BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki luas wilayah 1984,31 km2. Populasi kambing terbanyak
di Kabupaten Bone
Bolango terdapat pada 3 kecamatan, yaitu kecamatan Bonepantai dengan jumlah ternak 1417 kambing, kecamatan Kabila 697 kambing dan kecamatan botupingge 530 kambing. Lokasi penelitian tampilan estrus kambing lokal setelah pemberian prostaglandin F2α berada pada Kecamatan Botupingge Desa Buata dengan mempertimbangkan populasi ternak kambing yang dimiliki lebih dominan dan keadaan wilayah terdapat didataran tinggi. Letak Kabupaten Bone Bolango secara geografis berada pada ketinggian 01500 meter dari permukaan laut, terletak antara 0,27’- 1.01’ Lintang Utara dan antara 121.23’-122.44’ Bujur Timur. Sebelah utara berbatasan langsung dengan laut Sulawesi dan Kecamatan Atinggola, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara) sebelah selatan berbatasan dengan Kota Gorontalo, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Telaga, Kota Selatan dan Kota Utara. Keadaan iklim di Kabupaten Bone Bolango umumnya panas dengan suhu udara berkisar antara 23,0 0C. Temperatur terendah terjadi di bulan Februari, dan tertinggi terjadi pada bulan Mei. Kelembaban udara berkisar antara 72-89 %,
terendah pada bulan Februari dan tertinggi pada bulan Maret. Curah hujan tertinggi tercatat terjadi pada bulan Desember yaitu sebanyak 23 hari (BPS 2011). Kondisi lokasi penelitian yang berada di Kecamatan Botupingge, Desa Buata merupakan tempat yang sangat ideal dalam melakukan penelitian dimana hampir seluruh masyarakatnya memelihara secara tradisional ternak kambing lokal dibandingkan dengan kambing pendatang (kambing Peranakan Etawa, Kambing Etawa), dekat dengan ibu kota Provinsi Gorontalo, sarana tranportasi sangat lancar dan jalanya aspal, kemudian telah terdapat fasilitas pendukung milik warga berupa kandang kawin dan kandang pemeliharaan ternak kambing yang terbuat dari bahan-bahan kayu dan bulu serta dekat dengan sumber air (sumur). Lokasi penelitian juga didukung dengan banyaknya sumber pakan hijauan hal ini dikarenakan lokasinya dekat dengan pegunungan dan perbukitan yang berada pada dataran tinggi. 4.2 Persentase Estrus Gejala yang muncul pada betina yang berada pada fase estrus dan siap untuk dikawinkan, baik secara alamiah maupun dengan IB adalah merupakan tingkah laku estrus. Respons timbulnya estrus dapat didefinisikan sebagai persentase betina yang estrus yang dicapai serta kecepatan munculnya estrus (onset) yang teramati sejak pemeberian hormon prostaglandin F2α sampai betina menunjukkan gejala-gejala klinis awal seperti pembengkakan pada vulva, keluarnya lendir, diam bila dinaiki. Estrus itu sendiri merupakan suatu kegiatan fisiologik pada hewan betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan gejala keinginan kawin.
Berdasarkan Tabel 5 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hormon prostaglandin F2α memberikan respon estrus yang cukup baik pada kambing lokal. Dari 9 kambing lokal betina yang digunakan dalam penelitian ini semuanya memperlihatkan gejala estrus, gelaja estrus yang diperlihatkan sama dengan laporan Siregar (2009) yaitu gelisah, ekor diangkat dan dikibas-kibas, berusaha mendekati kambing jantan, mengembik, vulva bengkak dan berwarna kemerahan, lembab dan bila diraba terasa hangat serta mengeluarkan cairan (lendir) yang jernih. Persentase betina estrus yang diperoleh adalah sebesar 100% pada penyuntikan ke dua atau keseluruhan betina yang diberi perlakuan menunjukkan gejala estrus yang sama meskipun gejala estrus yang teramati tidak muncul secara bersamaan (Tabel 5). Tabel 5. Persentase estrus kambing lokal penyuntikan I dan II interval 10 hari. Jumlah Persentase estrus Persentase estrus Perlakuan kambing Setelah penyuntikan Setelah penyuntikan (ekor) PGF2α ke I (%) PGF2α ke II (%) Dosis 0,5 ml Dosis 1 ml Dosis 1,5 ml
3 3 3
2 (66%) 3 (100%) 2 (66%)
3 (100%) 3 (100%) 3 (100%)
Rata-rata
9
7 (77%)
9 (100%)
Penyuntikan pertama menggunakan hormon prostaglandin F2α dengan dosis masing-masing 0,5 ml, 1 ml, dan 1,5 ml secara rata-rata menghasilkan 77% induk kambing betina estrus yaitu kambing yang mempunyai CL sehingga penyuntikan prostaglandin F2α dapat meregresi atau melisis Cl diikuti dengan timbulnya gejala birahi. Induk kambing lainnya tidak menunjukkan gejala estrus setelah penyuntikan prostaglandin F2α pertama. Menurut beberapa peneliti diduga induk kambing ini tidak mempunyai korpus luteum fungsional dalam ovariumnya
yaitu induk kambing yang berada pada stadium awal dari siklus estrus, yang CL dalam kondisi mulai tumbuh. Pada keadaan yang demikian prostaglandin F2α tidak mampu menghancurkan sel lutein dalam korpus luteum (Barrett et al, 2002). Prostaglandin F2α sangat efektif untuk dipakai sebagai penggertak estrus pada ternak dalam fase diestrus, sebab pada fase ini terdapat korpus luteum fungsional sehingga CL tersebut akan diregresi atau dilisis, sedangkan Prostaglandin F2α tidak efektif untuk CL yang baru tumbuh. Menurut Feradis agar semua ternak dapat estrus dalam periode waktu yang hampir bersamaan dilakukan penyuntikan ke dua yaitu 10 hari setelah penyuntikan pertama alasanya ternak yang tidak mempunyai CL pada penyuntikan pertama, pada 10 hari kemudian sudah mempunyai CL tindakan tersebut sesuai dengan pernyataan Siregar et al, (2001) dan Hafizuddin et al, (2011) bahwa jika penyerentakan estrus
dilakukan dengan tanpa memperhatikan ada tidaknya corpus luteum, penyuntikan PGF2α dilakukan dua kali dengan selang waktu 10 hari yang menyebabkan kambing berada pada dalam kondisi CL fungsional. Berdasarkan tabel 5 penyuntikan kedua yang dilakukan 10 hari kemudian dengan dosis yang sama menghasilkan 100% kambing estrus. Hal ini disebabkan karena semua kambing betina berada dalam kondisi CL sedang berfungsi sehingga penyuntikan prostaglandin F2α kedua yang diberikan 10 hari setelah penyuntikan prostaglandin F2α pertama mempunyai efek maksimal yaitu meregresi CL dan akan diikuti pertumbuhan folikel sehingga timbul gejala estrus. Hasil penelitian ini hampir sama dengan pernyataan Hamdan dan Siregar (2004), bahwa percobaan dengan menggunakan hormon prostaglandin F2α pada
penyuntikan pertama mencapai 80% kambing yang estrus sedangkan penyuntikan kedua yang dilakukan 10 hari kemudian akan menghasilkan 100% estrus. 4.3 Onset Estrus Onset estrus yaitu laju kecepatan timbulnya estrus dihitung dari setelah penyuntikan prostaglandin pada ternak sampai ternak tersebut memperlihatkan salah satu gejala estrus. Onset estrus pada ketiga perlakuan dalam penelitian ini terjadi pada jam ke- 23 sampai jam ke 62,10 (Tabel 6) atau rata-rata 40 jam (Lampiran 1). Tabel 6. Rataan onset estrus kambing lokal setelah pemberian prostaglandin F2α dengan dosis yang berbeda pada penyuntikan ke II . Onset Estrus (jam) Perlakuan Dosis 0,5 ml Dosis 1ml Dosis 1,5 ml 37,30 38 48
Rata-rata
38
40
48
25
23
62,10
33,4 𝑎
33,6 𝑎
52,7 𝑏
Keterangan : Angka yang diikuti huruf kecil superskrip yang tidak sama menunjukkan beda nyata (P<0,05). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian hormon prostaglandin F2α dengan dosis yang berbeda pada ternak kambing lokal memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P< 0,05) terhadap onset estrus, setelah dilakukan uji beda nyata terkecil (BNT), perbedaan yang nyata (P<0,05) terjadi pada perlakuan dosis 1 ml terhadap 1,5 ml kemudian dosis 0,5 ml terhadap 1,5 ml sedangkan perlakuan dosis 0,5 ml tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap 1 ml (Lampiran 1). Rata-rata onset estrus 40 jam hampir sama yang dilaporkan oleh Hafizuddin et al, (2011) menyatakan onset estrus pada kambing PE dengan
menggunakan hormon prostaglandin yang berbeda menimbulkan onset estrus dengan rata-rata 36,0±0,57 jam dan 50,4±1,52 jam. Hasil Penelitian lain yang dilaporkan Ismail (2009), sinkronisasi estrus pada ternak kambing dengan umur yang berbeda menggunakan prostaglandin F2α onset estrusnya terjadi pada jam ke 70,06 sampai dengan jam ke 138,42 dan hal diakibatkan oleh perbedaan umur ternak dan respon ternak terhadap kerjanya prostaglandin F2α. Onset estrus pada penelitian ini bila dibandingkan dengan penelitian lain terlihat lebih lama. Siregar et al, (1999) melaporkan onset berahi setelah diinduksi dengan PMSG yang diikuti peyuntikan PGFa pada kambing lokal Aceh menjelang pubertas pada kelompok umur 4-5 bulan dan 6-7 bulan masing-masing adalah 36,50±9,94 jam dan 28,17±3,48 jam. Siregar, (2010) melaporkan pula hasil penelitian onset estrus pada kambing lokal yang diinduksi dengan anti-inhibin yakni sekitar 24-42 jam. Perbedaan ini disebabkan perbedaan preparat hormon yang digunakan, dosis yang diberikan, pola faktor pengamatan, kondisi ternak, dan pakan yang diberikan. Berdasarkan tabel 6 terdapat perbedaan ketiga perlakuan terhadap onset estrus hal ini dapat disebabkan yaitu ukuran Cl yang dilisis prostaglandin F2α, penyuntikan ke dua interval 10 hari alasan pada penyuntikan kedua tidak diketahui dengan pasti pada siklus keberapa CL berkembang. Menurut Feradis, (2010) Fase luteal yaitu pertumbuhan dan perkembangan CL terjadi mulai hari 5 sampai hari ke 18. Setiap pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada CL pasti berbeda dalam bentuk ukuran dan jumlah progesteron yang dihasilkan oleh CL, hal ini yang menyebabkan perbedaan kemampuan prostaglandin melisiskan
CL yang diikuti penurunan progesteron. Penurunan progesteron akan memberikan umpan balik ke hypotalamus dan hipofisa anterior
sehingga FSH akan
disekresikan yang berfungsi menstimulasi folikulogenesis, estrus, dan ovulasi (Hamdan dan Siregar, 2004). Adaptasi yang hanya 1 minggu pada lokasi penelitian menyebabkan ternak belum merasa nyaman terhadap lingkungan dan terlihat pada saat penelitian ternak yang baru biasanya menyendiri, nafsu makan berkurang dan selalu di ganggu oleh ternak lama (ditanduk) sehingga menyebabkan stres bagi ternak. Menurut Feradis (2010), ternak yang mengalami stres akan menyebabkan gangguan hormon reproduksi dimana sekresi FSH terhadap pertumbuhan folikel akan menurun sehingga akan terjadi keterlambatan pematangan folikel yang menyebabkan terlambatnya gejala estrus pada ternak. Faktor makanan menyebabkan onset estrus pada ternak berbeda, sebab mendapatkan makanan yang tidak akan cukup mengalami kekurusan dan kekurangan nutrisi dalam tubuh yang akan mengurangi fungsi reproduksi dan sekresi LH (Mani et al., 1996). Menurut Hardjopranjoto (1995), kekurangan nutrisi akan menyebabkan fungsi semua kelenjar dalam tubuh menurun. Dalam hal ini salah satu kelenjar yang menjadi sasaran adalah kelenjar hipofisa anterior yaitu terjadinya hipofungsi kelenjar hipofisa tersebut, diikuti dengan menurunnya sekresi hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH yang akan mengakibatkan pertumbuhan folikel menjadi lambat dan ovulasi. Hal ini terlihat pada saat kambing makan yaitu ternak yang bertubuh besar biasanya mendapatkan makanan yang banyak dibandingkan dengan ternak yang bertubuh sedang. Menurut
Muzani et al, (2000) ternak yang mendapat nutrisi yang baik dapat meningkatkan hormon reproduksi, melancarkan birahi, dan meningkatkan jumlah ovum yang dilepaskan dari ovarium. Perbedaan umur dapat menyebabkan onset estrus pada ternak berbeda, hal ini terlihat pada ternak penelitian pada perlakuan dosis 0,5 dan 1 ml yang berumur > 1 tahun yaitu ternak yang sudah pernah melahirkan satu kali dan ternak pada perlakuan ketiga dosis 1,5 ml berumur > 2 tahun ternak yang sudah pernah melahirkan lebih dari satu kali dan pernah mempunyai anak kembar, Hasil penelitian Ismail (2009), ternak yang pernah pernah melahirkan satu kali dengan ternak yang sudah pernah melahirkan lebih dari satu kali dan pernah mempunyai anak kembar onset estrus berbeda. Lebih lanjut FSH yang disekresikan oleh pituitary anterior pada ternak yang pernah melahirkan satu kali hanya mampu merangsang pertumbuhan folikel satu hingga mencapai folikel de Graaf yang matang, sedangkan ternak yang sudah melahirkan lebih dari satu kali dan pernah mempunyai anak kembar terdapat dua atau lebih folikel de Graaf yang matang dan berovulasi. Hal ini jumlah ovulasi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan atau interaksi keduanya. 4.4 Kualitas Estrus Kualitas estrus dilakukan dengan melihat gejala – gejala estrus pada organ reproduksi kambing yaitu vulva merah, bengkak, hangat, keluranya lendir dan tingkah laku kambing betina meliputi menaiki kambing lain, nafsu makan berkurang, gelisah dan sering mengeluarkan suara-suara khas, sering mengibasngibaskan.
Hasil penelitian kualitas estrus ternak kambing lokal memperlihatkan gejala-gejala estrus yang sama dilaporkan oleh Siregar (2009) yakni vulva membengkak vulva merah, bengkak, hangat, dan keluranya lendir serta tingkah laku kambing betina, menaiki kambing lain, nafsu makan berkurang, gelisah dan sering mengeluarkan suara-suara, sering mengibas-ngibaskan ekor. Gejala-gejala estrus yang diperlihatkan oleh ketiga perlakuan dengan dosis prostaglandin masing-masing 0,5 ml, 1 ml, 1,5 ml tidak mendapatkan jumlah skor yang maksimal (15) tetapi gejala estrus pada perubahan tingkah laku pada ketiga perlakuan semunya mendapatkan skor 3 (tabel 7). Tabel 7. Jumlah skor estrus pada ternak kambing lokal. Perlakuan
Nama
Prostaglandin P1.1 F2α dosis P1.2 0,5 ml P1.3 Prostaglandin P2.1 F2α dosis P2.2 1 ml P2.3 Prostaglandin P3.1 F2α dosis P3.2 1,5 ml P3.3
Warna Vulva 3 2 2 3 2 3 2 2 2
Lendir Vulva 1 1 1 2 2 1 3 3 3
Bentuk Vulva 2 2 2 3 3 3 3 2 2
Suhu Vulva 3 2 2 2 2 2 2 2 2
Perubahan Tingkah Laku 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Jumlah Skor 12 10 10 13 12 12 13 13 12
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan pemberian hormon prostaglandin F2α dengan dosis yang berbeda pada ternak kambing lokal berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kualitas estrus. Setelah dilakukan uji beda nyata terkecil (BNT), perbedaan yang nyata (P<0,05) terjadi pada dosis 0,5 ml terhadap dosis 1 ml dilanjutkan dosis 0,5 ml terhadap dosis 1,5 ml sedangkan dosis 1 ml tidak
berbeda nyata (P>0,05) terhadap
1,5 ml
(Lampiran
2). Berdasarkan tabel 5
terdapat perbedaan jumlah skor kualitas estrus pada masing-masing perlakuan
dengan dosis 0,5 ml, 1 ml, dan 1,5 ml untuk mengukur skor kualitas estrus berdasarkan petunjuk Yusuf (1990) dapat dikategorikan menjadi tiga tingkat yakni kualitas estrus rendah atau yang kurang jelas mendapatkan skor 0–5 (tingkat 1). sedangkan kualitas estrus sedang mendapatkan skor 6–10 (tingkat 2) dan untuk kualitas estrus tertinggi atau yang jelas mendapatkan skor 11 – 15 tingkat 3 (tabel 8). Tabel 8. Tingkat kualitas estrus pada ternak kambing Banyaknya Tingkat Kualitas estrus Perlakuan Respon 1 2 Estrus (ekor) ekor (%) ekor (%)
ekor (%)
Dosis 0,5 ml Dosis 1 ml Dosis 1,5 ml Rata-rata
1 3 3 7 (77,7%)
3 3 3 9
0 0 0 0
2 0 0 2 (22,3%)
3
Berdasarkan data yang tertera pada tabel 8 menunjukkan bahwa kualitas estrus setelah pemberian prostaglandin F2α dengan dosis yang berbeda yaitu kualitas estrus yang kurang jelas jarang terlihat (0%), sedangkan kualitas estrus sedang berjumlah 2 ekor (22,3%) (tingkat 2) dan kualitas estrus yang jelas atau tinggi sebanyak 7 ekor (77,7%) kambing betina lokal. Semua ternak kambing lokal merespon hormon prostaglandin F2α sehingga menimbulkan gejala-gejala estrus yang jelas pada ternak. Perbedaan umur dan makanan menyebabkan terdapat tingkat kualitas estrus pada ternak percobaan berbeda.