taun, ngentosi taun semes bulan Sura. Nek ndamel sami taunnyembeleh kambing, wedhus, teng ngginggil, teng takiran (akronirn dari ditata Ian nganggo pikirah) griya bandhung. Gantos taun niku karepe yen milih sasine besar apa sapar, sawise bulan sura (besar - sura - sapar), mergane sura tandha ganti taun. Sapar niki mpun pinggire bulan sura. Ngedegne griya bandhung mboten entuk gloweh (seenaknya), diganti (griya enggaf) mboten entuk dijur-jur 'dirusak' malih. Enten teng puring griya bandhung dijur-jur mboten sae, akibate dados commit to user keluargane sakit, utau'i rejekine dilorod, kathah cobane, mboten setunggal kalih. Napa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 240
malih sing dijur-jur takiran 'saka guru tengah', dadose gedharang-dharang. Griya bandhung 'tibane diundhung-undhung' mergi teng ngriku anane Wisnu / miming/ dhanyang, dhanyange wonten rubawa 'pengaruh' tiyange. Damele mboten kenging sareng, tengah kalih ngajeng wingking mboten kenging sareng, yen sareng kedah nyembelih kambing teng takiran. Takiran niku ditata nganggo pikiran, tibane samene meter karo samene meter. Takiran jumlahe diundhung papal, karepe kiblat papat lima pancer, pancere sing kagungan dalem bandhung. Kiblat papat karepe Abubakar, Umar, Usman, All Nek ajege karep ya tangga-teparone sing ana lor, kidul, wetan, kulon. Masang takiran ngundang tanngga tepalih dikempalaken didongani. Dongane: Dhuh gusti Allah mugi-mugi kajat kula dikabuli, mugi-mugi kula dipcring slamet donya ngakerat, panjcng umur, ayem papan Ian gampang rejekine, saiki Ian mbesuke, karana Allah...." '...Rumah bandungan kayu (atas saka guru) susunannya ditumpuk-tumpuk, kisalinya jika membuat rumah bandnngan tidak boieh sembrono, tidak boleh sekaligus. Jika mendirikan rumah tengan ya liarus ganti tahun, menunggu setelah bulan Sura berikutnya. Jika terpaksa mendirikan dalam tahun yang sama harus bersesaji kambing di atas (takiran). Ganti tahun itu maksudnya memilih bulan Besar atau Sapar, karena Sura merupakan pertanda pergantian tahun. Sapar itu sudah batasnya bulau Sura, karena mendirikan rumah bandung (bandungan) tidak boleh seenaknya, seperti jika dibongkar tidak boieh diremuk. Jika demikian banyak contoh menyebabkan sakit, rejskinya sered dan berbagai halangan lainnya. Apalagi yang dirusak takiran (dipahami) mengakibatkan kesengsaraan. Rumah bandhungan itu membuatnya (bagian atas sakaguru, kayunya) tibane diundhung-undhung 'cara menyusunnya ditumpuk-tumpuk', dipersepsikan di situ sebagai tempat memang/wisnu/dhanyang 'penunggu' rumah, sangat berpengaruh. Cara mendirikannya tidak boleh bersamaan, harus ganti tahun, jika bersamaan (dalam satu tahun) harus bersesaji kambicg di atas takiran. Ukurannya dihitung dan jumlahnya (tumpuk) empat, maksudnya merujuk pada empat kiblat lima pancer 'pusat' pusatnya di pemiJik rumah. Empat kibht maksudnya Abubakar, Umar, Usman, Ali, tetapi leluhur memahami sebagai tetangga di bagian utara, selatan, timur dan barat tempat tinggal. Ketika memasang takiran mengundang tetangga untuk berdoa bersama. Doanya: Ya Allah semoga hajat saya diridoi, diberi keselamatan duni akhirat, panjang usia, tenteram tenang dan mudah rejekinya, ssekarang sampai nanti, karena Allah... ."55
Menilik paparan tersebut dapat dlinterpretasikan bahwa pesan yang terkandung secara spiritual agar masyarakat petani tidak sembrono untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang terangkum dalam konsep sandhang 'pakaian', pangan "olahan makanan' dan papan 'rumah'. Untuk mendirikan rumah bandhungan tidak boleh sembrono, karena takiran (akronim dari ditata nganggo pikiran) di bagian atas
saka-guru rumah bandhungan mengandung makna
spiritual dan dipersepsikan sebagai tempat wisnu/mimang/ dhanyang 'penunggu'
55
Folklor Umah Bandhungan, Informan : Kyai Sajadi, 64 Tahun, Puring, Kebumen, 5 Mei 2012 di Purwosari Kabupaten Kebumen dan didukung oleh informan Bp. Darmaji dari Watu Agung commit2009 to user Banyumas yang diwawancarai pada 29 Agustus
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 241
rumah. Adapun secara fisik pesannya mengarahkan agar hati-hati, karena takiran rumah bandhungan berciri kayu yang ditumpuk empat lapis tersebut hitungannya termasuk rumit dan secara ekonomis memerlukan biaya lebih banyak. Kayu takiran tersebut secara simbolis mengarah pada mata angin yang referensinya tetangga dekat (arah barat, timur, utara, selatan) di samping empat sosok khalifah (Abubakar, Umar, Usman dan Ali) harus dipahami sebagai bagian irama kehidupan spiritual dan sosialnya sehari-hari (lihat Wakit, 2013). Maksudnya takiran sebagai hasil kreativitas leluhurnya secara simbolis mengandung pesan dua \ dimensi, yaitu (1) bersifat vertikal yang terekspresikan dalam sosok empat khalifah 'pemimpin negara' yang mengarahkan tentang ketuhanan dan (2) bersifat horizontal merujuk pada tetangga dekat sebagai bagian hidupnya yang tidak boleh diabaikan peran dan kebersamaannya. Hal tersebut menunjukkan kearifan spiritual (spiritual wisdom), kearifan ekonomi (economic wisdom) dan kearifan sosial (social wisdom) masyarakat petani.
a) Makna Filosofi Rumah Bandhung Makna filosofi yang terkandung dalam pembuatan rumah bandhung adalah pada kalangan komunitas petani mencerminkan kehidupannya secara lahir-batin secara nonverbal terekspresikan dalam wujud rangkaian kayu takiran rumah. Ekspresi nonverbal dalam wujud fisik rangkaian kayu takiran di bagian atas sakaguru 'tiang utama' sebagai penentu bentuk umah bandhung/umah bandhimgan 'rumah bandhungan'. Secara tradisonal dipahami wujud fisik umah bandhungan 'rumah bandhungan' tersebut berciri rumah yang rumit, baik secara spiritual maupun praktikal. Secara spiritual kerumitannya tercermin dalam rangkaian kayu dan upacara ritual ketika akan mendirikan umah bandhungan, karena adanya konsep dan bentuk takiran56, sehingga harus bersesaji kambing di atas takiran
56
Menurut Kyai Sajadi (64 Tahun) takiran merupakan akronim dari cara membuatnya ditata commit to karena user mengandung makna simbolis-filosofis nganggo pikiran 'dialata dengan berfikir rumit', dan di atas takiran itu ada Wisnu-nya, dhanyang-nya'penunggunya'.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 242
'bagian atas saka guru' jika dalam waktu setahun membuat lebih dari satu rumah. Adapun ditingkat praktikal keramitannya tercermin dalam teknis pembuatan umah bandhungan 'rumah bandhungan', karena rangkaian kayu takiran 'bagian atas saka guru' sebanyak empat lapis tersebut membutuhkan hitungan teknis dan ekonomis tersendiri. Setiap lapis rangkaian kayu yang disusun untuk membentuk takiran 'bagian atas saka guru dengan kayu' tersebut mengandung maksud tertentu terkait aspek spiritual dan filosofis yang dimiliki oleh masyarakat petani di Kebumen yaitu.
b) Aspek Spiritual dan Filosofi Konsep Takiran Bagian Bawah
Aspek spiritual dan filosofis konsep takiran 'bagian atas saka guru' secara simbolis mengacu sosok Khulafaurosyidin 'empat pemimpin agama', yaitu Khalifah Abubakar (Abubakar Asyidiq), Khlaifah Umar (Umar bin Khatab), Khalifah Usman (Utsman Bin Afan). dan Khalifah AH (AH Abithalib). Empat sosok Khalifah itu dipandang mewakili karakter sabar dan lembut (Khalifah Abubakar), tegas dan adil (Khalifah Umar), kaya dan dermawan (Khalifah Usman), cerdas dan pemberani (Khalifah All). Secara filosofis dipahami sebagai pribadi yang unggul, baik lahir dan batinnya. Hal tersebut sebagai wujud kearifan spiritual (spiritual -wisdom) dan kearifan simbolis (symbolis -wisdom} komunitas petani.
c) Aspek Spiritual dan Filosofi Konsep Takiran Bagian Atas
Aspek spiritual dan filosofis konsep takiran 'bagian atas saka guru' secara simbolis mengacu pada arah mata angin yang meliputi lor 'utara', kidul selatan', kulon 'barat dan etan 'timur'. Arah mata-angin tersebut secara simbolis dipahami sebagai posisi tetangga kanan, kiri, belakang dan depan; di samping sanak-kerabat dan masyarakat sekitar, serta mengacu pada waktu esuk 'pagi', sore 'sore', dan posisi ndhuwur 'atas' dan ngisor 'bawah'. Demikian pula posisi wujud fisik commit to user diletakkan di bagiaa atas, karena rangkaian kayu dalam takiran rumah bandhungan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 243
sebagai ekspresi nonverbal atas penghormatan dan menganggap pentingnya nilainilai yang terkandung pada setiap pesan rangkaian kayu dalam takiran rumah bandhungan itu. Penghormatan tersebut dipahami karena takiran rumah bandhungan mengandung pesan terkait Khulafaurosyidin 'empat pemimpin agama', secara spiritual ada penunggu gaibnya yang diekspresikan secara verbal dengan mimang 'penunggu takiran' dan menunjuk arali mata angin. Lebih jauh terkait arah mata angin tersebut dapat diinterpretasikan bahwa waktu esuk 'pagi' menunjuk pada arah etan 'timur' yang berhubungan dengan referen sosok saudara/tetangga yang berusia muda; sore 'sore' menunjuk pada arah kulon 'barat' yang berhubungan dengan referen sosok saudara/tetangga yang berusia tua; dhuwur 'atas' menunjuk pada arah dhuwur
'atas' yang berhubungan dengan
referen sosok saudara/tetangga yang beruntung secara materi, kedudukan, keunggulan spiritual; dan ngisor 'bawah' menunjuk pada arah kidul 'selatan' yang berhubungan dengan referen sosok saudara/tetangga yang bernasib kurang beruntung dalam semua posisinya. Semua itu terekspresikan secara nonverbal dalam konsep rangkaian wujud takiran rumah bandhungan yang disusun secara rumit, sakral dan membuatnya didahului upacara ritual di bagian atas rumah bandhungan tersebut. Sementara ekspresi simbolis penyembelihan wedhus 'kambing' di atas takiran itu dimaksudkan untuk menghormat dhanyang/mimang 'penunggu takiran' agar tidak mengganggu aktivitasnya, di samping konstruksi takiran secara filosofis sebagai simbol mengendalikan hawa-nafsunya yang terekspresikan menyembelih wedhus 'kambing' di atas takiran. Ekspresi verbalnya seperti nyong kaya kiye aja nganti nuruti karep dhewek '(bagaimanapun keadaan) saya seperti ini jangan sampai mengikuti maunya (hawa nafsu) sendiri' sebagai wujud kearifan spiritual (spiritual wisdom) dan kearifam simbolis (symbolis wisdom) masyarakat petani.
d) Aspek Spiritual Penentuan Arah Rumah Masyarakat petani di pesisir selatan Kebumen memiliki kearifan kolektif commit todalam user arah menghadapnya rumah ke yang bersifat nonverbal terekspresikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 244
selatan. Ekspresi nonverbal tentang arah menghadapnya rumah ke selatan tersebut menurutnya merupakan warisan ieluhur yang harus diikuti tanpa bisa membantah. Apabila teipaksa rumah yang didirikan tidak bisa menghadap ke arah selatan karena alasan tertentu, maka tradisi mengarahkan agar bersesaji sebagai pitukon 'sesaji yang diberikan' terkait menghadap rumahnya. Menurut tradisinya rumah yang menghadap ke selatan tersebut secara geografis dimaksudkan untuk mengikuti kemiringan tanah di pesisir selatan Kebumen yang cenderung ke arah selatan; secara astronomis bagian dalam rumahnya tidak banyak terkena panas matahari pada saat mcmgsa katiga/tiga 'musim kemarau'; dan secara spiritual merasa takut untuk nyingkur 'membelakangi' Ratu Kidul yang bertahta di laut selatan Kebumen. Maka tidak heran semua rumah masyarakat petani di pesisir selatan Kebumen, terutama yang lama selalu dalam posisi menghadap ke arah selatan57, meskipun jalan desa ada di belakangnya. Secara filosofis menurut pandangaa hidupnya dimaksudkan untuk menghormat kepada yang dianggap tinggi dan merupakan kewajibaa kawula 'rakyat', karena ketika petani menjalani kehidupan sebagai nelayan memiliki istilah mlebu 'masuk (ke kerajaan Ratu Kidul), melaut' dipahami sebagai nelayan mengambil ikan milik mbok Ratu dan merasa dalam posisi sebagai "kawula" dari Ratu Kidul itu. Di samping itu, kuatnya pengaruh alam gaib ke alam nyata kehidupannya tersebut, misalnya terjadinya peristiwa hidangan yang disiapkan untuk para tamu dalam acara hajatan tertentu yang dilaksanakan di rumah yang tidak menghadap ke arah selatan menjadi basi rasanya, karena belum memberi pitukon 'sesaji yang diberikan. Namun demikian setelah dilakukan upacara ritual tertentu terkait kejadian gaib tersebut, hidangan yang tadinya basi menjadi kembali seperti semula. Kejadian gaib seperti itu telah menimpa yang tidak setuju atau bahkan menentangnya, akibatnya mau mengetahui adanya dan percaya terhadap kekuatan alam sekitar yang dapat mempengaruhi kehidupannya di alam nyata.
57
Terutama rumah penduduk yang berusia tua. rumah lama (Kyai Sajadi, 64 tahun, Purwosari, commit to Paring; Pak Barjo, 46 tahun, Karanggadung; Pakuser Sarpin Muhtadi, 58 tahun. Argapeni, Ayah, Kebumen)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 245
7)
Hal-Hal Khusus Berkaitan dengan Folklor Bukan Lisan Berdasarkan
uraian data yang ditemukan di Pesisir Selatan, dapat
ditemukan beberapa konsep dasar makanan dan jamu tradisional sebagai folklor bukan lisan sebagai identitas sosial budaya masyarakat yang merupakan kearifan lokal yang masih dipertahankan adalah sebagai berikut : 1) Eksistensi makanan dan jamu tradisional sebagai gambaran keselarasan antara pola-pola hidup masyarakat yang dapat memunculkan identitas kolektivitas dan representasi sosial budaya berbasis tata boga dan husada dalam wujud fungsi sosial makanan, cara memperoleh makanan, cara mengolah makanan, dan cara menyajikan makanan. Dapat disimpulkan adanya keterkaitan antara identitas sosial budaya, pola berpikir, serta pandangan dunia masyarakat pesisir yang merepresentasikan budaya yang berbentuk makanan dan jamu tradisional. 2) Sebagai bentuk folklor bukan lisan, makanan dan jamu tradisional dapat menguak pola hidup masyarakat Pesisir Selatan sesuai cara masyarakat dalam menemukan bahan makanan, cara mengobati, dan cara memasaknya. Oleh sebab itu, secara umum dapat disimpulkan dan dapat dirumuskan bahwa keterkaitan kebiasaan tata kelola kuliner dengan lingkungan pesisir dan pola kehidupannya. 3) Jenis makanan dan jamu yang beragam yang diolah secara tradisional menunjukkan pola-pola kesamaan hidup dalam interaksi sosial sehingga menggambarkan
kearifan
lokal
pangan
dan
pengobatan
yang
menginformasikan keadaan taraf atau tingkat tata kehidupan sehat, sosial, religi, dan inisiatif-inisiatif lokal. 4) Keanekaragaman makanan tradisional yang diproduksi oleh rakyat sebagai pengetahuan tradisional dalam memanfaatan sumber-sumber potensi alam, ekonomi, sosial, dan budaya perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak yang terkait untuk direvitalisasi dan diinventaris sebagai kekayaan daerah.
c. Analisis Folklor Lisan pada Komunitas Petani commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 246
Sebagai produk kolektif masyarakat Pesisir Selatan, folklor lisan yang dapat digolongkan sebagai prosa lisan memiliki tema tertentu yang pada dasarnya merupakan kandungan makna yang dapat dipahami secara implisit maupun eksplisit. Folklor ini dapat dipakai untuk menterjemahkan seluruh kondisi masyarakat dan perjalanan panjang kebudayaan masyarakat pemiliknya. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mite, legenda ditokohi manusia, ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal saat ini karena waktu terjadinya belum terlalu lampau. Sebaliknya, dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benarbenar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat (Derichard H. Putra, 2012) 58. Tema dapat pula dimaknai sebagai ide dan gagasan utama dapat secara komprehensif menguak pola berpikir kolektif masyarakat itu. Untuk memahami hal tersebut, dianalisis beberapa jenis folklor yang mewakili di sepanjang Pantai Selatan dari folklor yang merupakan cerita seakan pernah terjadi, cerita yang mistis, dan ceritera campuran antara yang pernah terjadi dengan yang mistis. Semuanya itu merupakan ide imajinatif seseorang yang kemudian menjadi milik kolektif karena si pemilik ide adalah seorang yang memiliki pengaruh dalam komunitas itu. Itulah sebabnya ada beberapa varian cerita yang sama, tetapi mempunyai penamaan yang berbeda. Artefak dari folklor tersebut dapat dilihat sebagai sebuah petilasan, pekuburan, dan tempat-tempat wingit. Sebagaimana telah diutarakan bahwa folklor dapat menguak tabir pemikiran dan pandangan hidup secara kolektif masyarakat pemiliknya, perlu dipahami dari baris-baris ungkapan lisan tersebut. Oleh sebab itu, digunakan
58
Tulisan ini merupakan review dari buku Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain karya James Danandjaja, buku yang direview ini merupakan terbitan PT. Pustaka Utama Grafiti, Cetakan VII tahun 2007.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 247
interpretasi atas baris-baris folklor, baik secara denotatif
maupun konotatif.
Pemilihan bahasa juga merupakan hal yang sangat penting untuk dianalisis karena hal itu merupakan suatu ungkapan eksistensi keaslian bahasa Jawa yang berada di lokasi penelitian yang merupakan daerah transisi. Melalui analisis pemilihan bahasa dapat dilihat seberapa jauh pengaruh pusat budaya dan bahasa nasional Indonesia sebagai alat komunikasi. Folklor yang dipilih adalah Pandan Kuning yang merupakan folklor yang sudah dikenal oleh banyak orang di luar lokasi penelitian walaupun folklor tersebut belum dituliskan secara paten oleh pemerintah daerah Kebumen sebagai salah satu kekayaan folklornya. Selain itu, Pandan Kuning merupakan petilasan yang banyak mengundang masyarakat untuk bermunajat di tempat itu pada hari Jumat Kliwon sehingga memungkinkan untuk dijadikan tempat pariwisata dan memberikan masukan pada desa di lokasi tersebut. Hal itu didukung lokasinya yang sangat menarik di tepi pantai yang indah. Dengan menyimak folklor ini, dapat dipahami bahwa desa Petanahan telah mendapat pengaruh oleh pusat budaya yakni kerajaan Mataram yang dapat dilihat pada awal penuturan informan yang dikatakan Dumadine Pandan Kuning zaman keraton Mataram pertama ‘Terjadinya Pandan Kuning mulai zaman keraton Mataram’. Adanya pengaruh tersebut akan berdampak pada kebahasaannya. Oleh karena itu, dapat dijumpai adanya tingkat tutur krama walaupun masih sederhana dan terbatas pada orang yang baru dikenal. Namun, dalam kehidupan keluarga, masih tetap dipertahankan kemurnian bahasa Jawa religi, yakni bahasa Jawa ngoko tanpa tingkat tutur. Folklor kedua adalah Dewi Sri yang merupakan cerita mistik yang ditokohi seorang bidadari dan dipadukan dengan manusia yang dibalut dalam suatu perkawinan. Dewi Sri ini sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran sehingga sampai sekarang masyarakat masih melaksanakan ritual penghormatan terhadap Dewi Sri meskipun sudah banyak petani yang sudah tidak melaksanakannya. Mereka pada dasarnya mengetahui keberadaan Dewi Sri dan relasinya dengan padi. Dewi Sri sebagai lambang kemakmuran dapat ditilik dari cerita yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 248
mengekpresikan akhire pari59 sak uli sing didang mau ora isa dadi sega, ning tetep ujud pari60 ora mateng-mateng ‘akhirnya padi yang sedang dimasak dikukus itu tidak bisa masak dan masih tetap berbentuk padi’. Dapat dipahami bahwa sebelumnya ketika Dewi Sri ada dalam keluarga, padi tidak akan habis karena hanya dimasak sedikit berupa padi saja sudah bisa menjadi nasi dan menghidupi seluruh keluarga. Cerita Dewi Sri di Pesisir Selatan memiliki beberapa varian karena sifat folklor lisan itu sendiri yang mengalami perubahan-perubahan kala dilisankan dari generasi ke generasi dan dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Suwardi Indraswara, 2010)61. Masyarakat pesisir yang telah mengalami transformasi mata pencaharian menjadi nelayan mengatakan bahwa Dewi Sri adalah anak dari Ibu Ratu yang juga disebut sebagai Ratu kidul. Hal tersebut semata-mata untuk menghubungkan bahwa penguasa laut memiliki hubungan yang erat dengan penguasa darat terutama sebagai pensuplai kesuburan tanah yang menghasilkan bahan makan. Folklor ketiga dan keempat merupakan dongeng yang mengindikasikan bahwa telah terdapat pengaruh Islam pada lokasi penelitian dengan adanya ungkapan Sawijining dinten Syeh Ngabdullawal tindak kaji ‘suatu hari Syeh Ngabdulngawal naik Haji (folklor 3)’ dan santri gudhik ‘Santri Gudhik’ (folklor 4). Tindak kaji ‘naik haji’ merupakan rukun Islam yang kelima. Sebutan santri mengidentikkan seorang muslim. Sampai sekarang di lokasi penelitian dari waktu ke waktu pengaruh tersebut mewarnai kehidupan berikutnya. Hal itu tampak pada setiap acara ritual pada selalu dibuka dengan bacaan basmallah. Dari keempat folklor tersebut selanjutnya akan dianalisis secara kultural dan secara linguistik untuk menguak pola pikir, pandangan hidup, dan kearifan lokalnya. Analisis dengan cara ini dilakukan karena sifat penelitian yang mengkaji 59
Pari sak uli maksudnya adalah gabah yang masih memiliki tangkai
60
Padahal biasanya hanya dengan pari sak uli menjadi nasi yang mencukupi untuk sekeluarga sehingga tidak kehabisan persediaan beras. 61
Judul buku Folklor Jawa. Macam, Bentuk dan Nilaianya yang diterbitkan oleh Penaku tahun 2010 Jakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 249
folklor dari perspektif budaya dan bahasa yang merupakan kajian etnolinguistik seperti pada bagan berikut. Folklor Lisan
Analisis kultural
Analisis linguistik
Krama
Kritik sosial
Kritik moral
Nasehat
Religius
Bhs Ind
Bhs Ind+Krama
Toponimi
Bagan 4.4: Analisis Folklor Lisan
1)
Aplikasi Kearifan Lokal dalam Analisis Kultural pada Folklor Lisan
Secara kultural folklor itu dianalisis dari perspektif aplikasi kearifan lokal: a. Kritik sosial, b. Kritik moral, c. Nasihat, d. Religius atau sistem kepercayaan, e. Toponimi, f.
Ekspresi Perasaan
emosional pribadi meliputi ekspresi cinta,
ekspresi kebencian yang termasuk di dalamnya kekecewaan, dendam. Hasil analisis tersebut diuraikan seperti berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 250
a) Kearifan Lokal dalam Bentuk Kritik Sosial pada Foklor Lisan Kritik sosial dapat ditemukan dalam folklor 1 (pada lampiran) yang terdiri atas 47 kalimat menunjukkan pengaruh Mataram dan bercampur dengan kekuatan di luar manusia yaitu Ibu Ratu62 penguasa lautan dan bersifat mistis. Pada cerita tersebut terdapat strata kepangkatan yang ditunjukkan dengan Kanjeng susuhunan untuk raja, Adipati untuk bupadi Pucang Kembar, dan raden Jana seorang pemuda yang sedang mencari pekerjaan dan Kyai63 sebagai seorang yang memiliki muatan religi yang baik sehingga tidak termasuk dalam urutan pemeringkatan kekuasaan. Pada folklor pertama ini kritik sosial dimunculkan bahwa seorang raja yang meminta kepada bawahannya yakni Adipati untuk memerintahkan Raden Jana berperang melawan bandit di lereng gunung Tidar. Padahal sudah dipastikan bahwa Raden Jana tidak akan menang. Hal ini berarti seorang raja berkolaborasi dengan Adipati untuk mengorbankan rakyat kecil demi kepentingan pribadi. Hanya demi seorang wanita, seorang anak raja mengorbankan nyawa seseorang dengan menggunakan wewenangnya. Di sisi lain seorang adipati juga merelakan menantunya untuk berperang. Dengan sengaja adipati
membunuhnya seakan
sebagai tumbal sehingga anaknya dapat meninkah dengaan anak raja. Dalam kaitannya dengan gender, dapat dicermati dari keberanian seorang wanita yang menyatakan cintanya terhadap pria yang padahal perbuatan semacam itu tidak lazim pada era saat itu, yakni pada saat Raden Jana melamar pekerjaan, Dewi Sulastri telah menyatakan menyukai Raden Jana. Dewi Sulastri meminta kepada ayahnya untuk menerima adipati sebagai pegawainya. Di pihak lain tampak kesewenang-wenangan seorang laki-laki yang tidak kesampaian niatnya dengan menggelandang Dewi Sulastri yang tidak berdaya ke tepi pantai serta mengikatnya pada sebuah pohon pandan.
62
Di desa sepanjang pesisir Selatan bervariasi dengan panggilan Ratu Suida, Mbok Ratu, Dewi Sulasih, Dewi Nawangwulan. 63
Seorang Kyai memiliki keimanan terhadap Tuhan yang tinggi sehingga tidak takut dan tunduk to user tentang kekuasaan dunia demi membela commit kebenaran.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 251
Folklor
ketiga dapat dikritisi sebagai fenomena sosial berupa perilaku
seorang guru yang suka takabur dan menyombongkan diri meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan khususnya. Ketakaburan seorang guru yang bernama Syeh Ngabdulngawal ditunjukkan dengan berangkat haji dengan naik mancung (pembungkus manggar), padahal muridnya, Syeh Sidakarsa, sebenarnya ingin ikut naik haji. Dalam dunia pendidikan, apabila seorang guru memiliki ilmu yang tinggi, guru tersebut wajib mengajarkan ilmunya kepada muridnya agar dapat melakukan hal yang sama. Bukan sebaliknya, malah guru tersebut meninggalkan muridnya. Selain ketamakan sang guru, folklor ketiga juga memaparkan ketidakmampuan menata emosi ketika muridnya dapat melakukan sesuatu yang lebih baik mengakibatkan sebagai guru menantang muridnya melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak mungkin dilakukan yaitu menaruh ikan ke dalam air kelapa muda yang masih utuh. Semua itu memacu perkelahian beradu kesaktian antara guru dan murid yang berakhir sang guru dapat dikalahkan sehingga guru tersebut pergi meninggalkan tempat dengan rasa malu. Hal semacam itu semestinya tidak terjadi karena seharusnya guru memberi penguatan kalau muridnya bisa melakukan sesuatu yang baik. Dengan demikian, murid akan lebih menghormati gurunya. Kecuali itu, guru harus merasa bangga apabila memiliki murid yang bisa melebihi kepandaiannya.
b) Kearifan Lokal dalam Bentuk Kritik Moral pada Folklor Lisan
Kritik moral terdapat pada semua folklor yakni folklor 1, 2, 3, dan 4. Misalnya, pada folklor 1 tergambar pada perbuatan Jaka Puring yang mengintip Dewi Sulastri ketika sedang bercengkerama. Sosok Jaka Puring yang memiliki karakter jelek dan tidak bermoral karena mengingini isteri Raden Jana, pada akhir hidupnya menjadi seekor buaya putih. Buaya putih yang melambangkan fifatsifat buruk. pada folklor 2 juga banyak hal yang dapat dicermatti yakni adanya to user seorang pria (Jaka Tarub) yang commit mengintip bidadari sedang mandi dan mencuri
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 252
pakaiannya. Tindakan mengintip dan mencuri adalah tindakan yang melanggar tata moral yang benar meskipun
pada folklor 2 bidadari tersebut menjadi
isterinaya. Folklor 1 memberikan pesan moral tentang kesetiaan Dewi Sulastri terhadap suaminya meskipun dia seorang prajurit biasa. Pesan moral ketatan terhadap perintah diimplikasikan pada folklor 2, yakni ketidakpatuhan Jaka tarub terhadap pesan isterinya yang seorang bidadari. Akibatnya, apabila tidak patuh, dia akan menerima hukuman. Apabila ada kesetiaan, akan berakhir bahagia layaknya Raden Jana dan Dewi Sulastri. Folklor ketiga dapat dicermati kritik moral pada kesabaran dan kerendahan hati seorang murid Syeh Sidakarsa yang menunggu jawaban dari sang guru karena keinginannya untuk ikut meskipun sebenarnya dia bisa pergi sendiri. Hal itu dibuktikan dengan naik blungkang dia bisa sampai lebih cepat. Pada folklor 4, kritik moral yang dapat kita ambil adalah ketulusan seorang santri yang mau berjalan jauh demi mencari ilmu bersamasama dengan santrinya. Dalam hal ini berbeda dengan folklor 3, yaitu guru yang tidak mau bersama-sama dengan muridnya. Lebih dalam pada folklor 1 dapat dilihat di akhir cerita bahwa Jaka Puring mendapat hukuman menjadi buaya putih yang menggambarkan sifat buaya yang jelek seperti ketika dia masih hidup yang memiliki watak suka mengganggu isteri orang (Raden Jana).
c) Kearifan Lokal dalam Bentuk Nasihat dalam Folklor Lisan sebagai Acuan Kehidupan Banyak nasihat yang dapat diambil dari setiap folklor yang beredar di lokasi penelitian Pesisir Selatan Kebumen ini termasuk di dalamnya keempat folklor yang merupakan bagian dari folklor-folklor tersebut. Folklor
kesatu
memberikan nasihat bahwa kesetiaan adalah kunci seorang wanita terutama pada saat ditinggal suaminya melaksanakan tugas meskipun terdapat godaan harta, tahta, dan kehormatan seperti yang ditunjukkan oleh Dewi Sulastri terhadap Raden Jana. Keberanian dan ketulusan mengabdi negara akan menjadi motivasi commit to user untuk maju melawan tantangan seberat apapun. Modal itu akan membuahkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 253
kemengangan seperti yang ditunjukkan Raden Jana melawan segerombolan bandit di lereng gunung Tidar. Demi mengemban tugas dari adipati Pucang Kembar tidak lain adalah mertuanya sendiri,
dia berangkat meninggalkan istrinya
meskipun sedang suasana bulan madu. Namun, dia dapat memenangi pertarungan. Sebaliknya nasihat lain yang diambil adalah bahwa perbuatan yang nista akan menerima ganjaran yang setimpal seperti yang dialami Jaka Puring yang akhirnya menjadi seekor buaya putih. Folklor kedua juga memuat banyak nasihat yang dapat dipetik yakni pada tokoh Jaka Tarub yang mendapatkan seorang bidadari. Pada akhirnya dia harus kehilangan bidadari
karena cara mendapatkannya tidak benar, yaitu dengan
mencuri pakaiannya sehingga bidadari itu tidak dapat terbang kembali. Setelah kembali terbang, Jaka Tarub harus memasak sendiri makanannya sendiri dengan melalui proses panjang dari mulai biji gabah hingga menjadi nasi yang siap dimakan. Makna kultural yang dapat pula diambil bahwa kehadiran seorang bidadari sebagai kehadiran kekuatan lain atau makrokosmos, yakni penguasa jagad dapat membantu memudahkan kehidupan serta memberi kenikmatan dan kemakmuran bagi manusia. Hal ini dapat menggambarkan masyarakat Pesisir Selatan yang masih berusaha menyeimbangkan antara mikrokosmos (sosial) dan makrokosmos (transendental) dengan berbagai bentuk cerita-cerita dan mistismistisnya sampai sekarang. Pada folklor ketiga juga terdapat nasihat yang dapat diambil, yakni kerendahhatian Syeh Sidakarsa dan ketaatannya terhadap gurunya meskipun dia memiliki ilmu yang lebih tinggi.
Pada
akhirnya terbukti
keunggulannya muridnya dapat mengalahkan gurunya. Di lain pihak peringatan dapat diambil melalui peristiwa yang tidak baik adalah pada kesombongan seorang guru yang pada akhirnya dia harus menelan rasa malu dan pergi karena kesombongannya ternyata tidak ada artinya. Oleh sebab itu, pelajaran yang dapat diambil adalah janganlah manusia itu sombong dan takabur serta harus tetap berbagi kepada orang lain meskipun orang lain itu lebih rendah derajatnya. Rendah hati memiliki kekuatan tersendiri dalam menahan emosi dan menambah kekuatan akan diri manusia itu sendiri seperti yang dicontohkan oleh Syeh user pelajaran bahwa menuntut ilmu Sidakarsa. Pada folklor keempatcommit dapat to dipetik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 254
membutuhkan banyak biaya dan tenaga. Ditilik dari perjalanan Santri Gudhik dapat disimpulkan bahwa mencari ilmu tidak terbatas pada lingkungan daerahnya sendiri, bahkan sampai jauh dengan melaksanakan perjalan yang melelahkan sampai-sampai harus beristirahat berkali-kali. Ilmu didapat melalui proses seperti halnya Santri Gudhik yang mendapatkan banyak hal sepanjang perjalanan. Jadi, ilmu tidak didapat secara instan. Oleh sebab itu,
manusia harus memiliki
kesabaran dan menghargai proses dalam mencapai segala sesuatu. Berdasarkan nilai, nasihat yang dapat diambil dari folklor bisa disederhanakan dalam tabel berikut. Tabel 4.20: Makna Nasihat pada Folklor Lisan Perlu diambil dan diteladani NASiHAT
Perlu dihindari dan tidak boleh ditiru
Ketakwaan, keberanian, kesetiaan, kesabaran, kerja keras, pengorbanan, rendah hati, kemauan belajar, kesatriaan, kemanusiaan Ketamaan, kesombongan kecurangan, kebencian, dendam, emosional, berpikir negatif, iri dan dengki
d) Kearifan Lokal dalam Bentuk Sistem Religius dan Sistem Kepercayaan dalam Folklor Lisan
Semua folklor yang terdapat di Pesisir Selatan Kebumen menunjukkan keberadaan sistem religi pada masyarakat yang dapat dipahami secara tersirat maupun tersurat. Sebagai contoh, folklor kesatu menunjukkan adanya tindakan Raden Jana yang berlari menuju seorang kyai. Dia berlari kepada seorang kyai menunjukkan bahwa seorang kyai adalah sosok yang memiliki keimanan yang tebal dapat melindungi dan memberikan solusi pada setiap permasalah manusia biasa layaknya Raden Jana. Layaknya seorang kyai, maka juga memiliki kebijaksanaan dengan menyuruh Raden Jana bertapa memohon pada Tuhan agar commit to user dapat memecahkan masalahnya. Gambaran ini memaknai ketaatan dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 255
ketakwaan Raden Jana yang bersemadi sampai tuntas sehingga dia mendapat hadia sebuah pusaka yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah dan menyelamatkan dia dari maut di kaki gunung Tidar. Kepercayaan lain dimunculkan dalam wujud Dewi Nawangwulan dan Mbok Ratu Kidul yang menolong Dewi Sulastri dan mengantarnya pulang. Munculnya Dewi Nawangwulan sebagai dewi kesuburan dan kemakmuran di darat bagi petani bersamaan dengan Mbok Ratu Kidul penguasa Lautan bagi nelayan menyimbolkan kepercayaan masyarakat pesisir selatan yang memiliki kepercayaan penguasa darat dan penguasa laut sejalan dengan transformasinya dari petani menjadi nelayan. Folklor kedua
juga menunjukkan adanya sistem religi, yakni adanya
kehadiran Dewi Nawangwulan yang berasal dari Kayangan menggambarkan kehadiran utusan Tuhan dari Surga yang dapat membuat kemakmuran, berkat, dan kenikmatan. Perkawinan Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan merupakan gambaran menyatunya Tuhan dan manusia atau kedekatan manusia dengan utusan Tuhan dalam wujud bidadari. Pada saat manusia ditinggal oleh Tuhan yang berwujud seorang Dewi,
ia menjadi susah hidupnya. Folklor ketiga
menggambarkan keinginan manusia yang beragama Muslim untuk melaksanakan rukun Islam, yakni naik haji. Manusisa berupaya sedemikian rupa untuk dapat mencapai hal tersebut seperti halnya yang dilakukan oleh Syeh Ngabdulngawal dan Syeh Sidakarsa. Folklor keempat menunjukkan kedekatan para murid dan pengabdian mereka kepada gurunya, yakni Santri Gudhik menunjukkan bahwa yang memiliki keimanan yang masih relatif rendah belajar kepada seorang santri yang tentu saja memiliki keimanan yang lebih tinggi. Pada analisis folklor yang ditinjau dari sistem kepercayaan dapat dipahami bahwa Tuhan sebagai penguasa tertingi memberikan otoritas kepada masingmasing penguasa yakni penguasa darat, penguasa laut, penunggu pantai, penunggu pohon dan lainnya. Dalam hal permohonan dan penyembahan dapat disampaikan pada masing-masing utusan dengan disertai berbagai sesajen yang memiliki makna simbol-simbol. Dalam hal seperti ini dapat menguak pola user menjaga keharmonisan dan berpikir masyarakat setempatcommit yang tomasih
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 256
keseimbangan antara vertikal dan horisontal. Bagan berikut menunjukkan bagaimana
masyarakat
komunitas
petani
mengategorikan
penguasa
tertinggi/Yang Widhi Wasa menjadi beberapa ekspresi.
Penguasa Tertinggi (sing gawe urip) (Sang Hyang Widhi Wasa)
Penguasa laut
Penunggu pantai
Penguasa darat Penguasa gunung
Penunggu pohon
Penunggu sungai
Bagan 4.5: Klasifikasi Penguasa Tertinggi
e) Kearifan Lokal dalam Bentuk Toponimi dalam Folklor Lisan sebagai Penanda Nama Desa
Berdasarkan keempat
folklor tersebut dapat disimpulkan bahwa
masyarakat Pesisir Selatan memiliki rasa hormat terhadap leluhurnya sehingga setiap tokoh, peristiwa, serta fenomena yang ada diabadikan sebagai nama desa. Hal semacam ini merupakan suatu jenis kearifan lokal histori yang sampai sekarang masih dapat dilacak keberadaannya. Dalam pemberian nama, masyarakat menggunakan ekspresi kebahasaan yang berbeda-beda baik dalam bentuk satuan lingual kata seperti kayut serta satuan lingual frasa seperti Pandan Kuning. Adapun dalam proses penamaan, juga berbeda-beda misalnya desa Kayut karena di sana banyak hutan yang tentu saja banyak kayunya. Oleh karena itu, to kata commit userKayut berasal dari dari kata akeh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 257
kayune ‘banyak kayunya’. Demikian pula Karangkumbang juga berasal dari kata karang yang terdengar seperti suara kumbang yang banyak. Desa Guyangan karena pada saat itu ditemui ada seorang yang sedang ngguyang jaran ‘memandikan kuda’,
pemberian nama berbentuk nominalisasi dari kata
ngguyang menjadi ngguyangan. Karena penamaan desa sekitar Pesisir Selatan ini berkaitan dengan folklor yang beredar pada masyarakat di situ,
sudah tentu berakibat adanya
penghormatan terhadap tohoh yang berkarakter baik seperti Pandan Kuning dan makam Syeh Sidakarsa. Sebaliknya tokoh antagonis seperti Syeh Ngabdulngawal yang makamnya tidak ditemukan karena dianggap pergi dan pantai Karang Bolong yang merupakan tempat penjelmaan Jaka Puring menjadi buaya putih menjadi tempat yang diangggap berbahaya, beredar mitos bahwa jika seseorang mendatangi lokasi itu, orang tersebut dilarang memakai pakaian berwarna hijau karena akan menjadi makanan buaya putih jilmaan Jaka Puring.
f) Ekspresi Perasaan Emosional Pribadi dalam Folklor Lisan
Ekspresi perasaan emosional pribadi meliputi ekspresi cinta, ekspresi kebencian yang termasuk di dalamnya kekecewaan dan dendam. Ekspresi emosional pribadi dapat dijumpai pada hampir setiap folklor yang beredar di daerah Pesisir Selatan. Misalnya pada folklor pertama ditemui ekspresi emosional cinta pada perasaan Dewi Sulastri kepada Raden Jana pada pandangan pertama saat Raden Jana melamar pekerjaan sehingga saking besarnya perasaan cinta tersebut maka Dewi Sulastri meminta kepada ayahnya untuk menerima Raden Jana bekerja ditempatnya. Jaka Puring juga mengekspresikan perasaan cintanya kepada Dewi Sulastri dengan melamarnya meskipun cintanya ditolak oleh Dewi Sulastri. Folklor kedua menunjukkan ekspresi cinta ada pada perasaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 258
Dewi Nawangwulan kepada Jaka tarup sehingga dia mau menjadi isterinya walaupun Jaka tarub hanyalah manusia biasa. Ekspresi perasaan emosional pribadi yang menunjukkan kebencian dimunculkan pada folklor kesatu oleh Jaka Puring kepada Raden Jana karena merasa sebagai penghalang cintanya terhadap Dewi Sulastri. Dia membuat upaya agar Raden Jana diperintah untuk pergi bertugas memberantas penjahat di kaki gunung Tidar yang diperkirakan pasti Raden Jana bakal kalah dan meninggal karena sudah bandit-bandit disana tidak terkalahkan. Pada folklor ketiga dijumpai adanya banyak kebencian yakni kebencian Syeh Ngabdulngawal yang terkalahkan oleh muridnya Syeh Sidakarsa dalam banyak hal meskipun kekalahannya disebabkan kesombongannya sendiri. Ekspresi perasaan emosional pribadi
dalam bentuk kekecewaan
dimunculkan oleh Dewi Sulastri pada folklor kesatu yang diberi saran oleh Raden Jana untuk menerima lamaran Jaka Puring padahal dia mencintainya membuat dia mengadakan sayembara pertandingan Raden Jana dan Jaka Puring untuk memperebutkan dirinya. Pada folklor kedua kekecewaan ditunjukkan oleh Dewi Nawangwulan yang mendapati perintahnya dilanggar oleh suaminya Jaka Tarub akibatnya dia pergi meninggalkannya. Folklor kedua juga mengandung ekspresi emosional pribadi kekecewaan, yaitu kekecewaan Syeh Sidakarsa ketika ditinggal oleh gurunya pergi haji padahal dia ingin ikut. Kekecewaan kedua yang dialami oleh Syeh Sidakarsa adalah ketika sampai di sana dan ingin mengajak pulang bersama gurunya, tetapi malah ditinggal gurunya pulang terlebih dahulu tanpa memberi tahu. Dendam adalah salah satu bagian dari ekspresi perasaan pribadi yang juga dijumpai pada folklor pertama, yakni dendamnya Jaka Puring terhadap Dewi Sulastri karena menolak cintanya sehingga tega menggelandangnya sepanjang pesisir selatan yang kemudian dibalas oleh dendamnya Raden Jana atas perbuatan itu. Pada folklor kedua pun juga dimunculkan rasa dendam yakni Syeh Ngabdulngawal yang dendam karena dikalahkan oleh Syeh Sidakarsa muridnya. Dia memberi tantangan kepada muridnya itu dengan menyuruh dia to userdibuka dan dibalas oleh muridnya menaruh ikan di dalam air kelapacommit yang belum
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 259
yang menantang kembali dengan memintanya mewadahi air yang telah ditumpahkan ke datas meja. Hasil analisis tentang ekspresi emosional pribadi dapat disingkat dalam bentuk diagram berikut:
Cinta
Ekspresi emosional pribadi Dendam Benci Kecewa Bagan 4.6: Analisis Emosional Pribadi
2)
Penggunaan Bahasa pada Folklor Lisan Penelitian ini berkaitam dengan hubungan bahasa dengan budaya pada
komunitas petani di Pesisir Selatan Kebumen sebagai daerah transisi yang berada pada perbatasan antara daerah konservatif yang merupakan tempat pemakaian bahasa Jawa yang masih asli yaitu tanpa adanya tingkat tutur dan daerah pusat budaya yang menggunakan bahasa Jawa dengan pemakaian tingkat tutur diperlukan analisis pemilihan bahasa dalam melaksanakan penuturan folklor oleh informan kepada peneliti. Penafsiran dan penganalisisan data tersebut dapat commit user terhadap daerah penelitian ini menguak seberapa jauh pengaruh pusat tobudaya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 260
melalui tingkat tuturnya serta mengetahui seberapa jauh pengaruh bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional. Oleh sebab itu, analisis linguistik dianalisis menurut pemilihan bahasanya ketika seorang bertutur tentang folklor lisan. Bila diamati, pada saat bertutur informan menggunakan campur kode yakni bahasa Jawa ngoko yang asli dan dicampur dengan bahasa Jawa Krama yang merupakan pengaruh dari daerah pusat budaya serta menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Pemakaiannya
dapat berbentuk satuan lingual kata, frasa,
klausa, serta seberapa besar pengaruh penggunaan masing-masing bahasa akan dianalisis sehingga dapat diketahui seberapa jauh pusat budaya dan anjuran pemerintah tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar telah mempengaruhinya. Tema-tema tersebut di atas terdapat dalam kalimat-kalimat folklor yang dilisankan oleh narasumber yang terlampir. Dari kalimat-kalimat itu dianalisis pemilihan bahasanya dari folklor 1 terdiri atas 47 kalimat, folklor 2 terdiri atas 8 kalimat, folklor 3 terdapat 14 kalimat, dan folklor 4 terdapat 7 kalimat. Jumlah semua kalimat dari 4 folklor ada 77 kalimat dan hasilnya seperti berikut: a) Ekspresi Verbal Berbentuk Bahasa Jawa Krama pada Folklor Lisan Setelah data dianalisis, diketahui ada 17 kalimat berarti 22%. Penggunaan bahasa Jawa krama bervariasi mulai dari tataran satuan lingual kata seperti folklor 1 kalimat 3: Adipati Pucangkembar gadhah anak wedok nami Dewi Sulastri. ‘.Bupati Pucangkembar memiliki anak wanita bernama Dewi Sulastri’, folklor 4 kalimat 3 . Ngalor malih panggonan karang kembang, dinameni karangkembang nalika santri gudhik sing paling ampuh krungu suwara ning ora ana manungsa, suwarane kaya kumbang, mula diarani dhusun Karangkumbang. Ke Utara lagi sampai pada Karangkembang. Dinamakan Karangkebang ketika Santri Gudhik yang paling sakti mendengar suara, tetapi tidak ada orangnya. Suaranya seperti kumbang maka dinamakan desa Karangkumbang. Satuan lingual frasa dalam bahasa Jawa Krama sebagai contoh terdapat pada folklor 4 kalimat 6 Ngaler malih dhusun Adisana penambangan, tegese desa iki jalaran kae mau nang kana commit to user kiye akeh wong gawe tambang sepet. Ke Utara lagi desa Adisana penambangan,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 261
artinya desa di sana tadi banyak orang yang banyak membuat tali dari serabujt kelapa. Tataran klausa dijumpai di antaranya pada folklor 2 terdapat kalimat Widodari mboten saged wangsul mergi mboten saged mabur sabanjure Dewi Nawangwulan seneng kalih Jaka tarub, terus kawin karo Jaka tarub, gadhah anak namine Nawangsih ‘Bidadari tidak dapat terbang karena tidak dapat terbang selanjutnya Dewi Nawangwulan jatuh cinta dengan Jaka Tarub dan mempunyai anak bernama Nawangsih. Tataran kalimat terdapat pada folklor 4 kalimat 4: Ngalor malih nalika istirahat ditangkleti pendhereke: “ menika dhusun napa?”, “la ki tak jenengke (dhusun) si Kayut, kiye leren na kono alas akeh kayune”, taksih alas. Ke Utara ketika beritirahat ditanya pengikutnya:”Desa ini namanya apa?”, “Ini saya beri nama desa Kayut. Kita istirahat di sana masih hutan banyak kayunya”. b) Ekspresi Verbal dalam Bentuk Bahasa Indonesia pada Folklor Lisan Bahasa Indonesia yang dipakai sebagai campur kode dalam menuturkan folklor lisan dari 77 kalimat terdapat 15 kalimat. Dari perhitungan itu maka dapat diketahui 15,4%. Satuan lingual kata bahasa Indonesia yang dipakai sebagai campur kode misalnya pada folklor 2 kalimat 6 La Nawangwulan teka (Jaka Tarub) ditakoni kok kowe adang pari, Dewi nawangwulan nesu karo ngomong “Kok mbok ungkap-ungkap wong wis nyong weling berarti sira wis ora manut (setiya) maring nyong”, terus ditinggal lunga”. Ketika Nawang Wulan datang ditanya kenapa dia menanak padi bukan beras, Dewi Nawangwulan marah sambil berkata “Kenapa kamu buka-buka padahal saya sudah berpesan untuk tidak dibuka-buka berarti kamu sudah tidak patuh pada saya”, terus ditinggal pergi. Dari hasil analisis dapat diketahui ternyata penggunaan Bahasa Indonesia sebagai campuran dalam menuturkan folklor sampai tataran satuan linguual kata saja dan tidak ditemukan pada satuan lingual frasa apalgi klausa. Hal ini disebabkan penutur adalah orang tua yang sudah berumur 68 tahun yang tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 262
c) Ekspresi Verbal dalam Bentuk Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa Krama Secara Bersama-sama dalam Folklor Lisan Dalam bertutur informan terkadang juga mencampur bahasa Indonesia dan Krama dalam satu kalimat. Namun, jumlahnya tidak terlalu banyak yaitu ada 6 kalimat maka 7,7 %. Jadi, dari 77 kalimat dari 4 folklor hanya sedikit yang menggunakan campuran baik bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Krama dalam satu kalimat. Dari data linguisti tersebut dapat disimpulkan bahwa pemilihan bahasa yang digunakan yang dominan adalah bahasa bahasa Jawa ngoko yang tergolong asli yakni bahasa Jawa yang berasal dari daerah religi yang masih asli. Dengan demikian, dapat disimpulkan pengaruh pusat budaya dalam bentuk penggunaan tingkat tutur dan bahasa Indonesia masih kurang dari 50%. Penggunaan Bahasa Krama di lokasi penelitian sebagai daerah peralihan rupanya hanya dipilih dipakai untuk menghormati tamu yang selanjutnya Krama ini tidak bertahan lama bahkan satu kalimat utuh karena pada dasarnya masyarakat pesisir selatan masih tetap cenderung menggunakan bahasa Jawa Ngoko sebagaimana aslinya bahasa Jawa seperti yang hasil penelitian Nothofer (1981) dan Zoetmulder (1982). Keadaan yang demikian dapat dicermati dari grafik dan bagan berikut:
PILIHAN BAHASA NGOKO KRAMA BHS INDONESIA KRANA-INDONESIA
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 263
Diagram 1: Analisis Pilihan Bahasa
KRAMA Analisis linguistik melalui pemilihan bahasanya
KATA FRASA
INDONESIAKRAMA
KLAUSA KALIMAT
INDONESIA
Bagan 4.7: Alur Analisis Linguistik dari 4 Folklor
3)
Hal-Hal Khusus pada Folklor Lisan Dari deskripsi tentang folklor lisan yang beredar pada masyarakat petani di
Pesisir Selatan Kebumen ini mengandung tata nilai sosial, norma, nasihat, dan sistem kepercayaan yang terbungkus dalam kearifan lokal masyarakat setempat. Tata nilai itu merupakan unit kognitif yang digunakan dalam menimbang tingkah laku dengan timbangan baik buruk, benar salah, tabu tidak yang selanjutnya merujuk dan dipedomani pada apa yang seharusnya dilakukan. Sistem kepercayaan akan penguasa tertinggi yang dianggap sebagai Hyang Widhi Wasa merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat. Cakupan nilai user luas yang menaungi relasi tertinggi ini memiliki cakupancommit yangto sangat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 264
antarmanusia sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Pesisir Selatan berusaha menyeimbangkan mikrokosmos dan makrokosmos, relasi manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan sebagai penguasa tertinggi melalui wakil-wakilnya penguasa pada sektor darat, laut, dan gunung. Dengan keseimbangan itu, pada setiap acara tradisi selalu ada sedekah yang memiliki makna persemabhan bagi penguasa masing-masing lokasi dengan tidak lupa berbagi dengan sesama manisia. Mengenai keseimbangan dan keharmonisan antara makrokosmos dan mikrokosmos/vertikal horisontal dapat divisualisasikan melalui grafik yang merekap analisis religi sebagai sistem kepercayaan masyarakat petani di lokasi penelitian dengan asalisis kritik sosial dan moral yang merepresentasikan pemikiran masyarakat tentang aktivitas horisontalnya yaitu relasi antarmanusia. Melalui analisis linguistik dapat disimpulkan bahwa daerah Pesisir Selatan masyarakat masih cenderung memakai bahasa Jawa yang belum memakai bentuk tingkat tutur. Hal ini membuktikan bahwa daerah transisi Pesisir Selatan ini memiliki kecenderungan ke arah Banyumas sebagai daerah konsevatif. Secara keseluruhan analisis pada folklor lisan dapat dicermati pada bagan, grafik, dan tabel berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 265
ANALISIS SOSIAL-TRANSENDENTAL folklor lisan
Kritik Sosial Kritik Moral Religius
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 266
Bagan 4.8: Analisis Folklor Lisan
MORAL
SOSIAL
NASIHAT
F O
KULTURAL
L K
EMOSI PRIBADI
L
RELIGIUS
O R KRAMA
L I S A
LINGUISTIK
INDONESIA KRAMA
INDONESIA
N
commit to user
TOPONIMI
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 267
Tabel 4.21: Distribusi Analisis Kultural pada Folklor Lisan FOLKL OR
NO
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
KRITIK SOSIAL
KRITIK MORAL
NASIHAT
RELIGIUS
EMOSIOSAL PRIBADI
v
TOPONI MI
v
v V v v v V v
v v
V v V
V V V V V
V V V V V V V
v V
v
V
V V V V
V V V commit to user V V
v
v
V V V V V V V
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 268
2
3
4
JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1 2 3 4 5 6 7
v V V
V V V V
V V V V
v v v
v
v
V V V
V V
v V
V
V V
V V V V
v
v V
v
V V V V V V
Gambar 4.44: Sebuah warung di lokasi Pandan Kuning Petanahan yang ramai pada malam Jum’t terutama malam Jum’t Kliwon commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 269
d. Kearifan Lokal yang Tercermin dalam Semua Bentuk Folklor Dengan mengacu pada kearifan lokal yang mencakup berbagai pengetahuan, pandangan, nilai serta praktik-praktik dari sebuah komunitas baik yang diperoleh dari generasi-generasi sebelumnya, maupun dari pengalamannya berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk menyelesaikan permasalahan dan/ atau kesulitan yang dihadapi secara baik, benar dan bagus Ahimsa-Putra, 2010c) dapat dianalisis semua bentuk folklor baik sebagian lisan, bukan lisan, dan lisan yang ditemukan di daerah penelitian. Dengan menggunakan perspektif emik, yakni pada saat mengambil data dengan menggunakan sudut pandang informan sebagai penyedia folklor lisan maupun sebagian lisan yang merupakan kesatuan gagasan sebuah wacana ceritera rakyat dipadukan dengan perspektif etik peneliti melalui interpretasi pada folklor yang tersurat, tersirat, maupun terpendam64 pada tiap jenis folklor di lokasi penelitian dapat menuak kearifan lokal yang terkandung dalam folklor. Uraian mengenai kearifan lokal dari hasil analisis tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kearifan Lokal dalam Demensi Sosial Kemasyarakatan Kearifan lokal (Cultural Wisdom) sangat erat kaitannya dengan segala sesuatu yang ada pada masyarakat tersebut yang menjadi bagian dari budayanya yang terwujud dalam bentuk a) kesabaran, b) gotong royong/kerjasama, c ) kemanusiaan, dan d) moral. Semua wujud tersebut tecermin baik pada folklor lisan, setengah lisan, dan bukan lisan. Pada folklor lisan kesabaran jelas terdapat pada sosok Sidakarsa yang dengan sabar menunggu jawaban gurunya, Ngabdulngawal, untuk ikut naik haji 64
Ahimsa, 2007 tentang kearifan lokal dalam sastra, metode untuk menemukannya menjelaskan tentang tersurat adalah cereteme-ceretime, yang tersirat adalah fragmen-fragmen sebuah karya commit yang to user sastra, dan yang terpendam adalah makna-makna ada dalam konteks keagamaan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 270
bersama. Pada folklor setengah/sebagian lisan nampak pada kesabaran masyarakat dalam mengolah tanah baru yang harus melaksanakan upacara tradisi dan hanya mencangkul tiga cangkulan yang diistilahkan dengan telung kaclukan terlebih dahulu baru hari berikutnya mencangkul untuk mengolah tanah itu terus sampai selesai. Dalam folklor bukan lisan nampak pada pengobatan tradisional yang menuntut kesembuhan yang bertahap tidak instan layaknya obat kimia masa kini. Dalam hal makanan masyarakat juga masih mengolah makanan dengan cara trdisional meskipun membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih apabila dibandingkan dengan memasak dengan menggunakan bahahan jadi yang tentu saja untuk kesehatan juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Gotong royong dan kerjasama pada masyarakat dapat tercermin dari semua jenis folklor misalnya pada folklor lisan terlihat melalui kerjasama antara masyarakat dalam membantu Raden Jana ketika mengejar Jaka Puring yang lari menghindar karena takut akan kemarahan Raden Jana yang isterinya telah disiksa. Pada folklor setengah/sebagian lisan sangat nampak adanya kerjasama dalam melaksanakan upacara tradisi karena tidak ada satupun upacara tradisi yang dilaksanakan secara perseorangan melainkan harus dikerjakan bersama-sama secara kolektif. Pada folklor bukan lisan pun tecermin kebersamaan yakni adanya orang yang dapat memberikan obat tradisional bila diperlukan dengan tidak mematok bayaran. Bahan obat terkadang tidak bisa didapat dengan mudah di alam bebas. Namun, kadang hanya dimiliki oleh seseorang dan untuk itu biasanya yang bersangkutan mengizinkan untuk mengambilnya demi menolong sesama. Masih banyak lagi hal yang dapat ditemukan kearifan lokal dalam bentuk kerja sama ini. Sebagai
manusia
yang
sosial,
masyarakat
di
lokasi
penelitian
mumunculkan wujud kearifan lokal berupa kemanusiaan yang dapat dilihat melalui krtik terhadap kekerasan Jaka Puring yang tidak manusiawi sehingga pada akhir ceritera dia diubah bentuk majadi buaya putih. Dalam hal ini apabila manusia tidak humanis, hal ini dimetaforakan sebagai seekor buaya putih yang jahat dan memangsa manusia. Dalam folklor setengah lisan, buruh nderep ‘penggarap sawah saat panen padi’ para pekerja sawah untuk makan bersama commit to user disawah berarti tetap menganggap bahwa semua manusia adalah sama dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 271
selayaknya duduk bersama menikmati hasil panen bersama. Di sisi lain kemanusiaan juga tecermin pada folklor bukan lisan yakni pada pengobatan, yaitu orang akan dengan rela memberikan tanaman atau apa saja yang dibutuhkan untuk menolong sesama ketika
orang tersebut
sakit
dan
membutuhakannya.
Kemanusiaan telah menjadi sendi dalam kehidupan masyarakat tradisional di lokasi penelitian. Moral dan nilai65 merupakan dua hal bagian yang sangat penting dalam hidup bersama membentuk masyarakat. Untuk itulah, nasihat yang berkaitan dengan moral dan nilai itu dengan jelas tercermin pada segala bentuk folklor setempat. Pada dasarnya nasihat tentang moral ini sangat erat dengan adanya istilah hakikat yaitu manusia harus memahami tentang baik dan buruk, benar dan salah dalam bermasyarakat. Nilai kebaikan, kebenaran dan keindahan selalun berada pada matra nilai yang paling tinggi dan menjadi tujuan akhir kehidupan. Dengan kata lain, nilai-nilai tersebut sifatnya universal dan berlaku sebagai nilai akhir dan subjektif sifatnya, sedangkan fenomena atau riak kehidupan yang seolah-olah
menjauhkan
antara
nilai
dan
kenyataan
dipahami
sebagai
ketidaklengkapan atau kesalahan ikhtiar manusia (Lelapary, Leunard Heppy, 2010)66 2) Kearifan Lokal dalam Dimensi Spiritual
Kearifan lokal spiritual (Spitual Wisdom) sangat kental dan sangat dominan dalam semua bentuk folklor di lokasi penelitian yang masih tergolong tradisional. Kearifan spiritual dalam hal ini berkaitan dengan sesuatu di luar kemampuan manusia itu sendiri yang dianggap memiliki dunia supranatural yang tidak setiap orang dapat berkominikasi dengannya sehingga hanya orang yang 65
Norma merupakan ukuran yang digunakan oleh masyarakat apakah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang merupakan tindakan yang wajar dan dapat diterima karena sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat ataukah merupakan tindakan yang menyimpang karena tidak sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat sedangkan nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Horton dan Hunt (1987) menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti apa tidak berarti. 66 Sebuah tesis dengan judul ‘Karakteristik Tradisi Lisan Kapata Di Maluku. Kajian Etnografi’.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 272
memiliki kekuatan lebih yang dapat berkomunikasi dengannya. Oleh sebab itu, istilah wong tua, wong sing garing silite ‘orangtua, orang yang sering bertirakat’ yang memiliki kekuatan dan kemampuan lebih maka orang yang demikian yang dianggap dapat berkomunikasi dengan alam supranatural sehingga apa bila ada keperluan yang berkaitan dengan hal-hal goib selalu meminta tolong pada beliau. Pada folklor lisan dapat dipahami melalui keyakinan akan pertolongan Dewi Sri dan Ibu Ratu yang dapat menolong Dewi Sulastri ketika dibawa lari oleh Raden Jana. Hal yang sama muncul pada setiap folklor lisan lainnya. Dalam pemikiran masyarakat setempat juga mengklasifikasikan pemikiran dalam menangkap hal yang berada di luar dirinya sebagai penguasa tertinggi dengan wakil-wakilnya. Semua hal dalam kehidupan masyarakat yang masih tergolong religi ini diwarnai dengan aspek-aspek spiritual sehingga dalam folklor yang bukan lisan sekalipun tetap mengandung unsur-unsur spiritual dalam bentuk keyakinan akan kekuasaan Hyang Widhi Wasa dalam proses penyembuahan. Apabila
jamu tradisional
yanag diperlukan tidak ditemukan, sedangkan orang tersebut kemudian meninggal dunia,
semua menyakini memang yang bersangkutan sudah waktunya untuk
kembali pada sang Pencipta dengan istilah wis apese. Pada folklor setengah lisan, semua ekspresi nonverbal penuh dengan makna simbolik dengan sebagai bentuk spiritual termasuk juga ungkapan verbal yang menyertainya. Hal tersebut sama seperti hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Mingkamol Hongsawong (2012)67 yakni process of local wisdom in healing with herbs in Thailand and in Laos PRD was found that the disease curings were based on beliefs and herb uses as well as related to four elements declared by the Buddhism ‘Proses kearifan lokal dalam penyembuhan dengan menggunakan herbal di Thailand dan Laos PRD dijumpai bahwa penyembuhan penyakit berdasarkan keyakinan dan penggunaan herbal yang dipakai berhubungan erat dengan empat element yang diyatakan oleh Budha’. Ini adalah juga merupakan jenis kearifan lokal spiritual dalam folklor 67
Local Wisdom in using Herbs of Traditional Healer for Healing Phee-Ma-Reng-Suang Disease: A Case Study of Traditional Healer in Nakorn Prathom Province, Thailand dimuat pada European Journal of Social Sciences – Volume 33, Number 4 (2012)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 273
bukan lisan pada ranah pengobatan. Di daerah pesisir Selatan Kebumen masyarakat dalam hal penyembuhan penyakit juga berdasarkan keyakinan dan penggunaan herbal yang dipakai dan berhubungan erat dengan penguasa darat, laut, dsan penunggu-penunggu yang ada pada setiap lokasi.
3) Kearifan Lokal dalam Keterbukaan Terhadap Unsur Luar yang Bersifat Baik
Kearifan edukatif diartikan sebagai suatu kesadaran akan keinginan selalu belajar memperbaiki diri menuju kearah yang lebih baik melalui proses pembelajaran sepanjang hidup. Hal ini muncul pada kisah perjalanan Santri Gudhig yang melaksanakan perjalanan panjang untuk mencari ilmu. Folklor bukan lisan juga mengalami perkembangan kebaikan seperti contoh pada pembuatan rumah yang berkembang menuju ke arah yang lebih praktis dan lebih ekonomis meskipun di
pihak lain
hal ini mengurangi keberadaan rumah
tradisional yang sangat sarat makna itu. Oleh sebab itu, terdapat rumah kombinasi dengan istilah omah buta mangku wanita ‘rumah raksasa memangku wanita’, omah loji ‘rumah gedong’, omah karna tanding ‘rumah Karno bertarung’. Keariafan edukatif ini akan berjalan terus sejalan dengan perkembangan komunikasi dan transportasi yang nantinya akan mempengaruhi tata nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat68. Sepanjang perubahan itu masih memelihara keseimbangan alam dan menjaga
kelestariaany seperti yang terjadi lokasi
penelitian ini, hal tersebut dapat digolongkan sebagai kearifan edukatif yang masuk dalam golongan kearifan masa kini69. Dapat diyakini bahwa dengan kearifan lokal,
segala pengaruh global dan teknologi komunikasi dapat
68
Perbedaan nilai ini memiliki karakter yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain karena terkadang sesuatu dianggap benar di suatu tempat belum tentu benar ditempat lain.(Koentjoroningrat, 69
Ahimsa, 2007: 6 dalam kaerifan lokal dalam sastra menggolongkan kearifan lokal menjadi 2 yaitu kearifan tradisional yang disebut sebagai kearifan dulu/ kearifan lama dan kearifan kini/ commit to user kearifan kontenporer/ kearifan baru.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 274
diminimalkan dapak negatifnya karena kearifan lokal tradisional dapat menangkal dampak pengaruh negatif globalisasi sehingga akan menghasilkan kearifan lokal baru seperti yang pernah diteliti di Tailand oleh Miss Roikhwanphut Mungmachon (2011)70
seperti yang terjadi di Tahiland dengan hasil seperti
berikut: Globalization has arrived and negative impacts are felt luckily many of these communities are studying their problems, finding solutions, and are becoming strong again. They start by collectively studying their problems, recovering traditional wisdom and knowledge which remain ‘globalisasi telah membawa dampak negatif, untungnya masyarakat memahami persoalan itu dan mencari pemecahan masalahnya sehingga menjadi kuat kembali. Mereka memulai dengan menggunakan sisa kearifan lokal tradisi yang ada’. Dapat disimpulkan adanya hubungan yang erat antara kearifan lokal tradisional dengan kearifan lokal kontenporer.
4) Kearifan Lokal pada Sistem Simbolik Sebagai bagian dari masyarakat Jawa, di
daerah penelitian ini
masyarakatnya masih sangat kental dengan berbagai sistem simbolik yang penuh makna seperti yang dimunculkan pada folklor lisan, setengah lisan, dan bukan lisan. Pada folklor lisan dijumpai perubahan manusia yang berkarakter buruk menjadi seekor buaya karena buaya tergolong sebagai hewan yang memiliki karakter buruk. Pada folklor bukan lisan dapat dipahami beberapa jenis pemaknaan simbol seperti simbol yang mengambil dari bunyinya seperti daun kluwih ‘nama jenis daun’ maksudnya biar luwih ‘lebih’. Banyu tawa ‘air tawar’ mengandung simbol sifat air yang dingin agar menjaga tempat penyimpanan padi selalu dalam suasana dingin sehingga padi dapat bertahan tinggal di tempatnya (awet). Sifat lain yang diambil sebagai penyimbolan ( sistem simbolis) adalah watu ‘batu’ yang diletakkan di dalam ruang penyimpanan padi karena sifat batu yang keras dan relatif tetap diharapkan sebagai keinginan agar padinya tetap ada 70
local wisdom: the development of community culture and production processes in thailand di commit to user9, Number 11--Utit Sungkharat, Thaksin muat pada Research Journal – November 2010 Volume University, Thailand
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 275
atau awet. Kearifan lokal pada sistem simbolik ini adalah adanya pemanfaatan kekayaan alam untuk keperluar bersama dalam segala sektor. Dengan demikian tanaman, hewan yang dibutuhkan akan tetap terpelihara sehingga tidak punah. Kalau saja pemakaian kembang telon ‘bunga tiga warna’ itu sudah tidak dikembangkan, jenis bunga itu pastilah tidak lagi ditanam sehingga akan punah dan tidak ada keindahan lagi. Dengan demikian, keseimbangan ekosistem tidak stabil karena kumbangpun tidak akan ada dan penyerbukan tidak akan berlangsung. Dalam sistem perlambangan, ini konon telah diajarkan sejak zaman Majapahit dahulu karena waktu itu Petani Mataraman tempo dulu wajib untuk membudidayakan tanaman terpadu yang berupa kombinasi jenis oyod-oyodan, kekayon, gegodhongan, kekembangan, woh-wohan, dan gegedhangan ‘akarakaran, daun-gaunan, aneka bunga, buah-buahan, dan pisang-pisangan’. Jika hal tersebut dilakukan, kebutuhan pangan, bahan bakar, perumahan, obat-obatan, dan harum-haruman akan dapat dipenuhi dari lingkungannya sendiri (Hidayat, 2012). Di desa-desa sepanjang Pesisir Selatan ini selalu ada tempat yang disebut punden berupa petilasan dan disampingnya adalah makam. Segala jenis tanaman yang tumbuh di punden tidak boleh diganggu keberadaannya kecuali untuk dilestarikan dan dikembangkan. Punden biasanya memberi manfaat pada kelestarian sumber air dan ketersediaan plasma nutfah lokal71.
5) Kearifan Lokal Terkait Sistem Ekonomi Kearifan ekonomi juga dapat tecermin dari semua bentuk folklor di lokasi penelitian seperti misalnya sistem pengobatan tradisional yang masih sederhana dan berbasis kegotongroyongan dan kebersamaan sehingga semua nampaknya lebih ekonomis karena semua ditanggung secara bersama-sama (kolektif). Istilah ganti luru ‘sebagai pengganti mencari’ adalah salah satu bentuk ungkapan yang 71
Menyangkut seluruh keanekaragaman genetik baik dari mahkluk hidup yang hidup secara liar disemua lingkungan hingga mankluk hidup yang dipelihara oleh manusia dan biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia (situs Pelangi Indonesia, diakses 14 commit to user Nopember 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 276
mencerminkan kearifan lokal ekonomi selain itu dengan menggunakan jamu atau pengobatan tradisional yang memanfaatkan tanaman yang ada di lingkungan juga merupakan bentuk kearifan lokal ekonomi masyarakat tradisional seperti yang pernah diteliti Utit Sungkharat, Thaksin University, Thailand , Piboon Doungchan, Thaksin University, Thailand,
Chantas Tongchiou, Thaksin
University, Thailand, Banlue Tinpang-nga, Thaksin University, Thailand dan hasilnya adalah People have returned to the use of herbs for curing disease in humans and animals. In addition, the development helps people save on production costs and reduce pollution ‘Orang telah kembali menggunakan tanaman (jamu herbal) untuk menyembuhkan penyakit pada manusia dan hewan karena hal ini akan menghemat biaya dan mengurangi polusi’.
6) Praktek dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan dalam Folklor sebagai Bentuk Kearifan Lokal
Kearifan lokal praktikal banyak dijumpai pada praktik-praktik pembuatan rumah serta pembuatan jamu tradisional yang merupakan folklor bukan lisan yang masih dipertahankan sampai sekarang. Praktik pembuatan rumah bandung sebagai cerminan kearifan lokal masyarakatnya karena d idalamnya mengandung banyak makna yang bertujuan menjaga silahturami antaranggota masyarakat, menjaga keseimbangan ekosistem, serta menjaga keharmonisan antara sosial budaya dan spiritual yang dimiliki masyarakat setempat sebagai bagian dari masyarakat Jawa. Praktik pembuatan jamu tradisional merupakan bagian dari kearifan lokal praktikal yang tecermin pada folklor bukan lisan. Dalam praktik pembuatan jamu, masyarakat masih menggunakan sistem tradisional yang sederhana, tetapi memiliki kekuatan yang sangat signifikan dalam mengobati berbagai macam penyakit karena dalam membuat jamu masih menggunakan ramuan herbal yang asli tanpa menggunakan zat kimia sama sekali seperti banyak dijumpai pada jamu tradisional produk pabrikan. Hal lain yang sangat penting adalah pola pikir masyarakatnya yang masih menjunjung tinggi spiritualisme sebagai dasar user pengobatan ini. Peralatan untuk commit sarana tomengolah jamu juga masih sederhana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 277
namun ternyata hal itu memiliki kebaikan yang terpendam karena apabila menggunakan plastik atau logam akan mengurangi kasiat disebabkan adanya reaksi ramuan tersebut terhadap penggunaan alat atau tempat yang tidak sesuai. Praktik pembuatan makanan tradisional merupakan folklor bukan lisan juga dapat mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya karena dalam pembuatan makanan masih tergolong sederhana dan menggunakan bahan-bahan yang tersedia oleh alam meskipun kadang ada sedikit modifikasi. Kekhasan makanan tradisional ini masih dipertahankan sehingga dapat membuat jenis makanan di Pesisir Sealatan ini menjadi makanan yang dikenal oleh daerah lain. Dengan menggunakan bahan yang masih sederhana ini menjadikan makanan di lokasi penelitian ini masih sehat belum tercemar oleh zat penambah lain yang pada akhirnya malah merusak kesehatan.
7) Kearifan Lokal dalam Bentuk Penghormatan Terhadap Leluhur
Histori masa lalu.
berarti sangat erat dengan
Demikian
pula kearifan lokal
histori (historical Wisdom) ini merupakan kearifan yang menghargai masa lalu sebagai sebuah penghormatan terhadap nenek moyang dan
leluhur. Mereka selalu
menghargai
keberadaan leluhurnya meskipun sudah tiada. Hal ini sesuai dengan falsafah orang jawa Gambar 4.45: Bersama informan penanam tanaman herbal
dengan ekspresi mikul duwur mendem jero ‘memanggul setinggi-tingginya, mengubur sedalam-dalamnya’. Bentuk ini terdapat banyak pada folklor lisan yang berkaitan dengan penamaan desa di sepanjang Pesisir Selatan Kebumen ini. Penamaan yang sampai sekarang dipakai dan identik dengan segala sesuatu yang pernah terjadi pada tempat commit to user Gambar 4.46: Bersama informan di Kebumen bagian tengah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 278
itu semata-mata sebagi pengingat akan peristiwa, tokoh yang pernah ada sebelumnya.
Kearifan lokal histori (historical Wisdom) juga sangat nampak pada masih dilaksanakannya selamatan sebagai pengingat meninggalnya orangtua seperti adanya ungkapan pitung ndinan, patangpuluh dinan, satus dinan, sewu dinan ‘tujuh harian, empat puluh harian, seratus harian, seribu harian’. Hal semacam ini merupakan upaya penghargaan akan leluhur yang walaupun sudah meninggal, keberadaannya masih dihargai dan bahkan hari meninggalnyapun menjadi peringatan untuk tidak melakukan aktivitas tertentu. Selain itu pada acara peringatan itu merupakan ajang bersilahturami, berkumpul untuk berdoa bersama, menjalin keakraban, dan berbagi berkah. Bagan tentang kearifan lokal masyarakat melalui folklornya dapat dilihat pada diagram berikut:
LISAN FOLKLOR
SETENGAH LISAN BUKAN LISAN
KL kultural KL Edukatif KL Simbolik KL Spiritual KL Ekonomi KL Praktikal KL Histori KL adaptasi
Bagan 4.9: Jenis Kearifan Lokal yang Terkandung pada Folklor
e. Faktor Penyebab Persepsi Negatif pada Sebagian Komunitas Petani Terhadap Berbagai Folklor Persepsi yang negatif terhadap folklor terkait tempat tertentu dan asal-usul pusaka yang berkekuatan magis commit antara lain dilatarbelakangi oleh 1. Kecurigaan to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 279
adanya unsure rekayasa, 2. Penyimpangan akan tujuan tirakat, 3. Pemborosan dan penyimpangan kaidah agama, 4. Rasa takut berhubungan dengan mahkluk goib dan pasrah pada nasib.
1) Kecurigaan Adanya Unsur Rekayasa Kecurigaan mereka tercermin dalam persepsinya bahwa pengalaman spiritual sifatnya orang per orang yang kemudian diinformasikan secara bebas bahkan ada yang berlebihan, dan karena bersifat gaib tanpa ada seorang pun yang bisa mengontrol dan tidak dapat dibuktikan sehingga merasa bahwa apa yang diceriterakan tidak dapat dibuktikan seakan seperti di reka yasa. Sementara informasi yang berkembang terkait hal gaib dalam folklor tersebut banyak yang ditelan mentah oleh masyarakat luas. Misalnya tentang kelebihan spiritual seseorang, tempat gaib dan pusaka yang bermagis. Kelompok ini biasanya kelompok yang memiliki pendidikan yang cukup sehingga mengukur segala sesuatu melalui logika nalar yang dapat di lihat dan dibuktikan secara material. Kelompok ini dikategorikan sebagai kelompok intelektualitas. Persepsi mereka menjadi negatif karena dari sisi keilmuan dipandang menghambat intelektulitas
masyarakat terkait
perkembangan
pola pikir yang mencerminkan "cita-cita
kolektif" terpasung oleh kuatnya pengaruh tradisi, spiritual dan beban praktikal. Sepanjang waktu tenaga dan pikira mereka tidak maksimal untuk memberdayakan
potensi
diri
seperti
mengasah
kecerdasan,
melainkan
dibayangi ketakutan cerita leluhur (folklor) dan kekuatan magis pusaka, karena takutkasedhak'menerima karma' jika meninggalkan tradisi terkait folklor dan kekuatan magis pusaka. Kondisi demikian itu, secara psikologis dianggap sebagai ancaman laten terhadap kemajuan, meskipun tidak nampak dan susah dihindari, sehingga bisa melemahkan rasionalitas untuk mengembangkan diri. Tercermin dalam ekspresinyatirakatsekolah batin tanpa ragat, nemoni guru kudu sangu, ijasah kudu sekolah‘bertapa’ (ibaratnya) sekolah batin tidak (ada) biaya, sekolah harus bayar, (dapat) ijasah haruscommit sekolah'. Sepanjang waktu tenaga dan pikira to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 280
mereka tidak maksimal untuk memberdayakan potensi diri seperti mengasah kecerdasan, melainkan dibayangi ketakutan cerita leluhur (folklor) dan kekuatan magis pusaka, karena takutkasedhak'menerima karma' jika meninggalkan tradisi terkait folklor dan kekuatan magis pusaka. Kondisi demikian itu, secara psikologis dianggap sebagai ancaman laten terhadap kemajuan, meskipun tidak nampak dan susah dihindari, sehingga bisa melemahkan rasionalitas untuk mengembangkan diri. Tercermin dalam ekspresinyatirakatsekolah batin tanpa ragat, nemoni guru kudu sangu, ijasah kudu sekolah‘bertapa’ (ibaratnya) sekolah batin tidak (ada) biaya, sekolah harus bayar, (dapat) ijasah harus sekolah'. Sepanjang waktu tenaga dan pikira mereka tidak maksimal untuk memberdayakan potensi diri seperti mengasah kecerdasan, melainkan dibayangi ketakutan cerita leluhur (folklor) dan kekuatan magis pusaka, karena takutkasedhak'menerima karma' jika meninggalkan tradisi terkait folklor dan kekuatan magis pusaka. Kondisi demikian itu, secara psikologis dianggap sebagai ancaman laten terhadap kemajuan, meskipun tidak nampak dan susah dihindari, sehingga bisa melemahkan rasionalitas untuk mengembangkan diri. Tercermin dalam ekspresinyatirakatsekolah batin tanpa ragat, nemoni guru kudu sangu, ijasah kudu sekolah‘bertapa’ (ibaratnya) sekolah batin tidak (ada) biaya, sekolah harus bayar, (dapat) ijasah harus sekolah'. Sekalipun Kelompok tersebut memiliki persepsi negatif terkait berbagai folklor dan kekuatan magis pusaka, namun tidak berbuat oposan-frontal, baik secara ekspresi verbal (misalnya mencaci-maki) maupun ekspresi nonverbal (misalnya mengadakan tradisi tandingan) dalam menyikapi tradisi tersebut, karena relatif kecil pendukungnya. Mereka lebih mengutamakan kebersamaan menjadi pilihan utama untuk membangun kehidupan yang tenteram secara lahir dan batin dengan segala perangkat kultural dan praktikal di pesisir selatan Kebumen. Ekspresinya dalam nyong kudu guyup wis dadi urusane dhewek-dhewek 'saya harus kompak (karena) sudah menjadi urusan masing-masing.
2) Penyimpangan Akan Tujuan Betirakat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 281
Adanya beberapa penyimpangan tujuan bertirakat yang akhirnya merugikan orang banyak hanya untuk kepentingan pribadi, misalnya tirakat ‘pertapa’di tempat tertentu seperti di Pandankuning untuk mencari jin yang dapat membantu menjadi kaya, mudah mencari nafkah tanpa bersusah-payah. Bertapa tidak beberapa orang yang melakikan ini tega mengorbankan keluarga hanya untuk mencari kekayaan semata. Mereka menyembah penguasa laut Selatan yang disebut Ibu Ratu
untuk mencari pesugihan 'jin yang dapat membantu mendapatkan
kekayaan'. Sebagai imbalan atas terkabulnya permohona mereka merelakan anggota keluarga menjadi pitukon 'sesaji diberikan' atau lebon/banten 'dikorbankan untuk jin' yang dituju72. Padahal mencari pesugihan 'jin yang dapat membantu mendapat kekayaan’ bukanlah tradisi yang baik dan juga bukan tradisi leluhur komunitas petani Kebumen. Mereka menyakini bahwa mencari kekayaan dengan cara demikian akan kasedhak 'terkena "karma”. Ekspresi verbal sebagai ungkapan ke tidak setujuan akan pesugihan adalah lir pamane guluh 'ibarat bolot kena sabun akan hilang'. Makna kultural mereka, bahwa meskipun memiliki kekayaan yang lebih, tetapi dengan cara memelihara pesugihan
'jin pencuri
uang/yang
membantu kaya' yang menjadi lebon/banten 'korban' anggota keluarga, akhirnya diri sendiri yang menjadi lebon73. Karena adanya penyimpangan dari tradisi leluhur di pesisir selatan Kebumen, sehingga sebagian orang berpersepsi negatif terhadap aktualitas folklor tempat tertentu dan asal-usul pusaka yang bermagis tersebut. Petani yang termasuk dalam kelompok ini meskipun secara geografis tempat tinggalnya berdekatan dengan tempat tertentu yang terkait dengan folklor dan pemilik pusaka tersebut, sikapnya tidak mau tahu-menahu dan tidak ikut melibatkan diri. Persepsinya terekspresikan nyong gak melu-melu ‘saya tidak ikutikut’. 3) Pemborosan dan Penyimpangan Kaidah Agama
72
Setiap goib dalam bernegosiasi memiliki permintaan yang berbeda-beda biasanya sesuai dengan kualitas permohonan. Ada yang meminta bayaran berupa nyawa pasangannya atau anaknya. 73
to user Lebon maksudnya adalah imbalan atascommit permohonan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 282
Sarana ‘uborampe’ tradisi yang sering dilaksanakan tersebut dianggap sebagai pemborosan dan perbuatan sia-sia. Menurut persepsi mereka pelaksanaan upacara ritual sedekah laut ‘sesaji-laut mapun sedekah-bumi 'sesaji-bumi' merupakan pemborosan dan perbuatan sia-sia. Demikian pula perilaku prihatin ‘bertapa' di tempat tertentu menurut persepsi mereka membuat jiwa-raga menjadi lemah. Secara lahiriah fisik dianiaya pada waktu menjalani perilaku prihatin 'bertapa' ditempat terbuka yang gelap dan dingin hingga beberapa hari, bahkan lebih dari satu bulan pada waktu siang dan malam, tidak makan dan minum yang wajar berbahaya bagi kesehatan. Persepsi mereka dengan melaksanakan prihatin/mati raga ‘bertirakat’ selain tidak sehat juga membuat orang tidak produktif karena lelah dan lapar sehingga secara ekonomis tidak menguntungkan. Selain ditinjau dari unsur ekonomis kelompok ini juga melihat dari sisi agama yang melarang adanya beragai ritual dan berbagai penyembahan terhadap mahkluk goib. Dalam ajaran agama hal yang demikian dianggap menyekutukan Tuhan dan sangat berdosa. Hal ini terjadi karena mulai berkembangnya pengetahuan akan keimanan terhadap Tuhan. Mereka beragapan bahwa mendapat kesaktian atau berhubungan dengan mahkluk goib tidaklah benar dan tidak menguntungkan. Lebih baik menjalankan agama dengan baik dan memohon segala sesuatu hanya kepada Tuhan. Karena apabila
mendapat kesaktian jika tidak
semeleh 'berserah diri kepada Tuhan' berakibat menjadi takabur. Semua itu bermuara pada perbuatan yang menjauhkan diri dari Tuhan. Ekspresinya nyong semeleh batine apa ora, yen ora dadine molet kibir 'saya berserah diri kepada Tuhan apa tidak, jika tidak menjadi takabur'. Persepsi negatif terhadap folklor tersebut rnasih sebatas pada ekspresi pribadi belum pernyataan kolektif, sehingga tidak menimbulkan konflik di sekitarnya. Kalaupun mereka bereaksi pelan-pelan langkahnya, caranya dengan memasukkan nilai-nilai Islam dalam upacara ritual seperti berdoa secara Islam, meskipun wong tuwa/wong pinter’orangtua atau orang pandai’ masih menyebut dewa-dewi dalam mantranya. Ekspresinya dalam memulai setiap ekspresi verbal mantra dengan bismilah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 283
4) Rasa Takut Berhubungan dengan Mahkluk Goib dan Pasrah pada Nasib Beberapa orang merasa pasrah karena adanya perasaan takut terhadap makhluk lain. Menurut persepsi mereka hanyalah rasa pasrah dan takut kepada makhluk lain yang dianggap menentukan nasibnya. Persepsi seperti itu karena tiga alasan (a) pemahaman keberhasilan hidup hanya terukur pada melimpahnya materi, (b) rasa putus asa setelah berbagai usaha wajar yang ditempuh belum memberikan hasil materi yang sesuai harapan, dan (c) kurang memahami dan mengamalkan agama yang dianut. Akibatnya jika tidak kesampaian hajat mereka semakin memperkuat persepsi negatif terhadap berbagai folklor terkait berbagai mantra dan upacara ritual. Keyakinan mereka tercermin dalam ekspresinya nyong sendheg-dhepe baek kepriben kersane Ngallah, ora kebul-menyan sawur kembang 'saya berserah diri sebagaimana kehendak Allah, tidak bersesaji menabur bunga'. Kepasrahan juga diakibatkan pemikiran bahwa segala hasil dari ikhtiar lahir-batin yang telah dilakukan oleh petani, jika tidak diapresiasi dengan rasa bersyukur kepada Tuhan, maka menyebabkan perasaan serba kurang. Akibatnya mereka terjebak melupakan kenyataan hidup yang mestinya harus dihadapi dengan apa adanya. Sebagian petani menurut kelompok ini telah melupakan pesan leluhur seperti terekspresikan dalam urip mati sanggane dhewek, ana sing gawe, ana sing nyepaki, segara kidul mbera, bumi gisik amba, kabeh dipredi giline urip 'hidup mati usahanya sendiri, ada yang menciptakan, ada yang memberi rejeki, laut selatan luas, daratan pesisir masih luas, semuanya diusahakan menjadi jalan hidup'. Sebagian ada yang menjalani hidup tidak mau susah-payah, tetapo ingin mendapat kecukupan hidupnya. Pikiran semacam ini membimbmg ke arah yang tidak benar untuk raendapatkan nafkah keluarga, akibatnya terjebak dengan cara mencari pesugihan 'jin yang membantu mencari kekayaan' dengan segala jenisnya. Ekspresinya dalam urip molet gawe muying-muying '(cara) hidup yang sesat menyebabkan bingung'. Sekalipun berpersepsi negatif, tetapi mereka tidak mengganggu tradisi masyarakat. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 284
3. Pandangan Dunia, Pandangan Hidup, dan Pola Pikir Komunitas Petani di Kabupaten Kebumen yang Mencerminkan Kearifan Lokal
Pada bab tujuh akan disampaika berbagai kearifan local komunitas petani yang tercermin dalam pandangan dunia, pandangan hidup, metafornya, dan pola piker. Setaip bagian akan dijelaskan hal-hal khudud dan kearifan lokalnya.
a. Pandangan Dunia Komunita Petani dan Kearifan Lokalnya Yang dimaksud dengan Pandangan dunia adalah bagaimana masyarakat petani di daerah penelitian memandang dunia. Dunia ini bukanlah ada dengan sendirinya, melainkan ada yang mengadakan dan yang menguasai sebagai penguasa tertinggi yang disebut sebagai Yang Widhi Wasa ‘Sang penguasa tertinggi’. Sebagai bagian integral masyarakat Jawa, tidaklah jauh berbeda dalam memandang dunia ini, yakni bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya ada dan terjadi di dunia ini, Tuhanlah yang pertama kali ada. Penguasa tertinggi yang dimaksud adalah yang dapat memberi penghidupan, keseimbangan, dan kestabilan yang dapat juga memberi kehidupan. Dalam pengaturannya terdapat beberapa tingkatan hirarki penguasa mulai dari penguasa bumi, laut, dan gunung, sedangkan yang paling bawah adalah para penunggu-penunggu, sehingga dalam bermunajad dapat dicermati melalui tradisi-tradisi yang diungkapkan, baik melalui ungkapan verbal mereka dalam hal ini kepada siapa sesajen dan mantra ditujukan. Dalam hal ini masyarakat membedakan bentuk-bentuk ungkapan dan sesajennya menurut kategori dan diekspresikan dalam ungkapan linguistiknya. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Kawula lan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah commit to user mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 285
manusia menyerahkan diri secara total selaku kawula (hamba) terhadap Gustinya (Sang Pencipta). Hal tersebut termanifestasikan dalam ujub-ujub mereka dalam bermunajad seperti ketika mulai tanam, saat jabel ‘panen, saat melaut. Ada permohonan kepada Ibu Ratu, Dewi Sri, dan Santa Jaya. Dasar kepercayaan komunitas petani adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah satu merupakan kesatuan hidup. Petani yang sebagian besar juga nelayan memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya baik darat, laut, maupun pegunungan sehingga ada istilah dewaning laut, dan dewaning bumi ‘Dewa laut, dan Dewa Bumi”. Dengan demikian, kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius. Alam pikiran mereka merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos (alam), yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran mereka adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius dan gaib, sedangkan mikrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos. Hal inilah yang merupakan kearifan lokal masyarakat Pesisir Selatan Kebumen, berbeda dengan masyarakat Jawa yang berada pada pusat budaya. Bagi orang Jawa yang berada pada pusat budaya, pusat dunia ada pada raja dan keraton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan Tuhan di dunia sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Jadi, raja adalah pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari Tuhan dengan karaton sebagai kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmos yang mengalir ke daerah dan membawa ketenteraman, keadilan, dan kesuburan Dengan fenomena keyakinan seperti ini menimbulkan adanya bentukbentuk penghormatan yang tercermin secara linguistik melalui penggunaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 286
tingkat tuturnya. Bentuk ini sedikit banyak mempunyai pengaruh kepada daerahdaerah yang jauh dari pusat budaya (periferal) melalui berbagai bentuk akulturasi. Dalam makrokosmos, pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan seperti yang disebutkan di atas dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna (dunia atas-dunia manusia-dunia bawah). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat, yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan yang diistilahkan sebagai sedulur papat lima pancer ‘empat saudara dan lima sebagai pusatnya dalam hal ini Tuhan’. Keyakinan semacam ini terimplikasi dalam bentuk rumah bandung yang berbentuk persegi empat diantaranya menjulang tengah. Bentuk ini dimaksudkan sebagai empat penjuru, yaitu sedulur papat lima pancer sedangkan yang menjulang di tengah sebagai pancer ‘pusat’, yakni yang widhi wasa ‘ penguasa tertinggi, yaitu Tuhan’
1) Kegiatan Religius dan Spiritual sebagai Cermin Keimanan Sebagian besar Pesisir Selatan termasuk dalam golongan bukan muslim santri yaitu yang mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam dengan pandangan asli mengenai alam kodrati dan alam adikodrati (Muslim Kejawen). Menurut kamus bahasa Inggris istilah kejawen adalah Javanism, Javaneseness; yang merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa dan yang mendefinisikannya sebagai suatu kategori khas Javanisme, yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketenteraman batin, keselarasan dan keseimbangan, antar sikap nrima ‘menerima apa adanya’ terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam (Satmata, 2008)74. Kemungkinan unsur-unsur ini berasal dari masa HinduBudha dalam sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem khusus dari dasar bagi perilaku kehidupan. Sistem pemikiran Javanisme lengkap pada 74
commit to userdiakses 10 Desember 2012-12-10 http://kyaimbeling.wordpress.com/falsafah-orang-jawa/
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 287
dirinya, berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya bersifat mistik dan sebagainya. Menurut anthropologi Jawa, adalah suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya Jawa. Singkatnya Javanisme memberikan suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu badan pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagimana adanya dan rupanya. Jadi kejawen bukanlah suatu kategori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara berpikir Jawa. Kabupaten Kebumen sebagai derah transisi memiliki karakteristik kejawaan yang memiliki kecenderungan mirip dengan budaya Jawa di Bayumas dari pada budaya Jawa daerah pusat budaya. Hal ini dapat disimak melalui bahasanya yang masih mempertahankan kebahasaan yang tidak menggunakan tingkat tutur.
a) Kegiatan Rirual Relegius Tradisional dan Bercirikan Budaya Jawa Sebagian besar masyarakat Kebumen tergolong kejawen atau Islam abangan. Meskipun mereka menjalani kewajiban-kewajiban agama Islam secara utuh misalnya melakukan sembayang lima waktu, pergi ke masjid dan berpuasa di saat bulan Ramadhan, namun mereka secara tidak langsung masih melakukan ritual-ritual kejawesn tradisional yang dibalut degan nuansa ke-islaman. Misalnya, ketika mantra yang diucapkan untuk minta keselamatan di laut dan di darat masih menyebut nama-nama dewa. Hal itu juga mencerminkan adanya suatu kenyataan terjadinya sistem akulturasi budaya di sana. Dasar pandangan mereka adalah pendapat bahwa tatanan alam, baik laut, darat, maupun gunung bahkan sungai dan halaman ada yang menunggu. Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat dengan kepercayaan mereka pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari roh nenek moyang, misalnya Tuhan, sehingga menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman. Pelestarian budaya tradisional dapat diungkapkan dengan baik oleh commit to user mereka, dan hal ini sering kali mereka yang mengerti tentang rahasia kebudayaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 288
diwakili oleh yang dianggap sebagai orang tua. Orang tua adalah yang memiliki ilmu kebatinan tinggi yang hanya dapat dicapai melalui tirakat, bertapa, dan bermatiraga. Pemahaman masyarakat Pesisir tentang gaib ditentukan oleh kepercayaan mereka pada berbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah. Untuk melindungi semuanya itu, petani memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun, bunga, dan kemenyan. Ini merupakan suatu konsep tatakrama dalam bentuk uluk salam/ kulonuwun ‘permisi’ terhadap sang penunggu.
b) Penghormatan Terhadap Raja dan Tokoh Agama sebagai Utusan Tuhan
Spiritual masyarakat Pesisir Selatan pada dasarnya sama secara universal dalam memaknai Tuhan sebagai pencipta dan pemilik alam semesta, namun dalam manifestasinya untuk mendekati Tuhan ini memakai beberapa cara yang khas pada tiap daerah termasuk daerah penelitian ini. Bentuk dan cara mereka banyak dipengaruhi oleh perjalanan keagamaan yang datang pada derah penelitian ini. Sebagai contoh, Hindu dan Budha masuk ke Pulau Jawa yang kemudian sampai pada daerah penelitian membawa konsep tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Oleh karena itu, berkembanglah budaya untuk patuh pada raja,karena raja diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Konsep ini ditangkap oleh masyarakat daerah transisi yang jauh dari pusat budaya dalam bentuk leksikon, seperti raden dan petilasan. Selain itu, berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan (Sang Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laku spiritual khusus, seperti semedi, tapa, dan pasa (berpuasa). Zaman kerajaan Jawa-Islam commit to user membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 289
keyakinan dari Hindu-Budha ke Islam. Para penyebar Islam –para wali dan guruguru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka. Oleh sebab itu, di daerah peneltitian ditemukan ekspresi linguistik seperti petilasan sebagai pertanda pengaruh kerajaan, santri Gudig, Syeh Abdungawal sebagai pertanda pengaruh Islam. Sejak zaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Budha), masyarakat Jawa daerah Pesisir Kabupaten Kebumen telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Mereka menganut kepercayaan animisme-dinamisme, dalam pelaksanaannya adalah bahwa: masyarakat Jawa75 saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib lain yang jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana, 1977). Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Kebumen termasuk Pesisir Selatan, khususnya petani adalah puasa atau bertapa. Komunitas petani mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir. Semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat 76 orang dapat menjadi lebih kuat rohaninya dan kelak akan mendapat wahyu yang manfaat. Komunitas petani menganggap bertapa adalah suatu hal yang cukup penting. Menurut keyakinan mereka berabad-abad bertapa77 dianggap sebagai orang keramat karena dengan bertapa orang dapat menjalankan kehidupan yang ketat ini dengan disiplin tinggi serta mampu manahan hawa nafsu sehingga tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai. Hal tersebut sesuai dengan prinsip hidup mereka yang menyadari tentang “sangkan paraning dumadi” (dari mana
75
76
Termasuk daerah penelitian Kabupaten Kebumen bagian Pesisir Selatan.
Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg, 1975). 77 commit toatau user Biasanya disebut sebagai Wong sing garing silite wong tua
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 290
manusia berasal, apa dan siapa dia pada masa kini dan kemana arah tujuan hidup yang dijalani dan ditujunya).
2) Ekspresi Verbal Cermin Prinsip-Prinsip Pandangan Dunia Prinsip ini menyangkut dua hal, yaitu konsep eksistensi manusia di dunia dan konsep tempat manusia di dunia setelah mati. Prinsip tersebut terekspresikan dalam bentuk kalimat – kalimat seperti berikut.
a) akal-agama-wirang-ngamal soleh ‘Pikiran-rasa malu-agama, dan Ngamal’ Merupakan Keselarasan Horisontal dan Vertikal Masyarakat memiliki prinsip akal-agama-wirang-ngamal soleh, yakni sebagai manusia selain menggunakan kepandaian juga harus memiliki agama atau kepercayaan kepada Tuhan sang Pencipta dan selanjutnya mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk perbuatan yang baik. Prinsip ini dapat dikaitkan dengan adanya istilah ilmu lan ngilmu. Ilmu (akal) yang memiliki sifat rasional, fenomenal, sistematis, dan teratur yang dapat diwujudkan secara obyektif dalam kehidupan sehai-hari dalam bentuk pengamalan yang baik (amal soleh). Semua itu didasari akan keimanan kepada agama yang dianutnya. b) Urip mung mampir ngombe ‘Hidup hanyalah sekedar singgah untuk minum’ Dimaknai Hidup Sangat Singkat Sehingga Harus Dimanfaatkan dengan Baik. Urip nyong mung mampir ngombe ‘Hidupku hanya singgah minum’ commit to user memiliki makna bahwa hidup adalah sangat singkat belaka. Oleh sebab itu, harus
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 291
memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Dalam hal memanfaatkan hidup harus dilandasi akan adanya pengertian bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang akan kembali kepadaNya. Untuk itu harus berbuat kebaikan bagi sesama karena perbuatan inilah yang akan menjadi bekal menghadap Tuhan. c) Laku dadi celengan ‘Perbuatan Adalah Tabungan di Akherat’ Unkapan di atas sangat erat dengan ungkapan laku nyong dadi celengan ‘perbuatan saya menjadi tabungan’ memiliki makna apa yang diperbuat manusia akan menjadi dasar untuk menghadap sang pencipta. Oleh sebab itu, manusia harus mengumpulkan amal dan kebaikan sebanyak-banyaknya karena hidup adalah singkat.
3) Konsep Gaib Komunitas Petani
Hampir semua kebudayaan memiliki konsep gaib atau mahkluk halus secara universal meskipun masing-masing daerah menangkapnya dalam bentuk yang berbeda-beda. Itulah sebabnya cerita tentang hantu selalu saja berkembang sampai saat ini dan bahkan sengaja diwariskan secara turun temurun.
a) Bentuk Personifikasi Mahkluk Goib
Secara sosiologis kehadiran ‘hantu’ atau gaib memiliki beberapa fungsi salah satunya untuk menciptakan keteraturan sosial78. Sebagai perangkat kebudayaan gaib tampil dalam banyak bentuk tergantung pada konteks sosiokultural dan sosiohistoris masyarakat dimana ia diciptakan. Dalam masyarakat komunitas petani yang menempati dataran rendah sampai dengan Pesisir Selatan Kebumen menangkap gaib berbentuk macam-macam, yaitu tentang seputar sosok Ratu Selatan itu, ada yang di sebut Santajaya (di Tegalretna 78
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2751/sistem-kepercayaan-tradisional-orang-melayu-dicommit to user ntt dfisowload 18 Desember 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 292
Petanahan Kebumen), mBok Ratu (di Pandan Kuning, Karanggadung Petanahan Kebumen), Ibu Ratu (di Puring Kebumen), Nyi Ratu (di Karangbolong Buayan Kebumen) untuk penyebutan nama sebagai penguasa laut Selatan Kebumen. Sementara itu penguasa Pesisir laut Selatan yang bernama Nyi Ronggeng, dan penguasa daratan/ hutan di pantai yang disebut Ki Bagus Setu hanya di temukan di Tegalretna Petanahan Kebumen. Masing-masing bentuk memiliki cerita tersendiri yang sangat erat dengan kehidupan, mereka sebagai contoh, ketika seakan-akan melihat hiu putih di laut yang dianggap sebagai manivestasi penunggu laut, mereka harus memberi sebagian dari tangkapan mereka dengan istilah mbagehi ‘memberi bagian’ sedangkan ketika didarat mereka bisa saja diberi penglihatan baya putih’harinau putih’, yaitu jelmaan Jaka Puring (dalam ceritera Pandan Kuning) yang siap menerkam setiap wanita yang memakai baju hijau melintasi pantai Buayan. Dalam bentuknya itu gaib dapat digolongkan menjadi dua, yakni yang memiliki sifat baik dan yang memiliki sifat jahat. Selanjutnya tempat-tempat yang diidentifikasikan terdapat gaib sebagai tempat yang wingit ‘angker’. Sosok apa saja jilmaan gaib selalu berkaitan dengan peralihan mata pencaharian sebagai petani ke nelayan dalam wujud fisik Santajaya, Nyi Ronggeng dan Ki Bagusetu (bagus estu ‘sangat tampan’) yang berada di daratan, di gisik atau di tengah lautan. Secara spiritual mereka memahami sosok itu sebenarnya terkait sosok dan kekuasaan Ratu Selatan dan Dewi Sri, yaitu di lautan sebagai wilayah dari kerajaan laut Selatan oleh Ratu Selatan dan dunia pertanian oleh Dewi Sri dan variannya. Mereka mengenal sosok Santajaya sebagai penunggu laut anak buah Ratu Selatan dan Nyi Ronggeng sebagai penunggu daratan. Pesisir mereka anggap sebagai halaman atau teras kerajaan Laut Selatan dan mereka mengenal sosok Nyi Ronggeng. Ada pula yang memahami sebagai sosok jelmaan pengawal Dewi Sri/Dewi Sulasih, Dewi Nawang Wulan ketika melaksanakan tugas sebagai dewi kesuburan pertanian karena Dewi Sri menurut komunitas petani merupakan anak Ibu Ratu. Di daratan, referensinya berupa hutan dan lahan luas di bagian pedalaman Pesisir sebagai daerah pengaruh Ratu Selatan. commit(berasal to user dari Ki Bagusetu ‘laki-laki yang Mereka mengenal sosok Ki Bagussetu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 293
sangat tampan’ sebagai sosok penguasanya. Mencermati wanita (Nyi Ronggeng) dan laki-laki (Ki Bagusetu) serta Santajaya yang tidak jelas laki-laki atau perempuan merupakan pola pikir masyarakat yang memandang mata pencaharian dapat berasal dari laut maupun darat, sehingga menyatukan penguasa laut dan darat memiliki relasi yang mengerucut kepada sebuah kekuatan yang sama, yakni yang widhi wasa.
b) Tempat Kemunculan Mahkluk Goib
Konsep gaib yang berfungsi sebagai alat penataan sosial, khususnya bagi petani yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, ketika hendak melaut menyebut sebagai mlebu ‘melaut’ tidak boleh berlaku sembarangan, harus bebas dari najis besar dan kecil, hatinya tidak boleh mendengki dan bersifat jelek lainnya agar tidak membuat marah Santajaya, seperti perahu terbalik atau pecah di tengah lautan. Bagi petani yang Gambar 4.47: Tempat kemunculan Nyi Ronggeng
mematuhi
adat
setempat
hendak
nyawah
(mencangkuli) sebagai
yang
sampai
penghormatan
meliputi pada
akan
jabel
gaibnya
maculi harus dengan
melaksanakan urutan mencangkul tiga cangkulan terlebih dulu disebut telung kaclukan. Jika hal itu dilanggar, maka akan mendapati malapetaka di tengah lautan dan mendapat penyakit serta kesialan di darat. Ketika di Pesisir mereka ada yang diweruhi ‘ditampaki’ sosok wanita cantik yang berpakaian seperti penari Jawa. Wamita cantik itu mereka sebuttoNyi commit userRonggeng (nyi ‘sebutan seorang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 294
wanita, ronggeng ‘penari’). Tiga sosok itu dengan tempat keberadaannya, setiap bulan Sura pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon diadakan sedekah laut/sedekah bumi dengan cara sesaji dilarung/larung samudra. Konon ceriteranya ada yang pernah diweruhi ‘ditampaki’ sosok wanita cantik (mereka mengira itu Ratu Selatan) naik kereta kencana ‘kereta emas’ yang diiringi sabregada ‘serombongan pasukan’ pasukan wanita sedang keluar dan masuk di celah air laut yang terbelah memanjang dan dalam itu dengan waktu yang tidak pasti,
disertai suara gemuruh membahana di antara deburan gelombang laut
Selatan yang dahsyat dan sering beraroma wangi, yang belum dikenal masyarakat setempat dalam kehidupan sehari-hari.
c) Ritual Pemujaan pada Goib
Tradisi Selamatan Pertanian di Pesisir Selatan Kebumen, oleh sebagian masyarakat petani tradisional masih dianggap penting. Mereka membuat sesaji untuk arwah leluhur yang disebut sebagai ingkang sumare, cikal-bakal
‘yang
memulai
awal/membuka
semula’ serta makhluk halus yang dianggap mbaureksa ‘menunggu, memelihara’ di suatu tempat (termasuk sawa-ladang mereka). Mereka memahami perlunya perilaku ritual sesaji ke Gambar 4.48: Sesaji sedekah laut sawah-ladang mereka, dengan hati-hati hati-hati
dan bumi siap di larung
agar yang mbaureksa tidak mengganggu warga masyarakat, seperti yang terjadi di desa Purwasari Kecamatan Puring Kebumen. Ketika mengerjakan sawah-ladang mereka lupa sesaji wiwit sehingga yang mbaureksa marah dan membuat pemilik sawah tidak bisa buang air kecil dan air besar. Oleh karena itu, mereka melaksanakan ritual sesaji untuk commit menundukkan to user gaib penunggu sawah yang akan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 295
mereka kerjakan dengan bantuan paranormal (pak Sajadi). Oleh karena itu, menurut persepsi mereka arwah leluhur dan makhluk halus mau membantu para petani, mereka menganggap perlu melakukan selamatan pada tahap tertentu untuk keselamatan padi dan dirinya. Selamatan ini selain ditujukan pada para makhluk halus dan arwah leluhur, juga ditujukan untuk mbekteni ‘menghormat’ kepada sosok yang bernama Mbok Sri Sedana (ada yang menyebut Dewi Sri) yang dianggap sebagai pelindung tanaman padi, dewi padi, atau dewi kemakmuran dengan membuat manten pari79 ‘boneka padi’. Wilayah Pesisir Selatan Kebumen khususnya tradisi petaninya memiliki beberapa wilayah (delapan Kecamatan). Masing-masing wilayah memiliki ciri khas dalam melaksanakan selamatan, tetapi garis besar folklor dan sosok tokohnya sama, terutama Dewi Sri (yang kadang kala karena di Pesisir dekat laut juga dipersepsikan sebagai jelmaan Ratu Kidul). Dalam selamatan nanem wiji/ wiwit dan ritual njabel80
di sana ada yang
menyebut ngundhuh/ metik/ mbedhol ‘memanen’ terikat dengan ritual mereka, meskipun ada yang tidak melaksanakan. Pengairan di Pesisir Selatan Kebumen tidak cukup sehingga dalam mengolah tanah untuk pari gaga ‘padi gaga’ tergantung pada air hujan. Oleh karena itu, air hujan sangat berperanan penting. Jika air hujan terlambat datang mereka berusaha agar hujan segera turun dengan cara kejawen, yaitu dengan mengadakan ritual nyuwun jawoh ‘minta hujan’, selanjutnya umat muslim taat mengadakan salat istikomah ‘salat minta hujan’ bersama di lapangan. Perilaku seperti itu juga disebabkan pemahaman spiritual yang terungkap dalam yen gisik pari gaga apik, njero ya metu apik ‘jika pantai padi gaga bagus, pedalaman juga bagus’. Pemahaman ini mereka miliki berdasarkan “keberkahan” dari Gusti Allah dan sejauh mana secara spiritual tanah di Pesisir (mereka pahami sebagai halaman atau teras dari kerajaan laut Selatan) mendapat perkenan dari Ratu Selatan. Secara
79
Manten Pari ini sekaraang sudah hampir punah karena ketika membawa pulang padi sudah dalam posisi sudaah di rontok sehingga masuk ke dalam karung. 80
Jabel dapat dimaknai sebagai menganbil kembali yang telah dititpkan kepada Dwi Sri untuk to user dikembangkan menadi beras yang dapat commit menghidupi.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 296
geografis tanah di Pesisir yang berpasir bisa panen apalagi tanah liat di pedalaman yang lebih baik, pasti bisa panen.
d) Goib yang Dianggap Sering Mengganggu Ada lagi gaib yang bersifat sering mengganggu dengan cara merasuki seseorang. Apabila ada orang kerasukan, maka bisa menjadi gila atau kadang hanya diam saja seperti orang bingung. Contoh adanya peristiwa yang terjadi di daerah Purwosari, seorang laki-laki yang kerasukan gaib wanita mengamuk dan suaranya berubah menjad suara wanita. Makhluk gaib lain yang bersifat baik atau buruk bergantung dari sudut pandang tertentu. Sebagai contoh, makhluk gaib tuyul dikatakan baik bagi pemiliknya karena dipelihara dan diminta membantu mencarikan uang untuk tuannya degan cara mencuri uang orang lain, sebaliknya menjadi jahat karena bagi yang merasa dirugikan sebab selalu kehilangan uang meskipun sudah disimpan rapat-rapat. Keadaan ini dapat segera ditambani oleh wong pinter/wong tua ‘orang pandai/orang yang dianggap tua dalam hal spiritual’. Biasaya orang yang disebut garing silite ‘kering duburnya’ dapat melihat dan berkomunikasi dengan makhluk gaib ini lalu meminta untuk tidak mengganggu (pengalaman penduduk dituturkan oleh informan Barja dilampirkan). Makhluk gaib jahat lainnya, seperti kuntilanak karena sering menculik anak kecil untuk dijadikan anaknya.
4) Ekspresi Verbal Terkait Negosiasi Spiritual Petani dengan Penguasa Tertinggi Keinginan dan perasaan manusia termasuk masyarakat petani di lokasi penelitian untuk mendekatkan diri kepada Tuhan berupa simbul-simbul ritual berbentuk sesajen, tumbal, dan berbagai uborampenya, dan berbagai bentuk tirakat. Komunikasi dengan penguasa tertinggi dan gaib dapat bertujuan bermacan-macam, diantaranya: memohon sesuatu, meminta maaf, dan mengucap commit to user syukur, yang semuanya itu dapat digolongkan sebagai negosiasi. Bentuk negosiasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 297
biasanya menggunakan berbagai sarana sesaji dan tumbal sebagai pemberian persembahan dan makanan. Pemberian makan kepada roh halus diharapkan roh tersebut akan jinak, menurut, dan mau membantu manusia. Itulah sebabnya masyarakat petani sering mengadakan upacara ritual dengan berbagai sesajen dan tumbal. Ada banyak cara dalam bernegosiasi dengan roh halus, yakni dengan menggunakan aneka sesajen yang penuh makna sebagai manivestasi permohonan dan harapan atau disebut dengan slametan. Memang diakui bahwa simbul tumbal lan sesajen riritual tadi mengandung pengaruh sinkretik Hindu-Jawa dan Islam Jawa yang menyatu padu dalam kultural mistik. Sinkritisme juga terlihat pada saat adanya pembakaran kemeyan pada saat ritual mistik yang diyakini merupakan persembahan yang baik kepada Tuhan dan makhluk gaib. Kebul (asap) kemeyan atau dupa membumbung ke atas, tegak lurus, tidak mobat-mabit ke kanan dan ke kiri merupakan tanda bahwa sesajennya dapat diterima. Membakar kemenyan sebagai pengikat iman kepada Tuhan. Nyala kemenyan merupakan cahaya kumaran. Asapnya diharapkan sampai surga dan dapat diterima oleh Tuhan. Selain dengan membakar kemenyan atau dupa juga dengan memberikan persembahan bunga-bungaan yang berbau harum karena, baik dupa, menyan, atau bunga memiliki assensi yang sama, yakni untuk menunjukkan ahklak yang baik kepada Tuhan sebagai Hyang Widhi Wasa sebab diyakini bahwa Tuhan dan semua mahkluk gaib suka dengan segala sesuatu yang bersifat harum. Contoh bernegosiasi dengan Tuhan dalam bentuk permohonan pertolongan kepada Tuhan agar pasangan suami Isteri dapat dipulihkan seperti sedia kala seperti berikut
Kangge nambani bojo elik/ gabrukkan ‘untuk mengobati suami isteri tidak rukun’. Caranipun ‘bismillah kepareng kulo matur meniko kulo aturi daharan kebul menyan bade nyuwun pitulungan gandeng------kalih bojone mboten rukun supados sae meleh kados wingi-wingin ‘’caranya dengan menyebut nama Allah mohon izin saya memberi asap menyan minta tolong karena-------dengan pasangannya tidak rukun supaya rukun lagi seperti semula’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 298
Bersamaan dengan ungkapan verbal tersebut disediakan juga aneka sesajen yang penuh makna simbolik, misalnya kembang kanthil ‘bunga kanthil dengan maksud agar kedua belah pihak isteri - suami saling kemathil kantil ‘ saling tertarik’ sehingga rukun kembali. Komunitas petani yang masih menganut sistem mistis merasa yakin bahwa aktivitas semacam itu bukanlah tindakan kultural yang mengada ada dan kurang rasional. Mereka bahkan percaya bahwa dibalik ritual pembakaran menyan merupakan upaya laku untuk nundhung setan yang akan mengganggu manusia. Konon mereka menyakini bahwa setan merupakan mahkluk yang terbuat dari api sehingga hanya dapat ditaklukkan dengan kebul api pula. Perwujudan laku ritual itu tetap disandarkan kepada Tuhan bukan pada benda yang disimbulkan. Oleh karena itu, mereka yakin bahwa hal demikian bukanlah musrik.
5) Berbagai Sesaji dalam Bernegosiasi
Berbagai sesaji yang digunakan dalam ritual, disamping kemenyan juga terdapat tumpeng lan uborampe –nya. Sesaji tersebut dimaksudkan sebagai sarana slametan ‘keselamatan’. Tumpeng yang ada di lokasi penelitian adalah tumpeng megana yang berbeda dengan daerah lain karena tumpeng ini meletakkan lauk pauk di dalam nasi termasuk kacang panjang, endog, dan bumbunya. Sesaji lain yang juga penting adalah jajan pasar ‘aneka jajanan pasar’ . Jajan pasar merupakan lambang ‘pergaulan
sesrawungan dan
lan
kemakmuran
kemakmuran’
Hal
ini
diasosiasikan bahwa pasar adalah tempat commitbuah, to user bermacam- macam barang, seperti
Gambar 4.49: Pisang Raja untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 299
makanan ringan, kembang setaman, rokok, dan kinang. Dalam jajan pasar juga ada uangnya senilai satus ‘seratus’rupiah. Maksudnya, satus berasal dari kata sat (asat) ‘habis’ dan atus ‘tuntas’ . Oleh karena itu, secara keseluruhan menjadi bermakna bahwa manusia telah bersih dari dosa. Pisang raja sepasang ‘pisang raja sepasang’ yakni pisang raja biasa dan raja pulut. Pisang juga termasuk sesajen yang utama. Pemakaian pisang raja, biasa dimaksudkan agar yang melakukan upacara ritual dapat memiliki derajat seperti raja, yakni menjadi manusia yang memiliki sifat budi luhur lan wibawa ‘berbudi luhur dan berwibawa’, sedangkan pisang raja pulut agar pelaku dapat pulut dengan di hiperkorek menjadi luput dari marabahaya.
6) Pengaruh Konsep Gaib pada Sosiokultural Komunitas Petani
Secara sosiokultural pengetahuan komunitas petani tentang makhluk gaib berpengaruh terhadap kehidupan sosial mereka diantara sebagai berikut: (1) menghargai dan menghormati sesama makhluk Tuhan. Bagaimanapun ibarat orang bertamu, misalnya tetap harus meminta izin apabila ingin memasuki wilayah yang bukan arealnya, misalnya memasuki areal yang wingit (dianggap ada makhluk halusnya) dengan cara uluk salam ‘membaca salam’; (2) solidaritas dimaknai sebagai suatu upaya dalam rangka berbagi ketika manusia harus bersinggungan dengan makhluk gaib berupa upacara tertentu yang melibatkan masyarakat dan sanak- saudara dalam pelaksanaannya; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 300
(3) menguatkan spiritualitas masyarakat karena akan membuat masyarakat selalu membaca mantra dan berdoa demi keselamatan dari godaan makhluk gaib yang bersifat jahat. Segala bentuk-bentuk sesajen mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan komunitas petani maka segala sesajen itu dianalogikan/secara simbolik memiliki makna dengan pertumbuhan manusia dan sifat-sifatnya. Simbul-simbul pada uborampe tersebut di analogkan yang menggambarkan perjalanan hidup manusia dari ana ‘ada’ menjadi ora ana ‘tidak ada’ . (1) Endhog ‘telur’ merupakan lambang wiji dadi ‘benih’ manusia yang jadi, maksudnya, manusia berasal dari benih yang baik sehingga menjadi manusia yang juga baik. Oleh karena itu, setiap acara ritual selalu menggunakan endog ‘telur. Dalam konteks pertanian juga memiliki maksud yang sama yakni agar tanaman biji yang ditanam seperti endog sing dadi wiji dadi. (2) Bumbu megana ‘gudangan’ merupakan bakal ‘embrio’ hidup. (3) Cambah ‘cambah’ dimaksudkan agar manusia bertumbuh terus seperti cambah. (4) Kacang dawa ‘kacang panjang’ berarti agar kehidupan manusia memiliki pemikiran yang panjang tidak berpikir picik. (5) Tomat ‘tomat’ berarti agar menjadi manusia yang memiliki perbuatan yang jalmo lipat seprapat tamat ‘manusia yang serba bisa. (6) Brambang ‘bawang merah’ yakni agar menjadi manusia yang selalu mempertimbangkan dengan masak dalam membuat keputusan segala sesuatu sehingga tidak gegabah. Dalam hal ini diartikan ditimbangtimbang. (7) Kangkung dimaksudkan agar menjadi manusia yang linangkung ‘tingkat tinggi’ (8) Bayem ‘daun bayam’ diartikan bahwa manusia setelah melaksanakan segala bentuk pola kehidupan yang baik akan memiliki urip sing ayem tentrem ‘hidup yang damai’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 301
(9) Lombok abang dimaksudkan manusia mempunyai keberanian dan tekad manunggal dengan Tuhan’ (10)
Ingkung ‘ingkung’ berarti bahwa cara manunggal dengan Tuhan
dilakukan dengan manekung ‘bertekun’. Sebagai pelengkap, biasanya disajikan pula jenang abang putih yang diartikan sebagai simbul terjadinya manusia. Jenang abang adalah simbul benih dari ibu (biyung) dan jenang putih benih dari bapa ‘ayah’ . Sesaji bentuk air putih dan wujud bunga adalah simbol Tuhan menciptakan daratan (bunga) dan lautan (air putih).
7) Ekspresi Verbal Terkait Konsep Bertirakat pada Komunita Petani
Kegiatan spiritual lainnya adalah tirakatan malem Jumat Kliwon untuk mendapatkan thotok garing yang dipercaya dapat dipakai untuk menolak penyakit tanaman. Menurut Koentjaraningrat, meditasi atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata (bertapa) dan dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap keramat misalnya di gunung, makam keramat, ruang yang dikeramatkan dan sebagainya. Pada umumnya orang melakukan meditasi adalah untuk mendekatkan atau menyatukan diri dengan Tuhan. Oleh sebab itu, dalam komunitas petani dikenal dengan istilah nyura dan ngadem maksudnya adalah puasa yang dilakukan untuk sebelum dan selama bulan Sura. Konsep ini sebenarnya sudah campuran antara Jawa yang disebut dengan pasa patang puluh dina ‘berpuasa selama 40 hari’. Semua bentuk spiritual masyarakat petani terangkum dalam konsep bertirakat yang akan diuraikan berikutnya. Bertapa atau mati raga merupakan hal yang sudah sangat erat keberadaannya pada
masyarakat
tradisional,
khususnya di daerah penelitian ini. Ada beberapa cara orang bertapa untuk tujuan baik diantaranya membantu menyembuhkan orang sakit, memberi petuah, dan membantu memecahkan masalah commit to user kehidupan. Memahami makna puasa menurut
Gambar 4.50: P Sajadi Pemilik Keris Nagasasra
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 302
budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal. Pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan guru-guru kebatinan ataupun dari hasil penemuan masing-masing para pelakunya. Sedangkan untuk mengetahui sumber panduan guru-guru kebatinan kita harus melacak tata cara keyakinan pra IslamJawa. Kedua, ritual puasa ini bernuansa tasawuf/mistik sehingga penjelasannya pun memakai sudut pandang mistis
dengan mengutamakan
rasa dan
mengesampingkan akal / nalar. Ketiga, dalam budaya mistik Jawa terdapat etika guruisme; dalam hal ini murid melakukan denga cara patuh pada Sang Guru tanpa menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Di daerah penelitian ada beberapa bentuk berpuasa, diantaranya: a) Nyura adalah puasa yang dilakukan pada sepuluh hari sebelum bulan Sura sampai hari Raya Idul Fitri, selama 40 hari; cara berpuasa sama seperti berpuasa Islam yakni dengan makan sahur, dan ditutup dengan makan buka puasa. b) Ngadem, yaitu berpuasa dengan tidak makan makanan yang berasa, maksudnya tidak makan nasi, hanya makan ubu-ubian dan lauknya dimasak tanpa bumbu garam, dan gula, waktu pelaksanaan biasanya tergantung pada kehendak yang berpuasa namun lebih sering dilaksankan pada menjelang wetonnya ‘hari pasaran lahirnya’, tujuan melakukan ini untuk mencari keselamatan, meminta permohonan yang agak berat, menjelang membuat rumah, menaklukkan jin atau roh jahat, dan menemukan jodoh; c) Topobroto ‘bertapa’ atau bersemadi dengan cara menyendiri di suatu tempat, tidak berkomunikasi dengan siapapun, dan tidak makan apapun. Ini biasanya dipakai untuk meminta kesaktian atau meminta gaman ‘pusaka’ yang dapat dipakai untuk berbagai macam keperluan, antara lain untuk menolong sesama.
a) Syarat-syarat Bertirahat pada Komunitas Petani
Dalam bertirakat tentu saja harus mentaati peraturan yang telah menjadi pedoman secara turun menurun yang dianggap sebagai tebusan apabila permohonan dikabulkan Apa bila tidak menepati janji maka akan mendapat to userkyai yang bernama mbah Manten hukuman. Hal itu pernah dialamicommit oleh seorang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 303
(ceritera pengalaman spiritual mbah Manten terlampir), yang setelah
bertapa
mendapatkan pusaka yang diberi nama Kaca Paesan. Kkeris nagasasra yang diperoleh orang tua mbah Darmuji lalu diwariskan pada mbah Darmuji seperti diceritakan berikut ini
Naliko angsal gaman saking bapak ujude sawer ageng dugi, agenge mboten patut (sangat) ngleker sasampune topo 40 dina. Mpune niku dugi tiyang putri maringaken gaman wujud keris Nogososro. Ginanipun gaman Nogososro 1) kangge nambani tiyang ketempel, caranipun dipun empani/pakani kalih meyan, termasuk naliko kulo dilengseri saking tiyang sepuh dipakani meyan rumiyen lajeng niyate sendheg-depe/menyerah dateng Gusti Allah, menyan dibong gaman dijantur di atas kukus menyan. 2) lara weteng termasuk arep nglahiraken, 3) Kangge nambani bojo elik/gabrukkan, 4) nolak santet, 5) sabin angker saged dipun sarani ngangge gaman nogososro ‘Ketika mendapat ayah saya mendapat dalam bentuk ular besar datang, besar tidak terkira melingkar setelah berpuasa selama 40 hari. Setelah itu seorang wanita memberikan pusaka berbentuk keris Nagasosro. Gunanya untuk 1) mengobati orang yang kerasukan caranya diberi makan meyan termasuk ketika saya diwarisi dari orangtua diberi makan menyan terlebih dahulu terus berserah kepada Tuhan, menyan dibakar dan pusaka di gantung. 2) Sakit perut termasuk mau melahirkan, 3) Untuk mengobati suami/isteri yang selingkuh, 4) Menolak santet, 5) Sawah yang angker’
Semua puasa dan bertapa harus didasari dengan niat baik sehingga apa bila melakukan puasa dilarang untuk melakukan berbagai kejahatan, pelanggaran moral, dan niat buruk. Apabila hal ini dilanggar maka akan terjadi bencana, penyakit, atau hukuman dan setelah mendapatkan pusaka juga harus dipergunakan dengan baik pula. Kalau melanggar kesepakatan/ aturan kepemilikan pusaka itu akan muksa ‘lesap’ contohnya terbukti pada mbah Manten (64 th) yang memiliki pusaka kaca paesan melakukan perselingkuhan akibatnya pusakanya muksa ‘leyap’. Setelah pusakanya muksa ‘leyap’ maka mbah Manten tidak lagi dapat menyembuhkan orang sakit akibatnya rejekinya juga berkurang karena yang biasanya
menggunakan
jasanya memberi
imbalan
lengkapnya pusaka tersebut adalah sebagai berikut: commit to user
sekedarnya.
Ceritera
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 304
Nyong bar topo neng nggisik petanahan diwenehi Ibu Ratu gaman wujude Kaca paesan, bentukke watu gepeng, gunane werna-werna kanggo nawarke nggon sing wingit, kanggoi nonto apo wae, kanggo nonton ,maling sing wis lunga supaya barange dibalekke sing duwe. Akhire pusaka kui lunga dewe neng lau amarga nyong gawe salah soal wong wedok amagane sopo sing duwe gaman kui ora oleh seneng karo wong wadon liyo. Wektu duwe gaman kui rasane opo bae sing yong pingini iso keturutan.’Saya dulu setelah bertapa di Pesisir Selatan Petanahan diberi oleh Ratu Selatan berupa pusaka Kaca Paesan, bentuknya seperti batu pipih, fungsinya serba guna untuk menawarkan situasi rumah wingit ‘angker, gawat’, untuk mengetahui/melihat keberadaan/keadaan tempat lain, untuk melihat wajah pencuri yang telah berada di tempat lain supaya barang yang dicuri dikembalikan ke pemiliknya, dll. Akhirnya pusaka itu kembali sendiri ke laut Selatan karena ada persyaratan yang telah dilanggar, yakni soal wanita sebab pemegang pusaka itu tidak boleh selingkuh dengan wanita lain’. Ketika membawa pusaka itu apa yang diinginkan oleh pemiliknya pasti dikabulkan
Dalam kalangan masyarakat petani diyakini bahwa ilmu itu didapat dengan susah payah, tetapi akan lebih susah dalam mempertahankan dengan selalu mengikuti aturan yang telah ditetapkan dan mereka mengekspresikannya dengan moto ngelmu goleke angel-luwih angel yen wis ketemu ‘mencari ilmu itu susah namun lebih susah kalau sudah mendapatkan’ d) Madhang longan turu longan ‘tidak tidur tidak makan’ hampir seperti bertapa, namun dilakukan dirumah dan dengan tetap melaksanakan pekerjaan sehari-hari sehingga tampaknya ini lebih berat daripada bertapa karena tantangannya lebih banyak. Tirakat model ini biasanya dilakukan untuk mencari kekuatan batin akan peka terhadap segala jenis makhluk gaib, baik yang jahat maupun yang baik sehingga bisa berkomunikasi dengannya. Pelaksanaannya bebas menurut kehendak yang hendak tirakat dan setelah berhasil dinamakan sebagi wong sing garing silite81 ‘orang yang kering duburnya’. Hasil dari tirakat dapat pula dianggap sebagai mendapat wahyu.
b) Konsep Wahyu pada Komunitas Petani 81
Kering duburnya kaarenaa jarang makan sebagai cara tirakat sehingga jarang buang air besar commit to user sehingga kering duburnya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 305
Persepsi mereka tentang anugerah berupa “wahyu” yang berasal dari Ratu Kidul dapat diterima dalam wujud fisik berupa benda yang disebut piandel ’andalan’, gaman ‘pusaka’ yang dianggap ampuh, antara lain berupa tulang ikan yang telah membatu disebut wrengka, lempengan batu ajaib yang disebut kaca paesan, keris nagasasra, dan thothok ‘tangkai pembungkus bunga kelapa’ yang jatuh pada malam Jumah Kliwon’, dan jenis lainnya. Itu semua dianggap sebagai hadiah dari Ratu yang bertahta di Selatan, dan menjadi sebuah mitos sekaligus merupakan penghargaan menarik bagi mereka di sana. Khasiat piandel yang dimilikinya itu, dipahami memiliki variasi khasiat sesuai dengan piweling ‘ilham, suara gaib, mimpi’ dari Ratu Selatan kepada mereka yang menyangkut tatacara dan syarat namakaken ‘penerapannya’ setelah mereka gentur-tapane ‘tirakat dengan sungguh-sungguh’ seperti tertuang dalam ungkapannya “turu longan madhang longan” dan “wong sing garing silite” ‘orang yang berani kering duburnya karena tirakat selama 40 hari 40 malam’. Orang seperti itu menurutnya ‘diwedeni lan diingkuri barang alus” maknanya ‘orang yang seperti itu ditakuti dan disegani barang halus/gaib/jin’. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bertirakat memiliki beberapa fungsi, sebagai berikut.
c) Tirakat sebagai Simbol Keprihatinan dan Praktek Asketik82 Ciri laku spiritual tapa dan pasa adalah menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani laku ini, tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden sehingga dapat juga dikatakan bahwa pasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.
82
Dalam kamus besar indonesia III asketisme bermakna “paham yang mempraktekan to user kesederhanaan kejujuran dan kerelaancommit berkorban”
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 306
d) Puasa sebagai Sarana Penguatan Batin Dalam hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kesaktian, dan mampu berkomunikasi dengan yang gaib-gaib. Interpretasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr, ”Jalan mistik sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan Yang Benar” (Nasr, 2000). C) dan puasa adalah ibadah komunitas petani yang menjalankan syariat Islam dan dijalankan dalam hukumhukum fiqihnya. Komunitas petani di lokasi penelitian percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur karena segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas izin serta kehendakNYA. Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penguasa dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti ‘menyatunya manusia sebagai hamba dengan Tuhan’, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula terhadap Gustinya. Sebagian besar komunitas petani di daerah penelitian termasuk dalam golongan yang telah berusaha mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam, dengan pandangan asli mengenai alam kodrati ( dunia ini ) dan alam commit to Hal userini ditandai dengan realitas yang adikodrati ( alam gaib atau supranatural).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 307
mengarah kepada pembentukan kesatuan alam gaib antara alam nyata, masyarakat dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang menentukan kehidupan. Dasar kepercayaan mereka adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakikatnya adalah satu, atau merupakan kesatuan hidup, dan memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian, kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius. Alam pikiran mereka merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
b. Pandangan Hidup Komunitas Petani yang Mencerminkan Kearifan Lokal
Yang dimaksud pandangan hidup orang Jawa adalah pandangan secara keseluruhan dari semua keyakinan deskriptif tentang realita kehidupan yang dihadapi oleh manusia sangat bermakna dan diperoleh dari berbagai pengalaman hidup (Woro, Muhamad, 2012)83. Berdasarkan hasil penelitian Parsudi Suparlan di Suriname (1976) bahwa orang Jawa berprinsip pada “sangkan paraning dumadi” (dari mana manusia berasal, apa dan siapa dia pada masa kini dan kemana arah tujuan hidup yang dijalani dan ditujunya). Prinsip ini menyangkut dua hal, yaitu konsep eksistensi manusia di dunia dan konsep tempat manusia di dunia. Masyarakat petani di lokasi penelitian dengan segala pandangan hidupnya memiliki karakteristik budaya yang khas, sesuai dengan kondisi masyarakatnya yang masih tradisional dan merupakan daerah peralihan antara budaya Jawa Bayumas dan pusat budaya Solo-Jogja. Pada garis besarnya pandangan hidup mereka terkait dengan kedudukan seseorang sebagai makhluk individu dan sosial. Dalam hal ini pandangan hidup mereka memiliki kaidah-kaidah yang diidentifikasikan berdasarkan ungkapan-ungkapan verbal dan nonverbal sebagai 83
Kepercayaan Jawa oleh Waro Muhamad commit to user http://waromuhammad.blogspot.com/2012/02/kepercayaan-ritual-dan-pandangan-hidup.html
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 308
pengejawantahan nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyarakatnya. Sebaliknya, pandangan batin terkait dengan persoalan-persoalan yang bersifat supranatural, tetapi menduduki tempat yang penting dalam sistem budayanya. Terdapat sistem yang menuntut untuk meminimalisasi kepentingankepentingan yang bersifat individu. Hal tersebut didasarkan pada semangat komunal, tetapi secara individu seseorang di tuntut untuk memiliki kepercayaan yang kuat serta tekad dalam memperjuangkan hidup (jujur lan nerimo). Ungkapan di atas merupakan kristalisasi atau bahan untuk membaca semangat hidup agar mampu menempatkan diri sebagai individu guna menjaga keberadaan kehidupan. Secara sosial, komunitas petani memiliki orientasi utama, yaitu dengan menciptakan sikap yang mulia terhadap orang lain dalam beberapa bentuk, yakni dengan kerigen, uruban, dan gotong royong. Untuk menciptakan hal tersebut masyarakat menghindari sikap adigang adigung, adiguna, srei dengki, panasten, dan wedi isin, sebaliknya harus selalu eling lan waspodo, serta menciptakan hubungan sosial yang harmoni sengan ungkapan clatu, laku, lan pituku. Dalam hal ini melibatkan norma sosial seperti rukun, tepo sliro, berucap santun, berperilaku jujur, andap ashor dan sebagainya dan percaya bahwa apa yang diperbuat akan mendapat ganjaran yang setimpal dan bahkan menjadi orang yang meskipun tidak punya apa-apa namun tetap terhormat dengan ungkapan ora duwe apa-apa neng disuyuti ‘tidak punya apa-apa namun dihormati’. Sebenarnya tujuan serta pandangan hidup komunitas petani itu sama dengan masyarakat Jawa pada mumnya, yaitu untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin bagi anggotanya. Kebahagiaan tersebut diwujudkan sebagai hidup sejahtera, cukup sandang pandang, tempat tinggal aman dan tenteram. Hubungan masyarakat petani adalah cerminan yang lebih lanjut dari manusia didalam kaitannya dalam masyarakat sebagai makhluk sosial. Sedangkan hubungan dikeluarganya adalah pengejawantahan dari hubungan manusia sebagai pribadi dan orang lain yang pada hakekatnya adalah sebagai individu.
1) Ekspresi Verbal Terkait Hakekat Manusia sebagai Makhluk Individu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 309
Individu dalam hal ini adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan yang khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkah laku spesifik tentang dirinya, akan tetapi dalam banyak hal memiliki persamaan yang spesifik tentang dirinya dengan orang lain. Jelas bahwa individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkah laku sendiri. Persepsi terhadap dirinya sebagai individu merupakan suatu keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek yang melekat pada dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikhis rohaniah, dan aspek sosial. Apabila terjadi ketimpangan pada salah satu aspek, maka akan membawa akibat pada aspek yang lainnya. Manusia mempunyai pengaruh penting dalam kelangsungan ekosistem serta habitat manusia itu sendiri, tindakan-tindakan yang diambil atau kebijakankebijakan tentang hubungan dengan lingkungan akan berpengaruh bagi lingkungan dan manusia itu sendiri. Kemampuan menyadari hal tersebut akan menentukan bagaimana hubungan manusia dan lingkungannya. Hal ini memerlukan pembiasaan diri yang dapat membuat kesadaran akan hubungan manusia dengan lingkungannya. Manusia memiliki tugas untuk menjaga lingkungan demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri di masa akan datang84 Hal ini telah sangat tampak di lokasi penelitian yangsecara kolektif mempertahankan lingkungan di Pesisir Selatan agar tetap terjaga, khususnya mempertahankan pasir besi di tepi pantai dari upaya pengedukkan oleh investor karena masyarakat memiliki pengetahuan lokal bahwa pasir besi ini sangat bermanfaat bagi infiltrasi air laut ke daratan yang akan menyelamatkan sumber air mereka. Apabila pasir besi ini dieksploitasi maka air sumur ditepi laut pasti akan menjadi asin sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai sumber kehidupan mereka. Manusia sebagai individu ketika manusia dianalisis sebagai sebuah pribadi yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan dari mulai lahir sampai 84
commit to user http://manusiabudaya.blogspot.com/2012/03/manusia-sebagai-makhluk-individu-dan.html .
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 310
meninggal. Sebagai komunitas petani mengidentikan perkembangannya seperti perkembangan pohon kelapa yang memberikan kehidupan karena pohon kelapa dapat memberi penghasilan secara terus menerus tanpa mengenal musim dua kali sehari. Falsafah pohon kelapa inilah yang menjadi pegangan masyarakat petani di lokasi penelitian relevan dengan kondisi ekologinya. Falsafah tersebut adalah sebagai berikut: (1) Cikal cikal ‘calon atau tunas’, yaitu bakal pohon kelapa yang masih kecil dipadankan dengan umur manusia yang masih kanak-kanak , belum sempurna. (2) Glugu Glugu artinya manusia kecil bertindak masih lugu dan tidak pernah bohong, polos pemikirannya, dan lurus seperti nglugu ‘pohon kelapa’. (3) Tataran Tataran, yaitu tangga yang dibuat pada batang pohon kelapa. Maksudnya hidup mausia hendaknya diawali dari tahap demi tahap. Dalam meraih segala ilmu diperlukan laku dan proses. (4) Tapas Tapas, yaitu pembungkus calon buah kelapa. Maksudnya manusia harus mau ditata yang pas dan selaras. (5) Mancung Mancung, yaitu kuncup bunga kelapa, yang dimaksudkan bahwa manusia hendaknya selalu mengacungkan diri dalam hal kebaikan. (6) Manggar Manggar yaitu bunga kelapa, yang artinya bahwa hidup harusnya dianggar-anggar atau dipertimbagkan sebaik-baiknya. (7) Bluluk Bluluk ‘buah kelapa kecil’ yang maksudnya agar hidup harusnya balnul ‘mengepal-ngepul’ dengan keluk ‘asap’ maksudnya manusia harus sering membakar kemenyan sebagai sarana berkomunikasi dengan Yang widi wasa ‘penguasa tertinggi’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 311
(8) Bluluk Cengkir adalah buah kelapa muda yang belum ada dagingnya maksudnya adalah bahwa hidup harus kuat pemikirannya, yakni kenceng ing pikir ‘suka berpikir’ (9) Degan Degan adalah buah kelapa muda yang dagingnya enak dimakan tetapi belum bisa diparut, maksudnya adalah agar hidup harus menemukan gegantilaneng ati ‘buah hati’ yaitu Tuhan. (10) Sepet Sepet adalah pembungkus kelapa yang maksudnya adalah bahwa hidup manusia tidak selalu manis namun kadang kadang berasa sepet (hal-hal yang tidak enak). (11) Janur Janur adalah daun kelapa yang masih muda dan berwarna kuning, makna yang terkandung adalah bahwa hidup harus selalu mencari cahaya(yang kuning} yaitu Nur Illahi. Pemahaman
akan
filsafat
kehidupan
itu
termanifestasikan ke dalam bentuk istilah A-I-U, yakni aku iki urip ‘aku ini hidup’. Sebagai manusia yang hidup akan terus diuji setiap saat, tak boleh ini, tak boleh itu, tapi harus itu artinya bahwa manusia hidup harus tertuju untuk mendapatkan kesempunaan cahaya kuning, yakni Gambar 4.51: Tataran cahaya cahaya Illahi atau kecemelangan Tuhan. Dari sini
sebagai tempat memanjat
manusia akan selalu ingat bawa dirinya tercipta atas daging, roh, dan jiwa.85
85
Dalam keyakinan agama Hindu dikenal dengan A-U-M singkatan dari agnu ‘api’, udaka ‘laut/ air’, dan maruto ‘angin’Ke tiga anasir inilah yang menghidupkan manusia. AUM ini juga sering terangkai dalam kalimat mistis AUM AWIGHAMNAM ASTU dari kata a + wihgama (tidak cacat) dan astu (menyembah), artinya semoga saya dijauhkan dari cacat untuk menyembah kepadaMu. Aum juga sering berubah menjadi HONG dalam ungkapan HONG UM AWIGHAMNAM ASTU (Suwardi Indraswara, 262 :2006) –Mistik Kejawen, Yogyakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 312
2) Ekspresi Verbal Terkait Hakekat Manusia sebagai Mahkluk Sosial dalam Dinamika Interaksi Kemasyarakatan Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol yang diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh orang yang menggunakannya. Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Dalam berinteraksi masyarakat petani memiliki ruang dengan kategori saat seperti acara individu yang melibatkan sosial seperti hajatan, upaca ritual individu dan demensi sosia, yakni upacara yang bertujuan untuk keselamatan bersama sehingga segala sesuatunya menjadi tanggungan bersama seperti sedekah bumi dan sedekah laut. Pada dasarnya manusia sebagai individu tidak dapat dipisahkan dengan fungsinya sebagai masyarakat karena pada setiap upacara untuk kepentingan individu selalu melibatkan manusia lain antara lain dalam bentuk kerigen, ngode, nggaduh, slametan, uruban, derep.
a) Kerigen ‘gotong royong/bekerja bersama-sama’ dalam Berbagai Acara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 313
Kerigen merupakan kegiatan kerja sama antarmasyarakat petani di lokasi penelitian yang biasanya disebut sebagai gotong royong, dilaksanakan pada acara individual dan sosial. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membangun rumah, banyak tetangga yang membantu sebagai pelaksana pembangunan. Pada komunitas petani ini pelaksana bangunan tidak dibayar dengan uang, namun hanya mendapat makan dan minum seperlunya dengan istilah etuk ingon ‘mendapat makan’. Hal in berlaku bergantian. Apabila seseorang tidak ikut melaksanakan hal ini, maka suatu hari ketika dia membutuhkan bantuan akan mengalami kesulitan. Selain kebersamaan Gambar 4.52: Bergotong royong juga berlangsung saat menjadi nelayan
dalam membuat rumah juga terdapat ritual yang dilaksanakan dengan melibatkan banyak orang ,
misalnya doa bersama dan dilanjutkan makan bersama. Momen ini merupakan suatu wujud kebersamaan dan berbagi antara individu dalam komunitas petani. Kerigan ‘gotong-royong’ bisa juga dilaksanakan dalam pembuatan jalan, saluran irigasi, atau dalam kegiatan kebersamaan lainnya. Pola-pola tersebut adalah pola kebersamaan kerja tanpa upah sedikit pun. Dalam hal ini mereka tak mengenal tahapan pengajuan anggaran maupun pengadaan barang tetapi kegiatan mereka terselesaikan dengan cepat dan penuh tanggung jawab.
b) Uruban ‘barter’ Saat Musim Jabel ‘panen’
`Uruban ‘barter artinya bertukar. Barter (uruban) ternyata masih menjadi bagian gaya hidup petani ketika berada di sawah seperti dikala belum ada uang. Ternyata mereka tetap hidup dan bisa menurunkan hingga generasi sekarang ini. Mereka tidak selalu mengukur segala sesuatu dengan materi. Mereka yang mempunyai sawah menanam commit to user Gambar 4.53: Suasan jabel yang selalu terjadi uruban
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 314
padi dan memiliki tanaman-tanaman palawija yang bisa mereka gunakan sebagai kebutuhan sehari-hari, sepert jamu, dan pohon kelapa yang dapat mereka gunakan untuk membangun rumah. Hasil bumi inilah yang dapat dipakai sebagai bahan untuk uruban ‘barter’. Misalnya pada waktu musim jabel ‘panen’ banyak penjaja dawet yang berjualan di sawah. Petani yang minum tidak perlu membayar namun biasanya mereka memberikan beberapa tangkai padi. Dawet yang mereka jajakan kepada petani pun juga hasil dari kebun kelapa, untuk membuat santannya, dan gula merah pemanisnya, sedangkan cendol dibuat dari tepung budin. Pada akhir panen, gabah yang diperoleh akan lebih banyak nilainya bila dibandingkan dengan hasil menjual dawet yang hanya diharga dua ribu rupiah semangkok.
c) Nggaduh ‘memelihara hewan orang lain’ Suatu Bentuk Berbagi
Nggaduh ‘memelihara hewan orang lain’ yang kandangnya biasanya di dekat rumahnya.Hasilnya digunakan untuk konsumsi atau sebagai tabungan untuk kebutuhan mendadak. Kotoran hewan tersebut, digunakan untuk nglemon taneman ‘memupuki tanaman’ di kebun dan sawahnya. Nggaduh biasanya untuk hewan sapai, kambing, dan bebek. Imbalan yang diberikan berdasar rasa dari hati nurani menjadi prinsip kegiatan ekonomi di lokasi penelitian. Hal demikian merupakan bagian dari kehidupan social yang menunjang unsure saling berbagi.
d) Derep ‘memanen padi orang lain Bagi Petani yang Tidak Memiliki Sawah Sendiri
Derep juga merupakan bentuk kerja sama dan barter namun kusus untuk pekerjaan menuai padi di sawah. Tidak semua pemilik sawah mampu menuai padinya dan tidak semua orang memiliki sawah. Oleh karena itu, yang tidak bisa menuai padinya dapat menggunakan jasa petani yang tidak memiliki sawah. Imbalannya, mereka commit to user memberikan sebagian gabah kepada penuai itu. Gambar 4.54 : Petani sedang derep
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 315
Dalam hal ini penuai padi biasanya juga mendapat upah lebih banyak daripada apa bila dibayar dengan uang harian layaknya pekerjaan tukang di kota besar. Derep pada saat ini dilakukan oleh mbok tani lan pak tani ‘wanita dan pria’ sebab zaman dulu ketika masih ada ani-ani ’ketam’ hanya dilakukan oleh mbok tani ‘wanita’ saja. Hal ini disebabkan sekarang sudah menggunakan arit ‘arit’ dengan sebutan ngerit ‘ngariti’.
e) Nyumbang ‘menyumbang’ Ekspresi Kebersamaan dalam Kemasyarakatan
Nyumbang ‘menyumbang’
biasanya berlangsung saat ada hajatan,
meskipun ada beberapa orang telah terpengaruh oleh kehidupan materialistik, namun dasarnya masih banyak masyarakat yang mempertahankan sistem nyumbang
dengan cara tradisional, yaitu dengan
memberikan bahan makanan sperti beras minimal tiga kilo dan selebihnya bervariasi tergantung apa yang mereka miliki. Apabila mereka memiliki Gambar 4.56: Petani yang akan menyumbang
banyak pohon kelapa, mereka nyumbang kelapa atau
gula
kelapa.
Nyumbang
sebenarnya
menggunakan konsep barter, perbedaannya hanyalah waktu. Barter biasanya dilakukan langsung pada waktu saat saling membutuhkan namun nyumbang dilakukan pada saat menyumbang hajatan. Ada juga istilah mbalekke/mbales ‘mengembalikan’ yaitu setelah diberi sumbangan maka harus ganti menymbang orang yang pernah menyumbangnya. Hal semacam ini berlangsung secara terusmenerus dan telah tertanam secara turun temurun menjadi sendi-sendi kemasyarakatan sehingga apabila seseorang tidak mau datang dan menyumbang maka pada saat orang tersebut membutuhkan bantuan atau punya hajat orang lain tidak mau datang, sebaliknya apabila orang itu sering datang dan menyumbang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 316
apalagi ringan tangan maka bila punya kerja yang datang dan membantu banyak setimpal dengan apa yang sudah dilakukan.
f) Ngode ‘kerja sampingan’ Bagi Petani yang Tidak Memiliki Pohon Kelapa Sendiri
Ngode dilakukan
‘kerja
untuk
sampingan’
mencari
biasanya
tambahan
rejeki
misalnya pada waktu tidak musim panen padi. Petani yang tidak memiliki pohon kelapa ngode pada petani yang memiliki pohon kelapa deres. Biasanya ngode ini dihargai separo bagian, misalnya hasil sehari untuk yang memiliki pohon dan
sehari
kemudian
untuk
yang
ngode Gambar 4.57:Seorang petani pulang ngode nderes milik
‘mendereskan’ dan berikutnya bagi yang memiliki pohon lagi. Dengan cara demikian mereka merasakan telah membuat keadilan dalam berbagi. Apabila pada saat saat milik pengode deresannya/niranya tidak banyak atau rusak karena kena hama, misalnya dirusak tikus atau kadal, maka itu menjadi nasib buruknya dan bukan kesalahan pemilik pohon dan sebaliknya.
g) Sambatan ‘tolong menolong’
Sambatan adalah membantu orang kerja pada saat ada orang mempunyai hajat, seperti pernikahan, pertunangan, kematian, dan kelahiran tetangga atau handai tolan. Sambatan biasanya datang sebelum hari hajatan untuk membantu memasak bagi wanita dan memasang kajang atau bersih-bersih bagi kaum pria. Setelah membantu mereka juga tetap menyumbang. Hal ini terjadi sebagai wujud kebersamaan dan kekeluargaan antarmasyarakat setempat. Apabila tidak mengikuti adat kebiasaan seperti ini, maka kemudian mereka tidak dibantu jika commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 317
mempunyai hajatan, meskipun mereka orang kaya. Dalam hal ini kebersamaan dan gotong royong merupakan sendi-sendi kehidupan yang utama.
h) Jerum ‘menjadi wali pengantin laki-laki’
Jerum adalah wali pengganti orangtua pada saat mengawinkan anak, untuk mengantarkan pengantin pria ke pesta pernikahan yang dilaksanakan oleh keluarga perempuan karena orang tua dilarang menghadiri pesta pernikahan anak prianya. Untuk itu mereka meminta orang lain seperti, tetangga, atau keluarga yang dipilih untuk mewakilinya. Apabila melanggar aturan ini, maka dikatakan sebagai anakke dipangan dewe ‘anaknya dimakan sendiri’. Setelah selesai melaksanakan tugas njerum biasanya keluarga memberi imbalan berupa masakan, dan bahan makan seperti beras86. Pesta pernikahan biasanya berlangsung selama empat hari. Hari pertama, biasanya dengan membunyikan musik keras-keras sebagai pertanda ada hajatan, istilahnya kanggo wara ‘untuk pengumuman’. Hari ke dua keluarga pengantin pria ngirim serahan berupa beras, kambing, masakan, jajan pasar, dan buah-buahan. Hari ke tiga undang tamu. Biasanya mereka datang dengan menggendong barang-barang yang akan disumbangkan. Hari ke empat pengantin datang ke lokasi pesta dengan digandeng oleh tetua dan diikuti oleh handai tolan pengantin pria tanpa orang tua. Bediah ‘membagi beras setelah kematian’ di Kabupaten Kebumen adalah budaya yang dilakukan apabila ada salah satu keluarga yang meninggal. Anakanaknya berkewajiban membagi beras tiga kilogram kepada tetangga dekat dan lima kilogram bagi sekelompok kaum yang mendoakan pada saat kenduri. Adat ini belum tergantikan dengan uang sampai sekarang. Ini dilakukan sebagai upaya
86
Untuk menyumbang, memberi upah biasanya minimal 3 kilo gram ditambah varian lain sesuai commit dengan selera atau ada juga yang ditambah uang.to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 318
membagi kesedihan bersama sehingga tetangga diharapkan mengingat akan hari kematian ini. Hari kematian ini juga disebut dina kapesan ‘hari naas’. Dengan adanya bediah, tetangga dekat bisa mengingat dino kapesan jika keluarganya lupa. Hal tersebut berkaitan erat dengan kepercayaan komunitas petani, yakni apabila melakukan sesuatu atau mengadakan perjalanan jauh pada hari naas akan berakibat jelek, misalnya menanam padi di ladang pada hari naas berakibat tanamannya tidak akan bertumbuh dengan baik bahkan ada kalanya dimakan hama. Ada tujuan lain yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai permintaan maaf atas dosa dan kesalahan almarhum yang telah diperbuat secara sengaja maupun tidak sengaja kepada tetangga dan handai tolan.
3) Pandangan Hidup Melalui Metafora Dunia Pertanian
Metafora dapat menunjukkan pandangan manusia tentang sebuah hal, pengetahuan manusia akan realitas, dan masalah yang dihadapi oleh komunitas petani di lokasi penelitian. Metafora dalam bidang pertanian merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk mewariskan nilai-nilai budaya, adat istiadat, nasehat, pikiran, perasaan, dan kebiasaan sehari-hari (Iashak Bagea, 2010: 4351)87. Edi Subroto (1991:16), menegaskan tentang metafora, yaitu terdapatnya kemiripan antara sesuatu yang pertama (referent-1) dengan sesuatu yang kemudian (referent-2), baik kemiripan objektif maupun kemiripan perseptual atau kultural. Sesuatu dengan yang pertama disebut tenor dan sesuatu yang kedua disebut wahana (vehicle). Menurut pendapat Herman Waluyo (1991:84), metafora adalah cara pandang terhadap suatu objek melalui perbandingan, baik langsung maupun tidak langsung. Ada dua hal (term) yang mendasar untuk membandingkan dua objek, yaitu tenor dan wahana. Dengan demikian ada kemiripan objek yang ditunjuk sebagai referen pertama dan yang menunjuk sebagai referen kedua. 87
commit to user Jurnal Humaniora Volume 22 diterbitkan 1 Januari 2010.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 319
a) Padi dalam Metafora Seorang Wanita
Ada beberapa bentuk metafora dalam kaitannya dengan pertanian karena dunia pertanian meliputi beberapa ranah yang selanjutnya pada masing-masing ranah terdapat kategori yang diekspresikan dalam bentuk linguistik. Dari ekspresi linguistik itu dapat dicermati pandangan hidup komunitas petani. Pengungkapan segala sesuatu secara verbal bisa langsung dan tidak langsung, yaitu dengan menggunakan metafora ataupun dengan menggunakan simbolisme. Dari beberapa metafor yang dijumpai bisa dalam tataran satuan lingual kata, frasa, kalimat, atau wacana. Contoh metafora pada saat pasca penanaman terdapat ungkapan parine wis meteng ‘padinya sudah hamil’ dan parine wis manak ‘padinya sudah beranak’. Bentuk metafor tersebut berkaitan dengan metafor manusia (seorang wanita), yaitu ungkapan meteng dan manak terdapat perbandingan antara pari ‘padi yang merupakan tumbuhan dibandingkan dengan seorang wanita yang melahirkan manusia baru. Meteng berasal dari induk padi sudah berisi bakal padi sehingga menggelembung layaknya seorang wanita yang sedang hamil sedangkan manak ‘beranak’ juga disamakan dengan manusia. Dalam hal ini padi sebagai pebanding dan wanita (manusia) sebagai pembanding. Secara linguistik dalam kajian metafora dikatakan pari sebagai tenornya dan wanita sebagai viheclenya. Metafora tersebut dalam tataran satuan lingual kata. Satuan lingual frasa dijumpai pada mantra jabel seperti Nyong mboyong Dewi Sri ‘aku membawa Dewi Sri’ maring kadhatone ‘ke dalam istananya. Dalam hal ini Dewi Sri adalah padi yang dalam konsep berpikir petani karena padi merupakan makanan pokok manusiaa (merupakan sesuatu yang sangat penting) sehingga diibaratkan sebagai seorang Dewi. Seorang Dewi memiliki sebuah istana. Oleh sebab itu, ketika dibawa masuk ke dalam lumbung padi diibaratkan sebagai masuk ke dalam istananya. Secara metaforis padi dibangingkan dengan Dewi Sri dan lumbung dibandingkan degan istana. Begitu pentingnya peranan padi dalam kehidupan petani, maka pemeliharaannyapun secara simbolis commit to user mencerminkan suatu upaya menjaga seorang Dewi agar betah tinggal di dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 320
istananya dengan menyediakan banyu tawa, gadang tawa agar suasana di dalam istana dingin dan sejuk. Jika istananya sejuk, maka sang Dewi betah tinggal di dalamnya, berarti padi akan awet. Sebagai pertanda rasa hormat kepada Dewi Sri maka digunakan istilah mboyong ‘membawa pulang’.
b) Metafora Penyakit Padi sebagai Unsur Penghormatan Penyakit padi yang bernama nglaras diberi sebutan degan kuning meskipun sebenarnya warna penyakit itu tidak berwarna kuning. Pola pikir penyebutan nama penyakit karena memiliki makna baik. Hal ini karena kuning dalam lingkungan petani diidentikkan dengan ceritera pandan Kuning dan pari yang sudah masak berwarna kuning. Warna kuning merupakan warna yang diasosiasikan dengan hal-hal yang baik seperti pada ceritera Pandan Kuning. Warna kuning keemasan daun pandan dapat menyelamatkan Dewi Sulasih dari cengkeraman sang penculik (ceritera terlampir). Sifat baik warna kuning yang lain adalah warna yang membahagiakan petani karena apabila padinya sudah kuning parine wis kuni-kuning ‘parine wis kuning-kuning’ berarti segera tiba mangsa jabel ‘panen raya’ Dengan demikian penyakit nglaras dibandingkan dengan warna kuning. Dari hal itu dapat dipahami pola pemikiran masyarakat petani bahwa manusia harus berbuat baik kepada siapapun meskipun dia tidak baik pada kita. Dengan prinsip tuku-pituku, yakni kebaikan akan dibalas dengan kebaikan sehingga diharapkan penyakit kalau dibaiki akan segera sembuh sehingga tidak mengganas.
c) Metafora Sumber Kehidupan Petani Nelayan dalam Pemikiran Mereka Sebagai masyarakat peralihan yang akan menjadikan laut sebagai alternatif sumber penghidupan, masyarakat petani di sepanjang Pesisir Selatahn Kebumen memiliki pandangan secara metaforis tentang laut sebagai suatu kerajaan yang di dipimpin oleh seorang ratu dengan sebutan Ibu Ratu sehingga ketika melaut commit to user laut sebagai ibu berkaitan erat nelayan menyebut dengan mlebu. Pemaknaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 321
dengan konsep bahwa seorang ibu akan selalu pemurah dan menghidupi anakanaknya. Ratu juga dapat diibaratkan sebagai sesuatu yang berkuasa dan memiliki kekayaan yang berlimpah sehingga ketika dikatakan sebagai Ibu Ratu maka menjadi sebuah keyakinan bahwa laut bagaikan seorang ibu yang kaya raya yang akan selalu memberikan rejeki berupa tangkapan ikan sehingga nelayan menjadi tercukupi sandang, pangan, lan papan ‘pakaian, makanan, dan tempat tinggal’. Dalam kaitan dengan kajian metafora, laut sebagai tenor sedangkan ibu ratu sebagai viheclenya. Daerah peneltian yang merupakan daerah peralihan yang mencoba beradaptasi dengan laut memiliki pemikiran yang sangat sederhana yang mencoba menghubungkan segala yang ada dalam lingkungannya dengan pandangan dunianya bahwa segala sesuatu adalah ada yang menciptakan. Dalam hal ini terdapat konsep pemikiran antara laut dan darat yang diibaratkan sebagai seorang ibu seperti dalam bahasa Indonesia adanya Ibu Pertiwi. Ibu adalah seorang sosok yang sangat penting di dalam kelangsungan kehidupan di dunia ini. Siat-sifat seorang ibu menjadi harapan dan gambaran akan ketersediaan kehidupan, kemurahan hati, kesabaran, dan keabadian. Konsep ratu menjadi gambaran bahwa seorang ratu adalah sesuatu yang berkuasa, kaya, dan mempunyai wibawa serta memiliki otoritas akan suatu wilayah. Dalam hal ini adalah lautan yang selalu bermurah hati memberikan izin kepada siapapun untuk memasuki wilayahnya dan mengambil hasil panen di lautan. Konsep itu digambarkan sebagai hubungan metaforis komunitas petani seperti bagan berikut.
LAUT kaya hasil
laut berupa aneka ikan
DARAT kaya hasil
bumi berupa aneka hasil bumi
RATU berkuasa ANAK
commit to user IBU Pemurah pemelihara menghidupi pengasih
komunitas petani dan nelayan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 322
Bagan 4.10: Konsep Komunitas tentang Laut, Darat, dan Ibu Ratu
c. Pola Pikir yang Mencerminkan Kearifan Lokal Komunitas Petani Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1990:682), pikir adalah akal
budi, ingatan, angan-angan, dan gagasan. Pola adalah bentuk, susunan, struktur, dan proses. Pola pemikiran adalah yang diterima seseorang dan yang dipakai sebagai pedoman bagaimana diterimanya dari masyarakat sekelilingnya. Ahimsa-Putra (1985:107) adalah
pengetahuan suatu masyarakat, yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip dan sebagainya yang dinyatakan melalui bahasa. Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai benda yang ada dalam lingkungan manusia. Pola pikir komunitas petani di Kabupaten Kebumen dijumpai dalam cara hidup mereka sehari-hari yang mengutamakan kesederhanaan, kerja keras, menjaga keselarasan
lingkunganlamanya,
pemilihan
hari,
pemaknaan
angka,
dam
penghormatan kepada leluhur.
1) Kesederhanaan Hidup Komunitas Petani sebagai Aplikasi Kearifan Lokal
Masyarakat petani memiliki pola pikir yang dipakai sebagai acuan/pedoman melaksanakan kegiatan sosialnya diantaranya adalah kesederhanaan, kerja keras pantang menyerah, dan bekerja sama. Oleh sebab itu sebagai upaya masyarakat dalam kesederhanaannya mereka memanfaatkan segala sesuatu yang ada pada alam sekitarnya sebagai sumber penghasilan dan tidak hidup mewah yang terungkap dalam ekspresi verbal mereka ora duwe opo-opo ning disuyuti ‘tidak punya apa-apa tetapi dihormati’ mereka lebih mengutamakan perbuatan yang terhormat dari pada berbuat commit to user jahat demi mendapatkan harta. Selain itu keserhanaan nampak cara mempertahankan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 323
mata pencaharian sebagai petani katimbang sebagai nelayan maupun penderes terungkap dalam ekspresi verbal mereka kabeh nelayan lan nderes ki yo tani, ananging ora kabeh tani ki nelayan lan nderes ‘semua nelayan penderes adalah petani namun tidak semua petani itu nelayan dan penderes’. Menjadi petani adalah mata pencaharian mereka yang terbaik sehingga petani adalah mata pencaharian yang dipertahankan. Hal ini tercermin dalam ungkapan keseharian sebagai ungkapan pola pikir komunitas petani di lokasi penelitian dengan ekspresi damaine wong tani ki yo cakar bumi ‘damainya petani adalah mengolah tanah. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa Bumi Pertiwi akan selalu memberi kemakmuran dan kedamaian. Hanya dengan mengolah tanah sudah cukup memberikan kedamaian dan tidak perlu terlalu mengutamakan materialistis sampai melupakan segalanya seperti yang terjadi di masa kini, manusia tidak pernah merasa damai dan selalu tidak pernah puas karena segalanya diukur secara material.
2) Aplikasi Kearifan Lokal Komunitas Petani dalam Wujud Kerja Keras Sebagai masyarat yang berada di dataran rendah dan khususnya di Pesisir Selatan memiliki upaya untuk mendapat penghasilan yang lebih denngan bekerja keras. Mereka memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam bermacam macam jenis tanaman yang dapat menghasilkan sehingga memenuhi kebutuhan dan menafkahi hidup keluarganya. Demikian pula ketika ada kesempatan, mereka menderes kelapa
di
sekitar
rumah
atau
di
ladang
untuk
mendapatkan
sajeng/badheg/nira/legen. Pekerjaan nderes menjadi pekerjaan sampingan sepanjang tahun dan sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Waktu kerjanya tidak mengikat karena dapat dilakukan setiap saat setelah mereka mengerjakan yang lain. Pekerjaan nderes meskipun dianggap sebagai pekerjaan sampingan, namun sebenarnya justru memberikan penghasilan rutin yaitu 2 kali perhari sepanjang tahun tanpa mengenal mangsa rendeng ‘musin penghujan’ ataupun mangsa ketiga ‘musim kemarau’ sehingga hasilnya bisa dijagakaken ‘diharapkan untuk kebutuhan makan setiap hari’. Bahkan dapat commit to user dikatakan bahwa kelapa ini setiap hari menyediakan sajeng/ nira/ badeg/ legen
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 324
‘air bunga kelapa/ manggar’, setelah jadi gula-klapa ‘gula kelapa’ setiap kilogramnya rata-rata laku Rp 7.000,00. Minimal setiap hari mereka dapat memanen 3kg sampai dengan 7kg sepanjang tahun dan mereka mengatakan bahwa sajeng/ badheg ini dapat dipastikan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, apabila dibandingkan dengan investasi lain yang mereka miliki. Misalnya, jika dibandingkan dengan menanam padi di sawah, butuh waktu panjang antara 3 – 4 bulan, jika musim jabel ‘petik’ belum tiba hasilnya juga belum dapat dimanfaatkan, kecuali ketika musim jabel ‘petik’ tiba/ musim, motivasi dan pantang menyerah, seperti yang terungkap dalam ekspresi mereka. Prinsip hidup mereka adalah nyong bodho tambane sinau-nyong mlarat tambane kerja ‘saya bodoh obatnya belajar, saya miskin obatnya kerja keras’. Dari ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa kemauan masyarakat untuk terus belajar karena kesadaran bahwa mereka masih bodoh sehingga harus kerja keras untuk memperbaiki kehidupan mereka. Optimistik hidup juga terekspresikan melalui ungkapan gili malang pitu, gili mujur wolu ‘ada jalan melintang tuju, ada jalan sejajar delapan’ yakni meskipun banyak masalah dan hambatan, namun mereka yakin bahwa jalan keluar selalu ada. Dalam realitanya terwujud ketika musim panen jabel belum tiba dan laut mengalami paceklik karena dampak tsunami sebagai bencana alam, mereka tetap bekerja apa saja, antara lain menderes, dan ngode untuk menambah penghasilan.
3) Kearifan Lokal dalam Menjaga Keselarasan Alam dan Manusia dalam Lingkungan Pertanian
Masyarakat petani sangat memegang teguh pelestarian alam demi kelestarian hidup mereka dengan adanya beberapa anjuran dan larangan. Anjuran dan kebersamaan adalah pemanfaatan lahan panas dan gersang di tepi pantai (gisik) dengan menanam gandul kalifornia ‘pepaya kalifornia’ dan orange ladi ‘pepaya orange ladi’ yang ternyata dapat meningkatkan daya ekonomi desa karena hasilnya sangat bagus. Karena ditanam secara serentak, maka dapat menghasilkan commit to user penebas buah datang dan petani buah yang banyak sehingga mampu mengundang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 325
tidak perlu harus memasarkan hasil panenannya ke pasar. Dengan cara ini harga dapat dikendalikan oleh para petani melalui rapat desa. Hal sama juga terjadi ketika ada banjir yang menggenangi tanah pertanian, mereka dengan suka cita manaburkan benih ikan ke dalamnya. Dengan demikian bencana diubah menjadi berkat sehingga keselarasan alam dengan manusia akan berjalan dengan baik. Selain dua hal tersebut di atas, masih ada lagi upaya masyarakat Pesisir Selatan yang diupayakan secara tidak sadar menjadi pendukung pelestarian lingkungan pantai yakni penanaman pohon klaraside sebagai makanan ternak dan pohon nyamplung sebagai bahan pembuat minyak disel. Keberadaan pohon itu mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat yakni memberi tambahan hasil dan membatu menyediakan makanan ternak pada waktu tidak ada damen atau lamen. Dua tanaman itu dapat mencegah abrasi air laut yang mengakibatkan banjir lebih parah dan kerusakan lingkungan. Selain anjuran juga terdapat latarangan demi menjaga kelestarian alam, yaitu menggali pasir pantai karena pasir besi ini mampu memfilter air laut yang asin itu menjadi tawar dan dapat digunakan untuk masak dan mandi masyarakat yang berada di lokasi Pesisir Selatan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa beberapa sumur di tepi pantai tidak berasa asin. Apabila pasir yang mengandung besi ini diambil maka kerusakan lingkungan pasti terjadi, dampaknya masyarakat yang tinggal di Pesisir Selatan akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan air sumur di tepi pantai akan berasa asin dan tidak dapat dipaki untuk masak dan mandi. Menjaga keselarasan antara manusia dengan alam terjadi dalam bentuk pemanfaatan aneka tanaman bunga yang digunakan dalam acara ritual sehingga masyarakat tetap mempertahan tanaman bunga. Oleh karena itu, keindahan alam dapat tetap dipertahankan. Apabila penggunaan bunga dilarang tentu saja orang akan enggan menanam bunga dan menggantinya dengan tanaman produktif lainnya sehingga tidak ada lagi keindahan bunga di lokasi penelitian. Lemon ‘pupuk kandang’ merupakan upaya commit topetani user dalam melestarikan lingkungan masyarakat
Gambar 4.58 : Pemanfaatan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 326
alam sebagai penyubur tanaman karena apabila mereka menggunakan pupuk kimia buatan pabrik akibatnya tanah menjadi keras. Penggunaan lemon di lingkungan komunitas petani merupakan ide kolektif yang menjadi kearifan lokal masyarakat setempat. Pengalaman mereka menggunakan pupuk kimia yang berakibat mengerasnya tanah dan bahkan kalau ada harga dimainkan oleh penjual menjadi harganya sangat tinggi (mahal) dan akibatnya petani rugi karena ora cucuk ‘tidak seimbang’ dengan ongkos pengeluarannya dan tenaganya dengan harga jual padinya. Pengolahan kotoran hewan menjadi lemon dengan teknologi tepat guna yang sederhana pada hakikatnya ini sampai sekarang masih dipertahankan dan memiliki manfaat yang sangat signifikan. Banyak pihak telah membantu dalam rangka keselarasan lingkungan, di antaranya Universitas Gajah Mada dan Universitas Pertanian Bogor dengan membuat proyek penanaman pohon cemara di sepanjang pantai yang tujuannya mengantisipasi abrasi air laut dan memberikan kerindangan bagi pengunjung pantai, juga agar daerah tersebut dapat menjadi sebagai tempat rekreasi sehingga pariwisata, semakin berkembang. Dengan berkembangnya pariwisata, maka para petani akan banyak mendapat keuntungan dan menciptakan peluang. untuk menambah pendapatan dengan memasarkan makanan khas daerah Kebumen berupa lanting ‘dibuat dari singkong’, lepet, dan kacang. Akibat selanjutnya adalah bahwa pendapatan daerah pasti juga bertambah.
4) Ungkapan Verbal Terkait Konsep Hari Baik dan Buruk bagi Petani Pada dasarnya semua hari adalah baik namun mencari yang terbaik itulah pendapat masyarakat petani Kabupaten Kebumen yang akhirnya menjadi pedoman mereka dalam melakukan aktivitas bertani yang diekspresikan sebagai kabeh dino ki apik ananging nyong pilih sing paling apik. Penentuan hari baik dan buruk merupakan ketentuan yang diperoleh secara turun temurun dan masih dipertahankan sampai sekarang. Pengetahuan hari baik dan buruk pada masyarakat petani berarti waktu yang tepat dan tidak tepat untuk pegi berladang commitlainnya to userseperti memulai membuat rumah. atau bertani dan bahkan untuk aktivitas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 327
Menurut perhitungan mereka mengenal adanya penggabungan hari nasional dengan pasaran Jawa seperti Senin (hari nasional) dengan legi (hari pasaran Jawa). Dari penggabungan itu dengan memakai rumus Penanggalan Jawa dapat ditemukan jumlahnya. Jumlah itulah yang dipakai patokan menghitung urutan dalam menentukan baik dan buruk untuk menanam padi atau membeli ternak.
a) Pemilihan Hari Baik untuk Membeli Ternak Dalam membeli ternak mereka mengenal istilah 1) suku, 2) watu, 3) pendhita, 4) buta, 5) ratu yang setiap kata memiliki makna spesifik sehingga petani bisa memilih keadaan ternaknya seperti sifat dari 5 hal tersebut. Berikut ini adalah contoh hari membeli ternak. Pada hari Minggu Legi, minggu memiliki nilai perhitungan 5 dan legi memiliki nilai 5 sehingga dijumlah menjadi 10; sepuluh bila dihitung berurutan 5 mulai dari suku hingga ratu jatuh pada ratu maka minggu legi baik untuk membeli binatang ternak. Makna kultural yang tersembunyi dibelakang kata tersebut seperti berikut. Suku mengandung makna bahwa binatang yang akan dibeli akan beranak pinak menjadi beberapa suku/ kelompok. Watu mengandung arti bahwa binatang ini akan keras kepala sukar diatur sehingga tidak akan berkembang biak. Jika beranak sukar dijual, maka perhitungan yang jatuh pada kata watu dihindari. Pendhito berarti seperti pendeta yang membawa kedamaian, walapun hasilnya tidak banyak, namun pemilik ternak tetap damai dan dapat menggunakan hasil ternak itu dengan tenang dan tidak cepat habis. Buta ‘raksasa’ berarti bahwa ternak yang dibeli pada hari tersebut cepat besar dan gemuk namun selalu ngangah-angah (tidak pernah puas) dengan kata lain menjadi angkara dan suka marah, sebagai contoh seperti yang terjadi pada informan yang memelihara sapi limosin; dengan modal yang cukup banyak, setelah sapinya besar dengan biaya untuk makananya cukup banyak, tetapi setelah dijual harganya turun sehingga rugi. Kerugian itu disebabkan pada saat itu pemerintah mengimpor sapi dari luar negeri sehingga berdampak jatuhnya harga sapi lokal. Inilah yang disebut apes ‘sial’. Hitungan buto biasanya commit toarti user dihindari. Sedangkan ratu mengandung bahwa ternak yang dibeli nantinya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 328
akan ngunggahke drajat ‘menaikan pangkat pemiliknya’, akan membawa keberuntungan sehingga kalau dijual untungnya banyak atau jika diternak mudah beranak. Hari baik88 yang dipilih petani nyawah dan upacara ritual adalah hari Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon89 sehingga dalam melaksanakan setiap acara ritual mereka memilih diantara hari itu. b) Pemilihan Hari Baik untuk Bepergian dalam Konsep Menghindari Naga Dina Mereka juga menggunakan perhitungan hari untuk patokan bepergian yang disebut dengan naga dina ‘naga hari’, yakni menghitung nilai jumlah hari untuk menghindari ‘naga’ Dengan menghitung, akan ditemukan posisi naga sehingga bisa menghindari bertemu dengan naga agar tidak menjadi mangsa naga yang mengakibatkan kesialan bahkan bisa celaka. Sebaliknya diupayakan menemukan arah jalannya naga karena akan dianggap menaiki naga. Bepergian sebaiknya menuju ke arah yang sama dengan jalannya naga karena dianggap menaiki naga sehingga segala urusan akan lebih cepat beres dan mudah. Contoh perhitungan naga dina adalah sebagai berikut. Hari naas ini adalah hari yang dihindari petani untuk bepergian dengan menggunakan hitungan. Adapun hitungan yang dimaksud jumlahya seperti berikut. Kulon berarti menghindari hari yang nilai angkanya 7, 11, dan 15; Lor menghindari hari ditambah yang nilai angkanya 8, 12, dan 16; Etan berarti menghindari hari yang nilai angkanya 9, 13, dan 17; Kidul berarti menghindari hari yang nilai angkanya 10, 14, dan 18. Untuk melakukan kegiatan 88
Bagi petani di pusaat Budaya yang akan menanam padi terdapat hitungan sri, kitri,gana, liu, pokah maksudnya Sri adalah Dewi Kemakmuran, Kitri padinya akan tumbuh baik, gana artinya padinya akan banyak hama, liu padinya akan banyak yang gabug ‘kopong’, dan pokah hasilnya tidak banyak bermanfaat. Maka apabila memilih hari jumlahnya diupayakan jatuh pada yang memiliki makna baik seperti sri atau kitri. Contohnya Setu Paing (Setu=9, Paing=9) jumlahnya 18 kalau diurutkan jatuh pada hitungan gana artinya tanamannya nantinya akan banyak hamanya. 89
Di daerah pusat budaya Solo Selasa Kliwon disebut sebagai hanggoro Kasih banyak dipakai untuk bertirakat agar mendapat wahyu larena pada saat seperti ini dipercaya Tuhan turun commit user memberikan wahyu dan kutukan bagi yang berhatitojahat.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 329
di suatu tempat aja mapak naga-dina supaya selamat rahayu wilujeng. Naga-dina weton jumlah legi mempunyai nilai jumah 6 dan legi 5 sehingga jumlah komulasinya 11, berarti naga-dina nya di kulon. Komunitas petani selain mempercayai perhitungan hari baik untuk melaksanakan aktivitas bertani dan sosial juga memiliki patokan yang ditetapkan sebagai hari atau bulan yang kurang baik untuk melakukan aktivitas bertani ataupun sosial lainnya. Secara individu hari yang dihindari untuk melakukan sesuatu seperti memulai bertani atau bahkan bepergian ke luar kota adalah dina kapesan yaitu hari meninggalnya orang tua. Bepergian pada hari meninggalnya orang tua pasti medapat halangan, sedangkan menanam padi tidak akan tumbuh dengan baik. Untuk itulah sesama tetangga biasanya saling mengingatkan. Bagi petani yang ingin membuat rumah, selain menghindari dari dina kapesan juga hari pasaran weton yang akan memakai rumah tersebut. Bulan yang dipercaya kurang baik untuk melakukan aktivitas yaitu bulan Sura. Pada bulan ini orang banyak dipakai untuk bermunajad dan bertirakat, misalnya nyura.
5) Pengaruh Penghitungan Hari pada Sosial Masyarakat Petani Pengaruh sosial atas perhitungan hari baik dan buruk ini adalah sebagai berikut. (1) Sikap optimis terhadap sesuatu yang dilakukan akan rasa aman karena telah melakukan sesuatu sesuai yang telah dianjurkan oleh tradisi leluhur yang diyakini akan melindungi mereka yang patuh akan petuahnya. (2) Iman kepercayaan mereka kepada Tuhan harus kuat karena perhitungan hari baik/ buruk ini tidak lepas dari kekuasaan Tuhan (3) Melestarikan tradisi leluhur dengan menjalankan tradisi pemilihan hari baik buruk ini adalah mempraktekkan ajaran leluhur secara turun temurun. (4) Kelestarian alam dijaga agar terhindar dari eksploitasi alam tanpa perhitungan karena sebenarnya segala kegiatan perlu memakai irama yang baik, sehingga tidak terjadi ekploitasi alam secara terus menerus tanpa memberikan waktu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 330
istirahat kepada alam. Pemikiran semacam ini merupakan kearifan lokal masyarakat petani di Kabupaten Kebumen termasuk di Pesisir Selatan (5) Semangat kebersamaan harus selalu dijaga agar dalam melaksanakan perhitungan hari baik buruk ini akan membuat komunitas petani saling mengingatkan sehingga tradaisi ini akan tetap terpelihara. (6) Menanamkan sifat antisipasi bagi komunitas petani agar apabila karena sesuatu hal mereka terpaksa melakukan pelanggaran, pergi pada hari kapesan atau mapak naga dina.
6) Ungkapan Verbal Terkait Konsep Pemaknaan Angka pada Komunita Petani Komunitas petaani selain memiliki pengistimewaan hari juga memiliki pemaknaan atas angka seperti angka 3 (telu90) yang dipakai dalam pemilihan beberapa hal seperti telung kacluka ‘tiga cangkulan’, telung kilo beras ‘tiga kilo gram beras’ yang dipakai dalam bediah (memberi beras sejumlaah tiga kilo gram) kepada tetangga dan handaitolan setelah kematian orangtua, kembang telon ‘bunga tiga macam’ biasanya dipakai untuk aneka sesaji baik di laut maupun di darat, dina ke telu ‘hari ke tiga’ dalam hal ini pada ranah punya hajat hari ke tiga adalah hari dimana para tamu undangan hadir dengan membawa aneka sumbangan berupa hasil bumi, juga dengan syarat minimal. Wajib dibawa adalah beras telung kilo ‘beras tiga kilo’.. Secara filosofi makna telu ‘tiga’ adalah pola pikir masyarakat yang selalu menseimbangkan antara tiga unsur yakni Tuhan, manusia, dan alam. Mereka selalu menjaga keseimbangan antara tiga hal tersebut sehingga tidak terjadi ketimpangan seperti adanya pengrusakan alam. 90
Telu ‘tiga’ bagi masyarakat Jawa juga commit memiliki to makna userkeselarasan akan Tuhan, manusia, dan alam semsta dan ada yang memaknai sebagai lair, urip, pati ‘lahir, hidup, dan meninggal.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 331
Angka pitu ‘tujuh’ juga memiliki peranan yang penting seperti pada pitung dinanan ‘selamatan tujuh hari untuk orang yang meninggal’, kebak/mitoni ‘selamatan tujuh bulan bagi wanita hamil’. Dalam proses kehamilan masyarakaat di lokasi penelitian, pereode yang paling penting dalam kehamilan adalah kebak/ mitoni pitung sasi’ sehingga pada saat upacara kebak/mitoni masyarakat memberi bahan makanan atau hasil bumi untuk menyumbang, bukan pada saat kelahiran. Istilah kebak maksudnya bayinya sudah sempurna tinggal membesarkan. Turun pitu ‘tujuh turunan’ biasanya diucapkan untuk menghindari tulah bagi anak/cucu dengan ucapan amit-amit aja turun anak putuku turun pitu tedak wolu ‘amit-ami jangan turun anak cucuku sampai turunan ke tujuh sampai ke delapan’. Makna filosofi angka tujuh pitu adalah pitulungan ‘pertolongan’ yaitu agar selalu mendapat pertolongan dari Tuhan yang Maha Esa ketika menghadapi segala sesuatu termasuk kelahiran. Wolu mengandung arti bahwa pitulungan tidak hanya sampai pada keturunan yang ke tujuh namun seterusnya. Angka laian yang mendapat perhatian dan disukai dalam penggunaannya adalah sewelas ‘sebelas’ Karen ditilik dari ucapannya menjadi bermakna kawelasan ‘belas kasihan’ agar petani dalam melakukaan sesuatu mendapat belas kasihan Tuhan sehingga lancar dan aman.
7) Menghormati Leluhur Sebuah Bentuk Kearifan Lokal
Dalam masyarakat tradisional penanaman nilai-nilai dilakukan melalui mitos, legenda, dan cerita-cerita leluhurnya sehingga dapat dikatakan bahkan nenek moyang atau leluhur merupakan kata kunci. Oleh sebab itu, keyakinan khusus mengenai leluhur terwujud dalam bentuk ritual-ritual khas sebagai upaya penghargaan atas leluhur mereka. Dalam sistem sosial terdapat sistem pemakaman dan sistem waris, yang diatur sesuai dengan pandangan mengenai leluhur tersebut. Tak terkecuali pada masyarakat petani di Kabupaten Kebumen menghargai leluhur dengan berbagai ritual dan aturan adat istiadat khusus. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 332
Pada pasca kematian masyarakat petani melaksanakan bediah’membagi beras kepada tetangga dan saudara sebayak 3 kilogram per orang’. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membagi harta kepada tetangga dan secara tidak langsung meminta untuk mengingatkan tentang hari kematian ini dan memohon ampun apabila semasa hidupnya berbuat salah terhadap mereka. Sistem ini berkait dengan kepercayaan adanya dina kapesan ‘hari naas’ yang melarang keluarga untuk melaksanakan aktivitas atau bepergian jauh. Adat ini merupakan pertanda penghormatan dan mengingat keberadaan orang yang telah meninggal. Dengan demikian orang tua selalu diingat dan tidak dilupakan. Dalam hal ini mereka mempunyai ungkapan wong mati isih urip, ning wong urip malah wis mati ‘orang yang mati masih hidup tetapi orang hidup malah sudah mati’. Maksudnya ungkapam tersebut adalah bahwa dengan cara demikian para anak cucu menghendaki meskipun orangtua mereka sudah meninggal namun akan selalu diingat selama-lamanya. Kalau anak almarhum/almarhumah melakukan dengan utuh tuntutan ritual mulai bediah sampai ngizing maka sebagai anak telah dapat dikatakan mikul duwur mendem jero ‘mengangkat tinggi dan mengubur dalamdalam’, sebaliknya apabila melupakan urutan adat dikatakan isih urip neng malah wis mati ‘masih hidup tetapi malah sudah mati’ maksudnya mati dalam rasa dan budaya. Upacara lainnya adalah adanya upacara selamatan telung ndina, pitung ndina, patang puluh dina, naun pisan, naun pindo, nyewu dina tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, satu tahun, dua tahun, seribu hari’ dengan mengadakan doa bersama dan makan bersama agar yang meninggal mendapat tempat yang layak di sisiNya. Setiap selesai melaksanakan upacara selamatan keluarga akan ngirim/ resik ‘menabur bunga’ ke pemakaman. Khusus pada akhir upacara sewu dina ‘seribu hari’ keluarga membangun kizing ‘nisan’ di atas kuburan dengan diberi tulisan hari, tanggal, dan tahun meninggalnya. Selain penghormatan terhadap leluhur juga ada pelestarian nilai kepada anak cucu sehingga ada istilah turun pitu tedak wolu ‘sampai tujuh turunan dan dilanjutkan ke delapan’ maksudnya apabila melihat orang yang melakukan user kejahatan atau mengumpat, makacommit selalu tomengatakan amit-amit aja nganti koyo
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 333
ngono nganti turun pitu tedak wolu ‘amit-amit jangan sampai seperti itu sampai pada keturunan yang ke tujuh dan ke delapan’ Ungkapan itu bagi masyarakat petani merupakan doa dan permohonan agar anak-cucu dan generasi selanjutnya akan selalu baik dan terhindar dari perbuatan tercela seperti yang dilihat. Dalam hal pewarisan, masyarakat petani memanfaatkan tanah sawah ladang dan rumah peninggalan leluhur untuk kepentingan bersama dengan seluruh keluarga sehingga tidak terjadi sengketa yang berkaitan dengan hak atas tanah. Tanah warisan leluhur disebut lemah
lengseran ‘tanah warisan’ orang
tuanya/mertuanya yang makin lama makin sempit sehingga harus tetap diuri-uri ‘dilestarikan’ karena
masih diliputi mitos-mitos yang bersifat agraris.
Memperebutkan tanah warisan akan terjadi musibah bahkan bisa meninggal secara misterius. Lengseran ternyata tidak hanya dipakai untuk tanah warisan namun juga untuk pusaka seperti gaman lengseran. Perbedaannya kalau lemah lengseran ‘tanah warisan’ biasanya dipakai bersama-sama seluruh anak-anaknya, tetapi pada gaman tidak bisa karena setiap pusaka ada yang menunggu tergantung kepada siapa gaman itu mau ikut. Sebab apabila gaman itu tidak mau tetapi dipaksakan maka akan muksa ’ lesap/ hilang seperti yang dialami pada keluarga pak Sajadi seperti berikut ini:
Tiyang sepuh mundutipun ting tengah seganten Bondanu pase ting watu tengah segara Karangbolong kalih tirakat 40 dina. Sing dilengseri purun nggih kulo (pak Sajadi) sedulur sanes mboten cocok amargi kerisipun mboten purun Menawi mbeto dipun impeni kados dipun oyak-oyak / dikalungi sawer ageng. Kadang-kadang kulo dipanggihi leluhur; kadang-kadang malah mertamu teng nggriyo kulo Kadang-kadang nempeli atau nyusup (kesurupan) sing gertos nggih mung kulo. ‘Orangtua saya mendapatkannya di tengah samudera Bondanu pas di batu tengah samudera Karangbolong dengan tirakat selama 49 hari. Yang diwarisi hanya saya karena hanya pada saya dia (pusaka) itu maunya dan tidak mau dengan saudara yang lain. Kalau
user dan seperti terkalungi membawa mendapat mimpicommit sepertitodikejar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 334
ular besar. Kadang-kadang saya di datangi leluhur , kadang-kadang bertandang ke rumah dengan cara menempel atau menyusup dan yang melihat hanya saya sendiri.
Bentuk penghormatan terhadap leluhur, selain anjuran yang harus dipatuhi juga larangan, misalnya adanya larangan meningkah antara gili etan karo gili kulon ‘timur jalan dan barat jalan’. Hal ini dapat dipahami bahwa secara postula keajegan sejak nenek moyang masyarakat timur jalan dan barat jalan merupakan satu alur keturunan sehingga apabila terjadi pernikahan akan terjadi kelahiran anak yang cacat atau salah satu meninggal dunia atau kehidupan yang selalu sial. Oleh sebab itu, larangan tersebut sampai sekarang masih menjadi patokan masyarakat dalam hal perjodohan.
8) Menjaga Keselarasan Cosmologi sebagai Cerminan Kearifan Lokal
Adanya ajaran bahwa keberadaan manusia di dunia ini hanyalah "mampir ngombe" (singgah untuk sekadar minum), bagi orang Jawa dimaknai bahwa sifat duniawi adalah sementara, "terminal" menuju Sangkan Paraning Dumadi ‘asal usul manusia’. Dalam perjalanan itu, orang Jawa perlu melalui tingkatan-tingkatan guna mencapai kesempurnaan hidup, yaitu syariat, tarekat, hakikat dan makripat. Dengan cara itu, orang Jawa akan kembali dan bersatu dengan Tuhan. Orang yang menganut paham kejawen atau dalam alam pikiran Jawa, mengungkapkan bahwa Tuhan adalah asa usul semua yang ada di dunia ini dan ke Tuhan pula semua itu akan kembali. Sikap masyarakat petani dalam memandang dan mengalami kehidupan mereka, sebagai suatu keseluruhan yang bersifat sosial dan individu. Konsepsi yang satu dimensional dan monolitis itu to parallel commit user dengan cara berpikir yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 335
membeda-bedakan derajat, suku, dan kekayaan karena mereka merasa satu sebagai kawula/Gusti, Dengan demikian cara berpikir komunitas petani yang tercermin dalam alam pikiran mereka adalah penyatuan dan penyelarasan semua gejala. Namun demikian, pandangan hidup dan pola pikir mereka tetap pada penekanan seputar ketenteraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap narima terhadap segala peristiwa yang terjadi, sambil menempatkan individu di bawah masyarakat serta masyarakat di bawah alam semesta. Mereka meyakini bahwa barang siapa hidup selaras dengan dirinya sebagai mahkluk individu dan sosial, alam semesta dan juga selaras dengan Tuhan Yang Maha Esa, maka ia akan mengalami ketenangan batin. Untuk itulah kehidupan dalam masayarakat petani telah dipetakan dalam berbagai macam peraturan, seperti tatakrama (kaidah dalam etika Jawa), adat/tradisi (mengatur keselarasan masyarakat), agama (mengatur hubungan formal dengan Tuhan), sikap narima, sabar, elingGambar 4.59: Keluarga petani sedang sukuran makan bersama
waspada (mawas diri), andap asor (rendah hati), dan prasaja (bersahaja).
Masyarakat percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan, dan kestabilan yang dapat juga memberi kehidupan. Pandangan dan pola pikir yang demikian biasa disebut Kawula dan Gusti, yaitu pandangan dan pola pikir yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri secara total selaku kawula (hamba) terhadap Gustinya (Sang Pencipta) Sutiyono, 201291
commit to user http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131808675/WUNY-Alam%20Pikiran%20Jawa.pdf diakses 20 Desember 2012 91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 336
keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos yang dimaksud yakni bahwa dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan92. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna (dunia atas- dunia manusia-dunia bawah). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan. Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata (mikrokosmos) tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang tampak oleh mata. Dalam mengahdapi kehidupan manusia yang baik dan benar di dunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya. Keselarasan cosmologi dapat digambarkan melalui diagram berikut.
4. Karakteristik Bahasa dan Budaya Komunitas Petani Kebumen yang Berbeda dengan Daerah Periferal dan Pusat Budaya
Mengkaji tentang komunitas petani di Kabupaten Kebumen tidak dapat lepas dari sejarah panjang para leluhurnya. Semula nenek moyang mereka menekuni mata pencaharian sebagai petani subsisten di daerah pedalaman dataran tinggi, seperti pegunungan Mahmeru di Watuagung, Tambak, Banyumas. Dalam perkembangan tuntutan kehidupan ekonomi, social, budaya, politik, dan demografi mereka mengambil keputusan strategis untuk mencari lahan yang subur dengan mencari tempat hidup yang baru dan aman dari gangguan “musuh”. Dalam perjalanan panjang migrasi pencarian lokasi melalui beberapa topografi seperti dataran sedang, dataran rendah, dan akhirnya sampailah pada pesisir Selatan Kabupaten Kebumen. 92
Sumber: http://syiena.wordpress.com/2008/04/09/memahami-orang-jawa/
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 337
Menurut nara sumber93 mereka mengenal laut sejak lama. Pada waktu itu nenek moyang mereka ke daerah pesisir hanya untuk mlancong ‘rekreasi’ atau ngendaki laut ‘menengok laut’. Kala itulah terpikir pemikiran bahwa ada bentuk laternatif kehidupan lain meskipun mereka menyadari bahwa tantanga untuk itu cukup berat. Hal itu secara empiris akibat dari pertumbuhan leluhurnya berhadapan dengan daerah baru, maka secara alami menyesuaikan diri dengan ekologinya seperti di pesisir selatan Kabupaten Kebumen yang terhampar samudra luas, karena sebelumnya mereka hanya memanfaatkan dataran sebagai sumber nafkah, namun akhirnya setelah mengetahui potensi laut mereka budidayakan sebagai peluang baru berkembang menjadi petani dengan belajar dari daerah Cilacap yang telah lebih dahulu menjadi nelayan. Perjalanan panjang para leluhur petani dari daerah pedalaman dataran tinggi hingga sampai ke dataran rendah pesisir seperti di selatan kebupaten itu, membawa tradisi yang berlangsung di tempat asal. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan kehidupanya di tempat yang baru tradisi lama mereka itu belum tergantikan, sehingga lambat –laun ikut mewarnai tradisi mereka dalam masa transisi hidupnya. Dalam hal ini, termasuk bahasa dan budaya Jawa yang dipraktikkan di lingkungan ekologis kehidupan yang baru, sehingga akhirnya membentuk karakteristik sebagai daerah transisi dalam ekspresi verbal ( istilahistilah, kata, frase, klausa, wacana, unit lingkungan yang lain) dan ekspresi nonverbal (peristiwa upacara ritual, perangkat sesaji, astronomi, symbol, warna) dalam kehidupan petani, penderes, peternak. Oleh karena itu untuk memahami makna kultural ekspresi verbal dan non verbal masyarakat petani tersebut tidak bisa lepas dari aktivitas mata pencaharian sebagai petani yang di ekspresikan sebagai cakar- bumi ‘ petani’, ndenres ‘penderes’, dan open- open’ peternak’. Situasi kehidupan petani di Kabupaten Kebumen khususnya di bagian Pesisir Selatan menjadi lebih spesifik karena sedang berlangsung proses tranformasi mata pencaharian dari petani ke nelayan (tani- petani), di samping mereka tetap
93
commit Wawancara dengan Darmaji yang berusia 86 th to dariuser puncak mahameru, Watuagung.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 338
menjalani mata mencaharian awal sebagai petani, penderes dan peternak ( petanitani ). Proses tranformasi pencaharaian tersebut pada awalnya sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan sumber nafkah keluarga sebagai akibat dari perubahan kondisi ekologis mereka yang baru mengenal temperature dan musim yang berbeda. Dampak perubahan mata pencaharian ini secara astronomis mereka menandai musim ka(e) tiga atau tiga ‘kemarau’ sehingga musim panen di laut,sementara musim paceklik ’peceklik’ dilaut mereka menandai dengan datangnya hujan dan angin daya’ angin dari arah baratdaya’ menyebabkan gelombang laut besar sebagai musim paceklik di laut.
a. Faktor Historis Pembentuk Karakteristik Kabupaten Kebumen sebagai Daerah Transisi Pengertian
“peripheral”
dalam
konteks
ini
dimaksudkan
untuk
menyebutkan daerah pinggiran dalam wilayah pemakaian bahasa yang terletak jauh dari pusat budaya Jawa (keraton Yogya-Solo) dan wilayah pendukung budaya Jawa setara dengan pengertian di dalam kajian dialektologi (Nothofer, 1989). Daerah yang dimaksudkan adalah daerah Banyumas yang terletak di perbatasan bahasa Jawa dan budaya Sunda. Daerah ini mempunyai cirri-ciri kebahasaan / karakteristik bahasa yang berbeda dengan kekhasan/ karakteristik bahasa yang berbeda dengan pusat budaya. Dari sisi bahasa dan budayanya daerah periferal ini umumnya dikenal pula sebagai daerah Jawa Tengah bagian barat yang meliputi tidak hanya Kabupaten Banyumas, tetapi juga Banjarnegara, Brebes, Pekalongan, Wonosobo.Walaupun Kabupaten Kebumen termasuk wilayah yang mirip dengan bahasa dan budaya Jawa Banyumas, namun karena wilayah ini berdekatan pula dengan dengan daerah Jawa pusat budaya maka Kebumen yang merupakan wilayah paling timur dari daerah periferal, dalam kajian ini disebut sebagai daerah transisi, yaitu daerah peralihan antara bahasa dan budaya periferal dan daerah pusat budaya. Perlu dicatat bahwa walaupun daerah commit user Kabupaten Purworejo yang terletak di toperbatasan antara bahasa dan budaya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 339
periferal dan pusat budaya karena posisinya bertepatan dengan garis isoglos pemisah ke dua wilayah tersebut, namun Purworejo cenderung memiliki karakteristik bahasa dan budaya pusat budaya Jawa. Hal ini disebabkan di masa lampau Purworejo termasuk daerah administrasi kesultanan Yogyakarta. Terkait dengan ranah pertanian dan budaya pada umumnya memang daerah transisi mempunyai karakteristik yang mencerminkan pengaruh relig, pengaruh periferal yang di kenal pula sebagai daerah konservatif / daerah relik berdasarkan kajian dialektologi diakronis dalam hubungannya dengan daerah periferal secara dominan di bidang pertanian, misalnya pengaruh daerah periferal terhadap daerah transisi tampak cukup jelas. Pada masa lampau siasumsikan bahwa telah terjadi migrasi dari daerah peroferal di dataran tinggi karena alasan demografis tertentu94. Mobilitas penduduk daerah konsevatif menuju dataran rendah dengan mempertahankan budaya agraris sehingga kebiasaan yang berasal dari bercocok tanam termasuk budi daya olah tanam padi gaga, dan jenis tanaman lain tetap dipertahankan. Resistensi budaya tradisional ini kemudian dilengkap dengan diversifikasi tanaman sehingga terjadi perkembangan/pembaharuan misalnya dalam pola tanam yang beradaptasi dengan lingkungan ekologis daerah baru yang di datangi. Mata pencaharian sebagai penderes disamping bercocok tanam dikembangkan karena lahan perkebunan kelapa lebih luas dan lebih subur di daerah Pesisir pantai. Hal ini memberi hasil produksi gula kelapa yang menguntungkan penderes. Tanaman pepaya tradisional dengan sebutan pepaya Jawa disubtitusi dengan pepaya Thailand dan Bangkok di dataran sedang dan Gandhul Kalifornia dan Orang Lady yang berkembang menjadi komuditi yang mendatangkan penghasilan yang dapat diandalkan. Selain resistensi budaya tradisional, dalam perkembangan, terjadi transformasi mata pencaharian pertanian menjadi peternak, dan nelayan Folklor-folklor yang berhubungan dengan ranah pertanian termasuk upacara wiwit dan jabel yang ada di daerah transisi tidak luput dari pengaruh pusat budaya misalnya makanan yang memiliki makna simbolik yang sama. 94
Perkembangan jumlah keluarga yangcommit semakin to banyak user yang tidak seimbang dengan luas lahan yang tersedia.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 340
Pada upacara wiwit/wiwitan dalam dunia pertanian selalu berhubungan erat dengan istilah Dewi Sri. Budaya itu lebih dipandang merupakan budaya dari pusat budaya karena Dewi Sri itu adalah dewi kesuburan yang merupakan peninggalan dari budaya Hindu yang semula berasal dari daerah pusat budaya. Selain itu, terkait dengan mantra-mantra dalam ranah pertanian, jika mantramantra itu dikaitkan dengan Basmallah ini memperlihatkan pengaruh budaya Islam yang pada awalnya masuk melalui pusat budaya sebelum sampai pada daerah Pesisir yang menjadi bagian dari daerah transisi. Walaupun pengaruh pusat budaya cukup memadai baik, dalam bidang budaya maupun bahasa terhadap daerah transisi, namun pada kenyataannnya pengaruh periferal terhadap Kebumen dari sisi bahasanya lebih dominan Akibatnya budaya dan bahasa Banyumas masih tampak sangat signifikan mempengaruhi daerah transisi.
Gambar 4.58 Letak Kabupaten Kebumen dalam Peta Jawa Tengah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 341
b. Faktor Histrosis, Spiritual, Tradisional, dan Lingual dalam Folklor Pembentuk Karakteristik Daerah Transisi
Faktor Histrosis dan Spiritual dalam folklor ikut mempengaruhi resistensi bahasa dan Budaya Jawa petani di Kabupaten Kebumen. Secara empiris bahasa dan budaya jawa petani tersebut dipengaruhi sejarah masa lalu, yaitu adanya peran besar dari sosok berpengaruh yang pernah hidup di sana, misalnya (1) Syeh Abdurrahman (Asmoroqondi) sebagai pendakwah Islam di Kebumen yang hidupnya sejaman dengan kerajaan Demak. Dia telah ikut mewarnai sejarah dan aktualitas bahasa dan budaya Jawa yang tercermin dalam tradisi masyarakat kebumen, termasuk petani. (2) Kyai Ngabdullah Taqwim yang bertempat di dataran tinggi Gunung Sumbing Kebumen utara, sebagai pendakwah Islam di sana. (3) Pangeran Buminata, sebagai bangsawan adik kandung Panembahan Senopati' yang meninggalkan kerajaan Mataram (Islam) karena muak dengan tabiat raja Amangkurat I. (4) Syeh Sidakarsa, petilasan dia berada di Desa Grogol Beningsari Klirong, sebagai seorang tokoh berpengaruh terhadap tradisi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 342
masyarakat setempat.(5) Dewi Sulastri95 nama wanita yang diabadikan di Petilasan Pandan Kuning di Desa karanggadung Petanahan Kebumen dan dipahami masyarakat setempat sebagai personifikasi dari Ratu Selatan (6) Syeh Ngabdullawal dan Syeh Sidakarsa96 di Desa Kebunsari Klirong, sebagai penyiar Islam telah berperan serta dalam tradisi yang berkembang di sana. (7) Santri Gudhig97 yang menceriterakan tentang perjalanan panjang dalam menyebarkan Islam mulai dari dataran tinggi Watu Agung sampai dataran tengah, dataran rendah dan dataran pesisir Selatan Kebumen. (8) Sosok gaib Ratu kidul dengan ekspresi verbal personifikasi yang bervariasi, meliputi santajaya, Nyi Ronggeng, Ki Bagussetu, ratu Suidha, Ratu kuning ( nama lain Dewi Sulastri), Ratu pembayun, Dewi Samudra, Ibu Ratu, Mbok Ratu, Ratu kidul, Rara Kidul, sebagai ekspresi nama lain Ratu Selatan di pesisir selatan kebumen, dan Dewi Sri yang dipahami masyarakat petani sebagai anak dari Ibu Ratu. Pengalaman spiritual masing masing sosok supranatural dan warga petani, tentang berbagai tokoh dalam folklor dapat dicermati melalui ekspresi verbal dan nonverbalnya. Oleh karena itu, berbagai ekspresi verbal ( kata kata, pesan moral, ajaran, mantra, doa) dan ekspresi nonverbal (upacara ritual, perjalanan hidup, karya monumental, perangkat sesaji, astronomi) yang pernah disampaikan sosok pengalam berpengaruh pada masyarakat (pengikut, warga, santri, murid) di Kebumen akan mewarnai pola pikir, pandangan dunia, pandangan hidup dan tradisi petani di Kabupaten Kebumen. Ekspresinya tercermin dalam pandangn mereka terhadap laut, darat, penguasa darat, penguasa laut, astronomi, mantra dan doa yang dilengkapai perangkat saji’n ‘sesaji’ untuk pitukon ‘ sesaji yang diberikan’ dalam pupacara ritual terkait proses tranformasi mata pencaharian dari petani menjadi nelayan. Oleh karena itu, ketika didarat sebagai petani, penderes, peternak, dan dilaut sebagai nelayan terpengaruh dengan factor historis dan
95
Sampai saat ini masih menjadi petilasan yang sangat populer sebagai tempat bertirakat di Desa Petanahan. 96 Telah diabadikan menjadi folklor lisan yang berkembang sepanjang Pesisir Selatan. 97 Terabadikan dalam folkor lisan yang tersebar mulai dari dataran tinggi Watu Agung sampai commitdan to ditenukan user dengan dataran rendah Pesisir Selatan Kebumen makannya di dataran Tinggi Watu Agung Banymas.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 343
spiritual yang tercermin melalui ekspresi verbal dan nonverbal di Pesisir Selatan Kebumen Secara historis dan spiritual juga mempengaruhi persepsi petani terhadap lingkungan ekologis dan alternatif mata pencaharian di pesisir selatan kebumen. (a). Secara historis akutualitas bahasa dan budaya Jawa petani yang mengandung kearifan lokal tidak lepas dari wewarah 'ajaran, pesan' dan tuladha 'teladan' para sosok yang dipahami petani berperan serta mengukir sejarah Kebumen tersebut. (b) Secara spiritual telah memberikan semangat kehidupan petani untuk menghadapi tantangan alam, baik cara mereka di darat dengan meyakini, memahami dan menyiasati karakter sosok dhanyang 'penunggu tempat', hama tanaman, bencana alam yang terjadi di darat dan di laut dengan cara meyakini kedekatan dan ijin dari' sosok yang dianggap tinggi sebagai penguasa darat dan laut sebagai perantara Tuhan. (c) Secara tradisional dalam rangka memahami dan melaksanakan aktivitas budaya terkait sedekah-bumi 'sesaji-bumi' dan sedekahlaut sesaji laut' di anggap petani sebagai cara untuk mencapai tingkat keselamatan dan keberkahan di hadapan sosok yang hyang Widi Wasa yang dianggap sebagai penguasa tertinggi baik dalam praktik kehidupan sehari-hari sebagai petani kemudian diadopsi menjadi tradisi nelayan; (d) Secara lingual menyangkut berbagai ekspresi verbal istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut berbagai aktivitas tradisi dan praktik mata pencaharian yang mengandung kearifan lokal masyarakat petani di pesisir Kebumen sesuai dengan ngelmu turki (pituture kaki) 'ilmu ajaran leluhur (laki-laki)' yang disebut postula keajegaan, empiris. Ekspresi nonverbal (tradisi, perangkat sesaji) yang terkait mata pencaharian dapat dipahami melalui cara ekspresi verbal (istilah) yang digunakan petani, tercermin dalam perhitungan pranatamangsa 'astronomi', prosesi sedekah-laut 'sesaji-laut' dan prosesi sedekah-bumi 'sesaji-bumi', ubarampe 'perangkat sesaji' yang disiapkan untuk upacara ritual tersebut memiliki ciri-ciri yang sama, baik jenis dan makna kultural simbol-simbolnya.
c. Karakteristik Ekspresi Verbal Terkait Pamali dalam Perjodohan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 344
Sebagai bagian dari masyarakat Jawa yang tinggal di daerah transisi juga mengenal adanya larangan berjodoh dengan alas takut mendapat celaka dengan istilah kasedhak98. Secara empiris mereka mentaati pamali ‘larangan’ tersebut, dan tidak seorang pun berani melanggar, karena bisa berakibat buruk kepada nasib yang bersangkutan. Misalnya pasangan menjadi gemblung ‘gila’, mati sampyuh ‘keduanya mati’, anak cacat, setiap melahirkan anak mati, atau bila tidak terjadi petaka seperti itu namun rejekinya tidak lancar. Hal itu dapat diinterpretasikan bahwa pamali ‘larangan, pantangan leluhur dengan kasus yang pernah terjadi yang berakibat buruk tersebut mengarahkan agar anak-cucu rnereka tidak mengulang apa yang pernah terjadi secara turun-temurun. Beberapa contoh kisah dampak dari melanggar pamali tersebut telah cukup banyak sehingga telah menjadi bagian dari kenyakinan komunitas petani kebumen. Sebagai daerah transisi, pamali juga mengalami pengaruh dari daerah yang dekat yakni daerah relig Banyumas dan daerah Pusat Budaya sehingga menjadikan pamali di daerah transisi ini menjadi sangat khas dan beragam seperti ekspresi verbal berikut.
98
. Sikap yang demikian melatarbelakangi semakin kuatnya pamali ‘larangan’ pemikahan tersebut, meski berawal dan kisah dua orang bersaudara yang bertempat tinggal di suatu desa yang dibatasi oleh jalan desa, yaitu Desa Karanggadung berada di timur jalan dan Desa Munggu berada di barat jalan, Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen. Dua bersaudara yang tinggal di timur (Desa Karanggadung) dan yang lain berada di barat jalan (Desa Munggu), masingmasing memiliki anak, yang berada di timur jalan dianggap tuwa-awune ‘tua darahnya’ beranak laki-laki, sedangkan yang tinggal di barat jalan dianggap (e)nom-awune ‘lebih muda darahnya’ beranak perempuan. Kedua keluarga tersebut masih satu keturunan yang secara genetik tidak boleh berjodoh, karena menurut tradisi keturunannya akan mengalami gangguan (seperti ada yang mati, cacat, gila), bahkan salah satu atau kedua orang dari pasang itu bisa menemui nasib buruk atau keduanya meninggal dunia. Di samping itu, dipahami menurut syariat agama (Islam) keluarga yang masih muhrim ‘satu keturunan, satu wali’ tidak boleh berjodoh karena hukumnya haram dan masih dalam satu kakek-nenek.(informan: Pak barjo, 46 tahun; Pak Darmaji, 82 tahun).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 345
1) Dhadhung Kepuntir ‘bersilang-melilit’
Dhadhung kepuntir ‘bersilang-melilit’merupakan ekspresi verbal petani tentang pamali ‘larangan’ perjodohan, yaitu perjodohan yang berciri mase entuk adhike ‘kakak laki-laki berjodoh dengan adik perempuan’, sebaliknya adhike entuk mbakyune ‘adik berjodoh dengan kakak perempuan’ dalam satu ayah dan ibu. Hal itu sebenarnya karena masih satu keluargan dan bagi orang Jawa pada umumnya juga tidak diperbolehkan.
Secara simbolik, makna kultural petani
dhadhung dipersepsikan sebagai simbol dan ikatan pangiket ‘aturan’ tradisi leluhur; ekspresi verbal kepuntir secara leksikal dalam tradisi petani dimaknai sengkarut ‘melilit, tetapi berlawanan arah’, dan secara kultural dipersepsikan sebagai perilaku yang menyimpang dari tradisi atau aturan agama yang dianut. Oleh karena itu, ekspresi verbal dhadhung-kepuntir dapat diinterpretasikan sebagai perilaku yang melanggar tradisi dan aturan agama dan bahkan sebagai melawan atau menantang tradisi, karena menikahi saudara bersilang dalam satu keturunan.
2) Etan gili- kulon gili ‘timur jalan-barat jalan’
Gili di khusus di pesisir Selatan merupakan jalan kecil yang menuju laut dan pembatas petak-petak lokasi sawah yang membujur sepanjang pesisir Selatan Kebumen. Pamali ini hanya ada di Kebumen bagian pesisir saja tidak untuk Kebumen bagian tengah. Ekspresi verbalnya dalam nyong ora ulih ngrabi etan gili utawa kulon gili ‘saya tidak boleh menikahi (orang) timur jalan atau barat jalan’ karena pengalaman buruk leluhur di masa lalu.
3) Gotong Kliwon ‘hari Jawa yang lahir sehari sebelum Kliwon dengan sehari sesudah Kliwon’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 346
Maksudnya gotong Kliwon adalah Berjodoh calon mempelai hari lahir salah satu weton wage ‘hari lahir wage’ dipasangkan dengan weton legi/manis ‘hari lahir legi’99. Menurut hitungan hari Jawa wage adalah sehari sebelum Kliwon dan Legi adalah sehari stelah Kliwon Karen hitungan Jawa urutannya adalah Pon, Wage, Kliwon, Wage, Pahing yang disebut sebagai sepasar ‘lima hari’. Adapun ekspresi lengkap pasaran yaitu pon, wage, kliwon, legi, pahing, sehingga pasaran kliwon ada di tengah-tengah hitungan pasaran dari hari lahir pasangan yang akan berjodoh tersebut. Adapun ekspresi lengkap pasaran yaitu pon, wage, kliwon, legi, pahing, sehingga pasaran kliwon ada di tengah-tengah hitungan pasaran dari hari lahir pasangan yang akan berjodoh tersebut.
4) Panah-dino ‘hari rajam’ Maksudnya secara kultural petani pasangan hari lahir calon mempelai antara Jemah ‘Jumat’ yang berjodoh dengan Setu ‘Sabtu’ tersebut, karena menurut perhitungan tradisi mereka akan menemui hal-hal yang berbahaya, yakni salah satu atau semuanya akan mengalami nasib buruk seperti pisah di tengah jalan, mati, rejeki susah, bertengkar terus bojo-elik/gabrukan, suasana rumah tangga panas, dan sejenisnya. Menurut persepsi mereka bahwa hari Jumat sebagai hari wingit ‘keramat’ dan hari Sabtu dianggap sebagai hari yang memiliki neptu dina ‘nilai hari’ tertinggi (nilai spiritual hari Sabtu Setu adalah 9). Kedua hari tersebut adalah sebagai hari yang memiliki kekuatan spiritual masing-masing, akibatnya bisa perang tandhing 'sama-sama kuat'. Kondisi spiritual perjodohan semacam itu kurang bagus. Pertimbangan spiritual dan kultural yang tidak mengizinkan petani berjodoh seperti itu masuk dalam kategori berciri besan-balik. Pamali yang termasuk dalam besan-nalik yang bercirikan panah-dini ‘hari rajam’ adalah perjodohan antara anak mbarep ‘sulung’ berpasangan dengan anak mbarep ‘sulung’. Perjodohan antara mbarep etuk mbarep, secara psikologis tidak ada yang mau mengalah. Menurut persepsi mereka perjodohan mbarep ‘sulung’ 99
. Informan: Pak Darmuji, 76 tahun; Pakcommit Darmaji,to82user tahun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 347
dengan mbarep ‘sulung’ secara psikologis memiliki pengalaman yang sama, yakni anak pertama sangat diperhatikan orang tua, merasakan selalu mendapat prioritas utama, dan merasa menjadi raja kecil di keluarga, sehingga sifat egois lebih menonjol. Ekspresinya seperti anak mbarep adate disekarep, mburi kemratu ‘anak sulung biasa dimanja, akhirnya menjadi egois’. Sebaliknya, dalam tradisi mereka sangat menganjurkan perjodohan antara anak mbarep ‘sulung’ dengan anak ragil ‘bontot’, karena perjodohan seperti itu sangat dikehendaki tradisi mereka yang diekspresikan dalam tumplak-punjen100. Sekalipun di tempat lain ada pamali ‘pantangan’ sejenis, misalnya melarang pasangan ji-lu, karena dipahami sebagai akronim dari anak nomer siji/mbarep ‘sulung’ dengan anak nomer telu ‘tiga’; dan pasangan ge-ing yang dipahami sebagai akronim dari anak weton wage ‘hari lahir wage’ dan pahing termasuk yang tidak boleh berjodoh. Hal tersebut disebabkan makna yang kurang baik dari akronim itu yakni ge-eng bisa berarti geyeng ‘miring’ artinya tidak seimbang dan ji-lu artinya tidak baik.
5) Batih-karang/Gandheng-pager ‘tetangga sebelah’
Perjodohan
yang
berciri
batih-karang/gandheng-pager
‘tetangga
pekarangan/gandeng pagar’ merupakan bagian tradisi pamali ‘larangan, pantangan’ yang harus dihindari petani. Secara praktis pasangan yang berciri batih-karang tersebut sebagai tetangga sudah saling mengenal, baik terkait kebaikan maupun keburukan (kekurangan). Apabila kedua belah pihak keluarga bisa saling menjaga, seperti saling menutupi berbagai kekurangan, maka 100.
Tumplak-punjen merupakan ekspresi simbolis orang tua menyerahkan harta kekayaan yang dimiliki semenjak menikah kepada anaknya, terutama anak perempuan ragil; ubarampe ‘perangkat sesaji’ tumplak-punjen meliputi empon-empon ‘(jamu) akar-akaran’, beras kuning ‘beras kuning’, dan uang logam yang diletakkan di atas kain yang disebut pujen, tumplak-punjen dilakukan ketika menikahkan anak perempuan ragil ‘bontot’ (tetapi kadang juga anak laki-laki bontot); tumplak-punjen sebagai ungkapan rasa syukur orang tua kepada Tuhan. karena telah berhasil menikahkan semua anaknya. serta dapat menyerahkan semua kekayaannya kepada anakanaknya untuk bekal kebidupannya. dalam Kamus Istilah Pernikahan Adat Jawa Gaya Surakarta (Dwirabarjo, M., dkk.(ed..X 2006:133). Dalam Wakit, 2013.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 348
hubungan tersebut akan terbina bagus. Sebaliknya jika tidak, maka persoalan terkait kekurangan dalam kehidupan sehari-hari menyangkut yang berjodoh akan menjadi pemicu perselisihan yang lebih dalam dan menjadi putus hubungan yang dahulunya tetangga baik menjadi musuh, karena secara empiris membuktikan mereka saling membongkar rahasia dan kekurangan masing-masing. Di samping itu, secara tradisional persepsi tetangga dekat terkadang masih ada hubungan darah keturunan101, bahkan masih dalam posisi hubungan keluarga satu muhrim. Padahal menurut tradisi mereka maupun ajaran Islam yang dianut berjodoh dalam posisi satu muhrim tersebut sangat dihindari, karena ora ilok ‘tidak baik’ menurut tradisi dan haram menurut Islam,
6) Menghadiri Pesta Pernikahan Anak Laki-laki
Menurut adat petani di Kabupaten Kebumen pada umumnya orang tua pihak laki-laki tidak dibenarkan menghadiri pesta penikahan anaknya. Untuk itu orang biasanya meminta bantuan orang lain untuk mengantarkan manten pria sejak mulai melamar sampai dengan pesta pernikahan dengan istilah njerum ‘diwakilkan’. Apabila orang tua mempelai pria menghadiri pesta perkawinan maka dikatakan sebagai anakke di pangan dewek ‘anaknya dimakan sendiri’.Pada acara seperti ini biasa yang menjadi wakit mendapat imbalan sekedarnya dari pihak keluarga mempelai pria maka secara cultural dapat di identifikasi sebagai suatu momen berbagi dan tolong menolong. Tradisi pamali menghadiri pesta pernikahan anak mlaki-laki ini ternyata memiliki kesamaan dengan daerah Watu Agung di dataran tinggi Banumas. Hal
101
Tetangga dekat awalnya satu keturunan, karena orang tua sudah meninggal pekarangan tempat tinggal orang tua dibagi untuk setiap anak yang memiliki hak waris. Selanjutnya sampai pada keturunan berikutnya, tradisi mengarahkan pamali ‘larangan, pantangat’ tetsebut harus dijaga agar tidak melanggar tradisi dan kemungkinan berjodoh yang berakibat buruk dikemudian hari (Informan: Pak barjo, 46 tahun, Pak Darmaji, 76 tahun, Kyai Sajadi, 64 tahun).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 349
demikian dapat dikatakan sebagai bentuk resistensi tradisi yang dibawa dari daerah dataran tinggi pedalaman Watu Agung.
d. Kondisi Karakteristik Kebahasaan Komunitas Petani Daerah Transisi Karena Kabupaten Kebumen merupakan daerah pertemuan dua dialek, yaitu dialek Banyumas yang disebut dengan bahasa Jawa ngapak dan dialek Jogjakarta sebagai
pusat budaya yang disebut bahasa Jawa bandek, maka
Kabupaten Kebumen memiliki campuran dari dua dialek tersebut yang kemudian menjadi varian dialek bahasa Jawa Kebumen yang diberi nama dialek ceblek. Tidak semua daerah di Kabupaten Kebumen memiliki kondisi kebahasaan yang sama karena beberapa hal, misalnya daerah Kutowinangun dan Prembun yang dilalui jalan raya dapat diidentifikasi lebih banyak menggunanakan dialek bandek karena lebih banyak mendapat pengaruh dari daerah pusat budaya melalui kontak dengan masyarakat pedagang dari Jogjakarta. Sebaliknya, daerah yang susah dijangkau atau tidak dilewati jalan raya, seperti Padures, tentu saja sedikit ada kontak dengan masyarakat di luar daerahnya akan dapat diidentifikasi banyak menggunakan dialek Banyumas/ menggunakan bahasa Jawa ngapak.
Daerah
Prembun memiliki dialek campuran antara dialek badek dan dialek ngapak sehingga disebut dengan dialek ceblek. Daerah pesisir, yakni Ambal, Mirit, sampai Purwosari merupakan daerah yang setengah-setengah karena meskipun dilalui jalan raya, namun tidak ada kontak dengan masyarakat dari luar karena jalan raya ini tidak berhenti di sepanjang jalan Pesisir tersebut. Jalan itu adalah jalan Daendeles. Mulai beberapa tahun belakangan, jalan mulai rusak sehingga tidak lagi banyak dilewati dan hanya ramai kalau musim mudik menjelang hari raya karena jalan itu merupakan jalan alternatif dari Jakarta, Bandung menuju Jawa Tengah dan Jogjakarta. Di daerah yang demikian ini memiliki kekhasan bahasa yang masih cenderung memakai dialek ngapak seperti bahasa yang dipakai di daerah konservatif Banyumas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 350
1) Karakteristik Dialek dalam Pemakaian Bahasa Unit-unit lingual yang menandai karakteristik bahasa daerah transisi yang signifikan adalah ditemukannya unsur-unsur lingual, baik yang cenderung sebagian mengikuti ciri-ciri daerah periferal maupun sebagian mempunyai ciriciri daerah pusat budaya. Kutowinangun sebagai daerah pusat budaya transisi di Kabupaten Kebumen yang sebelumnya lebih didominasi oleh ciri-ciri Banyumas telah mengalami percampuran degan ciri-ciri pusat budaya; sebagai contohnya vokal a dengan glotal (a+) pada leksikon segak menjadi sega, kancak menjadi konco, matak menjadi mata. Walaupun bentuk berimbuhan dengan pemarkah milik misalnya kancak menjadi kancane (sudah tidak beda antara konstruksi milik pada dialek Banyumas dan dialek pusat budaya). Demikian juga contoh lain seperti bapak – bapake à bapak – bapakke, anak – anake à anak – anakke, endok – endoke à endok – endokke, embok – embokeàembok - embokke. Kedua bentuk tuturan itu digunakan di daerah transisi. Bentuk ini bahkan mempengaruhi juga bentuk pakai bahasa Jawa di Purworejo dan di beberapa lokasi tertentu yang lebih dekat dengan perbatasan Kabupaten Kebumen – Purworejo. Meskipun demikian ciri-ciri karakteristik penggunaan bahasa Jawa di Purworejo pada umumnya tidak berbeda dengan pemakaian bahasa Jawa di pusat budaya meskipun Kabupaten Purworejo termasuk propinsi Jawa Tengah. Namun, dari sisi dialek Purworejo termasuk dialek pusat budaya karena lama menjadi daerah administrasi pusat budaya Jogja. Daerah pusat budaya yang dari sisi bahasa dan budaya termasuk daerah yang menggunakan bahasa Jawa standar102 (baku) walaupun menurut paham/menurut kajian dialektologi bahasa Jawa
Bahasa Jawa yang digunakan commit sesuai dengan to userdengan benar sesuai dengan situasi penggunaannya. 102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 351
Kebumen merupakan salah satu variasi saja dari bahasa Jawa seperti halnya bahasa Jawa dialek Banyumas yang termasuk salah satu varian bahasa Jawa. Daerah yang merupakan pusat perdagangan, seperti Prembun, memiliki dialek khusus yaitu campuran antara dialek ngapak dan dialek badheg yang disebut dialek ceblek (Pujiatno, 2007). Sekilas bahasa mereka seperti bahasa yang aneh bagi pendengar, baik dari pusat budaya Jogjakarta maupun dari Banyumas seperti contohnya penggunaan sisipan –an- dalam kata bapakane, biyungane; ada juga penggunaan kata yang dibalik, seperti walet menjadi lawet. Contoh lain adanya awalan di- dan ahkiran –na secara bersama-sama sebagai bentuk kalimat afirmatif sperti kata
digawakna ‘tolong dibawakan’ dan dijupukna ‘tolong
diambilkan’.
2) Karakteristik Sematik
Sejalan denga perjalanan panjang komunitas petani yang berasal dari dataran tinggi banyumas menuju dataran sedang, dataran rendah, dan kemudian sampai pada dataran rendah Pesisir selatan tentu saja mengalamai berbagai perubahan. Perubahan tersebut terkait dengan perubahan dalam ekspresi verbalnya yang dapat dicermati melalui linguistiknya dan perubahan budaya. Perubahan secara linguistik dapat dilihat melalui perubahan semantiknya (semanstic change). Perubahan semantik (semantic change) yang terjadi disebabkan karena perkembangan demografis, perbedaan geografis, dan perbedaan ekologis dapat dikategorikan dalam perubahan antar waktu (diakronis) dan dapat digolongkan menjadi perubahan makna meluas (widening semantic change), perubahan makna meyempit (narrowing semantic change), dan perubahan makna/deversifikasi makna secara cultural (deversification semantic change). Perbedaan makna meluas (widening semantic change), perubahan makna menyempitn dan perbedaan makna (deversification semantic change) terjadi ketika komunitas petani beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda dengan daerah dataran tinggi seperti ketika kata-kata berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 352
Tabel 4.22: Perubahan Makna Meluas No 1
Kata Lemon
Makna Pupuk sebagai penyubur agar menjadi gemuk
2
Kates
Papaya
3
Pari
Padi
4
Sedekah
Persembahan
Dataran Tinggi Humus
Dataran Rendah Pada dataran rendah lemon dapat berupa humus, pupuk kansang, dan pupuk kimia.
Keterangan Perluasan tersebut karena di dataran sedang sampai Pesisir selatan tersedia hutan, dan petani mulai beternak sebagai penyedia lemon, dan mulai banyak tersedia pupuk limia sedangkan di dataran tinggi hanya menggunakan humus hutan yang mendominasi lahan di sana. Wulung Wulung, Jawa, Perkembangan jenis Jawa Gandhul pepaya disebabkan jingga California, perkembangan viretas Orange Lady, yang diikuti oleh Thaialand, komunitas petani yang Bangkok belajar dari daerah jingga Cilacap ketika mereka belajar untuk menjadi nelayan. Gathak Gaga Pada awalnya pada IR dataran tinggi Cisedane menyebut pari gathak yang kemudian saampai pada dataran rendah terjadi asimilasi bunyi menjadi gaga dan berkembang menjadi berbagai jenis padi yang disediakan oleh pemerintah namun tetap ditanam secara 4gaga Bumi Bumi dan laut Terutama pada daera Pesisir Selatan karena commit to user proses transformasi mata pencaharian.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 353
5
Paceklik
Paceklik
Darat
Darat dan laut
6
Klapa
Kelapa
Sajeng/badheg Klapa Gula klapa
Sajeg Klapa Gula klapa Vigin Coconut Oil Cocodus
7
Iwak
Ikan
Laut Kali
Laut Kali Darat
Karena proses transformasi maka keadaan paaceklik dibawa kelaut ketika laut tidak dapat menghasilakn. Perubahan ini disebabkan mulai masuknya investor yang mengolah hasil kelapa untuk diolah menjadi VCO dengan mendirikan pabrik di daerah Kebumen dan importir yang mgambil sabut kelapa untuk di olah menjadi jok mobil di Jepang. Iawak darat ada karena adanya empang sawah yang ada karena terjadinya banjir sepanjang Pesisir Selatan yang dimanfaatkan secara baik oleh petani
Perubahan makna menyempit dapat dicermati pada tabel berikut
Tabel 4.23: Perubahan Makna Menyempit No
Kata
Makna
Dataran Tinggi
Dataran Rendah Lanting Pakan
Keterangan
1
budhin
singkong
Oyek Gethuk Roti Lanting Upik Kemplang Gembus Longok Krekel Geblek
2
Nderes/be dhel wala
Mengambil getah
Pines Karet kelapa
Kelapa
Pada dataran rendak pesisir tidak dijumpai pohon pines dan karet yang diambil getahnya Konsep berbagai macam bentuk memotong pohon tersebut karena di dataran tinggi Watu
3
Negor wit
Memotong pohon
Tutuh’memotong Negor wit dahan kayu’ Tegor’memotong pohon kayu’ to user commit Punggur’memotong
Singkong lebih banyak digunakan sebagai mekanan ternak sejalan dengan berkembangnya peternakan sebagai penyedia lemon.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 354
kayu dengan menyisakan batangnya sekitar 23m’ Pocol’mengerat pohon bagian bawah agar daunnya rontok untuk pupuk’
Agung terdapat perkebunan yang dapat dipakai sebagai penyedia lemon.
Tabel 4.24: Perbedaan Makna No
Kata
Makna
Dataran Tinggi
1
Kuning
Warna kuning (kata sifat)
Kuning kata seperti pada janur kuning
sifat kata
Dataran Rendah Bisa berubah menjadi kata kerja ketika diucapkan dengan kata kena seperti kena kuning, pandan kuning
Keterangan Namun juga dapat berarti tetap kuning sebagai kata sifat ketika dipakai pada parine wis kuning.
e. Karakteristik Dunia Pertanian sebagai Daerah Transisi
Sebagai bagian dalam proses migrasi manusia dari dataran tinggi menuju ke dataran sedang, dataran rendah, dan sampailah pada daerah Pesisir berdampak pada pola pertanian yang merupakan sumber penghidupan manusia Jawa. Dalam proses migrasi ini terjadi berbagai perubahan dalam kategori dan ekspresi linguistik dalam ranah pertanian. Perubahan tersebut dikarenakan beberapa faktor di antaranya adalah 1) faktor geografis karena pada waktu sampai pada dataran tengah, dataran rendah, dan Pesisir Kabupaten Kebumen tanaman harus menyesuaikan kondisi alamnya, akibatnya ada yang di pertahankan dengan istilah diresistensikan, ada yang mengalami inovasi dan ada yang harus di substitusi untuk menyesuaikan kondisi ekologi. Oleh sebab itu, bentuk-bentuk setiap resistensi, inovasi, dan substitusi berbeda antardaerah dataran sedang, rendah, dan pesisir. Selain pengaruh ekologi lingkungan terhadap pola pertanian, juga terdapat pengaruh lain yaitu pengaruh pusat budaya Yogya-Solo dan pengaruh Banyumas commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 355
yang terwakili oleh Watu Agung sebagai dataran tinggi. Pengaruh tersebut juga terjadi pada proses peralihan dari dataran tinggi, sedang, rendah, dan pesisir.
1) Ungkapan Verbal Terkait Resistensi Pola Tanam Resistensi pola tanam yakni tanaman yang dipertahankan dari daerah asal. Tanaman dari dataran tinggi adalah tanaman padi gaga yang sebenarnya di dataran tinggi Watu Agung sudah tidak ada. Dahulu masyarakat petani di dataran tinggi Watu Agung menanam padi dengan jenis pari gaga ‘padi gaga’ dan ada pula istilah pari gathak ‘padi gathak’. Padi gathak adalah padi yang diambil dari sisa padi yang tumbuh secara liar dan tenyata padi jenis ini memiliki ketahanan terhadap hama penyakit, sedangkan padi gaga adalah padi yang tumbuh pada tanah kering yang mengandalkan pengairannya dari air hujan. Padi gaga ini ketika turun ke dataran tengah sudah tidak lagi ditanam melainkan menanam padi jenisjenis varietas unggul dari pemerintah. Sistem penanamannya juga tidak lagi mengandalkan tadah hujan karena tanah di dataran tengah Kabupaten Kebumen tergolong subur dan relatif gampang mendapatkan air dalam rangka pengairan sawah. Pada sistem ini biasanya padi yang dipanen pertama dapat ditanam ulang dengan istilah satdon/ turun pisan ‘turun sekali’ tetapi petani tidak merekomendasikan untuk menanam ulang turun pindo karena hasilnya menjadi kurang bagus. Di dataran tengah dengan berkembangnya sistem pertanian saat ini, tidak ada istilah parighathak karena cara memperoleh binih seperti itu sudah tidak efisien lagi. Pemilihan musim sebagai pranata mangsa pada dataran rendah Pesisir Selatan masih menggunakan sistem yang sederhana seperti dataran tinggi Watu Agung, yakni mangsa rendeng dan mangsa ketiga. Penggunaan pranata mangsa seperti ini merupakan bagian dari resistensi dunia pertanian. Sebagai karakteristik pertanian di Kabupaten Kebumen tampak bahwa ada sebagain dari daerah ini yang sudah menggunakan sistem pranata mangasa yang sangat mendetail seperti yang diajarkan oleh PB ke VII. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 356
Kabupaten Kebumen bagian tengah sudah mulai dipengaruhi oleh sistem bertani dari pusat budaya Jogja-Solo. Di daerah dataran rendah padi yang ditanam masih seperti di dataran sedang karena petani membeli dari toko pertanian atau mendapat dari pemerintah sehingga tidak banyak ekspresi linguistik yang berubah pada katerori dan ekspresi linguistik yang berkaitan dengan sistem bertanam padi. Di dataran rendah ini masyarakat petani mulai melaksanakan pola tanam bergantian karena kondisi ekologinya sudah mulai berbeda dengan dataran sedang. Mereka mulai menanan bergantian antara padi, jagung, dan kacang panjang. Pergantian dilakukan untuk mengantisipasi musim kering yang datang karena tanah di daerah dataran rendah sudah tidak sesubur di dataran sedang. Menjelang musim kering petani mulai menanam tanaman pengganti padi yang bisa tahan sampai musim kering tiba. Selain tanaman tersebut juga banyak petani yang menanam tanaman budhin ‘singkong’ yang hasilnya sangat berlimpah sehingga daerah ini dikenal dengan makanan lanting ( dari singkong). Karena kondisi kekayaan alam yang dapat memberikan hasil tanaman budhin menjadi lanting ini, maka lanting dapat dikategorikan menjadi folklor bukan lisan karena ini merupakan makanan khas daerah Kabupaten Kebumen bagian dataran rendah. Budhin di dataran tinggi Watu Agung juga banyak dijumpai namun tidak dipakai sebagai komuditas daerah seperti di Kebumen. Di sana singkong diolah sebagai makanan yang beragam sehingga klasifikasi budhin di dataran tinggi lebih banyak bila dibandingkan dengan di dataran rendah ini. Di daerah pesisir, padi yang ditanam adalah padi yang juga diperoleh dari pemerintah atau membeli di pusat pertanian, tetapi ditanam dengan sistem gaga, yakni dengan menggunakan lahan kering. Padi yang demikian diistilahkan sebagai pari sistem gaga yang sebenarnya berbeda dengan pari gaga yang asli. Kondisi tanah di Pesisir sangat berbeda dengan tanah dataran sedang karena tanah di Pesisir cenderung berpasir seningga sangat kering. Hama pada tanaman padi tanah kering juga berbeda dengan padi dataran rendah dan sedang. Hama padi tanah kering ini adalah uret, sedangkan di dataran sedang adalah sundep. Jenis penyakit commit to user yang berbeda tentu memerlukan penanganan yang berbeda pula.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 357
Dengan berjalannya waktu, pertanian juga berkembang bersama dengan perkembangan teknologi sehingga ada beberapa leksikon yang telah tergeser oleh terciptaya tehnologi sebagai contoh adanya traktor sebagai pengganti bajak, dan mesin rontok sebagai pengganti lesung. Dengan demikian ekspresi linguistik yang berkaitan dengan hal tersebut menjadi hilang, contohnya ekspresi lesung, alu, nyosoh, napeni, dan ngayaki menjadi hilang. Meskipun tanaman padi gaga merupakan tanaman yang diresistensi dari dataran tinggi, tetapi ada beberapa hal yang berubah berkaitan dengan peralatan yang dipakai. Di dataran tinggi dahulu belum menggunakan traktor melainkan masih menggunakan luku dan garu, sedangkan di dataran sedang sudah memakai traktor, walaupun di dataran rendah dan sedang masih menggunakan kombinasi antara traktor dengan luku. Jadi masyarakat di Pesisir dan di dataran rendah masih mengenal istilah luku, diluku, dan ngluku. Konsep bertanam yang juga diresistensikan adalah kelapa sebagai penghasil gula kelapa. Tanaman kelapa ternyata juga sangat bergantung pada kondisi geografis setempat. Meskipun tanaman kelapa ini diresistensikan, tetapi mengalami perbedaan karena ternyata tidak semua dapat di deres. Pohon kelapa yang berada di bagian dataran tengah lebih banyak dimanfaatkan untuk diambil buah kelapanya, sedangkan di sepanjang Pesisir Selatan tetap dipertahankan untuk dideres. Perubahan ini disebabkan kondisi tanah dan letaknya yang ternyata sangat berpengaruh terhadap kesuburan tanaman kelapa. Apabila dipaksakan, maka tidak dapat memberikan keuntungan yang maksimal bagi petani. Khusus di Kebumen bagian tengah, akhir-akhir ini ada investor yang menawarkan pengolahan kelapa untuk dibuat VCO (virgin coconut oil). Masuknya perusahaan tersebut akan memberi dampak perubahan pola mata pencaharian di Kabupaten Kebumen karena kategori hasil pemanfaatan buah kelapa menjadi melebar, yakni tidak sekedar hanya dibuat gula kelapa, diambil santanya, dipakai membuat minyak kelapa tetapi, juga menjadi VCO. Istilah-istilah sebagai bukti resistensi itu terutama yang berkaitan dengan mata pencaharian sebagai petani, seperti istilah cakar-bumi ‘menggarap sawahcommit to user ladang’ juga ditemukan di Pesisir Selatan Kebumen di samping di Banyumas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 358
sebagai daerah relik. Aelanjutnya, istilah sajeng/ badheg ‘air bunga kelapa (manggar)’, thothok ‘dahan kelapa’ dalam mata pencaharian nderes dan menyangkut kelapa dengan semua potensinya, hanya ditemukan di wilayah pemakaian bahasa Jawa dalam adat-istiadat Banyumas termasuk di Pesisir Selatan Kebumen.
Mata
pencaharian
ternak
menyangkut
pemeliharaan
hewan
‘nggaduh/memelihara ternak orang lain’, cenderung memiliki ciri-ciri karakter yang sama dengan Banyumas. Adapun mata pencaharian tani, nderes, dan ternak memiliki ciri-ciri karakter yang sama dengan Banyumas contohnya sebagai petani memanfaatkan lahan yang ada di sekitarnya, baik milik sendiri atau milik negara (lahan perhutani di Banyumas dan lahan Pesisir yang kosong milik negara di Pesisir Selatan Kebumen); tidak beranjak dari tradisi turun-temurun, baik cara menanam dan jenis tanamannya; ala-kadarnya tanpa banyak sentuhan fasilitas modern karena biaya dan keadaan lahannya; untuk konsumsi sendiri atau keperluan sendiri; masih diliputi mitos-mitos yang bersifat agraris; lahan merupakan lengseran ‘warisan’ orang tuanya/mertuanya yang makin lama makin sempit. Mata pencaharian nderes ‘memetik getah manggar/ sajeng/ badheg’ juga merupakan aktivitas harian yang hasilnya dapat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari secara spontan, karena pagi nderes langsung diuburi ‘dimasak’ sore di tuangkan dalam cirik ‘lepek dari tanah’ atau lemper (untuk dialek lain), kemudian setelah kering dijual ke warung yang menampung gula-klapa harga tujuh ribe rupiah per kilo gram. Daerah Pesisir Selatan yang pada saat ini sedang mengalami proses peralihan perpindahan mata pencaharian tentu saja masih banyak menggunakan istilah dunia pertanian sebagai bagian dalam ranah pernelayanan. Pelestarian bahasa Jawa dalam konteks petani dan nelayan tercermin dalam istilah-istilah pertanian yang masih tetap dipakai pada dunia pernelayanan karena atas kesadaran bahwa mereka merupakan petani subsisten. Sebagai contoh, istilah panen, paceklik, dan sedekah yang sama pada daerah pertanian dan pernelayanan di sana. Dalam tradisi pengucapan ‘syukur’ yang biasa disebut dengan Suran juga dilaksanakan bersama-sama dengan ujub sebagai sedekah laut dan sedekah bumi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 359
2) Ungkapan Verbal Terkait Resistensi Upacara Sesaji Pada acara wiwit dan jabel di daerah Kebumen, baik di dataran sedang, rendah ataupun Pesisir masih tetap memakai tumpeng megana. Dalam bentuknya tumpeng megana merupakan makanan yang terdiri dari nasi, lauk pauk, dan sayur dan di bumbui kelapa yang dudah di parut di bungkus nasi tumpeng/bentuk kerucut kemudian di sajikan untuk di makan bersama-sama Penggunaan sistem simbolis ada juga yang dipertahankan sehingga tetap berbeda dengan daerah pusat budaya diantaranya, yaitu air kelapa dimaknai sebagai air suci tetapi tidak menyucikan dan khusus di derah Pesisir dipersembahkan kepada Nabi Kidir, ingkung/ayam dimaknai sebagai persembahan bagi Ibu Ratu, Bapa Adam, dan Ibu Kawa. Bentuk rumah yang ada di Kabupaten Kebumen ini ternyata masih sama dengan jenis rumah yang terdapat di daerah Banyumas yakni Rumah Bandung. Rumah Bandung di Pesisr Selatan Kebumen ini, dahulu hampir semua dibuat menghadap ke Selatan karena menurut keyakinan masyarakat setempat bahwa haarus menghadap ke Ibu Ratu dan tidak bolek ngungkurke ‘membelakangi’ agar mendapat rejeki yang lancar. Secara praktikal, jika pembuatan rumah menghadap ke Selatan maka akan mendapat banyak angin dari laut sehingga merasa dingin dan tidak panas. Hal yang demikian merupakan resistensi karakteristik artefak budaya Banyumas walaupun dalam perjalanan waktu terpengaruh oleh bentuk rumah modern yang disebut dengan rumah lojen. Dalam pemertahanan model rumah ini, masyarakat masih memiliki kepercayaan bahwa rumah bandung hanya dapat dikombinasi dengan rumah model baru dengan beberapa ketentuan bahwa rumah bandung harus dibangun dibelakang dengan sebutan buta mangku wanito. Dalam memulai membuat bangunan, masyarakat masih menggunakan sesajen dengan makna simbolik yang sama dengan daerah Banyumas, yakni membuat masakan dari bagian tengah pohon pisang dicampur dengan santan yang disebut areh debok atau areh tuntut. Masakan ini hanya dihidangkan pada saat orang membuat rumah di Kabupaten Kebumen dan di Dataran Tinggi Watu Agung. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 360
3) Ungkapan Verbal Terkait Inovasi dan Substitusi Pola Pertanian
Inovasi pola bercocok tanam merupakan pertanian yang dikembangkan dari daerah dataran tinggi ke arah dataran tengah, dan akhirnya ke dataran
rendah
karena
kondisi
ekologi
yang
berbeda. Tanaman tersebut,
antara Gambar 4.59: Pohon kelapa lain sayuran yang yang sedang dideres ditanam di dataran tinggi adalah sayuran yang dapat tumbuh di cuaca dingin seperti wortel, Gambar 4.60: Tanaman tomat yang cocok dengan dataran
sawi, kobis, bunga kool, dll. Sesuai dengan kondisi ekologi yang ada tanaman sayuran
tersebut diinovasi dengan tanaman sayuran yang dapat tumbuh di dataran rendah yang berudara panas, antara lain tanaman terong, kacang panjang, kacang brool, dan pare. Adanya inovasi tanam tersebut akan berdampak pada kategori dan ekspresi linguistik secara semantik. Makna sayuran menjadi berbeda antara dataran tinggi dan dataran rendah. Selain tanaman yang mengalami inovasi, buah pepaya juga mengalami perubahan mulai dari dataran tinggi, sedang, dan rendah. Pada dataran tinggi hanya ditemukan buah kates jawa ‘pepaya jawa’, kates wulung ‘pepaya wulung’. Pada dataran sedang mengalami penambahan kategori, yakni kates
thailand ‘pepaya thailand’, kates bangkok ‘pepaya bangkok’.
Semakin ke bawah sampai pada daerah Pesisir pantai tanaman pepaya mengalami penambahan yakni ditemukan tanaman gandul kalifornia ‘nama jenis pepaya yang bentuknya oval’, orang lady ‘nama pepaya yang bentunya bundar dan berwarna kuning’. Tanaman pepaya ini merupakan tanaman yang dibawa dari daerah cilacap ketika para petani yang hendak belajar untuk menjadi nelayan membawa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 361
pula jenis tanaman pepaya baru ini. Jenis tanaman baru ini tentu saja akan berdampak pada kebahasaan dalam kajian semantik. Dengan berjalannya waktu, tanaman pepaya ini menjadi komuditas perekonomian yang dapat membantu
masyarakat
sekitar
Pesisir
Selatan
Kebumen sehingga sepanjang Pesisir menjadi lahan perkebunan
gandul
kalifornia.
Perkebuan
ini
menjadi substitusi atas perkebunan yang terdapat di dataran tinggi karena perkebunan di dataran tinggi Gambar 4.61: Pohon karet yang sedang dideres
merupakan perkebunan pinus dan karet yang dikelola oleh Dinas Perhutani. Perbedaan jenis
perkebunan ini juga berdampak pada perbedaan fenomena kebahasaan terutama dalam hal semantik. Budaya bertani juga terdapat perbedaan yang terkait dengan lemon ‘pupuk’. Jika di dataran tinggi lemon
menggunakan humus dari
perkebunan karet dan pinus, maka di dataran rendah menggunakan pupuk kandang karena perkebunan pepaya tidak banyak menghasilkan humus seperti pada perkebunan karet dan pinus. Dengan adanya campur tangan pihak perhutani, maka makna kata nderes di dataran tinggi Watu Agung mengalami perluasan yang
semula
hanya
untuk
penyebutan
mengambil sajeng dari pohon kelapa menjadi dapat untuk pohon karet dan pohon pinus. Akibatnya, di dataran tinggi Watu Agung menyebut nderes selalu diikuti objeknya sehingg pengucapnya dalam bentuk frasa Gambar 4.62: Pohon karet yang di tatah seperti nderes sajeng ‘mengambil getah untuk diambil getahnya di dataran tinggi Banyumas
kelapa’ , nderes pinus ‘mengambil getah pohon pinus’, nderes karet ‘mengambil getah pohon karet’ Di daerah dataran rendah Kabupaten Kebumen makna nderes masih memiliki satu makna yakni mengambil getah nira sehingga komunitas commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 362
petani di sana dalam pengucapan hanya menyebut nderes karena mereka mengerti bahwa dalam hal ini adalah mengambil nira.
f. Karakteristik Pertanian Bercirikan Pusat Budaya Mulai dari daerah bagian barat yang banyak mengalami kontak dengan pusat budaya melalui kontak bahasa secara otomatis mendapat banyak pengaruh, baik melalui kultural maupun bahasanya. Pengaruh tersebut lama kelamaan akan menjalar sampai pada daerah yang jauh dari pusat perdagangan bahkan sampai pada daerah yang terpencil seperti pesisir. Pengaruh tersebut disebabkan adanya berbagai alat komunikasi, transportasi, pariwisata, dll. Pengaruh tersebut dapat dengan jelas dicermati dalam folklor di Pesisir yang banyak, seperti Folklor Pandan Kuning, dan Folklor Santri Gudig. Folklor tersebut merupakan pengaruh Islam yang sebelumnya masuk ke pusat budaya sebelum masuk ke daerah periferal ini. Pengaruh ini bahkan sudah sampai pada dataran tinggi Watu Agung sehingga di sana diakui juga oleh masyarakat bahwa terdapat makam Santri Gudig. Dunia pertanian di daerah dataran sedang Kebumen ini telah banyak dipelajari oleh kelompok tani tentang adanya pranata mangso yang dirancang dan dibuat oleh Sinuhun Pakubuwono VII. Mereka mulai megindentifikasi gejala musim dengan menggunakan candraning mangsa ‘candranya musim’ yang rumit dan kemudian dihubungkan dengan tingkah laku bayi yang baru lahir pada musim tertentu misalnya kasa digambarkan dengan sotyo murca ing embanan ‘permata cincin yang lepas dari genggaman emasnya’ , maka anak yang lahir pada musim ini diprediksi bakal memiliki rasa belas kasih. Selain hal tersebut adanya ritual tentang Dewi Sri ini sebenarnya juga merupakan pengaruh dari pusat budaya yang terlebih dahulu melalui pengaruh dari India dalam bentuk pewayangan. Dalam perjalanan panjang ceritera ini setelah sampai pada daerah periferal khususnya daerah Pesisir mengalami beberapa varian yang dipadukan dengan folklor lain sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat setempat. Ibu ratu yang di pusat commit to user budaya dianggap sebagai Nyai Roro Kidul dalam wujudnya sosok Ratu yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 363
cantik dianggap sebagai isteri raja-raja di Solo sampai juga di daerah Pesisir ini dengan berbagai varian seperti Ibu Ratu, dan Mbok Ratu. Dari dua jenis folklor penguasa laut dan darat tersebut bagi masyarakat Pesisir
yang
mengandalkan
kehidupan
dari
darat
dan
laut
berupaya
menghubungkan kedua penguasa tersebut. Bentuk penghubunbgan tersebut diantaranya adalah bahwa Dewi Sri juga bernama Dewi Sulasih yang merupakan anak dari Ibu Ratu. Dewi Sulasih ditugasi oleh Ibu Ratu untuk menjaga sawah dengan disertai bala tentara sehingga para petani akan merasa aman sehingga padinya terhindar dari hama penyakit. B. PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini dapat dikelompokkan sesuai dengan informasi yang diperoleh dari nara sumber. Kelompok data tersebut merupakan sistem pengetahuan tentang pertanian, penderes, empang sawah, peternak, perkebunan, pengobatan tradisional, dan folklor termasuk di dalamnya berbagai upacara ritual dan sesaji. Selain sistem pengetahuan juga dapat diperikan pemikiran kolektif komunitas petani yang mencerminkan kearifan lokalnya, eksistensi folklore pada komunitas petani yang mencerminkan kearifan lokalny, pandangan dunia, pandangan hidup, dan pola piker komunitas petani yang mencerminkan kearifan lokal, dan karakteristik komunitas petani Kabupaten Kebumen yang berada daerah transisi.
1. Sistem Pengetahuan Terkait Pertanian
Data yang berkaitan dengan sistem pengetahuan tentang pertanian diperoleh dari bapak Dirun103 yang berusia 46 tahun yang berprofesi sebagai petani dan peternak dari desa
103
commit to user Wawancara dilaksanakan pada tanggal 5 Demeber di rumah di Tegalretno
Gambar 4.63 : Informan ibu Suprapti
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 364
Munggu, bapak Ngadimin104 seorang petani dan juga penderes yang berusia 46 tahun berasal dari Desa Karanggadung, Ibu Suprapti yang berusia 50 tahun105 tahun adalah seorang penyuluh pertanian dan penderes, dan Sarpin Muhtadi (58 tahun) seorang petani yang merupakan tokoh masyarakat yang dipercaya sebagai kunci di tempat pelelangan ikan sehingga memahami seluk beluk tentang pertanian dan pernelayanan beserta lika-liku kehidupan tani nelayan. Data lain diambil dari laman yang Kebumen Dalam Angka. Dari hasil wawancara dapat dipahami bahwa dari aspek sosiokultural khususnya di bidang bahasa dan budaya Jawa Banyumas bisa dicermati dalam ranah106 petani di wilayah Kabupaten Kebumen karena hal itu merupakan mata rantai perkembangan “migrasi” 107 dari dataran tinggi di Banyumas menuju dataran rendah di Kebumen dan sampai di pesisir Selatan. Hal ini dapat meliputi pemakaian bahasa Jawa dalam ritual mereka ketika beraktivitas sebagai petani, penamaan komuditas tanaman mereka, bergantinya siklus musim tanam yang mereka ikuti, pranata mangsa yang dipedomani, serta pengelolaan hasil panen mereka. Penderes,
nelayan, dan peternak merupakan mata pencaharian yang
mereka tekuni sebagai mata pencaharian tambahan yang pada perkembangannya sebagai penderes menghasilkan pemasukan yang lebih dapat diharapkan. Hal ini disebabkan
penderes tidak mengenal musim sehingga dapat menghasilkan dua
kali dalam sehari yakni pagi dan sore. Peternak
merupakan suatu mata
pencaharian tambahan yang diupayakan dalam rangka mendukung sektor pertanian sebagai penyedia lemon atau ‘pupuk’. Adapun nelayan termasuk perkembangan berikutnya setelah pertumbuhan demografis dan munculnya musim yang ekstrem di daratan sebagai petani yang berada di bagian ujung Selatan di 104
Wawancara dilaksanakan pada tanggal 25 Desember di saat dia sedang menderes di pesisir Selatan. 105 Wawancara dilaksanakan di kantor Dinas Pertanian Kecamatan Klirong pada tanggal 21 Nopember 2009 dan kemudian dilanjutkan beberapa kali di rumahnya dan di beberapa lokasi pertamian, perkebunan, dan lokasi nelayan. 106 Lingkungan yang memungkinkan terjadinya percakapan, merupakan kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat (Kamus Besar Bahasa Indonesia) 107 Perkembangan demografi menjadi penyebab migrasi sampai ke dataran tinggi yang kemudian di pesisir. Hal ini dituturkan oleh informan daerah Watu Agung sevagai dataran tinggi yang commit toleluhur user yo mung kadang-kadang tilik laut mengistilahkan dengan ekspresi linguistic mbiyen ‘dulu nenek moyang hanya kadang0kadang saja menengok laut’
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 365
Kebumen dengan posisi di pinggir laut Selatan yang memiliki ombak cukup besar. Munculnya aktivitas baru sebagai nelayan ini berdampak pada dinamika sosiokultural yang melibatkan aktivitas verbal berbahasa dan ritual yang kaya akan makna simbolik serta peristiwa budaya Jawa yang ada di sana yang tidak dapat meninggalkan tradisi agraris yang telah mereka jalani secara turun-temurun. Dengan fenomena sosiokultural semacam itu, muncullah ekspresi linguistik seperti: ‘ Kabeh nelayan mesthi tani, ning saben wong tani durung mesthi nelayan. Saben penderes mesthi wong tani, ning saben wong tani durung mesthi nderes’. Terjemahan bebasnya: ‘semua nelayan itu petani, tetapi semua petani belum tentu nelayan. Semua penderes pasti petani,
tetapi
semua
petani
belum
tentu
penderes’. Ungkapan tersebut bila dilihat sebagai silogisme, makna ungkapan tersebut adalah: 1) petani merupakan mata pencaharian yang utama yang tidak tergantikan. Mereka menyatakan bahwa damene wong tani ki yo cakar bumi Gambar 4.64: Bentuk Pertanian di Kebumen
‘damainya petani ya dengan mengolah tanah’, 2) semua petani melaksanakan kegiatan menderes
pohon kelapa sebagai sumber penghasilan yang tetap dan dapat diharapkan, 3) semua petani memelihara ternak untuk membantu sebagai penyedia lemon ‘pupuk kandang’ yang sangat bermanfaat dengan pertimbangan lemon ‘pupuk kandang’ lebih baik bagi tanah daripada menggunakan pupuk kimia, 4) tradisi petani di pesisir Selatan memiliki kesamaan dengan tradisi petani di Banyumas, tetapi berbeda dengan tradisi di pusat Budaya Surakarta dan Yogyakarta. Karena budaya petani yang tidak dapat tergantikan, mereka membawa tradisi darat ke laut pada waktu mencoba untuk bertransformasi mata pencaharian, 5) sebagai petani yang mulai bertransformasi menjadi nelayan,
mereka banyak belajar dari daerah
Cilacap yang telah lebih dahulu menjadi nelayan dan telah berhasil dalam menjalankan mata pencaharian sebagai nelayan. Berdasarkan fenomena di atas, terdapat istilah ‘tani nelayan’. Dengan demikian, pemerintah daerah memberikan commit to userTani Nelayan Andalan (KTNA)’ fasilitas sebuah wadah dengan nama ‘Kontak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 366
(Profil Daerah Kabupaten Kebumen,2009: 43). Wadah KTNA ini bertujuan membawa aspirasi para petani nelayan di wilayahnya sebagai wujud dukungan Pemerintah Daerah atas percobaan pengembangan mata pencaharian dari darat ke laut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah tani-nelayan telah diakui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen.
2. Sistem Pengetahuan Perkebunan
Data tentang perkebunan didapat dari informan Bapak Dirun yang berusia 46 tahun dari desa Munggu. Dia adalah seorang petani yang menggalakkan adanya penanaman gandhul kalifornia yaitu nama jenis papaya yang memiliki nilai jual tinggi. Selain bapak Dirun adalah ibu Suprapti yang berasal dari desa Klegen, Wonosari, Klirong 50 tahun. Pada mulanya dari ibu Suprapti inilah benih gandhul kalifornia diperkenalkan kepada petani yang berada di Pesisir Selatan Kebumen untuk dicobakan di Gambar 4.65: perkebunan Pohon Kelapa
tanam di lahan berpasir sepanjang gisik. Sistem pengetahuan
tentang
perkebunan
meliputi
perkebunan kelapa deres dan gandhul kalifornia seperti yang diceriterakan informan sebagai berikut. Komoditas tanaman perkebunan yang paling banyak diusahakan petani di pesisir Selatan Kabupaten Kebumen ini adalah tanaman kelapa sehingga pesisir Selatan ini merupakan penyumbang dalam keberhasilan Kabupaten Kebumen sebagai sentra tanaman kelapa di Jawa Tengah. Hal ini disebabkan perkebunan kelapa merata di hampir seluruh wilayah sesuai dengan kultur tanahnya yang cocok untuk perkebunan kelapa. Khusus untuk kelapa deres, sebagian besar berada di pesisir commit user pantai. Oleh karena itu, banyak hometoindustri
Gambar 4.66: Wawancara
lokasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 367
‘industri rumahan’ pembuat gula kelapa di daerah-daerah tersebut termasuk di pesisir Selatan yang merupakan lokasi penelitian. Alasan itulah sebagai petani subsistem bertransformasi menjadi penderes karena pendapatan dari menderes kelapa lebih dapat diharapkan sebagai penghasilan harian. Para petani penderes tidak mengenal musim ekstrem. Hasil gula kelapa di pesisir Selatan ini sudah dapat menjangkau ke luar dari Kabupeten Kebumen sampai menjangkau pasarpasar tradisional di seluruh Jawa Tengah. Pohon kelapa yang berada di lokasi Kabupaten Kebumen bagian tengah lebih banyak digunakan sebagai investasi pengolahan daging kelapanya menjadi santan kelapa instan dan kelapa parut kering. Limbah pengolahan daging buah kelapa berupa air kelapa yang dapat diolah lagi menjadi nata de coco dan serat nata. Limbah yang berupa tempurung kelapa dapat menjadi arang tempurung sebagai bahan bakar pembuatan minyak kelapa. Adapun, serabutnya yang juga dianggap sebagai limbah sampingan dapat diolah menjadi coco fiber dan coco dust108. Sejak tahun 2006, dengan didampingi oleh UPT pertanian, penduduk yang berada di wilayah penghasil kelapa terutama yang bukan kelapa deres diajari mengenal cara pembuatan virgin coconut oil (VCO). Sampai
sekarang industri skala kecil
maupun menengah, dalam pembuatan VCO, masih tetap eksis, bahkan berkembang dengan tren yang cukup memuaskan. Bagi masyarakat di daerah pesisir Selatan, mereka lebih memilih mengolah pohon kelapa menjadi gula deres. Hal ini Gambar 4.67: Wawancara dengan informan penderes
disebabkan
kalau
dihitung-hitung,
penghasilan yang dapat diperoleh sebuah pohon kelapa mencapai 70%
berbanding
30% bila
dideres dan diambil kelapanya. 108
Serabut kelapa atau coco fiber banyak diminati di China dan Hong Kong untuk jok kendaraan atau jok kursi tamu, Lamo, Suara Kebumen Rabu 28 Maret 2007, 21.45
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 368
Komoditas perkebunan yang lain yang berada di pesisir Selatan adalah gandhul Kalifornia ‘jenis pepaya’ yang relatif baru dikembangkan dan dibudidayakan sepanjang pantai untuk memanfaatkan lahan kosong yang berpasir. Budidaya pohon gandhul Kalifornia ini merupakan kecerdasan kolektif masyarakat setempat yang berusaha belajar untuk mengembangkan transformasi mata pencaharian menjadi nelayan ke Cilacap dan pantai Glagah yang merupakan daerah nelayan dan menemukan jenis tanaman pepaya yang memiliki pangsa pasar yang baik. Pepaya jenis ini sudah menjangkau tidak hanya di pasar tradisional melainkan banyak dijumpai di super market ‘swalayan’ di banyak tempat di Pulau Jawa. Karena relatif baru, komoditas perkebunan yang memiliki prospek ke depan baik ini belum masuk dalam daftar komoditas di dalam profil perkebunan Kabupaten Kebumen saat ini.
3. Sistem Pengetahuan Empang Sawah
Data tentang segala seluk beluk empang sawah didapat dari bapak Sutarjo yang berusia 76 tahun dari desa Ampel yaitu seorang petani yang sawahnya terendam air hujan pada musim penghujan sehingga memiliki hasil ganda selain padi juga ikan empang. Informan lain adalah bapak Gusito, S.Pd, 49 tahun seorang tokoh masyarakat yang bekerja pada UD Hasil Pertanian. Selain transformasi yang telah disebutkan di atas masih ditemukan sistem pengetahuan masyarakat setempat terkait dengan adanya bencana banjir yang selalu terjadi pada setiap
musim
penghujan. Sebagai pemikiran
kolektif masyarakat, mereka memasukkan benih ikan di tempat sawah yang tergenang air hujan tersebut. Berdasarkan
peristiwa ini,
terdapat
istilah empang sawah ‘kolam sawah’. Kolam ini Gambar4. 68: Empang sawah
dikelola bersama-sama dengan sistem saham.
Pada saat menjelang musim panas, ikan ini dapat dipanen. Hasil panen dibagi commit user sesuai dengan saham yang ditanam oleh to masing-masing petani. Pemilik empang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 369
semuanya adalah petani setempat. Lebih khusus lagi adalah
bagi petani yang
sawahnya tergenang air hujan tersebut. Dengan sistem ini, terjalinlah suasana gotong royong, bertanggung jawab, dan saling menjaga karena empang sawah ini menjadi milik bersama. Dengan demikian,
tidak ada kekhawatiran terjadi
pencurian ikan karena semua petani merasa diuwongke ‘dihargai keberadaannya’. Fenomena ini sangat menarik karena ikan dan padi dapat tumbuh bersama. Ikan yang ditabur tidak perlu diberi makan karena ikan-ikan tersebut memakan rumput-rumput sawah, damen, dan jentik-jentik. Ikan yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai iwak empang ‘ikan darat’ (Kebumen dalam Angka, 2009: Gambar 4.69: Wawancara dengan petani gandhul Kalifornia
150). Iwak empang ‘ikan darat’ ini secara semantik dapat menambah kategori jenis ikan sehingga
menjadi iwak laut ‘ikan laut’, iwak tambak ‘ikan tambak’ dan iwak kali ‘ikan sungai’ dan iwak empang ‘ikan darat’. Frasa iwak darat ini memiliki makna yang sangat erat dengan keberadaan budaya setempat yang merupakan kearifan lokal setempat dalam upaya mengubah bencana menjadi berkah dengan melepaskan benih ikan ke dalam sawah yang tergenang air. Kecerdasan kolektif ini berkembang dengan mampunya mengenali kapan jenis ikan yang berbeda dimasukkan karena karakteristik ikan yang berbeda, yakni adanya ikan yang kanibal atau ikan yang memakan ikan kecil jenis lain. Berdasarkan tinjauan kategori dan ekspresi masyarakat tani di Kabupaten Kebumen bagian Selatan, dapat dikelompokkan dalam beberapa ranah dan masing-masing ranah memiliki kategori dan ekspresi linguistik yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat petani di pesisir Selatan. Ranah-ranah tersebut diutarakan dan dianalisis sampai pada bentuk satuan lingual baik kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana yang akan ditampilkan pada setiap ranah.
4. Sistem Pengetahuan Folklor dan Berbagai Aktivitas Ritual
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 370
Data foklor lisan, sebagian lisan dan aneka upacara ritual di peroleh dari hasil wawancara mendalam dengan Kyai Sadjadi109 yang berusia 64 tahun seorang petani yang dipercaya sebagai penatua desa sehingga banyak petani yang mengalami masalah datang untuk berkonsultasi dan meminta petunjuk pada beliau. Selain Kyai Sajadi juga bapak Darmaji yang berusia 76 tahun seorang juru kunci petilasan Pandan kuning. Dari beliau berdua didapat informasu tentang beberapa upacara ritual, sesaji, dan mantra bagi petani, nelayan, dan penderes dalam melaksanakan aktivitasnya. Pada masyarakat petani tersapat mitos Dewi Sri dengan berbagai varian seperti halnya Ratu Roro Kidul pada masyarakat nelayan. Bagi petani yang berada di Pesisir Selatan Kebumen memiliki pemahaman bahwa
Dewi
Sri
yang
dianggap
Dewi
kemakmuran atau Dewi Padi adalah Dewi Sulasih. Dewi Sulasih adalah puteri dari Ratu Kidul yang diberi tuga untuk menjaga padi dengan diikuti bala tentara dari laut Kidul. Hal ini merupakan konsep yang berupaya menyatukan antara darat dan laut Gambar 4.70: Wawancara dengan karena adanya mingrasi mata pencaharian dari pengalam spiritual
darat
ke
laut
yakni
dari
petani
menjadi
nelayan.Bagi petani yang berada di dataran rendah bagian tengah memahami Dewi Sri adalah Dewi Nawangwulan. Dewi Nawangwulan adalah seorang bidadari yang turun mandi namun tidak dapat kembali ke kayangan karena pakaiannya dicuri oleh Jaka Tarup. Selanjutnya Dewi Nawangwulan menjadi isteri Jaka Tarup dan memiliki seorang anak. Dalam perjalannya waktu Dwi Nawangwulan akhirnya dapat menemukan kembali pakaiannya dan kembali ke kayangan meninggalkan Jaka Tarup dengan anaknya di dunia. Masyarakat petani dan nelayan sebagai petani subsisten merupaka bagian dari masyarakat Jawa dapat menjalani hidup di daerah periferal yang berada di 109
Wawancara di laksanaka di rumah di desa Purwosari tanggal 28 Desember 2010. Hal-hal to user serupa juga pernah dieksplor di daerah commit Watu Agung pada tanggal 5 Agustus 2009
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 371
pesisir selatan Kebumen, dan mereka di sana diliputi oleh suasana kehidupan mitologis yang menyangkut personifikasi sosok penjaga pohon, penjaga pegunungan angker, kekuatan piandel atau gaman ‘pusaka’ andalan, kuatnya mitos ratu selatan, serta folklor yang menyangkut nama berbagai tempat, nama berbagai jenis obat, dan filosofi hidup yang tercermin dalam ungkapan mereka. Latar belakang suasana kehidupan mitologis yang demikian itu, secara leluasa dapat memberikan kesempatan hidup suburnya berbagai folklor yang sejak awal memang sudah ada dan melekat pada kehidupan mereka di sana. Secara spesifik hal-hal yang menyangkut folklor dan persepsi mereka terhadap keberadaan folklor yang melegenda dalam kehidupan masyarakat petani yang tinggal di lingkungan alam di Kebumen itu, antara lain meliputi folklor Pandan Kuning, Sewi Sawangwulan, Desi Sulasih, Santajaya, Nyi Ronggeng, Bagus Setu, piandel/ gaman ‘pusaka’ dan munculnya nama Karangbolong. Dalam konteks yang lebih luas, folklor yang ada itu ternyata tidak dapat terlepas dari keberadaan folklor di tempat lain. Folklor di tempat lain yang dimaksud seperti adanya sosok Ratu Kidul di Pelabuhan Ratu Ujung Kulan110, Parang Kusuma di Bantul Yogyakarta, Pantai Pangandaran di Tasikmalaya,Jawa Tengah, dan di tempat lain yang sejenis. Akibatnya meskipun ada perbedaan dan kesamaan persepsi mereka tentang folklor mereka di Kebuemn dengan tempat lain di sana itu, dalam batas tertentu persepsi tentang floklor yang ada itu juga memiliki variasi menyangkut perbedaan dan persamaan tersebut, terutama atas penonjolan sosok yang dipersonifikasikan dan peristiwa yang terjadi menyangkut pengalaman lahir dan batin, fisik dan psikis, spiritual, mistis, dan geografis yang ada di sana. Hal itu disebabkan oleh karena di samping adanya perbedaan-perbedaan wilayah geografis terjadinya folklor juga karena tingkat pemahaman tertentu oleh si penutur dan si pengalam, sehingga dapat memberi inspirasi terhadap persepsi apa yang diberikan atas folklor yang ada itu. 110
Di sana ada komunitas masyarakat Jawa yang secara historis konon merupakan sebagian balatentara Sultan Agung yang cerai-berai, akibat ketika menghadapi gempuran pasukan VOC di Batavia, maksudnya terpaksa menyelamatkan diri ke arah barat dan dikejar-kejar, akhirnya sampailah di Ujung Kulan. Di sana secara kultural mereka tidak meninggalkan apa yang ada di commit user Mataram, termasuk persepsi mereka tentang lauttodan penguasa laut selatan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 372
Sesuai keadaan mata pencaharian yang ganda maka petani juga memiliki persepsi terhadap folklor tentang seputar sosok Ratu Selatan itu, ada yang di sebut Santajaya (di Tegalretna Petanahan Kebumen), mBok Ratu (di Pandan Kuning, Karanggadung Petanahan Kebumen), Ibu Ratu (di Puring Kebumen), Nyi Ratu (di Karangbolong Buayan Kebumen) untuk penyebutan nama sebagai penguasa laut selatan Kebumen. Sementara penguasa pesisir laut selatan yang bernama Nyi Ronggeng, dan penguasa daratan/ hutan di pantai yang disebut Ki Bagus Setu hanya di temukan di Tegalretna Petanahan Kebumen. Selain berbagai folklore yang berupa bentuk ceritera juga terdapat folklore yang berbentu pengalaman pribadi yang dituturkan secara turun temurun dan dipercaya kebenaranannya oleh masyakarakat petani yang disebut sebagai wahyu lan gaman. Adapun persepsi mereka tentang anugerah berupa “wahyu” yang berasal dari Ratu Kidul kepada mereka dapat diterima dalam wujud fisik berupa benda yang disebut piandel ’andalan’, gaman ‘pusaka’ yang dianggap ampuh antara lain berupa tulang ikan yang telah membatu disebut wrengka, lempengan batu ajaib yang disebut kaca paesan, keris nagasasra, dan thothok ‘tangkai pembungkus bunga kelapa’ yang jatuh pada malam Jumah Kliwon’, dan jenis lainnya. Itu semua dianggap sebagai hadiah dari Ratu yang bertahta di selatan, dan menjadi sebuah mitos sekaligus merupakan penghargaan menarik bagi mereka di sana. Adapun menyangkut khasiat piandel yang dimilikinya itu, dipahami memiliki variasi khasiat sesuai dengan piweling ‘ilham, suara goib, mimpi’ dari Ratu Selatan kepada mereka yang menyangkut tatacara dan syarat namakaken ‘penerapannya’ setelah mereka gentur-tapane ‘tirakat dengan sungguh-sungguh’ seperti tertuang dalam ungkapannya “turu longan madhang longan” ‘tidur ibarat kalong dan makan juga seperti kalong’ atau ‘makan dan tidur dijalani dengan penuh terikat syarat dan aturan bertapa’, dan “wong sing wani garing silite” ‘orang yang berani kering duburnya karena tirakat selama 40 hari 40 malam’. Orang seperti itu menurutnya ‘diwedeni lan diingkuri barang alus” maknanya ‘orang yang seperti itu ditakuti dan disegani barang halus/ goib/ jin’. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 373
Seperti pengalaman spiritual mbah Manten, setelah menjalani mertapa ‘bertapa’ dan mendapat anugerah wahyu dan piandel/ gaman berupa kaca-paesan, juru kunci Pandan Kuning sebagai seorang mantan lurah yang sering disebut mbah Manten dan bernama asli Abdul Rahman itu, memiliki kelebihan tersendiri. Khasiat kaca-paesan itu dapat untuk melacak pencuri, mengetahui posisi orang di tempat jauh sekalipun, membuktikan orang yang Gambar 4.71: Tokoh spiritual dengan gaman yang di dapat dari Ibu Ratu
berdusta, perbuatan serong seperti selingkuh, karena semua perilaku itu akan nampak di lempengan batu
yang disebut dengan kaca paesan itu. Orang yang dapat membawa kaca-paesan itu menurutnya beresiko akan disenangi wanita-wanita cantik, konon karena wajahnya selalu bersinar seperti kaca. Menurut piweling ‘pesan’ Ratu Selatan yang lain, bahwa piandel yang berupa kaca-paesan itu tidak boleh dipakai oleh orang yang selingkuh dengan wanita lain. Kejadian goib terjadi, pada suatu ketika ujian berat datang, mBah manten tidak tahan uji atas kecantikan wanita selain istrinya, maka selingkuhlah dia dan piandel yang berupa kaca paesan itu “pulang” ke ratu selatan. Meski dia sudah laku-tirakat ‘bertapa lagi’ seperti dahulu ketika kemudian mendapat “wahyu” berupa kaca-paesan itu, ternyata tidak segera kembali kepadanya, karena dia merasa kaca-paesan itu sudah musna ‘hilang’ dan dia sudah nglegik ‘tidak bisa dipercaya’. Demikian ini folklor yang menyangkut pengalaman seorang juru kunci di patilasan Pandan Kuning. Mantra yang merupakan ungkapan verbal dalam aktivitas petani sebagai penyerta segala sesajen adalah sebagai berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 374
Tabel 4.25 : Jenis Upacara dan Ekspresi Verbalnya NO 1
2
3
4
5
6
KATEGORI UPACARA Suran/ sedekah laut bagi petani nelayan
EKSPRESI VERBAL SEBAGAI MANTRA
Semilah, kanthi nyuwun berkah lan slamet rina wengi seka panguwaosing Gusti Allah lantaran kanjeng Nabi Kidir lan mBok Ratu sing ngratoni laut kidul, nyong kabeh aji sarana sajen rupa werna-werna, kabeh mau nyong bekteni jalaran mung pasrah ing samukabeh-kabehe supaya nemu beja lan slamet ing darat lan ing segara, aja ana barang kasedhak nemu mburine ‘Dengan menyebut nama Allah, dengan mengharap berkah dan selamat siang dan malam dari kekuasaan Allah lewat perantara Kanjeng Nabi Kidir dan Ibu Ratu yang menempati laut selatan (Kebumen), saya semua memberikan sarana sesaji berbagai macam (wujudnya), semua itu saya hormati karena hanya dalam rangka pasrah atas semuanya agar mendapat keberuntungan dan selamat di daratan dan di lautan, jangan sampai ada karma/ halangan di belakang harinya’ Wiwit Nyong tandur Dewi Sri ana kene, mbabar pari sakethi, sak palilahe Hyang Widhi subur-subur dadi makmur ‘saya Menabur sejumput padi, seikhlas Tuhan, Dewi Sri ada di sini, subur-subur menjadi makmur. Jabel Nyong mboyong Dewi Sri maring kadhatone dadi pari nguripi mbarkahi sabumi ‘aku membawa Dewi Sri ke dalam istananya menjadi padi yang menghidupi seluruh bumi’ Mantra petani yang akan ‘bismillah nyuwun sewu mbah kula badhe macul memulai mengolah tanah permisi kaleh panjenengan ampun ngganggu kula yang baru dibeli sami2 umatipun Guti Allah. ‘dengan menyebut nama Allah mbah minta izin saya akan mencangkul, jangan mengganggu saya samasama umatnya Allah’. Tulak bala/ tulak sawan Bismillah kepareng matur kula aturi dhaharan arupi kebul menyan bade nyuwun pitulungan panjenengan, gandeng----------sakit mencret nyuwun tulung supados waras. ‘Dengan menyebut nama Allah mohon izin saya memberi asap menyan bermaksud minta tolong, karena ------sakit perut minta tolong supaya sehat lagi’ Upacara mendirikan Dhuh gusti Allah mugi-mugi kajat kula dikabuli, rumah bandhung mugi-mugi kula diparing slamet donya ngakerat, panjang umur, ayem papan lan gampang rejekine, saiki lan mbesuke, karana Allah ‘ Ya Tuhanto user semoga keinginan saya dikabulkan, commit semoga saya diberi keselamatan dunia akerat,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 375
7
Kangge nambani bojo elik/ gabrukkan ‘untuk mengobati suami isteri tidak rukun’. ‘Menolong‘masalah keluarga’
8
Ungkapan verbal ketika petani hendak melaut
9
Ungkapan verbal ketika petani-nelayan hendak masuk laut
10
Ungkapan ketika taninelayan hendak menabur jala guna menangkap ikan
panjang umur, damai dan mudah rejekinya, sekarang dan yang akan datang, karena kuasa Tuhan’ ‘bismillah kepareng kula matur menika kula aturi dhaharan kebul menyan badhe nyuwun pitulungan gandheng-------kalih bojone mboten rukun supados sae meleh kados wingi-wingine ‘ dengan menyebut nama Allah mohon izin saya memberi asap menyan minta tolong karena------dengan pasangannya tidak rukun supaya rukun lagi seperti semula’. “Dewaning bumi dewaning samudra, nunut mangan sapalilahe, nyong mung aweh bebana gula-klapa emoh jiwa-raga, slameta mangkat lan mulihe nyong rina lan wengine, slamet-slamet kersaning Allah” artinya ‘Dewanya bumi dan Dewanya laut, numpang mencari rizki seikhlasnya, saya hanya mau memberi ganti berupa gula-klapa, tetapi tidak mau kehilangan jiwa-raga, semoga saya selamat seberangkat dan sepulangnya serta setiap malam dan siangnya, semoga selamat karena Allah’ “Semilah irohman irohim, niat nyong ambyur samudra amet urip saanane sing bisa ditrima saka samudra ya digawa, rina wengi nyong miwiti, pasrah mring Hyang Widi, slamet samangkat lan samulihe nyong” ‘Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, niatku melaut di lautan mencari kehidupan (rizki) seadanya yang bisa diterima/ dicari dari samudra ya dibawa, siang dan malam saya mulai/ lakukan, berserah diri kepada Tuhan, selamat seberangkat dan sepulang saya’. “Nyong jala sira ora lunga, nyong (a)doh sangka darat, mara sapalilah sira, nyong butuhaken sapira kancanira kabeh gak ana sing kari, dadidadi kabeh wis ngerti arep dadi siji kersaning Hyang Widi” ‘akan saya jaring kamu (ikan) jangan pergi, saya jauh dari darat, mendekatlah dengan suka rela, saya butuhkan berapa temanmu semua jangan ada yang tertinggal, jadi-jadi semua sudah tahu akan berkumpul jadi satu atas izin Tuhan’.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 376
5. Sistem Pengetahuan Jamu Tradisional
Berbagai penyakit tentu ada obatnya yang telah disediakan oleh Tuhan melalui alam semesta. Itulah yang menjadi kenyakinan informan yang bernama
Pak.
Barjo
46
tahun
dari
Desa
Karanggadung. Dengan keyakinan tersebut maka pak Barjo dianggap sebagai seorang yang mampu meyembuhkan berbagai penyakit. Hal itu dibuktikan Gambar 4.72 : Wawancara dengan peramu jamu
dengan kesembuhan isterinya yang mengalami sakit kanker payudara hanya dengan menggunakan
obat ramuannya. Itulah sebabnya banyak orang datang untuk meminta ramuan pengobatan yang berasal dari aneka tanaman sekitar daerah pesisir Kabupaaten Kebumen. Berikut adalah beberapa resep yang sudah terbukti kasiatnya:
Tabel 4.26 : Penyakit, Ramuan, dan Cara Mengolah Pengobatan Tradisional No 1
Nama Penyakit mencret
2
maag
3
tipes
4
batuk
5
membuang racun
6
kanker
Ramuan
Cara Mengolah
Keterangan
jambu kluthuk, gedhang kluthuk,gedang ambon, adaspulosari, garam, secukupnya kunir, temu lawak, adaspulosari, gula aren, meliputi cacing 5 ekor digoreng sangan, kasih dawung, adaspulosari; sajeng asli diberi kapur sirih. (tidak diberi obat gula) kelapa hijau dengan sarat petik tidak boleh dijatuhkan karena kalau dijatuhkan untus kimianya menjadi campur dan pori-pori degan menbuka sehingga kasiatnya pudarcommit to air degan + kemaduan
diperas dengan air panas terus diminum
Pilih salah satu
dikeprok diperas cacing itu dikukus
diminum pagi hari degan tadi direbus ditambah dengan daun tawa, adas pulosari dalam degan terus diminum
user
digodog dalam kuali
Diminum rutin
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 377
payudara
(kemladean kuningkuning seperti bakmi yang merembet di pohon tetehan) pandan (kendoga, seperti nanas)
7
asam urat
8
ambeien
9
linu
10
penyakit dalam
11
udon
12
dhengen (kaku-kaku tapi bukan strok) sakit srepet/ encok gegere sakit
13
lalu diminum berkasiat untuk menyembuhkan.
kurang lebih 15 hari
digodhog+adas pulasari+kunir putih+dobos-nya (akar yang menggantung) diambil pucuknya yang ada lendirnya. suruh kuning, kembang dideplok+air jambe yang jatuh di diminum. tanah,
suket-pager (suket-pager), suket: suket meniran Sambilata, anyang untuk campuran meniran dan sambilata,suket sanggatelik, cimplukan enjet,gula jawa, sabun 1dilumatkan lalu mandi, kunir ditempelkan
kecubung wulung diambil dibebek (dibedakkan) daun, buahnya, ditambah untuk urut-urut kumis kucing, serai dibedakkan
Doa menurut keyakinan karena yakin adalah obat tidak diminum, bahaya
blimbing wulung, adas dibebekan kemudian pulasari diminum
6. Pemikiran Kolektif Komunitas Petani yang Mencerminkan Kearifan Lokal Melalui Ekspresi Linguistiknya.
Pemikiran kolektif (collective minds) komunitas petani Kabupaten Kebumen dapat dikelompokan menjadi enam ranah, yaitu 1) ranah pertanian padi gaga, 2) ranah empang sawah, 3)commit ranah perkebunan, dan 4) ranah peternakan, 5) to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 378
ranah tanaman non-pangan, dan 6) ranah obat-obatan tradisiona;
Pemikiran
kolektif pada ranah pertanian padi gaga mencangkup kategori penetapan masa tanam, masa pembibitan, masa pengolahan tanah sawah, masa tanam, pemupukan, pemeliharaan, panen, dan pasca panen. Ranah perkebunan terbagi atas beberapa kategori diantaranya kategori kelapa nderes, pemeliharaan pohon kelapa, proses menderes bedhel-walla, bagian kelapa dan pemanfaatannya, dan gandul kalifornia. Pada ranah empang sawah terdapat kategori berbagai jenis ikan dan cara mengembangkannya, ranah peternakan, dan ranah obat-obatan. Masingmasing kategori memiliki ekspresi linguistik pada tataran satuan lingual kata, frasa, kalimat, dan wacana. Sebagai contoh satuan lingual kata seperti mangsa ‘musim’, satuan lingual frasa mangsa rendeng ‘musim penghujan’, satuan lingual kalimat gareng ngereng-ngereng ‘binatang gareng berbunyi’, dan satuan lingual tingkat wacana dijumpai pada bentuk mantra seperti mantra saat wiwit, suran, tulak bala, pembuatan rumah, dan jabel. Pada masing-masing satuan lingual selain memiliki makna linguiatik juga memiliki makna kultural yang dapat menyingkapkan kearifan lokal komunitas petani di Kebumen. Pada dunia pertanian melalui ekspresi linguistik terdapat banyak kearifan lokal yang masih dipertahankan sampai saat ini dan ketika terjadi akulturasi dan globalisasi dapat menjadi filter sehingga akan tetap menjaga kelestarian alam. Ada beberapa jenis kearifan lokal yang dapat diidentifikasi melalui ekspresi linguistiknya, diantaranya adalah:1) kearifan lokal kultural yang tercermin dalam pemilihan hidup sebagai petani subsiten meskipun di dalamnya terdapat banyak aktivitas lain yang dapat menghasilkan tambahan dalam rangka menyokong kebutuhan manakala lahan pertanian tidak dapat memberikan hasil yang mencukupi seperti misalnya menjadi nelayan, penderes, dan peternak. Ungkapan verbal yang dapat mengunkapkan hal itu adalah adanya ekspresi kabeh nelayan mesti tani, neng kabeh tani durung mesti nelayan, kabeh penderes ki yo tani neng wong tani durung tentu nderes ‘semua nelayan pasti petani namun semua petani belum tentu nelayan, semua penderes adalah petani namun semua petani belum tentu penderes’. 2) Kearifan astronomi tercermin dalam pemilihan masa tanam commit to user komunitas petani, yakni tetap menggunakan mangsa rendeng lan mangsa ketiga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 379
‘musim penghujan dan musim kemarau’ serta mempertimbangkan adanya gejala alam secara alamiah. Pemanfaatan gejala alam, seperti binatang, rupanya lebih tepat karena secara naluri hewan lebih peka terhadap perubahan musim yang ekstrim seperti saat ini. 3) Kearifan lokal teknik dapat dijumpai pada penggunaan teknik sederhana yang tidak merusak lingkungan seperti pada penggunaan lemon yang melalui proses pembuatan secara sederhana dari kotoran hewan ternak menjadi pupuk kandang (lemon) dan pengatasan akan hama penyakit uret yang sangat ganas dan merusak tanaman padi gaga dengan istilah ngemplep di sepanjang Pesisir Selatan dan pemanfaatan awu ‘abu’ untuk mengatasi hama kuning/nglaras. 4) Kearifan lokal sosial dijumpai pada sistem kemasyakatan yang sangat dominan pada komunitas petani. Kehidupan sosial ini merupakan sendi kehidupan masyarakat karena sebagian besar kepentingan individu selalu melibatkan masyarakat. Hal ini terjadi mulai pada upacara kebak ‘upacara hamil tujuh bulan sampai pada bediah ‘pembagian beras kepada tetangga setelah orang tua meninggal’. Apabila kepentingan individu selalu melibatkan masyarakat terlebih kepentingan bersama juga dilakukan secara gotong royong seperti pembuatan jalan dan pemanfaatan sawah yang tergenang air dengan istilah kerigen ‘gotong royong’. Semua kearifan lokal tersebut pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua yakni kearifan tradisional dan kearifan modern, namun dalam perjalanan waktu pengaruh global akan masuk dan kearifan tradisional ini akan sangat diperlukan untuk mengendalikan segala pengaruh luar dan modernisasi membentuk kearifan modern /kearifan masa kini.
7. Eksisten Folklor pada Komunitas Petani sebagai Cermin Kearifan Lokal
Eksistensi folklor pada komunitas petani memiliki banyak fungsi yang menyiratkan kearifan lokal masyarakat petani di sana. Menurut bentuknya, folklor dapat di golongkan menjadi tiga jenis, yakni 1) folklor bukan lisan yang berbentuk rumah tradisional, aneka makanan tradisional, dan jamu tradisional, 2) commit to user bentuk folklor setengah lisan/sebagian lisan adalah upacara tradisi yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 380
menggunakan berbagai sarana yang memiliki makna simbolik dan dibarengi dengan ungkapan verbalnya, dan 3) folklor lisan berupa dongeng, cerita yang beredar secara verbal dan turun temurun di lingkungan komunitas petani Kabupaten Kebumen. Bentuk folklor bukan lisan diantaranya adalah bentuk rumah adat yang sangat erat dengan masyarakat petani yakni rumah bandhung , makanan tradisional seperti lepet, dan aneka jamu tradisional. Bentuk folklor setengah lisan/sebagian lisan diantaranya upacara tradisional seperti, pada wiwit, suran, tulak sawan, pembuatan rumah dan jabel, yang memerlukan banyak sesajen yang penuh makna simbolis dan di dalam pelaksanaannya diikuti ungkapan ekspresi verbalnya sebagai doa petani kepada penguasa tertinggi, dan folklor lisan yang berupa cerita khas daerah petani Kebumen, seperti Pandan Kuning, santri gudig dan Syeh Abdulngawal. Dari folklor-folklor itu dapat diketahui sejarah dan pengaruh akulturasi apa yang telah terjadi di lokasi penelitian. Sebagai contoh adanya pengaruh Mataram yang muncul pada cerita Pandan Kuning, pengaruh Islam yang dapat dilihat dari folklor Santri Gudig. Kearifan lokal komunitas petani dapat dicermati dari semua bentuk folklor yang ada. Aplikasi kearifan lokal pada folklor yang beredar di lingkungan komunitas petani, diantaranya sebagai kritik moral, kritik sosial, dan nasihat baik yang menjadi pedoman dan contoh perilaku jelek yang harus dihindari, eksistensi religius yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap penguasa tertinggi, dan aneka ungkapan perasaan, baik perasaan senang, cinta, maupun kecewa. Dari semuanya itu pada prinsipnya adalah suatu upaya dalam memberikan pendidikan kepada generasi berikutnya melalui cerita lisan maupun berbentuk upacara tradisi yang merupakan bagian dari budaya masyarakat daerah peralihan (dari petani merambah ke nelayan). Pewarisan ini dilakukan secara turun temurun dan kadang berjalan dari satu desa ke desa yang lain. Oleh karena itu sering ditemukan berbagai varian alur cerita yang pada dasarnya memiliki fungsi yang sama. Karena folklor merupakan produk suatu pemikiran dan emajinasi komunitas petani yang telah menjadi bagian dari budaya mereka maka folklore commit to user memiliki fungsi dan bentuk tertentu yang dapat mencerminkan kearifan local.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 381
Kearifan lokal yang dapat diidentifikasi dari folklor, diantaranya sebagai berikut. 1) Kearifan lokal kultural sangat erat kaitannya dengan segala sesuatu yang ada pada masyarakat tersebut yang menjadi bagian dari budayanya, terwujud dalam bentuk a) kesabaran, b) gotong royong/kerjasama, c ) kemanusiaan, dan d) moral. 2) Kearifan lokal spiritual sangat kental dan sangat dominan dalam semua bentuk folklor di lokasi penelitian yang masih tergolong tradisional. Kearifan spiritual berkaitan dengan sesuatu di luar kemampuan manusia yang dianggap memiliki dunia supranatural yang berkaitan dengan kepercayaan akan segala sesuatu yang erat dengan keberadaan manusia di dalam alam semesta ini. Kenyataan akan kesadaran manusia adanya mahkluk lain selain manusia, mahkluk gaib, bidadari, dan dewa-dewa, dapat ditemukan pada setiap folklor di sana. 3) Kearifan Lokal Educative
yaitu sebagai suatu kesadaran akan keinginan selalu belajar
memperbaiki diri menuju ke arah yang lebih baik melalui proses pembelajaran sepanjang hidup. Hal ini muncul pada kisah-kisah para tokoh pada folklor lisan yang muncul pada setiap perubahan bentuk segala sesuatu yang berkaitan dengan aneka jamu, makanan, dan sesajen yang ada di lokasi penelitian. Oleh sebab itu, segala produk mengarah pada perbaikan tanpa merusak tatanan yang telah baku, contohnya ditemukannya rumah kombinasi dengan istilah omah buta mangku wanita ‘rumah raksasa memangku wanita’, omah lojen ‘rumah gedong’, omah Karna tanding ‘rumah Karna bertarung’. 4) Kearifan Lokal Simbolis (simbolic Wisdom) adalah upaya masyarakat dalam menyampaikan segala permohonan, baik kepada Tuhan maupun mahkluk lain yang disebut gaib secara tidak langsung melainkan dengan menggunakan simbul-simbul karena merasa penyampaian yang langsung belum cukup tanpa adaya alat yang menyertainaya. 5) Kearifan Lokal Ekonomi juga tercermin dari semua bentuk folklor di lokasi penelitian seperti, misalnya sistem pengobatan tradisional yang masih sederhana dan berbasis kegotongroyongan dan kebersamaan sehingga semua tampak lebih ekonomis. Istilah ganti luru ‘sebagai pengganti mencari’ adalah salah satu bentuk ungkapan yang mencerminkan kearifan lokal ekonomi, 6) Kearifan lokal praktikal banyak dijumpai pada praktik-praktik pembuatan rumah, pembuatan jamu tradisional commit user dipertahankan sampai sekarang. yang merupakan folklor bukan lisan yangtomasih
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 382
Praktek
pembuatan
rumah
bandung
sebagai
cerminan
kearifan
lokal
masyarakatnya karena didalamnya mengandung banyak makna yang bertujuan menjaga silahturami antar masyarakat, menjaga keseimbangan ekosistem, menjaga keharmonisan antara sosial budaya dan spiritual yang dimiliki masyarakat setempat sebagai bagian dari masyarakat jawa, 7) Kearifan Lokal Hisitoris (historical Wisdom) memiliki makna sangat erat dengan masa lalu karena kearifan lokal histori (historical Wisdom) ini merupakan kearifan yang menghargai masa lalu sebagai sebuah penghormatan terhadap nenek moyang dan leluhur. Mereka selalu menghargai keberadaan leluhurnya meskipun sudah tiada. Hal ini sesuai dengan falsafah orang Jawa dengan ekspresi mikul duwur mendem jero ‘memanggul setinggi-tingginya, mengubur sedalam-dalamnya’. Bentuk ini terdapat banyak pada folklor lisan yang berkaitan dengan penamaan desa di sepanjang Pesisir Selatan Kebumen. Penamaan yang sampai sekarang dipakai dan identik dengan segala sesuatu yang pernah terjadi pada tempat itu semata-mata sebagi pengingat akan peristiwa dan tokoh yang pernah ada sebelumnya. Ekspresi verbal yang terdapat pada berbagai simbul dapat diidentifikasikan sebagai berikut. 1) Menggunalan makna ucapan belakang dari kata atau phrasa seperti godhong kluwih ’daun pohon kluwih’ mengandung maksud supaya linuwih’lebih’ (…wih à ..wih. 2) Sifat lain yang diambil sebagai penyimbulan. (sistem simbolis) adalah watu ‘batu’ yang diletakkan di dalam ruang penyimpanan padi karena sifat batu yang keras dan relatif tetap diharapkan sebagai keinginan agar padinya tetap ada atau awet. Meggunakan sifat dari kata yang dipakai seperti gedhang raja ‘pisang raja’ agar memiliki kehidupan Pemakaian pisang raja biasa dimaksudkan agar yang melakukan upacara ritual dapat memiliki derajat seperti raja, yakni menjadi manusia yang memiliki sifat budi luhur lan wibawa ‘berbudi luhur dan berwibawa’, 3) Terdapat hiperkorek, seperti kata pulut ‘pikat’ menjadi luput ‘terhindar dari’.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 383
8. Pandangan Dunia, Pandangan Hidup, dan Pola Pikir Komunitas Petani yang Mencerminkan Kearifan Lokal
Ditinjau dari pandangan dunia, pandangan hidup, dan pola pikir masyarakat petani juga dapat diketahui kearifan lokal yang masih dipertahankan. Pandangan dunia masyarakat merupakan cara mereka memandang adanya dunia yang mereka tempati, yakni merupakan sesuatu yang tidak ada dengan sendirinya melainkan ada yang menciptakan sehingga perlu untuk menghormati sang pencipta dengan cara melakukan kegiatan religius dan spiritual. Dalam kegiatan religius masyarakat melaksanakan berbagai bentuk tirakat yang pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada yang Widhi Wasa atau kekuatan tertinggi dengan berbagai utusannya. Menyadari bahwa manusia bukanlah satu-satunya ciptaan melainkan ada mahkluk lain yang juga ciptaan Tuhan namun dalam bentuk gaib. Gaib ini juga perlu dihargai keberadaannya karena masyarakat petani di lokasi penelitian juga sering mengadakan upaya komunikasi dengan mereka sebagai bentuk negosiasi agar tidak saling mengganggu dengan ungkapan podo podo umate allah. Konsep gaib yang dikenal pada masyarakat petani ini bukanlah sesuatu yang tidak bermanfaat namun sebaliknya memiliki manfaat dalam sosial kemyasarakat yakni 1) menghargai sesama mahkluk Tuhan, 2) solidaritas dan saling membantu dalam kalangan masyarakat, 3) meningkatkan spiritualitas masyarakat sebagai antisipasi akan adanya gaib yang bersifat jahat karena dalam dunia gaib sama halnya dalam dunia manusia ada yang baik dan ada yang jahat. Pandangan hidup komunitas petani merupakan cara memandang masyarakat akan kehidupan ini bahwa manusia diciptakan sebagai mahkluk individu dan mahkluk sosial. Oleh sebab itu, manusia memiliki sisi individu dalam kaitannya tentang privasinya menentukan pilihan hidupnya dan sisi sosial karena manusia tidak bisa dipisahkan dengan manusia lain dalam mengarungi kehidupan meskipun dalam hal keperluan individu sekalipun. Dalam kegiatan individu tercakup didalamnya proses menjadi manusia mulai dari siklus kelahiran toaktivitas user hingga kematian yang mengalamicommit berbagai di dunia ini. Kehidupan sosial
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 384
terwujud dalam dinamika interaksi sosial komunitas. Pandangan hidup masyarakat dapat pula terungkapkan melalui berbagai ekspresi linguistik, simbolik, dan dalam bentuk metafor. Pola pikir komunitas petani terlihat dalam bentuk tingkah laku mereka sehari-hari yakni kesederhanaan, kerja keras, dan menjaga keselarasan alam dan manusia.
Dalam
melaksanakan
kehidupan
sehari
hari
masyarakat
mempertimbangkan adanya konsep hari baik, angka baik, dan menghormati leluhur mereka. Hal ini dilakukan semata-mata memberikan irama yang baik dalam memanfaatkan alam semesta tidak terlalu mengeksploitasi alam tanpa mengenal waktu. Pemikiran yang demikian itu mampu melestarikan alam dan menyeimbangkan alam semesta sehingga tetap menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk berlindung dan alam tetap dapat menjadi penyedia makanan bagi kelangsungan hidup mereka. Dengan mencermati pandangan dunia, pandangan hidup, dan pola pikir masyarakat petani ini dapat terkuak keraifan lokal masyarakatnya yakni, dalam bentuk upaya masyarakat menjaga keseimbangan antara makrocosmos dan mikrokosmos
melalui
berbagaai
manivestasi.
Perwujudan
pandangan
makrokosmos masyarakat petani dalam bentuk kepercayaan akan Tuhan dan mahkluk gaib. Masyarakat percaya bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan manusia tetapi juga mahkluk lain yang memilki hak menempati bumi ini. Untuk itu perlu mengadakan upaya hidup damai dan berdampingan dengan mahkluk lain itu. Dalam upaya itulah manusia memberikan berbagai bentuk sasajen dan tumbal untuk bernegosiasi dan berkomunikasi dengan mereka. Pandangan hidup masyarakat petani terwujud dalam berbagai bentuk aktivitas mereka, baik sebagai mahkluk individu maupun sosial dalam kehidupan seperti kerigen, bedia, dan uruban ‘gotong royong’. Dengan adanya pandangan dunia dan pandangan hidup mereka itu, maka melahirkan pola pikir masyarakat setempat berbentuk pola hidup sederhana, pola hidup kerja keras, dan menjaga kelestarian alam di ingkungannya demi kelangsungan hidup manusia. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 385
9. Karakteristik Derah Transisi yang Berbeda dengan Daerah Periferal/Daerah Konsevative dan Daerah Pusat Budaya
Dilihat dari karakteristis bahasa dan budaya Kabupaten Kebumen yang menjadi lokasi penelitian, terdapat perbedan antara daerah periperal dan pusat budaya. Karakteristik tersebut terletak pada karakteristik kebahasaan berupa dialek Bhadeg yang merupakan penggunaan bahasa pencampuran antara dialek /a/ dan dialek /כּ/. Karakteristik lain dalam bentuk kebahasaan adalah adanya perbedaan semantic yang berbentuk makna menyempit dan makna meluas apabila dikaitkan dengan pertanian di dataran tinggi sebagai akibat perkembangan demografi. Sebagai contoh perubahan meluas, menyempit, dan diversifikasi makna. Perubahan semantic meluas seperti jenis papaya yang semula hanya kates jawa, wulung, jingga bertambah menjadi jawa, wulung, jingga, gandhul California, orange lady, Thailand, Bamgkok, perubahan menyempit diantaranya makna nderes yang semula bisa untuk pohon karet, pine, dan kelapa pada dataran rendah Pesisir Selatan hanya untuk kelapa, sedangkan diversifikasi makna terjadi pada kata kuning yang semula berarti warna menjadi nama sebuah penyakit dan petilasan. Karakteristik lain, yakni dalam budaya bertani, karena budaya bertani ini mengalami berbagai bentuk perubahan yang disebut dengan inovasi dan substitusi bergantung dari kondisi geografis dan berbagai pengaruh yang mempengaruhinya. Meskipun terdapat resistensi yang dibawa dari dataran tinggi, namun resistensi itu sendiri juga memiliki beberapa perubahan. Pesisir Selatan Kebumen yang merupakan daerah dataran rendah sudah mulai memiliki karakteristik mata pencaharian yang mulai menjadikan laut sebagai peluang mencari nafkah tambahan dapat menjadikan daerah ini menjadi daerah peralihan. Menjadi daerah transisi yang juga menjadi daerah peralihan ini juga merupakan karakteristik tersendiri bagi daerah lokasi penelitian. Bentuk karakteristik yang terdapat di lokasi penelitian terkait erat dengan berbagai pengaruh yang masuk di lokasi penelitian. Pengaruh tersebut sangat user bergantung pada kontak bahasacommit melaluito kemajuan perdagangan, komunikasi,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 386
transportasi, dan pariwisata. Dari beberapa pengaruh yang ada ternyata pengaruh pusat budaya merupakan pengaruh yang cukup kuat. Walaupun pengaruh pusat budaya cukup, memadai baik dalam bidang budaya maupun bahasa terhadap daerah transisi namun pada kenyataannnya pengaruh periferal terhadap Kebumen dari sisi bahasanya lebih dominan Akibatnya budaya dan bahasa Banyumas masih tampak sangat signifikan mempengaruhi daerah transisi. Oleh sebab itu masih dapat ditemukan ada bentuk-bentuk kearifan lokal Jawa asli yang menyerupai daerah peripheral Banyumas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 387
commit to user