BAB III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA
A. Metode Pencapaian Target Kinerja 1. Kerangka-Rancangan Metode Penelitian Metode dan cara kerja pengemasan informasi berbasis digital akan diterapkan bagi potensi arkeologis, potensi budaya lokal dan spesifikasi geografis wilayah, sesuai dengan obyek, bentuk, jenis dan sifat data dari masing-masing potensi tersebut. Berdasarkan
kerangka
pemikiran
tersebut,
maka
agar
dapat
mengintegrasikan data antara potensi arkeologi dengan sumber daya budaya maka perlu dilakukan penelitian potensi arkeologi dan budaya lokal, serta potensi spesifikasi geografis kawasan Pantai Utara Bali di Kabupaten Buleleng yang akan dilakukan dengan beberapa metode yaitu: 1 Studi pustaka tentang kawasan Pantai Utara Bali di Kabupaten Buleleng baik
penelitian
arkeologi, antropologi,
vegetasi, maupun penelitian
mengenai lingkungan alamnya, atau spesifik geografis. 2 Menyusun kerangka perekaman data arkeologi dan budaya lokal, serta potensi spesifikasi geografis sebagai acuan survey. 3 Menyusun kerangka perekaman grafis-visual sebagai acuan dalam pelaksanaan perekaman audio-visual, fotografi, dan gambar-peta. 4 Survei lapangan yang terdiri atas survei arkeologi dan budaya lokal guna merekam data, baik secara deskriptif maupun visual seluruh tinggalan arkeologis serta tradisi budaya lokal yang masih hidup yang terdapat di Kawasan Pantai Utara Bali khususnya di Kabupaten Buleleng. 5 Survei potensi spesifikasi geografis yang meliputi lingkungan alam Kawasan Pantai Utara Bali khususnya di Kabupaten Buleleng, berupa survei biologi yang mencakup survei lingkungan vegetasi berkaitan dengan tanaman pertanian, survei lingkungan alam, dan sebagainya. 6 Deskripsi dan analisis terhadap tinggalan arkeologi. 7 Khusus mengenai perekaman data arkeologi secara visual, akan dilakukan kegiatan, antara lain:
21
a. Melakukan perekaman dalam bentuk gambar, peta, foto, dan audiovideo berkenaan dengan situs, budaya lokal, spesfiasi geografis (pertanian dan pembudidayaan tanaman spesifik daerah) dan proses kegiatan penelitian. b. Melakukan pendokumentasian atas kondisi situs terkini, serta aspekaspek kelestarian dan aspek ancaman dari tinggalan arkeologis yang ada di Kawasan Pantai Utara Bali, khususnya di Kabupaten Buleleng. c. Melakukan pendokumentasian arkeologis atas kegiatan penelitian yang sedang berlangsung untuk mendapatkan data dan informasi sebagai pelengkap bahan dokumentasi. 8 Melakukan analisis grafis dan konten informatif atas gambaran potensi data arkeologi dan budaya lokal, serta spesifikasi geografis di Kabupaten Buleleng guna mendapatkan gambaran kemasan berbasis digital yang paling tepat, yang meliputi: a. Melakukan
penelitian
pengembangannya,
di
situs-situs
arkeologi
dan
potensi
guna memperoleh pengetahuan mengenai
hubungan antara manusia dengan lingkungan alam, khususnya jenis sumber daya alam yang dimanfaatkan dan dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih dan menentukan situs ini sebagai tempat bermukim. b. Melakukan penelitian mengenai budaya lokal, seperti tradisi-tradisi budaya warisan nenek moyang yang masih dilakukan dan dipertahankan hingga saat ini dalam kehidupan masyarakat di Kabupaten Buleleng, antara lain: upacara-upacara ritual-ritual yang berkaitan dengan kehidupan dan pertanian; kerajinan tenun dan ukir (perak, emas), seni tari, seni musik, kuliner, dan sebagainya. c. Melakukan penelitian terhadap potensi spesfikasi geografis yang menjadi ”trade-mark”, antara lain pertanian kopi dan cengkeh, atau budidaya tanaman buah jeruk, anggur, salak yang membuat kabupaten ini menjadi pemasok untuk wilayah Provinsi Bali dan sekitarnya. d. Mempersiapkan data base potensi arkeologi, potensi budaya lokal, dan spesifikasi geografis untuk pengembangan informasi multimedia 22
berbasiskan
tinggalan
budaya,
tradisi
budaya
yang
masih
dilestarikan, serta spesifikasi geografis (bentang alam, pertanian, dan budidaya tanaman) Kawasan Pantai Utara Bali umumnya, di wilayah Kabupaten Buleleng khususnya, bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan pariwisata di masa depan. 9 Mempersiapkan dokumentasi khasanah warisan budaya untuk kepentingan edukasi dan pemasaran wisata.
2. Indikator Kebehasilan Pencapaian Indikator keberhasilan dari penelitian ini yaitu dengan: - Tersusunnya penulisan/naskah laporan ilmiah - Terciptanya film dokumentasi - Terciptanya CD interaktif - Telah dibuatnya web-site hasil penelitian yang direncanakan diberi nama www.sundakecil.blogspot.com - Terbuatnya pola perjalanan wisata (Travel pattern)
3. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Penelitian Dari penelitian lapangan di Kawasan Pantai Utara Bali, Kabupaten Buleleng telah didapatkan hasil sebagai berikut:
Hasil Penelitian :
3.1. Lingkungan alam Kabupaten Buleleng Kabupaten Buleleng terletak di belahan utara Pulau Bali memanjang dari barat ke timur dan mempunyai pantai sepanjang lebih kurang 157 km, secara geografis terletak pada posisi 8° 03 ' 40” - 8° 23 ' 00'' lintang selatan dan 114° 25 ' 55”- 115° 27 28 bujur timur. Kabupaten Buleleng berbatasan dengan Kabupaten Jembrana di bagian Barat, laut Jawa/Bali di Bagian Utara, dengan Kabupaten Karangasem di bagian Timur dan di sebelah Selatan berhadapan dengan 4 Kabupaten yaitu : Badung, Gianyar, Bangli, dan Kabupaten Tabanan.
23
Peta 2. Wilayah Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali Luas Kabupaten Buleleng secara keseluruhan 1.365,88 Km2 atau 24,25 % dari luas Propinsi Bali, dimana kecamatan Gerokgak merupakan kecamatan terluas yakni 26,11%, Kecamatan
Busungbiu
seluas 14,40 %, kecamatan
Sukasada dan Banjar masing-masing 12,66% dan 12,64%. Kecamatan Kubutambahan sebesar 8, 66%, Kecamatan Seririt 8,18%, Kecamatan Tejakula 7,15%, Kecamatan Sawan 6,77% dan Kecamatan Buleleng 3,44 %. Secara topografi Kabupaten Buleleng merupakan daerah berbukit yang membentang di bagian selatan, sedangkan di bagian utara berupa dataran rendah yang merupakan daerah pantai. Di Kabupaten Buleleng juga terdapat gunung berapi dan gunung yang tidak berapi. Gunung yang tertinggi adalah Gunung Tapak (1903 M) berada di Kecamatan Sukasada, sementara gunung yang paling rendah adalah gunung Jae (222 M) berada di wilayah Kecamatan Gerokgak.
Foto 1. Danau Tamblingan di Kecamatan Banjar, dan dikejauhan tampak Danau Buyan di Kecamatan Sukasada
24
Selain itu di Kabupaten Buleleng terdapat dua danau yaitu Danau Tamblingan (110 hektar) berada di Kecamatan Banjar. Sedangkan Danau Buyan (360 hektar) terletak di Kecamatan Sukasada. Menyatunya ataupun relatif dekatnya antara wilayah pegunungan dengan pantai memberikan makna tersendiri bagi Kabupaten Buleleng dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Provinsi Bali. Kondisi yang khas ini menjadikan topografi wilayah Buleleng sering disebut dengan istilah Nyegara Gunung. Kabupaten Buleleng memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin musim yang berganti setiap enam bulan. Buleleng termasuk pada daerah bayangbayang hujan, dengan curah hujan berkisar antara bulan Oktober-April, sedangkan musim panas berkisar antara bulan April-Oktober. Kondisi Buleleng yang Nyegara Gunung, dimana di bagian selatan merupakan perbukitan dan pegunungan menjadikan curah hujan ataupun intensitas hujan relatif lebih tinggi di wilayah Buleleng bagian selatan. Boleh dikatakan hampir tidak ada bulan-bulan kering terutama di sekitar Danau Tamblingan dan Danau Buyan (BPS, 2010)
Foto 2. Teras-teras sawah tertata indah mengelilingi Danau Buyan
Bali sebagai daerah tujuan wisata untuk wilayah Indonesia bagian timur sudah sangat terkenal di dalam negeri bahkan di manca negara. Hal ini disebabkan oleh banyaknya keunikan-keunikan baik dalam hal tinggalan budaya masa lampau maupun dalam pesona alamnya. Dengan keanekaragaman budaya serta berbagai keindahan alamnya inilah yang kemudian membuat Bali di kenal di seluruh dunia. Dari survei yang dilakukan di wilayah Kabupaten Buleleng, ditemukan berbagai bentuk tinggalan budaya masa lampau berupa tinggalan arkeologi. 25
Tinggalan arkeologi yang banyak tersebar di wilayah ini cukup komplit dalam lintasan masa dan budaya. Secara periodisasi tinggalan-tinggalan tersebut berasal dari masa Prasejarah, masa Klasik, masa Islam hingga masa Kolonial. Secara kuantitas situs-situs yang telah terdata dari hasil survei yang dilakukan dapat dikelompokkan atas: A. Potensi Sumberdaya Arkeologi sebanyak 45 situs yang meliputi: 1. 14 situs Prasejarah yang tinggalannya berupa sarkofagus, lesung batu, lesung kayu 2. 17 situs masa klasik Hindu Budha yang meliputi pura, candi dan vihara 3. 14 situs masa Islam - Kolonial yang terdiri dari Perkampungan muslim, masjid,
makam, Al GUr"an kuno, bangunan kolonial (kantor Bupati,
Pelabuhan, jembatan, sekolah, dan rumah bekas guru Mulo). B. Budaya lokal dalam bentuk: 1. Bangunan, yang meliputi monumen, patung, pura, puri, tugu dan vihara 2. Kerajinan tradisional yang meliputi kerajinan emas, perak, gong, gamelan, tenun, kerajinan kayu seseh, tudung saji,
inka, anyaman, kerajinan inovatif
dan angklung 3. Seni yang meliputi seni tari, seni lukis, seni ukir, dan pahat serta seni musik C. Spesifikasi geografis meliputi: 1. Pesona alam berupa teras-teras sawah, air terjun, air panas, sumber mata air (kolam renang), danau, bendungan, pantai dan atraksi lumba-lumba serta kera-kera yang lucu 2. Budidaya tanaman seperti cengkeh, coklat, kopi, sawah, bunga, anggur dan budidaya penangkaran mutiara Di samping pencatatan terhadap potensi tingalan arkeologi, juga dilakukan survei tehadap potensi budaya lokal yang masih ada hingga saat ini baik berupa adat
istiadat/tradisi,
bangunan-bangunan
tradisional,
kerajinan
tangan
(handycraft), kuliner, seni musik, tari-tarian maupun tentang teknologi (kearifan) lokal. Perekaman mengenai keadaan alam (eksoktika alami) berupa lansekap dan tanaman langka tak luput dari pengamatan sepanjang survei yag dilakukan.
26
Peta 3.
27
A. Potensi Sumber Daya Arkeologi Survei arkeologi dilakukan terhadap tinggalan-tinggalan arkeologi yang banyak tersebar di wilayah ini yang mencakup Situs Prasejarah, Situs Masa Klasik Hindu Budha, Situs Masa Islam dan situs-situs masa Kolonial; A.1. Situs Masa Prasejarah Ragam tinggalan prasejarah baik yang terkait dengan kegiatan penguburan di masa lalu dan tinggalan lain yang terkait dengan tradisi budaya megalitik yang terdapat di kawasan Kabupaten Buleleng adalah sebagai berikut; 1. Sarkofagus (sarkofagus1) merupakan salah satu bentuk wadah dari bahan batuan yang dibuat oleh masyarakat pada masa lampau setelah berkembangnya budaya bercocok tanam di kawasan Nusantara Pada era budaya yang demikian masyarakat biasanya menggunakan batubatu besar sebagai media pemujaan, serta menghasilkan bangunan-bangunan sakral seperti kegiatan penguburan bagi tokoh-tokoh masyarakatnya yang dianggap memiliki posisi dan kedudukan yang dihormati oleh masyarakatnya. 2. Lesung batu Di samping temuan kubur batu dalam bentuk sarkofagus, berdasarkan hasil pengamatan lapangan di kawasan Kabupaten Buleleng, terutama di beberapa kampung atau desa tradisional. Beberapa bentuk budaya prasejarah masih diberlangsungkan oleh masyarakat, dan kemudian menjadi satu tradisi di tengah masyarakat. Tradisi tersebut lebih banyak terkait dengan budaya bercocok tanam yang memanfaatkan lesung batu sebagai alat untuk mengolah hasil pertanian dan pengolahan bahan-bahan tertentu baik yang terkait dengan kebutuhan upacara di pura maupun untuk pemenuhan kebutuhan tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Banyak istilah yang umum dipakai untuk menyebut lesung batu di tengah masyarakat di Nusantara, beberapa diantaranya ada yang menyebutnya dengan lesung batu, lumpang batu2, watu lumpang, dan lain sebagainya. Istilah-istilah 1
Sarkofagus, kubur batu yang pada umumnya terdiri dari wadah dan tutup yang bentuk dan ukurannya sama (simetris). Soejono, 1990:325) 2 Lumpang batu. Istilah lokal di Jawa Tengah ialah “watu lumpang”, yaitu berupa sebuah megalit yang berlubang (sebuah atau lebih); lubang berbentuk lingkaran. Fungsinya belum jelas, mungkin
28
tersebut mengacu pada satu bongkahan batu yang memiliki satu lubang berbentuk lingkaran pada bagian tengah batuan. Mungkin istilah itu muncul di tengah masyarakat untuk membedakan antara lumpang yang satu dengan yang lainnya yang terbuat dari bahan kayu. Lesung batu atau lumpang batu berdasarkan hasil kajian arkeologi selama ini, dapat disimpulkan sudah dikenal cukup lama oleh masyarakat Indonesia. Data yang paling tua tentang pertanggalan relatif dari batu lumpang tersebut diperkirakan sudah muncul sejak masa neolitik atau masa bercocok tanam di Nusantara. Tinggalan ini terus dimanfaatkan oleh masyarakat hingga menembus waktu sejarah, sehingga menjadi salah satu bagian dari produk tradisi budaya megalitik. Dalam tradisi lanjut, fungsi lesung batu lebih banyak digunakan untuk pengolahan hasil pertanian untk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat, di antaranya ada yang digunakan untuk menumbuk padi menjadi beras, menumbuk beras menjadi tepung, dan ada juga yang digunakan untuk menumbuh rempahrempah untuk keperluan pengobatan dan masakan. Tidak salah kalau lokasi penemuan lesung-lesung batu tersebut selain dekat dengan pemukiman, beberapa di antaranya ditemukan di lokasi-lokasi upacara ritual yang berkaitan dengan upacara yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Di kawasan Buleleng, lesung batu selain ditemukan di rumah-rumah penduduk dalam desa-desa yang masih tradisional, juga ditemukan di dalam pura-pura yang berkaitan dengan penghormatan Dewi Sri (Dewi Padi), dengan lokasi-lokasi penemuan sebagai berikut, Beberapa situs Prasejarah yang telah di survei di Kabupaten Buleleng, antara lain Situs Julah Situs Pacung Situs Sangsit Situs Singsing Situs Tigawasa
digunakan dalam upacara yang berhunungan dengan pemujaan arwah leluhur (Soejono, 1990:320).
29
a. Lesung batu 1. Situs Julah Koordinat
: E 08⁰ 06′ 53,7″ S 115⁰ 17′ 58,1″
Elevasi
: 359,5 meter dari permukaan laut
Objek
: Lesung batu
Bahan
: Batu andesit
Masa/peeriodesasi
: Prasejarah
Tanda alami
: Pemukiman kuno
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Cukup tertata
Pemanfaan sekarang
: Peralatan harian dan upacara
Diskripsi objek
:
Desa Julah berdasarkan pengamatan lapangan dapat disimpulkan sebagai salah satu Desa yang ada di Kecamatan Tejakula yang masih melanjutkan berbagai bentuk tradisi budaya dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk dalam desa Tradional Julah. Berdasarkan pengamatan lapangan dapat disimpulkan sebagai salah satu Desa yang ada di Kecamatan Tejakula yang masih melanjutkan berbagai bentuk tradisi budaya dalam kehidupan seharihari. Desa Julah terletak sekitar 30 Km timur kota Singaraja, dan merupakan wilayah kecamatan Tejakula, Buleleng. Tidak seperti desa kuno lainnya di Bali, Desa Julah memiliki tinggalan yang sama, yaitu berupa batu-batu besar yang diyakini berusia hampir 2000 tahun Sebelum Masehi, sehingga desa Julah dipercaya sebagai salah satu desa tertua di Bali, selain Desa Sembiran. Dari beberapa hasil penelitian Arkeologi, diketahui nahwa di Desa Julah terdapat sebuah situs yaitu Situs Batu Gambir Upit. Dalam temuan di situs ini terdapat beberapa artefak dan ekofak, baik yang merupakan temuan lepas ataupun temuan yang terasosiasi. Temuan lainnya berupa fragmen gerabah merupakan temuan yang paling banyak dihasilkan dengan tipe-tipe semisal tipe piring, pasu, kendi, dan tutup kendi. Dari tatanan desanya, desa ini menyerupai desa-desa kuno lainnya di bali seperti Desa Tenganan di Kabupaten Karangasem. Desa yang terkenal 30
dengan Baris sakralnya ini masih memiliki bangunan rumah tradisional serta Pura Desa yang dipercaya sebagai pura tertua di Bali, dan juga memiliki kerajinan tenun dengan ciri khas tersendiri. Pola pemukiman masyarakat di Desa Julah masih mengelompok dalam bentuk keluarga besar yang kemudian masing-masingnya dibatasi oleh pagar keliling dengan satu pintu masuk atau pintu gerbang berbentuk padurakasa (pintu gerbang terttutup) yang memiliki daun pintu yang terbuat dari bahan kayu. Konstruksi bangunan rumah tinggal yang terdapat di dalam pagar keliling tersebut beberapa di antaranya ada yang dibangun menggunakan balok-balok bata yang dibuat dari tanah dengan bentuk persegi panjang tanpa pembakaran.
Foto 3:
Desa Tradisional Julah di Kecamatan Tejakula, Buleleng. a. Paduraksa yang dilengkapi dengan daun pintu ganda dan tersambung dengan tembok yang terbuat dari bata tanpa pembakaran sebagai pagar keliling setiap pemukiman satu keluarga di Desa Julah b.
Rumah tradisional dengan konstruksi kayu dan dinding dari dedaunan yang dianyam sebagai dinding rumah di Desa Julah
Masing-masing balok tanah tersebut satu sama lainnya disambungkan dengan bahan spesi yang juga terbuat dari tanah. Di samping rumah-rumah dibangun dari konstruksi bata tanpa pembakaran tersebut, terdapat juga bangunan yang dibangun dari konstruksi kayu serta bangunan dengan dinding yang dibuat dari anyaman daun tumbuhan. 31
Oleh karena masyarakat Desa Julah merupakan penganut agama Hindu yang taat, masing-masing rumah tinggal tersebut dilengkapi dengan pura keluarga atau yang dalam masyarakat Bali digunakan sebagai tempat melaksanakan ritual sehari-hari. Cukup menarik peralatan yang digunakan untuk mengolah bahan makanan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat Julah. Untuk pengolahan bahan makanan untuk pemenuhan akan kebutuhan sehari-hari yang dihasilkan dengan cara menghaluskan bahan-bahan tertentu menjadi serat yang lebih halus atau menjadi bubuk, mereka menggunakan media batu yang disebut sebagai lesung batu. Lesung batu dibuat dari bongkahan batu alam bisa berukuran kecil dan juga besar tergantung pada ukuran dan bentuk yang dibutuhkan. Di bagian tengah bongkahan batu tersebut dibuatkan lubang dengan ukuran yang cukup simetris dengan diameter antara 10 hingga 20 cm. Dalam penggunaannya lesung batu tersebut disertai dengan alat lain yang berfungsi sebagai alat tumbuk (penumbuk). Alat penumbuk tersebut kadangkala terbuat dari batu yang biasa digunakan untuk menumbuk pada lesung-lesung batu berukuran kecil. Sementara untuk lesung-lesung dengan diameter lubang yang besar digunakan alat penumbuk yang terbuat dari bahan kayu.
Foto 4: Lesung batu, yang merupakan tradisi megalitik. Lesung batu dengan berbagai ukuran di halaman rumah tradisional di Desa Julah. Yang fungsinya masih digunakan hingga kini untuk kehidupan sehari-hari
Walaupun saat sekarang lesung-lesung batu tersebut saat sekarang tidak dijumpai di setiap rumah, akan tetapi pada beberapa keluarga yang masing menggunakan lesung batu dalam kehidupan sehari-hari, di rumah tersebut dapat dijumpai lebih dari satu lesung batu. 2. Situs Pacung
32
Koordinat
: E 08⁰ 06′ 53,7″ S 115⁰ 17′ 58,1″
Elevasi
: 54,5 meter dari permukaan laut
Objek
: Lesung batu
Bahan
: Batu andesit
Masa/peeriodesasi
: Prasejarah (Tradisi megalitik)
Abad
:-
Tanda alami
: Rumah Tenun Surya Indigo
Pemilik lahan
: Nyoman Sarmika
Pemilik Objek
: Nyoman Sarmika
Kondisi
: Tertata
Pemanfaan sekarang : Upacara Diskripsi situs
:
Banjar Kubu Anyar yang merupakan bagian dari wilayah administratif Desa Pacung, Kecamatan Tejakula yang selama ini terkenal dengan industri tenun tradisional dan telah menghasilkan kain-kain tenun dengan kualitas baik, ternyata juga mengandung tinggalan budaya budaya masa lalu berupa tinggalan Lesung Batu. Besar kemungkinan lesung batu tersebut di masa lalu terdapat di setiap halaman rumah penduduk, akan tetapi seiring dengan perkembangan teknologi pengolahan baha makanan kemudian lesung-lesung batu yang tadinya digunakan untuk mengolah bahan makanan yang dilakukan dengan cara menumbuk kemudian ditinggalkan. Seperti halnya dengan temuan lesung batu yang pernah ditemukan di kawasan lainnya di Indonesia, lesung batu yang terdapat di halaman rumah penduduk di Banjar Kubu Anyar terbuat dari bongkahan batu andesit. Saat sekarang lesung batu yang masih dapat dijumpai di halaman rumah penduduk seperti yang terdapat di halaman rumah di dekat rumah tenun tradisional Surya Indigo, milik Nyoman Sarmika sudah tidak difungsikan lagi. Lesung batu tersebut dibiarkan begitu saja, Lubang lumpang saat sekarang berisi air dan dijadikan sebagai wadah tempat tumbuhnya tanaman air (kiambang).
33
Foto 5: Lesung batu yang dimanfaatkan untuk pot yang ditanami dengan tanaman air
3. Lesung Batu Pura Jagaraga Koordinat
: S: 08° 06ˈ21,6" dan E: 115°09ˈ 38,7"
Ketinggian
: 162,5 m dari muka laut
Objek
: Lesung Batu
Bahan
: Batu Andesit
Masa/periodesasi
: Prasejarah
Abad
: Tradisi Budaya Megalitik
Tanda alami
: Pura Jagaraga
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Terpelihara
Pemanfaan sekarang : Untuk pengolahan bahan upacara (odalan) Deskripsi Objek : Pura Jagaraga yang terletak di Banjar Kangenteben, Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, memiliki beberapa versi masa pembangunannya. Beberapa di antaranya ada yang memperkirakan pura ni dibangun pada masa Kolonial Belanda diperkirakan setelah perang Jagaraga (1848—1849), akan tetapi ada juga beberapa yang berpendapat dan bahkan menjadi informasi yang disampaikan oleh pemandu pura (Ketut Suratnya) kepada setiap tamu yang datang berkunjung bahwa pura Jagaraga di bangun sekitar abad ke 12 (1181 M) pada masa pemerintahan Sri Aji Jayaraga. Pola halaman pura Jagaraga saat sekarang sudah sebagaian berubah, terutama di bagian halaman luar (jaba) karena bagian ini sudah terpotong oleh jalan raya. Dua bagian halaman lainnya masih tetap sama, yaitu bagian madya (halaman tengah) dan utma (bagian inti). Di bagian halaman tengah (madya)
34
terdapat beberapa bangunan sebagai pelengkap pura seperti bale gong yang ditempat di sisi selatan, dan bale pesamuan yang menyatu dengan bale pewaregan di sisi sebelah utara. Lesung batu di pura Jagaraga terletak di halaman tengah dan merupakan bagian dari bale pewaregan. Lesung batu tersebut terbuat dari bahan andesit dengan bentuk yang hampir membulat dengan diameter bidang permukaan sekitar 52 cm, dan tinggi 41 cm. Di bagian tengah permukaan batuan terdapat lubang lesung berdiameter 23 cm dengan kedalaman lubang lesung sekitar 19 cm. Lesung batu ini menurut pemandu, tidak dipergunakan dalam kegiatan sehari-hari yang berlangung di dalam pura. Lesung batu ini hanya dipergunakan dalam kaitan upacara keagamaan (odalan) yang berlangsung di dalam pura yang dilakukan oleh masyarakat Jagaraga.
Foto 6 : Lesung batu di Pura Jagaraga 4. Lesung Batu Pura Ponjok Batu Koordinat
: S 08° 05ˈ 39,3" dan E 115° 16ˈ 20,6"
Elevasi
: 54,5 m dari muka laut 35
Objek
: Lesung Batu
Bahan
: Basalt
Masa/periodesasi
: Prasejarah (Tradisi Megalitik)
Tanda alami
: Pura Ponjok Batu
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Tertata
Pemanfaan sekarang : Ibadah Diskripsi situs
:
Di areal Pura Ponjok Batu, Dusun Alas Sari, Desa Pacung, Kecamatan Tejakula selain pura dan sarkofagus, juga tersimpan dua lesung batu yang ditempatkan dibagian bangunan yang berfungsi sebagai bangunan untuk pengolahan makanan yang dibutuhkan pada saat pelaksanaan upacara (odalan). Kedua lumpang batu tersebut terbuat dari batuan basalt berwarna kehitaman. Lesung
batu
pertama
berbentuk agak bundar
dengan
bidang
permukaan tempat lubang lesung yang dibuat datar. Lesung batu ini memiliki diameter 42 cm, tinggi 33 cm, dengan diameter lubang lesung 22 cm dengan dalam lubang 19 cm, Sementara itu lesung batu kedua berbentuk agak persegi dengan ukuran panjang 45 cm, lebar 30 cm, dengan diameter lubang lesung 19 cm, dan dalam lubang lesung 17 cm. Menurut Kadek Pasek (36 Tahun) pemandu wisata Pura Ponjok Batu, Lesung-lesung batu yang terdapat di pura tersebut hanya digunakan untuk menyiapkan bumbu dan makanan yang diperlukan pada saat-saat upacara (odalan) yeng dilakukan 3 kali dalam setahun, yaitu peodalan nebus geletek atau melakukan upeti, peodalan Sasih Kedasa Kauh atau dista yang ditujukan untuk penghormatan pada Dewa Siwa atau Ratu Ngurah Meduwekarang, serta peodalan Sasih Kasa yang ditujukan untuk penghormatan pda Ratu Dewa Gede Ngurah. Foto Objek :
36
Foto 7. Lesung batu di Pura Ponjok Batu, Desa Pacung, Kecamatan Tejakula 5. Lesung Batu Situs Sembiran Koordinat
: S: 08° 07 ˈ34,7" dan E: 115°17ˈ 11,6"
Elevasi
: 403,5 m dari muka laut
Objek
: Lesung batu
Bahan
: Andesit
Masa/periodesasi
: Prasejarah (Tradisi Budaya Megalitik)
Tanda alami
: Rumah Tenun Ketut Landri
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Terpelihara
Pemanfaan sekarang : Deskripsi Objek
:
Di halaman Rumah Ketut Landri yang termasuk dalam wilayah administrasi Banjar Kanginan, Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula terdapat satu lesung batu yang tampak terlantar yang dahulunya diceritakan berfungsi sebagai media untuk pengolahan bahan makanan baik untuk keperluan upacara maupun untuk pengolahan bahan makanan sehari-hari. Disebutkan 37
oleh Nengah Sukiana (45 Tahun/Wakil Kepala Adat Sembiran) bahwa dahulunya di desa tersebut lesung batu sering dipergunakan untuk mengolah makanan pokok masyarakat yang terbuat dari bahan jagung, disamping untuk mengolah bahan-bahan makanan yang dibutuhkan untuk keperluan upacara (odalan), Foto objek
:
Foto 8. Lesung batu di Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula Lesung batu yang terdapat di halaman rumah Ketut Landri, terbuat dari bahan andesit yang sudah mengalami pengolahan sedemikian rupa sehingga memberikan kesan bentuk blat. Lesung batu tersebut memiliki diameter 42 cm, tinggi 32 cm, dengan diameter lubang lesung 24 cm dan tinggi lubang 26 cm. 6. Lesung Batu Nangasepaha Koordinat
: S: 08° 09 ˈ01,0" dan E: 115°07ˈ 23,2"
Elevasi
: 198,5 m dari muka laut
Objek
: Lesung Batu
Bahan
: Andesit
Masa/periodesasi
: Prasejarah
Abad
: Tradisi Budaya Megalitik
Tanda alami
: Toko Perajin Mute Ni Wayan Sri Rejeki
Pemilik lahan
: Ni Wayan Sri Rejeki
Pemilik Objek
: Ni Wayan Sri Rejeki
Kondisi
: Terlantar
Pemanfaan sekarang : Terlantar 38
Deskripsi Objek : Di halaman rumah Ni Wayan Sri Rejeki yang termasuk dalam wilayah administrasi Dusun Delod Margi, Desa Naga Sepaha, Kecamatan Buleleng terdapat satu lesung batu yang tampak terlantar dan sudah tidak difungsikan lagi. Sama halnya dengan penempatan lesung-lesung batu di lokasi lain di daerah Kabupaten Buleleng, untuk rumah tinggal lesung batu diletakkan dekat dengan dapur. Oleh karena tidak difungsikan lagi, saat sekarang bagian lubang lesung sudah ditutup dengan semen dan diletakkan dengan posisi datar dengan jalan yang terbuat dari pavin block. Lesung batu tersebut dari bidang yang tampak dipermukaan dapat diketahui bahwa lesung batu tersebut terbuat dari batu andesit tanpa pengolahan selain pembentukan lubang lesuk di bidang permukaan datarnya. Lesung batu tersebut memiliki ukuran panjang 45 cm, lebar 34 cm, dengan diameter lubang 17 cm. Karena tertutuk oleh lapisan semen, berapa ukuran dalamnya lubang lesung tidak dapat diketahui. Besar kemungkinan dahulunya lesung batu tersebut berfungsi sebagai media untuk pengolahan bahan makanan baik untuk keperluan upacara maupun untuk pengolahan bahan makanan sehari-hari, akan tetapi karena adanya cara pengolahan bahan dengan menggunakan mesin maka kemudian fungsi lesung-lesung batu digantikan oleh mesin. Foto Objek
:
Foto 9. Lesung Batu di Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng
7. Lesung Batu Pura Beji Koordinat
: S 8° 06ˈ21,62" dan E 115° 09ˈ 39,33"
Elevasi
: 170 m dari muka laut
Objek
: Lesung batu dan pura
Bahan
: Bongkahan batu 39
Masa/periodesasi
: Prasejarah (tradisi megalitik)
Tanda alami
: dipinggir jalan raya menuju pelabuhan Sangsit yang dikelilingi oleh sawah
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Tertata
Pemanfaan sekarang : Ibadah dan wisata Diskripsi situs
:
Di Situs ini ditemukan lesung batu yang
merupakan salah satu
peninggalan tradisi megalitik di Dusun Sangsit, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan yang terdapat di halaman Pura Beji Sangsit. Secara geografis terletak pada 8° 06ˈ 21,62" Lintang Selatan dan 115° 09ˈ 39,33" Bujur Timur pada ketinggian lebih kurang 170 meter dari permukaan laut. Di sebelah Timur merupakan salah satu pura yang memiliki fungsi khusus di tengah masyarakat Hindu Bali. Pura yang dibangun sekitar abad ke 16 pada masa Raja Panji Sakti tersebut terletak di lingkungan persawahan yang sangat subur ini disebutkan berfungsi sebagai tempat pengagungan Dewi Sri. Dewi Sri di pura ini tidak disimbolkan dalam bentuk arca yang dipuja atau disembahyangkan sehari-hari wajah dewi yang dilengkapi dengan sayap di bagian kiri dan kanan arca serta empat ekor naga yang ditempatkan di bagian puncap cungkup bagian utama pura tempat arca utama yaitu arca dewa Brahma Wisnu Iswara dari Pura Beji Sangsit. Untuk mencapai Pura Beji Sangsit saat sekarang dapat dilakukan dengan mudah baik menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat, karena untuk menuju pura tersebut dari Singaraja sebagai ibukota Kabupaten Buleleng sudah tersedia sarana jalan yang sangat baik. Pura ini terletak lebih kurang 24 km dari Singaraja. Dapat disimpulkan bahwa peruntukkan Pura Beji Sangsit untuk pemujaan Dewi Sri ini juga dilengkapi oleh tiga lesung batu yang ditempatkan di halaman (jabe) tengah pura.
Lesung-lesung batu tersebut terbuat dari bahan batu
andesit yang ukurannya berbeda satu dengan yang lainnya dengan bentuk dan diameter lubang yang cukup simetris. Lesung batu pertama memiliki ukuran panjang 64 cm, tinggi 37 cm, dan lebar 59 cm, memiliki lubang 40
berdiameter 21 cm dan kedalaman lubang dari bagian dasar hingga permukaan batu 24 cm. Lesung batu kedua agak lebih besar dibanding lesung batu pertama yaitu dengan panjang batu 67 cm, tinggi 22 cm, dan lebar 59 cm, dengan diameter lubang lesung 20 cm dan kedalaman lubang dari permukaan hingga dasar lubang 17 cm. Sementara itu lesung batu ketiga memiliki ukuran panjang 44 cm, tinggi 28 cm, dan lebar 38 cm, serta diameter lubang 18 cm dan kedalaman lubang 19 cm. Lesung-lesung batu tersebut sampai sekarang disebutkan masih digunakan oleh masyarakat Pure Beji Sangsit, terutama pada saat mempersiapkan dan pengolahan bumbu-bumbu masakan yang dibutuhkan untuk mengolah bahan masakan yang digunakan pada saat upacara dilakukan di pura. Cukup menarik informasi yang disampaikan oleh Ketut Limus (61 tahun) tokoh yang sehari-hari ikut mengurus pengelolaan Pura Beji Sangsit, menceritakan
bahwa
dahulunya
sebelum
mengenal
pengolahan
padi
menggunakan mesin, masyarakat Dusun Sangsit mengolah padi menjadi besar melalui dua tahapan. Setelah padi hasil panenan dikeringkan melalui proses penjemuran di bawah terik sinar matahari, untuk melepas bulir-bulir padi dari tangkainya dilakukan dengan cara menumpuknya di lesung yang terbuat dari kayu. Sementara itu untuk menjadikan padi menjadi beras dilakukan di lesung batu. Maka di setiap rumah penduduk di masa lalu memiliki lesung batu. Tetapi sekarang tidak banyak lagi yang memiliki lesung batu lagi yang mungkin terjadi karena fungsinya sebagai media pengolahan bahan makanan atau padi menjadi beras telah digantikan oleh teknologi yang lebih modern.
Foto 10. Lesung batu di Pura Beji, Desa Sangsit
41
Foto 11. Pura Beji Sangsit dilingkungi oleh lahan persawahan yang cukup subur di Dusun Sangsit, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan
Tampaknya data sosial masyarakat, religi, dan fungsi dari lesung batu yang ada di tengah masyarakat Beji Sangsit di masa lalu ini cukup menarik untuk digali dan diangkat sebagai penambah atau sumber baru dari
kalender
kegiatan pariwisata yang ada di Kecamatan Sawan khususnya, dan di Kabupaten
Buleleng
umumnya.
Kegiatan
pengarapan
sawah,
proses
pengolahan padi yang kemudian diakhiri dengan pesta panen dapat dijadikan sebagai satu kemasan yang dapat disuguhkan dan bahkan dapat dilakukan bersama wisatawan dimasa yang akan datang. 8. Lesung Batu di Pemukiman Warga Desa Sangsit : S 08° 04’ 43,7” dan E 115° 02’ 54.3”
Koordinat Elevasi
: 170 meter dari permukaan laut
Objek
: Lesung batu
Bahan
: Batu Andesit
Masa/peeriodesasi
: Prasejarah (Tradisi Megalitik)
Tanda alami
: Pemukiman Masyarakat Sangsit
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Cukup tertata
Pemanfaan sekarang
: Peralatan Harian dan Upacara
Diskripsi objek
:
Selain di Pura Beji Sangsit, di kawasan Dusun Sangsit, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, juga ditemukan lesung-lesung batu di halaman rumahrumah penduduknya. Walaupun saat sekarang sudah tidak banyak lagi 42
penduduk yang memiliki lesung batu di rumahnya, tetapi di masa lalu sebelum dikenalnya pengolahan padi menjadi beras menggunakan mesin. Dari informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan tokoh masyarakat (Ketut Linus/61 tahun) dapat diketahui di masa lalu dikatakan setiap rumah memiliki lesung batu. Berdasarkan hasil pengamatan di rumah-rumah penduduk yang masih memiliki lesung batu tersebut ada yang berukuran besar yaitu dengan ukuran diameter lebih dari 50 cm, dan juga ada yang berukuran kecil sehingga dapat dipindah-pindahkan. Bongkahan batu andesit yang digunakan untuk membuat lesung batu tersebut di antaranya ada yang diolah terlebih dahulu sehingga menghasilkan bentuk bulat mengikuti bentuk lubang lesung yang dibuat di bagian tengahnya, tetapi ada juga tanpa pengolahan terlebih dahulu, sehingga betuk lesung batunya sesuai dengan bentuk bongkahan batu andesitnya. Lesung-lesung batu berukuran besar tersebut diantaranya ditempatkan di halaman terbuka, dan juga ada yang ditempatkan dekat dengan tunggu perapian atau dekat dengan tempat melakukan aktivitas memasak (Dapur). Mungkin hal ini berkaitan dengan fungsi dari lesung batu tersebut. Lesunglesung batu yang ditempatkan di halaman terbuka berkaitan dengan kegiatan yang membutuhkan waktu yang cukup lama seperti mengolah padi menjadi beras, sementara itu lesung-lesung batu yang ditempatkan di dapur umumnya berkaitan dengan fungsi untuk pengolahan bumbu masakan. Foto Objek
43
Foto 12. Lesung batu rumah penduduk di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan
9. Lesung Batu Singsing Koordinat
: E 08°11ˈ04,3" dan S 114° 59’ 59.8”
Elevasi
: 21 meter
Objek
: Lesung batu dan air terjun Singsing
Bahan
: Bongkahan batu
Masa/periodesasi
: Prasejarah (tradisi megalitik)
Tanda alami
: Pemukiman
Pemilik lahan
: penduduk
Pemilik Objek
: penduduk
Kondisi
: baik
Pemanfaan sekarang : keperluan rumah tangga Diskripsi situs
:
Desa Kemukus, Kecamatan Gerokgak yang selama ini banyak dikenal masyarakat dengan air terjunnya, ternyata juga memiliki tinggalan lesung batu di tengah kehidupan keseharian masyarakatnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sampai sekarang batu-lesung batu itu masih dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
44
Berdasarkan survei awal tentang potensi arkeologi yang ada di kawasan Desa Kemukus, Kecamatan Gerokgak yang sebelumnya terkenal dengan pesona air terjun Singsingnya tersebut, di halaman rumah penduduk masih ditemukan adanya keberlanjutan pemanfaatan lesung batu sebagai peralatan dalam kehidupan keseharian masyarakatnya. Lesung-lesung batu tersebut ditempatkan dibagian belakang rumah yang kadang langsung berdekatan dengan aktivitas dapur.
Foto 13. Lesung batu di Desa Singsing
Mungkin hal ni sangat terkait erat dengan keperluan praktis dalam mengolah bumbu-bumbu masakan untuk keperluan sehari-hari. Lesung batu yang ditemukan di halaman belakang rumah penduduk tersebut terbuat dari bahan andesit dengan ukuran yang tidak terlalu besar berukuran panjang sekitar 50 cm dengan bentuk agak lonjong. Pada bagian tengah batu terdapat lubang lesung dengan sisa-sisa pengahalusan bahan yang menunjukkan batu tersebut masih aktif digunakan dalam kehidupan keseharian masyarakat pemiliknya. b. Lesung kayu 1. Lesung Kayu Desa Sangsit Koordinat
: S 08° 04’ 43,7” dan E 115° 02’ 54.3”
Elevasi
: 33 meter dari permukaan laut
Objek
: Lesung Kayu
Bahan
: Kayu
Masa/peeriodesasi
: Tradisi Megalitik
Abad
: Bercocok Tanam 45
Tanda alami
: Pemukiman Masyarakat Sangsit
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Cukup terpelihara
Pemanfaan sekarang
: Peralatan Upacara
Diskripsi objek
:
Penjajagan akan keberadaan lesung kayu di lingkungan penduduk Dusun Beji dikembangkan dari informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan tokoh masyarakat (Ketut Linus/61 tahun). Dari informasi yang disampaikan dapat diketahui bahwa di lingkungan masyarakat Beji Sangsit, Dusun Sangsit, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, selain menggunakan lesung batu untuk pengolahan padi mereka juga lesung yang terbuat dari kayu atau ketungan. Lesung kayu atau ketngan tersebut terbuat dari balok kayu dengan diameter besar dengan lubang berbentuk persegi panjang yang berfungsi sebagai lesung di bagian tengahnya. Berdasarkan hasil pengamatan di lingkungan pemukiman masyarakat Beji, tidak semua keluarga memilikinya. Dari keterangan yang diperoleh dari masyarakat lesung-lesung kayu tersebut selain mudah lapuk, beberapa diantaranya di masa lalu karena sudah tidak dipergunakan lagi untuk pengolahan padi menjadi beras karena sudah adanya teknologi yang baru dan lebih praktis karena menggunakan mesin, lesung kayu tersebut kemudian diperjualbelikan karena
menjadi barang yang diburu oleh para pedagang
antik. Saat sekarang hanya dua keluarga yang masih memiliki lesung kayu. Satu di antaranya sudah hancur dan satu lagi masih utuh yaitu milik keluarga Ketut Luh (70 Tahun). Dari hasil wawancara dengan Ketut Luh bersama anaknya yang bernama Made Ardana (55 Tahun) diperoleh keterangan bahwa lesung kayu di tengah masyarakat Beji memiliki dua fungsi yaitu fungsi praktis dan fungsi ritual. Diceritakan di masa lalu memanen padi di sawah tidak dilakukan seperti sekarang ini dengan menggunakan arit tetapi di ketam menggunakan manyi atau ani-ani. Padi hasil keteman tersebut kemudian dijemur sampai kering setelah untuk melepas bulir-bulir padi yang sudah kering dari tangkainya dilakukan dengan cara menumbuknya di lesung kayu. Setelah bulir-bulir padi lepas dari tangkainya kemudian dilakukan penyaringan 46
menggunakan alat saring yang disebut ngiu
atau nyiru yang terbuat dari
bahan bambu seperti ayakan. Untuk mendapatkan beras, selanjutnya proses penumbukkan dilakukan di lesung batu. Dalam proses ini juga diikuti dengan upacara-upacaranya. Sebelum memanen padi di sawah dilakukan upacara di Pura Sangsit dengan memanjatkan doa kepada Betari Sri, kemudian saat sebelum dilakukan pengolahan padi menjadi beras mereka juga melakukan upacara dengan memanjatkan doa kepada Dewa Ayu Manik Galih. Sementara itu sebelum pengolahan beras menjadi nasi, mereka juga melakukan upacara dengan memanjatkan doa kepada Betari Bage. Dalam fungsi ritualnya, lesung kayu dipergunakan dalam rangkaian acara persiapan ngaben yaitu difungsikan sebagai ngoncang pengganti gamelan untuk mengeluarkan bebunyian yang dilakukan oleh empat orang dengan cara menumbuk sedikit padi di dalam lesung. Kegiatan menumbuk padi yang mengeluarkan bebunyian di lesung kayu (ketungan) tersebut dilakukan sejak mayat diturunkan dari bale sala kemudian dimandikan sampai ditempatkan persemayaman sebelun diaben di tumpang salu. Foto Objek
:
Foto 14. Lesung kayu di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan c. Sarkofagus 1. Sarkofagus Ponjok Batu Koordinat
: S: 08° 05ˈ 39,3" dan E: 115° 16ˈ 20,6"
Elevasi
: 54,5 m dari muka laut
Objek
: Sarkofagus
Bahan
: Batu Tufa (Tuff)
47
Masa/periodesasi
: Prasejarah
Abad
: Tradisi Budaya Megalitik
Tanda alami
: Pura Ponjok Batu
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Tertata
Pemanfaan sekarang : Ibadah dan wisata Diskripsi situs
:
Di areal Pura Ponjok Batu, Dusun Alas Sari, Desa pacung, Kecamatan Tejakula pernah ditemukan dua sarkofagus. Sarkofagus pertama ditemukan pada tahun 1995 oleh masyarakat pada saat kegiatan gotong-royong pemugaran pura. Sarkafagus tersebut terbuat dari bahan batu pasir (sand stone) berwarna kekuningan atau yang sering disebut oleh masyarakat sebagai batu padas. Untuk sampai ke lokasi pura yang menyimpan dua temuan sarkofagus tersebut, saat sekarang dapat dilakukan dengan mudah baik menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua karena pura berada di pingir jalan raya yang menghubungkan wilayah Kabupaten Buleleng dengan daerah lain yang berada di sebelah timur Propinsi Bali. Dari Singaraja, Ibukota Kabupaten Buleleng, Pura Ponjok Batu hanya terpisah oleh jarak lebih kurang 25 kilometer, yang dengan kendaraan roda empat dapat ditempuh dalam waktu lebih kurang 30 menit. Oleh masyarakat temuan sarkofagus yang sekarang disimpan di halaman depan pura dan diletakkan dibawah banguna bercungkup tersebut sangat disakralkan dan tampak diberlakukan sangat istimewa dengan diselimuti oleh kain putih, kain berwarna kuning yang biasa dipakai dan ditempatkan pada daerah-daerah yang disakralkan serta dua payung di kedua sisi sarkofagus. Tidak sembarang orang dapat menyentuh sarkofagus. Sarkofagus tersebut hanya dapat diamati secara seksama pada waktu-waktu tertentu saja, tentunya harus melalui satu upacara terlebih dahulu dan harus didampingi oleh pengurus pura. Sarkofagus kedua di areal Pura Ponjok Batu ditemukan saat kegiatan pendataran lokasi parkir pura dengan menggunakan alat berat (bouldozer) pada tahun 2010. Oleh karena sarkofagus tersebut terbuat dari bahan batu 48
pasir (sand stone) yang tidak memiliki kekerasan yang tinggi dan mudah pecah. Tanpa sadar waktu pendataran lahan parkir tersebut akhirnya menghancurkan sarkofagus tersebut. Pecahan (fragmen) dari sarkofagus tersebut
kemudian
dikumpulkan
oleh
pengurus
pura
dan
kemudian
ditempatkan di sisi tangga naik menuju halaman dalam pura. Penghormatan oleh masyarakat terhadap sarkofagus kedua tersebut walaupun tidak diberikan bangunan bercungkup tampak hampir sama dengan penghormatan terhadap sarkofagus pertama. Sarkofagus ini juga dilengkapi dengan payung berwarna kuning karena sarkofagus tersebut juga dipercayai sebagai peninggalan dari leluhur atau nenek moyang dari masa lalu. Sedangkan di halaman Pura Ponjok Batu Desa Pacung, Kecamatan Tejakula yang terletak pada titik koordinat 08° 05’ 39,3” Lintang Selatan dan 115° 16’ 20,5” Bujur Timur pernah ditemukan dua sarkofagus. Sarkofagus pertama ditemukan pada tahun 1995 oleh masyarakat pada saat kegiatan gotong-royong pemugaran pura. Sarkafagus tersebut terbuat dari bahan batu pasir (sand stone) berwarna kekuningan atau yang sering disebut oleh masyarakat sebagai batu padas. Untuk sampai ke lokasi pura yang menyimpan dua temuan sarkofagus tersebut, saat sekarang dapat dilakukan dengan mudah baik menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua karena pura berada di pingir jalan raya yang menghubungkan wilayah Kabupaten Buleleng dengan daerah lain yang berada di sebelah timur Propinsi Bali. Dari Singaraja, Ibukota Kabupaten Buleleng, Pura Ponjok Batu hanya terpisah oleh jarak lebih kurang 25 kilometer, yang dengan kendaraan roda empat dapat ditempuh dalam waktu lebih kurang 30 menit. Oleh masyarakat temuan sarkofagus yang sekarang disimpan di halaman depan pura dan diletakkan dibawah banguna bercungkup tersebut sangat disakralkan dan tampak diberlakukan sangat istimewa dengan diselimuti oleh kain putih, kain berwarna kuning yang biasa dipakai dan ditempatkan pada daerah-daerah yang disakralkan serta dua payung di kedua sisi sarkofagus. Tidak sembarang orang dapat menyentuh sarkofagus. Sarkofagus tersebut hanya dapat diamati secara seksama pada waktu-waktu tertentu saja, tentunya harus melalui satu upacara terlebih dahulu dan harus didampingi oleh pengurus pura. 49
a
b
Foto 15. 2 Sarkofagus di Kompleks Pura Ponjok Batu, Desa Pacung, Kecamatan Tejakula a. Sarkofagus 1 yang sudah pecah, merupakan temuan masyarakat pada saat pendataran lahan parkir Pura Ponjok Batu pada tahun 2010 b. Sarkofagus 2, temuan masyarakat pada saat gotong royong pemugaran Pura Ponjok Batu pada tahun 1990 Sarkofagus kedua di areal Pura Ponjok Batu ditemukan saat kegiatan pendataran lokasi parkir pura dengan menggunakan alat berat (bouldozer) pada tahun 2010. Oleh karena sarkofagus tersebut terbuat dari bahan batu pasir (sand stone) yang tidak memiliki kekerasan yang tinggi dan mudah pecah. Tanpa sadar waktu pendataran lahan parkir tersebut akhirnya menghancurkan sarkofagus tersebut. Pecahan (fragmen) dari sarkofagus tersebut
kemudian
dikumpulkan
oleh
pengurus
pura
dan
kemudian
ditempatkan di sisi tangga naik menuju halaman dalam pura. Penghormatan oleh masyarakat terhadap sarkofagus kedua tersebut walaupun tidak diberikan bangunan bercungkup tampak hampir sama dengan penghormatan terhadap sarkofagus pertama. Sarkofagus ini juga dilengkapi dengan payung berwarna
50
kuning karena sarkofagus tersebut juga dipercayai sebagai peninggalan dari leluhur atau nenek moyang dari masa lalu. 2. Sarkofagus Tigawasa Koordinat
: S 8° 06ˈ" dan E 115° 09ˈ 39,33"
Elevasi
:-
Objek
: Sarkofagus
Bahan
: Bongkahan batu
Masa/periodesasi
: Prasejarah (tradisi megalitik)
Abad
:
Tanda alami
: Kantor Balai Arkeologi Denpasar
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Kurang Tertata
Pemanfaan sekarang : Objek Penelitian Diskripsi situs
:
Situs Tigawasa terletak di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar. Di situs ini terdapat 2 sarkofagus (Sarkofagus A dan B) yang saat ini disimpan di Balai Arkeologi Denpasar dan merupakan temuan yang dilaporkan masyarakat pada tahun 1974 yang kemudian ditinjau oleh Lembaga Purbakala Gianyar. Dahulunya sarkofagus tersebut ditemukan di halaman belakang rumah I Kirana di Banjar Wani, Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar. Pada saat peninjauan dilakukan disebutkan bahwa sarkofagus A dan B yang terletak terpisah dengan jarak lebih kurang 1 m tersebut telah mengalami pembongkaran dan isi bagian dalam sarkofagus telah kosong. Sarkofagus Tigawasa dari segi bentuk sebagaimana dideskripsikan oleh R.P. Soejono dalan Disertasinya yang berjudul Sistem-Sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali (1977) memiliki bentuk agak khusus. Bidang depan tutup dan wadah memiliki satu tonjolan berbentuk gepeng dan bundar. Sementara itu pada bidang belakang masing-masing sarkofagus terdapat sepasang tonjolan dengan bentuk agak lonjong, serta sepasang tonjolan kecil berbentuk segi empat gepeng pada masing-masing sisi samping. Berbeda dengan sarkofagus B, sarkofagus A memiliki hiasan berupa
51
goresan kepala manusia dengan memperlihatkan bentuk mata, hidung, mulut, anting-anting panjang, dan tangan yang menjulur ke arah samping. Untuk penelusuran lebihlanjut tentang Sarkofagus Tigawasa pernah dilakukan penelitian berrupa kegiatan penelusuran kembali dan ekskavasi pada tahun 1975. Pada penelitian tahap pertama di Tigawasa dari tanah buangan bekas penggalian sarkofagus A berhail ditemukan dua gigi geraham, fragmen tajak perunggu, sulur perunggu, fragmen benda-benda perunggu, fragmen benda-benda besi, satu manik-manik kaca berwarna biru, fragmen tulang manusia, dan beberapa fragmen gerabah dengan pola hias tera. Sementara itu dari hasil ekskavasi yang dilakukan pada tahun 1975 di lokasi penemuan Sarkofagus A masih menghasilkan beberapa benda yang dimasa lalunya besar kemungkinan berada di dalam wadah dan berfungsi sebagai bekal kubur dengan temuan berupa gelang perunggu, lempengan pentagonal dari bahan perunggu, sulur perunggu, anting-anting atau cincin , fragmen besi, beberapa butir manik-manik, dan fragmen tulang manusia. Sementara itu dari penggalian Sarkafagus B, memperlihatkan bagian tutup sarkafagus sudah pecah dan sebagian telah hilang. Hal ini menunjukkan bahwa Sarkofagus B sebelum penelitian dilakukan telah mengalami pembongkaran. Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan, di dalam Sarkofagus B masih ditemukan beberapa fragmen tulang dan gigi manusia, fragmen sulur perunggu, dan beberapa fragmen benda-benda perunggu lain (Mahawira, 1975). Saat sekarang untuk mengunjungi lokasi penemuan sarkofagus Tigawasa tersebut dapat dilakukan dengan mudah baik dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Foto objek:
52
Foto 16. Sarkofagus A yang disimpan di halaman belakang Balai Arkeologi Denpasar
3. Sarkofagus Munduk Duur : S: 08° 15ˈ 43,4" dan E: 115° 02ˈ 03,7"
Koordinat Elevasi
: 589,5 m dari muka laut
Objek
: Sarkofagus
Bahan
: Batu Tufa (Tuff)
Masa/periodesasi
: Prasejarah
Abad
: Tradisi Budaya Megalitik
Tanda alami
: Pura Munduk Duur
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Kurang Tertata
Pemanfaan sekarang
: Ibadah
Diskripsi Objek
:
Di areal Pura Munduk Duur, Banjar Bale Agung, Desa Kayu Putih, Kecamatan Banjar pernah ditemukan lima sarkofagus. Sarkofagus-sarkofagus tersebut saat sekarang ditempatkan di bawah bangunan bercungkup di sebelah kiri halaman luar Pura Munduk Duur. Dari angka tahun yang dibuat di teras tangga naik dari jalan kampung dituliskan angka tahun 1997, kuat dugaan bahwa kelima sarkofagus yang semuanya terbuat dari bahan tufa tersebut dikumpulkan di pura pada tahun tersebut. Sebelumnya sarkofagussarkofagus yang diinformasikan merupakan temuan masyarakat Desa
53
Kayuputih tersebut tersimpan di halaman-halaman rumah penduduk. Kelima sarkofagus tersebut ditempatkan di bawah bangunan bercungkup tersebut secara berjajar dari kiri ke kanan di awali dengan fragmen sarkofagus, kemudian dua bagian wadah sarkofagus yang relatif utuh. Di sebelah kanan kemudian sarkofagus yang lengkap terdiri dari bagian wadah sebelah bawah dan bagian penutup. Di bagian paling ujung ditempatkan bagian wadah sarkofagus yang sebagian sudah hilang sisinya. Fragmen sarkofagus yang ditempatkan di sisi paling kiri di bawah bangunan bercungkup tersebut merupakan bagian dari sarkafagus berukuran cukup besar. Dari bagian sarkofagus yang tersisa memiliki bentang lebar 120 cm dan tinggi 45 cm. Pada sisi wadah sarkofagus terdapat hiasan tonjolan berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 20 cm dan tinggi tonjolan 2.5 cm. Di sebelah fragmen sarkofagus terdapat bagian wadah sarkofagus yang relatif utuh, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Sarkofagus ini memiliki ukuran panjang 110 cm, lebar 60 cm, dan tinggi 38 cm. Di masingmasing sisi luar sarkofagus juga terdapat hiasan tonjolan. Bentuk hiasan tonjolan yang cukup tegas adalah hiasan tonjolan berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 17 cm dengan tinggi 2 cm, sementara hiasan tonjolan di sisi yang lain sangat sulit diidentifikasi karena sudah aus dan rusak. Di urutan deretan ke tiga terdapat bagian wadah sarkofagus yang cukup utuh dengan ukuran panjang 120 cm, lebar 70 cm, dan tinggi 36 cm. Di kedua sisi luar sarkofagus juga terdapat hiasan tonjolan berbentuk lingkaran yang sudah aus dengan ukuran diameter 20 cm, dan sisi luar yang lain juga sudah sangat aus dan rusak sehingga sulit diidentifikasi bentuknya. Sarkofagus di deretean ke empat dari kiri adalah sarkofagus yang utuh terdiri dari wadah bagian bawah dan wadah penutup. Sarkofagus tersebut memiliki ukuran panjang wadah 120 cm, lebar 70 cm, dan tinggi wadah 45 cm. Di kedua sisi bagian luar wadah terdapat hiasan tonjolan yang berbeda yaitu berupa hiasan sepasang telapak kaki dengan bentuk sederhana, sementara di sisi yang lain terdapat hiasan tonjolan lingkaran dengan diameter 24 cm. Untuk sisi luar bagian penutup yang dibuat dengan tinggi yang sedikit berbeda yaitu setinggi 47 cm juga terdapat hiasan tonjolan pada 54
sisi luarnya yaitu berupa sepasang hiasan berbentuk persegi yang dibuat vertikal serta di sisi yang lain juga berupa hiasan tonjolan berbentuk lingkaran dengan ukuran dimater 28 cm. Sarkofagus ke lima hanya berupa bagian dari wadah, terbuat dari bahan yang sama dengan sarkofagus yang lain yang juga terbuat dari tuff. Sarkofagus ini memiliki ukuran panjang 145 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 45 cm. Di sisi luar wadah terdapat hiasan tonjolan berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 24 cm dan hiasan sepasang tonjolan berbentuk persegi . Kondisi temuan yang kurang terawat dan cukup sulitnya akses menuju objek perlu menjadi sebagai masukan bagi pemerintah daerah dalam penanganan lebih lanjut dari sarkofagus-sarkofagus yang terdapat di bangunan bercungkup yang ada di kompleks pura Munduk Duur tersebut di masa mendatang. Dalam hal ini apakah nantinya akan berkembang satu museum khusus tempat terhimpunyya sarkofagus-sarkofagus yang seringkali ditemukan oleh masyrakat saat mengolah tanah di kawasan Kabupaten Buleleng ini di masa yang akan datang, dengan mengusung objek utama sarkofagus.
55
Foto 17. Sarkofagus di Pura Munduk Duur, Desa Kayu Putih, Kecamatan Banjar
4. Sarkofagus Museum Buleleng Koordinat
: S: 08° 07 ˈ31,8" dan E: 115°05ˈ 48,1"
Elevasi
: 89,5 m dari muka laut
Objek
: Sarkofagus
Bahan
: Batu Tufa (Tuff)
Masa/periodesasi
: Prasejarah
Abad
: Tradisi Budaya Megalitik
Tanda alami
: Museum Buleleng
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Tertata
Pemanfaan sekarang : Objek Museum Diskripsi Objek :
56
Di halaman depan Museum Buleleng, Banjar Paketan, Kelurahan Paket Agung, Kecamatan Buleleng terdapat bangunan bercungkup sebagai tempat penyimpanan sarkafagus-sarkofagus temuan di kebun masyarakat di tiga desa di Kabupaten Buleleng yaitu 1 berasal dari Desa Goblek, Kecamatan Banjar, 1 dari Desa Alas Angker, Kecamatan Buleleng, dan 2 dari Desa Selat Kecamatan Sukasada. Menurut I Made Parija (36 Thn, Pengelola Koleksi Museum Buleleng) disebutkan bahwa pengumpulan sarkofagus-sarkofagus ini di halaman Museum Buleleng dilakukan atas inisiatif tokoh masyarakat Buleleng dan Pemerintahan Kabupaten Buleleng. Masing-masing sarkofagus tersebut memiliki ukuran sebagai berikut; Sarkofagus pertama yang berasal dari Desa Goblek, Kecamatan Banjar, terbuat dari bahan tuff, hanya terdiri dari bagian wadah dengan ukuran panjang 110 cm, lebar 67 cm, dan tinggi 62 cm. Di sisi luar sarkofagus, yaitu di kedua bagian lebarnya sisi luarnya terdapat tonjolan hiasan berupa sepasang telapak kaki yang dibuat sangat sederhana dan digambarkan secara vertikal dengan tinggi tonjolan hiasan dari dinding sarkofagus 3 cm. Sementara di sisi luar bidang lebar yang lian juga terdapat hiasan tonjolan berbentuk lingkaran setinggi 3 cm dengan diameter 31 cm. Sarkofagus kedua terdiri dari bagian wadah dan penutup yang sudah disekonstruksi kembali secara sederhana dengan mengikat masing-masing bagia yang terpisah dengan kawat sehingga bentuk utuhnya dapat dirangkai kembali. Sarkofagus ini berasal dari Desa Alas Angker, Kecamatan Buleleng. Sisa tanah yang masih menempel di dinding sarkofagus memberikan indikasi bahwa sarkofagus tersebut belum begitu lama disimpan di lokasi tersebut. Satu-satunya sarkofagus yang terlihat utuh ini terbuat dari bahan tuff, memiliki ukuran panjang wadah dan penutup 120 cm, lebar 63 cm, dan tinggi 60 cm. Di kedua sisi luar bagian wadah dan penutup terdapat sepasang tonjolan hiasan berbentuk persegi setinggi 8 cm dari dinding sarkofagus. Sarkofagus ke tiga dan ke empat berasal dari Desa Selat, Kecamatan Sukasada. Sarkofagus pertama memiliki ukuran panjang 150 cm, lebar 93 cm, dan tinggi 51 cm. Dari ukurannya bila dibandingkan dengan sarkofagussarkofagus yang lain, tampak bahwa sarkofagus ini lebih besar dibandingkan dengan yang lain. Corak hiasan tonjolan yang terdapat di sisi luar bidang lebar 57
sarkofagus ini juga berbeda dengan yang lain yaitu hanya berberupa hiasan tonjolan berbentuk lingkaran setinggi 3 cm. Di satu sisi hiasan tonjolan berupa lingkaran tnggal, sementara di sisi luar bidang lebar yang lain hiasan tonjolannya dibuat ganda. Hanya satu diantaranya saat Foto Objek:
Foto 18. Sarkofagus di Museum Buleleng sekarang sudah rusak
Sarkofagus yang ke empat yang juga berasal dari Desa Selat, Kecamatan Sukasada ini juga terbuat dari bahan tuff, berbentuk cukup utuh hanya berupa bagian wadah dengan ukuran panjang 126 cm, lebar 65 cm, dan tinggi 47 cm. Di kedua sisi luar bidang lebar sarkofagus ini terdapat motif hiasan tonjolan yang berbeda
58
Di satu sisi berupa hiasan tonjolan berbentuk lingkaran dengan diameter 21 cm dengan tebal 6 cm dari dinding sarkofagus. Sementara di sisi luar bidang lebar yang lain berbentuk sepasang persegi yang dibuat secar vertikal setebal 4 cm dari dinding sarkofagus.
5. Pura Melaka Koordinat
: S: 08° 07 ˈ24,6" dan E: 115°16ˈ 08,0"
Elevasi
: 413 m dari muka laut
Objek
: Pura Kuno
Bahan
: Andesit (berbentuk lembaran)
Masa/periodesasi
: Prasejarah (Tradisi Budaya Megalitik)
Tanda alami
: Kebun Jati Emas
Pemilik lahan
: Made Suliawan
Pemilik Objek
: Masyarakat Sembiran
Kondisi
: Tidak Terpelihara
Pemanfaan sekarang
: Tempat Upacara agama
Deskripsi Objek Pura Malaka merupakan salah satu pura kuno yang terdapat di wilayah Sembiran. Secara administratif pura ini termasuk dalam wilayah administratif Banjar Malaka, Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula. Untuk mencapai pura ini dapat dilakukan dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Dari Singaraja, Ibu Kabupaten Buleleng, perjalanan dilakukan melalui wilayah sembiran dan kemudian berbelok ke arah tajun. Setelah melalui jalan berliku dan menanjak yang diselingi oleh jurang yang cukup dalam, untuk menuju pura perjalanan kemudian dilanjutkan mengikuti jalan setapak dan tangga yang dibuat oleh masyarakat untuk memudahkan perjalanan menuju pura yang dibangun oleh masyarakat. Pura Malaka secara geografis berada di punggungan bukit yang telah diolah sebagai lahan perkebunan Jati Emas milik Made Suliawan (65 Tahun). Pura tersebut dibuat sangat sederhana tanpa pagar keliling dan tanpa pembagian halaman yang jelas seperti pura-pura yang lain.
59
Bagian utama dari pura ini adalah pelinggih berdenah persegi panjang yang terbuat dari batu andesit lembaran, dan pelinggih pendamping berdenah bujursangkar yang juga terbuat dari susunan andesit lembaran.
Foto 19. Pura Melaka di Desa Pakraman Sembiran, Kecamatan Tejakula
60
Pelinggih utama memiliki ukuran panjang lebih kurang 4,2 m, lebar 3,6 m, dengan tinggi susunan andesit lembaran pembentuk undakan 70 cm. Bagian ini terbagi menjadi dua bagian, satu bagian kemungkinan diperuntukkan bagi pelaku upacara, sementara di bagian yang lain difungsikan sebagai tempat meletakkan satu batu monolit yang juga terbuat dari bahan andesit berpenampang gilik berdiameter 27 cm dan tinggi 33 cm. Oleh Made Suliawan, pelinggih ini disebut sebagai Pelinggih Mertiwi. Pelinggih pendamping yang juga terbuat dari susunan batu andesit lembaran terletak lebih kurang 5 m di sebelah barat pelinggih utama. Pelingging ini berbentuk bujursangkar dengan panjang sisi 1,3 m dengan tingii dari permukaan tanah 10 susunan andesit lembaran atau lebih kurang 42 cm. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat Sembiran di Pura Malaka ini dilakukan setahun sekali yaitu pada Sasih Kelima (Bulan Hindu) atau sekitar bulan Desember Januari (Bulan Masehi). Disebutkan upacara di pura ini diikuti oleh selruh masyarakat Sembiran yang diiringi oleh musik gamelan dan dua tarian, yaitu Tari Baris dan Tari Rejang. Lokasi administrasi
: Desa Sembiran, Banjar Melaka, Kec. Tejakula, Kab. Buleleng
Keterangan tambahan : Bentuk pura ini sangat sederhana yaitu dibuat dari tumpukan batu andesit lempung (batu sirap). Batu-batu tersebut disusun ke atas dan masing-masing sisi tingginya tidak sama yaitu antara 50 – 100 cm. Pura ini denahnya persegi dengan ukuran P: 4,2 meter dan lebar 3,6 meter. Arah hadap pura adalah ke barat. Secara horisontal pura ini terdiri atas 3 tingkatan dan pada tingkat yang paling atas terdapat sebuah batu mirip menhir. Batu ini diberi kain warna kuning sebagai penutup. Pemberian kain semacam ini sudah umum, seperti juga yang terjadi pada pohon-pohon besar yang dikeramatkan. Melihat bentuk pura semacam ini mengingatkan akan tinggalan masa prasejarah yang disebut dengan bangunan teras berundak. Keletakan pura ini berada di teras sebuah bukit. Lingkungan pura terlihat sejuk dengan banyak jenis tanaman yang ada di sekitarnya. Tanaman yang ada di kawasan ini antara lain: kelapa, kamboja, beringin, asam, jati, pisang, santan, intaran, dan tenguli.
61
Pujawali atau odalan diadakan setiap sasih kelima. Pada saat upacara tersebut dilaksanakan kegiatan tradisi yaitu tari rejang, tari baris, dan lainnya. Masyarakat yang melakukan upacara bukan hanya berasal dari Desa Adat Sembiran tetapi terkadang ada juga yang datang dari Tajun dan Pacung. Nara sumber/informan
: Nama
: Made Suliawan
Umur
: 65 tahun
Alamat
: Desa Tajun,. Kec. Kubu Tambahan, Kab. Buleleng
Jabatan
: Pemilik kebun jati
A.2. Situs Masa Hindu – Budha Situs masa Klasik masih tampak di beberapa wilayah di Kabupaten Buleleng ini, antara lain: 1. Pura Dalem Beji Koordinat
: 08° 05ˈ 01,47" S dan 115° 08ˈ 02,6" E
Elevasi
: 33 m dari muka laut
Objek
: Pura
Bahan
: Bata
Masa/periodesasi
: Sejarah
Abad
:
Tanda alami
: dipinggir jalan raya menuju pelabuhan Sangsit yang dikelilingi oleh sawah
Pemilik lahan
: Masyarakat
Pemilik Objek
: Masyarakat
Kondisi
: Tertata
Pemanfaan sekarang : Ibadah dan wisata Diskripsi situs
:
Secara administrasi terletak di Desa Sangsit 8 km, Kecamatan Sawan, sebelah Timur Singaraja, Kabupaten Buleleng. Untuk menuju ke Pura Sangsit, meliwati jalan masuk sekitar 500 meter ke dalam yang menuju pantai Pelabuhan Sangsit. Lokasi ini mudah dicapai dengan kendaraan roda dua, dan roda empat. Pura yang dimiliki oleh karma/anggota subak desa ini berada di tengah-tengah wilayah pertanian Desa Sangsit. Daya tarik dari pura ini adalah 62
hampir semua bagian dari pura ini dihiasi oleh ukiran style Buleleng berbentuk tumbuh-tumbuhan merambat dan motif bunga ciri khas Bali Utara tidak ada bagian yang kosong tanpa ukiran dan yang menonjol dari lingkungan pura ini adalah relief pada tembok luar pura yang menggambarkan ceritera "Bima Swarga", yang pada pokoknya menggambarkan adanya hukuman imbalan yang diterima setiap orang setelah yang bersangkutan meninggal sesuai dengan perbuatannya. Misalnya hukuman yang harus diterima oleh seorang yang melakukan perbuatan zinah di saat hidupnya. Relief ini juga mengandung makna filosofis tentang hak dan kewajiban umat Hindu. Misalnya digambarkan seorang wanita yang harus menyusui seekor ulat raksasa karena tidak mampu memberikan keturunan. Relief ini karena umurnya dibeberapa bagian telah mulai kabur namun di beberapa bagian masih nampak jelas. Adapun patung patung yang berwajah seram sebagaimana umumnya terdapat pada setiap lingkungan Pura Dalem yang ada kaitannya dengan kematian, memberikan suasana seram dan menakutkan, menambah juga daya tarik lingkungan Pura ini bagi wisatawan Di bagian tengah atau Jaba tengah terdapat pintu gerbang dalam bentuk paduraksa yang merupakan pintu masuk menuju areal tersuci Jeroan dari Pura Beji Sangsit. Pada pintu gerbang paduraksa tersebut terdapat tiga pintu, dengan pintu utama ada di bagian tengah dan memiliki beberapa anak tangga , diapit oleh pintu yang berada lebih rendah di kanan-kiri pintu di tengah tersebut. Pintu tengah yang merupakan pintu utama, hanya dibuka pada saat upacara-upacara tertentu berlangsung, dan pada saat upacara tersebut, hanya orang-orang tertentu yang bisa melewatinya, antara lain: Pendeta/ Pedanda, Keluarga dari Kasta Brahmana atau Kasta Kesatrya. Sedangkan kasta lainnya serta masyarakat umum keluar-masuk melalui pintu yang berada di kanan-kiri dari pintu tengah tersebut. Gerbang Paduraksa di bagian Jaba Tengah Pura Beji – Sangsit yang merupakan gerbang masuk menuju areal tersuci Jeroan dari Pura Beji Sangsit, dengan tiga pintu masuk (pintuutama ada di bagian tengah yang diapit dengan pintu di kanan-kirinya). Di bagian paling belakang (paling dalam) adalah areal yang disebut bagian jeroan. Di lokasi inilah yang merupakan wilayah paling suci dari Pura Beji - Sangsit. 63