17
BAB II PERJANJIAN KREDIT PADA PERBANKAN A. Pengertian dan Unsur-unsur Kredit pada Perbankan Secara etimologi kata kredit berasal dari kata Romawi credere yang artinya percaya. Dalam bahasa Belanda istilahnya disebut vertrouwen, dalam bahasa Inggris believe atau trust, atau confidence yang artinya sama, yaitu percaya. Kepercayaan adalah unsur yang penting dan utama dalam pergaulan hidup manusia. Orang tidak dapat hidup dalam pergaulan bila tidak dipercaya lagi oleh orang lain. 16 OP. Simorangkir mengartikan kredit sebagai pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, yang dengan demikian transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit. Kredit berfungsi koperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik kuntungan dan saling menanggung risiko. Kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen kepercayaan, risiko, dan pertukaran ekonomi di masa-masa mendatang. 17 Kredit dapat juga diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji, pembayaran akan dilaksanakan pada jangka waktu yang telah disepakati. 18 Mohammad Djuhmana, mengatakan bahwa intisari dari kredit adalah unsur kepercayaan. Unsur lainnya adalah mempunyai pertimbangan tolong16 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 92. 17 Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia (Yogyakarta: Andi, 2000), hlm. 2. 18 Astiko, Manajemen perkreditan (Yogyakarta: Andi, 1996), hlm. 5.
17
18
menolong. Selain itu, dilihat dari pihak kreditur, unsur penting dalam kegiatan kredit sekarang ini adalah untuk mengambil keuntungan dari modal dengan mengambil kontraprestasi sedangkan dipandang dari segi debitur, adalah adanya bantuan dari kreditur untuk menutupi kebutuhan yang berupa prestasi. Hanya saja antara
prestasi
dengan
kontraprestasi
tersebut
ada
suatu
masa
yang
memisahkannya. Kondisi ini mengakibatkan adanya risiko yang berupa ketidaktentuan, sehingga diperlukan suatu jaminan dalam pemberian kredit tersebut. 19 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman hingga batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain. Black’s Law Dictionary memberikan pengertian kredit sebagai berikut: “The ability of a businessman to borrow money, or to obtain goods on time, in consequence of the favorable opinion held by the particular lender, as to his solvency and reliability.” Terjemahan bebasnya : “Kemampuan seorang pelaku usaha untuk meminjamkan uang, atau memperoleh barang-barang secara tepat waktu, sebagai akibat dari argumentasi yang tepat dari pemberi pinjaman, seperti halnya kehandalan dan kemampuan membayarnya”. Pasal 1 ayat (11) UU Perbankan dirumuskan definisi kredit sebagai berikut: “Bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan 19 Mohammad Djuhmana, Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: Citra Adytia Bhakti, 1993), hlm. 231.
19
pinjam-meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. 20 Berdasarkan pengertian di atas menunjukkan bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. 21 Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 1 ayat (5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga termasuk : 1. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada hari akhir, 2. pengembalian tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang, dan 3. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 22 Unsur esensial dari kredit bank adalah adanya kepercayaan dari bank sebagai kreditur terhadap nasabah peminjam sebagai debitur. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh debitur, antara lain jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau agunan, dan lain-lain. Makna dari kepercayaan
20 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Bab I, Pasal 1 ayat (11). 21 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 58. 22 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, Bab I, Pasal 1 ayat (5).
20
tersebut adalah adanya keyakinan dari bank sebagai debitur bahwa kredit yang diberikan akan sungguh-sungguh diterima kembali dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Thomas Suyatno, mengemukakan bahwa unsur-unsur kredit terdiri atas: 23 1. Kepercayaan Keyakinan dari si pembeli kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. 2. Tenggang waktu Suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini, terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima di masa mendatang. 3. Tingkat risiko Tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya, karena sejauh-jauh kemampuan manusia untuk menerobos masa depan itu, maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko inilah, maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit.
23 Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan (Jakarta : Gramedia, 1992), hlm. 23.
21
4. Prestasi atau objek kredit Prestasi atau objek kredit tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang setiap kali kita jumpai dalam praktik perkreditan. Bertitik tolak dari pendapat di atas, maka dapat dikemukakan bahwa selain unsur kepercayaan tersebut, dalam permohonan dan pemberian kredit juga mengandung unsur lain, yaitu unsur waktu, unsur risiko, dan unsur prestasi. Dalam pemberian kredit ditentukan juga mengenai unsur waktu. Unsur waktu ini merupakan jangka waktu atau tenggang waktu tertentu antara pemberian atau pencairan kredit oleh bank dengan pelunasan kredit oleh debitur. Lazimnya pelunasan kredit terebut dilakukan melalui angsuran dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kemampuan dari debitur. R. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian, yang dimaksud dengan risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak. Berkaitan dengan pemberian kredit oleh bank kepada debitur tentu pula mengandung risiko usaha bagi bank. Risiko di sini adalah risiko dari kemungkinan ketidakmampuan dari debitur untuk membayar angsuran atau melunasi kreditnya karena sesuatu hal tertentu yang tidak dikehendaki. Semakin lama jangka waktu atau tenggang waktu yang diberikan untuk pelunasan kredit, maka semakin besar juga risiko bagi bank. 24 Setiap perjanjian tentu mengandung adanya prestasi dan kontraprestasi. Dalam perjanjian kredit sejak saat adanya kesepakatan atau persetujuan dari kedua
24 Hernansyah, Op.Cit., hlm. 60.
22
belah pihak (bank dan nasabah debitur) telah menimbulan hubungan hukum atau menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai kesepakatan yang telah mereka sepakati. Bank sebagai kreditur berkewajiban untuk memberikan kredit sesuai dengan jumlah yang disetujui, dan atas prestasinya tersebut bank berhak untuk memperoleh pelunasan kredit dan bunga dari debitur sebagai kontraprestasinya. Dilihat dari macam jenis kredit yang dapat diajukan kepada bank, maka secara garis besar kredit tersebut dapat digolongkan kepada kredit tunai (cash loan) dan kredit tidak tunai (non cash loan). Jenis kredit secara tunai dapat dibedakan yaitu secara umum, tujuan pembiayaan, jangka waktu, sektor ekonomi, sifat, jenis penggunaan, kolektibilitas, golongan, debitur, dan kebijaksanaan. Sedangkan kredit non tunai yaitu dalam bentuk pemberian bank garansi dan kredit berdokumen dalam rangka pembukaan Letter of Credit (L/C). Jenis kredit ini perlu diketahui guna melihat jenis kredit apa yang dibutuhkan oleh perusahaan dan perorangan pada suatu waktu tertentu dan mengetahui perkembangan selanjutnya dari kredit tersebut ataupun kebutuhan kredit lain yang akan muncul dikemudian hari. Warman Djohan membagi jenisjenis kredit yang biasanya diberikan oleh bank-bank komersial sebagai berikut : 25
1. Kredit secara umum a. Kredit komersial Kredit yang diberikan oleh bank kepada perusahaan atau perorangan untuk tujuan komersial. Dengan mendapatkan fasilitas kredit ini maka perusahaan
25 Warman Djohan, Kredit Bank Alternatif Pembiayaan dan Pengajuannya (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2000), hlm. 40-51.
23
dapat meningkatkan volume penjualan yang sekaligus juga meningkatkan perolehan laba usaha. b. Kredit konsumsi Jenis kredit yang diberikan biasanya kepada perorangan untuk tujuan konsumsi misalnya kredit kepemilikan rumah, kredit kendaraan, kredit untuk anak sekolah dan lain-lain. 2. Tujuan pembiayaan a. Kredit modal kerja Kredit yang diberikan oleh bank kepada perusahaan atau perorangan untuk menambah modal kerjanya. Modal kerja meliputi biaya pembelian bahan baku, bahan pembantu, upah buruh, overhead cost dan lain-lain. b. Kredit investasi Kredit yang diberikan oleh bank kepada perusahaan untuk pembelian barang modal. Misalnya kredit untuk pembelian mesin-mesin, kendaraan, peralatan dan pembangunan gedung pabrik. Kredit ini berjangka panjang, melebihi jangka waktu satu tahun dan pelunasannya melalui angsuran. 3. Kredit menurut jangka waktu a. Kredit jangka pendek Kredit berjangka waktu sampai dengan satu tahun, biasanya kredit modal kerja. b. Kredit jangka menengah Kredit dengan jangka waktu di atas satu tahun sampai dengan lima tahun, biasanya kredit yang digunakan untuk pembelian kendaraan, peralatan dan mesin-mesin secara partial.
24
c. Kredit jangka panjang Kredit dengan jangka waktu di atas lima tahun, kredit ini biasanya diberikan untuk pembiayaan pembangunan pabrik baru dan pembiayaan proyekproyek jangka panjang (project financing). 4. Kredit menurut pembiayaan berdasarkan sektor ekonomi a. Kredit pertanian Kredit yang diberikan untuk pembiayaan sektor pertanian termasuk perkebunan, perikanan dana kehutanan. Kredit dapat diberikan dalam bentuk kredit modal kerja atau kedit investasi. b. Kredit pertambangan Kredit yang diberikan untuk pembiayaan sektor pertambangan meliputi eksplorasi dan eksploitasi. c. Kredit perindustrian Kredit yang diberikan untuk pembiayaan pabrik-pabrik, manufaktur dari segala sektor. d. Kredit perdagangan, restoran, dan hotel Kredit yang diberikan untuk membantu kebutuhan modal perdagangan antar kota, antar pulau, dan perdagangan lokal seta untuk restoran dan hotel-hotel. e. Kredit pengangkutan dan pergudangan Kredit yang diberikan untuk pengangkutan, distribusi barang-barang, dan pergudangan. Termasuk di dalamnya kredit distribusi, yaitu pembelian barang-barang dalam jumlah besar dan kemudian dijual dalam jumlah yang lebih kecil.
25
f. Kredit jasa-jasa dunia usaha Kredit yang diberikan untuk perusahaan jasa, seperti konsultan, akuntan, dokter, pengacara, dan jasa pendidikan. 5. Kredit menurut sifatnya a. Kredit revolving Kredit yang diberikan atas dasar limit atau plafon tertentu dan dapat dipakai berulang-ulang sampai dengan batas yang telah ditentukan tersebut. Kredit ini biasanya dalam bentuk kredit modal kerja atas dasar rekening koran dengan jangka waktu tidak melebihi satu tahun. b. Kredit aflopend Fasilitas kredit yang diberikan untuk satu kali penggunaan atau sesuai skedul dan tidak dapat dipakai berulang. 6. Kredit menurut penggunaannya a. Kredit usaha Kredit yang digunakan untuk pembiayaan dalam bentuk modal kerja atau investasi. Pembayaran bunga dan pelunasan kredit berasal dari hasil usaha perusahaan. b. Kredit konsumsi Kredit yang digunakan untuk pembelian barang-barang konsumsi bukan dalam bentuk usaha. Misalnya, kredit pembelian rumah, kredit kendaraan, dan kredit pembelian peralatan rumah tangga.
26
7. Kredit berdasarkan golongan debitur a. Kredit kepada penduduk Kredit yang diberikan kepada penduduk, warga negara atau perusahaan yang mempunyai status penduduk Indonesia. b. Kredit bukan kepada penduduk Kredit yang diberikan bukan kepada penduduk Indonesia, warga negara asing atau perusahaan yang berstatus perusahaan asing (PMA). 8. Kredit berdasarkan kebijaksanaan bank a. Kredit umum Kredit-kredit yang diberikan oleh bank lebih ditekankan pada untung rugi dan prinsip-prinsip bisnis yang berlaku atau dikenal dengan ketentuan bank teknis b. Kredit prioritas Kredit yang penyalurannya berdasarkan prioritas yang disyaratkan oleh pemerintah, misalnya untuk usaha skala kecil. Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah skema kredit atau pembiayaan modal kerja dan atau investasi yang khusus diperuntukkan bagi UMKMK di bidang usaha produktif dan layak (feasible), namun mempunyai keterbatasan dalam pemenuhan persyaratan yang ditetapkan perbankan (belum bankable). KUR merupakan program pemberian kredit atau pembiayaan dengan nilai di bawah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan pola penjaminan oleh pemerintah dengan besarnya coverage peminjaman maksimal 80% dari plafon kredit untuk sektor kelautan, pertanian, dan perikanan, kehutanan, dan industri
27
kecil, dan 70% dari plafon kredit untuk sektor lainnya. 26 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No. 190/PMK.05/2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Imbal Jasa Penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) memberikan definisi KUR sebagai berikut : “Kredit Usaha Rakyat, yang selanjutnya disingkat KUR, adalah kredit program pemerintah yang dananya dari perbankan kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah, Koperasi dan Tenaga Kerja Indonesia dalam bentuk pemberian kredit modal kerja dan / atau kredit investasi yang didukung oleh fasilitas penjaminan”. 27 Perguliran KUR dimulai dengan adanya keputusan Sidang Kabinet Terbatas yang diselenggarakan pada tanggal 9 Maret 2007 bertempat di Kantor Kementerian Negara Koperasi dan UKM yang dipimpin oleh Bapak Presiden RI. Salah satu keputusannya antara lain, bahwa dalam rangka pengembangan UMKMK pemerintah akan mendorong peningkatan akses UMKMK kepada kredit atau pembiayaan dari perbankan melalui peningkatan kapasitas perusahaan penjamin. Dengan demikian UMKMK yang selama ini mengalami kendala dalam mengakses kredit atau pembiayaan dari perbankan karena kekurangan agunan dapat diatasi. 28 Peluncuran KUR merupakan upaya Pemerintah dalam mendorong perbankan menyalurkan kredit pembiayaan kepada UMKMK. Peluncuran tersebut
26 Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, “Program Kredit Usaha Rakyat (KUR)”, http://www.tnp2k.go.id/id/tanya-jawab/klaster-iii/progam-kredit-usaha-rakyatkur/ (diakses pada tanggal 15 April 2015). 27 Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Imbal Jasa Penjaminan Kredit Usaha Rakyat, Bab I, Pasal 1 ayat (1). 28 Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, “Skema Penyaluran Kredit Usaha Rakyat”, http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_cont ent&view=article&id=351 (diakses pada tanggal 15 April 2015).
28
merupakan tindaklanjut dari ditandatanganinya Nota Kesepahaman Bersama (MoU) pada tanggal 9 Oktober 2007 tentang Penjaminan Kredit atau Pembiayaan kepada UMKMK antara Pemerintah (Menteri Negara Koperasi dan UKM, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Perusahaan Penjamin (Perum Jamkrindo dan PT. Asuransi Kredit Indonesia) dan Perbankan (Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri). KUR ini didukung oleh
Kementerian
Negara
BUMN,
Kementerian
Koordinator
Bidang
Perekonomian serta Bank Indonesia. Kredit Usaha Rakyat diberikan dengan tujuan mengakselerasi pengembangan kegiatan perekonomian di sektor riil dalam rangka penanggulangan dan pengentasan kemiskinan serta perluasan kesempatan kerja. Secara lebih rinci, tujuan program KUR adalah sebagai berikut : 1. mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKMK, 2. meningkatkan akses pembiayaan dan mengembangkan UMKMK kepada Lembaga Keuangan, 3. sebagai upaya penanggulangan atau pengentasan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja. B. Prinsip-prinsip dan tujuan pemberian kredit pada perbankan Pemberian kredit ataupun pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank wajib memperhatikan hal-hal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU Perbankan, yaitu: (1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah
29
debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan. (2) Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Berkaitan dengan itu, menurut penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan, dikemukakan bahwa pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang wajib dimiliki dan diterapkan oleh bank dalam pemberian kredit dan pembiyaan adalah sebagai berikut : 1. pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam perjanjian tertulis, 2. bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan proyek usaha dari nasabah debitur, 3. kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, 4. kewajiban untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, 5. larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur dan/atau pihak-pihak terafiliasi, 6. penyelesaian sengketa. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2) di atas merupakan dasar atau landasan bagi bank dalam menyalurkan kreditnya kepada nasabah debitur. Lebih dari itu, karena pemberian kredit merupakan salah satu fungsi utama dari bank, maka dalam ketentuan tersebut juga mengandung dan menerapkan prinsip kehati-hatian
30
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 UU Perbankan. Untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah di kemudian hari, penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit haruslah dilakukan dengan prinsip-prinsip kredit sebagai berikut: 29 1. Character (watak) Watak atau (character) adalah sifat dasar yang ada dalam hati seseorang. Watak dapat berupa baik dan jelek bahkan ada yang terletak di antara baik dan jelek. Watak merupakan pertimbangan untuk mengetahui risiko. Tidak mudah untuk menentukan watak seorang debitur terutama debitur yang baru pertama kali mengajukan kredit. Penilaian terhadap karakter ini untuk mengetahui tingkat kejujuran, integritas, dan kemauan dari calon nasabah debitur untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini dapat diperoleh oleh bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha, dan informasi dari usahausaha yang sejenis. 2. Capacity (kemampuan) Yang dimaksud dengan capacity dalam hal ini adalah kemampuan calon nasabah debitur untuk mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan, sehingga usahanya akan dapat berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan, yang menjamin bahwa ia mampu melunasi utang kreditnya dalam jumlah dan jangka waktu yang telah ditentukan. Pengukuran kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, misalnya pendekatan materiil, yaitu melakukan penilaian terhadap keadaaan neraca, laporan rugi laba, dan arus kas (cash flow) usaha dari beberapa tahun terakhir.
29 Ibid., hlm. 64.
31
Melalui pendekatan ini, tentu dapat diketahui pula mengenai tingkat solvabilitas, likuiditas, dan rentabilitas usaha serta tingkat risikonya. Pada umumnya untuk menilai capacity seseorang didasarkan pada pengalamannya dalam dunia bisnis yang dihubungkan dengan pendidikan dari calon nasabah debitur, serta kemampuan dan keunggulan perusahaan dalam melakukan persaingan usaha dengan pesaing lainnya. 3. Capital (modal) Dalam hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap modal yang dimiliki oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidaklah semata-mata didasarkan pada besar kecilnya modal, akan tetapi lebih difokuskan kepada bagaimana distribusi modal ditempatkan oleh pengusaha tersebut, sehingga segala sumber yang telah ada dapat berjalan secara efektif. 4. Collateral (jaminan) Suatu jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman (back up) atas risiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya nasabah debitur di kemudian hari, misalnya terjadinya krredit macet. Jaminaan ini diharapkan mampu melunasi sisa utang kredit baik utang pokok maupun bunganya. 5. Condition of Economy (kondisi ekonomi) Dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dari bank untuk memperkecil risiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut.
32
Terkait dengan prinsip-prinsip di atas, pada dasarnya pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur berpedoman kepada dua prinsip, yaitu: 1. Prinsip kepercayaan Dapat dikatakan bahwa pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur selalu didasarkan kepada kepercayaan. Bank mempunyai kepercayaan bahwa kredit yang diberikannya bermanfaat bagi nasabah debitur sesuai dengan peruntukannya, dan terutama sekali bank percaya nasabah debitur yang bersangkutan mampu melunasi utang kredit beserta bunga dalam jangka waktu yang telah ditentukan. 2. Prinsip kehati-hatian (prudential principle) Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk pemberian kredit kepada nasabah debitur harus selalu berpedoman dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan dalam bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberian kredit oleh bank yang bersangkutan. Pemberian
kredit
berdasar
prinsip-prinsip
diatas
bertujuan
agar
pelaksanaan pemberian kredit oleh bank tepat sasaran sesuai dengan tujuan kredit yang sesungguhnya. Dalam hal ini tujuan kredit itu sendiri adalah untuk memperoleh keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit, jika betul-betul merasa yakin bahwa nasabah yang akan menerima kredit itu mampu dan mau mengembalikan kredit yang telah diterimanya. Dari faktor kemampuan dan kemauan tersebut
33
unsur-unsur yang berkaitan, yakni unsur keamanan (safety) dan unsur keuntungan (profitability). Unsur keamanan (safety) yang dimaksud adalah bahwa prestasi yang diberikan
dalam
bentuk
uang,
barang,
atau
jasa
itu
telah
terjamin
pengembaliannya, sehingga diperoleh keuntungan (profitability) yang diharapkan. Keuntungan (profiitability) yang dimaksud diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima. Selain itu tujuan kredit lainnya adalah sebagai berikut: 30 1. memperoleh pendapatan bank dari hasil bunga yang diterima, 2. memproduktifkan dan memanfaatkan dana-dana yang ada, 3. melaksanakan kegiatan operasional bank, 4. untuk memenuhi permintaan kredit dari masyarakat, 5. memperlancar lalu lintas pembayaran, 6. menambah modal kerja perusahaan, dan 7. meningkatkan kesejahteraan dan juga pendapatan masyarakat. Selain tujuan-tujuan di atas, pemberian kredit juga memiliki beberapa fungsi. Secara umum kredit berfungsi sebagai pemenuhan jasa untuk melayani kebutuhan masyarakat (to serve the society) dalam rangka mendorong dan meluncarkan perdagangan, produksi, jasa-jasa dan bahkan konsumsi yang kesemuanya itu pada akhirnya ditujukan untuk menaikan taraf hidup rakyat banyak. Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk merangsang kedua belah pihak untuk tujuan pencapaian kebutuhan baik dalam bidang usaha maupun kebutuhan sehari-hari. Pihak yang mendapatkan kredit harus dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi pada kemajuan usahanya itu, 30 Pengertian Pakar, “Pengertian, Fungsi, Tujuan dan Macam Kredit”, http://www.pengertianpakar.com/2014/12/pengertian-fungsi-tujuan-dan-macam.html (diakses pada tanggal 18 Maret 2015).
34
atau mendapatkan pemenuhan atas kebutuhannya. Adapun bagi pihak yang memberi kredit, secara material dia harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit, dan secara spiritual mendapatkan kepuasan karena dapat membantu para pihak lain untuk mencapai kemajuan. Suatu kredit mencapai fungsinya, baik bagi kreditur, debitur, maupun masyarakat, apabila secara sosial ekonomis membawa pengaruh yang lebih baik. Bagi pihak debitur dan kreditur, mereka sama-sama memperoleh keuntungan, dan juga mengakibatkan tambahan penerimaan negara dari pajak, serta membawa dampak kemajuan ekonomi yang bersifat mikro maupun makro. 31 Kredit dalam kehidupan prekonomian sekarang, dan juga dalam perdagangan, mempunyai fungsi sebagai berikut: 32 1. Kredit pada hakekatnya dapat meningkatkan daya guna uang Para pemilik uang atau modal dapat secara langsung meminjamkan uangnya kepada para pengusaha yang memerlukan uang untuk meningkatkan prooduksi atau usahanya. Para pemilik uang atau modal dapat menyimpan uangnya pada lembaga-lembaga keuangan. Uang yang terkumpul tersebut diberikan sebagai pinjaman kepada perusahaan untuk meningkatkan usahanya. 2. Kredit meningkatkan peredaran lalu lintas uang Kredit yang disalurkan melalui rekening giro dapat menciptakan alat pembayaran baru seperti cek, giro bilyet, dan wesel. Apabila pembayaran dilakukan dengan alat pembayaran tersebut, maka akan dapat meningkatkan peredaran uang kartal, sehingga arus lalu lintas uang akan berkembang pula. 31 Budi Untung, Op.Cit., hlm. 4. 32 Thomas Suyatno, Op.Cit., hlm. 14.
35
3. Kredit dapat pula meningkatkan daya guna dan peredaran barang Dengan kredit, pengusaha dapat memproses bahan baku menjadi barang jadi, sehingga daya guna barang meningkat. Disamping itu, kredit dapat pula meningkatkan peredaran barang baik melalui penjualan secara kredit maupun dengan membeli barang-barang dari suatu tempat dan menjulanya ke tempat lain. 4. Kredit sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi Dalam keadaan ekonomi kurang sehat, kebijaksanaan ekonomi diarahkan pada usaha-usaha antara lain : a. mengendalikan inflasi, b. peningkatan ekspor, c. pemenuhan kebutuhan pokok. 5. Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusaha Bantuan kredit yang diberikan oleh bank dapat mengatasi kekurangmampuan pengusaha dibidang permodalan, sehingga pengusaha dapat meningkatkan usahanya. 6. Kredit dapat meningkatakan pemerataan pendapatan Dengan kredit pemilik usaha dapat meningkatkan usahanya dengan mendirikan proyek-proyek baru. Peningkatan usaha dan proyek-proyek baru ini membutuhkan tenaga kerja, dengan demikian para pekerja tersebut akan memperoleh pendapatan. Apabila perluasan usaha dan pendirian proyek baru itu telah selesai maka dalam pengelolaannya membutuhkan tenaga kerja. Dengan tertampungnya tenaga kerja tersebut, maka pemerataan pendapatan semakin meningkat.
36
7. Kredit dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan hubungan internasional Bank-bank luar negeri yang besar mempunyai jaringan di dalam negeri dapat menyalurkan kreditnya langsung atau tidak langsung kepada perusahaanperusahaan dalam negeri, bantuan dalam bentuk kredit ini tidak saja dapat mempererat hubungan ekonomi antar negara yang bersangkutan tapi juga dapat meningkatkan hubungan internasional. C. Perjanjian Kredit pada Bank Perjanjian kredit adalah salah satu bentuk perjanjian yang ada di dalam dunia usaha, yang menimbulkan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Di dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Untuk sahnya suatu perjanjian kredit sebagaimana untuk sahnya suatu perjanjian seperti yang diisyaratkan oleh Pasal 1320 KUH Perdata harus dipenuhi, dan hal tersebut berlaku pula untuk perjanjian kredit. Adapun syarat sahnya perjanjian antara lain : 1. sepakat mereka yang mengikatkan diri, 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3. suatu hal tertentu, 4. suatu sebab yang halal. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo). Dengan demikian perjanjian ini mendahului perjanjian utang-
37
piutang
(perjanjian
pinjam-mengganti).
Sedang
perjanjian
utang-piutang
merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit. 33 Terdapat beberapa perbedaan yang lain antara perjanjian kredit dan perjanjian utang-piutang, yaitu terletak pada sifat perjanjian tersebut. Perjanjian kredit bersifat konsensuil sedang perjanjian utang piutang bersifat riil. Riil berarti bahwa perjanjian baru ada setelah utang yang dipinjamkan dalam perjanjian kredit diserahkan secara nyata pada debitur. Karena perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok maka perlu mendapat perhatian yang serius baik oleh bank sebagai kreditur maupun nasabah sebagai debitur. Perjanjian kredit merupakan salah satu perjanjian di dalam transaksi bisnis yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang antar para pihak, melainkan perjanjian itu dibuat oleh salah satu pihak dengan cara menyiapkan syarat-syarat baku pada formulir perjanjian yang sudah hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lain untuk bernegosiasi atas syarat-syarat tersebut. Perjanjian inilah yang disebut sebagai perjanjian baku atau perjanjian standart. Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausulaklausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya (dalam transaksi perbankan adalah bank yang bersangkutan) dan pihak lain (dalam transaksi perbankan adalah nasabah bank tersebut) pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. 34 Perjanjian baku digunakan dalam volume besar dan untuk transaksi yang ditentukan oleh salah satu pihak dan persyaratan-persyaratan yang tertuang dalam perjanjian baku tersebut harus diterima secara keseluruhan oleh pihak lain tanpa 33 Budi Untung, Op.Cit., hlm. 29. 34 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia (Jakarta : Bankir Indonesia, 1993), hlm. 3.
38
adanya
negosiasi
diantara
para
pihak.
Perjanjian
baku
kadang
tidak
memperhatikan isinya, tetapi hanya menekankan pada bagian pentingnya dengan janji-janji atau klausula-klausula yang harus dipenuhi oleh para pihak yang menggunakan perjanjian baku. Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit merupakan perrjanjian baku atau perjanjian standar, karena dalam praktik perbankan, setiap bank telah menyediakan formulir perjanjian kredit yang isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu. Formulir tersebut diberikan oleh bank kepada setiap calon debitur yang akan mengajukan permohonan fasilitas kredit. Calon debitur hanya diminta pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut dalam formulir yang diberikan atau tidak. 35 Apabila calon debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka debitur berkewajiban untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut, akan tetapi jika calon debitur menolak, maka ia tidak perlu menandatangani perjanjian kredit tersebut. Perjanjian kredit tidak memiliki suatu bentuk tertentu karena tidak ditetapkan oleh undang-undang. Hal ini menyebabkan perjanjian kredit di setiap bank berbeda satu sama lain sesuai dengan kebutuhan masing-masing bank. Namun pada umumnya perjanjian kredit bank dibuat dalam bentuk tertulis baik secara notariil maupun di bawah tangan. Pemberian istilah perjanjian kredit memang tidak tegas dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan hanya disebutkan bahwa dalam pemberian kredit disertai dengan suatu perjanjian tanpa dibahas lebih lanjut mengenai perjanjian kredit. Pasal 8 ayat (2) UU 35 Johannes Ibrahim, Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah (Bandung : Refika Aditama, 2004), hlm. 30.
39
Perbankan menginstruksikan agar bank wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan disebutkan pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain : 1. pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. 2. bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesungguhan nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur. 3. kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. 4. kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. 5. larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur atau pihakpihak terafiliasi. 6. penyelesaian sengketa. Namun demikian, berdasarkan Surat Bank Indonesia No.03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa saat itu, pemberian kredit diinstruksikan harus dibuat dengan surat perjanjian kredit sehingga perjanjian pemberian kredit tersebut hingga kini disebut perjanjian kredit. 36
36 Bhakti Samudra, “Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Kredit (Credit Agreement)”, https://bh4kt1.wordpress.com/2012/08/24/14 (diakses pada tanggal 22 Maret 2015).
40
Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis akta yang dibuat sebagai alat bukti. Dalam praktik bank ada dua bentuk perjanjian kredit, yaitu: 37 1. Perjanjian kredit dibawah tangan Perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standar (standard form) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh bank tersebut termasuk jenis akta dibawah tangan. Dalam rangka penandatangan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan bank kemudian disodorkan kepada setiap caloncalon debitur untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam formulir perjanjian kredit tidak pernah diperbincangkan atau diperundingkan atau dinegosiasikan dengan calon debitur. Calon debitur mau tidak mau dengan terpaksa atau sukarela harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon debitur melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit, maka kreditur tidak akan menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan dalam bentuk cetakan oleh lembaga bank
37 Sutarno, Op.Cit., hlm. 100.
41
itu sehingga bagi petugas bank pun tidak bisa menanggapi usulan calon debitur. Calon debitur menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon debitur dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit (posisi lemah) sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon debitur dapat menyetujui. 2. Perjanjian kredit notariil atau akta otentik Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris, namun dalam praktik semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditur atau lebih dari satu bank). Perjanjian kredit perlu mendapat perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri. Menurut CH. Gatot Wardoyo, perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, yaitu : 38
38 Budi Untung, Op.Cit., hlm. 43.
42
1. perjanian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan, 2. perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur, 3. perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. Senada dengan itu, Sutarno juga memberikan beberapa tanggapan mengenai fungsi perjanjian kredit, yakni : 39 1. Perjanjian kredit sebagai alat bukti bagi kreditur dan debitur yang membuktikan adanya hak dan kewajiban timbal balik antara bank sebagai kreditur dan debitur. Hak debitur adalah menerima pinjaman dan menggunakan sebagai tujuannya dan kewajibannya debitur mengembalikan hutang tersebut baik pokok dan bunga sesuai waktu yang ditentukan. Hak kreditur untuk mendapatkan pembayaran bunga dan kewajiban kreditur adalah meminjamkan sejumlah uang kepada debitur, dan kreditur berfungsi menerima pembayaran kembali pokok dan bunga. 2. Perjanjian kredit dapat digunakan sebagai alat atau sarana pemantauan atau pengawasan kredit yang sudah diberikan, karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit dan pengembalian kredit. Untuk mencairkan kredit dan penggunaan kredit dapat dipantau dari ketentuan perjanjian kredit. 3. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian pengikutannya yaitu perjanjian pengikatan jaminan. Pemberian
39 Sutarno, Op.Cit., hlm. 129.
43
kredit pada umumnya dijamin dengan benda-benda bergerak atau benda tidak bergerak milik debitur atau milik pihak ketiga yang harus dilakukan pengikatan jaminan. 4. Perjanjian kredit hanya sebagai alat bukti biasa yang membuktikan adanya hutang debitur, artinya perjanjian kredit tidak mempunyai kedudukan eksekutorial atau tidak memberikan kekuasaan langsung kepada bank atau kreditur untuk mengeksekusi barang jaminan apabila debitur tidak mampu melunasi hutangnya (wanprestasi). Pihak bank atau notaris dalam membuat materi perjanjian kredit harus memperhatikan klausul-klausul yang sangat perlu dicantumkan dalam perjanjian tersebut. Menurut CH. Gatot Wardoyo ada beberapa klausul yang selalu perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit, diantaranya : 40 1. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali, atau predisbursement clause Klausul ini menyangkut : a. pembayaran provisi, premi asuransi kredit, dan asuransi barang jaminan serta biaya pengikatan jaminan secara tunai, b. penyerahan barang jaminan, dan dokumen serta pelaksanaan pengikatan barang jaminan tersebut, c. pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan, asuransi kredit dengan tujuan untuk memperkecil risiko yang terjadi diluar kesalahan kreditur maupun debitur. 2. Klausul mengenai maksimum kredit (amount clause) Klausul ini mempunyai arti penting dalam beberapa hal, yaitu :
40 Budi Untung, Op.Cit., hlm. 44.
44
a. merupakan objek penting dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan mengenai materi ini menimbulkan konsekuensi diperlukannya pembuatan perjanjian kredit baru (sesuai dengan Pasal 1381 butir 3 dan Pasal 1413 KUH Perdata mengenai novasi obyektif), b. merupakan batas kewajiban pihak keditur yang berupa penyediaan dana selama tenggang waktu perjanjian kredit, yang berarti pula batas hak debitur untuk melakukan penarikan pinjaman, c. merupakan penetapan besarnya nilai agunan yang harus diserahkan, dasar perhitungan penetapan besarnya provis atau commitment fee, d. merupakan batas dikenakannya denda kelebihan tarik (overdraft) 3. Klausul mengenai jangka waktu kredit Klausul ini penting dalam beberapa hal, yaitu : a. memberikan batas waktu bagi bank kapan harus menyediakan dana besar maksimum kredit berakhir dan kapan waktu itu terlewati sehingga hak tagih/pengembalian kredit dari nasabah diperoleh, b. memberikan batas waktu kapan bank boleh melakukan teguran-teguran kepada debitur bila tidak memenuhi kewajiban tepat pada waktunya, c. memberikan suatu masa yang tepat bagi bank untuk melakukan review atau analisis kembali apakah fasilitas kredit tersebut perlu diperpanjang atau perlu segera ditagih kembali. 4. Klausul mengenai bunga pinjaman (interest clause) Klausul ini diatur secara tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud untuk : a. memberikan kepastian mengenai hak bank untuk memungut bunga pinjaman dengan jumlah yang sudah disepakati bersama karena bunga
45
merupakan penghasilan bank yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan diperhitungkan dengan biaya dana untuk penyediaan fasilitas kredit tersebut, b. pengesahan pemungutan bunga diatas 6% per tahun. Dengan mendasarkan pada pedoman keterangan Pasal 1765 dan Pasal 1767 KUH Perdata yang memungkinkan pemungutan bunga pinjaman diatas 6% per tahun asalkan diperjanjikan secara tertulis. c. klausul mengenai barang agunan kredit Klausul ini bertujuan agar pihak debitur tidak melakukan penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak, tetapi harus ada kesepakatan dengan pihak bank. 5. Klausul asuransi (insurance clause) Klausul ini bertujuan untuk mengalihkan risiko yang mungkin terjadi baik atas barang agunan maupun atas kreditnya sendiri. Adapun materinya perlu memuat maskapai asuransi yang ditunjuk, premi asuransinya, keharusan polis asuransi untuk disimpan di bank, dan sebagainya. 6. Klausul mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause) Klausul ini terdiri dari berbagai macam hal yang mempunyai akibat yuridis dan ekonomis bagi pengamanan kepentingan bank sebagai tujuan utama. 7. Klausul cidera janji (tigger clause atau opeisbaar clause) Klausul ini mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir.
46
8. Klausul mengenai denda (penalty clause) Klausul ini dimaksudkan untuk mempertegas hak bank untuk melakukan pungutan baik mengenai besarnya maupun kondisinya. 9. Klausul biaya (expence clause) Klausul ini mengatur mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya dibebankan kepada nasabah. 10. klausul otorisasi debet (debet authorization clause) Pendebetan rekening pinjaman debitur haruslah seijin debitur. 11.Klausul representasi (representation clause) Klausul ini sering juga disebut dengan istilah material adverse change clause. Maksudnya ialah pihak debitur menjanjikan dan menjamin semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak diputarbalikkan. 12.Klausul ketaatan pada ketentuan bank Klausul ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan bila terdapat hal-hal yang tidak diperjanjikan secara khusus tetapi dipandang perlu sehingga sudah dianggap telah diperjanjikan secara umum. 13.Aturan-aturan tambahan (miscellaneous atau boiler plate provision) Berisi pasal-pasal tambahan yang dianggap perlu diatur dalam sebuah perjanjian kredit. 14.Penyelesaina sengketa (Dispute Settlement atau Alternatif Dispute Resolution) Klausul mengenai metode penyelesaian perselisihan antara kreditur dengan debitur (bila terjadi).
47
15.Pasal Penutup Pasal penutup membuat eksemplar perjanjian kredit yang maksudnya mengadakan pengaturan mengenai jumlah alat bukti dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kredit serta tanggal penandatanganan perjanjian kredit. Pada prakteknya bentuk dan isi perjanjian kredit berbeda-beda antara satu bank dengan bank yang lainnya. Namun demikian pada dasarnya suatu perjanjian kredit harus memenuhi enam syarat minimal, yaitu : 1. jumlah hutang, 2. besarnya bunga, 3. waktu pelunasan, 4. cara-cara pembayaran, 5. berakhirnya perjanjian kredit, dan 6. barang jaminan. D. Kredit Macet pada Perbankan Bank sebagai lembaga keuangan yang bertugas menghimpun dan menyalurkan dana, memiliki peranan yang sangat penting bagi perekonomian. Bank dalam aktivitas menyalurkan dana ke masyarakat, menerima berbagai macam risiko. Risiko yang dihadapi bank dalam penyaluran dana kepada debitur dapat berupa risiko sistematis maupun risiko tidak sistematis. Risiko sistematis merupakan risiko yang mempengaruhi keadaan makro ekonomi suatu negara sampai ke negara lainnya. Sedangkan risiko tidak sistematis adalah risiko yang hanya terjadi dalam satu bank dan tidak merambat ke bank lain. Salah satu risikonya adalah ketidakpastian tentang pembayaran kembali pinjaman oleh debitur sehingga menimbulkan risiko kredit macet.
48
Munculnya kredit bermasalah yang didalamnya termasuk kredit macet, pada dasarnya tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses. Penyebab timbulnya kredit macet pada lembaga perbankan dapat disebabkan dari pihak kreditur (bank) maupun debitur. Faktor penyebab kredit macet dari pihak kreditur atau pihak perbankan adalah: 41 1. keteledoran bank mematuhi peraturan pemberian kredit yang telah digariskan, 2. terlalu mudah memberikan kredit, yang disebabkan karena tidak ada patokan yang jelas tentang standar kelayakan permintaan kredit yang diajukan, 3. konsentrasi dana kredit pada sekelompok debitur atau usaha yang berisiko tinggi, 4. kurang memadainya jumlah eksekutif dan staf bagian kredit yang berpengalaman, 5. lemahnya bimbingan dan pengawasan pimpinan kepada para eksekutif dan staf bagian kredit, 6. jumlah pemberian kredit yang melampaui batas kemampuan bank, 7. lemahnya kemampuan bank untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya kredit bermasalah, termasuk mendeteksi arah perkembangan arus kas (cash flow) debitur lama, 8. tidak mampu bersaing, sehingga terpaksa menerima debitur yang kurang bermutu. Selain dari pihak kreditur, sebagian besar muncul dari pihak debitur, antara lain dikarenakan oleh :
41 Ruang Download, “Pengertian Kredit Macet, Penyebab dan Cara Penyelesaian Kredit Macet”, http://abg01.blogspot.com/2014/08/pengertian-kredit-macet-penyebab-dan.html (diakses pada tanggal 15 April 2015).
49
1. menurunnya kondisi usaha bisnis perusahaan yang disebabkan merosotnya kondisi ekonomi umum dan/atau bidang usaha dimana mereka beroperasi, 2. adanya salah urus dalam pengelolaan usaha bisnis perusahaan, atau karena kurang berpengalaman dalam bidang usaha yang mereka tangani, 3. problem keluarga, misalnya perceraian, kematian, sakit yang berkepanjangan, atau pemborosan dana oleh salah satu atau beberapa orang anggota keluarga debitur, 4. kegagalan debitur pada bidang usaha atau perusahaan mereka yang lain, 5. kesulitan likuiditas keuangan yang serius, 6. munculnya kejadian di luar kekuasaan debitur, misalnya perang dan bencana alam. As. Mahmoeddin juga memberikan pendapat atas beberapa faktor penyebab terjadinya kredit macet, yaitu : 42 1. Faktor kelemahan a. kelemahan bank dalam melakukan analisis, sehingga terjadi kesalahan dalam mengambil keputusan, b. kelemahan nasabah dalam mengelola perusahaan sehingga terjadi kerugian 2. Faktor kenakalan a. rendahnya moral para bankir yang sengaja melakukan pelanggaran tehadap etika perbankan, b. rendahnya moral nasabah yang dengan sengaja memanfaatkan kelemahan bank
42 As Mahmoeddin, 100 Penyebab Kredit Macet (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 14-15.
50
3. Faktor keadaan a. adanya ketentuan pemerintah yang merugikan bisnis nasabah, b. adanya risiko bisnis yang sulit dielakkan, c. adanya musibah yang harus diterima. Berdasarkan pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, penggolongan status kredit lembaga perbankan yaitu sebagai berikut: 1. Lancar (pass) Suatu kredit dikatan lancar (pass) apabila memenuhi kriteria: a. pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat, dan b. memiliki mutasi rekening yang aktif, atau c. bagian kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral). 2. Dalam perhatian khusus (special mention) Suatu kredit dikatakan dalam perhatian khusus (special mention) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. terdapat tunggakan angsuran pkok dan/atau bunga yang melampaui 90 hari, atau b. kadang-kadang terjadi cerukan, atau c. mutasi rekening relatif rendah, atau d. jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan, atau e. didukung oleh pinjaman baru. 3. Kurang lancar (substandard) Suatu kredit dikatakan kurang lancar (substandard) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
51
a. terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari, atau b. sering terjadi cerukan, atau c. frekuensi mutasi rekening relatif rendah, atau d. terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari, atau e. terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur, atau f. dokumen yang lemah. 4. Diragukan (doubtful) Suatu kredit dikatakan diragukan (doubtful) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 hari, atau b. terjadi cerukan yang bersifat permanen, atau c. terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari, atau d. terjadi kapitalisasi bunga, atau e. dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan. 5. Kredit macet Suatu kredit dapat dikatakan sebagai kredit macet apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari, atau b. kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, atau
52
c. dari segi hukum maupun kondisi pasar jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. Suatu kredit memenuhi kriteria kredit lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, dan diragukan sebagaimana tersebut di atas, namun apabila menurut penilaian keadaan usaha peminjam diperkirakan tidak mampu untuk mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya, maka kredit tersebut harus digolongkan pada kualitas yang lebih rendah atas dasar penilaian yang berpedoman pada indikator tambahan yang ditentukan oleh Bank Indonesia. 43 Salah satu hal yang dilakukan untuk mengatasi terjadinya masalah yang timbul dalam perkreditan adalah dengan pengawasan kredit. Kegiatan pengawasan ini akan menjadi lebih penting ketika kita mengetahui bahwa kredit merupakan kekayaan yang berisiko atau risk assets, karena aset-aset tersebut dikuasai oleh pihak di luar bank. 44 Pengawasan kredit dalam arti luas akan meliputi pengawasan sebelum kredit diberikan (steering control), pengawasan pada waktu proses persetujuan kredit (post action) dan pengawasan setelah kredit diberikan (feedback control). 1. Pengawasan kredit dimuka (steering control) Pengawasan kredit ini lebih banyak dalam bentuk rekomendasi dari hasil analisis departemen atau unit yang menangani riset dan pengembangan usaha suatu bank. Hasil analisis tentang tingkat atau rating kelayakan usaha dari perusahaan-perusahaan sejenis dalam industri yang sama, kelompok industri yang mana dengan tingkat Investing Policy Ratio tinggi, sedang dan rendah. Analisis tentang tingkat kejenuhan sektor usaha tertentu atau industri tertentu, 43 Muhamad Djuhmana, Op.Cit., hlm. 427. 44 Warman Djohan, Op.Cit., hlm. 165-168.
53
baik tingkat kejenuhan sektor usaha secara nasional ataupun analisis regional dengan ukuran tingkat kejenuhan tinggi, sedang, dan rendah. Analisis tentang kecenderungan perkembangan ekonomi saat ini, apakah dalam keadaan booming, krisis, atau normal. Hasil analisis tentang tinggi rendahnya tingkat kemacetan usaha dari berbagai sektor usaha atau industri dalam sistem ekonomi, yang dapat diukur dengan tingkat kemacetan tinggi, sedang, dan rendah. Kemudaian manajemen menetapkan pula kebijakan tentang arah usaha bank (mission) yaitu arah dari penempatan dana di bidang perkreditan. Hasil dari analisis di atas merupakan rekomendasi yang diberikan oleh departemen riset dan pengembangan bank kepada departemen kredit atau analisis yang sedang memproses permohonan kredit, baik diminta atau tidak. Selanjutnya, para analisator dapat melakukan pengawasan pendahuluan, sebelum proses analisis kredit dilakukan melalui anlisis siklus hidup perusahaan (life cycle), pengecekan dalam daftar kredit macet dan daftar hitam yang diterbitkan oleh Bank Sentral. 2. Pengawasan kredit pada waktu proses analisis Pengawasan kredit ini merupakan pengawasan administratif meliputi kelengkapan dan keabsahan dokumen permohonan kredit, akurasi analisis dan kesempurnaan warkat-warkat perjanjian dan pengikatan. Pengawasan dapat dilakukan dengan menggunakan check list. 3. Pengawasan kredit pada waktu kredit berjalan Pengawasan kredit ini meliputi pengawasan administratif, pengawasan fisik terhadap kegiatan usaha debitur di lapangan dan analisis kecenderungan
54
ekonomi. Analisis tentang kecenderungan ekonomi biasanya ditangani oleh unit atau departemen riset dan pengembangan suatu bank. Departemen inilah yang memberikan rekomendasi bahwa kecenderungan ekonomi akan membaik atau akan memburuk dimasa datang. Pengawasan kredit ini dilakukan untuk tujuan sebagai berikut: 1. dapat dilakukannya dengan baik penjagaan dan pengawasan dalam pengelolaan kekayaan bank di bidang perkreditan, untuk menghindarkan penyelewengan baik dari intern bank maupun ekstern, 2. untuk memastikan ketelitian dan kebenaran data admintrasi di bidang perkreditan serta penyusunan dokumentasi perkreditan yang lebih baik, 3. untuk memajukan efisiensi di dalam pengelolaan dan tatalaksana usaha di bidang perkreditan dan medorong tercapainya rencana yang telah ditetapkan, 4. untuk menilai tingkat kepatuhan terhadap aturan yang telah ditetapkan dan penggarisan dalam manual perkreditan dalam pencapaian sasaran di atas. Masing-masing tujuan tersebut mempunyai keterkaitan yang erat satu dengan lainnya. Misalnya, dengan memiliki administrasi perkreditan yang dilaksanakan secara tertib, teliti, dan benar akan membantu dan mempermudah untuk
mengantisipasi
dan
menemukan
terjadinya
penyimpangan
atau
penyelewengan secara dini. Dengan adanya sistem dokumentasi yang baik terhadap arsip perkreditan, tentunya akan meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan dan pengendalian portofolio perkreditan.