BAB II URAIAN TEORITIS
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nanawi, 2001:39). Berikut beberapa teori yang relevan dengan penelitian ini: II.1 Media Massa Sebagai Arena Sosial Teori ini pertama kali dikemukakan oleh william gamson dan andre modigliani, menyatakan bahwa proses sosial dalam rangka mengkonstruksi suatu realitas berlangsung dalam suatu “arena sosial”. Media massa dianggap sebagai wadah pertarungan dari berbagai kepentingan yang terdapat dalam masyarakat. kepentingan-kepentingan ini berusaha menampilkan defenisi situasi atau realitas versi mereka yang paling sahih (Hidayat 1999:48). Dan di dalam penelitiannya tersebut, gamson menyimpulan bahwa ada tiga frame yang mampu mempengaruhi gerakan sosial yakni: pertama, aggregate frame, yaitu merupakan proses pendefenisian isu mengenai masalah sosial. Bagaimana individu yang mendengar fraame peristiwa tersebut sadar bahwa isu yang sedang berkembang tersebut adalah yang berpengaruh bagi setiap individu. Kedua, Consensus Frame, yaitu proses pendefenisian yang berkaitan dengan masalah sosial yang hanya bisa diselesaikan secara kolektif. Dan ketiga, Collective Action Frame, yaitu
Universitas Sumatera Utara
proses pendefenisian yang berkaitan dengan alasan mengapa dibutuhkan tindakan kolektif serta tindakan kolektif apa yang seharusnya dilakukan. Dan selanjutnya hasil studi tersebut menjadi teori yang memandang bahwa media massa merupakan suatu arena dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam masyarakat (Eriyanto, 2002 :221-222). Dalam memproduksi sebuah isu ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan sehingga menjadi suatu proses. Hal tersebut adalah: a. Cultural Resonances/ Resonansi Budaya Disini media mengandung nilai-nilai budaya di dalamnya, dimana setiap isu yang terdapat didalamnya terkait dengan nilai budaya yang melekat dalam suatu masyarakat tersebut, seperti halnyapada kaitannya dengan isu tenaga nuklir tersebut bahwa di Amerika sendiri menganggap bawa teknologi mereka yang harus ditempatkan pada skala yang tepat dan adanya ekosistem yang harus tetap terpelihara denganbaik bukan malah menyalahgunakan teknologi yang ada untuk menggali alam atau merusak alam karena dapat mengganggu dan mengancam ketentraman dan kualitas hidup (gamson dan modigliani, 1989 :6). Pada kasus ini media yang didalamnya terdapat berbagai kepentingan tidak terlepas dari dalam kultur media sendiri. Nilai-nilai budaya sudah mendarah daging dalam tubuh media ini sangat mempengaruhi berbagai berita yang akan diturunkan kepada khalayak. Nilai kebudayaan ini bersifat konstan. Hal ini membantu kita untuk menerangkan perubahan dalam surut dan mengalirnya paket (packages) dalam perbincangan media. paket kebudayaan yang diperdebatkan ini
Universitas Sumatera Utara
melengkapi kerja sponsor dan memperkuat pengaru aktifitas sponsor dan posisi media. Karena setiap individu masing-masing memiliki latar belakang sejarah, interaksi sosial dan kecenderungan psikologis yang berbeda dalam melakukan proses konstrusi makna. Umumnya, pendekatan yang dilakukan terhadap suatu isu adalah membuat suatu bagan pendahuluan, sekalipun hanya bersifat sementara (Gamson dan modigliani, 1987:2)
b. Sponsor Activities/ Kegiatan Sponsor Sponsor adalah mereka yang terlibat dalam suatu isu yang sedang dibicarakan dalam wadah media massa tersebut. di sini berkaitan dengan isu yang sedang terjadi bahwa sponsor itu sendiri berkaitan dengan berbagai
kepentingan
seoerti
dari
pihak
pemerintah,
pengusaha,
masyarakat, tokoh masyarakat, LSM, pemilik moidal atau dengan kata lain bisa merupakan individu atau organisasi. Di sini sponsor adalah merekamereka yang dimintai keterangan oleh media berkaitan dengan isu-isu tertentu. Mengenai sumber berita, shoemaker dan reese (Hidayat, 1999:409) menguraikan beberapa dimensi karakter tyaitu dimensi effectiveness, dimana sumber memiliki efek yang besar terhadap isi media dan
karena
itu
dalam
melaporkan
reportasenya,
reporter
harus
mencantumkan sumber dari fakta yang diperolehnya. Serta dimensi multi acces yaitu untuk mengetahui objektivitas berita, dimana media melalui repoter/jurnalisnya berhubungan dengan mereka yang terlibat dalam
Universitas Sumatera Utara
peristiwa dengan pihak-pihak yang dianggap memiliki pengetahuan atas peristiwa yang diliput. Namun, dalam konteks media massa yang berlaku name make news atau pewawancarfa terhadap tokoh penting maka seringkali bahwa proses produksi dan reproduksi struktur sosial lebih banyak didominasi oleh elit sumber.
c. Media Practices/ Kegiatan media Berkaitan dengan sumber, maka jurnalis atau wartawan seringkali secara tidak sadar telah memberi ruang pada elit sumber tetapi hal tersebutlah yang nantinya akan membuat suatu keragu-raguan apakah berita tersebut akan benar atau salah. Beberapa pengamat telah menuliskan bahwa betapa cerdik/halusnya dan secara tidak sadarnya proses ini berlangsung (gamson-modigliani, 1989:7). Disini awak media sangat berperan penting dalam kaitannya dengan penyuguhan berita. Mereka lazim menguraikan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri, menjabarkan skemata interpretasinya sendiri, serta mendistribusikan retorika-retorika untuk meneguhkan keberpihakan atau kecenderungan tertentu (Sudibyo, 2001:187).
Universitas Sumatera Utara
II.2 Berita Berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa atau entah karena pentingnya, atau karena ia mencakup segi-segi human interest, seperti human, emosi dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep berita yang dapat dikembangkan yaitu berita itu sebagai laporan tercepat, rekaman fakta-fakta obyektif, interpretasi, sensasi, minat insani, ramalan dan sebagai gambar (Effendy, 1993 :131-134). Secara sosiologis, berita adalah semua hal ang terjadi di dunia. Dalam gambaran yang sederhana, berita adalah apa yang dituliskan surat kabar, apa yang disiarkan radio dan apa yang ditayangkan televisi. Berita menampilkan fakta, tetapi tidak setiap setiap orang bisa dijadikan berita. Berita merupakan sejumlah peristiwa yang terjadi di dunia, tetapi hanya sebagian kecil saja yang dilaporkan (Sumadiria, 2005:63). Berita dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori: berita berat (hard newa) dan berita ringan (soft news). Selain itu berita juga dapat dibedakan menurut lokasi peristiwanya, di tempat terbuka atau di tempat tertutup. Sedangkan berdasarkan sifatnya, berita bisa dipilah menjadi berita diduga dan berita tidak diduga. Selebihnya, berita juga bisa dilihat menurut materi isinya yang berneka ragam (Sumadiria, 2005:65-66). Pada umumnya, berita berasal dari peristiwa tetapi tidak semua peristiwa dapat menjadi berita. Dalam proses pembentukan suatu berita banyak faktor yang berpotensi untuk mempengaruhinya, sehingga niscaya
Universitas Sumatera Utara
akan terjadi pertarungan wacana dalam memaknai realitas dalam presentasi media (Sudibyo, 2001 :7). Pamela D.Shoemaker dan Stephen D.Reese meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan yaitu: 5. Faktor Individual Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola media. level individual melihat bagaimana pengaruh aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Aspek personal tersebut seperti jenis kelamin, umur, atau agama. 6. Level Rutinitas Media Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang dibuat berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standart bagi pengelola media yang berada di dalamnya. 7. Level Organisasi Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya sebagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing
komponen
dalam
organisasi
media
bisa
jadi
Universitas Sumatera Utara
mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Misalnya selain sebagai redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum dan seterusnya. 8. Level Ekstramedia Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. meskipun berada di luar organisasi media, namun hal-hal di luar organisasi
media
ini
sedikit
banyak
dalam
banyak
kasus
mempengaruhi pemberitaan media. Faktor- faktor tersebut adalah sumber berita, sumber penghasilan media (iklan, pelanggan/pembeli media), pihak eksternal (pemerintah dan lingkungan bisnis), dan ideologi (kerangka berpikir/referensi).
II.3 Surat Kabar Perkembangan media komunikasi massa seperti pers, radio, televisi, dan lain-lain begitu cepat. Hal ini berlangsung seiring dengan meningkatnya peran media massa sebagai institusi penting di dalam kehidupan masyarakat. Bila dilihat dari perspektif komunikasi, media massa merupakan channel of mass communication, yakni merupakan saluran (alat, medium) yang digunakan dalam proses komunikasi massa yaitu komunikasi yang diarahkan dan ditujukan kepada masyarakat banyak. Dalam lingkup studi komunikasi, surat kabar sebagai media komunikasi massa tidak dapat diragukan lagi kemampuannya dalam
Universitas Sumatera Utara
menyebarkan informasi sebagai media pendidikan dan pembentuk opini publik. Setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala pernak-pernik kejadian. Dari bekal informasi, setiap orang dapat turut urun-rembug berpartisipasi di dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mendapatkan kepastian informasi dan kemampuan urun rembug itu, setiap orang membutuhkan wartawan surat kabar yang bertugas sebagai wakil masyarakat untuk mencari dan memberi tahu tentang segala peristiwa yang terjadi yang dibutuhkan masyarakat. Pada sisi inilah, mengapa wartawan memiliki hak untuk “tahu” pada segala informasi publik, dan diberi keleluasaan untuk mencari ke mana pun informasi itu berada. Menurut Santana (2005: 87), surat kabar harian sendiri terbit untuk mewadahi keperluan masyarakat tersebut. Informasi menjadi instrumen penting dari masyarakat industri. Oleh sebab itulah, surat kabar harian bisa disebut sebagai produk dari industri masyarakat. Di samping itu dalam bentuknya yang independen, surat kabar biasanya integral dengan perkembangan paham demokrasi di sebuah masyarakat. Hal tersebut bisa terlihat dari kondisi kebebasan pers yang terdapat di sebuah masyarakat, dan tingkat keberaksaraan masyarakat Perkembangan surat kabar, menurut Encyclopedia Brittanica (Santana, 2005: 87-88) bisa dilihat dari tiga fase: Fase pertama, fase para pelopor yang mengawali penerbitan surat kabar yang muncul secara sporadis, dan secara gradual kemudian menjadi
Universitas Sumatera Utara
penerbitan yang teratur waktu terbit dan materi pemberitaan serta khalayak pembacanya. Fase kedua, sistem otokrasi yang masih menguasai masyarakat membuat surat kabar kerap ditekan kebebasan menyampaikan laporan pemberitaannya.
Penyensoran
terhadap
berbagai
subyek
materi
informasinya kerap diterima surat kabar. Setiap pendirian surat kabar mesti memiliki izin dari berbagai pihak yang berkuasa. Semua itu akhirnya mengurangi independensinya sebagai instrumen media informasi. Fase ketiga, ialah masa penyensoran telah tiada namun berganti dengan berbagai bentuk pengendalian. Kebebasan pers memang telah didapat. Berbagai pemberitaan sudah leluasa disampaikan. Namun sistem kapitalisasi industri masyarakat kerap menjadi pengontrol. Ini dilakukan antara lain melalui pengenaan pajak, penyuapan, dan sanksi hukum yang dilakukan kepada berbagai media dan pelaku-pelakunya. Surat kabar memiliki kelebihan khusus bila dibandingkan dengan media cetak lainnya yaitu pesan-pesan yang disampaikan melalui surat kabar bersifat permanen, mudah disimpan serta diambil kembali dan pengaruhnya dapat dikontrol pembaca. Isi pesannya dapat dibaca dimana dan kapan saja, yang berarti tidak terikat pada waktu. Di samping itu pada media massa tercetak bahasa yang digunakan adalah bahasa tulisan, tidak seperti media massa radio dan televisi, bvahasa yang digunakan adalah bahasa tuturan yang sangat dipengaruhi pula oleh cara penyajiannya, maka pada media massa tercetakpenggunaan kalimat panjang atau majemuk
Universitas Sumatera Utara
tidak menjadi permasalahan dan penulisan bilangan sampai sekecilkecilnya tidak akan menimbulkan permasalahan.
II.4 Citra Citra merupakan kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan, kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau organisasi (Soemirat, 2004 :112). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian Citra adalah: 1. Kata benda : gambar, rupa dan gambaran 2. Gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai probadi, perusahaan, organisasi atau produk. 3. Kesan atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi. (Soemirat, 2004 :114). Menurut Kotler citra adalah seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki oleh sesorang terhadap suatu objek. Sikap dan tindakan orang terhadap objek sangat ditentukan oleh citra objek tersebut. (http://maskurisutomo.com/, diakses 24 Februari 2010).
Citra adalah peta Anda tentang dunia. Tanpa cutra Anda selalu berada dalam suasana yang tidak pasti. Citra adlag gambaran tentang realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Citra adalah dunia menurut persepsi kita. (Rakhmat, 2005: 223)
Universitas Sumatera Utara
Menurut McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Dengan media massa kita memperoleh informasi benda, orang atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi – realitas tangan-kedua (second hand reality) televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lain. Surat kabar – melalui proses yang disebut “gatekeeping” menyeleksi berita. Payahnya, karena kita tidak dapat- dan tidak sempat- mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media, kita cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa.
Jadi, akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.
II.5 Teks Berita : Pandangan Konstruksionis Pendekatan
konstruktivisme
diperkenalkan
oleh
sosiolog
interpretatif Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secama ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, dia dibentuk dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh semua orang. Artinya, setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Penerapan gagasan Berger dalam ranah konteks berita adalah bahwa sebuah teks dalam berita tidak dapat kita samakan sebagai Copy (cerminan)
Universitas Sumatera Utara
dari realitas (mirror of reality), ia harus dipandang sebagai hasil konstruksi atas realitas. Realitas lapangan sebenarnya berbeda dengan realitas media. karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Sekelompok wartawan yang meliput suatu peristiwa, dapat memiliki konsepsi dan pandangan yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2001 :17). Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang rill. Disini realitas bukan diperoleh begitu saja sebagai berita, ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta. Berger dan Luckman menyatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Berger menyebut proses dialektis tersebut sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa (Eriyanto, 2004: 14-15). Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suaru dunia-dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil
Universitas Sumatera Utara
itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan- itu misalnya manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya. Atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bagasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagia setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Ketiga,
internalisasi.
Proses
internalisasi
lebih
emrupakan
penyerapan kembali dunia objektid ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisamempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu
Universitas Sumatera Utara
realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksi masing-masing. Selain plural, konstruksi sosial itu juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2004:15). Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini seringkali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering
dilawankan
dengan
parafigma
positivis/paradigma
transmisi
(Eriyanto, 2004:37). Ada dua karakteristik penting dari pendekatan kontruksionis. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politk pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah suatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bahaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai mirror
of
reality
yang
menampilkan
fakta
apa
adanya.
Dalam
Universitas Sumatera Utara
menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Sesorang komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks pengalaman, pengetahuannya sendiri (Eriyanto, 2004 :40-41).
II.6 Analisis Framing Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Analisis Framing adalah salah satu metode analisis media, seperti halnya analisis isi dan analisis semiotik. Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya (Sobur, 2004 :162). Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson tahun 1955. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandanga politik, kebijakan dan wacana, yang menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974) yang mengandaikan frame sebagai kepingan-
Universitas Sumatera Utara
kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas. (Sudibyo, 2001 :219). Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan terhadap aspek-aspek tertentu, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Sudibyo, 2004 :186). Ada hal penting dalam framing, ketika sesuatu diletakkan dalam frame, tidak semua berita ditampilkan dalam arti ada bagian yang dibuang dan ada bagian yang dilihat. Untuk menjelaskan framing kita bisa menghadirkan analogi ketika kita memfoto suatu pemandangan, maka maksud foto hanyalah bagian yang berada dalam frame, sementara bagian yang lain terbuang. Contohnya adalah pasphoto Rachmat. Ketika Rachmat difoto 3x4 untuk KTP, maka di frame adalah bagian dada ke atas. Bagian bawah tidak termasuk dalam Frame (Kriyantono, 2008 :251-252). Tentunya ada alasan mengapa framing dilakukan pada bagian tententu, mengapa bagian tertentu yang difoto sementara bagaian yang lain tidak. Oleh karena itu analisis framing hadir untuk menanyakan mengapa peristiwa X diberitakan dan ssedangkan peristiwa yang lain tidak? Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat berbeda meskipun peristiwanya sama? Mengapa realita didefenisikan dengan cara tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu ditonjolkan sementara yang lain tidak?
Universitas Sumatera Utara
Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber berita lain yang diwawancarai? Jadi analisis framing ini merupakan analisis untuk mengkaji pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, lain-lain) yang dilakukan media. pembingkaian tersebut merupakan proses konstruksi, yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna tertentu. Framing digunakan media untuk menonjolkan atau memberi penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media. akibatnya, hanya bagian tertentu saja yang lebih bermakna. Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin memilih peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang diberitakan dan bagian mana dari realitas yang tidak diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaan dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi dengan simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat, atau foto itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapat alokaaso dan perhatian yang besar dibandingkan aspek yang lain. Semua aspek itu, dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak (Eriyanto, 2004:69-70). Gagasan Gamson mengenai frmae media ditulis bersama Andre Modigliani. Sebuah frame mempunyai struktur internal. Pada titik ini ada sebuah pusat organisasi atau ide, yang membuat peristiwa menjadi relevan dan menekankan sebuah isu. Sebuah frame pada umumnya menunjukkan dan menggambarkan range posisi, bukan hanya satu posisi. Dalam formulasi yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang
Universitas Sumatera Utara
tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Gamson melihat wacana media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif tersebut pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak kemana berita tersebut dibawa, Gamson Modigliani menyebut cara pandang tersebut sebagai kemasan (package) (Eriyanto, 2005 :223224). Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat frame surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki kebijakan politis tersendiri.
Universitas Sumatera Utara