BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Laporan Keuangan Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat di gunakan sabgai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut. Ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian laporan keuangan menurut Zaki (2004:17) menyatakan bahwa laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan, merupakan suatu ringkasan dari transaksitransaksi keuangan yang terjadi selama tahun buku yang bersangkutan. Sedangkan Kasmir (2011:7) memyatakan bahwa dalam pengertian yang sederhana, laporan keuangan adalah laporan yang menunjukkan kondisi keuangan perusahaan pada saat ini atau dalam suatu periode tertentu. Maksud laporan keuangan yang menunjukkan kondisi perusahaan saat ini adalah merupakan kondisi terkini. Kondisi perusahaan terkini adalah keadaan keuangan perusahaan pada tanggal tertentu (untuk neraca) dan periode tertentu (untuk laporan laba rugi). Biasanya laporan keuangan dibuat per periode, misalnya tiga bulan, atau enam bulan untuk kepentingan internal perusahaan. Sementara itu, untuk laporan lebih luas dilakukan satu tahun sekali. Di samping itu, dengan adanya laporan keuangan, dapat diketahui posisi perusahaan terkini setelah menganalisis laporan keuangan tersebut dianalisis. Berbicara mengenai laporan keuangan , tidak terlepas dari kegiatan analisis laporan keuangan ,menurut Harahap (2004:189), definisi analisis laporan keuangan berarti menguraikan pos-pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungannya yang bersifat signifikan atau yang mempunyai makna antara satu dengan yang lain baik antara data kuantitatif mau pun data non kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui
kondisi keuangan lebih dalam yang sangat penting dalam proses menghasilkan keputusan yang tepat. Dari teori yang dikemukakan di atas bahwa analisis laporan keuangan adalah merupakan proses yang penuh pertimbangan dalam rangka membantu mengevaluasi posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan pada masa sekarang dan masa lalu, dengan tujuan untuk menentukan estimasi dan prediksi yang paling mungkin mengenal kondisi dan kinerja perusahaan pada masa mendatang. 3.2.
Pengertian Kebangkrutan Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan
Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “failite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le falli. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failire. Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Menurut Prihadi (2011:332), kebangkrutan (bankcruptcy) merupakan kondisi dimana perusahaan tidak mampu lagi untuk melunasi kewajibannya. Kondisi ini biasanya tidak muncul begitu saja di perusahaan, ada indikasi awal dari perusahaan tersebut yang biasanya dapat dikenali lebih dini kalau laporan keuangan dianalisis secara lebih cermat dengan suatu cara tertentu. Rasio keuangan dapat digunakan sebagai indikasi adanya kebangkrutan di perusahaan. Kebangkrutan sebagai suatu kegagalan yang terjadi pada sebuah perusahaan didefinisikan dalam beberapa pengertian menurut Martin dalam Fahkrurozie (2007:15) yaitu: 1. Kegagalan Ekonomi (Economic Distressed)
Kegagalan dalam ekonomi artinya bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak mampu menutupi biayanya sendiri, ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jauh dibawah arus kas yang diharapkan. 2. Kegagalan keuangan (Financial Distressed) Pengertian financial distressed mempunyai makna kesulitan dana baik dalam arti dana dalam pengertian kas atau dalam pengertian modal kerja. Sebagai asset liability management sangat berperan dalam pengaturan untuk menjaga agar tidak terkena financial distressed. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, bahwa kebangkrutan merupakan kondisi perusahaan yang tidak sehat dalam melanjutkan usahanya dikarenakan ketidakmampuan dalam bersaing sehingga mengakibatkan penurunan profitabilitas. 3.3. Faktor Penyebab Kebangkrutan Menurut Darsono dan Ashari (2005:104) menyatakan bahwa secara garis besar penyebab kebangkrutan bisa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari bagian internal manajemen perusahaan, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar yang berhubungan langsung dengan operasi perusahaan misalnya faktor perekonomian secara makro. Faktor internal yang bisa menyebabkan kebangkrutan perusahaan meliputi: 1. Manajemen yang tidak efisien dan tidak dapt memaksimalkan aset perusahaan yang ada untuk manghasilkan laba akan mengakibatkan naiknya beban operasional terus- menerus yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar kewajibannya. 2. Ketidakseimbangan modal yang dimiliki dengan jumlah piutang-utang yang dimiliki. Utang yang terlalu besar akan mengakibatkan biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa menyebabkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga
akan merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga tidak menghasilkan pendapatan. 3. Adanya kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Kecurangan ini akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan yang pada akhirnya membangkrutkan perusahaan. Kecurangan ini bisa berbentuk manajemen yang korup ataupun memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau investor. Sedangkan faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan berasal dari faktor yang berhubungan langsung dengan perusahaan meliputi pelanggan, supplier, debitor, kreditor, pesaing ataupun dari pemerintah. Faktor eksternal yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan meliputi kondisi perekonomian secara makro ataupun faktor persaingan global. Faktor-faktor eksternal yang bisa mengakibatkan potensi kebangkrutan menurut Darsono dan Ashari (2005:104) antara lain: 1. Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan. 2. Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk produksi. Untuk mengantisipasi hal tersebut perusahaan harus selalu menjalin hubungan baik dengan supplier dan tidak menggantungkan kebutuhan bahan baku pada satu pemasok sehingga risiko kekurangan bahan baku dapat diatasi. 3. Faktor debitor juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitor tidak melakukan kecurangan dengan tidak membayar utang. Terlalu banyak piutang yang diberikan debitor dengan jangka waktu pengembalian yang lama akan mengakibatkan banyak aktiva menganggur yang tidak memberikan penghasilan sehingga mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan. 4. Hubungan yang tidak harmonis dengan kreditor juga bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Apalagi dalam undang-undang no.4 tahun 1998, kreditor
bisa memailitkan perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus bisa mengelola utangnya dengan baik dan juga membina hubungan baik dengan kreditor. 5. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Semakin ketatnya persaingan menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki produk yang dihasilkan, memberikan nilai tambah yang lebih baik bagi pelanggan. 6. Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi oleh perusahaan. Dengan semakin terpadunya perekonomian dengan Negara-negara lain, perkembangan perekonomian global juga harus diantisipasi oleh perusahaan. Dari teori yang dikemukakan diatas
maka faktor penyebab kebangkrutan adalah faktor
yang
mempengaruhi terjadinya suatu kebangkrutan yang dialami oleh perusahaan yang kondisi keuangannya tidak sehat, baik itu faktor ekonomi, internal dan eksternal. Sedangkan menurut Lennox ( 1999 ) dan Kaiser ( 2001 ) perusahaan dapat mengalami kebangkrutan karena beberapa faktor antara lain: ketidakmampuan perusahaan menghasilkan laba, semakin besar hutang semakin besar kemungkinan mengalami kesulitan likuiditas, umur perusahaan yang masih baru masih rawan dengan kesulitan keuangan, mempunyai kreditor yang cukup banyak juga mempengaruhi tingkat kesulitan keuangan. 3.4
Analisis Z-score Z-Score adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali rasio-rasio keuangan
yang menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Formula Z-Score untuk memprediksi kebangkrutan dari Altman merupakan sebuah multivariate formula yang digunakan untuk mengukur kesehatan finansial dari sebuah perusahaan. Altman menemukan lima jenis rasio keuangan yang dapat dikombinasikan untuk melihat perbedaan antara perusahaan yang bangkrut dan yang tidak bangkrut. Fungsi diskriminan Z yang ditemukan oleh Altman adalah sebagai berikut:
Z = 0,012X1 + 0,014X2 + 0,033X3 + 0,006X4 + 0,999X5 Pada tahun 1983 dan 1984 model prediksi kebangkrutan dikembangkan lagi oleh Altman untuk beberapa negara, dari penelitian tersebut ditemukan nilai Z, yang dicari dengan persamaan diskriminan sebagai berikut : ( Iflaha : 2008).
Zi = 1,2X1 + 1,4 X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 1,0X5 Dalam laporannya Altman mengelompokkan perusahaan menjadi dua kategori, yaitu pailit dan tidak palit. Masalah lain yang sering dihadapai dalam melakukan penelitian di Indonesia dengan pendekatan Altman Z-Score adalah sedikitnya perusahaan Indonesia yang go public. Jika perusahaan tidak go public, maka nilai pasar menggunakan nilai buku saham biasa dan preferen sebagai salah satu komponen variabel bebasnya, dan kemudian mengembangkan model diskriminan kebangkrutan, dan memperoleh model sebagai berikut ini. Zi = 0,717 X1+0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,42 X4+0,998 X5 Z-Score Altman untuk perusahaan yang telah go public ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Z-Score = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5 Dimana: X1 = Working Capital to Total Assets (Modal Kerja/Total Aset) X2 = Retained Earning to Total Assets (Laba Ditahan/Total Aset) X3 = Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets (Pendapatan Sebelum Dikurangi Biaya Bunga/Total Aset) X4 =Market Value of Equity to Book Value of Total Liabilities
(Harga Pasar Saham Dibursa/Nilai Total Utang) X5 = Sales to Total Assets (Penjualan/Total Aset) Adapun kriteria penilaiannya sebagai berikut: a) Z-Score > 2,99 dikategorikan sebagai perusahaan yang sangat sehat sehingga tidak mengalami kesulitan keuangan. b) 1,81 < Z-score < 2,99,
berada di daerah abu-abu sehingga dikategorikan sebagai
perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan, namun kemungkinan terselamatkan dan kemungkinan bangkrut sama besarnya tergantung dari keputusan kebijaksanaan manajemen perusahaan sebagai pengambil keputusan. c) Z-Score < 1,81 dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan yang sangat besar dan beresiko tinggi sehingga kemungkinan bangkrutnya sangat besar. Kelima rasio tersebut di atas yang akan digunakan untuk menganalisis laporan keuangan sebuah perusahaan guna mendeteksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan tersebut. Dalam manajemen keuangan, rasio-rasio yang digunakan dalam metode Altman ini dapat dikategorikan dalam tiga kelompok besar yaitu: 1. Rasio Likuiditas yaitu X1 2. Rasio Profitabilitas yang terdiri dari X2 dan X3 3. Rasio Aktivitas yang terdiri dari X4 dan X5 Uraian masing-masing rasio - rasio tersebut adalah sebagai berikut: 1. Modal kerja terhadap total aset (working capital to total assets) digunakan untuk mengukur likuiditas aktiva perusahaan relatif terhadap total kapitalisasinya atau untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya masalah pada tingkat likuiditas
perusahaan adalah indikator-indikator internal seperti ketidakcukupan kas, utang dagang membengkak, dan beberapa indikator lainnya.
2. Laba ditahan terhadap total harta (retained earning to total assets) digunakan untuk mengukur profitabilitas kumulatif. Rasio ini mengukur akumulasi laba selama perusahaan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan. Hal tersebut dapat menyebabkan perusahaan yang masih relative muda pada umumnya akan menunjukkan hasil rasio yang rendah, kecuali yang labanya sangat besar pada masa awal berdirinya.
3. Pendapatan sebelum pajak dan bunga terhadap total harta (earnings before interest and taxes to total assets) digunakan untuk mengukur produktivitas yang sebenarnya dari aktiva perusahaan. Rasio tersebut mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. Rasio ini merupakan kontributor terbesar dari model tersebut. Beberapa indikator yang dapat kita gunakan dalam mendeteksi adanya masalah pada kemampuan profitabilitas perusahaan diantaranya adalah piutang dagang meningkat, rugi terus-menerus dalam beberapa kwartal, persediaan meningkat, penjualan menurun, dan terlambatnya hasil penagihan piutang.
4. Nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku dari utang (market value equity to book value of total debt) digunakan untuk mengukur seberapa banyak aktiva perusahaan dapat turun nilainya sebelum jumlah utang lebih besar daripada aktivanya dan perusahaan menjadi
pailit. Modal yang dimaksud adalah gabungan nilai pasar dari modal biasa dan saham preferen, sedangkan utang mencakup utang lancar dan utang jangka panjang.
5. Penjualan terhadap total harta (sales to total assets) digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan. Rasio tersebut mengukur kemampuan manajemen dalam menggunakan aktiva untuk menghasilkan penjualan.
Analisis diskriminan dilakukan untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan dengan menganalisis laporan keuangan perusahaan dua sampai lima tahun sebelum perusahaan tersebut diprediksi bangkrut. Kebangkrutan adalah suatu kondisi disaat perusahaan mengalami ketidakcukupan dana untuk menjalankan usahanya. Kebangkrutan biasanya dihubungkan dengan kesulitan keuangan. Analisis diskriminan bermanfaat bagi perusahaan untuk memperoleh peringatan awal kebangkrutan dan kelanjutan usahanya. Semakin awal suatu perusahaan memperoleh peringatan kebangkrutan, semakin baik bagi pihak manajemen karena pihak manajemen bisa melakukan perbaikan-perbaikan dan dapat memberikan gambaran dan harapan yang mantap terhadap nilai masa depan perusahaan tersebut. 3.5
Model Springate Model ini diperkenalkan oleh Gordon L.V. Springate pada tahun 1978. Model ini
merupakan pengembangan dari model Altman dan model ini dikembangkan dengan Multiple Discriminant Analysis (MDA). Pada awalnya, pada model ini
menggunakan 19 rasio
keuangan yang populer tetapi setelah melakukan pengujian akhirnya Springate memilih 4 rasio yang digunakan untuk menentukan apakah perusahaan termasuk perusahaan yang sehat atau bangkrut. Persamaan model yang dikemukakan oleh Springate ini adalah :
S = 1.03A + 3.07B + 0.66C + 0.4D Keterangan : A = Working Capital / Total Assets ( Modal Kerja terhadap Total Aset) B = Net Profit before Interest and Taxes / Total Assets (Laba Sebelum Bunga dan Pajak terhadap Total Aset) C = Net Profit before Taxes / Current Liabilities (Laba Sebelum Pajak terhadap Kewajiban Lancar) D = Sales / Total Assets (Penjualan terhadap Total Aset) Kriteria untuk persamaan model Springate ini adalah jika nilai S < 0,862 maka perusahaan termasuk perusahaan bangkrut dan apabila nilai S > 0,862 maka
perusahaan dikategorikan termasuk
perusahaan sehat.
3.6 Penelitian terdahulu Penelitian yang dilakukan Adnan
dan Arisudhana (2012) meneliti potensi
kebangkrutan perusahaan sektor properti terdapat perbedaan hasil pengujian kebangkrutan perusahaan antara model Altman dan Model Springate di perusahaan industri property tahun 2005-2009. Hasil prediksi kebangkrutan menggunakan model Altman dan Springate menunjukkan perbedaan disimpulkan bahwa industri properti terdapat 6 perusahaan yang bangkrut dan tidak bangkrut, menggunakan model Altman dan tahun 2006 pada posisi grey area dan model Springate ditemukan tahun 2005 terdapat satu perusahaan, terdapat satu perusahaan tahun 2007, terdapat dua perusahaan tahun 2008 dan satu perusahaan tahun 2009 berada posisi tidak bangkrut. Penelitian Mohammadzadeh dan Noferesti pada tahun 2010 menggunakan sample perusahaan yang terdaftar pada bursa saham Teheran dengan menggunakan periode 2001-
2005, pada penelitian tersebut model Altman lebih akurat memprediksi potensi kebangkrutan di banding Springate Model. Sedangkan penelitian Michael Haseley pada tahun 2012 menggunakan sampel 30 perusahaan yang terdaftar di bursa saham Thailand periode 2006 sampai 2012, pada penelitian tersebut menjelaskan bahwa metode Z-score Altman dan Springate memberikan akurasi yang sama mengenai prediksi kebangkrutan pada sampel. Begley (1996) meneliti Altman Z-Score dan menyimpulkan bahwa model Altman melakukan prediksi lebih baik di tahun 1980 dibandingkan pada tahun 1990. Gerantoni (2009) meneliti apakah model Z-score dapat memprediksi kebangkrutan untuk jangka waktu sampai dengan tiga tahun sebelumnya, dan menunjukkan bahwa model Altman berkinerja baik dalam memprediksi kesulitan keuangan diperusahaan. Menurut Grice dan Robert (2001), akurasi secara keseluruhan Altman Z-model yang secara signifikan lebih tinggi di perusahaan manufaktur. Botheras (1979) menguji Springate Model 50 perusahaan dengan ukuran aset rata-rata 2,5 juta dollar amerika serikat dan menemukan 88,0% tingkat akurasi meprediksi kebangkrutan. Sands (1980) menguji Springate Model pada 24 perusahaan dengan ukuran aset rata-rata 63,4 juta dollar amerika serikat dan menemukan tingkat akurasi 83% memprediksi kebangkrutan. Chandana ( 2014) melakukan penelitian pada 82 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Colombo, Srilanka dan mendapatkan hasil bahwa Altman Z-Score lebih akurat dalam memprediksi kebangkrutan. 3.7 Kerangka Pemikiran Laporan keuangan yang di keluarkan oleh perusahaan sangat berguna bagi investor dan manajamen untuk mengambil langkah selanjutnya, dengan menganalisa laporan keuangan menggunakan rasio-rasio keuangan dan menggunakan pendekatan Z-score Altman dan
Springate dapat menggambarkan kondisi perusahaan sebenarnya, apakah dalam kondisi sehat, grey area atau berpotensi bangkrut, dapat di jelaskan pada kerangka pemikiran di bawah ini.
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran