BAB II Ritual dan Identitas Sosial Bagian ini merupakan uraian teoritis yang berkaitan antara “Oma Panggel Pulang” dengan konsep-konsep yang tertuang dalam judul tesis ini melalui pendekatan teoritis. Untuk dapat memahami tradisi ”Oma Panggel Pulang” maka terlebih dahulu penulis melihat teoriteori yang berkaitan dengan Ritual, Ritual Makan Bersama, Fungsi Tari-tarian dalam ritual, Identitas Sosial dan Identitas Masyarakat Diaspora. Ritualisasi dalam tradisi Oma Panggel Pulang. 2.1 Ritual Ritual adalah seperangkat tindakan yang mencoba melibatkan agama atau magis, yang diperkuat melalui tradisi. Para ahli seperti Arnold Van Gennep, Victor Turner, Clifford Geertz, Catherine Bell, Emile Durkeim dan Roy Rappaport, dalam melihat ritual lebih menekankan pada bentuk ritual sebagai suatu penguatan ikatan tradisi sosial dan individu dengan struktur sosial dari kelompok. Intergrasi itu dikuatkan dan diabdikan melalui simbolisasi ritual. Jadi ritual bisa dikatakan sebagai perwujudan esensial dari kebudayaan. Ritual sendiri merupakan suatu tindakan kebiasaan dari cerita rakyat yang berulangulang. Ritual mempunyai tujuan yang sangat terorganisir dan dikendalikan secara umum untuk menunjukkan keanggotaan dalam kelompok.1 Ritual juga dianggap sebagai suatu tindakan dan otomatis sehingga membedakannya dari aspek konseptual agama, seperti keyakinan, simbol dan mitos. Karena itu, ritual ini kemudian digambarkan sebagai suatu tindakan yang dirutinkan atau kebiasaan. Seperti integrasi ritual, kepercayaan dan perilaku,
1
Sims dan Stephens, Living Folkore ,..., 95.
11
tradisi dan perubahan, ketertiban dan kekacauan, individu dan kelompok, alam dan budaya, subjektivitas dan objektivitas.2 Ritual bersifat publik untuk menyeragamkan wujud nilai-nilai yang ada pada masyarakat untuk menjadikan suatu perantaraan pengalaman-pengalaman individu dalam masyarakat.3 Roy Rappaport menekankan bagaimana kegiatan-kegiatan budaya tertentu berguna sebagai mekanisme homeostatis untuk mempertahankan keseimbangan masyarakat dengan lingkungan fisiknya. Adanya suatu ritual dalam masyarakat tertentu tidak terlepas dari pengaruh lingkungan. Ritual yang dilakukan oleh manusia merupakan proses adaptasi terhadap lingkungan alam sekitarnya. Selanjutnya ritual seringkali dihubungkan dengan berbagai unsur-unsur kebudayaan.4 Dengan kata lain, ada hubungan erat antara kehidupan sehari-hari masyarakat dengan ritus-ritus. Sebab peranan ritus dalam masyarakat sangatlah menonjol.5 Unsur terpenting dalam ritus adalah simbol, maka simbol pun mendapatkan perhatian khusus. Dimana simbol ritual sebagai unit terkecil dari ritus yang masih mempertahankan sifat-sifat spesifik dari tingkah laku dalam ritus.6 Sebab suatu simbol tentunya memiliki instrumen nilai.7 Menurut Van gennep dalam buku The Rites of Passage, dikatakan bahwa peralihan itu diiringi dengan ritus-ritus peralihan. Proses ritus-ritus ini terdiri dari tiga (3) fase, yaitu: (1) pemisahan, di mana seseorang tidak terlibat dari peran atau status sosial, (manusia menjadi objek dari upacara itu akan terpisah atau dipisahkan dari lingkungan dan struktur masyarakat semula); (2) transisi, di mana seseorang beradaptasi dan perubahan agar sesuai dengan peran 2
Catherine Bell, Ritual – Perpectives and Dimensions (New York: Oxford University Press, 1997), 19-
20. 3
Mary Douglas, Purity and Danger (London and New York: Routledge, 1996), 48. Roy A. Rappaport, Pigs For the Ancestors: Ritual in the ecology of a New Guinea (New Haven and London: Yale University Press, 1978), 1. 5 Victor Turner, The Ritual Process, Structure and Anti-structure (New York: Cornell University Press, 1969), 9. 6 Turner,“Symbols in African Ritual”, dalam: Morris Freilich (ed), The Pleasure of Anthropology (New York: The New American Library, 1983), 361. 7 Raymond Firth, Symbols: Public and Private (New York, Ithaca: Cornell University Press, 1973), 76. 4
12
baru, (mereka memasuki masa liminalitas atau transisi); dan (3) penggabungan, dimana orang tersebut mengintegrasikan peran baru atau status ke dalam diri (objek akan masuk ke dalam lingkungan baru dalam struktur masyarakatnya).8 Hal ini sama pendapatnya dengan Turner, komunitas muncul di mana tidak ada struktur sosial.9 Karena komunitas merupakan bentuk sosial dari liminalitas. Dimana komunitas yang lahir dari periode liminal merupakan salah satu model masyarakat yang relatif tidak terstruktur dan tidak terbedakan, atau tidak terstruktur secara sempurna, bahkan merupakan komuni (communion) dari individu-individu sederajat yang tunduk bersama-sama kepada satu otoritas umum (general aothority).10 Dalam ritual terdapat ritus-ritus (upacara-upacara) yang dilakukan. Dengan demikian, upacara dikatakan sebagai “Transformasi simbolis” pengalamanpengalaman yang dibakukan menjadi “formalisasi perilaku ketika berhadapan dengan objek suci,” merupakan artikulasi perasaan yang menghasilkan sikap kompleks dan permanen.11 Kemudian upacara menjadi suatu “pengulangan sentimen secara tetap” dan “penggulangan sikap yang benar dan pasti,” yang oleh Parson,12 bahwa dalam perbuatan pengulangan itu “manusia tidak hanya menunjukan kebersamaan sikap, melainkan justru memperkuat sikapsikap itu. Upacara menanamkan sikap dalam kesadaran diri yang memperkuat nereka dan karena itu memperkuat komunitas moral. Menurut Thompson, upacara (ceremony) adalah “a public or religious occasion that include a series of formal or traditional action”. Upacara merupakan peristiwa-peristiwa resmi atau keagamaan yang meliputi tingkah laku yang bersifat tradisi atau bersifat formal. 13 Sedangkan Ritual (ritus) adalah bagian dari tingkah laku religius yang masih aktif dan bisa 8
Arnold.Van Gennep, The Rites of Passage (London and Henley: Rouledge and Kegan Paul, 1960),
11. 9
Y.W. Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dari Komunitas menurut Victor Turner (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 47. 10 Turner, The Ritual Process ,..., 96. 11 Thomas E. O’Dea, Sosiologi Agama (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 1987), 75. 12 Talcott Parson, The Structure of Social Action (New York: The Free Press, 1968), 435. 13 Della Thompson, The Oxford Dictionary of Current English (United States: Oxford University Press, 1922), 133.
13
diamati, misalnya pemujaan, nyanyian, doa-doa, tarian dan lain-lain. Sebab ritual memiliki sifat sakral.14 Menurut lingkupnya upacara dapat dibedakan menjadi dua macam kategori yang terpisah satu sama lain: “upacara” dan ritual.” Upacara diartikan dalam setiap organisasi apa pun dari kegiatan yang dilakukan manusia tidak hanya sekedar teknis tetapi berkaitan dengan penggunaan cara-cara tindakan yang ekspresif dari hubungan sosial. Segala tingkah laku yang sedemikian, entah itu yang sudah lazim atau sesuai mode, disebut upacara. Sedangkan ritual menjadi nyata bahwa dia berkaitan dengan pengertian-pengertian mistis yang merupakan pola pemikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri rasa.15 Terdapat juga perbedaan antara upacara dan ritual menurut Roy Rappaport, sebagaimana ia menyatakan bahwa seremonial sebagai suatu spesies ritual yang bagaimanapun penekanan lebih pada sebuah pengakuan simbolis dan demonstrasi situasi sosial, yang dibandingkan pada efektivitas prosedur dalam memodifikasi situasi ini. Sedangkan prosedur ritual lainnya diyakini memiliki validitas sendiri dalam karakter formal.16 Ritual juga dapat dibedakan dalam empat (4) macam yaitu: (1) Tindakan magis yang dalam pelaksanaannya menggunakan bahan-bahan yang diyakini memiliki kekuatan mistis; (2) Tindakan religius, kultus para leluhur; (3) Ritual konstitutif yang menggunakan hubungan sosial dengan melaksanakan upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan; (4) Ritual faktitif, ritual yang bertujuan untuk mendapatkan perlindungan dan kekuatan suatu kelompok, salah satunya kesejahteraan materi.17 Berbeda dengan pendapat yang
14
I Made Sendra, I Made Sumerta, Ni Luh Ariani, Yufiza, Fungsi dan Makna Upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), 8. 15 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 175. 16 Roy A. Rappaport, Ritual and Religion in the Making of Humanity (United Kingdom: Cambridge University Press, 1999), 38. 17 Dhavamony, Fenomenologi Agama ,..., 175.
14
dikemukakan Susanne K. Langer bahwa simbol prosesi ritual, sebagai perantara untuk menampilkan pengertian akal murni yang mengandung penggambaran tidak langsung.18 Adapun tujuan dari ritual-ritual (upacara-upacara) itu, adalah: tujuan penerimaan, perlindungan, pemurnian, pemulihan, kesuburan, penjamin, melestarikan kehendak leluhur (penghormatan), mengontrol sikap komunitas menurut situasi kehidupan sosial yang semuanya diarahkan pada transformasi keadaan dalam manusia atau alam.19 Sebagai kontrol sosial, ritus bermaksud mengontrol perilaku kesejahteraan individu demi dirinya sendiri sebagai individu ataupun individu bayangan. Hal itu dimaksudkan untuk mengontrol dengan cara konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan, dan nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara keseluruhan.20 Bagi Durkheim, ritus-ritus merupakan tindakan yang hanya lahir di tengah kelompok-kelompok manusia dan tujuannya adalah melahirkan, mempertahankan atau menciptakan kembali keadaan-keadaan mental tertentu dari kelompokkelompok itu.21 Lebih lanjut Van Gennep mengemukakan bahwa tujuan ritual dapat menandai kemajuan seseorang dari satu status yang satu ke status yang lain. Hal ini merupakan suatu fenomena universal yang dapat menunjukan antropologi dalam hierarki sosial, nilai-nilai dan keyakinan yang penting dalam budaya.22 Ritus memiliki banyak fungsi, baik pada tingkat individu maupun kelompok dan masyarakat. Ritus dapat menyalurkan dan mengekspresikan emosi, menuntun dan menguatkan bentuk-bentuk perilaku, memberi dukungan dan mengembangkan status quo, membawa perubahan, juga memiliki fungsi yang sangat penting dalam penyembahan dan penghormatan. Ritus-ritus juga dapat digunakan untuk memelihara kesuburan tanah dan untuk menjamin hubungan yang benar dengan dunia yang tak terlihat dari roh-roh leluhur 18
Susanne K. Langer, Philosophy in a New Key (New York: The Free Press. 1971), 51. Dhavamony, Fenomenologi Agama ,..., 180. 20 Emile Durkheim, Sejarah Agama (Terj.) (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 29. 21 Durkheim, Sejarah Agama ,.., 30. 22 Gennep, The Rites of Passage ,.., 10. 19
15
atau kekuatan-kekuatan supranatural lainnya.23 Ritus merupakan aturan tentang perilaku yang menentukan bagaimana manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang sakral.24 Ritual berfungsi sebagai alat yang membolehkan masyarakat berhimpun sehingga adanya peluang untuk mempengaruhi perasaan dan semangat bersatu padu. Selain itu, fungsi ritual tidak hanya untuk menguatkan ikatan dengan para leluhur, namun juga sebaliknya memperkuat ikatan yang menyemangatkan individu kepada kelompok sosialnya sebagai anggota dari suatu kelompok, dan melalui ritual ini kelompok menjadi sadar akan kelompoknya.
2.2 Ritual Makan Bersama Masyarakat Potlatch adalah sebuah ritual yang sangat mewah, perayaan Potlatch diselenggarakan oleh suku Indian di Pantai Pasifik di Amerika Utara.25 Potlacth merupakan sebuah tradisi makan bersama atau makan seadanya, budaya ini muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad 20.26 Istilah Potlacth berasal dari Chinook makna Jargon “memberi” atau dari kata Noctka “Pa-Mencaci” yang berarti memberi.27 Potlacth secara tradisional diadakan pada peristiwa atau even-even tertentu. Misalnya pada acara perkawinan, pemberian nama, pesta kelahiran dan kematian. Ritual ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh legitimasi sosial yang berdimensi supranatural dari yang mengadakan Potlacth sebagai pewaris kedudukan atau status sosial dalam masyarakat. Bagi masyarakat suku Indian di Pantai Pasifik Utara, Potlacth adalah sebuah upacara ritual yang didalamnya mereka menampilkan tari-tarian, menceritakan legenda dari para
23
Dhavamony, Fenomenologi Agama ,..., 147. Durkheim, Sejarah Agama ,..., 72. 25 The Encyclopedia of Religion, New York, Vol 11, 1987, 464. 26 The Encyclopedia Americana International, Vol.1, 1989. 27 George Clutesi, Potlatch (Sidney, British Columbia: Gray’s Publishing Ltd., 1969), 9. 24
16
leluhur dalam keluarga dan bernyanyi. Dalam proses ritual ini masyarakat makan secara bersama-sama, dan selanjutnya mereka membagikan sebagian harta mereka kepada yang dijamu sesuai dengan status dan kedudukannya dalam masyarakat. Bagi mereka dengan melakukan ritual ini secara langsung dapat menaikkan status mereka dalam masyarakat. Suku Indian dalam tradisi makan bersama masyarakatnya, makanan yang disajikan untuk para tamu harus melimpah sehingga tamu tidak bisa menghabiskan makanan tersebut. Hal ini merupakan ciri khas dari ritual Potlacth. Makanan yang disajikan dalam ritual ini sangat tradisional, makanan-makanan ini yang merupakan warisan dari para leluhur yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.28 Tujuan Potlacth dapat dirincikan sebagai berikut: pertama, mengukuhkan kedudukan atau status sosial. Kedua, dalam ritual Potlacth ada kesempatan bahwa mereka saling berbagi, seperti berbagi harta dan makanan. Ketiga, Tuan rumah mengadakan ritual ini untuk menciptakan kerja sama dan saling membantu di antara mereka. Keempat, ritual ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara sesama serta memelihara hubungan mereka dengan supranatural yang telah memberi berkah dan status sosial kepada mereka. Karena itu, Potlacth juga merupakan identitas dari masyarakat tersebut, bahkan ritual ini merupakan salah satu bentuk solidaritas diantara sesama mereka.29 Potlacth juga merupakan konsep pemberian hadiah, seperti pertukaran kado atau barang pada acara-acara tertentu. Sehingga tujuan utama dari Potlacth untuk mendistribusikan atau memberikan sebagian harta yang dimiliki kepada klen, suku atau masyarakat yang lain. Dengan demikian proses pelaksanaan Potlacth ini terjadi suatu hubungan timbal-balik dalam memberikan harta kekayaan. Marcel Mauss dalam bukunya the gift, menunjukkan bahwa ada hubungan timbal-balik dari pertukaran melalui praktek pemberian hadiah diantara
28 29
The Encyclopedia Americana International, Vol.22, 469. The Encyclopedia of Religion, New York 1987, Vol.22, 465.
17
masyarakat. Dia menggambarkan bahwa kewajiban moral untuk memberi, menerima dan memgembalikan
hadiah
merupakan
dasar
solidaritas
masyarakat
yang
sekaligus
mengintegrasikan masyarakat setempat.30 Marry Douglas dalam Buku In The Active Voice, yang mengemukakan pandangannya mengenai makanan yang semula diperkirakan berhubungan dengan masalah fisik dan ketersediaan makanan dan ternyata tidak hanya berarti demikian. Namun manusia membuat pilihan yang berhubungan dengan apa yang ingin dimakan, dengan siapa, ataupun dengan susunan yang bagaimana, serta seberapa sering dan kapan proses itu terjadi. Dari beberapa penelitiannya, ia mengeksplorasikan bagaimana makanan menjadi sebuah medium relasi sosial. Makanan digunakan sebagai unsur utama dalam merayakan peristiwa-peristiwa sosial dan mendefinisikan kategori-kategori sosial dan mengkonfimasi nilai-nilai sosialnya. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa makna-makna budaya yang kuat diinvestasikan di dalam makanan. Hal ini kemudian menunjukkan pola perubahan sosial dan integrasi sosial. Makanan dalam tata sosial berfungsi sebagai sistem komunikasi (simbolis) dari unit keluarga, di dalam satu kelas sosial maupun antar kelas sosial dalam masyarakat. Kategori-kategori makanan tersebut memperlihatkan gaya sosial yang berbeda-beda. Sehingga makna makanan ditemukan dalam sebuah sistem yang dilakukan berulang-ulang. Misalnya keterikatan antar menu makanan; bahkan setiap makanan terdapat struktur dari peristiwa sosial yang menstrukturkan yang lain dalam gambarannya sendri.31 Adat makan bersama dalam pandangan Koentjaraningrat merupakan salah satu unsur terpenting dari sebuah upacara keagamaan, yang tidak selamannya dapat dijelaskan artinya secara menyeluruh dan tentang asal–mulanya.32 Maksudnya, makan bersama bukan hanya
30
Marcel Mauss, The Gift (London and New York: Routledge, 1954), 7. Mary Douglas, In The Active Voice (London and Henley: Routledge and Kegan Paul, 1960), 75. 32 Makan bersama merupakan salah satu unsur penting diantara sepuluh unsur dalam upacara keagamaan lainnya, yaitu: bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama, menari dan menyanyi, berpawai, 31
18
persekutuan atau solidaritas antar sesama manusia dalam acara keagamaan, namun juga dalam persekutuan dengan para dewa, sehingga acara makan bersama merupakan salah satu unsur adat yang masuk dalam kesakralan dan patut dilakukan oleh masyarakat budaya. 2.3 Fungsi Tari-tarian dalam Ritual Seni tari sebagai suatu ekspresi manusia yang bersifat estetis, kehadirannya tidak bersifat independen. Secara kontekstual yang berhubungan dengan ilmu sosiologi maupun antropologi, tarian adalah bagian integral dari dinamika sosio-kultural masyarakat. Tetapi lebih penting, tarian ialah sesuatu yang bersangkutan dengan isi atau makna maupun pesanpesan yang dikandungnya. Tarian dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, sebagai berikut: Tarian sebagai keindahan, Tarian sebagai kesenangan, Tarian sebagai sarana komunikasi, Tarian sebagai sistem simbol dan Tarian sebagai supraorganik.33 Menurut Merriem dalam bukunya yang berjudul The Antropology of Music mengatakan ada 8 fungsi seni musik etnis yaitu: (1) Sebagai kenikmatan estetis, yang dapat dinikmati oleh penciptanya atau penontonnya (2) hiburan bagi seluruh masyarakat (3) komunikasi bagi masyarakat yang memahami musik, karena musik bukanlah bahasa universal (4) representasi simbolis (5) respon fisik (6) memperkuat komunitas norma-norma sosial (7) mengesahkan institusi-institusi sosial dan ritual-ritual keagamaan (8) sumbangan pada pelestarian serta stabilitas kebudayaan.34 Selain seni musik yang menjadi salah satu bentuk dari kesenian atau seni pertunjukan lainnya ialah seni tari tradisional. Tari tradisional ialah tari yang telah mengalami perjalanan yang cukup lama dan selalu berpijak pada pola tradisi yang sudah ada. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Soedarsono yang menyatakan bahwa tarian rakyat merupakan jenis tarian yang memainkan seni drama, berpuasa, intoxikasi, bertapa dan bersemedi. Lih. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Cetakan I) (Jakarta: Dian Rakyat, 1967), 240. 33 Sumandiyo Hadi, Sosiologi Tari (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2005), 12. 34 Alan P. Merriem, The Anthropology Of Music (Evanston: Northwestern University Press, 1964), 223-225.
19
berpijak pada budaya tradisional dan masih bertumbuh pada unsur primitif.35 Tari Tradisional kerakyatan adalah tari yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, kemudian diturunkan dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.36 Karena kehadiran tarian tradisional dikelompokkan pula sebagai bentuk pemujaan yang berkaitan dengan religi atau kepercayaan seperti tarian dalam ritual upacara. Tarian yang berhubungan dengan religi atau kepercayaan bersifat sakral atau suci, seperti misalnya banyak terdapat dalam peninggalan jenis tarian budaya primitif. Penyembahan atau pemujaan terhadap roh nenek moyang dilakukan dalam bentuk tarian, merupakan kepercayaan yang telah diwarisi turun-temurun sejak masyarakat primitif.37 Dalam pemahaman Durkheim mengenai fungsi tarian, maka berbicara mengenai tarian yang terdapat dalam konteks ritual atau upacara-upacara keagamaan. Tarian merupakan suatu gerakan-gerakan yang diciptakan oleh masyarakat di mana ia merupakan ekspresi dari emosi kolektif yang meresap dalam diri setiap individu. Emosi tersebut ada ketika mereka masuk dalam kehidupan di ranah sakral dan bersama-sama terlibat dalam satu upacara atau ritual. Tari-tarian yang diciptakan dan dilakukan secara bersama-sama bisa saja merupakan bentuk ekspresi kegembiraan bagi setiap individu ketika ada dalam satu upacara, seperti upacara penyembahan dan penghormatan terhadap leluhur. Jadi, gerakan-gerakan yang diciptakan dan kemudian menjadi suatu tari-tarian merupakan cara yang dilakukan individu untuk meluapkan emosi yang mereka rasakan, baik itu perasaan senang, gembira maupun kekaguman. Melalui keterlibatan individu dalam pemujaan dan tari-tarian, maka setiap individu akan bergabung dalam kehidupan kolektif dan diikat dalam satu kebersamaan yang erat.38
35
Soedarsono, Wayan Wong: The State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), 3, 10. 36 Jazuli. M, Telaah Teoritis Seni Tari (Semarang: IKIP Press, 1994), 70. 37 Hadi, Sosiologi Tari ,.., 16-20. 38 Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh J.W. Swain, Glencoe, Illinois, The Free Press, 1974), 319,531-539.
20
Sebagaimana di Maluku, tari-tarian sangat lekat dalam adat. Adat yang merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang biasanya berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada sikap dan perbuatan manusia dalam masyarakat.39 Sehingga hasil penelitian yang dilakukan oleh Frank. L. Cooley bagi masyarakat di Maluku Tengah dalam memahami “adat” dapat dirumuskan beberapa hal yakni: pertama, adat sebagai kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan dan kedua, kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan berkenaan dengan tetap dilakukannya hal-hal tertentu yang dianggap wajib bagi semua anggota masyarakat dan harus dilakukan menurut aturan yang telah ditetapkan.40 Hampir sebagian masyarakat Maluku yakin bahwa adat diturunkan oleh leluhur yang telah mendirikan persekutuan desa, dan menghendaki agar dapat dijadikan sebagai pola kehidupan
bagi
keturunan
selanjutnya.
Dikarenakan
adat
berfungsi
menjamin
terselenggaranya relasi, baik antara masyarakat dan para leluhurnya. 41 Dimana Tradisi merupakan perilaku informal bersama yang dapat menghubungkan manusia ke generasi masa lalu dengan masa sekarang, juga dapat menghubungkan manusia dengan identitas etnis dan agama, dan mengikatnya dengan perilaku orang-orang dalam budaya.42 Tradisi juga bisa berupa perangkat dari sebuah sistem kepercayaan (keyakinan) atau adat-istiadat.43 Namun, inti tradisi lisan (folklore) merupakan sesuatu yang menjadi bagian dari identitas dari suatu komunitas yang dikomunikasikan secara lisan berupa ideologi, nilai-nilai yang mengikat mereka dan diwujudkan dalam tindakan sehari-hari. Secara dinamis bahkan di konstruksikan sedemikian rupa dalam struktur masyarakat yang ada.44
39
Koentjaraningrat,
Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: PT. Gramedia Utama,
1990), 5. 40
Frank L. Cooley, Mimbar Dan Tahta: Hubungan Agama-agama dan Pemerintahan di Maluku Tengah (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1987), 108. 41 Cooley, Mimbar Dan Tahta ,...,109. 42 Sims dan Stephens. Living Folkore ,..., 64. 43 Thompson, The Oxford Dictionary ,.., 968. 44 Richard Bauman, Folklore, Cultural Performance, and Popular Entertainments (New York: Oxford University Press, 1992), 29-40.
21
Selain itu dalam menjalankan tradisi, masyarakat juga melibatkan ritual-ritual yang dilakukan sesuai tradisi lokal. Karena keberadaan tradisi tidak dapat dipisahkan dari ritual, sebab ritual memiliki peran sentral dalam membangun memori kolektif masyarakat untuk dapat menunjukan identitas individu maupun kelompok sehingga menjadi sebuah identitas sosial. 2.4 Identitas Sosial Istilah identitas berasal dari bahasa latin yakni idem, yang maknanya untuk menyatakan pemahaman mengenai adanya kesamaan dan kesatuan.45 Secara harafiah identitas adalah ciriciri, tanda-tanda, atau jati diri seseorang yang melekat pada sesuatu atau seseorang yang membedakannya dengan yang lain, baik secara fisik maupun secara non-fisik. Sementara itu, KBBI menjelaskan bahwa identitas sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang.46 Bahkan ketika orang mendiskusikan soal identitas, selalu diidentikan dengan jati diri dari sebuah entitas. Konsep identitas juga bersifat dinamis seperti yang diungkapkan oleh Anthony Giddens, bahwa memahami identitas diri merupakan suatu keahlian bernarasi tentang diri dan menceritakan perasaan yang konsisten tentang kontinyuitas biografi. Seperti cerita identitas yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: apa yang dikerjakan? Bagaimana melakukan? Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha mengkonstruksikan cerita identitas dengan saling bertalian dimana diri seseorang membentuk lintasan suatu perkembangan dari pengalaman-pengalaman di masa lalu menuju ke masa depan.47 Sementara itu, konstruksi identitas harus dilihat sebagai konstruksi makna dan representasi terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Identitas yang dikonstruksi oleh individu atau
45
Jenkins, Social Identity ,..., 17. Riskianingrum, Studi Dinamika Identitas ,..., 1. 47 Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity (United Kingdom: Cambridge Polity Press, 1991), 75. 46
22
kelompok tertentu memiliki dampak positif dan negatif atas mereka yang menggunakannya.48 Identitas juga terkait dengan persoalan apa yang dimiliki, atau tentang apa yang menjadi kebiasaan dan apa yang membedakan seorang individu dengan individu lain, atau etnik yang satu dengan etnik yang lain.49 Telah lanjut menurut Jenkins, identitas merupakan pemahaman akan siapa kita, dan siapa orang lain, serta secara resiprokal, pemahaman orang lain akan diri mereka sendiri dan orang lain. Sedangkan, identitas sosial adalah ciri-ciri atau keadaan khusus sekelompok masyarakat. Identitas ini menunjukkan cara-cara di mana individu dan kolektivitas-kolektivitas dibedakan dalam hubungan mereka dengan individu dan kolektivitas lain.50 Penekanan relasi antara identitas individual dan identitas sosial menjadi semakin jelas ketika memperhatikan pendapat Jenkins bahwa seluruh identitas manusia ditentukan oleh definisi identitas sosial.51 Hal ini juga yang dijelaskan oleh postmodernis yang melihat identitas dari aspek kesejarahan yang membentuk identitas itu. Dua model identitas menurut Sarup, yaitu: (1) dari sudut tradisional, bahwa keseluruhan dinamika identitas seperti kelas, gender dan ras yang beroperasi secara simultan menghasilkan identitas yang utuh, satu dan tetap; (2) dari sudut terkini, bahwa identitas terkonstruksi dalam proses dan dipetimbangkan dalam aspek psikologi dan sosiologi.52 Berbeda dengan Sarup, Manuel Castell mengatakan bahwa identitas merupakan sumber makna bagi manusia itu sendiri. Dalam hal ini identitas sebagai sesuatu yang mengacu kepada aktor sosial, dipahami sebagai proses mengkontruksi makna atas dasar suatu atribut 48
Yance Z. Rumahuru, Ritual Ma’atenu sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha di Pelauw Maluku Tengah, Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM. Vol.2 No. 1, April 2012, Hal 36-47. 49 Cris Weedon, Identity and Culture: Narative of Difference and Belonging (UK: Open University Press, 2004), 65. 50 Jenkins, Social Identity ,..., 18. 51 Jenkins, Social Identity ,..., 4. 52 Madan Sarup, Identity, Culture and The Postmodern World (Athens GA: The University of Georgia Press, 1996), 14.
23
dari kebudayaan atau satu kumpulan atribut sosial yang saling berhubungan. Hal ini yang menyebabkan identitas bersifat majemuk atau jamak (plurality of identites). Berdasarkan fakta dan dalam perspektif sosiologi, bahwa semua identitas adalah terkonstruksi dan dibentuk.53 Demikian juga Castell memiliki perbedaan dengan Burke dan Stets yang terletak pada fokus kajiannya. Burke dan Stets memfokuskan kajiannya pada indentitas personal, sedangkan Castells merambatkan kajiannya pada identitas kolektif. Dari situ secara implisit memberikan pemahaman bahwa seorang individu mempengaruhi masyarakat melalui tindakan individual. Misalnya, membuat kelompok, organisasi, jaringan kerja, dan lembaga. Demikian juga sebaliknya masyarakat mempengaruhi seorang individu melalui berbagi bahasa, makna, dan struktur yang telah tersedia, sehingga memampukan seseorang untuk memainkan peran ketika bertemu dengan orang lain, ikut serta dalam interaksi sosial, dan merefleksikan diri orang lain sebagai objek. Hal ini sejalan dengan pemaknaan bahwa identitas sosial itu pada dasarnya adalah pemahaman seseorang bahwa dirinya menjadi bagian dari sebuah kategori sosial atau kelompok. Sebuah kelompok sosial adalah sejumlah individu yang berpegang pada identifikasi sosial yang sama atau memandang diri mereka sebagai anggota dari sebuah kategori sosial.54 Kategori sosial yang dimaksudkan adalah identitas dari masyarakat diaspora.
53
Manuel Castel, Power of Identity (London: Blackwell, 2001), 6. Jan E. Stets & Peter J. Burke, Identity Theory and Social Identity Theory (New York: Oxford University Press, 2009), 8-9. 54
24
2.5 Identitas Masyarakat Diaspora Identitas ini terkait dengan proses imigran beralih ke negara lain dengan menyertakan identitas mereka dari negara asal.55 Hubungan antara negara asal dan diaspora mempunyai hasil kemungkinan yang timbal balik sehingga di tempat yang mereka duduki juga merupakan dampak signifikan terhadap identitas di kalangan diaspora. Diperkirakan konstruksi dan pemeliharaan akan identitas ini dapat dikatakan sebagai sebuah proyek kolaborasi yang terdiri dari kontribusi dari banyak kelompok dalam tanah air dan luar negeri.56 Istilah diaspora ini digunakan secara lebih luas untuk menunjukan hubungan budaya yang terus dipelihara oleh orang-orang yang sudah menyebar di seluruh dunia.57 Hal ini diperkuat oleh Sheffer yang mendefinisikan diaspora modern sebagai emigran yang berasal dari kelompok etnis yang menetap di negara tempat tinggal (host country), namun masih menjaga hubungan sentimental yang kuat dengan negara asal dan kampung halamannya.58 Tempat asal bagi masyarakat diaspora merupakan komponen penting bagi rasa identitas diri mereka sebagai subjek. Dengan adanya Tempat, masyarakat dapat menemukan budaya. Karena itu, tempat tidak dapat dipahami di luar konteks budaya.59 Makna tempat dan ruang dikonseptualisasikan, sebagai ruang kebebasan manusia untuk dapat melekat pada identitas satu dengan yang lainnya.60 Menurut Hewer & Shpresa, hal ini yang membuat identitas dikonseptualisasikan sebagai suatu produk dari interaksi yang dinamis dalam tiga sumber pengetahuan, yakni:
55
Casey Teresa & Dustmann Christian, Immigrants, Identity, Economic Outcomes, and the Transmission of Identity across Generations (London : University College London Drayton House, 2009), 2527. 56 Christopher J. Hewer & Shpresa Vitija, “Identity after Kosovo’s independence: Naratives from within the Kosovar Albanian diaspora”, dalam Jurnal social Social Identities, Vol. 19, No. 5, Received 3 June 2013 (London: Routledge, 2013), 621. 57 Riskianingrum, Studi Dinamika Identitas ,..., 103. 58 G. Sheffer, A new field of study: Modern diasporas in international politics (Croom Helm, London and Sydney, 1986), p. 1-15. 59 Christou, Narratives of Place ,..., 32. 60 Christou, Narratives of Place ,..., 33.
25
1. Sejarah, upaya untuk memahami peristiwa masa lalu melaui empiris dan analisi ilmiah 2. Memori Kolektif, dimana repositori budaya yang relatif statis terdiri dari informasi yang terdapat dalam buku di perpustakaan atau di museum 3. Pengalaman pribadi, harus dapat disaring dan dikontekstualkan dengan alasan dan memori yang dapat merangsang emosi dan menyatukan kemauan yang ada. 61 Berdasarkan argumen tersebut dapat dikatakan bahwa identitas mengalir dari yang dinamis dan narasi statis tentang masa lalu. Sehingga hasil konstruksi identitas melalui proses kolektif menyebabkan manusia dapat mengingat kegiatan saat ini dengan menggunakan masa lalu, dan melalui sifat dialogis dapat mengingatkan percakapan sehari-hari yang menjadi bagian integral dari proses konstruksi identitas, dimana tertanam memori dalam hubungan baik implisit atau eksplisit dalam kehidupan sehari-hari.62 Secara antropologis, konsep identitas sosial mengandung makna yang sama dengan konsep identitas etnis. Istilah etnis mengacu pada masalah perasaan bersama atau senasib dari satu kelompok etnik. Tumbuhnya perasaan ini merupakan produk dari sejarah dan asal usul yang diwarisi. Dalam pengertian umum, istilah entitas juga merujuk keseluruhan aspek tentang masalah-masalah etnis dan mengacu pada hal-hal biologis, maupun aspek non-fisik seperti: kepercayaan, pengetahuan, budaya, agama, bahasa dan adat-istiadat yang diwarisinya.63 Identitas etnis dibangun sesuai dengan situasi yang ada. Sifat identitas etnis adalah situasional dan bisa berubah.64 Menurut Appiah dalam buku yang berjudul The Ethics of Identity yang berbicara mengenai nilai-nilai identitas daripada etika identitas, mengatakan bahwa di dalam setiap 61
Hewer & Shpresa, Identity after Kosovo’s independence ,..., 623. Hewer & Shpresa, Identity after Kosovo’s independence ,..., 624. 63 Thomas H. Eriksen, What is Anthropolgy? (London: Pluto Press, 2002), 3-4. 64 Eriksen, Ethnicity & Nationalism: Anthropological Perpectives (London: Pluto Press, 1993), 117. 62
26
identitas terdapat nilai-nilai, yakni nilai-nilai yang bersifat etis dan moral yang memengaruhi individu atau kelompok dalam menggunakan identitas. Argumen Appiah didasarkan pada asumsi bahwa hal ini merupakan sebuah tradisi yang diasumsikan hampir dimiliki oleh setiap manusia. Oleh karena itu, identitas merupakan nilai yang menjadi etiketnya dan terdapat kesamaan nilai dalam identitas. Misalnya, salah satu nilai universal dari identitas adalah solidaritas, sebagai bagian dari rasa nyaman, puas atau pemaknaan untuk melakukan kebaikan internal komunitas identitas tersebut.65 Lebih lanjut terdapat dua pandangan yang secara khususnya juga membahas pandanganpandangan diatas yakni; perspektif esensialis dan konstruktivistik. Dalam pandangan esensialistik, konsep etnisitas dipahami sebagai entitas yang tetap, baku dan berorientas dengan karaktek biologis. Seperti yang dikatakan oleh Clifford Geertz 1973 dalam bukunya The Interpretation of Culture sebagai “Primordial” yang merujuk pada anggapan bahwa etnisitas adalah sebuah identitas yang telah dibawa seseorang sejak lahir. Artinya bahwa terdapat sesuatu yang bersifat askriptif dan melekat pada setiap orang. Meskipun semua adalah orang Indonesia, namun masing-masing memiliki identitas primordialnya sebagai orang Ambon, dan lain-lain. Sedangkan perspektif konstruktivistik melihat bahwa konsep etnisitas bisa berubah dan tidak menetap.66 Makna dan konsep identitas pun merupakan suatu usaha yang berkelanjutan tanpa akhir. Karena identitas bukan merupakan entitas yang final dan statis, melainkan sesuatu yang bertumbuh dan berkembang. Hal ini sejalan dengan pemikiran Hall yang menyatakan bahwa sesuatu yang tidak pernah sempurna, selalu ada dalam proses dan selalu dibangun dari dalam. Kata identitas sendiri
65
Kwame A. Appiah, The Ethics of Identity (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2005),
24. 66
Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia: Demografi Politik Pasca Soeharto (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2007), 142-143.
27
mengacu pada konotasi apa saja, misalnya sosial, politik, budaya dan sebagainya. 67 Sehingga identitas dapat dilihat sebagai sebuah konstruksi dari berbagai diskursus, praktik dan posisi, dimana hal tersebut terkonstruksi secara sosial, dibentuk dan dinegosiasi melalui pengalaman sehari-hari melalui interaksi sosial.68 Identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi sosial biasanya disebut dengan identitas sosial. Identitas sosial yaitu bagian dari konsep diri invidu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana di dalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.69 Oleh karena itu, identitas sosial memiliki keterhubungan dengan perasaan menjadi bagian dari suatu kelompok. Keterhubungan ini dalam pengertian bahwa konsep diri seseorang atau identitas seseorang merupakan gambaran diri yang adalah pendefinisian karakteristik kelompok sosial yang di dalamnya seseorang itu merasa menjadi bagiannya.70 Contohnya karakteristik kelompok sosial yang berbentuk seperti bangsa, ras, etik, kelas pekerja, agama, umur, gender, suku, keturunan, dan lain-lain.71 Menurut Hogg dan Abrams, Identitas sosial yang melekat pada seseorang merupakan identitas positif yang ingin dipertahankan oleh individu tersebut. Konsep identitas yang didasarkan dari suatu asumsi umum bahwa: 1. Setiap individu selalu berusaha untuk merawat dan meninggikan harga dirinya dengan cara berusaha untuk membentuk konsep diri yang positif.
67
Stuart Hall, Cultural Identity and Diaspora (London: Lawrence & Wishart, 1990). Melissa J. Brown, Is Taiwan Chinese? The Impact of Culture, Power, and Migration on Changing Identities (Berkeley: University of California Press, 2004), 22. 69 D M. Taylor & F M. Moghaddam, Theories of Intergroup Relation (Second edition) (New York: Praeger, 1994). 70 Hogg dan Abrams, Social Identifications ,..., 7. 71 Hogg dan Abrams, Social Identifications ,..., 13. 68
28
2. Kelompok dan anggota sosial mencoba berasosiasi terhadap konotasi nilai positif atau negatif. Karena, identitas sosial mungkin positif atau negatif tergantung dari evaluasi kelompok tersebut dalam memberikan kontribusi pada identitas sosial individu. 3. Evaluasi dari salah satu kelompok adalah berusaha menjadi bahan acuan pada kelompok lain secara spesifik melalui perbandingan sosial dalam bentuk nilai atribut atau karakteristik.72 Selain itu, Identitas jika dilihat dari sudut pandang sosiologi, perlu terlebih dahulu dipahami dalam bingkai sosial, apakah merupakan kenyataan ojektif atau merupakan kenyataan subjektif. Klarifikasi atas persoalan ini dapat dipahami dari pendapat Peter L.Berger dan Luckmann yang menyatakan bahwa identitas, dengan sendirinya, merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subjektif dan, sebagaimana semua kenyataan subjektif, berhubungan secara dialektis dengan masyarakat.73 Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial sehingga memperoleh wujudnya, kemudian ia dipelihara, dimodifikasi, atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosialnya. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan identitas yang dimaksud ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya, identitas-identitas yang dihasilkan oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu, dan struktur sosial bereaksi terhadap struktur sosial yang sudah diberikan, memeliharanya, memodifikasinya, atau malahan membentuknya kembali.74 Dengan demikian berdasarkan pandangan ini, dapat dipahami bahwa individu pada kenyataan tidak dapat terlepas dari masyarakat sebagai lingkungan sosialnya. Karena keduanya saling terikat dan saling berinteraksi. Adapun pengalaman dari masing-masing individu juga ternyata tidak dapat dipisahkan dari pengalaman dalam sebuah komunitas.
72
Hogg & Abrams, Social Identifications ,..., 200. Berger & Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan ,..., 235. 74 Berger & Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan ,.., 248. 73
29