29
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Komunikasi Interpersonal
2.1.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin communicare atau communis yang berarti sama atau menjadikan milik bersama. Kalau kita berkomunikasi dengan orang lain, berarti kita berusaha agar apa yang disampaikan kepada orang lain dapat dimengerti (http:google.wikipedia Indonesia.komunikasi.com). Komunikasi interpersonal ini sebenarnya sama dengan pengertian komunikasi yang sudah dikenal pada umumnya. Secara formal dapat diartikan sebagai proses penyampaian berita yang dilakukan oleh seseorang dan diterimanya berita tersebut oleh orang lain atau kelompok kecil, dengan adanya umpan balik yang segera terjadi. Komunikasi ini tidak jauh berbeda dengan bentuk perilaku orang-orang, adakalanya efektif dan adakalanya tidak efektif. Menurut Joseph A.Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (Devito, 1989), komunikasi antar pribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orangorang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (the process of sending and receiving messages between two persons, or among a small group of persons, with some effect and some immediate feedback).
13 Universitas Sumatera Utara
30
Pada
hakekatnya
komunikasi
interpersonal
adalah
komunikasi
antar
komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Pada saat komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya (Sunarto, 2003) Berdasarkan
pemahaman
diatas,
maka
yang
dimaksud
Komunikasi
interpersonal (interpersonal communication) yaitu kegiatan komunikasi yang dilakukan seseorang dengan orang lain dengan corak komunikasinya lebih bersifat pribadi dan sampai pada tataran prediksi hasil komunikasinya pada tingkatan psikologis yang memandang pribadi sebagai unik. Dalam komunikasi ini jumlah perilaku yang terlibat pada dasarnya bisa lebih dari dua orang selama pesan atau informasi yang disampaikan bersifat pribadi. 2.1.2 Aspek-aspek Komunikasi Interpersonal Menurut Millard J. Bienvenu (1987), ada lima komponen komunikasi interpersonal yaitu: 1. Self concept, sebuah konsep diri, faktor yang paling penting yang memengaruhi komunikasi dengan orang lain. 2. Ability, kemampuan untuk menjadi pendengar yang baik, keterampilan yang mendapat sedikit perhatian.
Universitas Sumatera Utara
31
3. Skill experience, banyak orang merasa sulit untuk melakukan kemampuan untuk mengekspresikan pikiran dan ide-ide. 4. Emotion, yang dimaksud emosi disini adalah individu dapat mengatasi emosinya, dengan cara konstruktif (berusaha memperbaiki kemarahan) 5. Self disclousure, keinginan untuk berkomunikasi kepada orang lain secara bebas dan terus terang. Dengan tujuan untuk menjaga hubungan interpersonal. 2.1.3 Efektifitas Komunikasi Interpersonal Menurut Devito (1997), efektifitas komunikasi interpersonal dimulai dengan mempertimbangkan 5 kualitas umum, yaitu: a.
Keterbukaan (Openness) Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek, yaitu: terbuka kepada orang yang diajak berinteraksi, kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang (tanggap), dan yang terakhir “kepemilikan” perasaan dan pikiran dimana bertanggung jawab terhadap pesan yang disampaikan.
b.
Empati (Emphaty) Henry Backrack (1976) mendefenisikan empati sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada saat tertentu dari sudut pandang orang lain. Orang yang empati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginannya.
Universitas Sumatera Utara
32
c.
Sikap mendukung (Supportiveness) Sikap mendukung dapat ditampilkan dengan bersikap deskriptif bukan evaluatif, spontan bukan strategik, dan profesional bukan sangat yakin.
d.
Sikap positif (Positiveness) Dilakukan dengan dua cara, yaitu : menyatakan sikap positif dan secara positif mendukung orang yang menjadi teman berinteraksi.
e.
Kesetaraan (Equality) Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara Artinya masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan (http:google.jurnal komunikasi.com/2010).
2.1.4 Karakteristik Komunikasi Interpersonal Judy C.Pearson (S. Djuarsa Sendjaja, 2002) menyebutkan enam karakteristik komunikasi interpersonal, yaitu: a.
Komunikasi interpersonal dimulai dengan diri pribadi (self). Artinya bahwa segala bentuk proses penafsiran pesan maupun penilaian mengenai orang lain, berangkat dari diri sendiri.
b.
Komunikasi interpersonal bersifat transaksi. Ciri komunikasi seperti ini terlihat dari kenyataan bahwa komunikasi interpersonal bersifat dinamis, merupakan pertukaran pesan secara timbal balik dan berkelanjutan.
c. Komunikasi interpersonal menyangkut aspek isi pesan dan hubungan antar pribadi. Maksudnya bahwa efektifitas komunikasi interpersonal tidak hanya
Universitas Sumatera Utara
33
ditentukan oleh kualitas pesan, melainkan juga ditentukan kadar hubungan antar individu. d. Komunikasi interpersonal mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara pihakpihak yang berkomunikasi. Dengan kata lain, komunikasi interpersonal akan lebih efektif manakala antara pihak-pihak yang berkomunikasi itu saling bertatap muka. e. Komunikasi berkomunikasi
interpersonal saling
menempatkan
tergantung
antar
kedua satu
belah dengan
pihak yang
yang lainnya
(interdependensi). Hal ini mengindikasikan bahwa komunikasi interpersonal melibatkan ranah emosi, sehingga terdapat saling ketergantungan emosional di antara pihak-pihak yang berkomunikasi. f. Komunikasi interpersonal tidak dapat diubah maupun diulang. Artinya, ketika seseorang sudah terlanjur mengucapkan sesuatu kepada orang lain, maka ucapan itu sudah tidak dapat diubah atau diulang, karena sudah terlanjur diterima oleh komunikan. Ibaratnya seperti anak panah yang sudah terlepas dari busurnya, sudah tidak dapat ditarik lagi.
2.2
Keharmonisan Keluarga
2.2.1 Pengertian Keharmonisan Keluarga Keluarga merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam kelompok sosial dan keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang paling utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian
Universitas Sumatera Utara
34
biologis anak manusia (Kartono, 1977). Sedangkan menurut Hawari (1997) keharmonisan keluarga itu akan terwujud apabila masing-masing unsur dalam keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagaimana mestinya dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama kita, maka interaksi sosial yang harmonis antar unsur dalam keluarga itu akan dapat diciptakan. Dalam kehidupan berkeluarga antara suami istri dituntut adanya hubungan yang baik dalam arti diperlukan suasana yang harmonis yaitu dengan menciptakan saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga, saling menghargai dan saling memenuhi kebutuhan (Anonim, 1985 Basri (1999)) menyatakan bahwa setiap orang tua bertanggung jawab juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan terpelihara suatu hubungan antara orangtua dengan anak yang baik, efektif dan menambah kebaikan dan keharmonisan hidup dalam keluarga, sebab telah menjadi bahan kesadaran para orangtua bahwa hanya dengan hubungan yang baik kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat menunjang terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis. Selanjutnya Hurlock (1973) menyatakan bahwa anak yang hubungan perkawinan orangtuanya bahagia akan mempersepsikan rumah mereka sebagai tempat yang membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar orangtua, semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan keluarga yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga. Suasana keluarga yang tercipta adalah tidak menyenangkan, sehingga anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
35
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan persepsi keharmonisan keluarga adalah persepsi terhadap situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di dalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai kasih sayang dan rasa saling percaya sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang. Gunarsa berpendapat bahwa keluarga bahagia adalah apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya rasa ketegangan, kekecewaan, dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi, dan sosial. Sebaliknya keluarga yang tidak bahagia adalah apabila dalam keluarganya ada salah satu atau beberapa anggota keluarga yang diliputi oleh ketegangan, kekecewaan, dan tidak pernah merasa puas dengan keadaan dan keberadaan dirinya terganggu atau terhambat (Gunarsa, 1991). Suami istri bahagia menurut Hurlock adalah suami istri yang memperoleh kebahagiaan bersama dan membuahkan keputusan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama, mempunyai cinta yang matang dan mantap satu sama lainnya, dan dapat melakukan penyesuaian seksual dengan baik, serta dapat menerima peran sebagai orang tua (Hurlock, 1999). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa keharmonisan rumah tangga adalah terciptanya keadaan yang sinergis diantara anggotanya yang di dasarkan pada cinta kasih, dan mampu mengelola kehidupan dengan penuh
Universitas Sumatera Utara
36
keseimbangan (fisik, mental, emosional dan spiritual) baik dalam tubuh keluarga maupun hubungannya dengan yang lain, sehingga para anggotanya merasa tentram di dalamnya dan menjalankan peran-perannya dengan penuh kematangan sikap, serta dapat melalui kehidupan dengan penuh keefektifan dan kepuasan batin. Seperti yang dikemukakan oleh Surya (2001) keharmonisan keluarga merupakan suatu perwujudan kondisi kualitas hubungan interpersonal baik inter maupun antar keluarga. Hubungan interpersonal merupakan awal dari keharmonisan. Hal ini mengandung arti bahwa keharmonisan akan sulit terwujud tanpa adanya hubungan interpersonal, baik dalam keluarga maupun antar keluarga. Begitu pula untuk mewujudkan suatu pernikahan yang harmonis akan sulit terwujud tanpa adanya hubungan interpersonal yang baik antara suami dan istri. Agar suasana hubungan yang baik dapat terwujud diperlukan suasana yang hangat, penuh pengertian, penuh kasih sayang satu dengan lainnya agar dapat menimbulkan suasana yang akrab dan ceria diantara suami dan istri. Dasar terciptanya suasana hubungan ini adalah terciptanya komunikasi yang efektif diantara suami dan istri. Pasangan suami istri yang mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan efektif ditandai dengan adanya hubungan interpersonal yang baik pula antara kedua belah pihak yaitu suami dan istri. Tailor (dalam Rakhmat, 1996) menjelaskan bahwa hubungan interpersonal tersebut tidak hanya ditentukan oleh sering atau tidaknya individu melakukan komunikasi, akan tetapi ditentukan juga oleh mutu dari komunikasi tersebut. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang efektif, yang
Universitas Sumatera Utara
37
ditunjukkan dari lima sikap positif dengan ciri adanya rasa saling terbuka, empati, saling mendukung, sikap positif dan kesetaraan (Devito, 1997). Menurut Basri keharmonisan rumah tangga mempunyai beberapa faktor yang mempengaruhi. Saling mencintai, fisik kedua belah pihak, material, pendidikan, dan agama merupakan faktor yang mempengaruhi dalam keharmonisan. Namun yang paling penting adalah kedewasaan diri dari kedua pasangan. Jika kedua pasangan telah memiliki kedewasaan untuk menjalankan perannya dalam rumah tangga maka didalam keluarga tersebut akan terjadi kesinambungan dan keseimbangan yang saling mengisi satu sama lain sehingga tercipta kesejahteraan dalam rumah tangganya (Basri, 2002). 2.2.2
Aspek-Aspek Keharmonisan Keluarga Stinett dan De Frain (dalam Hawari, 1997) mengemukakan enam aspek sebagai
suatu pegangan hubungan perkawinan bahagia adalah: a.
Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga. Sebuah keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa keluarga yang tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali cenderung terjadi pertentangan konflik dan percekcokan dalam keluarga, dengan suasana yang seperti ini, maka anak akan merasa tidak betah di rumah dan kemungkinan besar anak akan mencari lingkungan lain yang dapat menerimanya. Yaitu: (a). Segi keimanan,
Universitas Sumatera Utara
38
keislaman dan keihsanannya. (b). Dari segi pengetahuan agama mereka memiliki semangat belajar, memahami, serta memperdalam ajaran agama, dan taat melaksanakan tuntunan akhlak mulia. (c). Saling memotivasi dan mendukung agar keluarga dapat berpendidikan. b.
Mempunyai waktu bersama keluarga Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya, sehingga anak akan betah tinggal di rumah.
c.
Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Meichati (dalam Hawari, 1997) mengatakan bahwa remaja akan merasa aman apabila orangtuanya tampak rukun, karena kerukunan tersebut akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga juga akan dapat membantu remaja untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya di luar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai orangtua, ibu dan ayah juga harus berperan sebagai teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka dalam menyampaikan semua permasalahannya.
d.
Saling menghargai antar sesama anggota keluarga Furhmann (dalam Hawari, 1997) mengatakan bahwa keluarga yang harmonis adalah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap anggota keluarga
Universitas Sumatera Utara
39
menghargai perubahan yang terjadi dan mengajarkan ketrampilan berinteraksi sedini mungkin pada anak dengan lingkungan yang lebih luas. e.
Kualitas dan kuantitas konflik yang minim. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam menciptakan keharmonisan keluarga adalah kualitas dan kuantitas konflik yang minim, jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran maka suasana dalam keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan.
f.
Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga. Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki hubungan yang erat maka antar anggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akan kurang. Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan saling menghargai. Keenam aspek tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang
lainnya. Proses tumbuh kembang anak sangat ditentukan dari berfungsi tidaknya keenam aspek di atas, untuk menciptakan keluarga harmonis peran dan fungsi orangtua sangat menentukan, keluarga yang tidak bahagia atau tidak harmonis akan mengakibatkan persentase anak menjadi nakal semakin tinggi (Hawari, 1997).
Universitas Sumatera Utara
40
Menurut Gunarsa (2000) ada beberapa aspek keharmonisan keluarga adalah : 1. Kasih sayang antar anggota keluarga Anggota keluarga menunjukkan saling menghargai dan saling menyayangi, mereka bisa merasakan betapa baiknya keluarga. Anggota keluarga mengekspresikan penghargaan dan kasih sayang secara jujur. Penghargaan itu mutlak diperlukan, karena dengan demikian masing-masing anggota merasa sangat dicintai dan diakui keberadaannya. 2. Saling pengertian sesama anggota keluarga Selain kasih sayang, pada umumnya para remaja sangat mengharapkan pengertian dari orangtuanya. Dengan adanya saling pengertian maka tidak akan terjadi pertengkaran-pertengkaran antar sesama anggota keluarga. 3. Dialog atau komunikasi efektif yang terjalin di dalam keluarga Anggota keluarga mempunyai keterampilan berkomunikasi dan banyak waktu digunakan untuk itu. Dalam keluarga harmonis ada beberapa kaidah komunikasi yang baik, antara lain : a. Menyediakan cukup waktu Anggota keluarga melakukan komunikasi yang bersifat spontan maupun tidak spontan (direncanakan). Bersifat spontan, misalnya berbicara sambil melakukan pekerjaan bersama, biasanya yang dibicarakan hal-hal sepele. Bersifat tidak spontan, misalnya merencanakan waktu yang tepat untuk berbicara, biasanya yang dibicarakan adalah suatu konflik atau hal penting lainnya. Mereka menyediakan waktu yang cukup untuk itu.
Universitas Sumatera Utara
41
b. Mendengarkan Anggota keluarga meningkatkan saling pengertian dengan menjadi pendengar yang baik dan aktif. Mereka tidak menghakimi, menilai, menyetujui, atau menolak pernyataan atau pendapat pasangannya. Mereka menggunakan feedback, menyatakan/ menegaskan kembali, dan mengulangi pernyataan. c. Pertahankan kejujuran Anggota keluarga mau mengatakan apa yang menjadi kebutuhan, perasaan serta pikiran mereka, dan mengatakan apa yang diharapkan dari anggota keluarga. 4. Mempunyai waktu bersama dan kerjasama dalam keluarga Keluarga menghabiskan waktu (kualitas dan kuantitas waktu yang besar) diantara mereka. Kebersamaan di antara mereka sangatlah kuat, namun tidak mengekang. Selain itu, kerjasama yang baik antara sesama anggota keluarga juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Saling membantu dan gotong royong akan mendorong anak untuk bersifat toleransi jika kelak bersosialisasi dalam masyarakat. Zakiah Daradjat menjelaskan beberapa persyaratan dalam mencapai keluarga yang harmonis, adapun syarat tersebut adalah: 1. Saling mengerti antara suami istri, yaitu; (a) mengerti latar belakang pribadinya; yaitu mengetahui secara mendalam sebab akibat kepribadian (baik sifat dan tingkah lakunya) pasangan, (b) mengerti diri sendiri; memahami diri
Universitas Sumatera Utara
42
sendiri, masa lalu kita, kelebihan dan kekurangan kita, dan tidak menilai orang berdasarkan diri kita sendiri. 2. Saling menerima. Terimalah apa adanya pribadinya, tugas, jabatan dan sebagainya jika perlu diubah janganlah paksakan, namun doronglah dia agar terdorong merubahnya sendiri. Karena itu; (a) terimalah dia apa adanya karena menerima apa adanya dapat menghilangkan ketegangan dalam keluarga. (b) Terimalah hobi dan kesenangannya asalkan tidak bertentangan dengan norma dan tidak merusak keluarga. (c) terimalah keluarganya. 3. Saling menghargai. Penghargaan sesungguhnya adalah sikap jiwa terhadap yang lain. Ia akan memantul dengan sendirinya pada semua aspek kehidupan, baik gerak wajah maupun prilaku. Perlu diketahui bahwa setiap orang perlu dihargai. Maka menghargai keluarga adalah hal yang sangatpenting dan harus ditunjukkan dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Adapun cara menghargai dalam keluarga adalah: (a) Menghargai perkataan dan perasaannya. Yaitu: menghargai seseorang yang berbicaradengan sikap yang pantas hingga ia selesai, menghadapi setiap komunikasi dengan penuh perhatian positif dan kewajaran, mendengarkan keluhan mereka. (b) Menghargai bakat dan keinginan sepanjang tidak bertentangan dengan norma. (c) Menghargai keluarganya. 4. Saling mempercayai. Rasa percaya antara suami istri harus dibina dan dilestarikan hingga hal terkecil terutama yang berhubungan dengan akhlaq, maupun segala kehidupan. Diperlukan diskusi tetap dan terbuka agar tidak ada
Universitas Sumatera Utara
43
lagi masalah yang disembunyikan. Untuk menjamin rasa saling percaya hendaknya memperhatikan: (a). Percaya pada dirinya. Hal ini ditunjukkan secara wajar dalam sikap ucapan, dan tindakan. (b). Percaya akan kemampuannya, baik dalam mengtur perekonomian keluarga, mengendalikan rumah tangga, mendidik anak, maupun dalam hubungannya dengan orang lain dan masyarakat. 5. Saling mencintai. Syarat ini merupakan tonggak utama dalam menjalankan kehidupan keluarga. Cinta bukanlah keajaiban yang kebetulan datang dan hilang namun ia adalah “usaha untuk…”. Adapun syarat untuk mempertalikan dengan cinta adalah; (a). Lemah lembut dalam bicara. (b). Menunjukkan perhatian pada pasangan, terhadap pribadinya maupun keluarganya. (c). Bijaksana dalam pergaulan. (d). Menjauhi sikap egois (e). Tidak mudah tersinggung. (f) Menentramkan batin sendiri. Karena tak akan bisa menentramkan batin seseorang apabila batinnya sendiri tidak tentram, orang disekitarnya pun tidak akan nyaman. Saling terbuka dan membicarakan hal dengan pasangan adalah kebutuhan yang dapat menentramkan masalah. Peran agama dan spiritual pun sangat menentukan. Dengannya kemuliaan hati tercermin dalam tingkah laku yang lebih baikdan menarik. Oleh sebab itu oarng yang tentram batinnya akan menyenangkan dan menarik bagi orang lain. (g). Tunjukkan rasa cinta. Hal ini dapat melalui tindakan, ucapan, terhadap pasangan.
Universitas Sumatera Utara
44
2.2.3 a.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keharmonisan Keluarga Komunikasi interpersonal Komunikasi interpersonal merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga, karena menurut Hurlock (1993) komunikasi akan menjadikan seseorang mampu mengemukakan pendapat dan pandangannya, sehingga mudah untuk memahami orang lain dan sebaliknya tanpa adanya komunikasi kemungkinan besar dapat menyebabkan terjadinya kesalahfahaman yang memicu terjadinya konflik.
b.
Tingkat ekonomi keluarga Menurut beberapa penelitian, tingkat ekonomi keluarga juga merupakan salah satu faktor yang menentukan keharmonisan keluarga. Jorgensen (dalam Ulfa, 2007) menemukan dalam penelitiannya bahwa semakin tinggi sumber ekonomi keluarga akan mendukung tingginya stabilitas dan kebahagian keluarga, tetapi tidak berarti rendahnya tingkat ekonomi keluarga merupakan indikasi tidak bahagianya keluarga. Tingkat ekonomi hanya berpengaruh terhadap kebahagian keluarga apabila berada pada taraf yang sangat rendah sehingga kebutuhan dasar saja tidak terpenuhi dan inilah nantinya yang akan menimbulkan konflik dalam keluarga.
c. Perhatian. Yaitu menaruh hati pada seluruh anggota keluarga sebagai dasar utama hubungan yang baik antar anggota keluarga. Baik padaperkembangan keluarga dengan memperhatikan peristiwa dalam keluarga, dan mencari sebab akibat permasalahan, juga terdapat perubahan pada setiap anggotanya.
Universitas Sumatera Utara
45
d.
Pengetahuan. Perlunya menambah pengetahuan tanpa henti-hentinya untuk memperluas wawasan sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan keluarga. Sangat perlu untuk mengetahui anggota keluaranya, yaitu setiap perubahan dalam keluarga, dan perubahan dalam anggota keluarganya, agar kejadian yang kurang diinginkan kelak dapat di antisipasi.
e. Sikap menerima. Langkah lanjutan dari sikap pengertian adalah sikap menerima, yang berarti dengan segala kelemahan, kekurangan, dan kelebihannya, ia seharusnya tetap mendapatkan tempat dalam keluarga. Sikap ini akan menghasilkan suasana positif dan berkembangnya kehangatan yang melandasi tumbuh suburnya potensi dan minat dari anggota keluarga. (Gunarsa, 1991) f. Faktor kesejahteraan jiwa. Yaitu rendahnya frekwensi pertengkaran dan percekcokan di rumah, saling mengasihi, saling membutuhkan, saling tolongmenolong antar sesama keluarga, kepuasan dalam pekerjaan dan pelajaran masing-masing dan sebagainya yang merupakan indikator-indikator dari adanya jiwa yang bahagia, sejahtera dan sehat. g.
Faktor kesejahteraan fisik. Seringnya anggota keluarga yang sakit, banyak pengeluaran untuk kedokter, untuk obat-obatan, dan rumah sakit tentu akan mengurangi dan menghambat tercapainya kesejahteraan keluarga. (Sarwono, 1982)
h. Ukuran Keluarga Menurut Kidwel (1981) dengan jumlah anak dalam satu keluarga cara orangtua mengontrol perilaku anak, menetapkan aturan, mengasuh dan perlakuan efektif
Universitas Sumatera Utara
46
orangtua terhadap anak. Keluarga yang lebih kecil mempunyai kemungkinan lebih besar untuk memperlakukan anaknya secara demokratis dan lebih baik untuk kelekatan anak dengan orangtua.
2.3
Pernikahan Dini
2.3.1 Pengertian Pernikahan Dini Pernikahan dan kedudukan sebagai orang tua sebelum orang muda menyelesaikan pendidikan mereka dan secara ekonomis independen membuat mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mempunyai pengalaman yang dipunyai oleh teman-teman yang tidak kawin atau orang-arang yang telah mandiri sebelum kawin, hal ini mengakibatkan sikap iri hati dan halangan bagi penyesuaian perkawinan (Hurlock, 2000). Pernikahan dini menurut Indaswari adalah perkawinan yang dilakukan dibawah umur sebelum usia 16 tahun bagi perempuan dan usia 19 tahun untuk laki-laki, batasan usia ini mengacu pada ketentuan formal batas minimum menikah yang berlaku di Indonesia. Pernikahan dalam umur belasan tahun adalah berdasarkan keputusan-keputusan yang sesaat. Kemungkinannya akan sangat buruk buat mereka, biasanya kedua anak laki-laki dan perempuan tidak dewasa secara emosi dan sering dimanjakan. Mereka ingin segera memperoleh apa yang dikehendakinya, tidak peduli apakah itu berakibat bencana (Shappiro, 2000).
Universitas Sumatera Utara
47
2.3.2 Hal - Hal yang Memengaruhi Pernikahan Dini Hal-hal yang mempengaruhi, sehingga timbul perkawinan di usia muda antara lain: a. Rendahnya tingkat pendidikan terutama bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan. b. Minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang arti dan makna sebuah perkawinan. c. Karena tekanan ekonomi yang semakin sulit berakibat timbulnya rasa frustasi, sehingga pelariannya adalah kawin. d. Sempitnya lapangan kerja, sementara angkatan kerja semakin membludak (Al-Ghifari, 2003). e. Hamil semasa sekolah/sebelum nikah. f. Kemauan orang tua, dengan kata lain ada unsur perjodohan. g. Mengikuti trend yang sedang berkembang saat ini, ikut-ikutan meramaikan suasana yang menurutnya membahagiakan (Ikhsan, 2004). 2.3.3
Akibat dari Pernikahan Dini
Adapun akibat dari pernikahan dini antara lain sebagai berikut : a. Kematian ibu yang melahirkan Kematian karena melahirkan banyak dialami oleh ibu muda di bawah umur 20 tahun. Penyebab utama karena kondisi fisik ibu yang belum atau kurang mampu untuk melahirkan.
Universitas Sumatera Utara
48
b. Kematian bayi Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang berusia muda, banyak yang mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Ada yang lahir sebelum waktunya (prematur), ada yang berat badanya kurang dan ada pula yang langsung meninggal. c. Hambatan terhadap kehamilan dan persalinan Selain kematian ibu dan bayi, ibu yang kawin pada usia muda dapat pula mengalami perdarahan, kurang darah, persalinan yang lama dan sulit, bahkan kemungkinan menderita kanker pada mulut rahim di kemudian hari. d. Persoalan ekonomi Pasangan-pasangan yang menikah pada usia muda umumnya belum cukup memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehingga sukar mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, penghasilan yang rendah dapat meretakkan keutuhan dan keharmonisan keluarga. e. Persoalan kedewasaan Kedewasaan seseorang sangat berhubungan erat dengan usianya, usia muda (12-19 tahun) memperlihatkan keadaan jiwa yang selalu berubah (BKKBN, 2003). Dampak buruk menikah di usia muda bagi kesehatan reproduksi terutama anak perempuan, sebagai pihak yang paling rentan sebagai korban kasus pernikahan dini, juga mengalami sejumlah dampak buruk 33,5% anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah pada usia15-16 tahun. Dari segi fisik, remaja
Universitas Sumatera Utara
49
itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Anak perempuan berusia 10-14 memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun sementara itu anak perempuan berusia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar. Dampak pernikahan dini terhadap usia dini perkawinan dalam usia muda merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keganasan mulut rahim. Kanker serviks adalah yang menyerang bagian ujung bawah rahim yang menonjol di vagina. Kanker serviks merupakan kanker yang berasal dari leher rahim ataupun mulut rahim yang tumbuh dan berkembang dari serviks, dapat menembus keluar serviks sehingga tumbuh di luar serviks bahkan terus tumbuh sampai dinding panggul. Remaja tahap awal berisiko paling besar untuk menghadapi masalah dalam masa hamil dan melahirkan anak, BBLR, kematian bayi, dan abortus. (Rayani, 2013) Pada masa remaja ini alat reproduksi belum matang melakukan fungsinya. Rahim atau uterus baru siap melakukan fungsinya setelah umur 20 tahun, karena masa ini fungsi hormonal melewati masa maksimal. Pada usia 14-18 tahun, perkembangan otot-otot rahim belum cukup baik kekuatan dan kontraksinya sehingga jika terjadi kehamilan rahim dapat rupture atau robek. Pada usia 14-19 tahun sistem hormonal belum stabil, kehamilan menjadi tak stabil mudah terjadi pendarahan dan terjadilah abortus atau kematian janin. Usia kehamilan terlalu dini dari persalinan memperpanjang rentang usia reproduktif aktif. Hal ini dapat mengakibatkan resiko kanker leher rahim di kemudian hari.
Universitas Sumatera Utara
50
Beberapa resiko yang bisa timbul dari kehamilan usia dini yaitu : a. Kurangnya perawatan senam hamil dan sebelum melahirkan. Gadis remaja yang terutama yang hamil jika tidak mendapatkan dukungan keluarga sangat beresiko mengalami kekurangan dalam perawatan selama hamil dan sebelum melahirkan. Padahal perawatan ini sangat penting terutama di bulan-bulan awal kehamilan, perawatan ini berguna untuk memantau kondisi medis ibu dan bayi serta pertumbuhannya. Jika ada komplikasi bisa di tangani dengan cepat. b. Tekanan darah tinggi Remaja hamil memiliki resiko mengalami TD tinggi atau disebut dengan pregnancy induced hypertension, dibandingkan dengan perempuan yang hamil di usia matang. Kondisi ini memicu terjadinya preeklamsi, yaitu kondisi medis yang berbahaya yang menghubungkan tekanan darah tinggi dengan kelebihan protein dalam urine. Pembengkakan tangan wajah ibu serta kerusakan organ. c. Kelahiran prematur. Kehamilan yang normal berlangsung selama 38-40 minggu sehingga jika lahir sebelum usia tersebut disebut kelahiran prematur. Jika ibu yang hamil tidak mendapatkan perawatan yang cukup atau kondisi tertentu bisa memicu, kelahiran prematur yang berisiko pada bayinya seperti gannguan pernafasan, sistem pencernaannya belum sempurna atau gannguan organ lainnya. d. BBLR. Jika kelahiran secara prematur atau tidak mendapatkan gizi yang cukup selama hamil, ada kemungkinan bayi yang lahir memiliki berat badan yang rendah. Bayi yang memiliki BBLR biasanya sekitar 1500-2500 gr, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
51
jika dibawah 1500 gr maka tergolong sangat rendah. Hal ini menimbulkan berbagai komplikasi yang dapat membahayakan sang bayi. e. Resiko tertular penyakit menular seksual atau PMS. Remaja melakukan hubungan seks memiliki resiko tertular penyakit tertular seperti Chlamidiya dan HIV. Hal ini sangat penting di waspadai karena PMS bisa menyebabkan gangguan pada serviks (mulut rahim) atau menginfeksi mulut rahim dan janin yang sedang di kandung. f. Depresi pasca melahirkan kehamilan yang terjadi pada saat remaja bisa beresiko tuinggi mengalami depresi pasca melahirkan, para gadis akan merasa down dan sedih setelah melahirkan bayinya. Depresi bisa mengganggu pertumbuhan bayi yang baru lahir dan juga perkembangan remaja tersebut yaitu karena itu remaja harus berbicara secara terbuka dengan dokter atau orang lain yang di percayai. g. Timbul Perasaan Sendiri dan Terasing. Remaja yang hamil cenderung akan memiliki pikiran takut terisolasi atau merasa sendiri. Kondisi akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan janin yang ada dalam kandungannya. Karena itu memiliki minimal satu orang bisa di percayai dapat memberikan dukungan emosional yang di butuhkan agar dia selalu sehat selama kehamilannya. Dampak psikologis Seorang yang menikah muda yang terjadi pada usia remaja secara mental belum siap menghadapai perubahan yang terjadi pada saat kehamilan, belum siap menjalankan peran sebagai ibu dan belum siap menghadapi masalah
Universitas Sumatera Utara
52
rumah tangga yang sering kali melanda kalangan keluarga yang baru karena baru menikah karena masih dalam proses penyesuaian. 2.3.4 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Pernikahan Dini Ada beberapa faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu : 1. Faktor pribadi Dalam sebuah dialog antar remaja psikolog yang disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun radio swasta di Jakarta beberapa waktu lalu, seorang remaja lakilaki usia 19 tahun bercerita kepada penyiarnya : "Saya terpaksa menikah karena terlanjur melakukan hubungan intim hingga pacar saya hamil." Lalu, "Apa yang terjadi setelah menikah?" tanya sang penyiar tadi. "Dunia berubah 180 derajat. Dari bangun sembarangan harus berangkat pagi untuk bekerja. Belum lagi, siang malam anak saya menangis, hingga kami tidak bisa tidur barang sekejap pun". Dari dialog tersebut, kita dapat mengetahui bahwa salah satu penyebabnya dari faktor pribadi adalah karena seks bebas yang mengakibatkan hamil duluar nikah. Sehingga akhirnya mereka melakukan pernikahan dini untuk menutupi dosa tersebut. Adapun penyebab dari faktor pribadi yang lain yaitu, karena pada remaja pernikahan dini dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari dosa, yaitu seks bebas. Mereka menganggap, dengan menikah dini, mereka akan terhindar dari yang namanya seks bebas.
Universitas Sumatera Utara
53
2. Faktor keluarga Kian maraknya seks bebas di kalangan remaja dan dewasa muda, maupun meningkatnya angka aborsi setidaknya menjadi indikator tingkat pergaulan bebas sudah berada pada tahap mengkhawatirkan dan harus segera dipikirkan solusinya. Salah satu jalan, walaupun bukan yang mutlak adalah menikahkan pasangan remaja di usia dini. Artinya, bagi mereka yang telah mantap dengan pasangannya, dianjurkan untuk segera meresmikannya dalam sebuah ikatan pernikahan. Sekalipun keduanya masih menempuh pendidikan atau di bawah usia ideal. Hal ini untuk menghindari dampak buruk dari keintiman hubungan lawan jenis. Begitu kata orang tua. Ada juga penyebabnya karena terpaksa. Hal itu terjadi pada orang tua yang masih belum paham pentingnya pendidikan. Para orang tua memaksa anak mereka untuk segera menikah. Hal itu biasanya terjadi setelah remaja lulus SMP atau bahkan belum. Mereka menganggap, pendidikan tinggi itu tidak penting. Bagi mereka, lulus SD saja sudah cukup. 3. Faktor adat dan budaya Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
54
Dari berbagai faktor diatas yang mengakibatkan remaja-remaja harus melakukan pernikahan dini yang sebenarnya masih banyak hal yang harus mereka dapatkan sebagai bekal mereka di kemudian hari, tapi justru sebaliknya mereka harus menghadapi dunia rumah tangga dengan begitu cepat. (Ronal, 2012) 2.3.5 Dampak Pernikahan Dini Tanpa kita sadari ada banyak dampak dari pernikahan dini. Ada yang berdampak bagi kesehatan, adapula yang berdampak bagi psikis dan kehidupan keluarga remaja, antara lain : a. Kanker leher rahim Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun beresiko terkena kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan menyimpang menjadi displasia yang merupakan awal dari kankes. Pada usia lebih tua, di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang, sehingga resiko makin kecil. Gejala awal perlu diwaspadai, keputihan yang berbau, gatal serta perdarahan setelah senggama. Jika diketahui pada stadium sangat dini atau prakanker, kanker leher rahim bisa diatasi secara total. Untuk itu perempuan yang aktif secara seksual dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun sekali.
Universitas Sumatera Utara
55
b. Neoritis depresi Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya. Dalam pernikahan dini sulit membedakan apakah remaja laki-laki atau remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas labil, sulit kembali pada situasi normal. Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi daripada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai menemukan masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak, berubah 100 persen. Kalau berdua tanpa anak, mereka masih bisa enjoy, apalagi kalau keduanya berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa remaja dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan. Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasar emosi atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak. Meski tak terjadi Married By Accident (MBA) atau menikah karena "kecelakaan", kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja.
Universitas Sumatera Utara
56
c. Konflik yang berujung perceraian Sibuknya seorang remaja menata dunia yang baginya sangat baru dan sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini. Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab atas hasil perbuatan yang dilakukan bersama pacarnya. Hanya satu persoalannya, pernikahan usia dini sering berbuntut perceraian. Pernikahan dini atau menikah dalam usia muda, memiliki dua dampak cukup berat. Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu pemerintah mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20 - 30 tahun. Dari segi mental pun, emosi remaja belum stabil. Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, boleh di bilang baru berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20 - 24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka, kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin bertualang menemukan jati dirinya. Selain itu Pernikahan dini pada remaja pada dasarnya berdampak pada segi fisik maupun biologis remaja yaitu (Nugraha, 2002): a.
Remaja yang hamil akan lebih mudah menderita anemia selagi hamil dan melahirkan, salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi, kehilangan kesempatan kesempatan mengecap pendidikan yang lebih tinggi, interaksi dengan lingkungan teman sebaya menjadi berkurang, sempitnya dia
Universitas Sumatera Utara
57
mendapatkan kesempatan kerja, yang otomatis lebih mengekalkan kemiskinan (status ekonomi keluarga rendah karena pendidikan yang minim). b.
Dampak bagi anak: akan melahirkan bayi lahir dengan berat rendah, sebagai penyebab utama tingginya angka kematian ibu dan bayi, cedera saat lahir, komplikasi persalinan yang berdampak pada tingginya mortalitas.
c.
Pernikahan dini merupakan salah satu faktor penyebab tindakan kekerasan terhadap istri, yang timbul karena tingkat berpikir yang belum matang bagi pasangan muda tersebut.
d.
Kesulitan ekonomi dalam rumah tangga
e.
Pengetahuan yang kurang akan lembaga perkawinan
f.
Relasi yang buruk dengan keluarga. Walaupun begitu, dalam konteks beberapa budaya, pernikahan dini bukanlah
sebuah masalah, karena pernikahan dini sudah menjadi kebiasaan. Tetapi, dalam konsep perkembangan, pernikahan dini akan membawa masalah psikologis yang besar dikemudian hari karena pernikahan tersebut.
2.4 2.4.1
Kesehatan Reproduksi Pengertian Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan social yang utuh,
bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi (WHO, 2010). Suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata – mata bebas dari penyakit atau kecacatan
Universitas Sumatera Utara
58
dalam semua hal yang berkaitan dengan system reproduksi, serta fungsi dan prosesnya (Depkes RI, 2007). 2.4.2
Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi dalam Siklus Kehidupan a. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir b. Pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi (ISR) termasuk PMS, HIV/AIDS c. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi d. Kesehatan reproduksi remaja e. Pencegahan dan penanganan infertilitas f. Kanker pada usia lanjut dan osteoporosis g. Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks, mutilasi, fistula (Depkes RI, 2007).
2.4.3
Dampak Pernikahan Dini dilihat dari Kesehatan Reproduksi Perubahan perilaku makin dapat menerima hubungan seksual pranikah
sebagai cerminan fungsi rekreasi, ketika hubungan seksual telah menghasilkan janin dapat mempengaruhi psikologis dan fisik (Manuaba, 2008). a. Dampak Psikologis Pada usia pernikahan dini yang terjadi dibawah usia 20 tahun dalam keadaan belum matangnya mental seseorang remaja akan mempengaruhi penerimaan kehamilannya, dimana alat reproduksi remaja yang belum siap menerima kehamilan, merasa tersisih dari pergaulan karena dianggap belum mampu
Universitas Sumatera Utara
59
membawa diri, terkadang perasaan tertekan Karena mendapat cercaan dari keluarga, teman atau lingkungan masyarakat (Sarwono, 2006). Sejatinya, anak berusia dibawah umur belum paham benar mengenai hubungan seks dan apa tujuannya. Mereka hanya melakukan apa yang diharuskan
pasangan
terhadapnya
tanpa
memikirkan
hal
yang
melatarbelakanginya melakukan itu. Jika sudah demikian, anak akan merasakan penyesalan mendalam dalam hidupnya (Sarwono, 2006). Akibatnya, remaja sering murung dan tidak bersemangat. Bahkan remaja akan merasa minder untuk bergaul dengan anak – anak seusianya mengingat statusnya sebagai istri. Hal ini biasa disebut depresi berat akibat pernikahan dini. Dimana terdapat dua jenis depresi kepribadian yaitu pribadi introvert dan ekstrovert (Manuaba, 2008). Pada pribadi introvert akan membuat si remaja akan menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizophrenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert sejak kecil, remaja terdorong melakukan hal – hal aneh melampiaskan arahnya, seperti perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama – sama berbahaya khususnya dalam kasus pernikahan dini (Manuaba, 2008). Pada sisi lain, pernikahan dini juga berdampak negatif pada keharmonisan keluarga. Hal ini disebabkan oleh kondisi psikologis yang belum matang,
Universitas Sumatera Utara
60
sehingga cenderung labil dan emosional. Pada usia yang belum matang ini biasanya remaja masih kurang mampu untuk bersosialisasi dan adaptasi, dikarenakan ego remaja yang masih tinggi serta belum matangnya sisi kedewasaan untuk berkeluarga sehingga banyak ditemukannya kasus perceraian yang merupakan dampak dari mudanya usia untuk menikah (Sarwono, 2008). b. Dampak Fisik Fisik atau dalam bahasa Inggris “Body” adalah sebuah kata yang berarti badan/ benda dan dapat terlihat oleh mata juga terdefinisi oleh pikiran. Kata fisik biasanya digunakan untuk suatu benda/ badan yang terlihat oleh mata. Dampak fisik dalam pernikahan dini memang sangatlah besar baik dalam melakukan hubungan seksual ataupun dalam persalinan. Perkawinan dini yang berlanjut menjadi kehamilan sangat berdampak negative pada status kesehatan reproduksinya. Proses kehamilan yang dapat terjadi anemi yang berdampak berat badan bayi lahir rendah, intra uteri fetal death, abortus berulang, perdarahan, untuk proses bersalin terkadang belum matangnya alat reproduksi membuat keadaan panggul masih sempit dan sebagainya untuk itu perlu pemantauan dan pemeriksaan ekstra yang lebih lengkap (Manuaba, 2008). Selain itu dampak pernikahan dini apabila terlihat dari sisi fisik dan biologis, juga ditemukan berbagai efek negative yang bisa dikatakan berbahaya seperti banyaknya seorang ibu yang menderita anemia selagi hamil dan melahirkan,
Universitas Sumatera Utara
61
sehingga menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan bayi akibat pernikahan dini (Manuaba, 2008). Secara medis usia bagus untuk hamil yaitu pada usia 21 – 35 tahun, maka bila usia kurang meski secara fisik telah menstruasi dan bisa dibuahi, namun bukan berarti siap untuk hamil dan melahirkan serta memiliki kematangan mental, yakni berfikir dan dapat menaggulangi resiko – resiko yang akan terjadi pada saat kehamilan dan persalinan. Seperti misalnya terlambaat memutuskan mencari pertolongan jika terjadi kegawatdaruratan pada saat persalinan karena minimnya inforasi sehingga terlambat mendapat perawatan yang semestinya (Manuaba, 2008). Menurut Manuaba 2008, dampak fisik dari pernikahan diusia muda dapat digolongkan menjadi 2 yaitu : a. Dampak bagi ibu 1. Intra uterin Fetal Death Intra uterin Fetal Death atau kematian janin dalam kandungan adalah keadaan tidak adanya tanda – tanda kehidupan janin dalam kandungan. Keadaan ini sering di jumpai pada kehamilan di bawah 20 minggu, yaitu ditandai kematian janin bila ibu tidak merasakan gerakan janin, biasanya berakhir dengan abortus.
Universitas Sumatera Utara
62
2. Premature Persalinan premature adalah suatu proses kelahiran bayi sebelum usia kehamilan 37 minggu atau sebelum 3 minggu dari waktu perkiraan persalinan. Resiko terjadinya kehamilan premature, antara lain : a. Usia ibu saat hamil kurang dari 20 tahun b. Wanita dengan gizi yang kurang atau anemia c. Lemahnya servik 3. Perdarahan Perdarahan pada saat melahirkan antara lain disebabkan karena otot rahim yang terlalu lemah dalam proses involusi 4. Kematian ibu Kematian ibu saat melahirkan disebabkan oleh perdarahan dan infeksi. b. Dampak bagi bayi 1. Kemungkinan janin lahir beum cukup usia kehamilan atau kurang dari 37 minggu, pada umur kehamilan tersebut pertumbuhan janin belum sempurna. 2. BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) yaitu, bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram. Kebanyakan hal ini dipengaruhi oleh umur ibu saat hamil kurang dari 20 tahun dan ibu kurang gizi (Manuaba, 2008).
Universitas Sumatera Utara
63
2.5
Landasan Teori Komunikasi interpersonal adalah komunikasi ini sebenarnya sama dengan
pengertian komunikasi yang sudah dikenal pada umumnya. Secara formal dapat diartikan sebagai proses penyampaian berita yang dilakukan oleh seseorang dan diterimanya berita tersebut oleh orang lain atau kelompok kecil, dengan adanya umpan balik yang segera terjadi. Komunikasi ini tidak jauh berbeda dengan bentuk prilaku orang-orang, ada kalanya efektif dan ada kalanya tidak efektif. Terjalinnya komunikasi interpersonal dalam keluarga, karena menurut Harlock (1978) komunikasi akan menjadikan seseorang mampu mengemukakan pendapat dan pandanganya, sehingga mudah untuk memahami orang lain dan sebaliknya tanpa adanya
komunikasi
kemungkinan
besar
dapat
menyebabkan
terjadinya
kesalahfahaman yang memicu terjadinya konflik. Menurut Joseph A.Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (Devito, 1989), komunikasi antar pribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orangorang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (the process of sending and receiving messages between two persons, or among a small group of persons, with some effect and some immediate feedback). Keharmonisan keluarga merupakan suatu perwujudan kondisi kualitas hubungan interpersonal baik inter maupun antar keluarga. Hubungan interpersonal merupakan awal dari keharmonisan. Hal ini mengandung arti bahwa keharmonisan akan sulit terwujud tanpa adanya hubungan interpersonal, baik dalam keluarga
Universitas Sumatera Utara
64
maupun antar keluarga. Begitu pula untuk mewujudkan suatu pernikahan yang harmonis akan sulit terwujud tanpa adanya hubungan interpersonal yang baik antara suami dan istri Menurut Devito dan Gunarsa, efektifitas komunikasi interpersonal dan aspek keharmonisan keluarga dimulai dengan mempertimbangkan 5 kualitas umum, yaitu: a. Keterbukaan (Openness) b. Empati (Emphaty) c. Sikap mendukung (Supportiveness) d. Sikap positif (Positiveness) e. Kesetaraan (Equality)
2.6 Kerangka Konsep
Komunikasi interpersonal Kesehatan Reproduksi (Dampak fisik dan psikologis pernikahan dini) Keharmonisan keluarga
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah penulis paparkan di atas maka penulis hipotesis penelitian ini adalah : ada hubungan komunikasi interpersonal dan keharmonisan keluarga pada pasangan pernikahan dini terhadap kesehatan reproduksi di Kelurahan Indra Kasih Kecamatan Medan Tembung.
Universitas Sumatera Utara