BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Sebagai Proses Simbolik Komunikasi berasal dari bahasa latin “communicates” atau communication atau communicate yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik bersama”, dengan demikian ,kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai suatu kebersamaan. Pace dan Fules mengatakan bahwa terdapat dua bentuk tindakan yang dilakukan orang yang terlibat dalam komunikasi, yaitu penciptaan pesan dan penafsiran pesan. Pesan disini tidak harus berupa kata-kata atau verbal, namun bisa juga berupa pertunjukan (display) yang termasuk pakaian, perhiasan dan hiasan wajah (make-up) atau yang lazim disebut pesan nonverbal. 1 Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti yang dikatakan Susanne K.Langer dalam ilmu komunikasi (Mulyana:2007) adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang dan itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk merujuk sesuatu lainnya (simbolisasi), berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Simbol meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal dan objek yang maknanya 1
Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi. Suatu Pengantar. Rosda . Bandung. 2007. Hal 65
15
16
disepakati bersama. Makna sebenarnya ada pada diri kita, bukan terletak pada simbol itu sendiri. Pada umumnya simbol memang memiliki makna atau lebih tepatnya adalah simbol tersebut yang mendorong manusia untuk member makna (yang telah disetujui bersama). Hampir setiap kebudayaan memiliki seperangkat simbol masing-masing. Simbol-simbol kebudayaan ini biasanya hanya dimengerti oleh mereka yang menjalani
serta
sepakat
atas
simbol
tersebut.
Simbol-simbol
tersebut
mempresentasikan sebuah makna tertentu. Sebagai makhluk yang menggunakan simbol, manusia sering lebih mementingkan simbol dari pada hakikat yang di simbolkannya. Tak jarang orang juga menggunakan suatu simbol untuk memperoleh suatu penghargaan tertentu. Hampir semua tindakan komunikasi adalah proses simbolik. Dengan demikian dari proses simbolik yang melekat pada komunikasi, dapat di simpulkan bahwa dalam komunikasi yang berlangsung, manusia tak lepas dari setiap pesan-pesan yang dapat berbentuk apa saja termasuk dalam bentuk tanda untuk menciptakan makna tertentu sesuai dengan tujuan dan motif seseorang penyampaian pesan tersebut. 2.2 Periklanan Istilah advertising (periklanan) berasal dari kata latin abad pertengahan advertere, “mengarahkan perhatian kepada”. Istilah ini menggambarkan tipe atau bentuk pengumuman publik apapun yang dimaksudkan untuk mempromosikan
17
penjualan komoditas atau jasa atau untuk menyebarkan sebuah pesan sosial atau politik.2 Menurut KBBI iklan adalah3 “Berita atau pesan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan. Dari definisi diatas, terdapat beberapa komponen utama dalam sebuah iklan yakni mendorong dan membujuk. Dengan kata lain, sebuah iklan harus memiliki sifat persuasif”. Iklan adalah promosi barang, jasa, perusahaan dan ide yang harus dibayar oleh sebuah sponsor. Pemasaran melihat iklan sebagai bagian dari strategi promosi secara keseluruhan. Komponen lainnya dari promosi termasuk publisitas, relasi publik, penjualan dan promosi penjualan.4 Dalam komunikasi periklanan, ia tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti gambar, warna dan bunyi. Iklan disampaikan melalui dua saluran media massa, yaitu media cetak (surat kabar, majalah, brosur, dan papan iklan atau billboard) dan media elektronik (radio, televisi, film). Pengirim pesan adalah, misalnya penjualan produk sedangkan penerimanya adalah khalayak ramai yang menjadi sasaran.5 Iklan merupakan suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang,
2
Marcel Danesi, Pesan Tanda dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, (Yogyakarta : Jalasutra, 2010), Cet.Ke-1. Hal 362 3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 2005). Cet.Ke-3, hal.421 4 http://id.wikipedia.org/wiki/iklan. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2013 pukul 19.35 WIB 5 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung : Rosdakarya, 2003). Hal 116
18
memberikan layanan serta gagasan atau ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif (Wright dalam liliweri, 1992: 20).6 Kesimpulan
yang
dapat
ditarik
yaitu
iklan
adalah
cara
mengkomunikasikan produk. Iklan sendiri memiliki beberapa pendekatan yang sering digunakan yaitu pendekatan periklanan dengan menyentuh sisi emosional khalayak ataupun keduanya. Media periklanan merupakan dominan simbolik yang dapat digunakan dalam analisis ideologi, James Lull (1996:6)7 menjelaskan bahwa sekedar barang, jasa atau ide yang dijual oleh pengiklan, namun lebih kepada penjualan sistem pembentukan ide atau gagasan yang berlapis dan terintegrasi yang mencakup interpretasi dan proyeksi dari citra produk yang saling bergantung, mengidealkan konsumsi untuk mendapatkan manfaat dari produk yang diiklankan sehingga terjadi suatu konstruksi sosial dan masyarakat terhegemoni tayangan iklan di televisi dan ditanamkan untuk menjadi suatu kenyataan yang telah dikonstruksi. Media dalam bentuk iklan telah memberikan citra dalam pemaknaan simbol yang diiklankan bahwa suatu hal yang harus ditiru, memperlihatkan “kebenaran” dalam iklan yang ditayangkan mengubah perspektif, preferensi bahkan keyakinan masyarakat. Iklan yang paling dapat meraup massa yang banyak dan tidak memerlukan pengorbanan untuk menjangkaunya yaitu iklan di televisi. Televisi di Indonesia khususnya di kota besar sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat. 6 7
Liliweri, D. A. (1992). Dasar-dasar Komunikasi Periklanan. Bandung : PT. Citra Aditya Fowles, J. (1996). Advertising and Popular Culture. London : Sage Publication
19
Bahkan kebanyakan orang menganggap televisi bukan lagi merupakan barang high involvement, tetapi sudah menjadi barang kebutuhan pokok, yaitu setiap hari pasti meluangkan waktu untuk menonton televisi. 2.3 Televisi Televisi adalah sebuah alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata tele dan vision, yang mempunyai arti masing-masing jauh (tele) dan tampak (vision). Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan televisi disejajarkan dengan penemmuan roda, karena penemuan ini mampu mengubah peradaban dunia. Di Indonesia televisi secara tidak formal disebut TV, tivi, teve atau tipi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia televisi adalah8 : ‘Pesawat system penyiaran gambar objek yang bergerak dengan bunyi (suara) melalui kabel atau melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya menjadi cahaya yang dapat dilihat dan bunyinya dapat didengar, digunakan untuk penyiaran, petunjuk, berita dan sebagainya.” Dari kutipan diatas jelas bahwa televisi adalah suatu media yang dapat dilihat dan didengar (audio-visual). Televisi inilah yang menjadikan sebuah iklan menjadi efektif dalam penyampaian pesannya. “Two basic segments to developing a television commercial : (1) The video, the visual part actually seen on television screen. (2) The audio, hide uo of spoken words, music, other sound. Sense there are to part, usually begin thingking about creating a commercial with pictures and word simultancously.”
8
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), Cet. Ke-3, hal 523
20
Yaitu (1) visual, yang memperlihatkan gambar pada layar televisi (2) Audio, yang membuat suara pada kata, musik, suara lain atau efek suara. Karena terdiri dari dua bagian pemasangan iklan harus memiliki tentang suatu kreatif iklan dengan gambar atau kata-kata yang stimulant atau secara serentak. Karena sifatnya yang audio-visual itu membuat televisi merupakan suatu media yang unik sebagai penyampaian pesan iklan.
“Television unique and powerful advertising medium because itu contains the dements of sight, sound and motion, which can be combined to created a variety of advertising appeal an executions.” Televisi adalah media periklanan yang ideal, kemampuannya untuk menggabungkan gambar-gambar visual, suara, gerakan dan warna memberikan kesempatan pengiklan membangun daya cipta (kreatif) yang paling hebat dan daya tarik imajinasi aktif dibandingkan media lainnya. Dengan adanya kombinasi warna, suara dan gambar pada televisi, membuat para pemasang iklan dan konsumen saling menguntungkan, pemasang iklan dapat menayangkan produknya dengan nyata begitu pula dengan konsumen dapat melihat produk yang sedang dipasarkan secara menarik. Menurut Skomis (1985), dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku dan sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Bisa bersifat informatif, hiburan, maupun pendidikan, bahkan gabungan dari ketiga unsur tadi.9
9
Iswandi Syahputra, Jurnalistik Infotainment : Kancah baru jurnalistik dalam industri televise. Hal 70
21
Dari berbagai media kontemporer saat ini, televisi merupakan media yang paling diminati oleh publik dan paling memberikan pengaruh besar kepada khalayak (Goonasekera, 2002:2). Di Indonesia, televisi adalah muda lahir pada masa transisi (reformasi) bergulir. Industri televisi muncul tanpa desain tertentu yang dapat membingkai kemana arah dan format yang dikehendaki. Secara tibatiba, industri televisi muncul dan langsung memiliki posisi yang kuat, sehingga memiliki beargaining power yang cukup kuat dalam kebijakan atau regulasi. Harold D Laswell (1946), televisi sebagai bagian dari komunikasi massa mengungkapkan bahwa media massa memiliki fungsi media massa, Fungsi pengawasan sosial (social surveillance) yakni upaya penyebaran informasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan control sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Fungsi korelasi sosial (social correlation) merujuk pada upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan antar kelompok sosial atau antar pandangan dengan tujuan consensus. Fungsi sosialisasi merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lainnya atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Komunikasi massa media televisi yaitu proses komunikasi antara komunikator dengan komunikan (massa) melalui sebuah sarana televisi. Komunikasi massa media televisi bersifat periodik. Dalam komunikasi massa media tersebut, lembaga penyelenggara komunikasi bukan secara perorangan melainkan melibatkan banyak orang dengan organisasi yang kompleks serta pembiayaan yang besar, karena media televisi bersifat transitory (hanya
22
meneruskan) maka pesan-pesan yang disampaikan melalui komunikasi massa media tersebut, hanya didengar tetapi juga dapat dilihat dalam gambar yang bergerak (audio visual).10 Perkembangan komunikasi massa media televisi, cukup membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan sistem komunikasi massa internasional, khususnya terhadap sistem komunikasi media cetak dan radio. Tujuan akhir dari penyampaian pesan media televisi, bisa menghibur, mendidik, control sosial, menghubungkan atau sebagai bahan informasi. Karena sifat komunikasi massa media televisi itu transitory maka, isi pesan yang akan disampaikan harus singkat dan jelas, cara penyampaian perkata harus benar, intonasi suara dan artikulasi harus tepat dan baik. Semua itu tentu saja menekankan unsure isi pesan yang komunikatif, agar pemirsa dapat mengerti secara tepat tanpa harus menyimpang dari pemberitaan yang sebenarnya (interpretasi berbeda). Ketika komponen komunikasi dikaji secara mendalam, komunikasi akan terkait dengan keilmuan sosiologi, antropologi dan budaya. Demikian juga ketika komponen media menjadi sebuah studi, akan terkait dengan jurnalistik, manajemen, ekonomi, politik dan teknologi. Sementara komponen feedback menjadi sebuah studi, akan terkait dengan psikologi dan sosiologi.11
10 11
Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa : Sebuah Analisis Media Televisi, hal 16 Iswandi Syahputra, Komunikasi Profetik : Konsep dan Pendekatan, hal 39
23
Menurut sosiolog Marshall McLuhan, kehadiran televisi membuat dunia menjadi desa global, yaitu suatu masyarakat dunia yang batas-batasnya diterobos oleh media televisi. Kesimpulan akhir dari keberadaan komunikasi massa media televisi adalah bahwa kehadiran televisi menjadi bagian yang sangat penting sebagai sarana untuk berinteraksi satu dengan lainnya dalam berbagai hal yang menyangkut perbedaan dan persamaan persepsi tentang suatu isu yang sedang terjadi dibelahan dunia. Yang perlu diwaspadai dari komunikasi massa televisi adalah terjadinya ketimpangan arus informasi dari negara maju yang memonopoli untuk kepentingannya, tanpa melihat dunia ketiga sebagai subjek yang juga membutuhkan sarana informasi untuk mengembangkan keadaan sosial politik dan ekonominya. Tetapi walaupun demikian, media televisi juga mempunyai banyak kelebihan disamping beberapa kelemahan. Kekuatan media televisi adalah menguasai jarak dan ruang karena teknologi. 2.4 Semiotika Semiotik yang berasal dari bahasa Yunani-semeion, yang berarti ilmu mengenai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda, kata adalah tanda. Demikian juga halnya dengan gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya.
24
Struktur karya sastra, struktur film, bangunan, atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Maka, dengan tanda pula kita dapat berkomunikasi.12 Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95).13 Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1)14. Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyekobyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew (1984:6)15 mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggung jawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.
12
Sudjiman, Panuti, Zoes Aart, Serba-serbi Semiotika, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. vii 13 Sobur, Alex, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) 14 Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993) 15 Teew, A., Khasanah Sastra Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984)
25
Di dalam bidang semiotika, dikenal dua orang bapak Semiotika modern, yakni Charles Sanders Pierce dan Ferdinand de Saussure. Keduanya memiliki sudut pandang mengenai semiotika yang berbeda, terutama dalam penerapan konsep-konsep. Ini disebabkan latar belakang yang mendasar, Pierce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah cikal bakal linguistik umum.16 Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah di warnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de de Saussure (1857-1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839-1914). 2.4.1 Teori Semiotika Saussure Ferdinand
de
Saussure
(1857-19113),
setelah
sukses
dibidang
akademiknya di Leipzig (1876-1880), ia mengajarkan ilmu linguistik umum di Universitas Geneva (1891-1912). Selain dikenal sebagai pendiri linguistik modern, prinsip-prinsip dasar yang dimilikinya juga sangat mempengaruhi perkembangan strukturalisme. Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga munculnnya simbol-simbol atau tanda-tanda sehingga membentuk sistem bahasa. Baginya bahasa adalah suatu sistem tanda, ia berupaya merancang sebuah teori dengan konsep-konsep terapan. Saussure memang dikenal dan banyak dibicarakan karena teorinya. Pandangannya tentang tanda sangat berbeda dengan pandangan para ahli linguistik di zamannya. Meski tak pernah mencetak hasil pikirannya dalam sebuah 16
Ibid hlm 1
26
buku, berdasarkan dari hasil catatan setiap perkuliahan, para mahasiswanya mengembangkannya menjadi sebuah outline.17 Disebutkan oleh Saussure dalam karyanya “A Course in General Linguistics” (1916), bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang berkembang secara konstan. Makna hanya dapat terjadi jika telah disepakati bersama, contoh yang diberikan Saussure seperti sinyal-sinyal dalam dunia militer, kaidah-kaidah sopan santun dan alphabet visual. Tanda itu sendiri, dibedakan oleh Saussure menjadi dua yakni penanda dan petanda. Relasi antara petanda dan penanda tidak mungkin dipisahkan karena sifat samar atau arbitrary. Saussure juga mengatakan bahwa, manusia dapat merancang suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda kehidupan dalam kehidupan sosial, yang dapat membentuk bagian dari psikologis umum, yang disebutnya sebagai Semiologi. Hal tersebut menjadikan inti dari kontribusi Saussure di bidang ilmu Semiotika. Dalam buku itu de Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis “the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign”. Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah tanda (sign). Jadi de Saussure membagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer.
17
Wibowo, Indiwan ST. Semiotika Komunikasi-Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi, Jakarta: Mitra Wacana Media. 2011. Hlm 15
27
Saussure mendefinisikan tanda sebagai “two-sided psychological entity”, yang terdiri dari konsep dan diadik-gambaran suara, sebagai berikut :
Konsep
Gambar Pohon
Gambaran Suara
Arbor
Gambar 2.1 Sebuah contoh ilustrasi yang mewakili konsep digambarkan sebagai contoh pohon dan gambaran suara di dalam eclips yang merupakan singkatan tanda secara keseluruhan. Gambar suara-bunyi, yang ditangkap dan diproses oleh otak, kemudian menghasilkan konsep. Tanda panah menunjukkan relasi psikologis antara konsep dan gambaran suara. Saussure kemudian diperkenalkan istilah baru, yaitu signifie-petanda (untuk konsep) dan significant-penanda (untuk gambaran suara). Tanda menunjuk keseluruhan yang memiliki petanda dan penanda sebagai dua bagian sebagai berikut : Sign
Signifie (untuk konsep) Significant (untuk gambaran suara)
Tabel 2.1 Secara tidak sengaja, Saussure terkadang menggunakan istilah tanda ketika mengacu pada penanda. Ketidakkonsistenan yang sama terjadi dalam tulisan-tulisan Pierce, dimana representamen dan tanda tidak selalu dibedakan.
28
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (de Saussure, 1988:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk semiologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda-tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lainlainya. 2.4.2 Teori Semiotika Roland Barhes Roland Barthes (1915-1980) selain dikenal sebagai tokoh terkemuka dari strukturalisme, Ia juga salah satu pengembang dari konsep semiotik Saussure. Namun, bertolak belakang dari prinsip-prinsip yang digunakan Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk mengkaji gejala budaya, seperti sistem mode busana, menu makanan, bidang arsitektur, lukisan, film, iklan dan karya sastra. Ia berpendapat, bahwa semua yang ada dalam gejala budaya tersebut merupakan suatu bahasa yang memiliki sistem baik relasi maupum oposisi. Sumbangan ilmu Barthes kepada dunia intelektual adalah konsep konotasi, yang merupakan kunci utama dalam mengkaji gejala budaya dan konsep mitos yang mana hasil penerapan konsep konotasi dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan dan kehidupan sehari-hari.
29
Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu ,pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan), pesan yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklan), pesan ikonik yang tak terkodekan (denotasi dalam foto iklan). Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata-kata dan bahasa. Tanda-tanda digolongkan dalam berbagai cara,18 yaitu tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui pengalamannya tanda yang ditimbulkan oleh binatang, tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal. Namun tidak keseluruhan tanda-tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini dikarenakan tanda-tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya yang lain. Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia. Barthes mengembangkan model dikotomis penanda-penanda menjadi lebih dinamis. Barthes mengembangkan dua konsep yang pertama konsep hubungan sintagmik-paradidmatik. Barthes mengembangkannya dengan berbicara mengenai sintagme dan sistem dasar untuk menganalisis gejala kebudayaan
18
http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika
30
sebagai tanda. Sintagme adalah suatu susunan yang didasari oleh hubungan sintagmatik. Roland Barthes hadir sebagai tokoh Post-Strukturalis dalam ilmu semiotik dimana ia menjelaskan konsep kedua dengan sistem penanda (signifier) dan sistem petanda (signified) yang menjelaskan konsep kedua dengan sistem penanda (signifier) dan sistem petanda (signified) yang menjelaskan makna denotasi dan konotasi (Pliang, 2003 : 184) 19 Dalam kehidupan sosial budaya, pemakai tanda tidak hanya memaknainya sebagai denotasi (makna yang dikenal secara umum) yang oleh Barthes disebut sebagai sistem pertama. Tetapi juga terjadi pengembangan makna yang disebut konotasi (sistem kedua) konotasi. 1. Konotasi Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuan atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, konotasi digunakan untuk menjelaskan bagaimana gejala budaya memperoleh makna khusus dari anggota masyarakat. Bila konotasi menjadi tetap dalam masyarakat maka ia menjadi mitos, sedangkan bila mitos sudah menjadi mantap, maka ia menjadi ideologi (Barthes dalam Hoed, 2008 : 17) 20
19
Piliang, Yasraf Amir. 2006.Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna . Yogyakarta . Jalasutra 20 Hoed, Benny H. 2008 . Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok. Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya (FIB) Universitas Indonesia
31
Barthes menggunakan versi yang disederhanakan dari model tanda glossematic. Ia mendefinisikan suatu sistem tanda yang terdiri dari expression (E), suatu penanda yang berkaitan dengan relation (R) dan content (C). Seperti sistem tanda primer dapat menjadi elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih komprehensif. Jika tanda utama dirumuskan (E1 R1 C1), maka dapat menjadi penanda dari sistem tanda sekunder E2 (= E1 R1 C1). Dalam hal ini, tanda utama adalah salah satu tanda denotatif sedangkan tanda sekunder adalah salah satu bentuk dari konotatif semiotika, sebagai berikut.21 Tanda Sekunder : Konotasi
Tanda Primer : Denotasi
(R2) Expression 2 Expression 1
Content 2
Content1
(R1) Tabel 2.2 Dalam visual semiotik yang diungkapkan Barthes digunakan teknik analisa “layering” yaitu yang pertama adalah layer denotasi (tahap primer, analisa permukaan) dan yang kedua adalah layer konotasi (tahapan sekunder, analisa makna). Analisa semiotika Barthes, dijabarkan dengan sebagai berikut yaitu the first layer (denotative meanings), what who is being depicted here (apa dan siapa yang digambarkan disini), seperti kategorisasi, kelompok (grup) dengan individu,
21
North, Winfried. Hanbook of Semiotics. Indianapolis : Indiana University Press. 1990. Hlm 310
32
jarak dan lingkungan text. The second layer (connotative meanings), what ideas and values are expressed through what is represented, and through the way in which it is represented (bagaimana ide dan nilai diekspresikan melalui apa yang digambarkan dan melalui jalan yang digambarkan), berupa bahasan konsep yang lebih luas, seperti mitos, ideologi dan budaya. Dari peta tanda tersebut. terlihat bahwa tanda denotatif menggambarkan relasi antara penanda dan petanda. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Jadi, tanda konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. 2. Denotasi Merupakan makna yang objektif dan tetap, sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut disesuaikan dengan konteks yang ada. Contohnya, jika dalam sistem tanda sekunder E2 adalah hitam, maka C2 berarti berkabung. Namun, dalam tanda primer E1 adalah hitam, maka C1 adalah warna. Dari contoh konsep yang diberikan Barthes, makna konotasi dapat bervariatif, karena tergantung dari orang yang menginterpretasikannya. Barthes membuat sebuah model sistematis dalam menganalisa makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju pada gagasan tentang signinfikansi dua tahap (two order signification).
33
Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya, (Fiske, 2007: 122)
22
.
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Disebut juga dengan denotasi, makna paling nyata dari tanda. Konotasi menunjukan signifikasi tahap kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya serta nilai-nilai dari kebudayaannya (Fiske, 2007 : 118) 23 3. Mitos Selanjutnya pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai satu dominasi. Mitos juga berarti cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami aspek dari realitas atau alam. Mitos primitif mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berfikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami
22 23
Fiske, John. 2007. Cultural and Communication Studies Cetakan ke-IV. Yogyakarta : Jalasutra. Ibid. Hal 118
34
sesuatu. Mitos juga merupakan mata rantai dari konsep-konsep terkait (Barthes dalam Fiske, 2007 : 121) 24 Barthes menempatkan ideologi dan mitos, karena baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya konotasi dibicarakan sebagai suatu ekspresi budaya (Barthes dalam Sobur, 2003 : 71) 25. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang masuk pada teks dalam bentuk penanda penting seperti tokoh, latar, sudut pandang dan lain-lain. Mitos adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech). Mitos adalah sebuah pembicaraan. Tentu saja, mitos bukanlah pembicaraan atau wicara yang sembarangan, bahasa membutuhkan kondisi-kondisi khusus untuk menjadi mitos, kita akan segera melihatnya. Tetapi yang harus ditetapkan secara tegas pada awalnya adalah bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi, bahwa mitos adalah suatu pesan. Hal ini memungkinkan kita untuk memahami bahwa mitos tidak mungkin merupakan suatu objek, konsep atau gagasan, mitos merupakan mode pertandaan (a mode of signification), suatu bentuk (a form). Kemudian, kita mesti menerapkan kepada bentuk ini batas-batas historis, kondisikondisi penggunaan, dan memperkenalkan kembali masyarakat ke dalamnya, namun pertama-tama kita harus mendeskripsikannya sebagai suatu bentuk.
24 25
Ibid . Hal 121 Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
35
Dalam bukunya yang berjudul Mythologies, Barthes mengupas 28 teks dari berbagai bidang dalam konteks kehidupan sehari-hati. Mitos yang diungkapkan Barthes memiliki makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam arti umum. Bagi Barthes, mitos adalah bahasa dan konsep mitosnya berupa pemaparan fakta. Oleh karena itu, mitos pun dapat diartikan bervariasi dan muncul dari lingkup kebudayaan massa. Pada dasarnya, mitos merupakan pengembangan dari konsep konotasi, yang kemudian menetap pada suatu komunitas yang berakhir menjadi mitos. Pemaknaan mitos itu sendiri, terbentuk oleh kekuatan mayoritas dalam masyarakat. Barthes membuktikan mitos dengan pembongkaran atau disebutnya sebagai demontage semiologigue, deformatif, intensional dan motivasi. 2.4.3 Mitos dalam Sistem Tanda Definisi umum tentang mitos dikemukakan oleh Wheelright (dalam Noth, 1990 : 374)26 yaitu bahwa mitos adalah suatu cerita yang digunakan untuk mengungkapkan secara simbolis aspek-aspek yang tersembunyi dari keberadaan manusia dan di luar manusia (“…as a story or a complex of story elements taken expressing and therefore as implicity symbolizing. Certain deep-lying aspects of human and transhumant exixtence”). Definisi umum ini memandang mitos sebagai suatu bentuk narasi metaforis (Noth 1990 : 374). Noth menyebutkan bahwa interpretasi pada mitos narasi ini dilakukan dalam dua tataran, yang pertama pada tindak-tanduk agen-agen mistis dalam cerita, sedangkan pada
26
Noth, W. (1990). Handbook of Semiotics. Bloomington/Indianapolis : Indiana University Press
36
tataran dalam dilakukan interpretasi pada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang berhubungan dengan keberadaan manusia dan kosmos. Pada abad pertengahan dan era positivism, mitos sebagai narasi ini dianggap sebagai sesuatu yang bukan nyata. Mitos adalah sinonim dari kebohongan, sebagai anonym dari ilmu pengetahuan dan dunia nyata (dalam Noth 1990:374). Namun kemudian, pada bidang ilmu teologi modern, psikonologi, filsafat bentuk-bentuk simbolis, kritik sastra, antropologi, strukturalis, mitos justru dipahami sebagai suatu dimensi yang tetap ada pada pikiran manusia. Teori mitos yang dikemukakan Barthes berbeda dengan teori mitos yang secara umum dipahami yaitu mitos sebagai suatu bentuk narasi. Teori mitos Barthes adalah suatu pendekatan semiotik terhadap kenyataan sehari-hari. Secara singkat mitos Barthes dapat dijelaskan bahwa signifikasi akan fenomena kehidupan sehari-hari dapat berlangsung secara denotasi (sistem semiotika pertama) dan konotasi (sistem semiotik kedua) dan bahwa mitos adalah sistem signifikasi yang didasarkan pada konotasi. Mitos mengandung makna-makna konotasi yang tercangkokkan secara parasitis pada makna denotasi. 2.4.3.1 Membaca Mitos Barthes (1972:128)27 mengemukakan tiga jenis pendekatan dalam membaca mitos atau mengurai mitos. Pendekatan pertama difokuskan kepada penanda hampa, sedangkan pendekatan kedua pada penanda penuh dan
27
Barthes, R. (1957) (1972) Mythologies. New York : Hill and Wang. (terjemahan oleh Annette Lavers dengan penerbit Jonathan Cape kemudian Hill and Wang)
37
pendekatan ketiga pada penanda mitos. Berikut ini akan dijelaskan masing-masing ketiga pendekatan tersebut. Pendekatan pertama difokuskan pada penanda yang tidak ada, dengan kata lain hampa (empty signifier). Pendekatan ini seperti dilakukan oleh produsen mitos. Produsen mitos pada awalnya memiliki konsep dan dia menghasilkan mitos dengan bermula dari konsep atau petanda, lalu dibuatlah bentuk atau petanda untuk mengungkapkan konsep tersebut. Pendekatan kedua difokuskan pada penanda penuh (full signifier). Dalam pendekatan ini mitos dibaca atau diurai mulai dari penandanya, kemudian dengan tegas mengurai makna (meaning) dari bentuknya (form), atau bentuk dari maknanya. Pendekatan kedua ini dilakukan oleh ahli mitologi. Pendekatan ketiga difokuskan pada penanda mitos yang secara keseluruhan dan tak terpisahkan tersusun oleh makna dan bentuk. Dalam pendekatan ini mitos dalam sifatnya yang dinamis dibaca dan diurai. Pendekatan seperti ini dilakukan oleh pembaca mitos. Menurut Barthes (1972:128), dua pendekatan pertama sifatnya statis dan justru menghancurkan mitos. Menghancurkan dalam arti bahwa pendekatan produsen bertujuan hanya menyingkap maksud atau niat dibalik produksi mitos, sedangkan pendekatan ahli mitologi hanya bertujuan mengurai kedok penutup mitos. Lebih lanjut dikatakan Barthes bahwa pendekatan produsen bersifat sinis, sedangkan pendekatan ahli mitologi bersifat hambar atau tidak menarik (demystifying). Barthes kemudian mengatakan bahwa pada pendekatan ketigalah
38
seharusnya seorang menempatkan dirinya dalam membaca atau mengurai mitos. Pendekatan ketiga bersifat dinamis, karena mitos dibaca atau diurai menurut sifatnya yang berkembang. Dalam pendekatan ini, pembaca mitos menghayati mitos sebagai cerita yang pernah nyata namun ada dalam bayangan saja. 2.4.4 Semiotika Teks Iklan Iklan (advertisement), sebagai sebuah objek semiotika, mempunyai perbedaan mendasar dengan desain yang bersifat tiga dimensional, khususnya desain produk. Iklan, seperti media komunikasi massa pada umumnya, mempunyai fungsi “komunikasi langsung” (direct communication function), sementara sebuah desain produk mempunyai fungsi komunikasi yang tidak langsung (indirect communication function). Oleh sebab itu di iklan aspek-aspek komunikasi seperti “pesan” (message) merupakan unsur utama iklan, yang di dalam sebuah desain produk hanya merupakan salah satu aspek dari berbagai aspek utama lainnya (fungsi manusia, produksi). Metode analisis semiotika iklan secara khusus dikembangkan oleh Gillian Dyer, Torben Vestergaard dan Judith Williamson.28 Dari pandangan ahli-ahli semiotika periklanan tersebut diatas dapat dilihat bahwa ada dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara semiotik dari objek-objek lainnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu berisikan unsur-unsur tanda berupa objek (object) yang diiklankan, konteks (context) berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan
28
Yasraf Amir Piliang. Semiotika Teks : Sebuah Pendekatan Analisis Teks
39
makna pada objek, serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna (anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan. Obyek
Konteks
Teks
Entitas
Visual / tulisan
Visual/tulisan
Tulisan
Fungsi
Elemen tanda yang merepresentasikan obyek atau produk yang diiklankan
Elemen
Signifier/signified
Elemen tanda yang memberikan atau diberikan konteks dan makna pada obyek yang di iklankan Signifier/signified
Tanda
Semiotic Sign
Semiotic sign
Tanda linguistik yang berfungsi memperjelas dan makna Signified Linguistic sign
Tabel 2.3 Dalam skema tersebut diatas, dapat dilihat bahwa iklan adalah sebuah ajang “permainan tanda”, yang selalu “bermain” pada tiga elemen tanda tersebut, yang satu sama lainnya saling mendukung. Dalam penelitian mengenai iklan, analisis mengenai konteks yang ditawarkan iklan pada sebuah produk yang diiklankan merupakan aspek yang sangat penting, sebab lewat konteks tersebutlah dapat dilihat berbagai persoalan gender, ideologi, fetisisme, kekerasan simbol, lingkungan, konsumerisme, serta berbagai persoalan sosial lainnya yang ada di balik sebuah iklan. Yasraf A. Piliang misalnya meneliti mengenai relasi iklan dan realitas sosial, khususnya bagaimana “realitas” sebuah produk yang di tawarkan di dalam iklan, mempunyai jarak (gap) dengan realitas sosial sesungguhnya, yang menghasilkan semacam pemalsuan realitas. (Piliang, 2004).
40
2.5 Tanda dan Makna dalam Pesan Iklan Para
pengiklan
adalah
penafsir
mimpi-minpi
kita-seperti
Yusuf
menafsirkan mimpi Firaun. Seperti film ,iklan menginfeksi kesia-siaan rutin dalam hidup kita dengan petualangan yang memiliki tujuan. Senjata mereka adalah kelemahan kita, ketakutan, ambisi, penyakit, kebanggaan, keegoisan, hasrat, ketidaktahuan. Dan senjata-senjata ini harus dijaga agar tetap mengkilap seperti pedang. EB White (1899-1985). Istilah advertising (periklanan) berasal dari kata latin abad pertengahan advertere, “mengarahkan perhatian kepada”. Istilah ini menggambarkan tipe atau bentuk pengumuman publik apa pun yang dimaksudkan untuk mempromosikan penjualan komoditas atau jasa spesifik, atau untuk menyebarkan sebuah pesan sosial atau politik. 29 Bisnis televisi dan periklanan merupakan bagian utama dari bisnis itu berfungsi sebagai sistem penyampaian pemirsa. Dengan adanya kecakapan digital, jaringan dapat menyampaikan sejumlah jasa pada rumah tangga dengan saluran yang sama. Banyak perubahan teknologi yang muncul setidaknya beberapa tahun pada masa mendatang tetapi televisi tetap merupakan media utama bagi para pengiklan. Selain terobosan rumah tangganya yang tinggi, televisi menawarkan keluwesan kreatif yang tidak ditemukan pada media lainnya. Dengan adanya gabungan gambar, suara, warna dan gerakan, televisi sama mahirnya dalam menyampaikan komersil humor, serius atau sindiran.
29
Danesi, Marcel. Pesan, Tanda dan Makna. Jalasutra . 2012 . Hal 294
41
Morris (1938), Crystal (1980), serta Hartmann dan Stork (1972)
30
(dalam
Nadar, 2008) menjelaskan bahwa semantik, pragmatik, dan sintaksis merupakan cabang semiotika. Semiotika sendiri memiliki tiga cabang kajian, yaitu sintaksis, mengkaji hubungan formal antartanda, semantik, mengkaji hubungan tanda dengan objek yang diacu, pragmatik, mengkaji hubungan tanda dengan pengguna bahasa.31 Mengacu pada pendapat di atas, berikut ini akan dibahas teori makna dari semiotika. Dalam semiotik terdapat hubungan antara tanda dan makna. Sebelum membahasnya, berikut ini akan dijabarkan sekias tentang semiotik. Secara etimologis (Burhan, 2007),32 istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api. Secara terminologis (Burhan, 2007), semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan lugs objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan
30
Nadar, F.X. 2008. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu http://didin.lecture.ub.ac.id/pragmatik/teori-makna . 25 April 2013 32 Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group 31
42
kata
lain,
pengirimannya,
dan
penerimaannya
oleh
mereka
yang
menggunakannya. Tanda dan makna memiliki konsep dasar dari semua model makna dan di mana secara lugas memiliki kemiripan. Di mana masing-masing memerhatikan tiga unsur yang selalu ada dalam setiap kajian tentang makna. Ketiga unsur itu adalah tanda, acuan tanda, dan pengguna tanda. Dalam semantik, juga dikenal teori tiga makna. Odgen and Richards (1923) menyebutkan sebagai simbol, reference, dan referent. Morris Morgan (1955) menyebutkan sign, signal, dan symbol. Brodbeck (1963) menyebutnya sebagai makna referensial, makna suatu istilah mengenai objek, pikiran, ide, atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah itu sendiri, makna yang menunjukkan arti suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep lain, dan makna intensional, yakni arti suatu istilah atau lambang tergantung pada apa yang dimaksud oleh si pemakai (dalam Kusuma, 2007)33 Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan (unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang
33
Kusuma, Bayu Adi. 2007. Informasi, Pesan, dan Makna. Online. (diunduh dari pkp.brawijaya.ac.id/e_sosek/courses/PTP4001/…/daskom_mgg_7.ppt)
43
mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa. Petanda selalu akan lepas dari jangkauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimungkinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not (Budiman, 2002:30)34. Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing. Dengan demikian ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotics adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari-hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentukbentuk lain seperti words, images, sounds, gesture, dan objects. Sementara de Saussure menyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda–tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial (a science which studies the role of signs as a part of social life). Bagi Peirce (1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some respect or capacity. 34
Budiman, Manneke, “Indonesia: Perang Tanda,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002) de De de Saussure, F., Course in General Linguistics , Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1988
44
Studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika , dan mempunyai tiga bidang studi utama yaitu tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu terkait dengan manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengekploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk menstranmisikannya, kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tandatanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.35 Semua model makna memiliki bentuk yang secara luas mirip. Masingmasing memperhatikan tiga unsur yang mesti ada dalam setiap studi tentang makna. Ketiga unsur itu adalah tanda, acuan tanda, dan pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda. 36 Semiotika memandang komunikasi sebagai pembangkitan makna dalam pesan, baik oleh penyampai maupun penerima (encoder atau decoder). Makna bukanlah konsep yang mutlak dan statis yang bisa ditemukan dalam kemasan pesan. Pemaknaan merupakan proses aktif. Para ahli semiotika menggunakan kata
35 36
Fiske, John. Cultural and Communication Studies .Jalasutra .Hal. 60 Ibid. Hal. 61
45
kerja seperti menciptakan, membangkitkan atau menegosiasikan untuk mengacu pada proses ini. Negosiasi mungkin merupakan istilah yang paling berguna karena di dalamnya menunjukan adanya ke sana dan kemari (to-and-fro), member dan menerima (give-and-take), diantara manusia dan pesan. Makna merupakan hasil dari interaksi dinamis antara tanda, intrepretant dan objek, makna secara historis ditempatkan dan mungkin akan berubah seiring dengan perjalanan waktu. Mungkin bahkan lebih berguna untuk menggunakan istilah “pemaknaan” dan menggunakan istilah Pierce “semiosis” yang lebih jauh lebih aktif, untuk tindak pertandaan.37 Dalam sebuah ikon, dalam beberapa hal tanda menyerupai objeknya, tanda itu kelihatan atau kedengarannya menyerupai objeknya. Dalam indeks dalam hubungan langsung antara tanda dan objeknya. Keduanya benar-benar terkait. Dalam simbol tidak ada hubungan atau kemiripan antara tanda dan objeknya, sebuah simbol dikomunikasikan hanya karena manusia sepakat bahwa simbol itu menunjukan sesuatu. Sebuah foto merupakan suatu ikon, asap merupakan indeks api, dan kata merupakan sebuah simbol. 2.6 Gender Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’
37
Ibid. Hal. 68
46
(John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Kata ‘gender’ bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku.38 (Victoria Neufeldt (ed.), 1984: 561). Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan
39
(Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi
lain tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya 40
(Elaine Showalter (ed.), 1989: 3). Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep
analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 34)41. Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat 42(Siti Musdah Mulia, 2004: 4). Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor non-biologis lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu
38
Neufeldt, Victoria (ed.) 1984. Webster’s New World Dictionary. New York:Webster’s New World Clevenland. 39 Lips, Hilary M. (1993). Sex and Gender: An Introduction. London: Myfield Publishing Company. 40 Showalter, Elaine (ed.) 1989. Speaking of Gender. New York & London: Routledge. 41 Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. Cet. I. 42 Mulia, Siti Musdah 2004. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gradedia Pustaka Utama. Cet. I.15
47
jenis kelamin
43
(John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum
jenis kelamin digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek non-biologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang. Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat. Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseorang akan menjadi apa nantinya. 43
Echols, John M. dan Hassan Shadily 1983. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:Gramedia. Cet. XII.
48
2.6.1 Metroseksual Pria dan maskulinitasnya masih merupakan hal baru yang dikaji dalam studi gender. Selama ini yang sering menjadi kajian dalam gender dan feminism adalah wanita dan konstruksi nilai-nilai feminine. Masalah dalam gender bukan hanya mengenai wanita dan posisinya yang tersubordinasi oleh pria. Namun, pria pun juga memiliki masalah dan terugikan oleh konstruksi gender dalam masyarakat. Selayaknya gender yang merupakan hasil konstruksi, nilai-nilai maskulinitas mereka dan bagaimana mereka seharusnya menjadi pria pun merupakan hasil konstruksi. Walaupun banyak cara yang bisa dijalani untuk dianggap menjadi pria, namun ada beberapa hal yang dianggap lebih bernilai untuk dijalani agar seorang pria dianggap sebagai pria maskulin. Teori ini disebut hegemonic masculinity. Hegemoni
menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
berarti
44
pengaruh
kepemimpinan, dominasi, kekuasaan dan sebagainya, suatu negara atau negara lain.45Atau dalam konteks hegemoni maskulinitas, maka berarti pengaruh dominasi suatu konstruksi maskulinitas atas bentuk maskulinitas lain. Tuntutan untuk diakui dan mendapatkan identitas sebagai pria yang maskulin menyembunyikan dan menindas siapa diri seseorang pria sebenarnya. “we sometimes believe that this real me is hidden or suppressed by the demands of 44
Andrea Cornwall. “Men, masculinity and gender in development.” Me and masculinity. Ed. Caroline Sweetman . Oxford.. Oxfam. 1997. Hal 11. 45 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 2007 . Hal . 394
49
social roles or culture conventions that require a public façade.”46 Masyarakat (wanita dan pria lain) tidak member pria pilihan untuk dapat mengekspresikan perasaan sedih, lemah, letih, depresi, membutuhkan atau kesepian tanpa mengorbankan kemaskulinitasannya. Konstruksi nilai maskulin dan feminine merupakan produk konstruksi sosial masyarakat, yang mengkotak-kotakan peran antara pria dan wanita ke dalam nilai kepantasan tertentu. Padahal sebenarnya, apa yang dianggap sebagai nilai maskulin atau feminine sebenarnya ditemukan pada pria dan wanita. Namun melalui konstruksi masyarakat, nilai-nilai feminine dan maskulin dikontraskan dan dipisahkan sedemikian rupa, sehingga apa yang dianggap feminine bukan maskulin, dan apa yang maskulin berarti tidak feminin. Suatu hal yang merupakan konstruksi sosial dapat dipastikan berubah menurut ruang dan waktu. Demikian pula halnya dengan konstruksi sosial mengenai kedua identitas gender ini. Dengan berkembangnya zaman, kode-kode maskulinitas dan feminitas mulai berbaur satu sama lain. Apa yang telah lama dikonstruksikan ke dalam area feminine, kini pun terdapat dalam area maskulin. Dulu ada satu saat dimana wanita akhirnya dilegalkan untuk memakai celana, maka kini pria sedang beremansipasi untuk juga dapat “diizinkan” merawat dan mempercantuk diri. Atas alasan ini, konsep maskulinitas pun mengalami pendefinisian ulang. Kode-kode baru mengenai maskulinitas ini direpresentasikan oleh apa yang 46
Judy Giles dan Tim Middleton. “Identity and Diffrerence.” Studying Culture : A Practical Introduction . Oxford : Blackwell Publisher. 1999. Hal. 32.
50
disebut Sean Nixon sebagai “New Man”. Dalam artikel Exhibiting Masculinity
47
Nixon membahas mengenai imej baru dari “new man” yang menekankan kepada bentuk fisik maskulin pria yang mengundang perhatian (inviting a desiring look). Dia membahas imej yang direpresentasikan oleh model-model pria dalam majalah gaya hidup pria. Imej-imej inilah yang menjadi tanda dari munculnya fenomena “pria baru”. Nixon membagi tiga jenis “new man” yang merepresentasikan kode-kode baru maskulinitas. Tiga jenis “new man” ini adalah pria baru versi “street style” , versi “Italian-America” dan versi “conservative Englishness”. Dari analisisnya mengenai ketiga jenis pria baru ini, di dapat kesimpulan bahwa maskulinitas yang ditampilkan dalam image baru adalah maskulinitas yang mengkombinasi kelembutan anak laki-laki (boyish softness) dan maskulinitas asertif.
48
Hal ini
didukung dengan pakaian yang digunakan, postur dan ekspresi yang ditampilkan oleh sang model, serta pemilihan lighting dan film. Apa yang dianalisis oleh Nixon tersebut adalah fenomena yang terjadi pada tahun 1980. Kini, konsep maskulin pada pria terus mengalami pendefinisian ulang. Mulai banyak majalah khusus pria yang beredar, yang memberikan panduan-panduan mengenai gaya hidup, kesehatan, fashion, dan sebagainya. Majalah-majalah ini memainkan peran dalam mendefinisikan apa artinya menjadi pria modern. Dalam majalah-majalah ini muncul stereotip baru mengenai pria dan maskulinitasnya, yang ditampilkan melalui model-model tampan, kulit putih, 47
Sean Nixon. “Exhibiting Masculinity.” Representation : Cultural Representation and Signifying Practices. Ed. Stuart Hall. London : Sage Publication. 2003 48 Ibid ,hal 313.
51
bertubuh bagus, dan berpakaian baik. Hal ini kemudian berhubungan dengan munculnya fenomena identitas gender ketiga pada pria-pria yang mengklaim diri mereka modern. Pria-pria yang kemudian dikenal dengan sebutan pria metroseksual. Disebut metroseksual karena fenomena ini hanya muncul di kotakota besar. Istilah metroseksual diperkenalkan oleh Mark Simpson, seorang penulis dan jurnalis Inggris pada tahun 1994 dalam koran Inggris Independent. 49 Simpson mendefinisikan pria metroseksual metroseksual sebagai “ a man with money and interest in fashion and beauty who lives within easy reach of a city.50 Berdasarkan riset mengenai metroseksual yang telah dilakukan pada tahun 2003, EURO RSCG, sebuah biro iklan ternama berbasis di New York , menjawab pertanyaan “who is the metrosexual?” antara lain dengan jawaban “he is interested in grooming and personal care, he stays current with fashion and trends, and notices what others are wearing dan he expresses a gentler sensuality with women and men.51 Fenomena
pria
metroseksual
menggambarkan
kian
mengaburnya
konstruksi gender, batas-batas antara maskulin dan feminine. Pria-pria ini melakukan apa yang dulu dianggap sebagai urusan wanita atau pria gay. Mereka pergi ke gym, rajin merawat diri ke salon dan spa, gemar bersosialisasi di kafe
49
About Mark Simpson. 25 April 2013 . http://www.marksimpson.com/blog/2011/05/03/metrosexy-a-21st-century-self-love-story-bymark-simpson-out-may-16th/ 50 Mark Simpson. “Metrosexual?” That rings a bell… 23 April 2013 http://www.marksimpson.com/pages/journalism/metrosexual_ios.html 51 Hermawan Kertajaya, et al ed. Metrosexual in Venus. Jakarta.: Mark Plus & Co, 2004. Hal 9
52
atau klub, bahkan berburu fashion serta memiliki perasaan yang lebih sensitif. Seperti yang diutarakan Mark Simpson bahwa pria gay merupakan prototip awal dari fenomena ini. Namun kini, hal perhatian terhadap penampilan diri dan emosi, bukan lagi milik wanita atau pria gay saja, namun juga telah diadopsi oleh pria heteroseksual, dan hal ini tidak lagi menyangkut pada preferensi seksual. Seperti yang dituliskan dalam situs web The Age Australia. “twenty years ago, male fashion, skin care and vanity in general were identified with gay men. Now sexuality, it seems , is irrelevant.52 Perubahan pandangan mengenai maskulinitas ini disebabkan oleh kesetaraan gender, dimana wanita kini pun telah banyak yang merambah ke ruang publik. Peran wanita menguat di setiap bidang kehidupan. Wanita tidak lagi hanya memiliki tempat di ruang domestik. Kondisi ini membuat pria, terutama yang berpendidikan dan umumnya berada di kota besar untuk sadar dan menerima bahwa mereka tidak bisa mengelak dari kenyataan tersebut. Salah satunya kenyataan bahwa mereka memiliki semakin banyak rekan kerja wanita. Semakin menguatnya peran wanita dalam kehidupan sosial, khususnya dalam dunia kerja, memberi pengaruh kepada pria untuk mengubah cara mereka dalam berinteraksi dengan wanita. Seperti misalnya fakta bahwa wanita membawa kebiasaan mereka mempercantik diri ke ruang publik, misalnya ke kantor , mempengaruhi cara pandang pria terhadap hal tersebut (mempercantik diri). Mereka menilai dalam dunia bisnis, berdandan secara menarik adalah penting bagi pria masa kini. Berpenampilan menarik 52
Peter Gotting, “Rise of the Metrosexual.” 23 April 2013 http://www.theage.com.au/articles/2003/03/10/1047144914842.html
53
dianggap akan lebih berhasil di dunia bisnis saat ini daripada pria yang berpenampilan tidak menarik. Pembuktian dari hal ini dapat dilihat pada riset yang di lakukan oleh Gillete (produsen produk peralatan cukur). Dalam artikel Die Gepflogte Manneremanzipation.53 Disebutkan bahwa fast 80 prozent der manner glauben laut einer studie des herstellers Gillette (rasierapparate-klingen) dass der top gepflogte mann die nase im job vorn hat. Kalimat tersebut memiliki arti bahwa menurut 80% pria percaya bahwa seorang pria yang merawat diri dengan baik, lebih sukses dalam pekerjaan. Lebih meyakinkan lagi, hal ini diperkuat oleh Sigrid Schafer Merk, seorang konsultan pribadi (personal beraterin), yang menyatakan dalam artikel yang sama “in bewerbungsgesprachen achte ich schon auf das aussere. Jemand mit ungewaschenen haaren hatte eindeutig weniger chancen als ein sorgfaltig gepflegter
bewerber”.54
Kalimat
ini
berarti
“ketika
wawancara
saya
memperhatikan penampilan pelamar. Seseorang dengan rambut kotor tentu memiliki kesempatan lebih kecil disbanding pelamar yang merawat diri dengan baik. Menurut Marian Salzman (CSO dari Euro RSCG), berdandan dan memperhatikan penampilan diri layaknya wanita adalah bentuk sweet surrender dari para pria terhadap kekuatan baru para wanita.55 Oleh karena penampilan
53
Stefanie Hofle. “Die Gepflegte Manneremanzipation. “Brigtte 18/2008 Hal. 54 Ibid Hal. 55 55 Hermawan Kertajaya. Et al. ed. Metrosexual in Venus. Jakarta : Mark Plus & Co. 2004. Hal. 399 54
54
menjadi poin penting, maka mereka sangat merawat dan menjaga penampilan agar selalu terlihat menarik. Hal inilah yang menyebabkan banyak produsen produk pakaian maupun perawatan tubuh dan wajah yang menciptakan produk khusus untuk pria. Produsen yang sebelumnya hanya memasarkan produk pakaian atau kosmetik untuk wanita, kini member label for men, Menexpert dan sebagainya untuk produk khusus pria. Segmen pria baru ini menjadi target pasar yang menggiurkan bagi mereka. Mereka berlomba-lomba untuk mencuri perhatian para pria jenis baru yang tidak price sensitive ini dengan memproduksi produk perawatan yang dianggap memenuhi kebutuhan mereka. Cara yang paling mudah untuk memancing perhatian mereka adalah dengan memasang iklan semenarik mungkin, yang berguna sebagai media representasi dan promosi produk. Dalam konteks masyarakat budaya, media seperti iklan tentunya memiliki makna dan wacana tersembunyi. Sejalan dengan perubahan dramatis selama akhir tahun 1990-an, hidup berubah, begitu juga konstruksi diri pada laki-laki. Mereka melakukan adaptasi terhadap feminism dan menawarkan konsep “new masculinity” (maskulitas baru). Konsep maskulinitas baru ini pada dasarnya merupakan upaya untuk meninggalkan budaya patriaki yang dominan dan sekaligus beranjak ke kerangka kerja sosial metroseksual.
yang lebih inklusif. Maskulinitas baru ini disebut dengan
55
Istilah metroseksual pertamakali muncul pada tahun 1994. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh seorang rubrik fashion koran Inggris, The Independent, bernama Mark Simpson. Simpson memberi definisi metroseksual secara sederhana yaitu a dandyish narcissist in love not only himself, but his urban lifestyle atau pria yang tidak hanya mencintai dirinya sendiri melainkan juga mencintai gaya hidup kota besar yang dijalaninya. Metroseksual berasal dari etimologi Yunani, Metropolis artinya ibu kota, plus seksual. Definisinya sosok pria muda berpenampilan dandy, senang memanjakan dirinya, sangat peduli dengan penampilannya, senang menjadi pusat perhatian (bahkan menikmatinya), sangat tertarik dengan fashion dan berani menampilkan sisi feminimnya. Mereka ini bahkan ditengarai sebagai sosok narsistik, yang jatuh cinta tidak hanya terhadap diri sendiri, tetapi juga gaya hidup urban. Yang menarik dari kategori pria “flamboyan” ini kendati berpenampilan “manis”, tidaklah harus diasosiasikan mereka ini gay atau homoseksual. Charmin et al (dalam handoko, 2004) menjelaskan bahwa ketika era tahun 1970-an para pria dilingkupi suasana serba maskulin oleh Charles Bronson sebagai idolanya. Pada dasawarsa 80-an kumis lebat mulai dicukur, meskipun idola masih bertahan pada sosok yang macho. Satu dasawarsa berikutnya minat pria mulai bergeser pada perawatan wajah dan parfum dan terakhir mulai melirik perawatan kuku kaki dan tangan (manicure-pedicure) ditambah spa dan pijat refleksi. Ciri lain pria metroseksual adalah mereka sosok yang berani bereksperimen dengan fashion.
56
Mengutip Kertajaya dari sebuah artikel di Suara Merdeka online pada bulan Juli 2004 bahwa munculnya pria metroseksual ini salah satu penyebabnya adalah karena makin banyak wanita yang bekerja. Kehadiran wanita di tempat kerja yang sebelumnya lebih banyak di dominasi oleh kaum pria tentu menuntut rekan kaum prianya untuk menjaga penampilannya misalnya dengan berbusana rapi, bertubuh bugar dan berbau harum. Beberapa ciri pria metroseksual dikemukakan oleh Kartajaya dkk. (2004) 56
yaitu, sbb : a. Pada umumnya hidup dan tinggal di kota besar dimana hal ini tentu saja berkaitan dengan kesempatan akses informasi, pergaulan dan gaya hidup yang dijalani. b. Berasal dari kalangan berada dan memiliki banyak uang karena banyaknya materi yang dibutuhkan sebagai penunjang gaya hidup dijalani. c. Memiliki gaya hidup urban dan hedonis. d. Secara intens mengikuti perkembangan flutsion di majalah fashion. Menurut Attler & Armstrong (1997) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi proses perilaku pria metroseksual, berikut penjabarannya, kelas sosial, Peran & status, Pekerjaan, Situasi ekonomi, Gaya hidup, Gabungan antara motivasi persepsi, pengetahuan, keyakinan dan sikap dari metroseksual itu sendiri.
56
Kartajaya, H.. Yuswohady. Madyani. D.,Christynar, M. & Indrio. B.D. (2004). Metrosexuals in Venus : Pahami Perilakunya. Bidik Hatinya, Menangkan Pasarnya. Jakarta : Mark Plus & Co.
57
Selain itu terdapat beberapa pendapat lain mengenai metroseksual (Lenggogeni, 2009 : 20-21) : (1) Menurut rubric fashion & style di New York Times, Metroseksual di definisikan sebagai lelaki yang menggemari busana bagus dan benda bagus lain pada umumnya, serta begitu berpotensi sebagai macho mereka tidak harus diasosiasikan sebagai homoseksual melainkan pria yang tampil pada pose seksi pada majalah-majalah popular pria. (2) Menurut situs word spy.com, Metroseksual didefinisikan sebagai pria perkotaan yang memiliki daya estetika tinggi, memiliki waktu dan uang untuk penampilan dan gaya hidupnya. (3) Menurut situs askmen.com, Metroseksual adalah pria modern yang pada umumnya masih lajang (walaupun tidak harus) dan merasa nyaman akan dirinya dan sisi feminimnya. (4) Menurut Roni Dachlan, Pria metroseksual adalah pria yang tidak segan-segan menunjukn sisi feminimnya. Sisi feminimnya disini bukan hal tindak tanduk, tapi lebih ke bagaimana mereka merawat diri. Dapat terlihat benang merah bahwa metroseksual disini bukan straightheterosexual dan ia memiliki tingkat kecintaan yang tinggi terhadap dirinya yang di representasikan melalui perawatan khusus untuk menarik tingkat kepuasan diri dalam aktualisasi lingkungannya. Sehingga ia akan banyak meluangkan waktu diantara kesibukannya untuk merawat diri secara khusus sehingga memiliki penampilan pria yang secara tidak langsung meminta pengakuan publik bahwa atas eksistensinya. Dalam hubungannya dengan iklan. Iklan pada saat ini memposisikan pria sebagai objek seksual. Iklan menciptakan standar baru masyarakat untuk pria, yaitu sebagai sosok yang agresif sekaligus sensitif, memadukan antara unsur
58
kekuatan dan kepekaan sekaligus. Pria macho sudah tersapu angin, dan sekarang tergantikan oleh sosok pria yang kuat tegar di dalam tetapi lembut di permukaan. Ungkapan untuk karakter ini adalah pria metroseksual. Pemunculan feminitas pada metroseksual lebih diletakan pada penampilan fisik yang memperindah penampilan pria, bukan ada perubahan orientasi seksualnya.